Manusia manusia plastik

Page 1

The Zine

Manusia-Manusia Plastik Fitriana H.


Fitriana H.

Manusia Plastik Barangkali kamu hanya bisa diam Dalam keterpurukan dunia yang punggungnya terus berguncang Tertawa-tawa dalam remah-remah kesedihan Karena kamu mampu berpikir Sementara mereka diam dan menerima Tertawa dalam kewajaran Yang sebenarnya tidak wajar Karena kamu ingin berbeda Tapi semua bebatuan terhujam ke dalam isi kepalamu Saat yang ingin sama merisakmu habis-habisan Seperti pelacur yang baru dirajam Duh... Betapa kita hanyalah manusia-manusia plastik Yang palsu dan membisu Saat dipermainkan keadaan Dan kita terus tertawa dalam kewajaran Yang sebenarnya tidak wajar

2


P e r e mp u a n B e r g a u n H i j a u To s ka

Kelas Populer

Malam itu sebenarnya cukup cerah. Angin berhembus dari barat, membawa hawa humus dan segar. Langit kota yang sebagian tertutup asap polusi masih menampilkan beberapa gemintang yang berkelap-kelip malu-malu, seakan gagu. Aku mengendarai motor Honda tuaku menyusuri jalanan kota tanpa tergesa-gesa. Kekhidmatan malam yang bising ini entah mengapa terasa melankolis. Kedua ban motor kurem tepat ketika papan nama bangunan tujuanku terlihat. “Kelas Bagaimana Menjadi Populer”, begitulah tulisan di papan besi yang sudah berkarat permukaannya dimakan usia. Bangunan gaya Belanda dengan jendelajendela besar itu tampak sudah dipenuhi peserta. Aku maklum, bagaimanapun semua orang ingin jadi populer. Kuparkirkan Honda tuaku agak jauh, tak takut dicuri karena toh ia sudah butut. Dengan sedikit gentar, kulangkahkan kaki memasuki ruang kelas. Lautan manusia yang berjubelan membuat perutku mual. Aku benci keramaian. Ya, aku memang tidak suka berada di tempat ramai. Berbagai macam obrolan, bau, dan emosi yang meruap di

"Kini, ketika kau dapat melihat ke bagian luar

udara menghisap habis energiku, melelahkan hatiku. Aku

gedung, kau akan menemukan betapa manusia sudah berjubelan hingga ke jalan besar,

lebih baik dibuang ke dalam penjara dengan setumpuk

membuat mobil-mobil, motor-motor, becak-

buku dibandingkan harus memasung tubuh di antara

becak, dan andong-andong terpaksa berhenti

ratusan manusia lain. Bagiku, dipenjara bersama buku-buku

dan memutar arah."

membuat jiwaku bebas.1 Lalu kau mungkin terheran-heran, mengapa aku yang tak suka keramaian kini pada suatu malam yang sendu berakhir di “Kelas Bagaimana Menjadi Populer”, dengan peserta yang berjubelan jumlahnya. Aku harus jujur, aku tidak punya pilihan lain. Sungguh. Sepenyendiri-penyendirinya diriku, aku tetap ingin dikenal orang lain. Tidak sampai dikenal berjuta-juta orang seperti artis yutup itu, cukup beberapa saja. Setidaknya ada yang bakal menyapaku ketika aku lewat. Sebab, manusia mana yang tahan akan kesendirian terus-menerus? Kulangkahkan kaki yang semakin gemetar itu masuk. Kulihat lantai penuh sesak dengan pantat-pantat manusia yang saling berhimpitan, udara tercemar bebauan yang bermacam-macam—bau keringat, parfum, asap rokok, alkohol, hingga jengkol—yang membuat mual. Berbagai macam percakapan nyantol di telinga, dari yang sekedar basa-basi biasa hingga rayuan-rayuan manja. Ah, rasanya ingin kabur saja, tapi tidak bisa aku berbalik lagi. Baru kutinggal sebentar pintu keluar sudah ditutupi puluhan manusia yang baru datang. Aku terjebak di ruangan ini. Kini, aku berharap acara segera dimulai agar ia segera selesai. Tak berapa lama, masuklah seorang pria berperawakan tegap dengan potongan rambut gatsby dan setelan hitam dengan gaya baju khas Elvis Presley. Di lehernya terlempang syal kuning motif totol-totol macam. Ia tampak menyisir rambutnya sebentar sebelum mulai bicara. “Selamat datang, selamat datang!” sambutnya. Ruangan yang tadinya riuh kini menjadi lebih tenang, seakan ada

1Disadur dari kutipan Mohammad Hatta: “Aku rela dipenjara asalakan bersama buku. ”.Karena dengan buku, aku bebas

3


Fitriana H.

daya magis dalam nada suaranya. Pria necis itu menyebut dirinya sebagai “Guru”. “Selamat datang saudara-saudaraku yang penyendiri dan kini ingin menjadi orang yang populer,” lanjutnya lagi. Ia tampak berdehem sebentar sebelum melanjutkan, “memang, kesendirian itu merana sekali. Makan sendiri, tidur sendiri, cuci baju sendiri, ah... merananya! Tiada kawan untuk berkeluh kesah, tiada tempat untuk melepas lelah, hanya ada diri sendiri. Siapalah yang mau hidup terus-terusan seperti itu?” Kulihat semua peserta mengangguk-angguk takzim. Aku, entah kenapa ikut mengangguk, benar juga kata pria itu. Siapalah yang tahan hidup terus sendiri? “Karena itu, di kelas ini, saya akan membuat anda semua menjadi orang-orang yang populer, orang-orang yang dikenal banyak orang, dan memiliki banyak teman! Mereka yang memiliki banyak teman tidak akan kesepian!” tukasnya. Kudengar semua orang bertepuk tangan dengan semangat. Di luar, semakin banyak orang yang datang. Kini tiap permukaan kaca jendela telah ditutupi muka-muka peserta yang menempel karena tidak kebagian tempat. Aku merasakan diriku semakin terjepit karena beberapa orang memaksa masuk dan merengsek duduk. “Pertama, jika kau ingin menjadi pepuler, maka munafiklah! Pasang ekspresi wajah terbaikmu dan bersekutulah membicarakan seseorang yang tidak disukai!” Aku mencatat tips pertama dalam buku. Kudengar puluhan orang berkasakkusuk tidak mengerti. Ah, kesendirian memang dapat menumpulkan kepekaan. “Maksudku, jadilah orang yang disukai orang lain dengan memenuhi harapan mereka! Misalnya, kau ingin berteman dengan orang yang benci jengkol, maka kau juga harus membencinya meski kau menyukainya habis-habisan! Kau ingin berteman dengan seseorang yang tidak menyukai Fulan, maka kau juga harus bersekongkol membenci si Fulan ini! Dengan begitu jalan kepopuleran akan terbuka lebar.” Tepuk tangan semakin riuh terdengar. Genteng-genteng tanah bergetar pelan didesak orang-orang yang semakin ingin melesak. Tapi semua orang tidak peduli. Mereka hanya ingin menjadi populer.

4


P e r e mp u a n B e r g a u n H i j a u To s ka

“Kedua, jadilah orang yang tidak jujur! Seringlah memuji penampilan orang lain meski kau ingin menertawakannya. Orang lain memakai kemeja motif garis-garis dan dasi motif twetty? Puji! Seleramu tidak penting, pendapatmu tidak penting, yang penting senangkan hati mereka, maka kau akan jadi populer!” KRAAKKK! Suara kaca jendela yang retak hampir tidak terdengar, tertutupi keriuhan tepuk tangan dari ribuan peserta. Beberapa ada yang begitu histeris hingga menangis. Aku merasakan dadaku semakin berdebar-depar, pikiranku semakin terbuka lebar, bayang kepopuleran membentang di depan mata. Kuremas-remas ujung celanaku yang masih selamat dari tindihan massa saking antusiasnya. “Ketiga, jadilah dermawan! Jangan remehkan kekuatan memberi. Seringlah menraktir orang makan, atau berilah contekan saat ujian. Orang-orang suka pada mereka yang dermawan!” Kupingku pekak mendengar suara riuh yang menyambut. Kini, ketika kau dapat melihat ke bagian luar gedung, kau akan menemukan betapa manusia sudah berjubelan hingga ke jalan besar, membuat mobil-mobil, motor-motor, becakbecak, dan andong-andong terpaksa berhenti dan memutar arah. Staf yang tidak kekurangan akal memasang pengeras suara di beberapa sudut agar peserta yang tidak dapat masuk tetap dapat mengikuti kelas. Azan isya yang bersahutsahutan terdengar hanya seperti hembusan angin jika dibandingkan euforia jutaan peserta yang datang. Jutaan orang yang ingin menjadi pepuler. “Keempat!” Guru melanjutkan kelasnya. “Sebarkan kebodohan! Orang-orang suka ditipu dan dibodoh-bodohi, maka lakukanlah! Buatlah postingan dengan iming-iming surga, dengan ketik angka satu dan lontarkan amin, sehingga kau akan jadi populer! Eksploitasilah anak-anak kecil korban pemerkosaan dan sodomi, wanita-wanita pelacur, dan nenek-nenek buta! Jadikan mereka kendaraan menuju kepopuleran!” Suara gemuruh peserta membuat tembok-tembok bergetar, kaca-kaca jendela pecah, massa merangsek masuk. Guru masih berdiri anteng di mimbarnya, sementara api-api obor telah dilempar ke arah bangunan dari jemaah yang terganggu ibadahnya karena keributan. Di jalanan, ambulans lalu lalang mengangkuti ratusan korban kecelakaan beruntun karena lalu lintas yang tidak terkendali. Polisi menembakkan gas air mata pada massa yang tidak mau dibubarkan. Suara sirine polisi bergaung di tengah kota, suara-suara kepanikan dan histeria kepopuleran bergaung menjadi satu, hingga siapapun yang mendengarnya mungkin akan mengira malam itu kiamat sudah datang. Bangunan kelas mulai dilalap api, namun orang-orang tidak peduli. Kini setiap satu orang menggendong tiga orang lain di punggungnya. Bentrokan tidak membuat kelas berhenti. Guru melanjutkan petuahnya, dengan berkata, “Kelima! Jangan ragu melakukan kejahatan! Curilah uang rakyat! Bakarlah rumah ibadah! Langgarlah rambu lalu lintas! Bunuhlah kucing dan anjing! Sebarkan kebencian di fesbuk dan witter! Niscaya, dengan cepat media massa akan meliputmu dan seketika jadi populerlah kau!” Seketika, atap bangunan kelas rubuh. Genting-gentingnya jatuh menimpa peserta, disusul rangka-rangka kayu yang sudah dilalap api. Ratusan orang terbunuh karena bentrokan dan kecelakaan, namun pengeras suara masih berteriak. Pekikan kematian memenuhi udara. Guru masih menyampaikan kelas, dan aku masih menyaksikan dengan khidmat dalam lalapan api yang membara. end Yogyakarta, 2016

5


Fitriana H.

Perempuan Bergaun Hijau Toska

6


P e r e mp u a n B e r g a u n H i j a u To s ka

Ia sudah berdiri di titik itu sejak dua jam yang lalu, memandangi lukisan itu. Orang-orang yang berlalu lalang seakan

"Kini ia yakin, bahwa hatinya

tidak terganggu dengan posisinya yang menghalangi pandangan

telah ikut ditatahkan dalam

pada lukisan. Mereka seakan maklum dengan keterpanaan Ia

lukisan “Menunggu Maut�

padanya; bagaimana lagi, lukisan yang dipajang di situ memang

bersama si wanita bergaun

pantas ditatap lama-lama. Bahkan sudah tersebar desas-desus bahwa lukisan itu sedang diperebutkan beberapa kolektor ternama.

hijau toska. "

Ia menatap kertas kecil yang tertempel di bawahnya: “Menunggu Maut� karya Janu A. Acrylic on Canvas. Pandangan Ia lalu kembali pada selempang kanvas itu, kanvas yang telah ditatah indah dengan goresan gaya impresionisme, yang mungkin akan membuat Claude Monet rela bangun dari kuburnya hanya untuk menatapi lukisan itu lama-lama. Lukisan itu, meski judulnya agak menyeramkan, bagi Ia menawarkan sebuah kehangatan dan

kedamaian yang

hanya akan dimengerti ketika kau bangun dari ranjang empukmu dan di meja sebelah telah tertata sepiring pancake hangat dengan sirup stroberi, segelas susu, dan semangkuk apel bersalut madu, sementara sinar matahari malu-malu menyapa dari balik gorden yang sedikit terbuka. Lukisan itu bergambar seorang wanita yang tertelungkup di lantai marmer dengan gaun hijau toska lembut yang seakan terbuat dari sutra. Warna lipstik dan kukunya merah membara. Rambutnya yang cokelat hazelnut tergerai di lantai dengan sisa hiasan angsa miring di dekat telinganya. Cahaya krem lembut dari lampu kamar menambah kesan kehangatan di dalamnya, sementara di sampingnya, kau dapat melihat meja rias dengan berbagai kosmetik dan alat make up, juga sebuah ranjang besar yang akan sangat nyaman untuk membaringkan tubuh. Di dekat dadanya, darah merah menggenang, seakan jantungnya bocor, memantulkan kandelir megah di langit-langit. Sekali lagi, Ia terkesima memandang wanita itu. Ia bertanya-tanya, apakah yang berkelebat di dalam kepala wanita itu sebelum maut menghabisinya? Bagaimana ia bisa mati dengan begitu tenang, sementara lubang di jantungnya terusmenerus mengucurkan darah? Bagaimana sang pelukis dapat menggambarkan dengan penuh kekhidmatan ketika detik-detik kematian menghampiri seorang wanita cantik? Bahkan Ia merasa maut pun segan menjemput ajal wanita secantik itu. Namun Ia juga bertanya-tanya, akankah Ia bisa merasakan ketenangan dalam menunggu kematian seperti di dalam lukisan itu? Seakan mati adalah membebaskan, hilang semua beban dan masalah seorang manusia. Kini, Ia sudah menatap lukisan yang selama dua jam tiga puluh menit. Masih tak ada pengunjung yang terganggu. Mereka mahfum bahwa Ia masih terpesona akan wanita bergaun hijau toska. Wanita yang sedang menunggu maut menjemput dengan darah yang mengucur dari jantung yang bocor, menggenangi lantai marmer dan memantulkan kandelir megah di langit-langit. Sementara itu, galeri semakin ramai. Di beberapa sudut terdengar keributan orang-orang yang ingin nyelfie di depan lukisan, berharap mendapat klaim sebagai pecinta seni. Suara tangisan gadis kecil yang bosan bergema dari sisi utara, disusul suara Ibunya yang ingin menenangkan. Speaker di langit-langit merdu menembangkan lagu-lagu Sinatra dalam volume kecil. Namun, segala campur-baur keributan itu tak ada yang mampu memudarkan kekaguman Ia terhadap lukisan itu, lukisan yang telah mencuri hatinya seperti remaja yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Kini ia yakin, bahwa hatinya telah ikut ditatahkan dalam lukisan “Menunggu Maut� bersama si wanita bergaun hijau toska. * * *

7


Fitriana H.

Lelaki itu berdiri di depan cermin dengan setelan jas pas di badan. Rambutnya yang bergaya mohawk telah diminyaki dengan gel, sehingga menjadi lebih tertata. Ia tampak mengenakan jam tangan Rolex di pergelangan tangan kirinya ketika sebuah suara memanggil. “Sayang... coba kemari sebentar, bantu aku mengancingkan resleting gaun!” sahut suara seorang wanita yang bisa ditaksir berada di usia awal 30 tahun. Sang lelaki tampak tidak menggubris, seakan ada lapisan kedap suara di sekeliling tubuhnya sehingga ia tak bisa mendengarkan apapun dari dunia luar. Dikencangkan dasi biru dongkernya, memastikannya tampak fit. Ia berdiri memandangi pantulan tubuhnya di cermin, membayangkan bagaimana bisa Tuhan akhirnya memutuskan untuk melahirkan dirinya sebagai seorang manusia berjenis kelamin laki-laki. Mengapa ia tidak terlahir sebagai kucing, anjing, atau sapi misalnya. Mengapa ia tidak terlahir sebagai anak gelandangan atau pengemis buta yang harus memasrahkan hidup dari belas kasih manusia lain? Mungkin di kehidupan selanjutnya, ia ingin dilahirkan sebagai kupu-kupu. “Sayang...!” suara wanita itu memanggil lagi. Kali ini terdengar tidak sabar. Namun, suara itu tampak terpantul keluar dari dunia sang lelaki. Seakan semesta ingin memanjakan lelaki itu untuk bergumul dengan dirinya sendiri, dengan pikiran-pikirannya sendiri. “Sayang...!” kembali sang wanita memanggil. BRUKK!! PRANG!! Seketika hening. Saat itulah, suara gedebug keras di lantai menembus barier kedap suaranya. Lelaki itu tersentak, lalu dengan agak terburu-buru melangkahkan kaki jenjangnya ke arah kamar sang wanita. Pintu kamar terbuka setengah. Ketika ia membukanya lebih lebar, dilihatnya seorang wanita bergaun sutra hijau toska tertelungkup di lantai marmer. Lipstik dan kukunya merah membara. Rambutnya yang cokelat hazelnut tergerai di lantai dengan sisa hiasan angsa miring di dekat telinganya. Cahaya krem lembut dari lampu kamar yang menerpa ranjang membuat suasana tampak muram. Cermin meja rias dengan berbagai kosmetik dan alat make up hancur berserakan, sebuah pecahan cermin yang cukup besar tampak menembus dada si wanita, sehingga jantungnya yang robek terusmenerus mengucurkan darah yang menggenang di lantai marmer, memantulkan bayangan kandelir megah di langit-langit. Sang lelaki tertegun. Ia kemudian memperhatikan, di dekat jendela, sebuah kanvas putih lengkap dengan palet dan aneka warna cat akrilik telah tertata dengan rapi.

end

Yogyakarta-Semarang, November 2016 *di dalam sebuah kamar hotel di mana kota Semarang terlihat seperti miniatur cahaya

8


P e r e mp u a n B e r g a u n H i j a u To s ka

Cinta dalam Kanvas

Mari kutunjukkan sayang Bagaimana caranya menusuk jantung Hingga cinta di dalamnya seketika mati Namun jangan khawatir sayang Karena kemudian, dengan darahmu Akan kulukiskan potret dirimu Wajahmu, Kakimu, Tanganmu, Telingamu, Hingga pinggulmu Cintamu akan terus hidup di dalam kanvas itu Aku masih bisa menciumi bibirmu yang bergerak-gerak di dalamnya Setiap malam

9


Fitriana H.

Cerita Tentang Malam

10


P e r e mp u a n B e r g a u n H i j a u To s ka

Bagiku, setiap malam memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Cerita yang dibawa oleh angin, menembus celah jendelaku dan sampai di telingaku. Cerita yang mereka antarkan dari tempat-tempat yang jauh, atau mungkin hanya dari jamban tetangga yang mampet dan meluber. Cerita-cerita ini selalu menghiburku sesaat sebelum aku tidur. Aku, yang hidup sendiri di kota besar ini, yang setiap hari melalukan aktivitas yang sama berulang-ulang dan hidup dengan membosankan. Tidak jarang, cerita-cerita itu terbawa hingga ke alam mimpi. Cerita malam dari negeri bersalju selalu membawa nuansa hangat. Keluarga yang makan malam bersama, ibadah Natal yang khidmat, maupun pesta-pesta remaja yang liar. Cerita dari malam di kampung gelandangan membawa kisah yang pilu, tentang satu keluarga yang memakan nasi dua hari yang lalu, tentang sakit bengek seorang kakek yang semakin parah dan tak tertolong, atau seekor anjing patah tulang yang kelaparan dan sedang menunggu ajal di antara rongsokan ban. Lain lagi cerita dari laut, tentang plankton yang bercahaya memenuhi seluruh permukaan air, atau paus yang baru saja melahirkan. Banyak cerita yang telah malam kisahkan padaku, namun cerita yang paling sendu datang dari malam pekat yang hujan. Di sana akan kau dengarkan kisah tentang seseorang yang mati tergilas truk karena

Malam ini, seorang perempuan meninggal bunuh diri. Ia

motornya tergelincir di aspal yang basah, kisah tentang seseorang yang

membaringkan tubuhnya di atas

begitu kesepian hingga menenggak sebotol penuh parasetamol, hingga

rel kereta api, membiarkan air

tentang gelandangan buta yang tidak punya tempat berteduh hingga

hujan menghantami tubuhnya,

terpaksa tidur dirajami air hujan.

menyapu air matanya.

Aku mendengarkan kisah seorang pria yang—aduhai kasihan sekali—harus meninggal karena motornya tergelincir di aspal dan seketika tergilas truk beberapa hari lalu. Kepalanya pecah dan otaknya terburai di aspal seperti bubur nasi yang sudah basi. Sementara malam bicara, bahwa pria itu sedang dalam perjalanan menemui kekasihnya di sebuah kafe untuk merayakan hari jadi mereka yang kelima. Di saku celananya, tersimpan kotak beludru berisi sebuah cincin berlian yang dibeli dari hasil menabung setengah gajinya selama tiga tahun pria itu. Aku langsung teringat seorang wanita dengan gaun krem motif bunga-bunga yang selalu tampak gelisah ketika aku melewati mejanya. Ia berulang kali melihat arloji dan menelepon entah siapa, kemudian mendengus kesal sambil melihat layar telepon karena panggilnnya tidak dijawab. Perempuan itu akhirnya pergi beberapa menit sebelum kafe ditutup, tanpa memesan apapun, menerobos hujan yang cukup lebat. Aku bayangkan kekasih pria malang itu juga menunggu dengan gelisah di sebuah restoran karena si pria tidak kunjung datang. Telepon pun tidak diangkat. Lalu kubayangkan juga, kemudian kekasih itu mendapati kabar bahwa orang yang ditunggunya sedari tadi meninggal—dengan cara yang sangat mengerikan. Dia pasti kaget, sedih, bahkan bisa jadi pingsan seketika. Dan akan ada satu lagi cerita yang sampai di kamarku lewat kisi-kisi jendela. Cerita yang akan saling melengkapi. Malam ini, aku mendengar cerita tentang seorang Ibu miskin yang tinggal dalam rumah kardus bersama tiga orang anaknya di bawah jembatan. Hujan membuat air sungai naik semakin tinggi, rumah kardus mereka sebentar lagi akan

11


Fitriana H.

koyak dan hanyut. Anak-anaknya merengek-rengek kelaparan, sedangkan si Ibu sedang bersiap untuk melompat ke sungai yang arusnya deras. Bunuh diri. Esoknya, dari televisi layar datar di kafe, aku duduk dari balik kasir dan menyaksikan berita tentang seorang ibu dan tiga anaknya yang ditemukan tewas tenggelam karena hanyut dibawa arus sungai yang deras. Mayat mereka telah membiru dan kaku. Pengunjung kafe tampak prihatin menyaksikannya, sementara aku hanya diam membisu, bertanyatanya mengapa sang Ibu mengajak ketiga anaknya untuk ikut mati juga? “Mbak, bisa ganti channel tidak? Saya jadi marah dan sedih sendiri karena nonton berita,� pinta seorang bapak yang sedang menghabiskan malam minggu bersama keluarganya. Aku mengangguk dan memencet-mencet remot TV, mencaricari acara yang menarik. “Nah, ini saja!� seru bapak itu ketika channel TV memutar ulang film Warkop DKI. Tampak Dono sedang berayunayun di dahan pohon sebelum jatuh ke sungai. Pengunjung kafe tertawa. Berbeda sekali reaksi mereka dengan berita tadi.

* * *

Malam itu hujan lagi. Aku sedang menyesap teh hangat dari cangkir ketika desau angin masuk melewari celah ventilasi jendela, menggoyangkan tirai. Hembusan itu menyapa telingaku, membisikkan sesuatu. Ia bercerita: Malam ini, seorang perempuan meninggal bunuh diri. Ia membaringkan tubuhnya di atas rel kereta api, membiarkan air hujan menghantami tubuhnya, menyapu air matanya. Beberapa menit kemudian, kereta yang meluncur sangat cepat melindasnya habis-habisan, hingga ia terseret beberapa meter dan tubuhnya remuk menjadi cacahan kecil, seperti serpihan biskuit di dasar kaleng Khong Guan. Beberapa daging lengket di atas rel, sehingga jika disentuh ia bagai tetelan di dalam semangkuk bakso. Kalau hujan belum menyapu serpihan-serpihan daging itu, keesokan paginya mungkin ia akan dikerubungi lalat dan semut-semut. Aku menghela napas, sebelum malam kembali melanjutkan: Wanita itu adalah aku, ketika aku ditinggal pergi kekasih hatiku.

Yogyakarta, 2016 *didedikasikan untuk malam yang selalu membawa inspirasi, dan kerinduanku akan dirimu.

12


P e r e mp u a n B e r g a u n H i j a u To s ka

end 13


Fitriana H.

Hari Sudah Usai

Mari kita menutup mata Hari ini telah usai Tubuh ini sudah lelah Langit juga tidur Esok kita akan kembali Menjadi budak-budak kapital Seperti robot yang sudah diprogram Tapi tak apa, Sayang Dunia ini rapuh Kaki-kaki kita menghujam dalam di atasnya Maka sebenarnya kita yang berkuasa Diam-diam dalam bayang Namun sekarang mari kita menutup mata Hari sudah usai...

14


P e r e mp u a n B e r g a u n H i j a u To s ka

sedikit narsis...

Fitriana H., perempuan asal Merauke, Papua, yang suka dunia sastra sejak sudah bisa membaca. Mahasiswa aktif Jurusan Fotografi Institut Seni Indonesia Yogyakarta angkatan 2014. Sedikit pemalu, sering hidup soliter, suka mi ayam dan motif floral. Bisa dihubungi ke akun jejaring sosialnya: Instagram: @dai_vee/Twitter: @dai_vee /Facebook: daisyfitriana atau lewat e-mail: hadifitriana@yahoo.com

15



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.