Digital Zine #1
“Spread Kindness & Positivity”
All of The Contributors Fuwamiruki
Virginia
instagram: @fuwamiruki
Instagram/Twitter: @dorkpenguin
Krisna Tan
Tris_ghost
instagram: @romeeow
Twitter: @tris_ghost
Yan yan
Fayerrain
instagram: @med.ryan_
Instagram/Twitter: @fayerrain
twitter: @hiyalahyawdah Arifa Tantri Tatiana
Instagram/Twitter: @arftnt
Instagram: @tia.ramadhina Paulina Graciela H. Alifa Dj.
Instagram: yellows.art
Instagram/Twitter: @alifadj_ Yusuf Pingapenguins
Instagram: @yusufucup09
Instagram/Twitter: @pingapenguins Siti Rohanah Vio
instagram: @sitirohanhs
Twitter: @vviochan Nurul Huda Baru Pinkmacchiato
Instagram/Twitter: @nurulhudabaru
Instagram: @pinkmacchiatos Aghnia Twistedladies
Twitter: @agh___
Instagram: @twistedladies Shauna Candra Arif Kribowo
Instagram: @shaundr_
Instagram: @kribowo__ Nadya N. Azmi Zuhrey Imaduddin
Instagram/Twitter: @aydanimza
Instagram: @zuhrey_ Sulkycatz Lystiadi Bisma Pradana
Instagram: @sulkycatz
Instagram/Twitter: @elbepe_
Twitter: @lasttosleep
Vika Viridi
Anggun Maulina
Twitter: @vigneautte
Instagram/Twitter: @njuneiy
Instagram: @snwflxke & @qilmeeqil Gurlinawell Instagram: @gurlinawell Sher.v Instagram/Twitter: @mangoyaki Nurul Instagram: @nurulfaws Agi Instagram/Twitter: @nuragnyalawiah Aliffia Instagram/Twitter: @alffns_
Digital Zine project by Sulkycatz
Isnaini x Qil
Artist: Fuwamiruki instagram: @fuwamiruki
/ Dalam Doa: Kini & Nanti / Mulut itu kerap berkata bahwa nafasmu takkan ada guna, ketika apa yang kau hasilkan tak pernah seberapa Tutur itu kerap berujar bahwa hadirmu takkan berarti, ketika apa yang tampak darimu tak sebegitu rupawan Namun mereka pun juga tidak pernah tahu apa yang terlihat darimu, apa yang mereka pahami tentangmu, tak pernah, dan takkan pernah cukup ‘tuk membuat anggapan tersebut layak menjarah kedua pendengaran itu, dan perlahan merenggut seluruh hidupmu Semoga kamu selalu lengkap, dengan seluruh keyakinan Semoga bahagiamu abadi, bersama dengan semangat —yang niscaya ‘kan terus berapi-api Semoga mimpimu kelak ‘kan terbukti bahwa harapan tak hanya sekedar ‘delusi’ Namun ia mampu berdiri Menjadi nyawa, yang selalu berenergi.
By: Tatiana Instagram: @tia.ramadhina
“Joy is increased by sp
Artist: Alifa Dj. Instagram/Twitter: @alifadj_
preading it to others�
Artist: Pingapenguins Instagram/Twitter: @pingapenguins
Artist: Vio Twitter: @vviochan
Artist: Pinkmacchiato Instagram: @pinkmacchiatos
Artist: Twistedladies Instagram: @twistedladies
Artist: Arif Kribowo Instagram: @kribowo__
Artist: Zuhrey Imaduddin Instagram: @zuhrey_
Artist: Lystiadi Bisma Pradana Instagram/Twitter: @elbepe_
Kind Woman I Met Last Year Vika Viridi | Twitter: @vigneautte
It was last year when I saw her as the hero of a dog. I met her in the intersection, trying to untangle a grandmother's dog's leash that got stuck between bushes near a fire hydrant. She seemed to be in a rush that day, I noticed it for I was walking behind her before, she was repeatedly checking at the watch on her tiny left wrist. But the way she patiently knelt down and unravelling the leash, ignoring the traffic light that has changed, shuushing the tiny puppy not to get scared over the crowds who walked past them, it was as if she has all the time in the world. Smile was carved on her visage once she raised the calm clumber speniel after they no longer stuck. It was beautiful. I didn't know if the golden light of morning sun that fell on her glasses and cheeks had done their part in enchanting those who saw her kindness, but she seemed so genuine in loving. I started to wonder how many times have she done this kind of thing. It was a week after when I saw her in a flower field, helping the farmers in sight. They were affected by climate change and she had decided to help. Her smile was blinding. But not quite enough to push me away.
Her touch was magical. She made the flowers bloom just through her whisper, from solemn little lily to sweet cheery daisy. She pulled me in to swim in the sun when she saw me passing by. She taught me to smile at the trees. Of how they were so giving, without asking back much. She taught me to extend my hands, of the crying homeless children we found when we walked past the bridges. She would often invite them to a dinner. She would bring them to a school. A school I found out days later that it was created by her, hiring most of those who got fired from their previous jobs to teach, to cook, to help her attent to the kids. She would personally sew clothes for them. She was not campaigning for a powerful position. She was not coming from a super rich household. She was nothing of the sort. Yet she was there, with her friends willing to gather hands, she was there with her strong will. I used to think of how the world is an unfair plane, how barely a handful of the whole population felt happy, felt fruitful. But drowning in ambitious would only lead me to hunger, to more unsatisfaction. I have just realized from my encounter with her, that this world can be giving. That we can become one with it. That we can be happy and feel less hungry when we feed them. Because when they are flashing smiles, my shoulders relaxed too. Because we deserve a little kindness and they do too.
Artist: Virginia Instagram/Twitter: @dorkpenguin
Artist: Tris_ghost Twitter: @tris_ghost
Artist: fayerrain Instagram/Twitter: @fayerrain
Artist: Arifa Tantri Instagram/Twitter: @arftnt
Artist: Paulina Graciela H. Instagram: yellows.art
Photographer: Yusuf Instagram: @yusufucup09
Koran Kebaikan Siti Rohanah | IG: @sitirohanhs
“Bahwa berbuat baik itu sederhana. Semua orang bisa melakukannya, meskipun hanya dengan membeli sebuah koran dari penjual koran renta, atau hanya dengan memberi sarapan bubur untuknya.” Yogyakarta. Di suatu Minggu pagi yang cerah. Aku bergegas bangun dan bersiap pergi. Setelah berpakaian rapih, tepat pukul tujuh, aku telah siap keluar dari kamar kosku. Ku langkahkan menyusuri jalanan Jogja. Setelah sampai di Pasar Bringharjo, aku menyempatkan membeli bubur kacang ijo. Lalu aku melanjutkan perjalananku. Aku melewati Perempatan Tugu Jogja, halte trans jogja dan kantor Kedaulatan Rakyat. Aku terus berjalan, hingga aku melewati Stasiun Tugu dan kemudian berbelok ke arah Pertigaan Lampu Merah arah Malioboro. Setelah berjalan hampir setengah jam, akhirnya aku sampai di Lampu Merah Kota Baru. Setelah itu aku menyebrang dan samapailah aku tepat di depan ibu penjual koran di samping trotoar jalan. “Bu , koran Jawa Pos berapa ?” tanyaku penjual koran. “Tujuh ribu.” Katanya. Sebenarnya ibu penjual koran itu, usianya tak lagi muda, bahkan lebih pas dipanggil nenek. Mungkin usianya telah menginjak tujuh puluh tahun .Nenek itu memakai kaos, celana lusuh mengenakan jilbab serta topi caping yang menghiasi kepalanya. “Ini bu uangnya, kembaliannya buat ibu saja.” Kataku menyerahkan lembar uang sepuluh ribuan padanya. “Alhamdulillah, terima kasih. Semoga rejekimu lancar, sekolahmu lancar dan cita-citamu tercapai.” Kata ibu itu tulus seraya menerima uang pemberianku. “Amiinn ya Allah.” Jawabku haru.
Aku terharu mendengar doa tulus darinya. Ternyata sedikit uang yang aku berikan amat berarti baginya. Akupun teringat bahwa aku memiliki dua bubur kacang ijo yang tadi aku beli. Aku sengaja membeli dua bungkus, agar yang satu bisaku berikan untuknya. Aku keluarkan bubur itu dan aku serahkan pada ibu itu. “Oh ya, ibu sudah sarapan belum? Ini ada bubur kacang ijo untuk sarapan.” Kataku. “Ya Allah, Alhamdulillah. Terima kasih banyak. Semoga kamu sehat selalu, dan rejekimu lancar.’’ Ibu itupun mengucap terima kasih dan mendoakanku lagi. “Amiinn..ibu juga, semoga sehat terus dan panjang umur.” Balasku. Setelah memberinya bubur aku tak lantas pergi. Aku sempatkan berbincang dengannya, menanyakan namanya, alamat rumahnya, dan sejak kapan ia berjualan koran. “Ibu telah berjualan koran sejak tahun 2006 . Dulu di sini belum dibangun lampu merah ini. Sekarang sudah bagus dan rapi.” Ia mulai bercerita. Aku mengangguk tanda memahami pembicaraanya. Kemudian ia bercerita tentang keluarganya. Ia hanya tinggal bersama suaminya. Anak ada yang sekolah sambil mondok serta ada yang sudah berkeluarga. Diusianya yang sudah renta, ia tak seharusnya berjualan koran seperti ini. Ia harusnya di rumah, menikmati
masa
senjanya.
Itu
mungkin
baik
baginya
dibanding
harus
berpanas-panasan menjajakan koran. Aku tak tega melihatnya setiap hari menikmati asap dan debu jalanan. Menawarkan koran ke pengendara, serta menunggu orang memanggilnya “bu, koran!” . Namun, takdir telah membawanya sampai di sini. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah mengenal dan mengetahui kisah hidupnya, aku pun berpamitan dan beranjak meninggalkannya. Ada perasaan lega merasuk kejiwa setelah bertemu dengannya. Kelak, jika aku berkesempatan bertemu dengannya lagi, akan ku katakana padanya, bahwa aku lebih bersemangat untuk menebar kebaikan ke orang lain semenjak pertama kali bertemu dengannya dulu.
Artist: Nurul Huda Baru Instagram/Twitter: @nurulhudabaru
Artist: Aghnia Twitter: @agh___
Artist: Shauna Candra Instagram: @shaundr_
Artist: Nadya N. Azmi Instagram/Twitter: @aydanimza
Artist: sulkycatz Instagram: @sulkycatz Twitter: @lasttosleep
Artist: Anggun Maulina Instagram/Twitter: @njuneiy
Artist: Isnaini x Qil Instagram: @snwflxke & @qilmeeqil
Artist: Gurlinawell Instagram: @gurlinawell
Artist: Sher.v Instagram/Twitter: @mangoyaki
Artist: Nurul Instagram: @nurulfaws
Artist: Agi Instagram/Twitter: @nuragnyalawiah
Artist: Aliffia Instagram/Twitter: @alffns_