Insomnia 12.57 Presentasi yang seharusnya kuselesaikan belum lagi kusentuh. Sudah tiga jam berlalu sejak aku berganti celana pendek dan duduk manis di depan monitor. Jari-jemariku berirama teratur berdansa diatas keyboard. Selamat ulangtahun, kakak cantik! Semoga panjang umur dan sehat selalu. Aku menghela nafas. Akan kutelepon dia setelah matahari terbit. Dunia sudah berbeda sekarang. Sistem memasang peringatan ulangtahun lewat kalender seluler masing-masing sudah mulai ditinggalkan. Kini orang lebih banyak mengecek situs favorit mereka dan sangat tidak afdol rasanya jika tidak mengucapkan selamat ulangtahun secara online. Semakin mudah dilakukan, namun semakin menjauhkan kedekatan antar individu. Ucapan semu. Aku tak menemukan lagu yang cocok untukmu, kakakku sayang. Kita akan mengobrol banyak pagi nanti. Share. Fenomena dunia maya ini serasa mengatur seluruh tindak-tandukku. Asistensi tugas lewat email. Mencari bahan makalah lewat search engine. Semuanya instan. Perpustakaan sang surga pengetahuan, perlahan mulai dipatahkan dominasinya oleh Google dan kawan-kawan. Begitu pula dengan segerombol situs rekreasi yang adiktif. Bertemu teman lama lewat facebook. Eksis lewat video di youtube. Penyebaran berita secara luar biasa cepat lewat twitter. Betapa luar biasanya kekuatan jejaring sosial elektronik. Kudengar pernah ada wanita yang meninggal saat tengah berendam di bathub, tersengat listrik dari laptopnya yang, aku benar-benar tak habis pikir, dibawanya mandi. Dan layar monitornya menunjukkan situs terakhir yang dIbukanya : twitter. Ya Tuhan, terkutuklah orangorang yang menyembah teknologi. Namun aku pun tak bisa membayangkan hari-hari yang akan kujalani tanpa internet. Aku si lalat kecil yang melayang menghindari jejaring musuh, namun tak bisa lepas dari pesona jaring laba-laba yang memikat bentuknya. Laba-laba membutuhkan aku agar tetap hidup, aku pun harus dimakan oleh labalaba agar tidak merusak ekosistem. Teori buatanku sendiri. Aku putuskan untuk menutup powerpoint dan bangun sepagi mungkin untuk mengerjakan. Siapa tahu berada di bawah tekanan bisa membuatku lebih bersemangat mengerjakan. Kubiarkan komputer menyala mengeluarkan lagu-lagu pengantar tidur. Kunyalakan lampu tidurku dan kutarik lipatan rapi selimutku dengan sekali hentakan. 01.51 Kubuka mata dan kulihat jam di handphone. Aku berguling-guling tak tentu arah di kasurku yang terlalu empuk. Berkualitas rendah, sebenarnya. Namun dalam satu sore sepulang kuliah yang padat, beberapa menit berbaring diatasnya bisa membuat orang terlelap tanpa kenal waktu. Oke, aku sudah memutuskan untuk menguji keampuhan menghitung domba. Satu Dua Tiga
Apa yang sebenarnya kuhitung. Aku tak melihat apa-apa, hanya pekat yang kosong. Kucoba memejamkan mata sekali lagi. Membayangkan bentuk domba yang lucu dan berbulu. Domba. Putih. Lucu. Berbulu. Meloncati pagar secara rapi dan teratur. Visualisasi yang terbayang di kepalaku begitu ganjil. Okay, it doesn’t work for me. Ah, seandainya aku masih tidur bersama Ibu seperti masa aku di rumah dulu. Sampai aku membuat kartu tanda penduduk pun aku masih tidur dengannya. Itu adalah masa tidur yang paling menyenangkan, ketika kau merasa aman untuk tertidur karena kau yakin kau tak akan sendiri dan terbangun dengan kain yang menyelimutimu sehingga kau tahu ada Ibu yang mengecupmu sebelum beliau tidur di sampingmu. Ibu, Ibu, aku merindukanmu. Aku takut Ibu, seandainya aku bisa mengadu... Kulempar selimut dan kuputuskan untuk bangun. Mari kembali ke depan layar kotak ajaib, mungkin aku bisa mendapat inspirasi untuk mulai menyiapkan presentasi tanpa harus menunggu sang surya keluar dari persembunyiannya seusai gelap. Aku mengambil cemilan dan mencoba memposisikan diri senyaman mungkin. Dan ya, jaring laba-laba selalu terlihat menggoda. Aku memutuskan untuk mengecek jejaring sosial terlebih dulu sembari membuka powerpoint, dan mengambil bungkusan keripik cokelat, sebelum memutuskan untuk beranjak menyeduh kopi. 02.14 Kukunyah keripik coklat sekali lagi. Itu adalah keripik coklat terakhir yang kumakan. Makan malam-malam = Gendut. Kata-kata yang paling kuingat dari Ibuku lebaran terakhir kemarin adalah dek, sekarang kamu kurusan ya? Tidak ada yang terlahir kurus di rumah. Kami para perempuan dalam keluarga adalah kumpulan lemak yang diturunkan oleh Nenek. Hanya kakak lelakiku yang kurus. Itu pun karena sejarah kelamnya saat kuliah. Sebagai anak tengah yang kesejahteraannya kurang terperhatikan, membuatnya sempat mengalami masa-masa pemberontakan. Kenakalan-kenakalan ala bad boy kampus masih dapat ditolerir. Mulai bergaul dengan hal-hal yang tidak seharusnya dikonsumsi tanpa petunjuk dokter, bisa jadi merupakan puncak untuk masa-masa paling suram dalam hidupnya. Kehidupan Mas-ku seperti dalam sinetron. Tidak bahagia, hidupnya kacau tanpa tujuan, dan semua berbalik 180 derajat saat bertemu pahlawan hidupnya sekaligus calon pendampingnya. Lalu sadar dan menjalani hidup normal. Namun satu yang tak bisa diperbaiki dan selalu disesali keluarga kami : ia terlanjur tak lulus kuliah. Sudah kepalang tanggung untuk kembali kuliah; ia harus menghidupi istri dan anaknya. Aku tertegun. Kakak lelakiku‌ melayang-layang dalam benakku. Apa kata Ayah jika dia melihatmu sekarang? Anak lelaki satu-satunya, kebanggaan keluarga. Disekolahkan mahal-mahal, pulang tanpa titel. Hanya menjadi seorang tukang ojek. Kepalaku pening. Kurang tidur, mungkin. Aku memejamkan mata sesaat. Ayah‌ Ah, peristiwa itu lagi. Kuseruput kopiku selagi masih hangat.
02.42 Notifikasi muncul dari ujung windows. Seorang teman memberitahukan ada selebritis yang meninggal karena serangan jantung. Ya ya, apapunlah. Semua orang rIbut membicarakannya. Sebegitu pentingnyakah? Hanya karena ia seseorang yang terkenal, maka semua orang harus peduli. Jemariku masih menari di atas keyboard. Namun pikiranku melayang dan bercabang. Siapa yang peduli pada keluarga kami, saat Ayah meninggal? Aku hidup dalam kecukupan, walaupun tidak demikian kisahnya dengan kakak-kakakku, yang terlebih dulu hidup dalam keadaan ekonomi yang naik turun tak tentu. Anak kecil yang dikabulkan segala keinginannya dan pintar di sekolah akan tumbuh menjadi anak yang congkak, dan menimbulkan iri hati diantara saudara-saudaranya. Tak heran mereka menjadi jauh. Namun sebuah peristiwa besar menyatukan semuanya. Kejadiannya terjadi saat aku berumur sembilan tahun. Aku tak pernah bisa lupa Jumat itu. Ayahku terbaring tak sadarkan diri di pembaringan rumah sakit itu. Ibu adalah wanita paling tegar sepanjang masa. Mendampingi anak-anaknya, menyuruh mereka terus menerus berdoa dan tetap kukuh berdiri di samping suaminya, walaupun dihantam badai luar biasa tentang kondisi kritisnya yang mendadak ini. Salah satu pamanku yang beruntung bisa naik haji membisikkan pesan di telingaku, “Dek, kamu baca surat ini yah… Ayah kamu pasti senang kalau anaknya yang paling kecil membacakan ayat-ayat untuknya…” Membacakan ayat? Dengan kemampuan membaca tulisan arab-ku yang sederhana, aku mulai membaca. Siapa yang tahu perasaan anak kecil dingin yang sok dewasa, ketika di tengah usaha membaca bahasa yang tak dimengerti benar maksudnya, dari sudut matanya melihat buih putih keluar dari mulut pria yang selama ini memanjakannya? Siapa yang tahu seberat apa beban yang akan menghadang anak itu ke depan? Atau bagaimana perasaannya ketika menutup kitab suci, di depan mata terlihat tangan seseorang menutup mata pria yang selalu mengantarnya ke sekolah, di tengah ledakan tangis ibunda? Gelombang tangis kedua adalah ketika kakak pertamaku datang. Jauh-jauh ia berkendara dari ujung kabupaten Bandung mencari obat yang konon bisa menahan hidup Ayah sedikit lebih lama, agar kami semua masih sempat meminta maaf, memohon ampun atas segala dosa… dan ia terlambat. Mata itu sudah dipejamkan dan tak akan terbuka lagi. Wanita tegas dan tangguh, kakakku itu. Namun seluruh pertahanan yang ia pakai selama ini sebagai tameng pelindung adik-adiknya pecah jua. Ia menjadi wanita lemah yang terpuruk di sudut kasur. Kakak sudah bawa obat Ayah... Kenapa… Kakak jauh-jauh pergi buat Ayah… Ayah bangun ayah… Aku duduk tertelungkup. Ingatan yang menyedihkan. Hujan turun deras saat peristiwa itu terjadi, sama seperti hujan di hatiku saat ini. Dan aku melupakan peringatan sepuluh tahun meninggalnya Ayah. Dua minggu yang lalu. Malam begitu lengang. Dalam sepi aku terisak. 03.19 Akhirnya aku menguap juga. Sudah waktunya.
03.30 Mungkin besok akan jadi lebih baik. Maksudku, nanti pagi. Lebih baik untuk semuanya… tidur yang lebih baik… kehidupan yang lebih baik untuk keluargaku… ah, apa yang kupikirkan? Ayo mata. Bekerjasamalah denganku. Aku harus tidur. Aku harus tidur. Aku harus tidur. Aku harus tidur. Ayah jangan tinggalkan kami. Ibu merana tanpamu. Walau Ibu juga merana denganmu. Untuk apa kamu ikut-ikutan klub tinju itu? Mau jadi preman kamu? Yang terpenting itu belajar! Minta uang saja bisanya! Cari saja sendiri uang kamu! (Mas jangan menangis Mas aku sedih) Ayah, Ayah, jangan. Mas kan cuma mau ikut ekstrakurikuler di sekolah, wajar. Kenapa Ayah harus memarahinya seperti ini? Kalian pikir Ayah sumber uang? Kalian pikir kita kaya? Tapi tidak usah memukul Mas seperti itu… (Ibu jangan nanti Ibu yang akan dipukul Ayah. Apa itu yang Ayah pegang aku takut) Kepalaku pening lagi. Beragam peristiwa muncul di kepalaku, seperti potongan-potongan film yang muncul secara acak. Dek, Ibu bangga sama kamu. Kamu masih kecil waktu Ayah meninggal, tapi kamu tidak rusak… kamu tidak jadi perempuan yang menghancurkan nama baik keluarga… (Ibu jangan menangis lagi) 04.05 Mengantuk. Subuh. Setiap mendengar adzan subuh aku selalu sedih. Aku sudah sangat mengantuk sekarang. Sudah kuputuskan. Aku akan pulang ke rumah sore ini. Nanti. Setelah aku selesai presentasi. Ayah… Tolong ampuni anak kecil yang mencabut selang penyambung nyawa. Sekalipun ia melakukan atas emosi semata tanpa sadar konsekuensinya. Sekalipun Ayah paling menyayanginya. Maaf Ayah aku tak tahan pada perlakuan Ayah kepada Mas, Kakak, dan Ibu. Maaf Ayah, sebenarnya aku sayang Ayah.