[Serambi]
DARI KIAMAT MENUJU KAFIR
P
IDEA Edisi 32, September 2012
IDEA/Arsip
ada edisi sebelumnya, redaksi telah mengulas begitu detail mengenai fenomena doomsday, atau hari kiamat. Baik dari perspektif filsafat, kajian al-Qur'an, hadits, teori lingkungan, konspirasi global, dan lain-lain. Dari edisi 31 kemarin, setidaknya, kita telah banyak tahu mengenai di balik adanya isu kiamat 2012 Cover IDEA Edisi 31 (kiri) dan IDEA Edisi 32 (Kanan) dan apa makna kiamat itu sendiri yang 'almiin, agama kasih sayang, agama damai, berasal dari akar kata qaama, yaquumu, terlihat hanya dalam teks-teks sucinya saja, tanpa qiyaaman. Kiamat yang kebanyakan orang diimbangi perilaku dari para follower, mengartikan hari huru-hara atau kehancuran itu pengikutnya, untuk beragama yang baik, santun, ternyata memiliki akar kata “qaama”, berdiri dan damai. Tentunya, tanpa mengafirkan yang tegak, bukan musnah masal. lain. Dari pembicaraan kiamat, telah Di samping membicarakan hal-hal yang disimpulkan bahwa dari kesemua agama—baik 'melangit' mengenai makna kafir, redaksi juga Islam, Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan lainmembincang kafir dengan pandangan lain—telah sepakat bahwasanya hari kiamat 'membumi'. Karena makna kafir jika ditelisik memang benar-benar ada, dan pasti akan terjadi, lebih dalam, telah banyak menyinggung perilaku entah kapan. Bila membaca simbol-simbol yang orang Indonesia dewasa ini. Mulai dari korupsi, telah diberikan Rasulullah Saw, saat inilah anarkisme, menutup pintu ijtihad, tidak mau menjelang detik-detik dari hari akhir, hari kiamat belajar, menganggur, tidak mau bekerja, dan lainitu. Banyaknya gempa dan bencana, kitab suci lain. Oleh sebab itu, redaksi menjadikan tema hanya dijadikan ritus-ritus bacaan saja tanpa kafir ini semakin ‘seksi’ untuk dibaca. dihayati maknanya, yang benar menjadi abu-abu, Perdebatan serius—adu argumen—dari dan yang salah dijadikan panutan. Itulah yang para tokoh dalam rubrik analisis utama dan dinamakan zaman akhir, gonjang-ganjinge analisis khusus, semakin menjadikan majalah mongso. IDEA kali ini lebih berisi. Liputan tentang Dari edisi kiamat (doomsday), redaksi kegiatan mahasiswa, riset mengenai perilaku beralih ke edisi 32, yakni membincang gejala mahasiswa dalam memanfaatkan hot spot area di takfir—aksi saling mengafirkan yang lain—yang kampus, keberadaan kaum marginal yang sudah menjamur di masyarakat. Fenomena ini tergabung dalam komunitas lesbian, gay, patut kita sorot. Karena apa? Kafir mengkafirkan biseksual, transgender (baca: LGBT), semakin antara umat, merupakan larangan keras dari menambah wawasan pengetahuan pembaca halRasulullah Saw. Seseorang tidak dibenarkan jika ihwal di luar diskusi perkuliahan. Dengan mengakui dirinya sendiri atau pendapatnyalah demikian, semoga pada edisi 32 dengan tema kafir yang 'paling' benar, hingga menegasikan ini, pembaca dapat menangkap hikmah yang argumen/ijtihad orang lain. Jika hal ini tidak tergores dari tiap butir kata yang telah disajikan dibendung dengan suatu pergolakan pemahaman oleh redaksi. Dari kiamat (berdiri tegak), kita mengenai reinterpretasi terhadap makna “kafir”, menuju fenomena kafir (menutup sesuatu), apa maka, dikhawatirkan akan terjadi kontak fisik, maknanya? Berdiri, kemudian menutup. Silahkan tindak anarkisme akut di tengah masyarakat. renungkan. [Redaksi] Dengan adanya klaim, orang mudah tersinggung. Sehingga, Islam, yang dikatakan rahmatan lil
1
[Daftar Isi] Serambi Daftar Isi Potret Surat Pembaca Karikatur Editorial Analisis Utama Tamu kita Paradigma Karikatur2 Pengantar Analisis Khusus Wawancara Khusus Wacana
1 2 3 4 6 7 8 18 23 27 28 29 38 42
44 47 50 53 60 61 66 68 72 74 79 82 84
Analisis Utama:
Mengimani Kafir... 8
Riset Historia Kampusiana
Kampusiana:
Meramal Nasib Ushuluddin Pasca UIN ... 50
Forum
Konversi IAIN ke UIN
Usul-Usil
yang digaungkan sejak dua tahun terakhir, tak
Artikel Lepas
lagi hanya menjadi
Lorong
isapan jempol. Konversi itu sebentar lagi akan
Resensi Buku
segera ditabuh. Tentu
Film Sastra Figur Liputan Catatan Akhir
saja, ini merupakan suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh berbagai pihak untuk berbenah diri, khususnya Ushuluddin sebagai fakultas yang selama ini kurang begitu diminati oleh calon mahasiswa. Lalu, bagaimanakah nasib Ushuluddin pasca menjadi UIN nanti?
Mengimani kafir bukan berarti kita iman kepada orang-orang ‘kafir’, dan tunduk kepadanya. Akan tetapi, kita percaya bahwa simbol-simbol kekafiran di tubuh kaum beragama itu ada, walaupun orang tersebut tidak merasakannya. apa itu kafir? apa benar kafir hanyalah simbol an sich yang tidak perlu ditakuti, apalagi dicap sebagai orang kafir.
Pendeta Gunarto
Tamu Kita: Kafir itu Menutup Diri... 18 Bagaimana sebenarnya pandangan orang-orang non-muslim tentang kafir itu sendiri. Apakah dalam teologi mereka juga memiliki pemahaman yang sama dengan umat Islam mengenai term kafir?
IDEA “Diskursus Transformasi Intelektual” diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. ISSN (International Standard Serial Number): 1829-5321. Pelindung: Dekan Fakultas Ushuluddin, Pembina: Pembantu Dekan III, Penanggung Jawab: Ketua Badan Eksekutiif Mahasiswa (BEMFU), Pemimpin Umum: Mukhamad Zulfa, Sekretaris Umum: Muhamad Zubair Hasan, Sekretaris I: Awaluddin Iskandar, Bendahara umum: Maslikhah, Pemimpin Redaksi: Muhammad Autad An-Nashr, Sekretaris Redaksi: Naily Ni'matul Illiyun, Staf Ahli: Amin Syukur, Abdul Djamil, Sri Suhanjati Sukri, Muhsin Jamil, Joko Tri Haryanto, Zainul Adzfar, Imam Taufiq, Pengkaderan: Caswiyono Rusydy Cakrawangsa, Ahmad Fauzi, Rusmadi, Wahyu Agung, John Sarmin, Arif Dwi Purnomo, M. Abdullah Badri, Ammar Mahmud, Agus Hariyanto, Misbah Khoiruddin Zuhri, Dzikrullah Zulkarnain, Fardan, Zaenal Abidin, Rumah Tangga: Rusdiana(Koord), Muthmainnah, Mamik Sulistyowati, M. Luthfi, Divisi Kajian dan Riset: Muhammad Mahbub Maulana(Koord) Khoirul Anam, M. Tajuddin, Ahmad Khotim Muzakka, Divisi Berita: Ayis Mukholiq(Koord), Chandra Yusuf Kurniawan, Hasisul Ulum, M. Khotib, M. Idrus, M. Misbah, Divisi Sastra: Khoirotul Fitriyani(Koord), Hilyati Auliya, Durratun Yatimah, Fathurrahman, Umi Farihah Arif, Divisi Artikel: Hasan Ismaili(Koord), Ahmad Yusuful Adamy, M. Akmaluddin, Nur Syahid, Divisi Layout: Muhammad Abdul Aziz(Koord), Alfi Qonita Badiati, Ahmad Shofa, Divisi Marketing dan Distribusi: Muhammad Rikza Muqtada(Koord), Abdul Ghofur, Ahmad Faishol, Fejriayan Yazdajird Iwanebel, Kontributor: Syah Aziz Perangin Angin.
Redaksi menerima tulisan dengan bentuk artikel, puisi, kolom, cerpen, dan tulisan lain yang sesuai dengan visi dan misi Idea. Naskah diketik maksimal 4 halaman kwarto (5000-6000 karakter) dengan disertai identitas lengkap. Pengiriman dapat dialamatkan ke e-mail ideapress@gmail.com. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengurangi isi.
2
IDEA Edisi 32, September 2012
[Potret]
Perjuangan Belum Usai Di dunia ini, ada satu hal yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Iya benar. Yakni; “proses�. Proses tidak bisa dibeli dengan apapun. Demikian tulis seseorang dalam status facebook. Status facebook, biasanya ditulis oleh sang pemilik akun dimana ada suatu peristiwa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Sekilas, realita itu begitu terlihat mirip dalam LPM IDEA. Terutama dalam penggarapan majalah. Proses begitu mulia, sehingga ada yang mengatakan; balasannya nanti adalah surga. Seluruh awak redaksi masih berproses, dalam tahap belajar. Belajar berdiskusi, menyusun kata, menuangkan ide, dan lain sebagainya. Jadi, jangan menyalahkan orang yang sedang belajar. Jika ada kesalahan, cukup mengingatkan, tanpa justis lara. Karena dia sedang berproses menuju hal yang mendekati sempurna. Sebagaimana kata-kata sakti yang sering dilontarkan oleh filsuf dan motivator. Jangan takut salah, yang penting bukan hasilnya, tetapi, 'belajar' dari apa yang kita hasilkan. Tetap semangat, dan jangan mudah menyerah oleh keadaan. Dalam penggarapan edisi 32 ini, tak jauh beda dengan kesan singkat yang terjadi di edisiedisi sebelumnya, yakni, menjadi penulis terlalu mudah dibanding editor, menjadi editor pun terlalu mudah dibandingkan dengan layouter, dan menjadi layouter juga terlalu gampang dibanding dengan orang yang suka membuat aturan, tetapi, tanpa dijalani. Atau, orang yang
IDEA Edisi 32, September 2012
suka ngritik tanpa kasih solusi. Apalagi yang hanya omong doang (OmDo bahasa kerennya). Menyindir? Iya. Sudahlah. Untuk kali ini, ada perombakan besarbesaran oleh kru. Mulai membuat AD/ART keredaksian dan lembaga, juga mengubah logo yang semula bewarna merah, menyala, kemudian dikembalikan kepada warna khittah Ushuluddin, biru. Tidak hanya itu, dua periode ini memaksa anggota untuk mengadakan perombakan dan perbaikan besar-besaran, sehingga reshuffle tak bisa dihindari. Semoga cita-cita mulia itu diindahkan oleh seluruh awak redaksi. Saran: berstatuskan kru magang, anggota, pegiat, peneliti di LPM IDEA, jangan hanya dimanfaatkan pada, ketika menulis di media massa saja. Begitu murahnya nama IDEA kalau hanya disematkan ketika menjual nama, tanpa diimbangi dengan kontribusi nyata di lembaga tersebut. IDEA, adalah kerumunan orang-orang yang saling tukar ide. Benar. Tapi, lebih indah lagi jika 'status' anda di IDEA tidak hanya numpang nama saja. Namun, yang kita harapkan adanya kontribusi untuk diri sendiri dan orang lain. Universitas IDEA nantinya yang akan membentuk kepribadian anda di masa mendatang, bagaimana cara survive untuk hidup, yakinlah. Ingat, perjuangan belum usai, dan proses belajar atau belajar berproses masih terus mengalir dalam urat nadi. [Redaksi]
3
[Surat Pembaca]
Dosenku Pada Kemana ya???.... Seluruh jajaran birokrasi dan manajemen pendidikan sangat berpengaruh pada semangat belajar mahasiswa. Ada hal kecil yang sering kali terlupa tapi berdampak besar pada minat dan kinerja mahasiswa. Oleh sebab itu, melalui surat pembaca ini, ada kasus yang layak kita muhasabahi. Yakni, saya sangat tersentuh dengan ketidakhadiran dosen di jam kuliah tanpa konfirmasi, mungkin saking sibuknya hingga tidak sempat mengabari. Tapi, apakah itu alasan yang rasional? Mengingat betapa mudahnya memberi konfirmasi salah satu mahasiswa tanpa harus meninggalkan urusan beliau yang dianggap lebih penting dari mengajar? Saya sangat mengharapkan adanya ABSENSI untuk dosen, tidak hanya dalam birokrasi (kantor-red), karena komitmen belajar dan mengajar bukanlah hal yang pantas untuk diremehkan. Bahkan, saking seringnya absen dalam perkuliahan. Pernah saya menjumpai kasus dan saya juga sering mengalaminya—di akhir menjelang UAS—satu jam pelajaran itu dipadatkan dengan berjubelnya pemakalah. Bahkan, pernah ada sampai di isi dengan 8 pemakalah sekaligus dalam satu jam mata kuliah. Sungguh ironi bukan? AMANAH, Mahasiswi PK TH DEPAG 2009
SU R
AT
Tanggapan Dr. Machrus, M.Ag (Pembantu Dekan I) Memang, saya akui, bahwa setiap dosen memiliki kesibukan yang tidak sama. Terlepas dari itu semua, kami sendiri menetapkan kebijakan sebagaimana yang telah berjalan dari dulu bahwa dosen memiliki kewajiban mengajar dengan ketentuan persyaratan memenuhi tatap muka 16 kali pertemuan dalam satu semester, termasuk ujian mid-semester dan semester. Adapun pemantauannya berupa absen dan jurnal dosen. Biasanya setiap selesai proses kegiatan perkuliahan di kelas, dosen meminta tanda tangan kepada mahasiswa sebagai tanda bahwa dosen tersebut melaksanakan kewajibannya. Ini yang nanti dijadikan laporan. Nanti kelihatan kalau misalnya dosen tersebut tidak masuk kelas.
Diskusi publik tanpa mic? oh, TIDAK...! Diskusi merupakan suatu keniscayaan bagi mahasiswa. Tidak terlepas apakah dia aktivis ataukah hanya mahasiswa biasa. Namun, apalah artinya jika mahasiswa dilarang berdiskusi di kampus? Hal inilah yang terjadi beberapa pekan lalu di area parkir Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Saat itu Himpunan mahasiswa jurusan (HMJ-TP) yang hendak melakukan diskusi publik tidak diperbolehkan menggunakan wireless. Pelarangan tersebut sempat mengacaukan kawan-kawan HMJ sendiri. Acara yang rencananya akan dimulai pukul 10.00 pagi, akhirnya tertunda hingga beberapa menit. Padahal peserta sudah berkumpul sejak jam 09.45. Tidak seperti biasanya, mengapa birokrasi dekanat melarang penggunaan wireless untuk diskusi. Padahal sebelumnya tidak pernah ada pelarangan tersebut. Yang menjadi masalah adalah ketika kawan-kawan melakukan diskusi publik, dan hal ini tidak akan efektif tanpa ada fasilitas seperti wireless. Namun, hingga saat ini pihak dekanat sendiri belum memberikan kejelasan mengenai kebijakan tersebut. Nurrotun Nikmah, Mahasiswa PK-TP 2009
4
IDEA Edisi 32, September 2012
[Surat Pembaca]
Tanggapan Dr. Hasyim Muhammad, M.Ag (Pembantu Dekan III) Saya perlu menjelaskan sebelumnya, bahwa pelarangan menggunakan wireless sebagaimana dalam kegiatan yang disebutkan oleh saudari Nurrotun Nikmah itu bukan berarti saya melarang diskusi. Ini perlu dipahami. Mengapa saya tidak mengizinkan penggunaan wireless dalam diskusi tersebut, karena ini mengganggu perkuliahan. Permasalahannya sebenarnya hanya karena pengambilan tempat kegiatan saja. Jika kegiatan dilaksanakan di luar jam perkuliahan atau di luar lingkungan perkuliahan, misalnya di sekitar PKM, itu tidak masalah menggunakan wireless. Tapi kenyataannya kegiatan dilaksanakan di lingkungan perkuliahan. Dan itu mengganggu. Kenapa dulu diperbolehkan dan sekarang tidak diperkenankan. Dari dulu, banyak sekali protes tentang kegiatan-kegiatan yang mengganggu perkuliahan, baik itu dari mahasiswa ataupun dosen. Namun, kegiatan yang kemarin dilaksanakan oleh salah satu UKM memunculkan begitu banyak protes. Saya diprotes kanan-kiri. Mereka memang benar, itu sangat mengganggu perkuliahan. Saya sudah berulang kali menghimbau agar memasang volume yang tidak terlalu keras. Namun sayangnya himbauan tersebut tidak diindahkan. Malah volume-nya dikeraskan. Orang protes itu tidak salah. Memang kita ini yang tidak pada tempatnya. Kuliah itu wajib. Siapa bilang diskusi itu tidak baik, tapi itu sunnah. Tidak seharusnya yang wajib itu mengalahkan yang sunnah.
Bakar Sampah di Tempatnya Dong, Pak... Lewat majalah IDEA ini, saya ingin mengutarakan tentang pembakaran sampah di kampus. Masalahnya, seringkali dinas kebersihan fakultas membakar sampah berdekatan dengan PKM. Kepulan asap dari pembakaran sampah pada masuk ke PKM, sehingga menggangu berbagai aktivitas. Saya pernah mengikuti perkuliahan di ruang R.6 pada saat itu di bawah ada pembakaran sampah, sehingga ruangan kelas penuh dengan asap pembakaran sampah, rasanya seperti di-fogging. Suasana ini sangat menggangu sekali. Harapan saya dewan kebersihan Fakultas untuk segera menyikapi hal ini. Terimakasih. (Zaenul Mustofa, Mahasiswa TH 2010 ).
IDEA Edisi 32, September 2012
Tanggapan Dr. Hasan Asy'ari Ulama' M.Ag (Pembantu Dekan II) Tentang tempat pembakaran sampah, sebenarnya itu sudah saya ingatkan sejak dulu. Agar petugas kebersihan membakar sampah pada tempat yang agak jauh dan tersembunyi, serta membakar sampahnya tidak pada waktu jam kuliah. Saya setuju memang pembakaran sampah yang terlalu dekat dengan PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) merusak pemandangan, tapi mau gimana lagi jika mahasiswa di PKM juga membuang sampah di dekat situ. Akhirnya, petugas kebersihan ikut-ikutan membakar sampah di situ. Mestinya himbauan menjaga kebersihan itu di indahkan sehingga membuang sampah pada tempatnya sekaligus membakar sampah di kolam sampah yang telah di sediakan. Syukur-syukur jika teman-teman mahasiswa menjadi pelopor serta ikut mengarahkan petugas kebersihan menjaga kebersihan lingkungan bersama. Jika mahasiswa melihat pembakaran sampah tidak pada tempatnya serta di rasa menggangu aktivitas di kampus, maka langsung saja di tegur atau melaporkan ke PD II.
5
[Karikatur]
6
IDEA Edisi 32, September 2012
[Editorial]
Beriman Tanpa Rasa Takut! “ Akeh wong apal.. Qur'an Hadits e… Seneng ngafirke.. marang liyane.. Kafire dewe.. gak di gathekke.. yen iseh kotor.. ati.. akale…”
S
udah tak asing lagi di telinga pembaca dengan penggalan teks di atas. Ya, sebuah sajak waton yang konon didendangkan oleh almarhum Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Syi'ir itu tak lain adalah potret dari realita sosial saat ini. Gejala takfir. Memang, fenomena kafir-mengafirkan antar umat Islam satu dengan lainnya telah banyak kita jumpai. Dengan mudahnya, bibir berucap: kowe kafir kon, bolone Thogut (kamu orang kafir, temannya Thogut). Gejala seperti ini tampaknya sudah menjamur di mana-mana. Bahkan, sudah membentuk sebuah ormas atau organisasi yang intens mengintai kelompokkelompok yang berbeda dengan pemahamannya. Apabila seseorang berperilaku nyeleneh, 'aneh' di mata mereka, baik dalam berolah pikir maupun bersikap, siap-siap saja orang tersebut dicap “kafir”. Selanjutnya, sangat disayangkan apabila pemahaman seperti itu kemudian mengakar kepada seseorang yang sudah dicap kafir, maka darahnya pun juga ikut halal (baca: di bunuh). Hal itu pun tidak peduli kepada siapapun orangnya, bahkan, ibu atau ayah kandungnya sendiri pun jika 'melenceng', menurut versi dia, maka dianggap kafir. Dan darahnya pun juga halal. Sungguh ironi bukan? Berawal dari kegalauan fenomena tersebut, sebenarnya kafir itu adalah 'cap' yang dipolitisasi. Bila membaca sejarah mengenai munculnya golongan Murji'ah, Khawarij, dan Mu'tazilah, telah banyak mengulas dan mengekspos kejadian-kejadian yang mengindikasikan bahwasanya istilah kafir penuh dengan nuansa politis. Bila ditelisik lebih dalam lagi, kafir sendiri tidaklah menjanjikan neraka. Karena
IDEA Edisi 32, September 2012
yang menjanjikan neraka itu adalah murtad, musyrik, dan munafik. Urusan syahadat dan pembaptisan, itu juga sangkut pautnya membincang masalah murtad dan musyrik, bukanlah kafir. Jadi, jangan takut kalau di cap/klaim oleh kelompok tertentu dengan sematan kafir. Sebagaimana yang pernah di gaungkan oleh Irshad Manji. Beriman tanpa rasa takut!. Menurut Prof. Toshihiko Izutsu, di dalam bukunya Ethico Religious Concepts in The Qur'an (1966) digambarkan bahwa, kafir yang bermakna “tertutup” itu urusannya adalah etika dalam islam, yakni orang yang hatinya tertutup kepada masalah sosial. Mata hatinya menutup diri dalam menyikapi realitas sosial masyarakat. Di sini ada sebuah pemahaman, bahwa inilah hakikat dari makna kafir, yakni lebih mengarah kepada tipologi sosial. Bukan urusan Tuhan. Seseorang yang bodoh, tidak mau berfikir, menutup pemikiran, menutup pintu ijtihad, itulah yang sebenarnya kafir. Koruptor, yang menutup dirinya kepada kondisi sosial masyarakat, dan ingin memperkaya diri sendiri, itulah golongan yang 'paling' kafir. Karena menyebabkan kerugian negara dengan memakan harta rakyat. Tak terkecuali, Kementrian Agama yang konon menjadi payung atau kumpulan para agamawan, kalau terlibat korup, juga mendapat predikat sama; kafir. Dajjal di tahun 2012 dan tahun-tahun yang akan datang pada hakikatnya adalah kemiskinan, kebodohan, anarkisme, dan korupsi (yang menjadi common enemy). Orang yang beriman, seharusnya memberantas itu semua. Dengan demikian, jangan terlalu mudah mengobral kata kafir. Karena, janganjangan Anda sendiri yang hobi mengecap “kafir” itu bagian dari orang kafir. Begitu. [Redaksi]
7
[Analisis Utama]
Mengimani Kafir
ibnuabbaskendari.wordpress.com
Diriwayatkan dari Abdullah Bin Mas`ud ra, katanya: Rasulullah menorehkan sebuah garis di atas tanah dengan jarinya lalu berkata: “ini adalah jalan Allah yang lurus”. Kemudian beliau menorehkan pula garis yang menyimpang ke kiri dan kanan garis pertama tadi, lalu berkata pula: “ Dan garis yang ini, tak lain adalah garis setan ke arah mana ia mengajak manusia melaluinya”. Selanjutnya beliau membacakan ayat: “ Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lain selain itu)” (QS. Al An'am 153), (Hadits riwayat Ahmad). Sekilas membaca hadits di atas, kita dapat menangkap bahwa ratusan abad yang lalu, Muhammad SAW berhasil melakukan pembacaan futuristik terhadap keadaan umat manusia di masa mendatang. Yakni akan terjadi perpecahan di antara mereka. Garis menyimpang ke kanan dan kiri akan menjadi kelompok yang terpecah belah karena selalu memperdebatkan perbedaan pendapat, sebaliknya jalan lurus yang digambarkan adalah jalan keselamatan. Hadits tersebut sekaligus memberikan peringatan dan kewaspadaan terhadap ajaran yang melenceng. Munculnya fenomena takfir (menuding
8
Oleh sebagian kita, mendengar kata “kafir”, sangatlah angker dan seakan harus dimusnahkan dari muka bumi. Namun, bagi sebagian yang lain, kafir itu dibutuhkan. Dalam artian, simbol kekafiran—menyematkan kata kafir—itu dibutuhkan untuk menghancurkan lawan. Oleh sebab itu, simbol kafir perlu diimani, antara dipuja dan dicela. Mengimani kafir bukan berarti kita iman kepada orang-orang ‘kafir’, dan tunduk kepadanya. Akan tetapi, kita percaya bahwa simbol-simbol kekafiran di tubuh kaum beragama itu ada, walaupun orang tersebut tidak merasakannya. apa itu kafir? apa benar kafir hanyalah simbol an sich yang tidak perlu ditakuti, apalagi di cap sebagai orang kafir. Sebelum melanjutkan membaca, redaksi mengucapkan: Proud To Be A KAFIR.
kafir) terhadap sesama muslim belakangan ini semakin meruncing. Fenomena ini telah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan perpecahan, saling tuding dan keresahan dalam masyarakat. Pemaknaan “kafir” mengalami perkembangan yang sangat cepat. Bermula dari penyematan terhadap orang-orang non muslim yang memerangi Muhammad SAW hingga julukan kafir harus dilabelkan pada orang-orang muslim juga. Sehingga budaya takfir ini menjadi bahaya laten yang terus memojokkan umat Islam sendiri, seperti memelihara musuh dalam selimut. Dari sini muncullah berbagai macam polemik yang menyebabkan kaum muslimin saling mengaku paling benar (truth claim) dan kemudian menyalahkan kelompok yang berbeda arah dengannya, bahkan hingga menumpahkan darah. Dalam Lisan Al Arab karya Ibnu Mandzur, Kafir (plural: kuffâr) berasal dari kata kafarayakfuru-kufran. Ia mempunyai multimakna seperti antonim dari iman atau tidak beriman kepada Tuhan (naqidh al iman), melakukan m a k s i a t ( ` a s ha w w a i m t a n a ` u ) , t i d a k mensyukuri nikmat (naqidh as syukr), menutup hati (al juhud wa al satr), melakukan pembangkangan dan perlawanan (mu`anadah) dan kemunafikan (nifaq). Jadi kafir (ism fail)
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Utama] bermakna orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Sedangkan takfir berarti “mengkafirkan” atau menganggap orang lain yang berseberangan pendapat sebagai kafir. Adapun dalam terminologi kultural kata ini adalah lawan dari kata syakir (orang yang bersyukur) atau merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah SWT. Dari pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa secara umum, terminologi kafir tidak hanya berlaku pada penganut agama non muslim, tetapi kepada siapapun yang melakukan maksiat, tidak mensyukuri nikmat, menutup hati, melakukan pembangkangan dan kemunafikan. Dari sini jelas bahwa umat Islam pun bisa saja dikatakan kafir jika melakukan perbuatanperbuatan tercela di atas. Takfir dan Khawarij Bila merunut sejarahnya, ternyata peradaban mengafirkan (hadlarah takfir) sesama muslim bukan sesuatu yang baru. Ia telah lama ada dalam sejarah Arab dengan munculnya Khawarij. Kaum Khawarij adalah golongan yang paling dulu membicarakan topik-topik yang berkaitan dengan kekhalifahan. Asy- Syahrastani (548 H/ 1153 M) mendifinisikan Khawarij dengan arti yang luas. Dalam pandangannya, Khawarij adalah semua orang yang keluar dari ketundukan terhadap imam (pemimpin yang sah) yang telah disepakati oleh jamaah Islam. Pemikiran dan ajaran-ajaran Khawarij hidup dan berkembang di dunia Islam dalam masa-masa yang singkat. Hal ini karena pemikiran mereka bercorak ekstrim dan mengafirkan sesama muslim. Salah satu ajaran mereka yang terkenal adalah menghalalkan membunuh orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Padahal agama Islam tidak menghalalkan darah seorang muslim kecuali dalam tiga hal yaitu pezina mukhson yang harus dirajam, pembunuh mukmin dengan sengaja yang harus dihukumi mati sebagai balasan yang sepadan, orang murtad yang boleh dibunuh karena kemurtadannya. “Setiap orang muslim diharamkan atas muslim yang lainnya, darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah) Adapun pengafiran mereka terhadap Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Khawarij bersandar pada satu-satunya alasan yaitu mereka berdua telah menetapkan hukum tidak dengan
IDEA Edisi 32, September 2012
apa yang telah diturunan Allah. Dalam hal ini dalil yang seringkali didendangkan Khawarij dalam menguatkan ideologi kelompoknya adalah “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al Maidah:44). Dalam kamus Khawarij, Utsman dinilai mengangkat kerabat-kerabatnya sebagai pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan menyeleweng (tidak profesional), maka ia dihukumi kafir. Begitu pula dengan `Ali dihukumi serupa karena mengakui putusan dua orang juru damai (`Amr Ibn al Ash dan Abu Musa al Asy`ari) yang diutus dalam tahkim dan mencopot gelar amirul mukminin dari dirinya. Hal ini yang kemudian menjadi budaya untuk mengafirkan sesama muslim lainnya, termasuk terhadap orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal (suatu perang yang pertama kali pecah dengan melibatkan sesama muslim gara-gara tertumpahnya darah Utsman) yang diantaranya terdapat sejumlah sahabat Rasulullah. Khawarij mengklaim dua khalifah ini sebagai kafir, sekalipun pemerintahan Utsman dan Ali terhadap kaum Muslim adalah sah, dan keabsahan ini telah ditetapkan pula berdasarkan ijma’ tanpa ada perbedaan. Dan sepanjang hal itu dinyatakan ijma’ maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menentangnya, kecuali bila jelasjelas terlihat sebagai orang kafir, dan yang demikian ini tak terlihat pada keduanya. Hanya saja pembunuhan yang terjadi dalam perang Jamal antara kaum muslim menjadi akidah orang Khawarij untuk mengafirkan orang-orang yang telah melakukan dosa besar (membunuh muslim), meskipun dalam beberapa referensi sejarah, seorang muslim diperbolehkan membunuh orang yang memeranginya sekalipun muslim. Namun, yang dipahami khawarij adalah diperbolehkannya menumpahkan darah muslim sekalipun tidak memeranginya. Para ulama Ahlus Sunah wal Jamaah seperti Imam Nasafi, Ibnu Hazm dan lainnya dengan cermat melakukan bantahan untuk menggugurkan penafsiran yang dijadikan pijakan Khawarij. Satu contoh, dalam bertahkim. Ali sama sekali tidak pernah berhukum kepada seorang manusia dalam urusan agama. Tetapi ia berhukum kepada firman Allah setelah kedua pihak setuju atas ajakan bertahkim kepada al-
9
[Analisis Utama] Quran. Dalam al-Quran sendiri pernah disitir “Dan apabila kamu berselisih tentang sesuatu di kalanganmu sendiri, hendaklah kembalikan persoalannya kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS, An Nisa 59). Maka mereka berpendapat bahwa kaum Khawarij adalah orang-orang Arab yang mampu membaca al-Quran namun tidak menguasai dengan baik sunnah-sunnah dari Rasulullah SAW. Hal ini diperparah lagi tidak adanya ahli fiqh yang cukup arif dan mampu memahami masalah-masalah fiqh secara mendalam. Khawarij tidak membedakan dosa kecil dan dosa besar. Sehingga siapa saja yang berbuat dosa, seperti mencuri, berzina, peminum khamr dan membunuh adalah kafir sekalipun setelahnya bertaubat. Orang Khawarij beranggapan bahwa semua orang yang berseberangan pendapat dengan mereka dalam masalah akidah dan prinsip-prinsip keagamaan berarti telah melakukan dosa besar dan dinilai kafir. Hal ini karena mereka berpegang pada beberapa dalil al-Quran: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalamalnya dan di hari kiamat ia termasuk orang yang merugi” (QS Maidah: 5), “Sesungguhnya kami telah menunjuki jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir ” (QS al Insan:3). Dengan demikian mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan di antara kekafiran dan keimanan suatu posisi yang lain. Maka barangsiapa yang menyia-nyiakan amalnya dan bertindak di luar apa yang diperintahkan Tuhannya maka ia tidak beriman atau kafir. Berbeda dengan apa yang telah dipersepsikan kaum orientalis terhadap Khawarij. Wellhausen dalam bukunya The Religio-Political Factions berpendapat bahwa kaum Khawarij muncul dari kalangan orang-orang shalih yang ahli al-Quran, hafal al-Quran dan selalu mengamalkan isinya. Sebab dalam pandangan mereka, al-Quran tidak harus dikaji, melainkan untuk diamalkan dan demi ketakwaan. Wellhausen sangat mengagumi gerakan yang telah ditorehkan Khawarij dalam sejarahnya. Ia berpendapat bahwa Khawarij adalah kelompok revolusioner yang menampakkan dirinya secara terang-terangan. Sebuah partai revolusioner yang berpegang teguh pada ketakwaan dan tidaklah muncul dari kefanatikan Arab (tribalisme), melainkan fanatisme Islam dengan upaya penuh
10
melaksanakan apa yang diperintahkan al-Quran. Sedangkan Van Vloten menamakan khawarij dengan kaum Jumhuriyyin (Republiken), sebab dalam pandangannya mereka menampilkan prinsip-prinsip demokratis yang ekstrim [Umar Abu an Nasher: Al Khawarij Fi al Islam]. Konon bahwa akar permasalahan perpecahan umat Islam semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dikarenakan kembalinya budaya fanatisme Arab yang mengagungkan kekuatan sukunya masing-masing. Maka partai ini lahir sebagai upaya politis untuk menengahi di tengah polemik tribalisme dengan menciptakan fanatisme agama. Fanatisme Islam yang hendak disampaikan kaum Khawarij adalah untuk memupus persengketaan dan perselisihan antar suku dengan kembali kepada Tuhan dalam menentukan hukum. Sebab kekuasaan tidak berada di tangan manusia, tetapi hanya pada Allah. Agar kekuasaan yang bersifat duniawi tersebut menjadi syar'i, maka sepenuhnya harus ditundukkan kepada ajaran agama, dengan demikian setiap perkara diputuskan atas nama Allah. Sedangkan menurutnya, imam hanya sebatas lambang persatuan umat Islam, tidak lebih sebagai pemangku kebijakan masyarakat. Khawarij melakukan politik praktis saat terjadi kemelut antara kaum muslim pasca perang Jamal. Kemudian mereka mencoba menjadi satu kelompok netral, tidak berpihak pada blok kanan dan kiri. Meskipun sebelumnya, mereka termasuk kalangan kaum pembela Ali bin Abi Thalib. Seiring berlalunya waktu, mereka mencium Ali telah melakukan dosa besar sehingga memvonis kekafirannya dengan keluar dari kelompoknya (Al Khirrij) yang kemudian kelompok tersebut dinamai Khawarij. Salah satu bentuk politiknya adalah pertama, takfir atau gerakan pengafiran orangorang yang seagamanya. Mereka beranggapan bahwa berperang melawan mereka adalah jihad yang disamakan dengan jihad melawan kaum kafir. Bahkan lebih ekstrim lagi dengan menganggap orang muslim yang menentangnya lebih kafir daripada Yahudi, Nasrani dan Yahudi. Kedua, politik kekhalifahan. Kaum Khawarij melakukan penyerangan kepada Utsman, Ali dan Muawiyah hanyalah bertujuan mengganti mereka dengan imam-imam yang shalih karena kebaikan duniawi dan ukhrawi tergantung pada imam.
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Utama] Imam ditafsirkan Khawarij sebagai pemimpin di dunia maupun akhirat. Dalam kacamata politik, persoalan kafir bukan lagi masalah teologis yang sering didefinisikan sebagai orang yang dengan terangterangan tanpa malu menentang dan memusuhi agama Islam, menganggap dirinya kafir dan bangga akan perbuatannya yang terkutuk. Tapi sudah masuk dalam ranah politik dengan mengatakan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan kelompok tersebut dihukumi kafir dan halal darahnya, sekalipun ia beragama Islam. Sepanjang seorang muslim pernah melakukan dosa dan maksiat maka ia menjadi kafir. Politik teologi seperti ini yang justru membahayakan banyak pihak terutama kaum muslim. Momentum sejarah takfir yang dulu pernah dikibarkan oleh partai Khawarij, kini muncul kembali dengan gerakan-gerakan Islam garis keras seperti Wahabisme dan Jam`iyyah Takfiriyyah. Khawarij yang berhasil membangun sebuah peradaban baru dalam Islam, yaitu peradaban takfir menjadi model yang menarik sehingga melakukan metamorfosis generasi Islam setelahnya untuk melestarikan budaya tersebut. Yang menjadi kekawatiran kita adalah golongan ini bisa menjadi pisau tajam dalam mengafirkan, menyesatkan, pembid`ahan, vonis syirik dan mengaku ajarannya yang paling benar. Sehingga siapapun yang tidak sesuai dengan pemahaman teologis mereka akan dicap sebagai pembangkang hukum Tuhan. Kafir adalah Sifat, Bukan Oknum Dewasa ini, isu SARA kembali mengundang simpatik oleh semua kalangan masyarakat dalam pemilukada DKI Jakarta. Agama kembali dijadikan kendaraan politik. Penyanyi, politisi, da'i, ustadz, memberikan statemen bahwa haram memilih pemimpin non-muslim (baca: kafir). [Kompas, 26/8/2012]. Benarkah demikian? Rujukan dalil al-Qur'an yang mereka pakai di antaranya adalah surah Ali Imran 28 dan Al Ma'idah 51. Dalam terjemahan versi Indonesia, ayat terakhir berbunyi : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpinpemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
IDEA Edisi 32, September 2012
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. Alat manjur memang, membawa isu agama di tengah 'kepentingan' golongan tertentu, terlebih dalam perebutan kursi pemerintahan. Tak peduli, jalan apapun akan ditempuh. Menghalalkan segala cara. Menyitir ayat-ayat alQur'an dan menjual hadits-hadits Nabi. Termasuk menyematkan kata “kafir” kepada musuh politik. Sungguh ironi. Menggelindingkan isu agama di tengah pemilu sering terjadi. Dulu, Megawati juga pernah jadi korban. Dengan statemen; Islam melarang memilih presiden/pemimpin dari golongan wanita. Pernyataan-pernyataan seperti itu tidak menjadi 'wow' dan aneh sewaktu pemilu. Wajar. Sangat disayangkan ketika pernyataanpernyataan yang demikian itu—haram memilih pemimpin non-muslim dan haram memilih presiden wanita—dilontarkan oleh ulama', walaupun definisi ulama' sebenarnya masih njelimet. Tidak semudah apa yang disebut ulama' atau mufti di negara Indonesia, orang bisa ndalil sedikit, mengisi ceramah ndakik-ndakikan, disebutlah ulama' atau kiai. Selanjutnya, terlepas dari problem di atas—mengafirkan di tengah isu poltik—namun masih dalam pembahasan kafir, pun kita kembali bertanya-tanya lagi. Di dalam agama Islam sendiri, tak sedikit orang islam yang memaki-maki sesama muslim, saling mengafirkan terhadap yang lain ketika keyakinannya 'sedikit' berbeda dengan pemahaman aliran yang dianutnya. Demikian juga dengan orang Nasrani, Katolik, Protestan, juga banyak yang memaki orang Islam
www.masrawy.com
Kafir politik: memberi tekanan kepada yang lain.
11
[Analisis Utama] sebagai “kafir”. Karena menurut pemahaman mereka, orang yang di luar, selain agamanya juga dinamai dengan orang kafir. Truth claim masih mendarah daging. Bahkan, doktrin-doktrin semacam: “Tidak ada keselamatan di luar Gereja” juga masih menjadi pedoman oleh sebagian kalangan dari mereka. Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah: siapa yang kafir sebenarnya? Kalau disadari, di dalam al-Qur'an cukup banyak ayat yang menyantumkan kata “kafir”. Akan tetapi, tak lain, al-Qur'an bertujuan memberikan perbandingan (Li al-muqoronah) dan pendidikan (Li al-ttarbiyyah) terhadap realitas zaman. Kafir bukan lagi dimaknai dengan teosentris, hal-hal yang urusannya dengan keimanan. Akan tetapi, kafir mewujud sebagai halhal yang berkaitan dengan manusia, Hablumminannas. Baca QS. At-Tahrim [66]: ayat 7, disana ada redaksi “Yaa Ayyuhalladziina Kafaruu...”, redaksinya memakai isim maushul (kata sambung), “alladziina”, yang mana tidak terlalu jelas (distinct) menyebut oknum sebagai bentuk perlawanan. Tidak hanya berhenti pada ayat itu saja. QS. Al-Baqoroh [2]: ayat 171 juga sama, redaksi memakai “Wa matsalul ladziina kafaruu ka matsalil ladzii yan'iqu...”. di dalam ayat tersebut, Tafsir Al-Misbah [vol 1, hal 460-461] menjelaskan bahwa orang-orang kafir, tidak berpikir dan berusaha untuk menemukan kebenaran. Mereka justru menutup mata di hadapan kebenaran, supaya tidak melihat dan mendengar. Persis seperti kambing-kambing, yang semakin penggembalanya menakut-nakuti kambing-kambing tersebut dengan satu bahaya, kambing-kambing tadi tidak memahami teriakan penggembala tadi kecuali teriakan dan suara keras. Mereka itu bagaikan hewan yang memiliki mata, telinga dan lidah, namun mereka tidak berpikir, dari itulah mereka, tidak dapat mengerti kebenaran. Begitulah sifat orang kafir; tuli, bisu, buta. Maka, dia tidak mengerti. Begitu jelas penggambarannya, maka di dalam QS. Al-An'aam [6] : ayat 108, Allah berfirman. “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka
12
apa yang dahulu mereka kerjakan”. Oleh sebab itu, apabila para ulama', da'i, yang sering menyematkan label kafir terhadap yang lain, secara tidak sadar, mereka sama saja dengan menghina Islam, karena pada ayat di atas sudah jelas bahwa Allah SWT berfirman untuk tidak memaki agama lain, atau orang lain, karena sama saja dengan memaki agama kita sendiri. Islam. Dengan demikian, sudah jelas bahwa dalam sematan kata 'kafir' itu tidak ada tujuan untuk memaki dan menghakimi sesama, dan menuduh orang lain kafir. Jadi, penggambaran alQur'an begitu detail tentang kafir, yakni bersifat karakteristik seseorang. Mengingat akar kata kafir itu berarti 'menutup'. Korupsi, anarki, walaupun yang melakukan itu dari lembaga agama yang katanya cara berislamnya sudah kaffah, tetap saja mendapatkan label kafir. Dulu, bila membaca sejarah mengenai kelompok Khawarij, yang telah disinggung oleh penulis di atas—terlepas dari isu politik—sebenarnya ada sebuah misi mulia dari kalangan Khawarij ini. Ia memberikan sematan kafir bukanlah sekedar 'ceplos' seenaknya. Akan tetapi, sebuah bentuk “revolusioner” dimana ketika itu orang beragama dan beriman hanya dari covernya saja. Sebatas simbol-simbol kulit luar. Karena beragama tidak cukup hanya mengandalkan simbol-simbol lahiriyah serta ritus jasmaniyah. Hakikat tauhid, keimanan (lawan dari kata kafir), harus dimulai dan berakar kuat di dalam hati dan penalaran sehat, lalu diikuti dengan pengamalan dan penampilan lahir. Sangat wajar apabila kalangan khawarij menilai keimanan seseorang itu tidak hanya sebatas “syahadat” saja. Tetapi juga melakukan shalat, puasa, zakat, berbaik kepada sesama, cinta damai dan lain-lain yang pada akhirnya mengarah kepada Tuhan, bersifat transenden (membumimelangit). Manusia Menjadi Tuhan Sangat risih jika isu agama atau label-label yang berkaitan dengan agama dibawa untuk kepentingan tertentu. Setidaknya, di sini ada sebuah analisis bahwa kafir dewasa ini sering dipakai untuk melumpuhkan dan menjatuhkan musuh (lawan). Dengan mengatakan kafir kepada seseorang, berarti secara psikologi ia ingin menjatuhkan sang lawan. Label sesat terhadap
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Utama] kelompok tertentu juga sama. Pada intinya ingin mengintimidasi dan mengisolir suatu kelompok atau golongan untuk diasingkan. Padahal, dalam agama Islam sudah jelas bahwa menjatuhkan atau memaki orang lain merupakan larangan. Nabi SAW sendiri telah menegaskan, bahwa orang yang menyifatkan saudara muslimnya dengan sifat kekufuran, maka hal itu adalah dosa. Bahkan tuduhan itu berbalik kepada dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar RA, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang memanggil seseorang dengan katakata kafir, atau berkata: wahai musuh Allah, sedangkan tidaklah demikian halnya, maka tuduhan dan kata-kata itu kembali dan berlaku kepada dirinya.”(HR Bukhari dan Muslim) Sehingga sangat disayangkan jika manusia ikut-ikutan mengurusi keimanan seseorang.
Di alam semesta ini saja Tuhan telah menciptakan miliaran planet. Siapa tahu di kehidupan kelak, Tuhan menyediakan beragam surga sesuai dengan agama dan kesalehan hidupnya sewaktu di dunia. -Komaruddin Hidayat-
Seakan, manusianya ingin menjadi Tuhan, yakni dengan menghukumi, melabeli, menjustis orang lain dengan sebutan kafir. Sungguh ironi bukan? Sudah marak kasus-kasus seperti ini di tengah masyarakat. Apa masih saja kita biarkan? Gejala takfir dan klaim-klaim seperti inilah yang nantinya akan memecah belah umat. Jadi, orang Islam Indonesia sukanya mengurusi keimanan orang lain. Dan ternyata ia lupa dengan “kekafiran” yang ada pada dirinya sendiri. Kalau sudah begini, maka yang terjadi adalah sebuah bentuk makar dan tiranisme dalam beragama.
IDEA Edisi 32, September 2012
Yang kemudian, posisi agama menjadi sebuah keraguan besar. Dalam perjalanan sejarahnya, agama selalu dalam posisi dibela dan dicaci. Sesama orang yang mengaku beragama pun karena berbeda keyakinan agamanya seringkali saling menyerang dan menjatuhkan. Kalau saja agama itu menjelma menjadi sosok manusia, apa yang akan ia katakan tentang dirinya yang selalu dibela, tetapi sekaligus hendak dihancurkan? Malahan, ada sebuah anggapan bahwa, di alam semesta ini saja Tuhan telah menciptakan miliaran planet. Siapa tahu di kehidupan kelak, Tuhan menyediakan beragam surga sesuai dengan agama dan kesalehan hidupnya sewaktu di dunia. Dan tidak usah khawatir pula apabila di kiamat nanti tidak kebagian surga. [Komaruddin Hidayat: 2010] Jadi, manusia tidak usah ikut mengurusi keimanan seseorang. Karena semuanya masih pada tahap meraba-raba. Serahkan saja pada Tuhan masalah surga-neraka. Bahkan menurut kalangan sufi, orang yang amalnya bagus di dunia, belum tentu mendapatkan surga di akhirat kelak nanti, apalagi, jika orang yang beramal buruk. Sangat wajar bila seorang Rabi'ah Adawiyyah, di dalam sebuah puisinya mengatakan: Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut neraka//Bukan pula karena mengharap masuk surga//Tetapi aku mengabdi, Karena cintaku pada-Nya//Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya//Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya//Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,//Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku. [Asfari MS dan Sukatno CR: 1999] Menuduh Kafir = Kafir Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perilaku “menuduh” merupakan suatu tindakan yang tidak menyenangkan. Hal ini berlaku bagi semua orang. Karena tuduhan yang dialamatkan itu jika tanpa ada bukti nyata, valid, menuduh sama dengan melukai hati. Jelas, Islam melarang hal ini. Karena dapat memicu konflik dan permusuhan, menjadikan hubungan tidak harmonis. Madhorotnya pun lebih banyak dari pada manfaatnya. Dalam qawa'idul fiqhiyyah sudah dijabarkan dengan sebuah kaidah; Dar'ul
13
[Analisis Utama] Mafaasid Muqoddamun 'ala Jalbil Masholih. Kurang lebih seperti itu. Di samping itu juga, menuduh sama halnya dengan mendzolimi orang lain. Karena dia merasa terdakwa. Al-Qur'an sendiri sudah memeringatkan kepada umatnya untuk tidak saling menuduh. Lihat QS. An-Nur: 4-5. Ayat tersebut telah menjelaskan bahwa menuduh melakukan perbuatan zina (qadzaf) sedangkan dia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, maka hukuman bagi orang yang menuduh itu adalah didera sebanyak 80 kali dera. Oleh sebab itu, al-Qur'an melarang keras. Apalagi menuduh kepada sesama yang ada kaitannya dengan teologi, ketuhanan. Lalu, bagaimana jika lembaga agama yang mengklaim dan menjustis sesat/kafir? Bukankah seharusnya lembaga agama menjadi cermin dan suri teladan bagi umat? Sepertinya, lembaga agama telah lupa bahwa di dalam kaidah asas Islam, terlebih yang menyangkut akidah, telah disebutkan bahwa tidak dibolehkannya mengafirkan seseorang dari golongan ahli kiblat, kecuali dengan bukti yang jelas dan akurat. Sebab, pada dasarnya, sosok seorang muslim adalah iman, maka mengkafirkan seorang muslim dengan tanpa alasan yang kuat adalah perbuatan yang dilarang. [Lihat: Dr Wahbah Zuhaili, Akhlakul Muslim: 'Alaqatuhu bin Nafsi wal Kaun, Darul Fikr al-Mu'asir, Beirut Lebanon, h. 298]. Dengan mengutip dalil dari al-Quran surat Ar-Ruum [30]: ayat 44, Allah SWT. berfirman, “Siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung akibat kekafirannya itu; dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan, maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan).” Kerangka Berfikir Kafir “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 82) Tuhan dengan tegas memberikan gambaran konsekuensi yang akan terjadi bila kita memilih menjadi seorang kafir atau mu'min. Kebebasan yang diberikan merupakan tanggungan masingmasing personal untuk dipikul nanti di hari
14
pembalasan. Kemandirian amal dan usaha dibebankan di pundak masing-masing manusia sesuai dengan amal perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Gambaran kehidupan manusia yang gersang dalam menjalani peradaban di dunia menuntut adanya guidance yang dapat dijadikan acuan bersama. Muhammad Syahrur mengajukan definisi moral adalah qanun sosial tak tertulis yang mengikat satu pribadi dengan pribadi lain karena keberadaannya sebagai masyarakat manusia bukan sekawanan binatang, tanpa memperhatikan struktur ekonomi masyarakat. Karena itu moral bersifat universal. (Al-Islam Wal Iman fi Mandhumatul Qiyam: 1996). Bila dirunut dalam sejarah, perdebatan kufr sebenarnya terjadi riuh rendah dalam kalangan umat Islam sendiri. Pasca terbunuhnya Ali R.A, muncul sekte-sekte dalam Islam. Khawarij, Murji’ah, Qodariah, Jabariah, Mu'tazilah dan lain sebagainya. Perdebatan itu muncul disebabkan tahkim yang dilancarkan Muawiyah terhadap Ali R.A. muncullah perdebatan kufr, iman, fasiq dan sebagainya. Muncul istilah Khawarij dipergunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang memberontak dan tidak mengakui keabsahan imam yang sah, baik pada zaman sahabat, terhadap empat orang khalifah pilihan atau pada masa tabi'in atau terhadap imam-imam yang sah di sepanjang masa. Kelompok-kelompok Khawarij yang terpenting adalah al-Muhakimah, al-Azariqah, an-Najdiyah, al-Baihasiah, al-Ajaridah, ats-Tsa'labiyah, ashShufriyah, dan beberapa kelompok lain yang menjadi kelompoknya. (Al-Syahrastani; Al-milal Wan-Nihal) Menurut Adonis, Khawarij dipandang sebagai gerakan revolusioner. Kelompok ini berani lantang menyatakan bahwa mereka meragukan prinsip-prinsip yang telah mapan. Diantara prinsip-prinsip tersebut, kepemimpinan atau khilafah, khilafah dari suku Quraisy, dan loyalitas kepada pemimpin. Namun ada kelemahan dalam gerakan ini, prinsip kebebasan tidak diakui dalam Khawarij. Inilah yang menyebabkan mereka mengkafirkan semua orang yang tidak sependapat dengan mereka, dan yang
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Utama] mendorong mereka mengumumkan –sebagai kelanjutan– perang terhadap Ali. Dari sinilah, dapat dikatakan bahwa kehidupan Khawarij adalah upaya melakukan pemberontakan terusmenerus. (Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam: 2012) Lebih lanjut, diterangkan Amir An-Najjar dalam Aqidah wa Fikran wa Falsafatan (terj. Solihin dkk; 1993) bahwa keekstriman dan keketatan gerakan Khawarij dalam memahami agama ditopang oleh kondisi psikologis dan lingkungan hidup mereka sebagai orang Badui yang berasal dari suku Rab'i yang keras. Mereka hadir di muka bumi ini dengan prinsip-prinsip yang keras seperti itu. Bila ditilik secara bahasa kufr dimakai menutupi. Namun, dalam term isthiliahi (terminolgi Islam) menurut ahlussunnah dan Asy'ariyyah kufr merupakan pendustaan terhadap Rasulullah dan ajaran-ajarannya. Sedangkan menurut Mu'tazilah bahwa kufr, bertolak dari pengertian iman yang mereka anut, bahwa tidak cukup dengan tashdiq (pembenaran) saja. Bertumpu pada amal. Dengan demikian, kufr adalah meninggalkan larangan-larangan-Nya. Namun, Mu'tazilah juga mempunyai term tersendiri yaitu fasiq (orang yang meninggalkan perintah dan atau melakukan pelanggaran, khususnya yang berakibat dosa besar), (Harifuddin Cawidu; 1991). Kemudian, muncul pertanyaan; “Bagaimana dengan mereka yang melakukan dosa besar?”. Alkabair (dosa besar) adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah dan rasulnya yang telah termaktub dalam al-Quran, sunnah, atsar salafus shalihin. Bahkan terdapat 70 perbuatan yang termasuk dalam dosa besar, hal ini telah diterangkan secara rinci dalam kitabnya al-Kabair. (Muhammad Adzahaby: 1996). Bahaya takfir secara bebas Toshihiko Izutsu menggunakan teori semantik untuk menganalisa konsep takfir gerakan Kharijiyyah (Khawarij). Menurutnya, konsep al-Quran sudah jelas bahwa muslim adalah mereka yang berada dalam lingkaran Islam sedangkan kafir mereka yang berada di luar lingkungan Islam. Hal ini berbeda dengan
IDEA Edisi 32, September 2012
interpretasi yang diajukan oleh Kharijiyyah. Terdapat juga orang muslim-kafir yang berada dalam lingkaran muslim. Celah ambiguitas dalam konsep Islam terdapat tidak adanya prosedur “penyerahan/ Islam” yang sangat ketat, sehingga cukup dengan mengucap dua kalimat syahadat sudah menjadi seorang Muslim. Celah inilah menurut konsepsi Kharijiyyah memunculkan istilah muslim sejati dan muslim palsu. Muslim palsu menurut pandangan Kharijiyyah hanyalah muslim nominal, namun kenyataannya tidak lain sebagai kafir. Dan mereka adalah unsur-unsur yang lebih berbahaya karena mereka hanya muslim nominal. Mereka hidup dalam lingkaran, bercampur dengan muslim sejati; mereka dipandang sebagai muslim sejati; mereka diperbolehkan menikmati semua hak-hak istimewa, baik spiritual maupun maupun material, yang seharusnya hanya diberikan kepada muslim sejati, (Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam Analisis Semantik Iman dan Islam: 1994) Izutsu menengarai bahwa secara lebih umum, takfir sebagian besar masih merupakan persoalan yang bersifat praktik, suatu alat praktik bagi kelompok politik. Dengan demikian terbuktilah bahwa ia merupakan senjata yang sangat berbahaya di tangan orang-orang yang terikat secara fanatik terhadap sekte mereka sendiri. Diri kita kafir Pada dasarnya manusia tidak menjadi kufr, potensi ini datang setelah manusia hidup di dunia. Dalam QS. Al-A'raf ayat 172, menurut Zamakhsyari secara metaforis menjelaskan bahwa manusia seolah-olah sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk mengakui keberadaan-Nya sebagai Tuhan dan bersedia menaatinya. Janji ini berwujud penganugerahan akal, (Yunus: 100) yang dapat digunakan untuk memikirkan tandatanda keberadaan Tuhan dan kebesarannya di alam ini. Selain itu, kalangan muhadditsin (Imam Malik, Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan Ahmad) menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah (bersih), ayah dan ibunyalah yang menjadikan anak tersebut
15
[Analisis Utama] Yahudi, Nashrani atau Majusi. Hadits ini kemudian diterangkan oleh Syaikh Mutawalli Assya'rawi, seorang ulama terkemuka Mesir, yang fitri pada manusia adalah iman. Sedangkan kufr bersifat mendatang. Terjadinya kekafiran pada diri manusia adalah karena adanya faktor kealpaan atau kelupaan (ghaflat) yang menjadi salah satu watak asli mereka. Kealpaan dan kelupaan itulah yang menyebabkan pudarnya iman. Bahkan iman akan menjadi sirna sama sekali jiwa ghaflat itu terjadi secara terus menerus. Hal ini menurut Al-Sya'rawi sejalan dengan kata kufr yang berarti menutupi. Ghaflat itulah yang menyebabkan orang menjadi kafir dan kekafiran itu datang menurut fithrah iman yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, salah satu fungsi dakwah (amr ma'ruf nahi munkar) adalah untuk menyadarkan manusia dari kealpaan, dan mengembalikan dia kepada fithrahnya yang semula. (Harifuddin Cawidu; 1991) Fithrah merupakan hasil karya Allah yang dilekatkan pada manusia, maka tidak ada orang lain yang dapat menganugerahi kenikmatan berupa nikmat selain Allah. Masih membahas fithrah, Syahrur, seorang ulama kontemporer Syiria berkomentar, fithrah tidak membutuhkan risalah dari langit (pengajaran). Namun, yang diperlukan adalah iman—dalam bentuk ritual, ibadah, perbuatan, amalan, perilaku, sikap—memerlukan pengajaran dan petunjuk, terutama dari Allah. Dengan mengikuti ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah. Sehingga kita bisa menjadi ibad (hamba) yang melakoni jalan kebenaran dengan melakukan segala bentuk ritual-ritual yang diajarkan oleh Rasulullah. Menjadi muslim merupakan sebuah penyesalan yang diucapkan oleh kafir ketika mereka telah memasuki alam akhirat. Bahkan, Islam merupakan batas minimal menjadi seorang manusia. Hal ini menjadi acuan Syahrur dalam kitabnya Al-Islam, guna memberikan ulasan surat Al-Hijr: 2. Syariat Islam merupakan agama petunjuk, agama kebenaran, agama yang bernilai tinggi, yang diwahyukan kepada Muhammad, yang bermula sejak zaman Nuh, terus bergulir dan berkembang hingga Muhammad (sesunggguhnya
16
aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq). Hal ini diterangkan dalam surat AsySyura: 13. Dan yang dimaksudkan dalam menegakkan agama (an'aqimud din) dengan meng-esakan Allah, beriman kepada-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya. Pembacaan diri Horkheimer dan Adorno menganalisis abad pencerahan sebagai kontradiksi akan mitos. Banyak hal yang tidak sesuai dengan cita-cita yang diinginkan oleh peradaban yang sesungguhnya. Ukuran dari pencerahan salah satunya adalah penghargaan terhadap apa yang dibelanjakan dan memberlanjakan apa yang dia anggap berharga. Komunikasi menegaskan keseragaman di antara manusia dengan mengisolasi diri mereka sendiri. (Dialektika Pencerahan: 1996). Lebih lanjut, Adorno tidak setuju dengan kebudayaan massa. Yang hanya mengedepankan penafsiran kapitalisme yang keliru. Kesalahan ini mengakibatkan kebudayaan menjadi semacam diskursus yang berlandaskan akan komoditi dan hukum-hukumnya. Kembali pada masalah iman dan amal shaleh. Iman sebagai lanjutan dari pribadi yang Islam. Tidak hanya berhenti pada mukmin saja. Terdapat segitiga iman, islam dan ihsan (beribadah seakan-akan Tuhan melihat sedangkan bila kau tak mampu melihatnya bahkan Tuhan melihatmu). Iman dan amal shaleh dapat diibaratkan layaknya benda dan bayangannya. Apabila keduanya terpisah, maka tak akan menimbulkan signifikansi terhadap diri seseorang. Manusia tidak akan menjalankan perbuatan kecuali dengan kadar kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (Al-Baqarah: 286). Tidak ada batasan untuk menjadikan keseragaman, seperti yang dianalisis Adorno tentang zaman pencerahan. Mayoritas sekte Asy'arisme memperbolehkan seseorang untuk menyatakan bahwa “aku adalah mukmin insya Allah�. Demikian itu bukan untuk membangun keraguan
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Utama] dalam dirinya, tetapi, dalam rangka penerimaan, pemurnian, atau pengakhiran (segala sesuatu). Di satu sisi, sekte Mu'tazilah dan Khawarij meneliti (bukti) kebenaran keimanan pada saat ini (alhadhir) melalui praksis tindakan dan pengokohan pada saat itu merupakan akhir yang baik. Pendapat Asy’arisme tersebut terus berlaku hingga sekarang ini sehingga kata-kata insya Allah menjadi selubung yang menyelubungi atau membungkus minimalitas praksis tindakan atau hilangnya praksis tindakan itu secara mutlak. Kufur adalah pengingkaran terhadap sesuatu yang diketahui secara pasti dibawa oleh Rasul. Konsekuensinya sekte Asy'arisme tidak memandang kafir seorangpun dari ahli kiblat dengan alasan bahwa mereka mengingkari terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, tetapi secara prediktif, dibawakan oleh rasul. Dari sini setiap orang yang menyatakan “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” menjadi relevan dalam komunitas islamiyyah (al-ummah al-islamiyyah) dan menjadi personal di dalamnya. Di samping itu, tidak diperbolehkan intervensi di dalam jiwa manusia dan melakukan investigasi atas rahasiarahasia mereka. Sebagaimana yang terjadi pada masa kita ini untuk memprovokasi permusuhan dan pencelaan secara terbuka di hadapan masyarakat. Hal. 46 (Hasan Hanafi; Islamologi 1 Dari Teologi Statis ke Anarkis; LKis, cet II April 2007 Yogyakarta)
Kita berkumpul dengan masyarakat yang majemuk, berbeda suku, agama, ras, dan warna kulit. Menghormati hak–hak dan kebebasan individu lain untuk menjalani hidup mereka sendiri sendiri merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari pembangunan peradaban. IDEA Edisi 32, September 2012
Perdebatan akan penciptaan iman dan kafir tidak akan berakhir dalam koridor wacana saja. Sebagai mukmin sejati, masih mempunyai senjata yang ampuh yaitu dengan berdoa. Sebagaimana dalam Ali Imran: 8. "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)". Kita tidak boleh mengukur hal yang baik dan buruk yang dilakukan oleh Tuhan dengan standar yang valid bagi manusia. Tuhan bebas mutlak. Apapun yang dilakukannya, bagaimanapun yang diputuskannya, dia adil dan bijaksana, hanya jika obyek kehendak tuhan diwujudkan dalam dunia realitas manusia dan dilihat dari sudut pandang manusia, maka beberapa perbuatan Tuhan itu menjadi baik, dan beberapa yang lain menjadi buruk. Komentar Ibnu Hazm dalam menanggapi masalah kebaikan dan keburukan. (Al-Fashl Fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal: 1996) Kita berkumpul dengan masyarakat yang majemuk, berbeda suku, agama, ras, dan warna kulit. Menghormati hak–hak dan kebebasan individu lain untuk menjalani hidup mereka sendiri sendiri merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari pembangunan peradaban. Nigel Ashford (2010) memasukkan tolerasi sebagai bagaian prinsip-prinsip masyarakat merdeka. Tolerasi yang dimaksud adalah membiarkan keberadaan atau kejadian yang tidak disukai atau tidak disetujui tanpa campur tangan. Menurut Ashford toleransi adalah kemampuan atau kemauan untuk melakukan tolerasi. Yang menjadi ciri tolerasi dengan menyatakan ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu dan menolak untuk memaksakan pandangan sendiri terhadap orang lain. Moral dan hukum menjadi acuan dari tolerasi. John Locke dalam pernyataannya pernah mengungkapkan semua orang bisa salah. Pernyataan ini ada benarnya. Sehingga, kita tidak bisa menindak atau menyatakan orang lain bersalah. Bahwa tolerasi menjadi kebutuhan yang harus dijalankan dalam berhubungan dengan masyakarat. [Ay/Au/ZfIDEA]
17
[Tamu Kita]
KAFIR
itu Menutup Diri, Bukan Klaim dari Orang Lain
S
Bagaimana pendapat Anda tentang pemaknaan terminologi kafir dalam teologi Kristen? Dalam teologi Kristen, terminologi kafir harus dilihat dari tiga (3) hal. Pertama yaitu faktor historis. Yang saya maksudkan dengan faktor historis dalam tradisi Kristen adalah dia mewarisi tradisi Yahudi yang sudah mengkristal menjadi Yudaisme. Yudaisme mengklaim bahwa dia itu biji mata Allah, yang dimaksud adalah agama yang paling benar, umat yang paling benar, bahkan pesan yang paling benar. Maka untuk mengenal Allah harus menjadi Yahudi dulu dengan mentaati segala aturan, seperti khitan itu wajib, makan halal haram itu harus dibedakan, dan mengikuti ibadah. Inilah akar konsep kafir dalam Yahudi. Dalam tradisi Yahudi kuno, kafir itu berarti di luar tenda, di luar kelompok mereka. Kedua adalah klaim gereja tentang pemaknaan menjadi ciptaan baru. Gereja-lah yang menentukan seseorang sudah menjadi ciptaan baru atau belum. Sehingga lembaga-lembaga gereja itu terjebak menjadi lembaga Yudaisme
18
baru. Yang menjadi ciptaan baru adalah yang sering ke gereja, menepati irama-irama gereja. Ini mirip dengan Yudaisme. Jadi yang berada di luar gereja tidak serupa dengan Allah. Di luar gereja tidak ada umat yang baik. Sejarah ketiga, tradisi protestanisme yang mengkritisi tembok-tembok gereja di atas. Namun, akhirnya, pemahaman itu terjebak dan masuk kotak-kotak yang lebih kecil lagi. Jadi tembok-tembok yang ada dalam protestan membuat orang merasa paling benar. Sehingga menjadi makin sempit yang di luar kesempitanya itu adalah kafir. Penilaian terhadap orang lain serta standar kafir atau tidak, bukanlah doktrin agama lagi, tetapi sudah mengarah ke like-dislike. Adakah tradisi untuk saling kafirmengkafirkan di dalam teologi Kristen sebagaimana yang ada dalam Islam? Kami tidak punya tradisi memanfaatkan power. Karena kami terhalang dua hal. Satu, keyakinan dasar kami bahwa Allah sangat mengasihi dunia. Kedua, Kristen mulai sadar kalau doktrin-doktrin itu bukanlah wahyu melainkan respon manusia terhadap wahyu.
IDEA Edisi 32, September 2012
Ayis/IDEA
ekarang ini, umat islam, terutama kelompok garis keras sudah terlanjur berparadigma bahwa setiap orang yang berada di luar Islam, Yahudi dan Nasrani, dianggap sebagai kafir dan halal darahnya. Begitu mudahnya mereka mengkafirkan dan menghalalkan darah orang lain. Sungguh sebuah pandangan yang mengerikan. Anggapan seperti itu memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena di dalam literatur umat islam sendiri memang mengatakan hal tersebut (baca surat Al-Maidah ayat 17, 72, dan 73 dan Kitab Shohih Bukhori bab zakat). Namun, term kafir dalam alQur'an tidak hanya digunakan dalam konteks itu saja, karena orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah juga disebut dengan istilah kafir (surat Ibrahim ayat 7). Terlepas dari itu semua, bagaimana sebenarnya pandangan Pendeta Gunarto, S.TH, M.SI, M.HI, orang-orang non-muslim tentang kafir itu sendiri. Apakah dalam Dosen di STT ABDIEL Ungaran. teologi mereka juga memiliki pemahaman yang sama dengan umat Islam mengenai term kafir? Berikut hasil wawancara wartawan IDEA, Ayis Mukholik dan Chandra Yusuf Kurniawan beberapa waktu yang lalu dengan seorang pendeta dan pakar hermeneutik, Bapak Gunarto, S.TH, M.SI, M.HI, Dosen di STT ABDIEL Ungaran.
[Tamu Kita] Maknanya adalah bukan abadi, tetapi kontekstual. Manusia harus dipahami secara kontekstual. Ini adalah pagar. Namun, meskipun ada pagar tadi tapi kami tetap like-dislike itu. Bagaimana pendapat anda tentang istilah kafir (menutupi) jika ditilik dari sisi sosial dan hermeneutika? Dalam hermeneutika Kristen tidak ada istilah kafir dalam arti menutupi. Jadi kesucian itu bukan milik orang tertentu, tapi hadir dalam pernyataan hidup god and history. Suci adalah memiliki keyakinan Sang Maha Suci hadir dalam hidup. Gusti hadir tidak peduli hidupmu itu apa, karena telah dirahmati. Inilah yang menjadi titik tolak pemahaman kafir. Hal ini bukan berarti menutup orang lain dari pihak kita, tapi orangorang yang dalam hidupnya bebal karena Gusti, hidayat dan rahmat telah datang tapi masih menutup diri dari hidayat Allah. Kafir bukanlah klaim (judgment) dari orang lain, tapi menutup diri sendiri. Yang ada a d a l a h t r a d i s i mengkafirkan diri sendiri. Orang yang mengkafirkan diri sendiri celaka betul karena menolak hidayat Allah. Terminologi pengkafiran itu tidak ada, tapi yang dikenal adalah teologi pengkafiran diri sendiri. Orang yang mengkafirkan diri sendiri dalam arti menolak Allah menjadi loser. Orang yang suka mengeluh dan tidak mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah. Kalau winner itu mencari solusi, respon illahi, sedangkan loser itu mencari alasan, tidak melihat nikmat Allah dalam dirinya tapi menyalahkan orang lain, menyalahkan Allah. Kafir itu identik dengan loser, bukan winner.
dipahami secara kontekstual termasuk juga penafsirnya, apakah dia memahami secara pra paham atau pra duga. Apa pendapat Anda tentang orang-orang yang suka menuduh orang lain kafir? Mereka menutup tendanya, maka kafir adalah di luar tenda, padahal rahmat Allah sangat luas. Panggilan adzan itu adalah teriakan Allah Akbar dari kaum hati yang takjub, sebuah panggilan hati. Tapi, seruan orang-orang garis keras, FPI dan HTI, adalah seruan untuk mengganyam orang. Hal ini karena mereka menutup tendanya untuk orang lain, bahkan untuk kebesaran Allah. Ini menimbulkan ketakutan dalam diri, bahkan muncul keinginan untuk kabur lebih dulu. Mengapa bahasa Allah Akbar dijadikan sebagai bahasa komando. Saya tidak boleh menyalahkan mereka, karena mereka sedang merasa berjalan di jalan yang benar. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa sebenarnya yang menggerakkan mereka.
“ Kafir bukanlah klaim (judgment) dari orang lain, tapi menutup diri sendiri. Yang ada adalah tradisi mengkafirkan diri sendiri. �
Bagaimana perspektif orang Kristen memandang orang non-Kristen? Orang Kristen tidak pernah menganggap orang lain kafir. Kita harus melihat orang lain sebagai bagian dari pesan Tuhan yang menyuarakan pesan Allah bagi kita. Maka dalam tradisi hermeneutika Kristen kitab suci harus
IDEA Edisi 32, September 2012
Jika orang seperti koruptor dikatakan kafir, bagaimana pendapat Anda apabila d i l i h a t d a r i p e m a k n a a n kontekstual kafir? Ya tidak apa-apa. Jadi ada kreativitas bahasa iman yang bersimbol respon kita pada Allah. Orang yang mengambil hak orang lain itu pantas dikafirkan, karena dia melawan martabat manusia melawan Allah dan juga melawan pesan rasul. Hal itu harus kita kafirkan, jadi jangan diikuti pola hidupnya. Kalau kita mengikutinya dengan pasif, akan membuat mereka merajalela. Para pejabat yang berjuang dengan kedok atas nama buruh itu wajib dikafirkan. Negara yang membiarkan rakyatnya dalam kebodohan adalah negara yang beramah tamah dengan kekafiran, karena tidak menghargai martabat manusia. Negara yang menutup diri dan tidak menghargai dari hak-hak rakyatnya, berarti mengkafirkan diri sendiri. [Ay/Chan-IDEA]
19
Chandra/IDEA
[Tamu Kita]
Kafir: Sebuah Keyakinan, Bukan Perbuatan
Choirul Anam, Ketua HTI Semarang Jawa Tengah
Walaupun al-Qur'an dan Hadist sudah panjang lebar memberikan sebuah tanda (sign) tentang istilah kafir, dan sejarah juga sudah menjawabnya, akan tetapi, re-interpretasi dari masing-masing kelompok, golongan, ormas mempunyai perspektif tersendiri dari makna kafir. Faktanya, di Negara Indonesia, justis atau klaim kafir masih mengalir deras. Di sudut-sudut perbedaan ideologi dan di tengah hiruk pikuk kampanye, klaim ini menjadi alat manjur untuk menaklukkan lawan. Kafir, sama dengan politik, untuk merebut kuasa. Pembahasan tentang terminologi kafir tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada penafsiran dan pemaknaan lain dari berbagai golongan. Tidak hanya dari kalangan Islam saja, non-Islam pun juga punya penafsiran tersendiri tentang makna kafir. Terlebih, bagi ormas islam yang sering menyuarakan “syari'at islam�. Otomatis mempunyai pemaknaan kafir yang 'beda'. Sehingga, hal itulah yang menjadikan tema “kafir� semakin seksi untuk dibaca dari zaman ke zaman. Dengan demikian, bagaimana pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam menafsiri atau membaca realita dari gejala takfir? Berikut wawancara wartawan IDEA, Awaluddin Iskandar dan Chandra Yusuf Kurniawan, dengan Bapak Choirul Anam, Ketua HTI Semarang yang juga menjadi dosen fisika Uneversitas Diponegoro Semarang.
20
Bagaimana pemaknaan terminologi kafir dalam sudut pandang Hizbut Tahrir Indonesia? Perbincangan tentang istilah kafir merupakan pembicaraan yang tidak menyenangkan. Ini karena apabila ada orang yang berkata kafir, maka ia dicap sebagai teroris, sebagai orang yang tidak bisa menerima perbedaan. Secara bahasa, kafir bermakna ingkar. Apabila kita mengingkari pancasila sebagai dasar negara, maka secara bahasa kita termasuk orang kafir. Di dalam Islam, terminologi kafir adalah lawan dari mukmin. Secara istilah, pengertian kafir yang dipahami oleh HTI adalah orang-orang yang mengingkari Allah dan apa-apa saja yang dinyatakan oleh-Nya secara qoth'i. Lebih tepatnya, orang-orang yang mengingkari semua dalil qoth'i, baik qoth'i tsubut maupun qoth'i dalalah. Jadi, orang yang tidak mengakui kewajiban zakat, hukum qishash dan lainnya adalah kafir. Untuk menilai orang lain kafir atau tidak, perlu dilakukan tahqiqul manat atau penelitian, apakah orang itu mengingkari syari'at atau tidak. Oleh karena itu, HTI tidak pernah menuduh orang lain kafir. Sebab, kalau penilaian yang mengatakan orang lain kafir itu salah, kekafiran itu kembali pada kita sendiri. Jadi, pemaknaan kafir yang selama ini dipegangi oleh HTI adalah kafir secara konsep. Bagaimana Anda melihat banyaknya fenomena ormas islam yang suka mengkafirkan dan bertindak anarkis? Terkait dengan ormas yang suka mengkafirkan, memang ada yang seperti itu. Hal itu, biasanya, karena mereka tidak melakukan tabayyun terlebih dahulu. Sehingga mereka mengkafirkan sesuatu hanya karena mis-informasi atau karena dalil yang dzon. Tetapi jika memang seseorang terbukti kafir, kita tidak perlu takut untuk mengatakan kafir, meski dianggap tidak toleran. Tidak toleran itu sebenarnya bukan dengan menganggap orang kafir sebagai bukan kafir, dan sebaliknya. Tetapi sikap tidak toleran adalah berlaku semena-semena hanya karena adanya perbedaan, misalnya perbedaan keyakinan agama.
IDEA Edisi 32, September 2012
[Tamu Kita] Kemudian terkait dengan tindakan anarkis yang biasa dilekatkan pada ormas Islam, FPI misalnya, setahu saya tidak begitu. Saya kenal dekat dengan FPI dan setahu saya mereka tidak pernah mendlolimi orang kafir karena kekafirannya dan tidak pula membakar gereja maupun biara. Apa yang dilakukan oleh FPI adalah menertibkan kondisi masyarakat yang seharusnya dilakukan oleh polisi, tapi tidak dilakukan, dan dibiarkan. Sebagai contoh, apabila ada perjudian di tengah masyarakat, mereka melapor pada polisi. Namun, dari pihak polisi tidak ada tindak lanjut. Sehingga, FPI menindak lanjuti sendiri hal itu. Sayangnya, apa yang mereka lakukan itu terkadang dipelintir oleh media massa. Jadi, apa yang terdapat dalam media berbeda dengan apa yang dilakukan FPI sebenarnya ketika sweeping. Itu yang saya ketahui. Apabila terminologi kafir ditilik secara kontemporer, apakah mereka, sebagaimana koruptor, tergolong orang kafir? Jadi begini, secara bahasa, kata kafir itu bisa dipakai untuk ngomong apa saja. Tetapi dalam pandangan syari'ah, terminologi kafir itu sesuatu yang definitif, yaitu tidak meyakini Allah dan apa-apa yang disebutkan dalam nash-nash alQur'an secara qoth'i. Kafir itu masalah keyakinan, bukan soal perbuatan. Orang yang tidak meyakini wajibnya shalat, maka dia kafir. Beda halnya apabila ada orang meyakini wajibnya shalat tetapi dia tidak menjalankannya, maka dalam pandangan islam dia bukan orang kafir, tapi orang yang berdosa. Dalam hal korupsi, jika ada orang yang mengatakan bahwa korupsi itu “halal”, maka dia kafir. Tapi, kalau ada orang mengatakan korupsi itu “haram” tetapi dia tetap melakukannya, maka dia tidak kafir melainkan berdosa. Namun, karena ini dilakukan secara terang-terangan, maka dia termasuk orang yang fasiq (lawan adil). Maka dari itu, kita harus berhati-berhati dalam menggunakan istilah kafir. Kata ini hanya diterapkan pada orang-orang yang kafir secara syar'i. Bagaimana Hizbut Tahrir menyikapi adanya paham pluralisme yang menganggap bahwa semua agama itu benar?
IDEA Edisi 32, September 2012
Merasa benar itu hal yang wajar. Hizbut Tahrir tidak pernah alergi dengan orang yang menganggap dirinya benar. Jadi, ketika ada orang yang merasa dirinya benar itu wajar. Tapi dalam al-Qur'an, Allah telah menyatakan yang benar adalah Islam. Silahkan agama lain mengatakan bahwa mereka benar, akan tetapi yang benar dalam pandangan Allah adalah Islam. Sebagaimana yang tersirat dalam ayat “innaddiina 'indallahil islam…”, bahwa mereka (agama-agama) tetap diberi hak untuk hidup saling berdampingan, tapi yang benar adalah Islam. Lalu, bagaimana Hizbut Tahrir menyikapi kemajemukan yang ada, di bawah bayangbayang pluralisme? Kemajemukan (pluralitas, red) merupakan sesuatu yang alamiah. Tidak ada masalah dengan pluralitas karena ini merupakan realitas. Hanya saja, ini berbeda dengan pluralisme, yaitu suatu keyakinan yang dibangun di atas pluralitas, artinya dalam paham pluralisme kita tidak boleh menerapkan hukum apapun, kecuali telah disepakati oleh semuanya. Oleh karena itu, HTI menolak paham ini. Dalam pandangan kami, hukum yang harus diterapkan adalah hukum Allah; hukum yang sudah terbukti adil dan bisa diterapkan baik bagi umat Islam maupun non-Islam. Islam mengajarkan untuk menghormati, melindungi dan tidak mendlolimi orang lain, meskipun itu non-muslim. Sebagaimana ayat “wa laa yajrimannakum syanaaanu qaumin 'alaa alla ta'diluu ” (baca al-Maidah 8). Artinya, jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikanmu untuk berlaku tidak adil. Hal ini sudah terbukti, dimana pada masa Umar ibn Khathab, orang non-muslim diberi kebebasan untuk menjalankan keyakinan mereka. Hukum seperti inilah yang menciptakan keadilan di masyarakat. Tidak ada yang namanya syari'at Islam itu memaksa non-muslim. Dalam pandangan HTI, sebetulnya tidak apa-apa syari'ah Islam itu diterapkan dalam negara majemuk. Sebab, kemajemukan itu akan berada dalam keharmonisan. Lain halnya apabila yang diterapkan itu hukum selain Islam, maka kedloliman yang akan terjadi. Sebagai contoh adalah tragedi muslim Rohingya di Myanmar saat ini.
21
[Tamu Kita] Kemudian, apa saran Anda bagi umat Islam yang tinggal dalam kemajemukan, seperti negara kita, Indonesia? Pertama, sebagai umat islam, kita harus percaya diri dengan keislaman kita. Sebab, Islam itu agama yang ya'lu wa la yu'la 'alaihi (agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi). Bahwa Islam itu agama yang menyejahterakan, menyatukan dan membuat kita maju dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terbukti dalam sejarah. Apabila kita menjalankan Islam secara konsisten, maka kita akan berada dalam kesatuan dan kemajuan. Kita, umat Islam, tidak perlu minder dengan nama Islam, dan tidak perlu malu dalam menyeruhkan syari'ah Islam. Kedua, ketika kita menganut agama Islam, maka harus bisa memanifestasikannya dengan baik. Janganlah kita menggunakan Islam untuk kepentingan pribadi, merusak fasilitas umum dan mendlolimi orang lain. Sebab, Islam merupakan ajaran yang datang dari Allah dan menyuruh untuk berbuat adil sekalipun pada orang yang dibenci. Terakhir, marilah kita mulai melek, kritis dan tidak begitu saja menerima berita, melainkan
harus diklarifikasi dulu. Kami ingin menyampaikan bahwa Islam mengajarkan kita untuk mengklarifikasi berita. Mari kita lakukan check and balance. Sehingga, kita bisa memberikan respon yang benar dan bukan respon yang berdasarkan pada prasangka, kebencian dan salah informasi. Insya Allah, dengan itu kita akan menjadi umat yang rahmatan lil 'alamin. [Chan/ Is-IDEA]
Marilah kita mulai melek, kritis dan tidak begitu saja menerima berita, melainkan harus diklarifikasi dulu.
Bagimu Surgamu, bagiku Surgaku*
[Rehat] masuk surgamu, kami punya surga
sosial antarpemeluk keyakinan agama
sendiri. Masing-masing agama punya
yang berbeda.
surga dan neraka. Nanti kamu akan Seorang Ibu, sebuat saja Bu Tuti, suatu saat menceritakan sebuah kisah ketika ia mengunjungi anakcucunya di Kanada. Diantara obrolan dengan cucunya yang membuat Bu Tuti tertawa bercampur kaget adalah ketika teman sekelas cucunya mengatakan bahwa sang cucu nanti akan masuk neraka karena tidak memeluk Kristen, mengikuti ajaran Yesus. Islam adalah agama teroris yang suka membunuh orang dan nanti akan masuk neraka. Menerima ejekan dua tuduhan itu, sang cucu menjawab, “Islam tidak mengajarkan terorisme dan kekerasan. Saya tidak akan
22
masuk surgamu dan aku akan masuk
Jika memang tidak seiman, tidak ada paksaan dalam memeluk
surgaku,�cerita Bu Tuti mengulangi
suatu agama, namun mari kita jaga
apa yang dikatakan sang cucu kepada
perdamaian dan ciptakan tatanan
teman sekolahnya.
sosial yang baik. Urusan akhirat
Dia tertawa sekaligus kaget,
biarlah Allah yang menyelesaikan
dari mana gagasan jawaban itu bisa
nanti. Sekali lagi, ini adalah reflleksi
muncul. Cerita tadi kelihatannya
psikologis. Adapun tiap-tiap agama di
sepele, hanya berkisar soal kasih
akhirat nanti memliki surga dan
sayang dan kekaguman nenek kepada
neraka yang berbeda, realitanya di
cucunya. Namun sesungguhnya,
luar jangkauan manusia yang masih
guyonan serupa kerap muncul dalam
sama-sama hidup di dunia ini. Kita
berbagai forum seminar dan dialog
semua belum mati.
agama, baik tingkat nasional maupun internasional. Memang terdapat ayat
*Cerita ini disadur dari buku
Al-Qur'an yang menyatakan,�Bagimu
Psikologi Agama, Menjadikan Hidup
agamamu, bagiku agamaku.� Ayat
Lebih Ramah dan Santun (2010)
ini berkaitan dengan etika dan relasi
IDEA Edisi 32, September 2012
[Paradigma]
KAFIR (?) D
alam tarikh Islam, tentu sangat familiar dengan nama Khawarij. Pada awalnya, kelompok ini mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali, dan ikut berperang menghadapi Muawiyyah. Namun, di kemudian hari, kelompok ini menentang keduanya, baik Ali maupun Muawiyyah. Mereka tidak terima atas keputusan Ali yang menerima tawaran gencatan senjata dari kubu Muawiyyah. Singkat cerita, mereka memilih keluar dari kedua kelompok itu. Tidak hanya sekedar menyempal alias membentuk kelompok sendiri, tetapi mereka juga mengkafirkan keduanya. Kelompok ini pula yang mempopulerkan slogan “La Hukma Illa Lillah”, tak ada hukum selain hukum Allah. Dan semenjak itu wacana dan ucapan kafir-mengkafirkan sesama muslim mulai mengemuka dalam sejarah Islam. Meskipun Khawarij tidak pernah masuk ke Indonesia, lantaran keburu punah tergerus oleh zaman. Namun, karakteristiknya dijadikan model oleh sebagian kelompok muslim. Sehingga muncullah fenomena kafir-mengkafirkan di antara kita yang kemudian hari disebut sebagai Neo Khawarij. Sebenarnya, wacana kafir-mengkafirkan tidak terjadi pada agama Islam saja. Agama Kristen pun mengalami hal yang sama. Tercatat dalam sejarah gereja, bagaimana Kristen Katolik mengkafirkan saudaranya yang Protestan, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, umat Kristen, secara dewasa telah “keluar” dari fenomena itu. Sementara muslim masih disibukkan dengan isu-isu sensitif dalam arti tekstual agama, yang akhirnya memunculkan perkataan saling mengkafirkan terhadap sesama muslim. Kâfir yang bentuk pluralnya kuffâr secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan, ingkar, menolak, menutup atau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk
IDEA Edisi 32, September 2012
IDEA/Au
Oleh: Muhammad Rikza Muqtada*
kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir). Sedangkan Perjanjian Baru terjemahan Indonesia menerjemahkan kata kafir dari kata Aram RAQA, Resy-Yud-Qof, yang berarti bajingan. Pada awalnya, Al-Quran menggunakan kata kafir bukan merujuk kepada agama atau kelompok tertentu. Perlu diketahui, Al-Quran selain menggunakan kata kafir juga menggunakan istilah lainnya, seperti musyrik, misalnya. Walaupun ada perbedaan mendasar, tapi pada perkembangannya penggunaan istilah kafir justru merujuk kepada agama tertentu, bahkan terhadap kelompok yang memiliki pendapat berbeda. Dalam masalah ini, Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar mengklasifikasikan kafir menjadi tiga macam. Pertama, orang yang mengetahui kebenaran namun ia dengan sengaja mengingkarinya. Jumlah orang kafir inilah yang paling sedikit. Kedua, orang yang tidak mengetahui kebenaran, namun tidak ingin mengetahuinya dan tidak suka untuk mengetahuinya. Mereka bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebenaran. Ketiga, orang yang telah sakit jiwa dan hatinya. Ia tidak merasakan nikmatnya kebenaran. Tak ada ketertarikan di dalam hati mereka untuk menemukan kebenaran. Hati dan jiwa mereka telah dipenuhi dengan keinginan-keinginan duniawi dan kenikmatan jasmaniah semata. Akal dan pikiran mereka dicurahkan untuk memperoleh keuntungan material saja. Ketiga macam orang kafir seperti itulah yang hasilnya sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tak beriman. Mengapa orang-orang kafir sama hasilnya ketika diberi peringatan atau tidak, mereka tetap juga tidak beriman. Hal itu karena kekafiran mereka sudah betul-betul kuat dan kokoh. Saking kuat dan kokohnya sehingga seolah Allah menutup hati mereka. Karena itulah, hidayah pun
23
[Paradigma] tak jua sampai ke dalam hati sanubari mereka. Allah seolah melemparkan penutup mata bagi mereka, lantas mencopot kemampuan mereka untuk melihat dengan gamblang dan jelas. Karena itulah mereka pun terus saja berada dalam kekafiran. Dalam realitas di masyarakat, kita bisa menemukan orang yang telah tertutup mata hati, telinga, dan matanya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mereka dalam kekufurannya; kedudukan, kenyamanan, gengsi dan kepentingan-lah yang membuat mereka kufur. Mentang-mentang dirinya pejabat-lah, cendekiawan-lah, bahkan rohaniwan sekalipun. Apapun nasihat dan anjuran kebenaran yang diberikan kepadanya, tak jua mempan untuk membuatnya sadar terhadap hal yang seharusnya ia lakukan. Hal itu terjadi saat seseorang melakukan keburukan dan kemaksiatan secara berulang-ulang dan terus-menerus. Karena begitu seringnya keburukan dan kemaksiatan yang ia lakukan, hati nuraninya jadi tertutup. Ia tak lagi merasa berdosa dan gundah saat melakukan kejahatan dan keburukan.
HAM, mengukuhkan eksistensi ke'jumud'an umat, serta memprofokasi kaum muslimin, mendiskreditkan kelompok mereka. Di lain pihak, mereka yang sepakat dengan MUI, tak kalah lantang bersuara. Dengan mengatas namakan “salafushshalih”, berbagai alasan pembelaan dikeluarkan. Yang pada ujungnya, menuntut tindakan lebih lanjut untuk menerapkan fatwa yang telah dikeluarkan. Ironis, bahwa justru perpecahanlah yang ditimbulkan dari munculnya fatwa MUI tersebut. Kemunculannya seakan malah membawa bibit pertikaian antar umat islam sendiri. Secara formal, memang lembaga ini harus bisa meredam konflik masyarakat sebagai bentuk perwujudan fungsi forum tertinggi ulama' Islam Indonesia. Namun kenyataannya tidak. Sehingga terbesit kesan bahwa MUI otoriter dalam memutuskan. Keotoriterannya itu sangat tampak dimana di setiap lembaga tersebut IDEA Digital Art mengeluarkan fatwa, secara tidak sadar, telah terjadi hegemoni kuasa, jika kelompok itu dihuni oleh mayoritas, maka dipastikan fatwafatwanya akan menindas, atau mendiskriminasi kalangan minoritas. Meminjam istilah Gus Mus, mereka dapat dianalogikan—gaya pengeklaimannya—tak lain dengan Khawarij (pelopor takfir) yang hanya melakukan ritual salih (formalitas fungsi), tapi tidak ritual sosial, sehingga kaku dalam hubungan sosial. Melihat fenomena ini, lantas yang menjadi pertanyaan adalah, sebenarnya, siapakah yang kafir?
“ Pengeklaiman oleh MUI tak ubahnya seperti kelompok Khawarij (pelopor takfir), yang hanya melakukan ritual salih (formalitas fungsi), tapi tidak ritual sosial. ”
Model Neo Kafir Pada tahun 2005, umat Islam Indonesia sempat digemparkan dengan munculnya fatwa MUI, yang berdasarkan hasil Munas MUI ke VII. Diantara sebelas pasal hasil Munas tersebut, terdapat beberapa poin yang dianggap kontroversial. diantaranya pengharaman aliran Ahmadiyah (poin 5) dan pengharaman pluralisme, liberalisme, serta sekularisme agama (poin 7). Fatwa tersebut memunculkan polemik berkepanjangan antar para cendekiawan muslim Indonesia sendiri. Beberapa golongan yang lebih dikenal dengan “golongan garis kiri” (baca: liberal) menganggap fatwa tersebut menyalahi
24
* Akademisi bidang Tafsir dan Hadits sekaligus pengembang wacana IDEA, sekarang melanjutkan studi S2 di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
IDEA Edisi 32, September 2012
[Paradigma]
Menggugat Nalar (Kekafiran) Agama Oleh: Muhammad Khamyah* “Persepsi yang salah akan mendesak kita untuk menemukan suatu alternatif yang akan mencegah kita agar tidak jatuh dalam keputus-asaan. Bila pemeluk agama tidak berjalan mengikuti tradisi agama, melenceng dari nilai-nilai agama atau bila komunitas mereka dihinakan dan dianggap menyimpang oleh pemeluk (antar)sesamanya, seorang pemeluk akan merasa bahwa keyakinannya di dalam tujuan dan nilai tertinggi kehidupan berada dalam bahaya. Berbagai daya dan upaya mulai dilakukan untuk mengambalikannya ke dalam khittah-sejarah �(Karen Armstrong: 2001)
S
ematan kata 'kafir' mencuat setelah Islam muncul ke permukaan. Kaum non-muslim di masa permulaan islam dianggap sebagai golongan kafir. Entah dari mana asalnya. Yang jelas, kita pasti akan menemukan kata kafir ketika membaca sejarah kenabian dan ke-Tuhan-an (Islam). Umat-umat yang kontra terhadap agama nabi disebut sebagai kafir. Yang memungkinkan untuk membedakan bagi umat Islam dengan kelompok lain. Banyak hal dan perilaku yang selalu diakhiri dengan kata kafir oleh al-Quran. Al-Quran sendiri menyebutkan, antara lain: perbedaan Tuhan, membangkang perintah agama, mendustakan nabi dan kitab suci, mengingkari hari akhir dan sebagainya. Kategori tersebut mengindikasikan sebuah bentuk dan penyebab kekafiran. Masuknya beberapa paham di Indonesia dan berkembang beberapa tahun belakangan membuat kata kafir tumbuh subur. Isu-isu ini menjulang ketika ajaran-ajaran mereka mulai diselewengkan. Berbagai fatwa dimunculkan untuk membendung pemikiran, gerakan, dan aksi-aksi radikal yang mulai menjamur. Ketika terorisme merajalela, kelompok agamawan seperti kebakaran jenggot. Mereka berusaha melakukan penyuluhan dan pendidikan di masyarakat bahwa islam anti kekerasan. Dengan mudahnya mereka mengeluarkan pelaku teroris dari Islam. Berdalih dan menyakinkan bahwa itu adalah bagian dari rekayasa non muslim (kafir) untuk menjatuhkan agama Islam. Salah satu upaya (Islam) untuk menjaga dan memurnikan ajaran keagamaan yaitu penyerasian segala hal dengan al-Quran dan Hadits (wasiat nabi). Praktik-praktik keagamaan di luar sumber tersebut dianggap sebagai ajaran
IDEA Edisi 32, September 2012
bid'ah. Khususnya soal ibadah: suatu bentuk interaksi seorang hamba dan Tuhannya. Semacam doktrin yang sudah ditanamkan nabi sebelum wafat. Berfungsi untuk mencegah dan membentengi pengikutnya dari pengaruh agama lain. Setiap agama memiliki tempat dan cara tersendiri untuk membangun komunikasi dengan Tuhan mereka. Terlebih Tuhan memiliki kediaman. Walaupun semuanya pun mengamini Tuhan bisa di mana saja. Muslim mencari Allah di masjid. Kristian menemui Tuhannya di gereja. Pun umat Hindu dan Budha mengabdikan dirinya di pura. Meski demikian juga terdapat pandangan negatif tentang penganut agama yang mencari Tuhan di tempat yang tidak semestinya. Secara sederhana kafir bisa diartikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sesuatu. Namun penggunaan kata tersebut sering dihubungkan dengan agama-keimanan. Di dalam ilmu Balaghah sendiri pengkafiran ditujukan bagi orang yang sulit untuk percaya (inkar ad-dihni). Dibutuhkan penguat (tawkid) untuk menyakinkan suatu kebenaran pada orang semacam itu. Nalar kekafiran Munculnya tuduhan kafir di kalangan kaum agamawan sering merujuk teks suci. Sebagaimana Ahmadiyah dan Musadhiq yang dikafirkan karena mempunyai kitab suci selain alQuran dan mendakus sebagai nabi. Mereka dicela sebagai umat Islam karena memunculkan sesuatu yang tidak pernah diajarkan Islam kepada mereka. Menurut mereka, Rasulullah hanya mengakui al-Quran dan sunnah sebagai pegangan yang sah bagi umat Islam.
25
[Paradigma] Umat manusia adalah makhluk religius, karena mereka imajinatif; mereka amat cerdas, sehingga terdorong untuk mencari makna tersembunyi dan mencapai sebuah ekstase yang membuat mereka merasa benar-benar hidup. Tiap tradisi mendorong orang yang beriman untuk memfokuskan perhatian mereka pada sebuah simbol duniawi yang sangat jarang menjadi dirinya sendiri, dan Idea Digital Art mengajarkan diri mereka sendiri untuk melihat Tuhan di dalamnya. Kita tidak pernah mengalami transendensi secara langsung: ekstase kita selalu “membumi”, terpatri pada sesuatu atau seseorang yang ada di bawahnya. Dalam pandangan Barkeley, sesuatu itu bisa dikatakan realistis terjadi bila sudah diikuti dengan beberapa peristiwa yang menghasilkan persamaan. Tak mungkin seseorang menyimpulkan sesuatu hanya dalam sekejap mata secara langsung. Tak ayal, banyak manusia yang benar menyakini kepastian beberapa hal yang telah berulang-ulang terjadi. Kekafiran terbentuk dan datang beriringan dalam segala peristiwa sejarah. Kafir hanya berlaku dalam sejarah (Islam). Kekafiran yang menyejarah. Pengkafiran merupakan upaya pelestarian agama oleh masing-masing pemeluk terdahulu. Dengan menerapkan metode kebenaran induktif (khusus-umum). Hal ini terlihat jelas dengan sumber yang selalu dijadikan sebagai acuan beragama. Semisal praktik-praktik peribadatan dalam Islam yang harus disamakan “ ala nabi”. Seharusnya dalam urusan mengkafirkan seseorang lebih tepat menggunakan logika deduktif. Menurut Mundiri, “eksperimen kita hanya terbatas pada beberapa kasus khusus, ceroboh, tidak kritis dan pengembangannya hanya ditularkan melaui analogi abstrak, bila menerapkan asas berpikir induktif”(Logika: 1996). Tak mengherankan bila kebenarankebenaran iman individu harus menjadi saklek
26
dengan bunyi teks. Justru bukan pada moral yang diinginkan agama. Begitu juga tatkala muncul isu kemunculan seorang nabi baru, mereka mengembalikan kebenaran tersebut kepada nash-nash alQur’an (al-Ahzab:40). Era kenabian akan berakhir setelah Muhammad wafat. Kemunculan nabi baru di era Abu Bakar, bisa dianggap sebagai nabi palsu. Sehingga khalifah Abu Bakar merasa cemas dan khawatir masa depan Islam. Ia berusaha keras menumpas tiap orang yang mendakwakan dirinya sebagai nabi. Itulah salah satu bentuk kontribusi Abu Bakar tatkala menjadi khalifah. Metode berpikir deduktif merupakan kelanjutan dari metode sebelumnya (induktif). Mula-mula orang menggunakan penalaran induktif untuk mendapatkan pernyataan yang bersifat umum. Pernyataan umum ini menjadi dasar pemikiran deduksi. Hasilnya, segala pengetahuan baru–khusus yang diperoleh oleh metode ini kita akan dapatkan manakala sistem deduktif dijalankan. Kebenaran yang dihasilkan akan lebih cermat dan kritis. Dan dimungkinkan lebih berdasar, bebas emosi dan kepentingankepentingan lain. Kebenaran iman perlu dilihat sebagai gejala individual, bukan kelompok. Pasalnya, asas berpikir semacam ini terbukti lebih terpercaya, terbukti dan valid. Tidak sekedar spekulasi teologis. Al-Quran sendiri memiliki pandangan negatif tentang cara pandang ini. Tak ada gunanya berdebat mengenai hal-hal pribadi seseorang secara mendalam; jauh lebih penting adalah usaha untuk hidup di jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia. Biarkan saja orang-orang mencari Tuhan dalam dunianya masing-masing. Bukankah pemahaman tiap orang tidak sama? *Mahasiswa FUPK 2009, Jurusan Tafsir Hadist.
IDEA Edisi 32, September 2012
[Karikatur 2]
IDEA Edisi 32, September 2012
27
Sederet Kasus Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia
[Pengantar] Minggu, 6 Februari 2011 Penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga pengikut Ahmadiyah di CikeusikBanten tewas dibantai oleh lebih dari 1.000 orang. Para penyerang membakar rumah dan kendaraan pengikut Ahmadiyah dan lima orang korban selamat mengalami cacat. Selasa, 8 Februari 2011 Pengrusakan gereja di Temanggung Jawa Tengah, setidaknya tiga gereja rusak. Gereja Bethel Indonesia, Gereja Pantekosta Temangggung, dan Gereja Katolik Santo Petrus. Pada kerusuhan tersebut, sebuah bangunan sekolah taman kanak-kanak yang berada di lingkungan gereja terbakar pada sejumlah bagian. Termasuk enam unit motor hangus terbakar. Hal ini dipicu karena menjadi sasaran amuk massa menyusul kerusuhan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Negeri Temanggung. Kondisi terakhir di Kota Temanggung sangat mencekam. Toko-toko di pusat kota menghentikan aktivitasnya. Sejumlah pedagang kaki lima pun harus tutup lebih cepat akibat kerusuhan ini, sementara arus lalu lintas menjadi kacau-balau. Minggu, 25 September 2011 Ketenangan umat beragama dalam menjalankan ibadah kembali terkoyak. Sebuah bom bunuh diri meledak Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Kepunton, Solo. Dari tragedi tersebut tercatat 14 anggota jemaat GBIS luka parah dan 8 lainnya luka ringan. Selain itu, ditemukan seorang korban jiwa yang diduga adalah pelaku bom bunuh diri. Pelaku bom bunuh diri tersebut didentifikasi sebagai salah satu anggota jaringan teroris Cirebon yang pernah melakukan pengeboman sebelumnya di Masjid kantor Kepolisian Resor Cirebon, 15 April 2011. Minggu, 15 April 2012 Terjadi aksi perusakan Masjid Ahmadiyah Baiturrahim di Singaparna, Tasikmalaya, oleh ormas FPI. Pada saat itu, FPI menyegel masjid, namun kemudian segel itu dibuka kembali oleh para anggota Ahmadiyah. Perusakan yang dilakukan ormas tersebut, menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas masjid. Anehnya, setelah terjadi perusakan tersebut, aparat kepolisian belum melakukan penangkapan terhadap oknum perusak. Rabu, 9 Mei 2012 Penyerangan di Kantor LKiS saat dilakukan diskusi buku milik Irshad Manji di Yogyakarta. Dalam siaran pers, kekerasan di LKiS itu bukan hanya mengakibatkan para peserta diskusi mengalami luka dan trauma, melainkan juga rusaknya sendi kebebasan berpendapat yang selama ini telah terbangun di tanah air. Sehingga banyak kecaman dari berbagai pihak LSM dan tokoh masyarakat. Diantaranya Yabima Lampung, Ma’arif Institute, Wahid Institute, LBH Semarang, dan Tifa Damai Maluku. Menurut mereka, tindakan anarkis itu tidak semestinya dilakukan orang yang mengaku beradab dan beriman. Jumat, 13 Juli 2012 Kekerasan kembali dialami jemaat Ahmadiyah, di Kampung Cisalada, Ciampea, Kabupaten Bogor. Aksi kekerasan itu di Cisalada terjadi selepas shalat Jumat. Sekelompok orang memblokir jalan menuju permukiman Ahmadiyah dengan bambu dan bebatuan. Seorang ditemukan terluka bacok, lalu dilarikan ke rumah sakit terdekat. Selasa, 24 Juli 2012 Belasan orang yang mengatasnamakan anggota Front Pembela Islam (FPI) Jawa Tengah melakukan sweeping di wilayah Bandungan, Kabupaten Semarang. Atas nama Islam dan menghormati bulan suci Ramadhan, mereka membawa pentungan kayu dan bambu dengan mencari warung makan dan pedagang jajanan di sepanjang Sumowono menuju Bandungan. Minggu,26 Agustus 2012 Terjadi kerusuhan antara Muslim Syi'ah dan Muslim Sunni di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kabupaten Sampang, Madura. 1 orang tewas dan puluhan rumah warga Syi'ah dibakar.
Diambil dari berbagai sumber
28
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Khusus]
Gagalnya Fungsi Lembaga Agama di Indonesia “ Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para pemimpinnya. Dan kerusakan para pemimpin disebabkan oleh kerusakan ulama'. Kerusakan ulama' disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Siapa yang dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil. ” (Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin Juz II: 381)
P
ernyataan Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin tersebut, sepertinya selaras dengan realita sekarang yang terjadi di negara kita, Indonesia. Banyak para ulama', romo, biksu yang tak berkutik dengan kebijakankebijakan pemerintah yang acap kali tidak pro rakyat. Alih-alih, mereka sepertinya menikmati kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah di lembaga-lembaga agama yang ada, seperti MUI, Walubi, Dewan Gereja, dan lain-lain. Organisasi semacam ini juga (mungkin) sengaja dibuat, untuk dijadikan boneka oleh pemerintah dalam mengendalikan laju negara. Setidaknya, ada beberapa rentetan persoalan yang terjadi di negara kita akhir-akhir ini. Diantaranya mulai dari isu naiknya harga jual BBM, tragedi Irshad Manji, dan konser Lady Gaga. Dari sederet fenomena tersebut, bisa kita lihat fatwa-fatwa atau justifikasi mana yang ditelorkan oleh lembaga agama. Apakah kita pernah mendengar MUI/Kemenag/Walubi/Dewan Gereja mengeluarkan fatwa “haram” untuk pemerintah dalam menaikkan harga BBM? Majelis Ulama Indonesia misalnya, ketika carutmarutnya isu BBM naik di bulan Maret 2012 kemarin, ngomong apa masalah BBM? Namun, ketika saat kampanye tiba, fatwa-fatwa mengenai
IDEA Edisi 32, September 2012
“golput haram” mulai berkeliaran. Irshad Manji dan Lady Gaga pun juga kena imbas dari lembagalembaga agama. Baik penentangan, penolakan, dan tindakan-tindakan anarki lain. Klaim sesat dan kafir pun tersematkan untuk dua perempuan kontroversial itu. Ada fenomena apa ini? Bila kita menilik di Tibet, China. Para biarawan dan biarawati Buddha, yang notabene sebagai kaum agamawan atau ulama', tak jarang melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah. Bahkan, dalam setiap melakukan aksi protesnya, para biarawan dan biarawati tersebut melakukan aksi bakar diri. Nyawalah yang dipertaruhkan. Tahun lalu, tercatat terjadi 30 aksi bakar diri. (Kompas/30/05/12). Aksi nekat tersebut, tak lain sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat, yang sewenang-wenang menindas kaumnya. Mereka dengan beraninya, berjuang, walaupun nyawa adalah pilihan terakhir. Bila melihat fenomena di atas, bagaimana dengan peran atau fungsi lembaga agama yang ada di Indonesia? Kelihatannya, lembaga-lembaga agama tersebut belum mengeluarkan taringnya. Dan, tak jarang, kita melihat fatwa-fatwa “lucu” dan “aneh” yang dikeluarkan oleh mereka. Semisal, rokok haram, status anak zina diperselisihkan. Jikalau kita flashback sejenak membaca sejarah para tokoh Islam. Ulama' yang terlibat dalam percaturan politik dan netral untuk berpolitik, taraf kehidupannya memang jelas berbeda. Di sini, penulis bukan mempersoalkan politiknya. Akan tetapi, dari segi the history of life oleh tokoh tersebut. Sebut saja Ibnu Taimiyyah. Ia tak jarang terlibat dalam intrik-intrik perbedaan pendapat. Berkali-kali ia keluar-masuk jeruji besi akibat dari perbedaan. Baik dengan ulama'-ulama’ madzhab lain maupun dengan penguasa. (Muhammad Iqbal & Amien Husein Nasution: 2010). Bahkan, ia meninggal pun dalam penjara pada tanggal 26 september 1362 H, di usia 67
29
[Analisis Khusus] tahun. Di sini, Ibnu Taimiyyah mencontohkan, idealnya sosok ulama' adalah menjadi oposisi dari pemerintah. Dus, apabila lembaga-lembaga agama yang ada di Indonesia tersebut tidak segera mengembalikan kepada fungsinya, atau hanya sekedar mengurusi label yang “tak mutu”. Seperti sesat dan kafir—sebagaimana yang dikatakan oleh Said Aqil Siraj, fenomena kafir mengkafirkan itu sudah ada sejak dahulu kala, tidak usah disepakati oleh MUI pun terus ada dalam Islam. Karena ini sudah menjadi gaya hidup, life style—Maka, yang terjadi adalah radikalisme, anarkisme, dan tiranisme dalam berperilaku dan berpengetahuan. Gelagat ini, tampaknya sudah mulai terbentuk dan semakin menjadi-jadi di negara kita. Orang-orang radikal semakin menjamur, dan kelompok tiranian dalam berpengetahuan semakin meluas. Agama Ilusi Tema besar mengenai agama ilusi, sebagaimana yang digaungkan oleh Sigmund Freud, telah banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Yang mana, agama dijadikan sebagai ajang pencitraan, hanya sekedar KTP (baca: tanda pengenal) an sich. Dan, agama menjadi ajang komersialisasi, sehingga menjadi lahan basah masyarakat konsumtif. Masyarakat yang hobi dengan tanda/simbol keagamaan, juga termakan dengan jebakan-jebakan kaum kapitalis. Bank syari'ah atau bank-bank yang berkedok dengan gaya syari'ah (baca: islami), selamanya hanya sebatas identitas dan bungkus saja. Nyatanya, keberadaannya pun tak mampu mengentaskan kemiskinan. Sangat wajar, apabila di tiap khutbah jumat, banyak khotib atau da'i yang “galau” dengan pernyataan, “limadzaa taakhorol muslimun wa taqoddama ghoiruhum”. Dengan begitu, maka yang terjadi adalah terbentuknya masyarakat split. Dewasa ini, fenomena masyarakat split di berbagai daerah sudah tidak asing lagi. Habis maghrib sholawatan, tengah malam goyang assolole pun sudah biasa. Dangndutan yes, sholawatan oke. Masyarakat yang pergi haji bolak-balik tetapi masih saja korupsi juga banyak. Hal tersebut dikarenakan agama tidak dijadikan sebagaimana mestinya. Hanya ilusi saja. Di sisi lain, agama diyakini sebagai jalan menuju keselamatan, perdamaian, ketenangan,
30
“ Fenomena kafir mengkafirkan itu sudah ada sejak dahulu kala, tidak usah disepakati oleh MUI pun terus ada di dalam Islam. ” Said Aqil Siraj dan kasih sayang. Rahmatan lil 'alamin. Akan tetapi pada praktiknya, agama adalah sumber persoalan yang jauh lebih ganas dan mengerikan daripada persoalan sekular duniawi. Lihat saja perang dan kekerasan di berbagai belahan dunia yang mengatasnamakan agama: Armenia (Yahudi-Islam), Irlandia (Katolik-Protestan), Tibet (Budhis-Komunisme), Irak (Syiah-Sunni). Indonesia (Ahmadiyyah, Jama'ah Syi'ah di Sampang Madura, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, dan lain-lain). Berdasarkan catatan dari The Wahid Institute, pada tahun 2011 kemarin, di Indonesia telah terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah itu meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Pelarangan dan pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan ibadah tercatat 49 kasus. Disusul tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparatur negara (20 kasus), pembiaran kekerasan (11 kasus), kekerasan dan pemaksaan keyakinan serta penyegelan dan pelarangan rumah ibadah (masing-masing 9 kasus). Pelanggaran lain adalah kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan (4 kasus). Setara Institute mencatat lebih dari 300 kekerasan atas nama agama yang terjadi. Kalau sudah begini, kemana fungsi dan peran lembaga agama? Pada tahap ini, kalau boleh mengatakan, ada dua permasalahan (baca: kegagalan) oleh lembaga agama. Pertama, bahasa agama, yang mana oleh lembaga agama tidak mencerdaskan. Kedua, masyarakat tidak mau berfikir lebih. Pada akhirnya rentan untuk dibodohi. Bahasa agama cenderung tidak mencerdaskan, karena klaim sesat, kafir, selalu dipolitisasi dan selalu mengarah kepada kaum minoritas. Padahal, nabi siapapun tidak pernah menjustifikasi kepada kelompok atau personal,
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Khusus] mengenai sesat maupun kafir. Yang menjustifikasi hanyalah para follower-followernya. Hal ini bisa dilihat dari hadist-hadist nabi yang membincangkan masalah keimanan. Berbicara masalah iman atau islam, hakikatnya itu bukanlah agama, tetapi, mengarah kepada “karakter” seseorang. Sudah berapa banyak hadits yang mengatakan “Laa yu'minu ahadukum...” bla.bla.bla. Dengan redaksi berbeda dan makna yang berbeda pula. Semuanya mengarah kepada karakter masing-masing individu. Selanjutnya, masyarakat tidak mau berfikir lebih. Faktanya, pasca kedatangan Irshad Manji—yang konon katanya seorang lesbian—itu, kemudian ditolak. Padahal tujuannya tak lain adalah ingin berdiskusi, bertukar pendapat, jihad intelektual. Apabila tidak sependapat, jangan dianut, sudah-selesai. Tak lama kemudian, penolakan konser Lady Gaga—yang konon katanya menyebarkan simbol setan—Mother Monster itu nasibnya lebih tragis dari Manji, ia dilarang manggung, menginjakkan kaki di
korupsi, kesenjangan sosial, dan lain-lain yang sampai sekarang belum kunjung usai permasalahannya. Menggugat Otoritas Fatwa dalam Hukum Islam Sangat tidak aneh dewasa ini apabila melihat fatwa-fatwa yang ditelorkan oleh Majelis Ulama' Indonesia yang terkadang lucu, konyol, dan penuh dengan tanda tanya. Seyogyanya, sebuah fatwa haruslah menimbang realitas dan sesuai dengan konteks zaman. Fikih bukanlah ilmu pasti, fikih adalah “ilmu sosial” yang selalu berubah seturut tempat dan masa. Locus-tempus, space-time. Yang patut disayangkan adalah jika fikih mengalami bongkar-pasang oleh oknum yang memiliki kepentingan tertentu yang berujung pada jual beli fatwa. Akhir-akhir ini, banyak pihak dengan mudahnya mengeluarkan fatwa tanpa berbagai pertimbangan yang mendalam. Fatwa selama ini dipercaya sebagai alat manjur yang digunakan
“ Fikih bukanlah ilmu pasti, fikih adalah “ilmu sosial” yang selalu berubah seturut tempat dan masa. Yang patut disayangkan adalah jika fikih mengalami bongkar-pasang oleh oknum yang memiliki kepentingan tertentu yang berujung pada jual beli fatwa. ” Indonesia. Pada tahap ini, tengah mengisyaratkan bahwa masyarakat kita tidak mau berfikir 'lebih' dan 'dewasa'. Lady Gaga mau manggung saja, alih-alih alasannya menyangkut urusan moral dan keimanan. Bukankah moral bangsa kita sebelum Lady Gaga ke Indonesia memang sudah rusak? Oleh sebab itu, hemat penulis, lembagalembaga agama yang ada di negara kita ini—kalau boleh mengatakan—hanya dijadikan sebagai agen kekuasaan oleh pemerintah. Menjadi boneka yang sewaktu-waktu siap diletupkan untuk menutupi kebobrokan penguasa. Dengan adanya beragam fenomena seperti itu, lembaga-lembaga agama laiknya harus kembali ke khittahnya masing-masing. Karena masih banyak persoalan-persoalan di negeri ini yang jauh lebih urgen untuk segera diselesaikan daripada mengurusi label-label yang 'tidak mutu'. Yakni seperti kebodohan, kemiskinan, terorisme,
IDEA Edisi 32, September 2012
para ulama’ untuk menjustifikasi suatu perkara tertentu: halal, haram, mubah, dan lain-lain. Di sini, posisi fatwa sangat sentral sekali. Fatalnya, fatwa justru disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk memuluskan kepentingannya sesaat. Bisa jadi yang halal menjadi haram, dan yang haram menjadi halal. Sehingga, fatwa pun tidak lagi searus dengan prinsip hukum Islam (maqâshid al-syarî'ah), justru menjadi fatwa yang sesat dan menyesatkan. Melihat banyaknya kalangan yang menyebut dirinya sebagai seorang ulama’, yang kemudian dengan entengnya menceploskan sebuah fatwa. Padahal, kapasitasnya sebagai seorang “mujtahid” itu juga masih dipertanyakan. Lalu, muncullah sebuah pertanyaan mendesak untuk dijawab, siapakah sebenarnya yang paling berperan secara 'otoritatif' dalam mengeluarkan fatwa?
31
[Analisis Khusus]
karikatur Idea Digital Art
Lembaga Agama laiknya boneka dengan fatwa-fatwanya
Pada zaman Rasulullah SAW, otoritas berfatwa tidaklah problematis, karena Nabi sendirilah yang memiliki otoritas tersebut secara penuh. Dan pendapatnya mengenai suatu hukum memiliki kekuatan yang mengikat untuk diikuti oleh pengikutnya, para sahabat. Namun, setelah Rasulullah wafat, otoritas itu mengundang banyak masalah. Kemudian, sejak Rasulullah wafat, yang terjadi adalah pasar raya fatwa hukum. Dalam khazanah yurisprudensi Islam, syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid pun telah ditetapkan oleh para ulama’. Dengan kata lain, masalah-masalah yang belum pernah dibahas oleh imam mazhab empat itu harus dibahas ulang oleh para ulama’ sesudahnya dengan jalan ijtihad. Dari sinilah muncul pemahaman yang berbeda-beda. Sebagai tamsil, Imam Malik mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Syafi'i mengenai suatu masalah tertentu, dan pada kasus lain justru pengikut mazhab Imam tertentu berbeda pendapat dengan Imam yang dianutnya. Maka dalam karya ulama fikih yang sering kita kaji, terdapat beragam istilah, seperti: “al-arjah” (yang lebih unggul), “al-ashahh” (yang lebih valid), dan lain sebagainya. Perlu diketahui, sebenarnya para imam madzhab empat (a'immat al-madzâhib alarba'ah) itu tidak pernah mengatakan bahwa akulah pemimpin madzhab ini atau itu. Akan tetapi, para imam madzhab tersebut hanya mengeluarkan suatu hukum saja. Jika ada yang mengikutinya--ya silahkan, jika tidak--pun tak apa. Karena perlu diketahui, inisiatif membubuhkan nama satu madzhab tertentu sebenarnya oleh para pengikut imam tersebut, bukan imamnya sendiri yang melabeli. Berkat
32
inisiatif itulah, kita yang di era kini dapat mengatakan bahwa si A menganut madzhab Imam Syafi'i, si B berkiblat pada madzhab Imam Hanafi, dan seterusnya. Namun persoalannya, bagaimanakah masyarakat muslim merumuskan apa yang disebut dengan otoritas dalam berfatwa. Adakah otoritas berfatwa itu? Jika ada, siapakah yang memiliki otoritas tersebut? Lalu, bagaimanakah kriteria orang yang boleh berfatwa? Hingga sekarang ini, beberapa pertanyaan tersebut belum mendapatkan solusi yang memadai. Ada beberapa poin sederhana yang untuk sementara penulis dapat kemukakan di sini. Yaitu, sebuah fatwa haruslah menimbang realitas dan sesuai dengan konteks zaman. Perlu penulis tekankan lagi, bahwa fikih bukanlah ilmu pasti, fikih adalah “ilmu sosial” yang selalu berubah seturut tempat dan masa. Yang patut disayangkan adalah jika fikih mengalami bongkar-pasang oleh oknum yang memiliki kepentingan tertentu yang berujung pada jual beli fatwa. Dalam Islam, tidak ada yang pasti mengenai siapa orang atau ulama’ yang paling berhak mengeluarkan pendapat hukum. Banyak pihak yang mengeluarkan pendapat secara serampangan, mengingat kapasitasnya dalam berijtihad masih dipertanyakan. Apabila pendapat yang dikeluarkan oleh seorang ulama tidak sesuai dengan prinsip hukum Islam (maqâshid al-syarî'ah), maka pendapat atau fatwa tersebut akan tereliminir dengan sendirinya oleh umat. Hal inilah yang membuktikan bahwa Islam adalah agama fitrah manusia yang apabila ada ketentuan hukum yang diklaim sebagai yang paling benar (truth-claim), tetapi tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan fitrah manusia, maka pendapat atau fatwa tersebut bukanlah hukum Islam yang mengatur kehidupan umat Islam. Oleh sebab itu, daripada ambil pusing, mendingan; “istafti qolbak”, mintalah fatwa pada hatimu. Menyoal Kelahiran MUI Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) adalah organisasi perkumpulan ulama terbesar di Indonesia. Salah satu hal yang secara kontinyu dilakukan lembaga itu adalah membuat berbagai fatwa keagamaan. MUI yang saat ini berumur 37 tahun, telah mengeluarkan ratusan fatwa. Tetapi beberapa fatwa yang dikeluarkan itu mengandung
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Khusus] beberapa masalah. Akar permasalahan itu bisa dilihat dari sejarah berdiri, tujuan didirikannya MUI, serta setting sosial dimana MUI beroperasi. Kelahiran MUI di Indonesia, tidaklah hadir secara kebetulan, mengingat masyarakat Indonesia yang tergolong agamis. Keagamaan Indonesia bisa dilihat dari sila pertama dari ideologi negara tersebut, Pancasila. Konsep Tuhan Yang Maha Esa yang diusung dalam sila tersebut mengharuskan tiap warga negara untuk menganut salah satu dari enam agama yang diakui oleh negara. Hal itu dimaksudkan agar warga negara Indonesia tidak hanya mencari kesenangan duniawi an sich, tetapi juga harus medapatkan kesempurnaan ukhrowi. Selain itu juga, tujuan lainnya adalah agar warga Indonesia menghindari atheisme yang dianggap sebagai cikal bakal komunisme. Dimanapun, pasti ada kelompok yang mendominasi. Tak terkecuali dalam konteks agama di Indonesia. Dalam hal ini yang mempunyai penganut agama terbanyak di Indonesia adalah Islam. Sebagai mayoritas, Islam telah menampakkan taringnya. Bahkan sejak Indonesia masih di bawah naungan penjajah. Pada awalnya, di abad ke-18, para ulama' tidak bisa bergerak bebas. Hal itu dikarenakan para penjajah (baca: Belanda) telah mengetahui kekuatan ulama'. Mereka pun membatasi ruang gerak mereka dengan membubarkan perkumpulan yang digalang para ulama'. Gerak ulama' pun akhirnya terbatasi, hanya menjadi penuntun kehidupan spiritual umat. Setelah pertemuan antara ulama' Makkah dengan ulama' Indonesia pada abad ke-19, di saat melakukan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di sana, pergolakan dalam perlawanan terhadap kolonial Belanda mencuat kembali. Sampai akhirnya pada abad ke-20, perlawanan oleh para ulama' semakin menjadi. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya pemuka agama yang menjadi pemimpin pada garda depan di berbagai pemberontakan melawan Belanda. Pergulatan para ulama' Indonesia sejak zaman Belanda, menandakan bahwa mereka telah mempunyai komunitas masing-masing. Tetapi, komunitas itu masih berdiri sendiri-sendiri dan hanya sampai pada tingkat provinsi. Walaupun
IDEA Edisi 32, September 2012
ada organisasi tingkat nasional, seperti; Nahdhatul Ulama (NU), Syarikat Islam, Muhammadiyah, dan lainnya. Akan tetapi, organisasi tersebut lebih bersifat politik dan terkadang juga muncul kontra di antara mereka. Beberapa tahun pasca kemerdekaan Indonesia, muncul inisiatif untuk membentuk sebuah wadah yang menjadi ajang silaturrahim para ulama dan berbagai Ormas Islam. Pada akhirnya, melalui Musyawarah Nasional (Munas) I MUI pada 21-27 Juli 1975 di Balai Sidang Jakarta, berdirilah Majelis Ulama Indonesia, tanggal 26 Juli 1975. Sebagai organisasi yang anggotanya merupakan kumpulan para ulama dari berbagai kelompok dan elemen masyarakat di seluruh pelosok Nusantara itu, MUI merasa mempunyai tanggung jawab besar bagi kemaslahatan umat. Sejak berdirinya MUI sampai sekarang, mereka berusaha melakukan yang terbaik dengan memberikan bimbingan kepada masyarakat agar berkehidupan sesuai tuntunan Islam. Ia juga secara kontinyu membuat berbagai fatwa keagamaan, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MUI juga berusaha menjadi penerjemah dari hubungan timbal balik antara umat dan pemerintah. Selain itu, MUI juga merasa sebagai pelopor ukhuwah islamiyah demi terwujudnya hubungan serta kerjasama yang baik antar organisasi Islam, juga antar umat beragama. Oleh masyarakat, MUI dipandang sebagai lembaga yang paling kompeten dalam membuat istinbat (putusan) hukum dan fatwa-fatwa keagamaan dalam konteks agama Islam. Yang menjadi kajian fatwa oleh MUI bukan hanya permasalahan fiqhiyyah an sich, yang meliputi ibadah, mu'amalah, munakahat, dan jinayat. Halhal mendasar yang meluputi akidah juga dibahas apabila di dalamnya muncul sebuah permasalahan yang dianggap menyangkut kehidupan umat. Hal ini berarti bahwa tugas MUI adalah memberikan fatwa-fatwa dan nasehat-nasehat mengenai berbagai persoalan keagamaan, baik yang menghubungkan seseorang (personal), dengan Tuhan, masyarakat, dan negara. Tetapi, MUI juga lembaga yang beranggotakan sekumpulan manusia, dan
33
[Analisis Khusus] merupakan sifat alami manusia yang tak pernah luput dari kesalahan. Karena itulah MUI pun mempunyai AD/ART, dasar dan tujuan utama yang menjadi cikal bakal berdirinya lembaga itu. Dalam MUI, dasar dan tujuan itu termaktub dalam Piagam berdirinya MUI. Tetapi, kenyataannya, yang dibuat oleh MUI semuanya tidak bisa mencegah kesalahan. Ada beberapa kesalahan dalam berfatwa yang dikeluarkannya. Salah Interpretasi Secara kelembagaan, MUI adalah lembaga ijtihad. Sebagai tempat berkumpulnya para ulama'. Salah satu tugas yang diemban MUI adalah mengeluarkan berbagai fatwa keagamaan. Dalam tradisi ushul fikih, sebuah hukum terikat oleh ruang dan waktu. Dalam arti, sebuah hasil ijtihad tidak bersifat universal. Yang universal dan bisa teraplikasikan di setiap ruang dan waktu hanyalah al-Qur'an dan Hadis. Tetapi, MUI menganggap bahwa Ijma' para ulama' bersifat absolut dan universal, setingkat dengan al-Qur'an dan Hadis. Hal itu tertuang dalam prosedur pedoman umum penetapan fatwa MUI. Dalam pedoman tersebut, disebutkan bahwa sebelum melakukan sebuah ijtihad, MUI harus melihat dulu apakah ada ayat al-Qur'an, Hadis, dan/atau ijtihad ulama yang tertuang dalam literatur terdahulu yang membahas kasus yang sedang dikaji. Apabila ditemukan, maka MUI harus melakukan taqlid dengan literatur tersebut, untuk menentukan hukum dari kasus yang dikaji setelah menimbang beberapa kemaslahatan. Apabila tidak ditemukan satu literatur pun, baru MUI “diperbolehkan” melakukan ijtihad intiqa'i atau lebih dikenal dengan taqlid fi al-manhaj. Untuk masalah 'ubudiyah, hal itu mungkin bisa dibenarkan. Itu karena masalah ‘ubudiyah lebih pada hubungan antara makhluk dan Tuhannya. Tetapi, untuk masalah hubungan antar manusia, beda tempat dan waktu, beda pula hukumnya. Indonesia dengan berbagai kultur dan budayanya yang sangat beragam, tidak bisa disamakan dengan, misalnya, Mesir atau negara Timur Tengah lainnya dimana keempat mazhab lahir. Bahkan, Imam Syafi'i pun, mengubah berbagai hukum yang sebelumnya diterapkan di Baghdad, dan ketika ia pindah ke Mesir, hukum yang lama di “naskh”, yang kemudian hari terkenal dengan istilah qoul qodim dan qoul jadid. Hal itu dilakukan oleh Imam Syafi'i tak lain karena keadaan Mesir saat itu
34
yang memaksanya untuk memperbaharui fatwanya agar cocok untuk diaplikasikan pada negara Mesir saat itu. Karena itulah, tidak sepatutnya MUI melakukan taqlid dengan hukum-hukum lama yang diaplikasikan di negara lain untuk bisa juga diaplikasikan di Indonesia. Sebagai contoh adalah fatwa haramnya melakukan atau mengamini doa bersama antar agama yang difatwakan melalui Munas MUI ke VII. Apabila dikupas, ada banyak kesalahan yang terjadi dalam pengambilan fatwa ini. Dalam segi pengambilan dalil, MUI salah, karena tidak memahami ayat secara menyeluruh. Salah satu ayat yang diambil adalah surat Ghofir ayat 50. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa doa orang-orang kafir itu sia-sia belaka. Teks memang berkata seperti itu, tetapi MUI lupa melihat ayat sebelumnya bahwa konteks ayat itu adalah mengomentari penghuni neraka yang meminta agar diringankan siksanya. Jelas, bahwa konteks ayat itu adalah perihal doa dalam konteks kehidupan akhirat, bukan di dunia. Karena itu, tidak tepat kalau MUI menggunakan ayat tersebut
Idea Digital Art
“ Tidak sepatutnya MUI melakukan taqlid dengan hukum-hukum lama yang diaplikasikan di negara lain untuk bisa diaplikasikan di Indonesia. ” IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Khusus]
“Setelah melakukan taqlid, MUI pun menetapkan keabsolutan fatwa mereka”
inilah.com
sebagai dalil. Makna sesungguhnya dari “kafir” itu sendiri pun masih diperdebatkan. Kalaupun makna dari kafir itu adalah semua non-muslim, akan tetapi faktanya ada banyak non-muslim yang saat ini berjaya di atas umat muslim. Hal ini menandakan bahwa Allah tidak hanya membagi kuasanya pada umat muslim saja. MUI juga menggunakan surat al-Kafirun ayat 1-6 sebagai dalil pengharaman doa bersama. Lagi-lagi ini kurang tepat, karena konteks surat itu adalah menyembah sesembahan agama lain. Mengamini do'a non-muslim, selama do'a itu baik, apakah itu salah? Kalau surat ini dijadikan dalil, hal itu bertentangan dengan surat al-Fath ayat 18. Ayat itu sering dijadikan dalil dalam pembolehan menghormati simbol kenegaraan. Dengan ikut andil dalam acara doa bersama, maka kita menghormati pancasila dan UUD '45 yang merupakan ideologi negara, karena jelas, dalam UU tersebut penghormatan kepada setiap penganut agama adalah sebuah kewajiban. Hadis yang digunakan pun tidak ada yang secara jelas melarang hal tersebut. Ijtihad ulama' terdahulu yang melarang hal itu mungkin tidak bisa disalahkan. Hal itu karena konteks zaman dahulu, hubungan antara muslim dan non-muslim masih sering terjadi konflik. Berbeda dengan di Indonesia, dimana semua umat beragama bisa selaras dan mewujudkan harmoni dalam
IDEA Edisi 32, September 2012
kehidupan. Dengan demikian, apabila fatwa ini masih tetap diberlakukan, maka akan mencederai salah satu hal yang termaktub dalam Anggaran Dasar (AD) MUI. Dalam AD MUI dijelaskan, bahwa salah satu tugas yang dimilikinya adalah menjadi wakil dalam musyawarah antar agama dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Fatwa pengharaman do'a bersama ini sangat rawan konflik. Apabila diterapkan dan pihak yang sangat fanatik terhadap MUI dan mengartikan bahwa fatwa MUI adalah hukum mutlak, bukan hukum alternatif atau tawaran, maka hal itu akan menyebabkan renggangnya hubungan Islam dengan agama lain di Indonesia.
Tajdid vs Bahsul Masail Dalam UU MUI yang memaparkan fungsi dan peran ulama, disebutkan bahwa MUI adalah sebagai pelopor penggerak ishlah wa tajdid. Tetapi dalam prakteknya, seperti telah dijelaskan sebelumnya, MUI tidak bisa maksimal dalam melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan karena dalam AD sendiri MUI hanya diperbolehkan melakukan ijtihad apabila tidak menemukan dalil terhadap suatu masalah. Kalau definisi dalil disini hanya sebatas al-Qur'an dan Hadis, itu bukan masalah. Tetapi MUI juga memasukan ijtihad para ulama’ terdahulu dalam satuan sumber hukum yang absolut dan universal. Hal itu tidak sesuai dengan kaedah ushul fikih. Dalam ushul fikih, selain al-Qur'an dan Hadis, yang boleh dijadikan sumber hukum adalah ijma' dan qiyas. Memang ketika melakukan musyawarah untuk mengeluarkan fatwa, MUI melakukan ijma' dalam arti mengumpulkan ulama’. Tetapi di dalam musyawarah tersebut, mereka hanya mengumpulkan berbagai pendapat ulama’ masa lampau yang sangat berbeda kondisi tempat dan situasinya dengan Indonesia saat ini. Yang mereka lakukan bukan ijtihad, tetapi hanya sekedar bahsul masa'il fiqhiyyah saja, bukan ijma' yang biasa dilakukan ulama zaman dahulu. Ijma' seharusnya dilakukan dengan melihat berbagai aspek kehidupan di Indonesia di masa sekarang. Dalam arti, ada kemungkinan dalam ijma' itu akan memunculkan sebuah hukum baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Jadi, tidak sekedar “ikutikutan” dengan apa yang dikatakan ulama’ sebelumnya.
35
[Analisis Khusus] Tidak hanya itu, setelah melakukan taqlid, MUI pun menetapkan keabsolutan fatwa mereka. Maka, apabila ada yang menentang, akan dianggap menyimpang karena MUI menganggap dirinya institusi ulama tertinggi yang didalamnya terdapat kumpulan berbagai ulama' dari berbagai ormas Islam dan perwakilan ulama tiap-tiap provinsi yang ada di Indonesia. Padahal, sebuah fatwa itu tak lebih dari sekedar sebuah pemaknaan terhadap teks normatif. MUI lupa dengan apa yang dilakukan Imam Abu Hanifah, salah satu ulama’ empat mazhab. Imam Abu Hanifah yang dengan santunnya mengatakan bahwa “pendapatnya mungkin saja salah dan pendapat orang lain mungkin yang benar”. Lagipula, ketika sebuah fatwa dilakukan pun terkadang tidak semua anggota MUI mematuhinya. Lihatlah fatwa haramnya merokok. Banyak diantara ulama'-ulama' MUI yang sampai sekarang masih aktif merokok. Sehingga, fatwa merokok telah diindikasi mendukung program pemerintah yang sampai saat ini masih gencar menekan adanya produksi tembakau. Hal ini sangat mungkin, karena salah satu tujuan berdirinya MUI adalah mendukung suksesnya pembangunan nasional, juga sebagai penerjemah atau penengah antara kebijakan pemerintah dan umat. Dalam proses pengambilan fatwa, sebenarnya tidak akan dilakukan kecuali kalau ada masalah mendesak yang harus segera diselesaikan, atau, kalau ada permintaan untuk membahas sebuah permasalahan kepada MUI. Masalah rokok ini pun dipertanyakan. Apakah rokok adalah masalah yang sangat mendesak? Kalau rokok benar-benar diharamkan, maka akan ada banyak pengangguran, karena petani tembakau dan pabrik rokok adalah salah satu lahan pekerjaan yang paling banyak dilakoni di Indonesia. Pemerintah sampai saat ini pun belum memberikan alternatif tanaman selain tembakau apabila rokok diharamkan. Penulis sebenarnya tidak tahu, tetapi dilihat dari keadaan yang ada, kemungkinan fatwa rokok dikeluarkan bukan karena ada masalah yang mendesak, tetapi karena ada “pesanan” dari pemerintah atau instansi lain agar masalah itu dibahas. Maka tidak aneh kalau ada orang yang mengatakan bahwa keberadaan MUI hanyalah untuk menyatukan ide berdasarkan kelompok mayor. Kelompok yang lebih besar di Indonesia berusaha melakukan hegemoni di negeri ini
36
dengan melakukan monopoli melalui metode pemberian fatwa oleh MUI. MUI pun terlihat hanya memberikan porsi pembinaan, menjalin hubungan kepada lembaga islam yang dianggap “lurus” saja. Apabila ada yang menyimpang, tidak ada pembinaan. Malah kemudian menjustis, menghukumi 'sesat', sehingga harus segera dibubarkan, karena mencemari umat. Anehnya, lembaga yang juga nyata-nyata mencemari Islam dengan melakukan berbagai aksi radikalisme yang mengatasnamakan Islam, sampai saat ini tidak ada tindak lanjutnya, dan masih dengan mudah melakukan berbagai aksinya. Malahan semakin tumbuh subur di negara Indonesia. Mana suaramu MUI? Sertifikasi Ulama' Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia—baik yang tergabung dalam ormas Islam maupun LSM—menolak dan mengkritik keras jika nanti ada sertifikasi ulama. Ulama' distandarisasi. Bermula dari pernyataan Direktur Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Irfan Idris, mengenai maraknya aksi terorisme yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab belakangan ini di Solo-Jawa Tengah dan Depok-Jawa Barat. Sebagaimana yang kita tahu bahwa tindakan mengebom (baca: terorisme) merupakan “ejakulasi dini” seseorang dalam memahami ajaran agama. Entah, nalarnya dari mana menghubungkan aksi terorisme dengan sertifikasi ulama'. Akan tetapi, isu tersebut mampu menjadi tranding topik di sejumlah media, dan situs jejaring sosial, facebook-twitter. Orang-orang ramai membicarakannya. Terorisme dan sertifikasi ulama'. Bila memahami literatur Islam sendiri, tindakan teroris merupakan suatu perilaku 'kekafiran' yang dilakukan oleh umat beragama. Karena melihat makna kafir yang mempunyai akar kata 'menutup'. Jadi orang yang melakukan aksi teror, pintu hatinya telah tertutup terhadap nilai sosial dalam bermasyarakat, bagaimana cara untuk hidup rukun dan damai ketimbang melakukan aksi teror. Di samping itu, perilaku teroris juga ada kaitannya dengan 'budaya instan' yang sudah membudaya di negeri kita ini. Budaya instanlah yang kemudian membawa pemahaman mereka untuk mempercepat kedekatannya dengan Tuhan
IDEA Edisi 32, September 2012
[Analisis Khusus] (baca: mati syahid ala teroris). Sangat absurd memang, bila agama dijual dengan perilaku instan yang tak mencerdaskan itu. Tidak panjang lebar membahas terorisme, penulis beralih membicarakan sertifikasi ulama'. Apa sebenarnya di balik munculnya isu tersebut? Telah disadari, menjadi masalah juga status ulama' di negara kita ini, Indonesia. Siapa saja, yang mempunyai pesantren, atau yang ikut bernaung dalam Majelis Ulama' Indonesia, bisa disebut sebagai ulama'—entah itu ulama' yang bagaimana—dalam artian, ulama' karbitan atau benar-benar orang yang mempunyai pemahaman agama yang mendalam, arrasikhuuna fil'ilm kalau dalam bahasa al-Qur'annya. Sangat wajar apabila ada pernyataan bahwa ulama' merupakan pewaris para nabi. Yang mana ulama' benar-benar mengajarkan amar ma'ruf nahi mungkar, dengan cara ma'ruf, bukan dengan cara mungkar. Penulis tidak bisa membayangkan apabila para ulama' di Indonesia berbondong-bondong mengikuti sertifikasi, laiknya seperti fenomena sertifkasi guru. Dan fatalnya lagi jika standarisasi sertifikasi tersebut yang menentukan adalah BNPT, Pemerintah. Sudah bisa ditebak, di sini nantinya akan ada 'proyek besar' yang dapat menciptakan hegemoni negara dan tiranisme umat beragama. Betapa ngerinya jika sudah begini, nama ulama' tidak sakral lagi. Dulu, ketika kediktatoran mantan Presiden Soeharto sedang jaya-jayanya, orang yang berdakwah, atau menyiarkan agama Islam, harus mendapatkan label “SNI” atau lolos sertifikasi. Mengingat pada masa tersebut memang ada kepentingan politik. Sehingga tidak sembarangan orang bisa mengeluarkan fatwa, atau peraturan yang ada kaitannya dengan syari'at Islam. Oleh sebab itu sangat tidak aneh apabila nama Majelis Ulama' Indoensia dilahirkan dan menjadi proyek besar di rezim Soeharto. Semenjak itulah ulama'—dalam naungan MUI—menjadi sebuah profesi, digaji, layaknya pegawai negeri. Bukan masalah benar atau salah, namun, Imam al-Ghazali sudah mewanti-wanti hal yang demikian ini di dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin. Ada ulama’ al-khair (ulama yang baik) atau ulama al-akhirat, dan ulama' al-suu' (ulama yang jelek). Ulama' al-suu' juga disebut sebagai ulama' aldunya (ulama duniawi). Menurut al-Ghazali, orang yang disebut terakhir ini (ulama' al-suu'/ ulama' al-dunya)
IDEA Edisi 32, September 2012
yang nanti di hari kiamat akan mendapatkan siksa yang paling berat, karena mereka ini adalah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan. Benar, predikat mereka adalah ulama, akan tetapi keulamaan tersebut dijadikan sebagai alat untuk membodohi umat, kepentingan politik praktis misalnya, dan bukan untuk mencerdaskan dan memberdayakan umat menuju ke hal yang lebih baik. Dengan demikian, mendapatkan predikat ulama' tentunya bukan hal yang enteng. Dalam artian, ketika seseorang mendapatkan cap sebagai seorang ulama', pastinnya harus diimbangi dengan perilaku yang dapat dijadikan tauladan. Karena ulama' bukanlah bungkusnya yang hanya memakai peci putih, bersorban, sekaligus perangkat ritualnya. Tidak semudah itu. Apalagi status ulama' dapat dibeli dengan selembar sertifikat. Hmm.. iki zaman akhir tah? (Autad/Zubair - IDEA) Pemimpin Redaksi dan Sekretaris Umum IDEA
SELAMAT DATANG
MAHASISWA BARU FAKULTAS USHULUDDIN IAIN WALISONGO “Kampus Kita Bukan Menara Gading !!!”
37
[Wawancara Khusus]
Klaim yang
SESAT
K
Bagaimana pendapat Bung Sahal mengenai klaim kafir, murtad, atau sesat oleh kalangan Ulama', dalam hal ini MUI, Kemenag, dan lainlain terhadap kelompok yang berbeda pandangan. Seperti Ahmadiyyah, Syi'ah, dan lain-lain? Melihat sejarah, pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi tersebut, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan. Seharusnya ulama' kita mengikuti dan meniru cara Nabi. Lalu, hujjah mana yang digunakan oleh pihak yang sering mengeklaim sesat dan murtad, yang mana kelompok yang diklaim tersebut, dinyatakan wajib untuk dibubarkan secara paksa. Bahkan, pernah ada kasus pembunuhan, seperti yang terjadi di Pandeglang-Banten terhadap kelompok Ahmadiyyah.
38
IDEA/Au
eberadaan lembaga agama di Indonesia dewasa ini tampaknya (masih) belum bisa mencerdaskan umat. Faktanya, pertikaian dengan atas nama agama kerap kita jumpai, dan selalu tumbuh subur dari tahun ke tahun. Di samping itu juga, ada yang mengatakan bahwa klaim sesat dari Majelis Ulama' Indonesia terhadap kelompok tertentu juga memicu timbulnya konflik dan pertikaian antar golongan tersebut. Mengapa fenomena seperti itu tidak pernah surut di negara kita yang katanya menghargai perbedaan dan keberagaman? Berikut kru IDEA ketika sedang melakukan wawancara dengan Akhmad Sahal, seorang aktifis di Jaringan Islam Liberal (JIL).
Akhmad Sahal, Aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL)
Nah, inilah persoalan serius umat Islam. Sebenarnya, kalau kita mau membaca sejarah dengan baik. Maka tidak akan sampai terjadi hal-hal yang dapat mencederai orang lain dikarenakan berbeda pemahaman mengenai Tuhan. Begini mas, dulu setelah Nabi wafat, umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As'ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Nah, Abu Bakar lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakar ini dikenal sebagai perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda), fakta ini mengindikasikan bahwa, yang
IDEA Edisi 32, September 2012
[Wawancara Khusus]
“ Alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang mengambil alih wewenang Tuhan sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad. ” diperangi Abu Bakar adalah hal-hal yang berkaitan politis, tidak mau membayar zakat, pembangkang. Bukanlah hal-hal bersifat teologis, kemurtadan itu sendiri. Tampaknya, perang melawan kemurtadan inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebhinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi. Berarti, klaim murtad pada waktu itu sangat politis ya Bung? Kok bisa? Iya. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Karena itu, perang Abu Bakar melawan kemurtadan mesti
IDEA Edisi 32, September 2012
dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak. Terus, bagaimana sikap kita sebagai seorang akademisi dalam menyikapi hal ini Bung? Sebagai akademisi, kita patut berpikir ulang mengenai pemahaman tentang metodologi hukum Islam yang mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syari’at, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid alsyari'ah (tujuan-tujuan syari’at) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Lagi pula, satu-satunya dalil al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan caracara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti. Itulah sebabnya al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama. Kemudian, bagaimana komentar Bung Sahal mengenai pihak-pihak yang suka mengeklaim sesat atau murtad terhadap kelompok-kelompok tertentu? Simpel saja mas, seperti yang saya utarakan tadi, kalau Nabi saja demikian sikapnya, berarti alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladani sikap Rasulullah. (Autad/Zubair-IDEA)
39
[Wawancara Khusus]
M U I : Klaim Sesat itu Sudah Tepat D
ewasa ini, dalam dalamnya ada berbagai berfatwa oleh Majelis komponen. Visi-misinya pun Ulama' Indonesia, untuk mewujudkan tata sering kali tidak mencerdaskan kehidupan kebangsaan, umat. Dalam artian, fatwa-fatwa keberagaman masyarakat yang nya itu hanyalah isu-isu parsial, khoiroummah, yang di yang mana tidak menusuk pada dalamnya ada amar ma'ruf dan tataran strategis kebutuhan nahi mungkar. Misi utamanya masyarakat secara langsung. itu untuk menggerakkan roda Dan, acap kali, fatwanya itu kepemerintahan yang baik. malah menuai kontroversi di Dalam bermasyarakat, dapat tengah masyarakat. Jadi, tidak mewujudkan kehidupan yang menjadi aneh kalau ada yang mejemuk di bawah payung IDEA/Zubair menganggap bahwa fatwa-fatwa NKRI. Karena dianggap final. Prof. Dr. Ahmad Rofiq MA, Sekretaris MUI itu dinilai tidak 'mutu'. Kemudian pertanyaannya itu MUI Jawa Tengah Terlebih, dalam justifikasi dasarnya dari mana? mengenai keberagaman di Pandanglah secara obyektif. Indonesia, posisi MUI, seakanTidak dilebih-lebihkan. Karena akan menjadi otoritarian. Banyak pihak yang di tarikan-tarikannya itu banyak sekali, baik dari rugikan dari klaim-klaim atau fatwa-fatwa MUI. Ormas, LSM, para pegiat, dan bahkan mereka itu Oleh sebab itu, dengan adanya dampak fatwasudah kehilangan semangat ke-Indonesiaannya. fatwa oleh Majelis Ulama' Indonesia yang begitu Jadi harus ditempatkan secara proporsional. masif, lalu, bagaimana respon dari MUI sendiri Kenapa soal BBM MUI tidak ngomong. mengenai fenomena ini? Berikut wawancara kru Kalau sebagai wadah perhimpunannya para IDEA dengan Prof. Dr. Ahmad Rofiq MA, ulama', tidak elok kalau setiap saat itu ngomong. Sekretaris MUI Jawa Tengah. Fatwa itu tidak elok kalau di obral. Karena urusan BBM itu simpel sebenarnya. Itu adalah Bagaimana tanggapan bapak mengenai wilayahnya pemerintah. Kalau meminjam bahasa trik-trik MUI dalam berfatwa agar bisa al-Qur'an, itu merupakan wilayahnya ulil amri. menjamin dalam mentalitas berpolitik, Jadi, ada wilayahnya sendiri-sendiri. yang mana setiap fatwanya selalu Sebenarnya, yang bermasalah itu di berpihak kepada masyarakat. Presiden. Karena tidak bagus dalam memanaj Apakah selama ini MUI dalam berfatwa komunikasi. Mestinya, hal itu tidak usah ditidak berpihak kepada masyarakat?coba omongin jauh-jauh hari. Cukup dirapatkan oleh contohkan.. menteri-menteri. Masak, ulama' tiap hari ngomongin masalah itu. Begini bapak, acap kali fatwa-fatwa dari MUI terkadang menuai kontroversi, Bagaimana jika ada sebuah stigma jika seperti merokok haram, vasektomi MUI dikatakan sebagai kacung dari haram. Dan, ketika lagi boomingnya BBM pemerintah? naik oleh pemerintah, MUI diam, tidak Ya, itu omongan orang yang belum tahu mengeluarkan fatwa. saja. Tetapi, bila melihat sejarah perjalanan MUI Saya kira begini mas. Kalau kita melihat memang tidak bisa menghindar dari hal itu. sejarah MUI, ia ini bukanlah ormas, tetapi, tempat Mulai dulu (sejak berdiri) hingga sekarang. Begini berhimpunnya para ulama' dan zu'ama' yang di mas, pertanyaanya simpel saja, kalau pemerintah
40
IDEA Edisi 32, September 2012
[Wawancara Khusus] bermaksud baik, kenapa tidak didukung? Korupsinya merajalela, iya. Tetapi kan tidak semua yang dilakukan oleh pemerintah itu jelek, buruk. Bagaimana MUI mengatasi totalitarian atau hegemoni dalam berfatwa? Itu pertanyaan bagus, tetapi itu tidak akan terjadi. Karena MUI itu wadah perhimpunan. Mau dibawa ke totalitarian, itu totalitarian yang mana? Mau dibawa satu arus, itu satu arus yang mana? Karena arusnya MUI itu, tawasuth, tawazun, tasamuh, dan ta'adul. Yang moderatmoderat itu ada di MUI. Oleh sebab itu, hal itu tidak akan terjadi. Dan anda jangan salah dalam memandang MUI, kacamatanya dari mana dulu. Akhir-akhir ini, Indonesia lagi disorot HAM PBB karena dinilai melanggar hak asasi manusia. Hak manusia yang seperti apa? Indonesia itu punya sejarahnya sendiri. Orang-orang yang anti Tuhan, orang komunis, itu tidak bisa hidup di Indonesia. Walaupun agama dan al-Qur'annya mengatakan; mau beragama ataupun tidak bertuhan, itu terserah, boleh. Tetapi, sejarah di Indonesia tidak bisa begitu. Karena di Indonesia itu harus berketuhanan yang Maha Esa. Kenapa Ahmadiyyah, Sabdo Kusumo itu difatwakan sesat. Ini bukan kok MUI sewenang-wenang. Akan tetapi, siapa lagi yang melakukan hal ini kalau bukan MUI. Maka, ada 10 kriteria oleh MUI yang dikatakan sesat. Lalu, apakah legitimiasi sesat, kafir, pada kelompok tertentu oleh MUI itu sudah tepat? Menurut MUI ya sudah tepat. Sampai saya pernah tanya pada pimpinan agama Kristen, Hindu, Budha. Kalau hal ini terjadi di kelompok umat yang mengaku sebagai pengikut agama anda, tetapi dia bikin aturan sendiri, yang bisa merusak, apakah dibiarkan? Apakah anda juga terima? Mereka semua bilang tidak. Dan gejala ini kan tidak hanya di Islam saja, di Hindu, Protestan, Katholik, Budha, gejala semacam ini juga ada. Dan, masyarakat itu butuh
IDEA Edisi 32, September 2012
wawasan. Dalam hal ini, posisinya MUI itu, orang yang memberi nasihat (fatwa). Dan fatwa itukan tidak mengikat. Kalau mau pake', ya terserah, kalaupun tidak, juga tak apa. Tetapi pada akhirnya, masyarakat kan percaya, meskipun tidak seratus persen. Namanya juga tidak mengikat.
“ MUI itu harus responsif, selektif. Membawa nama majelis Ulama' itu harus hatihati. �
Bagaimana sikap MUI dalam memandang fenomena gejala takfir di masyarakat? Orang yang seenaknya mengkafirkan orang lain yang beda pendapat dengan dia. Itu juga tidak benar. Orang yang mengkafirkan orang lain itu juga kafir. Man kaffara fahuwa kaafiruh. Maka harus berhati-hati. Makanya, MUI dalam melegitimasi kelompok itu bukan dengan kata 'kafir', tetapi, 'sesat'. Oleh sebab itu, MUI berusaha kepada wilayah mengajak. Karena wadah berhimpun, bukan ormas. Maka MUI tidak seperti NU maupun Muhammadiyah. Karenanya, dalam berfatwa itu harus dihemat. Terakhir, apa pesan bapak, dalam hal ini MUI dalam menyorot gejala takfir di tengah masyarakat? MUI itu harus responsif, selektif. Membawa nama majelis Ulama' itu harus hati-hati. Karena kita yang diemong itu banyak. Ada saudara kita yang suka main sweping. Di satu sisi. Ada saudara kita yang hobi dengan kebebasan. Dulu, pernah ada fatwa haram tentang liberalisme, sekularisme. Bukan liberalnya yang haram, tetapi isme-nya itu, mengikutinya yang dilarang. Karena apa? Karena agama sudah mengatur. Sudah membatasi. Sama seperti anda bertamu di rumah, ada aturannya. Ada bel, atau ketuk pintu tiga kali. Maka, dalam beragama pun ada aturannya. Mari berislam secara kaffah. Tidak cukup beraqidah dan bersyari'ah saja. Tapi ingat, ada akhlak yang tidak boleh dilupakan. Banyak diantara kita yang suka dengan simbol ke arabian, tetapi perilakunya jauh dari moral Islam yang rahmat. Itu juga tidak benar. Dan juga, di satu sisi temen-temen yang liberal itu. Yang terkadang, bebasnya itu keblabasan. (Autad/Zubair-IDEA)
41
[Wacana]
PRAHARA TRAGEDI
SESAT-MENYESATKAN Oleh: Maslikhah*
IDEA/ZQ
G
ejala takfir dan klaim saling sesat menyesatkan di Indonesia akan selalu tumbuh subur di tengah masyarakat. Mereka ini sepertinya saling berebut mengenai makna “kebenaran�. Bahkan, alih-alih ingin membela Tuhan. Sangat disayangkan memang, jika gejala ini timbul dari orang yang menganggap dirinya paling benar dan 'sok' benar. Bila disadari, Indonesia merupakan negara pancasila yang mana di dalamnya terdiri dari banyak suku, ras, tradisi, agama, yang semuanya itu mengarah kepada perbedaan. Namun sayang, perbedaan dan keberagaman itu tidak didukung oleh lembaga Islam, dalam hal ini adalah MUI. Faktanya, lembaga agama dengan label ulama' tersebut sering kali ikut andil dalam pengeklaiman terhadap kelompok tertentu dengan jurus ampuhnya yang bernama; fatwa. Salah satu contohnya adalah kasus yang pernah menimpa kelompok Ahmadiyah. Tampak dalam keputusan MUI, di dalam rapat kerjanya pada 4-7 Maret 1984, telah merekomendasikan bahwa jemaat Ahmadiyah di wilayah negara Indonesia ini adalah sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Kemudian, keputusan ini memicu adanya penentangan terhadap Ahmadiyah secara masif. Dan konflik pun tak bisa dihindari. Fatalnya jika kasus ini kemudian disertai dengan sikap anarki, yang mana pernah menimpa kelompok
42
Ahmadiyah, pada Minggu 6 Februari 2011, hingga menghilangkan tiga nyawa di Pandeglang Banten. Sehingga sampai sekarang, di Indonesia, konflik-konflik atas nama agama sudah menjadi hal yang biasa, karena setiap orang menganggap diri mereka yang paling benar dan yang tak sejalan dengan dia dianggap sebagai kelompok sesat. Sebenarnya, tanpa ada justisfikasi dari MUI pun, sikap saling sesat menyesatkan antara kelompok satu dengan lainnya, akan terus ada. Kasus pada jemaat Ahmadiyah ini baru secuil contoh kekerasan atas nama agama. Sebenarnya masih ada sederet kasus lain yang serupa, seperti jama'ah Syi'ah di Madura, jemaat HKBP Filadelfia, GKI Yasmin, dan lain-lain. Peristiwa itu memang bukan tragedi yang pertama. Pengecapan sebuah aliran sebagai sesat sudah menjadi deretan panjang dalam sejarah Indonesia. Hal ini terjadi karena ada anggapananggapan mengenai aliran tersebut sebagai aliran yang menyimpang. Yang tidak berdasarkan alQur'an dan hadits. Sehingga layak jika disematkan kata “sesat� kepadanya. Dengan begitu, lalu muncullah istilah kelompok 'mayoritas' dan 'minoritas'. Yang mana minoritas selalu ditindas (menjadi inferior dari mayoritas). Kemudian, kondisi kelompok minoritas ini semakin terasingkan di tengah mayoritas. Fatalnya jika terjadi perbedaan pendapat, maka klaim kafir atau sesat tak bisa dihindari. Hal inilah yang di kemudian hari menimbulkan permusuhan, pemberontakan, hingga pembunuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa pemerintah selalu bungkam ketika terjadi aksi kekerasan dengan dalih agama? Tidak hadir dalam membela kaum minoritas. Dan, Majelis Ulama' Indonesia sendiri tak jarang juga seakan mengamini dari gelagat dari ekspresi pemerintah itu. Sehingga di sini memunculkan sebuah anggapan bahwa MUI merupakan tangan panjang dari pemerintah. Dalam kebijakan atau fatwanya, seringkali mendukung dari kuasa
IDEA Edisi 32, September 2012
IDEA Digital Art
[Wacana]
KERAS
Protes terhadap tindakan pemerintah yang dinilai kurang tegas
pemerintah. Sungguh ironi. Kondisi seperti ini mencerminkan adanya penggunaan hak otoritatif Tuhan yang tidak otoritatif oleh manusia untuk memberikan klaim kafir dan sesat kepada seseorang atau kelompok tertentu. Pada hakikatnya, yang berhak memberikan klaim bahwa ini kafir atau tidak, hanyalah Tuhan semata. Klaim sesat atau kafir yang dilontarkan oleh seseorang pada orang lain atau kelompok pada kelompok yang lain akan berdampak pada hubungan sosial yang mereka bangun. Jika seseorang dengan mudahnya memberikan klaim kafir, maka, hubungan sosial antara mereka akan terganggu, dan bahkan akan terjadi permusuhan dan kerusuhan. Sesungguhnya, jika boleh mengatakan, kita hidup di zaman fitnah dimana seseorang beriman di waktu pagi dan menjadi kafir di waktu sore, beriman di waktu sore dan menjadi kafir di waktu pagi. Akhiri Tirani Mayoritas Polemik di atas—sebagaimana yang diutarakan oleh penulis—harus menjadi PR bersama yang wajib diselesaikan. Terutama oleh lembaga-lembaga agama, seperti MUI, Kemenag, Walubi, Dewan Gereja dan lain-lain. Karena mereka semua ini merupakan pilar utama dari rujukan masyarakat dalam menjalani hubungan sosial di kehidupan sehari-hari. Di samping itu, pemerintah juga harus
IDEA Edisi 32, September 2012
Jika pemerintah tidak hadir dalam setiap aksi kekerasan, dan lembaga agama tidak mampu lagi melindungi kaumnya (terutama kelompok minoritas), maka, sangat wajar jika Indonesia ini dinilai sebagai “negara gagal”. sadar diri bahwa kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 itu belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah. Dengan demikian harus dibenahi untuk kedepannya. Karena selama ini, pemerintah Indonesia lalai dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjamin kelangsungan hidup beragama rakyatnya. Faktanya, masih banyak kasus pertumpahan darah, konflik agama, intoleransi dan terorisme, serta dominasi mayoritas yang sangat brutal. Maka jelas, bahwa kebebasan beragama di Indonesia saat ini terpasung. Dengan demikian, apabila pemerintah tidak hadir dalam setiap aksi kekerasan atas nama agama oleh kelompok tertentu. Dan lembaga agama tidak mampu lagi melindungi kaumnya (terutama kelompok minoritas). Maka, sangat wajar jika Indonesia ini dinilai sebagai “negara gagal” sebagaimana yang telah diwacanakan oleh media. Karena tidak mampu menjaga keberagaman dan intoleransi yang mewujud anarkisme akut di tengah masyarakat tak terbendung lagi. Sudah saatnya Indonesia mengakhiri tirani mayoritas dalam masalah kebebasan beragama. *Bendahara Umum LPM IDEA 2011-2012
43
[Riset]
Ekspresi Mahasiswa Ushuluddin Di Tengah Kerumunan Virtual
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin sedang menggunakan fasilitas hotspot area
Bagi mahasiswa, internet adalah dunia kedua yang 'wajib' diselami. Mengingat di dalamnya banyak info-info yang bisa diakses. Membuat makalah, menggarap skripsi, mencari info beasiswa, info kerja, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dunia maya merupakan makanan pokok sehari-hari mahasiswa. Menjadi kebutuhan yang mutlak diperlukan. Aksesnya yang tanpa batas ruang dan waktu, menjadikan internet tidak hanya dibutuhkan oleh kalangan civitas akademik saja, tetapi juga masyarakat umum, tak pandang strata sosial, kesukuan, bahkan usia. Direktur eksekutif Webby Award DavidMichel Davies, dalam buku Oposisi Maya (2010) menuturkan, “internet adalah cerita abad ini, karena internet menjadi media perubahan. Bukan saja pada kehidupan sehari-hari, tetapi semua hal dari komersial sampai komunikasi, politik dan kebudayaan.� Internet memiliki-setidaknya-dua fungsi, positif dan negatif. Ia adalah sarana belajar, mencari informasi dan memperluas jaringan,
44
mendidik juga mengarahkan. Namun di sisi lain, internet juga memberi dampak buruk, mengalienasi manusia dari lingkungan sosialnya, menyita waktu untuk hal-hal tak berguna, dan menjerumuskan pada hal-hal negatif jika tak digunakan secara cerdas. Dalam membicarakan dampak pemanfaatan internet, mahasiswa menjadi subjek yang paling menarik untuk Doc. Au dikaji. Sebagai generasi pembangun masa depan bangsa, kecerdasan mereka dalam memanfaatkan internet perlu untuk diteliti. Apakah internet digunakan untuk hal-hal yang memajukan bangsa atau justru dijadikan tak lebih dari sekedar dunia mencari hiburan yang hanya menyita waktu-waktu produktif mereka. Sudah tidak aneh lagi jika kita lebih memilih berjam-jam bertamasya di facebook, ketimbang berasyik masyuk dengan buku bacaan. Pemanfaatan Hot Spot Area Fakultas Ushuluddin sekarang sudah dimanjakan dengan hot spot area. Mahasiswa pun dengan mudahnya mengakses internet. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh kru IDEA kepada 100 mahasiswa Ushuluddin beberapa waktu lalu, sebanyak 61,33% mahasiswa Ushuluddin sudah memanfaatkan (menggunakan) sarana hot spot kampus. Sisanya (31,67%) menyatakan jarang, dan 7,10% tidak pernah. Hal ini dikarenakan, sekarang internet bisa diakses dengan menggunakan modem. Namun, walaupun demikian, sudah diberi
IDEA Edisi 32, September 2012
[Riset] fasilitas sepuasnya dalam mengakses internet, nyatanya mahasiswa jauh menggunakan akses hotspot tidak pada semestinya—mencari referensi untuk menunjang bahan perkuliahan—dan hanya cuma dijadikan ajang have fun saja. Dari data yang diperoleh, fungsi “to entertain” lebih dominan dalam pemanfaatan hotspot kampus. Sebagian besar mahasiswa masih sekedar memanfaatkan internet kampus untuk akses jejaring sosial dan hiburan. Dan beberapa saja memanfaatkan untuk membuka situs-situs berita sebagai penunjang wacana, dan hanya sedikit yang memanfaatkan internet untuk menunjang perkuliahan, seperti mencari bahan makalah. Sebanyak 56, 35% mahasiswa menggunakan sarana internet untuk Jejaring sosial/hiburan, dan untuk meng-update informasi, situs berita sebanyak 32,45%. Selebihnya mencari bahan referensi 11,20%. Selain itu, intensitas penggunaan hotspot di fakultas ternyata masih terkendala masalah jaringan (networking). Fasilitas hotspot fakultas masih seperti fasilitas umum lainnya, setengahsetengah. “Seringkali mati dan loadingnya lama” tulis beberapa mahasiswa di lembar kuesioner. Menyikapi hal ini, 64,02% mahasiswa menyatakan puas, dan 36,98% tidak puas dengan jaringan hotspot kampus. Perlu langkah yang berimbang, baik dari fakultas maupun mahasiswa. Kecepatan (speed) hot spot penting untuk diperbaiki demi menunjang fasilitas akses internet di kampus. Sarjana Google Dengan mudahnya akses internet dewasa ini, menjadikan mahasiswa malas dalam melakukan sesuatu. Termasuk belajar. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Diakui atau tidak, tak jarang mahasiswa mengakses internet dalam waktu, di saat jam pelajaran berlangsung (kuliah). Sehingga bagi dosen yang geram, biasanya langsung di tegur, atau bahkan dikeluarkan dari kelas. Sebanyak 17, 83% mahasiswa mengakui hal ini. Dan selain itu, para mahasiswa mengakses
internet di jam kosong, atau di sela-sela jam istirahat (82,17%). Pun demikian, dari data kuisoner, mereka beralasan mengakses internet di jam kuliah karena dosen yang mengajar membosankan. Sehingga ia lebih memilih berinternet, atau ber-facebook ria. Jadi jangan heran apabila di sebuah status, kita menemukan sebuah tulisan; “Dosen dan mata kuliah bikin boring, ada dua pilihan utama, kalau tidak tidur...ya, lebih baik ngenet”. Bahkan, lebih parahnya lagi. Jika di saat ujian atau semesteran berlangsung, bagi mahasiswa yang handphone-nya bisa digunakan untuk mengakses internet, maka, menjawab pertanyaan ujian pun lewat bantuan simbah google. Terhadap pertanyaan, “pernahkah anda menggunakan fasilitas internet sewaktu ujian berlangsung?” Hal ini diamini 20,21% mahasiswa, dan sisanya (70,78%) menjawab tidak, dan 9,01% memilih bungkam, tidak menjawab. Sangat wajar jika para dosen memberi nilai kepada mahasiswa tidak hanya sebatas pada hasil ujian (semesteran) saja. Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian ini. Mahasiswa harus cerdas memanfaatkan fasilitas hotspot area di kampus. Jangan sampai lulus nanti hanya menjadi sarjana “twitter, facebook, dan google,”. Laporan Faiqoh Rosita & Emi Irfah
Mahasiswa harus cerdas memanfaatkan fasilitas hotspot area di kampus. Jangan sampai lulus nanti hanya menjadi sarjana “twitter, facebook, dan google”
Metodologi Riset Jajak pendapat/riset ini dilakukan oleh kru IDEA, pada tanggal 17-19 Juli 2012. Sebanyak 100 responden—yang secara keseluruhannya mahasiswa Ushuluddin IAIN Walisongo—dipilih dengan menggunakan metode cluster random sampling dengan unit angkatan (lintas angkatan). Sampling error diperkirakan 2,5 persen. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket.
IDEA Edisi 32, September 2012
45
[Riset]
Sudahkah anda menggunakan fasilitas hot spot area di kampus? 3
2
1
1. Sudah (61,33%). 2. Jarang (31,67%) 3. Tidak pernah (7,10%)
Pernahkah anda memanfaatkan internet sewaktu ujian?
Apa yang sering anda lakukan ketika menggunakan internet?
1. Membuka situs jejaring sosial (56,35%) 2. Meng-update informasi (32,45%) 3. Mencari bahan referensi (11,20%)
3 2 1. Pernah (20,21%) 2. Tidak pernah (70,78%) 3. Tidak menjawab (9,01%) (Divisi Riset IDEA)
46
IDEA Edisi 32, September 2012
[Historia]
Wahana Transformasi Ushuluddin Oleh: Mukhamad Zulfa* dan Muhammad Zubair Hasan^^
Terdapat asumsi bahwa, IDEA mengalami disorientasi yang berkepanjangan. Sebagai misal, untuk berbelanja tema saja masih kekurangan ide. Perlu analisis mendalam yang dibutuhkan kru untuk membreak down tema Ushuluddin yang melangit agar tertangkap maknanya oleh makhluk (manusia) yang ada di bumi. Salah satu penyebabnya adalah diskusi masif yang minim, sehingga perlu untuk digalakkan. Tulisan ini menguraikan secuil perjalanan sejarah panjang IDEA. Sebagai produk mahasiswa Ushuluddin yang sudah berumur 19 tahun. Sejarah perlu untuk dicurahkan dalam bentuk tertulis sebagai bukti bahwa IDEA dapat menjadi nafas bagi kru terdahulu, sekarang dan di masa mendatang. Investigasi yang telah kami lakukan, baik secara langsung maupun melalui media elektronik, kami rangkum dalam dua edisi, Kafir dan Waktu. Dengan segala keterbatasan yang dialami, kami berusaha menghadirkan sejarah IDEA secara utuh dan menyeluruh. Berikut laporan yang berhasil kami himpun setelah mewawancarai beberapa narasumber.
L
IDEA Edisi 32, September 2012
IDEA
IDEA
IDEA Digital Art
embaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) IDEA merupakan media cetak yang dikembangkan oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Ia lahir sebagai salah satu wadah untuk beraktualisasi, berkarya, dan bersosialisasi dengan masyarakat maupun mahasiswa dengan mengedepankan nilai-nilai akademik berdasar keilmuan Ushuluddin. IDEA lahir ketika pemerintahan orde baru (orba) masih mengakar kuat. Segala bentuk perlawanan terhadap pemerintah selalu dipangkas. Media massa cetak dalam bentuk koran dirasa masih kurang kuat melakukan perlawanan terhadap tirani orba. Akhirnya media kampus pun menjadi alternatif dalam menyuarakan perubahan. Mukhsin Jamil (41), salah satu pendiri IDEA, memaparkan bahwa sebelum IDEA lahir telah ada Jurnal bernama Teologia yang diterbitkan oleh FU. Tidak seperti sekarang yang pembuatannya dimonopoli oleh dosen, dulu pembuatan Teologia masih melibatkan mahasiswa. Tetapi jurnal tersebut ternyata tidak bisa menampung semua uneg-uneg mahasiswa yang cenderung kontra birokrat, anti kemapanan, juga selalu radikal dan liberal dalam berfikir. Akhirnya melalui beberapa usaha, pihak dekanat pun merestui. Pada bulan Oktober 1993, dengan mengusung tagline “Wahana Pemacu Olah Pikir�
dan mengambil warna lambang organisasi berwarna biru yang juga menjadi warna lambang FU, lahirlah sebuah LPM bernama IDEA.
47
[HISTORIA] Sebagai sebuah penerbitan mahasiswa (persma), Mukhsin menyatakan ada tiga peran penting yang dipikul IDEA, yaitu: sebagai kontrol sosial, penunjang intelektual mahasiswa, dan ajang berlatih profesionalisme. Semua itu bisa diketahui melalui sebuah pembuktian. Bukti cetak berbentuk majalah bernama IDEA inilah yang kemudian dipilih yang menunjukan kekritisan mahasiswa dan menjadi tolok ukur intelektual yang bisa memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan bangsa. Selain itu, alasan lain yang melatarbelakangi munculnya IDEA adalah sebagai penguatan budaya ilmiah. Dengan cara ini, mahasiswa bisa punya “alasan” untuk bisa bertemu dengan tokoh-tokoh nasional saat itu, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Masdar Farid Mas'udi, YB Mangunwijaya dll. “Bahkan Emha Ainun Najib (Cak Nun) pernah tidur di kos saya”, ungkap Mukhsin yang sekarang aktif di Lembaga Pengabdian Masyarakat IAIN Walisongo. Lain lagi dengan apa yang dikatakan oleh pendiri IDEA lainnya, Imam Taufiq (40). Ia mengatakan bahwa IDEA muncul sebagai wadah ide kreatif menulis. Angkatan tua pada saat itu ('89 dan '90) merupakan orang-orang yang beridealis tinggi. Tetapi mereka belum punya wadah yang jelas untuk menyalurkan ide-ide cemerlang yang diperlukan guna membangun bangsa ini. Imam menuturkan, pada tahun 1990 terdapat exodus para murid dari Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Jember ke FU. Sebagian besar dari mereka termasuk dalam kategori berkualitas dalam hal intelektual. Hal itu menimbulkan dinamika pergulatan keilmuan yang lebih dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. IDEA pun lahir dan menjadi ajang wahana elaborasi aktifitas non-formal di lingkungan civitas akademika Ushuluddin. Sebelum ber-tagline “Wahana Pemacu Olah Pikir”, LPM ini sempat akan diberi tagline “Tajdidut turats” yang berarti pembaharu peradaban. Namun hal itu tidak ditindak-lanjuti dan akhirnya nama “Wahana Pemacu Olah Pikir”-
48
lah yang dipilih. Imam menambahi, IDEA juga lahir untuk mengangkat keilmuan Ushuluddin agar bisa dipahami bahkan oleh orang non-ushuluddin. Mengingat FU memuat berbagai ilmu yang terkesan normatif, IDEA menjembatani untuk menginseminasikan ilmu Ushuluddin yang terkesan melangit sehingga bisa diturunkan ke bumi. Sebagai contoh ilmu Tafsir Hadits yang menjadi sentral normatif dalam Islam perlu di break down dengan aqliyyah. Akhirnya, semua manusia dapat memahami maksud dari Tuhan dan Nabi setelah bisa memanusiakan bahasa Tuhan tersebut. Hal senada juga diucapkan oleh Hasyim Muhammad yang satu angkatan dengan Imam dan Mukhsin di IDEA. Menurutnya, tidak hanya bersikap liberal, sekuler dan konservatif dalam pemikiran, orang Ushuluddin juga harus mampu membumikan teks. Diskursus keushuluddinan yang bersifat normatif itu harus diolah agar mudah dicerna, ringan, dan membumi. Itulah tugas utama IDEA. LPM ini ada untuk mengemas berbagai isu keushuluddinan, lalu dikorelasikan dengan hal-hal kekinian dan diurai dengan teori yang sederhana. “Karena itu diskusi internal kru adalah sebuah kemutlakan”, tuturnya. IDEA dari tahun ke tahun mengalami beberapa pergolakan. Di penghujung orba pada kisaran tahun 1997, pergerakan mahasiswa makin masif. “Kuliah-kuliah” berada di jalanan. Namun, IDEA yang pada dasarnya bukan organisasi pergerakan menggunakan cara lain untuk melawan orba. IDEA tetap bersikukuh menjadi tempat penggodokan wacana. Ketika terjadi proses Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), hal itu mengimbas terhadap kegiatan mahasiswa. Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan (SK) no.0156/U/1978 sesaat setelah Daoed Yusuf dilantik menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan tahun 1979. Dengan berlakunya kebijakan tersebut, IDEA di bawah kendali Zainul Adzvar selaku pemimpin redaksi (pemred) saat itu menyatakan bahwa sistem akademik tidak
IDEA Edisi 32, September 2012
[HISTORIA] mampu menampung ide-ide untuk perubahan. Inoel (sapaan akrab Zainul Adzvar) menginginkan IDEA menjadi landasan pemikiran mahasiswa yang kritis, bukan provokatif dan tidak memihak. “Kita menawarkan filsafat politis dan attitude, jadi tidak mengikuti mazhab mainstream yang condong mendukung orba”, tambah Inoel. Pada masa reformasi tersebut, IDEA mendapat tantangan agar ikut memberikan andil, tapi tidak meninggalkan khittah sebagai lembaga media yang konsen pada berita dan tulisan yang menyangkut keilmuan Ushuluddin. Pada tahun 1999, IDEA dikatakan mengalami masa keemasaanya. Abdul Rouf yang merangkap jabatan pemimpin umum (PU) dan pemred, juga menjabat menjadi ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat IAIN Walisongo. Selain bisa menerbitkan 2 edisi dalam satu tahun, ia menerbitkan news letter yang dipasang di dinding FU tiga minggu sekali. Nesw letter itu berisi berita-berita aktual seputar kampus. Ia juga berhasil “mendamaikan” organisasi ekstra. Organisasi ekstra biasanya kontra dengan media atau dengan organisasi intra kampus, dalam arti tidak ada ketertarikan satu sama lain. Tetapi dengan double jabatan yang ia emban, ia bisa menjebatani antara intra dan ekstra kampus. “Kader-kader di ekstra pun akhirnya juga tertarik di organisasi intra, khusunya di media jurnalistik”, tutur mantan ketua BEM tahun 2000 ini. Tahun sulit Pada tahun 2002, IDEA mengalami masa di mana ia terantuk batu sandungan. Hal itu berawal dari pembakaran majalah IDEA yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa yang kecewa dengan keterlambatan penerbitan IDEA. Masalah itu menjadi besar sampai disidangkan sampai Pengadilan Negeri (baca IDEA edisi 16/XI/Februari/2002). Ahmad Fauzi selaku pemred mengeluarkan segala kemampuannya untuk menerbitkan IDEA edisi 16 yang telat terbit itu. Akhirnya majalah bisa selesai hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Pada edisi inilah secara teknis IDEA mengalami perubahan wajah yang mencolok.
IDEA Edisi 32, September 2012
Warna IDEA menjadi merah. Ini merupakan suatu ijtihad dari bagian layout dan artistik yang mempunyai peran banyak. Sebagai tampilan awal, perlu adanya sentuhan yang attractive, eye catching dan pertimbangan layout. Tagline IDEA pun berubah dari yang semula memakai “Wahana Pemacu Olah Pikir” menjadi “Diskursus Transformasi Intelektual”. Arti dari tagline itu adalah memamah biak, menerima wacana dan menciptakan wacana atau mengubah paradigma berfikir. Perubahan ini dimaksudkan untuk menghapus kenangan pahit yang terjadi agar tidak terulang kembali. Di tahun yang sama juga terdapat kerancuan kepemimpinan. Yovy Gatot Raharjo (31) yang saat itu menjadi PU merasa dirinya tak pantas melakoni jabatan tersebut. Sebagai pejabat sementara, tidak dilantik oleh pengurus sebelumnya, dan hanya berjalan dengan SK di bawah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (divisi wacana), membuat Yovy tak sepenuhnya menjalankan roda organisasi. Yovy menuturkan bahwa proses kaderisasi yang berjalan di IDEA saat itu mengalami keterpurukan. Proses kaderisasi tidak berjalan. Beberapa kru juga tinggal comot, tidak melalui proses seleksi. “Saya merasa bersalah tidak melakukan kaderisasi yang baik”, ujar Yovy. Tetapi Yovy masih berusaha menjaga teguh prinsip IDEA. Ia mengakui bahwa para kru IDEA adalah generasi “jalanan”. Bahkan bisa dikatakan, mereka lebih banyak kuliah di “jalanan” dibandingkan dengan di kampus. Namun, hal yang harus selalu diingat adalah bahwa bos utama IDEA (dalam konteks dunia penerbitan) adalah mahasiswa. “Merekalah yang memberikan dana pada kami yang dibayarkan tiap semester agar bisa selalu berjalan untuk menuju proses kreatif”, tambah Yovy. [bersambung di edisi 33 tema “waktu”] * Pemimpin umum LPM IDEA tahun 2011-2012 ^^ Sekretaris umum LPM IDEA tahun 2011-2012
49
[Kampusiana]
IAIN ke UIN:
Menyambut Pudarnya Keilmuan Ushuluddin
IDEA/Au
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, bagaimanakah nasibnya setelah menjadi UIN?
Konversi IAIN ke UIN yang digaungkan sejak dua tahun terakhir, tak lagi hanya menjadi isapan jempol. Konversi itu sebentar lagi akan segera ditabuh. Tentu saja, ini merupakan suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh berbagai pihak untuk berbenah diri, khususnya Ushuluddin sebagai fakultas yang selama ini kurang begitu diminati oleh calon mahasiswa. Sejumlah pertanyaan pun muncul berkaitan dengan nasib Fakultas Ushuluddin apabila IAIN benar-benar akan berkonversi menjadi UIN; akankah fakultas ini, nantinya, akan hilang diterpa gelombang kemunculan fakultas-fakultas baru? Wajar, jika pertanyaan itu muncul mengingat minat mahasiswa terhadap Ushuluddin sudah terbilang sedikit, bahkan paling sedikit di antara fakultas-fakultas yang lain yang ada di IAIN Walisongo. Keraguan berbagai pihak semakin bertambah akan kesiapan Ushuluddin yang notabene mengajarkan ilmu-ilmu agama yang bersifat ideal, sementara paradigma mayoritas masyarakat lebih suka terhadap sesuatu yang
50
bersifat pragmatis. Siapkah Ushuluddin menghadapi genderang tersebut secara epistemologis? “Siap atau tidak siap, Ushuluddin harus siap. Karena saat ini konversi ke UIN sedang diproses” demikian ungkap Dekan fakultas Ushuluddin, Nasihun Amin ketika ditemui di kantornya, Senin (19/06/2012). Nasihun menambahkan, ”kalau secara epistimologis dalam arti keilmuan, kita (fakultas Ushuluddin-red) sudah siap. Karena memang Ushuluddin itu pusat keilmuan IAIN.” Dalam aspek pragmatis, Nasihun mengakui, memang banyak kekhawatiran dari berbagai pihak. Munculnya fakultas-fakultas baru dikhawatirkan dapat mengancam eksistensi Fakultas Ushuluddin. “Namun, kami akan berusaha se-optimal mungkin dengan mempertahankan apa yang sudah ada ini” jelas Nasihun. Misi Konversi Ketika ditemui di kantornya, Selasa (24/7/2012), Muhyar Fanani mengatakan, bahwa
IDEA Edisi 32, September 2012
[Kampusiana] ada beberapa misi yang harus dimengerti mengapa IAIN berubah menjadi UIN. Pertama, pada dasarnya, ilmu adalah senjata bagi manusia untuk bertahan hidup. Untuk hidup di dunia, ada ilmu yang berkaitan dengan keduniaan dan untuk hidup di akhirat, ada ilmu keakhiratan. Sepanjang masih ada kebutuhan untuk hidup, menurut Muhyar, baik di dunia maupun di akhirat, ilmu itu harus terus dikembangkan. Dan selama masih ada orang yang butuh hidup di akhirat, maka akan butuh ilmu agama. Dan kalau orang butuh ilmu agama, maka ilmu Ushuluddin yang akan dicari. “Kecuali kalau orang-orang hanya butuh dunia, maka ilmu agama tidak akan laku” jelasnya. Kedua, mendengarkan keinginan pelanggan. IAIN adalah lembaga pendidikan yang bertugas mengantarkan anak manusia berkarir dan membantu pelanggannya mewujudkan citacita. Faktanya, pelanggan IAIN itu tidak hanya butuh ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. “Mayoritas mereka berasal dari Madrasah Aliyah dan pondok pesantren yang notabene ekonomi lemah. Mereka ingin belajar ilmu umum yang hanya terdapat di Perguruan Tinggi Umum” jelas ketua Pusat Bahasa dan Budaya itu. Biar bagaimana pun, menurut Muhyar, Perguruan Tinggi merupakan elevator kehidupan. Seseorang bisa mengubah status hidupnya dengan bersekolah di jenjang pendidikan yang tinggi. Ketiga, konversi IAIN ada keterkaitan dengan fakta sejarah bahwa berdirinya IAIN tidak lepas dari kepentingan Kementerian Agama untuk memasok tenaga penyuluh agama. Setelah 60 tahun Indonesia merdeka, kebutuhan memasok itu sudah menipis, karena pendidikan agama bisa dilakukan melalui banyak media. Tenaga yang dihasilkan pun sudah banyak. Sehingga, tujuan untuk pendidikan agama sudah terpenuhi. Di lain pihak, masyarakat menuntut kebutuhan beragam. Sebagaimana survey yang telah dilakukan tim panitia UIN bahwa masyarakat lebih suka kalau IAIN itu menyediakan menu pilihan beragam. Oleh karena itu, rumusan untuk berubah menjadi UIN sudah menjadi keinginan kedua belah pihak, masyarakat dan IAIN sendiri. Demikian, terang penulis buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama itu.
IDEA Edisi 32, September 2012
Paradigma Nasihun mengatakan, tujuan dari konversi ini adalah untuk menghapuskan dikotomi keilmuan antara ilmu agama dan umum, sehingga ada proses integrasi. Kita tidak ingin dikotomi tersebut menjadi bertambah kokoh. “Paradigma yang dikembangkan adalah theo-antroposentris. Jadi, kita membentuk struktur keilmuan yang menjadikan Tuhan dan manusia sebagai pusat. IAIN ingin menciptakan humanisasi ilmu agama dan sakralisasi ilmu-ilmu sekuler. Namun, bukan berarti berdampak pada nomenklatur-nomenklatur fakultas. Artinya, IAIN ingin memadukan dua jenis keilmuan berbeda menjadi satu” paparnya. Menanggapi tantangan Ushuluddin terhadap pandangan masyarakat yang cenderung pragmatis, Nasihun mengatakan, Ushuluddin akan mengadakan evaluasi terhadap kurikulum. Ushuluddin akan menangkap dua aspek yang ada, yaitu aspek ideal dan pragmatis dengan cara memberikan ketrampilan tertentu. “tidak seratus persen bobot perkuliahan itu bersifat ideal”jelas Nasihun. Dengan kata lain, Ushuluddin akan memberikan substansial dan instrumental skill, dimana, aspek substansial bisa tersalurkan lewat aspek instrumental. Seperti, mahasiswa Ushuluddin sebagai pemikir Islam juga bisa menyalurkan pikirannya lewat jurnalistik atau yang lainnya. Senada dengan itu, Muhyar Fanani memaparkan, dua kata kunci yang menjadi kesepakatan panitia konversi UIN yang dijadikan sebagai landasan filosofis. Yakni, humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan islamisasi ilmu-ilmu umum. Selama ini, ilmu-ilmu, teori-teori, dan postulat yang diajarkan di Ushuluddin itu berorientasi masa lalu dan kurang humanis. Terkesan ada gap bahwa ilmu-ilmu tersebut adalah buatan orang zaman dahulu dan sekarang hanya ikut-ikutan. Inilah problem Ushuluddin selama ini. Jadi, menurut Muhyar, perlu dicari cara agar ilmu-ilmu Ushuluddin itu nilainya tetap tercover tapi formulanya mengacu pada tatanan kekinian. “Jika Ushuluddin memang ingin mencipta para pemikir, maka ia tidak akan pernah dijauhi oleh masyarakat. Karena, tugas dari pemikir
51
[Kampusiana] adalah mengingatkan orangseharusnya dilakukan. orang yang berkemampuan Muhyar menjelaskan, rata-rata, tentang masalah selama ini ilmu Ushuluddin yang dihadapi, guna telah gagal meyakinkan menjalani hidup lebih baik. masyarakat. Bahwa Sehingga, sampai kapanpun Ushuluddin memiliki fakultas Ushuluddin tidak kontribusi penting dalam akan hilang” terangnya. membentuk kehidupan “Hanya perlu sentuhan masyarakat agar lebih baik. agar bisa nyambung dengan Mengapa Ushuluddin tidak akal pikiran manusia sekarang bisa berkiprah layaknya ini,” tambah Muhyar. seorang prajurit yang ditunjuk Untuk mengislamkan oleh pangeran untuk - Muhyar Fanani ilmu umum dapat ditempuh melakukan pengamatan melalui dua cara. Pertama, terhadap musuh di tempat mengislamkan pada tingkat paradigma. Artinya, yang paling tinggi guna memberikan peringatan? mahasiswa harus tahu bahwa ilmu itu dipelajari “Tugas utama yang harus dilakukan adalah untuk membantu manusia dalam menjalankan melakukan pembaharuan paradigmatik dan tugas-tugas yang diberikan Tuhan. memberikan sentuhan baru pada tampilan” Kedua, mahasiswa dituntut untuk belajar demikian saran dosen Ushuluddin itu. ilmu-ilmu pokok agama. Jika di tingkat paradigma ilmu umum tidak bisa diislamkan, maka (Chandra, Arifin, Anwar - IDEA) mahasiswa dituntut mempelajari ilmu umum. Tapi, harus dibarengi dengan belajar ilmu agama. Sehingga mahasiswa bisa tahu apa yang
“Tugas utama yang harus dilakukan adalah melakukan pembaharuan paradigmatik dan memberikan sentuhan baru pada tampilan”
Sedia stock ... Jurnal
ULUMUL QUR’AN Setelah vakum kurang lebih selama 20 tahun, kini, kembali hadir dihadapan anda..”JURNAL ULUMUL QUR'AN”.. cocok untuk bahan referensi mahasiswa. Lebih khususnya bagi kalangan yang intens dengan kajian alQur'an. Minat? Segera Hubungi Sdr A. Fauzi (081 729 7820)
52
IDEA Edisi 32, September 2012
[Forum]
Otak Kanan Al-Qur'an Oleh: Sofyan Effendi*
T
ulisan ini tidak bermaksud untuk menyejajarkan alQur'an dengan organ fisik manusia, terlebih-lebih mengolok-oloknya. Tulisan ini semata-mata mengungkap keistimewaan Al-Qur'an sebagai Kitab petunjuk bagi seluruh manusia. Jujur, tulisan ini terinspirasi dari sebuah buku karya Ippho Santosa PhG, seorang motivator, dan penulis buku “13 Wasiat Terlarang!, Dahsyat dengan Otak Kanan”. Baik, menurut penelitian para pakar dan ilmuwan, otak kita terdiri dari dua bagian, kanan dan kiri. Keduanya bekerja sama, layaknya kedua mata kita yang berfungsi bersama ketika melihat, walaupun mereka tidak bisa saling menatap. Namun, otak kanan dan kiri memiliki kemampuan yang berbeda. Lagi, menurut penelitian para ahli, otak kiri adalah otak rasional yang bersifat logis, aritmatik, verbal, segmental, fokus, linier dan kanan adalah otak emosional yang bersifat intuitif, spasial, visual, holistik, difus dan paralel. Singkatnya begini, otak kiri cenderung lurus-lurus saja, berpusat dan urutan, sedangkan otak kanan cenderung suka meloncat, tidak urutan, tidak berpusat pada satu titik (holistik). Otak kanan itu inovatif, pencetus ide dan kreatif. Oleh karena itu, kesuksesan seseorang banyak ditentukan oleh otak kanan. Kota-kota wisata di Indonesia, seperti Bali, sukses menggaet para wisatawan, di samping karena alamnya, juga karena keramah-tamahan para penduduk dan pengelola wisatanya. Keramah-tamahan dan empati yang menggerakkan adalah otak kanan. Otak kanan dinilai lebih unggul karena inovatif tidak monoton, memunculkan ide tidak mengikuti ide sebelumnya, puitis tidak literal. Apa arti telur diujung tanduk, orientasi otak kiri menjawab akrobat, sementara otak kanan menjawab
IDEA Edisi 32, September 2012
keadaan sedang genting. Di samping itu, yang merespon humor adalah otak kanan. Padahal tahukah Anda apa yang terlaris di dunia ini dan ditunggu-tunggu oleh sebagian besar penduduk bumi. Ya, humor. Data menunjukkan bahwa acara televisi yang sangat digemari setelah sepak bola adalah film IDEA/Au Sponge Bob yang lucu meski agak konyol. Kalau untuk kasus di Indonesia ya OVJ, alias Opera van Java. Tidak diragukan lagi, hampir semua orang suka. Sesuatu atau orang yang selalu membuat orang lain tertawa memang akan ditunggu kehadirannya. Sudah pasti kita lebih berharap bertemu dengan teman kita yang periang daripada yang kalem. Otak kiri akan berkata humor dan guyonan hanya membuang waktu saja. Itu karena otak kiri cenderung lurus-lurus saja, lain dengan otak kanan yang suka sesuatu yang berbeda, keganjilan dan kejutan. Al-Qur'an pun begitu, lihat saja, belum-belum sudah “Alif, Lam, Mim”. Apa maksudnya itu. Menurut para mufassir dan pakar bahasa, kata itu belum pernah digunakan dalam bahasa Arab sebelumnya. Sehingga mereka cukup pusing dibuatnya dan berkata “wallahu a'lam bi as-shawwaab”. Maaf, seolah-olah Allah SWT “mengajak kita tersenyum” pada permulaan. Memang senyum itu adalah lambang kecintaan dan ketulusan. Apabila kita sudah cinta Al-Qur'an sedari awal, maka kita akan terus-menerus melanjutkan bacaan kita. Kejutan bukan? Lagi, laki-laki lebih cenderung kepada otak kiri, karena mereka lebih rasional daripada perempuan yang emosional, karena lebih dominan otak kanan. Sifat otak kanan difus dan paralel, sedangkan otak kiri fokus dan linier. Oleh karena itu, perempuan (seorang istri) bisa melakukan pekerjaan lebih dari satu sekaligus. Mereka bisa menggendong anaknya sambil
53
[Forum] memasak, merebus air dan menyetrika sekaligus. Al-Qur'an juga begitu, tetapi bukan seperti ibu rumah tangga, dalam lembaran-lembarannya, pembahasan al-Qur'an tidak fokus pada satu persoalan. Tengok saja bagian awal dari surat Al-Maidah. Pada awalnya surat ini membicarakan tentang makanan yang haram dan halal, kemudian berbicara wudhu sebelum sholat, dan seterusnya tentang kedurhakaan kaum Yahudi terhadap Kitab suci mereka. Bila dilihat sekilas sepertinya urutan ayat-ayat tidak serasi dan masih banyak bagian al-Qur'an lainnya yang “tidak nyambung”. Hal semacam ini banyak dikritik oleh para orientalis bahwa susunan redaksi alQur'an tidak urut alias ngawur. Namun, para pakar tafsir menolaknnya. Salah satunya Ibnu Umar Al-Biqa'i dengan karyanya “Nazm ad-Durar fi tanasuqi as-Suwar”. Pakar tafsir ini merenungi susunan ayat-ayat al-Qur'an dalam waktu yang lama bahkan hingga berbulan-bulan untuk membuktikan bahwa ayat-ayat dan surahsurahnya serasi dan nyambung satu sama lain. Setelah direnungkan, ternyata memang sifat alQur'an begitu, membicarakan beberapa hal yang berbeda sekaligus. Artinya, Akidah, Syari'ah dan Akhlak harus berjalan sekaligus. Tidak nyambung tetapi akhirnya nyambung juga. Daya imajiner seperti humor, cerita, kiasan dan sesuatu yang implisit diproses oleh otak kanan. Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur'an banyak bercerita, seperti cerita para nabi, sholihin, dan umat terdahulu. Al-Qur'an juga
b e r k i a s (perumpamaan), misalnya sedekah ibaratnya benih yang membuahkan tujuh tangkai, pada masingmasing tangkai ada tujuh benih lagi, satu kaum yang diberi petunjuk Kitab Suci tetapi enggan menerima kebenarannya seperti seekor keledai yang diberi setumpuk buku. Terlebih lagi cerita dalam Al-Qur'an anekaperagatk.wordpress.com tidak mementingkan faktualitasnya, tetapi pesannya yang disampaikan secara emosional, misalnya kisah Ashabul Kahfi. AlQ u r ' a n t i d a k menyebutkan di mana peristiwa itu terjadi, nama-nama dari pemuda yang tidur di gua dan nama anjing yang menyertai mereka. Fakta adalah bagiannya otak kiri yang rasional, tetapi acap kali sering terlupa. Coba saja, kita lebih ingat cerita “kancil dan buaya” tinimbang peristiwa lengsernya Presiden Soeharto. Oleh karena itu, dalam bercerita, al-Qur'an tidak mementingkan faktafakta, kalau mau tahu faktanya ya bacalah Israiliyyat. Cerita al-Qur'an meggugah secara emosional agar membekas dalam benak pendengarnya. Yang penting pesannya. Al-Qur'an berotak kanan bukan? Selamat mengembangkan otak kanan.
“Al-Qur'an tidak mementingkan fakta-fakta, kalau mau tahu faktanya ya bacalah Israiliyyat. Cerita AlQur'an meggugah secara emosional agar membekas dalam benak pendengarnya. Yang penting pesannya.”
54
*Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits dan juga pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Buletin Hammasa FUPK (Fakultas Ushuluddin Program Khusus) IAIN Walisongo.
IDEA Edisi 32, September 2012
[Forum]
Membangun Budaya Damai di Tengah Kemajemukan Oleh : Muhammad Luthfy*
I
IDEA Edisi 32, September 2012
perdamaian, dan saling mengasihi adalah pesan universalitas yang sebenarnya termaktub dalam agama. Namun, realitasnya tidaklah demikian. Pesan itu seolah hanya menjadi “jimat suci� yang disakralkan tanpa diaplikasikan kedalam bentuk perbuatan riil dan sikap keberagaman. Dalam konteks Islam sendiri, Islam yang diaku sebagai salah satu agama samawi yang diturunkan kemuka bumi ini, dengan pesan mulianya yaitu rahmatan li al alamin, nyatanya belum sepenuhnya teraplikasikan. Rahmatan li al-alamin di sini tentu tidak sebatas hanya untuk umat Islam saja, tapi juga untuk agama lain, bahkan seluruh alam semesta. Ini artinya, Islam dan semua agama mengakui akan kemajemukan (pluralitas). Bahwa hidup itu tidak homogen, hanya tersusun dari satu golongan atau satu agama saja, melainkan berjuta agama dan golongan. Tentu masih segar dalam ingatan kita, tragedi penyerangan serta kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah. Tidak hanya itu saja, pembunuhan terhadap jema'ah HKBP Katolik dan konflik antaretnik di Tarakan-Kalimantan Timur sampai sekarang masih menyisakan 'noda hitam' bagi bangsa ini. Sebenarnya, pelbagai kekerasan agama yang terjadi di Indonesia, khususnya pada era reformasi, bukanlah warisan sejarah leluhur bangsa kita, dan tentunya juga tidak terkait pada diri agama itu sendiri. Sebaliknya, hal itu cenderung disebabkan berasal dari luar agama, utamanya perebutan kekuasaan politik, yang kemudian mewujud berupa politisasi agama ataupun agamisasi politik. Hadirnya perda-perda bernuansa agama sesungguhnya terkait dengan hal itu. Padahal, kedua-duanya justru merugikan agama-
IDEA/ZQ
ndonesia merupakan sebuah negara yang dikenal dengan keanekaragaman budaya. Di dalamnya terdiri bermacam-macam suku, ras, etnik, dan agama. Dan, semuanya itu memiliki ciri khas dan identitas masingmasing. Jadi, sangatlah tepat bila negara kita menyandang semboyan agung, yaitu: Bhineka Tunggal Ika. Budaya merupakan suatu tanda pengenal bagi kelompok tertentu. Seperti budaya berpakaian jubah bagi orang arab, budaya berjemur di pantai bagi orang barat, dan budaya ramah-tamah bagi orang Indonesia. Singkat kata, budaya adalah tanda pengenal. Diakui atau tidak, negara kita sampai saat ini masih mengelola kebudayaan buruk. Diantaranya, budaya telat, budaya korupsi, budaya suka bertikai dan lain-lain. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Namun, pada tulisan ini, penulis coba memfokuskan pada aspek bagaimana membentuk sebuah budaya damai, di tengah maraknya konflik dan kekerasan antaragama. Karena, budaya damai kini sedang dibutuhkan oleh banyak pihak untuk menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Oleh sebab itu, wajib kita budayakan. Sebagaimana yang telah diketahui bersama. Konflik dan kekerasan acap kali muncul di tengah-tengah kita. Sangat disayangkan memang, bila negara yang mengakui adanya perbedaan dan bebas menyuarakan pendapat, justru selalu timbul kekerasan. Fatalnya, kekerasan yang kerap kali terjadi itu, selalu mengatasnamakan ‘agama’. Disini, agama sekilas dipandang sebagai sumber kekerasan. Sungguh ironis bukan? Sejatinya, tak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan tentang kekerasan. Memberi keselamatan, cinta,
55
[Forum] agama itu sendiri. Sejarah menarasikan bahwa perang, konflik, pertikaian antaragama, cenderung dilatarbelakangi oleh perebutan kebenaran. Dalam konteks ini, kebenaran yang dimaksud bukan kebenaran menurut interpretasi masingmasing agama, yang cenderung mengukuhkan bahwa agama yang dianut itulah yang paling benar. Namun, kebenaran yang dimaksud adalah
dipertimbangkan oleh berbagai agama dalam rangka untuk mewujudkan perdamaian.
IDEA Digital Art
Kerjasama antar agama Jika kita memang meyakini bahwa semua agama memiliki misi perdamaian di dalam dirinya, maka seharusnya tidak ada pemberitaan yang mendiskreditkan terhadap misi perdamaian agama itu sendiri. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan pemahaman, serta interpretasi yang “ Toleransi antar agama m e n d a l a m u n t u k akan hidup dengan har- m e w u j u d k a n m i s i monis, tatkala nilai-nilai p e r d a m a i a n a g a m a “suci” kemanusiaan tak tersebut. itu, ada yang dicederai. Itulah u n t u kDi msamping enghapus yang terkandung dalam “kecurigaan” terhadap misi perdamaian agama- a g a m a y a n g b e r b e d a , diperlukan dialog agama. ” antaragama. Hal ini bertujuan untuk mempertemukan antaragama kebenaran dalam memihak keadilan. Maka, agar bisa saling menerima perbedaan. Atau kebenaran sejatinya harus dijaga, dipertahankan, bahasa lainnya, Pluralisme agama. Pluralisme serta ditempatkan sebagai sesuatu yang tak agama di sini tidak boleh diartikan bahwa semua terjamah dan tak tersentuh oleh siapa pun. agama sama saja, akan tetapi menghargai mereka Agama bukanlah sekedar dogma, yang di yang berbeda agama sebagai rekan dalam dalamnya terdapat berbagai kekuatan logika kehidupan bersama. Penerimaan atas pluralisme penafsiran, mitos, dan beragam budaya. Jika kita agama inilah yang memungkinkan agama-agama menginginkan relasi antaragama itu terwujud bisa memberikan kontribusinya bagi perdamaian. mesra (harmonis), maka kita harus menihilkan Kerjasama antar agama sesungguhnya klaim kebenaran (truth claim) yang lebih juga bisa menjadi tempat dimana agama-agama mengarah kepada aman sepihak dan cenderung itu dapat mempromosikan kebaikannya. subyektif. Benyamin F. Intan menjelaskan, agama Stephen Tong menjelaskan, agama seharusnya bersungguh-sungguh menghapus mestinya memiliki motivasi kuat untuk kejahatan serta mempromosikan kebaikan. Oleh menghadirkan perdamaian, bukannya malah sebab itu, toleransi antar agama akan hidup menggelorakan konflik atau peperangan agama. dengan harmonis, tatkala nilai-nilai “suci” Konflik agama bukan sebuah kewajaran, kemanusiaan tak ada yang di cederai. Itulah yang melainkan sebuah anomali yang tak perlu terkandung dalam misi perdamaian agamadilestarikan dengan alasan apapun. agama. Pada akhirnya, mari kita membangun Perjuangan untuk mengusahakan sebuah budaya baru, yaitu budaya dimana orangperdamaian dapat terwujud dengan cara orang sudah lupa akan hati nurani, dan lebih memupuk sikap toleransi antaragama dan mengedepankan anarki. Mari satukan suara untuk penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. mengatakan: Damai untuk semua. Hal ini tentunya didasarkan pada kebaikan hati pemeluk agama, tanpa pamrih. Hans Kung *Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama berpendapat bahwa tidak mungkin ada dan Resolusi Konflik Angkatan 2008 kedamaian tanpa kedamaian di antara agamaagama. Statement ini menjadi menarik untuk
56
IDEA Edisi 32, September 2012
[Forum]
MENJAWAB
RELEVANSI TASAWUF IDEA/ Au
DI ERA GLOBAL Oleh: Dewi Nabila*
S
eperti yang kita tahu, negara kita sekarang ini sudah menuju masyarakat yang semakin modern dan semakin maju dalam segala bidang. Seperti keilmuan dan teknologi. Seiring perkembangan dan kemajuan tersebut, tentu banyak terjadi persaingan dalam sebuah kelompok masyarakat. Persaingan sangatlah bagus, karena dengan adanya persaingan dapat menumbuhkan semangat setiap orang atau masyarakat untuk lebih giat dalam berusaha meraih kesuksesan dan kesejahteraan dalam hidup. Permasalahannya, di dalam sebuah persaingan itu lalu muncul adanya kecurangan di sana-sini, antar kelompok satu dengan lainnya saling sikut dan saling jegal. Sehingga, muncullah persaingan yang tidak sehat. Tidak hanya dalam dunia kerja saja, tetapi dalam segala hal. Jika ada tujuan tertentu yang harus segera diraih, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak terjadi kecurangan. Disini, perlu penulis ingatkan bahwa ketika kecurangan itu tidak diketahui oleh seseorang (manusia), tetapi, Tuhan Maha Tahu segala sesuatu yang kita lakukan. Terlepas dari itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Fakta yang terjadi saat ini adalah, banyak sekali sumber daya manusia yang membutuhkan pekerjaan akan tetapi realita tersebut belum diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan dan sumber ekonomi yang memadai. Permasalahan tersebutlah yang seringkali memicu adanya persaingan yang tidak sehat dalam mendapatkan lapangan pekerjaan yang menjanjikan dan sebagai sumber ekonomi mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan-aturan hukum yang berlaku secara jelas dan tegas supaya persaingan tersebut tidak menimbulkan adanya kecurangan.
IDEA Edisi 32, September 2012
Tidak hanya dibutuhkan suatu aturan hukum saja, akan tetapi sangat diperlukan juga sebuah sentuhan spiritualitas dari diri setiap individu maupun kelompok. Dengan adanya spiritualitas, persaingan yang terjadi bukan ‘hanya’ mengikuti nafsu belaka, akan tetapi yang dikedepankan ialah menjaga solidaritas dan toleransi kepada sesama. Solidaritas kepada sesama sangatlah penting untuk saling membantu dalam hal kebaikan agar masyarakat tetap optimis menjalani hidup. Laku Tasawuf Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan tasawuf (baca: spiritual) yang merupakan salah satu aspek esoteris dalam Islam, sebagai sebuah perwujudan ihsan yang berarti kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog secara langsung antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Adapun arti tasawuf secara bahasa dapat kita lihat menjadi beberapa macam yaitu pertama, tasawuf berasal dari kata “ahlul Suffah” yang berarti sekelompok orang yang hidupnya di serambiserambi masjid untuk selamanya beribadah kepada Allah. Kedua, tasawuf berasal dari kata “shafa” yang berarti bersih atau suci. Ketiga, tasawuf berasal dari kata “shaf” yang berarti orang-orang yang shalat dalam barisan terdepan. Keempat, tasawuf berasal dari kata “shaufanah” yang berarti sebangsa buah-buahan kecil berbulu banyak yang tumbuh di padang pasir serta pakaiannya berbulu-bulu seperti buah tersebut. Kelima, ada juga yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shuf” yang berarti bulu domba atau wool. Dari beberapa makna tasawuf di atas, banyak para ahli yang mendefinisikan makna Tasawuf itu sendiri. menurut Syekh Abul Hasan
57
[Forum] Asy-Syadzili, seorang sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang mendalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”. Imam Junaid al- Baghdadi mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”. Jadi, tasawuf merupakan suatu jalan atau praktik yang dilakukan seseorang untuk beribadah kepada Allah secara sungguh-sungguh melalui perilaku atau sifat-sifat yang terpuji”. Dalam tasawuf sendiri terdapat beberapa ajaran, salah satunya adalah zuhud, shabr dan itsar. Zuhud merupakan sikap yang selalu mementingkan akhirat daripada kehidupan duniawi. Bukan berarti zuhud ini mengabaikan kehidupan dunia, akan tetapi lebih berhati-hati dalam bertindak. Hidup dalam kesederhanaan
sendiri daripada orang lain. Tentu saja melalui persaingan yang sehat tanpa ada kecurangan di dalamnya. Pada dasarnya bahwa dalam melakukan persaingan tidak boleh hanya untuk mementingkan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain dan jangan sampai ada perilaku yang itu mematikan kelompok sosial yang lain. Persaingan untuk kemajuan dalam kelompok sosial sangat dianjurkan, ini sesuai dengan firman Allah:,“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” ( Al – Maidah : 48 ) Dengan demikian, tasawuf mempunyai ajaran yang cocok dengan kehidupan di era global seperti sekarang ini. Dengan kehidupan masyarakat yang selalu terdapat persaingan untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Persaingan tersebut tentunya secara beriringan dapat menerapkan ajaran tasawuf yang mengingatkan
Tasawuf mempunyai ajaran yang cocok dengan kehidupan di era global seperti sekarang ini. Dengan kehidupan masyarakat yang selalu terdapat persaingan untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. dan tidak rakus oleh harta dan kekuasaan. Dengan adanya zuhud ini diharapkan agar tidak ada kecurangan yang bisa merugikan orang lain. Tasawuf juga mengajarkan adanya sabar, yaitu suatu perilaku yang selalu bisa menahan diri dari segala godaan dan rintangan dalam menjalankan segala perintah Allah dan selalu berusaha sabar dalam mendekatkan diri kepadaNya. Sabar itu sendiri dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial, seperti sabar dalam menghadapi kesulitan hidup, bersaing dengan kelompok lain dan sabar atas kenikmatan yang diberikan Allah kepada kita. Karena jika kita terlena atas nikmat tersebut maka terjerumuslah kita dalam hal-hal yang dibenci oleh Allah. Kemudian itsar, yang berarti selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Akan tetapi, ketika itsar diterapkan dalam persaingan, kemungkinan tidak terlalu berpengaruh, karena dalam sebuah persaingan yang terjadi ialah mendahulukan diri
58
sebuah persaingan sehat yang diridhoi oleh Allah. Jangan sampai di dalam persaingan terjadi gap yang saling mematikan solidaritas. Dengan demikian, bersikap zuhud diharapkan seseorang selalu ingat bahwa kita tidak selamanya hidup di dunia karena pada hakikatnya kita melakukan amal ibadah di dunia hanya untuk bekal kita nanti di akhirat. Dengan bersikap sederhana dan tidak rakus terhadap harta, maka persaingan akan menjadi lebih baik. Dan selalu berhati-hati dalam melakukan persaingan. Dengan bersikap sabar, maka kita akan selalu bersyukur ketika ada musibah atau nikmat yang diberikan kepada kita. Dan juga, terkadang kita harus bersifat itsar untuk membantu orang lain ketika dalam kondisi terdesak, walaupun persaingan itu masih ada. Menganga. *Mahasiswa Ushuluddin Angkatan 2009, dan juga Ketua HMJ TP 2011-2012
IDEA Edisi 32, September 2012
SELAMAT & SUKSES Atas terselenggaranya
Seminar & Sekolah Filsafat
Pada tanggal 25-27 September 2012 di auditorium kampus I lantai I IAIN Walisongo Semarang
Dok. Panitia Sekolah Filsafat & Seminar Nasional
Hasil kerjasama antara Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta, Universitas Paramadina Jakarta, Islamic College for Advanced Studies (ICCAS), HMJ Akidah Filsafat, dan LPM IDEA IAIN Walisongo Semarang
STFI Sadra
Universitas Paramadina
IDEA Edisi 32, September 2012
ICCAS
IAIN Walisongo
LPM IDEA
59
[Usul-Usil]
Mahasiswa baru: PKM apa pasar ini yah.. ramainya Masya Allah..
Tahun ini, Buku Pandunan Akademik kok semakin menipis aja halamannya..
-Mahasiswa lama: hmm... tunggu aja satu bulan, ntar berubah jadi kuburan..
-Padahal, biaya semesteran kemarin naik.. otomatis, proyeknya juga naik donk !
2012, pembangunan dan renovasi gedung di IAIN kian marak, konversi ke UIN bukan lagi sekedar wacana..
Biaya registrasi semesteran sekarang naik..
-Lalu, gue harus ambil mix masjid.. dan bilang “wow”, gitu?
Pendaftaran FUPK sekarang ada gelombang II, karena minimnya peminat.. -Solusinya mudah tuh, sewaktu promosi.. Kasih aja embel-embel full beasiswa.. baik living cost, buku, makan, dan lain-lain.. Walaupun kenyataannya nanti ada cap “untuk orang miskin”..
-Sebaiknya mahasiswa pada berobat ke klinik Tong Fang.. untuk menghindari gejala kejang-kejang..
Dosen sering absen kuliah, mahasiswa pun galau.. -Hati-hati lho pak, makan gaji buta...ingat, anak-istri di rumah..
Jurnal Teologia tidak lolos akreditasi.. -Maklum, dosen juga manusia.. Malas menulis? jangan ditiru ya...
Rektor: IAIN kampus bebas korupsi.. -Wah, pencitraan tingkat dewa nih... hohoho
Simbah
Kang
60
Usil IDEA Edisi 32, September 2012
[Artikel Lepas]
Keluar dari
“Kafir� Ekologis: Meneguhkan Kembali Tanggung Jawab Ekologis Agama
IDEA/Au
Oleh: Rusmadi*
Abad ini, penduduk dunia dihadapkan pada krisis ekologi yang menyerang hampir ke seluruh penjuru sudut dunia. Krisis sumber daya alam, banjir, longsor, abrasi, pencemaran (baik darat, laut, maupun udara), dan yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat global adalah pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change), adalah kenyataan-kenyataan yang tak terbantahkan bagaimana krisis ekologi begitu menganga.
IDEA Edisi 32, September 2012
T
indakan strategis menghadapi krisis ini sejatinya telah banyak dilakukan secara global. Jauh sebelum Pertemuan Perubahan Iklim di Bali, Indonesia, pada tahun 2007 yang lalu, sejak tahun 1970-an sejatinya telah banyak diselenggarakan berbagai pertemuan bumi (earth summit), salah satunya adalah di Rio de Janeiro, Brazil dan Kyoto, Jepang. Pertemuan bumi ini merupakan bagian dari respon masyarakat global terhadap krisis ekologi yang sedang mengancam keberlangsungan hidup penduduk bumi seiring dengan hantaman gelombang pemanasan global dan perubahan iklim. Beragam pertemuan bumi ini, tidak lain adalah upaya membangkitkan keprihatinan mondial, dan menjadikannya sebagai agenda politik global untuk lebih ramah terhadap lingkungan. Betapapun menggembirakan respon masyarakat global terhadap krisis ekologi ini, akan tetapi hingga sekarang belum menghasilkan banyak perubahan ekologis yang diharapkan. Satu hal yang menarik yang disuguhkan oleh pakar lingkungan di dalam upaya mengatasi krisis ekologi adalah bahwa masalah lingkungan sejatinya bukan hanya disebabkan oleh persoalan teknis semata, tetapi lebih jauh, juga disebabkan oleh persoalan perilaku manusia dan/atau moralitas manusia secara global. Dengan kata lain, munculnya krisis ekologi tidak hanya disebabkan oleh persoalan-persoalan teknis seperti yang terdapat di dalam proses produksi dan konsumsi (IPTEK), tetapi lebih jauh juga disebabkan oleh perilaku manusia yang muncul akibat pandangan hidupnya terhadap alam. Oleh karenanya, para pakar berkesimpulan bahwa upaya mengatasi krisis lingkungan sudah seharusnya juga memperhatikan sentuhan etis dan moral di dalam upaya mengatasinya. Arne Naess, seorang filosof Norwegia pendukung etika Deep Ecology, sebagaimana dikutip oleh Sonny Keraf (2002), bahkan merekomendasikan kepada masyarakat global untuk merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Baginya, yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis lingkungan adalah sebuah pola dan gaya hidup baru yang memiliki pondasi etis terhadap lingkungan yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga masyarakat global. Apa yang hendak dikemukakan oleh Arne Naess adalah bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini sebenarnya bersumber dari kesalahan
61
[Artikel Lepas] fundamental-filosofis dalam pemahaman dan cara pandang manusia mengenai dirinya dan alam, serta hubungan antar keduanya di dalam keseluruhan ekosistem. Dengan kata lain, manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan dirinya dalam konteks hubungannya dengan alam di dalam ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandangan IDEA Digital Art ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam, yakni eksploitasi sumber daya alam (SDA). Agama, Modernitas, dan Krisis Lingkungan Rekomendasi pemikiran yang dikemukakan oleh para pakar lingkungan tersebut sebenarnya berangkat dari pelacakan akar filosofi dan pandangan etis dari perilaku manusia yang tidak ramah terhadap alam. Jika dilacak dari akar filosofisnya berbagai perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan tersebut bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat ekosistem. Etika antroposentris, hampir tak terbantahkan, merupakan penyebab utama munculnya krisis lingkungan. Antroposentrisme juga merupakan sebuah teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, karenanya, etika hanya berlaku bagi dan untuk manusia, bukan untuk alam. Tuntutan perlunya kewajiban dan tanggungjawab moral manusia terhadap lingkungan hidup bagi filsafat ini hanyalah akalakalan yang berlebihan dan tidak berdasar. Kalaupun ada ia hanya semata-mata demi
memenuhi kebutuhan manusia. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya demi kelangsungan hidupnya sehingga menyebabkan krisis lingkungan. Terdapat pandangan bernada miring yang menganggap agamaagama monoteis (termasuk Islam) sebagai biang keladi munculnya krisis lingkungan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan banyak orang. Pandangan hidup agama monoteis dituding merupakan pendukung u t a m a e t i k a antroposentrisme, karena m e m b e r i k a n keistimewaan kepada manusia dengan akalnya, sehingga lebih tinggi kedudukannya daripada alam dan anggota ekosistem yang lain (transendensi manusia). Bahkan agama-agama monoteis tidak segansegan menyatakan bahwa alam diciptakan sebagai daya dukung kehidupan manusia. Moralitas yang demikian pada akhirnya menginspirasi manusia untuk mengeksploitasi alam sebesar-besarnya. Dugaan bahwa agama monoteis adalah salah satu inspirator bagi etika antroposentris ini dilandasi misalnya dalam Kitab Kejadian pasal 1 ayat 26-28 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah. Dari sinilah seorang pemikir seperti Thomas Aquinas menyebut bahwa manusia berada pada posisi yang terdekat dengan Tuhan, bahkan manusia merupakan imago Dei, sementara makhluk selain manusia (alam dan ekosistemnya) begitu jauh
“ Agama-agama monoteheis tidak segansegan menyatakan bahwa alam diciptakan sebagai daya dukung kehidupan manusia. Moralitas yang demikian pada akhirnya menginspirasi manusia untuk mengeksploitasi alam sebesar-besarnya. �
62
IDEA Edisi 32, September 2012
[Artikel Lepas]
IDEA Digital Art
dengan Tuhan. Ungkapan tersebut tidak jauh berbeda dengan posisi manusia sebagai khalifah Tuhan yang terungkap di dalam al-Qur'an, misalnya pada surat al-Baqarah ayat 30 dan alFatir ayat 39. Karena kekhalifahannya, manusia diberi fasilitas kehidupan berupa apa-apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya ditundukkan untuk kepentingan manusia. Hal ini juga terungkap misalnya pada Surat Luqman ayat 20 dan al-Jatsiyah ayat 13. Selain agama-agama monoteis, alam pikiran modern juga merupakan pendukung utama etika antroposentris. Pengertian modern di sini pada dasarnya tidak hanya merujuk pada sebuah periode sejarah setelah abad pertengahan atau sebuah pengalaman kultural tertentu, melainkan juga suatu posisi epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter tertentu mengenai pengetahuan dan kebenaran. Alam pikiran modern ini terpatri sejak Renaisance pada abad ke-16 dan mengalami puncaknya pada masa
pengetahuannya. Akan tetapi tanpa disadari (mungkin) oleh para “nenek moyang� modernisme, bahwa prestasi alam pikiran modern telah ternoda dengan jalan pikirannya sendiri. Selain secara filosofis epistemologi modern telah digugat oleh generasi berikutnya (post-modern), ia juga tidak bisa menutup mata bahwa sains dan teknologi telah membawa bencana yang maha dahsyat, yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme modernitas itu sendiri. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Dominasi nalar antroposentrisme pada alam pemikiran modern yang begitu mengagungkan eksistensi manusia karena rasionalitasnya dengan mensubordinasikan eksistensi yang lain yang tidak rasional (termasuk alam dan ekosistemnya) adalah yang mula-mula pantas dituduh sebagai penyebab krisis lingkungan. Sonny Keraf (2002), dengan tegas menyebut bahwa ekonomi global telah
“ Ekonomi global telah melahirkan krisis lingkungan. Secara jitu ia menunjukkan bagaimana negara-negara maju menerapkan strategi ekonominya untuk terus menjajah dunia ketiga. �
Aufklarung di abad ke-18. Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!). Barisan terdepan semangat modernisme adalah Rene Descartes dengan ungkapan masyhurnya Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Dengan semboyan kokoh ini, alam pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama (F. Budi Hardiman: 2003). Dari sinilah bisa kita melihat bahwa alam pikiran modern begitu terpusat pada manusia (antroposentris). Keyakinan akan rasionalitas manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktivitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologi demi merealisasikan cita-citanya. Tidak dipungkiri, pada titik ini manusia berhutang budi pada alam pikiran modern yang telah membuat kemudahan-kemudahan dengan kreasi ilmu
IDEA Edisi 32, September 2012
melahirkan krisis lingkungan. Secara jitu ia menunjukkan bagaimana negara-negara maju menerapkan strategi ekonominya untuk terus menjajah dunia ketiga melalui organisasiorganisasi ekonomi dunia (institusional-bisnislegal-internasional). Mula-mula strategi itu dimainkan oleh World Bank dan IMF dengan strategi utang luar negerinya menciptakan ketergantungan ekonomi yang sukar diputuskan. Kemudian melalui organisasi perdagangan dunia (WTO) dengan berbagai institusinya (GAAT, TRIPs, dan GAT) mereka mengeruk kekayaan alam dan kekayaan intelektual dunia ketiga dengan menciptakan ekonomi global dan pasar bebas. Lembaga-lembaga tersebut bermain dengan tidak fair karena WTO berkembang menjadi polisi dagang dunia yang hanya menjaga agar tidak ada pemain yang dirugikan, bukan menjaga agar tidak ada yang dirugikan. Dengan demikian, WTO justru bertindak secara memihak hanya kepada para pemain-pemain ekonomi
63
[Artikel Lepas] global dan pasar bebas. Agama dan Etika Lingkungan Global Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik. Setidaknya, ia dikritik oleh berbagai aliran etika lingkungan yang muncul belakangan. Pertama; etika neoantroposentrisme. Teori ini sebenarnya masih dekat dengan antroposentrisme, akan tetapi ia berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh pendahulunya. Dengan kata lain, neo-antroposentrisme sebenarnya hendak menampilkan antroposentrisme yang lebih lunak. Tokohnya adalah W.H. Murdy, baginya setiap spesies ada dan punya nilai pada dirinya sendiri, oleh karenanya wajar jika manusia (dan setiap spesies) menganggap dirinya paling mulia, akan tetapi jelas setiap spesies saling membutuhkan (begitu juga dengan seluruh benda). Bagi Murdy, krisis lingkungan terjadi karena manusia justru mengejar tujuan-tujuan jangka pendek dan di luar batas toleransi ekosistem, bukan semata-mata karena etika antroposentrisme. Tesis Murdy ini diperkuat oleh F. Frases Darling, baginya manusia adalah “aristokrat biologis�, oleh karenanya manusia memiliki tanggungjawab moral dan harus melayani spesies dan alam semesta yang status biologisnya lebih rendah, bukan justru memanfaatkan kelemahan alam. Kedua; etika biosentrisme. Bagi pendukung biosentrisme, tuntutan kewajiban
IDEA Digital Art
“ Etika kepedulian: manusia harus mengedepankan kepedulian terhadap alam, karena antara alam dan manusia sama-sama lemahnya dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri. �
64
manusia melestarikan alam yang diusulkan oleh neo-antroposentrisme, tidak lebih dari karena alam merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhannya, artinya melestarikan alam pada dasarnya juga untuk kepentingan manusia. Selanjutnya, biosentrisme menganggap bahwa manusia dan alam sama-sama memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan demikian, tidak tepat dan memadahi jika memandang alam hanya dalam relasinya dengan manusia, karena setiap makhluk dan kehidupan pada dasarnya memiliki kualitas moral pada dirinya sendiri. Bagi Albert Schweitzer (salah satu tokoh etika biosentrisme), manusia harus hormat pada kehidupan karena kehidupan adalah sakral. Ketiga; etika ekosentrisme (deep ecology). Pada akhirnya biosentrisme tidak cukup memadahi karena hanya memperhitungkan makhluk hidup sebagai anggota ekosistem. Pandangan semacam inilah yang memunculkan etika ekosentrisme. Bagi pendukung ekosentris, benda mati (abiotik) juga merupakan anggota ekosistem. Manusia sebagai pelaku moral tidak hanya bertanggungjawab kepada makhluk yang hidup, melainkan juga kepada makhluk yang tak hidup (abiotik). Cara pandang ekosentrisme mengasumsikan alam harus diangkat derajatnya sehingga sejajar dengan manusia (dalam ketinggiannya). Dari asumsi inilah para pendukung ekosentrisme percaya bahwa alam memiliki hak, yakni hak-hak asasi alam, sebagaimana manusia memiliki hak asasi manusia. Keempat; etika kepedulian. Jika ekosentrisme mengasumsikan alam harus diangkat derajatnya agar sejajar dengan manusia, sehingga menjadi memiliki hak-hak alam, maka pada etika kepedulian justru sebaliknya. Etika ini mengasumsikan manusia harus diturunkan derajatnya sehingga sejajar dengan alam (dalam kerendahannya). Para pendukung etika ini percaya bahwa antara manusia dan alam adalah sama-sama lemahnya (etika kedho'ifan: Gunawan Mohamad), dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri. Oleh karena sama-sama lemahnya, manusia harus mengedepankan kepedulian terhadap alam, bukan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia sebagaimana diperagakan oleh etika neo-antroposentrisme, tetapi karena antara alam dan manusia sama-sama lemahnya dan tidak bisa
IDEA Edisi 32, September 2012
[Artikel Lepas] hidup dengan dirinya sendiri. Kendati demikian, pada hemat saya, pandangan etis sebagaimana dikemukakan oleh etika lingkungan tersebut di atas, agaknya mengalami kerapuhan pada pondasi etisnya dan upaya perwujudannya, karena tidak melibatkan –meminjam bahasa Hans Kung (1991)- etika bersama yang mengikat secara transenden. Etika bersama yang mengikat secara transenden adalah sebuah etika bersama yang melibatkan Yang Absolut di dalam pandangan etisnya. Lalu, di atas landasan moralitas seperti apa etika bersama itu hendak dibangun? Jika agama adalah sumber utama moralitas etis, tetapi ternyata menginspirasi eksploitasi alam, masihkah agama mendapat tempat untuk tanggungjawab ekologis ini? Para agamawan pasti tidak rela jika agama dituding-tuding pembela etika antroposentris yang tidak memiliki keramahan ekologis. Para agamawan ini pastilah menjawab dengan berdiri tegak: agama bukanlah pembela etika antroposentris, tetapi agama bahkan mampu menjadi landasan moralitas yang kokoh untuk membangun etika bersama yang mengikat secara transenden sebagai jawaban atas kerapuhan etika lingkungan yang telah ada. Pembelaan para agamawan ini bukannya tanpa dasar. Penulis sendiri berada pada posisi yang membenarkan pembelaan para agamawan itu. Pada hemat penulis, dengan melihat berbagai dimensinya, secara potensial sejatinya agama bisa menjadi dasar pijakan bagi etika bersama yang mengikat secara transenden. Tidak hanya karena agama merupakan fenomena universal manusia, tetapi juga agama merupakan dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau pun yang lain. Selain itu, agama benar-benar tampil meyakinkan karena memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Tuntutan etis serta keharusan tanpa syarat itu hanya bisa dan harus didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut. Kriteria etika semacam itu hanya mungkin ditemukan dalam agama-agama, karena unsur dasar agama tidak lain adalah keyakinan adanya otoritas Absolut yang transenden. Etika transenden yang berasal dari otoritas absolut
IDEA Edisi 32, September 2012
itulah yang memungkinkan bisa menjamin kepastian nilai-nilai tertinggi, norma-norma tak bersyarat, motivasi terdalam, serta ideal-ideal tertinggi. Dalam konteks ini, agama-agama apapun bisa memberikan basis tuntutan etis yang absolut sebagaimana penulis maksudkan. Keyakinan pada the Ultimate Reality (Tuhan) diyakini mampu memberikan motivasi moral dan tingkat paksaan (compulsion), serta menjadi modal dasar agama-agama dalam membangun etika lingkungan bersama yang mengikat secara transenden. Lalu, yang menjadi pertanyaan, bukankah agama telah menjadi inspirator munculnya etika antroposentrisme yang menyebabkan krisis lingkungan? Kenyataan ini memang sulit terbantahkan, sebagaimana pernah penulis kemukakan di muka bahwa agama monoteis memang andil dalam membangun etika antroposentris yang tidak ramah pada lingkungan. Dengan segala kerendahan hati, kita harus mengakui bahwa inilah “dosa” ekologis agama-agama. Dosa ekologis ini pada akhirnya menjadikan para pemeluk agama terjerembab pada “kekafiran” ekologis. Kendati demikian, dalam wajahnya yang lain, agama-agama monoteis (Islam misalnya) juga menampakkan sisi lain yang begitu ramah terhadap alam. Seruan untuk ramah terhadap alam misalnya terdapat dalam Surat ar-Ruum ayat 41, al-Baqarah ayat 1112, 27, 60, 205, Surat Ali Imran ayat 63, Surat alMaidah ayat 32-33, 64, Surat al-A'raf ayat 56, 74, 85, Surat Huud 85, 116, Surat ar-Ra'du ayat 25, Surat an-Nahl ayat 88, Surat as-Syu'ara ayat 151152, 183, Surat al-Qashash ayat 77, 83, Surat alAnkabuut ayat 36, dan Surat as-Shaad ayat 28, dll. Dengan begitu, patut kita meneguhkan bahwa ajaran-ajaran agama bukankah juga menyerukan manusia untuk ramah terhadap alam? Menaruh hormat pada agama sebagai basis etika lingkungan, sejatinya sedang mencoba menghadirkan pikiran kreatif agar agama selalu mampu menjawab segala tantangan zaman (shohih li kulli zaman wa al-makan) dan sekaligus mencoba keluar dari “kafir” ekologis, bukan? *Penulis adalah Peserta Beasiswa Unggulan Diknas pada Program Pascasarjana Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Universitas Diponegoro Semarang
65
[Lorong]
IDEA/ ZQ
Kelainan Seksual,
oleh: Muhamad Zubair Hasan*
S
ebagai makhluk yang berakal, manusia diciptakan dengan berbagai macam perbedaan. Mulai dari perbedaan bangsa, suku, agama, sifat, kebiasaan, sampai perbedaan yang paling mendasar, yakni; jenis kelamin seseorang. Namun sayang, tujuan utama adanya perbedaan yang telah ditetapkan oleh-Nya itu, sebagaimana rasa saling mengenal, mempelajari, dan memahami, tidak bisa dilaksanakan secara sempurna oleh umat manusia. Tanpa disadari, manusia, dengan segala kekuatan yang telah ia peroleh dari Tuhan, ternyata telah melakukan sebuah 'dosa'. Dosa itu berupa tidak adanya keterbukaan diri untuk memahami yang lain. Diakui atau tidak, ia telah mendiskreditkan orang lain yang berbeda fisik dan perilaku seksualnya. Dalam hal ini adalah kaum marginal dari kalangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Mereka saat ini dipandang sebelah mata karena kecenderungan seks dan ekspresi gender mereka yang berbeda dari kebanyakan orang. Penulis sendiri pernah hidup dengan kaum LGBT selama satu minggu dalam sebuah acara bertajuk Young Queer Faith and Sexualty Camp (YQFSC) yang diadakan oleh Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS). Acara yang bertempat di daerah Kaliurang Yogyakarta ini merupakan pengalaman pertama penulis untuk berinteraksi langsung dengan mereka. Sebelumnya, penulis sudah sering mendengar berbagai isu miring dari keberadaan kaum LGBT berikut stigma negatif dan stereotype buruk dari
66
masyarakat. Berhadapan dengan laki-laki yang feminim, bahkan sampai memilih untuk menjadi waria dan juga wanita yang maskulin (baca: tomboi), itu semua tidak menjadi soal bagi penulis. Hal itu hak mereka untuk mengekspresikan identitas ke-gender-annya. Kalau kebanyakan masyarakat merasa risih dengan keberadaan mereka, terutama pada waria, itu dikarenakan masyarakat belum mengenal secara utuh terhadap bagaimana kehidupan waria itu. Beberapa waria yang penulis temui di lokasi acara, rata-rata semuanya normal. Dalam arti, tidak ada yang mengalami kelainan atau penyakit kelamin. Walaupun waria, aktivitas mereka ini tidak jauh beda dengan kebanyakan orang. Yakni tetap bekerja aktif dan beraksi dengan keahliannya masing-masing. Kepada sesama kaum transgender, mereka saling dukung. Bahkan, ketika mereka mendapati sahabatnya—sesama waria—tertimpa masalah atau terlibat sebuah konfilk, walaupun terkadang lokasi berjauhan, mereka setia mendampingi dan saling bantu dalam menyelesaikan polemik tersebut. Hal yang sedikit menarik dalam acara itu adalah mengenai beragamnya orientasi seks seseorang. Di sana, penulis bertemu dengan para gay dan lesbian. Beberapa diantaranya ada juga yang berorientasi biseksual. Walaupun mereka mempunyai kecenderungan seksual yang dikatakan menyimpang oleh agama mereka, namun, rata-rata mereka kaum taat beragama. Itulah yang membuat penulis tertegun. Gay muslim di sana adalah orang yang rajin melaksanakan shalat. Lesbian katolik yang penulis kenal di sana pun merupakan jamaah yang tak pernah meninggalkan rutinitas keagamaanya di gereja. Jadi, yang membedakan mereka dengan orang lain kebanyakan hanyalah sebatas hasrat seksualnya saja, yang datang secara alami, dan tidak bisa dibendung lagi untuk menyukai sesama jenis.
IDEA Edisi 32, September 2012
[Lorong]
IDEA Digital Art
Sebagai seorang yang mengaku beragama, penulis jelas mengalami pergulatan batin dengan adanya perbedaan orientasi seksual tersebut. Dogma agama Islam yang penulis terima tentang penyaluran hasrat seks terhadap sesama jenis berdampak cukup luar biasa bagi kehidupan muslim. Dalam hadis dijelaskan bahwa kita diperbolehkan mengeksekusi seseorang yang tertangkap basah melakukan perbuatan kaum Nabi Luth tersebut. Para fuqaha' pun menempatkan hal itu setara dengan pelaku zina. Di agama lain pun tidak jauh berbeda. Perilaku gay dan lesbian merupakan hal terlarang bagi setiap penganut agama. Sekilas, yang penulis tahu bahwa pernikahan sesama jenis tidaklah diperbolehkan oleh agama. Di samping itu juga, dalam konteks payung hukum negara Indonesia, tidak ada hukum yang melarang—nikah sesama jenis—apabila dilakukan atas dasar suka sama suka. Apabila ada seseorang memadu cinta dengan kekasihnya atau bahkan dengan wanita penjaja seksual, apabila hal itu tidak merugikan orang lain, aparat tidak punya wewenang menahannya. Akan tetapi, bagi orang yang merasa dirinya “suci”, dengan lantang melaknat perbuatan tersebut. Mereka melaknat perbuatan
“ Kebanyakan dari mereka (LGBT) mengalami kelainan seksual secara alami yang tidak bisa dibendung lagi untuk menyukai sesama jenis. ” IDEA Edisi 32, September 2012
itu atas dasar agama dan ketentuan moral bermasyarakat. Banyak diantara para pelaknat itu yang tidak memandang dirinya sendiri ketika melaknat orang lain. Memang, untuk saat ini perilaku seks sesama jenis masih dihukumi sebagai perbuatan dosa. Tetapi yang dinamakan dosa tidaklah terpaku hanya pada satu hal itu. Dosa yang dianggap sepele (baca:kecil), baik berbohong, ingkari janji, dan berkhianat, misalnya, apabila ditelisik dalam sebuah kajian hadis, pun sebenarnya mempunyai dampak yang tak kalah besar dibandingkan perilaku meniru kaumnya nabi Luth itu. Dan, tiga perilaku tersebut—berbohong, ingkar janji, berkhianat—merupakan ciri-ciri orang munafiq, yang mana di dalam al-Qur'an telah dijelaskan bahwa balasannya tak lain adalah mendekam di dasar neraka jahanam selamanya. Mengenai penghukuman terhadap pendosa, kita telah diajari oleh Rasulullah untuk tidak memberikan hukuman di dunia selama dosa yang dilakukan tidak merugikan orang lain. Ketika seorang wanita Ghamidiyah mengaku pada Rasulullah telah melakukan zina, Rasulullah pun tidak serta merta menghukumnya. Beliau menunggu sampai anak yang dikandung wanita itu lahir dan selesai masa penyusuannya. Yang menarik dalam hal ini, Rasulullah tidak lantas mencari-cari wanita itu dan menghukumnya ketika masa penangguhannya telah usai. Kalau perempuan itu tidak datang kembali kepada Rasulullah untuk meminta hukuman, niscaya ia tidak akan mendapatkan hukuman rajam yang dimintanya. Melalui hal ini bisa dimengerti bahwa dalam hal tataran dosa yang tidak merugikan orang lain itu adalah urusannya dengan Tuhan. Dan merupakan hak prerogatif Tuhan, apakah ia nanti kelak akan memberikan balasan atau tidak. Tetapi yang pasti, Tuhan tidak hanya memandang dosa yang dibuat seseorang ketika melakukan sebuah putusan. Karena seorang pelacur pun bisa mendapatkan surga-Nya hanya dikarenakan ia memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan. Wallahhu A'lam. *Penulis adalah peserta di acara Young Queer Faith and Sexualty Camp, Yogyakarta
67
[Resensi Buku]
Koruptor itu [tidak hanya] KAFIR Judul Buku
: Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan NU
Editor
: Bambang Widjayanto, Abdul Malik Gisman, dan Laode M. Syarif
Penerbit
: Mizan Publika, Bandung
Tahun
: I, September 2010
Tebal
: ii+194 halaman
Oleh: Ulin Nuha orupsi adalah fakta dan ironi. Fakta, karena tidak ada yang dapat menyangkal keberadaannya. Kejahatan korupsi ini tengah bekerja secara massif, sistematis, dan terstruktur pada sistem sosial, politik, dan kemasyarakatan di Indonesia. Korupsi seyogjanya dikualifikasi sebagai salah satu kejahatan transnasional. Ironi, karena dampak korupsi tidak sekedar menimbulkan kerugiaan keuangan negara yang mencapai angka triliunan rupiah, tetapi menghancurkan sumber daya terkait dengan kemanusiaan, sosial, dan alam. Bahkan korupsi dapat merusak sistem demokrasi, mendelegitimasi terwujudnya supremasi hukum, dan mendegradasi pembangunan berkelanjutan.
K
menghilangkan keimanan, secara implisit hal itu sangat ditekankan. Misalnya, dalam sambutan buku ini, Prof. Din Syamsudin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan bahwa “korupsi adalah syirik modern karena tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatan, the power of money”. Senada dengan Prof. Din Syamsudin, KH. A. Hasyim Muzadi, Pengurus Besar Nahdlatu Ulama waktu itu, dalam buku ini menggugat pemahaman atau anggapan bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan tercela yang dapat diampuni. Cara pandang seperti itu, lanjutnya, harus diubah. Korupsi adalah perbuatan syirik.
Koruptor itu kafir, merupakan buku yang disusun dari hasil kerjasama dan konsolidasi mutakhir dari dua organisasi terbesar di Indonesia, yakni; Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dalam buku ini, dua ormas Islam tersebut dengan seksama membedah pelbagai dimensi korupsi, mulai dari pemahaman hukum fiqih (klasik) maupun pemahaman hukum kontemporer (modern).
Dalam tradisi Islam, tindak syirik merupakan perbuatan yang tidak dimaafkan Allah. Mengandaikan bahwa koruptor adalah salah satu bentuk syirik, jelas para koruptor menjadi sejajar dengan para musyrik. Selain itu, dalam buku ini juga disebutkan bahwa perilaku korupsi akan dilaknat Allah. Itu bersandar pada hadits Nabi: “Allah melaknat orang yang melakukan suap (risywah) dan menerima suap.” (HR. Ibn Majah).
Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa korupsi merupakan dosa besar tak kepalang. Meskipun para penulis buku ini tidak eksplisit menilai korupsi sebagai perbuatan yang bakal
68
Definisi korupsi, menurut pandangan Muhammadiyah, dalam hal ini mengacu pada khazanah hukum Islam, yakni: sebuah tindakan
IDEA Edisi 32, September 2012
[Resensi Buku] yang bertentangan dengan norma masyarakat, agama, moral, dan hukum dengan tujuan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan rusaknya tatanan yang sudah disepakati yang berakibat pada hilangnya hak-hak orang lain, korporasi, atau negara yang semestinya diperoleh. Dalam hal ini, Muhammadiyah mengacu pada kitab UndangUndang pemerintah no.1 tahun 1999, ayat 2 dan 3.
koruptor, Nahdlatul Ulama' menglasifikasikannya, yaitu sanksi di dunia dan sanksi di akhirat. Untuk sanksi di dunia meliputi sanksi hukum non-fisik, sanksi fisik, sanksi sosial, dan sanksi moral. Sedangkan sanksi di akhirat, Korupsi dapat menghalangi pelakunya masuk surga, koruptor juga akan masuk neraka, dan harta hasil korupsi akan membebaninya pada hari kiamat.
Bentuk-bentuk korupsi sebagaimana definisi di atas dapat dijumpai ungkapannya dalam bebagai kasus yang terangkum dalam beberapa konsep-konsep normatif dan fiqih. Beberapa istilah sebagai bentuk ungkapan yang mengandung unsurunsur korupsi tersebut a d a l a h : g h u l u l (penggelapan), risywah (suap), khiyanat (khianat), mukabqrah dan ghasab, sariqah (pencurian), intikhab, dan aklu suht (makan hasil atau barang haram).
Pada sanksi hukum fisik, konsep yang bisa diambil untuk menindak pelaku korupsi secara tegas dan keras, salah satunya adalah tindakan pidana (jarimah). Telah disebutkan dalam QS. AlMaidah [5]: 33, yakni bisa di sanksi dengan hukuman mati, salib, potong tangan dan kaki secara menyilang atau pengasingan. Dalam jarimah, korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam menentukan jenis hukumnya, yaitu: Pertama, perampasan harta orang lain. Kedua, pengkhianatan atau penyalahgunaan wewenang. Ketiga, kerja sama dalam kejahatan.
“ Pelaku korupsi itu tidak hanya kafir. Bahkan, kalau perlu dihukum potong tangan, salib, atau dibunuh. �
Tak jauh beda dengan Muhammadiyah. NU mempunyai pandangan bahwa korupsi adalah kejahatan multikompleks, walaupun terkesan hanya terkait persoalan maliyyah (harta benda). Meskipun fiqih telah banyak membahas konsep kejahatan berkaitan harta benda, korupsi mempunyai karaktrer tersendiri. Sebagai kejahatan modern, korupsi terus berkembang. Baik jenis, modus operandi, motif, pelaku maupun polanya. Dampak kerusakan yang diakibatkannya pun semakin meluas baik terhadap kedaulatan negara, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum sampai dengan moralitas bangsa, bahkan penghayatan agama. Faktanya, korupsi sangat bertentangan dengan Islam dalam segala aspeknya, mulai dari filosofis, tujuan, prinsip sampai dengan hukum Islam itu sendiri.
Dengan demikian, antara Muhammadiyah dan NU, telah sepakat bahwa korupsi sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum Islam. Dan pelakunya itu tidak hanya sekedar diklaim kafir. Tetapi, kalau perlu ditindak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Potong tangan, salib, atau dibunuh. Karena termasuk kategori kejahatan yang luar biasa, extra ordinary crime. Harap besar dari lahirnya buku ini, tak lain semoga mampu menjadi pintu masuk untuk membangun gerakan sosial yang bercermin dan berpijak pada kajian tafsir dan fiqih antikorupsi. *Mahasiswa Jurusan Tasawuf Psikoterapi, angkatan 2010.
Selanjutnya, mengenai sanksi untuk
IDEA Edisi 32, September 2012
69
[Resensi Buku] Ibnu 'Arabi:
Mengenal Tuhan dengan Cara Negatif Oleh: Naili Ni'matul Illiyyun*
I
bnu 'Arabi, adalah sosok yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Beberapa kajian mengenai ketuhanan (teologi) dan sufisme (spiritual) selalu menjadi bahan referensi di setiap makalah. Namun, perlu diketahui, di dalam khazanah studi tokoh keilmuan Islam, ada dua figur besar yang menyandang nama “Ibnu 'Arabi”. Keduanya berasal dari Andalusia. Pertama, Abu Bakr Muhammad Ibn 'Abd Allah Ibn al-'Arabi al-Ma'afiri (468543/1076-1148). Beliau ini seorang pakar hadis dari Sevilla. Sedangkan yang kedua, yakni; Muhammad ibn 'Ali ibn Muhammad ibn al-'Arabi al-Ta'i al-Hatimi, seorang sufi Andalusia. Untuk tokoh yang kedua ini, beliaulah yang menjadi bahan perbincangan pada buku teologi negatif. Sudah jamak diketahui, jika Ibnu 'Arabi merupakan pemikir 'kontroversial' sekaligus sufi besar dalam khazanah pemikiran Islam dengan keilmuannya yang sangat luas. Kontroversial disini bukan berarti ia 'nyeleneh', 'aneh', dan keluar dari koridor agama. Namun, kontroversialnya itulah yang justru menjadikan ia dapat di terima oleh hampir semua kalangan, termasuk Syi'ah dan Sunni. Berbeda dengan al-Ghazali, yang kebanyakan pemikirannya serta keilmuannya diserap oleh golongan sunni an sich. Muhammad Al-Fayyadl, sang penulis buku, mencoba mengeksplor lebih jauh bagaimana pembaca diajak untuk menyelami dan mengenal lebih dekat tentang sosok Tuhan dengan cara berbeda. “negatif”. Negatif hanyalah sebuah istilah saja untuk menegasikan gagasan yang ada selama ini. Sehingga, teologi negatif (negative theology) muncul sebagai kritik pembakuan konsep ketuhanan dalam teologi pada umumnya. Akan tetapi, teologi negatif di sini bukan satusatunya konsep yang dapat diklaim mewakili seluruh pemikiran Ibn 'Arabi. Ibn 'Arabi hanya telah mengalami sekian banyak momen negatif dalam perjalanannya mengenali Tuhan. Sebuah pencarian dirinya sekaligus bentuk pencarian paham ketuhanan yang paling ideal dan cocok untuk dirinya, sebagaimana ungkapan yang
70
Judul Buku : Teologi Negatif Ibn 'Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan Penulis : Muhammad AlFayyadl Penerbit : LKiS Tahun : I, 2012 Tebal : xviii + 276 halaman
menjadi landasan kaum sufi “barang siapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya” (man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu). Oleh sebab itu, mengenal Tuhan, atau yang dewasa ini disebut dengan “iman”, pastinya berbeda-beda, tidak sama. Karena iman bukan lagi wilayah yang dihuni oleh kata, oleh kalam, oleh logos, dan metafisika, melainkan suatu ruang yang berada di antara kata-kata dan kebisuan, antara pemikiran dan nonpemikiran, antara pernyataan dan keheningan.
IDEA Edisi 32, September 2012
[Resensi Buku] Dalam perkembangnya, teologi negatif sangat kental dengan tradisi Abrahamik. Masa atau kondisi tertentu yang berkaitan dengan pengalaman subjektif atau mistik yang sangat pribadi. Teologi negatif itu ada determinasi atau ketentuan sebagai upaya membedakan Tuhan pada dirinya dengan Tuhan yang telah terbingkai atau dibingkai melalui pengetahuan. Meskipun tidak terjadi hanya pada pengalaman keagamaan. Menurut Armstrong, agama pertama yang dicatat adalah agama yang dibawa oleh Ibrahim. Ibrahim memperkenalkan suatu pandangan ketuhanan baru yang didasarkan pada keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan di alam semesta. Pandangan monoteisme inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pandangan ketuhanan tiga agama besar di dunia; Islam, Yahudi, dan Kristen. Hal 2. Monoteisme yang diajarkan oleh Ibrahim merupakan bertolak dari pencarian ketuhanan secara radikal. Al-Qur'an sudah menggambarkan pencarian Ibrahim dengan cara bersusah payah, proses panjang. Ketika ibrahim menduga tuhan berawal dari bintang, kemudian bulan, dan berakhir pada matahari. Yang pada akhirnya ia sadar bahwa yang dilihatnya bukanlah Tuhan yang sebenarnya. Dan monoteisme yang dikenalkan oleh Ibrahim tersebut, yang spiritnya sampai sekarang diperebutkan oleh agama-agama Abrahimik—Yahudi, Nasrani, dan Islam—dimana ketiga agama itu sama-sama saling mengklaim, monoteismenya-lah yang merujuk pada Ibrahim, dan menganggap pihaknya-lah yang berhak mewarisi ajarannya. Dengan klaim tersebut, sebuah tradisi baru pun muncul dalam agama-agama Abrahimik. Keimanan yang dicapai dan diperoleh dengan pencarian, mulai coba dipahami dan dirumuskan dalam sebuah konseptualisasi baku, yang kemudian disebut dengan “teologi”. Persoalan “negatif” dalam buku ini tidak ada hubunganya dengan nilai-nilai moral atau amoral secara konsep, tetapi yang negatif ini muncul pada tataran apriori pemikiran. Buku teologi negatif Ibn 'Arabi ini ingin memperkenalkan perspektif dan memperkaya wacana dalam cara kita bertuhan. Selama ini cara kita berteologi masih dalam wilayah yang wajar
IDEA Edisi 32, September 2012
dan normal, memandang Tuhan secara formal, baku dan positif. Akan tetapi dalam buku ini disebutkan bahwa seorang penganut teologi negatif tentu saja tidak hendak menafikan keberadaan Tuhan, tetapi hanya ingin menyiratkan bahwa kita tidak pernah benar-benar mengetahui keberadaan-Nya; bahwa keberadaannya adalah misteri. Selanjutnya, pola pertama yang menjadi ciri teologi negatif ialah saying not “berkata tidak” tentang Tuhan, mengindikasikan bahwa perkataan masih sanggup merumuskan sesuatu tentang Tuhan, meski dengan catatan harus diungkapkan dengan bahasa yang negatif. yang kedua adalah not saying yang mengindikasikan bahwa ketika berbicara tentang Tuhan, orang harus diam dan tidak boleh berkata apa-apa. Namun, tampaknya kedua pola ini hanya mencerminkan perbedaan ungkapan saja sebagai sarana dalam mendekati Tuhan. Buku ini adalah buku kedua dari Fayyadl setelah buku Derrida (2005). Teologi negatif Ibn 'Arabi, berawal dari riset yang bergerak pada tataran filsafat khususnya metafisika, luasnya wilayah yang dikaji membuat penulis juga harus bersentuhan dengan teologi dan tasawuf. Pengambilan judul yang terkesan negatif karena diambil dari segala problematika yang terjadi berkenaan dengan ketuhanan yang menghubungkan antara Tuhan dengan Aku. Kontribusi penting buku ini adalah kritiknya terhadap basis konstruksi keilmuan kalam yang tidak beranjak dari asumsi-asumsi tradisionalnya yang selama ini membelenggu pemahaman umat, sehingga terjadi dominasi pengetahuan tertentu tentang Tuhan sekaligus menafikan pengetahuan lainnya. Selamat mambaca! *Mahasiswa FUPK 2008, dan juga menjabat sebagai sekretaris redaksi LPM IDEA 2011-2012
71
[Resensi Film]
Islam itu Bom ? Oleh: Hasan Isma'ili*
Judul Film : Four Lions, Sutradara : Christopher Morris, Naskah : Christopher Morris, Pemain : Will Adamsdale, Riz Ahmed and Adeel Akhtar, Produksi Film: 2010
J
udul di atas merupakan responsif dari berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kita. Yakni, Islam sering berbicara melalui bom. Apa benar? Ya, hal ini dikarenakan bom terjadi di mana-mana. Tidak hanya di gereja saja. Di masjid pun juga terjadi demikian. Dengan adanya fenomena itu, menjadikan citra Islam semakin negatif di mata dunia internasional. Islam, sama dengan bom. Sikap kita dalam ber-islam harus jelas. Bukan karena paksaan ataupun hanya mengekor saja. Jika hal ini terjadi, maka yang ada hanyalah kita akan menjadi “bidak catur” yang tidak tahu alasan untuk bergerak. Sikap seperti ini dialami oleh Omar (Riz Ahmed). Sebagaimana yang terjadi dalam film Four Lions. Sebagai seseorang keturunan Pakistan yang notabene sebagai daerah yang menjalankan Islam secara fundamental—seperti apa yang dicerminkan oleh Osama bin Laden—Ia merasa bahwa jalan untuk menegakkan ajaran Islam,
72
salah satunya adalah dengan jalur “bom”. Kaum kafir sebagai musuh utama Islam haruslah dilenyapkan dengan cara meledakkan diri sendiri. Bersama dengan sahabatnya Waj (Kayvan Novak), Omar mengumpulkan beberapa orang untuk mengikutinya seperti Barry (Nigel Lindsay) seorang muallaf Inggris dan Faisal (Adeel Akhtar) yang masih ada hubungan darah dengan Omar. Awal mula film ini disuguhi dengan adegan ke-tolol-an Waj yang sedang melakukan rekaman “video jihad” dan bersikukuh dengan memegang pistol mainan jenis AK-47 agar terasa sangar. Drama cerita dimulai ketika Omar yang sedang bekerja shift malam di sebuah mall di daerah Inggris, tiba-tiba mendapat e-mail dari pamannya yang di Pakistan, berisikan bahwasanya “wedding”, istilah yang dipakai untuk pembaiatan pengantin, akan dilaksanakan 3 minggu lagi. Disisi lain ketika Barry, Faisal, dan Waj yang sedang berkumpul mencoba memakan sim card guna menghindari pelacakan dari federal
IDEA Edisi 32, September 2012
[Resensi Film] agent, kemudian malah datang Omar yang mengatakan bahwa dia membutuhkan teman untuk berangkat ke Pakistan. Namun Barry bersikukuh bahwa dia yang lebih pantas mengikuti pelatihan di Pakistan dibandingkan Waj, yang agak terbelakang. Pada akhirnya, dipilihlah Omar sebagai pendampingnya ke Pakistan. Singkat cerita ketika Omar dan Waj sudah berada di Pakistan, yang akan menemui sang Emir atau sebutan untuk Osama, malah dikacaukan oleh Waj. Tingkah laku yang diperbuat Waj dengan menembakkan pistol ke udara seraya merekam dirinya di handphone malah membuat mereka berdua dilarang menemui sang Emir. Dan mereka hanya disuruh menjaga basecamp ketika anggota yang lain menemui Emir. Keesokan hari ketika mereka berdua sedang membersihkan senjata, melintaslah pesawat mata-mata Amerika yang sedang patroli di daerah sekitar basecamp. Omar yang ingin bersikap sok pahlawan mencoba menjatuhkan pesawat tersebut dengan menembakkan rudal ke arah pesawat tersebut. Namun yang terjadi, Omar, yang memegang senjata, alih-alih mengarahkan tembakan ke pesawat tersebut, malah senjatanya mengarah ke rombongan Emir dan tertembak tepat di posisi sang Emir. Di lain tempat, dimana Barry dan yang lain berkumpul, untuk merencanakan peledakan masjid, dengan tujuan agar umat Islam merasa diserang oleh orang kafir, mengadu domba. Maka, terjadilah peperangan antara umat islam dan orang kafir. Namun, ketika mereka semua berkumpul, termasuk Waj dan Omar, mendiskusikan sasaran yang akan diledakkan. Barry, yang mempunyai ide untuk meledakkan masjid, ditentang keras oleh Omar, selaku pimpinan mereka.
Keraguan terhadap jalan untuk meledakkan diri sudah dirasakan oleh Faisal. Faisal yang ragu mulai mencoba memasang bom di gagak sebagai ganti dirinya. Hingga akhirnya Faisal yang sedang membawa beberapa karung bahan peledak terpeleset dan meledak di sekawanan domba. Omar sebagai pemimpin kemudian merasa salah dan memutuskan untuk mengakhiri misi meledakkan diri tersebut. Hal penting yang disampaikan film ini bukanlah bagaimana cara kita dalam memerangi kaum kafir dengan jalan meledakkan diri. Namun, cara seperti itu adalah salah. Banyak cara yang bisa disampaikan untuk memerangi kaum kafir. Bukan dengan jalan meledakkan sesuatu. Keislaman yang hanya ikutikut, dapat menimbulkan kerugian di kemudian hari. Melakukan sesuatu tanpa didasari alasan yang kuat dapat membawa kita kearah yang salah. Jika ditelisik lebih jauh, salah satu penyebab munculnya sikap kebencian ini yaitu berdasarkan adanya kebencian yang mendalam terhadap segala bentuk serangan dari barat, baik secara fisik, maupun nonfisik. Seperti adanya adu domba diantara kaum muslim sendiri. Hal yang ditekankan di film Four Lions ini, yakni, kita diajak untuk memahami Islam tidak hanya sebatas kulit luarnya saja, seperti yang penting berjenggot, berjubah, dan suka mengkafirkan orang, karena pada kenyatannya, Islam seperti itu tidak mampu membawa keselamatan banyak orang. Sehingga, sebelum meledakkan bom yang mencederai orang lain. Ledakkanlah diri sendiri untuk keluar dari keterkungkungan dalam kejumudan berfikir. Allahu akbar.
“Film Four Lions mengajak kita dalam memahami Islam tidak hanya sebatas kulit luarnya saja, seperti yang penting berjenggot, berjubah, dan suka mengkafirkan orang, karena pada kenyatannya, Islam seperti itu tidak mampu membawa keselamatan banyak orang. �
IDEA Edisi 32, September 2012
*Mahasiswa FUPK 2009, dan juga ahli sufi (suka film) .
73
[Sastra]
Harmoni Semusim Oleh: Sri Wahyuningsih
D
i sebuah perjamuan makan oleh pejabatpejabat negara, tiba-tiba seorang pengemis datang. Entah dari mana datangnya, tak seorangpun tahu. Tak seorangpun merelakan sekilas pandangan tertuju padanya. Mereka lebih peduli dengan berapa harga sehelai benang sutra yang digunakan untuk membuat pakaian yang dikenakan oleh lawan bicaranya. Mereka terlalu percaya diri dengan kata-kata yang mereka keluarkan. Sepertinya tak pernah terdengar pertanyaan tentang bagaimana mereka bisa membeli perhiasan yang tak mungkin dibeli oleh orang-orang tak berduit seperti mereka? Atau mungkin, tentang bagaimana cara bisa sekedar ngobrol dengan rakyat. Ah, mungkin menurut mereka itu adalah hal yang mudah untuk mereka lakukan. Ibarat membeli kain sutra. satu meter, dua meter, tiga meter, bila perlu pabriknya sekalian. Bahkan, menurut mereka kebahagiaan itu dapat ditawar dengan uang yang mereka miliki. Pantas saja, kebahagiaan mereka lebih berbeda dari kabahagiaan masyarakat pada umumnya. Misalnya, masyarakat sudah cukup bahagia bila sudah merasakan kedamaian dan kebersamaan bersama keluarga. Akan tetapi, lain halnya dengan para pejabat, mereka akan merasakan kebahagiaan jika sudah merasakan bagaimana nikmatnya tidur di ranjang rumah sakit, atau mungkin dikejar-kejar pers karena berita miring yang menimpanya. Bahkan, ada juga yang baru bisa merasakan kepuasan, jika sudah minum darah sesama. ---o0o--Pengemis memasuki ruang perjamuan itu, dan meminta sepiring nasi dan segelas air minum pada setiap orang yang ada di sana. Namun, yang ada malah ia dijauhi dan ditertawakan oleh semua orang yang ada disitu. “Tuan, berilah saya sepiring nasi dan segelas air. Saya akan mengabdi kepadamu.” Kata pengemis itu pada seorang pejabat negara. Akan tetapi, ia hanya mendapat senyuman sinis. “Hai pak tua, enyahlah engkau dari sini!” Kata ajudan pejabat tadi.
74
“Hai budak, apa kau sadar kau diperbudak?” Kata pengemis itu. “Kalau aku budak, lalu kamu apa?” “Kamu pikir, kamu lebih baik dari aku? Aku hidup bebas. Sedangkan kamu? Hidupmu hanya dkendalikan oleh uang.” “Apa kau pikir kau tidak butuh uang? Apa kau merasa manusia paling kaya, hingga kau berani meremehkan aku. Kau tahu, uangku lebih banyak dari uangmu. Semua bisa dibeli dengan uang.” “Kau tak lebih kaya dariku. Aku punya jantung, hati, ginjal, otak, dan paru-paru yang sehat. Sedangkan kau, kau hanya punya jantung, hati, ginjal, otak dan paru-paru yang penyakitan. Apa nikmatnya punya uang banyak, tapi penyakitan? Kau tahu berapa harga jantung, ginjal, dan hati yang sehat? Berapapun organ tubuhku ditawar, aku takkan pernah menjualnya. Dan aku, aku merasa menjadi orang yang paling kaya sedunia.” “Sebanyak apapun uang yang kau punya, kamu takkan mampu membeli jantung manusia yang hidup dan sehat. Tentunya, karena mereka sadar bahwa apa yang telah diberikan oleh tuhan padanya adalah nikmat yang terbesar.” Lalu, pengemis itu pergi meninggalkan ajudan itu. Ajudan itu seperti kehilangan kesadarannya. Pengemis itu menghilang di tengah keramaian malam itu. “Masa bodoh! Dia pikir, dia siapa? Sudah miskin, masih berani sombong.” ---o0o--Malam semakin larut. Menghanyutkan kesadaran dalam buaian angin malam. Sebuah tanah lapang yang luas, gersang, menghampar di depan mata. Rasa haus semakin menyiksa di tenggorokan, memancing setan-setan berkeliaran yang menggoda. Sepasang mata menatapnya, penuh tanda tanya. “Apa ini? Bagaimana aku mendapatkan minum? Di sini tak ada apa-apa. Sampai kapan aku bisa bertahan? Aku bisa mati kekeringan di gurun ini. Aku tak mau mati dulu.”
IDEA Edisi 32, September 2012
[Sastra] Kemudian, laki-laki itu merogoh kantong di baju dan celananya. Tak lama berselang, wajahnya berseri. Benda yang dicarinya ketemu. “Ini dia. Aku akan menelfon pembantuku untuk menjemput aku.” Akan tetapi, wajahnya berubah. Seperti sedang muram. Entah berita apa yang didapati dari benda bersuara itu, roman mukanya berubah drastis. “Aaaaaaah......” Sambil membanting benda itu. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara seseorang dari arah belakangnya.” “Hai budak! Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau punya cukup banyak uang untuk membeli segala sesuatu yang kau ingini? Termasuk pula kehidupan ini?” “Hai miskin, kau pikir kau siapa bisa menceramahi aku? Hidupmu hina, serba minim dan kotor.” “Menurutmu begitu? Apa kau lupa, kau tak lebih baik dariku. Kau seperti budak belian yang bodoh. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Kau tak akan pernah bisa menggunakan otakmu, karena kau memang sudah seperti robot.” “Lalu apa kau pikir mengemis itu pekerjaan yang mulia? Dan layakkah mengemis itu disebut sebagai pekerjaan?” “Sudahlah! Apa gunanya kita bertengkar seperti ini?” “Itu karena kau yang mulai. Coba saja kau tak mengejekku, memyebutku dengan sebutan 'BUDAK'.” “Bukankah kau yang lebih dulu menghinaku. Aku hanya meminta sedikit makan dan minum, tapi kau malah menghinaku, menyebutku 'PENGEMIS'. Kau pikir, pengemis itu siapa?” “Bagiku, pengemis itu adalah orang yang suka meminta-minta belas kasihan dari orang lain.” “Jika kau mengartikan 'pengemis' seperti itu, lalu apa bedanya kau dan aku. Bukankah dulu kau juga meminta pekerjaan dari orang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain? Hingga akhirnya, kau jadi babu atau kacung atau bisa juga disebut budak. Bukan begitu? Sudah menjadi pengemis, ditambah menjadi budak lagi!” “Ya, sudahlah! Kita sama-sama miskin dan butuh uang, dan aku sudah capek dengan perselisihan kita ini.”
IDEA Edisi 32, September 2012
“Benar juga! Tapi, setidaknya aku bebas menentukan jalan hidupku sendiri. Kurasa ini cukup adil untuk kita. Kita punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi, mengapa kita harus beradu mulut?” “Ya. Mungkin juga, di sana ada yang menertawakan kita atas tindakan bodoh kita ini.” “Ya mungkin juga begitu. Hei, apa kau pernah sadar kalau kita kemana-mana selalu membawa najis?” “Tidak! Apa maksudmu?” “Coba pikirkan! Bukankah kita setiap hari membawa kotoran dalam perut kita?” “Oh, ya! Benar! Kau miskin, tapi pintar juga.” “Hai budak, jangan begitulah! Di luar sana masih banyak lagi orang-orang yang lebih baik. Sering kita hanya bisa melihat kelebihan diri sendiri, tapi tak pernah tahu tentang orang lain.” Hanya memberikan senyum dikulum. “Aku budak, kau pengemis. Ha... ha... ha... Sungguh lucu sekali. Apa bedanya orang susah, menghina orang susah yang lain?” Keduanya hanyut dalam suasana gurun yang dingin menusuk sampai ke tulang. Dimana tak seorang tuan pun yang peduli dengan mereka. Mereka hanya bisa bertahan dengan apa yang mereka punyai. Dua mata, dua telinga, dua kaki, dua tangan dan hati. Dimana, semua itu lebih berharga dari harta yang mereka punyai. ---o0o--Samar-samar terdengar suara tembakan dan teriakan yang berulang-ulang. Tapi, ajudan itu tak melihat apa-apa di sekelilingnya. Semuanya gelap. Tapi, suara tembakan dan teriakan itu terdengar sangat dekat sekali di telinganya. Tapi ada yang aneh. Ada suara lain selain suara-suara itu. Ia mendengar suara perempuan-perempuan yang sedang tertawa. Tak lama kemudian, ia mendengar suara suara langkah kaki yang berat semakin mendekat kepadanya. Suara khas lantai papan yang diinjak, semakin membuatnya semakin sadar bahwa sebentar lagi seseorang akan datang padanya dan menyiramnya dengan segayung air. Buru-buru ia sadarkan dirinya, sekitarnya tak lagi gelap. Semuanya semakin tampak jelas, walaupun masih sedikit samar-samar. “Baguuus...! Sekarang sudah jam berapa? Kamu pikir, kamu siapa? Pengusaha bukan,
75
[Sastra]
expedisi24.blogspot.com
“ Kita harus tahu, tuhan menciptakan berbagai macam perbedaan, agar kita bisa bepikir bahwa perbedaan itu harus dijadikan sebuah harmoni. Bukan konflik. ”
pejabat bukan, pensiunan juga bukan. Jam segini belum bangun. Sudah malas kerja?” Ajudan itu hanya diam mendengar celotehan perempuan setengah baya yang sedang berdiri di hadapannya. “Makanya jangan jadi orang susah!” “Lalu bagaimana agar aku tidak menjadi susah?” Dengan sedikit membentak. “Kenapa kamu tidak protes dengan tuhan?” “Kenapa aku harus protes dengan tuhan? Jika yang diberikan tuhan padaku seperti ini, ya memang inilah rejekiku. Setiap manusia itu mempunyai takaran rejekinya masing-masing.” “Terus, kau pikir dengan hidup seperti ini, kamu bisa kawin dan bertahan hidup? Bukannya setiap hari kamu sendiri mengeluh dengan keadaan ini? Lalu kenapa sekarang kamu jadi berubah seperti ini?” Kemudian, perempuan itu meninggalkannya sendirian dalam kebingungan. Duduk termenung dengan wajahnya yang khas bangun tidur, dengan rambut berantakan dan wajah berkilau penuh minyak. Jerawat yang tumbuh di dahinya, semakin membesar, memerah. “Ibu, kenapa tuhan harus berlaku tak adil pada kita? Bukankan setiap hari kita berbuat kebaikan?” “Kebaikan? Kebaikan yang mana? Kebaikan macam mana, setelah mengerjakannya lalu dipamerkan pada orang lain? Punya sedikit kelebihan, disombongkan.” Sambil memotong
76
cabai dan bawang merah” “Tapi, aku tak pernah merasa menyombongkan diriku dan apa-apa yang kupunya.” “Apa kau kira, yang kau katakan itu bukan sebentuk kesombongan? Kau tahu, itu akan menjadi lebih parah jika kau tak segera sadar dan memperbaikinya. Apalagi jika kau sadar, tapi kau malah acu tak acuh” Tangannya masih terus memotong-motong cabai dan bawang. Sejenak suasana menjadi sunyi. Perempuan setengah baya itupun menepuk-nepuk pundak laki-laki itu, sambil tersenyum. ---o0o--Kita harus tahu, tuhan menciptakan berbagai macam perbedaan, agar kita bisa bepikir bahwa perbedaan itu harus dijadikan sebuah harmoni. Bukan konflik. Tapi, ya beginilah kehidupan. Tidak semuanya bisa menjadi seperti yang kita inginkan. Sehingga, harmoni hanya akan tercipta jika kita semua bisa saling memahami, menghargai, menyayangi sesamanya. Dan semua itu, hanya terjadi di saat-saat tertentu. Seperti musim penghujan dan musim kemarau, musim dingin dan musim panas, musim gugur dan musim semi. Musim dimana ada rasa-rasa yang akan terkubur bersama debu-debu jalanan, menghilang bersama angin yang bertiup dari timur dan barat. Satu minggu berlalu. Seperti biasanya, lakilaki itu bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Dari dalam rumah, terdengar suara yang gaduh sekali. Perempuan setengah baya itu berteriak-teriak. “Hardi, kamu lihat uangku di dompet?” “Tidak.” “Di mana ya? Tadi malam ada di dompet di lemari kok sekarang tidak ada ya. Apa aku lupa meletakkannya? Tapi rasanya tidak. Aku ingat betul, aku meletakkannya di lemari.” “Ah, mungkin ibu memang lupa. Coba diingat-ingat dulu. Siapa tahu nanti ingat.”
IDEA Edisi 32, September 2012
[Sastra] Perempuan setengah baya itu mencari-cari di setiap sudut lemari dan kamarnya. Namun tidak ia temui juga dompet itu. Wajahnya tampak sedih sekali. Hingga ia putus asa mencarinya. Ia baru teringat sesuatu. “Aduh, sudah jam setengah tujuh. Hardi, tolong adikmu diantarkan ke sekolah.” Lalu ia mengambil tas sekolah anaknya yang paling kecil. Sebuah dompet terjatuh dari bawah tas anaknya. “Lha, ini dompetnya.” “Farid, ke sini.” “Ya bu, sebentar.” “Bagaimana dompet ibu bisa di sini? Tadi ibu mencarinya sampai bingung.” “Maaf bu, kemarin ada seorang pengemis, terus minta-minta. Tapi aku tidak punya uang. Jadi, aku ambilkan uang dari dompet ibu.” Kata anak itu dengan lugunya. “Lain kali, ngomong dulu ya sama ibu. Biar ibu tidak bingung mencarinya.” “Ya bu, maaf.” “Ya sudah, tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi ya!?” Anak kecil itu hanya mengangguk pelan. Rasa takut tampak sekali pada raut wajahnya. ---o0o--Terkadang warna kehidupan ini menjadi bias ketika akal ini tak disertai dengan hati. Ataupun sebaliknya. Keduanya adalah hal yang seharusnya selalu berdampingan. Berjalan searah. Tapi, pada kenyataannya itu hanya menjadi sebuah obrolan yang seolah tidak akan
selesai dan tidak ada gunanya juga, mungkin. Banyak di antara kita telah kehilangan keseimbangan antara keduanya. Bagaimana kita memperlakukan sama antara keduanya, sering kita mengalami kesulitan. Sering hanya menjadi sebuah harmoni semusim. ---o0o—
ridwanaz.com
“Maaf bu, kemarin ada seorang pengemis, terus minta-minta. Tapi aku tidak punya uang. Jadi, aku ambilkan uang dari dompet ibu.” Kata anak itu dengan lugunya.
Selamat & Sukses atas terpilihnya
Nur Syahid sebagai
Sekjen PPMI Dewan Kota Semarang Pada tanggal 1 Juli 2012 Semoga memberikan sumbangsih serta perubahan kepada khalayak
IDEA Edisi 32, September 2012
77
[Sastra]
Nerakaku, Nerakamu Jua Kutunggu dikau di ambang pintu neraka Mari kita masuk di dalamnya bersama-sama Untuk mempertanggung jawabkan seluruh amal kita sewaktu di dunia Mari kita nikmati siksa yang pedih ini dengan penuh harap Seperti kita mengharapkan kenikmatan orang lain sewaktu di dunia Kita akan bersama-sama minum air segar, sesegar air neraka Kita juga akan menemui malaikat-malaikat yang baik Yang dengan ikhlasnya menyiksa kita menurut perintah-Nya Di sana, kita juga akan bertemu dengan teman, atau mungkin sahabat setia Mereka yang selalu setia mendampingi kita, saat kita bermaksiat Berbahagialah bersama mereka, sahabat sejati kita di neraka Puaskanlah tangismu disana Jika ketika di dunia kamu belum puas untuk menangis Begitulah indahnya kehidupan di neraka Begitu indah, seindah hidupmu di dunia Oleh : Arum Jasmine
Tuhan itu aku Qul, Huwa Ana ... Katakanlah, Dialah aku Aku adalah Tuhan Tuhan adalah aku Tuhan menciptakan aku Aku menciptakan Tuhan Tiada aku selain Tuhan Tiada Tuhan selain aku Ngaliyan, 29-09-2012
Sajak-sajak
Ahmad Muzaqqi
Inikah Engkau ? Kau bilang, La Ikroha fi al-din Kau juga bilang, Innaddina Indallahi al-Islam Kau ciptakan kami, Kau hidupkan kami, Namun, kau pula lah yang nanti membunuh kami Inikah engkau? Tak pernah ku melihatmu, bertemu denganmu, Namun, katamu “kau lebih dekat dari urat nadiku�? Lantas kau paksa aku beriman Ya. Aku beriman Tapi keimananku tak menambahmu Dan bila aku kafir Kekafiranku pun tidak mengurangimu Inikah Engkau? Atau siapa... Ngaliyan, 29-09-2012
78
IDEA Edisi 32, September 2012
[Figur]
Darori Amin,
IDEA/Bagus
Filosofi Membapaki Mahasiswa
P
Catatan Data Diri: Nama : Dr. HM. Darori Amin, MA TTL : Sukoharjo, 12 Januari 1953 Alamat Rumah : Jl. Kelapa Sawit V/ 447 Plamongan Indah Semarang. Telp. : (024) 671 0936 Jabatan : Dosen IAIN Walisongo Semarang, sejak tahun 1979 Pembantu Rektor III IAIN Walisongo Semarang, tahun 2011-2016 Asisten Direktur Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, tahun 2000-2008 Jajaran Pimpinan MUI Jawa Tengah Wakil Bendahara PW Muhammadiyah Jawa Tengah, tahun 2007-2012 Pendidikan dan Pelatihan a.Madrasah Ibtidaiyah di Sukoharjo 1966 b.Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo 1967-1978 (Meraih gelar BA) c.Pendidikan Kesarjanaan (S1) di Jurusan Aqidah Filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang d.Pendidikan Kemagisteran (S2) Jurusan Aqidah Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta e.Pendidikan Kedoktoran (S3) Bidang Islam dan Budaya Jawa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta f.Penelitian DIKTI di Belanda, tahun 1991-1992 g.Pelatihan Islamic Resolution Conflict di Arizona University Amerika Serikat, tahun 2006 h.Pelatihan Resolution Conflict di Wageningen University Belanda, tahun 2007 Nama Istri Jabatan
: Dra. Hj. Nur badriyah : Guru SMA 2 Semarang
IDEA Edisi 32, September 2012
ada edisi “Kafir” kali ini, IDEA memilih Bapak Darori Amin untuk diwawancarai dan diulas dalam rubrik Figur. Dosen dengan tipikal khas berambut putih ini, terkenal dengan gaya pembawaan santun dan ramah saat mengajar di kelas Filsafat ataupun Islam dan Budaya Jawa. Pun kini, dalam usia 59 tahun, sejak 16 September 2011, beliau dilantik untuk menduduki jabatan Pembantu Rektor III yang membidangi segala seluk-beluk urusan mahasiswa IAIN Walisongo. Kesibukan baru ini dirasa semakin mematangkan kiprah Darori Amin sebagai Bapak mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Lihat saja, siapapun yang memasuki ruang kantornya akan mendapati sebuah bingkai karikatur unik karya karikaturis SKM AMANAT, ada gambar bapak Darori yang bergandengan dengan anak-anak yang diartikan sebagai karakter kebapakan yang penuh kesejukan. Suatu sore, saat kru IDEA bersilaturrahim ke kantor dinas PR III di Gedung Rektorat, ada sambutan hangat dari Bapak Darori Amin. Kru langsung dipersilahkan menuju kursi tamu dan disuguhi minuman. Tatkala kru memberitahukan tema “Kafir” yang diplot majalah IDEA ini, wajah Bapak agak berkerut, bertanya, selanjutnya dia mengapresiasi proses dan usaha anak-anak IDEA yang cukup menohokkan ini. Pertanyaan Saat itu ada beberapa pertanyaan yang diangkat, dan kesemuanya dijawab tuntas oleh Bapak Darori; Bagaimana kisah pengangkatan Bapak sebagai PR III? Ihwal penunjukan menjadi PR III, Darori mengaku sangat terkejut, keputusan sepenuhnya diambil oleh Dewan Senat IAIN Walisongo, dan tanpa disangka dirinya yang dipilih menduduki jabatan itu. Wajar saja, di
79
[Figur] usia menjelang 59 tahun, Darori sejatinya ingin Lengser Keprabon, Mandeg Panditho, istilah Jawa ini bisa dimaknai; berhenti dari segala aktivitas jabatan dan sepenuhnya mengabdikan diri mengajar mahasiswa, suyono ing bekti. Akhirnya, Darori pun menerima amanat Dewan Senat atas pemilihannya, lantas berjanji sepenuh hati akan melayani mahasiswa IAIN Walisongo.
keluarganya itu, jadi harus ada ramah-tamah, kedekatan, dan kerjasama yang baik. Darori memandang selama ini masih ada kesenjangan antara mahasiswa, dosen, dan birokrasi. Untuk itu, langkah pertama Darori adalah membangun komunikasi terbuka dengan mahasiswa. “akan senang sekali bila mahasiswa mau berkonsultasi dengan saya” ujarnya.
Program Bapak? Ditanyai soal program, Bapak ini bercerita terkait situasi pemilihannya yang kebetulan berada pada periode akhir tahun jabatan. Alhasil, program saat ini masih melanjutkan dari PR III sebelumnya, Bapak Erfan Soebahar. “Dulu paska sebulan dilantik, saya dapat undangan haji, terus terang ini cukup menjadi beban dalam waktu singkat harus memersiapkan program, jadi ya masih melanjutkan yang sebelumnya,” aku Dosen Fakultas Ushuluddin yang sudah berhaji empat kali ini. Adapun program ke depan, bapak Darori kemudian mengagendakan akan terus membenahi proses birokrasi yang selama ini (bisa dikatakan) menyulitkan kegiatan mahasiswa. “Terus terang, saya sedih melihat perjuangan mahasiswa yang harus lebih dulu menalangi dana program kegiatannya, karena dana IAIN cairnya telat” tuturnya. Semoga tahun depan kelonggaran finansial bagi kegiatan mahasiswa IAIN akan tercapai. Juga, terkait dengan prestasi mahasiswa di bidang penelitian, kesenian, dan olah raga yang selama ini minim, Darori mengusahakan akan terus memantau dan berbincang dengan mahasiswa untuk menghidupkan geliat Unit Kegiatan Mahasiswa itu, untuk bisa ikut berlomba, dan berpentas di luar IAIN dan Jawa Tengah. Sangat sedikitnya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa juga akan menjadi pekerjaan rumah kedepan, bagi Darori, sebaiknya penelitian yang diampu oleh para dosen di segala bidang itu juga harus melibatkan mahasiswa, untuk pembelajaran dan pemantapan skill mahasiswa IAIN. Bapak Darori juga memunyai program unggulan, yakni bagaimana menciptakan iklim keterbukaan dan keharmonisan antara birokrasi, dosen, dan mahasiswa dalam sebuah keluarga IAIN yang utuh dan satu. Bagaimanapun maju mundurnya IAIN Walisongo ada pada bagian
Hikmah yang didapat sebagai PR III? Pertanyaan ini langsung dijawab dengan ekspresi ceria; kekagumannya dengan para penulis IAIN Walisongo yang mampu menorehkan tinta pemikirannya bertebaran di banyak media massa nasional dan lokal. “Ternyata mahasiswa IAIN itu pintar-pintar nulis”, terang
80
Mumpung masih muda, bebas dari tanggungan, dan dalam usia produktif, mahasiswa wajib memanfaatkan sebaik mungkin diri dan waktunya untuk belajar, berkarya, dan mengabdi dalam kebaikan.
Bapak ini. Aktivitas ini juga menjadi batu lompatan untuk terus menggairahkan dunia tulismenulis di dalam keluarga IAIN Walisongo sendiri. Ketika mahasiswa banyak yang menulis di koran-koran, dosen juga kudu terpacu mengikuti langkah mahasiswa ini. Begitupun sebaliknya, ketika dosen beramai-ramai dengan penelitian, mahasiswa juga harus ikut terjun dalam penelitian. Intinya, ada keseimbangan antara dosen dan mahasiswa dalam menata keilmuannya. Pertanyaan lantas mengerucut pada filosofi kepemimpinan Bapak Darori. Lagi-lagi Bapak ini lebih mengutamakan kedekatan komunikasi dan
IDEA Edisi 32, September 2012
[Figur] sikap saling pengertian dengan mahasiswa. “kalau ada apa-apa mahasiswa bisa langsung bertanya pada dosen”, katanya. Ya, kepemimpinan memang tak akan berarti dan buntu bila ada keterputusan komunikasi. Ikatan komunikasi dan pengertian inilah yang sejatinya menyimbolkan lampu penerang bagi perjalanan dan tercapainya visi-misi seluruh organisasi apapun. Kelemahan mahasiswa IAIN Walisongo? Sempat memandang ke atas, Bapak mengatakan bila kelemahan mahasiswa IAIN kebanyakan adalah kurangnya Self Cofidence, sikap percaya diri. Kemudian Darori membandingkan mahasiswa IAIN yang kalah percaya diri (PD) dengan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. “mahasiswa Malang walaupun tidak terlalu pintar tapi sangat PD. Mereka mampu bekarya dan tampil di depan umum dengan percaya diri, sedangkan mahasiswa IAIN kebanyakan minder duluan, inilah kelemahan kita.” Terhubung dengan kepercayaan diri ini, mahasiswa kita mayoritas masih lemah dalam berkomunikasi dengan bahasa asing. Contohnya, di Kampus Ushuluddin sendiri, di sana ada papan “English-Arabic Area”, nyatanya hanya sekedar papan retorika belaka tanpa ada langkah nyata dari seluruh awak
Ushuluddin, mereka lebih senang menggunakan bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia. Terakhir, pesan bagi mahasiswa? Masih menali dengan kelemahan di atas, Darori berpesan bagi seluruh mahasiswa IAIN harus meningkatkan sikap self confidence-nya. Kepercayaan diri menjadi bekal paling dasar, untuk selanjutnya, mahasiswa meningkatkan spirit belajar, berkarya, hingga pada ujungnya mengabdi pada masyarakat, dan syukur, semoga bisa turut memerbaiki kebobrokan negara-bangsa ini. “Mumpung masih muda, bebas dari tanggungan, dan dalam usia produktif, mahasiswa wajib memanfaatkan sebaik mungkin diri dan waktunya untuk belajar, berkarya, dan mengabdi dalam kebaikan”. Kalau dalam lagunya RAIHAN, ingat lima perkara sebelum lima perkara. Mahasiswa harus mulai menata hidupnya, berpikir dewasa, sebisa mungkin hidup mandiri, memersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan mendatang yang jauh lebih sulit. Mahasiswa tidak boleh “kafir” dari predikatnya. Liputan Muhammad Bagus Irawan, Mahasiswa FUPK 2009 dan juga peneliti di idea studies.
Segenap Kru IDEA mengucapkan
- SELAMAT Atas diwisudanya Dr. Hasyim Muhammad M.Ag, Dr. H. Muhsin Jamil, M.Ag, Dzikrullah Zulkarnain, M.S.I, Makhrus, M.A., Muthmainnah, S.Th.I, M. Luthfi, S.Th.I, Muhammad Mahbub Maulana, S.Ps.I, Ayis Mukholiq, S.Th.I, Khoirotul Fitriyani, S.Th.I, Durratun Yatimah, S.Th.I, Muhammad Rikza Muqtada, S.Th.I, Maslikhah, S.Th.I Semoga mendapatkan keberkahan ilmu dan dapat bermanfaat untuk umat
IDEA Edisi 32, September 2012
81
[Liputan]
STAND UP COMEDY Ala RGM One FM
82
IDEA/Ova
D
ua bulan terakhir Radio Gema Mahasiswa (RGM) menyajikan gelak tawa di IAIN Walisongo. RGM sebagai wahana radio komunitas di Fakultas Ushuluddin itu menyelenggarakan program Stand Up Comedy bertajuk “Bukan Open Mic Biasa”, sebagai ajang hiburan dan sekaligus Branding RGM untuk mengukur sejauh mana para intellectual's muda menerima radio sebagai salah satu media. Sontak saja, acara yang baru pertama kali digelar di IAIN Walisongo Semarang ini mendapat respons positif, dilihat dari banyaknya peserta dan penonton yang ikut memeriahkan jalannya acara. “Stand up comedy “bukan open mic biasa” ini mendapat respon luar biasa, penyajinya banyak berasal dari berbagai Radio Komunitas dan Radio swasta, yang terjauh adalah Radio SS “suwara salatiga FM”. Selain itu juga dari kalangan mahasiswa dan dosen pun turut berpartisipasi.” Tandas Farra, selaku Direktur pelaksana RGM. Stand Up Comedy digelar secara parade di semua kampus Fakultas se-IAIN, acara opening dihelat di Kampus Ushuluddin (23/5), kemudian di Tarbiyah, dilanjutkan di Syari’ah dan ditutup di Kampus Dakwah (28/7). Agus selaku Direktur Eksekutif RGM menjelaskan, “bahwasannya program Stand up Comedy ini bukanlah program yang sekali pake terus buang, akan tetapi program ini merupakan program bersambung dan nantinya ada part 1,2,3 dan 4 di berbagai kampus IAIN Walisongo Semarang. Program ini juga sebagai ajang hiburan buat akademik khususnya di IAIN Walisongo Semarang. Program ini dikemas berbeda dengan program yang sudah ada dan Gratis.” Awalnya stand up comedy ini merupakan program bulanan dari devisi Off Air. Sa'dullah selaku Direktur Off Air RGM mengatakan, “Program Stand up Comedy ini sebelumnya tidak terpikirkan oleh crew RGM. Setelah melihat dan mengamati Stand up Comedy ternyata program
Ady, Direktur RGM One FM sedang menyapa para peserta Stand up comedy
ini sangat mengasah pikiran, tidak semuanya bisa melakukan aksi komedi dengan konsep dan muatan materi yang telah tersedia.” Ditegaskan pula bila program ini adalah program yang baru dan selama ini belum ada di IAIN Walisongo Semarang, aku Sa'dullah. Pemenang Stand up Comedy “bukan open mic biasa” akan dipilih dari para penyaji yang kreatif, kocak, dan Unik. Nantinya penyaji yang menang akan di-typing dan dimasukan di Radio Best FM Semarang, Radio RBA Boyolali dan RGM One FM. Pemenang penyaji comik juga mendapat doorprize dari sponsor acara ini. (Ofa, Bagus IDEA)
IDEA Edisi 32, September 2012
[Liputan]
PPMI DK Semarang Gelar Muslub Zackq/IDEA
Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Semarang gelar Musyawarah Luar Biasa (Muslub) selama tiga hari berturut-turut pada tanggal 29, 30 Juni dan 1 Juli 2012, tepatnya di Audit 1 Kampus 1 IAIN Dari kiri: M. Autad (moderator), M.Kodim (narasumber), dan Devi Firmansah (Sekjend PPMI Nasional)
Muslub ini terselenggara atas inisiatif banyak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang ada dalam naungan PPMI DK Semarang, dan diajukan ketika mengikuti Mukernas PPMI di STAIN Pamekasan Madura. Ini merupakan sebuah langkah nyata yang dilakukan demi menghidupkan dan membangun PPMI DK Semarang, setelah Sekjen dalam kepengurusan periode ini memang benar-benar vakum tanpa koordinasi dan kegiatan apapun. “Jadi, demi masa depan pers mahasiswa (Persma), khususnya di PPMI DK Semarang ini. Muslub harus segera dilakukan”, ujar Meiwan yang ditunjuk sebagai penanggungjawab sementara (Pjs) kala itu. Dalam acara tersebut, LPM IDEA didapuk sebagai tuan rumah. Acara ini terdiri dari beberapa rangkaian acara, meliputi: Sarasehan, Seminar, Muslub, dan ditutup dengan diskusi terbuka. Acara ini juga mendatangkan Kodim (Alumni Presidium PPMI) dan Joko Tri Haryanto sebagai pembicara. Peserta yang hadir dari berbagai kota yang ada di Jawa Tengah. Mulai dari Pekalongan, Kudus, Jepara, Pati dan kota lainnya yang ada di sekitar Wilayah Jateng. Sebelumnya, panitia telah mengundang sekitar 46 LPM, namun yang hadir
IDEA Edisi 32, September 2012
Walisongo Semarang.
hanya 21 LPM dengan 38 peserta. “Mungkin ini dampak dari kepengurusan periode sebelumnya, sehingga minat dan antusias anggota PPMI sangat minim. Akhirnya yang hadir dalam Muslub ini hanya sekitar 47% dari LPM keseluruhan”, ungkap ketua panitia, Ahmad Muzaqqi. Meskipun pesertanya tergolong sedikit. Semangat juang mereka tetap menyala-nyala bak api yang disiram minyak, lanjut mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits ini. Apalagi setelah Nur Syahid dari LPM IDEA terpilih sebagai Sekjen yang baru. Suara riuh menggemparkan audit gara-gara orasi visi dan misinya. “Saya akan berusaha terus menjadikan PPMI sebagai jembatan profesionalisme jurnalis persma. Dan misi saya yang pertama, yaitu membangun komunikasi positif sesama jurnalis persma. Kedua, meningkatkan kapasitas jurnalis persma. Dan yang ketiga, membuka ruang kerja sama dengan media massa cetak maupun online”, sorak Syahid mengobarkan semangat kawankawan persma lain. (Heri, Bagus - IDEA)
83
[Catatan Akhir]
Kematian yang Membingungkan Oleh: A. Khotim Muzakka*
“Matilah pada saat yang tepat!” kata Zarathustra dengan gagah.
N
amun, Nietzsche mencela tokoh imaginernya, dan mengatakan bahwa “banyak orang terlambat mati, dan beberapa terlalu cepat mati. Maka aneh kedengarannya ajaran ini.” Kematian, pada dasarnya, adalah hal suci yang perlu dipikirkan secara saksama. Mati bukan sekadar bagaimana ruh hilang dari badan. Bukan pula sebatas nafas yang tak kuasa lagi keluar-masuk. Kematian merupakan ruang sakral yang, sedianya, dipersiapkan kedatangannya. Bukan sebaliknya direncanakan dengan gesa-gesa. Dulu, saya sering di(per)ingatkan oleh guru madrasah bahwa hidup di dunia yang ditamsilkan hanya mung mampir ngombe (baca: waktu yang singkat). Maka itu, harus hati-hati. Hati-hati bisa sangat luas pengertiannya. Saya kerap dituturi untuk selalu menyiapkan amaliah yang baik sebelum kematian benar-benar hadir tiba-tiba. Setelah itu, seseorang bakal dibincangkan antara dua hal: baik dan/atau buruk. Ayat Al-Quran memperingatkan untuk menafakuri kehidupan. Li kulli ummatin ajal. Faidza ja'a ajaluhum fala yasta'khirun sa'atan wa la yastaqdimuna. Tiap-tiap yang disebut makhluk memiliki batas kehidupannya sendiri, tak ada yang (berhak) mendahulukan, dan, apalagi mengakhirkan. Lalu, apa yang menjadikan perbincangan tentang kematian menjadi penting? Hal ini tidak semata menarik menyimak aksi bunuh diri yang berupa fisik ataupun mental. Kita pernah mendengar aksi bunuh diri yang dilakukan oleh Muhammad Syarif (MS). Seorang pria berusia 31 tahun yang—dengan gagah—menjemput kematiannya dengan “paksa”. Di tengah kerumunan. Di sebuah masjid. Pada Jum'at, 15 April 2011. Kematiannya pun istimewa: seperti ia berhak untuk menentukan kapan itu harus datang, kapan itu bisa ditunda. Dan meledaklah bom yang melilit di tubuh. Daging-daging berhaburan. Darah-darah berceceran. Orang cemas dan bertanya, siapakah biang keladi di balik semua ini. Dengan keheranan yang mendalam kita menepuk jidat dan mengelus dada. Oh. Oh. Ternyata, seorang Muslim meledakkan diri di rumah Tuhannya sendiri. Ini ironi yang menyimpan misteri. Contoh di atas adalah soal kematian yang memisahkan raga dengan nyawa. Sesuatu yang kasat mata. Sesuatu yang tak perlu berpikir dan menggelembungkan tanya. Adakah seorang yang telah kehilangan nafas sudah mati? Dibaca dalam sekup yang lebih luas, meminjam istilah Hannah Arendt, apa yang dilakukan MS ini bisa jadi merupakan produk banalitas kekerasan (banality of evil). Hannah Arendt memerkarakan negara sebagai yang bertanggungjawab terhadap aksi kekerasan yang
84
dilakukan masyarakat. Termasuk MS ini. Namun di sisi lain, apa yang dilakukan MS barangkali imbas yang oleh Arendt sebut sebagai kesepian (loneliness). Tak terjadinya dialog antara Aku dan Diriku membuat kesunyian menjadi kesepian. Akhirnya, kesepian itu menimbulkan aksi radikal yang menerabas rasionalitas. Apa yang dibayangkan orang yang kesepian, yang terputus jalan kehidupannya, dan dalam satu waktu mendapat naungan ideologis, mungkin adalah hal yang irasional bagi siapa pun di luar dirinya. Orang yang kesepian dan tunduk, mudah dimanipulasi. Apalagi oleh orang yang sangat diagungkan. Kesunyian itu mungkin adalah sebentuk protes yang tiba-tiba. Seseorang bisa melakukan apapun dalam keadaan hampa. Semua dikira sah, meski “yang lain” menganggapnya sebagai tindakan yang nyeleneh: membunuh diri dan orang lain adalah sama dengan surga. Perayaan kesunyiaan tanpa kontemplasi mendalam membikin manusia sering tercebur dalam kekosongan. Apalagi kecenderungan kekuasaan untuk menentukan realitas ada pada subjektifitas. Hannah Arendt (The Human Conditions) menegaskan hilangnya perasaan dan nalar, memunculkan keraguan dalam diri manusia modern. Ini menjadikan manusia hanya berorientasi pada dirinya sendiri. D' Entreves (1994) menyebutnya sebagai “dunia untuk diri sendiri”. Menguasai diri dengan subjektifitas. Adolf Eichman, kepala arsitek dan eksekutor dalam pembantaian terhadap Kaum Yahudi, dinilai Arendt sebagai seorang yang gagal sebagai manusia. Lalu, melihat kejadian demi kejadian dengan cara membunuh diri sendiri dan orang lain dengan dalih surga, kita menyebutnya sebagai apakah? Barangkali kita perlu menyimak ujaran Nietzsche: “Semua orang menganggap kematian sebagai peristiwa besar, tapi kematian masih belum menjadi perayaan.” Perayaan yang bagaimanakah? Namun, kita sering lupa bahwa kematian pun sejatinya sudah pernah kita alami tanpa disadari. Ya, kematian yang tanpa kematian sekalipun. Kematian itu berupa kematian eksistensial, kematian pribadi. Adakah kematian akal pernah menjadi perbincangkan dengan begitu sengitnya. Hmm, sepertinya itu bukan perkara sakral untuk dibahas. Karena, kita sering dilibas identitas, formalitas, dan eksklusifisme. Penghargaan terhadap ketiganya yang berlebihan, justru membuat kematian sebelum kematian yang sebenarnya datang lebih mula. Menjamah. Tanpa permisi. Tanpa malu-malu. Apa lalu bisa dikatakan kalau hal itu berlaku sebaliknya? Bahwa kita memilih mati dengan menidurkan diri dengan berpangku tangan dan mengharap sebuah keajaiban. Ah, membingungkan bukan?
IDEA Edisi 32, September 2012