CONTENTS THE PITCH Koil Spiritualism di Balik Cahaya Hitam 8 FEATURES Burgerkill Penggalian Puing-Puing Harta Karun 24 Hindia Kepakkan Sayap ke Negeri Matahari 29 Nidji Presentasikan Karya Guruh Soekarno Putra 31 Rock N Roll Mafia “Masa Kita” dan Suasana Kekeluargaan 34 Q&A Kontradiksy Sabda Sang Troubadour Anomali 38
HOT NEWS
Arc Yellow Moda Ancang-ancang Menuju Album Ketiga 55
ArumtaLa Takut “Masuk Angin” 58
Glosalia Serukan Kebebasan “Selamatkan Kehancuran” 60
noui
HOT MICS
HOT PICKS
5 Album Paling Berpengaruh versi Bobby Agung Prasetyo (Taruk) – 69
PENTAS
Rocking Rampage Tour: Homecoming – 72
ENCORE – 78
ANTI-CENIT Vol. 4 – “Medio-Core” – 88
BORDER ROOM Penceritaan Sarat Emosi 63
Memburu Mimpi! (Part. 1) 66
REVIEWS
Preliminer – mmmarkos! – 96
Was It The Wandering Chestnut Prince? / Constellation of Misty Contraband (The Tunnel of Zazar) – Kinder Bloomen – 98
DCDC MAGAZINE HEAVY ROTATION
Albums–EP’s – 100 Singles – 101
Producer DCDC.ID
Director Satria NB
Editor in Chief Tiar Renas Yutriana
Writer Abraham Gerald Leingul
Photographer Ibrahim Partogi
Artwork & Graphic Design Lutfhil Hadi X Arrahman
Advertising ATAP PROMOTIONS
Publisher DCDC.ID e-mail
dcdcmagz@gmail.com
Belum genap 3 bulan, tahun 2024 sudah memperlihatkan banyak peristiwa musik dalam negeri yang layak untuk dicatat dengan garis tebal. Berbagai informasi, baik dari arus utama maupun arus pinggir, terus menerus hadir, bergulir tanpa rem yang pakem, lalu saling menabrak, bergantian tempat satu sama lain di muka awal saluran berita cetak ataupun daring. Kesemuanya (mayoritas) mengabarkan wacana yang positif serta menancapkan jejak-jejak riwayat yang khas. Sebagai contoh, yakni perihal konser yang dilangsungkan pagi-pagi sekali (setelah matahari terbit), digelarnya kembali festival rutin berskala Internasional, hingga pameran retrospektif dari band legendaris kebanggaan kita semua. Belum lagi, tak terbendungnya rilisan musik yang seminimal-minimalnya setiap hari Jumat saja selalu mencatat adanya karya baru yang mengudara di layanan
streaming musik, spotify. Dari lagu lepasan, album pendek, album penuh yang sumbernya juga tentu saja berasal dari berbagai variasi gaya musik dan lintas generasi. Hal yang bahkan bisa dikategorisasikan sebagai “rutinitas baru atau budaya baru?” dari gegap gempita khazanah seni musik di hari ini.
Selingkar peristiwa-peristiwa semacam ini tentu menjadi preseden yang baik bagi keberlangsungan atau tumbuh kembangnya ekosistem musik itu sendiri.
Sejatinya perangainya semakin mengarah ke jalur yang terang (ya, meskipun selalu ada saja temaram di sisinya yang lain). Dan sepertinya tahun Naga
Kayu ini akan menjadi tahun yang menyenangkan untuk ke depannya jikalau
di kuartal awalnya saja sudah menampakkan banyak sekali pustaka informasi yang membuat hati para penggemar musik (termasuk kami) sumringah.
Daftar yang kami suguhkan untuk pembaca pada edisi ini adalah serangkaian pustaka dimaksud yang sudah barang tentu sangat kami yakini untuk kami garis tebal dan sebagai hidangan peristiwa yang layak dikonsumsi oleh siapa saja, menu berupa gerak-gerik, langkah, dan juga manuver dari para pemusik ragam bentuk, khususnya musikus-musikus yang menghiasi periode atau babak penghujan tahun 2024 secara percaya diri dan cakap. Selamat membaca!
THE PITCH THE PITCH THE PITCH
Spiritualism di Balik Cahaya Hitam
KTeks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Asep Wahyu (@asepwahyunf), Arfianto (@esjerukboy), dan Cepy Arief Hepiana (@jusa666)
oil adalah satu dari sekian banyak band yang telah mengalami banyak perubahan peta musik (baca: landskap industri). Muncul
dari masa keemasan Saparua, lalu mejeng dengan parlente di MTV (serta diikuti ke berbagai Televisi Swasta lain dan Nasional) dan berefek tak terelakannya rutinitas naik turun ratusan panggung dan berpindah-pindah
dari satu kota ke kota lainnya, kakak beradik Otong dan Donnyantoro, Leon Legoh, dan Vladvamp, sejatinya masih berdiri tegap dengan kuda-kuda
DCDC MAGAZINE 8
yang kuat sejak dibentuk circa 1996. Hari ini, mereka berupaya
mengangkangi era serba-serbi digital dengan melepas lagu baru secara
rutin sebagai langkah menebus janji
menuntaskan album penuh keempat yang tertunda lebih dari dua windu.
Sejak pagebluk melanda dan memberhentikan banyak corong kehidupan (termasuk musik dan selingkar wilayahnya) di tahun 2020, Koil, sebagai komplotan berkesenian musik bersiasat untuk tidak ikut tumbang. Skema yang dilakukan adalah dengan merancang seri installment. Tawarannya adalah
versi mentah atau demo dari lagulagu baru, cover, dan rekonstruksi dari sederet karya yang dicomot
dari diskografi yang pernah dirilis.
Di luar menebus janji, skema ini
bisa dibilang merupakan pelepas
dahaga bagi penggemar (baca: KoilKillerKlub), apalagi album
terakhirnya, Blacklight Shines
On—disingkat jadi Blacklight, sudah berumur belasan tahun.
pertengahan tahun lalu, Koil telah merilis dua lagu baru dimaksud, masing-masing berjudul “Pecandu N rkotbah” dan disusul oleh “Tak
Ada Wifi di Alam Baka” di awal tahun 2024. Dan jika tidak ada aral melintang akan ada yang baru lagi dan lagi, paling cepat satu caturwulan sekali sampai semuanya benar-benar terkumpul dan berakhir dalam wadah album penuh. Dalam tiga tahun terakhir ini, bisa dibilang adalah periode yang hectic bagi Koil. Pasalnya, di tengah-tengah mengupayakan dan menyempurnakan lagu baru untuk dirilis ke muka publik musik, selalu ada proyek lain yang juga mereka kerjakan dan semuanya bukan berfungsi sebagai selingan alias selalu dikerjakan dengan sangat serius, “Semua lagunya Koil selalu istimewa dan dikerjakan dengan super serius,” kata Otong.
Seri ini lantas ditindaklanjuti. Demo lagu-lagu baru yang termuat dalam
proyek installment diselesaikan sampai tuntas lalu dilepaskan secara ketengan. Sejauh ini sejak
Proyek lain itu adalah Lagu Hujan EP, diunggahnya audio penuh secara digital tentang momentum bersejarah
Koil di tahun 2011, “Konser Sabuga”, perilisan ulang album Blacklight versi vinyl, dan koloborasi saling bertukar lagu dengan band rock muda, .Feast.
DCDC MAGAZINE 9
Dengan kata lain, serangkaian aktivasi ini adalah bukti sekaligus jawaban dari banyaknya pertanyaan penggemar dan publik musik pada umumnya, terutama terkait eksistensi Koil di peta musik nasional, dan… nyatanya, kreativitas bermusik mereka masih sangat prima dan tidak pudar karena usia, meskipun angkanya tergolong tidak lagi muda.
Dalam hematnya, senjata-senjata
baru Koil ini pernah di-publish, tapi jangkauannya tidak masif. “Pecandu
N rkotbah” pernah dikenalkan Koil melalui seri installment edisi pertama (rilisan eksklusif dalam format CD) pada masa awal-awal pagebluk melanda (2020). Namun di luar rilisan fisiknya yang dicetak sangat terbatas dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, “Pecandu N rkotbah” versi First Installment belum menemukan wujud aslinya secara utuh atau masih dalam bentuknya yang paling kasar berupa demo version.
DCDC MAGAZINE 10
Lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka” mengandung musik dan lirik yang berbisa. Jadi, bukan ditujukan untuk orang dengan otak berkapasitas mono.
– Donnyantoro –
Sedangkan lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka” kali pertama dikenalkan Koil melalui atau dicomot dari seri lanjutan atau kedua installment, Second Installment, tepatnya pada tahun 2021. Akhir tahun lalu, lagu ini juga sebetulnya pernah dibewarakan melalui prosesi kolaborasi dengan band rock muda ibu kota, .Feast.
Selain keduanya saling bertukar lagu, Koil dan .Feast bermufakat merilis lagu bersama yang tidak lain adalah versi khusus dari “Tak Ada Wifi di Alam Baka”. Format elaborasi yang lantas disepakati untuk dipublikasikan lebih awal dan meluas ke hadapan publik musik dibandingkan bentuk orisinalnya.
Menurut penuturan Donnyantoro, selaku otak pembuatan lagu, “Pecandu N rkotbah” sendiri merupakan kepingan atau puingpuing harta karun dari sisa-sisa penggarapan album, Blacklight. Pondasi dari materi ini sudah diracik sejak 2005, namun kemudian dikristalkan karena satu dan lain hal.
“Sejak dibuat 18 tahun lalu, lagu ini sudah mengalami bongkar pasang aransemen berulang kali, sebelum akhirnya sampai ke versi seperti sekarang. Tapi mood-nya, sedikit banyaknya masih melingkar di range musik era Blacklight namun tentunya dengan gaya yang berbeda,”
DCDC MAGAZINE 11
katanya seraya menyebut jika latar penciptaannya ini bersumber dari
eksplorasi bebunyian synthesizer yang ia mainkan di markas besar Koil era itu, di Jalan Sultan Agung No. 9, Bandung.
Lazimnya, lagu “Pecandu N rkotbah”
masih mengedepankan ciri khas yang kental dengan identitas Koil selama ini. Berputar pada riff-riff dari kelokan sirkuit rock masa lampau yang mereka gemari dan bersentuhkan atmosfer gelap serta bassline menarinari dengan bunyi perkusif pemicu adrenalin untuk ber-headbang ria.
Sisi lainnya, “Pecandu N rkotbah” menawarkan aransemen yang lebih kompleks dari lagu Koil yang
lain juga tercatat menjadi lagu terkencang dari seluruh daftar katalog yang pernah Koil kenalkan sejauh ini.
Sementara pada departemen lirik, “Pecandu N rkotbah” membubuhkan sengatan larik menohok tentang fenomena kesalehan sosial. Tutur katanya sudah berbisa sejak verse pertama. “Atas nama harta, atas nama cinta, atas nama setan berkedok agama yang menjanjikan surga…”.
Tak ketinggalan, Otong yang selalu bertugas merajut lirik turut menyematkan ciri khasnya selama ini, berupa nukilan-nukilan humor yang menggelitik.
Dari apa yang disulam oleh Otong, sejatinya “Pecandu N rkotbah”
berpotensi melahirkan friksi di sektor lirik. Urakan dengan pemilihan diksi pedas namun ada ruang-ruang yang justru seolah sengaja dibuat kosong—tak bertuan—untuk bahan bakar perenungan bagi siapa saja yang sudah rela mendengar.
Terutama pada saat leher emas
Otong memekik parau frasa
“Pecandu N rkotbah” itu sendiri. Sebuah permainan kata-kata yang bersifat paradoksal.
Di samping itu, lagu “Pecandu N rkotbah” juga memiliki kadar serampangan dengan sampling yang Koil sertakan. Sampling yang juga sekaligus bisa menjadi detector bagi pendengar tanpa perlu bersusah payah mencari tahu dari mana sumber inspirasi penulisan lirik ini tercipta.
DCDC MAGAZINE 12
Satu hal yang perlu di garis tebal,
Otong mengaku memposisikan diri
sebagai penggemar akut dari sosok
yang menginspirasinya melahirkan
lagu “Pecandu N rkotbah”. Apa
yang ia tulis bukan untuk menyerang.
Otong hanya melihat fenomena ini
lalu mengubah bentuknya menjadi karya seni nan estetik. Sisanya, sebagaimana kita ketahui bersama, Otong mempersilakan agar nilai dan maknanya diinterpretasi sebebas mungkin.
Artwork “Pecandu N rkotbah” oleh Patra Aditia (@patraditia)
DCDC MAGAZINE 13
Apa yang ditulis oleh Otong mungkin terkesan menohok dan kasar. Tapi faktanya fenomena tersebut adalah kenyataan yang juga kita lihat dan alami sehari-hari.
– Leon Legoh –
”Apa yang ditulis oleh Otong mungkin terkesan menohok dan kasar. Tapi faktanya fenomena tersebut adalah kenyataan yang juga kita lihat dan alami sehari-hari, bukan? Baik itu di media (daring dan cetak), media sosial, bahkan terjadi dan sangat dekat dengan lingkungan kita sendiri, misalnya, di lingkaran pertemanan, bahkan hingga ke ruang lingkup terdekat yaitu keluarga,” ujar Leon Legoh.
Lazimnya, karya-karya Koil, trek
“Tak Ada Wifi di Alam Baka” juga punya ciri khas yang kental. Masih berputar pada riff-riff menikam yang bersumber dari khazanah musik kencang dari era masa lalu kegemaran sang pencipta Donnyantoro. Pembeda dan sisi istimewanya, trek ini terdengar otentik. Jejak-jejaknya tidak terdeteksi dan bukan bersumber dari katalog-katalog musik Koil yang pernah ada sebelumnya.
DCDC MAGAZINE 14
Gue merasakan sekarang ini banyak sekali remixer yang punya ide-ide segar.
– Vladvamp –
““Tak Ada Wifi di Alam Baka” adalah original by itself. Tidak mirip dengan lagu-lagu Koil mana pun yang pernah dirilis sebelumnya,” tutur Otong.
Dengan aransemen yang lebih punya atmosfer glam/heavy metal, lengkap dengan bassline menari-nari serta bunyi perkusif motorik pemicu jantung, “Tak Ada Wifi di Alam Baka” diberi imbuhan lebih melodius sehingga kental dengan corak musik ugal-ugalan sekaligus harmonic di rentang waktu yang bersamaan, juga berperisakan hook yang mudah menempel di memori.
“(Kalau) lagu ini dibuat di Jakarta, circa 2009-2010. Waktu itu gue lagi senang-senangnya main gitar dengan efek fuzz. Biasanya kalau lagu-lagu yang basic-nya adalah gitar fuzz pasti hasilnya akan berputar di jurus yang itu lagi-itu lagi. Nah, karena di tahun tersebut gue lagi sering bernostalgia dengan riffriff glam metal: semacam Judas Priest dan sejenisnya, maka gue coba menggabungkan kedua jurus tersebut, lalu bikin drum basic-nya pakai fruity loops,” ujar Donnyantoro.
DCDC MAGAZINE 15
Artwork “Tak Ada Wifi di Alam Baka” oleh Patra Aditia (@patraditia)
Lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka”, lanjutnya bisa dibilang termasuk lagu yang sudah terlupakan. Pasalnya, ia memiliki banyak sekali lagu yang tidak pernah/sempat tergarap oleh band dan hanya berakhir di peranti komputer sebagai demo saja, bahkan
jumlahnya ratusan. Tapi suatu waktu, Otong meminta semua file lagu demo yang telah dikerjakan Donnyantoro tersebut dan tak dinyana ternyata lagu ini menjadi salah satu yang dipilih untuk ditindaklanjuti.
DCDC MAGAZINE 16
“Lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka” dibuat dadakan, sebenarnya. Waktu
itu Koil butuh lagu ekstra untuk
kebutuhan merilis ulang Blacklight
oleh label Nagaswara. Ketika proses
pengerjaannya sedang berjalan, di tengah jalan gue berbelok arah. Gue malah bikin lagu “Aku Rindu”. Gak
tau juga kenapa, mungkin, memang sudah jalannya begitu,” katanya.
Bangunan musik yang telah didirikan dengan megah itu, seperti biasanya, lalu diolesi tinta emas berupa rima-rima ajaib oleh Otong.
Secara tema, “Tak Ada Wifi di Alam Baka” dirajutkan dengan goresan
lirik tentang spiritualism, atau lebih spesifiknya, lebih ke pertanyaan
tentang spiritualism itu sendiri yang menurut pengakuan Otong tidak berarti apa-apa dan tidak memiliki makna khusus (nonsense).
“Lirik yang gue bikin itu hanya potongan kata-kata saja, sebetulnya. Kata-kata dari ketidaksengajaan satu, ketidaksengajaan dua, ketidaksengajaan tiga, dan seterusnya. Kayak lagu ini. Semuanya bermula dari sampling yang gue punya, yaitu sampling dengan kata-kata: “Bertobatlah Engkau Umat Baragama”,” kata Otong.
Gue tidak pernah membuat peraturan dalam menulis lirik yang menjadikannya sebuah kebenaran mutlak.
– Otong –
DCDC MAGAZINE 17
Ketidaksengajaan selanjutnya, ujar Otong beroleh dari peristiwa pertemuannya dengan seorang ahli agama atau ustaz. “Ada momen di mana gue bertemu salah seorang ustaz. Intisari obrolan dari pertemuan tersebut adalah bahwa sebelum kiamat terjadi, surga dan neraka itu belum ada. Beliau menjelaskan panjang lebar berdasarkan pemahamannya itu. Dan gue kan, bukan tipikal orang yang tidak membantah dan tidak juga mengiakan. Di satu sisi, gue adalah orang yang junkie internet. Mun euweuh wifi, hirup aing kumaha, nya? Tema surga neraka dan kehidupan keseharian gue sebagai junkie internet itulah yang gue gabungkan menjadi lirik,” sambung Otong.
begitu, menurut gue, ya, tergantung dari waktu, kapan orang itu mati. Pun kebutuhan orang mati juga berbedabeda sesuai raga dan rohaninya. Dan kebutuhan orang mati itu, apakah sesuai dengan teknologi atau tidak?” kata Otong penuh tanya.
Garis kedua tema itu pula yang kemudian memunculkan ketidaksengajaan lain sekaligus pertanyaan lanjutan tentang spiritualism yang dimaksud, “Jika surga dan neraka belum ada? Sementara orang mati kan, sudah ada sejak sekian ribu tahun lalu? Dan andaikan kita berkumpul di surga atau di neraka, orang yang mati 2000 tahun lalu, misalnya, sepertinya tidak akan membutuhkan wifi. Jadi, esensi obrolan bahwa alam baka itu, begini-
Lebih jauh, Otong juga menegaskan dan menggarisbawahi bahwa apa yang ia utarakan dan tuangkan tersebut benar-benar murni pertanyaan untuk dirinya sendiri dan bersifat personal. Bukan sindiran apalagi dilayangkan untuk fenomena sosial—sebagaimana lirik-liriknya dianggap demikian oleh para penggemar. Tapi tentu saja ia juga tetap mempersilakan pendengar, termasuk anggota Koil yang lain dengan lapang untuk menerkanerka makna liriknya sesuai selera dan berdasar pada pemahaman subyektifas masing-masing. Bebas.
“Gue tidak pernah membuat peraturan dan menulis lirik yang menjadikannya sebuah kebenaran mutlak (absolut). Biasanya yang terjadi adalah sebuah kebenaran by the judgement. Menurut, lu, begini, ya, begini. Menurut, si A, begitu, ya, begitu. Silakan saja di bebas tafsirkan karena mereka punya judgement sendiri-sendiri.”
DCDC MAGAZINE 18
Leon Legoh pun memiliki pendapatnya tentang lirik lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka”. Menelisik guratan yang ditulis Otong. Ia merasa jikalau Otong seperti sedang bermain-main (cenderung ngasal) dengan berbagai frasa.
Berbalut komedi tapi sarat arti yang mendalam.
“Menurut gue, Otong memotret keadaan masyarakat atau perilaku manusia saat ini. (Mayoritas) orang kan, gak bisa lepas dari internet dan sosial media. Itu adalah hal utama.
Hal lain hanya nomor dua, tiga, empat, dan seterusnya,” kata Leon.
Leon juga menambahkan anggapan di sisinya yang lain, jika lagu ini, adalah komposisi bebunyian gahar tapi catchy. Cukup sekali dengar saja orang bisa langsung ikut bernyanyi.
Dunia Fantasi” dengan peletakan pukulan hi-hat yang gak lazim. Backing vocal Vladvamp di lagu ini juga pol (melengking) banget. Dan tampaknya, Vladvamp akan lebih sedikit bekerja keras ketika tiba waktunya manggung membawakan versi ini dengan nada vokal yang tinggi sekali itu. Ha-ha-ha…”
“Gue menyimpulkan bahwa lagu ini beririk sinting, musik rock yang gahar berpadu dengan orkestrasi vokal yang indah,” sambung Leon lagi.
Sedangkan kesimpulan Donnyantoro, “Lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka” mengandung musik dan lirik yang berbisa. Jadi, bukan ditujukan untuk orang dengan otak berkapasitas mono.”
“Lagu ini adalah kombinasi musik rock yang gahar dengan melodi vokal yang ngepop. Pas gue dengar pertama kali, Donny, sudah buat patern drumnya. Bagian awalnya keren, mengingatkan pada pola permainan “Kenyataan Dalam
“”Tak Ada Wifi di Alam Baka” is a super catchy fuzz driven love song from us, ” kata Vladvamp menimpali soal pandangannya mengenai kesimpulan lagu.
DCDC MAGAZINE 19
Ragam Bentuk
Bukan Koil namanya jika tidak memberikan kejutan dalam setiap rilisannya. Alih-alih hanya menawarkan satu lagu saja, baik
“Pecandu N rkotbah” maupun
“Tak Ada Wifi di Alam Baka” justru adalah rilisan format single dengan banyak pilihan. Pada konteks ini, Koil memanjakan penantian publik
dengan sederet versi lain. Di luar lagu versi orisinilnya, masing-masing lagunya terbagi ke dalam 7 sampai 8 jurnal musik reinterpretasi ragam bentuk dan pendekatan bebunyian.
“Pecandu N rkotbah” ragam versi itu diantaranya terkemas dalam tawaran nuansa gospel muram dan gelap yang digubah langsung oleh Vladvamp dengan judul “The Ghost Spell Evangelist”. Lalu ada versi remix berlatar drum and bass yang digarap oleh moniker sedarah mereka, Genesida, hingga deretan remix multitafsir lainnya yang melibatkan partisipasi organik dari kawan-kawan musikus lain.
Nama-nama remixer yang terpilih itu
adalah EfanEvanEpan, Kassaf dan Batu Besi Pasir. Respon interpretasi yang mereka buat sangat distingtif dengan gaya pendekatan musikal yang agak mustahil disentuh oleh Koil. Interpretasi bercorak funky kota, misalnya. Sedangkan sisa track lainnya adalah versi demo yang sebelumnya dikenalkan dalam rilisan First Installment dan nomor instrumental yang bisa dipakai untuk sesi berkaraoke.
Sementara pada “Tak Ada Wifi di Alam Baka” Koil melibatkan kembali
EfanEvanEpan (masih dengan musik bercorak funky kota atau koplo). Lalu ada remix dengan nuansa synth-pop halus oleh Burdead, piano (Arizona Mardatias), dan dark wave (Count DraguhL). Sedangkan sisa trek lainnya adalah versi demo yang sebelumnya dikenalkan melalui
rilisan Second Installment, lalu lesson gitar dan bass, hingga format karaoke.
DCDC MAGAZINE 20
“Kalau balik ke sejarahnya Koil. Metode merilis seperti ini (banyak variasi) sudah menjadi bagian dari tradisi. Kami sudah melakukannya sejak dulu, yang tepatnya entah kapan. Berhubung (era) sekarang environment-nya digital. Kami praktikkan hal-hal tersebut di ranah digital. Di sisi yang lain, semakin banyak juga kemudahan untuk melakukannya (remix). Dan buat kami, membuat lagu dengan banyak versi itu jadi semacam pamer keahlian. Pamer keahlian dimaksud, dari satu lagu itu bisa dibikin banyak kemungkinan vibe, segala rupa, dan dengan genre apa saja.
Terutama, bagi yang amatir, atau mereka para musikus yang bukan/ belum menjalani jurnal musiknya secara profesional.
“Gue pengin agar hasil karya mereka bisa didengar orang, makanya Koil melakukan hal ini (memberi ruang kreatif). Karena peluang untuk didengarnya (jadi lebih) besar.”
“Gue, bisa bilang, kalau nada vokal gue itu sanggup menjadi apa pun dengan sangat mudah. Kebanyakan orang kan tidak tahu akan hal itu dan menganggap gue itu gak bisa nyanyi. Tapi dengan adanya variasi rekaman-rekaman kayak begini, mungkin orang bisa realize bahwa nada vokal gue itu sangat-sangat canggih,” kata Otong lagi diikuti gelak tawa.
Dan lebih dari pada itu, motif luhungnya, timpal Otong adalah untuk men-trigger atau menstimuli orang lain untuk mau dan berani berkreativitas tanpa ada keraguan.
Berbagai bunyi interpretasi ini sendiri dipilah tidak dengan moda sembarang karena telah melewati proses seleksi ketat dari inderawi Vladvamp.
“Untuk pertimbangan memilihnya, hal pertama yang gue dengar adalah vibe materinya, metoda mendengarnya dengan berjalan kaki sambil memakai earphone. Apabila vibe-nya sudah kena, baru menuju ke pertimbangan berikutnya yang lebih musikal yaitu sound, kreatifitas juga aransemennya. Gue merasakan sekarang ini banyak sekali remixer yang punya ide-ide segar, namun kembali lagi ke masalah selera. Gue harus melakukan seleksi yang super ketat untuk kemudian memasukkannya ke dalam track list,” ujar Vladvamp.
DCDC MAGAZINE 21
Lagu “Pecandu N rkotbah” dan “Tak Ada Wifi di Alam Baka” secara teknis direkam di The Old Ghost House, Bandung pada kuartal pertama 2023 dengan proses akhir audio—mixing dan mastering—oleh Azthraal, anak kandung dari Otong.
Sementara untuk sampulnya, Koil mempercayakan kepada illustrator bernama Patra Aditia (@patraditia) yang pengejawantahannya atas arahan Otong. Konsepsinya gaya ilustrasi berujung pada satu bentuk akhir tema yaitu kartu tarot. Setiap sampul lagu adalah bagian dari kartu-kartu tarot itu. Sebagai informasi, Patra Aditia bukan orang asing bagi Koil, ia adalah aktor penting yang berperan melahirkan Komik Koil, “Dragonian Warriors” dan “Fallen Gods” pada tahun 2017.
Dari berbagai uraian dan penjelasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Koil memang band yang superior. Apa saja, bisa mereka lakukan dengan optimal. Mereka sepertinya tidak mengenal jalan terjal, walaupun ada bongkahan batu yang sekiranya menghalangi jalan mereka akan ditendang dengan keras, apalagi kerikil?
“Bisa” mereka juga masih dan sepertinya akan tetap meracuni siapa saja. Belum lagi faktanya, tabungan lagu Koil juga terbilang banyak sekali dan tidak akan habis sampai 20 tahun ke depan, tinggal dilepas dari kandangnya kapan pun sesuai kehendak. Sengatan lirik Otong juga masih bertaji, bahkan berkembang ke tema atau ranah-ranah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Keharmonisan sebagai band juga semakin hari semakin mengungat. Lengkap sudah, bukan? Atau ada yang terlewat?
Satu hal yang perlu ditegaskan lagi, wajah Koil hari ini dengan bekal kedua lagu anyarnya itu semakin memancarkan cahaya, yang kali ini menimbulkan percikan sisi spiritualism. Spiritualism dari balik Cahaya (yang masih) Hitam yang mengaku dirinya tuhan. Percayalah, “Pecandu N rkotbah” dan “Tak Ada
Wifi di Alam Baka” lebih dari sekadar kejutan dan oase. Selamat kembali wahai pembawa cahaya hitam!
DCDC MAGAZINE 22
[Burgerkill]
Penggalian Puing-Puing Harta Karun
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Anggra Bagja (@anggrabagja)
FEATURES FEATURES FEATURES DCDC MAGAZINE 24
Unit metal prominen kelahiran Ujungberung, Bandung, Burgerkill, terus bermanifestasi dengan langkah tanpa batas. Baru-baru ini, grup yang kini ajeg
dengan formasi Agung Ridho Widhiatmoko (gitar), Ramdan Agustiana (bass), Putra Pra
Ramadhan (drum), dan Ronald Alexander Radja
Haba (vokal) mengumumkan perilisan diskografi anyar, berupa puing-puing harta karun yang digali dari demo di awal-awal karir mereka.
Bertajuk DEMO 1996/1997 (PALAPA/REVERSE SESSION), bongkahan emas ini berasal dari
dua demo tape yang direkam dan pernah
dirilis di medio 90-an. Spesifiknya, rilisan ini
menawarkan enam lagu pertama Burgerkill
dengan formasi era awal; Toto Supriatin (drum), Iman Rahman Anggawiria Kusumah
alias Kimung (bass), serta almarhum Aries
Tanto alias Eben (gitar), dan Ivan “Scumbag” Firmansyah (vokal).
Ke enam lagu tersebut sejatinya dicomot dari
dua sisi peristiwa. Muka pertama merupakan tiga lagu yang diambil dari sesi rekaman di Studio legendaris Palapa di Ujungberung
pada tahun 1996, atau berjarak tak lama setelah eksistensi mereka menyeruak. Lalu muka kedua, tiga lagu lain yang direkam
setahun kemudian di Reverse Studio, tepatnya beralamatkan di Jalan Sukasenang 3 No. 4, Kota Bandung.
DCDC MAGAZINE 25
[Burgerkill]
Formasi era awal Burgerkill – kiri-ke kanan – alm. Aries Tanto, Iman Rahman Anggawiria Kusumah, alm. Ivan Firmansyah (depan), dan Toto Supriatin.
Lebih rincinya lagi, ‘Palapa Session’ berisikan lagu “Revolt”, “Offered Sucks”, dan “Myself”. Sementara ‘Reverse Session’ bermuatan nomor “Sakit Jiwa”, “Rendah” dan “Blank Proudness”.
Menurut catatan sejarahnya, beberapa materi ini juga direkam ulang di sesi yang lebih serius lagi untuk kebutuhan debut album Dua Sisi. Namun demikian, enam lagu ini lah yang sebetulnya banyak dikonsumsi kawan-kawan di
Bandung atau di mana pun pada era tape-trading, korespondensi zine, tukar menukar koleksi demo, dan meminta Generasi Muda Radio (GMR) untuk memutarnya secara sukarela.
Tercatat materi-materi ini juga yang kemudian membuat Burgerkill pada era formatif itu banyak dikenal di skena hardcore nusantara, atau jauh hari sebelum mereka merampungkan debut albumnya (baca: Dua Sisi) yang bersejarah dan menggetarkan itu.
DCDC MAGAZINE 26
Riwayat DEMO 1996/1997 (PALAPA/ REVERSE SESSION) ini akan
dipadatkan dalam format vinyl 12″, kaset pita, dan tersedia pula dalam bundle t-shirt, yang mengikutsertakan
pula dokumen pelengkap berupa foto
dan beberapa tulisan pengantar dari
beberapa kesaksian, mulai dari Addy
Gembel, Arian13, Andika Surya, dan Herry Sutresna, termasuk dari
Kimung dan Toto.
Rilisan DEMO 1996/1997 (PALAPA/ REVERSE SESSION) juga
berbonuskan poster berukuran A2
dalam setiap paketnya, selain tentu
saja beberapa berkas dalam format
zine berisikan foto, flyer, dan coretancoretan almarhum Ivan Scumbag era itu.
Hal penting lainnya yang perlu
diketahui terkait DEMO 1996/1997
(PALAPA/REVERSE SESSION)
adalah, selain menawarkan 3 variasi warna vinyl (hitam, emas, abu muda), rilisan ini bersifat eksklusif, hanya
akan di press sekali saja sesuai
pesanan alias tak ada repress atau
cetak ulang.
Pre-order DEMO 1996/1997
(PALAPA/REVERSE SESSION)
sudah dilakukan sejak 17 Januari
hingga 29 Januari 2024 di situs
Grimloc Records selaku records label atau unit niaga kolektif yang bertanggung jawab atas hak penerbitan. Dari keterangannya, proyek demo ini diharapkan selesai
pada awal bulan Mei 2024.
Burgerkill sendiri adalah raksasa
metal asal Bandung. Sejak didirikan mereka terus menggerinda dengan
banyak torehan, salah satu yang
imbalance adalah penghargaan
“Metal as F*ck” dari majalah
terkemuka Metal Hammer, yang
juga menobatkan Burgerkill sebagai
salah satu dari 50 band metal terbaik
dunia tahun 2020 dan menjadi satusatunya band Indonesia yang masuk ke dalam daftar tersebut.
DCDC MAGAZINE 27
Di sepanjang karirnya, mereka telah melepas 5 album studio: Dua Sisi (2000), Berkarat (2003), Beyond Coma and Despair (2006), Venomous (2011), dan Adamantine (2018), 1 EP: Killchestra (2020), sederet single lepasan, termasuk sumbangsih pentingnya di berbagai album kompilasi lokal. Tersiar kabar, Burgerkill juga kini tengah dalam periode penggarapan untuk album studio terbaru yang jika tidak ada aral melintang akan dilepas ke publik di semester akhir 2024.
Sampul DEMO 19961997 (PALAPAREVERSE SESSION)
DCDC MAGAZINE 28
oleh Herry Sutresna
Hindia
Kepakkan Sayap ke Negeri Matahari
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Meidiana Tahir (@meidianatahir)
Musik Hindia semakin
menjangkau pasar yang luas. Pada 20
hingga 26 Februari 2024, musisi dan pencipta lagu asal Jakarta tersebut dijadwalkan akan mengadakan
rangkaian pertunjukan intim di Negeri Matahari, Jepang.
Dalam pergelaran yang dikasih judul “Hindia Live in Japan”, Hindia akan tampil di Fireloop yang berlokasi
di Kota Osaka pada 20 Februari, disusul dengan dua pementasan di Tokyo, yakni di Chikamichi pada 21 Februari dan di Adrift pada 26 Februari.
FEATURES FEATURES FEATURES
DCDC MAGAZINE 29
“Gue enggak menyangka bisa main di Jepang. Tiba-tiba ada tiga titik, tiba-tiba teman-teman gue yang orang Jepang ingin nonton,” kata
Baskara Putra alias Hindia yang di dua tahun terakhir sudah pernah
pula tampil di Singapura, Malaysia, Taiwan dan Australia.
“Senang dikasih kesempatan
untuk main di sana padahal gue
enggak ada lagu bahasa Inggris, apalagi bahasa Jepang,” ujarnya menambahkan.
Di rangkaian pertunjukan yang
diselenggarakan oleh IFNESS
Entertainment ini Hindia akan
ditemani oleh Blue Valley Radio, kumpulan musisi yang telah
mengiringinya sejak akhir 2022 yang terdiri dari Kusumawidhiana (drum, music director), Adrian Mahendra (bass), Madukina (vokal), Ivan Janitra (gitar), dan Chika Olivia (kibor, vokal).
Ada pun repertoar yang dibawakan di penampilan-penampilan ini akan
diambil dari kedua katalog album
Hindia, Menari dengan Bayangan
(2019) dan Lagipula Hidup akan Berakhir (2023)—namun dengan pertimbanganpertimbangan tertentu.
“Lagu-lagu yang dipilih adalah yang lebih
bisa berbicara secara universal, jadi fokusnya bukan ke liriknya tapi ke format dan komposisi lagunya,” ucap Hindia.
Masing-masing pertunjukan “Hindia Live in Japan” juga turut dimeriahkan oleh beberapa musisi Jepang sebagai artis pendukung. um-hum, luv, CRAZY Blues, Geloomy, dan カニバル (cannibal) akan
ikut ambil bagian di Kota Osaka; レイラ (Leila), 皆川溺 (Drowning in Minagawa), ミレー (Millet), AoAu dan Uncurtain akan
meramaikan pertunjukan pertama di Tokyo; dan pementasan kedua di Tokyo akan menghadirkan Mellow Youth, luvis, MIRAIJI, Kingo, パキルカ (Pakyrka), dan THREE1989.
“Bagi gue, ini sangat baik untuk percakapan kesenian antara Jepang dan Indonesia untuk ke depan, karena IFNESS Entertainment semangat banget dalam membantu kami,” katanya.
DCDC MAGAZINE 30
Presentasikan Karya Guruh Soekarno Putra
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Jihanira Sharmila (@jihanirasharmila)
Perjalanan Nidji di belantara industri musik dalam negeri
telah dibuktikan dengan melahirkan banyak lagu hits yang laris manis dipasaran. Untuk menindaklanjuti hal tersebut— lengkap dengan semangat membuka petualangan di awal tahun, grup yang kini dihuni oleh Muhammad Yusuf Nur Ubay (vokal), Andi Ariel Harsya dan Ramadhista Akbar (gitar), Randy Danistha (synthesizer), Andro Regantoro (bass), serta Adri Prakarsa (drum) menghidangkan karya spesial.
Berjudul “Buang Buang Waktu”, lagu ini secara khusus diciptakan oleh legenda musik yang berpengaruh besar dalam musik Indonesia, Guruh Soekarno Putra (GSP). Ide membawakan lagu ciptaan GSP sendiri pada awalnya tercetus dari pihak label yang menaungi Nidji: Musica Studio’s, yang menilai bahwasanya kecocokan antara lagu ini dengan persona Nidji berpadanan satu sama lain.
FEATURES FEATURES FEATURES DCDC MAGAZINE 31
Dibalut oleh aransemen musik
uplifting—terinspirasi dari musik
Eropa-british yang sering Nidji
dengar dan konsumsi, “BuangBuang Waktu” dalam hematnya merupakan representasi ajakan untuk semua orang agar tetap melihat sisi positif dan mensyukuri apa yang telah terjadi.
“Lagu ini muncul dari buah pemikiran tentang kehidupan yang dijalani banyak orang di luar sana— kadang kita merasa kesal, bingung, dan kecewa sama jalan hidup ini.
Meskipun dihadapkan pada kejadian yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan, lagu ini menjadi pengingat untuk kita tetap mensyukuri hidup
dan melihatnya dengan perspektif lain. Bisa jadi semua yang terjadi, tuh, bagian dari rencana Tuhan dan semesta yang lebih besar buat kita dan sekitar. Pokoknya, hidup ini kadang ribet, tapi, ya, kita coba nikmatin aja lah, ya!” ujar Ubay sapaan akrab sang vokalis.
Lebih jauh, dengan lagu ini Nidji juga berharap berujung pada pemikiran bahwa selama kita melakukan sesuatu dengan ikhlas, pasti ada hal positif yang bisa diambil dan apresiasi. Oleh karenanya, mungkin saja, lagu ini bisa sangat mungkin relate dengan teman-teman di luar sana, misalnya, yang lagi dikejar revisian (skripsi) atau deadline (pekerjaan).
DCDC MAGAZINE 32
“Kalian harus ingat di luar sana
mungkin banyak orang yang enggak
se-happy lo. Jadi apa pun harus
dilewati dan jangan lupa untuk
bersyukur, mengapresiasi sekecil
apa pun pencapaian, dan menikmati dunia. Kalau enggak ada cobaan, ujian, atau masalah, itu bukan hidup namanya!“.
Pada tahap pengerjaan lagu, Nidji mengaku harus berhadapan
dengan situasi serba menantang
sarat eksplorasi, salah satu yang
paling krusial adalah bagaimana
cara mengantarkan karya GSP
yang sebagaimana kita kenal identik
dengan nuansa retro agar tetap
selaras atau tepat guna dengan
musik Nidji yang juga kadung khas
tanpa perlu mengorbankan karakter
dari keduanya.
Untungnya situasi demikian menjadikan momentum motivasional tentang bagaimana caranya Nidji
mampu dan berhasil menghadirkan lagu yang bisa diterima atau “nyantol” di telinga banyak orang.
Proses pengerjaan “Buang-Buang Waktu” turut dibantu oleh Heston
Prasetyo yang ditunjuk sebagai co producer dengan nahkoda utama
gitaris Andi Ariel Harsya selaku
produser lagu. Baik Heston Prasetyo dan pihak Nidji banyak melakukan diskusi untuk menentukan arah musiknya akan seperti apa, termasukan berdialog dengan tim dari GSP melalui jalur penghubung
AnR Musica Studio’s.
“Buang-Buang Waktu” sejatinya dikenalkan dalam dua bentuk perilisan, yakni dalam format audio utuh dan video musik. Untuk format audionya sudah bisa didengarkan di seluruh platform musik digital, dan untuk video musiknya bisa ditonton di akun Youtube Musica Studio’s terhitung sejak 7 Februari 2024.
Artwork
“Buang-Buang Waktu” oleh IST.
DCDC MAGAZINE 33
Rock N Roll Mafia
“Masa Kita” dan Suasana
Kekeluargaan
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh @gonsskii
Salah satu pelopor bebunyian
elektronik lokal asal
Bandung, Rock N Roll Mafia (RNRM), kembali menyapa publik
musik dengan karya baru berjudul
“Masa Kita”. Dirilis oleh Lafamiglia
Records ke berbagai saluran musik
digital pada 17 Januari 2024, “Masa
Kita” merupakan lagu berbahasa
Indonesia pertama sejak grup ini
didirikan 22 tahun silam.
Keputusan merilis lirik berbahasa
Indonesia tersebut adalah upaya
RNRM merealisasikan masa lalu
yang tertunda. Dalam hal ini mereka sudah pernah membuat lagu
berbahasa Indonesia tapi selalu urung dipublikasikan ke telinga pendengar.
“Gue ingin bikin lagu bahasa
Indonesia yang bisa gue nyanyikan dengan nyaman dan enggak geli,” kata, vokalis sekaligus gitaris, Eky
Darmawan, mengenai alasan utama kenapa akhirnya RNRM menulis dengan larik bahasa Indonesia. Dan “Masa Kita” adalah realisasi nyaman dan enggak geli yang Eky dan RNRM maksud.
“Masa Kita” dalam hematnya
dibungkuskan ke dalam irama dansadansi dengan vokal penuh euforia
FEATURES FEATURES
FEATURES
DCDC MAGAZINE 34
dan dentuman bass melodius. Unsur musikal ini berdiri di atas guratan suasana nostalgia dan intensi berbagi cerita dari kacamata RNRM sebagai generasi milenial yang sekarang sudah bercampur dengan generasi muda.
Meskipun motifnya ajeg, bukan berarti proses “Masa Kita” berjalan mulus. Pasalnya, tak mudah juga untuk mencapai titik mulus tersebut. Keadaan eksternal maupun internal menjadi salah dua kondisi yang sempat membuat RNRM seakanakan stagnan, terutama di beberapa tahun terakhir.
“Semenjak pandemic gue lumayan introvert, ditambah kondisi istri yang sedang mengalami panic disorder. Namun setelah kondisi semakin membaik, akhirnya bisa keluar main, ketemu banyak teman lama dan baru, dan secara tidak langsung menjadi ekstrovert,” kata Hendra Jaya Putra (synthesizer), yang juga merupakan pilar pendiri RNRM.
Singkat cerita, Hendra bertemu beberapa orang yang membuat semangatnya untuk berkarya dengan RNRM terbakar lagi. Hendra lantas menyusun kerangka dasar aransemen dengan nada vokal, lalu mengirimnya ke Eky di Bandung dan
DCDC MAGAZINE 35
Bueno Jurnalis (bas) di kota yang
sama dengan domisili Hendra, yakni
Jakarta. Pelemparan ide ini guna
untuk menambahkan ide masingmasing personel RNRM ke demo lagunya. Setelah saling merespon
barulah mereka merekamnya di Stevesmith Studio, Jakarta.
Di sisi yang lain, karya yang tercatat menjadi kali pertama
sejak dirilisnya album mini Unison (2018) ini, memunculkan suasana kekeluargaan, dan dalam arti yang sesungguhnya. Istri Hendra, Ykha
Amelz, terlibat dalam penulisan lirik bersama Eky, lalu Kafin Sulthan, keponakan Hendra yang sudah
menyalurkan bakat bermusiknya di RNRM sejak masih berusia delapan
tahun, turut mengisi piano dan synthesizer, termasuk keterlibatan
Nara Anindyaguna dan Dalila
Azkadiputri selaku tuan rumah
Stevesmith Studio, yang masingmasing ikut menyumbang suara tuts kibor dan vokal tambahan.
bentuknya ke format digital, dirilisnya “Masa Kita” merupakan momentum
dan semangat baru yang perlu
dirayakan dengan penuh sukacita
baik bagi RNRM maupun bagi para pendengar setianya.
“Yang pasti gue ingin orang-orang
suka lagunya, dan mungkin menjadi nyawa untuk mengingat masa yang sudah-sudah,” kata Eky.
Sedangkan Kafin—yang kini berusia
19 tahun dan masih menjadi musisi pendukung sekaligus penggemar setia RNRM—berharap, “Semoga
lagu ini bisa menjadi pemicu bagi
RNRM untuk terus merilis karya yang beragam dan eksploratif.”
Singkat kata, setelah di 2023 Rock
N Roll Mafia kembali bisa tampil
memukau di panggung-panggung festival besar, misalnya, We The Fest dan Joyland Festival serta
merayakan ulang tahun ke-20 album perdana RNRM dengan mengubah
DCDC MAGAZINE 36
Artwork “Masa Kita” oleh IST.
Kontradiksy SabdaSangTroubadourAnomali
Teks & Wawancara oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh DiksySingadiwarja
Namanya mungkin saja masih asing di telinga Anda, tapi dengan bekal keajegannya dalam urusan meracik lagu: irama bluesy/folky yang syahdu berbungkuskan lirik tajam dan lugas (sesekali super pedas).
Kontradiksy berpotensi dicintai dan dibicarakan banyak orang di kemudian hari.
Ya, moniker solo dari pria bernama asli Diksy Singadiwarja ini sejatinya memiliki segudang amunisi untuk membuat Anda menoleh. Sebagai salah bukti, kami menobatkan salah satu lagu lepasan terbarunya, “Cutinalar” sebagai salah satu yang terbaik dari 5 daftar pilihan dalam edisi
RETROspektif di penghujung tahun lalu.
Q & A Q & A Q & A
DCDC MAGAZINE 38
Tentu kami memiliki alasannya, karena hanya atau cukup dengan bekal petikan gitar kopong saja, lalu mengapung di atasnya nyanyian berat, santai, lengkap dengan bungkus rima menghujam nan menggelitik, musikus asal Bandung yang kini menetap di Karawang tersebut membuat balada yang elok dan mengernyitkan alis (dalam konteks yang positif).
Ada kemurnian yang nampak begitu kuat dalam bangunan “Cutinalar” yang membuat bergidik. Kemurniannya itu mampu pula merobek gendang telinga, berkelindan merasuk ke sel otak lalu
menyayat-nyayat ke sisi terdalam pemikiran. Kami mengambil sedikit saja bagian terbaiknya.
“Kita merdeka udah cukup lama masa terus-terusan ribut soal agama? Yakini yang kita anut benar tanpa mengusik yang berbeda. Kebebasan kita untuk beragama dilindungi mutlak oleh Negara, jangan semena-mena karena semua punya hak yang sama.”
Kata-kata atau goresan lirik yang terpatri tersebut berdaya kejut, bukan? sekaligus menjadikannya
sebagai balada pengingat, bahwa berbagai konflik agama, juga sosialpolitis di Negeri ini, masih saja berkecamuk dan terus lestari, bahkan hingga hari ini, baik secara natural atau dengan kontrol politik.
Karya lainnya juga demikian, mulai dari “The Truth”, “Angel”, nomor gubah ulang Bob Dylan, “The Times They Are A-Changin’”, “Enjoy It While You Can”, hingga EP Carpe Diem.
Kesemuanya memiliki sengatan yang setali tiga uang dengan “Cutinalar”.
Perbedaannya hanya di kadar dan target “rasa” sebelah mana yang akan mengena dan kita refleksikan dengan citarasa yang pas.
Satu hal, dengan lurus hati
Kontradiksy seyogianya memotret hal-hal yang membuat dia “gusar”. Kegusaran yang kemudian juga
bercecabang ke dalam banyak dimensi, tidak hanya menyoal penglihatannya tentang hidup.
Kreatifitas yang tak terbendung, termasuk gejolak atas cerminan dirinya sendiri sebagai seorang musisi yang “tidak musisi” juga menyelinap masuk ke jiwanya sebagai bagian dari keresahan dan jalan terjal hidupnya yang mau tidak mau harus dikangkangi.
DCDC MAGAZINE 39
Menjadi hal yang wajar pula jika pada akhirnya apa yang ditulisnya sejauh ini mengandung banyak “bisa”. Moncongnya beracun, kadangkala berwujud sabda, dan semuanya itu seolah mengalir dan mendarah daging sebagai urat nadi berkesenian yang sepertinya tidak mungkin bisa dipisahkan. Terlanjur membelikat tapi sedianya dapat dipertanggungjawabkan. Mungkin karena ia tumbuh dan berkembang dengan banyak pergolakan dan memilih “menentang”, tentu dengan caranya yang prominen dan boleh jadi sarat resiko.
Satu kata yang sepertinya tepat untuk menggambarkan persona Kontradiksy, yakni anomali. Dan berikut adalah bukti keanomalian sang Troubadour tersebut.
Sebelum membahas lebih jauh ke kekaryaan, bisa sedikit dijelaskan latar belakang mengenai proyek “Kontradiksy” ini? Mengapa akhirnya memutuskan bermusik sendiri setelah sekian lama main band?
Terbalik. Saya lebih lama “bermusik sendiri” ketimbang sebagai satu entitas dalam sebuah band. Bermusik sendiri ini saya artikan sebagai proses pengkaryaan (baca: penulisaan lagu). Faktanya, hanya dua band—yang pernah saya bentuk (Carpe Diem & Uncle Traff, circa 2006—2017)—yang saya anggap cukup solid, dapat memuaskan saya dan mungkin sedikit membuat saya melupakan nikmatnya bermusik sendiri. Fakta lainnya, sebelum membentuk dua band itu, saya sudah menulis sekitar hampir 300 lagu. Sendiri. Beberapa yang akhirnya dibawakan oleh dua band itu adalah materi-materi lama yang usianya lebih tua daripada bandnya sendiri.
Masing-masing, baik sebagai band atau pun solo, punya kelebihan dan kekurangan. Sebagai band, saya punya tandem dalam mengaransemen, menjadikan materi mentah menjadi sebuah karya yang harus dapat memuaskan semua yang terlibat di dalamnya. Ini perlu kedewasaan dalam menyikapinya. Saya sepakat dengan ucapan John Densmore, drummer The Doors, “Being a band is like polygamy without sex.” Kompleks dan seru.
DCDC MAGAZINE 40
Sebaliknya, untuk solo, saya
bisa lebih bebas. Lebih murni, sebisanya, seadanya, sesukanya.
Pergerakannya dapat lebih cepat
dan dilakukan dengan tanpa
mempertimbangkan pendapat pihak
luar. Kekurangannya, bukan berarti
hasilnya lebih bagus. Kadang lebih
memuaskan. Sementara. Selebihnya boleh jadi memuakkan.
Dua tahun setelah vakumnya Uncle Traff, saya putuskan untuk memakai nama Kontradiksy sebagai wadah bermusik saya. Awalnya nama
itu hanya untuk double album: satu bagian berisi lagu-lagu yang
bernuansa Kontra, bagian lainnya
yang lebih personal, Diksy. Tapi pada akhirnya saya pusing sendiri
memilih materi, jadi saya putuskan
menggunakan nama itu sebagai
nama proyek, alih-alih double album.
Anda sinting. Ha-ha-ha. 300 lagu?
Yang benar saja, bagaimana Anda memiliki tabungan lagu sebanyak itu? Dan memangnya gak jengkel punya banyak sekali lagu apalagi
kalau tidak dirilis dan, misalnya, hanya berakhir di hardisk saja? Lalu
apa yang Anda upayakan dengan
lagu-lagu itu?
Sekarang hampir 500 lagu, dan masih berlanjut. Ha-ha-ha. Salah, sebagian besar bukan berakhir di hardisk, tapi di kaset pita yang direkam pakai walkman atau mini compo. Soal jengkel, jelas tidak. Karena tujuannya, ya, sebatas ingin menulis lagu. Tidak lebih. Bagi saya, menulis lagu itu semacam terapi mengeluarkan opini, meluapkan emosi dari banyak hal terkait. Itulah kenapa semua lagu saya selalu bersifat personal. Jika orang lain menulis diary atau butuh psikolog untuk bercerita, maka saya hanya butuh gitar, kertas, dan pulpen.
Bagi saya, lagu-lagu itu seperti anak. Saya hanya melahirkan, merawatnya hingga ia mampu mandiri dan menentukan jalannya sendiri. Terkait upaya, entahlah. Saya hanya melakukan sebisanya, semaunya. Musisi lain punya rangkaian rencana untuk mengembangkan karirnya sebagai musisi, sedangkan saya tidak. Saya paham betul stategi dan lain-lain. Tapi sepertinya saya tidak cocok untuk menjadikan musik sebagai profesi, jadi pengetahuan saya tentang strategi atau manajemen band biasanya saya bagikan kepada kawan-kawan dalam bentuk diskusi.
DCDC MAGAZINE 41
Musik, bagi saya bukan hobi, tapi juga bukan profesi. Musik adalah
cara menjalani hidup. Maka lagu-lagu saya adalah soundtrack hidup saya. Mungkin sedikit pencitraan, saya hanya memaksimalkan kemampuan yang diberi Tuhan dengan cara yang pas menurut saya, bahkan mungkin
itu dianggap musisi lain sebagai kesia-siaan.
Itu juga yang membuat karyakarya Anda—setidaknya yang sejauh ini sudah dipublish, terasa sangat dekat, ya? Baik secara personal maupun sosial. Lalu, jika lagu adalah salah satu terapi, bagaimana memposisikan sisi ini agar bisa jadi milik bersama? Karena lagu setelah dirilis, sejatinya tidak lagi berdiri sendiri. Atau Anda memang tidak peduli, rilis mah rilis aja...
Terasa dekat itu untuk saya. Untuk orang lain, mungkin “merasa” dekat. Bisa jadi karena merasa terwakili, walau saya tidak pernah merasa harus mewakili siapa pun kecuali diri sendiri. Saya hanya menulis lagu, memilih yang menurut saya cukup layak untuk direkam dan dirilis. Setelahnya, selama hak-hak saya sebagai penulis lagu tidak dilanggar, siapa pun bebas merasa memiliki kedekatan atas lagu tersebut, karena faktanya, dalam perilisan pun saya tetap memilih yang menurut saya masih dapat dipahami orang lain. Minimal, jika kesan pada musiknya tidak dapat mewakili pendengar, maka pesan dalam liriknya semoga cukup bisa dipahami.
“Blues memang harus apa adanya, karena kulturnya memang begitu dari sananya.”
– Kontradiksy –
DCDC MAGAZINE 42
Saya lebih cocok dengan ini. Rilis mah rilis aja. Saya berproses
sendiri. Ide cerita diolah sendiri, nulis lirik, merangkai melodi, bikin chord, merekam sampai rilis pun sendiri. Jadi alasan apa yang pas
bagi saya untuk memerioritaskan kepuasan pendengar yang bahkan
saya tidak kenal, tidak memberi modal dalam bentuk apa pun? Ah, saya tidak senaif itulah. Ha-ha-ha.
Mungkin kata yang paling tepat adalah menitipkan karya di platform digital. Karena banyak karya saya yang hilang seiring rusaknya kaset atau hardisk. Jadi saya bukan rilis lagu, sebenarnya. Tapi numpang nyimpan data, supaya aman. Lebih jauh, ini adalah legacy. Bukti otentik tentang pergerakan saya. Bahan cerita yang mungkin akan menjadi legenda atau bahkan mitos untuk generasi mendatang.
Perihal hak, Maksudnya hak apa yang tidak dilanggar sebagai seorang penulis lagu? Tapi kalau kemudian Anda membesar dengan karya-karya yang dibuat, bagaimana?
Penggunaan lagu tanpa izin, salah satunya. Saya bukan orang yang saklek, harus sesuai prosedur atau apalah sebutannya, tapi secara etika, minimal, bisa dikomunikasikan.
Karya yang besar, bukan saya. Seperti tadi saya bilang, “anak-anak” itu punya jalannya masing-masing. Jika memang salah satu “anak” ada yang jadi besar dan kemudian mengenalkan saudara-saudaranya yang lain untuk dikenalkan ke publik, saya sebagai orang tua, hanya melihat dari jauh. Senang rasanya terlibat dalam sesuatu yang manfaatnya bisa dirasakan banyak orang, tanpa perlu orang kenal saya.
Tapi memang, itu terkesan
utopis. Kebesaran suatu karya pasti menyeret pembuatnya. Itu konsekuensi. Tapi saya tidak mau berhenti di fase berhayal terseret menjadi besar atau sebaliknya. Biarlah jalan dengan seharusnya.
Tugas saya cuma mencintai proses dan mensyukuri hasilnya. Apa pun selain itu, bukan tujuan.
DCDC MAGAZINE 43
Apakah ini berhubungan dengan yang terjadi di Indonesia?
Pemikiran semacam ini jelas penting, tapi sepertinya perlu terus di edukasi. Btw, ini juga yang Anda lakukan saat mengcover lagu “The Times They Are A-Changin“ dari Bob Dylan? Anda melewati prosedur yang semestinya? Kalau begitu, lalu apa tujuan Anda sebenarnya dari sekadar memposisikan musik sebagai salah satu terapi dan luapan isi kepala?
Sampul “The Times They Are A-Changin” oleh IST. Tepat. Saya cover itu (“The Times They Are A-Changin“) sebagai bentuk terima kasih atas karyakaryanya yang banyak menginspirasi saya. Saya melakukannya secara legal sebagai bentuk apresiasi kepada penulis lagu. Perihal tujuan.
Ya itu tadi, bersyukur atas bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan dalam bentuk berkarya. Tidak ada yang lain?
Saya serius waktu bilang saya tidak mau menjadikan musik sebagai profesi, tapi bukan berarti saya menolak materi yang dihasilkan dari proses bermusik. Kalau ada, ya, alhamdulillah. Kalau tidak pun, selama saya cocok dan tidak dirugikan, ya, tidak masalah. Saya sama sekali tidak meremehkan profesi musisi. Untuk musisi lain, hal itu cocok, untuk saya tidak.
Ok. Boleh diceritakan proses izin meng-cover lagu Bob Dylan?
Sepertinya ribet dan mahal. Haha-ha. Di Kontradiksy, saya terbiasa bekerjasama dengan Rengga
Ramayuda (Uncle Traff, Lose It
All, Aido Audio) dan Jun (Uncle Traff). Bahkan dari semua rilisan
Kontradiksy, hanya dua lagu yang tidak diproduseri oleh Rengga.
Tentang lagu “The Times They AreA-Changin’” karya Bob Dylan, urusan perizinannya dikerjakan langsung
DCDC MAGAZINE 44
oleh Rengga sebagai produser. Saya tidak tahu persis mekanismenya
seperti apa. Yang jelas tahun 2022
biaya perizinan dari publisher Bob
Dylan untuk masa kontrak 1 tahun
itu sekitar Rp. 300.000. Tapi karena
waktu itu ada diskon “Black Friday”, jadi saya hanya bayar Rp. 200.000,. Banyak yang tidak percaya, tapi itulah fakta.
Hah? Hitungannya murah, ya. Mungkin inilah buah hasil dari upaya komunikasi perihal izin, ya, semuanya jadi terdengar mungkin
dan asal ada itikad baik siapa pun
bisa melakukannya. Konon Anda adalah musisi Indonesia pertama
yang secara resmi (berizin) mengcover lagu Bob Dylan. Betul, begitu?
Mungkin, kami tidak memastikan ke publisher-nya langsung.
Cukup besar, karena memang saya mendengarkan Bob Dylan sejak umur 9 atau 10 tahun. “Knockin’ on Heaven’s Door”, tayang di TVRI saat itu. Bob menyanyikan lagu itu di pagar kayu sebuah peternakan. Saya sama sekali tidak paham liriknya, tapi saya suka melodinya. Beberapa tahun sebelumnya saya dibelikan album Motown. Saya lupa persis apa nama bandnya. Yang jelas, saya sudah dekat dengan melodi atau beat a la Afro-America.
Musik Folk selalu terkait dengan budaya, dan budaya selalu berada pada ruang dan waktu tertentu. Tiap daerah memiliki karakter tersendiri
terkait musik Folk-nya. Baru di tahun
50-60-an paradigma musik Folk Amerika bergeser ke arah yang
lebih spesifik. Politik. Jelas hal ini
karena momentum perang Vietnam. Blues sendiri adalah subgenre dari Afro-Amerika. Konon ada dikotomi
Ok. Anda menyebut Bob Dylan banyak menginspirasi, sejauh mana pengaruhnya? Dan bagaimana dengan “blues” karena mayoritas
saya mendeteksi “blues” sebagai unsur utama karya musikal Kontradiksy...
bahwa jika yang memainkannya adalah Afro-Amerika, maka itu
disebut Blues. Sebaliknya jika yang
memainkannya kulit putih, maka disebut Country.
DCDC MAGAZINE 45
Saya pribadi memandang “Blues” sebagai satu entitas yang saya akrab
dengannya sejak kecil. Tapi saya menolak—tapi juga membiarkan— orang mengkategorikan musik saya sebagai Blues atau apa pun. Jika memang harus, saya lebih suka menyebut musik saya Folk Amerika palsu. Folk KW. Ha-ha-ha.
Blues bagi saya adalah pemberontakan; semangat untuk menolak ditaklukkan.
Dan Anda seperti ini, bukan? Haha-ha.
Rencananya begitu. Ha-ha-ha…
Siapa lagi yang menjadi pengaruh
Anda di luar Bob Dylan? Mengapa
Anda menolak dikategorikan
sebagai musisi yang memainkan musik blues?
Pertanyaan sulit. Masing-masing punya keunikan yang sangat layak untuk dipelajari konsepnya. Untuk solois saya suka Lead Belly. Bahkan saya sampai menulis ringkasan hidupnya sebagai sebuah lagu (belum dirilis). Keb’ Mo’, The Doors, Gil-Scott Heron, Carole King, Randy Newman, Joe Louis Walker, Paul
McCartney, Sheryl Crow, dan banyak lagi. Untuk Band saya suka The Black Crowes, Metallica, RHCP, Pearl Jam, Hootie & The Blowfish. Ah, banyaklah. Yang jelas, Bob Dylan adalah satu-satunya musisi yang paling banyak saya sebut dalam lirik lagu. Untuk Indonesia, satu nama, Benyamin Sueb, sudah lebih dari cukup bagi saya.
Mengapa saya bertanya begitu, karena ada semacam penemuan menarik. Terutama untuk musik blues yang Anda presentasikan, khususnya soal bungkus lirik berbahasa Indonesia, Anda
lumayan sukses memberikan
kebaruan, boleh jadi terkesan “pas”. Bagaimana pendapat
Anda?
Secara urakan, saya mendefinisikan
lagu yang bagus itu yang pas.
Menurut saya, tentunya. Bahwa
kemudian ada orang yang merasa
lagu saya “pas”, ya, bebas-bebas
saja. Mungkin punya karena
persamaan latar belakang atau
ketertarikan. Tapi bukan kebaruan, sebetulnya, karena lagu-lagu yang dirilis, kecuali “Cutinalar”, itu materi
lama. Jadi bisa jadi itu terasa baru
karena memang baru dirilis. Padahal materi lama. Atau mungkin saya
yang terlalu cepat 10-20 tahun. Haha-ha…
DCDC MAGAZINE 46
“Lagu-lagu itu seperti anak. Saya hanya melahirkan, merawatnya hingga ia mampu mandiri dan menentukan jalannya sendiri.”
– Kontradiksy – (Foto oleh @pottretnewbie)
Tapi blues berbahasa Indonesia di tangan Anda jadi mengasyikan. Ternyata dengan lirik yang lebih ke sehari-hari, misalnya, diksidiksi yang cenderung santai dan nyeleneh memunculkan “kekuatan” yang sebelumnya belum pernah saya temui.
Tentunya tanpa bermaksud membandingkan dengan karya orang lain, ya.
Menurut saya, Blues memang harus apa adanya, karena kulturnya memang begitu dari sananya. Dari
kalangan budak, kalangan pekerja, paling tinggi strata kelas menengah secara ekonomi. Ini bukan berarti
Blues tidak bisa menggunakan
eufimisme atau EYD yang baku, tapi butuh kejelian ekstra agar bisa dirasa pas antara melodi, chord dan lirik. Tapi itu kan kembali ke penilaian subjektif masing-masing.
Jadi statement Anda “tidak membandingkan dengan karya orang lain” itu sangat tidak logis, menurut saya. Karena untuk mengetahui pas tidaknya, Anda pasti bertolak dari sesuatu yang tidak pas. Ha-ha-ha...
DCDC MAGAZINE 47
Ha-ha-ha. Tepatnya kalau untuk konteks ini dari sesuatu yang menurut saya “dipaksakan”.
Meskipun bebas-bebas saja, ya. Tapi sebagai pendengar, saya juga butuh alternatif. Jadi ada yang
menurut Anda gak pas dong kalau begitu?
Banyak. Ha-ha-ha…
Ha-ha-ha...
Kalau saya dengar lagu-lagu lama saya, banyak juga yang menurut saya liriknya jelek. Tapi, ya, menulis itu kan latihan. Anda tidak terlahir
dengan keadaan mahir menulis kan?
Sekalipun Bob Dylan? Kayaknya dia mah udah mahir sejak lahir. Ha-ha-ha…
memang. Tapi saya punya sudut pandang yang sedikit berbeda.
Menurut saya, justru karakter unik blues itu karena kulturnya. Jadi bagian itu yang harus diperkuat lebih dahulu. Jika anda seorang ekspatriat, anda akan kesulitan memainkan alat musik tradisi Indonesia tanpa mempelajari budayanya. Praktiknya mungkin lancar, karena teori bisa dengan mudah diasah. Tapi kultur, Anda butuh usaha ekstra agar bisa
menyatu dengannya. Jadi yang saya adaptasi dari Blues adalah kulturnya. Konsepnya. Toh selama saya bukan
Afro-Amerika, musik saya mungkin terdengar bukan sebagai “Blues” bagi seorang Afro-Amerika.
Menarik. Kultur, ya. Kultur juga yang kemudian mempengaruhi
cara Anda mengeksekusi lagu?
Apa bedanya dari sekedar basic referensi musik?
Bob Dylan berangkat sebagai penikmat sastra kelas kakap sebelum dia menulis lagu. Dia pengamat yang jeli sekaligus imitator. Untuk yang terakhir sebetulnya dia ngga bagusbagus amat, cuma unik aja, sih. Ha-ha-ha.
Mungkin untuk blues agak unik. Orang banyak yang fokus ke permainan gitar. Tidak salah,
Kalau saya mah kultur malas. Saya itu nulis lagu karena dulu susah
kalau ngulik dan mainin lagu orang, jadi saya buat. Contoh lain, dulu
saya kesulitan memelajari satu teknik fingerpicking pada gitar. Sampai berminggu-minggu tetap tidak bisa.
Tapi begitu saya nulis lagu dan saya terapkan teknik itu, saya bisa. Jadi saya tipikal yang nyebur saja
DCDC MAGAZINE 48
dulu. Pilihannya habis itu cuma dua: berenang atau tenggelam. Ini tidak untuk ditiru, ya. Ha-ha-ha.
Malas tapi sudah punya 500 lagu. Ha-ha-ha. Di awal Anda menyebut sisi Kontra dan Diksy. Kontra di sini perihal apa saja? Anda banyak sekali keresahan sepertinya, ya.
Nah, itu. Fase rajinnya sudah terlewati. Di tahun 2002, Bob Dylan sudah punya 500 lagu. Saya punya sekitar 150 lagu. Jadi terobsesi mengejar angka itu. Makanya di sekitar tahun itu saya punya target minimal 3 lagu dalam satu bulan. Malah pernah 5 lagu dalam satu hari, karena memang tujuannya kuantitas, bukan kualitas. Tapi itu bagus, karena memang saya tidak dikejar deadline kapan harus rilis, jadi saya punya banyak waktu untuk merevisi banyak lagu. Minimal mentahnya saya sudah ada banyak, tinggal mematangkan yang dirasa layak untuk diolah.
saya dengan pihak luar. Temanya bisa beragam, bisa terkait politik, kebijakan yang dirasa tidak ideal atau apa pun.
Sebaliknya, pada bagian Diksy, itu lebih internal saya. Boleh jadi berkaitan juga dengan pihak lain, tapi liriknya lebih banyak mengandung ambigu, eufimisme dan hal semacamnya di mana saya merasa aman untuk tidak diketahui secara gamblang. Atau secara diplomatis, saya membiarkan orang menafsirkan lirik saya sesuka mereka dan saya tidak membuka ranah diskusi untuk itu.
Tapi di lagu “Cutinalar” Anda tidak terlalu memakai eufemisme, ya? Siapa yang Anda tuju, sebenarnya? Lagu ini terasa sekali penuh amarah, uniknya Anda
menyampaikannya dengan cara yang santai.
Kontradiksy sebetulnya Kontra kepada Diksy. Dalam hal ini saya melawan sisi buruk saya. Itu saja, sih. Kalau soal pembagian dua kata itu sebagai (rencana) judul double album, Kontranya selalu terkait relasi
“Cutinalar” itu bercerita tentang momentum yang sebisa mungkin dibiaskan waktunya. Dan karena tentang momentum, saya harus bicara selugas mungkin untuk
mengurangi potensi liriknya terdistorsi oleh penafsiran pendengar.
DCDC MAGAZINE 49
Yang saya tuju, jelas orangorang yang nalarnya cuti. Bisa jadi termasuk saya pribadi. Pada banyak kasus, lagu-lagu itu merupakan dialog antara saya dan satu atau dua karakter saya yang lain. Jadi bisa jadi sebetulnya “Cutinalar” itu adalah dialog kami. Dua orang berdiskusi, satu orang lagi menyanyi. Yang bernyanyi itu hanya sebagai pewarta. Dia jenuh dengan konflik yang sering ditimbulkan dua karakter lainnya. Ah, saya senang bagian surealis ini. Ha-ha-ha. Lagu ini ditulis tahun 2021. Soal cara saya menyampaikan yang dirasa santai, bisa jadi karena karena banyak faktor. Yang pasti saya sudah di fase malas ribut.
Tapi lagu ini berpotensi “ribut”. Ha-ha-ha... Saya termasuk yang sangat menyukai lagu ini, tamparannya tepat di muka, bahkan muka Bangsa ini.
Tapi saya juga jadi khawatir, karena liriknya berpotensi menjadi friksi. Orang bisa saja menganggap lagu ini ditujukan untuk golongan-golongan tertentu. Anda gak takut?
“Saya tidak mau berhenti di fase berhayal terseret menjadi besar atau sebaliknya.”
– Kontradiksy –(Foto oleh @mad1_greenwood)
opini, itu pun tidak semua opini saya. Ada kalimat Imam Ali, Prof. Quraish
Saya cuma bahas apa yang sudah tayang di media. Jika bentuknya
Shihab, Gus Dur, Gus Mus yang saya kutip. Saya pikir, saya memang bukan penghibur. Karena karya saya pun bukan bersifat hiburan. Sampai di sini, saya paham betul konsekuesinya. Tapi sejauh ini, saya pikir liriknya masih relatif aman. Lagi pula, siapalah saya sampai harus
DCDC MAGAZINE 50
dipersekusi atau malah ditangkap terkait lagu itu? Tidak ada satu pihak pun yang saya jelekkan di lagu itu, jadi saya tidak punya alasan untuk takut.
Memangnya biasanya di mana posisi Anda ketika menulis lirik?
Sebagai pewarta itu tadi atau bagaimana?
Tergantung konsep yang saya garap. Memosisikan sebagai pewarta itu cenderung menghasilkan lagu-lagu bernuansa Folk Blues. Eksplisit.
Lantas konsep seperti
apa yang selalu membuat
Anda merasa harus untuk
mengejawantahkannya? Kalau
gaya penulisan lirik ini (semua lagu yang biasanya ditulis)
sumber rujukannya dari mana
saja kalau boleh tau? Dan pertimbangan nyamannya seperti apa?
Tidak ada yang harus, sebetulnya. Saya kan nulis lagu bukan untuk orang lain. Orang lain pun mendengar atas pilihannya sendiri, bukan karena arahan saya. Ha-haha. Tapi saya senang membahas
beberapa lagu saya, umumnya
yang berkaitan dengan isu sosial. Ya, itu tadi, untuk meminimalisir
potensi tasirnya terdistorsi. Jadi saya mau diwawancara sekarang, salah satunya untuk itu, sama sekali bukan untuk promosi.
Untuk penulisan, saya suka gaya penulisan macam ini dan rujukan saya cuma satu. Winston Groom. Novelis Amerika. Gaya ini saya rasa paling santai dan pas untuk di lagulagu semacam “Cutinalar”. Di lagulagu lain saya banyak mengadaptasi gaya penulisan Muhammad Iqbal, Filsuf India (sekarang Pakistan). Atau sering juga mengadopsi gaya Nietzsche dalam beraforisma.
Lepas dari itu semua, saya memang menulis lagu seperti menulis cerpen. Hal itu karena dulu saya sempat ikut kelas penulisan kreatif (cerpen), jadi wajar jika lirik saya terkesan panjang dan bercerita.
Hmm... Anda memang anomali. Ha-ha-ha. Moncongnya berbisa dan sialnya bisa dipertanggung jawabkan, hal yang juga menjadi nilai lebih.
Tepat. Ha-ha-ha.
Jadi kapan Anda akan berhenti menulis lagu? 500 lagu itu jumlah yang luar biasa, loh.
DCDC MAGAZINE 51
Sekarang pun saya sedang berhenti. Ha-ha-ha.
Sampul “Cutinalar” oleh IST.
Ha-ha-ha. Apa lagi yang akan dilakukan setelah “Cutinalar”?
Sepertinya double album itu menarik. Ada ide merekam live hanya dengan gitar akustik, tanpa ampli, tanpa microphone, direkam pakai hp, di dalam mobil tua saya, Peugeot 306 N3. Saya bakal menyebutnya N3 session. Tapi, ya, tergantung mood nanti.
“Cutinalar”, walaupun gitarnya direkam hanya dengan hp, tapi vokalnya masih menggunakan microphone. Dan itu dua trek. N3 session ingin saya lakukan dengan one take. Salah, ya, ulang dari awal. Anggaplah saya sedang bernostalgia dengan cara lama tapi memakai alat baru.
Kalau di dalam mobil tidak memungkinkan hasilnya, saya mau lakukan itu di sawah atau kebun. Seperti Tom Waits merekam “Chocolate Jesus” atau Muddy Waters merekam di halaman rumah. Apa pun, saya harus tetap berkarya tanpa harus masuk golongan karya, kan? Ha-ha-ha.
Misi anda cukup jelas, sebenarnya. Ide-idenya juga antik. Tapi sepertinya enggan saja membuat dan berada di jalur menjadi seorang musisi yang “normal”. Anda memang muak dengan (skema) industrinya, yah? yang konon harus begini-begitu…
Tidak sama sekali. Kendati saya pernah 8 kali menolak label, saya sama sekali tidak anti dengan label atau industri dalam skala yang besar. Kejadian yang sering saya alami adalah tidak terjadinya win-win solution antara saya dan pihak lain. Jika dari awal tidak ada titik temu, kenapa saya harus memaksa masuk ke dalam industri yang besar? Musisi lain banyak yang bisa kompromi, atau pihak labelnya kompromi, akhirnya berjalan baik. Dan itu bagus untuk mereka. Tapi mungkin hal itu tidak cocok untuk saya.
DCDC MAGAZINE 52
Sepertinya saya memang bukan diciptakan untuk itu. Saya menikmati berada dipinggiran jurang, sendirian. Saya tidak takut jatuh karena pergerakan saya tidak banyak, juga karena tidak banyak orang di sekeliling saya yang memungkinkan kami bersenggolan dan akhirnya saya jatuh. Tapi kalau pun saya jatuh, ya, tidak apa-apa. Saya berada di pinggir kan karena pilihan saya. Jatuh pun saya pasti ke bawah, ke tempat asal saya. Apa yang harus saya takuti ketika kembali ke asal?
Saya, sih, selalu berharap keresahan Anda terus
memunculkan api, tanpa peduli
posisinya ada di mana. Terakhir, di situasi seperti apa karya-karya Anda tepat untuk didengarkan?
Apa pun, saya berharap situasi jadi lebih baik, agar lagu-lagu saya didengar dalam kondisi yang lebih tenang. Sesekali merasa tersindir boleh, tapi karena tenang paling hanya tersenyum kecut, tidak sampai marah. Bahkan jika memang untuk
menjadikan situasi lebih baik, lagulagu saya tidak boleh didengarkan, saya pikir itu pun bagus. Bebasbebas saja. Toh, saya tidak berharap apa-apa ke pendengar, kecuali jika lagu-lagu saya dapat berkontribusi,
menginspirasi pendengar untuk menjadikan situasi lebih baik dan nyaman untuk ditempati.
Saya pribadi jarang mendengarkan lagu-lagu saya. Kebanyakan karena lagu-lagu itu soundtrack hidup, jadi sering menyeret saya masuk ke jalur amnesia melalui lirik-lirinya. Dan itu sering tidak menyenangkan, walaupun tidak selalu menyakitkan, sebab bagaimana pun, yang paling menyakitkan dari momentum adalah karena tidak dapat diulang. Jadi untuk orang lain, silakan dicoba
untuk didengarkan. Saya tidak
tau pasti kondisi yang pas seperti apa. Kalau dirasa nyaman dengan lagunya, berarti pas. Kalau tidak, ya, tidak apa-apa, karena yang sedang
didengarkan adalah pengalaman saya, bukan pengalaman kalian.
Sampul “Carpe Diem” oleh IST.
DCDC MAGAZINE 53
Arc Yellow
Moda Ancang-ancang Menuju
Album Ketiga
Foto oleh
Dheny Restu Firmansya (@dhenystrike)
Unit alternatif/heavy pop, Arc Yellow, kembali lagi ke jalur peta musik lokal dengan merilis proyek maxi-single berisi dua lagu: masingmasing berjudul “LINEAR” dan “KALAP”. Perilisan dari kwartet asal Depok ini merupakan moda ancang-ancang menuju penggarapan album penuh ketiga, yang saat ini sudah tahap pengumpulan materi.
HOT NEWS HOT NEWS HOT NEWS
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
DCDC MAGAZINE 55
Grup beranggota Gilang T. Firdaus pada vokal dan gitar, Muhammad Fahmi (gitar dan vokal), Regi Pramana (bass dan vokal), dan Rizky Oktadinanta (drum dan vokal) tersebut menyebutkan jikalau perilisan kedua lagu ini menyimpan banyak sekali peristiwa menarik, misalnya, untuk fokus trek, “LINIEAR”.
Meskipun berstatus single baru, materi “LINEAR” merupakan barang lama yang sudah ada dan tertumpuk begitu saja sejak penggarapan
sophomore Oh Well… Nothing (2018). Pada era itu “LINEAR” masih dalam format paling polosan, tanpa judul, dan lirik. Bahkan gitaris Gilang
T. Firdaus hanya merekamnya menggunakan gitar akustik kopong dan telepon genggam yang kemudian ia simpan dalam cakram padat berjenis CD-R.w
“Gue sama Regi cuma sempat denger versi demo akustikan doang, udah gitu CD-R yang Gilang kasih, macet-macet. Padahal udah ada e-mail, kenapa gak di-e-mail aja, yak?! Pas lagi nongkrong di rumah Dheny (Manajer Arc Yellow), Fahmi geratak meja kerja doi. Nemuin bungkusan plastik CD-R, demo kumpulan draft lagu-lagu Arc Yellow. Apes banget, kondisinya udah gak kebaca,” ujar Rizky Octadinanta menjelaskan. Walaupun begitu, Regi Pramana mengenang momentum tersebut sebagai sebuah takdir musikal. Lantaran terjadi saat Arc Yellow sedang intens menggarap materi baru dan nyaris stagnan. Setidaknya penemuan tak sengaja Fahmi mengingatkan bahwa Arc Yellow masih punya stok amunisi dan menyelamatkan dari kebuntuan dalam urusan proses kreasi.
“Ya, akhirnya Gilang coba mainin reff gitar ‘LINEAR’ sambil humming gak jelas. Disautin sama Rizky, ‘oke nih lagu’. Selebihnya khilaf aja, sampai demo live, terus direkam serius,” ucap Regi.
DCDC MAGAZINE 56
Untuk bagian liriknya, Gilang mengaku jikalau “LINEAR”
terinspirasi dari relasi Miko Tobing (Personel The Rang-Rangs) dengan kekasihnya. Miko yang ia kenal
sebagai sosok yang penuh gelak
namun bisa juga melankolis di sisinya yang lain.
Kedua lagu ini seyogianya
dikerjakan di tiga studio berbeda, masing-masing di Elephant Studio, Jakarta, Studio 58, Cibubur, dan
Porsea Studio, Depok. Sementara
untuk proses akhir audio atau
mixing dan mastering, Arc Yellow mempercayakannya kepada musikus
Pandu Fathoni alias Pandu Fuzztoni.
Maxi-single LINEAR/KALAP sementara ini hanya bisa
didengarkan di halaman bandcamp resmi Arc Yellow (arcyellowmusic. bandcamp.com) terhitung sejak 1
Februari 2024 yang penerbitannya
beroleh kerjasama dengan label minor, EFFOFF! Records.
Artwork “LINEAR-KALAP” oleh IST.
DCDC MAGAZINE 57
AArumtaLa
Takut “Masuk Angin”
Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Riantinus Ayesda (@vinodii)
rumtaLa, duo musisi berbakat asal Jakarta yang mengambil jenis musik jazz sebagai kendaraan musikalnya, merilis single perdana yang diberi judul “Masuk Angin”.
Single perkenalan dari grup
beranggotakan Arini Kumara (cello) dan Laura Pradipta (vokal) ini dilepas ke pasaran secara digital pada 26 Januari 2024 melalui label rekaman demajors.
Sesuai dengan judulnya, lagu “Masuk Angin” yang musik dan liriknya
dirajut oleh Arini Kumara ini bercerita tentang kondisi (medis) yang sering dirasakan tapi jarang dibicarakan oleh masyarakat, terutama di kotakota besar.
“Kondisi di mana usia sudah tidak terlalu muda dan memilih untuk
diam di rumah bukan karena tidak mau bersosialisasi, namun karena sudah tidak tahan dengan udara malam,” ujar Arini Kumara sembari tersenyum.
“Masuk Angin” dalam sajiannya dibawakan dengan nuansa yang fun, jazzy, dan apa adanya— termasuk mudah nyangkut di telinga—lewat iringan musikus pendukung, mulai dari pianis Jason Limanjaya, penabuh drum Nicolaus Praditya, serta penampilan peniup terompet bernama Rigen Eri Handoyo.
Selain sebagai lagu perkenalan, “Masuk Angin” juga merupakan
single pembuka dari album mini
ArumtaLa yang rencananya akan
dirilis dalam waktu dekat dengan
presentasi musik dengan balutan jazz ringan berbalutkan syair yang
HOT NEWS HOT NEWS HOT NEWS
DCDC MAGAZINE 58
ArumtaLa
apa adanya, di mana dalam hal ini tidak lagi menitikberatkan pada problematika cinta, namun condong ke kehidupan orang dewasa seharihari.
Terbentuk pada bulan Agustus 2023, ArumtaLa sejatinya bukan
kumpulan musisi yang baru-baru amat. Kedua personel ArumtaLa
namanya tak asing bagi dunia musik
Indonesia, terutama di selingkar kancah musik jazz. Arini, sang pemain cello, merupakan anggota
dari grup Chroma String Quartet sejak 2005. Pernah menjadi pemain bas di band HIRA pada 2015 hingga 2019. Arini juga banyak mengerjakan aransemen orkestrasi dan komposisi. Sedangkan Laura, memiliki latar belakang bermusik sebagai penyanyi jazz profesional sejak tahun 2013.
Hingga kini, Laura telah memiliki
tiga single bergenre pop folk melalui proyek solonya. Selain bernyanyi, dalam sepuluh tahun terakhir
Laura juga aktif sebagai seorang
wanita karir di bidang kreatif dan pemasaran.
Artwork “Masuk Angin” oleh Zaky Arifin (@zakyarifin)
DCDC MAGAZINE 59
Serukan
Kebebasan
“Selamat
Kehancuran”
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Anjar Permana (@ anjarpermana)
Unit industrial rock, Glosalia, mengumumkan
seruan kebebasan dalam lagu anyarnya berjudul “Selamat Kehancuran”.
Gaungan lantang oleh kuintet asal Cicadas, Bandung, ini guna mengajak siapa saja untuk berdansa mengenai kemenangan.
NEWS HOT NEWS HOT NEWS
HOT
DCDC MAGAZINE 60
Di samping itu, dirilisnya “Selamat Kehancuran” juga merupakan pengabaran resmi perihal formasi baru Glosalia, Gema Manggala (drums/perkusi) dan Adhitya
Wibisana alias Adhit Android (bass/ sampling) melengkapi keanggotaan band yang sebelumnya sudah diisi
Irsyad Ali (gitar/synth/keyboard), Mega Dirgantara (synth/keyboard/ vokal), dan Arif Ganjar Ali (vokal/ gitar/keyboard).
Lagu “Selamat Kehancuran” dalam hematnya menyentil kehidupan sosial dan politik yang terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di Indonesia. Dengan diksi dan rima yang tajam dan nyeleneh, lagu ini berkelindan dengan melankolia
musik yang merekonstruksi rock tegangan tinggi sarat hook.
“Selamat Kehancuran” sendiri ditulis oleh Arif Ganjar Ali sedangkan musiknya dibuat oleh Irsyad Ali. Duet keduanya pula yang memegang kendali produser “Selamat Kehancuran”.
Lagu yang direkam di TeargasLab Studio, Cicadas, ini sedianya merupakan sketsa ilustrasi dari album Glosalia mendatang. Di sepanjang tahun 2023, Glosalia tengah fokus merekam lagu-lagu yang diproyeksikan menjadi album perdana yang jika tidak meleset akan dirilis pada paruh kedua tahun 2024.
DCDC MAGAZINE 61
Single “Selamat Kehancuran” resmi
mengudara secara daring pada hari
Jumat, 2 Februari 2024. Kita bisa
menyimaknya bersama di semua
cangkang streaming musik digital
seperti Spotify, Apple Music, Deezer, Tidal, Joox, hingga YouTube Music.
Sebagaimana diketahui bersama, dalam khazanah musik lokal, tak
banyak musisi/band yang bertarung
dalam liga musik industrial. Kalaupun ada, delegasinya bisa dihitung jari.
Dari yang bisa dihitung tersebut
salah satu yang masih berdiri kokoh
adalah Glosalia. Mereka terus
berupaya menjelajahi belantara
musik lokal dengan bekal amunisi
fusi sonik industrial rock menghujam sekaligus memikat.
Berdiri pada 30 Agustus 2008, Glosalia segera menjadi marka tanah industrial rock di Indonesia. Di dalam musiknya kita juga bisa menyimak
hard rock, new wave, dan alternative metal yang kuat. Kita bisa menyimak
racikan Glosalia yang elok di lagu
“Hail Gundala” (official theme song untuk film “Gundala”, Warner Music, 2019), “Kita Akan Selalu Bersama” (Irish Records, 2020), hingga nomor berjudul “Parah” (TeargasLab Records, 2020).
DCDC MAGAZINE 62
Artwork “Selamat Kehancuran” oleh Arif Ganjar Ali
BORDER ROOM Penceritaan Sarat Emosi
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Daryl Eng Jun (@darylengjun)
Penyanyi sekaligus penulis muda berbakat yang kini menetap di Singapura, noui, melagukan pengembaraan musikal yang semakin memukau melalui rilisan album mini (EP) keduanya.
Berjudul BORDER ROOM, ia membawa seninya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk pembuktian diri lebih dari sekadar musisi. noui adalah pendongeng sejati yang menyalurkan kedalaman emosinya ke dalam setiap nada.
BORDER ROOM sendiri bukan hanya sebuah EP, melainkan pengalaman mendalam ke dalam lanskap rumit emosi yang disampaikan noui secara personal. Sebagai seseorang dengan gangguan kepribadian ‘borderline personality disorder’, noui menghadirkan perspektif yang unik, mengenai perasaan, dan ekspresi emosi yang kuat dan sangat berbeda-beda.
HOT NEWS HOT NEWS HOT NEWS
noui
DCDC MAGAZINE 63
Setiap lagu dalam EP mewakili
‘ruangan’ yang berbeda, emosi
berbeda yang ditangkap dan
dihidupkan melalui komposisi melodi
sarat atmosfer. EP ini hadir dengan
lima lagu, termasuk dua single yang
telah dirilis, “The Moon Is Not Here”
dan “Spirit” bersama dengan tiga
lagu baru: “Dunia Drives My Car”
sebagai fokus trek, “Body”, dan “Favorite Person”.
“Dengan ‘BORDER ROOM’, aku
mau mengajak orang-orang untuk
melihat dunia melalui perspektif ku
dan mengeksplorasi emosi yang
aku rasakan. Setiap ‘room’ di EP ini mewakili emosi yang berbeda, aspek berbeda dari perspektif ku,” ucap noui.
“Ini adalah perjalanan melalui lanskap rumit dalam pikiran ku, dan aku berharap pendengar menemukan hiburan, inspirasi, dan bagian dari diri mereka sendiri di dalam ruangan-ruangan ini,” katanya menambahkan.
DCDC MAGAZINE 64
BORDER ROOM sudah tersedia
di semua platform streaming digital
hasil kerja sama dengan Wonderland
Records / Universal Music Indonesia, bersama dengan Video Musik “Dunia Drives My Car” di Kanal YouTube Resmi noui. noui, merupakan penyanyi-penulis lagu kelahiran Indonesia, 17 Juli 1996. Nama “noui” berarti “baru” atau
“yang baru” dalam bahasa Latin guna
menyampaikan perwujudan sejati
dari perjalanan, dan evolusinya dari
Sampul “BORDER ROOM” oleh IST.
seorang artis cover YouTube menjadi musisi yang terus berkembang.
Sebagai seseorang yang emosional
dan melankolis, seni selalu menjadi gairah hidupnya. noui yang penuh perasaan ingin mempersembahkan musiknya dengan sentuhan makna
dan filosofi yang tersembunyi. Melodi halus dan lirik puitisnya menanamkan seninya dengan kedalaman paling emosional, penuh perenungan, dan apresiasi yang tak tergoyahkan
terhadap keindahan dunia yang diarunginya.
DCDC MAGAZINE 65
DCDC MAGAZINE 66
DCDC MAGAZINE 67
Bobby Agung Prasetyo
5 Album Paling Berpengaruh (Taruk)
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Fahmi Ramdhani (@bersamafahmi15)
Bobby Agung Prasetyo adalah gitaris sekaligus pendiri gerombolan hardcore punk asal Bandung, Taruk. Ia juga merupakan mesin inti musikal band yang dibentuknya awal 2018 itu. Dari tangan bajanya telah lahir rakitan riff-riff pembunuh nan menghujam, lengkap dengan guratan lirik-lirik tajam menohok yang tak jarang meracau pikiran para pendengar musiknya. Lantas album musik apa saja yang mempengaruhinya, baik untuk hidup maupun pemantik api menjadi seorang musisi. Berikut daftar album yang berpengaruh tersebut:
HOT PICKS HOT PICKS HOT PICKS
DCDC MAGAZINE 69
01. Who’s Next – The Who (1971)
“Saya suka seluruh album sebelum Keith Moon mati overdosis, salah satu yang membekas di hati adalah
Who’s Next. Lagu pembukanya saja sudah “Baba
O’Riley” dengan alunan synthesizer yang sangat
menyihir, dilanjut nomor keren seperti “Bargain”, “My Wife”, hingga “Behind Blue Eyes”. Tak lupa “Won’t Get Fooled Again”, tembang pemberani dan super energik. Saya yakin, The Who adalah peletak batu pertama punk rock. Pete Townshend juga menjadi inspirasi saya bahwa gitaris tak butuh-butuh amat punya skill dewa. Cukup mainkan ritme yang bising, kasar, dan volume mentok kanan. Kalau kurang eksplosif, banting gitarnya!”
02. Bad Brains – Bad Brains (1982)
“Dibandingkan band sebayanya, pengalaman pertama mendengarkan Bad Brains benar-benar bikin mata
terbelalak. “Ternyata ada musik yang bisa lebih liar
dari The Who, The Ramones dan The Damned!,” pikir saya ketika pertama kali mendengarkan Bad Brains, sekitar kelas 3 SMP. Energi yang ditawarkan HR dkk luar biasa di lagu-lagu seperti “Attitude”, “Banned In D.C.”, hingga “Sailin’ On”. Pergantian lagu ke lagu juga cukup unik, dari rock ngebut, tiba-tiba reggae, lanjut ngebut lagi. Dari Bad Brains-lah, saya mulai memupuk niat untuk membentuk band hardcore punk berisi empat orang dengan formasi serupa Bad Brains suatu hari nanti. Wacana ini lantas terwujud belasan tahun kemudian lewat Taruk.”
03. Storm of the Light’s Bane – Dissection (1995)
“Black/death metal tidak pernah sekeren ini. Dissection dengan album Storm of the Light’s Bane-nya adalah inspirasi terbesar saya untuk memainkan musik hardcore punk yang diinfus dosis kegelapan tingkat tinggi lewat Taruk. Mood-nya akan selalu dingin saat mendengarkan dari nomor ke nomor, tapi efek akhirnya terasa panas bin kebas. Terlepas dari kontroversi Jon Nödtveidt
DCDC MAGAZINE 70
soal keterlibatan di kultus setan, pelaku kasus pembunuhan di Keillers Park yang bikin geger satu Swedia, lalu ditutup dengan bunuh diri pada 2006, dia memberikan pengaruh signifikan bagi saya secara musikalitas.”
04. God Hates
Us All – Slayer (2001)
“Kalau ditanya soal memengaruhi hidup, God Hates
Us All jawabannya. Bukan Reign In Blood atau Hell
Awaits. Saya pertama kali mendengarkan Slayer
lewat “Disciple” sekitar 2005, peralihan SD ke SMP
dan masa-masa sering nge-warnet. Di tengah-tengah playlist warnet macam Paparoach, System of A Down, Deftones, pokoknya komplotan nu-rock/metal celana melorot, ada satu band yang berani merapal mantra “Tuhan benci kita semua” tanpa henti. Edan! Ini baru lagu religius. Muatan liriknya tetap gagah tanpa harus didominasi konten soal neraka, setan, dan kawan-kawan. Jika suatu hari nanti ketemu Kerry
King, hal pertama yang saya lakukan adalah sun tangan.”
05. Berkarat – Burgerkill (2003)
“Saya pernah jadi orang yang pesimis terhadap musik metal Indonesia, tapi tidak bisa kalau berhadapan
dengan Berkarat. Komposisi musiknya luar biasa, drum dan basnya candu, kehadiran Mas Agung jadi revolusi besar pada BK, dan vokalnya mengerikan.
Cara bernyanyi Ivan Scumbag mampu menciptakan dua mood: marah dan nangis. Album inilah yang mengantarkan saya untuk menyelami kancah musik bawah tanah lokal lebih dalam semasa SMP. Lagu favorit: “Berkarat” dan “Sejuk Sebuah Dosa”. RIP Scumbag, RIP Pak Eben.”
DCDC MAGAZINE 71
Jawa: Surabaya, Malang, Kediri, Semarang, Solo, Yogyakarta, Purwokerto, serta Ciamis. Dua band asal Bandung, Muchos Libre dan The Battlebeats menutup rangkaian perjalanan tersebut dengan gegap gempita dalam sebuah showcase PENTAS PENTAS PENTAS
Rocking Rampage Tour: Homecoming
Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Ibrahim Partogi
Setelah sukses
menyelesaikan tur gabungan bertajuk “Rocking Rampage Tour” ke delapan kota di Pulau
bertajuk “Rocking Rampage Tour: Homecoming”. Berlangsung pada Sabtu, 22 Desember 2023 di Warehouse Bar, Jalan Gudang
Selatan No.22, Bandung, baik Muchos Libre dan The Battlebeats menawarkan penampilan istimewa nan prima. Muchos Libre, misalnya, mereka membawakan materi album terbaru Self-Titled secara lengkap. Sedangkan The Battlebeats
DCDC MAGAZINE 72
membawakan puluhan lagu tanpa tedeng aling-aling yang diambil dari berbagai rilisan mereka, termasuk 7” split, International Garage, bersama band Perancis, Bart And The Brats melalui Chickpea Records, sebuah label rekaman asal Brooklyn, Amerika Serikat yang dirilis Juli lalu. Suasana yang tersaji, yakni pesta ingar-bingar penuh keringat, liar, dan mengasyikan.
Dalam showcase ini, unit ska-punk, Hockey Hook turut serta dalam pesta kemeriahan sekaligus melengkapi keikutsertaannya di tiga titik terakhir
“Rocking Rampage Tour” yaitu Yogyakarta, Purwokerto, dan Ciamis.
DCDC MAGAZINE 73
DCDC MAGAZINE 74
DCDC MAGAZINE 75
DCDC MAGAZINE 76
DCDC MAGAZINE 77
Teks oleh Tiar Renas Yutriana
Foto oleh Ibrahim Partogi
Apa jadinya jika dua
label bersaudara saling berkomplot untuk membuat panggung musik? Jawabannya
adalah jaminan mutu dan pesta bar-bar penuh kesenangan lengkap dengan mandi keringat rock ‘n’ roll. “ENCORE” adalah penyulut jawaban itu, sebuah hajat milik Disaster Records dan Grimloc Records yang sejatinya dirasakan oleh ratusan orang yang menyemut di auditorium
Institut français Indonésie (IFI) Bandung, Jalan Purnawarman No. 32, Kota Bandung, pada hari Sabtu, 30 Desember 2023 atau tepat 2 hari menjelang pergantian tahun 2024. Selaku empunya acara, kedua
label tangguh tersebut menghadiahi publik Bandung dan sekitarnya dengan band-band sekaliber Koil, Komunal, Krowbar, dan Kuntari— bisa disingkat 4K. Dua daftar yang disebutkan terakhir tampil dengan format istimewa. Krowbar dengan Swagton Blues Band, sementara Kuntari tampil bersama Ssslothhh. Selain suguhan penampilan musik, “ENCORE” juga merupakan hajat korting gila-gilaan cinderemata orisinil hasil cetakan dua label dimaksud, sebuah perayaan menggairahkan bagi siapa pun yang masih peduli akan produkproduk musik yang bisa digenggam
PENTAS
PENTAS
PENTAS
DCDC MAGAZINE 78
NCOR
tangan dan dipamerkan dengan parlente. Dengan sajian yang demikian, rasa-rasanya tidak berlebihan jika menyebut bahwa “ENCORE” adalah presentasi rock ‘n’ roll yang nyata, yang di dalamnya menyeruakkan hormon endorphin yang memuncak, lengkap dengan peluh keringat sebagai bensin penyemangat yang tak ada habisnya. Karena memang begitu adanya.ltw1
DCDC MAGAZINE 79
DCDC MAGAZINE 80
DCDC MAGAZINE 81
DCDC MAGAZINE 82
DCDC MAGAZINE 83
DCDC MAGAZINE 84
DCDC MAGAZINE 85
DCDC MAGAZINE 86
DCDC MAGAZINE 87
ANTI-CENIT
Vol. 4: “Medio-Core”
Teks oleh Tiar Renas Yutriana Foto oleh Ibrahim Partogi
Budaya guyub tak bisa dipisahkan begitu saja dari Kota Bandung. Tak terkecuali dalam urusan perhelatan panggung musik. “Barudak” sebagai pelaku gotong royongnya itu seringkali tidak sekadar menjadi gerakan yang kuat atau solid saja, melainkan berhasil membuktikan dan menciptakan banyak kemungkinan seru sebagai alternatif kesenangsenangan tanpa batas. Salah satu buktinya adalah “ANTI-CENIT”. Sebuah festival musik besutan jenama asal Bandung, BERAK
yang memakai bendera tambahan: BERAKMEDIA. Konteks guyub dan barudak di sini, yakni prinsip etos kerja kepanitiaan serta mengutamakannya pesta pora yang bersuguhkan dan bersumber dari band-band kawan-kawan yang saling melingkar satu sama lain. Kemasannya tentu dengan moda tanpa jarak, akrab, sekaligus wani ngadu. Alhasil, memuncaknya rasa senang bagi siapa saja yang berkesempatan hadir tak bisa terbantahkan dalam setiap gelarannya. Berlangsung pada
PENTAS PENTAS
PENTAS
DCDC MAGAZINE 88
Sabtu, 13 Januari 2024 di lokasi langganan, Plantica Beer Garden, Jalan Dr. Setiabudi No. 56, Kota Bandung, dalam edisi terbarunya, hidangan tema yang digelorakan adalah “Medio-Core”
atau secara lengkapnya berjudul
“ANTI-CENIT Vol. 4: ‘’MedioCore’’. Merujuk pada konsepsi tema tersebut, para penampil yang bertindak sebagai pemandu kemeriahan adalah Saturday
Night Karaoke, The Rang-Rangs, Wreck, Lightspace, Waterheater, dan The Amerth. Sebagai catatan penting dan bukti konsistensi sejauh ini, “ANTI-CENIT” sendiri senantiasa menggelar rutinitasnya
saban bulan, yang dimulai sejak 8
September 2023 dengan judul tema “Acupuncture Music Edition”, disusul pada 7 Oktober 2023 dalam bungkus
“Barbershow Edition”, dan “Up The Punks” sebagai tajuk yang dipilih untuk edisi ketiga pada 15 November 2023.
DCDC MAGAZINE 89
DCDC MAGAZINE 90
DCDC MAGAZINE 91
DCDC MAGAZINE 92
DCDC MAGAZINE 93
DCDC MAGAZINE 94
DCDC MAGAZINE 95
Preliminer
(Surabaya) mmmarkos!
Preliminer adalah debut album pendek (EP) dari unit post-punk/cold-wave asal
Surabaya bernama mmmarkos!.
Langkah awal menjanjikan dari
perjalanan Angelina Paskalia sebagai vokalis, Ivan Reza (bass), dan Fadhullah Hamid (gitar), baik yang sedang berlangsung maupun
yang akan datang. Preliminer dalam hematnya berisikan enam lagu yang manis sekaligus getir.
Berbungkuskan melodi-melodi apik, mmmarkos! merangkum berbagai perasaan yang naluriah terjadi ketika berhadapan dengan usainya suatu hubungan. Jika ingin merasa dekat, coba dengarkan Premiliner sambil memejam mata dengan seksama, niscaya kita akan mengalami apa yang mereka uraikan: terbukanya
memori atau peristiwa pertama
yang telah lewat dalam hidup, tentu sejatinya dengan tersenyum simpul, karena kenangan jatuh cinta
pertama yang tak terlupakan hingga
pengalaman patah hati pertama yang menyesakkan adalah warna
kehidupan, bukan? Meskipun tidak secara utuh, Premiliner sangat berpotensi mewakili beberapa
pengalaman kalian tentang kesedihan, kebahagiaan, hingga kehampaan. “Delerium” adalah
salah satu nomor yang tercetak tebal, mereka meramu pentingnya kekuatan hati dan bagaimana
caranya merayakan patah hati dengan gagah berani, simak secuil liriknya yang berbunyi “From this place, I’ll learn to walk and go, In the
REVIEWS REVIEWS
REVIEWS
DCDC MAGAZINE 96
drown love’s - I’ll stand”. Dengan teman perisa musikal a la Depeche Mode, “Delerium” bisa Anda jadikan soundtrack hidup yang menetralkan kekalutan.
Secara bahasa, “preliminer” sendiri berarti pengantar, persiapan, atau awal.
Jika EP ini adalah mukadimah untuk segala jurnal mmmarkos! di masa yang akan datang. Maka jalan mereka setelahnya sepertinya akan terang benderang dengan sangat sigap untuk mencuri hati siapa saja, bahkan jika tawarannya masih tentang patah hati.(try)
4.1/5
DCDC MAGAZINE 97
Was It The Wandering Chestnut Prince
- Constellation of Misty Contraband (The Tunnel of Zazar)
(Jakarta)
Kinder Bloomen
Unit psychedelic rock, Kinder Bloomen, balik lagi dengan ngerilis karya baru, yakni sebuah single paketan (maxi-single)
berjudul “Was It The Wandering Chestnut Prince?” dan “Constellation of Misty Contraband (Tunnel of Zazar)”. Kali ini, band asal ibu kota tersebut bereksperimen dengan aroma psychedelic dan jazz yang membentangkan nuansa jam session
berlendir sekaligus memabukkan yang tepat guna. Meskipun hanya berbekal dua lagu saja dengan durasi tak sampai 10 menit, bukan berarti rilisan ini tidak berdaya kejut. sejak gong dimulai, instrumentalnya sudah dibangun dengan cemerlang dan saling terkait dalam progresi hingga ad-libs yang terinspirasi dari sayatan improvisasi yang ajeg dan meliuk-liuk. Hal ini tentu meringkas upaya Kinder Bloomen untuk menciptakan suasana
yang jempolan dengan pendekatan yang mengguncang. Hadirnya instrument tiup juga menjadi catatan tersendiri, misalnya, pada track “Was It The Wandering Chestnut Prince?”, dengan parlente, Kinder Bloomen menampilkan keterampilan vokal harmonisasi sextet yang sangat dalam, yang lantas diakhiri dengan instrumentalis berat penuh groove nan bersahutan serupa sangkakala yang membuat bulu bergidik. Di lagu
“Constellations of Misty Contraband (Tunnel of Zazar)” mereka turut menampilkan Techa Aurelia dari Pelteras. Levelnya pun berlanjut. Pada awal lagu saja sudah terasa seperti paduan suara vokal yang
saling bertautan dipadukan dengan vokal khas yang semakin menambah kabut pada skenario yang
dihadirkan. Dan solo elegan secara berbarengan: oorgan, gitar, dan
REVIEWS REVIEWS REVIEWS
DCDC MAGAZINE 98
munculnya kembali tiupan sangkakala di penghujung lagu seolah memberikan instruksi, kita harus memegang kencang-kencang dan berpegangan pada apa saja di sekitar, karena kalau tidak, niscaya Anda akan terbuai, terjungkal dan dibuat mabuk kepayang. Rasa-rasanya Kinder Bloomen adalah band terbaik di liganya. (try)
3.9/5
DCDC MAGAZINE 99
DCDC MAGAZINE HEAVY Rotation
Albums–EPs
BORDER ROOM – noui
From Within…Thus, Without – GeTAH
Metanoia – Skastra Schelper – Schelper
DCDC MAGAZINE 100
COL – Morgensoll Debu Kan Kembali Menjadi Debu – Murphy Radio
Singles
“Apple” – Lamebrain
“Kita Nikah Di KUA Aja” –Refo Dan Fauna
“Linger” – Enamore “Masuk Angin” –ArumtaLa
DCDC MAGAZINE 101
“Crystal Face” – Grisly Mother Costumes “Heart’s Art” – Pink Pitch
DCDC MAGAZINE 102