Clean Energy for A Better Future
Managing Editor
Kenny Yong
Publications Manager
Amelia Lim
amelia@fireworksid.com
Editorial Consultant
Kenny Yong
Content Editor
Kristina Yang
Media Executives
Paulina Shu
Veronica Anugrah
Graphic Designer
Felicia Zhang
Publisher
Dear Esteemed Readers,
Welcome to our Jan-Mar 2025 edition, where we examine the evolving landscape of sustainable agriculture and renewable energy. This issue places a special focus on Indonesia’s leadership in transforming the palm oil industry for a more sustainable future.
As we move into 2025, Indonesia’s investment in “Indonesia adopts DNA tracing for palm oil seed quality” is demonstrating its profound impact. This innovative approach is not only enhancing production efficiency and bolstering sustainability within the sector but also contributing to broader global efforts to balance economic growth with environmental responsibility. By prioritizing genetic integrity, Indonesia is setting a powerful example for other agricultural industries worldwide.
We deeply appreciate the continued support of our contributors, advertisers, and loyal readers. Your engagement allows us to present insightful stories and analyses that foster innovation and global cooperation in these crucial areas. We invite you to join us as we explore these important developments, providing you with a valuable perspective on the future of sustainable agriculture and energy transformation.
Yours truly,
Kenny Yong
CONTENTS JANUARY - MARCH 2025
BERITA REGIONAL / REGIONAL NEWS
Prospek FY25 MKH Oil Palm : Didukung Permintaan Kuat Terhadap CPO
MKH Oil Palm’s FY25 Prospects Supported By Strong Demand For CPO
Harga Minyak Sawit Diprediksi Melonjak Pada 2025 : Aminvestment Optimis Pada Sektor Perkebunan
Palm Oil Prices Set To Rally In 2025, With Aminvestment Now Overweight On Plantation
Menurut Glenauk Economics, Produksi Minyak Sawit Pada 2024
Diperkirakan Pulih Di Malaysia, Turun Di Indonesia
Glenauk Economics Says Palm Oil Output In 2024 To Recover In Malaysia, Drop In Indonesia
Indonesia Terapkan Pelacakan DNA Untuk Kualitas Benih Kelapa Sawit
Indonesia Adopts DNA Tracing For Palm Oil Seed Quality
Indonesia’s Palm Oil Industry Welcomes EU’s Deforestation Rule Delay To 2025
Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia Menyambut Aturan
Defortasi UE Hingga Tahun 2025
Indonesia Akan Terapkan Biodesel B40 Pada 1 January 2025
Indonesia To Introduce B40 Biodesel On January 1, 2025
Pasok 70% Cpo Global, Indonesia Dan Malaysia Sepakati Kolaborasi Industri Sawit
70% Of Global Cpo Supply : Indonesia And Malaysia Agree On Palm Oil Industry Collaboration
Indonesia Ingin Menjadi Penentu Harga Minyak Sawit Dunia
Indonesia Eyes To Become World’s Palm Oil Price Setter
Potensi Kelapa Sawit Terlihat Di Barmm, 800 Ribu Hektar
Teridentifikasi
Palm Oil Potential Seen In Barmm, 800k Hectares Identified
Thailand Larang Ekspor Minyak Sawit Mentah Karena Produksi Menurun
Thailand Bans Export Of Raw Palm Oil As Production Takes A Hit
Thailand Kurangi Kandungan Minyak Sawit Dalam Biofuel
Thailand Cuts Palm Oil Content In Biofuel
BERITA DUNIA / WORLD NEWS
Menteri Pertanian Jose Mai Jajaki Industri Kelapa Sawit Afrika Di Honduras
Minister Of Agriculture Jose Mai Explores African Palm Oil Industry In Honduras
Pemerintah Selidiki Dugaan Pembayaran Rendah Bagi Petani
Kelapa Sawit Di East New Britain
Government Probes Alleged Exploitation Of Oil Palm Growers In East New Britain
Para Pemangku Kepentingan Bertujuan Mengoptimalkan
Potensi Ekspor Minyak Sawit Nigeria Senilai $10 Miliar
Stakeholders Target Activating Nigeria’s $10bn Palm Oil Export
Potential
India Meluncurkan Misi Nasional Untuk Minyak Nabati Dan Minyak Sawit Dalam Upaya Untuk Meningkatkan Produksi Minyak
Nabati Negara Tersebut
India Launches National Missions On Edible Oils And Palm Oil In Bid To Boost Country’s Vegetable Oil Production
KOMENTAR / COMMENTARY
29 (BHS) : (ENG)
Kepatuhan EUDR Menjadi Tantangan Bagi Minyak Sawit Thailand
EUDR Compliance A Challenge For Thai Palm Oil
BERITA KELANJUTAN / SUSTAINABILITY NEWS
Solidaridad Dan Sinergi Pelacakan Kelapa Sawit Di Nigeria
Solidaridad, Others Synergise On Oil Palm Traceability In Nigeria
Bisakah Pertanian Regeneratif Membuat Minyak Kelapa Sawit
Berkelanjutan?
Can Regenerative Agriculture Make Palm Oil Sustainable?
INOVASI DAN TEKNOLOGI / INNOVATIONS AND TECHNOLOGY
4 Hal Yang Bisa Nigeria Tiru Dari Negara Penghasil Minyak
Kelapa Sawit Terkemuka
4 Things Nigeria Can Learn From Top Palm Oil Countries
Bisakah Kecerdasan Buatan Mengubah Masa Depan
Minyak Sawit Di Kolombia?
Can Artificial Intelligence Help Palm Oil In Colombia?
PROSPEK FY25 MKH OIL PALM DIDUKUNG PERMINTAAN KUAT TERHADAP CPO
KH Oil Palm (East Kalimantan Bhd menyatakan prospeknya untuk tahun keuangan yang berakhir pada 30 September 2025 didukung oleh permintaan pasar yang kuat terhadap minyak sawit mentah (CPO). “Permintaan CPO tetap stabil didukung sebagian oleh rencana adopsi mandat biodiesel Indonesia pada Januari 2025, dari B35 ke B40 biodiesel, suplai global yang relatif ketat pada minyak nabati dan lemak lainnya, serta permintaan musiman yang kuat,” ujar Ketua Tan Sri Alex Chen Kooi Chiew @ Cheng Ngi Chong dalam sebuah pernyataan. Ia menambahkan, perusahaan saat ini sedang melakukan uji kelayakan untuk rencana akuisisi lahan, dengan pengumuman terkait yang akan dilakukan secara bertahap dalam waktu dekat.
Selain itu, perusahaan juga tengah meneliti integrasi budidaya ikan di dalam perkebunannya untuk meningkatkan efisiensi dan sebagai bagian dari upaya lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).Pada kuartal keempat yang berakhir 30 September 2024, MKH mencatat laba bersih sebesar RM21 juta dengan pendapatan RM90,59 juta. Tidak ada angka perbandingan dari kuartal tahun sebelumnya karena perusahaan baru terdaftar di Pasar Utama Bursa Malaysia pada 30 April tahun ini.
Untuk tahun keuangan penuh, grup ini membukukan laba bersih sebesar RM63,56 juta dengan pendapatan RM352,22 juta, dibandingkan dengan laba bersih RM30,9 juta dan pendapatan RM338,16 juta pada tahun sebelumnya. MKH Oil Palm mengumumkan dividen interim kedua dengan tingkat tunggal sebesar dua sen per saham. Dividen ini akan dibayarkan pada 30 Desember 2024 kepada pemegang saham yang namanya tercatat dalam daftar deposan perusahaan pada 13 Desember 2024.
MKH OIL PALM’S FY25 PROSPECTS SUPPORTED BY STRONG DEMAND FOR CPO
KH Oil Palm (East Kalimantan) Bhd said its prospects for the financial year ending Sept 30, 2025, is well-supported by strong market demand for crude palm oil. “There has been stable demand for CPO; bolstered in part by Indonesia’s planned adoption of biodiesel mandate in January 2025 from B35 biodiesel to B40 biodiesel, the relatively tight global supply in other vegetable oils and fats, and strong seasonal demand,” said chairman Tan Sri Alex Chen Kooi Chiew @ Cheng Ngi Chong in a statement. He added that the company is also in the midst of conducting its due diligence exercise for its planned land acquisitions, for which relevant announcements will be made in stages in the near future.
Additionally, the company is also researching the integration of fish-rearing within its plantations to boost efficiency and as part of its environmental, social, and governance efforts. In the fourth quarter ended Sept 30, 2024, MKH recorded a net profit of RM21mil on revenue of RM90.59 mil. There are no comparative figures from the year-ago quarter as the company was only listed on the Main Market of Bursa Malaysia on April 30 this year.
For the full financial year, the group posted a net profit of RM63.56 mil on revenue of RM352.22mil as compared to RM30.9mil and revenue of RM338.16mil in the previous year. MKH Oil Palm declared a second interim single tier dividend of two sen per share to be paid on Dec 30, 2024, to shareholders whose name appears on the company’s record of depositors on Dec 13, 2024.
HARGA MINYAK SAWIT DIPREDIKSI MELONJAK PADA 2025 : AMINVESTMENT OPTIMIS PADA SEKTOR PERKEBUNAN
PALM OIL PRICES SET TO RALLY IN 2025, WITH AMINVESTMENT NOW OVERWEIGHT ON PLANTATION
arga minyak sawit diperkirakan akan menguat pada tahun 2025, seiring dengan pasokan minyak nabati yang ketat yang meningkatkan pendapatan para pelaku perkebunan di Malaysia, menurut AmInvestment Bank. Bank tersebut merekomendasikan agar investor menambah eksposur pada sektor ini.
Harga rata-rata minyak sawit mentah (CPO) diperkirakan naik sebesar 6,3% pada tahun 2025, didorong oleh kekurangan pasokan minyak sawit serta minyak rapeseed dan minyak bunga matahari yang bersaing, kata lembaga riset tersebut saat menaikkan rekomendasi sektor ini menjadi “overweight.” Selain itu, peningkatan penggunaan biodiesel dan pembatasan ekspor diperkirakan akan menekan ekspor Indonesia, tambahnya. “Kami memperkirakan produksi minyak sawit di Malaysia akan menurun setelah panen besar pada tahun 2024 dan adanya pembekuan berkelanjutan dalam perekrutan pekerja asing,” ujar AmInvestment. Bank tersebut juga meningkatkan proyeksi harga CPO menjadi RM4.250 per ton.
Harga minyak nabati, yang digunakan dalam berbagai produk mulai dari lipstik hingga bahan bakar diesel, telah naik tahun ini akibat kondisi cuaca buruk di Malaysia dan Indonesia. Malaysia dan Indonesia, yang bersama-sama menyumbang lebih dari 80% pasokan minyak sawit global, menghadapi kekhawatiran terkait penurunan produksi. Kontrak berjangka CPO untuk pengiriman bulan ketiga telah naik 33% sejauh tahun ini, dengan rata-rata hampir RM4.000 per ton. Indeks Perkebunan Bursa Malaysia, yang melacak 43 saham di sektor ini, telah mencatat kenaikan sekitar 9% sejak awal tahun.
Proyeksi AmInvestment sangat berbeda dengan proyeksi resmi Malaysia pada Oktober lalu, yang memperkirakan harga CPO akan turun ke RM3.500-RM4.000 pada tahun 2025, karena pemerintah memperkirakan produksi akan meningkat seiring dengan aktivitas panen yang lebih intensif, didukung oleh kondisi cuaca dan tenaga kerja yang lebih baik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, harga CPO mungkin tidak akan turun tajam pada bulan-bulan terakhir tahun 2024, karena para importir mempercepat pembelian sebelum Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) diterapkan pada akhir tahun 2025, menurut AmInvestment.
Uni Eropa diperkirakan akan menghadapi kekurangan hingga 600.000 ton jika hanya 10% dari impor tahunan minyak sawit sebanyak lima hingga enam juta ton tidak memenuhi peraturan ketat tersebut. AmInvestment mencatat bahwa petani kecil menyumbang 30%-40% dari produksi CPO di Indonesia, dan 26% di Malaysia. Sebagai strategi, AmInvestment merekomendasikan Kuala Lumpur Kepong Bhd. sebagai pilihan utama karena profil usia pohon kelapa sawitnya yang muda dan pemulihan kuat pada pendapatan hilirnya.
AmInvestment Bank said in recommending that investors add exposure to the sector.
Crude palm oil (CPO) may average 6.3% higher in 2025, thanks to shortages of palm oil, as well as that of competing rapeseed and sunflower oils, the research house said in upgrading the sector to “overweight”. Further, growing biodiesel use and restrictions will curb Indonesia’s exports, it noted. “We expect palm oil production in Malaysia to ease after a bumper harvest in 2024, and the ongoing freeze in foreign worker recruitment,” AmInvestment said and raised its projections for CPO price to RM4,250 per tonne.
Prices of the edible oil used in everything from lipstick to diesel have climbed this year, as poor weather conditions in Malaysia and Indonesia, which together account for more than 80% of the global supply, stoked concerns over output. The benchmark third-month CPO futures have climbed 33% so far this year, averaging nearly RM4,000 per tonne. Bursa Malaysia Plantation Index, which tracks 43 stocks in the sector, has gained about 9% year-to-date.
AmInvestment’s forecast stood in stark contrast to Malaysia’s official projection in October that called for CPO price to ease to RM3,500-RM4,000 in 2025, as the government expects production to rise with an increase in harvesting activities, amid better weather and labour conditions. Unlike in previous years, CPO prices may not fall sharply in the remaining months of 2024, as importers step up purchases before the European Union Deforestation Regulation (EUDR) is implemented at the end of 2025, AmInvestment noted.
The EU would be short by as much as 600,000 tonnes, if just 10% of the usual annual imports of five- to six million tonnes of palm products fail to comply with the onerous regulation, the house said, noting that smallholders account for 30%-40% of CPO production in Indonesia, and 26% in Malaysia. For strategy, AmInvestment’s top pick is Kuala Lumpur Kepong Bhd. for the young age profile of its oil palm trees and strong recovery in downstream earnings.
MENURUT GLENAUK ECONOMICS, PRODUKSI MINYAK SAWIT PADA 2024 DIPERKIRAKAN PULIH DI MALAYSIA, TURUN DI INDONESIA
USA DUA, Indonesia: Produksi minyak sawit Malaysia diperkirakan akan pulih tahun ini seiring dengan kedatangan pekerja asing di perkebunan, sementara produksi di Indonesia diperkirakan turun lebih dari satu juta metrik ton, kata analis Julian McGill pada sebuah konferensi minyak sawit, Jumat.
Tahun depan, produksi Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, diproyeksikan pulih sebesar 1,5 juta ton, ujar McGill, direktur pelaksana di konsultan Glenauk Economics, dalam Konferensi Minyak Sawit Indonesia di Bali.
Harga minyak sawit Malaysia diperkirakan akan berada di kisaran $950 hingga $1.050 per metrik ton pada tahun 2025, katanya. Sementara itu, harga FOB minyak sawit mentah (CPO) Indonesia diperkirakan mencapai $1.000 per ton sebelum akhir tahun 2024.
Kontrak minyak sawit acuan di Malaysia diperdagangkan di sekitar 5.000 ringgit ($1.141) per ton pada hari Jumat.
N NGLENAUK ECONOMICS SAYS
PALM OIL OUTPUT IN 2024 TO RECOVER IN MALAYSIA, DROP IN INDONESIA
USA DUA, Indonesia: Malaysian palm oil output is expected to recover this year as foreign workers arrive on plantations, while output by Indonesia is seen dropping by just over a million metric tons, analyst Julian McGill told a palm oil conference on Friday.
Next year, output by Indonesia, the world’s biggest producer, is expected to recover by 1.5 million tons, McGill, managing director at consultancy Glenauk Economics, told the Indonesia Palm Oil Conference in Bali.
Malaysian palm oil prices are seen trading at around $950 to $1,050 per metric ton in 2025, he said, while Indonesia’s crude palm oil FOB price is seen at $1,000 per ton before the end of 2024.
The benchmark palm oil contract in Malaysia was trading at around 5,000 ringgit ($1,141) per ton on Friday.
INDONESIA TERAPKAN
PELACAKAN
DNA UNTUK KUALITAS BENIH KELAPA SAWIT
Bali (ANTARA): Kementerian Pertanian menerapkan teknologi pelacakan DNA untuk mengidentifikasi pohon induk kelapa sawit dan melestarikan benihnya untuk penanaman, dengan tujuan menjaga produktivitas industri kelapa sawit nasional. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan pada Kamis bahwa teknologi ini digunakan sebelum benih kelapa sawit ditanam, sehingga pelaku industri dapat menilai kualitas buah yang dihasilkan. “Sebelum ditanam, benih terlebih dahulu diperiksa untuk memverifikasi kualitasnya,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa melalui teknologi ini, kementerian juga akan menetapkan standarisasi dan sertifikasi untuk benih kelapa sawit berkualitas tinggi bekerja sama dengan laboratorium di Medan, Sumatera Utara. Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan varietas kelapa sawit yang tahan penyakit dan berproduksi tinggi. “Meskipun standarisasi dan sertifikasi sudah diterapkan, benih palsu masih dijual dengan klaim kualitas yang tidak sesuai,” katanya.
Sudaryono menyebutkan bahwa kementerian akan bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) untuk memastikan kebijakan ini diimplementasikan secara efektif di lapangan. Kementerian juga berencana meningkatkan kualitas kelapa sawit di tingkat petani dengan memberikan bantuan teknis dan pelatihan untuk mendukung produktivitas petani kecil.
Pada tahun 2023, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mencapai 47,08 juta ton, dengan 23,98 juta ton di antaranya diekspor. Sudaryono menegaskan bahwa industri kelapa sawit bukan hanya merupakan sumber pendapatan nasional yang signifikan tetapi juga menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 16 juta orang.
INDONESIA ADOPTS DNA TRACING FOR PALM OIL SEED QUALITY
Bali (ANTARA) - The Ministry of Agriculture is implementing DNA tracing technology to identify parent palm oil trees and preserve their seeds for planting, aiming to sustain productivity in the national palm oil industry. Deputy Minister of Agriculture Sudaryono said on Thursday that this technology is used before palm oil seeds are sown, enabling industry players to assess the quality of the resulting fruit. “Before planting, seeds are first inspected to verify their quality,” he explained. He added that through this technology, the ministry will also establish standardization and certification for high-quality palm oil seeds in partnership with a laboratory in Medan, North Sumatra. This initiative is part of research and development efforts to produce palm oil varieties that are disease-resistant and high-yielding. “Although standardization and certification are in place, counterfeit seeds are still being sold with false quality claims,” he noted.
Sudaryono mentioned that the ministry will collaborate with the Indonesian Palm Oil Entrepreneurs Association (Gapki) to ensure effective implementation of this policy in the field. The ministry also plans to improve palm oil quality at the farmer level by providing technical assistance and training to support smallholder productivity.
In 2023, Indonesia’s crude palm oil (CPO) production reached 47.08 million tons, with 23.98 million tons exported. Sudaryono emphasized that the palm oil industry is not only a significant source of national revenue but also provides employment to more than 16 million people.
INDONESIA’S PALM OIL INDUSTRY WELCOMES EU’S DEFORESTATION RULE DELAY TO 2025
Industri minyak kelapa sawit Indonesia menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk menunda regulasi deforestasi selama satu tahun, yang akan mulai diberlakukan pada 31 Desember 2025. Penundaan ini memberikan waktu bagi industri untuk beradaptasi, sehingga bisnis minyak kelapa sawit dapat mematuhi aturan baru, dan menangani transparansi dalam rantai pasokan. Pengumuman resmi Komisi Eropa diharapkan minggu depan. Eddy Martono, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan penundaan ini meredakan kekhawatiran industri. Sektor ini, katanya, sudah sangat sensitif terhadap fluktuasi harga energi, permintaan global, cuaca, dan kebijakan perdagangan yang terus berkembang. “Kami menyambut baik keputusan ini karena memberikan waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan dan menerapkan kepatuhan penuh,” katanya saat membuka Konferensi Kelapa Sawit Indonesia ke-20 dan Prospek Harga 2025 (IPOC 2024) di Nusa Dua, Bali, Kamis. IPOC 2024 yang bertemakan “Memanfaatkan Peluang di Tengah Ketidakpastian Global” mempertemukan para pemangku kepentingan untuk membahas dinamika industri ini.
Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang menjadi undang-undang pada pertengahan tahun 2023, mengamanatkan bahwa produk seperti daging sapi, kakao, kopi, minyak sawit, dan karet harus “bebas deforestasi” untuk dapat memasuki pasar UE. Barang-barang ini tidak dapat bersumber dari lahan yang dibuka setelah tahun 2020, yang menggantikan Peraturan Kayu UE sebelumnya. Awalnya, kepatuhan EUDR ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2024 untuk bisnis besar, diikuti oleh perusahaan yang lebih kecil setahun kemudian.
Eddy mengatakan bahwa industri kelapa sawit Indonesia, yang merupakan komponen vital ekonomi nasional, menghadapi tantangan seperti produksi yang stagnan, persyaratan regulasi yang rumit, dan perubahan pola perdagangan global. Pemerintah Indonesia dan para pemimpin industri berupaya untuk memperkuat praktik berkelanjutan, terutama karena negara ini bertujuan untuk meningkatkan program biodieselnya menjadi B50 pada tahun 2026. B50 mengacu pada kebijakan untuk meningkatkan campuran minyak sawit dalam biodiesel Indonesia menjadi 50 persen. Gapki mendukung pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dalam memajukan kebijakan yang menopang daya saing global sektor minyak sawit Indonesia, yang menghasilkan pendapatan ekspor lebih dari $17 miliar pada Agustus 2024. Hingga Agustus, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 34,7 juta ton, dengan total ekspor, termasuk biodiesel dan oleokimia, lebih dari 20,1 juta ton. Namun, Eddy mengatakan, “Kinerja ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan produksi 2023 sebesar 36,2 juta ton, ekspor 21,9 juta ton, dan nilai ekspor melebihi $20,59 miliar.” Ia memperingatkan bahwa program penanaman kembali dalam negeri harus dipercepat dan bahwa advokasi internasional untuk perdagangan yang adil sangat penting, karena peraturan seperti EUDR dapat menimbulkan beban ekonomi yang signifikan.
Konferensi Minyak Sawit Indonesia (IPOC) ke-20 di Bali minggu ini akan membahas tantangan-tantangan ini, dengan para pemimpin industri membahas strategi untuk menavigasi ketidakpastian global dan memperkuat peran Indonesia sebagai pemain kunci dalam energi terbarukan dan produksi pangan.
INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA
MENYAMBUT ATURAN DEFORTASI UE HINGGA TAHUN 2025
Industri minyak kelapa sawit Indonesia menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk menunda regulasi deforestasi selama satu tahun, yang akan mulai diberlakukan pada 31 Desember 2025. Penundaan ini memberikan waktu bagi industri untuk beradaptasi, sehingga bisnis minyak kelapa sawit dapat mematuhi aturan baru, dan menangani transparansi dalam rantai pasokan. Pengumuman resmi Komisi Eropa diharapkan minggu depan. Eddy Martono, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan penundaan ini meredakan kekhawatiran industri. Sektor ini, katanya, sudah sangat sensitif terhadap fluktuasi harga energi, permintaan global, cuaca, dan kebijakan perdagangan yang terus berkembang. “Kami menyambut baik keputusan ini karena memberikan waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan dan menerapkan kepatuhan penuh,” katanya saat membuka Konferensi Kelapa Sawit Indonesia ke-20 dan Prospek Harga 2025 (IPOC 2024) di Nusa Dua, Bali, Kamis. IPOC 2024 yang bertemakan “Memanfaatkan Peluang di Tengah Ketidakpastian Global” mempertemukan para pemangku kepentingan untuk membahas dinamika industri ini.
Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang menjadi undang-undang pada pertengahan tahun 2023, mengamanatkan bahwa produk seperti daging sapi, kakao, kopi, minyak sawit, dan karet harus “bebas deforestasi” untuk dapat memasuki pasar UE. Barang-barang ini tidak dapat bersumber dari lahan yang dibuka setelah tahun 2020, yang menggantikan Peraturan Kayu UE sebelumnya. Awalnya, kepatuhan EUDR ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2024 untuk bisnis besar, diikuti oleh perusahaan yang lebih kecil setahun kemudian.
Eddy mengatakan bahwa industri kelapa sawit Indonesia, yang merupakan komponen vital ekonomi nasional, menghadapi tantangan seperti produksi yang stagnan, persyaratan regulasi yang rumit, dan perubahan pola perdagangan global. Pemerintah Indonesia dan para pemimpin industri berupaya untuk memperkuat praktik berkelanjutan, terutama karena negara ini bertujuan untuk meningkatkan program biodieselnya menjadi B50 pada tahun 2026. B50 mengacu pada kebijakan untuk meningkatkan campuran minyak sawit dalam biodiesel Indonesia menjadi 50 persen. Gapki mendukung pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dalam memajukan kebijakan yang menopang daya saing global sektor minyak sawit Indonesia, yang menghasilkan pendapatan ekspor lebih dari $17 miliar pada Agustus 2024. Hingga Agustus, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 34,7 juta ton, dengan total ekspor, termasuk biodiesel dan oleokimia, lebih dari 20,1 juta ton. Namun, Eddy mengatakan, “Kinerja ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan produksi 2023 sebesar 36,2 juta ton, ekspor 21,9 juta ton, dan nilai ekspor melebihi $20,59 miliar.” Ia memperingatkan bahwa program penanaman kembali dalam negeri harus dipercepat dan bahwa advokasi internasional untuk perdagangan yang adil sangat penting, karena peraturan seperti EUDR dapat menimbulkan beban ekonomi yang signifikan.
Konferensi Minyak Sawit Indonesia (IPOC) ke-20 di Bali minggu ini akan membahas tantangan-tantangan ini, dengan para pemimpin industri membahas strategi untuk menavigasi ketidakpastian global dan memperkuat peran Indonesia sebagai pemain kunci dalam energi terbarukan dan produksi pangan.
INDONESIA AKAN TERAPKAN BIODESEL B40 PADA 1 JANUARY 2025
INDONESIA TO INTRODUCE B40 BIODESEL ON JANUARY 1, 2025
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan penggunaan biodiesel dengan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit 40 persen atau B40 akan diterapkan mulai 1 Januari 2025. Hal ini sejalan dengan program mandatori biodiesel B40. “Untuk biodiesel B40, kami berkomitmen memulai pada 1 Januari (2025),” kata Airlangga, Sabtu, 30 November 2024.
Airlangga mengungkapkan, biodiesel B40 ini akan tetap dilaksanakan meski harga minyak sawit akhir-akhir ini meroket. Jika terjadi selisih harga akibat kenaikan harga minyak sawit, Airlangga menyatakan hal itu akan disikapi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “BPDPKS bersedia membiayai selisih harga di bawah harga minyak sawit baru,” ujarnya.
Airlangga menyebutkan bahwa program ini telah berhasil memberikan kontribusi terhadap upaya global untuk mengurangi emisi. Selain itu, program ini juga merupakan bagian dari program utama Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan, kemandirian energi, dan perampingan industri perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Sebelumnya, Airlangga mengatakan penerapan B40 akan meningkatkan penggunaan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku bahan bakar. Namun, ia memastikan pasokan CPO masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan B40.
Coordinating Minister for Economic Affairs Airlangga Hartarto stated that the use of biodiesel with 40 percent palm oil-based vegetable fuel or B40 will be implemented starting on January 1, 2025. This is in line with the mandatory B40 biodiesel program. “For B40 biodiesel, we are committed to starting on January 1 (2025),” Airlangga said on Saturday, November 30, 2024.
Airlangga revealed that this B40 biodiesel will still be implemented even if the price of palm oil has skyrocketed recently. If there is a price difference due to the increase in the price of palm oil, Airlangga stated that it would be addressed by the Indonesian Oil Palm Plantation Fund Management Agency (BPDPKS). “BPDPKS is willing to finance the price gap below the new palm oil price,” he said.
Airlangga mentioned that this program has successfully contributed to global efforts to reduce emissions. In addition, this program is also part of President Prabowo Subianto’s major program to achieve food security, food self-sufficiency, energy self-sufficiency, and the downscaling of the plantation industry, especially palm oil.
Earlier, Airlangga said the implementation of B40 would increase the use of crude palm oil (CPO) as a feedstock for fuel. However, he assured that the supply of CPO would still be sufficient to meet the demand for B40.
PASOK 70% CPO GLOBAL, INDONESIA DAN MALAYSIA SEPAKATI KOLABORASI INDUSTRI SAWIT
Negara-negara anggota Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) termasuk Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk dukung keberlanjutan industri kelapa sawit global. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga mengatakan Indonesia dan Malaysia sepakat untuk memperkuat kolaborasi selama satu tahun ke depan. Hal itu sebagai bentuk sinergi antarnegara dalam menghadapi tantangan yang dihadapi industri kelapa sawit. “Kami menghargai kemitraan dan kolaborasi yang telah terjalin dengan negara-negara penghasil minyak sawit,” ungkap Airlangga dalam Konferensi Pers 12th Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Ministerial Meeting, di Jakarta, Jumat (29/11).
Airlangga mengatakan, Indonesia berkomitmen dalam sektor sawit ini sejalan dengan program Presiden Prabowo Subianto. Hal itu terkait dengan asta cita terutama ketahanan pangan, kemandirian pangan, kemandirian energi, serta hilirisasi industri perkebunan dalam hal ini sawit. Dalam kesempatan yang sama Menteri Perladangan dan Komoditi Malaysia, Datuk Seri Johari Abdul Ghani mengungkapkan Indonesia adalah salah satu produsen terbesar kedua minyak sawit. Bersama dengan Malaysia, kedua negara ini berkontribusi lebih dari 70% minyak sawit di dunia. “Saya pikir sumbangan yang dikendalikan oleh kedua-dua negara ini sangat penting untuk dunia,” ujarnya.
Maka menurut Johari, kolaborasi antara Malaysia dan Indonesia sangat penting. Hal itu karena kedua negara ini mewakili dunia untuk memastikan terkait standarisasi global untuk produk kelapa sawit. “Kita harus satukan suara untuk memastikan standar kelapa sawit diakui secara global, sangat penting bagi kita bekerjasama menghadapi isu-isu ini baik dari sisi pemberdayaan maupun kepatuhan terhadap regulasi dunia,” jelas Johari.
Member countries of the Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), including Indonesia and Malaysia, are committed to supporting the sustainability of the global palm oil industry. The Coordinating Minister for Economic Affairs of Indonesia, Airlangga, stated that Indonesia and Malaysia have agreed to strengthen their collaboration over the next year. This is a form of synergy between countries in facing the challenges encountered by the palm oil industry. “We appreciate the partnership and collaboration that has been established with palm oil-producing countries,” said Airlangga during the press conference of the 12th Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Ministerial Meeting in Jakarta, Friday (November 29).
Airlangga said that Indonesia is committed to this palm oil sector in line with President Prabowo Subianto’s program. This relates to key aspirations, particularly food security, food independence, energy independence, and the downstreaming of the plantation industry, specifically palm oil. At the same occasion, the Malaysian Minister of Plantation and Commodities, Datuk Seri Johari Abdul Ghani, revealed that Indonesia is the second-largest palm oil producer. Together with Malaysia, the two countries contribute more than 70% of the world’s palm oil. “I believe the contribution controlled by these two countries is very important to the world,” he said.
According to Johari, collaboration between Malaysia and Indonesia is very important. This is because both countries represent the world in ensuring global standardization for palm oil products. “We must unite our voices to ensure that palm oil standards are recognized globally. It is very important for us to cooperate in addressing these issues, both from the empowerment side and compliance with global regulations,” Johari explained.
INDONESIA INGIN MENJADI PENENTU HARGA MINYAK SAWIT DUNIA
ementerian Pertanian Indonesia telah menetapkan target menjadikan negara ini sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia pada tahun 2025, sehingga dapat mempengaruhi harga komoditas global.
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan, Indonesia menargetkan memiliki kapasitas penetapan harga secepatnya, demikian dilaporkan kantor berita ANTARA. Untuk mencapai hal tersebut, ia menghimbau kepada para petani dan pengusaha kelapa sawit agar memandang perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagai kawasan pertanian berprioritas tinggi yang memerlukan perhatian khusus guna memperkuat perekonomian nasional. Ia juga mencatat bahwa Indonesia sudah memiliki teknologi yang dibutuhkan untuk menghasilkan benih kelapa sawit berkualitas tinggi. Ia mengatakan bahwa Indonesia dapat menilai kesesuaian benih untuk ditanam sebelum bertunas, yang penting dalam menetapkan standar benih kelapa sawit Indonesia.
Pejabat tersebut mengatakan B50 merupakan daya tawar Indonesia di kancah internasional. Bahkan jika negara lain tidak berminat, Indonesia dapat memanfaatkannya di dalam negeri. Kehadiran B50 memberi Indonesia pilihan untuk menyerap hasil produksi minyak sawitnya secara optimal. Ia menambahkan, pemerintah Indonesia telah menghitung secara matang, berapa banyak minyak sawit yang akan diekspor dan berapa banyak yang akan dialokasikan untuk penggunaan dalam negeri guna memastikan bahwa barang tersebut akan memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia.
INDONESIA EYES TO BECOME WORLD’S PALM OIL PRICE SETTER
Kementerian Pertanian Indonesia telah menetapkan target menjadikan negara ini sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia pada tahun 2025, sehingga dapat mempengaruhi harga komoditas global.
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan, Indonesia menargetkan memiliki kapasitas penetapan harga secepatnya, demikian dilaporkan kantor berita ANTARA. Untuk mencapai hal tersebut, ia menghimbau kepada para petani dan pengusaha kelapa sawit agar memandang perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagai kawasan pertanian berprioritas tinggi yang memerlukan perhatian khusus guna memperkuat perekonomian nasional. Ia juga mencatat bahwa Indonesia sudah memiliki teknologi yang dibutuhkan untuk menghasilkan benih kelapa sawit berkualitas tinggi. Ia mengatakan bahwa Indonesia dapat menilai kesesuaian benih untuk ditanam sebelum bertunas, yang penting dalam menetapkan standar benih kelapa sawit Indonesia.
Pejabat tersebut mengatakan B50 merupakan daya tawar Indonesia di kancah internasional. Bahkan jika negara lain tidak berminat, Indonesia dapat memanfaatkannya di dalam negeri. Kehadiran B50 memberi Indonesia pilihan untuk menyerap hasil produksi minyak sawitnya secara optimal. Ia menambahkan, pemerintah Indonesia telah menghitung secara matang, berapa banyak minyak sawit yang akan diekspor dan berapa banyak yang akan dialokasikan untuk penggunaan dalam negeri guna memastikan bahwa barang tersebut akan memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia.
POTENSI KELAPA SAWIT TERLIHAT DI BARMM, 800 RIBU HEKTAR TERIDENTIFIKASI
ewan Pengembangan Minyak Sawit Filipina (PPDCI) telah mengidentifikasi Daerah Otonomi Bangsamoro di Mindanao Muslim (BARMM) sebagai daerah yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit. “Dengan begitu banyak lahan yang tersedia, kita tidak perlu pergi jauh. Bahkan di sekitar BARMM, yang cocok untuk kelapa sawit, kita telah mengidentifikasi sekitar 800.000 hektar,” kata Presiden PPDCI Erwin Anthony Garcia saat puncak Kongres Kelapa Sawit ke-13 di sini, Kamis. Garcia mengatakan Filipina sangat bergantung pada permintaan minyak sawit dari negara tetangga Indonesia dan Malaysia, dengan negara kami mengimpor 1,2 juta metrik ton (MT) produk minyak sawit tahun lalu. “Tren ini menggarisbawahi urgensi untuk menutup kapasitas produksi lokal dan mengurangi ketergantungan pada sumber eksternal. 1,2 juta MT ini setara dengan sekitar 250.000 hingga 300.000 hektar perkebunan,” katanya.
Kelompok Garcia bermaksud menanam pohon kelapa sawit di lahan seluas 5.000 hektar tahun ini dan meningkatkan sekitar 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit di negara tersebut. “Tahun lalu, kami berhasil menanam sekitar 2.000 hektar lahan baru di berbagai wilayah di negara ini. Target ambisius ini menggarisbawahi komitmen kami untuk meremajakan industri kami dan mengatasi tantangan pohon kelapa sawit yang menua,” tambahnya. Garcia mendesak pemerintah untuk menyadari potensi besar sektor kelapa sawit sebagai alat yang ampuh dalam memberantas kemiskinan dan pemberontakan di pedesaan.
Sebagai tanggapan, Sekretaris Otoritas Pembangunan Mindanao (MinDA) Leo Tereso Magno berkomitmen untuk mengadvokasi industri minyak sawit, meyakinkan para pemangku kepentingan dengan dukungan Departemen Pertanian (DA) untuk mendukung pengembangan sektor tersebut. “Saya akan bertemu dengan DA untuk membahas kemungkinan bantuan yang dapat diberikan pemerintah kepada industri Anda,” katanya dalam sebuah pernyataan. Magno menggarisbawahi potensi industri minyak sawit untuk mengangkat Filipina dari pemain kecil menjadi pemain utama, meskipun peringkatnya berada pada urutan ke-16 di antara produsen global. “Potensinya jelas. Kita dapat meningkatkan hasil industri jika kita mengoptimalkan keunggulan kita dalam kondisi agroklimat yang baik dan sumber daya manusia yang kaya,” katanya. (PNA)
PALM OIL POTENTIAL SEEN IN BARMM, 800K HECTARES IDENTIFIED
The Philippine Palm Oil Development Council, Incorporated (PPDCI) has identified the Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM) as suitable for oil palm plantations. “With so much land available, we don’t have to go far. Even around BARMM, which is suitable for oil palms, we have identified around 800,000 hectares,” PPDCI president Erwin Anthony Garcia said during the culmination of the 13th Palm Oil Congress here Thursday. Garcia said the Philippines relies heavily on palm oil demand from the neighboring nations of Indonesia and Malaysia, with our country importing 1.2 million metric tons (MT) of palm oil products last year. “This trend underscores the urgency to wrap up our local production capacity and reduce our independence on external sources. This 1.2 million MT is equivalent to an estimated 250,000 to 300,000 hectares of plantation,” he said.
Garcia’s group aims to plant palm oil trees on 5,000 hectares of land this year and improve the country’s around 100,000 hectares of oil palm farms. “Last year, we successfully planted an estimated 2,000 hectares of new planting in various areas of the country. This ambitious target underscores our commitment to rejuvenating our industry and addressing the challenges of aging oil palm trees,” he added. Garcia urged the government to recognize the immense potential of the oil palm sector as a powerful tool in eradicating poverty and insurgency within the countryside.
As a response, Mindanao Development Authority (MinDA) Secretary Leo Tereso Magno committed to advocating for the palm oil industry, assuring stakeholders with the Department of Agriculture (DA) support to bolster the sector’s development. “I will meet with the DA to discuss the possible assistance the government can extend to your industry,” he said in a statement. Magno underscored the palm oil industry’s potential to lift the Philippines from a minor to a major player, despite its ranking 16th among global producers. “The potential is clear. We can increase the industry’s yield if we optimize our advantages in good agro-climatic conditions and rich human resources,” he said. (PNA)
THAILAND LARANG EKSPOR MINYAK SAWIT MENTAH
KARENA PRODUKSI MENURUN
Departemen Perdagangan Dalam Negeri Thailand untuk sementara waktu melarang ekspor minyak sawit mentah karena berkurangnya produksi yang disebabkan oleh kekeringan dan penyakit tanaman
Pembatasan tersebut, yang diperkirakan berlangsung hingga Desember, bertujuan untuk menstabilkan harga lokal dan memastikan tingkat stok yang memadai. Menteri Perdagangan Pichai Naripthaphan menyoroti bahwa kondisi pasar saat ini mencerminkan penurunan signifikan dalam produksi minyak kelapa sawit, sehingga memerlukan tindakan untuk melindungi petani dan konsumen dari kenaikan harga. Goranij Nonejuie , wakil direktur jenderal departemen yang berada di bawah Kementerian Perdagangan, mengonfirmasi bahwa harga saat ini memuaskan pada 8-9 baht per kg, tetapi menekankan perlunya pemantauan ketat terhadap harga minyak sawit botol.
Kementerian telah berkoordinasi dalam pembahasan dengan Gabungan Pengusaha Pabrik Kelapa Sawit dan berbagai pengecer untuk mengelola tingkat stok dan menunda penyesuaian harga bagi konsumen. Asosiasi pabrik ekstraksi dan Asosiasi Pemurnian Minyak Sawit telah berjanji
untuk bekerja sama dengan upaya pemerintah. Mereka telah sepakat untuk menghentikan ekspor dan bekerja sama untuk menstabilkan harga. Selain itu, pengecer dan pedagang grosir telah berkomitmen untuk mempertahankan harga yang wajar untuk minyak sawit botol dan menerapkan penawaran promosi untuk meringankan dampak pada konsumen.
Dengan stok minyak sawit mentah yang melebihi 200.000 ton, asosiasi telah berkomitmen untuk menangguhkan ekspor sampai situasi membaik, dengan rencana untuk meninjau kembali hal ini pada Januari 2025. Untuk mencegah kecurangan harga, departemen telah memperingatkan bahwa pelanggar dapat menghadapi hukuman hingga tujuh tahun penjara atau denda hingga 140.000 baht. Kekhawatiran tentang kenaikan harga minyak sayur akan terus dipantau. Konsumen didorong untuk melaporkan penyimpangan apa pun melalui hotline departemen atau aplikasi seluler mereka.
THAILAND BANS EXPORT OF RAW PALM OIL AS PRODUCTION TAKES A HIT
Thailand’s Department of Internal Trade has temporarily banned the export of raw palm oil due to reduced production caused by drought and plant diseases.
The restrictions, expected to last until December, aim to stabilise local prices and ensure adequate stock levels. Commerce Minister Pichai Naripthaphan highlighted that current market conditions reflect a significant decrease in oil palm output, necessitating measures to protect both farmers and consumers from inflated prices. Goranij Nonejuie, deputy director-general of the department which comes under the Commerce Ministry, confirmed that prices are currently satisfactory at 8-9 baht per kg, but emphasised the need to monitor bottled palm oil prices closely.
The ministry has coordinated discussions with the Palm Oil Extraction Mills Association and various retailers to manage stock levels and delay price adjustments for consumers. The extraction mills association and the Palm Oil Refinery Association have pledged to cooperate with the government’s efforts. They have agreed to suspend exports
and work together to stabilise prices. Additionally, retailers and wholesalers have committed to maintaining reasonable prices for bottled palm oil and implementing promotional offers to alleviate the impact on consumers.
With a crude palm oil stock exceeding 200,000 tons, the associations have committed to suspending exports until the situation improves, with plans to revisit this in January 2025. To prevent price gouging, the department has warned that violators could face up to seven years in prison or a fine of up to 140,000 baht. Concerns about rising vegetable oil prices will continue to be monitored. Consumers are encouraged to report any irregularities via the department hotline or their mobile application.
THAILAND CUTS PALM OIL CONTENT IN BIOFUEL
Thailand’s Ministry of Energy announced last Friday that it will reduce the palm oil content in its biofuel from 7% to 5% to deal with rising palm oil prices. Thai Deputy Prime Minister and Energy Minister Pirapan Salirathavibhaga said this move, approved at a meeting of the Energy Policy and Planning Office (EPPO) last Thursday, will help reduce biofuel costs. The reduction in palm oil used in biofuel is expected to take effect from November 21. Accordingly, B7 biofuel, a blend of 7% palm-based biofuel and 93% petroleum diesel, will be converted to B5, a blend with 5% palm-based biofuel and 95% petroleum diesel. Pirapan said the ministry has notified the National Palm Oil Policy Committee of this change and assured drivers that the switch from B7 to B5 will not negatively impact their vehicle engines. The recent surge in crude palm oil prices has pushed the retail price of biodiesel to at least 48 THB per liter. Since May 1, 2024, Thailand has discontinued the sale of B10 biodiesel, leaving only two types on the market: B7 and B20. B7 has been renamed biodiesel, while the name of B20 remains unchanged.
THAILAND KURANGI KANDUNGAN MINYAK SAWIT DALAM BIOFUEL
Kementerian Energi Thailand mengumumkan Jumat lalu bahwa mereka akan mengurangi kandungan minyak sawit dalam biofuelnya dari 7% menjadi 5% untuk mengatasi kenaikan harga minyak sawit. Wakil Perdana Menteri Thailand dan Menteri Energi Pirapan Salirathavibhaga mengatakan langkah ini, yang disetujui pada pertemuan Kantor Kebijakan dan Perencanaan Energi (EPPO) Kamis lalu, akan membantu mengurangi biaya biofuel. Pengurangan penggunaan minyak kelapa sawit dalam biofuel diharapkan mulai berlaku pada tanggal 21 November. Dengan demikian, biofuel B7, yaitu campuran 7% biofuel berbasis kelapa sawit dan 93% solar minyak bumi, akan diubah menjadi B5, yaitu campuran 5% biofuel berbasis kelapa sawit dan 95% solar minyak bumi. Pirapan mengatakan, kementerian telah memberitahukan Komite Kebijakan Minyak Sawit Nasional tentang perubahan ini dan meyakinkan para pengemudi bahwa peralihan dari B7 ke B5 tidak akan berdampak negatif pada mesin kendaraan mereka. Lonjakan harga minyak sawit mentah baru-baru ini telah mendorong harga eceran biodiesel menjadi setidaknya 48 THB per liter. Sejak 1 Mei 2024, Thailand menghentikan penjualan biodiesel B10, sehingga hanya tersisa dua jenis di pasaran B7 dan B20. Nama B7 telah diubah menjadi biodiesel, sedangkan nama B20 tetap tidak berubah.
MENTERI PERTANIAN JOSE MAI JAJAKI INDUSTRI KELAPA SAWIT AFRIKA DI HONDURAS
MINISTER OF AGRICULTURE JOSE MAI EXPLORES AFRICAN PALM OIL INDUSTRY IN HONDURAS
еntеrі Реrtаnіаn Јоѕе Аbеlаrdо Маі dаn tіm mеngunјungі
M M
Ноndu Раlmа, раbrіk kеlара ѕаwіt Аfrіkа, dі Ноndurаѕ.
Меntеrі Маі аkаn mеngаngkаt tаndаn buаh kеlара ѕаwіt. Таndаn іnі mеruраkаn kumрulаn buаh dаrі роhоn kеlара ѕаwіt Аfrіkа (Еlаеіѕ Guіnееnѕіѕ), уаng dіраnеn untuk dіаmbіl mіnуаknуа. Ѕеtіар tаndаn bеrіѕі bаnуаk buаh уаng dірrоѕеѕ untuk mеngеkѕtrаk mіnуаk kеlара ѕаwіt.
Оlеh Rubén Моrаlеѕ Іglеѕіаѕ: Меntеrі Реrtаnіаn, Кеаmаnаn Раngаn, dаn Реruѕаhааn, Јоѕе Аbеlаrdо Маі, bеrѕаmа СЕО Ѕеrvulо Ваеzа, Реnаѕіhаt Нugh О’Вrіеn, dаn Реrwаkіlаn Nеgаrа ОІRЅА Fеrmіn Вlаnсо, раdа hаrі Ѕеlаѕа mеngunјungі Ноndu Раlmа, ѕеbuаh раbrіk уаng mеngkhuѕuѕkаn dіrі dаlаm реmаnеnаn kеlара ѕаwіt Аfrіkа (Еlаеіѕ Guіnееnѕіѕ) untuk mіnуаknуа. Ноndu Раlmа tеrlеtаk dі Еl Nеgrіtо dі Dераrtеmеn Yоrо dі Ноndurаѕ. “Industri minyak kelapa sawit Afrika sedang berkembang pesat dan merupakan salah satu industri baru yang sangat diminati Menteri Mai,” Меnуаdаrі іnduѕtrі mіnуаk kеlара ѕаwіt Аfrіkа уаng tеngаh bеrkеmbаng реѕаt ѕеbаgаі bіdаng bаru уаng mеnаrіk, Меntеrі Маі mеmаnfааtkаn kеѕеmраtаn tеrѕеbut untuk mеmреrоlеh wаwаѕаn tеntаng роtеnѕі реrtumbuhаn dаn mаnfааt еkоnоmі dаrі ѕеktоr іnі. Раbrіk tеrѕеbut, уаng dіkеnаl kаrеnа tеknіk реmаnеnаn dаn реmrоѕеѕаnnуа уаng еfіѕіеn, mеmbеrіkаn іnfоrmаѕі bеrhаrgа уаng dараt mеmеngаruhі ѕtrаtеgі реrtаnіаn mаѕа dераn dі Веlіzе.
Меntеrі Маі dаn tіmnуа bеrаdа dі Ноndurаѕ untuk mеnghаdіrі реrtеmuаn реntіng mеngеnаі Nеw Wоrld Ѕсrеwwоrm, hаmа уаng mеnјаdі аnсаmаn ѕеrіuѕ bаgі іnduѕtrі реtеrnаkаn Веlіzе. Меrеkа јugа аkаn mеlаkukаn реrјаlаnаn kе Раnаmа nаntі untuk mеlаnјutkаn uрауа mеrеkа dаlаm mеngеndаlіkаn Nеw Wоrld Ѕсrеwwоrm.
іnіѕtеr оf Аgrісulturе Јоѕе Аbеlаrdо Маі аnd tеаm vіѕіtіng Ноndu Раlmа, Аfrісаn раlm fасtоrу, іn Ноndurаѕ. Міnіѕtеr Маі іѕ аbоut tо lіft аn оіl раlm fruіt bunсh. Тhеѕе аrе сluѕtеrѕ оf fruіtѕ frоm thе Аfrісаn оіl раlm trее (Еlаеіѕ Guіnееnѕіѕ), whісh аrе hаrvеѕtеd fоr thеіr оіl. Еасh bunсh соntаіnѕ mаnу іndіvіduаl fruіtѕ thаt аrе рrосеѕѕеd tо ехtrасt раlm оіl.
Ву Rubén Моrаlеѕ Іglеѕіаѕ: Міnіѕtеr оf Аgrісulturе, Fооd Ѕесurіtу, аnd Еntеrрrіѕе, Јоѕе Аbеlаrdо Маі, аlоng wіth СЕО Ѕеrvulо Ваеzа, Аdvіѕеr Нugh О’Вrіеn, аnd ОІRЅА Соuntrу Rерrеѕеntаtіvе Fеrmіn Вlаnсо, оn Тuеѕdау vіѕіtеd Ноndu Раlmа, а fасtоrу ѕресіаlіzіng іn hаrvеѕtіng Аfrісаn раlm (Еlаеіѕ Guіnееnѕіѕ) fоr іtѕ оіl. Ноndu Раlmа іѕ lосаtеd іn Еl Nеgrіtо іn thе Dераrtmеnt оf Yоrо іn Ноndurаѕ. “The African palm oil industry is taking off and is one of the new industry frontiers Minister Mai is keenly interested in,” Rесоgnіzіng thе burgеоnіng Аfrісаn раlm оіl іnduѕtrу аѕ а nеw frоntіеr оf іntеrеѕt, Міnіѕtеr Маі tооk thе орроrtunіtу tо gаіn іnѕіghtѕ іntо thе роtеntіаl grоwth аnd есоnоmіс bеnеfіtѕ оf thіѕ ѕесtоr. Тhе fасtоrу, knоwn fоr іtѕ еffісіеnt hаrvеѕtіng аnd рrосеѕѕіng tесhnіquеѕ, рrоvіdеd vаluаblе іnfоrmаtіоn thаt соuld іnfluеnсе futurе аgrісulturаl ѕtrаtеgіеѕ іn Веlіzе. Міnіѕtеr Маі аnd hіѕ tеаm аrе іn Ноndurаѕ tо аttеnd а сruсіаl mееtіng оn thе Nеw Wоrld Ѕсrеwwоrm, а реѕt thаt роѕеѕ а ѕеvеrе thrеаt tо Веlіzе’ѕ lіvеѕtосk іnduѕtrу. Тhеу wіll аlѕо trаvеl tо Раnаmа lаtеr tо furthеr thеіr еffоrtѕ tо соntаіn thе Nеw Wоrld Ѕсrеwwоrm.
PEMERINTAH SELIDIKI DUGAAN PEMBAYARAN RENDAH BAGI PETANI KELAPA SAWIT DI EAST NEW BRITAIN
GOVERNMENT PROBES ALLEGED EXPLOITATION OF OIL PALM GROWERS IN EAST NEW BRITAIN
Pemerintah sedang menyelidiki keluhan di East New Britain (ENB) tentang mengapa sebuah perusahaan kelapa sawit diduga membayar K15 per ton kepada petaninya, menurut Menteri Perdagangan Internasional dan Investasi Richard Maru. Maru mengatakan kepada Parlemen kemarin bahwa ia telah menerima keluhan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit di ENB.
Menjawab pertanyaan dari Gubernur West New Britain (WNB) Sasindran Muthuvel tentang mengapa investigasi dilakukan dan kerangka acuan, Maru mengatakan para petani mengklaim bahwa dalam 10 hingga 15 tahun terakhir, petani di ENB telah menerima K15 per ton tandan buah segar. Maru mengatakan, terjadi disparitas harga antarperusahaan kelapa sawit yang mengakuisisi lahan melalui skema Sewa Usaha Pertanian Sosial yang tidak benar-benar dicanangkan sebagai kawasan kelapa sawit seperti WNB. Mereka mengklaim bahwa perusahaan tersebut telah merampok mereka saat membandingkan harga yang mereka dapatkan dengan harga yang diperoleh petani di WNB, yakni sekitar K800 hingga K900 per ton. “Pemerintah memutuskan untuk melakukan investigasi dengan acuan yang mencakup apakah apa yang diklaim masyarakat itu benar atau tidak,” kata Maru. “Kenapa mereka (diduga) menerima harga K15 padahal lahan kelapa sawit yang dideklarasikan menerima K800 hingga K900 tergantung pasar dunia. Siapa regulatorynya? “Pemerintah tidak bisa terus mengabaikan nasib petani kita. Kita harus mendorong petani untuk menyerahkan lebih banyak lahan untuk kelapa sawit.” Maru menambahkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, ekspor kopi mencapai K510 juta per tahun, sementara kelapa sawit hanya K2,5 miliar. Maru mengatakan penyelidikan akan memakan waktu seminggu.
The Government is investigating complaints in East New Britain (ENB) on why an oil palm company is allegedly paying K15 per tonne to its growers, according to International Trade and Investment Minister Richard Maru. Maru told Parliament yesterday that he had received the complaints from the Oil Palm Growers Association in ENB.
Replying to a query from West New Britain (WNB) Governor Sasindran Muthuvel on why the investigation was carried out and the terms of reference, Maru said the growers claimed that in the past 10 to 15 years, farmers in ENB had been receiving K15 per tonne of fresh fruit bunches. Maru said there was a disparity of prices among oil palm companies who acquired land through the Social Agricultural Business Leases scheme, who were not properly declared as oil palm areas such as WNB. They claimed that the company had been robbing them off when comparing the prices they were getting what growers in WNB were getting which was about K800 to K900 per tonne. “The Government decided to conduct an investigation with a terms of reference which includes whether what the people are claiming is true or not,” Maru said. “Why are they (allegedly) receiving prices of K15 when the declared oil palm areas are receiving K800 to K900 depending on the world market. Who is the regulator? “Government can’t continue to ignore the plight of our growers. We have to encourage the growers to give up more land for oil palm.” Maru added that in the last 10 years, exporting of coffee was up to K510 mil per year, while oil palm was K2.5 billion. Maru said the investigation would take a week.
PPARA PEMANGKU KEPENTINGAN BERTUJUAN
MENGOPTIMALKAN POTENSI EKSPOR MINYAK SAWIT
NIGERIA SENILAI $10 MILIAR
ara pemangku kepentingan memobilisasi upaya untuk membuka potensi ekspor minyak sawit Nigeria senilai $10 miliar, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing pertanian. Meskipun secara historis merupakan produsen utama, Nigeria saat ini hanya mengekspor minyak sawit sebesar $1,34 juta, menduduki peringkat ke-78 secara global, sementara mengimpor $372 juta setiap tahunnya.
Sebuah firma riset dan penasihat, Vestance, meluncurkan laporan baru yang mengungkap peluang signifikan yang belum dimanfaatkan dalam sektor kelapa sawit Nigeria. Laporan tersebut, berjudul “Memulihkan Kejayaan yang Hilang: Kebangkitan Kembali Minyak Sawit Nigeria,” diluncurkan pada tanggal 30 Oktober di Lagos.
Pemimpin Riset Vestance, Razaq Fatai, mengatakan laporan tersebut menggambarkan peluang besar yang terpendam di perkebunan kelapa sawit yang kurang dimanfaatkan di negara tersebut, seraya mencatat bahwa dengan memanfaatkan dan meremajakan perkebunan ini, Nigeria dapat menghasilkan lebih dari $10 miliar dari pendapatan ekspor saja. Ia mencatat bahwa produksi minyak sawit Nigeria mulai menurun selama perang saudara di negara tersebut antara tahun 1967 dan 1970, dan mengatakan, “Sekaranglah saatnya untuk mulai membalikkan penurunan tersebut dan mengembalikan sektor ini ke jalurnya.
Acara peluncuran menampilkan sesi panel di mana para ahli berbicara tentang temuan laporan dan memberikan wawasan tentang cara merevitalisasi sektor kelapa sawit. Sesi tersebut, yang dimoderatori oleh Chinwe Abuwa dari Vestance, mempertemukan tiga tokoh industri terkemuka yang berbagi perspektif mereka tentang masa depan minyak sawit Nigeria.
Direktur pelaksana SWAgCo (O’dua Investment Group), Dr. Adewale Onadeko, menekankan perlunya Nigeria menerapkan strategi klaster agroindustri. Ia menjelaskan, “Pendekatan klaster mengintegrasikan infrastruktur penting seperti benih, pupuk, layanan penyuluhan, fasilitas pemrosesan, dan penyimpanan.” “Metode ini memungkinkan petani kecil untuk bergabung dalam satu unit yang kohesif, yang beroperasi dalam radius 25 km. Perusahaan seperti Presco dan Okomu telah berhasil menerapkan strategi ini. Dengan menyatukan petani dan memberi mereka peralatan dan pengetahuan yang diperlukan, kami dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi secara signifikan,” tambah Onadeko.
Panelis lainnya, Dr. Bayo Ogunniyi, Analis Program
Negara untuk Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian, menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi petani kecil, khususnya kurangnya akses terhadap keuangan dan maraknya benih lama yang hasil panennya rendah. Ia menggarisbawahi kebutuhan mendesak bagi Nigeria untuk mendistribusikan benih berkualitas tinggi kepada petani kecil guna meningkatkan tingkat produksi. Dr. Ogunniyi juga menunjukkan bahwa tingkat ekstraksi minyak oleh pengolah minyak sawit petani kecil sangat rendah, sering kali turun di bawah 15 persen, dibandingkan dengan tingkat ekstraksi 25 persen yang dicapai oleh pabrik pengolahan modern. Meningkatkan tingkat ekstraksi ini sangat penting untuk memaksimalkan hasil dari sektor minyak sawit Nigeria.
Dalam kontribusinya sendiri, CEO BulkDirect, Ramses Najem, menekankan pentingnya menempatkan fasilitas pemrosesan lebih dekat dengan perkebunan untuk mengurangi tantangan transportasi. Ia lebih lanjut berkata, “Kita harus mendukung petani skala kecil dengan menyediakan sumber daya keuangan, fasilitas pemrosesan, dan layanan penyuluhan yang diperlukan. Dukungan ini penting jika kita ingin mengubah ketergantungan Nigeria pada minyak sawit impor menjadi swasembada dan kemampuan ekspor.” Para pembicara pada peluncuran tersebut menyerukan adopsi benih unggul secara nasional untuk meningkatkan produksi, investasi dalam fasilitas pemrosesan modern untuk meningkatkan tingkat ekstraksi minyak, dan pengembangan jaringan transportasi strategis untuk menyederhanakan rantai pasokan.
Manajer program Vestance, Rildwan Bello, mengatakan, “Kami di Vestance berkomitmen untuk membantu membuka potensi besar dalam pertanian Afrika. Melalui studi komprehensif seperti Palm Oil Report, kami memberikan wawasan berharga dan panduan strategis yang ditujukan untuk mengubah sektor pertanian dan pangan.” Bello mengajak para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit, meliputi instansi pemerintah, investor swasta, petani kecil, lembaga penelitian, dan mitra pembangunan untuk bersamasama membantu mengembalikan sektor kelapa sawit ke masa kejayaannya.
S STAKEHOLDERS TARGET
ACTIVATING NIGERIA’S $10BN
PALM OIL EXPORT POTENTIAL
takeholders are mobilising efforts to unlock Nigeria’s $10 billion palm oil export potential, aiming to enhance agricultural productivity and competitiveness. Despite being a major producer historically, Nigeria currently exports only $1.34 million in palm oil, ranking 78th globally, while importing $372 million annually.
A research and advisory firm, Vestance, launched a new report that revealed significant untapped opportunities within Nigeria’s oil palm sector. The report, titled “Reclaiming Lost Glory: Nigeria’s Palm Oil Renaissance,” was unveiled October 30 in Lagos.
Vestance’s Research Lead, Razaq Fatai, said the report illustrates the immense opportunities lying dormant in the country’s underutilised oil palm plantations, noting that by capitalising and rejuvenating these plantations, Nigeria could generate over $10 billion in export revenue alone. He noted that Nigeria’s palm oil production began to decline during the country’s civil war between 1967 and 1970, saying, “It is now time to begin to reverse the decline and put the sector back on track.” The launch event featured a panel session where experts spoke on the findings of the report and provided insights on ways to revitalise the oil palm sector. The session, moderated by Vestance’s Chinwe Abuwa, brought together three distinguished industry figures who shared their perspectives on the future of Nigerian palm oil.
Managing director, SWAgCo (O’dua Investment Group), Dr. Adewale Onadeko, stressed the necessity for Nigeria to embrace an agro-industrial cluster strategy. He explained, “A cluster approach integrates essential infrastructure such as seeds, fertilisers, extension services, processing, and storage facilities.” “This method allows for smallholder farmers to be incorporated into a cohesive unit, operating within a 25 km radius. Companies like Presco and Okomu have successfully implemented this strategy. By bringing farmers together and providing them with the necessary tools and knowledge, we can significantly boost productivity and efficiency,” Onadeko added.
Another panellist, Dr. Bayo Ogunniyi, Country Programme Analyst for International Fund for Agricultural Development, highlighted the myriad challenges confronting smallholder farmers, particularly the lack of access to finance and the prevalence of old, low-yield seeds. He underscored the urgent need for Nigeria to distribute high-quality seeds to smallholder farmers to enhance production levels. Dr. Ogunniyi also pointed out that the oil extraction rates of smallholder palm oil processors are alarmingly low, often falling below 15 per cent, compared to the 25 per cent extraction rates achieved by modern processing mills. Improving these extraction rates is crucial for maximising the output from Nigeria’s palm oil sector.
In his own contribution, CEO of BulkDirect, Ramses Najem, emphasised the importance of situating processing facilities closer to the farms to reduce transportation challenges. He further said, “We must support small-scale farmers by providing them with the necessary financial resources, processing facilities, and extension services. This support is important if we want to transform Nigeria’s dependence on imported palm oil into self-sufficiency and export capability.” Speakers at the launch called for a nationwide adoption of high-yield seeds to boost production, investment in modern processing facilities to increase oil extraction rates, and the development of strategic transportation networks to streamline the supply chain.
Programme manager of Vestance, Rildwan Bello, said, “We at Vestance are committed to helping unlock the immense potential in African agriculture. Through comprehensive studies like the Palm Oil Report, we provide valuable insights and strategic guidance aimed at transforming the agricultural and food sectors.” Bello called on stakeholders in the palm oil sector, including government agencies, private sector investors, smallholder farmers, research institutions, and development partners to work together to help bring the palm oil sector back to its glory days.
INDIA MELUNCURKAN MISI NASIONAL UNTUK MINYAK NABATI DAN MINYAK SAWIT DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI MINYAK NABATI NEGARA TERSEBUT
INDIA LAUNCHES NATIONAL MISSIONS ON EDIBLE OILS AND PALM OIL IN BID TO BOOST COUNTRY’S VEGETABLE OIL PRODUCTION
emerintah India telah meluncurkan dua misi mengenai minyak goreng dan minyak sawit dalam upaya untuk memastikan keamanan pangan dan mengakhiri ketergantungannya pada impor, Policy Circle melaporkan pada 7 Oktober. Dengan fokus pada peningkatan produksi minyak goreng dari kelapa sawit, Misi Nasional Minyak Goreng – Kelapa Sawit (NMEO-OP) akan berjalan dari tahun 2024/25 hingga 2030/31. “Mengingat permintaan domestik yang terus meningkat akan minyak goreng, kekurangan yang sangat besar dan biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai impor, urgensi untuk meningkatkan areal kelapa sawit merupakan kepentingan nasional,” demikian pernyataan di situs web pemerintah. “Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi minyak nabati dan ketersediaan minyak di dalam negeri dengan memanfaatkan perluasan areal kelapa sawit, meningkatkan produksi minyak sawit mentah (CPO), dan mengurangi impor.”
India memproduksi 39 juta ton biji minyak pada tahun 2022/23, tetapi pemerintah berencana untuk meningkatkannya menjadi 69,7 juta ton di bawah skema biji minyak nasional, tulis Policy Circle. Laporan itu juga menyatakan bahwa program ini juga bertujuan untuk meningkatkan hasil panen dari 1.353 kg/ha menjadi 2.112 kg/ha serta menaikkan produksi minyak goreng dalam negeri dari 12,7 juta ton menjadi 20,2 juta ton pada tahun 2030-31. Biji minyak saat ini ditanam di sekitar 29 juta hektar lahan, tetapi rencananya adalah memperluas budidaya biji minyak dengan menambah produksi sebesar 4 juta hektar dengan berfokus pada penanaman di lahan kosong padi dan kentang, mempromosikan penanaman campur, mempromosikan varietas benih kaya minyak dengan hasil tinggi dan mendiversifikasi pilihan tanaman, menurut laporan tersebut.
India mengimpor sekitar 9 juta ton minyak sawit/tahun, sekitar 56% dari total impor minyak goreng, tetapi skema tersebut bertujuan untuk menguranginya menjadi sekitar 28% selama tujuh tahun ke depan, kata laporan itu. Untuk mengekang impor, fokusnya adalah pada peningkatan produksi tanaman utama seperti sawi, kacang tanah, kedelai, bunga matahari, dan wijen. Pemerintah juga berencana meningkatkan ekstraksi minyak dari sumber sekunder seperti biji kapas, dedak padi, dan minyak pohon. Selain itu, pemerintah akan mendukung pengembangan benih berkualitas tinggi menggunakan teknologi global seperti penyuntingan genom, kata laporan itu. Sebagai bagian dari inisiatif NMEO-OP, kebun benih dan pembibitan kelapa sawit akan didirikan untuk memastikan ketersediaan bibit dalam negeri.
he Indian government has launched two missions on edible oils and palm oil in a bid to ensure food security and end its reliance on imports, Policy Circle reported on 7 October. With a focus on increasing edible oil production from oil palm, the National Mission of Edible Oils – Oil Palm (NMEO-OP) will run from 2024/25 to 2030/31. “Considering the growing domestic demand for edible oils, the staggering deficiency and the cost to the exchequer on account of imports, the urgency of scaling up the oil palm area is of national interest,” a statement on the government website said. “The aim [is] to enhance edible oilseeds production and oils availability in the country by harnessing oil palm area expansion, increasing crude palm oil (CPO) and reducing imports.”
India produced 39M tonnes of oilseeds in 2022/23, but the government planned to increase this to 69.7M tonnes under the national oilseeds scheme, Policy Circle wrote. It also aimed to improve yields from 1,353 kg/ha to 2,112 kg/ha and raise domestic edible oil production from 12.7M tonnes to 20.2M tonnes by 2030-31, the report said. Oilseeds are currently planted on approximately 29M ha of land, but the plan is to expand oilseed cultivation by bringing an additional 4M ha under production by focusing on planting on rice and potato fallow land, promoting intercropping, promoting highyielding oil-rich seed varieties and diversifying crop choices, according to the report.
India imports around 9M tonnes/year of palm oil, around 56% of total edible oil imports, but the schemes aimed to reduce this to around 28% over the next seven years, the report said. To curb imports, the focus would be on boosting the production of key crops such as mustard, groundnut, soyabean, sunflower and sesame and the government also planned to increase oil extraction from secondary sources like cottonseed, rice bran and tree-borne oils. In addition, the government would support the development of high-quality seeds using global technologies such as genome editing, the report said. As part of the NMEO-OP initiative, seed gardens and oil palm nurseries would be set up to ensure the domestic availability of seedlings.
KEPATUHAN EUDR MENJADI TANTANGAN BAGI MINYAK SAWIT THAILAND
i Thailand, rantai pasokan minyak sawit yang tidak konvensional membuat ketertelusuran, dan karenanya sertifikasi EUDR, jauh lebih sulit. Ketertelusuran merupakan bagian penting dari EUDR yang akan datang. Agar suatu komoditas mematuhi peraturan, penjual komoditas yang tercakup dalam EUDR harus dapat melacak komoditas tersebut kembali ke sumbernya. Kepatuhan EUDR dalam minyak sawit, menurut Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), mengalami kemajuan yang signifikan, seperti yang disampaikan kepada Food Navigator dalam wawancara baru-baru ini. Namun, di Thailand, atribut unik dari rantai pasokannya membuat keterlacakan, dan karenanya kepatuhan EUDR, lebih sulit dibandingkan di pasar lain.
Di Thailand, 85% minyak kelapa sawit ditanam oleh petani kecil, menurut RSPO. Lahan di negara tersebut dialokasikan untuk orang-orang yang tinggal di daerah tersebut, bukan perusahaan besar. Karena kebijakan perdagangan bebas pemerintah Thailand, menurut Trin Phongpetra, Komite Eksekutif Thaksin Palm Group, Divisi Dukungan Bisnis dan Presiden Federasi Industri Thailand di provinsi Surat Thani, pabrik pengolahan dapat dibuka dengan mudah dan dengan demikian persaingan antar pabrik menjadi ketat. Dalam model ini, petani kecil bebas menjual ke pabrik mana pun yang mereka inginkan. Setelah diterapkan, model ini akhirnya mengarah pada sistem di mana petani kecil akan mengontrak pemanen profesional untuk memanen kelapa sawit, serta pengumpul buah untuk mengumpulkannya. Dalam sistem ini, banyak petani kelapa sawit sebenarnya tidak menggarap lahan. Karena rantai pasokannya lebih panjang, kelapa sawit kurang segar, dan tingkat ekstraksinya lebih rendah. Di Indonesia dan Malaysia, menurut Phongpetra, tingkat ekstraksinya sekitar 21-23%, sedangkan di Thailand hanya 18-19%.
BAGAIMANA PENANAMAN TUMPANG SARI DAPAT MELINDUNGI PETANI KECIL
Minyak kelapa sawit, seperti semua komoditas, sering kali bergantung pada fluktuasi harga global, karena permintaan konsumen yang berubah-ubah. Bagi petani kecil, hal ini dapat menjadi kendala untuk mempertahankan pendapatan mereka. Pola cuaca yang tidak dapat diprediksi akibat perubahan iklim dapat memperburuk masalah ini. Penanaman tumpang sari dapat menjadi pilihan cadangan, sebagai pengaman jika terjadi kesalahan. Di provinsi Surat Thani, Thailand, FoodNavigator berbicara dengan petani kelapa sawit kecil yang memanfaatkan sistem tumpang sari. Di seluruh perkebunan yang kami lihat, petani kecil menanam daun pandan, tanaman tropis yang sering digunakan di Asia Tenggara untuk hidangan penutup. Tanaman ini tidak dimakan serangga dan malah mengusirnya, menjadikannya sumber pendapatan alternatif yang aman bagi petani, dan juga dapat tumbuh di tempat teduh, artinya dapat ditanam di bawah pohon palem. Daun pandan populer di Thailand, dan tidak diekspor tetapi sebagian besar dijual di dalam negeri. Jadi, harganya tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga global.
BAGAIMANA HAL INI MEMPENGARUHI KEPATUHAN EUDR?
Sangat sedikit kelapa sawit Thailand yang dikirim ke UE, dan minyak kelapa sawit yang dikirim biasanya ada dalam produk makanan. Namun, kelapa sawit Thailand yang diekspor ke sana cenderung tidak mematuhi EUDR karena rantai pasokan di Thailand lebih rumit. Hal ini karena jauh lebih sulit untuk menyimpan data ketertelusuran. Karena para pemanen dan pengumpul buah tidak terikat pada sebidang tanah tertentu, kelapa sawit yang mereka jual ke pabrik penggilingan tidak dapat dilacak kembali ke sebidang tanah yang dinyatakan bebas dari penggundulan hutan. Phongpetra menyarankan, mereka harus diberikan alat yang akan memungkinkan mereka menilai tanah para petani tempat mereka memanen, dan memastikan apakah pohon palem yang mereka panen bebas dari penggundulan hutan.
EUDR COMPLIANCE A CHALLENGE FOR THAI PALM OIL
In Thailand, an unconventional palm oil supply chain makes traceability, and therefore EUDR certification, much more difficult. Traceability is a vital part of the upcoming EUDR. In order for a commodity to be compliant with the regulation, sellers of an EUDR-covered commodity must be able to trace said commodities back to their source. EUDR compliance in palm oil is, according to the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), significantly advanced, as it told FoodNavigator in a recent interview. However, in Thailand, unique attributes of its supply chain make traceability, and therefore EUDR compliance, more difficult than in other markets.
A SMALLHOLDER DOMINATED MARKET
In Thailand, 85% of palm oil is grown by smallholders, according to the RSPO. The land in the country is allocated to those people who live in the area, rather than large companies. Because of the Thai government’s free-trade policy, according to Trin Phongpetra, Executive Committee of Thaksin Palm Group, Business Support Division and President of Federation of Thai Industries in Surat Thani province, processing mills can be opened easily and thus competition between the mills is acute. In this model, smallholders are free to sell to any mills they want. After implementation, this model eventually led to a system where smallholders would contract professional harvesters to harvest the palm, as well as fruit collectors to collect it. In this system, many of the palm cultivators actually do not work the land. Because of the longer supply chain, the palm is less fresh, and the extraction rate is lower. In Indonesia and Malaysia, according to Phongpetra, the extraction rate is roughly 21-23%, whereas in Thailand it is only 18-19%.
HOW INTERCROPPING CAN PROTECT SMALLHOLDERS
Palm oil is, like all commodities, often at the mercy of fluctuating global prices, due to shifting demand from consumers. For smallholders, this can provide an obstacle to maintaining their income. Unpredictable weather patterns due to climate change can exacerbate this problem. Intercropping can provide a fallback option, a failsafe in case things go wrong. In Thailand’s Surat Thani province, FoodNavigator spoke to oil palm smallholders who utilised intercropping. Throughout the farm we saw, smallholders grow pandan leaf, a tropical plant often used in South East Asia for desserts. The crop is not eaten by insects and in fact repels them, making it a secure alternative source of income for farmers, and can also grow in the shade, meaning it can be grown underneath palm trees. Pandan leaf is popular in Thailand, and is not exported but mainly sold domestically. Thus, it is not at the mercy of globally fluctuating prices.
HOW DOES THIS AFFECT EUDR COMPLIANCE?
Very little of Thailand’s palm goes to the EU, and the palm oil that does is usually within food products. However, Thai palm that is exported there is less likely to comply with the EUDR due to the more complex supply chain in Thailand. This is because it is far more difficult to keep traceability data. As the harvesters and fruit collectors are not tied to a specific plot of land, the palm that they sell to the crushing mill cannot be traced back to a piece of land declared free of deforestation. They must, Phongpetra suggested, be given tools which will allow them to assess the land of the cultivators which they’re harvesting on, and ascertain whether the palm that they’re harvesting is deforestation-free.
ua organisasi, Solidaridad dan Sustainable Trade Organisation (IDH), menyatakan komitmen mereka untuk mengidentifikasi solusi yang dapat diterapkan guna mengatasi kesenjangan pelacakan dalam rantai pasok minyak sawit di Nigeria. Bapak Gabriel Fapojuwo, Perwakilan Negara Solidaridad di Nigeria, berbicara pada Sabtu, 30 November 2024, di Abuja dalam sebuah dialog kebijakan tentang Inisiatif Nasional untuk Petani Kelapa Sawit Kecil yang Berkelanjutan dan Cerdas Iklim (NISCOPS). Dialog tersebut bertajuk “Koridor Impor-Ekspor Minyak Sawit Nigeria dan Kesenjangan Pelacakan.” Fapojuwo mengatakan bahwa tujuan dialog tersebut adalah untuk mendorong kolaborasi di antara para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit, memperkuat kerangka regulasi, serta meningkatkan infrastruktur dan teknologi dalam sektor tersebut. “Dialog ini juga berfokus pada penyelarasan praktik di sektor kelapa sawit di Nigeria dengan standar pasar global serta memastikan bahwa petani kecil dan pengolah lokal mendapatkan manfaat secara adil dari pertumbuhan sektor kelapa sawit,” kata Fapojuwo. Ia menjelaskan bahwa program NISCOPS sedang membangun kapasitas petani kelapa sawit kecil untuk menjembatani kesenjangan antara permintaan dan pasokan. “Fase pertama program ini dimulai pada 2019 dan berakhir pada 2023; kami telah memulai fase kedua, dengan target meningkatkan hasil panen dan pendapatan petani kecil melalui pertanian cerdas iklim dan penggunaan lahan yang berkelanjutan. “Kami tidak hanya berhenti pada
peningkatan hasil panen kami juga harus mempersiapkan petani kecil di Nigeria untuk memenuhi persyaratan pasar internasional. Oleh karena itu, kami memfokuskan perhatian pada isu-isu seputar pelacakan produk,” kata Fapojuwo.
Sementara itu, Kenechukwu Onukwube, Manajer Program Kelapa Sawit Solidaridad di Nigeria, mengatakan bahwa sektor minyak sawit Nigeria, yang merupakan salah satu penyumbang penting bagi ekonomi pertaniannya, menghadapi tantangan besar dalam memenuhi standar keberlanjutan dan pelacakan. Onukwube menjelaskan bahwa sektor ini juga menghadapi hambatan terkait regulasi global seperti kebijakan rantai pasok bebas deforestasi dari Uni Eropa (EU). “Meski memiliki potensi besar sebagai produsen minyak sawit utama, kekurangan infrastruktur, adopsi digital yang terbatas, lemahnya penegakan kebijakan, dan rantai pasok yang terfragmentasi menghambat pelacakan yang efektif,” ujar Onukwube.
Menurutnya, tantangan-tantangan tersebut secara tidak proporsional memengaruhi petani kecil dan pengolah lokal, membatasi akses mereka ke pasar ekspor yang menguntungkan sekaligus berisiko tidak memenuhi standar global. “Kolaborasi antara sektor publik dan swasta serta inisiatif peningkatan kapasitas diperlukan untuk mengatasi masalah sistemik ini dan menciptakan sektor minyak sawit yang inklusif dan berkelanjutan,” katanya.
SOLIDARIDAD, OTHERS SYNERGISE ON OIL PALM TRACEABILITY IN NIGERIA
wo organisations, Solidaridad and the Sustainable Trade Organisation (IDH), say they are committed to identifying actionable solutions to the traceability gaps in Nigeria’s palm oil supply chain. Mr Gabriel Fapojuwo, Country Representative, Solidaridad in Nigeria, spoke on Saturday, November 30, 2024, in Abuja at a policy dialogue on the National Initiatives for Sustainable and Climate-Smart Oil Palm Smallholders (NISCOPS). The dialogue was titled “Nigeria Palm Oil Import – Export Corridor and the Traceability Gaps.’’ Fapojuwo said the dialogue was aimed at fostering collaboration among stakeholders in the oil palm sector, strengthening regulatory frameworks and upgrading infrastructure and technology in the oil palm sector. “The dialogue also focuses on the alignment of practices in the oil palm sector in Nigeria with global market standards and ensure that smallholder farmers and local millers benefit equitably from the growth of the oil palm sector.” Fapojuwo said the NISCOPS programme was building the capacity of smallholder oil palm farmers to bridge the demand and supply gaps. “The first phase of the programme started in 2019 ended in 2023 we have started the second phase, and the target is to improve the yield and income of smallholder farmers through climate-smart agriculture and sustainable land use. “We are not stopping at improving the yield; we have to prepare the Nigeria smallholder farmers for the requirements of international markets; hence, we are focusing on issues around traceability of the product,” Fapojuwo said.
Kenechukwu Onukwube, Programme Manager, Oil Palm, Solidaridad in Nigeria, said that the country’s palm oil sector, a vital contributor to its agricultural economy, faced significant challenges in meeting traceability and sustainability standards. Onukwube said that the sector faced challenges in the context of global regulations like the European Union (EU) deforestation-free supply chain policy. He said that, in spite of the country’s potential as a major palm oil producer, infrastructural deficiencies, limited digital adoption, weak policy enforcement and fragmented supply chains hindered effective traceability. According to him, the challenges disproportionately affect smallholder farmers and local millers, limiting their access to lucrative export markets while risking non-compliance with global standards. “Public-private collaboration and capacity-building initiatives are needed to address these systemic issues and create an inclusive, sustainable palm oil sector,’’ he said.
Mr Abraham Ogwu, Senior Programme Manager, IDH, said integrated approach was required to address the nation’s palm oil traceability gaps. “Public and private sector stakeholders must work together to ensure that smallholder farmers and local millers benefit from the opportunities within the global palm oil market. “This policy dialogue underscores the urgency of creating a resilient, inclusive and sustainable palm oil sector in Nigeria,” Abraham said.
BISAKAH PERTANIAN REGENERATIF MEMBUAT MINYAK KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN?
“Uji coba skala besar di Indonesia dan Malaysia menunjukkan bahwa kita bisa mencapai keberlanjutan tanpa merusak produktivitas atau perekonomian lokal.”
Boomingnya kelapa sawit yang terjadi pada akhir tahun 1980-an dan 1990-an di Malaysia dan Indonesia kini telah menggantikan wilayah yang luas dengan keanekaragaman hayati, hutan hujan tropis dan lahan gambut dengan monokultur kelapa sawit: barisan pohon yang teratur, yang biasanya dibiarkan kosong dari vegetasi lain dengan bahan kimia. Degradasi ekosistem ini telah berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca, serta menurunnya jumlah orangutan, bekantan, dan spesies endemik lainnya. Saat ini terdapat sekitar 21 juta hektar perkebunan kelapa sawit di seluruh dunia sekitar 30 kali luas wilayah metropolitan Jakarta.
Menghadapi meningkatnya kekhawatiran publik, industri ini berupaya mengurangi dampak lingkungannya. Komitmen nol-deforestasi dan skema sertifikasi keberlanjutan telah muncul, sementara akademisi telah mengadvokasi strategi dan pedoman pertanian berkelanjutan. Seruan ini dijawab dengan uji coba skala besar yang menguji berbagai pendekatan restoratif dan regeneratif. Yang terpenting, solusi ini harus menyeimbangkan keberlanjutan dengan produktivitas, untuk melindungi ekonomi dan masyarakat setempat. Jadi, bagaimana mereka melakukannya?
Percobaan lima tahun yang dipimpin oleh Universitas Göttingen Jerman menemukan bahwa memperkenalkan “pulau” pohon asli di dalam perkebunan kelapa sawit dapat membantu memulihkan fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati tanpa mengurangi hasil panen. Uji coba Fungsi Ekologis dan Sosial Ekonomi Sistem Transformasi Hutan Hujan Dataran Rendah Tropis (EFForTS) merupakan eksperimen pertama yang menguji konsep pulau pohon di dalam perkebunan kelapa sawit yang sedang berproduksi. Sebelumnya, hanya lahan terdegradasi pascapertanian yang tidak aktif yang digunakan untuk uji coba. Bekerja sama dengan perusahaan kelapa sawit menengah, para peneliti membuat 52 pulau pohon dengan ukuran berbeda di perkebunan seluas 140 hektar di Sumatra, Indonesia. Hasilnya, yang dipublikasikan pada tahun 2023, lebih menjanjikan daripada yang diantisipasi. “Hal ini meningkatkan keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem secara keseluruhan, dan tidak menurunkan hasil kelapa sawit pada tahap ini,” kata Clara Zemp, yang memimpin penelitian tersebut. “Untuk restorasi, ini merupakan strategi yang tepat dan untuk produktivitas, masih kompatibel.” Pendekatan ini juga dapat meningkatkan kesuburan tanah dan membuat produksi kelapa sawit lebih tangguh terhadap perubahan iklim.
Uji coba EFForTS menemukan pulau pohon menawarkan berbagai manfaat ekologis, seperti penyaringan air yang lebih baik, masukan biomassa, dan kesuburan tanah, dibandingkan dengan kelapa sawit yang dikelola secara konvensional. Selama periode lima tahun, tidak ada penurunan produktivitas. Setelah lima hingga tujuh tahun, mungkin ada penurunan marjinal karena pohon-pohon mulai bersaing dengan kelapa sawit di area penanamannya, yang dalam kasus ini mencakup kurang dari 5% dari total perkebunan.
Keanekaragaman Hayati dan Fungsi Ekosistem dalam Pertanian Tropis (BEFTA) merupakan proyek penelitian jangka panjang lainnya yang berbasis di Sumatra. Program ini bekerja sama dengan mitra industri, Golden Agri-Resources, untuk menguji strategi potensial bagi pemulihan keanekaragaman hayati dan ekosistem. “Restorasi adalah salah satu bidang yang masih sangat sedikit diketahui. Memahami cara terbaik untuk melakukannya dalam konteks kelapa sawit merupakan hal yang sangat penting,” kata Edgar Turner, seorang profesor zoologi di Universitas Cambridge yang turut memelopori program BEFTA.
Titik awal yang baik, menurut Turner, adalah memulihkan tepi sungai di lanskap perkebunan kelapa sawit – banyak yang telah hilang akibat penanaman yang melanggar peraturan nasional dan persyaratan keberlanjutan. Pohon kelapa sawit yang ditanam di sepanjang tepi sungai dapat menyebabkan erosi tanah dan meningkatkan kemungkinan limpasan kimia mencemari sungai. Lebih jauh lagi, daerah aliran sungai menyediakan habitat dan konektivitas penting bagi banyak spesies yang terancam punah. Di Sabah di Kalimantan bagian utara Malaysia, WWF-Malaysia bekerja sama dengan perusahaan kelapa sawit milik negara Sawit Kinabalu untuk memulihkan koridor aliran sungai sepanjang empat kilometer. Koridor ini menghubungkan Suaka Hutan Silabukan dengan Suaka Margasatwa Tabin, yang memfasilitasi pergerakan populasi orangutan yang terisolasi yang berjumlah sekitar 50 ekor. “Sistem sungai menjadi titik pengelolaan yang sangat penting bagi perkebunan kelapa sawit,” kata Turner. “Wilayahnya tidak terlalu luas dan tidak terlalu produktif, jadi Anda dapat memulihkannya dan berpotensi memberikan dampak yang cukup besar.”
REGENERASI SELAMA PENANAMAN KEMBALI
Proyek Ekosistem Tepi Sungai dalam Pertanian Tropis, yang merupakan bagian dari program BEFTA, menguji berbagai metode pemulihan terhadap pengelolaan konvensional. Proyek ini telah berjalan selama enam tahun. “Di tempat kami menanam pohon hutan, banyak pohon yang tingginya hanya lebih dari delapan meter, jadi mulai terasa seperti hutan saat Anda memasuki lahan,” kata Turner. “Akan menarik untuk melihat apakah dengan adanya lahanlahan ini, area-area ini dapat terlindungi dari suhu ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim,” imbuhnya. Turner percaya bahwa kebutuhan untuk menumbuhkan ketahanan terhadap gagal panen akibat perubahan iklim harus menjadi pendorong utama dalam mengadopsi strategi agroforestri untuk kelapa sawit: “Secara anekdot, petani sangat khawatir tentang penanaman kembali karena musim hujan tidak dapat diandalkan. Hal-hal seperti itulah yang memiliki dampak nyata pada seberapa baik tanaman ini dapat tumbuh.”
MEMBAWA KEHIDUPAN KE BAGIAN BAWAH HUTAN
Strategi yang ramah tanah juga dapat mengurangi ketergantungan pada masukan kimia. Hal ini telah terjadi pada proyek percontohan vegetasi bawah lantai BEFTA “Kami menemukan bahwa di tempat yang lebih banyak terjadi pertumbuhan kembali [di bagian bawah], Anda memperoleh berbagai manfaat dalam hal keanekaragaman hayati dan proses ekosistem, dan tampaknya hal itu tidak memengaruhi hasil panen sama sekali,” kata Turner. “Kami sangat menyadari bahwa jika Anda mengurangi hasil panen, saat itulah Anda mungkin memperoleh lebih banyak lahan kelapa sawit. Yang Anda inginkan adalah sistem pertanian produktif yang juga lebih berkelanjutan.” Strategi lapisan bawah lahan tersebut telah diadopsi di 400.000 hektar perkebunan milik Golden Agri-Resources, serta 100.000 hektar yang dikelola oleh petani kecil yang bekerja sama. “Kami mencoba mengubah praktik agronomi dan lebih condong ke agroekologi,” kata JeanPierre Caliman, direktur divisi penelitian dan pengembangan kelompok tersebut, SMARTRI. “Penutup tanah adalah kriteria pertama karena hal ini terkait dengan kesehatan tanah.” Pilot tersebut menemukan bahwa menjaga gulma dalam jumlah tertentu meningkatkan keanekaragaman hayati, yang pada gilirannya membantu pengendalian hama, sehingga mengurangi kebutuhan akan pestisida. Caliman menjelaskan
bahwa vegetasi ini juga secara signifikan melindungi tanah dengan mengurangi kehilangan air hingga 10% khususnya saat curah hujan rendah. Caliman melihat penerapan strategi ini semakin meluas dalam industri ini, namun ia mencatat beberapa petani enggan untuk berubah. Dan petani kecil cenderung tidak menyadari pentingnya tutupan vegetasi untuk kesehatan tanah. Sebaliknya, mereka menyemprotkan herbisida di lahan mereka.
MENGINTEGRASIKAN TERNAK
Strategi alternatif untuk mengendalikan gulma adalah dengan menggembalakan ternak di perkebunan. Menurut Badrul Azhar, seorang profesor biologi konservasi dan ekologi satwa liar di Universitas Putra Malaysia, praktik tradisional ini jarang digunakan dalam industri kelapa sawit Malaysia. Azhar memimpin penelitian tentang potensi manfaat peternakan bagi keberlanjutan kelapa sawit, seperti penyerapan karbon, pemulihan lapisan tanah atas, peningkatan keanekaragaman hayati, serta pengurangan penggunaan pupuk dan pestisida. Sebuah studi akademis terkini menemukan bahwa menambahkan ternak ke perkebunan kelapa sawit juga meningkatkan ketahanan pangan melalui produksi daging sapi lokal. Strategi ini tidak populer di kalangan perusahaan swasta yang “hanya ingin fokus pada kelapa sawit”, kata Azhar, seraya mencatat kekhawatiran bahwa ternak akan memadatkan tanah, atau menyebarkan penyakit jamur yang menyerang tanaman kelapa sawit. Ia mengatakan bahwa ini adalah masalah yang dapat dicegah dengan manajemen yang tepat. Sawit Kinabalu adalah salah satu dari sedikit produsen di Malaysia yang telah menguji coba metode ini di perkebunannya di Sabah. Penggembalaan ternak kini dilakukan di lahan seluas 30.000 hektar, setengah dari total lahan perkebunannya. “Hal itu harus dilakukan secara sistematis,” kata Azid Kabul, dokter hewan produksi yang memimpin pelaksanaan dan pengelolaan uji coba Sawit Kinabalu hingga tahun 2022. Misalnya, ternak dipindahkan menggunakan rotasi 90-100 hari untuk mengelola penggembalaan. Perpindahan ini dikoordinasikan dengan manajemen perkebunan secara keseluruhan, untuk memastikannya terhindar dari upaya panen atau penanaman kembali. “Kami telah berhasil membantu perkebunan mengurangi penggunaan herbisida kimia,” imbuh Kabul. “Daripada menyemprot secara menyeluruh, mereka cukup menyemprot di beberapa tempat; dari empat hingga lima kali setahun, mereka dapat menguranginya menjadi dua kali.”
MENJADIKAN KEBERLANJUTAN SEBAGAI RUTINITAS
Azhar yakin bahwa perhatian yang lebih besar harus diberikan untuk mengatasi penggunaan bahan kimia pertanian secara berlebihan dan, secara umum, pada pengelolaan perkebunan. Ia berpendapat bahwa praktik terbaik keberlanjutan saat ini terlalu terbatas, dengan fokus pada konservasi dan perlindungan bidang tanah tertentu. “Tidak semua perkebunan memiliki fitur konservasi ini, jadi saat ini belum cukup,” kata Azhar. “Transformasi yang sebenarnya perlu melibatkan praktik agronomi rutin, yang merupakan kelemahan manajemen.” Meskipun bukti-bukti yang berkembang mengenai strategi keberlanjutan yang efektif, penerapannya di seluruh industri yang lebih luas masih menjadi tantangan. Komunitas ilmiah berbagi temuannya melalui jaringan, konferensi, dan beberapa liputan media, tetapi Clara Zemp mencatat rasa frustrasi: “Tidak banyak minat untuk membangun pulau-pulau kecil dari industri, setidaknya di Indonesia.” “Ini menguntungkan semua pihak,” imbuhnya. “Saya tidak melihat alasan mengapa industri tidak akan melakukannya.” Studi EFForTS menyarankan berbagi pengetahuan dapat dipercepat dengan menggabungkan strategi agroforestri (seperti membangun pulau pohon) ke dalam skema sertifikasi, misalnya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Untuk mengakomodasi evolusi penelitian ini, Edgar Turner menyarankan untuk menambahkan lebih banyak detail pada kerangka prinsip dan kriteria RSPO tentang pengelolaan lapisan bawah dan tepi sungai. RSPO menyampaikan kepada Dialogue Earth bahwa mereka menyadari peluang bagi pengembangan penelitian ini untuk dimasukkan dalam pedoman praktik terbaik. Revisi terbaru terhadap kerangka prinsip dan kriterianya akan diselesaikan pada akhir tahun ini.
MEMBANGUN KERANGKA KERJA REGENERATIF
Organisasi lain yang mempromosikan praktik berkelanjutan dalam minyak kelapa sawit mengambil pendekatan yang berbeda. “Kartu skor” kopi regeneratif Rainforest Alliance , yang melengkapi program sertifikasi pertanian berkelanjutannya , kini telah diperluas ke minyak kelapa sawit. Penilaian tersebut mempertimbangkan tanah, keanekaragaman hayati, air, ketahanan tanaman, dan mata pencaharian. Keberlanjutan juga dapat ditingkatkan dengan mengambil pendekatan bentang alam, daripada berfokus pada lokasi-lokasi tertentu. Ini adalah salah satu prinsip utama Mekanisme Restorasi Hutan dan Bentang Alam (FLRM) PBB . WWF-Malaysia telah mengadopsi pendekatan terpadu ini dalam memulihkan koridor tepi sungai antara cagar alam Tabin dan Silabukan di Sabah. LSM tersebut bekerja sama dengan tiga perusahaan kelapa sawit (KLK Malaysia dan Sabah Softwoods milik negara serta Sawit Kinabalu), serta menyelaraskan pekerjaan konservasinya dengan strategi konservasi negara bagian. “Kami mencoba menunjukkan di Sabah bahwa pemulihan ekosistem adalah bagian dari pendekatan yang lebih luas: ini tentang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk yurisdiksi yang melibatkan pemerintah,” kata Faisal Mohd Noor, yang memimpin proyek WWF-Malaysia ini.
LSM tersebut tengah mengembangkan dokumen panduan untuk pemulihan ekosistem bersama Departemen Kehutanan Sabah. Selain menyediakan panduan bagi para praktisi di area pemulihan berprioritas tinggi, LSM tersebut juga akan membangun jaringan penting bagi semua orang yang berkontribusi terhadap upaya ini. “Perlu ada koordinasi terkait apa yang dilakukan pihak lain, yang cenderung bersifat silo,” kata Noor. Sektor kelapa sawit telah terpukul keras oleh masalah lingkungan. Turner yakin bahwa sektor ini lebih maju daripada sebagian besar tanaman pertanian tropis lainnya “dalam hal memikirkan keberlanjutan dan memiliki kerangka kerja untuk mewujudkannya”. “Kita perlu lebih memikirkan bagaimana kita dapat memanfaatkan layanan ekosistem dan spesies yang ditemukan dalam sistem pertanian,” imbuhnya. “Banyak orang yang memikirkan hal itu sekarang.”
CAN REGENERATIVE AGRICULTURE MAKE PALM OIL SUSTAINABLE?
“Large
trials in Indonesia and Malaysia are showing it is possible to become sustainable without damaging productivity or local economies”
The palm oil boom that took hold in the late 1980s and 1990s in Malaysia and Indonesia has now replaced vast areas of biodiverse, tropical rainforest and peatland with oil palm monocultures: regimented rows of trees, usually kept bare of other vegetation with chemicals. This degradation of ecosystems has significantly contributed to greenhouse gas emissions, and the decline of orangutans, proboscis monkeys and other endemic species. There are now about 21 million hectares of oil palm plantations around the world approximately 30 times the size of Jakarta’s metropolitan area.
Facing growing public concern, the industry is trying to reduce its environmental impact. Zero-deforestation commitments and sustainability certification schemes have emerged, while academics have been advocating for sustainable farming strategies and guidelines. This call is being answered with pioneering, large-scale trials that are testing various restorative and regenerative approaches. Crucially, these solutions must balance sustainability with productivity, to protect local economies and communities. So, how are they doing it?
ISLAND EFFORTS
A five-year experiment led by Germany’s University of Göttingen has found that introducing “islands” of native trees within oil palm plantations can help to restore ecosystem functions and biodiversity without decreasing crop yields. The Ecological and Socioeconomic Functions of Tropical Lowland Rainforest Transformation Systems (EFForTS) trial was the first experiment to test the tree islands concept within an actively producing oil palm plantation. Previously, only inactive, post-agricultural degraded land had been used for trials. Working with a mid-sized oil palm company, researchers set up 52 tree islands of different sizes across a 140-hectare plantation in Sumatra, Indonesia. The results, published in 2023, were more promising than anticipated. “It increased biodiversity and ecosystem functioning overall, and it doesn’t decrease oil palm yield at this stage,” says Clara Zemp, who led the study. “For restoration it’s a suitable strategy and for productivity it’s still compatible.” This approach could also promote soil fertility and make oil palm production more resilient to climate change.
The Efforts trial found tree islands offer multiple ecological benefits, such as better water filtration, biomass input and soil fertility, compared to conventionally managed oil palm. Over a five-year period, there was no loss in productivity. After five to seven years, there could be marginal
declines as the trees start competing with the oil palms in the area they were planted, which in this case covered less than 5% of the total plantation.
MARGINS
The Biodiversity and Ecosystem Function in Tropical Agriculture (BEFTA) programme is another long-term research project based in Sumatra. It collaborates with an industry partner, Golden Agri-Resources, to test potential strategies for biodiversity and ecosystem restoration. “Restoration is one of those areas so little is known about it understanding how best to do that in an oil palm context is quite important,” says Edgar Turner, a University of Cambridge zoology professor who co-pioneered the BEFTA programme.
A good starting point, Turner suggests, is restoring river margins in oil palm landscapes – many have been lost through planting that violated national regulations and sustainability requirements. These planted oil palm trees along river margins can cause soil erosion and increase the likelihood of chemical run-offs polluting rivers. Furthermore, riparian zones provide important habitat and connectivity for many endangered species. In Sabah in northern Malaysian Borneo, WWF-Malaysia is collaborating with the state-owned oil palm company Sawit Kinabalu to restore a four-kilometre riparian corridor. It connects Silabukan Forest Reserve to the Tabin Wildlife Reserve, facilitating movement of an isolated population of approximately 50 orangutans. “River systems are coming out as being a really key management point for oil palm plantations,” says Turner. “They’re not a huge area and they’re not the most productive, so you can restore them and potentially you can have quite a big impact.”
The Riparian Ecosystem in Tropical Agriculture project, which is part of the BEFTA programme, tests different restoration methods against conventional management. It has been running for six years. “Where we planted forest trees, a lot of the trees are just over eight metres tall, so beginning to feel like forest when you go into the plots,” says Turner. “It will be interesting to see if potentially having these plots could mean these areas are buffered from some of the extreme temperatures associated with climate change,” he adds. Turner believes the need to cultivate resilience to crop failure from climate change should be a key driver in adopting agroforestry strategies for oil palm: “Anecdotally, growers are very worried about replanting because of the unreliability of rainy seasons. It’s things like that which have a really tangible effect on how well these crops can be grown.”
Soil-friendly strategies may also diminish reliance on chemical inputs. This has been the case at a BEFTA understory vegetation pilot project. “We found that where you have more re-growth [in the understory] you get all kinds of benefits in terms of biodiversity and ecosystem processes, and it doesn’t seem to affect yield at all,” says Turner. “We’re very aware that if you reduce yield, that’s when you might get more areas of oil palm. What you want are productive agricultural systems that are also more sustainable.” The understory strategy has since been adopted across 400,000 hectares of Golden AgriResources owned plantations, as well as the 100,000 hectares managed by collaborating smallholders. “We are trying to transform agronomy practices and go more towards agroecology,” says Jean-Pierre Caliman, director of the group’s research and development arm, SMARTRI. “Soil cover is the first criteria because it is linked with the health of the soil.” The pilot found that keeping some level of weeds increases biodiversity, which in turn helps with pest control, reducing the need for pesticides. Caliman explains this vegetation also significantly protects the soil by reducing water loss by 10% particularly welcome during periods of lower rainfall. Caliman is seeing wider adoption of this strategy within the industry, yet he notes some growers are reluctant to change. And smallholders tend to be simply unaware of the importance of vegetation cover for soil health. Instead, they spray herbicide across their land.
Azhar believes more attention should be paid to tackling the overuse of agrochemicals and, more generally, to plantation management. He thinks sustainability best practice is currently too limited, with its focus on conserving and protecting particular patches of land. “Not all estates have these conservation features, so it’s not sufficient at the moment,” says Azhar. “The real transformation needs to involve the routine agronomy practices, which is where the weak management is.” Despite the growing evidence of effective sustainability strategies, scaling them across the wider industry remains a challenge. The scientific community shares its findings through its networks, conferences, and some media coverage, but Clara Zemp notes frustration: “There has not been so much interest in establishing tree islands from the industry, at least in Indonesia.” “It’s a winwin,” she adds. “I do not see any reason why the industry would not do it.” The EFForTS study suggests knowledgesharing could be accelerated by incorporating agroforestry strategies (like establishing tree islands) into certification schemes, for example the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). To accommodate the evolution of this research, Edgar Turner suggests adding more detail to the RSPO’s principles and criteria framework on understory and river margins management. The RSPO told Dialogue Earth it recognises the opportunity for these research developments to be included in best practice guidelines. The latest revisions to its principles and criteria framework are due to be finalised at the end of this year.
BUILDING A REGEERATIVE FRAMEWORK
Other organisations promoting sustainable practices in palm oil are taking different approaches. The Rainforest Alliance’s regenerative coffee “scorecard”, which supplements its sustainable agriculture certification programme, has now been extended to palm oil. The assessment considers soil, biodiversity, water, crop resiliency and livelihoods. Sustainability can also be improved by taking a landscape approach, rather than focusing on individual sites. This is one of the main principles of the UN’s Forest and Landscape Restoration Mechanism (FLRM). WWF-Malaysia has adopted this integrated approach in restoring the riparian corridor between the Tabin and Silabukan reserves in Sabah. The NGO is collaborating with three oil palm companies (KLK Malaysia and the state-owned Sabah Softwoods and Sawit Kinabalu), as well as aligning its conservation work with the state’s conservation strategy. “We are trying to show in Sabah that ecosystem restoration is part of a wider approach: it’s about engaging all stakeholders, including the jurisdiction that involves the government,” says Faisal Mohd Noor, who leads this WWF-Malaysia project.
The NGO is developing a guidance document for ecosystem restoration with the Sabah Forestry Department. Along with providing a guide to practitioners on high-priority restoration areas, it will establish an essential network for everybody who is contributing to these efforts. “There needs to be coordination around what others are doing, which tends to be in silos,” says Noor. The oil palm sector has been hit hard by environmental concerns. Turner believes it is therefore further ahead than most other tropical agricultural crops “in terms of thinking about sustainability and having a framework to put that in” “We need to be thinking more about how we can harness ecosystem services and species found in agricultural systems,” he adds. “Lots of people are thinking about that now.”
4 HAL YANG BISA NIGERIA TIRU
DARI NEGARA PENGHASIL MINYAK KELAPA SAWIT TERKEMUKA
Nigeria memiliki salah satu wilayah lahan terluas yang didedikasikan untuk budidaya kelapa sawit di dunia, tetapi masih tertinggal dalam produksi minyak sawit. Menurut laporan Vestance yang berjudul, ‘Reclaiming Lost Glory: Nigeria’s Palm Oil Renaissance,’ Nigeria dulunya merupakan produsen utama minyak sawit antara tahun 1950-an dan 1960an, dengan negara bagian seperti Calabar, dan Rivers State menjadi beberapa distributor utama. Akan tetapi, sementara negara lain seperti Malaysia dan Indonesia telah menemukan cara menanam tanaman itu dan kini menjadi eksportir utama, peringkat Nigeria justru turun. “Industri minyak kelapa sawit Nigeria berada di persimpangan jalan, karena masih dalam tahap awal siklus industri, dengan kerentanan tinggi terhadap guncangan eksternal dan prospek keberlanjutan yang mungkin menghalangi rencana ekspansif untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi,” kata laporan itu. “Namun, Nigeria dapat memposisikan dirinya sebagai pemain yang bertanggung jawab dan kompetitif di pasar minyak sawit global dengan memanfaatkan peluang yang muncul (seperti meningkatnya permintaan dan potensi pertumbuhan yang lambat dengan pesaing nasional), mengatasi masalah keberlanjutan, dan memprioritaskan nilai tambah,” tambahnya. BusinessDay telah mengidentifikasi empat hal yang dapat dipelajari Nigeria dari kisah sukses Malaysia dan Indonesia yang merupakan produsen minyak sawit teratas dan berkembang pesat dalam ekspornya.
PEMBENTUKAN SISTEM PERKEBUNAN
Laporan Vestance mencatat bahwa pemerintah Indonesia dan Malaysia memainkan peran penting dalam meningkatkan produksi minyak sawit di negara masing-masing dengan membangun perkebunan besar milik negara. Organisasi-organisasi pusat mendorong upaya ini Perusahaan N’égara Perkebunan (PNP) di Indonesia dan Federal Land Development Authority (FELDA) di Malaysia. “Entitas-entitas ini menyediakan lahan, pembiayaan, dan pelatihan bagi petani kecil, mengorganisasikan mereka ke dalam kelompok-kelompok di sekitar perkebunan besar yang dikelola secara terpusat,” kata laporan itu. Pendekatan pengelompokan ini mengintegrasikan pertanian plasma petani kecil dengan perkebunan yang lebih besar, menciptakan skala ekonomi, meningkatkan akses ke sumber daya, dan memastikan akses pasar. Agar negara dengan penduduk terbanyak di Afrika ini dapat mencapai keberhasilan serupa, mereka harus memprioritaskan pertanian klaster di antara penduduk petani.
Pertumbuhan produksi minyak sawit di negara-negara terkemuka terkait erat dengan kebijakan perdagangan dan reformasi yang efektif yang mendorong investasi dan pembangunan. Laporan Vestance mengutip Guatemala sebagai contoh negara yang menggunakan varietas minyak kelapa sawit unggul, yang dikembangkan melalui penelitian dan menerapkan proses pemilihan bibit yang ketat untuk memastikan produktivitas optimal. Ditekankan bahwa fokus pada kualitas bibit sangat krusial dalam menentukan keberhasilan, hasil, dan keberlanjutan perkebunan.
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Temuan dari BusinessDay mengungkapkan bahwa Nigeria telah menghabiskan N266 miliar untuk lembaga penelitian pertanian dalam lima tahun terakhir, namun hasil para petani tetap rendah karena pemanfaatan hasil penelitian yang buruk. Laporan Vestance menyebut Guatemala sebagai contoh negara yang menggunakan varietas kelapa sawit yang telah ditingkatkan melalui penelitian dan menerapkan proses seleksi bibit secara ketat untuk memastikan produktivitas yang optimal. Laporan tersebut menekankan bahwa fokus pada kualitas bibit ini sangat penting untuk menentukan keberhasilan, hasil, dan keberlanjutan perkebunan.
PEMBENTUKAN OTORITAS
PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT
NASIONAL
Laporan Vestance juga mencatat bahwa pembentukan badan khusus untuk mengawasi dan mengatur industri dapat mengatasi masalah seperti penyelundupan, pemalsuan, dan pengendalian kualitas. Laporan tersebut menekankan bahwa, “Otoritas ini juga dapat mempromosikan praktik yang berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.”
4 THINGS NIGERIA CAN LEARN FROM TOP PALM OIL COUNTRIES
Nigeria has one of the largest land areas dedicated to oil palm cultivation globally, but it still lags in palm oil production. According to a report by Vestance entitled, ‘Reclaiming Lost Glory Nigeria’s Palm Oil Renaissance,’ Nigeria used to be a major producer of palm oil between the 1950s and 1960s, with states like Calabar, and Rivers State being some of the top distributors. However, while other countries like Malaysia and Indonesia have found a way to grow the plant, becoming major exporters today, Nigeria has fallen in rank. “The Nigerian oil palm industry stands at a crossroads, as it remains at the embryonic stage of an industry cycle, with high susceptibility to external shocks and a sustainability outlook that might deter expansionary plans for increased growth and production,” the report said. “However, Nigeria can position itself as a responsible and competitive player in the global palm oil market by capitalising on emerging opportunities (like increasing demand and potential slow growth with national competitors), addressing sustainability concerns, and prioritising value addition,” it added. BusinessDay has identified four things Nigeria can learn from the success stories of Malaysia and Indonesia which are top palm oil producers and flourishing in its export.
ESTABLISHMENT OF ESTATE PLANTATION SYSTEMS
The Vestance report notes that the governments of Indonesia and Malaysia played a crucial role in boosting palm oil production in their respective countries by establishing large state-owned estate plantations. Central organisations drove these efforts Perusahaan N’égara Perkebunan (PNP) in Indonesia and the Federal Land Development Authority (FELDA) in Malaysia. “These entities provided land, financing, and training to smallholder farmers, organising them into clusters around large, centrally managed estates,” the report said. This clustering approach integrated smallholder plasma farms with larger estates, creating economies of scale, improving access to resources, and ensuring market access. For Africa’s most populous nation to achieve similar success, it should prioritise cluster farming among the farming population.
TRADE POLICIES AND MARKET REFORMS
Growth in palm oil production in leading countries is closely tied to effective trade policies and reforms that promote investment and development. The Vestance report says that substantial tax incentives such as import duty exemptions on machinery, reduced tax rates on palm oil profits, and subsidies on fertilisers and pesticides, coupled with deregulated land acquisition in Indonesia, made the palm oil sector highly attractive for foreign investment. These policies, introduced in the mid-1970s to early 1980s, attracted significant capital from the World Bank and the Asian Development Bank, dramatically increasing production and expanding cultivated land. This should be copied by Nigeria.
RESEARCH AND DEVELOPMENT
ESTABLISHMENT OF A NATIONAL PALM OIL DEVELOPMENT AUTHORITY
Findings by BusinessDay reveal that Nigeria has spent N266 billion on agricultural research institutes in the last five years, yet farmers’ output remains low due to poor utilisation of research results. The Vestance report cites Guatemala as an example of a country which employs improved palm oil varieties, developed through research and implements rigorous seedling selection processes to ensure optimal productivity. It stresses that this focus on seedling quality is crucial for determining the success, yield, and sustainability of plantations. The Vestance report further notes that creating a dedicated body to oversee and regulate the industry can address issues such as smuggling, counterfeiting, and quality control. It emphasised that, “This authority could also promote sustainable and environmentally responsible practices.”
BISAKAH KECERDASAN BUATAN MENGUBAH MASA DEPAN
MINYAK SAWIT DI KOLOMBIA?
Para peneliti di Kolombia menggunakan model pembelajaran mendalam untuk memprediksi kematangan buah kelapa sawit, membantu meningkatkan efisiensi. Kolombia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di Amerika dan menempati peringkat keempat secara keseluruhan. Kelapa sawit dikaitkan dengan penggundulan hutan di seluruh dunia, tetapi di Kolombia banyak upaya telah dilakukan untuk memastikan bahwa perkebunan kelapa sawit bebas dari penggundulan hutan dengan perjanjian nol penggundulan hutan (ZDA) yang ditandatangani pada tahun 2017. Isis Bonet Cruz , seorang peneliti dan profesor Kuba di La Universidad EIA di Antioquia, Kolombia, mengatakan bahwa proyeknya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan yang ada tanpa perlu memperluas ke area baru, membantu melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati. “Dalam proyek ini, foto-foto dikumpulkan dari video area pemrosesan, buah-buahan diklasifikasikan oleh para ahli, dan model pembelajaran mendalam dilatih untuk mengklasifikasikan buah-buahan secara real time, untuk menentukan tingkat kematangan dan kualitasnya,” katanya, seraya menambahkan bahwa model tersebut mengklasifikasikan buah-buahan menjadi buah yang masih hijau, matang, dan terlalu matang. Bonet menjelaskan bahwa model ini digunakan di area produksi baik untuk mengklasifikasikan buah yang dipanen dan memiliki statistik panen akhir, dan untuk dapat mengontrol kualitas buah dari pemasok lain, sehingga memastikan efisiensi yang lebih besar dalam produksi minyak. “Dampak terbesar kemungkinan besar akan terlihat ketika diperluas ke area panen, karena dengan memprediksi waktu panen yang optimal secara lebih akurat, penggunaan air dan pupuk yang tidak perlu dapat dikurangi, karena sumber daya hanya akan digunakan ketika benar-benar diperlukan,” katanya. Proyek ini merupakan kolaborasi internasional yang didukung oleh program Distinguished International Associates di Royal Academy of Engineering, Inggris.
Bonet lahir di Kuba, tempat ia menyelesaikan semua studinya, dari sarjana hingga doktor, di Universidad Central de las Villas, Santa Clara, Kuba dan kemudian bekerja di sana sebagai profesor sebelum pindah ke Kolombia pada tahun 2012. “Sejak lulus saya telah melakukan penelitian di bidang Kecerdasan Buatan dan saya selalu menyukai penelitian dan menemukan berbagai hal,” ungkapnya. “Saya rasa bekerja di universitas sejak lulus juga memungkinkan saya untuk memperkuat penelitian saya.” Bonet menjelaskan bahwa negara-negara di belahan bumi selatan terus menghadapi dampak paling parah dari perubahan iklim, seperti peristiwa cuaca ekstrem dan penyakit terkait. “Di wilayah Selatan, solusi yang dikembangkan di wilayah Utara sering kali tidak dapat dipindahtangankan, karena kebutuhan dan tantangan yang dihadapi sangat berbeda dalam hal kesehatan, pertanian, dan perubahan iklim,” katanya. “Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah lokal, model dan solusi yang disesuaikan harus dikembangkan.”
Bonet menjelaskan bahwa perkembangan terbaik dapat dicapai melalui kolaborasi internasional, yang dapat mendorong pembagian pengetahuan dan sumber daya, yang dapat menghasilkan kemajuan signifikan dalam sains dan teknologi. “Kepemimpinan negara-negara berkembang dalam menanggulangi perubahan iklim dan berbagai tantangan lainnya menawarkan berbagai pengalaman dan solusi berharga yang dapat diadopsi secara global, serta mendorong terjadinya pertukaran pengetahuan yang menguntungkan semua kawasan,” ungkapnya.
BUAH-BUAHAN LAIN DARI POHON PALEM
Peneliti lain yang bekerja dengan teman-teman di Kolombia adalah Alberto Gomez Mejia , seorang ahli botani dan pendiri Kebun Raya Quindio. Gomez menjelaskan bahwa Kolombia memiliki sepersepuluh spesies palem di dunia dan penting untuk melestarikan dua spesies pangan utama: palem Taparo (Attalea amygdalina) dan Chontaduro (Bactris gasipaes). Kolombia memiliki jumlah pohon palem tertinggi ketiga di negara mana pun, dengan sekitar 260 spesies tetapi 20% spesies Kolombia berada dalam bahaya kepunahan yang serius. Di antaranya, Taparo, yang bijinya digunakan untuk membuat manisan, dan Chontaduro atau palem persik (buah yang dimakan dengan madu atau campuran lemon dan garam) penting secara budaya dan ekonomi, terutama di wilayah tengah dan selatan negara tersebut. Gomez menjelaskan bahwa timnya bertujuan untuk mendirikan bank gen guna melindungi keanekaragaman genetik pohon palem, memperkenalkan kembali beberapa contoh ke daerah liar, dan mengembangkan skema untuk perkebunan komersial berkelanjutan. “Kami memiliki koleksi palem terbesar di Kolombia,” katanya, “Dengan sumber daya baru, kami akan mengolah dua jenis palem pangan asli yang terancam punah.”
CAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE HELP PALM OIL IN COLOMBIA?
Researchers in Colombia are using deep learning models to predict the ripeness of oil palm fruit, helping to increase efficiency. Colombia is the largest palm oil producer in the Americas and ranks fourth overall. Oil palm is associated worldwide with deforestation, but in Colombia a lot of work has been done to ensure that palm plantations are free of deforestation with a zero deforestation agreement (ZDA) signed in 2017. Isis Bonet Cruz, a Cuban researcher and professor at the La Universidad EIA in Antioquia, Colombia, says that her project aims to lift the productivity of existing plantations without the need to expand into new areas, helping to conserve forests and biodiversity. “In the project, photos were collected from videos of the processing area, the fruits were classified by experts and a deep learning model was trained to classify the fruits in real time, determining their ripeness and quality,” she says, adding that the model classifies the fruits into green, ripe and overripe. Bonet explains that this model is used in the production area both to be able to classify the harvested fruits and have final harvest statistics, and to be able to control the quality of fruits from other suppliers, ensuring greater efficiency in oil production. “The greatest impact will probably be seen when it is extended to the harvesting area, because by predicting more accurately the optimal time for harvesting, the unnecessary use of water and fertilizers can be reduced, since resources will be applied only when they are really necessary,” she says. Bonet explains that this model can be easily extended to the harvesting area, where videos and photos of the fruit still on the tree should be collected, so that field workers can use their cell phones to help them with the harvesting process. This project is an international collaboration supported by the Distinguished International Associates program at the UK’s Royal Academy of Engineering.
Bonet was born in Cuba, where she did all her studies, from undergraduate to doctorate, at the Universidad Central de las Villas, Santa Clara, Cuba and went on to work there as a professor before moving to Colombia in 2012. “Since I graduated I have been doing research in the area of Artificial Intelligence and I have always liked research, discovering things,” she says, “I think that working at a university since I graduated has also made it possible for me to strengthen my research.” Bonet explains that the countries of the Global South continue to face the most severe effects of climate change, such as extreme weather events and related diseases. “In the South, solutions developed in the North are often not transferable, because the needs and challenges differ greatly in terms of health, agriculture and climate change,” she says, “Therefore, for local problems, adapted models and solutions must be developed.” Bonet explains that the best developments can be achieved with international collaboration, which can encourage the sharing of knowledge and resources, which can lead to significant advances in science and technology. “The Global South’s leadership in addressing climate change and other challenges offers valuable experiences and solutions that can be adopted globally, fostering an exchange of knowledge that benefits all regions,” she says.
reseacher working with pal,s in Colombia is Alberto Gomez Mejia, a botanist and founder of the Quindio Botanical Garden. Gomez explains that Colombia has a tenth of the world’s palm species and that it is key to preserve two key food species: Taparo palm (Attalea amygdalina) and Chontaduro (Bactris gasipaes). Colombia has the third highest number of palms of any country, with around 260 species but 20% of Colombian species are in serious danger of extinction. Of these Taparo, whose seeds are used to make sweets and Chontaduro or peach palm (a fruit eaten with either honey or a lemon and salt mix) are culturally and economically important, especially in the central and southern regions of the country. Gomez explains that his team aims to establish a gene bank to protect the palms’ genetic diversity, reintroduce some examples into wild areas and develop schemes for sustainable commercial plantations. “We have the largest collection of palms in Colombia,” he says, “With new resources, we are going to work with two native food palms that are in danger of extinction.”
Are you thinking about digitalization but don’t know where to start? Our comprehensive portfolio and consultative approach runs from power management to palletizing, and from automation to digitalization. So whether you need to start collecting data or analyze complete processes, we have the answer. Discover the possibilities at new.abb.com/food-beverage