Majalah Baruga| Edisi 23 Tahun 2015

Page 1

Edisi 23 | 2015

satu mata hati satu kata hati

frekuensi publik milik siapa?


2 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


siti Rafika Pemimpin Redaksi

Assalamualaium Wr.WB Segala puji terhaturkan atas segala ridho dan karunia dari Sang Pencipta Menulis adalah bicara, berkata, dan menyapa dalam bentuk yang lain. Cara untuk menyentuh seseorang tanpa batas ruang dan waktu. Belajar untuk menuliskan setiap peristiwa yang terjadi berarti belajar untuk menghayati segala momen yang terjadi di sekitar kita. Dalam penghayatannya, setiap inci gerak kehidupan ditumpahkan dengan jujur dan apa adanya. Pada edisi kali ini, kami menghadirkan atmosfer media yang begitu kental. Arus informasi yang diciptakan media kurang lebih mengaburkan peran mereka yang sesungguhnya. Belum lagi dengan kehadiran media sosial sebagai salah satu media informasi yang populer saat ini. Akhirnya, masyarakat dituntut untuk mampu menyaring segala informasi yang ada. Akhir kata, terima kasih yang sedalam-dalamnya kami ucapkan kepada seluruh warga KOSMIK yang selalu menjadi saudara yang selalu mendukung untuk terus belajar dan berkarya. Semoga halaman demi halaman dari majalah ini mampu memberikan manfaat bagi kita semua. Salam Biru Merah

frekuensi publik milik siapa?

Penanggung Jawab Amal Darmawan

Fotografer KIFO KOSMIK

Pemimpin Redaksi Siti Rafika

Desain Grafis Fachrul Reza

Redaktur Pelaksana Ainun Jariah Yusuf Sekretaris Redaksi Andi Chairiza Bahrun

Pembantu Umum Seluruh warga KOSMIK yang terlibat langsung maupun tidak langsung.

Editor Rahimah Muslihah Koordinator Liputan Tristania Indah W. Reporter Andini Khaerunnisa Wulan Dwioyanti R. Fachrul Rozy Jabal Noor Muflisha Setjafajrini Rosi Anindiastuti Muh. Darwis Muh. Firdaus Ayu Indah Trisusilowati Rizki Rivan Nur Yani Alifaty Redaktur Foto Lia Lestari Lobo Design Cover Tristania Indah Afiful Fanani

Penerbit

Alamat Redaksi Gedung FIS IV Lantai 2 Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unhas, Makassar Facebook BarugaMagz KOSMIK Unhas

3 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


contents Edisi 23 | 2015

6 Laporan Utama Frekuensi publik milik siapa?

27 Technoside Ponsel Pintar, Kon sumen Pintar

14

28 Beside Us Menolak #Makassarti dakaman

Liputan Khusus Sarjana hasil pabrik

20 Opini Sayfullah AF : Media sosial, agen baru penye baran informasi. Iqbal Tawakkal : Mema hami Kembali Jurnalis tik sesuai dengan Era Perkembangan Komu nikasi 24 Komunitas Solidaritas Anti Peng gusuran (SAP) : Bersatu dan Lawan Penggusu ran 4 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

30 Resensi Film Tolong... 32 Kaleidoskop 34

Resensi Buku Mengenal sang Maha Guru Shankara


5 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Laporan Utama

frekuensi publik milik siapa? By Ainun Jariah Yusuf, Wulan Dwiyanti R, Fachrul Rozy, Jabal Noor, Muflisha Setyafajrini, Ilustrasi Afiful Fanani dan Tristania Indah

Ingat acara pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang ditayangkan langsung oleh RCTI dan Trans TV? Bagaimana dengan acara persalinan Ashanty? Sepertinya ini bukan kali pertama hajat pribadi dijadikan konsumsi publik. Jika menelusuri kembali ke belakang, acara pernikahan pasangan Anang-Ashanty juga disiarkan oleh RCTI ke publik pada tahun 2012. Edhi Baskoro Yudhoyono dan Siti Rubi Aliya Rajasa yang notabene-nya adalah anak pejabat bahkan mendapatkan perlakuan yang sama di dua statiun televisi sekaligus. Sctv pada tahun yang sama juga menyiarkan acara pernikahan Andhika Pratama-Ussy Sulistyawati. Di tahun 2010, layar ANTV dihiasai oleh wajah pasangan Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie. Televisi seakan mengalami pengalihan fungsi menjadi usaha dokumentasi untuk kalangan papan atas. Beberapa pihak menyatakan keberatan terhadap model-model tayangan di atas, karena kehidupan pribadi selebritas yang kemudian dijadikan komoditas. Pro-kontra soal tayangan televisi lumrah saja terjadi, penonton boleh saja suka atau tidak dengan program acara. ada juga pihak yang kemudian mendukungnya dengan alasan program acara tersebut “diminati oleh publik”. Bahkan ada yang berargumen “kan menghibur, membagi kebahagiaan” atau “tayangan mendidik karena menampilkan kebudayaan jawa”.


7 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Laporan Utama

Media dan Selebriti

M

enurut Simon Chopper, jika melihat fenomena televisi sekarang hak yang tidak terbayangkan menjadi komunitas, jadi komunitas. Identitas kini telah menjadi komuditas baru di layar kaca. Dalam kemunculan selebritas yang dibentuk bukan hanya ketenaran, tapi juga karakter yang disematkan. Karakter inilah yang kemudian disebut sebagai citra selebritas. Ruang pribadi dari selebriti kemudian dirajut sedemikian rupa untuk mendukung pemasaran selebriti tersebut. Publik mengkonsumsi bukan hanya profesionalitas selebriti, tapi juga ruang-ruang pribadi dalam kehidupannya. Hal yang kemudian menarik dalam tayangan-tayangan selebritas itu adalah memudarnya batas “privat” dan “publik” di televisi. Pengaburan antara yang “privat” dan “publik” terjadi melalui televisi, yang berperan sebagai jembatan antara penonton di depan layar dengan peristiwa yang terjadi di tempat lain. Baudrillard dalam Simulation & Simularca (1981), mengemukakan adanya yang disebut fenomena

8 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

hyperrealita. Yakni sebuah keadaan diamana yang riil dan ilusi sudah tidak dapat dibedakan lagi. hiperrealitas ini diciptakan oleh medium yang bersifat publik yang malah menciptakan realitas baru. Fenomena selebritas menjelma menjadi hiperrealitas dalam tayangan yang menampilkan kehidupan pribadinya. Jadi yang dijembatani oleh televisi dalam tayangan privat misalnya pernikahan Raffi-Nagita bukanlah realitas. Kita tidak tahu persis apakah keharuan yang dipertontonkan itu benar-benar tulus, karena pihak-pihak yang hadir sadar akan keberadaan kamera yang tentunya membawa dampak psikologis. Kamera membuat mereka bukan sekedar menghadiri acara, melainkan juga membuat sebuah pertunjukan. Benda Publik, Milik Publik, Dan Ranah Publik Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan me-

rambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam yang terbatas. Indonesia Media Watch juga menambahkan bahwa penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang jumlah getaran dan lebar pita yang hanya dpat dipergunakan oleh satu pihak. Sedangkan publik dapat disinonimkan sebagai warga negara (citizen). Gelombang elektromagnetik merupakan salah satu dari benda alam yang ada sepanjang masa namun terbatas dan memiliki sifat kelangkaan. Menurut Indonesia Media Watch, frekuensi dikategorikan sebagai milik publik. Terdapat tiga pemaknaan atas status frekuensi sebagai domain, yaitu benda publik, milik publik, dan ranah publik. Ketiganya mengandung substansi yang sama bahwa frekuensi sebagai entitas yang menjadi wilayah kekuasaan publik. Untuk itu, publik berhak memperoleh keuntungan sosial dari itu. Hal tersebut sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkan-


Laporan Utama

dung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Berdasarkan Undang-undang 32 Pasal 3, Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. “Undang-undang penyiaran telah mengisyaratkan bahwa frekuensi publik harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Artinya, jika media hanya melayani satu orang atau satu kelompok maka media tersebut mengingkari aturan tersebut� ujar Rusdin Tompo. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulsel Tahun 2012-2014 ini juga menambahkan, hal tersebut bisa terjadi karena pemilik media sudah sejak awal meniatkan pendirian medianya bu-

kan untuk melayani kepentingan publik. Tapi untuk dijadikan sebagai alat kampanye dan propaganda untuk kepentingan dan kekuasaan. Diatas Nama Rating Rating secara umum berarti evaluasi atau penilian terhadap sesuatu. Rating program acara sendiri adalah data kepemirsaan televisi yang merupakan hasil pengukuran secara kuantitatif. Jadi dapat dikatakan bahwa rating adalah jumlah rata-rata pemirsa pada suatu program tertentu terhadap populasi televisi yang dipresentasikan. Data jumlah rata-rata tersebut diperoleh melalui survei kepemirsaan televise (TV Audience Measurement/ TAM). Di Indonesia sendiri survei seperti ini didominasi oleh sebuah lembaga survei bernama AGB Nielsen Media Research (AGB NMR) atau dikenal dengan AC Nielsen. Pihak-pihak yang membutuhkan data kepemirsaan, seperti pengelola stasiun televisi, radio dan pengiklan lebih mempercayakan hasil penelitian kuantitatif yang dihasilkan oleh AC Nielsen

Data kepemirsaan televisi yang mengukur presentasi pemirsa televisi mempunyai pengaruh yang sangat besar. Jika presentasi pemirsa suatu program acara cukup banyak, maka rating acara akan naik. Sehingga pengiklan akan tertarik untuk mengiklankan produknya di program tersebut. Tentu saja, hal ini akan mempengaruhi pendapatan finansial stasiun televisi tersebut. Ibarat seorang hakim, rating adalah penentu kemenangan atau kekalahan dalam dunia pertelevisian di Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan AC Nielsen, summary rating program televisi tahun 2014 memberikan gambaran betapa terjadi dinamika program maupun televisi penayangnya yang mengejutkan. Share paling besar yang pernah diraih oleh stasiun televisi diraih oleh SCTV sebesar 17,6% pada bulan Agustus 2014. Dari 10 stasiun televisi bersiaran nasional dari Januari-desember 2014, SCTV paling dominan peraihan Top Share (10 bulan) diatas televisi lainnya. Dilihat dari Top Program untuk seluruh kategori tahun 9 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Laporan Utama

2014, SCTV memimpin dengan 6 program, disusul RCTI dan ANTV dengan masing-masing 2 program. Sisanya TransTV dan Indosiar Visual Mandiri (IVM). Top program entertainment selama kurun waktu 1 tahun diraih oleh program resepsi pernikahan Nagita-Raffi di RCTI, dengan meraih rating 7,7 Dan share mencapai 38,3%. Televisi yang merajai Top program dalam kategori entertainment adalah IVM dan SCTV dengan masing-masing 4 program. Dengan kata lain, kedua statiun televisi ini menguasai hampir 70% kategori ini. IVM unggul dengan D’Academy , sementara SCTV unggul dengan variety show ( Mengetuk Hati, Siaran Langsung SCTV Awards, dan Malam puncak 24 teristimewa). Dari hasil surveyiAC Nielsen pula, diungkapkan data bahwa stasiun televisi paling banyak ditonton di tahun 2014 adalah SCTV, kemudian disusul oleh RCTI dan ANTV. “Rating dalam sebuah program TV dan Stasiun TV merupakan salah satu penghasilan buat pihak media. Jadi, jika 10 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Rating ini dihilangkan, maka proses kerja stasiun TV juga dapat terhambat dan bisa-bisa gulung tikar. Nah, kembali lagi pada masing-masing stasiun TV bagaimana mereka mebuat segala cara untuk mengejar Rating dengan tetap mengikuti kode etik jurnalis (KEJ)” ungkap Tim Kreatif Ve-ChannelLili Sukriana. S. Menurut Garin Nugroho dalam Kekuasaan dan Hiburan (1998), kuasa rating sangat menentukan dalam prduksi sebuah tayangn televisi. Menurutnya, pertimbangan pasar melalui rating menembus semua tingkat pengambilan keputusan, dan seringkali mengabaikan kualitas, estetika, social, dan psikologis tontonan. Coba saja tengok Metro TV, yang kerap kali menampilkan pidato pemiliknya yang juga ketua umum Partai Nasdem, Surya Paloh, dan memberitakannnya secara positif. Sementara itu, TV One yang gencar menampilkan sosok Aburizal Bakrie disetiap jeda iklan. Sosoknya digambarkan sebagai tokoh yang “sempurna”, ayah yang paling “wah”, dan panutan uta-

ma. Tapi, jangan harap stasiun televisi ini akan menayangkan penderitaan korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dalam perkembangan sejarah, media kerap kali dijadikan corong untuk menyalurkan pesan-pesan pemerintah yang sering kali malah dimanfaatkan oleh tokoh yang berkuasa. Ada kecenderungan televisi kini menjelma menjadi medan perang pengaruh, bukan lagi wadah untuk informasi yang netral dan hiburan. KPI dan Keberadaannya Frekuensi yang saat ini ditumpangi oleh stasiun televisi sesungguhnya milik publik, yang pemanfaatannya digunakan seluas-luasnya untuk melayani kepentingan publik. Frekuensi ini dikelola oleh pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika. Stasiun televisi yang beruntung mendapatkan frekuensi dan berhasil siaran haruslah mengisi konten mereka dengan berbagai acara yang variatif, mendidik, inspiratif, dan menghibur untuk masyarakat luas. Bukan hanya ter-


Laporan Utama paku pada satu jenis acara tertentu, apalagi membuat program yang durasinya berjam-jam, tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat luas. Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 4 Ayat 1, penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control dan perekat sosial. Dalam penyelenggaraan penyiaran, kemudian dibentuk sebuah komisi yang berfungsi sebagai regulator. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga independen yang kedudukannya setingkat dengan lembaga regulator lainnya. Dalam Undang-undang tentang penyiaran disebutkan bahwa KPI adalah lembaga independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah public harus dikelola secara independen, bebas dari campur tangan pemodal dan kepentingan politik. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Ada pesimisme terhadap KPI, bahwa KPI itu hanya tukang stempel yang dimana lalu lintas administrasi melalui mereka. Sementara mereka tidak memi-

liki kewenangan. Dalam tataran tertentu, KPI bisa menjatuhkan sanksi, hanya saja sanksi yang ditetapkan hanyalah sanksi administratif. Kemudian yang berikut KPI juga bisa merekomendasikan lembaga penyiaran hadir atau tidak hadir, eksis atau tidak eksis. Tapi persoalannya tidak semudah yang dibayangkan, harus ada kesamaan pandangan dengan para semua komisioner, kemudian antara komisioner KPI dengan komisioner yang bersangkutan dengan persoalan-persoalan begini. “Ada ekspektasi masyarakat terhadap KPI, supaya lebih memainkan peran strategis dan peran yang lebih efektif. Karena mereka melihat dampak dari siaran ini sangat luar biasa. Bagaimana dia bisa mengubah perilaku masyarakat, bagaimana dia bisa mempengaruhi pola berpikir, bagaimana dia bisa mempengaruhi opini public” jelas Rusdin Tompo. “Peran KPI sangatlah besar yang dapat mencabut hak siar suatu program dalam stasiun televisi, karena KPI sama seperti lembaga hukum bagi orang-orang yang media. Jika kita lihat KPI sangatlah berpatokan dengan Undang-undang, dalam hal ini mengenai Undang-undang Penyiaran dan Undnag-undang Pers” Ujar Lili

Sukriana. S. Berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh KPI dan disepakati bersama, kita dapat menilai mana konten yang layak dan tidak layak. Bukan berdasarkan selera pihak tertentu saja. Media Penyiaran Yang Ideal Media penyiaran yang baik tentu seara ideal memenuhi syarat yang diatur dalam UU penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Tapi diluar itu secara sederhana ketika dia bisa memenuhi kebutuhan kita, kebutuhan hiburan, kebutuhan informasi kita,dan nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat atau oleh Negara ini. “Ketika misalnya kita menjadikan korupsi sebagai agenda bersama, maka media kita juga membangun wacana dalam rangka membangun kesadaran. Membangun semangat kejujuran masyarakat unutk melawan krisis itu atau ketika misalnya spirit dari gerakan kita membangun kesetaraan, membangun kegiatan adil jender. Maka media juga harus menyediakan itu. Bukan hanya misalnya spirit gerakannya adil gender, sementara sinetron-sinetron kita sarat dengan tayangan-tayangan kekerasan dalam rumh

Pengelolaan system penyiaran yang merupakan ranah public harus dikelola secara independen, bebas dari campur tangan pemodal dan kepentingan politik. tangga.Padahal kita sudah memiliki UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Media ini baik secara visualisasi, secara dramatic menghadirkan tindak kekerasan rumah tangga, tapi dia lebih punya misi. Bukan hanya drama dengan mata melotot dan muka marah, tapi juga ada pesan moral dari tayangan-tayangan seperti itu” Terang Rusdin Tompo. Prof. Dr. A. Alimuddin Unde, M.Si mengatakan media juga berperan sebagai sosial kontrol yang berperan dalam-

mengontrol kebijakan-kebijakan. Bukan hanya menyorot pemerintah/birokrasi namun juga sosial kontrol di masyarakat. Yaitu hal-hal yang membuat kehidupan tidak nyaman, bukan hanya menyoroti pemerintah namun juga perilaku-perilaku masyarakat yang membuat ketidaknyamanan. Bukan sosial kontrol untuk memenuhi kepentingan orang atau kelompok tertentu. Seharusnya memberikan sosial kontrol untuk kemaslahatan orang banyak. Hal-hal tersebut yang seha-

rusnya diluruskan sehingga nyaman seluruh pihak. “Padahal jika saja media inigin menjadi media yang memegang idealism professional, media tersebut malah akan menjadi media yang berada di rating tertinggi” tambah Guru Besar Ilmu Komunikasi ini.

11 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Seorang penari asal Cina berlenggok di panggung Baruga Andi Pangerang Pettarani Unhas dalam rangka pentas seni kerjasama Cina-Indonesia. (21/10/2014)

12 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


13 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Sarjana hasil pabrik By Rahimah, Ayunda, Rosi, Firdaus, Darwis Photo by Amal Darmawan dan Lia Lestari


Baru-baru ini Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar Wisuda Lulusan Program Sarjana Periode III Tahun Akademik 2014/2015 melalui Rapat Senat Terbuka Luar Biasa di Baruga A. P. Pettarani, Rabu (18/3/2015). Sebanyak 1063 lulusan dari berbagai fakultas dan jurusan pun mengikuti kegiatan ini dan resmi mengantongi titel sarjana.


Liputan Khusus

S

ebagai kampus terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Unhas selalu menghasilkan ribuan lebih sarjana dalam satu kali pelaksanaan wisuda yang dilaksanakan lebih dari satu periode di setiap tahun akademik. Namun sayangnya, tidak semua sarjana dapat langsung menerapkan pengetahuan yang dimilikinya selepas dari kampus. Sarjana pengangguran pun terus bertambah setiap tahunnya. Organization for Economic Co-operation Development (OECD) merilis di tahun 2012 yang menunjukkan bahwa Indonesia diprediksi menjadi negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang. Data tersebut merupakan proyeksi dari berbagai program peningkatan jumlah lulusan perguruan tinggi yang dilaksanakan setiap tahunnya. Namun ironisnya penyerapan lulusan sarjana di Indonesia justru tergolong lambat. Data dari Badan Pusat Statistik di tahun 2013 menyatakan masih ada 442.000 lulusan sarjana di Indonesia yang masih menganggur dan masih mencari pekerjaan. Jumlah ini mewakili 5,5% dari total tingkat pengganguran terbuka di Indone-

dayaan (Kemendikbud) mematok target 33% untuk angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi. Berbagai program pun diluncurkan untuk mencapai target tersebut. Mulai dari pemberian beasiswa Bidikmisi bagi mahasiswa PTN dan PTS, hingga menaikkan 10% dari kapasitas PTN untuk menampung lebih banyak mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa di PTN membeludak. Ruang-ruang kelas penuh sesak oleh mahasiswa. Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unhas, Dr. Ir. Abd. Rasyid Jalil, M.Si mengaku di tahun 2014 ada 4000 lebih mahasiswa baru di kampus merah yang masuk melalui berbagai jalur. Tidak hanya di PTN, berbagai PTS di Indonesia pun memiliki kondisi yang serupa bahkan lebih parah. Ada banyak kampus swasta yang menerima mahasiswa baru sebanyak-banyaknya dan kemudian mengesampingkan kualitas. Baik kualitas kampus, maupun kualitas tenaga pengajar. Kampus sebesar Unhas, memiliki jumlah pengajar yang juga besar. Dikutip dari unhas.ac.id/biroumum, kampus ber-

“

wa: “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.� Berdasarkan UU tersebut terlihat jelas bahwa dosen mempunyai tugas pokok yaitu mengajar. Melihat realitas yang ada, sepertinya masih ada dosen yang terlihat tidak terlalu peduli dengan tugas pokoknya tersebut. Maka jangan heran bila perguruan tinggi di Indonesia disebut “pabrik sarjana�. Institusi yang seharusnya menghasilkan manusia mandiri, kreatif, dan berkualitas, justru menjadi pabrik yang mencetak lulusan bertitel sarjana namun minim kualitas dan kompetensi. Pembatasan Masa Kuliah Beberapa waktu yang lalu Kemendikbud menerapkan sebuah kebijakan baru tentang rentang waktu lama kuliah bagi mahasiswa S1/D-IV. Aturan baru yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pedidikan dan Kebudayaan (Permendikbud)

Peraturan ini membatasi gerak mahasiswa juga kreativitas dan peran kelembagaan tiap lembaga dalam mendidik kader dan menghasilkan kader. Kampus itu kan sarana dan prasarana bagaimana menjadi cerdas dari segala nilai kemanusiaan, bukannya penjara. sia yang mencapai 7,17 juta orang. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa hal ini dapat terjadi. Apa karena sistem pendidikan di Indonesia yang selalu menjadi masalah? Universitas yang tidak cukup baik dalam memfasilitasi proses pendidikan? Atau karena mahasiswa itu sendiri yang tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki? Universitas sebagai Pabrik Sarjana Di tahun 2014 lalu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebu16 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

logo ayam jantan ini memiliki 1675 dosen dengan 277 diantaranya adalah guru besar. Sayangnya angka fantastis ini tidak diikuti dengan peningkatan mutu dosen. Sering terlambat bahkan tidak hadir pada jam perkuliahan menjadi salah satu kebiasaan yang dianggap sepele namun sulit hilang. Tidak hanya di Unhas, mungkin kebiasaan ini juga dimiliki banyak dosen lainnya di berbagai kampus di Indonesia. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bah-

Nomor 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) mencantumkan waktu lama kuliah 4-5 tahun saja. Dengan adanya peraturan ini maka beban belajar bagi para mahasiswa S1/DIV adalah sebanyak 144 Satuan Kredit Semester (SKS) dan harus diselesaikan dalam rentang waktu sekitar 4-5 tahun atau 8-10 semester. Meski diberlakukan bagi para mahasiswa baru angkatan 2014, peraturan ini tetap saja mendapat pro dan kontra dari banyak pihak. Berbagai Lembaga Mahasiswa (Lema)


Liputan Khusus

contohnya. Lema menganggap peraturan tersebut akan semakin mempersempit ruang gerak mahasiswa. Seolah-olah pengetahuan dibatasi hanya pada bidang akademik saja dan mahasiswa dijadikan barang dengan cetakan yang sama dan siap dijual saat sarjana nanti. Seorang mahasiswa Teknik Mesin Unhas, Firman, berpendapat bahwa peraturan ini adalah bentuk pelanggaran HAM. “Peraturan ini membatasi gerak mahasiswa juga kreativitas dan peran kelembagaan tiap lembaga dalam mendidik kader dan menghasilkan kader. Kampus itu kan sarana dan prasarana bagaimana menjadi cerdas dari segala nilai kemanusiaan, bukannya penjara.” Elni Yantri Mangnga juga mengungkapkan pendapat yang senada. Bagi mahasiswi Fakultas Kehutanan Unhas ini penerapan peraturan tersebut membuat Universitas seperti mencetak mahasiswa sesuai waktu dan kegunaannya tanpa mempentingkan dalamnya ilmu yang dimiliki. “Peraturan ini membuat suka tidak suka, cerdas tidak cerdas mereka harus lulus dalam lima tahun. Kebebasan berfikir ta’ dikungkung mi’. Ini menjadikan mahasiswa semakin lemah baik dalam akademik maupun lembaga,” ujarnya menambahkan. Hal yang menjadi ketakutan bagi pihak yang kontra atas penerapan aturan ini adalah terhambat dan sulitnya perkembangan para mahasiswa itu sendiri, karena dengan dipangkasnya waktu kuliah maka mahasiswa hanya akan menjadi

pengejar nilai semata dan mengabaikan hal-hal positif lainnya seperti aktif berorganisasi ataupun aktif di kegiatan lainnya. Padahal kegiatan semacam itu justru akan sangat berguna saat mahasiswa mengabdi pada masyarakat nantinya. Lain halnya dengan Elni, Ika, mahasiswi dari Fakultas Ekonomi Unhas ini mengaku peraturan tersebut justru dapat menjadi motivasi mahasiswa untuk cepat sarjana. “Daripada dibatasi tujuh tahun, nanti kita itu bisa bersantai-santai, terus nanti orang tua ta’ susah mi’ bayar SPP ta’,” jawab Ika dengan serius. Bagi Ika, kuliah maksimal lima tahun tetap dapat membuatnya aktif berorganisasi, tinggal bagaimana mengatur waktu dengan baik. Banyak pihak yang pro dengan peraturan ini pun mengatakan hal yang sama dengan Ika dan Nurul Ilmi. Mereka menganggap peraturan tersebut dapat mendorong mahasiswa untuk lebih serius belajar dan juga dapat menghemat biaya kuliah. Wakil Rektor III Unhas yang juga setuju dengan peraturan tersebut menambahan bahwa pembatasan masa kuliah tersebut dapat berguna bagi mahasiswa baru nantinya. “Durasi kuliah kalau semakin panjang, ada hak orang lain yang kita ambil, yang sementara orang itu juga tanda kutip butuh yang namanya pendidikan. Kuota ini kan selalu terbatas, pada saat kita berlama-lama ada kuota saudara kita yang harusnya masuk malah tidak.” Tipe Mahasiswa di Kampus

Kita tentu sering mendengar pernyataan bahwa mahasiswa adalah agen perubah dan sosial kontrol. Kunci peradaban dan harapan bangsa di masa depan nanti. Semangat mahasiswa yang masih menggebu-gebu adalah cara mereka untuk mempertahankan prinsip dan idealismenya. Ketika memasuki sebuah kampus, ada beragam sifat dan kebiasaan mahasiswa. Mulai dari mahasiswa yang hanya mementingkan nilai dan IPK tinggi, mahasiswa yang hanya sekedar pergi kuliah, hingga yang aktif berorganisasi. Berbagai istilah pun tercipta untuk menggambarkannya. Istilah pertama adalah kupu-kupu. Kupu-kupu merupakan singkatan dari Kuliah pulang-kuliah pulang. Tidak sedikit mahasiswa yang merasa bahwa tugasnya hanyalah menyelesaikan kuliah, mempertahankan nilai dan IPK agar tidak turun tanpa memperdulikan hal lainnya. Mahasiswa seperti ini umumnya merasa organisasi akan menghambat mereka dalam menyelesaikan kuliah. Mereka biasanya akan pulang ke rumah, ke kost, atau kontrakan masing-masing setelah jam kuliah. Ketika di rumah sibuk dengan game, atau tidur, dan membuang waktu luang dengan sia-sia. Ada juga mahasiswa yang selesai perkuliahan langsung pergi nongkrong, entah di restoran, tempat ngopi, atau mall. Mahasiswa seperti ini dikenal dengan istilah kunang-kunang atau Kuliah nongkrong-kuliah nongkrong. Mahasiswa tipe ini akan menghabiskan waktunya dengan 17 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Liputan Khusus

“

Ini menjadikan mahasiswa semakin lemah baik dalam akademik maupun lembaga bergosip atau menghamburkan uang. Hidup hedonis dan budaya konsumerisme menjadi kebiasannya. Mereka lebih memprioritas waktu luang dengan mondar-mandir dibandingkan menghabiskan waktu untuk kepentingan orang banyak. Tipe mahasiswa seperti ini biasanya lebih mementingkan diri sendiri, tidak peka bahkan apatis terhadap permasalahanpermasalahan di sekitarnya. Tipe mahasiswa selanjutnya adalah Kura-kura, yaitu Kuliah rapat-kuliah rapat. Kebiasaan ini hanya dimiliki oleh mahasiswa yang mementingkan kuliah dan tidak melupakan organisasi. Mereka mengisi waktu luang dengan bermacam rapat organisasi, diskusi tentang isu masyarakat hingga mengkritisi berbagai kebijakan yang ada. Mahasiswa dengan tipe ini memiliki banyak keuntungan. Tidak hanya mendapatkan hard skill di kelas dan ruang belajar, mereka juga memiliki soft skill yang didapat dari pengalaman organisasinya. Sayangnya tidak sedikit mahasiswa kura-kura yang menjadi lebih fokus dengan organisasi dan kuliah menjadi terbengkalai. Menanggapi mahasiswa tipe ini Wakil Rektor III Unhas member komentar bahwa mahasiswa yang baik itu menjaga keseimbangan antara kegiatan akedemik dengan kegiatan organisasi. “Keseimbangan ini tidak bisa jalan bersamaan tetap harus ada yang menjadi prioritas utama dan prioritas selanjutnya. Menjadi mahasiswa memang adalah harus kita prioritas kegiatan akademik, yang lain itu menyempurnakan bagaimana kita menjadi seorang alumni dan berhadapan dengan kehidupan yang sebenarnya.� Berbagai sifat dan kebiasaan mahasiswa ini memang kembali kepada mahasiswa itu sendiri. Memang tidak ada salahnya sibuk berorganisasi, tapi bukan berarti perkuliahan lantas diabaikan begitu saja. Tapi fokus pada akademik saja lalu apatis dengan sekitarnya pun juga tidak 18 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

bijak. Mahasiswa merupakan gambaran sebuah bangsa di masa depan. Harapan untuk perbaikan, perubahan, dan kemajuan agar lebih baik ada di tangan mahasiswa. Kualitas Sarjana di Indonesia Indonesia adalah negara yang melahirkan banyak sarjana setiap tahunnya. Kuantitas sarjana tentu tidak akan berarti apa-apa ketika sarjana-sarjana tersebut tidak memiliki kualitas. Indonesia pada Human Development Index 2014 meraih peringkat ke-108 dari 187 negara dan 8 negara-teritori. Dengan peringkat 108, Indonesia menempati kelas Medium Human Development dan berada dibawah negara tetangga seperti Sri Lanka (73), Malaysia (62), dan Singapura (9). Laporan OECD juga menyatakan bahwa sarjana Indonesia merupakan rantai terlemah dalam pertumbuhan ekonomi. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia terutama lulusan akademisinya masih sangat kurang se-

hingga banyak sarjana Indonesia tertinggal dari negara-negara lain dan kurang bisa berkompetisi secara global. OECD juga menilai bahwa sarjana di Indonesia kurang kritis. Hal ini tentu sangat disayangkan bila banyak sarjana masih belum bisa mengaplikasikan ilmu pengetahuannya pada masyarakat dan belum bisa ikut serta memajukan bangsanya. Rendahnya kualitas sarjana ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Namun universitas, tenaga pengajar, serta mahasiswa itu sendiri harus bisa saling melengkapi agar tidak ada lagi sarjana asal. Perguruan tinggi sebagai salah satu tempat mahasiswa menimba ilmu harus bisa memfasilitasi mahasiswa dengan baik. Bukan hanya fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang proses penbelajaran, namun juga fasilitas tenaga pengajar yang harus berkualitas. Merujuk data Litbang Depdiknas yang dirilis beberapa tahun lalu menunjukkan, dari 120.000 dosen tetap PTS dan PTN di Indonesia, masih ada 50,65% atau sekitar


Liputan Khusus

60.000 di antaranya belum berpendidikan S2 atau baru S1. Data lain menunjukkan bahwa jumlah seluruh dosen di PTN sebanyak 240.000 orang, 50% di antaranya belum memiliki kualifikasi pendidikan setara S2. Di antara jumlah tersebut, baru 15% dosen yang bergelar doktor. Jika dibandingkan dengan perguruan tinggi di Malaysia, Singapura dan Filipina yang jumlah doktornya sudah mencapai angka 60% lebih, maka tampak bahwa dosen di perguruan tinggi Indonesia masih jauh ketinggalan. Seorang dosen memiliki tanggung jawab dan peran serta yang cukup besar dalam membimbing mahasiswa dan menghasilkan lulusan yang berkualitas dari tempatnya mengajar. Untuk dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, tentu seorang dosen pun harus memiliki kualitas yang jauh lebih baik daripada kualitas lulusan yang ingin dicapai. Keberhasilan suatu perguruan tinggi juga dilihat dari kebebasan akademik. Berbagai peraturan yang dibuat maupun

diterapkan di perguruan tinggi pun jangan sampai membatasi ruang gerak mahasiswa untuk berkembang. Penerapan peaturan maksimal masa kuliah S1/D-IV yang dibatasi sampai lima tahun, misalnya. Peraturan ini tentu membatasi mahasiswa untuk mencari pengalaman semasa kuliahnya karena dipaksakan untuk fokus pada akademik saja. Mahasiswa juga harus mulai memperbaiki kualitas diri. Selain harus mempunyai kemampuan intelektual baik sesuai bidang keilmuan yang dipilih dengan tanggung jawab, juga mempunyai kemampuan dalam berorganisasi dan bersosialisai dengan lingkungannya serta peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Jangan sampai mahasiswa yang disebut-sebut sebagai harapan bangsa, pemimpin di masa depan, mengalami “kekosongan intelektualitas� dengan gaya hidupnya yang hedonis dan konsumtif. Mahasiswa jangan juga hanya mengejar nilai semata kemudian menjadi apatis ter-

hadap situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat dan kurang responsif terhadap setiap permasalahan di sekelilingnya. Seseorang mengenyam pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan, namun saat ini pendidikan dinilai sebagai cara untuk mendapatkan perkerjaan. Padahal seharusnya, posisi pengetahuan sendiri adalah cara untuk mengaktualisasikan diri, mengenal potensi, dan menjadi sempurna sebagaimana “manusia� seharusnya. Bukankah pendidikan untuk memanusiakan manusia? Pendidikan merupakan kegiatan kolektif yang melibatkan banyak unsur. Ketika hanya satu unsur saja yang memiliki kemauan untuk berkembang, maka jangan harap segala tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Pendidikan merupakan hajat semua orang. Karena itu, maju dan mundurnya pendidikan pun merupakan tanggung jawab semua orang. ***

19 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Opini

Media Sosial, Agen Baru Penyebaran Informasi By Sayfullah AF (Ipul Gassing) Rewritten by Andi Chairiza Bahrun

Tahun ini pengguna internet di Indonesia diperkirakan sudah berjumlah 83.7 juta orang atau duduk di urutan keenam negara pengguna internet di dunia. Untuk media sosial sendiri Indonesia berada di urutan lima besar dunia untuk dua media sosial paling populer; Facebook dan Twitter. Pengguna Facebook di Indonesia diperkirakan berjumlah 69 juta orang dan masuk ke urutan 4 besar di dunia. Untuk Twitter, penggunanya di Indonesia diperkirakan mencapai angka 16 juta dan berada di posisi lima besar dunia.

20 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

T

ingginya tingkat pengguna internet khususnya media sosial di Indonesia mendorong timbulnya budaya-budaya baru dan mengubah kebiasaan para penggunanya. Media sosial meruntuhkan beragam tembok yang sebelumnya berdiri tegak di jalur penyebaran informasi. Sebelumnya informasi yang bersifat massif hanya dihasilkan oleh media atau pihak yang punya kuasa dan dana. Informasi dikonsumsi warga lewat satu pintu bernama media arus utama (tulisan, gambar maupun video), apapun kepentingannya. Kehadiran internet dan media


Opini

Sayfullah AF (Ipul Gassing) Seorang blogger aktif di daenggassing.com, aktivis SAFENET (South East Asia Freedom of Expression Network) dan penggerak komunitas blogger Makassar Anging Mammiri. Aktif di media sosial, selain di blog pribadinya juga dapat dihubungi di akun Facebook: ipul.ji dan akun Twitter @iPulGs sosial perlahan mengubah praktek tersebut. Saat ini media sosial dengan internet sebagai jalurnya menjadi media alternatif untuk penyebaran informasi. Salah satu contoh perubahan pola informasi adalah ketika peristiwa bom yang meledakkan hotel JW Marriot di Jakarta 17 Juli 2009. Kala itu seorang warga pertama kali melaporkan kejadian tersebut melalui media sosial Twitter. Kicauan sang warga segera menyebar, lebih cepat dari kabar beragam media arus utama. Salah satu media internasional bahkan menggunakan kicauan tersebut sebagai dasar laporannya. Contoh ini membuktikan kecepatan media sosial sebagai penyampai kabar. Bertahun-tahun kemudian banyak media lokal yang kemudian menjadikan isu hangat di media sosial sebagai dasar liputan mereka atau sekadar menjadikannya isu yang bisa diangkat ke media mereka. Media Sosial Untuk Gerakan Warga Di level yang berbeda media sosial juga sudah menjadi bagian penting dalam mendukung gerakan-gerakan warga, baik yang bersifat sosial maupun perlawanan. Ketika gunung Merapi di Yogyakarta meletus tahun 2010 lalu sekelompok warga menjadikan akun Twitter @JalinMerapi sebagai akun resmi yang menyebarkan informasi tentang bencana tersebut. Melalui akun @JalinMerapi warga bisa mengetahui kondisi terakhir dari bencana tersebut lengkap dengan informasi mengenai kebutuhan relawan maupun logis-

“

Media sosial masuk ke beragam sendi masyarakat dan menciptakan pola-pola komunikasi yang baru tik untuk para korban. Terbukti, kehadiran @JalinMerapi sangat membantu proses pemulihan korban bencana meletusnya gunung Merapi. Di ibu kota, sekelompok warga juga membuat akun Twitter @blood4lifeID yang kemudian menjadi akun penghubung informasi antara mereka yang butuh darah dan mereka yang ingin menyumbangkan darahnya. Dua contoh ini menjadi bukti bagaimana media sosial menjadi satu media penyampai dan penyambung informasi antar warga. Contoh lain adalah penggunaan medium blog sebagai sarana menumbuhkan jurnalisme warga, memberi ruang bagi warga untuk menceritakan kisah mereka sendiri. Kisah-kisah yang mungkin tidak akan tercatat dan diberitakan oleh media arus utama. Media Sosial Untuk Pemerintahan dan Bisnis. Kemajuan teknologi informasi yang ditandai dengan peningkatan jumlah pengguna internet dan media sosial juga berpengaruh pada pola komunikasi pemerintahan. Mau tidak mau pemerintah yang selama ini terkenal kaku dan penuh birokrasi berbelit harus menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Beberapa pemerintahan daerah mulai mengikuti perkembangan tersebut dengan memanfaatkan media sosial untuk menjalin komunikasi dengan warganya. Pemerintah kota Bandung salah satu contohnya, lewat tangan dingin walikotanya yang baru pemerintah kota Bandung me-

manfaatkan media sosial untuk menjalin komunikasi yang cair dengan warganya. Pemerintah kota Bandung menggunakan media Facebook sebagai tempat untuk menjelaskan program-program mereka sambil menyerap masukan, saran atau kritikan dari warganya. Di media lain seperti Twitter pemerintah kota Bandung lewat sang walikota juga giat berkicau dan menanggapi kicauan warganya. Pola komunikasi menggunakan media sosial itu perlahan-lahan menggantikan pola komunikasi sebelumnya yang lekat dengan kekakuan dan komunikasi satu arah. Di bidang bisnis penerapan pola komunikasi menggunakan media sosial sudah lebih dulu diterapkan. Perusahaanperusahaan besar banyak menggunakan media sosial untuk menjembatani mereka dengan para konsumen atau calon konsumen. Media sosial juga dimanfaatkan untuk membangun brand mereka di pasar. Tidak heran kalau saat ini makin banyak perusahaan yang bergerak di bidang digital agency dengan tugas utama memoles pencitraan dari perusahaan-perusahaan besar atau tokoh-tokoh besar. Ragam bukti di atas adalah bukti nyata betapa besar pengaruh media sosial dalam kehidupan masyakarat modern saat ini. Media sosial masuk ke beragam sendi masyarakat dan menciptakan pola-pola komunikasi yang baru, pola-pola yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

21 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Opini

Memahami Kembali Jurnalistik sesuai dengan Era Perkembangan Komunikasi By Iqbal Tawakkal

Munculnya Ilmu Komunikasi sampai Berkembangnya Tradisi Barat. Komunikasi adalah ilmu terapan yang dihasilkan dari ilmu psikologi dan sosiologi. ‘awalnya ilmu komunikasi dikenalkan oleh plato. Dengan menakan kan bahwa komunikasi adalah meotode filosofis yang disebut dialektika. Dialaketika dimana individu secara seksama mencari kebenaran baru berdasarkan apa yang sudah diketahui. Berbeda dengan muridnya sendiri, Arstoteles menekankan komunikasi sebagai proses retorika, yakni retorika penting bagi substansi dalam komunikasi serta gaya bagi komunikator.

22 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Opini

“ Kini komunikasi

adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan secara masif. K

emunculan seni retorika pada tahun 400 an SM berhasil menjadi landasan bagi para penduduk koloni syracuse yang bertempat di pulau sisilia. Pada saat itu koloni tersebut baru saja menggulingkan rezim politik yang menindas dipimpin oleh thrasybulus, selama bertahun-tahun koloni tersebut dipimpin oleh rezim penindas. Adalah seroang corax yang tampil untuk mengajarkan orang-orang membuat argumentasi yang meyakinkan di pengadilan. Dan bentuk retorika tersebut terbukti mampu mengalahkan kekuatan besar. Kini komunikasi adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan secara masif. Awalnya dimulai setelah perkem-

bangan mesin cetak dirintis oleh Guttenberg tahun 1439 , dengan otomatis peningkatan literasi yakni baca dan tulis mulai berkembang serta saing mendukung dalam pengembangan isu-isu politik. Jurnalistik sebagai the fourth estate Era ini adalah era komunikasi massa. Komunikasi massa telah menjadi pijakan baru bagi dunia sebagai the forth estate. Namun ide besar mengenai jurnalistik sudah muncul jauh sebelum adanya mesin cetak. Terbukti dengan dikenalnya Acta diurna sebagai media yang digunakan di era romawi kuno. Maka jurnalistik pun

dianggap bagian penting setelah lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Perkembangan jurnalisme sebagai bagian akademik terutama awalnya ditandai di amerika (chicago school) dan eropa (frankfurt school). Pengaruh filsafat pragmatis yang mendominasi di amerika sehingga dalam perkembangan teori kurang begitu filosofis. Padahal akar kajian komunikasi di amerika awalnya cukup humanistik. Bagi bebrapa ahli seperti John Dewey , Geogre Mead, mereka berpendapat bahwa perhatian terhadap pentingnya suratkabar bagi kehidupan komunitas. Namun kini tradisi kritis juga tampak di amerika . ditandai dengan kemunculan Mills pada dekade 50 an . dan orientasi aliran kritis adalah emansipatoris seperti yang ada dalam karya Noam Chomsky. Sedangkan ilmu sosial di eropa lebih filosofis. Teori-teori yang lebih bersifat normatif sangat terasa di eropa. Terutama pemikiran marxis yang mengakar kuat. Namun berkat keilmuan. Di eropa juga menembangkan pendekatan empiris, seperti halnya di amerika yang mengembangkan pendekatan krits. Jika kajian empiris hanya fokus tentang individu sedangkan kajian kritis memiliki relasi yang besar misalnya hubungan antar lembaga tingkat makro. Tradisi kedua hal tersebut kini lebih dikenal dengan tradisi barat.

23 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Komunitas

Solidaritas Anti Penggusuran (SAP): Bersatu dan Lawan Penggusuran By Andini Khaerunnisa Photo by Andi Chairiza Bahrun

J

Kita bukan pahlawan sebetulnya, kita cuma mahasiswa yang menjadi agent of control. Kita cuma percaya tidak ada manusia yang pantas kelaparan maupun kehilangan tempat tinggalnya. Semua atas nama kemanusian. - Yaya

24 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

ika kita berbicara tentang kemanusiaan, maka akan banyak isu-isu yang sekarang ini bisa kita bahas lebih mendalam. Isu-isu kemanusian yang sekarang ini Kota Makassar sedang ceritakan, tentang penggusuran. Makin banyaknya investor-investor dari luar dan pemodal lokal yang menginginkan lokasi usahanya yang strategis. Tidak banyak, pemukiman warga dilirik sebagai cikal bakal sumber penghasilan untuk kelangsungan hidupnya. Terkadang, banyak para pemodalpemodal menginginkan sebidang tanah tersebut dengan cara apapun. Dari cara persuasif kepada warga di sekitar, maupun dengan cara yang bisa dikatakan kurang halus. Berbicara tentang penggusuran, sudah pasti ada beberapa kepala keluarga yang akan kehilangan tempat tinggalnya. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan ke-

sehatan.” Dan juga dibahas pada UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 5 ayat (1): “Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”. Berangkat dari peraturan ini, jika penggusuran yang terjadi sekarang ini tidak menjamin warga-warga yang tergusur akan mendapatkan rumah baru, maka para penggusur tersebut telah melanggar UUD 1945 Pasal 28H ayat 1. Penggusuran tidak akan terjadi jika tidak memiliki izin eksekusi dari Jaksa maupun dari pemerintah, itu sama saja dengan pemerintah menelantarkan masyarakatnya. Melihat fenomena yang tidak menyenangkan tersebut, sekelompok anak muda yang menyebut dirinya sebagai Solidaritas Anti Penggusuran (SAP) berinisiatif untuk melawan ketidak adilan yang sering dialami oleh masyarakat golongan menengah ke bawah. Menurut Hidayat, saat ditemui disela-sela kegiatannya, awal terbentuknya SAP karena adanya kesamaan ide dan pendapat bahwa semua orang


Komunitas

berhak medapatkan rumah, berhak mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman. “Kebutuhan Papan (re: rumah) merupakan salah kebutuhan dasar manusia yang harus dimiliki masyarakat. Jika, kebutuhan papannya tidak terpenuhi maka masyarakat tersebut tidak bisa dikatakan sejahtera. Dan tidak ada manusia yang harus bingung mencari tempat untuk pulang, semua orang butuh rumah. keluarga sebagai bentuk pemerintahan terkecil tidak memiliki rumah sebagai pondasinya untuk memenuhi kebutuhannya.” tutur pria yang lebih akrab disapa Yaya ini. Ia juga menambahkan bahwa Negara ini juga menjajikan masyarakatnya sejahtera, jika kebutuhan papannya tidak terpenuhi seperti sekarang ini berarti masyarakat tidak sejahtera. Berangkat dari semangat tersebut, Yaya dan bersama beberapa teman mulai saling membantu dalam melawan penggusuran. Sejak tahun 2010, mereka fokus di kasus Pandang Raya. Bahkan, beberapa penggerak SAP sudah mengawal kasus Pandang Raya sebenarnya sudah dikawal dari taun 2002. Dan pada tahun 2010,

para pemuda yang peduli tersebut yang terdiri dari Yaya, Fajri, Ipank, Titin, Ato, Maulana, Pratama Adi, Aan, Tian, dkk akhirnya menggagas untuk membentuk sebuah barisan yang terfokus pada kasus penggusuran, salah satunya kasus Pandang Raya yang terus diperjuangkan hingga sekarang. “Tak hanya di Pandang Raya, teman-teman lain juga mengkoordinasi beberapa titik yang terancam penggusuran seperti di Mariso, BuluBulu, Borong, Batua Raya, Mapanyukki, dan Pasar Kassi-Kassi.” papar pemuda yang sedang fokus dengan skripsinya yang membahas tentang Penggusuran di Pandang Raya. Menurut Yaya, ada alasan tersendiri mengapa SAP hingga sekarang memfokuskan perhatiannya di Pandang Raya. “Jika Pandang Raya sampai berhasil diratakan dengan tanah, maka akan semakin banyak lagi penggusuran yang akan terjadi di Kota Makassar. Selain itu, lokasi Pandang Raya yang cukup strategis sangat menggiurkan bagi para pemodal untuk menginvestasikan usahanya di sana.” jelasnya. Gerakan ini terbuka untuk semua

kalangan. “Caranya untuk bergabung dengan teman-teman SAP, bisa dengan ikut terlibat aktif di beberapa kegiatan SAP seperti kegiatan diskusi, konsolidasi, kelas-kelas workshop, dan sebagainya.” ungkap lelaki yang juga mahasiswa Ilmu Antropologi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Ia juga menambahkan bahwa sebelumnya belum ada tempat yang tetap untuk berkumpul, namun dua tahun terakhir ada rumah yang dipinjamkan oleh warga di Pandang Raya yang sekarang bisa mereka gunakan sebagai sekret. Kegiatan SAP tidak hanya dilakukan di Pandang Raya, ada pula beberapa kegiatan yang dilakukan oleh teman-team SAP lainnya di beberapa lokasi. “SAP sebenarnya dalah gagasan tim kerja yang merespon isu-isu penggusuran. Kami mendapatkan info dari warga, dari LBHN, dan Walhi. Awal mula warga dapat langsung menghubungi SAP, ketika adanya aksi penolakan penggusuran bersama para pedagang di Pasar Terong. Salah seorang ibu yang juga ketua perserikatan pedagang di Pasar Terong yang memiliki kontak salah satu teman dari SAP. Namun, banyak juga warga yang lagsung menghubungi lembaga-lembaga hukum.” tutur Yaya. Ada juga beberapa teman dari SAP yang bekerja di LBHN. Sehingga mempermudah langkah SAP mengadvokasikan kasus-kasus penggusuran yang mereka angani. Ia juga menambahkan bahwa tiap daerah yang mendapat ancaman penggusuran di kawal oleh tim kerja yang telah di bagi oleh SAP. Mereka bernisiatif agar para warga yang mendapatkan ancaman perebutan rumahnya bisa saling berkomunikasi, mereka ingin para warga yang menjadi korban tetap bersilahturahmi untuk mempererat barisan melawan penggusuran. “Kita bukan pahlawan sebetulnya, kita Cuma mahasiswa yang menjadi agent of control. Kita Cuma percaya tidak ada manusia yang pantas kelaparan maupun kehilangan tempat tinggalnya. Semua atas nama kemanusian” ungkap lelaki yang gemar menggunakan topi. Adapun suka dan duka yang dialami oleh Yaya dan kawan-kawan. Hal-hal yang mereka dapatkan di SAP seperti keluarga baru dan saudara baru yang memiliki kesamaan ide dan tujuan, tahu hal-hal baru seperti mengetahui seberapa 25 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


buruknya negara ini, UU Agraria masih belum benar, dan departemen yang ada di bawahanya tidak jelas bagaimana kinerjanya. “Duka yang saya rasakan selama tergabung d SAP ini jika tidak dapat ikut terlibat advokasi dan beberapa semangat teman yang mulai mengendur dengan berbagai alasan.” Kendala yang biasa mereka hadapi seperti ketika pertama kali SAP bertemu warga yang menjadi korban ada yang tidak percaya, karena kondisi psikologi masyarakat yang terancam tergusur biasanya mulai tidak percaya dengan orang2 dari luar. Tapi teman-teman SAP terus datang dan meyakinkan warga yang sedang was-was, bahwa mereka datang untuk membantu. “Untuk mencari dukungan dari warga yang tidak menjadi korban penggusuran, kami mengadakan kegiatan-kegiatan seperti pemutaran film yang membahas tentang anti penggusuran, aksi-aksi demonstrasi, bagi-bagi flyer, dan juga melalui sosial media. Sosial media bisa kita gunakan sebagai senjata, tapi bagaimana kita mengisi pelurunya” ujarnya. Yaya juga menambahkan bahwa gerakan ini tidak memiliki struktur yang tetap, tetapi 26 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

mereka mengandalkan seorang penanggung jawab (PJ). Seperti tiap kegiatan yang digelar oleh SAP ada PJnya di tiap daerah berbeda sesuai dengan kesepakatan. Tentunya ia memiliki kredibilitas di kegiatan yang ditanganinya. “Tidak ada batas-batas dalam tim kerja di SAP, tetapi kita lebih mengandalkan kesadaran diri tiap teman-teman SAP dan saling mengomunikasikan kepada teman-teman yang lain. Jika sedang bermusyawarah, cara kita mengambilan keputusan adalah dengan mengunakan metode konsensus, yang disepakati bersama dan juga sudah dipertimbangkan sebelumnya.” jelasnya. Setelah jalur advokasi selesai dilakukan, hasil dari advokasi tersebut dibawa ke lembaga hukum. Seperti mengajukan banding ke pengadilan negeri makassar, teman-teman SAP juga menyertakan beberapa bukti, seperti tanah yang digusur tersebut ternyata salah sasaran. Buktibukti tersebut juga mereka tunjukkan ke LBH agar mereka juga mendapatkan dukungan yang makin kuat. Selain itu, ada juga jalur non hokum yang mereka lakukan. ”Kami juga berkomunikasi dengan beberapa teman di luar Makassar seperti

di Solo, Jakarta, Bandung, dan Kendari untuk salin berbagi ide dalam isu-isu yang sama. Karena penggusuran tidak hanya terjadi di kota ini. Justru, di beberapa kota besar lainnya juga mengalaminya, bahkan lebih banyak dari Kota Makassar.” jawabnya. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh teman-teman SAP untuk kasus Pandang Raya yaitu mengajukan banding. Karena ada beberapa kesalahan saat penggusuran, seperti saat eksekusi tidak ditunjukkan marka tanah sebelum penggusuran, marka tanah menunjuukan tanah mana yang akan digusur, pembacaan surat eksekusi yang seharusnya dibacakan sebelum eksekusi, bukan sesudah eksekusi. Bahkan, pemberitahuan surat eksekusi seharusnya keluar seminggu sebelum penggusuran bukan 3 hai sebelumnya. “Kita sudah menempuh jalur hukum seperti Ke Badan Pertanahan Negara (BPN) dan BPN Kanwil untuk menunjukkan bahwa daerah tersebut salah objek, walaupun sampai saat ini belum direspon. Kami juga sempat bertemu dengan Walikota Makassar, Dany pomanto dan beliau menyatakan tidak akan menerbitkan surat izin mendirikan bangunan jika masalah ini belum selesai.” jawabnya. Selain itu, mereka tetap menyebarkan info melalui sosial media, diskusi, berkomnikasi dengan LBH perihal progres kasus Pandang Raya ini. Yaya juga mengatakan, “Jika semua cara tersebut tidak berhasil, maka cara terakhir kami adalah reclaiming. Yaitu mengambil tanah tersebut dengan langsung membangun rumah di atasnya. Walaupun beberapa warga yang tinggal di sana tidak memiliki surat karena pekerjaannya hanya seorang tukang becak maupun hanya seorang kuli, namun ada beberapa warga yang memang sudah la,ma menempati tanah tersbut dan memiliki surat tanah yang sah namun tetap saja rumahnya diratakan dengan tanah sejak tahu 1983.” SAP selalu mengusung semangat perlawanan, perlawanan untuk merebut tanah-tanah yang akan tergusur. Dan banyak bentuk cara perlawanan, seperti melalui tulisan, film, foto, dan sebagainya. “Harapan saya kedepannya, semoga makin yang datang ke Pandnag Raya, semoga Pandang raya menang dan tidak ada lagi penggusuran tanah.” ujarnya.


Technoside

Ponsel pintar, konsumen pintar By Siti Rafika, Photo by Lia Lestari

P

erilaku konsumtif masyarakat saat ini tidak lagi didasarkan pada needed theory, yang mengedepankan kebutuhankebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Namun bergeser pada praktik perilaku konsumsi yang hanya berdasarkan keinginan semata. Tentu saja gengsi menjadi salah satu faktor yang mendorong perilaku konsumtif tersebut. Handphone yang pada awalnya merupakan barang langka dan dianggap mewah, kini telah berubah menjadi salah satu daftar barang yang wajib dimiliki juga lebih mudah dibeli. Handphone menjadi alat komunikasi penting dan digemari oleh seluruh tingkatan masyarakat. Kehadiran handphone sangat membantu masyarakat untuk melakukan komunikasi dari mana saja dengan lebih mudah. Saat ini fungsi handphone sudah mulai bergeser. Dahulu handphone hanya digunakan untuk menelpon atau sekedar berkirim pesan, kini lebih sering digunakan untuk menjelajahi dunia maya atau

hanya sekedar bersosial media. Handphone saat ini lebih sering disebut smartphone oleh masyarakat. Berbagai fitur unggulan diciptakan untuk melengkapi smarphone ini, mulai dari resolusi kamera, fasilitas layar sentuh, retina display hingga perintah suara menjadika masyarakat tertarik untuk membeli dan akhirnya masyarakat menjadi sangat peka untuk mengikuti perkembangan teknologi. Tidak hanya itu, berbagai operator seluler juga saling berlomba untuk mengenalkan paket internet yang super cepat dan super murah mereka yang mengiringi perkembangan teknologi smarphone ini. Masyarakat secara terus-menerus mengikuti perkembangan teknologi smartphone dengan berbagai alasan. Dari yang hanya ingin selalu terlihat up to date, prestise, hingga yang benar-benar memanfaatkan perkembangan telepon seluler untuk meningkatkan produktifitasnya. Pertumbuhan penggunaan smartphone diikuti oleh gaya hidup seseorang yang

selalu membutuhkan jaringan internet dalam hidupnya khususnya demi bersosial media. Seperti halnya provider seluler, berbagai perusahaan yang mengembangkan aplikasi social networking yang melengkapi berbagai smartphone ini menyajikan fitur-fitur yang menarik para konsumennya untuk mendownload aplikasi tersebu mulai dari menyediakan layanan voice note hingga menyediakan stiker-stiker yang lucu sebagai salah satu bentuk ekspresi si pengguna smartphone saat melakukan obrolan. Sementara itu kecanggihan ponselponsel pintar yang dikemas oleh berbagai media promosi sangat sukses dalam meningkatkan hasrat para konsumen untuk membeli. Bahkan ponsel-ponsel canggih ini kini sangat mudah ditemukan dijual dengan harga murah, tidak jarang pula masyarakat juga rela menggunakan ponsel tangan kedua demi mendapatkan ponsel canggih yang diidamkan. Jumlah pengguna smartphone yang ada bisa saja menunjukkan jumlah masyarakat yang melek teknologi. Tapi, sudahkah para pengguna smartphone benar-benar mengeksplorasi kecanggihan ponsel pintar tersebut? Pada akhirnya, smarthphone hanya mengarah pada persoalan gaya hidup. Peningkatan masyarakat yang haus akan teknologi merupakan salah satu pertanda perkembangan teknologi. Hanya saja kesadaran mengenai teknologi yang

27 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Beside Us

menolak #Makassartidak aman By Sabda Taro

Dalam dunia digital hari ini, persebaran informasi tidak membutuhkan hitungan jari dua tangan kita. Cukup hitungan pada jari-jari satu tangan saja, kita telah mengetahui informasi atau peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Persis ketika saya membaca sebuah portal online tetang peristiwa penembakan di Perancis. Korban penembakan adalah tim redaksi Charlie Hebdo yang seringkali memuat pemberitaan sensitif menyangkut keyakinan beragama. Seminggu setelah penembakan tersebut, media Charlie Hebdo kembali terbit dengan tulisan cover depan “JeSuisCharlie” dalam bahasa Indonesia, ‘Saya Adalah Charlie”. Di Inggris, beberapa kelompok mengampanyekan kebebasan berekspresi turun ke jalan dengan membawa tulisan “We Are Charlie”.

J

argon selain memiliki fungsi sosialisasi juga memiliki fungsi identifikasi identitas. Dalam hal ini, identitas merujuk pada siapa yang membuat jargon tersebut dan siapa yang dituju oleh jargon tersebut. Seperti pada jargon “JeSuisCharlie” dan “We Are Charlie” terkandung makna identitas di dalamnya. Pertama adalah identitias internal di mana merujuk pada sekelompok orang atau individu yang membuat jargon. Kelompok ini diasumsikan sebagai komunitas yang mendukung gerakan kebebasan berekpresi tanpa tekanan, intervensi ataupun intimidasi. ‘Je Suis’ dan ‘We Are’ menunjukkan hal tersebut. Sedangkan ‘Charlie’ merujuk pada identitas eksternal yang merupakan representasi kebebasan berekspresi yang merujuk pada harian media Charlie Hebdo. 28 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Di Indonesia sendiri, jargon yang sama digunakan oleh pasangan Jokowi– Jusuf Kalla pada kampanye Pilpres 2014 lalu. Jargon “Jokowi-JK Adalah Kita” merujuka pada sosok Jokowi-JK dan merujuk pada masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan, ketiga jargon di atas mencoba dengan ‘lancang’ untuk mewakili setiap individu dan mempersuasif agar setiap individu merasa bagian dari mereka. Tentunya pertanyaan yang sangat mudah bagi ketiga jargon tersebut adalah, apakah benar saya, atau kalian adalah Charlie? Atau saya dan kalian adalah Jokowi-JK? Jawabannya pun begitu mudah. Saya bukan Charlie dan saya bukan Jokowi – JK. Dalam diskusi postmodernisme, seorang Jean Baudrillard menyebut hyperealitas. Baudrillard menegaskan mengenai media hari ini tidak lagi mencerminkan

realitas tetapi telah melampaui realitas. Contohnya adalah iklan pemutih wajah atau iklan obat sakit kepala, yang dengan sekejap dapat memutihkan dan menyembuhkan sakit kepala. Apabila Baudrillard hidup hari ini, maka mungkin saja konsep hyperalitas tidak pernah ada tetapi tergantikan dengan lebaylitas. Penyebutan kata ‘saya’ yang merujuk pada ‘kita’ dan ‘kami’ pada ketiga jargon tersebut adalah lebaylitas. Begitu juga dengan “#Makassar Tidak Aman” yang disebarkan oleh akun Twitter ‘Anak Makassar @supir pete2’. Jargon ini disebarkan oleh ‘Anak Makassar @supir pete2’ salah satu akun buzzer Twitter di Makassar, dengan melihat beberapa contoh kasus tindak kriminal yang terjadi akhir-akhir ini di Makassar. Jargon ini juga merujuk pada dua identitas, di mana


Beside Us

“ ini tidak Media hari lagi mencerminkan realitas tetapi telah melampaui realitas.

identitas pembuat dan penyebar (‘Anak Makassar @supir pete2’), yaitu akun buzzer dan identitas yang merujuk pada kota Makassar. Ada beberapa hal yang mesti dikritisi dalam jargon “Makassar Tidak Aman”. Pertama adalah identitas penyebar, di mana merupakan akun buzzer Twitter. Buzzer Twitter berangkat dari strategi promosi dan penjualan yang dilakukan oleh media Twitter. Sederhananya, buzzer Twitter memiliki fungsi membuat rumor dan mengembangkan isu yang berdampak pada banyaknya jumlah kicauan yang membicarakan tentang rumor atau isu tersebut. Lebih jauhnya lagi, hasil dari tingginya kicauan mengenai rumor bisa menjadi nilai positif terhadap brand atau juga negatif. Pada akhirnya, jargon “Makassar Tidak Aman” dijadikan sebu-

ah wacana untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah perbincagan dan kicauan dalam akun buzzer, dalam hal ini akun buzzer penyebar isu. Hal ini dilakukan karena, faktor utama dalam elektabilitas buzzer oleh sebuah produk atau brand terlihat dari grafik kicauan dan obrolan dalam linimasa. Kedua adalah identitas yang merujuk pada kota ‘Makassar’ dan representasi kata ‘aman’. Merujuk pada beberapa kasus yang diangkat dalam linimasa akun buzzer penyebar rumor, kita akan tercengang membaca banyaknya kicauan mengenai tidak kriminal yang dialami warga Makassar. Selain itu, beberapa hari lalu, beberapa portal online juga gencar memberitakan peritiwa kriminal yang dilakukan oleh geng motor di Makassar. Ini seperti apa yang dikatakan oleh Wilbur Shramm mengenai hypodermic theory. Sebuah teori usang, di mana media akan menyuntikkan informasi-informasi yang sama dan ketika itu pula audiens akan terpengaruh. Dalam linimasa akun buzzer Twitter tersebut, sama sekali tidak ada yang memberitakan atau mengabarkan mengenai kondisi yang berkebalikan atau aman. Akun Twitter ini (‘Anak Makassar @ supir pete2’) terus menjejali followers-nya dengan informasi kriminal yang dirasakan oleh warga Makassar. Mengapa tidak ada informasi mengenai, contohnya “Saya Pulang Jam 02.30 dari daerah Tamalanrea ke Cendrawasih aman-aman saja.#YesMakassarAman” Identitas kota Makassar yang diru-

juk pada jargon ini juga tidak repsentatif. Saya yakin, apabila ada 10-50 kasus misalnya dalam waktu satu bulan yang mengindikasikan Makassar tidak aman, maka kita dapat saja menampilkan 10 -50 kali lipat yang mengindikasikan kota Makassar aman. Lalu mengapa tidak ada informasi mengenai Makassar yang aman di lini masa akun buzzer Twitter tersebut, jawabannya adalah media memiliki prinsip bahwa informasi yang baik-baik saja tidak baik untuk dijual. Akhirnya, kota Makassar dikonstruksi seperti kota yang ada dalam kondisi ingin perang, di mana kenikmatan yang luar biasa apabila kita mampu melintasi jalan-jalan di Makassar dalam kondisi baik-baik saja dan esoknya melihat matahari terbit. Jargon “Makassar Tidak Aman” alihalih sebagai gerakan protes dan kritik terhadap Pemkot dan pihak berwajib akhirnya digunakan untuk kepentingan komodifikasi. Lebaylitas dalam identitas Kota Makassar dan konsep Aman terlalu dihiperbolakan. Kepanikan dan ketakutan warga semakin menjadi-jadi. Dampaknya paling terasa apabila Pemkot menerapkan jam malam seperti Kota Bandung dan mungkin kita akan mengucapkan selamat tinggal untuk jajanan Pisang ‘Epe’ BNI dan segala aktivitas ekonomi kecil yang memanfatkan bahu jalan pada malam hari.

29 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Resensi Film

Tolong... D

ewasa ini, media massa sudah bisa menjamah semua kalangan. Mulai dari yang muda dan tua, anak-anak dan orang dewasa, bahkan beberapa lapisan yang ada di struktur masyarakatpun dapat mengonsumsinya. Media massa sangat membantu dalam penyebaran informasi secara mendetail dan lengkap. Namun, jika kita melihat beberapa headline yang sedang berlenggak-lenggok di halaman depan Koran, isu-isu yang menghiasi dunia maya, hingga pemberitaan di televisi cukup meyakinkan kita agar tidak menelan mentah-mentah apa yang disodorkan oleh media. Melihat fenomena yang meresahkan tersebut, Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOSMIK) melalui Klub KIFO (Kine dan Fotografi) menggagas sebuah karya yang memaparkan kembali, bagaimana kekuatan media dapat membuat kesan yang kurang menyenangkan bagi seki-

30 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

tarnya. Film ‘Tolong‌’ ini mengajak kita untuk tidak mudah mengonsumsi isu-isu yang sedang beredar sekarang. Isu hangat yang dibahas dalam film ini adalah tentang kekerasan yang terjadi di angkutan umum, khususnya di Kota Makassar. Kota Daeng ini sudah cukup belepotan dengan pemberitaan tentang tawuran antar mahasiswanya dan juga geng motor yang meresahkan warga Kota Makassar. Tagar #MakassarTidakAman dan #MakassarHarusAman pun sudah tak asing lagi di kalangan netizen Kota Makassar. Bahkan, untuk keluar rumah pada malam hari dengan pete-pete, warga akan berfikir dua kali untuk keluar. Dengan alasan geng motor, hingga keamanan di pete-pete menjadi alasan warga untuk khawatir keluar malam hari dengan kendaraan umum tersebut. Rieski Kurniasari, seorang mahasiswi Ilmu komunikasi sekaligus pemilik ide cerita film ini men-

coba menceritakan kembali pengalaman cukup canggung milik temannya melalui sebuah film pendek. Bersamaan dengan isu-isu kekerasan yang gencarnya media ceritakan tentang kota ini, ia bersama Fauzi Ramadhan selaku Sutradara film ini mengolaborasikannya dengan cikal bakal cerita tersebut. Film yang juga merupakan proyek dari Sasaran Kine 2014 ini, menceritakan kekhawatiran Ovy (Nurifqa Annisa) yang terbentuk akibat ia melihat pemberitaanpemberitaan yang ia lihat disekitarnya. Saat ia sedang kerja kelompok bersama Nanda (Ulfa Apriani), Dian (Riska Amalia), dan Fatir (Muh. Faturrahman) yang mengharuskannya untuk pulang malam, tak ada pilihan lain kecuali menaiki petepete. Dalam beberapa adegan, diperlihatkan ketika Ovy sedang menunggu temanteman menjemputnya sambil melihat timeline twitter dari salah satu kicauan di


Resensi Film Title Tolong‌ Duration 10:18 Production KIFO KOSMIK-UH Year 2015 Producer Taher Rabbani Director Fauzi Ramadhan Asst. Director Andini Khaerunnisa M Story Rieski Kurniasari Script writer Ainun Jariah Yusuf Story board: Wira Yudha Satria Tristania Indah

Camera person Dwiky Septhylio Yudhi Kurniadi Still Photography Muh. Hidayat Said Sound Recording Ahmad Syafei Ma’arif Fachrul Rozzy Art & Wadrobe: Rahimah Muslihah Andi Chairiza Bahrun Editor: Fachrul Reza Yusman Nur Runner: Wahyu Al-Mardhani Nur Ihsan Juzaili Cast Nurifqa Aulia as Ovy Riska Amalia as Dian Ulfa Apriani Hasan as Nanda Faturrahman as Fatir Wahyu as Pria di Halte

D.O.P Dwy Rahmadi

timeline-nya berisi tentang isu kekerasan yang terjadi di angkutan umum. Kemudian ia melihat sebuah headline yang serupa di sebuah koran yang sedang dibaca oleh seseorang yang berada di halte. Dalam hal ini, Ovy tidak membacanya secara seksama maupun tidak menelusuri kebenarannya, ia hanya membaca sekilas berita-berita tersebut. Dalam adegan ini, sutradara ingin menyinggung bagaimana masyarakat menjadi latah dengan isu-isu yang ada sekarang ini, tanpa dibarengi dengan klarifikasi isu-isu tersebut. Jika kita kaitkan dengan metode literasi media, maka peranan metode ini dalam kehidupan masyarakat khususnya di kalangan mahasiswa (yang digambarkan oleh sosok Ovy), belum berhasil membaca isu-isu tersebut dengan seksama. Karena media dapat melakukan pencitraan yang kurang menyenangkan. Bahkan, melalui film berdurasi 10 menit 18 detik

ini kita dapat melihat masyarakat akan menganggap segelintir orang dengan beberapa ciri khas tertentu dikatakan jahat. Dalam film ini, tergambar jelas stereotype yang ditujukan terhadap supir pete-pete. Adegan di dalam pete-pete, ada gambar yang memfokuskan pada tato yang ada di tangan kiri Si Supir. Stereotype tentang orang bertato disimbolkan sebagai orang jahat sudah banyak kita dapati di sekitar kita. Bahkan, media juga mempunyai peran dalam pelemparan isu ini. Kita dapat melihat dalam beberapa tayangan yang menggambarkan preman-preman yang beringas dan kejam memilki tato. Namun, faktanya dalam kehidupan sehari-hari kita, tidak semua orang yang memiliki tato itu dilabeli jahat. Toh, ada juga yang memiliki tato karena menyukai nilai seni yang tergambar di badannya. Ada juga yang memiliki tato dengan alasan ingin mengingat hal-hal penting yang

ada dalam kehidupannya. Sebenarnya, diperlukan bagaimana cara kita memandang dan menyikapi sesuatu yang ada di sekitar kita. Tampaknya media membantu dengan cara makin mengumbar-umbar citra tersebut. Dibalik itu semua, film ini tetap mengajarkan kita untuk tidak langsung termakan omongan media. Karena media sudah terlalu halus untuk menyembunyikan maksud sebenarnya dari isu-isu yang mereka gulirkan sekarang ini. Agar kita juga tidak salah menilai seseorang dan tidak mengalami ‘obesitas media’ karena terlalu banyak mengonsumsi isu-isu di media tanpa menganalisisnya.

31 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


kaleidoskop

Musyawarah Bersama Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi ke-26

Pelantikan pengurus KOSMIK periode 2014-2015.

Pelaksanaan rapat kerja pengurus 2014-2015 di tanjung bayang pada bulan maret.

Pelatihan menulis liputan dan peristiwa (Timelines) oleh biro Baruga di Lec Athira Baruga pada bulan Mei..

Pelatihan dasar fotografi (BCOP) yang dilaksanakan di GPI pada bulan April.

Diskusi kelompok pengembangan periklanan yang dibawakan Yusuf Gala pada bulan April di ruang 209.

Pelaksanaan LPJ triwulan pengurus Kosmik.

32 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Tudang Sipulung dalam rangka perayaan ulang tahun Kosmik yang ke-25

Pelaksanaan charity day di panti asuhan At-tiin sebagai bentuk kepedulian sosial warga Kosmik

Pelaksanaan pendidikan dasar klub GCC di lembah Ramma pada bulan April 2014.

Penerimaan dan pembinaan mahasiswa baru 2015 dihadiri oleh Samsu Rizal M.Si selaku wakil walikota Makassar

Peserta nurani 2014 melatih kekompakan dengan megikuti games angkat bambu.

Pemberian materi kepada mahasiswa baru pada pelakasanaan Obscura.

33 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015


Resensi Buku

Mengenal Sang Maha Guru Shankara By Iqbal Tawakkal

Bersoraklah dengan gembira, sebut nama Govinda, bodoh!” Itulah bait pertama dari lirik dari lagu “Bhaja Govindam”. Bhaja Govindam adalah lagu yang dinyanyikan Sang Maha Guru Shankara bersama murid-muridnya. Lagu ini sejatinya dihadiahkan kepada beliau oleh para muridnya, kemudian akhirnya disusun bersama. Lewat penafsiran lagu ini, Anand Krishna akan mengenalkan kepada kita kebijaksaan-kebijaksanaan yang diajarkan oleh Sang Maha Guru ini. Sang Maha Guru Shankara hampir seperti sufi lainnya; sering dianggap gila oleh masyarakatnya sendiri. Beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak bisa memahami beliau. Untung saja, nasib beliau tidak seburuk Siti Jenar. Beliau bebas berkeliaran bersama murid-muridnya karena memang sudah dicap ‘gila’ dan mengakui ‘kegilaan’ mereka sendiri. Salah satu kebijaksanaan yang banyak diajarkan beliau adalah melepaskan keterikatan dengan dunia. Tentu saja, karena itu merupakan masalah pokok umat manusia. Membentuk keterikatan selain kepada-Nya takkan membawa kita kemana-mana, hanya berputar dalam lingkaran setan yang sama. Keterikatan pula lah yang seringkali membangkitkan na34 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

luri hewani dalam diri kita. Sang Maha Guru memberikan kita arah bagaimana mengorganisir naluri hewani kita, tanpa harus membuangnya. Bagaimanapun juga, naluri hewani memang tidak bisa dihilangkan, ia ada bersama kita, hingga akhir hayat kita. Tugas kita hanyalah mengorganisirnya, dan cara satu-satunya hanyalah dengan kesadaran. Dibalik semua itu, lewat lagu ini Guru Shankara ingin memberi kita semacam shock therapy that-kick-our-ass-hardly. Beliau tidak segan menggunakan bahasa yang kita anggap tidak sopan. Memang, beliau tidak pernah menganggap diri sebagai cendekiawan atau sastrawan. Tujuan dari tindakan beliau–selalu dan selalu– adalah untuk kesadaran murid-muridnya. Kesimpulannya, Sang Maha Guru Shankara akan menunjukkan kepada kita kebijaksanaan-kebijaksanaan ala sufisme. Dalam arti, sisi sufistik beliau akan memberi tamparan keras pada diri kita, membuat kita menyadari kebodohan kita sendiri. Buku ini akan membantu kita menerjemahkan masalah-masalah hidup yang kita hadapi melalui penyadaran. Sang Maha Guru Shankara hanyalah ‘sendok’, alat yang kita gunakan untuk makan. Meskipun sendok ini sudah lama

dan antik, namun masakannya masih segar. Gunakan sendok sebagai sendok, sebagai sarana untuk makan. Begitulah penulis Anand Krishna menganggap beliau. Dan begitu pula lah kita harus menganggapnya. “Bersoraklah dengan gembira, sebut nama Govinda, bodoh!”




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.