Pengenaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Perambahan Hutan
Oleh
Ineke Indraswati*
* (Tulisan ini disarikan dari Tesis “Pengenaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Perambahan Hutan� dengan penulis Ineke Indraswati, yang diuji pada tanggal 12 Juli 2007 pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
PENGENAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS PERAMBAHAN HUTAN
1
Negara Indonesia memiliki hutan seluas kurang lebih 144 juta ha, hanya 118 ha yang masih berupa hutan. Hutan seluas itu diperinci dalam hutan produksi seluas 49,3 juta, hutan lindung 39,9 juta ha, serta hutan konservasi dan hutan lainnya seluas 29 juta ha.2 Dengan demikian hutan yang merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat untuk memakmurkan masyarakat sudah semakin berkurang di Indonesia. Hutan sebagai model pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Hutan berasal dari terjemahan kata bos (dalam bahasa Belanda) dan forest (dalam bahasa Inggris). Dalam oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th edition, forest : (1) a large area of land that is thickly covered with trees; (2) a mass of tall narrow object that are close together. 3 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , hutan adalah ; (1) tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara orang); (2) tumbuhan yang tumbuh diatas tanah yang luas (biasanya di wilayah pegunungan); (3) yang tidak dipelihara orang. 4 Sedangkan menurut dangler, sebagaimana dikutip dari Salim, hutan adalah sejumlah 1
Indraswati, Ineke. Pengenaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Kasus Perambahan Hutan (Studi Kasus Darianus Lungguk Sitorus). Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 12 Juli 2007, Jakarta. 2 Haeruman,herman. Masalah Sosial dalam Pembangunan Kehutanan. Makalah pada Seminar Pascasarjana UI. 4-5 November 1992, Jakarta, h.1. 3 th Hornby, AS. oxford Advanced Learner’s Dictionary. 7 ed.Oxford ; Oxford University Press, 2005, p. 607. 4 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed 3. Cet. 3 Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka, 2005, h. 413.
1
pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagianya lingkungannya,
akan
tetapi
dipengaruhi
tidak lagi menentukan
oleh
tumbuh-tumbuhan
/
pepohonan baru asalkan asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horisontal dan vertikal).5 Definisi tersebut senada dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuanketentuan Pokok Kehutanan yang mengartikan Hutan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohonan) yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya, dan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Hutan. Sedangkan pengertian hutan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahan. Dari definisi diatas ada 4 (empat) unsur yang terkandung, yaitu : 1. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal Âź hektar), yang disebut tanah hutan; 2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna; 3. Unsur lingkungan; 4. Unsur penetapan pemerintah. Unsur pertama, kedua, dan ketiga membentuk persekutuan yang tidak dapat dipisahan satu dengan lainnya. Pengertian hutan disini menganut konsepsi hutan secara vertikal, karena adanya lapangan (tanah), pohon, flora dan fauna beserta lingkungannya merupakan kesatuan yang utuh. Unsur adanya penetapan pemerintah berarti penting
karena
adanya
Penetapan
5
Pemerintah
c.q.
Menteri
Salim. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Ed. Revisi. Cet. 2. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.h. 40.
2
Kehutanan, maka kedudukan yuridis hutan menjadi kuat. Hal ini berarti 2 (dua) pokok penting, yaitu : 1. Agar setiap orang tidak dapat sewenang-wenang untuk membabat, menduduki, dan atau mengerjakan kawasan hutan, dan; 2. Mewajibkan kepada Pemerintah c.q. Menteri Kehutanan untuk mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menetapkan adanya 4 (empat) jenis hutan, sebagai berikut : 1. Hutan yang dibedakan berdasarkan status (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara
orang,
pengelolaan,
badan
hukum,
pemanfaatan,
dan
atau
institusi
perlindungan
yang
melakukan
terhadap
hutan
tersebut. Hutan ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu hutan negara dan hutan hak. 2. Hutan yang dibedakan berdasarkan fungsi ( Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Hutan ini dibedakan menurut fungsinya yaitu : -
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian hutan dan taman buru.
-
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
3
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempuyai fungsi
-
pokok memproduksi hasil hutan. 3. Hutan yang dibedakan berdasarkan tujuan khusus (Pasal 98 UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999). Hutan
yang
digunakan
untuk
keperluan
penelitian
dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan religi dan budaya setempat dengan syarat tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 4. Hutan yang dibedakan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Hutan ini ditetapkan sebagai kawasan tertentu sebagai hutan kota yang berfungsi untuk pengaturan iklim, mikro, estetika, dan resapan air. Hutan sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Ada yang berupa manfaat langsung maupun manfaat yang tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dirasakan/dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan, seperti rotan, getah, buah-buahan, madu dan lain-lain. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dapat dirasakan, antara lain sebagai berikut : mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat bagi kesehatan, memberikan rasa keindahan, memberikan manfaat di sektor pariwisata, memberikan manfaat di bidang pertanahan dan keamanan, dan dapat menampung tenaga kerja, serta tentunya dapat menambah devisa negara. Pada prinsipnya penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya. Akan tetapi tidak ditutup kemungkinan untuk menggunakan hutan dengan fungsi yang menyimpang dari peruntukannya dengan syarat ada persetujuan dari Menteri Kehutanan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 1 (satu) Peraturan Pemerintah Nomor 28 4
Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dan sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 38 berbunyi : “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung�
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka jelas bahwa kawasan hutan dapat diubah peruntukannya apabila kawasan hutan itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Sebagai contoh, untuk waduk dan irigasi. Perbuatan manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai badan hukum, selaku subyek hukum dalam pemanfaatan lingkungan hidup melalui pengelolaannya dapat mengakibatkan unsur/komponen lingkungan hidup itu menjadi berkurang fungsinya daripada semula, bahkan dapat berakibat degradasi fungsi sampai kepada apa yang disebut sebagai rusaknya atau tercmarnya lingkungan hidup termasu perbuatan pidana.6 Dengan demikian ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perbuatan pidana dapat dikenakan pada pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan hidup. Istilah korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 7 Pemberantasan tindak pidana korupsi
merupakan
usaha
yang
telah
lama
dilakukan,
namun
kenyataannya menunjukan bahwa seberapapun usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi, jumlah tindak pidana korupsi terus saja meningkat, praktek penanggulangan korupsi tidaklah sesederhana yang dikatakan karena perkembangan korupsi di berbagai negara bervariasi 6
Koeswandji, Hermien Hadiati. Hukum Pidana Lingkungan. Cet.1. Bandung : Citra Aditha Bhakti, 1993, h. 145 7 Loc. Cit. H. 597
5
sesuai dengan politik, budaya, kesadaran hukum masyarakat dan perkembangan sistem-sistem hukum yang dianut masing-masing Negara. Dari kenyataan ini nampak bahwa pemberantasan korupsi di banyak negara termasuk indonesia merupakan suatu masalah yang krusial dan multidimensional, ini berarti bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi tidak bisa didekati hanya dari satu macam pendekatan saja. Akan tetapi harus dikerahkan segala tenaga, pikiran, dan metode dari berbagai kehidupan karena kurupsi bukan saja masalah pelanggaran hukum, tetapi juga berkaitan dengan kultur, ekonomi dan politik. Dalam kerangka dan ruang lingkup informasi yang tengah berlangsung di negara ini, orang makin disadarkan dengan peran penting hukum sebagai sarana pengayoman (social defense) untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di berbagai bidang kehidupan
seperti
politik
pengayoman
tercermin
pengendalian
sosial
dan
ekonomi.
melalui
(social
fungsi
control),
Peran hukum
perubahan
hukum
sebagai
sebagai
sarana
social
(social
engineering), dan hukum sebagai sarana integratif.8 Tuntutan masyarakat untuk memberantas korupsi adalah cermin masalah penegakan hukum di negeri ini, sebab korupsi merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang merugikan negara dan masyarakat. Korupsi yang timbul dimana-mana merupakan petunjuk kelemahan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian, sarana perubahan, dan sarana integratif, dimana hal-hal tersebut didasarkan pada alasan sebagai berikut: 1.
Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian, ternyata masih harus diberdayakan secara optimal, karena perbuatan yang bersifat korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi status realita di masyarakat;
8
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Social. Bandung : Alumni, 1983, h.
127.
6
2.
Fungsi hukum sebagai sarana perubahan dihadapkan pada suatu realita bahwa hukum sebagai sarana untuk merubah perilaku harus diefektifkan yang tercermin melalui penerapan hukum, pelayanan hukum dan penegakan kepastian hukum berdasarkan keadilan;
3.
Fungsi hukum sebagai sarana integrasi yang tercermin melalui fungsi pengadilan sebagai sarana penyelesaian konflik, khususnya dalam penyesuaian kasus-kasus korupsi dan bentuk-bentuk white collar crime yang selalu menjadi sorotan dan kritik masyarakat. Hal ini sering disebabkan oleh ketidakberdayaan hukum dan penegak hukum yang menyangkut berbagai hal yang kompleks. Menurut Syed Husein Alatas sebagamana dikutip oleh Martiman
Prodjojoamidjojo, ada 4 (empat) tipe korupsi yang dalam prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai berikut9 : 1.
Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang;
2.
Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan;
3.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal-balik;
4.
Korupsi dengan berbagai akal berlindung di balik pembenaran hukum. Korupsi merupakan tindak pidana yang unik dan kerap terjadi di
berbagai kehidupan, baik di bidang pemerintahan maupun yang melibatkan pegawai negeri sipil maupun di bidang swasta. Berkaitan dengan tujuan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, maka pada tahun 2005, Kejaksaan Agung Republik Indonesia memulai penyidikan atas kasus perambahan Hutan yang dilakukan di Kawasan Hutan Register 40 yang bertempat di Sumatera Utara. Kasus perambahan Hutan yang dilakukan oleh PT. TORUS GANDA atau PT. TORGANDA di Sumatera Utara dipimpin oleh Darianus Lungguk Sitorus. Kasus Darianus Lungguk Sitorus ini merupakan kasus kehutanan pertama kali yang ditangani oleh Kejaksaan Republik Indonesia dengan menggunakan 9
Prodjojoamidjojo, Martiman. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi ( Undang-Undang Nomor 31 Tahu 1999). Bandung : CV. Bandar Madju, 2001, h. 12.
7
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berkaitan dengan kewenangan Jaksa sebagai Penyidik, dinyatakan bahwa selain penyidik Pegawai Negeri Sipil dan penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., Pasal 30 ayat (1) dinyatakan bahwa di bidang pidana, kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yaitu: a.
Melakukan penuntutan;
b.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.
Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan
sebelum
dilimpahkan
ke
pengadilan
pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik. Dengan demikian Kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana kehutanan adalah Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Selain kedua instansi tersebut, masih terdapat instansi lain yang juga mempunyai kewenangan seperti Kejaksaan Negeri yang berwenang menyidik tindak pidana khusus, Perwira TNI Angkatan Laut dan Petugas Bea Cukai yang juga
berwenang
melakukan
penyidikan
terutama
dalam
hal
penyelundupan kayu. Oleh karena itu, ada beberapa instansi yang sekaligus berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus penebangan
8
liar yang melaksanakan tugas sesuai dengan Undang-undang Nomor yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas masing-masing.10 Hal tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHP Pasal 17 menyatakan bahwa, “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.� Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kekuasaan tersebut dilaksanakan secara merdeka. Kejaksaan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Jaksa Agung selaku pimpinan
kejaksaan
bertanggung
jawab
atas
penuntutan
yang
dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati
nurani,
sehingga
Jaksa
Agung
dapat
dengan
sepenuhnya
merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijaksanaan merumuskan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan. Upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung berkaitan dengan tindak pidana korupsi pada pelaksanannya menghadapi berbagai kendala/hambatan dalam optimasi pemberantasan korupsi, yang antara lain disebabkan karena11 : a.
Kompleksitas kasus korupsi, hal ini memerlukan penanganan yang koordinatif tetapi pada kenyataannya apabila dikooordinasikan 10
Nurdjana, IGM , Teguh Prasetyo, Sukardi, Korupsi dan Ilegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, cet.2, Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005, h. 11. 11 Jaksa Agung R.I. , Kekuatan , Kelemahan, Kendala, dan Peluang Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Aspek Pidana pada Kebijakan Publik dalam Tindak Pidana Korupsi, Universitas Diponegoro, Semarang, 7-9 Mei 2004.
9
dengan pimpinan dari pihak yang diperiksa, pimpinan yang bersangkutan tidak rela jika unit kerjanya diperiksa; b.
Kendala waktu, terjadinya korupsi umumnya sudah lama sehingga sulit pembuktiannya. Hal ini akan menyulitkan penyidik untuk mencari bukti serta saksi. Jadi apabila kasus korupsi dapat diketemukan secara dini akan sangat mendalam penanganannya;
c.
Intensitas pemeriksaan oleh aparat pengawasan fungsional yang terbatas. Volume serta intensitas pengawasan baik oleh satuansatuan pengawasan intern maupun pengawasan ekstern di pusat maupun didaerah selama ini kurang memberikan masukkan ke aparat penyidik perkara korupsi, sehingga kurang memberikan kontribusi yang signifikan jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap.
d.
Merebaknya kasus korupsi melalui kebijakan publik. Modus operandi yang paling canggih dari tindak pidana korupsi saat ini melalui adalah melalui kebijakan publik, baik yang dikeluarkan dari lembaga legislatif, lembaga eksekutif maupun lembaga-lembaga pembuat keputusan yang ada di BUMN/BUMD dan lembaga Perbankan.
Kejaksaan berwenang dalam melakukan penyidikan dalam tindak pidana khusus sebagaimana dimuat dalam ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyatakan : “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undangundang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.� Bunyi Pasal ini diuraikan dalam Penjelasan Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 , yaitu : a.
Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan;
10
b.
Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu� ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain : -
Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Tindak Pidana Ekonomi;
-
Undang-undang
Nomor
3
Tahun
1971
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada
undang-undang
tertentu
akan
ditinjau
kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkatsingkatnya. Dengan demikian dalam beberapa tindak pidana khusus masih ada wewenang Jaksa melakukan penyidikan, oleh undang-undang tindak pidana khusus itu sendiri menyebut secara tegas tentang wewenang Jaksa melakukan penyidikan, seperti dalam tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi , dan lain-lain.12
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Hukum di Indonesia menganut asas-asas hukum, salah satunya adalah asas Lex Specialis Derogat Legi Generali. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali ini dimuat dalam Pasal 63 ayat (2) kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan : “Apabila untuk suatu perilaku yang telah diatur didalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum itu terdapat suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka yang terakhir inilah yang harus diberlakukan.� Dalam hal ini apabila ketentuan pidana yang disebabkan terakhir itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti 12
Harahap , M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyelidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 3, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, h. 357-358.
11
secara lebih khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur didalam suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang harus diberlakukan atau dengan kata lain dalam hal itu berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan Lex Specialis Derogat Legi Generali.13 Sebagaimana diuraikan Soegandi dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana : “Apabila ada sesuatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus disamping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai. Ini adalah penjelmaan slogan kuno yang berbunyi Lex Specialis Derogat Legi Generali, yang artinya undang-undang khusus meniadakan undang-undang umum. Undang-undang khusus ialah undang-undang yang berisikan unsur-unsur dari undangundang umum yang ditambah dengan sesuatu lagi yang lain. Misalnya Pasal 363 berasal dari Pasal 362 yang dikhususkan. Kedua pasal memuat semua unsur pencurian, tetapi Pasal 363 ditambah dengan beberapa unsur lainnya14.� Soenarto menyatakan mengenai ketentuan pidana umum dan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP adalah apabila semua ciri dari suatu ketentuan pidana (yang umum) diketemukan kembali dalam yang lain (dalam khusus), dimana yang khusus lagipula memiliki satu atau beberapa ciri yang lain ( HR 19 Juli 1921).15 Dalam doktrin terdapat 2 (dua) cara dalam memandang suatu ketentuan pidana untuk dapat menyatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau bukan, yaitu :16
13
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. 2, Jakarta : PT. Citra Aditya Bhakti, 1997, h. 712. 14 Soegandhi,R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Penjelasannya, Surabaya : Usaha Nasional, 1980, h. 79-80. 15 Soerodibroto , R. Soenarto., KUHP dan KUHAP, Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Road, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003,h. 59. 16 Lamintang, Op. Cit. H. 713.
12
a.
Logische berschouwing atau cara memandang secara logis adalah : Suaru ketentuan pidana dapat dianggap suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabila ketentuan pidana tersebut disamping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur ketentuan pidana yang bersifat umum.
b.
Juridische atau systematische bershouwing atau cara memandang secara yuridis atau sistematis adalah : Suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus. Kekhususan
ini
disebut
systematische specialiteit
sebagai
juridische
specialiteit
atau
yang berarti kekhususan secara yuridis
atau secara sistematis. Apabila dilihat dari rumusan pasal-pasal dalam KUHP, maka dapat dikatakan bahwa kekhususan letentuan-ketentuan pidana yang bersifat khusus itu terletak pada sifatnya yang memberatkan atau meringankan hukuman. Menurut Lamintang, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum.17 Bahwa adanya satu feit atau perbuatan yang diduga melanggar ketentuan umum dan ketentuan khusus, maka ketentuan yang harus diterapkan adalah ketentuan khusus, hal itu sesuai dengan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yaitu peraturan yang khusus meniadakan peraturan yang umum.18
17
Lamintang, Op. Cit. H. 715 Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi ditinjau dari Hukum Pidana, Jakarta : Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, h . 153. 18
13
Kendala-kendala yang dihadapi oleh kejaksaan selaku Penyidik dan penuntut Umum. Asas Lex Specialis derogat Legi Generali dicantumkan dalam Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Menyatakan : “apabila untuk sesuatu perilaku yang telah diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum itu terdapat susatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka yang terakhir inilah yang harus diberlakukan� Dengan kata lain apabila ketentuan pidana yang disebutkan terakhir itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara lebih khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur didalam suatu khusus itulah yang harus diberlakukan atau dengan kata lain dalam hal ini berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan Lex Specialis derogat Legi Generali .19 Ada berbagai macam pendapat mengenai asas Lex Specialis derogat Legi Generali
yang berkaitan dengan penggunaan ketentuan tindak pidana
korupsi terhadap tindak pidana di luar KUHP yang diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan sendiri. Apabila dilihat dalam perkara Darianus Lungguk Sitorus yang dalam proses persidangan pada tahap pemeriksaan ahli, telah didengar beberapa ahli hukum yang berkaitan dengan asas Lex Specialis derogat Legi Generali ini. Dalam pemeriksaan ahli hukum dari Penuntut Umum, yaitu Prof. Komariyah Sapardjaja, S.H. beliau mengatakan bahwa 20: -
ketentuan undang-undang kehutanan yaitu undang-undang No 5 Tahun 1967, peraturan pemerintah No 28 Tahun 1985 dan Undangundang
No
31
Tahun
perundang-undangan
1999,
khusus,
kedua-duanya jadi
diatur
kedua-duanya
didalam
mempunyai
kedudukan yang sama sebagai asas Lex Specialis dikaitkan dengan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi, 19
Lamintang , P.A.F , dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. Jakarta : PT. Citta Aditya Bakti, 1997, h. 712. 20 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat., Op., Cit . h. 315.
14
maka
kedua
undang-undang
itu
saling
melengkapi
untuk
memberantas kejahatan extra ordinary di bidang kehutanan; -
apabila ada seorang didakwa menebang kayu dan mengambil kayu dihutan
maka
yang
seharusnya
didakwakan
undang-undang
kehutanan dan didalam perkembangannya tindak pidana korupsi dapat menyangkut berbagai bidang, seperti bidang perbankan, telekomunikasi, kehutanan, dan lain-lain, selama tindak pidana tersebut memenuhi rumusan pasal-pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999; -
ada undang-undang tentang tindak pidana korupsi dan ada undangundang tentang kehutanan, penyelundupan, perbankan, dan lain sebagainya, dan undang-undang kehutanan diterapkan tanpa disertai dengan undang-undang tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan sifatnya administrasi yang diberi pidana dan menyangkut sifat administratif digunakan undang-undang kehutanan, tetapi apabila merugikan perekonomian negara yang digunakan adalah undang-undang tnindak pidana korupsi, sesuai dengan undang-undang Pasal 63 KUHP;
-
undang-undang kehutanan adalah undang-undang yang bersifat administratif yang mempunyai sanksi pidana dan undang-undang kehutanan
masih
polemik
dan
hukum
administrasi
didalam
penegakan hukum sangat menggantungkan terhadap hukum pidana arena hukum pidana bersifat memaksa dan hukum administrasi lebih bersifat perdata dan tidak nersifat memaksa dan sanksinya berupa denda; Ketentuan perundangan-undangan yang mengatur tentang hutan dan pengelolaannya bersifat administratif yang mengandung unsur pidana. Ketentuan perundang-undangan yang bersifat administratif mengatur tentang hutan dan pengelolaannya merupakan asas Lex Specialis di bidang hukum Administratif, namun ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut tidak bersifat khusus dan hanya sekedar unsur 15
pemaksa
untuk
memenuhi
ketentuan-ketentuan
yang
bersifat
administratif. Mengenai asas asas Lex Specialis derogat Legi Generali ini, Tim Penasehat Hukum dalam kasus Darianus Lungguk Sitorus mengajukan ahli hukum Dr. Rudi Satrio yang menyatakan bahwa 21: -
apabila sesuatu perbuatan memenuhi 2 (dua) rumusan perundangundangan, disatu sisi memenuhi rumusan undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan disisi lain memenuhi rumusan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi, dilihat dari asas Lex Specialis derogat Legi Generali apabila seseorang melakukan tindak pidana khusus maka diatur di Pasal 63 ayat (2) KUHP yang digunakan untuk pemidanaannya atau yang khusus atau yang spesialis;
-
undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mengandung hukum administrasi yang ada unsur pidananya dan merupakan
Lex
Specialis. Apabila mengalami kesulitan didalam mencari Lex Specialis-nya, maka dilihat apakah perbuatan tersebut lebih dekat kepada tindak pidana kehutanan atau lebih dekat kepada tindak pidana korupsi; -
undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak bisa mengesampingkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 karena adanya asas ultimum remedium dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah undang-undang administrasi yang ada sanksinya dan sudah ada garis tebalnya bahwa undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah undang-undang Administrasi yang ada sanksi pidananya.
Selain itu, ahli hukum Prof. Dr Andi Hamzah yang ikut didengar keahliannya menyatakan sesuai dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka orang yang melanggar undang-undang kehutanan tidak dapat dikenakan tindak pidana korupsi karena ketentuan khususnya adalah kehutanan dan 21
Putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ibid. , h. 340.
16
bukan korupsi. Berdasarkan pendapat DR. D. Schaffmeister bahwa untuk menerapkan pasal 63 ayat (2) KUHP, maka hakim harus benar-benar memeriksa perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, apabila seseorang terdakwa membabat hutan maka ia harus diadili dengan undang-undang kehutana dan bukan diadili dengan undang-undang korupsi22. Dalam salah satu bukunya, Nurdjana, dkk , menyatakan bahwa
23
:
Dampak kerugian yang ditimbulkan akibat iIlegal Logging terhadap keuangan atau perekonomian negara ini secara yuridis menurut pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 pada dasarnya telah memenuhi unsur kejahatan korupsi. Oleh karena itu kejahatan iIlegal Loging yang juga merupakan Extra Ordinary Crime adalah salah satu Modus Tipologi kejahatan korupsi. Hubungan antara korupsi dengan iIlegal Logging ini menurut beberapa kalangan sangat erat sekali. Selain dampak kerugian negara oleh iIlegal Logging sebagai salah satu unsur perbuatan korupsi, juga perbuatan iIlegal Logging lebih banyak terjadi sebagai akibat dari perbuatan korupsi itu sendiri. Oleh karena itu antara korupsi dan iIlegal Logging saling terkait satu sama lain. Dari beberapa pendapat, yang diuraikan tersebut diatas, ada 2 (dua) perbedaan pendapat bahwa apakah undang-undang tindak pidana korupsi merupakan ketentuan lex specialis dari ketentuan hukum yang ada ataukah ketentuan mengenai tindak pidana korupsi hanya bisa diterapkan pada tindak pidana yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Bahwa ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan dapat diterapkan mengingat undang-undang tindak pidana korupsi adalah undang-undang tindak pidana khusus yang mempunyai kedudukan 22 23
Putusan Pengadilan Negeri Jakrta Pusat, Ibid., h. 363.s Nurdjana, Op. Cit., h.6.
17
yang sama dengan undang-undang kehutanan yang juga merupakan undang-undang tindak pidana khusus. Delik korupsi bukan merupakan delik tersendiri dan mempuntai spesifikasi tertentu yang tercantum didalam unsur-unsurnya, seperti delik pencurian atau delik pembunuhan, sehingga ketentuan dalam tindak pidana korupsi dapat digunakan terhadap tindak pidana lainnya apabila memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi tersebut, misalnya perbuatan melawan hukum dan dapat merugikan negara. Asas Lex Specialis derogat Legi Generali yang diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tidak memberikan ketentuan yang lebih rinci sehingga menimbulkan berbagai penafsiran terhadapnya. Oleh karena itu asas Lex Specialis derogat Legi Generali dan berbagai penafsiran tentang ketentuan itu menjadi kendala bagi Penuntut Umum dalam mendakwakan tindak pidana korupsi terhadap tindak pidana diluar KUHP yang unsurunsurnya juga termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana korupsi. Sebagaimana dikatakan oleh DR. Rudi Satrio diatas bahwa apabila mengalami kesulitan didalam mencari Lex Specialis-nya, maka dilihat apakah perbuatan tersebut lebih dekat kepada tindak pidana kehutanan atau lebih dekat tindak pidana korupsi. Dengan demikian menurut penulis, bahwa ketika suatu tindak pidana terjadi, walaupun tindak pidana itu sudah diatur dalam suatu ketentuan tersendiri, akan tetapi apabila tindak pidana tersebut juga mengandung unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ataupun unsur-unsur yang termuat dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi maka untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan dapat digunakan ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana korupsi yang lebih berat sanksi pidana, denda, maupun pidana uang pengganti. Permasalahan yang kemungkinan akan muncul kemudian adalah kepastian
hukum.
Oleh
karena
itu
18
sebagaimana
diuraikan
oleh
Lamintang24 dalam doktrin keduanya yaitu juridische atau systematische bershouwing atuau cara memandang secara yuridis atau sistematis yang berarti bahwa suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan tindak pidana tersebut sebagai suatu ketentuan tindak pidana ayang bersifat khusus. Sebaiknya pembentuk undang-undang menentukan dengan jelas tindak pidana yang dapat dkategorikan sebagai tindak pidana khusus atau dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Majelis Hakim yang mengadili hal ini pada Tingkat Pertama dan tingkat kasasi mengambil alih pertimbangan atau pendapat dari ahli Prof. DR. Andi Hamzah yang menyatakan sesuai dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka orang yang melanggar undang-undang kehutanan tidak dapat dikenakan tindak pidana korupsi karena ketentuan khususnya adalah kehutanan dan bukan korupsi. Perbedaan-perbedaan pemahaman mengenai azas ini merupakan kendala bagi Penuntut Umum dalam menggunakan ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan. Hal ini menimbulkan pertentangan dalam suatu sistem acara pidana di Indonesia mengingat seharusnya Kejaksaan dan pengadilan saling mendukung, akan tetapi perbedaan pandangan ini menyebabkan kekurangterpaduan sistem peradilan tersebut.
Kerugian Negara Dalam unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana disangkakan, salah satunya adalah unsur kerugian keuangan negara. Undang-undang
24
Lamintang, Op. Cit. H. 713.
19
Nomor 31 Tahun 1999 mengatur mengenai pengertian keuangan negara yang dimuat dalam Penjelasan Umum, disebutkan Bahwa :25 Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan negara yang dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hal dan kewajiban yang timbul karena : a. Berada
dalam
penguasaan,
pengurusan,
dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah; b. Berada
dalam
penguasaan,
pengurusan,
dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik
Daerah,
yayasan,
badan
hukum
dan
perusahaan yang menyertakan modal negara , atau perusahaan
yang
menyertakan
modal
pihak
ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara. Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Bab I Pasal 1 ketentuan umum angka 1 menyatakan:26 “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu abik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikn miik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1 angka 22 menyatakan :27 “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun halal” 25
Penjelasan Undang-ndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Nomor 31 Tahun 1999, LN Nomor 140 Tahun 1999, TLN Nomor 387. 26 Indonesia, Undang-undang Tentang Keuangan Negara , Nomor 17 Tahun 2003, LN Nomor 47 Tahun 2003, TLN Nomor 4286. 27 Indonesia, Undang-undang Tentang Perbendaharaan Negara , Nomor 1 Tahun 2004, LN Nomor 5 Tahun 2004, TLN Nomor 4335.
20
Ahli hukum, Prof. Dr. Komariah Emong Saprdjaja, S.H., dalam pemeriksaan pada persidangan menyatakan bahwa karena hutan adalah milik negara dan masyarakat Indonesia maka perambahan hutan dan perusakan hutan adalah tindakan yang tidak benar yang merupakan kerugian negara. Ahli Kehutanan, DR. Ir. Bramastyo Nugroho, M.S., yang diajukan sebagai ahli dari Penuntut Umum untuk menghitung kehilangan sumber daya hutan, menyatakan bahwa perhitungan yang dilakukan berdasarkan hilangnya tegakan kayu di lahan hutan berdasarkan hilangnya manfaat ada 2 (dua) teori, pertama yang menyatakan bahwa manfaat adalah sesuatu yang apabila diberikan kepada seseorang akan mendatangkan keuntungan, kedua apabila manfaat tersebut diambil maka akan menimbulkan kerugian. Berangkat dari konsep ini maka nilai total ekonomi (total economic value) yang terdiri atas nilai guna langsung, nilai guna tak langsung, nilai guna opsi, dan nilai waris yang bisa diwariskan pada anak cucu. Nilai guna antara lain adalah kayu dan hasil hutan non kayu, nilai guna tak langsung adalah kemampuan hutan untuk menyimpan air, karbon dan sebagainya, nilai guna opsi adalah opsi untuk menunda konsumsi ke masa yang akan datang. Ahli menghitung berdasarkan kepada hilangnya tegakan, kerugian rehabilitasi, kerugian PSDH dan DR, dan kerugian lahan. Dengan demikian, ahli
sampai pada kesimpulan
bahwa terdakwa Darianus Lungguk Sitorus tersebut telah merugikan negara berkisar antara Rp. 390.255.216.000,- sampai dengan Rp. 1.196.243.160.000,-.28 Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, karena menurut DR. Rudi Satrio, perhitungan kerugian negara harus jelas dan tidak menggunakan perkiraan.29 Selain itu, ada pendapat dari Soejatna Soenoesoebrata yang menyatakan bahwa hutan tidak termasuk dalam ruang lingkup keuangan 28 29
Putusan Pengadilan Negeri Jakrta Pusat., Op. Cit., h. 328. Putusan Pengadilan Negeri Jakrta Pusat., Op. Cit., h. 343.
21
negara karena didalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dijelaskan bahwa sumber daya alam tidak dimasukan dalam neraca. Salah satu sumber daya alam tersebut adalah hutan, kekayaan ikan dilaut dan sebagainya. Mengingat hutan tidak termasuk dalam neraca, maka ini berati hutan tidak termasuk ruang lingkup keuangan negara.30 Argumentasi yang disampaikan oleh Tim Penasehat Hukum saat persidangan
mengenai
unsur
perekonomian negara adalah : -
merugikan
keuangan
negara
atau
31
Unsur kerugian keuangan negara berupa tegakan bukan merupakan kerugian yang pasti karena didasarkan pada norma/standar secara teoritis tanpa menghitung secara riil.
-
Unsur kerugian pada perolehan Pajak Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Rehabilitasi (DR) merupakan hasil perhitungan yang tidak pasti karena perhitungan tersebut didasarkan pada norma/standar umum;
-
Kerugian berupa rehabilitasi juga bukan merupakan kepastian berdasarkan fakta;
-
Kerugian atas tanah tidak berdasar pada hukum, karena tanah dan hutan bukan milik, melainkan dikuasai untuk diatur penggunaannya.
Akan tetapi apabila dicermati akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus , sesuai dengan keterangan ahli, maka dapat diuraikan bahwa : -
Adanya perubahan fungsi kawasan hutan akan menyebabkan terganggunya tata air baik air permukaan maupun air tanah dalam;
-
Meningkatkan run off (laju alir air) pada permukaan tanah hutan yang menyebabkan air akan segera sampai pada titik terendah yang berakibat banjir;
-
Tanah akan kehilangan kesuburnanya disebabkan karena erosi tanah dikawasan hutan; 30 31
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat., Ibid.. h. 358 Disarikan dari Nota Pembelaan Tim Penasehat Hukum tanggal 3 Juni 2006.
22
-
Hilangnya atau berkurangnya hewa/tumbuhan tertentu yang menjadi mata rantai bagi hewan tertentu;
-
Hilangnya habitat hewan tertentu;
-
Berkurangnya kawasan hutan Indonesia yang merupakan hutan tropis yang harus dijaga dan dipelihara sebagai paru-paru dunia.
Selain
mengakibatkan
kerusakan
fungsi
hutan,
mengingat
hutan
merupakan salah satu sumber daya alam dan merupakan salah satu potensi negara, maka perbuatan tersebut juga menimbulkan kerugian negara cq. Departemen Kehutanan R.I. . sebagai berikut : 1.
Hilangnya tegakan dan biaya reboisasi sebesar Rp. 21.852.760.000,(dua puluh satu milyar deleapan ratus lima puluh dua juta tujuh ratus enam puluh ribu rupiah) dan Rp. 22.802.880.000,- (dua pulu dua milyar delapan ratus dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) yang diambil dari perhitungan kerugian negara dalam penyeleseian kasus kawasan hutan negara di Rokan Hulu Riau antara PT. Torus Ganda dengan Departemen kehutanan;
2.
Hilangnya kontribusi kepada negara cq. Departemen Kehutanan atas pengelolaan kawasan hutan negara Padang Lawas seluas 47.000 Ha dengan perhitungan sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per bulan per 2 (dua) hektar yang diterima oleh yang tidak berhak (dalam hal ini Darianus Lungguk Sitorus) dengan total Rp. 279.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh sembilan milyar).
Dengan
demikian,
adanya
perbedaan
pendapat
mengenai
pengertian suatu unsur dalam suatu tindak pidana disebabkan oleh ketidakjelasan
pencantuman
unsur
dan
penjelasannya
sehingga
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Penulis berpendapat bahwa adanya kerugian negara walaupun itu masih berupa potensi kerugian atau potensi kehilangan manfaat, sudah merupakan kerugian negara.
23
Penggunaan Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Perambahan Hutan.
Dalam perkara atas nama Darianus Lungguk Sitorus yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Mahkamah Agung R.I., masing-masing majelis hukum pada badan-badan peradilan tersebut menggunakan pertimbangan yang berbeda-beda, walaupun pada akhirnya dalam kasasi diputuskan bahwa Darianus Lungguk Sitorus terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf a jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Putusan Badan Peradilan baik tingkat pertama maupun tingkat kasasi yang berbeda baik dalam pertimbangan maupun dalam dasar untuk mengadili. Hal ini cukup mengejutkan, mengingat berkas perkara yang diperiksa adalah 1 (satu) berkas perkara yang diterima oleh peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi. Perbedaan mendasar ini dapat terjadi akibat adanya pemahaman yang berbeda antara Majelis Hakim dalam setiap tingkat peradilan. Pada pemeriksaan perkara pidana tahap pertama di Pengadilan Negeri, prose pemeriksaan dikonstruksikan melalui interaksi tatap muka dimana penilaian terhadap fakta yang terungkap di persidangan dengan putusan hakim dapat dilihat secara langsung. Berbeda halnya pada pemeriksaan tingkat banding yang mesti dimungkinkan pemeriksaan ulang fakta-fakta, tetapi sejauh ini jarang dilakukan, demikian pula pemeriksaan tingkat kasasi dan peninjauan kembali.32 Ketidaksesuaian pertimbangan pada putusan pengadilan dengan pertimbangan Penuntut Umum dalam mendakwakan suatu tindak pidana 32
Susanto, Anthon F., Wajah peradilan kita, Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme kontrol, dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung : PT. Refika Aditama, 2004, h. 124.
24
juga terjadi dalam perkara ini, sehingga menimbulkan pertentangan sebagaimana dapat timbul dalam suatu sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana, menurut Mardjono, adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana. Sehingga adanya 4 (empat) komponen ini diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk sistem integrated criminal justice system.33 Sistem peradilan pidana Indonesia berlangsung melalui 3 (tiga) komponen dasar sistem. Pertama, substansi merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang merupakan serangkaian ketentuan sistematis untuk memberikan arahan atau petunjuk kepada aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas sehari-harinya. Kedua, struktur yaitu lembagalembaga dalam sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.34 Apabila dikaitkan dengan perkara atas nama Darianus Lungguk Sitorus, memang tidak dapat dikatakan secara langsung bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia belum terpadu, akan tetapi dapat dikatakan bahwa kekurangterpaduan sistem yang ada menyebabkan perbedaan penafsiran terhadap sesuatu peristiwa ataupun suatu peraturan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Tujuan sistem peradilan pidana adalah : 35 -
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
-
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
-
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 33
Reksodipoetro, Mardjono., sebagaimana dikutip dalam Anthon F. Susanto, ibid., h. 75. 34 Susanto, Anthon F. , ibid., h. 76. 35 Reksodipoetro, Mardjono., sebagaiman dikutip dalam Anthon F. Susanto, ibid., h. 75.
25
Kurang berjalannya sistem peradilan pidana yang terpadu terutama dalam perkara atas nama Darianus Lungguk Sitorus yang terlihat dengan tidak berhasilnya ketentuan Korupsi.
Penuntut
Umum
Undang-undang Ketidakberhasilan
mendakwakan
terdakwa
atas
dasar
tentang Pemberantasan Tindak Pidana ini
merupakan
akibat
dari
kurangnya
kerjasama antara lembaga sehingga menyebabkan masing-masing lembaga bekerja sendiri dan tidak berkoordinasi dengan lembaga setelahnya. Sehingga ketidakberhasilan suatu tugas akan kerap terjadi apabila tugas sebuah lembaga dilanjutkan oleh lembaga lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam kasus ini, ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat diterapkan. Akan tetapi dalam suatu penanganan perkara yang terjadi adalah penanganan secara kasuistis, maka belum dapat ditentukan apakah dalam suatu kasus perambahan hutan dapat dikenakan ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi atau tidak.
Kesimpulan dan Saran 1.
Dasar-dasar pertimbangan yang digunakan oleh Penuntut Umum dalam penggunaan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus Darianus Lungguk Sitorus adalah : -
Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. dikatakan bahwa Kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
-
Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor : 01/2005 tanggal 30 Juni 2005 yang menyatakan bahwa tindak pidana kehutanan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, karena selain dilakukan secara melawan hukum juga dapat merugikan keuangan negara;
-
Undang-undang tindak pidana korupsi dan undang-undang kehutanan punya kedudukan yang sama sebagai undang26
undang tindak pidana khusus sehingga saling menopang dan mendukung. Undang-undang kehutanan mengandung sanksi pidana penjara dan pidana denda sehingga walaupun undangundang kehutanan ini bersifat penjeraan, akan tetapi tidak menyangkut uang pengganti. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi selain mengatur mengenai sanksi pidana penjara, dan pidana denda, juga mengatur mengenai uang pengganti yang bertujuan untuk pengembalian uang negara. Dengan demikian Undang-undang tindak pidana Korupsi lebih spesialis lagi; -
Adanya instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan peredarannya di wilayah Republik Indonesia pada bagian kedua angka 4 yang menginstruksikan kepada Jaksa Agung untuk melakukan tuntutan tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan;
-
Adanya instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan 3 (tiga) hal kepada Jaksa Agung, yaitu : - Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara; - Mencegah
dan
penyalahgunaan
memberikan
sanksi
tegas
terhadap
wewenang
yang
dilakukan
oleh
Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum; - Meningkatkan
kerjasama
dengan
kepolisisan
Negara
Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya
27
penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. 2.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk kasus Darianus Lungguk Sitorus adalah : -
Adanya perbedaan penafsiran mengenai asas lex specialis derogat legi generali yang menjadi pertentangan dalam hal penanganan perkara Darianus Lungguk Sitorus ini;
-
Adanya perbedaan pengertian mengenai kerugian negara sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
3.
Dari penanganan perkara atas nama Darianus Lungguk Sitorus ini belum dapat dikatakan bahwa penggunaan ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dapat digunakan dalam suatu kasus perambahan hutan mengingat masih terdapat kendalakendala dalam penggunaan ketentuan tersebut.
Dari uraian kesimpulan diatas, penulis mencoba merangkum beberapa saran untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dalam penulisan ini, antara lain : 1.
Diharapkan adanya satu persamaan penafsiran mengenai asas lex specialis derogat legi generali dan definisi kerugian negara untuk menghindari adanya perbedaan pandang yang menyebabkan tujuan dari aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan dalam menangani suatu perkara.
2.
Upaya untuk menyatukan pandangan dapat dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung melalui pembahasanpembahasan dan diskusi-diskusi ilmiah dengan mengundang pula dari pihak akademisi, yang pada akhirnya diharapkan dapat menyusun suatu kriteria yang baku mengenai asas lex specialis derogat legi generali dan mengenai kerugian negara itu sendiri.
28
Berdasarkan uraian-uraian yang disusun oleh Penulis diatas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1.
Dasar-dasar pertimbangan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam penggunaan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus Darianus Lungguk Sitorus adalah : -
Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. dikatakan bahwa Kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
-
Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor : 01/2005 tanggal 30 Juni 2005 yang menyatakan bahwa tindak pidana kehutana dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, kerena selain dilakukan secara melawan hukum juga dapat merugikan keuangan negara;
-
Undang-undang tindak pidana korupsi dan undang-undang kehutanan punya kedudukan yang sama sebagai undangundang tindak pidana khusus sehingga saling menopang dan mendukung. Undang-undang kehutanan mengandung sanksi pidana penjara dan pidana denda sehingga walaupun undangundang kehutanan ini bersifat penjeraan, akan tetapi tidak menyangkut uang pengganti. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi selain mengatur mengenai sanksi pidana penjara, dan pidana denda, juga mengatur mengenai uang pengganti yang bertujuan untuk pengembalian uang negara. Dengan demikian Undang-undang tindak pidana Korupsi lebih spesialis lagi;
-
Adanya instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan peredarannya di wilayah Republik Indonesia pada bagian kedua angka 4 yang menginstruksikan kepada Jaksa Agung untuk melakukan tuntutan tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan;
-
Adanya instruksi Presiden republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004
tentang
Percepatan
Pemberantasan
Korupsi,
yang
menginstruksikan 3 (tiga) hal kepada Jaksa Agung, yaitu : -
Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukumpelaku dan menyelamatkan uang negara;
-
Mencegah
dan
penyalahgunaan
memberikan
sanksi
tegas
terhadap
wewenang
yang
dilakukan
oleh
Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegaka hukum; -
Meningkatkan
kerjasama
dengan
kepolisisan
Negara
Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. 2.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk kasus Darianus Lungguk Sitorus adalah : -
Adanya perbedaan penafsiran mengenai asas lex specialis derogat legi generali yang menjadi pertentangan dalam hal penanganan perkara Darianus Lungguk Sitorus ini;
-
Adanya perbedaan pengertian mengenai kerugian negara sehingga menimbulakn penafsirn yang berbeda-beda.
3.
Dari penanganan perkara atas nama Darianus Lungguk Sitorus ini belum dapat dikatakan bahwa penggunaan ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dapat digunakan dalam suatu kasus perambahan hutan mengingat masih terdapat kendalakendala dalam penggunaan ketentuan tersebut.
Dari uraian kesimpulan diatas, penulis mencoba merangkum beberapa saran untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dalam penulisan ini, antara lain : 1.
Diharapkan adanya satu persamaan penafsiran mengenai asas lex specialis derogat legi generali dan definisi kerugian negara untuk 30
menghindari adanya perbedaan pandang yang menyebabkan tujuan dari aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan dalam menangani suatu perkara. 2.
Upaya untuk menyatukan pandangan dapat dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung melalui pembahasanpembahasan dan diskusi-diskusi ilmiah dengan mengundang pula dari pihak akademisi, yang pada akhirnya diharapkan dapat menyusun suatu kriterium yang baku mengenai asas lex specialis derogat legi generali dan mengenai kerugian negara itu sendiri.
(Tulisan ini disarikan dari Tesis “Pengenaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Perambahan Hutan� dengan penulis Ineke Indraswati, yang diuji pada tanggal 12 Juli 2007 pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
31