Benefit Incidence Analysis Air Bersih Kota Bogor (Studi Kasus Program Hibah Air Minum) Putra Dwitama dan Riyanto Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ABSTRAK Salah satu masalah perkotaan adalah pemenuhan kebutuhan dasar air bersih karena tingginya tingkat urbanisasi dan segregasi populasi. Secara nasional, di tahun 2015 pemerintah menekankan pencapaian target air minum layak sebesar 68.86% atau khusus di perkotaan sebesar 75.29%. Tapi target tersebut akan sulit dipenuhi karena pendanaan yang tersedia hanya sebesar 20-25% dari total kebutuhan tahun 2010-2014. Program hibah air minum diharapkan dapat menutup kekurangan dana tersebut. Kota Bogor sebagai salah satu penerima manfaat dana hibah tahap pertama 2010-2011 ditargetkan dapat memperluas penyediaan layanan air bersih bagi mastarakat berpenghasilan rendah (MBR) karena sebelumnya rumah tangga di Kota Bogor baru menikmati layanan air bersih sebesar 37.04% (Susenas, 2010). Untuk mengetahui efektifitas program tersebut digunakan metodologi BIA dan uji asosiasi tabel kontingensi dengan uji Chi-Square. Hasil yang diperoleh adalah manfaat program hibah air minum dinikmati oleh rumah tangga berpenghasilan menengah (Q3). Sedangkan dalam impelemtasinya juga terdapat pelanggan rumah tangga MBR penerima manfaat yang putus sambungan karena faktor pendapatan dan sumber air lain selain ledeng meteran PDAM. Untuk memperoleh program yang tepat sasaran perlu diperhatikan syarat penerima manfaat dan mekanisme yang lebih efektif, terutama untuk perluasan layanan air bersih bagi masyarakat miskin. Kata kunci: layanan air bersih, hibah air minum, masyarakat berpenghasilan rendah. ABSTRACT One of the problems in the urban area is the fulfillment of the basic needs of urban water supply due to the high level of urbanization and population segregation. Nationally, the Government emphasizes the achievement of the 2015 targets for the provision of improved water source of 68.86% or specialized in urban areas amounted to 75.29%. But the target will be difficult because the available funding was filled only by 20-25% of the total needs in 2010-2014. Therefore, the Drinking Water Grant Program is expected to overcome the shortage of funds. Bogor as one of the first stage of a beneficiary of the grants from 2010-2011, target will be able to widen the provision of clean water service for LowIncome Communities (MBR) because formerly household in Bogor new enjoy clean water service of 37.04% (Susenas, 2010). The methodology of BIA and contingency table with Chi-Square test used to find out the effectiveness of this program. The results obtained drinking water grant program benefits enjoyed by middle-income households (Q3) and household customers, there is a disconnect because the MBR factor income and there is a water source other than piped. To acquire program effectively needs to be qualified a beneficiary and more effective mechanism especially for clean water service expansion for the poor. Keywords: clean water service, drinking water grant, Low-Income Communities. No. Klasifikasi JEL: Q25, I31. PENDAHULUAN Air bersih merupakan unsur vital dan kebutuhan paling mendasar bagi kehidupan dan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Mengonsumsi air bersih memiliki dampak terhadap kualitas kesehatan, kualitas sumber daya manusia, produktivitas hingga daya saing perekonomian. Seseorang tidak akan dapat bertahan hidup dengan tanpa air karena perannya sebagai salah satu penopang kehidupan bagi manusia. Namun kendala yang ada adalah pengelolaan sumber daya air yang buruk yang berakibat kepada tidak meratanya penyebaran air dan ketidakmampuan masyarakat miskin untuk menikmati pelayanan air bersih. Hal ini ditetapkan oleh PBB mengingat kondisi pertumbuhan penduduk yang harus diimbangi dengan ketersedian fasilitas air bersih dan sanitasi. Hal ini menjadi hak bagi semua masyarakat atas air bersih yang cukup, aman, dan terjangkau secara fisik serta finansial untuk penggunaan pribadi dan rumah tangga (Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB, 2002). Sehingga air bersih menjadi perhatian yang tidak lepas dalam isu pembangunan terutama dalam sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 bidang air bersih. Sasaran di bidang penyediaan air minum dan sanitasi melalui sasaran umum kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan sistem penyediaan air bersih pada RPJMN 2010-2014 dengan
menekankan capaian lebih dari 67 persen penduduk Indonesia sudah terlayani akses air bersih pada tahun 2015. Namun, realisasi target layanan air bersih sampai tahun 2011 baru mencapai 52,10 persen untuk perkotaan dan 57,80 persen untuk perdesaan (BAPPENAS, 2012) atau baru menjangkau sekitar 55,04 persen dari total penduduk Indonesia, atau sekitar 130.702.729 jiwa dari total penduduk sebanyak 237.641.326 jiwa. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia membutuhkan investasi besar atau bahkan lebih besar dari anggaran belanja negara saat ini, pengeluaran pemerintah perlu ditingkatkan untuk memenuhi pasokan air bersih. Studi WHO menujukkan untuk memenuhi target global MDGs untuk air bersih dibutuhkan US$ 4,5 miliar per tahun, untuk Indonesia diasumsikan investasi sebesar US$ 20 per penduduk (WHO dan UNICEF, 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut, pendanaan air minum Indonesia yang dibutuhkan tahun 2010 – 2015 adalah sebesar Rp. 65,27 triliun, sedangkan ketersediaan dana 2010 – 2014 yang diestimasi dari kesediaan melalui APBN dan DAK adalah sebesar Rp. 13,71 triliun (Deputi Sarana dan Prasrana BAPPENAS, 2011). Artinya ketersediaan dana APBN dan DAK hanya sekitar 20 – 25 persen dari kebutuhan pendanaan. Berdasarkan standar pelayanan minimal kebutuhan air, kebutuhan air minum adalah 60 liter/orang/hari1, sedangkan saat ini kapasitas terpasang baru mencapai 158.351 lt/detik dengan asumsi kebocoran mencapai 33 persen (PU, 2013). Sehingga dapat diketahui produksi air bersih di Indonesia saat ini adalah sebesar 4.514.903.712 lt/hari, sedangkan kebutuhan konsumsi air dengan jumlah penduduk sebesar 245,7 jiwa adalah sebanyak 14.742.000.000 lt/hari. Artinya produksi air bersih PDAM hanya dapat melayani sebanyak 62,18 persen penduduk Indonesia saja. Dari segi kualitas pelayanan, lingkup pembangunan air minum masih sangat terbatas, di samping itu cakupan pelayanan juga masih terbatas sehingga tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk. Sampai tahun 2011, di perkirakan masih terdapat 100 juta penduduk Indonesia (45.96%) yang belum memiliki kemudahan terhadap pelayanan air minum (BAPPENAS, 2003). Kesenjangan antara jumlah air bersih yang dibutuhkan dengan yang tersedia sebesar lebih kurang 30 persen (PU dalam BAPPENAS, 2011). Angka kesenjangan ini dari tahun ke tahun akan semakin tinggi karena kebutuhan air bersih sudah dapat dipastikan akan meningkat, sementara sumber-sumber yang dapat diandalkan ada kecenderungan menurun. Seiring dengan hal demikian, jangkauan air bersih dengan fasilitasi perpipaan semakin memperlihatkan tren yang menurun, artinya air bersih yang disalurkan melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus dapat disalurkan atau diperkirakan melayani 8 juta pelanggan atau sekitar 25 persen penduduk perkotaan, sedangkan saat ini cakupan layanan air bersih baru sekitar 17 persen (PU, 2010). Hal ini juga diperparah dengan kinerja PDAM yang tidak memenuhi harapan, yaitu tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%), dan konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT). Pemerintah telah menetapkan prioritas tinggi untuk memobilisasi investasi baru yang dapat dilihat dari usaha reformasi kebijakan secara terpadu, salah satunya adalah skema hibah insentif (hibah air minum) untuk sambungan air perpipaan baru (Permen Keuangan PMK 168 dan 169/2008), skema ini menyediakan hibah jumlah bulat bagi pemerintah daerah untuk sambungan perpipaan baru yang telah diverifikasi dan mengalirkan air. Alternatif pembiayaan melalui hibah luar negeri ini telah dilaksanakan pemerintah selama kurun waktu tahun 2010 – 2011 (tahap pertama), dan akan berlanjut sampai tahun 2012 - 2015 (tahap kedua), dengan besaran dana hibah tahap pertama yang berasal dari Pemerintah Australia (GoA) melalui Australia Indonesia Partnership(AusAid) berjumlah Rp 199,5 miliar, penerima dana hibah sebanyak 35 kabupaten/ kota di Indonesia dengan target pembangunan sebanyak 70.000 sambungan baru yang melayani sekitar 420.000 jiwa di seluruh 25 kota. Nilai hibah adalah Rp. 2 juta per sambungan untuk 1.000 sambungan pertama dan setelah itu Rp. 3 juta hingga batas pagu sambungan per pemerintah daerah (kabupaten/kota). Program ini diperuntukkan untuk memperluas cakupan layanan air perpipaan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah (MBR). Kota Bogor merupakan salah satu dari kabupaten/kota penerima manfaat program dana hibah air minum dengan perkiraan sekitar 2000 SR MBR unit yang dapat dijangkau. Di dalam status laporan Progres Pelaksanaan Hibah Air Minum, Kota Bogor telah berhasil mencapai target yang telah ditentukan (Dit. Perumahan dan Pemukiman BAPPENAS, 2011).Apakah benar yang menerima manfaat ini adalah MBR atau bukan. Bogor sebagai sebuah kota, memiliki karakteristik permasalahan kota karena rendahnya pelayanan atau ketersediaan fasilitas infrastruktur dasar sebagai akibat jumlah populasi karena tingginya tingkat migrasi. Kota tidak dapat menyeimbangkan penyediaan fasilitas air bersih karena begitu cepatnya pertumbuhan penduduk. Rendahnya layanan ini juga diperparah dengan permasalahan tata kota, yaitu banyaknya masyarakat miskin perkotaan yang tinggal di permukiman kumuh dan kawasan ilegal semakin mempersulit untuk memperoleh akses air bersih, di samping kurangnya kesadaran dan rendahnya pendidikan. Dengan jumlah penduduk 950.334 jiwa dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,40 persen 1
Peraturan Menteri PU No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.
(Susenas, 2010), dengan asumsi kebutuhan air minum rumah tangga rata-rata 60 liter/orang/hari, Kota Bogor memerlukan pasokan layanan air bersih sekitar 57.020.040 lt/hari. Dengan mangacu kepada produksi air bersih PDAM Kota Bogor dari tangkil pada tahun 2000 sebesar 130 liter/detik, atau 11.232.000 liter/hari, maka PDAM hanya mampu mendistribusi kepada 19.70 persen penduduk saja. Untuk itu diperlukan investasi untuk penambahan kapasitas produksi dan alternatif penyediaan sumber air minum layak dari sumber lain, namun permasalahannya adalah ketersediaan air baku juga yang semakin terbatas. Di Pulau Jawa saja yang memiliki penduduk terbanyak ketersediaan air hanya sebanyak 1.750 m3/kapita/tahun pada tahun 2000 dan akan terus menurun hingga 1.200 m3/kapita/tahun pada tahun 2020. Padahal standar minimal ketersediaan air adalah 2.000 m3/kapita/tahun. Permasalahan terbatasnya ketersediaan air ini semakin pelik dengan ketimpangan dalam distribusi air bersih kepada masyarakat miskin. UNDP (2006) menyebutkan krisis air diakibatkan karena ketiadaan pemerataan distribusi, bukan karena kelangkaan sumber. Melalui program hibah air minum AusAid yang dikelola oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian PU, Kota Bogor mencoba memperluas layanan akses pipa PDAM khusus kepada masyarakat miskin. Di satu sisi, target sambungan baru bagi MBR yang direncanakan di awal program bisa dikatakan terpenuhi dengan indikator jumlah terpasang dan berfungsinya jaringan air minum tersebut, tetapi bagaimana dengan keberlanjutan status akesenya apakah semua rumah tangga penerima manfaat program hibah tersebut mampu bertahan memiliki akses air minum PDAM yang notabene tidak gratis. Rumah tangga penerima manfaat program hibah tetap dikenakan biaya tarif langganan seperti pelanggan normal lainnya sesuai dengan kelompok golongan rumah tangga. Sebanyak 110 pelanggan rumah tangga penerima manfaat hibah air minum di Kota Bogor tercatat sudah tidak aktif lagi, artinya mereka sudah tidak berlangganan air ledeng PDAM meskipun sebelumnya telah melakukan pemasangan jaringan dari manfaat dana hibah. Jika dikembalikan kepada target awal pemerintah untuk mempercepat jangkauan air bersih untuk MBR sepertinya bisa dipenuhi, tetapi bagaimana dengan keberlanjutannya mengingat terdapat beban tarif yang harus dibayarkan MBR setiap bulannya sebagai balas jasa atas penggunaan air PDAM. Beban tarif ini kemudian yang akan mempengaruhi tingkat pemakaian dan profitabilitas PDAM di satu sisi, dan kemampuan konsumsi MBR terhadap air bersih di sisi lain. Sehingga dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana distribusi manfaat yang diterima kelompok rumah tangga berdasarkan segmentasi pendapatan dan kelompok rumah tangga mana yang menerima manfaat terbesar pada program hibah air minum tahap pertama 2010-2011? dan (2) faktor apa yang mempengaruhi status sambungan langganan rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum dalam berlangganan air PDAM di Kota Bogor? Tujuan dari penelitian adalah (1) mengevaluasi efektivitas program hibah air minum tahap pertama di Kota Bogor dengan melihat distribusi manfaatnya kepada setiap kelompok rumah tangga berdasarkan segmentasi pendapatan, dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status sambungan langganan rumah tangga rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum dalam berlangganan air PDAM Kota Bogor. TINJAUAN REFERENSI Tujuan MDGs ketujuh adalah menetapkan target untuk menurunkan separuh dari proporsi penduduk tidak memiliki akses yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman. Sumber air minum yang berkelanjutan adalah sumber air minum yang terjamin kualitasnya, yaitu sumber air yang terlindungi (improved water source). Akses masyarakat terhadap ketersediaan air minum dapat dilihat melalui lima indikator, yaitu kualitas, kuantitas, kontinuitas, kehandalan sistem penyediaan air minum (reliable), serta kemudahan baik harga maupun jarak/tempuh (affordable). Di samping itu, menurut WHO dan UNCEF, definisi perbaikan sumber air minum adalah perbaikan air bersih dengan penerapan teknologi yang spesifik (Mara dan Evans, 2011). Dalam laporan perkembangan capaian MDGs ketujuh (BAPPENAS dan PBB, 2004), disebutkan tiga definisi pendekatan air minum. Pertama, air perpipaan, yaitu air dengan kualitas yang dapat diandalkan (reliable) dan lebih sehat dibandingkan dengan air lainnya. Kedua adalah air dengan sumber yang terlindungi, yaitu air dengan kualitas sumber air yang mempertimbangkan konstruksi bangunan sumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat. Menurut BPS jarak yang layak untuk antara sumber air dan tempat pembuangan adalah lebih dari 10 meter. Ketiga adalah air dengan sumber yang tidak terlindungi, artinya jarak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja kurang dari 10 meter yang kemungkinan terkontaminasi oleh limbah tinja. Tiga perbedaan kualitas sumber air di atas dipandang masih relevan untuk menjelaskan mengetahui informasi pencapaian target menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan pada 2015. Sumber air minum perpipaan
dianggap sumber air yang paling handal dan berkelanjutan. Namun, tujuan MDGs juga mengacu kepada pemenuhan kondisi sumber air dengan sumber yang terlindungi, tetapi patut diperhatikan penurunan kualitas air baku. Dewasa ini pertumbuhan penduduk meningkatkan kebutuhan akses ke layanan terhadap air, ketersediaan air tanah menurun secara dramatis di banyak wilayah di dunia. Dalam hal ini, tarif air adalah instrumen ekonomi yang membantu mengatasi kedua tantangan penyediaan layanan air minum dan sanitasi bagi semua warga negara dengan harga yang terjangkau dan konservasi sumber daya air. Tarif air yang tepat memberikan insentif untuk meningkatkan layanan air minum dan sanitasi yang berkelanjutan dan untuk menggunakan sumber daya air lebih efisien. Air merupakan sebagai salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk melihat kesejateraan masyarakat paling minimal. Artinya kekuranganmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air untuk minum dan keperluan sehari-hari akan masuk ke dalam kategori miskin, tentunya bukan miskin dalam arti sempit. Kemiskinan air sendiri diartikan sebagai kekurangan terhadap pemenuhan kebutuhan akan air untuk keperluan sehari-hari, masyarakat dikatakan miskin air apabila ketersediaan air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kesulitan akses terhadap sumber air bersih, atau ketersediaan yang terbatas karena berbagai alasan. Masyarakat juga dapat dikatakan miskin air karena rendahnya pendapatan sehingga tidak mampu membayar air yang harus dibeli (Lawrence et all., 2003). Sullivan (2002) mengatakan terdapat hubungan yang kuat antara kemiskinan air dengan kemiskinan pendapatan, berkurangnya ketersediaan dan akses masyarakat terhadap air bersih mengurangi kesempatan mereka untuk dapat melakukan banyak usaha ekonomi guna meningkatkan pendapatan dan taraf kesejahteraan mereka, seperti usaha pertanian, perkebunan, dan budi daya tanaman lainnya, hingga usaha industri rumah tangga yang memerlukan air bersih. Air sendiri memiliki tiga fungsi yang mempengaruhi kehidupan manusia. Pertama, fungsi air sebagai barang publik untuk memenuhi kebutuhan manusia.Manusia memerlukan air untuk minum dan keperluan sehari-hari lainnya, seperti untuk sanitasi dan kebersihan. Fungsi air tersebut tidak dapat digantikan oleh barang jenis lain. Kedua, air memiliki fungsi sebagai sumber daya untuk keperluan manusia berusaha dan pembangunan pada umumnya, misalnya air untuk pertanian, pembangkit energi, dan berbagai jenis industri.Ketiga, air memiliki fungsi ekonomis.Akibat ketersediaan air bersih yang semakin langka menjadikan air sebagai barang yang untuk pengadaan maupun pendistribusiannya kepada masyarakat pengguna memerlukan usaha-usaha sehingga air memiliki nilai ekonomis Meningkatnya nilai ekonomis air merupakan konsekuensi logis dari kelangkaan dan tidak meratanya ketersediaan air di setiap wilayah. Jaringan perpipaan air bersih saat ini belum dapat menjangkau semua masyarakat yang membutuhkannya. Menurut Howard (2004) akses air minum merupakan sumber daya atau modal dasar bagi keberlangsungan hidup, kasus air minum merupakan salah satu komponen di dalam kemiskinan. Alfaro (1997) mengatakan secara umum terdapat tiga karakteristik kunci sektor air minum, yaitu: 1) Air minum adalah kebutuhan dasar. Prinsip ini tidak dapat dibantah, tidak orang atau sekelompok masyarakat dapat bertahan hidup tanpa air minum. 2) Air minum adalah sebuah produk, artinya air minum melalui proses produksi dan membutuhkan biaya sebelum air tersebut dapat dikonsumsi. 3) Penyakit dapat ditularkan melalui air minum. Penyediaan air melalui kran umum/ sumur yang digunakan bersama akan meningkatkan tingkat kematian bayi dibanding penggunaan air perpipaan. Sebagai barang publik dan sumber daya yang penting, telah diupayakan bagaimana pengaturan pembagian penggunaan air untuk kebutuhan rumah tangga dan kegiatan ekonomi lainnya oleh pemerintah dalam mengatur fungsi air. Pengaturan tersebut harus menjamin pengalokasian kebutuhan rumah tangga tidak terganggun oleh kebutuhan indusitri. Terutama bagi rumah tangga kelompok miskin, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan serta mengatasi ketidakberdayaan kelompok miskin untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. Permasalahan ini telah menjadi fokus pemerintah dalam usaha penganggulangan kemiskinan dengan mengurangi beban mereka dalam konteks pemenuhan hak akses terhadap air bersih. Hal ini semacam perlindungan dan keberpihakan terhadap kelompok masyarakat miskin dalam pemenuhan hak dasar air bersih. Dalam skala kebijakan dan program, telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden RI No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan mengenai upaya peningkatan akses rumah tangga miskin terhadap pelayanan dasar dan air bersih sebagai salah satu dari empat strategi
percepatan penganggulangan kemiskinan di Indonesia, dan tujuan dalam memenuhi target pembangunan milenium (MDGs)2. Tidak ada negara yang mengelola peningkatan akses air bersih tanpa memperhatikan peningkatan dalam belanja pemerintah. Di sisi lain, peningkatan belanja ini tidak cukup dalam perbaikan kualitas layanan (World Bank, 2011). Misalnya, contoh program-program yang sukses dalam mengembangkan akses air bersih di Senegal, Burkina Faso, dan Niger yang melibatkan program investasi yang besar pula. Hal yang sama juga perkembangan program air bersih perdesaan di Benin dan Mali diikuiti dengan peningkatan belanja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di bidang ini. Tapi belakangan, World Bank (2011) juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat belanja dan tingkat improvisasi air bersih. Hal ini mungkin saja karena kualitas data yang buruk atau karena belanja pemerintah bukan faktor dominan dalam peningkatan akses air bersih, atau bisa jadi kombinasi kedua hal tersebut. Hal berlawanan juga ditemukan bahwa kualitas belanja pemerintah untuk air bersih tidak sesuai dengan alasan rasional kenapa pemerintah melakukan intervensi di bidang ini:  Belanja pemerintah memiliki kontribusi yang sedikit dalam mengatasi kegagalan pasar; praktik dan pola belanja pemerintah sekarang tidak sejalan dengan tujuan obyektif kesehatan masyarakat yang telah dicanangkan, pemerintah fokus kepada kualitas layanan tingkat yang tinggi dengan mengorbankan penyaluran uang ke tingkat layanan yang lebih rendah dengan harapan tingkat pengembalian modal. Pola belanja pemerintah tidak sepenuhnya merefleksikan umur atau kualitas dari infrastruktur air yang dibangun.  Pola belanja pemerintah saat ini berkontribusi terhadap ketimpangan, meskipun fakta membuktikan bawha kesejnajgan antara akses pedesaan dan perkotaan semakin mengecil.  Utilitas yang lemah bertindak sebagai penyangga antara belanja publik dan kebijakan publik; banyak temuan bahwa belanja publik yang besar di perkotaan diserap untuk menutup kerugian yang berulang akibat pendapatan yang lebih kecil dari biaya O&M (operation and maintenance). Analisis Belanja Publik dan Penelitian Terdahulu Analisis belanja publik di bidang air menjadi penting dilakukan mengingat adanya beberapa kemungkinan, Manghee dan Van den Berg (2012) mengatakan analisis belanja publik untuk air bersih dan sanitasi penting dilakukan mengingat, pertama investasi publik yang besar diperlukan untuk meningkatkan akses layanan air bersih dan sanitasi dasar, sebagai contoh untuk mencapai tujuan MDGs 2015 di Sub-Saharan Afrika membutuhkan dana sebesar USD 22,6 miliar per tahun, atau sekitar 3,5 % GDP. Sedangkan untuk Indonesia, dibutuhkan US$ 4,5 miliar per tahun, atau diasumsikan dengan investasi sebesar US$ 20 per penduduk (WHO, 2010). Maka dibutuhkan keberlanjutan pengelolaan keuangan publik dalam invetasi di bidang ini. Dalam dua dekade terkhir, private finance tidak tertarik dalam melakukan investasi di bidang ini (Marine, 2009). Kedua, belanja publik yang dilakukan pemerintah tidak seefisien separti yang seharusnya. Review yang dilakukan atas belanja publik di bidang air bersih dan sanitasi di 15 negara di Afrika tidak memiliki hubungan antara tingkat dana yang dikeluarkan dan tingkat akses (Manghee dan van den Berg, 2012). Artinya belanja pemerintah tidak mengatasi kegagalan pasar dan tidak mengurangi ketimpangan. Ditemukan juga bahwa lebih dari sepertiga dana publik yang dialokasikan untuk air dan sanitasi rata -rata tidak dihabiskan. Ketiga, dalam analisis tentang kemiskinan banyak di negara ditemukan bahwa belanja publik untuk air dan sanitasi berjalan dengan tidak proporsional kepada penduduk yang tidak masuk ke dalam kategori miskin, sering terjadi kontras antara perencanaan yang dilakukan pemerintah dengan implentasi atau kebijakan yang lain. Isopi dan Mattesini (2010) mengemukakan model model moral hazard dalam alokasi bantuan hibah luar negeri pada umumnya kepada negara miskin dan berkembang, dalam model ini terdapat informasi yang asimetri dalam pengalokasian dana kepada target negara dan target penerima manfaat dalam negara. Banyak negara berkembang memperoleh sumber pembiayaan dari lembaga asing melalui hibah dan pinjaman lunak, tetapi praktik korupsi dan morald hazard, untuk pembiayaan yang efektif perlu adanya keterlibatan pemangku kepentingan, pembenahan dan pengembangan institusi. Hal ini menjadi perlu untuk memperoleh hasil signifikan (Khatri, 2007). Studi yang dilakukan oleh Evans dan Mara (2011) menyimpulkan bahwa bentuk subsidi pada infrastruktur air bersih hanya akan efektif jika target memenuhi rumah tangga miskin dalam menikmati akses, sedangkan yang memperoleh manfaat bentuk subsidi koneksi sambungan adalah rumah tangga yang sebelumnya belum memiliki sambungan. Penelitian oleh Rudaherawa et al. (2003) menemukan bahwa investasi asing yang tinggi dalam sepuluh tahun terakhir dalam rangka reformasi sektor air minum di Uganda dengan fokus 2Kebutuhan
dasar air masuk ke dalam strategi pertama, yaitu mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin.Program yang terkait adalah kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin.
kepada kemiskinan dan rendahnya layanan terhadap air bersih dan sanitasi gagal meningkatkan cakupan layanan ke tingkat yang diharapkan karena sejumlah faktor, antara lain koordinasi antar sektor yang tidak efektif, kapasitas lokal yang tidak memadai, penggunaan sumber daya yang tidak efisien dan pendekatan proyek yang digunakan. Sedangkan Komives et al. (2005) yang menyebutkan premis subsidi atau belanja publik inftastruktur dasar, khusus air bersih adalah dinikmati oleh bukan rumah tangga miskin, karena rendahnya konsumsi rumah tangga miskin. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kuantitatif deskriptif. Penelitian ini menekankan pada analisis manfaat belanja air bersih yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan di rumah tangga. Untuk mengetahui permasalahan lebih detail terkait distribusi manfaat belanja dana hibah air bersih di Kota Bogor maka penelitian ini mengunakan analisis kualitatif. Analisis ini untuk mendeskripsikan data-data numerik lebih jelas dan mendalam berdasarkan hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel-tabel setelah data lapangan diolah kembali oleh peneliti. Pengunaan metode ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan yang lebih mendalam dan utuh mengenai dampak kebijakan hibah air bersih dan distribusi penerima manfaatnya di Kota Bogor sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan belanja air bersih serta distribusi dari alokasi belanja tersebut dalam program pemerintah selanjutnya. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan dua metode yang relevan dengan masalah dan jenis data untuk memperoleh jawaban valid dan obyektif. Pertanyaan penelitian pertama, yaitu mengenai penerima manfaat dan besaran manfaat yang diterima oleh kelompok pendapatan rumah tangga penerima manfaat hibah air minum menggunakan metodologi Benefit Incidence Analysis (BIA). BIA merupakan perspektif mengenai anggaran belanja pemerintah dengan tujuan untuk dapat mengetahui dampak distribusi sumber daya pemerintah atau poyek-proyek dilaksanakan (Selden dan Wasylenko, 1992). Sedangkan untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua akan dijawab dengan menggunakan metode analisis asosiasi dengan tabel kontingensi dan uji chi-square untuk melihat hubungan dua variabel dalam satu tabel yang dibentuk dengan tabel sederhana 2x2. Dari hubungan variabel tersebut akan diketahui variabel yang memiliki hubungan dengan status sambungan langganan rumah tangga penerima manfaat dalam berlangganan air PDAM di Kota Bogor. Alat analisis (uji hipotesis asosiatif) statistik nonparametrik yang digunakan untuk data nominal adalah Coefisien Contingensi. Akan tetapi karena pengujian hipotesis Coefisien Contingensi memerlukan rumus Chi Square (χ2), perhitungannya dilakukan setelah menghitung Chi-Square. Penggunaan model statistik nonparametrik selain Coefisien Contingensi tidak lazim dilakukan. Tabel 1. Jenis Data Analisis Tabel Kontingensi Uji Chi-Square Variabel
Kategori 1 = putus sambungan Status sambungan 0 = tidak putus sambungan Pendapatan rumah 1 = > Rp. 1,500,000,. tangga 0 = < Rp. 1,500,000,. 1 = R2 Golongan pelanggan 0 = R1 1=>5 Jumlah ART 0=<5 Sumber Air Minum 1 = Ada sumber lain Lain 0 = Tidak ada sumber lain Sumber: Data primer, diolah.
Keterangan Pendapatan MBR Bidang Pekerjaan Umum Rata-rata jumlah ART empirik -
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yang diperoleh melalui survey rumah tangga penerima manfaat hibah air minum dan beberapa instansi terkait dengan obyek penelitian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk besaran realisasi dana hibah air bersih yang diperoleh dari Kementerian PU, BAPPENAS, dan Pemerintah Kota Bogor, (2) data realisasi dana program hibah air minum tahap pertama tahun 20102011 di Kota Bogor, (3) data dan jumlah rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum di Kota Bogor dari PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor, (4) data Susenas Kor tahun 2010 tentang Keterangan Pokok Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Kota Bogor, Susenas Modul tahun 2011 dan 2012 tentang Pengeluaran Konsumsi dan Pendapatan Rumah Tangga Kota Bogor. Data Susenas yang digunakan adalah data tentang konsumsi rumah tangga untuk konsumsi rumah (biaya perawatan) dan sewa rumah, juga konsumsi rumah tangga untuk air bersih untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah tangga penerima
manfaat program hibah air minum, dan (5) data primer survey rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum tahap pertama Kota Bogor. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Distribusi Manfaat Belanja Air Bersih Kota Bogor
Tidak sampai separuh rumah tangga di Kota Bogor terjangkau oleh sumber air minum yang berasal dari pipa ledeng (37,04%), tetapi angka proporsi ini merupakan jumlah kedua tertinggi jika dibandingkan dengan proporsi kabupaten/ kota yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Namun demikian, sumber air minum rumah tangga di Kota Bogor telah didominasi oleh pipa ledeng, di samping masih banyak terdapat rumah tangga yang masih menggunakan air tanah sebagai sumber air minum atau untuk kebutuhan yang lain. Sumber air minum yang berasal dari hujan paling kecil proporsinya, yaitu hanya digunakan sebanyak 0,01 persen rumah tangga di Kota Bogor. Konsumsi air minum melalui pipa ledeng paling banyak dinikmati oleh rumah tangga di Kecamatan Bogor Tengah, yaitu sebanyak 69,51 persen. Sedangkan proporsi yang paling sedikit adalah rumah tangga yang berada di Kecamatan Tanah Sereal sebesar 30,31 persen. Beragamnya proporsi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti keterbatasan sistem jaringan distribusi dan produksi yang dimiliki PDAM, faktor biaya atau juga karena keengganan rumah mengonsumsi air ledeng karena faktor ekonomi dan ketergantungan dengan air tanah.Menggunakan air bersih yang berasal dari pipa ledeng bukan dengan tidak menggunakan biaya. Air dipertimbangkan sebagai benda ekonomi sekaligus benda sosial. Air sebagai benda sosial menujukkan bahwa air mempunyai limpahan (spill over) menfaat dan biaya yang nyata. Air sebagai benda ekonomi menujukkan bahwa air mempunyai nilai dan disalokasi sesuai dengan keuntungan maksimal yang dapat diperoleh. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan hilangnya fungsi sosial dari air tersebut dan dapat berakibat penduduk miskin terabaikan kebutuhan akan air (Mungkasa, 2006). 3%
1%
0%
0%
2% 13% 32% 37% 11% 1%
0% Air kemasan Ledeng sampai rumah Ledeng eceran Pompa Sumur terlindung Sumur tak terlindung Mata air terlindung Mata air tak terlindung Air sungai Air hujan
Gambar 1. Sumber Air Minum Kota Bogor Sumber: Susenas Kor, 2012.
Jika dilihat dari persentase pelanggan PDAM, rumah tangga merupakan pelanggan yang terbanyak dan menjadi prioritas dalam sambungan air perpipaan. Di samping jumlahnya yang banyak, air bersih bagi rumah tangga merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa dikecualikan untuk menunjang kehidupan dan produktivitas. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, semakin tinggi juga kemampuan mereka untuk memperoleh sumber air minum yang berkualitas. Kelompok pendapatan kuantil kelima (Q5) memiliki kemampuan lebih mendapatkan air yang bersumber dari air kemasan bermerk dan akses pipa ledeng PDAM. Tabel 1. Sumber Air Minum Berdasarkan Kelompok Pendapatan Rumah Tangga di Kota Bogor Sumber Air Minum (%) Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Air kemasan Bermerek 0 0.85 3.23 9.17 42.79 Air isi ulang 5.88 5.08 12.90 21.10 7.21 Ledeng meteran 26.47 26.27 30.24 33.03 38.29 Ledeng eceran 0 0 0.40 0 0 Sumur bor pompa 32.35 33.05 22.98 24.77 9.91 Sumur terlindungi 32.35 28.81 26.21 11.01 1.80 Sumur tak terlindungi 0 0.85 0.81 0 0 Mata air terlindungi 2.94 5.08 2.82 0.92 0 Air sungai 0 0 0.40 0 0 Air hujan 0 0 0 0 0 Lainnya 0 0 0 0 0 Jumlah 100 100 100 100 100 Sumber: Susenas Kor, 2012.
Siapa yang memperoleh distribusi manfaat belanja air bersih pada kelompok pengeluaran, secara umum potret makro ini sebagai perbandingan untuk rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum. Dari tabel 2 di bawah dapat dilihat bagaimana distribusi pengeluaran rata-rata setiap kelompok kuantil rumah tangga di Kota Bogor terhadap akses air minum ledeng meteran atau perpipaan PDAM. Perkembangan dari tahun 2010 â&#x20AC;&#x201C; 2012 diketahui terjadi penurunan langganan air minum ledeng meteran dari kelompok pendapatan kuantil pertama (Q1), hal ini bisa disebabkan karena menurunnya jumlah penduduk atau rumah tangga miskin atau bisa juga terjadi pemutusan langganan air bersih PDAM. Tabel 2. Profil Rumah Tangga Sumber Air Minum Ledeng Meteran 2010 2011 2012 Pendapatan Pendapatan Pendapatan EQ % RT % RT % RT Rata-rata (Rp) Rata-rata (Rp) Rata-rata (Rp) Q1 5.26 898,697 5.07 757,045 3.81 794,780 Q2 10.53 1,325,169 14.29 1,298,341 13.14 1,257,060 Q3 37.37 1,974,866 34.10 1,939,464 31.78 1,960,481 Q4 22.11 2,915,683 20.28 2,966,052 15.25 3,008,704 Q5 24.74 6,258,104 26.27 6,950,953 36.02 6,700,652 Sumber: Susenas Kor dan Modul, BPS.
Data menunjukkan pada tahun 2010, penduduk miskin Kota Bogor sebesar 9.47 persen, naik dari sebelumnya tahun 2009 sebesar 8.82 persen (BPS Kota Bogor), dapat dibuktikan dengan turunnya rata-rata pengeluaran rumah tangga pada kelompok Q1 sebesar 5.39 persen, sehingga dapat dipastikan terdapat rumah tangga yang putus langganan air bersih PDAM karena ketidakmampuan ekonomi. Sedangkan tahun 2011 penduduk miskin Kota Bogor turun menjadi 9.16 persen, tetapi tidak diikuti dengan bertambahnya jumlah kelompok Q1 yang memiliki sumber air minum dari ledeng meteran. Turunnya jumlah rumah tangga pada kelompok Q3 dan Q4 untuk air minum yang bersumber dari ledeng meteran, karena kemampuan yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan air minum yang bersumber dari sumber lain, seperti air isi ulang dan sumur bor pompa. Sedangkan rumah tangga kelompok Q5 terus mengalami peningkatan dalam menerima akses air bersih perpipaan. Kelompok pada kuantil ini telah mulai meninggalkan air minum yang bersumber dari air tanah (sumur dan sumur bor pompa) dan beralih ke air minum yang bersumber dari ledeng meteran dan air kemasan bermerk. Jika dilihat dari porsinya, kelompok Q5 lebih banyak meggunakan sumber air bersih dari air kemasan bermerk (42.79%) dari pada ledeng meter (38.29%), lihat tabel 1. Manfaat belanja air minum ledeng meteran di Kota Bogor dapat diketahui melalui tabel berikut. Tabel 3. Manfaat Belanja Air Minum Ledeng Meteran Kota Bogor Tahun 2010 â&#x20AC;&#x201C; 2012 Kelompok Total Belanja Air % RT Biaya PB (Rp) % Manfaat Pengeluaran Minum (Rp) Q1 4.71 1,100,000 3,090,168,149.23 4.71 Q2 12.65 1,100,000 8,299,496,196.99 12.65 Q3 34.42 1,100,000 22,582,502,695.68 34.42 Q4 19.21 1,100,000 12,603,424,659.61 19.21 Q5 29.01 1,100,000 19,033,073,887.32 29.01 Jumlah 100 65,608,665,588.83 100 Sumber: Susenas Kor dan Modul BPS, diolah.
Melalui tabel 3 di atas dapat dilihat kuantil kelima (Q5) menerima manfaat sebesar Rp. 19,033,073,887.32 (29.01%) atau menerima manfaat relatif besar dibanding kelompok pengeluaran lain. Kelompok pengeluaran kuantil keempat menerima manfaat sebesar 19.21 persen atau sebesar Rp. 12,603,424,659.61. Kemudian rumah tangga kelompok pengeluaran kuantil ketiga mendapat manfaat terbesar (34.42%) sebesar Rp. 22,582,502,695.68. Kelompok pengeluaran kuantil pertama (Q1), dan kedua (Q2) adalah kelompok penerima manfaat paling sedikit, kelompok Q1 hanya menerima manfaat sebesar 4.17 persen atau sebesar Rp. 3,090,168,149.23. Sedangkan kelompok kuantil kedua menerima manfaat sebesar 12.65 persen atau Rp. 8,299,496,196.99. Kecilnya manfaat yang diterima kelompok Q1 dan Q2 dapat memberikan informasi masih terbatasnya kemampuan rumah tangga dalam membiayai pemasangan baru jaringan dan biaya bulanan, atau masih terbatasnya distribusi jaringan air perpipaan PDAM ke daerah atau rumah tangga berpenghasilan rendah yang biasanya berada jauh di pinggiran kota. Sebaliknya rumah tangga kelompok pengeluaran Q3, Q4, dan Q5 memiliki kemampuan finansial lebih dalam melakukan pemasangan baru dan langganan bulanan, serta terjangkaunya akses jaringan perpipaan ke permukiman pada kelompok ini.. Biaya rata-rata pemasangan baru jaringan sebesar Rp. 1,100,000 masih dirasa berat bagi sebagian rumah tangga kelompok pengeluaran. Ketidakmampuan ini menyebabkan sulitnya mereka menikmati air bersih untuk
kebutuhan sehari-sehari dan lebih memilih untuk menggunakan air yang berasal dari sumber lain dengan kualitas yang belum terjamin. 40
34,42 29,01
30 19,21
20
12,65
10
4,71
0 Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Gambar 2. Rumah Tangga Kelompok Pengeluaran Penerima Manfaat Belanja Air Bersih Kota Bogor Sumber: Susenas Kor dan Modul BPS, diolah.
Rendahnya cakupan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, maka pemerintah daerah melakukan intervensi percepatan akses jaringan perpipaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah lewat bantuan dana program hibah air minum. Dana hibah melalui pemerintah pusat ini digunakan oleh Pemerintah Kota Bogor untuk membangun sistem air minum yang dapat memperluas akses jaringan layanan air perpipaan ke rumah tangga. Di samping itu, Pemerintah Kota Bogor juga memberikan subsidi untuk mengurangi beban rumah tangga dalam biaya pemasangan baru. Tabel 4. Profil Rumah Tangga Penerima Manfaat Program Hibah Air Minum Kota Bogor Tahun 2010 â&#x20AC;&#x201C; 2011 Rata-rata Golongan Profesi Pendidikan ART Pelanggan PNS 2.19% SD 62.04% Polri/TNI 0% SMP 18.25% R1 21.17% Buruh 56.20% SMA dan 4.95 R2 64.23% Wiraswasta 26.28% sederajat R3 14.6% Karyawan 10.95% 19.71% Lainnya 6.57% Sumber: Data primer, diolah.
Buruh didefinisikan sebagai orang yang bekerja harian yang menerima upah berdasarkan hari masuk kerja dan/atau yang menerima upah dengan menggunakan sumber pencaharian orang lain. Profesi ini didominmasi buruh bangunan dan buruh supir angkot. Sedangkan profesi lainnya adalah pensiunan, guru, loper koran, pembantu rumah tangga, pemulung, dan tukang pijit. Profesi rumah tangga penerima manfaat ini ditopang oleh tingkat pendidikan yang rendah, yaitu setingkat Sekolah Dasar sebanyak 62.04 persen. Jika melihat proporsi profesi rumah tangga penerima manfaat didominasi oleh sektor informal dibanding sektor formal. Sektor informal ini ini relatif lemah karena tidak memiliki akses pasar terutama kompetisi dalam memperoleh dan peningkatan pendapatan. 120
102
89
100 80 60
24
40 20
0
0
3
1
10
0
1
1
14
3
3
9
1
7
4
5
0
0
0
2
1
0 Ledeng PDAM
Air Air isi ulang Ledeng Kemasan eceran Bermerek
Sumur bor Sumur Sumur tak Mata air Mata air Air sungai Air Hujan pompa terlindung terlindung terlindungi tak terlindungi
Sebelum Program Hibah
Lainnya
Setelah Program Hibah
Gambar 3. Sumber Air Minum Rumah Tangga Penerima Manfaat Program Hibah Air Minum Sumber: Data primer, diolah.
Rata-rata anggota rumah tangga penerima manfaat berjumlah sebanyak 4.95 orang. Sebelum berlanggangan dengan PDAM, rumah tangga penerima manfaat menggunakan sumber air yang berasal dari sumur terlindungi sebanyak 102 rumah tangga menggunakan sumur terlindungi sebagai sumber air minumnya. Juga terdapat 10 rumah tangga yang harus mengonsumsi air ledeng eceran karena tidak memiliki sumber yang lain. Rumah tangga ini membeli air pikul atau gerobak yang dijajakan dengan harga yang relatif mahal, yaitu mencapai Rp. 3,000 per pikul atau 2 jeriken (40 liter). Untuk mengonsumsi 1 m3 (1000 liter)
mereka harus membayar sebanyak Rp. 75,000. Jika dibandingkan, dari hasil survey rumah tangga setelah berlangganan PDAM, mereka menggunakan rata-rata 14 m3/bulan dengan biaya Rp. 50,000.Jadi, jika menggunakan minimal 14 m3/bulan air ledeng eceran, mereka harus membayar sebanyak Rp. 1,050,000 hanya untuk air saja. Setelah menerima manfaat dana hibah air minum, khususnya pemasangan sambungan baru jaringan perpipaan PDAM, pemakaian ledeng eceran sudah tidak digunakan lagi walaupun masih ada beberapa rumah tangga yang masih mempertahankan penggunaan sumber air lain selain pipa PDAM. Pada awal pemasangan jaringan pipa PDAM, seluruh rumah tangga penerima manfaat merupakan golongan pelanggan rumah tangga 1 dan 2 (R1 dan R2), walaupun dalam prosesnya ada yang berubah status menjadi golongan pelanggan rumah tangga 3 (R3). Sesuai dengan Peraturan Wali Kota Bogor No. 21 Tahun 2012 tantang Tarif Air Minum PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor, penggolongan pelanggan rumah tangga didasarkan atas luas bangunan, lokasi rumah dan akses jalan yang ada. Golongan pelanggan R1 merupakan rumah dengan luas bangunan â&#x2030;¤ 36 m 2 berlokasi di pemukiman terletak di jalan dengan lebar â&#x2030;¤ 3 m atau jalan/gang dengan lebar 1 m di kawasan permukiman dan perumahan yang terhubung dengan jalan arteri primer/ sekunder yang menghubungkan wilayah atau permukiman. Tabel 5. Manfaat Hibah Air Minum pada Setiap Kelompok Pengeluaran Kota Bogor Kelompok % Rumah Belanja Hibah RataTotal Belanja Hibah Air % Peengeluaran Tangga rata SR (Rp) Minum (Rp) Manfaat Q1 16.39 2,000,000 613,313,800 16.39 Q2 19.67 2,000,000 736,051,400 19.67 Q3 49.18 2,000,000 1,840,315,600 49.18 Q4 11.48 2,000,000 429,581,600 11.48 Q5 3.28 2,000,000 122,737,600 3.28 Jumlah 100 3,742,000,000 100 Sumber: Data primer, diolah.
Jika dilihat secara keseluruhan, informasi tabel 5 di atas menjelaskan bahwa proporsi penerima manfaat dana hibah air minum di Kota Bogor terbesar adalah kelompok pengeluaran kuantil tiga (Q3) sebesar 49.18 persen atau Rp. 1,840,315,600. Artinya sebanyak 49.18 persen rumah tangga kelompok pengeluaran kuantil ketiga adalah penerima manfaat terbesar, kelompok ini bukan merupakan kelompok kuantil termiskin (Q1) yang hanya menerima manfaat sebesar 16.39 persen atau Rp 613,313,800. Sementara itu kelompok pengeluaran kuantil kelima (Q5) menerima manfaat paling kecil, yaitu hanya sebesar 3.28 persen atau sebesar Rp. 122,737,600. Meskipun dengan porsi relatif kecil, seharusnya kelompok kelompok Q5 tidak berhak menerima manfaat program hibah ini, atau kelompok selain Q1 dan Q2 sebagai menjadi sasaran program (MBR) seharusnya menerima manfaat paling besar jika dibanding kelompok pengeluaran yang lain. Masih banyak rumah tangga MBR yang seharusnya berpotensi untuk menerima manfaat program hibah air minum pada akhirnya tidak menerima akibat kesalahan distribusi kepada kelompok rumah tangga berpendapatan menengah ke atas. Secara umum, masih terdapat sekitar 62.96 persen rumah tangga Kota Bogor belum mendapatkan layanan air bersih ledeng sebagai sumber utama air minum yang terjamin kualitas dan kesehatannya, bahkan masih ada rumah tangga yang menjadikan air sungai dan air hujan sebagai sumber air minum. Pada kelompok kuantil kedua (Q2) juga demikian, manfaat yang diterima kelompok ini (19.67%) masih di bawah kuantil yang lain, padalah kelompok ini merupakan kelompok sasaran program hibah. Kempok kuantil keempat (Q4) menerima manfaat sebesar 11.48 persen atau sebesar Rp. 429,581,600. Dari sebaran ini dapat diperoleh informasi bahwa manfaat program hibah air minum tidak sepenuhnya dinikmati oleh rumah tangga miskin yang menjadi sasaran program. Akses perpipaan ledeng belum banyak menyentuh rumah tangga kelompok Q1 dan Q2. Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa rumah tangga MBR masih mengandalkan sumber air minum lain, tidak sampai 30 persen yang dapat menikmati layanan air ledeng PDAM. 60
49,18
50 40 30 20
16,39
19,67 11,48
10
3,28
0 Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Gambar 4. Rumah Tangga Kelompok Pengeluaran Penerima Manfaat Program Hibah Air Minum Tahun 2010-2011. Sumber: Data primer, diolah
Dalam program hibah air minum ini, dana hibah akan diberikan untuk setiap SR yang dibangun dan berfungsi dengan baik. Besaran dana hibah ini akan diberikan secara progresif sesuai dengan jumlah SR yang berhasil dibangun dan berfungsi. Besaran dana yang akan diterima oleh daerah adalah sebesar Rp. 2 juta setiap SR yang dibangun. Karena program ini bersifat output based, jumlah dana hibah yang diberikan kepada pemerintah daerah maksimal sebesar dana APBD yang telah dikeluarkan untuk kegiatan ini. Program hibah sendiri diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan sistem penyediaan air minum sampai rumah tangga penerima manfaat tersambung dengan jaringan air minum perpipaan. Melalui kebijakan Pemerintah Kota Bogor dan PDAM Tirta Pakuan, disamping diperuntukkan untuk membangun sistem air minum, dana hibah juga digunakan untuk subsidi MBR atas biaya pembangunan sambungan baru perpipaan. Dalam subsidi ini manfaat terbesar juga diterima oleh rumah tangga kelompok pendapatan Q3, bukan kelompok Q1 dan Q2. Tabel 6. Manfaat Hibah Air Minum pada Setiap Kelompok Pendapatan Kota Bogor dengan Subsidi Biaya Pemasangan Baru Kelompok Jumlah Rumah Belanja Subsidi Pendapatan Tangga Rata-rata PB (Rp) Q1 20 220,000 Q2 24 220,000 Q3 60 220,000 Q4 14 220,000 Q5 4 220,000 Jumlah 122 Sumber: PDAM Tirta Pakuan dan data primer, diolah.
Distribution of Benefit (Rp) 64,464,518 80,965,654 202,434,716 47,253,976 13,501,136 411,620,000
% Manfaat 16.39 19.67 49.18 11.48 3.28 100
Aktualnya, sebesar 68.85 persen, artinya terdapat 84 rumah tangga dalam sampel atau sebanyak 1,288 rumah tangga dalam populasi membayar sambungan pemasangan baru perpipaan PDAM tidak sesuai dengan ketetapan subsidi yang telah ditetapkan. Dalam temuan ini, sebanyak 68.85 persen rumah tangga harus membayar sebesar Rp. 468,036 atau lebih mahal Rp. 28,036 dari harga yang telah ditetapkan. Sehingga jika dikalikan dengan dengan jumlah rumah tangga terdapat selisih sebesar Rp. 36,116,809.49. Artinya beban rumah tangga penerima manfaat tidak sepenuhnya berkurang sesuai dengan potensi manfaat yang seharusnya diterima. 500
412
400 300
202 187
200 100
380
67
62
81
74
47
44
13
12
0 Q1
Q2
Q3 Subsidi pipa
Q4
Q5
Manfaat
Aktual
Gambar 5. Distribusi Manfaat Subsidi Pemasangan Baru (juta Rupiah) Sumber: Data primer, diolah.
Dari sisi ketepatan subsidi atau belanja hibah air minum, sesuai dengan sasaran program untuk rumah tangga berpenghasilan rendah yaitu rumah tangga dengan kriteria daya listrik terpasang sebesar â&#x2030;¤ 1300 VA dan 50 persen di antara target sasaran tersebut memiliki daya listrik â&#x2030;¤ 900 VA. Tetapi jika menggunakan terminologi MBR berdasarkan istilah bidang Pekerjaan Umum, masyarakat berpenghasilan rendah adalah keluarga atau rumah tangga yang mempunyai penghasilan maksimum Rp. 1,5 juta per bulan. Sehingga dari hasil analisis yang dilakukan di atas dapat dikatakan program hibah air minum yang dilaksanakan Pemerintah Kota Bogor melalui PDAM Tirta Pakuan belum bisa dikatakan tepat sasaran, karena penerima manfaat program tersebut didominasi oleh rumah tangga pada kelompok Q3. Jika mengacu kepada definisi MBR bidang Pekerjaan Umum, penerima manfaat harusnya adalah rumah tangga kelompok pendapatan Q1 dan Q2.Target pemerintah dalam perluasan jaringan perpipaan sudah tercapai dengan tersambungnya jaringan pipa air minum PDAM di 2000 rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum yang sebelumnya belum menikmati air bersih dari ledeng meteran. Setelah dilakukan survey, target capain tersebut ternyata tidak bertahan karena terdapat rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan langganan PDAM, artinya khusus di Kota Bogor secara aktual perluasan jaringan dan peningkatan konsumsi air bersih bagi masyarakat miskin tidak sepenuhnya terjadi.
2. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Status Sambungan Rumah Tangga Penerima Manfaat Sampai bulan Oktober 2013, tercatat pelanggan aktif rumah tangga PDAM Kota Bogor sebanyak 109,528 rumah tangga.Capain ini bertambah dari 104,951 rumah tangga pada tahun 2012. Tetapi yang menjadi masalah penelitian adalah dari total 2,000 sambungan rumah tangga baru tahun 2010 â&#x20AC;&#x201C; 2011, tercatat sebanyak 110 rumah tangga penerima manfaat mengalami pemutusan jaringan air PDAM karena berbagai alasan. Akibat pemutusan bisa terjadi karena menunggak pembayaran, melanggar ketentuan PDAM, atau karena permintaan pelanggan sendiri. Berikut adalah data jumlah pelanggan aktif PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. Tabel 7. Jumlah Pelanggan Aktif PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor Kelompok Golongan Rumah Tangga R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8
2011 1,903 16,608 26,758 21,238 13,096 10,867 4,294 2,363
Tahun 2012 1,862 16,766 30,140 22,755 14,797 11,824 4,428 2,379
2013 1,693 16,816 31,878 23,518 16,051 12,661 4,471 2,440
Jumlah
97,127
104,951
109,528
Sumber: PDAM Tirta Pakuan.
Golongan pelanggan rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum merupakan golongan rumah tangga R1 dan/atau R2. Dari data di atas tergambar berkurangnya pelanggan R1 yang notabene adalah juga merupakan pelanggan penerima manfaat program hibah.Untuk golongan R2 tidak terlihat pengurangan pelanggan penerima manfaat program hibah karena mungkin juga adanya penambahan jumlah pelanggan yang berasal dari pelanggan reguler. Berdasarkan data query yang diperoleh dari PDAM, dari total 2,000 sambungan baru rumah tangga penerima manfaat program hibah tercatat pelanggan yang aktif sampai bulan Oktober 2013 hanya sebanyak 1,890 pelanggan. Artinya terdapat 110 pelanggan tidak aktif atau putus jaringan.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
55
71
65 45
< 1,5 juta > 1,5 juta
Pendapatan
65
35
R1
R2
Gol. Pelanggan
29
< 5 org
> 5 org
ART
35
Ada sumber lain
Tidak sumber lain
Sumber Air Minum
Gambar 6. Profil Rumah Tangga Penerima Manfaat Sumber: Data primer, diolah.
Analisis Tabel Kontingensi dan Uji Chi-Square Dalam analisis tabel kontingensi dengan uji Chi-Square dilakukan pengujian hipotesis asosiasi status sambungan langganan ledeng PDAM rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum dengan variabel yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu variabel pendapatan, golongan pelanggan, jumlah ART, dan sumber air lain.
Tabel 8. Hubungan Variabel dengan Status Sambungan Ledeng PDAM Rumah Tangga Penerima Manfaat Variabel Pearson Chi-Square Pendapatan 20.376 Golongan Pelanggan 9.085 Jumlah ART 0.139 Sumber Air Lain 31.232 Sumber: Data primer, diolah.
Sig. 0.000 0.003 0.709 0.000
Dari tabel 8 di atas dapat dilihat nilai Chi-Square masing-masing hubungan variabel dengan status sambungan ledeng PDAM rumah tangga penerima manfaat. Nilai Chi-Qquare variabel pendapatan adalah sebesar 20.376 dengan probabilitas sebesar 0.000<0.05, maka tolak H0. Sehingga dapat dipastikan terdapat hubungan antara pendapatan dengan status sambungan langganan ledeng PDAM rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum. Artinya, semakin rendah pendapatan rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum akan cenderung putus langganan, sedangkan semakin tinggi pendapatan rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum akan cenderung tidak putus langganan ledeng PDAM. Sedangkan untuk variabel golongan pelanggan, nilai Chi-Square sebesar 9.085 dengan probabilitas sebesar 0.003<0.05, maka tolak H0. Berdasarkan tersebut, dipastikan terdapat hubungan antara golongan pelanggan dengan status sambungan langganan ledeng PDAM rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum. Artinya, rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum yang putus sambungan langganan PDAM dipastikan dari golongan pelanggan R1, sedangkan golongan pelanggan bukan R1 dipastikan tidak mengalami putus sambungan langganan. Nilai Chi-Square variabel jumlah ART adalah sebesar 0.139 dengan probabilitas sebesar 0.709>0.05, maka terima H0. Sehingga dipastikan tidak terdapat hubungan antara jumlah ART dengan status sambungan langganan ledeng PDAM rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum. Proporsi jumlah ART rumah tangga yang putus dan tidak putus langganan ledeng PDAM hampir sama, yaitu sebesar 89.7 persen rumah tangga dengan ART kurang dari 5 tidak mengalami putus sambungan, sedangkan sebesar 87.5 persen rumah tangga dengan ART lebih dari 5 juga tidak mengalami putus sambungan langganan ledeng PDAM. Demikian juga sebesar 10.3 persen rumah tanggadengan ART kurang dari 5 mengalami putus sambungan, dan sedangkan sebesar 12.5 persen rumah tangga dengan ART lebih dari 5 juga mengalami putus sambungan langganan ledeng PDAM. Nilai Chi-Square variabel sumber air minum adalah sebesar 31.232 dengan probabilitas sebesar 0.000<0.05, maka tolak H0. Berdasarkan tersebut, dipastikan terdapat hubungan antara sumber air minum dengan status sambungan langganan ledeng PDAM rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum. Artinya, rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum yang putus sambungan langganan PDAM dipastikan memiliki sumber air minum selain air ledeng PDAM, sedangkan rumah tangga yang tidak memiliki sumber air minum selain air ledeng PDAM dipastikan tidak mengalami putus sambungan langganan. Analisis dan Intepretasi Dapat dipastikan bahwa variabel pendapatan, golongan pelanggan, dan sumber air minum memiliki hubungan dengan status sambungan langganan ledeng PDAM bagi rumah tangga penerima manfaat program hibah air bersih. Dapat diintepretasikan bahwa rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan langganan ledeng PDAM karena memiliki pendapatan yang relatif rendah, berasal dari golongan pelanggan R1 dan memiliki sumber air minum lain selain pipa ledeng PDAM. Atau rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan langganan ledeng PDAM adalah rumah tangga yang memiliki pendapatan di bawah Rp. 1,500,000 per bulan.Padahal rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga yang didefinisikan sebagai MBR di bidang pekerjaan umum.Bukan hanya dengan melihat daya listrik yang iterpasang sebagaimana persyaratan yang diadopsi oleh Pemerintah Kota Bogor dalam penentuan sasaran program hibah air bersih. Dalam statistik depskriptif disebutkan pendapatan rata-rata untuk rumah tangga penerima manfaat yang tidak mengalami putus sambungan adalah sebesar Rp. 1,684,097 dengan interval minimum sebesar Rp. 1,000,000 dan maksimum sebesar Rp. 4,800,000. Sedangkan pendapatan rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan adalah sebesar Rp. 550,333 dengan interval minimum sebesar Rp. 350,000 dan maksimum sebesar 850,000.
1.684.097
1.800.000 1.600.000 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000
550.333
600.000 400.000 200.000 0
Tidak Putus
Putus
Gambar 7. Rata-Rata Pendapatan Rumah Tangga Penerima Manfaat (Rp) Sumber: Data primer, diolah.
Diketahui juga bahwa rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan langganan ledeng PDAM adalah rumah tangga dengan golongan pelanggan R1. Sebagaimana menurut Peraturan Wali Kota Bogor No. 21 Tahun 2012 tantang Tarif Air Minum PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor, penggolongan pelanggan rumah tangga didasarkan atas luas bangunan, lokasi rumah dan akses jalan yang ada. Golongan pelanggan R1 merupakan rumah dengan luas bangunan â&#x2030;¤ 36 m 2 berlokasi di pemukiman terletak di jalan dengan lebar â&#x2030;¤ 3 m atau jalan/gang dengan lebar 1 m di kawasan permukiman dan perumahan yang terhubung dengan jalan arteri primer/sekunder yang menghubungkan wilayah atau permukiman. Di samping itu, tercatat yang mengalami putus sambungan disebabkan karena adanya keengganan rumah tangga menggunakan air ledeng PDAM karena terdapat biaya yang harus dibayar, sehingga wajar pemakaian air bulanan PDAM bagi MBR sangat rendah.Meskipun golongan pelanggan memiliki hubungan dengan status sambungan langganan PDAM, faktor ini tidak menjadi pendorong rumah tangga penerima manfaat putus sambungan mengingat rumah tangga penerima manfaat yang putus adalah tergolonga ke dalam golongan R1 yang notabene merupakan tarif langganan terendah untuk rumah tangga. Maka, kecenderungan untuk bertahan menggunakan sumber air minum yang lain karena kemungkinan mengonsumsi air dengan biaya yang lebih rendah jika dibanding mengonsumsi air ledeng PDAM. Dari hasil analisis Chi-Square di atas juga dibuktikan rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan dipastikan memiliki sumber air minum lain selain PDAM. 60,00
53,33
50,00 40,00 30,00
26,67
20,00
20,00 10,00 0,00
Sumur terlindungi
Sumur tak terlindungi
Mata air terlindungi
Gambar 8. Sumber Air Minum Lain Rumah Tangga Penerima Manfaat Putus Sambungan (Persen) Sumber: Data primer, diolah.
Sedangkan rumah tangga penerima manfaat yang tidak mengalami putus sambungan juga terdapat sebanyak 27.05 persen yang menggunakan sumber air minum selain pipa ledeng PDAM, sedangkan sebanyak 72.95 persen sudah tidak menggunakan sumber air minum selain pipa ledeng PDAM. Dapat dipastikan rumah tangga yang menggunakan sumber air minum lain karena memiliki pendapatan lebih seperti dalam mengonsumsi air isi ulang dan air kemasan bermerk. 80,00
72,95
70,00 60,00 50,00 40,00
27,05
30,00 20,00 10,00 0,00
Tidak Sumber Lain
Ada Sumber Lain
Gambar 9. Sumber Air Minum Rumah Tangga Penerima Manfaat Aktif (Persen) Sumber: Data primer, diolah.
72,73
80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
18,18 6,06
3,03
Air Kemasan Bermerek
Air isi ulang
Sumur terlindung
Mata air terlindungi
Gambar 10. Sumber Air Minum Rumah Tangga Penerima Manfaat Aktif Selain Ledeng PDAM (Persen) Sumber: Data primer, diolah.
Pemerintah Kota Bogor melalaui Program hibah Air Minum telah menerapkan subsidi biaya sambungan kepada rumah tangga MBR penerima manfaat untuk memperbaiki targeting pelayanan rumah tangga maskin. Dalam implementasinya manfaat program ini dinikmati oleh rumah tangga berpenghasilan menengah dan aktualnya tidak terjadi sambungan sebanyak yang ditargetkan karena terdapat rumah tangga penerima manfaat yang putus sambungan berlangganan dengan PDAM. Percepatan sambungan harus terus dilakukan karena masih banyak rumah tangga miskin yang belum menikmatinya. Sebelumnya tercatat jumlah rumah tangga di Kota Bogor yang memiliki sumber air minum dari ledeng PDAM adalah sebanyak 86,664 rumah tangga, setelah program hibah air minum tahap pertama terjadi peningkatan cakupan menjadi 88,664 rumah tangga. Tetapi aktualnya cakupan hanya bertambah sebesar 0.03 persen karena terdapat rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan sebanyak 110 rumah tangga. Artinya terdapat 0.04 persen rumah tangga potensial penerima manfaat program hibah air minum tidak menikmati haknya, yaitu masyarakat miskin. Sedangkan secara umum, cakupan air layak minum di Kota Bogor mengalami peningkatan cakupan di tahun 2010 sebesar 36.30 persen menjadi 39.84 persen di tahun 2011. Namun terjadi penurunan di tahun 2012 hanya sebesar 25.46 persen dari total rumah tangga pada tahun tersebut. Tahun 2013 dengan menggunakan jumlah rumah tangga tahun sebelumnya, cakupan air bersih Kota Bogor naik menjadi 26.57 persen. Cakupan yang relatif kecil ini menjadi tugas yang berat bagi Pemerintah Kota Bogor untuk meningkatkan layanan air bersih bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin mengingat target MDGs yang telah ditetapkan sebelumnya bahwa pada tahun 2015 harus terpenuhi 75.29 persen rumah tangga di perkotaan terlayani air minum layak. 89000 88500 88000 87500 87000
86664
88554
86500 86000 85500 Sebelum program
Setelah program
Gambar 11. Tambahan Cakupan Air Bersih Kota Bogor Program Hibah Air Minum Tahap Pertama Sumber: Susenas BPS dan PDAM Tirta Pakuan Bogor, diolah.
Gambar 12. Cakupan Air Bersih Kota Bogor Sumber: Susenas BPS dan PDAM Tirta Pakuan Bogor, diolah .
Johnstone dan Wood (2000) menyebutkan konsekuensi bagi penduduk miskin yang tidak memperolah akses air minum, khususnya penduduk miskin di perkotaan, dintaranya adalah (1) meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses karena meningkatnya biaya untuk mencari alternatif sumber air lain yang lebih mahal. (2) Berkurangnya konsumsi air; konsumsi air penduduk miskin menjadi berkurang karena semakin besarnya biaya, waktu dan usaha yang dibutuhkan bagi konsumsi air, air yang dikonsumsi penduduk miskin menjadi jauh dari kebutuhan minimal. (3) Berambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hilangnya produktivitas; banyak penduduk yang terjangkit penyakit karena konsumsi air yang kurang layak banyak secara langsung maupun tidak langsung. Akibatnya sebagian besar pendapatan habis untuk kesehatan sehingga tidak cukup untuk kegiatan yang lebih produktif. Sedangkan menurut Kariuki dalam Mungkasa (2006) karakteristik pasar air minum diantara komunitas miskin menujukkan halhal sebagai berikut: a.
Kinerja penyedia air minum yang rendah lebih menyengsarakan penduduk miskin dibandingkan yang kaya. Penduduk miskin biasanya tergantung pada gaji harian sehingga waktu yang terbuang untuk memperoleh air akan mengurangi kesempatan memperoleh penghasilan. b. Penduduk miskin membayar lebih besar untuk air minum. Meskipun terdapat persepsi bahwa penduduk miskin tidak mampu membayar, kenyataannya mereka membayar lebih besar daripada penduduk kaya, seperti membeli air dari penjaja keliling dengan harga yang lebih mahal. c. Penyedia alternatif merupakan jalan keluar bagi penduduk miskin untuk mendapatkan layanan. Tingginnya kebutuhan air yang tidak terlayani oleh penyedia air perpipaan memungkinkan penyedia skala kecil mengembangkan inovasi, seperti kios air, penjaja keliling, jaringan independen, dan lain-lain. d. Ketersediaan dana tunai merupakan isu dalam mendapatkan layanan air minum. Penduduk miskin cenderung membayar tidak teratur dan dalam jumlah kecil sesuai dengan ketersediaan dana mereka. e. Pemilihan lahan merupakan kendala mendapatkan layanan. Karakteristik rumah tangga penerima manfaat yang sudah tidak aktif hampir memiliki karakteristik yang sama dengan yang dijelaskan oleh Johnstone, Wood dan Kariuki di atas. Rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum yang sudah tidak aktif memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp. 550,333.33 per bulan yang diproxy dari pengeluaran bulanannya.Sebagian besar profesi rumah tangga ini adalah buruh lepas harian dengan rata-rata pendapatan per hari.Mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya lewat pendapatan tersebut, termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Karakteristik lain rumah tangga ini rata-rata masih memiliki sumber air minum lain yang mereka gunakan sebelum berlangganan ledeng meteran dengan PDAM maupun pada saat berlangganan. Konsekuensinya adalah konsumsi air ledeng meteran menjadi rendah jauh di atas konsumsi minimal (23 m3/bulan) karena masih tersedianya sumber lain yang dianggap lebih murah jika menggunakan sumber air PDAM. Mereka beranggapan biaya konsumsi yang dikeluarkan tidak untuk air karena anggapan masih banyak ketersediaan air tanah dan pemenuhan kebutuhan lain yang dianggap perlu, seperti kebutuhan sehari-hari, listrik, dan kebutuhan konsumsi lainnya. Ancaman penggunaan air tanah dan permukaan yang berlebihan adalah akan ada ancaman krisis air karena penggunaan yang berlebihan dan tidak terkontrol. Sebagai daerah resapan air, Bogor harus bisa mengambil peran dalam menjaga suplai air untuk daerah sekitar. Berkaitan dengan kualitas air, kesehatan, dan produktivitas, pemerintah harus segera menyediakan akses ledeng yang harga terjangkau atau dengan subsidi silang bagi masyarakat miskin. Air dipertimbangkan sebagai benda ekonomi sekaligus benda sosial.Air sebagai benda sosial menunjukkan bahwa air mempunyai limpahan (spill over) manfaat dan biaya yang nyata.Air sebagai benda ekonomi menunjukkan bahwa air mempunyai nilai dan dialokasikan sesuai dengan keuntungan maksimal yang dapat diperoleh. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan hilangnya fungsi sosial dari air dan dapat berakibat penduduk miskin terabaikan kebutuhannya akan air. Khusus untuk rumah tangga miskin, (a) rumah tangga miskin lebih tertarik kepada harga air yang rendah dan penerapan subsidi silang, (b) ekspansi sistem distribusi dengan skema pembayaran yang lebih bersifat khusus, dan (c) tingkat layanan baik kualitas air, lama layanan dan sistem penagihan karena rumah tangga miskin cenderung membayar tagihan dalam jumlah kecil dengan frekuensi yang lebih sering (Mungkasa, 2006). Air sebagai barang publik tidak bisa digantikan oleh barang yang lain, tetapi dalam hal sumber air minum rumah tangga memiliki pilihan sumber mana yang dianggap layak dan sesuai dengan preferensinya. Sesuai dengan definisi pendekatan air minum layak menurut MDGs, yaitu air minum yang aman dan berkelanjutan. Definisi ini dekat dengan sumber air minum perpipaan karena kualitasnya yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibanding sumber air lainnya. Di samping air dengan sumber yang terlindungi,
dengan pertimbangan jarak sumber air dengan pembuangan tinja terdekat. Untuk mendorong target MDGs tahun 2015 di Kota Bogor, investasi khususnya melalui program hibah seharusnya tidak hanya difokuskan kepada perluasan cakupan jaringan pipa rumah tangga PDAM. Investasi dan pembangunan sistem air bersih bisa dilakukan dengan sumber air minum lain berbasis masyarakat untuk menopang target capaian air minum layak Kota Bogor tahun 2015, mengingat dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa rumah tangga penerima manfaat yang mengalami putus sambungan adalah rumah tangga yang memiliki sumber air minum lain, artinya sumber air minum layanan pipa PDAM dalam kasus Kota Bogor bisa disubsitusi dengan sumber air minum lain. Selain itu patut dipertimbangkan juga karekteristik daerah Bogor yang masih terjaga kualitas air tanahnya dengan curah hujan yang tinggi. Hanya saja selain diperlukan partisipasi aktif masyarakat, pemerintah perlu menetapkan dan menjaga kualitas air minum yang berasal bukan dari layanan pipa PDAM terutama untuk memenuhi standar kualitas kesehatan dan keberlanjutan air yang aman dan layak untuk dikonsumsi sesuai dengan target prestisius MDGs tahun 2015. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa program hibah air minum di Kota Bogor tahap pertama tidak efektif menambah cakupan layanan air bersih bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena: 1.
2.
Distribusi manfaat paling besar program hibah air minum adalah rumah tangga kelompok pengeluaran kuantil ketiga (Q3) sebesar 49.18 persen, kuantil kedua (Q2) 19.67 persen, kuantil pertama (Q1) 16.39 persen, kuantil keempat (Q4) 11.48 persen, dan kuantil kelima (Q5) sebesar 3.28 persen. Proporsi rumah tangga miskin yang terlayani pada program ini hanya sebesar 36.06 persen. Sesuai dengan target program, seharusnya penerima manfaat terbesar adalah rumah tangga kelompok pengeluaran Q1 dan Q2 sebagai masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi dalam implementasinya justru terdapat kelompok rumah tangga berpendapatan menengah ke atas yang memperoleh distribusi manfaat sebesar 63.94 persen. Dalam impelementasinya, cakupan layanan air bersih bagi rumah tangga miskin tidak sepenuhnya bertambah karena terdapat 5.50 persen dari total rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum mengalami putus sambungan langganan air PDAM. Putus sambungan bisa dilakukan oleh pihak PDAM karena permasalahan pembiayaan atau karena permintaan pelanggan sendiri. Berdasarkan uji hipotesis asosiasi, terdapat hubungan status sambungan langganan dengan beberapa variabel. Pertama, semakin rendah pendapatan rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum akan cenderung putus langganan, sedangkan semakin tinggi pendapatan rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum akan cenderung tidak putus langganan ledeng PDAM. Kedua, rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum yang putus sambungan langganan PDAM dipastikan dari golongan pelanggan R1. Ketiga, rumah tangga penerima manfaat program hibah air minum yang putus sambungan langganan PDAM dipastikan memiliki sumber air minum selain air ledeng PDAM, sedangkan rumah tangga yang tidak memiliki sumber air minum selain air ledeng PDAM dipastikan tidak mengalami putus sambungan langganan. Namun, faktor golongan pelanggan bukan faktor dominan, melalui survey tercatat rumah tangga yang mengalami putus sambungan disebabkan karena terdapat kecenderungan untuk bertahan menggunakan sumber air minum yang lain karena kemungkinan mengonsumsi air dengan biaya yang lebih rendah jika dibanding menggunakan akses air ledeng PDAM.
Rekomendasi, antara lain: 1.
2.
Mengacu kepada hasil analisis penelitian, di samping menggunakan kriteria daya listrik yang terpasang di rumah penerima manfaat program hibah air minum, pemerintah juga harus mempertimbangkan kriteria lain seperti pendapatan dan sumber air minum. Di dalam pedoman disebutkan bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menentapkan kriteria selain kriteria daya listrik yang telah ditetapkan pemerintah. Khusus Kota Bogor, dua faktor tersebut patut menjadi perhatian untuk menghasilkan distribusi manfaat yang tepat sasaran dan menghindari rumah tangga penerima manfaat mengalami putus sambungan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa program ini terlalu berorientasi kepada target, rumah tangga penerima manfaat tidak tepat sasaran dan terdapat rumah tangga penerima manfaat yang putus sambungan langganan. Maka, disarankan dalam proses pencapaian target MDGs, investasi dan percepatan pembangunan air minum layak khusus bagi rumah tangga miskin harusnya tidak hanya melalui perluasan layanan pipa ledeng PDAM saja, investasi bisa dimaksimalkan dengan mempertimbangkan karkateristik permukiman dan potensi sumber air minum lain seperti sumur
3.
terlindungi yang banyak digunakan rumah tangga di Kota Bogor. Hanya saja pemerintah khususnya dan masyarakat secara umum perlu memastikan kualitas, tingkat kesehatan serta keberlanjutanya. Investasi bisa dilakukan dengan pembangunan langsung sarana air minum di pemukiman nasyarakat berpenghasilan rendah dengan partisipasi langsung rumah tangga penerima manfaat agar diperoleh alternatif yang sesuai dengan karakteristik rumah tangga, sehingga air minum berbasis masyarakat bisadimaksimalkan. Dana hibah bisa digunakan untuk membangun alat atau teknologi daur ulang air, air yang diolah berasal dari air limbahh masyarakat yang digunakan sebelumnya yang kemudian disalurkan kembali ke rumah tangga. Investasi ini akan langsung menyentuh dan tepat sasaran jikaditujukan kepada pemukiman miskin. Secara tidak langsung strategi ini akan mendidik masyarakat pentingnya penggunaan air bersih dan pentingnya menjaga ketersediaan air karena terdapat ancaman krisis air dan penurunan tingkat kualitas air baku. Sistem ini merupakan bentuk subsidi air minum dengan teknologi inovatif yang bersifat desentralisasi (community-based/small scale), dan desain yang menyangkut lahan di kawasan perkotaan (compact). Untuk memastikan diperlukannya subsidi dan besaran dari tarif subsidi bagi rumah tangga miskin dalam layanan air bersih PDAM, terlebih dahulu perlu dilakukan studi terkait kemampuan membayar air minum (affordability study) dan studi WTP (Willingness to Pay) atau kemauan rumah tangga miskin membayar sejumlah harga maksimum untuk dapat mengonsumsi sejumlah volume air bersih tertentu. Mengingat fungsi air sebagai benda ekonomi, rumah tangga khususnya harus mengeluarkan sejumlah unit biaya untuk mendapatkan tigkat utilitas tertentu untuk air bersih.
DAFTAR PUSTAKA Abuzeid, Farah. 2009. Foreign Aid and the “Big Push” Theory: Lesson from Sub-Saharan Africa. Stanford Journal of International Relations, vol. IX. Alesina A dab Rodrick D. 1994. Distributive Politics and Economic Growth. The Quarterly Journal of Economics 109: 465-490. Alfarol, Raquel. Reaching the Urban Poor with Water and Sanitation Infrastructures:Key Factors Not to Forget or Left Aside.Water and Sanitation Program, the World Bank, Nopember 1997. BAPPENAS dan PBB. 2007. Laporan Pencapaian Millenium Development Goal Indonesia. BAPPENAS. 2003. Pembangunan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. BAPPENAS. 2011. Daftar Pinjaman Luar Negeri/Hibah 2010-2014. Buku Ketiga. BAPPENAS. 2011. Sustaining Partnership. Edisi Desember 2011. http://pkps.bappenas.go.id/attachments/article/956/DESEMBER%20Reguler_AIR%20BERSIH_IN DONESIA_L.pdf [akses 4 Desember 2013]. BAPPENAS. 2013. Mid Term Review RPJMN 2010 – 2014. Benerjee, Sudeshna., Heather Skilling, Vivien Foster, Briceno Garmendia, Cecilia, Elvira Morella, dan Tarik Chfadi. 2008. Africa—Ebbing Water, Surging Deficits: Urban Water Supply in Sub-Saharan Africa. The World Bank. Boland, J.J, Whittington, D. 2000. Water Tariff Design in Developing Countries: Disadvantages of Increasing Block Tariffs and Advantages of Uniform Price with Rebate Design. Ottawa, ON, Canada: IDRC Research Paper. Buletin Cipta Karya, PU edisi 06/tahunXI/Juni 2013. Demery, Lionel. 2000. Benefit Incidence: A Practioner’s Guide. Poverty and Social Development Group Africa Region, The World Bank. Demery, Lionel. 2000. Analyzing the Incidence of Public Spending. Tool Kit-Chapter 2. The World Bank. Cardone, R., Fonseca, C. 2004. Financing and Cost Recovery. Delft: IRC (International Water and Sanitation Centre).
Carter, R. C., S. F. Tyrrel, dan P. Howsam. 1999. Impact and Sustainability of Community Water Supply and Sanitation Programmes in Developing Countries. Journal of the Chartered Institution of Water and Environmental Management, Vo. 13, pp 296-296. Cochran, William. G. 1991. Teknik Pengambilan Sampel - EdisiKetiga. Jakarta: UI Press. Davoodi, Hamid R., Erwin R. Tiongson, dan Sawitree S. Asawanuchit. 2003. How Useful Are Benefit Incidence Analyses of Public Education and Health Spending. IMF Working Paper. JEL Classification No: H51, H52, I38. Hansen, Jan Moller. 2006. Water Supply and Sanitation in Low-Income Urban Areas: Good Practice Paper. Ministry of Foreign Affairs of Denmark: Danida Technical Advisory Service. Howard, Guy dan Amaka Obika dalam Water and Poverty: The Themes. A Collection of Thematic papers. ADB, 2004. INDII. 2009. Design Summary and Implementation Document: Water and Sanitation Initiative (WSI) – Indonesia. Technical Report. AusAid. INDII. 2010. Dokumen Desain Program Komponen Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Perkotaan, Prakarsa Air Minum dan Sanitasi – Indonesia. Isopi, Alessia dan Fabrizio Mattesini. 2010. Good Donors or Good Recipients? A Repeated Moral Hazard Model of Aid Allocation. Credit Research Paper, Center for Research in Economic Development and International Trade, University of Nottingham. JEL Classification F35, D82. Khatri, K.B dan Vairavamoorthu K. 2007. Challenges for Urban Water Supply and Sanitation. UNESCO-IHE. Komives, Kristin., Vivien Foster, Jonathan Halpern, Quentin Wodon, dan Roohi Abdullah. 2005. Water, Electricity, and the Poor: Who Benefits from Utility Subsidies?. Direction in Development. Washington, DC: The World Bank. Kountur, Ronny. 2005. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: PPM. Lawrence, P. et al. 2002. The Water Poverty Index: An International Comparison. Keele Economics Department Working Paper (KERP 2002/19). UK: Staffordshire. Lenton, R. dan A. Wright. 2004. Achieving the Millenium Development Goals for Water and Sanitation: What Will It Take?. Interim Full Report, Task Force on Water and Sanitation Millenium Project. Levinsohn, Jim. 2003. The World Bank’s Poverty Reduction Strategy Paper Approach: Good Marketing or Good Policy. G-24 Discussion Paper Series, United Naiton. Kuznets, Simon. 1971. Economics Growth of Nations. Cambridge: Harvard University Press. Mara, Duncan dan Barbara Evans. 2011. Sanitation and Water Supply in Low-Income Countries. Duncan Mara, Barbara & Ventus Publishing. Marganingrum, Dyah dkk. 2011. Kemiskinan dan Kemiskinan Air, Menuju Prioritas Aksi. Studi Kasus: Cekungan Bandung. Jakarta: LIPI Press. Marin, Philippe. 2009. Public-Private Partnerships for Urban Water Utilities: A Review of Experiences in Developing Countries. The World Bank. Mungkasa, Oswar. 2005. Beberapa Fakta tentang Penyediaan Air Minum Bagi Penduduk Miskin Perkotaan Fokus DKI Jakarta. Makalah pada Seminar Hasil Penelitian Kependudukan. PPK-LIPI Mungkasa, Oswar. 2006. Dampak Investasi Air Minum Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta. Disertasi Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Oliver, A. 2006. Water Tariff Increase in Manaus (Brazil): An Evaluation of the Impact on Households. Paris: DIAL. Rogers, P., Silva, R. de, Bathia, R. 2001. Water is an Economic Good: How to use Price to Promote Equity, Efficiency, and Sustainability. In: Water Policy 4, 1-17. Rudaherawa, Nichodemus., Lawrence Bategeka dan Margaret Banga. 2003. Beneficiaries of Water Service Delivery in Uganda. Kampala, Uganda: Economic Policy Research Center (EPRC).
Saith, Ruhi. 2007. Capabilities: the Concept and its Implementation, dalamDefining Poverty in the Developing World (p. 55- 74). Edited by Frances Stewart, RuhiSaith and Barbara Harris-White New York: Palgrave Macmillan Sanitation and Water for All. 2012. Indonesia: Briefing Economic Impact of Water and Sanitation. Santoso, Singgih dan Fandy Tjiptono. 2002. Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Satterwaithe, David; Nick Johnstone and Libby Wood.Helping Poorer Urban Households and Neighbourhoods Secure Access to Adequate Water and Sanitation. Institute for Environment and Development, Nopember 1998. Seema, Manghee dan Caroline van den Berg. 2012. Public Expenditure Review from the Perspective of the Water and Sanitation Sector. Guidance Note: June 2012, Water Partnership Program. The World Bank. Selden, Thomas M., dan Michael J. Wasylenko. 1992. Benefit Incidence Analysis in Developing Countries. Syracuse University Surface, Country Economics Department, The World Bank. Solihin, Akhmad (Peneliti PKSPL IPB) http://www.jwaterfilter.com/2012/10/kelangkaan-air-diperkotaan.html [akses 31 Oktober 2013]. Stalker, Peter. 2008. Kita Suarakan MDG’s Demi Pencapaiannya di Indonesia. BAPPENAS-PBB. Sudarmanto, R. Gunawan. 2009. Pengaruh Pembiayaan Pendidikan terhadap Kualitas Pelaksanaan Pembelajaran dan prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Ekonomi di Bandar Lampung. Disertasi Program Pascasarjana UM Malang. Sullivan, Caroline A. 2002. Calculating A Water Poverty Index. Elsevier Science Ltd. Szal, Richard J. dan Sherman Robinson. 1977. Measuring Income Inequality. In Charles R. Frank, Jr., and Richard C. Webb (eds.), Income Distribution and Growth in the Less-Developed Countries, pp. 491 – 533. Washington, D.C.: Brooking Institution. TNP2K. IndikatorKesejahteraan Rakyat, Buku 4: InfrastrukturDasar Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi, edisi kesembilan (Alih Bahasa oleh Haris Munandar dan Puji A.L). Jakarta: Erlangga. UNDP. 2006. Human Development Report 2006. UNICEF. 2012. Progress on Drinking Water and Sanitation, update 2012. Whittington, D. 2002. Tariffs and Subsidies in South Asia: Understanding the Basics. Washington, D.C.: Water and Sanitation Program; World Bank Institute; PPIAF. Wodon QT, Yitzhaki S. 2002. Inequality and Social Welfare.Di dalamKlugman J, editor.A Sourcebook for Poverty Reduction Strategies.Washington : World Bank. WHO dan UNICEF. 2013. Progress on Sanitation and Dringking-Water Update. WHO Press: Geneva, Switzerland. World Health Organization and United Nations Children’s Fund Joint Monitoring Programme (JMP) for Water Supply and Sanitation. Coverage estimates for 2010. World Bank. 2000. World Development Report 2000/2001: Attacking Poverty. Washington D.C.: World Bank. World Bank. 2011. More, Better, or Different Spending? Trends in Public Expenditure on Water and Sanitation in Sub-Saharan Africa. World Bank: Africa Region. World Health Organization and United Nations Children’s Fund Joint Monitoring Programme (JMP) for Water Supply and Sanitation. Coverage estimates for 2010. Van de Walle, Dominique. 1996. Assesing the Walfare Impacts of Public Spending. World Bank Policy Research.