ENERGI TERBARUKAN TANPA MENGORBANKAN PERMINTAAN PASOKAN MINYAK SAWIT GLOBAL
INDONESIA’S PALM OIL B50 BIODIESEL BLEND AIMS FOR RENEWABLE ENERGY WITHOUT COMPROMISING GLOBAL PALM OIL SUPPLY DEMANDS
EDITOR’S NOTE
Kenny Yong
Managing Editor
Kenny Yong
Publications Manager
Amelia Lim
amelia@fireworksid.com
Editorial Consultant
Kenny Yong
Content Editor
Kristina Yang
Media Executives
Paulina Shu
Veronica Anugrah
Graphic Designer
Kelly Chou
Publisher
Dear Esteemed Readers,
Welcome to the latest edition of our magazine, where we delve into the everevolving world of renewable energy, sustainable practices, and technological advancements. In this issue, we focus on Indonesia’s significant progress in the palm oil industry and its broader implications for global sustainability.
One of the key highlights is Indonesia’s B50 biodiesel initiative, which blends 50% palm oil into biodiesel. This pioneering move not only accelerates the nation’s renewable energy efforts but also ensures the global supply of palm oil remains stable. It’s a testament to Indonesia’s commitment to balance ecological responsibility with economic growth, setting a benchmark for the future of biofuels.
As always, we are deeply grateful to our contributors, advertisers, and, of course, our loyal readers. Your continued support enables us to bring insightful stories and analyses that foster innovation and global cooperation in the ever-important fields of agriculture and renewable energy.
Join us as we explore these important developments, offering you an enriching journey through the forefront of sustainable agriculture and energy transformation.
Yours truly, Kenny Yong
Clean Energy for A Better Future
Shinko Steam Turbine
CONTENTS OCTOBER
- DECEMBER 2024
BERITA REGIONAL / REGIONAL NEWS
Malaysia Ubah Strategi Diplomasi Orangutan : Primata Tinggal di Rumah, Pengimpor Minyak Sawit Bisa Adopsi
Malaysia to Keep Primates at Home in New Twist to ‘Orangutan Diplomacy’ Plan, Palm Oil Importers Get to Adopt
Apical Melipatgandakan Kapasitas Pemurnian Minyak Sawit di Sumatera Barat, Indonesia
Apical Doubles Palm Oil Refining Capacity in West Sumatra, Indonesia
Campuran Biodiesel B50 Minyak Sawit Indonesia Bertujuan untuk Menghasilkan Energi Terbarukan Tanpa Mengorbankan
Permintaan Pasokan Minyak Sawit Global
Indonesia’s Palm Oil B50 Biodiesel Blend Aims for Renewable Energy Without Compromising Global Palm Oil Supply Demands
Indonesia Memulai Pengujian untuk Mempersiapkan Mandat
Biodiesel “B50” Berbasis Minyak Sawit
Indonesia Commences Testing to Prepare “B50” Palm Oil
Biodiesel Mandate
Operasi Gabungan Berhasil Menyita Minyak Sawit
Mentah Senilai Lebih dari Rm220,000
Joint Operations Led to Seizure of Crude Palm Oil Worth More Than Rm220,000
Pemerintah Tingkatkan Dana untuk Program Peremajaan Kelapa Sawit Demi Meningkatkan Keberlanjutan
Government Increases Funds for Palm Oil Replanting Program
BERITA DUNIA / WORLD NEWS
Nestle dan Pepsico Bernegosiasi dengan Godrej Agrovet untuk
Pembelian Minyak Sawit
Nestle, Pepsico in Talks with Godrej Agrovet to Buy Palm Oil
Fda Mengingatkan Publik untuk Menghindari Konsumsi Minyak
Sawit yang Terkontaminasi Zat Pewarna Sudan
Fda Cautions Public Against Consumption of Palm Oil
Contaminated with Sudan Dye
Negara-Negara Afrika Ingin Meningkatkan Kapasitas Minyak
Kelapa Sawit: Menlu Marsudi
African Nations Keen to Boost Palm Oil Capacity : Fm Marsudi
Nigeria dan Indonesia Menandatangani Perjanjian Kerja Sama di Bidang Kelapa Sawit
Nigeria and Indonesia Sign Agreement to Cooperate on Palm Oil
Indonesia dan Malaysia Akan Membela Industri Kelapa Sawit
Melawan Eudr dalam Perundingan Brussels
Indonesia and Malaysia to Defend Palm Oil Industry Against Eudr in Brussels Talks
Potensi Pasar Minyak Sawit
Angola
Indonesia di Afrika: Wawasan Dari
Indonesia’s Palm Oil Market Potential in Africa: Insights From Angola
KOMENTAR / COMMENTARY
Rencana Kenaikan Pajak Impor Minyak Sawit India Dapat
Merugikan Ekspor Indonesia
India’s Planned Palm Oil Import Tax Hike Could Hurt Indonesia Exports
Strategi Minyak Sawit Indonesia: Menavigasi Tantangan dan Peluang Baru – Analisis
Indonesia’s Palm Oil Strategy: Navigating New Challenges and Opportunities – Analysis
BERITA KELANJUTAN / SUSTAINABILITY NEWS
Indonesia Berencana Menggandakan Produksi Kakao dan Kelapa Sawit Melalui Penanaman Kembali
Indonesia Plans Double Cacao, Oil Palm Production Through Replanting
Ladang Kecil Kunci kepada Kemampanan Minyak Sawit Malaysia — Siti Dina Razman Pahri
Small Farms the Key to Malaysia’s Palm Oil Sustainability — Siti Dina Razman Pahri
Malaysia Hentikan Pembukaan Perkebunan Kelapa Sawit Baru untuk Lestarikan Tutupan Hutan
Malaysia Halts New Oil Palm Plantations to Preserve Forest Cover
Petani Kelapa Sawit Kecil di Indonesia Mendapat Dorongan
dalam Upaya Mencapai Keberlanjutan
Indonesia’s Oil Palm Smallholders Get A Boost in Bid for Sustainability
INOVASI DAN TEKNOLOGI / INNOVATIONS AND TECHNOLOGY
Dabeeo Meluncurkan Proyek Monitoring AI untuk Perkebunan
Sawit di Indonesia, Meliputi Wilayah yang Lebih Besar Dari Seoul
Dabeeo Launches Palm Oil Farm AI Monitoring Project in Indonesia, Covering Area Larger Than Seoul
Otomasi dan Mekanisasi Meningkatkan Produktivitas dan Efisiensi di Perkebunan Kelapa Sawit
Automation, Mechanisation Improving Productivity, Efficiency in Oil Palm Plantations
3 Teknologi Diidentifikasi untuk Meningkatkan Produksi Minyak Sawit, Mengurangi Ketergantungan pada Tenaga Kerja Asing
3 Technologies Identified to Boost Palm Oil Production, Cut Reliance on Foreign
MALAYSIA UBAH STRATEGI DIPLOMASI ORANGUTAN : PRIMATA TINGGAL DI RUMAH, PENGIMPOR
MINYAK SAWIT BISA ADOPSI
Perusahaan yang mengimpor minyak sawit dari Malaysia akan dapat mengadopsi orangutan, tetapi mereka tidak akan dapat membawa orangutan tersebut keluar dari negara, kata Menteri Perdagangan dan Komoditas pada hari Minggu, dalam versi revisi dari skema konservasi yang diumumkan awal tahun ini. Menteri Perkebunan dan Komoditas, Datuk Seri Johari Abdul Ghani, juga berjanji untuk menghentikan deforestasi di Malaysia, mengatakan bahwa 54 persen dari negara tersebut adalah hutan dan tingkatnya tidak akan turun di bawah 50 persen.
Pada bulan Mei, menteri tersebut mengajukan rencana untuk mengirim orangutan ke luar negeri sebagai hadiah perdagangan dalam upaya untuk mengatasi kekhawatiran tentang dampak produksi minyak sawit terhadap habitat hewan tersebut, yang sering kali melibatkan pembukaan lahan hutan.
Rencana tersebut mendapat keberatan dari kelompok konservasi yang khawatir tentang kesejahteraan orangutan yang sangat terancam punah. “Hewan-hewan ini tidak bisa meninggalkan habitat alaminya. Kita harus menjaga mereka di sini. Kemudian, kita akan bertemu dengan negara-negara atau pembeli minyak sawit kita jika mereka ingin bekerja sama untuk memastikan bahwa hutan-hutan ini dapat dirawat dan dilestarikan selamanya,” kata Johari dalam konferensi pers di Sabah, Borneo utara.
Kelompok konservasi WWF mengatakan populasi orangutan, yang namanya berarti “manusia hutan” dalam bahasa Melayu, kurang dari 105.000 di pulau Borneo. Skema “diplomasi orangutan” pertama kali diumumkan pada bulan Mei setelah Uni Eropa tahun lalu menyetujui larangan impor terhadap komoditas yang terkait dengan deforestasi. Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia yang digunakan dalam berbagai produk mulai dari lipstik hingga pizza, menggambarkan undang-undang tersebut sebagai diskriminatif. Johari mengatakan dana yang dikumpulkan dari perusahaan yang mengadopsi orangutan akan didistribusikan ke organisasi non-pemerintah dan pemerintah Sabah untuk memantau daerah hutan tempat primata tersebut hidup, serta untuk memantau keselamatan dan kondisi hewan-hewan tersebut. Ia tidak memberikan rincian tentang biaya adopsi.
MALAYSIA TO KEEP PRIMATES AT HOME IN NEW TWIST TO ‘ORANGUTAN DIPLOMACY’ PLAN, PALM OIL IMPORTERS GET TO ADOPT
Companies that import palm oil from Malaysia will be able to adopt orangutans but they will not be able to leave the country, the commodities minister said on Sunday, in a revised version of a conservation scheme announced earlier this year. Plantations and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani also pledged to halt deforestation in Malaysia, saying 54 per cent of the country was forested and that the level would not fall below 50 per cent.
In May, the minister put forward a plan to send orangutans abroad as trading gifts in an effort to allay concerns about the impact on the animals’ habitat of palm oil production, which tends to involve clearing forest land.
The plan raised objections from conservation groups fearful for the welfare of the orangutans that are critically endangered. “The animals cannot leave their natural habitats. We have to keep them here. And then we will meet the countries or the buyers of our palm oil if they want to work together to ensure that these forests can be looked after and preserved forever,” Johari told a news conference in Sabah, northern Borneo.
Conservation group WWF says the population of the orangutan, whose name means “man of the forest” in Malay, is less than 105,000 on the island of Borneo. The “orangutan diplomacy” scheme was first made public in May after the European Union last year approved an import ban on commodities linked to deforestation. Malaysia, the world’s second-largest producer of palm oil which is used in anything from lipstick to pizza, described the law as discriminatory. Johari said funds raised from companies who adopt orangutans would be distributed to non-governmental organisations and the Sabah government to monitor the forested areas where the primates live, and seek to monitor the animals’ safety and condition. He did not give details on how much adoption would cost.
APICAL MELIPATGANDAKAN
KAPASITAS PEMURNIAN MINYAK SAWIT
DI SUMATERA BARAT, INDONESIA
Apical, salah satu perusahaan pengolah minyak nabati terkemuka, mengadakan upacara peletakan batu pertama hari ini di fasilitas PT Padang Raya Cakrawala (PRC) untuk menandai pembangunan pabrik baru pemurnian minyak sawit mentah (CPO) dan pabrik fraksionasi untuk produksi minyak goreng. Terletak di Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia, pabrik-pabrik baru ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi Apical guna memenuhi permintaan yang terus meningkat di pasar domestik maupun internasional.
Pabrik-pabrik baru ini, yang dijadwalkan selesai pada tahun 2025, diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, dengan dihadiri oleh Direktur Sosial, Keamanan, dan Perizinan Apical, Gunawan Sumargo. Ekspansi ini merupakan tonggak penting bagi Apical maupun bagi wilayah tersebut. Pabrik pemurnian ini akan memiliki kapasitas untuk mengolah hingga 3.500 metrik ton (MT) CPO per hari, sementara pabrik fraksionasi minyak goreng akan memiliki kapasitas 3.000 MT per hari. “Kami mengapresiasi investasi Apical di Padang. Kami berharap langkah ini akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, khususnya di Sumatera Barat, serta menjamin pasokan minyak goreng yang stabil di wilayah ini,” kata Mahyeldi. Gunawan lebih lanjut menjelaskan kemajuan ekspansi PT PRC, “Penambahan pabrik baru ini menandai dimulainya tahap ketiga dari rencana ekspansi kami yang dimulai pada tahun 2019. Dengan penambahan ini, kapasitas pemurnian CPO gabungan di PT PRC akan meningkat menjadi 7.000 MT per hari, sementara kapasitas pabrik fraksionasi minyak goreng akan meningkat menjadi 5.900 MT per hari.” Keputusan Apical untuk menambah pabrik fraksionasi minyak goreng menegaskan komitmennya untuk mengembangkan segmen bisnis hilir, sejalan dengan agenda Pemerintah Republik Indonesia yang mendorong hilirisasi industri kelapa sawit. Langkah ini memperkuat peran Apical sebagai pemain penting dalam mendukung fokus negara terhadap industri kelapa sawit.
PT PRC, yang merupakan pabrik pemurnian minyak sawit terbesar di Padang, adalah pabrik multi-produk yang mampu memproduksi palm olein, stearin, biodiesel, dan asam lemak. Saat ini, pabrik tersebut memiliki kapasitas pemurnian sebesar 1,2 juta MT per tahun, yang akan meningkat dua kali lipat menjadi 2,4 juta MT setelah ekspansi selesai. Berlokasi strategis di Sumatera Barat, fasilitas yang diperluas ini akan memenuhi permintaan di Indonesia dan melayani pasar di Timur Tengah, Afrika, serta kawasan anak benua India.
TENTANG APICAL ---------------------------------
Apical adalah salah satu pengolah minyak nabati terkemuka dengan jejak global yang terus berkembang. Pengolahan hilir terintegrasi secara vertikal melalui pemurnian menengah dan proses hilir bernilai tambah menjadikan kami pemasok penting yang mendukung kebutuhan berbagai industri, termasuk makanan, pakan, oleokimia, dan bahan bakar terbarukan, termasuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) yang memungkinkan pengurangan emisi CO2 secara signifikan. Dengan aset terintegrasi di lokasi strategis yang mencakup Indonesia, China, dan Spanyol, Apical mengoperasikan berbagai kilang, pabrik oleokimia, pabrik bahan bakar terbarukan, serta pabrik penghancuran inti sawit. Melalui usaha patungan dan kemitraan strategis, Apical juga memiliki fasilitas pemrosesan.
APICAL DOUBLES PALM OIL REFINING CAPACITY IN WEST SUMATRA, INDONESIA
Apical, a leading vegetable oil processor, held a groundbreaking ceremony today at its PT Padang Raya Cakrawala (PRC) facility to mark the construction of a new crude palm oil (CPO) refinery and fractionation plant for cooking oil production. Located in Padang City, West Sumatra, Indonesia, these new plants are set to boost Apical’s production capacity to meet growing demands of both domestic and international markets.
The new plants, scheduled to be completed by 2025, was officiated by the Governor of West Sumatra, Mahyeldi Ansharullah, with Apical’s Director of Social, Security and License, Gunawan Sumargo, in attendance. This expansion represents a major milestone for both Apical and the region. The refinery will have the capacity to process up to 3,500 metric tonnes (MT) of CPO per day, while the cooking oil fractionation plant will have a capacity of 3,000 MT per day. “We applaud Apical for its investments in Padang. We hope this move will open up more employment opportunities for the community, especially in West Sumatra, while also guaranteeing a stable supply of cooking oil in the region,” said Mahyeldi. Gunawan further elaborated on the progress of PT PRC’s expansion, “The addition of the new plants marks the beginning of the third stage of our expansion plan which started in 2019. With these new additions, our combined CPO refining capacity at PT PRC will increase to 7,000 MT per day while the capacity for cooking oil fractionation plant will increase to 5,900 MT per day.” Apical’s decision to add a cooking oil fractionation plant underscores its commitment to growing its downstream business segment, aligning with the Government of the Republic of Indonesia’s agenda of promoting the downstreaming of palm oil. This move solidifies Apical’s role as a critical player in supporting the country’s focus on the palm oil industry.
PT PRC, the largest palm oil refinery in Padang, is a multiproduct refinery capable of producing palm olein, stearin, biodiesel and fatty acid. Currently, the refinery has a refining capacity of 1.2 million MT per annum, which will double to 2.4 million MT upon completion of its expansion. Strategically located in West Sumatra, this expanded facility will cater to demands in Indonesia and serves markets in the Middle East, Africa, and the Indian subcontinent region.
ABOUT APICAL ------------------------------------
Apical is a leading vegetable oil processor with an expanding global footprint. Our vertically integrated mid-stream refining and value-added downstream processing makes us an integral supplier that supports the needs of various industries namely food, feed, oleochemicals and renewable fuel, including sustainable aviation fuel (SAF) which enables a great reduction of CO2 emissions. With integrated assets in strategic locations spanning Indonesia, China and Spain, Apical operates numerous refineries, oleochemical plants, renewable fuel plants and kernel crushing plants. Through joint ventures and strategic partnerships, Apical also has processing and distribution operations in Brazil, India, Pakistan, Philippines, Middle East, Africa, USA and Vietnam. Apical’s growth is built on the foundations of sustainability and transparency, and motivated by our strong belief that we can contribute to a circular economy for a more meaningful impact, even as we continue to grow our business and deliver innovative solutions to our customers.
CAMPURAN BIODIESEL B50 MINYAK SAWIT INDONESIA BERTUJUAN UNTUK MENGHASILKAN ENERGI TERBARUKAN TANPA MENGORBANKAN PERMINTAAN PASOKAN MINYAK SAWIT GLOBAL
Indonesia, produsen minyak kelapa sawit terkemuka di dunia, bermaksud memanfaatkan cadangannya yang besar sebagai sumber energi terbarukan. Sejak 2008, negara ini telah mencampur minyak kelapa sawit dengan solar berbahan bakar fosil untuk membuat biodiesel, dimulai dengan campuran B2.5 yang sederhana. Seiring berjalannya waktu, campuran ini terus meningkat, dan saat ini, menurut laporan Diplomat , Indonesia menggunakan campuran B35, dengan rencana untuk meningkatkannya menjadi B40 tahun depan. Presiden terpilih Prabowo Subianto telah menetapkan target yang lebih ambisius—campuran B50 pada tahun 2029.
SEBUAH PROYEK AMBISIUS ----------------------------------------------------------------------------------------------------
Prakarsa ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor, memperkuat sektor pertanian, dan mengurangi emisi karbon. Namun, rencana untuk meningkatkan campuran biodiesel telah memicu kekhawatiran tentang rantai pasokan minyak sawit global , mengingat peran dominan Indonesia dalam industri ini. Pada tahun 2023, Indonesia memproduksi 46 juta ton minyak sawit, yang menguasai 59 persen pangsa pasar global. Pola konsumsi domestik telah bergeser, dengan penggunaan biodiesel melampaui konsumsi pangan untuk pertama kalinya. Tren ini menimbulkan kekhawatiran tentang ketahanan pangan, terutama setelah kelangkaan minyak goreng pada tahun 2022. Penerapan campuran B35 telah secara signifikan meningkatkan konsumsi minyak sawit untuk biodiesel, dan mandat B40 yang akan datang diharapkan dapat mendorong permintaan lebih tinggi lagi. Meskipun ada jaminan dari Kementerian Pertanian, ada kekhawatiran bahwa pertumbuhan produksi belum sebanding dengan peningkatan konsumsi.
TANTANGAN BAGI INDONESIA --------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak tahun 2020, produksi minyak sawit mengalami stagnasi, dengan hasil tahun lalu masih di bawah tingkat sebelum pandemi tahun 2019. Sementara itu, konsumsi dalam negeri telah melonjak, dengan penggunaan biodiesel tumbuh sebesar 17,5 persen per tahun dari tahun 2019 hingga 2023, dibandingkan dengan peningkatan konsumsi pangan sebesar 1 persen. Pemerintah mungkin perlu memperketat kuota ekspor atau meningkatkan produksi dalam negeri untuk mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi. Minyak kelapa sawit merupakan ekspor utama Indonesia. Namun, ekspornya menurun, sebagian karena mandat B35 dan kekhawatiran negara-negara Eropa tentang dampak lingkungan dan sosial minyak kelapa sawit Indonesia. Jika produksi tidak meningkat, pemerintah mungkin akan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri daripada ekspor, yang berpotensi menyebabkan kekurangan global dan memengaruhi industri dan konsumen di seluruh dunia. Alternatifnya, Indonesia dapat memperluas produksi minyak kelapa sawitnya, tetapi harus dilakukan secara bertanggung jawab untuk menghindari kerusakan lingkungan. Tantangan bagi Indonesia adalah menyeimbangkan tujuan energinya dengan implikasi ekonomi dan lingkungan yang lebih luas dari industri minyak kelapa sawitnya. Dengan mengelola rantai pasokan secara cermat dan memastikan produksi berkelanjutan, Indonesia dapat memimpin dalam energi terbarukan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi atau pasar global.
IINDONESIA’S PALM OIL B50 BIODIESEL BLEND AIMS FOR
RENEWABLE ENERGY WITHOUT COMPROMISING GLOBAL PALM OIL SUPPLY DEMANDS
ndonesia, the world’s leading palm oil producer, aims to harness its vast reserves as a renewable energy source. Since 2008, the country has been blending palm oil with fossil fuel-based diesel to create biodiesel, starting with a modest B2.5 mix. Over time, this blend has steadily increased, and today, as per a report by the Diplomat, Indonesia uses a B35 mix, with plans to ramp up to B40 next year. President-elect Prabowo Subianto has set an even more ambitious target—a B50 blend by 2029.
AN AMBITIOUS PROJECT
These initiatives are part of a broader strategy to reduce dependence on imported fossil fuels, bolster the agricultural sector, and cut carbon emissions. However, the plan to increase the biodiesel blend has sparked concerns about the global palm oil supply chain, given Indonesia’s dominant role in the industry. In 2023, Indonesia produced 46 million tons of palm oil, accounting for 59 per cent of the global market. Domestic consumption patterns have shifted, with biodiesel use surpassing food consumption for the first time. This trend has raised concerns about food security, especially after the 2022 cooking oil scarcity. The implementation of the B35 mix has significantly boosted palm oil consumption for biodiesel, and the upcoming B40 mandate is expected to drive demand even higher.
A CHALLENGE FOR INDONESIA
Since 2020, palm oil production has stagnated, with last year’s output still below the 2019 pre-pandemic levels. Meanwhile, domestic consumption has surged, with biodiesel use growing by 17.5 per cent annually from 2019 to 2023, compared to a 1 per cent increase in food consumption. The government may need to tighten export quotas or increase domestic production to address the gap between production and consumption. Palm oil is a key export for Indonesia. Still, exports have declined, partly due to the B35 mandate and concerns from European countries about the environmental and social impacts of Indonesian palm oil. If production does not increase, the government may prioritize domestic needs over exports, potentially leading to a global shortage and affecting industries and consumers worldwide. Alternatively, Indonesia could expand its palm oil production, but it must do so responsibly to avoid environmental degradation. The challenge for Indonesia is balancing its energy goals with its palm oil industry’s broader economic and environmental implications. By carefully managing the supply chain and ensuring sustainable production, Indonesia can lead the way in renewable energy without compromising its economic stability or the global market.
INDONESIA MEMULAI PENGUJIAN UNTUK MEMPERSIAPKAN
MANDAT BIODIESEL “B50” BERBASIS MINYAK SAWIT
INDONESIA COMMENCES TESTING TO PREPARE “B50” PALM OIL BIODIESEL MANDATE
Indonesia sedang melakukan pengujian dalam persiapan rencana pemerintah mendatang untuk meningkatkan mandat pencampuran biodiesel berbasis minyak sawit menjadi 50%, naik dari yang saat ini 35%.
Saat ini, di bawah program ‘B35’, Indonesia memiliki salah satu mandat campuran biofuel tertinggi di dunia. Pemerintah yang akan berakhir di bawah Presiden Joko Widodo sebelumnya telah merencanakan untuk meningkatkan ini menjadi B40 tahun depan. Prabowo Subianto, yang akan menggantikan Widodo pada bulan Oktober setelah memenangkan pemilihan Februari, telah berjanji untuk meningkatkan mandat ini lebih lanjut menjadi B50 untuk mengurangi impor minyak, meskipun belum ada jadwal yang ditetapkan.
Tes statis untuk komposisi B50 sedang dilakukan oleh kementerian energi dan beberapa pemangku kepentingan, kata Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan di kementerian energi. Ini akan diikuti dengan uji jalan kendaraan, proses yang biasanya memakan waktu sekitar satu tahun. Kementerian pertanian juga sedang mengevaluasi pasokan minyak sawit.
Di bawah mandat B35, 11 juta metrik ton minyak sawit mentah (CPO) akan digunakan tahun ini, meningkat menjadi 14 juta ton di bawah B40. Mandat B50 akan membutuhkan sekitar 18 juta ton CPO, yang dapat berdampak pada harga minyak goreng domestik, ekspor, dan pendapatan pemerintah dari
Indonesia is conducting tests as it prepares for the incoming government’s plan to increase the palm oil-based biodiesel blending mandate to 50%, up from the current 35%.
Currently, under its ‘B35’ programme, Indonesia has one of the highest biofuel blend mandates globally. The outgoing government of President Joko Widodo had planned to increase this to B40 next year. Prabowo Subianto, who will succeed Widodo in October after winning the February election, has promised to increase the mandate further to B50 to reduce oil imports, although no timeline has been set.
A static test for B50 composition is being conducted by the energy ministry and several stakeholders, said Eniya Listiani Dewi, Director General of Renewable Energy at the energy ministry. This will be followed by vehicle road tests, a process that usually takes about a year. The agriculture ministry is also evaluating palm oil supplies.
Under the B35 mandate, 11 million metric tonnes of crude palm oil (CPO) will be used this year, increasing to 14 million tonnes under B40. The B50 mandate would require approximately 18 million tonnes of CPO, which could impact domestic cooking oil prices, exports, and government revenue from exports. - Vietnam News/ANN
OPERASI GABUNGAN BERHASIL MENYITA MINYAK SAWIT MENTAH SENILAI LEBIH DARI RM220,000
Operasi gabungan antara polisi dan Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) berhasil menyita hampir 60,000 liter minyak sawit mentah yang diperkirakan bernilai lebih dari RM220,000.
Kepala Polisi Daerah Johor Baru Selatan, Asisten Komisioner Raub Selamat, mengatakan bahwa berdasarkan informasi yang diterima, tim petugas polisi dan personel dari Unit Intelijen Unit Simpanan Persekutuan (FRU) Bukit Aman serta tiga petugas penegak MPOB melakukan penggerebekan dan pemeriksaan di sebuah lokasi di Permas Jaya antara pukul 12.30 pagi hingga 10.18 pagi pada hari Senin (2 September). "Selama penggerebekan, polisi bersama MPOB menemukan sebuah gudang yang diduga menyimpan minyak sawit mentah secara ilegal," katanya dalam sebuah pernyataan pada Senin malam.
ACP Raub menambahkan bahwa tim menemukan tiga truk tangki trailer dengan ukuran berbeda yang telah diisi dengan minyak sawit mentah di lokasi tersebut. "Satu tangki tanpa nomor berisi minyak sawit mentah dengan kapasitas 10,000 liter, sementara tangki lainnya yang juga tanpa nomor memiliki kapasitas 5,000 liter. Tangki ketiga memiliki kapasitas 43,000 liter.”
“Kami juga menyita dua mesin pompa bersama dengan selang, dua menara boiler, sebuah forklift, sebuah timbangan industri dengan kapasitas 100 ton, dan sebuah truk dengan kapasitas 40 ton,” tambahnya, seraya menyatakan bahwa tidak ada penangkapan yang dilakukan selama penggerebekan karena tidak ada orang di lokasi saat operasi dilancarkan. ACP Raub menambahkan bahwa nilai total semua barang yang disita selama operasi tersebut diperkirakan mencapai RM465,111, dengan minyak sawit mentah sendiri bernilai RM220,500.
JOINT OPERATIONS LED TO SEIZURE OF CRUDE PALM OIL WORTH MORE THAN RM220,000
Ajoint operation between the police and the Malaysia Palm Oil Board (MPOB) led them to seize almost 60,000 litres of crude palm oil estimated to be worth more than RM220,000.
Johor Baru South OCPD Asst Comm Raub Selamat said acting upon information, a team of police officers and personnel from Bukit Aman’s Federal Reserve Unit (FRU) intelligence unit and three MPOB enforcement officers carried out a raid and an inspection at a premise in Permas Jaya between 12.30am and 10.18am on Monday (Sept 2) morning. “During the raid, the police together with MPOB, found a store suspected of storing crude palm oil illegally,” he said in a statement here on Monday night.
ACP Raub added the teams found three trailer tankers of different lengths that had been filled with crude palm oil at the scene. “One unnumbered tanker is filled with crude palm oil with a capacity of 10,000 litres while another unnumbered tanker has 5,000 capacity litres. The third tanker has 43,000 litres.”
“We also seized two pump machines together with a hose, two boiler towers, a forklift, an industrial 100-tonne weighing machine and a 40-tonne lorry,” he said adding that no arrests were made during the raid as there were no one at the premise when the teams launched the operation. ACP Raub added the value of all seized items made during the operation was worth to be at RM465,111 with the crude palm oil alone being valued at RM220,500.
PEMERINTAH TINGKATKAN DANA UNTUK PROGRAM PEREMAJAAN KELAPA SAWIT DEMI MENINGKATKAN
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengumumkan peningkatan dana untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Rp30 juta (sekitar US$1.882) menjadi Rp60 juta (US$3.762) per kebun. “Realisasi dana PSR telah mencapai Rp9,6 triliun (US$602 juta) untuk 154.886 kebun, atau seluas 344.792 hektare hingga Juni 2024,” ujar Hartarto dalam sambutannya di Expo LIKE 2 di Jakarta pada Jumat.
Menurut Hartarto, para petani yang tergabung dalam program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dapat segera mengajukan dana PSR, yang akan disalurkan oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hartarto menekankan bahwa dana tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pemilik kebun sawit hingga 24 ton per tandan per hektare. “Kami juga sedang mempersiapkan peraturan presiden tentang strategi untuk mendukung kelapa sawit nasional yang berkelanjutan, yang diharapkan menggantikan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019,” jelasnya. Airlangga juga menjelaskan bahwa penerima dana PSR perlu mendapatkan pendampingan dalam aspek bisnis dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait dari kementerian, pemerintah daerah, sektor perbankan, dan pengusaha di sektor kelapa sawit. “Ke depan, kapasitas usaha masyarakat dapat ditingkatkan melalui integrasi berbasis desa dan wilayah,” tambahnya.
GOVERNMENT INCREASES FUNDS FOR PALM OIL REPLANTING PROGRAM
Coordinating Minister for Economic Affairs Airlangga Hartarto announced an increase in funds for the Smallholder Oil Palm Rejuvenation (PSR) program from Rp30 million (around US$1.882) to Rp60 million (US$3.762) per plantation. “The realization of PSR funds has reached Rp9.6 trillion (US$602 million) for 154,886 plantations, or 344,792 hectares, until June 2024,” Hartarto noted in his remarks at the Expo LIKE 2 in Jakarta on Friday.
According to the minister, smallholders in the Land Objects for Agrarian Reform (TORA) program could immediately apply for PSR funds, which the government would distribute through the Oil Palm Plantation Fund Management Agency (BPDPKS). Hartarto highlighted that the funds were expected to increase the productivity of palm oil plantation owners to 24 tons per bunch per hectare. “We are currently also preparing presidential regulation on the strategy to support sustainable national palm oil, which is expected to replace Presidential Instruction 6 of 2019,” he remarked. Airlangga further explained that the funds’ recipients also need to be assisted in business aspects and collaborate with related stakeholders from the ministries, local governments, the banking sector, and entrepreneurs in the palm oil sector. “In the future, the capacities of community businesses can be increased through village- and regional-based integration,” he stated.
NESTLE DAN PEPSICO BERNEGOSIASI DENGAN GODREJ AGROVET UNTUK PEMBELIAN MINYAK SAWIT
Nestle dan PepsiCo sedang melakukan pembicaraan dengan Godrej Agrovet untuk mendapatkan pasokan minyak sawit rafinasi secara lokal untuk merek seperti Maggi dan Lay’s. Kenaikan harga minyak sawit global serta biaya logistik menjadi alasan utama perubahan ini. Perusahaan-perusahaan tersebut ingin meminimalkan gangguan pasokan dan mempersingkat siklus impor selama ketegangan geopolitik. Biaya transportasi yang meningkat, kenaikan harga komoditas global, serta pengawasan ketat kualitas minyak goreng oleh Otoritas Keamanan dan Standar Makanan India (FSSAI) membuat perusahaan multinasional beralih ke pemasok lokal. Selain itu, di tengah ketegangan geopolitik global yang terus berlangsung, mereka berupaya menghindari potensi gangguan pasokan dan mempercepat siklus pembelian impor yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan. Hingga saat ini, Nestle dan PepsiCo sebagian besar mendapatkan minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia untuk operasional di India. “Perusahaan makanan kemasan sedang dalam pembicaraan dengan kami untuk mendapatkan minyak sawit rafinasi atau palmolein, dan kesepakatan diharapkan akan tercapai dalam waktu satu tahun,” kata Sougata Niyogi, CEO bisnis minyak sawit Godrej Agrovet.
Menurut dua eksekutif yang mengetahui langsung perkembangan ini, induk perusahaan kedua MNC tersebut telah meminta mereka untuk lebih banyak mendapatkan pasokan minyak sawit dari India. Minyak sawit terdapat di hampir 50% produk kemasan yang kita temukan di supermarket, mulai dari pizza, donat, cokelat, hingga sampo. Dibandingkan dengan minyak bunga matahari atau kedelai, minyak sawit lebih murah dan merupakan bahan paling umum dalam makanan kemasan seperti mi, keripik, biskuit, es krim, cokelat, dan makanan penutup. Meski begitu, regulator pemerintah dan para aktivis lingkungan semakin menekan produsen makanan kemasan untuk mengganti minyak sawit dengan alternatif yang lebih sehat. PepsiCo India telah memulai uji coba untuk menggantikan minyak sawit dengan campuran minyak bunga matahari dan palmolein dalam keripik Lay’s, untuk membuatnya lebih sehat bagi konsumen di India. India sendiri merupakan pengimpor minyak sawit terbesar di dunia, yang sebagian besar dibeli dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, sementara minyak kedelai dan minyak bunga matahari diimpor dari Argentina, Brasil, Rusia, dan Ukraina.
NESTLE, PEPSICO IN TALKS WITH GODREJ AGROVET TO BUY PALM OIL
Nestle and PepsiCo discussed with Godrej Agrovet about sourcing refined palm oil locally for brands like Maggi and Lay’s. Rising worldwide prices and logistics expenses are to blame for this change. Businesses want to minimize supply disruptions and reduce import cycles during geopolitical tensions. Due to increased transportation expenses, rising global commodity prices, and increased government inspection of edible oil quality by the Food Safety & Standards Authority of India (FSSAI), multinational corporations are shifting their sourcing to domestic suppliers. In the midst of ongoing geopolitical tensions throughout the world, they also aim to avoid any potential supply disruptions and shorten the length of months-long cycles of import buying. Till now, Nestle and PepsiCo have sourced palm oil primarily from Indonesia and Malaysia for Indian operations. “Packaged foods MNCs are in talks with us to source refined palm oil or palmolein and the deals are expected to be clinched within a year,” said Sougata Niyogi, CEO of the palm oil business of Godrej Agrovet.
According to two executives with direct knowledge of the events, the parent companies of both MNCs have asked that they source more palm oil from India. Palm oil is in nearly everything – it’s in close to 50% of the packaged products we find in supermarkets, everything from pizza, doughnuts and chocolate to shampoo. Compared to sunflower or soyabean oil, palm oil is less expensive and is the most commonly used ingredient in packaged meals such noodles, chips, biscuits, ice cream, chocolates, and desserts. Government regulators and environmentalists are putting more pressure on packaged food manufacturers to replace their palm oil with healthier alternatives. PepsiCo India has initiated trials to substitute palm oil with a blend of sunflower oil and palmolein in Lay’s chips, to make it relatively healthier for Indians. India is the largest importer of Palm Oil in the world. India buys palm oil mainly from Indonesia, Malaysia and Thailand, while it imports soyoil and sunflower oil from Argentina, Brazil, Russia and Ukraine.
FDA MENGINGATKAN PUBLIK UNTUK
KONSUMSI MINYAK SAWIT YANG TERKONTAMINASI ZAT
PEWARNA SUDAN
FDA CAUTIONS PUBLIC AGAINST CONSUMPTION OF PALM OIL CONTAMINATED WITH SUDAN DYE
Otoritas Makanan dan Obat (FDA) telah mengingatkan konsumen untuk sangat berhati-hati saat membeli minyak sawit, mengingat adanya kekhawatiran mengenai pencampuran zat berbahaya. Peringatan ini muncul seiring dengan upaya berkelanjutan FDA untuk memerangi keberadaan zat berbahaya, khususnya pewarna ‘Sudan Four’ yang terkenal, yang telah terdeteksi dalam beberapa produk minyak sawit yang beredar di pasaran. Keberadaan pewarna industri ini, yang dilarang untuk digunakan dalam produk makanan karena sifat karsinogeniknya, menimbulkan risiko kesehatan serius bagi konsumen.
Roderick Daddey-Adjei, Wakil Direktur Utama FDA, menyatakan kekhawatiran mendalam mengenai masalah ini, meskipun Otoritas telah melakukan tindakan penegakan hukum yang ketat. Ia mengakui kemajuan yang telah dicapai dalam mengurangi prevalensi minyak sawit yang terkontaminasi, namun menegaskan bahwa bahkan persentase kecil dari kontaminasi masih tidak dapat diterima. “Tetapi kami masih tidak puas dengan persentase kecil yang ada, yang berarti bahwa pelaku kegiatan tersebut masih bersembunyi di balik bayangbayang. Kami juga ingin memberi tahu mereka yang berpikir bahwa mereka bisa kembali dan terus melakukan ini, bahwa hari-hari mereka sudah dihitung. Karena dengan kasus ini, kami bahkan telah melakukan beberapa penangkapan dan menyerahkannya kepada polisi.”
The Food and Drugs Authority (FDA) has cautioned consumers to exercise extreme caution when purchasing palm oil due to ongoing concerns about adulteration. This warning comes in light of the FDA’s continued efforts to combat the presence of hazardous substances, specifically the notorious ‘Sudan Four’ dye, which has been detected in some palm oil products circulating on the market. The presence of this industrial dye, which is banned for use in food products due to its carcinogenic properties, poses a serious health risk to consumers.
Roderick Daddey-Adjei, the Deputy Chief Executive Officer of the FDA, expressed deep concern over the persistence of this issue, despite the Authority’s rigorous enforcement actions. He acknowledged the progress made in reducing the prevalence of adulterated palm oil but emphasised that even a small percentage of contamination remains unacceptable. “But we are still not happy about that small percentage that is there, which means that people who perpetrated the activity are still lurking in the dark. And we also want to also let those who think that they can come back and keep on doing this, that their days are numbered. Because already with this one that we even did, we did some arrests, we have handed them over to the police.”
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Senin mengungkapkan negara-negara Afrika menyampaikan minatnya untuk meningkatkan kapasitas industri kelapa sawit dalam pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Dalam pertemuan dengan Presiden, yang banyak diminta adalah peningkatan kapasitas, misalnya, kelapa sawit,” katanya dalam jumpa pers di sela-sela High Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) dan Indonesia-Africa Forum (IAF) ke-2 di Jakarta. Marsudi mengungkapkan beberapa negara Afrika juga menyampaikan keinginannya untuk bergabung dalam Committee of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). Ada pula permintaan kerja sama untuk peningkatan kapasitas kesehatan, katanya. Terkait kerja sama kesehatan, ia menyoroti Presiden Widodo dan Wakil Presiden Zimbabwe Kembo Dugish Campbell Muleya Mohadi yang membahas kerja sama ekonomi di sektor farmasi dalam pertemuan bilateral mereka.
Indonesia juga membahas master agreement tentang kerja sama transfer teknologi kesehatan dengan Ghana dan master agreement tentang kerja sama transfer teknologi vaksin dengan Kenya. “Indonesia siap bermitra dengan negara-negara Afrika, khususnya di sektor pangan, energi, kesehatan, dan mineral,” kata Mendag. IAF ke-2 yang bertema “Semangat Bandung untuk Agenda Afrika 2063” diselenggarakan di Bali pada 1-3 September 2024, bersamaan dengan HLF MSP 2024 yang mengusung tema “Memperkuat Kemitraan Multipihak: Menuju Perubahan Transformatif” Dengan bergabungnya beberapa pemangku kepentingan global dalam forum tersebut, Indonesia berharap dapat memainkan peran penting dalam mendorong perubahan transformasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan di tingkat global.
AFRICAN NATIONS KEEN TO BOOST PALM OIL CAPACITY: FM MARSUDI
F
oreign Affairs Minister Retno Marsudi on Monday revealed that African countries expressed their interest in increasing the capacity of their palm oil industry during their meeting with President Joko Widodo (Jokowi). “During the meetings with the President, what was requested a lot was capacity improvement in, for example, palm oil,” she said at a press conference on the sidelines of the High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) and the 2nd Indonesia-Africa Forum (IAF) here. Marsudi disclosed that several African nations also expressed a desire to join the Committee of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). There were also requests for cooperation to increase health capacity, she said. Regarding health cooperation, she highlighted that President Widodo and Vice President of Zimbabwe Kembo Dugish Campbell Muleya Mohadi discussed economic cooperation in the pharmaceutical sector during their bilateral meeting.
Indonesia also discussed a master agreement on health technology transfer cooperation with Ghana and a master agreement on vaccine technology transfer cooperation with Kenya. “Indonesia is ready to partner with African countries, especially in the food, energy, health, and mineral sectors,” the minister said. The 2nd IAF, themed “Bandung Spirit for Africa’s Agenda 2063,” is being held in Bali from September 1–3, 2024, in conjunction with the HLF MSP 2024, which has adopted the theme of “Strengthening Multi-Stakeholder Partnerships: Towards a Transformative Change.” With several global stakeholders joining the forum, Indonesia is hoping to play an important role in pushing transformational change that is more inclusive and sustainable at the global level.
NIGERIA DAN INDONESIA MENANDATANGANI PERJANJIAN KERJA SAMA DI BIDANG KELAPA SAWIT
Nigeria dan Indonesia telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) yang bertujuan untuk memajukan produksi minyak kelapa sawit dan memperluas peluang pasar, dengan fokus pada modernisasi praktik dan peningkatan pendapatan bagi petani kecil. Perjanjian yang ditandatangani di Abuja oleh Asosiasi Produsen Kelapa Sawit Nasional Nigeria (NPPAN) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tersebut menandai langkah signifikan menuju penguatan industri kelapa sawit di kedua negara. Duta Besar Alphonsus Inyang, Presiden NPPAN, menekankan bahwa Nota Kesepahaman tersebut akan menawarkan kepada petani kecil di Nigeria akses ke pengetahuan, teknologi, dan peluang ekonomi yang penting dalam sektor kelapa sawit. Ia menekankan bahwa perjanjian tersebut dirancang untuk mendorong pertumbuhan industri kelapa sawit Nigeria, mendorong kerja sama yang menguntungkan kedua negara. Prakarsa tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Nigeria pada metode pertanian tradisional, meningkatkan produktivitas dan keuntungan bagi petani lokal. Bapak Eddy Martono, Ketua GAPKI, menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mendukung pengembangan industri kelapa sawit Nigeria. Beliau mencatat bahwa perjanjian tersebut sejalan dengan strategi Indonesia yang lebih luas untuk memperluas pasar kelapa sawit ke wilayah non-tradisional, dengan Nigeria sebagai mitra strategis utama dalam upaya ini. Martono menggarisbawahi pentingnya kemitraan ini dalam memperkuat hubungan bilateral dan berkontribusi terhadap pasar kelapa sawit global. Sahabi Muazu, Direktur Kedutaan Besar Indonesia di Nigeria, menyatakan optimismenya bahwa Nota Kesepahaman ini akan memacu pertumbuhan sektor kelapa sawit di Nigeria. Ia juga menyampaikan bahwa kolaborasi ini akan membawa manfaat yang signifikan bagi kedua negara, serta meningkatkan kinerja industri secara keseluruhan. Lolita Bangun, Wakil Sekretaris Jenderal GAPKI, menyoroti potensi Nigeria sebagai tujuan investasi yang menguntungkan, dengan mengacu pada keberhasilan IndoMie di pasar Nigeria. Ia menyoroti permintaan minyak kelapa sawit yang terus meningkat di Nigeria, dan menekankan bahwa Nota Kesepahaman ini dirancang untuk meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit ke negara tersebut. Dengan keahlian Indonesia dan posisi geografis Nigeria yang menguntungkan, kemitraan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan substansial dalam industri minyak kelapa sawit di kedua negara.
Singkatnya, Nota Kesepahaman antara Nigeria dan Indonesia merupakan upaya strategis untuk memodernisasi produksi minyak kelapa sawit, memperluas jangkauan pasar, dan meningkatkan mata pencaharian petani kecil. Kolaborasi ini siap memperkuat industri minyak kelapa sawit di kedua negara, menciptakan hubungan yang saling menguntungkan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) didirikan pada tanggal 27 Februari 1981. Pembentukannya dilatarbelakangi oleh keinginan para pemangku kepentingan industri kelapa sawit Indonesia untuk menyatukan usaha mereka di bawah satu organisasi seiring dengan bertambahnya jumlah pelaku industri. Pada awalnya, GAPKI menghimpun 23 perusahaan kelapa sawit, termasuk perusahaan perkebunan milik negara (BUMN), perusahaan swasta nasional dan asing, serta petani kelapa sawit yang tergabung dalam koperasi.
NNIGERIA AND INDONESIA SIGN AGREEMENT TO COOPERATE ON PALM OIL
igeria and Indonesia have signed a Memorandum of Understanding (MoU) aimed at advancing palm oil production and expanding market opportunities, with a focus on modernizing practices and improving income for smallholder farmers. The agreement, signed in Abuja by the National Palm Produce Association of Nigeria (NPPAN) and the Indonesian Palm Oil Association (GAPKI), marks a significant step toward strengthening the palm oil industry in both countries. Ambassador Alphonsus Inyang, President of NPPAN, emphasized that the MoU would offer smallholder farmers in Nigeria access to vital knowledge, technology, and economic opportunities within the palm oil sector. He highlighted that the agreement is designed to promote growth in Nigeria’s palm oil industry, fostering cooperation that benefits both nations. The initiative is expected to reduce Nigeria’s reliance on traditional farming methods, enhancing productivity and profitability for local farmers. Mr. Eddy Martono, Chairman of GAPKI, reiterated Indonesia’s commitment to supporting the development of Nigeria’s palm oil industry. He noted that the agreement aligns with Indonesia’s broader strategy of expanding its palm oil market into non-traditional regions, with Nigeria serving as a key strategic partner in this endeavor. Martono underscored the importance of this partnership in strengthening bilateral ties and contributing to the global palm oil market. Sahabi Muazu, Director of the Indonesian Embassy in Nigeria, expressed optimism that the MoU would catalyze growth in Nigeria’s palm oil sector. He echoed the sentiment that the collaboration would bring significant benefits to both countries, enhancing the industry’s overall performance. Lolita Bangun, Deputy Secretary-General of GAPKI, pointed to Nigeria’s potential as a lucrative investment destination, drawing parallels with the success of IndoMie in the Nigerian market. She highlighted the growing demand for palm oil in Nigeria, stressing that the MoU is designed to increase palm oil exports to the country. With Indonesia’s expertise and Nigeria’s advantageous geographical position, the partnership is expected to drive substantial growth in the palm oil industries of both nations.
In summary, the MoU between Nigeria and Indonesia represents a strategic effort to modernize palm oil production, expand market reach, and enhance the livelihoods of smallholder farmers. The collaboration is poised to strengthen the palm oil industry in both countries, creating a mutually beneficial relationship that supports economic growth and sustainability. The Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) was founded on February 27, 1981. Its creation was motivated by the desire of Indonesia’s palm oil industry stakeholders to consolidate their efforts under a single organization as the number of industry players grew. Initially, GAPKI brought together 23 palm oil companies, including state-owned plantation enterprises (BUMN), private national and foreign companies, and oil palm farmers organized in cooperatives.
INDONESIA DAN MALAYSIA AKAN MEMBELA INDUSTRI KELAPA SAWIT MELAWAN EUDR DALAM PERUNDINGAN
BRUSSELS
Indonesia tengah mengintensifkan upaya untuk melawan Peraturan Bebas Deforestasi (UEDR) Uni Eropa, yang bertujuan untuk memblokir produk-produk yang terkait dengan deforestasi agar tidak memasuki pasar Eropa. Indonesia dan Malaysia, dua produsen minyak sawit terbesar, akan mengirimkan delegasi ke Brussels pada September 2024 untuk berunding dengan UE, guna mengatasi kekhawatiran bahwa peraturan tersebut secara tidak adil menargetkan minyak sawit Indonesia dan produk kehutanan lainnya.
Eddy Martono, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GapkiI), menegaskan Indonesia tidak akan tinggal diam. “Pemerintah mendukung penuh kami agar pelaksanaan EUDR tidak memberatkan kami. Kami akan berangkat ke Brussels pada September untuk menghadiri pertemuan Joint Task Force (JTF) dengan Uni Eropa dan Malaysia,” kata Martono kepada Beritasatu. com di Bangka Belitung, Kamis.
Dengan EUDR yang dijadwalkan mulai berlaku pada akhir Desember 2024, waktu menjadi hal yang sangat penting. Pertemuan Joint Task Force mendatang pada 12 September akan menjadi pertemuan ketiga, setelah diskusi sebelumnya pada 4 Agustus 2023 dan 2 Februari 2024 dengan Indonesia, Malaysia, dan UE. Gapki menyoroti bahwa meskipun industri minyak sawit dalam negeri belum merasakan dampak regulasi tersebut, petani skala kecil akan terkena dampak secara tidak proporsional setelah regulasi tersebut diberlakukan. “Jika diterapkan, petani kecil akan menjadi yang pertama menderita. Mereka mungkin akan tersingkir dari rantai pasokan karena, tidak seperti perusahaan besar yang telah dikenai moratorium total berdasarkan Instruksi Presiden No. 5/2019, petani kecil tidak menghadapi pembatasan serupa,” jelas Martono.
Eropa tetap menjadi pasar ekspor terbesar ketiga Indonesia setelah Tiongkok dan India, dengan volume tahunan sebesar 4,2 hingga 4,3 juta ton. Selain minyak sawit, komoditas kehutanan Indonesia lainnya seperti kakao, kopi, karet, dan produk kayu juga berisiko terkena dampak EUDR.
INDONESIA AND MALAYSIA TO DEFEND PALM OIL INDUSTRY AGAINST EUDR IN BRUSSELS TALKS
Indonesia is intensifying its efforts to counter the European Union’s Deforestation-Free Regulation (UEDR), which aims to block products linked to deforestation from entering the European market. Indonesia and Malaysia, two of the biggest palm oil producers, will send a delegation to Brussels in September 2024 to negotiate with the EU, addressing concerns that the regulation unfairly targets Indonesian palm oil and other forestry products.
Eddy Martono, Chairman of the Indonesian Palm Oil Association (GapkiI), underscored that Indonesia will not stand idly by. “The government is fully supporting us to ensure that the implementation of the EUDR does not place an undue burden on us. We are set to travel to Brussels in September for a Joint Task Force (JTF) meeting with the European Union and Malaysia,” Martono told Beritasatu.com in Bangka Belitung on Thursday.
With the EUDR scheduled to come into effect by the end of December 2024, time is of the essence. The forthcoming Joint Task Force meeting on Sept.12, will be the third such meeting, following prior discussions on Aug. 4, 2023, and Feb. 2, 2024, with Indonesia, Malaysia, and the EU. Gapki highlighted that while the domestic palm oil industry has yet to feel the regulation’s impact, small-scale farmers will be disproportionately affected once it is enforced. “If implemented, small farmers will be the first to suffer. They may be pushed out of the supply chain because, unlike large companies already subject to a total moratorium under Presidential Instruction No. 5/2019, small farmers have not faced similar restrictions,” Martono explained.
Europe remains Indonesia’s third-largest export market after China and India, with an annual volume of 4.2 to 4.3 million tons. Besides palm oil, other Indonesian forestry commodities like cocoa, coffee, rubber, and wood products are also at risk of being impacted by the EUDR.
WAWASAN DARI ANGOLA
INDONESIA’S PALM OIL MARKET POTENTIAL IN AFRICA: INSIGHTS FROM ANGOLA
Angola yang terletak di bagian barat Afrika, muncul sebagai pasar yang menjanjikan bagi minyak kelapa sawit Indonesia di benua Afrika. Beberapa wilayah di Angola siap dikembangkan untuk budidaya kelapa sawit. Potensi ini ditonjolkan dalam kunjungan Duta Besar Indonesia untuk Namibia yang merangkap jabatan di Angola, Wisnu Edi Pratignyo, baru-baru ini pada Kamis, 25 Juli 2024. Duta Besar Wisnu bertemu dengan Duta Besar Carlos Sardinha, Direktur Kerja Sama Internasional di Kementerian Hubungan Luar Negeri Angola, untuk menjajaki potensi ekspor dan kerja sama di sektor minyak sawit.
Tercatat sebelumnya Angola telah mengimpor benih kelapa sawit untuk ditanam dan dikembangkan di dalam negeri, tetapi inisiatif tersebut belum mencapai hasil optimal. “Saat ini kami tengah berupaya mengimpor benih kelapa sawit dan mendatangkan pakar kelapa sawit dari Indonesia,” kata Duta Besar Carlos.Saat ini, budidaya dan pengolahan kelapa sawit di Angola masih bersifat tradisional. Diharapkan para ahli kelapa sawit Indonesia dapat membantu memodernisasi dan meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Duta Besar Wisnu menyambut baik minat Angola untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. “Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia,” jelas Dubes Wisnu.
Seorang importir Angola menyebutkan bahwa lebih dari 50% produk minyak kelapa sawit olahan bersumber dari Indonesia. Pasar minyak kelapa sawit Angola tetap terbuka untuk produk minyak kelapa sawit mentah, yang dapat diproses lebih lanjut di Angola. Kerja sama di bidang produk minyak kelapa sawit dapat mengisi kesenjangan dalam kolaborasi pertanian dan industri antara Indonesia dan Angola. Untuk tujuan ini, Dubes Wisnu mengundang para pemangku kepentingan minyak kelapa sawit Angola untuk memanfaatkan Forum Indonesia Afrika Kedua (IAF-2) pada bulan September 2024 untuk bertemu dengan mitramitra terkait di industri minyak kelapa sawit Indonesia.
Angola, located in the western part of Africa, is emerging as a promising market for Indonesian palm oil on the African continent. Several regions in Angola are ready to be developed for palm oil cultivation. This potential was highlighted during a recent visit by the Indonesian Ambassador to Namibia accredited to Angola, Wisnu Edi Pratignyo, on Thursday, July 25 2024. Ambassador Wisnu met with Ambassador Carlos Sardinha, Director of International Cooperation at the Ministry of External Relations of Angola, to explore the potential for export and cooperation in the palm oil sector.
It was noted that Angola had previously imported palm oil seeds to be planted and developed domestically, but the initiative had not yet achieved optimal results. “We are currently looking to import palm oil seeds and bring palm oil experts from Indonesia,” said Ambassador Carlos. Currently, palm oil cultivation and processing in Angola are still traditional. It is hoped that Indonesian palm oil experts can assist in modernizing and improving the productivity of palm oil plantations. Ambassador Wisnu welcomed Angola’s interest in developing palm oil plantations. “Indonesia is the world’s largest producer of palm oil,” Ambassador Wisnu explained.
One Angolan importer mentioned that over 50% of processed palm oil products are sourced from Indonesia. The Angolan palm oil market remains open to raw palm oil products, which can be further processed in Angola. Cooperation in palm oil products could fill the gap in agricultural and industrial collaboration between Indonesia and Angola. To this end, Ambassador Wisnu has invited Angolan palm oil stakeholders to utilize the Second Indonesia Africa Forum (IAF-2) in September 2024 to meet with relevant partners in the Indonesian palm oil industry.
RRENCANA KENAIKAN PAJAK IMPOR MINYAK SAWIT
INDIA DAPAT MERUGIKAN EKSPOR INDONESIA
encana India, pembeli minyak nabati terbesar dunia, untuk menaikkan pajak impor komoditas tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekspor minyak sawit Indonesia. India secara konsisten menjadi tujuan ekspor terbesar kedua untuk produk minyak nabati Indonesia, membeli 16 persen dari total pengiriman negara itu tahun lalu, menurut data Pusat Perdagangan Internasional (ITC), di bawah pangsa China yang sebesar 21 persen. Muhammad Osribillal, analis industri dan regional di Bank Mandiri, mengatakan kepada The Jakarta Post pada hari Senin bahwa jika pajak yang direncanakan tersebut diterapkan, pembeli India akan tetap membeli CPO Indonesia dan produk minyak kelapa sawit olahan, pemutih, dan penghilang bau (RBDPO). Namun, kenaikan tarif akan menghambat pertumbuhan permintaan untuk komoditas tersebut.
Dari tahun 2015 hingga 2019, periode di mana India menaikkan tarif impor CPO dari 7,5 persen menjadi 40 persen, ekspor minyak sawit Indonesia ke New Delhi tampak stabil, kata Osribillal. Impor CPO India naik rata-rata 75 persen dalam lima tahun sebelum kenaikan tarif sebelumnya, tetapi impor negara itu mandek pada tahun-tahun setelah kenaikan pajak. “Pertumbuhan impor CPO stagnan sejak 2015 hingga 2023, bahkan turun hingga 1,9 persen,” ujarnya. Rencana kenaikan pajak baru India berupaya membantu melindungi petani dari penurunan harga minyak sayur, dua sumber pemerintah mengatakan pada 28 Agustus, Reuters melaporkan. India menghapuskan pajak impor dasar atas minyak nabati mentah untuk mendinginkan harga pada tahun 2022, tetapi negara tersebut masih mengenakan pajak sebesar 5,5 persen, yang dikenal sebagai Pajak Infrastruktur dan Pembangunan Pertanian, yang mencakup minyak nabati. Untuk impor produk RBDPO, New Delhi mengenakan tarif pajak sebesar 13,75 persen.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan kepada Post pada hari Senin bahwa asosiasi tersebut belum menerima informasi apa pun tentang masalah tersebut, tetapi ia menduga pajak impor yang lebih tinggi akan membuat produk minyak sawit lebih mahal bagi pembeli di India. Ia mengatakan ekspor ke India masih berjalan seperti biasa “karena permintaan masih ada”. Malvika Priyadarshini, penasihat Kedutaan Besar India untuk ekonomi dan perdagangan, mengatakan kepada Post pada hari Senin bahwa kedutaan tidak memiliki informasi terperinci tentang masalah tersebut.
Josua Pardede, kepala ekonom di pemberi pinjaman swasta Bank Permata, mengatakan kepada Post pada hari Senin bahwa tarif impor yang lebih tinggi yang direncanakan India akan mengurangi daya saing minyak sawit Indonesia dibandingkan dengan minyak nabati yang diproduksi di pasar domestik India. Ia memperkirakan konsumen India akan beralih ke minyak sayur produksi lokal, karena negara tersebut memproduksi “minyak kedelai dan minyak lobak dalam jumlah yang cukup besar”. Ia menyarankan agar pemerintah terlibat dalam upaya diversifikasi tujuan ekspor CPO Indonesia untuk mengurangi dampak penurunan permintaan dari pembeli utama seperti India. “Pemerintah juga dapat mempercepat upaya peningkatan konsumsi CPO dalam negeri untuk mengantisipasi menurunnya permintaan ekspor, seperti dengan menjalankan program mandatori B40,” kata Josua. Ia merujuk pada rencana pemerintah yang tertunda untuk meningkatkan proporsi metil ester asam lemak turunan minyak sawit (FAME) yang dibutuhkan dalam biodiesel negara ini dari 35 persen menjadi 40 persen, sedangkan sisanya merupakan bahan bakar diesel fosil.
INDIA’S PLANNED PALM OIL IMPORT TAX HIKE COULD HURT INDONESIA EXPORTS
Aplan by India, the world’s top buyer of vegetable oils, to increase its import tax on the commodity could hamper the growth of Indonesia’s palm oil exports. India has consistently been the second-largest export destination for Indonesian vegetable oil products, buying 16 per cent of the country’s total shipments last year, according to International Trade Center (ITC) data, below only China’s share of 21 per cent. Muhammad Osribillal, an industry and regional analyst at Bank Mandiri, told The Jakarta Post on Monday that if the planned tax were implemented, Indian buyers would still purchase Indonesian CPO and refined, bleached, deodorized palm oil (RBDPO) products. However, the tariff hike would impede demand growth for those commodities.
From 2015 to 2019, a period in which India raised its CPO import tariff from 7.5 per cent to 40 per cent, Indonesian palm oil exports to New Delhi appeared stable, Osribillal said. India’s CPO imports rose by an average of 75 per cent in the five years before the previous tariff hike, but the country’s imports stagnated in the years following the tax increase. “CPO import growth stagnated from 2015 to 2023, even decreasing by 1.9 per cent,” he said. India’s new tax hike plan seeks to help protect farmers from a decline in oilseed prices, two government sources said on August 28, Reuters reported. India abolished basic import taxes on crude vegetable oils to cool prices in 2022, but the country still levies a 5.5-per-cent tax, known as the Agriculture Infrastructure and Development Cess, that covers vegetable oils. For imports of RBDPO products, New Delhi imposes a 13.75-per-cent tax rate.
Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) chairman Eddy Martono told the Post on Monday that the association had yet to receive any information on the matter, but he expected the higher import tax would make palm oil products more costly for buyers in India. He said exports to India were still running as usual “because demand is still there”. Malvika Priyadarshini, the Indian Embassy’s counselor for the economy and commerce, told the Post on Monday that the embassy did not have any detailed information on the matter.
Josua Pardede, chief economist at private lender Bank Permata, told the Post on Monday that India’s planned higher import tariffs would reduce the competitiveness of Indonesian palm oil as compared to vegetable oils produced in the domestic Indian market. He expected Indian consumers to switch to locally produced vegetable oils, as the country produced “a fairly large amount of soybean oil and rapeseed oil”. He suggested that the government get involved in efforts to diversify Indonesia’s CPO export destinations to lessen the blow of drops in demand from top buyers such as India. “The government could also expedite efforts to increase domestic CPO consumption to anticipate declining export demand, such as by deploying the mandatory B40 program,” Josua said. He was referring to a delayed government plan to boost the proportion of palm oil-derived fatty acid methyl ester (FAME) required in the country’s biodiesel from 35 per cent to 40 per cent, with the rest being fossil diesel fuel.
STRATEGI MINYAK SAWIT INDONESIA: MENAVIGASI TANTANGAN DAN PELUANG BARU – ANALISIS
Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, telah lama mengandalkan Uni Eropa (UE) sebagai salah satu pasar ekspor utamanya. Namun, perkembangan terbaru telah mendorong Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk menilai kembali pentingnya pasar Eropa secara strategis. Penerapan Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) telah menimbulkan tantangan signifikan bagi para eksportir minyak sawit Indonesia, yang mengakibatkan penurunan ekspor ke UE. Hal ini terutama menjadi perhatian bagi petani kecil yang mungkin menghadapi pengecualian dari pasar Eropa karena persyaratan kepatuhan yang ketat. Sebagai tanggapan, pemerintah Indonesia berfokus pada peningkatan konsumsi domestik minyak sawit untuk mengimbangi penurunan ekspor. Esai ini akan mengeksplorasi faktor-faktor di balik penurunan ekspor ke UE, dampak potensial terhadap petani kecil, dan respons strategis Indonesia terhadap tantangan ini, serta menyoroti dinamika yang berkembang dalam industri minyak sawit global.
Industri minyak sawit Indonesia telah menjadi penggerak utama perekonomian negara, menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan ekspor. Secara historis, UE telah menjadi salah satu pasar utama untuk minyak sawit Indonesia, didorong oleh permintaan untuk minyak nabati yang terjangkau dan bahan baku biodiesel. Namun, perubahan regulasi baru-baru ini di UE telah mengubah lanskap pasar. Penerapan EUDR adalah faktor kunci yang berkontribusi terhadap penurunan ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar Eropa. Regulasi ini bertujuan untuk mencegah impor komoditas yang terkait dengan deforestasi, dengan mengharuskan eksportir untuk menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka bebas dari deforestasi dan risiko lingkungan lainnya. Meskipun regulasi ini bermaksud baik, regulasi ini menimbulkan tantangan signifikan bagi produsen minyak sawit, terutama petani kecil yang mungkin kekurangan sumber daya dan keahlian teknis untuk mematuhi persyaratan yang ketat. Penurunan ekspor minyak sawit Indonesia ke UE adalah indikator jelas dari dampak EUDR. Data menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke UE terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, dengan beberapa perkiraan menunjukkan penurunan sekitar 20% dalam volume ekspor. Tren ini diperkirakan akan berlanjut seiring dengan implementasi penuh EUDR dan semakin ketatnya persyaratan kepatuhan.
Penurunan ekspor ini tidak hanya disebabkan oleh perubahan regulasi, tetapi juga mencerminkan pergeseran yang lebih luas dalam preferensi konsumen di Eropa. Kesadaran yang semakin meningkat tentang isu-isu lingkungan dan keberlanjutan telah mendorong permintaan yang lebih besar untuk minyak sawit bersertifikat berkelanjutan, yang seringkali datang dengan biaya lebih tinggi. Akibatnya, minyak sawit Indonesia, yang mungkin tidak selalu memenuhi standar ini, menghadapi penurunan pangsa pasar di UE.
Salah satu kekhawatiran terbesar terkait dengan EUDR adalah dampak potensialnya terhadap petani kecil minyak sawit di Indonesia. Petani kecil, yang menyumbang sebagian besar produksi minyak sawit Indonesia, sering kali kekurangan sumber daya, pengetahuan teknis, dan infrastruktur untuk mematuhi persyaratan pelacakan dan keberlanjutan EUDR. Petani-petani ini mungkin kesulitan untuk memenuhi standar dokumentasi dan sertifikasi yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa produk mereka bebas dari deforestasi.
Akibatnya, petani kecil bisa saja dikecualikan dari pasar UE, yang akan berdampak sosial-ekonomi yang parah. Pengecualian petani kecil dari pasar Eropa dapat menyebabkan hilangnya pendapatan dan
peningkatan kemiskinan di komunitas pedesaan yang sangat bergantung pada budidaya minyak sawit untuk mata pencaharian mereka. Selain itu, ketidakmampuan untuk mengakses pasar UE dapat mendorong petani kecil menjual produk mereka dengan harga lebih rendah ke pasar yang memiliki regulasi lingkungan yang lebih longgar, yang berpotensi mengarah pada penurunan standar keberlanjutan.
Sebagai tanggapan terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh EUDR dan penurunan ekspor ke UE, pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan industri telah mengambil langkah proaktif untuk beradaptasi dengan dinamika pasar yang berubah. Salah satu strategi kunci yang sedang dikejar adalah meningkatkan konsumsi domestik minyak sawit untuk mengimbangi penurunan ekspor. Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan untuk mendorong penggunaan minyak sawit di pasar domestik, terutama melalui perluasan program biodiesel. Program B30, yang mewajibkan campuran 30% minyak sawit dalam biodiesel, adalah contoh utama dari strategi ini. Dengan meningkatkan permintaan domestik untuk minyak sawit, Indonesia bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor dan menciptakan industri yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Pendekatan ini tidak hanya membantu menyerap pasokan yang berlebih akibat penurunan ekspor, tetapi juga mendukung tujuan pemerintah dalam hal keamanan energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Selain meningkatkan konsumsi domestik, Indonesia secara aktif mengeksplorasi pasar ekspor alternatif di luar UE. Pemerintah dan pemangku kepentingan industri telah berfokus pada perluasan ekspor minyak sawit ke negara-negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, di mana permintaan minyak nabati semakin meningkat. Pasar-pasar ini sering kali memiliki regulasi lingkungan yang kurang ketat, sehingga memudahkan minyak sawit Indonesia untuk mendapatkan akses pasar. Sebagai contoh, India dan China telah muncul sebagai importir utama minyak sawit Indonesia, didorong oleh populasi besar dan permintaan yang terus tumbuh akan minyak goreng yang terjangkau. Dengan mendiversifikasi pasar ekspornya, Indonesia bertujuan untuk mengurangi ketergantungannya pada UE dan mengurangi risiko yang terkait dengan perubahan regulasi di wilayah tertentu. Pergeseran strategis ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dan pertumbuhan industri minyak sawit Indonesia. Meskipun meningkatkan konsumsi domestik dan mengeksplorasi pasar alternatif adalah langkah penting, sama pentingnya bagi Indonesia untuk menangani tantangan keberlanjutan yang terkait dengan produksi minyak sawit. Industri minyak sawit global telah menghadapi kritik signifikan terkait perannya dalam deforestasi, perusakan habitat, dan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk mempertahankan posisinya sebagai produsen dan eksportir utama minyak sawit, Indonesia harus berinvestasi dalam praktik yang berkelanjutan dan mempromosikan metode produksi yang bertanggung jawab.
Upaya untuk meningkatkan pelacakan, transparansi, dan standar sertifikasi sangat penting untuk memenuhi permintaan yang semakin besar akan minyak sawit berkelanjutan dan memastikan akses pasar. Kemitraan publik-swasta, program pembangunan kapasitas bagi petani kecil, dan investasi dalam praktik pertanian berkelanjutan dapat membantu menjembatani kesenjangan antara persyaratan regulasi dan realitas di lapangan. Dengan mendorong industri minyak sawit yang lebih berkelanjutan dan inklusif, Indonesia dapat meningkatkan daya saing dan reputasinya di pasar global.
Kesimpulannya, dinamika yang berkembang di pasar minyak sawit global, yang didorong oleh perubahan regulasi dan pergeseran preferensi konsumen, telah mendorong Indonesia untuk menilai kembali prioritas strategisnya. Penurunan ekspor minyak sawit ke UE yang dipengaruhi oleh EUDR menyoroti tantangan yang dihadapi oleh produsen Indonesia, terutama petani kecil. Sebagai tanggapan, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan konsumsi domestik dan mengeksplorasi pasar ekspor alternatif, dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada pasar Eropa dan menciptakan industri yang lebih berkelanjutan. Sementara strategi ini penting untuk beradaptasi dengan kondisi pasar yang berubah, Indonesia perlu menangani tantangan keberlanjutan yang mendasar dan mempromosikan produksi minyak sawit yang bertanggung jawab. Dengan melakukan hal ini, Indonesia dapat memastikan posisinya sebagai pemimpin global dalam industri minyak sawit sekaligus memastikan kesejahteraan petani kecil dan pelestarian lingkungan alamnya. Masa depan industri minyak sawit Indonesia terletak pada kemampuannya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan dan inklusivitas sosial.
Rekomendasi
Untuk menavigasi tantangan yang ditimbulkan oleh Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) dan memastikan keberlanjutan jangka panjang industri minyak sawitnya, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan multifaset yang menangani masalah pasar dan keberlanjutan. Pertama, pemerintah harus berinvestasi dalam sistem sertifikasi yang kuat dan inisiatif peningkatan kapasitas yang memberdayakan petani kecil untuk memenuhi standar keberlanjutan internasional. Membangun program sertifikasi yang mudah diakses dan terjangkau dapat membantu petani kecil mengakses dan bersaing di pasar global. Kedua, Indonesia harus memperkuat kolaborasinya dengan pemangku kepentingan internasional, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), dan mitra sektor swasta, untuk mempromosikan transparansi dan pelacakan dalam rantai pasokan minyak sawit. Dengan berpartisipasi dalam inisiatif keberlanjutan global, Indonesia dapat meningkatkan reputasinya sebagai produsen minyak sawit yang bertanggung jawab. Ketiga, pemerintah harus terus mendiversifikasi pasar ekspor dan memperkuat hubungan perdagangan dengan negaranegara berkembang, mengurangi ketergantungan pada pasar tunggal. Yang terakhir, peningkatan kesadaran dan pendidikan masyarakat mengenai praktik minyak sawit berkelanjutan dapat mendorong permintaan akan minyak sawit yang diproduksi secara bertanggung jawab di dalam negeri dan internasional. Dengan menerapkan strategi-strategi ini, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin dalam produksi minyak sawit berkelanjutan sekaligus menjaga penghidupan para petani kecil.
IINDONESIA’S PALM OIL STRATEGY: NAVIGATING NEW CHALLENGES AND OPPORTUNITIES – ANALYSIS
ndonesia, as the world’s largest producer of palm oil, has long relied on the European Union (EU) as one of its key export markets. However, recent developments have led the Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) to reassess the strategic importance of the European market. The introduction of the European Union Deforestation Regulation (EUDR) has posed significant challenges for Indonesian palm oil exporters, resulting in a decline in exports to the EU. This is particularly concerning for smallholder farmers who may face exclusion from the European market due to stringent compliance requirements. In response, the Indonesian government is focusing on increasing domestic consumption of palm oil to offset the decline in exports. This essay explores the factors behind the declining exports to the EU, the potential impact on small farmers, and Indonesia’s strategic response to these challenges, highlighting the evolving dynamics in the global palm oil industry.
The Indonesian palm oil industry has been a significant driver of the country’s economy, providing employment for millions and contributing substantially to export revenues. Historically, the EU has been one of the major markets for Indonesian palm oil, driven by its demand for affordable vegetable oils and biodiesel feedstocks. However, recent regulatory changes in the EU have altered the market landscape. The introduction of the EUDR is a key factor that has contributed to the declining exports of Indonesian palm oil to the European market. This regulation aims to prevent the import of commodities associated with deforestation, requiring exporters to demonstrate that their supply chains are free from deforestation and other environmental risks. While the regulation is well-intentioned, it has posed significant challenges for palm oil producers, especially smallholders who may lack the resources and technical expertise to comply with the stringent requirements.
The decline in Indonesian palm oil exports to the EU is a clear indicator of the impact of the EUDR. Data shows that Indonesian palm oil exports to the EU have been steadily decreasing in recent years, with some estimates indicating a decline of around 20% in export volumes. This trend is expected to continue as the EUDR is fully implemented and compliance requirements become more stringent. The reduction in exports is not only a result of regulatory changes but also reflects a broader shift in consumer preferences in Europe. Increasing awareness of environmental and sustainability issues has led to a growing demand for sustainable certified palm oil, which often comes at a higher cost. As a result, Indonesian palm oil, which may not always meet these standards, faces a shrinking market share in the EU.
One of the most significant concerns surrounding the EUDR is its potential impact on small palm oil farmers in Indonesia. Smallholders, who account for a substantial portion of Indonesia’s palm oil production, often lack the resources, technical knowledge, and infrastructure to comply with the EUDR’s traceability and sustainability requirements. These farmers may struggle to meet the necessary documentation and certification standards to demonstrate that their products are deforestation-free.
As a result, smallholders could find themselves excluded from the EU market, which would have severe socio-economic consequences. The exclusion of small farmers from the European market could lead to a loss of income and increased poverty in rural communities that heavily rely on palm oil cultivation for their livelihoods. Moreover, the inability to access the EU market may push smallholders to sell their products at lower prices to markets with less stringent environmental regulations, potentially leading to a race to the bottom in terms of sustainability standards.
In response to the challenges posed by the EUDR and the declining exports to the EU, the Indonesian government and industry stakeholders have taken proactive measures to adapt to the changing market dynamics. One of the key strategies being pursued is to increase domestic consumption of palm oil to offset the decline in exports. The Indonesian government has implemented policies to promote the use of palm oil in domestic markets, particularly through the expansion of biodiesel programs. The B30 program, which mandates a 30% blend of palm oil in biodiesel, is a prime example of this strategy. By increasing the domestic demand for palm oil, Indonesia aims to reduce its reliance on export markets and create a more sustainable and resilient industry. This approach not only helps to absorb excess resulting supply from declining exports but also supports the government’s goals of energy security and reducing greenhouse gas emissions.
In addition to increasing domestic consumption, Indonesia is actively exploring alternative export markets beyond the EU. The government and industry stakeholders have been focusing on expanding oil palm exports to countries in Asia, Africa, and the Middle East, where demand for vegetable oils is growing. These markets often have less stringent environmental regulations, making it easier for Indonesian palm oil to gain market access.
For example, India and China have emerged as significant importers of Indonesian oil palm, driven by their large populations and growing demand for affordable cooking oils. By diversifying its export markets, Indonesia aims to reduce its dependence on the EU and mitigate the risks associated with regulatory changes in specific regions. This strategic shift is crucial for ensuring the long-term sustainability and growth of the Indonesian palm oil industry. While increasing domestic consumption and exploring alternative markets are important steps, it is equally crucial for Indonesia to address the sustainability challenges associated with palm oil production.
The global palm oil industry has faced significant criticism for its role in deforestation, habitat destruction, and human rights abuses. To maintain its position as a leading producer and exporter of palm oil, Indonesia must invest in sustainable practices and promote responsible production methods. Efforts to improve traceability, transparency, and certification
standards are essential for meeting the growing demand for sustainable palm oil and ensuring market access. Public-private partnerships, capacity-building programs for smallholders, and investments in sustainable agricultural practices can help bridge the gap between regulatory requirements and the realities on the ground. By fostering a more sustainable and inclusive palm oil industry, Indonesia can enhance its competitiveness and reputation in the global market.
In conclusion, the evolving dynamics of the global palm oil market, driven by regulatory changes and shifting consumer preferences, have prompted Indonesia to reassess its strategic priorities. The decline in palm oil exports to the EU influenced by the EUDR highlights the challenges faced by Indonesian producers, particularly smallholders. In response, the Indonesian government has taken proactive measures to increase domestic consumption and explore alternative export markets, aiming to reduce reliance on the European market and create a more sustainable industry. While these strategies are important for adapting to changing market conditions, Indonesia needs to address the underlying sustainability challenges and promote responsible palm oil production. By doing so, Indonesia can secure its position as a global leader in the palm oil industry while ensuring the well-being of small farmers and the preservation of its natural environment. The future of the Indonesian palm oil industry lies in its ability to balance economic growth with environmental sustainability and social inclusivity.
Recommendation
To effectively navigate the challenges posed by the European Union Deforestation Regulation (EUDR) and ensure the longterm sustainability of its palm oil industry, Indonesia should adopt a multifaceted approach that addresses both market and sustainability concerns. First, the government should invest in robust certification systems and capacity-building initiatives that empower smallholders to meet international sustainability standards. Establishing accessible and affordable certification programs can help small farmers gain access and compete globally. Second, Indonesia should intensify its collaboration with international stakeholders, including governments, nongovernmental organizations (NGOs), and private sector partners, to promote transparency and traceability in the palm oil supply chain. By participating in global sustainability initiatives, Indonesia can enhance its reputation as a responsible palm oil producer. Third, the government should continue to diversify export markets and strengthen trade relations with emerging economies, reducing dependence on any single market. Finally, increasing public awareness and education on sustainable palm oil practices can drive demand for responsibly produced palm oil domestically and internationally. By implementing these strategies, Indonesia can position itself as a leader in sustainable palm oil production while safeguarding the livelihoods of its small farmers.
INDONESIA BERENCANA MENGGANDAKAN PRODUKSI KAKAO DAN KELAPA SAWIT
MELALUI PENANAMAN KEMBALI
INDONESIA PLANS DOUBLE CACAO, OIL PALM PRODUCTION THROUGH REPLANTING
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menugaskan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menggandakan produksi kakao dan kelapa sawit dengan melaksanakan program peremajaan. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto seusai rapat kabinet terbatas tentang kelapa dan kakao di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu. “Kalau kita lihat, dari sisi industri, lahan kakao itu jumlahnya menurun. Kebutuhan kita untuk pengembangan industri hampir dua kali lipat,” katanya. Ia mencatat produksi kakao di Indonesia saat ini sekitar 180 ribu ton dan produksi kelapa sawit sekitar 2,8 juta ton, dengan nilai ekspor kakao mencapai 1,3 miliar dolar AS per tahun dan ekspor kelapa sawit sebesar 1,2 miliar dolar AS.
Menurut Hartarto, saat ini luas lahan kakao di Indonesia mencapai 1,3 juta hektare dan kelapa sawit 3,3 juta hektare. Sementara itu, penerimaan negara dari bea keluar atau cukai yang dikenakan atas ekspor kakao dipatok sekitar 46,9 juta rupiah (sekitar 2.891 USD) per tahun. “Kita semua tahu selama ini, kakao dikenakan bea keluar yang utamanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan hasilnya bea keluar antara nol sampai 15 persen, tergantung harganya,” kata menteri.
Menurut Hartarto, beberapa negara termasuk Pantai Gading dan Ghana, mengenakan bea keluar kakao sekitar 500 USD per ton. Lebih lanjut ia mengatakan, saat ini ada 31 perusahaan Indonesia yang mengelola industri kakao dan cokelat dengan kapasitas produksi 1.240 ton. Ia mencatat, Presiden telah meminta agar produksi kakao nasional ditingkatkan dua kali lipat menjadi 400 ribu ton dengan bantuan peremajaan. BPDPKS, katanya, merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk peremajaan kakao dan kelapa melalui pasokan bibit dari perguruan tinggi atau balai penelitian. “Untuk itu, Presiden menginstruksikan perlunya memberikan tugas tambahan kepada lembaga yang bertanggung jawab atas peremajaan dan pengembangan industri berbasis kakao dan kelapa sawit,” imbuhnya.
President Joko Widodo (Jokowi) has tasked the Oil Palm Plantation Fund Management Agency (BPDPKS) with doubling cacao and oil palm production by implementing a replanting program. This was conveyed by Coordinating Minister for Economic Affairs, Airlangga Hartarto, after a limited cabinet meeting on coconut and cacao at the Presidential Palace, Jakarta on Wednesday. “If we look at it, in terms of the industry, the number of cacao lands declined. Our need for industry development is almost double,” he said. He noted that cacao production in Indonesia has reached around 180 thousand tons and oil palm production around 2.8 million tons, with cacao exports valued at 1.3 billion USD per year and oil palm exports at 1.2 billion USD.
According to Hartarto, currently, the land area for cacao in Indonesia reaches 1.3 million hectares, and for oil palm 3.3 million hectares. Meanwhile, state revenue from export duties or customs levied on cacao exports has been pegged at around 46.9 million rupiahs (around 2,891 USD) per year. “We all know that so far, there has been an export duty on cacao, which is mainly aimed at meeting domestic needs, and the result is an export duty of between zero to 15 percent, depending on the price,” the minister said.
According to Hartarto, several countries including Ivory Coast and Ghana, are imposing export duties on cacao of around 500 USD per ton. He further said that there are 31 Indonesian companies currently that are managing the cacao and chocolate industry with a production capacity of 1,240 tons. He noted that the President has asked that national cacao production be doubled to 400 thousand tons with the help of replanting. The BPDPKS, he said, is the party that is responsible for replanting cacao and coconut through supplies of seedlings from universities or research centers. “To this end, the President instructed the need to give additional tasks to the agency to be responsible for replanting and developing cacao and oil palm-based industries,” he added.
LADANG KECIL KUNCI KEPADA KEMAMPANAN MINYAK SAWIT MALAYSIA — SITI DINA RAZMAN PAHRI
Menyokong pekebun kecil Malaysia dengan teknologi dan polisi dapat memastikan industri minyak sawit yang mampan. Walaupun menghadapi tekanan besar untuk memenuhi peraturan dan persaingan dari negara jiran, Malaysia tetap menjadi pengeluar minyak sawit kedua terbesar di dunia. Pekebun kecil merupakan tulang belakang yang penting dalam industri minyak sawit Malaysia. Menurut Lembaga Minyak Sawit Malaysia, pada tahun 2023, pekebun kecil mendominasi 26.4 peratus daripada jumlah kawasan, peningkatan sedikit dari 26.2 peratus pada tahun 2022. Terdapat lebih daripada 300,000 pekebun kecil kelapa sawit di Malaysia. Pekebun ini biasanya menguruskan kurang daripada 40 hektar ladang dan telah menunjukkan daya tahan yang luar biasa terhadap cabaran kelestarian. Tidak seperti ladang yang dimiliki oleh syarikat besar atau negara, pekebun kecil mempunyai peluang untuk mengurus, menuai, dan menjual tandan buah segar mereka secara bebas. Walaupun menyumbang dengan ketara kepada sektor minyak sawit, pekebun kecil sering beroperasi di pinggiran. Penyelidikan telah mendedahkan bahawa pekebun ini sering menghadapi halangan seperti akses yang terhad kepada kewangan, teknologi dan pasaran. Polisi kerajaan, walaupun bertujuan untuk menyokong pekebun kecil, sering kali gagal menangani keperluan khusus mereka. Bagi pekebun kecil, kesejahteraan sosial bukan sekadar konsep, tetapi aspek penting dalam kehidupan mereka. Ia adalah keupayaan untuk keluar dari kemiskinan dan mengekalkan sumber pendapatan yang stabil dan jangka panjang.
Penyesuaian dan kelangsungan hidup mereka dalam menghadapi cabaran sosial bukan sahaja merupakan faktor kritikal dalam membentuk landskap industri, tetapi juga melindungi kesejahteraan mereka. Pelbagai faktor mempengaruhi kesejahteraan sosial pekebun kecil kelapa sawit, termasuk akses terhad kepada sumber dan teknologi, kekurangan modal, harga minyak sawit yang berfluktuasi, dan kawasan ladang yang kecil dan terhad. Mereka sering bergantung kepada bantuan seperti benih, baja dan teknik pertanian, serta memerlukan latihan berterusan dalam amalan pengurusan ladang yang baik untuk menangani cabaran alam sekitar seperti perubahan iklim dan penyakit. Keperluan perdagangan antarabangsa seperti Peraturan Deforestasi Eropah telah menimbulkan cabaran tambahan bagi pekebun kecil. Mereka perlu mematuhi sepenuhnya keperluan ketelusuran yang melibatkan kos pematuhan yang tinggi, beban pentadbiran dan pengurangan akses pasaran. Untuk mengatasi cabaran globalisasi dan pendigitalan, Malaysia memerlukan polisi dan strategi yang lebih kukuh untuk merevolusikan industri. Adalah penting untuk mengutamakan keperluan khusus pekebun kecil sawit bagi memudahkan kejayaan mereka dalam memperoleh sijil di bawah Skim Pensijilan Minyak Sawit Mampan Malaysia.
Masa Depan Mampan
Terdapat beberapa intervensi yang berjaya yang telah meningkatkan pembangunan mampan industri minyak sawit sambil memberi impak positif kepada kehidupan pekebun kecil.Ini termasuk sokongan dan bimbingan yang disesuaikan, penyesuaian kepada mekanisasi dan pemindahan teknologi untuk meningkatkan kecekapan dan produktiviti serta ketersediaan pilihan kredit yang berpatutan dan mudah diakses.Sebagai contoh, pelaksanaan program Tunjuk Ajar Nasihat Sawit telah mengukuhkan hubungan antara agensi dan pekebun kecil. Program ini direka untuk membantu pekebun mencapai dan mengekalkan pensijilan Minyak Sawit Mampan Malaysia, langkah penting ke arah kelestarian. Pekebun yang berjaya memperoleh pensijilan Minyak Sawit Mampan Malaysia melalui program ini dapat memanfaatkan bantuan kewangan, sokongan teknikal, bimbingan berterusan, amalan yang lebih selamat, hak yang terjamin, pendapatan yang meningkat dan keuntungan yang dihasilkan. Perkhidmatan lanjutan dari agensi kerajaan yang menawarkan kepakaran teknikal, panduan dalam pemilihan tanaman alternatif yang sesuai dan sokongan untuk beralih kepada amalan pertanian yang pelbagai juga memainkan peranan penting. Sebagai contoh, pekebun boleh mendapat manfaat daripada program seperti Skim Integrasi Tanaman dan Skim Integrasi Ternakan, yang bertujuan untuk mempromosikan amalan pertanian mampan dan pelbagai dalam industri kelapa sawit. Mekanisasi telah memajukan amalan pertanian dengan ketara dengan menggunakan mesin khusus untuk pemupukan, penyemburan, pemangkasan dan penuaian dalam hasil yang lebih tinggi. Walau bagaimanapun, salah satu halangan utama ialah kos untuk memperoleh mekanisasi pertanian dan teknologi yang diperlukan.
Internet-of-Things boleh menyediakan data masa nyata untuk memantau parameter persekitaran seperti suhu, kelembapan tanah dan hujan. Pertanian tepat, pendekatan moden kepada pertanian, melibatkan penggunaan dron yang dilengkapi dengan kamera dan sensor serta pemetaan digital.
Ini boleh membantu pekebun memantau dan mengurus amalan pertanian mereka dengan lebih berkesan, termasuk mengesan penyakit dan melaksanakan penyelesaian jangka pendek dan panjang. Sebuah syarikat perladangan tempatan, SD Guthrie melaburkan hampir RM100 juta (AS$21.3 juta) untuk membangunkan robot dan mesin untuk mengambil alih tugas bukan penuaian seperti menyembur racun serangga atau memantau buah dan hasil. Walau bagaimanapun, robot ini tidak sepenuhnya autonomi dan pekerja yang mahir masih diperlukan untuk mengawal dan mengendalikan mesin tersebut. Aplikasi mudah alih boleh membolehkan pekebun dengan mudah mengakses dan memantau maklumat pasaran, ramalan cuaca, dan kemas kini terkini berkaitan ladang kelapa sawit.
Adalah penting untuk memperkenalkan insentif tambahan untuk mengubah pemikiran pekebun kecil kelapa sawit agar menjadi teknoprener yang mahir yang sentiasa peka terhadap kemajuan digital yang pesat dalam meningkatkan prestasi kelestarian mereka. Sebagai pengeluar kelapa sawit terkemuka, Indonesia telah menggunakan alat digitalisasi untuk menggalakkan dan mempromosikan pelaksanaan amalan pertanian mampan. Strategi ini memberi tumpuan kepada kaedah bebas penebangan hutan dan memerlukan kerjasama antara syarikat besar, pekebun kecil dan NGO.
Malaysia baru-baru ini memperkenalkan lebih banyak insentif untuk pekebun meningkatkan pengeluaran. Insentif ini bukan sekadar bantuan kewangan; ia mengiktiraf peranan penting pekebun dalam industri minyak sawit. Kajian telah menunjukkan bahawa insentif ekonomi yang ditawarkan oleh pihak bersekutu bergantung pada lokasi ladang kelapa sawit dan sikap pekebun kecil terhadap tawaran pinjaman kredit. Menubuhkan koperasi dapat memberi manfaat kepada kedua-dua pihak dengan membiayai, melatih, dan mengembangkan pasaran untuk tandan buah segar.
Sektor minyak sawit mempunyai potensi untuk menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan, menarik minat generasi muda dan mengurangkan kebergantungan kepada tenaga kerja asing. Dengan menubuhkan pusat latihan dan institusi serta mewujudkan peluang bagi generasi muda untuk meneruskan pendidikan mereka, industri ini dapat meningkatkan daya tarikannya dengan ketara dan memastikan pulangan yang wajar berdasarkan kemahiran atau kelayakan akademik mereka, serta memupuk rasa pertumbuhan dan pembaharuan. Industri minyak sawit menawarkan peluang pekerjaan yang luas di seluruh rantaian pengeluaran, mewujudkan persekitaran yang inklusif melebihi kerja di ladang. Terdapat pelbagai peranan, termasuk jawatan dalam penyelidikan, pengurusan ladang, keselamatan dan kesihatan serta aktiviti hiliran. Peluang ini terbuka kepada wanita, golongan muda dan masyarakat setempat, menyediakan spektrum luas pilihan pekerjaan yang berpotensi dalam industri ini. Menjelang tahun 2030, Malaysia memerlukan rangka kerja yang dinamik untuk menangani cabaran sosial bagi pekebun kecil kelapa sawit. — Creative Commons oleh 360info. *Siti Dina Razman Pahri ialah pensyarah kanan Program Pengurusan Alam Sekitar di Pusat Penyelidikan Pembangunan, Sosial dan Alam Sekitar, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia. Minat penyelidikan beliau termasuk penilaian kitaran hayat alam sekitar, penilaian kitaran hayat sosial, dan pengurusan alam sekitar.
SMALL FARMS THE KEY TO MALAYSIA’S PALM OIL SUSTAINABILITY — SITI DINA RAZMAN PAHRI
S
upporting Malaysia’s smallholder farmers with technology and policy can ensure a sustainable palm oil industry. Despite intense pressure to meet regulations and competition from its neighbours, Malaysia maintains its position as the world’s second-largest palm oil producer Smallholder farmers form a critical backbone in Malaysia’s palm oil industry. According to the Malaysian Palm Oil Board, in 2023, smallholder farmers dominated 26.4 per cent of the total area, a slight increase from 26.2 per cent in 2022 There are more than 300,000 oil palm smallholder farmers in Malaysia. These farmers typically manage less than 40 hectares of plantation and have shown remarkable resilience towards sustainability challenges. Unlike farms owned by large corporations or the state, smallholder farmers have the opportunity to independently manage, harvest and sell their fresh fruit bunches. Despite contributing significantly to the palm oil sector, smallholders often operate on the margins. Research has revealed these farmers often face hurdles such as limited access to finance, technology and markets. Government policies, while aiming to support smallholders, often fall short of addressing their specific needs. For smallholder farmers, social wellbeing is not just a concept, but a crucial aspect of their lives. It’s the ability to lift themselves out of poverty and maintain a stable, long-term source of income.
Their adaptation and survival in the face of social challenges are not just critical factors in shaping the industry’s landscape, but also in protecting their wellbeing. Various factors impact the social wellbeing of oil palm smallholder farmers, including limited access to resources and technology, lack of capital, fluctuating oil palm prices, and small limited plantation areas. They often rely on assistance such as seeds, fertilisers and agricultural techniques, and require continuous training in good farm management practices to combat environmental challenges such as climate change and disease. International trade requirements such as the European Deforestation Regulation have posed extra challenges for smallholder farmers. They must fully comply with the traceability requirements which include high compliance costs, administrative burdens and reduced market access. To navigate globalisation and digitisation challenges, Malaysia needs stronger policies and strategies to revolutionise the industry. It is crucial to prioritise the specific needs of oil palm smallholders to facilitate their successful
certification attainment under the Malaysian Sustainable Palm Oil Certification Scheme.
A Sustainable Future
There have been several successful interventions which have improved the palm oil industry’s sustainable development while positively impacting smallholders’ livelihoods. These include tailored support and guidance, the adaptation to mechanisation and technology transfer to enhance efficiency and productivity and the availability of affordable and accessible credit options. For example, the implementation of the Tunjuk Ajar Nasihat Sawit programme has significantly strengthened the relationship between agencies and smallholder farmers. The programme is designed to assist farmers in achieving and maintaining the Malaysian Sustainable Palm Oil certification, a crucial step towards sustainability. Successful farmers who acquire Malaysian Sustainable Palm Oil certification through this programme can benefit from financial assistance, technical support, continuous guidance, safer practices, guaranteed rights, increased income and generated profit. Extension services from government agencies which offer technical expertise, guidance on selecting suitable alternative crops and support transitioning to diversified agricultural practices also play an important role. For instance, farmers can benefit from programmes such as the Crop Integration Scheme and the Livestock Integration Scheme, which aim to promote sustainable and diversified farming practices within the oil palm industry. Mechanisation has significantly advanced agricultural practices by employing specialised machinery for fertilising, spraying, pruning and harvesting in higher yields. However, one of the primary obstacles is the cost of acquiring the necessary agricultural mechanisation and technology.
The Internet-of-Things can efficiently provide real-time data for monitoring environmental parameters such as temperature, soil moisture and precipitation. Precision farming, a modern approach to agriculture, involves the use of drones equipped with cameras and sensors and digital mapping. This can help farmers monitor and manage their farming practices more effectively, including detecting diseases and implementing short and long-term solutions. A local plantation company, SD Guthrie invested nearly RM100 million (US$21.3 million) into developing robots and machines to take over non-harvesting jobs such as spraying pesticide or monitoring fruit and yields. However, these robots are not fully autonomous and skilled workers are still needed to control and operate the machines. Mobile applications could enable farmers to easily access and monitor market information, weather forecasts, and the latest updates related to oil palm plantations.
It is essential to introduce additional incentives to change the mindset of oil palm smallholder farmers to become adept technopreneurs who are constantly attuned to the rapid digital advancements in improving their sustainability performance.As the leading oil palm producer, Indonesia has been using digitisation toolkits to encourage and promote the implementation of sustainable farming practices. This strategy focuses on deforestation-free methods and entails cooperation between large corporations, smallholders and NGOs.
Malaysia has recently introduced more incentives for farmers to enhance production. These incentives are not just financial aids; they recognise farmers’ vital role in the palm oil industry. Studies have shown that the economic incentives
offered by affiliated parties depend on the location of oil palm plantations and the attitudes of smallholder farmers towards credit loan offers. Establishing a cooperative can benefit both parties by financing, training, and expanding the market for fresh fruit bunches.
The palm oil sector has the potential to become a promising income source, attracting the younger generation’s interest and reducing dependency on foreign labour. By establishing training centres and institutions and creating opportunities for the younger generation to continue their education, the industry can significantly enhance its appeal and ensure reasonable returns based on their skills or academic qualifications, fostering a sense of growth and renewal. The palm oil industry offers extensive employment opportunities across the entire production chain, creating an inclusive environment beyond plantation work. Diverse roles are available, including positions in research, farm management, safety and health and downstream activities. These opportunities are open to women, young people and local communities, providing a broad spectrum of potential employment options within the industry. As 2030 approaches, Malaysia needs a dynamic framework to manage social challenges for oil palm smallholder farmers. — Creative Commons by 360info. * Siti Dina Razman Pahri is a senior lecturer of the Environmental Management Program at the Center for Research in Development, Social and Environment, Faculty of Social Sciences and Humanities, Universiti Kebangsaan Malaysia. Her research interests include environmental life cycle assessment, social life cycle assessment, and environmental management.
MALAYSIA HENTIKAN PEMBUKAAN PERKEBUNAN
KELAPA
SAWIT BARU UNTUK LESTARIKAN TUTUPAN HUTAN
Malaysia telah berjanji untuk menghentikan perkebunan kelapa sawit baru di kawasan hutan untuk mendukung keberlanjutan dan mempertahankan tutupan hutan saat ini sebesar 54%, kata Datuk Seri Johari Abdul Ghani. Menteri Perkebunan dan Komoditas mengatakan buah sawit yang dipanen dari kawasan gundul akan dilarang masuk ke pabrik kelapa sawit. “Pabrik yang menerima buah-buahan tersebut akan dilarang mengekspor atau menjual produknya. Saya yakin kita memiliki cukup banyak perkebunan kelapa sawit. Kami ingin mempertahankan tutupan hutan kami pada 54% untuk meningkatkan perlindungan keanekaragaman hayati termasuk menjaga orangutan,” katanya saat acara Hari Orangutan Sedunia 2024 di sini pada hari Minggu (18 Agustus), Bernama melaporkan. Ia mengatakan kebijakan ini telah disampaikan kepada pelaku industri melalui berbagai keterlibatan.
Johari juga menekankan perlunya Malaysia memastikan semua ekspor minyak sawit memenuhi standar keberlanjutan untuk membuktikan komitmen negara tersebut. Ia mengatakan Sabah sendiri memiliki 1,5 juta hektare perkebunan kelapa sawit. Meskipun demikian, industri minyak sawit menghadapi kritik dan propaganda negatif dari beberapa negara Barat mengenai keberlanjutannya, katanya. “Pemerintah berkomitmen untuk mengatasi klaim palsu ini. Kami menjadikan sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia sebagai kewajiban bagi semua produsen, termasuk perkebunan dan petani kecil,” imbuhnya.
Dengan lebih dari 80% produksi minyak sawit Malaysia ditujukan untuk ekspor, sertifikasi sangat penting untuk meyakinkan pembeli mengenai keberlanjutan dan kualitas produk. Johari menekankan bahwa sektor minyak sawit memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Malaysia, mewakili 3% PDB, menghasilkan lebih dari RM100 miliar dalam pendapatan ekspor dan menyediakan sekitar satu juta pekerjaan.
Malaysia has pledged to halt new oil palm plantations in forest areas to support sustainability and maintain its current forest cover of 54%, says Datuk Seri Johari Abdul Ghani. The Plantation and Commodities Minister said that palm fruits harvested from deforested areas would be barred from entering palm oil mills. “Factories accepting such fruits will be prohibited from exporting or selling their products. I believe we have enough oil palm plantations. We want to maintain our forest cover at 54% to enhance biodiversity protection including safeguarding orangutans,” he said during the World Orangutan Day 2024 event here on Sunday (Aug 18). He said this policy had been conveyed to industry players through various engagements.
Johari also emphasised the need for Malaysia to ensure all palm oil exports meet sustainability standards to prove the
country’s commitment. He said Sabah alone has 1.5 millionhectare of oil palm plantations. Despite this, the palm oil industry faces criticism and negative propaganda from some Western countries regarding its sustainability, he said. “The government is committed to addressing these false claims. We are making Malaysian Sustainable Palm Oil certification mandatory for all producers, including estates and smallholders,” he added.
With over 80% of Malaysia’s palm oil production destined for export, the certification is vital for assuring buyers of the products’ sustainability and quality. Johari highlighted that the palm oil sector significantly contributes to Malaysia’s economy, representing 3% of GDP, generating over RM100bil in export revenue and providing around one million jobs.
PETANI KELAPA SAWIT KECIL DI INDONESIA MENDAPAT DORONGAN DALAM UPAYA
MENCAPAI KEBERLANJUTAN
LSM yang bekerja dengan petani kecil Indonesia telah mengembangkan serangkaian pedoman yang ditujukan untuk membantu petani kelapa sawit membuktikan bahwa produk mereka bebas dari deforestasi, sehingga memungkinkan mereka mendapatkan pijakan di pasar yang semakin menuntut barang-barang yang diproduksi secara berkelanjutan. Diluncurkan pada tanggal 24 Juni, perangkat petani kecil bebas deforestasi , yang pertama dalam jenisnya, merupakan panduan partisipatif langkah demi langkah bagi kelompok petani kecil untuk melindungi hutan mereka dan mengelola lahan mereka secara berkelanjutan. Untuk menerapkan perangkat tersebut, petani kecil harus melalui enam langkah, dimulai dengan persiapan dan penyebaran informasi, di mana anggota masyarakat akan menerima penjelasan tentang perangkat tersebut dan bagaimana perangkat itu bermanfaat bagi kelompok petani kecil dan desa.
Setelah itu, masyarakat akan memetakan semua hutan dan tutupan lahan di tanah desa mereka. Mereka kemudian akan mengidentifikasi kawasan hutan mana yang memiliki stok karbon tinggi (HCS) dan nilai konservasi tinggi (HCV), seperti tanah leluhur dan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Langkah ini penting untuk membedakan kawasan hutan yang harus dilindungi, dari kawasan terdegradasi yang dapat dikembangkan. Di akhir proses, masyarakat akan menyusun rencana konservasi dan pemanfaatan lahan terpadu, atau ICLUP. Rencana ini mencakup perincian tentang bagaimana lahan desa dan masyarakat akan digunakan dan dikelola. Misalnya, sebuah desa dapat memutuskan bahwa semua kawasan HCS dan HCV harus dilindungi, sambil menetapkan hukuman bagi siapa pun yang melanggar praktik kehutanan adat. Desa juga dapat memutuskan untuk mempraktikkan pertanian ekologis dan agroforestri untuk mempertahankan mata pencaharian lokal sambil melindungi hutan HCS dan HCV pada saat yang sama.
Pada setiap langkah, petani kecil harus memberikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC). Hal ini dilakukan untuk memastikan perangkat ini benarbenar bermanfaat bagi masyarakat dan mencegah terjadinya perselisihan di kemudian hari. Secara keseluruhan, perangkat ini dimaksudkan untuk membantu petani kecil mempraktikkan pertanian tanpa deforestasi dan memberi mereka kesempatan untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi kehidupan dan tanah mereka. Hal ini menjadikan perangkat tersebut satusatunya di dunia yang menargetkan deforestasi oleh petani kecil, menurut Grant Rosoman, penasihat senior kehutanan untuk Greenpeace International dan anggota Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCSA), mekanisme yang didukung luas yang juga digunakan dalam perangkat tersebut. Meskipun mekanisme seperti HCSA telah lama ada untuk membantu perusahaan besar mengatasi deforestasi dan melindungi hutan di konsesi mereka, tidak ada perangkat seperti itu yang secara khusus dirancang untuk petani kecil, katanya.
Oleh karena itu, hal itu membuat petani kecil harus mengurus sendiri urusan mereka, kata Rosoman. “Hal ini memungkinkan terjadinya situasi di mana petani kecil juga tertinggal karena tidak memiliki metodologi yang dapat mereka gunakan,” katanya saat peluncuran perangkat tersebut di Jakarta. “Sekarang kami telah memperbaikinya dengan mengembangkan metodologi ini dalam enam hingga tujuh tahun terakhir.” Perangkat ini dikembangkan melalui kolaborasi antara HCSA, Serikat Petani Kelapa Sawit Kecil Indonesia (SPKS), Yayasan Petani
untuk Perlindungan Hutan (4F), Greenpeace, dan Jaringan Nilai Konservasi Tinggi (HCVN). Proses pengembangannya mencakup uji coba perangkat ini dengan petani kecil di provinsi Kalimantan Barat, di Kalimantan Indonesia, selama empat tahun untuk memastikan metodologinya mudah diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.Para petani kecil yang berpartisipasi dalam uji coba tersebut, termasuk anggota masyarakat adat Dayak Hibun, juga terlibat secara aktif dalam proses pengembangan. “Saya melihat sendiri bahwa perangkat ini benar-benar dikembangkan berdasarkan masukan dari petani kecil, masyarakat adat, dan masyarakat lokal, saat perangkat ini diujicobakan di Kalimantan Barat,” kata Valens Andi, seorang petani kecil dari Kabupaten Sanggau di Kalimantan Barat. “Saya telah melihat sendiri dampak positifnya.”
Selama uji coba, para petani kecil berhasil mengidentifikasi 2.727 hektar (6.739 are) hutan leluhur yang harus dilindungi. Masyarakat kemudian memetakan 364 hektar (900 are) dan menyusun rencana untuk mengelola dan melindungi area tersebut, kata Tirza Pandelaki, direktur eksekutif 4F. “Kita tahu bahwa bebas deforestasi bagi petani kecil adalah hal yang mungkin dan dapat dicapai,” katanya. “Buktinya, banyak petani kita yang mampu menjaga hutan mereka [selama uji coba di Kalimantan Barat].” Hal ini menepis anggapan bahwa petani kecil tidak mampu mengelola lahan mereka secara berkelanjutan. Mereka sering disalahkan atas penggundulan hutan di Indonesia, dan karenanya dikecualikan dari pasar, kata ketua SPKS Sabarudin. Kini, karena petani kecil dapat menggunakan perangkat ini, mereka dapat membuktikan kepada pasar bahwa produk mereka bebas dari penggundulan hutan, dan dengan demikian menikmati akses pasar dan harga yang lebih adil untuk produk mereka, imbuhnya. Hal ini terutama penting karena ada persyaratan pasar global yang semakin meningkat agar produk bebas dari penggundulan hutan, seperti di Uni Eropa, salah satu importir minyak kelapa sawit terbesar dari Indonesia, yang merupakan produsen komoditas terbesar di dunia.
Uni Eropa
Pada tahun 2023, blok tersebut mengadopsi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang melarang impor komoditas seperti minyak sawit yang diproduksi secara ilegal, di lahan yang gundul setelah 31 Desember 2020, atau yang asal usulnya tidak dapat dilacak. Pemerintah Indonesia telah memprotes peraturan baru tersebut, dengan mengatakan peraturan tersebut akan sangat merugikan petani kecil, yang mengelola 6,72 juta hektar (16,6 juta hektar) perkebunan kelapa sawit di seluruh negeri. Survei petani kecil mandiri tahun 2022 oleh LSM lingkungan Indonesia Madani di empat kabupaten penghasil minyak kelapa sawit menemukan bahwa sebagian besar petani menghadapi kesulitan dalam memastikan ketertelusuran, karena kurangnya dokumentasi transaksi. Banyak juga yang tidak memiliki hak kepemilikan yang jelas atas tanah mereka, sehingga sulit bagi mereka untuk mematuhi elemen legalitas EUDR. Inilah sebabnya mengapa perlu ada dukungan yang lebih besar untuk membantu para petani ini bergabung dengan rantai pasokan bebas deforestasi dan menghindari lingkaran setan produksi yang tidak berkelanjutan, kata para pendukung petani kecil. Dan di sinilah perangkat bebas deforestasi baru dapat berperan, kata pengembangnya. “Perangkat petani kecil HCSA memungkinkan petani skala kecil membuktikan bahwa mereka dapat memproduksi komoditas dan melestarikan hutan serta keanekaragaman hayati dengan tetap menghormati hak-
-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, sehingga menjadi mata rantai utama rantai pasokan dan pasar berkelanjutan saat bermitra dengan produsen dan pembeli besar dan sebagai bagian dari lanskap produksi berkelanjutan,” kata direktur eksekutif HCSA Jesús Cordero. Uni Eropa sendiri tidak mengakui sertifikasi pihak ketiga sebagai sarana kepatuhan, dan dengan demikian perangkat seperti ini tidak akan menggantikan kebutuhan pembeli yang mengimpor produk target ke Uni Eropa untuk melaksanakan uji tuntas. Namun, importir ini dapat menggunakan data yang disediakan oleh skema sertifikasi atau sistem verifikasi pihak ketiga lainnya untuk mengisi pernyataan uji tuntas mereka, yang seharusnya memfasilitasi akses pasar penuh ke Uni Eropa. Dan skema ini dapat mencakup perangkat baru, menurut Eloïse O’Carroll , manajer program kehutanan, sumber daya alam, dan energi di Delegasi UE untuk Indonesia. Dengan adanya perangkat tersebut, katanya, petani kecil diarahkan “ke arah kesiapan EUDR.”
Rosoman dari Greenpeace mengatakan pengacara mereka di Eropa yakin perangkat baru itu menyediakan bukti yang cukup untuk menunjukkan tidak ada deforestasi dan oleh karena itu mematuhi EUDR. Jika petani kelapa sawit kecil tidak ikut serta dalam rantai pasokan UE, pasar akan kehilangan potensi kontribusi mereka. Meskipun petani kelapa sawit kecil di Indonesia sering kali hanya mengelola beberapa hektar lahan, dampak kolektif mereka cukup besar, yaitu sekitar 40% dari total produksi minyak sawit Indonesia. “EUDR dan peraturan internasional lainnya tidak dapat mengabaikan potensi besar kontribusi petani kecil terhadap rantai pasokan bebas deforestasi,” kata Cordero. Untuk memastikan bahwa petani kecil tidak tertinggal, UE memiliki sejumlah inisiatif untuk mendukung mereka, kata O’Carroll. Di antaranya adalah Inisiatif Tim Eropa (TEI) global tentang Rantai Nilai Bebas Deforestasi. Berdasarkan inisiatif ini, UE dan negara-negara anggota menyediakan 70 juta euro ($76 juta) untuk mendukung negara-negara mitra dalam transisi menuju rantai pasokan yang bebas deforestasi dan legal. Dukungan tersebut meliputi bantuan teknis dan pengembangan kapasitas bagi pemerintah mitra serta produsen pada isu-isu utama seperti ketertelusuran, geolokasi, dan pemetaan penggunaan lahan. “Seringkali kami mendengar bahwa Indonesia belum siap dan petani kecil
akan tersisih dari rantai pasokan, tetapi kenyataannya mereka sudah tersisih dari rantai pasokan lainnya, jadi kami ingin melakukan yang terbaik untuk memastikan mereka benar-benar menerapkan praktik yang dapat membuat mereka mengekspor ke pasar UE,” kata O’Carroll.
Peran pemerintah
Bahkan tanpa adanya permintaan dari pasar global akan produk bebas deforestasi, memberdayakan petani kecil untuk melindungi hutan mereka dan berproduksi secara berkelanjutan akan tetap bermanfaat bagi petani dan membantu pemerintah Indonesia memenuhi target konservasi iklim dan hutannya, kata Kiki Taufik, pemimpin proyek global untuk kampanye hutan Indonesia di Greenpeace. Kehutanan dan pemanfaatan lahan lainnya, atau FOLU, yang mencakup pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, menyumbang porsi terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia. Pemerintah telah menetapkan sasaran agar sektor ini menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya, sebuah target yang dikenal sebagai FOLU net sink 2030 .
Praktik pengelolaan hutan yang lebih baik oleh petani kecil akan membantu dalam hal ini, jadi pemerintah harus mendukung petani kecil dengan menyediakan payung hukum bagi mereka yang ingin melestarikan hutan mereka daripada menebangnya, kata anggota dewan penasihat SPKS Mansuetus Darto. “Secara hukum, para petani ini bisa saja menebang hutan mereka untuk membuka perkebunan kelapa sawit, tetapi mereka memilih untuk melindungi hutan mereka,” katanya. Oleh karena itu, pemerintah harus mengeluarkan peraturan, seperti moratorium pembukaan hutan primer untuk perkebunan kelapa sawit, untuk memberikan perlindungan hukum bagi petani kecil yang memilih melindungi hutannya, kata Mansuetus. Moratorium sebelumnya berlaku mulai 2018-2021. Pasar yang menuntut produk bebas deforestasi, seperti UE, juga harus memberikan insentif bagi petani kecil, seperti harga premium, untuk memberi mereka insentif agar memproduksi komoditas berkelanjutan, tambah Mansuetus. “Kita butuh dukungan semua pihak agar petani kecil bisa menerapkan praktik terbaik dan terus menjaga kelestarian hutan tanpa harus meninggalkan kearifan dan budaya lokal,” kata Valens, petani kecil asal Kalimantan Barat.
INDONESIA’S OIL PALM SMALLHOLDERS GET A BOOST IN BID FOR SUSTAINABILITY
NGOs working with Indonesian smallholder farmers have developed a set of guidelines aimed at helping oil palm farmers prove that their products are deforestation-free, allowing them a foothold in markets increasingly demanding sustainably produced goods. Launched on June 24, the deforestation-free smallholder toolkit, the first of its kind, is a participatory stepby-step guide for smallholder groups to protect their forests and cultivate their lands in a sustainable manner. To implement the toolkit, smallholders will have to go through six steps, beginning with preparation and information dissemination, in which community members will receive explanations about the toolkit and how it benefits smallholder groups and villages.
After that, the communities will map all the forests and land cover on their village lands. They’ll then identify which forest areas have high carbon stock (HCS) and high conservation value (HCV), such as ancestral lands and those rich in biodiversity. This step is crucial to distinguish forest areas that should be protected, from degraded areas that can be developed. At the end of the process, the communities will come up with integrated conservation and land-use plans, or ICLUP. These plans include details on how village and community lands will be used and managed. For instance, a village might decide that all HCS and HCV areas should be protected, while prescribing punishments for anyone who violates customary forest practices. It might also decide to practice ecological farming and agroforestry to sustain local livelihoods while protecting HCS and HCV forests at the same time.
At each step, the smallholders will have to give their free, prior and informed consent (FPIC). This is to ensure the toolkit truly benefits the communities and to prevent any disputes further down the line. Overall, the toolkit is meant to help smallholders practice farming without deforestation and give them opportunities to decide for themselves what’s best for their lives and their lands. This makes the toolkit the only one of its kind in the world to target deforestation by smallholders, according to Grant Rosoman, a forest senior adviser for
Greenpeace International and member of the High Carbon Stock Approach (HCSA), a widely supported mechanism that’s also used in the toolkit. While mechanisms like HCSA have long existed to help large companies tackle deforestation and protect forests in their concessions, there was no such toolkit specifically tailored to smallholders, he said.
That therefore left smallholders to their own devices, Rosoman said. “It enables situation where the smallholders were left behind as well by not having a methodology that they can use,” he said at the launch of the toolkit in Jakarta. “Now we have fixed that by having this methodology developed in the last six to seven years.” The toolkit was developed through collaboration between the HCSA, the Indonesian union of oil palm smallholders, or SPKS, the Farmers for Forest Protection Foundation (4F), Greenpeace, and the High Conservation Value Network (HCVN). The development process included piloting the toolkit with smallholders in West Kalimantan province, in Indonesian Borneo, over four years to ensure the methodology is simple to apply and well adapted to local community conditions. The participating smallholders in that trial, including members of the Indigenous Dayak Hibun community, were also heavily involved in the development process. “I saw for myself that this toolkit was really developed based on input from smallholders, Indigenous peoples and local communities, when the toolkit was piloted in West Kalimantan,” said Valens Andi, a smallholder farmer from Sanggau district in West Kalimantan. “I have seen the positive impact myself.”
During the pilot, the smallholders were able to identify 2,727 hectares (6,739 acres) of ancestral forests that should be protected. The communities went on to map 364 hectares (900 acres) and came up with plans to manage and protect these areas, said Tirza Pandelaki, executive director of 4F. “We know that deforestation-free for smallholders is feasible and achievable,” she said. “The proof is that many of our farmers are capable of protecting their forests [during the trial in West Kalimantan].” This dispels the notion that smallholders aren’t capable of cultivating their lands sustainably. They’re often blamed for deforestation in Indonesia, and thus are excluded from markets, said SPKS chair Sabarudin. Now that smallholders can use the toolkit, they can prove to the market that their products are deforestationfree, and thus enjoy fairer market access and price for their products, he added. This is especially important as there’s a growing global market requirement for products to be deforestation-free, such as in the European Union, one of the biggest importers of palm oil from Indonesia, itself the world’s largest producer of the commodity.
EUDR
In 2023, the bloc adopted the EU Deforestation Regulation (EUDR), prohibiting the import of commodities like palm oil that were produced illegally, on land deforested after Dec. 31, 2020, or whose provenance can’t be traced. The Indonesian government has protested the new regulation, saying it will disproportionately hurt smallholder farmers, who manage a combined 6.72 million hectares (16.6 million acres) of oil palm plantations across the country. A 2022 survey of independent smallholders by Indonesian environmental NGO Madani in four palm oilproducing districts found most faced difficulties ensuring traceability, due to a lack of documentation of transactions. Many also lacked clear title to their land, making it difficult for them to comply with the legality element of the EUDR. This is why there needs to be greater support to help these farmers join the deforestation-free supply chain and avoid a vicious cycle of unsustainable production, smallholder advocates say. And this is where the new deforestation-free toolkit could come into play, its developers say. “The HCSA smallholder toolkit enables small-scale farmers to prove they can produce commodities and conserve the forest and biodiversity while respecting the rights of Indigenous peoples and local communities, therefore becoming a key link of sustainable supply chains and markets when partnering with large producers and buyers and as part of sustainable productive landscapes,” said HCSA executive director Jesús Cordero. The EU itself doesn’t recognize any thirdparty certification as means of compliance, and thus a toolkit like this wouldn’t replace the need for buyers importing the target products into the EU to carry out their due diligence. However, these importers can use the data provided by certification schemes or other third-party verification systems to fill out their due diligence statements, which should facilitate full market access into the EU. And these schemes could include the new toolkit, according to Eloïse O’Carroll, the program manager for forestry, natural resources and energy at the EU Delegation to Indonesia. Having the toolkit, she said, points smallholders “in the direction of EUDR readiness.”
Rosoman of Greenpeace said their lawyers in Europe were confident the new toolkit provides sufficient evidence to demonstrate no deforestation and therefore compliance with the EUDR. Leaving oil palm smallholders out of the EU supply chain means the market will miss out on their potential contribution. While Indonesia’s oil palm smallholders often manage just a couple of hectares each, their collective impact is substantial, accounting for approximately 40% of Indonesia’s total palm oil production. “The EUDR and other international regulations simply cannot afford to disregard the vast potential for the
contribution of smallholders to deforestation-free supply chains,” Cordero said. To ensure that smallholders aren’t left behind, the EU has a number of initiatives to support them, O’Carroll said. Among these is the global Team Europe Initiative (TEI) on Deforestation-free Value Chains. Under this initiative, the EU and member states provide 70 million euros ($76 million) to support partner countries in transitioning to deforestation-free and legal supply chains. The support includes technical assistance and capacity building for partner governments as well as producers on key issues such as traceability, geolocalization and landuse mapping. “Often we hear that Indonesia is not ready and smallholders will be left out of the supply chain, but the reality is they’re already left out of the rest of the supply chain so we want to do our best to ensure they’re actually implementing practices that can get them to export to the EU market,” O’Carroll said.
GOVERNMENT ROLE -----------------------------------
Even without the demand from the global market for deforestation-free products, empowering smallholders to protect their forests and produce sustainably would still be beneficial to the farmers and help the Indonesian government meet its climate and forest conservation targets, said Kiki Taufik, global project leader for the Indonesian forest campaign at Greenpeace. Forestry and other land uses, or FOLU, which includes clearing of forests for oil palm plantations, account for the largest share of Indonesia’s greenhouse gas emissions. The government has set a goal of getting this sector to absorb more carbon than it releases, a target known as FOLU net sink 2030.
Better forest management practices by smallholders would help in this regard, so the government should support small farmers by providing a legal umbrella to those who want to conserve their forests rather than clear them, said SPKS advisory board member Mansuetus Darto. “Legally speaking, these farmers could just clear their forests to make way for oil palm plantations, but they choose to protect their forests,” he said. The government should thus issue a regulation, similar to a moratorium on clearing primary forests for oil palm plantations, to give legal protection to smallholders who choose to protect their forests, Mansuetus said. That earlier moratorium ran from 2018-2021. Markets that demand deforestation-free products, like the EU, should also provide incentives for smallholders, such as a price premium, to incentivize them to produce sustainable commodities, Mansuetus added. “We need help from all parties so that smallholders can implement best practices and continue to conserve forests without being forced to leave our local wisdom and culture behind,” said Valens, the smallholder farmer from West Kalimantan.
PDABEEO MELUNCURKAN PROYEK
MONITORING
AI UNTUK PERKEBUNAN
SAWIT DI INDONESIA, MELIPUTI WILAYAH YANG LEBIH BESAR DARI SEOUL
erusahaan teknologi AI intelijen geospasial terkemuka, Dabeeo, pada hari Senin memulai proyek monitoring AI terbaru untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yang mencakup wilayah yang lebih luas dari ibu kota Korea Selatan, Seoul. Perusahaan tersebut menandatangani kesepakatan dengan Tunas Sawa Erma Group, salah satu produsen kelapa sawit utama di Indonesia, untuk proyek yang mencakup total area seluas 765 kilometer persegi. “Meski citra satelit berpresisi tinggi biasanya digunakan untuk keperluan militer dan teknologi informasi, kasus seperti ini, yang diterapkan pada sektor pertanian, sangat jarang terjadi. Kasus ini menunjukkan meluasnya pemanfaatan citra satelit di berbagai bidang, dengan Dabeeo memimpin jalannya,” ujar Ju Hum Park, CEO Dabeeo. “Pada saat tidak ada pemain besar di bisnis monitoring perkebunan, langkah strategis kami ke pasar melalui kontrak baru dengan TSE Group memungkinkan kami mempercepat aktivasi bisnis untuk memperluas pangsa pasar kami secara signifikan di masa depan,” tambahnya. Kesepakatan terbaru ini menandai perluasan proyek monitoring perkebunan kelapa sawit yang sedang berlangsung oleh Dabeeo, yang dimulai di Malaysia tahun lalu. Indonesia dan Malaysia dikabarkan menghasilkan hingga 80 persen pasokan kelapa sawit dunia, dan perusahaan tersebut berharap menggunakan kesepakatan terbaru mereka di kedua negara sebagai batu loncatan untuk memperluas bisnisnya lebih jauh. Mitra terbaru Dabeeo, TSE Group, telah menjalankan bisnis kelapa sawit di Indonesia selama hampir tiga dekade. Para pejabat perusahaan Korea Selatan tersebut mengatakan bahwa kemitraan mereka bisa menjadi “sinyal kuat masuknya Dabeeo ke pasar Indonesia.” Dabeeo berencana menggunakan analisis AI dan citra satelit resolusi ultra-tinggi untuk secara signifikan mengurangi beban kerja yang dibutuhkan dalam metode monitoring perkebunan kelapa sawit saat ini, yang memerlukan banyak tenaga kerja manual dan penggunaan drone.
Menurut perusahaan, citra satelit dengan resolusi 30 cm yang sangat presisi dapat memberikan cakupan area yang luas dalam satu gambar, yang dimungkinkan melalui kolaborasi dengan penyedia satelit komersial seperti Airbus dan Maxar. Para pejabat mengatakan Dabeeo mencapai lebih dari 99,5 persen akurasi dalam mendeteksi objek pohon kelapa sawit dan lebih dari 90 persen akurasi dalam mengklasifikasikan status kesehatannya. Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan deteksi dini terhadap setiap penyimpangan seperti pohon yang terkena penyakit, sehingga memberikan data penting untuk prediksi hasil panen. Dabeeo bertujuan memperluas kerja samanya dengan TSE Group untuk mencakup analisis nutrisi, mengidentifikasi kekurangan nutrisi pada setiap pohon melalui citra satelit guna mengoptimalkan rencana pemupukan, yang berpotensi merevolusi operasi perkebunan kelapa sawit. Untuk menyediakan data yang dianalisis dengan akses mudah bagi pengguna, Dabeeo telah mengembangkan platform untuk memantau perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam kerja sama dengan TSE Group sejak 2023. Platform ini didasarkan pada “Dabeeo Eartheye,” yang diakui di CES 2022 sebagai platform analisis AI berbasis citra satelit yang inovatif. Fokus utama adalah memastikan akses cepat ke volume data yang besar bahkan di area dengan koneksi internet yang buruk, mengingat sebagian besar perkebunan kelapa sawit berada di daerah dengan akses internet terbatas. Perusahaan mengatakan bahwa platform ini sekarang memungkinkan akses tanpa gangguan bahkan pada kecepatan 12 Mbps (sekitar 1/14 dari kecepatan rata-rata di Korea Selatan), memungkinkan manajer perkebunan mengambil tindakan langsung di lapangan. Dengan menempatkan sumber daya secara akurat dan efisien, seperti alokasi tenaga kerja tepat waktu ke area bermasalah, platform ini meningkatkan keseluruhan operasi perkebunan. Transisi dari sistem yang hanya dapat diakses oleh ahli GIS menjadi platform berbasis web yang dapat diakses oleh semua anggota organisasi meningkatkan efektivitas monitoring perkebunan di seluruh TSE Group.
DABEEO LAUNCHES PALM OIL FARM AI MONITORING PROJECT IN INDONESIA, COVERING AREA LARGER THAN SEOUL
Leading geospatial intelligence AI technology firm Dabeeo on Monday commenced its latest AI monitoring project of palm oil farms in Indonesia, covering an area that is larger than the South Korean capital of Seoul. The company inked a deal with Tunas Sawa Erma Group, one of Indonesia’s major palm oil producers, for the project, spanning across a total of 765 square kilometers. “While high-precision satellite imagery is commonly used for military and IT purposes, cases like this one, applied in agriculture, are quite rare. This case demonstrates the expanding utility of satellite imagery across various domains, with Dabeeo leading the way,” said Ju Hum Park, CEO of Dabeeo. “At a time when there are no prominent players in the farm monitoring business, our strategic entry into the market through the recent contract with TSE Group enables us to accelerate business activation in order to expand our market share significantly in the future,” he added. The latest deal marks an expansion for the Dabeeo’s ongoing palm oil farm monitoring projects, which begin in Malaysia last year. Indonesia and Malaysia reportedly produce up to 80 percent of the world’s palm supply, and the company hopes to use their recent deals in the two countries as a stepping stone for expanding its business even further. Dabeeo’s latest partner, TSE Group, has been operating a palm oil business in Indonesia for almost three decades. The South Korean company’s officials said their partnership can be a “a strong signal of Dabeeo’s entry into the Indonesian market.” Dabeeo plans to use AI analysis and ultra-high-resolution satellite imagery to significantly reduce the workload required in the current method of palm oil farm monitoring, which requires extensive manual labor and drone footage.
According to the company, its top-tier 30-cm-resolution satellite imagery can provide comprehensive coverage of vast areas in a single snapshot, which is possible through collaboration with commercial satellite providers like Airbus and Maxar. Officials said Dabeeo achieves over 99.5 percent accuracy in detecting palm tree objects and over 90 percent accuracy in classifying their health status. Using such methods allows early detection of any deviation such as diseased trees, providing essential data for yield predictions. Dabeeo aims to extend its collaboration with TSE Group to include nutrient analysis, identifying nutrient deficiencies in individual trees through satellite imagery to optimize fertilization plans, potentially revolutionizing palm oil farm operations. To provide the analyzed data for easy access of the users, Dabeeo has been developing a platform for monitoring Indonesian palm oil farms in collaboration with TSE Group since 2023. The platform is based on Dabeeo’s “Dabeeo Eartheye,” recognized at CES 2022 as an innovative satellite image-based AI analysis platform. The main focus was ensuring rapid access to large data volumes even in areas with poor internet connectivity, given that most palm oil farms are located in areas with limited internet access. The company said the platform now enables uninterrupted access even at 12 Mbps (approximately 1/14th of the average speed in South Korea), allowing farm managers to take immediate action on-site. By deploying resources accurately and efficiently, such as timely labor force allocation to problem areas, the platform enhances overall farm operations. Transitioning from systems accessible only to GIS experts to a web-based platform accessible to all organization members enhances the effectiveness of farm monitoring across TSE Group.
OTOMASI DAN MEKANISASI MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS
DAN EFISIENSI DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Peningkatan produktivitas, keberlanjutan lingkungan yang lebih baik, dan daya saing yang lebih baik hanyalah beberapa dari sekian banyak manfaat otomatisasi dan mekanisasi bagi industri minyak sawit Malaysia, yang berupaya untuk menjauh dari ketergantungan pada pekerja asing. Kekurangan tenaga kerja yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 sangat memengaruhi hasil panen dan mengakibatkan Malaysia kehilangan pendapatan sekitar RM20 miliar hingga RM30 miliar akibat tandan buah segar yang tidak dipanen. Hal ini menggarisbawahi perlunya peningkatan otomatisasi dan mekanisasi di sektor yang telah mengalami sedikit evolusi dari praktik padat karya tradisionalnya.
Berbicara kepada FMT, Direktur Jenderal Dewan Minyak Sawit Malaysia Ahmad Parveez Ghulam Kadir mengatakan industri ini akan mengalami perubahantransformasi dramatisdipelopori oleh kemajuan teknologi dan otomatisasi, yang akan membantunya mengatasi tantangan seperti ketersediaan tenaga kerja. Ahmad Parveez, yang memiliki lebih dari 30 tahun pengalaman di industri perkebunan, mengatakan bahwa perampingan proses melalui mekanisasi akan membuatnya lebih efisien dan kurang padat karya.Ide menyelesaikan tugas dengan cepat dan tepat cukup menarik, dia menambahkan. Ia menjelaskan bagaimana pertanian presisi – yang melibatkan penggunaan teknologi seperti mesin berpemandu GPS dengan sensor – mengoptimalkan pengelolaan perkebunan dengan memungkinkan pemantauan dan pengendalian yang lebih baik terhadap faktor-faktor seperti kesehatan tanah, irigasi, dan pengelolaan hama, yang menghasilkan tanaman berkualitas lebih tinggi dan hasil panen yang lebih baik. Teknologi tersebut juga menghemat sumber daya dengan mendistribusikan pupuk, pestisida, dan air hanya di tempat dan saat diperlukan, sehingga mengurangi limbah dan mempromosikan praktik ramah lingkungan yang membantu industri memenuhi tujuan keberlanjutan.
Menyinggung penggunaan analisis data dan kecerdasan buatan dalam industri, Ahmad Parveez mengatakan mereka memberikan wawasan tentang kesehatan tanaman, perkiraan hasil panen, dan tren pasar, memberdayakan para pengambil keputusan untuk membuat pilihan yang tepat dan mengoptimalkan strategi pengelolaan perkebunan.
Ia mengatakan bahwa meskipun teknologi dapat menggantikan beberapa pekerjaan manual, teknologi juga menciptakan peluang bagi pekerja terampil di berbagai bidang seperti pengoperasian mesin, pemeliharaan, dan analisis data. Berinvestasi dalam program pelatihan dapat membantu mengembangkan tenaga kerja yang mampu menangani tuntutan industri perkebunan yang berteknologi maju,katanya. Menyadari bahwa otomatisasi dan mekanisasi mengurangi tuntutan fisik dan monotonnya pekerjaan manual, Ahmad Parveez mengatakan hal ini membuat pekerjaan perkebunan lebih menarik, terutama bagi generasi pekerja muda, seraya menambahkan bahwa ia berharap lebih banyak warga Malaysia akan bergabung dengan industri ini. Ia menyoroti ketergantungan industri tersebut terhadap tenaga kerja asing, dan memperkirakan lebih dari 80% pekerjanya adalah orang asing – terutama dalam proses tertentu seperti pemanenan. Melihat bagaimana tenaga kerja impor terganggu selama pandemi, ia mengatakan industri
tersebut kehilanganmiliaran ringgitakibat tandan buah segar yang belum dipanen. Mekanisasi dan otomatisasi adalah solusi untuk mengatasi masalah ini dalam jangka panjang. Lengan robotik, pesawat nirawak, dan mesin khusus dapat melakukan pekerjaan manual dengan lebih efisien. Ini juga akan mengurangi kebutuhan akan banyak tenaga kerja impor,katanya. “Dengan menggabungkan teknologi, kita tidak hanya akan beralih ke lingkungan kerja yang lebih nyaman dan menarik, kita juga akan membutuhkan tenaga kerja terampil untuk mengoperasikan dan merawat mesin. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi pekerja lokal untuk tumbuh dan beradaptasi, serta meningkatkan kemampuan diri mereka untuk menjadi bagian dari tenaga kerja terampil ini. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan nilai mereka dalam industri dan memungkinkan mereka memperoleh penghasilan yang lebih baik. Ia mengatakan bahwa meskipun penerapan teknologi dan mekanisasi mungkin melibatkan beberapa biaya awal, penghematan jangka panjangnya akan signifikan. Dengan mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual dan mengoptimalkan penerapan sumber daya, teknologi dapat membantu menurunkan biaya produksi sekaligus meningkatkan keuntungan, katanya. Dengan mesin yang mengambil alih semua pekerjaan berat yang tidak disukai siapa pun sejak awal, para pekerja akan memiliki waktu untuk fokus pada halhal seperti peran khusus atau pekerjaan yang lebih efektif. Ditambah lagi, dengan fokus baru ini, kepuasan kerja mereka secara keseluruhan akan meningkat beberapa kali lipat,katanya.
KOLABORASI ADALAH KUNCI INOVASI ----------------Kementerian Perkebunan dan Komoditas baru-baru ini mengumumkan rencana untuk berkolaborasi dengan Kementerian Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi untuk mempromosikan berbagai inovasi teknologi guna membantu industri, khususnya dalam pemanenan. Analis senior Fastmarket Palm Oil Analytics, Sathia Varqa, mengatakan kepada FMT bahwa meskipun kolaborasi semacam itu penting dalam memajukan industri, ada juga kebutuhan untuk penelitian dan pengembangan yang lebih besar di sektor tersebut. Mengakui ketergantungan industri pada pekerja asing, ia setuju bahwa otomatisasi dan mekanisasi akan membantu mengubah sektor tersebut dari padat karya menjadi berbasis teknologi. Ia juga mencatat bagaimana SD Guthrie Bhd, sebelumnya dikenal sebagai Sime Darby Plantation, salah satu produsen minyak sawit berkelanjutan terbesar di dunia, memelopori upaya industri untuk menciptakan perkebunan kelapa sawit masa depan. SD Guthrie mendorong inisiatif ini,katanya. Teknologinya sudah ada, tetapi itu merupakan solusi jangka menengah hingga panjang karena mungkin sulit bagi semua perkebunan untuk mengadopsi teknologi tersebut saat ini. Beberapa teknologi baru ini saat ini tengah dikembangkan dan diuji di Unit Transformasi Mekanisasi dan Pusat Robotika SD Guthrie di Carey Island, Selangor. Fasilitas yang didirikan pada tahun 2021 ini bertujuan untuk membangun keahlian internal perusahaan dalam teknologi digital dan robotika. Perusahaan ini juga berkolaborasi dengan mitra teknologi lokal dan internasional serta lembaga pendidikan tinggi untuk mengembangkan solusi canggih guna menggantikan pekerjaan manual konvensional yang melelahkan di perkebunan kelapa sawit.
Beberapa mesin baru yang dikembangkan oleh perusahaan tersebut – aplikator pupuk teras mekanis dan aplikator umpan tikus mekanis – tidak hanya digunakan oleh SD Guthrie dalam operasinya tetapi juga tersedia secara komersial.
IAUTOMATION, MECHANISATION IMPROVING PRODUCTIVITY, EFFICIENCY IN OIL PALM PLANTATIONS
ncreased productivity, greater environmental sustainability and better competitiveness are just some of the many benefits of automation and mechanisation for the Malaysian palm oil industry, which is looking to move away from its dependence on foreign workers. The labour shortage caused by the Covid-19 pandemic severely affected yield and saw Malaysia lose an estimated RM20 billion to RM30 billion in revenue due to unharvested fresh fruit bunches, underscoring the need for increased automation and mechanisation in a sector which has seen minimal evolution from its traditionally labour-intensive practices.
Speaking to FMT, Malaysian Palm Oil Board directorgeneral Ahmad Parveez Ghulam Kadir said the industry was set to undergo a dramatic transformation spearheaded by technological advancements and automation, which would help it overcome challenges such as labour availability. Ahmad Parveez, who has more than 30 years of experience in the plantation industry, said that streamlining processes through mechanisation would make them more efficient and less labourintensive. The idea of completing tasks promptly and precisely is quite appealing, he added. He explained how precision agriculture – which involves the use of technologies such as GPS-guided machines with sensors – optimised plantation management by enabling better monitoring and control of factors such as soil health, irrigation, and pest management, leading to higherquality crops and improved yields. Such technologies also save resources by distributing fertilisers, pesticides, and water only where and when necessary, thus reducing waste and promoting environmentally friendly practices which help the industry meet sustainability goals.
Touching on the use of data analytics and artificial intelligence in the industry, Ahmad Parveez said they provided insights into crop health, yield forecasts, and market trends, empowering decision-makers to make informed choices and optimise plantation management strategies.
MOVING AWAY FROM RELIANCE ON FOREIGN WORKERS
He said that while technology might replace some manual jobs, it also created opportunities for skilled workers in areas such as machine operation, maintenance and data analysis. Investing in training programmes can help develop a workforce equipped to handle the demands of a technologically advanced plantation industry, he said. Noting that automation and mechanisation reduced the physical demands and monotony of manual labour, Ahmad Parveez said this made plantation work more attractive, especially to the younger generation of workers, adding that he hoped more Malaysians would join the industry. He highlighted the industry’s heavy reliance on foreign labour, estimating that
more than 80% of its workers were foreigners – especially in certain processes such as harvesting. Noting how imported labour was interrupted during the pandemic, he said the industry lost billions of ringgit due to unharvested fresh fruit bunches as a result. Mechanisation and automation are the solutions to overcome this issue in the long term. Robotic arms, drones and specialised machinery can carry out manual work more efficiently. This will also reduce the need for so much imported labour, he said. “By incorporating technologies, we will not only make a shift towards a more comfortable and engaging work environment, we will also require a skilled workforce to operate and maintain the machines. This will provide opportunities for local workers to grow and adapt, and upgrade themselves to become part of this skilled workforce. This will, in turn, enhance their value in the industry and allow them to earn better incomes. New plantation technologies are being developed and tested at SD Guthrie’s Mechanisation Transformation Unit and Robotics Centre in Carey Island, Selangor. (SD Guthrie pic) He said that while implementing technology and mechanisation might involve some upfront costs, the long-term savings would be significant. By reducing the need for manual labour and optimising resource application, technology can help lower production costs while increasing profits, he said. With machines taking on all the heavy lifting that nobody likes doing in the first place, workers would have time to focus on matters like specialised roles or more effective jobs. Plus, with these new focuses, their overall job satisfaction will be improved by a few fold, he said.
COLLABORATION KEY TO INNOVATION ----------------
The plantation and commodities ministry recently announced plans to collaborate with the science, technology and innovation ministry to promote various technological innovations to assist the industry, particularly in harvesting. Fastmarket Palm Oil Analytics senior analyst Sathia Varqa told FMT that while such collaboration would be crucial in steering the industry forward, there was also a need for greater research and development in the sector. Acknowledging the industry’s reliance on foreign workers, he agreed that automation and mechanisation would help transform the sector from labour-intensive to technologydriven. He also noted how SD Guthrie Bhd, formerly known as Sime Darby Plantation, one of the world’s largest sustainable palm oil producers, was pioneering the industry’s effort to create oil palm plantations of the future. SD Guthrie is driving this initiative forward, he said. The technology is there, but that is a medium- to long-term solution as it may be difficult for all plantations to adopt such technologies now. Several of these new technologies are currently being developed and tested at SD Guthrie’s Mechanisation Transformation Unit and Robotics Centre in Carey Island, Selangor. Established in 2021, the facility aims to build the company’s internal expertise in digital and robotic technologies. The company also collaborates with local and international technology partners as well as higher academic institutions to develop advanced solutions to replace conventional back-breaking manual work in oil palm plantations. A couple of new machines developed by the company – a mechanised terrace fertiliser applicator and a mechanised rat bait applicator – have not only been deployed by SD Guthrie in its operations but are also commercially available.
3 TEKNOLOGI DIIDENTIFIKASI UNTUK
PRODUKSI MINYAK SAWIT, MENGURANGI KETERGANTUNGAN PADA TENAGA KERJA ASING
3 TECHNOLOGIES IDENTIFIED TO BOOST PALM OIL
PRODUCTION, CUT RELIANCE ON FOREIGN LABOUR
Penerapan tiga teknologi canggih telah diidentifikasi sebagai metode untuk meningkatkan industri minyak sawit negara ini dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing. Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani mengatakan bahwa teknologi ini – mekanisasi, otomatisasi, dan digitalisasi – dapat secara efisien dan efektif meningkatkan produksi minyak sawit. Ia mengatakan perusahaan milik pemerintah Sime Darby Plantation Bhd saat ini sedang menerapkan teknologi tersebut dan telah melihat hasil yang mengesankan. “Teknologi yang dikembangkan oleh Sime Darby Plantation bertujuan untuk memajukan mekanisasi kerja dengan sasaran mengurangi tenaga kerja asing di masa mendatang. Mereka telah berinvestasi secara signifikan dalam teknologi mekanisasi. Misalnya, sekarang satu pekerja dibutuhkan untuk mengelola setiap delapan hektar perkebunan. Namun, Sime Darby telah meningkatkannya menjadi 12,5 hektar, yang lebih tinggi dari rasio kami saat ini. Tenaga kerja yang digunakan di perkebunan kami, seperti yang kita semua ketahui, merupakan kontributor signifikan bagi perekonomian kami,” katanya setelah mendampingi Perdana Menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim dalam kunjungan ke lokasi Perkebunan Sime Darby di Pulau Carey di sini hari ini.
Johari mengatakan Anwar telah menyatakan kekhawatirannya tentang kemampuan industri minyak sawit nasional untuk memenuhi permintaan dan produksi. Oleh karena itu, katanya, teknologi inovatif yang dikembangkan Sime Darby Plantation patut menjadi contoh untuk mencapai tujuan serupa. “Perdana Menteri sangat peduli untuk memastikan bahwa industri kelapa sawit kita mampu terus memenuhi permintaan. Kami tidak ingin menebang hutan lagi. Kami ingin tetap berpegang pada apa yang sudah kami miliki, jadi kami bermaksud meningkatkan kemampuan kami dengan menggunakan teknologi dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing.” Ia menambahkan bahwa ia akan memastikan bahwa Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) dan pelaku industri lainnya mengadopsi teknologi ini. “Mereka telah menerapkan beberapa teknologi ini, dan beberapa lainnya masih dalam tahap prototipe. “Saya yakin jika mereka berhasil mewujudkan masing-masing teknologi dan mekanisme ini, maka saya akan memastikan bahwa MPOB mengadopsinya dan memperkenalkannya kepada semua orang.” Johari juga mengatakan pemerintah akan mendukung perusahaan rintisan yang sukses dalam memperkenalkan teknologi baru. “Anwar menekankan pentingnya perusahaan rintisan dalam memperkenalkan teknologi semacam itu. Jika mereka berhasil, kami ingin memastikan mereka dapat menjual teknologi mereka kepada pelaku industri,” katanya.
The adoption of three advanced technologies have been identified as methods to enhance the country’s palm oil industry and reduce the reliance on foreign labour. Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani said that these technologies –mechanisation, automation and digitalisation – could efficiently and effectively boost palm oil production. He said government-linked company Sime Darby Plantation Bhd was currently implementing these technologies and had seen impressive results. “The technologies being developed by Sime Darby Plantation aim to advance work mechanisation with the goal of reducing foreign labour in the future. They have invested significantly in mechanisation technology. For example, one worker is now required to manage every eight hectares of plantation. However, Sime Darby has increased this to 12.5 hectares, which is higher than our current ratio. The labour force used in our plantations, as we all know, is a significant contributor to our economy,” he said after accompanying Prime Minister Datuk Seri Anwar Ibrahim on a visit to a Sime Darby Plantation site in Pulau Carey here today.
Johari said Anwar had expressed concern about the nation’s palm oil industry’s ability to meet demands and production. Therefore, he said the innovative technologies developed by Sime Darby Plantation should serve as an example to achieve similar goals. “The prime minister is very concerned about ensuring that our oil palm industry is able to continuously meet demands. We don’t want to cut down our forests anymore. We want to stick to what we have, so we aim to enhance our abilities by using technology and reducing reliance on foreign labour.” He added that he would ensure that the Malaysian Palm Oil Board (MPOB) and other industry players adopted these technologies. “They have already implemented some of these technologies, and others are still in the prototype stage. I believe that if they can successfully achieve each of these technologies and mechanisms, then I will ensure that the MPOB adopts and introduces them to everyone.” Johari also said the government would support successful start-ups in introducing new technologies. “Anwar emphasised the importance of start-ups in introducing such technologies. When they succeed, we want to ensure they can sell their technologies to industry players,” he said.