Regional Climate Investment Evaluation

Page 1


EVALUASI IKLIM INVESTASI DALAM PENINGKATAN NILAI INVESTASI DI DAERAH


KATA PENGANTAR

Pelaksanaan evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah tahun 2013 merupakan wujud dukungan atas komitmen Pemerintah dalam peningkatan nilai investasi untuk menopang keberlangsungan pambangunan, di mana bidang ini merupakan salah satu Prioritas Nasional yang tertera di dalam RPJMN 2010 – 2014. Kemampuan daerah dalam mengelola dan memperoleh sumber pembiayaan pembangunan merupakan tantangan dan permasalahan selama ini dalam pelaksanaan otonomi daerah. Terutama berkaitan dengan peningkatan persaingan global, daerah dituntut mampu mandiri dalam menciptakan daya tarik investasi dan daya saing daerah. Maka, iklimi nvestasi saat ini relevan dalam permasalahan rendahnya realisasi investasi di daerah. Laporan evaluasi ini merangkum kondisi investasi secara nasional dan regional dalam hubungannya dengan pembangunan, berikut faktor yang mempengaruhi dan menjadi permasalahan realisasi investasi di 6 (enam) provinsi terpilih, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi JawaTimur, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Khusus Provinsi Maluku Utara kami menambahkan analisis potensi daerah dan analisis strategi kebijakan pengembangan investasi karena mengingat rendahnya pertumbuhan ekonomi dan realisasi investasi. Diharapkan hasil evaluasi ini dapat menjadi acuan rekomendasi dalam perencanaan berikutnya bagi pengembangan kebijakan investasi di daerah khususnya di enam provinsi terpilih.

Jakarta, Desember 2013

Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaandan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)


DAFTAR ISI

I

PENDAHULUAN I Latar Belakang II Permasalahan III Ruang Lingkup Evaluasi IV Tujuan dan Sasaran V Sistematika Penulisan

II

TINJAUN LITERATUR I Investasi I.1 Investasi Luar Negeri I.2 Investasi Dalam Negeri II Pertumbuhan Ekonomi II.1 Faktor - Faktor Pertumbuhan Ekonomi III Investasi dan Pembangunan Ekonomi Daerah III.1 Kendala dan Tantangan Investasi Daerah III.2 Insentif Penanaman Modal IV Iklim Investasi V Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Daerah V.1 Keunggulan Komparatif (Comparative Advantege) V.2 Keunggulan Kompetitif (Competitive Advantage) VI Daya Saing Daerah

III

METODOLOGI EVALUASI I Konsep Evaluasi II Metodologi Evaluasi III Jenis dan Sumber Data IV Metode Analisis Data IV.1 Analisa Korelasi IV.2 Incremental Capital Output Ratio (ICOR) IV.3 Analytical Hierarchy Process (AHP) IV.4 Shift-Share (S-S) IV.5 Location Quotient (LQ)

IV

GAMBARAN UMUM I Investasi Indonesia I.1 Penanaman Modal Luar Negeri (PMA) I.2 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) II Provinsi Gorontalo II.1 Letak Wilayah dan Administrasi II.2 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan II.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Gorontalo III Provinsi Jawa Timur III.1 Letak Wilayah dan Administrasi III.2 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan III.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Timur IV Provinsi Riau IV.1 Letak Wilayah dan Administrasi IV.2 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan IV.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Gorontalo V Provinsi Maluku V.1 Letak Wilayah dan Administrasi V.2 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan V.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Maluku VI Provinsi Maluku Utara VI.1 Letak Wilayah dan Administrasi VI.2 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan VI.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Maluku Utara VII Provinsi Sumatera Utara

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I-1 I-3 I-4 I-8 I-8 II-1 II-1 II-2 II-2 II-3 II-3 II-4 II-5 II-6 II-7 II-6 II-7 II-19 III-1 III-2 III-6 III-7 III-7 III-8 III-9 III-12 III-13 IV-1 IV-1 IV-3 IV-5 IV-5 IV-6 IV-7 IV-9 IV-9 IV-9 IV-12 IV-13 IV-13 IV-13 IV-14 IV-16 IV-16 IV-17 IV-18 IV-20 IV-20 IV-21 IV-22 IV-24

i


VII.1 Letak Wilayah dan Administrasi VII.2 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan VII.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Sumatera Utara

IV-24 IV-24 IV-25

V

ANALISIS EVALUASI I Perkembangan Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Daerah II Realisasi dan Iklim Investasi di Daerah II.1 Provinsi Gorontalo II.1.1 Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi II.2 Provinsi Jawa Timur II.2.1 Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi II.3 Provinsi Riau II.3.1 Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi II.4 Provinsi Maluku II.4.1 Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi II.5 Provinsi Maluku Utara II.5.1 Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik II.6 Provinsi Sumatera Utara II.6.1 Permasalahan Dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi III Analisis Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Maluku Utara IV Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara

V-1 V-12 V-15 V-20 V-24 V-29 V-29 V-37 V-40 V-45 V-46 V-53 V-58 V-63 V-65 V-71

VI

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN I Kesimpulan II Implikasi Kebijakan

VI-1 VI-1

DAFTAR PUSTAKA

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

ii


DAFTAR TABEL

1.1 1.2 3.1 3.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22 4.23 4.24 4.25 4.26 4.27 4.28 4.29 4.30 4.31 4.32 4.33 4.34 4.35 4.36 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9

Realisasi Investasi PMDN dan PMA Provinsi Tahun 2006-2010 Perbandingan Peringkat Iklim Investasi, PDRB, Rasio PMTB, dan Realisasi Investasi Provinsi Tahun 2006-2010 Pendekatan Evaluasi Kebijakan Kebutuhan Data Kegiatan Evaluasi Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) menurut Sektor, Tahun 2006 – 2009 (US$ juta) Rencana Penanaman Modal Asing (PMA) yang Disetujui Pemerintah menurut Pulau, Tahun 2006-2009 (Miliar Rupiah) Perkembangan Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Menurut Sektor, Tahun 2006-2009 (Miliar Rupiah) Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut Pulau, Tahun 2006-2009 (Miliar Rupiah) Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2010 Profil Demografi Provinsi Gorontalo Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Gorontalo Tahun 2009-2011 (persen) Distribusi PDRB Provinsi Gorontalo Tahun 2006-2010(persen) Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi Se-Sulawesi Tahun 2011 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 Profil Demografi Provinsi Jawa Timur Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2011(persen) Distribusi PDRB Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2011(persen) Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2011 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 Profil Demografi Provinsi Riau Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Riau Tahun 2009 – 2011 (persen) Distribusi PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006-2011(persen) Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi di Pulau Sumatera Tahun 2011 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 Nama-Nama Pulau Besar Provinsi Maluku Profil Demografi Provinsi Maluku Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Maluku Tahun 2009-2011 (persen) Distribusi PDRB Provinsi Maluku Tahun 2006-2011 (persen) Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Indonesia Kawasan Timur Tahun 2011 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 Profil Demografi Provinsi Maluku Utara Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Maluku Utara Tahun 2008 – 2010 (persen) Distribusi PDRB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006-2010 (persen) Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Indonesia Kawasan Timur Tahun 2011 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 Profil Demografi Provinsi Sumatera Utara Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2011(persen) Distribusi PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – 2011(persen) Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi di Pulau Sumatera Tahun 2011 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 Rata - Rata Nilai PDRB dan PMTB di Daerah Tahun 2006 – 2011 Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN Tahun 2006 – 2012 Capaian Prioritas Nasional Iklim Investasi dan Iklim Usaha Uji-t Rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2006 - 2011 Realisasi Investasi Berdasarkan Sektor Ekonomi Januari – Juni 2013 ICOR, Produktivitas Sektor, dan Efisiensi Investasi yang Ditanamkan Tahun 2007 - 2011 PDRB dan PMTB Provinsi Gorontalo Tahun 2006 – 2011 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Gorontalo Tahun 2006 – 2011 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Gorontalo Tahun 2007 – 2011

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I-4 I-5 III-2 III-8 IV-2 IV-3 IV-4 IV-5 IV-5 IV-6 IV-6 IV-7 IV-8 IV-9 IV-10 IV-10 IV-11 IV-12 IV-12 IV-13 IV-14 IV-15 IV-16 IV-16 IV-17 IV-17 IV-18 IV-19 IV-20 IV-20 IV-20 IV-21 IV-23 IV-23 IV-24 IV-25 IV-25 IV-26 IV-27 IV-28 V-1 V-2 V-7 V-8 V-14 V-14 V-16 V-16 V-18

iii


5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 5.18 5.19 5.20 5.21 5.22 5.23 5.24 5.25 5.26 5.27 5.28 5.29 5.30 5.31 5.32 5.33 5.34 5.35 5.36 5.37 5.38 5.39 5.40 5.41 5.42 5.43 5.44 5.45 5.46 5.47 5.48 5.49 5.50 5.51 5.52 5.53 5.54 5.55 5.56

ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Gorontalo Tahun 2007 - 2011 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Gorontalo Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Gorontalo Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Gorontalo Panjang dan Kondisi Jalan Nasional dan Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Panjang dan Kondisi Jalan Menurut Kabupaten/ Kota Provinsi Gorontalo Tahun 2011 PDRB dan PMTB Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 – 2011 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 – 2011 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 – 2011 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 - 2011 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Jawa Timur Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Jawa Timur Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Jawa Timur PDRB dan PMTB Provinsi Riau Tahun 2006 – 2011 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Riau Tahun 2006 – 2011 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Riau Tahun 2007 – 2011 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Riau Tahun 2007 - 2011 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Riau Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Riau Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Riau Panjang Jaringan Jalan Provinsi Riau Berdasarkan Kondisi Tahun 2010 (KM) Panjang Jaringan Jalan Kabupaten/ Kota Berdasarkan Kondisi Tahun 2009 (KM) PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Tahun 2006 – 2011 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Tahun 2006 – 2011 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Tahun 2007 – 2011 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Tahun 2007 - 2011 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 – 2011 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 – 2011 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 – 2011 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 - 2011 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Utara Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Utara Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku Utara Kondisi Jalan Provinsi Maluku Utara Infrastruktur Perhubungan Udara Provinsi Maluku Utara Tahun 2011 Infrasturktur Perhubungan Laut Provinsi Maluku Utara Tahun 2011 Jumlah Penyeberangan (Ferry) di Provinsi Maluku Utara PDRB dan PMTB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – 2011 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – 2011 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 – 2011 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 - 2011 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Sumatera Utara Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Sumatera Utara Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Sumatera

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V-19 V-21 V-21 V-22 V-23 V-23 V-25 V-25 V-27 V-28 V-29 V-30 V-31 V-32 V-33 V-34 V-35 V-37 V-37 V-38 V-40 V-40 V-41 V-42 V-42 V-43 V-45 V-46 V-46 V-49 V-49 V-50 V-51 V-52 V-53 V-55 V-56 V-56 V-57 V-57 V-58 V-59 V-60 V-61 V-63 V-64 V-64

iv


5.57 5.58 5.59 5.60 5.61 5.62 5.63 5.64 5.65 5.66 5.67

Utara PDRB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 dan 2011 PDRB Maluku Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 dan 2011 PDB Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 dan 2011 Hasil Penghitungan Shift-Share Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 – 2011 (miliar rupiah) Hasil Perhitungan Model LQ Provinsi Maluku Utara Spesialisasi Perekonomian Regional Menurut Sektoral Provinsi Maluku Utara dan Maluku Tahun 2006 dan 2011 Spesialisasi Perekonomian Regional Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 Spesialisasi Perekonomian Regional Provinsi Maluku Utara Tahun 2011 Matriks Pairwise Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara Matriks Priority Vector Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara Bobot Level Pertama dan Level Kedua Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V-66 V-67 V-67 V-68 V-69 V-69 V-70 V-70 V-71 V-72 V-73

v


DAFTAR GAMBAR

1.1 1.2 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22 4.23 4.24 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14

Pemeringkatan Iklim Investasi Daerah Pemilihan Obyek Evaluasi Skema Keunggulan Komparatif Skema Keunggulan Kompetitif Interaksi Penentu Keunggulan Kompetitif Hirarki Iklim Investasi Hirarki Strategi Kebijakan Investasi Daerah Skema Kerangka Berpikir Kegiatan Evaluasi Tematis Korelasi Positif Korelasi Negatif Nihil Korelasi Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo Tahun 2007 - 2011 Perkembangan PDRB Provinsi Gorontalo Tahun 2005-2011 (juta rupiah) Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Gorontalo Tahun 2006-2011 (%) Struktur PDRB ADHB Sektoral Provinsi Gorontalo Tahun 2011 (%) Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Timur 2006-2011 Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2011(juta rupiah) Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2011(%) Struktur PDRB Sektoral ADHB Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 (%) Jumlah Penduduk Provinsi Riau Tahun 2006-2010 Perkembangan PDRB Provinsi Riau Tahun 2005 – 2011(juta rupiah) Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Riau Tahun 2006 – 2011(%) Struktur PDRB Sektoral ADHB Provinsi Riau Tahun 2011 (%) Jumlah Penduduk Provinsi Maluku 2006-2011 Perkembangan PDRB Provinsi Maluku Tahun 2005-2011(juta rupiah) Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Maluku Tahun 2006-2011(%) Struktur PDRB Sektoral ADHB Provinsi Maluku Tahun 2011 (%) Persentase Penduduk Provinsi Maluku Utara 2010 Perkembangan PDRB Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2011 (juta rupiah) Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara Tahun 2006-2011 (%) Struktur PDRB Sektoral ADHB Provinsi Maluku Utara Tahun 2011 (%) Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara 2006-2011 Perkembangan PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005-2011 (juta rupiah) Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – 2011(%) Struktur PDRB Sektoral ADHB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 (%)

Perkembangan PMTB Provinsi di Indonesia Tahun 2006 - 2011 Nilai PDRB dan PMTB di Indonesia Tahun 2006 – 2011 (miliar rupiah) Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Indonesia Tahun 2004 – 2012 (Miliar rupiah) Daerah dengan Tren Positif Pertumbuhan Rasio PMTB terhadap PDRB tahun 2006 -2011 (persen) Rata-Rata Pesentase PMTB terhadap PDRB Tahun 2006 – 2011 (persen) Pesentase PMTB terhadap PDRB Tahun 2006 – 2011 (persen) Pertumbuhan Rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2007 – 2011 (persen) Persentase PMDN dan PMA terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2006 – 2011 (persen) Pertumbuhan Rasio Investasi PMDN dan PMA terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2007 – 2011 (persen) Distribusi PMTB Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2011 Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMDN Menurut Pulau Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah) Rata - Rata Persentase Nilai Investasi PMDN Menurut Pulau Tahun 2006 – 2009 (persen) Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMDN Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah) Rata - Rata Persentase Nilai Investasi PMDN Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I-5 I-4 II-7 II-8 II-8 III-3 III-4 III-5 III-10 III-7 III-7 IV-6 IV-7 IV-7 IV-8 IV-11 IV-10 IV-10 IV-12 IV-15 IV-14 IV-14 IV-15 IV-17 IV-18 IV-18 IV-19 IV-21 IV-21 IV-21 IV-23 IV-24 IV-25 IV-25 IV-27 V-2 V-3 V-3 V-4 V-5 V-5 V-5 V-6 V-6 V-9 V-10 V-10 V-10 V-10

vi


5.15 5.16 5.17 5.18 5.19 5.20 5.21 5.22 5.23 5.24 5.25 5.26 5.27 5.28 5.29 5.30 5.31 5.32 5.33 5.34 5.35 5.36 5.37 5.38 5.39 5.40 5.41 5.42 5.43 5.44 5.45 5.46 5.47 5.48

(persen) Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah) Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah) Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah) Rata - Rata Persentase Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 Perkembangan PDRB dan Rasio PMTB terhadap PDRB Tahun 2000 – 2016 Perkembangan Realisasi Nilai PMA dan PMDN Tahun 2006 – 2012 Permasalahan dan Penentu Daya Tarik Investasi di Daerah Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Gorontalo tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah) Perkembangan ICOR Provinsi Gorontalo Tahun 2007 - 2011 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Gorontalo (persen) Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Gorontalo Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Jawa Timur Tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah) Perkembangan ICOR Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 - 2011 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Jawa Timur Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Jawa Timur Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Riau tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah) Perkembangan ICOR Provinsi Riau Tahun 2007 - 2011 Bobot Level Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Riau (persen) Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Riau Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Maluku tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah) Perkembangan ICOR Provinsi Maluku Tahun 2007 - 2011 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Maluku Utara tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah) Perkembangan ICOR Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 - 2011 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Utara (persen) Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku Utara Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Sumatera UtaraTahun 2006 – 2012 (miliar rupiah) Perkembangan ICOR Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 - 2011 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Sumatera Utara Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Sumatera Utara Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 - 2011 Bobot Level Pertama Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara Bobot Final Prioritas Variabel Strategi Kebijakan Investasi Daerah Provinsi Maluku Utara

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V-11 V-11 V-12 V-12 V-13 V-13 V-15 V-17 V-20 V-21 V-22 V-26 V-29 V-30 V-31 V-33 V-36 V-38 V-37 V-41 V-45 V-45 V-47 V-50 V-53 V-54 V-55 V-59 V-63 V-64 V-66 V-65 V-72 V-73

vii


BAB I PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang

Ekonom klasik Harrod-Domar mengatakan pembangunan pada dasarnya adalah masalah modal, yaitu prinsip dasarnya mengenai kebutuhan modal, tabungan dan investasi sebagai masalah utama dalam pembangunan.Secara makro investasi memiliki peran dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi, perluasan dan penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan. Investasi, baik akumulasi kapital domestik dan atau luar negeri, akan menjadi faktor pengungkit dalam menggerakkan mesin ekonomi dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia menaruh perhatian yang serius kepada investasi sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam pembangunan ekonomi, modernisasi, pertumbuhan pendapatan, ketenagakerjaan, masalah kemiskinan, mendorong lahirnya industri bahan baku lokal, alih teknologi dan manajemen, dan kolaborasi lain dalam rangka peningkatan produktivitas. Agar hal-hal tersebut dapat terpenuhi perlu dilakukan investasi yang tepat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Di dalam investasi, perlu diperhatikan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mendukung terciptanya investasi yang efektif (pra-kondisi), yaitu pertama, stabilitas makro-ekonomi, seperti kurs rupiah dan inflasi yang terkendali. Kedua, pemberian insentif kepada investor baru seperti, kepastian hukum, bebas bea masuk untuk impor barang modal dan bahan baku, dan alternatif pengurangan pajak penghasilan (PPh) untuk investasi padat karya 1. Iklim investasi erat kaitannya dengan stabilitas perekonomian, sosial, politik, dan jaminan keamanan dan penegakan hukum. Hasil survey dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy) tahun 2010 menunjukkan skor korupsi Indonesia 9,07 dari maksimum 10. Bisa dikatakan Indonesia merupakan salah satu negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis, hal ini juga yang menyebabkan para investor asing merasa tidak nyaman berinvestasi di Indonesia. Laporan World Investment Report 2004 menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga terburuk dari 140 negara yang disurvey dalam menarik PMA, angka indeks kinerja Indonesia (0,189) berada pada urutan 110 dari 140 negara. Laporan Bank Dunia (2004) menyebutkan lamanya proses pemberian izin hingga realisasi yang memakan waktu sampai satu tahun lebih. Di samping itu, publikasi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia melalui International Finance Corporation (IFC) mengenai Indeks Kemudahan Berusaha (ease of doing business index), peringkat Indonesia menurun dari peringkat 126 pada tahun 2010 menjadi peringkat 129 pada tahun 2011. Padahal per tahun 2009 telah dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, harusnya hal ini dapat mendongkrak posisi Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berusaha. Sejak diterbitkannya Indeks Kemudahan Berusaha oleh IFC pada tahun 2004, posisi Indonesia belum berhasil mendapat peringkat di bawah 120 dari 183 negara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014, pemerintah telah menargetkan indeks kemudahan berusaha Indonesia menduduki peringkat 76 pada tahun 2014. Penurunan peringkat Indeks Kemudahan Berusaha Indonesia bukan karena pemerintah tidak melakukan apa-apa dalam memperbaiki iklim investasi, tetapi berdasarkan data indikator-indikator di dalam Ease of Doing Business 2012 menunjukkan negara lain lebih kencang melakukan perbaikan (reform) dalam rangka peningkatan iklim investasi dan usaha. Dalam penilaiannya, indikator-indikator Indeks Kemudahan Berusaha di Indonesia yang mengalami perbaikan antara 1

Kantor Menko Perekonomian (2002). Kajian Pengembangan Investasi dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta. Hal 77-79.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I- 1


lain: (1) Indikator memulai usaha naik 1 tingkat, (2) indikator kemudahan membayar pajak naik 3 tingkat, (3) indikator kemudahan dalam proses penutupan usaha naik 3 tingkat, dan (4) indikator izin konstruksi bangunan tidak mengalami perubahan. Sementara, indikator-indikator yang mengalami penurunan peringkat terdapat 6 (enam) indikator, antara lain (1) kemudahan mendapatkan sambungan listrik turun 3 tingkat (161 dari 183), (2) indikator kemudahan mendapat kredit turun sebanyak 10 tingkat (126), hal ini menyangkut hak-hak hukum para peminjam dan kreditur terhadap akses sumber-sumber keuangan. (3) Indikator perlindungan investor turun sebanyak 2 tingkat (46), hal ini menyangkut peraturan/kebijakan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas akibat penyalahgunaan kekayaan perusahaan untuk kepentingan pribadi oleh top manajemen. (4) indikator penegakan kontrak turun 2 tingkat (156), indikator ini menyangkut efisiensi sistem peradilan berupa langkah-langkah, prosedur formal dan peraturanperaturan dalam menyelesaikan sengketa bisnis seperti sengketa merk dan paten, dan (6) indikator terakhir yang mengalami penurunan peringkat adalah indikator perdagangan lintas batas (ekspor dan impor) mengalami penurunan 1 tingkat (39), indikator ini menilai prosedur, persyaratan (dokumen), biaya dan waktu yang diperlukan dalam ekspor dan impor barang dari/ke negara lain. Hal yang krusial dalam permasalahan perizinan Indonesia adalah terkait dengan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien, tindakan korupsi, dan kurang tersedianya infrastruktur yang memadai.Mengenai birokrasi pemerintahan, pemerintah telah mendorong penyelenggaraan otonomi daerah, dalam hal ini desentralisasi kebijakan fiskal dan deregulasi dalam rangka kemudahan dalam berusaha.Contoh berhasil telah diterapkan di China dan Turki yang menujukkan pelaksanaan desentralisasi berimplikasi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sedangkan di Indonesia, efektifitas desentralisasi dalam kinerja ekonomi daerah masih diragukan. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh KPPOD menunjukkan bahwa otonomi daerah belum mampu meningkatkan iklim investasi di daerah-daerah.Kendala yang sering muncul seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah banyaknya pungutan dan retribusi daerah, PerdaPerda yang bermasalah, dukungan infrastruktur uang kurang, dan ketidakjelasan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (Erfani, 2007). Saat ini penerapan otonomi daerah memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk mengatur dan mengurus pelayanan publiknya, termasuk dalam hal perizinan. Implikasinya adalah sebagian daerah menggunakan kesempatan ini untuk melakukan inovasi demi menarik investor, salah satunya melalui pembenahan sistem birokrasi pelayanan perizinan investasi. Dasar hukum dari perbaikan birokrasi pelayanan perizinan ini adalah Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.Hal ini dilakukan dalam rangka memperbaiki iklim investasi. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Mekanisme pelayanan terpadu satu pintu (selanjutnya disebut PTSP) ini merupakan sebuah terobosan dan inovasi dalam memperbaiki sistem pelayanan penanaman modal yang lama. Dalam sistem yang lama itu dipandang sangat tidak efektif dan efisien, serta rentan dengan praktekpraktek KKN. Ini dikarenakan sistem tersebut masih belum terintegrasi kedalam satu lembaga atau dengan kata lain kewenangan dalam mengeluarkan perizinan prinsip penanaman modal masih terkonsentrasi pada pemerintah pusat, sementara kewenanganuntuk perizinan teknis penanaman modal masih terpecah-pecah pada masing-masing sektor/instansi yang terkait. Dengan adanya pelimpahan kewenangan dalam pengurusan perizinan penanaman modal ini dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah maka akan dapat memotong rantai birokrasi pelayanan sehingga bisa lebih efektif dan efisien. Akan tetapi semenjak Peraturan Pemerintah tentang PTSP di Bidang Penanman Modal diterbitkan tahun 2009, hasil yang diperoleh dalam peningkatan investasi belum sesuai harapan.Hal ini terbukti dari penurunan peringkat Indonesia dalam Ease Doing Business tersebut.Oleh karena itu, diyakini bahwa banyak faktor sebenarnya yang ikut mempengaruhi iklim investasi di Indonesia, terutama di daerah – daerah.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I- 2


II.

Permasalahan

Iklim usaha yang kondusif, bersih dan transparan adalah hal yang mutlak dipenuhi daerah jika ingin menciptakan kerjasama yang berkelanjutan dengan para investor, terutama dalam hal pemberian pelayanan perizinan dan non-perizinan.Pendelegasian kewenangan yang diterima oleh daerah ini tergabung di dalam berbagai paket kebijakan investasi, dalam usaha perbaikan pelayanan pemerintah agar efektif dan efisien.Dalam praktiknya, terdapat hal yang harus diperhatikan dan cenderung menjadi masalah dalam implementasinya, yaitu kesiapan pemerintah daerah dalam menerima pendelegasian wewenang tersebut, baik dari sisi ketersediaan sumber daya manusia, dukungan anggaran, infrastruktur, dan lain sebagainya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan KPPOD tahun 2008, terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan dalam menjaga iklim investasi di daerah, antara lain: (1) Kelembagaan Pelayanan Penanaman Modal, (2) Promosi Investasi Daerah, (3) Komitmen Pemerintah Provinsi dalam Pengembangan Dunia Usaha, (4) Infrastruktur, (5) Akses Lahan Usaha, (6) Tenaga Kerja, (7) Keamanan Usaha, (8) Kinerja Ekonomi Daerah, dan (9) Peranan Dunia Usaha dalam Perekonomian Daerah. Dan yang terpenting adalah komitmen pemerintah daerah dalam menciptakan kondisi ikllim investasi dan usaha yang kondusif dalam rangka peningkatan kinerja ekonomi daerah dan pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Sejak dikeluarkannya PP tentang PTSP Bidang Penanaman Modal tahun 2009, hingga saat ini telah terbentuk 444 PTSP di berbagai daerah, yang terdiri dari 18 PTSP Provinsi, 330 PTSP Kabupaten, dan 96 PTSP Kota. Artinya telah mencapai 84% dari target RPJMN 2010-2014 sebanyak 530 PTSP 2.Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh KPPOD (2011) menemukan bahwa pendirian PTSP di daerah tidak menjamin adanya kualitas pelayanan yang baik.Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan dalam rangka memperoleh perizinan dan non-perizinan penanaman modal. Sebagai produk dari desentralisasi, PTSP merupakan salah satu tools yang diharapkan dapat membawa dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan nilai investasi, sebagai dukungan terhadap kondusifitas iklim investasi. Berikut adalah realisasi investasi PMDN dan PMA Provinsi tahun 2006-2010: Tabel I.1 Realisasi Investasi PMDN dan PMA Provinsi Tahun 2006-2010 Tahun

PMDN (Miliar Rp) Proyek (unit)

PMA (juta US $)

Nilai

Proyek (unit)

Nilai

2006

162

20649

869

5991,6

2007

159

34878,7

982

10341,3

2008

239

20363,2

1138

14873,2

2009

248

37798,9

1221

10815,4

2010

875

60626,5

3076

16214,8

Sumber : BKPM Dari data di atas diketahui terjadi peningkatan realisasi proyek investasi PMDN dan PMA Provinsi tahun 2006-2010, tetapi nilai realisasi tersebut tidak terbagi merata di 33 provinsi, artinya ada daerah yang memiliki nilai realisasi investasi jauh tinggi dibanding dengan daerah lain. Sehingga implikasinya adalah pertumbuhan ekonomi juga tidak akan terdistribusi dengan baik, untuk itu dibutuhkan berbagai usaha perbaikan dalam peningkatan realisasi investasi di berbagi daerah. Sesuai dengan prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam RPJMN 2010-2014, bahwa iklim usaha dan iklim investasi merupakan salah satu prioritas yang harus disegerakan di daerah untuk mendorong daya saing daerah dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Namun, permasalahan iklim investasi dan iklim usaha tersebut memiliki variasi yang berbeda-beda di setiap daerah, untuk itu dilakukan evaluasi untuk mengetahui dan membandingkan masalah iklim investasi antar daerah yang memiliki iklim investasi cenderung bagus dengan daerah yang 2

BAPPENAS. 2012. Mid-Term Review RPJMN 2010-2014.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I- 3


memiliki kriteria tidak bagus, agar diperoleh bahan masukan untuk pengembangan dan perbaikan iklim investasi di daerah yang akan dievaluasi. III.

Ruang Lingkup Evaluasi

Ruang lingkup evaluasi dilakukan berdasarkan pemeringkatan iklim investasi yang dilakukan oleh KPPOD dengan membuat peringkat Indeks Iklim Investasi di 33 Provinsi Indonesia. Berikut adalah daftar peringkat Indeks Iklim Investasi daerah :

Gambar I.1 Pemeringkatan Iklim Investasi Daerah Sumber : KPPOD, 2008 Gambar di atas menjelaskan peringkat iklim investasi daerah yang memiliki predikat bagus, sedang, dan tidak bagus.Kelompok predikat iklim investasi daerah tersebut kemudian menjadi acuan penentuan lokasi penelitian.Kemudian kelompok predikat iklim investasi daerah dibandingkan dengan kriteria evaluasi, yaitu nilai PDRB, rasio PMTB, dan realisasi investasi pada tahun 20062010.

Gambar I.2 Pemilihan Obyek Evaluasi

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I- 4


Tabel berikut akan memperlihatkan perbandingan peringkat iklim investasi oleh KPPOD (2008), peringkat PDRB, rasio PMTB dan realisasi investasi di daerah pada tahun 2006-2010 : Tabel 1.2 Perbandingan Peringkat Iklim Investasi, PDRB, Rasio PMTB, dan Realisasi Investasi Provinsi Tahun 2006-2010 Rangking KPPOD (2008)

Provinsi

PDRB (Miliar Rp)

Rangking PDRB

PMTB (Miliar Rp)

%PMTB thd PDRB

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Sulawesi Utara Jawa Tengah Kalimantan Selatan Gorontalo Sulawesi Selatan Jawa Timur Kalimantan Timur Kepulauan Riau Kalimantan Barat Bali Aceh DKI Jakarta Kalimantan Tengah Jambi Jawa Barat Bangka Belitung Sulawesi Tengah Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Banten Lampung Maluku DI Yogyakarta Maluku Utara Papua NTB NTT Sulawesi Barat Sumatera Utara Bengkulu Sulawesi Tenggara Papua Barat

15849.20 168299.00 27538.60 2532.80 44655.20 305776.60 102931.60 36713.00 27411.40 25743.40 35347.20 353324.80 16759.40 15336.60 289702.80 9913.60 15102.80 90432.40 57970.60 34916.60 77674.60 34526.60 3820.80 19229.60 2671.80 20415.80 17549.80 11433.20 3974.20 105902.20 7457.20 10081.00 6907.20

22 4 15 33 10 2 6 11 16 17 12 1 21 23 3 27 24 7 9 13 8 14 31 19 32 18 20 25 30 5 28 26 29

3464.40 30296.60 4047.40 921.20 8523.60 54884.00 16912.80 9145.40 7428.40 5242.80 5386.20 120192.20 6441.60 2479.00 49949.20 2323.20 2842.60 23184.00 13066.20 6231.60 13336.00 5576.80 153.80 5202.20 173.20 7518.80 4860.60 1509.60 500.20 20407.40 787.60 2780.20 1812.40

21.86 18.00 14.70 36.37 19.09 17.95 16.43 24.91 27.10 20.37 15.24 34.02 38.44 16.16 17.24 23.43 18.82 25.64 22.54 17.85 17.17 16.15 4.03 27.05 6.48 36.83 27.70 13.20 12.59 19.27 10.56 27.58 26.24

Realisasi PMDN+PMA (Miliar Rp) 114.25 608.52 1082.92 3.50 1229.54 4423.50 2137.70 240.20 511.08 237.08 28.60 10290.46 1602.72 1349.74 10120.98 122.42 158.44 2818.88 961.10 140.74 4351.58 539.84 4.62 35.06 50.38 253.36 423.72 2.42 175.46 1183.48 9.54 561.32 14.60

Ranking Realisasi Investasi 25 13 11 32 9 3 6 19 16 20 28 1 7 8 2 24 22 5 12 23 4 15 31 27 26 18 17 33 21 10 30 14 29

Sumber : BPS, BKPM, berbagai tahun Berdasarkan pemeringkatan, pengelompokan, dan perbandingan data tersebut, diperoleh lokasi evaluasi untuk masing-masing daerah mewakili kelompok predikat dibandingkan dengan rata – rata PDRB selama tahun 2006 – 2010. Maka kegiatan evaluasi tematis ini akan dilaksanakan pada Predikat iklim investasi bagus dengan rangking PDRB tertinggi dan terendah: Provinsi Jawa Timur (2) Provinsi Gorontalo (33) Predikat iklim investasi sedang dengan rangking PDRB tertinggi dan terendah (di luar DKI Jakarta dan Jawa Barat): Provinsi Riau (7) Provinsi Maluku (31) Predikat iklim investasi rendah dengan rangking PDRB tertinggi dan terendah: Provinsi Sumatera Utara (5) Provinsi Maluku Utara (32)

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I- 5


Di samping untuk mendapatkan informasi mengenai iklim investasi dan pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi tersebut, kemudian evaluasi tematis difokuskan pada Provinsi Maluku Utara.Hal ini dilakukan atas pertimbangan karena Provinsi Maluku Utara masuk ke dalam kelompok predikat investasi tidak bagus dengan nilai PDRB yang rendah sepanjang tahun 2006-2010. Evaluasi yang akandilakukan berhubungan dengan permasalahan dan faktor penentu daya tarik investasi, serta berusaha untuk menemukan strategi alternatif kebijakan investasi daerah. Untuk menopang hal tersebut dilakukan kajian comparative dan competitive advantages untuk mendapakan informasi potensi pengembangan daerah. Kajian ini menjadi perlu dilakukan sebagai usaha untuk perbaikan iklim investasi, promosi potensi daerah dan peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Maluku Utara. Kegiatan evaluasi tematis ini difokuskan pada indikator yang dianggap sebagai faktor penentu dalam iklim investasi, serta sub faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu sebagai berikut : Kelembagaan Kelembagaan merupakan aturan dan rambu-rambu yang digunakan sebagai panduan dalam mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan kelembagaan dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu : aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan keputusan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Sub faktor yang digunakan dalam operasionalisasi faktor kelembagaan ini antara lain kepastian hukum, keuangan daerah, kinerja aparatur, dan peraturan daerah. Infrastruktur Fisik Faktor infrastruktur fisik merupakan salah satu pertimbangan bagi investor dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi di suatu wilayah. Dukungan infrastruktur yang baik mampu meningkatkan produktivitas faktor-faktor penentu investasi lainnya, sebaliknya infrastruktur yang buruk akan mempengaruhi komponen biaya dalam melakukan usaha. Semakin besar skala usaha maka kebutuhan akan infrastruktur juga akan semakin besar. Maka, pemerintah daerah harus mampu menyediakan infrastruktur yang dapat memfasilitasi usaha skala besar tersebut guna menunjang kegiatan usaha. Sub faktor dalam faktor infrastuktur antara lain ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur fisik. Ekonomi Daerah Ekonomi daerah merupakan indikator ekonomi suatu daerah yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi, investasi, inflasi, dan lain-lain.Di sampaing itu juga terdapat indikator sosio-ekonomi seperti tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM).Kinerja ekonomi daerah merupakan lingkungan makroekonomi daerah yang memiliki pengaruh bagi produktivitas usaha. Sub faktor yang digunakan dalam faktor ini adalah potensi ekonomi dan struktur ekonomi. Tenaga Kerja dan Produktivitas Ketersediaan dan kualitas tenaga kerja dan fleksibelitas pasar tenaga kerja merupakan jaminan bagi adanya produktivitas dalam kegaitan usaha.Ketersediaan tenaga kerja merupakan kemampuan daerah dalam menyediakan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan investor dalam mendukung kegiatan usahanya, di samping biaya tenaga kerja yang ada di daerah tersebut. Sub faktor dalam faktor ini adalah biaya tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja, dan produktivitas tenaga kerja. Sosial Politik Stabilitas sosial dan politik merupakan jaminan tersendiri dalam keamanan menjalankan usaha yang dilakukan oleh investor.Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik di daerah maupun lingkungan keamanan usaha dapat menjamin lancarnya kegiatan dan dapat memprediksi biaya resiko yang

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I- 6


timbul akibat lingkungan tersebut.Peran pemerintah provinsi adalah untuk menjamin serta menyediakan fasilitas keamanan, dan memberikan jaminan perlindungan usaha dan keselamatan segenap pelaku ekonomi itu sendiri. Sub faktor dalam faktor sosial politik antara lain sosial politik, keamanan, dan budaya. IV.

Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari kegiatan evaluasi ini adalah (1) Untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi iklim investasi di keenam provinsi tersebut. (2) Teridentifikasinya hambatan/kendala yang dihadapi dalam peningkatan nilai investasi. Sedangkan sasaran dari kegiatan evaluasi ini adalah (1) Tersedianya data dan informasi mengenai faktor dominan yang mempengaruhi iklim investasi di keenam provinsi dan (2) tersedianya rekomendasi kebijakan dalam bidang investasi. V.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan evaluasi tematis ini adalah sebagai berikut : Bab I

Pendahuluan; meliputi latar belakang, permasalahan, ruang lingkup evaluasi, tujuan dan sasaran, sistematika penulisan.

Bab II

Tinjauan Literatur; berisis tentang tinjauan teori mengenai investasi, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, investasi dan pembangunan daerah, iklim investasi, keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, spesialisasi perekonomian.

Bab III Metodologi; berisi tentang data, sumber data dan metode analisis data yang digunakan. Bab IV

Gambaran Umum; meliputi gambaran umum investasi Indonesia dan profil provinsi yang menjadi obyek evaluasi, yaitu kondisi letak wilayah dan administrasi, kondisi demografi dan ketenagakerjaan, dan kondisi perekonomian.

Bab V

Analisa Hasil Evaluasi

Bab VI

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

I- 7


BAB II TINJAUAN LITERATUR

I.

Investasi

Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa di masa yang akan datang. Faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah suku bunga, prediksi tingkat keuntungan, prediksi mengenai kondisi ekonomi ke depan, kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan keuntungan perusahaan (Sukirno, 2004). Investasi dalam pengertian konsepsional merupakan hasil dari sebuah proses yang bersifat multi dimensional. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu fungsi dari investasi dalam artian penanaman modal atau faktor ekonomi yang paling esensial dan mudah diukur secara kuantitatif (McMeer dalam Bank Indonesia, 2007). Akan tetapi dalam dunia nyata bahwa seorang investor yang akan menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha tertentu akan selalu memperhatikan faktor-faktor keamanan lingkungan, kepastian hukum, status lahan investasi dan dukungan pemerintah (Bachri, A. A., 1994, 2003, 2004). Menurut BKPM, investasi merupakan kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi (produksi) dengan harapan untuk memperoleh keuntungan (benefit) pada masa-masa yang akan datang. Hasibuan (1990) memberi pengertian investasi merupakan suatu alat untuk mempercepat pertumbuhan tingkat produksi di negara yang sedang berkembang, dapat diartikan investasi sebagai sarana untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Investasi dapat didefinisikan sebagai tambahan bersih terhadap stok kapital yang ada (net additional to exiting capital stock). Artinya investasi finansial dapat juga direalisasikan menjadi investasi fisik. Sesuai dengan konsep pendapatan nasional yang mengacu kepada A System of National Account, bahwa investasi adalah selisih antara stok kapital pada tahun (t) dikurangi dengan stok kapital pada tahun (t-1), atau setiap ada penambahan atau penimbunan modal. Hakikatnya, investasi dibedakan menjadi investasi finansial dan investasi non-finansial. Investasi finansial adalah bentuk pemilikan instrumen finansial seperti uang tunai, tabungan, deposito, modal dan penyertaan, surat berharga, obligasi dan sejenisnya. Sedangkan investasi non-finansial berbentuk investasi fisik (riil) yang berwujud kapital atau barang modal, termasuk pula di dalamnya inventori (persediaan). Menurut Mankiw (2000) investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Investasi dibagi menjadi tiga sub kelompok, yaitu investasi tetap bisnis, invstasi tetap rumah tangga, dan investasi persediaan. Investasi tetap bisnis merupakan pembelian pabrik dan peralatan oleh perusahaan; investasi tetap rumah tangga adalah pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan tuan tanah; dan investasi persediaan adalah peningkatan dalam persediaan barang perusahaan, barang dalam proses, dan barang jadi. I.1

Investasi Luar Negeri

Investasi luar negeri atau yang lebih dikenal dengan istilah Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan penanaman modal yang dilakukan oleh pemerintah atau warga negara asing di dalam negeri negara pengimpor modal. Modal asing dapat dimasukkan dalam bentuk modal swasta atau modal negara (M.L Jhingan, 2004). Investasi asing yang dilakukan didasarkan atas pertimbangan keuntungan dari usaha yang dilakukannya. Berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PMA adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 1


menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Menurut M.L Jhingan (2004), modal asing dapat dibedakan menjadi: 1.

2.

I.2

Investasi Langsung (direct investment): berarti perusahaan dari negara penanaman modal secara the facto atau the jure melakukan pengawasan atas asset (aktiva) yang diturunkan di negara pengimpor modal dengan cara investasi. Investasi langsung dapat mengambil beberapa bentuk, yaitu: pembentukan suatu cabang perusahaan di negara penanam pengimpor modal; pembentukan suatu perusahaan di mana perusahaan dari negara penanam modal memiliki mayoritas saham; pembentukan suatu perusahaan di negara pengimpor yang semata-mata dibiayai oleh perusahaan yang terletak di negara penanam modal; mendirikan suatu perusahaan di negara penanam modal untuk secara khusus beroperasi di negara lain; atau menaruh asset (aktiva) tetap di negara lain oleh perusahaan nasional dari penanam modal. Investasi Tidak Langsung (indirect investment), lebih dikenal sebagai investasi portofolio atau rentiler yang sebagian besar terdiri dari penguasaan atas saham yang dapat dipindahkan (yang dikeluarkan atau dijamin oleh pemerintah atau negara pengimpor modal), atas saham atau surat utang oleh warga negara dari beberapa negara lain. Penguasaan saham tersebut tidaklah sama dengan hak untuk mengendalikan perusahaan. Para pemegang saham hanya mempunyai hak atas deviden saja. Investasi Dalam Negeri

Berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk: 1. 2.

II.

Penanaman modal dalam negeri langsung (Domestic Direct Investment), yaitu penanaman modal oleh pemilik modal itu sendiri. Penanaman modal dalam negeri tidak langsung (Domestic Indirect Investment), yaitu melalui pembelian obligasi, surat kertas perbendaharaan negara, emisi lain (sahamsaham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka sekurang-kurangnya satu tahun. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah makroekonomi jangka panjang, maka pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi ini biasanya dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama, seperti sepuluh, duapuluh, limapuluh tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi lebih mengacu kepada perubahan kuatitatif (quantitative change) dan diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB)/ Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau pendapatan atau output per kapita. Untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami pertumbuhan, harus dipertimbangkan PDRB riil satu tahun (PDRBt) dengan PDRB riil tahun sebelumnya (PDRBt-1), formulanya sebagai berikut:

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 2


Dimana Yt PDRB t PDRB t-1

: = pertumbuhan ekonomi daerah = PDRB ADHK daerah tahun t = PDRB ADHK daerah tahun t-1

Pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh faktor – faktor lainnya, seperti kondisi ketenagakerjaan, sumber daya alam, barang modal, dan lain-lain yang dipengaruhi oleh faktorfaktor produksi. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi berproduksi kerap kali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya. Perekonomian akan mengalami pertumbuhan apabila jumlah total output produksi barang dan jasa tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya, atau jumlah total alokasi output tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya. Berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi ini, pemerintah dapat menetapkan besara penerimaan pemerintah dari sektor pajak serta besaran pengeluaran pemerintah, di samping penetapan target penyerapan tenaga kerja. Angka pertumbuhan ekonomi diharapkan selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di beberapa negara, terutama negara berkembang, pencapaian angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi bersifat semu karena tidak meratanya penyebaran hasil pembangunan atau ketimpangan pembangunan antar daerah. II.1

Faktor - Faktor Pertumbuhan Ekonomi

Proses pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi (Todaro, 2000) : a.

b.

III.

Faktor Ekonomi Faktor ekonomi yang dimaksud antara lain: (1) Faktor produksi sebagai kekuatan utama yang mempengaruhi pertumbuhan, jatuh atau bangunnya perekonomian adalah konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor produksi tersebut. Faktor produksi utama tersebut adalah sumber daya alam, seperti kesuburan tanah, letak dan topografinya, mineral, iklim, potensi laut, dan sebagainya. (2) Modal, yaitu persediaan faktor produksi yang dapat direproduksi dalam menghasilkan output. Pembentukan modal ini merupakan investasi dalam bentuk barang-barang modal yang akan menaikkan stok modal, output, dan pendapatan. (3) Organisasi, memiki sifat melengkapi (komplemen) modal, buruh dan membantu meningkatkan produktivitas. (4) Perubahan teknologi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan perubahan dalam metode produksi yang dapat menaikkan output atau produktivitas. (5) Spesialisasi dan pembagian kerja dalam peningkatan produktivitas. Faktor Non-Ekonomi Faktor non-ekonomi yang dimaksud adalah (1) Faktor sosial budaya, seperti pendidikan dan kebudayaan barat dengan menanamkan semangat dalam penemuan hal-hal baru, cara pandang, harapan, struktur sosial, dan nilai-nilai sosial di masyarakat. (2) Ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia, dan (3) faktor stabilitas politik dan administratif dalam halnya menjaga stabilitas perekonomian makro. Investasi dan Pembangunan Ekonomi Daerah

Pertumbuhan ekonomi daerah saat ini sebagian besar bersumber dari peningkatan konsumsi baik pemerintah maupun masyarakat. Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh konsumsi sulit dijaga keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah seperti itu tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi akan kurang menciptakan nilai tumbuh dan memicu peningkatan inflasi.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 3


Dalam upaya menciptakan pertumbuhan yang lebih berkualitas dan berkelanjutan, perekonomian daerah perlu didukung oleh kegiatan investasi di sektor produktif dan jasa. Investasi swasta dirasakan semakin penting mengingat kapasitas fiskal pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) yang terbatas sehingga sulit untuk selalu dijadikan sebagai sumber utama pertumbuhan. Dampak pengganda yang diciptakan dari peningkatan investasi adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan produksi, berkembangnya kegiatan perdagangan antardaerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Investasi juga dapat mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan tenaga kerja) secara lebih mudah dan murah. Percepatan ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah. Investasi dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat (gain) maksimal dari aktivitas tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima. Kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan/atau berinvestasi. Bagi pemerintah, meningkatnya aktivitas produksi dan perdagangan, upah dan daya beli berarti meningkatnya penerimaan pajak, yang memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. III.1

Kendala dan Tantangan Investasi Daerah

Dalam era otonomi daerah, daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, memiliki pemimpin, mengelola aparatur daerah, mengungut pajak dan retribusi daerah, mengelola kekayaan daerah dan juga dapat mendapatkan sumber pembiayaan yang berasal dari daerah sendiri yang sah. Selain itu, daerah mempunyai kewajiban untuk menyediakan layanan publik dan membangun daerah. Bagi daerah yang kurang siap dengan otonomi, kewajiban tersebut akan menjadi beban berat dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Namun, apabila daerah telah siap, pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi peluang bagi percepatan pembangunan daerah. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa belum semua daerah dapat melaksanakan otonomi dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut terlihat dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama terkait dengan permasalahan regulasi (peraturan daerah), serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya keuangan melalui pengeluaran atau belanja daerah. Dengan kewenangan yang dimiliki, daerah menerbitkan dan memberlakukan Perda baru, khususnya terkait dengan pungutan pajak dan retribusi daerah yang sering tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di atasnya, dan menambah beban bagi masyarakat dan dunia usaha di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, sumber daya keuangan yang dimiliki daerah juga belum dialokasikan dan didistribusikan secara efisien dan efektif, baik dalam penyediaan barang dan pelayanan publik maupun dalam mendorong kinerja sektor riil di daerah. Terbatasnya sumber daya keuangan yang dimiliki daerah dan besarnya tanggung jawab daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya seringkali menjadi alasan penyebab munculnya Perda-perda yang bermasalah. Dengan relatif kecilnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominasi dana perimbangan yang mencakup dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi khusus (DAK) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagian besar daerah masih mengandalkan pada alokasi dana perimbangan sebagai sumber utama. Kondisi ini akhirnya memaksa daerah untuk menempuh berbagai cara dalam meningkatkan PAD yang tidak sejalan dengan UU No. 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tanpa ada upaya melakukan efisiensi.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 4


Kendala yang dihadapi oleh para pelaku usaha atau investor di tingkat nasional dan daerah ternyata berbeda. Hasil Studi Bank Dunia (2006) menyebutkan bahwa persepsi para pelaku usaha di tingkat nasional menyoroti masalah kepastian hukum, stabilitas ekonomi makro, dan perijinan sebagai tiga hambatan paling utama dalam melakukan usaha. Hambatan lain yang mengurangi minat investasi adalah masalah keamanan, perpajakan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur. Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan telah menghambat perdagangan antardaerah. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam membuat dan memberlakukan peraturan daerahnya sendiri memungkinkan timbulnya hambatan bagi perdagangan antardaerah, baik berupa distorsi pasar maupun non pasar. Distorsi pasar terdiri dari pajak dan retribusi daerah yang dikenakan pada komoditi yang diperdagangkan, sedangkan distorsi non pasar terdiri dari regulasi perdagangan yang mendorong terjadinya monopoli dan monopsoni, serta kuota perdagangan dan hambatan persaingan usaha. Semua hambatan tersebut berpotensi meningkatkan biaya produksi, meningkatkan harga produk yang dibayar konsumen, yang berarti secara relatif menurunkan daya beli konsumen. Berbagai hambatan tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, tapi justru menimbulkan permasalahan baru, yaitu meningkatnya kemiskinan di daerah. III.2

Insentif Penanaman Modal

Berdasarkan PP No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Insentif penanaman modal ini merupakan kewenangan pemerintah daerah yang diberikan kepada penanam modal dalam rangka mendorong peningkatan penanaman modal di daerah. Yang menjadi kewenangan daerah dalam hal ini adalah memberika insentif fiskal kepada penanam modal dengan tujuan mendorong peningkatan penanaman modal di daerah. Secara umum terdapat kebijakan pendukung daya saing investasi, yaitu: 1.

Kebijakan Perlindungan dan Daya Saing, yaitu Daftar Negatif Investasi (DNI): daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal berdasarkan PP No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang ditetapkan pada tanggal 25 Mei 2010. 2. Kebijakan Insentif Penanaman Modal, yaitu: a. Insetif Fiskal, antara lain tax holiday; tax allowance; fasilitas impoer mesin, barang moda dan bahan; dan insentif lainnya. b. Insentif Non Fiskal, antara lain Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP); dan Sistem Pelayanan Informasi Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE). Berdasarkan PP No. 45 Tahun 2008, pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada penanam modal dalam bentuk: 1. Pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; 2. Pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; 3. Pemberian dana strimulan; dan/atau 4. Pemberian bantuan modal. Pemberian kemudahan dapat berbentuk: 1. Penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; 2. Penyediaan sarana dan prasarana; 3. Penyediaan lahan atau lokasi; 4. Pemeberian bantuan teknis; dan/atau 5. Percepatan pemberian perizinan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 5


IV.

Iklim Investasi

Iklim investasi merupakan kondisi yang bersifat multi dimensi dan menjadi bahan pertimbangan bagi para investor dalam melakukan investasi. Dalam kaitan tersebut peran pemerintah menjadi sangat penting dalam setiap proses penanaman modal, bahkan rekomendasi pemerintah daerah merupakan syarat mutlak dalam penilaian kegiatan investasi di daerah dinyatakan layak. Hal tersebut terkait pula dengan masalah pemanfaatan tata ruang, gangguan lingkungan dan ketertiban umum. Iklim investasi merupakan suatu proses jangka panjang yang senantiasa berjalan searah dengan perkembangan usaha. Iklim investasi bukan hanya dipertimbangkan pada awal rencana investasi, akan tetapi merupakan variabel strategis yang akan menentukan keberhasilan investasi sepanjang perusahaan berjalan. Terdapat beberapa faktor penentu dilakukannya kegiatan investasi, yaitu adanya revenue tambahan kepada perusahaan melalui penjualan produknya secara lebih besar, suku bunga merupakan harga atau biaya yang harus dibayar dalam meminjamkan uang untuk suatu periode tertentu dikaitkan dengan ekspekstasi keuntungan yang akan diperoleh. Dengan demikian para investor melakukan investasi untuk mendapatkan keuntungan atas investasi yang dilakukan. Pertimbangan tersebut adalah sepenuhnya merupakan pertimbangan-pertimbangan investasi yang terkait secara langsung dengan faktor-faktor ekonomi. Disamping pertimbangan faktor ekonomi yang menjadi penentu investasi, pertimbangan non ekonomi seperti jaminan keamanan, stabilitas politik, penegakan hukum dan sosial budaya merupakan faktor penentu yang tidak kalah pentingnya untuk menentukan keberhasilan investasi. V.

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Daerah

V.1

Keunggulan Komparatif (Com parative Advantege )

Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya di suatu negara dalam sistem ekonomi terbuka. Keunggulan komparatif menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan (Lindert dan Kindleberger, 1993). Konsep dasar dari teori keunggulan komparatif adalah adanya pola spesialisasi dalam perdagangan yang didasarkan pada perbandingan biaya relatif, bukan hanya biaya mutlak. Implikasi penting dari keunggulan komparatif adalah perdagangan tetap menguntungkan, walaupun daerah/negara yang satu dapat memproduksi semua barang dan jasa jauh lebih murah dari daerah/negara lainnya. Dengan demikian, suatu daerah/negara yang dapat memproduksi komoditi X dengan tenaga kerja yang lebih sedikit belum tentu dapat dikatakan mempunyai keunggulan komparatif dari negara/daerah lainnya. Kegunaan konsep ini antara lain adalah bahwa konsep ini dapat dianggap sebagai dasar dalam menjelaskan pola spesialisasi dan digunakan sebagai petunjuk dalam menentukan alokasi sumber-sumber di suatu daerah/negara. Dengan adanya spesialisasi tidak hanya berdampak terhadap peningkatan sektor jasa perdagangan, melainkan sektor hulunya yang berkaitan langsung dengan produk tersebut (Satya Dev Gupta, ND). Pertimbangan suatu daerah dalam menghasilkan keunggulan komparatif dari potensi yang dimiliki pada terlihat Gambar 2.1. Dari skema tersebut jelas dapat diketahui bahwa daerah yang terspesialisasi dengan keunggulan komparatif memiliki pijakan yang kuat untuk melakukan keunggulan kompetitif dalam menghasilan standar produk atau diferensiasi produk yang dihasilkan. Dalam skema ini digambarkan teknologi, sumberdaya, permintaan dan kebijakan peningkatan perdagangan suatu negara/daerah adalah empat faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif suatu barang atau jasa negara/daerah.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 6


Gambar 2.1 Skema Keunggulan Komparatif Sumber : Satya Dev Gupta, ND

V.2

Keunggulan Kompetitif (Com petitive Advantage )

Dalam analisis ekonomi regional, keunggulan kompetitif diartikan sebagai daya saing kegiatan ekonomi di suatu daerah terhadap kegiatan ekonomi yang sama di daerah lainnya. Keunggulan kompetitif merupakan cerminan atas keunggulan pertumbuhan ekonomi suatu daerah terhadap daerah lainnya pada kurun waktu tertentu. Sebelumnya, konsep komparatif menjelaskan bagaimana daerah memiliki spesialisasi produk dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi bagaimana jika ada daerah lain yang juga menghasilkan produk yang sama. Analisis keunggulan kompetitif merupakan unit analisis untuk menunjukkan kemampuan daerah untuk memasarkan produk tersebut dan dapat bersaing dengan produk sejenis dengan daerah lain. Hal ini didasarkan atas asumsi perdagangan antar daerah memperdagangkan produk sejenis (intra-industry trade) yang muncul di pasar (Grubel dan Llyd, 1973). Dalam asumsi ini dijelaskan bahwa asumsi perfect competition tidak berlaku, artinya banyak perdagangan antar daerah memiliki produk yang identik atau sejenis. Intra-industry trade terjadi akibat dua kekuatan, yaitu (1) keinginan konsumen untuk mempunyai pilihan yang beragam, dan (2) economic of scale pada tingkat perusahaan. Terdapat dua jenis intra-industry trade, yaitu: 1.

2.

Horizontal intra-industry trade: ketika daerah/negara memperdagangkan barang yang sedikit didiferensiasikan dengan kualitas yang tidak jauh berbeda. Vertical intra-industry trade: ketika daerah/negara memperdagangkan barang dalam kelompok sektor industri yang sama, namun memiliki kualitas yang berbeda dan berasal dari tahapan produksi yang berbeda dalam rantai produksi (production chain).

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 7


Gambar 2.2 Skema Keunggulan Kompetitif Sumber: Porter, 1985. Dalam kaitannya dengan keunggulan kompetitif, maka keunggulan komparatif di daerah merupakan rekomendasi prioritas pengembangan atas potensi sektor untuk menciptakan daya saing. Kedua jenis keunggulan ini dapat dimiliki suatu daerah/negara jika memiliki faktor atau gabungan faktor berikut (Tarigan, 2003) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Memiliki potensi sumber daya alam Penguasaan masyarakat terhadap teknologi mutakhir dan keterampilan-keterampilan khusus Aksesibilitas wilayah yang baik Memiliki market yang baik atau dekat dengan market Wilayah yang memiliki sentra-sentra produksi tertentu atau tepatnya aglomerasi dari berbagai kegiatan ekonomi Ketersediaan tenaga kerja dan kualitas keterampilan dengan upah relatif rendah Mentalitas masyarakat yang baik untuk pembangunan: jujur, mau terbuka, bekerja keras, dapat diajak bekerja sama dan disiplin Kebijaksanaan pemerintah yang mendukung pada terciptanya keunggulan-keunggulan suatu kegiatan ekonomi wilayah

Grubel dan Llyd menjelaskan keunggulan kompetitif dapat tercapai jika adanya saling mendukung antara empat elemen kunci penguatan kompetitif (competitiveness-enhancing) yang kemudian akan menghasilkan cumulative causation. Firm Strategy, structure and rivalry

Factor Conditions

Demand conditions

Related and Supporting Industries

Gambar2.3 Interaksi Penentu Keunggulan Kompetitif

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 8


Empat elemen keunggulan kompetitif: 1. 2. 3. 4.

VI.

Demand Conditions; mendorong economies of scale dan memberikan tekanan sehingga perusahaan lokal semakin inovatif dan cepat merespon perubahan selera. Factor Conditions; perluasan dari konsep factor abundance dari Teori Hecker-Ohlin. Faktor Produksi harus aktif berkembang untuk membuat spesialisasi tertentu. Firm Strategy, Structure and Rivalry; menghasilkan “the best possible context” yang dapat dibuat, diorganisasikan dan dikelola oleh perusahaan. Related and Supported Industries; supply chain industries dan kedekatan dengan industri terkait. Daya Saing Daerah

Seperti yang dikatakan Bappenas 1, Daya saing dapat dilihat menurut wilayah (negara atau daerah) dan menurut sektor atau pelaku (industri dan perusahaan). Kedua pemahaman tersebut saling berkaitan. Daya saing suatu industri atau perusahaan akan menentukan daya saing negara atau daerah. Daya saing negara atau daerah akan memberi pengaruh terhadap kemampuan suatu industri dan perusahaan. Daya saing suatu negara sering dikaitkan dengan kemampuan suatu negara dalam memasarkan produk yang dihasilkannya terhadap negara lain. Pengertian ini dipeluas oleh World Economic Forum (WEF), yaitu kemampuan suatu perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globalitas dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedalam suatu model ekonomi dan sosial. Daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional. Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan memasarkan barang dan jasa disebut mempunyai daya saing tinggi. Kini, lingkup persaingan tidak lagi hanya dalam wilayah suatu negara, tetapi juga dengan wilayah yang berada di negara lain. Daya saing perusahaan adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan suatu produk yang diminati konsumen relatif terhadap perusahaan lain. Daya saing perusahaan ditentukan oleh tingkat produktivitas perusahaan itu, yaitu nilai output yang dihasilkan oleh setiap tenaga kerja perusahaan itu. Dalam hal ini terdapat hubungan saling mempengaruhi antara pemerintah dan dunia usaha. Daya saing nasional ditentukan oleh daya saing daerah-daerah yang ada di negara tersebut. Selanjutnya daya saing negara/daerah ditentukan oleh daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di negara/daerah tersebut dan berbagai variabel lainnya. Kualitas kebijakan dan kelembagaan di suatu negara dan daerah akan mempengaruhi kemampuan perusahaanperusahaan di wilayahnya meningkatkan produktivitas. Dengan pengertian itu, daya saing negara/daerah tidak hanya ditentukan oleh daya saing perusahaan saja. Yang bersaing memang bukan negara/daerah, tetapi perusahaan atau industri yang ada dalam negara/daerah yang bersangkutan dengan perusahaan atau industri yang berada di negara/daerah lain. Suatu negara/daerah yang memiliki daya saing tinggi belum tentu seluruh perusahaan dan industri di negara/daerah tersebut memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional. Daya saing negara/daerah lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Bila perusahaan kalah bersaing, maka perusahaan bisa bangkrut dan selanjutnya keluar dari bisnis yang digelutinya. Namun, negara/daerah tidak memiliki bottom line atau tidak akan pernah “keluar dari arena persaingan”. Keunggulan daya saing daerah penting karena dua alasan. Pertama, untuk menyadarkan bahwa keunggulan kompetitif suatu perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada kemampuan internal masing-masing perusahaan. Ada tempat-tempat di mana orang atau perusahaan lebih mudah 1

Di dalam Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah 2007. Pengembangan Ekonomi Daerah

dan Sinergi Kebijakan Investasi Pusat – Daerah. Bappenas.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 9


menciptakan usaha yang kompetitif dibanding tempat lain. Hal ini tidak hanya berlaku untuk negara, tetapi juga berlaku untuk wilayah dalam suatu negara. Kedua, ada dua tipe keunggulan kompetitif yang harus dikenali, yaitu keunggulan kompetitif statis dan keunggulan kompetitif dinamis. Keunggulan kompetitif statis merujuk pada faktor lokasi geografis, sedangkan keunggulan kompetitif dinamis merujuk pada permasalahan tenaga kerja (seperti upah, kualitas, kedisiplinan, dan produktivitas), iklim usaha, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap industri di daerah itu. Lokasi geografis merupakan faktor daya saing yang penting, tetapi hal tersebut juga dimiliki banyak daerah lain. Di samping itu ke depan kemajuan teknologi dan globalisasi lambat laun akan mengurangi signifikansi faktor lokasi. Dalam kondisi demikian, faktorfaktor lain seperti kualitas tenaga kerja dan iklim usaha akan menjadi keunggulan kompetitif yang penting terutama ketika di daerah lain hal itu merupakan masalah. Dalam era desentralisasi dan globalisasi, peningkatan daya saing yang berbasis pada pengetahuan, teknologi dan inovasi menjadi kian penting dalam pengembangan ekonomi daerah. Dalam globalisasi, tatanan sistem ekonomi baru yang dihadapi memiliki ciri yang cukup berbeda dengan tatanan ekonomi lama. Perbedaan tersebut terlihat baik dari karakteristiknya maupun peranan dari para pelakunya. Dalam tatanan ekonomi baru, persaingan yang terjadi adalah persaingan global, persaingan antardaerah tinggi, dan sumber keunggulan daya saing berasal dari inovasi, kualitas, waktu penyampaian ke pasar, dan biaya. Daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi, dan vitalitas ekonomi merupakan hasil langsung dari persaingan industri lokal. Berbagai faktor yang dapat menentukan daya saing antara lain: 1. 2. 3. 4.

5. 6.

Kondisi Faktor seperti tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, sumber daya alam, infrastruktur khusus yang tersedia, dan hambatan-hambatan tertentu; Kondisi Permintaan seperti permintaan sektor rumah tangga atau pelanggan-pelanggan lokal akan produk berkualitas yang mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinovasi; Dukungan Industri Terkait: industri-industri pemasok lokal yang kompetitif yang menciptakan infrastruktur bisnis dan memacu inovasi dan memungkinkan industri-industri untuk spin off; Strategi, Struktur, dan Persaingan Perusahaan (Iklim Usaha): tingkat persaingan antar industri lokal yang lebih memberikan motivasi dibanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan “budaya� lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam melakukan persaingan dan inovasi; Peranan Pemerintah: Peristiwa historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan secara signifikan dalam peningkatan daya saing daerah; dan Kemampuan dan sinergi dari para pelaku usaha, yaitu usahawan/pengusaha, profesional, dan pekerja/buruh.

Sementara itu, konsep dan pengukuran daya saing daerah pernah dikeluarkan Bank Indonesia pada tahun 2002, yang menekankan pada perkembangan ekonomi daerah. Tujuan pengukuran daya saing daerah ini adalah melakukan identifikasi potensi dan prospek ekonomi daerah dan menetapkan peringkat daya saing antar daerah di Indonesia. Dengan pengukuran tersebut, pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk memperbaiki daya saing daerah sesuai dengan kewenangannya. Dalam konsep ini, daya saing daerah diartikan sebagai kemampuan perekonomian daerah dalam meningkatkan kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Dengan mengacu pada pengertian tersebut, pengukuran daya saing daerah menggunakan 9 (sembilan) indikator utama, yaitu (1) perekonomian daerah, (2) keterbukaan, (3) sistem keuangan, (4) infrastruktur dan sumber daya alam, (5) ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) sumber daya manusia, (7) kelembagaan, (8) governance dan kebijakan pemerintah, dan (9) manajemen dan ekonomi mikro.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

II- 10


BAB III METODOLOGI EVALUASI

I.

Konsep Evaluasi

Sebuah bentuk perencanaan pembangunan memerlukan informasi serta pedoman mengenai bentukbentuk program dan kegiatan yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat serta bagaimana program dan kegiatan itu dilaksanakan dengan baik. Kegiatan evaluasi hadir untuk menutupi kebutuhan informasi tersebut dalam bentuk analisis mengenai pencapaian pelaksanaan program dan kegiatan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Karakteristik kegiatan evaluasi yang cenderung membandingkan realisasi dengan rencana pembangunan ini membuat evaluasi yang dilakukan bersifat ex-post evaluation yaitu evaluasi yang dilakukan setelah program dan kegiatan tersebut dilaksanakan.Pada dasarnya evaluasi yang dilakukan merupakan siklus kegiatan yang dilakukan secara bertahap. Menurut Pedoman Penyusunan Indikator, Pemantauan dan Evaluasi Anggaran Berbasis Kinerja yang telah disusun oleh Bappenas tahun 2004, secara umum siklus evaluasi ini terbagi pada tiga tahap, yaitu : 1.

2.

3.

Evaluasi pada tahap perencanaan (Ex-Ante). Pada tahap perencanaan, evaluasi sering digunakan untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi pada tahap pelaksanaan (on-going evaluation). Pada tahap pelaksanaan, evaluasi digunakan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan program dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Evaluasi pada tahap pasca-pelaksanaan (Ex-Post). Evaluasi ini diarahkan untuk melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin dipecahkan. Evaluasi ini dilakukan setelah program berakhir untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan masukan), efektivitas (hasil dari dampak terhadap sasaran), ataupun manfaat (dampak terhadap kebutuhan) dari suatu program.

Kriteria-kriteria dasar yang dinilai dalam kegiatan evaluasi ini dikembangkan menjadi prinsip-prinsip evaluasi program/kegiatan yang diharapkan dapat terjawab. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari : 1.

2.

3.

4.

5.

Prinsip Relevansi, yang mencakup tentang kewajaran program/kegiatan yang dilaksanakan. Evaluasi yang dilakukan diharapkan dapat menjawab Apakah program/kegiatan yang dievaluasi sesuai dengan prioritas nasional? Apakah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat? Apakah program/kegiatan ini sesuai dengan kapasitas/kemampuan unit yang melaksanakan. Prinsip efisiensi, terkait dengan perbandingan keluaran dan masukan itu telah sesuai dengan yang ditargetkan. Apakah telah program/kegiatan tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan? Apakah tujuan dan target dari program/kegiatan tersebut dapat relalistik dan penyediaan biaya dari usulan aktivitas program/kegiatan dapat cukup menutupi risiko dari internal maupun eksternal? Prinsip Efektivitas, terkait dengan pencapaian sasaran dari kinerja program/kegiatan yang dievaluasi melalui indikator-indikator keberhasilan yang bersifat SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Realistic, Relevant, and in a certain limit time). Prinsip Dampak, terkait dengan akibat dari pelaksanaan program/kegiatan yang dievaluasi yaitu bersifat positif ataukah negatif pada lingkungan ekonomi, sosial, teknis, politis dan ekologi. Dampak program/kegiatan tersebut dapat diukur dengan membandingkan sebelum dan sesudah program/kegiatan yang dievaluasi tersebut dilaksanakan. Prinsip Keberlanjutan, terkait dengan apa yang terjadi ketika program/kegiatan telah selesai dilakukan? Bagaimana program/kegiatan itu dapat dilanjutkan dan perlukah dilanjutkan? Bagaimana manfaatnya kepada stakeholders jika program/kegiatan ini dilanjutkan atau tidak ada.

Kegiatan evaluasi dinilai Rutman, Mowbay, 1983 adalah sebagai sebuah metode atau pendekatan ilmiah untuk menilai implementasi dan outcomes suatu program dan berguna bagi pengambilan keputusan.Hal

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 1


ini diperkuat lagi oleh ahli evaluasi Chelimsky (1989) yang mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program. Kemudian Wirawan (2006) menganggap evaluasi sebagai proses mengumpulkan dan menyajikan informasi mengenai objek evaluasi, menilainya dengan standar evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi. Pada dasarnya evaluasi yang dilakukan dalam konteks periode kebijakan ini adalah dalam tingkatan pelaksanaan program dengan 2 (dua) pengklasifikasian, yaitu formative evaluation dan summative evaluation.Formative evaluation merupakan evaluasi implementasi yang membantu mengidentifikasi masalah dalam implementasi suatu program sebelum program tersebut berakhir sedangkan summative evaluation dilakukan dengan tujuan untuk menilai pengaruh evaluasi setelah program tersebut berakhir.Dalam summative evaluation kita dapat mengetahui dampak serta tingkat efektifitas pencapaian suatu program kebijakan. William M. Dunn (1991) membagi evaluasi ke dalam tiga jenis, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis. Perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.1 Pendekatan Evaluasi Kebijakan

Pendekatan Evaluasi

Tujuan

Asumsi

Menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat Evaluasi semu (pseudo

dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa

evaluation )

berusaha menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu,

Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial

kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Menggunakan metode deskriptif untuk

Tujuan dan sasaran dari

menghasilkan informasi yang terpercaya dan

pengambil kebijakan dan

Evaluasi formal (form al

valid mengenai hasil kebijakan berdasarkan

administrator yang secara resmi

evaluation )

pada tujuan kebijakan/program yang telah

diumumkan merupakan ukuran

diumumkan secara formal oleh pembuat

yang tepat dari manfaat atau

kebijakan

nilai Tujuan dan sasaran dari

Evaluasi keputusan teoritis (decisiontheoretic

evaluation )

Menggunakan metode deskriptif untuk

berbagai pelaku yang

menghasilkan informasi yang terpercaya dan

diumumkan secara formal

valid mengenai penilaian hasil kebijakan yang

ataupun diam-diam merupakan

secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku

ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai

Sumber : Dunn, 1991 Evaluasi yang biasa digunakan dalam menilai pelaksanaan kebijakan kerap menggunakan evaluasi formal atau evaluasi keputusan teoritis.Evaluasi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mendalam mengenai pelaksanaan kebijakan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dan pengolahan data secara ilmiah. II.

Metodologi Evaluasi

Agar dapat diperoleh kesimpulan dan rekomendasi alternatif kebijakan berdasarkan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, maka diperlukan beberapa metodologi yang relevan untuk menunjang dan mendapatkan hasil analisa data yang akurat. Untuk memperoleh gambaran signifikansi iklim investasi terhadap peningkatan realisasi investasi di Provinsi digunakan metodologi uji t-statistik.Uji ini dilakukan dengan tujuan menguji dua variabel pengaruh iklim investasi antar provinsi terhadap perbedaan rasio investasi terhadap pendapatan daerah.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 2


Model struktural yang digunakan mengacu kepada model yang digunakan Hall dan Jones (1999) dalam mengukur pengaruh dari perbedaan infrastruktur sosial antar negara terhadap kinerja ekonomi, yaitu sebagai berikut : Ln I/Y = ι + β ln IKLIM + ξ I adalah investasi provinsi, Y adalah pendapatan provinsi, dan IKLIM adalah iklim investasi provinsi. Data yang digunakan adalah data setelah di keluarkannya Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, yaitu data nilai investasi provinsi (PMTB tahun 2010 dan nilai realisasi investasi PMA dan PMDN tahun 2010) dan nilai indeks iklim investasi (KPPOD 2008) untuk 33 provinsi di Indonesia sebagai dasar melakukan regresi model di atas. Di samping itu, untuk mendapatkan informasi dampak penambahan modal kapital terhadap penambahan sejumlah output, dilakukan analisis ICOR (Incremental Capital Output Ratio).Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran tingkat efisiensi investasi yang ditanamkan dalam suatu periode waktu dengan menggunakan model yang dibangun oleh Harold Domar.Perhitungan ICOR dilakukan dengan menggunakan data PDRB dan PMTB Provinsi pada periode 2006-2010. Kemudian dilakukan analisa faktor penentu daya tarik investasi daerah atau iklim investasi provinsi berdasarkan pengelompokan dan pemilihan lokasi yang telah ditentukan sebelumnya, serta analisa strategi kebijakan investasi daerah khusus untuk lokasi provinsi yang masuk dalam kelompok investasi yang tidak bagus dan provinsi terpilih. Kedua kegiatan analisa ini menggunakan teknik metodologi AHP (Anayitical Hierarchy Process) berdasarkan persepsi pelaku yang expert dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada tingkat preferensi diantara berbagai set alternatif (Azis, 1994). Sebelumnya terlebih dahulu ditentukan dan ditetapkan faktor dan sub faktor yang digunakan dalam penyusunan hirarki penentu daya tarik investasi/ iklim investasi dan hierarki strategi kebijakan investasi daerah didasarkan pada penelitian terdahulu dengan melakukan pengembangan dan modifikasi model. Berikut penyusunan hirarki AHP untuk penentu daya tarik investasi:

Penentu Daya Tarik Investasi Daerah

G

Kelembagaan

Infrastruktur

Ekonomi Daerah

Fisik

Tenaga Kerja dan

Sosial Politik/

Produktivitas

Keamanan Berusaha

Kepastian

Ketersediaan

Potensi

Biaya Tenaga

Hukum

Infrastruktur

Ekonomi

Kerja

Struktur

Ketersediaan

Ekonomi

Tenaga Kerja

Fisik Keuangan Daerah

Kualitas Infrastruktur

Sosial Politik

Keamanan

Budaya

Fisik Kinerja

Produktivitas

Aparatur

Tenaga Kerja

Peraturan Daerah

Gambar 3.1 Hirarki Iklim Investasi

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 3


Berikut hirarki AHP strategi pengembangan kebijakan investasi di daerah sebagai tools dalam usaha menemukan strategi alternatif kebijakan investasi daerah: Strategi Kebijakan

Kebijakan

Pengembangan

Pengembangan

Pelayanan

Pengelolaan

Kualitas SDM

Infrastruktur

Publik

Investasi

& SDA

Pendukung

Pajak dan Retribusi Daerah Unit Pelayanan Terpadu

Pendidikan, Pelatihan &

Strategi Promosi

Pemasaran Daerah

Saleable

kualitas aparat

Masterplan E-marketing

Jaminan Keamanan

Infrastruktur Fisik

Pemantapan Hukum

Kerjasama antar daerah dalam

Pusat Bisnis Daerah

& Pemeliharaan

Penelitian

Peningkatan

Penyediaan

Pengendalian Pencemaran

penyediaan infrastruktur

dan Koordinasi

Kerusakan

Kebijakan

Reformasi Birokrasi

Gambar 3.2 Hirarki Strategi Kebijakan Investasi Daerah Kemudian lebih lanjut hasil yang didapatkan dari pembobotan variabel-variabel yang terdapat di masing masing hirarki dengan metode AHP akan menunjukkan peringkat faktor mana yang paling berpengaruh terhadap iklim investasi daerah menurut persepsi responden. Di dalam metode AHP sendiri tidak memiliki perumusan tertentu untuk mengambil jumlah contoh yang tepat, atau tidak terdapat batas minimum.Responden terdiri dari stakeholders di provinsi terpilih, yaitu pemerintah daerah (BAPPEDA, BKPMD), pelaku usaha (KADINDA), akademisi. Responden merupakan stakeholders yang benar-benar menguasai, mempengaruhi pengambilan kebijakan atau benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan (expert man). Khusus Provinsi Maluku Utara yang terlebih dahulu telah diidentifikasi sebagai provinsi yang masuk ke dalam kriteria iklim investasi tidak bagus (peringkat 25 dari 33 provinsi) dan provinsi yang memiliki kinerja ekonomi lemah (PDRB tahun 2006-2010) dengan urutan ke 32 dari 33 provinsi, dilakukan kajian dan analisa comparative dan competitive advantages dengan menggunakan metodologi analisis Location Quotient (LQ) dan Shif- Share. Analisa dilakukan untuk mendapatkan informasi sektor unggulan yang dimiliki untuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena akan memberikan keuntungan kompetitif dan komparatif. Informasi ini kemudian akan disandingkan dengan strategi kebijakan investasi daerah yang dihasilkan sebelumnya untuk mendapatkan rekomendasi alternatif kebijakan investasi daerah untuk mencapai kapasitas yang optimal dalam produksi sektoral yang menjadi prioritas di Provinsi Maluku Utara.Untuk mempermudah melakukan kegiatan evaluasi tematik ini, berikut adalah gambaran kerangka pemikiran yang secara konseptual dapat menjelaskan alur kegiatan evaluasi secara umum.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 4


Gambaran kondisi investasi Indonesia sebelum dan pasca Keppres 27 tahun 2009 tentang PTSP di Bidang Penanaman Modal di 33 Provinsi

Besaran Tambahan Modal Terhadap Output Ekonomi

Pengelompokan 33 Provinsi Berdasarkan Iklim Investasi dan Penentuan Obyek Evaluasi dengan Perbandingan Iklim Investasi, PDRB, dan Rasio PMTB

Kelompok Iklim Investasi Bagus: 1. KELEMBAGAAN 2. INFRASTRUKTUR 3. TENAGA KERJA DAN PRODUKTIVITAS 4. SOSIAL POLITIK/KEAMANAN BERUSAHA 5. EKONOMI DAERAH

Analisis Spesialisasi dan Keunggulan Kompetitif Untuk Peningkatan Investasi Daerah

Kelompok Iklim Investasi Sedang: 1. KELEMBAGAAN 2. INFRASTRUKTUR 3. TENAGA KERJA DAN PRODUKTIVITAS 4. SOSIAL POLITIK/KEAMANAN BERUSAHA 5. EKONOMI DAERAH

Kelompok Iklim Investasi Tidak Bagus: 1. KELEMBAGAAN 2. INFRASTRUKTUR 3. TENAGA KERJA DAN PRODUKTIVITAS 4. SOSIAL POLITIK/KEAMANAN BERUSAHA 5. EKONOMI DAERAH

Analisis Keunggulan Komparatif Untuk Peningkatan Investasi Daerah

STRATEGI KEBIJAKAN INVESTASI DAERAH

REKOMENDASI ALTERNATIF KEBIJAKAN

Gambar 3.3 Skema Kerangka Berpikir Kegiatan Evaluasi Tematis

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 5


Pada dasarnya, terdapat dua jenis pendekatan studi yang dilakukan untuk melihat evaluasi iklim investasi di daerah dalam peningkatan investasi, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.Pendekatan kualitatif digunakan sebagai data penunjang yang dihasilkan oleh data kuantitatif untuk mengakomodasi deskripsi verbal dalam pembahasan untuk memperoleh kesimpulan dan rekomendasi alternatif kebijakan. Tahapan kegiatan evaluasi yang dilaksanakan adalah sebagai berikut : Studi Dokumen/ Literatur Tahapan ini dilakukan untuk mendapat gambaran umum perkembangan dan kondisi obyek yang akan dievaluasi, dalam hal ini melakukan studi literatur melalui penelitian terdahulu yang sejenis, berkaitan dan relevan terhadap bidang kajian evaluasi Kunjungan Lapangan Kegiatan ini dilakukan untuk melakukan pendalaman atas informasi-informasi yang tidak diperoleh melalui studi dokumen/ literatur.Kunjungan lapangan yang dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dan indepth interview dengan pemangku kepentingan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung. III.

Jenis dan Sumber Data

Untuk mendapatkan tujuan dari evaluasi ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut : Tabel 3.2 Kebutuhan Data Kegiatan Evaluasi No

Faktor

Konsistensi Peraturan Penegakan Putusan Peradilan Keuangan Daerah

Jenis Data Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif

Pendidikan dan Pelatihan Aparatur

Kuantitatif

BAPPEDA

Penyalahgunaan Wewenang Ketersediaan profil investasi

Kuantitatif Kualitatif

BAPPEDA BKPMD/BAPPEDA

Frekuensi mengikuti pameran investasi dan potensi daerah baik nasional dan internasional

Kuantitatif

BKPMD/BAPPEDA

Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah daratan

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Rasio pertumbuhan panjang jalan terhadap pertumbuhan kendaraan bermotor

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Keterhubungan antar daerah di dalam propinsi (ketersediaan jalan darat antar kab/kota)

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Ketersediaan jalan yang menghubungkan dengan propinsi lain

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Ketersediaan pelabuhan laut

Jumlah dan tipe pelabuhan laut

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Ketersediaan pelabuhan udara

Jumlah dan tipe pelabuhan udara

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Persentase desa belum teraliri listrik

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Luas wilayah yang belum teraliri listrik

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Kualitas jalan darat

Rasio panjang jalan berkualitas baik (mantap) dengan total panjang jalan propinsi

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Kelancaran/kemudahan transportasi laut

Volume bongkar muat barang per minggu

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Indikator Kepastian Hukum Keuangan Daerah

1

Kelembagaan

Aparatur/Kinerja Aparatur

Promosi Investasi

Ketersediaan jalan darat

2

Infrastruktur Fisik

Ketersediaan saluran listrik

Variabel

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

Sumber Data BAPPEDA BAPPEDA BAPEEDA

III- 6


No

Faktor

Jenis Data

Sumber Data

Rata-rata aktivitas bongkar muat barang per minggu

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Jumlah rata-rata penerbangan per minggu

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Banyaknya maskapai penerbangan yang melayani rute penerbangan tertentu

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Kualitas suplai listrik

Rata-rata intensitas gangguan listrik perbulan

Kuantitatif

BAPPEDA/PU

Pertumbuhan investasi di daerah

Pertumbuhan jumlah proyek dan nilai investasi PMDN dan PMA

Kuantitatif

BKPMD

Pertumbuhan sektor primer non migas

Kuantitatif

BAPPEDA

Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan sektor sekunder non migas

Kuantitatif

BAPPEDA

Pertumbuhan sektor tersier

Kuantitatif

BAPPEDA

Pertumbuhan ekspor dan impor

Pertumbuhan ekspor dan impor non migas

Kuantitatif

BAPPEDA

Indikator

Kelancaran/kemudahan transportasi udara

3

Ekonomi Daerah

Skor IPM

Kuantitatif

BAPPEDA

Daya beli mayarakat/PDRB perkapita

Kuantitatif

BAPPEDA

Ketersediaan tenaga kerja

Ketersediaan tenaga kerja terdidik (persentase tenaga kerja penduduk usia kerja berpendidikan minimal SLTA)

Kuantitatif

BAPPEDA

Produktivitas tenaga kerja

Kualitas/produktivitas tenaga kerja (rasio UMP terhadap produktivitas = PDRB sektor industri dibagi jumlah tenaga kerja sektor industri)

Kuantitatif

BAPPEDA

Rata-rata upah aktual tenaga kerja

Kuantitatif

BAPPEDA

Biaya resmi tenaga kerja (UMP tahun 2010 ke sini)

Kuantitatif

BAPPEDA

Kesejahteraan dan daya beli masyarakat

4

Tenaga Kerja dan Produktivitas

Biaya tenaga kerja

5

Sosial Politik/ Kemanan Berusaha

Variabel

Sosial Politik Keamanan Budaya

IV.

Metode Analisis Data

IV.1

Analisis Korelasi

Intensitas konflik masyarakat di sekitar lokasi usaha

Kuantitatif

BAPPEDA

Konflik antar ormas Konflik legislatif dan eksekutif Keamanan dan Perampokan Nilai/ norma yang dianut

Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif

BAPPEDA BAPPEDA BAPPEDA BAPPEDA

Analisis korelasi (korelasi Parson) untuk menganalisis tinggi rendahnya derajat hubungan antara variabel yang diteliti. Dua variebel dikatakan berkorelasi apabila penambahan pada variabel yang satu akan diikuti perubahan pada variabel yang lain secara teratur, dengan arah yang sama atau dapat pula dengan arah yang berlawanan. Bila dua variabel tersebut dinyatakan sebagai variabel X dan variabel Y, maka apabila variabel X berubah, variabel Y pun berubah dan sebaliknya. Korelasi positif menunjukkan perubahan variabel X dan Y adalah searah, sedangkan tinggi rendahnya keeratan hubungan tersebut ditentukan oleh koefisien korelasinya, bila +1 berarti hubungan kedua variabel X dan Y adalah sangat erat dan positif, bila nilai koefisien korelasi semakin mendekati 0 berarti hubungan kedua variabel tersebut semakin lemah. Bila perubahan variabel X dan Y saling berlawanan maka akan berkorelasi negatif, sehingga memiliki koefisien korelasi yang negatif. Koefisien korelasi yang negatif bukan berarti bahwa hubungan kedua variabel tersebut lemah tapi hanya menujukkan perubahan yang berlawanan arah antara variabelvariabel tersebut. Rumus koefisien korelasi:

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 7


Dimana: r : Y : X : n :

koefisien korelasi pertumbuhan investasi pertumbuhan PDRB jumlah observasi

Terdapat 3 (tiga) jenis hubungan tersebut terdiri dari (1) direct correlation (positive correlation), (2) korelasi negatif (inverse correlation atau negative correlation), dan (3) korelasi nihil (tidak berkorelasi).

Gambar 3.4 Korelasi Positif

Gambar 3.5 Korelasi Negatif

Gambar 3.6 Nihil Korelasi

Ukuran yang menentukan terpencarnya titik-titik dari scatter diagram sekitar garis lurus yang cocok benar (best fit) dengan letak titik-titik itu, jika antara variabel-variabel itu mempunyai hubungan libera, dinamakan coefficient of correlation (koefisien korelasi). Dengan perkataan lain koefisien korelasi merupakan ukuran besar kecilnya atau kuat tidaknya hubungan antara variabelvariabel apabila bentuk hubungan tersebut linear. Koefisien korelasi tersebut dinyatakan dengan bilangan, bergerak antara 0 sampai +1 atau 0 sampai -1. Apabila koefisien korelasi (r) mendekati +1 atau -1 berarti terdapat hubungan yang kuat, sebaliknya apabila mendekati 0 berarti terdapat hubungan yang lemah atau tidak ada hubungan. Ukuran korelasi dinyatakan sebagai berikut: a. b. c. d.

Koefisien tinggi. Koefisien Koefisien Koefisien

korelasi sebesar (+/-) 0,70 – 1,00 menunjukkan adanya tingkat hubungan yang korelasi (+/-) 0,40 – 0,70 menujukkan tingkat hubungan yang cukup. korelasi (+/-) 0,20 – 0,40 menujukkan tingkat hubungan yang rendah. korelasi kurang dari (+/-) 0,20 menujukkan tidak adanya korelasi.

Analisis korelasi ini digunakan untuk melihat hubungan antara rasio PMTB terhadap PDRB yang ditanamkan dengan peningkatan output di daerah. IV.2

I ncrem ental Capital Output Ratio (ICOR)

Konsep rasio kapital output atau koefisien modal menunjukkan hubungan antara nilai investasi modal dan nilai output. Konsep ini juga menunjukkan jumlah kapital yang diperlukan untuk memproduksi satu unit output.Analisis ini digunakan untuk menghitung berapa besar kebutuhan investasi. Dengan menghitung ICOR maka akan dapat diperkirakan berapa besar tambahan kapital (investasi) yang dibutuhkan untuk menuju kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai daerah atau hanya untuk sekedar mendapat gambaran pada masa lalu. ICOR merupakan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 8


angka yang menunjukkan perbandingan antara tambahan kapital (investasi) yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan tambahan pendapatan atau output. Koefisien ICOR dihitung secara total dengan perkiraan makro, formula perhitungan ICOR mengadopsi formula yang digunakan Meier, dengan rumus sebagai berikut : ICORt

atau ICORt

Dimana :

I t-1 ICOR t ∆PDRB t PDRB t PDRB t-1

: jumlah investasipada tahun sebelumnya : ICOR pada tahun t : peningkatan PDRB pada tahun t : PDRB oada tahun t : PDRB pada tahun sebelumnya

Pentingnya ICOR adalah dapat dipakai untuk menentukan laju pertumbuhan suatu perekenomian dan menguji konsistensi antara target pertumbuhan ekonomi dengan tambahan modal yang mungkin akan terkumpul dari tabungan investasi asing yang sedang berjalan. Diasumsikan bahwa (Y) adalah pendapatan domestik suatu wilayah dan (g) adalah pertumbuhan pendapatan tersebut dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun interprestasi nilai ICOR adalah apabila nilai ICOR semakin besar maka hal tersebut berarti bahwa pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama maka kebutuhan investasi akan semakin besar. Demikian juga sebaliknya apabila nilai ICOR semakin kecil maka hal tersebut menujukkan bahwa pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama maka kebutuhan investasi akan semakin kecil juga. Dengan demikian maka semakin kecil nilai ICOR, maka investasi akan semakin efisien karena dengan investasi yang kecil akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang sama. g

atau

S = I dan ∆K/∆Y = k, maka I t = k .g .Y t Dimana :

I t adalah jumlah investasi yang dibutuhkan k adalah ∆K/∆Y = ICOR g adalah tingkat pertumbuhan ekonomi Y t adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun t

Analisis korelasi ini digunakan untuk melihat efisiensi investasi yang ditanamkan didaerah dan akan menunjukkan sektor ekonomi mana saja yang bernilai produktif dalam akumulasi output. IV.3

Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process atau yang lebih sering disebut dengan AHP merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang dilakukan dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-kelompok, dan mengaturnya ke dalam suatu hirarki. Metode AHP ini pertama kalinya diperkenalkan oleh Prof. Thomas Saaty, guru besar pada Wharton School, University of Pensylvania, pada tahun 1971 dan 1975. Kelebihan daripada metode ini adalah :

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 9


1.

Fleksibel dalam arti mampu mencakup seluruh permasalahan dengan tujuan dan criteria yang beragam. Tujuan yang berbeda bias dimasukkan ke dalam satu level. 2. Menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Penilaian tidak saja berdasarkan angka absolut, melainkan juga relatif (menggunakan skala). 3. Menggunakan data primer, sehingga tidak menghadapi masalah ketersediaan data. 4. Perhitungan tidak terlalu rumit. Sifat dari model AHP ini adalah : 1. Menyeluruh, yaitu memasukkan unsur kuantitatif dan kualitatif. 2. Memasukkan intuisi, sehingga data yang digunakan adalah data primer (yang menjadi fakta). 3. Multi Objective, yaitu kita tidak tahu jawabannya sebelum data masuk. 4. Ketidakpastian, yaitu kita tidak tahu jawabannya sebelum data masuk. Sifat-sifat ini juga merupakan keunggulan dari model AHP. Aksioma AHP : 1. Reciprocal Kalau A lebih disukai dari B dengan skala X, maka B lebih disukai dengan skala 1/x, jadi: 1 Aij = Aji Dimana i dan j masing-masing adalah baris dan kolom. Keadaan ini menunjukkan bahwa si pengambil keputusan harus mampu membandingkan elemen-elemen dari suatu criteria alternatif, dan menyatakan preferensinya. 2.

Homogenety Elemen-elemen dalam satu level harus dapat dibandingkan. Misalnya : jeruk dengan bola tennis Jeruk ≠bola tennis jika kriterianya adalah rasa tetapi, jeruk = bola tennis jika kriterianya adalah ukuran.

3.

Independence Kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada tetapi alternatif dipengaruhi oleh kriteri. Jadi arahnya searah keatas.

4.

Expectation Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Ekspektasi dan sepsi manusia lebih menonjol dari pada rasionalitas.

Langkah Pembentukan Model AHP : 1.

Penyusunan Hirarki (Decomposition) Melalui proses dekomposisi, persoalan yang utuh dipecah menjadi unsur yang terpisah dan dibuat hirarki. Jika hasil yang diperoleh ingin lebih akurat, maka pemecahan dilakukan sampai unsur-unsur tadi tidak mungkin dipecah lagi. Membuat hirarki adalah menguraikan realitas menjadi kelompok-kelompok yang homogen, dan menguraikannya lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Keunggulan hirarki antara lain : a) b)

c) d)

Menggambarkan sistem yang dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana perubahan prioritas pada tingkat di atas akan mempengaruhi tingkat dibawahnya. Memberikan informasi yang sangat mendetail tentang struktur dan fungsi sistem pada tingkat yang rendah dan memberikan gambaran mengenai pelaku dan tujuan pada tingkat atasnya. Batasan dari elemen di suatu tingkat, paling baik disajikan pada level selanjutnya. Sistem secara ilmiah merupakan suatu hirarki. Stabil, dimana sedikit perubahan mempunyai sedikit pengaruh, dan fleksibel, dimana tambahan pada hirarki yang sudah terstruktur dengan baik tidak akan merusak kinerjanya.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 10


2.

Evaluasi Hirarki a. Penilaian Para pengambil keputusan menterjemahkan seluruh persepsi dan informasi yang tersedia kedalam perbandingan sepasang elemen, dengan menggunakan skala sebagai berikut : 1= Sama Penting (equal importance) 3= Sedikit lebih penting (moderate importance) 5= Lebih penting (essential/strong importance) 7= Sangat lebih penting (very strong importance) 9= Sangat penting (extreme importance) Skala 2, 4, 6, 8 merupakan angka kompromi diantara penilain diatas. Dari perbandingan tersebut dibuat matriks pairwise comparison (Matrik A).

Sintesa Hasil : melihat eigenvector dan eigenvalue Eigenvector adalah suatu vektor yang apabila dikalikan dengan sebuah matrik hasilnya adalah vektor itu sendiri dikalikan sebuah bilangan, dimana bilangan itu adalah eigenvalue. Atau : AW = W Dimana, A = Matriks pairwise comparison  = Eigenvalue W = Eigenvector AW - W = 0 (A - I) W = 0 W= 0 A - I = 0 3. Konsistensi Hirarki : Untuk mendapatkan konsistensi sebuah hirarki, perlu dihitung konsistensi dari setiap matrik pairwisenya. Konsistensi matriks pairwise : b.

(  maks - n ) CI = (n–1) dimana n adalah ukuran matriks Konsistensi Hirarki : CRH = M/M Dimana :

4.

M = Cl level II + bobot prioritas II . Cl level III M = RI level II + bobot prioritas II. RI level III RI = indeks random

n

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

RI

0

0

58

19

1.12

1.24

1.32

1.41

1.45

1.49

1.51

Aplikasi AHP : AHP dalam aplikasinya dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah, antara lain : 1. Menentukan prioritas 2. Memilih berbagai alternatif kebijaksanaan 3. Analisis manfaat biaya 4. Konflik/game theory 5. Model Perencanaan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 11


AHP ini digunakan untuk mengetahui permasalahan dan faktor penentu daya tarik investasi di daerah serta untuk mendapatkan alternatif pengembangan kebijakan investasi daerah. IV.4

Shift-Share (S-S)

Potensi ekonomi suatu wilayah dapat dilihat dari kapasitas kemampuan pertumbuhan output/produksi jika dibandingkan dengan kapasitas perekonomian sekitarnya, misalnya saja perekonomian nasional. Setiap daerah seharusnya memiliki strategi pembangunan sektoral yang berbeda sesuai dengan karakteristik daerah dan keunggulan komparatif yang dimiliki. Jika suatu daerah mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, berarti kapasitas pertumbuhan ekonomi belum tercapai secara optimal. Salah satu cara untuk mencapai kapasitas yang optimal yaitu dengan mendorong masuknya investasi di sektor yang menjadi prioritas pembangunan. Analisis shift-share merupakan salah satu model yang memiliki kelebihan dalam melihat pola pertumbuhan daerah dan besarnya angka pertumbuhan yang seharusnya dapat dicapai atau terjadi. Analisis shift-share adalah suatu teknik yang digunakan untuk menganalisa data statistik regional, baik berupa pendapatan per kapita, output, tenaga kerja maupun data lainnya. Dalam analisis ini, akan diperlihatkan bagaimana keadaan pertumbuhan di daerah dibandingkan dengan pertumbuhan nasional. Tujuan dari analisis shift-share adalah untuk melihat dan menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkannya dengan wilayah yang lebih luas lagi (wilayah referensi). Dengan demikian, analisis ini akan memberikan hasil perhitungan yang dapat menentukan posisi, baik berupa kelemahan maupun kekuatan, dari suatu sektor-sektor dalam perekonomian di daerah dibandingkan dengan sektor-sektor yang sama di tingkatan wilayah referensinya. Analisis shift-share tidak dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana proses perubahan di setiap sektor tersebut terjadi. Analisis ini hanya memberikan gambaran bagi para pengambil keputusan untuk menentukan mengapa suatu sektor tertentu dalam perekonomian memiliki kekuatan yang lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya, dan sektor yang lainnya tidak. Asumsi yang digunakan pada analisis shift-share adalah bahwasanya pertumbuhan perekonomian suatu daerah dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu: (1) komponen pertumbuhan regional (regional share), yaitu pertumbuhan daerah dibandingkan dengan pertumbuhan nasional; (2) komponen pertumbuhan proporsional (proportional shift), yaitu perbedaan antara pertumbuhan daerah yang menggunakan pertumbuhan nasional sektoral dengan pertumbuhan daerah yang menggunakan pertumbuhan nasional total; dan (3) komponen pergeseran pertumbuhan diferensial (differential shift), yaitu perbedaan antara pertumbuhan daerah secara aktual dengan pertumbuhan daerah jika menggunakan pertumbuhan sektoral nasional. Berdasarkan asumsi di atas, maka dibuat perumusan shift-share secara kuantitatif, yaitu:

G =R + S p + Sd Dimana :

G R

= Perubahan total di daerah = Regional share

Sp

= Proporsional shift

Sd

= Differential shift

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan daerah pada dasarnya dipengaruhi oleh regional share, proportional shift, dan differential shift.Regional share suatu daerah diukur dengan cara menganalisis perubahan agregat secara sektoral di daerah dibandingkan dengan perubahan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 12


pada sektor yang sama di perekonomian wilayah referensinya (dalam hal ini nasional). Jika suatu wilayah tumbuh dengan tingkat yang sama dengan pertumbuhan nasionalnya maka wilayah daerah tersebut akan mempertahankan kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Proportional shift mengukur perubahan reltif, tumbuh lebih cepat atau lebih lambat, suatu sektor di daerah dibandingkan dengan perekonomian wilayah referensinya (nasional).Pengukuran ini memungkinkan untuk mengetahui apakah perekonomian daerah terkonsentrasi pada sektor-sektor yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan perekonomian nasionalnya.Pertumbuhan sektoral yang berbeda dengan nasionalnya bisa disebabkan karena komposisi awal ekonominya yang dikaitkan dengan bauran sektoralnya (component mix). Sedangkan differential shift membantu dalam menentukan seberapa jauh daya saing sektoral suatu daerah dibandingkan dengan perekonomian yang dijadikan referensi (nasional). Oleh sebeb itu, jika differential shift dari suatu sektor bernilai positif, maka sektor tersebut memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor yang sama pada perekonomian nasional, dan sebaliknya. Komponen ini biasanya dikaitkan dengan adanya keunggulan atau ketidakunggulan kompetitif suatu daerah dibandingkan dengan wilayah nasional. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya lingkungan sekitar yang kondusif atau tidak kondusif terutama dalam mendukung pertumbuhan setiap sektoralnya. Adapun perumusan dari ketiga variabel, yaitu regional share, proportional shift, dan differential shift adalah:

dimana :

t

menunjukkan menunjukkan menunjukkan menunjukkan menunjukkan

0

menunjukkan simbol tahun observasi awal

X

n

r i

data statistik yang digunakan simbol nasional simbol regional simbol sektor simbol tahun observasi yang terakhir

Dari perumusan tersebut, untuk menentukan keunggulan komoditas, komponen merupakan kriteria kinerja komoditas pada tahap pertama. Komponen

Sp

Sp

dan

Sd

yang positif

menunjukkan bahwa komposisi industri sudah relatif baik dibandingkan dengan nasional dan nilai

Sp

yang negatif menunjukkan yang sebaliknya. Komponen

Sd

yang positif menunjukkan

keunggulan komoditas tertentu dibandingkan dengan komoditas serupa di daerah lain. Analisis shift-share juga merupakan salah satu model yang memiliki kelebihan dalam melihat pola pertumbuhan daerah dan besarnya angka pertumbuhan yang seharusnya dapat dicapai atau terjadi. Analisis shift-share dilakukan dengan membandingkan perekonomian daerah (propinsi) terhadap perekonomian nasional, di dalam evaluasi tematis ini digunakan untuk mendapatkan informasi sektor ekonomi yang memiliki nilai daya saing, baik kelemahan atau kekuatan sehingga menjadi landasan untuk dilakukan pengembangan atau perluasan kapasitas produksi. IV.5

Location Quotient (LQ)

Location Quotient (LQ) merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis Shift Share. Secara umum, analisis ini digunakan untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor unggulannya. Menurut Tarigan (2007) kegiatan ekonomi suatu daerah dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 13


1.

2.

Sektor basis adalah sektor ekonomi yang mampu untuk memenuhi kebutuhan baik pasar domestik maupun pasar luar daerah. Artinya sektor ini dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah sendiri maupun daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan. Sektor non basis merupakan sektor ekonomi yang hanya mampu memenuhi kebutuhan daerah itu sendiri, sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non unggulan.

Teori ini selanjutnya menyatakan bahwa karena sektor basis dapat menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijual keluar daerah yang meningkatkan pendapatan daerah tersebut, maka secara berantai akan meningkatkan investasi yang berarti menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap industri basis, tetapi juga menaikkan permintaan akan industri non basis. Dengan dasar teori ini maka sektor basis perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Rumusan LQ menurut Bendavid Val, yang kemudian digunakan dalam penentuan sektor basis dan non basis, dinyatakan dalam persamaan berikut:

LQ =

Xr / RVr atau

LQ =

Xn / RVn

Dimana

Xr / Xn RVr / RVn

LQ = Koefisien Location Quotient (LQ) Xr = PDRB sektor i di daerah (Rp.) RVr = Total PDRB daerah (Rp.) Xn = PDRB sektor i nasional (Rp.) RVn = Total PDRB nasional (Rp.)

Bendavid Val memberikan pengukuran terhadap derajat spesialisasi/sektor basis dengan kriteria sebagai berikut: 1.

2.

3.

LQ > 1 Jika LQ lebih besar dari 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tersebut di daerah lebih besar dari sektor yang sama di tingkat nasional. LQ < 1 Jika LQ lebih kecil dari 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu di daerah lebih kecil dari sektor yang sama pada tingkat nasional. LQ = 1 Jika LQ sama dengan 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu di daerah sama dengan sektor yang sama pada tingkat nasional.

Alat analisis Location Quotient mempunyai sejumlah keunggulan dan kelemahan (Bappenas, 2005). Diantara keunggulan metode Location Quatient ini antara lain : metode Location Quatient memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung serta metode Location Quatient sederhana dan tidak mahal serta dapat diterapkan pada data historis untuk mengetahui trend. Sementara beberapa kelemahan metode LQ adalah bahwa metode ini berasumsi bahwa pola permintaan di setiap daerah identik dengan pola permintaan nasional dan bahwa produktivitas tiap pekerja di setiap sektor regional sama dengan produktivitas tiap pekerja dalam industri-industri nasional/regional di tingkat atasnya, dan asumsi bahwa tingkat ekspor tergantung pada tingkat disagregasi. Kaitannya dengan evaluasi tematik ini, analisis LQ digunakan untuk mendapatkan informasi sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor unggulannya.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

III- 14


BAB IV GAMBARAN UMUM

I.

Investasi Indonesia

I.1

Penanaman Modal Luar Negeri (PMA)

Pada prinsipnya investasi merupakan instrumen penting dalam pembangunan nasional dan diharapkan dapat menciptakan kepastian berusaha bagi penanaman modal dalam dan luar negeri untuk meningkatkan komitmennya berinvestasi di Indonesia. Penanaman modal asing sangat berperan penting dalam proses pembangunan ekonomi di dalam negeri. Lalu lintas modal asing antar negara dan antar lokasi/wilayah akan berlalu lalang mengikuti dinamika perkembangan perusahaan-perusahaan lintas nasional. Awal terjadinya krisis global melalui skandal subprime mortgage di Amerika Serikat tahun 2007, belum begitu terasa di Indonesia ketika itu. Investor yang meralisasikan investasinya sepanjang tahun 2007 mencapai US$ 10.341,4 juta, yang berarti terjadi kenaikansebesar 72,60 persen jika dibandingkan tahun 2006 (BKPM). Aliran investasi asing masuk ke pasar modal Indonesia mencapai puncaknya terjadi pada tahun 2008, dimana BKPM mencatat investasi asing yang menanamkan modalnya di Indonesia sebesar US $ 14.871,4 juta yang sudah terealisasi atau terjadi kenaikan 43,80 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun pergerakan investasi asing sepanjang tahun 2009 mengalami kelesuan, sehingga mengalami penurunan 27,28 persen dibandingkan tahun lalu, yaitu hanya mampu menghimpun dana asing sebesar US $ 10.815 juta. Investor asing memiliki kesamaan dengan investor domestik, yaitu masih melirik sektor industri sebagai sektor tempat menanamkan modalnya, karena menganggap bahwa sektor ini menjanjikan untuk memberikan keuntungan bagi mereka dan sektor ini akan terus berkembang sejalan dengan berkembangnya teknologi. Hal ini terlihat pada tahun 2006 dari total nilai investasi asing yang terealisasi 60,41 persen terserap di sektor industri dan pada tahun 2007 di sektor yang sama mampu menyerap 45,42 persen dari total nilai investasi (BKPM). Secara persentase mengalami penurunan namun secara absolut mengalami kenaikan sekitar 29,76 persen. Posisi kedua sektor yang cukup diminati juga oleh investor asing adalah sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi, dimana pada tahun 2006 dan 2007 mempu menyerap 10,78 persen dan 31,96 persen dari total investasi asing yang terealisasi (BKPM). Sepanjang tahun 2008 terjadi pergeseran, dimana investor asing mulai melirik sektor lain yaitu sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi tidak lagi sektor indsutri. Besarnya investasi asing yang mampu diserap oleh sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi, pada tahun ini cukup tinggi yaitu di atas 57 persen, dengan nilai realisasi mencapai US$ 8.529,92 juta. Sedangkan aliran modal asing yang masuk ke Indonesia yang ditanamkanpada sektor Industri hanya mencapai US $ 4.515,2 juta atau hanya mampu menyerap 30,36 persen dari total investasi asing yang sudah terealisasi (BKPM). Di samping itu, BKPM juga mencatat turunnya investasi asing yang masuk ke Indonesia pada tahun 2009 berpengaruh juga terhadap sektor-sektor dominan yang banyak menyerap investasi asing. Investasi asing yang mampu diserap oleh sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi hanya 38,56 persen dengan nilai realisasi sebesar US$ 4.170,3 juta atau turun 51,11 persen dari tahun sebelumnya. Kemampuan sektor Industri untuk menarik investor asing menanamkan modalnya terus menurun sejak tahun 2008 dan berlanjut hingga tahun 2009, dimana hanya mampu menyerap 35,42 persen investasi asing yang masuk dengan nilai realisasi hanya mencapai US $ 3.831,1 juta atau turun sekitar 15,15 persen. Sebaliknya yang terjadi pada sektor Perdagangan dan Reparasi, Hotel dan Restoran justru mengalami peningkatan di tahun 2009 yaitu naik sekitar 37,00 persen dengan nilai realisasi asing mencapai US $ 1.012,6 juta atau menyerap sekitar 9,36 persen

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 1


dari total investasi asing yang sudah terealisasi. Sektor-sektor yang mampu menarik investor asing sehingga mengalami peningkatan di tahun 2009 adalah sektor Konstruksi, sektor Listrik, Gas dan Air serta sektor Pertambangan dan Penggalian. Potensi daerah harusnya menjadi daya saing tersendiri, dan dengan dukungan oleh pemerintah daerah melalui otonominya harus mampu memberikan rasa aman dan kejelasan hukum terhadap investor asing.Hal ini yang mampu menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di wilayah tersebut.Selama ini investor asing masih melihat Pulau Jawa sebagai wilayah yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka.Hal ini terbukti dengan aliran investasi asing yang masuk ke pasar modal Indonesia, dimana sebagian besar masih terserap di Pulau Jawa.Pada tahun 2007 investasi asing yang masuk mencapai 82,23 persen atau sebesar US$ 8.503,5 juta terjadi peningkatan dibandingkan tahun lalu naik sekitar 92,54 persen (BKPM). Penyerapan modal asing di Pulau Jawa puncaknya terjadi pada tahun 2008, yaitu mencapai 91,23 persen, dengan nilai realisasinya mencapai US$ 13.566,8 juta. Pada tahun 2009, total nilai investasi asing yang sudah terealisasi mengalami penurunan sehingga investasi asing yang terserap di Pulau Jawa juga mengalami penurunan yang sangat signifikan sekali mencapai 30,93 persen atau hanya mampu menyerap US $ 9.370,6 juta (BKPM). Walaupun ada investor asing yang menanamkan modalnya di luar Pulau Jawa tetapi masih jauh nilainya dibanding yang terserap di Pulau Jawa.Pulau Sumatera sebagai wilayah yang paling dekat dengan Pulau Jawa belum mampu menarik investor asing untuk mengalihkan investasi modalnya ke wilayah ini. Nilai investasi asing yang terserap di Pulau Sumatera pada tahun 2007 mengalami peningkatan dibanding tahun 2006 dari US$ 898,2 juta menjadi US $ 1.398,5 juta (13,52 persen) atau naik 55,70 persen. Pada tahun 2008 dan 2009, investasi asing yang masuk ke Pulau Sumatera mengalami penurunan, dimana hanya mampu menyerap investasi asing sebanyak US $ 1.009,9 juta pada tahun 2008 dan di 2009 hanya US$ 776,2 juta, atau masing-masing turun sebesar 27,79 persen dan 23,14 persen. Bahkan nilai investasi yang terserap di Pulau Sumatera pada tahun 2009 lebih rendah dibanding tahun 2008. Aktivitas aliran investasi asing yang masuk ke pulau-pulau lainnya masih sangat kurang.Investasi asing yang masuk ke Pulau Kalimantan, Pulau Maluku dan Papua dan Pulau Sulawesi tertinggi terjadi pada tahun 2006.Sedangkan di Pulau Bali dan Nusa Tenggara investasi asing yang masuk tertinggi terjadi pada tahun 2009. Tabel 4.1 Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) menurut Sektor, Tahun 2006 – 2009 (US$ juta) Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan dan Reparasi, Hotel & Restoran Transportasi, Gudang dan Komunikasi Perumahan, Kawasan Industri & Perkantoran Jasa Masyarakat, Sosial dan Perorangan Jumlah

2006 434,4 (7,25) 98,0 (1,64) 3619,7 (60,41) 105,3 (1,76) 144,2 (2,41) 545,7 (9,11) 646,0 (10,78) 254,0 (4,42) 144,4 (2,41) 5991,7 (100,00)

2007 289,5 (2,80) 309,8 (3,00) 4697,0 (45,42) 119,3 (1,15) 448,2 (4,33) 619,3 (5,99) 3305,2 (31,96) 64,5 (0,62) 488,6 (4,72) 10341,4 (100,00)

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

2008 154,2 (1,04) 181,4 (1,21) 4515,2 (30,36) 26,9 (0,18) 426,7 (2,87) 739,1 (4,97) 8529,9 (57,36) 174,9 (1,18) 123,1 (0,83) 14871,4 (100,00)

2009 129,9 (1,20) 332,7 (3,08) 3831,1 (35,42) 349,2 (3,23) 512,7 (4,47) 1021,6 (9,36) 4170,3 (38,56) 315,1 (2,91) 161,2 (1,49) 10815,0 (100,00)

IV- 2


Catatan: Angka dalam kurung menujukkan persentase terhadap jumlah PMA Sumber: BKPM Tabel 4.2 Rencana Penanaman Modal Asing (PMA) yang Disetujui Pemerintah menurut Pulau, Tahun 2006-2009 (Miliar Rupiah)

Tahun (1) 2006 2007 2008 2009

Pulau Sumatera

Jawa

Kalimantan

Sulawesi

Bali dan Nusa Tenggara

Maluku dan Papua

Jumlah

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

898,2 (14,99) 1398,5 (13,52) 1009,9 (6,79) 776,2 (7,18)

4416,4 (73,71) 8503,5 (82,23) 13566,8 (91,23) 9370,6 (86,64)

534,8 (8,93) 300,6 (2,91) 115,2 (0,77) 284,4 (2,63)

15,5 (0,26) 79,6 (0,77) 65,4 (0,44) 141,6 (1,31)

106,2 (1,77) 56,7 (0,55) 95,5 (0,64) 233,8 (2,16)

20,6 (0,34) 2,5 (0,02) 18,7 (0,13) 8,7 (0,08)

5991,7 (100,00) 10341,4 (100,00) 14871,5 (100,00) 10815,3 (100,00)

Catatan: Angka dalam kurung menujukkan persentase terhadap jumlah PMA Sumber: BKPM I.2

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Kinerja penanaman modal dalam negeri memasuki babak baru dengan disahkannya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Nilai investasi dari PMDN yang sudah terealisasikan di tahun 2007 mencapai Rp. 34.878,7 miliar atau sekitar 68,91 persen. Krisis ekonomi dunia membawa dampak negatif pada kinerja investasi di dalam negeri terlihat dari realisasi investasi PMDN di tahun 2008 yang tumbuh negatif, dimana investasi PMDN yang sudah direalisasikan mengalami penurunan dibanding tahun lalu hingga 41,62 persen menjadi Rp. 20.363,4 miliar. Turunnya nilai investasi domestik akibat dari pengaruh suplai modal di seluruh dunia, terutama terkait dengan ekspor, karena ekspor berasal dari permintaan luar negeri. Kegiatan investasi kembali bergairah di tahun 2009 seiring dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian dunia, investasi PMDN yang mampu terealisasi sampai akhir tahun 2009 mencapai Rp. 37.799,8 miliar mengalami kenaikan 85,63 persen. Jika dilihat menurut sektor, selama periode 2006-2009 sebagian besar nilai investasi domestik yang terkumpul banyak terserap atau terealisasi di sektor industri. Kinerja sektor industri pada tahun 2007 mampu menyerap lebih dari 75 persen dari total nilai investasi domestik yang terealisasi atau sebesar Rp. 26.289,8 miliar. Pada tahun 2008, investasi domestik yang telah direalisasikan 78,15 persen terserap di sektor indsutri, namun jika dilihat secara absolut nilai yang terserap jauh dibanding tahun 2007 yaitu hanya mencapai Rp. 15.914,8 miliar atau turun 39,46 persen dibanding tahun 2007. Investasi domestik yang terserap ke sektor industri pada tahun 2009 mencapai 51,41 persen atau secara absolut mencapai Rp. 19.434,4 miliar. Meskipun mengalami kenaikan investasi yang terealisasi di sektor industri tahun 2009 dibandingkan tahun 2008 tetapi nilainya masih lebih kecil dibandingkan tahun 2007. Sektor lainnya yang masih cukup diminati oleh para investor domestik adalah sektor pertanian. Pada tahun 2007 sempat meningkat 3,00 persen dari tahun sebelumnya namun di tahun 2008 sektor pertanian mengalami penurunan yang sangat signifikan sekali sekitar 66,40 persen atau hanya mampu menyerap sebanyak Rp. 1.238,5 miliar (hanya sekitar 6,08 persen dari total investasi domestik). Investasi domestik yang terserap di masing-masing sektor selama tahun 2008 hampir semuanya mengalami penurunan. Kecuali Sektor Perdagangan dan Reparasi, Hotel dan Restoran serta sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi, masing-masing mengalami kenaikan 207,87 persen dan 49,96 persen dibanding tahun 2007. Para investor domestik pada tahun 2009 selain sektor industri mulai banyak yang menginvestasikan modalnya di sektor Jasa

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 3


Lainnya dan sektor Listrik, Gas dan Air, dimana masing-masing dapat menyerap sekitar Rp. 5.010,1 miliar (13,25%) dan Rp. 3.442,7 miliar (9,11%). Sedangkan sektor yang kurang diminati oleh investor domestik adalah sektor Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran. Bahkan pada tahun 2007 tidak ada investor yang menanamkan modalnya di sektor tersebut sementara nilai investasi yang terserap pada tahun 2008 tidak sampai Rp. 1 Miliar hanya Rp 0,8 Miliar. Pada tahun 2009 sektor tersebut hanya mampu menyerap Rp. 122,8 Miliar atau sekitar 0,32 persen dari total nilai investasi PMDN. Untuk mendorong peningkatan investasi penanaman modal di Indonesia, perlu diciptakan iklim investasi dan usaha yang lebih menarik, terutama daerah harus mampu membuat daya saing.Wilayah yang masih menjanjikan dan memiliki daya saing bagi para investor untuk menanamkan modalnya adalah Pulau Jawa, ini terlihat dari banyaknya proyek dan nilai investasi domestik yang terserap. Proyek-proyek PMDN di Pulau Jawa sudah lebih dari 100 proyek pada tahun 2007, ada sebanyak 112 proyek di Pulau Jawa dengan nilai investasi PMDN mencapai 53,53 persen dati total PMDN atau sekitar Rp. 18.668,9 Miliar, jika dibandingkan dengan tahun 2006mengalami kenaikan 43,27 persen. Selain Pulau Jawa, Pulau Sumatera juga menjanjikan dengan nilai investasi mencapai Rp. 10.754,5 miliar atau sekitar 30,83 persen di tahun 2007. Namun di Pulau Maluku dan Papua tidak ada investasi domestik yang terealisasikan di sana. Perkembangan yang terjadi di tahun 2008 menunjukkan hampir semua pulau mengalami peningkatan dalam jumlah proyek, tetapi tidak semua diikuti dengan kenaikan nilai investasinya. Di Pulau Jawa pada tahun 2008 jumlah proyek mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2007, namun BKPM mencatat terjadi penurunan dalam nilai investasinya yaitu hanya mencapai Rp. 12.230,7 Miliar atau turun 63,51 persen dari tahun sebelumnya. Hal yang sama terjadi di Pulau Sumatera dimana jumlah proyek meningkat sedangkan nilai investasi yang dapat terserap hanya mencapai Rp. 4.640,1 Miliar atau turun sekitar 54,99 persen. Sebaliknya yang terjadi di Pulau Kalimantan dimana jumlah proyek meningkat dari 4 menjadi 5 diikuti dengan kenaikan nilai investasi yang terserap sebesar Rp.1.821,4 Miliar atau naik sekitar 16,91 persen. Begitu pula yang terjadi di Pulau Maluku dan Papua yang tahun lalu tidak ada investor yang menanamkan modalnya di sana pada tahun 2008 mampu menyerap sebanyak Rp. 294,7 Miliar atau sekitar 1,45 persen dari total PMDN. Realisasi PMDN menurut pulau pada tahun 2009 menujukkan hampir semuanya mengalami kenaikan kecuali Pulau Maluku dan Papua yang mampu meningkatkan nilai investasi yang terserap mencapai Rp. 1.821,4 Miliar atau naik 16,91 persen. Pulau Jawa masih menjadi lokasi yang paling diminati investor untuk menanamkan investasinya selama tahun 2008 walaupun nilainya tidak sebanyak tahun lalu yaitu hanya mencapai Rp. 12.230,7 Miliar (60,06 persen), mengalami penurunan sekitar 34,49 persen. Sementara, posisi kedua yang mampu menyerap investasi domestik masih tetap Pulau Sumatera yaitu sebanyak Rp. 4.840,1 Miliar (23,77 persen). Tabel 4.3 Perkembangan Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Menurut Sektor, Tahun 2006-2009 (Miliar Rupiah) Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan dan Reparasi, Hotel & Restoran

2006 3578,8 (17,33) 21,0 (0,10) 13012,7 (63,02) 88,0 (0,43) 538,6 (2,61) 526,0 (2,55)

2007 3686,0 (10,57) 691,4 (1,98) 26289,8 (75,37) 746,4 (2,14) 2110,7 (6,05) 270,0 (0,77)

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

2008 1238,5 (6,08) 519,2 (2,55) 15914,9 (78,15) 519,8 (2,55) 881,2 (4,33) 833,4 (4,09)

2009 2621,9 (6,94) 1794,0 (4,75) 19434,4 (51,41) 3442,7 (9,11) 2765,7 (7,32) 2765,7 (7,32)

IV- 4


Transportasi, Gudang dan Komunikasi Perumahan, Kawasan Industri & Perkantoran

1227,7 (5,95) 45,6 (0,22) 1610,6 (7,80) 20649,0 (100,00)

Jasa Lainnya Jumlah

286,2 (0,82)

429,2 (2,11) 0,8 (0,00) 26,4 (0,13) 20363,4 (100,00)

797,5 (2,29) 34878,7 (100,00)

809,1 (2,14) 122,8 (0,32) 5010,1 (13,25) 37799,8 (100,00)

Catatan: Angka dalam kurung menujukkan persentase terhadap jumlah PMDN Sumber: BKPM Tabel 4.4 Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut Pulau, Tahun 2006-2009 (Miliar Rupiah)

Tahun

Pulau Sumatera

Jawa

Kalimantan

Sulawesi

(2)

(3)

(4)

(5)

(1)

4504,9 (21,82) 10754,5 (30,83) 4840,1 (23,77) 7819,6 (20,69)

2006 2007 2008 2009

13030,8 (63,11) 18668,9 (53,53) 12230,7 (60,06) 25766,5 (68,17)

2536,1 (12,28) 1558,0 (4,47) 1821,4 (8,94) 2934,4 (7,76)

Bali dan Nusa Tenggara (6)

Maluku dan Papua (7)

104,9 (0,51) 15,7 (0,05) 29,0 (0,14) 50,8 (0,13)

403,7 (1,96)

68,6 (0,33) 3881,6 (11,13) 1147,5 (5,64) 1187,4 (3,14)

294,7 (1,45) 41,0 (0,11)

Jumlah (8) 20649,0 (100,00) 34878,7 (100,00) 20363,4 (100,00) 37799,8 (100,00)

Catatan: Angka dalam kurung menujukkan persentase terhadap jumlah PMDN Sumber: BKPM II.

Provinsi Gorontalo

II.1

Letak Wilayah dan Administrasi

Provinsi Gorontalo dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 38 Tahun 2000 sebagai provinsi ke32 di Indonesia.Sebelumnya Gorontalo merupakan wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kota Madya Gorontalo di Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi Gorontalo terletak di Pulau Sulawesi bagian utara atau di bagian barat Sulawesi Utara dengan luas wilayah secara keseluruhan 11.967,64 km2,dan jumlah penduduk sebanyak 1.038,585 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 85 jiwa/km2

– – ’ Bujur Timur. Wilayah provinsi ini berbatasan langsung dengan dua provinsi lain, diantaranya Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Barat dan Provinsi Sulawesi Utara di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah Utara berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi dan di sebelah Selatan dibatasi oleh Teluk Tomini. Berikut adalah luas daerah dan pembagian daerah administrasi Provinsi Gorontalo tahun 2010 : Tabel 4.5 Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2010 Kabupaten/Kota

Kabupaten Boalemo

Kabupaten Gorontalo

Kabupaten Pahuwato

Kabupaten Bone Bolango

Kabupaten Gorontalo Utara

Kota Gorontalo

Provinsi Gorontalo

Luas (km2)

1.735,93

2.207,58

4.291,81

1.889,04

1.777,03

66,25

11.967,64

7

18

13

17

6

6

66

84

205

105

157

56

49

619

Banyaknya Kecamatan Banyaknya Desa/ Kelurahan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 5


Sumber : Badan Pertanahan Nasional Provinsi Gorontalo

II.2

Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Provinsi Gorontalo pada tahun 2011 sebanyak 1.062.883 jiwa, bertambah sebanyak 22.719 jiwa dari tahun 2010. Laju pertumbuhan penduduk di tahun 2011 tercatat 2,18% (yoy). Sedangkan kepadatan penduduk tahun 2011 sebesar 87 jiwa/km2.Sex Ratio tahun 2011 tercatat 101, hal ini menunjukkan penduduk laki-laki 1 persen lebih banyak dibandingkan perempuan.

Gambar 4.1 Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo Tahun 2007-2011

Berdasarkan komposisi umur penduduk Provinsi Gorontalo Sumber : BPS Gorontalo pada tahun 2011, sebanyak 30,36 persen penduduk usia muda (0-14 tahun), 65,82 persen usia produktif (15-64 tahun), dan 3,82 persen penduduk berusia tua (65 tahun lebih). Tabel 4.6 Profil Demografi Provinsi Gorontalo No

Indikator

Satuan

2010

2011

1.

Jumlah Penduduk

Juta jiwa

1,040,164

1,062,883

2.

Kepadatan Penduduk

Jiwa/Km2

85

87

3.

Pertumbuhan Penduduk

%

2.28

2.18

4.

Rasio Jenis Kelamin

%

100.71

101

5.

Jumlah Rumah Tangga

RT

243,992

255,312

6.

Rata-rata ART Penduduk 0-14 Tahun Penduduk 15-64 Tahun Penduduk 65+ Tahun

Jiwa/RT % % %

4,26 32.03 64.38 3.59

4,16 30.36 65.82 3.82

7.

Sumber : BPS Provinsi Gorontalo Dalam kurun waktu tahun 2009-2011, penduduk usia kerja (usia 15 tahun ke atas) terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009, penduduk usia kerja berjumlah sekitar 701.495 orang, dan meningkat menjadi 753.243 orang pada tahun 2011. Tingkat Pertisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dalam kurun waktu 2009-2011 mengalami peningkatan dari 63,77 persen menjadi 64,12 persen. Demikian juga dengan persentase orang yang bekerja juga mengalami peningkatan dari 94,11 persen tahun 2009 menjadi 95,74 persen tahun 2011. Namun begitu sektor pertanian mengalami penurunan penyerapan pekerja periode 2009-2011 sekitar 5 persen. Sebaliknya pada sektor jasa kemasyarakatan terjadi peningkatan persentase pekerja dari 17,1 persen tahun 2009 menjadi 20,5 persen di tahun 2011. Tabel 4.7 Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Gorontalo Tahun 2009-2011 (persen)

TPAK TPT

URAIAN

2009 63,77 5,89

2010 64,42 5,16

2011 64,12 4,26

Bekerja

94,11

94,84

95,74

Bekerja di Sektor Pertanian

40,9

40,9

35,5

Bekerja di Sektor Industri Bekerja di Sektor Perdagangan Bekerja di Sektor Transportasi

7,7 16,5 8,4

8,1 16,5 7,7

9,8 14,7 7,7

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 6


Bekerja di Sektor Jasa Kemasyarakatan Bekerja di Sektor Lainnya

17,1 9,4

18,8 8,0

20,4 11,9

Sumber : BPS Provinsi Gorontalo II.3

Kondisi Perekonomian Provinsi Gorontalo

Perekonomian dapat dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Penghitungan PDRB didasarkan atas dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral/lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Gambar 4.3 Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Gorontalo Tahun 2006-2011 (%)

Gambar 4.2 Perkembangan PDRB Provinsi Gorontalo Tahun 2005-2011 (juta rupiah)

Sumber : BPS

Sumber : BPS

Selama kurun waktu 2005 – 2011 perkembangan PDRB Provinsi Gorontalo mengalami pertumbuhan positif. Secara rata-rata dalam kurun waktu 2005 – 2011, PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Provinsi Gorontalo adalah sebesar Rp 6.059.409 juta sedangkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) sebesar Rp 2.547.588 juta. Secara umum, pasca dilakukan pemekaran dari wilayah induknya, Provinsi Gorontalo mengalami pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan memperlihatkan tren yang baik. Pada tahun 2005 nilai PDRB ADHB Provinsi Gorontalo adalah Rp 3.408.567 juta, sedangkan PDRB ADHK sebesar Rp 2.027.723 juta, pada tahun 2009 PDRB ADHB meningkat menjadi Rp 7.069.054 juta dan PDRB ADHK sebesar Rp 2.710.737 juta, dan puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai PDRB ADHB Rp 9.153.669 juta dan PDRB ADHK sebesar Rp 3.141.458 juta. Di dalam Laporan Perekonomian Provinsi Gorontalo 2012 disebutkan perekonomian nasional yang stabil mendorong pertumbuhan ekonomi regional pada 2011 hingga mencapai 7,68 persen. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak ditopang oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan kegiatan impor. Pada tahun 2011, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat 12,98 persen dan pertumbuhan impor mencapai 22,38 persen. Jika dilihat dari sektor ekonomi, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran tumbuh sebesar 12,11 persen. Dilihat dari kontribusi sektoral, tiga sektor penyumbang utama PDRB pada tahun 2011 adalah Sektor Pertanian; Sektor Jasa-jasa; dan Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran. Peningkatan produksi beberapa komoditas pertanian mengakibatkan kontribusi Sektor Pertanian terhadap perekonomian Provinsi Gorontalo naik dari 28,58 persen pada tahun 2010 menjadi 29,43 persen pada tahun 2011. Tabel 4.8 Distribusi PDRB Provinsi Gorontalo Tahun 2006-2010(persen) URAIAN (1) Pertumbuhan PDRB (%)

2006

2007

2008

2009

2010

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

7,30

7,51

7,76

7,54

7,68

SEKTOR

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 7


Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan

30,67 0,97 8,32

30,61 1,03 8,17

30,71 1,03 8,02

29,55 1,11 7,71

28,58 1,13 7,78

Listrik, Gas dan Air Bersih

0,60

0,60

0,56

0,55

0,58

Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Lainnya

7,72 13,84 10,34

7,87 13,77 10,30

8,06 13,65 10,28

8,59 13,80 10,40

8,91 14,12 10,62

8,51

8,59

8,53

8,67

8,77

19,03

19,07

19,17

19,62

19,50

Sumber : BPS, diolah. Pada PDRB Provinsi Gorontalo ADHB menurut penggunaan tahun 2011, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga masih merupakan penyumbang terbesar, yaitu sebesar Rp 6.334,90 miliar diikuti oleh impor luar negeri dan antar pulau sebesar Rp 5.011,14 miliar. Sementara itu, sektor pertanian menyumbang 29,4 persen PDRB provinsi, terbesar kedua sektor jasa 26,9 persen. Sektor pertambangan dan listrik, gas dan air bersih menyumbang kontribusi terkecil atau di bawah 2 persen. Jika dilihat dari struktur ekonomi pada tahun 2011, struktur perekonomian Gorontalo didominasi oleh Sektor Tersier sebesar 53,60 persen, diikuti oleh Sektor Primer sebesar 30,60 persen dan Sektor Sekunder sebesar 12,20 persen.PDRB Gambar 4.4 Struktur PDRB ADHB Sektoral perkapita Provinsi Gorontalo terendah di Pulau Provinsi Gorontalo Tahun 2011 (%) Sulawesi, tidak lebih dari setengah perkapita Sumber: Gorontalo Dalam Angka 2012 provinsi induknya yaitu Provinsi Sulawesi Utara. PDRB perkapita Provinsi Gorontalo pada tahun 2011 sebesar Rp 8,61 juta sedangkan PDRB perkapita Provinsi Sulawesi Utara sudah mencapai Rp 18,08 juta. Sementara itu, indeks Pembangunan Manusia (IPM) Gorontalo jauh berada di bawah IPM Sulawesi Utara.Sulawesi Utara menempati peringkat 2 IPM se-Indonesia sedangkan Gorontalo menempati peringkat ke-24. Untuk persentase penduduk miskin pun Provinsi Gorontalo yang merupakan pemekaran dari Sulawesi Utara, memiliki persentase penduduk miskin tertinggi se-Sulawesi yaitu 18,75 persen.

Tabel 4.9 Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi Se-Sulawesi Tahun 2011 Provinsi

Sulwesi Barat Gorontalo

Indikator PDRB ADHB (miliar rupiah) 12.895

Kemiskinan (%) 14,56

Inflasi (%)*

TPT (%)

4,91

2,70

Pertumbuhan Ekonomi (%) 10,41

9.154

18,75

4,08

4,61

7,68

Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah

32.032 137.390 44.318

14,56 10,29 15,83

5,09 2,87 4,47

4,34 6,69 4,27

8,68 7,65 9,16

Sulawesi Utara

41.505

8,51

0,67

9,19

7,39

*Kota besar di provinsi Sumber : Gorontalo Dalam Angka 2012 Untuk mendapatkan gambaran secara makro perekonomian Provinsi Gorontalo jika dibandingkan dengan kondisi makro perekonomian nasional dapat dilihat pada tabel berikut :

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 8


Tabel 4.10 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 INDIKATOR

Provinsi Gorontalo

Nasional

7,68 %

Pertumbuhan Ekonomi (yoy)

Tingkat Kemiskinan

18,75%

6,5 % Perdagangan, Hotel, dan Restoran (17,75% dari PDB) 12,36%

Tingkat Pengangguran

4,26%

6,56%

Tingkat Inflasi (yoy)

4,08%

3,79%

Rp. 8,6 juta

Rp. 30,8 juta

Sektor Dominan

Sektor Pertanian (29,4%)

PDRB Per Kapita

Sumber : BPS III.

Provinsi Jawa Timur

III.1

Letak Wilayah dan Administrasi

Jawa Timur merupakan provinsi yang – ‘ Lintang Selatan. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Luas wilayah Jawa Timur sebesar 47.963 km2 merupakan provinsi yang memiliki wilayah terluas di Pulau Jawa, yang meliputi dua bagian utama, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur Daratan sebesar 88,70 persen atau sebesar 42.541 km2, sementara luas Kepulauan Madura sekitar 11,30 persen atau sebesar 5.422 km2. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera Hindia (Pulau Sempu dan Nusa Barung). Secara administratif Jawa Timur terbagi menjadi 38 kabupaten/kota, atau terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota, dengan Kota Surabaya sebagai ibukota provinsi. III.2

Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan

Gambar 4.5 Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Timur 2006-2011

Jumlah penduduk Jawa Timur selama tahun 2006 – 2011 terus mengalami peningkatan hingga mencapai 37.687.662 jiwa pada tahun 2011.Dengan luas wilayah sekitar 47.963 km2, maka kepadatan penduduk sekitar 786 jiwa per km2.Tahun 2011 mempunyai kepadatan paling tinggi di banding tahun-tahun sebelumnya yang masing-masing mencapai 781 jiwa per km2 (2010), 776 jiwa per km2 (2009) dan 771 jiwa per km2 (2008). Laju pertumbuhan penduduk di tahun 2011 tercatat 0,56% dengan sex ratio 97,86 yang mengartikan bahwa setiap 100 penduduk

perempuan di Jawa Timur terdapat 98 penduduk laki-laki. Pada tahun 2011, piramida penduduk Jawa TImur menujukkan bahwa penduduk Jawa Timur didominasi oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan angka ketergantungan (age dependency ratio) penduduk Jawa Timur sebesar 46,93 persen, ini berarti bahwa secara hipotesis setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 46-47 orang penduduk usia tidak produktif. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Provinsi Jawa Timur terus menunjukkan tren peningkatan.Berikut adalah tabel profil demografi Provinsi Jawa Timur. Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 9


Tabel 4.11 Profil Demografi Provinsi Jawa Timur No

Indikator

Satuan

2010

2011

1.

Jumlah Penduduk

Juta jiwa

37.476.757

37.687.622

2.

Kepadatan Penduduk

Jiwa/Km2

781

786

3.

Pertumbuhan Penduduk

%

0,65

0,56

4.

Rasio Jenis Kelamin

%

97,84

97,86

10.483,11

10.555,94

3,57 24,61 67,89 7,70

3,57 25,06 68,06 6,68

5.

Jumlah Rumah Tangga

RT

6.

Rata-rata ART Penduduk 0-14 Tahun Penduduk 15-64 Tahun Penduduk 65+ Tahun

Jiwa/RT % % %

7.

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Tingkat pengangguran terlihat semakin menurun selama kurun waktu 2009-2011. Pada tahun 2009 tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 10,57 persen. Angka ini terus menurun menjadi 7,38 persen pada tahun 2011. Berdasarkan perbandingan menurut tiga sektor utama, pilihan bekerja di sektor primer (pertanian, pertambangan & penggalian) masih mendominasi pasar kerja di Maluku dengan persentase sebesar 50,36 persen pada tahun 2011, yang diikuti dengan sektor tersier (perdagangan, angkutan, komunikasi, keuangan dan jasa-jasa) dengan persentase sebesar 38,69 persen. Sementara pekerja di sektor sekunder (industri, listrik, gas dan air minum serta bangunan) sebesar 10,93 persen. Tabel 4.12 Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2011(persen) 2009

2010

2011

TPAK

URAIAN

69,25

69,08

69,49

Bekerja Terhadap Angkatan Kerja

94,92

95,75

95,84

TPT Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja

5,08

4,25 42,46 13,28 4,78 20,26 4,04 4,32 0,85

4,16 39,70 14,07 6,12 20,63 3,75 1,91 13,81

di di di di di di di

Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor

Pertanian Industri Konstruksi Perdagangan Angkutan Keuangan Pertambangan

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur III.3

Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Timur

Perekonomian dapat dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Penghitungan PDRB didasarkan atas dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral/lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Gambar 4.6. Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2011(juta rupiah)

Gambar 4.7 Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2011(%)

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 10


Sumber : BPS

Sumber : BPS

Selama kurun waktu 2005 – 2011 perkembangan PDRB Provinsi Jawa Timur mengalami pertumbuhan positif. Secara rata-rata dalam kurun waktu 2005 – 2011, PDRB ADHB Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 625.992.900 juta rupiah sedangkan PDRB ADHK sebesar 307.394.451 juta rupiah. Secara umum, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur terus meningkat dan memperlihatkan tren yang baik. Pada tahun 2005 nilai PDRB ADHB Provinsi Jawa Timur adalah 403.392.350 juta rupiah, sedangkan PDRB ADHK sebesar 256.442.606 juta rupiah, pada tahun 2009 PDRB ADHB meningkat pelan menjadi 686.847.557 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 320.861.168 juta rupiah, dan puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai PDRB ADHB 884.143.574 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 366.984.301 juta rupiah. PDRB ADHK menunjukkan bahwa perekonomian Jawa Timur pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 7,22 persen, tercatat naik jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2010 yang sebesar 6,68 persen. Dalam rentang waktu 2006 – 2011, pertumbuhan ekonomi terendah Provinsi Jawa Timur berada di tahun 2009 sebesar 5,01 persen. Pertumbuhan negatif tersebut tak lepas dari pengaruh berbagai faktor yang terjadi di dalam maupun di luar wilayah Jawa Timur, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengingkatan produksi baik barang maupun jasa. Dilihat dari kontribusi sektoral, tiga sektor penyumbang utama PDRB pada tahun 2010 adalah Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran; Sektor Industri Pengolahan; dan Sektor Pertanian. Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran sebagai kontributor terbesar terhadap PDRB Provinsi Jawa Timur dari tahun 2006 – 2010 terus mengalami pertumbuhan, kecuali pada tahun 2008 tercatat turun sebesar 3,25 persen. Tercatat pada tahun 2007 sektor ini meningkat sebesar 2,15 persen dari tahun sebelumnya, tahun 2009 kembali meningkat sebesar 0,48 persen setelah mengalami penurunan pada tahun 2008.. Kemudian di tahun 2010 sektor ini terus tumbuh hingga 3,75 persen. Tabel 4.13 Distribusi PDRB Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2011(persen) URAIAN

2006

2007

2008

2009

2010

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

5,80

6,11

5,94

5,01

6,68

Pertanian

17,14

16,66

15,76

15,65

15,00

Pertambangan dan Penggalian

2,01

2,09

2,18

2,21

2,27

Industri Pengolahan

26,83

26,46

26,54

25,96

25,39

Listrik, Gas dan Air Bersih

1,70

1,79

1,39

1,36

1,36

Pertumbuhan PDRB (%) Sektor

Konstruksi

3,33

3,18

3,24

3,21

3,21

Perdagangan, Hotel dan Restoran

30,13

30,77

29,77

29,91

31,04

Pengangkutan dan Komunikasi

5,72

5,81

6,60

7,10

7,33

5,02

5,13

5,41

5,42

5,45

8,13

8,11

9,11

9,17

8,97

Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Lainnya

Sumber : BPS, diolah.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 11


Jika dilihat dari kontribusi riil PDRB Provinsi Jawa Timur menurut PDRB ADHB di tahun 2011, struktur PDRB Jawa Timur menujukkan dominasi tiga sektor besar yaitu Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 30,00 persen, Sektor Industri Pengolahan sebesar 27,13 persen, dan Sektor Pertanian sebesar 15,39 persen. Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 2,24 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 1,44 persen, Sektor Konstruksi 4,67 persen, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 5,66 persen, Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan sebesar 4,93 persen, dan Sektor Jasa-jasa Lainnya sebesar 8,55 persen. Jika dilihat dari struktur ekonomi pada tahun 2011, struktur Gambar 4.8 Struktur PDRB Sektoral ADHB Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 (%) Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur

perekonomian Jawa Timur didominasi oleh Sektor Tersier sebesar 49,14 persen, diikuti oleh Sektor Sekunder sebesar 33,24 persen dan Sektor Primer sebesar 17,83 persen.

Perbandingan antar provinsi di Pulau Jawa untuk beberapa indikator terpilih memperlihatkan bahwa ada variabel yang memiliki variasi yang cukup besar.Dilihat berdasarkan perbedaan PDRB ADHB 2011 tercatat PDRB Provinsi Jawa Timur berada nomor dua di bawah PDRB DKI Jakarta. Sedangkan angka kemiskinan di Provinsi Jawa Timur tergolong besar sebesar 14,23%. Untuk indakator pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur memiliki pertumbuhan terbesar di banding provinsi lain di Pulau Jawa, yaitu sebesar 7,22 persen dengan Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 4,16 persen. Dengan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi tidak mengakibatkan Provinsi Jawa Timur memiliki TPT dan kemiskinan yang rendah. Tabel 4.14 Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2011 Indikator

Provinsi DKI Jakarta

PDRB ADHB (miliar Rp) 982.540

Kemiskinan (%) 3,75

Jawa Barat

861.006

10,65

Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur

192.219 498.615 51.782 884.144

6,32 15,76 16,08 14,23

Inflasi (%)*

TPT (%)

3,97

10,80

Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,71

2,75

9,83

6,48

2,78 2,87 3,88 4,72

13,08 5,93 3,97 4,16

6,43 6,01 5,16 7,22

*Kota besar di Provinsi Sumber : BPS Untuk mendapatkan gambaran secara makro perekonomian Provinsi Jawa Timur jika dibandingkan dengan kondisi makro perekonomian nasional dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.15 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 INDIKATOR Pertumbuhan Ekonomi (yoy)

Provinsi Jawa Timur

Nasional

7,22 %

6,5 %

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (30%)

Perdagangan, Hotel, dan Restoran (17,75% dari PDB)

Tingkat Kemiskinan

14,23%

12,36%

Tingkat Pengangguran

4,16%

6,56%

Sektor Dominan

Tingkat Inflasi (yoy) PDRB Per Kapita

4,72%

3,79%

Rp. 23,5 juta

Rp. 30,8 juta

Sumber : BPS

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 12


IV.

Provinsi Riau

IV.1

Letak Wilayah dan Administrasi

Provinsi Riau terletak di jantung Pulau Sumatera, luas wilayah provinsi ini adalah 111.228,65 km2 – – ‘ Bujur Timur. Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang langsung berbatasan dengan negara tetangga Malaysia, sehingga jalur transportasi di sini menjadi strategis. Provinsi Riau di sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura dan Selat Malaka, di sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Selat Berhala, di sebelah timur berabatasan dengan Laut Cina Selatan (Provinsi Kepulauan Riau), dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara. Provinsi Riau memiliki 12 Kabupaten/Kota dan 3 (tiga) diantaranya berbatasan langsung dengan wilayah negara lain, yaitu Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis, dan Kota Dumai. Ibukota kabupaten/kota tersebut berjarak antara 60 km hingga 240 km dari ibukota provinsi dan berada pada ketinggian sekitar 2 hingga 91 meter dari permukaan laut. IV.2

Kondisi Penduduk dan Ketenagakerjaan

Gambar 4.9 Jumlah Penduduk Provinsi Riau Tahun 2006-2010

Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 tercatat sebesar 5.538.367 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.853.168 jiwa dan perempuan sebanyak 2.685.199 jiwa. Sementara banyaknya rumah tangga yang terdapat di Provinsi Riau pada tahun 2010 tercatat 1.328.461 rumah tangga dengan rata-rata penduduk 4 jiwa per rumah tangga.

Masih berdasarkan hasil SP 2010, distribusi penduduk menurut kabupaten/kota menujukkan bahwa penduduk Riau terkonsentrasi di Kota Pekanbaru sebagai ibukota Sumber : BPS Provinsi Riau provinsi dengan jumlah penduduk mencapai 897.767 jiwa atau sekitar 16,21 persen dari seluruh penduduk Riau. Sedangkan keabupaten/kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Kepulauan Meranti sebanyak 176.290 jiwa. Piramida penduduk Provinsi Riau tahun 2010 menujukkan bahwa penduduk Riau didominasi oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebesar 64,3%, penduduk usia 0-4 tahun sebesar 32,1 persen dan penduduk usia 65+ sebesar 2,5 persen. Tabel 4.16 Profil Demografi Provinsi Riau No

Indikator

Satuan

1.

Jumlah Penduduk

Juta jiwa

2.

Kepadatan Penduduk

Jiwa/Km2

3.

Pertumbuhan Penduduk

4.

Rasio Jenis Kelamin

5.

Jumlah Rumah Tangga

RT

6.

Rata-rata ART Penduduk 0-14 Tahun Penduduk 15-64 Tahun Penduduk 65+ Tahun

Jiwa/RT % % %

7.

2009

2010

5.306.533

5.538.367

%

2,26

4,37

%

111

106

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

1.328.461 31,6 65,9 2,5

4,00 33,1 64,3 2,5

IV- 13


Sumber : BPS Provinsi Riau Angkatan kerja penduduk laki-laki jauh lebih banyak dibandingkan bukan angkatan kerja.Sementara pada penduduk perempuan, di semua kabupaten/kota, bukan angkatan kerja justru lebih banyak dengan kegiatan utama mengurus rumah tangga. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun 2011 sebesar 66,4 persen meningkat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 Sektor Primer mendominasi lapangan pekerjaan sebesar 46,3 persen. Namun dari tahun 2009 – 2011 Sektor Tersier (Perdagangan, Jasa, dll) terus bergerak memberi peluang dalam penyerapan angkatan kerja. Tabel 4.17 Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Riau Tahun 2009 – 2011 (persen) 2009

2010

2011

TPAK

URAIAN

62,1

63,6

66,4

Bekerja Terhadap Angkatan Kerja

91,4

91,3

94,7

TPT Bekerja di Sektor Primer Bekerja di Sektor Sekunder

8,6 50,5 11,1

8,7 46,2 11,6

5,3 46,3 11,6

Bekerja di Sektor Tersier

38,4

42,0

42,1

Sumber : BPS Provinsi Riau IV.3

Kondisi Perekonomian Provinsi Riau

Perekonomian dapat dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Penghitungan PDRB didasarkan atas dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral/lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Gambar 4.10 Perkembangan PDRB Provinsi Riau Tahun 2005 – 2011(juta rupiah)

Sumber : BPS

Gambar 4.11 Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Riau Tahun 2006 – 2011(%)

Sumber : BPS

Selama kurun waktu 2005 – 2011 perkembangan PDRB Provinsi Riau mengalami pertumbuhan positif. Secara rata-rata dalam kurun waktu 2005 – 2011, PDRB ADHB Provinsi Riau adalah sebesar 264.096.334 juta rupiah sedangkan PDRB ADHK sebesar 90.579.534 juta rupiah. Secara umum, pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau terus meningkat dan memperlihatkan tren yang baik. Pada tahun 2005 nilai PDRB ADHB Provinsi Riau adalah 139.018.996 juta rupiah, sedangkan PDRB ADHK sebesar 79.287.586 juta rupiah, pada tahun 2009 PDRB ADHB meningkat menjadi 297.173.028 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 93.786.236 juta rupiah, dan puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai PDRB ADHB sebesar 413.350.122 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 102.605.913 juta rupiah. PDRB ADHK menunjukkan bahwa perekonomian Riau pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 5,01 persen, tercatat meningkat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2010 yang sebesar 4,18 persen. Dalam rentang waktu 2006 – 2011, pertumbuhan ekonomi

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 14


Provinsi mengalami fluktuasi, tumbuh negatif pada tahun 2007 dan 2009. Pertumbuhan terendah Provinsi Riau berada di tahun 2009 sebesar 2,97 persen. Pertumbuhan negatif tersebut tak lepas dari pengaruh berbagai faktor yang terjadi di dalam maupun di luar wilayah Riau, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengingkatan produksi baik barang maupun jasa. Dilihat dari kontribusi sektoral, tiga sektor penyumbang utama PDRB pada tahun 2010 adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian; Sektor Pertanian; dan Sektor Industri Pengolahan. Sektor Pertambangan dan Penggalian sebagai 15ontributor terbesar terhadap PDRB Provinsi Utara dari tahun 2007 – 2011 mengalami pertumbuhan negatif. Tercatat pertumbuhan negatif terjadi pada tahun 2007 sebesar 3,42 persen , tahun 2008 sebesar 1,63 persen, tahun 2009 sebesar 2,90 persen, tahun 2010 sebesar 2,00 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 2,92 persen. Tabel 4.18 Distribusi PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006-2011(persen) URAIAN (1)

2006

2007

2008

2009

2010

2011

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

5,15

3,41

5,65

2,97

4,18

5,01

Pertanian

16,92

17,15

17,01

17,14

16,56

16,91

Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih

54,20 10,21 0,21

52,34 10,73 0,21

51,49 10,88 0,22

49,99 11,10 0,22

48,99 11,44 0,22

47,56 11,57 0,22

Konstruksi

2,87

3,10

3,26

3,45

3,63

3,87

Perdagangan, Hotel dan Restoran

7,53

7,93

8,24

8,71

9,27

9,66

Pengangkutan dan Komunikasi

2,61

2,70

2,83

2,97

3,14

3,26

Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan

1,07

1,17

1,26

1,35

1,43

1,48

Jasa-jasa Lainnya

4,39

4,65

4,81

5,07

5,31

5,45

Pertumbuhan PDRB (%) Sektor

Sumber : BPS, diolah.

Jika dilihat dari kontribusi riil PDRB Provinsi Riau menurut PDRB ADHB di tahun 2011, struktur PDRB Riau menujukkan dominasi tiga sektor besar yaitu Sektor Pertanian sebesar 30,78 persen, Sektor Industri Pengolahan sebesar 27,03 persen, dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 15,89 persen. Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 2,49 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 0,29 persen, Sektor Konstruksi 10,16 persen, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 3,09 persen, Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan sebesar 4,14 persen, dan Sektor Jasajasa Lainnya sebesar 6,13 persen. Jika dilihat dari Gambar 4.12 Struktur PDRB Sektoral ADHB struktur ekonomi pada tahun 2011, struktur Provinsi Riau Tahun 2011 (%) perekonomian Provinsi Riau didominasi oleh Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Sektor Primer sebesar 33,27 persen, diikuti oleh Sektor Tersier sebesar 29,25 persen dan Sektor Sekunder sebesar 27,03 persen.Perbandingan antar provinsi di Pulau Sumatera untuk beberapa indikator terpilih memperlihatkan bahwa ada variabel yang memiliki variasi yang cukup besar. Dilihat berdasarkan perbedaan PDRB ADHB 2011 tercatat PDRB Provinsi Riau memiliki PDRB terbesar di antara provinsi yang lain di Pulau Sumatera. Sedangkan angka kemiskinan di Provinsi Riau pada tahun 2010 tercatat sebesar 10,01 persen. Untuk indakator pertumbuhan ekonomi

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 15


Provinsi Riau pada tahun 2011 tercatat memiliki pertumbuhan yang paling rendah dibanding provinsi yang lain, yaitu sebesar 5,01 persen dengan Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 5,32 persen. Tabel 4.19 Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi di Pulau Sumatera Tahun 2011 Indikator

Provinsi

PDRB ADHB (miliar Rp) 85.538

Kemiskinan (%) 19,57

Sumatera Utara

314.157

11,33

Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung

98.917 413.350 80.243 63.268 181.776 30.255 21.150 128.409

9,04 8,47 7,40 8,65 14,24 5,75 17,50 16,93

NAD

Inflasi (%)*

TPT (%)

3,32

7,43

Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,02

3,54

6,37

6,58

5,37 5,09 3,76 2,76 3,78 5,00 3,96 4,42

6,45 5,32 7,80 4,02 5,77 3,61 2,37 5,78

6,22 5,01 6,67 8,54 6,50 6,40 6,40 6,39

*Kota besar di provinsi Sumber : BPS Untuk mendapatkan gambaran secara makro perekonomian Provinsi Riau jika dibandingkan dengan kondisi makro perekonomian nasional dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.20 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 INDIKATOR

Provinsi Riau

Nasional

5,0%

6,5%

Sektor Pertanian (30,78 persen)

Perdagangan, Hotel, dan Restoran (17,75% dari PDB)

Pertumbuhan Ekonomi (yoy) Sektor Dominan Tingkat Kemiskinan

7,40

12,36%

Tingkat Pengangguran

5,32%

6,56%

Tingkat Inflasi (yoy)

5,09%

3,79%

Rp. 72,0 juta

Rp. 30,8 juta

PDRB Per Kapita

Sumber : BPS V.

Provinsi Maluku

V.1

Letak Wilayah dan Administrasi

’ – Bujur Timur. Sesuai SK GUbernur No. 305 Tahun 2008 tentang Penetapan Jumlah, Nama dan Nomor Kode Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi Maluku tahun 2008, maka secara administrative Provinsi Maluku terbagi atas 11 (sebelas) Kabupaten/Kota, 73 (tujuh puluh tiga) Kecamatan dan 906 (Sembilan ratus enam) Desa/Kelurahan. Luas Wilayah Provinsi Maluku secara keseluruhan adalah 581.376 km2, terdiri dari luas lautan 527.191 km2 dan luas daratan 54.185 km2. Atau dengan kata lain sekitar 90 persen wilayah Provinsi Maluku merupakan daerah lautan. Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 559 pulau dan dari sejumlah pulau tersebut, terdapat beberapa pulau yang tergolong pulau besar, yaitu:

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 16


Tabel 4.21 Nama-Nama Pulau Besar Provinsi Maluku Kabupaten/Kota Maluku Tenggara Barat

Maluku Tenggara

Nama Pulau Besar

Luas (km2)

Pulau Wetar

3.624

Pulau Yamdena

5.085

Pulau Kola

741

Pulau Wokam

954

Pulau Kabror

1.359

Pulau Trangan

1.497

Pualau Maekor Maluku Tengah

Pulau Seram

Buru

Pulau Buru

Ambon

Pulau Ambon

449 18.625 9000 761

Sumber: Memori Penyelenggaraan Pemerintahan 1976-1981 dalam DDA Provinsi Maluku 2011

V.2

Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan

Jumlah penduduk Provinsi Maluku berdasarkan hasil Sensus tahun 2000 mencapai 1.200.067 jiwa. Jumlah penduduk Provinsi Maluku terus mengalami peningkatan, pada tahun 2011 sebanyak 1.579.965 jiwa, bertambah sebanyak 42.459 jiwa dari tahun 2010. Laju pertumbuhan penduduk di tahun 2011 tercatat 6,02%. Sedangkan kepadatan penduduk tahun 2011 sebesar 29 jiwa/km2.Sex Ratio tahun 2011 tercatat 102,17.

Gambar 4.13 Jumlah Penduduk Provinsi Maluku 2006-2011

Jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) Provinsi Sumber : BPS Provinsi Maluku Maluku tahun 2011 berjumlah 1.010.287 orang dengan rincian 701.893 orang merupakan angkatan kerja dan sisanya 308.394 orang termasuk kategori bukan angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Provinsi Maluku terus menunjukkan tren peningkatan.Pasar tenaga kerja Maluku juga terus menujukkan peningkatan yang ditandai dengan tingginya angka kesempatan kerja. Hal ini dapat dilihat pada tingginya persentase penduduk usia kerja yang bekerja mencapai 92,62 persen pada tahun 2011. Tabel 4.22 Profil Demografi Provinsi Maluku No

Indikator

Satuan

2010

2011

1.

Jumlah Penduduk

Juta jiwa

1.533.506

1.575.965

2.

Kepadatan Penduduk

Jiwa/Km2

28

29

3.

Pertumbuhan Penduduk

5,25

6,02

4.

Rasio Jenis Kelamin

%

102,30

102,17

5.

Jumlah Rumah Tangga

RT

319.691

336.830

6.

Rata-rata ART Penduduk 0-14 Tahun Penduduk 15-64 Tahun Penduduk 65+ Tahun

Jiwa/RT % % %

5 36,96 59,81 4,03

5 36,66 59,61 3,74

7.

%

Sumber : BPS Provinsi Maluku

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 17


Tingkat pengangguran terlihat semakin menurun selama kurun waktu 2009-2011. Pada tahun 2009 tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 10,57 persen. Angka ini terus menurun menjadi 7,38 persen pada tahun 2011. Berdasarkan perbandingan menurut tiga sektor utama, pilihan bekerja di sektor primer (pertanian, pertambangan & penggalian) masih mendominasi pasar kerja di Maluku dengan persentase sebesar 50,36 persen pada tahun 2011, yang diikuti dengan sektor tersier (perdagangan, angkutan, komunikasi, keuangan dan jasa-jasa) dengan persentase sebesar 38,69 persen. Sementara pekerja di sektor sekunder (industri, listrik, gas dan air minum serta bangunan) sebesar 10,93 persen. Tabel 4.23 Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Maluku Tahun 2009-2011 (persen) URAIAN

2009

2010

2011

TPAK

65,44

66,48

69,47

Bekerja Terhadap Angkatan Kerja

89,43

90,03

92,62

TPT

10,57

9,97

7,38

Bekerja di Sektor Primer Bekerja di Sektor Sekunder

56,28 11,67

52,09 8,31

50,36 10,39

Bekerja di Sektor Tersier

32,05

39,6

38,69

Sumber : BPS Provinsi Maluku V.3

Kondisi Perekonomian Provinsi Maluku

Perekonomian dapat dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Penghitungan PDRB didasarkan atas dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral/lapangan usaha dan dari sisi penggunaan.

Gambar 4.14 Perkembangan PDRB Provinsi Maluku Tahun 2005-2011(juta rupiah)

Sumber : BPS

Gambar 4.15 Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Maluku Tahun 2006-2011(%)

Sumber : BPS

Selama kurun waktu 2005 – 2011 perkembangan PDRB Provinsi Maluku mengalami pertumbuhan positif. Secara rata-rata dalam kurun waktu 2005 – 2011, PDRB ADHB Provinsi Maluku adalah sebesar 6.624.084 juta rupiah sedangkan PDRB ADHK sebesar 3.838.848 juta rupiah. Secara umum, pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku terus meningkat dan memperlihatkan tren yang baik. Pada tahun 2005 nilai PDRB ADHB Provinsi Maluku adalah 4.570.664 juta rupiah, sedangkan PDRB ADHK sebesar 3.259.244 juta rupiah, pada tahun 2009 PDRB ADHB meningkat pelan menjadi 7.069.642 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 3.993.139 juta rupiah, dan puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai PDRB ADHB 9.594.886 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 4.507.336 juta rupiah. PDRB ADHK menunjukkan bahwa perekonomian Maluku pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 6,02 persen, tercatat melambat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 18


tahun 2010 yang sebesar 6,47 persen. Dalam rentang waktu 2006 – 2011, pertumbuhan ekonomi terendah Provinsi Maluku berada di tahun 2008 sebesar 4,23 persen. Pertumbuhan negatif tersebut tak lepas dari pengaruh berbagai faktor yang terjadi di dalam maupun di luar wilayah Maluku, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengingkatan produksi baik barang maupun jasa. Dilihat dari kontribusi sektoral, tiga sektor penyumbang utama PDRB pada tahun 2010 adalah Sektor Pertanian; Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran; dan Sektor Jasa-jasa Lainnya. Sektor Pertanian sebagai kontributor terbesar terhadap PDRB Provinsi Maluku dari tahun 2007 – 2011 mengalami penurunan. Pada tahun 2007 kontribusi ini menurun sebesar 1,43 persen, tahun 2008 menurun sebesar 1,29 persen, tahun 2009 dan 2010 juga mengalami penurunan sebesar 1,27 persen dan 0,77 persen. Hingga tahun 2011, sektor ini masih mengalami penurunan kontribusi terhadap total PDRB meski tetap sebagai sektor penyumbang terbesar, yaitu turun sebesar 2,40 persen. Tabel 4.24 Distribusi PDRB Provinsi Maluku Tahun 2006-2011 (persen) URAIAN

2006

2007

2008

2009

2010

2011

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

5,55

5,62

4,23

5,44

6,47

6,02

Pertanian

32,83

32,36

31,94

31,54

31,29

30,54

Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih

0,81 4,65 0,58

0,72 4,95 0,58

0,71 4,96 0,55

0,70 5,06 0,43

0,73 4,75 0,47

0,73 4,82 0,49

Konstruksi

1,28

1,32

1,32

1,33

1,84

1,93

Perdagangan, Hotel dan Restoran

25,09

25,37

25,66

25,80

25,76

25,95

Pengangkutan dan Komunikasi

10,29

10,70

10,77

10,92

10,94

10,88

Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan

5,55

5,53

5,54

5,49

5,27

5,15

Jasa-jasa Lainnya

18,90

18,46

18,53

18,74

18,94

19,51

Pertumbuhan PDRB (%) Sektor

Sumber : BPS, diolah. Jika dilihat dari kontribusi riil PDRB Provinsi Maluku menurut PDRB ADHB di tahun 2011, struktur PDRB Maluku masih menujukkan dominasi tiga sektor besar yaitu Sektor Pertanian sebesar 29,81 persen, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 28,28 persen, dan Sektor Jasa-jasa Lainnya sebesar 19,81 persen. Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 0,73 persen, Sektor Industri Pengolahan 4,43 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 0,54 persen, Sektor Kontruksi 1,95 persen, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 10,22 persen, dan Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan sebesar 4,22 persen. Jika dilihat dari struktur ekonomi pada Gambar 4.16 Struktur PDRB Sektoral ADHB tahun 2011, struktur perekonomian Maluku Provinsi Maluku Tahun 2011 (%) didominasi oleh Sektor Tersier sebesar 62,53 Sumber : Maluku Dalam Angka 2011 persen, diikuti oleh Sektor Primer sebesar 30,54 persen dan Sektor Sekunder sebesar 6,92 persen. Perbandingan antar provinsi di Indonesia Wilayah Timur untuk beberapa indikator terpilih memperlihatkan bahwa ada variabel yang memiliki variasi yang cukup besar.Dilihat berdasarkan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 19


perbedaan PDRB ADHB 2011 tercatat PRRB Provinsi Papua mencapai 76.371 miliar rupiah.Angka ini hampir tiga belas kali lipat dibandingkan angka terendah yang tercatat di Provinsi Maluku Utara yang hanya mencapai 6.057 miliar rupiah. Indikator lain seperti laju pertumbuhan ekonomi, persentase penduduk miskin, inflasi, dan tingkat pengangguran. Untuk indakator pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua memperlihatkan tren negatif pada tahun 2011 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar minus 5,67 persen dengan persentase penduduk miskin paling kecil di Provinsi Maluku Utara sebesar 9,18 %. Tabel 4.25 Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Indonesia Kawasan Timur Tahun 2011 Indikator Provinsi

PDRB ADHB (miliar Rp)

Kemiskinan (%)

Inflasi (%)*

TPT (%)

Pertumbuhan Ekonomi (%)

9.595

23,00

2,85

7,38

6,02

Maluku Maluku Utara

6.057

9,18

4,52

5,55

6,41

Papua Papua Barat

76.371 36.170

31,98 31,92

3,40 3,64

3,94 8,94

-5,67 27,22

*Kota besar di provinsi Sumber : BPS Untuk mendapatkan gambaran secara makro perekonomian Provinsi Maluku jika dibandingkan dengan kondisi makro perekonomian nasional dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.26 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 INDIKATOR

Provinsi Maluku

Pertumbuhan Ekonomi (yoy)

Nasional

6,02

6,5 %

Sektor Pertanian (29,81%)

Perdagangan, Hotel, dan Restoran (17,75% dari PDB)

Tingkat Kemiskinan

23,00%

12,36%

Tingkat Pengangguran

7,38%

6,56%

Rp. 5,6 juta

Rp. 30,8 juta

Sektor Dominan

Tingkat Inflasi (yoy) PDRB Per Kapita

3,79%

Sumber : BPS VI.

Provinsi Maluku Utara

VI.1

Letak Wilayah dan Administrasi

Provinsi Maluku Utara terbentuk dengan Undang-Undang No. 46 Tahun 1999 dan diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999 sebagai hasil pemekaran atas wilayah Provinsi Maluku. Luas total wilayah Provinsi Maluku Utara mencapai 140.255,36 km2, dengan luas wilayah perairan 106.977,32 km2 (76,27%), dan daratan seluas 33,278 km2 (23,73 %).Terdiri dari 395 buah pulau besar dan kecil. Propinsi Maluku Utara secara geografis terletak di sebelah Timur berbatasan dengan Laut Halmahera, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Ma Bujur Timur. Wilayah ini dilintasi khatulistiwa, tepatnya di Halmahera Tengah yang memberi efek penting pada pemanasan air laut yang bergerak dari samudera Indonesia ke Pasifik. Kondisi geograsifis Propinsi Maluku Utara dalam perspektif regional maupun internasional berada pada posisi strategis karena terletak di bibir pasifik (pasific reem) yang secara langsung berhadapan dengan negara-negara Asia Timur dan negara-negara pasifik, serta merupakan lintasan antara dua benua Asia dan Australia dan dua samudra Hindia dan Pasifik.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 20


Secara administrasi terbagi menjadi 6 wilayah Kabupaten dan 2 wilayah Kota yaitu Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan. Terdiri dari 8 (delapan) sub etnis yaitu, ternate, tidore, makian, galela, tobelo, sanana, maba dan bacan yang masing – masing memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbedabeda serta memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Banyaknya sub etnis tersebut merupakan suatu potensi yang kuat dan tangguh dalam menangani pembangunan di Provinsi Maluku Utara. VI.2

Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan

Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010), jumlah penduduk Maluku Utara sebanyak 1.035,5 ribu jiwa, terdiri dari 529,65 ribu laki-laki dan 505,83 ribu perempuan. Jumlah penduduk tertinggi ada di Kabupaten Halmahera Selatan yaitu 198,03 ribu jiwa, dan yang terendah ada di Halmahera Tengah sebesar 42,74 ribu jiwa.

Gambar 4.17 Persentase Penduduk Provinsi Maluku Utara 2010

Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penduduk Maluku Utara mengalami pertumbuhan sebesar 2,44 persen setahun. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Halmahera Utara, sedangkan yang terendah di Kepulauan Sula.Penduduk laki-laki di Sumber : BPS Provinsi Maluku Utara Provinsi Maluku Utara lebih banyak dibandingkan perempuan, yakni 105 berbanding 100. Berdasarkan komposisi umur penduduk Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010, sebanyak 35,59 persen penduduk usia muda (0-14 tahun), 61,53 persen usia produktif (15-64 tahun), dan 2,88 persen penduduk berusia tua (65 tahun lebih). Tabel 4.27 Profil Demografi Provinsi Maluku Utara No

Indikator

Satuan

2010

2011

1.

Jumlah Penduduk

Juta jiwa

1,038,087

2.

Kepadatan Penduduk

Jiwa/Km2

23,03

3.

Pertumbuhan Penduduk

%

2.47

4.

Rasio Jenis Kelamin

%

104.87

5.

Jumlah Rumah Tangga

RT

214,379

6.

Rata-rata ART Penduduk 0-14 Tahun Penduduk 15-64 Tahun Penduduk 65+ Tahun

Jiwa/RT % % %

7.

4,84 35.59 61.53 2.88

Sumber : BPS Provinsi Maluku Utara Dari total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), sekitar dua pertiga penduduk Maluku Utara termasuk dalam angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun 2010 tercatat sebesar 65,11 persen. Sepertiga penduduk usia 15 tahun ke atas lainnya yang bukan angkatan kerja mencakup mereka yang sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Pada tahun 2010, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 6,03 persen. TPT kabupaten/kota tertinggi Ternate 10,31 persen dan terendah di Halmahera Barat 2,31 persen. Bila ditinjau dari tingkat pendidikan, sebagian besar yang menganggur adalah penduduk berpendidikan Diploma ke atas dengan TPT 8,79. Untuk penyerapan tenaga kerja di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010, hampir seluruh kabupaten/kota penyerapan tenaga kerja didominasi oleh sektor pertanian, kecuali Ternate yang didominasi oleh sektor jasa-jasa.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 21


Tabel 4.28 Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Maluku Utara Tahun 2008 – 2010 (persen) URAIAN

2008

2009

2010

TPAK

65,94

64,19

65,11

TPT

6,48

6,76

6,03

Bekerja Terhadap Angkatan Kerja

93,52

93,24

93,97

Bekerja di Sektor Pertanian

58,73

58,05

Bekerja di Sektor Perdagangan

10,13

10,64

Bekerja di Sektor Angkutan

6,64

5,74

Sektor Pertambangan, industri, listrik/gas/air, bangunan dan keuangan/asuransi

9,29

8,13

Sumber : BPS Maluku Utara VI.3

Kondisi Perekonomian Provinsi Maluku Utara

Perekonomian dapat dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Penghitungan PDRB didasarkan atas dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral/lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Gambar 4.18 Perkembangan PDRB Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2011 (juta rupiah)

Sumber : BPS

Gambar 4.19 Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara Tahun 2006-2011 (%)

Sumber : BPS

Selama kurun waktu 2005 – 2011 perkembangan PDRB Provinsi Maluku Utara mengalami pertumbuhan positif. Secara rata-rata dalam kurun waktu 2005 – 2011, PDRB ADHB Provinsi Maluku Utara adalah sebesar 4.080.253 juta rupiah sedangkan PDRB ADHK sebesar 2.689.495 juta rupiah. Secara umum, pasca dilakukan pemekaran dari wilayah induknya, Provinsi Maluku Utara mengalami pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan memperlihatkan tren yang baik. Pada tahun 2005 nilai PDRB ADHB Provinsi Maluku Utara adalah 2.583.101 juta rupiah, sedangkan PDRB ADHK sebesar 2.236.804 juta rupiah, pada tahun 2009 PDRB ADHB meningkat pelan menjadi 4.691.161 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 2.812.039 juta rupiah, dan puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai PDRB ADHB 6.056.947 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 3.230.210 juta rupiah. PDRB ADHK menunjukkan bahwa perekonomian Maluku Utara pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 6,41 persen, tercatat melambat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2010 yang sebesar 7,95 persen. Hal ini tak lepas dari pengaruh berbagai faktor yang terjadi di dalam maupun di luar wilayah Maluku Utara, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengingkatan produksi baik barang maupun jasa. Dilihat dari kontribusi sektoral, tiga sektor penyumbang utama PDRB pada tahun 2010 adalah Sektor Pertanian; Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran; dan Sektor Industri Pengolahan. Sektor Pertanian sebagai kontributor terbesar terhadap PDRB Provinsi Maluku Utara mengalami

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 22


penurunan di tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2009 kontribusi ini menurun sebesar 1,41 persen, dam pada tahun 2010 juga mengalami penurunan sebesar 2,39 persen dari tahun sebelumnya. Tabel 4.29 Distribusi PDRB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006-2010 (persen) URAIAN

2006

2007

2008

2009

2010

(1) Pertumbuhan PDRB (%) Sektor

(2) 5,48

(3) 6,01

(4) 5,99

(5) 6,07

(6) 7,95

Pertanian

35,23

34,79

35,92

35,42

34,57

Pertambangan dan Penggalian

4,71

4,92

4,79

4,16

4,15

Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi

15,22 0,51 1,57

14,83 0,52 1,64

12,79 0,49 1,77

12,55 0,46 1,81

12,26 0,46 1,78

Perdagangan, Hotel dan Restoran

24,37

24,75

25,21

26,07

27,16

Pengangkutan dan Komunikasi

7,21

7,44

7,89

8,14

8,14

3,31

3,36

3,47

3,63

3,59

7,88

7,76

7,66

7,75

7,88

Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Lainnya

Sumber : BPS, diolah. Jika dilihat dari kontribusi riil PDRB Provinsi Maluku Utara menurut PDRB ADHB di tahun 2011, struktur PDRB Maluku Utara masih menujukkan dominasi tiga sektor besar yaitu Sektor Pertanian sebesar 36,03 persen, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 24,20 persen, dan Sektor Industri Pengolahan sebesar 12,73 persen. Jika dilihat dari struktur ekonomi pada tahun 2011, struktur perekonomian Maluku Utara didominasi oleh Sektor Tersier sebesar 42,54 persen, diikuti oleh Sektor Primer sebesar 41,02 persen dan Sektor Sekunder sebesar 16,45 persen. Gambar 4.20 Struktur PDRB Sektoral ADHB Provinsi Maluku Utara Tahun 2011(%) Sumber : BPS, 2011.

Di kawasan Timur Indonesia, pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara menduduki peringkat kedua setelah Provinsi Papua sebesar 7,95 persen. Laju pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia tertinggi di Provinsi Papua Barat mencapai 28,54 persen yang juga tertinggi se-Indonesia sedangkan yang terendah di Papua sebesar minus 2,65 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010 adalah 6,03 persen menurun dari TPT tahun 2009 sebesar 6,76 persen. Tabel 4.30 Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Indonesia Kawasan Timur Tahun 2011

Provinsi Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat

Indikator PDRB ADHB (miliar Rp) 9.595

Kemiskinan (%) 23,00

6.057 76.371 36.170

9,18 31,98 31,92

Inflasi (%)*

TPT (%)

2,85

7,38

Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,02

4,52 3,40 3,64

5,55 3,94 8,94

6,41 -5,67 27,22

*Kota besar di provinsi Sumber : BPS Untuk mendapatkan gambaran secara makro perekonomian Provinsi Maluku Utara jika dibandingkan dengan kondisi makro perekonomian nasional dapat dilihat pada tabel berikut :

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 23


Tabel 4.31 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 INDIKATOR

Provinsi Maluku Utara

Nasional

6,41

6,5 %

Sektor Pertanian (36,03%)

Perdagangan, Hotel, dan Restoran (17,75% dari PDB)

Tingkat Kemiskinan

9,18%

12,36%

Tingkat Pengangguran

5,55%

6,56%

4,52

3,79%

Rp. 5,7 juta

Rp. 30,8 juta

Pertumbuhan Ekonomi (yoy) Sektor Dominan

Tingkat Inflasi (yoy) PDRB Per Kapita

Sumber : BPS

VII.

Provinsi Sumatera Utara

VII.1

Letak Wilayah dan Administratif

Lintang Utara Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72% dari luas wilayah Republik Indonesia, dengan posisi geografis antara 10 – 40 Lintang Utara dan 980 – 1000 Bujur Timur. Dengan batas wilayah sebelah utara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Riau dan Provinsi Barat di sebelah Selatan, Samudera Hindia di sebelah barat, dan Selat Malaka di sebelah timur. Provinsi Utara memiliki 162 pulau, yaitu 6 pulau di Pantai TImur dan 156 pulau di Pantai Barat.Letak geografis Provinsi Sumatera Utara ini berada pada jalur strategis pelayaran internasional Selat Malaka yang dekat dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Provinsi yang didirikan pada tanggal 7 Desember 1956 ini, sampai tahun 2009 jumlah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara telah bertambah jumlahnya menjadi 33 kabupaten/kota yang terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota, 417 kecamatan, 5.856 desa/kelurahan dengan Kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi dengan luas mencapai 256 km2 dan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 13.042.317 jiwa VII.2

Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan

Jumlah penduduk Sumatera Utara selama tahun 2006 – 2011 terus mengalami peningkatan hingga mencapai 13.103.596 jiwa pada tahun 2011.Dengan luas wilayah sekitar 71.680,68 km2, maka kepadatan penduduk sekitar 183 jiwa per km2. Dalam jurun waktu 20082011, kepadatan paling tinggi berada pada tahun 2009 yaitu mencapai 185 km2, sedangkan tahun 2008 sebesar 182 jiwa per km2, dan pada tahun 2010 sebesar 181 jiwa per km2. Laju pertumbuhan penduduk di tahun 2011 tercatat 0,94% dengan sex ratio 99,77

Gambar 4.21 Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara 2006-2011

yang mengartikan bahwa setiap 100 penduduk Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara perempuan di Sumatera Utara terdapat 99,77 penduduk laki-laki. Piramida penduduk Sumatera tahun 2011 menujukkan bahwa penduduk Sumatera Utara didominasi oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebesar 63,35%, penduduk usia 0-4 tahun sebesar 32,73 persen dan penduduk usia 65+ sebesar 3,91 persen. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Provinsi Sumatera Utara terus menunjukkan tren peningkatan sebesar 72,09 persen pada tahun 2011. Berikut adalah tabel profil demografi Provinsi Sumatera Utara.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 24


Tabel 4.32 Profil Demografi Provinsi Sumatera Utara No

Indikator

Satuan

2010

2011

1.

Jumlah Penduduk

Juta jiwa

12.982.204

13.103.596

2.

Kepadatan Penduduk

Jiwa/Km2

181

183

3.

Pertumbuhan Penduduk

%

-2,01

0,94

4.

Rasio Jenis Kelamin

%

99,76

99,77

5.

Jumlah Rumah Tangga

RT

3.037.716

3.083.199

6.

Rata-rata ART Penduduk 0-14 Tahun Penduduk 15-64 Tahun Penduduk 65+ Tahun

Jiwa/RT % % %

4,30 33,24 62,87 2,27

4,25 32,73 63,35 3,91

7.

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara Dalam kurun waktu tahun 2010-2011, penduduk usia kerja (usia 15 tahun ke atas) terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2010 sebesar 7,43 persen. Jumlah angkatan kerja di Sumatera Utara pada tahun 2011 sebesar 72,09 persen atau meningkat sebesar 2,58 persen dibandingkan pada tahun 2010. Persentase pekerja formal di Sumatera pada tahun 2011 meningkat menjadi 38,51 persen dibandingkan pada tahun 2010 sebesar 32,09 persen. Penduduk Sumatera Utara sebagian besar (43,90%) bekerja di Sektor Pertanian, meningkat bila dibandingkan pada tahun 2010 sebesar 43,90 persen. Tabel 4.33 Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2011(persen) URAIAN

2009

TPAK

2010

2011

69,51

72,09

Bekerja Terhadap Angkatan Kerja

91,46

92,57

93,63

TPT Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja

8,54

7,43 43,90

6,37 46,94

di di di di di

Sektor Sektor Sektor Sektor Sektor

Pertanian Industri Konstruksi Perdagangan Angkutan

Bekerja di Sektor Keuangan Bekerja di Sektor Pertambangan

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara VII.3

Kondisi Perekonomian Provinsi Sumatera Utara

Perekonomian dapat dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Penghitungan PDRB didasarkan atas dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral/lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Gambar 4.23 Pertumbuhan PDRB ADHK Gambar 4.22 Perkembangan PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – Provinsi Sumatera Utara Tahun 20052011(%) 2011 (juta rupiah)

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 25


Sumber : BPS

Sumber : BPS

Selama kurun waktu 2005 – 2011 perkembangan PDRB Provinsi Sumatera Utara mengalami pertumbuhan positif. Secara rata-rata dalam kurun waktu 2005 – 2011, PDRB ADHB Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 217.422.472 juta rupiah sedangkan PDRB ADHK sebesar 106.265.796 juta rupiah. Secara umum, pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara terus meningkat dan memperlihatkan tren yang baik. Pada tahun 2005 nilai PDRB ADHB Provinsi Sumatera Utara adalah 139.618.313 juta rupiah, sedangkan PDRB ADHK sebesar 87.897.791 juta rupiah, pada tahun 2009 PDRB ADHB meningkat menjadi 236.353.615 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 111.559.224 juta rupiah, dan puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai PDRB ADHB sebesar 314.156.937 juta rupiah dan PDRB ADHK sebesar 126.450.621 juta rupiah. PDRB ADHK menunjukkan bahwa perekonomian Sumatera Utara pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 6,58 persen, tercatat meningkat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2010 yang sebesar 6,35 persen. Dalam rentang waktu 2006 – 2011, pertumbuhan ekonomi terendah Provinsi Sumatera Utara berada di tahun 2009 sebesar 4,07 persen. Pertumbuhan negatif tersebut tak lepas dari pengaruh berbagai faktor yang terjadi di dalam maupun di luar wilayah Sumatera Utara, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengingkatan produksi baik barang maupun jasa. Dilihat dari kontribusi sektoral, tiga sektor penyumbang utama PDRB pada tahun 2010 adalah Sektor Pertanian; Sektor Pengolahan; dan Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran. Sektor Pertanian sebagai kontributor terbesar terhadap PDRB Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2007 – 2011 terus mengalami penurunan diiringi dengan meningkatnya kontribusi Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, namun sektor ini masih mendominasi sebagai sektor penyumbang terbesar dalam PDRB. Pada tahun 2007 kontribusi Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran naik sebesar 0,61 persen, tahun 2008 menurun sebesar 0,23 persen, tahun 2009 meningkat 0,34 persen, tahun 2010 meningkat 0,15 persen, dan pada tahun 2011 sektor ini tumbuh sebesar 1,44 persen. Tabel 4.34 Distribusi PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – 2011(persen) URAIAN

2006

2007

2008

2009

2010

2011

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

6,20

6,90

6,39

5,07

6,35

6,58

24,34

23,91

23,83

23,78

23,50

23,23

1,20

1,23

1,23

1,19

1,18

1,18

24,07

23,66

22,89

22,39

22,00

21,00

Listrik, Gas dan Air Bersih

0,79

0,74

0,73

0,73

0,74

0,75

Konstruksi

6,52

6,57

6,68

6,77

6,80

6,92

18,31

18,42

18,38

18,44

18,47

18,74

Pengangkutan dan Komunikasi

8,85

9,10

9,31

9,53

9,81

10,02

Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan

6,40

6,74

7,05

7,12

7,41

7,90

Jasa-jasa Lainnya

9,51

9,63

9,91

10,05

10,09

10,26

Pertumbuhan PDRB (%) Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan

Perdagangan, Hotel dan Restoran

Sumber : BPS, diolah.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 26


Jika dilihat dari kontribusi riil PDRB Provinsi Sumatera Utara menurut PDRB ADHB di tahun 2011, struktur PDRB Sumatera Utara menujukkan dominasi tiga sektor besar yaitu Sektor Pertanian sebesar 22,48 persen, Sektor Industri Pengolahan sebesar 22,5 persen, dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 19,11 persen. Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 1,38 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 0,94 persen, Sektor Konstruksi 6,42 persen, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 9,18 persen, Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan sebesar 6,97 persen, dan Sektor Jasa-jasa Lainnya sebesar 11,02 persen. Jika dilihat dari struktur ekonomi pada tahun 2011, struktur perekonomian Sumatera Utara didominasi Gambar 4.24 Struktur PDRB Sektoral ADHB oleh Sektor Tersier sebesar 46,28 persen, diikuti Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 (%) Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara oleh Sektor Sekunder sebesar 29,86 persen dan Sektor Primer sebesar 23,86 persen. Perbandingan antar provinsi di Pulau Sumatera untuk beberapa indikator terpilih memperlihatkan bahwa ada variabel yang memiliki variasi yang cukup besar.Dilihat berdasarkan perbedaan PDRB ADHB 2011 tercatat PDRB Provinsi Sumatera Utara berada nomor dua di bawah PDRB Provinsi Riau. Sedangkan angka kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara sebesar 11,33%. Untuk indakator pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara memiliki pertumbuhan terbesar ketiga setelah Provinsi Jambi dan Kepulauan Riau, yaitu sebesar 6,58 persen dengan Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 6,3 persen. Tabel 4.35 Perbandingan Indikator Terpilih Menurut Provinsi di Pulau Sumatera Tahun 2011

Provinsi

Indikator PDRB ADHB (miliar Rp) 85.538

Kemiskinan (%) 19,57

Sumatera Utara

314.157

11,33

Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung

98.917 413.350 80.243 63.268 181.776 30.255 21.150 128.409

9,04 8,47 7,40 8,65 14,24 5,75 17,50 16,93

NAD

Inflasi (%)*

TPT (%)

3,32

7,43

Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,02

3,54

6,37

6,58

5,37 5,09 3,76 2,76 3,78 5,00 3,96 4,42

6,45 5,32 7,80 4,02 5,77 3,61 2,37 5,78

6,22 5,01 6,67 8,54 6,50 6,40 6,40 6,39

*Kota besar di provinsi Sumber : BPS

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 27


Untuk mendapatkan gambaran secara makro perekonomian Provinsi Sumatera Utara jika dibandingkan dengan kondisi makro perekonomian nasional dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.36 Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2011 Provinsi Sumatera Utara

Nasional

6,6%

6,5%

Sektor Pertanian (22,48 persen)

Perdagangan, Hotel, dan Restoran (17,75% dari PDB)

Tingkat Kemiskinan

11,33%

12,36%

Tingkat Pengangguran

6,37%

6,56%

3,54

3,79%

Rp. 23,98 juta

Rp. 30,8 juta

INDIKATOR Pertumbuhan Ekonomi (yoy) Sektor Dominan

Tingkat Inflasi (yoy) PDRB Per Kapita Sumber : BPS

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

IV- 28


BAB V ANALISIS EVALUASI

I.

Perkembangan Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Daerah

Salah satu indikator meningkatnya peran sektor swasta dalam perkembangan perkenomian daerah adalah dengan meningkatkanya investasi. Peningkatan investasi ini diharapkan menghasilkan multiplier effect dan pendorong roda perekonomian dalam peningkatan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat maksimal dari aktivitas tersebut. Dampak langsungnya adalah investor mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Pertumbuhan investasi swasta di daerah dapat dilihat dari nilai pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTB) dan realisasi investasi. Berikut adalah perkembangan investasi di daerah : Tabel 5.1 Rata-Rata Nilai PDRB dan PMTB di Daerah Tahun 2006 – 2011 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat

PDRB (miliar rupiah)

PMTB (miliar rupiah)

% PMTB thd PDRB

34508,67 109327,00 35976,50 92461,33 37897,00 15940,83 59644,00 10190,50 7692,50 35577,00 364797,83 298604,17 80432,50 173286,83 19713,00 315977,83 26578,50 17863,50 11736,00 28193,00 17311,33 28374,33 104983,67 16496,67 2634,17 15792,33 46398,83 4184,83 10511,17 3935,17 2764,83 20536,17 7742,00

5441,33 21212,83 6515,67 24230,83 10026,17 2587,00 13655,50 2416,17 825,17 5772,17 125133,83 51789,17 14006,50 31425,83 5304,50 57193,17 5743,50 5072,00 1611,67 7673,50 6719,83 4349,67 17423,00 3656,00 950,00 3038,83 9149,50 518,83 2980,67 164,67 185,67 7929,83 1883,50

15,77 19,40 18,11 26,21 26,46 16,23 22,90 23,71 10,73 16,22 34,30 17,34 17,41 18,14 26,91 18,10 21,61 28,39 13,73 27,22 38,82 15,33 16,60 22,16 36,06 19,24 19,72 12,40 28,36 4,18 6,72 38,61 24,33

Sumber: BPS

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 1


Tabel 5.2 Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN Tahun 2006 – 2012 Tahun

PMDN Jumlah Proyek (unit) 162 159 239 248 875 1313 1210

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Nilai (miliar rupiah) 20649,0 34878,7 20363,2 37798,9 60626,3 76000,8 92182,2

PMA Jumlah Proyek (unit) 869 982 1138 1221 3076 4342 4579

Nilai (US$ juta) 5991,6 10341,3 14873,2 10815,4 16214,8 19474,5 24564,4

Sumber : BKPM Gambar 5.1 Perkembangan PMTB Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2011

Sumber: BPS Jika dilihat dari besaran nominalnya, PMTB terus meningkat dalam periode tahun 2006 – 2011.Gambar 5.1 menunjukkan tren peningkatan PMTB sebagai indikator pertumbuhan sektor swasta di daerah. Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Papua, dan Provinsi Gorontalo merupakan daerah yang memiliki rasio PMTB tertinggi dibanding daerah yang lain. Yaitu secara berurutan 38,82 persen, 38,61 persen, dan 36,06 persen. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta daerah yang memiliki PDRB terbesar, hanya memiliki 34,30 persen PMTB. Perlu diketahui bahwa Provinsi Gorontalo memiliki PDRB terendah di antara provinsi yang lain. Tingginya PMTB di Provinsi Gorontalo merupakan bentuk usaha peningkatan sektor swasta dengan tingkat kemudahan mendirikan usaha yang relatif baik dari Provinsi DKI Jakarta (peringkat keenam, sedangkan DKI Jakarta peringkat ke delapan) 1.Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah dengan jumlah nominal PMTB terbesar, diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat.Sedangkan Provinsi Banten mengalami tren negatif pada tahun 2007 dan kemudian tumbuh perlahan hingga tahun 2010. Secara umum PMTB daerah mengalami peningkatan seiring dengan perbaikan iklim investasi dan usaha di daerah semenjak dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang ditindaklanjuti dengan Permendagri No 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

1

World Bank. 2012. Doing Business Indonesia.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 2


Namun, peningkatan PMTB sangat lambat dari pertumbuhan PDRB, dan dari gambar di atas dapat diketahui terdapat ketimpangan PMTB antara beberapa daerah dengan variasi PDRB yang beragam sebagai bentuk tidak terdistribusinya dengan baik pembangunan di daerah. Gambar 5.2 Nilai PDRB dan PMTB di Indonesia Tahun 2006 – 2011 (miliar rupiah) 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2006

2007

2008

PDRB

2009

2010

2011

PMTB

Sumber: BPS Dari data perkembangan realisasi investasi di daerah dengan nilai total realisasi penanaman modal di Indonesia. Realisasi baik dari sisi jumlah unit proyek maupun nilai terus mengalami peningkatan setelah dikeluarkannya kebijakan tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di tahun 2006 dan kebijakan tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang Penanaman Modal di tahun 2009. Pada tahun 2006, realisasi jumlah unit proyek dan nilai investasi mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Jumlah proyek PMDN sebanyak 162 unit menurun sebelumnya sebanyak 217 unit, dengan realisasi nilai sebesar Rp 20649 miliar turun dari Rp 30724,3 miliar. Sedangkan PMA dengan jumlah proyek sebanyak 869 unit turun dari jumlah sebelumnya sebanyak 914 unit, dengan nilai US$ 5991,5 juta turun dari US$ 8936,3 juta. Penurunan nilai realisasi PMDN dan PMA juga terjadi pada tahun 2008 dan 2009.Pertumbuhan realisasi investasi mengalami lonjakan signifikan semenjak tahun 2009.Pertumbuhan PMDN bergerak cepat sedangkan PMA tumbuh lambat. Gambar 5.3 Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Indonesia Tahun 2004 – 2012 (Miliar rupiah) 100000 80000 60000 40000 20000 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 PMDN

PMA

Sumber: BKPM Di sisi lain, investasi daerah dalam hal ini penanaman modal tetap bruto sebagai komponen di dalam pertumbuhan ekonomi daerah memperlihatkan tren yang beragam. Kontribusi PMTB paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah dalam periode 2006-2011 didominasi oleh Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 38,82 persen, diikuti Provinsi Papua sebesar 38,61 persen, Provinsi Gorontalo sebesar 36,06 persen, dan Provinsi DKI Jakarta sebesar 34,30 persen. Kontribusi PMTB

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 3


terhadap perekomomian Provinsi Maluku hanya sebesar 4,18 persen, sama halnya dengan Provinsi Maluku Utara sebesar 6,72 dan Provinsi Bengkulu sebesar 10,73 persen. Perbedaan tren PMTB menandakan terdapatnya permasalahan investasi dan perekonomian di daerah, permasalahan ini kemudian yang dapat menghambat dan menurunkan tingkat daya saing daerah. Pasca diberlakukannya PTSP untuk perbaikan iklim investasi pada tahun 2006 dan PTSP di bidang Penanaman Modal tahun 2009, beberapa daerah justru mengalami penurunan rasio PMTB terhadap PDRB. Tren negatif rasio PMTB terhadap PDRB ditunjukkan oleh beberapa daerah, antara lain Provinsi Aceh pada tahun 2011 turun sebesar 0,99 persen; Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 turun sebesar 1,32 persen; Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2007 turun sebesar 2,29 persen dan tahun 2008 sebesar 1,49 persen; Provinsi Jambi pada tahun 2009 turun sebesar 2,98 persen dan tahun 2010 turun sebesar 0,08 persen; Provinsi Kep. Bangka Belitung pada tahun 2009 turun sebesar 0,22 persen dan tahun 2010 turun sebesar 0,67 persen; Provinsi Bengkulu pada tahun 2009 turun sebesar 0,40 persen dan tahun 2010 turun sebesar 0,18 persen; Provinsi Lampung pada tahun 2007 turun sebesar 0,58 persen, tahun 2008 turun sebesar 0,51 persen dan tahun 2009 turun sebesar 0,37 persen; Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 turun sebesar 2,15 persen; Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 turun sebesar 1,35 persen dan tahun 2010 turun sebesar 0,31 persen; Provinsi Banten pada tahun 2007 turun sebesar 33,44 persen; Provinsi DI Yogyakarta pada tahun 2007 turun sebesar 1,51 persen, tahun 2008 turun sebesar 0,71 persen tahun 2009 turun sebesar 1,81 persen, tahun 2010 turun sebesar 1,41 persen, dan tahun 2011 turun sebesar 0,55 persen; Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007 turun sebesar 3,21 persen, tahun 2008 turun sebesar 0,08 persen, dan tahun 2010 turun sebesar 2,01 persen; Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2007 turun sebesar 2,15 persen, tahun 2008 turun sebesar 1,88 persen, dan tahun 2010 turun sebesar 1,81 persen; Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2007 turun sebesar 7,77 persen; tahun 2008 turun sebesar 1,36 persen, dan tahun 2009 turun sebesar 0,16 persen; Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2009 turun sebesar 3,20 persen; Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009 turun sebesar 0,61 persen dan tahun 2010 turun sebesar 3,51 persen; Provinsi Gorontalo pada tahun 2008 turun sebesar 2,36 persen, tahun 2009 turun sebesar 2,28 persen, dan tahun 2010 turun sebesar 2,19 persen; Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2010 turun sebesar 1,20 persen; Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2010 turun sebesar 20,72 persen dan tahun 2011 turun sebesar 0,84 persen; Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010 turun sebesar 3,45 persen; Provinsi Papua pada tahun 2009 turun sebesar 9,26 persen; Provinsi Papua Barat pada tahun 2007 turun sebesar 1,31 persen, tahun 2008 turun sebesar 4,45 persen, tahun 2009 turun sebesar 7,90 persen, dan tahun 2010 turun sebesar 16,18 persen. Sedangkan beberapa daerah mencatatkan pertumbuhan positif rasio PMTB terhadap PDRB, yaitu: Gambar 5.4 Daerah dengan Tren Positif Pertumbuhan Rasio PMTB terhadap PDRB tahun 2006 -2011 (persen) 50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00

2007 2008 2009 2010 2011

Sumber: BPS

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 4


Dari data di atas dapat diurutkan rata-rata pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB di daerah tahun 2006 – 2011 sebagai berikut, Provinsi Bali dengan 13,62 persen; Provinsi Kep. Riau dengan 11,36 persen; Provinsi Kalimantan Selatan dengan 10,66 persen; Provinsi Sulawesi Selatan dengan 5,51 persen; Provinsi Maluku dengan 5,44 persen; Provinsi Sulawesi Tenggara dengan 4,30 persen; Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan 3,94 persen; Provinsi Riau dengan 3,33 persen; Provinsi Sumatera Selatan dengan 2,22 persen; Provinsi Kalimantan Timur dengan 1,92 persen; dan Provinsi Jawa Tengah dengan 0,87 persen. Gambar 5.5 Rata-Rata Pesentase PMTB terhadap PDRB Tahun 2006 – 2011 (persen)

Sumber: BPS

Gambar 5.6 Pesentase PMTB terhadap PDRB Tahun 2006 – 2011 (persen)

Sumber: BPS

Secara nasional, pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia mengalami tren menurun pada tahun 2009 dan kembali naik di tahun 2010 tetapi tidak dapat mencapai pertumbuhan rasio pada tahun 2008, sedangkan di tahun 2011 naik drastis. Pada tahun 2007 pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 0,65 persen, pada tahun 2008 naik menjadi 2,54 persen, tahun 2009 menurun menjadi 0,76 persen. Pada tahun 2009, pasca dikeluarkannya kebijakan PTSP di bidang penanaman modal, rasio PMTB kembali tumbuh mencapai 1,43 persen terhadap PDRB dan terus meningkat pada tahun 2011 mencapai 3,26 persen. Rendahnya pertumbuhan rasio PMTB tersebut disebabkan banyaknya daerah yang mengalami pertumbuhan negatif rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia. Jika dirata-ratakan, pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB Indonesia hanya sebesar 1,73 persen pasca dikeluarkannya kebijakan perbaikan iklim investasi dengan pembentukan PTSP, pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 3,26 persen. Gambar 5.7 Pertumbuhan Rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2007 – 2011 (persen) 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 2007

2008

2009

2010

2011

Pertumbuhan Rasio PMTB terhadap PDRB

Sumber: BPS, diolah menggunakan data konstan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 5


Di samping itu, jika dilihat dari rasio nilai realisasi investasi PMDN dan PMA terhadap PDRB Indonesia tahun 2006-2011, pasca dikeluarkannya paket kebijakan perbaikan iklim investasi melalui Inpres No. 3 Tahun 2006 dan Perpres No. 27 Tahun 2009 rasio realisasi nilai investasi terhadap PDRB cenderung fluktuatif. Pada tahun 2008 realisasi nilai PMDN menurun dengan rasio 0,98 persen, kemudian meningkat drastis mencapai 3,09 persen pada tahun 2011. Sedangkan PMA relatif stabil dengan rasio lebih kecil dari PMDN, rasio terendah berada pada tahun 2006 sebesar 0,32 persen dan tertinggi di tahun 2011 sebesar 0,79 persen. Pertumbuhan negatif rasio investasi PMDN terhadap PDRB terjadi pada tahun 2008 sebesar -44,93 persen, sedangkan pertumbuhan negatif rasio investasi PMA terhadap PDRB terjadi pada tahun 2009 sebesar -30,49 persen, seperti yang kita ketahui pada masa tersebut sedang berlangsung krisis perekonomian Eropa. Gambar 5.8 Persentase PMDN dan PMA terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2006 – 2011 (persen) 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 2006

2007

2008

2009

PMDN

2010

2011

PMA

Sumber: BKPM dan BPS Gambar 5.9 Pertumbuhan Rasio Investasi PMDN dan PMA terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2007 – 2011 (persen) 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 -20.00 -40.00

2007

2008

2009

2010

2011

-60.00 PMDN

PMA

Sumber: BKPM dan BPS Pemerintah terus melakukan dorongan dalam perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan realisasi investasi.Peringkat kemudahan berusaha di Indonesia juga mengalami penurunan setiap tahunnya. Menurut International Finance Corporation (IFC), peringkat Indonesia turun dari 115 pada 2010 menjadi 129 pada 2012. Memburuknya kemudahan berusaha berpengaruh pada menurunnya daya saing ekonomi Indonesia.Laporan World Economic Forum (WEF) juga menyebutkan bahwa posisi daya saing ekonomi Indonesia turun empat tingkat dari posisi ke-46 pada tahun 2011 menjadi posisi ke-50 pada tahun 2012. Hal ini menunjukan bahwa ada masalah dalam iklim investasi di Indonesia, yang disebabkan oleh birokrasi yang tidak efisien dan korup, infrastruktur tidak memadai, etika kerja buruk, peraturan buruh yang membatasi, akses pada pembiayaan yang sulit, kurangnya jumlah tenaga kerja terdidik, dan rendahnya kemampuan berinovasi. Jika segala hambatan diatas tidak segera diatasi maka diprediksi target peringkat ke-75 dalam kemudahan berusaha (IFC) pada tahun 2014 tidak akan tercapai. Diperkirakan pada 2014 peringkat kemudahan berusaha hanya berada pada kisaran di atas

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 6


100.Sedangkan peringkat investasi Indonesia telah membaik dalam masuk ke dalam jajaran negara dengan kelayakan investasi (investment grade), yaitu Fitch BBB-, Moody’s BAA3, dan Standard & Poors BB+.Peningkatan peringkat ini merupakan cerminan perbaikan persepsi terhadap situasi perekonomian Indonesia 2. Peningkatan PMTB, realisasi PMDN dan PMA, dan membaiknya peringkat investasi (investment rating) Indonesia menunjukkan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam rangka untuk memperbaiki iklim investasi dan iklim usaha dalam rangka peningkatan nilai investasi telah berjalan dengan efektif. Perbaikan iklim investasi ini merupakan hasil dari berbagai upaya, diantaranya perbaikan pada prosedur perizinan, pengembangan sistem logistik nasional, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui skema KPS, dan sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan iklim usaha. Dalam capaian prioritas nasional iklim investasi dan iklim usaha, berdasarkan review tengah perjalanan RPJMN 2010 – 2014 telah berjalan efektif dengan capaian – capaian target telah sesuai dengan yang ditetapkan sebelumnya. Tabel berikut adalah capaian prioritas nasional iklim investasi dan iklim usaha. Tabel 5.3 Capaian Prioritas Nasional Iklim Investasi dan Iklim Usaha Indikator Jumlah PTSP di Daerah Jumlah provinsi dan kab/kota yang telah menerapkan SPIPISE Rata-rata koefisien variasi harga bahan pokok utama Rata-rata rasio koefisien variasi harga provinsi dan nasional Waktu penyelesaian perijinan dan nonperijinan di bidang pembinaan pasar dan distribusi Jumlah pasar percontohan Jumlah pengguna perijinan ekspor/impor online melalui INATRADE Tersusunanya peraturan tentang kompensasi dan penetapan PHK, hubungan kerja (kontrak dan outsourcing ) serta pengupahan Jumlah lembaga kerjasama bipartit di perusahaan dalam rangka pencapaian kesepakatan hubungan kerja

Satuan

Status Awal (2009)

Prov/kab/kota

360

Prov/kab/kota

Capaian

Target 2014

Perkiraan Capaian 2014

444

530

Tercapai

33 prov, 50 kab/kota

33 prov, 50 kab/kota

Tercapai

3,5

2,2

5-9

Tercapai

1,8

1,9

2,1

1,5 – 2,5

Tercapai

n.a

6

5

4

2

Tercapai

10

12 dan -

15 dan 1

20 dan 1

26 dan 5

Tercapai

7.500

Dapat tercapai tapi dengan usaha yang keras

-

Dapat tercapai tapi dengan usaha yang keras

15.000

Tercapai

2010

2011

2012

394

420

n.a

33 prov, 40 kab/kota

22 prov, 50 kab/kota

%

n.a

4,5

%

n.a

Hari Unit Perusahaan

n.a

1.536

2.064

2.618

Peraturan

Masuk dalam Prolegnas

Naskah Akademis

Penundaan revisi dan dikeluarka n dari Prolegnas

Permenakert rans No. 13 tahun 2012 dan No. 19 Tahun 2012

12.115

13.246

13.912

14.339

Sumber: BAPPENAS, 2012.

Lebih lanjut dengan capaian jumlah PTSP di daerah telah mencapai 84 persen dari total target pada tahun 2014. Artinya secara menyeluruh 33 provinsi di Indonesia telah menerapkan PTSP sebagai amanat Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Untuk membuktikan efektifitas implementasi PTSP secara statistik dalam peningkatan nilai PMTB di 33 provinsi berdasarkan data PMTB tahun 2006 – 2011.Tebel di bawah memperlihatkan perkembangan rasio PMTB terhadap PDRB, dan hasil independen t-stat rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia tahun 2006 – 2011. 2

BAPPENAS. 2012. Mid-Term Review RPJMN 2010-2014.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 7


Tebel 5.4 Uji-t Rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia Tahun 2006 - 2011

Provinsi

Periode I 3 % PMTB/PDR B

Periode II 4 % PMTB/PDRB

Perkemba ngan

t

Uji-t Mean % Std. PMTB/P Deviation DRB

Sig. (2tailed)

INDONESIA

20,76

21,83

Meningkat

2.620

.745

21.30

.047*

Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat

14,80 18,77 17,75 24,40 21,15 16,30 22,08 22,71 10,13 16,21 33,95 17,20 18,53 17,83 27,39 18,11 17,78 26,55 12,78 27,66 38,22 12,75 16,05 21,43 37,06 18,47 17,33 11,89 25,78 3,79 5,74 35,18 28,93

16,84 19,90 18,40 27,76 30,69 16,16 23,55 24,52 11,18 16,23 34,55 17,45 16,78 18,38 26,50 18,08 24,52 29,90 14,54 26,87 39,22 17,40 17,07 22,66 35,29 19,80 21,57 47,82 30,29 4,49 7,50 41,65 22,03

Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Menurun Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun

4.269 4.382 .265 2.990 3.452 .803 3.355 4.556 4.885 -1.107 4.297 3.167 -4.929 2.639 -3.504 -2.343 4.112 3.285 1.416 -4.880 3.433 4.040 3.862 4.585 -1.683 3.413 3.114 3.421 3.112 3.065 3.342 3.377 -2.300

1.436 .865 .679 2.015 5.982 .229 1.017 1.578 1.053 .173 .711 .268 2.882 .374 .553 .432 4.845 2.324 1.061 1.020 1.263 3.051 .691 1.384 1.055 1.043 2.539 2.044 2.796 .476 1.063 5.814 4.416

15.82 19.34 18.07 26.08 25.92 16.22 22.81 23.62 10.62 16.22 34.25 17.33 17.66 18.10 26.95 18.10 21.15 28.23 13.66 27.27 38.72 15.07 16.56 22.04 36.18 19.13 19.45 12.31 28.03 4.14 6.62 38.42 25.48

.008* .007* .802 .030* .018* .459 .020* .006* .005* .318 .008* .025* .004* .046* .017* .066 .009* .022* .216 .005* .019* .010* .012* .006* .153 .019* .026* .019* .026* .028* .021* .020* .070

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PMTB harga konstan. Keterangan: *singnifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95 % Dalam skala nasional terjadi peningkatan rasio PMTB terhadap PDRB selama kurun waktu tahun 2006 – 2011. Perbaiakan ini dampak langsung yang diperoleh dari kebijakan insentif penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah. Rata-rata rasio PMTB terhadap PDRB ditunjukkan dengan angka 21.30 persen, meningkat sebesar 1,07 poin atau sebesar 5,14 persen dari periode I ke periode II dengan signifikansi pada taraf 5 persen. Sementara itu, pengujian lebih lanjut pada 33 provinsi secara umum menunjukkan signifikansi peningkatan rasio PMTB selama periode tersebut terhadap PDRB. Melalui tabel di atas, dapat diketahui sebanyak 26 provinsi memilki mengalami peningkatan rasio PMTB terhadap PDRB secara seginifikan, sedangkan 7 provinsi lain tidak signifikan. Artinya insentif kebijakan penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah secara umum berdampak terhadap kenaikan rasio PMTB terhadap PDRB, hal ini mengindikasikan efektivitas kebijakan dalam perbaikan iklim investasi di daerah. Sedangkan 11 provinsi yang memiliki tren positif dalam pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB tahun 2006 -2011 (lihat gambar 4.5), melalui pengujian statistik juga terbukti memilki signifikansi pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB. Daerah tersebut antara lain Provinsi Riau, Kep. 3

Periode I merupakan rata-rata rasio PMTB terhadap PDRB pasca dikeluarkannya kebijakan Instruksi Presiden No 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang ditindaklanjuti dengan Permendagri No 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu 4 Periode II merupakan rata-rata rasio PMTB terhadap PDRB pasca dikeluarkannya Peraturan Presiden No 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Pelayanan Modal

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 8


Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Kemudian 7 provinsi yang lain yang tidak bernilai signifikan, yaitu antara lain Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Papua Barat. Provinsi Sumatera Barat, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan rasio PMTB terhadap PDRB di periode II, tetapi setelah dilakukan pengujian statistik tidak memiliki signifikansi penambahan rasio PMTB terhadap PDRB dalam periode kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan tren negatif rasio PMTB terhadap PDRB di masing-masing provinsi dalam kurun waktu 2006 – 2010, sedangkan pada tahun 2011 data menunjukkan lonjakan tajam rasio PMTB terhadap PDRB di setiap provinsi tersebut. Hampir di semua provinsi rasio PMTB terhadap PDRB tahun 2011 jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Gambar berikut menunjukkan distribusi PMTB provinsi di Indonesia tahun 2006 – 2011. Gambar 5.10 Distribusi PMTB Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2011

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PMTB konstan. Dari data di atas, secara nasional menguatkan uji statistik yang dilakukan. Dalam dua periode insentif kebijakan penanaman tahun 2006 yang didukung kebijakan penanaman modal di tahun 2009 memperlihatkan peningkatan PMTB provinsi dengan distribusi yang besar pada tahun 2009, 2010, dan 2011. Insentif yang dikeluarkan pemerintah lewat kebijakan PTSP di bidang Penanaman Modal membawa dampak positif dengan rata-rata distribusi PMTB di provinsi secara berurutan tahun 2006 – 2011 sebesar 13,05 persen; 14,45 persen; 16,10 persen; 17,30 persen; 18,63 persen; dan 20,47 persen, walaupaun harus diukur lebih lanjut tidak hanya PTSP yang menyebabkan tren positif ini. Tetapi patut diapresiasi dalam usaha perbaikan iklim investasi, peningkatan nilai realisasi PMTB yang sejalan dengan pertumbuhan positif rasio PMTB terhadap PDRB sebagai indikator kehandalan pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk menjaga konsistensi pertumbuhan ekonomi Indonesia dibutuhkan investasi sebagai modal pembangunan dan sebagai motor penggerak kebangkitan perekonomian daerah dan nasional beberapa tahun ke depan. Upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi sedikit banyak telah membuahkan hasil dengan peningkatan jumlah proyek dan realisasi nilai investasi PMDN dan PMA. Jumlah proyek dan realisasi nilai investasi ini beragam di setiap daerah. Untuk itu dibutuhkan iklim investasi yang kondusif agar dapat mendorong peningkatan investasi terutama daerah harus mampu membuat daya saing, menarik perhatian investor untuk menanamkan modalnya.Dari catatan BKPM, Pulau Jawa masih mendominasi distribusi PMDN nasional, ini terlihat dari banyaknya proyek dan nilai investasi PMDN yang terserap. Pada tahun 2007, jumlah proyek di Pulau Jawa sudah mencapai 112 proyek dengan nilai investasi PMDN sebesar Rp, 18.668,9 Miliar atau 53,53 persen dari total PMDN, atau mengalami kenaikan sebesar 43,27 persen dari tahun sebelumnya. Selain itu, Pulau Sumatera mencapai nilai investasi sebesar Rp. 10.754,5 Miliar.Tetapi di Pulau Maluku dan Papua tidak ada realisasi PMDN pada tahun tersebut. Pada tahun 2008, hampir semua pulau mengalami peningkatan jumlah proyek, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan nilai realisasi investasi PMDN. Pulau Jawa mengalami penurunan sebesar 63,51 persen dalam realisasi nilai investasi yaitu hanya mencapai Rp. 12.230,7 Miliar. Sama halnya di Pulau

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 9


Sumatera nilai realisasi investasi PMDN juga mengalami penurunan sebesar 54,99 persen atau hanya mencapai Rp. 4.640,1 Miliar. Sedangkan di Pulau Kalimantan mengalami peningkatan jumlah proyek dan realisasi nilai sebesar Rp. 1.821,4 Miliar atau naik sekitar 16,91 persen. Pulau Maluku dan Papua pada tahun 2008 mampu menyerap 1,45 persen dari total PMDN atau sebesar Rp. 294,7 Miliar. Sedangkan pada tahun 2009, hampir semua pulau menunjukkan kenaikan realisasi nilai PMDN kecuali Pulau Maluku dan Papua.

Gambar 5.11 Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMDN Menurut Pulau Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM

Gambar 5.12 Rata - Rata Persentase Nilai Investasi PMDN Menurut Pulau Tahun 2006 – 2009 (persen)

Sumber: BKPM

Jika dilihat berdasarkan sektor, selama periode tahun 2006 – 2009 sebagian besar nilai investasi PMDN terealisasi pada sektor industri.Dimana pada tahun 2007 menyerap lebih dari 75 persen dari total PMDN atau sebesar Rp. 26.289,8 miliar. Turun pada tahun 2008 sebesar 39,46 persen atau hanya mencapai nilai realisasi sebesar Rp. 15.914,4 miliar, dan kembali naik pada tahun 2009 mencapai 51,41 persen atau sebesar 19.434,4 miliar. Hampir semua sektor pada tahun 2008 mengalami penurunan realisasi nilai investasi PMDN, kecuali sektor Perdagangan dan Resparasi, Hotel dan Restoran serta sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi, masing-masing mengalami kenaikan 207,87 persen dan 49,96 persen dibanding tahun 2007. Pada tahun 2009, sektor lain mulai mengalami pertumbuhan realisasi nilai investasi PMDN, diantaranya sektor Jasa Lainnya dan sektor Listrik, Gas, dan Air yang masing-masing merealisasikan sekitar Rp. 5.010,1 Miliar dan Rp. 3.442,7 miliar. Sektor Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran merupakan sektor yang memiliki serapan nilai investasi PMDN paling kecil. Investasi terbesar pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 122,8 Miliar atau sekitar 0,32 persen dari total nilai investasi PMDN. Berikut adalah gambar yang memperlihatkan distribusi realisasi nilai investasi PMDN berdasarkan sektor. Gambar 5.13 Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMDN Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah)

Gambar 5.14 Rata - Rata Persentase Nilai Investasi PMDN Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (persen)

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 10


umber: BKPM

Sumber: BKPM

Praktik otonomi daerah yang sudah diterapkan di daerah harusnya dapat memberi kepastian dan kenyamanan dalam melakukan investasi di daerah.Peran pemerintahan daerah sangat besar dalam menciptakan kondisi ini, terutama dalam kaitannya dengan menggali potensi daerah yang kemudian menjadi daya saing dan daya tarik investor asing dalam melakukan penanaman modal. Dari data BKPM, investor asing hanya melirik Pulau Jawa sebagai wilayah yang potensial dalam berinvestasi. Terbukti nilai realisasi investasi PMA pada tahun 2007 mencapai US $ 8.503,5 juta atau sebesar 82,23 persen dari total PMA. Puncaknya pada tahun 2008 mencapai 91,23 persen dengan nilai realisasi sebesar US $ 13.566,8 juta. Nilai investasi PMA yang terserap di wilayah Pulau Sumatera pada tahun 2007 sebesar US $ 1,398,5 juta atau naik sebesar 55,70 persen dari tahun sebelumnya, tetapi penurunan realisasi terus terjadi sepanjang tahun 2008 dan 2009. Sementara itu aktivitas aliran investasi PMA ke pulau-pulau lainnya masih sangat kurang. Seperti di Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi , Pulau Maluku dan Papua investasi PMA tertinggi terjadi pada tahun 2006. Sedangkan di Pulau Bali dan Nusa Tenggara investasi PMA tertinggi di tahun 2009.

Gambar 5.15 Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM

Gambar 5.16 Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM

Jika dilihat berdasarkan sektor - sama halnya dengan invetasi PMDN - selama periode tahun 2006 – 2009 sebagian besar nilai investasi PMDN terealisasi pada sektor industri. Terbukti pada tahun 2006 dari total nilai investasi PMA, sebesar 60,41 persen terserap di sektor industri dan pada tahun 2007 mampu menyerap 45,42 persen dari total nilai investasi. Secara persentase mengalami penurunan namun secara absolut mengalami kenaikan sekitar 29,76 persen. Posisi kedua adalah sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi, dimana pada tahun 2006 dan 2007 mampu menyerap sebesar 10,78 persen dan 31,96 persen total investasi PMA yang terealisasi.Sepanjang tahun 2008, sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi mulai naik dengan angka di atas 57 persen dan nilai realisasi mencapai US $ 8.529,9 juta. Sedangkan sektor Industri hanya mencapai US $ 4.515,2 juta atau sebesar 30,36 persen. Di tahun 2008 dan 2009 sektor ini mengalami penurunan, pada thaun 2009 sektor Industri hanya mampu menyerap 35,42 persen dari total investasi PMA atau sebesar US $ 3.831,1 juta atau turun sebesar 15,15 persen. Tetapi pada tahun 2009 sektor Perdagangan dan Reparasi, Hotel dan Restoran mengalami peningkatan, yaitu naik sebesar 37,00 persen dengan nilai sebesar US $ 1.012,6 juta atau 9,36 persen dari total nilai investasi PMA. Sektor yang lain mengalami peningkatan pada tahun 2009 adalah sektor Konstruksi, sektor Listrik, Gas, dan Air serta sektor Pertambangan dan Penggalian.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 11


Gambar 5.17 Perkembangan Realisasi Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM

Gambar 5.18 Rata - Rata Persentase Nilai Investasi PMA Menurut Sektor Tahun 2006 – 2009

Sumber: BKPM

Hubungan investasi di daerah (PMTB, PMDN, dan PMA) sangat erat kaitannya dengan kinerja ekonomi daerah.Upaya pemerintah daerah dalam penyediaan iklim investasi yang kondusif sangat berpengaruh terhadap peningkatan realisasi jumlah proyek nilai PMDN dan PMA.Setelah dilakukan uji korelasi antara kinerja ekonomi daerah dan realisasi investasi daerah menghasilkan korelasi yang signifikan 5. Koefisioen korelasi bernilai positif, jika di dalam persamaan regresi bermakna semakin tinggi nilai investasi maka nilai kinerja ekonomi daerah akan semakin tinggi. Sebagai salah satu komponen utama di dalam penggerak perekonomian, Gultom (2012) menyebutkan perbaikan iklim investasi di daerah akan meningkatkan kontribusi investasi terhadap penerimaan atau output daerah, begitu juga sebaliknya iklim investasi yang buruk akan menyebabkan output suatu daerah kecil pula, tetapi desentralisasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pengembangan investasi di daerah. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah daerah semenjak digulirkannya kebijakan desentralisasi dalam pengelolaan potensi daerah yang memiliki konsekuensi terhadap desentralisasi pelayanan penanaman modal.Dalam perkembangannya, pengaruh negatif desentralisasi dan pengembangan investasi daerah, sejatinya ketidaksiapan kelambagaan dan perumusan berbagai kebijakan di bidang penanaman modal di daerah. Sehingga pelayanan modal pada masa awal-awal desentralisasi lebih diwarnai dengan ketidakpastian biaya, proses pengurusan perizinan yang lama, birokrasi yang panjang dan berbelit, serta banyaknya kebijakan daerah yang justru bertolak belakang bagi peningkatan realisasi penanaman modal. Hal ini jauh sebelum dikeluarkannya kebijakan tentang PTSP, melalui Keppres No. 29 Tahun 2004 pemerintah pusat menarik kewenangan daerah di bidang penanaman modal ke pusat melalui BKPM dengan Sistem Pelayanan Satu Atap (Asropi, 2007).

II.

Realisasi dan Iklim Investasi di Daerah

Analisis yang menjadi fokus pembahasan terdiri dari 6 (provinsi) terpilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, yaitu antara lain Provinsi Gorontalo, Jawa Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Sumatera Utara. Perkembangannya beragam di antara keenam provinsi tersebut, Provinsi Gorontalo yang tercatat memiliki rasio PMTB terhadap PDRB terbesar di antara provinsi lain, namun dalam periode kebijakan yang diteliti rasio tersebut menurun padahal PDRB mengalami peningkatan. Indikasinya adalah terdapat faktor lain selain investasi dalam pertumbuhan ekonomi Gorontalo. Begitu juga dengan 5 (lima) provinsi lainnya yang selanjutnya digambarkan melalui grafik berikut :

5

Menggunakan data PDRB konstan dan Realisasi investasi PMDN dan PMA 33 provinsi tahun 2006-2011. Pearson Correlation dengan nilai koefisien korelasi antara investasi dan kinerja ekonomi daerah sebesar 0,902 dengan signifikansi 0,000 (<0,05) (2-tailed).

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 12


Gambar 5.19 Perkembangan PDRB dan Rasio PMTB terhadap PDRB Tahun 2006-2012

Ket: *siginifikan pada taraf 95% Sumber: BPS Seperti halnya Gorontalo, Jawa Timur juga mengalami penurunan rasio PMTB terhadap PDRB. Sedangkan provinsi lain peningkatan rasio PMTB terhadap PDRB juga diikuti oleh peningkatan PDRB. Selanjutnya perkembangan realisasi PMA dan PMDN di daerah dapat dilihat melalui gambar berikut: Gambar 5.20 Perkembangan Realisasi Nilai PMA dan PMDN Tahun 2006-2012

Sumber: BPKPM Dominasi investasi PMA hanya terdapat di Provinsi Maluku dan Maluku Utara, sedangkan provinsi lain didominasi oleh investasi PMDN. Secara kumulatif nasional, hanya Provinsi Jawa Timur dan Riau yang dapat menyumbang dari total investasi nasional, yaitu PMDN dan PMA Jawa Timur secara berurutan sebesar 14,19 persen dan Riau 7,27 persen dan 3,40 persen. Sebagai komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi, sebaran investasi ini juga akan menyebabkan pertumbuhan yang beragam di setiap daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan disumbangkan oleh sektor ekonomi yang produktif dalam menghasilkan output. Data terbaru realisasi investasi berdasarkan sektor bulan semester I tahun 2013:

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 13


Tabel 5.5 Realisasi Investasi Berdasarkan Sektor Ekonomi Januari-Juni 2013

Sumber: BKPM Setelah dilakukan analisis terhadap keenam provinsi, secara umum terdapat beberapa sektor yang tidak efisien menghasilkan output terhadap investasi yang ditanamkan, antara lain Sektor Pertambangan dan Penggalian dan Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih. Sedangkan untuk Provinsi Riau hanya memiliki empat sektor yang produktif, yaitu Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, dan Perdagangan. Lebih lanjut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.6 ICOR, Produktivitas Sektor, dan Efisiensi Investasi yang Ditanamkan Tahun 2007-2011

Sumber: Hasil analisis.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 14


Nilai koefisien ICOR dalam tabel di atas memiliki arti nilai yang kecil bernilai produktif dibanding nilai yang besar (<4). Semakin kecil nilai ICOR maka semakin besar produktivitas dan efisiensi dari investasi yang ditanamkan, konsekuensinya adalah dengan tingkat investasi yang sama, nilai ICOR yang rendah memberikan informasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tidak membutuhkan investasi yang besar. ICOR yang bernilai besar atau negatif berarti investasi yang ditanamkan tidak memberi kontribusi positif terhadap output, atau mungkin ada penambahan barang modal baru tetapi barang modal baru tersebut sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun sebelumnya. Permasalahannya adalan terdapat nilai realisasi investasi yang beragam di masing-masing provinsi. Iklim investasi menjadi faktor dalam peningkatan realisasi investasi dengan meningkatkan produktivitas sektor perekonomian. Efisiensi investasi dalam pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Ditemukan bahwa faktor infrastrukur merupakan faktor yang dominan dalam penentu daya tarik investasi di daerah, di samping faktor ekonomi daerah, kelembagaan, sosial politik dan tenaga kerja. Bagi Provinsi Maluku Utara, di samping permasalahan infrastruktur, faktor ekonomi daerah adalah faktor dominan kedua yang selanjutnya akan dianalisis dengan pendekatan potensi ekonomi daerah. Gambar 5.21 Permasalahan dan Penentu Daya Tarik Investasi di Daerah

Sumber: Hasil analisis.

II.1

Provinsi Gorontalo

Provinsi Gorontalo merupakan provinsi yang memiliki output perekonomian relatif rendah, pada tahun 2011 PDRB Provinsi Gorontalo hanya berjumlah sebesar Rp. 3.141 miliar atau peringkat kedua terendah setelah Provinsi Papua Barat. Tetapi PDRB yang kecil ini diikuti oleh pertumbuhan yang relatif tinggi pula, tercatat pertumbuhan PDRB Gorontalo tahun 2006 – 2011 berada di atas 7 Persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan mencapai 7,68 persen atau rata-rata sebesar 7,62 persen. Pertumbuhan tinggi ini mengindikasikan perekonomian Gorontalo sedang bertumbuh pesat setelah dibentuk pada tahun 2000. Perlu diketahui bahwa investasi merupakan salah satu komponen penting pertumbuhan Gorontalo, hal ni tercatat dari besaran proporsi PMTB terhadap PDRB hampie mencapai 40 persen. Tingginya rasio ini pula yang menjadikan iklim investasi di Provinsi Gorontalo tergolong sangat baik (KPPOD, 2008).Sebagai daerah yang baru mekar, sudah seharusnya dilakukan pembangunan infrastruktur melalui PMTB untuk mendatangkan investasi dalam rangka pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi signifikan menaikkan PDRB Gorontalo, tercatat pada tahun 2006 sebesar Rp. 2.176 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 2.339 miliar, tahun 2008 sebesar 2.521, tahun 2009 sebesar 2.711 miliar, tahun 2010 sebesar Rp. 2.917 miliar, dan tahun 2011 sebesar 3.141 miliar. Sedangkan rasio PMTB terhadap PDRB pada tahun 2006 sebesar 36,90 persen, tahun 2007 sebesar 37,58 persen, tahun 2008 sebesar 36,96 persen, tahun 2009 sebesar 35,85 persen, tahun

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 15


2010 sebesar 35,07 persen, dan tahun 2011 sebesar 34,96 persen. Rasio pertumbuhannya cenderung menurun dari tahun ke tahun, tapi hal ini perlu diapresiasi komitmen Provinsi Gorontalo dalam menggenjot pembangunan daerah. Tabel 5.7 PDRB dan PMTB Provinsi Gorontalo Tahun 2006 – 2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PDRB (miliar rupiah) 2.176 2.339 2.521 2.711 2.917 3.141

Pert. PDRB (%) 7,30 7,49 7,78 7,54 7,60 7,68

PMTB (miliar rupiah) 803 879 925 972 1.023 1.098

% PMTB/PDRB 36,90 37,58 36,96 35,85 35,07 34,96

Pert. % PMTB/PDRB 1,84 -2,36 -2,28 -2,19 -0,32

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Perkembangan PDRB dan PMTB Provinsi Gorontalo memberi signal adanya hubungan positif korelasi PDRB dan PMTB.Hubungan korelasi positif ini tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB, tercatat pertumbuhan ini terus menurun dari tahun 2008 – 2011. Pada tahun 2007 tumbuh sebesar 1,84 persen, tahun 2008 tumbuh sebesar -2,36 persen, tahun 2009 tumbuh sebesar -2,28 persen, tahun 2009 tumbuh sebesar -2,19 persen, dan tahun 2011 masih tumbuh negatif sebesar -0,32 persen. Penurunan pertumbuhan yang terjadi ini menyebabkan secara akumulatif rasio PMTB terhadap PDRB pada dua periode insentif kebijakan perbaikan iklim investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah ini menurun. Rasio ini turun sebesar 1,77 atau tumbuh sebesar 4,78 persen yang semulanya pada periode I rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 37,06 persen menjadi 35,29 persen pada periode II, dengan rata – rata rasio sebesar 36,18 persen. Pasca dikeluarkannya kebijakan lewat Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Permendagri No 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, akumulasi PMTB Gorontalo pada periode I adalah sebesar Rp. 2.607 miliar kemudian naik menjadi Rp. 3.093 miliar dengan rasio turun sebesar 4,78 persen. Penurunan belum membawa dampak positif terhadap pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 36,18 persen. Tetapi uji korelasi membuktikan hubungan PDRB dan PMTB di Provinsi Gorontalo memiliki signifikansi hubungan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar 0.988. Tabel 5.8 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Gorontalo Tahun 2006 – 2011

One-Sample T Test Correlate Bivariate

Sig. (2-tailed) .153 .002*

Value t & Pearson -1.055 .988

Ket: *singnifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95 % Tercatat di dalam realisasi investasi PMDN dan PMA, dari tahun 2006 – 2009 tidak terdapat realisasi proyek ataupun nilai investasi PMDN dan PMA. Dari tahun 2006 – 2012 investasi di Gorontalo didominasi oleh investasi PMDN, akumulasi nilainya PMDN adalah sebesar Rp. 193,4 miliar dengan jumlah proyek sebanyak 8 unit. Sedangkan akumulasi nilai investasi PMA hanya sebesar US$ 48,8 juta dengan jumlah proyek sebanyak 37 unit. Investasi PMDN relatif besar dibanding PMA tetapi memiliki realisasi jumlah proyek yang relatif sedikit.Seperti yang terlihat pada gambar di bawah, realisasi investasi di Gorontalo baru dimulai pada tahun 2010. Artinya pada tahun 2010 ini baru saja dikeluarkan kebijakan Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dan penerapan SPIPISE di tahun 2010. Pada tahun ini investasi PMDN berjumlah sebesar Rp. 16,7 miliar dan investasi PMA berjumlah sebesar US$ 0,8 juta. Pada tahun 2011, realisasi investasi PMDN turun sebesar -29,34 persen dengan nilai sebesar Rp. 11,8 miliar, lain halnya dengan realisasi investasi PMA pada tahun ini mengalami peningkatan yang signifikan dengan pertumbuhan sebesar 1462,5 persen atau sebesar US$ 12,5 juta. Sedangkan pada tahun 2012, realisasi investasi PMDN dan PMA mengalami peningkatan, masing – masing PMDN tumbuh drastis sebesar 1297,56 persen atau sebesar Rp. 164,9 miliar. Pertumbuhan investasi PMDN yang tinggi ini memiliki selisih nilai sebesar Rp. 153,1 miliar. Begitu juga dengan realisasi investasi PMA juga

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 16


mengalami peningkatan sebesar 182,4 persen atau sebesar US$ 35,3 juta. Nilai investasi PMDN dan PMA terdapat pada tahun 2012.Jika dibagi dalam proporsi investasi daerah, investasi PMDN di Gorontalo tahun 2006 – 2012 sebesar 79,92 persen dan PMA sebesar 20,08 persen. Sedangkan dalam skala nasional, sumbangsih investasi di Gorontalo masih sangat relatif kecil dan hanya berkontribusi tidak sampai 0,1 persen dari total investasi nasional. Investasi PMDN di Gorontalo hanya menyumbang sebesar 0,056 persen dan PMA juga hanya menyumbang sebesar 12,24 persen. Gambar 5.22 Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Gorontalo tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yaitu investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Sehingga dari investasi yang ditanamkan pada kurun waktu tertentu dapat dilihat tingkat produktivitas dan efisiensi investasi tersebut.ICOR tahunan dihitung dengan lag 0 artinya investasi yang ditanam pada tahun tertentu akan menghasilkan nilai tambah pada tahun yang sama 6. Investasi yang dimaksud sudah mempertimbangkan perubahan inventori.Hasil perhitungan menunjukkan angka ICOR tahunan Gorontalo bervariasi menurut sektor dan subesktor.Dapat diamati nilai ICOR yang kecil pada sektor dan subsektor memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dibanding nilai ICOR yang besar. Artinya semakin kecil nilai ICOR maka semakin besar produktivitas dan efisiensi dari investasi yang ditanamkan, konsekuensinya adalah dengan tingkat investasi yang sama, nilai ICOR yang rendah memberikan informasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tidak membutuhkan investasi yang besar. Berdasarkan koesfisien ICOR dengan metode standar sektoral, nilai koefisien ICOR yang produktif berada pada Sektor Pertanian dan Sektor Jasa-Jasa. Koefisien ICOR yang bernilai negatif seperti yang terdapat pada Subsektor Tanaman Bahan Makanan, Tanaman Perkebunan, Pertambangan Bukan Migas, dan Angkutan Laut memiliki arti bahwa terdapat penambahan barang modal baru tetapi barang modal baru tersebut sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun sebelumnya. Dengan demikian penanaman modal baru tersebut belum menghasilkan output secara optimal atau bisa dikatakan investasi yang ditanamkan belum/tidak efisien pada tahun tersebut. Nilai ICOR sektor perekonomian Gorontalo yang relatif besar berarti investasi yang ditanamkan pada tahun tertentu juga relatif besar, sedangkan output yang dihasilkan lebih besar tetapi hampir sama atau relatif kecil dengan pada output tahun sebelumnya.Variasi dan fluktuasi nilai ICOR Gorontalo menggambarkan ketidakstabilan perekonomian yang ada dengan dominasi peran Sektor Pertanian dan Sektor Jasa-Jasa dalam menopang pertumbuhan perekonomian daerah.

6 Pada kenyataannya pertambahan output bukan hanya disebabkan oleh investasi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain di luar investasi seperti pemakaian tenaga kerja, penerapan teknologi dan kemampuan kewiraswastaan. Dengan demikian peranan faktorfaktor selain investasi diasumsikan konstan (ceteris paribus).

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 17


Tabel 5.9 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Gorontalo Tahun 2007 – 2011

1.

2.

3. 4.

5. 6.

7.

8.

9.

Sektor/ Sub Sektor (1) Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

2007 (2) 1,55 2,62 19,00 12,67 38,00 9,50 25,33 0,00

2008 (3) 0,79 1,24 23,00 5,75 46,00 5,11 23,00 0,00

2009 (4) 1,74 -23,50 6,71 4,27 47,00 4,27 11,75 0,00

2010 (5) 1,55 2,13 -3,92 4,64 17,00 6,38 17,00 0,00

2011 (6) 1,47 2,88 18,75 6,82 37,50 8,33 37,50 0,00

Rata-Rata (7) 1,42 -2,93 12,71 6,83 37,10 6,72 22,92 0,00

0,00 25,33 7,60 76,00 76,00 0,00 0,00 4,75 3,62 4,75 0,00 15,20 4,75 6,33 0,00 19,00 76,00 0,00 12,67 76,00 19,00 4,75

0,00 23,00 4,18 0,00 0,00 0,00 0,00 2,42 2,09 2,42 46,00 15,33 2,56 3,07 0,00 4,18 46,00 0,00 0,00 15,33 15,33 3,29

-47,00 11,75 6,71 47,00 47,00 0,00 0,00 1,57 1,57 2,04 0,00 7,83 2,04 2,35 0,00 3,62 -15,67 0,00 6,71 15,67 15,67 2,35

51,00 12,75 2,83 25,50 51,00 0,00 51,00 1,89 1,34 1,55 51,00 10,20 1,82 2,04 0,00 3,19 0,00 0,00 7,29 25,50 17,00 2,43

0,00 37,50 4,17 75,00 75,00 0,00 0,00 3,00 1,50 1,70 0,00 15,00 2,68 3,00 0,00 4,41 0,00 0,00 15,00 37,50 25,00 3,41

0,80 22,07 5,10 49,80 0,00 0,00 10,20 2,73 2,02 2,49 19,40 12,71 2,77 3,36 0,00 6,88 21,27 0,00 8,33 34,00 18,40 3,24

9,50 76,00 0,00 10,86 0,00 2,38 2,81 15,20 76,00 76,00 25,33 14,53

5,75 46,00 0,00 9,20 0,00 1,24 1,48 7,67 11,50 0,00 23,00 4,40

5,88 23,50 0,00 5,22 0,00 0,96 1,18 5,22 11,75 47,00 0,09 8,41

7,29 17,00 0,00 4,64 0,00 1,38 1,82 6,38 12,75 51,00 -0,10 6,19

6,82 25,00 0,00 8,33 75,00 2,88 3,75 10,71 25,00 0,00 25,00 14,62

7,05 37,50 0,00 7,65 15,00 1,77 2,21 9,04 27,40 34,80 14,66 9,63

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Sektor yang mengalami perubahan nilai ICOR yang besar dan bervariasi adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian, dalam rentang waktu ini menandankan pemerintah melakukan investasi yang besar terhadap sektor ini. Terbukti investasi di sektor ini belum produktif menghasilkan output yang lebih dari tahun ke tahun atau tidak bernilai efisien terhadap penambahan output. Namun, dalam rentang waktu tersebut dapat dilihat beberapa sektor yang mulai berkembang dan produktif dalam menghasilkan output, seperti Sektor Konstruksi, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran. Hanya saja perlu dilakukan peningkatan produktivitas di sektorsektor tersebut untuk menghasilkan investasi yang efisien dan efektif.Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pertumbuhan terhadap pembentukan modal yang ditanamkan. Pertumbuhan output merupakan nilai tambah bruto yang dihasilkan dari tahun ke tahun dengan periode-t lag 0 7. Jika dihitung dengan metode akumulasi, investasi yang ditanamkan di Provinsi Gorontalo dalam rentang waktu tahun 2007 – 2011 secara total mencapai 10,87. Hal ini menggambarkan untuk memperoleh satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan tambahan investasi sebesar 10,87 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas dari penggunaan barang modal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target yang ditentukan. 7

Artinya investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t akan memberikan tambahan output pada tahun t juga.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 18


Tebel 5.10 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Gorontalo Tahun 2007 - 2011

1.

2.

3. 4.

5. 6.

7.

8.

9.

Sektor/ Sub Sektor (1)

Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

ICOR (2)

1,35 2,59 73,75 6,28 32,78 6,56 21,07 0,00 0,00 19,67 4,61 59,00 73,75 0,00 295,00 2,52 1,83 2,19 147,50 12,29 2,61 3,04 0,00 4,84 -295,00 0,00 11,80 26,82 18,44 3,17 7,02 29,50 0,00 7,20 295,00 1,63 2,02 8,43 18,44 98,33 19,67 10,87

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan PMTB harga konstan. Dari tabel di atas dapat diketahui sektor yang memiliki nilai ICOR terkecil adalah SektorPertanian, yaitu sebesar 1,35. Artinya setiap penambahan Rp. 1 miliar output memerlukan investasi sebesar Rp. 1,35 miliar. Sektor berikutnya adalah Sektor Jasa-Jasa dengan nilai ICOR 1,63, dan diikuti Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran dengan nilai ICOR sebesar 1,83. Tingkat produktivitas ketiga sektor ini cukup tinggi karena sebagian besar komoditas di dua sektor ini memiliki proses produksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar inputnya adalah input antara (intermediate cost) yang habis dipakai kurang dari satu tahun, sedangkan sektor jasa memiliki perputaran modal yang relatif cepat. Kemudian secara berurutan Sektor Konstruksi juga memiliki tingkat produktivitas yang cukup tinggi di dalam modal yang ditanamkan, diikuti Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan.Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, dan Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih memiliki nilai ICOR yang relatif tinggi, hal ini dimungkinkan modal yang ditanamkan tidak bersifat jangka pendek atau barang modal tersebut belum berproduksi menghasilkan output. Sektor atau sub sektor yang memiliki nilai ICOR tinggi mencapai 295 seperti Subsektor Air Bersih dan Subsektor Jasa Perbankan, disebabkan nilai output yang dihasilkan relatif kecil dari jumlah modal yang ditanamkan. Penyebabnya adalah tidak adanya

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 19


pertumbuhan dan pertumbuhan negatif ditambah dengan tidak adanya perbaikan produksi menjadi penyebab tingginya nilai ICOR ini.Investasi yang ditanamkan tersebut belum efektif dan relatif kurang efisien.Secara keseluruhan relatif tingginya nilai ICOR dengan metode akumulasi karena tidak dilakukan penyesuaian akibat adanya nilai tambah yang fluktuatif, ini dilakukan untuk melihat keadaan nyata di lapangan secara akumulatif.Dalam rentang waktu ini, dimana telah dikeluarkan dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi, bisa dikatakan investasi yang ditanamkan di Provinsi Gorontalo belum produktif dengan nilai koefisien ICOR yang relatif tinggi di atas 3-4.Berdasarkan metode standar dan akumulasi terlihat banyak sektor dan subsektor yang tidak produktif dan tidak efisien. Gambar 5.23 Perkembangan ICOR Provinsi Gorontalo Tahun 2007 - 2011

Sumber: BPS, data diolah menggunakan data PMTB konstan. Secara rata-rata, melalui gambar di atas dapat dilihat perkembangan nilai ICOR Provinsi Gorontalo, walaupun demikian pada tahun 2010 setelah dikeluarkan kebijakan mengenai PTSP di bidang Penanaman Modal ICOR Gorontalo belum mencapai angka efisien, masih di atas 3, yaitu sebesar 6,19 dan kembali tidak efisien mencapai 14,62 pada tahun 2011. Meskipun pada tahun tersebut perekonomian Gorontalo mengalami pertumbuhan tertinggi mencapai 7,68 persen, inefisiensi tidak dapat dihindari sebesar 8,43 dari tahun sebelumnya. Nilai realisasi investasi yang relatif kecil dan tingginya nilai ICOR Provinsi Gorontalo menandakan terdapat permasalahan di dalam perekonomian daerah.Sebagai salah satu komponen di dalam pertumbuhan ekonomi, permasalahan iklim investasi di Gorontalo menjadi faktor di dalam peningkatan realisasi investasi dan pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah dengan meningkatkan produktivitas sektor dan subsektor perekonomian.Efisiensi investasi dalam pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif.Untuk menjawab permasalahan iklim investasi di Provinsi Gorontalo dapat diidentifikasi melalui faktor-faktor penentu daya tarik investasi. II.1.1

Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Gorontalo

Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui investasi yang didukung oleh produktivitas dan efisiensi yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Maka dengan memperbaiki iklim investasi merupakan hal yang wajib dilakukan oleh pemerintah, terutama bagi pemerintah daerah karena mengingat semenjak diterapkannya desentralisasi pembangunan di daerah bergantung kepada daerah itu sendiri. Pemerintah daerah harus dapat memberdayakan stakeholder yang terlibat di dalam bidang ini, karena perbaikan iklim investasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan seluruh lapisan pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat secara umum agar perekonomian di daerah dapat menciptakan daya saing, pertumbuhan, dan pemerataan. Maka, di dalam penentuan faktor daya tarik investasi ini digunakan data primer dengan melibatkan stakeholder terkait di dalam bidang investasi, yaitu aparatur pemerintah daerah (BAPPEDA dan BKPMD), Kadin Daerah, serta para akademisi setempat yang fokus dalam permasalahan ini. Berikut adalah hasil pengolahan yang diperoleh di lapangan, terutama permasalahan iklim investasi di Provinsi Gorontalo.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 20


Tabel 5.11 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Gorontalo Faktor-Faktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur Jumlah

Kelembagaan 1 0.917991103 2.863888538 1.301488569 3.941585013 10.02495322

Sosial Politik 1.0893352 1 1.6969176 0.8720532 2.9798029 7.6381089

Ekonomi Daerah 0.349175601 0.589303805 1 0.848750838 2.538294955 5.325525198

Tenaga Kerja 0.76835097 1.14671904 1.17820208 1 4.47135642 8.5646285

Infrastruktur 0.253705 0.3355927 0.3939652 0.2236458 1 2.2069087

Sumber: Hasil analisis. Pada matriks rata-rata geometris di atas digambarkan tingkat kepentingan setiap faktor/variabel terhadap faktor/varabel lainnya.Dari hasil penghitungan ditemukan bahwa Faktor Kelembagaan merupakan faktor penentu daya tarik investasi dibanding Faktor Sosial Politik dengan koefisien sebesar 1.0893. Sebaliknya dibanding Faktor Kelembagaan, Faktor Ekonomi Daerah, Faktor Tenaga Kerja, dan Faktor Infrastruktur lebih menjadi penentu dalam daya tarik investasi dengan nilai koefisien masing – masing sebesar 2.8639, 1.3015, dan 3.9416. Kemudian Faktor Ekonoi Daerah juga menjadi penentu dibanding Faktor Sosial Politik sebesar 1.6970 dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 1.1782. Dibanding seluruh faktor penentu, Faktor Infrastruktur menjadi faktor penentu paling dominan dibanding faktor – faktor yang lain, yaitu dengan Faktor Sosial Politik dengan koesfisien sebesar 2.9799, Faktor Ekonomi Daerah sebesar 2.5383, dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 4.4713. Selanjutnya, penghitungan yang di lakukan dengan matriks priority vector diperoleh bobot masing-masing faktor yang kemudian diketahui peringkat masing-masing faktor dalam menentukan daya tarik investasi di Provinsi Gorontalo. Tabel 5.12 Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Gorontalo FaktorFaktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur

0.0997511 0.0915706

Sosial Politik 0.1426184 0.1309225

Ekonomi Daerah 0.0655664 0.1106565

Tenaga Kerja 0.0897121 0.1338901

0.2856760

0.2221646

0.1877749

0.1298249 0.3931774

0.1141713 0.3901231

0.1593741 0.4766281

Kelembagaan

Infrastruktur

Jumlah

0.1149595 0.1520646

0.5126075 0.6191042

0.1375660

0.1785145

1.0116961

0.1167593 0.5220724

0.1013389 0.4531225

0.6214686 2.2351236

Sumber: Hasil analisis. Gambar 5.24 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Gorontalo (persen)

Penentu daya tarik investasi di Provinsi Gorontalo pada level pertama didominasi oleh Faktor Infrastruktur sebagai faktor yang yang paling penting diperhatikan di dalam melakukan perbaikan iklim investasi dengan porsi sebesar 40,70 persen. Di peringkat kedua adalah Faktor Ekonomi Daerah sebesar 20,23 persen. Selanjutnya Faktor Tenaga Kerja sebesar 12,43 persen, diikuti Faktor Sosial Politik sebesar 12,38 persen. Sedangkan Faktor Kelembagaan menjadi prioritas terakhir dalam penentu daya tarik investasi sebesar 10,25 persen. Faktor ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Gorontalo merupakan faktor daya tarik yang Sumber: Hasil analisis. paling penting bagi investor, keterjangkauan semua wilayah Gorontalo melalui jalan darat, serta infrastruktur pendukung lainnya seperti sarana telekomunikasi dan infrastruktur fisik lainnya. Untuk lebih rinci mengetahui faktor beserta variabel yang menjadi faktor penentu daya tarik investasi di Provinsi Gorontalo, berikut adalah tabel bobot level pertama dan kedua yang kemudian

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 21


menghasilkan bobot final faktor dan variabel yang kemudian dapat diperingkatkan dalam penentuan daya tarik investasi di Provinsi Gorontalo. Tabel 5.13 Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Gorontalo Level 1 Infrastruktur

0.447

Ekonomi Daerah

0.202

Tenaga Kerja

0.124

Sosial Politik

0.124

Kelembagaan

0.103

Level 2 Ketersediaan Infrastruktur Fisik Kualitas Infrastruktur Fisik Potensi Ekonomi Struktur Ekonomi Biaya Tenaga Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja Sosial Politik Keamanan Budaya Kepastian Hukum Keuangan Daerah Kinerja Aparatur Perda

0.500 0.500 0.775 0.225 0.166 0.407 0.427 0.301 0.589 0.110 0.326 0.138 0.359 0.177

Bobot Final 0.224 0.244 0.157 0.046 0.021 0.051 0.053 0.037 0.073 0.014 0.033 0.014 0.037 0.018

Sumber: Hasil analisis. Faktor Infrastruktur memiliki dua variabel, yaitu Ketersediaan Infrastruktur Fisik dan Kualitas Infrastruktur Fisik dengan bobot masing-masing 50 persen. Urutan kedua faktor level pertama, yaitu Faktor Ekonomi Daerah memiliki variable Potensi Ekonomi dengan bobot 77,5 persen dan Struktur Ekonomi dengan bobot 22,5 persen. Faktor Tenaga Kerja sebagai salah satu faktor produksi menduduki prioritas ketiga dengan variabel Biaya Tenaga Kerja dengan bobot 16,6 persen, variabel Ketersediaan Tenaga Kerja 40,7 persen, dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan bobot 42,7 persen. Faktor Sosial Politik menduduki prioritas keempat dengan variabel Sosial Politik dengan bobot 30,1 persen, variabel Keamanan dengan bobot 58,9 persen, dan variabel Budaya 11,0 persen. Sedangkan Faktor Kelembagaan dengan variabel Kepastian Hukum, Keuangan Daerah, Kinerja Aparatur, dan Perda masing-masing memiliki bobot sebesar 32,6 persen, 13,8 persen, 35,9 persen, dan 17,7 persen. Urutan bobot prioritas level pertama merupakan hal yang dianggap penting bagi stakeholder dalam penentu daya tarik investasi di Provinsi Gorontalo. Hal ini menjadi perlu diperhatikan mengingat relatif rendahnya nilai dan jumlah proyek investasi yang terealisasi, meskipun berdasarkan survey yang dilakukan KPPOD iklim investasi di Gorontalo tergolong paling baik (2008) dan dibuktikan dengan besarnya investasi yang ditanamkan oleh pemerintah melalui PMTB. Tetapi semua itu belum mampu mendongkrak realisasi PMDN dan PMA di Gorontalo, sehingga urutan ini dapat dikatakan merupakan permasalahan iklim investasi di Gorontalo yang harus segera diatasi jika ingin meningkatkan realisasi investasi. Gambar 5.25 Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Gorontalo

Sumber: Hasil analisis.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 22


Secara rinci, bobot final prioritas menggambarkan urutan prioritas dan permasalahan penentu daya tarik investasi di Provinsi Gorontalo. Variabel Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Fisik memiliki bobot tertinggi sebagai penentu daya tarik investasi dengan bobot masing – masing sebesar 22,4 persen. Diikuti variabel dengan bobot tertinggi kedua dan ketiga yaitu variabel Potensi Ekonomi dan Keamanan dengan bobot masing-masing bobot sebesar 15,7 persen dan 7,3 persen. Kemudian variabel Produktivitas dan Ketersediaan Tenaga Kerja sebagai peringkat keempat dan kelima dengan bobot masing – masing sebesar 5,3 persen dan 5,1 persen, sedangkan variabel Biaya Tenaga Kerja berada di peringkat 10 dengan bobot 2,1 persen. Kemudian secara berurutan variabel yang menjadi prioritas di dalam pemecahan permasalahan penentuan faktor daya tarik investasi di Gorontalo, yaitu Struktur Ekonomi, Sosial Politik, Kinerja Aparatur, Kepastian Hukum, Perda, Keuangan Daerah, variabel Budaya. Infrastruktur fisik sebagai prioritas pertama yang harus diselesaikan karena mengingat kondisi ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Gorontalo yang kurang memadai.Faktor konektivitas antar daerah merupakan hal yang vital bagi para investor dalam kelancaran mobilisasi kegiatan ekonomi dan efisiensi.Dari keseluruhan jalan sepanjang 4.475,28 KM (tahun 2011), 79 persen merupakan jalan Kab/kota, 11 persen jalan provinsi dan sisanya adalah jalan Negara.Kabuapaten Gorontalo memiliki jalan yang paling panjang mencapai 1.406 KM. Tabel 5.14 Panjang dan Kondisi Jalan Nasional dan Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Jalan Nasional (KM) Tahun

Baik

%

Sedang

%

Rusak

R. Berat

%

Total

2007

230.46

35.78

264.71

41.10

74.43

11.56

74.43

644.03

2008

222.6

36.12

318.03

51.61

39.92

6.48

35.69

616.24

2009

455.3

73.88

107.91

17.51

32.19

5.22

20.84

616.24

2010

491.48

81.01

75.59

12.46

19.32

3.18

20.31

606.7

2011

486.09

77.85

56.14

8.99

41.1

6.58

41.1

624.43

2012

153.87

25.35

278.91

45.94

91.41

15.06

82.91

607.1

Total

2039.8

54.91

1101.29

29.65

298.37

8.03

275.28

3714.74

Jalan Provinsi (KM) 2007

126.45

40.21

36.04

11.46

35.5

11.29

116.52

314.51

2008

121.34

37.30

35.5

10.91

34.75

10.68

133.71

325.3

2009

132.15

41.59

28.8

9.06

24.71

7.78

132.11

317.77

2010

138.1

44.53

28.25

9.11

16.45

5.30

127.36

310.16

2011

168.88

52.65

30.04

9.37

21.35

6.66

100.49

320.76

2012

171.61

56.35

21.33

7.00

35.58

11.68

76.05

304.57

Total

858.53

45.35

179.96

9.51

168.34

8.89

686.24

1893.07

Sumber : Dinas PU Provinsi Gorontalo Tabel 5.15 Panjang dan Kondisi Jalan Menurut Kabupaten/ Kota Provinsi Gorontalo Tahun 2011 Kabupaten/ Kota (1) Boalemo Gorontalo Pohuwato Bone Bolango Gorontalo Utara Kota Gorontalo Prov. Gorontalo

Aspal (2) 439,60 490,25 256,97 77,89 130,62 211,11 1.606,44

Tidak Aspal (3) 255,58 911,19 337,27 168,61 279,89 10,28 1.962,82

Lainnya (4)

14,40

5,45 8,95 -

Jumlah (5) 695,18 1.406,89 603,19 246,50 410,51 221,39 3.583,66

Sumber : Dinas PU Provinsi Gorontalo

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 23


Fasilitas pendukung transportasi udara adalah Bandar Udara Jalaluddin Gorontalo yang berlokasi di Kabupaten Gorontalo. Saat ini penerbangan Gorontalo hanya dilayani oleh lima maskapai penerbangan dan melayani 2 – 3 kali pemberangkatan setiap harinya. Sedangkan untuk transportasi laut terdapat dua pelabuhan laut untuk bongkar muat bahan dan peralatan, yaitu pelabuhan kapal fery di Kota Gorontalo dan Pelabuhan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara sebagai pelabuhan ekspor, pelabuhan ini merupakan pelabuhan nasional.Sedangkan pelabuhan lokal terdapat di Kabupaten Gorontalo Utara (Pelabuhan Kwandang), Kabupaten Boalemo (Pelabuhan Tilamuta), dan Kabupaten Pohuwato (Pelabuhan Paguat). Sedangkan untuk kondisi keamanan - seperti yang terlihat pada bobot prioritas final di atas sebagai variabel terbesar ketiga dalam menentukan daya tarik investasi di Gorontalo – Pada tahun 2010 tercatat jumlah kasus kejahatan yang dilaporan sebanyak 4.290 kasus yang sebagian besar terjadi di Kota Gorontalo (40,9%) dan Kabupaten Gorontalo (23,4%). Secara kelembagaan, fungsi PTSP di Provinsi Gorontalo melekat pada salah satu bidang di Badan Investasi Daerah (BID) yang dibentuk sejak tahun 2007 untuk melaksanakan fungsi investasi jasa. BID memiliki tugas dalam membuat kebijakan dan peraturan dalam rangka meningkatkan investasi; menyiapkan obyek investasi kompetitif; melakukan promosi; memudahkan investor; dan mengembangkan sumber daya manusia dalam investasi. Di kabupaten dan kota juga terdapat lembaga yang mengelola urusan investasi secara mandiri atau di bawah kantor dengan divisi investasi. Secara umum, urusan investasi berada di bawah Badan Perencanaan Kabupaten dan lembaga perdagangan seperti Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi di Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) di Gorontalo Utara. Seangkan fungsi Badan Investasi dan Pelayanan Perijinan di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato terdapat di Bagian Ekonomi Sekretaris Daerah. Sejalan dengan analisis yang dilakukan di atas, Pemerintah Gorontalo mengeluarkan kebijakan investasi pada tahun 2012 berdasarkan permasalahan investasi yang ada di Provinsi Gorontalo dengan menerapkan strategi sebagai berikut : (a) Menciptakan iklim investasi yang kondusif, dengan memperhatikan hal-hal seperti ketersediaan infrastruktur, reformasi regulasi bisnis, dan menjaga kondisi keamanan terutama terkait dengan investasi dan percepatan operasioalisasi dua pembangkit listrik batubara. Pemerintah Gorontalo telah memiliki peraturan daerah terkait kemudahan melakukan investasiyang mengatur fasilitasi dan insentif kepada para investor terkait dengan tanah dan izin pelepasan.Keamanan masih menjadi masalah yang menghambat karena masih padatnya agenda pemerintah dalam melakukan konsolidasi sosial politik dalam menjaga stabilitas keamanan, (b) Menyiapkan investasi yang kompetitif, langkah ini dilakukan dengan identifikasi dan membuat karakteristik obyek investasi serta studi kelayakan awal, dan (c) Melakukan promosi investasi daerah 8. II.2

Provinsi Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur adalah daerah yang memiliki iklim investasi realatif bagus (KPPOD, 2008), Provinsi Jawa Timur masih menjadi pilihan para investor untuk menanamkan modalnya dalam membuka usaha. Dibanding provinsi lain di Pulau Jawa, realisasi investasi di Provinsi Riau mendominasi sumbangan secara nasional setelah DKI Jakarta. Tren positif PMTB Jawa Timut dalam rentang waktu 2006 – 2011 memperlihatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penanaman modal di Provinsi Jawa Timur. Rata-rata pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur dalam waktu ini adalah sebesar 6,19 persen. Pertumbuhan positif ini ditandakan dengan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2006 berjumlah sebesar Rp. 271.798 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 288.404 miliar, tahun 2008 sebesar 305.539 miliar, tahun 2009 sebesar 320.861 miliar, tahun 2010 sebesar 342.281 miliar, dan pada tahun 2011 sebesar 366.984 miliar. Pertumbuhan terbesar berada pada tahun 2011 dengan pertumbuhan PDRB sebesar 7,22 persen. Nilai PDRB yang relatif besar di Jawa Timur ternyata tidak diiringi dengan besarnya investasi yang ditanamkan dalam pertumbuhan tersebut, artinya terdapat komponen selain investasi yang memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonoi Jawa 8

Pemerintah Provinsi Gorontalo. 2012. Profil dan Peluang Investasi Provinsi Gorontalo Tahun 2012.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 24


Timur.Peningkatan pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB relatif fluktuatif dan cenderung menurun. Rasio PMTB terhadap PDRB terkecil berada pada tahun 2010 dengan besar rasio sebesar 17,58. Rasio terbesar berada pada tahun 2011 dengan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 18,73 persen dengan pertumbuhan sebesar 7,22 persen. Peningkatan PMTB dan rasio PMTB terhadap PDRB Provinsi Jawa Timur memberi gambaran pengaruh positif perbaikan kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika dibandingkan angka total PMTB nasional, PMTB Jawa Timur rata - rata menyumbang sebesar 12,56 persen. Yaitu pada tahun 2006 sebesar 13.29 persen, tahun 2007 sebesar 12,75 persen, tahun 2008 sebesar 12,42 persen, tahun 2009 sebesar 12,39 persen, pada tahun 2010 sebesar 12,03 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 12,50 persen. Tren fluktuatif ini diikuti dengan persentase rasio PMTB terhadap PDRB. Tabel 5.16 PDRB dan PMTB Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 – 2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PDRB (miliar rupiah) 271.798 288.404 305.539 320.861 342.281 366.984

Pert. PDRB (%) 5,99 6,11 5,94 5,01 6,68 7,22

PMTB (miliar rupiah) 50.312 51.674 54.703 57.560 60.171 68.739

% PMTB/PDRB 18,51 17,92 17,90 17,94 17,58 18,73

Pert. % PMTB/PDRB -3,21 -0,08 0,20 -2,01 6,55

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Hubungan korelasi positif PDRB dan PMTB tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB, tercatat pertumbuhan ini terus menurun dari tahun 2007 –2010. Hanya pada tahun 2007 tumbuh positif sebesar 0,20 persen, tahun 2007 tumbuh sebesar -3,21 persen, tahun 2008 tumbuh sebesar -0,08 persen, tahun 2010 tumbuh sebesar -2,01 persen, dan tahun 2011 kembali tumbuh positif sebesar 6,55 persen. Perbaikan terjadi di tahun 2011 dengan pertumbuhan PDRB dan rasio PMTB terhadap PDRB yang tinggi. Penurunan pertumbuhan yang terjadi ini menyebabkan secara akumulatif rasio PMTB terhadap PDRB menurun, yaitu turun sebesar 0,03 atau tumbuh sebesar -0,17 persen yang semulanya sebesar 18,11 persen pada periode I menjadi 18,08 persen pada periode II, dengan rata – rata rasio sebesar 18,10 persen. Akumluasi PMTB Jawa Timur pada periode I adalah sebesar Rp. 156.689 miliar kemudian naik menjadi Rp. 186.470 miliar dengan rasio turun sebesar 0,17 persen. Penurunan ini tidak memberi dampak positif terhadap pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 18,10 persen. Tetapi uji korelasi membuktikan hubungan PDRB dan PMTB di Provinsi Jawa Timur memiliki signifikansi hubungan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar 0.994. Tabel 5.17 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 – 2011

One-Sample T Test Correlate Bivariate

Sig. (2-tailed) .066 .001*

Value t & Pearson -2.343 .994

Ket: *singnifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95 % Dalam realisasi investasi PMDN dan PMA, investasi di Provinsi Jawa Timur didominasi oleh investasi PMDN. Akumulasi nilai investasi PMDN Jawa Timur tahun 2006 – 2012 adalah sebesar Rp. 48.603 miliar dengan jumlah proyek sebanyak 657 unit.Sedangkan akumulasi nilai investasi PMA tahun 2006 – 2012 adalah sebesar US$ 8.333 juta dengan jumlah proyek sebanyak 977 unit.Investasi PMDN relatif besar dibanding PMA tetapi memiliki realisasi jumlah proyek yang relatif sedikit. Pada tahun 2006 investasi PMDN berjumlah sebesar Rp. 517,4 miliar dan investasi PMA berjumlah sebesar US$ 384,3 juta. Pada tahun 2007, investasi PMDN tumbuh sebesar 233,34 persen dengan nilai Rp. 1.724,7 miliar dan investasi PMA juga tumbuh sebesar 339,66 persen dengan nilai US$ 1689,6 juta. Realisasi Investasi PMA pada tahun 2008 tidak sebesar pada tahun sebelumnya, realisasi PMA sebesar US$ 457,1 juta atau tumbuh sebesar -72,95 persen. Sedangkan realisasi PMDN tumbuh sebesar 61,09 persen atau sebesar Rp. 4.290,7 miliar. Pada tahun 2009 realisasi investasi PMA kembali tumbuh negatif, yaitu sebesar -7,66 persen atau sebesar US$ 422,1 juta, PMDN tumbuh sebesar 54,44 persen atau dengan realisasi sebesar Rp. 4.290,7 miliar. Pada tahun 2010 PMDN dan PMA tumbuh positif

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 25


dengan realisasi nilai investasi PMDN sebesar Rp. 8.084,1 miliar atau tumbuh sebesar 88,41 persen, dan realisasi investasi PMA sebesar US$ 1.769,2 juta atau tumbuh drastis sebesar 319,14 persen. Tahun 2011 realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 9.687,5 miliar atau tumbuh sebesar 19,83 persen, sedangkan realisasi investasi PMA kembali tumbuh negatif sebesar -25,84 persen atau sebesar US$ 1.312 juta. Investasi PMDN pada tahun 2012 terus tumbuh positif sebesar 122,15 persen dengan nilai Rp. 21.520,3 miliar dan investasi PMA tumbuh sebesar 75,21 persen atau dengan nilai sebesar US$ 2.298,8 juta. Nilai investasi PMDN dan PMA paling besar terdapat pada tahun 2012. Jika dibagi dalam proporsi investasi daerah, investasi PMDN di Jawa Timur tahun 2006 – 2012 sebesar 85,36 persen dan PMA hanya sebesar 14,64 persen. Sedangkan dalam skala nasional, investasi PMDN dan PMA Pronvinsi Jawa Timur menyumbang nilai investasi PMDN sebesar 14,19 persen dan investasi PMA sebesar 8,15 persen. Gambar 5.26 Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Jawa Timur Tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM Untuk melihat efisiensi investasi yang ditanamkan, hasil perhitungan menunjukkan angka ICOR tahunan Jawa Timur bervariasi menurut sektor dan subesktor. Dapat diamati nilai ICOR yang kecil pada sektor dan subsektor memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dibanding nilai ICOR yang besar. Artinya semakin kecil nilai ICOR maka semakin besar produktivitas dan efisiensi dari investasi yang ditanamkan, konsekuensinya adalah dengan tingkat investasi yang sama, nilai ICOR yang rendah memberikan informasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tidak membutuhkan investasi yang besar. Berdasarkan koesfisien ICOR dengan metode standar sektoral, dua sektor dengan nilai koefisien ICOR yang produktif berada pada Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Keuangan, dan Sektor Jasa-Jasa. Koefisien ICOR yang bernilai negatif seperti yang terdapat pada Sektor Pertanian, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor yang lain memiliki arti bahwa terdapat penambahan barang modal baru tetapi barang modal baru tersebut sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun sebelumnya. Dengan demikian penanaman modal baru tersebut belum menghasilkan output secara optimal atau bisa dikatakan investasi yang ditanamkan belum/tidak efisien pada tahun tersebut. Nilai ICOR sektor perekonomian Jawa Timur yang relatif besar berarti investasi yang ditanamkan pada tahun tertentu juga relatif besar, sedangkan output yang dihasilkan lebih besar tetapi hampir sama atau relatif kecil dengan pada output tahun sebelumnya. Variasi dan fluktuasi nilai ICOR Jawa Timur menggambarkan ketidakstabilan perekonomian yang ada, dalam rentang waktu tersebut hanya Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Sektor Industri Pengolahan yang memiliki nilai efisiensi investasi yang ditanamakan. Kedua sektor ini juga memiliki nilai output terbesar dibanding sektor perekonomian yang lain dalam menopang pertumbuhan perekonomian daerah Jawa Timur.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 26


Tabel 5.18 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 – 2011

1.

2.

3. 4.

5. 6.

7.

8.

9.

Sektor/ Sub Sektor (1) Pertanian f. Tanaman Bahan Makanan g. Tanaman Perkebunan h. Peternakan dan Hasil-hasilnya i. Kehutanan j. Perikanan Pertambangan dan Penggalian d. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi e. Pertambangan Bukan Migas f. Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih d. Listrik e. Gas Kota f. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran d. Perdagangan Besar & Eceran e. Hotel f. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi c. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan d. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan f. Bank g. Lembaga Keuangan Bukan Bank h. Jasa Penunjang Keuangan i. Real Estate j. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa c. Pemerintahan Umum d. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

2007 (2) 0,93 3,20 5,22 3,02 104,77 4,42 2,39 6,52

2008 (3) 15,78 7,42 -1,90 18,25 19,17 2,45 4,89 18,25

2009 (4) 1,38 2,87 9,19 8,17 -317,44 10,70 6,21 10,90

2010 (5) 2,33 5,73 39,56 9,26 29,34 11,45 4,00 7,75

2011 (6) 6,60 15,81 39,12 23,67 190,40 65,40 18,15 51,93

Rata-Rata (7) 5,40 7,01 18,24 12,58 5,25 18,89 7,13 19,01

56,75 4,17 0,40 2,50 -5,80 4,27 123,82 12,38 0,20 0,23 61,91 1,46 1,13 2,56 113,50 14,34 10,24 194,57 26,71 5,82 2,02 1,18

28,85 8,65 0,62 -3,33 -5,90 -4,27 0,31 4,05 1,29 1,31 18,58 -9,71 0,88 -7,26 -72,12 -4,76 -72,12 121,12 126,21 11,83 0,78 1,73

84,03 17,42 1,26 24,63 75,18 285,70 6,79 6,79 0,56 0,68 17,42 3,24 1,09 3,62 357,13 25,06 86,58 -54,94 6,74 10,95 1,56 3,26

40,17 10,44 0,73 9,33 11,71 153,59 3,81 3,81 0,25 0,31 7,35 1,86 1,14 2,98 124,33 16,02 326,38 -81,59 8,32 6,46 1,84 2,07

168,00 33,47 1,63 29,54 26,04 11,19 -0,80 8,55 0,82 1,04 30,82 4,56 2,99 8,01 504,00 46,82 115,78 4284,00 21,75 21,53 4,76 5,61

75,56 14,83 0,93 12,53 20,25 90,10 26,79 7,12 0,63 0,71 27,22 0,28 1,44 1,98 205,37 19,50 93,37 892,64 37,94 11,32 2,19 2,77

5,56 9,02 0,00 2,77 5,14 1,05 3,04 1,61 9,46 22,70 2,12 2,46

6,09 15,00 0,00 3,74 12,26 0,68 -2,20 0,52 10,23 16,83 0,56 2,95

11,29 20,26 0,00 8,82 18,08 1,78 4,93 2,80 17,11 46,08 3,61 5,22

7,42 9,29 0,00 6,07 12,93 2,05 13,89 2,40 15,92 20.89 3,27 2,86

18,91 24,76 0,00 14,45 63,94 5,50 23,67 7,16 75,16 44,86 9,61 8,82

9,86 15,67 0,00 7,17 22,47 2,21 8,67 2,90 25,58 30,27 3,83 4,46

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Sektor yang mengalami perubahan nilai ICOR yang besar dan bervariasi adalah Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, dalam rentang waktu ini menandankan pemerintah melakukan investasi yang besar terhadap sektor ini. Terbukti investasi di sektor ini belum produktif menghasilkan output yang lebih dari tahun ke tahun atau tidak bernilai efisiensi terhadap penambahan output. Sektor Pertanian Jawa Timur juga tidak menghasilkan nilai output yang efisien. Sektor primer ini tidak lagi menjadi andalan Jawa Timur, pergeseran struktur perekonomian Jawa Timur beralih kepada sektor sekunder dan tersier. Sektor-sektor seperti Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Jasa-Jasa, dan Sektor Keuangan telah memperlihatkan efektifitas investasi yang ditanamkan terhadap output yang dihasilkan. Hanya saja perlu dilakukan peningkatan produktivitas agar variasi nilai ICOR tetap terjaga.Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pertumbuhan terhadap pembentukan modal yang ditanamkan. Pertumbuhan output merupakan nilai tambah bruto yang dihasilkan dari tahun ke tahun dengan periode-t lag 0. Jika dihitung dengan metode akumulasi, investasi yang ditanamkan di Provinsi Jawa Timur dalam rentang waktu tahun 2007 – 2011 secara total mencapai 8,96. Hal ini menggambarkan untuk memperoleh satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan tambahan investasi sebesar 8,96 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas dari penggunaan barang modal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target yang ditentukan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 27


Tebel 5.19 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 - 2011 Sektor/ Sub Sektor (1)

10. Pertanian f. Tanaman Bahan Makanan g. Tanaman Perkebunan h. Peternakan dan Hasil-hasilnya i. Kehutanan j. Perikanan 11. Pertambangan dan Penggalian d. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi e. Pertambangan Bukan Migas f. Penggalian 12. Industri Pengolahan 13. Listrik, Gas, dan Air Bersih d. Listrik e. Gas Kota f. Air Bersih 14. Konstruksi 15. Perdagangan, Hotel, dan Restoran d. Perdagangan Besar & Eceran e. Hotel f. Restoran 16. Pengangkutan dan Komunikasi c. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan d. Komunikasi 17. Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan f. Bank g. Lembaga Keuangan Bukan Bank h. Jasa Penunjang Keuangan i. Real Estate j. Jasa Perusahaan 18. Jasa-Jasa c. Pemerintahan Umum d. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

ICOR (2)

3,00 6,52 -24,94 11,60 62,25 8,50 6,64 16,05 66,05 13,68 0,95 57,23 -116,63 45,84 239,31 6,21 0,53 0,63 18,76 3,85 1,48 6,47 1151,69 -224,72 89,45 -368,54 15,27 11,87 1,92 2,80 10,24 16,44 0,00 6,96 18,32 1,81 90,77 1,84 20,82 29,82 2,17 8,96

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan PMTB harga konstan. Dari tabel di atas dapat diketahui sektor yang memiliki nilai ICOR terkecil adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, yaitu sebesar 0,53. Artinya setiap penambahan Rp. 1 miliar output memerlukan investasi sebesar Rp. 0,53 miliar. Tingkat produktivitas sektor ini relatif tinggi karena sebagian besar komoditas memiliki proses produksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar inputnya adalah input antara (intermediate cost) yang habis dipakai kurang dari satu tahun, Sektor berikutnya adalah Sektor Industri Pengolahan dengan nilai ICOR 0,95, dan diikuti Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dengan nilai ICOR sebesar 1,48. Sedangkan Sektor Jasa-Jasa yang memiliki perputaran modal yang relatif cepat juga memiliki nilai ICOR relatif efektif, yaitu sebesar 1,81. Kemudian secara berurutan Sektor Keuangan juga memiliki tingkat produktivitas yang cukup tinggi di dalam modal yang ditanamkan, diikuti Sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan dan Penggalian. Sedangkan Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih memiliki nilai ICOR yang relatif tinggi, hal ini dimungkinkan modal yang ditanamkan tidak bersifat jangka pendek atau barang modal tersebut belum berproduksi menghasilkan output. Sektor atau subsektor yang memiliki nilai ICOR tinggi atau negatif seperti Subsektor Tanaman Perkebunan, Subsektor Listrik, Subsektor Angkutan Jalan Raya, dan Subsektor Angkutan SDP disebabkan nilai output yang dihasilkan relatif kecil dari jumlah modal yang ditanamkan. Penyebabnya adalah tidak

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 28


adanya pertumbuhan dan pertumbuhan negatif ditambah dengan tidak adanya perbaikan produksi menjadi penyebab tingginya nilai ICOR ini.Investasi yang ditanamkan tersebut belum efektif dan relatif kurang efisien.Secara keseluruhan relatif tingginya nilai ICOR dengan metode akumulasi karena tidak dilakukan penyesuaian akibat adanya nilai tambah yang fluktuatif, ini dilakukan untuk melihat keadaan nyata di lapangan secara akumulatif. Dalam rentang waktu ini, dimana telah dikeluarkan dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi, bisa dikatakan investasi yang ditanamkan di Provinsi Jawa Timur belum produktif dengan nilai koefisien ICOR yang relatif tinggi dengan rata-rata sebesar 4,46. Berdasarkan metode standar dan akumulasi terlihat banyak sektor dan subsektor yang tidak produktif dan tidak efisien. Gambar 5.24 Perkembangan ICOR Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 - 2011

Sumber: BPS, data diolah menggunakan data PMTB konstan. Melalui gambar di atas dapat dilihat perkembangan nilai ICOR Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2010 setelah dikeluarkan kebijakan mengenai PTSP di bidang Penanaman Modal ICOR Jawa Timur mencapai angka efisien sebesar 2,86. Sebelumnya pada tahun 2007 setelah dikeluarkan kebijakan PTSP, nilai ICOR Jawa Timur juga bernilai efisien sebesar 2,46. Namun, tahun 2011 angka ICOR naik drastis menjadi 8,82, terjadi inefisiensi di dalam perekonomian Jawa Timur. Inefesiensi ini disebabkan oleh tidak produktifnya hampr semua sektor perekonomian pada tahun tersebut, yaitu Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, Sektor Konstruksi, Sektor Keuangan, dan Sektor Jasa. Meskipun pada tahun tersebut perekonomian Jawa Timur mengalami pertumbuhan tertinggi mencapai 7,22 persen, inefisiensi tidak dapat dihindari sebesar 8,43 dari tahun sebelumnya.Pada tahun itu diikuti pertumbuhan negatif realisasi investasi PMA di Jawa Timur. II.2.1

Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Jawa Timur

Dalam rangka pemecahan masalah rendahnya realisasi investasi di daerah, pemerintah daerah harus dapat memperbaiki kondisi iklim investasi dengan memberdayakan seluruh stakeholder yang terlibat di dalam bidang tersebut, perbaikan iklim investasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan seluruh lapisan pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat secara umum agar perekonomian di daerah dapat menciptakan daya saing, pertumbuhan, dan pemerataan. Maka, di dalam penentuan faktor daya tarik investasi ini digunakan data primer dengan melibatkan stakeholder terkait di dalam bidang investasi, yaitu aparatur pemerintah daerah (BAPPEDA dan BKPMD), Kadin Daerah, serta para akademisi setempat yang fokus dalam permasalahan ini. Berikut adalah hasil pengolahan yang diperoleh di lapangan, terutama permasalahan iklim investasi di Provinsi Jawa Timur. Tabel 5.20 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Jawa Timur Faktor-Faktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi

Kelembagaan 1 0.47238154 1.20093696

Sosial Politik 2.11693286 1 1.30766049

Ekonomi Daerah 0.83268318 0.76472449 1

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

Tenaga Kerja 1.69838133 1.10292357 1.61887041

Infrastruktur 0.39789325 0.34154131 0.50131409

V- 29


Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur Jumlah

0.58879592 2.51323688 5.77535129

0.90668114 2.92790350 8.25917799

0.61771467 1.99475743 5.20987977

1 2.03964890 7.45982421

0.49028046 1 2.73102911

Sumber: Hasil analisis. Pada matriks rata-rata geometris di atas digambarkan tingkat kepentingan setiap faktor/variabel terhadap faktor/varabel lainnya.Dari hasil penghitungan ditemukan bahwa Faktor Tenaga Kerja merupakan faktor paling lemah dibanding faktor-faktor lainnya.Para setakeholders tidak memandang urgensi tenaga kerja dalam perbaikan iklim investasi di Jawa Timur. Faktor-faktor yang menjadi prioritas antara lain, Faktor Kelembagaan menjadi penentu daya tarik investasi dibanding Faktor Sosial Politik dan Tenaga Kerja dengan koefisien masing-masing sebesar 2.1169 dan 1.6984. Faktor Sosial Politik hanya menjadi penting untuk diprioritas dibanding Faktor Tenaga Kerja dengan koesfisien sebesar 1.1029.Sedangkan Faktor Ekonomi Daerah dan Faktor Infrastruktur lebih diprioritaskan dari Faktor Sosial Politik sebesar 1.3077 dan 2.9279.Di samping itu Faktor Ekonoi Daerah juga menjadi penentu daya tarik investasi dibanding Faktor Kelembagaan sebesar 1.2009 dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 1.6189. Faktor Infrastruktur menjadi faktor penentu paling dominan dibanding faktor – faktor yang lain, yaitu dengan Faktor Kelembagaan sebesar 2.5133, Faktor Sosial Politik dengan koesfisien sebesar 2.9279, Faktor Ekonomi Daerah sebesar 1.9947, dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 2.0396. Selanjutnya, penghitungan yang di lakukan dengan matriks priority vector diperoleh bobot masingmasing faktor yang kemudian diketahui peringkat masing-masing faktor dalam menentukan daya tarik investasi di Provinsi Jawa Timur. Tabel 5.21 Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Jawa Timur FaktorFaktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur

0.173149641 0.081792693

Sosial Politik 0.256312779 0.121077425

Ekonomi Daerah 0.159827715 0.14678352

Tenaga Kerja 0.22767042 0.14784847

0.207941802

0.158328164

0.191943009

0.101949802 0.435166062

0.109778617 0.354503015

0.118566013 0.382879744

Kelembagaan

Infrastruktur

Jumlah

0.145693524 0.125059565

0.96265408 0.62256167

0.21701187

0.183562337

0.95878718

0.13405142 0.27341782

0.179522238 0.366162336

0.64386809 1.81212898

Sumber: Hasil analisis. Gambar 5.28 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Jawa Timur

Penentu daya tarik investasi di Provinsi Jawa Timur pada level pertama didominasi oleh Faktor Infrastruktur sebagai faktor yang yang paling penting diperhatikan di dalam melakukan perbaikan iklim investasi dengan porsi sebesar 36,2 persen. Di peringkat kedua adalah Faktor Kelembagaan sebesar 19,3 persen. Selanjutnya Faktor Ekonomi Daerah sebesar 19,2 persen, diikuti Faktor Tenaga Kerja sebesar 12,9 persen. Sedangkan

Faktor Sosial Politik menjadi prioritas terakhir dalam penentu daya tarik investasi di Jawa Timur dengan bobot prioritas sebesar 12,5 persen. Faktor ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Jawa Timur merupakan faktor daya tarik yang paling penting bagi investor, keterjangkauan semua wilayah Jawa Timur melalui jalan darat, serta infrastruktur pendukung lainnya seperti sarana telekomunikasi dan infrastruktur fisik lainnya. Faktor Kelembagaan termasuk hal yang harus dibenahi dalam memperbaiki iklim investasi di Jawa Timur, seperti permasalahan kepastian hukum, kinerja aparatur, dan peraturan daerah. Sumber: Hasil analisis.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 30


Tabel 5.22 Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Jawa Timur Level 1 Infrastruktur

0.362

Kelembagaan

0.193

Ekonomi Daerah

0.192

Tenaga Kerja

0.129

Sosial Politik

0.125

Level 2 Ketersediaan Infrastruktur Fisik Kualitas Infrastruktur Fisik Kepastian Hukum Keuangan Daerah Kinerja Aparatur Perda Potensi Ekonomi Struktur Ekonomi Biaya Tenaga Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja Sosial Politik Keamanan Budaya

0.734 0.266 0.328 0.134 0.284 0.253 0.717 0.283 0.393 0.171 0.436 0.242 0.609 0.149

Bobot Final 0.266 0.096 0.063 0.026 0.055 0.049 0.137 0.054 0.051 0.022 0.056 0.030 0.076 0.019

Sumber: Hasil analisis. Sebagai faktor yang dominan, Variabel Ketersediaan Infrastruktur Fisik dan Kualitas Infrastruktur Fisik memiliki bobot masing-masing sebesar 73,4 persen dan 26,6 persen. Urutan kedua faktor level pertama, yaitu Faktor Kelembagaan yang terdiri atas variabel Kepastian Hukum, Keuangan Daerah, Kinerja Aparatur, dan Perda masing-masing memiliki bobot sebesar 32,8 persen, 13,4 persen, 28,4 persen, dan 25,3 persen. Selanjutnya Faktor Ekonomi Daerah memiliki variabel Potensi Ekonomi dengan bobot 71,7 persen dan Struktur Ekonomi dengan bobot 28,3 persen. Faktor Tenaga Kerja sebagai salah satu faktor produksi menduduki prioritas keempat dengan variabel Biaya Tenaga Kerja dengan bobot 39,3 persen, variabel Ketersediaan Tenaga Kerja 17,1 persen, dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan bobot 43,6 persen. Sedangkan Faktor Sosial Politik yang terdiri atas variabel Sosial Politik dengan bobot 24,2 persen, variabel Keamanan dengan bobot 60,9 persen, dan variabel Budaya sebesar 14,9 persen. Gambar 5.29 Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Jawa Timur

Sumber: Hasil analisis. Secara rinci, bobot final prioritas menggambarkan urutan prioritas dan permasalahan penentu daya tarik investasi di Provinsi Jawa Timur. Variabel Ketersediaan Infrastruktur memiliki bobot tertinggi sebagai penentu daya tarik investasi dengan bobot sebesar 26,6 persen. Kemudian diurutan kedua variabel Potensi Ekonomi menjadi penentu daya tarik investasi dengan bobot 12,8 persen. Selanjutnya, variabel yang memiliki bobot tertinggi ketiga dan keempat adalah variabel Kualitas Infrastruktur dan Keamanan dengan bobot masing-masing sebesar 9,6 persen dan 7,6 persen. Kemudian variabel Kepastian Hukum dan Produktivitas berada diurutan kelima dan keenam dengan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 31


bobot masing – masing sebesar 7,6 persen dan 6,3 persen, sedangkan variabel Biaya Tenaga Kerja dan Ketersediaan Tenaga Kerja berada di urutan sembilan dan tiga belas dengan bobot sebesar 5,1 dan 2,2 persen. Kemudian secara berurutan variabel yang menjadi prioritas di dalam pemecahan permasalahan penentuan faktor daya tarik investasi di Jawa Timur, yaitu Kinerja Aparatur, Struktur Ekonomi, Perda, Sosial Politik, Keuangan Daerah, dan Budaya. II.3

Provinsi Riau

Dibanding provinsi lain di Pulau Sumatera, realisasi investasi di Provinsi Riau mendominasi sumbangan secara nasional. Tren positif PMTB Riau dalam rentang waktu 2006 – 2011 memperlihatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penanaman modal di Provinsi Riau. Rata-rata pertumbuhan PDRB Provinsi Riau dalam waktu ini adalah sebesar 5,55 persen. Pertumbuhan positif ini ditandai dengan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2006 sebesar Rp. 83.371 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 86.213 miliar, tahun 2008 sebesar 91.085 miliar, tahun 2009 sebesar 93.786 miliar, tahun 2010 sebesar 97.707 miliar, dan pada tahun 2011 sebesar 102.606 miliar. Pertumbuhan terbesar berada pada tahun 2008 dengan pertumbuhan PDRB sebesar 5,65 persen. Nilai PDRB yang relatif besar di Riau tidak lepas dengan besarnya investasi yang ditanamkan dalam pertumbuhan tersebut.Peningkatan pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB diiringi dengan pengingkatan output. Rasio PMTB terhadap PDRB terkecil berada pada tahun 2007 dengan pertumbuhan sebesar 2,97 persen dan rasio pada sebesar 24,32 persen, kemudian terus bertambah hingga 2011. Rasio terbesar berada pada tahun 2009 dengan pertumbuhan sebesar 5,88 persen dan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 26,74 persen. Peningkatan PMTB dan rasio PMTB terhadap PDRB Provinsi Riau memberi gambaran pengaruh positif perbaikan kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi angka tersebut belum memuaskan, jika dibandingkan angka total PMTB nasional, PMTB Riau hanya menyumbang sebesar 5,30 persen. Yaitu pada tahun 2006 sebesar 5,20 persen, tahun 2007 sebesar 5,17 persen, tahun 2008 sebesar 5,22 persen, tahun 2009 sebesar 5,40 persen, pada tahun 2010 sebesar 5,43 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 5,36 persen. Trennya terus naik, tapi perlu adanya perbaikan untuk meningkatkan kuantitas. Tabel 5.23 PDRB dan PMTB Provinsi Riau Tahun 2006 – 2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PDRB (miliar rupiah) 83.371 86.213 91.085 93.786 97.707 102.606

Pert. PDRB (%) 5,15 3,41 5,65 2,97 4,18 5,01

PMTB (miliar rupiah) 19.689 20.964 23.002 25.077 27.188 29.465

% PMTB/PDRB 23,62 24,32 25,25 26,74 27,83 28,72

Pert. % PMTB/PDRB 2,97 3,85 5,88 4,07 3,20

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Rasio PMTB terhadap PDRB mengalami peningkatan dari periode I ke periode II - dikeluarkannya dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi - dengan rata – rata rasio sebesar 26,08 persen. Pasca dikeluarkannya kebijakan lewat Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Permendagri No 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, akumulasi PMTB Riau pada periode I adalah sebesar Rp. 63.655 miliar atau sebesar 24,40 persen terhadap PDRB kemudian naik menjadi Rp. 81.730 miliar atau dengan rasio sebesar 27,76 persen terhadap PDRB. Peningkatan yang terjadi antara dua periode ini membawa dampak positif terhadap pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 26,08 persen (signifikansi .030). Dampak positif ini diperkuat dengan uji korelasi antara PDRB dan PMTB di Provinsi Riau artinya pertumbuhan ekonomi di Riau berkorelasi dengan pertumbuhan investasi PMTB Riau yang ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar 0.995.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 32


Tabel 5.24 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Riau Tahun 2006 – 2011

One-Sample T Test Correlate Bivariate

Sig. (2-tailed)* .030 .000

Value t & Pearson 2.990 .995

Ket: *singnifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95 % Insentif kebijakan yang dikeluarkan relatif efektif jika memperhatikan peningkatan output dan rasio PMTB terhadap PDRB. PTSP di Provinsi Riau juga telah menerapkan SPIPISE pada tahun 2010. Dalam realisasi investasi PMDN dan PMA, investasi di Provinsi Riau didominasi oleh investasi PMDN.Akumulasi nilai investasi PMDN Riau tahun 2006 – 2012 adalah sebesar Rp. 24.899 miliar dengan jumlah proyek sebanyak 192 unit.Sedangkan akumulasi nilai investasi PMA tahun 2006 – 2012 adalah sebesar US$ 3.473 juta dengan jumlah proyek sebanyak 224 unit.Investasi PMDN relatif besar dibanding PMA tetapi memiliki realisasi jumlah proyek yang relatif sedikit.Pada tahun 2006 investasi PMDN berjumlah sebesar Rp. 2.500 miliar dan investasi PMA berjumlah sebesar US$ 585 juta. Pada tahun 2007, investasi PMDN tumbuh sebesar 23,72 persen dengan nilai Rp. 724 miliar dan investasi PMA juga tumbuh sebesar 23,77 persen dengan nilai US$ 3095 juta. Realisasi Investasi PMDN dan PMA pada tahun 2008 tidak sebesar pada tahun sebelumnya, realisasi PMA sebesar US$ 460 juta atau tumbuh sebesar -36,34 persen. Sedangkan realisasi PMDN juga hanya sebesar Rp. 1.966 miliar atau tumbuh sebesar -36,46 persen. Pada tahun 2009 realisasi investasi kembali tumbuh, PMDN tumbuh sebesar 72,16 persen atau dengan realisasi sebesar Rp. 3.386 miliar, sedangkan realisasi PMA sebesar US$ 251 juta atau tumbuh sebesar -45,41 persen. Pada tahun 2010 PMDN dan PMA tumbuh negatif dengan realisasi nilai investasi PMDN sebesar Rp. 1.037 miliar atau tumbuh sebesar -69,37 persen, dan realisasi investasi PMA sebesar US$ 86 juta atau tumbuh sebesar -65,58 persen. Tahun 2011 realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 7.462 miliar atau tumbuh sebesar 619,56 persen, realisasi investasi PMA sebesar US$ 212 juta atau tumbuh sebesar 145.15 persen. Investasi PMDN pada tahun 2012 kembali tumbuh negatif sebesar -26,96 persen dengan nilai Rp. 5.450 miliar dan investasi PMA tumbuh sebesar 443 persen atau dengan nilai sebesar US$ 1.152 juta. Nilai investasi PMA paling besar terdapat pada tahun 2012, sedangkan PMDN terdapat pada tahun 2011. Jika dibagi dalam proporsi investasi daerah, investasi PMDN di Riau tahun 2006 – 2012 adalah sebesar 87,76 persen dan PMA hanya sebesar 12,24 persen. Sedangkan dalam skala nasional, investasi PMDN dan PMA Pronvinsi Riau menyumbang nilai yang relatif kecil, yaitu investasi PMDN sebesar 7,27 persen dan investasi PMA sebesar 3,43 persen. Kurangnya minat para investor asing memberi gambaran masih relatif belum baiknya iklim investasi di Provinsi Riau. Gambar 5.30 Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Riau tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yaitu investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Sehingga dari investasi yang ditanamkan pada kurun waktu tertentu dapat dilihat tingkat produktivitas dan efisiensi investasi tersebut.ICOR tahunan dihitung dengan lag 0 artinya investasi yang ditanam pada tahun tertentu akan menghasilkan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 33


nilai tambah pada tahun yang sama. Investasi yang dimaksud sudah mempertimbangkan perubahan inventori.Hasil perhitungan menunjukkan angka ICOR tahunan Riau bervariasi menurut sektor dan subesktor.Dapat diamati nilai ICOR yang kecil pada sektor dan subsektor memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dibanding nilai ICOR yang besar. Artinya semakin kecil nilai ICOR maka semakin besar produktivitas dan efisiensi dari investasi yang ditanamkan, konsekuensinya adalah dengan tingkat investasi yang sama, nilai ICOR yang rendah memberikan informasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tidak membutuhkan investasi yang besar. Berdasarkan koesfisien ICOR dengan metode standar sektoral, nilai koefisien ICOR yang produktif berada pada Sektor Industri Pengolahan.Dengan metode ini terlihat hampir investasi di semua sektor tidak bernilai efisien. Untuk menghasilkan output tahunan, rasio investasi yang ditanamkan sangat besar. Di samping itu Koefisien ICOR yang bernilai negatif seperti yang terdapat pada Sektor Pertambangan dan Penggalian memiliki arti bahwa terdapat penambahan barang modal baru tetapi barang modal baru tersebut sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun sebelumnya. Dengan demikian penanaman modal baru tersebut belum menghasilkan output secara optimal atau bisa dikatakan investasi yang ditanamkan belum atau tidak efisien pada tahun tersebut. Nilai ICOR sektor perekonomian Riau yang relatif besar berarti investasi yang ditanamkan pada tahun tertentu juga relatif besar, sedangkan output yang dihasilkan lebih besar tetapi hampir sama atau relatif kecil dengan pada output tahun sebelumnya. Meskipun Riau menghasilkan output yang besar, terbesar kedua setelah Sumatera Utara, ternyata membutuhkan investasi yang besar pula dan terlihat investasi yang ditanamkan belum bernilai produktif hingga tahun 2011. Hanya Sektor Industri Pengolahan yang memiliki nilai efisien meskipun tidak menyumbang nilai output dengan proporsi terbesar. Tabel 5.25 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Riau Tahun 2007 – 2011

1.

2.

3.

4.

5. 6.

7.

8.

Sektor/ Sub Sektor (1) Pertanian k. Tanaman Bahan Makanan l. Tanaman Perkebunan m. Peternakan dan Hasil-hasilnya n. Kehutanan o. Perikanan Pertambangan dan Penggalian g. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi h. Pertambangan Bukan Migas i. Penggalian Industri Pengolahan a. Industri Migas Pengilangan Minyak Bumi Gas Alam Cair b. Industri Bukan Migas Listrik, Gas, dan Air Bersih g. Listrik h. Gas Kota i. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran g. Perdagangan Besar & Eceran h. Hotel i. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi e. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan f. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan k. Bank l. Lembaga Keuangan Bukan Bank m. Jasa Penunjang Keuangan

2007 (2) 1,87 28,98 3,45 24,52 11,38 12,14 -21,98 -6,85

2008 (3) 2,88 50,95 4,54 32,87 45,29 18,36 1,15 1,23

2009 (4) 3,60 74,11 5,62 39,15 30,07 35,17 -230,56 -18,86

2010 (5) 422,20 31,98 4,44 45,89 -41,39 21,32 3,15 3,60

2011 (6) 1,78 24,22 3,56 35,58 -8,07 17,38 1,83 2,03

Rata-Rata (7) 86,46 42,05 4,32 35,60 7,46 20,88 -49,28 -3,77

13,71 37,50 1,73 53,13 53,13 0,00 1,80 127,50 141,67 0,00 1275,00 4,57 2,27 2,36 141,67 115,91 8,02 12,14 0,00 23,61 53,13 0,00 98,08 91,07 24,06 10,71

22,90 72,79 3,07 49,71 49,71 0,00 3,27 156,77 185,27 0,00 2038,00 6,48 3,06 3,18 185,27 169,83 8,39 11,02 0,00 17,57 70,28 0,00 92,64 119,88 34,54 14,77

29,23 69,17 4,18 122,06 122,06 0,00 4,32 345,83 415,00 0,00 2075,00 7,95 3,12 3,22 188,64 188,64 9,74 14,61 0,00 21,61 103,75 0,00 148,21 159,92 29,23 17,74

47,98 52,78 3,03 26,72 26,72 0,00 3,42 191,91 191,91 0,00 0,00 7,41 2,54 2,61 191,91 191,91 8,03 12,13 0,00 18,68 75,39 0,00 124,18 131,94 23,72 17,45

46,47 30,36 2,96 33,00 26,17 0,00 3,25 151,80 175,15 0,00 759,00 5,11 2,50 2,58 189,75 175,15 7,67 11,50 0,00 17,12 73,45 0,00 142,31 126,50 23,00 16,87

32,06 52,52 2,99 56,92 55,56 0,00 3,31 194,76 221,80 0,00 1229,40 6,37 2,70 2,79 179,45 168,29 8,37 12,28 0,00 19,72 75,20 0,00 121,08 125,80 26,91 15,51

8,23 7,29 0,00

28,70 -1,63 0,00

34,58 415,00 0,00

37,70 301,57 0,00

35,03 284,63 0,00

28,85 201,37 0,00

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 34


9.

n. Real Estate o. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa e. Pemerintahan Umum f. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

25,50 159,38 3,59 4,85 13,86 212,50 0,00 16,78 15,37

38,45 339,67 5,49 7,23 22,90 291,14 169,83 14,99 22,49

45,11 345,83 5,55 7,13 25,00 259,38 0,00 0,00 18,57

40,60 351,83 5,25 7,08 20,30 263,88 162,38 25,74 73,44

41,40 284,63 5,21 6,94 20,89 284,63 175,15 25,88 21,75

38,21 296,27 5,02 6,65 20,59 262,30 101,47 16,68 30,32

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Peruban drastis ICOR Sektor Pertambangan dan Penggalian memperlihatkan investasi besar yang ditanamkan pada tahun 2006 menghasilkan output yang tidak relatif besar di tahun 2007 (nilai ICOR 21,98), begitu juga pada tahun 2008 kembali dilakukan investasi yang cukup besar namun tidak menghasilkan output yang signifikan pada tahun 2009. Investasi yang ditanamkan pada tahun 2007 dan 2010 terbilang efisien dengan nilai ICOR di bawah angka 3. Investasi yang tidak efisien ini disebabkan modal yang ditanamkan bersifat jangka panjang.Sedangkan nilai ICOR yang relatif besar juga menandakan pemerintah melakukan investasi yang besar terhadap sektor yang ada. Terbukti investasi di sektor yang memiliki nilai ICOR besar belum produktif menghasilkan output yang lebih dari tahun ke tahun atau tidak bernilai efisiensi terhadap penambahan output. Namun, dalam rentang waktu tersebut dapat dilihat beberapa sektor yang mulai berkembang dan produktif dalam menghasilkan output, seperti Sektor Industri Pengolahan.Seperti yang diketahui banyak perusahaan minyak dan gas yang berinvestasi di Riau.Hanya saja perlu dilakukan peningkatan produktivitas di sektor-sektor tersebut untuk menghasilkan investasi yang efisien dan efektif.Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pertumbuhan terhadap pembentukan modal yang ditanamkan. Pertumbuhan output merupakan nilai tambah bruto yang dihasilkan dari tahun ke tahun dengan periode-t lag 0. Jika dihitung dengan metode akumulasi, investasi yang ditanamkan di Provinsi Riau dalam rentang waktu tahun 2007 – 2011 secara total mencapai 24,91. Hal ini menggambarkan untuk memperoleh satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan tambahan investasi sebesar 24,91 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas dari penggunaan barang modal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target yang ditentukan. Tebel 5.26 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Riau Tahun 2007 - 2011

1.

2.

3.

4.

5. 6.

7.

Sektor/ Sub Sektor (1)

Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan a. Industri Migas Pengilangan Minyak Bumi Gas Alam Cair b. Industri Bukan Migas Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

ICOR (2)

3,01 35,94 4,24 35,29 -91,36 19,36 2,70 3,19 28,25 47,23 2,91 42,50 39,42 0,00 3,12 177,75 199,51 0,00 1629,33 6,23 2,69 2,78 181,04 168,55 8,32 12,16

V- 35


8.

9.

Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

0,00 19,09 74,06 0,00 119,22 125,33 26,35 15,52 24,02 -9,24 0,00 38,19 287,53 5,04 6,69 20,49 264,22 257,26 25,59 24,91

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan PMTB harga konstan. Dari tabel di atas dapat diketahui sektor yang memiliki nilai ICOR efisien adalah sektor yang sebagian besar komoditasnya memiliki proses produksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar inputnya adalah input antara (intermediate cost) yang habis dipakai kurang dari satu tahun, yaitu Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai ICOR sebesar 2,69. Artinya setiap penambahan Rp. 1 miliar output memerlukan investasi sebesar Rp. 2,69 miliar. Selanjutnya diikuti oleh sektor dengan modal yang ditanamkan tidak bersifat jangka pendek, yaitu Sektor Pertambangan dan Penggalian dengan nilai ICOR sebesar 2,70 dan Sektor Industri Pengolahan dengan nilai ICOR sebesar 2,91. Sedangkan Sektor Pertanian memiliki nilai ICOR sebesar 3,01. Di Provinsi Riau Sektor Pertanian tidak memiliki peran dominan, dalam rentang waktu 2007 – 2011 sektor ini hanya menyumbang output sebesar 16,94 persen. Kemudian secara berurutan Sektor Jasa-Jasa, Sektor Konstruksi, dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi memiliki nilai investasi yang relatif tidak efisien. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih memiliki nilai ICOR yang sangat tinggi mencapai 177,75. Pada sektor ini nilai output yang dihasilkan relatif kecil dari jumlah modal yang ditanamkan, penyebabnya adalah tidak adanya pertumbuhan dan pertumbuhan negatif ditambah dengan tidak adanya perbaikan produksi menjadi penyebab tingginya nilai ICOR ini. Investasi yang ditanamkan tersebut belum efektif dan relatif kurang efisien.Secara keseluruhan relatif tingginya nilai ICOR dengan metode akumulasi karena tidak dilakukan penyesuaian akibat adanya nilai tambah yang fluktuatif, ini dilakukan untuk melihat keadaan nyata di lapangan secara akumulatif.Dalam rentang waktu ini, dimana telah dikeluarkan dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi, bisa dikatakan investasi yang ditanamkan di Provinsi Riau tidak produktif dengan nilai koefisien ICOR yang relatif tinggi di atas 3-4.Berdasarkan metode standar dan akumulasi terlihat banyak sektor dan subsektor yang tidak produktif dan tidak efisien. Gambar 5.31 Perkembangan ICOR Provinsi Riau Tahun 2007 - 2011

Sumber: BPS, data diolah menggunakan data PMTB konstan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 36


Secara rata-rata, melalui gambar di atas dapat dilihat perkembangan nilai ICOR Provinsi Riau. Investasi yang ditanamkan tidak bernilai produktif pasca dikeluarkan kebijakan tentang PTSP tahun 2006 dan tahun 2010 kebijakan mengenai PTSP di bidang Penanaman Modal, ICOR Riau belum mencapai angka efisien. Terutama di tahun 2010, angka ICOR mencapai 73,44, pemicunya adalah sangat tidak efisiennya investasi yang ditanamkan pada Sektor Pertanian. Nilai ICOR Sektor Pertanian pada tahun tersebut mencapai angka 422,20. Terbukti pada tahun 2010 perekonomian hanya mampu tumbuh sebesar 4,18 persen. Dalam rentang waktu 2007 – 2011, di tahun 2010 juga Provinsi Riau memiliki nilai realisasi investasi PMDN dan PMA terkecil.Sebagai salah satu komponen di dalam pertumbuhan ekonomi, permasalahan iklim investasi di Riau menjadi faktor di dalam peningkatan realisasi investasi dan pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah dengan meningkatkan produktivitas sektor dan subsektor perekonomian.Efisiensi investasi dalam pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif.Untuk menjawab permasalahan iklim investasi di Provinsi Riau dapat diidentifikasi melalui faktor-faktor penentu daya tarik investasi. II.3.1

Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Riau

Untuk memecahkan permasalahan investasi, perlu diketahui permasalahan iklim investasi yang dapat menghambat realisasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau. Berikut adalah permasalahan dan faktor penentu daya tarik investasi di Provinsi Riau: Tabel 5.27 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Riau Faktor-Faktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur Jumlah

1 0.814868946

1.2271912 1

Ekonomi Daerah 0.869471927 0.728169175

1.15012339

1.3733072

0.847748925 1.775288091 5.588029351

0.954436 2.9727281 7.5276626

Kelembagaan

Sosial Politik

Tenaga Kerja

Infrastruktur

1.17959454 1.04773915

0.5632889 0.3363913

1

1.61887041

0.5577871

0.617714671 1.792798788 5.008154561

1 2.77847602 7.62468011

0.3599095 1 2.8173768

Sumber: Hasil analisis. Pada matriks rata-rata geometris di atas digambarkan tingkat kepentingan setiap faktor/variabel terhadap faktor/varabel lainnya. Dari hasil penghitungan ditemukan bahwa Faktor Infrastuktur merupakan faktor yang paling dominan dibanding faktor – faktor yang lain. Terhadap Faktor Kelembagaan, Faktor Infrastruktrur dominan dengan koefisien sebesar 1.7752, terhadap Faktor Sosial Politik dengan koefisien 2.9727, terhadap Faktor Ekonomi Daerah dengan koefisien 1.7928, dan terhadap Faktor Tenaga Kerja dengan koefisien sebesar 2.7784. Faktor Kelembagaan dominan terhadap Faktor Sosial Politik dan Faktor Faktor Tenaga Kerja dengan koefisien masing – masing sebesar 1.2271 dan 1.1796. Sementara itu, Faktor Ekonomi Daerah merupakan faktor dominan dibanding Faktor Kelembagaan, Faktor Sosial Politik, dan Faktor Tenaga Kerja dengan koefisien secara berurutan sebesar 1.1501, 1.3733, dan 1.0477. Sedangkan Faktor Sosial Politik hanya dominan dari Faktor Tenaga Kerja sebesar 1.0477.Faktor Tenaga Kerja merupakan faktor yang terlemah terhadap faktor – faktor yang lain, mungkin ketersediaan tenaga kerja telah terpenuhi di Provinsi Riau.Selanjutnya, penghitungan yang di lakukan dengan matriks priority vector diperoleh bobot masing-masing faktor yang kemudian diketahui peringkat masing-masing faktor dalam menentukan daya tarik investasi di Provinsi Riau. Tabel 5.28 Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Riau FaktorFaktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja

0.17895396 0.14582403

Sosial Politik 0.16302420 0.13284336

Ekonomi Daerah 0.17361124 0.14539671

Tenaga Kerja 0.15470741 0.13741418

0.20581914 0.15170803

0.18243475 0.12679049

0.19967435 0.12334177

0.21231978 0.13115304

Kelembagaan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

Infrastruktur

Jumlah

0.19993380 0.11939877

0.87023062 0.68087705

0.19798100 0.12774632

0.99822902 0.66073966

V- 37


Infrastruktur

0.31769484

0.39490720

0.35797593

0.36440559

0.35494010

1.78992365

Sumber: Hasil analisis. Penentu daya tarik investasi di Provinsi Riau pada level pertama didominasi oleh Faktor Infrastruktur sebagai faktor yang yang paling penting diperhatikan di dalam melakukan perbaikan iklim investasi dengan porsi sebesar 35,80 persen. Urutan kedua adalah Faktor Ekonomi Daerah sebesar 19,96 persen, selanjutnya Faktor Kelembagaan sebesar 17,40 persen, dan diikuti Faktor Sosial Politik sebesar 13,62 persen. Sedangkan Faktor Tenaga Kerja menjadi prioritas terakhir dalam penentu daya tarik investasi di Riau dengan bobot prioritas sebesar 13,21 persen. Faktor Ketersediaan dan Kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Riau merupakan faktor daya tarik yang paling penting bagi investor, keterjangkauan semua wilayah Riau melalui jalan darat, serta infrastruktur pendukung lainnya seperti sarana telekomunikasi dan infrastruktur fisik lainnya. Gambar 5.32 Bobot Level Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Riau (persen)

Sumber : Hasil Analisis. Untuk lebih rinci mengetahui faktor beserta variabel yang menjadi faktor penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku berikut adalah tabel bobot level pertama dan kedua yang kemudian menghasilkan bobot final faktor dan variabel yang kemudian dapat diperingkatkan dalam penentuan daya tarik investasi di Provinsi Maluku. Tabel 5.29 Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Riau Level 1 Infrastruktur

0,358

Ekonomi Daerah

0.200

Kelembagaan

0.174

Sosial Politik

0.136

Tenaga Kerja

0.132

Level 2 Ketersediaan Infrastruktur Fisik Kualitas Infrastruktur Fisik Potensi Ekonomi Struktur Ekonomi Kepastian Hukum Keuangan Daerah Kinerja Aparatur Perda Sosial Politik Keamanan Budaya Biaya Tenaga Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja

0.669 0.331 0.838 0.162 0.367 0.173 0.235 0.225 0.193 0.662 0.146 0.225 0.285 0.490

Bobot Final 0.240 0.118 0.167 0.032 0.064 0.030 0.041 0.039 0.026 0.090 0.020 0.030 0.038 0.065

Sumber: Hasil analisis. Sebagai faktor yang dominan, variabel Ketersediaan Infrastruktur Fisik dan Kualitas Infrastruktur Fisik memiliki bobot masing-masing sebesar 66,9 persen dan 33,1 persen. Urutan kedua faktor level pertama, yaitu Faktor Ekonomi Daerah dengan variabel Potensi Ekonomi sebesar 83,8 persen dan Struktur Ekonomi dengan bobot 21,8 persen. Faktor Kelembagaan yang terdiri dari variabel Kepastian Hukum, Keuangan Daerah, Kinerja Aparatur, dan Perda masing – masing memiliki bobot sebesar 36,7

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 38


persen, 17,3 persen, 23,5 persen, dan 22,5 persen. Sedangkan variabel faktor Sosial Politik, antara lain variabel Sosial Politik 19,3 persen, Keamanan, 66,2 persen, dan Budaya sebesar 14,6 persen. Faktor Tenaga Kerja sebagai salah satu faktor produksi menduduki prioritas terakhir dengan variabel Biaya Tenaga Kerja dengan bobot 22,5 persen, variabel Ketersediaan Tenaga Kerja 28,5 persen, dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan bobot 49,0 persen. Berikut adalah urutan bobot prioritas level pertama permasalahan iklim investasi di Provinsi Riau. Hal ini perlu diperhatikan untuk meningkatkan realisasi investasi baik PMDN maupun PMA. Gambar 5.33 Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Riau

Sumber: Hasil analisis. Secara rinci, bobot final prioritas menggambarkan urutan prioritas dan permasalahan penentu daya tarik investasi di Provinsi Riau. Variabel Ketersediaan Infrastruktur memiliki bobot tertinggi sebagai penentu daya tarik investasi dengan bobot sebesar 24,0 persen. Kemudian diurutan kedua variabel Potensi Ekonomi menjadi penentu daya tarik investasi dengan bobot 16,7 persen. Selanjutnya, variabel yang memiliki bobot tertinggi ketiga dan keempat adalah variabel Kualitas Infrastruktur dan Keamanan dengan bobot masing-masing sebesar 11,8 persen dan 9,0 persen. Kemudian variabel Produktivitas dan Kepastian Hukum berada diurutan kelima dan keenam dengan bobot masing – masing sebesar 6,5 persen dan 6,4 persen, sedangkan variabel Ketersediaan dan Biaya Tenaga Kerja berada di urutan kesembilan dan dua belas dengan bobot sebesar 3,8 dan 3,0 persen. Kemudian secara berurutan variabel yang menjadi prioritas di dalam pemecahan permasalahan penentuan faktor daya tarik investasi di Riau, yaitu Kinerja Aparatur, Perda, Struktur Ekonomi, Keuangan Daerah, dan Budaya. Sejalan dengan temuan di lapangan, kajian BI tentang Peluang dan Hambatan Investasi di Provinsi Riau juga menemukan tiga hambatan atau masalah utama iklim investasi yang ada di Riau, yaitu ketersediaan infrastruktur yang baik, proses peradilan dan penegakan hukum yang bersih dan sistem pemerintahan seperti kebijakan dan tata kelola 9. Permasalahan infrastruktur yang dihadapi pelaku usaha dalam melakukan investasi di kabupaten/ kota Provinsi Riau diantaranya adalah ketersediaan jangkauan transportasi udara serta ketersediaan jaringan telepon dan internet. Hal ini menjadi perhatian penting, sebab ketersediaan infrastruktur dan jaringan komunikasi yang baik akan turut serta memberikan efisiensi bagi pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Kondisi jalan baik untuk jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota pada tahun 2010 dengan bandingan pada tiga tahun sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 5.28 Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada Tahun 2010, 16,08% jalan nasional/negara di Provinsi Riau dalam kondisi rusak dan

9

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6FA65F80-C47F-4EB2-A3D8-FE5320E506A/15467/Boks1.pdf

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 39


rusak berat. Disamping itu, 46,13% jalan provinsi mengalami kerusakan ringan dan berat. Pada tahun 2011 ini kerusakan semakin parah, terutama jalan-jalan akses ke Kota Dumai.Besarnya tingkat kerusakan infrastruktur jalan di Provinsi Riau bukan merupakan hal yang luar biasa mengingat tiga sektor pendukung perekonomian Riau adalah industri pengolahan seperti industri pengolahan kayu, pertambangan dan pertanian yang didominasi perkebunan kelapa sawit dan karet. Ketiga sektor perekonomian ini memberikan beban yang sangat besar pada infrastruktur jalan di Provinsi Riau akibat Selain .Disamping itu, kerusakan infrastruktur jalan juga disebabkan sebagian besar kondisi tanah dasar (subgrade) di Provinsi Riau merupakan tanah lunak dengan daya dukung yang rendah.Keterbatasan anggaran biaya dan pemanfaatan teknologi stabilisasi/perkuatan tanah lunak pada pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Riau merupakan beberapa faktor yang menyebabkan daya dukung infrastruktur jalan yang dibangun tidak sesuai dengan beban tonase lalu lintas kendaraan yang ada 10.Kerusakan infrastruktur jalan ini baik secara langsung maupun tidaklangsung mempengaruhi dasa saing perekonomian dan minat investasi diProvinsi Riau.Kerusakan infrastruktur jalan diperkirakan menjadi salah satu alasan menurunnya tingkat investasi Provinsi Riau pada tahun 2010. Tabel 5.30 Panjang Jaringan Jalan Provinsi Riau Berdasarkan Kondisi Tahun 2010 (KM) Status dan Kondisi Negara Provinsi Jumlah

Baik

Sedang

Rusak

Rusak Berat

Jumlah

321,96 483,80 805,76

556,34 1.143,32 1.699,66

128,08 693,57 821,65

128,08 712,63 840,71

1.134,46 3.033,32 4.167,78

Sumber : Riau Dalam Angka 2011 Tabel 5.31 Panjang Jaringan Jalan Kabupaten/ Kota Berdasarkan Kondisi Tahun 2009 (KM) Kabupaten/ Kota Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Kep. Meranti Rokan Hilir Pekanbaru Dumai Jumlah

Baik 544,00 248,65 72,30 230,06 780,50 827,16 438,92 433,13 133,41 1.005,00 1.102,05 495,27 6.274,45

Sedang 996,94 592,99 1.096,73 301,70 665,44 566,77 557,98 354,25 108,70 570,20 579,70 411,96 6.803,36

Rusak 205,00 704,40 103,35 0,96 431,21 405,54 636,52 312,36 177,88 252,99 642,37 142,99 4.015,57

Jumlah 1.745,94 1.546,04 1.272 532,72 1.877,15 1.799,47 1.633,42 1.099,74 419,99 1.828,19 2.324,12 1.014,22 17.093,38

Sumber : Riau Dalam Angka 2011 II.4

Provinsi Maluku

Tren positif investasi PMTB di Provinsi Maluku selama kurun waktu tahun 2006 – 2011 menandakan terjadi peningkatan investasi atau pengeluaran yang dilakukan pemerintah Provinsi Maluku untuk pengadaan barang modal seiring dengan peningkatan output dalam kurun waktu tersebut. Rata-rata pertumbuhan PDRB Provinsi Maluku cukup tinggi dengan angka 5,55 persen, pertumbuhan positif ini ditandakan dengan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2006 berjumlah sebesar Rp. 3.440 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 3.633 miliar, tahun 2008 sebesar 3.787 miliar, tahun 2009 sebesar 3.993 miliar, tahun 2010 sebesar 4.251 miliar, dan pada tahun 2011 sebesar 4.507 miliar. Pertumbuhan terbesar berada pada tahun 2010 dengan pertumbuhan PDRB sebesar 6,46 persen. Pertumbuhan ekonomi di Maluku diiringi dengan peningkatan pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB dari tahun ke tahun. Rasio PMTB terhadap PDRB terkecil berada pada tahun 2009 dengan besar rasio 1,62 persen, sedangkan rasio terbesar berada pada tahun 2010 dengan pertumbuhan sebesar 8,73 persen. Peningkatan PMTB dan rasio PMTB terhadap PDRB Provinsi Maluku memberi gambaran 10

Riau. 2013. Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 40


pengaruh positif perbaikan kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi angka tersebut belum memuaskan, jika dibandingkan angka total PMTB nasional, PMTB Maluku hanya menyumbang sebesar 0,04 persen. Yaitu pada tahun 2006 sebesar 0,03 persen, tahun 2007 sebesar 0,03 persen, tahun 2008 sebesar 0,03 persen, tahun 2009 sebesar 0,04 persen, dan pada tahun 2010 dan 2011 sebesar 0,04 persen. Tabel 5.32 PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Tahun 2006 – 2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PDRB (miliar rupiah) 3.440 3.633 3.787 3.993 4.251 4.507

Pert. PDRB (%) 5,55 5,61 4,24 5,44 6,46 6,02

PMTB (miliar rupiah) 122 137 154 165 191 219

% PMTB/PDRB 3,55 3,77 4,07 4,13 4,49 4,86

Pert. % PMTB/PDRB 6,33 7,84 1,62 8,73 8,15

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Rasio PMTB terhadap PDRB mengalami peningkatan dari periode I ke periode II - dikeluarkannya dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi - dengan rata – rata rasio sebesar 4,14 persen. Pasca dikeluarkannya kebijakan lewat Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Permendagri No 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, akumulasi PMTB Maluku pada periode I adalah sebesar Rp. 413 miliar atau sebesar 3,79 persen terhadap PDRB kemudian naik menjadi Rp. 575 miliar atau dengan rasio sebesar 4,49 persen terhadap PDRB pada periode II. Meskipun dalam realisasinya masih berada di bawah Maluku Utara, peningkatan ini berdampak terhadap pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 4,14 persen (signifikansi .028). Dampak positif ini diperkuat dengan uji korelasi antara PDRB dan PMTB di Provinsi Maluku artinya pertumbuhan ekonomi di Maluku berkorelasi dengan pertumbuhan investasi PMTB Maluku yang ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar 0.996. Tabel 5.33 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Tahun 2006 – 2011

One-Sample T Test Correlate Bivariate

Sig. (2-tailed)* .028 .000

Value t & Pearson 3.065 .996

Ket: *singnifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95 % Pemerintah Provinsi Maluku telah membentuk unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang berfungsi sebagai unit pelayanan perizinan penanaman modal daerah. Provinsi Maluku juga telah mengimplementasikan SPIPISE di tahun 2010. Realisasi investasi PMDN dan PMA, Provinsi Maluku Utara terbilang memiliki realisasi yang relatif kecil, baik dari sisi jumlah proyek atau nilainya. Investasi mulai tumbuh mulai tahun 2010 setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Akumulasi nilai investasi PMDN tahun 2006 – 2012 hanya sebesar Rp. 3,7 miliar dengan jumlah proyek sebanyak 6 unit. Sedangkan akumulasi nilai investasi PMA tahun 2006 – 2012 adalah sebesar US$ 23,1 juta dengan jumlah proyek sebanyak 31 unit. Jumlah investasi PMDN relatif kecil dibanding PMA dan secara akumulatif jumlahnya juga kecil disbanding Provinsi Maluku Utara.Pertumbuhan ekonomi Maluku tidak ditopang oleh investasi. Pada tahun 2006 investasi hanya berasal dari PMDN sebesar Rp. 0,2 miliar, untuk tahun berikutnya hingga tahun 2009 tidak terdapat realisasi investasi baik berasal dari PMDN ataupun PMA. Pada tahun 2010, investasi hanya berasal dari PMA sebesar US$ 2,9 juta yang sebelumnya tidak ada investasi sama sekali. Pada tahun 2011 PMDN mulai tumbuh dengan realisasi nilai sebesar Rp. 0,1 miliar dan PMA dengan nilai sebesar US$ 11,7 juta atau tumbuh sebesar 303,45. Pada tahun 2012 investasi PMA tumbuh sebesar -27,35 dengan nilai sebesar US$ 8,5 juta, sedangkan investasi PMDN tumbuh positif sebesar 3300 atau dengan nilai Rp. 3,4 miliar. Realisasi investasi di Maluku sangat kecil dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Jika dibagi dalam proporsi investasi daerah, investasi PMDN di Maluku tahun 2006 – 2012 hanya sebesar 13,81 persen dan PMA sebesar 86,19 persen. Sedangkan dalam skala nasional, investasi PMDN dan PMA Pronvinsi Maluku menyumbang nilai yang relatif sangat

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 41


kecil, yaitu investasi PMDN sebesar 0,001 persen dan investasi PMA sebesar 0,023 persen. Berkaca kepada kecilnya realisasi investasi di Maluku, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan iklim investasi dan strategi penguatan potensi daerah untuk memperoleh daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Maluku. Gambar 5.34 Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Maluku tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yaitu investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Berdasarkan koesfisien ICOR dengan metode standar sektoral, nilai koefisien ICOR yang produktif berada pada Sektor Pertanian, Sektor Jasa-Jasa, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, dan Sektor Industri Pengolahan. Koefisien ICOR yang bernilai negatif seperti yang terdapat pada Subsektor Kehutanan, Sektor Pertambangan dan Penggalian, dan Subsektor Listrik memiliki arti bahwa terdapat penambahan barang modal baru tetapi barang modal baru tersebut sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun sebelumnya. Dengan demikian penanaman modal baru tersebut belum menghasilkan output secara optimal atau bisa dikatakan investasi yang ditanamkan belum/tidak efisien pada tahun tersebut. Nilai ICOR sektor perekonomian Maluku yang relatif besar berarti investasi yang ditanamkan pada tahun tertentu juga relative besar, sedangkan output yang dihasilkan lebih besar tetapi hampir sama atau relatif kecil dengan pada output tahun sebelumnya. Variasi dan fluktuasi nilai ICOR Maluku menggambarkan dinamika perekonomian yang ada dengan dominasi peran Sektor Pertanian dan Sektor Jasa-Jasa dalam menopang pertumbuhan perekonomian daerah. Tabel 5.34 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Tahun 2007 – 2011

1.

2.

3. 4.

5. 6.

Sektor/ Sub Sektor (1) Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran

2007 (2) 0,32 1,36 1,07 7,50 -3,75 0,60 -7,50 -5,00

2008 (3) 0,50 17,00 1,89 17,00 0,00 0,77 17,00 0,00

2009 (4) 0,22 1,83 0,79 11,00 0,00 0,39 11,00 11,00

2010 (5) 0,37 2,36 13,00 13,00 -4,33 0,42 8,67 26,00

2011 (6) 0,58 3,11 2,15 9,33 14,00 1,33 14,00 0,00

Rata-Rata (7) 0,40 5,13 3,78 11,57 1,18 0,70 8,63 6,40

0,00 15,00 0,75 15,00 15,00 0,00 0,00 3,75 -0,03 0,26

0,00 17,00 2,13 0,00 0,00 0,00 0,00 8,50 0,03 0,36

0,00 0,00 0,79 -2,75 -2,75 0,00 0,00 3,67 0,19 0,20

0,00 13,00 0,00 8,67 8,67 0,00 0,00 1,04 0,40 0,46

0,00 14,00 1,87 14,00 28,00 0,00 0,00 3,11 0,38 0,39

0,00 11,80 1,11 6,98 9,78 0,00 0,00 4,01 0,19 0,33

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 42


7.

8.

9.

b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

15,00 7,50 0,43 0,47 0,00 1,50 2,14 5,00 1,36 7,50 15,00 1,50

17,00 17,00 0,89 0,94 0,00 3,40 4,25 17,00 2,43 17,00 8,50 1,89

11,00 11,00 0,39 0,41 0,00 1,83 2,75 5,50 0,79 5,50 11,00 1,22

4,33 26,00 0,90 0,96 0,00 5,20 13,00 13,00 1,63 26,00 26,00 5,20

14,00 28,00 1,12 1,17 0,00 4,67 28,00 28,00 2,00 28,00 14,00 3,50

12,27 17,90 0,75 0,79 0,00 3,32 10,03 13,70 1,64 16,80 14,90 2,66

5,00 15,00 0,00 -0,16 0,00 0,71 0,79 5,00 7,50 0,00 15,00 1,66

8,50 17,00 0,00 0,16 0,00 0,55 0,59 8,50 17,00 0,00 17,00 3,50

3,67 5,50 0,00 2,20 0,00 0,24 0,25 11,00 11,00 0,00 0,00 1,66

26,00 0,00 0,00 8,67 0,00 0,46 0,47 8,67 13,00 0,00 0,00 2,85

14,00 9,33 0,00 5,60 0,00 0,38 0,39 14,00 28,00 28,00 28,00 4,33

11,43 9,37 0,00 3,29 0,00 0,47 0,50 9,43 15,30 5,60 12,00 2,80

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Sektor yang mengalami perubahan nilai ICOR yang besar dan bervariasi adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian, dalam rentang waktu ini menandankan pemerintah melakukan investasi yang besar terhadap sektor ini. Terbukti investasi di sektor ini belum produktif menghasilkan output yang lebih dari tahun ke tahun atau tidak bernilai efisiensi terhadap penambahan output. Secara keseluruhan investasi yang ditanamkan di Provinsi Maluku terbilang produktif, hampir semua sektor memiliki nilai ICOR menunjukkan tingkat efisiensi investasi terhadap nilai output yang dihasilkan. Hanya saja perlu lebih diperhatikan tingkat efisiensi untuk Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan. Nilai ICOR Sektor ini bervariasi dan cenderung semakin besar dalam hingga tahun 2011, hingga mencapai 5,20 pada tahun 2010. Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pertumbuhan terhadap pembentukan modal yang ditanamkan. Pertumbuhan output merupakan nilai tambah bruto yang dihasilkan dari tahun ke tahun dengan periode-t lag 0. Jika dihitung dengan metode akumulasi, investasi yang ditanamkan di Provinsi Maluku dalam rentang waktu tahun 2007 – 2011 secara total mencapai 8,45. Nilai ini masih relatif kecil jika dibanding Provinsi Maluku Utara, hal ini menggambarkan untuk memperoleh satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan tambahan investasi sebesar 8,45 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas dari penggunaan barang modal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target yang ditentukan. Tebel 5.35 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Tahun 2007 - 2011

1.

2.

3. 4.

5.

Sektor/ Sub Sektor (1)

Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Konstruksi

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

ICOR (2)

0,39 2,55 1,87 10,78 -12,13 0,61 19,40 -97,00 0,00 16,17 1,70 48,50 97,00 0,00 0,00 2,26

V- 43


6.

7.

8.

9.

Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi e. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan f. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

8,45

0,32 0,32 8,82 16,17 0,71 0,76 0,00 3,03 5,39 10,78 1,56 13,86 13,86 2,37 8,82 13,86 0,00 3,88 0,00 0,42 0,44 8,82 13,86 97,00 32,33

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan PMTB harga konstan. Dari tabel di atas dapat diketahui sektor yang memiliki nilai ICOR terkecil adalah Sektor Pertanian, yaitu sebesar 0,39. Artinya setiap penambahan Rp. 1 miliar output memerlukan investasi sebesar Rp. 0,35 miliar. Sektor berikutnya adalah Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 0,32, dan Sektor Jasa-Jasa 0,42. Tingkat produktivitas ketiga sektor ini cukup tinggi karena sebagian besar komoditas di dua sektor ini memiliki proses produksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar inputnya adalah input antara (intermediate cost) yang habis dipakai kurang dari satu tahun. Sedangkan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebagai sektor dengan nilai ICOR efektif ketiga dengan nilai sebesar 0,71. Sebagai daerah kepulauan, sektor ini terbilang efektif dalam melakukan investasi dalam menunjang kegiatan perekonomian masyarakat.Kemudian secara berurutan Sektor Industri Pengolahan juga memiliki tingkat produktivitas yang cukup tinggi di dalam modal yang ditanamkan, diikuti Sektor Konstruksi dan Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan. Sedangkan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan Sektor Pertambangan dan Penggalian memiliki nilai ICOR yang relatif tinggi, hal ini dimungkinkan modal yang ditanamkan tidak bersifat jangka pendek atau barang modal tersebut belum berproduksi menghasilkan output. Sektor atau subsektor yang memiliki nilai ICOR tinggi atau negatif seperti Subsektor Kehutanan, Subsektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, atau Subsejtor Listrik yang bernilai besar mencapai 97,00. Hal disebabkan nilai output yang dihasilkan relatif kecil dari jumlah modal yang ditanamkan. Penyebabnya adalah tidak adanya pertumbuhan dan pertumbuhan negatif ditambah dengan tidak adanya perbaikan produksi menjadi penyebab tingginya nilai ICOR ini.Investasi yang ditanamkan tersebut belum efektif dan relatif kurang efisien.Secara keseluruhan relatif tingginya nilai ICOR dengan metode akumulasi karena tidak dilakukan penyesuaian akibat adanya nilai tambah yang fluktuatif, ini dilakukan untuk melihat keadaan nyata di lapangan secara akumulatif. Dalam rentang waktu ini, dimana telah dikeluarkan dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi, bisa dikatakan investasi yang ditanamkan di Provinsi Maluku telah bernilai produktif dengan nilai koefisien ICOR yang relatif rendah dengan rata-rata sebesar 2,80. Nilai tertinggi berada pada tahun 2011 sebesar 4,33.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 44


Gambar 5.35 Perkembangan ICOR Provinsi Maluku Tahun 2007 - 2011

Sumber: BPS, data diolah menggunakan data PMTB konstan. Melalui gambar di atas dapat dilihat perkembangan nilai ICOR Provinsi Maluku, walaupun demikian pada tahun 2010 setelah dikeluarkan kebijakan mengenai PTSP di bidang Penanaman Modal ICOR Maluku justru menjadi tidak efisien di bawah 3, yaitu sebesar 4,33 pada tahun 2011. Seperti yang diketahui pertumbuhan ekonomi Maluku pada tahun tersebut sebesar 6,02 persen atau turun sebesar 0,44 dibanding tahun sebelumnya. Nilai ICOR yang relatif efisien dalam rentang waktu tersebut tidak diikuti dengan realisasi investasi PMDN dan PMA di Provinsi Maluku. Sebagai salah satu komponen di dalam pertumbuhan ekonomi, permasalahan iklim investasi di Maluku menjadi faktor di dalam peningkatan realisasi investasi dan pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah dengan meningkatkan produktivitas sektor dan subsektor perekonomian. II.4.1

Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku

Dalam rangka pemecahan masalah rendahnya realisasi investasi di daerah, pemerintah daerah harus dapat memperbaiki kondisi iklim investasi dengan memberdayakan seluruh stakeholder yang terlibat di dalam bidang tersebut, perbaikan iklim investasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan seluruh lapisan pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat secara umum agar perekonomian di daerah dapat menciptakan daya saing, pertumbuhan, dan pemerataan. Permasalahan iklim investasi yang ada di Provinsi Maluku antara lain sebagai berikut: Tabel 5.36 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Faktor-Faktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur Jumlah

Kelembagaan 1 1.25598354

Sosial Politik 0.7961888 1

Ekonomi Daerah 0.543916313 1.668100537

Tenaga Kerja 0.88508815 1.65246793

Infrastruktur 0.2863829 0.5743637

1.838518125

0.5994843

1

1.4514107

0.3432459

1.129830964 3.491828938 8.716161567

0.6051555 1.7410572 4.7418857

0.688984863 2.913363289 6.814365003

1 2.31233798 7.30130475

0.4324627 1 2.6364552

Sumber: Hasil analisis. Pada matriks rata-rata geometris di atas digambarkan tingkat kepentingan setiap faktor/variabel terhadap faktor/varabel lainnya. Dari hasil penghitungan ditemukan bahwa Faktor Kelembagaan merupakan faktor paling lemah dibanding faktor-faktor lainnya.Para setakeholders tidak memandang urgensi kelembagaan dalam perbaikan iklim investasi di Maluku. Faktor-faktor yang menjadi prioritas antara lain, Faktor Sosial Politik menjadi penentu daya tarik investasi di Maluku dibanding Faktor Kelembagaan, Faktor Ekonomi Daerah, dan Faktor Tenaga Kerja dengan masing – masing koefisien sebesar 1.2560, 1.6681, dan 1.6525. Sedangkan Faktor Infrastruktur lebih dominan dibanding Faktor Sosial Politik dengan koefisien sebesar 1.7411.Faktor Ekonomi Daerah lebih dianggap menjadi penentu

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 45


daya tarik investasi dibanding Faktor Kelembagaan dengan koesfisien sebesar 1.8385 dan atas Faktor Tenaga Kerja sebesar 1.4514. Sedangkan Faktor Tenaga Kerja hanya dominan dari Faktor Kelembagaan sebesar 1.1298, sementara itu Faktor Infrastruktur menjadi faktor penentu paling dominan dibanding faktor – faktor yang lain, yaitu dengan Faktor Kelembagaan sebesar 3.4918, Faktor Sosial Politik dengan koesfisien sebesar 1.7410, Faktor Ekonomi Daerah sebesar 2.9134, dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 2.3123. Selanjutnya, penghitungan yang di lakukan dengan matriks priority vector diperoleh bobot masing-masing faktor yang kemudian diketahui peringkat masing-masing faktor dalam menentukan daya tarik investasi di Provinsi Maluku. Tabel 5.37 Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku FaktorFaktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur

0.11472940 0.14409824

Sosial Politik 0.16790552 0.21088657

Ekonomi Daerah 0.07981908 0.24479178

Tenaga Kerja 0.12122329 0.22632502

0.21093208

0.12642318

0.14674882

0.12962483 0.40061544

0.12761916 0.36716558

0.10110771 0.42753262

Kelembagaan

Infrastruktur

Jumlah

0.10862421 0.21785452

0.5923015 1.0439561

0.19878785

0.13019220

0.8130841

0.13696182 0.31670202

0.16403189 0.37929718

0.6593454 1.8913128

Sumber: Hasil analisis. Penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku pada level pertama didominasi oleh

Gambar 5.36 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku

Faktor Infrastruktur sebagai faktor yang yang paling penting diperhatikan di dalam melakukan perbaikan iklim investasi dengan porsi sebesar 37,83 persen. Di peringkat kedua adalah Faktor Sosial Politik sebesar 20,88 persen. Selanjutnya Faktor Ekonomi Daerah sebesar 16,26 persen, diikuti Faktor Tenaga Kerja sebesar 13,19 persen. Sedangkan Faktor Kelembagaan menjadi prioritas terakhir dalam penentu daya tarik investasi di Maluku dengan Sumber: Hasil analisis. bobot prioritas sebesar 11,85 persen. Faktor ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Maluku merupakan faktor daya tarik yang paling penting bagi investor, keterjangkauan semua wilayah Maluku melalui jalan darat, serta infrastruktur pendukung lainnya seperti sarana telekomunikasi dan infrastruktur fisik lainnya. Mengingat Provinsi Maluku terdiri dari kepulauan yang tersebar mencapai 1.412 pulau dengan potensi kelautan yang besar. Untuk lebih rinci mengetahui faktor beserta variabel yang menjadi faktor penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku berikut adalah tabel bobot level pertama dan kedua yang kemudian menghasilkan bobot final faktor dan variabel yang kemudian dapat diperingkatkan dalam penentuan daya tarik investasi di Provinsi Maluku. Tabel 5.38 Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku Level 1 Infrastruktur

0.378

Sosial Politik

0.209

Ekonomi Daerah

0.163

Tenaga Kerja

0.139

Kelembagaan

0.118

Level 2 Ketersediaan Infrastruktur Fisik Kualitas Infrastruktur Fisik Sosial Politik Keamanan Budaya Potensi Ekonomi Struktur Ekonomi Biaya Tenaga Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja Kepastian Hukum

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

0.686 0.314 0.193 0.611 0.195 0.782 0.218 0.256 0.314 0.421 0.367

Bobot Final 0.259 0.119 0.040 0.128 0.041 0.127 0.036 0.035 0.041 0.056 0.043

V- 46


Keuangan Daerah Kinerja Aparatur Perda

0.152 0.328 0.153

0.018 0.039 0.018

Sumber: Hasil analisis. Sebagai faktor yang dominan, Variabel Ketersediaan Infrastruktur Fisik dan Kualitas Infrastruktur Fisik memiliki bobot masing-masing sebesar 68,6 persen dan 31,4 persen. Urutan kedua faktor level pertama, yaitu Faktor Sosial Politik yang terdiri atas variabel Sosial Politik dengan bobot 19,3 persen, variabel Keamanan dengan bobot 61,1 persen, dan variabel Budaya sebesar 19,5 persen. Selanjutnya Faktor Ekonomi Daerah memiliki variabel Potensi Ekonomi dengan bobot 78,2 persen dan Struktur Ekonomi dengan bobot 21,8 persen. Faktor Tenaga Kerja sebagai salah satu faktor produksi menduduki prioritas keempat dengan variabel Biaya Tenaga Kerja dengan bobot 25,6 persen, variabel Ketersediaan Tenaga Kerja 31,4 persen, dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan bobot 42,1 persen. Sedangkan Faktor Kelembagaan dengan variabel Kepastian Hukum, Keuangan Daerah, Kinerja Aparatur, dan Perda masing-masing memiliki bobot sebesar 36,7 persen, 15,2 persen, 32,8 persen, dan 15,3 persen. Seperti yang diketahui, dalam rentang waktu tahun 2006 – 2012, realisasi investasi di Maluku pada tahun 2006 hanya berjumlah sebesar Rp. 0,2 miliar, dan stagnan sampai tahun 2009. Mulai tahun 2010, realisasi mulai tumbuh dengan jumlah yang relatif sedikit. Berdasarkan pandangan stakeholder, urutan bobot prioritas level pertama merupakan hal yang dianggap penting untuk diperbaiki dalam menarik investasi ke Provinsi Maluku. Gambar 5.37 Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku

Sumber: Hasil analisis. Secara rinci, bobot final prioritas menggambarkan urutan prioritas dan permasalahan penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku. Variabel Ketersediaan Infrastruktur memiliki bobot tertinggi sebagai penentu daya tarik investasi dengan bobot sebesar 25,9 persen. Kemudian diurutan kedua variabel Kemanan menjadi penentu daya tarik investasi dengan bobot 12,8 persen. Pada tahun 2010, kasus keamanan yang tercatat di Maluku tergolong tinggi mencapai 2.889 jumlah tindak pidana. Sedangkan kasus transnasional yang mendominasi pada tahun tersebut adalah kasus illegal loging dengan 7 laporan kasus, illegal oil dengan 5 kasus, illegal fishing dengan 2 kasus, sedangkan narkoba dan 11 terorisme tidak tercatat dalam laporan kepolisian . Selanjutnya, variabel yang memiliki bobot tertinggi ketiga dan keempat adalah variabel Potensi Ekonomi dan Kualitas Infrastruktur dengan bobot masing-masing sebesar 12,7 persen dan 11,9 persen. Kemudian variabel Produktivitas dan Kepastian Hukum berada diurutan kelima dan keenam dengan bobot masing – masing sebesar 5,6 persen dan 4,3 persen, sedangkan variabel Ketersediaan dan Biaya Tenaga Kerja berada di urutan ketujuh dan dua belas dengan bobot sebesar 4,1 dan 3,5 11

Kepolisian Daerah Maluku. 2012. Data Kriminalitas Provinsi Maluku.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 47


persen. Kemudian secara berurutan variabel yang menjadi prioritas di dalam pemecahan permasalahan penentuan faktor daya tarik investasi di Maluku, yaitu Budaya, Sosial Politik, Kinerja Aparatur, Struktur Ekonomi, Perda, dan Keuangan Daerah. Seperti halnya dengan Provinsi Gorontalo, ketersediaan infrastruktur yang memadai dan menopang kegiatan perekonomian menjadi permasalahan yang harus segera dipecahkan.Faktor konektivitas antar daerah merupakan hal yang vital bagi para investor dalam kelancaran mobilisasi kegiatan ekonomi dan efisiensi. Dari keseluruhan jalan sepanjang 11.209,47 KM, jalan nasional memiliki panjang 2.956,31 KM, jalan provinsi 2.699,31 KM dan jalan kabupaten/ kota sepanjang 5.553,77 KM. Wilayah Maluku masih memiliki permasalahan terkait dengan rendahnya kualitas dan kuantitas ketersediaan sarana dan prasarana, khususnya untuk jalan dan jembatan, serta sarana transportasi.Selain itu, kurangnya keterpaduan transportasi antarmoda menjadi permasalahan utama, khususnya ketersediaan transportasi darat, laut, sungai, dan udara yang belum memadai.Minimnya infrastruktur yang dibangun juga mengakibatkan keterisolasian wilayah antarpulau dan dalam pulau.Di wilayah Maluku, jaringan jalan di pulau-pulau terpencil belum sepenuhnya berfungsi untuk mendukung transportasi lintas pulau dan melayani mobilitas masyarakat dalam mengembangkan potensi wilayah serta mengurangi kemiskinan.Adapun jalan desa yang dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun masih belum memadai.Selain itu, armada angkutan jalan raya sangat terbatas karena armada yang tersedia tidak sebanding dengan luas daratan pada setiap kabupaten.Jangkauan kapal PELNI, kapal ferry, perintis, dan kapal pelayaran rakyat (Pelra) masih sangat terbatas dan tidak memadai untuk kondisi geografis wilayah Maluku yang terdiri atas pulau-pulau kecil, sedang, dan besar.Ketersediaan energi listrik sangat penting dalam mendukung industrialisasi maupun perbaikan kualitas hidup secara umum. Dalam hal ini rasio elektrifikasi di wilayah Maluku terus mengalami peningkatan dari 55 persen di Maluku dan 48 persen di Maluku Utara pada tahun 2004 menjadi masing-masing 59 dan 51 persen pada tahun 2008. Namun demikian angka ini masih jauh di bawah angka nasional yang telah mencapai 67 persen (Statistik Ketenagalistrikan dan Energi). Luas irigasi di Maluku sampai dengan tahun 2007 mencapai 152,49 ribu hektar atau sekitar 2% dari total daerah irigasi di seluruh Indonesia yang tersebar di Maluku sekitar 62% dan Maluku Utara sekitar 38%. Daerah irigasi tersebut terdiri atas kewenangan Pemerintah Pusat seluas 41,54 ribu hektar, kewenangan pemerintah provinsi 82,31 ribu hektar, dan kewenangan kabupaten 28,64 ribu hektar. Dari total 152,49 ribu hektar daerah irigasi di kepulauan Maluku, ketersediaan airnya masih 12 mengandalkan aliran sungai, baik melalui bendung maupun free intake . II.5

Provinsi Maluku Utara

Rata-rata pertumbuhan PDRB Provinsi Maluku Utara cukup tinggi dengan angka 6.49 persen, pertumbuhan positif ini ditandakan dengan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2006 berjumlah sebesar Rp. 2.325 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 2.501 miliar, tahun 2008 sebesar 2.651 miliar, tahun 2009 sebesar 2.812 miliar, tahun 2010 sebesar 3.036 miliar, dan pada tahun 2011 sebesar 3.230 miliar. Pertumbuhan terbesar berada pada tahun 2010 dengan pertumbuhan PDRB sebesar 7,97 persen. Tetapi tidak diiringi dengan peningkatan pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB pada tahun tersebut, yaitu rasio PMTB terhadap PDRB turun sebesar 3,45 persen. Rasio PMTB terhadap PDRB terkecil berada pada tahun 2006 dengan besar rasio 5,17 persen, sedangkan rasio terbesar berada pada tahun 2011 dengan pertumbuhan sebesar 5,48 persen. Peningkatan PMTB dan rasio PMTB terhadap PDRB Provinsi Maluku Utara memberi gambaran pengaruh positif perbaikan kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi angka tersebut belum memuaskan, jika dibandingkan angka total PMTB nasional, PMTB Maluku Utara hanya menyumbang sebesar 0,04 persen. Yaitu pada tahun 2006 sebesar 0,03 persen, tahun 2007 sebesar 0,03 persen, tahun 2008 sebesar 0,04 persen, tahun 2009 sebesar 0,04 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 0,05 persen.

12

BAPPENAS. 2012. Buku III Rencana Kerja Pemerintah.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 48


Tabel 5.39 PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 – 2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PDRB (miliar rupiah) 2.325 2.501 2.651 2.812 3.036 3.230

Pert. PDRB (%) 5,45 6,02 6,00 6,07 7,97 6,39

PMTB (miliar rupiah) 122 139 172 212 221 248

% PMTB/PDRB 5,17 5,56 6,49 7,54 7,28 7,68

Pert. % PMTB/PDRB 7,47 16,74 16,20 (3,45) 5,48

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Perkembangan PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Utara yang selaras menandakan adanya hubungan siginifikansi dan korelasi positif antara kedua komponen tersebut. Rasio PMTB terhadp PDRB mengalami peningkatan dari periode I ke periode II - dikeluarkannya dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi - dengan rata – rata rasio sebesar 6,62 persen. Akumulasi PMTB Maluku Utara pada periode I adalah sebesar Rp. 433 miliar atau sebesar 5,74 persen terhadap PDRB kemudian naik menjadi Rp. 681 miliar atau dengan rasio sebesar 7,50 persen terhadap PDRB pada periode II. Kenaikan ini membawa dampak positif terhadap pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 6,62 persen (signifikansi .021). Dampak positif ini kemudian mempertegas adanya korelasi positif antara PDRB dan PMTB di Provinsi Maluku Utara, pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara berkorelasi dengan pertumbuhan investasi PMTB Maluku Utara yang ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar 0.971. Tabel 5.40 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 – 2011

One-Sample T Test Correlate Bivariate

Sig. (2-tailed)* .021 .006

Value t & Pearson 3.342 .971

Ket: *singnifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95 % Berdasarkan amanat kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku Utara telah membentuk unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang berfungsi sebagai unit pelayanan perizinan penanaman modal daerah, unit ini belum berdiri sendiri dan masih berada di bawah Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi sebagai penyelenggara urusan penanaman modal daerah 13. Dalam realisasi investasi PMDN dan PMA, Provinsi Maluku Utara terbilang memiliki realisasi yang relatif kecil, baik dari sisi jumlah proyek atau nilainya.Investasi mulai tumbuh mulai tahun 2009, atau semenjak dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.Akumulasi nilai investasi PMDN tahun 2006 – 2012 adalah sebesar Rp. 334 miliar rupiah dengan jumlah proyek sebanyak 5 unit.Sedangkan akumulasi nilai investasi PMA tahun 2006 – 2012 adalah sebesar US$ 472 juta dengan jumlah proyek sebanyak 32 unit. Jumlah investasi PMDN relatif kecil dibanding PMA, pada tahun 2010 realisasi investasi hanya berasal dari PMA sebesar Rp. 246 miliar. Sedangkan pada tahun 2011 PMDN mulai terdapat realisasi sebesar Rp. 13,5 miliar atau hanya sebesar 10,40 persen dari jumlah nilai investasi PMA pada tahun tersebut. Pada tahun 2012 investasi PMDN mengalami peningkatan drastis sebesar 2274,07 atau dengan nilai sebesar Rp. 320,5 miliar. Sementara itu, sama halnya dengan PMDN, investasi PMA juga baru mulai terealisasi pada tahun 2010 sebesar US$ 246 juta. Di tahun 2011 investasi PMA turun sebesar -47,23 persen atau sebesar US$ 129,8 juta, dan tahun 2012 kembali turun sebesar -30,43 persen atau sebesar US$ 90,3 juta. Nilai realisasi investasi PMA di tahun 2012 relatif lebih kecil jika dibanding realisasi investasi PMDN, yaitu hanya sebesar 28,17 persen dari jumlah nilai investasi PMDN. Dalam skala akumulasi nasional, investasi PMDN dan PMA Provinsi Maluku Utara menyumbang nilai yang relatif kecil, yaitu investasi PMDN sebesar 0,10 persen dan investasi PMA sebesar 0,46 persen. Peningkatan realisasi investasi perlu didorong untuk mencapai target investasi nasional. 13 Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanaman Modal Daerah di Provinsi Maluku Utara. Perda mengenai PTSP sampai saat ini masih dalam proses pembahasan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 49


Gambar 5.38 Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Maluku Utara tahun 2006 – 2012 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yaitu investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Sehingga dari investasi yang ditanamkan pada kurun waktu tertentu dapat dilihat tingkat produktivitas dan efisiensi investasi tersebut. Berdasarkan koesfisien ICOR dengan metode standar sektoral, nilai koefisien ICOR yang produktif berada pada Sektor Pertanian dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran. Koefisien ICOR Sektor Pertambangan dan Penggalian pada tahun 2009 bernilai negatif (-4,00), artinya mungkin ada penambahan barang modal baru tetapi barang modal baru tersebut sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun 2008. Dengan demikian penanaman modal baru tersebut belum menghasilkan output secara optimal atau bisa dikatakan investasi yang ditanamkan belum/tidak efisien pada tahun tersebut. Sementara itu investasi yang besar terhadap kontribusi 1 unit output diperlihatkankan oleh Sub Sektor Penggalian Sektor Pertambangan & Penggalian tahun 2009 dengan nilai ICOR 40,00. ICOR yang bernilai negatif berarti investasi yang ditanamkan tidak memberi kontribusi positif terhadap output.Variasi dan fluktuasi nilai ICOR Maluku Utara menggambarkan ketidakstabilan perekonomian yang ada dengan dominasi peran Sektor Pertanian dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran dalam menopang pertumbuhan perekonomian daerah. Tabel 5.41 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 – 2011

1.

2.

3. 4.

5. 6.

Sektor/ Sub Sektor (1) Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel

2007 (2) 0,44 3,40 0,71 17,00 8,50 1,89 1,42

2008 (3) 0,40 0,79 0,87 33,00 -6,60 8,25 8,25

2009 (4) 0,91 6,67 1,33 0 13,33 8,00 -4,00

2010 (5) 0,17 1,00 0,26 4,50 9,00 1,13 1,00

2011 (6) 0,61 5,40 0,84 13,50 0 6,75 6,75

Rata-Rata (7) 0,51 3,45 0,80 13,60 4,85 5,20 2,68

0 1,55 0 1,42 17,00 17,00 0 17,00 4,25 0,39 0,39 0

0 16,50 16,50 -1,03 0 0 0 0 5,50 0,67 0,69 33,00

0 -3,64 40,00 2,86 0 0 0 0 10,00 0,62 0,63 0

0 1,13 9,00 0,47 9,00 9,00 0 9,00 3,00 0,10 0,10 9,00

0 13,50 27,00 2,25 27,00 0 0 0 4,50 0,32 0,32 0

0 5,81 18,50 1,19 10,60 5,20 0 5,20 5,45 0,42 0,42 8,40

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 50


7.

8.

9.

c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

0 1,06 2,83 0 5,67 8,50 0 17,00 17,00 1,89 2,83

33,00 1,43 2,36 0 16,50 6,60 33,00 8,25 33,00 3,30 4,13

0 2,00 4,00 0 13,33 13,33 0 13,00 40,00 4,00 4,00

9,00 0,50 0,75 0 3,00 2,25 9,00 3,00 9,00 1,50 1,29

0 1,93 3,38 0 13,50 13,50 0 9,00 27,00 4,50 2,70

8,40 1,39 2,66 0 10,40 8,84 8,40 10,12 25,20 3,04 2,99

17,00 17,00 0 4,25 0 2,13 2,83 8,50 17,00 0 17,00 3,44

16,50 16,50 0 5,50 0 3,67 5,50 8,25 16,50 0 33,00 2,56

20,00 20,00 0 10,00 40,00 2,67 3,64 13,33 20,00 40,00 20,00 2,12

4,50 4,50 0 2,25 0 0,43 0,50 3,00 9,00 0 0 1,77

13,50 27,00 0 4,50 0 1,35 1,80 5,40 6,75 27,00 27,00 5,27

14,30 17,00 0 5,30 8,00 2,05 2,85 7,70 13,85 13,40 19,40 3,03

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Sementara itu, Sektor Konstruksi dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi terjadi peningkatan koefisien ICOR dalam waktu tahun 2007 - 2011.Hal ini menandakan investasi yang ditanamkan dalam rentang waktu tersebut peningkatan investasi dalam pertumbuhan ekonomi secara makro.Padahal sebagai daerah kepulauan, harusnya Sektor Pengangkutan bisa produktif dalam mobilisasi barang dan jasa, Artinya terjadi inefisiensi investasi di sektor ini.Metode standar ini dapat mencerminkan inefisiensi yang terjadi dari tahun ke tahun.Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pertumbuhan terhadap pembentukan modal yang ditanamkan. Pertumbuhan output merupakan nilai tambah bruto yang dihasilkan dari tahun ke tahun dengan periode-t lag 0. Jika dihitung dengan metode akumulasi, investasi yang ditanamkan di Provinsi Maluku Utara dalam rentang waktu tahun 2001 – 2011 secara total mencapai 7,35. Hal ini menggambarkan untuk memperoleh satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan tambahan investasi sebesar 7,35 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas dari penggunaan barang modal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target yang ditentukan. Tebel 5.42 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 - 2011

1.

2.

3. 4. 5. 6.

7.

Sektor/ Sub Sektor (1)

Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan Angkautan Rel

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

ICOR (2)

0,48 1,88 0,79 21,00 126,00 4,20 6,63 0 10,50 25,20 5,04 42,00 63,00 0 5,48 0,38 0,38 63,00 63,00 1,38 2,52 0

V- 51


8.

9.

Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

9,69 7,88 63,00 9,00 25,20 3,07 3,07 14,00 15,75 0 5,25 126,00 1,73 2,25 7,41 12,60 63,00 25,20 7,35

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan PMTB harga konstan.

Dari tabel di atas dapat diketahui sektor yang memiliki nilai ICOR terkecil adalah Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, yaitu sebesar 0,38. Artinya setiap penambahan Rp. 1 miliar output memerlukan investasi sebesar Rp. 0,38 miliar. Sektor berikutnya adalah Sektor Pertanian, tingkat produktivitas di dua sektor ini cukup tinggi karena sebagian besar komoditas di dua sektor ini memiliki proses produksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar inputnya adalah input antara (intermediate cost) yang habis dipakai kurang dari satu tahun. Kemudian Sektor Pengangkutan dan Komunikasi juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi di dalam modal yang ditanamkan, Sektor berikutnya adalah Sektor Jasa-Jasa dan Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan.Sektor jasa ini memiliki perputaran modal yang relatif cepat. Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih, dan Sektor Konstruksi memiliki nilai ICOR yang relatif tinggi, hal ini dimungkinkan modal yang ditanamkan tidak bersifat jangka pendek atau barang modal tersebut belum berproduksi menghasilkan output. Sektor atau sub sektor yang memiliki nilai ICOR tinggi mencapai 126 seperti Sub Sektor Kehutanan, disebabkan nilai output yang dihasilkan relatif kecil dari jumlah modal yang ditanamkan. Penyebabnya adalah tidak adanya pertumbuhan dan pertumbuhan negatif ditambah dengan tidak adanya perbaikan produksi menjadi penyebab tingginya nilai ICOR ini.Investasi yang ditanamkan tersebut belum efektif dan relatif kurang efisien. Di antara yang sektor atau sub sektor yang tidak memiliki pertumbuhan dan pertumbuhan negatif, terdapat nilai ICOR yang tidak relatif tinggi, misalnya Sektor Industri Pengolahan di tahun 2008 mengalami pertumbuhan sebesar (nilai tambah bruto) Rp. -32 miliar dari tahun sebelumnya tetapi mengalami perbaikan pertumbuhan yang signifikan di tiga tahun berikutnya. Sehingga secara akumulatif nilai ICOR tidak terlalu tinggi, meskipun belum bernilai produktif jika dibandingkan dengan sektor lainnya.Secara keseluruhan relatif tingginya nilai ICOR dengan metode akumulasi akibat tidak dilakukan penyesuaian karena adanya nilai tambah yang fluktuatif, ini dilakukan untuk melihat keadaan nyata di lapangan secara akumulatif. Secara umum di dalam rentang waktu ini, dimana telah dikeluarkan dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi, bisa dikatakan investasi yang ditanamkan di Provinsi Maluku Utara cukup bernilai produktif terutama pada tahun 2008 – 2011 dengan nilai koefisien ICOR yang di bawah 3. Namun, penghitungan yang dilakukan dengan metode standar dan akumulasi terlihat masih terdapat sektor dan subsektor yang tidak produktif dan tidak efisien.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 52


Gambar 5.39 Perkembangan ICOR Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 - 2011

Sumber: BPS, data diolah menggunakan data PMTB konstan. Secara rata-rata, melalui gambar di atas dapat dilihat perkembangan nilai ICOR Provinsi Maluku Utara, walaupun demikian pada tahun 2010 setelah dikeluarkan kebijakan mengenai PTSP di bidang Penanaman Modal ICOR Maluku Utara mencapai angka efisien di bawah 3, yaitu sebesar 1,77. Namun efisiensi tersebut tidak dapat dipertahankan seiiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Seperti yang diketahui, pertumbuhan PDRB Provinsi Maluku Utara terus mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2010 sebesar 7,97 persen dengan investasi PMTB yang relatif kecil dan efisien menurun sebesar 3,49 dari tahun sebelumnya. Nilai realisasi investasi yang relatif kecil dan tingkat fluktuasi nilai ICOR Provinsi Maluku Utara menandakan terdapat permasalahan di dalam perekonomian daerah.Sebagai salah satu komponen di dalam pertumbuhan ekonomi, permasalahan iklim investasi di Maluku Utara menjadi faktor di dalam peningkatan realisasi investasi dan pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah dengan meningkatkan produktivitas sektor dan subsektor perekonomian.Efisiensi investasi dalam pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif.Untuk menjawab permasalahan iklim investasi di Provinsi Maluku Utara dapat diidentifikasi melalui faktor-faktor penentu daya tarik investasi. II.5.1

Permasalahan dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Utara

Permasalahan iklim investasi di Maluku Utara didominasi oleh infrastruktur dan permasalahan ekonomi daerah, yaitu potensi dan struktur ekonomi. Secara rinci permasalahan tersebut dijelaskan melalui analisis berikut: Tabel 5.43 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Utara Faktor-Faktor

Kelembagaan

Sosial Politik

1 1.1965

0.8358 1

Ekonomi Daerah 0.2687 0.4506

3.7210

2.2191

1.4106 4.1470 11.4751

0.7691 3.5621 8.3861

Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur Jumlah

Tenaga Kerja

Infrastruktur

0.7089 1.3002

0.2411 0.2807

1

2.1277

1.1472

0.4700 0.8717 3.0611

1 2.8473 7.9841

0.3512 1 3.0203

Sumber: Hasil analisis. Matriks ini merupakan rata-rata geometris dari seluruh stakeholder. Pada matrik ini menunjukkan tingkat kepentingan setiap faktor/variabel terhadap faktor/varabel lainnya. Dari hasil penghitungan ditemukan bahwa Faktor Sosial Politik merupakan faktor penentu daya tarik investasi dibanding Faktor Kelembagaan dengan koefisien sebesar 1.1965 dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 1.3002. Kemudian Faktor Ekonomi Daerah dianggap faktor yang lebih penting dibanding Faktor Kelembagaan, Sosial Politik, Tenaga Kerja, dan Infrastruktur dengan besaran koefisien masing-masing 3.7210, 2.2191,

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 53


2.1277, dan 1.1472. Faktor Tenaga Kerja lebih dipentingkan daripada Faktor Kelembagaan dengan koefisien sebesar 1.4106. Sedangkan Faktor Infrastruktur memiliki daya tarik yang tinggi dari Faktor Kelembagaan, Sosial Politik, dan Tenaga Kerja dengan besaran koefisien masing-masing sebesar 4.1470, 3.5621, dan 2.8473. Selanjutnya, penghitungan yang di lakukan dengan matriks priority vector diperoleh bobot masing-masing faktor yang kemudian diketahui peringkat masing-masing faktor dalam menentukan daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara. Tabel 5.44 Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Utara FaktorFaktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur

0,087144824 0,104267212

Sosial Politik 0,0996634 0,1192454

Ekonomi Daerah 0,08779508 0,147216056

Tenaga Kerja 0,08878858 0,16284746

0,324264023

0,2646147

0,326683609

0,122930559 0,361393382

0,0917141 0,4247624

0,153539875 0,284765379

Kelembagaan

Infrastruktur

Jumlah

0,0798388 0,0929498

0,4432307 0,6265259

0,26649039

0,3798331

1,5618858

0,12524932 0,35662424

0,1162833 0,331095

0,6097171 1,7586405

Sumber: Hasil analisis. Gambar 5.40 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Maluku Utara (persen)

Sumber: Hasil analisis.

Penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara pada level pertama didominasi oleh Faktor Infrastruktur sebagai faktor yang yang paling penting diperhatikan di dalam melakukan perbaikan iklim investasi dengan porsi sebesar 35,17 persen. Di peringkat kedua adalah Faktor Ekonomi Daerah sebesar 31,24 persen. Selanjutnya Faktor Sosial Politik sebesar 12,53 persen, diikuti Faktor Tenaga Kerja sebesar 12,19 persen. Sedangkan Faktor Kelembagaan adalah faktor yang paling tidak disoroti dalam penentu daya tarik investasi sebesar 8,86 persen.

Faktor ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Maluku Utara merupakan faktor daya tarik yang paling penting bagi investor.Keterjangkauan semua wilayah Maluku Utara melalui jalan darat, serta infrastruktur pendukung lainnya seperti sarana telekomunikasi dan infrastruktur fisik lainnya.Seperti yang diketahui Provinsi Maluku Utara sekitar 70 % merupakan perairan, sehingga dibutuhkan sarana penghubung antar pulau ini demi kelancaran mobilisasi barang dan jasa. Di samping itu ekonomi daerah sebagai faktor dominan kedua mengisyaratkan ketersediaan sumber daya alam dan laut yang melimpah di Maluku Utara, hanya saja perlu dilakukan pemetaan potensi dan sektor kunci yang memiliki nilai ekonomi dan keterkaitannya dengan sektor lain. Lebih lanjut dapat dilihat pada analisis comparative advantages perekonomian Maluku Utara, mengingat rendahnya PDRB dan relatif buruknya iklim investasi.Maka perlu dilakukan pengembangan strategi kebijakan investasi daerah.Sedangkan Faktor Kelembagaan yang menjadi sorotan dalam perbaikan pelayanan perizinan penanaman modal tidak mendapat sorotan dominan di dalam perbaikan iklim investasi Maluku Utara, kalah dominan oleh Faktor Sosial Politik dan Tenaga Kerja.Provinsi Maluku Utara mementingkan kestabilan kondisi sosial politik dan ketersediaan tenaga kerja yang produktif di dalam menarik investor untuk membuka usaha di daerahnya. Untuk lebih rinci mengetahui faktor beserta variabel yang menjadi faktor penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara, berikut adalah tabel bobot level pertama dan kedua yang kemudian menghasilkan bobot final faktor dan variabel yang kemudian dapat diperingkatkan dalam penentuan daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 54


Tabel 5.45 Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku Utara Level 1 Infrastruktur

0.352

Ekonomi Daerah

0.312

Sosial Politik

0.125

Tenaga Kerja

0.122

Kelembagaan

0.089

Level 2 Ketersediaan Infrastruktur Fisik Kualitas Infrastruktur Fisik Potensi Ekonomi Struktur Ekonomi Sosial Politik Keamanan Budaya Biaya Tenaga Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja Kepastian Hukum Keuangan Daerah Kinerja Aparatur Perda

0.639 0.361 0.619 0.318 0.257 0.601 0.142 0.159 0.450 0.391 0.362 0.111 0.265 0.261

Bobot Final 0.225 0.127 0.193 0.119 0.032 0.075 0.018 0.019 0.055 0.048 0.032 0.010 0.024 0.023

Sumber: Hasil analisis. Faktor Infrastruktur memiliki dua variabel, yaitu Ketersediaan Infrastruktur Fisik dan Kualitas Infrastruktur Fisik dengan bobot masing-masing 63,9 persen dan 36,1 persen. Urutan kedua faktor level pertama, yaitu Faktor Ekonomi Daerah memiliki variable Potensi Ekonomi dengan bobot 61,9 persen dan Struktur Ekonomi dengan bobot 31,8 persen. Faktor Sosial Politik menduduki prioritas ketiga dengan variabel Sosial Politik dengan bobot 25,7 persen, variabel Keamanan dengan bobot 25,7 persen, dan variabel Budaya 14,2 persen. Faktor Tenaga Kerja sebagai salah satu faktor produksi memiliki tiga variabel, yaitu variabel Biaya Tenaga Kerja dengan bobot 15,9 persen, variabel Ketersediaan Tenaga Kerja 45,0 persen, dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan bobot 39,1 persen. Sedangkan Faktor Kelembagaan dengan variabel Kepastian Hukum, Keuangan Daerah, Kinerja Aparatur, dan Perda masing-masing memiliki bobot sebesar 36,2 persen, 11,1 persen, 26,5 persen, dan 26,1 persen. Urutan bobot prioritas level pertama merupakan hal yang dianggap penting bagi stakeholder dalam penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara. Hal ini menjadi perlu diperhatikan mengingat relatif rendahnya nilai dan jumlah proyek investasi yang terealisasi.Sehingga urutan ini dapat dikatakan merupakan permasalahan iklim investasi di Maluku Utara yang harus segera diatasi jika ingin meningkatkan realisasi investasi.Faktor Kelembagaan melalui PTSP di bidang Penanaman Modal tidak menjadi sorotan bagi stakeholder, terbukti hingga saat ini belum ada Perda khusus tentang PTSP di Maluku Utara. Gambar 5.41 Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Maluku Utara

Sumber: Hasil analisis.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 55


Secara rinci, bobot final prioritas menggambarkan urutan prioritas dan permasalahan penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara. Variabel Ketersediaan Infrastruktur Fisik memiliki bobot tertinggi sebagai penentu daya tarik investasi dengan bobot sebesar 22,5 persen. Diikuti variabel dengan bobot tertinggi kedua dan ketiga yaitu variabel Potensi Ekonomi dan Kualitas Infrastruktur Fisik dengan bobot masing-masing bobot sebesar 19,3 persen dan 12,7 persen. Kemudian variabel Keamanan sebagai peringkat keempat memiliki bobot sebesar 7,5 persen. Keamanan menjadi sorotan karena mengingat terdapatnya potensi-potensi konflik sosial di Maluku Utara yang dapat menghambat kegiatan ekonomi dan investasi. Tenaga kerja sebagai faktor produksi dengan variabel Ketersediaan dan Produktivitas Tenaga Kerja masing-masing memiliki bobot sebesar 5,5 persen dan 4,8 persen, sedangkan variabel Biaya Tenaga Kerja berada di peringkat 12 dengan bobot 1,9 persen. Kemudian secara berurutan variabel Kepastian Hukum, Sosial Politik, Kinerja Aparatur, Perda, Budaya, dan Keuangan Daerah dengan bobot masing-masing sebesar 3,2 persen, 3,2 persen, 2,4 persen, 2,3 persen, 1,8 persen, dan 1,0 persen. Permasalahan iklim investasi di Provinsi Maluku Utara dapat digambarkan melalui urutan prioritas level 1 dan level 2 penentu daya tarik investasi di atas. Infrastruktur fisik sebagai prioritas pertama yang harus diselesaikan karena mengingat kondisi ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Maluku Utara yang kurang memadai.Faktor konektivitas antar daerah merupakan hal yang vital bagi para investor dalam kelancaran mobilisasi kegiatan ekonomi dan efisiensi. Tercatat dari total panjang jalan darat di Provinsi Maluku Utara, yaitu 3.094,42 KM hanya sekitar 31,32 persen dengan kondisi baik. Sedangkan sebanyak 13,20 persen dengan kondisi rusak ringan dan 55,48 persen dengan kondisi rusak berat. Dan yang menjadi catatan, sebagian besar panjang jalan dengan kondisi baik merupakan status jalan nasional, sedangkan jalan dengan status jalan provinsi dan kabupaten merupakan jalan dengan kondisi rusak ringan dan rusak berat.Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi oleh pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas jalan darat. Tabel 5.46 Kondisi Jalan Provinsi Maluku Utara

Kabupaten/Kota

Panjang (KM)

Pulau Morotai Halmahera Utara Halmahera Barat Kota Tidore Kepulauan Halmahera Tengah Halmahera Timur Halmahera Selatan Kota Ternate Kepulauan Sula Total

Baik

233,107 461,817 250,064 149,572 263,437 672,240 597,320 45,457 421,410 3.094,424

126,83 196,63 133,27 149,572 55,49 186,27 68,32 45,457 14,00 969,09

Kondisi Rusak Ringan 5,00 80,00 23,60 39,00 42,00 199,00 20,00 408,60

Rusak Berat 101,00 185,20 100,19 168,95 443,98 330,00 387,41 1.716,73

Sumber: BAPPEDA Prov. Maluku Utara Sementara itu sarana perhubungan udara dan transportasi laut berada dalam kondisi baik.Perkembangan yang signifikan pada sarana transportasi udara di Provinsi Maluku Utara saat ini terdapat beberapa buah pelabuhan udara yang tersebar di beberapa Kabupaten/Kota. Tabel 5.47 Infrastruktur Perhubungan Udara Provinsi Maluku Utara Tahun 2011

Kabupaten /Kota Halmahera Barat Halmahera Tengah Halmahera Utara

Nama Bandara - Bandara Gebe - Bandara Weda By Nikel - Bandara Gamarmalamo Galela

Kondisi Fisik Baik Baik Baik

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

Kapasitas Landasan 900 x 23 M 850 x 23 M 750 x 23 M

Rata-Rata Penerbangan Pesawat (Hari/Bulan) 4 x perbulan 4 x perbulan 4 x perbulan

V- 56


Kabupaten /Kota

Halmahera Selatan Halmahera Timur Kepulauan Sula

Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan

Baik Baik Baik

900 x 23 M 2.700 x 45 M 825 x 23 M

Rata-Rata Penerbangan Pesawat (Hari/Bulan) 12 x perbulan 8 x perbulan 8 x perbulan

Baik Baik Baik Baik Baik -

1.200 x 23 1.050 x 23 900 x 23 1.100 x 23 2.100 x 30 -

12 x perbulan 8 x perbulan 4 x perbulan 4 x perbulan 5 X perhari -

Kondisi Fisik

Nama Bandara - Bandara Kuabang Kao - Bandara Morotai - Bandara Oesman Sadik Labuha - Bandara Buli - Bandara Emalamo Sanana - Bandara Bobong - Bandara Falabisahaya - Bandara BabullaH -

Kapasitas Landasan

M M M M

Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Utara Tabel 5.48 Infrasturktur Perhubungan Laut Provinsi Maluku Utara Tahun 2011

Kabupaten/Kota Halmahera Barat Halmahera Tengah Halmahera Utara Halmahera Selatan Halmahera Timur Kepulauan Sula Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan

Jumlah Dermaga

Kondisi Fisik

Kapasitas

2 4 6 6 1 6 4 4

Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik

1.600 T/M3 400 T/M3 3.500 T/M3 2.600 T/M3 1.500 T/M3 2.500 T/M3 5.000 T/M3 1.700 T/M3

Rata-Rata Kapal,Perahu Yang Sandar Setiap Hari 5 5 11 8 5 7 15 6

Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Utara Dari keterangan tabel di atas diketahui kondisi infrastruktur udara dan laut berada dalam kondisi baik, tetapi hal yang menjadi catatan sesuai dengan analisis ICOR sebelumnya bahwa angkutan udara dan luat memiliki nilai ICOR yang relatif tinggi. Artinya kondisi yang baik ini belum efisien dalam peningkatan output perekonomian Maluku Utara. Perlu dilakukan berbagai upaya dalam strategi investasi agar investasi yang ditanamkan pada subsektor ini dapat bernilai produktif.Karena jika dilihat dari intensitas penerbangan masih relatif rendah, artinya tingkat mobilitas masyarakat juga masih rendah.Sementara untuk sarana transportasi ASDP di Maluku Utara masih sangat terbatas, masih banyak pelabuhan penyeberangan dalam kondisi kurang layak operasi. Sampai tahun 2011 total pelabuhan penyeberangan yang sudah beroperasi baru sebanyak 9 pelabuhan dari total 17 pelabuhan. Hal ini perlu dilakukan percepatan mengingat Maluku Utara merupakan daerah kepulauan yang sangat tergantung akan fasilitas transportasi ini. Nilai ICOR transportasi ASDP sangat besar, dan beberapa tahun cenderung nol, hal ini membuktikan pembangunan yang belum juga selesai dan tentu belum produktif terhadap peningkatan output perekonomian. Tabel 5.49 Jumlah Penyeberangan (Ferry) di Provinsi Maluku Utara No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Pelabuhan Penyeberangan Bastiong Batang Dua Sidangoli Rum Goto Sofifi Tobelo Daruba Subaim Makian Babang

Lokasi P. Ternate – P. Mayau – Kab. Halbar P. Tidore – Tikep P. Tidore – Tikep P. Halmahera – Tikep P. Halmahera – Halut P. Morotai - Tikep P. Halmahera – Haltim P. Makian – Kab. Halsel P. Bacan – Kab. Halsel

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

Keterangan Pembangunan Tahap IV Pembangunan Tahap II Pembangunan Tahap I Pembangunan Tahap II

V- 57


12. 13. 14. 15. 16.

Saketa Leuwei Sanana Desa Kramat Bobong

Kab. Halsel P. Obi – Kab. Halsel P. Sulabesi – Kepsula P. Mangoli – Kepsula P. Taliabu – Kepsula

17.

Patani

P. Halmahera- Halteng

Tahap SID Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan

Tahap Tahap Tahap Tahap

I I I II

-

Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Utara Prioritas kedua sebagai penentu daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara adalah masalah ekonomi daerah.Ekonomi daerah erat kaitannya dengan daya tarik investasi. Investor akan mau melakukan kegiatan investasi jika di daerah tersebut memiliki potensi ekonomi dan spesialisasi yang dapat mendatangkan keuntungan, di samping itu pemerintah daerah juga harus mampu menciptakan spesialisasi ekonomi dalam menumbuhkembangkan potensi ekonominya agar dapat menjadi daya tarik tertentu bagi para investor. Jika dilihat dari analisis ICOR di sektor usaha Maluku Utara, Sektor Pertanian dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memiliki nilai yang efisien dalam output perekonomian. Untuk lebih rinci dan untuk mengetahui sektor mana yang memiliki kapasitas pertumbuhan output jika dibandingkan dengan kapsitas perekonomian nasional dan penentuan sektor basis dan non-basis, dilakukan analisis potensi daerah Provinsi Maluku Utara. II.6

Provinsi Sumatera Utara

Berdasarkan survey yang dilakukan KPPOD (2008), iklim investasi Provinsi Sumatera Utara tergolong kepada provinsi dengan iklim investasi yang tidak kondusif. Sebagai provinsi yang memiliki PDRB tertinggi di regional Pulau Sumatera, proporsi terhadap penggunaan penanaman modal tetap hanya berkisar sekitar 19,34 persen tiap tahunnya (2006 – 2011). Realisasi investasi PMTB Sumatera Utara menduduki peringkat kedua setelah Provinsi Riau dengan tren positif selama tahun 2006 – 2011. Ratarata pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera Utara dalam waktu ini adalah sebesar 6,26 persen. Pertumbuhan positif ini ditandai dengan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2006 sebesar Rp. 93.347 miliar, tahun 2007 sebesar Rp. 99.792 miliar, tahun 2008 sebesar 106.172 miliar, tahun 2009 sebesar 111.559 miliar, tahun 2010 sebesar 118.641 miliar, dan pada tahun 2011 sebesar 126.451 miliar. Pertumbuhan terbesar berada pada tahun 2007 dengan pertumbuhan PDRB sebesar 6,90 persen. Nilai PDRB yang relatif besar di Sumatera Utara tidak lepas dengan besarnya investasi yang ditanamkan, peningkatan pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB diiringi dengan pengingkatan output. Rasio PMTB terhadap PDRB terkecil berada pada tahun 2010 dengan pertumbuhan sebesar -1,32 persen dengan rasio sebesar 19,73 persen. Rasio terbesar berada pada tahun 2009 dengan pertumbuhan sebesar 1,58 persen dan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 20,00 persen. Peningkatan PMTB dan rasio PMTB terhadap PDRB Provinsi Sumatera Utara memberi gambaran pengaruh positif perbaikan kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi angka tersebut belum memuaskan, jika dibandingkan angka total PMTB nasional, PMTB Sumatera Utara hanya menyumbang sebesar 0,05 persen. Pada tahun 2006 hanya menyumbang sebesar 0,04 persen, tahun 2007 sebesar 0,05 persen, tahun 2008 sebesar 0,05 persen, tahun 2009 sebesar 0,05 persen, pada tahun 2010 sebesar 0,05 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 0,05 persen. Jika dibandingkan dengan Provinsi Riau, jumlah ini terbilang sangat kecil sebagai daerah yang memiliki PDRB yang relatif besar. Tabel 5.50 PDRB dan PMTB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – 2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PDRB (miliar rupiah) 93.347 99.792 106.172 111.559 118.641 126.451

Pert. PDRB (%) 6,20 6,90 6,39 5,07 6,35 6,58

PMTB (miliar rupiah) 16.604 18.809 20.902 22.309 23.413 25.240

% PMTB/PDRB 17,79 18,85 19,69 20,00 19,73 19,96

Pert. % PMTB/PDRB 5,96 4,45 1,58 -1,32 1,15

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 58


Rasio PMTB terhadap PDRB mengalami peningkatan dari periode I ke periode II - dikeluarkannya dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi - dengan rata – rata rasio sebesar 19,34 persen. Pasca dikeluarkannya kebijakan lewat Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Permendagri No 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, akumulasi PMTB Sumatera Utara pada periode I adalah sebesar Rp. 56.315 miliar atau sebesar 18,77 persen terhadap PDRB kemudian naik menjadi Rp. 70.962 miliar atau dengan rasio sebesar 19,90 persen terhadap PDRB. Peningkatan yang terjadi antara dua periode ini memberi dampak positif terhadap pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB sebesar 19,34 persen (signifikansi .007). Dampak positif ini diperkuat dengan uji korelasi antara PDRB dan PMTB di Provinsi Sumatera Utara, artinya pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara berkorelasi dengan pertumbuhan investasi PMTB Sumatera Utara yang ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar .989. Tabel 5.51 Uji statistik PDRB dan PMTB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 – 2011 Sig. (2-tailed)* One-Sample T Test Correlate Bivariate

.007 .001

Value t & Pearson 4.382 .989

Ket: *singnifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95 % Seperti halnya dengan provinsi yang lain, investasi di Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh investasi yang berasal dari dalam negeri (PMDN). Akumulasi nilai investasi PMDN Sumatera Utara tahun 2006 – 2012 adalah sebesar Rp. 9.445 miliar dengan jumlah proyek sebanyak 219 unit.Sedangkan akumulasi nilai investasi PMA tahun 2006 – 2012 adalah sebesar US$ 2.095 juta dengan jumlah proyek sebanyak 385 unit.Investasi PMDN relatif besar dibanding PMA tetapi memiliki realisasi jumlah proyek yang relatif sedikit.Pada tahun 2006 investasi PMDN berjumlah sebesar Rp. 594 miliar dan investasi PMA berjumlah sebesar US$ 58 juta. Pada tahun 2007, investasi PMDN tumbuh sebesar 156,02 persen dengan nilai Rp. 1.521 miliar dan investasi PMA juga tumbuh sebesar 226,51 persen dengan nilai US$ 190 juta. Realisasi Investasi PMDN dan PMA pada tahun 2008 tumbuh negatif, realisasi PMA sebesar US$ 127 juta atau tumbuh sebesar -32,95 persen. Sedangkan realisasi PMDN juga hanya sebesar Rp. 383 miliar atau tumbuh sebesar -74,84 persen. Pada tahun 2009 realisasi investasi kembali tumbuh positif, PMDN tumbuh sebesar 438,46 persen atau dengan realisasi sebesar Rp. 2.061 miliar, sedangkan realisasi PMA sebesar US$ 140 juta atau tumbuh sebesar 9,83 persen. Pada tahun 2010 PMDN tumbuh negatif dengan realisasi nilai sebesar Rp. 663 miliar atau tumbuh sebesar -67,84 persen, dan realisasi investasi PMA sebesar US$ 181 juta atau tumbuh sebesar 29,63 persen. Tahun 2011 realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 1.673 miliar atau tumbuh sebesar 152,47 persen, realisasi investasi PMA sebesar US$ 754 juta atau tumbuh sebesar 316,18 persen. Investasi PMA pada tahun 2012 kembali tumbuh negatif sebesar -14,38 persen dengan nilai US$ 645 juta dan investasi PMDN tumbuh sebesar 52,42 persen atau dengan nilai sebesar Rp. 2.550 miliar. Nilai investasi PMA paling besar terdapat pada tahun 2012, sedangkan PMDN terdapat pada tahun 2011. Jika dibagi dalam proporsi investasi daerah, investasi PMDN di Sumatera Utara tahun 2006 – 2012 adalah sebesar 81,85 persen dan PMA sebesar 18,15 persen. Sedangkan dalam skala nasional, investasi PMDN dan PMA Pronvinsi Sumatera Utara menyumbang nilai yang relatif kecil, yaitu investasi PMDN sebesar 2,76 persen dan investasi PMA sebesar 2,05 persen. Kurangnya minat para investor asing memberi gambaran masih relatif belum baiknya iklim investasi di Provinsi Sumatera Utara.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 59


Gambar 5.42 Perkembangan Nilai Realisasi Investasi di Sumatera UtaraTahun 2006 – 2012 (miliar rupiah)

Sumber: BKPM Jika dilihat efisiensi investasi yang ditanamkan, angka ICOR tahunan Sumatera Utara bervariasi menurut sektor dan subesktor ekonomi. Dapat diamati nilai ICOR yang kecil pada sektor dan subsektor memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dibanding nilai ICOR yang besar. Artinya semakin kecil nilai ICOR maka semakin besar produktivitas dan efisiensi dari investasi yang ditanamkan, konsekuensinya adalah dengan tingkat investasi yang sama, nilai ICOR yang rendah memberikan informasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tidak membutuhkan investasi yang besar. Berdasarkan koesfisien ICOR dengan metode standar sektoral, nilai koefisien ICOR yang produktif berada pada Sektor Pertanian dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Koefisien ICOR yang bernilai negatif seperti yang terdapat pada Subsektor Industri Migas, Kehutanan, Pertambangan Migas dan Gas Kota memiliki arti bahwa terdapat penambahan barang modal baru tetapi barang modal baru tersebut sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun sebelumnya. Dengan demikian penanaman modal baru tersebut belum menghasilkan output secara optimal atau bisa dikatakan investasi yang ditanamkan belum/tidak efisien pada tahun tersebut. Nilai ICOR sektor perekonomian Sumatera Utara yang relatif besar berarti investasi yang ditanamkan pada tahun tertentu juga relatif besar, sedangkan output yang dihasilkan lebih besar tetapi hampir sama atau relatif kecil dengan pada output tahun sebelumnya. Tetapi Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki output terbesar di wilayah Sumatera, artinya untuk menghasilkan pertumbuhan yang besar Sumatera Utara membutuhkan investasi yang besar pula, terutama Sektor Pertambangan dan Penggalian dan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Tabel 5.50 ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 – 2011

1.

2.

3.

Sektor/ Sub Sektor (1) Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Bukan Migas c. Penggalian Industri Pengolahan a. Industri Migas Pengilangan Minyak Bumi Gas Alam Cair b. Industri Bukan Migas

2007 (2) 1,95 6,32 4,77 17,64 64,85 13,61 20,23 40,83

2008 (3) 1,45 4,32 3,11 18,52 47,57 16,35 27,91 67,52

2009 (4) 1,15 3,96 2,43 12,23 31,27 10,58 74,05 -45,39

2010 (5) 0,82 2,45 1,67 9,12 -61,33 8,24 14,15 46,00

2011 (6) 1,22 9,82 2,13 11,79 -365,40 5,99 19,44 49,38

Rata-Rata (7) 1,32 5,37 2,82 13,86 -56,61 10,95 31,16 31,67

0,00 40,09 1,93 551,25 551,25 0,00 1,93

0,00 46,51 3,03 523,25 523,25 0,00 3,05

0,00 28,71 2,09 -703,50 -703,50 0,00 2,09

0,00 20,83 0,98 138,00 138,00 0,00 0,98

0,00 31,50 4,11 365,40 365,40 0,00 4,18

0,00 33,53 2,43 174,88 174,88 0,00 2,45

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 60


1102,50 84,81 -61,25 183,75

4.

Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih

5. 6.

Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Real Estate e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

7.

8.

9.

32,72 50,25 234,50 127,91

19,03 29,84 184,00 84,92

26,10 45,68 114,19 140,54

248,76 60,31 -45,25 139,62

4,66 1,71 1,86 147,00 25,06 2,70 3,78 735,00 1,79 129,71 735,00 9,46 22,97 9,42 2,97

63,42 91,00 697,67 161,00 3,93 1,85 2,11 74,75 19,03 2,60 3,38 523,25 7,05 72,17 697,67 9,65 29,48 11,25 2,76

3,04 1,33 1,53 54,12 12,34 1,88 2,30 351,75 5,06 50,25 469,00 6,37 18,04 10,42 3,07

2,16 0,82 0,91 55,20 10,22 1,10 1,34 368,00 3,61 39,43 2,19 2,88 11,04 6,17 1,29

2,65 1,03 1,16 63,00 10,81 1,75 2,20 465,75 5,03 39,72 -3,70 6,37 14,62 8,62 1,53

3,29 1,35 1,51 78,81 15,49 2,01 2,60 486,95 4,51 66,25 380,03 6,94 19,23 9,18 2,32

7,47 122,50 551,25 6,45 26,25 3,01 4,33 9,89 39,38 58,03 17,09 139,95

4,29 99,67 523,25 9,39 87,21 2,30 3,24 7,90 21,58 41,04 17,89 20,00

10,35 63,95 351,75 6,04 21,65 2,02 2,86 6,86 19,01 31,27 16,36 15,17

2,23 35,61 276,00 4,62 12,84 1,45 2,17 4,40 15,12 20,44 8,90 8,42

3,04 35,82 265,40 4,39 14,85 1,84 2,79 5,41 19,23 32,22 9,67 11,42

5,47 71,51 413,53 6,18 32,56 2,12 3,08 6,89 22,86 36,80 13,98 38,99

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan data PDRB dan PMTB harga konstan. Sektor yang mengalami perubahan nilai ICOR yang besar dan bervariasi adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian dan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, dalam rentang waktu ini menandankan pemerintah melakukan investasi yang besar terhadap sektor ini. Terbukti investasi di sektor ini belum produktif menghasilkan output yang lebih dari tahun ke tahun atau tidak bernilai efisiensi terhadap penambahan output. Namun sektor yang lain bias dikatakan efisien dalam menghasilkan output, seperti Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, dan Sektor Jasa-Jasa. Hanya saja untuk Sektor Konstruksi perlu dilakukan produktivitas agar investasi yang ditanamkan dapat lebih bernilai efisien.Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pertumbuhan terhadap pembentukan modal yang ditanamkan. Pertumbuhan output merupakan nilai tambah bruto yang dihasilkan dari tahun ke tahun dengan periode-t lag 0. Jika dihitung dengan metode akumulasi, investasi yang ditanamkan di Provinsi Gorontalo dalam rentang waktu tahun 2001 – 2011 secara total mencapai 10,87. Hal ini menggambarkan untuk memperoleh satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan tambahan investasi sebesar 10,87 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas dari penggunaan barang modal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target yang ditentukan. Tebel 5.53 ICOR Sektoral Metode Akumulasi Lag 0 dengan Pendekatan Investasi (PMTB) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 - 2011

1.

2.

3.

Sektor/ Sub Sektor (1)

Pertanian k. Tanaman Bahan Makanan l. Tanaman Perkebunan m. Peternakan dan Hasil-hasilnya n. Kehutanan o. Perikanan Pertambangan dan Penggalian g. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi h. Pertambangan Bukan Migas i. Penggalian Industri Pengolahan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

ICOR (2)

1,30 4,73 2,67 13,73 86,36 10,02 23,03 75,10 0,00 33,22 2,12

V- 61


c.

4.

5. 6.

7.

8.

9.

Industri Migas Pengilangan Minyak Bumi Gas Alam Cair d. Industri Bukan Migas Listrik, Gas, dan Air Bersih g. Listrik h. Gas Kota i. Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran g. Perdagangan Besar & Eceran h. Hotel i. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi g. Pengangkutan Angkautan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan SDP Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan h. Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perbankan k. Bank l. Lembaga Keuangan Bukan Bank m. Jasa Penunjang Keuangan n. Real Estate o. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa e. Pemerintahan Umum f. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga ICOR

454,53 454,53 0,00 2,13 41,92 56,08 -785,09 139,29 3,24 1,31 1,47 73,19 14,66 1,96 2,49 479,78 3,49 58,35 479,78 6,44 18,37 9,13 2,15 4,28 60,39 411,24 5,94 22,61 2,11 3,07 6,74 21,86 35,54 13,39 14,62

Sumber: Hasil analisis, diolah menggunakan PMTB harga konstan. Dari tabel di atas dapat diketahui hampir semua sektor memiliki nilai investasi yang efisien. Sektor yang memiliki nilai ICOR terkecil adalah Sektor Pertanian, yaitu sebesar 1,30. Artinya setiap penambahan Rp. 1 miliar output memerlukan investasi sebesar Rp. 1,30 miliar. Sektor berikutnya adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai ICOR 1,31, diikuti Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dengan nilai ICOR sebesar 1,96, Sektor Jasa-Jasa dengan nilai ICOR sebesar 2,11, Sektor Pengolahan dengan nilai ICOR sebesar 2,12, dan Sektor Keuangan dengan nilai ICOR sebesar 2,15. Selain Sektor Industri Pengolahan, sektor-sektor tersebut sebagian besar komoditas di dua sektor ini memiliki proses produksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar inputnya adalah input antara (intermediate cost) yang habis dipakai kurang dari satu tahun, sedangkan sektor jasa memiliki perputaran modal yang relatif cepat. Sedangkan Sektor Konstruksi, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih memiliki nilai ICOR yang relatif tinggi, hal ini dimungkinkan modal yang ditanamkan tidak bersifat jangka pendek atau barang modal tersebut belum berproduksi menghasilkan output. Sektor atau sub sektor yang memiliki nilai ICOR negatif atau tinggi mencapai -785,09 dan 454,53 seperti Subsektor Gas Kota dan Subsektor Pengilangan Minyak Bumi disebabkan nilai output yang dihasilkan relatif kecil dari jumlah modal yang ditanamkan. Penyebabnya adalah tidak adanya pertumbuhan dan pertumbuhan negatif ditambah dengan tidak adanya perbaikan produksi menjadi penyebab tingginya nilai ICOR ini.Investasi yang ditanamkan tersebut belum efektif dan relatif kurang efisien.Secara keseluruhan relatif tingginya nilai ICOR dengan metode akumulasi karena tidak dilakukan penyesuaian akibat adanya nilai tambah yang fluktuatif, ini dilakukan untuk melihat keadaan nyata di lapangan secara akumulatif.Dalam rentang waktu ini, dimana telah dikeluarkan dua paket kebijakan perbaikan iklim investasi, bisa dikatakan investasi yang ditanamkan di Provinsi Sumatera Utara belum produktif dengan nilai koefisien ICOR yang relatif tinggi di atas 34.Bahkan pada tahun 2007 nilai ICOR mencapai 139,95 disebabkan besarnya nilai investasi pada Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih di tahun 2006 yang tidak didukung dengan besaran output yang

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 62


dihasilkan pada tahun 2007. Berdasarkan metode standar dan akumulasi terlihat banyak sektor dan subsektor yang tidak produktif dan tidak efisien. Gambar 5.43 Perkembangan ICOR Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 - 2011

Sumber: BPS, data diolah menggunakan data PMTB konstan. Melalui gambar di atas dapat dilihat perkembangan nilai ICOR Provinsi Sumatera Utara. Investasi Sumatera Utara tidak bernilai produktif pasca dikeluarkan kebijakan tentang PTSP tahun 2006 dan tahun 2010 kebijakan mengenai PTSP di bidang Penanaman Modal, ICOR Riau belum mencapai angka efisien, yaitu rata- rata sebesar 38,99. Hal ini disebabkan tingginya inefisiensi investasi pada tahun 2007. Tahun 2011 kembali terjadi inefisiensi investasi sebesar 3,00 padahal realisasi investasi PMDN dan PMA pada tahun in tumbuh positif. Sebagai salah satu komponen di dalam pertumbuhan ekonomi, permasalahan iklim investasi di Sumatera Utara menjadi faktor di dalam peningkatan realisasi investasi dan pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah dengan meningkatkan produktivitas sektor dan subsektor perekonomian.Efisiensi investasi dalam pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif. II.6.1

Permasalahan Dan Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Sumatera Utara

Dalam rangka pemecahan masalah rendahnya realisasi investasi di Sumatera Utara, pemerintah daerah harus dapat memperbaiki kondisi iklim investasi dengan memberdayakan seluruh stakeholder yang terlibat di dalam bidang tersebut, perbaikan iklim investasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan seluruh lapisan pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat secara umum agar perekonomian di daerah dapat menciptakan daya saing, pertumbuhan, dan pemerataan. Berikut adalah permasalahan iklim investasi di Provinsi Sumatera Utara. Tabel 5.54 Matriks Pairwaise Faktor Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Sumatera Utara Faktor-Faktor

1 0.671549

1.489095 1

Ekonomi Daerah 0.702495 0.770078

1.423498 0.673654 2.460682 6.229383

1.298570 0.983018 2.712072 7.482756

1 1.110644 1.489095 5.072312

Kelembagaan

Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur Jumlah

Sosial Politik

Tenaga Kerja

Infrastruktur

1.484442 1.017275

0.406391 0.368722

0.900378 1 1.741057 6.143153

0.671549 0.574364 1 3.021025

Sumber: Hasil analisis. Pada matriks rata-rata geometris di atas digambarkan tingkat kepentingan setiap faktor/variabel terhadap faktor/varabel lainnya. Dari hasil penghitungan ditemukan bahwa Faktor Kelembagaan lebih diprioritaskan dalam pemecahan masalah iklim investasi di Sumater Utara dibanding Faktor Sosial Politik dan Faktor Tenaga Kerja dengan koefisien masing – masing sebesar 1.4889 dan 1.4844,

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 63


sedangkan Faktor Sosial Politik hanya dominan dibanding Faktor Tenaga Kerja sebesar 1.0117. Faktor Ekonomi Daerah menjadi perhatian dalam penentu daya tarik investasi dibanding Faktor Kelembagaan sebesar 1.4235 dan Sosial Politik sebesar 1.2986.Faktor Tenaga Kerja hanya dominan terhadap Faktor Ekonomi Daerah sebesar 1.1106. Faktor Infrastruktur menjadi faktor penentu paling dominan dibanding faktor – faktor yang lain, yaitu dengan Faktor Kelembagaan sebesar 2.4607, Faktor Sosial Politik sebesar 2.7121, Faktor Ekonomi Daerah sebesar 1.4891, dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 1.7411. Selanjutnya, penghitungan yang di lakukan dengan matriks priority vector diperoleh bobot masing-masing faktor yang kemudian diketahui peringkat masing-masing faktor dalam menentukan daya tarik investasi di Provinsi Sumatera Utara. Tabel 5.55 Matriks Priority Vector Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Sumatera Utara FaktorFaktor Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur

0.16052955 0.10780341

Sosial Politik 0.19900360 0.13364060

Ekonomi Daerah 0.13849600 0.15181985

Tenaga Kerja 0.24164166 0.16559500

0.22851346

0.17354172

0.19714875

0.10814137 0.39501221

0.13137112 0.36244295

0.21896211 0.29357329

Kelembagaan

Infrastruktur

Jumlah

0.13452100 0.12205185

0.87419181 0.68091072

0.14656618

0.22229163

0.96806175

0.16278287 0.28341429

0.19012209 0.33101343

0.81137956 1.66545617

Sumber: Hasil analisis. Penentu daya tarik investasi di Provinsi Sumatera Gambar 5.44 Bobot Level Pertama Penentu Daya Tarik Investasi Provinsi Sumatera Utara Utara pada level pertama didominasi oleh Faktor Infrastruktur sebagai faktor yang yang paling penting diperhatikan di dalam melakukan perbaikan iklim investasi dengan porsi sebesar 33 persen. Di peringkat kedua adalah Faktor Ekonomi Daerah sebesar 19 persen.Selanjutnya Faktor Kelembagan sebesar 18 persen, diikuti Faktor Tenaga Kerja sebesar 16 persen.Sedangkan Faktor Sosial Politik menjadi prioritas terakhir dalam penentu daya tarik investasi di Jawa Timur dengan bobot prioritas sebesar 14 persen. Faktor ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik di Provinsi Sumatera Utara Sumber: Hasil analisis. merupakan faktor daya tarik yang paling penting bagi investor, keterjangkauan semua wilayah Jawa Timur melalui jalan darat, serta infrastruktur pendukung lainnya seperti sarana telekomunikasi dan infrastruktur fisik lainnya. Permasalahan infrastruktur di Sumatera Utara lebih didominasi oleh permasalahan kualitas infrastruktur dalam kelancaran kegiatan usaha. Tabel 5.54 Bobot Level Pertama dan Level Kedua Daya Tarik Investasi di Provinsi Sumatera Utara Level 1 Infrastruktur

0.333

Ekonomi Daerah

0.194

Kelembagaan

0.175

Tenaga Kerja

0.162

Sosial Politik

0.136

Level 2 Ketersediaan Infrastruktur Fisik Kualitas Infrastruktur Fisik Potensi Ekonomi Struktur Ekonomi Kepastian Hukum Keuangan Daerah Kinerja Aparatur Perda Biaya Tenaga Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja Sosial Politik Keamanan Budaya

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

0.446 0.554 0.740 0.260 0.381 0.163 0.254 0.202 0.253 0.345 0.401 0.311 0.416 0.273

Bobot Final 0.149 0.184 0.143 0.050 0.067 0.029 0.044 0.035 0.041 0.056 0.065 0.042 0.057 0.037

V- 64


Sumber: Hasil analisis. Sebagai faktor yang dominan, Variabel Ketersediaan Infrastruktur Fisik dan Kualitas Infrastruktur Fisik memiliki bobot masing-masing sebesar 44,6 persen dan 55,4 persen. Urutan kedua faktor level pertama, yaitu Faktor Ekonomi Daerah memiliki variabel Potensi Ekonomi dengan bobot 74,0 persen dan Struktur Ekonomi dengan bobot 26,0 persen. Faktor Kelembagaan yang terdiri atas variabel Kepastian Hukum, Keuangan Daerah, Kinerja Aparatur, dan Perda masing-masing memiliki bobot sebesar 38,1 persen, 16,3 persen, 25,4 persen, dan 20,2 persen. Selanjutnya Faktor Tenaga Kerja sebagai salah satu faktor produksi menduduki prioritas keempat dengan variabel Biaya Tenaga Kerja dengan bobot 25,3 persen, variabel Ketersediaan Tenaga Kerja 34,5 persen, dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan bobot 40,1 persen. Sedangkan Faktor Sosial Politik yang terdiri atas variabel Sosial Politik dengan bobot 31,1 persen, variabel Keamanan dengan bobot 41,6 persen, dan variabel Budaya sebesar 27,3 persen. Gambar 5.45 Bobot Final Prioritas Penentu Daya Tarik Investasi di Provinsi Sumatera Utara

Sumber: Hasil analisis. Secara rinci, bobot final prioritas menggambarkan urutan prioritas dan permasalahan penentu daya tarik investasi di Provinsi Jawa Timur. Variabel Kualitas dan Ketersiediaan Infrastruktur memiliki bobot tertinggi pertama dan kedia sebagai penentu daya tarik investasi di Sumater Utara dengan bobot 18,4 persen dan 14,9 persen. Kemudian diurutan ketiga dan keempat yaitu variabel Potensi Ekonomi dan Kepastian Hukum dengan bobot 14,3 persen dan 6,7 persen. Selanjutnya, Kemudian variabel Produktivitas dan Keamanan berada diurutan kelima dan keenam dengan bobot masing – masing sebesar 6,5 persen dan 5,7 persen, sedangkan variabel Ketersediaan Tenaga Kerja dan Biaya Tenaga Kerja berada di urutan ketujuh dan sebelas dengan bobot sebesar 5,6 dan 4,1 persen. Kemudian secara berurutan variabel yang menjadi prioritas di dalam pemecahan permasalahan penentuan faktor daya tarik investasi di Jawa Timur, yaitu Struktur Ekonomi, Kinerja Aparatur, Sosial Politik, Budaya, Perda dan Keuangan Daerah

III.

Analisis Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Maluku Utara

Kondisi perekonomian Maluku Utara memperlihatkan tren positif dalam rentang waktu tahun 2006 – 2011, tetapi pertumbuhan ini masih didominasi oleh sektor primer dengan kontribusi terbesar pada tahun 206 dan 2011 masing-masing sebesar 55,65 persen dan 50,22 persen. Artinya potensi perekonomian masih bergantung kepada sektor primer, namun demikian sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran juga berperan positif sebagai kontributor terbesar kedua.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 65


Tabel 5.57 PDRB Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 dan 2011

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB

Nilai Output (Rp. miliar) 2006 2011 831 1093 111 130 359 384 12 15 37 60 575 909 170 261 78 119 186 259 2.359 3.230

Kontribusi (%) 2006 2011 35,23 33,84 4,71 4,02 15,22 11,89 0,51 0,46 1,57 1,86 24,37 28,14 7,21 8,08 3,31 3,68 7,88 8,02 100 100

Sumber: BPS, menggunakan data konstan. Dari tabel di atas dapat dilihat nilai output dan persentase kontribusi masing-masing sektor terhadap total output Maluku Utara. Di tahun 2006, Sektor Pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Maluku Utara, yaitu sebesar Rp. 831 Miliar (35,23%), diikuti Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran sebesar Rp. 575 Miliar (24,37%) dan Sektor Industri Pengolahan sebesar Rp. 111 Miliar (15,2%). Di tahun 2011, terlihat pola yang sama dimana Sektor Pertanian masih memegang peranan dominan kontribusi terhadap total output, yaitu naik sebesar Rp. 1.093 Miliar (33,84%), diikuti Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran dan Sektor Industri Pengolahan masing-masing sebesar Rp. 909 Miliar (28,14%) dan Rp. 384 Miliar (11,89%). Yang menjadi catatan adalah di tahun 2011 kontribusi sektor sekunder dan tersier tumbuh positif terhadap sektor primer. Tercatat Sektor Industri Pengolahan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 8,63 persen pada tahun 2008, naik pada tahun 2010 sebesar 5,38 persen dan turun kembali pada tahun 2011 sebesar 3,23 persen. Sama halnya dengan Sektor Pertambangan dan Penggalian, tren negatif terus diperlihatkan hingga tahun 2009 mencapai -7,87 persen dan bertahan dengan pertumbuhan 3,17 persen pada tahun 2011. Demikian juga halnya dengan Sektor Pertanian dan Sektor Listrik, Gas & Air Bersih. Sementara itu sektor sekunder dan tersier memperlihatkan fluktuasi yang positif, seperti Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran terus tumbuh positif hingga di tahun 2011 tumbuh sebesar 10,32 persen. Pola yang sama ditunjukkan oleh Sektor Keuangan, Real Esatate & Jasa Perusahaan. Hal ini mengindikasikan secara perlahan terjadi perubahan struktur perekonomian di Maluku Utara, walaupun di tahun 2011 nilai output sektor primer tetap mendominasi.Berikut dapat dilihat tren pertumbuhan PDRB Maluku Utara menurut lapangan usaha tahun 2006 – 2011. Gambar 5.46 Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 - 2011

Sumber: BPS, menggunakan data konstan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 66


Analisis Shift-Share dan LQ Analisis ini digunakan untuk melihat pola pertumbuhan daerah Maluku Utara dan besarnya angka pertumbuhan yang seharusnya dapat dicapai atau terjadi.Melalui analisis ini dapat dilihat kapasitas kemampuan pertumbuhan output/produksi dari Maluku Utara dengan membandingkannya dengan perekonomian nasional.Berikut adalah hasil perhitungan analisis shift-share perekonomian Maluku Utara dengan rentang waktu antara tahun 2006 dan 2011. Tabel 5.58 PDRB Maluku Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 dan 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB

2006 2011 miliar rupiah 831 1093 111 130 359 384 12 15 37 60 575 909 170 261 78 119 186 259 2,359 3230

Perubahan 1.32 1.17 1.07 1.25 1.62 1.58 1.54 1.53 1.39 1.37

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDRB konstan. Tabel 5.59 PDB Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 dan 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDB

2006 2011 miliar rupiah 262402.8 315036.8 168031.7 189761.4 514100.3 633781.9 12251.0 18921.0 112233.6 159993.4 312518.7 437199.7 124808.9 241298 170074.3 236146.6 170705.4 232537.7 1847126.7 2464676.5

Perubahan 1.20 1.13 1.23 1.54 1.43 1.40 1.93 1.39 1.36 1.33

Sumber: BPS, diolah menggunakan data PDB konstan.

Secara umum dalam rentang waktu tahun 2006 dan 2011, perekonomian Maluku Utara mengalami pertumbuhan di atas pertumbuhan perekonomian nasional, hal ini memberi gambaran bahwa kapasitas pertumbuhan perekonomian Maluku Utara telah tercapai dengan optimal. Hanya saja ada beberapa sektor yang belum memiliki kapasitas secara optimal, yaitu Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas & Air Bersih, dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Sektor-sektor ini tercatat belum tumbuh optimal, investasi yang ditanamkan pun juga belum bernilai produktif. Untuk mendorong sektor-sektor ini perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas investasi yang produktif untuk menopang output yang efisien. Sementara itu, sektor yang mengalami pertumbuhan optimal dengan besar perubahan yang lebih tinggi dari dari daerah referensi adalah Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Konstruksi, Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran, Sektor Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan, dan Sektor Jasa-Jasa. Sektor-sektor yang tumbuh optimal tersebut harus terus ditopang dengan investasi yang produktif agar dapat dilakukan pengembangan kapasitas dan peningkatan output.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 67


Tabel 5.58 Hasil Penghitungan Shift-Share Provinsi Maluku Utara Tahun 2006 – 2011 (miliar rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa

R 277.83 37.11 120.02 4.01 12.37 192.24 56.84 26.08 62.19 788.68

Sp -134.32 -25.85 -46.46 2.19 2.34 21.12 97.09 2.05 0.00 -81.83

Sd 95.31 4.65 -58.57 -3.53 7.26 104.60 -67.67 10.70 5.63 98.37

G 238.83 15.90 14.99 2.67 21.97 317.97 86.26 38.82 67.81 805.22

Sumber: BPS, diolah. Dari tabel di atas dapat diperoleh informasi dalam rentang waktu 2006 – 2011, dimana paket kebijakan perbaikan iklim investasi dikeluarkan, bahwa perubahan total (growth) Maluku Utara adalah sebesar 805,22. Tercatat perubahan total tertinggi terdapat pada Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran, sedangkan perubahan total terendah pada Sektor Listrik, Gas & Air Bersih. Total perubahan ini merupakan akumulasi dari komponen pertumbuhan perekonomian sutu daerah.

Regional share Maluku Utara sebesar 788,68 menggambarkan jika Maluku Utara tumbuh seperti perekonomian nasional, maka kontribusinya terhadap perekonomian nasional adalah sebesar 788,68. Kontribusi tersebut cenderung akan bertahan mengingat besar perubahan output antara Maluku Utara dan nasional cenderung sama. Peningkatan kontribusi akan terjadi jika dilakukan perluasan kapasitas. Nilai propotioanl shift sebesar -81,83 menunjukkan bahwa Maluku Utara menyumbangkan distribusi yang kecil untuk sektor-sektor yang tumbuh secara cepat di tingkat nasional. Seperti Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan walaupun memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian Maluku Utara dan perubahan yang relatif besar jika dibanding nasional, ternyata belum mampu menyumbang konstribusi yang signifikan secara nasional. Sama halnya dengan Sektor Pertambangan & Penggalian dan Sektor Industri Pengolahan.Dari hal tersebut, dapat diketahui terdapat perbedaan strategi pengembangan sektor di Maluku Utara dengan pengembangan sektoral secara nasional. Dengan kata lain, komposisi sektor yang diandalkan Maluku Utara berbeda dengan komposisi sektor yang diandalkan secara nasional. Atau komposisi sektor di Maluku Utara relatif tidak baik dibandingkan dengan nasional. Sedangkan nilai differential shift sebesar 98,37 menunjukkan bahwa secara umum sektor-sektor ekonomi di Maluku Utara mengalami kemajuan. Nilai positif tersebut menujukkan sektor di Maluku Utara memiliki daya saing dengan perekonomian nasional maupun daerah lain. Sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif tersebut antara lain Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Konstruksi, Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran, Sektor Keuangan, Real Esatate & Jasa Perbankan, dan Sektor Jasa-Jasa.Namun, secara regional hanya Sektor Pertanian dan Sektor Perdangangan, Hotel & Restoran yang memiliki kontribusi besar dalam pertumbuhan Maluku Utara. Sehingga perlu dilakukan peningkatan kapasitas produksi dengan penambahan investasi di sektorsektor yang memliki keunggulan kompetitif untuk menghasilkan output yang maksimal untuk mendorong pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan regional. Untuk melengkapi analisis shift-share, dilakukan analisis LQ.Analisis ini digunakan untuk menentukan sektor basis dan non basis perekonomian Maluku Utara dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif Maluku Utara dalam menentukan sektor unggulannya.Analisis ini bisa dijadikan landasan dalam analisis pengembangan potensi sektor ekonomi suatu wilayah.Analisis LQ Maluku Utara dilakukan dengan membandingkannya dengan skala nasional.Tabel berikut merupakan hasil perhitungan besaran nilai LQ setiap sektor di dalam perekonomian Provinsi Maluku Utara tahun 2006 dan 2011.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 68


Tabel 5.61 Hasil Perhitungan Model LQ Provinsi Maluku Utara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa

2006 2.48 0.52 0.55 0.77 0.26 1.44 1.07 0.36 0.85

Nilai LQ 2011 2.65 0.52 0.46 0.60 0.29 1.59 0.83 0.38 0.85

Sumber: BPS, data menggunakan data PDRB dan PDB konstan. Dari tabel di atas dapat dilihat nilai LQ setiap sektor dalam rentang waktu tahun 2006 dan 2011 hanya terdapat sebagian kecil sektor yang memiliki nilai LQ > 1. Di tahun 2006, Maluku Utara memiliki 3 sektor basis bila dibandingkan dengan wilayah nasional yang lain, yaitu Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan, Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran, dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Sampai tahun 2006, sektor yang menjadi andalan Maluku Utara dibandingkan dengan wilayah nasional lain menurun menjadi 2 sektor, yaitu Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan dan Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan wilayah nasional lain, keunggulan komparatif Maluku Utara berada pada dua sektor tersebut. Mengacu kepada analisis ICOR, nilai investasi yang ditanamkan dalam periode 2007 -2011 pun sudah bernilai produktif dan efisien. Walaupun memiliki nilai komparatif dan kompetitif, perkonomian Maluku Utara belum tentu dapat bersaing jika tidak memiliki spesialisasi khusus dalam perekenomian.Spesialisasi ini dilihat dengan wilayah terdekat yaitu Provinsi Maluku 14. Tabel 5.62 Spesialisasi Perekonomian Regional Menurut Sektoral Provinsi Maluku Utara dan Maluku Tahun 2006 dan 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total

Nilai Indeks Spesialisasi 2006 2011 -0.0240

-0.0326

-0.0389 -0.1057 0.0007 -0.0029 0.0072 0.0309 0.0225 0.1102 0.0000

-0.0329 -0.0707 0.0002 0.0007 -0.0220 0.0279 0.0146 0.1148 0.0000

Sumber: Hasil Analisis, menggunakan data PDRB konstan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menyandingkan Maluku sebagai wilayah terdekat dalam kegiatan perekonomian, terlihat bahwa Maluku Utara dan Maluku tidak terdapat spesialisasi khusus dalam sektor perekonomiannya.Dibuktikan dengan nilai indeks kurang dari satu. Jika dilihat perkembangannya, nilai indeks di beberapa sektoral terjadi penurunan, yaitu Sektor Pertanian, Sektor Listrik, Gas & Air Bersih, Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, dan Sektor Keuangan. Penurunan nilai indeks pada sektor yang menjadi sektor unggulan di Maluku Utara mengindikasikan tidak terdapatnya spesialisasi pada sektor unggulan yang ada.Nilai indeks yang kecil (<1) menunjukkan bahwa struktur dan pola spesialisasi perekonomian di Maluku Utara dan Maluku tidak jauh berbeda, bahkan ada yang bernilai minus.Sedangkan indeks yang 14

Analisa spesialisasi regional menggunakan Indeks Krugman untuk mengetahui tingkat spesialisasi daerah dalam perekonomian sektoral.Bila indeks spesialisasi regional mendekati nol, maka antara kedua daerah tidak memiliki spesialisasi, dan bila indeks spesialisasi regional mendekati nilai dua, maka kedua daerah masing-masing memiliki spesialisasi.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 69


menurun menunjukkan bahwa semakin terdiversifikasinya sektor-sektor lapangan usaha antara Maluku dan Maluku Utara. Sementara itu jika dilihat dari indeks spesialisasi kabupaten/kota yang ada di Maluku Utara bervariasi antara satu kabupaten/kota dengan lainnya.Sebagian besar nilainya kecil dari satu, walaupun ada kecenderungan naik dari indeks spesialisasi tahun 2007 dan 2011.Nilai indeks spesialisasi yang kurang dari satu ini menunjukkan bahwa tidak terdapat spesialisasi perekonomian antar kabupaten/kota di Maluku Utara yang dibandingkan.Hal ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah daerah untuk dapat menciptakan sektor perekonomian yang memiliki daya saing dan dieferensiasi.Berikut adalah tabel spesialisasi perekonomian regional Provinsi Maluku Utara tahun 2007 dan 2011. Tabel 5.63 Spesialisasi Perekonomian Regional Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 Halmahera Barat Halmahera Barat Halmahera Tengah Kep.Sula

Halmahera Tengah

Kep. Sula

Halmahera Selatan

Halmahera Utara

Kota Ternate

Halmahera Timur

Kota Tidore

0.0007

0.0410

0.1361

0.1053

0.1369

na

na

0.0418

0.1368

0.1053

0.1377

na

na

0.0950

0.0007

0.0959

na

na

0.0308

0.0009

na

na

0.0316

na

na

na

na

Halmahera Selatan Halmahera Utara Kota Ternate Halmahera Timur Kota Tidore

na

Sumber: Hasil Analisis, menggunakan data PDRB konstan. Tabel 5.64 Spesialisasi Perekonomian Regional Provinsi Maluku Utara Tahun 2011 Halmahera Barat Halmahera Barat Halmahera Tengah Kep.Sula

Halmahera Tengah

Kep. Sula

Halmahera Selatan

Halmahera Utara

Kota Ternate

Halmahera Timur

Kota Tidore

0.0037

0.0449

0.1406

0.0740

0.1632

na

na

0.0412

0.1369

0.0007

0.1595

na

na

0.0958

0.0291

0.1183

na

na

0.0667

0.0225

na

na

0.0892

na

na

na

na

Halmahera Selatan Halmahera Utara Kota Ternate Halmahera Timur Kota Tidore

na

Sumber: Hasil Analisis, menggunakan data PDRB konstan. Dari dua tabel di atas dapat dilihat perkembangan perbandingan indeks spesialisasi kabupaten/kota Maluku utara di dua titik waktu tertentu. Indeks spesialisasi Halmahera Barat terhadap kabupaten/kota yang lain mengalami peningkatan, hanya indeks spesialisasi dengan Halmahera Utara yang mengalami penurunan. Sedangkan indeks spesialisasi Halmahera Barat dengan Halmahera Tengah, Kep. Sula, Halmahera Selatan, dan Kota Ternate mengalami peningkatan.Sementara itu, indeks spesialisasi Halmahera Tengah dengan Kep.Sula dan Halmahera Utara mengalami penurunan, yang mengalami peningkatan adalah indeks spesialisasi Halmahera Tengah dengan Halmahera Selatan dan Kota Ternate.Indeks spesialisasi Kep.Sula dengan tiga kabupaten/kota di Maluku Utara mengalami pengingkatan, yaitu dengan Halmahera Selatan, Halmahera Utara, dan Kota Ternate.Indeks Spesialisasi Halmahera Selatan dengan Halmahera Utara dan Kota Ternate mengalami peningkatan.Begitu juga dengan indeks spesialisasi antara Halmahera Utara dan Kota Ternate juga mengalami peningkatan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 70


Nilai indeks spesialisasi yang menurun menggambarkan semakin terdiversifikasinya sektor lapangan usaha antar kabupaten/kota di Maluku Utara.Sebaliknya semakin meningkatnya nilai indeks spesialisasi menunjukkan bahwa semakin terspesialisasinya sektor lapangan usaha.Dari perhitungan yang dilakukan, Provinsi Maluku Utara tidak memiliki spesialisasi perekonomian baik secara wilayah maupun menurut regional kabupaten/kota dengan nilai indeks kecil dari satu dan tidak ada yang dapat mencapai angka dua. Spesialisasi perekonomian ini menjadi salah satu daya tarik investor dalam menanamkan modalnya.Maluku Utara harus mampu menciptakan diferensiasi produk terhadap wilayah terdekat dalam meningkatkan daya saing dengan ditopang dengan sektoral yang produktif dan kapasitas yang terus bertambah.Dalam hal ini investasi memegang peranan penting.Mendorong peningkatan realisasi investasi di Maluku Utara harus diikuti dengan perbaikan-perbaikan kondisi iklim investasi. Seperti yang diketahui, berdasarkan catatan KPPOD (2008), Maluku Utara memiliki indeks iklim investasi yang kurang memuaskan yaitu peringkat ke 25 dari 33 provinsi dengan PDRB dan rasio PMTB terhadap PDRB yang relatif kecil (lihat tabel 1.5). Maka, dalam rangka perbaikan iklim investasi dan peningkatan nilai output, dilakukan analisis untuk mendapatkan strategi dalam perbaikan iklim investasi di Maluku Utara. IV.

Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara

Dengan memperhatikan faktor penentu daya tarik dan permasalahan investasi di Maluku Utara serat permasalahan ekonomi regional, pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan yang dapat mendukung perbaikan iklim investasi dalam rangka peningkatan produktivitas perekonomian Maluku Utara. Dengan metode yang sama dalam penentuan faktor daya tarik investasi, dilakukan perumusan strategi kebijakan investasi daerah di Maluku Utara. Berikut adalah tabel hasil perhitungan matriks pairwise strategi kebijakan investasi daerah: Tabel 5.65 Matriks Pairwise Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara Strategi Kebijakan Investasi Pengelolaan Investasi Kualitas SDM & SDA Strategi Promosi Infrastruktur Pelayanan Publik Jumlah

Pengelolaan Investasi 1 0.7110 0.6185 1.3443 0.7993 4.4732

Kualitas SDM & SDA 1.4065 1 0.9170 2.3737 0.8270 6.5242

Strategi Promosi 1.6167 1.0905 1 2.0400 1.4029 7.1501

Infrastruktur 0.7439 0.4213 0.4902 1 0.5303 3.1856

Pelayanan Publik 1.2510 1.2092 0.7128 1.8859 1 6.0590

Sumber: Hasil analisis. Faktor infrastruktur memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan faktorfaktor yang lain. Faktor infrastruktur terhadap Pengelolaan Investasi memiliki koefisien faktor sebesar 1.3443, terhadap Kualitas SDM & SDA sebesar 2.3737, terhadap Strategi Promosi sebesar 2.0400, dan terhadap Pelayanan Publik sebesar 1.8859. Sedangkan Faktor Pengelolaan Investasi dianggap lebih penting dari Faktor Kualitas SDM & SDA sebesar 1.4065, Faktor Strategi Komunikasi sebesar 1.6167, dan Faktor Pelayanan Publik sebesar 1.2510. Kemudian Faktor Kualitas SDM & SDA dianggap faktor yang lebih penting disbanding Faktor Strategi Promosi dengan koefisien sebesar 1.0905 dan Faktor Pelayanan Publik dengan koefisien 1.2092. Perbaikan pelayanan publik hanya dianggap lebih penting dari Faktor Strategi Promosi dengan koefisien sebesar 1.4029.Dari tabel hasil perhitungan matriks pairwise strategi kebijakan investasi daerah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum stakeholders Maluku Utara menganggap faktor infrastruktur merupakan faktor dominan dalam perbaikan iklim investasi, sedangkan faktor strategi promosi merupakan faktor yang paling tidak dominan.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 71


Tabel 5.66 Matriks Priority Vector Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara Strategi Kebijakan Investasi Pengelolaan Investasi Kualitas SDM & SDA Strategi Promosi Infrastruktur Pelayanan Publik

Pengelolaan Investasi 0.2235531 0.1589461 0.1382785 0.3005275 0.1786947

Kualitas SDM & SDA 0.215577898 0.153275757 0.140554489 0.363836308 0.126755548

Strategi Promosi 0.226107 0.152517 0.139858 0.285318 0.1962

Infrastruktur 0.23351088 0.13224466 0.15387588 0.31391402 0.16645457

Pelayanan Publik 0.2064761 0.1995755 0.1176493 0.3112546 0.1650444

Jumlah 1.1052251 0.7965587 0.6902166 1.5748501 0.8331496

Sumber: Hasil analisis.

Gambar 5.47 Bobot Level Pertama Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara

Sumber: Hasil analisis.

Dari hasil perhitungan matriks priority vector strategi kebijakan investasi Maluku Utara menujukkan Faktor Infrastruktur merupakan kebijakan yang harus dikembangkan dalam perbaikan iklim investasi Maluku Utara pada level pertama, yaitu sebesar 31,50 pertama. Urutan kedua sebagai faktor strategi kebijakan investasi yang harus dikembangkan adalah pengelolaan investasi dengan bobot sebesar 22,10 persen, kemudian diikuti oleh faktor pelayanan publik sebesar 16,66 persen, faktor kualitas SDM dan SDA sebesar 15,93 persen, dan terakhir ditempati faktor promosi investasi sebesar 13,80 persen.

Pandangan stakeholders pada strategi kebijakan investasi Maluku Utara sesuai dengan faktor dan permasalahan dalam penentuan daya tarik investasi di Provinsi Maluku Utara.Faktor Infrastruktur sebagai faktor penentu dan permasalahan yang dominan harus dikembangkan kebijakannya dalam rangka memperbaiki iklim investasi. Kebijakan yang dikembangkan dalam rangka pemenuhan infrastruktur di Maluku Utara bisa dilakukan dengan penyediaan melalui anggaran belanja daerah atau dengan mengembangkan kerja sama melalui skema tertentu dengan pemerintah daerah lain. Kemudian strategi kedua yang bisa kembangkan adalah dengan memperbaiki pengelolaan investasi yang ada di Provinsi Maluku Utara, yaitu dengan memperhatikan faktor pajak dan retribusi, perbaikan unit layanan, membuat pusat bisnis, memperbaiki koordinasi antar pemangku kepentingan, dan melakukan reformasi birokrasi.Prioritas kebijakan ini menjadi kedua setelah kebijakan penyediaan infrastruktur fisik.Strategi ini juga harus dibarengi dengan strategi perbaikan kualitas pelayanan pubik sebagai prioritas ketiga, yaitu dengan memperhatikan keamanan berusaha dan kepastian hukum.Strategi pengelolaan investasi dan pelayanan publik merupakan faktor kelembagaan yang terbungkus di dalam sistem PTSP.Kebijakan PTSP di Maluku belum berjalan secara optimal, mengingat belum adanya Perda khusus yang mengatur tentang hal ini. Prioritas strategi kebijakan keempat adalah perbaikan kualitas SDM & SDA, kegiatan ini meliputi pengembangan kualitas sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam dalam perekonomian Maluku Utara. Untuk menunjang kegiatan ekonomi dan menarik para investor, Maluku Utara harus bisa menyedian kualitas dan kuatitas sumber daya manusia yang dapat menghasilkan output yang efisien. Peningkatan skill tenaga kerja melalui penguasaan ilmu teknologi terkini menjadi kunci dalam kualitas sumber daya manusia sekarang. Kemudian alternatif strategi terakhir dalam kebijakan investasi adalah mengembangkan strategi promosi investasi, strategi ini akan berjalan jika Maluku Utara memiliki faktor-faktor yang disebutkan di atas sebelumnya, strategi ini merupakan strategi pelengkap dalam pengembangan kebijakan investasi di daerah Maluku Utara. Pemasaran daerah, saleable masterplan dan e-marketing terhadap potensi daerah ataupun potensi pasar lokal sebagai faktor di dalam melakukan upaya strategi promosi investasi.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 72


Untuk lebih rinci mengetahui faktor beserta variabel yang menjadi strategi kebijakan investasi daerah di Provinsi Maluku Utara, berikut adalah tabel bobot level pertama dan kedua yang kemudian menghasilkan bobot final faktor dan variabel yang kemudian dapat diperingkatkan dalam penentuan strategi kebijakan investasi daerah di Provinsi Maluku Utara. Tabel 5.67 Bobot Level Pertama dan Level Kedua Strategi Kebijakan Investasi Daerah Maluku Utara Level 1 Infrastruktur Pendukung

0.315

Pengelolaan Investasi

0.221

Pelayanan Publik

0.167

Kualitas SDM & SDA

0.159

Promosi Investasi

0.138

Level 2 Penyediaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Kerjasama Antar Daerah dalam Penyediaan Infrastruktur Pajak dan Retribusi Daerah Unit Pelayanan Terpadu Pusat Bisnis Daerah Koordinasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Keamanan Hukum Pendidikan, Pelatihan & Penelitian Peningkatan Kualitas Aparat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pemasaran Daerah Saleable Masterplan E-marketing

Bobot Final 0.793

0.250

0.207

0.065

0.095 0.361 0.201 0.165 0.178 0.546 0.454 0.435 0.329

0.021 0.080 0.044 0.036 0.039 0.091 0.076 0.069 0.052

0.235

0.038

0.302 0.362 0.336

0.046 0.042 0.046

Sumber: Hasil analisis. Secara berurutan, prioritas pertama strategi kebijakan investasi daerah di Maluku Utara adalah faktor infrastruktur pendukung. Di faktor ini terdapat dua variable, yaitu prioritas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur sebesar 79,3 persen dan mengadakan kerjasama antar daerah dalam penyediaan infrastruktur sebesar 20,7 persen. Prioritas kedua variable dalam kebijakan pengelolaan investasi, yaitu unit pelayanan terpadu sebesar 36,1 persen, pusat bisnis daerah sebesar 20,1 persen, reformasi birokrasi sebesar 17,8 persen, korrdinasi kebijakan sebesar 16,5 persen, dan pajak & retribusi daerah sebesar 9,5 persen. Kebijakan perbaikan pelayanan publik dalam strategi kebijakan investasi memiliki variabel keamanan dalam berusaha sebesar 54,6 persen dan kepastian hukum sebesar 45,4 persen. Kemudian prioritas keempat, yaitu kualitas SDM & SDA, variabel pemberian pendidikan, pelatihan, dan penelitian dalam perbaikan kualitas SDM memiliki bobot sebesar 43,5 persen, peningkatan kualitas aparat sebesar 32,9 persen, dan pengendalian pencemaran dan kerusakan sebesar 23,5 persen. Sedangkan variabel di dalam kebijakan promosi investasi, yaitu membuat saleable masterplan dengan bobot sebesar 36,2 persen, e-marketing dan melakukan pemasaran daerah masing-masing sebesar 33,6 persen dan 30,2 persen. Gambar 5.48 Bobot Final Prioritas Variabel Strategi Kebijakan Investasi Daerah Provinsi Maluku Utara

Sumber: Hasil analisis. Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 73


Secara rinci, bobot final prioritas menggambarkan urutan prioritas variabel pengembangan kebijakan investasi daedrah di Provinsi Maluku Utara. Variabel penyediaan infrastruktur memiliki bobot tertinggi dalam strategi kebijakan investasi daerah dengan bobot sebesar 25,0 persen. Diikuti variabel dengan bobot tertinggi kedua dan ketiga yaitu variabel jaminan keamanan dan unit pelayanan terpadu dengan bobot masing-masing bobot sebesar 9,1 persen dan 8,0 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor ketersediaan infrastruktur, jaminan keamanan dan ketersediaan unit terpadu dalam layanan izin usaha menjadi pertimbangan para investor dalam menanamkan modalnya di Maluku Utara.Terkait dengan jaminan keamanan, pemerintah daerah harus mampu menjamin dan melakukan sosialisasi bahwa Provinsi Maluku Utara cukup kondusif dalam kegiatan investasi. Begitu juga dengan variabel kepastian hukum dalam kegiatan usaha dan investasi di Maluku Utara sebesar 7,6 persen, pemerintah daerah harus mampu menegakkan hukum dan memberi jaminan hukum bagi para investor. Kemudian variabel lain dalam bobot prioritas strategi kebijakan investasi dapat dilihat secara berurutan pada gambar di atas. Variabel peran pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi, koordinasi kebijakan, dan pajak & retribusi memiliki bobot yang relatif rendah.Dalam perbaikan kualitas layanan terhadap izin usaha dan investasi, variabel-variabel yang terkait tidak dapat dijalankan secara parsial.Seperti variabel unit layanan terpadu, kepastian hukum, peningtkatan kualitas aparatur, reformasi birokrasi, koordinasi kebijakan, dan pajak & retribusi.Di samping pemerintah daerah Provinsi Maluku Utara harus mampu meningkatkan kapasitas di sisi perencanaan, seperti membuat saleable masterplan dan membuat pusat bisnis daerah.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

V- 74


BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I.

Kesimpulan 1.

2.

3. 4.

5.

6.

7.

8.

6.2

Setelah dilakukan uji signifikansi, periode setelah kebijakan perbaikan iklim investasi dikeluarkan bernilai efektif meningkatkan investasi nasional dan daerah. Dibuktikan dengan peningkatan rasio PMTB terhadap PDRB periode 2006 – 2011 dan tren positif realisasi investasi PMDN dan PMA. Hanya saja terdapat beberapa daerah (Jambi, Lampung, Jawa Timur, NTT, Gorontalo, dan Papua Barat) yang tidak signifikan dalam pengingkatan rasio PMTB terhadap PDRBnya. Rasio PMTB terhadap PDRB dan realisasi investasi PMDN dan PMA di daerah beragam, artinya pertumbuhan ekonomi tumbuh tidak merata. Daerah yang memiliki rasio PMTB terhadap PDRB besar, tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonominya jika tidak ditopang dengan PDRB yang besar pula. Tiga daerah yang memiliki rasio PMTB tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah (38,82%), Provinsi Papua (38,61%), dan Provinsi Gorontalo (36,06%). Terdapat indikasi keberhasilan penerapan kebijakan PTSP dalam perbaikan iklim investasi. Dibuktikan dengan peningkatan PMTB provinsi dalam distribusi yang besar pada tahun 2009, 2010, dan 2011. Insentif yang dikeluarkan pemerintah lewat kebijakan PTSP di bidang Penanaman Modal membawa dampak positif dengan rata-rata distribusi PMTB di provinsi secara berurutan tahun 2006 – 2011 sebesar 13,05%; 14,45%; 16,10%; 17,30%; 18,63%; dan 20,47%. Secara umum permasalahan dan penentu daya tarik investasi di enam daerah (Gorontalo, Jawa Timur, Riau, Maluku, Maluku Utara, dan Sumatera Utara) adalah Faktor Infrastruktur Fisik 37,17%; Faktor Ekonomi Daerah 21,05%; Faktor Sosial Politik 14,25%; Faktor Kelembagaan 14,20%; dan Faktor Tenaga Kerja sebesar 13,47%. Meskipun PTSP dalam kelembagaan investasi daerah tidak menjadi permasalahan dominan, pemerintah daerah tetap harus terus memenuhi pelayanan perijinan investasi untuk peningkatan realisasi investasi di daerah. Jika dilihat dari nilai koefisien ICOR, mayoritas sektor ekonomi di enam daerah bernilai produktif dan efisien terhadap investasi yang ditanamkan. Sektor yang tidak efisien adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian dan Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih. Khusus untuk Provinsi Maluku Utara, untuk meningkatkan daya saing ekonomi, sektor yang memiliki nilai komparatif hanya Pertanian dan Perdagangan, Hotel dan Restoran. Walaupun tidak terdapat spesialisasi ekonomi, kontribusi ekonomi Maluku Utara cenderung akan bertahan mengingat besar perubahan output antara Maluku Utara dan nasional cenderung sama. Peningkatan kontribusi akan terjadi jika dilakukan perluasan kapasitas produksi atau investasi. Upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi sedikit banyak telah membuahkan hasil dengan peningkatan jumlah proyek dan realisasi nilai investasi PMDN dan PMA. Tetapi realisasi ini beragam di setiap daerah. Implikasi Kebijakan

1.

Pemerintah dan pemerintah daerah harus menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif dengan peningkatan pelayanan infrastruktur berupa ketersediaan dan kualitas yang lebih baik, menggali potensi ekonomi daerah, menjaga kondisi sosial politik, memberikan pelayanan prima, dan penyediaan tenaga kerja yang kompetitif. Penciptaan iklim investasi yang kondusif ini diawali dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah (political will) di dalam pengalokasian prioritas penyediaan dan kualitas infrastruktur lewat ketersediaan perencanaan dan pembiayaan yang matang; pelayanan

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

VI- 1


2.

3.

4.

5.

6.

prima dengan ketersedian sarana parasana, sistem teknologi dan kehandalan aparatur dalam melakukan pelayanan publik; melakukan pemetaan atas rantai produksi setiap sektor perekonomian dalam menciptakan daya saing yang tinggi; penyediaan tenaga kerja yang kompetitif dan penguasaan teknologi lewat pelatihan dan memaksimalkan fungsi Balai Latihan Kerja; dan melakukan penyamaan visi pembangunan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Mempercepat proses reformasi dalam peraturan daerah dengan melakukan kerja sama antara pemerintah pusat dan provinsi lain, terutama dalam mengembangkan SOP dan Perda yang terkait dengan perizinan penanaman modal agar tercipta pola yang seragam. Melakukan integrasi kebijakan dan program pengembangan penanaman modal sesuai dengan sektor/ sub sektor dan komoditas yang memiliki daya saing tinggi. Setiap sektor yang menjadi prioritas atau unggulan terintegrasi dengan skema investasi dan kebijakan yang terkait, seperti kebijakan ketenagakerjaan, kemudahan perizinan, dan jaminan kemanan. Melakukan percepatan perubahan atau pencabutan Perda yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; melakukan percepatan perubahan atau pencabutan Perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, biaya, waktu, persyaratan dan prosedur pada semua urusan yang menjadi kewenangan daerah; dan menyelenggarakan pemberian izin dan non izin (sertifikasi, rekomendasi dan tanda daftar) sesuai dengan azas dan prinsip penyelenggaraan PTSP. Dari hasil analisis diketahui infrastrukur merupakan faktor dominan dalam permasalahan iklim investasi di daerah, ada beberapa hal yang dilakukan dalam percepatan perbaikan kondisi infrastruktur dalam menopang kegiatan perekomian daerah dalam kerangka mendorong percepatan realisasi program MP3EI. Terdapat permasalahan utama di daerah dalam hal ini, terutama kendala pengembangan infrastruktur melalui skema pemerintah dan swasta, antara lain: (a) Pembebasan tanah Impelementasi secara konsisten dan tegas terhadap Perpres No. 36 Tahun 2005 Jo Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terutama yang berkaitan dengan perhitungan ganti rugi, hak atas tanah, batasan jangka waktu dalam penyelesaian pengadaan tanah, keakuratan data tentang identifikasi pemiliki dan lokasi tanah, tanah yang berpekara, dan keterbatasan APBN dalam penerapan kebijakan land copping. Dengan Perpres No. 13 Tahun 2010, pemerintah harus dapat menyelesaikan permasalahan pengadaan tanah yang tidak menjadi tanggung jawab langsung para investor, karena pelelangan investasi infrastruktur harusnya dilaksanakan setelah tanah yang diperlukan 100 % sudah dibebaskan. (b) Penjaminan pemerintah Memastikan penjaminan pemerintah atas dicantumkan di dalam APBN apabila terdapat kegagalan BUMN/BUMD. Sehingga realisasi pembayaran jaminan kepada kreditur yang belum terpenuhi dapat dipastikan jaminannya. Sesuai dengan ketentuan Perpres No. 13 Tahun 2010, jaminan pemerintah melalui PT. PII (Penjaminan Infrastruktur Indonesia) harus tercantum dalam dokumen pelelangan investasi infrastruktur. (c) Perbaikan kualitas dan kuatitas koordinasi, mengingat proyek infrastruktur yang melibatkan swasta melibatkan banyak stakeholder. Koordinasi yang prima tentu akan bisa diupayakan penyelesaian masalah yang timbul di antara stakeholder. Maka diperlukan sumber daya manusia dan tatanan institusi yang memadai dan mendukung. Khusus Maluku Utara, dalam rangka peningkatan realisasi investasi maka Pemerintah Daerah perlu mengembangkan kebijakan sebagai berikut:

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

VI- 2


(a) Pemenuhan ketersediaan dan kualitas infrastruktur dengan skema pembiayaan melalui APBN, APBD, atau PPP. Dalam hal ini Bappeda bersama Dinas PU membuat perencanaan pembangunan hingga pembiayaan dengan pelibatan pemerintah pusat, pemerintah daerah sekitar, dan swasta; (b) Memperbaiki pengelolaan investasi dengan memperhatikan faktor pajak dan retribusi, perbaikan unit layanan, membuat pusat bisnis, memperbaiki koordinasi antar pemangku kepentingan, dan percepatan reformasi birokrasi; (c) Perbaikan kualitas pelayanan pubik, menjamin keamanan berusaha dan kepastian hukum melalui upaya peneribitan Perda khusus tentang PTSP; (d) Perbaikan kualitas SDM & SDA, kegiatan ini meliputi pengembangan kualitas sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam dalam perekonomian Maluku Utara, perbaikan kualitas SDM dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan serta penelitian yang dapat menunjang peningkatan kualitas aparat. SDA menjadi penting diperhatikan dalam pembangunan yang berkelanjutan dengan melakukan pengendalian atas pencemaran dan kerusakan. (e) Mengembangkan strategi promosi investasi. Strategi ini akan berjalan jika Maluku Utara memiliki faktor-faktor yang disebutkan pada poin 5 a, b, c, dan d. Strategi ini merupakan strategi pelengkap dalam pengembangan kebijakan investasi di daerah Maluku Utara. Pemasaran daerah, saleable masterplan dan e-marketing atas potensi daerah dan potensi pasar lokal merupakan salah satu upaya strategi promosi investasi.

Evaluasi Iklim Investasi dalam Peningkatan Nilai Investasi di Daerah

VI- 3


DAFTAR PUSTAKA

Asropi. 2007. Sistem Pelayanan Terpadu: Strategi Perbaikan Iklim Investasi di Daerah. LAN. Aziz, I.J.1994. Decentralization from the Regional Prespective: An Application of AHP, Proceedings of the 3rd International Symposium in The Analytic. BAPPENAS. 2012. Mid-Term Review RPJMN 2010-2014. Dunn, William N. 1991. Public Policy Analysis Yogyakarta: UGM Press. Erfanie, Sairi. 2007. Investasi di Era Otonomi Daerah. 2007. P2E LIPI. Gultom, Yohanna M.L. 2012. Desentralisasi, Perkembangan Investasi dan Iklim Usaha di Daerah. Active Policy Paper No.9, September 2012. Program Active, KADIN Indonesia – Uni Eropa. Hall, Robert E and Charles I. Jones. 1999. Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker Than Others? The Quarterly Journal of Economics, Vol. 114, No. 1 (Feb. 1999) PP 83-116, MIT Press. Hasibuan, Melayu S.P. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: CV. Masagung. Jhingan, M.L. 2004. Money Banking Internaitonal Trade and Public Finance, Ed. 8, Veranda Publisheres, New Delhi. Lindert dan Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta. Michael P., Todaro. 2000. Economic Development, 7th Edition. Ney York University, Addison Mesley. Porter, M.E. 1985. Competitive Advantages. New York: Free Press. Sairi Erfanie dalam Investasi di Era Otonomi Daerah.P2E LIPI, 2007. Satya Dev Gupta. Comparative Advantage and Competitive Advantage: An Economic Perspective and a Synthesis. St Thomas University, Canada. Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Tarigan, Robinson. 2003. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi (edisi revisi). Bumi Aksara, Jakarta.


Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah BAPPENAS, 2013.

Penanggung Jawab

: Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

Ketua

: Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah

Sekretaris

: Inda Monita, SE., MPM.

Tanaga Ahli

: Putra Dwitama, S.IP., ME.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.