DCDC MAGAZINE - VOLUME #18 2024

Page 1

CONTENTS

THE PITCH

Monkey to Millionaire

Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah 8

FEATURES

Isyana Sarasvati

EP my Mystery Mewujud Menjadi Piringan Hitam 24

NIKI

‘’24’’, Lagu Baru yang Terinspirasi dari Joni Mitchell 28

Q&A

Bleach

Kugiran Revivalist Hardcore Masa Kini 32

HOT NEWS

Kalé

“Selamanyaʔ” untuk Ibu 41

Mad Madmen

Meleburkan ke Frontalan dengan Anda Perdana 44

Sesak

Melanjutkan Agresifitas Musikal dengan ‘’Karam’’ 48

TamaT

Bentuk Kesuburan: Dari Kami Yang Kalian Sia-Siakan 51

Xandega

Menghadapi Imposter Syndrome dengan Pop Dansa Sendu 54

ACT SIDE

Adityo Saputro (Asylum Uniform-Alphalab)

Industrialist Mentok Hingga Tulang-tulang 59

HOT PICKS

5 Album Paling Berpengaruh versi Yudi Setiawan a.k.a Baruz (Godless Symptoms) 73

PENTAS

Friday Night Live - Burgerkill (Unplugged) 80

DCDC Rebel Meet Rebel (Purwokerto) 82

DCDC ShoutOut! Day 86

More places, Better points - Extra Leg (FINAL) 91

REVIEWS

Sambutlah – The Jeblogs 94

THE GRAND CHASE – Envy* 96

DCDC MAGAZINE HEAVY ROTATION

Albums–EP’s 98

Singles 99

Producer DCDC.ID Director Satria NB Editor in Chief Tiar Renas Yutriana Writer Abraham Gerald Leingul Photographer Ibrahim Partogi Artwork & Graphic Design Lutfhil Hadi X Arrahman Advertising ATAP PROMOTIONS Publisher DCDC.ID e-mail dcdcmagz@gmail.com

“Agar perubahan benar-benar bernilai, perubahan itu harus bertahan lama dan konsisten.” – Anthony Robbins.

Barangkali, “konsisten” tapi berbuah pada “perubahan” adalah hal yang sulit untuk dijalankan oleh setiap manusia. Seringkali kita menggerutu pada diri sendiri dan berkeinginan luhur untuk bisa terus berkembang dalam hidup, tapi di waktu yang bersamaan, juga menanggalkan atau melupakan konteks konsistensi itu sendiri.

Konsisten tapi berkembang sejatinya adalah keadaan yang tidak boleh tidak.

Jika ingin berubah, salah satu kuncian utamanya adalah menjaga keajegan konsistensi. Silakan untuk tidak setuju! Tapi silakan juga jawab pertanyaan ini dengan pikiran terbuka, “Apakah konsistensi berarti tidak bergerak maju?”.

Dalam diskursus budaya pop—terutama yang berurusan dengan produk yang dihasilkan, konsistensi seyogianya menjelar bercecabang dan melahirkan polemik, setidaknya menjadi dua kutub kemungkinan umum. Pertama, konsisten dianggap sesuatu yang bagus sebagai tiang pancang yang teramat kuat dari para penghasil produk (baca: pelaku seni, dll). Lalu kedua, konsisten sama halnya dengan tidak adanya perkembangan atau stagnasi.

Kedua kacamata wacana kemungkinan itu tentu menggulirkan dinamikanya tersendiri. Dinamika yang lazimnya berputar ditatanan orang luar atau kita sebut saja: penikmat dari produk yang dihasilkan oleh berbagai lapisan budaya pop dimaksud. Efek dari para penikmat ini jelas tidak main-main. Pasalnya, mereka memiliki penilaian personal yang tak jarang membuat kalut pihak penghasil karya bak sambaran petir di siang bolong. Untuk point terburuknya, konsistensi acapkali disinggungkan pada frasa kurang sedap, yakni “minimnya keberanian para pelaku seninya untuk keluar dari zona nyaman”.

Salah satu buah pikir atau tindak tanduk para penikmat akut ini utamanya bermuara pada keinginan mengkonsumsi produk budaya yang berbeda.

Dalam contoh kasus album musik, misalnya, selalu ada harapan perubahan level kekaryaan lanjutan dari produk awal yang pernah dihasilkan oleh si musisi, baik secara bebunyian atau wacana yang dihidangkan. Jika perubahan itu nihil, biasanya respon setelahnya adalah cibiran. Hal yang juga menyebalkan, kendatipun ada perubahan, jika perubahan itu tidak sesuai ekspektasi penikmat dimaksud, cemoohan tetap saja tak terelakan.

Sementara jika berbicara konsistensi, tak jarang torehannya adalah maujud karakter yang khas.

Situasi demikian lantas tidak bisa disalahkan juga, sebenarnya. Karena karya, jika sudah disajikan ke publik, perangaianya berpendar dan memiliki status kepemilikan milik bersama-sama yang sulit terbantahkan, mungkin, boleh jadi hal tersebut adalah sebuah resiko yang mau tidak mau harus ditempuh bagi siapa pun yang memilih jalur sebagai penghasil produk. Jadi, mau bagaimana lagi?

Satu hal yang kodrati, katakanlah musisi atau band, mereka selalu punya alasan untuk tetap konsisten, yang bisa saja bukan diperuntukkan untuk kita dan tidak bisa ditelan mentah/bulat oleh para penikmat karya-karyanya. Yang jelas dan hampir dipastikan, konsistensi itu rasa-rasanya selalu mereka susun agar bernilai, setidaknya untuk perubahan akan diri sendiri sekaligus sebagai ruang perayaan sebuah peristiwa, terkadang tidak lebih. Bagaimana kemudian karya-karya ini dianggap mampu berbicara dan menyentuh hati anda, itu urusan yang harusnya jadi fragmen lain lagi. Kita (idealnya?) hanya tinggal memilih jika presentasi “konsistensi” itu terlaksana, bukan? Mengangguk tanda setuju atau justru menggeleng dan menolaknya. Selebihnya biarkan hal-hal semacam ini menjadi penanda zaman. Para musikus yang tersajikan dalam daftar di edisi ini adalah mereka yang menurut kami “konsisten” sekaligus menyajikan “perubahan”. “Perubahan” yang mereka rengkuh karena konsistensi yang kuat dan berkepanjangan. Sebagaimana pelatih kehidupan, Anthony Robbins, mengingatkan kita semua di kalimat pembuka.

Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah

Nyaris dua windu lalu, tiga anak muda ibu kota memulai pengelanaan lembaran musik dengan kegembiraan. Memakai kendaraan musikal bernama Monkey to Millionaire, Wiznu Adji, Aghan Sudrajat, dan Emir Kharsadi lantas mengarungi dan menumpahkan pelbagai lajur pikirannya secara murni nan berantai ke dalam dua cangkang album panjang, masing-masing berjudul Self-Titled (2007) dan Lantai Merah (2009). Dwi kreasi sonik yang menggemakan mimpi dan aspirasi, termasuk juga dalam urusan mengencangkan status mereka sebagai band yang patut beroleh centang biru di percaturan musik dalam negeri.

(Jakarta)
THE PITCH
Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Ade Firmansyah (@adefsyh)
8
The Pitch | Monkey to Millionaire - Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah

Di bab awal tahun 2024, SelfTitled dan Lantai Merah dilahirkan kembali dengan rupa dan sensasi yang baru, yakni perwujudan dalam format fisik tergagahnya berupa vinyl atau piringan hitam.

Format kelahiran kembali dua artefak ini merupakan kerjasama Monkey to Millionaire dengan PHR. Records label berbasis di Senayan dan Bintaro, Jakarta, yang berfokus pada pencetakan album musik dalam bentuk vinyl. PHR juga merupakan sub dari unit bisnis PHR Pressing, pabrik piringan hitam pertama di Indonesia sejak hampir setengah abad, tepatnya setelah perusahaan plat merah Lokananta (Solo, Jawa Tengah) berhenti mencetak vinyl pada tahun 1974. PHR Pressing resmi dibuka awal Agustus 2023 di Kawasan Industri Mutiara Dadap Kosambi, Kabupaten Tengerang, Banten.

Perilisan piringan hitam kedua album ini dalam hematnya menyusul cetakan awal yang dikenalkan melalui format cakram padat, digital, dan kaset pita. Cakram padat atau

CD Self-Titled dirilis secara mandiri, sementara cakram padat dan digital Lantai Merah dikibarkan di bawah

panji Sinjitos Records. Kolega independent bernama Langen Srawa Records lantas ditunjuk Monkey to Millionaire guna menyebarluaskan kedua album itu dalam wujud kaset pita, termasuk menyiarkan format

digital khusus Self-Titled yang sebelumnya memang hanya bisa dinikmati dan menyebar melalui

cakram terbatas.

Menyoal lahir kembali. Dalam falsafah tiga karakteristik keberadaan, lahir kembali atau perwujudan kembali adalah terlahirnya kembali makhluk menjadi makhluk jenis tertentu setelah mengalami kematian, dengan proses kemunculan dan bangkitnya kesadaran pada tahap konsepsi, pembentukan, terwujudnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan perolehan landasan-landasan indra. Dengan

DCDC MAGAZINE 9

kata lain, kelahiran kembali sama halnya dengan keberadaan, keberlanjutan atau berlangsungnya kembali kehidupan makhluk di alam kehidupan setelah mengalami “kematian”.

Jika diikatkan dengan falsafah dimaksud, kedua album awal Monkey to Millionaire ini serupa makhluk hidup, bahkan perangainya mampu “menghidupi” kehidupan dari makhluk hidup itu sendiri, baik untuk personel atau para pendengar setia SelfTitled dan Lantai Merah. Tapi untuk konteks keduanya, statusnya jelaslah tidak mengalami fase kematian. Pun kelahiran kembalinya bukan karena sudah wafat. Melainkan sebuah perayaan tentang keberadaan, keberlanjutan serta mengawinkan landasan-landasan indra masa lalu dan masa kini. Landasan-landasan yang di dalamnya berupa letupan melodi, memori, dan momen yang sudah semestinya dilestarikan dengan bentangan waktu yang tak berbatas.

Moda kegembiraan, menuangkan pikiran serta aspirasi adalah 3 hal kunci dari lahirnya album-album musik klasik ini. Tidak lebih. Bahkan cenderung tidak memiliki tendensi pretensius. Mengalir jernih saja dari

hulu ke hilir. Kalaupun ada ambisi, mungkin, lebih kepada momentum yang melatarbelakanginya atau katanlah hanya sebagai salah satu wadah letupan ekspresi dari gejolak kawula muda yang mencintai musik. Faktanya, album-album ini memang dikerjakan ketika para personel Monkey to Millionaire tengah duduk di bangku perkuliahan. Fase kehidupan dengan letupan energi yang cenderung masih terbelit dengan banyak pertanyaan dan keresahan tentang apa pun. Tapi di saat yang bersamaan juga terkadang masih melekat dengan minimnya ambisi yang membabi buta. Kumaha Engke bukan Engke Kumaha, adalah idiom yang mungkin saja mereka emban. Menjadi hal yang wajar jika kemudian album-album ini tidak berdekatan dengan ekspektasi berlebih dari para empunya.

Kejernihan itu pula yang segera setelah album-albumnya dilepas mampu mengukirkan konteks “keberadaan” juga menyengat dengan kadar yang tidak biasa. Publik musik dibuat menoleh, salah satu musababnya karena presentasi musik yang dimainkan oleh Monkey to Millionaire menjadi alternatif pilihan. Rock sarat distorsi

The Pitch | Monkey to Millionaire - Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah 10

dan tetap bisa dilafal dengan mudah karena berperisakan hook yang catchy adalah unsur-unsur kekuatan dari setiap karya yang disuguhkan dalam album-album ini. Kemurnian yang membuat peringkatnya berada di posisi yang istimewa sekaligus sebagai penanda zaman yang sahih.

Jika terpaksa harus membandingkan, dan tentu saja dengan tanpa

bermaksud mengucilkan Self-Titled, Lantai Merah adalah album yang jauh lebih dikenal publik dibandingkan dengan debut tanpa namanya itu. Menolehnya publik kepada Monkey to Millionaire juga baru benar-benar terasa ketika album kedua ini hadir. Alasannya, mungkin saja karena sophomore ini dilepas setelah nama mereka mulai mentereng dan santer dibicarakan seantero raya pasca memenangkan ajang bergengsi “L.A. Light Indiefest” edisi kedua pada tahun 2007. Perhelatan yang juga bisa dibilang merupakan salah satu produk kompetisi sekaligus tolok ukur yang pada eranya disinyalir berhasil melahirkan band-band independent mumpun.

Dan lagi, panjang tangan dari keikutsertaan di perlombaan itu, Monkey to Millionaire mendapatkan kesempatan mengenalkan

musiknya secara meluas dengan keterlibatannya di album kompilasi

L.A. Light Indiefest - Compilation Album Vol. 02, album rembukan dari para finalis L.A. Light Indiefest 2007 yang efek kemunculannya seolah menjadi angin segar bagi publik atas situasi dan tawaran musik—terlebih di pasar arus utama, yang itu-itu saja dan kurang bernyawa.

Berhubung keluar sebagai pemenang, Monkey to Millionaire mendapatkan keuntungan lain dan lebih. Lagu yang dicatutkan mereka di kompilasi, “Rules and Policy”, ditunjuk sebagai single jagoan dan mendapatkan hadiah berupa video klip dan diputar di stasiun-stasiun televisi swasta. Televisi sendiri adalah salah satu sarana promosi paling masuk akal dan lumayan tepat guna pada waktu itu, era di mana MTV juga masih hadir dan mengudara sebagai salah satu opsi mesin pelacak band-band baru yang berkualitas.

“Rules and Policy” adalah salah satu bagian dari materi album Self-Titled, sebetulnya.Tapi banyak publik musik, terutama di luar Jakarta, beranggapan bahwa karir Monkey to Millionaire baru benar-benar dimulai dari ajang kompetisi yang

DCDC MAGAZINE 11

diselenggarakan oleh produsen rokok terbesar itu. Boleh jadi karena pada periode tersebut sumber informasi juga belum mudah dikonsumsi, jaringan internet belum sepenuhnya bermanifestasi di dalam ponsel sebagai kebutuhan sehari-hari, dan media-media (yang menginformasikan musik arus pinggir) belum menjamur, yang setidaknya menyebabkan album

Self-Titled tidak terlalu berbunyi dan dikenal publik. Belum lagi sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, realitanya, cakram padat Self-Titled hanya beredar di kalangan terbatas, digandakan secara mandiri dengan format CD-R, yang tak ayal membuat rupa fisiknya sangat sulit untuk dicari, bahkan seperti yang segan menampakkan batang hidungnya.

Jika merujuk pada presentasi dan esensi musikal, dalam Self-Titled, Monkey to Millionaire menggelorakan fusi rock mentah a la Weezer dan corak band-band daratan Britania Raya seangkatannya, lirik berbahasa Inggris, lengkap dengan ke tidak beruntungan dan keterbatasannya menyeruak di tengah publik.

Sementara di Lantai Merah, mereka melahirkan formula yang terkesan lebih otentik dan kompleks dari debutnya itu atau level lanjutan dari jurnal musikal ke arah yang semakin matang. Syair di Lantai Merah juga mayoritas ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu formula yang berpeluang besar mampu dengan mudah diserap oleh mayoritas pendengar musik lokal. CD-nya pun menjalar ke berbagai records store melalui jaringan distribusi Sinjitos Records, termasuk distribusi besar seperti Disc Tarra. Peluang album ini dikenal semakin terbuka lebar, dan peluang itu berhasil Monkey to Millionaire toreh dan ciptakan.

Album ini juga lahir di tengah situasi kreativitas yang memuncak dengan penambahan pengalaman dalam banyak hal, baik dari segi teknis produksi atau dalam urusan penulisan lagu. Alhasil, tak mengherankan jika Lantai Merah lantas dinilai sebagai album yang padu. Karena di dalamnya memang berisikan deretan lagu penggugah hati dengan corak aransemen musik yang tepat guna, eksekusi

Merah 12
The Pitch | Monkey to Millionaire - Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna

audionya yang berbunyi nyaring nan gemerincing, lengkap dengan tema

tentang hidup yang beramukan rimarima berpetuah. Larik-larik itu tertulis indah nan artikulatif, penuh dengan metafora tapi sekaligus berdempetan dengan pengalaman banyak orang, menjalar, dan intens, termasuk bertaburnya pemilihan kata-kata yang cantik dan dahsyat.

Tidak berlebihan juga rasanya jika album ini disematkan sebagai album yang paripurna dan perlu terus dirayakan, karena kemunculannya merupakan kontinum waktu mengenai perayaan dan pertanyaan hidup itu sendiri, yang nyatanya juga (masih dan berhasil) mengguncangkan dengan sangat keras. Menjadi bahan bakar perenungan atas pelbagai pemikiran mengenai arunganarungan perjalanan kehidupan, bahkan bertahan, dan tetap relevan walaupun roman terbaru dan abad sudah berganti-ganti.

Lantai Merah, seyogianya memiliki catatan penting lainnya tersendiri, yakni perihal formasi awal sekaligus terbaik Monkey to Millionaire. Wiznu Adji pada vokal dan gitar, Aghan Sudrajat sebagai sosok di balik dawai baja empat senar, dan Emir

Kharsadi yang mengemban tugas di belakang set drum dengan pukulanpukulan menohoknya. Anggota yang disebutkan terakhir belakangan mengundurkan diri karena kesibukan, circa 2012. Itu artinya Lantai Merah adalah album terakhir Monkey to Millionaire dengan formasi jempolan ini.

Sepeninggal Emir Kharsadi, Monkey to Millionaire sendiri sempat mengalami kepincangan selama beberapa tahun, sebelum akhirnya memutuskan jalan berdua, sampai sekarang. Format duo ini melahirkan jurnal album Inertia (2013), Tanpa Coma (2017), Bipolar (2019), dan yang terbaru album pendek bertitel, The Golden Sound (2022). Belakangan mereka juga berjalan menggunakan kaki baru dengan masuknya Raveliza sebagai pengisi dan pelipur lara kekosongan posisi yang ditinggalkan departemen pukul. Namun, statusnya sejauh ini merupakan drummer sesi/tambahan.

DCDC MAGAZINE 13

Bagi sebagian orang, keberadaan

Self-Tiled dan Lantai Merah

mungkin saja ganjil. Tapi satu hal, setuju atau tidak, kedua album ini berkesempatan membawa kembali ke momen-momen yang membentuk Monkey to Millionaire dan menjadikan mereka di hari ini.

Atau dari kacamata yang paling fundamental, lagu-lagu yang ada di dalamnya dapat menjadi jembatan yang menghubungkan antara masa lampau dengan masa sekarang. Barangkali jika kita di hari ini adalah hasil dari kita di masa lalu, maka kedua album ini setali tiga uang dengan frasa dimaksud.

Terlepas dari berbagai sudut penglihatan mengenai album awal

Monkey to Millionaire ini, termasuk penglihatan personal, memorimemori yang terpatri di dalamnya rasa-rasanya perlu untuk digali kembali dan dibagikan ulang, karena sejarah penting sudah selayaknya diperlakukan demikian, bukan?

Apalagi Monkey to Millionaire masih berdiri kokoh hingga detik ini, terus bertumbuh dan melahirkan banyak kemungkinan yang sepertinya akan diupayakan bisa menemani saya, anda, atau kita semua, sampai 15 tahun ke depan, 15 tahun ke depannya lagi, dan seterusnya,

dan seterusnya. Dan berikut adalah upaya menggali ulang sejarah penting itu. Upaya yang kami rasa perlu disajikan dengan bentuknya yang paling gamblang dan apa adanya: tanya jawab.

Fyi, piringan hitam dari kedua album ini sudah habis terjual, bahkan dalam waktu kurang dari 10 menit sejak pra-pesannya dibuka di media sosial Instagram @phrsenayan pada 27 Desember 2023 pukul 1 siang. Itu artinya sekali lagi perlu ditekankan lagi, bahwasanya SelfTiled dan Lantai Merah adalah album musik yang penting dan bukan sembarang…

*Sesi wawancara dilakukan melalui

surel pada hari Kamis, 18 Januari 2024, atau berjarak lima hari dari “Vinyl Release Party” yang digelar di kawasan Bintaro, Jakarta. Masih banyak hal yang ingin ditanyakan lebih dalam, sebetulnya, tapi karena keterbatasan ruang, jarak, dan waktu, biarkan saja pertanyaan-pertanyaan itu saya simpan dulu hingga waktunya benar-benar tiba dan berpihak.

Pitch |
Berwarna Merah 14
The
Monkey to Millionaire - Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama

“Boleh kan bikin album yang isinya cuma kumpulan lagu yang musiknya simpel dan liriknya nggak berat-berat gini?” - Wiznu Adji

Pertama-tama, selamat untuk perilisan vinyl dari 2 album

Monkey to Millionaire: Self-Titled dan Lantai Merah… Jadi, apa yang ada dibenak kalian ketika albumalbum ini akhirnya mewujud menjadi piringan hitam?

Wisnu Adji: Pastinya kita seneng banget album Lantai Merah sama Self-Titled bisa jadi vinyl.

Apakah rencana perilisan format vinyl ini sudah ada sejak jauh-jauh hari dan terpikirkan sebelumnya?

Wisnu Adji: Perencanaan rilis vinyl justru datang dari PHR. Waktu itu (pihak) PHR menghubungi Aghan (Sudrajat). Kalau dari Monkey-nya sendiri, adanya keinginan Lantai Merah dibuat vinyl itu sudah lama,

tapi belum ada kesempatannya. Jadi tawaran dan perencanaan dari PHR ini semacam gayung bersambut yang enggak diduga-duga saja sama kita.

Sejak diumumkan dan resmi dijual, kedua vinyl ini ludes, bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Bagaimana kalian merespon situasi ini? Akan digandakan lebih banyak lagi atau sudah lebih dari cukup?

Wisnu Adji: Soal ludes cepet, jelas kita seneng banget. Kalau soal merilis versi bundle lebih banyak lagi, terakhir ngobrol sama pihak PHR, sih, mereka benar-benar enggak akan rilis lagi yang versi bundle-nya, jadi (rilisan) ini memang special edition.

DCDC MAGAZINE 15

Menurut kalian sendiri, mengapa kedua album ini begitu diburu oleh publik musik?

Wisnu Adji: Wah, jujur gue juga nggak tahu kenapa album-album itu dicari. Tapi tahu (bahwa) itu jadi album yang ternyata ngebekas di orang yang ngedengerin, sudah jadi hal yang menyenangkan banget buat gue.

Apa sisi istimewa format vinyl dari kedua album ini dibandingkan format-format fisik (CD, Kaset) dari yang sebelumnya pernah dirilis?

Aghan Sudrajat: Remastered pasti dong. Buat kebutuhan duplikasi vinyl. Dan terbatas juga produksinya.

Mengapa rilisan vinyl ini harus didapatkan secara paketan?

Adakah wacana khusus terkait metode jual bundle tersebut?

Aghan Sudrajat: Orang-orang mungkin hanya tau kita dari Lantai Merah saja, jadi kita sekalian mau kasih tau kalau ada rilisan lain sebelum album itu.

Adakah statement lain mengapa dua album ini perlu dicetak dalam format vinyl?

Aghan Sudrajat: Kita selalu pengin, sih, album-album kita ada dalam berbagai macam format. Kebetulan yang belum kesampaian kemarinkemarin, ya, dalam format vinyl.

Lalu apa rencana yang akan kalian lakukan setelah kedua album ini dirilis dalam format vinyl?

Aghan Sudrajat: Album baru, sepertinya.

Btw, apakah kalian juga

mengoleksi vinyl? Adakah album musik dalam format vinyl yang juga mempengaruhi kalian untuk akhirnya ingin memiliki album dengan format serupa untuk band sendiri?

Wisnu Adji: Kalau gue, soal mengoleksi vinyl, sih, enggak. Cuma gue pengin aja seandainya Monkey ada dalam semua tipe rilisan. Kemarin ada CD, ada rilisan digital, kaset, dan sekarang vinyl juga. Kalau gue ngeliatnya, kayaknya seru dan lengkap saja.

The Pitch | Monkey to Millionaire - Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah 16

Perihal lahirnya kembali pabrik piringan hitam di Indonesia, PHR Pressing, apa yang kalian lihat dengan masa depan format rilisan fisik ini di kancah musik Indonesia? Apakah akan menjadi format yang digemari lagi oleh anak muda yang sejatinya hidup di era yang serba digital?

Aghan Sudrajat: Senang, akhirnya ada lagi tempat produksi vinyl di Indonesia. Ya, semoga jadi semakin ramai lagi.

“Pas bikin album ini kita nggak berharap macam-macam dan nggak ada ekspektasi apa pun”. - Aghan Sudrajat.

Kita masuk ke pembahasan lebih merinci dari kedua album ini, ya. Self Titled dilepas 2007 silam dan disusul Lantai Merah dua tahun setelahnya. Kedua album ini sudah berusia belasan tahun… Saat pertama kali rilis ke publik, apa rasanya? dan bandingkan euforianya ketika album ini mewujud vinyl?

Wisnu Adji: Pertama kali rilis album Self-Titled ke publik awal-awal, tuh, rasanya pasti senang, ya, karena waktu itu ngerasa, “wah band kita bisa ngeluarin CD”. Kalau sekarang rasanya juga sama, “wah band kita ada rilisan vinyl-nya”. Ha-ha-ha.

DCDC MAGAZINE 17

Berapa lama proses dari kedua album ini dibuat? Mulai dari rancangan, lalu direkam sampai akhirnya benar-benar rampung?

Wisnu Adji: Berapa lama prosesnya jujur enggak begitu ingat. Tapi seingat gue kalau soal ngerancang gitu-gitu, kayaknya kita enggak (terlalu) memikirkan hal tersebut waktu itu, banyak hal yang lebih ngikutin flow-nya kita saja yang kita temui di tiap rekaman.

Secara metode, baik Self-Titled maupun Lantai Merah, bagaimana eksekusi teknisnya? Atau mengalir begitu saja?

Wisnu Adji: Waktu itu metodenya lebih bawa lagu masih format gitar sama vokal aja. Terus iseng-iseng bawain di studio, lalu coba-coba cari drum, bass, dan melodinya. Waktu direkam, ada yang mainin seingetnya waktu di studio latihan, ada yang tiba-tiba berubah pas di studio rekaman, se-random itu saja, gak ada metode khusus.

Di saat proses pengerjaan albumalbum ini, apa yang ada dibenak kalian di usia 20-an awal (saat kuliah) itu? Dan seperti apa situasi dan hiruk-pikuk industri musiknya?

Wisnu Adji: Proses kita dari dulu sampai sekarang masih enggak begitu banyak berubah, selalu menyenangkan, sih, buat gue. Kita selalu coba cari (cara) gimana biar di tiap lagu ada part seru dari suasana lagunya sama dari segi part yang kita mainin, gimana caranya part yang kita mainin enggak nyusahin pas manggung, tapi masih bisa ngebuat lagunya kedengeran pas, enggak berlebihan aja. Kalau soal hiruk pikuk industri yang gue liat waktu itu lebih ke industri side stream, banyak banget band-band keren yang gue suka dari dengerin album sampai nontonin live-nya.

Pengaruh musik alternative 90-an semacam Weezer dan sejenisnya terasa sangat kental di album pertama, hal itu semakin menyeruak lagi dengan penggunaan lirik berbahasa Inggris. Ke mana arah kiblat musikal Monkey to Millionaire di album ini, sebenarnya?

The Pitch | Monkey to Millionaire - Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah

18

Wisnu Adji: Iya. Weezer, Blue album emang termasuk salah satu album yang sering banget kita putar waktu itu dan kita dengerin. Album itu lumayan ngebuat kita selalu suka sama lagu-lagu yang to the point, enggak banyak macem-macem, mungkin secara nggak sadar itu juga jadi kiblat kita dalam ngebuat lagu kali, ya.

Dan sebagai album debut, apa yang ingin kalian buktikan pada saat itu?

Wisnu Adji: Bukan pengin ngebuktiin, tapi waktu itu, gue cuma suka nanya aja ke diri sendiri, “boleh kan bikin album yang isinya cuma kumpulan lagu yang musiknya simpel dan liriknya nggak berat-berat gini?” Ha-ha-ha.

Adakah fakta menarik yang bisa diceritakan ke publik terkait proses kreatifnya atau hal-hal lain yang berkaitan dengan album SelfTitled?

Wisnu Adji: Hmmm fakta menarik album Self-Titled. ya... Album ini dulunya kita perbanyak sendiri dari komputer di kamar Emir, satu-satu, sampai komputer Emir hang. Ha-haha.

Selanjutnya, di album Lantai Merah kalian bisa dibilang banting setir dengan fusi rock yang lebih luas dan jauh lebih melodius (mudah dinyanyikan), dan produksi audio yang lebih gemerincing. Apa yang mendasari berbagai evolusi ini?

Wisnu Adji: Proses audio yang lebih “gemerincing” sebenarnya itu ide mixingan dan mastering dari si Iyub, sih, karena di album Self-Titled yang menggarap mixing mastering juga si Iyub. Tapi kita enggak tau alasan kenapa di Lantai Merah Iyub buat lebih beda dari yang Self-Titled-nya.

Kalau secara musikal, musik apa yang tengah giat kalian dengarkan ketika proses pembuatan Lantai Merah berlangsung terutama yang akhirnya kalian adopsi (jika ada)?

Wisnu Adji: Musik yang gue dengerin paling Nirvana, Weezer, Shed Seven, Blur, Oasis, ya, bandband era itulah... Adopsi yang bisa gue ambil cuma itu tadi, soal musik yang to the point aja, gak neko-neko kali, ya.

DCDC MAGAZINE 19

Lalu apa yang kalian maksud dengan diksi dan tajuk ‘Lantai Merah’ itu sendiri, sebenarnya? Dari mana idenya muncul? Dan apa yang kalian harapkan dari respon publik?

Wisnu Adji: Kata-kata Lantai Merah itu idenya Aghan, sebenarnya. Waktu itu kita disuruh cari nama album. Si Aghan pengin, “ambil aja dari penggalan lirik lagu-lagu yang ada di album deh”. Akhirnya, kayaknya, dia pilih dari penggalan lirik “merahi lantai lagi” dari lagu “Merah”, diubah jadi “Lantai Merah”. Nama itu dibuat bukan buat pengharapan respon publik, sih, tapi lebih ke biar ada judul albumnya aja.

Di album ini, kalian juga mulai menulis lirik berbahasa Indonesia, bahkan lebih dari setengah (baca: 6 trek) dari total 10 lagu. Apa alasannya?

Wisnu Adji: Kalau ini karena diminta sama Iyub yang jadi produser kita di Lantai Merah waktu itu.

Menyoal Joseph “Iyub” Saryuf, mengapa ia yang ditunjuk menjadi produser musik atau sosok yang kalian percaya untuk menukangi album ini? Seperti apa sosok beliau di mata kalian? Dan dari mana awal kalian saling mengenal satu sama lain?

Wisnu Adji: Awal kenal Iyub, karena kita suka latihan di Sinjitos. Kenapa kita mau coba latihan di Sinjitos karena kata kakaknya Aghan, di studio itu, ada gitar (Fender) Jaguar yang bisa dipake kalau buat yang latihan di sana. Jadinya mau ngerasain main pake gitar Jaguar. Ha-ha-ha. Karena sering latihan, jadi kenal Iyub, akhirnya, Iyub jadi sering dengar lagunya, terus diajakin rekaman di situ. Kalau soal sosok Iyub, di mata kita dia tuh orangnya supel dan kocak aja (waktu itu kita liatnya, ya) Ha-ha-ha. Dan open buat masukan-masukan ide lagu yang kebetulan kita cocok juga tipe masukan-masukannya.

20
The
Pitch | Monkey to Millionaire - Merayakan Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah

Dan perihal gaya penulisan terkhusus lirik berbahasa

Indonesia yang kalian susun itu adakah sumber rujukannya?

Wisnu Adji: Penulisan lirik, biasanya gue selalu cari kata-kata yang kirakira enak dinyanyiin buat nada nyanyi yang udah ditemukan lebih dulu saja, awalnya. Baru habis itu dikembangin lagi tanpa mengganggu nada nyanyi yang sudah pakem.

Aghan Sudrajat: Enggak ada rujukan yang khusus, sih, semua dibikin semi spontan aja. Mengacu pada pengalaman pribadi.

Banyak kritik dengan energy satir yang dimuntahkan dalam lirikliriknya, salah satunya tercium di nomor pembuka, “Fakta dan Citra”. Seolah ada kemuakaan pada orang-orang adigung dan orang yang acapkali mengaburkan fakta demi menjaga citranya—bisa juga jadi lagu politik? Siapa yang kalian kritik dan maksud, termasuk di tema lirik kritik lainnya?

Aghan Sudrajat: Enggak mengkritik, tapi bukannya kita semua juga enggak suka ya dengan orang yang tingkahnya seperti itu? Kita hanya menyampaikan aja lewat lagunya. Dan ini hanya apa yang kita rasakan aja, sih, pada waktu itu. Enggak menunjuk ke suatu keadaan atau fenomena tertentu.

Di sisi yang lain, Lantai Merah juga menampilkan porsi pengalaman yang sangat personal, muram tapi membangkitkan. “Mereka yang kita sayangi yang paling mampu melukai” dalam “Merah” adalah salah satu kalimat paling mutakhir yang pernah saya dengar di sirkuit musik lokal, lagu patah hati terbaik! Dari mana mendapatkan kalimat sakti itu? Ini murni urusan asmara? atau kehilangan macam apa yang dimaksud?

Aghan Sudrajat: Kata siapa itu lagu patah hati? Ha-ha-ha…

DCDC MAGAZINE 21

Selain “Merah”, tersuguh juga lagu romantik dengan wujud yang tak sama di “Strange Is the Song in Our Conversation”. Pertanyaannya, bagaimana proses kurasi tema-tema sisi-sisi personal semacam ini berlangsung, dan kemudian menjadi ‘harus atau layak’ untuk dikonsumsi publik? Apakah kalian membuat pembatasnya?

Aghan Sudrajat: Enggak ada kurasi apa-apa, sih, yang penting cocok sama mood lagu yang dibikin, ya, sudah, kita bikin saja.

Trek “30 Nanti” juga perlu di garis bawahi, dan bisa dibilang tema yang diusung tergolong unik, sebuah lagu tentang bagaimana manusia bertumbuh dengan bungkus wejangan dan ramalan akan usia kepala tiga yang perlu diwaspadai. Siapa subjek Ellie yang dimaksud? Dan apa fenomena yang anda lihat dengan lagu “30 Nanti” ini?

Aghan Sudrajat: Ellie itu adalah kita semua. Kita semua pernah jadi Ellie (sebelum kita umur 30 tapi, ya)

Terkhusus Lantai Merah, album ini bisa dibilang adalah potret zaman, termasuk kemampuannya mengubah banyak hidup orangorang yang mendengarnya, bahkan berperan sangat besar untuk berbagai perubahan kehidupan seseorang.

Apakah status yang demikan menjadikannya itu semacam beban?

Aghan Sudrajat: Enggak ada beban apa-apa, sih, untuk kita, karena pas bikin album ini kita juga enggak berharap macam-macam dan enggak ada ekspektasi apa pun. Di kepala kita hanya ada “asik ada album kedua”.

Sama halnya dengan Self-Titled, adakah fakta menarik yang bisa diceritakan ke publik yang berkaitan dengan album Lantai Merah?

Aghan Sudrajat: Album itu adalah album terakhir di mana format kita masih bertiga.

The Pitch | Monkey to Millionaire - Merayakan Kelahiran Kembali Lantai Tanpa Nama Berwarna Merah 22

Hal lain yang juga membuat penasaran. Dalam kemasan CD Lantai Merah. Mengapa kepala manusia bertopeng monyet dibuat terpisah dengan badannya?

Dalam hal ini manusia bertopeng monyet ditempelkan di area mika CD dengan sticker, barulah ketika kita membuka sleeve-nya ternyata nampak gambar badan manusia berbaju putih tanpa kepala (leher manikin) lengkap dengan ekspresi tangan mengangkat ekspresi devil horn. Apa makna visual itu?

Aghan Sudrajat: Enggak ada maksud apa-apa, sih, hanya pengin bikin artwork yang pada waktu itu agak berbeda dengan yang lain, tapi gak ada maksudnya. Ha-ha-ha.

Bila harus menilik Monkey to Millionaire dari album-album ini, apa yang ingin dirias ulang?

Aghan Sudrajat: Enggak ada sama sekali. Sudah pas semua.

Menurut kalian, di mana konteks relevansinya kedua album ini di era sekarang?

Wisnu Adji: Wah, di mananya, ya? mungkin dari musik yang simpel sama liriknya yang bahasannya masih ada issue-nya sekarang kali.

Terakhir, kalau harus memilih, Self Titled atau Lantai Merah?

Aghan Sudrajat: Saya pribadi lebih memilih album Inertia (album ketiga, rilis tahun 2013)

“Proses kita dari dulu sampai sekarang masih nggak begitu banyak berubah, selalu menyenangkan”

DCDC MAGAZINE 23
. - Wiznu Adji

Isyana Sarasvati

(Bandung-Jakarta)

EP my Mystery

Mewujud

Menjadi Piringan Hitam

Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Babam Bramaditia (@babambramaditia)

Kabar membahagiakan datang dari solois multitalenta, Isyana Sarasvati. Pasalnya, EP paling baru dengan tajuk my Mystery dari musikus asal Bandung itu mewujud menjadi vinyl atau piringan hitam—sebelumnya hanya tersedia dalam format digital sejak dikenalkan ke publik pada pertengahan tahun 2022 lalu.

FEATURES
Features | Isyana Sarasvati – EP - my Mystery 24

Kabar ini tentu tidak hanya sekadar

sebuah peluncuran fisik belaka, tetapi juga sebuah perayaan bagi penggemar musik yang setia, terkhusus lagi bagi para kolektor vinyl yang menyukai sentuhan klasik

dalam menikmati kemurnian dari

karya seni musik itu sendiri.

Sejatinya vinyl my Mystery dirilis di bawah panji

La-La Records

dan label rekaman

mandiri milik Isyana

Sarasvati bernama

REDROSE

Records. Adapun secara wujud, tampilannya terkemas dalam 2 versi, yakni versi Indonesia dan juga versi Internasional. Kedua versi tersebut masing-masing dijual dengan perbedaan warna dan juga kemasan.

Bagi kacamata La-La Records, musisi sekaliber Isyana Sarasvati memang sudah selayaknya memiliki rekaman fisik untuk karyanya yang luar biasa. Mereka menganggap bahwa produksi rekaman fisik EP my Mystery dalam bentuk vinyl adalah salah satu cara paling luhung guna mengapresiasi musik indah sang diva.

Tampak Dekat Cakram Piringan Hitam my Mystery

“Isyana Sarasvati sudah sepatutnya mendapatkan apresiasi untuk karya-karyanya dalam berbagai hal, salah satunya adalah dengan memiliki sebuah piringan hitam untuk dikoleksi atau bahkan didengarkan menggunakan cara yang berbeda dari yang biasanya,” jelas pihak La-La Records.

DCDC MAGAZINE 25

Vinyl my Mystery, lanjut mereka sudah bisa didapatkan di layanan jual beli milik La-La Records dengan banderol harga Rp. 475.000. Dan menurut rencana vinyl ini juga akan dibawa dan dijual oleh Isyana

Sarasvati di Jepang bersamaan dengan konser spesialnya di Yokohama dan Tokyo dalam waktu dekat.

“Senang banget karena bisa punya vinyl itu sebenarnya sudah citacita banget dari aku pertama kali berkarya dan merupakan salah satu cita-cita musisi juga. Sekarang— setelah hampir sepuluh tahun

berkarya—akhirnya rilis vinyl karya sendiri. Semoga teman-teman juga bisa memiliki dan ikut menikmati hasil dari vinyl-nya,” ujar Isyana Sarasvati.

Tampilan

Isyana kemudian mengatakan bahwa proses menggarapnya menyenangkan, “Aku juga ikut terlibat dalam desainnya, ikut memberikan masukan-masukan, jadi pasti masih terasa personalnya. Doain saja kalau karya-karya yang lainnya juga dirilis dalam format vinyl.”

Features | Isyana Sarasvati – EP - my Mystery 26
Depan Piringan Hitam my Mystery. Sampul oleh Babam Bramaditia (@babambramaditia)

Menurut pengakuan Isyana, my Mystery sendiri sejauh ini adalah

karyanya yang paling personal. Dalam konteks dimaksud, ia menantang dan berani untuk

berkonflik dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, melalui EP ini, Isyana hendak bercerita mengenai ragam konflik dan dorongan bawah sadar yang kerap ia rasakan dan ingin meluap ke permukaan.

EP my Mystery dalam hematnya memuat total 5 lagu tematis, masingmasing berjudul “Unlock The Key”, “Il Sogno”, “My Mystery”, “Intro: If I Can Turn Back Time” dan “Prelude

I” yang dikerjakan Isyana bersama grup musik Mantra Vutura.

Adapun gaya pendekatan atau warna musik utama dari EP ini berupa presentasi bebunyian progresif rock liar sekaligus kompleks, lengkap dengan beragam bentuk atau corak musik lain yang membuat pangling (juga sempat mengejutkan publik), tetap nikmat untuk didengar, dan tentu saja otentik. Kemasan musik njelimet ini merupakan kerjasama dan pemikiran Isyana bersama produser bertangan dingin bernama Kenan Loui.

DCDC MAGAZINE 27

FEATURES

NIKI

(Indonesia-US)

“24”, Lagu Baru yang Terinspirasi

dari Joni Mitchell

Teks oleh Tiar Renas Yutriana

Foto oleh Yudo Kurita (@yudo_kurita)

Penyanyi, penulis lagu, sekaligus produser kelahiran Jakarta yang kini menetap di Los Angeles, US, NIKI, mengawali tahun 2024 dengan merilis single anyar berjudul “24”. Membawa usungan tema “quarter life crisis”, perilisan ini merupakan era sonik baru bagi NIKI: lirik yang brilian dan kepekaan melodi yang luar biasa, lengkap dengan musik yang baginya, terdengar seperti rumah sendiri

Features | NIKI – “24”, Lagu Baru yang Terinspirasi dari Joni Mitchell 28

Lagu yang dilepas secara daring melalui bendera via 88rising ini sejatinya beroleh inspirasi dari musikus sekaligus pelukis, Joni Mitchell. Inspirasi dimaksud merupakan pengalaman sekaligus penglihatan NIKI secara langsung ketika ia berkesempatan menyaksikan musisi asal Kanada itu membawakan lagu berjudul

“Both Sides Now” di atas panggung Newport Folk Festival 2022.

“Saya melihat pertunjukan itu dan sangat tersentuh olehnya, hingga membuat saya langsung menangis. Saya seakan tersambar petir inspirasi dan langsung berlari ke studio pribadi saya untuk mengambil gitar dan menulis lirik lagu ’24’,” kata NIKI.

DCDC MAGAZINE 29

Secara spesifik, lanjut NIKI, lagu

“24” adalah upayanya untuk menyintesis awal usia dua puluhan, dan lebih dalamnya terkait banyak pembelajaran yang mengajarkannya untuk selalu rendah hati dalam menjalani hidup—yaitu, belajar menerima berbagai nuansa dan gagasan bahwa hidup jarang sekali bersifat dikotomis.

“Setiap orang bisa menjadi banyak hal sekaligus. Dari sekian banyak pelajaran yang saya kumpulkan sejak menginjak usia 24 tahun, menurut saya itulah yang paling melegakan.”

NIKI ikut serta memproduseri

“24” bersama produser dengan nominasi Grammy, yakni Tyler Chester (Revealer karya Madison Cunningham) dan James Krausse. NIKI juga turut memainkan gitar–instrumen yang ia kuasai sejak satu dekade lalu. Sementara keterlibatan musikus lainnya datang dari multiinstrumentalis, Rob Moose (Bon Iver, Phoebe Bridgers, dan The National) yang berkontribusi dan mengaransemen sesi string.

Dari serangkaian peristiwa yang melatarbelakanginya, “24” adalah bukti bahwa NIKI terus berkelindan di industri musik dunia, dan di usia

yang terbilang masih muda, ia pun terus bergejolak untuk senantiasa menampilkan karya yang terus baru untuk para pendengar musiknya. Dan tentu saja dengan jagaan kualitas yang sangat ketat sebagai pijakan.

Sebagaimana kita ketahui, sejak meluncurkan EP Zephyr pada tahun 2018, NIKI tercatat telah membuat jejak yang kuat di kancah pop:

mengumpulkan basis penggemar global yang setia dengan lebih dari 2,1 miliar streams hingga saat ini dan mengukir sejarah sebagai artis Indonesia pertama yang tampil di Coachella.

Setelah merilis album debutnya yang menuai banyak pujian, MOONCHILD, NIKI merilis album sophomore yang semakin melambungkan namanya di tahun 2022, Nicole, sebuah karya mandiri yang ditulis seluruhnya oleh NIKI, dan menampilkan kepiawaiannya dalam menyajikan storytelling serta vokalnya yang ekspresif sekaligus hangat secara lebih lengkap dan matang. Menyusul perilisan album live pertamanya Live at the Wiltern, lalu tampil di NPR Tiny Desk (salah satu kanal YouTube nomor wahid di dunia), NIKI terus melaju tanpa henti dan membawa pertunjukan live-nya ke kota-kota di seluruh dunia dengan

Features | NIKI – “24”, Lagu Baru yang Terinspirasi dari Joni Mitchell 30

tajuk “The Nicole World Tour”. Tur yang tersebar di Amerika Utara, Asia, Australia, dan Eropa juga mencakup pertunjukan di festival seperti Lollapalooza dan Outside Lands, serta menjadi headliner di festival Head in the Clouds 88rising di NYC dan LA.

Di luar musik, NIKI juga menegaskan dirinya sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan dalam dunia fashion, dengan menghiasi halaman V Magazine, sampul Vogue Singapura, dan baru-baru ini menghadiri peragaan busana Chanel di Paris Fashion Week, tepatnya pada bulan Oktober 2023.

DCDC MAGAZINE 31

Bleach Bleach

Kugiran Revivalist

Hardcore Masa Kini

Kebangkitan kembali musik hardcore punk di Indonesia dewasa ini bisa dibilang sangatlah masif, variatif, dan juga kontroversial. Masifnya, para pengusung jenis musik asal San Francisco ini membeludak tanpa tedeng aling-aling, memancar ke berbagai sisi belantara musik lokal. Pun sama halnya dengan para penikmatnya, tua, muda, laki-laki juga perempuan, kaya atau papa, mereka semua berada di ruang kegemaran yang sama. Perlu contoh? Lazimnya, pemandangan dari setiap gigs hardcore belakangan kurang lebih: ratusan pasang mata yang bersigap memasang badan dan bersiap terbawa anggukan mengikuti irama cepat dan rancak hingga melakukan mosh dan tentunya two-step dance yang merupakan salah satu ciri khas dalam menikmati aliran tersebut. Seru, brutal tapi juga tetap aman terkendali.

(Bandung)
Q & A
Teks & Wawancara oleh Abraham Gerald Leingul Foto oleh Lucas Benedict (@lucasbenedicts)
Q&A | Bleach - Kugiran Revivalist Hardcore Masa Kini 32
Sampul State of Grace oleh IST.

Sementara sisi variatifnya, irama cepat dan rancak sebagai muara utama musikalnya didaur ulang dengan banyak pendekatan bebunyian. Tidak lagi, maaf, musik yang tipikal seperti sajian menu hardcore pada umumnya, tak terkecuali pada transformasi gaya berpakaian yang ditambal sulam sesuai perubahan trend dan kenyamanan pemakainya. Dan di sini pula sepertinya titik kontroversialnya bermula. Presentasi daur ulang ini banyak melahirkan cibiran dari para purist hardcore yang menilai bahwa musik/attitude yang dibawakan para revivalist hari ini bukanlah citra yang seharusnya dan sesungguhnya ditampilkan, bahkan cibiran ini memunculkan istilah atau umpatan “hardcore wangi”.

DCDC MAGAZINE 33

Bleach, adalah salah satu band yang rasa-rasanya tepat guna bila disematkan sebagai perwakilan dari fenomena tiga kata dimaksud. Bila generasi sekarang berbicara tentang produk bagus apa yang menyeruak ke permukaan dari hasil skena hardcore lokal, maka salah satu yang paling sering dibewarakan adalah kugiran asal Bandung ini. Setuju atau tidak, Bleach, memang moncer. Penggemar yang tidak sedikit, musik hardcore yang segar dan distingtif lengkap dengan sederet kontroversinya.

Bleach memulai perjalanannya di kancah musik pada akhir 2019 lalu, meskipun bisa dibilang masih anom, Bleach dengan mudah

mencuri perhatian publik music. Senjata utamanya adalah persona riff-riff gitar groovy dan upayanya menghilangkan paradigma orang tentang seperti apa seharusnya music hardcore itu dibawakan. Dalam konteks ini, grup yang beranggotakan Michael Sippan pada vokal, Kevin Raf Sanjani dan Krisna Rinaldi pada gitar, Axel Siagian pada bass, dan Muhammad Luthfi pada drum, ini dengan gagah berani membuat warna dan tema mereka sendiri.

Jejak Bleach sendiri sudah mencuri perhatian radar kami sejak November 2020, tepatnya ketika Bleach merilis EP debut tanpa nama berisikan 3 lagu yang dirilis oleh Husted Records, lalu dilanjutkan dengan kolaborasi mengejutkan berupa split EP multi dimensi bersama grup Hip-Hop, The Couch Club, beberapa single lepasan dan EP Chrome

Langkah paling ujung Bleach yang juga membuat kami mengerutkan alis (dalam konteks yang positif) adalah album panjang pertama mereka bertajuk State of Grace yang baru dilepas pada awal Desember 2023. Pasalnya, State of Grace merupakan suatu percobaan lanjutan Bleach untuk mendobrak batas dari hardcore itu sendiri dengan menggabungkan berbagai unsur musikal yang tidak terduga. Ditambah lagi, State of Grace juga menghadirkan kolaborasikolaborasi ciamik, bahkan hingga menembus batas generasi. Apa yang menjadi inspirasi dan motor bagi mereka dalam eksplorasi berkarya dan mendobrak pakem skena musik hardcore? Dan apa sebenarnya yang ingin mereka sampaikan melalui album baru mereka?

Q&A | Bleach - Kugiran Revivalist Hardcore Masa Kini 34

Kita mulai, ya. Sebelumnya selamat atas perilisan album

perdana kalian, State of Grace! Album yang bagi kami sangat fresh. Ke mana saja kalian?

Mengapa kalian baru merilis album ini pada 1 Desember silam, karena sepertinya para penggemar kalian sudah sangat menantikan album ini?

Michael Sippan: Sebelumnya terima kasih untuk teman-teman di DCDC Magazine. Album ini rencana rilis awalnya itu di awal 2023, sebenarnya. Sekitar JanuariFebruari. Cuma saat itu momennya berdekatan dengan Bulan Puasa dan Lebaran. Jadi, label kami mengusulkan untuk menunda perilisan menjadi sehabis lebaran. Ternyata sehabis lebaran pun kita masih sibuk menggarap video klip untuk lagu-lagu di album ini dan akhirnya albumnya baru benar-benar dirilis di Desember kemarin.

State of Grace bisa kami artikan sebagai keadaan yang telah terbebas dari dosa. Apa makna ungkapan State of Grace bagi kalian masing-masing?

Michael Sippan: Iya, benar. Kami mengartikan “State of Grace” sendiri sebagai sesuatu yang suci dan belum terpengaruh dari hal-hal apa pun. Karena ini album debut, kami juga berharap State of Grace bisa menjadi karunia buat kami dan orang-orang yang mendengarkan album ini.

Lalu apa alasan kalian dalam

memilih State of Grace sebagai judul dari album tersebut?

Michael Sippan: Fun fact, judul awal untuk album ini tuh bukan State of Grace, sebenarnya. Saat itu kami sudah mulai project untuk pembuatan cover-nya tapi setelah jadi ternyata

DCDC MAGAZINE 35

kami pikir-pikir lagi sepertinya cover saat itu tidak cocok untuk

menggambarkan album ini. Makanya dengan penggantian cover itu nama albumnya juga kami ganti dengan State of Grace. Karna State of Grace bisa sangat menggambarkan mood di album ini dari track 1 hingga 10.

Konon kalian sudah memulai pengerjaan album ini semenjak masa pandemi, ya? Boleh ceritakan bagaimana proses penggarapan State of Grace hingga akhirnya bisa rampung?

Kevin Raf Sanjani: Betul, mayoritas pengerjaan memang di lakukan sekitar tahun 2020-2021. Kami, biasanya berkumpul di rumah Krisna (Rinaldi) untuk mendengarkan beberapa referensi musik, menonton beberapa konser band favorit atau hanya sekedar mengobrol sambil membuat beberapa riff (gitar).

Karena banyaknya waktu luang pada rentan waktu tersebut tidak terasa terkumpullah beberapa lagu yang akhirnya ada dalam album State of Grace. Lalu kami memutuskan masuk studio untuk take drum pada pertengahan Agustus 2021.

Pada saat mendengarkan State of Grace, kami seperti mendengar akulturasi antara Helmet, DRAIN, dan juga Turnstile di album ini, boleh sebutkan beberapa inspirasi kalian pada saat proses pengerjaan album ini?

Kevin Raf Sanjani: Ya, mungkin, kami sedikit banyak mendengarkan Helmet dan DRAIN, tetapi pada rentan waktu tersebut ada beberapa band yang lumayan sering kami repeat di rumah Krisna, seperti album-album dari Higher Power, Culture Abuse, Trapped Under Ice, Expire, Mizery, Idles, King Krule, terlebih saat itu Turnstile baru saja merilis album Glow On, meskipun sebenarnya saya pribadi lebih suka Turnstile di era album-album awal mereka. Jadi, tidak dimungkiri band-band tersebut lumayan mempengaruhi kami dalam menulis materi, khususnya pada aransemen musik.

Q&A | Bleach - Kugiran Revivalist Hardcore Masa Kini 36

Michael Sippan: Ya, benar, pada rentan waktu itu kita lagi senangsenangnya juga mendengarkan musik grunge dan alternative rock seperti Alice in Chains sampai Jane’s Addiction, dan ide kami saat itu ingin memasukan unsur-unsur dari genre tersebut di materi album kami.

Dalam lini lirik, apa yang kalian berusaha ungkapkan atau ceritakan kepada para pendengar di album ini?

Michael Sippan: Lirik-lirik dalam album ini saya tulis saat masa-masa pandemi yang di mana pada saat itu sedang lockdown di mana-mana, dan menjadi sangat strict untuk keluar rumah. Keresahan-keresahan seperti merasa stuck dengan keadaan pandemi saat itu, sampai perasaan pasrah juga saya tuangkan ke dalam lirik album ini. Dan ada juga titik di mana harapan kalo pandemi itu bakal berakhir dan romansa yang terjadi di masa itu. Jadi album ini berisi lirik yang personal namun saya yakin orang-orang bisa relate dengan keaadan ini.

State of Grace juga menghadirkan beberapa kolaborator. Salah satunya dengan legenda musik rock Indonesia, Krisyanto pada trek terakhir, “Superficial Romance”, sisi menarik lainnya, kami cukup jarang mendengar Krisyanto menyanyikan lirik berbahasa Inggris. Apa pertimbangan kalian untuk berkolaborasi dengan beliau pada lagu tersebut?

Kevin Raf Sanjani: Ide tersebut datang secara tiba-tiba, sebetulnya. Saya pribadi ingin musik Bleach berada di antara hardcore punk, metal, dan grunge. Memang tidak spesifik dan terkesan abu-abu, tetapi itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kami mengajak Om Krisyanto pada trek “Superficial Romance”. Karena suara khas a la heavy metal dapat digabungkan dengan musik hardcore a la Bleach.

Ok. Apa yang kalian masingmasing ingin wujudkan dengan album State of Grace, baik itu secara personal dan juga untuk Bleach itu sendiri?

DCDC MAGAZINE 37

Kevin Raf Sanjani: Semoga bisa membuat yang lebih baik lagi untuk karya-karya kami yang selanjutnya.

Michael Sippan: Saya harap State of Grace bisa menjadi salah satu langkah awal untuk bisa mendengarkan musik yang kami bawakan dengan cakupan yang lebih luas lagi, agar semua kalangan dapat menikmatinya.

Bleach juga berencana akan melakukan tur ke Singapura dan Malaysia, apa ekspektasi kalian terhadap tur tersebut?

Kevin Raf Sanjani: Ya, kami akan melakukan tour promo. Sebetulnya, tour itu kami jalankan bersama band lain asal Singapore yaitu Mystique. Pada tour ini kami juga mendapatkan kesempatan show bersama band New York, Amerika Serikat, Combust, dalam rangkaian tour Asia

Tenggara mereka ke Singapore dan Thailand. Kami harap tour ini bisa membuka lebih banyak lagi jejaring pertemanan.

Q&A | Bleach - Kugiran Revivalist Hardcore Masa Kini 38

Oh, ya. Btw, bila kalian dianggap sebagai garda depan musik hardcore masa kini di tanah air, bagaimana tanggapan dari Bleach akan hal tersebut?

Michael Sippan: Ha-ha-ha. Kami tidak pernah terpikir dan tidak pernah merasa seperti itu, sih, soalnya dasar kami dalam bermusik sampai sekarang juga masih sama, yaitu ingin tetap fun dan happy. Dan kalau dianggap garda depan, sih, sepertinya bebannya terlalu besar untuk kami. Ha-ha-ha. Jadi, selama ngeband masih bisa dilakukan dengan fun kami rasa itu sudah cukup.

DCDC MAGAZINE 39

“Selamanya?” untuk Ibu

Perasaan mendalam selalu punya ruang khususnya tersendiri untuk bernubuat menjadi perayaan lain, terlebih jika perasaan dimaksud merupakan ekspresi murni yang ditunjukkan bagi insan yang melahirkan dan senantiasa menjaga kita semasa hidup (baca: orang tua).

Meskipun kecenderungannya bersifat personal, tak ayal falsafahnya mampu menusuk relung hati siapa saja, karena ruang pengalaman semacam ini, lumrahnya kadung dirasakan oleh banyak orang, tentu dengan kemungkinan dan kadar mencintai/dicintai dengan caranya masing-masing.

HOT NEWS Kal é
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
DCDC MAGAZINE 41
Foto oleh Villa Sylvia (@villasyll)

Kalé berupaya mengekspresikan hal tersebut dengan bersih dan apa adanya, yang dalam konteks ini berupa luapan tulus mengenai perasaan atau salam hormatnya terhadap sosok ibu. Figur yang sejatinya telah membuat mereka hadir sekaligus mencicipi warnawarni dan dinamika kehidupan di dunia.

Grup asal Bandung beranggotakan Putra Zakka Pratama alias Kakang pada gitar dan vokal, Aditya Triadi alias Adit (bass), dan Rifqi Fauzi alias Reki (gitar) ini menuangkan perasaan mendalamnya itu melalui rilisan lagu lepas terbaru mereka berjudul “Selamanya?” yang dibewarakan secara daring pada penghujung caturwulan tiga tahun 2023, tepatnya pada 20 Desember atau dua hari menjelang Hari Ibu dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kalé mengejawantahkan perasaan istimewanya ini dengan baluran sisi yang emosional dan sentimental, termasuk tentang pertanyaan dan harapan agar senantiasa bisa terus bersama-sama ibu, selama-lamanya. Dengan kata lain, lagu ini merupakan perasaan senang sekaligus kalut dari seorang anak untuk ibu tercinta. Senang karena kehadiran ibu seyogianya membuat sumringah.

Dan kalut karena rasa cinta yang mendalam itu justru membuahkan rasa gamang, pula menghantui, terutama jika fase itu tetiba menghilang dalam raga dan jiwa.

“Lagu ini adalah bentuk ekspresi dari perasaan yang aku rasain saat bersama ibu, asa enakeun, euy, berada deket ibu, teh, berasa tenang, damai. Tapi terkadang, setiap malam jadi terpikir, “mungkin gak, ya, bisa selamanya bareng ibu?,” ujar Kakang selaku otak di balik penulisan lagu. Adit menimpali dengan hal yang kurang lebih senada seirama, baginya “Selamanya?” berkaitan dengan waktu dan kenangan dengan ibu terkasih. Menyelam ke dalam ingatan di mana memori terindah (bersama ibu) tersimpan untuk selamanya.

“Selamanya?” tentulah merupakan pengalaman personal dari para personil Kalé, namun seperti yang tersebut di atas, pengalaman ini memiliki kemungkinan senasib sepenanggungan dengan siapa saja dan memiliki kecenderungan dirasakan oleh bani Adam.

Selain menawarkan sisi yang sangat personal, lagu ini juga memiliki tiang spesialnya tersendiri, terkhusus bagi jurnal perjalanan Kalé sejak dibentuk pada 2016 lalu. “Selamanya?” tercatat merupakan lagu dengan

Hot News | Kalé - “Selamanya?” untuk Ibu 42

lirik bahasa Indonesia pertama yang pernah mereka tulis. Sejauh ini, Kalé lebih berfokus pada penulisan lagulagu dengan larik berbahasa Inggris, hal itu terpatri pada katalog-katalog lagu yang sebelumnya pernah dirilis, mulai dari, “Sermon” (2018), “Brood” (2021), dan “Dismal” (2022).

Sedangkan sisanya merupakan nomor nir syair, “Happy Sad” (2017) yang juga menjadi debut perkenalan dan salam sapanya untuk khazanah musik lokal.

Perihal sajian goresan rima berbahasa Indonesia di lagu ini, menurut hemat Kalé, alasan paling utamanya, merujuk dan bermuara pada tema lagunya itu sendiri, terutama agar pesan dari

“Selamanya?” bisa tersampaikan dengan lebih mudah, enteng untuk dicerna dan pendengar tak perlu repot untuk menafsirkannya dengan jerih payah.

Lagu “Selamanya?” dalam prosesnya beroleh juluran tangan dari rekanrekan musikus lain, Budi Tjahjana berada di balik set drum, dan Gusti Ayu Desi Debora kedapatan meromantisasi vokal latar yang membuat nuansa lagu semakin lirih dan manis.

Secara teknis, “Selamanya?” direkam di Escape Studio Bandung di rentang pertengahan tahun 2023 atas arahan

Puja Purnama Putra yang juga bertindak sebagai pemoles akhir audio atau mastering. Sedangkan proses pra atau mixingnya dipercayakan kepada Gugah

Gundara, sosok yang akhir-akhir ini sering menghiasi panggung Kalé sebagai additional player, baik drum maupun synthesizer.

Sebagai perhiasan penguat lagu, Kalé turut menampilkan potret perempuan dengan gaya kolase (anyaman) sebagai sampul. Andriana dan Adam Adrians adalah fotografer yang bertugas pada sesi pengambilan gambar mentah/otentik, lalu ditindaklanjuti dengan prosesi penganyaman foto yang dikerjakan sendiri oleh sang bassist, Adit, sebelum akhirnya finalisasi sampul “Selamanya?” disulam oleh tangan terampil Dzikri Iman Kurnia.

DCDC MAGAZINE 43

Teks oleh Tiar Renas Yutriana

Foto oleh Satrio Bagus Prabowo (@satriobp_)

Mad Madmen (Jakarta)
HOT NEWS
Meleburkan ke Frontalan dengan Anda Perdana
Hot News | Mad Madmen - Meleburkan ke Frontalan dengan Anda Perdana 44

Mad Madmen meluncurkan lagu terbaru berjudul “Maharupa”.

Dalam perilisannya ini, trio ibu kota beranggotakan Kalam Mahardhika pada gitar dan vokal, Marvin Muhammad (bas, vokal), dan Andika Rahimy (drum) tersebut turut menggandeng

solois kharismatik, Anda Perdana, untuk mengisi vokal tamu dalam single dimaksud.

Suara vokal milik

Anda dirasa cocok dengan corak musik

rumit sekaligus

frontal yang

dipresentasikan Mad

Madmen selama ini:

berupa peleburan bebunyian jazz, funkadelic, dan progpop. Solois yang kini menetap di Pulau Dewata itu memang dikenal memiliki karakter suara yang khas dan tiada duanya. Setiap tarikan suara yang keluar dari kerongkongan emas beliau senantiasa mampu menyihir lagu apa saja menjadi sedap untuk didengarkan, tak terkecuali untuk “Maharupa”.

instrumentasinya. Kami kepikiran mengajak kolaborasi seseorang dengan karakter vokal yang sangat kuat, dan Bang Anda lah orang yang tepat,” kata Kalam.

Proses rekaman dengan Anda sendiri tergolong unik, terlebih karena kapasitas beliau menginterpretasikan sebuah lagu dan mengubah bagan lagu yang ia bawakan menjadi sangat antik dan personal. Oleh karena itu porsi menyanyi Anda pun cenderung dibebaskan tanpa ada intervensi berlebihan dari Mad Madmen selaku empunya karya. Kalaupun ada, lebih kepada positioning, di bait mana saja Anda harus bersenandung.

“Lagu ini membutuhkan suara yang mampu mengimbangi ke frontalan

“Cara Bang Anda bernyanyi; karakter, penyampaian, dan ekspresinya, sangat khas. Kami sangat mempercayakan beliau untuk menginterpretasikan bagan vokal yang kami berikan tanpa banyak intervensi atau memberikan arahan yang berlebihan,” ujar Marvin yang juga bertindak sebagai komposer lagu.

DCDC MAGAZINE 45
(Anda Perdana) - Foto oleh Sjanne van Laar (@sjanne.vl)

Merekam lagu “Maharupa” juga menjadi sangat spesial bagi Mad Madmen. Pasalnya, proses rekaman lagu ini merupakan rekaman pertama yang melibatkan Andika Rahimy sejak dirinya resmi menjadi drummer tetap band pada bulan Juli 2023.

“Dengan Mad Madmen, saya merasa ruang eksplorasi saya jadi luas.

Berangkat dari menggemari sampai nongkrong bareng dan kemudian tergabung di dalamnya, saya merasa band ini terus membuka ruang untuk berkembang secara musikal sehingga saya sangat senang bisa terlibat di dalam proses tersebut,” ucap Andika.

Secara teknis, proses rekaman gitar dan bass “Maharupa” direkam oleh Marvin sebagai operatornya.

Sementara rekaman drum dan vokal beroleh bantuan I Gusti Gede Vikranta (drummer Kelompok Penerbang Roket) di Djoeroek Poeroet Studio. Sedangkan proses mixing dan mastering dipercayakan ke Haruchika Setiadi di Great Wave Studios.

Tidak membatasi diri hanya pada penggarapan lagu, upaya Mad madmen dalam berkolaborasi juga diteruskan dengan mengajak illustrator/designer grafis muda asal Bogor/Bandung, Rifqi Ryansyach untuk mengerjakan desain sampul

Hot News | Mad Madmen - Meleburkan ke Frontalan dengan Anda Perdana 46
(Mad Madmen) - Foto oleh Satrio Bagus Prabowo (@satriobp_)

“Maharupa”. Sama halnya dengan Anda, Rifqi juga diberi kebebasan dalam merespon lagu ini, yang sejatinya, cara kerja intepretasinya dibebastafsirkan dengan gaya atau karakter ilustrasi personal sang illustrator.

Lebih jauh, perilisan “Maharupa” dan segala produk turunannya merupakan penanda atau langkah lanjutan yang memang dirancang Mad Madmen sebagai tahunnya

dengan banyak kawan-kawan musisi/seniman. Tercatat di sepanjang tahun 2023, Mad Madmen telah memulai sederet kolaborasinya dengan gong awal berupa EP berjudul, In With The Out, Old With The New, Vol. 1 yang dilepasnya pada bulan Februari dengan mengajak kolaborator macam Logic Lost, Samuel Paul Gerald, serta Tracy Giovanni.

“Maharupa” juga merupakan rilisan yang diperuntukan menjadi highlight track kontinuasi EP kolaboratif, In With The Out, Old With The New, Vol. 2 yang diproyeksikan rilis dalam waktu dekat. Selain Anda, dalam EP kontinuasi ini, Mad Madmen juga akan menggandeng beberapa kolaborator lain yang tak kalah berdaya kejut dan sarat kualitas.

DCDC MAGAZINE 47
Sampul “Maharupa” oleh Rifqi Ryansyach

Melanjutkan Agresifitas

Musikal dengan “Karam”

Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Mahar Adhyatma bersama Qrimson Pictures (@maharatma_ & QRMSN)

Unit alternative rock/emo/post-hardcore, Sesak, melanjutkan perjalanan jurnal musikal mereka dalam menembus belantara liga musik lokal. Hal tersebut ditandai dengan dilepasnya lagu anyar berjudul “Karam”, seonggok amunisi atau peluru kedua pasca band asal Bandung tersebut merilis single debut sekaligus salam sapa bertajuk “Batas” circa 2021 lalu.

(Bandung) HOT NEWS
Hot News | SESAK - Melanjutkan Agresifitas Musikal dengan “Karam” 48

“Karam” dikenalkan Yusuf Twindana Ibrahim (vokal), Pradipta F. Wichaksana alias Dozzy (gitar), Satria Bramanda Ramadhany alias Ibam (Guitar), Indra Samiadji Ramadhany alias Bonky (bass), dan Lucky Greeber (drum) melalui format digital dan dalam bentuk video musik, terhitung sejak 23 Desember 2023. Audionya bisa didengarkan di berbagai layanan streaming musik melalui siaran distribusi label independen, Omegawave Records. Sedangkan untuk audio visualnya bisa ditonton via kanal YouTube resmi band.

Untuk urusan video musiknya, Sesak menggandeng rumah produksi satu kotanya, Qrimson Pictures atau QRMSN. Suguhan video musik ini, tercatat juga menjadi yang perdana bagi Sesak sejak dibentuk tahun 2018 lalu.

Lagu berdurasi tiga menit lebih tiga puluh tiga detik ini sejatinya merupakan lagu dengan muntahan corak musik alternative rock/ emo/post-hardcore era awal abad millennium ketiga, macam Underoath, Alexisonfire, Chiodos, dan lain sabagainya. Spesifiknya, suguhan bunyinya kurang lebih berupa intensitas tempo yang cepat,

gitar rancak, tingkat bass yang berat, hingga suara vokal yang di sertai dengan teriakan-teriakan yang membabi buta.

Sajian demikian, lebih kurangnya agak berbeda dengan lagu perkenalan “Batas”. “Karam” merupakan wujud materi agresif Sesak, di mana mereka, berupaya mengembangkan musik dengan fusi riff-riff kasar, suara bass yang cenderung kotor, lengkap dengan perpaduan vokal scream dan clean a la Spencer Chamberlain, dan Aaron Gillespie, namun dengan kadar lebih raw dan spontan.

Gelombang bunyi yang agresif tersebut lantas dirajutkan ke dalam bangunan lirik tentang ragam keputusasaan yang dirasakan oleh para personel, khususnya vokalis, Yusuf, selaku sosok di balik penulisan lagu. Tema yang memang lazim menjadi paket khas atau cerminan dari jenis musik yang Sesak mainkan (baca: emosional).

“Lagu ini sesimpel kaya lu mengharapkan sesuatu, tapi tidak pernah terbalas atau terwujudkan. Seperti doa-doa yang dipendam, dan tidak pernah dipanjatkan. Perasaan keputusasaan yang bercampur

DCDC MAGAZINE 49

aduk itulah yang coba digambarkan melalui “Karam”,” ucap Yusuf.

Di luar pengejawantahan keresahan di sisi personal, terbitan lagu ini merupakan keinginan Sesak dalam membangun ulang suasana musik dan pesan yang dapat mengingatkan publik musik ke era menyeruak dan berjayanya musik alternative rock/ emo/post-hardcore. Karenanya “Karam” bisa dibilang adalah presentasi akut yang disinyalir mampu membangkitkan memorimemori manis di dekade itu.

Di sisi yang lainnya, lagu “Karam” juga berpendar sebagai penawar rasa rindu dari alter ego masing-

masing dan keinginan bermusik yang berbeda dari band-band utama seluruh personel, yang mana mereka juga tergabung dalam grup kencang seperti The Fox and the Thieves, Helliost, dan Last January.

Lebih jauh, “Karam” juga digadanggadang merupakan jembatan menuju EP/Album perdana Sesak yang jika tidak ada aral melintang akan disiarkan pada pertengahan atau akhir tahun 2024.

Sampul “Karam” oleh @d.d.a.i.s.y.y

Lagu ini dalam hematnya turut serta melibatkan Wira Achmady yang ditunjuk Sesak untuk bertugas dalam memoles akhir audio (mixing dan mastering), dan sumbangsih yang tak kalah penting dari illustrator muda @d.d.a.i.s.y.y dalam urusan menggarap sampul lagu.

Hot News | SESAK - Melanjutkan Agresifitas Musikal dengan “Karam” 50

TamaT(Surabaya)

Bentuk Kesuburan: Dari Kami Yang Kalian Sia-Siakan

Teks oleh Tiar Renas Yutriana

Foto oleh Amink (@neomink)

Unit breakcore asal Surabaya, TamaT menunjukan kesuburannya dalam merajut karya. Proyek musikal yang diinisiasi oleh Eri Rukmana dan beroleh bantuan gitaris Nekromagik ini baru saja melepas EP ketiganya yang diberi judul Dari Kami Yang Kalian Sia-Siakan. Sebelumnya, TamaT telah melahirkan album mini menyengat lainnya secara sporadis, masing-masing berjudul TOGEL (2020) dan Pesona Lidah Kulon (2022).

HOT NEWS
DCDC MAGAZINE 51

Dari Kami Yang Kalian Sia-Siakan sendiri dirilis secara digital tepat pada tanggal 25 Desember 2023 oleh Record Label digital Anti Trust Record di halaman bandcamp resmi mereka, juga tersedia dalam format fisiknya yang dicetakkan ke dalam medium kaset pita oleh

Gaib Lab, laboratorium toko asal Malang bernama Rekam Jaya yang difungsikan sebagai ruang untuk meracik, mencetak, merilis, dan menerbitkan wujud fisik sebuah karya.

Dari Kami Yang Kalian Sia-Siakan dalam hematnya menawarkan wacana yang mengisahkan fenomena tentang kehidupan warga masyarakat yang kita tinggali dan katanya dibanggakan, atau sebuah geliat dan potret hiruk pikuk aktivitas warga +62 (baca: masyarakat Indonesia).

Tema tersebut lantas dibalurkan dengan balutan dentuman kick dan bass serta hentakan snare yang berserakan gratis di website sampling ternama dan link bola liar yang dilempar oleh teman-teman di group Whatsapp sekitar.

Sebagaimana diketahui publik musik, TamaT sendiri adalah unit breakcore yang memiliki persona dan kerap beririsan dengan segala yang kitsch (istilah yang diterapkan pada seni dan desain yang dianggap sebagai tiruan yang naif, terlalu eksentrik, serampangan, atau selera yang dangkal). Apa yang dibunyikan lazimnya merupakan humor-humor murahan yang berkelindan di media sosial, lalu beroleh olahan sedemikian rupa hingga mewujud menjadi sample audio.

TamaT, kerap menyentil dengan banyolan-banyolan akar rumput yang dilebur dalam dentum bertempo ngebut nan lincah, saling geber layaknya nyalak hingar knalpot balap motor pinggiran. Mudahnya, presentasi TamaT adalah ceruk bebunyian yang absurd: Bertabur gemuruh bising, dan percakapanpercakapan omong kosong warung kopi lengkap dengan oplosan riff-riff gelap nan agresif, tak terkecuali dalam keempat nomor di EP ini.

EP yang berisikan lagu “Dari Kami

Yang Kalian Sia-Siakan”, “NikmaT”, “Gelang Roqib”, dan “Horeg e Jam Pinten?” ini ditenggarai dikerjakan dengan rentang waktu yang sangat singkat, baik dari proses pembuatan

Hot News | Tamat – Bentuk Kesuburan:
52
Dari Kami Yang Kalian Sia-Siakan

dan penggarapan idenya, tepatnya setelah TamaT tampil di festival Pestapora 2023 (baca: stage Yes No Klub) pada 22 September yang lalu.

Seusai tampil diperhelatan dimaksud, Eri Rukmana beserta Nekromagik alias Reno langsung tancap gas membuat 4 lagu yang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang berhubungan satu sama lain, atau dengan kata lain mereka membuat trek sesuai pengalaman pribadi mereka, yaitu hobi meng-scroll YouTube short.

Dari Kami Yang Kalian Sia-Siakan turut beroleh polesan seniman Redi Murti yang akrab disapa Sinyo pada sisi sampul. Sinyo juga pernah mendesain sampul band folk Surabaya, Silampukau dalam debut panjang prominen mereka Dosa, Kota, & Kenangan. Sementara untuk urusan mixing dan mastering, EP ini, dipercayakan TamaT kepada engineer Guruh Andhika Putra dari

DCDC MAGAZINE 53

Xandega (Jakarta)

Menghadapi Imposter Syndrome dengan Pop Dansa Sendu

Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Hilarius Jason (@hilariusjason)

Musisi asal ibu kota, Xandega, membuka lembaran baru di peta kancah musik lokal. Membawa bidak lagu berjudul “DA DAWG WITHIN”, pria dengan nama panjang Xandega Tahajuansya ini telah resmi memiliki sisi karir sebagai seorang solois, lengkap dengan kedudukan laksana penulis, produser, sekaligus penyanyi.

Massa Music Lab.
HOT NEWS
Hot News | Xandega - Menghadapi Imposter Syndrome dengan Pop Dansa Sendu 54

Xandega sendiri adalah pemain bass dan salah satu dari 3 anggota inti band rock moncer, Polka Wars, yang dikenal setelah memenangkan kompetisi Converse Rubber Tracks pada tahun 2014, di mana mereka memenangkan hadiah untuk merekam single yang berjudul “Rangkum” di New York City. Lagu tersebut dipilih sebagai lagu terbaik tahun 2017 oleh Rolling Stone Indonesia dan setahun setelahnya mereka terpilih menjadi salah satu

Rolling Stone Indonesia’s Young Guns, bersamaan dengan rilisnya album perdana mereka Axis Mundi yang mendapat sertifikasi emas di pasar musik Indonesia.

Xandega juga salah satu pendiri dari Studiorama yang merupakan kolektif musik dan juga promotor atau booking agent musik lokal dan international yang berbasis di Jakarta. Studiorama telah mendatangkan musisi seperti FKJ, Men I Trust, Mac Demarco, Japanese Breakfast, King Gizzard and The Lizard Wizard, dan masih banyak lagi. Studiorama juga berhasil menjalankan 2 musik festival yaitu Ornaments Festival dan juga Archipelago Festival bersama Sounds From The Corner. Di luar itu, Xandega juga merupakan seorang DJ dan salah satu pendiri

dari Swanky Express, pesta bulanan yang diselenggarakan Xandega dan tim dengan sajian musik dansa dalam berbagai genre dengan tempo yang sangat cepat. Berusia 1 tahun Desember ini, Swanky Express telah menyelenggarakan 15 pesta di Jakarta dan Bali. Terdiri dari 4 DJ lokal dan juga beberapa multimedia artis dengan visi dan energi yang sama: menyuguhkan DJ dan musisi dari luar kota maupun luar negri tiap bulannya.

Sampul “DA DAWG WITHIN” oleh Khalisha Tambunan (@khalishu)

Dalam single debut solo “DA DAWG WITHIN”, Xandega sejatinya melampiaskan sisi emosional sekaligus personalnya mengenai keluh-kesahnya menghadapi imposter syndrome. Sebutan untuk seseorang yang tidak memiliki rasa kepercayaan diri dan cenderung merasa tidak pantas akan pencapaiannya.

DCDC MAGAZINE 55

Keluh kesah tersebut, beroleh dari pengalaman langsungnya sebagai

seorang musisi yang telah dijalani selama 10 tahun ke belakang, termasuk juga perihal depresi yang dilandanya karena menunda-nunda untuk mengejar impiannya menjadi full-time artist.

Sedangkan dari segi musikal, lantunan musik di lagu “DA DAWG

WITHIN” terinspirasi oleh gabungan musik dansa dan juga nyanyian pop layaknya artis seperti Joji dan juga James Blake.

Observasi Xandega selama setahun ke belakang mendirikan dan menjalankan Swanky Express, juga mempengaruhi arah dari aransemen “DA DAWG WITHIN”. Harapannya, Xandega bisa memainkan “DA DAWG WITHIN” di pesta-pesta, maupun gigs musik seiring Xandega mempersiapkan single-single berikutnya yang akan dirilis pada interval pertama tahun Naga Kayu ini.

Hot News | Xandega - Menghadapi Imposter Syndrome dengan Pop Dansa Sendu 56

Walaupun Xandega menulis, memproduseri dan juga bernyanyi di lagu ini, namun bantuan dari musikus lain tetap tidak terelakan, asistensi itu diantaranya datang dari Emir AM dari band White Chorus, musisi elektronik Logic Lost, dan juga produser yang tergabung bersamanya di kolektif Swanky Express yaitu Magis. Atas arahan BAP. alias Kareem Pradipto Soenharjo lagu ini lantas dibantu oleh Erik Soto sebagai mixing dan mastering engineer.

Single “DA DAWG WITHIN” juga dirilis bersama dengan sebuah video musik dengan embel-embel official dashcam video yang disutradarai juga oleh Xandega di mana pengambilan gambarnya dilakukan layaknya sebuah dashcam yang merekam jalan dari sebuah mobil yang beradu dengan Xandega.

DCDC MAGAZINE 57

ACT SIDE

Adityo Saputro

(Asylum Uniform-Alphalab)

Industrialist Mentok

Hingga ke Tulang-tulang

Teks & Wawancara oleh Abraham Gerald Leingul Sumber Foto – akun Instagram @adityosaputros & @alphalabcrew

Di tengah dentuman musik techno yang agresif dan kelam yang dikumandangkan oleh sang vokalis kharismatik saban Asylum

Uniform beraksi di atas panggung, hadir pula di momentum yang sama, aura yang tak kalah menterengnya: seseorang yang kalem di sisi kanan atau kiri, yang notabenenya merupakan otak musikal di balik kekacauan yang indah di setiap penampilan dari grup techno/industrial asal Bandung tersebut.

DCDC MAGAZINE 59

“Saat awal-awal membuat musik untuk Asylum Uniform saya sedang keranjingan mendengar Kraftwerk. Lama-kelamaan saya malah kebablasan lebih ke sisi techno-nya”. - Adityo Saputro.

Ya, ia adalah Adityo Saputro atau biasa dipanggil Adit. Meskipun seringkali berada di pojokan, kehadirannya selalu menarik perhatian tatkala grupnya itu tampil dihadapan publik musik, terutama dengan tampilan yang melingkari wujudnya: stand keyboard/ synthesizernya yang sangat unik, dan tak jarang menimbulkan pertanyaan di benak penonton: siapa yang membuat benda tersebut? atau di mana kah ia membeli barang tersebut? Jawabannya nyatanya adalah Adit sendiri yang merancang dan membangun benda tersebut dari nol. Sungguh tidak terpikirkan

bagaimana bisa ia membuat sesuatu dengan fungsi dan penampakan se ciamik itu. Tapi fakta itu memang berhubungan secara langsung dengan aktifitas hariannya.

Adit merupakan seorang pandai besi handal,termasuk dikenal berkutat dengan bisnis custom frame sepeda yang telah dijalankannya sejak pertengahan 2000-an bernama Alphalab. Berbagai jenis frame sepeda telah ia ciptakan dengan telaten lewat tangan ajaibnya. Peminatnya pun sudah sangat banyak, dan merk Alphalab-nya pun sudah dikenal oleh para pegiat sepeda di seluruh negeri ini.

Act Side | Adityo Saputro - Industrialist Mentok Hingga ke Tulang-tulang 60

Merupakan suatu kebetulan yang aneh, bukan? ketika seorang pandai besi juga bermusik dengan membawakan musik-musik techno/ industrial, yang sangat identik dengan berbagai macam bebunyian yang banyak mengolah bunyi sample dari berbagai peralatan berbahan besi, hal ini seakan-akan menandakan Adit adalah sosok industrialist mentok hingga ke tulangtulangnya.

Kami pun berkesempatan untuk berbincang secara mendalam dengan pria asal Madiun yang kini menetap di Bandung ini mengenai sepeda, bisnis, dan tentu saja perihal kecintaannya terhadap seni, terutama musik.

Adit sangat identik sebagai seorang pengusaha frame builder sepeda custom, Alphalab. Bagaimana awal ketertarikan Adit dengan sepeda?

Di masa kecil, saya cukup banyak mencoba berbagai hal, sebetulnya. Seperti sepak bola, pencak silat dan tentunya juga sepeda. Mulanya, pada saat saya masih di tingkat sekolah dasar, saya bergabung dengan salah satu komunitas road bike di Madiun. Saya cukup serius mengikuti komunitas tersebut, beberapa kali juga saya sering mengikuti kompetisi road bike antar kota atau antar kabupaten.

Bagi saya, bersepeda itu sangat asik. Sepeda juga adalah kendaraan yang menemani saya untuk bepergian kemana pun, apalagi setelah bergabung dengan komunitas sepeda, bersepeda rasanya semakin seru karena saya menemukan berbagai macam orang, misalnya, yang memiliki kecintaan terhadap sepeda yang sama seperti yang saya rasakan. Saya juga bisa menjelajahi tempat-tempat baru, suasana baru yang saya tidak temukan di rumah, lalu mendapatkan ilmu-ilmu baru. Dan hal tersebut membuat saya candu.

“Banyak yang masih belum mau menggunakan barang dalam negeri karena alasan kualitasnya dianggap kurang bagus, padahal tidak seperti itu”.Adityo Saputro.

DCDC MAGAZINE 61

Setelah ketertarikannya

dengan sepeda, lalu

bagaimana Adit mulai berniat membuat sepeda itu sendiri?

Awalnya, saya tidak terlalu berniat untuk membuat sepeda, mungkin, karena rasa penasaran dan rasa iseng saya yang tinggi. Pada saat saya tergabung di komunitas road bike itu, biasanya saya bersepeda di hari Minggu. Nah, di masa recovery saya di hari Jumat atau Sabtu, saya mencoba untuk bermain sepeda BMX. Sayangnya, setelah saya mengetahui berbagai informasi dari majalah-majalah sepeda, saya menyadari bahwa di masa itu sepeda-sepeda BMX di pasaran spesifikasinya belum memenuhi standar kebutuhan untuk melakukan berbagai trik-trik BMX. Sepeda BMX dengan spesifikasi khusus pada saat itu hanya bisa diperoleh dari luar negeri, dan harganya pun tentu sangat fantastis.

sebuah produk, saya dihadapkan dengan pilihan antara membuat instrumen musik—karena saya juga pada saat itu sedang menggemari musik-musik jazz dan tergabung dengan salah satu klub jazz di Bandung, atau membuat sepeda.

Bermain sepeda BMX adalah salah satu proses recovery yang acapkali Adit lakukan di tengah rutinitasnya bersepeda dengan komunitas road bike.

Lama setelah itu. Pada saat saya kuliah, kebetulan jurusan yang saya ambil adalah jurusan Desain Produk, dan pada saat saya akan mengerjakan tugas akhir, di mana tugasnya adalah untuk membuat

Pada akhirnya saya memilih untuk membuat sepeda, alasannya karena ketertarikan saya yang besar tentang sepeda, dan juga saya telah dibekali berbagai informasi mengenai sepeda sedari dulu. Itu pun tanpa ada niat untuk menjual sepeda, hanya untuk saya pakai sendiri saja.

Lalu sejak kapan mulai menjual sepeda-sepeda yang Adit buat?

Act Side | Adityo Saputro - Industrialist Mentok Hingga ke Tulang-tulang 62

Setelah berhasil membuat sendiri sepeda di sekitar tahun 2008 atau 2009, saya mulai menggunakan sepeda yang saya buat, termasuk ketika saya sedang berkumpul dengan komunitas-komunitas sepeda BMX dan juga fixed gear di Bandung. Ternyata, mereka senang dan tertarik dengan sepeda yang saya buat, mungkin, karena kemampuan saya yang bisa menciptakan sepeda dengan spesifikasi custom

Awalnya, saya sama sekali tidak berniat untuk menjual sepeda yang saya buat sendiri, tetapi karena beberapa teman saya di komunitas sepeda tertarik untuk memesan sepeda kepada saya, akhirnya, dengan menggunakan alat-alat seadanya yang dimiliki, saya mulai mencoba untuk membuat dan menjual pesanan frame sepeda.

Kebetulan juga pada saat itu tren sepeda fixed gear baru mulai tenar di sini (Bandung). Dan spesifikasi frame sepeda fixed gear pabrikan yang bagus juga belum banyak dijual di pasaran, jadi saya mencoba membuat dan menjualnya.

Di masa itu, saya banyak belajar dari blog luar negeri mengenai sepeda fixed gear dan tren seperti apa yang sedang marak di sana. Dan mungkin karena pengerjaan frame pabrikan yang bisa memakan waktu cukup lama, dibandingkan dengan pembuatan frame custom saya yang jangka waktu pembuatannya hanya sekitar sebulan, maka dari itu cukup banyak yang memesan frame kepada saya.

DCDC MAGAZINE 63
Produk-produk frame builder sepeda custom, Alphalab

Di satu sisi hal tersebut cukup seru, karena pada saat itu yang memesan frame sepeda kepada saya biasanya memang pegiat sepeda yang juga cukup ngulik seluk-beluk sepeda tersebut secara mendetail. Berbeda halnya ketika masa pandemi kemarin, di mana para pemesan sepeda hanya mengikuti tren saja.

bermerk sekalipun. Mengubah stigma tersebut sebetulnya cukup sulit, pada awalnya banyak juga yang memesan sepeda kepada saya dengan spesifikasi sama persis dengan frame-frame pabrikan luar negeri. Saya pun berusaha mengubah stigma tersebut dengan membuat seri frame Alphalab sendiri. Memang banyak juga yang

Jadi, sejak kapan Adit mulai menggunakan nama Alphalab sebagai merk dagang?

Pada awal-awal menjual frame custom, saya hanya menjual frame-nya saja. Blank tanpa diberi merk dan juga tanpa di cat. Lamakelamaan banyak pelanggan saya yang meminta untuk sekalian di cat. Saya, sih, tidak masalah, ya, toh cost produksinya juga akan bertambah, dan pelanggan pun tidak keberatan akan hal itu.

Pada saat itu stigma akan produk lokal masih kurang baik, banyak yang masih belum mau menggunakan barang dalam negeri karena kualitasnya biasanya kurang bagus.

Padahal tidak seperti itu, banyak barang lokal yang kualitasnya tidak kalah bersaing dengan produk

membandingkan frame buatan saya dengan frame pabrikan luar negeri, yang mana bagi saya tidak sebanding, ya, sebetulnya. Frame pabrikan dibuat dengan mesin sedangkan frame milik saya dibuat secara handmade dan juga dengan permintaan khusus sesuai kemauan pemesannya. Bisa dibilang seperti melayani ego konsumen. Sangat berbeda kan? dan sebetulnya, cukup berat, tapi mau tidak mau saya juga akhirnya mewajarkannya.

Apa sebenarnya arti dari merk

“Alphalab” itu?

Banyak sekali produk luar negeri yang bangga menggunakan nama penciptanya sebagai nama brand produk tersebut, misalnya, Converse, Adidas, Gibson, Fender, atau G&L.

Act Side | Adityo Saputro - Industrialist Mentok Hingga ke Tulang-tulang 64

Saya pikir mengapa kita terjajah dengan nama-nama tersebut? Kita harusnya bisa lebih pede dengan nama-nama lokal. Memang susah juga, sih, saya sendiri tidak pede bila menamai brand saya seperti Adit Bike, sudah produk lokal, namanya Adit pula. Ha-ha-ha… Maka dari itu saya menggunakan inisial, “Alpha” atau A adalah huruf pertama dan inisial nama saya, dan kebetulan di keluarga saya sendiri banyak yang namanya berawal dari huruf A. Huruf pertama juga berarti saya ingin di depan, menjadi yang utama agar menjadi lebih baik, dan “Lab” itu karena saya ingin dari tempat yang kecil ini nantinya menjadi sesuatu yang besar, misalnya, menjadi tempat penelitian. Pokoknya meningkat segalanya lah. Alhamdulillah dari nama tersebut menjadi doa yang terus berjalan hingga sekarang.

orang tuanya, tetapi malah ia jual dan setelah itu ia memesan frame fixed gear kepada saya. Singkat cerita, akhirnya saya buatkan. Dan setelah jadi, langsung saya kirimkan. Beberapa saat setelah saya kirim frame itu, si pelanggan tersebut mengirimkan foto yang membuat saya kaget. Sepeda buatan saya malah dipalu hingga gepeng oleh orang tuanya. Bukan soal uang atau soal menghargai sepeda buatan saya, tetapi lucu saja, kok bisa sepeda itu dihancurkan begitu saja?

Yah, memang si pelanggan saya saja yang tengil, kenapa ia tidak jujur dari awal kepada orang tuanya. Foto sepeda itu juga sempat saya post di Instagram Alphalab, untuk luculucuan. Ha-ha-ha.

Sekarang mari kita membahas mengenai perjalanan musik Adit, bagaimana awalnya Adit mulai tertarik dengan musik?

Dari sekian banyak frame sepeda yang sudah pernah dibuat, frame mana yang paling berkesan buat Adit?

Ini lucu tapi juga miris. Jadi, dulu saya sempat mendapat pesanan sepeda dari pelanggan. Sebelumnya, dia sudah dibelikan sepeda oleh

Selain sepeda, satu hal lain yang mengisi hiburan di masa kecil saya adalah musik. Setelah saya mencoba berbagai hal di saat itu, yang menarik perhatian saya adalah musik. Selain dari bersepeda, saya dulu sering bermain bass di waktu senggang.

DCDC MAGAZINE 65

Kebetulan, keluarga saya juga

sangat menyukai kesenian. Ibu saya

memiliki suara yang cukup bagus dan suka mengisi berbagai pentas. Nenek juga yang mengenalkan saya kepada Janis Joplin dan Deep Purple, lalu kakak saya sering membawakan berbagai kaset pita atau piringan hitam band-band jazz atau progresif seperti Casiopea dan Jethro Tull sepulang dari kuliahnya di Surabaya.

Saya juga ingat, dulu pertama kali belajar gitar itu dengan lagu Metallica yang berjudul “Nothing Else Matters”. Bagi saya intro lagu tersebut sangat cocok untuk melatih permainan petikan fingerstyle. Rasa-rasanya memang saya adalah orang yang sangat menyukai segala hal yang berbau estetika, maka dari itu saya sangat menyukai musik.

Adit sempat mengenyam pendidikan di ITENAS, Bandung. Apakah musik menjadi salah satu alasan Adit untuk memilih kuliah di Kota Bandung?

Betul sekali. He-he-he. Saya sama sekali tidak berniat untuk menjadi pembuat sepeda di Bandung. Selepas SMA pun memang saya tidak ingin melanjutkan karier saya di bidang road bike, karena rasanya saya sudah cukup lelah untuk melakukannya. Ditambah lagi di masa SMA saya juga sedang rajin-rajinnya bermain musik, saya cukup sering mengikuti festival musik di kota saya pada saat itu. Dan Bandung adalah salah satu kota yang cukup dikenal dengan musiknya. Maka dari itu saya memilih untuk kuliah di Bandung agar bisa bermain band.

Mungkin sedikit yang tahu kalau Adit juga sempat bermain musik bersama Etza

Meisyara (seniman muda asal Bandung), bagaimana awal pertemuan kalian hingga akhirnya membuat proyek musik bersama?

Perkenalan saya dengan Etza pertama kali berawal dari Friendster (media sosial legendaris), karena dulu saya belum memiliki banyak teman di Bandung. Saya mencoba untuk mencari teman melalui sosial media tersebut. Kami berdua memiliki kesamaan menyukai musik elektronik. Saya sendiri

Act Side | Adityo Saputro - Industrialist Mentok Hingga ke Tulang-tulang 66

mulai menyukai musik elektronik karena dulu sering datang ke Tobucil & Klabs (sebuah ruang komunitas di Bandung) untuk menonton dan belajar. Bagi saya tidak ada salahnya untuk belajar apa pun, karena ilmu tidak akan berat untuk dibawa kemana pun, tidak seperti barang. Lalu saya juga sering melihat Bottlesmoker tampil, atau sekadar mendemonstrasikan peralatan mereka yang bagi saya saat itu cukup aneh namun menarik perhatian.

Pada saat itu saya belum tertarik dengan musik dark techno atau hardtek seperti yang saya mainkan sekarang bersama Asylum Uniform. Saat itu saya baru mempelajari dan mendengarkan grup-grup elektronik yang cenderung lebih pop, seperti Massive Attack dan Imogen Heap. Dari situ saya dan Etza akhirnya mencoba untuk membuat suatu grup musik. Dari situ juga kami sempat memiliki pertimbangan antara membawakan musik elektronik yang pop banget (komersil) atau yang seni rupa banget, karena memang Etza basic-nya adalah seorang seniman seni murni yang menyukai sound art.

Akhirnya kami membuat dua-duanya, karena memang kami masih eksplor mengenai arah musikal kami. Cuma karena kami masih sangat muda dan belum memiliki banyak teman di masa itu kami belum merasa berhasil menjual karya kami. Sekarang pun kami berdua cukup sibuk dengan kesibukan masing-masing, jadi sudah hampir tidak pernah manggung lagi, terakhir mungkin beberapa bulan kemarin. Kami sempat perform di salah satu acara kampus di Jatinangor (‘’DCDC BDG:IYES IN ABSURDUM’’ di Kampus Ikopin Jatinangor pada 17-19 Maret 2023).

Lalu instrumen elektronik apa yang pertama kali Adit miliki?

Synthesizer Roland Juno yang saya beli dengan harga sekitar 5 juta-an di tahun 2009. Dulu saya sempat ingin sekali memiliki Korg Minimoog, tetapi karena belum mampu membelinya akhirnya saya membeli Roland Juno tersebut, ya, walaupun pada akhirnya tidak terlalu terpakai dan kebutuhannya juga tidak terlalu penting-penting amat karena di band dulu saya bermain gitar dan synthesizer, akhirnya alat itu saya jual kembali. Ditambah pada saat itu

DCDC MAGAZINE 67

saya perlu upgrade peralatan untuk membuat sepeda karena orderan sepeda saya cukup banyak.

Sekarang untuk di Asylum Uniform pun saya juga mulai meng-upgrade peralatan saya satu per satu karena kebutuhannya mulai bertambah, istilah kerennya form follow function, kalau di dunia desain itu artinya bentuk sebuah benda itu harus mengikuti fungsinya. Sama halnya juga dengan pemilihan instrumen harus sesuai dengan musik yang dimainkan. Lebih ke efisiensinya, sih

awal-awal membuat musik untuk

Asylum Uniform. Tapi lama-kelamaan saya malah kebablasan lebih ke sisi techno-nya.

Lalu bagaimana dengan musik yang Adit bawakan dengan Asylum Uniform?

Bisa dibilang cukup jauh dengan apa dahulu sempat Adit mainkan?

Sebelum seperti sekarang, Asylum

Unifom awalnya membawakan musik post-punk dan techno. Dari dulu saya menyukai album pertama Cocteau Twins, Treasure, karena saya kagum dengan mereka di era itu alias sudah tidak menggunakan drum set, hanya membawa rekaman berbentuk reel pada saat perform. Saya juga menyukai Kraftwerk saat

Bagi saya, instrumen musik elektronik itu sangat eksploratif dan memiliki unsur yang tidak terduga, tidak seperti gitar, misalnya, dari dulu hingga sekarang suara overdrive hanya itu-itu saja, memang, sekarang terdengar lebih bagus dan detail seiring perkembangan teknologi. Tapi sama seperti alasan saya menyukai musik jazz karena unsur tidak terduga itu. Dan unsur tersebut saya temukan lagi pada musik techno. Dalam komposisi musik pada umumnya, peran drum dan bass biasanya hanya sebagai ritem, gitar sebagai melodi, dan vokal sebagai penyampai pesan, hal tersebut bisa dibolak-balik di musik jazz, maka dari itu saya sangat menyukainya. Dan di musik techno pun ternyata begitu.

Musik elektronik bagi saya juga bisa dikombinasikan ke berbagai jenis musik mulai dari pop, rock, bahkan hingga pattern-pattern musik blues juga bisa dijadikan pattern musik techno. Hanya saja, di luar dari seni yang sifatnya bebas, musik sebagai suatu bentuk seni memiliki batasannya tersendiri. Untuk musik

Act Side | Adityo Saputro - Industrialist Mentok Hingga ke Tulang-tulang 68

selagi masih pantas dan enak untuk didengarkan, bagi saya, sih, masih tidak masalah.

Bagi kami, karya Adit bersama

Asylum Uniform cukup fenomenal, maksudnya, Asylum Uniform hingga saat ini belum merilis lagu-lagu yang kalian bawakan tetapi para penonton sudah bisa menyanyikan lagu-lagunya, hal demikian tentu tergolong fantastis. Bagaimana tanggapan Adit dengan fenomena tersebut?

Saya juga kadang heran dengan hal tersebut, secara memang kami belum merilis album berisi lagulagu baru kami, dan anehnya para penonton sudah hafal dengan lagu-lagu tersebut. Bagi saya sendiri hal demikian bagus-bagus saja, ya, toh mindset saya dalam menciptakan lagu pun sebenarnya tidak terlalu banyak berubah juga, bahkan sama dengan yang dulu. Yang penting saya sudah berusaha menciptakan lagu sebaik-baiknya, tanpa memikirkan bagaimana lagu tersebut nantinya. Kalau masih ada kurangnya pun mohon maaf

saja, saya juga manusia. Mungkin kuncinya itu adalah “sepenuhnya”

dalam mengerjakan segala hal.

Stand sequencer/synthesizer

Adit saat tampil bersama dengan Asylum Uniform selalu berhasil mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya, bagaimana ide untuk membuat stand tersebut bisa tercetus?

Kembali dengan unsur tak terduga yang saya sebutkan sebelumnya, saya sangat menyukai hal tersebut. Saya juga ingin tampil beda dari yang lain dan ingin menciptakan sesuatu yang baru. Drum yang berdiri atau keyboard yang bisa bergerak sebenarnya sudah ada sebelumnya, tapi saya ingin mengubah stigma bahwa bermain musik itu tidak harus begitu-begitu saja. Kita bebas melakukan apa pun selagi masih pantas.

Inspirasi saya dalam membuat stand tersebut salah satunya dari pertunjukan Rammstein, di mana sang kibordis, Christian “Flake”

Lorenz menggunakan stand keyboard yang menyatu dengan treadmill, dan juga F.X. Adam Joswara (Koil) yang menggunakan stand keyboard berbentuk Per (Besi) yang bisa digerakkan.

DCDC MAGAZINE 69

Saya bosan dengan keyboard di panggung yang identik dengan stand yang diam di satu tempat, paling mentok mungkin diberi strap seperti keytar, meskipun itu juga cukup jarang. Saya ingin bisa bergerak dengan alat saya, maka dari itu saya membuat stand tersebut.

Adit juga kemarin sempat mengunggah proyek music baru di platform Bandcamp dan Soundcloud bernama

A-TX228, proyek apa itu?

Proyek egois dari Adit sendiri kah?

Saya ingin membuat sesuatu yang berbeda dan semau saya sendiri. Di dalam band kita tentu harus bertoleransi dengan para personil lain, tapi di proyek ini, saya buat saja karya yang sesuai dengan yang saya mau, tanpa campur tangan orang lain. Saya cukup masa bodoh dengan apa pun ketika merilis proyek ini, mau didengarkan boleh mau tidak juga, ya, sudah. Yang penting saya sudah upload karya saya, hanya sebatas itu. Kalau dibilang proyek ego, sih, mungkin, ya, hanya saya lebih suka disebut sebagai proyek semau saya saja. Ha-ha-ha.

Apakah Adit berencana untuk membawa proyek A-TX228 ke tingkat yang lebih serius dari sebatas mengunggahnya di Bandcamp dan Soundcloud?

Musik itu termasuk karya seni, kan. Karya seni bagi saya tidak bisa dinilai hanya dari angka atau nominal, ataupun dari ketenaran. Di proyek ini saya ingin berkarya tanpa memikirkan hal-hal tersebut. Tapi saya tetap harus mempresentasikan karya saya, dan medianya adalah kedua platform tersebut. Saya memiliki karya, saya memiliki ego, dan saya tidak ingin karya saya hanya sebatas terpendam di komputer saja. Sampai saat ini ternyata pendengarnya juga sudah lumayan banyak bila saya cek di Soundcloud, tapi malah lebih banyak orang luar (negeri) yang mendownload-nya.

Adit juga memulai sebuah channel di platform YouTube bernama Klar Archive, apa gagasan Adit dalam membentuk media tersebut?

Act Side | Adityo Saputro - Industrialist Mentok Hingga ke Tulang-tulang 70

Berangkat dari pengalaman saya dulu saat masih sering berkunjung ke ruang Tobucil & Klabs. Saya dan teman terinspirasi untuk menciptakan ruang untuk para pegiat musik techno untuk melakukan live session di bengkel kecil milik saya, itu pun dengan peralatan dan modal seadanya. Saya membuat media ini agar kami pencinta musik techno bisa bertemu, bertatap muka, dan juga berkarya, terlebih lagi belakangan ini, di tengah maraknya sosial media sekarang, orang menjadi malas untuk berinteraksi secara langsung.

Bagi saya hal tersebut (bertatap muka) lebih manusiawi dan secara aura lebih positif, karena ada kemungkinan berkomunikasi via teks dan meminimalisir munculnya misinformasi dan miskomunikasi.

Saya berkaca kepada Rumah Pirata dengan prinsip dan etos mereka di lingkungan punk. Saya pun bercontoh kepada mereka yang sampai sekarang masih berdiri dengan tegak. Intinya, saya ingin membantu teman-teman untuk berkarya bersama di sini.

Terakhir, boleh berbagi sedikit tips dari Adit untuk berkarya dan/atau menjalankan bisnis yang akan selalu sustain/ berkepanjangan?

Berkarya atau buatlah sesuatu yang sesuai dengan apa yang kalian senangi, dan jangan terlalu banyak berpikir, perbanyaklah karya. Bagi saya, semua orang memiliki potensinya masing-masing untuk berkarya ataupun berbisnis, hanya yang berbeda adalah waktunya saja. Misalnya, begini, ada orang yang membuat band, lalu dengan cepat band tersebut langsung berjalan, tapi ada juga yang membuat band dan baru berjalan setelah berlangsung satu tahun, bahkan 5 atau 10 tahun. Tentu mereka akan menghadapi masalah yang berbeda-beda. Tetapi semuanya memiliki potensi untuk menjadi bagus, dan kalian tentu akan menemukan tantangan yang berbeda dengan yang saya hadapi, maka kalian sendiri juga yang harus bisa menemukan solusi dari permasalahan kalian masing-masing. Lebih baik berkarya dari pada mencela orang lain, jangan hanya banyak omong.

DCDC MAGAZINE 71

5 Album Paling Berpengaruh

Yudi Setiawan a.k.a

(Godless Symptoms)

Baruz
HOT PICKS
Teks oleh Abraham Gerald Leingul
DCDC MAGAZINE 73
Sumber Foto – akun Instagram @GodlessSymptoms

Yudi “Ryuka” Setiawan, atau

akrab dengan nama alias: Baruz, bukanlah sosok asing di ranah musik hardcore dan metal Kota Kembang. Perjalanan karirnya bahkan telah dimulai pada medio 90-an, tepatnya semenjak ia menjadi garda depan dari grup musik legendaris era GOR Saparua sekaligus salah satu pionir hardcore punk di tanah air, the one and only, Balcony.

Bersama Balcony, Baruz telah menorehkan sejarahnya tersendiri, 3 album penuh, masing-masing berjudul Instant Justice (1997), Terkarbonasi (1999) dan magnum opus mereka, Metafora Komposisi Imajinar (2003). Sayangnya, band ini bubar jalan pada tahun 2017

silam atau 3 tahun pasca salah satu motornya, Wahyu Permana alias

Jojon tutup usia. Beberapa tahun berselang Baruz sempat membentuk band baru bersama beberapa eks anggota Balcony, sebetulnya.

Bernama Konfliktion, namun band ini juga harus Baruz tinggalkan pada tahun 2021. Konfliktion kini berjalan tanpa Baruz di pososi vokal. Meskipun harus melewati dinamika tersebut, hasrat bermusik Baruz nyatanya tidak pernah pudar, karena ia juga dikenal banyak menukangi proyek musik lain, dan tercatat serta paling awet, ia kini aktif dan berfokus pada grup crossover thrash, Godless Symptoms, yang sudah ia huni sejak tahun 2003. Godless Symptoms sendiri pada November silam sempat

Hot Picks | Yudi Setiawan a.k.a Baruz - 5 Album Paling Berpengaruh 74

merayakan 2 dekade perjalanan musik mereka dengan menggelar pertunjukan bertajuk “2 Dekade Menggila(s)” yang merupakan suatu penanda atas pencapaian dan dedikasi mereka di kancah musik ekstrim selama 20 tahun.

Selain bermain musik, Baruz juga merupakan pegiat rilisan fisik dan merchandise berbau musik, di mana ia meniagakan beberapa koleksinya pada label toko yang ia namakan

Krow Music Dealer. Simpulnya, musik merupakan jalur yang Baruz

tempuh dan dijalani secara penuh sepanjang hidupnya. Lalu adakah album yang menjadikan Baruz menjadi sosok yang kita kenal seperti sekarang ini? Berikut kami sajikan 5 album yang paling berpengaruh bagi

hidup Baruz:

01. Master of Puppets – Metallica (1986)

“Album ini adalah album yang pertama kali saya beli, ketika itu masih SMP”, ucap Baruz. Menurutnya Master of Puppets tentunya merupakan album yang legendaris, dan nyaris tanpa cela: merupakan masterpiece yang diciptakan oleh James Hetfield dkk yang juga merupakan salah

satu album yang menjadi tonggak juga tolak ukur musik thrash metal di dunia, bahkan hingga saat ini. Bisa dibilang haram hukumnya apabila penggemar musik ekstrim belum pernah mendengarkan album ini. Dengan riff-riff gitar yang cepat nan heavy, lirik-lirik penuh keputusasaan, serta dentuman drum dari Lars Ulrich yang tidak begitu apik (namun bagaimanapun itulah ciri khas dari Metallica itu sendiri), album ini

sudah pasti akan menghipnotis para pendengarnya. Tak heran album ini menjadi salah satu album yang mengubah tatanan musik metal di dunia, dan (mungkin) tak akan lekang oleh zaman. Album ini juga merupakan album terakhir dari sang bassist, Cliff Burton, yang meninggal dunia pada kecelakaan bus ketika Metallica sedang menjalankan tur untuk mempromosikan album ini.

DCDC MAGAZINE 75

02. Angel Dust – Faith No More (1992)

Angel Dust merupakan album keempat dan juga

salah satu album terbaik ciptaan grup metal alternatif asal San Fransisco, Amerika Serikat, ini yang mana juga merupakan album kedua

Faith No More dengan Mike Patton pada posisi vokal. Sebelumnya Mike Patton mulai ikut serta

pada album The Real Thing (1989). Dengan masuknya Patton pada vokal, kesuksesan Faith No More itu sendiri terdongkrak, dan disinyalir karena keunikan dari karakter vokal serta teknik menyanyi yang sangat versatile: sangat cocok bila dilebur dengan ragam musik khas Faith No More yang heavy namun eksploratif dan liar. Salah satu bukti keunggulan Patton ini bisa kita dengar pada trek pertama di album ini, “Land of Sunshine” yang bernuansa operatik, lalu ada trek “A Small Victory”, yang cukup kentara dengan influens

David Bowie—cukup nyeleneh bagi

sebuah grup musik metal, hingga lagu bonus, cover song dari grup musik soul, Commodores, “Easy”, yang ironisnya menjadi salah satu lagu yang membuat Faith No More dikenal oleh khalayak umum pada era 90-an. Hal-hal tersebut tentu diaminkan juga oleh sosok Baruz, dan bagi Baruz, sosok Mike Patton juga sangat berpengaruh besar dalam teknik bernyanyinya sejauh ini. “Hampir semua album dan karya

Mike Patton pasti saya suka banget, terutama untuk mempelajari teknik vokal beliau”, ujarnya.

03. Vulgar Display of Power – Pantera (1992)

Di tengah gempuran musik grunge yang sedang hangat-hangatnya di awal dekade 90-an, muncullah gebrakan perlawanan revolusioner nan agresif dari Texas, yakni lahirnya album keempat dari Pantera, Vulgar Display of Power. Menyerang khazanah musik ekstrim dengan repertoir penuh kemarahan bertenagakan oktan tinggi, Pantera meningkatkan standar di dunia musik cadas ke tingkatan baru. Di

Hot Picks | Yudi Setiawan a.k.a Baruz - 5 Album Paling Berpengaruh 76

sisinya yang lain, Vulgar Display of Power juga mengukuhkan posisi sang gitaris, Dimebag Darrell, menjadi salah satu dewa gitar di planet ini. “Hampir semua album Pantera saya suka, sebenarnya. Tapi memang album ini yang terasa nampol-nya, dan sempat bawain (lagu-lagunya) juga dulu waktu awal-awal main band,” ungkap

Baruz. Mendengarkan album ini ratusan kali pun rasanya tidak akan memunculkan kejenuhan bagi yang mendengarkannya, tentu dengan resiko dapat memecahkan gendang telinga. Sangat wajar bila majalah Rolling Stone menobatkan album ini sebagai album metal terbaik sepanjang masa di urutan ke sepuluh pada salah satu daftar mereka.

04. Appetite for Destruction – Guns N‘ Roses (1987)

Liar, mungkin kata yang dapat menggambarkan keseluruhan dari debut album milik kuintet gila asal Los Angeles, Guns N’ Roses. Di tengah populernya band-band glam rock dan hair metal berkostum spandex ketat di era itu, Guns N’ Roses hadir dengan menyempurnakan formula-formula tersebut dengan tambahan etos punk a la Sex Pistols secara

gamblang, lengkap berkombinasikan pengaruh substansi alkohol dan drugs tiada henti. Siapa yang tidak mengenal lagu-lagu seperti

“Welcome to the Jungle”, “Sweet Child O’ Mine”, atau “Paradise City”? Dari hiruk pikuk metropolitan hingga ke gang-gang sempit di Indonesia, di era itu, hits milik Guns N’ Roses diputar oleh semua kalangan. Baruz mempunyai ceritanya sendiri tentang album ini. Baruz yang tumbuh

dengan pengaruh musik-musik cadas yang diperkenalkan oleh almarhum ayahnya, semacam Genesis, Black Sabbath, Deep Purple, dan sebagainya, suatu hari dibawakan kaset pita album Appetite for Destruction oleh almarhum kakaknya untuk kemudian didengarkan secara bersama-sama. Merupakan salah satu kenangan dari masa muda Baruz yang sangat tidak akan pernah terlupakan sampai kapan pun.

DCDC MAGAZINE 77

05. Dr. Feelgood – Mötley Crüe (1989)

Album pilihan Baruz selanjutnya datang dari album kelima milik poster child musik glam rock, the world’s most notorious band, Mötley Crüe, bertajuk Dr. Feelgood. Album ini merupakan percobaan band asal Los Angeles ini untuk membuat sebuah album dalam kondisi sober, tanpa pengaruh alkohol dan narkotika sama sekali, dan mereka pun berhasil

membuktikan kepada dunia, bahwa mereka pun bisa membuat karya yang luar biasa tanpa memerlukan pengaruh berbagai substansi ilegal tersebut (meskipun kita tidak tahu apakah mereka benar-benar se-clean itu pada saat membuat album ini). Tercatat, album ini juga merupakan salah satu album terlaris Mötley Crüe hingga saat ini, dengan lagu-lagu seperti “Kickstart My Heart” yang sangat tight dan intens, “Dr. Feelgood” yang membuat pendengar otomatis mengangguk tanpa mereka sadari, hingga balada patah hati yang terkesan cengeng namun sangat ramah diputar di radio, “Without You”. Bisa dibilang, Dr. Feelgood merupakan opus bertabur

tembang-tembang yang sangat layak untuk dimainkan di stadiumstadium besar yang dipenuhi ribuan penonton. Bagi Baruz, yang tumbuh besar di dekade 80/90-an, Dr. Feelgood memiliki andil yang besar pada pembentukan selera musiknya. “Album yang bagaimanapun membentuk karakter saya seperti sekarang ini. Masa-masa haus akan informasi, haus akan band-band yang memang bagus dan enak di telinga. Album ini terasa pas saat pertama kali didengarkan,” katanya seraya menyebut merupakan suatu keberuntungan juga jikalau ia bisa tumbuh di era di mana perkembangan musik rock sedang jaya-jayanya di dunia ini.

Hot Picks | Yudi Setiawan a.k.a Baruz - 5 Album Paling Berpengaruh 78

Friday Night Live

[Burgerkill]

(Unplugged) B

urgerkill adalah jaminan puguh, bahwa pesta ingarbingar sejatinya tersuguh dengan bobot yang mumpun nan berkelas. Hal tersebut juga yang menjadi intisari dari perhelatan berjudul “Friday Night Live - Burgerkill (Unplugged)” yang diselenggarakan pada hari Jumat, tanggal 20 bulan kesepuluh tahun lalu bertempat di Halfway Bar - Jl. Sulanjana No. 19, Bandung. Meskipun tampil nyaris tanpa distorsi, Agung Ridho (gitar), Ramdan Agustiana (bass), Putra Pra Ramadhan (drum), dan Ronald Alexander Radja Haba (vokal) tetap menyeruakkan aura sangar dan prima. Pun membuat area moshpit sesak, berpeluh keringat, dan tentu saja hujan koor massal tanpa henti dari para Begundal. Di sepanjang

PENTAS Pentas | Friday Night Live – [Burgerkill] - Unplugged 80
Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Ibrahim Partogi

set, Burgerkill merekonstruksi lagu-lagu andalannya dengan orkestrasi akustik menyayat. Tak ayal, lagu-lagu ikonik macam, “Angkuh” dan “Tiga Titik Hitam” merebak dan meruang menjadi elegi yang harmonic. Salah satu peristiwa langka. Dalam kesempatan ini, Burgerkill turut menyelingi repertoarnya dengan nomor “Imagine” dari mendiang John Lennon. Sebuah momentum keberuntungan bagi siapa saja yang hadir pada malam itu!

DCDC MAGAZINE 81

PENTAS

(Purwokerto)

Teks oleh Tiar Renas Yutriana

Foto oleh Tantri Novianti & Ruly Yuwana

Gaung distorsi tanpa tedeng aling-aling, moshpit yang bergelora, hingga ajang letupan pertukaran energi positif dari para pecinta musik metal, sejatinya adalah tiga frasa yang paling sahih untuk menggambarkan perhelatan akbar bertajuk “DCDC Rebel Meet Rebel”. Berlangsung pada akhir pekan di kuartal ketiga tahun Kelinci Air, tepatnya 12 November 2023, “DCDC Rebel Meet Rebel” sukses terselenggara dengan gegap gempita. Kawasan

Taman Andhang Pangrenan, Purwokerto, yang dipilih sebagai lokasi acara, menjadi saksi bisu terbayar lunasnya penantian panjang para metalheads

selama 10 tahun lebih akan menyembulnya kembali spirit ‘REBEL’. Spirit yang bukan hanya merujuk pada musik keras saja, namun merujuk pada pergerakan, perjuangan, semangat, dan setiap keringat yang keluar dari para musisi/band Indonesia yang memperjuangkan eksistensi mereka di negeri ini.

Pentas | DCDC Rebel Meet Rebel - Purwokerto 82

DCDC Rebel Meet Rebel” edisi Purwokerto sendiri menghadirkan berbagai nama besar penghuni dunia musik keras Nusantara, diantaranya Burgerkill, Jasad, Beside, Disinfected, Forgotten, dan dua band ShoutOut asal Purwokerto, Eternal Disolator dan SANTET. Dengan sederet nama-nama tersebut, sudah barang tentu jaminannya adalah antusiasme yang penuh euforia. Belum lagi acara ini juga turut menawarkan sesi meet & greet dengan para penampil, pelbagai games menarik hingga suguhan kuliner yang membuat ngiler. Kembali menyambung benang merah yang sudah terselenggara satu dasawarsa lalu, “DCDC Rebel Meet Rebel” adalah sebuah pagelaran musik yang menampung segala spirit kreatif dari para musisi/band Independent. Di sisi lain, ajang ini juga menjadi pembuktian, bahwa untuk kesekian kalinya, di balik sebuah komunitas musik, nyatanya terdapat banyak faktor penunjang, yang harus terus dijaga dan selalu dilestarikan. Dan “DCDC Rebel Meet Rebel” adalah salah satu pelestari itu.

DCDC MAGAZINE 83
Pentas | DCDC Rebel Meet Rebel - Purwokerto 84
DCDC MAGAZINE 85

“DCDC ShoutOut! Day“ adalah ruang ekspresi itu, sebuah perwujudan dan komitmen DCDC dalam mewadahi kreativitas band dan musisi lokal agar memiliki peluang dan bekal pengalaman bertarung di hutan rimba industri musik. Sempat hiatus beberapa saat, “DCDC ShoutOut! Day“ kembali memantapkan diri dan mengudara. Tak tanggungtanggung, aktifnya kembali kantung ini berlangsung secara berkesinambungan per dua minggu setiap akhir pekan, dari 18 November, berlanjut pada 2 Desember, dan disusul kemudian pada 16 Desember 2023. Panggung bermanfaat ini sedianya digelar di Kantinnasion The Panasdalam, Jl. Dr. Setiabudi No. 24A, Bandung.

RPENTAS

uang berekspresi adalah kebutuhan mutlak bagi musisi/ band, terutama bagi mereka yang baru memulai karirnya. Panggung musik bisa dibilang adalah keniscayaan atau langkah awal untuk unjuk aksi, dan akan sejauh mana musisi/band mampu menaklukan hati publik musik. Bila salah satu syarat itu terlewati, kesempatan untuk bisa berjaya di masa depan semakin terbuka lebar.

Merujuk pada visi dan misi pembentukannya, setiap edisi yang terlaksana, “DCDC ShoutOut! Day“

masih menampilkan sederet musisi/ band anom atau pendatang baru, terkhusus dari kawasan Bandung

Raya dan sekitarnya. Para band terpilih ini sebelumnya telah melalui proses kurasi ketat dari serangkaian pendaftaran yang telah dilakukan di satu wadah bernama ShoutOut, sebuah ruang spesial yang menampung segala pola kreasi band-band—bisa dibilang anyar— dan ingin menampilkan karyanya secara langsung di hadapan publik.

Pentas | DCDC DCDC ShoutOut! Day 86

Pada edisi comeback perdananya,18 November 2023, “DCDC ShoutOut! Day“ memanggungkan band muda potensial dari jantung Kota Kembang, diantaranya sur! (berasal dari Bandung), Kalamasa (Bandung), Colorblind (Bandung), Art of Ruin (Bandung), dan satu penampil dari luar Bandung, yakni Subang, bernama Twelve of Accident. Semua band ini merepresentasikan fusi musik yang beragam dan menarik, Meskipun tergolong muda, misalnya, metal atau rock, di tangan mereka tak membuat kualitasnya menurun, malah cenderung segar dan mumpun.

Acara sendiri dimulai dengan simulasi checksound dan workshop tentang tata kelola suara, yang dibagikan secara langsung oleh Tommy “Dusx” Budiawan, selaku sound engineer yang sudah malang melintang di kancah musik bawah tanah dengan banyak band. Di sesi ini, Tommy banyak membagikan ilmunya di dunia teknisi suara. Setelah semua ilmu dibagikan secara teori, para band pun beroleh kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan secara langsung saat soundcheck.

Di sela-sela para penampil unjuk aksi, tersuguh pula sesi yang tak kalah penting, berupa sharing session seputar musik dari Agung “Hellfrog” (Burgerkill) dan Addy “Gembel” (Forgotten). Tak hanya membagikan pengalaman, Agung “Hellfrog”, bahkan turut mengajak para gitaris setiap band untuk melakukan sesi jamming. Sebuah kesempatan emas bagi para gitaris yang tampil hari itu, yang boleh jadi sulit untuk diulang di kemudian hari.

DCDC MAGAZINE 87

Setali tiga uang dengan edisi perdana, di perhelatan selanjutnya, atau tepatnya 2

Desember 2023. Giliran band dari daratan Jatinangor dan sekitanya yang kedapatan unjuk aksi. Mereka adalah Dreaming of Greenfields, The Joplins, Cloversons, Tokoh Fiksi, dan Prabahasa yang memainkan berbagai variasi musik, dari mulai celtic

punk, alt rock, garage rock, hingga black metal. Untuk edisi ini, tak ketinggalan ada sesi bincang-bincang dan berbagi ilmu, figur yang membagikan ilmu dan pengalamannya tersebut adalah Toteng dan Oki Fadhlan Pamungkas dari band death metal Jasad. Toteng memberikan ilmu simulasi checksound dan workshop tentang tata kelola suara sementara Oki berbagi ceritanya dalam mengarungi industri musik metal bersama bandnya.

Pentas | DCDC DCDC ShoutOut! Day 88

Pada edisi penutupan tahun, atau 16 Desember 2023, “DCDC ShoutOut! Day” menampilkan bongkahan-bongkahan emas dari kawasan Bandung Selatan sebagai sajian. Mereka yang berkesempatan unjuk kebolehan adalah Forwar, BWR, Freya Losing Hurts, Tomodachi, dan Selow Migow. Kesemuanya tampil dengan presentasi musikal variatif dan berkelas, mulai dari death grind, pop punk, hingga pop rock. Untuk ilmu seputar musik, chapter ketiga ini dibagikan oleh tiga narasumber kawakan, dua diantaranya nama yang sama pada edisiedisi sebelumnya yakni Toteng yang masih berfokus pada ilmu urusan audio, dan Addy “Gembel” yang memandu narasumber lain, gitaris, Hinhin Agung Daryana atau akrab dengan nama Akew untuk membagikan kisah dan kiatkiatnya dalam bergelut di industri musik.

DCDC MAGAZINE 89

Dari seluruh rangkaian tiga edisi terakhir ini, semua band yang tampil mempunyai kualitas yang patut diacungi jempol dan disebarkan ke hutan industri yang lebih luas lagi. Ruang yang disediakan DCDC untuk mengakomodir segala potensi tersebut, mulai dari kualitas, teknis, sikap dan banyak hal lainnya nyatanya berfungsi dengan baik dan tepat guna. Dan bukan hanya

itu, band-band ini pun pastinya mendapatkan pengalaman berharga yang akan mewarnai perjalanan karir setiap band di masa mendatang.

Bagi band-band yang ingin mempunyai pengalaman seperti mereka, kalian tinggal daftarkan band kalian ke DCDC ShoutOut! di DCDC.ID. Dan bagi yang sudah terdaftar, nantikan gelaran “DCDC ShoutOut! Day” selanjutnya.

Pentas | DCDC DCDC ShoutOut! Day 90

More places, Better points - Extra Leg

(FINAL)

PENTAS
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
DCDC MAGAZINE 91
Foto oleh Ibrahim Partogi

Ibadah tur bisa dibilang wajib hukumnya, terutama bagi band yang serius dan memiliki sederet karya, baik album panjang maupun pendek, apalagi jika band tersebut berkeinginan luhur agar karya-karya yang telah dibuat dengan cucuran keringat itu meluas dan dinyanyikan dengan lantang tepat di depan mata sang pencipta lagu. Dikatakan wajib karena tur adalah amalan lanjutan dari pengenalan karya musik yang sahih, dan tak jarang momentumnya menciptakan banyak kemungkinan untuk membuat si musisi/ bandnya semakin dikenal, atau setidak-tidaknya menjadi perayaan budaya dengan moda bersama-sama yang menyenangkan. Unit poppy punk rock asal Bandung, Saturday Night Karaoke (SNK), adalah band yang bermufakat melakukan ibadah itu. Membawa bekal album pendek terbaru, More Chords, Better Points, Prabu Pramayougha dkk. menjalankan tur ke berbagai penjuru Asia dengan tajuk “More places, Better points Asia Tour 2023”. Tur ini berlangsung sejak Agustus hingga Oktober dan karena ketagihan terus

Pentas | More places, Better points - Extra Leg (FINAL) 92

mendapat titik tambahan setiap bulannya hingga 2023 benar-benar usai. Daftar negara yang disinggahi SNK sendiri diantaranya, Malaysia, Singapura, Jepang dan tentu saja Indonesia. Kami berkesempatan mengabadikan salah dua kuota tambahan tur mereka yang diberi judul resmi, “More places, Better points – Extra Leg (Final)” atau tepatnya chapter paling akhir dari tur pengenalan album pendek terbaru SNK yang diselenggarakan di Asha Akasa, Yogyakarta, pada Sabtu, 2 Desember 2023 dan Mondo House, Semarang, satu hari setelahnya.

DCDC MAGAZINE 93

REVIEWS

– The Jeblogs (Klaten) –Sambutlah

Jika musik rock adalah tentang presentasi musikal yang tidak bertele-tele, namun tetap mumpun secara kualitas. Maka Sambutlah adalah salah satu yang berada dalam liga banal itu, debut album panjang dari band asal Klaten, Jawa Tengah bernama The Jeblogs. Sambutlah merupakan wajah musik rock yang minim riasan menor, cenderung natural dan lugu. Persona yang justru membuat album ini unggul dan memancarkan aura yang menyilaukan (baca: berpotensi mudah disukai oleh publik). Salah satu bukti aura tersebut termaktub dalam lagu berjudul “Bersandarlah” yang juga didapuk menjadi kojo utama di album. Memiliki perpaduan antara lirik yang menyentuh hati, serta melodi yang syahdu dan beat yang energik, lagu berdurasi empat menit lebih ini niscaya akan

menempel di ruang memori otak anda. Belum lagi “Bersandarlah” juga menawarkan cerita yang berfokus pada tema ketegaran, dukungan, kekuatan yang muncul dari sebuah kebersamaan serta menjadi modal untuk menjalani satu-satunya hidup yang kita punya. Satu alasan lain lagi kalau lagu ini mudah menggoda selera. Lalu sisanya, misalnya, “Menari Resah”, “Pulang”, dan “Ode Para Sisifus” adalah deretan lagu yang juga tak kalah kuatnya. Tidak sekadar memainkan musik rock minim riasan, kejutan juga tersaji di salah satu lagu yang ada di daftar, tepatnya di trek terakhir berjudul “Track 8”, di mana The Jeblogs berkolaborasi bersama Gilang Ramadan Ruslan dan rapper Trigga Coca yang menghasilkan lagu hampir sepanjang 9 menit, dengan

Reviews | Sambutlah - The Jeblogs 94

3.8/5

eksplorasi musik yang cenderung berkabut dan eksperimentatif. Sambutlah sejatinya berisikan total 8 lagu rock renyah murni berbahasa Indonesia yang menjadikan kehidupan—khususnya milik orang muda, sebagai benang merah tema, garis wacana yang juga berpeluang reletable dengan perasaaan setiap individu dari para calon pendengar. Meminjam secuil dari lirik di salah satu lagu berjudul sama dengan album, “Sambutlah”, “Tenang Saja, Generasi Baru Telah Tiba”. Sepertinya The Jeblogs harus bersiap dengan kata-katanya sendiri dan Klaten harus berbangga hati karena kini telah lahir putra terbaik mereka yang fasih memainkan musik rock, rock yang di tangan mereka menjadi riang dan kontemplatif di waktu yang bersamaan. (try) DCDC MAGAZINE 95

REVIEWS

THE GRAND CHASE

Rap-unit (baca: grup hip hop) asal Jakarta—tepatnya di bagian Selatan, menandai kembalinya mereka dengan sophomore berjudul THE GRAND CHASE. Dalam album yang dirilis sepekan menjelang pergantian tahun 2024 ini, Envy*— yang terdiri dari rapper Isiah, Hazy Dael, Fat B, Kid Quest, Anima, dan Quest, serta produser Geovanni Bregas dan Ziyan Agrily, berevolusi ke level yang mengejutkan: merepresentasikan kekacauan yang indah. THE GRAND CHASE adalah chapter lanjutan Envy*, album hip hop dengan komposisi yang luas: eksperimen suara dan palet baru yang liar, lengkap dengan tempaan flow yang juga baru. Sebagai bukti, simak lagu chaotic berjudul “MR. MARIPOSA” Rimarima yang digelorakan para rappernya dibentangkan dengan tegap di atas iring-iringan musik psychedelic rock hasil olahan kolaborator, Kinder Bloomen, susunan suara yang sangat aneh, namun bertabur hook yang sangat kuat di waktu yang

–Envy* (Jakarta) –
Reviews | THE GRAND CHASE - Envy* 96

bersamaan. Sebuah paket yang membingungkan dalam konteks yang positif sekaligus akurat dan mampu merefleksikan latar tema liriknya mengenai pengembaraan hidup yang hilang. Contoh lainnya tersemat pada trek dengan nomor urut 5, “NO DIRECTION”, di mana Envy* menyodorkan navigasi layaknya labirin dengan beat switches dan perubahan vibe yang distingtif. Jangan lewatkan juga lagu berjudul sama dengan album, “THE GRAND CHASE”, yang menampilkan melodi gitar menyayat dengan sensibilitas pop yang manis, juga vokal tamu solois perempuan, Faye Risakotta, yang sama menyayatnya dan menyatu saling bersinergi. THE GRAND CHASE sendiri secara tema

membawa narasi ‘breaking the fourth wall’, berupa eksistensi individu, hidup, serta realitanya yang tergambar sebagai sebuah film atau sesuatu yang bersifat fiksi. Dengan begitu, THE GRAND CHASE adalah penggambaran emosi, struggle, ambisi dalam masingmasing individu ENVY* (personal). Dan sejatinya, melalui album ini, Envy* berhasil membuktikan bahwa untuk berevolusi (sekalipun menjadi aneh) adalah hal yang elok, dan bukan sesuatu yang buruk. Boleh saja mereka mengaku tersesat (sebagaimana banyak dibahasakan dalam lirik-liriknya), tapi Envy*, nyatanya berhasil mengarunginya lalu menemukan tujuan hidup yang indah. (try)

DCDC MAGAZINE 97
4.1/5

DCDC

HEAVY Rotation

Albums–EPs Albums–EPs

MAGAZINE
2324 – Iwan Fals (De)Conception – Sri Hanuraga DIGDAYA – Natinson Layar Terkembang (With Sails Unfuried) – hara Rose Apple Tree – Axel Gulla
Heavy Rotation 98
Udara Segar (Remastered 2024) –BIP

Singles

“An Najma” – Ali (Feat. Adam Halliwell) “Masa Kita” – Rock N Roll Mafia “Divided Purpose/ Triumph of The Ratrace” – Extincted “Tak” – Danilla “Edelweiss” – Texpack
DCDC MAGAZINE 99
“Tak Ada Wifi di Alam Baka” – Koil
Features | Isyana Sarasvati – EP - my Mystery 100

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.