KATA PENGANTAR
Puji syukur atas karunia-Nya yang telah memberi kesempatan bagi penulis, hingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan buku
SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA (Teori dan Praktik). Tidak lupa kami ucapkan bagi semua pihak yang telah membantu dalam penerbitan buku ini.
Membahas tentang peradilan di Indonesia sesungguhnya kita membahas tentang pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Di dalam Pasal 24 UUD 1945 juncto Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian maka pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah Mahkamah Agung; Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara; dan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Komisi Yudisial adalah Badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikatakan dalam Psal 24 Ayat (3) UUD 1945. Dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dapat dibentuk Pengadilan Khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu. Pengadilan khusus yang dimaksud adalah Pengadilan Anak; Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; Pengadilan Hak Asasi Manusia; Pengadilan Hubungan Industrial; Pengadilan iv | Peradilan di Indonesia Niaga; dan Pengadilan Perikanan. Ke enam pengadilan khusus ini berada dalam lingkungan Peradilan Umum. Adapun pengadilan khusus di
SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA ii
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Pajak.
Sedangkan Mahkamah Syar’iyah berada dalam lingkungan Peradilan Agama. Peradilan di Indonesia akan terus mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan masyarakat terhadap supremasi hukum yang berkeadilan.
Selain itu penulis juga sadar bahwa karya ini merupakan hasil dari proses panjang rihlahkeilmuan dan pengembaraan spiritual serta pendewasaan intelektual yang penulis alami. Penulis yakin buku ini jauh dari kata sempurna, sehingga masih banyak kesalahan serta kekurangan. Sebagaimana pepatah mengatakan “tidakadagading yangtidakretak”.
Yogyakarta, Januari 2024
Tim Penulis
B.
C. TUJUAN PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
D. DASAR-DASAR HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA......125
C. ASAS-ASAS
D. TAHAPAN PENDAFTARAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA
E. TAHAPAN PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA..143
E.
BAGIAN I
RULE OF LAW;
PENGERTIAN DAN KONSEP HUKUM
A. PENGERTIAN RULE OF LAW
Rule of Law merupakan doktrin mengenai supremasi hukum yang muncul pada abad ke-19. Doktrin ini muncul seiring dengan berkembangnya paham terkait perkembangan negara demokrasi dan negara konstitusi. RuleofLawmerupakan konsep negara hukum yang memiliki pengertian bahwa hukum memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam penyelenggaraan suatu negara hukum. Lebih lanjut lagi, RuleofLawbukanlah sekedar kumpulan dari hukum melainkan sebuah kerangka komprehensif yang memastikan keadilan dan kesetaraan masyarakat dalam penegakkan hukum.
Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) mengkategorikan
RuleofLawmenjadi 2 (dua) yaitu pengertian secara formal (in theformalsenses) dan pengertian secara materiil (ideological senses). Dalam pengertiannya secara formal, rule of law memiliki pengertian sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi, contohnya yaitu negara. Sementara dalam pengertiannya secara hakiki, Rule of Law terkait dengan penegakkan karena erat kaitannya dengan indicator hukum yang baik dan yang buruk (just and unjust law) sehingga keadilan hukum haruslah dirasakan oleh semua unsur masyarakat.
B. UNSUR RULE OF LAW
Terdapat tiga unsur dalam rule of law, yaitu
1. Supremasi Hukum (SupremacyofLaw)
Supremasi hukum mengandung pengertian bahwa hukum memegang kekuasaan tertinggi, dan bahwa pelaksanaan di suatu negara diatur oleh hukum.
2. Persamaan di Mata Hukum (EqualityBeforeLaw)
Rule of Law memberlakukan bahwa system hukum memperlakukan semua manusia sama dan tanpa ada diskriminasi. Sistem hukum yang diterapkan haruslah mengandung asas bahwa tidak ada individu yang diperlakukan semena-mena.
3. Proses Hukum Adil dan Tidak Memihak (DueProcessofLaw)
Keadilan haruslah bersifat tidak memihak. Peradilan yang
independent sangatlah penting untuk menjaga rule of law. Dalam penegakkan hukum, hakim dan pejabat peradilan
harus bebas dari intervensi, keberpihakan, dan dapat menerapkan hukum tanpa prasangka.
Konsep Dicey mengatakan bahwa pada intinya the Rule of Law mengandung tiga unsur penting yaitu
1. SupremacyofLaw
Unsur Supremacy of Law memiliki arti bahwa hukum memiliki kedudukan tertinggi, bukan kekuasaan. Hal ini juga
memiliki arti bahwa tidak ada kekuasaan yang sewenangwenang (arbitrarypower).
2.EqualityBeforetheLaw
Unsur EqualityBeforetheLaw memiliki arti bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Semua lapisan Masyarakat apabila melakukan tort (perbuatan melanggar hukum: Surechtmatige daad; delict) maka akan diadili menurut aturan Common Law dan di pengadilan biasa
3. ConstitutionBasedonHumanRights
Unsur Constitution Based on Human Rights memiliki arti adanya suatu Undang-Undang Dasar yang biasa disebut sebagai konstitusi. Konstitusi bukan merupakan sumber hakhak asasi manusia melainkan indikator-indikator dari hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam sebuah konstitusi, dan secara harfiah dapat dikatakan bahwa apa yang telah ditanamkan ke dalam konstitusi itu harus dilindungi keberadaannya.
Menilik pada unsur yang terdapat dalam Rule of Law, maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari Rule of Law adalah:
1. Menciptakan kepastian hukum: Dalam sebuah negara yang menganut rule of law, setiap orang dijamin mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam proses hukum. Hal ini bertujuan untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan sehingga dapat mencegah pemerintah dan pelayan public serta apparat hukum dalam penyalahgunaan kekuasaan
2. Memastikan masyarakat mendapat perlakuan hukum yang
adil dan setara
3. Melindungi kebebasan individu dalam mendapatkan hak
4. Menciptakan lingkungan yang stabil dan dapat diandalkan untuk menghindari konflik
5. Mendorong kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum
C. KONSEP HUKUM
Konsep Rule of law menekankan pada supremasi hukum, keadilan, dan juga egalitarianisme. Rule of law mendorong terwujudnya perlakuan hukum yang adil untuk warga negara dan segala lapisan masyarakat.
Friedrich Julius Stal menyatakan bahwa negara hukum secara formal harus memiliki:
a. Hak asasi manusia
b. Pembagian kekuasaan
c. Pemerintahan harus berdasarkan peraturan (Wetmathigheid vanbestuur)
d. Peradilan tata usaha dalam perselisihan
Friedman memandang Rule of Law secara formil dan secara materil. Secara formil, rule of law dirumuskan: “…dimaksudkan sebagai kekuasaan public yang terorganisasi, yang berarti bahwa setiap system-sistem kaidah yang didasarkan pada hierarki perintah merupakan rule of law”. Secara material rule of law
dirumuskan: “… dalam arti material atau ideologi mencakup
ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan yang kurang baik, hukum yang buruk antara lain mencakup:
1. Ketaatan dari segenap warga Masyarakat terhadap kaidahkaidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan-badan legislative, eksekutif, yudikatif.
2. Kaidah-kaidah hukum secara selaras dengan hak asasi manusia
3. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia
4. Terdapatnya cara-cara yang jelas dan proses mendapatkan keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa.
Adanya badan yudikatif yang bebas dan Merdeka yang akan memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenangwenang dari badan pemerintah dan legistalif.”
D. PENERAPAN RULE OF LAW DI INDONESIA
Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 menunjukkan bahwa
Pemerintah Indonesia diatur dalam Undang-Undang dasar yang menjamin bangsa dan negara Indonesia hidup Sejahtera. Selain itu dalam penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan
Negara disebutkan bahwa pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. Dalam Pembukaan UUD
1945 alinea 4, dalam Batang Tubuh, Pasal 3, Pasal 4 Ayat (1), juga dalam penjelasan, yaitu pada kalimat:
1. Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
2. Pemerintahan berdasar atas system konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).
Unsur Rechstaat maupun unsur-unsur Rule of Law telah terpenuhi oleh negara Indonesia, namun demikian ada ciri khas tersendiri sebagai negara hukum dengan unsur utama, seperti yangtelah dirumuskan oleh Azhary bahwa ciri tersebut yaitu:
1. Sumber hukumnya yaitu Pancasila
2. Berkedaulatan rakyat
3. Sistem konstitusi
4. Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara
5. Kekuasaan kehakiman yang independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain
6. Pembentuk Undang-undang adalah presiden bersama-sama dengan DPR
7. Dianutnya sistem MPR
Pasal 1 ayat 1, pasal 27 ayat 1, dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945 merupakan Undang-undang yang menunjukkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat).
Undang-Undang tersebut mengindikasikan pemenuhan rule of law, yaitu:
1. Adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi
2. Dianutnya prinsip pembatasan dan pemisahan kekuasaan
3. Adanya jaminan hak asasi manusia
4. Adanya peradilan bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan warga negara di hadapan hukum, dan menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Penerapan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dari peran lembaga negara dan kedudukan serta kekuatan hukum di Indonesia merupakan perwujudan dari Rule of Law di Indonesia, dan juga penerapan sistem hukum Pancasila di Indonesia. Rule Of Law dalam penerapannya di Indonesia tercantum dalam pasal UUD 1945, yaitu:
1. Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 Ayat 3)
2. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang Merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 Ayat 1)
3. Segala warga Negara memiliki kedudukan yang sama di dalan hukum dan pemerintahan, dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan tersebut (Pasal 27 Ayat 1)
4. Hak asasi manusia, pengakuan, jaminan, perlinsungan, dan kepastian hukum yang adil diatur oleh Undang-undang (Pasal 28D Ayat 1)
5. Setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan
serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D Ayat2)
Rule of Law dalam penerapannya di Indonesia memiliki tantangan terutama untuk memastikan keefektifan penerapan, antara lain:
1. Ketergantungan Pada Politik
Dalam penerapan Rule of Law, ketergantungan pada politik menjadi tantangan tersendiri. Adanya ketergantungan pada politik menyebabkan munculnya keberpihakan pada kepentingan politik atau pribadi.
2. Ketidakpastian Hukum
Peraturan yang ambigu dalam arti dan penerapannya dapat menjadi tantangan dan menjadi pencetus ketidakpastian hukum.
3. Kurangnya Akses Keadilan
Akses terhadap system peradilan yang adil dan terjangkau masih menjadi masalah di Indonesia, contohnya daerah yang masih terpencil atau di kalangan masyarakat yang kurang mampu.
4. Tindakan Penyalahgunaan Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi tantangan dan juga hambatan dalam penerapan Rule of Law di Indonesia. Kasus tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang dari pihak yang berkuasa menjadi contoh dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan.
Prinsip Rule of Law menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan, memastikan perlindungan hukum bagi rakyat, dan mewujudkan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAGIAN II
SISTEM DAN SUMBER HUKUM
A. PENGERTIAN SISTEM HUKUM
Istilah “sistem" berasal dari bahasa Yunani, yakni "systema,"yang merujuk pada suatu keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian, atau dapat dijelaskan sebagai hubungan yang teratur antara unit atau komponen yang berfungsi (Herman and Manan, 2012).
Bellefroid mengungkapkan bahwa sistem hukum dapat dianggap sebagai serangkaian peraturan hukum yang disusun secara teratur sesuai dengan prinsip-prinsipnya (Tutik, 2006).
Menurut Scholten, sistem hukum dapat dipahami sebagai suatu kesatuan di dalamnya, di mana tidak ada peraturan hukum yang saling bertentangan dengan peraturan hukum lainnya dalam sistem tersebut (Harjono, 2009).
Menurut J.H. Merryman, sistem hukum atau legal system dapat diinterpretasikan sebagai suatu rangkaian operasional yang melibatkan institusi, prosedur, dan aturan hukum (Ulfah, 2022).
Lawrence M. Friedman mengkategorikan pemahaman sistem hukum ke dalam tiga aspek, yaitu aspek struktural, aspek substansi, dan aspek budaya hukum. (Nursadi, 2015).
1. Aspek structural, menguraikan bagian-bagian sistem hukum yang beroperasi dalam suatu kerangka kelembagaan, termasuk lembaga-lembaga legislatif, peradilan, dan entitas
lain yang memiliki peran sebagai pelaksana dan penegak hukum.
2. Aspek substansi mencakup output konkret yang dihasilkan oleh sistem hukum yakni berupa norma hukum individual (in concerto) dan norma hukum umum (in abstraco). Norma hukum individual disebut karena berlaku khusus untuk pihak
atau individu tertentu, sementara norma umum bersifat abstrak karena berlaku untuk semua orang.
3. Aspek komponen budaya hukum, merupakan pandangan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat serta tindakan yang
memengaruhi penggunaan pengadilan sebagai sarana penyelesaian konflik. Implementasi akan atas nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ini dikenal sebagai budaya hukum, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan nilai sosial yang terkait dengan hukum, beserta tingkah laku yang
memengaruhi sistem hukum.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa sistem hukum adalah
suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut (Mertokusumo, 2010).
Satjipto Raharjo, sistem hukum terdiri dari instrument-instrumen yang meliputi struktur hukum, kategori hukum dan konsep hukum.
Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, Sistem hukum adalah suatu kesatuan sistem yang terstruktur, terdiri dari berbagai instrumen yang memiliki fungsi masing-masing, dan saling berhubungan
dalam suatu proses keseluruhan untuk mencapai tujuan hukum (Ishaq, 2022). Adapun instrumen tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Masyarakat hukum adalah entitas hukum, termasuk individu dan kelompok, dimana penerapan hukum terjadi.
2. Budaya hukum, meliputi pemikiran-pemikiran manusia dalam upayanya mengatur kehidupan sehari-hari.
3. Filsafat hukum, merupakan formulasi nilai-nilai yang berkaitan dengan cara menata kehidupan manusia.
4. Ilmu hukum, berfungsi sebagai penghubung antara teori dan pelaksanaan praktek hukum, serta sebagai alat untuk mengembangkan teori, rancangan, dan konsep hukum.
5. Konsep hukum adalah representasi kebijaksanaan hukum yang dirumuskan oleh suatu masyarakat hukum.
6. Pembentukan hukum mencakup proses hukum yang melibatkan lembaga, aparat, dan sarana dalam pembuatan peraturan hukum.
7. Bentuk hukum adalah hasil dari proses pembentukan hukum.
8. Penerapan hukum adalah langkah setelah pembentukan hukum, melibatkan lembaga, aparatur, sarana, dan prosedur tertentu dalam menjalankan hukum.
9. Evaluasi hukum adalah proses penilaian kecocokan antara hasil penerapan hukum dengan ketentuan undang-undang atau tujuan hukum yang telah dirumuskan sebelumnya (Rasjidi and Putra, 1993).
Menurut Lon Fuller, sistem hukum dijelaskan melalui delapan prinsip, sebagaimana diuraikan dibawah ini: (Remaja, 2014)
1. Sistem hukum terbentuk oleh aturan-aturan yang tidak didasarkan pada keputusan yang keliru untuk situasi tertentu.
2. Ketentuan hukum atau peraturan diumumkan kepada masyarakat umum.
3. Prinsip tidak berlaku surut dijunjung tinggi, karena hal ini dapat merusak integritas sistem hukum.
4. Ketentuan hukum dibuat harus mudah dimengerti oleh masyarakat.
5. Ketentuan hukum harus harmonis dan tidak saling bertentangan
6. Ketentuan hukum harus mudah dilaksanakan atau tidak menuntut melebihi kapasitas penerpannya.
7. Ketentuan hukum sebaiknya tidak sering mengalami perubahan.
8. Pentingnya keselarasan antara ketentuan hukum dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jonathan H. Turner, dalam bukunya "Patterns of Social Organization,"mengidentifikasi elemen-elemen yang ada dalam setiap sistem hukum (Nursadi, 2015):
1. Sekumpulan norma atau aturan perilaku yang dapat diidentifikasi.
2. Prosedur pelaksanaan berbagai norma tersebut.
3. Proses penyelesaian konflik yang berlandaskan pada norma atau aturan hukum yangberlaku.
4. Metode pembentukan atau perubahan hukum.
B. SISTEM HUKUM DI DUNIA
1. Sistem Hukum Civil Law (Eropa Continental), merupakan hukum yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental. Sistem ini bersumber dan merupakan warisan hukum Romawi
atau Civillawyang terkodifikasi di dalam CorpusJurisCivilis yang dikeluarkan pada masa pemerintahan kaisar Justinianus (Codex Justinianus) (Rahardjo, 2000). Corpus Juris Civilis
adalah suatu kompilasi aturan hukum yang mencakup kodifikasi hukum yang berasal dari keputusan raja-raja
sebelumnya, dengan penyesuaian kondisi sosial dan ekonomi pada zamannya (Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi, 2023). Menurut sistem ini Hukum yang baik dan ideal harus berbentuk undang-undang tertulis (Aulia and Al-Fatih, 2017).
2. Sistem Hukum Common Law (Anglo Saxon), merupakan suatu sistem hukum yang mulai berkembang sejak abad ke-16 di Inggris. Sistem AngloSaxon, tidak dikenal adanya sumber hukum baku dan tertulis seperti yang umumnya terdapat dalam sistem hukum civil law. Istilah lain dari system ini
adalah"AngloAmerika"atau CommonLaw. Sistem hukum ini berasal dari Inggris dan kemudian menyebar ke Amerika Serikat serta negara-negara bekas jajahannya. Istilah "Anglo Saxon"berasal dari bangsa Angel-Sakson, sebuah kelompok etnis yang pada suatu waktu menyerang dan menjajah Inggris sebelum akhirnya ditaklukkan oleh Hertog Normandia,
William. Pada sistem common law, kebiasaan masyarakat menjadi sumber hukum utama yang bertransformasi menjadi keputusan pengadilan sehingga dikenal dengan hukum tidak tertulis (unwritten law) (Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi, 2023). Sistem Hukum CommonLaw tidak lahir dari proses legislasi akan tetapi pengembangannya melalui yurisprudensi atau keputusan pengadilan sebelumnya (Bogdan, 2019).
3. Sistem hukum Islam, bersumber dari kitab suci agama Islam dan ajaran sunah Nabi Muhammad, yaitu Al-Qurandan AlHadits. Hukum Islam, menurut ajaran sunah, bersifat statis dan tidak dapat diubah sebagaimana yang terjadi dalam sistem Eropa Kontinental dan AngloSaxon. Perubahan dalam hukum Islam dapat terjadi melalui metode penafsiran berdasarkan keilmuan dalam tradisi hukum Islam. Metode tersebut yakni fikih,ushulfikih,ulumulhadis, dan melibatkan metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh ulama dan ahli fikih(Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi, 2023).
4. Sistem Hukum Sosialis, merupakan warisan dari Uni Soviet yang berhaluan komunis yang dipengaruhi pemikiran hukum Marxisme dan Leninisme. Sistem ini memiliki ciri khas utama mementingkan kepentingan kolektif dengan prinsip sosialis, dari pada kepentingan individu. Negara memiliki peran sentral sebagai regulator, dan berkuasa secara absolute atas masyarakat. Pada masa Uni Soviet hukum dijadikan sebagai alat kediktatoran (Bogdan, 2019).
5. Sistem Hukum Sub-Sahara atau African Law System, merupakan suatu sistem hukum yang berpusat pada nilai-nilai komunitas. Semua hal yang terkait dengan solidaritas sosial suatu komunitas menjadi aturan hukum yang disepakati bersama untuk dijalankan, dihormati, dan ditaati oleh anggota komunitas tersebut. Pada sistem hukum Sub-Sahara, semua warga negara terikat oleh norma-norma komunitasnya. Nilai-nilai dan tradisi lokal memiliki dampak signifikan dalam membentuk dan mengatur hukum di wilayah Sub-Sahara. Sistem hukum Sub-Sahara memperkuat keterikatan individu dengan komunitasnya melalui normanorma yang diakui dan ditaati bersama (Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi, 2023).
6. Sistem Hukum Asia Timur Jauh (Far East Law System), memiliki karakteristik yang menekankan pentingnya harmoni dan keteraturan sosial. Sistem hukum ini secara konsisten berusaha untuk memperkuat keseimbangan dan keteraturan sosial, sambil menghindari timbulnya konflik terbuka. Pendekatan ini berusaha untuk memelihara harmoni sosial dan mencegah terjadinya perpecahan di dalam masyarakat (Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi, 2023).
C. SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental, dikarenakan Indonesia dulunya dijajah oleh Belanda sehingga sebagai konsekuensi dari berlakunya asas konkordansi, maka
hukum yang berlaku di Belanda juga berlaku di Indonesia. Pada
awal kemerdekaan Indonesia tetap mempertahakan hukum warisan Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan Pancasila serta masih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia (Gozali, 2020). Sistem hukum Indonesia berlandasan pada Pancasila sebagai norma dasar negara.
Pancasila menempati posisi sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm(norma fundamental negara) dalam hierarki norma hukum di Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar filosofis negara, yang diakui dalam pembukaan
UUD 1945, bersifat yuridis konstitusional (Eleanora, 2012). Pada dasarnya sistem hukum di Indonesia merupakan seperangkat peraturan yang bersifat formil dan terhubung secara sistematis
antara satu sama lain baik yang terkodifikasi maupun yang tersebar dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sistem
hukum di Indonesia memiliki karakteristik adanya pembagian hukum publik dan hukum privat layaknya sistem hukum eropa kontinental.
Pada kehidupan sosial di Indonesia juga mengenal istilah sistem hukum adat. C. Snouck Hurgronje, pada tahun 1893, pertama kali memperkenalkan hukum adat, dalam bukunya yang berjudul "DeAtjehers," Snouck Hurgronje menggunakan istilah "hukum adat" atau adat recht dalam bahasa Belanda untuk merujuk pada suatu sistem pengendalian sosial yang eksis dalam masyarakat Indonesia. Sumber utamanya berasal dari peraturan hukum yang tidak tertulis yang tumbuh, berkembang, dan dijaga
oleh kesadaran hukum masyarakat. Hukum adat memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan bersifat elastis karena bersifat tidak tertulis dan dinamis. Otoritas utama dalam penegakan hukum adat adalah pemimpin adat, yang menduduki posisi yang sangat dihormati dan berpengaruh besar dalam lingkungan masyarakat adat untuk memastikan kelangsungan hidup yang sejahtera (Mustaghfirin, 2011). Hukum adat yang bersifat tradisional memiliki karakteristik yang berakar pada kehendak nenek moyang. Sebagai hasilnya, dalam mengukur suatu perbuatan, selalu merujuk kepada nilai-nilai yang dianggap suci menurut kehendak nenek moyang. Prinsip pokok dari hukum adat adalah menjunjung tinggi kepatutan dan menciptakan harmoni dalam kehidupan bersama di masyarakat (Hamdi, 2022).
D. PENGERTIAN SUMBER HUKUM
Istilah "sumber hukum" disebut dalam bahasa Inggris, sebagai "sourceoflaw". Pengertian dari sumber hukum lebih cenderung merujuk pada pemahaman mengenai tempat asal usul nilai atau norma hukum tertentu (Asshiddiqie, 2006).
Sumber hukum diartikan sebagai "asal mulanya hukum," mencakup segala sesuatu yang menjadi cikal bakal aturan-aturan hukum dan memiliki kekuatan mengikat. "Segala sesuatu" dapat diinterpretasikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan, atau asal-usul isi norma hukum (Tofik, 2022). Sumber hukum merujuk pada
segala hal yang menjadi penyebab terbentuknya ketentuan hukum yang memiliki kekuatan memaksa. Apabila norma yang terkandung di dalam ketentuan hukum tersebut dilanggar, maka akan mengakibatkan konsekuensi hukum nyata yakni sanksi tegas (Kansil and Kansil, 2002).
E. KLASIFIKASI SUMBER HUKUM
Sumber hukum terbagi dua yakni materil dan formil:
1. Sumber hukum materil merujuk pada kesadaran kolektif masyarakat, dan pemahaman hukum yang ada dalam masyarakat tentang apa yang seharusnya, dengan melibatkan perasaan hukum (keyakinan hukum) dari individu dan pandangan umum (opini publik). Faktor inilah yang
mempengaruhi dalam pembentukan substansi hukum itu sendiri (Herman and Manan, 2012). Pemahaman Sumber hukum materil menurut Van Apeldoorn meliputi (Herman and Manan, 2012):
a. Sumber hukum dalam pemahaman dan kajian sejarah adalah menjadikan sejarah sebagai identitas dan karakteristik hukum melalui peraturan perundangundangan yang berlaku dimasa lampau dan menjadikan sejarah hukum sebagai komponen dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang bersumber dari sejarah suatu bangsa.
b. Sumber hukum menurut kajian sosiologis, menyerap dan mengambil instrumen sosiologis yang sebagai inti sari dasar
dalam menentukan subtansi dari peraturan perundangundangan, sehingga peraturan tersebut dapat diterima dengan baik di masyarakat.
c. Sumber hukum dalam pemahaman kajian filosifis adalah hakikat nilai dari hukum yang dapat menjadikan isi hukum merupakan hukum yang baik dan menjadikan hukum memiliki kekuatan mengikat sehingga setiap orang taat hukum. (Herman and Manan, 2012)
2. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang dapat diidentifikasi dari bentuknya. Karakteristik bentuk ini menjadikan hukum bersifat umum, mudah dikenali, dan dipatuhi. Pada tahap ini, suatu peraturan memperoleh status sebagai peraturan hukum dan diakui oleh pihak yang berwenang sebagai panduan kehidupan (Rahmawati and Supratiningsih, 2020). Adapun sumber hukum formal adalah: undang-undang, jurisprudensi, traktat, kebiasaan dan doktrin (Hamdi, 2022).
a. Undang-Undang
Undang-undang terbagi dalam arti formil dan materil. Undang-undang dalam arti formil adalah undang-undang yang berlaku di negara yang dibuat sesuai dengan prosedur undang-undang oleh lembaga berwenang dalam hal legislasi seperti DPR dan Pemerintah yang memiliki sifat mengikat secara umum, sedangkan undang-undang dalam arti materil adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang subtansinya berlaku secara umum namun tidak dibuat
oleh oleh lembaga yang memiliki kewenangan legislasi seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden maupun peraturan menteri. (Herman and Manan, 2012)
b. Jurisprudensi
Jurisprudensi merupakan keputusan hakim yang terdahulu yang sampai dengan sekarang diikuti di dalam praktek peradilan. Jurisprudensi awalnya merupakan keputusan yang dibuat oleh hakim dilatarbelakangi adanya kekosongan hukum dengan mempertimbangkan asas pengadilan tidak boleh menolak perkara yang masuk ke pengadilan dengan alasan tidak ada hukumnya, sehingga hakim harus melakukan interpretasi dan menggali nilainilai hukum yang hidup di masyarakat untuk dapat menyelesaikan permasalahan hukum dan menghasilkan keputusan yang adil dan baik di dalam suatu perkara.
Putusan hakim terdahulu inilah yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan dan diikuti oleh hakim di masa sekarang sebagai hukum yang berlaku dan selanjutnya disebut dengan Jurisprudensi (Subagiyo, Andayani and Retnowati, 2017).
c. Traktat
Traktat merupakan perjanjian yang disepakati oleh dua negara atau lebih. Proses perjanjian internasional pada prakteknya melalui tiga fase, yaitu fase pertama perundingan (negotiation), fase kedua penandatanganan (signature), dan fase ketiga pengesahan (ratification). Akan
tetapi, ada pula yang hanya melaksanakan dua fase, yaitu perundingan (negotiation) dan langsung dilakukan penandatanganan(signature)(Prakoso, 2018)
d. Kebiasaan
Kebiasaan merupakan tindakan yang secara berulang dilakukan dalam masyarakat terkait dengan suatu hal tertentu. Jika suatu kebiasaan diterima oleh masyarakat dan dilaksanakan secara berulang karena dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya dilakukan, dan pelanggaran terhadap kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka akan muncul suatu kebiasaan hukum dan dijadikan sebagai hukum oleh masyarakat (Solikin, 2014).
e. Doktrin
Doktrin merujuk pada pandangan atau pendapat yang dinyatakan oleh para sarjana hukum terkemuka yang memiliki pengaruh besar terhadap keputusan hakim. Seringkali, dalam proses pengambilan keputusan, hakim akan merujuk pada pendapat tertentu dari para sarjana hukum sebagai dasar pertimbangannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakim memperoleh hukumnya dari doktrin tersebut. doktrin seperti ini dianggap sebagai sumber hukum formil (Rahmawati and Supratiningsih, 2020).