Gerbang Majalah Pendidikan

ANJANGSANA: Melihat Penerapan Digital School dan Literasi Siswa di SMPN 1 Kalianget FIGUR: Zainal, Bermanfaat Bagi Sesama Menjadi Titik Tekan Setiap Langkah CATATAN BUPATI: Tingkatkan Budaya Literasi, Jangan Mudah Terprovokasi

Menuju Sumenep

Kabupaten Literasi DISDIK KABUPATEN SUMENEP

1

2

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

Esensi

Memabaca merupakan hal yang penting.

Bahkan sangat penting untuk menyongsong masa depan lebih cemerlang. Membaca buku sebanyak-banyaknya dapat memperluas pengetahuan dan mendatangkan banyak pembelajaran baru dalam kehidupan seseorang.

Membaca tidak butuh biaya besar. Cukup ada bahan dan kemauan. Membaca juga tak harus di perpustakaan atau di ruang-ruang khsusus lainnya. Di ruang terbuka pun membaca bisa dilakukan. Bahkan saat berada di tengah hutan sekalipun.

Kebiasaan membaca seseorang sulit tumbuh tanpa ada pembiasaan sejak dini.

Minimal sejak usia sekolah dasar, anak-anak memang sudah harus diakrabkan dengan buku. Di lingkungan keluarga dan sekolah, peran orangtua dan guru akan sangat menentukan.

Namun di era seperti sekarang, harus disadari bersama, gawai (baca: gadget) tentu akan menjadi tantangan cukup serius untuk membiasakan anak-anak senang membaca buku. Sebelum “terpapar� gawai, sebaiknya anak-anak jangan diperkenalkan lebih dulu.

Kecuali untuk hal-hal yang dapat menunjang tumbuh-kembangnya kebiasaan membaca dalam diri mereka. (*)

Foto: Sasin Tipchai

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

1

DAFTAR ISI 06

Salam Pak Kadis

Cover Story

08

Menuju Sumenep Kabupaten Literasi

20

Rulis; Senantiasa Meruwat dan Merawat Budaya Literasi

12

Butuh Gerakan Bersama Kampanyekan Kabupaten Literasi

26

Testimoni

14

Respons

16

Penerapan Digital School dan Li– terasi Siswa di SMPN I Kalianget

Infrastruktur Tak ada Gedung Perpus, ‘Pojok Baca’ Pun Jadi

28

Figur Zainal, Bermanfaat Bagi Sesama

35

Catatan Bupati Tingkatkan Budaya Literasi, Jangan Mudah Terprovokasi

2

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

47

Laporan Khusus Digital School Masuk Pesantren

32

Perspektif Barang Bekas Menuju Peserta Didik Cerdas

39

Sapa Redaksi Selamat bersua lagi para pembaca setia majalah Gerbang Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep.

Kami segenap Tim Redaksi majalah Gerbang mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT karena atas izinya majalah ini tetap konsisten terbit ditengah-tengah pembaca.

Majalah Gerbang hadir untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pendidikan di Bumi Sumekar sekaligus mensosialisasikan program terobosan Dinas Pendidikan (Disdik) dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Di edisi kedua bulan Oktober 2019 ini, Redaksi mengangkat Sumenep menuju Kabupaten literasi sebagai cover story. Topik ini sengaja kami angkat untuk memberi infor-

Pelindung: Bupati Sumenep, Dr. KH. Busyro Karim, M.Si Penasehat: Kapala Dinas Pendidikan, Drs. Bambang Irianto, M.Si Pengarah: Sekretaris Disdik, Dr. Mohammad Saedi Dewan Ahli: Kabid Pembinaan SMP Drs Sunarto, Kabid Pendidikan Dasar Abd. Kadir, M.Pd, dan Kabid PAUD dan PNF, RA. Raihani, MM Pemimpin Redaksi: Ahmed David Anugerah Dewan Redaksi: MS Arifin, FH. Alif, Faisal W. Grafis & Tata Letak: Tim DAV Production Fotografer: Tim Majalah Gerbang Administrasi: Enggar Sulistiyarini

masi mengenai iktiyar Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Disdik dalam menumbuhkan tradisi literasi terutama dikalangan anak didik.

Sedangkan di laporan khusus, redaksi mengangkatkan mengenai perkembangan program digital school masuk pesantren.

Program terobosan disdik ini kini dilirik banyak pihak, bahkan telah diuji cobakan di lembaga pendidikan pondok pesantren.

Terakhir, tentu majalah Gerbang masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, Redaksi tetap meminta masukan dan saran untuk perbaikan majalah ini kedepan.

Salam Redaksi

Alamat Redaksi: Jl. Dr. Cipto, No. 35 Sumenep, Jawa Timur Telpon: 0328 662325 Hp: 081703040549 Website: disdiksumenep.net

Redaksi majalah Gerbang menerima tulisan berupa artikel, resensi, dan rubrik terkait lainnya.

Tulisan yang dimuat akan mendapat penghargaan dari redaksi.

Kirim tulisan anda ke email ke gerbangsumenep@gmail.com.

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

3

4

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

EDITORIAL

D

iakui atau tidak, budaya literasi di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, belum terlalu kuat. Perlu ada terobosan-terobosan ‘radikal’ untuk betul-betul membumikannya. Terutama oleh pihak-pihak terkait. Termasuk pemerintah dan sekolah.

Suatu daerah bisa dikatakan kuat budaya literasinya jika masyarakat di daerah itu memiliki kesadaran untuk gemar membaca banyak referensi. Di Sumenep realitas seperti itu tampaknya masih jauh panggang dari api.

Sebagian besar masyarakat di kabupaten paling timur Pulau Madura masih asing dengan kebiasaan membaca di ruang-ruang publik seperti terminal, pelabuban, warung-warung kopi dan lainnya.

Apalagi dengan menulis yang juga erat kaitannya dengan budaya literasi.

Padahal, tanpa kedua kebiasaan itu, manusia akan sukar menjalani kehidupan di tengah abad yang memposisikan teks sebagai gelombang.

Terutama sejak teknologi, informasi dan komunikasi mengemuka dalam beberapa dekade terakhir.

Komunitas-komunitas literasi di Sumenep juga masih minim. Jumlah pegiat literasi sepertinya masih bisa dihitung dengan jari. Kegiatan-kegiatan mereka pun belum begitu masif terekspose ke halayak ramai. Gaungnya pun tak terlalu nyaring terdengar.

Sehingga menjadi angin segar ketika beberapa waktu lalu Pemetintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, dalam hal ini Dinas Perpusatakaan dan Kearsipan menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah untuk menyediakan buku bacaan,

dan disambut baik oleh Dinas Pendidikan (Disdik).

Rencana Disdik mengembangkan perpustakaan digital untuk memenuhi kebutuhan siswa membaca juga patut diacungi jempol. Dengan begitu, para siswa bisa memperoleh beragam materi dan referensi belajar secara daring.

Perpustakaan digital yang dicanangkan Disdik adalah perpustakaan yang mempunyai koleksi buku dalam bentuk format digital yang dapat diakses baik menggunakan perangkat komputer, laptop atau smartphone. Diharapkan hal ini akan menambah motivasi siswa.

Membangun budaya literasi di tengah-tengah masyarakat dengan dimulai dari sekolah-sekolah memang akan lebih efektif ketimbang langsung meminta masyarakat mengubah kebiasaannya secara instan. Geliat literasi seharusnya memang dimulai dari sekolah-sekolah.

Tentu hal itu bukan persoalan mudah. Untuk membangun budaya literasi di lingkungan sekolah diperlukan sarana pendukung yang memadai. Minimal di tiap sekolah sekolah ada perpustakaan represntatif dengan koleksi buku cukup untuk para siswa memghabiskan waktu mereka saat istirahat.

Setelah itu sekolah harus mampu menciptakan iklim yang mendukung terbangunnya kesadaran peserta didik untuk senang membaca dan menulis.

Caranya, guru sebagai orang yang paling inten bersentuhan langsung dengan murid-muridnya harus bisa memotivasi dan meyakinkan anak-anak didiknya bahwa, budaya literasi merupakan salah satu cara menemukan jati diri yang sejati. (*)

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

5

SALAM PAK KADIS

B

udaya literasi di Indonesia, termasuk di Kabupaten Sumenep dinilai masih rendah. Minat baca masyarakat Sumenep harus ditingkatkan. Dari kebiasaan membaca itu, kemampuan lainnya seperti menulis dan berbicara akan lebih meningkat. Membaca merupakan jendela dunia yang membuat manusia dekat dengan karya sastra, buku, karakter bangsa, dan peradaban.

Penguasaan literasi merupakan indikator penting untuk meningkatkan prestasi generasi bangsa dalam mencapai kesuksesan di masa mendatang. Penanaman literasi harus dilakukan sedini mungkin, karena itu menjadi modal utama dalam mewujudkan bangsa yang cerdas dan berbudaya.

Budaya literasi belum mengakar kuat dalam bangsa kita.

Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis. Penguatan budaya literasi ini perlu dilakukan di Kota Keris ini guna membangun generasi

6

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

muda ke arah yang lebih cerdas menghadapi dan memecahkan persoalan bangsa yang kian pelik.

Sayangnya, saat ini mengalami krisis literasi, masyarakat terkesan enggan, bahkan tidak peduli betapa pentingnya budaya literasi di tengah derasnya arus globalisasi ini. Padahal literasi sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat yang berkarakter. Pendidikan memiliki peran sebagai pondasi awal untuk meningkatkan pemahaman dalam membaca maupun menulis.

Di era modern ini, baik anak muda maupun orang tua sudah kurang membudayakan literasi ditambah lagi dengan teknologi yang semakin berkembang. Di satu sisi perkembangan teknologi

dapat membantu meningkatkan budaya literasi dengan mudahnya akses berita melalui internet, tapi di sisi lain masyarakat menjadi lebih suka hal instan seperti melihat tayangan berita di youtube dan bermain media sosial dengan bahasa yang kadang tidak baku.

Dengan kondisi seperti sekarang ini, sangat diperlukan aksi nyata masyarakat dan pemerintah untuk menumbuhkembangkan kembali budaya literasi. Salah satu cara yang mudah dilakukan adalah membuat berita dengan judul dan gambar yang menarik sehingga masyarakat penasaran untuk membacanya.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi

seperti sekarang ini, menghidupkan budaya literasi merupakan sebuah tantangan. Bukan hanya bagi pemerintah, namun bagi semua masyarakat Indonesia. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, seharusnya kita dapat memanfaatkan literasi yang ada untuk saling berbagai informasi untuk mengurangi maraknya berita bohong (hoax).

Akhir-akhir ini, pemerintah gencar mempromosikan gerakan literasi di setiap sekolahan dan perguruan tinggi. Ada kegiatan khusus yang mengharuskan anak didik di sekolah untuk melakukan aktivitas literasi selama 15 menit sebelum masuk kelas.

Di Kabupaten Sumenep, pemerintah daerah

juga akan mengembangkan perpustakaan berbasis digital. Hal tersebut guna mendukung program gencar literasi tersebut dengan tujuan minat membaca dan menulis masyarakat Sumenep lebih meningkat.

Secara geografis, Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura. Namun, hal ini tidak boleh jadi alasan bagi masyarakat untuk tetap terkungkung dalam sempitnya wawasan. Dengan menumbuhkembangkan budaya literasi ini, masyarakat di kabupaten berlambang kuda terbang ini dapat lebih maju dari masyarakat yang ada di kota besar. Mari, kita mulai budaya literasi ini dari instansi dibawah naungan Dinas Pendidikan Sumenep. (*)

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

7

MENUJU SUMENEP

Kabupaten

Literasi

Dalam sejarah peradaban manusia, bangsa yang maju tidak hanya dibangun dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduknya yang banyak atau pengelolaan negara yang baik, tapi juga mengandalkan pembudayaan membaca dan menulis yang dapat menjembatani peradaban dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.

B

udaya suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi. Agar literasi dapat dikuasai secara maksimal maka budaya literasi perlu dilaksanakan. Pendidikan berbasis budaya literasi merupakan salah satu aspek penting yang harus diterapkan di sekolah guna memupuk minat dan bakat sehingga bermanfaat bagi masa depan mereka.

Terkait hal ini, dalam rangka menumbuhkan budaya baca-tulis itu, pada 2015 silam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah men-

8

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

canangkan sebuah gerakan besar, yaitu Gerakan Literasi Sekolah yang diimplementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Pemerintah menyadari bahwa setiap sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi siswa dan guru. Sekolah akan menjadi tempat nyaman jika siswa, guru, dan tenaga kependidikan di sekolah membiasakan sikap dan perilaku positif.

Gerakan ini memiliki tujuan besar yaitu membangun budaya literasi di

cover story

sekolah. Dalam perkembangannya budaya literasi tersebut dapat menjalar ke masyarakat. Karena dalam masyarakat modern, sekolah dipercaya sebagai lembaga yang penting untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan pada diri peserta didik yang itu tidak lain adalah generasi bangsa.

Secara garis besar, literasi dapat diartikan sebagai keberaksaraan, yaitu kemampuan seseorang membaca dan menulis. Seseorang dikatakan literat apabila ia memiliki pengetahuan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat.

Dengan begitu, budaya literasi dapat diartikan sebagai kebiasaan berpikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca-menulis yang pada akhirnya akan mengarah kepada cara berpikir kritis, cara pemecahan masalah, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penciptaan suatu karya.

Budaya literasi dapat tumbuh, khususnya di

lingkungan sekolah, jika di dalam kegiatan pembelajaran siswa diajak untuk menulis apa yang ia lihat, dengar, dan pikirkan sehingga muncul ideide yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi bentuk literasi yang lebih tinggi.

Untuk membantu pengembangan budaya literasi di sekolah sebelum melangkah ke masyarakat secara umum, ada tiga komponen yang mestinya dilakukan secara dinamis dan berkelanjutan, yaitu motivasi, pembelajaran membaca-menulis, dan membaca menulis mandiri.

Tanpa adanya motivasi, pembelajaran membaca-menulis dan membaca-menulis mandiri tidak akan berjiwa karena tidak ada pendorong atau penyemangat seseorang dalam mengembangkan literasinya. Begitu pula, tanpa pembelajaran membaca-menulis, motivasi dan membaca-menulis mandiri tidak akan terarah dengan baik.

Selain itu, untuk menumbuh-kembangkan udaya literasi juga membutuhkan dukungan politik DISDIK KABUPATEN SUMENEP

9

10

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

cover story

dari Pemerintah dan DPR. Budaya literasi berkaitan dengan masa depan bangsa, karena itu perlu mendapat perhatian serius.

Selama ini dukungan yang ada terkesan masih bersifat temporer. Baru ada perhatian jika peringatan hari-hari tertentu, seperti perayaan Hari Buku Nasional. Sementara dalam keseharian masyarakat, tampaknya belum terlihat jelas ada kegiatan yang benar-benar menghentak atau menyulut kesadaran baru budaya literasi. Termasuk perhatian lebih kepada komunitas-komunitas literasi.

Di Kabupaten Sumemep, Madura, budaya literasi tampaknya mulai ada perhatian lebih dari pemerintah setempat. Terutama oleh Dinas Pendidikan. Sistem penunjang untuk menunjang budaya literasi di lingkungan sekolah mulai dirancang.

Sebelum itu Dinas Pendidikan Sumenep telah melaunching sistem pembelajaran berbasis digital di sejumlah sekolah (Digital School) yang dalam pengembangannya pihak dinas meluncurkan kartu Sumenep Digital yang memiliki sejubel fungsi. Di antaranya sebagai absensi dan kartu tabungan siswa.

Belakangan Dinas Pendidikan Sumenep juga mulai merancang perpustakaan yang juga berbasis digital. Perpusatakaan ‘jaman now’ ini memungkinkan siswa dapat mengakses banyak referensi dengan mudah kapan dan di manapun. “Artinya tidak lagi terbatas jarak dan waktu,” kata Kepala Dinas Pendidikan Sumenep, Bambang Irianto.

Menurut dia, dengan dirancangnya perpustakaan digital itu semua siswa di lingkungan Kabupaten Sumenep nantinya dapat termotivasi untuk lebih rajin membaca buku, dan lambat laun menuangkan hasil bacaannya dalam bentuk tulisan.

Selain itu Bambang juga mendorong kepada seluruh sekolah agar lebih menggalakkan lagi gerakan literasi di lingkungan sekolah. Para guru harus mampu memotivasi anak-anak didikanya untuk lebih akrab dengan buku. Motivasi paling efektif, sambungnya, dengan cara memeberikan contoh dalam bentuk tindakan.

“Jangan sampai, guru hanya bisa mendorong murid-muridnya agar rajin membaca dan menulis sementara mereka sendiri, mohon maaf, malas untuk membaca atau menulis. Kalau ini yang terjadi tentu akan menjadi preseden yang buruk bagi anak-anak didiknya,” ujar Bambang.

Dikatakan Bambang, apa yang dilakukan pihaknya ini merupakan langkah awal untuk meruwat sekaligus merawat budaya literasi di kabupaten paling timur Pulau Madura. Karena itu dia mengharap dukungan dari banyak pihak untuk mewujudkan mimpinya itu, yakni menuju Sumenep sebagai ‘kabupaten literasi’. (*)

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

11

AHMAD MASUNI Kepala Perpustakaan dan Kearsipan Sumenep

BUTUH GERAKAN BERSAMA

KAMPANYEKAN KABUPATEN LITERASI

Problem literasi bukan sekedar rendanya minat baca masyarakat, melainkan juga minimnya sarana berliterasi dan keterbatasan akses kepustakaan. Disisi lain, masyarakat memandang bahwa membaca bukan sebagai kebutuhan. Buruknya lagi, literasi belum dipandang sebagai suatu hal yang prioritas walaupun sebenarnya adalah bagian dari pembangunan sumber daya manusia (SDM).

U

ntuk itu, butuh komitmen dan gerakan bersama lintas sektoral terutama pemangku kebijakan di daerah dalam merealisasikan Sumenep sebagai Kabupaten literasi. Berikut hasil wawancara Tim Majalah Gerbang bersaa Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sumenep, Ahmad Masuni: Bagaimana anda melihat geliat literasi masyarakat khususnya di Sumenep?

Tingkat minat baca dan menulis masyarakat Kabupaten Sumenep sebenarnya lumayan bagus.

Ini kita lihat dalam kegiatan program perpustakaan keliling di beberapa wilayah Kecamatan.

Ternyata, setelah kami ke lapangan bersama mobil pusling masyarakat antusias. Anak-anak di Desa-desa itu datang memanfaatkan pelayanan Pusling.

Artinya apa, kesimpulannya adalah bukan karena minat baca masyarakat yang kurang, tapi optimalisasi pelayanannya yang justru kurang.

12

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

Padahal, dalam undang-undang ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pelayanan kepustakaan termasuk di pelosok-pelosok desa.

Apa kemudian yang menjadi penghambat budaya literasi masyarakat?

Masalahnya yang sebenarnya dan fital adalah sarana. Akses masyarakat untuk mendapat pelayanan kepustakaan sejauh ini masih cukup terbatas, sehingga kondisi tersebut juga berdampak pada tingkat literasi masyarakat. Jadi Pemerintah daerah wajib hadir memberi pelayanan literasi dan kepustakaan kepada masyarakat.

Di Sumenep ini ada 334 Desa dan Kelurahan. Dan di Desa-Desa itu masih ada dusun-dusun atau kampung yang terpisah seperti di Kepulauan. Masyarakat disana tentu butuh juga akses kepustakaan. Bagaimana, masyarakat mau membudayakan literasi kalau akses yang kita berikan justru terbatas.

Maka solusinya, Dinas Perpustakaan dan

cover story w a w a n c a r a

Kearsipan Sumenep bertekad untuk menyediakan sarana dan prasarana sejenis roda tiga. Kedepan, kami ingin siapkan 1000 roda tiga untuk diserahkan kepada komunitas-komunitas atau relawan literasi di Desa-Desa beserta aneka macam buku, sehingga pelayanan kepustakaan dan akses masyarakat berliterasi merata termasuk di Kepulauan.

Problem literasi tentu tidak hanya pada akses atau sarana, melainkan juga minat masyarakat terutama anak muda cukup rendah.

Apa langkah Perpustakaan dalam mendukung budaya literasi?

Penting budaya literasi itu ditanamkan sejak dini. Atau minimal dimulai dari siswa di Sekolah dasar. Makanya Perpustakaan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Sekolah-Sekolah dalam rangka meningkatkan budaya literasi dikalangan pelajar.

Secara tekhnis, dalam kerjasama tersebut Perpustakaan datang ke Sekolah memberi pinjaman buku dalam waktu tertentu, kemudian buku yang dipinjamkan tersebut dijemput dan diganti buku baru. Sedangkan Sekolah diharapkan dapat mendorong siswanya untuk melakukan kunjungan ke Perpustakaan. Ini bagian dari upaya agar budaya literasi masyarakat terutama kalangan pelajar semakin meningkat.

Namun, sejauh ini bagaimana sarana di Perpustakaan Umum Daerah sendiri terutama dari sisi koleksi bukunya?

Memang harus diakui, sarana dan prasarana di perpustakaan masih belum memadahi juga. Kita hanya memiliki 14 ribu judul buku, sementara penduduk Kabupaten Sumenep mencapai 1 juta jiwa lebih. Jadi masih timpang perbandingannya karena tidak semuanya bisa menikmati. Kami ingin semua masyarakat bisa menikmati semuanya tapi kendala anggaran yang dialokasikan sangat terbatas. Bisa dibayangkan bagaimana bisa koleksi buku di Perpustakaan memadahi, kalau anggaran tiap tahun untuk pengadaan hanya kurang lebih Rp. 100 juta.

Disisi lain, Perpustakaan yang kita miliki masih kurang luas, sangat sempit dan tidak ideal. Karena kedepan, kami merancam bagaimana di Perpustakaan juga dilengkapi semacam area praktikum.

Artinya buka yang ada misalnya tentang tata cara beternak sukses, kita undang pengarangnya agar masyarakat belajar langsung dan mempraktikkannya. Sehingga, tentu dampaknya akan lebih baik

dalam pembangunan sumber daya manusia dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Kedepan, Pemkab Sumenep bertekad menjadi Kabupaten Literasi. Bagaimana perang perpustakaan untuk mewujudkan rencana tersebut?

Kita sebenarnya sudah mulai melangkah melalui kerjasama dengan sekolah-sekolah termasuk program pusling atau perpustakaan keliling.

Tapi, kedepan kami juga mencanangkan gerakan kampanye literasi di Kabupaten Sumenep dan membentuk komunitas-komunitas literasi dibeberapa wilayah Kecamatan walaupun di Kecamatan-Kecamatan sudah ada komunitas literasi. Kami juga akan duduk bersama dengan mereka untuk mengetahui permasalah-permasalahan mengenai literasi di Sumenep.

Selain itu, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan juga akan membentuk Dewas Pustaka dan relawan literasi untuk melakukan kampanye dan mempromosikan budaya literasi. Intinya kami ingin menggugah masyarakat bahwa literasi itu sangat penting.

Membaca itu sebenarnya adalah kebutuhan.

Terakhir, apa yang ingin ditekankan kepada semua elemen dalam rangka mewujudkan Sumenep sebagai Kabupaten literasi?

Jadi, sekali lagi minat baca masyarakat sebenarnya sudah bagus walaupun tetap perlu ditingkatkan. Tinggal bagaimana Pemerintah hadir untuk memberi akses pelayanan kepustakaan secara merata kepada masyarakat.

Karena itu, perlu kesamaan persepsi dari semua pemangku kebijakan di daerah bahwa pemunuhan sarana kepustakaan dalam rangka meningkatkan budaya literasi adalah bagian dari pembangunan SDM. Artinya, gerakan literasi juga perlu politik wiil legislatif dan eksekutif.

Bagaimana mungkin Kabupaten literasi bisa terwujud kalau pemangku kebijakan tidak memiliki pandangan yang sama bahwa sarana kepustakaan dan akses literasi tidak diperhatikan. Kami berharap kedepan menjadi prioritas dalam rangka mencetak SDM berkwalit dan berdaya saing. Sehingga, pembangunan tidak sekedar berorientasi pada fisik, melainkan juga SDM sangat penting. Dan ini tentu relevan dengan revolusi mental yang dengung-dengungkan. (*) DISDIK KABUPATEN SUMENEP

13

RES P TINGKATKAN BUDAYA LITERASI, PERLU TEROBOSAN BARU DARI PEMKAB

T

umbuhkembang budaya literasi di Kabupaten Sumenep bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi semua pihak. Sebab, jika budaya literasi ini dibiarkan melemah, dipastikan akan berdampak buruk pada generasi masa depan. Apalagi, para generasi muda saat ini telah terhipnotis dengan hadirnya media sosial (Medsos). Padahal medsos itu dampak negatifnya lebih dominan, meski juga ada dampak positifnya.

Ketua Fatayat NU Sumenep, Tin Mayyah menyampaikan, kecondongan generasi muda pada aktifitas media sosial akan berdampak negatif, bahkan akan melemahkan budaya literasi di Sumenep. Kecanggihan teknologi yang semakin mengancam para remaja ini harus dibendung dengan berbagai upaya. Jangan biarkan hal itu terus meracuni para generasi muda yang pada gilirannya akan hancur dengan sendirinya. “Untuk menumbuhkan budaya literasi ini perlu upaya serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Harus ada terobosan baru dari pemerintah agar semangat budaya literasi para remaja kembali bangkit,” kata Tim Mayyah.

Aktifis PMII ini menerangkan, pemerintah harus memiliki inovasi baru untuk melawan derasnya arus negatif industri teknologi 4.0 ini. Sebab, untuk menumbuhkan minat baca tidak bisa dilakukan dengan cara klasik, tapi harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi masa kini. Misalnya, kemasan taman baca atau Perpustakaan perlu diremajakan, disesuaikan dengan kecondongan para remaja saat ini. “Menumbuhkan minat baca ini tidak bisa dilakukan dengan cara klasik. Buat tempat baca itu semenarik mungkin agar masyarakat lebih betah atau apapun upayanya yang penting bisa membawa masyarakat kearah yang lebih meningkatkan budaya literasi,” paparnya.

Kebijakan Perpustakaan Digital yang akan dilakukan Pemerintah Daerah dinilai sangat mendukung terhadap peningkatan minat baca atau budaya literasi itu. Namun, kebijakan itu harus dikawal sedemikian rupa sehingga tujuan utamanya dapat tercapai. Bukan hanya sekedar muncul kebijakan baru, tapi realisasinya tidak dipantau atau tidak diawasi. “Kebijakan apapun untuk meningkatkan minat baca di Sumenep ini, ya harus serius dan benar-benar dikawal, jangan hanya memiliki terobosan,” tegasnya. (*)

14

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

O NS

cover story

KEMASAN PERPUSTAKAAN HARUS LEBIH MENARIK

M

enghidupkan budaya literasi di Kabupaten Sumenep bisa dilakukan dengan cara mengemas Perpustakaan lebih menarik lagi. Sebab, kondisi Perpustakaan yang ada saat ini terkesan membosankan dan tidak membuat menarik minat baca masyarakat.

Kabid Pemuda dan Olahraga Disparbud Pemkab Sumenep, Moh. Iksan mengatakan, di era digital ini memang perlu inovasi-inovasi, termasuk pengelolaan Perpustakaan agar minat baca masyarakat dapat ditingkatkan. Karena, masyarakat Sumenep, termasuk para pemuda-pemudinya telah terpengaruh dengan canggihnya teknologi yang menyajikan banyak hal yang kalau tidak bisa menyaringnya akan berdampak negatif seperti media sosial (medsos).

“Makanya, pengelolaan Perpustakaan juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya bisa menghadirkan yang sifatnya digitalisasi buku,” kata Moh Iksan.

Hal itu merupakan dampak dari era digitalisasi. Semua pemuda Sumenep memiliki handpone Android, FB, IG dan Twitter. Itu merupakan kebutuhan mereka yang tidak bisa ditinggalkan. Sementara taman baca ataupun Perpustakaan kurang menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat. “Perpustakaan harus dibuat semenarik mungkin bahkan disiapkan perangkat WiFi sehingga minat baca para generasi bangsa ini bisa tertarik. Yang ada saat ini mereka justeru tertarik nongkrong di kafe yang difasilitasi WiFi,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, promosi sekolah dan perguruan tinggi guna membuat perpustakaan yang representatif untuk dikunjungi oleh siswa dan mahasiswa juga harus dilakukan dengan maksimal. Yang penting semua fasilitas di tempat baca itu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan keinginan masyarakat. “Mari kita bersama-sama bangun minat baca di kabupaten Sumenep ini dengan baik. Sinergitas antar pihak harus dilakukan demi terwujudnya budaya literasi di Sumenep,” harapnya. (*)

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

15

MELIHAT PENERAPAN DIGITAL SCHOOL DAN LITERASI SISWA DI SMP NEGERI 1 KALIANGET

TIAP BANGKU DISEDIAKAN LAPTOP, TIAP KELAS DILENGKAPI POJOK LITERASI Saat itu, jam menunjukkan pukul 09.30 Wib. Saat tim majalah gerbang berkunjung ke SMP Negeri 1 Kaliaget Sumenep, petugas scurity yang sedang berjaga di pos pintu masuk mengantarkan kami ke resepsionis mengisi daftar tamu sebelum bertemu Kepala Sekolah (Kasek) Mustofa.

16

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

K

asek yang baru saja selesai rapat dengan staf beserta jajaran guru itu langsung mengajak Tim Majalah Gerbang ke ruangannya.

Selama hampir satu jam, kami mendapat banyak informasi mengenai program sekolah termasuk soal literasi dan penerapan digital school di SMP Neger 1 Kalianget.

Disela-sela penjelasannya kepada Tim, Kasek Mustofa sekali-kali memantau sejumlah ruangan mulai kegiatan belajar mengajar di kelas, ruang guru, perpustakaan, hingga pojok-pojok sekolah melalui layar monitor closed sitcuit television (CCTV) disamping kiri meja kerjanya. SMP Negeri 1 Kalianget memang dilengkapi camera CCTV untuk memastikan keamanan sekolah sekaligus memudahkan pengawasan terutama siswa dilingkungan sekolah.

Dilayar monitor camera nomor 7, Kasek menunjukkan kegiatan bimbingan bagi siswa berprestasi yang didelegasikan dalam smart student contest (SSC) 2019.

Selama dua tahun terakhir SMP Negeri berhasil meraih juara 1 diajang SSC tingkat Kabupaten 2017 dan 2018. ”Kalau tahun ini SMP 1 Kalianget juara 1 lagi, berarti kita hattrick tiga kali menang dalam satu ajang kejuaraan SSC. Dan ini, prestasi luar biasa siswa-siswa kita,’’ ungkapnya bangga.

Dalam kunjungannya majalah Gerbang ke SMP Negeri 1 Kalianget, Tim juga sempat melihat penerapan program sekolah digital (digital schooll). Sekolah tersebut menyatakan paling siap menerapkan program terobosan dinas pendidikan digital schooll.

Dari 30 rombongan belajar delapan delapan kelas sudah menerapkan sistem pembelajaran kelas digital sejak 2018. Ditiap kelas yang menerapkan digital school dilengkapi dengan fasilitas komputer dan laptop bagi siswa. Di tiap bangku belajar sudah disiapkan satu perangkat komputer yang sudag terconeksi dengan server dalam aplikasi pembelajaran sekolah digital.

“Sudah ada laptop di tiap bangku belajar siswa. Kekurangannya kalau dibutuhkan bisa dengan mudah dipenuhi oleh siswa karena menggunakan android atau tab,” jelas mantan Kasek asal kota pahlawan

cover story a n j a n g s a n a

Surabaya ini.

Ia menyambut baik kebijakan Pemkab Sumenep menerapkan digital school dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

Pemanfaatan teknologi digital dalam sistim pembelajaran merupakan tuntutan zaman, sebab manusia dewasa ini tidak dapat dipisahkan dengan teknologi digital.

Respon siswa dengan program digital school di sekolahnya cukup bagus.

Menurutnya, anak didik antusias belajar dengan menggunakan sistim digital, apalagi dilengkapi dengan literatur terkait untuk memperkaya wawasan siswa berkenaan dengan materi yang diajarkan.

“Dalam sistim digital tidak hanya berupa e-modul pembelajaran, tapi juga dilengkapi dengan literatur lain untuk memperkaya materi,” jelas Mantan Kasek SMP Negeri 1 Batang-Batang ini.

SMP Negeri 1 Kalianget juga memiliki website khusus yang terkoneksi dengan website Disdik Kabupaten dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia. Selain berisi informasi mengenai profil Sekolah, website tersebut berisi mengenai program-program sekolah yang bisa diakses oleh masyarakat terutama orang tua siswa.

“Selain sebagai sarana informasi, website ini juga kita manfaatkan sebagai media pembelajaran bagi siswa karena guru kadang menyarankan untuk mengakses Link materi pembelajaran yang dishare melalui website,” tambahnya.

TRADISIKAN LITERASI, SEMINGGU SISWA WAJIB TUNTAS SATU BUKU Disisi lain, SMP Negeri 1 Kalianget memiliki perhatian terhadap literasi siswa.

Berbagadai program diterapkan disertai dengan sarana dan fasilitas untuk mendorong anak didik membudayakan kegiatan literasi.

Kasek Mustofa mengaku tingkat literasi masyarakat umumnya masih rendah.

Menurutnya, perlu dimulai dari kalangan pelajar agar literasi menjadi tradisi melalui program yang diterapkan oleh sekolah kepada anak didik.

Di SMP Negeri 1 Kalianget, siswa ditekankan bisa menyelesaikan bacaan satu

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

17

buku dalam seminggu. Di sekolah, juga diprogramkan lima menit baca buku setelah pembacaan asmaul husna dan ayat-ayat suci Al-qur’an.

Hal tersebut dilakukan setiap hari bahkan untuk hari Sabtu durasinya dalam membaca buku lebih lama. “Sehingga, nanti akan jadi kebiasaan siswa. Ketika sudah biasa, maka secara otomatis literasi akan jadi tradisi,” ungkapnya.

Untuk mendukung program tersebut, SMP Negeri 1 Kalianget dilengkapi dengan kasibo-kasibo literasi. Anak didik bisa membaca buku di Gasibo tersebut agar lebih tenang dan santai daripada di ruang kelas atau di Perpustakaan.

Koleksi buku di perpustakaan sekolah cukup banyak kurang lebih 1.200 judul. Belum lagi literasi digital yang disiapkan sekolah dalam sistem digital school. “Jadi siswa bisa menggunakan yang digital, bisa juga yang manual berupa buku-buku koleksi perpustakaan,” jelasnya.

Selain itu, di tiap ruang kelas dilengkapi dengan pojok literasi. Pojok literasi merupakan perpustakaan mini yang ditempatkan di pojok kelas untuk mendekatkan siswa dengan buku. Koleksi yang disediakan berkaitan dengan materi-materi pelajaran sesuai dengan kelasnya.

Ketika mengajar, guru terkadang mengarahkan siswanya untuk membaca di pojok literasi guna memperkaya materi belajar. Pojok literasi juga memudahkan siswa mengakses buku sebagai referensi tambahan dalam menyerap pembelajaran.

Lalu koleksi buku yang disediakan di pojok literasi tidak hanya disediakan oleh sekolah. Wali murid atau orang tua siswa juga bisa berkontribusi membantu tambahan koleksi buku.

“Karena di tiap kelas kami bentuk paguyuban orang tua. Melalui paguyuban itu mereka bisa membantu untuk menyumbangkan buku, bahkan mungkin alumni-alumni kita karena ada juga alumni yang anaknya juga sekolah di SMP 1 Kalianget,” ujarnya.

Kedepan, SMP Negeri 1 Kalianget akan membuat antologi siswa. Karya-karya tulisan siswa dari hasil membaca baik artikel, opini, cerpen, puisi dan sebagainya akan dibukukan dalam satu antologi siswa.

Tujuannya supaya hasil karya tersebut bisa diabadikan dalam satu buku antologi. “Tentu ini juga menjadi motivasi bagi siswa sehingga akan lebih semangat lagi dalam belajar menulis dan berkarya,” pungkasnya. (*)

18

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

Macam-macam kegiatan siswa-siswi SMPN 1 Kalianget mulai dari KBM yang menerapkan digital school, membatik hingga pojok baca..

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

19

RULIS; SENANTIASA MERUWAT DAN MERAWAT BUDAYA LITERASI Pada tanggal 11 November 2016 lalu, sejumlah guru di Kecamatan Kota Sumenep bersepakat tentang satu hal yang di kemudian hari bisa diharapkan menjadi garda terdepan menjaga atau bahkan menumbuh-kembamgkan budaya literasi. Khususnya di kabupaten paling timur Pulau Madura.

S

aat itu mereka satu suara membentuk wadah organisasi yang bertujuan menguatkan budaya literasi dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya serta meningkatkan harkat dan martabat anak bangsa.

Organisasi itu segendang sepenarian dengan tugas guru yang memang harus berada di barisan terdepan dalam menyiapkan dan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan berbudaya. Mereka pun bersepakat menamai organisasi itu dengan nama Rumah Literasi Sumenep atau disingkat Rulis.

Rumah Literasi Sumenep adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk dengan tujuan umum membangun kekuatan budaya literasi di dalam ranah pendidikan dan kebudayaan.

Dalam ranah pendidikan, kehadiran organisasi ini untuk mendorong masyarakat pendidikan agar lebih aktif belajar melalui buku-buku bacaan yang tersedia di tiap-tiap kelas, tiap-tiap sekolah, dan tiap-tiap perpustakaan.

Sedangkan di ranah kebudayaan, Rumah Literasi Sumenep ini sejatinya ingin menggugah para pendidik untuk menggali

20

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

dan mengekplorasi kembali filosofi dan kearifan lokal budaya Madura yang mulai tenggelam.

Dalam perjalanannya, program-program Rumah Literasi Sumenep selaras dengan program pemerintah dalam pengembangan Budaya Literasi. Di antaranya memfasilitasi dan membina anak didik, pendidik dan masyarakat pendidikan dalam mewujudkan budaya literasi yang bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat secara umum.

Secara khusus, Rumah Literasi Sumenep ini dibangun bertujuan untuk mengoptimalkan peran pendidik dalam mengembangkan budaya baca masyarakat terutama masyarakat pendidikan dan siswa sehingga tercipta masyarakat gemar belajar yang berdampak pada peningkatan mutu sumber daya manusia.

Kedua untuk membangun kerja sama antar komunitas yang sama sehingga dapat menjadi pusat pembelajaran, informasi, pemberdayaan, rekreasi serta peningkatan kebutuhan belajar masyarakat sekitar.

Ketiga Rumah Literasi Sumenep ini sebagai bagai wadah komunikasi dan interaksi positif dan konstruktif yang bersifat

cover story f o k u s

kekeluargaan di antara komunitas yang sama seluruh Indonesia dengan pemerintah maupun dengan pihak-pihak lain di dalam maupun di luar negeri.

Keempat sebagai wadah menyalurkan aspirasi dan prakarsa berliterasi di Indonesia dalam memelihara warga belajar pendidikan keaksaraan yang dinilai telah bebas buta aksara sehingga tidak kembali buta aksara.

Dan yang kelima untuk melihara semangat kerja dan nilai-nilai luhur pengabdian terhadap masyarakat.

Seperti organisasi pada umumnya, Rumah Literasi Sumenep juga memiliki visi misi.

Visinya ialah membudayakan literasi untuk membangun kecerdasan dan karakter anak bangsa berlandaskan nilai-nilai budaya lokal sesuai dengan falsafah Pancasila dan ruh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Sedangkan misinya ialah dengan meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru sebagai agen perubahan; menanamkan, menguatkan dan menggalakkan budaya literasi bagi kalangan guru sebagai proses belajar berinovasi dan berkreasi sepanjang hayat; Kemudian menggali dan mengekplorasi filosofi dan kearifan lokal budaya Madura sebagai filter dan benteng arus budaya global; memberikan pembekalan, baik pengetahuan maupun ketrampilan, melalui kegiatan apresiasi, diskusi dan kajian, bedah buku, workshop, dan pelatihan; serta mewadahi dan memberikan ruang bagi para penulis dalam bentuk penerbitan buku.

Ada beberapa orang penting yang terlibat dalam pendirian Rumah Literasi Sumenep. Mereka memiliki semangat yang kuat untuk terus merawat dan mengembangkan budaya literasi, khususnya di Kabupaten Sumenep. Orang-orang hebat itu ialah: Syaf Anton WR, Lilik Rosida Irmawati, Salamet Herianto,

Budi Haryono, Andi Lala, dan Ali Harsojo.

Pada tahun 2018 lalu, Rumah Literasi Sumenep menjadi salah satu daerah yang dijadikan pilot project inovasi dari Australia dalam rangka pengembangan

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

21

22

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

cover story

LILIK ROSIDA IRMAWATI KETUA RULIS

mutu pendidikan di Indonesia.

Ketua Rumah Literasi Sumenep Lilik Rosida Irmawati, saat itu, berharap dengan terpilihnya Rumah Literasi Sumenep menjadi inovasi program literasi dari Australia semakin memotivasi kegiatan gerakan membaca baik di sekolah maupun komunitas.

Dalam pelaksanaannya, Rumah Literasi Sumenep mengandeng para guru di sekolah sebagai agen perubahan baik bagi siswa sekolah maupun masyarakat di sekitarnya. “Bangga bisa menjadi salah satu pilot project dari Australia, dan ini tentu menjadi hal yang luar biasa bagi pengembangan literasi di Sumenep.” ujar Lilik, waktu itu.

Sejak berdiri, sudah banyak kegiatan yang dilaksanakan oleh Rumah Literasi Sumenep. Selain menggelar pelatihan-pelatihan dalam rangka menumbuh-kembangkan budaya literasi, komunitas ini juga telah meluncurkan buku Bunga Rampai Cerita Rakyat Sumenep. Buku tersebut berjudul “Mutiara yang Terserak”.

Buku yang terbit tahun lalu itu merupakan bagian dari sejumlah program Rumah Literasi Sumenep. Lilik memgatakan, pihaknya akan terus mengembangkan penerbitan buku yang dinilai lebih efektif dan praktis untuk disampikan kepada masyarakat.

“Sementara ini kami fokus pada penerbitan konten lokal untuk menjawab keinginan masyarakat, khususnya di Madura, tentang pentingnya materi lokal seperti kearifan, folklore, ketauladanan tokoh dan sejenisnya. Hal itu diharapkan menjadi ajaran moral spiritual terhadap masyarakat, khususnya para generasi muda,” jelasnya.

Selain itu, sambung dia, Rumah Literasi Sumenep juga melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi sebagai program bersama pengembangan bidang seni, sastra dan budaya. “Kami juga memberi pelatihan-pelatihan dalam bidang kepenulisan bagi guru dan siswa, selain program roadshow ke sejumlah kecamatan dalam bidang sesuai kebutuhan masyarakat setempat,” jelasnya. (*)

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

23

Bagi orang-orang ini mungkin sebuah keterbatasan, bagi kami ini tantangan kecil dalam petualangan.

24

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

gerbang gallery

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

25

Testimoni “Saya rasa budaya literasi di Kabupaten Sumenep sejauh ini belum terlalu greget. Minat baca masyarakat masih kurang. Hanya kalangan-kalangan tertentu yang akrab dengan buku. Apalagi yang suka menulis. Mungkin lebih sedikit lagi jumlahnya. Ke depan budaya literasi di Sumenep perlu ditingkatkan. Kalau pemerintah setempat memang ingin mewujudkan Sumenep sebagai “Kota Literasi”, tentu tidak bisa hanya dicukupkan dengan wacana.”

(Paisun, pengamat sekaligus praktisi literasi di Sumenep)

“Selama membaca dan menulis belum menjadi kebiasaan di lingkungan keluarga, saya rasa budaya literasi di suatu daerah akan sangat sulit berkembang. Khusus di Sumenep, saya kira, budaya literasi belum cukup menggembirakan. Salah satu faktornya masih minimnya sarana membaca di tengah-tengah masyarakat. Sarana tersebut misalnya perpustakaan keluarga. Lebih parah lagi, kondisi buku di perpustakaan sekolah koleksinya juga masih cemderung buku-buku lama dan sangat terbatas jumlahnya. Bahkan masih ada sekolah belum memiliki gedung perpustakaan. Ini perlu perhatian lebih serius lagi.”

(Riyadi, Kepala SMK Annuqayah)

26

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

“Budaya literasi di sekolah-sekolah bisa terbangun, salah satunya, melalui gerakan yang sifatnya tersembunyi. Seperti guru atau sekolah membuat kebijakan sanksi membaca dan menulis buku nonpelajaran bagi peserta didik yang tidak tertib atau melanggar peraturan akademik sekolah.”

(Darus Salam, seorang guru sekolah swasta di Pulau Raas)

“Budaya literasi di kepulauan, menurutku merupakan satu hal yang cukup asing. Hal ini disebabkan oleh sumber penunjangnya yang masih sangat sedikit. Akhirnya, budaya baca-tulis hampir tak terlihat pada masyarakat di kepulauan. Oleh karenanya, soal ini perlu perhatian serius, dengan kewajiban untuk memenuhi sumber daya pengetahuan (perpustakaan), serta keseriusan berbagai pihak untuk turut menumbuhkan ‘kebiasaan’ literasi.”

(Rasyid, Kelas 3 SMAI Baiturrahman, Desa Ketupat, Pulau Raas).

“Kalau memang Pemerintah Kabupaten Sumemep melalui Dinas Pendidikan punya keinginan untuk menggalakkan budaya literasi, terutama di lingkungan sekolah, menurut saya rencana itu perlu didukung oleh semua pihak. Harapan saya rencana itu tidak hanya di sekolah-sekolah daratan. Di kepulauan juga harus diperhatikan.”

(Zainur Rahman, siswa kelas III SMA swasta asal kepulauan)

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

27

infrastruktur

TAK ADA GEDUNG PERPUSTAKAAN

‘POJOK BACA’ PUN JADI

Untuk mewujudkan budaya literasi di lingkungan sekolah, perpustakaan merupakan salah satu sarana penting yang harus diadakan. Meskipun, di sisi yang lain, ketiadaannya tidak bisa dijadikan alasan budaya literasi tak bisa berkembang di sekolah-sekolah.

28

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

K

eberadaan perpustakaan di lingkungan sekolah diharapkan dan memang seharusnya menjadi tempat sumber-sumber informasi untuk keperluan belajar siswa. Sehingga mereka bisa mengakses banyak pengetahuan selain di ruang kelas saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Mengingat pentingnya perpustakaan di lingkungan sekolah serta semangat meruwat budaya literasi di Kabupaten Sumenep belakangan ini, tentu salah satu upaya yang perlu dilakukan pemerintah setempat, dalam hal ini Dinas Pendidikan (Disdik), membenahi dan terus meningkatkan perpustakaan di sekolah-sekolah. Mulai dari jenjang pendidikan dasar.

Berdasarkan data Disdik Sumenep, saat ini belum semua sekolah dasar (SD) memiliki perpustakaan. Dari 656 lembaga SD, 367 di antaranya sudah memiliki gedung perpustakaan. Artinya masih ada 289 SD yang belum memiliki infrastruktur perpustakaan.

Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Dasar Disdik Sumenep, Abd. Kadir tak menampik jika keberadaan perpustakaan di sekolah-sekolah sangat penting dalam rangka membangun kesadaran literasi siswa. Hanya saja, menurut dia, membangun gedung di semua sekolah bukan persoalan mudah.

Butuh banyak anggaran untuk itu.

“Pengadaan gedung perpustakaan membutuhkan anggaran yang cukup besar. Sedangkan dana alokasi khusus (DAK) plotingnya dari pemerintah pusat. Kadang ada untuk rehab, untuk pembangunan ruang kelas baru, dan ada yang memang untuk pengadaan gedung perpustakaan,” katanya.

Namun demikian, lanjutnya, di tengah keterbatasan yang seperti itu, pihaknya tetap mendorong semua sekolah agar tak terlalu bergantung kepada keberadaan gedung perpustakaan dalam langka menumbuhkan semangat literasi di dalam diri anakanak didiknya.

Sekolah tidak bisa menjadikan ketiadaan gedung perpustakaan sebagai alasan untuk tak

menggunakan media lain dalam rangka mendekatkan siswa kepada budaya literasi. Dalam konteks ini ialah membaca berbagai sumber-sumber pengetahuan.

“Jika sekolah tidak memiliki sarana perpustakaan untuk mengakrabkan anak dengan kebiasaan membaca, maka bisa dengan cara menghadirkan ‘perpustakaan mini’ atau semacam pojok baca di ruang-ruang kelas,” jelasnya.

Dengan begitu, sambung Kadir, budaya literasi di lingkungan sekolah tetap akan terus berlangsung

“

Jika sekolah tidak memiliki sarana perpustakaan untuk mengakrabkan anak dengan kebiasaan membaca, maka bisa dengan cara menghadirkan ‘perpustakaan mini’ atau semacam pojok baca di ruang-ruang kelas.”

meski tanpa adanya gedung perpustakaan. Karena pada dasarnya, budaya literasi harus tetap berlangsung dalam beragam situasi. Tak harus bergantung kepada gedung perpustakaan.

Untuk menjalankan skema seperti itu, tergantung kepada kemauan kepala sekolah dan para guru di sekolah yang belum memiliki gedung perpustakaan. Semakin inovatif kepala sekolah dan para guru mengatur ruang kelas layaknya perpusDISDIK KABUPATEN SUMENEP

29

takaan, maka akan semakin mudah pula anak-anak didiknya terdorong untuk lebih akrab dengan buku.

“Dengan begitilu keterbatasan gedung perpustakaan bisa teratasi. Untuk menjadi sekolah yang literat tidak harus dengan biaya besar dan gedung perpustakaan yang mentereng, misalnya. Perpustakaan memang penting, tapi bukan satu-satunya yang bisa mengantarkan anak-anak menjadi ‘kutu buku’,” tegas dia.

Selain harus pintar mengatur ruang kelas agar bernuasa perpustakaan, hal lain yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah ialah buku bacaan bagi siswa. Menurut Kadir, bukubuku bacaan yang disediakan harus selalu diperbaharui. Tiap satu semester atau minimal tiap tahun.

Semakin beragam dan “segar” buku yang disediakan, maka akan semakin tertarik siswa untuk menyentuhnya. Sebaliknya, jika judul buku yang tersedia stagnan, maka besar kemungkinan hal itu akan memicu rasa bosan peserta didik untuk membacanya.

Berkaitan dengan penyegaran judul buku, menurut Kadir sekolah bisa memakai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). “Di dana

30

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

BOS itu ada amggaran 20 persen untuk belanja buku. Anggaran itu bisa dipakai untuk membeli buku-buku bacaan anak. Sehingga bisa membantu anak-anak tidak hanya membaca bukubuku itu saja,” paparnya.

Setelah fasilitas-fasilitas penunjang utama menumbuh-kembangkan budaya literasi di lingkungan sekolah tersedia, selanjutnya yang perlu dilakukan pihak sekolah ialah menstimulus siswa untuk rajin membaca. Dalam ini, peran guru sangat penting.

“Misalnya dengan cara sebelum memulai pelajaran, mereka (para guru, red) mengajak siswa-siswinya untuk membaca buku yang telah tersedia selama beberapa menit. Dengan begitu pada gilirannya anak-anak didik akan terbiasa membaca setiap hari,” tutup Kadir. (*)

“

Pengadaan gedung perpustakaan membutuhkan anggaran yang cukup besar.

Sedangkan dana alokasi khusus (DAK) plotingnya dari pemerintah pusat. Kadang ada untuk rehab, untuk pembangunan ruang kelas baru, dan ada yang memang untuk pengadaan gedung perpustakaan.�

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

31

DIGITAL SCHOOL MASUK PESANTREN Program digital school yang diluncurkan Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sumenep rupanya mendapat perhatian sejumlah kalangan. Program terobosan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dengan memanfaatkan sistim digital ini dilirik lembaga pendidikan pesantren.

S

aat ini, program sekolah digital memang baru diterapkan di 23 Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menegah Pertama (SMP) Negeri nauangan Disdik sebagai pilot projektnya.

Disdik bertekad nantinya semua sekolah dinaungannya akan diwajibkan menerapkan digital scholl sebagai kebijakan pemerintah daerah.

Meskipun demikian, Sekolah atau Madrasah diluar naungan Disdik justru tertarik menerapkan program tersebut. Salah satu sekolah swasta yang telah menerapkan Digital School tahun ini adalah Madrasah Aliah (MA) dan Madrasan Tsanawiyah (MTs) Al-Karimiyah Braji Kecamatan Gapura.

Sekolah yang memiliki 450 siswa untuk MA dan 300 lebih siswa untuk MTs ini mencoba menerapkan pola baru itu den-

32

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

gan alasan untuk mengikuti perkembangan zaman yang kian pesat. Alasannya dengan perkembangan zaman ini, para siswa, baik di sekolah umum maupun yang ada di pesantren tidak bisa membendung canggihnya teknologi yang hadir dihadapan publik. Mereka harus mengikuti perkembangan teknologi tersebut agar tidak tergilasnya.

Ketua Yayasan Al-Karimiyah (Yasrin) Braji, H. Samiudin menyampaikan, awalnya, penerapan Digilat School di lingkungan pesantren tidak langsung berjalan mulus.

Banyak pertimbangan yang harus dilakukan

laporan khusus

oleh sejumlah dewan guru dan pihak pesantren.

Sebab, kultur pesantren dan sekolah umum sangat beda, ditambah lagi kultur wali santri.

Hal itulah yang menjadi pertimbangan, namun setelah ada beberapa pertimbangan baik itu berupa secara ekonomi maupun budaya, program tersebut dapat dicoba untuk pelaksanaan ujian semester siswa. Pada ujian semester yang digelar akhir bulan September 2019 lalu, siswa sekolah yang ada di naungan Pondok Pesantren milik Bupati Sumenep, KH. A. Busyro Karim ini menggunakan program digital.

Jika ujian semester sebelumnya yang masih menggunakan kertas, dipastikah sekolah harus mengeluarkan uang foto kopi materi yang tidak sedikit. Hal itu terjadi setiap ujian. Namun, dengan program yang baru ini, sekolah hanya mengeluarkan biasa sekali yakni pengadaan aplikasinya. Setelah itu, sekolah tidak perlu mengeluarkan biaya lagi, sementara proses belajar mengajar dan ujian semester terus berjalan.

Pertimbangan ekonomi menjadi salah satu alasan sekolah untuk menerapkan Digital School itu. Selain murah secara ekonomi, siswa lebih gampang mengerjakan ujian dan belajar serta guru tidak diribetkan dengan foto kopi lembar ujian dan jawaban. Untuk mendukung program tersebut, sekolah terlebih dahulu menyosialisasikan itu kepada wali santri (siswa).

Rupanya, support dari orang tuang juga bagus. Salah satunya, mereka rela memberikan hand phone android yang dapat digunakan dalam penerapan Digital School itu. “Rupanya orang tua siswa juga antusias. Mereka sangat mendukung program itu. Siswa membawa android sendiri untuk dimanfaatkan pada saat ujian atau pelaksanaan digital school itu,” kata H. Samiudin.

Untuk menghindari pemanfaatan android

diluar pelaksanaan Digital School, pihak sekolah hanya memberikan HP itu pada saat ujian atau berada dilingkungan sekolah. Setelah jam sekolah selesai, HP tersebut dikumpulkan kembali kepada guru untuk disimpannya.

Hal itu berjalan setiap hari. Sistem tersebut relatif mendukung terhadap pola belajar santri (siswa). Program diluar sekolah tetap berjalan sesuai jadwal biasanya, misalnya belajar kitab kuning atau program pesantren lainnya. “Digital school ini tidak sampai mengganggu program pesantren lainnya,” ucapnya.

Pesantren menginginkan, ada aplikasi yang bisa membatasi jaringan profider dilingkungan pesantren. Setiap masyarakat yang masuk dilingkungan tersebut, jaringan profidernya tidak aktif atau off. Sehingga akses internet di HP ini u tidak bisa dimanfaatkan. Hal ini untuk mengantisipasi siswa membuka situs-situs yang tidak sesuai dengan kultur pondok pesantren.

“Tapi ini masih dalam tahap pembicaraan di internal pesantren. Yang jelas, kalau HP siswa sudah masuk ke program Digital School, akses ke internet otomatis off. Tapi yang kami antisipasi, setelah keluar dari program digital school itu,” jelas ketua yayasan yang juga anggota dewan itu.

Secara infrastruktur, di MA Al-Karimiah masih kurang memadai. Salah satunya persediaan komputer atau laptop untuk mendukung program Digital School itu. Makanya, pihak sekolah berinisiatif agar orang tua memberikan HP android bagi anaknya yang sedang menimba ilmu di pesantren. Sebab, dari ratusan santri (siswa) hanya sebagian kecil yang belum memiliki HP yang dapat digunakan pada program tersebut.

“Untuk sementara, pada saat ujian kemarin, bagi santri yang belum mempunyai HP android, kami meminta untuk pinjam dulu kare-

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

33

na masih tahap uji coba. Kalau ke depan, insa Allah mereka juga mampu membelinya karena tidak harus menggunakan HP yang kapasitasnya tinggi, yang penting android,” paparnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, Al-Karimiyah juga telah berupaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), terutama para guru dan operator Digital School dengan cara mengikutsertakan dalam pelatihan-pelatihan. Sebab, program tersebut bukan hanya siswa yang dipaksa untuk melek teknologi, lebih-lebih para guru yang harus menjadi contoh dan dapat membimbing siswanya.

Ke depan, Al-Karmiyah juga akan mengembangkan program tersebut pada sekolah lain seperti MI, SMK, dan Perguruan Tinggi yang saat ini dikelolanya. Bahkan pada proses pembelajaran di Pesantren juga akan dilaksanakan hal demikian, dengan catatan tidak menghilangkan kultur pesantrennya.

DISDIK BERI PENDAMPINGAN PENERAPAN DIGITAL SCHOOL DI PESANTREN Disdik Sumenep mengaku bangga program digital school yang diluncurkanya pertengahan tahun 2019 lalu diminati banyak pihak. Dengan adanya lembaga pendidikan pesantren yang mengadopsi program itu menandakan sekolah digital diterima masyarakat terutama yang peduli terhadap kemajuan pendidikan di Kabupaten Sumenep.

Pesantren selama ini seakan dipandang hanya bergelut dengan ajaran-ajaran keagamaan yang identik dengan kitab kuning saja. Sistem pembelajarnya-pun diidentikkan dengan pola tradisional.

Namun, dengan memanfaatkan tekhnologi digital sesungguhnya menegaskan bahwa pendidikan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman termasuk digital school. ”Ini (Sekolah digital, red) di lembaga pendidikan yang ada di pesantren merupakan langkah maju. Karena memang perkembangan tekhnologi digital menjadi tuntutan kita di semua sektor tidak terkecuali dibidang pendidikan,” ungkap Kepala Disdik Sumenep, Bambang Irianto.

Ia memandang tekhnologi digital ibarat pisau yang tergantung pada personnya mau dimanfaatkan untuk apa. Disatu sisi, tekhnologi bisa berdampak positif kalau digunakan untuk kepentingan yang tidak baik, bahkan bisa saja memberi madarat. Namun, disisi lain justru sangat bermanfaat besar apabila dimanfaatkan untuk kebaikan seperti halnya dalam pengembangan mutu pendidikan.

Di Pondok pesantren siswa atau santri umumnya dilarang membawa hand-phond karena dihawa-

34

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

tir digunakan untuk keperluan yang kurang bermanfaat. ”Namun di Al-Karimiyah boleh membawa Hp walaupun tetap harus dibatasi karena berada dilingkungan pesantren. Hp digunakan ketika di sekolah untuk kepentingan sistim digital school saja,” jelasnya.

Menurut Bambang, pihaknya sangat apresiatif dengan kebijakan lembaga pendidikan di pondok pesantren seperti Al-Karimiyyah menerapkan digital school. Disdik siap mendukung dan melakukan pendampingan supaya program sekolah digital di Al-Karimiyah itu berjalan sesuai harapan.

Sejak awal, Disdik telah melakukan pengawalan dalam mempersiapkan program digital school di lembaga pendidikan naungan pondok pesantren Al-Karimiyah. Sebelum menjadi kebijakan lembaga, Disdik Sumenep dilibatkan untuk memperkenalkan sekaligus mensosialisasikan program digital school kepada tenaga didik dan orang tua siswa.

Wali murid atau orang tua siswa tentu perlu diperkenalkan dulu mengenai digital school supaya tidak salah paham dengan program tersebut.

Apalagi, digital school memanfaatkan tekhnologi digital seperti Hp, android, dan tab. ’’Sarana telekomonikasi tersebut selama ini kan dibatasi di pesantren. Tentu, perlu dijelaskan dulu kepada orang tua siswa,” terang Bambang.

Singkatnya, orang tua siswa justru merespon positif program tersebut. Sehingga disepakati antara sekolah dan wali murid program digital school di MTs dan MA Al-Karimiyah menjadi kebijakan sekolah. Saat ini, sekitar 400 siswa di lembaga pendidikan pesantren tersebut menerapkan pola pembelajaran dengan sistim digital school. ”Karena dilingkungan pesantren, maka Hp yang dimiliki siswa dibatasi juga. Hanya sebatas ketika pembelajaran saja, setelah selesai kemudian dititipkan lagi pada guru,” kata Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Cipta Karya ini.

Fasilitas fitur dalam aplikasi digitak school di lembaga pendidikan pondok pesantren sama dengan yang di SD dan SMP. Terdiri dari literasi digital, E-modul dan digital learning serta layanan digital examination termasuk video pembelajaran. Hanya saja, materinya tentu berbeda disesuaikan dengan pembelajaran di Madrasah. ”Tetap menyesuaikan dengan kondisi di pesanteren. Tidak sama dengan sekolah umum, karena ada bahasa arab dan materi keagamaan lainnya,” pungkas Bambang. (*)

figur

ZAINAL

BERMANFAAT BAGI SESAMA

MENJADI TITIK TEKAN SETIAP LANGKAH

S

etiap insan memiliki motto dalam hidupnya. Itu sebagai stimulus untuk mencapai titik tertinggi kesuksesan seseorang. Tak terkecuali sosok Zainal, S.pd, MM yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pangarangan III Sumenep. Dalam jiwa lelaki kelahiran Sumenep , 02 Desember 1967 ini tertanam, bahwa dalam kehidupan duniawi yang hanya sekali, tidak boleh sia-sia, harus bermanfaat bagi yang lain. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain�.

Bagi lelaki yang tinggal di jalan Urip Sumoharjo No 41 DD Desa Pabian, Kecamatan Kota Sumenep itu, untaian kalimat yang disampaikan Nabi Muhammad SAW itu menjadi salah satu motivasi untuk selalu berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain. Setiap langkahnya ia pertaruhkan untuk selalu bertindak yang baik. Karena dengan bermanfaat bagi orang lain ia nilai sebuah kesuksesan hakiki. Dimana kaki berpijak, di situlah ia lakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain.

Pada prinsipnya, lulusan S1 STKIP PGRI Sumenep ini menganggap, seorang manusia tidak akan berguna jika tidak bisa bermanfaat bagi orang lain. Ia selalu menanamkan sifat baiknya itu. Karena dengan kebaikan itu, seseorang gampang bersosialisasi dengan yang lain. Baik itu dilingkungan sosial kemasyarakatan secara umum, maupun di lingkungan tempat bekerja sebagai abdi negara.

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

35

Untuk menumbuhkan perilaku yang dinilai dapat bermanfaat bagi orang lain itu tidak mudah, tetapi perlu pengetahuan yang lebih. Baik pengetahuan keagamaan maupun sosial budaya. Pengetahuan itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan ada proses yang harus dilalui, salah satunya belajar atau membaca, baik yang sifatnya membaca buku maupun hal lain yang dapat dipelajarinya. Tidak perlu di ruang besar, tapi dalam ruang lingkup kecil pun, sejatinya manusia harus berguna bagi yang lain. Jika seseorang itu berada dilingkungan Pemerintahan, seyogyanya ia selalu berbuat baik sesuai aturan main yang ada. Di dunia pendidikan yang identik dengan prilaku baik, bukan hal yang tidak mungkin seseorang dapat berbuat buruk atau menyimpang jika dalam jiwa seseorang itu tidak ada rasa ingin selalu berguna bagi yang lain. Karena kita ini merupakan mahluk sosial, maka perlu ditanamkan pada diri kita rasa kasih sayang yang pada gilirannya akan berbuah manis yakni kesuksesan yang disebut dengan bermanfaat bagi orang lain.

Sejak kecil, membaca merupakan bagian dari aktifitas rutin oleh suami ibu Sukartini (almarhum) ini. Dari kebiasaan membaca itulah ia berkesimpulan bahwa dalam hidup ini harus bermanfaat bagi orang lain. Berguna atau bermanfaat bagi yang lain tidak semata-mata memberikan barang berharga kepada orang yang membutuhkan. Tapi, berkata baik merupkan bagian dari tindakan bermanfaat.

Ada beberapa hal yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi bagian dari orang yang bermanfaat, salah satunya memiliki kemauan. Dari kemauan untuk berguna bagi orang lain itulah seseorang dapat melanjutkan pada tindakan (action) dan kemudian tindakan itu harus menjadi kebiasaan dalam kesehariannya.

Sebagai pimpinan di lingkungan sekolah dasar, ia tetap selalu belajar membaca, tidak hanya dari buku tapi juga dari para guru dan teman-temannya. Tidak hanya pengetahuan yang ia dapat, tapi ia juga dapat mengetahui karakter masing-masing guru itu. Dengan mengetahui karakter para guru, ia dapat meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak didiknya dilembaga yang dipimpinnya. “Saya selalu belajar dari siapapun. Termasuk dari guru. Saya juga jadikan para guru itu sebagai teman belajar dan objek pembelajaran guna mengetahui karakter masing-masing guru itu sehingga dari sekian

36

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

banyak guru itu dapat dipilah sesuai karakter dan kemampuannya,” kata Zaini saat ditemui tim Majalah Gerbang di ruang Kepala SDN Pangarangan III Sumenep.

Setelah mengetahui karakter masing-masing guru, bapak dari Ruchzatul Nur Annisa yang saat ini menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Fakultas Kedokteran Hangtua Surabaya ini memberikan tugas kepada guru sesuai kemampuannya sehingga tugas yang diberikan dapat berjalan sesuai harapan. Sebab, memberikan tugas tanpa mengetahui kemampuan diri seseorang diyakininya hanya kesia-siaan karena tugas yang diberikan itu tidak akan berjalan. Hal seperti ini yang selalu lakukan dalam kesehariannya dimana ia mengemban tugas sebagai abdi negara. Ia menginginkan setiap yang dikerjakan ada manfaat yang diambil meski hanya sekecil butiran debu. Makanya, sebelum melangkah perlu ada konsep atau kerangka agar jika harus gagal tidak terlalu mengecewakan. “Tapi kalau semua tindakan itu dipikirkan sebelum dilakukan, saya yakin hasilnya tidak akan mengecewakan,” jelasnya.

Lelaki yang gemar olah raga bola voli ini selalu menginginkan adanya perubahan, tentunya kearah yang lebih baik. Termasuk di sekolah yang ia pimpinnya. Untuk menunjang keinginannya agar di sekolah tersebut lebih berkualitas, ia menganggap tidak hanya sebatas mengetahui karakter guru yang harus dilakukan, juga pemilahan karakter dan kemampuan anak didik menjadi salah satu pilihan yang harus dilakukan. Pengelompokan anak didik tujuannya untuk memudahkan memberikan penanaman pengetahuan bagi anak sesuai kapasitasnya. Sebab, jika anak itu diberikan pelajaran diluar kemampuannya, maka itu akan sia-sia.

Tidak ada batas waktu dan tempat untuk berbuat baik. Memanfaatkan kesempatan sesempit apapun dan dimana tempat seorang manusia itu bekerja. Karena, baginya, nyawa bisa dicabut kapan pun oleh sang maha kuasa. Baginya, jabatan hanya titipan dari Allah SWT, yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Dengan demikian, tidak ada sela untuk berbuat keburukan yang nantinya akan berdampak buruk pula bagi masyarakat banyak.

“Selagi nyawa masih dikandung badan, mari berlomba-lomba untuk menanam kebaikan agar kelak mendapatkan ridha Allah. Silahkan bekerja sesuai profesinya masing-masing dengan tujuan bisa bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara”. (*)

resensi

KADO UNTUK MILLENIAL Judul : Saatnya Move On Penulis : Achmad Fauzi Cetakan I : 2019 Penerbit : Diva Press Tebal : 146 halaman ISBN : 978-602-391-701-3 Peresensi : Muhammad Rasyidi*

Dua istilah pupoler akhir-akhir ini adalah move on dan hijrah, dua istilah yang mengandung arti sama, akan tetapi memiliki ranah pemakaian yang berbeda. Move on berkonotasi pada usaha melupakan kenangan pahit masa lalu.

Hijrah diartikan sebagai upaya untuk meninggalkan hal yang buruk untuk melakukan perkar-perkara yang baik.

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

37

S

ecara general keduanya memliki arti “berpindah”, move on berpindah hati dari hati yang lain, sementara hijrah berpindah sifat dari sifat yang lain. Sekalipun hijrah dalam posisi ini juga bisa digunakan untuk penyebutan tempat, sebagaimana pada zaman nabi.

Dalam buku “Saatnya Move On” karya Achmad Fauzi, tidak ada uraian khusus yang membahas definisi move on dan hijrah. Hanya ada satu artikel berjudul “Saatnya Move On” ditulis pada akhir tahun 2018 (hlm.73-78), juga tidak membahas soal pengertian.

Akan tetapi, dalam buku yang ditulis oleh serorang birokrat Sumenep ini, kita bisa menemukan hal berbeda dari pengertian yang lumrah. Fauzi tidak menggukan Move On sebagaimana anak muda menyebut untuk melupakan mantan kekasih, seperti biasanya anak milenial gunakan. Melainkan, ia memposisikan move on sederajat dengan hijrah, yang saat ini juga lagi viral di kalangan agamis.

Bagi Fauzi, move on adalah ‘bergerak’ dari masa lalu ke masa depan, dari yang buruk pada yang baik, dari gelap ke terang. Satu arti dasar; perubahan.

Tentang move on ini, ketika ditarik pada filsafat saya ingat pada teori Karl Marx. Karl Marx sempat membuat satu kesimpulan bahwa salah satu di antara hukum-hukum dialektika dalah perubahan (hlm.76).

Pada kutipan Fauzi kita bisa menengarai, maksud dari move on ini adalah perubahan politik Indonesia pada ranah lebih baik. Mengapa demikian? Pada artikel-artikel lain, Fauzi sudah banyak mencatat ragam kedepresian yang dialami bangsa Indonesia disebabkan carut-marutnya peta dan pentas politik, dimana kian hari menunjukkan kian buruk. Bahkan Fauzi menyebut sudah pada posisi ‘ubnormal’.

Pada artikel pertama dalam buku ini, dengan judul “Integritas”, kita sudah diajari bagaimana lari dari perkara buruk berupa ‘suap’. Suap adalah akar dari runtuhnya integritas, dan saat ini Indonesia lagi digoyang dari berbagai arah. Salah satu ajakan move on yang Fauzi inginkan adalah tidak memandang remeh soal integritas dan kebiasaan suap menyuap.

Seperti yang tertulis dalam bukunya: Betapa sering kita meremehkan dan memandang sebelah mata terhadap arti penting sebuah

38

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

integritas. Padahal, walaupun ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar demi sebuah integritas, akan lebih banyaj risiko dan akibat fatal yang terjadi jika harus mengorbankan integritas (hlm.10).

Tidak melulu soal catatan birokrasi, dalam buku ini juga banyak catatan fenomena sekitar terkait sosial, etika dan bahkan cinta. Ada artikel yang berjudul “Kesempatan”, sebuah pelajaran dari seorang kontraktor yang disuruh buat rumah dalam satu tahun dengan sebagus-bagusnya, tapi malah dikerjakan denga buru dan sempurna. Ia tidak tahu, kalau rumah itu dihadiahkan untuk dirinya. Kesempatan terbaik tidak selalu datang dengan wajah cantik, tuga kita adalah menggunakan setiap kesempatan dengan baik (hlm.127).

Ada juga artikel soal cinta dan kasih sayang, sebuah catatan kecil meyikapi kebiasaan anak muda merayakan Valentine’s Day berjudul “ Tak Boleh Gagal Paham”. Fauzi mengajak kaum mellinial untuk move on dari perayaan seolah mendewakan momen valentine itu. Bagi Fauzi alih-alih hari itu akan menjadi istimewa. Karena Valentine merupakan tradisi sejarah yang tak patut kita rayakan.

Belum ada fakta sejarah kongkret yang melatarbelakangi bahwa fenomena itu harus disambut secara euforia (hlm. 131).

Dengan buku ini kita bisa belajar move on dari kebiasaan-kebiasaan buruk pada kebiasaan yang lebih baik. Suka atau tidak suka, masa akan berganti masa. Oleh karenanya, setiap waktu adalah kesempatan kita untuk menziarahi diri agar bisa berbenah, berhijrah untuk berubah. Artinya, sebagaimana kepompong yang diilustrasikan Fauzi, move on dari bentuk atau masa lalunya yang ‘menjijikan’ harus ia lakukan. Sehingga pelan tapi pasti kepompong menjadi indah dan menawan.

Buku tidak lepas dari kekurangan, sekalipun kelebihannya juga ada pada tulisan-tulisan sederhana yang renyah dan mudah dicerna. Sebagai sebuah catatan, tentu ini bagus untuk referensi untuk para generasi. Sebab isinya banyak memotivasi.

Tapi jika sebagai karya tulis, tentu masih jauh dari kata sempurna.

Namun apapun itu, sebagai Wakil Bupati di Sumenep, Achmad Fauzi telah mengingatkan kepada kita tentang pentingnya literasi. Sepertinya perlu menular bagi para “pelayan” birokrasi di mana pun. Karena pada waktu bersamaan, minat baca kita rendah. Angka buta huruf juga menggurita. (*Esais dan Kader Muda NU asal Dungkek)

perspektif

BARANG BEKAS MENUJU PESERTA DIDIK CERDAS Ol eh : Ali Har sojo, M. Pd. *

Program Inovasi pendidikan yang sering diperbincangkan tidak akan ada artinya jika tidak segera diwujudkan dalam program kontekstual. Bukan tanpa sebab, beberapa pengalaman empiris menunjukkan bahwa sebagian guru yang mengikuti berbagai kegiatan workshop relatif terhenti pada tugas workshop saja. Akan tetapi juga banyak yang mampu menginplementasikannya di kelas.

S

etelah memperoleh tambahan pengetahuan dan keterampilan, guru tersebut bergerak dinamis mengimplementasikannya dalam iklim pembelajaran di sekolah.

Apakah penyebab sebagian guru enggan mengaktualisasikan kemampuannya?

Setiap guru telah memiliki kompetensi yang memadai sebagai petugas profesi. Guru telah menempuh studi dan belajar tentang kompetensi keguruan.

Kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian dan profesional adalah kompetensi yang melekat pada seorang guru. Maka, setiap guru harus sepenuh hati mau mengembangkannya secara berkelanjutan.

Salah satu program kegiatan yang relevan dengan kompetensi profesional guru adalah mengembangkan KBM menjadi lebih bermakna, menyenangkan

dan berpihak pada orientasi peserta didik. Menjadikan peserta didik sebagai subyek dalam belajar. Peserta didik dapat secara aktif terlibat langsung dalam KBM dengan pengetahuan yang dimiliki. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang ada.

Amanah bagi guru yang tercantum dalam Peraruran Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru Pasal 3, bahwa Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Artinya adalah mengaktualisasikan kemampuan diri guru merupakan amanah peraturan pemerintah yang seharusnya dilakukan oleh guru.

Aktualisasi diri dapat beragam bentuknya. Bergantung

rencana program dan kegiatan yang dirancang oleh guru. Guru adalah inovator pembelajaran.

Inspirator dalam mewujudkan kreativitas peserta didik. Guru merupakan fasilitator yang harus memfasilitasi kemampuan siswa yang beragam.

Salah satu yang cukup populer saat adalah program literasi sekolah. Gerakan Literasi Sekolah merupakan kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/ wali murid peserta didik), dan pihak eksternal sekolah (akademisi, penerbit, media massa, dan masyarakat), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Gerakan Literasi Sekolah

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

39

(GLS) adalah gerakan untuk mewujudkan pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai. Selanjutnya setelah pembiasaan membaca terbentuk, akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013).

Pada perkembangannya, kegiatan literasi efektif dilaksanakan di kelas secara rutin setiap hari.

Guru mengarahkan peserta didik dengan kegiatan literasi yang mencakup empat keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, menulis dan berbicara) dan jenis kegiatan literasi; a) Literasi Baca-Tulis, b) Literasi Numerasi, c) Literasi Sains, d) Literasi Finansial, e) Literasi Digital dan f) Literasi Budaya dan Kewargaan.

Keenam jenis kegiatan literasi tersebut secara tematik diterapkan di kelas. Sehingga diperoleh pengetahuan dan keterampilan

40

yang komprehensif.

Untuk menunjang kegiatan literasi di kelas, menjadi penting mewujudkan iklim kelas yang mengarah pada kelas literat. Misalnya, guru mewujudkan indikator kelas literat. Perpustakaan mini, area interaksi sosial, pohon literasi, pojok karya, papan inspirasi, papan kreativitas peserta didik, dan sebagainya. Seluruh indikator kelas literat harus bermuara pada peningkatan kemampuan peserta didik.

Kegiatan bedah kelas adalah bagian dari kegiatan untuk mewujudkan kelas literat. Guru dapat memanfaatkan benda-benda bekas sebagai konten kelas literasi. Misalnya, memanfaatkan bungkus bekas produk makanan atau minuman sebagai media transaksi jual beli, kardus bekas untuk pohon literasi, botol bekas untuk rak buku, gabus bekas untuk bahan tulisan 3D, kertas, dan sebagainya.

Sehingga, tidak ada alasan

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

bagi guru untuk berinovasi dalam kelas. Tidak ada biaya mahal untuk mengaktualisasikan kemampuan guru tersebut.

Kreativitas gurulah yang dituntut untuk memperkaya program literasi di kelas tersebut. Jika kegiatan literasi kelas ini dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan, maka diyakini peserta didik akan semakin cerdas dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Sebab, setiap waktu peserta didik selalu mengalami interaksi dan kegiatan yang kontekstual.

Peserta didik dapat mengalami sendiri proses interaksi sesama manusia dalam transaksi jual beli di pojok pasar, dapat melihat hasil karyanya di pojok karya, membaca berbagai buku pengayaan di rak perpustakaan mini maupun area pojok baca. Literasi kelas menuju peserta didik cerdas adalah impian semua guru. (*Guru SDN Pajagalan II, Pegiat Literasi di Rumah Literasi Sumenep)

perspektif

GAIRAH BERSASTRA DI TENGAH LESUNYA PEMBELAJARAN Ol e h : A b d. K a d i r*

B

eberapa waktu yang lalu saya dihubungi beberapa siswa bahwa aktivitas pembelajaran di sekolah tempat saya mengajar dulu—di pulau—kini masih lesu. Betapa tidak, kehadiran guru masih terlambat datang ke sana karena cuaca yang kurang bersahabat.

Para guru yang berasal dari daratan masih belum bisa hadir karena memang tidak ada kapal yang berlayar ke pulau. Ini semua membuat suasana pembelajaran

semakin lesu.

Namun, di tengah lesunya pembelajaran itu, ada berita yang cukup mengembirakan. Selang beberapa minggu dari kabar awal yang saya terima, ketika guru-guru yang dari darat mulai berdatangan, saya dihubungi beberapa siswa lagi lewat sms bahwa OSIS di sana mengadakan lomba cipta puisi dan dilanjutkan dengan deklamasi hasil karya cipta itu. Beberapa saat kemudian ada teman guru yang menele-

pon saya dengan pemberitahuan yang sama.

Saya sempat agak shock mendengar berita tentang pelaksanaan lomba ini. Imajinasi saya kembali mengalir dan membuka memori bagaimana saya selama hampir 6 tahun menjadi guru di pulau. Saya terkenang ketika bagaimana anak-anak berusaha untuk mempelajari sastra sebagai bagian dari kecintaan mereka teradap dunia sastra. Saya juga teringat bagaimana anak-anak

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

41

meminta saya untuk memfasilitasi dalam penerbitan majalah “Inovasi”. Saya juga teringat ketika detik-detik saya harus meninggalkan pulau karena saya harus dimutasi ke sekolah di darat.

Semuanya menyelinap dalam kesadaran psikologis saya. Betapa kenangan tentang sekolah pulau ini masih begitu kuat dalam ingatan saya. Saat itu, ketika sudah ada di kapal, saat saya harus meninggalkan pulau, betapa suasana haru-biru menyertai perjalanan saya. Sejak dari sekolah, sampai ke pelabuhan mereka (para siswa) dengan setia menemani perjalanan saya.

Dengan riuh tangis yang terurai, setelah saya kumpulkan di ruang aula; dengan sesak yang menghunjam, mereka setia menemai saya jalan kaki sampai ke pelabuhan. Betul-betul suasana yang mengharu-biru.

Yang lebih mengharukan lagi ketika saya harus menerima ratusan sms puitis yang selama ini jarang saya terima dari siswa.

Betapa tidak, saya agak kaget ketika ternyata siswa-siswa saya ‘bertubi-tubi’ mengirim sms puitis.

Ini menandakan bahwa ternyata kepergian saya dari pulau telah menjadi inspirasi untuk melahirkan ‘bahasa puisi’ bagi mereka.

Bahkan ketika beberapa minggu setelah saya pulang dari pulau ada anak yang menghubungi saya bahwa ada salah satu kelas berubah menjadi ‘kampung sastra’. Mayoritas siswa di kelas itu telah ‘mabuk puisi’.

Mereka melampiaskan imajinasi dan kegalauan akibat perpisahan mereka dalam bentuk puisi.

Mengenang ini semua, ternyata setelah saya meninggalkan pulau, ‘gairah’ mereka untuk bersastra begitu memuncak. Realitas yang berkembang sekarang di sekolah telah memberikan sebuah indikasi adanya ‘birahi’ yang semakin kuat untuk bersastra.

42

Saya bisa memahami mengapa mereka menghubungi saya.

Saya sadar selama ini saya memang selalu mencoba membangkitkan gairah bersastra pada diri siswa saya. Hanya saja, semua upaya saya seolah membentur dinding tebal ketika saya harus dimutasi ke sekolah lain.

Memang itulah yang saya pesankan pada seluruh siswa ketika saya akan meninggalkan pulau. Bahwa kepergian saya bukanlah akhir dari segalanya. Kepergian saya setidaknya dapat menjadi pintu awal untuk membuktikan bahwa siswa di pulau adalah siswa yang mampu menunjukkan bahwa mereka bisa: bisa untuk lebih baik; bisa untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka adalah siswa-siswa terbaik yang berguna bagi masyarakat.

Di sela-sela imajinasi yang semakin ‘asyikmasyuk’ dengan segenap kesunyi-senyapannya, tiba-tiba saya dikejutkan kembali dengan sebuah sms dari nomor baru: “virus yang sampeyan tinggalkan tergolong super aktif dan sangat berbahaya. Cepat sekali penularannya. Lantas siapa yang dapat menyembuhkan? Kutahu Ikratul Akbar cs, misalnya, kini kesurupan sambil meneriakkan bait-bait puisi.

Seperti Harry Potter saja, terbang dengan mengendarai sebatang welandingan yang banyak tumbuh liar dan dicabutnya di sekitar pekarangan sekolah.

Mereka memanggil-manggil: Guru! Di manakah kau? Kami murid-muridmu (sebut saja Mimik Haerati, Nurul Hasanah, Mutmainnah, Romizah, Rere, Kamsariyanto dan pokoknya semua anak SMA, masihkah kami bisa mengharapkanmu kembali?

Kenapa guru yang sangat kami cintai pergi meninggalkan kami.

Jawab!!!”.

Saya hanya bisa terdiam. Sejenak saya mencoba menenang-

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

kan kesadaran psikologis saya untuk mencari tahu tentang pemilik nomor yang mengirim sms ini tadi. Ternyata pemilik nomor tadi adalah Hasani Hamzah, teman di pulau yang memiliki spektrum pemikiran dan hobi yang sama dengan saya: bersastra.

Setelah sejenak terdiam akhirnya saya harus berani untuk jujur membalas sms tadi: “Mas Hasani, saya pikir bahwa inilah fenomena. Ternyata eksistensi saya di pulau hanya menjadi penyumbat kran yang seolah-olah masih membungkam kreativitas bersastra para siswa.

Namun, ketika saya harus keluar dari pulau, ternyata kran itu telah terbuka. Kreativitas bersastra anak-anak mulai ‘muncrat’ tak terbendung lagi. Realitas inilah sebanarnya yang perlu diapresiasi dengan positif oleh semua pihak”.

Ya, selama ini, meski mereka masih merasa lesu dalam pembelajaran, namun kreativitas dan gairah bersastra mereka ternyata tetap ‘meledak-ledak’. Saya juga berharap meski saya tidak lagi di pulau, mudah-mudahan semangat bersastra mereka tetap mengalir.

Saya jadi ingat apa yang disampaikan pak Anis Baswedan: “kita hari ini tidak bisa hanya bilang telah melatih sekian orang guru, sekian orang siswa, sekian orang kepala sekolah, sekian orang pengawas. Tapi, kita butuh dampak apa yang telah terjadi akibat pelatihan itu. Perubahan apa yang terjadi setelah mereka dilatih”.

Mungkin realitas bersastra inilah yang pernah disampaikan Pak Anis Baswedan. Bukan hanya sekadar tahu teori bersastra yang disampakan di depan kelas, melainkan, dampak berastra dalam kehidupan siswa. Mereka telah membangun ‘kampung sastra’ di sekolah. Semoga! (*Dosen, Kabid Dikdas Disdik Sumenep)

cerpen

Sumpah Zakiah Cerpen: Ummul Corn*

Z

akiyah akhirnya dibawa ke Puskesmas setelah sebelumnya tiga dukun beranak tak sanggup menangani proses persalinannya. Ia dibonceng suaminya dengan motor tua berwarna hitam polos tanpa nama. Yang tampak di bagian bawah lampu depannya adalah tulisan Honda. Tangan perempuan berbadan buncit itu gemetar berusaha menguatkan pegangannya ke pundak suaminya.

Bibirnya pucat pasi menggumamkan rintihan di sepanjang perjalanan.

Usia kandungan Zakiyah sudah satu tahun lima bulan dua puluh tiga hari. Kejadian di luar kebiasaan itu mengundang buah bibir segar para panduduk kampung. Obrolah-orolah kecil mengenainya bisa dijumpai di warung-warung kopi, “Sebernarnya Zakiyah itu mengandung anak apa sih?”

“Mungkin... karena keburu punya anak, terus si Sulaiman tak kunjung berhasil, akhirnya dia mau ngawinin istrinya sama setan. Hiiiiiii... ngeri!”

“Hus! Sembarangan kamu, Mad! Sulaiman itu orangnya takwa. Istrinya perempuan saleha yang rajin ngaji. Mana mungkin dia bersekutu dengan setan!”

“Mungkin saja... ketimbang salah satunya dibilang mandul, iya kan?!”

Atau kau bisa menguping perkumpulan ibuibu arisan, “Ayo, Bu... dikocok lotrenya. Jangan sampai gak keluar-keluar kayak jabang bayinya si Zakiyah, lho... hehe.”

“Ah iya, kalau saya sih yakinnya tu jabang bayi kena kutukan.”

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

43

“Di dalam perut ada perut-perutan.”

“Hahaha... ya bisa diterima.”

“Ayo, apa lagi.”

“Kenapa jabang bayi alias perut-perutannya gak mau keluar?”

“Karena dia gak mau hidup melarat.

Hahay.”

“Bisa, bisa, bisa!”

Begitulah Zakiyah dan suaminya, Sulaiman, harus menerima gunjingan dari seluruh penjuru kampung. Tentulah nasib yang demikian seperti sebuah seretan paksa untuk masuk ke dalam jurang yang petang dan dalam. Sungguh sangat menyedihkan.

Mereka hanya tinggal berdua, karena sejak menikah keduanya sepakat untuk berpisah dari mertua. Keputusan itu atas dasar kesepakatan berdua, meski sebelumnya Zakiyah benar-benar tak mau dinikahkan dengan Sulaiman. Tetapi akhirnya ia tahu bahwa Sulaiman lah yang terbaik bagi hidupnya. Bukti bahwa suaminya bertanggung jawab, kini, Sulaiman tidak mau tergantung pada mertuanya. Mayoritas, mereka yang tak mau berpisah dengan orang tua, masih banyak bergantung untuk sekedar mengepulkan asap tungku.

“Bukan, saya kurang sependapat dengan situ, Jeng. Bukan si jabang bayi yang kena kutuk, tapi keluarganya Zakiyah tujuh turunan kali...”

“Eh ya? Kalau saya mengira, tu jabang bayi sudah mati dalam kandungan sebelum lahir ke dunia hihihi.”

“Ai... Bu Enda ini bisa aja!”

Atau barang kali kau tengah berjalan-jalan santai melewati got jembatan tempat para remaja nongkrong. Kau bisa mendengar tebakan macam ini, “Apa isi perutnya Zakiyah?”

44

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

Untuk itu, dengan segenap keberaniannya Sulaiman membawa Zakiyah pada kehidupan yang sama sekali baru. Mereka membangun rumah di desa Rembulan, tepat di kaki bukit Pangilen. Di bukit itu, mereka benar-benar mendapatkan kehidupan baru yang menyatu dengan alam. Zakiyah bisa merasakan angin fajar mengalir lewat rumput selutut membelai mukenahnya usai melaksanakan shalat subuh berjemaah. Begitu pun Sulaiman yang memandang kebahagiaan adalah memiliki perempuan shaleha.

Sampai akhirnya Tuhan menunjukkan jalan takdir kehidupan rumah tangga mereka yang tak disangka-sangka. Tuhan menganugerahi mereka calon anak yang tak kunjung lahir ke dunia. Itu tak membuat keduanya gentar dan berputus asa atas karunia Tuhan. Meski seluruh kampung kini menghangatkan pembicaraan dengan kejadian itu, tetapi Sulaiman justru meneguhkan

hati Zakiyah dan terus mengajaknya berdo’a agar Tuhan memberi jalan keluar.

“Tuhan adalah sebaik-baiknya jalan keluar.

Teguhlah! Kau pasti mampu, Dik,” kata Sulaiman ketika menemui Zakiyah tersedu sepulang dari mencuci beras di sumber. Sumber itu biasa digunakan sebagai tempat penduduk mandi dan mencuci. Anak-anak kecil biasa berenang, bermain air, dan menangkap udang di sana. Barang kali telah ada seseorang yang menyentuh perasaan terdalamnya.

Untunglah di saat-saat Zakiyah butuh orang banyak untuk menguatkannya, orang tua dan mertuanya berkunjung ke rumahnya. Karena mertuanya seorang peracik jamu tradisional, dia tak jarang mendapatkan buah tangan jamu khusus ibu hamil. Orang tuanya pun tak kalah perhatiannya.

Zakiyah selalu dibelikan susu penunjang kesehatan ibu hamil dan vitamin bagi jabang bayinya. Tetapi kebaikan mertua dan orang tuanya itu justru semakin membuatnya bersalah karena tak kunjung menganugerahi mereka cucu yang lucu dan menggemaskan.

“Mas, ibu pasti sudah rindu menggendong bayi,” katanya lirih. Matanya berkaca-kaca menahan bendungan air yang tak kunjung mengalir.

Gurat merah di mukanya seperti menahan kesedihan mendalam yang berkepanjangan.

“Sudahlah. Yakinlah saja, bila saatnya tiba, bayi kita akan lahir dengan wajah kombinasi bibir mungilmu dan mata tajamku. Hmm...” mendengar suaminya menggombal, Zakiyah tak dapat menahan tawanya. Air mata yang tadinya mau tumpah, kini mengalir bersama garis senyum yang mengembang di mukanya. Betapa hidup tak kan indah bila tak diselingi dengan sesekali canda untuk mengisi spasi dari waktu ke waktu. ©©© Bukan tak pernah ada tanda-tanda kelahiran.

Suatu malam, saat manusia dan jagat raya terlelap dalam dunia masing-masing, Zakiyah mengeluh kesakitan kepada suaminya. Kala itu, kandungannya masih berusia delapan bulan dua puluh hari. Sulaiman terlonjak dari tempat tidurnya, memegang erat tangan istrinya, mengusap rambut panjangnya, dan sesekali mengecup keningnya. Ia menguatkan istrinya untuk bertahan sebelum berangkat menjemput dukun yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Mak Sumaryam namanya.

Mak Sumaryam sudah kesohor kecakapannya membantu perempuan melahirkan dengan sukses.

Tak hanya dari desa Rembulan saja yang mengandalkan tenaganya, tetapi dari desa tetangga juga kerap kali berkunjung ke kediamannya atau menjemputnya dengan hormat.

Malam itu pun Sulaiman tergopoh memakai sarung dan kopyah. Ia segera memanaskan mesin motor bututnya yang setia menemani perjalanannya dari masih muda sampai hampir menjadi seorang ayah. Suara knalpot motornya yang cukup cempreng itu berhasil memecah malam yang senyap. Sepanjang perjalanan, mulut Sulaiman komat-kamit membaca do’a untuk istrinya. Ia berharap sepulangnya dari rumah Mak Sumaryam nanti istrinya tetap sehat dan mampu melahirkan anaknya dengan selamat.

Lelaki berpeci hitam yang hatinya cukup gemetar itu menekan rem sesampainya di halaman rumah Mak Sumaryam. Beranda rumah itu hanya memakai lampu dengan kapasitas lima watt. Sorot cahaya lampu itu mengarah pada bunga mawar merah yang berjejer rapi memagari rumahnya. Sehingga bias komposisi keduanya menggambarkan suasana rumah-rumah pada masa lalu.

Ragu, Sulaiman mengetuk pintu. Dalam hatinya terlintas perasaan tak enak bila menganggu tidur Mak Sumaryam. Tetapi bayangan istrinya yang menjerit kesakitan meyakinkan tangannya untuk mengetuk pintu dan memaggil salam.

“Siapa?” suara tua dengan nada gemetar menyahut dari dalam.

“Saya, Mak Su... Saya Sulaiman. Suaminya Zakiyah.”

“Ah, yayaya...” sebentar kemudian, terdengar suara kaki menggeser sandal.

“Zakiyah mengeluh kesakitan, Mak. Saya khawatir dia sudah sampai waktu melahirkan.”

“Tunggu. Saya siap-siap dulu,” jawab perempuan lanjut usia yang rambutnya telah sempurna berwarna putih itu. Ia memang tak pernah banyak kalau berkata-kata. Hanya sepatah-sepatah. Tetapi jelas, nadanya tampak ramah dan membuat semua lawan bicaranya merasakan keseganan. Selain tersohor menjadi dukun, ia memang mewarisi garis keturunan darah biru dari seorang raja. Sehingga keluarganya menjadi tokoh masyarakat yang dihormati.

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

45

Di luar, Sulaiman telah menunggu dengan perasaan campur aduk antara cemas dan bahagia membayangkan anak pertamanya lahir ke dunia.

Mak Su keluar dengan menggenggam kresek hitam berisi alat-alatnya. Ia memberi aba-aba pada Sulaiman bahwa dia telah siap meluncur.

Sesampainya di tempat, Mak Su diantar ke kamar Zakiyah. Sebagaimana umumnya para dukun melahirkan, ia juga menanyai terlebih dahulu rasa sakit apa, seperti apa, dan di bagian mana gerangan rasa sakit yang dirasakan perempuan hamil itu. Zakiyah menjawab tak jelas, membuat Mak Su sedikit kebingungan.

Mak Su memijat-mijat Zakiyah. Mulai dari betis sampai semua titik yang membuat tubuh perempuan itu lentur. Mak Su sampai menguap ngantuk, tetap tak ada tanda-tanda si bayi mau keluar. Sampai akhirnya pagi menggelar subuh pun Zakiyah malah semakin nyaman-nyaman saja kelihatannya.

Dengan perasaan malu, Sulaiman berterima kasih dan lalu mengantar Mak Su pulang selepas shalat subuh.

Dan begitulah berulang kali kejadian serupa itu berlangsung. Mak Su sudah tiga kali dijemput secara dadakan. Sampai Sulaiman tak nyaman sendiri, sehingga ia diam-diam mengundang dua dukun lain yang juga bernasib tak jauh berbeda dengan Mak Su. Tak jadi membantu melahirkan melainkan hanya memijat-mijat saja. Sampai akhirnya tak ada dukun yang bersedia untuk membantu kelahiran Zakiyah karena semua orang kini tahu gosip terbaru mengenai perempuan yang tak kunjung melahirkan itu.

Itu membuat keluarga Zakiyah dan Sulaiman harus menanggung malu yang luar biasa. Terlebih bagi pasangan suami-istri yang umur pernikahannya masih dua tahun itu. Sulaiman akhirnya memutuskan untuk membawa istrinya ke Puskesmas saja kalau-kalau secara dadakan ia mengeluh sakit perut lagi. Rasa cemas yang tampak di wajah Sulaiman membuat istrinya merasakan was-was akan kondisi anaknya yang kini masih dalam rahimnya.

Begitukah perasaan seorang ibu bila buah hatinya tak kunjung menyapa dengan tangis? Ah, siapa pun ibu, yang jelas ia telah berusaha melewati masa-masa antara hidup dan matinya. Ia yang bersedia berjuang dengan segenap jiwa raganya demi melahirkan seorang generasi di muka bumi. ©©©

46

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

Hingga benar-benar datang masa itu. Setelah kandungan Zakiyah sampai di usia satu tahun enam bulan, akhrinya Sulaiman yakin bahwa anaknya akan lahir. Zakiyah terus berusaha menguatkan pegangannya yang gemetar. Seperti tak ada daya untuk memegang perut suaminya. Lelaki dengan badan tinggi tegap yang menyetir motor dengan sebelah tangannya itu juga berusaha memegangi lengan istrinya dengan tangan yang satunya.

Sekilas mereka tampak seperti lambang kekuatan yang mengentaskan kerapuhan. Mungkin itu yang dimaksud nilai setia yang kerap diperbincangkan oleh banyak orang. Mungkin juga bukan. Mungkin saja.

Tetapi lihatlah! Betapa Sulaiman setia menjaga dan mengenggam tangan istrinya di ruang persalinan. Hanya itu yang mampu menambah kekuatan seorang perempuan dalam menghadapi masa yang demikian bahayanya. Dan Sualiman seperti tercipta untuk selalu mengerti.

Ia memejamkan mata menunggu kelahiran buah hati pertamanya. Suasana tiba-tiba menjadi pekat dan senyap. Suara tik-tak jam, erangan seorang perempuan dan kalimat dukungan seorang bidan. Dalam diam dia mengingat masa lalu yang mengundang rasa takutnya semakin jelas membayang. Malam, mengapa tiba-tiba berubah menjadi sedemikin jahatnya saat perasaan Sulaiman begitu galau.

Ia teringat sumpah Zakiyah pada saat melamar untuk dijadikan tunangan. Mula-mula Zakiyah tak memberi keputusan. Tetapi keluarga Zakiyah sudah terlanjur menerima. Maka secara tegas namun sembunyi dari kedua orang tuanya, Zakiyah meberikan jawaban berupa selembar surat. Beginilah kira-kira isi surat itu: “Saya bersumpah! Jika sampai saya menikah dengan anda, maka semoga bayi pertama saya tidak keluar dan sulit untuk dilahirkan. Maka jangan coba memaksa saya lagi untuk menikah dengan anda.”

Dengan segenap perasaan getir Sulaiman bedo’a semoga sumpah itu tak menjadi do’a yang dikabulkan. Ia berharap anak dan istrinya sama-sama selamat. Tiba-tiba kepalanya limbung dengan napas naik-turun. Seolah hanya ia yang merasakan kiamat kecil, malam itu. Sebab hanya dialah yang tahu dan terus mengingat tentang sumpah Zakiyah. (* Alumnus SMA 3 Annuqayah dan Instika Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur)

catatan bupati

TINGKATKAN BUDAYA LITERASI

JANGAN MUDAH TERPROVOKASI

B

Beberapa tahun terakhir, ruang publik kita seakan sesak dengan kabar-kabar bohong atau hoaks. Tak jarang hoaks sampai melahirkan gejolak di tengah-tengah masyarakat. Mengarah pada disintegritas bangsa.

Kabar-kabar bohong itu berseleweran di media sosial yang saat ini hampir semua lapisan masyarakat memiliki.

Sirkulasinya meningkat tajam di momen-momen tertentu.

Terutama jelang pemilihan. Pilkades, Pilbup, Pilgub, Pileg maupun Pilpres.

Tingginya peredaran berita bohong tidak hanya karena ada niat pelakunya. Masih rendahnya budaya literasi kita juga menjadi sebab di sisi lain. Karena keterbatasannya dalam mencerna informasi, sebagian masyarakat kita terkadang masih ada yang terlalu gampang menyebar-luaskan kabar meski belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Ketika menerima informasi seharusnya seseorang ingat bahwa, setiap informasi adalah konstruksi orang yang membuat informasi itu sendiri. Karenanya sebelum informasi diterima sebagai sebuah kebenaran, minimal harus tahu lebih dulu siapa si pembuat atau penyebar informasi. Sebelum mengenalnya, lebih baik diamkan. Paling tidak jangan sebar-luaskan!

Jika sudah diketahui dari siapa informasi itu datang, berikutnya yang juga perlu diperhatikan, agar tak termakan hoaks dan menjadi agen hoaks, pesan di dalam informasi itu.

Mulai dari kebenarannya, kebaikannya, serta manfaatnya.

Tiga hal itu untuk memastikan bahwa informasi yang kita terima adalah benar, mengandung unsur kebaikan, dan bermanfaat, baik untuk diri sendiri, orang lain, lebih-lebih untuk bangsa dan negara. Teori ini dikenal sebagai tripel filter.

Membangun kesadaran masyarakat agar kritis terhadap setiap informasi, supaya tak gampang terpengaruh dan terprovokasi hoaks, memang bukan pekerjaan mudah.

Butuh kerja keras dan komitmen banyak pihak untuk menumbuh-kembangkan budaya literasi sebagai langkah antisipatif

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

47

terhadap semakin tumbuh-suburnya hoaks.

Pemerintah Kabupaten Sumenep sejauh ini sudah terus berupaya meruwat dan merawat budaya literasi. Di antaranya, melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, kami berencana menyediakan buku-buku bacaan untuk masyarakat.

Hingga ke pelosok-pelosok.

Ikhtiar ini dilakukan supaya masyarakat lebih akrab dengan buku daripada Medsos, di mana hoaks biasanya bertebaran. Secara tidak langsung kami ingin mengedukasi masyarakat bahwa, bumi tetap berputar dan peradaban akan terus berjalan meski kita tak selalu bersinggungan dengan Medsos.

Dibanding mendapat informasi di Medsos, emosi kita cenderung lebih tenang ketika mendapatkannya di dalam buku. Sebab ada waktu untuk merenungkannya. Sementara jika membaca informasi di Medsos, kita akan lebih reaktif. Terutama kalau sudah berkait-kelindan dengan politik dan agama atau politisasi agama.

Kami juga terus mendorong seluruh sekolah di Kabupaten Sumenep ini supaya lebih gencar mengenalkan budaya literasi kepada anak-anak didiknya. Apalagi gerakan literasi sekolah memang sudah menjadi salah satu program pemerintah.

Gerakan literasi sekolah perlu lebih digalakkan, khususnya di Sumenep, untuk meningkatkan kecintaan anak-anak sekolah terhadap buku, majalah, dan lainnya. Mengingat anak-anak saat ini belum memiliki minat baca dan menulis yang terlalu menggembirakan.

Saya berharap upaya seperti ini mendapat dukungan dari banyak pihak. Para orangtua juga bisa berperan dalam menumbuhkan semangat membaca dan menulis terhadap anak-anaknya. Misalnya rutin membacakan cerita kepada anak-anaknya dan mengajari anak-anak menulis catatan harian sejak dini.

48

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN

Gerakan literasi sekolah perlu lebih digalakkan, khususnya di Sumenep, untuk meningkatkan kecintaan anak-anak sekolah terhadap buku, majalah, dan lainnya. Mengingat anak-anak saat ini belum memiliki minat baca dan menulis yang terlalu menggembirakan.

Dengan demikian, saya berharap ke depan budaya literasi di Sumenep mengalami perkembangan cukup signifikan dan kabupaten ini suatu saat menjadi “kota literasi�.

Sehingga pada gilirannya ruang publik kita tak terlalu sesak dengan hoaks.

Kini, Kabupaten Sumenep sudah berusia 750 tahun. Saya berharap seluruh elemen masyarakat semakin dewasa dalam menyikapi berbagai macam persoalan. Jangan mudah tersukut atau terprovokasi. Apalagi sampai melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengancam kebersatuan kita sesama bangsa NKRI. Sesuai tema besar Hari Jadi ke-750 Sumenep tahun ini, mari kita satukan semangat kebhinnekaan dalam bingkai rumah kita untuk mewujudkan Sumenep Super Mantap.

Perbedaan pandangan dan silang pendapat memang merupakan suatu keniscayaan. Tapi saling menghargai satu dengan yang lain adalah keharusan.Wallahu a’lam. (*)

DISDIK KABUPATEN SUMENEP

49

50

GERBANG MAJALAH PENDIDIKAN