KEMBALIKAN KAWASAN LINDUNG PUNCLUT/PUNCRUT UNTUK KESELAMATAN HIDUP CEKUNGAN BANDUNG YANG BERKELANJUTAN Dialog: Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dengan Media Massa Selasa, 29 November 2011
PERMASALAHAN ● Sejarah Punclut memang mencerminkan kelemahan birokrasi dan leadership para pejabat kita. Pada zaman penjajahan Belanda dulu, Punclut adalah tanah erfpacht, yaitu tanah negara yang disewakan kepada pengusaha perkebunan. Jadi, setelah kemerdekaan, status Punclut tentunya adalah tanah milik negara RI. ● Rupanya waktu itu, pemerintah memperhatikan nasib para pejoang revolusi 1945, dan dengan SK Menteri Agraria No. Sk 27/Ka Tahun 1961 pemerintah memberikan hak milik atas tanah (Sertifikat Hak Milik/SHM) bekas erfpacht ini kepada para pejuang ’45. Walaupun ini adalah anugerah pemerintah, namun bukan gratisan, karena para pejuang ini harus membayar ganti rugi kepada pemerintah. Jelas para pejoang kemerdekaan mendapat sebidang tanah sebagai penghargaan dari rakyat. Jadi peristiwa ini mengandung amanat rakyat. ● Para pejoang pemegang sertifikat hak milik ini tidak bisa membangun karena pemerintah tidak memiliki anggaran untuk membangun prasarana pendukungnya. Pengumuman bahwa pemerintah kota tidak memiliki anggaran tertuang dalam surat tanggal 21 April 1975 No. 11 (6156/75). Bahkan kemudian Gubernur Jabar Aang Kunaefi dengan SK No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 menyatakan bahwa Punclut termasuk Wilayah Inti Bandung Raya bagian Utara yang tidak boleh dibangun, karena berfungsi sebagai resapan air. Pembangunan tanah penghargaan dari rakyat tersebut harus menunggu ketentuan khusus yang akan ditentukan oleh pemerintah. ● Tapi anehnya, PT Dam Utama Sakti Prima atas kemampuan yang maha hebat dan melalui SK No. 460.02-809-94 tanggal 29 April 1994 memperoleh izin lokasi seluas 140 ha termasuk di dalamnya adalah tanah para pejoang tadi. Lebih aneh, lagi-lagi karena kehebatan dan 1