7 minute read

13 Politik Ekologi dalam Perspektif Perkotaan Rahmat Jabbaril

13

POLITIK EKOLOGI DALAM PERSPEKTIF PERKOTAAN

Advertisement

Rahmat Jabbaril

Sahabat DPKLTS Seniman, Pelukis, Pejuang Kampung Kreatif

Pertimbangan pemajuan peradaban umat manusia, akan diukur dari wajah kota sebagai representasi indentitas berpikirnya. Sepertinya pergerakan berpikir yang menyematkan langkah-langkah dari tindakan manusia itu, menunjukan ruang kolektif sebagai: ruang komunikasi, ruang ekspresi dan ruang saling memberi. Namun pada perkembangannya ruang kolektif (ruang publik) itu menjadi ruang kekuasaan bagi sekelompok orang.

Jadi siapapun yang “berkuasa” di kota itu, dialah yang akan mengatur sistem komunikasi, sistem ekspresi yang dibungkus oleh sistem politik, yaitu politik kekuasaan kapitalistik yang menjadikan struktur alat untuk mengubah kesadaran sesama umat manusia melalui kebijakan yang seolah sebagai representasi demokrasi atau rasa kewargaan.

Dalam konteks itu, kita bisa merasakan dampak dari kebijakan yang mengutamakan kepentingan kekuasaan atas kelompok tertentu, dan memungkinkan menggunakan alat pemerintah (representasi kepublikan) sebagai tangan besinya. Politik kekuasaan kapitalistik tersebutbertentangan dengan pemahaman politik-ekologi.

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 81

Apa itu ekologi atau kajian lingkungan hidup? Ada pandangan filsafat yang berbeda antara John Passmore dan para filsuf ekologi di tahun 1970-an dengan para tokohnya seperti: Val Plumwood (Australia) dan Arne Naess (Bulgaria). Pemahaman John Passore soal ekologi lebih menitikberatkan pada antroposentrisme. Pertama, manusia sebagai sentral dari alam itu sendiri, dan alam hanyalah menjadi alat untuk hidupnya. Sementarapandangan kedua adalah suatu cara pandang pada alam secara bertanggungjawab, yaitu di mana manusia harus menjaga keberlangsungan hidupnya dengan menjaga alam berdasar pada cara menggunakan alam dan membangun kembali alam tersebut seperti reboisasi dan sejenisnya.

Namun pemahaman John Passore dibantah oleh Val Plumwood dan Arne Naes. Kedua filsuf itu lebih menukik lagi berkaitan pemahaman soal kesadaran pada ekologi. Konsep deep ecology (ekologi dalam) merupakan konsentrasi mereka menyoal “kesemestaan” dengan acuan keutamaannya lebih pada ekosentrisme. Bahwa persoalan ekologitidak hanya semata bicara soal tumbuhan, hutan, dan gunung, serta air saja. Namun menyangkut soal nilai hidup dan kehidupan yang berhubungan dengan jejaring-jejaringnya. Dalam pandangan ekolog Bernard Patten, yang disebut ekologi adalah jaringan-jaringan, dan memahami ekosistemakan mengerti jaringan-jaringan.

Dari pandangan Bernard Patten maupun kedua tokoh yang bertolak pada kesadaran ekosentrisme itu, adalah menjadi dasar keutamaan dalam merajut pada pemahaman kota. Di mana kekuasaan kota sebagai representasi dari kesadaran kolektif itu, semestinya tidak bisa menafikan unsur-unsur “jejaring ekologi” dalam menentukan kebijakan kepublikannya. Pastinya dalam kekuasaan patriarki perkotaan akan menempatkan antroposentrisme sebagai pembenaran atas nilai-nilai rasa tanggungjawab pada lingkungan, di mana kehendak pembangunan itu menjadi alat berselancarnya kekuasaanatas segala keberadaan alam.

Tidak ada pengecualian dari hakekat kesadaran politik yang berdasar pada pemahaman “ekologi dalam”, yaitu yang berada di dalam kekuasaan kehendak pada alam itu sendiri. Oleh karenanya struktur bangunan infrastruktur maupun suprastruktur pada realitas perkotaan harusnyasudah menjadi rancangan dalam strategi pembangunan.

Dalam pandangan Faucault, yaitu yang menjadi masalah di sini adalah deskripsi-deskripsi institusi dalam istilah-istilah arsitektur dan

82 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

konfigursi-konfigurasi ruang. Dibagian kesimpulannya diacu pada “geopolitik imajiner” kota penjara. Bagi hakekat kesadaran politikekologi, tentunya kritik Faucault adalah “kesadaran kekuasaan kapitalistik” menjadi tolok ukur dalam mengatur nilai-nilai kebergunaan atas kehendak manusia atau kesadaran patriarki.

Cekungan Bandung Kebijakan Tidak Ekologi-Humanitas

Jika kita menimbang pada kritik Faucault berkait dengan “kesadaran berkuasa” sepertinya kota adalah sebagai ruang penjara, karena di dalamnya masyarakat perkotaan itu sudah terjerembab pada kesadaran pragmatisme, bahwa kota hanyalah tempat hiburan, tempat mencari uang dan pencapaian sertifikasi pendidikan. Terdapat batas-batas ketidakmampuan untuk menukik ke dalam, bagaimana dasar kota sebagai ruang berkomunikasi, ruang berbagi dan ruang berekspresi dengan landasan keselarasan pada lingkungan yang saling berkaitan.

“Ekologi dalam” yang merupakan alas berpijak untuk mengukur kemartabatan manusia dengan alam lingkungannya itu, semestinya ditempatkan pada kesadaran dalam menentukan kebijakan. Seluruh kebijakan yang berkaitan dengan kepublikan, barangkali yang menjadi keutamaannya adalah sikap Chomsky dengan jelas: “kita harus mengevaluasi dengan hati-hati doktrin yang mendominasi wacana intelektual dengan memperhatikan secara seksama argumen, faktafakta, dan pelajaran dari sejarah masa lalu dan juga masa kini”.

Evaluasi atas segala tindakan yang berdampak pada kerusakaan nilainilai “hakekat alam” yang kita rasakan saat ini dapat dirasakan di Cekungan Bandung.Berbagai jenis pembanguan untuk memenuhi pasar global, nilai kelokalan (budaya-ekologi) menjadi terkubur. Misalnya kita merasakan dampaknya, bagimana Cekungan Bandung tidak lagi sesejuk di era 1960-1970an. Apalagi setelah Undang-Undang Otonomi Daerah diterbitkan. Barangkali regulasi tersebut untuk memenuhi amanah semangat gerakan reformasi, di mana sistem negara tidak lagi harus sentralistik. Setiap daerah harus tumbuh mandiri dengan mengembangkan nilai-nilai perekonomian masyarakatnya, budayanya, dan politiknya.

Namun konsep itu tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat atas nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungannya. Akibatnya kita bisa saksikan merambatnya pembangunan yang nilainya timpang, baik pada

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 83

kebutuhan masyarakatnya maupun pada kerusakan lingkungannya. Seperti rusaknya kawasan Bandung Utara, bahkan pada tahun 2007 saja saat penulis bersama komunitas taboo dengan membawa 100 anak melakukan riset ke Kawasan Bosscha. Kami mendapat keluhan dari pengelola Bosscha pada waktu itu, di mana mereka berhadapan dengan persoalan polusi udara, polusi cahaya, dan polusi getaran, yang berdampak pada pengamatan langit yang tidak sempurna. Selain itu fakta lainnya adalah yang tidak bisa ditolerir, bagaimana bencanabanjir, kiriman limpasan air hujan dari kawasan Bandung Utara ke Kota Bandung, sangat memprihatinkan. Begitu juga jika pada musim kemarau, sudah menjadi pengetahuan umum, terutama di wilayah Bandung Selatan bermasalah dengan air bersih dan kekeringan.

Tentu selain persolan air, juga pentingnya pohon dan semak dikawasan Cekungan Bandung. Di mana problem polusi udara semakin parah, karena jumlah kendaraan yang masuk dan keluar wilayah Kota-Kota di Cekungan Bandung semakin banyak, terutama di Kota Bandung. Di mana persoalan jalan pun bermasalah, karena jumlah kendaraan yang berlebihan tidak sesuai dengan panjang badan jalan. Problem ekologi yang menjadi kritik Arne Naess dan Val Plumwood adalah ketidakberpihakannya kebijakan kota pada konsep deep ecology. Keterhubungan satu sama lainnya dari seluruh partikel “kesemestaan” itu tidak menjadi ruang permenungan sebagai dasar pemikiran fudamental ekologi itu sendiri. Maka tidaklah mengherankan problem lingkungan akan menjadi bagian imaging kota, antara lain kota selalu banjir dikala musim hujan.

Politik-Ekologi, Politik Kesadaran Humanitas Perkotaan

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kesadaran pada ekosentrisme merupakan landasan keutamaan dalam memahami perkotaan yang ramah lingkungan. Di dalam kesadaran pada substansi ekologi itu, tentu menjadi penting bahwa definisi ekologi harus dipahami secara ontologis. Sebab keutamaan menentukan kebijakan dalam pengelolaan kota yang “ramah lingkungan” itu tidak bisa lepas dari pemikiran Benard Patten, yaitu dipastikannya keterkaitan satu sama lainnya sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkahlangkah kerja dari pembangunan kota.

Sebentang kota yang mempunyai nilai peradaban humanitas itu, dengan pastinya tidak bisa lepas dari unsur jejaring, secara organik seluruh

84 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

“komponen lingkungan” yang ada di wilayah perkotaan tersebut. Seluruh “potensi lingkungan” akan menjadikan “nilai hidup” bagi “kehidupan perkotaan yang humanitas”. Tidak menjadi semestinya kedudukan kewargaan kota itu akan menjadi samar atas dirinya, karena masuk pada ruang imajiner yang dibentuk oleh sebuah disain kepentingan kapitalistik oleh penguasa perkotaan). Pada konteks itu, tidaklah heran seleruh bentuk nilai yang ditumbuhkan dalam tatanan budaya lebih pada kesadaran semu atau artifisial. Hal tersebut begitu jelas apa yang di katakan David Chaney: “gaya hidup adalah kreasi atau adopsi artifisial”.

Sepertinya bentuk imajiner penjara kota itu semacam sudah dirancang oleh kekuatan kuasa kota dengan politik globalnya, demi keberlanjutan kepentingan pasar. Karenanya masyarakat perkotaan dijadikan objek dari strategi atau disain oleh para arsitektur global tersebut. Comsky menjelaskan: “tapi bagaimanapun kita dapat memperkirakan bahwa apa yang benar bagi warga dunia paling jauh hanya bersesuaian dengan garis besar pemikiran para arsitek utamakebijakan.”

Seperti telah dijelaskan diawal, bahwa representasi peradaban manusia akan ditunjukkan dengan wajah kotanya. Namun menjadi persoalan, jika wajah kota itu berupa imajiner penjara kota. Berdasar pemikiran Batten itulah sesungguhnya, kita bisa berkaca, dan menemukan ontologiekologi itu sebagai landasan dari politik-ekologi. Karena keberlanjutan dari pemajuan kebudayaan perkotaan yang beradab, pastinya aspek keterhubungan jejaring seluruh komponen lingkungan menjadi keutamaan sebagai rumusan politik kesadaran humanitas perkotaan.

Masukan untuk Membangun Kota Cerdas

Politik-ekologi untuk sebuah pemajuan kota yang beradab, barangkali menjadi ukuran bagi kota yang mempunyai masa depan yang cerdas. Kota cerdas itu ditentukan berdasar pada kesadaran pada filsafat ekologi sebagai landasan berpikirnya rancangan strategi pembangunan kota, sebab polarisasi dari pemahaman kota yang pragmatis, akan menjadi persoalan bagi kotanya itu sendiri.

Tidak bisa dinafikannya berbagai “bencana” yang mencengkeram setiap hari. Baik bencana karena polusi, bencana karena kekeringan air, bencana karena kebanjiran, bencana karena angin puting beliung,

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 85

bencana karena ketegangan sosial, dan bencana ekologi lainnya yang menimpabagi keberlangsungan generasi “kehidupan. ”

Sudah begitu gamblangnya bahwa realitas perkotaan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Namun juga unsur-unsur alam lainnya akan menjadi penting sebagai jejaring hidup. Karenanya kesadaran pada pemahaman ekologi dalam atau deep ecology, menjadi keutamaan dalam menentukan kesadaran ekologi keberlanjutan kota yang beradab.

Seorang penganut objektivisme tidak dapat menganggap bahwa dunia yang mereka tinggali adalah sama bagi semua orang yang tinggal di dalamnya, karena masing-masing memiliki ketidak-samaan dalam memahami politik ekologi untuk pembangunan yang berkelanjutan.***

86 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

This article is from: