FELISHA ISKANDAR
Malahayati: Singa Betina dari Aceh
Gambar & tata letak - Felisha Iskandar
Penyusun cerita & Riset - Felisha Iskandar
ISBN: 978-666-1111-22-5
© 2021, Noura Publishing
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang menggunakan, menyalin, memperbanyak, atau mereproduksi
seluruh atau sebagian buku ini tanpa izin tertulis dari pihak yang bersangkutan.
Dicetak di Indonesia
Cetakan Pertama, 2021
Tentang Aceh
Aceh dan Selat Malaka memiliki posisi strategis karena berada di bagian barat nusantara. Daerah ini menjadi pintu masuk lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat.
Karena itu, Aceh banyak disinggahi bangsa asing yang datang untuk berdagang. Melihat potensi wilayah Aceh
yang strategis, Portugis dan Belanda datang dengan keinginan menjajah Aceh dan Selat Malaka demi meraup untung.
Kedatangan para penjajah menimbulkan pertempuran sengit antara Pejuang
Aceh dan penjajah. Di pihak Aceh, Laksamana Malahayati berperan penting dalam memimpin armada lautnya untuk
memukul mundur bangsa penjajah dari perairan Aceh.
SELATMALAKA
Namaku Keumalahayati, biasa dipanggil Malahayati. Aku lahir pada
tahun 1550 di keluarga bangsawan Aceh. Ayahku adalah Laksamana
Mahmud Syah yang bertugas berperang di laut, kakek buyutku adalah pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Jiwa pelaut mereka berdua pun berkobar dalam diriku.
Sejak kecil, ayah sering mengajakku ke laut untuk menonton kapal-kapal Aceh yang sedang latihan perang. Karenanya, timbul rasa cinta laut serta keinginanku untuk menjaga laut seperti ayah.
Selesai belajar Agama Islam di pesantren, aku mendalami pendidikan militer laut di Sekolah Mahad Baitul Maqdis. Disana, aku belajar kemaritiman, strategi perang, dan berlatih cara bertarung.
Disana pula aku bertemu dan dekat dengan seniorku yang merupakan siswa unggulan di tahunnya. Namanya Zaenal Abidin.
Sehabis lulus dari Baitul Maqdis sebagai siswa terbaik, aku dipercaya oleh Sultan Al Mukamil dan diangkat menjadi Komandan Protokol Istana yang bertugas mengatur tata kehidupan dalam istana. Sementara itu, Zaenal diangkat menjadi Panglima Laut yang menjaga keamanan Selat Malaka.
Aku dan Zaenal menikah, dan kami melalui hari-hari dengan
bahagia bersama putri kami, Cut Dek
Bahari Kencana.
S ampai suatu saat, Zaenal harus mendampingi sultan untuk menyerang Portugis di Teluk Haru, Selat Malaka.
Perang Teluk Haru dimenangkan oleh Armada Aceh, namun menggugurkan 1000 pejuang kami, termasuk Panglima Zaenal Abidin.
Ternyata Zaenal tewas karena melindungi sultan dari hujaman pedang pasukan Portugis. Lalu sultan mengangkatku menjadi Panglima Armada Selat Malaka untuk menggantikan suamiku.
R akyat Aceh menyambut kemenangan ini dengan perayaan meriah, sementara aku merasa hati hancur dan semangatku runtuh sepeninggalan suami.
Suatu hari, aku mengajak Cut Dek berlayar untuk mencari suasana baru. Ketika sedang bersantai, tibatiba muncul sosok misterius dari dalam air yang mengancam kami.
Rupanya mereka ingin membunuhku karena menginginkan posisiku sebagai Laksamana Selat Malaka.
Ketika aku sedang sibuk melawan mereka, Cut Dek tiba-tiba ditarik ke dalam air!
Setelah berhasil membebaskan diri dari genggaman musuh, aku
melompat ke dalam air untuk mengejar Cut Dek yang ditarik semakin jauh dariku ke dalam hitamnya laut. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang
menghantam kepalaku dan semuanya berubah gelap. Begitu sadar, aku sudah terseret sampai pantai, dan Cut Dek.... sudah hilang.
Semua orang yang kucintai sudah pergi…. Percuma…... untuk apa
aku berusaha lagi….
Sejak itu, aku larut dalam kesedihan mendalam, tidak makan, dan tidak pernah mengikuti rapat kesultanan yang seharusnya merupakan kewajibanku.
Hingga suatu hari, sahabatku Limpah memberitahuku:
“Malahayati, aku tau kau sedang sangat menderita. Namun, kumohon.. bangkitlah. Aceh sedang kacau karena ulah orang kita yang mengkhianati sultan dan penjajah yang ingin menjarah kekayaan negeri kita! ”
Limpah benar… Aku harus bangkit! Aku harus tetap kuat demi membela Aceh! Aku pun segera pergi menemui sultan.
Baginda, mohon ampun atas kelalaian hamba karena terlalu larut dalam kesedihan. Yang mulia, 1000 janda yang suaminya gugur dalam perang Teluk Haru sekarang terus meratapi kepedihan seperti hamba. Karena itu, hamba ingin melatih mereka bertempur dan mengajak mereka turut melawan penjajah untuk membangkitkan semangat hidup mereka.” “
Baginda menyetujui permintaanku dan dibentuklah armada inong balee dengan aku sebagai laksamananya.
Armada Inong Balee (Armada Perempuan Janda) terdiri dari
1000 orang janda yang suaminya tewas karena Perang Teluk
Haru. Kami bermarkas di Benteng Inong Balee di Teluk Krueng Raya. Dalam benteng ini, aku melatih para janda agar mereka siap bertempur.
Benteng Inong Balee menghadap ke arah Selat Malaka sehingga kami mudah memantau laut untuk melihat apakah ada penjajah yang datang ke area ini.
Sebagai laksamana, aku memimpin pasukan laut untuk
mengawasi pelabuhan dan kapal-kapal milik kesultanan
Aceh. Pada masaku sebagai laksamana, Aceh memiliki armada laut yang terdiri dari 100 kapal yang masing-masing dapat diisi 400-500 orang sehingga armada laut kami adalah salah satu yang terkuat di Asia Tenggara.
Bersama armada Inong Balee, kami memenangkan banyak pertempuran demi mempertahankan kedaulatan Aceh dari musuh. Salah satu yang paling dikenal adalah pertempuranku melawan De Houtman bersaudara.
Pada tahun 1599, De Houtman bersaudara datang ke Indonesia dilengkapi oleh 4 kapal perang yang berhenti di Aceh. Awalnya, sultan menjamu mereka dengan baik karena mengira mereka ingin membangun hubungan dagang dengan Aceh.
Rombongan orang Belanda ini juga memaksa pedagang Aceh untuk menjual rempah dengan harga sangat rendah kepada mereka. Bila menolak, mereka akan melakukan tindak kekerasan.
Namun, para pendatang ini
mengkhianati kepercayaan sultan. Mereka berlaku tidak sopan terhadap perempuan Aceh hingga banyak perempuan yang menangis karena merasa takut dan risih.
Puncak perlakuan kurang ajar mereka adalah membunuh salah seorang petinggi kesultanan Aceh. Mayat petinggi tersebut ditemukan di depan pintu gerbang kesultanan. D engan geram, aku dan Inong Balee segera merencanakan penyerangan terhadap pendatang Belanda itu.
Menjelang maghrib, pasukan Inong
Balee menaiki beberapa perahu
kecil untuk menghampiri langsung
Kapal Cornelis tanpa menarik perhatian
sementara aku menumpangi kapal kesulatanan yang cukup mencolok.
Rupanya ada pesta perayaan di atas
kapal Cornelis. Saat aku sampai di atas
kapal, Cornelis kaget melihatku datang tanpa diundang.
“
Saya datang atas nama Sultan Al Mukkamil. Kalian, pendatang dari Belanda, telah banyak melanggar hukum Aceh Darussalam!” aku membuka percakapan.
“Hm? Perempuan? Apa sudah tidak ada laki-laki Aceh sehingga sultan mengirimkan perempuan?” Cornelis membalas dengan congkak.
“Tidak perlu sampai laki-laki Aceh yang turun melawan pengecut seperti kalian!” jawabku.
I NONG BALEE! SERANGGG!” teriakku
yang tadinya meriah oleh pesta sekarang porak poranda karena pertarungan sengit. “
lantang. P asukanku bermunculan dari samping kapal dan langsung menyerbu. Kapal
Aku berduel satu lawan satu dengan Cornelis de Houtman. Aku dengan rencongku, ia dengan pedangnya.
Bantuan angkatan darat Aceh melemparkan bola-bola api ke Kapal Cornelis, api menjalar, membakar taplak meja
hingga barel anggur. Rencongku dan pedang Cornelis masih beradu sengit. Di tengah pertempuran, ia berhasil melukai lengan kananku dengan cukup parah.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku meronta, membalikkan tubuhku, merunduk, dan menghunuskan rencongku ke perut penjajah itu. Cornelis de Houtman tewas seketika.
Melihat aku melemah, Cornelis memuntir lengan kiriku ke belakang dan aku tidak bisa melepaskan diri. Ia pun tertawa dan lengah karena merasa berhasil memerangkapku.
Setelah itu, kapal-kapal Belanda kami tenggelamkan. Frederick de Houtman kami tangkap menjadi tahanan Aceh. Sementara
sisa pasukannya yang masih hidup kami tawan untuk kemudian diadili di kesultanan.
Kekalahan Cornelis di tanganku menggemparkan bangsa Eropa.
Nama dan prestasiku
sampai ke telinga Ratu
Elizabeth 1 dari Inggris.
Hal ini membuatnya segan
menyerang Aceh dan lebih memilih jalan damai untuk menjalin hubungan perdagangan dengan kami.
MORAL
Malahayati mengingatkan kita untuk pantang menyerah dan
menginspirasi kita untuk bangkit dari keterpurukan. Meski kita
tidak lagi berperang fisik, bakti Malahayati kepada Aceh dan
Sultan Allaidin juga menginspirasi kita untuk memiliki sifat
nasionalisme yang tinggi untuk membela bangsa.
Prestasi Malahayati yang begitu hebat di berbagai bidang
menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki potensi yang
tidak terbatas di dalam masyarakat.
SUMBER SEJARAH
Buku cerita bergambar ini ditulis berdasarkan sumber-sumber sejarah yang sudah terbukti kevalidan fakta sejarahnya, sebagai berikut:
1. Malahayati: Srikandi dari Aceh (1995) oleh Solichin Salam
2. Perempuan Keumala (2008) oleh Endang Moerdopo
3. Malahayati: Singa Betina dari Aceh (1991) oleh Adi Pewara
4. Keumalahayati: Laksamana Perempuan Pertama (2018) diproduseri oleh Marcella Zalianty
Tentang Ilustrator
Felisha Iskandar lahir dan menghabiskan 22 tahun hidupnya di Jakarta. Cita-citanya menjadi komikus saat Sekolah Dasar membawanya pada dunia Desain Komunikasi Visual.
Kini, Felisha tertarik mendalami dunia buku anak setelah terpikat karya Isabelle Arsenault dan Jon Klassen yang bisa dinikmati semua umur tanpa batasan.
Malahayati adalah perempuan tangguh dari
Aceh dan Laksamana Wanita Pertama di dunia. Letak strategis Aceh sebagai wilayah dagang menarik penjajah seperti Belanda dan Portugis.
Dalam perjuangannya melawan musuh kesultanan, Malahayati kehilangan suami dan anaknya. Ini sangat menghancurkan hatinya.
Akankah Malahayati bangkit kembali?