Art of Design Newsletter by Dea Putri Sujanto

Page 1


TEORI IMITASI DAN EKSPRESI

DALAM ESTETIKA TRADISIONAL Nelson Goodman

Menurut Goodman, tidak ada perspektif yang pasti untuk merepresentasikan alam secara akurat. Goodman berpendapat bahwa representasi merupakan sesuatu yang bersifat simbolik.

Masalah dalam teori Imitasi Teori Imitasi bersifat terbatas dalam membahas karya seni tertentu. Sebuah contoh lukisan karya Piet Mondrian dapat menunjukkan bahwa teori imitasi tidak cukup untuk menjelaskan secara total suatu karya seni. Lukisan Mondrian tidaklah meniru suatu realitas.

PLATO

“According to Goodman, even the so-called “science of perspective” does not Lead to an accurate representation of nature: there is no “normal” or “reliable perspective” available, which, seen from all angles, could reproduce reality and its three-dimensionality objectively. How someone sees an object in perspective depends on someone’s vision, the light,his position in relation to the object, etc. In short, perspective is variable.” (Thinking Art : hal.25)

Alberto Giacometti

Giacometti dianggap “naïf ” karena dia selalu berusaha untuk membuat karya seni yang sama persis dengan realitas, padahal dia mengerjakan karya tersebut dengan cara yang berbeda-beda dan berubah-ubah, serta tidak dapat sama persis dengan realitas. Jika dilihat dari perspektif tertentu, maka realitas pun akan berubah. Untuk dapat melihat model secara keseluruhan, Giacometti menjauhkan model dari pandangannya. Jika model berada semakin jauh, maka detailnya akan semakin hilang dan bentuk model tersebut juga semakin mengecil. Cara ini membuat Giacometti menemukan metode baru dalam representasi dan pada saat yang sama, dia telah menciptakan suatu style yang unik.

The Artist’s Studio René Magritte

-ALP OT Teori Imitasi Teori imitasi berhubungan dengan konsep “mimesis”. Dalam bahasa Yunani, mimesis berarti “imitasi”, “representasi” atau “copy”.

Teori Mimesis menurut Plato

Plato menganggap idea yang dimiliki manusia adalah tertinggi. Menurutnya, idea merupakan sesuatu yang tetap dan tidak berubah (Bertnens1979:13). Bagi Plato, seorang tukang lebih mulia dibandingkan dengan seniman / penyair. Hal ini disebabkan karena tukang mampu menghadirkan idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra, misalnya meja atau kursi. Sedangkan,seorang seniman/penyair hanya meniru kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan oleh tukang). Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair. “The craftsman, he suggests, pictures a mental image of an ideal Form and uses it as a model to make a specific, perceptible, tangible and ready-to-use crafted product. Like nature, this crafted product is an appearance, an imperfect copy of an ideal form. The artist, however, copies nature or a specific, crafted product,

2

without knowing their inner workings. He does not really know how this natural object or this product is made. He just imitates the sensorial appearance of things. In doing so, he simply makes a copy of a copy, an imitation of an imitation.” (Thinking Art : hal.18) Jika Plato memandang rendah para seniman, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang dapat meninggikan akal budi. Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Seni sebagai tiruan dari realitas. Seni merupakan mimesis dari realitas. Seorang seniman hanyalah peniru dari realitas. Oleh karena itu, berdasarkan teori imitasi, suatu karya seni dikatakan bagus/indah jika semakin dekat dengan realitas atau semakin mencerminkan realitas. Sebaliknya, karya seni dikatakan buruk jika semakin jauh dari realitas. Kedua karya seni diatas merupakan “bentuk peniruan alam” dan “bentuk peniruan kehidupan manusia”. Seniman melukis dengan meniru semirip mungkin bentuk bentuk yang ada di alam / realitas.

Gombrich menyatakan bahwa setiap karya seni pada dasarnya memliki konsep. Karya seni yang dihasilkan seniman bukan semata-mata hanya tiruan dari realitas, melainkan terdapat sisi subjek (yaitu seniman) yang turut berpengaruh dalam penciptaan karya seni tersebut. Seniman memulai penciptaan karya dengan skema konseptual berdasarkan cara pandang / perspektif yang berbeda-beda. “Gombrich’s conclusion goes without saying. According to him, all art is basically “conceptual”! Every representation, even the most realistic, is influenced by the conceptual schema, by the vocabulary, by the preconceptions that a painter has about painting, by the tradition in which he was raised, the technique he has acquired.” (Thinking Art : hal.24) Gombrich memberikan contoh contoh yang relevan untuk mendukung argumennya. Salah satunya adalah lukisan pemandangan Derwentwater, satu lukisan dilukis oleh pelukis anonim Inggris pada jaman Romantik, sedangkan lukisan lainnya dilukis oleh pelukis Cina Chiang Yee pada tahun 1936.

Menurut Magritte, seorang seniman dapat menciptakan dunia otonom dan membuat aturan mereka sendiri. Maksudnya adalah setiap seniman memiliki “cara pandang” masing-masing dalam memahami suatu realitas. Sehingga dalam suatu karya seni, seorang seniman senantiasa menciptakan karyanya berdasarkan cara pandang dan persepsi mereka masing-masing.

Artists invariably create realities that are autonomous and follow their own rules. (Thinking Art : hal.24)


Teori Ekspresi

Teori ekspresi merupakan teori dalam filsafat seni yang menekankan pada sisi ekspresi. Teori ekspresi bertentangan dengan teori imitasi. Leo Tolstoy (1828–1910). Pertama, Tolstoy berpendapat bahwa seni adalah murni dari sebuah emosi. Dalam teori ini Tolstoy membuat perbandingan antara sains dan seni. Sains lebih mengarah pada sesuatu yang rasional, dan argumentasi yang logis, sedangkan seni lebih mengekspresikan suatu pengertian, dengan mentransfer kebenaran dari pengetahuan alam, menjadi sesuatu yang berkaitan emosi dan intuisi. Kedua, Tolstoy mengatakan bahwa fungsi seni adalah “menginfeksi” audience, sehingga antara seniman dan audience memiliki perasaan yang sama. Ketiga adalah menyangkut masalah etika. Dengan “menginfeksi” perasaan audience, seni harus berkontribusi terhadap peningkatan moral masyarakat. (Thingking Art : hal 39-41)

“ Leo To l s To y

Seni sebagai ekspresi diri : CC – Theory

Benedetto Croce (1866–1952) dalam bukunya yang berjudul “Estetica” (dipubilkasikan pada tahun 1902), secara eksplisit mengemukakan teorinya tentang ekspresi dari sudut pandang seniman. Di sisi lain Robin George Collingwood (1889–1943) juga mengembangkan teori ekspresi dalam bukunya yang berjudul “Principles of Art” (dipublikasikan pada tahun 1937). Karena teori mereka memiliki kesamaan, maka teori ini disebut sebagai CC Theory.

Filsafat Seni – CC Theory

Karya seni berada pada jiwa atau pikiran seniman. Seni merupakan ekspresi dari intuisi (Croce) atau imajinasi (Collingwood), dimana intuisi dan imajinasi berlangsung secara bersamaan. Karya seni yang telah ada di dalam pikiran seniman tidak harus direalisasikan ke dalam bentuk fisik / benda material. Karya seni sejati hanya dapat diakses oleh audience sejauh mereka melakukan re-experiences (Croce) atau penciptaan kembali (Collingwood) ekspresi dari seniman. (Thinking Art : Hal. 42-43)

Seni berdasarkan Teori Ekspresi

Seni murni adalah seni yang mampu “menginfeksi” audience, sehingga apa yang yang dirasakan seniman juga dirasakan oleh audience. Dalam teori ekspresi, karya seni dalam bentuk fisik dianggap tidak penting. Namun yang penting adalah pemikiran, ide dan konsep seniman serta bagaimana audience dapat merasakan apa yang dirasakan seniman. Berdasarkan teori ekspresi, suatu seni dikatakan bagus, jika pesan atau ekspresi yang ingin disampaikan seniman sama dengan pesan yang diterima oleh audience.

It is a credit to Gadamer that he makes us aware of the fact that the ever-changing and historically determined points of view, from which artworks are continuously and diversely interpreted, can be explained by the nature of the hermeneutic experience itself. (Thinking Art : hal. 50-51)

Pandangan Hans-Georg Gadamer (1900–2002)

Masalah dalam teori Ekspresi Menurut teori CC, karya seni ada di dalam pikiran seniman dan tidak terletak pada benda-benda fisik. Jika pandangan ini diikuti dengan konsisten, maka akan banyak karya seni justru kehilangan statusnya sebagai karya seni. Di dalam beberapa genre seni, ada persinggungan antara kreativitas, pada satu sisi, dan bentuk serta prosedur sebagai teknik pada sisi lain. Tidak semua karya seni melibatkan emosi dalam batin, sebagai contoh: misalnya arsitek dengan karya arsitektur bangunannya. Apakah suatu bangunan bisa disebut merupakan ekspresi perasaan sedih, gembira atau bahagia? Beberapa seniman terkenal justru sering menolak bahwa ada emosi dalam batinnya ketika menciptakan karya seni.

Sanggahan Terhadap CC - Theory

Teori CC dapat memberikan lisensi kepada mereka yang berpura-pura memiliki karya seni di dalam pikirannya dan tidak pernah memberikan karya nyata untuk membuktikannya. “By maintaining that the work of art already exists in the mind of the artist, the theory gives license to those who pretend they have a work of art in their mind but never provide any proof for it. In these cases, rather than artists restricting the medium of their thoughts to a purely internal use, we are faced with individuals apparently lacking any medium of thought altogether.” (Thinking Art : hal. 47)

Teori CC termasuk ke dalam hermeneutika, karena teori CC membedah pandangan detail tentang penafsiran suatu karya. Gadamer berpendapat bahwa terdapat 2 point yang salah tentang hermeutika. Hermeneutika telah salah mengatakan bahwa ada perbedaan yang jelas antara ilmu pengetahuan dan realitas, antara penafsiran dan karya. Berdasarkan point 1, penafsiran dapat berdiri sendiri dengan individualitas penafsir. Jadi selama mengikuti metode yang benar, dapat memungkinkan semua orang untuk mencapai penafsiran yang benar. Gadamer mengatakan bahwa tidak ada pembagian yang tegas antara pengetahuan dan realitas, karena pemahaman/interpretasi akan diserap kedalam realitas dimana kita akan mengalami dan melihatnya.

Menurut Gadamer, penafsiran karya seni tidak terfokus kepada seniman saja, tetapi lebih ke perpaduan dari pengalaman hidup seniman dengan pengalaman hidup audience. Pengalaman hidup, kepribadian individu, waktu dan latar berlakang audience, akan turut mempengaruhi cara penafsirannya terhadap karya seni. Gadamer membuat kita sadar akan fakta bahwa point of view seseorang selalu berubah dan ditentukan secara historis, dimana karya seni tersebut ditafsirkan secara terus menerus dan beragam.

Semua seni baik itu seni visual ataupun seni musik, sastra, dan lain-lain, seharusnya direalisasikan. Imajinasi jarang muncul secara detail / jelas, sehingga perlu diantisipasi dengan cara merealisasikannya ke dalam wujud karya yang nyata.

3


“

Asal - Usul Tipografi

Ingatan merupakan medium penyimpanan terbesar manusia sebagai tempat dialokasikannya ilmu pengetahuan yang diperoleh sepanjang hidupnya. Pemikiran serta pengetahuan manusia itu kemudian dituturkan turun-temurun dan mulut ke mulut melalui bahasa verbal. Di kala itu juga, manusia telah menyuarakan kata-kata terucap ke dalam lambang-lambang, tanda-tanda atau bahasa visual. Pengetahuan tidak lagi hanya berdasarkan ingatan-ingatan perorangan, tetapi manusia telah menemukan medium penyimpanan barunya melalui gambar-gambar, simbol, dan lambang serta tanda-tandanya. Manusia kemudian menyempurnakan peradabannya itu sebagai medium baca dan belajar dan masa ke masa sampai sekarang ini hingga kita mengenal peradaban sejarah tulisan, sebagaimana perkembangan sejarah manusia itu sendiri.

Tulisan Sebagai Awal Berkembangnya Tipografi

Tipografi pada dasarnya mengakarkan dirinya pada perkembangan peradaban baca tulis. Bahasa tulis mempunyai posisi unik di antara bahasa verbal dan visual dan merupakan perkembangan mendasar dan bahasa gambar dan tanda yang dibunyikan berupa piktograf (simbol yang menggambarkan obyek) dan ideograf (simbol yang merepresentasikan gagasan yang lebih kompleks) serta fonograf (tanda atau huruf yang menandakan bunyi)’. Tulisan yang kita gunakan sekarang ini merupakan sistem alfabet yang disempurnakan oleh bangsa Romawi, yang mulanya diadaptasi dan alfabet Phoenician dan oleh bangsa Yunani dijadikan sistem alfabet dengan struktur anatomi huruf yang lebih teratur dengan penerapan bentuk-bentuk geometris. Jadi, pada hakikatnya tipografi adalah sebuah upaya menyampaikan gagasan berkenaan dengan huruf dan tulisan. Huruf dalam tulisan mempunyai nilai fungsi dan estetik yang dengan desain dan bahasa yang baik dan tepat, akan dapat melahirkan sebuah komunikasi yang interaktif antara penyampai pesan dan penerimanya. Tipografi atau desain rancangan huruf, dalam perjalanan sejarahnya, tidak pernah lepas dan pengaruh faktor kebudayaan dan kemajuan teknologi. Berangkat dan awalnya manual di atas berbagai permukaan seperti kulit, batu, kertas, mesin cetak Gutenberg, hingga teknologi digital seperti desktop publishing dan internet, dalam hal ini tipografi menyimpan catatan perjalarian sejarah tersendiri. Bagaimana sebuah huruf dan tulisan didesain menurut tuntutan dan kebutuhan zamannya masing-masing, hingga munculnya genre-genre desain huruf yang spesifik pada kurun waktu tempat tertentu serta ditujukan bagi khalayak tertentu, tipografi adalah subyek yang dengan setia mengikuti perubahan-perubahan itu tanpa kehilangan esensi dan eksistensinya sendiri.

4

Tipografi Kontemporer Melalui perkembangan desain grafis dewasa ini, tipografi semakin dirasakan penting dalam pengolahan komunikasi visual. Keistimewaan kekuatan visual sekaligus verbal yang ada pada huruf-huruf dirasakan manakala tipografi bukan lagi sekadar desain dan abjad dan pengaturannya dalam bidang. Hampir dalam semua komunikasi visual baik di jalan-jalan, ruangan-ruangan, media cetak maupun media elektronik digital, tipograti berkembang menjadi begitu mandiri selayaknya tulisan tangan pribadi tiap-tiap individu.

Keistimewaan kekuatan visual sekaligus verbal yang ada pada huruf - huruf dirasakan manakala tipografi bukan lagi sekadar desain dan abjad dan pengaturannya dalam bidang.

�

Makin besarnya pemakaian komputer personal, perangkat lunak yang terus-menerus disempurnakan dan kecepatan mikroprosesor yang terus meningkat, maka memilih dan mengatur huruf dengan sebuah software grafis dirasa semakin mudah saja. Tinggal meng-install, pilih, dan aturlah huruf-huruf kesukaan Anda. Setelah selesai, cetak atau kirim secara digital pada partner kerja atau orang yang Anda sukai. Sifat tipografi kini menjadi begitu personal. Kalau dahulu kita hams tergantung dengan ketersediaan huruf pada mesin cetak, sekarang tidak lagi, asalkan kita menguasai perangkat lunak grafis, maka segala sesuatu rnenjadi begitu mudah, singkat, dan cepat, baik bagi yang amatiran hingga yang profesional. Narnun dibalik segala kemudahan itu, sesungguhnyalah tipografi menyimpan sebuah kekuatan komunikasi visual yang menanti untuk digali kembali ke akar dan dasar dalam mendesain sebuah komunikasi visual. Para tipografer, desainer dengan huruf, dan desainer grafts sendiri yang selalu terlibat dengan penanganan huruf sebaiknya menambahkan kepekaannya lagi pada tipografi dengan mengembangkan berbagai sentuhan-sentuhan altenatif lainnya bagi komunikasi visual.

Tipografi, Musik, dan Puisi Tulisan dan eksperimentasi seorang tokoh penyair Futuris Italia bernama Filippo Tomasso Marinetti (1876-1944) telah mewujudkan dengan penuh semangat sejumlah alternatif kemungkinan komunikasi grafts. Marinetti memusatkan perhatiannya kepada potensi bahasa dan semua penjelajahan tipografinya ia lakukan untuk hal itu. Semangat kaum Futuris dan Dadais masa itu mencoba untuk mendobrak hampir segala aspek verbal dan visual dalam berkesenian. Semangat itu tampaknya terus-menerus berulang kali memberi cahaya inspirasi hingga saat ini.

Perlu disadari bahwa tipografi rnempunyai keistimewaan pada verbal dan visual yang sama baik dan uniknya. Pada prinsipnya, tipografi memiliki hal-hal mendasar dalam mendesain seperti keseimbangan (balance), harmoni, irarna/ritme (rhythm), repetisi/ pengulangan (repetition), arah gerak (movement), komposisi, proporsi, hierarki, dan kesatuan (unity). Contohnya dalam sebuah acara musik, alangkah baiknya bila poster acara dan undangan tidak didesain secara serampangan tanpa memperhatikan wama musik yang akan dibawakan nanti. Desain sampul sebuah kaset lagu sangatlah penting untuk menyuarakan secara visual karakter bermusik dan penyanyi album rekaman tersebut.

Tipografi tidak adalah sebuah upaya seseorang dalam menyampaikan sebuah gagasan yang tidak hanya dinilai dan sekadar tingkat keterbacaannya, tetapi apa yang ditangkap audiensi melalui indera penglihatan untuk membawa mereka lebih dalam lagi memahami gagasan atau pesan yang disampaikan. Misalnya bagaimana sebuah lagu yang dinyanyikan dengan iringan musik khas tertentu dapat diterjemahkan ke dalam sebuah poster dengan bidang yang serba terbatas itu? Dalam hal itulah, seorang komunikator visual perlu mengkaji kembali secara mendalam unsur unsur dan prinsip-prinsip desain yang harus ia kembangkan dalam membuat rancangan alternatif

tipografi untuk memberi pengalaman dan pemahaman visual baru kepada khalayak yang melihatnya.Selain itu, seringkali sebuah puisi pun dapat dirancang sedemikian rupa agar para pembaca dapat lebih apresiatif menikmatinya secara visual sebelum mendengarkan sang penyair bersuara, atau bila para pembaca itu hendak menyuarakannya sendiri, Ditinjau dan sisi ekstrimnya, puisi yang tertulis itu mampu hadir untuk dirinya sendiri tanpa pembacaan dan sang penyair. Syair-syair dalam puisi itu didesain agar mampu berbicara lewat rancangan tipografi yang atraktif, menstimuli secara visual mata yang melihat dan membawa alam pikiran pada kondisi tertentu yang diinginkan melalui bait-bait syair puisi tersebut.


Prinsip Desain Dalam Tipografi

Tipografi merupakan sebuah seni sebagaimana sebuah kompisisi musik dan syair puisi yang dapat menggugah indera pendengaran melalui nada-nada dan kata-kata, maka tipografi pun dapat menyentuh perasaan manusia melalui stimuli yang terjadi pada indera penglihatan mata. Sebagaimana desainer menyusun bentuk-bentuk karakter abjad, pengaturan spasi antar baris, leading antara kata dengan kata dan huruf per huruf. Permainan komposisi dan proporsi kata-kata atau teks yang diolah secara tipografis dapat menciptakan irama pembacaan yang beraneka ragam sehingga diperoleh hasil interpretasi yang lebih mengena.

Memusikkan Tipografi,

Mempuitiskan Vi s u a l .

R F CE OR R F

CE

Sebelum melangkah lebih lanjut ke dalam eksperimental dan eksplorasi tipografi, pastikan dahulu bahwa segala aturan-aturan konvensional yang berlaku telah benar-benar dipahami maksud dan tujuannya. Aturan-aturan itu terdiri dan bagaimana menghasilkan tingkat keterbacaan yang optimum seperti menghindari kombinasi jenis huruf yang terlalu mirip atau juga terlalu banyak variasi yang mengurangi kejelasan dalam membaca, manfaat huruf kapital dan kecil, penentuan ukuran huruf, tebal tipis, lebar rapat dan kombinasinya, spasi antarhuruf, kata, dan baris serta panjaganya kalimat, juga warna dan nada gelap terangnya. Lalu, perlu juga dipahami bagaimana tipografi desainer dapat menciptakan dan inenekankan tekstur, bentuk, dimensi kedalaman, arah, dan irama untuk menguatkan komunikasi visual dan desain tipografi yang dibuat.

Desainer Karl Gestner mempelopori sebuah morfologi logis berdasarkan bahasa formal dan huruf. Menurut Weingart sendiri, segala macam hal berpotensi untuk dikaitkan dan menginspirasi tipografi dalam praktis. Dengan menggunakan kategori morfologi, beberapa faktor atau variabel tipografis dapat dipakai oleh desainer sebagai alat efektif untuk mengeksplorasi kemungkinan tipografis dan mencari altematif-alternatif baru. Sarana bagaimana bermain dan bereksplorasi dengan tipografi itu ibarat bermain musik, namun bukan hanya dimainkan sekenanya saja melainkan dengan berbagai improvisasi dan penuh semangat. Dengan semangat itu, kita akan mengalami kesenangan sejati dan berekspresi dengan tipografi sehingga mata dan pikiran kita terbuka untuk meniti jalan baru dalam memecahkan beragam persoalan tipografis.

Dalam buku Experimental Typography, Rob Carter, seorang pengajar tipografi dan desain grafis di Virginia Commonwealth University, USA, menerapkan faktor atau variabel tipografis tersebut ke dalam empat kategori. Kategori itu sebagai berikut. • Tipográfi berkaitan dengan pengolahan abjad huruf dan kata-kata, seperti huruf kapital, huruf kecil, serif sans ser/ script, eksentrik, miring, tipis, sedang, tebal, kurus-tinggi, gemuk-lebar, serta berbagai kombinasi kemungkinan lainnya. • Form melibatkan pengubahan bentuk-bentuk asal tipografis yang sebelumnya, seperti gradasi linear/adial, distorsi, fragmentasi, diputar, dimiringkan, dilengkungkan, ditarik melar, diburamkan, elaborasi dengan penambahan atau pengurangan bentuk, pengolahan garis fisik dan huruf, diberi tekstur kasar atau halus, pemberian dimensi kedalaman atau volume, gelap-terang atau kontras warna, serta kemungkinan pengubahan bentuk Iainnya. • Space menempatkan bagaimana elemen-elemen secara fisik berkaitan satu sama lainnya dalam sebuah halaman, seperti komposisi keseimbangan simetri/asimetri, arah vertikal, horizontal, diagonal, melingkar, pengolahan latar belakang, pengelompokan yang teratur atau tidak teratur, pengaturan jarak antarhuruf, kata dan bans kalimat, pengulanganpengulangan, irama dan rotasi. • Support memasukkan elemen-elemen non tipografis yang menambah kualitas bentukbentuk tipografis, di mana elemen dasar seperti garis, bentuk geometris, simbol, bahkan gambar dapat kita tambahkan.

Dipengaruhi oleh literatur teoritis kaum poststrukturalis, Katherine McCoy, desainer dan juga pengajar di Cranbrook, USA, menolak pembagian tradisional antara membaca dan melihat dan desainer seharusnya berperan aktif memadukan kedua pengalaman itu di mana sebuah gambar dapat dibaca sementara kata-kata tertulis dapat menjadi obyek visual. Bertolak dan pemahaman sesuatu yang dilihat dapat dialami bagai sebuah bacaan, dan sesuatu yang dibaca bagaikan sebuah gambaran, maka dengan mengintegrasikan indera pendengaran, dapat ditambahkan pula dalam tulisan mi, sesuatu yang terlihat, baik sebagai bacaan maupun gambaran, di desain sedemikian rupa sehingga membeni getaran seolah-olah mendengar dan dalam hati sebagai basil dan sebuah proses interpretasi dan pencerapan. Sebagaimana benar adanya penggalan pepatah yang mengatakan, “ dan mata turun ke hati”, efek tipografi tidaklah sekadar membuat sebuah desain berhenti berputar hanya dalam pikiran - pikiran, tetapi bagaimana dapat menyentuh ke dalam hati dan perasaan, yang mungkin selanjutnya dapat pula menggerakkan seseorang untuk bersikap dan mengambil tindakan. Wolfgang Weingart, pembawa wabah “New Wave Typography” menekankan pentingnya keterkaitan antara sintaktik, semantik, dan pragmatik dalam tipografi yang ia perlihatkan baik melalui karya karyanya maupun metode pengajarannya di Basel, Swiss. Dalam pandangannya, semantik adalah maksud atau makna rujukan dan sebuah tanda. Secara sintaktik, bagaimana tanda itu terkomposisi agar tercapai kesatuan di antara elemen-elemen desain yang ada sehingga dapat dilihat, dibaca, dan dimengerti orang. Bagaimana mencapai ‘efek’ penenimaan dan tanda yang hedak disampaikan itulah yang merupakan area pragmatiknya. Bagi Weingart, saat mi pemahaman dimensi sintaktik tipografi sangat penting, karena di dalamnya terdapat hal-hal yang terjelajahi, kosakata visual yang menakjubkan, dan memiliki banyak cara efektif untuk mendesain kembali informasi. Tipografi merupakan relasi berbentuk segitiga antara ide desain, elemenelemen tipografis, dan teknik mencetak hasilnya.

Sintaksis tipografi memiliki pengertian sebagai sebuah proses penataan elemen-elemen visual dalam kesatuan bentuk yang kohesif. Studi terhadap sintaksis tipografi dimulai dan elemen komposisi terkecil, yaitu huruf, kata, garis, kolom, dan marjin. Persepsi visual adalah kunci untuk memahami tendensi mata dalam melihat sebuah pola visual. Melalui penerapan prinsip persepsi visual ini seorang desainer grafis dapat menciptakan seuah kesatuan visual yang mudah dipahami oleh pelihat. Focal point adalah hagaimana desainer menarik perhatian pelihat dengan menciptakan suatu pola rancangan visual yang secara tepat dapat menstimulasi mereka lewat pusat penekanan dalam sebuah desain. Grid systems adalah perangkat yang memudahkan penciptaan sebuah kompisisi visual yang sistematik guna menjaga konsistensi dalam melakukan repetisi. Ia dimaksudkan pula untuk menciptakan suatu desain yang komunikatifdan memuaskan secara estetik. Alignment atau perataan teks berperan penting sebagai penunjang legibility serta estetika dan desain. Perataan atau disebut juga flush dapat dilakukan bermacam-macam, seperti rata kin, rata kanan, rata tengah, rata kiri-kanan, dan asimetri tanpa perataan yang konstan.

Tipografi merupakan relasi berbentuk segitiga antara ide desain, elemenelemen tipografis, dan teknik mencetak hasilnya.

5


Paham terakhir era modern tahun lima puluhan adalah International Typography Style atau Swiss International Style dan Swiss yang banyak dipengaruhi aspek rasionalitas desain Bauhaus. Hampir sama seperti pendahulunya tadi, para desainer dan pengajar dan Swiss juga mengklaim telah menemukan bahasa visual yang universal dan diperkuat argumen-argumen ilmiah. Awalnya, paham ini hanya berkutat di seputar Eropa namun akhirnya berskala internasional setelah masuk dan diterima di Amerika Serikat kemudian disebarkan ke berbagai penjuru dunia lewat korporasi besar.

Gaya Swiss International Style kerap menjadi pakem standar untuk corporate graphics dan information graphics. Swiss Style juga memberi kesan profesi desain sebagai intelek dan ‘tinggi’ seperti dikutip Katherine McCoy dan Massimo Vignelli: “Cara kerja yang rasional dan sistematis itulah yang membedakan profesi desainer dan pengrajin.” Pengaruh Swiss Style masuk Indonesia lewat literatur-literatur desain, beberapa institusi pendidikan desain dan corporate identity para PMA (Penanam

& E N MO

6

Kecenderungan pada proyek-proyek industri, corporate, dan information graphics. Penekanan pada desain yang fungsional, rasional, dan metode yang sistematis.

Ciri-ciri pengaruh Swiss International Style

Cara kerja yang rasional dan sistematis itulah yang membedakan profesi desainer dan pengrajin.

Penerapan teori Semiotik Visual (triadik Charles Morris: semantik, sintaktik, dan pragmatik). Kecenderungan abstraksi, khususnya pada logo. Penggunaan grid system secara ketat. Kecenderungan pada jenis huruf Sans Serif yang awalnya diklaim bersifat ‘universal’ dan netral (mulai dan Akzidens Grotesk, Haas Grotesk, Helvetica sampai Univers). Penekanan pada legibility, clarity dan menolak visual chaos.

Catatan tentang

Desain Modern

Desain gratis Amerika Serikat dengan New York School dan Commercial Art perlu mendapat perhatian khusus karena pengaruhnya cukup besar mengingat literatur desain gratis di negara kita umumnya berbahasa Inggris dan seringkali berasal dan kalangan mereka. Pengaruh mereka tidak hanya sampai pada tataran visual namun juga sampai ke wilayah paradigmatic sehingga sebagian kalangan desain kita ada yang menganggap desain gratis sebagai Commercial Art. Commercial Art pernah diperdebatkan sebagai nama resmi profesi desain gratis pada konferensi ICOGRADA (International Council of Graphic Design Associations) tahun 1964 antara wakil dan Amerika Serikat Will Burtin dengan wakil-wakil lain dan Eropa.

Sebelumnya, editor senior majalah Graphic Design dan Jepang, Masaru Katsumi sudah menolak terlebih dulu dengan menyatakan bahwa akar profesi desain gratis adalah seni cetak.Yang lebih ironis, jika kita membandingkan Commercial Art dengan profesi desain grafis di tanah kelahirannya, yakni Eropa. Di Eropa, desain gratis ternyata tidak hanya berkisar pada kegiatan komersial seperti Rusia yang menerapkan desain Constructivism dalam propaganda politik. Jadi, sebenarnya sampai saat ini belum pernah ada konsensus internasional mana pun yang menerima Commercial Art sebagai istilah resmi profesi desain gratis. Namun, perlu disadari pula bahwa pengaruh-pengaruh dari desain Modern Akhir atau Late Modernism tahun enam puluhan sampai

1 2 3 4 5

delapan puluhan yang masuk ke Indonesia juga banyak diisi oleh desain gratis Amerika Serikat lewat tokoh-tokoh seperti Waltor Landor (pemilik Landor Associates yang mengerjakan proyek redesain logo Garuda Indonesia,) Herb Lubalin, Milton Glaser (Push Pin Studio), dan Woody Pirtle (Pentagram Design) yang sening dijadikan referensi oleh desainer gratis lokal. Maka, pengaruh Desain Modern Akhir Amerika yang beraroma New York School dan Commercial Art itu tetap hadir di Indonesia. Beberapa pengaruh desain gratis Barat Iainnya dan era Modern Akhir dan (atau) Post Modern akan dibahas berikut ini.

D

N O RE

6 7


Pengaruh desain Modern Akhir (atau) Post-Modern

&

Post-Modern menurut Charles Jencks, seorang kritikus arsitektur dan analis kebudayaan Barat, adalah periode yang dimulai sekitar tahun enam puluhan saat orang Barat mulai bereaksi atas berbagai aspek budaya modern. Era itu ditandai oleh munculnya berbagai ‘isme’ arsitektur, seni, desain, filsafat, dan berbagai gerakan kebudayaan. Namun, hal yang kompleks itu tidak akan kita bicarakan karena kita hanya mencari gambaran situasi zaman. Pengamat kebudayaan Mudji Sutrisno pernah mengatakan bahwa salah satu faktär munculnya gejala Post-Modernitas antara lain kekecewaan orang Barat atas kebudayaan modern karena ia bukan cuma gagal untuk menghasilkan kebahagiaan manusia di muka bumi, malah menambahnya dengan perang (Perang Dunia I, II, dan perang Vietnam terjadi di ufuk era kebudayaan Barat modern.) Perang tersebut didukung rasionalitas sains dalam bentuk berbagai teknologi persenjataan modern (bom atom pertama adalah aplikasi dan fisika laboratorium.) Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang konteks desain gratis Barat dengan perubahan zamannya, berikut ini tabel perubahan budaya Barat dan era Pra-Modern sampai Post-Modern menurut Charles Jeneks.

Berbagai genre desain era Modern Akhir dan (atau) Post-Modem Barat yang mulai muncul tahun enam puluh sampai tujuh puluhan merefleksikan beberapa perubahan budaya yang disebutkan di atas. Umumnya gerakan desain masa ini berskala kecil sesuai kecenderungan untuk meninggalkan budaya massal era modern. Berbagai genre desain Modem Akhir dan (atau) Post- Modem selanjutnya dapat meluas setelah akhirnya sering dimanfaatkan dunia perdagangan komersial yang mulai menerapkan metode atau teori segmented marketing (ingat teori positioning). Namun pada awalnya, desain grafis Modem Akhir dan (atau) Post-Modern adalah semacam protes atau pemberontakan terhadap berbagai aspek rasionalitas desain Modem dalam kadar yang beragam,. mulai dan yang lunak sampai ekstrim. Desain grafis era ini juga memulai sebuah kecenderungan untuk memanfaatkan teknik-teknik yang telah dimungkinkan oleh berbagai teknologi reproduksi baru. Pencetus gerakan desain yang sporadis dan sangat plural ini bukanlah gerakan-gerakan desain berskala besar seperti pada masa modem melainkan perorangan atau kelompok kedil yang boleh disebut ‘pendobrak’ atau avant-garde. Dan merekalah kemudian muncul isme, paham, kecenderungan, aspirasi, ide atau istilah baru yang kita kenal saat ini.

Berikut ini beberapa paham, istilah atau pengertian dan desain Modern Akhir dan (atau) PostModern Barat yang juga hadir dalam alam pikiran dan khazanah desain grafis kita.

REVIVALISM ATAU RETRO (RETROSPECTIVE)

Arti istilah retro adalah kembali ke masa silam. Semangat revivalism membuat sebagian desain grafis Modern Akhir seperti gaya Phsycedelic milik kaum hippie dan flower generation Arnerika Serikat sering menampilkan gaya atau sistem dan masa sebelum era Modern. Mereka menampilkan karakter visual Art Nouveau sebagai wujud protes atas adanya perang Vietnam yang dianggap sebagai sisi gelap kebudayaan Modern. Maka, revivalism adalah semacam ekspresi pemberontakan generasi muda tahun enam puluh sampai tujuh puluhan atas bahasa visual generasi Modern pendahulu mereka yang didominasi typografi dan lay-out yang rasional.

ECLECTICISM

Eklektik berarti gabungan yang kelihatan paling bagus dan berbagai sumber, sistem atau gaya yang berbeda-beda. Jadi, eclecticism adalah paham, semangat atau kecenderungan untuk membuat desain yang bersifat eklektik. Eclecticism semakin dimungkinkan sejak tersedianya teknologi reproduksi mulai dan mekanikal sampai digital sehingga akhirnya sering ditampilkan dalam desain gratis barat era Modern Akhir. Namun, kecenderungan mi pemah dicibir kaum modernis seperti Massimo Vigneli sebagai mentalitas desain cut and paste yang buta konteks sejarah.

NEW WAVE

Maksud dan istilah ini adalah kecenderungan atau semangat untuk bereksplorasi dan bereksperimen gratis lewat medium atau teknik baru yang disediakan oleh teknologi. Dimulai oleh seorang desainer asal Basel, Swiss tempat kelahiran Swiss International Style yaitu Wolfgang Weingart pada tahun enam puluhan akhir. Di Swiss pada era sebelum Weingart, jarang sekali teknik mempengaruhi metode, konsep, dan keputusan desain seorang desainer yang umumnya sangat sistematis dan rasional. Weingart menjebol ‘dogma’ Desain Modern para seniornya dengan berani benimprovisasi namun tetap memperhitungkan mereka dengan mampu menerapkan prinsip-prinsip semiotik visual yang menjadi tradisi desain Swiss.

VERNACULARISM

Istilah yang dipinjam dan bidang arsitektur ini maksudnya adalah kecenderungan atau semangat untuk menampilkan bahasa visual khas atau non-standar dan kultur atau sub-kultur tertentu seperti punk, surfer, skate boarder, street atau jalanan dan sebagainya. Vernacularism ini juga merupakan suatu bentuk protes terhadap kecenderungan Desain Modem “satu desain untuk semua” atau universalisme desain. Selain itu, beberapa desainer vernacular menekankan intuisi dan emosi, berlawanan dengan rasionalitas Desaid Modern. Gaya bahasa visual yang vernacular ini diusung oleh desainer-desainer seperti Jamie Reid, Neville Brody (English Punk) sampai David Carson (Surfer).

Catatan tentang Desain Modern Akhir dan (atau) Post Modern

Era desain grafis yang bernuansa protes ini tak mungkin ada tanpa diawali Desain Modem. Boleh dikatakan, Desain Modern adalah tempat berpijak bagi era desain grafis yang telah menyumbang keragaman visual luar biasa sampai sekarang in Sering dikatakan juga bahwa Desain Modem adalah ‘rules’ dan desain Post-Modern merupakan ‘breaking the rules.’ Namun, satu hal yang perlu dicatat adalah saat mi profesi desain grafis mulai disadari sebagai bagian sentral dan budaya visual manusia. Bahkan, beberapa kalangan desain Amerika Serikat yang sebelumnya sibuk dengan Commercial Art sudah menganggap desain grafis sebagai aktivitas budaya dan bukan lagi sekadar sarana atau alat prornosi. Salah satu komunitas desain grafis Barat masa kini seperti Adbusters’° mulai mempertanyakan tanggung jawab desain grafis dan kaca mata budaya lewat sebuah kalimat dalam manifesto First Thing First 2000 “Setelah sekian lama menjadi alat perdagangan komersil, sudahkah para desainer grafis menyadari pengaruh karyanya pada cara berpikir dan merasa masyarakat?”

Eclecticism adalah paham, semangat atau kecenderungan untuk membuat desain yang bersifat eklektik.

7


Untuk keterbacaan optimal, text type sebaiknya di-set flush left dan usahakan agar rag di akhir paragraf tetap konsisten.

1 6 11 2 12 7 3 13 8 14 4 9 15 5 10 8

Untuk keterbacaan optimal, pilihlah huruf-huruf klasik yang telah teruji dan memiliki track record yang baik. Huruf - huruf yang sudah menjadi klasik atau timeless adalah hasil rancangan yang sangat hati-hati. Huruf-huruf ini memiliki kualitas serta proporsi abjad yang sangat konsisten sehingga mendukung kemudahan proses membaca.

Sebaiknya tidak menggunakan terlalu banyak jenis dan ukuran huruf secara bersamaan.

Tujuan utama pemakaian lebih dari satu jenis huruf adalah menciptakan penekanan visual atau pembedaan antara satu bagian teks dengan bagian lainnya. Ketika jenis huruf yang digunakan terlalu banyak, halaman akan kelihatan seperti karnaval atau sirkus dan pembaca akan bingung menentukan mana yang penting atau tidak.

Hindari kombinasi jenis-jenis huruf yang terlalu mirip satu sama lain.

Jika alasan melakukan kombinasi huruf adalah untuk menciptakan tekanan, maka kombinasi antara jenis-jenis huruf yang mirip-mirip adalah tidak masuk akal. Kalau kombinasi yang mirip ini terjadi akan kelihatan seperti kesalahan. Daripada seperti ini, jauh lebih masuk akal dan efektif menggunakan satu jenis huruf beserta type families-nya.

Teks yang diset seluruhnya dalam kapital menurunkan keterbacaan.

Gunakan baik huruf besar maupun kecil atau sesuaikan dengan aturan ejaan. Huruf kecil memudahkan proses membaca karena perbedaan antar huruf menjadi sangat jelas dengan adanya variasi tinggi ascenders dan descenders. Kebalikan dengan huruf kapital dimana semua huruf akan kelihatan mirip karena sama tinggi sehingga menyulitkan proses membaca. Setting huruf seluruhnya kapital lebih tepat dilakukan untuk display type saja.

Untuk text type, gunakan ukuran huruf yang menurut penelitian legibilitas terbukti paling nyaman dibaca.

Ukuran ideal umumnya berkisar antara 8-11 point untuk teks yang akan dibaca dari jarak 30-40cm. Namun sangat penting untuk diperhatikan bahwa tinggi x-height akan mempengaruhi besar-kecilnya huruf juga. Huruf dengan x-height besar akan kelihatan lebih besar dari yang ber-x-height kecil meskipun di-set dalam ukuran yang sama. Penggunaan jenis huruf dengan x-height yang terlalu besar atau terlalu kecil dalam jumlah banyak juga akan menurunkan keterbacaan.

Tentukan ukuran leading yang dengan mudah mengantar mata pembaca menuju baris berikutnya.

Baris-baris teks dengan jarak antar baris yang terlalu sempit akan memperlambat proses membaca karena mata dipaksa untuk menangkap beberapa baris sekaligus. Dengan menambahkan 1-4 points jarak baris (tergantung jenis huruf yang dipakai juga), keterbacaan bisa ditingkatkan.

Sebaiknya tidak menggunakan huruf yang terlalu berat atau ringan dan yang terlalu lebar atau sempit untuk text type.

Berat huruf ditentukan oleh tebal-tipisnya stroke. Huruf yang terlalu berat (heavy atau bold) sulit terbaca karena biasanya counterform menghilang sejalan dengan kecilnya ukuran. Demikian juga sebaliknya, huruf yang terlalu ringan (light atau thin) akan sulit dibedakan dari latar belakangnya karena terlalu tipis. Selain itu kemungkinan huruf lain yang sulit dibaca adalah huruf yang terlalu lebar (expanded) dan yang terlalu sempit (narrow atau condensed). Jenis-jenis huruf seperti ini sebaiknya dihindari penggunaannya sebagai bodytext. Yang ideal adalah huruf dengan berat normal, book atau medium.

Selalu jaga integritas huruf. Hindari distorsi: pelebaran atau penyempitan huruf secara serampangan.

Huruf-huruf yang dirancang dengan baik memiliki kualitas yang membuatnya mudah dan nyaman dibaca. Selain itu desainernya juga telah merancangnya secara ekstra hati-hati. Distorsi secara serampangan (yang dapat dengan mudah dilakukan di komputer) akan merusak integritas dan kualitas huruf tersebut. Jika huruf dengan karakter expanded atau condensed sampai diperlukan, jangan mendistorsinya sendiri namun gunakan type families yang tersedia.

Untuk text type, atur jarak antar huruf dan jarak antar kata yang konsisten untuk menghasilkan tekstur yang mengalir.

Huruf harus mengalir dengan alami menjadi kata, lalu kata menjadi baris. Ini artinya jarak antar kata harus bertambah secara proporsional ketika jarak antar huruf juga bertambah.

Tentukan panjang baris yang tepat. Baris yang terlalu pendek atau panjang merusak kenyamanan membaca. Ketika baris-baris huruf terlalu panjang atau pendek, proses membaca akan menjadi melelahkan. Baris yang terlalu panjang membuat mata bergerak terlalu jauh dari kiri ke kanan sehingga akan menyulitkan untuk mencari baris berikut. Demikian juga jika bais terlalu pendek, gerakan mata akan menjadi patah-patah. Keduanya akan melelahkan mata pembaca. Panjang baris ideal terdiri dari sekitar 70 karakter atau 10-12 kata per baris.

Meskipun dalam situasi khusus dapat diterima, metode-metode alignment seperti flush right, centered dan justified selalu meminta kompensasi, yakni berkurangnya kemudahan dan kenyamanan membaca. Gunakan alignment selain rata kiri atau flush left dengan hati-hati. Pada saat menggunakan flush left, perhatikan pula rag di sebelah kanan paragraf agar tidak membentuk ritme yang aneh karena adanya perbedaan rag yang terlalu drastis, atau malah terlalu repetitif sehingga sekilas mirip justified yang tidak konsisten. Rag yang ideal adalah ritme tak beraturan dalam batas tertentu yakni 75-100% dari lebar text block atau kolom.

Bedakan dengan jelas antar paragraf,

namun hati-hati jangan sampai mengganggu integritas dan konsistensi teks. Paragraf baru biasanya ditandai dengan dua cara: indentasi atau melongkap satu baris tanpa perlu inden. Meskipun demikian, masih ada cara-cara lain yang dapat digunakan walaupun mesti secara hati-hati.

Selalu sejajarkan huruf dengan baseline

Huruf-huruf dirancang untuk disusun saling bersebelahan, segaris dengan baseline. Ketika susunan ini dilanggar, keterbacaan menjadi terganggu. Yang terburuk adalah ketika huruf disusun secara vertikal. Maka, jangan pernah lakukan hal ini.

Hindari widow dan orphan.

Widow adalah satu kata yang tersisa di akhir paragraf. Jika yang tersisa hanya penggalan kata disebut orphan. Keduanya semestinya selalu dihindari, bisa dengan cara merubah spacing, modifikasi rag, atau mengedit teksnya dengan catatan disetujui atau dilakukan oleh penulisnya.

Ketika bekerja menggunakan warna, pastikan ada kontras yang cukup antara huruf dan latarnya.

Terlalu sedikit kontras pada hue, value atau saturation atau kombinasi dari faktor-faktor ini bisa mengakibatkan huruf menjadi sulit, bahkan tidak bisa dibaca.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.