IDEA Edisi 32 - Kafir (1)

Page 1

[Serambi]

DARI KIAMAT MENUJU KAFIR

P

IDEA Edisi 32, September 2012

IDEA/Arsip

ada edisi sebelumnya, redaksi telah mengulas begitu detail mengenai fenomena doomsday, atau hari kiamat. Baik dari perspektif filsafat, kajian al-Qur'an, hadits, teori lingkungan, konspirasi global, dan lain-lain. Dari edisi 31 kemarin, setidaknya, kita telah banyak tahu mengenai di balik adanya isu kiamat 2012 Cover IDEA Edisi 31 (kiri) dan IDEA Edisi 32 (Kanan) dan apa makna kiamat itu sendiri yang 'almiin, agama kasih sayang, agama damai, berasal dari akar kata qaama, yaquumu, terlihat hanya dalam teks-teks sucinya saja, tanpa qiyaaman. Kiamat yang kebanyakan orang diimbangi perilaku dari para follower, mengartikan hari huru-hara atau kehancuran itu pengikutnya, untuk beragama yang baik, santun, ternyata memiliki akar kata “qaama”, berdiri dan damai. Tentunya, tanpa mengafirkan yang tegak, bukan musnah masal. lain. Dari pembicaraan kiamat, telah Di samping membicarakan hal-hal yang disimpulkan bahwa dari kesemua agama—baik 'melangit' mengenai makna kafir, redaksi juga Islam, Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan lainmembincang kafir dengan pandangan lain—telah sepakat bahwasanya hari kiamat 'membumi'. Karena makna kafir jika ditelisik memang benar-benar ada, dan pasti akan terjadi, lebih dalam, telah banyak menyinggung perilaku entah kapan. Bila membaca simbol-simbol yang orang Indonesia dewasa ini. Mulai dari korupsi, telah diberikan Rasulullah Saw, saat inilah anarkisme, menutup pintu ijtihad, tidak mau menjelang detik-detik dari hari akhir, hari kiamat belajar, menganggur, tidak mau bekerja, dan lainitu. Banyaknya gempa dan bencana, kitab suci lain. Oleh sebab itu, redaksi menjadikan tema hanya dijadikan ritus-ritus bacaan saja tanpa kafir ini semakin ‘seksi’ untuk dibaca. dihayati maknanya, yang benar menjadi abu-abu, Perdebatan serius—adu argumen—dari dan yang salah dijadikan panutan. Itulah yang para tokoh dalam rubrik analisis utama dan dinamakan zaman akhir, gonjang-ganjinge analisis khusus, semakin menjadikan majalah mongso. IDEA kali ini lebih berisi. Liputan tentang Dari edisi kiamat (doomsday), redaksi kegiatan mahasiswa, riset mengenai perilaku beralih ke edisi 32, yakni membincang gejala mahasiswa dalam memanfaatkan hot spot area di takfir—aksi saling mengafirkan yang lain—yang kampus, keberadaan kaum marginal yang sudah menjamur di masyarakat. Fenomena ini tergabung dalam komunitas lesbian, gay, patut kita sorot. Karena apa? Kafir mengkafirkan biseksual, transgender (baca: LGBT), semakin antara umat, merupakan larangan keras dari menambah wawasan pengetahuan pembaca halRasulullah Saw. Seseorang tidak dibenarkan jika ihwal di luar diskusi perkuliahan. Dengan mengakui dirinya sendiri atau pendapatnyalah demikian, semoga pada edisi 32 dengan tema kafir yang 'paling' benar, hingga menegasikan ini, pembaca dapat menangkap hikmah yang argumen/ijtihad orang lain. Jika hal ini tidak tergores dari tiap butir kata yang telah disajikan dibendung dengan suatu pergolakan pemahaman oleh redaksi. Dari kiamat (berdiri tegak), kita mengenai reinterpretasi terhadap makna “kafir”, menuju fenomena kafir (menutup sesuatu), apa maka, dikhawatirkan akan terjadi kontak fisik, maknanya? Berdiri, kemudian menutup. Silahkan tindak anarkisme akut di tengah masyarakat. renungkan. [Redaksi] Dengan adanya klaim, orang mudah tersinggung. Sehingga, Islam, yang dikatakan rahmatan lil

1


[Daftar Isi] Serambi Daftar Isi Potret Surat Pembaca Karikatur Editorial Analisis Utama Tamu kita Paradigma Karikatur2 Pengantar Analisis Khusus Wawancara Khusus Wacana

1 2 3 4 6 7 8 18 23 27 28 29 38 42

44 47 50 53 60 61 66 68 72 74 79 82 84

Analisis Utama:

Mengimani Kafir... 8

Riset Historia Kampusiana

Kampusiana:

Meramal Nasib Ushuluddin Pasca UIN ... 50

Forum

Konversi IAIN ke UIN

Usul-Usil

yang digaungkan sejak dua tahun terakhir, tak

Artikel Lepas

lagi hanya menjadi

Lorong

isapan jempol. Konversi itu sebentar lagi akan

Resensi Buku

segera ditabuh. Tentu

Film Sastra Figur Liputan Catatan Akhir

saja, ini merupakan suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh berbagai pihak untuk berbenah diri, khususnya Ushuluddin sebagai fakultas yang selama ini kurang begitu diminati oleh calon mahasiswa. Lalu, bagaimanakah nasib Ushuluddin pasca menjadi UIN nanti?

Mengimani kafir bukan berarti kita iman kepada orang-orang ‘kafir’, dan tunduk kepadanya. Akan tetapi, kita percaya bahwa simbol-simbol kekafiran di tubuh kaum beragama itu ada, walaupun orang tersebut tidak merasakannya. apa itu kafir? apa benar kafir hanyalah simbol an sich yang tidak perlu ditakuti, apalagi dicap sebagai orang kafir.

Pendeta Gunarto

Tamu Kita: Kafir itu Menutup Diri... 18 Bagaimana sebenarnya pandangan orang-orang non-muslim tentang kafir itu sendiri. Apakah dalam teologi mereka juga memiliki pemahaman yang sama dengan umat Islam mengenai term kafir?

IDEA “Diskursus Transformasi Intelektual” diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. ISSN (International Standard Serial Number): 1829-5321. Pelindung: Dekan Fakultas Ushuluddin, Pembina: Pembantu Dekan III, Penanggung Jawab: Ketua Badan Eksekutiif Mahasiswa (BEMFU), Pemimpin Umum: Mukhamad Zulfa, Sekretaris Umum: Muhamad Zubair Hasan, Sekretaris I: Awaluddin Iskandar, Bendahara umum: Maslikhah, Pemimpin Redaksi: Muhammad Autad An-Nashr, Sekretaris Redaksi: Naily Ni'matul Illiyun, Staf Ahli: Amin Syukur, Abdul Djamil, Sri Suhanjati Sukri, Muhsin Jamil, Joko Tri Haryanto, Zainul Adzfar, Imam Taufiq, Pengkaderan: Caswiyono Rusydy Cakrawangsa, Ahmad Fauzi, Rusmadi, Wahyu Agung, John Sarmin, Arif Dwi Purnomo, M. Abdullah Badri, Ammar Mahmud, Agus Hariyanto, Misbah Khoiruddin Zuhri, Dzikrullah Zulkarnain, Fardan, Zaenal Abidin, Rumah Tangga: Rusdiana(Koord), Muthmainnah, Mamik Sulistyowati, M. Luthfi, Divisi Kajian dan Riset: Muhammad Mahbub Maulana(Koord) Khoirul Anam, M. Tajuddin, Ahmad Khotim Muzakka, Divisi Berita: Ayis Mukholiq(Koord), Chandra Yusuf Kurniawan, Hasisul Ulum, M. Khotib, M. Idrus, M. Misbah, Divisi Sastra: Khoirotul Fitriyani(Koord), Hilyati Auliya, Durratun Yatimah, Fathurrahman, Umi Farihah Arif, Divisi Artikel: Hasan Ismaili(Koord), Ahmad Yusuful Adamy, M. Akmaluddin, Nur Syahid, Divisi Layout: Muhammad Abdul Aziz(Koord), Alfi Qonita Badiati, Ahmad Shofa, Divisi Marketing dan Distribusi: Muhammad Rikza Muqtada(Koord), Abdul Ghofur, Ahmad Faishol, Fejriayan Yazdajird Iwanebel, Kontributor: Syah Aziz Perangin Angin.

Redaksi menerima tulisan dengan bentuk artikel, puisi, kolom, cerpen, dan tulisan lain yang sesuai dengan visi dan misi Idea. Naskah diketik maksimal 4 halaman kwarto (5000-6000 karakter) dengan disertai identitas lengkap. Pengiriman dapat dialamatkan ke e-mail ideapress@gmail.com. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengurangi isi.

2

IDEA Edisi 32, September 2012


[Potret]

Perjuangan Belum Usai Di dunia ini, ada satu hal yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Iya benar. Yakni; “proses�. Proses tidak bisa dibeli dengan apapun. Demikian tulis seseorang dalam status facebook. Status facebook, biasanya ditulis oleh sang pemilik akun dimana ada suatu peristiwa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Sekilas, realita itu begitu terlihat mirip dalam LPM IDEA. Terutama dalam penggarapan majalah. Proses begitu mulia, sehingga ada yang mengatakan; balasannya nanti adalah surga. Seluruh awak redaksi masih berproses, dalam tahap belajar. Belajar berdiskusi, menyusun kata, menuangkan ide, dan lain sebagainya. Jadi, jangan menyalahkan orang yang sedang belajar. Jika ada kesalahan, cukup mengingatkan, tanpa justis lara. Karena dia sedang berproses menuju hal yang mendekati sempurna. Sebagaimana kata-kata sakti yang sering dilontarkan oleh filsuf dan motivator. Jangan takut salah, yang penting bukan hasilnya, tetapi, 'belajar' dari apa yang kita hasilkan. Tetap semangat, dan jangan mudah menyerah oleh keadaan. Dalam penggarapan edisi 32 ini, tak jauh beda dengan kesan singkat yang terjadi di edisiedisi sebelumnya, yakni, menjadi penulis terlalu mudah dibanding editor, menjadi editor pun terlalu mudah dibandingkan dengan layouter, dan menjadi layouter juga terlalu gampang dibanding dengan orang yang suka membuat aturan, tetapi, tanpa dijalani. Atau, orang yang

IDEA Edisi 32, September 2012

suka ngritik tanpa kasih solusi. Apalagi yang hanya omong doang (OmDo bahasa kerennya). Menyindir? Iya. Sudahlah. Untuk kali ini, ada perombakan besarbesaran oleh kru. Mulai membuat AD/ART keredaksian dan lembaga, juga mengubah logo yang semula bewarna merah, menyala, kemudian dikembalikan kepada warna khittah Ushuluddin, biru. Tidak hanya itu, dua periode ini memaksa anggota untuk mengadakan perombakan dan perbaikan besar-besaran, sehingga reshuffle tak bisa dihindari. Semoga cita-cita mulia itu diindahkan oleh seluruh awak redaksi. Saran: berstatuskan kru magang, anggota, pegiat, peneliti di LPM IDEA, jangan hanya dimanfaatkan pada, ketika menulis di media massa saja. Begitu murahnya nama IDEA kalau hanya disematkan ketika menjual nama, tanpa diimbangi dengan kontribusi nyata di lembaga tersebut. IDEA, adalah kerumunan orang-orang yang saling tukar ide. Benar. Tapi, lebih indah lagi jika 'status' anda di IDEA tidak hanya numpang nama saja. Namun, yang kita harapkan adanya kontribusi untuk diri sendiri dan orang lain. Universitas IDEA nantinya yang akan membentuk kepribadian anda di masa mendatang, bagaimana cara survive untuk hidup, yakinlah. Ingat, perjuangan belum usai, dan proses belajar atau belajar berproses masih terus mengalir dalam urat nadi. [Redaksi]

3


[Surat Pembaca]

Dosenku Pada Kemana ya???.... Seluruh jajaran birokrasi dan manajemen pendidikan sangat berpengaruh pada semangat belajar mahasiswa. Ada hal kecil yang sering kali terlupa tapi berdampak besar pada minat dan kinerja mahasiswa. Oleh sebab itu, melalui surat pembaca ini, ada kasus yang layak kita muhasabahi. Yakni, saya sangat tersentuh dengan ketidakhadiran dosen di jam kuliah tanpa konfirmasi, mungkin saking sibuknya hingga tidak sempat mengabari. Tapi, apakah itu alasan yang rasional? Mengingat betapa mudahnya memberi konfirmasi salah satu mahasiswa tanpa harus meninggalkan urusan beliau yang dianggap lebih penting dari mengajar? Saya sangat mengharapkan adanya ABSENSI untuk dosen, tidak hanya dalam birokrasi (kantor-red), karena komitmen belajar dan mengajar bukanlah hal yang pantas untuk diremehkan. Bahkan, saking seringnya absen dalam perkuliahan. Pernah saya menjumpai kasus dan saya juga sering mengalaminya—di akhir menjelang UAS—satu jam pelajaran itu dipadatkan dengan berjubelnya pemakalah. Bahkan, pernah ada sampai di isi dengan 8 pemakalah sekaligus dalam satu jam mata kuliah. Sungguh ironi bukan? AMANAH, Mahasiswi PK TH DEPAG 2009

SU R

AT

Tanggapan Dr. Machrus, M.Ag (Pembantu Dekan I) Memang, saya akui, bahwa setiap dosen memiliki kesibukan yang tidak sama. Terlepas dari itu semua, kami sendiri menetapkan kebijakan sebagaimana yang telah berjalan dari dulu bahwa dosen memiliki kewajiban mengajar dengan ketentuan persyaratan memenuhi tatap muka 16 kali pertemuan dalam satu semester, termasuk ujian mid-semester dan semester. Adapun pemantauannya berupa absen dan jurnal dosen. Biasanya setiap selesai proses kegiatan perkuliahan di kelas, dosen meminta tanda tangan kepada mahasiswa sebagai tanda bahwa dosen tersebut melaksanakan kewajibannya. Ini yang nanti dijadikan laporan. Nanti kelihatan kalau misalnya dosen tersebut tidak masuk kelas.

Diskusi publik tanpa mic? oh, TIDAK...! Diskusi merupakan suatu keniscayaan bagi mahasiswa. Tidak terlepas apakah dia aktivis ataukah hanya mahasiswa biasa. Namun, apalah artinya jika mahasiswa dilarang berdiskusi di kampus? Hal inilah yang terjadi beberapa pekan lalu di area parkir Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Saat itu Himpunan mahasiswa jurusan (HMJ-TP) yang hendak melakukan diskusi publik tidak diperbolehkan menggunakan wireless. Pelarangan tersebut sempat mengacaukan kawan-kawan HMJ sendiri. Acara yang rencananya akan dimulai pukul 10.00 pagi, akhirnya tertunda hingga beberapa menit. Padahal peserta sudah berkumpul sejak jam 09.45. Tidak seperti biasanya, mengapa birokrasi dekanat melarang penggunaan wireless untuk diskusi. Padahal sebelumnya tidak pernah ada pelarangan tersebut. Yang menjadi masalah adalah ketika kawan-kawan melakukan diskusi publik, dan hal ini tidak akan efektif tanpa ada fasilitas seperti wireless. Namun, hingga saat ini pihak dekanat sendiri belum memberikan kejelasan mengenai kebijakan tersebut. Nurrotun Nikmah, Mahasiswa PK-TP 2009

4

IDEA Edisi 32, September 2012


[Surat Pembaca]

Tanggapan Dr. Hasyim Muhammad, M.Ag (Pembantu Dekan III) Saya perlu menjelaskan sebelumnya, bahwa pelarangan menggunakan wireless sebagaimana dalam kegiatan yang disebutkan oleh saudari Nurrotun Nikmah itu bukan berarti saya melarang diskusi. Ini perlu dipahami. Mengapa saya tidak mengizinkan penggunaan wireless dalam diskusi tersebut, karena ini mengganggu perkuliahan. Permasalahannya sebenarnya hanya karena pengambilan tempat kegiatan saja. Jika kegiatan dilaksanakan di luar jam perkuliahan atau di luar lingkungan perkuliahan, misalnya di sekitar PKM, itu tidak masalah menggunakan wireless. Tapi kenyataannya kegiatan dilaksanakan di lingkungan perkuliahan. Dan itu mengganggu. Kenapa dulu diperbolehkan dan sekarang tidak diperkenankan. Dari dulu, banyak sekali protes tentang kegiatan-kegiatan yang mengganggu perkuliahan, baik itu dari mahasiswa ataupun dosen. Namun, kegiatan yang kemarin dilaksanakan oleh salah satu UKM memunculkan begitu banyak protes. Saya diprotes kanan-kiri. Mereka memang benar, itu sangat mengganggu perkuliahan. Saya sudah berulang kali menghimbau agar memasang volume yang tidak terlalu keras. Namun sayangnya himbauan tersebut tidak diindahkan. Malah volume-nya dikeraskan. Orang protes itu tidak salah. Memang kita ini yang tidak pada tempatnya. Kuliah itu wajib. Siapa bilang diskusi itu tidak baik, tapi itu sunnah. Tidak seharusnya yang wajib itu mengalahkan yang sunnah.

Bakar Sampah di Tempatnya Dong, Pak... Lewat majalah IDEA ini, saya ingin mengutarakan tentang pembakaran sampah di kampus. Masalahnya, seringkali dinas kebersihan fakultas membakar sampah berdekatan dengan PKM. Kepulan asap dari pembakaran sampah pada masuk ke PKM, sehingga menggangu berbagai aktivitas. Saya pernah mengikuti perkuliahan di ruang R.6 pada saat itu di bawah ada pembakaran sampah, sehingga ruangan kelas penuh dengan asap pembakaran sampah, rasanya seperti di-fogging. Suasana ini sangat menggangu sekali. Harapan saya dewan kebersihan Fakultas untuk segera menyikapi hal ini. Terimakasih. (Zaenul Mustofa, Mahasiswa TH 2010 ).

IDEA Edisi 32, September 2012

Tanggapan Dr. Hasan Asy'ari Ulama' M.Ag (Pembantu Dekan II) Tentang tempat pembakaran sampah, sebenarnya itu sudah saya ingatkan sejak dulu. Agar petugas kebersihan membakar sampah pada tempat yang agak jauh dan tersembunyi, serta membakar sampahnya tidak pada waktu jam kuliah. Saya setuju memang pembakaran sampah yang terlalu dekat dengan PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) merusak pemandangan, tapi mau gimana lagi jika mahasiswa di PKM juga membuang sampah di dekat situ. Akhirnya, petugas kebersihan ikut-ikutan membakar sampah di situ. Mestinya himbauan menjaga kebersihan itu di indahkan sehingga membuang sampah pada tempatnya sekaligus membakar sampah di kolam sampah yang telah di sediakan. Syukur-syukur jika teman-teman mahasiswa menjadi pelopor serta ikut mengarahkan petugas kebersihan menjaga kebersihan lingkungan bersama. Jika mahasiswa melihat pembakaran sampah tidak pada tempatnya serta di rasa menggangu aktivitas di kampus, maka langsung saja di tegur atau melaporkan ke PD II.

5


[Karikatur]

6

IDEA Edisi 32, September 2012


[Editorial]

Beriman Tanpa Rasa Takut! “ Akeh wong apal.. Qur'an Hadits e… Seneng ngafirke.. marang liyane.. Kafire dewe.. gak di gathekke.. yen iseh kotor.. ati.. akale…”

S

udah tak asing lagi di telinga pembaca dengan penggalan teks di atas. Ya, sebuah sajak waton yang konon didendangkan oleh almarhum Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Syi'ir itu tak lain adalah potret dari realita sosial saat ini. Gejala takfir. Memang, fenomena kafir-mengafirkan antar umat Islam satu dengan lainnya telah banyak kita jumpai. Dengan mudahnya, bibir berucap: kowe kafir kon, bolone Thogut (kamu orang kafir, temannya Thogut). Gejala seperti ini tampaknya sudah menjamur di mana-mana. Bahkan, sudah membentuk sebuah ormas atau organisasi yang intens mengintai kelompokkelompok yang berbeda dengan pemahamannya. Apabila seseorang berperilaku nyeleneh, 'aneh' di mata mereka, baik dalam berolah pikir maupun bersikap, siap-siap saja orang tersebut dicap “kafir”. Selanjutnya, sangat disayangkan apabila pemahaman seperti itu kemudian mengakar kepada seseorang yang sudah dicap kafir, maka darahnya pun juga ikut halal (baca: di bunuh). Hal itu pun tidak peduli kepada siapapun orangnya, bahkan, ibu atau ayah kandungnya sendiri pun jika 'melenceng', menurut versi dia, maka dianggap kafir. Dan darahnya pun juga halal. Sungguh ironi bukan? Berawal dari kegalauan fenomena tersebut, sebenarnya kafir itu adalah 'cap' yang dipolitisasi. Bila membaca sejarah mengenai munculnya golongan Murji'ah, Khawarij, dan Mu'tazilah, telah banyak mengulas dan mengekspos kejadian-kejadian yang mengindikasikan bahwasanya istilah kafir penuh dengan nuansa politis. Bila ditelisik lebih dalam lagi, kafir sendiri tidaklah menjanjikan neraka. Karena

IDEA Edisi 32, September 2012

yang menjanjikan neraka itu adalah murtad, musyrik, dan munafik. Urusan syahadat dan pembaptisan, itu juga sangkut pautnya membincang masalah murtad dan musyrik, bukanlah kafir. Jadi, jangan takut kalau di cap/klaim oleh kelompok tertentu dengan sematan kafir. Sebagaimana yang pernah di gaungkan oleh Irshad Manji. Beriman tanpa rasa takut!. Menurut Prof. Toshihiko Izutsu, di dalam bukunya Ethico Religious Concepts in The Qur'an (1966) digambarkan bahwa, kafir yang bermakna “tertutup” itu urusannya adalah etika dalam islam, yakni orang yang hatinya tertutup kepada masalah sosial. Mata hatinya menutup diri dalam menyikapi realitas sosial masyarakat. Di sini ada sebuah pemahaman, bahwa inilah hakikat dari makna kafir, yakni lebih mengarah kepada tipologi sosial. Bukan urusan Tuhan. Seseorang yang bodoh, tidak mau berfikir, menutup pemikiran, menutup pintu ijtihad, itulah yang sebenarnya kafir. Koruptor, yang menutup dirinya kepada kondisi sosial masyarakat, dan ingin memperkaya diri sendiri, itulah golongan yang 'paling' kafir. Karena menyebabkan kerugian negara dengan memakan harta rakyat. Tak terkecuali, Kementrian Agama yang konon menjadi payung atau kumpulan para agamawan, kalau terlibat korup, juga mendapat predikat sama; kafir. Dajjal di tahun 2012 dan tahun-tahun yang akan datang pada hakikatnya adalah kemiskinan, kebodohan, anarkisme, dan korupsi (yang menjadi common enemy). Orang yang beriman, seharusnya memberantas itu semua. Dengan demikian, jangan terlalu mudah mengobral kata kafir. Karena, janganjangan Anda sendiri yang hobi mengecap “kafir” itu bagian dari orang kafir. Begitu. [Redaksi]

7


[Analisis Utama]

Mengimani Kafir

ibnuabbaskendari.wordpress.com

Diriwayatkan dari Abdullah Bin Mas`ud ra, katanya: Rasulullah menorehkan sebuah garis di atas tanah dengan jarinya lalu berkata: “ini adalah jalan Allah yang lurus”. Kemudian beliau menorehkan pula garis yang menyimpang ke kiri dan kanan garis pertama tadi, lalu berkata pula: “ Dan garis yang ini, tak lain adalah garis setan ke arah mana ia mengajak manusia melaluinya”. Selanjutnya beliau membacakan ayat: “ Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lain selain itu)” (QS. Al An'am 153), (Hadits riwayat Ahmad). Sekilas membaca hadits di atas, kita dapat menangkap bahwa ratusan abad yang lalu, Muhammad SAW berhasil melakukan pembacaan futuristik terhadap keadaan umat manusia di masa mendatang. Yakni akan terjadi perpecahan di antara mereka. Garis menyimpang ke kanan dan kiri akan menjadi kelompok yang terpecah belah karena selalu memperdebatkan perbedaan pendapat, sebaliknya jalan lurus yang digambarkan adalah jalan keselamatan. Hadits tersebut sekaligus memberikan peringatan dan kewaspadaan terhadap ajaran yang melenceng. Munculnya fenomena takfir (menuding

8

Oleh sebagian kita, mendengar kata “kafir”, sangatlah angker dan seakan harus dimusnahkan dari muka bumi. Namun, bagi sebagian yang lain, kafir itu dibutuhkan. Dalam artian, simbol kekafiran—menyematkan kata kafir—itu dibutuhkan untuk menghancurkan lawan. Oleh sebab itu, simbol kafir perlu diimani, antara dipuja dan dicela. Mengimani kafir bukan berarti kita iman kepada orang-orang ‘kafir’, dan tunduk kepadanya. Akan tetapi, kita percaya bahwa simbol-simbol kekafiran di tubuh kaum beragama itu ada, walaupun orang tersebut tidak merasakannya. apa itu kafir? apa benar kafir hanyalah simbol an sich yang tidak perlu ditakuti, apalagi di cap sebagai orang kafir. Sebelum melanjutkan membaca, redaksi mengucapkan: Proud To Be A KAFIR.

kafir) terhadap sesama muslim belakangan ini semakin meruncing. Fenomena ini telah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan perpecahan, saling tuding dan keresahan dalam masyarakat. Pemaknaan “kafir” mengalami perkembangan yang sangat cepat. Bermula dari penyematan terhadap orang-orang non muslim yang memerangi Muhammad SAW hingga julukan kafir harus dilabelkan pada orang-orang muslim juga. Sehingga budaya takfir ini menjadi bahaya laten yang terus memojokkan umat Islam sendiri, seperti memelihara musuh dalam selimut. Dari sini muncullah berbagai macam polemik yang menyebabkan kaum muslimin saling mengaku paling benar (truth claim) dan kemudian menyalahkan kelompok yang berbeda arah dengannya, bahkan hingga menumpahkan darah. Dalam Lisan Al Arab karya Ibnu Mandzur, Kafir (plural: kuffâr) berasal dari kata kafarayakfuru-kufran. Ia mempunyai multimakna seperti antonim dari iman atau tidak beriman kepada Tuhan (naqidh al iman), melakukan m a k s i a t ( ` a s ha w w a i m t a n a ` u ) , t i d a k mensyukuri nikmat (naqidh as syukr), menutup hati (al juhud wa al satr), melakukan pembangkangan dan perlawanan (mu`anadah) dan kemunafikan (nifaq). Jadi kafir (ism fail)

IDEA Edisi 32, September 2012


[Analisis Utama] bermakna orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Sedangkan takfir berarti “mengkafirkan” atau menganggap orang lain yang berseberangan pendapat sebagai kafir. Adapun dalam terminologi kultural kata ini adalah lawan dari kata syakir (orang yang bersyukur) atau merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah SWT. Dari pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa secara umum, terminologi kafir tidak hanya berlaku pada penganut agama non muslim, tetapi kepada siapapun yang melakukan maksiat, tidak mensyukuri nikmat, menutup hati, melakukan pembangkangan dan kemunafikan. Dari sini jelas bahwa umat Islam pun bisa saja dikatakan kafir jika melakukan perbuatanperbuatan tercela di atas. Takfir dan Khawarij Bila merunut sejarahnya, ternyata peradaban mengafirkan (hadlarah takfir) sesama muslim bukan sesuatu yang baru. Ia telah lama ada dalam sejarah Arab dengan munculnya Khawarij. Kaum Khawarij adalah golongan yang paling dulu membicarakan topik-topik yang berkaitan dengan kekhalifahan. Asy- Syahrastani (548 H/ 1153 M) mendifinisikan Khawarij dengan arti yang luas. Dalam pandangannya, Khawarij adalah semua orang yang keluar dari ketundukan terhadap imam (pemimpin yang sah) yang telah disepakati oleh jamaah Islam. Pemikiran dan ajaran-ajaran Khawarij hidup dan berkembang di dunia Islam dalam masa-masa yang singkat. Hal ini karena pemikiran mereka bercorak ekstrim dan mengafirkan sesama muslim. Salah satu ajaran mereka yang terkenal adalah menghalalkan membunuh orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Padahal agama Islam tidak menghalalkan darah seorang muslim kecuali dalam tiga hal yaitu pezina mukhson yang harus dirajam, pembunuh mukmin dengan sengaja yang harus dihukumi mati sebagai balasan yang sepadan, orang murtad yang boleh dibunuh karena kemurtadannya. “Setiap orang muslim diharamkan atas muslim yang lainnya, darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah) Adapun pengafiran mereka terhadap Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Khawarij bersandar pada satu-satunya alasan yaitu mereka berdua telah menetapkan hukum tidak dengan

IDEA Edisi 32, September 2012

apa yang telah diturunan Allah. Dalam hal ini dalil yang seringkali didendangkan Khawarij dalam menguatkan ideologi kelompoknya adalah “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al Maidah:44). Dalam kamus Khawarij, Utsman dinilai mengangkat kerabat-kerabatnya sebagai pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan menyeleweng (tidak profesional), maka ia dihukumi kafir. Begitu pula dengan `Ali dihukumi serupa karena mengakui putusan dua orang juru damai (`Amr Ibn al Ash dan Abu Musa al Asy`ari) yang diutus dalam tahkim dan mencopot gelar amirul mukminin dari dirinya. Hal ini yang kemudian menjadi budaya untuk mengafirkan sesama muslim lainnya, termasuk terhadap orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal (suatu perang yang pertama kali pecah dengan melibatkan sesama muslim gara-gara tertumpahnya darah Utsman) yang diantaranya terdapat sejumlah sahabat Rasulullah. Khawarij mengklaim dua khalifah ini sebagai kafir, sekalipun pemerintahan Utsman dan Ali terhadap kaum Muslim adalah sah, dan keabsahan ini telah ditetapkan pula berdasarkan ijma’ tanpa ada perbedaan. Dan sepanjang hal itu dinyatakan ijma’ maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menentangnya, kecuali bila jelasjelas terlihat sebagai orang kafir, dan yang demikian ini tak terlihat pada keduanya. Hanya saja pembunuhan yang terjadi dalam perang Jamal antara kaum muslim menjadi akidah orang Khawarij untuk mengafirkan orang-orang yang telah melakukan dosa besar (membunuh muslim), meskipun dalam beberapa referensi sejarah, seorang muslim diperbolehkan membunuh orang yang memeranginya sekalipun muslim. Namun, yang dipahami khawarij adalah diperbolehkannya menumpahkan darah muslim sekalipun tidak memeranginya. Para ulama Ahlus Sunah wal Jamaah seperti Imam Nasafi, Ibnu Hazm dan lainnya dengan cermat melakukan bantahan untuk menggugurkan penafsiran yang dijadikan pijakan Khawarij. Satu contoh, dalam bertahkim. Ali sama sekali tidak pernah berhukum kepada seorang manusia dalam urusan agama. Tetapi ia berhukum kepada firman Allah setelah kedua pihak setuju atas ajakan bertahkim kepada al-

9


[Analisis Utama] Quran. Dalam al-Quran sendiri pernah disitir “Dan apabila kamu berselisih tentang sesuatu di kalanganmu sendiri, hendaklah kembalikan persoalannya kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS, An Nisa 59). Maka mereka berpendapat bahwa kaum Khawarij adalah orang-orang Arab yang mampu membaca al-Quran namun tidak menguasai dengan baik sunnah-sunnah dari Rasulullah SAW. Hal ini diperparah lagi tidak adanya ahli fiqh yang cukup arif dan mampu memahami masalah-masalah fiqh secara mendalam. Khawarij tidak membedakan dosa kecil dan dosa besar. Sehingga siapa saja yang berbuat dosa, seperti mencuri, berzina, peminum khamr dan membunuh adalah kafir sekalipun setelahnya bertaubat. Orang Khawarij beranggapan bahwa semua orang yang berseberangan pendapat dengan mereka dalam masalah akidah dan prinsip-prinsip keagamaan berarti telah melakukan dosa besar dan dinilai kafir. Hal ini karena mereka berpegang pada beberapa dalil al-Quran: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalamalnya dan di hari kiamat ia termasuk orang yang merugi” (QS Maidah: 5), “Sesungguhnya kami telah menunjuki jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir ” (QS al Insan:3). Dengan demikian mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan di antara kekafiran dan keimanan suatu posisi yang lain. Maka barangsiapa yang menyia-nyiakan amalnya dan bertindak di luar apa yang diperintahkan Tuhannya maka ia tidak beriman atau kafir. Berbeda dengan apa yang telah dipersepsikan kaum orientalis terhadap Khawarij. Wellhausen dalam bukunya The Religio-Political Factions berpendapat bahwa kaum Khawarij muncul dari kalangan orang-orang shalih yang ahli al-Quran, hafal al-Quran dan selalu mengamalkan isinya. Sebab dalam pandangan mereka, al-Quran tidak harus dikaji, melainkan untuk diamalkan dan demi ketakwaan. Wellhausen sangat mengagumi gerakan yang telah ditorehkan Khawarij dalam sejarahnya. Ia berpendapat bahwa Khawarij adalah kelompok revolusioner yang menampakkan dirinya secara terang-terangan. Sebuah partai revolusioner yang berpegang teguh pada ketakwaan dan tidaklah muncul dari kefanatikan Arab (tribalisme), melainkan fanatisme Islam dengan upaya penuh

10

melaksanakan apa yang diperintahkan al-Quran. Sedangkan Van Vloten menamakan khawarij dengan kaum Jumhuriyyin (Republiken), sebab dalam pandangannya mereka menampilkan prinsip-prinsip demokratis yang ekstrim [Umar Abu an Nasher: Al Khawarij Fi al Islam]. Konon bahwa akar permasalahan perpecahan umat Islam semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dikarenakan kembalinya budaya fanatisme Arab yang mengagungkan kekuatan sukunya masing-masing. Maka partai ini lahir sebagai upaya politis untuk menengahi di tengah polemik tribalisme dengan menciptakan fanatisme agama. Fanatisme Islam yang hendak disampaikan kaum Khawarij adalah untuk memupus persengketaan dan perselisihan antar suku dengan kembali kepada Tuhan dalam menentukan hukum. Sebab kekuasaan tidak berada di tangan manusia, tetapi hanya pada Allah. Agar kekuasaan yang bersifat duniawi tersebut menjadi syar'i, maka sepenuhnya harus ditundukkan kepada ajaran agama, dengan demikian setiap perkara diputuskan atas nama Allah. Sedangkan menurutnya, imam hanya sebatas lambang persatuan umat Islam, tidak lebih sebagai pemangku kebijakan masyarakat. Khawarij melakukan politik praktis saat terjadi kemelut antara kaum muslim pasca perang Jamal. Kemudian mereka mencoba menjadi satu kelompok netral, tidak berpihak pada blok kanan dan kiri. Meskipun sebelumnya, mereka termasuk kalangan kaum pembela Ali bin Abi Thalib. Seiring berlalunya waktu, mereka mencium Ali telah melakukan dosa besar sehingga memvonis kekafirannya dengan keluar dari kelompoknya (Al Khirrij) yang kemudian kelompok tersebut dinamai Khawarij. Salah satu bentuk politiknya adalah pertama, takfir atau gerakan pengafiran orangorang yang seagamanya. Mereka beranggapan bahwa berperang melawan mereka adalah jihad yang disamakan dengan jihad melawan kaum kafir. Bahkan lebih ekstrim lagi dengan menganggap orang muslim yang menentangnya lebih kafir daripada Yahudi, Nasrani dan Yahudi. Kedua, politik kekhalifahan. Kaum Khawarij melakukan penyerangan kepada Utsman, Ali dan Muawiyah hanyalah bertujuan mengganti mereka dengan imam-imam yang shalih karena kebaikan duniawi dan ukhrawi tergantung pada imam.

IDEA Edisi 32, September 2012


[Analisis Utama] Imam ditafsirkan Khawarij sebagai pemimpin di dunia maupun akhirat. Dalam kacamata politik, persoalan kafir bukan lagi masalah teologis yang sering didefinisikan sebagai orang yang dengan terangterangan tanpa malu menentang dan memusuhi agama Islam, menganggap dirinya kafir dan bangga akan perbuatannya yang terkutuk. Tapi sudah masuk dalam ranah politik dengan mengatakan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan kelompok tersebut dihukumi kafir dan halal darahnya, sekalipun ia beragama Islam. Sepanjang seorang muslim pernah melakukan dosa dan maksiat maka ia menjadi kafir. Politik teologi seperti ini yang justru membahayakan banyak pihak terutama kaum muslim. Momentum sejarah takfir yang dulu pernah dikibarkan oleh partai Khawarij, kini muncul kembali dengan gerakan-gerakan Islam garis keras seperti Wahabisme dan Jam`iyyah Takfiriyyah. Khawarij yang berhasil membangun sebuah peradaban baru dalam Islam, yaitu peradaban takfir menjadi model yang menarik sehingga melakukan metamorfosis generasi Islam setelahnya untuk melestarikan budaya tersebut. Yang menjadi kekawatiran kita adalah golongan ini bisa menjadi pisau tajam dalam mengafirkan, menyesatkan, pembid`ahan, vonis syirik dan mengaku ajarannya yang paling benar. Sehingga siapapun yang tidak sesuai dengan pemahaman teologis mereka akan dicap sebagai pembangkang hukum Tuhan. Kafir adalah Sifat, Bukan Oknum Dewasa ini, isu SARA kembali mengundang simpatik oleh semua kalangan masyarakat dalam pemilukada DKI Jakarta. Agama kembali dijadikan kendaraan politik. Penyanyi, politisi, da'i, ustadz, memberikan statemen bahwa haram memilih pemimpin non-muslim (baca: kafir). [Kompas, 26/8/2012]. Benarkah demikian? Rujukan dalil al-Qur'an yang mereka pakai di antaranya adalah surah Ali Imran 28 dan Al Ma'idah 51. Dalam terjemahan versi Indonesia, ayat terakhir berbunyi : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpinpemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi

IDEA Edisi 32, September 2012

pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. Alat manjur memang, membawa isu agama di tengah 'kepentingan' golongan tertentu, terlebih dalam perebutan kursi pemerintahan. Tak peduli, jalan apapun akan ditempuh. Menghalalkan segala cara. Menyitir ayat-ayat alQur'an dan menjual hadits-hadits Nabi. Termasuk menyematkan kata “kafir” kepada musuh politik. Sungguh ironi. Menggelindingkan isu agama di tengah pemilu sering terjadi. Dulu, Megawati juga pernah jadi korban. Dengan statemen; Islam melarang memilih presiden/pemimpin dari golongan wanita. Pernyataan-pernyataan seperti itu tidak menjadi 'wow' dan aneh sewaktu pemilu. Wajar. Sangat disayangkan ketika pernyataanpernyataan yang demikian itu—haram memilih pemimpin non-muslim dan haram memilih presiden wanita—dilontarkan oleh ulama', walaupun definisi ulama' sebenarnya masih njelimet. Tidak semudah apa yang disebut ulama' atau mufti di negara Indonesia, orang bisa ndalil sedikit, mengisi ceramah ndakik-ndakikan, disebutlah ulama' atau kiai. Selanjutnya, terlepas dari problem di atas—mengafirkan di tengah isu poltik—namun masih dalam pembahasan kafir, pun kita kembali bertanya-tanya lagi. Di dalam agama Islam sendiri, tak sedikit orang islam yang memaki-maki sesama muslim, saling mengafirkan terhadap yang lain ketika keyakinannya 'sedikit' berbeda dengan pemahaman aliran yang dianutnya. Demikian juga dengan orang Nasrani, Katolik, Protestan, juga banyak yang memaki orang Islam

www.masrawy.com

Kafir politik: memberi tekanan kepada yang lain.

11


[Analisis Utama] sebagai “kafir”. Karena menurut pemahaman mereka, orang yang di luar, selain agamanya juga dinamai dengan orang kafir. Truth claim masih mendarah daging. Bahkan, doktrin-doktrin semacam: “Tidak ada keselamatan di luar Gereja” juga masih menjadi pedoman oleh sebagian kalangan dari mereka. Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah: siapa yang kafir sebenarnya? Kalau disadari, di dalam al-Qur'an cukup banyak ayat yang menyantumkan kata “kafir”. Akan tetapi, tak lain, al-Qur'an bertujuan memberikan perbandingan (Li al-muqoronah) dan pendidikan (Li al-ttarbiyyah) terhadap realitas zaman. Kafir bukan lagi dimaknai dengan teosentris, hal-hal yang urusannya dengan keimanan. Akan tetapi, kafir mewujud sebagai halhal yang berkaitan dengan manusia, Hablumminannas. Baca QS. At-Tahrim [66]: ayat 7, disana ada redaksi “Yaa Ayyuhalladziina Kafaruu...”, redaksinya memakai isim maushul (kata sambung), “alladziina”, yang mana tidak terlalu jelas (distinct) menyebut oknum sebagai bentuk perlawanan. Tidak hanya berhenti pada ayat itu saja. QS. Al-Baqoroh [2]: ayat 171 juga sama, redaksi memakai “Wa matsalul ladziina kafaruu ka matsalil ladzii yan'iqu...”. di dalam ayat tersebut, Tafsir Al-Misbah [vol 1, hal 460-461] menjelaskan bahwa orang-orang kafir, tidak berpikir dan berusaha untuk menemukan kebenaran. Mereka justru menutup mata di hadapan kebenaran, supaya tidak melihat dan mendengar. Persis seperti kambing-kambing, yang semakin penggembalanya menakut-nakuti kambing-kambing tersebut dengan satu bahaya, kambing-kambing tadi tidak memahami teriakan penggembala tadi kecuali teriakan dan suara keras. Mereka itu bagaikan hewan yang memiliki mata, telinga dan lidah, namun mereka tidak berpikir, dari itulah mereka, tidak dapat mengerti kebenaran. Begitulah sifat orang kafir; tuli, bisu, buta. Maka, dia tidak mengerti. Begitu jelas penggambarannya, maka di dalam QS. Al-An'aam [6] : ayat 108, Allah berfirman. “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka

12

apa yang dahulu mereka kerjakan”. Oleh sebab itu, apabila para ulama', da'i, yang sering menyematkan label kafir terhadap yang lain, secara tidak sadar, mereka sama saja dengan menghina Islam, karena pada ayat di atas sudah jelas bahwa Allah SWT berfirman untuk tidak memaki agama lain, atau orang lain, karena sama saja dengan memaki agama kita sendiri. Islam. Dengan demikian, sudah jelas bahwa dalam sematan kata 'kafir' itu tidak ada tujuan untuk memaki dan menghakimi sesama, dan menuduh orang lain kafir. Jadi, penggambaran alQur'an begitu detail tentang kafir, yakni bersifat karakteristik seseorang. Mengingat akar kata kafir itu berarti 'menutup'. Korupsi, anarki, walaupun yang melakukan itu dari lembaga agama yang katanya cara berislamnya sudah kaffah, tetap saja mendapatkan label kafir. Dulu, bila membaca sejarah mengenai kelompok Khawarij, yang telah disinggung oleh penulis di atas—terlepas dari isu politik—sebenarnya ada sebuah misi mulia dari kalangan Khawarij ini. Ia memberikan sematan kafir bukanlah sekedar 'ceplos' seenaknya. Akan tetapi, sebuah bentuk “revolusioner” dimana ketika itu orang beragama dan beriman hanya dari covernya saja. Sebatas simbol-simbol kulit luar. Karena beragama tidak cukup hanya mengandalkan simbol-simbol lahiriyah serta ritus jasmaniyah. Hakikat tauhid, keimanan (lawan dari kata kafir), harus dimulai dan berakar kuat di dalam hati dan penalaran sehat, lalu diikuti dengan pengamalan dan penampilan lahir. Sangat wajar apabila kalangan khawarij menilai keimanan seseorang itu tidak hanya sebatas “syahadat” saja. Tetapi juga melakukan shalat, puasa, zakat, berbaik kepada sesama, cinta damai dan lain-lain yang pada akhirnya mengarah kepada Tuhan, bersifat transenden (membumimelangit). Manusia Menjadi Tuhan Sangat risih jika isu agama atau label-label yang berkaitan dengan agama dibawa untuk kepentingan tertentu. Setidaknya, di sini ada sebuah analisis bahwa kafir dewasa ini sering dipakai untuk melumpuhkan dan menjatuhkan musuh (lawan). Dengan mengatakan kafir kepada seseorang, berarti secara psikologi ia ingin menjatuhkan sang lawan. Label sesat terhadap

IDEA Edisi 32, September 2012


[Analisis Utama] kelompok tertentu juga sama. Pada intinya ingin mengintimidasi dan mengisolir suatu kelompok atau golongan untuk diasingkan. Padahal, dalam agama Islam sudah jelas bahwa menjatuhkan atau memaki orang lain merupakan larangan. Nabi SAW sendiri telah menegaskan, bahwa orang yang menyifatkan saudara muslimnya dengan sifat kekufuran, maka hal itu adalah dosa. Bahkan tuduhan itu berbalik kepada dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar RA, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang memanggil seseorang dengan katakata kafir, atau berkata: wahai musuh Allah, sedangkan tidaklah demikian halnya, maka tuduhan dan kata-kata itu kembali dan berlaku kepada dirinya.”(HR Bukhari dan Muslim) Sehingga sangat disayangkan jika manusia ikut-ikutan mengurusi keimanan seseorang.

Di alam semesta ini saja Tuhan telah menciptakan miliaran planet. Siapa tahu di kehidupan kelak, Tuhan menyediakan beragam surga sesuai dengan agama dan kesalehan hidupnya sewaktu di dunia. -Komaruddin Hidayat-

Seakan, manusianya ingin menjadi Tuhan, yakni dengan menghukumi, melabeli, menjustis orang lain dengan sebutan kafir. Sungguh ironi bukan? Sudah marak kasus-kasus seperti ini di tengah masyarakat. Apa masih saja kita biarkan? Gejala takfir dan klaim-klaim seperti inilah yang nantinya akan memecah belah umat. Jadi, orang Islam Indonesia sukanya mengurusi keimanan orang lain. Dan ternyata ia lupa dengan “kekafiran” yang ada pada dirinya sendiri. Kalau sudah begini, maka yang terjadi adalah sebuah bentuk makar dan tiranisme dalam beragama.

IDEA Edisi 32, September 2012

Yang kemudian, posisi agama menjadi sebuah keraguan besar. Dalam perjalanan sejarahnya, agama selalu dalam posisi dibela dan dicaci. Sesama orang yang mengaku beragama pun karena berbeda keyakinan agamanya seringkali saling menyerang dan menjatuhkan. Kalau saja agama itu menjelma menjadi sosok manusia, apa yang akan ia katakan tentang dirinya yang selalu dibela, tetapi sekaligus hendak dihancurkan? Malahan, ada sebuah anggapan bahwa, di alam semesta ini saja Tuhan telah menciptakan miliaran planet. Siapa tahu di kehidupan kelak, Tuhan menyediakan beragam surga sesuai dengan agama dan kesalehan hidupnya sewaktu di dunia. Dan tidak usah khawatir pula apabila di kiamat nanti tidak kebagian surga. [Komaruddin Hidayat: 2010] Jadi, manusia tidak usah ikut mengurusi keimanan seseorang. Karena semuanya masih pada tahap meraba-raba. Serahkan saja pada Tuhan masalah surga-neraka. Bahkan menurut kalangan sufi, orang yang amalnya bagus di dunia, belum tentu mendapatkan surga di akhirat kelak nanti, apalagi, jika orang yang beramal buruk. Sangat wajar bila seorang Rabi'ah Adawiyyah, di dalam sebuah puisinya mengatakan: Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut neraka//Bukan pula karena mengharap masuk surga//Tetapi aku mengabdi, Karena cintaku pada-Nya//Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya//Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya//Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,//Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku. [Asfari MS dan Sukatno CR: 1999] Menuduh Kafir = Kafir Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perilaku “menuduh” merupakan suatu tindakan yang tidak menyenangkan. Hal ini berlaku bagi semua orang. Karena tuduhan yang dialamatkan itu jika tanpa ada bukti nyata, valid, menuduh sama dengan melukai hati. Jelas, Islam melarang hal ini. Karena dapat memicu konflik dan permusuhan, menjadikan hubungan tidak harmonis. Madhorotnya pun lebih banyak dari pada manfaatnya. Dalam qawa'idul fiqhiyyah sudah dijabarkan dengan sebuah kaidah; Dar'ul

13


[Analisis Utama] Mafaasid Muqoddamun 'ala Jalbil Masholih. Kurang lebih seperti itu. Di samping itu juga, menuduh sama halnya dengan mendzolimi orang lain. Karena dia merasa terdakwa. Al-Qur'an sendiri sudah memeringatkan kepada umatnya untuk tidak saling menuduh. Lihat QS. An-Nur: 4-5. Ayat tersebut telah menjelaskan bahwa menuduh melakukan perbuatan zina (qadzaf) sedangkan dia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, maka hukuman bagi orang yang menuduh itu adalah didera sebanyak 80 kali dera. Oleh sebab itu, al-Qur'an melarang keras. Apalagi menuduh kepada sesama yang ada kaitannya dengan teologi, ketuhanan. Lalu, bagaimana jika lembaga agama yang mengklaim dan menjustis sesat/kafir? Bukankah seharusnya lembaga agama menjadi cermin dan suri teladan bagi umat? Sepertinya, lembaga agama telah lupa bahwa di dalam kaidah asas Islam, terlebih yang menyangkut akidah, telah disebutkan bahwa tidak dibolehkannya mengafirkan seseorang dari golongan ahli kiblat, kecuali dengan bukti yang jelas dan akurat. Sebab, pada dasarnya, sosok seorang muslim adalah iman, maka mengkafirkan seorang muslim dengan tanpa alasan yang kuat adalah perbuatan yang dilarang. [Lihat: Dr Wahbah Zuhaili, Akhlakul Muslim: 'Alaqatuhu bin Nafsi wal Kaun, Darul Fikr al-Mu'asir, Beirut Lebanon, h. 298]. Dengan mengutip dalil dari al-Quran surat Ar-Ruum [30]: ayat 44, Allah SWT. berfirman, “Siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung akibat kekafirannya itu; dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan, maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan).” Kerangka Berfikir Kafir “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 82) Tuhan dengan tegas memberikan gambaran konsekuensi yang akan terjadi bila kita memilih menjadi seorang kafir atau mu'min. Kebebasan yang diberikan merupakan tanggungan masingmasing personal untuk dipikul nanti di hari

14

pembalasan. Kemandirian amal dan usaha dibebankan di pundak masing-masing manusia sesuai dengan amal perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Gambaran kehidupan manusia yang gersang dalam menjalani peradaban di dunia menuntut adanya guidance yang dapat dijadikan acuan bersama. Muhammad Syahrur mengajukan definisi moral adalah qanun sosial tak tertulis yang mengikat satu pribadi dengan pribadi lain karena keberadaannya sebagai masyarakat manusia bukan sekawanan binatang, tanpa memperhatikan struktur ekonomi masyarakat. Karena itu moral bersifat universal. (Al-Islam Wal Iman fi Mandhumatul Qiyam: 1996). Bila dirunut dalam sejarah, perdebatan kufr sebenarnya terjadi riuh rendah dalam kalangan umat Islam sendiri. Pasca terbunuhnya Ali R.A, muncul sekte-sekte dalam Islam. Khawarij, Murji’ah, Qodariah, Jabariah, Mu'tazilah dan lain sebagainya. Perdebatan itu muncul disebabkan tahkim yang dilancarkan Muawiyah terhadap Ali R.A. muncullah perdebatan kufr, iman, fasiq dan sebagainya. Muncul istilah Khawarij dipergunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang memberontak dan tidak mengakui keabsahan imam yang sah, baik pada zaman sahabat, terhadap empat orang khalifah pilihan atau pada masa tabi'in atau terhadap imam-imam yang sah di sepanjang masa. Kelompok-kelompok Khawarij yang terpenting adalah al-Muhakimah, al-Azariqah, an-Najdiyah, al-Baihasiah, al-Ajaridah, ats-Tsa'labiyah, ashShufriyah, dan beberapa kelompok lain yang menjadi kelompoknya. (Al-Syahrastani; Al-milal Wan-Nihal) Menurut Adonis, Khawarij dipandang sebagai gerakan revolusioner. Kelompok ini berani lantang menyatakan bahwa mereka meragukan prinsip-prinsip yang telah mapan. Diantara prinsip-prinsip tersebut, kepemimpinan atau khilafah, khilafah dari suku Quraisy, dan loyalitas kepada pemimpin. Namun ada kelemahan dalam gerakan ini, prinsip kebebasan tidak diakui dalam Khawarij. Inilah yang menyebabkan mereka mengkafirkan semua orang yang tidak sependapat dengan mereka, dan yang

IDEA Edisi 32, September 2012


[Analisis Utama] mendorong mereka mengumumkan –sebagai kelanjutan– perang terhadap Ali. Dari sinilah, dapat dikatakan bahwa kehidupan Khawarij adalah upaya melakukan pemberontakan terusmenerus. (Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam: 2012) Lebih lanjut, diterangkan Amir An-Najjar dalam Aqidah wa Fikran wa Falsafatan (terj. Solihin dkk; 1993) bahwa keekstriman dan keketatan gerakan Khawarij dalam memahami agama ditopang oleh kondisi psikologis dan lingkungan hidup mereka sebagai orang Badui yang berasal dari suku Rab'i yang keras. Mereka hadir di muka bumi ini dengan prinsip-prinsip yang keras seperti itu. Bila ditilik secara bahasa kufr dimakai menutupi. Namun, dalam term isthiliahi (terminolgi Islam) menurut ahlussunnah dan Asy'ariyyah kufr merupakan pendustaan terhadap Rasulullah dan ajaran-ajarannya. Sedangkan menurut Mu'tazilah bahwa kufr, bertolak dari pengertian iman yang mereka anut, bahwa tidak cukup dengan tashdiq (pembenaran) saja. Bertumpu pada amal. Dengan demikian, kufr adalah meninggalkan larangan-larangan-Nya. Namun, Mu'tazilah juga mempunyai term tersendiri yaitu fasiq (orang yang meninggalkan perintah dan atau melakukan pelanggaran, khususnya yang berakibat dosa besar), (Harifuddin Cawidu; 1991). Kemudian, muncul pertanyaan; “Bagaimana dengan mereka yang melakukan dosa besar?”. Alkabair (dosa besar) adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah dan rasulnya yang telah termaktub dalam al-Quran, sunnah, atsar salafus shalihin. Bahkan terdapat 70 perbuatan yang termasuk dalam dosa besar, hal ini telah diterangkan secara rinci dalam kitabnya al-Kabair. (Muhammad Adzahaby: 1996). Bahaya takfir secara bebas Toshihiko Izutsu menggunakan teori semantik untuk menganalisa konsep takfir gerakan Kharijiyyah (Khawarij). Menurutnya, konsep al-Quran sudah jelas bahwa muslim adalah mereka yang berada dalam lingkaran Islam sedangkan kafir mereka yang berada di luar lingkungan Islam. Hal ini berbeda dengan

IDEA Edisi 32, September 2012

interpretasi yang diajukan oleh Kharijiyyah. Terdapat juga orang muslim-kafir yang berada dalam lingkaran muslim. Celah ambiguitas dalam konsep Islam terdapat tidak adanya prosedur “penyerahan/ Islam” yang sangat ketat, sehingga cukup dengan mengucap dua kalimat syahadat sudah menjadi seorang Muslim. Celah inilah menurut konsepsi Kharijiyyah memunculkan istilah muslim sejati dan muslim palsu. Muslim palsu menurut pandangan Kharijiyyah hanyalah muslim nominal, namun kenyataannya tidak lain sebagai kafir. Dan mereka adalah unsur-unsur yang lebih berbahaya karena mereka hanya muslim nominal. Mereka hidup dalam lingkaran, bercampur dengan muslim sejati; mereka dipandang sebagai muslim sejati; mereka diperbolehkan menikmati semua hak-hak istimewa, baik spiritual maupun maupun material, yang seharusnya hanya diberikan kepada muslim sejati, (Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam Analisis Semantik Iman dan Islam: 1994) Izutsu menengarai bahwa secara lebih umum, takfir sebagian besar masih merupakan persoalan yang bersifat praktik, suatu alat praktik bagi kelompok politik. Dengan demikian terbuktilah bahwa ia merupakan senjata yang sangat berbahaya di tangan orang-orang yang terikat secara fanatik terhadap sekte mereka sendiri. Diri kita kafir Pada dasarnya manusia tidak menjadi kufr, potensi ini datang setelah manusia hidup di dunia. Dalam QS. Al-A'raf ayat 172, menurut Zamakhsyari secara metaforis menjelaskan bahwa manusia seolah-olah sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk mengakui keberadaan-Nya sebagai Tuhan dan bersedia menaatinya. Janji ini berwujud penganugerahan akal, (Yunus: 100) yang dapat digunakan untuk memikirkan tandatanda keberadaan Tuhan dan kebesarannya di alam ini. Selain itu, kalangan muhadditsin (Imam Malik, Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan Ahmad) menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah (bersih), ayah dan ibunyalah yang menjadikan anak tersebut

15


[Analisis Utama] Yahudi, Nashrani atau Majusi. Hadits ini kemudian diterangkan oleh Syaikh Mutawalli Assya'rawi, seorang ulama terkemuka Mesir, yang fitri pada manusia adalah iman. Sedangkan kufr bersifat mendatang. Terjadinya kekafiran pada diri manusia adalah karena adanya faktor kealpaan atau kelupaan (ghaflat) yang menjadi salah satu watak asli mereka. Kealpaan dan kelupaan itulah yang menyebabkan pudarnya iman. Bahkan iman akan menjadi sirna sama sekali jiwa ghaflat itu terjadi secara terus menerus. Hal ini menurut Al-Sya'rawi sejalan dengan kata kufr yang berarti menutupi. Ghaflat itulah yang menyebabkan orang menjadi kafir dan kekafiran itu datang menurut fithrah iman yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, salah satu fungsi dakwah (amr ma'ruf nahi munkar) adalah untuk menyadarkan manusia dari kealpaan, dan mengembalikan dia kepada fithrahnya yang semula. (Harifuddin Cawidu; 1991) Fithrah merupakan hasil karya Allah yang dilekatkan pada manusia, maka tidak ada orang lain yang dapat menganugerahi kenikmatan berupa nikmat selain Allah. Masih membahas fithrah, Syahrur, seorang ulama kontemporer Syiria berkomentar, fithrah tidak membutuhkan risalah dari langit (pengajaran). Namun, yang diperlukan adalah iman—dalam bentuk ritual, ibadah, perbuatan, amalan, perilaku, sikap—memerlukan pengajaran dan petunjuk, terutama dari Allah. Dengan mengikuti ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah. Sehingga kita bisa menjadi ibad (hamba) yang melakoni jalan kebenaran dengan melakukan segala bentuk ritual-ritual yang diajarkan oleh Rasulullah. Menjadi muslim merupakan sebuah penyesalan yang diucapkan oleh kafir ketika mereka telah memasuki alam akhirat. Bahkan, Islam merupakan batas minimal menjadi seorang manusia. Hal ini menjadi acuan Syahrur dalam kitabnya Al-Islam, guna memberikan ulasan surat Al-Hijr: 2. Syariat Islam merupakan agama petunjuk, agama kebenaran, agama yang bernilai tinggi, yang diwahyukan kepada Muhammad, yang bermula sejak zaman Nuh, terus bergulir dan berkembang hingga Muhammad (sesunggguhnya

16

aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq). Hal ini diterangkan dalam surat AsySyura: 13. Dan yang dimaksudkan dalam menegakkan agama (an'aqimud din) dengan meng-esakan Allah, beriman kepada-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya. Pembacaan diri Horkheimer dan Adorno menganalisis abad pencerahan sebagai kontradiksi akan mitos. Banyak hal yang tidak sesuai dengan cita-cita yang diinginkan oleh peradaban yang sesungguhnya. Ukuran dari pencerahan salah satunya adalah penghargaan terhadap apa yang dibelanjakan dan memberlanjakan apa yang dia anggap berharga. Komunikasi menegaskan keseragaman di antara manusia dengan mengisolasi diri mereka sendiri. (Dialektika Pencerahan: 1996). Lebih lanjut, Adorno tidak setuju dengan kebudayaan massa. Yang hanya mengedepankan penafsiran kapitalisme yang keliru. Kesalahan ini mengakibatkan kebudayaan menjadi semacam diskursus yang berlandaskan akan komoditi dan hukum-hukumnya. Kembali pada masalah iman dan amal shaleh. Iman sebagai lanjutan dari pribadi yang Islam. Tidak hanya berhenti pada mukmin saja. Terdapat segitiga iman, islam dan ihsan (beribadah seakan-akan Tuhan melihat sedangkan bila kau tak mampu melihatnya bahkan Tuhan melihatmu). Iman dan amal shaleh dapat diibaratkan layaknya benda dan bayangannya. Apabila keduanya terpisah, maka tak akan menimbulkan signifikansi terhadap diri seseorang. Manusia tidak akan menjalankan perbuatan kecuali dengan kadar kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (Al-Baqarah: 286). Tidak ada batasan untuk menjadikan keseragaman, seperti yang dianalisis Adorno tentang zaman pencerahan. Mayoritas sekte Asy'arisme memperbolehkan seseorang untuk menyatakan bahwa “aku adalah mukmin insya Allah�. Demikian itu bukan untuk membangun keraguan

IDEA Edisi 32, September 2012


[Analisis Utama] dalam dirinya, tetapi, dalam rangka penerimaan, pemurnian, atau pengakhiran (segala sesuatu). Di satu sisi, sekte Mu'tazilah dan Khawarij meneliti (bukti) kebenaran keimanan pada saat ini (alhadhir) melalui praksis tindakan dan pengokohan pada saat itu merupakan akhir yang baik. Pendapat Asy’arisme tersebut terus berlaku hingga sekarang ini sehingga kata-kata insya Allah menjadi selubung yang menyelubungi atau membungkus minimalitas praksis tindakan atau hilangnya praksis tindakan itu secara mutlak. Kufur adalah pengingkaran terhadap sesuatu yang diketahui secara pasti dibawa oleh Rasul. Konsekuensinya sekte Asy'arisme tidak memandang kafir seorangpun dari ahli kiblat dengan alasan bahwa mereka mengingkari terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, tetapi secara prediktif, dibawakan oleh rasul. Dari sini setiap orang yang menyatakan “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” menjadi relevan dalam komunitas islamiyyah (al-ummah al-islamiyyah) dan menjadi personal di dalamnya. Di samping itu, tidak diperbolehkan intervensi di dalam jiwa manusia dan melakukan investigasi atas rahasiarahasia mereka. Sebagaimana yang terjadi pada masa kita ini untuk memprovokasi permusuhan dan pencelaan secara terbuka di hadapan masyarakat. Hal. 46 (Hasan Hanafi; Islamologi 1 Dari Teologi Statis ke Anarkis; LKis, cet II April 2007 Yogyakarta)

Kita berkumpul dengan masyarakat yang majemuk, berbeda suku, agama, ras, dan warna kulit. Menghormati hak–hak dan kebebasan individu lain untuk menjalani hidup mereka sendiri sendiri merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari pembangunan peradaban. IDEA Edisi 32, September 2012

Perdebatan akan penciptaan iman dan kafir tidak akan berakhir dalam koridor wacana saja. Sebagai mukmin sejati, masih mempunyai senjata yang ampuh yaitu dengan berdoa. Sebagaimana dalam Ali Imran: 8. "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)". Kita tidak boleh mengukur hal yang baik dan buruk yang dilakukan oleh Tuhan dengan standar yang valid bagi manusia. Tuhan bebas mutlak. Apapun yang dilakukannya, bagaimanapun yang diputuskannya, dia adil dan bijaksana, hanya jika obyek kehendak tuhan diwujudkan dalam dunia realitas manusia dan dilihat dari sudut pandang manusia, maka beberapa perbuatan Tuhan itu menjadi baik, dan beberapa yang lain menjadi buruk. Komentar Ibnu Hazm dalam menanggapi masalah kebaikan dan keburukan. (Al-Fashl Fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal: 1996) Kita berkumpul dengan masyarakat yang majemuk, berbeda suku, agama, ras, dan warna kulit. Menghormati hak–hak dan kebebasan individu lain untuk menjalani hidup mereka sendiri sendiri merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari pembangunan peradaban. Nigel Ashford (2010) memasukkan tolerasi sebagai bagaian prinsip-prinsip masyarakat merdeka. Tolerasi yang dimaksud adalah membiarkan keberadaan atau kejadian yang tidak disukai atau tidak disetujui tanpa campur tangan. Menurut Ashford toleransi adalah kemampuan atau kemauan untuk melakukan tolerasi. Yang menjadi ciri tolerasi dengan menyatakan ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu dan menolak untuk memaksakan pandangan sendiri terhadap orang lain. Moral dan hukum menjadi acuan dari tolerasi. John Locke dalam pernyataannya pernah mengungkapkan semua orang bisa salah. Pernyataan ini ada benarnya. Sehingga, kita tidak bisa menindak atau menyatakan orang lain bersalah. Bahwa tolerasi menjadi kebutuhan yang harus dijalankan dalam berhubungan dengan masyakarat. [Ay/Au/ZfIDEA]

17


[Tamu Kita]

KAFIR

itu Menutup Diri, Bukan Klaim dari Orang Lain

S

Bagaimana pendapat Anda tentang pemaknaan terminologi kafir dalam teologi Kristen? Dalam teologi Kristen, terminologi kafir harus dilihat dari tiga (3) hal. Pertama yaitu faktor historis. Yang saya maksudkan dengan faktor historis dalam tradisi Kristen adalah dia mewarisi tradisi Yahudi yang sudah mengkristal menjadi Yudaisme. Yudaisme mengklaim bahwa dia itu biji mata Allah, yang dimaksud adalah agama yang paling benar, umat yang paling benar, bahkan pesan yang paling benar. Maka untuk mengenal Allah harus menjadi Yahudi dulu dengan mentaati segala aturan, seperti khitan itu wajib, makan halal haram itu harus dibedakan, dan mengikuti ibadah. Inilah akar konsep kafir dalam Yahudi. Dalam tradisi Yahudi kuno, kafir itu berarti di luar tenda, di luar kelompok mereka. Kedua adalah klaim gereja tentang pemaknaan menjadi ciptaan baru. Gereja-lah yang menentukan seseorang sudah menjadi ciptaan baru atau belum. Sehingga lembaga-lembaga gereja itu terjebak menjadi lembaga Yudaisme

18

baru. Yang menjadi ciptaan baru adalah yang sering ke gereja, menepati irama-irama gereja. Ini mirip dengan Yudaisme. Jadi yang berada di luar gereja tidak serupa dengan Allah. Di luar gereja tidak ada umat yang baik. Sejarah ketiga, tradisi protestanisme yang mengkritisi tembok-tembok gereja di atas. Namun, akhirnya, pemahaman itu terjebak dan masuk kotak-kotak yang lebih kecil lagi. Jadi tembok-tembok yang ada dalam protestan membuat orang merasa paling benar. Sehingga menjadi makin sempit yang di luar kesempitanya itu adalah kafir. Penilaian terhadap orang lain serta standar kafir atau tidak, bukanlah doktrin agama lagi, tetapi sudah mengarah ke like-dislike. Adakah tradisi untuk saling kafirmengkafirkan di dalam teologi Kristen sebagaimana yang ada dalam Islam? Kami tidak punya tradisi memanfaatkan power. Karena kami terhalang dua hal. Satu, keyakinan dasar kami bahwa Allah sangat mengasihi dunia. Kedua, Kristen mulai sadar kalau doktrin-doktrin itu bukanlah wahyu melainkan respon manusia terhadap wahyu.

IDEA Edisi 32, September 2012

Ayis/IDEA

ekarang ini, umat islam, terutama kelompok garis keras sudah terlanjur berparadigma bahwa setiap orang yang berada di luar Islam, Yahudi dan Nasrani, dianggap sebagai kafir dan halal darahnya. Begitu mudahnya mereka mengkafirkan dan menghalalkan darah orang lain. Sungguh sebuah pandangan yang mengerikan. Anggapan seperti itu memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena di dalam literatur umat islam sendiri memang mengatakan hal tersebut (baca surat Al-Maidah ayat 17, 72, dan 73 dan Kitab Shohih Bukhori bab zakat). Namun, term kafir dalam alQur'an tidak hanya digunakan dalam konteks itu saja, karena orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah juga disebut dengan istilah kafir (surat Ibrahim ayat 7). Terlepas dari itu semua, bagaimana sebenarnya pandangan Pendeta Gunarto, S.TH, M.SI, M.HI, orang-orang non-muslim tentang kafir itu sendiri. Apakah dalam Dosen di STT ABDIEL Ungaran. teologi mereka juga memiliki pemahaman yang sama dengan umat Islam mengenai term kafir? Berikut hasil wawancara wartawan IDEA, Ayis Mukholik dan Chandra Yusuf Kurniawan beberapa waktu yang lalu dengan seorang pendeta dan pakar hermeneutik, Bapak Gunarto, S.TH, M.SI, M.HI, Dosen di STT ABDIEL Ungaran.


[Tamu Kita] Maknanya adalah bukan abadi, tetapi kontekstual. Manusia harus dipahami secara kontekstual. Ini adalah pagar. Namun, meskipun ada pagar tadi tapi kami tetap like-dislike itu. Bagaimana pendapat anda tentang istilah kafir (menutupi) jika ditilik dari sisi sosial dan hermeneutika? Dalam hermeneutika Kristen tidak ada istilah kafir dalam arti menutupi. Jadi kesucian itu bukan milik orang tertentu, tapi hadir dalam pernyataan hidup god and history. Suci adalah memiliki keyakinan Sang Maha Suci hadir dalam hidup. Gusti hadir tidak peduli hidupmu itu apa, karena telah dirahmati. Inilah yang menjadi titik tolak pemahaman kafir. Hal ini bukan berarti menutup orang lain dari pihak kita, tapi orangorang yang dalam hidupnya bebal karena Gusti, hidayat dan rahmat telah datang tapi masih menutup diri dari hidayat Allah. Kafir bukanlah klaim (judgment) dari orang lain, tapi menutup diri sendiri. Yang ada a d a l a h t r a d i s i mengkafirkan diri sendiri. Orang yang mengkafirkan diri sendiri celaka betul karena menolak hidayat Allah. Terminologi pengkafiran itu tidak ada, tapi yang dikenal adalah teologi pengkafiran diri sendiri. Orang yang mengkafirkan diri sendiri dalam arti menolak Allah menjadi loser. Orang yang suka mengeluh dan tidak mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah. Kalau winner itu mencari solusi, respon illahi, sedangkan loser itu mencari alasan, tidak melihat nikmat Allah dalam dirinya tapi menyalahkan orang lain, menyalahkan Allah. Kafir itu identik dengan loser, bukan winner.

dipahami secara kontekstual termasuk juga penafsirnya, apakah dia memahami secara pra paham atau pra duga. Apa pendapat Anda tentang orang-orang yang suka menuduh orang lain kafir? Mereka menutup tendanya, maka kafir adalah di luar tenda, padahal rahmat Allah sangat luas. Panggilan adzan itu adalah teriakan Allah Akbar dari kaum hati yang takjub, sebuah panggilan hati. Tapi, seruan orang-orang garis keras, FPI dan HTI, adalah seruan untuk mengganyam orang. Hal ini karena mereka menutup tendanya untuk orang lain, bahkan untuk kebesaran Allah. Ini menimbulkan ketakutan dalam diri, bahkan muncul keinginan untuk kabur lebih dulu. Mengapa bahasa Allah Akbar dijadikan sebagai bahasa komando. Saya tidak boleh menyalahkan mereka, karena mereka sedang merasa berjalan di jalan yang benar. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa sebenarnya yang menggerakkan mereka.

“ Kafir bukanlah klaim (judgment) dari orang lain, tapi menutup diri sendiri. Yang ada adalah tradisi mengkafirkan diri sendiri. �

Bagaimana perspektif orang Kristen memandang orang non-Kristen? Orang Kristen tidak pernah menganggap orang lain kafir. Kita harus melihat orang lain sebagai bagian dari pesan Tuhan yang menyuarakan pesan Allah bagi kita. Maka dalam tradisi hermeneutika Kristen kitab suci harus

IDEA Edisi 32, September 2012

Jika orang seperti koruptor dikatakan kafir, bagaimana pendapat Anda apabila d i l i h a t d a r i p e m a k n a a n kontekstual kafir? Ya tidak apa-apa. Jadi ada kreativitas bahasa iman yang bersimbol respon kita pada Allah. Orang yang mengambil hak orang lain itu pantas dikafirkan, karena dia melawan martabat manusia melawan Allah dan juga melawan pesan rasul. Hal itu harus kita kafirkan, jadi jangan diikuti pola hidupnya. Kalau kita mengikutinya dengan pasif, akan membuat mereka merajalela. Para pejabat yang berjuang dengan kedok atas nama buruh itu wajib dikafirkan. Negara yang membiarkan rakyatnya dalam kebodohan adalah negara yang beramah tamah dengan kekafiran, karena tidak menghargai martabat manusia. Negara yang menutup diri dan tidak menghargai dari hak-hak rakyatnya, berarti mengkafirkan diri sendiri. [Ay/Chan-IDEA]

19


Chandra/IDEA

[Tamu Kita]

Kafir: Sebuah Keyakinan, Bukan Perbuatan

Choirul Anam, Ketua HTI Semarang Jawa Tengah

Walaupun al-Qur'an dan Hadist sudah panjang lebar memberikan sebuah tanda (sign) tentang istilah kafir, dan sejarah juga sudah menjawabnya, akan tetapi, re-interpretasi dari masing-masing kelompok, golongan, ormas mempunyai perspektif tersendiri dari makna kafir. Faktanya, di Negara Indonesia, justis atau klaim kafir masih mengalir deras. Di sudut-sudut perbedaan ideologi dan di tengah hiruk pikuk kampanye, klaim ini menjadi alat manjur untuk menaklukkan lawan. Kafir, sama dengan politik, untuk merebut kuasa. Pembahasan tentang terminologi kafir tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada penafsiran dan pemaknaan lain dari berbagai golongan. Tidak hanya dari kalangan Islam saja, non-Islam pun juga punya penafsiran tersendiri tentang makna kafir. Terlebih, bagi ormas islam yang sering menyuarakan “syari'at islam�. Otomatis mempunyai pemaknaan kafir yang 'beda'. Sehingga, hal itulah yang menjadikan tema “kafir� semakin seksi untuk dibaca dari zaman ke zaman. Dengan demikian, bagaimana pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam menafsiri atau membaca realita dari gejala takfir? Berikut wawancara wartawan IDEA, Awaluddin Iskandar dan Chandra Yusuf Kurniawan, dengan Bapak Choirul Anam, Ketua HTI Semarang yang juga menjadi dosen fisika Uneversitas Diponegoro Semarang.

20

Bagaimana pemaknaan terminologi kafir dalam sudut pandang Hizbut Tahrir Indonesia? Perbincangan tentang istilah kafir merupakan pembicaraan yang tidak menyenangkan. Ini karena apabila ada orang yang berkata kafir, maka ia dicap sebagai teroris, sebagai orang yang tidak bisa menerima perbedaan. Secara bahasa, kafir bermakna ingkar. Apabila kita mengingkari pancasila sebagai dasar negara, maka secara bahasa kita termasuk orang kafir. Di dalam Islam, terminologi kafir adalah lawan dari mukmin. Secara istilah, pengertian kafir yang dipahami oleh HTI adalah orang-orang yang mengingkari Allah dan apa-apa saja yang dinyatakan oleh-Nya secara qoth'i. Lebih tepatnya, orang-orang yang mengingkari semua dalil qoth'i, baik qoth'i tsubut maupun qoth'i dalalah. Jadi, orang yang tidak mengakui kewajiban zakat, hukum qishash dan lainnya adalah kafir. Untuk menilai orang lain kafir atau tidak, perlu dilakukan tahqiqul manat atau penelitian, apakah orang itu mengingkari syari'at atau tidak. Oleh karena itu, HTI tidak pernah menuduh orang lain kafir. Sebab, kalau penilaian yang mengatakan orang lain kafir itu salah, kekafiran itu kembali pada kita sendiri. Jadi, pemaknaan kafir yang selama ini dipegangi oleh HTI adalah kafir secara konsep. Bagaimana Anda melihat banyaknya fenomena ormas islam yang suka mengkafirkan dan bertindak anarkis? Terkait dengan ormas yang suka mengkafirkan, memang ada yang seperti itu. Hal itu, biasanya, karena mereka tidak melakukan tabayyun terlebih dahulu. Sehingga mereka mengkafirkan sesuatu hanya karena mis-informasi atau karena dalil yang dzon. Tetapi jika memang seseorang terbukti kafir, kita tidak perlu takut untuk mengatakan kafir, meski dianggap tidak toleran. Tidak toleran itu sebenarnya bukan dengan menganggap orang kafir sebagai bukan kafir, dan sebaliknya. Tetapi sikap tidak toleran adalah berlaku semena-semena hanya karena adanya perbedaan, misalnya perbedaan keyakinan agama.

IDEA Edisi 32, September 2012


[Tamu Kita] Kemudian terkait dengan tindakan anarkis yang biasa dilekatkan pada ormas Islam, FPI misalnya, setahu saya tidak begitu. Saya kenal dekat dengan FPI dan setahu saya mereka tidak pernah mendlolimi orang kafir karena kekafirannya dan tidak pula membakar gereja maupun biara. Apa yang dilakukan oleh FPI adalah menertibkan kondisi masyarakat yang seharusnya dilakukan oleh polisi, tapi tidak dilakukan, dan dibiarkan. Sebagai contoh, apabila ada perjudian di tengah masyarakat, mereka melapor pada polisi. Namun, dari pihak polisi tidak ada tindak lanjut. Sehingga, FPI menindak lanjuti sendiri hal itu. Sayangnya, apa yang mereka lakukan itu terkadang dipelintir oleh media massa. Jadi, apa yang terdapat dalam media berbeda dengan apa yang dilakukan FPI sebenarnya ketika sweeping. Itu yang saya ketahui. Apabila terminologi kafir ditilik secara kontemporer, apakah mereka, sebagaimana koruptor, tergolong orang kafir? Jadi begini, secara bahasa, kata kafir itu bisa dipakai untuk ngomong apa saja. Tetapi dalam pandangan syari'ah, terminologi kafir itu sesuatu yang definitif, yaitu tidak meyakini Allah dan apa-apa yang disebutkan dalam nash-nash alQur'an secara qoth'i. Kafir itu masalah keyakinan, bukan soal perbuatan. Orang yang tidak meyakini wajibnya shalat, maka dia kafir. Beda halnya apabila ada orang meyakini wajibnya shalat tetapi dia tidak menjalankannya, maka dalam pandangan islam dia bukan orang kafir, tapi orang yang berdosa. Dalam hal korupsi, jika ada orang yang mengatakan bahwa korupsi itu “halal”, maka dia kafir. Tapi, kalau ada orang mengatakan korupsi itu “haram” tetapi dia tetap melakukannya, maka dia tidak kafir melainkan berdosa. Namun, karena ini dilakukan secara terang-terangan, maka dia termasuk orang yang fasiq (lawan adil). Maka dari itu, kita harus berhati-berhati dalam menggunakan istilah kafir. Kata ini hanya diterapkan pada orang-orang yang kafir secara syar'i. Bagaimana Hizbut Tahrir menyikapi adanya paham pluralisme yang menganggap bahwa semua agama itu benar?

IDEA Edisi 32, September 2012

Merasa benar itu hal yang wajar. Hizbut Tahrir tidak pernah alergi dengan orang yang menganggap dirinya benar. Jadi, ketika ada orang yang merasa dirinya benar itu wajar. Tapi dalam al-Qur'an, Allah telah menyatakan yang benar adalah Islam. Silahkan agama lain mengatakan bahwa mereka benar, akan tetapi yang benar dalam pandangan Allah adalah Islam. Sebagaimana yang tersirat dalam ayat “innaddiina 'indallahil islam…”, bahwa mereka (agama-agama) tetap diberi hak untuk hidup saling berdampingan, tapi yang benar adalah Islam. Lalu, bagaimana Hizbut Tahrir menyikapi kemajemukan yang ada, di bawah bayangbayang pluralisme? Kemajemukan (pluralitas, red) merupakan sesuatu yang alamiah. Tidak ada masalah dengan pluralitas karena ini merupakan realitas. Hanya saja, ini berbeda dengan pluralisme, yaitu suatu keyakinan yang dibangun di atas pluralitas, artinya dalam paham pluralisme kita tidak boleh menerapkan hukum apapun, kecuali telah disepakati oleh semuanya. Oleh karena itu, HTI menolak paham ini. Dalam pandangan kami, hukum yang harus diterapkan adalah hukum Allah; hukum yang sudah terbukti adil dan bisa diterapkan baik bagi umat Islam maupun non-Islam. Islam mengajarkan untuk menghormati, melindungi dan tidak mendlolimi orang lain, meskipun itu non-muslim. Sebagaimana ayat “wa laa yajrimannakum syanaaanu qaumin 'alaa alla ta'diluu ” (baca al-Maidah 8). Artinya, jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikanmu untuk berlaku tidak adil. Hal ini sudah terbukti, dimana pada masa Umar ibn Khathab, orang non-muslim diberi kebebasan untuk menjalankan keyakinan mereka. Hukum seperti inilah yang menciptakan keadilan di masyarakat. Tidak ada yang namanya syari'at Islam itu memaksa non-muslim. Dalam pandangan HTI, sebetulnya tidak apa-apa syari'ah Islam itu diterapkan dalam negara majemuk. Sebab, kemajemukan itu akan berada dalam keharmonisan. Lain halnya apabila yang diterapkan itu hukum selain Islam, maka kedloliman yang akan terjadi. Sebagai contoh adalah tragedi muslim Rohingya di Myanmar saat ini.

21


[Tamu Kita] Kemudian, apa saran Anda bagi umat Islam yang tinggal dalam kemajemukan, seperti negara kita, Indonesia? Pertama, sebagai umat islam, kita harus percaya diri dengan keislaman kita. Sebab, Islam itu agama yang ya'lu wa la yu'la 'alaihi (agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi). Bahwa Islam itu agama yang menyejahterakan, menyatukan dan membuat kita maju dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terbukti dalam sejarah. Apabila kita menjalankan Islam secara konsisten, maka kita akan berada dalam kesatuan dan kemajuan. Kita, umat Islam, tidak perlu minder dengan nama Islam, dan tidak perlu malu dalam menyeruhkan syari'ah Islam. Kedua, ketika kita menganut agama Islam, maka harus bisa memanifestasikannya dengan baik. Janganlah kita menggunakan Islam untuk kepentingan pribadi, merusak fasilitas umum dan mendlolimi orang lain. Sebab, Islam merupakan ajaran yang datang dari Allah dan menyuruh untuk berbuat adil sekalipun pada orang yang dibenci. Terakhir, marilah kita mulai melek, kritis dan tidak begitu saja menerima berita, melainkan

harus diklarifikasi dulu. Kami ingin menyampaikan bahwa Islam mengajarkan kita untuk mengklarifikasi berita. Mari kita lakukan check and balance. Sehingga, kita bisa memberikan respon yang benar dan bukan respon yang berdasarkan pada prasangka, kebencian dan salah informasi. Insya Allah, dengan itu kita akan menjadi umat yang rahmatan lil 'alamin. [Chan/ Is-IDEA]

Marilah kita mulai melek, kritis dan tidak begitu saja menerima berita, melainkan harus diklarifikasi dulu.

Bagimu Surgamu, bagiku Surgaku*

[Rehat] masuk surgamu, kami punya surga

sosial antarpemeluk keyakinan agama

sendiri. Masing-masing agama punya

yang berbeda.

surga dan neraka. Nanti kamu akan Seorang Ibu, sebuat saja Bu Tuti, suatu saat menceritakan sebuah kisah ketika ia mengunjungi anakcucunya di Kanada. Diantara obrolan dengan cucunya yang membuat Bu Tuti tertawa bercampur kaget adalah ketika teman sekelas cucunya mengatakan bahwa sang cucu nanti akan masuk neraka karena tidak memeluk Kristen, mengikuti ajaran Yesus. Islam adalah agama teroris yang suka membunuh orang dan nanti akan masuk neraka. Menerima ejekan dua tuduhan itu, sang cucu menjawab, “Islam tidak mengajarkan terorisme dan kekerasan. Saya tidak akan

22

masuk surgamu dan aku akan masuk

Jika memang tidak seiman, tidak ada paksaan dalam memeluk

surgaku,�cerita Bu Tuti mengulangi

suatu agama, namun mari kita jaga

apa yang dikatakan sang cucu kepada

perdamaian dan ciptakan tatanan

teman sekolahnya.

sosial yang baik. Urusan akhirat

Dia tertawa sekaligus kaget,

biarlah Allah yang menyelesaikan

dari mana gagasan jawaban itu bisa

nanti. Sekali lagi, ini adalah reflleksi

muncul. Cerita tadi kelihatannya

psikologis. Adapun tiap-tiap agama di

sepele, hanya berkisar soal kasih

akhirat nanti memliki surga dan

sayang dan kekaguman nenek kepada

neraka yang berbeda, realitanya di

cucunya. Namun sesungguhnya,

luar jangkauan manusia yang masih

guyonan serupa kerap muncul dalam

sama-sama hidup di dunia ini. Kita

berbagai forum seminar dan dialog

semua belum mati.

agama, baik tingkat nasional maupun internasional. Memang terdapat ayat

*Cerita ini disadur dari buku

Al-Qur'an yang menyatakan,�Bagimu

Psikologi Agama, Menjadikan Hidup

agamamu, bagiku agamaku.� Ayat

Lebih Ramah dan Santun (2010)

ini berkaitan dengan etika dan relasi

IDEA Edisi 32, September 2012


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.