BUKU PENGAYAAN KEPRIBADIAN
Cerita Rakyat dari Subang
Fikri Pradista Zidny Fauzar Dr. Sumiyadi, M.Hum Dr. Yulianeta, M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2021
Legenda Ki Lapidin, Cerita Rakyat Subang Fikri Pradista Zidny Fauzar Dr. Sumiyadi, M.Hum Dr. Yulianeta, M.Pd Cetakan Pertama, Agustus 2021 Hak Cipta © 2021 pada penulis
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun, secara mekanis maupun elektronik, termasuk memfotokopi, merekam, atau pun dengan teknik lainnya, tanpa izin dari penerbit.
Desain cover Ilustrasi Tata Letak Penyelia Size
: Fikri Pradista Zidny Fauzar : Sunan Al-Azmi : Fikri Pradista Zidny Fauzar : Dr. Sumiyadi, M.Hum Dr. Yulianeta, M.Pd : 148 mm x 210 mm (A5)
Puji syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah Swt. karena atas rahmat dan karunia-Nya, buku Legenda Ki Lapidin ini dapat tersusun dengan baik. Buku pengayaan ini merupakan salah satu wujud nyata pengembangan bahasa dan sastra, khususnya di wilayah Jawa Barat. Legenda Ki Lapidin merupakan cerita rakyat Jawa Barat yang ada dan berkembang di tengah masyarakat sebagai bagian dari budaya masyarakat pendukungnya. Legenda Ki Lapidin merupakan folklor lisan yang berkembang di masyarakat Kabupaten Subang, khususnya para seniman tradisional. Legenda Ki Lapidin dipercaya memiliki keterkaitan dengan lagu Kembang Gadung yang dewasa ini dianggap sakral dan sering dilantunkan sebagai lagu pembuka dalam setiap pagelaran seni tradisional di Kabupaten Subang. Dikisahkan, Legenda Ki Lapidin mengangkat tokoh utama bernama Lapidin yang identik dengan sikap kepahlawanannya dalam membela rakyat miskin pada masa kolonial Belanda di Kabupaten Subang. Pada masa kolonialisme, Subang menjadi dalah satu wilayah yang subur. Namun segala potensi tersebut dirampas oleh perusahaan partikelir Belanda bernama Pamanoekan Tjiasem Landen (P&T Lands). Pada masa itulah, toko Lapidin muncul. Lapidin hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda di Subang, menghancurkan tirani dan memberikan semangat juang.
i
Penulisan cerita rakyat Legenda Ki Lapidin ini dilakukan dengan niat awal untuk menambah alternative bahan bacaan bagi peserta didik di jenjang Sekolah Menengah Atas. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya menjaga keutuhan cerita milik masyarakat agar generasi muda tidak kehilangan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat yang ada. Selain itu, upaya ini dilakukan sebagai langkah perlindungan agar budaya lokal tidak semakin tergerus oleh budaya asing yang masuk melalui berbagai media. Seperti yang sering diklaim oleh berbagai pihak, bahwa sastra memang bisa dijadikan sebagai sarana pendidikan karakter karena di dalamnya terkandung berbagai pesan kemanusiaan yang layak dijadikan pandangan dan sikap hidup. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan buku cerita rakyat ini. Semoga Allah Swt. memberkahi upaya ini. Penulis
telah
berusaha
semaksimal
mungkin
untuk
menyelesaikan penulisan cerita rakyat ini. Segala kritik, pendapat, sumbangan saran, dan masukan dengan senang hati penulis terima demi perbaikan pada masa mendatang. Harapan penulis, semoga hasil pekerjaan ini bermanfaat dan dapat menjadi salah satu dokumen guna melestarikan budaya lokal yang merupakan penanda jati diri bangsa.
ii
Semoga buku pengayaan ini tidak hanya bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi peserta didik tetapi juga bermanfaat sebagai upaya mendukung program Gerakan Literasi Nasional dan Penguatan Pendidikan Karakter di masa kini dan masa depan.
Subang, Agustus 2021
Penulis
iii
iv
Kata Pengantar ................................................................ i Daftar Isi ...........................................................................v 1. Pulang Ke Kampung Halaman ............................... 1 2. Lelaki Berandal ......................................................... 14 3. Membina Rumah Tangga ........................................ 19 4. Menyukai Seni .......................................................... 24 5. Menangkap Perampok ............................................ 30 6. Menentukan Pilihan ................................................. 33 7. Hukuman Mati ......................................................... 44 Glosarium........................................................................ 55 Biodata Penulis ............................................................... 59
v
Siapakah orang itu? Dari manakah asalnya? Kenapa banyak orang yang membicarakan dan banyak pula yang penasaran dengannya? Kisah pemuda Subang itu dimulai semenjak kerajaan Padjajaran runtuh, kalaitu Subang bagaikan gunung emas yang menjadi rebutan para penguasa, seperti kerajaan Banten, Sumedang Larang, dan kerajaan Mataram sebagai kerajaan terkuat. Namun, setelah kerajaan Mataram ditumbangkan oleh kolonial Belanda, hampir semua wilayah di Jawa Barat terjadi pemberontakan, sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Kala itu, wilayah yang mengalami pergolakan hebat adalah Cirebon. Laskar bersenjata dari kalangan rakyat melakukan pemberontakan di mana-mana sehingga menciptakan situasi mencekam di seantero wilayah. Salah satu tokoh yang mengobarkan semangat juang di Cirebon adalah Ki Bagus Rangin dan seorang pemuda yang pemberani bernama Lapidin. Pemuda Subang yang merantau untuk mencari ilmu agama di pesantren Cirebon. Lapidin dan para pemuda serta para
santri
dari
berbagai
pesantren
Majalengka, Subang dan sekitarnya.
1
seperti
Cirebon,
B
ersatu dalam satu tekad, dengan kalimat toyibah yang
selalu
mereka
gemakan
pada
setiap
pertempuran di medan perang. Pasukan yang
dipimpin Ki Bagus Rangin berjuang dengan semangat Islam. Ki Bagus Rangin bukanlah keturunan dari keluarga kerajaan, ia hanyalah rakyat pribumi yang berasal dari Rajagaluh yang memiliki pengaruh yang sangat besar di wilayah tersebut. Ki Bagus Rangin tinggal di kaki gunung Gunung Ciremai, ia merupakan putra dari Buyut Sentayem atau dikenal Ki Buyut Teyom. Ki Bagus Rangin mempunyai jiwa kesatria, ia berani melakukan perlawanan atas kediktatoran. Selain itu, Ki Bagus Rangin juga menentang kedekatan Sultan dengan para kolonial Belanda dan keputusannya untuk memberikan kuasa kepada orang-orang Cina sebagai penyewa lahan-lahan rakyat. “Allah swt sudah menjadikan dunia sebagai sumber penghidupan umat, tetapi Sultan malah menjualnya kepada saudagar Cina dan Hindia-Belanda yang serakah” Ucap Ki Bagus Rangin. Itu merupakan salah satu
khutbah yang selalu
digaungkan oleh Ki Bagus Rangin sebelum berperang. Hal itu cukup membakar semangat juang pasukannya. Bantarjati menjadi saksi atas peperangan pamungkas Ki Bagus Rangin bersama pasukannya. 2
Setelah itu, Ki Bagus Rangin tertangkap oleh pasukan Belanda di Jatitujuh, hingga akhirnya dijatuhi hukuman mati di
Karangsambung,
sebuah
wilayah
pinggiran
sungai
Cimanuk. Semenjak itu, semua pasukan yang mendukung pemberontakan Ki Bagus Rangin bercerai berai. Termasuk Lapidin, ia memutuskan untuk kembali ke Pesantren Ciwaringin,
Cirebon.
Mematangkan
diri
dengan
memperdalam ilmu agama. Setelah beberapa tahun, Lapidin berniat pulang ke kampung halamannya, di Subang. Lapidin meminta izin dan doa kepada Ama Kiyai, gurunya. Rasa rindunya terhadap tanah kelahiran, membuat Lapidin ingin segera pulang. Walau pun ia tidak mempunyai sanak saudara, entah kenapa seperti ada suatu hal yang menariknya untuk pulang. “Silakan Nak, Ama memberikan izin. Tetapi jangan memaksa untuk pulang hari ini.” Kata Ama Kiyai, gurunya. Seketika ekspresi bingung taerlihat dari wajah Lapidin, tetapi ia tidak berani untuk menanyakan alasan kenapa Ama Kiyai melarangnya untuk pulang hari ini. “Memang, untuk pemuda seusiamu, bekal hidup kamu sudah lumayan mumpuni. Biarlah, untuk mematangkannya kamu bisa mengamalkannya di Subang. karena disana akan menjadi lahan amalmu yang sebenarnya.” Ama Kiyai memberi petuah kepada Lapidin. 3
“Insyaallah, ilmu yang Ama ajarkan akan aku amalkan untuk membatu sesama.” Jawab Lapidin dengan mantap “Tetapi, Ama mempunyai satu permintaan kepadamu. Nanti malam, ba’da isya kamu harus menemui Ama dengan mengenakan pakaian kampret dan pangsi yang berwarna putih! Sebelumnya kamu harus melewati ujian pamungkas yang akan Ama berikan.” Ucap Ama Kiyai sambil tersenyum. Lapidin pun mengangguk, sebagai tanda bahwa ia siap menerimanya. Di dalam kamarnya, Lapidin termenung, ia yakin ujian pamungkas yang dikatakan oleh Ama Kiyai bukan hanya sebatas ujian biasa, melainkan ada hal lain yang ingin Ama Kiyai ajarkan kepadanya. Pada hari itu, pikiran Lapidin diliputi oleh berbagai pertanyaan. Tiba-tiba Lapidin teringat perintah Ama Kiyai beberapa tahun yang lalu, itu menjadi hari pertama ia belajar di Pesantren. Ketika itu Lapidin masih remaja, pada hari pertama ia ditugaskan untuk mencabut rerumputan sekeliling pohon tanjung yang terletak di sebelah selatan area pesantren, yang berdekatan dengan kamarnya. “Rumputnya dicabut sampai bersih, Din.” Kata Ama Kiyai dulu. Kata yang memiliki kesan mendalam bagi Lapidin, pada saat pertama menuntut ilmu di pesantren.
4
Begitu seterusnya, sampai beberapa minggu ia terus membersihkan
rerumputan
disekeliling
pohon
tanjung.
Lapidin selalu melakukan perintah gurunya dengan sabar dan ikhlas. Sampai tugasnya selesai, Lapidin belum mengetahui apa maksud dan tujuan gurunya memberi tugas tersebut. Bada Isya, Lapidin bersiap untuk memenuhi tugas Ama Kiyai. Ia menemui gurunya di ruangan tengah rumah. “Assalamualaikum…!” Lapidin mengucapkan salam, lantas ia membuka pintu. “Waalaikumsallam…!”
Serentak
dalam
ruangan
menjawab salam. Lapidin terkejut karena banyak santri yang berkumpul, lalu ia melihat ditengah-tengah para santri terdapat tumpukan kain putih berupa kafan dan kapas beralaskan tikar. Selain itu, terdapat keranda yang biasa digunakan untuk mengotong jenazah. “Siapa yang meninggal, Ama?” Lapidin memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya, sambil menatap para santri lain. “Tidak ada yang meninggal. Apakah wudhumu belum batal, Nak?” Tanya Ama Kiyai kepada Lapidin “Insyaallah belum, Ama.” Ucap Lapidin
5
“Syukurlah, pasti kamu bingung. Pertama Ama akan menjelaskan bahwa malam ini, kamu harus menjalani ujian pamungkas dari Ama. Tuh! Disaksikan oleh para santri Ama, teman-temanmu.” Ama Kiyai mengawali pembicaraan, sambil menunjuk para santri. Ruangan itu mendadak hening, semuanya terdiam, tidak ada yang bersuara. Lapidin berkeringat dingin, tubuhnya mendadak lemas. Tapi Lapidin segera menepis rasa takutnya, menguatkan hatinya dengan terus berdzikir. “Lapidin! Dan santri-santri Ama semua. Hal yang akan dilakukan oleh Lapidin malam ini, hanyalah sebuah simbol. Lapidin akan diperlakukan sebagaimana jenazah yang akan dimakamkan, ini menjadi renungan untuk kita semua, khususnya Lapidin.” Ama Kiyai menyampaikan petuah di depan para santri “Ama berpesan, selama kita hidup di dunia, jangan pernah
memisahkan
antara
aqli
dan
naqli.
Harus
menyeimbangkan antara alam dan kalam. Ini merupakan pedoman untuk hidup kita semua yang mau berpikir.” Ama Kiyai meneruskan petuahnya “Kesinilah, Nak!” Ama Kiyai memanggil Lapidin, lalu Ama Kiyai menatap Lapidin, seolah menerawang batinnya.
6
“Tataplah mata, Ama, jangan berkedip!” Lapidin menuruti apa yang diperintahkan gurunya, lalu Ama Kiyai tampak menuliskan sebuah kalimat dengan aksara Arab. “Bacalah ini, Nak.” Tulisan itu diperlihatkan kepada Lapidin “Laa ilaaha illallaah…, kalimat toyibah, Ama.” Ucap Lapidin sambil merengkuhkan badannya. “Selama di dalam kubur, genggamlah kalimat toyibah ini di tangan sebelah kananmu dengan erat, Nak. Jika engkau bisa berdiri dan selamat sampai berkumandangnya adzan subuh dengan tetap menggenggam erat kalimat toyibah tersebut, berarti engkau telah lulus ujian pamungkas. Pagi harinya engkau bisa pulang ke Subang, mengamalkan ilmu di tanah kelahiranmu.” Ucap Ama Kiyai Setelah mendapatkan petunjuk Ama Kiyai, tiba-tiba Lapidin jatuh pingsan, ia tak sadarkan diri. Bagaikan orang tertidur dalam keadaaan tersenyum. Setelah dikafani, Lapidin kemudian di sholatkan dan diangkat untuk dimasukan dalam keranda. Para santri lalu menggotongnya menuju pemakaman, diiringi dengan kalimat toyibah. Pada malam itu, disepanjang jalan penuhi oleh cahaya obor yang dibawa para santri, sampai ke tempat Lapidin akan dimakamkan. Malam semakin larut, Lapidin telah dikubur sebagaimana jenazah pada umumnya. 7
Beberapa saat kemudian, didalam tumpukan tanah merah, Lapidin terbangun. Ia merasa seakan berada diruangan yang teramat luas, bercahaya sangat terang. Kemudian Lapidin duduk bersila, lalu ia membaca dzikir. Para santri tampak berjaga dan menunggu sambil membacakan Surah Yasin berulang-ulang dipimpin oleh Ama Kiyai dilanjutkan dengan bacaan takbir, tahmid, tahlil dan sholawat. Ajaibnya, doa yang dipanjatkan para santri dan Ama Kiyai bisa didengar oleh Lapidin. Ia bagai mendengar gemuruh ribuan manusia menembus heningnya alam kubur, mereka terdengar selaras mengagungkan asma Allah swt meminta belas kasih-Nya. “Assholatu
khoeru
minan
naum…,”
samar-samar
terdengar suara adzan Subuh dari kejauhan. Tiba-tiba, raga Lapidin melayang dengan bersila seperti orang sedang khusyuk berdzikir. Kain kafan dan kapas yang membalut tubuhnya berjatuhan, matanya masih terpejam dengan tangan kanan masih menggenggam erat. Wush! Lapidin menembus gundukan tanah yang menguburnya lalu duduk bersila tepat berada ditengah para santri dan Ama Kiyai.
8
“Alhamdulillah…,”
serentak
mengucap
hamdallah.
Lapidin membuka matanya, ia menangis dipangkuan Ama Kiyai. Para santri hanya terdiam, seakan tidak percaya atas apa yang mereka lihat pada malam itu. “Nak, bukalah kepalan tanganmu!” Ucap Ama Kiyai, ketika telapak tangan kanan Lapidin dibuka, ternyata kertas yang ditulis Ama Kiyai telah menghilang. Tetapi dari telapak Lapidin memancarkan cahaya yang tadinya kecil menjadi sangat terang. Kertas yang ditulis Ama Kiyai itu berubah dan memancarkan cahaya dari telapak tangan Lapidin. “Engkau lulus, Nak!” Ama Kiyai berbisik dengan suara lirih, sambil mengusap rambut Lapidin dengan penuh kasih sayang. Lapidin telah berhasil melewati ujian pamungkas yang diberikan Ama Kiyai, ia selamat setelah semalaman dikubur dalam keadaan hidup. Ama Kiyai dan para santri diliputi perasaan senang, Lapidin pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Pada pagi hari, sudah seminggu Lapidin berjalan untuk pulang ke kampung halamannya, di Subang. Melewati beberapa perkampungan dengan membawa gembolan yang berisi beberapa pakaian yang dibungkus dengan kain balacu yang terlihat sudah kusam. Tak tertinggal, selembar sarung dan pakaian kampret putih mengisi gembolannya. 9
Hal itu ia persiapkan untuk keperluan ibadah, Lapidin tidak pernah menunda sholat lima waktu, dimana pun saat itu ia berada. Lapidin terus berjalan, sesekali sandalnya ia lepas dan berjalan tanpa alas. Kakinya yang telanjang dibawanya berlari hingga sering tertusuk duri dan hantaman sembulan akar pepohonan. Majalengka sudah ia lewati, bahkan hutan jati di daerah Indramayu yang saat ini sedang ia lalui pun akan segera mencapai wilayah perbatasan. Lapidin lalui tanpa rasa takut dan lelah. Padahal waktu itu ia sedang berpuasa, sebagaimana kebiasaan yang ia lakukan saat di pesantren. Sesampainya
di
perbatasan
Indramayu-Subang,
hamparan perkebunan karet menyambutnya. Aroma getah karet mulai tercium terbawa angin, memunculkan ingatan Lapidin di masa kecil. Ia teringat sering bermain dengan teman-temannya di sebuah perkebunan karet. Lapidin paling senang memunguti biji karet yang jadikan sebuah mainan tradisional, sungguh membangkitkan kenangannya. Lalu ia melihat para pekerja yang sedang menyadap getah karet, sedang asyik mengupas getah karet yang sudah mengering. Sebelum tengah hari, Lapidin beristirahat di bawah pohon Kitambleg atau Balboa yang rindang.
10
Sebuah pohon yang berasal dari Afrika yang umurnya bisa ratusan tahun, pohon tersebut diketahui hanya ada di Subang. Ditanam oleh para Tuan-Tuan Belanda, untuk dijadikan titik pembatas antar afdeling satu dengan afdeling lainnya, di seluruh tanah partikelir yang dikuasai P&T Lands (Pamanoekan En Tjiasem Landens) Pada saat itu, kehidupan rakyat Subang sangat memprihatinkan. Rakyat banyak diperkejakan sebagai pekerja perkebunan P&T Lands, terutama di perkebunan karet yang terletak di dataran Subang bagian Utara dan pekerja perkebunan teh di dataran Subang bagian Selatan. Rakyat banyak yang sengsara. Tegasnya, kolonial Belanda telah merebut kemerdekaan rakyat Subang. Dimulai dari pajak yang memberatkan, dan kerja paksa atau rodi yang harus dilakukan. Bila menolak maka akan mendapat denda 5 gulden, untuk siapa pun yang berani melawan. Setelah
melaksanakan
sholat
dzuhur,
Lapidin
meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan tiba-tiba terdengar suara cambuk yang sangat keras. Ceter, ceter! Suara cambuk, setibanya di kampung Sembung. Lapidin melihat seorang kakek yang tampak sangat kurus sedang tergeletak tidak berdaya. Dadanya dipenuhi luka, memerah karena cambukan.
11
“Ki Mandor! Sudah gila, menyiksa seorang kakek yang sudah tidak berdaya.” Ucap Lapidin dan Ki Mandor pun menoleh. “Hah, siapa kamu? Jangan ikut campur.” Jawab Ki Mandor. Ceter! Ki Mandor mengayunkan cambuknya ke arah Lapidin, namun Lapidin dengan sigap menangkap ujung cembuk itu, dililitkan pada tangan lalu menariknya. Ki Mandor pun ditarik ke depan yang disambut dengan lutut Lapidin, Ki Mandor pun roboh, ia merengek mohon ampun. Lapidin lalu bergegas memangku si kakek menuju rumahnya yang tidak jauh dari sana. “Abah!” seorang gadis menangis sambil merangkul ayahnya. “Terima kasih, Kang” ucap anak gadis itu, diketahui si kekek
bernama
Bah
Amid,
ia
bekerja
sebagai
rodi
diperkebunan karet, saat ini ia hanya tingga berdua dengan anak gadisnya bernama Nyi Acah, istri Bah Amid telah lama meninggal. Semenjak saat itu, Lapidin diminta untuk tetap tinggal di rumah Bah Amid. “Sudahlah, tinggal disini saja, Nak. Abah khawatir kalau kamu terus melanjutkan perjalanan, ditambah Nak Lapidin sudah tidak mempunyai keluarga. Tetapi Maaf, jika keadaan rumahnya seperti ini, jauh dari kata nyaman. Hanya rumah kumuh.” Ucap Bah Amid 12
“Tidak masalah. Yang terpenting sekarang kondisi Abah bisa kembali sehat.” Jawab Lapidin Bah Amid lalu mengenalkan anak gadisnya kepada Lapidin, ia mengatakan hanya tinggal berdua, karena dua tahun lalu ibunya telah meninggal. Pada kesehariannya, Lapidin sering menggantikan Bah Amid bekerja sebagai rodi, yaitu sebuah pekerjaan dibawah perintah Hindia-Belanda dengan cara memaksa. Rakyat dipaksa melakukan pekerjaan yang berat dan tidak mendapat bayaran sepeser pun. Selain itu, Lapidin sering memunguti ranting kering di perkebunan karet dan mengurus lahan Bah Amid. Pada suatu hari, di rumah yang tidak terlalu jauh dari kediaman
Bah
Amid,
ada
seseorang
yang
selalu
memperhatikan Lapidin, seseorang itu adalah Nyi Dasih. Di hatinya yang paling dalam, semenjak Lapidin menetap di rumah Bah Amid. Nyi Dasih seakan tertarik dengan pemuda yang memiliki fisik seperti seorang jawara itu. “Semoga saja pemuda itu, tidak ada hubungan apapun dengan Nyi Acah” Ucap Nyi Dasih penuh pengharapan. Sudah satu minggu Lapidin menetap di rumah Bah Amid, selain membantunya dalam bekerja, Lapidin pun kian merasa nyaman karena keramahan yang ditunjukan Nyi Acah.
13
K
eluarga Nyi Dasih memiliki kesamaan dengan keluarga Nyi Acah, ia hanya tingga bersama ibunya, ayahnya sudah lama tidak diketahui keberadaannya,
entah ia masih hidup atau pun sudah meninggal. Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi menurut kabar yang beredar, ayah Nyi Dasih dikatakan sudah meninggal karena penyakit yang dideritanya. Karena semenjak Bah Amid dan ibunya Nyi Dasih bertetangga, ia diketahui hanya tinggal berdua. Pagi hari itu, Nyi Dasih terlihat membawa beberapa ranting kering dan beberapa kayu bakar berukuran kecil, ibunya sedang memasak nasi. Sesekali ibunya meniup tungku pembakaran
dengan
selongsong
bambu
kecil,
untuk
menyalakan api. Anak dan ibu itu terlihat asyik mengobrol, mereka penasaran dengan sosok pemuda yang tinggal bersama Bah Amid. Tiba-tiba ditengah percakapan, Nyi Dasih membahas seseorang bernama Sarkawi.
14
“Siapa Sarkawi itu, Nyi?” Ibunya bertanya kepada Nyi Dasih. Ia Dasih memberitahukan pada ibunya bahwa Sarkawi, pernah mendatangi Nyi Acah untuk mengajaknya menikah, bahkan setiap wanita cantik yang dijumpainya tidak luput dari godaan Sarkawi. Ia menggoda para wanita itu dengan uang dan perhiasan emas. Nyi Dasih juga mengatakan kepada ibunya, Sarkawi paling senang dengan hiburan belentuk ngapung yang diadakan oleh rombongan seniman dari Purwadadi, tepatnya desa Celerek. Rombongan belentuk ngapung itu biasa menggelar hiburan secara berpindah-pindah. “Belentuk ngapung?” Ekspresi ibunya tiba-tiba berubah, ia terkejut. Lalu ia menatap Nyi Dasih, ibunya seperti mengingat sesuatu. Mata ibunya sembab, menahan tangis. Nyi Dasih melanjutkan ceritanya, ia baru mengetahui ternyata para ronggeng belentuk ngapung sangat lekat dengan hal-hal yang negatif. Lalu
ibunya
bertanya,
kenapa
Nyi
Dasih
bisa
mengetahui Sarkawi, kemudian Nyi Dasih menjawab bahwa Sarkawi mengetahui Nyi Dasih dari seseorang yang mengenal ibunya. Sambil memasak nasi, mereka terus mengobrol. “Punten,” Tok, tok, tok…! Tiba-tiba terdengar seseorang sedang mengetuk pintu. Pada saat ibunya membuka pintu, ia terkejut. 15
Orang itu adalah Sarkawi, ia secara tidak sopan langsung menanyakan keberadaan Nyi Dasih. Sarkakwi masuk ke dalam rumah dan melihat setiap sudut ruangan. “Mana Nyi Dasih? Cobalah panggil kesini!” Ibunya langsung lari menemui Nyi Dasih, ia berbisik mengatakan Sarkawi datang kerumahnya. Namun tidak berapa lama kemudian, Sarkawi menyusulnya ke dapur. Nyi Dasih terkejut, sekujur tubunya seolah membeku. Tanpa berlama-lama, Sarkawi langsung mengatakan maksud kedatangannya. Ia meminta Nyi Dasih untuk dijadikan
sebagai
istrinya,
lalu
Sarkawi
menyodorkan
beberapa emas, seperti cincin, gelang belasan gram. Nyi Dasih bergeming, ia tegas menolaknya. “Ambil kembali perhiasanmu, aku tidak mau.” Jawab Nyi Dasih dengan sangat yakin, tidak rasa takut. Ibunya masih ketakutan. “Oh, jadi Nyi Dasih berani menolak?” Tanya Sarkawi dengan suara tinggi, lantas Ia langsung menarik tangan kiri Nyi Dasih dengan kasar sambil mengambil kembali perhiasan yang ia tawarkan. Nyi Dasih berontak sambil berteriak meminta tolong, tangan Sarkawi semakin kuat menarik Nyi Dasih. Lapidin yang saat itu sedang berjalan pulang setelah mencari
kayu
bakar,
samar-samar
perempuan yang meminta tolong. 16
mendengar
suara
Semakin jelas, arahnya dari rumah Bah Amid. Seketika Lapidin langsung berlari. Disana tampak Sarkawi yang masih menyered Nyi Dasih yang terus berontak. Kek! Tangan kanan Lapidin sudah mengunci leher Sarkawi sambil memukul pergelanan tangan Sarkawi yang menarik Nyi Acah. Sarkawi kaget dan berbalik, tetapi kepalan tangan Lapidin terlalu cepat untuk ditangkis, hingga akhirnya mendarat di muka Sarkawi. Ia roboh, Sarkawi jatuh terpelanting. “Aduuuh…!” Sarkawi meringis kesakitan, dari sudut bibirnya tampak mengalir darah. Seakan tidak diberi kesempatan, Lapidin langsung memburunya. Sarkawi yang setengah sadar memaksakan untuk berdiri. “Siapa engkau?” Sarkawi bertanya “Catat, namaku Lapidin!” Lapidin menjawab dengan tegas “Lapidin, tunggu pembalasanku! Sebentar lagi tamat riwayatmu!” tetapi Sarkawi mengabaikannya. Ia memalingkan wajah sambil mengumpat Lapidin dengan perkataan kasar dan berjanji akan membalas dendam. Setelah Sarkawi pergi, Lapidin melihat keadaan Nyi Dasih dan ibunya. Disana juga tampak Nyi Acah yang sempat mendegar suara keributan dari rumah Nyi Dasih.
17
“Terima kasih, Nak Lapidin” Ucap ibunya Nyi Dasih, membuka obrolan. Kemudian Nyi Acah bertanya, tentang awal kejadian Sarkawi mendatangi rumah Nyi Dasih. “Dasar buaya darat, kelakuan penjahat. Hampir semua perempuan cantik ia ingin jadikan istri.” Nyi Acah meluapkan amarahnya. Nyi Dasih dan ibunya saling menatap, mereka teringat kejadian beberapa bulan lalu, Sarkawi pun sempat mendatangi Nyi Acah untuk mengajaknya menikah. Nyi Dasih menyangka Nyi Acah akan berjodoh dengan Sarkawi. Tetapi hal itu urung terjadi.
18
S
emakin hari, Lapidin dan Nyi Acah semakin akrab. Keduanya menunjukan tanda-tanda saling memiliki rasa suka. Malam itu sedang purnama, Lapidin dan
Nyi Acah sedang duduk berdua di beranda rumah. Semilir angin yang menerpa dedaunan seakan menambah kesan sunyi di malam itu. Lapidin memberanikan diri untuk bertanya kepada Nyi Acah, tentang permintaan Bah Amid tempo hari yang memintanya untuk menikah dengan Nyi Acah. “Apakah Nyai rida bila menikah denganku? Sedangkan aku hanya lelaki miskin, keadaanku yang seperti ini, tidak punya keluarga, maupun saudara. Hanya seorang pengembara yang tidak punya tempat berpulang.” Lapidin bertanya Nyi Acah menjawabnya dengan anggukan kepala, ia tak bisa berkata-kata, seakan menahan tangis yang sudah tidak terbendung. Hatinya senang, hal yang selama ini ia tunggu akhirnya tiba. Di rumah yang tidak jauh dari kediaman Bah Amid, Nyi Dasih terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi buruk, seakan melihat purnama yang terang, tiba-tiba menghilang seketika. Suasana langit mendadak gelap gulita.
19
Sambil terhuyung, Nyi Dasih mendekati jendela. Ia melihat purnama masih bersinar, Nyi Dasih sadar yang baru saja ia lihat hanyalah mimpi. Hatinya tenang. Sudah menjadi ketetapan dari Allah, kebahagian pun datang untuk keduanya, jalinan kasih antara Lapidin dan Nyi Acah akhirnya diikat oleh pernikahan. Nyi Dasih patah harapan, impiannya untuk hidup bersama Lapidin hanya sebatas angan belaka. Sirna seketika, yang tersisa hanya sakit di hati, seakan disayat. Sudah tiga bulan berselang, Nyi Acah terlihat berbadan dua. Ia memiliki suatu permintaan kepada Lapidin agar dibawakan biji karet yang akan diolahnya menjadi makanan kesukaannya. Saat memasuki musim kemarau, dahan-dahan pohon karet banyak yang meranggas, daunnya berjauhan, buahnya yang kering bertebaran. Lapidin memungut biji karet yang sudah terpisah dari buahnya, sambil memotong rumput yang bercampur dengan tanaman merambat. Dikumpulkan sampai dirasa cukup banyak, lalu dimasukan ke dalam sarung kemudian diikat tali dari tanaman merambat. Pada siang hari, selepas mengumpulkan biji karet. Ia beristirahat di bawah pohon karet yang teduh, tidak sadar ia pun tertidur. Hari semakin sore, ditandai dengan suara serangga yang saling bersautan. Lapidin berdiri dan bergegas melanjutkan perjalannannya. 20
“Lapidin! Berhenti! Aku masih penasaran!” Ketika dilihat, ternyata teriakan itu berasal dari Sarkawi. Ia bersama kawanannya berniat untuk membalas dendam. Sarkawi merasa dendam karena Lapidin sudah menikahi Nyi Acah, sebelumnya Sarkawi pernah menggoda Nyi Acah dengan perhiasan dan uang tetapi hal itu ditolaknya. Lapidin
bersiap.
Serepet!
Gerombolan
Sarkawi
menghunuskan golok yang sangat tajam dan berbahaya. Mereka menyerang secara serampangan, Lapidin mengelak. Satu persatu golok yang mereka bawa mulai berjatuhan, pukulan Lapidin telak mengenai mereka. Sarkawi yang mencoba menyerang dari belakang mengenai tali pengikat gembolan yang dibawa Lapidin, biji karet pun berjatuhan. Lapidin dengan cepat mengambil golok yang tergeletak. Sreet! Secepat kilat, empat jari tangan sebelah kanan Sarkawi ditebasnya. Darah mengucur deras, Sarkawi menjerit kesakitan. Mereka lari kocar-kacir. Lapidin kembali memunguti biji karet yang sempat terjatuh karena sabetan Sarkawi. Setelah sampai di rumah, ekspresi Lapidin sedikit berbeda dari biasanya. Ia tidak banyak berbicara dengan Nyi Acah. Setelah menunaikan sholat maghrib, Nyi Acah memberanikan diri untuk bertanya kepada Lapidin.
21
“Ada apa, Kang? Apa yang terjadi?” Nyi Acah bertanya, tetapi Lapidin enggan untuk menjawab. Ia terlihat bersandar dengan tatapan kosong menghadap ke langit. “Nyai ada hubungan apa dengan Si Sarkawi?” tanya Lapidin. Nyi Acah terkejut.
Ia
terdiam,
seakan bingung
memberikan jawaban. Bah Amid yang saat itu sedang sakit terbaring di kamarnya, menguatkan diri untuk bangun karena mendengar Lapidin yang bertanya kepada Nyi Acah dengan menyebut nama Sarkawi. “Tidak ada hubungan apapun, Nak!” Bah Amid menjawab dengan suara lirih, sambil menghampiri Lapidin. “Tetapi memang, beberapa tahun yang lalu. Si Sarkawi pernah mendatangi Nyi Acah untuk mengajaknya menikah. Tetapi setelah diperhatikan, sikap Sarkawi sangat kasar. Jadi oleh Abah tidak disetuju bila Nyi Acah harus menikah dengan lelaki seperti itu.” Bah Amin menjelaskan kejadian sebenarnya. Sudah beberapa hari, Lapidin ikut bekerja menjadi rodi untuk meratakan dan membuka akses jalan dari Pamanukan menuju Subang. Jalan yang sempit itu diperluas dan diratakan. Dipinggirannya, ditanami pohon mahoni, berjajar disepanjang jalan. Sebuah pekerjaan yang berat dengan mayoritas pekerja sudah berusia tua.
22
Mereka dipaksa untuk bekerja oleh kolonial Belanda. Rata-rata mereka adalah rakyat yang tidak mampu membayar pajak atau membayar denda. Sebagian pekerja terlihat sudah tidak berdaya, kondisi yang sangat memprihatinkan. Tetapi ketika Lapidin ikut membaur sebagai rodi, Ki Mandor tidak berani menyiksa mereka yang sudah tidak sanggup untuk bekerja. Tiba-tiba dari kejauahnan, terlihat Bah Amid dengan setengah berlari memberi tahu Lapidin tentang keadaan istrinya yang akan melahirkan. Dengan tergesa, Lapidin segera berlari untuk melihat Nyi Acah. Ia diliputi perasaan bahagia sekaligus khawatir. Setibanya di rumah ia mendengar suara bayi yang baru lahir, Lapidin pelahan masuk ke dalam rumah dan mendapati seorang anak laki-laki yang lahir dengan selamat, namun takdir berkata lain. Setelah melahirkan Nyi Acah tidak bisa diselamatkan, ia sudah tidak bernyawa. “Innalillahi
wainna
ilaihi
roji’un!”
Lapidin
coba
membangunkan istrinya yang sudah terbaring kaku, Lapidin memeluknya sambil tersedu-sedu. Semenjak Nyi Acah meninggal, Lapidin sangat telaten mengurus anaknya. Seorang anak laki-laki yang tampan seperti ayahnya. Tetapi ingatannya terhadap Nyi Acah tidak akan pernah hilang sampai kapan pun. 23
L
apidin juga menyukai seni. Sewaktu di pesantren, ia sangat berbakat dalam memperagakan seni ibing penca, yakni tarian yang dikombinasikan dengan gerakan pencak
silat.
Kesukaannya
terhadap seni tradisi, membuat hati Lapidin sedikit teralihkan dari rasa rindunya terhadap Nyi Acah. Pada suatu pagi, Lapidin terlihat sedang membuat sebuah terompet berukuran kecil. Sambil menunggu lahan padi yang mulai merekah. Ketika sedang asyik memainkan terompet, terdengar samar dari kejauhan suara seruling, semakin lama suara itu semakin mendekat. “Siapakah yang sedang memainkan seruling itu?” Lapidin terus mencari sumber suara seruling tersebut. Ternyata suara seruling itu berasal dari seorang remaja penggembala yang sedang memainkan seruling sambil menaiki kerbau yang digembalanya. Berjalan pelan dari ujung jalan.
24
Lapidin lantas berteriak memanggilnya, gembala itu menoleh sambil tersenyum, lalu menghampiri Lapidin dengan menuntun kerbaunya. Lapidin mengajaknya beristirahat dan mengobrol di sebuah saung pinggiran lahan pesawahan. “Siapa namamu, Nak?” Tanya Lapidin kepada remaja penggembala itu “Juha, kalau Akang?” Remaja penggembala itu bertanya “Lapidin, dari kampung Sembung” Hari semakin sore, tidak terasa percakapan antara Lapidin dan Juha pun sudah berlangsung sangat lama, mereka asyik berbincang. Dari perbincangan mereka, diketahui bahwa Juga memiliki bakat dalam memainkan alat musik lain seperti rebab. Juha pun sering ikut bersama rombongan ketuk tilu bersama kakaknya yang merupakan seorang ronggeng. Lapidin senang, ternyata masih ada anak muda yang senang terhadap seni tradisi, terlebih ia sangat tertarik dengan hiburan rakyat bernama ketuk tilu. Juha mengaku tidak pernah belajar waditra kepada siapa pun, hal itu ia lakukan hanya sekadar mengisi kejenuhan pada saat menggembala. Keesokan harinya, Lapidin dan Juha kembali bertemu di saung pinggiran lahan pesawahan. Kali ini, Juha ingin menunjukan kebolehannya dalam memainkan rebab kepada Lapidin. Juha memainkannya sangat terampil, sesekali Juha memainkan rebabnya dengan diiringi sebuah lagu. 25
“Lagu apa itu, Nak?” Lapidin bertanya pada Juha, ia tampak menyukai lagu yang ia mainkan melalui suara rebabnya. “Kembang gadung, Kang. Lagu itu biasa dinyanyikan oleh para sinden di hiburan ketuk tilu. Akhirnya Juha pun berencana mengajak Lapidin untuk menonton ketuk tilu, Juha memberi tahunya bahwa rombongan ketuk tilu nanti malam akan menggelar acara di Atelir Cigadung yang terletak di seberang gedung Socitetet.
Sumber: disparbud.jabarprov.go.id Pada malam itu, Lapidin dan Juha tampak hadir untuk menonton ketuk tilu. Mereka berdua datang terlambat, terlihat disana ada empat orang ronggeng yang menari berlenggaklenggok menghibur para penonton yang hadir di pelataran Atelir. 26
Sudah beberapa kali rombongan ketuk tilu menggelar acara. Lapidin yang ditemani Juha tidak pernah terlambat menonton. Malam itu, setelah sholat Isya. Rombongan ketuk tilu terlihat bersiap untuk menggelar hiburan, penonton yang hadir sudah tampak memadati pelataran Atelir. Disana juga tampak Nyi Dasih yang datang bersama beberapa temannya dari kampung Sembung. Ketuk tilu diawali dengan tetabuhan kendang, diikuti dengan iringan para ronggeng Mojang Subang yang tampak menawan, menari di pelataran tari. Juha lalu menunjuk salah satu ronggeng, ia mengatakan pada Lapidin bahwa itu adalah kakak perempuannya yang bernama Nyi Odah. Ia merupakan ronggeng yang paling cantik dan menjadi idola para penonton.
Sumber: Arsip Fikri Pradista Zidny Fauzar
27
Lama-lama, Lapidin pun akhirnya tertarik untuk ikut menari di pelataran Atelir. Ia tampak menghampiri pimpinan rombongan ketuk tilu dan membisikan sesuatu. “Lagu kembang gadung dan goletrak” Lapidin berbisik meminta agar melantunkan lagu kembang gadung dan goletrak sebagai kesukaannya. Nyi Dasih terkejut ketika melihat Lapidin mulai menari di pelataran Atelir. Ia tidak menyangka bahwa selama ini Lapidin memiliki bakat seni, gerakannya sangat luwes. Setiap gerakan yang diperagakan Lapidin, membuat penonton berdecak kagum. Dari mulai gerak ngabuka, bajing luncat, meulit kacang, mincid, semua diperagakan dengan luwes. Ketika melantunkan lagu goletrak, Lapidin menghampiri ronggeng yang paling cantik, lantas Nyi Dasih memalingkan muka, tidak kuasa untuk melihatnya. Hatinya diliputi rasa cemburu.
Semenjak Lapidin tampil di hiburan ketuk pada malam itu, mendadak Lapidin menjadi terkenal ke seluruh wilayah Subang. Ia dikenal sebagai Jawara ketuk tilu, sebuah kesenian rakyat yang disukai oleh semua orang, khususnya di wilayah Subang dan sekitarnya.
28
Tetapi kesukaannya terhadap ketuk tilu lantas tidak sampai membuatnya mengumbar nafsu, karena memiliki pondasi ilmu agama yang kuat. Pada
siang
hari,
Lapidin
pergi
melakukan
rutinitasnya untuk menjaga lahan padi yang mulai merekah
tetapi
ia
menyengaja
berjalan
memutar
melewati kampung Handiwung. Memenuhi ajakan Juha yang ingin mengajaknya untuk berkunjung ke warung Nyi Odah. Tetapi sesampainya di kampung Handiwung, ternyata Juha sudah pergi untuk menggembala kerbau. Lapidin sempat berbincang dengan Nyi Odah, ia memuji Lapidin yang sangat luwes dalam memeragakan gerakan tari di Atelir tempo hari. Nyi Odah memberitahu Lapidin bahwa nanti malam dirinya bersama rombongan akan menggelar ketuk tilu di wilayah Cijuhung.
29
P
ada malam itu, penonton ketuk tilu yang hadir Cijuhung sangat banyak. Para ronggeng terlihat mulai menari berpasang-pasangan,
disana tampak Lapidin bersama Nyi Odah, ronggeng yang disukainya. Menjelang diri hari, Lapidin bergegas pulang.
Ia
berjalan
sendirian
melewati
jalan
perkampungan di wilayah Sumur Gintung. Tiba-tiba,
sekilas
Lapidin
tampak
melihat
gerombolan orang sedang berlari diantara semak-semak. Lapidin mengejarnya, disana tampak tiga orang dengan penutup wajah sedang berlari, satu diantaranya seperti membawa sebuah gembolan. Ketika mereka mengetahui Lapidin sedang mengejar, ketiganya lantas berhenti dan berbalik menyerang Lapidin. Sabetan golok tampak menerjang dan saling beradu, Lapidin dengan sigap melompat lalu menendang seseorang yang membawa gembolan besar sampai tersungkur.
30
Dilanjutkan
dengan
hantaman
tangan
yang
dilayangkan kepada kedua orang sisanya. Berkat ketangkasan Lapidin, ketiga orang tersebut berhasil dilumpuhkan. Pada saat Lapidin membuka penutup wajah mereka, ia terkejut ternyata salah satu diantaranya adalah Sarkawi yang meringis kesakitan, ia meminta belas kasih Lapidin. “Ampun, Lapidin!” Sarkawi memohon ampun, ia berjanji tidak akan merampok dan menuruti semua yang diperintahkan Lapidin kepadanya. Ternyata pada malam itu, Sarkawi bersama komplotannya baru saja merampok. Kemudian hasil rampokan itu diserahkan kepada Lapidin. Selang sehari berikutnya, pada pagi hari, Nyi Dasih mendatangi Lapidin, ia menanyakan sesuatu tentang kejadian tadi malam. “Kang, apakah perhiasan yang tiba-tiba berada di depan
rumah
ini
termasuk
halal?”
Nyi
Dasih
menunjukan sebuah perhiasan, Lapidin menjawabnya dengan tenang. Ia mengatakan bahwa rezeki itu halal, bisa menjadi miliknya. Lapidin menegaskan, Nyi Acah tidak perlu tahu dari mana asalnya. 31
Pada hari itu, kampung Sembung, Sumur Gintung dan sekitarnya. Rakyat yang hidupnya miskin mendadak menemukan sejumlah uang dan perhiasan di rumah mereka.
Lapidin
terlihat
bersandar
di
pelataran
rumahnya, ia teringat kejadian pada saat Sarkawi memberikan gembolan yang ternyata isinya adalah hasil perampokan. Sekarang Sarkawi sudah kapok, ia berjanji akan menuruti semua perintah Lapidin.
32
N
yi Odah, ronggeng yang menjadi pasangan Lapidin ketika menari di ketuk tilu, pada malam itu masih terjaga, hatinya gelisah. Pikirannya sesak dipenuhi rasa cemas dan
tanya. Apakah benar Lapidin akan mengharapkan dirinya? Atau hanya sebatas rasa suka ketika di pegelaran ketuk tilu? Pada malam itu, Lapidin sedang berada di rumah. Ketika anaknya mulai terlelap, pandangannya susah terpejam. Tanpa sadar air matanya menetes, bayangan Nyi
Acah
seakan
tidak
pernah
hilang
dari
pandangannya. Membuat dadanya sesak dipenuhi rasa rindu. Pada siang harinya, terdengar kabar Nyi Dasih sedang sakit. Ibunya memelas memohon kepada Lapidin, agar ia bersedia melihat keadaan Nyi Dasih. “Nak! Tolonglah Ibu. Jenguklah Si Nyai, sudah dua hari ia sakit.
33
Badannya menggil dan demam, setiap malam ia selalu mengigau dengan menyebut namamu, Nak!” Ibunya memelas memohon kepada Lapidin. Setelah Lapidin melihat keadaan Nyi Dasih, pada keesokan harinya Nyi Dasih terlihat sehat seperti sebelumnya. Lebih dari itu, kebahagiaannya bertambah setelah diajak melihat lahan sawah yang sebentar lagi akan memasuki musim panen sambil mengasuh anaknya, yang kian akrab dengan Nyi Dasih. Semenjak Sarkawi dan gerombolannya ditangkap oleh Lapidin, keadaan Subang menjadi tenang. Lama tidak terdengar kabar dari para orang kaya yang kehilangan hartanya akibat dirampok, tetapi disisi lain banyak rakyat miskin yang mendapatkan rezeki berupa uang dan perhiasan yang tiba-tiba berada di depan pintu rumah mereka. Pada
saat
itu,
wilayah
Subang
merupakan
hamparan perkebunan yang sangat luas. Membentang dari pesisir utara sampai ke perbatasan Gunung Tangkuban Parahu di sebelah selatan.
34
Lahan partikelir itu tadinya dibeli oleh dua pengusaha yang berasal dari Inggris, bernama Mutinghe dan Sharpell.
Sumber: disparbud.jabarprov.go.id
Tetapi lahan tersebut dijual kepada keluarga berkebangsaan Belanda, yaitu keluarga Hofland. Ketika itu yang memegang kuasa dan hak milik Pamanoekan En Tjiasem (P&T Lands) adalah Peter Willem Hofland. Demi keamanan pemerintah Belanda memberikan kuasa kepada Tuan Hofland agar mengangkat para demang. Akhirnya Tuan Hofland membentuk delapan kademangan di Subang, yaitu kademangan Batu Sirap (Cisalak), Ciherang (Wanareja), Sagalagerang, Pagaden, Pamanukan, Ciasem, Malang (Purwadadi) dan Kalijati.
35
Tuan Hofland memberikan perintah kepada para Demang untuk mencari para jawara untuk dijadikan centeng, hal itu ia lakukan untuk memberikan rasa aman terhadap semua aset kekayaan dirinya, terlebih kekayaan P&T Lands. Perintah Tuan Hofland segera dilaksanakan oleh Ki Demang, ketika itu ia teringat obrolannya dengan Ki Mandor beberapa tahun yang lalu. Ketika Ki Mandor menyiksa seorang kakek yang tidak berdaya di wilayah Sembung. Ki Demang bermaksud untuk merekrut Lapidin sebagai centeng. Pagi itu, Lapidin sedang bekerja sebagai rodi. Meratakan jalan utama di Pamanukan. Saat itu, Ki Demang sengaja menghampiri Lapidin. “Lapidin,
apakah
engkau
bersedia
untuk
memimpin para centeng? Engkau akan diberi gaji yang besar, hidupmu akan terjamin, apapun yang engkau minta akan disediakan, emas, uang, bahkan perempuan. Tugas utamamu adalah memimpin semua centeng untuk menjaga seluruh aset kekayaan P&T Lands dan pemerintah Belanda, agar tidak dirampok. Engkau sanggup?”
36
“Maaf, secara terus terang aku tidak sanggup!” Lapidin menjawabnya dengan tegas, ia menolak. Lapidin merasa kesal kepada penjajah dan para kroni-kroninya, apalagi terhadap mereka, rakyat pribumi yang merasa dirinya sebagai bangsa Belanda, dan bekerja sebagai kaki tangan kolonial. Mendengar jawaban Lapidin, Ki Demang sangat terkejut, ia tidak menyangka ada seseorang yang berani menampik ajakannya.
Sumber: disparbud.jabarprov.go.id
Pada malam itu, para tuan-tuan dan noni-noni Belanda di Subang sedang berpesta di Gedung Societet. Mereka berdansa dan bermabuk-mabukan, sebagian dari mereka sedang berjudi. Lapidin seakan melihat celah dan peluang besar dalam melakukan aksinya. 37
Pada malam itu, sasarannya adalah Kantor Besar P&T Lands yang terletak diseberang Gedung Societet. Pada saat itu Lapidin mengajak Sarkawi, karena lokasi sasaran dijaga oleh para centeng terbaik pilihan Ki Demang. Dua belas centeng berhasil dilumpuhkan, Lapidin dan Sarkawi secara leluasa mengambil semua aset P&T Lands. Hasilnya akan dibagikan kepada rakyat miskin di Subang,
lain
mendapatkan membagikannya.
halnya hasil,
dengan ia
Sarkawi
tidak
Sarkawi.
Setelah
berniat
untuk
berniat
untuk
mengabiskannya sendiri. Setelah kejadian perampokan di Kantor Besar P&T Lands, Ki Demang sangat geram dan mulai merekrut para jawara untuk mencegah aksi perampokan yang semakin meresahkan, karena terus menargetkan semua aset kekayaan P&T Lands. Ki Demang juga membuat sayembara yang berhadiah seratus gram emas dan ribuan gulden untuk siapa pun yang mengetahui identitas si perampok, terlebih bagi siapa pun yang bisa membunuhnya. Akhirnya sayembara itu sampai ke telinga Sarkawi, ia tergiur dengan hadiah yang diberikan. 38
Terlebih
Sarkawi
sangat
mengetahui
siapa
perampok yang sedang dicari oleh pemerintah Belanda, ia adalah Lapidin. Kelicikan, keserakahan Sarkawi pun mulai terlihat ketika ia membocorkan identitas si perampok kepada Ki Demang. Ditambah dengan rasa dendamnya terhadap Lapidin, Sarkawi pun berniat untuk bekerjasama dalam mengatur siasat dengan Ki Demang untuk menangkap Lapidin. “Tapi apakah hal itu tidak berbahaya? Bagaimana jika nanti malah mengancam keselamatan kita?” Ucap anak buah Sarkawi yang dahulu pernah menemaninya dalam melakukan aksi perampokan. Sarkawi terdiam, tetapi tidak lama kemudian ia langsung bergedas menemui Ki Demang. Siang itu, Sarkawi sengaja mendatangi warung Nyi Odah. Karena sudah lama Sarkawi selalu mengejar Nyi Ronggeng itu, ia menggoda dengan sejumlah emas yang sangat banyak. Tetapi kembali, Nyi Odah tidak bergeming.
39
Ia menolaknya, tetapi Sarkawi tidak habis akal. Ia menceritakan asal usul dari perhiasan dan uang yang biasa rakyat miskin terima secara misterius. Terlebih Sarkawi mengatakan, orang yang memberikannya. Tetapi Nyi Odah tidak begitu saja percaya, selama ia tidak
mendengarnya
langsung
dari
orang
yang
dimaksud. “Bohong, Nyi. Jangan dengarkan perkataan Si Sarkawi. Seperti yang diketahui, aku tidak pernah kemana-mana selain ke sawah atau menari di Atelir bersama Nyi Odah.” Lapidin menjawab pertanyaan Nyi Odah, terkait dengan cerita Sarkawi yang mengatakan bahwa Lapidin merupakan orang yang membagibagikan uang dan perhiasan kepada rakyat miskin. Tatapan Nyi Odah semakin tajam, ia seakan terpesona dengan karisma Lapidin. Berselang beberapa hari, rasa rindu Nyi Odah terobati. Ia diajak oleh Lapidin untuk melihat padi yang sebentar lagi siap untuk dipanen. “Nyai, apakah bersedia jika mengurus anakku setiap hari? Setiap waktu? Lapidin tiba-tiba bertanya, Nyi Odah seakan tidak percaya terhadap apa yang ia dengar. 40
“Maksudnya” Nyi Dasih mencoba memastikan “Bagaimana dengan Nyi Odah?” Nyi Dasih merasa penasaran. Kemudian Lapidin menjawab, bahwa Nyi Odah hanyalah pasangan pada saat ia menari ketuk tilu di Atelir. Seketika Nyi Dasih lega mendengarnya. Pada hari itu, Nyi Odah mendapat kebahagiannya lain. Ia mendapat undangan dari Ki Demang untuk menggelar ketuk tilu di halaman gedung Societet, acara yang lebih meriah dari biasanya. “Acara sangat meriah, Nyi. Di dekat lapangan golf, tepatnya di halaman gedung Societet. Nyai bersama rombongan ketuk tilu harus datang untuk menggelar hiburan. Jangan lupa beritahukan kepada Lapidin, acara itu tidak akan meriah tanpa kehadirannya. Anggap saja ini hanya sebagai bayaran awal untuk Nyai, nanti akan ditambahkan dengan bonus lainnya.” Kata Ki Demang. Nyi Odah sangat senang mendapat bayaran lebih banyak dari biasanya, terlebih ia akan bertemu dengan dia.
41
Lelaki yang selalu diimpikan, Lapidin jawara Subang. Ia sudah tidak sabar untuk menemui Lapidin. Waktu sore hari, Nyi Odah telah sampai di depan rumah Lapidin. Tetapi sebelum Nyi Odah sempat mengucap salam, terdengar dari dalam rumah, suara Lapidin seperti sedang berbicara dengan serius. “Kasihan, Bah. Anak seusia dia sudah terlalu lama tidak merasakan kasih seorang ibu. Aku bermaksud untuk memohon izin dari Abah, untuk menikah.” Ucap Lapidin, suara itu terdengar jelas oleh Nyi Odah di luar. Jantungnya berdebar kencang, mukanya pucat, seakan salah tingkah. “Semoga saja ya Allah!” Nyi Odah penuh pengharapan, ia terus mendengar percakapan Lapidin “Abah pasti mengijinkan, Nak. Malah bersyukur. Tetapi siapa yang akan menjadi ibu dari anakmu, Nak? Tanya Bah Amid “Emh…, Nyi Dasih, Bah!” Jawab Lapidin, bagai mendengar petir di siang bolong. Nyi Odah patah harapan, hatinya bagai disayat, terasa sakit. Pengharapan yang selama ini ia impikan siang dan malam, menghilang
42
sejak saat itu tidak tersisa. Ia tidak jadi memberitahukan informasi yang dibawanya, Nyi Odah lantas pulang. Keesokan harinya, selepas melihat lahan sawah. Lapidin berkunjung ke warung Nyi Odah. “Assalamualaikum…!” Lapidin mengucap salam. Nyi Odah terkejut, wajahnya pucat pasi. “Waalaikumsallam…! Eh Akang?” Jawab Nyi Odah, saat itu ia mencoba menyembunyikan kesedihan hatinya. Nyi Odah memalingkan muka, ia tampak salah tingkah. Hatinya tidak bisa dibohongi, lalu Nyi Odah menyampaikan informasi bahwa ia akan mengadakan pegelaran ketuk tilu pada malam minggu ini, tepatnya di halaman gedung Societet. Disisi lain, Nyi Dasih sedang diliputi rasa bahagia. Tadi malam, Lapidin dan anaknya ditemani Bah Amid, telah bertanya terkait dengan kesediaan Nyi Dasih untuk menjadi istri Lapidin. Akhirnya sesuatu yang ia impikan bisa terlaksana, berjodoh dengan Lapidin.
43
S
iang itu, Ki Demang tampak sibuk. Ia ditemani dua orang centeng bergegas menuju kediaman Tuan Hoflan di gedung Societet. Kedua orang
itu,
berdiskusi
dengan
serius.
Tuan
Hofland
memerintahkan Ki Demang agar acara tersebut lebih meriah dari biasanya. “Hiburan ketuk tilu nanti malam harus lebih meriah dari
biasanya,
harus
berhasil
sebagaimana
yang
direncanakan dan dijelaskan minggu lalu. Segalanya silakan atur oleh Ki Demang” Ucap Tuan Hofland dengan tegas Di pelataran rumah Lapidin, tampak Nyi Dasih menyakinkan Lapidin agar tidak menghadiri ketuk tilu. Lapidin memohon dan berjanji bahwa malam nanti akan menjadi pagelaran pamungkasnya dalam berkesenian ketuk tilu, terlebih acara yang akan diadakan nanti malam akan lebih meriah dari biasanya.
44
Malam pun tiba, gedung Societet berbeda dari biasanya. Terlihat dipenuhi cahaya damar yang melingkar mengitari seluruh arena pagelaran. Di malam itu, diadakan hiburan ketuk tilu yang istimewa. Ketuk tilu pun dimulai, diawali dengan alunan rebab sebagai pengiring lagu, disambung dengan suara gendang lalu gong
besar
yang
menggelegar.
Prung!
Para
sinden
melantunkan lagu kembang gadung, lagu yang menjadi kesukaan Lapidin. Lapidin menari di pelataran gedung Societet. Ia mulai menunjukan kemampuannya dalam seni ibing penca. Ketika akan beralih melantunkan lagu goletrak, dari belakang penonton terdengar suara ribut, orang-orang berteriak. “Bubar, bubar…! “Kepung…! Jangan sampai kabur!” Jep. Hiburan seketika berhenti, para penonton terlihat panik, membubarkan diri. Lapidin dikepung oleh belasan pecalang Ki Demang, mereka hanya berbekal tangan kosong. Karena diperintahkan untuk menangkap Lapidin dalam keadaan hidup. Para nayaga dan para ronggeng terlihat ketakutan, mereka bersembunyi. Hanya tampak Nyi Odah dan Juha yang merasa cemas menyaksikan Lapidin yang sedang dikepung.
45
Lapidin terus menerjang dan melakukan perlawanan, ia menangkis, menghindar, memukul dan meloncat. Pelataran gedung Societet pada malam itu berubah menjadi arena peperangan yang tidak seimbang. Pada satu kesempatan, Lapidin melihat sedikit celah. Ia dengan cepat menerobos, sambil melumpuhkan beberapa pecalang yang menghalanginya. Tidak lama berselang, datanglah para tentara Belanda. Tetapi Lapidin sudah menghilang, ia berlari ke arah selatan, menghilang diantara rimbunya perkebunan. Pecalang dan tentara Belanda terus mencari Lapidin, tetapi urung ditemukan. Ketika memasuki waktu subuh, Lapidin akhirnya sampai di rumahnya. Ia termenung di pelataran rumah, Lapidin memikirkan nasib anaknya. Di dalam rumah, Lapidin bergegas menemui anaknya yang sedang tidur, ia usap keningnya dengan lembut lalu diciumnya. Lapidin menatap wajah anaknya, tidak terasa matanya sembab oleh air mata. Setelah berbicara dengan Bah Amid, Lapidin segera pergi melalui pintu belakang dengan membawa gembolan yang diikatkan di pundaknya. Ia lantas mendekati jendela rumah Nyi Dasih, sambil mengetuknya. Setelah menitip pesan dan memberikan sejumlah emas dan uang, ia langsung menghilang di tengah gelapnya malam.
46
Akhirnya berita tentang Lapidin tersebar, menjadi rahasia umum. Semua orang pada hari itu baru mengetahui, ternyata Lapidin adalah orang yang selama ini sering membagi-bagikan rezeki kepada rakyat miskin. Kini Lapidin menjadi buronan pemerintah kolonial Belanda. Tetapi kewibawaan dan kepahlawanannya akan tetap menjadi kebanggaan masyarakat Subang. Pada suatu hari, terdengar kabar bahwa anaknya telah diculik oleh orang suruhan Ki Demang. Ia dijadikan jaminan agar Lapidin menyerahkan diri. Sudah satu malam ia dikurung dalam kamar belakang di kediaman Ki Demang. Anak itu menangis, terus memanggul nama ayahnya dan Nyi Dasih. Hingga kabar penculikan itu diketahui oleh Tuan Hofland, ia sangat marah kepada Ki Demang. “Idiot, siapa yang menyuruh Ki Demang untuk menculik anak itu?” Tuan Hofland berbicara dengan keras, ia bertanya kepada Ki Demang “Ini berbahaya, itu bukanlah tugas Ki Demang. Cepat perhatikan makanannya. Pastikan ia dalam keadaan sehat, bila terlihat sakit, segera pulangkan kepada keluarganya!” Tuan Hofland marah kepada Ki Demang. Semenjak
Lapidin
menjadi
buronan
pemerintah
Belanda, ia menghilang tidak diketahui persembunyiannya.
47
Satu waktu, anaknya sakit, badannya menggigil menahan dingin, mukanya pucat. Disana tampak Nyi Dasih bersama ibunya dan Bah Amid berkumpul. Semuanya diliputi kecemasan. Sampai pada akhirnya Lapidin pun datang untuk melihat keadaan anaknya. “Nak, segera bawa anakmu untuk diobati! Kasihan, jangan tunda. Bawa anakmu berobat ke kampung Selahaur, disana ada seorang ahli pengobatan.” Ucap Bah Amid. Lapidin segera bergegas, anaknya digendong dengan kain samping yang membalut tubuhnya lalu diletakan dipunggungnya. Tibatiba di jalan sebelum kampung Selahaur, Lapidin diterjang oleh belasan orang, diserang dengan golok, Ki Lapidin pun melakukan perlawanan. Namun, nahas anaknya harus terkena sabetan senjata tajam.
Sumber: Arsip Fikri Pradista Zidny Fauzar
48
“Aduh, Ayah…!” anaknya menjerit, anaknya terkena sabetan golok tepat dipunggungnya, meringis kesakitan. Lapidin semakin beringas, bagaikan harimau sedang menamuk. Dua orang terkapar ditanah, tampak tidak bergerak. Dengan cepat Lapidin membuka kain samping yang membalut tubuh anaknya. Lapidin memangkunya, tampak darah yang tidak berhenti mengucur. Ia memeluk tubuh anaknya yang sudah terkulai lemas dipangkuannya. Lapidin menangis, tangannya bergetar, melemah. Sudah takdir dari Allah, akhirnya sang anak mendahului
ayahnya
berpulang
kepada
Sang
Pemilik
Kehidupan. Tidak lama, pasukan Belanda datang mengapung. Lapidin bagai tidak punya kekuatan untuk melakukan perlawanan, ia pasrah. Tangannya diborgol lalu dibawa ke penjara. Terhitung satu malam, sejak Lapidin berada dalam penjara. Dua pergelangan tangannya diikat dan digantung. Tambang dadung yang mengikatnya dikaitkan pada tiang di ruangan itu. Mukanya membiru, bekas pukulan. Dibawah hidungnya tampak bekas darah yang mulai mengering, memanjang sampai ke ujung dagu. Begitu pun bekas darah disudut bibirnya.
49
Sumber: Arsip Fikri Pradista Zidny Fauzar “Oh…, ini rampok yang sok jagoin itu? Dasar bodoh! Pantas saja engkau menolak ditawari gaji yang besar, ternyata kamu perampoknya.” Ucap Ki Demang, ketika datang ditemani para centengnya “Cuah!” Lapidin meludah di depan Ki Demang. Ceter, ceter! Lalu Lapidin dicambuk oleh Ki Damang, bekas luka cambukan itu membekas tepat dimukanya. Lapidin memejamkan matanya, menahan rasa sakit. Setelah itu, Ki Demang berbincang dengan para penjaga, mereka
membicarakan
tentang
ditimpakan pada Lapidin.
50
hukuman
yang
akan
Ki Demang bersikukuh bahwa Lapidin harus dihukum mati, kerena telah membunuh kedua centengnya. Tetapi para penjaga mengatakan bahwa bukti saksi tidak kuat. Para ank buah Ki Demang yang selamat, semuanya masih pingsan. Tiba-tiba Sarkawi datang, ia mengatakan ingin bertemu Lapidin. Padahal tujuan Sarkawi pada saat itu adalah mencelakai Lapidin, ia berniat membalas dendam. Pada saat petugas penjara sedang berbincang dengan Ki Demang, tibatiba penjaga yang mengantar Sarkawi menuju ruang tahanan terlihat panik. Ia melaporkan bahwa telah terjadi keributan. Setelah dilihat, disana tampak Sarkawi yang sudah terbaring kaku dengan mata melotot, sudah tidak bernyawa. Kabar terbunuhnya Sarkawi pun cepat tersebar, Nyi Dasih yang saat itu mengetahui bahwa Lapidin sedang berada di
penjara,
bergegas
untuk
melihat
keadaanya.
Saat
diperjalanan, Nyi Dasih tanpa disengaja bertemu dengan Nyi Odah, yang memiliki tujuan yang sama. Akhirnya mereka berdua berangkat bersama dengan menaiki kereta lori, disisi lain Nyi Odah berusaha tegar menyembunyikan
perasaannya.
Padahal
sebelumnya
ia
mengetahui bahwa Lapidin lebih memilih Nyi Dasih sebagai pengganti Nyi Acah, istrinya yang sudah meninggal.
51
Namun sesampainya di ruang tahanan para penjaga berkelit dengan mengatakan bahwa Lapidin langsung kabur setelah
membunuh
Sarkawi,
kedua
penjaga
tersebut
berbohong. Padahal Lapidin sudah dipindahkan pada sutu ruangan khusus yang gelap dan sempit, sambil menunggu waktu hukuman.
Sumber: Arsip Fikri Pradista Zidny Fauzar
52
Akhirnya Lapidin pun mendapatkan vonis hukuman mati. Sebelum melakukan dieksekusi, pihak pemerintah Belanda menanyakan permintaan terakhirnya. “Lapidin, apa permintaan terakhirmu sebelum dihukum mati?” Tanya seorang utusan pemerintah Belanda kepada Lapidin
Sumber: Arsip Fikri Pradista Zidny Fauzar Lapidin menjawab bahwa ia menampik (menolak) untuk dihukum gantung sebelum mendengar lagu kembang gadung. Peristiwa penolakan ini kemudian dikenal dengan ungkapan tampik Lapidin.
53
Istilah ini ditunjukan kepada seseorang atau sekelompok orang yang dengan tegas menolak terhadap sesuatu yang kurang berkenan atau tidak disukai. Waktu Subuh, nayaga dan sinden melantunkan kidung kembang gadung. Dengan suara lirih, Lapidin mengucapkan kalimat laa ilaha ilallah untuk menutup kisah hidupnya. Bagaimana pun saktinya Lapidin, pada akhirnya ia tertangkap dan dihadapkan pada tiang gantungan. Lapidin dihukum gantung di pohon tanjung sekitar jalan Ade Irma Suryani, kelurahan Cigadung. Tepatnya di depan gedung Societet, kini dikenal dengan nama gedung Wisma Karya yang menjadi ikon bersejarah di pusat Kota Subang.
54
Akang
: Sapaan dalam bahasa Sunda yang berarti kakak (laki-laki) atau saudara laki-laki paling tua.
Nyai
: Sapaan dalam bahasa Sunda yang
ditunjukan
perempuan
dewasa
kepada yang
belum atau sudah menikah Ama
: Sapaan untuk orang tua, guru yang memberi nasihat, seseorang yang bijak.
Toyibah
: Kalimat-kalimat kebaikan yang jika diucapkan akan mendapat pahala dari Allah swt.
Atelir
: Atelier/Atelir diambil dari bahasa
Perancis
yang
memiliki arti dasar tempat kerja. Dalam kontek cerita ini, Atelir diartikan sebagai tempat 55
orang-orang
berkumpul
untuk
melakukan
kegiatan
berkesenian,
berkaitan
dengan mode. Seni Ibing Penca
: Salah satu kesenian khas Jawa Barat, dimana kesenian ini mengandung dua unsur seni
yang
tidak
dapat
dipisahkan yaitu seni tari dan gerakan pencak silat. Ketuk Tilu
: Salah satu tarian khas dari daerah
Jawa
Barat
yang
dianggap sebagai cikal bakal tari
jaipong
populer.
yang
lebih
Tarian
ini
mengandung unsur tari dan pencak silat yang dilakukan oleh
para
laki-laki
dan
perempuan
secara
berpasangan
untuk
menunjukan eksistensinya. Ronggeng
: Penari perempuan yang memperagakan gerakan tari tradisonal, 56
pada
masa
kolonial
Belanda
pertunjukkan
ronggeng
dihadirkan untuk menghibur para
tukang
kebun
dan
tentara. Rodi
: Sistem kerja paksa yang diterapkan
oleh
kolonial
Belanda. Gulden
: Mata uang Belanda (sebelum digantikan euro)
Pacalang
: prajurit yang tugasnya mengintai keadaan musuh
Centeng
: Istilah yang digunakan untuk
seorang
penjaga
rumah pada masa kolonial Belanda. Kademangan
: Kecamatan, istilah yang digunakan
pada
masa
kolonialisme Noni
: Panggilan bagi perempuan keturunan Belanda atau Indo dan belum menikah pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia. 57
Afdeling
: Sebuah wilayah administratif pada
masa
kolonial
pemerintahan
Hindia
Belanda
setingkat Kabupaten. Kembang Gadung
: Nama sebuah lagu tradisional sering sinden
dinyanyikan dalam
pertunjukan
58
Sunda
yang para
berbagai
Fikri Pradista Zidny Fauzar, lahir di Subang. Putra pertama dari pasangan Herdis Supriadi,S.Pd dan Titi Khodijah ini menamatkan kuliah S-1 pada tahun 2016 di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mandiri Subang. Selama kuliah, dia aktif dalam berorganisasi, dia tercatat pernah membaktikan diri pada Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mandiri Subang periode 2014-2015 sebagai Menteri Sekretaris Kabinet. Selain itu, dia juga aktif mengajar di SMK Plus Al-Azhar Subang sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saat ini dia melanjutkan pendidikan jenjang magister (S-2) di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dengan mengambil prodi yang sama. Putra berdarang Sunda ini sangat menyukai kebudayaan daerahnya.
59