8 minute read
Supardiyono Sobirin
9
Advertisement
Supardiyono Sobirin
Koordinator Dewan Pakar DPKLTS
Paling tidak, ada lebih dari 27 permasalahan lingkungan di Kota Bandung, dari krisis ekonomi, transportasi, pelayanan kesehatan, kebersihan kota hingga urbanisasi. Permasalahan di kota-kota besar di Indonesia hampir semua sama. Namun, justru ada yang terlupakan, yaitu rusaknya sumberdaya alam kota yang selalu lepas dari perhatian, padahal kehadirannya merupakan aset yang dapat menunjang kehidupan kota dan warganya, yaitu mengenai sungai-sungai mikro yang mengalir di dalam kota. Keberadaan sungai-sungai mikro dalam kota sungguh telah diabaikan warga Kota Bandung.
Sungai-sungai mikro di Kota Bandung telah menjadi tempat pembuangan limbah dan keranjang sampah yang umumnya berupa bungkus plastik yang sulit hancur. Di musim kemarau tidak berair, kalaupun ada airnya sangat sedikit, menggenang tidak mengalir, berwarna hitam pekat, baunya busuk menyengat tanpa ada penggelontoran. Bentuk sungainya-pun telah diperkosa oleh warga kota dari alur alamiah aslinya yang ekologis.
Banyak sekali sungai-sungai mikro dalam kota yang sekarat akibat diluruskan, disodet, dipersempit, dibeton, bahkan diurug dan ditutup begitu saja menjadi permukiman, trotoar, tempat parkir dan lain sebagainya. Perlakuan terhadap sungai-sungai mikro perkotaan tidak
Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 53
hanya terjadi di Kota Bandung saja, tetapi hampir merata di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Semarang dan lain-lainnya. Sungguh ironis, padahal di kota-kota besar tersebut adalah tempatnya para ahli, pakar dan peneliti yang seharusnya memberi masukanmasukan kepada pemerintah kota setempat.
Sejak era pembangunan jaman orde baru dengan konsep repelita-nya hingga jaman reformasi dan pasca reformasi sekarang ini, selama hampir setengah abad, sungai-sungai mikroperkotaan telah terabaikan. Pengelolaan dan pelestarian sungai-sungai mikrodi Indonesia, termasuk di Kota Bandung, tidak mendapat porsi anggaran pemeliharaan yang memadai, atau bahkan mungkin tidak dianggarkan.
Barangkali dianggapnya bahwa sungai-sungai mikro perkotaan ini bukan bagian dari “sektor pengairan” yang hanya mengurus pengelolaan sungai-sungai besar, semacam proyek Citarum, proyek Cimanuk, proyek Citanduy, dan lain-lainnya. Padahal sungai-sungai mikro perkotaan adalah bagian dari sistem sungai-sungai yang lebih besar yang terus mengalir ke hilir bermuara di laut.
Potensi Sungai Mikro yang Terlupakan
Secara sederhana sungai dengan lebar 0,5 meter sampai 2 meter yang mengalir di sekitar kita disebut sungai mikro, bahkan masyarakat menyebutnya sebagai selokan. Sungai-sungai mikro ini ada yang berawal dari mata air, ada pula yang hanya berair di kala musim hujan. Sungai-sungai mikro dari banyak tempat kemudian bermuara di sungai kecil. Pengertian sungai kecil adalah sungai yang luas daerah aliran sungainya kurang dari 500 km2. Berdasar pengertian tersebut, maka Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung dengan lebar di hulu 14 meter dan di hilir 26 meter masih “termasuk kelas” sungai kecil, karena daerah aliran sungainya hanya 118 km2.
Berdasar peta topografi terbitan zaman Belanda dulu di awal-awal abad ke-20, sebetulnya Kota Bandung yang saat ini luasnya sekitar 167 km2 memiliki ratusan, bahkan mungkin ribuan sungai-sungai mikro. Sungaisungai mikro ini bermuara di sungai-sungai kecil, lalu sungai-sungai kecil ini mengalir bermuara di sungai-sungai utama. Di Kota Bandung terdapat 15 sungai utama dengan 32 anak sungai yang lebih kecil, jadi semua berjumlah 47 sungai, belum lagi terhitung jumlah sungai-sungai mikronya. Nama-nama 15 sungai utama ini adalah: Cikapundung,
54 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021
Cipamokolan, Cidurian, Cicadas, Cinambo, Ciwastra, Citepus, Cibedug, Curugdogdog, Cibaduyut, Cikahiyangan, Cibuntu, Cigondewah, Cibeureum, Cinanjur. Jumlah panjang 47 sungai-sungai yang mengalir di Kota Bandung tersebut kurang lebih mencapai 265 km, belum terhitung kalau panjang sungai-sungai mikro ditambahkan.
“Bila” lebar sungai tersebut rata-rata 5 meter maka jumlah luas badan sungai-sungai ini tidak lebih dari 1,5 km2, atau kurang dari 1% terhadap luas seluruh Kota Bandung. Persentase yang sangat kecil bagi sebuah kota semacam KotaBandung, apalagi kawasan di hulunya gundul, maka di musim hujan sungai-sungai ini akan tidak mampu menampung air dan menjadi banjir, kemudian di musim kemarau sungai-sungai ini kering berbau busuk oleh limbah dan sampah yang sulit terurai.
Sungai-sungai ini memiliki daerah tangkapan hujan di Kawasan Bandung Utara, Kabupaten Bandung, melalui 5 sub daerah aliran sungai (sub DAS), yaitu: sub DAS Cibeureum, sub DAS Cikapundung, sub DAS Cidurian, sub DAS Cicadas, dan sub DAS Cikeruh. Kondisi semua sub DAS ini telah sangat memprihatinkan, gundul dan telah beralih fungsi menjadi pertanian dan permukiman.
Di bagian hulu sub-sub DAS inilah pada batas utara wilayah kota Bandung terdapat banyak mata air yang keluar di permukaan lereng. Jumlah mata air di kota Bandung ini tercatat banyak sekali, ada ratusan titik mata air, yang kondisinya sekarang juga sangat memprihatinkan, bahkan banyak yang tidak lagi mengeluarkan air, apa lagi di musim kemarau.
Luas semua daerah tangkapan hujan dari sungai-sungai ini kurang lebih 3 kali luas Kota Bandung atau sekitar 500 km2. Curah hujan di daerah tangkapan hujan ini rata-rata 2.300 mm/ tahun, sehingga potensi air hujan dapat mencapai 500.000.000 m2 x 2,3 m/ tahun = 1.150.000.000 m3/ tahun.
Andaikata di hulu sub-sub DAS ini ditumbuhi vegetasi tanaman keras, dengan jenis tanaman yang sesuai (the right tree in the right place in the right time), membentuk hutan lingkungan, hutan kota, atau wanatani, maka dipastikan akan terjadi siklus air yang mantap.
Anggap saja terjadi evapotranspirasi (air yang menguap melalui dedaunan dan air yang dimanfaatkan tanaman untuk berfotosintesa)
Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 55
sebesar 75% atau sama dengan 862.500.000 m3/ tahun, maka air sejumlah inilah yang menjadikan iklim mikro kita stabil. Sisanya sebesar 25% atau 287.500.000 m3/ tahun jatuh ke tanah menjadi air permukaan dan air tanah, yang kita manfaatkan untuk kehidupan Kota Bandung.
Bila jumlah penduduk Kota Bandung 3juta orang dan kebutuhan airnya 200 liter/ hari, maka kebutuhan dalam satu tahun sama dengan 219.000.000 m3/ tahun. Jadi secara teoritis sederhana, apabila fungsi kawasan lindung di hulu sub DAS sungai-sungai Kota Bandung dapat dipulihkan, sebenarnya Kota Bandung sudah mendekati kritis. Untuk itulah dalammemenuhi kebutuhan air warganya sepanjang tahun, maka perlunya antara lain: (1) pemulihan kawasan lindung di hulu-hulu Sub DAS dan juga hutan kota, (2) pemulihan titik-titik mata air, (3) restorasi sungai-sungai mikro agar berfungsi kembali.
Lain halnya bila di hulu sub-sub DAS gundul, di musim hujan potensi air hujan itu akan berlebihan tak terkendali menjadi bencana banjir, dan kekurangan air di musim kemarau. Di musim kemarau banyak kota-kota besar, termasuk Kota Bandung, mengalami kekeringan perkotaan.
Umumnya yang kita ketahui selama ini kekeringan hanya melanda daerah-daerah lahan pertanian saja, namun di perkotaan pun akhirakhir ini sebenarnya juga dilanda kekeringan.
Kekeringan perkotaan biasanya dianggap tidak menjadi masalah, apalagi warga kota dengan mudah dapat membeli air kemasan untuk memenuhi kebutuhannya. Kekeringan perkotaan ditandai dengan rendahnya debit sungai-sungai yang melintasi kota pada musim kemarau, bahkan tidak ada aliran air sama sekali, pohon-pohon meranggas dan polusi udara meningkat.
Upaya Memfungsikan Kembali Sungai Kecil
Pertama, memahami filosofi pentingnya fungsi sungai mikro di perkotaan. Masyarakat dan pemerintah sampai saat ini masih kurang memahami bahwa sebenarnya sungai mikro merupakan bagian terpenting dari sebuah sistem sungai yang lebih besar. Sungai-sungai mikro perkotaan mampu merekam dan menyimpan rahasia alam mengenai kejadian kekeringan, banjir, dan kerusakan daerah aliran sungai secara menyeluruh dari suatu kawasan.
56 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021
Kedua, menghentikan aktivitas kontra produktif masyarakat. Aktivitas masyarakat yang kontra produktif ini adalah mengalih-fungsi kawasan hulu sub DAS dari fungsi kawasan lindung menjadi pertanian semusim dan permukiman. Kemudian di bagian hilirnya bentuk sungai diubah, disodet, diluruskan, bahkan diurug dan difungsikan sebagai tempat pembuangan limbah dan sampah.
Ketiga, memelihara ekosistem sungai-sungai mikro. Perlu disadari bahwa disepanjang tebing sungai perkotaan terdapat ratusan bahkan ribuan titik-titik mata air berskala mikro. Mata air - mata air mikro inilah sebagai pemasok air utama di sungai kecil. Dengan matinya ratusan bahkan ribuan titik-titik mata air mikro di sepanjang tebing sungai ini di musim kemarau, maka debit sungai akan mengecil secara drastis, bahkan tak ada airnya. Lahan di kanan-kiri sungai menjadi kering, karena tidak dapat lagi terjangkau oleh air sungai ini.
Demikian juga, debit yang kecil ini jelas tidak mampu lagi menjadi pengencer air kotor sungai tersebut. Sehingga pada musim kemarau sungai-sungai mikro di daerah perkotaan tidak berair sama sekali, penuh oleh limbah dan sampah perkotaan yang akhirnya mengendap di badan sungai tersebut. Sebaliknya pada musim penghujan, karena penampang alirannya yang telah diubah-ubah menjadi sempit dan banyak endapan sampahnya, maka sungai mikro perkotaan ini tidak mampu lagi menampung aliran air hujan di lingkungannya. Akibatnya adalah terjadinya banjir air bercampur lumpur, limbah dan sampah sangat menusuk hidung baunya.
Dampak lain mengubah tebing dan pinggiran sungai dengan membuat dinding beton atau bahkan diurug adalah matinya ekosistem sungai secara total. Berbagai jenis mikro-organisme air, binatang amfibi, dan vegetasi tebing sungai mengalami kepunahan masal.
Dengan hancurnya ekosistem sungai mikro ini, maka sungai tidak mampu lagi menguraikan limbah yang ada. Limbah dan sampah sama sekali tidak dapat diuraikan, akan membusuk dan tertahan di sungai tersebut menjadi sumber penyakit. Inilah penyebab utama mengapa sungai mikro di perkotaan dan terutama yang telah dibeton justru mengalami kehancuran total menjadi saluran comberan, hitam pekat dan berbau menyengat.
Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 57
Keempat, gerakan masyarakat cinta sungai perkotaan. Tidak ada upaya lain yang lebih penting untuk dilakukan kecuali memperbaiki kembali kondisi ekologi dan siklus air sungai mikro tersebut. Perlu dikembangkan tebingdan pinggiransungai yang ramah lingkungan yang mampu menahan erosi dan longsoran tebing, namun sekaligus tidak merusak ekosistem pinggir sungai.
Barangkali ada yang ingat, beberapa tahun lalu ada Gerakan Cikapundung Bersih? Sesungguhnya gerakan ini merupakan gebrakan yang sangat bagus, apalagi bila didukung oleh semua warga di sekitar sungai. Gerakan ini seharusnya dikembangkan tidak hanya di sungai Cikapundung saja, tapi di semua sungai termasuk sungai mikro yang ada di Kota Bandung. Sayang sekali gerakan yang telah sangat bagus ini kurang direspon oleh hampir semua masyarakat. Faktanya bila pada saat kerja bakti, terlihat lebih banyak yang menonton dari pada yang kerja bakti. Kemudian beberapa hari setelah kerja bakti, sungaikembali kotor bersampah. Kasihan kangerakanyang bagus hilang begitu saja!
Andaikan Kawasan Bandung Utara (KBU) mampu dipulihkan kembali fungsinya sebagai kawasan lindung, maka dapat dipastikan titik-titik mata air akan mengucur kembali, sungai-sungai mikro berfungsi kembali sebagai sumber daya alam perkotaan (bukan untuk membuang limbah dan sampah!), dan Kota Bandung akan terhindar dari bencana kekeringan perkotaan, iklim mikro menjadi stabil, serta air bersih akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya. Pada giliran berikutnya Kota Bandung akan kembali bermartabat, segar, bersih, hijau, berbunga sepanjang tahun.***
58 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021