8 minute read

Regulasi; Dapatkah Menjamin Pelestarian Cagar Budaya

Regulasi; Dapatkah Menjamin Pelestarian Cagar Budaya?

Guna mencegah benda-benda bersejarah dari kerusakan, negara perlu menyiapkam aturan hukum yang memadai. Persoalan hukum yang sering terjadi di Indonesia terkait dengan sejarah peradaban dan kebudayaan kuno belum mencukupi tujuan perlindungan dan pelestarian cagar budaya, seperti Undangundang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada pasal 3.

Advertisement

Indonesia telah melewati masa sejarah panjang. Perjalanan sejarah menghasilkan bukti dan terekam dalam temuan penting berupa cagar budaya yang tersebar di nusantara. Sehubungan dengan hal itu, maka peran mempertahankan dan melestarikan sangatlah penting. Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, saat itu pemerintah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kebijakan guna melestarikan kebudayaan secara utuh dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini terbukti adanya peraturan yang mengatur cagar budaya yakni Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010.

Menurut UU tersebut, pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1, bahwa cagar budaya merupakan warisan yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan. Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.

Pada UU yang sama Pasai 1 Ayat (2, 3, 4, 5, 6) yang disebut dengan Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs

dok.dim

Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Dinamakan cagar budaya harus memenuhi kriteria. Kriteria tersebut diantaranya adalah cagar budaya berusia minimal 50 tahun, memiliki nilai budaya yang dapat menguatkan kepribadian bangsa atau arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Akan tetapi, terdapat beberapa jenis cagar budaya seperti benda, bangunan, atau struktur yang tidak diharuskan berusia 50 tahun. Seperti halnya situs monumen pancasila sakti atau yang dikenal dengan lubang buaya dan makam presiden Republik Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid. Hal ini dikarenakan bangunan atau benda cagar budaya tersebut tidak terulang lebih dari satu kali.

Menurut Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 66 Tahun 2015 Tentang Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur, Bab V Pasal 5, menerangkan bahwa Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif. Dengan adanya peraturan tersebut maka perlu adanya pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).

TACB merupakan tim ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang telah memiliki sertifikasi di bidang perlindungan, pengembangan, atau pemanfaatan cagar budaya. Mengutip laman website kebudayaan.kemendikbud.go.id, persyaratan sertifikasi TACB meliputi, diusulkan Pemerintah Daerah, warga Negara Indonesia, sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter, berusia paling rendah 28 tahun, memilki keahlian arkeologi, sejarah, filologi, antropologi, kesenian, arsitektur struktur dan mekanik, kesenian, hukum, dan keahlian lain yang memiliki wawasan kepurbakalaan dan wawasan pelestarian cagar budaya.

“TACB sebagai petugas yang direkomendasikan dinas untuk mengkaji temuan, harus memiliki sertifikat melalui Direktorat Jenderal (Dirjen) Kebudayaan dengan tahapan ujian yang diadakan selama 3 tahun sekali,” tutur Winarto selaku anggota Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di Bidang Kebudayaan. Pada 2019 Tulungagung membentuk TACB yang hingga saat ini beraggotakan 5 orang. Menurut Winarto, pada saat itu provinsi membuka program pendaftaran TACB di area Jawa Timur. Hal ini berdasarkan minimnya TACB dan banyaknya cagar budaya yang belum ditetapkan di area Jawa Timur.

Winarto, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di Bidang Kebudayaan/dok.dim

Prosedur Penetapan Cagar Budaya

Penetapan sebuah cagar budaya harus melalui standar operasional prosedur yang berlaku. Mulai dari tahap pendaftaran, pengkajian, penetapan, pencatatan, pemeringkatan, penghapusan, pelestarian, pemugaran, hingga pemanfaatan. Masyarakat yang menemukan benda, bangunan, struktur, atau situs yang diduga cagar budaya wajib melapor dan mendaftarkannya ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) pada bagian Bidang Kebudayaan.

Dalam tahap pendaftaran, pelapor mengisi formulir yang terdiri dari beberapa kategori mulai dari temuan, ukuran, hingga kesejarahannya. Pelaporan tersebut paling lambat 30 hari sejak ditemukan cagar budaya. Hal ini untuk mempermudah proses pengkajian cagar budaya yang akan dilakukan oleh TACB. Setelah dilakukan pengkajian, cagar budaya yang dilaporkan dinamakan Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB), namun belum mendapatkan pengesahan dari pemerintah yang berwenang.

Dalam tahap tersebut terdapat proses sidang

sebagai penetapan suatu cagar budaya. “Setiap sidang, ada beberapa kali sidang. Tergantung kerumitan permasalahan. Tergantung permasalahannya, sulit atau tidak,” ungkap Winarto. Sidang tersebut tidak hanya dilakukan di ruangan, akan tetapi sidang juga diperlukan di lapangan. Sidang lapangan dilakukan dengan cara wawancara kepada penduduk sekitar. “Istilahnya sesepuhlah yang tau tentang sejarahnya benda atau bangunan cagar budaya tersebut,” tambah Winarto.

Setelah melalui proses pengkajian, TACB melapor kepada Disbudpar atau bupati agar ditetapkan sebagai cagar budaya. Dalam penetapan, cagar budaya dapat disahkan oleh bupati, gubernur, presiden. Pada tingkat kabupaten, cagar budaya ditetapkan oleh bupati, dengan syarat cagar budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah kabupaten atau kota. Cagar budaya yang ditetapkan oleh gubernur di tingkat provinsi ditinjau dari bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas wilayah kabupaten atau kota. Sedangkan tingkat nasional yang ditetapkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan ditinjau dari evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah.

Tulungagung sendiri memiliki sekitar 460 ODCB dan yang telah ditetapkan sebanyak 18 cagar budaya. Diantaranya, situs Goa Pasir, situs Candi Mirigambar, Candi Sanggrahan, situs Goa Selomangkleng, Goa Tritis, Candi Dadi, Candi Penampihan Sendang, ada pula Candi Boyolangu, Arca Dwarapala di empat penjuru pintu masuk Kabupaten Tulungagung, dan Prasasti Lawadan yang saat ini berada di pabrik Industri Marmer Indonesia Tulungagung. Winarto juga mengungkapkan, terdapat pula rencana Disbudpar untuk menetapkan 129 benda yang terdapat di museum untuk dijadikan sebagai cagar budaya.

Pendataan Cagar Budaya

Pendataan atau pecatatan cagar budaya di Tulungagung dilakukan Disbudpar jika terdapat tambahan cagar budaya yang baru disahkan oleh bupati. Dalam tahap pendataan atau pencatatan pihak dinas dibantu oleh beberapa komunitas di Tulungagung. “Pendataan cagar budaya tergantung anggaran dari Pemkab. Sedangkan Pemerintah kabupaten (Pemkab) jarang menyetujui anggaran yang diajukan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata. Kalau anggaran kita tetap dari Pemkab masing-masing dan jarang disetujui,” tutur Winarto. Dengan adanya hal tersebut, pendataan cagar budaya di lapangan masih mengalami kendala.

Cagar budaya pun dapat dihapus dari daftar sesuai dengan UU Cagar Budaya Pasal 51 Ayat 1, bahwa cagar budaya dikatakan musnah jika musnah, hilang dalam jangka waktu 6 tahun dan tidak ditemukan, mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga hilang keasliannya, di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya. Namun, dalam peraturan yang sama pada pasal 2 disebutkan, bahwa penghapusan Cagar Budaya yang dimaksud dalam Ayat 1 dilakukan dengan tidak menghilangkan data pada register.

Hal yang sama dijelaskan oleh Winarto, “Katakanlah nomor 400 nggak ada, itu bukan langsung dihapus, terus yang bawahnya naik itu nggak, itu tetep jumlahnya tadi 460. 460 itu di tandai merah, pengecekan tanggal sekian di posisi ini. Dan nanti barangkali dua tahun lagi muncul, kadang kan gitu maksudnya ada lagi kan dimunculkan lagi, kalau ada proses penghapusan itu ada di undang-undang tadi, itu ada aturannya.”

dok.dim

Pelestarian Cagar Budaya

Cagar budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Dalam rangka menjaga cagar budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di

wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan untuk menjamin eksistensinya. Oleh karena itu, upaya pelestarian cagar budaya mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Upaya Pemkab Tulungagung melakukan perlindungan dengan cara menyerahkan sepenuhnya kepada Juru Pelihara (Jupel). Tulungagung sendiri memiliki 48 Jupel. Tugas utama Jupel adalah merawat, mengamankan, dan melestarikan cagar budaya.

Disisi lain upaya pelestarian Pemkab Tulungagung yang belum merata. Seperti halnya kondisi Candi Gayatri yang memerlukan perbaikan. Misalnya pagar candi yang mulai rusak dan batu merah yang mulai berantakan. “Sebetulnya perlu diperbaiki. Batu merahnya yang berantakan itu lo. Kondisinya kurang baik. Pager-pagernya sudah rusak. Kalau nggak dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) nggak bisa. Harus orang BPCB. Radi lama. Ragate yo akeh (Agak lama. Biayanya juga banyak, red.),” tutur Jono selaku Jupel Candi Gayatri di Boyolangu.

Dalam peraturan yang sama Pasal 24 Ayat 1, Setiap orang berhak memperoleh kompensasi apabila benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang ditemukan telah ditetapkan sebagai cagar budaya. “Nah prosesnya tetap surat menyurat. Nah, wi engko dari tim informan, tim pengangkatan, sama seng memiliki ODCB masingmasing dapat kompensasi (Nah, prosesnya tetap surat menyurat. Nanti dari tim informan, tim pengangkatan, dan orang yang memiliki ODCB masing-masing dapat kompensasi, red.) ujar Mustakhim Setyawan atau biasa disapa Garudhara, dari komunitas Asta Gayatri.

Namun, selama ini Disbudpar Tulungagung belum pernah memfasilitasi dan memberikan kompensasi bagi masyarakat yang mengamankan Cagar Budaya tersebut. “Sementara ini masih belum ya, masyarakat yang mengamankan benda bersejarah selama ini semacam anu aja to, ee dihonori pemerintah desa seperti itu” kata Winarto.

Masyarakat yang memiliki cagar budaya wajib mengamankan, merawat dan melestarikan. Seperti halnya Mustakhim, mengatakan bahwa “Intine enggak didol di black market. Mengko nek wes mlayu nek pasar gelap, wes angel goleki. Mergone barang-barang seng mempunyai nilai historis kui wes angel tenan (Intinya tidak dijual di black market. Nanti jika lari ke pasar gelap, sudah sulit dicari. Soalnya barang-barang yang mempunyai nilai historis itu udah sulit banget, red.” (La, Ain, Zky, Bay, Dsy, Ari)

This article is from: