Kelirunya Keyakinan Tuhan Di Mana-Mana Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Kita mungkin pernah menyaksikan ketika seseorang ditanyakan di manakah Allah, maka akan keluar berbagai versi jawaban dari mulut yang berbeda. Para bocah yang kami dengar ditanyakan hal ini, mereka jawab dengan tegas, “Allah di atas langit”. Itulah fitroh yang masih bersih. Namun sebagian lainnya menyatakan bahwa Allah itu di mana-mana. Ada juga yang katakan, “Allah itu ada di setiap hati manusia”. Dan ada yang katakan bahwa hal ini tidak perlu untuk dijawab. Inilah keyakinan yang berbeda-beda, padahal Al Qur’an kaum muslimin itu satu dan Nabi mereka pun satu. Oleh karena itu, mari kita kembalikan perselihan ini pada berbagai dalil yang disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim, hadits Nabawi, dan pemahaman para ulama kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, berilah kemudahan dan tolonglah kami). Dalil-dalil Yang Menunjukkan Keberadaan Allah Di antara dalil yang menunjukkan keberadaan Allah adalah dalil-dalil berikut ini. Pertama: Ayat tegas yang menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi[1]) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi dan paling besar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha: 5) Kedua: Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’. Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua: (1) Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit, dan (2) Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw).[2] Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian. Dua makna ini tidaklah bertentangan. Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa’ (di langit)” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang. Makna “fis samaa’ ” adalah sebagaimana yang ditunjukkan di atas. Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16) Ketiga: Dalil yang menanyakan di manakah Allah. Seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada seorang budak, “Di mana Allah?” Budak itu menjawab, “Di atas langit.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak tersebut menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.”[3] Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: (1) Diperbolehkannya
seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan (2) Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[4] Keempat: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37). Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka itu termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.”[5] Ini baru sebagian dalil saja yang kami sebutkan. Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam dalil”.[6] Ini baru macam dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya, belum lagi jika tiap macam dalil tersebut kita jabarkan satu per satu. Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.[7] Allah Bersama Hamba-Nya dan Dia Begitu Dekat Meskipun Allah itu di atas langit sana, namun Dia pun selalu dekat dengan hamba. Kedua sifat Allah ini tidaklah bertentangan. Ayat-ayat yang menyebutkan Allah itu dekat adalah firman Allah (yang artinya), “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186). Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta tunggangan kalian.”[8] Di beberapa ayat dan hadits disebutkan bahwa Allah itu dekat dan dalam berbagai dalil disebutkan bahwa Allah di atas langit, apakah kedua hal ini bertentangan? Sama sekali tidak bertentangan. Di antara alasannya: Pertama: Di suatu ayat Allah juga pernah menyebut bahwa Dia menetap tinggi di atas ‘Arsy, namun Allah juga bersama hamba-Nya. Contohnya dalam ayat (yang artinya), “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian
Dia menempat tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hadid: 4). Ini menunjukkan bahwa kedua sifat tersebut tidaklah bertentangan. Allah itu bersama hamba-Nya dengan ilmu-Nya, namun Dzat-Nya tetap di atas langit sana. Jadi kompromi dalam hal ini adalah suatu hal yang mungkin. Kedua: Sifat ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya dan sifat kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya tidak saling bertentangan. Ma’iyyah (kebersamaan) tidaklah melazimkan sesuatu itu akan bercampur atau bersatu dalam satu tempat sebagaimana yang dijelaskan dahulu. Sesuatu mungkin saja berada tinggi, namun juga tetap dikatakan bersama. Sebagaimana kita juga mungkin mengatakan: “Kami terus berjalan dan bulan masih tetap bersama kami.” Padahal bulan berada di atas sana, namun masih dikatakan bersama. Contoh sifat ketinggian dan sifat kebersamaan semacam ini tidaklah bertentangan baik secara lafazh maupun makna. Orang yang diajak bicara pasti mengetahui maksud dari kebersamaan di sini. Tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa bulan berada di bumi. Jika memang digabungkan atau dikompromikannya sifat ketinggian dan sifat kebersamaan pada makhluk, maka hal ini lebih mungkin lagi bagi Allah karena Dia-lah Dzat yang Maha Besar, Maha Agung dan tidak serupa dengan makhluk-Nya.[9] Oleh karena itu, kalimat yang sangat bagus disebutkan oleh Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, “Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah tidaklah bertentangan denga ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam setiap sifat-sifatNya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.”[10] Dengan cara seperti inilah menunjukkan bahwa ilmu Allah begitu luas, namun Dzat Allah tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Pemahaman Ulama Besar: Allah Itu Dekat dan Bersama Hamba-Nya dengan Ilmu-Nya, Bukan Dzat-Nya Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitab As Sunnah-nya, dari ayahnya (Imam Ahmad), dari Nuh bin Maimun, dari Bukair bin Ma’ruf, dari Muqotil bin Hayyan. Ketika Muqotil membicarakan ayat (yang artinya), “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya” (QS. Al Mujadilah: 7), beliau mengatakan, “Allah tetap berada di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya yang senantiasa bersama makhluk-Nya.”[11] Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah, -pen).[12] Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa
jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[13] Imam Asy Syafi’i: Allah Itu Di Atas Langit Dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata, “Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[14] Bahkan keyakinan Allah di atas langit bukan hanya menjadi keyakinan Imam Asy Syafi’i seorang, namun juga keyakinan seluruh ulama Ahlus Sunnah. Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[15]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[16] Semoga Allah senantiasa memberi taufik bagi setiap orang yang membaca risalah ini. [Muhammad Abduh Tuasikal] _____________ [1] Makna istiwa’ adalah ‘ala wa irtafa’a (yang artinya menetap tinggi) sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan Mujahid (lihat Shahih Al Bukhari). Sehingga tidak tepat jika beristiwa’ dimaknakan “bersemayam” sebagaimana ditafsirkan oleh sebagian orang. Penafsiran bersemayam ini keliru karena dikhawatirkan adanya kesamaan Allah dengan makhluk. Makna Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy bukan berarti Allah butuh pada ‘Arsy, namun ini bermakna bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya termasuk pula ‘Arsy-Nya yang merupakan makhluk yang paling tinggi. Semoga Allah beri kepahaman. [2] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi , Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risalah, cetakan kedua, 1421 H. [3] HR. Muslim no. 1218. [4] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H [5] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[6] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437. [7] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H. [8] HR. Muslim no 2704, dari Abu Musa. [9] Kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah. [10] Lihat Matan Al Aqidah Al Wasithiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni. [11] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini hasan. Perkataan ini dikatakan dalam kitab As Sunnah (hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masa-ilnya (hal. 263) dari Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1), Al Baihaqi (hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh Dhohak. Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138. [12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138. [13] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152. [14] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165 [15] QS. Thaha: 5. [16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.