WADUK PLUIT Semangat Membangun
JAKARTA BARU
WADUK PLUIT
WADUK PLUIT Semangat Membangun
JAKARTA BARU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENERBIT BUKU Jl. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270 e-mail: buku@kompas.com Telp. (021) 5347710 ext. 5601
WADUK PLUIT Semangat Membangun
JAKARTA BARU CopyrightŠ 2014, Kompas Media Nusantara
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku Kompas, 2014 PT Kompas Media Nusantara Jl. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270 e-mail: buku@kompas.com KMN 20505140035 Editor: Kenedi Nurhan Perancang grafis: A Novi Rahmawanta Foto sampul: Dokumentasi Jakarta Propertindo
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit xii + 244 hlm.; 15 cm x 23 cm ISBN: 978-979-709-813-1 Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT. Gramedia, Jakarta
Daftar Isi PENGANTAR PENERBIT Menata Kota, Mengatasi Masalah Sosial
vii
1
WADUK PLUIT DAN TIGA CERITA PENDEK GUS TF SAKAI Gangga Sri 3 Taman Burung 9 Rahmat 17
2
PENATAAN WADUK PLUIT DALAM AMATAN PARA CENDEKIA Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota - Firdaus Ali 25 Menata Waduk Pluit Menyongsong Jakarta Baru - Andy Siswanto 41 Penataan Waduk Pluit: Cermin Pembangunan Sosial-Budaya? - Paulus Wirutomo 55 Banjir: Pelajaran Pahit bagi Semua - Eko Budihardjo 79 Kepemimpinan di Era Otonomi Daerah - Robert Endi Jaweng 87 P(E)Luit Komunikasi Memihak yang Tertinggal - Effendi Gazali 97 v WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
3
WADUK PLUIT DALAM SOROTAN KOMPAS Rusun untuk Korban Banjir 109 Berjaga dalam Kedinginan, Kesunyian, dan Kegelapan... 115 Dari Sekitar Waduk ke Permukiman Nyaman 121 Tanpa Peringatan Dini, Waduk Pun Meluap 125 Mencoba Menikmati Hidup Baru 129 Para Penghuni Liar Itu Terharu 135 Wajah Baru Kawasan Penjaringan 139 ”Kami Merasa Lebih Nyaman” 143 Konsistensi Pemerintah Diuji di Waduk Pluit 149 Diplomasi Makan Siang Ala Gubernur Jokowi 155 Presiden Direktur Pt Jakpro: Menata Kota, Mengatasi Masalah 161 Seribu Pohon untuk Waduk Pluit 165 Waduk Pluit Bersolek Untuk Warga 169 Menambah Ruang Terbuka Ternyata Bisa! 173 Batik di Rusun Marunda 179 Mempercepat Langkah Penataan Waduk 183 Diprioritaskan untuk Warga Miskin 189 Tak Sekadar Memindahkan Warga Miskin 193 Di Pluit, Warga Bersumpah Menjaga Jakarta 199 Jokowi: ”Saya Fokus Pada Kebutuhan Dasar” 203 211 Survei Kompas Embusan ”Jakarta Baru” Mulai Terasa
PENGANTAR PENERBIT
Menata Kota, Mengatasi Masalah Sosial
Belum genap 100 hari pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama (Jokowi-Ahok) memimpin Provinsi DKI Jakarta, awal 2013 mereka sudah dihadiahi “kado istimewa”berupa banjir besar melanda sejumlah wilayah Ibu Kota. Suara-suara miring pun bermunculan melalui media massa
mainstream (cetak maupun elektronik) dan media sosial. Kepemimpinan
GALERI WADUK PLUIT Pra-Revitalisasi 217 Pasca-Revitalisasi 223 Kegiatan 231 Indeks 239 Sumber Naskah 244
Jokowi mendapat ujian. Lewat peristiwa yang selalu berulang itu seakan alam ingin mengingatkan kepada Jokowi—sebagai pemimpin baru di mana begitu banyak harapan untuk mengubah Jakarta yang baru ditumpukan—bahwa penanganan banjir di Ibu Kota butuh cara dan langkah-langkah penanganan yang benar-benar sistematis.
vi
vii
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Menata Kota, Mengatasi Masalah Sosial
Betul bahwa sebagai ibu kota negara sekaligus pusat peme rintahan republik ini penanganan masalah-masalah di Ibu Kota tak hanya tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semata. Peran dan campur tangan (dalam arti bukan merecoki) pemerintah pusat juga diperlukan. Begitu pun pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) di sekitarnya, andil mereka untuk ikut berperan membantu penanganan Ibu Kota yang memiliki akar permasalahan yang saling bersinggungan juga merupakan suatu keniscayaan. Namun, terlepas dari itu semua, tetap saja sosok kepemimpinan yang memegang tampuk pemerintahan di DKI Jakarta paling menentukan untuk menyelesaikan berbagai sengkarut persoalan di Ibu Kota.
Oleh karena itu, dalam konteks ini, menarik untuk melihat bagaimana gaya Jokowi dalam upaya menata kota Jakarta yang—meminjam ungkapan banyak ahli perkotaan—sudah salah urus sejak awal, dengan mengambil contoh kasus penanganan Waduk Pluit.
Sebuah waduk di Jakarta Utara yang semula dimaksudkan sebagai daerah resapan air, kemudian praktis berubah fungsi menjadi daerah hunian “liar” dan kumuh yang tak terkendali itu. Di sini berbagai masalah perkotaan seperti menyatu, termasuk di antaranya masalah sosial kemasyarakatan yang ada di balik itu semua. Tantangan yang dihadapi Jokowi bukan sekadar bagaimana mengembalikan fungsi Waduk Pluit serta menata kawasan sekitar menjadi lebih “berwajah” metropolitan dalam arti positif, tetapi juga bagaimana mencarikan jalan keluar bagi hunian masyarakat miskin yang selama ini tinggal di sana. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Jokowi dalam kasus penataan
viii WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Tantangan yang dihadapi Jokowi bukan sekadar bagaimana mengembalikan fungsi Waduk Pluit serta menata kawasan sekitar menjadi lebih “berwajah” metropolitan dalam arti positif, tetapi juga bagaimana mencarikan jalan keluar bagi hunian masyarakat miskin yang selama ini tinggal di sana.
Menata Kota, Mengatasi Masalah Sosial
Menata Kota, Mengatasi Masalah Sosial
Waduk Pluit adalah bagaimana menerapkan semacam strategi pembangunan yang harus “menggusur”, tetapi tidak serta-merta “meminggirkan” masyarakat miskin dalam jurang kesengsaraan. Lewat sejumlah laporan yang dibuat wartawan Desk Metropolitan Kompas, sedikit banyak terekam bagaimana “sepak terjang” Jokowi (dan wakilnya, Basuki Tjahja Purnama) dalam upaya menata kota Jakarta sekaligus menangani permasalahan sosial yang melingkupinya secara manusiawi dan bermartabat. Banyak pihak menyarankan agar kiranya catatan-catatan ter sebut diterbitkan dalam bentuk buku, sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi generasi mendatang. Dalam proses berikutnya, muncul ide agar tulisan-tulisan tersebut diperkaya dan perbincangan pun diperluas dengan meminta sejumlah narasumber yang ahli di bidang masing-masing untuk memberi semacam catatan pendamping. Pada saat bersamaan, Gus tf Sakai—salah satu cerpenis terkemuka Indonesia penerima SEA Write Award—dengan rendah hati bersedia membantu memberi “warna” lain buku ini dengan menyumbang tiga cerita pendek tentang kehidupan wong cilik di sekitar Waduk Pluit, yang ia hasilkan setelah tinggal di sekitar Waduk Pluit selama seminggu pada pertengahan Februari 2014.
tempat-tempat semacam itu peradaban dan keadaban publik bisa tumbuh segar. Keserakahan dalam bentuk apa pun pada akhirnya hanya sebentuk tindakan menunda kehancuran peradaban dan keadaban publik. Terima kasih kepada para narasumber—Firdaus Ali, Andy Siswanto, Paulus Wirutomo, Eko Budihardjo, Robert Endi Jaweng, dan Effendi Gazali—yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan masing-masing untuk menuangkan gagasan/ pikirannya guna memperkaya buku ini. Tak lupa juga kepada Gus tf Sakai yang lewat tiga cerpennya telah ikut memberi warna pada buku yang kami beri judul: Waduk Pluit, Semangat Membangun Jakarta Baru. Kepada (calon) pembaca, terima kasih jika berkenan meluangkan waktu untuk ikut bersama kami “bertamasya” dalam dunia kata-kata penuh makna lewat pembacaan dan pemaknaan atas buku ini. Tabik!
Buku sederhana tetapi sedikit unik—karena memadukan kumpulan laporan (feature) war tawan Kompas, serta cerita pendek.
Buku sederhana tetapi sedikit unik—karena memadukan kumpulan laporan (feature) wartawan Kompas terkait pena nganan Waduk Pluit dengan tulisan/komentar kritis sejumlah narasumber di bidang terkait, serta cerita pendek—ini diharapkan mampu menggugah semua pihak tentang pentingnya menjaga keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) bagi sebuah kota. Hanya kota yang mau menyisakan
x
xi
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
1 WADUK PLUIT
DANTiga TIGA Cerita CERITA PENDEK dan Pendek GUS TF SAKAI Gus tf Sakai
Gangga Sri Gangga Sri Gus tf Sakai Darto berontak, berusaha berteriak. Tetapi tenaganya bagai tak ada dan suaranya bagai tertahan di tenggorokan. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Saat jemari lentik itu semakin kuat mencekik, Darto tak lagi tahan. Tubuhnya seolah sudah hendak meledak ketika sesuatu, tiba-tiba, seperti mengguncang-guncang pundaknya. ”Bangun, Darto! Bangun!” Darto terlepas dari cekikan. Napasnya gelagapan. Dibukanya mata. Wajah Tarno di hadapannya. ”Kau mimpi, heh?!” Mimpi? Ah iya. Benar mimpi. Gangga Sri … ”Ayo bangun! Tak kaulihat ini semua!” Darto menggerakkan tangan, mengusap-usap leher. Gangga Sri … cekikan itu benar-benar nyata. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Eh, dingin? Seiring dengan munculnya 3 WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Gangga Sri
Gangga Sri
perasaan lega, kesadaran Darto mulai sempurna. Ia rasakan tangannya yang dingin. Dan seperti basah. Air? ”Sudah tinggi! Banjir!” Kalimat Tarno terakhir, tak pelak, membuat Darto terduduk. Barulah ia benar-benar sadar akan semua. Dan pikiran normal nya segera bekerja. Darto ingat, sebelum tadi ia tertidur air sudah masuk setinggi mata kaki. Tetapi lihatlah kini. Air sudah menenggelamkan kaki-kaki dipan, dan tak sampai sejengkal lagi akan mencapai bantal butut tempat kepalanya barusan tergeletak. Tiba-tiba Darto juga sadar, tangan kirinya yang dingin dan basah, yang tadi ia gunakan mengusap-usap leher, pastilah sebelumnya terjulur masuk ke air. Sudah pukul berapa ini? ”Pukul tiga!” ujar Tarno, seperti tahu isi kepala Darto, bagai masih menghardik. Pukul tiga? Darto melayangkan pandang ke pintu yang masih terbuka. Di bawah cahaya samar pendar bohlam 15 watt, ia melihat ekor pick-up Buk Madura juga masih tersorong ke depan pintu. Bibir air, yang sedikit beriak, hampir-hampir telah mencapai bibir bak mobil. ”Kau … tak berangkat?” Darto bersuara. ”Berangkat bagaimana! Emang pik-ap itu sampan!” ketus Tarno. Adalah biasa, bila pasang naik, rumah-rumah dan gubukgubuk di Muara Baru itu digenangi air. Itulah sebab kenapa Darto juga berlaku biasa, tetap bisa tidur seperti malam-malam lainnya. Malam-malam lain yang dimaksud Darto tentu saja adalah malam saat ia memutuskan tak pulang dan memilih tidur di kamar Tarno. Tentu saja tak tepat disebut kamar Tarno, karena sebenarnya kamar ini milik dan bagian dari rumah Buk Madura yang terletak di bagian samping, menempel ke rumah utama. Mereka berdua tak lebih cuma buruh yang bekerja pada Buk Madura lalu menumpang menginap di rumah juragannya. Dan karena pekerjaan Tarno
adalah sopir yang bertugas menemani Buk Madura mengantar ikan ke berbagai pasar ikan yang berangkat malam dan pulang dinihari, maka Tarnolah yang selalu menginap. Itu sebab kenapa kamar ini disebut, tak hanya oleh Darto, tetapi juga oleh buruhburuh pelabuhan lepas lain di sekitar, sebagai kamar Tarno. Dan sebenarnya pula, gubuk Darto tak begitu jauh. Hanya sekitar dua kilometer arah ke barat, di seberang, di bantaran Waduk Pluit. Tetapi selalu, bila pekerjaan mengangkut ikan dari Tempat Pelelangan Ikan ke rumah Buk Madura selesai telah sangat malam lalu diniharinya langsung disambut oleh pekerjaan lain, Darto memilih untuk menginap. Lebih praktis, tak harus bolak-balik. Begitu pulang ia bisa langsung tidur sepanjang siang. Tetapi hari ini, dinihari nanti, ah, air begini tinggi. Dan hujan mulai pula kembali turun. Tetapi, ah, yang kemudian terpikir dan kini mengganggu Darto: mimpi itu. Gangga Sri. Bukan hanya karena cekikan yang seakan nyata. Tetapi karena, sebelum menjelma Gangga Sri makhluk halus penguasa waduk, sosok mengerikan itu hadir dalam wujud istrinya. Surti. Ah, mimpi yang aneh. Tetapi Darto tak bisa berpikir lama. Ada suara gerutu dari rumah utama, lalu teriakan memanggil Tarno. Buk Madura. Janda lima puluhan tahun yang nama aslinya Fatimah dan oleh anak-anaknya dipanggil Bo Pat itu ternyata cuma memberitahu, meneriakkan tanggul Latuharhary bobol. Gerakan Tarno yang bergegas, yang seperti melompat dari dipan dan menimbulkan riak dan kecipak, menyadarkan Darto bahwa barang apa pun yang ada di dipan sudah harus dipindahkan. ”Langsung ke atas saja,” kata Tarno saat kembali muncul di pintu. Ke atas yang dimaksud lelaki masih bujangan, walau sudah tiga puluhan tahun, seusia Darto, itu adalah ke rumah utama, ke tempat Buk Madura. Berbeda dari kamar Tarno yang terbuat dari papan, rumah utama adalah bangunan permanen dengan lantai lebih tinggi dan sebagian berlantai dua. Pasang, hujan, dan tanggul yang bobol. Jadi, inikah yang menyebabkan air begini tinggi?
4
5
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Gangga Sri
Gangga Sri
Walau sudah menduga, ketika melangkah memanggul barangbarang yang bisa dipanggul dan sampai di pintu kamar, Darto tercengang. Jalan, atau tepatnya gang utama, di depan rumah Buk Madura telah menjelma jadi sungai. Malam, atau tepatnya dinihari, juga tak lagi seperti dinihari karena kesibukan rumahrumah di kiri kanan gang tak ubahnya bagai siang. Pintu-pintu dan jendela semua terbuka. Dalam serapah gaduh, di bawah tirai hujan dan buram cahaya, orang-orang bolak-balik mengangkat ini-itu ke tempat lebih tinggi atau ke lantai dua. Tak sampai satu jam, ketinggian air telah satu meter. Sampahsampah terangkat, mengapung, ikut mengalir. Udara sehari-hari yang amis ikan, kini, berganti bau lumpur dan selokan. Pikiran Darto berkelebat ke Surti, juga anaknya Cahyo, tetapi tak mungkin meninggalkan Tarno. Empat anak Buk Madura semua perempuan, hanya ia dan Tarno yang bisa mengangkat, memindahkan barangbarang berat. Lagi pula, sehari-hari, segala yang berkaitan dengan peti-peti, ember-ember, dan ikan-ikan, memang adalah tugas Darto dan Tarno. Listrik tiba-tiba mati, tetapi hari telah mulai terang. Saat Darto selesai membuat sampan dari potongan-potongan papan dan kulkas bekas, tak seorang pun lagi yang bertahan di lantai satu. Dan ketika Darto naik ke sampan lalu mulai mendayung, gang itu benar-benar telah serupa sungai: tak hanya sampan Darto, tetapi banyak sampan atau rakit lain, dari berbagai bahan darurat lain, telah hilir-mudik kian kemari. Beberapa rumah setelah rumah Buk Madura, seorang Buk Madura lain minta menumpang di sampan Darto. ”Sampai ujung gang,” katanya. Memang, ada banyak Buk Madura di kawasan pelabuhan Muara Baru. Mereka adalah para perempuan juragan ikan. Mereka menyebut diri mereka pelele, tetapi orang-orang lebih senang menyebut mereka Buk Madura karena perempuan-perempuan juragan ikan itu semua berasal dari Madura.
Sampai di ujung gang, Buk Madura turun. Darto memban tunya, menggapai naik ke teras lantai dua sebuah rumah. Hari semakin terang. Pagi telah menjelang. Saat Darto keluar gang dan masuk ke Jalan Muara Baru, sungai itu kini benar-benar nyata: tak hanya sampan-sampan atau rakit buatan, tetapi juga sampansampan sebenarnya. Juga perahu-perahu motor. Juga perahu karet. ”Rumah pompa lumpuh! Pompa penyedot macet!” teriak orang-orang. Oh! Pantas! Setelah hujan, pasang, dan tanggul yang jebol, pompa-pompa di Waduk Pluit ternyata tak berfungsi. Tentu saja air cepat naik. Serta-merta tinggi. Telah berapa sentimeterkah ini? Ah Surti. Ah Cahyo. Darto mendayung semakin gegas. Hari itu Kamis, 17 Januari 2013.
Keluar dari Jalan Muara Baru, masuk ke sebuah gang, muncul di Waduk Pluit, astaga, Darto tak ubahnya bertemu laut! Di hadapannya hanya hamparan air, air, dan air. Bila tak sangat tahu bahwa di situ adalah waduk, mungkin Darto telah merasa ia salah arah, tersesat mendayung ke utara, ke arah laut. Tetapi toh Darto tak mungkin pangling. Nun di sana, di seberang, di belakang gubuk-gubuk bantaran waduk, Darto bisa melihat Apartemen Laguna, Hotel Aston Pluit, dan Emporium Pluit Mall tegak menjulang. Tak ada lagi daratan! Bila dilihat dari udara, waduk berluas 80 hektar yang kini tinggal 60 hektar karena gubuk-gubuk di bantaran itu, tentulah bagai menyatu dengan laut. Tak lagi turun hujan, tetapi Darto telah tak peduli pada apa pun, kecuali bergegas berdayung ke seberang, ke salah satu gubuk itu. Ada beberapa kawasan di pinggir barat waduk: Taman Burung, Gamas, dan Pohon Jati. Dan gubuk Darto terletak di kawasan Pohon Jati. Ah Surti. Ah Cahyo.
6
7
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Gangga Sri
Dua-tiga ratus meter lagi, tetapi Darto telah dengan jelas melihat pemandangan itu: gubuk-gubuk hampir tenggelam, orangorang berdiri di atap. Dada Darto berdetak, hatinya mendadak cemas. Adakah Surti dan Cahyo bersama orang-orang di atap itu? Usia Cahyo empat tahun, Surti tak pandai berenang. Beberapa orang terlihat diturunkan ke perahu, mungkin dievakuasi ke tempat lain. Sebuah jet ski melintas di depan Darto. Dua orang di atasnya. Melihat meluncur dari mana, jet ski itu sepertinya berasal dari perumahan mewah Pantai Mutiara. Sampai di dekat gubuknya, Darto tak melihat Surti dan Cahyo. Ia teriaki tetangga-tetangga di atap-atap gubuk, bertanya, tetapi tak seorang pun menjawab pasti. Ada yang bilang Surti dan Cahyo menyelamatkan diri ke Pluit Junction, tetapi ada yang mengatakan mereka mengungsi ke Lions Club. Ada yang bilang melihat Cahyo dan Surti menumpang rakit ke halte Transjakarta Pluit, tetapi ada yang mengatakan, subuh sekali, bersama beberapa tetangga lain, mereka berombongan ke lapangan futsal Cometa. Ah … Darto memanggil, berteriak, ”Surrtiiii …! Cahyooo …!” Tak ada jawaban. Darto ulangi beberapa kali. Tetap tak. Darto mendayung di sela atap-atap gubuk. Memasuki gang, terus ke Jalan Pluit Timur Raya. Lokasi paling dekat, lapangan futsal Cometa, adalah tempat pertama. Lebih satu jam Darto mencari, berteriak-teriak di sana, ”Surrtiiii …! Cahyooo …!” Tak ada. Lions Club. Juga tak ada. Pluit Junction. Tetap tak. Ketika di tempat terakhir, halte Transjakarta Pluit, Surti dan Cahyo tetap tak ada, Darto mulai panik. Tiba-tiba ia ingat mimpinya: Gangga Sri, sebelumnya berwujud Surti. Oalah! Apakah?! Bergegas, Darto kembali mendayung. Bukan ke tempat lain, tetapi kini kembali ke waduk. Di Jalan Pluit Utara Raya, seperti gila Darto berteriak. Bukan memanggil Surti dan Cahyo, tetapi kini, ”Gangga Sriiii! Ganggaa Sriiiiii …!”
Taman Taman Burung Burung Gus tf Sakai
Setelah banjir Januari, lalu Kali Pakin digali, Parjo memang mendengar waduk bakal dikeruk. Namun tadi pagi, saat ia mampir ke warung Wardi, orang-orang bilang: tak hanya dikeruk, tetapi dinormalisasi. Parjo tak tahu arti kata normalisasi, tetapi, dari percakapan orang-orang, ia bisa menangkap intinya: tak hanya diperdalam, tetapi juga diperlebar. Dan itu artinya, gubuk-gubuk di bantaran waduk akan digusur. Kemarin siang, dari anak sulungnya Gatot, Parjo mendengar warga bantaran Kali Pakin mulai dipindahkan. Gatot tahu karena temannya, sesama murid kelas tiga sekolah dasar, punya sepupu di sana. ”Dipindahkan ke mana?” tanya Parjo. Gatot tak tahu tapi sorenya Parjo mendengar, dari salah seorang tetangga, mereka dipindahkan ke rusunawa Buddha Tzu Chi, Cengkareng. ”Apakah penggusuran itu akan sampai kemari?” malamnya, seperti waswas, istrinya Sumi bertanya.
8
9
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Taman Burung
Taman Burung
Parjo hanya diam. Tak bisa menjawab. Tetapi kini, setelah apa yang ia dengar di warung Wardi, waswas Sumi bagai menjalar ke dada Parjo. Kali Pakin, bersama Kali Opak dan Jelangkeng, memang mengalir ke Waduk Pluit. Saat banjir bulan lalu itu, orangorang bilang, itu karena kali-kali ke waduk sudah mendangkal. Dan menyempit. Begitu pula waduk, tak lagi mampu menampung air. Luas yang kini 60 hektar, harus dikembalikan ke 80 hektar. Kedalaman yang kini hanya 2 meter, harus dibikin jadi 10 meter.
Sore, sepulang kerja dari Perumahan Pantai Mutiara dan kembali mampir ke warung Wardi, Parjo terkejut. Percakapan orang-orang bukan lagi soal normalisasi, melainkan tentang surat edaran dari Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan yang siang itu mereka terima. Surat permintaan pindah! Seisi warung yang lokasinya tak jauh di belakang Pos Polisi Pluit Timur itu ngomel, menggerutu, menyumpah-nyumpah. ”Enak aja! Bagaimana itu aturannya!” ”Kalaupun pindah, harus ada ganti rugi! Kok ini gak?!” ”Baru Desember lalu kamar kutambah! Dengan tembok lagi!” ”Lagian kita kerja di sini! Rusun tempat pindahnya jauh-jauh gitu!” Disebutkan, selain ke Buddha Tzu Chi, rusunawa tempat mereka bakal dipindahkan adalah Pinus Elok dan Marunda. Memang ada yang dekat, rusunawa Pluit, yang lokasinya di Muara Baru. Tetapi, walau sempat digunakan sebagai tempat mengungsi saat banjir lalu, rusunawa ini belum selesai. Disebutkan pula, pemindahan akan dilakukan bertahap, dan setiap pemindahan diberi tenggang waktu sebulan dengan empat kali peringatan. Biaya sewa rusunawa Rp 159 ribu per bulan di lantai pertama, dikurangi Rp 8 ribu setiap lantai ke atasnya. Bagi yang tak ingin pindah ke rusun, melainkan langsung pulang ke kampung, akan disediakan uang kerohiman, pengganti transportasi, satu juta rupiah per kepala keluarga. 10
11
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Taman Burung
Taman Burung
Ada sekitar seribu bangunan, dengan lebih seribu kepala keluarga, di sisi barat waduk. Dari kawasan Kebon Tebu di barat laut, Gamas, Pohon Jati, sampai kampung Taman Burung yang membentang panjang dari pertengahan barat waduk ke barat daya. Di titik pertengahan barat waduk itulah, di ujung kampung Taman Burung, gubuk Parjo terletak. Di sebagian besar kampung itu, belum ada RT dan RW. Tentu pula tak ada KK dan KTP; salah satu syarat pindah ke rusunawa. Parjo punya, tetapi KTP dari tempat tinggalnya yang lama.
yang memberi dan mengenalkannya ke pekerjaan baru, juga memberi dan menyilakan Parjo menegakkan tiang-tiang di belakang rumah Karyo. Maka, Taman Burung pun jadi sempurna: walau di bantaran, tapi bukan lagi kamar, dan tak perlu menyewa. Tempat kerja dekat, bisa jalan kaki. Dan begitu pula Gatot, juga bisa jalan kaki ke sekolahnya SD 01 Pluit. Adakah tempat yang menyenangkan selain ini? Tetapi sebentar lagi mereka harus pindah. Tanpa ganti rugi. Berapa uang yang telah Parjo sisihkan untuk tiang-tiang, papanpapan, dan tripleks? Tapi semua kecil saja dibanding Karyo, atau apalagi Mas Darmo, yang membangun rumah semi permanen. Akan lebih kecil lagi dibanding rumah Pak Tamrin, di mulut gang, dengan beberapa kamar sewa dan permanen. Dan tak lebih cuma debu dibanding rumah Pak Fredy, pengusaha alat-alat berat, yang lokasinya tepat sesudah gang, memanjang, sampai ke pinggir Jalan Pluit Timur Raya di bagian depan. Di surat edaran, disebutkan, semua lokasi ini tanah negara. Tiga puluh tahun, memang, tak cukup lama bagi orang-orang untuk membangun. Tetapi, tiga puluh tahun, tidakkah terlalalu lama bagi negara telah membiarkan?
Taman Burung, tiga puluh tahun lalu, adalah hutan kecil tempat habitat berbagai burung. Saat orang-orang mulai datang dan rumah-rumah mulai tumbuh, sesuai namanya, hutan itu menjelma jadi lokasi pencinta burung. Setiap akhir pekan, ada saja orang ke sana, entah datang dari mana, membawa burung, berlomba, mengadu kicau burung-burung mereka. Tetapi di Jakarta, tiga puluh tahun itu sudah terlalu lama. Telah sejak dua puluh tahun lalu sisi-sisi lain waduk disesaki rumah-rumah dan, beberapa tahun kemudian, Taman Burung mendapat giliran. Mula-mula ada yang coba bertanam, lalu mulai mematok lahan. Mula-mula ada yang coba menegakkan rumah, lalu menambah kamar untuk disewakan. Dan lalu, sama seperti sisi-sisi utara, timur, dan selatan: kamar-kamar disambung gubuk, gubuk-gubuk menjulur ke waduk. Parjo sudah tiga tahun pindah ke Taman Burung. Sejak Gatot harus sekolah dan si kecil Atik lahir, tinggal hanya dalam satu kamar di Muara Baru, di sisi timur waduk yang sudah sangat padat, terasa tak lagi cukup. Lalu Parjo beruntung: dapat pekerjaan di Pantai Mutiara, petugas kebersihan di sebuah rumah. Walau gaji hanya Rp 30 ribu per hari, tetapi lebih tetap dibanding kerja serabutan. Kadang ada lembur, dan Parjo menerima Rp 50 ribu. Dan yang membuat Parjo sangat gembira, Karyo, temannya
”Bukan negara,” kata Basuki Tjahaja Purnama, atau biasa dipanggil Ahok, wakil gubernur DKI Jakarta. ”Sejak lama, ada oknum-oknum dari dinas terkait. Bekerja sama dengan calo-calo. Tunjukkan oknum-oknum itu bila masih ada, biar kami pecat.” Dan hari-hari selanjutnya, saat penggusuran, sejak tahap pemindahan pertama akhir Maret 2013, Parjo mendengar beberapa pejabat Dinas Perumahan memang diganti. Namun, banyak warga tetap menolak. Kata mereka, ”Siapa bilang untuk menanggulangi banjir? Semua hanya akal-akalan! Begitu kita pindah, yang akan berdiri adalah mal-mal dan hotel-hotel!”
12
13
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Taman Burung
Taman Burung
Tetapi Gubernur Joko Widodo, atau biasa dipanggil Jokowi, bilang, takkan ada mal-mal dan hotel-hotel. Katanya, ”Bukan hanya untuk menanggulangi banjir, seluruh sisi waduk, nantinya, akan dijadikan taman. Ruang terbuka hijau.” Ah, benarkah? Bulan April, lingkungan permukiman Parjo mulai didata. Parjo bingung, apakah akan pindah ke sekitar sini saja atau segera mengurus surat pindah dan KK, agar bisa dapat kupon hunian di rusunawa? Sumi lebih setuju ke rusunawa, karena dijanjikan transportasi gratis ke lingkungan waduk. Dan sewa rusunawa, yang paling mahal Rp 159 ribu, itu masih lebih murah dibanding sewa kamar mereka dulu di Muara Baru yang Rp 200 ribu. Tetapi ah, benarkah? Terlalu banyak gosip dan isu. Warga yang menolak, yang punya rumah dan kamar sewa, sering berkumpul di rumah Pak Tamrin. Mereka bilang agar jangan dulu pindah, karena ganti rugi bakal tetap ada. Juga ada kabar batas gusuran akan menyusut, hanya 20 meter di sekeliling waduk. Dan lalu, di beberapa rumah, tegak bendera putih. Di tengahnya ada lambang Garuda dengan sayap-sayap merah. Di bendera tertulis: Gerakan Rakyat Indonesia Baru. GRIB, organisasi sayap Gerindra, partai tempat Ahok bernaung. Tetapi, menurut Mas Topo, sopir di rumah tempat Parjo bekerja, pemasangan bendera itu takkan ada artinya. ”Kenapa?” tanya Parjo. ”Ya, karena dia Ahok.” Memang, Ahok juga tinggal di Perumahan Pantai Mutiara. Dan, Mas Topo benar. Walau sudah dikibarkan bendera GRIB, rumah-rumah itu tetap digusur.
bertebaran, bengkalai berbagai bahan. Juga tanah-tanah, lumpur galian, pun alat-alat berat pengeruk waduk. Tak ada lagi apa pun. Tak lagi ada bangunan apa pun. Gubuk Parjo, rumah Karyo, rumah Pak Tamrin, bahkan rumah Pak Fredy yang sampai saat terakhir jadi tempat tegak tenda posko penolakan. Saat ekskavator juga menggusur, merubuhkan lapangan futsal Cometa milik Jakarta Propertindo, badan usaha Pemprov DKI Jakarta yang juga berlokasi di sana, warga sendiri yang lalu berinisiatif membongkar tenda. Semua rata: bangunan pemprov dan bangunan warga. Ya, sepuluh hari lagi bulan puasa. Hari itu 1 Juli 2013, dan Parjo telah berada di sana, dalam antrean warga ke Marunda. Bersama Parjo, ada 60 keluarga. Mereka akan diantar dengan bus-bus besar. Bus-bus itu telah tiba, berderet di jalan inspeksi yang membentang dari sisi selatan ke barat waduk. Jalan itu belum selesai. Semua memang belum selesai. Pohon-pohon itu, pohon yang ditanam Jokowi, anggur laut, pun masih berupa pohon kecil. Begitu pun pohon-pohon yang ditanam dengan dipindahkan: jati, bodi, trembesi, mereka belum tumbuh di tempat mereka sekarang. Parjo membayangkan pohon-pohon itu, pohon-pohon di Taman Burung tiga puluh tahun lalu. Parjo tengadah, seekor burung melintas, hanya melintas, belum hinggap pada salah satu pohon di taman itu. Ah, burung. Tiba-tiba Parjo terpikir: kalau saja ia telat mengurus surat pindah dan tak punya KTP baru, akan seperti burung itulah ia, Sumi, Gatot, dan Atik. Saat pohon ditebang, burung-burung hanya bisa terbang ….
Hari itu 1 Juli 2013. Sepuluh hari lagi puasa. Dan sepuluh hari lalu, 20 Juni 2013, Jokowi telah menanam pohon pertama. Memang, begitulah akhirnya. Hanya taman seluas pandang, 6 hektar sisi barat waduk. Di sana-sini masih menumpuk, 14
15
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Rahmat Rahmat Gus tf Sakai Pagi ini tak bisa lagi Iman tak marah. Kapal gratis ke Muara Baru masih belum bisa jalan, sementara Rahmat—anaknya yang sekolah pada sebuah SD di Pluit—tak mau berangkat dengan bus. Tapi tentu saja Iman mestinya ngerti. Dengan bus. Dari Marunda, Cilincing, ke Pluit, Penjaringan, jaraknya 10 kilometer. Pukul berapakah Rahmat akan sampai di sekolah? Tetapi Iman sudah bilang ke Rahmat agar bangun lebih pagi. Rahmat saja yang tampaknya seperti malas. Ah, ada apakah sebetulnya? Walau sejak pindah ke Marunda banyak hal memang tak lagi sama, tetapi Iman punya firasat bukan karena itu Rahmat berubah. Ya, ada sesuatu yang seperti berubah. Kelas 4 SD, 10 tahun, memang usia nakal-nakalnya. Apakah ada sesuatu terjadi di sekolah?
17 WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Rahmat
Rahmat
”Aku juga tak tahu,” kata Warsinah, istrinya, saat kemarin Iman bertanya. ”Tapi yah, dibanding di Pluit, di sini Rahmat lebih banyak main.” ”Mm, apa karena main? Apakah karena asyik main ia jadi malas?” Iman masih menggerutu, masih uring-uringan, saat pamit pada istrinya. Sapaan beberapa orang yang tengah duduk-duduk minum pagi di kios dan gerobak-gerobak lantai dasar, ia balas seadanya. Di halaman yang luas, Iman agak tertegun. Dilihatnya truk-truk dan orang-orang, para pekerja bangunan, ramai, menurunkan berbagai peralatan. Sepagi ini. Mmm. Pasar sayur itu, rupanya, benar-benar akan ada di depan rusun mereka.
Siang Iman akan istirahat seraya menunggu Rahmat pulang dari sekolahnya pada sebuah SD dekat Emporium Pluit. Bersama, mereka lalu makan siang di sebuah warung dan, sesudahnya, dibantu Rahmat, Iman akan terus mengasong sampai malam. Sungguh tak terbayangkan, lokasi yang Januari lalu masih berupa perumahan kumuh, dipadati gubuk-gubuk di bantaran waduk, tak lebih sembilan bulan, telah menjelma jadi taman. Dan salah satu dari gubuk itu, tentu saja adalah gubuk Iman. Kadang, dengan setengah bercanda, Iman suka bertanya ke Rahmat, ”Ayo, di mana dulu rumah kita?” ”Di situ!” tunjuk Rahmat, seraya berlari-lari ke sebuah lokasi di sisi waduk. ”Bukan!” sanggah Iman. Dan seraya menunjuk agak ke tengah, ke sisi bagian dalam waduk, ia bilang, ”Di sana …” ”Kok di dalam waduk?” Rahmat protes. ”Ya tentu. Waduk kan diperlebar ….” Memang, selain dikeruk, waduk juga diperlebar. Luasnya yang dulu 60 hektar, akan dijadikan 80 hektar. Sampai pertengahan Nopember itu, baru sisi barat waduk yang jadi taman. Selain area pusat taman yang diresmikan Joko Widodo, gubernur DKI Jakarta yang biasa dipanggil Jokowi, 17 Agustus 2013 lalu, sudah ada pula area teater terbuka, jalur jalan untuk jogging, dan bangku-bangku. Jokowi bilang, ”Bertahun-tahun ke depan, taman ini akan jadi hutan kota. Tak ada lahan komersial. Semua untuk warga. Gratis.” Warga juga boleh berdagang. Tetapi asongan, karena tak boleh ada bangunan.
Sampai di tempat mangkalnya, pasar ikan Muara Baru Jalan Gedong Panjang, hari memang telah agak siang. Tetapi bagi Iman, telat atau tidak memang tak soal, karena pasar ikan itu hanya tempat kerja antara sebelum kemudian ia mangkal di Taman Waduk Pluit. Selain ”mengisi” langganan, orang-orang yang biasa utang rokok atau barang kecil ini-itu, pasar ikan adalah tempat Iman menitip asongan pada seorang juragan ikan yang dulu, sebelum ia pindah ke Marunda, adalah juragannya. Taman Waduk Pluit jadi tempat asongan utama, karena di situlah sumber uang kontan Iman. Semua pembeli adalah orang asing, orang-orang yang sebelumnya Iman tak kenal, para pengunjung taman, yang entah datang dari mana. Hari-hari biasa Iman bisa untung Rp 40 ribu-Rp 50 ribu, sedangkan Sabtu dan Minggu bisa mencapai dua kalinya. Ditambah upah Warsinah yang membantu-bantu di sebuah kios lantai dasar rusun, penghasilan mereka cukup untuk bertiga dan kadang bisa mengirim ke Yeni, kakak Rahmat yang tinggal bersama orangtua Iman dan sekolah di sebuah SMP di kampung mereka di Magetan.
Masih juga kapal belum bisa jalan. Sudah lebih seminggu. Dan seperti hari-hari lalu, Rahmat masih juga seperti malas. Kadang mau sekolah, kadang tidak. Dan, hal lain yang juga mulai terasa dan membuat Iman kini kepikir, adalah ongkos bus. Bolak-balik Marunda-Pluit bisa mencapai Rp 20 ribu. Ah, kapankah cuaca
18
19
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Rahmat
Rahmat
kembali baik sehingga kapal Marunda-Muara Baru bisa pula kembali jalan? Bila terus begini, semua akan kacau. Kondisi keuangan keluarga juga akan tak lagi mencukupi. Ah, andai saja masih seperti dua bulan lalu, saat bus MarundaPluit masih beroperasi. Memang, bagi warga yang dipindahkan akibat normalisasi waduk, menanggulangi banjir, ke rusun-rusun yang lokasinya jauh, disediakan angkutan gratis. Dan untuk yang dipindahkan ke rusunawa Marunda, selain dengan kapal Marunda-Muara Baru yang lewat laut, disediakan pula bus Marunda-Pluit yang lewat darat. Tetapi karena perjalanan dengan kapal lebih cepat, hampir semua orang memilih angkutan laut, dan angkutan darat jadi sepi. Lama-lama bus jadi kosong, dan dua bulan lalu kemudian berhenti. Tetapi, kenapa harus berhenti? Tidakkah, sebelum diputuskan berhenti, warga rusun mestinya lebih dulu ditanyai? Ah, banyak hal memang tak berjalan sebagaimana mestinya. Dan satu hal yang membuat Iman waswas, adalah unit-unit rusun yang disewakan ke orang lain. Karena berbagai pertimbangan, banyak yang sehabis kerja tak pulang ke rusun dan memilih menginap di sekitar waduk. Dari semula menginap, lama-lama mereka menyewa kamar di Muara Baru, lalu rusun mereka kontrakkan. Bekerja sama dengan oknum pengelola rusun dan calo-calo, sewa unit rusun yang paling mahal Rp 159 ribu perbulan, bisa menjelma jadi Rp 700 ribu. Bila ketahuan, bukan hanya si penyewa asli, tetapi penyewa di seluruh lantai akan dikeluarkan. Dan, bukan itu saja. Juga kios dan gerobak-gerobak di lantai dasar. Katanya, akan diundi secara terbuka. Tetapi ada kios yang berganti pengelola, dan si pengganti ternyata famili atau masih satu keluarga. Ah, Iman berdesah. Dan tiba-tiba ingat Rahmat. Hari itu, karena Rahmat tak mau sekolah, Iman juga jadi enggan kerja. Di samping paginya juga hujan. ”Ke mana ia?” tanya Iman ke istrinya.
”Entah. Tetapi tadi ia ke bawah. Katanya ke lapangan. Karena hujan, ada teman-temannya yang juga tak sekolah.” Iman melangkah, keluar dari unit rusunnya, berjalan ke arah tangga. Dari teras tangga di lantai dua, Iman bisa memandang ke lapangan serbaguna yang terletak antara Blok A-6 dan Blok A-5. Dan di lapangan itu, di bawah sana, dilihatnya Rahmat, bersama teman-temannya, sedang berlarian berteriak-teriak bermain bola. Iman juga ingin berteriak, memanggil, tetapi tiba-tiba membatalkannya. Pemandangan itu, serombongan kanak-kanak berlarian mengejar bola, tiba-tiba mengingatkan Iman ke suatu masa, di kampungnya, Magetan, 30 tahun lalu. Iman seperti tertegun. Terpaku lama. Dan lalu, mendadak, seolah ada yang tiba-tiba bergejolak di dalam dadanya, Iman berbalik. Ia melangkah setengah berlari ke unit rusunnya. ”Aku tahu, Inah! Aku tahu!”
20
21
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Apa yang menurut Iman dirinya tahu, adalah dunia dan permainan itu. Melihat Rahmat dan teman-temannya bermain bola, Iman terbayang masa kanak-kanaknya di Magetan. Betapa mengasyikkan. Betapa menggembirakan. Selain berlarian mengejar bola, ada makebo-keboan, engklek, gobak sodor, boyoboyoan. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan di Marunda, tak bisa didapatkan Rahmat di Pluit, apalagi saat mereka dulu di bantaran. ”Mas yakin itu yang menyebabkan Rahmat malas sekolah?” tanya Warsinah. ”Sangat yakin,” tukas Iman. ”Dan baik Rahmat kita pindahkan.” ”Ke sini?” ”Iya. Ada SD di Sipitung.” Warsinah seperti berpikir. ”Dah, jangan berpikir. Dan masih ada lagi.” ”Masih ada lagi? Apa …?”
Rahmat
”Pasar sayur … kaulihat orang-orang sedang bekerja, membangun pasar di depan. Aku akan mendaftar.” ”Mendaftar? Ikut jualan sayur?” ”Iya.” Warsinah seperti terpana. Sesaat, lalu senyum mengembang di bibirnya. ”Kita … kita betul-betul hanya akan di sini? Mas juga takkan lagi ke Pluit?” Iman mengangguk. Warsinah mendekat, menyentuh tangan Iman tak percaya. Tetapi kembali Iman mengangguk. Memastikan. Dan, senyum Warsinah kini benar-benar mekar. Mengembang lebar ….
2 PENATAAN WADUK PLUIT DALAM AMATAN PARA CENDEKIA
22 WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
"Kita baru tersentak dan panik ketika bencana menyapa, tetapi kemudian begitu petaka tersebut berlalu kita kemudian seakan melupakannya karena terjebak kembali dengan rutinitas hidup yang ada. Begitu pula ketika bencana kembali datang dan kini bertamu semakin lama, kita gagap dan seperti kehilangan harapan untuk menanganinya."
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota Semangat Membangun Jakarta Baru
Firdaus Ali Peneliti Teknik Lingkungan, Universitas Indonesia; Dewan Pengarah Kemitraan Air Indonesia
Kesalahan dalam perencanaan kota Jakarta yang sudah memikul beban populasi nyata harian yang mencapai hampir 13 juta jiwa ini sesungguhnya sebab utamanya adalah karena buruknya pola pemanfaatan ruang mulai dari hulu hingga ke hilir. Kondisi ini juga diperparah oleh sangat rendahnya kesadaran serta partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan sehingga semakin memperburuk daya tampung dan daya dukung
25 WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
ekosistem Ibu Kota. Untuk bisa menyelamatkan ibu kota NKRI ini dari bencana ekologi perkotaan pinggir pantai yang mengerikan, perlu reformasi total dalam banyak hal. Penataan ruang perkotaan yang menyeimbangkan antara ruang binaan (terbangun) dengan ruang terbuka
Terobosan Baru Seperti Apa?
biru (RTB) yang mendukung pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) haruslah menjadi pola pendekatan baru dalam membangun kota modern yang layak huni yang sudah lama kita mimpikan, yaitu Jakarta Baru.
Esensi Permasalahan Kita baru tersentak dan panik ketika bencana menyapa, tetapi kemudian begitu petaka tersebut berlalu kita kemudian seakan melupakannya karena terjebak kembali dengan rutinitas hidup yang ada. Begitu pula ketika bencana kembali datang dan kini bertamu semakin lama, kita gagap dan seperti kehilangan harapan untuk menanganinya. Inilah gambaran kondisi masalah lingkungan perkotaan yang sedang dihadapi oleh ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini. Ironi ini adalah cerita negeri yang memiliki banyak orang pintar, setidaknya penduduknya yang bergelar doktor (S-3) mencapai sekitar 26.000 orang, di mana hampir seperlimanya bermukim di kota Jakarta yang kita cintai ini. Kebanggaan sebagai warga Ibu Kota dan mungkin sebagai warga negara Indonesia seakan digugat ketika dua tamu negara, yaitu Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner dan Perdana Menteri Jepang Shino Abe—yang untuk pertama kalinya dalam kapasitas mereka sebagai kepala negara datang berkunjung ke ibu kota Republik Indonesia pada tanggal 18 Januari 2013—tidak sempat disambut dengan karpet merah di Istana Negara, akan tetapi dengan hamparan genangan air setinggi lutut orang dewasa. Tentu saja peristiwa ini sangat memprihatinkan sekaligus memalukan bagi sebuah negara besar yang sudah punya peran ”penting” di negara yang tergabung pada kelompok G-20.
Pembangunan dan penataan kembali kota pinggir pantai yang rentan bencana terkait air haruslah dida sarkan pada suatu strategi pendekatan pembangunan kota yang berbasiskan pada potensi dan risiko krisis air yang dikenal dengan water based development strategy (WBDS) dibandingkan dengan pembangunan yang selama ini hanya fokus pada eksploitasi ruang darat (land based development strategy atau LBDS) yang terbukti banyak mengalami masalah dan kendala, seperti hilangnya fungsi resapan yang sering memicu banjir dan biaya sosial yang tinggi dalam penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur publik. Inisiatif yang diambil oleh Jokowi dengan meminta Jakarta Propertindo yang merupakan BUMD Pemprov DKI Jakarta untuk menata secara terpadu kawasan Waduk Pluit dan Waduk Ria-Rio adalah bagian dari terobosan baru penanganan masalah tata kelola air dan pemanfaatan ruang di Ibu Kota yang selama ini tidak berhasil dilakukan dengan baik.
26
27
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Seperti biasa, media kembali hiruk-pikuk dengan pemberitaan atas kejadian tersebut, baik secara langsung (live) di lokasi kejadian maupun melalui komunikasi di jejaringan sosial di dunia maya. Namun realitasnya, penderitaan ribuan jiwa pengungsi korban banjir, genangan, dan rob tersebut sepertinya akan terus berlanjut ketika musim hujan tiba dan status siaga ditetapkan di hulu Ciliwung sana. Pertanyaan yang terus menggantung adalah sampai kapan kita akan seperti ini? Penderitaan kolektif yang selalu berulang, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, ini tentunya bukan untuk dijadikan komoditas pemberitaan dan apalagi isu politik semata. Karena biaya sosial yang mesti ditanggung oleh masyarakat dan kerugian ekonomi serta finansial, yang nilainya selalu berlipat dari waktu ke waktu, tersebut haruslah segera dihentikan atas nama kesia-siaan belaka. Tidak banyak mungkin yang menyadari bahwa secara perlahan dan pasti sebagian wilayah daratan Ibu Kota yang sesungguhnya relatif rendah elevasinya terhadap permukaan air laut di Teluk Jakarta akan secara permanen berada di bawah permukaan air laut. Dengan laju turun muka tanah (land subsidence) rata-rata dari beberapa titik pantau yang sudah dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) semenjak tahun 1987 yang besarnya mencapai 10 cm/tahun, sedangkan muka air laut juga naik sebagai dampak dari pemanasan global (global warming) mencapai 6 mm/tahun, tidak tertutup kemungkinan pelataran atau plaza Monumen Nasional alias Monas yang memiliki elevasi lebih kurang 2,9 m di atas permukaan laut (dpl) akan digenangi air laut secara permanen pada 30 tahun ke depan.
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Gambar 1 Peta kondisi topografi Ibu Kota yang akan dapat terendam air laut secara permanen.
Faktor pemicu bencana hidrometreologi yang semakin sering melanda Ibu Kota, baik berupa genangan dan banjir maupun krisis air baku untuk air minum yang belum terselesaikan dalam 15 tahun terakhir ini, sudah cukup jelas dan jamak didiskusi dalam berbagai forum ilmiah maupun politik. Kompleksitas permasalahan perkotaan di Ibu Kota ini luar biasa. Hal itu terutama akibat dari keterbatasan ruang untuk mampu menampung beban populasi kota yang sudah sangat tinggi, buruknya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam melindungi lingkungan, pola penggunaan ruang mulai dari hulu hingga ke hilir yang tidak berorientasi pada pencegahan bencana, ekstraksi sumber daya air tanah yang berlebihan, pembangunan infrastruktur perkotan yang tidak bisa mengantisipasi beban perkotaan, dan lemahnya pengawasan serta tindakan penegakan hukum. Jika boleh membandingkan dengan kota-kota besar
28
29
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
lain yang ada di dunia, mungkin tidak ada kota yang memiliki kompleksitas yang setinggi Jakarta. Karena begitu luar biasa rumitnya, maka ada pakar perkotaan yang berpendapat bahwa penataan kembali Jakarta membutuhkan tindakan radikal dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki oleh negara ini. Kalau hal tersebut tidak diantisipasi, kita hanya sedang berpacu dengan waktu saja sampai kota ini akan mengalami kegagalan dan kelumpuhan total dalam menjalankan fungsi utamanya. Jika hal tersebut terjadi, sesungguhnya kita mengalami kerugian besar, baik dari aspek sosial, politik, lingkungan, bahkan aspek ekonomi dan finansial yang jumlahnya bahkan tidaklah setara dengan apa yang diperebutkan oleh pelaku bisnis di negara ini.
Sebagai gambaran, kerugian ekonomi akibat banjir besar 2002 dan 2007 yang melanda Ibu Kota—ditambah dengan kerugian akibar banjir 2013—jumlahnya sudah mencapai Rp 38,7 triliun (Bappenas 2007 & Firdaus 2008). Banjir 2014, setidaknya hingga saat tulisan ini rampung (akhir Februari 2014—ed), telah menyebabkan kerugian mencapai Rp 2 triliun. Jika ditambahkan dengan risiko kerugian yang ditimbulkan oleh buruknya kondisi sistem sanitasi serta dampak dari penurunan muka tanah yang sangat tinggi, total kerugian tahunan yang dialami oleh Ibu Kota secara keseluruhan mencapai Rp 21 triliun (IWI, 2013). Kerugian rutin yang juga sedang kita akumulasi secara tidak sadar saat ini adalah kerugian akibat kemacetan lalu lintas yang tiap hari kita alami, yang angkanya setidaknya di atas Rp 30 triliun/tahun semenjak tahun 2007. Jika angka kerugian akibat banjir dan kemacetan kita satukan, dalam delapan tahun terakhir ini kita sesungguhnya sudah membuang sia-sia nilai uang sekurang-kurangnya sebesar Rp 279,7 triliun. Angka ini sangat ironis jika dibandingkan dengan besaran APBD DKI Jakarta berturut-turut semenjak tahun 2007 sampai 2013, yaitu berturut-turut sebesar Rp. 20,2 triliun (2007); Rp 20,3 triliun (2008); Rp 22,4 triliun (2009); Rp 26,2 triliun (2010); Rp 31,7 triliun (2011); Rp 41,3 triliun (2012), dan Rp 49,9 triliun (2013), yang jika ditotal nilainya adalah sekitar Rp 212 tiliun. Matematika sederhana kerugian yang dialami oleh Ibu Kota tersebut tentunya sulit untuk dijelaskan kepada generasi yang akan datang. Sesungguhnya ini terasakan sebagai sesuatu yang tidak masuk di akal ketika kerugian dibiarkan terus membengkak, sementara kita masih menghadapi kesulitan dalam pengumpulan dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan dari pajak yang menjadi sumber APBD Ibu Kota.
Gambar 2 Berdoa saja tidak cukup untuk menyelamatkan kota ini, butuh kerja keras dan kesungguhan
Normalisasi Cara Berpikir dan Bertindak Untuk itulah kita perlu memastikan agar semua faktor pemicu masalah dan bencana tersebut di atas dikelola dengan
30
31
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
baik. Dan hal itu mutlak untuk dilakukan. Pendekatan penanganan secara struktural perlu dilakukan paralel dengan pola pendekatan nonstruktural. Namun, karena terbatasnya ruang kendali, baik teknis maupun nonteknis, yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (walaupun sudah ada UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara RI), maka upaya penanganan masalah yang ada sepertinya masih terbelenggu. Di samping itu, karena lemahnya koordinasi lintas wilayah serta terbatasnya peran pemerintah pusat dalam menangani permasalahan di ibu kota negara ini (tidak sebagaimana seharusnya penanganan sebuah Ibu Kota negara) membuat Ibu Kota semakin terpuruk dalam kubangan masalah perkotaannya. Lalu kita bertanya, apa yang salah dengan semua ini? Bahasa sederhana untuk menjawab pertanyaan klasik tersebut adalah ”salah urus dan tidak serius”. Ketika roda birokrasi Ibu Kota bergerak dengan ”konvensional” sementara akumulasi beban kota terpacu secara cepat, maka cita-cita untuk menjadikan Jakarta menjadi ibu kota layak huni dan terhormat sebagai sebuah ibu kota negara bagi penduduk dengan jumlah populasi keempat terbesar di dunia menjadi semakin jauh, dinodai oleh berbagai bentuk bencana hidrometereologi yang semakin intensif menjambangi Ibu Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota ini seharusnya dilengkapi dengan strategi penanganan masalah air yang tepat dan terpadu. Berbagai permasalahan air yang saling terkait menjadi wajah kota ini. Hal ini karena kota ini dilewati oleh 13 sungai yang sebagian besar daerah tangkapan airnya berada di luar wilayah administrasi Ibu Kota. Sementara itu, di wilayah hilir aliran sungai-sungai tersebut ancaman rob juga mengintai—di saat bersamaan kota ini terus mengalami krisis air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih perpipaan yang sampai saat ini baru mencapai 38 persen dari jumlah populasinya—diperlukan suatu strategi pendekatan pembangunan dan penataan kota yang berbeda dari yang selama
ini ditempuh oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena faktor krusial tersebut, maka seharusnya pendekatan pembangunan dan penataan kembali kota pinggir pantai yang rentan bencana terkait air didasarkan pada suatu strategi pendekatan pembangunan kota yang berbasiskan pada potensi dan risiko krisis air, yang dikenal dengan water based development strategy (WBDS), dibandingkan dengan pembangunan yang selama ini hanya fokus pada eksploitasi ruang darat (land based development strategy atau LBDS). Sebab pendekatan lama tersebut terbukti banyak mengalami masalah dan kendala, seperti hilangnya fungsi resapan yang sering memicu banjir dan biaya sosial yang tinggi dalam penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur publik. Upaya untuk bisa menyelamatkan ibu kota negara ini memerlukan normalisasi berpikir dan bertindak birokrasi dan masyarakat Ibu Kota. Normalisasi tersebut hanya bisa dilakukan dalam suatu kondisi tekanan untuk menuju perubahan tata kelola yang dilakukan secara konsisten dengan bermodalkan kepemimpinan yang menuntaskan.
32
33
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Gambar 3 Peta kelurahan yang selalu mengalami kondisi rawan air di Jakarta Utara
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Salah satu inisiatif yang diambil oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dengan meminta Jakarta Propertindo (BUMD Pemprov DKI Jakarta) untuk menata secara terpadu kawasan Waduk Pluit dan Waduk Ria-Rio adalah bagian dari terobosan baru penanganan masalah tata kelola air dan pemanfaatan ruang di Ibu Kota yang selama ini tidak berhasil dilakukan dengan baik. Dibutuhkan pola berpikir cerdas dan bertindak cepat dengan mengedepankan proses komunikasi publik dengan cara dan bahasa yang sederhana untuk meyakinkan berbagai pihak yang bersentuhan langsung dengan permasalahan tersebut. Masalah tata kelola air yang buruk di Ibu Kota adalah bagian dari inti permasalahan yang saling terkait dengan permasalahan perkotaan lainnya yang sedang dihadapi kota Jakarta.
Waduk Pluit dan Ria-Rio hanyalah bagian dari akumulasi permasalahan yang terus mengalir di Ibu Kota. Menuntaskan masalah tata kelola air lainnya seperti upaya pengembalian kapasitas alir sungai-sungai atau kali dengan membebaskan badan air dari semua buangan atau limbah serta mengamankan sempah dan sungai/kali serta waduk/situ yang ada hanya bisa dilakukan jika ada kemauan dan kesungguhan bersama. Pengembalian atau memperbaiki fungsi pemutusan atau drainase sehingga mampu menampung beban air limpasan (run off) yang terus meningkat memerlukan kerja keras dan kepemimpinan yang konsisten. Banyak contoh kisah sukses yang bermodalkan kemauan, kerja keras, dan kepemimpinan orisinal di banyak tempat di luar negeri yang bukan hanya bisa menyelamatkan kota-kota yang sarat masalah, tetapi melahirkan kota-kota baru yang dapat menjadi sumber inspirasi.
Penanganan Waduk Pluit dan Ria-Rio bu kan lah semata masalah fisik yang dikaitkan dengan upaya mengembalikan kapasitas dan fungsi penampungan air.
Upaya ini merupakan bentuk integrasi penanganan masalah sosial yang tidak bisa dilepaskan dari aspek politik dan ekonomi kawasan tersebut, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang selama ini menempati kawasan waduk yang seharusnya bebas dari aktivitas hunian. Kawasan Jakarta Utara merupakan kawasan yang paling rentan bencana terkait air dan cuaca (hidrometeorologi). Bahkan, 30 dari 32 kelurahan yang tersebar di enam kecamatan yang ada di Jakarta Utara selalu mengalami krisis air dengan tingkat indeks kerawan (water scarcity index) yang sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Ibu Kota. Kondisi kerawanan ini yang ikut memberikan beban sosial terhadap 34.000 keluarga miskin yang ada di wilayah tersebut.
Kunci pada Kepemimpinan Sejarah mencatat dan akan selalu mengenang seorang Lee Myung–bak ketika menjadi wali kota Seoul (Korea Selatan) tahun 2002-2006 yang berhasil menata kembali (restorasi) aliran Cheonggyecheon yang dulu merupakan sungai atau kali yang sangat tercemar berat menjadi aliran ”sungai syurga” yang melewati jantung kota Seoul. Ketika beberapa wali kota pendahulunya tidak mampu mengendalikan pertumbuhan kota yang merusak tata ruang kota, adalah Lee yang berhasil mengubah belantara hutan beton kota Seoul menjadi oasis hijau (green oasis). Setidaknya bukti kepemimpinan dan prestasi yang dia ukir selama menjadi wali kota Seoul yang akhirnya kemudian mengantarkan dia menjadi Presiden Korea Selatan ke-10 (20082013). Seandainya konstitusi Korea Selatan memungkinkan untuk masa jabatan kedua kali, tidak ada yang meragukan bahwa rakyat Korea Selatan pasti memberikan dia kesempatan kedua untuk membangun Korea modern yang maju.
34
35
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Grand Korea Waterway atau Pan Korean Grand Waterway merupakan proyek kanal sepanjang 540 kilometer yang menghubungkan dua kota besar di Korea Selatan, yaitu Seoul dan Busan, melalui Han River dan Nakdong River. Tidak bisa dipungkiri mega proyek tersebut telah menempatkan Korea Selatan pada tataran peradaban baru yang modern yang telah memimbulkan kegaguman dunia sehingga menarik banyak wisatawan datang ke Seoul. Ma Ying-jeou adalah presiden Taiwan ke-12 (2008-2012), yang terpilih untuk kedua kalinya menjadi presiden pada tahun 2012 lalu, adalah bekas wali kota Taipei periode 1998-2006. Ma berhasil melakukan banyak inovasi dalam mengelola masalah perkotaan di ibu kota Taiwan ini, kota yang dihantui masalah perkotaan klasik seperti transportasi publik dan kemacetan, krisis air dan banjir, pendidikan dan pengangguran. Suatu hal yang fenomenal yang dilakukan Ma dalam periode kepemimpinannya di Taipei adalah menata sistem pelayanan air minum kota Taipei. Salah satu hasilnya adalah kota Taipei berhasil melayani 100 persen kebutuhan air minum kota tersebut dengan tarif air minum yang termurah di dunia dengan tarif rata-rata Rp 2.215/ meter kubik, bahkan hingga saat ini, dibandingkan dengan Jakarta dengan tingkat tarif rata-rata sebesar Rp 7.345 per meter kubik. Ma juga berhasil menjadikan Taipei sebagai cyber city pertama di Asia dan di dunia pada tahun 2006. Singapura, kota dan negara pulau yang sampai awal tahun 1990-an masih menyisakan beberapa kawasan kumuh dengan kondisi sungai sangat tercemar, oleh seorang Lee Kuan Yew mampu disulap menjadi sebuah kota dengan tingkat ketahanan air terbaik di dunia dan mampu menjadikan lingkungan serta badan-badan air di kota tersebut sebagai kawasan wisata belanja dan kuliner terbaik. Restorasi Sungai Singapura yang berhasil mengubah kawasan kumuh menjadi kawasan elite dan membangunan Marina Barrage adalah sebagian kecil dari keberhasilan Singapura dalam penataan dan pengembangan kota tersebut. 36 WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
Ketika beberapa wali kota pendahulunya tidak mampu mengendalikan pertumbuhan kota yang merusak tata ruang kota, adalah Lee yang berhasil mengubah belantara hutan beton kota Seoul menjadi oasis hijau (green oasis). Setidaknya bukti kepemimpinan dan prestasi yang dia ukir selama menjadi wali kota Seoul yang akhirnya kemudian mengantarkan dia menjadi Presiden Korea Selatan ke-10 (2008-2013).
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Terobosan Baru Menyelamatkan dan Menata Ibu Kota
Apa yang dilakukan oleh dua Lee dan Ma adalah ”diplomasi air” untuk menyelesaikan masalah krusial perkotaan dengan berbekalkan pada modal kepemimpinan (leadership) dan komitmen untuk menuntaskan masalah yang tidak berhasil diselesaikan oleh pendahulu mereka. Dalam konteks ini, Jakarta dengan beban masalah perkotaan yang sangat kompleks tentunya membutuhkan cara pendekatan penanganan yang spesifik dan unik untuk bisa memecahkan masalah kemacetan, krisis air, banjir, genangan, rob, tata ruang, pengelolaan limbah cair dan padat (sampah), hunian kumis (kumuh dan miskin) dan lain-lain.
tentang ibu kota NKRI ini, pada akhir wawancara selama hampir 3,5 jam tersebut dia menjawab pertanyaan awal yang saya berikan kepadanya, yaitu ”kenapa mesti mengangkat Jakarta?”. Jawabnya adalah karena Jakarta adalah ibu kota sebuah negara besar yang semakin diperhitungkan oleh dunia Internasional saat ini dan ke depan. ”Jika seorang pemimpin baru mampu memulai menata kota ini dengan sungguh-sungguh, maka sesungguhnya dia sedang memulai upaya penyelesaian sebagian dari akar masalah yang selama ini membelenggu Indonesia untuk bangkit dan maju,” lanjutnya. Semoga pernyataan jurnalis asing tersebut benar dan waktu Insya Allah akan membuktikannya.
Ketika Jokowi memutuskan untuk melaku kan penataan menyeluruh ruang terbuka hijau dan biru Ibu Kota dalam kondisi buruknya tata ruang dan pola pemanfaatan ruang Ibu Kota, Jokowi sesungguhnya sedang memulai pendekatan baru dalam pembenahan masalah buruknya pengelolaan air, sumber daya air, ruang, dan lingkungan Jakarta.
Bagi Jakarta dan bahkan Indonesia, tidak hanya biaya investasi semata yang dibutuhkan untuk mewujudkan Jakarta Baru (bahkan Indonesia Baru) tersebut, tetapi lebih ensensial lagi adalah hadirnya kepemimpinan kuat yang fokus pada penyelesaian masalah secara komprehensif dan mengakar pada gaya komunikasi yag terbuka dan transparan. Tidak dibutuhkan segudang teori untuk mencari rumusan penyelesaian masalah perkotaan yang sudah berlarut ini, kecuali adalah dengan mendengarkan, memikirkan, dan segera memutuskan untuk melakukannya dengan ”hati dan nurani”. Ketika pertengahan bulan Februari 2014 ini saya menerima permintaan wawancara seorang wartawan harian terkemuka di Amerika Serikat yang banyak mendalami masalah perkotaan di kota-kota besar di dunia, dan dia tertarik untuk mendalami 38
39
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U
WA D U K P LU I T S E MA N G AT M E M B A N G U N J A K A R TA B A R U