Aceh Heritage
Aceh Heritage Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
2
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
ACEH HERITAGE: Situs Warisan Kerajaan, Makam, Masjid, Rumah dan Benteng Pengarah: Drs. Amiruddin, M.Si Penanggngjawab: Dra. Irmayani Ibrahim Ketua: Alfian Afif, M.Pd Wakil Ketua: Evi Mayasari, A.KS. M.Si Sekretaris: Yudi Andika, SS Anggota: Dra. Elly Wardani Kamariah, S.Sos Jihadul, SH Irsal, SE Daini, S.Sos Riska Mulia Editor: Misri A. Muchsin, (ed.) REVIEWER: Drs. Rusdi Sufi
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
iii i
Aceh Heritage
PENULIS: Drs. Nasruddin AS, M.Hum Drs. Nabhani AS. Fadhlur Rahman Armi, Lc. MA Dedi Satria, S. S Alfian Afif, M. Pd Dra. Elly Widarni Agung, S. S Irwansyah Dra. Ruhamah, MA Syalia. R Mahlida, S. Hum, MA LAYOUTER: Maimun Yulif PHOTO: Discover Studio NARASUMBER: Drs. Nurdin AR, H. Hum DR. Mawardi Umar, MA DR. Husaini Ibrahim, MA Dra. Dahlia, MA 4
ii
i
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
KATA PENGANTAR KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH
Catatan sejarah menyadarkan kita betapa banyak peristiwa dan peninggalan bersejarah di Aceh yang bernilai tinggi dan berharga. Hak ini telah menjadi catatan dunia berdasarka beberapa tulisan para penulis asing dari belanda atau inggris. Peninggalan sejarah merupakan identitas suatu bangsa, apabila sejarah suatu bangsa tidak terjaga maka hilanglah identitas bangsa tersebut. Penulisan buku sejarah ini salah satu upaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh untuk melestarikan peninggalan sejarah dalam bentuk dokumentasi yang dapat diturunkan kepada generasi berikutnya Sejarah Aceh yang cukup panjang berada disetiap ttik dan langkah kita berjala, sarat dengan kisah dan cerita untuk diceritakan kepada siapapun yang menginjak tanah Aceh Kami beharap buku ini menjadi salah satu sumber referensi dalam memahami sejarah bagi
pembaca dan juga berguna bagi pemandu wisata yang berkualifikasi sejarah dan budaya Kepada Penggagas, penyusun, narasumber, editor, reviewer dan semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan buku ini, kami sampaikan terimakasih, semoga Allah melimpahkan Rahmatan Lil’alamin kepada kita semua Untuk kesempurnaan buku ini kami berharap adanya sumbangan saran dan kritik konstruktif dari pembaca sehingga dapat berguna bagi pengembangan sejarah dan budaya Aceh tercint Banda Aceh, Desember 2018 Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Drs. Amiruddin, M.Si
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
i iii
Aceh Heritage PENGANTAR EDITOR Buku yang sudah berada di tangan pembaca ini, pada mulanya merupakan kumpulan tulisan beberapa penulis, menyangkut situs sejarah-budaya Aceh, baik masjid, makam, benteng, rumah atau istana dan situs peninggalan kerajaan-kerajaan di Aceh yang masih tersisa, yang tersebar di beberapa daerah di Aceh. Dalam proses pencarian datanya penulis tertantang dengan segala resiko dan tantangan, karena mereka bukan hanya mencari data tertulis atau dokumen di perpustakaan atau di buku (library research), tetapi juga harus mengunjungi dan membuktikan ke lapangan atau lokasi di mana situs itu berada. Oleh karenanya tak ayallah, kalau para penulis harus menyisihkan waktu berhari-hari untuk menjangkau situs-situs yang menjadi garapannya di daerah terpencil sekalipun yang kadang sudah ditutupi belukar. Mereka mengejar bukan hanya inskrpsi tulisan yang ada di situs dimaksud, tetapi juga pembuktian bahan baku, seni arsitektur dan keindahan yang mengagumkan tersendiri. Dari sisi inilah letak kekuatan informasi buku ini di samping tampilan gambar atau photo situs yang dihadirkan sesuai dengan uraiannya. Dilihat dari sisi isi buku, merupakan sesuatu yang amat penting untuk diketahui semua pihak, terutama bagi generasi muda, pelajar di sekolahan dan mahasiswa. Hal itu karena buku ini menampilkan isi dan gambar-gambar yang menyangkut dengan perkembangan dan kejayaan Aceh antar zaman dalam berbagai aspek kehidupannya, untuk viii
dibandingkan dengan zaman dan tempat (lokus dan tempus) di mana dan kapan mereka hidup. Perbandingan itu sendiri tentu begitu diperlukan, guna menyadarkan dan menumbuhkan rasa kesadaran anak bangsa untuk melahirkan kreatifitas dan karya besarnya pula pada masa sekarang dan mendatang. Dari kajian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa kekuatan buku terletak pada penyuguhan sumber primer yang “dijemput� sendiri penulis ke obyek situs, dengan menampilkan photo/gambar, dan tulisan dengan inskripsi tulisan yang dihasilkan dalam buku, merupakan sesuatu yang dianggap nilai lebih buku ini. Penulisan buku dengan menampilkan gambar/ photo sebagai revepresentasi visualnya, harus diakui menjadi model trend terakhir, di samping memang memiliki daya tarik tersendiri pula. Terlepas dari itu semua, harus diakui bahwa buku ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, terutama menyangkut dengan pengutamaan, klasifikasi dan standarisasi situs yang ditampilkan. Hal itu mengingat begitu banyak objek kajian-situs yang seharusnya ditampilkan semua, tetapi apa daya, dengan segala keterbatasan, akhirnya prioritas seperti terungkap dalam sajian yang ada. Dalam menyajikan isi buku, kecenderungan lebih mengutamakan sistematis-kronologis wujudnya situs sesuai angka tahun yang berhasil didapatkan. Dalam hal6ini perdebatan mungkin saja akan muncul, misalnya kenapa tidak berdasarkan obyek Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
situs utama, diutamakan yang sudah sangat populer, sudah sebagai icon, atau kenapa tidak obyek situs ditampilkan berdasarkan representasi daerah/ kabupaten dan argumen lainnya. Dalam hal ini kesepakan dengan prinsip kronologis sistematis menjadi argumentasi ilmiah tersendiri seperti yang diteorikan dalam ilmu. Hanya saja ke depan perlu perhatian tersendiri hal-hal tersebut di atas, perlu merencanakan untuk melanjutkan penulisan buku 2, buku 3 dan seterusnya. Dari hal-hal yang kemungkinan diperdebatkan, bahwa kehadiran buku ini harus diakui sebagai wujud pengayaan khazanah Aceh, menjadi sumber informasi obyek sejarah-budaya antar zaman. Semua itu tentu patut dicermati oleh semua pihak, lintas generasi dan lintas bidang keilmuan, karena obyek situs yang ditampilkan variannya juga dalam dan dari lintas bidang pula. Akhirnya kepada Allah hendaknya semua kita berserah diri, dan semoga karya yang sudah berada di tangan pembaca walaupun dengan segala kekurangannya, kiranya menghadirkan dan mendatangkan pencerahan bagi semua kita, terutama bagi generasi muda selaku generasi perus bangsa! Wallahu A’lam bi al-Shawwab. Editor, Misri A. Muchsin
Aceh Heritage
Pengantar Editor ................................................................. Pengantar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh ......................................................... Daftar Isi ...................................................................................... 1. Situs Lamuri Di Kawasan Bukit Lamreh: “Kota dan Pelabuhan Kuno Sebelum Kesultanan Aceh” ............................. 2. Situs Kampung Pande ........................................ 3. Makam Putro Neng ............................................... 4. Benteng Inderapatra ........................................... (Ladong, Krueng Raya Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar) 5. Makam Malikussaleh .............................................. 6. Makam Ratu Nahrasyiah .................................... 7. Makam Teungku Tuan Di Kandang ........... 8. Darul kamal .................................................................... 9. Makam Malahayati ................................................... 10. Makam Puteri Hijau ............................................... 11. Makam Kandang XII ............................................... 12. Gunongan ...................................................................... 13. Pinto khop ..................................................................... 14. Masjid beuracan ......................................................... 15. Makam Teungku Japakeh ,................................ 16. Makam Malem Dagang ...................................... 17. Makam Syiah Kuala ................................................ 18. Masjid Indrapuri ......................................................... 19. Makam Tun Sri Lanang ........................................ 20. Rumoh Tgk Chik Awe Geutah .................... 21. Makam Teungku Dianjong .............................
iii iv v
1 3 7 9
11 13 15 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45
22. Makam Tgk. Chik kuta karang ........................ 23. Makam Tgk Chik Pante Kulu .......................... 24. Masjid Tuha Ulee Kareng ................................... 25. Kandang Meuh ........................................................... 26. Benteng Kutabatee Mereudu ...................... 27. Makam Sultan iskandar Muda ....................... 28. Komplek Makam Tgk Di Bitai ....................... 29. Masjid Raya Baiturrahman ................................ 30. Masjid Baiturrahim Ulee Lheue .................. 31. Benteng Sultan Iskandar Muda Di Krueng Raya ......................................... 32. Benteng Inong Balee Lamreh Krueng Raya ................................................................. 33. Benteng Lubok Lamreh .................................... 34. Makam Hamzah Fansury ................................... 35. Perpustakaan Dayah Tanoh Abee Seulimuem ..................................................... 36. Makam Tgk. Chik ditiro ........................................ 37. Makam Imuem Chik Lhueng Bata ............. 38. 38. Masjid Nuril Huda Pulau Kambing..... 39. Dayah Labuhan Haji/ Makam Tgk. Syekh Muda Wali ....................... 40. Gedung Baperis (Banda Aceh) .................. 41. 41. Makam dan masjid tgk. Fakinah ............ 42. Pendopo Gubernur ............................................... 43. Bank Indonesia ........................................................... 44. Kerkhoff Peutjut ........................................................ 45. Pendopo Bupati Bireuen ................................. 46. Rumah Cut Mutia .....................................................
47 49 51 53 55 57 59 61 63 65 67 69 71 73 75 77 79 81 83 85 89 91 93 95 97
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
47. Rumah Cut Nyak Dhien ..................................... 48. Makam Panglima Teuku Nyak Makam .... 49. Makam Teuku Umar ............................................... 50. Rumah Ampon Chik Peusangan “Teuku Chik Muhammad Johan Alamsyah” ...................................................... 51. Makam Teuku Cut Ali .......................................... 52. Pendopo Walikota Tamiang ............................ 53. PendopoWalikota Langsa ............................... 54. Gedung Bale Juang Kota Langsa ............. 55. Bukit Gua Jepang ................................................... 56. Makam Teuku Bintara Pineung ..................... 57. Sentral Telpon .............................................................. 58. Makam Teungku Pekan ....................................... 59. Rumoh Aceh ............................................................... 60. Tower Air Taman Sari ............................................ 61. Makam Teuku Raja Angkasah ........................ 62. Gedung SMA 1 Banda Aceh ......................... 63. Makam Panglima Polem .................................... 64. Istana Karang .................................................................. 65. Istana Raja Benua ..................................................... 66. Makam Teungku Pekan ....................................... 67. Benteng Trumon ...................................................... 68. Rumah Teuku Abbas ............................................. 69. Benteng Jepang ...................................................... 70. Makam dan Rumah Teuku Nyak Arief...... 71. Sejarah Nicero .............................................................. 72. Sejarah Raja-Raja Teunom .................................. 73. Sejarah Meureuhom Daya ...................................
99 101 103
105 107 111 113 115 117 119 121 123 127 129 131 133 135 137 139 141 145 147 149 151 153 157 159
ix
Aceh Heritage
Situs Lamuri di Kawasan Bukit Lamreh:
1
“KOTA DAN PELABUHAN KUNO SEBELUM KESULTANAN ACEH” Ujong Batee Kapal, Lamreh, Krueng Raya Tempat ini berlokasi di kawasan perbukitan Lamreh, Gampong (kampung) Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Acek Besar. Lokasi perbukitan tersebut sebenarnya merupakan tanjung perbukitan kapur yang dikenal masyarakat setempat sebagai Ujong Batee Kapal dengan teluk kecil dan Kuala Lubok di sisi Timur, serta teluk Krueng Raya di barat dengan pelabuhan Malahayati. Dari hasil pengamatan arkeologis, d itempat ini mengandung banyak-benda benda kuno, seperti temuan struktur besar Benteng – Kuta Inong Balee dan Benteng – Kuta Lunok. Benda-benda kuno lainnya berupa struktur susunan batu berteras yang belum banyak diteliti, kelompok-kelompok makam kuno dengan batu nisan yang dipahat sebagai penanda makam. Ditempat ini juga ditemukan benda-benda kecil dari berbagai jenis dan bahan, seperti keramik dan tembikar, benda-benda dari kaca, batu, dan logam (jenis besi, p erunggu, dan timah). Benda-benda kecil tersebut cukup berarti untuk memahami s itus arkeologis ini, karena benda-benda kecil tersebut biasa ditemukan dalam jaringan pelayaran dan perdagangan jarak jauh. Masyarakat di Situs Kawasan Bukit Lamreh atau Situs Lamreh sebagai masyarakat kota dan pelabuhan kuno di Aceh. Penelitian arkeologi, walau belum dilakukan ekskavasi arkeologi (penggalian) secara lebih luas, namun dari hasil survey
Foto: S. Paru
dan observasi permukaan yang dilakukan sejak tahun 2009/2010 hingga 2014 telah membuktikan dengan sangat menyakinkan bahwa tempat ini pernah menjadi tempat tinggal permanen dari satu komunitas masyarakat kota dan sebagai pedagang. Temuan yang berhasil dikumpulkan memberikan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
gambaran bahwa kehidupan masyarakat kota kuno di situs Lamreh sangat terikat dengan kegiatan pelayaran dan perdagangan jarak jauh. Sebagai suatu masyarakat kota dalam suatu pelabuhan kuno apa saja yang dilakukan masyarakatnya tentu saja untuk menjamin terselenggaranya keberlanju1
Aceh Heritage tan suatu kehidupan masyarakat kota dengan kegiatan pelayaran dan perdagangan jarak jauh. Dari bukti yang berhasil dikumpulkan dapat diketahui bahwa masyarakat kota di Situs Lamreh memiliki berbagai keahlian untuk mendukung kehidupan kota dan pelabuhan ini selain sebagai pelaut dan pedagang kususnya dalam pelayaran jarak jauh serta nelayan. Kehidupan masyarakat kota Situs Lamreh, umumnya sebagai pedagang yang memainkan peranan perdagangan jarak jauh, dibuktikan dengan penemuan artefak berupa benda-benda yang datang dari penjuru dunia. Jenis temuan yang sangat khas dari situs kota dan pelabuhan kuno terutama jenis temuan keramik. Jenis keramik yang telah diketahui berasal dari Cina masa Song akhir sebelum tahun 1278-1279 dan masa Mongol-Cina Yuan (1278-1369 M.). Selain itu, disini juga ditemukan jenis-jenis keramik dari Asia Tenggara terutama dari Siam-Thai (Ayutthaya) dan Vietnam dari abad ke-13 M. hingga abad ke-14 M. Dan terakhir berbagai jenis dan tipe tembikar dari Asia Selatan, kususnya dari kawasan India Selatan pantai tenggara di Pantai Coromandel. Benda benda dari India Selatan yang lainnya juga berupa benda-benda dari kaca berwarna jenis satu warna (monokrom), seperti manik-manik monokrom, dan banyak warna (polikrom), seperti mangkuk atau wadah kaca berhias. Benda-benda dari batu terutama jenis batuan granit yang selalu dihubungkan dengan kawasan India Selatan. Temuan benda dari batu granit untuk Kota Cina Medan, Labu Tuo dan Bukit Hasan Barus dihubungkan dengan kehadiran perkumpulan dagang dari Tamil masa 2
Chola, India Selatan. Kota Cina dan Labu Tuo diketahui oleh para arkeolog sebagai kota pelabuhan yang dibangun oleh perkumpulan pedagang Hindu Tamil Chola, India Selatan. Kedua kota pelabuhan ini dibangun sebagai koloni dalam jaringan pelayaran dan perdagangan perkumpulan pedagang tempat pengumpulan barang-barang berharga lalu diangkut melalui pelayar menuju ke Cina atau menuju India dan akhirnya Timur Tengah. Bukti lain tempat ini terhubung dengan jaringan pelayaran dan perdagangan dunia dari Cina hingga India (Asia Selatan) lalu Timur Tengah yaitu penggunaan mata uang berupa koin perunggu atau besi dari Cina. Koin-koin Cina yang berhasil dikumpulkan umumnya berasal dari masa Song Cina (960-1278). Koin dari Cina sebagai alat tukar dalam perdagangan sudah diketahui oleh banyak peneliti tentang kota dan pelabuhan kuno di Nusantara. Di Sumatera jenis temuan ini hampir ditemukan di setiap situs arkeologi yang dipastikan ikut ambail bagian dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan dunia, sejak dari Palembang (kota Sriwijaya), Jambi (Kota Melayu), Riau dan kepulauannya, Kota Cina Medang hingga Pulau Kampai, Langkat hingga Barus. Di Aceh k awasan Bukit Lamreh menjadi satu referensi baru untuk kota dan pelabuhan dalam jaringan kuno tersebut. Namun demikian koin Cina bukan satu-satunya alat tukar yang digunakan dalam kegiatan perdagangan. Salah satu alat tukan yang paling luas penggunaan di jaman pertengahan dalam perdagangan dunia yaitu kulit kerang yang dikenal sebagai ‘kaori’. Kerang ‘kaori’ penggunaannya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
melampaui jaringan pelayaran dan perdagangan utama dunia sepertinya mendahului penggunaan koin Cina. Sebagai kota pantai masyarakatnya juga sangat tergantung pada laut. Kehidupan nelayan juga ditemukan dari benda-benda arkeologi. Salah satu benda yang sangat khas berupa bantul (ankur) dari bahan tembikar (tanah liat dibakar) untuk pemberat jala juga berhasil ditemukan dalam pengamatan dalam jumlah yang masih terbatas. Jenis temuan ini juga memberikan gambaran kepada peneliti bahwa masyarakat yang hidup di tempat ini merupakan masyarakat pelaut. Pemahaman ini sangat penting karena pelaut-pelaut handal dalam kegiatan pelayaran jarak jauh baik secara langsung atau pun tidak berhubungan kelompok masyarakat ini. Pelaut sangat erat dengan masyarakat nelayan, secara naluri dan tradisi kelautan mereka menjadi nahkoda atau nafigator dalam pelayaran. Oleh karena itu mereka dituntut untuk menguasai astronomi atau ilmu perbintangan sebagai pemandu arah, dan ahli dalam memahami karakter lautan dan ciri-ciri musim angin muson. Keahlian ini bermanfaat untuk menentukan waktu yang baik untuk melakukan pelayaran dan menghindari bahaya samudera. Lagi pula lautan di perairan Teluk Lamreh-Kroeng Raya sekarang dahulu pastilah menghasilkan biota laut yang sangat melimpah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kotanya. Letak geografi berada pada lokasi strategis yaitu di mulut pintu masuk Selat Malaka yang sejak abad pertama Masehi telah digunakan para pelautuntuk pelayaran jarak jauh dan dalam lintasan pelayaran dan perdagangan jarak jauh.
Aceh Heritage
2
Tinjauan Arkeologis dan Historis Kampung Pande merupakan salah satu nama tempat kuno atau toponimi masih dapat ditemukan dari sisa (jejak) kota pelabuhan kuno Kerajaan Aceh Darussalam hingga hari ini. Sebagai satu lokasi situs arkeologi, Kampung Pande dalam kajian kepurbakalaan/arkeologi banyak meninggalkan jejak berupa sisa-sisa benda kuno dan sisa kegiatan manusia di masa lampau yang berusia cukup tua. Kata pande atau pandai berasal dari bahasa Melayu dan berarti orang yang mempunyai keahlian dan keterampilan khusus. Pande yang dimaksud di sini yaitu orang-orang mempunyai keahlian dan keterampilan dalam menempa, mencetak, atau membuat benda-benda dari bahan logam, baik benda berbahan logam mulia seperti emas, suasa, atau perak. Dari logam biasa seperti besi, timah, kuningan, dan perunggu. Kata pande dalam bahasa Melayu mempunyai pengertian yang sama dengan kata empu dalam bahasa Jawa. Walau kata empu lebih sering dikaitkan dengan keahlian membuat keris atau senjata (Anthony Reid, 1992; dan Denys Lombard, 1991). Van Langen menyebutkan beberapa kampung yang saling berdekatan di kuala Sungai (Krueng) Aceh yang hingga abad ke-19 M. dibawah pengawasan dan pemerintahan langsung oleh Sultan Aceh, terutama pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah atau Tuanku Ibrahim (1846-1870). Kampung-kampung tersebut yaituMerduati, Ke-
Situs Kampung Pande
Foto: Maimun Yulif
dah, Jawa, Pelanggahan, Pande, dan Kandang (Karel F.H. van Langen, alih bahasa T. Aboe Bakar, 1986). Van Langen menjelaskan di Kandang tempat tinggal para hamba atau abdi sultan yang mengerjakan seluruh keperluan sultan Aceh. Kampung Pande dan Kandang dalam sumber ini disDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
ebut terpisah. Walau pada keyataannya, hingga hari ini, Kandang merupakan bagian atau salah satu wilayah yang berada dalam Kampung Pande. Masyarakat di Kampung Pande hingga saat ini mengenal perbedaan nama kedua tempat tersebut, Kandang sebagai nama tempat dan menjadi bagian 3
Aceh Heritage dari Kampung Pande (narasumber; bapak Ismail Sarung dan bapak Abdullah orang yang dituakan dan tinggal di Kampung Pande, wawancara tahun 2006). Kandang berlokasi di bagian utara, sementara Kampung Pande berada di bagian barat hingga ke selatan. Kampung Pande berbatasan dengan Kampung Jawa di Timur dan Kampung Pelanggahan di Selatan, lalu Kampung Kedah di Tenggara. Kampung Pande dan Kandang serta empat kampong lainnya tersebut sekarang berada
dalam wilayah administrasi Kecamatan Baitur Rahman, Banda Aceh. Lokasi kampung-kampung kuno tersebut tepatnya di utara Masjid Raya Baitur Rahman Banda Aceh dan berada di sisi barat sungai Aceh. Beberapa toponimi yang ditemukan pada jejak kota pelabuhan kuno Kerajaan Aceh Darussalam dengan tempat-tempat penting dan kampungkampung kuno di kawasan muara Sungai (krueng) Aceh dan sungai Dar ad Dunia atau krueng Daroy;
Foto: Maimun Yulif
4
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
sungai kecil.(Gambar rekonstruksi oleh Dr. Kamal Arif, 2005). Kampung Pande dan Kandang sebagai nama tempat kuno atau toponimi disebutkan dalam sumber historis lokal secara terpisah. Ada tiga sumber tertulis lokal yang menyebutkan tentang keberadaan para pande di kerajaan Aceh Darussalam dan dapat dikaitkan dengan Kampung Pande. Ketiga sumber historis tersebut yaitu; (1) Hikayat Aceh, menjadi bahan disertasi T. Iskandar dalam Hikayat Aceh (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandar Muda), (2) Bustan as Salatin, menjadi tulisan R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam Upacara Pula Batee Pada Makam Sultan Iskandar II (16361641), dan (3) Hikayat Pocut Muhammad dalam tulisan G.W.J. Drewes, Hikajat Pocjut Muhammad. Hikayat Aceh, sumber historis yang ditulis oleh orang Aceh sendiri dan dianggap sebagai sumber tertulis tertua tentang keadaan kota pelabuhan kuno Aceh Darussalam. Hikayat Aceh menjelaskan ’Kandang’ sebagai tempat pekuburan keluarga Sultan Aceh dan tempat Pangeran Pancagah, yaitu Sultan Iskandar Muda, berlatih seni bela diri dan ilmu kesatriaan (T. Iskandar, 1978). Namun Hikayat Aceh tidak menyinggung tentang Kampung Pande sebagai perkampungan dan pusat aktivitas para pande, hanya menyebut Kampung Jawa dengan pelabuhannya Bandar Makmur dan Kampung Birma (Pegu). Kampung Pande baru disebut dalam sumber tertulis lokal yaitu dalam Hikayat Pocut Muhammad. Hikayat ini merupakan sebuah epos yang berkisah tentang perang saudara di Kerajaan Aceh
Aceh Heritage
Darussalam antara Sultan Jamal al Alam dari dinasti Sayyid (1704-1726) yang berkedudukan di Kampung Jawa dengan Sultan ’Ala ad Din Johan Alam (1735-1760) atau Pocut Ue (anak Maharajalela Bugis atau Sultan ’Ala ad Din Ahmad Syah dari dinasti berdarah Bugis, (1727-1735) yang berkedudukan di Dalam atau keraton Sultan Aceh (Drewes, G.W.J., Hikajat Potjut Muhamat An Achehnese Epic, The Hague, Martinus Nijhoff, 1979). Namun Kampung Pande hanya disebut sebagai salah satu benteng yang berhasil direbut oleh
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
panglima perang sultan Pocut Muhammad. Kegiatan para pande tidak dijelaskan dalam hikayat ini, karena situasi kerajaan Aceh sedang berkecamuk perang saudara. Walaupun demikian, salah satu bagian dari hikayat tersebut menceritakan bahwa, Pocut Muhammad telah memerintahkan para pande istana untuk menempa kancing dari emas dan membuat pedang (pisau pajang; sikin panyang) dengan hulu (gagang) dari suasa. Hikayat Pocut Muhammad juga menjelaskan bahwa Kampung Pande berdekatan dengan Kampung Jawa.
5
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
6
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
3
Putroe Neng yang bernama asli Nio Lian Khi, adalah seorang Laksamana perempuan dari negeri Cina. Ia ditugaskan negerinya memimpin perang dalam ekspasi penguasa negeri Cina menaklukkan kerajaan-kerajaan yang ada di pulau Sumatera. Akibat kalah perang dengan Raja Aceh yang bernama Meurah Johan—yang lebih dikenal Sultan Johan Syah (1205-1235 M), Nio Lian Khi yang cantik jelita ini pun kawin dengan Meurah Johan, sekaligus ia masuk agama Islam dengan perubahan namanya dari Nio Lian Khi menjadi nama Putroe Neng. Banyak cerita sejarah yang menarik dari kisah Putroe Neng, Terutama cerita bahwa seorang yang berparas cantik ini bersuamikan 100 laki-laki. Setiap lelaki yang kawin dengannya saat malam pertama berhubungan suami-istri, laki-laki yang menjadi suaminya itu langsung meninggal dunia, akibat adanya semacam racun yang sangat berbisa yang terdapat dalam kemaluan Putroe Neng. Raja Aceh Meurah Johan adalah korban pertama dari racun berbisa yang terdapat dalam kemaluan Putroe Neng. Demikian juga dengan 99 orang suaminya yang lain, begitu berhubungan suami istri dengan Putroe Neng langsung meninggal seketika. Tidak ada dukun dan tabib (orang pandai) yang mampu mengobati atau memindahkan racun berbisa dari kemaluan Putroe Neng. Sementara korban terus
Makam Putro Neng
Foto: Maimun Yulif
berjatuhan akibat beristrikan Putroe Neng. Namun Putroe Neng sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi pada setiap laki-laki yang menjadi suaminya. Pertanyaannya, racun apa dan dari mana muasalnya? Rupanya saat Putroe Neng masih remaja, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
neneknya bernama Khie Nai-nai telah memasukkan semacam racun azimat dalam kemaluan cucunya Putroe Neng, sebagai senjata pamungkas agar Putroe Neng dewasa nanti tidak menjadi kekerasan dan pelecehan seksual laki-laki pada dirinya. 7
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
Setelah 99 orang laki-laki yang menjadi suami Putroe Neng jatuh korban, maka muncullah seorang laki-laki bernama Syiah Hudam untuk menjadi suami Putroe Neng yang ke 100 orang. Syiah Hudam yakin akan mampu mengobati atau memindahkan racun berbisa yang ada dalam kemaluan Putroe Neng. Meskipun murid-murid Syiah Hudam meresahkan akan keselamatan gurunya. Namun karena Syiah Hudam sudah tahu rahasia racun berbisa yang ada pada Putroe Neng. 8
Apa lagi Syiah Hudam adalah guru yang bertahun-tahun mengajar Islam untuk Putroe Neng tentu sudah tahu rahasia apa yang disembunyikan oleh Putroe Neng pada dirinya. Maka saat Syiah Hudam melewati malam pertama dengan Putroe Neng yang dibantu oleh do’a-do’a sepanjang malam pertama itu, Syiah Hudam berhasil memindahkan racun berbisa dari Putroe Neng. Makam Putroe Neng—seorang yang sangat melagenda dalam sejarah Aceh —sekarang terdaDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
pat dilintasan jalan raya Banda Aceh – Medan, tepatnya di Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, Aceh. Dalam komplek makam Putroe Neng, juga terdapat sekitar 20 makam lainnya, yang konon khabarnya dalam komplek berukuran 20 x 20 meter ini juga terdapat beberapa makam ulama, termasuk makam Syiah Hudam, juga terdapat dalam komplek makam Putroe Neng.
Aceh Heritage 4
Ladong, Krueng Raya Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar Benteng (Kuta) Inderapatra berada di Desa Durong, Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Lokasi berada pada satu alur dengan beting pantai di utara. Lokasi ini tepatnya berada di sisi barat teluk Krueng Raya dan secara geografis berhubungan dengan teluk tersebut. Dari penamaan, benteng ini masih menjadi terbuka untuk diperdebatkan mengingat namanya yang nuansa Hindu – India. Hal yang sama juga terjadi untuk memahami makna Inderapurwa di Ujong Pancu-Neunjid, Peukan Bada Aceh Besar dan Inderapuri di Inderapuri Aceh Besar. Ketiganya sering dihubungkan dengan sistem federasi Aceh Besar pada masa Sultan Perempuan Aceh pertama, Sultanah Safiat ad Din Taj al Alam, yang dikenal sebagai tiga Sagi atau ‘lhee Sagoe’. Istilah ‘kuta’ dari kosa kata Sanskrit sendiri dalam dunia Melayu bukan suatu yang baru. Namun istilah ‘kuta’ perlu dijelaskan disini secara sekilas. Kata ‘kuta’ dalam istilah sanskrit dihubungkan dengan kubu pertahanan atau benteng (Daniel Perret, 1999). Sementara kata ‘Indera’ dalam bahasa Sanskrit dapat diartikan sebagai nama dewa hujan, Dewa Indera, dan raja. Namun di dunia Melayu Islam, istilah ‘Indera’ biasa digunakan untuk ‘raja’ daripada nama dewa Hindu, ‘Dewa Indera’. Sumber-sumber hikayat di Aceh – Melayu
Benteng Inderapatra
Foto: Maimun Yulif
biasa dengan istilah ini. Kata ‘patra’ dalam istilah sanskrit berarti ‘siap bertindak’. Dengan demikian secara bebas ‘Kuta Inderapatra’ dapat dimaknai sebagai kubu pertahanan raja yang siap bertindak kapanpun. Penamaan ini nampaknya sangat sesuai dengan tujuan pembangunan benteng – kuta, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
namun penamaan untuk benteng ini suatu yang baru. Hikayat Meukuta Alam, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, menyebut gugusan perbentengan (kuta) Ladong Krueng Raya sebagai ‘Kuta Seribu Kawal’ atau benteng yang dikawal 9
Aceh Heritage
oleh seribu pengawal (T. Imran Abdullah, , 1986). Dari penjelasan ini pula dapat dipahami di kawasan Ladong – Krueng Raya sebenarnya banyak dibangun sistem pertahanan. Kuta - perbentengan yang ditemukan dikedua tempat itu kemudian menjadi bukti untuk penjelasan dari hikayat dimaksud. Foto: Maimun Yulif
10
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
5
Makam Raja Islam pertama, adalah makam Malik Al-Saleh, merupakan situs purbakala yang cukup monumental di Nusantara, malah di Asia Tenggara untuk mengetahui masuk dan berkembangnya Islam di kawasan ini. Ia adalah kuburan Pendiri Kerajaan Islam Samudera Pasai yang bernama Meurah Silu yg bergelar Malik al-Saleh atau yang lebih dikenal dengan Malikussaleh, dan merupakan Raja Pertama Kerajaan Samudra Pasai yang pernah menyebarkan Islam di Asia Tenggara (tahun 1270-1297 M). Bukti sejarah yg bisa dilihat adalah batu-batu nisan yg berhiaskan kaligraphy ayat-ayat suci yg bernilai sejarah tinggi. Kerajaan Samudra Pasai sendiri merupakan Kerajaan Islam terbesar di Indonesia pada abad ke-13 M, yg bukan hanya menjadi Pusat Perdagangan Internasional, tapi juga pusat Peradaban dan Pendidikan Islam. Makam Sultan Malikussaleh terletak di Kampung Beuringin, Kecamatan Samudera, Aceh Utara atau sekitar 17 kilometer sebelah timur kota Lhokseumawe. Dalam satu komplek situs pemakaman ini juga terdapat makam Sultan Muhammad Malik Al-Zahir atau Malikuzzahir anak laki – laki dari Sultan Malik Al-Shaleh yang memimpin kerajaan Pasai 1297-1326, Makam Ratu Nahrisyah yang memimpin kerajaan Samudera pasai 1405 - 1428. Semua bangunan makam dilapisi batu gran-
Makam Malikul Saleh
it, Makam ini dilengkapi dengan pagar setinggi 1 meter. Tulisan yang tertera di sana berikut ini: “Ini kubur Almarhum yang diampuni, yang taqwa, pemberi nasehat, yang dicintai, bangsawan, yang mulia, penyantun, penakhluk, yang digelari dengan Sultan Al Malikussaleh�. itulah terjemahan dari tulisan berbahasa Arab yang terukir dalam salah satu batu nisan, seperti terlihat dalam gamDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Foto: Maimun Yulif
bar/photo berikut ini. Makam Malikussaleh ramai dikunjungi warga baik lokal, nasional bahkan dunia internasional. Hampir tiap bulan, ada kunjungan dari Malaysia, Filipina, Thailand, Brunai Darussalam dan warga negara lainnya. Tujuan pengunjung umumnya adalah melepaskan nazar, peusijuk dan untuk menggali sejarah Islam. 11
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
12
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
6
Sultanah Nahrasyiah binti Sultan Zainal Abidin Malikudh-Dhahir (1383-1400 M), adalah seorang perempuan yang arif bijaksana dan menjadi salah satu perempuan di Aceh pertama yang mempunyai peran penting di Kerajaan Samudera Pasai. Ia memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia pada masanya sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya. Dalam buku “Arabie en Oost Indie,” 1907, Snouck Hurgronje menulis tentang Ratu Nahrasyiah atau Nahrisyah yang dimakamkan di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai. Makamnya terbuat dari pualam, yang merupakan makam ratu Islam terindah di Asia Tenggara, dengan dihiasi ukiran kaligrafi. Menurut Snouck Hurgronje, makam Ratu Nahrisyah merupakan duplikat dari makam Umar ibn Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India. Ia mangkat pada 734 H atau 1333 M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrasyiah juga dipakai pada pembangunan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Melihat bentuk makamnya yang indah dan istimewa, bisa dipastikan kalau Ratu Nahrisyah merupakan raja perempuan terbesar pada zamannya. Pada nisannya terdapat nukilan-nukilan huruf Arab yang berisi informasi tentang makam
Makam Ratu Nahrasyiah
Foto: Maimun Yulif
tersebut. ukiran berbahasa Arab itu bila diterjemahkan dalam bahasa Melayu bermakna: “Inilah kubur perempuan yang bercahaya suci Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrisyah putri Sultan Zain al-Abidin putera Sulthan Ahmad putra Sulthan Muhammad Putra Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Sulthan Al Malikul Salih. Kepada mereka dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal dunia dengan rahmat Allah pada hari Senin 17 Zulhijah 831 H.” atau 27 September 1428 M” Pada makan Ratu Nahrisyah terukir surat Yasin dengan kaligrafi yang indah bersama ayat kursi 13
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
yang termaktub dalam surat Al Baqarah. Selain itu terdapat juga petikan dari kitab suci Alquran antara lain ayat 18 dan 19 surat Ali Imran. Ayat 285 dan 286 dalam surat Al-Baqarah juga turut 14
dipahat pada makam Ratu Nahrasiyah. Makam Ratu Nahrisyah tampak begitu penting bagi rakyatnya, sehingga dibangun dengan sangat indah. Makamnya dibuat begitu monuDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
mental, penuh kebesaran dan keindahan, sebesar dan seindah masa hidupnya sebagai seorang ratu.
Aceh Heritage 7
Kampung Pande, lokasi Makam Teungku Tuan Di Kandang, merupakan kampung dipinggiran kota Banda Aceh, berjarak 4 Km dari pusat kota (Masjid Baitur Rahman) ke arah utara, persisnya ke arah Kuala Krueng Aceh. Sebenarnya ada banyak pemakaman kuno di tempat ini, namun Makam ‘Tuan di Kandang’ menjadi salah satu dari tiga makam utama di gampong Pande. Makam ini sangat terkenal dan sering dikunjugi para peziarah. Tiga makam tersebut terletak saling berdekatan melintang dari utara – selatan, Makam ‘Tuan di Kandang’, Makam Raja Kampung Pande, dan Makam Putri Hijau. Di tempat ini dimakamkan keluarga dan kerabat keluarga kesultanan Aceh. Dari jenis batu nisan dan teks inskripsi atau prasasti diketahui bahwa tokoh-tokoh yang dimakamkan di sini meninggal pada abad ke-15 M. hingga abad ke-16 M. (Cloude Guillot dan Ludvik Kalus, 2008). Kata ‘Tuan di Kandang’ dapat diartikan sebagai ‘Tuan yang dimakamkan/ dikuburkan di Kandang’. Kata ‘kandang’ sendiri dalam beberapa teks Melayu klasik dikenal sebagai makam khusus yang biasa dibuat untuk tokoh-tokoh negarawan penting seperti raja, bangsawan, atau keluarga raja, serta orang-orang besar kerajaan. Istilah ‘kandang’ sendiri melekat menjadi nama tempat sebagai bagian dari Gampong Pande dikemudian hari. HikayatAceh menyebut tempat istimewa ini sebagai
Makam Teungku Tuan Di Kandang
Foto: Maimun Yulif
salah satu tempat penting untuk lingkungan istana Sultan Aceh sejak abad ke-16 M. hingga awal abad ke-17 M. (T. Iskandar, 1978). Ini terbukti kemudian dengan ditemukan nama tokoh-tokoh yang dimakamkan ditempat ini sebagai pangeran atau anggota keluarga sultan Aceh dari abad ke-16 M. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Oleh karena itu secara tradisi lisan pemakaman ini dikenal sebagai ‘Tuan di Kandang’. Istilah ‘kandang’ untuk makam keluarga Sultan Aceh ditemukan dalam kitab Bustan as Salatin dari Syaikh Nur ad Din Ar Raniry untuk menyebut ‘Kandang Raja Darussalam’, tempat di15
Aceh Heritage
makankan Sultan Iskandar Tsani yang letaknya di Taman Sari Gunongan Banda Aceh (Hoesein Djajadiningrat, R.A., Upacara…1980). Istilah untuk makam ini sejak lama telah dikenal di Aceh. Kata ‘kandang’ untuk makam juga ditemukan dalam kitab Hikayat Aceh (T. Iskandar, 1978) untuk menyebut ‘Kandang Bait ar Rizal’ atau secara bebas kami memaknakannya sebagai ‘Tempat peristirahatan para lelaki’ yang diidentifikasi sebagai pemakaman Kandang XII di Kampung Keraton, Banda Aceh sekarang. Di tempat ini dimakamkankan empat orang Sultan Aceh dari abad ke-16 M. dan salah satunya makam pendiri Kesultanan Aceh Darussalam bergelar Sultan Ali Mughayah Syah wafat 937 Hijrah atau 1530 M. Istilah ‘kandang’ untuk makam tokoh negarawan dari Kesultanan Aceh masih terus bertahan hingga abad ke-19 M. Tepatnya sebelum Perang Aceh sejak tahun 1873 16
M. (lihat istilah ‘Kandang Meuh’). Lokasi ketiga makam utama di Gampong Pande tersebut dalam HikayatAceh bahkan dikenal sebagai ‘Kandang’. Artinya, kedudukan Kandang sebagai nama tempat menjadi nama lokasi kusus hanya bagi kalangan istana Sultan Aceh dan menjadi bagian dari Gampong Pande, bahkan sudah ada sebelum nama kampung ini dikenal (T. Iskandar, 19). Gampong Pande sebagai satu nama tempat ditemukan dalam kitab HikayatPocutMuhammad yang ditulis pada pertengahan awal abad ke-18 M., Latar belakang kisah dalam hikayat ini menggambarkan keadaan krisis pergantian kekuasaan di lingkungan istana dan elit politik di Kesultanan Aceh pada masa transisi akhir abad ke-17 M. dan awal abad ke-18 M. (Drewes, G.W.J., 1979). Dengan demikian nama Gampong Pande paling lambat telah dikenal pada masa transisi akhir abad ke-17 M. hingga awal abad ke-18 M. Makam ‘Tuan di Kandang’ dengan demikian adalah tempat dimakamkan tokoh-tokoh istana Sultan Aceh yang wafat antara abad ke-15 M. hingga abad ke-16 M. (Cloude Guillot dan Ludvik Kalus, 2008). Dalam observasi diketahui ada 67 batu nisan di lokasi ini dengan kondisi yang relatif baik, walau sedikit diantara batu nisannya yang telah patah dan hilang serta aus, terutama akibat peristiwa tsunami 2004 yang lalu. Batu nisan itu hanya sedikit yang dapat menggambarkan jumlah makam yang ada, karena makam-makam yang diamati di sini sebagai penataan kembali (reposition) oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh tahun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
anggaran 2009-2010, setelah diporak porandakan dalam peristiwa tsunami 2004. ’Kandang’ lebih dulu dikenal sebelum Kampung Pande dan keduanya saling berdekatan atau berada ditempat yang sama. Kandang berada di timur Kampung Pande. Saat ini ’Kandang’ merupakan bagian dari Kampung Pande, tempat istimewa untuk keluarga Dalam Sultan Aceh ini sebagai nama tempat dari satu sisi, dan mungkin dapat disamakan dengan jurong atau salah satu loronglorong dari satu ’gampong’. Tempat ini berdasarkan fungsi sifatnya sangat penting untuk keluarga Dalam Sultan Aceh. Arti penting ini dapat dipahami kemudian dengan pembangunan makammakam keluarga berukuran besar, ’kandang’, untuk anggota dalam. Sebut saja tiga kelompok pemakaman yang ditata saling berdekatan dan melintang dari utara – selatan, yaitu Kandang (Makam) Tuan di Kandang, Makam Raja-Raja Kampung Pande, dan Makam Putro Ijo. Di makam-makam di ketiga tempat ini dari hasil observasi melalui pengamatan bentuk dan motif serta gaya seni pahat merasal dari berbagai kurun waktu (periode) yang berbeda. Dari studi epigrafi dan pembacaan teks inskripsi yang dipahatkan pada batu nisan, diketahui beberapa orang tokoh pembesar dan para pangeran dari lingkungan Dalam Kesultanan Aceh kususnya dari garis keturunan keluarga Makuta Alam dari abad ke-16 M. Delapan atau sembilan kelompok makam lain ditemukan tersebar membujur dari timur – barat, lebih kurang 200-300 m dalam lokasi Kampung Pande atau di luar lokasi Kan-
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
dang. Keadaan kelompok makam ini relatif baik setelah peristiwa tsunami 2004 yang lalu. Kampung Pande merupakan salah satu nama tempat kuno atau toponimi yang masih dapat ditemukan dari sisa (jejak) kota pelabuhan kuno Kerajaan Aceh Darussalam hingga hari ini. Sebagai satu lokasi – situs arkeologi, Kampung Pande dalam kajian kepurbakalaan – arkeologi banyak meninggalkan jejak berupa sisa-sisa benda kuno dan sisa kegiatan manusia di masa lampau yang berusia cukup tua. Kata pande atau pandai berasal dari bahasa Melayu dan berarti orang yang mempunyai keahlian dan keterampilan kusus. Pande yang dimaksud di sini yaitu orang-orang mempunyai keahlian dan keterampilan dalam menempa,
mencetak, atau membuat benda-benda dari bahan logam, baik benda berbahan logam mulia seperti emas, suasa, atau perak atau dari logam biasa seperti besi, timah, kuningan, atau perunggu. Kata pande dalam bahasa Melayu mempunyai pengertian yang sama dengan kata empu dalam bahasa Jawa. Walau kata empu lebih sering dikaitkan dengan keahlian membuat keris atau senjata (Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I; Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992 dan Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Balai Pustaka Jakarta, 1991). Van Langen menyebutkan beberapa kampung yang saling berdekatan di kuala Sungai (Krueng) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh yang hingga abad ke-19 M. dibawah pengawasan dan pemerintahan langsung oleh Sultan Aceh, terutama pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah atau Tuanku Ibrahim (1846-1870). Kampung-kampung tersebut yaitu; Merduati, Kedah, Jawa, Pelanggahan, Pande, dan Kandang (KAREL F.H. van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, alih bahasa T. Aboe Bakar, Seri Informasi Th. IX/No. 1, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1986). Van Langen menjelaskan di Kandang tempat tinggal para hamba atau abdi sultan yang mengerjakan seluruh keperluan sultan Aceh. Kampung Pande dan Kandang dalam sumber ini disebut terpisah. Walau pada keyataannya, hingga hari ini, Kandang merupakan bagian atau salah satu wilayah yang berada dalam Kampung Pande. Masyarakat di Kampung Pande hingga saat ini mengenal pembedaan nama kedua tempat tersebut, Kandang sebagai nama tempat dan menjadi bagian dari Kampung Pande (nara sumber; bapak Ismail Sarung dan bapak Abdullah orang yang dituakan da tinggal di Kampung Pande, wawancara tahun 2006).Kandang berlokasi di bagian utara, sementara Kampung Pande berada di bagian barat hingga ke selatan. Kampung Pande berbatasan dengan Kampung Jawa di timur dan Kampung Pelanggahan di Selatan, lalu Kampung Kedah di tenggara. Kampung Pande dan Kandang serta empat (4) kampong lainnya tersebut sekarang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Bait ar Rahman, Banda Aceh. Lokasi kampungkampung kuno tersebut tepatnya di utara Mesjid Raya Bait ar Rahman Banda Aceh dan berada di sisi barat sungai Aceh. 17
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
Kampung Pande dan Kandang sebagai nama tempat kuno atau toponimi disebutkan dalam sumber historis lokal secara terpisah. Ada tiga sumber tertulis lokal yang menyebutkan tentang keberadaan para pande di kerajaan Aceh Darussalam dan dapat dikaitkan dengan Kampung Pande. Ketiga sumber historis tersebut yaitu; (1) Hikayat Aceh, menjadi bahan disertasi T. Iskandar dalam Hikayat Aceh (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandar Muda), (2) Bustan as Salatin, menjadi tulisan R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam Upacara Pula Batee Pada Makam Sultan Iskandar II (16361641), dan (3) Hikayat Pocut Muhammad dalam tulisan G.W.J. Drewes, Hikajat Pocjut Muhamat. Hikayat Aceh, sumber historis yang ditulis oleh orang Aceh sendiri dan dianggap sebagai sumber tertulis tertua tentang keadaan kota pelabuhan kuno Aceh Darussalam. Hikayat Aceh menjelas18
kan ’Kandang’ sebagai tempat pekuburan keluarga Sultan Aceh dan tempat Pangeran Pancagah, yaitu Sultan Iskandar Muda, berlatih seni bela diri dan ilmu kesatriaan (T. Iskandar, 1978). Namun Hikayat Aceh tidak menyinggung tentang Kampung Pande sebagai perkampungan dan pusat aktifitas para pande, tetapi menyebut Kampung Jawa dengan pelabuhannya Bandar Makmur dan Kampung Birma (Pegu). Kampung Pande baru disebut dalam sumber tertulis lokal yaitu dalam Hikayat Pocut Muhammad. Hikayat ini merupakan sebuah epos yang berkisah tentang perang saudara di Kerajaan Aceh Darussalam antara Sultan Jamal al Alam dari dinasti Sayyid (1704-1726) yang berkedudukan di Kampung Jawa dengan Sultan ’Ala ad Din Johan Alam (1735-1760) atau Pocut Ue (anak Maharajalela Bugis atau Sultan ’Ala ad Din Ahmad Syah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Foto: Maimun Yulif
dari dinasti Bugis, 1727-1735) yang berkedudukan di dalam atau keraton Sultan Aceh (DREWES, G.W.J., Hikajat Potjut Muhamat An Achehnese Epic, The Hague, Martinus Nijhoff, 1979). Namun Kampung Pande hanya disebut sebagai salah satu benteng yang berhasil direbut oleh panglima perang sultan Pocut Muhammad. Kegiatan para pande tidak dijelaskan dalam hikayat ini, karena situasi kerajaan Aceh sedang berkecamuk perang saudara. Walaupun demikian, salah satu bagian dari hikayat tersebut menceritakan bahwa, Pocut Muhammad telah memerintahkan para pande istana untuk menempa kancing dari emas dan membuat pedang (pisau pajang; sikin panyang) dengan hulu (gagang) dari suasa. Hikayat Pocut Muhammad juga menjelaskan bahwa Kampung Pande berdekatan dengan Kampung Jawa .
Aceh Heritage 8
Makam Raja-raja Darul Kamal terletak di Desa Biluy Kecamatan Darul Kamal, Kabupaten Aceh Besar. Provinsi Aceh, tepatnya di atas bukit di pinggir jalan arah Banda Aceh – Peukan Biluy. Dalam literature sejarah Aceh diceritakan bahwa pada awal abad ke XV Masehi Kerajaan Islam di Aceh Besar terpecah menjadi dua yaitu: Kerajaan Darul Kamal yang diperintah oleh Sultan Mudhaffar Syah dan Kerajaan Meukuta Alam yang diperintah oleh Sultan Syamsu Syah. Kedua kerajaan tersebut saling bermusuhan untuk merebut dan menguasai daerah kekuasaannya dan berlangsung cukup lama. Sengketa tersebut setelah dijalankan suatu siasat dan taktik yang licik seolah-olah hendak berdamai dengan meminang putri raja darul Kamal oleh Raja Meukuta Alam. Ternyata tanpa di duga terjadi gempuran yang sangat sengit menghancurkan istana Darul Kamal sehinga banyak jatuh korban dan kerajaan Darul Kamal dapat dikuasai oleh Meukuta Alam. Terdapat sebelas makam dalam Komplek makam RajaDarul Kamal yang nisan makamnya banyak patah dan rusak/aus. Diantara sebelas makam tersebut ada empat makam yang diketahui nama tokoh yang dimakamkan yaitu : 1. Sultan Mudhaffar Syah ibnu Inayat Syah ibnu Abdullah Al Malikul Mubin. Wafat pada hari Senin bulan Zulhijjah tahun 919 H/1513 M, yang merupakan tokoh utama dan sangat pent-
Makam Raja Darul Kamal
Foto: Maimun Yulif
ing dalam historiografi pembentukan Kerajaan Aceh Darussalam 2. Said Ibnu Malik Firman Syah Ibnu Mudhaffar Syah, wafat pada tangal 26 Zulhijjah tahun 977 H/1569 M
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
3. Sayyidah Sri Raja Syamsyiah binti Ali wafat pada tahun 977 H/1569 M 4. Bentara Sri Maharaja Indera yang terkenal dengan nama Meurah Ad-Diwan anak Tuan Sri Meurah bin Nasir, wafat tahun 1000H/1592 19
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
Foto: Maimun Yulif
Nama-nama tokoh tersebut terpahat pada batu nisan kaki dalam kaligrafi Arab. Namun ada satu nisan yaitu nisan Bentara Sri Maharaja Indera yang terpahat dalam tulisan kaligrafi Arab Melayu. Foto: Maimun Yulif
20
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 9
Di Desa Lamreh, Krueng Raya Aceh Besar Nama Laksamana Malahati merupakan nama wanita yang istimewa.Nama ini dikenakan melekat sebagai nama pelabuhan yang semula direncanakan dan dibangun sebagai pelabuhan samudera, di Teluk Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Dalam kajian sejarah Aceh tokoh ini juga dihubungkan dengan satu sistem pertahanan di Perbukitan Lamreh, Ujong Batee Kapal, tanjung di timur Pelabuhan Malahayati yang dikenal sebagai Benteng (Kuta) Inong Balee. Penamaan benteng (Kuta) ‘Inong Balee’ berasal dari istilah Aceh untuk ‘janda’. Penamaan ini munkin merujuk pada satu angkatan/pasukan kusus yang beranggotakan para wanita untuk pengawal istana (dalam) dan sultan Aceh. Pasukan kusus yang beranggotakan para wanita agaknya memang pernah dibentuk pada masa Sultan ‘Ala ad Din Ri’ayah Syah Sayid al Mukammil, kakek Sultan Iskandar Muda dari pihak ibu(Anthony Reid, 1992 dan 1999). Pasukan pengawal kusus ini dilihat oleh para kapten kapal Eropa pada peralihan abad ke-16 M. Seperti yang dijelaskan John Davis tahun 1600 M. ketika diundang masuk Dalam Sultan Aceh (Denis Lombard, 1991 dan Anthony Reid, 1992). Pasukan pengawal kusus Istana ini dipimpin oleh seorang perempuan pembesar Dalam Sultan Aceh yang dikenal namanya dengan Malahayati atau Keumalahayati. Perem-
Makam Malahayati
Foto: Maimun Yulif
puan yang dikenal sebagai laksamana ini juga berkedudukan sebagai protokoler istana – dalam Sultan Aceh pada masa Sultan ‘Ala ad Din Ri’ayah Syah Sayid al Mukammil. John Davis, navigator (pemandu pelayaran) berkebangsaan Inggris dan sebelumnya pernah bekerja untuk Portugis, saat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
membawa rombongan wakil delegasi pedagang Nederland – Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman dan saudaranya Frederich de Houtman harus berusuran dengan Laksamana ini. Dalam Hikayat Aceh (T. Iskandar, 1978) John Davis yang dalam dialek Portugis dikenal sebagai ‘Don Dawis’ 21
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
pernah menjadi utusan Gubernur Portugis – Malaka untuk Sultan Aceh yang sama bersama rekannya ‘Don Tumis’, mungkin sekali John Thomas. Tidak banyak yang diketahui tentang perihal latar historis kehidupan masa kecil dan ketokohan Malahayati, begitu pula dengan akhir hanyatnya. Makam tokoh ini dipercaya dimakamkan dekat Teluk Krueng Raya di kawasan perbukitan selatan Lamreh Krueng Raya. Namun demikian penjelasan ini masih sangat terbuka untuk diperdebatkan dan perlu diteliti lebih lanjut. Pemakaman tokoh yang diduga sebagai makam Malahayati ini berada di atas punggung bukit di Pegunungan Seribu bagian utara, atau Krueng Raya sekarang. Di atas 22
pemakamannya dapat dilihat tiga makam dengan batu nisan yang dipahat dengan berbagai motif. Batu nisan berukir tersebut dikenal dalam tipologi batu nisan Othman M. Yatim sebagai ‘Batu Aceh’ (Othman M. Yatim, 1988). Salah satu jenis tipe batu nisan di tempat ini memiliki elemen berbentuk ‘sayap’ dan seluruh permukaannya dipahatkan dengan zikir ‘Laa ilaha illa Allah’ yang dipahat berulang, demikian pula dengan batu nisan yang lain. Tidak ada inskripsi lain yang dipahatkan di batu nisan di tempat ini selain zikir tersebut. Dengan demikian sulit untuk diyakini dengan tepat bila disini disemayamkan tokoh wanita penting dalam Sultan Aceh. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Foto: Maimun Yulif
Sementara, wanita pembesar istana atau dalam Sultan Aceh lain telah diketahui dipahatkan nama dan keterangan waktu wafatnya pada batu nisan. Bentuk batu nisan tipe ‘Batu Aceh’ dengan elemen ‘sayap’ termasuk jenis yang cukup sering ditemukan. Dari inskripsi yang dipahatkan mengandung nama Perempuan Malahayati dan tahun wafatnya. Pahlawan yang terkenal dengan panggilan Laksamana dan baru beberapa puluh hari dari masa ditulis tulisan ini, telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia dan masuklah satu di antara sepuluh Pahlawan Nasional RI perempuan kebanggaan bangsa.
Aceh Heritage
10
Makam Putri Hijau berada di selatan Makam Raja-Raja Kampung Pande. Ada satu kisah, tokoh ini dinamakan dengan “Putri Hijau” karena begitu putihnya kulit putri ini, sehingga tampak jelas hijau di semua urat yang mengaliri darah, terutama yang tampak di wajah dan lehernya. Secara kronologis makam-makam ditempat ini berasal dari abad ke-16 M. dengan penanda makam menggunakan batu nisan tipe ‘Batu Aceh’. Penamaan pemakaman dengan nama Putri Hijau mungkin dapat dihubungkan dengan seorang putri atau ratu dari Kerajaan Aru atau Haru (Deli Tua) di Sumatera Utara. Kerajaan Haru pernah berada dalam pengaruh Kesultanan Aceh Darussalam pada pertengahan abad ke-16 M. Namun dari epigrafi atau teks inskripsi yang dipahatkan pada batu nisan, belum ditemukan tokoh yang dimakamkan ditempat ini yang dapat dihubungkan dengan Putri Hijau dari Haru. Makam-makam dalam pemakaman ini diketahui dari teks inskripsi sebagai pangeran keturunan Sultan Aceh, seperti Raja Ibrahim bin Sultan ‘Ala ad Din Ri’ayah Syah bin Sultan Ali Muhgayah Syah. Tokoh-tokoh Sultan Aceh ini ditemukan makamnya dalam di Kandang XII, tepatnya dalam lingkungan dalam Sul-
Makam Puteri Hijau
Foto: Maimun Yulif
tan Aceh, Dar ad Dunia, sekarang lokasi pendopo Gubernur Aceh dan Kompleks TNI. Selain itu, ditempat ini juga dimakamkan kerabat istana dan/ atau orang-orang besar kerajaan, seperti makam toDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
koh bergelar ‘al Makhtub Raja Makuta Seri Indera ibnu Kakanda Syamsu ad Din’ wafat tahun 998 H. atau 1597 M.
23
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
24
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 11
Pada masa Kerajaan Aceh dikenal dengan dua nama untuk maksud kuburan, yaitu: Kandang sebutan bagi pandam pekuburan para raja dan orang-orang bangsawan dan Makam sebutan bagi pandam perkuburan para ulama, sarjana dan golongan rakyat lainnya. Di Kandang XII dimakamkan Sultan Ali Mughayat Syah, sultan yang memerintah Kerajaan Aceh pada periode tahun 1514-1530.Sosok Sultan Ali Mughayat Syah menjadi terkenal karenaia berhasil mengusir Kolonial Portugis dari Selat Malaka yang hendak merongrong wilayah kekuasaan kerajaan Aceh. Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1511, armada bangsa Portugis melakukan penyerbuan ke Malaka dan berhasil menguasainya yang menandai dimulainya kolonisasi bangsa Eropa di Asia Tenggara. Makam ini terletak di jalan Sultan Alaiddin Mahmudsyah atau jalan Perwira kelurahan Kampung Baro Banda Aceh. Lokasi situs ini dapat dicapai melalui perkampungan zeni muda Angkatan Darat tidak jauh dari pendopo Gubernur, tetapi sekarang sudah berada di belakang pertokoan serta mengkhawatir keutuhan makam akibat didesak oleh bangunan pertokoan. Komplek Kandang XII merupakan lokasi pemakaman sultan-sultan Aceh yang memerintah kerajaan Aceh Darussalam. Di sini terdapat 12 buah nisan, namun yang berhasil dibaca baru tujuh buah nisan. Ketujuh buah nisan
Makam Kandang XII
Foto: Maimun Yulif
dimaksud adalah: 1. Sultan Syamsu Syah ( 1497-1514). 2. Sultan Alaiddin Ali Mughayatasyah ( 15141530 ) 3. Sultan Salahuddin bin Ali Mughayatsyah ( 1530-1537 ) 4. Sultan Alaiddin Riatsyah Al –Qahar (1537Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
1568) 5. Sultan Husein Syah Ibnu Sultan Ali Riatsyah Al-Qahar (1568-1575). 6. Kadhi Malikul Adil (1641-1676). 7. Sultan Yusuf bin Sultan Abdullah bin Sultan Ali Riatnyah. 25
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
Ada perbedaan nyata antara bangunan kuburan/nisan yang terdapat dalam Kandang dengan Makam. Batu nisan didalam Kandang lebih agung dan megah dengan ukiran ayat al-Quran yang bernilai seni tinggi.Sedangkan nisan yang terdapat dalam konfleksMakam atau kuburan biasanya sedehana, mempesona yang juga berukiran ayat-ayat al-Quran dengan tulisan Arab yang indah. Kandang XII terletak dalam komplek asrama 26
keraton Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, di sebelah Barat Pendopo Gubernur Aceh. Kompleks makam ini luasnya 214 m2, dipugar oleh pemerintah pada tahun 1978.Makam-makam tersebut juga beserta batu nisannya memiliki arsitektur dan bentuk yang indah, dipadukan dengan tulisan-tulisan Arab, kaligrafi, Ayat-ayat al-Quran dan juga bunga-bunga. Bentuk-bentuk makam tersebut beragam, ada yang kecil dan Besar. Bentuk Nisan yang terdapat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
rata-rata bentuknya yaitu persegi empat hanya atasnya atau hiasannya yang sedikit berbeda, ada bercula 4 (empat) dan bercula 2 (dua) namun lonjong atasnya yang juga diukir dengan indah. Tulisan Arab yang banyak terdapat pada makam yaitu “ Laailaahaillallah� dengan bentuk kaligrafi. Diatas makam antara 2 nisan juga terdapat ayat al-Quran, kaligrafi yang diukir indah pula.
Aceh Heritage
12
C. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa hikayat-hikayat penduduk menyebut bahwa ada seorang Sulthan yang beristerikan seorang puteri dari pedalaman, kerajaannya dipegunungan. Isterinya tersebut selalu merindukan ayahnya dan hendak pulang ke negeri asalnya untuk menghilangkan kerinduan. Puteri tersebut bernama Puteri Pahang, dan karenanya taman Gunongan tersebut disebut juga dengan Taman Putro Phang. Untuk menghilangkan kerinduan tersebut Sulthan membuat gunung tiruan (Gunongan) untuk tempat isterinya berhibur diri. Taman gunongan atau taman Ghairah, terletak di Gampong Sukaramai, Banda Aceh. Bangunan ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M). Bangunan ini sebagai persembahan Sultan Iskandar Muda kepada permainsurinya Putri Phang untuk menghibur diri agar kerinduan sang permainsuri pada suasana tempat asalnya terpenuhi. Gunongan juga digunakan sebagai tempat berganti pakaian permaisuri setelah mandi di Sungai Isyiki yang mengalir di tengah-tengah istana. Kompleks ini terdiri dari 3 elemen bangunan, yaitu gunongan, kandang dan patererana batu berukir. Gunongan memiliki denah yang bersudut delapan (octagonal) yang berlekuk-lekuk menyerupai gunung bertingkat tiga. Pada setiap puncaknya terdapat hiasan berupa permata berkelopak. Puncak bangunan merupakan menara yang berbentuk
Gunongan
Foto: Maimun Yulif
kelopak bunga yang sedang mekar. Kandang merupakan bangunan berdenah segi empat yang berfungsi sebagai pemakaman. Disetiap sisi dinding bangunan diperindah dengan motif sulur-suluran. Pada bagian atas setiap sisi dinding terdapat kelopak bunga berpucuk runcing Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
berjumlah 12 buah. Paterana batu berukir adalah sebuah batu berbentuk silinder yang terletak disamping kiri bagian depan gunongan. Bangunan berpola kerawang tersebut berfungsi sebagai tempat penobatan Sultan.
27
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
28
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
13
Pinto Khop adalah bagian dari bangunan Gunongan yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641M). Bentuk Pinto Khop kecil menyerupai pintu gerbang. Pada masa lampau .Pintu khop merupakan pintu masuk dari sebelah belakang Dalam atau istana yang sering dilalui oleh Sultan Iskandar Tsani ketika memancing ikan di sungai yang mengitari istana kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Tsani adalah putera Melayu Pahang, anak angkat sekaligus menantu dari Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya Iskandar Muda mengangkat menantunya Raja Bungsu alias sultan Husin Syah alias Sultan Iskandar Tsani sebagai putera mahkota kerajaan mengingat sultan tidak mempunyai putera lakilaki dari anak gahara (permaisuri). Peristiwa ini terjadi di sekitar tahun 1621-an lebih kurang setahun setelah pernikahan pemuda bangsawan itu dengan puteri Sri Alam. Menurut keterangan kitab Bustanu al –Salatin, Iskandar Muda mangkat pada hari sabtu di tahun 1046 H. Pada hari itu juga tanggal 29 Rajab (menurut catatan Nuru,ddin) Sultan Bungsu ( Husin Syah ) naik tahta dengan gelar Iskandar Tsani Alauddin Mugayat Syah. Pada saat itu Iskandar Tsani masih berumur 25 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun 1611 M. Nuruddin alRaniry mencatat dalam kitab Bustanu al-Salatin-
Pinto Khop
Foto: Maimun Yulif
bahwa Sultan ini alim dan adil. Banyak hukum agama diperintahkannya supaya dipatuhi dan dijalankan dengan baik. Hal itu karena pada masa ia menduduki tahta kerajaan terbilang singkat lebih kurang lima tahun, tidak banyak pula hal yang dapat diungkapkan pada masa pemerintahannya. Dalam catatan sejarah Aceh, pergantian tahta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
bukan kepada pewaris tidak hanya terjadi masa Iskandar Muda. Peristiwa ini telah terjadi dari masa sebelumnya kerajaan Aceh pernah diserahkan kepada seorang bangsawan Melayu, yaitu Sultan Mansur Syah (1572-1585) putera Sultan Ahmad Perak. 29
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
30
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
14
Masjid Beuracan adalah sebuah masjid yang terletak di gampong Beuracan dipinggir jalan raya Banda Aceh-Medan. Masjid ini dikenal juga sebagai masjid Tgk. Chik di Pucok Krueng karena ialah yang membangunnya. Berdiri pada masa Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M. Pembangunan masjid ini bersamaan dengan dua yang lain yaitu Masjid Kuta Batee dan Masjid Madinah di Meurah Dua. Masjid ini dibangun oleh Tgk. Abdussalam yang kelak dikenal dengan nama Tgk. Chik Di Pucok Krueng. Pada tahun 1947 Masjid Beuracan direhap dengan memperindah bangunan tanpa mengubah bentuk semula, hanya menambah dinding bagian belakang. Kemudian pada tahun 1990 dipugar kembali oleh Museum dan Purbakala (Muskala) Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan menambah dinding seluruh bagian masjid dan mengganti tiang-tiang serta atap yang rusak. Di Masjid Beuracan terdapat satu guci yang dikeramatkan oleh warga. Tak heran banyak warga sekitar dan bahkan dari luar daerah bernazar mengambil air tersebut sebagai penawar dari segala penyakit. Namun ada larangan mengambil air guci bagi perempuan yang sedang berhalangan (haidh). Larangan itu dapat dibaca dengan jelas pada tulisan yang dipajang di depan masjid. Jika guci ini didekati oleh perempuan yang sedang da-
Masjid Beuracan
Foto: Maimun Yulif
tang bulan maka pada malam hari, bangkai tikus akan mengapung dalam guci tersebut, dan hal ini sudah pernah terjadi beberapa kali pada tahuntahun sebelumnya. Di areal masjid Beuracan saat ini sudah dibangun satu masjid lain, agak kedalam dan dapat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
terlihat oleh siapapun yang sedang jalan kesana, sehingga dalam satu komplek terdapat dua masjid saat ini. Beberapa jamaah melaksanakan shalat di masjid Tgk. Di Pucok Krueng ini yang masih berdiri kokoh dengan arsitektur klasik yang masih terpelihara. 31
Aceh Heritage Kekhasan masjid Beuracan adalah dibangun dengan semi permanen, di bawahnya dengan batu kali yang tersusun rapi dan diikat dengan spesikapur (semen), sementara tiang-tiangnya masuk ke dalam batu yang tersusun tadi. Sementara dinding terbuat dari papan berukir indah dipandang mata. Atapnya terdiri dari tiga susun yang semakin keatas semakin kecil atau berundak, ditambah dengan satu kubah di atasnya. Beberapa kayu yang dipakai sebagai penyangga terlihat juga berukir dan ini sangat khas bila dimelihat dengan cermat. Untuk menghidupkan atau memakmurkan masjid, Tgk. Chik Di Pucok Krueng mencetak sawah baru sebanyak 25 Yok (25 Ha ?) dan dijadikan sebagai asset masjid ataulazim disebut Tanoh Mesara yang dikelola untuk kemakmuran masjid. Usaha perluasan areal persawahan terus dilakukan bersama dengan masyarakat setempat, sehingga kejadian ini membuat sultan Iskandar Muda tercengang melihat terobosanTgk. Di Pucok yang membuka lahan baru di gunung Raweu yang terletak antara Meuredu Pidie Jaya dengan Geumpang Kabupaten Pidie sekarang.Begitulah cara Tgk. Di Pucok dalam memakmurkan masjid ini, apakah tanah-tanah yang dulunya milik Masjid masih ada sampai sekarang, ataukah sudah hilang fungsi dan letaknya. Sebanyak 16 tiang yang digunakan untuk membangun masjid Beracan, yaitu : 12 tiang penyangga atap pertama, 4 tiang penyangga atap kedua dan satu tiang penyangga atap tiga dan kubah. Ukuran tiang berfariasi sangat tergantung fungsi dan letaknya. 12 tiang penyangga atap pertama berukuran 23 cm, 4 tiang berukuran 27 cm dan 32
satu tiang berukuran 35 cm. Semua tiang berbentuk segi delapan.
Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
15
Teungku Japakeh adalah seorang ulama dan pejuang kerajaan Aceh Darussalam. Pada masanya Aceh sedang memperluas wilayah jajahan sampai kesemenanjung Malaysia, makanya dipanggil oleh kerajaan untuk diminta tenaganya mengusir Portugis yang sedang ada di Malaka. Ia pun diangkat sebagai penasihat perang ketika Aceh berkeinginan mengusir Postugis dari Malaka di tahun 1629. Makamnya di Gampông Dayah Kruet Kecamatan Meurah Dua, Pidie Jaya. Teungku Japakeh bersama dengan Malem Dagang pergi ke medan laga untuk mengusir Portugis yang ada di Malaka. Pada nisannya kelihatan sederhana, hanya bertuliskan angka tahun saat keduanya meninggal dunia, yaitu tahun 1650 dan 1651. Kisah kedua ulama berada dalam rombongan ekspedisi Kerajaan Aceh dan bagaimana Iskandar Muda mengajak mereka berperang. Orang Belanda ini juga membuat catatan kaki, misal, ”Ja” yang berarti kakek atau ayah kakek. Sementara kata ”pakeh” serapan dari bahasa Arab ”faqih” yakni guru hukum agama. Sementara itu, Malem Dagang, menurut Teungku Haji Hasan, mantan geuchik Dayah Kruet adalah seorang India yang ikut dalam armada Iskandar Muda. Teungku Japakeh juga orang India, menyangkut tata cara perhubungan dengan Teungku Japakeh diserahkan kepada Malem Dagang. Dagang sendiri berarti orang Keling atau orang In-
Makam Tgk. Japakeh
Foto: Maimun Yulif
dia, karena jaman itu pedagang semuanya orang Keling,” kata dia. Menurut Hasan, Malem Dagang berarti seorang ahli perdagangan yang berasal dari India. Saat itu, tambah Hasan, rakyat Meureudu mengungsi ke Raweu kira-kira 10 kilometer keatas (arah selatan). Teungku Haji Hasan berusia 78 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
tahun.Saat ini, ia imum rawatib Masjid Madinah, Kemukiman Kuta Baroh. Menurut Haji Hasan, Snouck mungkin lupa diberitahukan seseorang yang menceritakan hikayat ini kepadanya ataupun dia sendiri yang lupa. Padahal, sudah disampaikan seorang penyair yang 33
Aceh Heritage
dekat dengannya bahwa rakyat Meureudu saat itu ditimpa wabah kolera sehingga harus mengungsi kewilayah pegunungan. Singkat cerita, keduanya ikut dalam armada Aceh menyerang Postugis, tapi armada Aceh kembali ditimpa kekalahan setelah penyerbuan pertama 1627. Setelah usaha tersebut gagal, Japakeh dan Malem Dagang kembali kewilayah Meureudu dan mendirikan Masjid Madinah. Ada orang yang bilang kalau Japakeh itu orang Arab, orang Madinah, itu salah. Ia orang India, hanya saja pernah menuntut ilmu di Madinah sehingga Masjid yang sekomplek dengan makamnya diberi nama Masjid Madinah.
Foto: Maimun Yulif
34
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
16
Malem Dagang adalah seorang Laksamana (panglima perang yang gagah berani) yang diangkat oleh Sri Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dalam melakukan ekspansi penyerangan ke semenanjung tanah Malaka. Bersama Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda juga mengangangkat Teungku Japakeh menjadi penasehat perang pasukan Aceh dalam penyerangan mengusir Portugis yang telah menguasai Malaka sejak 1511 Masehi. Jadi, dalam penyerangan mengusir Portugis di Malaka yang dilakukan kerajaan Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ada dua putra dari negeri Meureudu (ibukota Kabupaten Pidie Jaya sekarang) yang sangat besar jasanya dalam penaklukan semenanjung Malaka oleh kerajaan Aceh, yaitu Laksamana Malem Dagang dan Teungku Japakeh. Bahkan menurut sejarah, dalam penyerangan Malaka Sultan Iskandar Muda juga mengikut sertakan Panglima Pidie yang gugur dalam penyerangan itu, hingga Panglima Pidie ini dimakamkan di Malaka. Prestasi keberhasilan Malem Dagang sebagai Panglima perang dan Teungku Japakeh sebagai pensehat perang dalam penyerangan Malaka sangat dikagumi oleh Sultan Iskandar Muda. Sehingga kedua putra dari negeri Meureudu ini kemudian dijadikan penasehat Sultan. Dan wilayah negeri Meuredu ketika itu dijadikan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wilayah “bibeuh�, yaitu
Makam Malem Dagang
Foto: Maimun Yulif
satu-satunya wilayah inti kerajaan yang terdapat di luar dari wilayah inti kerajaan Aceh yang berpusat di Aceh Besar. Ketokohan Laksamana Malem Dagang diceritakan secara pangjang lebar dalam sebuah hikayat Aceh berjudul “Hikayat Malem Dagang� yang ditDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
ulis oleh Teungku Chik Pante Geulima (seorang ulama besar negeri Meureudu abad 18M). Hikayat ini hampir selurunnya menceritakan kisah perjuangan Malem Dagang dalam memimpin perang penaklukan negeri Malaka dan daerah-daerah semenanjung lain bersama Sultan Iskandar Muda. 35
Aceh Heritage
Amada pasukan inti yang dipimpin Laksamana Malem Dagang yang sangat terkenal masa Sultan Iskandar Muda adalah armada perang Cakra Donya. Dengan kekuatan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Malem dagang di Malaka dan hampir menguasai Malaka menjadi wilayah taklukan kerajaan Aceh di Semenanjung tanah Melayu, setelah sebelumnya Malem Dagang telah berhasil menaklukan beberaka kerajaan lainnya di Sumatera bagian utara, dan hampir sepertiga bagian wilayah Sumatera lainnya telah berhasil dibuat Laksamana Malem Dagang tunduk dalam wilayah takluk kerajaan Aceh. Makam Laksamana Malem Dagang yang sekarang terdapat di Desa Meunasah Kumbang, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, sekitar 200 meter dari jalan raya Banda Aceh-Medan, dilihat dari kondisi makamnya terkesan seperti tak ada kepedulian yang berarti, dibandingkan jasa besarnya yang telah disumbangkan dalam membesarkan kerajaan Aceh semasa hidupnya. Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya sepertinya patut ada kepedulian terhadap situs makam Laksamana Malem Dagang ini.
36
Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
17
Kompleks makam Syiah Kuala terletak di desa Deyah Raya kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Lokasinya tidak jauh dari muara sungai Aceh (Krueng Aceh). Pemberian nama Syiah Kuala ada kaitan dengan letak makam itu sendiri dekat muara sungai yang dalam bahasa Aceh disebut kuala, maka makam tersebut diberi nama Syiah Kuala yang asal katanya makam Syeikh Di Kuala. Makam ini adalah makam salah seorang ulama besar yang bernama Abdul Rauf bin AlJawi Al-Fanssury As-Singkili atau lebih dikenal dengan nama Teungku Syiah Kualaatau Teungku Syeikh di Kuala. Teungku Syiah Kuala dilahairkan di Singkel pada tahun 1593 M, putera dari Syekh Ali Al Fansury,seorang ulama terkenal yang membangun dan memimpin Dayah Simpang Kanan berada di pedalaman Singkel. Di dayah inilah Teungku Syiah Kuala dan pemuda- pemuda lainnya mendapat pendidikan pertama dari sang ayah. Setelah menamatkan pelajaran di Dayah Simpang Kanan Abdurrauf melanjutkan pendidikannya ke Dayah Teungku Chik. Dayah ini terletak di Barus yang dipimpin oleh seorang ulama dan pujangga besar Syekh Hamzah Fansury. Di sini Syekh Abdur Rauf memperdalam bahasa Arabnya dan ilmu-ilmu agama, sejarah, manthik, filsafat, sastera Arab/Melayu dan bahasa Persia. Untuk melanjutkan pendidikannya Syekh Abdur Rauf menuju ke Samudra Pasai belajar di Dayah
Makam Syiah Kuala
Foto: Maimun Yulif
Tinggi Syekh Syamsuddin Samathrani seorang ulama besar pada masa itu Pada saat Sultan Iskandar Muda mengangkat Syekh Syamsuddin Samatrani sebagai Qadli Malikul Adil (penasehat agama), Syeikh Abdur Rauf memutuskan untuk berangkat ke Mekkah dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
negara-negara Arab lainnya untuk menimba ilmu yang lebih banyak lagi. Di sana ia bergaul dengan ulama-ulama lainnya seperti Syekh Nawawy bantan (indonesia), Syekh Abdus Samad Patani (Thailand) dan lain-lain . Di sana Abdur Rauf juga belajar dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry yang saat 37
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
itu kebetulan berada di Mekkah. Selama 19 tahun Syeikh Abdur Rauf menimba pengetahuan di Mekkah dan negera-negara Arab lainnya. Pendalaman ilmu yang cukup panjang membuatnya dikenal sebagai seorang ahli hukum ternama di samping ilmu filsafat, manthik,sejarah , ilmu bumi , falak, politik yang dikuasanya. Pada tahun 1063 H Syekh Abdur Rauf kembali ke Banda Aceh dan melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya. Ia kemudian kembali lagi ke Banda Aceh untuk memangku jabatan Qadli Malikul Adil/Mufti besar untuk menggantikan Syekh Nuruddin Ar-raniry (pada saat itu Nuruddin kembali ke tanah airnya di Ranir- Gujarat). Jabatan itu diemban Syekh Abdur Rauf berturutturut pada masa Kerajaan Aceh di bawah pemer38
intahan para ratu yakni: Ratu Safiatuddin, Ratu Naqiatuddin, Ratu Zakiatuddih dan Ratu Kamalat Syah (Februari 1641- Oktober 88). Syekh Abdur Rauf berpulang ke Rahmatullah dalam usia 105 tahun tepatnya pada hari Isnin (senin) 23 bulan syawal 1106 H (1695 M). Ia bukan hanya sebagai ulama, namun juga seorang pengarang buku yang handal pada masanya. Sejumlah karya emas telah lahir dari tangannya sebagai warisan ilmu bermanfaat yang kelak dapat dipelajari oleh generasi penerusnya. Adapun beberapa buku karangan Syekh Abdur Rauf di antaranya : 1. Hidayatul balaghah ala Jum adi Mukhashamah, yaitu kitab yang mengupas masalah hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
palsu. 2. Miirratut Thullab, kitab fiqh (ilmu hukum) meliputi segala bidang hukum ditulis dalam bahasa melayu (Indonesia). 3. Umdatul Hikaam ,juga tentang ilmu hukum/ fiqh. 4. Umdatul Muhrajin Ila Suluki Maslakil Mufradin, mengenai ilmu Ketuhanan/ filsafat. Pada akhir kitab ini ia mencatat sejumlah besar ulama ahli tasauwuf yang menjadi guru dan sahabatnya. 5. Syair Ma’rifat, karangan berbentuk puisi membahas tentang tauhid/thariqat. Dan seterusnya, menerut keterangan mencapai 28 judul karyanya.
Aceh Heritage 18
Masjid Indrapuri
Di Sagoe XXV Mukim terdapat situs benteng Indrapurwa yang juga kemudian dirubah menjadi kompleks masjid Indrapurwa (sekarang situs ini, telah terkena tsunami pada 26 Desember 2004 dan telah ditelan laut). Sementara Sagoe XXII Mukim terdapat situs kompleks masjid Indrapuri yang konon berasal dari sebuah benteng dan juga bekas kompleks candi warisan dari zaman Hindu/ Budha. Masjid Indrapuri terletak di desa Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Bangunan masjid ini dibangun pada abad 10 masehi. Sebelum ajaran Islam masuk ke Aceh, Masjid Indrapuri merupakan bekas bangunan candi Hindu/Budha. Diduga bangunan ini merupakan peninggalan Kerajaan Poli/Puri yang kemudian disebut Lamuri oleh orang Arab dan disebut Lambri oleh Marcopolo. Dilihat dari segi nama, karena ketiga situs ini pada awalnya menggunakan kata indra ada(konotasi Hindu/Budha). Indrapatra, Indrapurwa, Indrapuri, bukan tidak mungkin bangunan-bangunan ini warisan/peninggalan zaman Hindu/Budha. Lebih-lebih juga bisa dilihat dari ragam hias/arsitektur bangunannya dengan bentuk atap/puncaknya berundak-undak. Untuk kejelasannya tentu diperlukan kajian/penelitian yang akurat dari pihak yang berkompeten, yaitu para arkeolog.
Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
39
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
40
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
19
Tun Sri Lanang Merupakan Raja Keulee balangan Samalanga pertama yang diangkat oleh Sultan Iskandar Muda, dibawa ke Aceh dan diperlakukan dengan sangat baik dan diberikan kekuasaan oleh Sultan Iskandar Muda di wilayah Samalanga yang dibatasi dengan Krueng Ulim dan Krueng Jeumpa. Wilayah kekuasaan Tun Sri Lanang sekarang masuk Kabupaten Pidie Jaya dan sebahagian Kabupaten Bireuen. Pada masa pemerintahannya berhasil menjadikan samalanga sebagai pusat pengembangan Islam dikawasan timur Aceh dan tradisi ini terus berlanjut sampai saat ini. Tun Sri Lanang berasal dari kerajaan Johor dan mangkat di lancok samalanga. Makam Tun Sri Lanang berada di Desa Lueng kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen. Tun Sri Lanang meninggal dunia pada thun 1659 dan bentuk batu nisannya menyerupai batu nisan Tun Habib Abdul Majid di Kota tinggi Johor. Makam ini berada dalam sebuah cungkup yang dilindungi pagar pembatas setinggi 0,90 meter berada di sebelah timur bangunan Istana Tun Sri Lanang dengan batas-batas sebagai berikut – Sebelah Utara berbatasan dengan kebun – Sebelah Timur berbatasan dengan komplekMakam – Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan DesaLueng
Makam Tun Sri Lanang
Foto: Maimun Yulif
– Sebelah Barat berbatasan dengan Istana Tun SriLanang. Dasar Nisan persegi empat dengan ornament bervariasi motif bugong ajoe-ajoe dan pada bagian bawah tubuh nisan berbentuk hexagonal dengan ornamen variasi bunga lotus yang terukir menDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
gilingi bagian bawah tubuh nisan. Bagian punggung nisan berbentuk tumpul yang dilanjutkan dengan puncak bentuk gunongan. Batu nisan ini berdasarkan klasifikasi yang disusun oleh Othman termasuk klasifikasi batu nisan Aceh Tipe M dengan kurun waktu 1700 – 1800. 41
Aceh Heritage
42
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 20
Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah adalah satu wujud peninggalan rumoh Aceh yang kini masih berdiri kokoh di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireun, adalah satu-satunya bangunan romoh Aceh (rumah Aceh) paling tua usianya dari rumah-rumah Aceh lainnya yang terdapat di Aceh sekarang. Rumah Aceh yang telah berusia lebih dari 500 tahun ini—terhitung dari masa pemeritahan kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah (1514-1530 M), kerena Tgk. Chik Awe Geutah hidup dalam masa pemerintahan Sultan Aceh Ali Mughayat Syah—semua kontruksi bangunan rumah Aceh ini masih utuh dan asli. Hanya saja, sebelah daun pintu depan rumah Aceh peninggalan Tgk. Chik Awe Geutah ini yang penuh dengan ornamen ukiran khas Aceh tempo dulu telah tergantikan dengan kontruksi papan baru, karena daun pintu aslinya menurut satu keterangan sudah diambil oleh Belanda dan dibawa pulang ke negerinya. Sementara sebelahnya lagi masih orisonil. Sampai sekarang sebelah daun pintu rumah Aceh Tgk. Chik Awe Geutah ini masih terkoleksi di Museum negeri Belanda. Tgk. Chik Awe Geutah adalah seorang ulama besar Aceh asal Yaman, yang hijrah ke Aceh pada akhir abad ke-14 Masehi untuk menyiarkan Islam di Aceh. Nama aslinya Syaikh Abdurrahim Bawarith Al-Asyi. Dalam versi yang lain disebut-
Rumah/Makam Tgk. Chik Awee Geutah
Foto: Maimun Yulif
kan, nama asli Tgk. Chik Awe Geutah adalah Tgk. Chik Abdurrahim bin Jamaluddin. Ia bersal dari Bagdad. Waktu pertama hijrah ke Aceh pernah tinggal di beberapa tempat di Aceh, hingga akhirnya memilih tinggal di pedalaman Aceh, yang sekarang dikenal dengan kampung Awe Getah, sekitar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
35 Km ke arah Selatan kota Bireun sekarang. Mengapa dinamakan Awe Geutah, menurut cerita, Syaihk Abdirrahim dan bebera orang yang ikut serta dengannya saat mencari tempat tinggal yang cocok di wialayah pedalaman Peusangan yang penuh dengan hutan dan rotan, Syaikh Ab43
Aceh Heritage durrahim melihat sebuah tempat mengeluarkan cahaya pada sebatang rotan, ketika dipotong rotan ini mengeluarkan getah yang sangat banyak. Lalu Syaihk Abdurrahim pun menjadikan tempat itu untuk menjadi tempat tinggalnya di Peusangan, dan tempat itu dinamai oleh Syaihk Abdurrahim dengan nama Awe Geutah. Yang kemudian nama Awe Geutah ini ditabalkan masyarakat pada nama Syaihk Abdurrahim dengan nama Tgk. Chik Awe Geutah. Menurut Tgk. Mukhsin, salah seorang keturunan ketujuh Tgk. Chik Awe Geutah yang menempati romoh Aceh di komplek makam Tgk. Chik Awe Geutah mengatakan, rumoh Aceh yang sudah sangat tua usianya ini dulunya dibangun oleh anak tertua Tgk. Chik Awe Geutah pada paruh abad ke 15 Masehi. Sampai sekarang bangunan rumah Aceh ini semua kontruksinya masih asli. Hanya bebera ukiran pada badan bagian rumah yang sudah agak sedikit rusak karena dimakan usia. Di dalam rumah Aceh ini juga masih banyak terdapat peninggalan-peninggalan Tgk. Chik Awe Geutah, seperti kitab-kita tulisan tangan karangan Tgk. Chik Awe Geutah sendisi, serta aksesioris-aksesiaoris peninggalan Tgk. Chik Awe Geutah, dari aksesioris sandal kayu yang sangat antik, hingga peralatan aksesioris lainnya. Sayangnya, perawatan rumah Aceh peninggalan Tgk. Chik Awe Getah belum begitu maksimal pemeliharaannya. Untuk itu, diharapkan ada para pihak yang tersentuh perhatiannya memfasilitasi pelestarian peninggalan situs sejarah ini. Foto: Maimun Yulif
44
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
21
Makam ini terletak di kampung pelanggahan, kecamatan Kutaraja di Kota Banda Aceh atau tepatnya di jalan Teungku Dianjong bersebelahan dengan masjid yang didirikannya. Pemberian nama jalan ini dengan namanya oleh pemerintah daerah karena peran besar Teungku Dianjong telah mengukir perjalanan sejarah Aceh tercinta. Teungku Dianjong yang bernana asli Saijid Abu bakar bin Hussain Bal Faqih hadir pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1760-1791 M). Ia berasal dari Timur Tengah dan menetap, menjadi guru besar dalam pendidikan dan pengembangan agama Islam di daerah ini. Sebagai ulama besar pada masanya namanya lebih terkenal dengan gelar Teugku Dianjong. Teungku Dianjong bermakna orang yang disanjung, dimuliakan dan tinggi martabatnya dari segi agama, adab dan adat- istiadat. Teungku Dianjong bersama masyarakat setempat membangun sebuah rumah (rumoh raya) sebagai tempat pengajian al-Quran sekaligus sebagai tempat memberikan pelajaran agama Islam. Untuk melaksanakan ibadah shalat berjamaah Teungku Dianjong juga mendirikan sebuah masjid. Pada masa perlawanan dengan Belanda masjid ini tidak berfungsi sebagai tempat ibadah, hanya dijadikan tempat pertemuan mobilisasi massa untuk melawan penjajah Belanda. Di kompleks masjid dibangun pula dayah untuk mendidik para santri
Makam Teungku Dianjong
Foto: Maimun Yulif
menjadi ulama. Pada tahun 1782 Saijid Abu Bakar bin Hussain Bal Faqih alias Teungku Dianjong meninggal dunia dan dimakamkan di samping masjid yang didirikannya. Sebagai tanda penghormatan masyarakat kepadanya, maka namanya diabadikan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
untuk nama masjid tersebut yaitu Masjid Teungku Dianjong. Pada masa penjajahan Belanda Masjid Teungku Dianjong pernah dipakai oleh Belanda sebagai tempat bersumpah Teuku Umar. Ketika itu Teuku Umar bersumpah untuk menjadi pejuang 45
Aceh Heritage
Belanda menumpas perlawanan rakyat dan mengamankan seluruh daerah Aceh. Peristiwa ini terjadi pada bulanSeptember tahun 1893, Teuku Umar bersama dengan 13 orang panglima bawahannya menyerahkan diri kepada Gubernur Deyker Hoof di Banda Aceh. Setelah bersumpah setia Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Rumahnya di Lampisang diperindah sesuai layaknya tempat tinggal seorang panglima besar dan dilengkapi dua meriam kecil di depan rumahnya.
Foto: Maimun Yulif
46
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 22
Makam Teungku hik Kuta Karang terletak di desa Leu Geu, KecamatanDarul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Kondisi makamnya seperti makam ulama lainnya dalam wujud biasa, tidak seperti makam-nisai penguasa. Tgk. Chik Kuta Karang merupakan nama terkenal dari Syekh Abbas Ibnu Muhammad, seorang ulama yang memimpin Dayah Ulee Susu pada paruh kedua abad ke-19 yang kemudian dayah ini lebih dikenal dengan nama Dayah Tgk. Chik Kuta Karang. Ia dilahirkan di Kuta Karang Negeri Aceh yang saat ini masuk kepada wilayah Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Tidak ada data tertulis tentang kapan ia dilahirkan, akan tetapi dapatlah dipastikan ia hidup pada masa sekitar pertengahan abad ke-19. Kesimpulan ini didasarkan pada kitab-kitabnya yang selesai ditulis pada sekitar abad itu. Kitab Qunu’ yang selesai ditulis pada tahun 1259 H atau bertepatan pada tahun 1843 M. Pun kitabnya yang berjudul Sirajuz Zhalam yang selesai ditulis pada tahun 1266 H atau bertepatan dengan tahun 1849 M.Data inidapat ditafsirkan bahwa karya tersebut lahir saat umurnya sudah matang sekitar 30 tahun. Oleh karenanya diperkirakan ia lahir sekitar akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 dan meninggal sekitar tahun 1900. Teungku Chik Kuta Karang banyak menghabiskan masa mudanya dengan menuntut ilmu
Makam Tgk. Chik Kuta Karang
Foto: Maimun Yulif
kepada para Ulama-Ulama besar pada masanya di Kota Mekkah. Saat itu ia tidak hanya sebatas menuntut ilmu Agama Islam saja, akan tetapi juga belajar tentang ilmu falak (perbintangan/astronomi), hisab (hitungan-hitungan), ilmu kedokteran, sastra, dan juga politik yang pada masa itu Islam Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
dan negeri-negeri Islam adalah merupakan kiblat/ sumber dari berbagai macam disiplin keilmuan tersebut. Di Mekkah, Tgk. Chik Kuta Karang bertemu dengan Syech Zainuddin Aceh, Syekh Ismail Minangkabau, Syekh Ahmad Chatib Sambas, dan Syekh Muhammad Salib Rawa. Mereka belajar 47
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
48
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
pada Syekh Daud bin Abdullah Fathani dan Syekh Abdus Shamad Falimbani. Selain sebagai ulama pemimpin Dayah dan penulis beberapa kitab, Tgk. Chik Kuta Karang juga merupakan seorang pejuang yang gigih mempertahankan Aceh dari agresi Belanda baik secara fisik maupun dengan kitab buah karyanya yang terkenal “Tadzkirat Al-Rakidin�. Sampai akhir hayatnya, Tgk. Chik Kuta Karang tidak pernah menunjukkan sikap damai dengan Belanda. Sesungguhnya ketika keadaan fisiknya sudah mulai melemah maka kitab Tadzkirat Al-Rakidinlahir sebagai penyambung lidah kepada pejuang Aceh di medanperang. Kitab tersebut dapat memompa semangat juang rakyat Aceh melawan Belanda. Selain itu, kitab Tadzkirat Al-Rakidin juga dapat menjadi rujukan untuk mengkaji struktur masyarakat Aceh pada abad ke-19.
Aceh Heritage 23
Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu adalah seorang ulama besar Aceh yang menulis karya sastra perang yang terkenal yaitu Hikayat Prang Sabi. Dia dilahirkan pada tahun 1251 H (1836 M) di desa Pante Kulu, Titeue, Pidie, dalam suatu keluarga ulama yang ada hubungan kerabat dengan kelompok ulamaTiro. Setelah belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), dia melanjutkan pelajarannya pada Dayah Tiro yang dipimpin oleh Teungku Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut, seorang tokoh ulama Tiro yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh. Setelah belajar beberapa tahun sehingga mahir bahasa Arab dan menamatkan beberapa macam kitab ilmu pengetahuan ia mendapat gelar Teungku di Rangkang (asisten dosen). Kemudian dengan izin gurunya Teungku Haji Chik Muhammad Amin, ia melanjutkan studinya ke Mekah sambil menunaikan ibadah haji. Di Mekah ia memperdalam ilmu agama Islam dan ilmuilmu lainnya, seperti sejarah, logika, falsafah, sastra dan sebagainya. Di samping belajar, ia juga mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia. Kebangkitan Dunia Islam yang dikumandangkan oleh gerakan Wahabi di bawah pimpinan ulama besar Muhammad bin Abdul Wahhab di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan yang
Makam Tgk. Chik Pante Kulu
Foto: Maimun Yulif
dicanangkan oleh Jamaluddin al-Afghani, telah meninggalkan pengaruh yang sangat mendalam dalam jiwa Muhammad Pantee Kulu. Ia sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik dan Ka’ab bin Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Zubair. Di samping membaca kitab syair, ia juga mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam yang kenamaan, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Khaththab, Hamzah, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Tariq bin Ziyad dan lain-lainnya. Setelah empat tahun bermukim di Mekah, ia telah men49
Aceh Heritage jadi ulama besar yang berhak memakai gelaran Syaikh dipangkal namanya, sehingga menjadi Teungku Chik (Guru Besar). Pada waktu pecah perang Aceh sebagai akibat agresi Belanda, Teungku Chik Muhammad Pante Kulu telah berada di Mekkah. Sebagai seorang patriot yang ditempa oleh sejarah hidup pahlawan-pahlawan Islam kenamaan, maka dia telah bertekad untuk pulang ke Aceh untuk ikut berperang bersama-sama dengan ulama dan pemimpin-pemimpin serta rakyat Aceh. Azamnya tidak bisa ditahan-tahanlagi, setelah mendengar salah seorang sahabatnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman telah diserahi tugas oleh kerajaan untuk memimpin perang semesta melawan serdadu kolonial Belanda. Kira-kira akhir tahun 1881 M Teungku Chik Muhammad Pante Kulu meninggalkan Mekah menuju Tanah Aceh yang bergelar Serambi Mekkah. Dalam perjalanan pulang, di atas kapal antara Jeddah dengan Penang, dia berhasil mengarang sebuah karya sastera yang besar nilainya bagi perjuangan rakyat Aceh, yaitu Hikayat Prang Sabi, sebagai sumbangsihnya untuk membangkitkan semangat jihad melawanBelanda. Yang mendorong dia untuk mengarang sajak-riwayat Hikayat Prang Sabi, yaitu kesadaranya tentang betapa besar pengaruh syair-syair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kepada kaum Muslimin di zaman rasul. Hikayat Prang Sabi yang dikarang Teungku Chik Pante Kulu, adalah dalam bentuk puisi yang terdiri dari empat cerita (kissah), yang sekalipun cenderung fiktif tetapi berdasarkan data sejarah.Keempat kisah tersebut, yaitu Kisah Ai50
nul Mardliyah, Kisah Pasukan Gajah, Kisah Sa’id Salmy dan Kisah Muhammad Amin (Budak Mati Hidup Kembali). Karya sastra yang amat berharga ini sesampainya di Aceh dipersembahkan kepadaTeungku Chik di Tiro oleh pengarangnya Teungku Tjhik Pante Kulu, dalam suatu upacara khidmat di Kuta Aneuk Galong. Menurut Abdullah Arif, selain dari Hikayat Prang Sabi, masih ada lagi karya Teungku Chik Pante Kulu, baik dalam bentuk prosa ataupun puisi, baik dalam bahasa Melayu Jawi ataupun dalam bahasa Aceh sendiri, tetapi tidak begitu luas tersiarnya. Teungku Chik Muhammad Pante Kulu mempunyai dua orang isteri, yang pertama berasal dari kampung Titeue, Kabupaten Pidie, sementara isteri yang kedua Tgk. Nyak Aisyah berasal dari Kampung Grot, IndraPuri, Aceh Besar. Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Dari isteri yang pertama, dia memperoleh seorang putera yang kemudian ikut serta bertempur sebagai mujahid di Aceh Besar.
Aceh Heritage
24
Masjid Tuha Ulee Kareng yang lebih populer dalam masyarakat dengan sebutan “masjid tuha�, adalah salah satu bangunan peninggalan masa kerajaan Aceh. Letak masjid ini persisnya tidak begitu jauh dari simpang tujuh Ulee Kareng. Sebuah papan penunjuk jalan tertancap dari sebilah kayu di belakang emperan toko: jalan Masjid Tuha. Berjalan sekitar 150 meter dari muka lorong, dari kejauhan tampak bangunan tua dengan dinding tersusun bilahan kayu. Bangunan ini agak sedikit tertutup dengan deretan pertokoan yang memanjang dari muka jalan. Masjid ini terlihat masih kokoh walau usianya ditaksir sudah beratus tahun. Kayu penyangga masih kuat, menahan bilah-bilah kayu yang menopang seng yang terlihat sudah berkaratan. Sekilas, bangunan masjid ini hampir mirip Masjid Indrapuri atau Masjid Peulanggahan. Arsitektur bangunannya serupa dengan atap tumpang tindih. Siapapun yang bertandang ke sini, akan berdecak kagum. Tak menyangka, di antara padatnya pertokoan dan riuhnya penikmat warung kopi, masih berdiri bangunan tua yang sudah ada sejak abad 18 M. Konon, Masjid Tuha Aceh ini didirikan oleh Sayyid Al-Mahalli, seorang ulama dari Arab. Ia datang ke Aceh bersama anaknya dan Tgk. Di Anjong untuk mensyiarkan ajaran Islam. Sesampai di Aceh, Sayyid Al Mahalli memilih desa Lamreung sebagai tempat mensyiarkan aja-
Masjid Tuha Ulee Kareng
Foto: Maimun Yulif
ran Islam, sedangkan Tgk. Di Anjong memilih desa Peulanggahan. Maka tak heran, sekilas Masjid Tuha Ulee Kareng hampir sama dengan Masjid Di Anjong Peulanggahan. Bedanya, Masjid Di Anjong mempunyai tiga tingkat, sedangkan Masjid Tuha Ulee Kareng hanya memiliki satu tingkat. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Untuk ukuran sebuah tempat ibadah, masjid ini terbilang kecil, hanya mampu menampung beberapa shaf saja. Bangunannya berbentuk persegi dengan tangga utama yang hanya dua pijakan. Tangga ini berbatasan langsung dengan badan jalan yang menghubungkan ke pemukiman pen51
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
duduk. Dulunya, di depan masjid Tuha Aceh Ulee Kareng terdapat kolam sebagai wadah air membilas kaki. Namun karena pelebaran jalan di tahun 1990an, kolam tersebut terpaksa dibongkar. Dari segi bangunan, Masjid Tuha Ulee Kareng mengikuti arsitektur masjid Nusantara yang beratap tumpang. Desain mesjidnya tidak jauh berbeda dengan Masjid Indrapuri, Masjid Tgk Di Anjong, ataupun Masjid Pancasila yang dibangun di era Soeharto. Akan tapi jika dibandingkan dengan 52
Masjid Indrapuri, bangunan masjid ini jauh lebih kecil. Sebab bangunannya kecil, desain atap pun berbentuk rundeng atau atap bersusun dua. Atap bersusun dua seperti ini mengakibatkan adanya rongga besar di antar kedua atapnya. Rongga besar ini didesain sebagai tempat sirkulasi udara sehingga masjid tidak panas dan terasa lebih sejuk. Gaya atap seperti ini sangat cocok untuk iklim tropis. Selain itu, teknik atap seperti ini melindungi kayu dari pelapukan sebab sirkulasi udara yang lancar. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Maka tak heran, walaupun masjid ini sudah ada sejak abad 18, kayu penyangganya masih tetap kokoh. Ukiran kayunya masih terlihat jelas dan rapi. Bahkan di bilah kayu yang melintang di tengah masjid, terukir rapi doa qunut. Keberadaan masjid ini cukup menggambarkan bagaimana kekhasan masjid asli Indonesia. Selain berbentuk atap tumpang, tiang penyangga masjid ini juga berbentuk bulat persegi delapan. Hal ini berbeda dengan masjid yang didirikan oleh penjajah Belanda yang tiangnya berbentuk bulat sempurna. Walaupun telah berusia ratusan tahun, Masjid Tuha Aceh ini masih difungsikan hingga sekarang. Sebuah tempat wudhu dibangun di sisi kanan masjid untuk memudahkan para jamaah. Sedangkan di sudut halaman dibangun kamar mandi. Lantai masjid pun telah dipoles keramik sehingga memberikan kenyamanan lebih bagi para jamaah sekaligus meninggikan lantai masjid agar tak sejajar dengan jalan. Namun, penimbunan ini menghilangkan nilai historis. Akibatnya, semen penyangga tiang yang biasanya terletak dibawah tameh, tidak tampak lagi akibat tertimbun. Keterasingan Masjid Tuha Ulee Kareng sudah sepantasnya mendapat perhatian pihak terkait. Semoga semangat syiar Islam yang dibawakan oleh Sayyid Al Mahalli sejak ratusan tahun lalu, terus berdenyut di masjid tua ini.
Aceh Heritage
25
Makam Kandang Meuh merupakan kompleks makam kuno tempat berbaringnya jasad para raja yang pernah memerintah di Kesultanan Aceh beserta kerabat dan ulama. Jasad yang dimakamkan di Makam Kandang Meuh, antara lain Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah (1760-1764), Raja Perempuan Aceh Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin serta keluarga sultan lainnya. Di dalam kompleks makam di sebelah kanan, dimakamkan Pocut Rumoh Geudong alias Meurah Limpah atau Pocut Lamseupeung (permaisuri Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah), Pocut Sri Banun (putri Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah), Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1857-1870), Sultan Alaiddin Muhammad Syah (1781-1795), Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah alias Sultan Husein (1795-1824), Putroe Bineu alias Pocut Meurah Di Awan (ibunda Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah), Tuanku Pangeran Husein (putra Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah dan Panglima Armada Aceh dalam penerbitan dan peneguhan kekuasaan Aceh di Deli Serdang dan Langkat pada 1854), Tuanku Zainal Abidin (Panglima Perang Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah, dan ayahanda Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah), Teungku Chik (kakak perempuan Sultan Alaiddin Ibrahim Man-
Kandang Meuh
Foto: Maimun Yulif
sur Syah). Dalam Makam Kandang Meuh, corak nisan agak berbeda dengan yang ada di Makam Kandang XII. Nisannya lebih sederhana. Artinya, pahatanpahatan yang terdapat pada nisannya tidak serumit di Makam Kandang XII dan kaligrafinya tak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
sebanyak dan seindah makam tersebut. Makam Kandang Meuh terdapat dua corak nisan, yaitu bentuk nisan pipih penataan bahu dan bentuk nisan gada segi enam. Pada bentuk nisan pipih, di bagian bawah nisan berbentuk segi empat dengan pola hias bunga lidah api. Bagian badan 53
Aceh Heritage
makam terdapat sulur-sulur daun bunga lidah api, dan kotak-kotak segi empat bermotif belah ketupat yang saling kait-mengkait serta puncak nisannya berbentuk mahkota bersusun tiga. Sedangkan, pada bagian bawah nisan berbentuk segi empat dengan pola hias bunga lidah api. Bagian badan nisan terdapat pola hias bunga lidah api berbentuk belah ketupat yang saling kaitmengkait serta di bagian puncak nisan terdapat kuncup bunga teratai.
Foto: Maimun Yulif
54
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 26
Benteng Kuta Batee adalah sebuah benteng yang terletak dipinggir sungai Meuredu, atau tepatnya 1 Km masuk kearah Blang Midun Gampong Mayang Lancok. Konon beritanya benteng ini dibangun pada masa Iskandar Muda sehingga disebut juga sebagai benteng Iskardar Muda. Benteng ini didirikan pada tahun 1620 M di Blang Midun yang saat ini masuk ke Kabupaten Pidie Jaya. Benteng ini dibuat dengan batu kali dengan spesi kapur yang tingginya 1,5 M. Kalau kita melihat sekarang hampir tidak percaya kalau benteng sudah berumur 397 tahun karena sudah dijadikan pematang sawah baik dari kiri maupun kanannya. Tidak jelas dikatakan apa fungsi benteng ini pada masa dulu, namun dapat diprediksi bahwa benteng tersebut adalah dijadikan sebagai tempat pertahanan oleh Iskandar muda, ini terbukti di dekat sungai ada sebuah gardu yang tingginya mencapai 2,5 x 3 M adalah tempat berdirinya serdadu yang siap tembak jika musuh datang dari arah sungai. Bersamaan dengan benteng, Iskandar Muda membangun pula satu masjid yang tidak jauh dari benteng itu, juga diberinama Masjid Kuta Batee atau Masjid Iskandar Muda. Pada tahun 1963 M masjid ini dipugar oleh Yayasan Pembangunan Iskandar Muda Kuta Batee pimpinan Drs. T.H. Yacob Ali dan pada tahun 1980 diresmikan namanya menjadi masjid Iskandar Muda. Dari keterangan
Benteng Kuta Batee Meureudu
Foto: Maimun Yulif
masyarakat setempat diketahui bahwa sejak dari struktur bangunan masjid pertama yang terbuat dari kayu dengan luas 28 x 30 M adalah masjid tertua di Pidiejaya.Sejak dari awal pembangunannya masjid bernilai sejarah ini sudah mengalami tiga kali perombakan dengan yang sekarang. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Benteng dan Masjid kedua-duanya tempat pertahanan pada masa yang silam. Benteng yang dekat dengan kali adalah sebagai bukti bahwa pada waktu itu sungai adalah jalur lalu lintas yang paling permanen sehingga beberapa benteng di Aceh juga dibangun di tepi kali atau di tepi laut. Seperti 55
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
benteng IndraPatra, Benteng Iskanda Muda di Krueng Raya, Benteng Kuta Lubok dan lain-lain. Hal yang sangat disayangkan bila kita melihat benteng saat ini tidak ada yang dapat diandalkan, di dalam benteng sudah menjadi sawah, di luar benteng juga sawah, gardu yang dulunya mungkin ada beberapa tapi saat ini hanya tinggal satu saja itupun dalam keadaan rusak. Oleh ka-
56
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
rena itu sangat penting bagi kita untuk menaruh perhatian yang serius untuk penanganan benteng. Di samping itu bangunan masjid yang katanya terbuat dari kayu tapi tidak dapat disaksikan lagi kayu-kayu, tetapi semua sudah sudah digantikan dengan beton dan ukurannyapun sudah tidak sesuai lagi.
Aceh Heritage
27
Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani (1636-1641). Setelah sultan Iskandar thani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah atau puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda. Makam sultan Iskandar Muda terletak di depan dalam dalam komplek Baperis, tidak jauh dari Museum Aceh dan berdekatan juga dengan Meuligoe atau Pendopo Gubernur Aceh. Makam ini berada di Gampong Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh yang berjarak sekitar 1 Km dari Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Sultan Iskandar muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinahan dengan isteri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. tidak heran jika kini Nanggroe Aceh menerapkan Syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai
Makam Iskandar Muda
Foto: Maimun Yulif
Tun Sri Lanang yaitu Raja Samalanga yang berasal dari negeri seberang Malaysia pada abad ke – 16 atau tahun 1613, yang digelar dengan Datok Bendahara Negeri Johor dibawa ke Aceh. Pada awalnya beliau adalah sebagai tahanan, setelah Johor ditaklukan oleh Sultan Iskandar Muda (1607Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
1636) bersama dua ribu penduduk semenanjung lainnya. Hampir semua penduduk di negeri Johor beserta petinggi lainya bermigrasi ke Aceh, diantaranya adalah Raja Husein (Iskandar Thani), Puteri Pahang atau nama aslinya Puteri Kamaliah orang Aceh menyebutnya Putroe Phang. 57
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
58
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
28
Komplek Makam Tgk Di Bitai
Makam ini terletak di Desa Bitai Kecamatan Jaya Baru (dahulu termasuk wilayah kecamatan Meuraxa), lebih kurang berjarak 4 Km dari Mesjid Baiturrahman Banda Aceh. Luas areal makam sekitar 159 m2. Nama makam ini dinisbahkan kepada nama kampung yaitu Bitai. Pada masa dahulu, Bitai merupakan sebuah perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari Pasai dan Pidie. Ulama ini datang ke Banda Aceh untuk mengajarkan agama Islam di Perguruan Tinggi di Bitai. Perkembangan pendidikan Islam di Bitai sangat maju kerena banyaknya orang dari luar Aceh yang belajar dan memperdalam ilmu agama Islam. Setelah tamat para penuntut ilmu kembali ke daerahnya untuk mengajarkan ilmu yang diperolehnya tersebut. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 M. Ia sangat perhatian terhadap peningkatan mutu pendidikan Islam di Aceh khususnya yang ada di Bitai dan Aceh Besar, sehingga semakin maju perkembangan Islam pada saat itu. Tipe nisan di makam Bitai menunjukkan satu tipe yaitu gada segiselapan. Nisan-nisan ini telah dicat dengan warna putih. Di area komplek makam tersebut juga berdiri sebuah mesjid yang berarsitektur Turki.
Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
59
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
60
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
29
Masjid ini dibangun pada masa Kerajaan Aceh Sulthan Iskandar Muda (1607-1636), perluasannya dilakukan kembali pada masa pemerintahan Nakiatudddin Syah pada tahun 1675-1678 M. Bentuk masjid ketika itu berkontruksi kayu, beratapkan daun rumbia dan berlantaikan tanah liat yang rata dan mengeras menyerupai semen setelah kering. Para jamaah menggunakan tikar daun pandan untuk menutupi lantai masjid sebagai alas. Bentuk atap berbentuk belah kerucut dan berlapis tiga. Setelah perluasannya, Masjid Raya Baiturrahman kini memiliki luas bangunan induk 56 x 34 m, luas serambi depan 12,5 x 10,5 m, tiang bulat 136 buah, tiang persegi empat 32 buah, kubah 7 buah, menara 5 buah, ruang belajar (2 lantai) sebanyak 12 ruangan, ruang imam 1 buah, ruang kantor remaja masjid 1 buah, ruang perpustakaan, ruang parkir, fasilitas wudhu dan MCK. Masjid Raya Baiturrahman bagi Masyarakat Aceh tidak hanya sebuah tempat urusan religius akan tetapi berkaitan dengan Sejarah yang digunakan oleh pejuang-pejuang Aceh sebagai markas pertahanan mereka. Ditempat inilah para serdadu Belanda juga berusaha dengan segala daya agar dapat merebut pusat pertahanan rakyat Aceh. Dalam pertempuran memperebutkanmasjid ini, Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai dan setelah mendapat izin dari pemerintah Hindia Be-
Masjid Raya Baiturrahman
Foto: Google
landa pada tanggal 23 April mereka meninggalkan pantai Aceh pada 29 April 1873. Agresi mereka yang pertama ini mengalami kegagalan total. Untuk menebus kekalahannya, Belanda mengangkat kembali Letnan Jenderal Van Swieten dan memimpin agresi kedua yang dilancarkan pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
tanggal 9 Desember 1873. hingga pada tanggal 6 Januari 1873 Belanda berhasil menghancurkan Masjid Raya Baiturrahman dan menguasainya setelah dengan gigihnya dipertahankan oleh Tuanku Hasyim Banta Muda dan Panglima Teuku Imeum Lueng Bata beserta pasukannya. 61
Aceh Heritage
Foto: Google
Sebelum kembali ke Jawa, Pemerintah Belanda jenderal Van Swieten menghormati sepenuhnya kemerdekaan beragama rakyat Aceh dan ingin membangun masjid yang telah hancur akibat serangan Belanda, sehingga dibuatlah desein oleh Arsitek De Bruins, insinyur lain juga dibantu oleh seorang penghulu dari Jawa Barat agar polanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka begitu bersusah payah mendirikan masjid ini kem62
bali, dengan harapan meninggalkan kesan baik di hati rakyat Aceh. Peletakan Batu pertama dilaksanakan oleh Jenderal Van der Heyden pada tahun 1879. dan pada tanggal 27 Desember 1881 terjadi penyerahan kunci dari Gubernur A. Pruys van der kepada Tgk. Kadi Malikul Adil dan diiringi tembakan meriam tiga belas kali beserta kenduri sebagai rasa syukur. Pengurusannya diserahkan pada Teungku Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Syekh Marhaban, ulama terkenal dari Pidie. Masjid Raya Baiturrahman jika dilihat dari bentuknya tampak seperti bangunan Eropa, dibagian ruang masjid terdapat pilar beton yang berjejer, dan dasar pilar, pintu masjid bahannya terbuat dari kuningan , mimbar dan jendela terbuat dari kayu jati berukir.
Aceh Heritage 30
Masjid Baiturrahim Ulee lheue terletak di Desa Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Tepatnya di tepi pantai Ulee Lheu dengan luas areal 172 M2 dan berstatus tanah wakaf. Untuk menjangkau lokasi ini dapat ditempuh melalui jalan Sultan Iskandar Muda dengan sarana jalan aspal. Masjid ini dibangun pada masa Belanda yaitu ketika Uleebalang Teuku Nek Raja Muda Setia bersama Teuku Lampaseh menjalin persahabatan dengan Belanda.Diperkirakan pembangunan masjid ini pada tahun 1343 H atau 1925 M dimana angka tahun ini tertera dan terdapat pada ornament eksterior di bawah mahkota bagian depan masjid yang tertulis dalam bahasa Melayu. Daerah Ulee Lheu pada masa dahulu merupakan pelabuhan yang penting, sehingga Belanda membangun sebuah dermaga sebagai pintu gerbang untuk kelancaran operasi militer di Aceh. Bahkan ketika Belanda pertama sekali mendarat di Acehmelalui Pantai Ceureumen di Ulee Lheu. Masjid Ulee Lheu yang disebut juga Masjid Baiturrahim telah mengalami beberapa kali perubahan dan renovasi yang dilakukan dengan biaya swadaya masyarakat. Pada saat terjadi gempa besar pada tahun 1983 masjid ini mengalami rusak dan roboh bagian kubah/puncaknya dan beberapa bagian atap. Pada tahun 1985 dilakukan renovasi oleh masyarakat yang menyisakan 80 % asli. Renovasi yang dilakukan oleh masyarakat menyebab-
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue
Foto: Maimun Yulif
kan bentuk atap mengalami sedikit perubahan yaitu bentuk kubahnya hilang. Kemudian pada tahun 1993 dilakukan renovasi kembali masjid Baiturrahim sehingga kembali memiliki kubah. Masjid ini jika dilihat dari arah Timur laut memiliki gaya Eropa (gaya gotik). Terutama pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
lengkungan-lengkungan pilar pintu masuk dan pilar sayap masjid. Pilar-pilar yang berbentuk pipih yang berfungsi sebagai tulang dinding bagian atas. Pada bagian pilar-pilar ini terdapat ornament kaligrafi, belah ketupat, sulur-sulur daun dari setangkai bunga teratai. Bagian jendela masjid terbuat 63
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
dari kayu jati bentuk gaya eropa. Pada bagian dinding eksterior terdapat ornament kaligrafi Arab berupa Ayat-ayat Al-Quran yang mengandung pesan moral mengajak umat untuk menunaikan shalat terutama shalat jumat sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Jumuah ayat (9) berbunyi: “Hai Orang-orang yang beriman, apabila di seru untuk menunaikan salat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui�. Masjid Baiturrahim pada saat terjadi musibah gempa dan tsunami pada tahun 2004 di Banda 64
Aceh hanya mengalami sedikit kerusakan dan telah dipugar kembali dengan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR). Dalam perjalanan waktu pada tahun 2007, masjid ini telah mengalami penambahan bangunan di sampingnya berupa menara yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunai yang menambah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
keanggunan dan keindahan masjid tersebut. Kini Masjid Baiturrahim Ulee Lheu manjadi salah satu icon wisata sejarah dan religi di kawasan Kota Banda Aceh. Bahkan masjid ini juga sering digunakan sebagai tempat berlangsung upacara aqad nikah `masyarakat Aceh.
Aceh Heritage
31
Letak benteng ini berada di kuala sungai (Krueng) Raya, di sisi barat Peukan Krueng Raya, mungkin dibangun untuk mengawal kuala dekat Teluk ‘Krueng Raya’ bagian sisi barat. Penamaan benteng (Kuta) Sultan Iskandar Muda mengingatkan ada hubungan antara pembangunan dan pemanfaatan benteng ini di masa Sultan Aceh tersebut. Namun ini belum dapat dipastikan, walaupun dari sumber Hikayat Meukuta Alam dijelaskan adanya perbentengan atau kuta di kawasan Ladong – Krueng Raya yang dikenal sebagai ‘Kuta Seribu Kawal’ (T. Imran Abdullah, 1986). Benteng (Kuta) Sultan Iskandar Muda juga menggunakan sistem kanal dikeliling parit yang terhubung dengan sungai.Benteng tanpa pintu masuk namun ada tanda untuk menempatkan tangga tidak permanen di sisi timur yang terhubung dengan tangga untuk naik dan turun diisi timur menuju teras (pelataran) keliling untuk pengawasan di sekeliling lingkungan benteng. Dinding-dinding benteng dibangun cenderung lebih tebal dan lebih tinggi dengan dua bagian tembok batu yang diisi tanah, tehnik yang sama diterapkan pada benteng utama di Benteng (Kuta) Inderapatra dan Lubok. Pada empat sisi dinding benteng dilengkapi empat pintu atau jendela meriam. Bangunan berteras berukuran besar ditengah bentengdengan kamar-kamar di tengah benteng dilengkapi tangga masuk di sisi timur belum dapat diketahui kegu-
Benteng Sultan Iskandar Muda Di Krueng Raya
Foto: Maimun Yulif
naannya dan dua bangunan sumur yang dilengkapi dinding dan pintu di keempat sisi arah mata angin (dapat dibandingkan dengan bangunan sumur berkubah di benteng utama Inderapatra). Sedikit banyak elemen dan komponen banguDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
nan benteng ini banyak kesamaan dengan bentengbenteng dalam perbentengan Inderapatra Ladong. Berdasarkan elemen yang sama tersebut mungkin sekali dapat dijadikan petunjuk awal untuk menentukan periodesasi pembangunan kedua per65
Aceh Heritage
bentengan itu, yaitu dari masa yang sama. Lokasi Benteng Sultan Iskandar Muda relatif berdekatan dengan Benteng Inderapatra di baratnya, terutama bila dicapai melalui laut.
Foto: Maimun Yulif
66
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
32
Benteng ini tidak begitu istimewa berdasarkan strukturnya, hanya satu sisi dinding menghadap laut (utara) dilengkapi dengan enam pintu atau jendela untuk meriam berdiameter besar yang masih dapat diamati. Berada pada sisi barat tanjung Ujung Batee Kapal, Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Penamaan benteng (Kuta) ‘Inong Balee’ berasal dari istilah Aceh untuk ‘janda’. Penamaan ini mungkin merujuk pada satu angkatan/pasukan khusus yang beranggotakan para perempuan untuk pengawal istana dan sultan Aceh. Pasukan khusus ini dibentuk pada masa Sultan ‘Ala ad Din Ri’ayah Syah Sayid al Mukammil, kakek Sultan Iskandar Muda dari pihak ibu. Pasukan pengawal khusus ini dilihat oleh para kapten kapal Eropa pada peralihan abad ke-16 M, seperti yang dijelaskan John Davis tahun 1600 M. ketika diundang masuk Dalam Sultan Aceh (Denis Lombard, 1991 dan Anthony Reid, 1992). Pasukan pengawal khusus Istana ini dipimpin oleh seorang perempuan pembesar Dalam Sultan Aceh yang dikenal sebagai Malahayati. Perempuan yang dikenal sebagai laksamana ini juga berkedudukan sebagai protokoler istana – Dalam Sultan Aceh pada masa Sultan ‘Ala ad Din Ri’ayah Syah Sayid al Mukammil. Makam tokoh ini dipercaya dimakamkan dekat Teluk Krueng Raya di kawasan perbukitan selatan Lamreh Krueng Raya. Namun demikian penamaan ini masih sangat terbuka un-
Benteng Inong Balee Lamreh Krueng Raya
Foto: Maimun Yulif
tuk diperdebatkan dan perlu diteliti lebih lanjut. Bentuk struktur benteng ini terkesan sederhana. Namun berdasarkan letak dan pemilihan lokasi, benteng ini sangat istimewa dan strategis, karena berada di atas punggung bukit dengan tebing terjal didepatnya, sisi utara, di semenanjung bukit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Lamreh. Dari lokasi benteng ini dapat dilihat secara seksama keadaan diperairan Teluk Krueng Raya dan jalur pelayaran menuju Selat Malaka. Sebenarnya benteng ini tidak sesederhana yang pernah dibayangkan, benteng beton masif yang cukup tebal, maksimal hampir mencapai 2 m dan 67
Aceh Heritage
1 m, dan tinggi hingga 3 m. Dalam observasi diketahui benteng ini dibangun secara bertahap dan berkembang mengikuti kontur punggung bukit dengan denah yang sangat rumit. Benteng ini terhubung dengan struktur batu tanpa perekat semen kapur di sisi barat dan struktur benteng tanah di satu lembah sempit yang dikenal sebgai Lhok Cut. Struktur dari susunan batu tanpa perekat semen – kapur di barat Benteng (Kuta) Inong Balee memiliki dengah persegi empat dan menyempit ke arah tebing terjal atau laut. Jaringan susunan batu membentuk pangar/dinding perbentengan berlokasi di kawasan perbukitan terjal membentuk tanjung suatu yang sangat istimewa dalam sistem pertahanan dan sangat strategis. Struktur bentengdengan susunan dinding-dinding pertahanannya hanya dibentuk dari tumpukan batubatu bongkah besar yang diisi dengan batu-batu kecil dicampur dengan tanah dan pecahan batu kapur atau kulit kerang.Susunan batu sangat khas dengan tehnik yang cukup kuno cukup menarik. Dinding dibuat secara bertahap dengan menyusun batu-batu berukuran sedang yang relatif sama sebagai penopang material berbagai jenis sebagai isi. Sejalan dengan perjalanan waktu bahan batuan kapur yang digunakan untuk bahan baku struktur larut sehingga beberapa batu kapur tersebut saling merekat. Bagian pagar/dinding di sisi utara tebing atau laut tersebut dibuat sedemikian rupa dengan satu komponen yang sangat menarik, karena susunan batu pembentuk pagar/dinding yang tebal menca68
pai 2 m dan tiga atau lebih tempat khusus yang diduga dan sangat munkin untuk menempatkan meriam berukuran cukup besar ke arah Teluk Krueng Raya. Komponen lain yaitu satu pintu sempit dengan lebar kurang dari 1 m. di sudut pagar/ dinding posisi barat dan ke selatan. Dibagian halaman luas dilindungi pagar/dinding susunan batu ditemukan tumpukan batu yang belum diketahui. Sementara struktur yang berada di lembah sempit, Lhok Cut, disusun dengan tehnik yang berbeda.Bentuk benteng disusun dari susunan tanah yang diisi dengan batu dan koral (terumbu karang) membentuk pagar/dinding memanjang, atau tipe ‘Kuta Rentang’ menutup dan memisahkan lembah sempit yang dikelilingi perbukitan tanjung dengan pantai kecil di teluk, Lhok Cut. Benteng tanah ini memiliki komponen pintu masuk menghadap ke pantai/teluk berukuran maksimal 1 m dan didekatnya didirikan struktur teras tanah berdenah persegiempat yang beluk diketahui fungsi dan kegunaannya. Sebelum tsunami 2004, di sisi barat sedikit ke selatan ditemukan sumur dari susunan batu dan semen kapur yang cukup lebar, maksimal 2 m. Walau bahannya tidak seluruhnya dari tembok beton masif namun letak perbentengan ini tidaklah mudah untuk didekati oleh musuh. Benteng ini memiliki rancangan bentuk yang sangat berlainan dengan kedua benteng sebelumnya, namun belum dapat dipastikan periodesasi pembangunannya dari masa yang sama. Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 33
Kuta/Benteng Lubok merupakan salah satu dari perbentengan di Ujong (baca: tanjung) Batee Kapal berada di timur Kuta – Benteng Inong Balee. Lokasi dan bentuk benteng ini sangat istimewa. Benteng didirikan di dekat kuala, Kuala Lubok, pada suatu teluk sempit di sisi timur perbukitan bukit Lamreh sehingga menjadi pengawal kuala dan teluknya. Benteng ini berdekatan dengan Benteng (Kuta) Inong Balee di baratnya atau tepatnya pada sisi timur tanjung Ujung Batee Kapal. Penamaan kuta – benteng Lubok berdasarkan nama Kuala Lubok sendiri, dan penamaan berdasarkan lokasi agaknya baru. Dinding-dinding benteng dibangun cenderung lebih tebal dan lebih tinggi dengan dua bagian tembok batu yang diisi tanah, tehnik yang sama diterapkan pada benteng utama di Benteng (Kuta) Inderapatra dan Sultan Iskandar Musa. Benteng ini memiliki bentuk yang sangat berbeda dari bentuk benteng dunia Melayu berdenah persegi empat. Benteng dilengkapi elemen dua bastion, bangunan bulat, yang ditempatkan pada bagian sudut bangunan untuk menempatkan meriam berdiameter besar pada pintu atau jendela meriam. Fungsinya dapat dibandingkan dengan dua benteng pengawal pada perbentengan Indrapatra. Dinding tinggi dan tebal yang menghubungkan dua bastion juga dilengkapi dengan jendela atau pintu untuk meriam berukuran besar, ada enam
Benteng Lubok Lamreh
Foto: Maimun Yulif
jendela atau pintu untuk meriam. Bastion lebih dikenal pada benteng-benteng (kastil) di Eropa, lalu pengaruhnya menyebar ke Timur Tengah melalui penaklukkan pembebasan Semenanjung Iberia, Spanyol, oleh pasukan Muslim masa Khalifah Umaiyyah dengan gaya benDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
teng Iberia, serta dalam Perang Salib dengan gaya benteng Perancis dan penaklukan Turki Saljuk lalu Turki Utsmani dengan gaya benteng Romawi Timur Bizantium. Gaya benteng dengan menggunakan elemen bastion hadir di Aceh mungkin sekali ketika kedatangan bantuan Turki Ustmani, 69
Aceh Heritage Khalifah Sultan Selim tahun 1566/1567 M. untuk Sultan Aceh pada masa Sultan ‘Ala ad Din Ria’yah Syah Marhum Kahar (M. Said, 1981). Walau bantuan armada militer Turki – Ustmani ini tidak pernah mencapai Aceh, namun beberapa orang tehnisi militer nampaknya sampai di Aceh. Benteng (Kuta) Lubok, seperti juga Benteng (Kuta) Inderapatra, Sultan Iskandar Muda, dan Inong Balee, mungkin sekali dibangun untuk mengawasi (pengintai) perairan laut di Selat Malaka sebagai jalur utama pelayaran dunia, seperti di sepanjang perairan laut Ladong hingga Krueng Raya. Dalam waktu yang bersamaan dengan periode pembangunan sistem perbentengan di Kawasan Ladong – Krueng Raya, Kesultanan Aceh Darussalam harus menghadapi ancaman dari Portugis – Malaka. Dan pada masa peralihan abad ke-16 M. Sultan Aceh harus berhadapan dengan pelaut – pedagang Eropa, khususnya Belanda dan Inggris, dalam persaingan perdagangan rempah di jalur pelayaran Selat Malaka. 70
Tekhnologi bangunan permanen dengan batu yang direkat semen kapur dari terumbu karang atau kulit kerang, lalu dengan penyelesaian akhir lapisan turap putih dapat dipastikan telah dikembangkan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam.
Ini dimungkinkan setelah mendapat bantuan tenaga tekhnik yang didatangkan oleh Khalifah Turki Utsmani, Selim tahun 1566-1567 atas permintaan Sultan ‘Ala ad Din Ri’ayah Syah Marhum Kahar. Foto: BPCB Aceh
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 34
Makam Hamzah Fansuri terdapat di kampung Oboh, Kecamatan Rundeng, Kota Subussalam. Jarak tempuh dari kota Subussalam ke kampung Oboh adalah sekitar 45-60 menit perjalanan dengan kenderaan roda dua atau empat. Menurut penuturan lisan masyarakat di Subussalam dan khususnya di sekitar Oboh, sebab makam Hamzah Fansuri berada di sana, karena pengembaraannya dalam mencari “tanah jujur�. Ia mengembara dari tanah kelahirannya di FansurBarus (Tapanuli Tengah sekarang) ke Oboh yang diasumsikan memiliki tanah jujur tadi dan ia menetap di sana. Ada pendapat lain, ia menemukan “tanah yang jujur� di desa Oboh, setelah melakukan persembunyian dan pelariannya dari kejaran pemerintahan Aceh Darussalam, yang sudah menetapkannya dengan halal darah ulama ini beserta pengikutnya untuk dibunuh, di bawah keputusan Qadhi Malikul Adil Nuruddin Ar-Raniry. Kemudian di Oboh ia bercocok tanam, dan dari bercocok tanam ia menemukan atau memperoleh hasil yang sama dari benih yang ditanam/disemai. Oleh karenanya Hamzah Fansuri menyampaikan kepada keluarga dan muridnya bahwa tanah tersebut merupakan tanah yang jujur. Atas dasar tanah yang jujur itu pula menjadi dalih ia berpe-
Makam Hamzah Fansury
Foto: Maimun Yulif
san/ mewasiatkan kepada keluarga dan muridnya bahwa ketika ia meninggal agar agar dimakamkan di Oboh, karena di sana Tanah yang jujur. Komplek Makam di kampung Oboh terdapat beberapa nisan. Dari beberapa nisan, berada dalam sebuah cungkup dan tiga di antaranya merupakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
nisan yang ditinggikan dengan tanah yang dibuat oleh pemerintah kota Subussalam. Di antara nisan yang berada di cungkup memiliki tulisan Arab dengan tulisannya berbunyi: Syeikh Hamzah Fansuri Mursidi Syeikh Abdurrauf al-Fansuri bin Imam Samardan. Maksudnya Syeikh Hamzah 71
Aceh Heritage
Fansuri guru Syeikh Abdurrauf al-Fansuri.
Foto: Maimun Yulif
72
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
35
Dayah Tanoh Abee yang memiliki pustaka tersebut didirikan oleh seorang ulama asal Baghdad, Fairus Al Bagdadi pada masa Kesultanan Iskandar Muda tahun 1625 Masehi. Dayah Teungku Chik Tanoh Abee di Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, merupakan salah satu pesantren tertua yang masih tersisa sampai sekarang di Asia Tenggara. Semula Dayah Teungku Chik Tanoh Abee didirikan hanya berupa surau kecil di Data Sigeupoh, sekitar empat kilometer dari lokasi Dayah Teungku Chik Tanoh Abee saat ini. Selain digunakan sebagai tempat menyebarkan ilmu agama, juga dijadikan sebagai tempat eksekusi hukuman cambuk bagi masyarakat yang melanggar ketentuan syariat Islam pada masa itu. Seiring berjalannya waktu, dayah yang semula berada di Data Sigeupoh, akhirnya dipindahkan kekawasan perkampungan warga. Dayah ini mencapai puncak kejayaan pada masa pimpinan Syeikh Abdul Wahab yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Tanoh Abee, sehingga, dayah tersebut lebih dikenal dengan sebutan Dayah Teungku Chik Di Tanoh Abee. Selain sebagai tempat pembentukan karakter ulama, semasa kepemimpinan Teungku Chik Tanoh Abee, dayah ini juga dijadikan tempat berkumpulnya ulama Aceh seperti Teungku Chik Di Tiro dan beberapa ulama lainnya untuk bermusyawarah dan mengatur strategi melawan kolonial Belanda.
Perpustakaan Dayah Tanoh Abee Seulimuem
Foto: Maimun Yulif
Setelah meninggal Teungku Chik Tanoh Abee pada tahun 1894, dayah yang berjarak sekitar 42 kilometer kearah timur Kota Banda Aceh dan sekitar tujuh kilometer kepedalaman sebelah utara Ibu kota Kecamatan Seulimuem, dikelola secara turun temurun oleh keluarga pendirinya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Semasa kepemimpinan Abu Dahlan, yakni pada tahun 1984 hingga 2007, dayah ini kembali mencapai puncak kejayaan. Ribuan santri dari berbagai pelosok menuntut ilmu di dayah tersebut.Tak sedikit di antara santri dari DayahTgk. Chik Tanoh Abee yang telah mendirikan pondok 73
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
pesantren sebagai wadah memanfaatkan ilmu yang didapatnya.Setelah Abu Dahlan meninggal dunia pada tahun 2007, dayah ini dikelola oleh istrinya. Sehingga, kalangan masyarakat di sana kerap memanggilnya “Ummi”. Dalam mengelola dayah, Ummi dibantu oleh menantunya, Teungku Ridwan Tanoh Abee. Tgk. Haji Muhammad Dahlan Al-Fairusi AlBagdadi yang melanjutkan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Syech Fairus. Dalam naskah Shattariyyah karanganTeungku Muhammad Ali, yang merupakan orang tua dari Abu Dahlan disebutkan bahwa, Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Syech Abdul Wahab dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Syech Muhammad As‘ad Tahir ke Syech 74
Mansur Badiri, dari Syech Mula Ibrahim al-Kurani, dari Syech Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Umumnya, sebelum sampai kepada Syech Mula Ibrahim al-Kurani dan Syech Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia. Kini, Abu DahlanTanoh Abee telah tiada, namun masih terngiang pesan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu: khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama. Dulu, ia memang cenderung protektif terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak faDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
mili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak “mengganggu” pustakanya. Selainitu, karena pengalaman pahit adanya tangan-tangan jahil yang tidak bertanggungjawab ketika diberi kesempatan untuk mengakses naskah-naskah. Namun, setelah ia melihat kenyataan musnahnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama, seperti digitalisasi atas kerjasama dengan satu lembaga dari Jepang.
Aceh Heritage 36
TeungkuChik Di Tiro atau Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836 bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Kecamatan TiroKabupaten Pidie. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat. Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil. Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayahwilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat
Makam Tgk. Chik Ditiro
Foto: Maimun Yulif
benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya. Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Selama ia memimpin peperDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
angan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu: • Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883) • Philip Franz Laging Tobias (1883-1884) • Henry Demmeni (1884-1886) • Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891) 75
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong. Kuburnyadi Meureu, Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, selalu ramai dikunjungi oleh parawarga masyarakat.
76
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 37
Imum Lhueng Bata adalah salah seorang pejuang Aceh dengan nama asli Teuku Nyak Radja. Ia dengan kawan-kawan sepakat untuk mempertahankan tanah kelahiran yaitu Kerajaan Aceh Darussalam. Makanya pada saat Belanda menyerang Aceh, pasukan Imum Chik Lhueng Bata sudah siap mempertahankannya. Pada tahun 1873 Belanda menyatakan perang terhadap Aceh dan berniat menguasai seluruh kekayaan Aceh serta meruntuhkan peradaban Islam. Agresi Belanda pertama pada tahun 1873 tersebut dipimpin langsung oleh Jenderal Kohler, seorang Jenderal pasukan Belanda yang tangguh dan juga komandan pasukan elit Kerajaan Belanda. Pasukan Belanda berhasil mendarat di pantai Ulee Lheue pada 26 Maret 1873 setelah mengalahkan pertahanan pantai Kerajaan Aceh, ini disebabkan Belanda yang membawa peralatan perang yang canggih dan lengkap serta pasukan yang berjumlah 5000 orang memaksa pejuang Aceh harus mundur dan Belanda berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Tidak sampai satu bulan dari ekspedisinya Jenderal Kohler tewas terbunuh oleh seorang sniper di halamanmasjid Raya Baiturrahman. Pada saat itu Jenderal Kohler sedang menginspeksi pasukan di areal masjid Raya Baiturrahman, namun salah seorang pejuang Aceh merunduk dan menembak Jenderal Kohler dalam jarak 100 meter dan tepat
Makam Imuem Chik Lhueng Bata
Foto: Maimun Yulif
mengena di jantungnya. Kohler roboh dibawah pohon Geulumpang yang kemudian dinamani oleh Belanda dengan Kohlerboom atau pohon Kohler.Sniper ini diketahui seorang remaja dari laskar Aceh yang berusia 19 tahun dan bersembunyi dibelakang reruntuhan masjid yang tidak dikeDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
tahui oleh Kohler yang saat itu sedang memegang teropong.Namun siapa sebenarnya sniper ini masih belum bisa dipastikan. Peristiwa tewasnya Jenderal Kohler oleh seorang sniper ini menggemparkan seluruh pasukan Belanda yang ada di Aceh dan juga seluruh dunia terutama Eropa. 77
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
78
Sniper misterius penembak Jenderal Kohler hingga saat ini masih menjadi misteri, banyak orang dan media berspekulasi tentang sniper misterius ini namun secara mengejutkan seorang cucu Teungku Imum Lueng Bata yang telah berusia 68 tahun mengaku bahwa sniper itu adalah kakeknya. Teungku Imum Lueng Bata memang seorang pejuang Aceh pada waktu Kohler dan pasukannya mendarat di Aceh. Ia merupakan pemimpin Kemukiman Lueng Bata atau seorang Ulee balang yang bernama asli Teuku Nyak Radja dan Ia juga anak dari Teungku Chik Lueng Bata. Lueng Bata ini dulunya merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Aceh dan berada langsung dibawah kesultanan. Cucu Teungku ImumLueng Batayang bernama Nukman ini menjelaskan bahwa kakeknya dan pengikutnya sengaja menyembunyikan identitas kakeknya sebagai penembak Kohler untuk melindungi dirinya dan juga pasukannya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa jarak Teungku Imum Lueng Bata dengan Kohler hanya berjarak 100 meter dan menembak dengan senjata seadanya. Entah kebetulan atau memang karena keahliannya sebagai seorang
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
sniper, Teuku Nyak Raja melepaskan satu tembakan dan tepat mengenai jantung Kohler setelah sebelumnya menembus lensa teropong yang disangkut dilehernya. Pada saat peluru menembus dadanya, Kohler sempat berucap, “Oh God ik ben getroffen (Oh Tuhan Aku Kena)�. Teuku Nyak Raja atau Teungku Imum Lueng Bata tidak diketahui kapan ia meninggal tetapi makamnya terletak di Gampong Blang Baroh Kecamatan Geulumpang Baro Kabupaten Pidie. Kami menemukan Makamnya pada saat penelitian tanggal 18 September 2017. Di komplek tersebut ada tiga makam, 2 makam kami perkirakan pada abad ke-18 sedangkan satu makam yang nisannya bulat bermahkota pada abad ke-19.Inilah yang kami duga sebagai makam Teuku Nyak Raja. Terlepas dari cerita Nukman ini, yang jelas sang sniper dari pejuang Aceh yang sangat jenius bisa membunuh seorang Jenderal Pasukan Elit Belanda seperti Kohler tanpa terdeteksi hingga sekarang. Cara sniper ini menyembunyikan dirinya dan menyembunyikan identitas dirinya layak disetarakan dengan sniper-sniper elit di dunia.Jasad Kohler dikebumikan di Kherkoff/Peutjut atau kompleks pemakaman Belanda dan didirikan monumen Kohler disana untuk mengenang dirinya. Sejak Belanda datang ke Aceh hingga mereka pergi dari Aceh, niatnya untuk menaklukkan dan menguasai Aceh tidak pernah terwujud.Kita sebagai anak cucu dari pejuang-pejuang Aceh ini patut berbangga pada mereka dan tetap mewarisi kejeniusan dan rasa cinta tanah air.
Aceh Heritage 38
Kluet Utara Masjid Nuril Huda sebelumnya bernama masjid Pulau kambing, tetapi mahasiswa KKN IAIN Ar-Raniry pada tahun 1989 memberi nama baru dengan Masjid Nuril Huda Pulau kambing. Nama inilah yang terdata sebagai benda cagar budaya pada tahun 2008.Letaknya di desa Pulau Kambing, kecamatan Kluet Utara Aceh Selatan. Bangunan masjidnya bercorak tradisional, menggunakan bahan material kayu 80 persen, semen dan keramik 20 persen.Masjid dibangun di atas sebidang tanah selluas 40x27 meter. Luas bangunannya 20x20 meter, di sesuai dengan kebutuhan jamaah ketika dibangun, yaitu jamaahnya terdiri dari tiga kecamatan sekarang, yaitu Kluet Utara, Kluet Selatan dan Kluet Timur.Teritorial ketiga kecamatan Kluet itu sekarang, dahulunya merupakan satu kemukiman, namanya Mukim Sejahtera. Dengan demikian dipastikan bahwa masjid Nuril Huda dasarnya adalah masjid kemukiman. Dari luasnya 20x20 meter, ditambah serambi depan lebarnya 4 meter dan panjang 10 meter. Bagian dalam masjid terdapat empat tiang sokoguru dan 12 tiang lainnya.Uniknya, satu di antara tiang sokoguru terdapat sumber mata air yang tidak habis-habisnya, padahal masyarakat memanfaatkan terus menerus, termasuk untuk menyelesaikan hanyat dan nazarnya.Mihrab masjid terletak di bagian barat dengan ukuran 4x4 meter,
Masjid Nuril Huda Pulau Kambing
Foto: Maimun Yulif
merupakan tempat imam dan khatib khutbah di hari Jum’at.Di bagian kanan masjid terdapat tempat wudhu’ yang langsung dengan bak air yang luasnya 3x2 meter.Bedug (tambo) juga terdapat di masjid ini, tetapi tidak dimanfaatkan lagi, karena sudah rusak. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Atap masjid memiliki atap tumpang tiga, dengan materialnya seng yang beralur-alur. Bagian atap yang paling atas berbentuk segi delapan (octagonal), dan di setiap seginya terdapat jendela dari kayu yang berbentuk persegi, bagian atasnya melengkung dan dilengkapi dengan selasar. Pada 79
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
bagian puncak masjid terdapat mustaka berbentuk kubah, yang dialasi dengan hiasan kelopak bunga delapan tangkai. Pada ujung Mustaka terdapat hiasan bulan dan bintang yang melambangkan sebagai penerang dalam kehidupan masyarakatnya. Adapun atap seng tersebut dilapisi dengan kayu kecil-kecil yang dinamakan dengan gaseu, yang berfungsi sebagai penahan atap atau sarana penempelan seng. Perihal atap masjid Nuril Huda uniknya karena bersusun tiga, seperti masjid kuno yang ada di
80
Aceh, seperti masjid Indrapuri di Aceh Besar dan Masjid Teungku Pucuk Krueng di Aceh Selatan dan masjid kuno lainnya.Atap tumpang tiga sebagai ciri khas bangunan sebelum Islam yang pernah berkembang di Nusantara, yaitu sebagai atap Pura yang berbentuk pundan berundak.Atas dasar ini pula masjid Nuril Huda Pulau kambing dimaknakan dan digolongkan sebagai salah satu bangunan masjid kuno yang masih tersisa.Kemudian ditilik dari sejarah berdirinya pada tahun 1282 H/1861 M, pada masa raja atau Kejruen Teuku Imam Syah,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
adalah hitungan waktu yang sudah tergolong dan bermakna arkeologis atau usia bangunan kuno. Hingga saat ini masjid Nuril Huda Gampong Pulau Kambing masih difungsikan sebagai tempat shalat berjamaah lima waktu, shalat Jum’at dan shalat ‘id dua hari raya. Selainnya masjid juga berfungsi sebagai tempat pengajian bagi masyarakat, tempat musyawarah, tempat pernikahan, dan tempat mengadakan hari-hari besar Islam pada tiap tahunnya.
Aceh Heritage 39
Dayah Labuhan Haji / Makam Tgk. Syekh Muda Wali
Dayah Darussalam Labuhan Haji adalah satu lembaga pendidikan Islam ternama sejak zaman pendirinya Abuya Syeikh Muhammad Wali al-Khalidy (1917-1967) hingga masa terakhir. Dayah ini dibangun di atas 10 hektar tanah, terletak di desa Blang Poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan. Dayah ini mulai dibangun pada tahun 1941 dan cikal bakalnya adalah dari bangunan surau berlantai dua, peninggalan orang tua Muhammad Wali al-Khalidy yang bernama Haji Muhammad Salim, yang berasal dari Batu sangkar, Sumatra barat; dan ibunya bernama Janadat, putra dari keuchik gampong Kota Palak Kecamatan Labuhan haji. Syeikh Muhammad Wali al-Khalidy membagi dan mengklasifikasi Dayah Darussalam labuhan Haji dalam beberapa bidang dan nama, yaitu Darul Muttaqin, Darul Muta’allimin, Darus Salikin, dan Darul Ma’la. Semua nama ini disesuaikan dengan bidang yang difungsikan di dalamnya dan disesuaikan dengan nama bidang itu sendiri. Hingga dewasa ini, Dayah Darussalam Labuhan Haji memiliki Sembilan gedung-bangunan berikut ini: 1. Mushalla (masjid dayah) untuk shalat berjamaah dan ibadah lainnya; 2. Gedung untuk Madrasah ‘Aliyah Bustan Muhaqqin (gedung berlantai dua);
Foto: Maimun Yulif
3. Gedung untuk MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) tingkat Tsnawiyah; 4. Gedung MTI untuk tingkat Ibtidaiyah putra; 5. Gedung untuk MTI tingkat Ibtidaiyah puteri; 6. Gedung asrama bertingkat dua untuk pelajar puteri; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
7. Bangunan Qubah Maulana, yang sekarang menjadi kuburan keluarga Syeikh Muhammad wali al-Khalidy; 8. Tiga rumah kediaman isteri-isteri Syeikh Muhammad Wali al-Khalidy; 9. Gedung Laboratorium dan Perpustakaan. 81
Aceh Heritage Gedung-gedung ini masih didapatkan sampai sekarang, kecuali setelah terjadi kebakaran beberapa waktu lalu, menyebabkan salah satu gedung musnah dimakan api, sehingga tidak lengkap lagi, sebelum selesai dibangun kembali.
Foto: Maimun Yulif
82
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 40
Gedung Juang merupakan salah satu bangunan tua yang letaknya sangat strategis di tengah kota Banda Aceh. Letak gedung ini bersebelahan dengan komplek pendopo Gubernur di bagian selatan dan bersebelahan dengan Museum Aceh di sisi utara. Bukan hanya itu, gedung ini juga berada di satu kawasan dengan komplek Makam Iskandar Muda. Gedung Juang merupakan salah satu simbol perjuangan berdirinya Republik Indonesia. Sebab di bangunan tua di Banda Aceh inilah pertama kalinya bendera merah putih berkibar di Aceh setelah diumumkan kemerdekaan Indonesia. Gedung Juang dibangun pada tahun 1883 oleh Pemerintah Belanda. Pembangunan gedung ini bersamaan dengan pembangunan Pendopo Gubernur yang berada di depannya. Masa colonial, gedung ini berfungsi sebagai Kantor Gubernur Belanda. Ketika Jepang masuk ke Aceh pada 1942, gedung ini dijadikan kantor pemerintahan militernya atau Residen Aceh (Shu-chokan). Di sinilah rakyat Aceh mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali pada 24 Agustus 1945, usai mendapat kabar Soekarno-Hatta memproklamirkan Indonesia. Pengibaran bendera dilakukan setelah terlibat bentrokan dengan Pasukan Jepang. Setelah kemerdekaan, Gedung Juang berfung sisebagai kantor Baperis, sebuah organisasi yang mengelola Museum Aceh saat dipindahkan dari Blang Padang ke komplek pendopo di tahun 1969. Saati-
Gedung Baperis (Banda Aceh)
Foto: Maimun Yulif
ni, bangunan tua iniberalih fungsimenjadi Markas Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Aceh, dan juga menjadi kantor Persatuan Purnawiraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PPABRI). Di kawasan gedung ini terdapat beberapa obDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
jek sejarah yang tidak kalah menariknya.Seperti peralatan perang peninggalan Belanda yang sengaja dipajang di luar gedung, komplek makam para raja, dan tentu saja makam Sultan Iskandar Muda, salah satu sultan Kerajaan Aceh paling termahsyur. Di halaman bangunan tua di Banda Acehini 83
Aceh Heritage
juga bertaburan makam-makam tua. Makam ini umumnya milik keluarga kerajaan,seperti makam Pocut Rumoh Geuding, Pocut Sri Banun, Sultan Alauddin Muhammad Syah, Sultan Husin Jauhar Alamsyah, Putroe Bineu, Tuanku Husen Pangeran Anom (wakil Kerajaan Aceh di Deli), Tuanku Cut Zainal Abidin (ayah dari Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah). 84
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Foto: Maimun Yulif
Aceh Heritage 41
Makam Tgk. Fakinah ini terletak di Desa Lam Diran Mukim Lam Krak, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Aceh Besar berjarak sekitar 22 Km dari Mesjid Raya Baiturrahman, sedangkan mesjid nya terletak tepatnya di Desa Blang Miro di Kecamatan yang sama. Mesjid ini berdenah bujur sangkar dengan struktur atap tumpang dua yang berbentuk limas. Mesjid ini memiliki ukuran kurang lebih 12 x 12 m dengan kondisi yang masih utuh. Mesjid ini digunakan masyarakat setempat untuk shalat dan pengajian. Teungku Fakinah adalah seorang pahlawan perempuan yang menjadi ulama besar dengan nama singkatnya disebut Teungku Faki; pahlawan perang yang ternama dan pembangun pendidikan Aeh yang ulung. Dia dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Dalam tubuhnya mengalir darah ulama dan darah penguasa. Ibunya adalah keturunan dari Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ayahnya bernama Teungku Muhammad Sa’at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya pernah Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman belajar. Sesudah Teungku Fakinah dewasa, dalam tahun 1872 dinikahkan/kawinkan dengan Teungku Ahmad. Teungku Ahmad yang dipanggil Teungku
Makam dan masjid tgk. Fakinah
Foto: Maimun Yulif
Aneuk Glee ini membuka satu pesantren yang dibiayai oleh mertuanya Teungku Muhammad Sa’at. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh pemuda dan pemudi dari tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang datang dari Pidie.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Teungku Fakinah merupakan Panglima Perang melawan agresi Belanda, tidak mau tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik keseluruh segitiga Aceh Besar untuk menjalankan diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orangorang kaya untuk meminta zakat dalam rangka 85
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
86
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk.Kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan. Ketika musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh Sekarang), maka pertahanan berpindah ke Kuta Lam Bhoukdan Pagar Aye, maka dalam tahun 1883 pertahanan itu dapat dikuasai oleh musuh. Untuk mengantisipasi hal ini maka Tengku Syech Saman yang disebut Tengku Tjik Di Tiro memperkuat lagi pertahanan Kuta Aneuk Galong, bekas Kuta Panglima Polem Nyak Banta, yang dulunya telah dirampas oleh pihak Belanda yaitu pada tahun 1878. Maka dengan demikian serentaklah dari masing-masing pemimpin peperangan mendirikan kuta-kuta lain, seperti halnya Tengku Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu dan lain-lain. Sementara itu di Lam Krak didirikan empat buah Kuta di bawah Komando Teungku Fakinah, yang masing-masing dipimpin oleh seorang komandan bawahan, yaitu: 1. Kuta Lam Sayun, dipimpin oleh Tengku Pang M. Saleh. 2. Kuta Cot Garot, dipimpin oleh Tengku Pang Amat. 3. Kuta Cot Weue, dipimpin oleh Tengku Faki-
nah sendiri. 4. Kuta Bak Balee, Dipimpin oleh Habib Lhong. Adapun yang membangun kuta-kuta (Benteng-Benteng) ini adalah kaum lelaki, kecuali Kuta Cot Weue dikerjakan oleh para perempuan sejak membuat pagar, menggali parit dan pemasangan ranjau dilakukan sendiri oleh para perempuan yang diawasi oleh panglima perangnya Teungku Fakinah sendiri bersama rekan-rekan perempuan lainnya. seperti : 1. Cutpo Fatimah Blang Preh, 2. Nyak Raniah dari Lam Uriet, 3. Cutpo Hasbi, 4. Cutpo Nyak Cut, dan 5. Cut Puteh. Setelah selesai membangun Kuta Tjot Weue, maka atas mufakat orang-orang patut agar Teungku Fakinah Panglima Perang itu dijodohkan dengan Tengku Nyak Badai yang berasal dari Pidie, lepasan murid Tanoh Abee. Setelah perkawinan itu, maka Teungku Fakinah bertambah giat berusaha untuk mengumpulkan benda-benda perlengkapan persenjataan dan makanan untuk keperluan tentara pengikutnya. Namun dalam tahun 1896 suami
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
kedua dia yaitu Tengku Nyak Badai tewas ketika diserbu oleh pasukan Belanda dibawah komandan Kolonel J. W Stempoort. Dalam tahun 1914 Teungku Fakinah berhasrat untuk menunaikan rukun kelima yaitu naik Haji. Sebelum dia berangkat terlebih dahulu mencari muhrimnya. Dengan demikian dia kawin dengan seorang yang bernama Ibrahim, yang merupakan suaminya yang ketiga. Dalam bulan Juli 1915 dia berangkat menuju tanah suci Mekkah. Selesai melaksanakan rukun Haji, dia masih menetap di Mekkah untuk menuntut ilmu Pengetahuan sekaligus memperdalam ilmu Fikih pada Teungku Syech Muhammad Saad yang berasal dari Peusangan. Selama tiga tahun berada di Mekkah untuk memperdalam ilmunya, ketika memasuki tahun ke-4 di Mekkah, suami dia yaitu Ibrahim meninggal dunia di Mekkah. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah kembali ke Aceh, setibanya di Lam Krak disambut dengan meriah oleh muridmuridnya, dan ketika itupulalah dia memimpin kembali Dayah/Pesantren yang selama ini ditinggalkan, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang dituntut di Mekkah kepada murid-muridnya. Teungku Fakinah Mangkat Pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M.
87
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
88
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
42
Tahun 1881 sebuah bangunan yang saat itu disebut dengan istana, dibangun di atas bekas bangunan istana Sultan Aceh yang disebut Dalam. Di atas pertapakan bangunan Dalam itu dibangun sebuah rumah dinas resmi yang setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 disebut Pendopo Gubernur dan sekarang ini disebut Meuligoe (Mahligai), tempat resmi siapapun yang menjabat Gubernur Aceh. Petinggi Belanda pertama yang menghuni tahun 1881 adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van der Heijden yang oleh orang Aceh disebut “Jenderal Bermata Sebelah� karena ketika memimpin pertempuran di Samalanga, sebelah matanya cedera ditembus peluru lasykar Aceh.Semenjak siap huni tahun 1881 ada 22 petinggi Belanda yang menempati bangunan tersebut. Dalam masa pendudukan Jepang (19421945), hanya satu petinggi Dai Nippon sempat menempati “istana� tersebut yaitu Jenderal Mayor Syozaburo Iino.
Pendopo Gubernur
Foto: Maimun Yulif
Secara keseluruhan bangunan ini memperlihatkan perpaduan antara arsitektur Eropa dan tradisional. Ciri tradisional terlihat pada bangunan berbentuk pendopo dan bangunannya didominasi oleh bahan-bahan dari kayu serta ornamenDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
ornamen hias yang melengkapinya. Adapun kesan Eropa yang melekat terlihat dari profil pintu dan jendela yang berbentuk tinggi dan lebar, serta kelengkapan interior yang berupa kaca-kaca hias.
89
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
90
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
43
Bank Museum ini dulunya merupakan sebuah rumah sakit Binnen Hospital, lalu kemudian digunakan menjadi sebuah bank yaitu De Javashe Bank (DJB) pada tahun 1828. Lalu setelah kemerdekaan yaitu pada tahun 1953, bank ini dinasionalisasikan menjadi bank sentral Indonesia atau Bank Indonesia. Bank Indonesia di bangun bersamaan dengan Gedung kantor De Javasche Bank cabang Cirebon yang dibuka pada tanggal 31 Juli 1866 dan beroperasi tanggal 6 agustus 1866 dengan nama Agen tschap Van De Javasche Bank ke Cirebon. Pembukaan kantor cabang bedasarkan Gubernur Hindia Belanda Belanda No. 63 tanggal 31 Juli 1866. Pimpinan kantor pada saat itu adalah P.J. Jansen. Untuk pimpinan cabang ditunjuk J. W. Peter yang memimpin factor Der Nederlandsch Mandell Maattschappij. Di Jalan Diponegoro, akan menyaksikan sebuah bangunan kuno yang megah dengan warna dominan putih. Bangunan kuno tersebut tak lain adalah Gedung Bank Indonesia Banda Aceh. Gedung Bank Indonesia merupakan salah satu gedung peninggalan Belanda yang masih ada di Banda Aceh. Gedung Bank Indonesia tersebut berada di Jalan Cut Meutia No. 15 Kelurahan Merduati, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Menurut catatan sejarah yang ada, dulunya
Bank Indonesia
Foto: Maimun Yulif
gedung BI ini merupakan gedung De Javasche Bank yang dibangun pada 2 Desember 1918 oleh Pemerintah Hindia Belanda atas hasil rancangan biro arsitek terkemuka di Hindia Belanda, N.V. Architecten-Ingenieurs Bureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te AmsterDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
dam yang didirikan pada tahun 1910 oleh Eduard Cuypers (1859-1927) dan Marius J. Hulswit bersama A.A. Fermont. Ciri khas gedung De Javasche Bank yang dirancang oleh biro arsitek ini dapat dilihat dari penggunaan balustrade, barisan horisontal dari 91
Aceh Heritage
tiang-tiang yang disatukan dengan penghubung berupa kayu atau bahan lain di atap bangunan. Di bagian tengah atap terdapat cupola yang cukup besar yang diberi jendela kaca di keempat sisi. Gedung yang menggunakan langgam NeoKlasik yang telah diselaraskan dengan iklim tropis ini, jendela hadir bukan sebagai pelengkap saja. Akan tetapi, malah ikut mempengaruhi penampilan bangunan. Dari luar gedung, orang melihat sebuah jendela tampil sebagai elemen estestis sebuah bangunan. Sedangkan dari dalam bangunan, jendela yang pada waktu dibuka akan memberikan visual kepada orang yang berada di dalam bangunan dalam menatap keluar jendela. Pada masa pendudukan Jepang, bangunan De Javasche Bank ini sempat ditutup oleh Jepang pada 20 Oktober 1942. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, De Javasche Bank sempat vakum. Akhirnya, De Javasche Bank dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 menjadi Bnak Indonesia Setelah menjadi Bank Sentral, keberadaannya diatur dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Pada 2 Maret 1964, Kantor Bank Indonesia Banda Aceh dibuka kembali dengan menempati gedung De Javasche Bank tersebut.
92
Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 44
Kerkhoff Peutjut
Kerkhoff Peutjut adalah Kuburan Belanda terluas yang berada diluar negaranya. Kompleks makam ini berada di jln. Sultan Iskandar Muda berseberangan dengan jalan Lapangan Blang Padang Banda Aceh. Kira-kira 1 Km dari masjid Raya Baiturrahman. Dikuburan ini terdapat 2200 kuburan yang berasal dari pada serdadu marsose yang gugur di masa perang Aceh. Tidak hanya itu, disini juga terdapat kuburan orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Kuta Raja (Banda Aceh) saat Belanda menduduki Aceh. Kerkhoff dalam bahasa Belanda berarti makam atau kuburan. Sedangkan kata Peutjut berasal dari kata pocut, yaitu panggilan untuk anak kesayangan Sultan Iskandar Muda yang juga dikuburkan disini, Meurah Pupok. Di pintu gerbang terdapat pahatan seluruh nama serdadu marsose di dinding-dinding gerbang. Nama-nama tersebut terpahat rapi dan dicatat berdasarkan tempat dan tahun mereka meninggal. Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
93
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
94
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 45
Pendopo Bupati Bireuen terletak ditengah kota atau tepatnya di Jalan Mayjen (Purn) T. Hamzah Bendahara kawasan alun-alun kota. Bangunan lama ini belum berobah meski dibelakangnya dibangun gedung lantai-2. Bangunan bersejarahitu masih dipertahankan bentuknya. Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa nyana, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah di sana pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno. Kedatangan Presiden Pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta.Dalam waktu sekejap ibu kota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda.Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus lari kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh. Tepatnya di Bireuen yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota.Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.
Pendopo Bireuen
Foto: Maimun Yulif
Kedatangan rombongan presiden di sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat juga ikut menyDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
ambut kedatangan presiden sekaligus Panglima Tertinggi Militer itu. Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan rapat akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bi95
Aceh Heritage reuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu.Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen aktivitas Republik dipusatkan di Bireuen.Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, PanglimaDivisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang).Jelasnya, dalam keadaan darurat, Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta kedalam kekuasaan Belanda. Sayangnya catatan sejarah ini tidak pernah tersurat dalam sejarah kemerdekaan RI.Pendopo Bupati Bireuen sekarang adalah sebagai kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Oleh karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang�. Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik, terutama di zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer, yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh dipusatkan di Juli Keude Dua. Kendati usianya sudah uzur, Yusuf Tank masih dapat mengingat berbagai peristiwa suka duka perjuangannya masa silam. Salah satu diantaranya 96
Foto: Maimun Yulif
tentang peranan Radio Rimba Raya milik Divisi X Komandemen Sumatera yang mengudara keseluruh dunia dalam enam bahasa, Indonesia, Inggris, Urdu, Cina, belanda dan bahasa Arab. Dikatakan, “Radio Rimba Raya mengudara keseluruh dunia 20 Desember 1948 untuk memblokade siaran propaganda Radio Hervenzent Belanda di Batavia yang yang menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Dalam siaran bohong Radio Belanda seluruh wilayah nusantara sudah habis dikuasai Belanda. Padahal, Aceh masih tetap utuh dan tak pernah berhasil dikuasai Belanda. Dengan mengudaranya Radio Rimba Raya keseluruh dunia, masyarakat dunia sudah mengetahui secara jelas bahwa Indonesia sudah merdeka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
sejak 17 Agustus 1945. Karena itu, saat kedatanganPresiden Soekarno ke Bireuen bulan Juni 1948, dalam pidatonya yang berapi-api di lapangan terbang Cot Gapu, Soekarno mengatakan Aceh yang tidak mampu dikuasai Belanda dijadikan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia. Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen, kemudian bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja.Di Kutaradja Gubernur Milter Aceh mengundang seluruh saudagar Aceh di hotel Aceh. Dia menyampaikan permintaan Presiden Soekarno agar rakyat Aceh menyumbang dua pesawat terbang untuk keperluan Republik.
Aceh Heritage 46
Rumah Cut Meutia terletak di gampong Pirak kecamatan Matangkuli Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara. Ketika kita menyebut nama Cut Mutia terbesit diingatan kita akan keberanian dan perjuangannya dalam kancah peperangan. Ia tak pernah takut dan gentar mendampingi suami ke medan perang meskipun melintasi hutan yang penuh marabahaya. Di dalam hutan belantara terkadang mereka harus menahan lapar dan dahaga, namun semangat mereka tidak pernah sirna dalam membela tanah air dan agama. Cut Meutia dilahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikarunia 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan ke empat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Ulee balang di desa pirak yang berada dalam daerah keuleebalangan Keureuto. Saat daerah Uleebalang pirak di bawah kepemimpinan Teuku ben Daud ( ayah Cut Meutia) suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Sebagai seorang yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya, karena selain sebagai uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai hayatnya tidak
Rumah Cut Meutia
mau tunduk dan patuh pada Belanda. Tidaklah mengherankan sikap kesatria itu terbina dan terwarisi dalam diri Cut meutia. Sejak kecil Cut Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam, terutama pendidikan yang mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan penindasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama Islam dan bangsanya.Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang pahalanya adalah mendapat syurga di akhirat kelak. Sampai dengan masa dewasanya, Cut Mutia ditunangkan dan dinikahkan/dikawinkan 97
Aceh Heritage oleh orang tuanya dengan Teuku Syamsarif yang bergelar T. Chik Bintara, namun ia mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan kompeni. Pertentangan pendirian yang semakin hari semakin terasa membuat Cut Mutia merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan T. Chik Bintara. Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan lama, ia bercerai dan menikah dengan adik Syamsaris yaitu T. Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama T. Chik Tunong. Cut Mutia telah mendapat pria yang menjadi idamannya seirama dan cita-cita dalam derap langkah memerangi kompeni (Belanda). Mereka lalu berkiprah ke gunung bahumembahu bersama pejuang lainnya menyusun rencana dalam rangka peyerangan terhadap Belanda, awal pergerakannya dimulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari Daerah Pasai atau kreung Pasai (Aceh Utara sekarang) dibawah komando T. Chik Tunong, pada penyerangan ini pihak pasukan T. Chik Tunong berhasil merampas semua senjata dan perpekalan Belanda. Pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Mutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di Daerah Simpang Ulim Blang Ni. Didalam penyeranmgan ini pasukan Belanda dilumpuh total dan pasukan Chik Tunong dapat merebut 5 pucuk senapan. Akhir perjuangan T. Chik Muhammad Tunong-Cut Mutia adalah akibat dari pristiwa di Merendeh Paya, sebelah Timur Kota Lhokseukon dan terbunuhnya pasukan Belanda. Pembunuhan atas pasukan Belanda merupakan pukulan besar 98
dan berat bagi pemerintah Belanda dan menurut informasi dari mata-mata mereka bahwaT. Chik Tunong turut terlibat dalam peristiwa ini dan oleh penggadilan meliter Lhokseumawe diputuskan T. Chik Tunong mendapat hukuman gantung dan akhirnya menjadi hukuman tembak mati. Pelaksanaan hukum ini dilakukan pada bulan maret Tahun 1905 di tepi pantai Lhokseumawe dan di makamkan di Masjid Mon Geudong tidak jauh dari kota Lhokseumawe, Fase berikutnya, perjuangan Cut Mutia terus berlanjut sesuai amanah suaminya T. Chik Tunong ia bersedia menerima Pang Nangroe sebagai suami dan sekaligus sebagai pendamping dalam perjuangan. Perlawanan dan penyerangan yang dilakukan pasangan ini mulai pertengahan Mai 1907 sampai akhir September 1910. Hari kelabu akhirnya datang juga bagi pang Nangroe tepatnya tanggal 25 September 1910 terjadi peyergapan dan pertempuran dahsyat di daerah Rawa dekat Paya Cicem tepatnya di buket Hague. Pada pertemDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
puran inilah Pang Nagroe syahit karena terkena tembakan peluru Belanda. Akan tetapi Cut Mutia tetap melanjutkan perjuangan dan perlawanan bersenjata bersama sahabat serta pejuang muslim dan terus bergerilya naik gunung turun gunung melakukan penyerangan dan peyyergapan. Mereka tidak mau meyerah pada Belanda. Pengejaran demi pengejaran pasukan Belanda berakhirlah sudah, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1910 pasukan Belanda bergerak ke arah Krueng Peutoe yang airnya dangkal terjadilah bentrokan dahsat. Pasukan Cut Mutia tidak mungkin mundur lagi dengan semangat fisabillilah mereka maju melawan pasukan Belanda. Dalam pertempuran inilah Cut Mutia syahid sebagai kesuma Bangsa bersama-sama dengan beberapa pejuang lainnya serta para ulama seperti Teuku Seupot mata, Teuku Mat Saleh danTeuku Chik Paya Bakong. Ia dikebumikan di gampong Pirak kecamatan Matangkuli Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.
Aceh Heritage 47
Rumoh Cut Nyak Dhien sudah menjadi satu museum dan letaknya secara administrative di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Untuk mencapai Rumah Cut Nyak Dhien setidaknya harus menempuh perjalanan kurang lebih 10 kilometer atau melakukan perjalanan selama 20 menit dari Kota Banda Aceh. Letaknya yang berada tepat di pinggir jalan raya, juga mudah untuk menemukan lokasi dari Rumah Cut Nyak Dhien. Bisa menggunakan kendaraan pribadi layaknya mobil atau motor, dan juga tersedia kendaraan umum. Kondisi jalan dari Banda Aceh menuju ke Kecamatan Peukan Bada juga terbilang sangat baik dan beraspal. Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 dari keturunan bangsawan bernama Teuku Nanta Seutia dan ibunya bernama Uleebalang Lampageu. Sejak kecil ia telah dikenalkan oleh orangtuanya dengan agama, sehingga ia tumbuh menjadi perempuan yang patuh akan ajaran agama Islam. Ketika usianya 12 tahun, Cut Nyak Dhien telah dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Namun sayangnya pernikahan tersebut tak berlangsung lama, karenaTeuku Cek Ibrahim Lamnga meninggal saat berjuang melawan Belanda. Tewasnya sang suami menjadikan Cut Nyak Dhien sangat marah kepada pihak Belanda dan berjanji akan menghancurkan Belanda sampai tuntas. Selang beberapa lama, Cut Nyak Dhien di-
Rumah Cut Nyak Dhien
Foto: Maimun Yulif
lamar oleh Teuku Umar yang kala itu merupakan seorang tokoh yang juga berjuang melawan Belanda. Awalnya, lamaran tersebut ditolak, namun karena Teuku Umar mengizinkan Cut Nyak Dhien bertempur melawan penjajah, lamarannya pun akhirnya diterima. BersamaTeuku Umar, perniDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
kahan Cut Nyak Dhien dikaruniai seorang anak bernama Cut Gambang. Teuku Umar sendiri akhirnya juga wafat dalam penyerangan Meulaboh pada 11 Februari 1899. Sedangkan Cut Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908 dalam pengasingan di Sumedang, Jawa Barat. 99
Aceh Heritage
Belanda menganggap Teuku Umar berada dipihaknya, karena itu Belanda menghadiahkan sebuah rumah kepada Teuku Umar. Itulah rumah yang kini menjadi Museum Rumah Cut Nyak Dhien. Namun bangunan yang kini bisa dilihat merupakan replika dari bangunan yang dibuat menyerupai aslinya. Rumah tersebut konon telah dibakar sampai habis oleh Belanda, kemudian dibangun kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta diresmikan oleh Fuad Hasan yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1987. Seperti layaknya rumah adat Aceh pada umumnya, desain Museum Rumah Cut Nyak Dhien juga memiliki bentuk yang hampir sama, berbentuk rumah panggung dengan ukuran 25 meter x 17 meter serta memiliki 65 tiang kayu penyangga. Pintu utama, memiliki ukuran yang cukup kecil sehingga harus membungkuk untuk masuk kerumah tersebut. Ketika telah memasuki rumah, akan terasa suasana yang sejuk dan asri. Dinding ruangan terbuat dari papan, serta atap dihiasi dengan pelepah daun rumbia tua. Ruangan didalam Rumah Cut Nyak Dhien ini tergolong luas dan juga terdapat banyak 100
Foto: Maimun Yulif
pintu yang menghubungkan ruangan satu dengan ruangan yang lainnya. Pada Rumah Cut Nyak Dhien ini juga bisa melihat kamar yang dulunya digunakan oleh Cut Nyak Dhien, walaupun hanya replika namun deDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
sain kamar tersebut dibuat mirip dengan yang asli tanpa mengurangi atau menambah detail yang ada. Kamar ini dihiasi oleh tirai berwarna kuning seperti layaknya kamar milik raja-raja.
Aceh Heritage 48
Teuku Nyak Makam adalah salah seorang panglima perang Kerajaan Aceh yang dikenal gigih melawan Belanda. Teuku Nyak Makam dilahirkan di desa Lamnga mukim XXVI Aceh Besar sekitar tahun 1838 M. Dia adalah putra Teuku Lam Ujong Harun bin Teuku Lambaro bin Teuku Manyak bin Teuku Bunsu bin Teuku Abbas yang bergelar Teuku Chik Menseu. Secara turun-temurun mereka menjadi uleebalang di kawasan Lamnga dan Pulau Weh (Sabang). Teuku Nyak Makam adalah adik Teuku Ibrahim, suami pertama Cut Nyak Dhien. Teuku Ibrahim gugur pada 26 Juni 1878 dalam suatu pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum, Aceh besar. Pada tahun 1858, Sultan Alaiddin Mansyursyah mengangkat Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai timbalan perdana menteri untuk wilayah Aceh bagian timur; Tamiang, Langkat, Deli, dan Serdang. Tuanku Hasyim Banta Muda mengangkat pula Teuku Nyak Makam menjadi asisten pribadinya, walaupun pada saat itu Teuku Nyak Makam baru berusia belasan tahun.Akibat terlalu lelah karena terus-menerus di medan juang demi mempertahankan negeri ini, baik di Aceh maupun di luar Aceh, akhirnya Teuku Nyak Makam mengalami sakit-sakitan. Untuk mendapatkan pengobatan, ia kembali ke kampungnya di Lamnga, Aceh
Makam Panglima Teuku Nyak MakamÂ
Foto: Maimun Yulif
Besar. Pada 21 Juli 1896, Belanda mendapatkan laporan bahwa Teuku Nyak Makam telah berada di kampungnya dalam keadaan sakit keras. Begitu menerima laporan, Jenderal J.W. Stemfoort, Gubernur Sipil/Militer Belanda di Aceh, langsung memerintahkan Letnan Kolonel G.F. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Soeters untuk menangkap Teuku Nyak Makam. Pada hari itu juga, Senin 21 Juli 1896, berangkatlah Soeters menuju Lamnga untuk menyergap Teuku Nyak Makam. Ia dapat ditawan oleh Belanda, tangan dan kakinya diikat lalu diseret dengan tandu.Dengan kejamnya secara tiba-tiba G.F. 101
Aceh Heritage
Soeters mengayunkan pedang memancung putus leher Teuku Nyak Makam. Di hadapan anak isteri serta pengikutnya yang sudah ditawan, tanpa menunggu komando secara membabi buta, tubuh Teuku Nyak Makam yang sudah terpisah dengan kepala dicincang oleh serdadu-serdadu Belanda. Pada malam itu juga “kepala” Teuku Nyak Makam dibawa ke markas besar Belanda di Banda Aceh untuk diserahkan kepada jenderal J.W. Stemfoort. Keesokan harinya tanggal 22 Juli 1896 “kepala” Teuku Nyak Makam yang sudah disangkutkan di ujung tombak diarak keliling kota serta didemonstrasikan oleh iring-iringan tentara kolonial Belanda.
Foto: Maimun Yulif
102
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
49
Teuku Umar sebagai Pahlawan Aceh dan Pahlawan Nasional sudah cukup dikenal. Bernama lengkap Teuku Umar Djohan Pahlawan, yang nenek moyangnya berasal dari Minangkabau, turunan Datuk Makudum Sati, pahlawan kelahiran Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854, dikenal sebagai orang sakti. Sangat lihai dan ahli dalam siasat perang. Teuku Umar yang dalam usia 19 tahun sudah jadi Keuchik atau kepala kampung di daerah Daya Meulaboh, sulit ditaklukan Belanda karena ia punya kesaktian, tak tembus peluru. Suami Cut Nyak Dhien ini gugur di medan pertempuran setelah ada pengikutnya berkianat dan memberitahukan kepada Belanda bahwa Teuku Umar hanya bisa ditembus peluru emas. Makam Teuku Umar, berada di pedalaman Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat, Desa Mugou Rayeuk, Kecamatan Panton Reu, sekitar 45 km dari kota Meulaboh dan sudah terlihat ada gapura untuk masuk kekawasan tersebut. Dari gapura yang ada untuk menuju makam masih bnutuh perjalanan, masuk ke dalam kawasan hutan yang bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat sejauh lebih kurang dua kilometer. Kemudian jalan kaki menuruni dan menaiki tangga sejauh 200 meter. Makam Teuku Umar sangat sederhana, sudah dipugar dengan bangunan permanen termasuk
Makam Teuku Umar
Foto: Maimun Yulif
are di sekitarnya. Di sanalah acara peringatan hari pahlawan diadakan setiap tahunnya oleh pemerintah Aceh barat. Di atas makam ada ditabur kerikil batu putuh dengan nisan batu polos berukuran kecil. Makamnya dilindungi oleh bangunan cungkup rendah terbuka, dan berada di dalam kawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
hutan Glee Mugou. Semasa hidupnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien sama-sama bekerja keras berjuang untuk melawan Belanda. Melihat tentara Aceh semakin hari semakin terdesak oleh serangan agresif pasukan Belanda, Teuku Umar memasang siasat dan 103
Aceh Heritage tempat Teuku Umar dimakamkan sekarang, di Desa Meugo, sekitar 45 km dari Kota Meulaboh. Makam Teuku Umar tampak sederhana, berukuran sekitar 2 x 3 m., ditembok di setiap sisinya dengan batu-batu koral bertebaran menutupi bagian tengahnya. Aura keagungan yang mistis terkesan menyeruak dari makam yang berada di dalam sebuah bangunan ala pendopo dengan berlantai pualam dan atap berciri bangunan tradisional Aceh. Di kepala makam terlihat plakat bertuliskan bahwa makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir salah seorang putra bangsa terbaik Aceh sekaligus pahlawan nasional, pejuang melawan penjajah Belanda, Teuku Umar Johan Pahlawan.
Foto: Maimun Yulif
taktik strategi untuk berpura-pura memihak dan bekerja sama dengan Belanda. Untuk maksud tersebut terakhir, pada tahun 1883, Teuku Umar menyerahkan diri dan memihak kepada Belanda. Umar dipercaya melatih tentara Belanda perang gerilya dan memimpin penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Hingga akhirnya Umar dapat hadiah besar berupa uang dan materi lainnya. Hadiah itu digunakan untuk menambah modal perang tentara Aceh yang dikirim secara rahasia. Bahkan ketika Umar ditugasi menumpas Raja Teunom yang menawan kapal Inggris, Teuku Umar dalam perjalanan merebut seluruh senjata dan seluruh amunisinya beserta seluruh perlengka104
pan perang tentara Belanda yang menyertainya. Pada Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh, Teuku Umar berniat mencegat dan menangkapnya. Namun, justru gerak gerik Umar telah diketahui Belanda, sehingga Belanda menyiapkan pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh untuk menghadang Umar. Pada malam menjelang 11 Februari 1899 Umar kaget pasukannya dihadang Belanda. Pertempuran hebat pun terjadi. Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. Agar jenazah Umar tak diambil Belanda, anak buah Umar membawanya dan mengelabui dengan membuat enam petilasan makam dan terakhir di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 50
Teuku Chik Muhammad Johan Alamsyah Masa berkecamuknya perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda (1873-1942), lahirlah seorang bayi sehat dan rupawan. Bayi ini dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1890 di desa Pulo Iboh, di tepi kota Matang Glumpang Dua. Ibunya, Potjut Unggaih, seorang putri bangsawan, putri ulee balang Meureudu. Ayahnya, Teuku Chik Sjamaun, ulee balang Nanggroe Peusangan. Dua sejoli itu memberi nama anaknya, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah. Dalam perjalanan sejarah Aceh abad ke XX, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah tampil sebagai salah seorang ulee balang Aceh terkemuka. Teuku Chik Sjamaun. Isteri pertamanya, Potjut Salbiah pribumi Nanggroe Peusangan, melahirkan dua orang anak. Anak pertamanya seorang putri diberi nama Potjut Zahara, karena kecantikannya rakyat memberi nama Potjut Buluen. Anak kedua seorang putra diberi namaTeuku Ali Alamsjah. Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan nama Panglima Perang. Dalam perjalanan sejarah, Teuku Chik Sjamaun jatuh sakit dan meninggal dunia sehingga Sultan Aceh mengukuhkan putranya, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah sebagai ulee balang Nanggroe Peusangan. Pengangkatan itu dimuat di atas surat resmi Keputusan Kerajaan Aceh. Surat pengangkatan yang disebut “Surat Tjap Sikureung� itu diserahkan langsung kepada Teuku
Rumah Ampon Chik Peusangan
Foto: Maimun Yulif
Muhammad Djohan Alamsjah. Padahal, pada saat pengangkatannya, ulee balang muda itu baru berumur 10 tahun.Usai pelantikan, sambil menghindari incaran Jenderal van Heutz terhadapnya, Sultan Aceh bergegas melanjutkan perjalanan-kerjanya kewilayah Pasai, untuk menyusun kembali Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
markas komandonya. Di Lain pihak paman Teuku Tjhik Djohan Alamsjah yang tertua yang bernama Teuku Maharadja Djeumpa melapor diri kepada Belanda minta berdamai. Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Jenderal van Heutz langsung menyambut uluran 105
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
tangan Teuku Djeumpa. Utusan Belanda datang ke Pulo Iboh menemui Potjut Unggaih. Belanda membujuk permaisuri ulee balang Peusangan itu untuk mengizinkan putranya dibawa ke Kutaradja untuk disekolahkan. Setelah bermusyawarah dengan seluruh handai taulannya, Potjut Unggaih dengan berat hati mengijinkan putranya dibawa Belanda ke Kutaraja, selama 3 tahun Teuku Muhammad Djohan Alamsjah bersama Abdul Karim belajar di sekolah. Sang Guru, Muhammad Djam, 106
mengajarkan terutama matematika, membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Melayu, etiket pergaulan masyarakat Belanda, ilmu sejarah dan politik Hindia Belanda. Keduanya belajar dengan giat dan mengambil alih seluruh pengetahuan yang diperolehnya. Teuku Muhammad Djohan Alamsjah yang sudah diangkat sebagai ulee balangPeusangan sesuai sarakata Sultan Aceh, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya ulee balang muda ini dibimbing oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
pamannya, Teuku Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak selaku ulee balang Nanggroe Peusangan.Teuku Muhammad Djohan Alamsjah yang masih belia itu, duduk terpukau merenungkan posisi Negara Aceh yang lemah berhadapan dengan Belanda.Ulee balang muda bersama pamannya yang bijak itu berkesimpulan, tak ada jalan lain menghabisi Belanda kecuali melalui pendekatan diplomatis. Maka ulee balang muda itu bertekad akan menghabisi Belanda dengan ilmu Belanda itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Aceh tercatat, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah terkenal selalu bersikap lemah-lembut dan lugas terhadap siapapun, baik terhadap Belanda sebagai musuh maupun terhadap rakyat Peusangan yang dibelanya. Hingga akhir hayatnya, rakyat Peusangan menganggap Teuku Muhammad Djohan Alamsjah sebagai bapaknya, tempatnya berlindung. Sebaliknya Belanda, sebagai musuhnya, menganggap uleebalang Peusangan ini sebagai sahabatnya. Sebagai uleebalang di dalam surat “Cap Sikureung� ditegaskan bahwaTeuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan pangkat Kejreuen berhak mengambil hasil dari laut, darat, dan hutan di wilayah Nanggroe Peusangan. Dari kedudukan dan penghasilan serta warisan dari orang tuanya itulah Teuku Muhammad Djohan Alamsyah membangun rumah yang indah dan masih dapat disaksikan sampai sekarang di Peusangan.
Aceh Heritage 51
Makam Teuku Cut Ali terletak di di desa Suak Bakong, kecamatan Kluet Selatan atau sekitar 32 km dari Tapaktuan.Makamnya sudah dipugar oleh pemerintah setempat bekerjasama dengan BPCB Aceh. Letak makam itu sendiri persis di tepi krueng Kandang/Krueng Kluet, yang dikhawatirkan akan kena abrasi jika luapan air sungai/ krueng Kandang atau Krueng Kluet itu yang begitu lebar dan besar airnya. Teuku Cut Ali adalah seorang pejuang yang amat gigih perkasa dalam bertempur melawan colonial Belanda dengan menjalankan perang gerilya dan perang sabil, yang terkenal hikayatnya Hikayat Cut Ali untuk dibacakan oleh masyaraskatnya. Ia dalam gerilya berpindah tempat, dan ia tewas/ syahid di Alu Burang, Lawee Sawah kecamatan Kluet Timur sekarang, bersama isterinya, Fatimah yang sedang hamil tua. Setelah Cut Ali tewas, Kapten Gosenson (pimpinan perang Belanda di Selatan Aceh), memerintahkan prajuritnya untuk memotong kepala Cut Ali dan dibawa ke tangse Belanda di Suak Bakong, Kandang. Di sanalah, tepatnya di tepi sungai Kandang, Kluet Selatan kepala Teuku Cut Ali dimakamkan, sementara badannya berbeda pendapat ahli, ada yang mengatakan dikebumikan di Alue Burang dan ada juga yang mengatakan di satu bukit di Terbangan, kecamatan Pasi raja sekarang.
Makam Teuku Cut Ali
Foto: Maimun Yulif
Riwayat Hidup Singkat Teuku Cut Ali Teuku Cut Ali dilahirkan di Desa Kuta Baro Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan tahun 1795.Ayahmya, Teuku Cut Hajat dan ibundanya, Nyak Puetro.Teuku Cut Ali salah satu keturunan Raja Trumon. Kakeknya Teuku Nyak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Dhien, Raja keenam yang pernah memimpin Kerajaan Trumon. Trumon merupakan salah satu daerah termasyhur dan makmur di wilayah Aceh Selatan.Itu disebabkan karena Kerajaan Trumon merupakan sembilan dari Kerajaan Aceh yang memiliki Cap Sikureung (Cap Sembilan) Trumon. 107
Aceh Heritage Mempunyai mata uang sendiri dan tidak saja diakui di Aceh, tapi juga dunia internasional. Sejak kanak-kanak Teuku Cut Ali, sudah memiliki bakat sebagai seorang pejuang dan itu terlihat dari sikapnya yang tegas dan setia kepada teman. Teuku Raja Angkasah merupakan teman akrab Teuku Cut Ali, dan mereka sama-sama berjuang melawan Belanda di medan perang saat usia 18 tahun. Beranjak usia 20 tahun, Teuku Cut Ali dipercayakan menjadi panglima Sagoe dan sejumlah pejuang Aceh berada di bawah pimpinannya. Dipilihnya Teuku Cut Ali sebagai panglima Sagoe, selain memiliki kemampuan dalam memimpin perang dia juga menguasai ilmu bela diri, itulah yang membuat para pejuang Aceh saat itu, sepakat untuk menunjuk Teuku Cut Ali sebagai panglima Sagoe. Strategi Teuku Cut Ali dalam berperang melawan Belanda Strategi adalah taktik atau cara yang dilakukan dengan cermat guna menghadapi musuh. Berbagai taktik atau cara yang dilakukan para pejuang Aceh dalam menghadapi serangan belanda. Contoh para pejuang-pejuang dari Aceh Selatan seperti Teuku Cut Ali menyusun strategi yang sangat cermat untuk mengusir Belanda di daerahnya. Adapun strategi yang digunakan oleh Teuku Cut Ali dalam melawan penjajahan Belanda adalah sebagi berikut: 1. Menyerang malam hari Salah satu strategi yang ditempuh Cut Ali adalah menyerang Belanda pada waktu malam 108
hari karena menurut perkiraan pada waktu ini cukup tepat untuk menyerang dan menyulitkan Belanda.Pada umumnya di pantai selatan dulu terdapat semak belukar jadi Teuku Cut Ali dan para pengikutnya bersembunyi untuk melakukan penghadangan-penghadangan secara tiba-tiba di malam hari kepada serdadu Belanda yang sedang berpatroli. Setelah menyerang dan pihak musuh jatuh korban Teuku Cut Ali dan prajuritnya menyingkir ke tempat lain sehingga membuat Belanda kewalahan mencari jejak Cut Ali dan pengikutnya. Dan ciri perlawanan ini dapat di kategorikan sebagai perang gerilya. Pada tahun 1925 timbul gerakan melawan Belanda di Aceh Selatan di bawah pimpinan Cut Ali yang di anggap oleh Belanda sebagai seorang pemimpin yang berinisiatif dan mempunyai otak yang cerdas. Cut Ali adalah tokoh pejuang yang sejak awal abad XX telah menjadi seorang panglima dalam barisan pahlawan yang dipimpin oleh Teuku Ben Mahmud Blang Pidie di daerah Aceh Selatan. 2. Mengirim Surat kepada Belanda Strategi lain yang ditempuh Cut Ali adalah mengirim surat-surat kepada Belanda dengan tujuan untuk mengajak Belanda berperang. Cut Ali menulis surat yang menentang supaya Belanda keluar dari bivaknya untuk berkelahi.surat-surat itu berulang kali ditulis Teuku Cut Ali kepada Belanda sehingga Kapten Belanda tidak berkutik. Seluruh penduduk mersa puas terhadap keberanaian Teuku Cut Ali yang telah membuat perwira Belanda mengurungkan diri dalam bivaknya takut keluar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
keluar untuk berpatroli. Isi surat yang ditulis Teuku Cut Ali kepada kapten Belanda adalah “saya berada disini dengan 80 serdadu dan kalau tuan tidak datang maka lebih baik tunggu di rumah saja�. Surat yang datang dari Cut Ali yang bersifat menentang itu membuat Behrens dan anak buahnya berpikir berulang kali untuk memenuhi ajakan Cut ali tersebut. Itulah taktik Cut Ali sehingga membuat Belanda Ketakutan untuk keluar dari bivaknya. 3. Memakai Baju Kapas Pada masa penjajahan Belanda rakyat Aceh berperang dengan senjata dan pelindung seadanya. Salah satu pelindung yang dipakai Teuku Cut Ali adalah baju kapas, yang dapat melindungi tubuh mereka dari senjata berupa kelawang dan peudeueng panyang. Teuku Cut Ali dan pasukannya memakai baju kapas itu untuk melindungi tubunya dari serangan Belanda sedangkan kapten Belanda melindungi dirinya dengan pakaian yang dilapisi oleh rokok tipis pada tempat-tempat yang dapat membahayakan tubuhnya. Di sampin itu ia mempunyai topi dengan konstruksi khusus semacam topi pengaman yang sesuai dengan keinginannya untuk melakukan patrol dan bertempur. Tindakan yang diperlihatkan kapten rupanya belajar dari pihak Cut Ali karena Teuku Cut Ali dan para pengikutnya bertempur menghadapi lawa dengan memakai “baju tempur� yang dilapisi oleh kapas. Para marsose memperoleh pengalaman dari Teuku Cut Ali jika seorang lawan memerang dalam sebuah tangsi dengan kelawang tajam seh-
Aceh Heritage ingga sebenarnya dapat diharapkan bahwa mereka akan dapat memukulnya dua kali lebih baik tetapi ternyata pekerjaan mereka tidak member suatu hasil. Melihat hal ini anggota-anggota marsose tercengang-cengang sesamanya, mereka mengeluh karena kelawang-kelawang mereka tidak dapat tembus di badan lawan. 4. Memimpin Di Belakang Layar Selain itu strategi yang dilakukan Cut Ali dalam berperang adalah dengan memimpin pasukan di belakang layar.bukan seperti biasa Cut Ali mejadi pemimpin di lapangan tetapi dia juga menjadi pemimpin di belakang layar yang merpesiapkan pejuang-pejuang muda yang sudah terlatih dengan baik untuk menggantinya di lapangan dengan mengikuti bagaimana tokoh-tokoh ternama dalam memimpin perang. Teuku Cut Ali memerlukan pejuang yang amatir dan berjuang dengan tujuan berjuanh di jalan Allah, dan untuk seperti itu menjadi pemimpin perang harus memiliki anggota yang telah memutuskan segala hubungan dengan urusan dunia. Maka kalau anggota ini sudah benar-benar membuktikan karya baktinya untuk berjuang, Maka Teuku Cut Ali hanya memerintah anggota nya dari belakang layar yang maksudnya hanya memerintah untuk berperang saja dan yang berperang di lapangan dan pemimpin adalah pengikutnya yang sudah terlatih tadi. Suatu undang-undang yang tidak tertulis menentukan, bahwa seorang tokoh yang membentuk sebuah kelompok terlebih dulu harus melakukan percobaan-percobaan untuk mengetahui hasil
pasti yang akan dicapai.Cut Ali tidak memerlukan pejuang-pejuang amatir yang kali ini ikut bertempur tetapi lain kali berpihak pada kompeuni. 5. Bergerilya ke Hutan Strategi yang terakir yang di terapkan teuku Cut Ali adalah lari ke hutan.Di pantai Selatan pada umumnya terdapat hutan belantara jadi Cut Ali dan pengikutnya lari ke dalam hutan.Tujuan lari ke hutan adalah untuk bersembunyi dari serangan Belanda dan dari dalam hutan juga Cut Ali dan penngikutnya menyerang marsose belanda. Pada Juni 1926, Teuku Cut Ali dan pejuang lainya kembali melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda di dekat gampong Ie Mirah kecamatan Pasie Raja, dalam penghadangan ini marsose Belanda tewas dan juga di pihak pejuang Aceh. Tetapi Cut Ali yang ikut terluka dan pengikutnya terus gencar melakukan serangan terhadap Belanda. Pihak Belanda terus melakukan pengejaran ke Hulu Menggamat dan tentara Belanda bersemangat untuk mendapat Teuku Cut Ali dan pengikutnya karena pada tanggal 3 April 1926 pasukan teuku Cut Ali telah menewaskan Kapten Belanda J. Paris, 2 orang kadet (calon perwira) dan 3 orang marsose. Serangan ini juga melukai 12 orang tentara marsose dan berhasil menawan satu orang pasukan Belanda.Serangan ini merupakan serangan sekelompok geliryawn di kawasan hutan Gampong, Desa Sepik Kluet Timur sekarang. Kemarahan Belanda itu pula pengejaran pasukan Teuku Cut Ali ke pedalaman Manggamat dan menyeberang ke Lawe sawah dilakukannya dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
penuh dendam. Pada tanggal 8 Desember 1926 pukul 22.00, pasukan Teuku Cut Ali menuju Ruak dan menyempatkan diri menemui Teungku Abdullah Ibnu Ajad di daerah hutan karet yang tidak di ketahui Belanda, sekarang lokasi tersebut di tempati terminal terpadu kota fajar, keesokan harinya yaitu pada tanggal 9 Desember 1926, Teungku Abdullah Ibnu Ajad dan Teuku Cut Ali bersama 60 orang pasukannya mengadakan kontak senjata dengan pasukan Belanda. Saat itu Teuku Cut Ali dan pengikutnya dikejar oleh patroli tentara marsose yang di pimpin oleh kapten Gosenson dari desa Ruak menuju Menggamat, pihak Belanda terus melakukan pengejaran ke hutan hulu Menggamat dan tentara marsose bersemangat memburu Teuku Cut Ali yang sudah berhasil menewaskan seorang kapten Belanda bernama J. Paris Tewasnya kapten J. Paris merupakan akibat serangan sekelompok gerilyawan di kawasan hutan Gampong desa Sapik dan Durian Kawan, Kluet Selatan dekat sebuah pohon besar bernama Kelulum dan perang ini di kenal dengan perang Kelulum. Kapten Gonsenson sangat marah dan segera mengerahkan pasukannya untuk berpatroli mencari tempat persembunyian Teuku Cut Ali, para marsose sering menganiaya penduduk yang di duga sengaja merahasiakan lokasi persembunyian Teuku Cut Ali, karena penganiayaan ini tidak berhasil membuka mulut penduduk, Kapten Gonsenson kemudian mengumumkan bahwa yang bersedia menunjukkan lokasi persembunyian Teuku Cut Ali akan di beri hadiah. Cara ini pernah diterapkan Belanda dan berhasil menangkap Teuku Raja 109
Aceh Heritage Angkasah, dan cara ini pula kembali berhasil ketika Panglima Itam menunjukkan tempat persembunyian Teuku Cut Ali, kapten Gonseson segera mempelajari peta pertahanan Teuku Cut Ali, ia kemudian mengarahkan pasukannya ke Alue Bebrang. Dalam perjalanan menuju Alue Bebrang, kapten Gonsenson ragu-ragu, kemudian bertanya kepada Basyah yang sedang menebang pohon di pinggir hutan, Basyah menjawab ada sekelompok orang yang tinggal di dekat Mata Ie Krueng Meukob atau Sungai Mungkai, jawaban jujur ini di berikan karena Basyah diancam. Sesampainya di lokasi persembunyian Teuku Cut Ali, Belanda langsung menembaki tempat itu, Foto: Maimun Yulif
Teuku Cut Ali dan pasukannya yang tidak menduga akan adanya serangan terperanjat dan kocarkacir. Apalagi Fatimah yang sedang mengandung roboh tertembak, disusul oleh Nyak Meutia binti Teuku Nago, Imam Nago, Imam Sabil atau Ben Keuchik, Teuku Nago dan Nyak Asan. Menurut masyarakat, orang yang gugur terakhir dalam penyergapan itu adalah Teuku Cut Ali.Hal ini karena Teuku Cut Ali sempat mengadakan perlawanan dengan tembakan balasan dan menggunakan pedang. Namun ia akhirnya tertembak dan meninggal pada akhirnya bulan Mei 1927.
110
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 52
Kabupaten Aceh Tamiang adalah salah satu Kabuoeten yang tergolong banyak menyimpan jejak sejarah, baik dalam bentuk benda-fisik, seperti bangunan-bangunan kuno bekas istana raja dan bangunan Pendopo peninggalan Belanda. Kabupaten Aceh Tamiang yang terletak di bagian paling ujung Provinsi Aceh, dan berbatasan Langsung dengan Provisi Sumetera Utara, dalam sejarahnya juga menyimpan sebuah peisistiwa sejarah yang hingga hari ini masih menjadi misteri dalam sejarah nasional Indonesia, yaitu peristiwa terbunuhnya Patih Gajah Mada (panglima perang) kerajaan Majapahit dari Jawa yang menyerang kerajaan Tamiang di Aceh, yang dalam lagenda sejarah Tamiang disebut-sebut Gajah Mada tewas di Aceh Tamiang dalam peeperangan tersebut. Menyangkut peninggalan bangunan kuno (klasik) yang masih dapat dilihat hingga sekarang, selain bekas istana Benua Raja, Istama Karang, dan istana Seruwai, juga terdapat sebuah bangunan Pendopo peninggalan pemerintah Kolonial Belanda. Pendopo yang terletak di Jalan Ir. H. Juanda Kota Tamiang, menurut sejarahnya dibangun oleh Belanda 1908, ketika Tamiang ditetapkan oleh Belanda menjadi wilayah hukum Onderafdelling Van Atjeh Timur. Dilihat dari desain dan struktur bangunannya, Pendopo Tamiang memiliki desain struktur bangunan yang berbeda dengan kebanyakan
Pendopo Tamiang
Foto: Maimun Yulif
Pendopo peninggalan Belanda lainnya di Aceh. Pendopo yang sekarang dijadikan tempat tinggal Bupati Aceh Tamiang, tampaknya agak lebih mewah dari segi struktur bangunannya, maskipun ornamen-ornamen desaian bangunannya tak jauh beda dengan Pendopo-Pendopo lain yang terdapat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
di Aceh. Pendopo bekas Kewedanaan Tamiang ini memang lama sekali tidak difungsikan, namun terus dirawat dan dipelihara dengan baik sebagai bangunan yang bernilai sejarah. Bupati Aceh Tamiang sendiri sejak Aceh Tamiang dijadikan Ka111
Aceh Heritage
bupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur tahun 2002 Bupatinya tidak menempati Pendopo ini. Baru pada tahun 2013, Bupati Aceh Tamiang Hamdan Sati merenovasi Pendopo ini dengan tidak mengubah keasliannya untuk dijadikan tempat tinggal Bupati Aceh Tamiang. Sekarang Pendopo yang kehihatan sangat indah ini sedang terus dipercancik dengan halamannya yang sangat luas, dan telah ditata dengan pembuatan taman yang menarik. Sebelumnya, Pendopo peninggalan pemerintah Kolonial Belanda ini memang selalu ramai dikunjungan masyarakat setempat sebagai sebuah taman rekreasi wisata lokal masyarakat Aceh Tamiang. Siapa pun yang melihat Pendopo Taminang peninggalan Belanda ini pasti akan menarik. Apa lagi di samping kanannya terdapat sebuah anjungan khus yang mungkin dulunya ajungan Pendopo ini diperuntukkan untuk menerima tamutamu penting. Demikan pula bagian belakangnya, selain terdapat tempat-tempat santai terbuka yang dilengkapi dengan taman-taman kecil, juga terdapat ruangan-ruangan saitai keluarga dan ruanganruangan santai yang diperuntukkan bagi tamutamu Pendopo.
112
Foto: Maimun Yulif
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 53
Hampir setiap Ibu Kota Kabupaten yang pernah dijadikan markas besar Belanda di Indonesia tentu memiliki bangunan Pendopo peninggalan Belanda. Bangunan pendopo tersebut setelah merdeka umumnya dijadikan sebagai tempat tinggal Bupati atau Walikota Ibu Kota tersebut. Demikian juga di kota Langsa, Aceh. Kota yang pernah dijadikan markas besar Belanda untuk wialayah Aceh Timur ini juga memiliki sebuah bangunan Pendopo yang sangat indah peninggalan Belanda. Pendopo ini semasih kota Langsa menjadi Ibu Kota Kabupaten Aceh Timur, dijadikan tempat tinggal Bupati. Tapi setelah kota Langsa pemekaran, dijadikan Pemerintah Kota Langsa, Perdopo tersebut sekarang dijadikan tempat tinggal Walikota Langsa. Bagunan Pendopo yang terletak di Jalan Supratman Gampong Jawa, Kota Langsa ini, dilihat dari bentuk bangunannya masih sangat orisinil, meskipun teras bagian depannya tampak seperti bangunan baru yang ditambah kemudian, namun penambahan teras tidak mengurangi keindahan Pendopo kota Langsa, kerena teras bagian depan yang ditambah tampak senyawa arsitekturnya, sehingga tidak mengurangi keindahannya. Seperti bangunan-bangunan Pendopo lainnya di Aceh, Pendopo Walikota Langsa—dari bentuk bangunan dan arsitekturnya diperkirakan hasil bangunan Belanda antara tahun 1883-1890,
Pendopo Walikota Langsa
Foto: Maimun Yulif
saat Belanda telah berhasil menguasai seluruh wilayah Aceh untuk menjalankan pemeritahannya. Pendopo yang merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan Hidia Belanda di Aceh dibangun dalam tahun-tahun tersebut, sehingga hampir semua bentuk bangunan pendopo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
peninggalan Belanda di Aceh termasuk Pendopo Walikota Langsa hampir sama bentuknya dengan Pendopo-pendopo lainnya di Aceh. Atau bahkan di Provinsi-provisi lain di Indonesia juga memiliki bentuk bangunan Pendopo yang dapat dikatan sama seperti yang terdapat di Aceh. 113
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
114
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
54
Kota Langsa sebelumnya merupakan Ibu Kota Kabupaten Aceh Timur. Tahun 2001 sesuai peraturan dan Undang-Undang Pemerintah, kota di ujung Timur Aceh ini ditetapkan statusnya menjadi Kota yang dipimpin oleh seorang Walikota. Kota yang berjarak sekitar 400 kilo meter dari Ibu Kota Provisi Aceh (Banda Aceh), atau sekitar 8 jam perjalanan dari Banda Aceh, dan sekitar 4 jam dari kota Medan ini. termasuk kota yang tergolong maju di Aceh dengan penduduknya yang hetrogen. Menurut sejarah, awalnya dulu kota Langsa merupakan Ibu Kota kerajaan Lansa. Nama Langsa sendiri berasal dari nama seekor burung elang besar, yaitu “Langsar”, yang dalam sebutan kemudian huruf “R” dari nama “Langsar” itu dihilangkan mungkin karena pengaruh dialek Aceh yang sulit memungsikan “r” di akhir, dan untuk lebih mudah mengucapkannya, maka menjadilah sebutannya dengan “Langsa”. Sebagai kota yang tergolong tua di Aceh, semasa pendudukan Belanda di Aceh kota Langsa dijadikan sebagai pusat pengembangan perekonomian Aceh wilayah Timur, baik pengembangan perkebuan, maupun pertambangan minyak bumi. Akibatnya di kota Langsa sampai sekarang banyak ditemukan bangunan-bangunan bersejarah yang ditinggalkan oleh Belanda, yang sebagian besar dari bangunan-bangunan peninggalan Belanda di
Gedung Balee Juang Kota Langsa
Foto: Maimun Yulif
Langsa memang sudah tak ada lagi. Salah satu bangunan peninggalan Belanda yang masih tersisa di kota Langsa sekarang adalah bangungan “Gedung Bale Juang”, yang terletak di perempatan simpang Jalan Ahmad Yani di tengah-tengah kota Langsa. Menurut sejarah, geDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
dung yang dibangun Belanda dengan sepenuhnya gaya arsitektur Eropa, dulunya semasa Belanda gedung tersebut diberi nama Het Kantoorgebouw Der Atjehsche Handel Maatschappij Te Langsar. Sampai sekarang gedung yang dibangunoleh Belanda ini tetap masih dipertahankan keasliannya 115
Aceh Heritage
oleh Pemerintah Kota Langsa. Baik bentuknya, arsitekturnya, sampai pada cat-nya yang terus diperbaharui dengan warna putih yang mencirikan bangunan gedung-gedung di Eropa. Bahkan sekarang Pemerintah Kota Langsa telah menjadikan “Gedung Balai Juang” ini untuk menjadi Museum
Kota Langsa, dan telah didaftarkan pada Kementrian terkait untuk menjadi cagar budaya. Gedung yang pernah dijadikan Kantor Bappeda Aceh Timur ini juga memiliki nilai sejarahnya di awal-awal kemerdekaan. Gedung Balai Juang juga pernah dijadikan sebagai kantor percetakan
uang yang dikenal dengan “Bon Kontan Bernilai Rp. 100”, yang mata uang tersebut dikeluarkan pada awal-awal tahun 1950-an. Saat pendudukan Jepang, gedung peninggalan Belanda ini juga dijadikan sebagai maskar pemerintahan Jepang di Aceh Timur. Foto: Maimun Yulif
116
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 55
Bukit Gua Jepang yang terdapat di Desa Blang Panyang, Kecamatan Muarasa Satu, Lhokseumawe, Aceh, ini adalah salah satu bukit yang menyimpan sejerah tarsendiri dalam perjalanan sejarah Aceh, terutama masa pendudukan Jepang di Aceh. Di atas bukit yang berketinggian 100 meter dari permukaan laut ini terdapat beberapa buah gua yang oleh penduduk setempat disebut Gua Jepang. Untuk menuju ke objek sejarah ini tidak susah, karena letaknya persis di jalan lintas nasional Banda Aceh – Medan. Ketika kita berada di Desa Blang Panyang, atau begitu sampai di Taman Makam Pahlawan Lhokseumawe, Aceh, kita bisa langsung berbelok ke kanan dengan mendaki bukit-bukit kecil bersama kendaraan roda empat atau roda dua dengan jalan beraspal yang sangat mulus. Di atas puncak bukit itulah terdapat Gua Jepang yang sangat bersejarah. Konon khabarnya, di atas bukit yang sedang dibangun menjadi objek wisata alam dan sejarah ini masih memiliki bebarapa buah gua yang belum dijamah keasliannya. Yang letaknya antara gua yang satu dengan gua lainnya tidak begitu berjauhan. Gua-gua tersebut adalah bukti sejarah pertahanan Jepang saat menjajah Aceh. Berada di atas Bukit Gua Jepang ini, selain dapat menelusiri keunikan-keunikan bentuk gua peninggalan Jepang, juga sekalugus dapat menikmati panorama perbukitan yang sangat
Bukit Gua Jepang
Foto: Maimun Yulif
indah. Lebih lebih saat berada di taman puncak bukit yang disebut Taman Ngieng Jioh (taman melihat jauh). Karena dari taman puncak Bukit Gua Jepang ini kita dapat melihat dari kejauhan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
hamparan Selat Malaka yang indah, termasuk keindahan bangunan-bangunan pabrik PT. Arun dapat dilihat dari atas puncak Bukit Gua Jepang.
117
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
118
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 56
Teuku Bentara Pineung Ibrahim adalah seorang Uleebalang V Mukim termasyhur di Pidie, dari XII Federasi wilayah Uleebalang Pidie lainnya. Federasi Uleebalang XII di Pidie waktu itu meliputi Teuku Raja Pakeh, Teuku Bentara Ribee, Meuntroe Banggalan, Teuku Bentara Blang, Teuku Bentara Cumbok, Teuku Bentara Titeue. Federasi bagian barat Pidie dipimpin oleh Teuku Raja Pakeh. Sementara Federasi Uleebalang Pidie bagian timur terdiri dari Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Geulumpang Payong, Keujrun Aron, Keujrun Trusep, Teuku Bentara Njong, Teuku Bentara Putu, dan Teuku Bentara Gampong Asan. Federasi Uleebalang bagian timur Pidie ini dipimpin oleh Meuntroe Adan yang bergelar Meuntroe Polem. Sedangkan untuk Federasi Uleebaling V di Pidie ketika itu (mungkin sekarang termasuk kota Sigli, Padang Tiji, hingga Lampoh Saka, Beureunun dan Keumala-Lamlo), itu terdiri dari Uleebalang Teuku Bentera Keumangan, Teuku Bentara Sama Indra, Teuku Bentara Pineung, Teuku Bentara Keumala, Panglima Meugoe, dan Teuku Bentara Gigieng. Wilayah Federasi masing-masing Uleebalang ini dipimpin oleh Teuku Bentara Keumangan. Dari pembagian wilayah Federasi Uleebalang Pidie yang telah disebutkan, menunjukkan bahwa Teuku Bentara Pineung termasuk salah seorang
Rumah Bintara Pineung
Foto: Maimun Yulif
Uleebalang Pidie yang tunduk dalam Wilayah Federasi Uleebalang V pimpinan Teuku Bentara Keumangan. Tahun kelahiran Teuku Bentara Pineung tidak diketahui secara pasti, akan tetapi dari kiprah dan perannya dapat dipastikan bahwa Teuku Bentara Pineung H. Ibrahim ini sudah meDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
mainkan peranan penting pada zaman Belanda menduduki Aceh. Teuku Bentara Pineung termasuk salah seorang Uleebalang Pidie yang mampu membangun keharmonisan dirinya antara Belanda dan tokohtokoh pejuang Aceh yang menjadi musuh Belanda 119
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
ketika itu. Artinya, di satu sisi Teuku Bentara Pineung harus menjalankan pemerintahan di bawah kekuasaan Kolonial Belanda, tapi di sisi lain Bentara Pineung harus menjadikan dirinya sebagai seorang Uleebalang yang disenangi rakyat, terutama di wilayah Keuleebangannya di Pidie. tTeuku Bentara Pineung Ibrahim ini memiliki bererapa anaknya dari istrinya Cut Manyak. Salah satunya adalah Mr. Teuku Muhammad Hasan, yang kemudian menjadi salah seorang tokoh penting dalam menyelamatkan kemerdekaan Republik Indonesia. Anak Teuku Bentara Pineung ini—Mr. Teuku Muhammad Hasan—adalah Gubernur pertama wilayah Sumatera pada waktu Indonesia baru merdeka. Pernah menjadi Wakil Ketua Pemerintah Darurat Repiblik Indonesia (PDRI), merangkap 120
Menteri Dalam Negeri, Menteri PPK, Menteri Agama pada agresi militer Belanda ke II 1948, dan berbagai jabatan penting lainnya, termasuk salah seorang tokoh persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia. Atas semua jasanya itu, Mr. Teuku Muhammad Hasan—yang memiliki nama awal Teuku Nyak Sarong ini—kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Pahlawan Nasional. Perhatian Mr. Muhammad Hasan dalam memajukan pendidikan anak negeri, sama dengan ayahnya Teuku Bentara Pineung. Berdirinya Madrasah Saadah Ubudiyah di Blang Paseh Sigli tahun 1930 yang dipimpin oleh Tgk. Daud Bereueh sepenuhnya disokong oleh Teuku Bentara Pineung, yang guru pertamanya di Madrasah Saadah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Blang Paseh Sigli ini adalah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba. Munculnya Madrasah Saadah Ubudiyah di Sigli yang disokong oleh Uleebalang Bentara Pineung adalah suatu upaya pemoderenan pendidikan di Aceh, karena di daerah lain waktu itu juga telah berdiri Madrasah-Madrasah pendidikan modern. Seperti Madrasah Al- Muslim di Pesangan Aceh Utara yang didirikan oleh Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap tahun 1930, yang juga sepenuhnya disokong oleh Uleebalang Peusangan. Di Lhokseumawe tahun 1927 juga didirikan Madrasah Al-Irsyad (Cabang Surabaya Jawa Timur) yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi. Di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), malah tahun 1916 sudah didirikan Madrasah Modern Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Saman Di Tiro, juga atas inisiatif Residen Aceh Teuku Nyak Arif. Untuk mengimbangi semua upaya pemoderenan pendidikan di Aceh waktu itu, Teuku Bentara Pineung juga turut mendirikan Madrasah Saadah Ubudiyah di wilayah keuleebangannya di Pidie Sigli. Malah menurut Teuku Noekman—salah seorang putra Bentara Pineung yang bermukim di Sigli sekarang—sebelum berdirinya Madrasah Saadah Ubudiyah di Blang Paseh Sigli, Teuku Bentara Pineung telah lebih dulu mendirikan sebuah Madrasah pendidikan yang dipimpinnya sendiri. Mr. Muhammad Hasan—anak Bentara Pineung sendiri dan Tgk. Hasan Tiro, menurut Teuku Noekman pernah belajar pada Madrasah yang didirikan oleh Teuku Bentara Pineung dimaksud.
Aceh Heritage 57
Sentral telepon merupakan situs sejarah peninggalan Belanda yang terletak di pusat kota Banda Aceh, tidak berapa jauh dari Masjid Raya Baiturrahman yang sekarang dijadikan sebagai perwakilan PSSI cabang provinsi Aceh. Bangunan bulat seperti mercusuar berlantai dua ini dibangun semasa masih berkecamuknya perang Aceh. Bangunan separoh beton yang cukup tebal dibagian bawah sebagai perisai kalau ada penyerbuan lasykar Aceh dan diatasnya bahan dari kayu yang tahan cuaca. Inilah gedung pelayanan telepon pertama dan satu-satunya yang beroperasi semenjak tahun 1903 milik Militer Belanda khusus untuk keperluan perang Aceh. Sedangkan kantor pelayanan telepon untuk umum, baru dibangun tahun 1931 di lokasi Kantor Telepon sekarang dengan gedung dan peralatan modern, namun Sayangnya gedung yang aslinya telahdi rubuhkan tanpa meninggalkan bekas sebagai bukti sejarah perteleponan di Aceh. Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, gedung sentral telepon difungsikan jugauntuk keperluan perang. Setelah kemerdekaan Indonesia sampai menjelang tahun 1960, bangunan kuno ini masih dipakai sebagai Kantor Telepon
Sentral Telpon (PSSI)
Foto: Maimun Yulif
Militer Kodam I/Iskandarmuda yang disebut Wiserbot (WB) Taruna. Selanjutnya, gedung ini secara berturut-turu telah dipakai sebagai Kantor KONI, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Kantor Surat Kabar Atjeh Post dan sekarang ini sebagai Kantor PSSI.
121
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
122
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
58
Siapa sebenarnya Teungku Pekan? Pada dasarnya keturunan Teungku Peukan berasal dari lamreung Aceh Besar, karena ayahnya tgk Adam pada saat itu pergi ke wilayah selatan Aceh untuk membantu peperangan yang terjadi pada saat itu, hingga mendiami daerah sawang tepatnya di desa Alue Pakue dan memperistri seorang perempuan di sana yang bernama Siti zalikha, sehingga lahirlah Teungku Yahya, Teungku Peukan dan seorang adik perempuan bernama Nyak Teh. Namun menurut Muhammad Yacob, Teungku Peukan dilahirkan di desa Alue Paku Kecamatan sawang Aceh Selatan, tanggal kelahirannya tidak diketahui pasti tapi diperkirakan pada sekitar tahun 1886, ini didasarkan pada saat ia melakukan penyerangan ke tangsi Belanda di Blangpidie tahun 1926 ketika itu berumur 40 tahun, atau bertepatan pada fase awal peperangan Aceh dengan Belanda. Teungku peukan memperistri seorang dara cantik jelita yang berasal dari kota naga tapak tuan yang bernama Intan Darek. Isterinya ini banyak membantu perjuangan Tgk Peukan dengan rela mengorbankan harta, bahkan putra-putranya juga syahid dalam pertempuran baik bersama Tgk Peukan maupun sesudahnya.Intan darek juga merupakan seorang istri yang tabah dalam menghadapi
Makam Teungku Peukan
Foto: Maimun Yulif
suka duka kehidupan, rumah tangga mereka senantiasa rukun dan damai. Keduanya baru terpisah oleh syahidnya Tgk Peukan dalam penyerangan tangsi Belanda di Blangpidie tanggal 11 september 1926. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Sebagai seorang syahid dalam peperangan melawan kaphee Belanda, Teungku Pekan dimakamkan di komplek masjid Jamik Blang Pidie. Hal ini tentu tidak lain dan tidak bukan karena ia adalah seorang ulama dan syahid dalam pep123
Aceh Heritage erangan. Ia juga merupakan Teungku di masjid jamik itu sendiri selama hidupnya.
Foto: Maimun Yulif
124
Teungku Pekan Menjadi Panglima Perang dan Perjuangan Melawan Belanda Diadakanlah pertemuan lanjutan tertutup (rahasia) di Terbangan tanggal 17 Agustus 1917 dan tahun 1926 di Payadapur, yang dihadiri oleh 19 orang tokoh di bawah koordinasi Angku Pondok guna menetapkan panglima perang menyerang Tangse Belanda di Blang Pidie. Ke 19 tokoh tersebut adalah :1.Teuku Cut Ali dari Trumon; 2.Teuku Raja Angkasah dari Bakongan; 3.Teuku H.Yusuf, 4. Panglima Raja Lelo dari Kluet Selatan; 5.Imam Sabil Mat Hukum;dan 6.Ceh kadam; 7.Mak Nur; 8.Muhammad dan 9.Mak Piah dari Kluet Utara; 10.Mak Bahar dari Samadua; dari sawang: 11. Teungku H. Yahya, 12, Panglima Abah 13. Cek kali dari Meukek; 14.Teuku Ni Tega dan 15.Panglima Usman dari labuhan Haji; 16.Guru Cebee, 17.Teungku Ya’kub serta 18. Teungku Peukan mewakili wilayah Manggeng dan Blangpidie, serta 19.Angku Pon-
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
dok sebagai coordinator.Dari hasil pertemuan itulah Teungku Pekan ditetapkan sebagai panglima perang untuk wilayah Manggeng dan Blang Pidie. Setelah melakukan konsolidasi dan pengecekan terhadap kesiapan pasukan, Teungku Peukan memimpin langsung pasukannya menuju Blangpidie yang berjarak lebih kurang 20 km sebelah tenggara Manggeng ditandai dengan pekikan “ Allahu Akbar” berkali-kali. Di barisan paling depan pasukan adalah Talaha, anak Teungku Peukan yang membawa bendera putih berukuran 1x1,5 meter yang bertuilskan “ Lailaha Illallah Allahu Akbar, dengan huruf Arab. Pasukan yang dipimpin Teungku Peukan ini mempunyai cirikhas tersendiri, yaitu seluruh pasukan yang terlibat dalam perjalanan pada malam jumat tersebut, menggunakan pakaian atau seragam berwarna hitam ( hal ini mungkin dimaksudkan untuk upaya penyamaran. Di sepanjang perjalanan Teungku peukan tidak henti-hentinya memberikan semangat kepada pasukannya, hingga mereka sampai menjelang subuh tiba di Blangpidie, semua pasukan diistirahatkan di dayah Geulumpang Payong (Balai Tgk di Lhueng) yang letaknya lebih kurang satu kilometetr dari target penyerangan (kalau kita amati, ini merupakan satu strategi yang sangat luar biasa beraninya dilakukan Teungku Peukan, karena ia menempatkan pasukannya untuk beristirahat dan bahkan mengatur strategi dalam jarak yang sangat dekat dengan benteng atau area musuh yang tentunya penuh resiko dan bahaya, namun semua itu berjalan dengan aman) sambil tetap berjaga dan waspada dari intaian mata-mata Belanda. Sesampainya di sana mereka bergabung dengan bebera-
Aceh Heritage
pa tokoh Blangpidie yang punya niat dan tujuan yang sama untuk melawan Belanda. Menurut Muh Yacob dan Syauqas Rahmatillah, di Balai Tgk Di Lhueng Tgk peukan sebagai panglima perang bersama beberapa pengikutnya mempelajari medan tempur/lokasi, mengatur strategi penyerangan, dan juga membagi sektor/ atau arah penyerangan. Teungku Peukan bersama tujuh orang panglimanya mempelajari kondisi dari tangsi Belanda tersebut, namun yang disayangkan sampai saat ini nama ketujuh panglima tersebut belum diketahui. Selesai mempelajari kondisi dari sasaran dan mengatur strategi penyerangan,Teungku Peukan membagi pasukannya dalam tiga Sektor (regu) yaitu sektor Timur, Barat dan Utara, yang masingmasing sektor dipimpin oleh seorang komandan sektor. Masing-masing komandan sektor mempunyai tugas membawa dan memimpin pasukannya untuk menempati dan melakukan penyerangan dari sektor yang dimaksud.Setelah semua pasukan berada pada posisi yang telah ditentukan, tanda penyerangan pun lansung di bunyikan, sehingga dengan serempak dan dipenuhi dengan semangat perang fisabilillah (Perang dengan Kafir) pasukan masuk dan menyerbu pertahanan Belanda tersebut.
Serangan yang sangat mendadak membuat pasukan Belanda yang berada dalam tangsi tersebut tidak siap dan sigap menghadapinya, karena banyak diantara mereka yang masih terlelap dalam tidurnya dan bahkan ada yang sedang bermimpi indah, sehingga membuat mereka kalang kabut untuk mecari sejata dan menyelamatkan diri tanpa menunggu perintah dari komandannya. Keadaan ini di mamfaatkan oleh Teungku Peukan dan seluruh pasukannya untuk membunuh setiap Belanda yang ada, sehingga banyak sekali pasukan Belanda yang tersabet dan mati terkena ayunan pedang dan tusukan rencong serta tombak Adapun pasukan Belanda yang masih hidup melepaskan tembakan ke arah pasukan Teungku Peukan, namun usaha yang mereka lakukan gagal karena senjata mereka tidak meledak/terkunci. Hal ini menurut beberapa sumber yang penulis baca dan wawancarai adalah karena tgk Peukan mempunyai ilmu untuk mengunci senjata, sehingga bagaimana pun senjata itu tidak akan meletus, tetapi dengan satu syarat bahwa setiap pasukan yang ikut dengannya tidak boleh bersuara sedikitpun) sehingga untuk mempertahankan diri pasukan Belanda terpaksa mengandalkan popor senjata dan ilmu bela diri yang mereka miliki, itupun
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
hanya beberapa jurus saja. Perlawanan yang tidak berimbang tersebut, membuat banyak sekali pasukan Belanda yang tewas, sehingga ditangsi tersebut banjir darah. Banyak pula di antara mereka yang melarikan diri dan bersembunyi di sekitaran benteng untuk menghindari dan menyelamatkan diri dari amukan pasukan Tgk Peukan. Dalam waktu yang singkat tangsi tersebut dapat dikuasai oleh Teungku Peukan dan pasukannya. Melihat banyaknya tentara Belanda yang mati dan merasa keadaan sudah dapat dikuasai Teungku Peukan merasa senang, sebagai rasa syukur atas kemenangan tersebut ia mengumandangkan azan. Namun fakta berbicara lain, di mana di antara mayat-mayat tersebut masih ada serdadu Belanda yang masih hidup dan mengetahui rahasia dari ilmu kunci senjata Teungku Peukan, sehingga di saat ia masih mengumandangkan azan tentara Belanda yang masih hidup tadi, memanfaatkan kelengahan Teungku Peukan dengan mengambil senapan dan menembaknya. Akibat terkena tembakan tentara Belanda tersebut akhirnya Teungku Peukan meninggal di tempat, syahid sebagai syuhada, ulama dan pahlawan bangsa yang bertepatan pada waktu shubuh hari jumat tanggal 11 September 1926.
125
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
126
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 59
Museum Provinsi Naggroe Aceh Darussalam pada awalnya bernama Museum Aceh yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Peresmian pemakaiannya dilakukan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A swart pada tanggal 31 juli 1915 yang pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena pameran colonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus s.d 15 November 1914. Pada Pameran tersebut, Paviliun Aceh berhasil memperoleh empat medali emas, 11 perak, tiga perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk pertunjukan, boneka-boneka Aceh, benda-benda etnografika, mata uang perak untuk pertunjukan foto dan peralatan rumah tangga. Atas keberhasilan tersebut, Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Museum Aceh yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Pada saat itu museum ini berada di bawah tanggung jawab penguasa sipil/militer Aceh dan F.W. Stammeshaus sebagai curator pertama. Setelah Indonesia merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pen-
Rumoh Aceh
Foto: Maimun Yulif
gelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 dari tempatnya yang lama (Blang Padang) dipindahkan ke tempat yang sekarang, dengan letaknya tidak jauh dari pendopo Guberbur Aceh. Setelah pemindahan itu pengelolaannya diserahkan kepada Badan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat. Bangunan Rumoh Aceh ini dibuat dalam bentuk arsitektur tradisional Rumoh Aceh, yang merupakan rumah tempat kediaman orang-orang Aceh. Rumah Aceh (Rumoh Aceh) terdiri dari serambi 127
Aceh Heritage depan, serambi belakang, dan ruang tengah yang dalam bahasa aceh disebut seuramo keu, seuramo likot dan rumoh inong. Bagian ini memiliki fungsi masing-masing yaitu serambi depan untuk menerima tamu, serambi belakang untuk ruang makan dan dapur, sedangkan rumoh inong atau ruang tengah sebagai kamar tidur yang disebut jurie. Bentuk inilah yang dipergunakan sebagai bangunan gedung museum lama. Pada bangunan ini dilengkapi dengan bagian-bagian penting yang dimiliki oleh sebuah rumah aceh seperti tolak angin, pelangan. Lantai bangunan ini dirancang setinggi Sembilan kaki, lebih tinggi dari permukaan tanah, bersandar pada tiang-tiang penyangga dari kayu dengan ruang kolong di bawahnya. Keistimewaan Rumoh Aceh terletak pada kekokohan bangunannya walaupun bagian-bagian rumah hanya dipersatukan dengan ikatan tali ijuk, pasak, sertabaji sebagai pengganti paku dan sekrup. Tiang-tiang rumah Aceh terbuat dari jenis kayu keras pilihan juga penempatan tangga. Ragam hias yang terdapat pada rumoh Aceh merupakan pola-pola umum ukiran kayu tardisional Aceh yang terdiri dari pola belah ketupat dan kaligrafi. Pada dinding tergantung lukisan para Pahlawan Aceh sebagai Pejuang bangsa, antara lain : Sultan Iskandar Muda, Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Teuku Nyak Arif, Teuku Umar Johan Pahlawan dan Cut Mutia juga ada alat-alat musik. Lokasi Museum Rumoh Aceh ini berada di Jl. Sultan Mahmudsyah No.10, Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Foto: Maimun Yulif
128
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
60
Tower Air Taman Sari (Colonial Water Toren) Menara Air Taman Sari terletak di tepijalanBalai Kota, kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh, bersebelahan dengan Taman Sari, tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Bangunan ini didirikan masa kolonial Belanda. Perusahaan yang bergerak dibidang pengelolaan dan pendistribusian air bersih Kota Banda Aceh ini dirilis untuk pertama kalinya oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Secara detail, arsitektur Menara Air Taman Sari pada bagian atas khas berciri kolonial, dengan pola yang simetris dan berwarna putih. Selain itu terdapat corak yang mencirikan bangunan Belanda namun cukup sederhana, karena hanya berfungsi sebagai Tower Air. Atap bangunan dari seng yang berbentuk kubah. Pada bagian atas atap terdapat kemuncak yang berbentuk segi enam. Material bangunannya mayoritas beton dengan bentuk bundar. Terdapat satu pintu kayu menghadap ke barat. Bagian atas menara ini bentuknya lebih lebar, terbuat dari kayu yang berukiran khas Belanda. Pada puncak atapnya tampak seperti kubah. Menara ini merupakan tempat penampungan dan pendistribusian air semasa kolonial Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda tahun 1904 merintis pusat pengolahan air bernama Geni Water Leading yang berlokasi di area Keraton atau bekas Istana Kerajaan Aceh.Se-
Tower Air (Taman Sari)
Foto: Maimun Yulif
tahun kemudian aktivitas produksi air mulai berlangsung. Air yang diolah di tower inibersumber dari pegunungan Glee Taron, Mata Ie, Aceh Besar. Setelah ditampung kemudian didistribusikan untuk kebutuhan militer dan pengawas sipil pemerintah di Kutaradja (Banda Aceh sekarang). Bentuk Menara Air ini mirip dengan menara air di Medan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Sumatera Utara dan Water Toren (menara air) di Magelang, yang juga adalah peninggalan Belanda, yang menunjukkan keseriusan mereka dalam pengelolaan air. Sekarang bangunan peninggalan Belanda di Magelang tersebut telah menjadi City Landmark dari kota Magelang. 129
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
130
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 61
Teuku Raja Angkasah, makamnya terdapat di pinggir Sungai Dayah, Gampong atau desa Bukit Gading, Kecamatan Kota bahagia. Letaknya sekitar delapan kilo meter dari desa Keude Bakongan, Aceh Selatan. Kondisi makam sudah pernah dipugar sehingga memiliki seperti bangunan di antaranya.Hanya saja pada waktu terakhir sudah dalam semak belukar, seperti tidak diurus sehingga sangat memprihatinkan. Baru pada akhir 2017 sudah mulai dibenah, dibersihkan, diratakan tanah di sekitarnya, menebang pohon-pohon yang sebelumnya sudah terancam keberadaan makam. Teuku Raja Angkasah dalam menghadapi perang terhadap colonial Belanda menempuh perang gerilya. Ia bersama Teuku Cut Ali membangkitkan semangat juang masyarakatnya untuk berperang dalam melawan dan mengusir Belanda di tanah Bakongan dan sekitarnya. Dan setelah Teuku Raja Angkasah tewas kena peluru, komando perang berpindah ke tangan Teuku Cut Ali. Begitu hebat perlawanan dan pertempuran yang dikemandoi Teuku Raja Angkasah, dalam masyarakat di Bakongan sampai terakhir ini mengenal dan mengingatnya dalam wujud syair sebagiannya seperti berikut: Prang Bakongan seuhu hana krie Kaphe neu tadi keunong bak jungka Mate Angkasah tinggai Cut Ali Prang teu jail leubeh meubura
Makam T euku Raja Angkasah
Foto: Maimun Yulif
Peudeng neu gunci sue jih medengong Han jitem tamong meuhana bila Kapten Paris putoh talo nyawong Sakti lomong Raja Lela.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Teuku Raja Angkasah dalam silsilahnya merupakan pewaris raja Bakongan. Akan tetapi ia tidak pernah tinggal di Meligoe. Ia lebih memilih bergerilya ke hutan sebagai satu strategi perang jitu untuk melawan colonial Belanda. Kemudian dalam perang gerilya itu pula ia wafat dalam perang mela131
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
wan Kolonial Belanda pada tanggal 25 Desember 1925. Dalam perlawanannya terhadap Kolonial Belanda, bersama Teuku Cut Ali dan Raja Lelo atau Raja Lela yang berasal dari Kluet telah menyebabkan Belanda repot dan Kapten Paris sendiri mati terbunuh di Kelulum Kampung Sapik, kecamatan Kluet Timur terakhir ini.
132
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
62
SMA Negeri 1 Banda Aceh yang terletak jalan Prof. A. Majid Ibrahim I No. 07, Desa Punge Jurong, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh menempati gedungpeninggalan Belanda dengan gaya Romawi yang artistik dan telah ada sejak tahun 1878 dan pernah menjadi tempat berkumpulnya kaum teosofi Belanda.Gedung ini berkonstruksi beton, bercampur kayu dan ditutup seng di bagian atapnya. Arsitektur khas Eropa di abad pertengahan terlihat jelas dari ciri-ciri fisik bangunan ini yang menambahkan kesan klasik.Empatbelaspilarsilindris layaknya kuil Patheon masa NeoClassic nya juga masih kokoh. Pilar-pilar tersebut menopang tiga beranda bangunan berwarna serba putih itu. Bubungan atap dengan bentuk segitiga dan lingkaran di tengah fasadnya juga masih terukir dengan jelas. Diduga, lingkaran tengah pada fasad tersebut merupakan perwujudan mata satu khasZionis. Bentuk unik dari gedung ini karena masa kolonial Balanda, gedung SMA Negeri 1 Banda Aceh dijadikan sebagai tempat pusat gerakan Mason Bebas (Freemasonry) yang pernah berkembang di Aceh zaman Hindia Belanda. Freemasonry merupakan organisasi yang tertutup dan ketat dalam penerimaan anggota barunya. Organisasi ini bu-
Gedung SMA 1 Banda Aceh
Foto: Maimun Yulif
kan merupakan organisasi agama dan tidak berdasarkan pada teologi apapun. Tujuan utamanya adalah membangun persaudaraan dan pengertian bersamaakan kebebasan berpikir dengan standar moral yang tinggi. Gedung ini kemudian difungDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
sikan sebagai SMA Negeri 1 Banda Aceh sejak 1 September 1946. Hingga kini gedung tersebut masih berdiri megah meski pernah dihantam gelombang pasang Tsunami. 133
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
134
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 63
Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud adalah seorang panglima Aceh.Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar. Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim Banta Muda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah wafat. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mewarisi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa WazirulAzmi. Perjuangannya Panglima Polem Muhammad Daud juga memperoleh dukungan dari para ulama Aceh. Sebagai pendukung utama, Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb, yang kemudian diangkat menjadi panglima besar. Sampaitahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubukubu pertahanan Aceh. Teuku Umar bersama 15
Makam Panglima Polem
Foto: Maimun Yulif
orang panglimanya pada bulan September 1893, pura-pura menyerah kepada Belanda. Setelah terjadi penyerahan dan adanya patroli Belanda di daerah Lam Kra VII, Mukim Baet Aceh Besar, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Sementara itu Teuku Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak mereka banyak yang berjatuhan. Korban dalam penyerangan itu 135
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka. Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri kedaerah Daya Hulu. Dalam sebuah pertempuran di GleYeueng dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem.dalam pertempuran ini jatuh korban 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Bulan Ok136
tober 1897, wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie. Pada bulan November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad DaudSyah). Dia mengadakan suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh lainnya. Teuku Panglima Polem bersamaTeuku Umar dan para ulama serta Uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Muhammad DaudSyah. Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad DaudSyah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif secara bersama-sama menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan terhadap Belanda. Karena Belanda gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem, maka merek amenghentikan penyerangannya kedaerah Gayo. Kemudian Belanda menyusun strategi baru yang sangat licik yaitu dengan menangkap keluarga-keluarga dekat Sultan. Mereka berhasil menangkap isteri Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong dan isteri sultan yang bernama Pocut Cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap mereka, Belanda mengancam Sultan, apabila Sultan tidak menyerahkan diri dalam tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang. Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad DaudSyah terpaksa berdamai dengan Belanda. Hal ini menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903. Selanjutnya Panglima Polem tetap diakui oleh Belanda sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim.
Aceh Heritage 64
Istana Karang adalah sebuah istana peninggalan Kerajaan Karang di Aceh Tamiang. Bangunan istana ini terdapat di Desa Tangjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, tepatnya di pinggir lintasan jalan raya Banda Aceh-Medan, yang letaknya tak berapa jauh dari kantor Bupati Aceh Tamiang sekarang. Menurut sejarahnya, kerajaan Tamiang dulu terpecah dua dan menjadi dua kerajaan, yaitu kerajaan Karang dan kerajaan Benua. Tapi kedua kerajaan ini tunduk pada negeri Karang Tamiang sebagai kerajaan induknya. Walaupun istana yang terdapat di Desa Tanjung karang Tamiang ini bernama Istana Karang, bukan berarti istana itu dibuat dari batu-batu karang seperti istana Ciribon yang terdapat di Jawa Barat. Istana Karang Tamiang ini terbuat dari beton biasa. Meskipun bentuk bentuk arsitektur bangunannya tampak dipengaruhi gaya arsitektur Belanda. Ini bisa jadi mungkin ketika Istana Karang Tamiang ini dibangun dulu adalah pada saat Belanda telah mempengaruhi Aceh, meskipun Belanda Belum berkuasa penuh menjajah Aceh. Namun demikian, sebagaimana diketahui, etnis Aceh Tamiang juga termasuk etnis yang sangat kental dengan budaya Melayu, maka usurusur arsitektur Istana Karang selain ada pengaruh Belanda juga memiliki unsur-unsur kemelayuan pada bentuk bangunan istana ini. Misalnya dari
Istana Karang
Foto: Maimun Yulif
segi struktur bangunan berbentuk rumah panggung yang biasa ditemukan pada bentuk-bentuk rumah panggung gaya Melayu. Dan itu terlihat pada bangunan Istana Karang di Tamiang ini. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Menurut sumber sejarah yang didapatkan, Raja Karang terakhir yang menempati Istana Karang Tamiang ini adalah Raja Silang yang bergelar Kejuruan Karang, meninggal tahun 1925. Seka137
Aceh Heritage rang, Istana Karang sebagai bangunan peninggalah sejarah telah dijadikan situs cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten Tamiang. Bahkan sumber yang didapatkan, bengunan bekas Istana Kareang ini akan dijadikan Museum Temiang oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang.
Foto: Maimun Yulif
138
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 65
Selain Istana Karang sebagai salah satu bangunan peninggalan sejarah Tamiang, di bekas negeri Putri Lindung Bulan ini anak Raja Muda Setia, Raja yang berkuasa di kerajaan Tamiang abad ke13 ini juga terdapat sebuah bangunan bekas istana lainnya, yaitu Istana Benua Raja, yang terdapat di Desa Benua Raja, Kecamatan Rantau, Aceh Tamiang. Untuk menjangkau bekas Istana Benua Raja ini tidak begitu sulit, hanya sekitar 2 kilo meter ke arah Utara dari pasar Kuala Simpang (ibu kota Aceh Tamiang). Dengan komplek istana yang begitu luas, dengan hamparan rumput hijau di halaman dan sekeliling bangunan istana yang terkesan tak terurus, maka bentuk bangunan istana yang terletak di tengah-tengah komplek itu, terlihat seperti sebuah rumah besar yang terasing di tengah padang rerumputan. Akan tetapi, fisik bangunan Istana Benua Rajasemuanya masih orisinal, hanya beberapa bagian bangunan kecil saja yang terlihat rusak. Seperti bangunan garasi istana, dan beberapa bagian dapur istana juga terlihat sudah rusak. Sedangkan bangunan induk istananya masih terlihat kokoh dengan semua struktur bangunannya yang masih asli. Bila masuk ke dalam Istana Benua Raja yang terdapat di Aceh Tamiang, kita dapat melihat semua ruangannya terdapat berbagai bentuk benda-
Istana Benua Raja
Foto: Maimun Yulif
benda peninggalan kerajaan yang sangat menarik. Di diding atas bagian dalam, tepatnya pada pintu utama bagian depan istana, di atas diding itu tergantung sebuah bingkai bendera kerajaan Benua Raja zaman dulu. Pada bendera tersebut terdapat bulan bintang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
warna putih di atas warna merah, di atas bulan bintang itu ada sebuentuk kubah masjid, yang kiri kanannya diapit oleh dua bilah rencong. Bendera ini selain menyibulkan bahwa rakyat kerjaan Benua Tamiang dulu di samping sangat menjunjung tinggi ajaran Islam juga berani mengahapi berbagai 139
Aceh Heritage
tantangan yang dilambangkan pada benderanya dengan dua bilah rencong. Bekas Istana Benua Raja yang terdapat di Aceh Tamiang ini sekarang ditempati oleh sebuah keluarga dari keturunan Raja Benua. Sehingga bangunan bekas istana ini tidak terbengkalai begiti saja, ada keluarga yang mengurus dan memeliharanya, senagai aset sejarah yang sangat penting dijaga dan diselamatkan dari kerusakannya. Untuk menjaga dan memelihara bangunan-bangunan bersejarah ini sebenarnya tanggung jawab dari pemerintah, terutama Pemerintah Aceh Tamiang, agar bangunan-bangunan bersejarah ini dapat terus lestari sepanjang masa.
Foto: Maimun Yulif
140
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 66
Siapa sebenarnya Teungku Pekan atau Teungku Ben Peukan? Pada dasarnya keturunan Teungku Peukan berasal dari lamreung Aceh Besar, karena ayahnya tgk Adam pada saat itu pergi ke wilayah selatan Aceh untuk membantu peperangan yang terjadi pada saat itu, hingga mendiami daerah sawang tepatnya di desa Alue Pakue dan memperistri seorang perempuan di sana yang bernama Siti zalikha, sehingga lahirlah Teungku Yahya, Teungku Peukan dan seorang adik perempuan bernama Nyak Teh. Namun menurut Muhammad Yacob, Teungku Peukan dilahirkan di desa Alue Paku Kecamatan sawang Aceh Selatan, tanggal kelahirannya tidak diketahui pasti tapi diperkirakan pada sekitar tahun 1886, ini didasarkan pada saat ia melakukan penyerangan ke tangsi Belanda di Blangpidie tahun 1926 ketika itu berumur 40 tahun, atau bertepatan pada fase awal peperangan Aceh dengan Belanda. Teungku peukan memperistri seorang dara cantik jelita yang berasal dari kota naga tapak tuan yang bernama Intan Darek. Isterinya ini banyak membantu perjuangan Tgk Peukan dengan rela mengorbankan harta, bahkan putra-putranya juga syahid dalam pertempuran baik bersama Tgk Peukan maupun sesudahnya.Intan darek juga merupakan seorang istri yang tabah dalam menghadapi suka duka kehidupan, rumah tangga mereka sen-
Makam Teungku Pekan
Foto: Maimun Yulif
antiasa rukun dan damai. Keduanya baru terpisah oleh syahidnya Tgk Peukan dalam penyerangan tangsi Belanda di Blangpidie tanggal 11 september 1926. Sebagai seorang syahid dalam peperangan melawan kaphee Belanda, Teungku Pekan dimakamkan di komplek masjid Jamik Blang Pidie. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Hal ini tentu tidak lain dan tidak bukan karena ia adalah seorang ulama dan syahid dalam peperangan. Ia juga merupakan Teungku di masjid jamik itu sendiri selama hidupnya. Teungku Pekan Menjadi Panglima Perang dan Perjuangan Melawan Belanda 141
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
Diadakanlah pertemuan lanjutan tertutup (rahasia) di Terbangan tanggal 17 Agustus 1917 dan tahun 1926 di Payadapur, yang dihadiri oleh 19 orang tokoh di bawah koordinasi Angku Pondok guna menetapkan panglima perang menyerang Tangse Belanda di Blang Pidie. Ke 19 tokoh tersebut adalah :1.Teuku Cut Ali dari Trumon; 2.Teuku Raja Angkasah dari Bakongan; 3.Teuku H.Yusuf, 4. Panglima Raja Lelo dari Kluet Selatan; 5.Imam Sabil Mat Hukum;dan 6.Ceh kadam; 7.Mak Nur; 8.Muhammad dan 9.Mak Piah dari Kluet Utara; 10.Mak Bahar dari Samadua; dari sawang: 11. Teungku H. Yahya, 12, Panglima Abah 13. Cek kali dari Meukek; 14.Teuku Ni Tega dan 15.Panglima Usman dari labuhan Haji; 16.Guru Cebee, 17.Teungku Ya’kub serta 18. Teungku Peukan mewakili wilayah Manggeng dan Blangpidie, serta 19.An142
gku Pondok sebagai coordinator.Dari hasil pertemuan itulah Teungku Pekan ditetapkan sebagai panglima perang untuk wilayah Manggeng dan Blang Pidie. Setelah melakukan konsolidasi dan pengecekan terhadap kesiapan pasukan, Teungku Peukan memimpin langsung pasukannya menuju Blangpidie yang berjarak lebih kurang 20 km sebelah tenggara Manggeng ditandai dengan pekikan “ Allahu Akbar� berkali-kali. Di barisan paling depan pasukan adalah Talaha, anak Teungku Peukan yang membawa bendera putih berukuran 1x1,5 meter yang bertuilskan “ Lailaha Illallah Allahu Akbar, dengan huruf Arab. Pasukan yang dipimpin Teungku Peukan ini mempunyai cirikhas tersendiri, yaitu seluruh pasukan yang terlibat dalam perjalanan pada malam jumat tersebut, menggunakan pakaian atau seragam berwarna hitam ( hal ini mungkin dimaksudkan untuk upaya penyamaran. Di sepanjang perjalanan Teungku peukan tidak henti-hentinya memberikan semangat kepada pasukannya, hingga mereka sampai menjelang subuh tiba di Blangpidie, semua pasukan diistirahatkan di dayah Geulumpang Payong (Balai Tgk di Lhueng) yang letaknya lebih kurang satu kilometetr dari target penyerangan (kalau kita amati, ini merupakan satu strategi yang sangat luar biasa beraninya dilakukan Teungku Peukan, karena ia menempatkan pasukannya untuk beristirahat dan bahkan mengatur strategi dalam jarak yang sangat dekat dengan benteng atau area musuh yang tentunya penuh resiko dan bahaya, namun semua itu berjalan dengan aman) sambil tetap berjaga dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
waspada dari intaian mata-mata Belanda. Sesampainya di sana mereka bergabung dengan beberapa tokoh Blangpidie yang punya niat dan tujuan yang sama untuk melawan Belanda. Menurut Muh Yacob dan Syauqas Rahmatillah, di Balai Tgk Di Lhueng Tgk peukan sebagai panglima perang bersama beberapa pengikutnya mempelajari medan tempur/lokasi, mengatur strategi penyerangan, dan juga membagi sektor/ atau arah penyerangan. Teungku Peukan bersama tujuh orang panglimanya mempelajari kondisi dari tangsi Belanda tersebut, namun yang disayangkan sampai saat ini nama ketujuh panglima tersebut belum diketahui. Selesai mempelajari kondisi dari sasaran dan mengatur strategi penyerangan,Teungku Peukan membagi pasukannya dalam tiga Sektor (regu) yaitu sektor Timur, Barat dan Utara, yang masingmasing sektor dipimpin oleh seorang komandan sektor. Masing-masing komandan sektor mempunyai tugas membawa dan memimpin pasukannya untuk menempati dan melakukan penyerangan dari sektor yang dimaksud.Setelah semua pasukan berada pada posisi yang telah ditentukan, tanda penyerangan pun lansung di bunyikan, sehingga dengan serempak dan dipenuhi dengan semangat perang fisabilillah (Perang dengan Kafir) pasukan masuk dan menyerbu pertahanan Belanda tersebut. Serangan yang sangat mendadak membuat pasukan Belanda yang berada dalam tangsi tersebut tidak siap dan sigap menghadapinya, karena banyak diantara mereka yang masih terlelap dalam tidurnya dan bahkan ada yang sedang bermimpi indah, sehingga membuat mereka kalang kabut
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
untuk mecari sejata dan menyelamatkan diri tanpa menunggu perintah dari komandannya. Keadaan ini di mamfaatkan oleh Teungku Peukan dan seluruh pasukannya untuk membunuh setiap Belanda yang ada, sehingga banyak sekali pasukan Belanda yang tersabet dan mati terkena ayunan pedang dan tusukan rencong serta tombak Adapun pasukan Belanda yang masih hidup melepaskan tembakan ke arah pasukan Teungku Peukan, namun usaha yang mereka lakukan gagal karena senjata mereka tidak meledak/terkunci.
Hal ini menurut beberapa sumber yang penulis baca dan wawancarai adalah karena tgk Peukan mempunyai ilmu untuk mengunci senjata, sehingga bagaimana pun senjata itu tidak akan meletus, tetapi dengan satu syarat bahwa setiap pasukan yang ikut dengannya tidak boleh bersuara sedikitpun) sehingga untuk mempertahankan diri pasukan Belanda terpaksa mengandalkan popor senjata dan ilmu bela diri yang mereka miliki, itupun hanya beberapa jurus saja. Perlawanan yang tidak berimbang tersebut, membuat banyak sekali pasuDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
kan Belanda yang tewas, sehingga ditangsi tersebut banjir darah. Banyak pula di antara mereka yang melarikan diri dan bersembunyi di sekitaran benteng untuk menghindari dan menyelamatkan diri dari amukan pasukan Tgk Peukan. Dalam waktu yang singkat tangsi tersebut dapat dikuasai oleh Teungku Peukan dan pasukannya. Melihat banyaknya tentara Belanda yang mati dan merasa keadaan sudah dapat dikuasai Teungku Peukan merasa senang, sebagai rasa syukur atas kemenangan tersebut ia mengumandangkan azan. 143
Aceh Heritage
Namun fakta berbicara lain, di mana di antara mayat-mayat tersebut masih ada serdadu Belanda yang masih hidup dan mengetahui rahasia dari ilmu kunci senjata Teungku Peukan, sehingga di saat ia masih mengumandangkan azan tentara Belanda yang masih hidup tadi, memanfaatkan kelengahan Teungku Peukan dengan mengambil senapan dan menembaknya. Akibat terkena tembakan tentara Belanda tersebut akhirnya Teungku Peukan meninggal di tempat, syahid sebagai syuhada, ulama dan pahlawan bangsa yang bertepatan pada waktu shubuh hari jumat tanggal 11 September 1926. Ia dimakamkan di depan mihrab masjid yang merupakan masjid ia mengabdikan diri dan ilmunya, yaitu masjid Jamik Blang Pidie dengan letaknya di tengah kota Blang Pidie dan di tepi jalan Nasional.
Foto: Maimun Yulif
144
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage 67
Benteng Trumon namanya Benteng Kuta Batee.Harus diakui bahwa Trumon sebagai satu kerajaan memiliki kemajuan yang pesat dalam banyak sektor kehidupan masyarakat dan pemerintahannya, dan tidak kalah kemajuannya jika dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang pernah eksis pada masanya. Salah satu aspek kehidupan yang menentukan eksisitensi Trumon sebagai satu kerajaan yang berdaulat adalah dengan kuatnya pertahanan dan keamanan dalam negeri.Trumon dalam hal ini, dalam rangka menciptakan keamanan, terutama dari rongrongan pihak asing, keraajaan ini pernah membangun bentengnya yang indah, kuat dan tangguh, yang bernama Benteng Kuta Batee. Benteng ini dibangun di tepi pantai, memiliki keunikan-keunikan, seperti adanya beton penyangga yang tingginya mencapai tiga-empat meter, dengan memiliki lobang tembak meriam yang ditempatkan di sana mencapai 35 buah dan lobang untuk menempatkan alat teropong keluar atau musuh. Di samping untuk pertahanan, Benteng Kuta bate berfungsi sebagai tempat tinggal pimpinan kerajaan, gudang, penjara dan tempat mencetak uang. Benteng Kuta Batee berbentuk persebi empat bujur sangkar dan memiliki tiga lapis dinding. Dinding luar berukuran 52,20 M x 52,20 M2. Adapun ukuran dinding bagian tengah dan dalam
Benteng Trumon
Foto: Maimun Yulif
benteng adalah 15,93 M x 15,93 M. Benteng ini memiliki dua pintu, yaitu pertama pintu utama yang sebelah barat, dengan ketinggiannya 4,78 M dan lebar 2,24 M, agak mencolok ke dalam dengan ukuran 4,60 M; kedua, pintu belakang, di sebelah selatan benteng, dengan ketinggian 3, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
95 M dan lebar 3,35 M. Dinding benteng Kuta Batee terdiri dari tiga lapis, yaitu lapisan bagian luar, tengah, dan dalam. Dinding lapisan bagian luar dengan tingginya 3,70 M dan ketebalan 60 cm. Dinding lapisan tengah dengan tinggi 1, 50 M dan tebalnya 1,92 M. Sementara dinding lapisan 145
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
dalam tingginya 1,50 M dan tebalnya 53 mc. Semua dinding benteng ada kesatuannya, menyatu hanya dinding lapisan luar yang tampak menonjol karena lebih tinggi dibandingkan dengan dinding dua lapisan lainnya. Jikalah digabungkan ketiga lapisan dinding benteng ketebalannya mencapai 3,05 M, dengan fondasi yang amat kokoh, sukar untuk dirobohkan atau dihancurkan. Kemudian setiap dinding pintu benteng, ada lobang penyangganya, dengan bentuk dan ukuran berbeda-beda. Pintu utama yang ke sebelah barat 146
dan menghadap ke pantai, berbentuk persegi, di bagian atas lobang tampak seperti kubah, dan lobang tersebut berukuran: tinggi 85 cm, lebar 32 cm, dan kedalaman lobang 23 cm. Adapun lobang penyangga pintu belang yang berada dan menghadap ke sebelah selatan berbentu persebi panjang, dengan ukurannya 18 cm, tinggi 30 cm dan kedalaman lobang 19 cm. Benteng Kuta Batee juga dilengkapi dengan lobang peletakan meriam, dan di setiap sisi dinding terdapat enam lobang beserta lobang penginDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
tainya. Jadi empat sisi dinding maka ada 24 lobang peletakan meriam dan 26 lobang pengintai. Lobang peletakan meriam berbentuk tapal kuda, jika dari dalam berukuran 1,10 M, sementara dari luar berukuran 65 cm. Ukuran dari bagian luar 48 cm. Jarak antara lobang meriam dengan lobang pengintai 40 cm. Dalam kenyataan kondisi benteng Kuta Batee dari bagian luar dan dalamnya masih utuh.Kecuali dinding bagian tengah yang merupakan bagian dari lantai benteng telah banyak mengalami kerusakan yang diperkirakan karena akibat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Di dalam benteng memiliki beberapa bangunan lain yang masih tersisa dan utuh, seperti tempat percetakan uang atau bunker, istna raja, yang tinggal reruntuhannya dan yang tergolong utuh pondasi tangganya. Hal lain yang terdapat dalam benteng adalah terdapat satu bekas balai sidang yang biasanya digunakan untuk kegiatan rapat adat kerajaan yang dipimpin oleh pimpinan kerajaan atau rajanya; sebaran batu bata merah, dan pecahan sebagai bahan perekat benteng yang berserakan di sana.
Aceh Heritage
68
Sebuah bangunan yang cukup lawas, Rumah Teuku Abbas, menjadi saksi sejarah kependudukan Jepang tahun 1942-1944. Rumah tersebut dijadikan kediaman Teuku Abbas, seorang Ulee Balang (districtshoofd), yaitu pemimpin masyarakat lokal untuk kawasan Sabang dan sekitarnya periode 1904-1942. Pada masa pendudukan Jepang, Teuku Abbas dipercaya sebagai Gaucho, yang memimpin penduduk lokal Sabang. Gedung yang dibangun sekitar 1910 itu, awalnya berfungsi sebagai rumah tinggal. Dengan tipe berkolong, bangunan ini mirip beberapa rumah bergaya vernakular, namun secara khusus berbeda dari rumah-rumah tradisional kebanyakan. Bentuk bangunannya mirip segilima dengan bersudut. Bagian atap dilengkapi atap genteng yang didominasi nuansa coklat. Dilihat dari depan, pada arsitektur rumah tersebut disematkan jendela dibagi dengan dua gaya, sisi kanan dan kiri menggunakan gaya sisir sementara bagian tengah bertipe jendela modern. Tangga didesain menggunakan aksen seperti permainan anak dengan lengkungan yang khas.Hampir menyeluruh, bangunan rumah itu berbahan material batu. Layaknya rumah orang-orang Eropa di masa kolonial, kolong bagian bawahnya, dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan dan pengelolaan bagi usaha dagangnya. Albina membenarkan, rumah tinggal
Rumah Teuku Abbas
Foto: Maimun Yulif
(rumah keluarga) ini, merupakan tipe rumah kolong. Bagian kolong juga difungsikan dengan baik. Artinya, di masa lalu, bangunan ini selalu digunakan untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari bagi penghuninya. Bangunannya sudah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
berusia lebih seabad. Ada beberapa sisi bangunan yang mulai tampak lapuk dimakan usia. Meski demikian, mengingat struktur bangunannya terbuat dari beton, Rumah Teukku Abbas ini dipastikan bertahan lama. “Pada bagian bawah rumahnya, dijadikan sebagai gudang untuk menyimpan barang147
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
barang khususnya hasil bumi. Rumah ini didesain oleh arsitek Jerman, namun tidak diketahui nama dan datanya. Para pekerjanya merupakan buruh bangunan yang didatangkan khusus,� jelasnya. Rumah yang berada di Kota Atas Sabang ini, dikelilingi pagar beton. Meski pada cat dinding bangunan sudah mulai memudar, namun tidak mengurangi nilai keartistikannya. Pada halaman depan, terlihat asri ditumbuhi rumput hijau yang terawat. Selain Rumah Teukku Abbas, beberapa arsitektur bangunan khas peninggalan Belanda di Sabang yang merupakan warisan heritage tetap 148
dijaga pemerintah setempat. Beberapa di antaranya, Rumah Controleur yang menjadi saksi sejarah proses serah terima Pulau Weh/Sabang dari tangan Belanda kepada Indonesia pada 1950. Lalu, ada Koningin Plein atau kompleks Taman Raja yang terletak di kawasan kota dan dibangun pihak Belanda pada 1896. Pada mulanya, taman tempat bermain ini bernama Taman Raja-raja yang diberikan sebagai tanda menghormati Ratu Wihelmina di negeri Belanda. Simbol penghormatan itu ditandai dengan adanya sebuah kursi ratu di taman tersebut. Pemerintah setempat kemudian memugar tempat itu pada 1990 dan mengganti namanya menjadi Taman Gembira yang kemudian berDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
ganti nama kembali menjadi Taman Ria. Kekinian taman tersebut lebih sering digunakan sebagai lokasi pergelaran seni dan budaya. Lanskap yang asri pada taman di tengah kota itu, menyuguhkan seni arsitektur tak ternilai. Apalagi, taman itu juga dismpurnakan dengan keberadaan sejumlah pohon yang telah berusia ratusan tahun. Tidak kalah menarik, sebagai suguhan arsitektur kuno di Sabang juga dapat dilihat dari kekhasan makam di kompleks Makam Eropa yang ada di sekitarnya. Di tempat itu, disemayamkan sipil dan militer Eropa berkebangsaan Denmark, Yunani, Perancis, Jerman dan terutama Belanda sejak era 1800-an. Kompleks makam itu terletak di Kota Atas.
Aceh Heritage
69
Benteng Jepang ini terletak dibagian timur Sabang letaknya berdampingan dengan pantai Anoi Itam. Benteng ini merupakan salah satu destinasi wisata favorit yang dikunjungi wisatawan saat berkunjung ke Sabang. Dahulu, benteng ini sempat menjadi tempat penyimpanan senjata bagi armada Jepang. Dilihat dari posisinya benteng ini dibangun dan difungsikan sebagai benteng pertahanan, karena posisinya yang tertimbun dalam tanah dan yang tampak hanya bagian atas/atap berbentuk tapal kuda. Memasuki lokasi Benteng Jepang Anoi Itam, kita akan disuguhkan pemandangan bukit dengan anak tangga dan pepohonan yang rindang, pantai yang indah dan sebuah benteng kecil yang berada dibawah kaki bukit membuat kita tidak mau membuang waktu dan ingin segera melangkahkan kaki melintasi anak tangga dan siap untuk mendaki. Menyusuri jalan setapak memberikan kesan khusus dan terasa bagaimana tempat tersebut dahulu kala adalah tempat persembunyian. Didinding bukit yang menyusuri lorong-lorong juga terdapat benteng-benteng kecil berukuran 1,5 x 1,5 meter yang tertanam dalam tanah. Pada penghujung lorong tepatnya diatas bukit kita akan melihat sebuah benteng dengan pemandangan kearah lautan Selat Malaka yang terbentang luas, tepat didepan pintu masuk ben-
Benteng Jepang
Foto: Maimun Yulif
teng terdapat sebuah meriam besi yang melintang dengan panjang kurang lebih 3 meter yang merupakan bekas peninggalan sejarah yang masih asli. Sejarahnya Ketika jepang mendarat di pulau weh kota saDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
bang pada tanggal 11 dan 12 maret 1942, mereka mulai membangun benteng-benteng pertahanan diseluruh pesisir pantai Pulau Weh untuk persiapan menghadapi perang asia fasifik, khususnya di tepi pantai berupa benteng pertahanan pantai, dengan di lengkapi meriam-meriam anti kapal 149
Aceh Heritage
Foto: Maimun Yulif
perang yang akan medatangi Pulau tersbut. pasukan jepang mejadikan sabang sebagai pelabuhan militer dan garis pertahanan udara terdepan menghadapi ancaman sekutu dari arah barat. Setelah di duduki pasukan jepang, terjadilah kerusakan besar-besaran akibat pemboman oleh ihak sekutu yang menyebabkan pelabuhan internasional sabang di tutup, karena itulah tentara jepang 150
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
membangun benteng dan juga bunker-bunker di sekeliling garis pantai dan perbukitan sabang untuk memperkuat pertahanan mereka. Bunker-bunker tersebut berfungsi sebagai pos-pos pengintaian untuk mengasipasi serangan musuh-musuh dari arah laut lepas. sisa-sisa bunker ini juga bisa kita saksikan sampai sekarang jika anda berkeliling di pulau weh ini atau bisa di sebut sabang, diantaranya bisa kita lihat lorong lorong yang berada di jalan turunan menuju danau anak laut dan juga di sepanjang pesisir pantai sabang fair, dan juga ada banyak bunker-bunker lainya yang susah kita sebutkan satu persatu.
Aceh Heritage
70
Makam T. Nyak Arief terletak di pemakaman keluarga Lam Reueng lebih kurang 2 km dari Lamnyong Banda Aceh. Ia dimakamkan berdampingan dengan makam ayahnyanya sendiri. Makam keluarga ini merupakan makam keluarga bangsawan, tetapi terlihat keadaannya sederhana saja. Sementara Rumah T. Nyak Arief terletak di kompleks Perguruan T.Nyak Arief ( Sekolah Fatih Turky ) di Lamnyong sebelah jalan menuju ke pemakamannya. Teuku Nyak Arief dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 di ulee Lheu 5 km dari kota Banda Aceh. Ibunya bernama Cut Nyak Rayeuk dan ayahnya Teuku Nyak Banta adalah panglima sagi 26 mukim (Aceh Besar). Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara, dua di antaranya laki-laki dan tiga perempuan (Cut Nyak Asmah, Cut Nyak Mariah, Teuku Nyak Arief, Cut Nyak Samsiah dan Teuku Mohammad Yusuf ). T.Nyak Arief menempuh pendidikannya tidak hanya di Kuta Raja (Banda Aceh) karena setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar (SD) di Kuta Raja, ia melanjutkan pendidikan di sekolah Raja ((Kweekschool) Bukit Tinggi dan kemudian memasuki sekolah pamongpraja (OSVIA) di Serang (Banten). Sekolah ini khusus diadakan oleh Belanda untuk anak-anak raja dan bangsawan dari seluruh Indonesia. Ia sangat gemar membaca terutama mengenai politik, pemer-
Makam dan Rumah Teuku Nyak Arief
Foto: Maimun Yulif
intahan dan agama. Jadi tidak heran kalau dalam usia muda belia ia telah giat dalam pergerakan. Di dalam perjalanan hidupnya, T. Nyak Arief pernah diangkat menjadi Ketua Nasional Indische Party ( N.I.P ) cabang Banda Aceh tahun 1919. Di tahun 1920 menggantikan ayahnya sebagai pangliDinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
ma sagi 26 mukim.Tahun 1927-1931 ia diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (volskraat). juga Ia merupakan salah satu anggota dari fraksi nasional di Dewan Rakyat yang diketuai oleh M.H. Thamrin. Teuku Nyak arief menentang penjajahan Be151
Aceh Heritage landa di Aceh antara lain memimpin gerakan di bawah tanah (tahun 1932) walaun dirinya merupakan orang yang mendapat pendidikan Belanda. Di awal tahun 1942 ia menuntut untuk diserahkan pemerintahan kepadanya tetapi tidak dikabulkan oleh Residen Aceh J.Pauw. Ia juga terhindar dari penangkapan dan penembakan, walau dua kali berturut-turut kediaman beliau di Lamnyong diserang dengan kekerasan, Banyak peran dan jasa yang telah beliau berikan pada Aceh dan Indonesia ini. Beliau masih menjadi orang terdepan pada masa pendudukan Jepang. Ketika Jepang memerintahkan pengosongan beberapa kampung di sekitar Kutaraja seperti punge, Pungei, Blang Oi, Ulee Lheue untuk pertahanan, T.Nyak Arief menentangnya dengan keras, sehingga Jepang membatalkan rencananya. Ketika rakyat membentuk Komunite Pemerintahan daerah Aceh, Teuku Nyak Arief dipercaya sebagai ketuanya. T. Nyak Arief menempuh jalan kerjasama dengan Jepang. Saat pemerintah Jepang membentuk Dewan Perwakilan Rakyat (Aceh Syiu Sangikai ) dan T.Nyak Arief dipilih menjadi ketuanya. Meskipun T.Nyak Arief keras dan banyak bentrok dengan pejabat-pejabat sipil dan militer Jepang, namun ia disegani oleh Jepang dan diperhitungkan Jepang sebagai pemimpin rakyat Aceh yang besar pengaruhnya. Untuk kepentingan pemerintahannya Jepang kemudian membentuk Dewan Perwakilan rakyat seluruh Sumatera (Sumatera Chuo Sangi In) yang diketui oleh Moh. Syafei dan T.Nyak Arief sebagai wakil ketuanya. 152
Di tahun 1945 tepatnya di tanggal 29 Agustus T.Nyak Arief diangkat menjadi Ketua komite Nasional Indonesia ( K.N.I ) daerah Aceh dan di bulan Oktober 1945 pemerintah Republik Indonesia T. Nyak Arief diangkat menjadi residen Aceh. Selanjutnya T.Nyak arief dihadapi berbagai kegiatan baik sipil maupun militer. Karena peran dan jasanya di berbagai kesempatan maka layaklah T.Nyak Arief pada tanggal 17 Januari 1946 diangkat menjadi Jenderal Mayor Tituler oleh Panglima TRI Komandemen Sumatera melalui surat ketetapan No.10 tanggal 17 januari 1946. Waktu T.Nyak Arief beristirahat karena penyakit gulanya . Saat itu pemimpin TKR sanggup menghadapi Tentara Perjuangan Rakyat dan Mujahidin, tetapi ia tidak memberi izin. Ia berkata :�Biarlah saya serahkan jabatan ini asal tidak terjadi pertumpahan darah seperti di Pidie�. Maka dengan secara damai pangkatnya Jenderal Mayor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
diambil alih oleh Husein Al Mujahid dan Pangkat Kolonel Syamaun Gaharu diambil alih oleh Husein Yusuf.T.Nyak Arief ditangkap secara baik dan terhormat dengan kenderaan pribadinya dan dikawal oleh 2 orang anggota TPR (Tentara Perjuangan Rakyat). Kepada keluarganya dikatakan bahwa T. Nyak Arief dibawa untuk beristirahat. Pemimpin terkemuka di Lam Nyong mengusulkan agar T.Nyak Arief beristirahat di rumahnya di Lam Nyong, ia menolaknya. Akhirnya ia dibawa ke Takengon.Sesudah sebulan berada di sana baru keluarganya diperbolehkan mengunjunginya. Keluarga T.Nyak Arief yang diizinkan menunggu selama di Takengon adalah istrinya Cut Nyak Jauhari, anak-anaknya Teuku Syamsul bahri dan Cut Nyak Arifah Nasri serta adiknya Teuku Abdul Hamid. Sebelum meninggal, pada istrinyanya berpesan agar menjaga anakanaknya dengan baik dan memperhatikan pendidikan mereka sampai berhasil. Jangan menaruh rasa dendam karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya. Kepada adiknya berpesan agar menyekolahkan anak-anaknya.Pada tanggal 4 Mei T.Nyak Arief berpulang kerahmatullah di Takengon Aceh Tengah dan bawa pulang jenazahnya untuk dimakamkan di Lam Reng Aceh Besar, tepatnya di dekat jalan Lamreng, dekat sungai Krueng Aceh. Sebagai penghargaan dari jasa-jasanya, Presiden menganugerahkan almarhum Teuku Nyak Arief, dengan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional dengan surat keputusan Presiden No.071/ TK tahun 1974 tanggal 9 November 1974
Aceh Heritage 71
“Nisero” kapal cargo yang berukuran 1800 ton itu, dipimpin oleh kapten Woodhouse, dengan awaknya 18 Inggris, 2 Belanda, 2 Jerman, 2 Norway, 2 Itali dan 1 Amerika, memuat penuh gula baru diangkut dari Surabaya untuk Marseille, seperti diketahui dari Surabaya ditujukan ke Uleulhue, katanya, untuk mengambil batubara. Orang Belanda ketika menghadapi peristiwa itu mencurigai keanehan jalan yang di tempuh kapten Woodhouse yang secara tiba-tiba menuju Uleulhue pada hal di Surabaya baru dimuatnya batubara, sedangkan perjalanan baru beberapa hari. Unsur kesengajaan mendamparkan kapal tersebut ke pantai barat Aceh, seperti dicari-cari oleh Belanda, dalam maksud melemahkan tuntutan Inggris yang terus-terus menohok bahwa Belanda bertanggung jawab. Catatan berikut adalah mengenai peristiwa kapal dagang Inggris “Nisero” yang pernah kandas di pantai laut Aceh dekat Pangah, masuk daerah kerajaan kecil Teunom dengan uleebalang Raja Muda Teunom. Ia terkenal juga anti Belanda, dan setia pada perjuangan Aceh, sebagai terkesan dari fakta bahwa dalam perang 1874, raja ini dengan 800 prajuritnya turut berbakti bahu membahu dengan Sultan di medan tempur. Peristiwa “Nisero” ini merupakan bab di antara yang paling menarik dalam sejarah Aceh/ Belanda, antara lain karena liku-likunya yang
Sejarah “Nisero”
Foto: Google
membuat persoalan tidak sekedar antara kampung Teunom dengan Belanda saja, tapi suatu peristiwa internasional yang menjadi topik hari-hari baik dalam surat-surat kabar mau pun di dalam dan luar parlemen Belanda dan Inggris sejak kandasnya kapal “Nisero” tersebut (Nopember 1883) sampai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
lepasnya kembali tanggal 10 September tahun berikutnya. Oleh Raja Teunom ketika dilaporkan padanya diperintahkan supaya kapal segera disita dan semua awak kapal turun ke darat untuk ditahan. Semula penduduk kampung Pangah yang ter153
Aceh Heritage tarik melihat ada kapal kandas di pantai mereka, memperhitungkan bahwa kapal itu milik Belanda dengan awak Belanda, mereka hendak menyerang saja. Tapi setelah dari pihak “Nisero”, melalui juru bahasa seorang koki Tionghoa dari kapal itu dikatakan bahwa mereka adalah warga Inggris, maka serangan tidak terjadi sama sekali. Namun Teuku Raja Muda Teunom segera setelah mengetahui bahwa kapal milik Inggris dan bagian terbesar awaknya terdiri dari orang-orang bukan Belanda, segeralah timbul dalam pemikirannya, bahwa Tuhan menganugerahinya jalan untuk memukul Belanda melalui penahanan “Nisero” tersebut. Penahanan terhadap awak kapal yang mulamula ditempatkan di kampung pantai Pangah itu, seminggu kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih aman, yaitu ke pekan Teunom sendiri, sedikit ke pedalaman letaknya, di hulu sungai bernama sama. Ketika berita “Nisero” sampai pada asisten residen. Belanda di Meulaboh, van Langen, dan memahami bahwa soalnya tidak mudah ia pecahkan, ia pun lalu melapor ke Kutaraja (Banda Aceh), kepada Gubernur Laging Tobias, yang telah menggantikan van den Heijden sejak pemerintahan sipil/militer dijalankan. Tobias menyadari rumitnya affair “Nisero” ini yang akan menimbulkan komplikasi internasional lebih jauh, apalagi mengingat bahwa sejak perang 1873 belum pernah lintas perdagangan dari Aceh ke Semenanjung berjalan baik. Laging Tobias memerintahkan van Langen supaya mencarikan penyelesaian dengan jalan menawarkan tebusan f 100.000 yang nantinya dikutip dari cukai yang dibukakan pantai perdagangan Teunom sampai selama cukup terkumpul uang se154
banyak itu. Tawaran ini ditolak. Tanggal 7 Januari 1884 kapal perang Belanda dari Uleulhue didatangkan ke Teunom untuk membombardir pekan itu, dan mendaratkan pasukan. Tidak ada hasil, kecuali penghancuran rumahrumah rakyat sedang mereka sudah meninggalkan pekan itu lebih dulu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Foto: Google
ke pedalaman yang aman. Dua minggu setelah terkandas, berifa “Nisero” ditahan di Teunom sampai ke Penang, yang segera meluas dikawatkan oleh pers ke seluruh dunia, maka timbullah kegemparan karenanya. Gubernur Inggris Sir Fredrick Weld dari Semenanjung serta
Aceh Heritage merta memerintahkan kapal perang “Pegasus” di bawah komando Bickford ke Banda Aceh, yang segera menjumpai Gubernur Laging Tobias, ketika mana asisten residen van Langen sedang berada di sana, justeru untuk melaporkan perkembangan affair-Nisero itu. Atas usul pihak Inggris ketika kapal perangnya “Pegasus” berada di Uleu lheue, didatangkanlah saja misi perdamaian ke Teunom, di mana bersama kapal Inggris itu turut dua kapal perang Belanda. Untuk keperluan tersebut Gubernur Tobias sendiri turut serta. Dalam perundingan yang disampaikan oleh perantara, Raja Muda Teunom malah menaikkan uang tebusannya menjadi $300,000, dengan tambahan bahwa pelabuhan-pelabuhan di pantai Teunom dibebaskan dari blokade Belanda dan untuk terjaminnya pengakuan itu dari Belanda, harus turut dijamin Inggris, dengan mana dikehendakinya agar Ratu Victoria dari Inggris turut bertanda tangan. Ketika kapal perang ini tiba dan diadakan kontak, maka kapten “Nisero” Woodhouse yang ditahan meminta pada Raja Muda Teunom supaya ia dibolehkan menyampaikan syarat-syarat Raja tersebut kepada pihak Inggris dan Belanda di kapal perang “Pegasus” dengan syarat bahwa kalau ia, tidak kembali seluruh awak “Nisero” yang ditahan boleh dibunuh. Permintaan ini rupanya diluluskan oleh Raja Muda Teunom, dan bersama ia turut seorang masinis kedua yang sakit parah, serta seorang koki Tionghoa yang penterjemah selama ini dan tahu semua apa yang dijelaskan langsung padanya. Nyatanya nakhoda tersebut tidak mau kembali. Ia tidak mengacuhkan nasib segala awaknya yang diketahuinya sedang dalam kesulitan itu.
Lepasnya nakhoda Woodhouse yang tiba di Singapura dan kemudian London, seperti diungkap oleh Paul van ‘t Veer dalam bukunya, semakin memarakkan api-Nisero. Cerita Woodhouse tidak sekedar menyebut buruknya nasib para sandra (7 di antaranya sudah meninggal karena sakit), tapi juga mengenai betapa lemahnya Belanda dan kerasnya kemampuan Aceh melanjutkan perlawanan. Dan pandangan mengejekkan atau menertawakan dicerminkan dalam berbagai pers Inggris. Hubungan Nederland dan Inggris semakin dipertajam karena Nisero, setelah peristiwa Afrika Selatan. Dengan tekanan keras dari Inggris, Belanda setuju untuk misi perdamaian Inggris yang dipercayakan kepada orang ahli Melayu bernama Sir William Maxwell, Residen Inggris di Penang. Maxwell sampai sebulan lamanya berbincang dengan raja Teunom, pada kesempatan tersebut mereka singgung juga soal-soal umum lainnya. Maxwell mengirim laporan pada Gubernur Weld di Singapura di London yang menekankan bahwa penyelesaian Nisero hanya akan tercapai dengan isyarat jaminan inggris. Lord Granville pada tanggal 29 April 1884 menyampaikan nota kepada Belanda mengenai kesediaan Inggris membantu sengketa Belanda dengan Aceh demi pemulihan kembali perdagangan Kabinet Belanda yang waktu itu sama sekali tidak gembira dengan campurnya Inggris, karena akan bisa merendahkan derajat Belanda yang terkesan seperti tidak mampu mengurus sendiri hal dalam fegerinVa Dengan halus nota Inggris ditolak Belanda namun sebulan kemudian muncul lagi nota ke-2 yang sama maksudnya. Sang nakhoda Woodhouse, yang oleh pihak pemerintah dijawab bahwa secara rahasia sudah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
diminta kedutaan Belanda di London untuk mencari tahu apakah benar nakhoda ini sengaja mengkandaskan kapal demi kepentingan dagang mereka di Singapura. Penyelidikan tidak menghasilkan suatu apa pun. Sementara itu rupanya timbul pula peristiwa yang lebih memalukan, akibat semakin bingungnya Gubernur Tobias terhadap peristiwa “Nisero”. Ia tiba pada suatu pemikiran yang di kalangan Belanda dikenal dengan pepatah “Perampok harus diminta tangkap pada perampok”. Tobias teringat pada Teuku Umar, yang baru diterima penaklukkannya oleh Belanda tahun lalu. Teuku Umar bersedia menjadi penengah hanya dengan membawa prajurit bersenjata dalam jumlah belasan orang. Ia pun lalu diberangkatkan menuju Teunom dengan sebuah kapal perang Belanda. Di tengah jalan, dasar sial Belanda hendak tiba, Teuku Umar dan pasukannya disuruh tinggal di atas dek, tidak diberi kabin. Selain itu Teuku Umar dihina dengan kata-kata rendah. Teuku Umar selama dalam perjalanan itu tidak berbuat sesuatu apa pun mau pun untuk memperlihatkan sesuatu sikap mencurigakan. Tapi setelah sampai di pantai diserangnya matros-matros kapal yang mengantarkan mereka, yang hasilnya semua tewas kecuali hanya lepas seorang dalam keadaan lukaluka berat. Sejak itu Umar balik lagi menentang Belanda dan menggosok Raja Teunom supaya jangan sekali sekali mau mengurangi tuntutannya. Dalam kebingungan sebagai itu, di negeri Belanda tiba-tiba muncul suatu gagasan dari seorang bekas pahlawan Belanda dipermulaan agresi ke-2 nya jenderal van Swieten, yang sudah pensiun dan ubanan. Tanggal 17 Juni dikirimkannya surat kepada kabinet, dalam mana menurut pendapatnya, 155
Aceh Heritage
dalam memecah jalan buntu mengenai Nisero itu, Belanda dan Inggris melancarkan sebaiknya aksi bersama, menggabungkan sikap mereka terhadap Raja Teunom, dengan pendahuluan kata” dua: bebaskan sandra tersebut dengan syarat diberi tebusan seperlunya dan blokade atas Teunom dibuka, atau, Teunom dihancurkan oleh kapal perang kedua bangsa. Menurut vanSwieten gagasan seperti ini jika direalisir tidak akan merendahkan prestise Belanda. PM van der Does demikian van ‘t Veer menyambut gembira gagasan ini. Segera diinstruksikannya dubes van Bijlandt agar mendekati Menteri Jajahan Inggris di London Granville. Dalam suratnya kepada V. Bijlandt ditambahkan bahwa ia boleh mencari orang yang bernama H.B. van Daalen bekas perwira angkatan laut Belanda, kemudian bekas pemimpin redaksi Java Bode, yang saat itu menjadi Direktur Java Spoorweg Mij. Ialah wartawan yang tadinya dijebloskan setahun karena menghina Gubernur Jenderal Loudon gara-gara serangan sia-sia dari van Swieten ke Aceh itu.
156
Rumusan yang disimpulkan untuk aksi bersama Belanda Inggris dalam menghadapi si cilik Teunom tersebut, adalah: a. Belanda Inggris meminta supaya Raja membebaskan sandranya pada jangka waktu yang ditentukan; b. Bila raja memulihkan kesetiaannya kepada Belanda maka pelabuhannya akan dibuka dari blokade, kecuali jika ia melawan lagi. c. Pemerintah Belanda akan membayar f 100.000 (seratus ribu gulden) pada waktu sandra ditimbang terimakan, dibayar kepada orang yang menimbang terimakannya; d. Jika Raja menolak, Inggris dan Belanda seketika itu juga melakukan tindakan bersama untuk menghukum Raja dan Rakyat Teunom. Untuk melaksanakan gagasan London/Den Haag tersebut, ditugaskan gubernur Tobias dan Maxwell menemui Raja Teunom yang harus sudah terlaksana antara tanggal 12 Agustus s/d 10 September 1884. Dari jumlah uang tebusan dimaksud diasingkan $ 10,000 untuk balas jasa Teuku
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Jit, seorang kepercayaan dan penasihat Raja Muda Teunom yang juga menjadi pedagang besar. Tanggal 10 September, Raja Teunom menyerahkan semua sebanyak 18 orang awak kapal “Nisero” yang masih hidup. Ia berbesar hati dengan suksesnya, karena dapat menggegerkan negara-negara besar dengan peristiwa tersebut. Ketika kapal “Nisero” tiba kembali di London, W. Bradley menutup kisah suka dukanya dalam buku The Wreck of Nisero, dengan kalimat: In the Fifteen months we had gained the sympathy of two nations, and seen adventure enough to last us for a life time”. (Selama 15 bulan kami telah memperoleh simpati dari dua bangsa dan mendapat < pengalaman yang tentunya menjadi kenangan sepanjang hayat”). Tanggal 10 September ditandatangani perjanjian tiga segi Inggris, Belanda dan Teunom. Tanggal 18 September raja mengikat perjanjian 18 pasal (model biasa Aceh). Dalam perjanjian itu Raja Teunom memakai nama lengkap: Teuku Imam Muda Setia Bakti Hadjat.
Aceh Heritage
72
Raja Teunom yang pertama bernama Teuku Nyak Ali Imum Muda Setia Bakti Hadjat, Beliau lahir sekitar abad 1850 M, menjabat tahta sekitar Tahun 1872 M. Yang menarik lagi darah istri kedua dari Teuku Imum Muda yang bernama Cut Intan berasal dari Kerajaan Bubon yakni Teuku Keudjreun Amin dari Bubon setelah itu, Teuku Oema kawin dengan anak dari Teuku Puteh Panga lahirlah Teuku Sulaiman. Beliau meninggal akibat terkena penyakit ginjal pada Tahun 1901 M. Nama asli Imum Muda yaitu T. Nyak Ali atau Yusuf. Setelah Beliau wafat dilanjutkan oleh Raja Teuku Oema. Teuku Raja Mahmud Lhok Bubon sebenarnya adalah cucu dari Teuku Imum Tuha (Ayah Imum Muda). Teuku Raja Lam Ili menantu Teuku Imum Muda sempat memimpin Teunom setelah Imum Muda meninggal, tidak lama karena masalah politik Tahun 1904 M Teuku Raja Lam Ili kembali ke Aceh Besar. Anak dari Teuku Puteh yaitu Teuku Sulaiman juga punya anak bernama Teuku Nyak Pulo, tapi anaknya justru meninggal terlebih dahulu daripada Beliau. Menarik dari cerita anak Teuku Imum Muda dari istri pertama Cut Meredom, yaitu Teuku Raja Pulo anak tertua, Cut Adih Baren anak kedua. Cut Adih Baren adalah isteri T. Raja Lam Ili Indrapuri. Namun Teuku Oema anak dari istri Cut Intan justru lebih punya hak untuk diturunk-
Sejarah Raja-raja Teunom
Foto: Google
an tahta kepadanya. Teuku Sulaiman (pemegang tahta terakhir punya adik yakni Cut Elok, Cut Elok akhirnya menikah dengan Teuku Abdurrahman (kakek Teuku Reza Fahlevi) anak Raja Teuku Abdullah. Anak Teuku Imum Tuha ada dua yaitu Teuku Imum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Muda dan Cut Buleun. Cut Buleun ini dikawinkan dengan Raja Lhok Bubon dan lahirlah Teuku Raja Mahmud, Beliau adalah Uleebalang Lhok Bubon adalah keponakan dari Teuku Imum Muda dan pada akhirnya anak dari Teuku Raja Mahmud akan dikawinkan lagi dengan Teuku Oema yakni 157
Aceh Heritage sepupunya sang penerus tahta Teunom. Berikut adalah daftar nama-nama Raja Teunom 1. Teuku Imum Muda 2. Teuku Raja Pulo 3. Teuku Raja Abdullah 4. Teuku Puteh 5. Teuku Irsyad 6. Teuku Reza Fahlevi
Foto: Google
158
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
73
Menelusuri jejak sejarah lokal negeri Daya, seperti belum lengkap rasanya jika tidak menjejakkan kaki terlebih dulu di Kompleks Makam Poteumereuhom yang disebut Gle Kandang. Gle Kandang terletak di atas sebuah bukit berundak dengan tatakan 99 anak tangga di Gampong Gle Jong, Kemukiman Kuala Daya, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Kompleks makam ini juga disebut juga oleh masyarakat dengan nama Kandang Poteumeureuhom. “Kandang” di dalam konteks keacehan merupakan suatu kompleks pemakaman, seperti juga yang dikenal di kerajaan Aceh Darussalam yaitu “Kandang Aceh”, “Kandang Meuh”, “Kandang Duabelas”, ataupun “Kandang Pirak” di kompleks pemakaman raja-raja di Aceh. Lokasi makam terletak dipinggir pantai di desa Kuala Daya, ±15 menit perjalanan dari kota Lamno, Ibukota Aceh Jaya. Mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda, Perjalanan darat menuju Lamno yang berjarak 85 km, dari Banda Aceh ± 2 jam. Meureuhom Daya merupakan gelaran lain yang diberikan oleh masyarakat lokal kepada Sultan Shalatin Alaiddin Riayat Syah. Selain itu, adapula yang menyebutkan dengan gelaran Chik Po Kandang. Asal-usul dari keturunannya yang dirunut pada prasasti batu nisan seorang putri. Prasasti itu berukir indah dan bertuliskan, “Siti
Sejarah Meureuhom Daya
Hur binti Sultan Alaiddin Riayatsyah ibni Raja Madat ibni Abdullah al Malik al Mubin”. Berdasarkan prasasti batu nisan ini menjelaskan bahwa Sultan Alaidin Riayat Syah atau Meureuhom Daya adalah putera Raja Madat atau yang dikenal sebagai Sultan Inayat Syah. Sultan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Inayat Syah adalah putera dari raja Malikul Mubin. Menurut sejarah, Sultan Inayat Syah pernah menjabat raja di Pidie dan kemudian menaklukkan Darul Kamal dan Kuta Alam. Kedua negeri ini terletak di Aceh Besar dan Banda Aceh sekarang. Sultan Inayat Syah disebutkan memiliki tiga orang 159
Aceh Heritage putera, yaitu Sultan Muzaffar Syah yang mewarisi Darul Kamal. Selanjutnya Sultan Munawarsyah yang mewarisi Kuta Alam dan Sultan Alaiddin Riayatsyah yang menjadi raja di negeri Daya. Sedangkan nama dari dua orang puterinya tidak disebutkan. Ketiga raja tersebut tidak dijelaskan tahun kelahirannya dan siapa yang tertua di antara mereka. Hikayat Aceh menyebutkan bahwa Sultan Alaiddin Riayat Syah juga pernah menjadi raja di Kuta Madat, yang termasuk ke dalam teritorial negeri Pidie. Raja Abdullah bin Malikul Mubin yang bergelar Sultan Inayat Syah yang mengetahui bahwa Portugis telah mulai menanamkan pengaruhnya di pantai Barat Aceh, khususnya di Daya merasa kuatir akan eksistensi hegemoninya. Pada masa raja inilah dilakukan ekspansi hegemoni ke negeri Daya yang kala itu masih bernama Indra Jaya untuk ditaklukkan. Setelah ditaklukkan oleh Sultan Abdullah bin Malikul Mubin, ia meninggalkan bekas negeri Indra Jaya kembali ke pusat pemerintahan. Selain itu ia juga mengkuatirkan Pidie dari pengaruh Portugis di bagian Utara Aceh di selat Malaka sehingga untuk menggantikan posisinya di sana, ditugaskan puteranya Sultan Alaiddin Riayatsyah yang saat itu sedang berada di Kuta Madat, Pidie. Ekspedisi kontrol hegemoni ke pesisir Barat Aceh tersebut untuk menjalankan misi mengintegrasikan kembali raja-raja kecil di bekas Indra Jaya yang sedang berseteru akibat adanya agitasi dari Portugis, dan mengusir bangsa Peringgi itu dari sana. 160
Kerajaan di pesisir Barat sudah melemah karena pengaruh dari kebudayaan asing sekaligus memperkuat kembali pengaruh Islam di sana. Ekspedisi Sultan Alaidin Riayatsyah ke bekas Negeri Indra Jaya Ekspedisi sebagai kontrol hegemoni dilakukan oleh Sultan Inayatsyah untuk menjalankan misi penaklukan kembali pesisir Barat Aceh khususnya ke bekas negeri Indra Jaya yang dikuasai keluarga Datu Paghu. Ia menugaskan langsung putranya Sultan Alaiddin Raiyat Syah ke sana. Ekspedisi tersebut tidak menggunakan jalur laut dikarenakan beberapa hal, antara lain untuk menghindari Portugis yang sudah menanamkan pengaruhnya di Keuluang. Akibatnya, rombongan Sultan Alaiddin Riayatsyah memutuskan untuk memotong kompas melalui jalur darat dengan cara merintis
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
jalan menerobos hutan belantara dengan kekuatan sekitar 300 orang pasukan. Sebelumnya diutus dahulu 30 orang untuk merintis jalan dan membuat perlengkapan persenjataan di sana. Keuluang yang diperintah oleh Datu Pahlawan Syah ternyata telah terikat perjanjian dengan Portugis. Mereka mengetahui adanya ekspedisi ini sehingga terlebih dulu menyiapkan diri menghadapi pasukan Sultan Alaiddin Riayat Syah, dengan dukungan persenjataan dan pasukan Portugis. Setelah diplomasi gagal, akhirnya pasukan Sultan terpaksa menyerang Keuluang. Akibat kehebatan dari serangan pasukan Sultan, akhirnya pasukan Portugis yang membantu pertahanan Keuluang terpaksa mundur ke Kuala Keuluang dan akhirnya angkat jangkar dari sana kembali ke Goa di India. Namun, setelah peristiwa itu Datu Pahlawan Syah masih tetap memberikan perlawanan dan akhirnya negeri ini dapat ditaklukan tanpa syarat oleh rombongan Sultan. Setelah berhasil menaklukkan seluruh kekuasaan kawom Paghu, bekas negeri Indra Jaya dapat diintegrasikan oleh pasukan Sultan Alaiddin Riayat Syah ke dalam persekutuan baru yang disebut dengan Daya. Sejak saat itu Sultan membentuk Kesultanan Islam dan beliau menjadi raja pertama di kesultanan Daya. Dalam Hikayat Aceh disebutkan bahwa di penghujung abad ke-15, di lembah Aceh terdapat dua kerajaan, yaitu Meukuta Alam dan Darul Kamal yang kedua kerajaan ini dipisahkan olah
Aceh Heritage Krueng Aceh. Kedua kerajaan ini selalu bermusuhan, namun tidak dapat menaklukkan lawannya. Untuk memperkuat armadanya Kerajaan Meukuta Alam terus memasok persenjataan melalui teluk Lamri. Dalam Hikayat Aceh disebutkan bahwa dengan kelicikan Sultan Syamsu Syah bin Sultan Munawarsyah dari Meukuta Alam meminang putri Kerajaan Darul Kamal untuk dikawinkan dengan Ali Mughayat Syah dan diterima oleh Sultan Muzaffar Syah, putra Inayat Syah yang memerintah Darul Kamal saat itu. Dalam arak-arakan peminangan disisipi persenjataan dan dilakukan serangan dadakan terhadap Darul Kamal sehingga banyak pembesar-pembesar Darul Kamal terbunuh, termasuk Sultan Muzaffar Syah yang merupakan saudara dari Sultan Alaiddin Riayat Syah. Sejak saat itu Sultan Syamsu Syah memerintah kedua kerajaan tersebut. Peristiwa ini terjadi ketika Sultan Alaidin Riayat Syah yang sedang merintis ekspedisi ke Daya tidak kembali lagi ke pusat kerajaan Darul Kamal yang sudah dikuasai oleh Sultan Syamsu Syah dari Meukuta Alam. Sejak saat itu Sultan Alaiddin Riayat Syah menjadi raja di Kerajaan Daya, sedangkan Darul Kamal sudah direbut oleh Sultan Syamsu Syah. Sultan Alaiddin Riayatsyah diprediksi memerintah di negeri Daya antara tahun 1480-1492 Masehi. Selama pemerintahannya di sana, beliau berhaasil mengintegrasikan empat negeri, yaitu; Keuluang, Kuala Daya, Lamno dan Unga (bekas Negeri Indra Jaya). Pusat pemerintahannya di pusatkan di Kuta Dalam, Lam Kuta Gampong Gle Jong, Kemukiman Kuala Daya sekarang. Dalam menjalankan roda pemerintahannya sultan diban-
tu oleh seorang Wazir merangkap Katibul Muluk, seorang Hakim Tinggi, seorang Mufti Besar, seorang Panglima, dan beberapa orang Menteri, serta keempat raja dari negeri Daya yang merangkap sebagai staf sultan dalam setiap sidang perkara yang dianggap urgen. Sultan Alaiddin Riayat Syah meninggal dunia pada 913 H atau 1492 Masehi dan dimakamkan di bukit yang dinamakan Gle Kandang. Sultan meninggalkan dua orang putera, yaitu Uzir dan Siti Hur. Setelah kemangkatan ayahandanya, Sultan Uzir diceritakan hanya memerintah beberapa tahun saja. Sedangkan putrinya yang bernama Siti Hur diriwayatkan menjadi permaisuri Sultan Ali Mughayat Syah, putra Sultan Syamsu Syah dan kembali lagi ke Daya sampai mangkat di sana. Tinggalan makam keluarga Sultan Alaiddin Riayat Syah masih ramai dikunjungi masyarakat bekas negeri Daya untuk melepaskan nazar atau sekedar mengambil air di dalam guci yang dipercayai dapat menjadi obat yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Puncak kedatangan masyarakat Daya tersebut terjadi pada 10, 11, dan 12 Dzulhijjah, bersamaan dengan pelaksanaan upacara Peumeunap dan Seumeuleung. Upacara Peumeunap dan Seumuleueng ini pada awalnya diselenggarakan pada setiap Hari Raya Idul Adha bertepatan tanggal 10 Dulhijjah untuk memperingati pengukuhan Sultan Alaidin Riayatsyah sebagai Sultan di Daya. Tradisi ini sempat stagnan setelah Poteumeureuhom mangkat, namun dilanjutkan kembali pada masa Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang memerintah kerajaan Aceh tahun 1711-1735 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
M. Pada saat itu, ia sering melakukan kontrol hegemoni di wilayah-wilayahnya untuk memperoleh dukungan karena di Bandar Aceh Darussalam kedudukannya mulai terancam secara internal. Ia membenahi dan menghidupkan kembali tradisi kerajaan Daya sambil mengintegrasikan kembali daerah-daerah tersebut dari konflik internal yang sering terjadi di antara keempat raja di sana. Selama 24 tahun ia berkuasa, tradisi ini masih diselenggarakan. Setelah Kabupaten Aceh Barat lahir, bekas negeri Daya terintegrasi ke dalam beberapa kecamatan dalam kabupaten tersebut. Pada masa ini pelaksanaan tradisi Peumeunap dan Seumeuleung diundur dari 10 Dzulhijjah menjadi 11 Dzulhijjah, mengingat pusat pemerintahan jauh dari lokasi pelaksanaan acara ini. Hal ini dilakukan sebagai wujud sinergis antara pemangku di bekas Kerajaan di Daya dengan petinggi di pusat pemerintahan di Meulaboh pada saat itu. Saat ini, bekas daerah negeri Daya telah berintegrasi ke Kabupaten Aceh Jaya, sehingga ada wacana untuk mengembalikan orisinalitas sesuai aslinya mengingat jarak antara ibukota pemerintahan Aceh Jaya tidak terlalu jauh dengan Kecamatan Jaya. Selain upacara Peumeunap dan Seumeuleung, antusiasme masyarakat di bekas negeri Daya terhadap Poteumeureuhom sampai saat ini sangat tinggi. Hal ini nampak dari keramaian pengunjung berziarah ke Makam ini untuk melepas nazar atau sekedar mengambil air dari dalam â&#x20AC;&#x153;guci kermatâ&#x20AC;? yang ada di kompleks Makam Gle Kandang, pada tanggal 10, 11, dan 12 Dulhijjah, bahkan pada hari-hari biasa pun masih ada saja masyarakat yang datang ke sana untuk berziarah atau melepas nazar. 161
Aceh Heritage
Sumber Rujukan: Misri A. Muchsin, Trumon Sebagai Kerajaan Berdaulat dan Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda di Barat-Selatan Aceh, (Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2014). Denny Hidayat, Benteng Kuta Batee di Kecamatan Trumon Aceh Selatan, Skripsi, (Banda Aceh: Fakultas Adab IAIN AR-Raniry, 2011). Evi Mayasari ed., Beberapa Situs Budaya di Provinsi Aceh, (Banda Aceh: Disbudpar Aceh bidang Adat dan Nilai Budaya, 2011 T. Imran Abdullah, Hikayat Meukuta Alam, UGM, Yogyakarta, 1986) M thamrin Z, Aceh maelawan penjajahan belanda, Banda Aceh: CV.Wahana,2003. Abdurrahman Dkk, Biografis Pejuangpejuang Aceh, Banda Aceh: dinas Kebudayaan Provinsi NAD,2002. Muhammad Yacob, sejarah Ringkas Perjuangan Teungku Peukan: Makalah ini pernah disampaikan pada acara napak tilas perjuangan Tgk Peukan, di Blang Pidie tahun 1995. (mantan kepala Arsip dan perpustakaan Abdya dan sekarang masih aktif di Dinas pendidikan Abdya.
162
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
Aceh Heritage
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018
163
Aceh Heritage
164
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2018