DINAMIKA GERAKAN MAHASISWA UIN SUNAN KALIJAGA
GERMA BUTUH RUANG BERSAMA
KADER PEREMPUAN KURANG MENGEKSPLORASI KAPASITASNYA
Edisi April 2017
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
Gerakan Mahasiswa
RAMAI TAPI SEPELE Persoalan mahasiswa di kampus menumpuk. Banyaknya gerakan tak berimbang dengan pengawalan secara tuntas. Kemunduran atau kebingungan?
Foto Sampul : Doumetasi Arena
Daftar isi LAPORAN UTAMA 08
Dinamika
11
Germa
14
Gerakan Mahasiswa UIN SUKA Butuh Ruang Bersama Kader Perempuan Kurang
Mengeksplorasi Kapasitasnya
UNIVERSITARIA Student Government dan
14 Mahasiswa Saling Menunggu
UIN Sunan Kalijaga
17 Darurat Keamanan
-04- EDITORIAL
-26- WAWANCARA
-30- OPINI
Gerakan Mengambang
Eko Prasetyo: Jangan Terlalu Percaya Pada Kuliah
Melecut Kerja-Kerja Gerakan
-06- KANCAH Historia Gerakan Mahasiswa
-28- LEBIH DEKAT
-34- CATATAN KAKI
Darah Juang Negeri Subur Rakyat Tersungkur
Toa-toa Yang Layu
DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PELINDUNG: Allah SWT // PENASEHAT: Rektor UIN Sunan Kalijaga // PEMBINA: Dr. Abdur Rozaki // DEWAN REDAKSI: Sabiq Ghidafian Hafidz, Lugas Subarkah // PEMIMPIN UMUM: Abdul Rohim // WAKIL PEMIMPIN UMUM: M. Abdul Rouf // SEKRETARIS UMUM: Lailatus Sa’adah // BENDAHARA: Alifah Amalia // PEMIMPIN REDAKSI: Isma Swastiningrum // REDAKTUR ONLINE: Wulan Agustina Pamungkas //REDAKTUR SLiLiT: Mujaeni // REDAKTUR Artistik: Agus Teriyana, Abdul Rohim // STAF REDAKSI: Ilham Habibi, Afin Nur Fariha, Mar’atus Shalihah, Rodiyanto, Ilham Rusdy, Anis N Nadhiroh // FOTOGRAFER: Aditya Pratama // DIREKTUR PERUSAHAAN & PRODUKSI: Agus Teriyana // KOORDINATOR PUSAT DATA & ANALISA (PUSDA): Dewi Anggraini // KOORDINATOR JARINGAN & KOMUNIKASI (JARKOM): Syakirun Ni’am // KOORDINATOR PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (PSDM): Ajid Fu’ad Muzaki Kantor Redaksi: Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281 // Telp.:+62858 788 067 11(Agus) // E-mail: lpm_arena@yahoo.com // Website: www.lpmarena.com // Fanspage: LPM Arena // Instagram: @lpmarena // Twitter: PersMaArena
SLILIT ARENA MENGUNDANG SEMUA KALANGAN AKADEMIKA UIN SUNAN KALIJAGA UNTUK MENGIRIMKAN TULISAN MAUPUN ARTIKEL KE ALAMAT REDAKSI LPM ARENA. BAGI PIHAK YANG MERASA TIDAK PUAS DENGAN PEMBERITAAN SLILIT ARENA,BISA MENULISKAN HAK JAWABNYA, ATAU DATANG LANGSUNG KE KANTOR REDAKSI LPM ARENA GUNA BERDISKUSI LEBIH LANJUT. WARTAWAN SLILIT ARENA DIBEKALI TANDA PENGENAL DALAM SETIAP PELIPUTAN DAN TIDAK MENERIMA AMPLOP DALAM BENTUK APAPUN.
M
STUDENT GOVERNMENT ATAU EVENT ORGANIZER(?)
ENJADI MAHASISWA yang punya porsi dan posisi dalam Student Goverment bukan berarti menjadi lebih “popularitas”. Jika pola pemikiran itu masih berlaku maka mahasiswa tersebut mengalami keterbelakangan berpikir. Elemen-elemen mahasiswa harusnya masih bersemangat dalam gerakan dan inovasi kegiatan kemahasiswaan. Akan tetapi, hal itu mungkin sedikit berkurang jika menjadi bagian dari elemen lembaga kemahasiswaan di UIN Sunan Kalijaga. Beberapa mahasiswa mengatakan, UIN Sunan Kalijaga menganut adanya sistem demokrasi (dari, oleh, dan untuk) mahasiswa. Sistem demokrasi dalam UIN Sunan Kalijaga akan selalu berhadapan dengan sistem birokrasi. Jadi, menurut saya segala bentuk inspirasi dan kegiatan kemahasiswaan tidak selalu murni dari mahasiswa, karena birokrasi hanya menyetujui kegiatan sesuai dengan anggaran yang ditentukan. Kualitas kegiatan kemahasiswaan masih ditentukan oleh banyak atau tidaknya kuantitas anggaran yang dikucurkan. Mahasiswa yang menjadi bagian dari lembaga kemahasiswaan seharusnya menjadi agen perubahan dan agen yang menumbuhkan semangat untuk berorganisasi. Bukan malah menjadi Event Organizer (EO) sebuah acara atau kegiatan. Faktanya, selama saya menjadi bagian dalam lembaga ini, seluruh inspirasi saya dan teman-teman anggota lembaga harus berpikir dua kali untuk membuat suatu kegiatan kemahasiswaan. Sebab sistem anggaran yang sedikit merepotkan. Anggaran akan turun ketika kegiatan sudah terlaksana dan sudah dilaporkan penanggung jawabannya (LPJ). Jika dilogikakan mahasiswa mana yang mampu memakai uang sakunya untuk dijadikan modal sebuah acara? Hal seperti ini berlaku di Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Jika menginginkan kegiatannya disetujui dan dilegalkan, maka harus mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu saya mengatakan sistem ini sama halnya dengan sistem EO. Mahasiswa yang menjadi panitia EO harus siap untuk modal awal, agar acara tersebut terlaksana dan tinggal melunasi kekurangan anggaran ketika konsumen sudah membayar tagihannya. Jadi, selama proses kegiatan mahasiswa tersebut berlangsung (pra-acara, acara, pasca-acara) secara otomatis mahasiswa sudah menjadi bagian dari Event Organizer. Saya kira hal ini harus diubah, karena mahasiswa tidak akan maju pola pikir dan inovasi untuk membanggakan kampus UIN Sunan Kalijaga. Jika sistem dukungan dari birokrasi masih seperti ini, maka kualitas kegiatan kemahasiswaan akan berkurang dengan sendirinya. Ahmad Firdaus Ismail,ketua HMJ Komunikasi dan Penyiaran Islam
TERUNTUK BAPAK KEPALA “TU” FAKULTAS ADAB
B
EBERAPA BULAN terakhir ini merupakan musim sibuk bagi kami para mahasiswa tingkat akhir. Bagaimana tidak, untuk bisa segera lulus dan mengikuti wisuda periode III yang akan terlaksana pada bulan Mei mendatang, kami dituntut untuk menyelesaikan yudisium dengan berbagai persyaratan yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dengan semangat yang menggebu-gebu, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan atau melengkapi persyaratan-persyaratan tersebut agar target bisa berjalan mulus. Namun pada kenyataannya semangat kami tidak diimbangi dengan kinerja yang baik dari petugas Tata Usaha (TU). Kami sering tidak menjumpai beliau ketika akan menyerahkan berkas persyaratan yang telah kami persiapkan. Padahal kebutuhan kami sangat mendesak mengingat waktu yang semakin mepet dengan batas akhir yudisium. Kinerja petugas TU Fakultas Adab yang tidak baik ini salah satunya dibuktikan dengan kebiasaan beliau yang meninggalkan bangku kerja sebelum waktu break. Bisa kami maklumi jika ketidakberadaan beliau hanya sesekali pergi ke kamar mandi atau menunaikan hajat lain yang tidak memakan waktu yang sangat lama. Namun pada kenyataannya, setelah kami telusuri, “menghilangnya” beliau ini ternyata hijrah ke masjid. Entah apa yang beliau lakukan, bagi kami sangat tidak proporsional, sekali beribadah. Apalagi berlarut-larut dengan waktu yang sangat lama. Selain itu, sikap tersebut menunjukkan bahwa beliau sangat tidak profesional dalam bekerja. Dengan santainya beliau menomorsekian kan pelayanan terhadap mahasiswa, padahal itu sebuah kewajiban sekaligus tugas utama sebagai pegawai TU. Untuk itu, sekiranya bapak kepala TU Fakultas Adab dan Ilmu Budaya bisa lebih memperhatikan seluruh kabinet kerjanya agar kinerja mereka dapat terkontrol dengan baik, khususnya beliau yang menangani masalah yang berkaitan dengan skripsi atau tugas akhir. Lalu, memberlakukan dan mempertegas peraturan-peraturan untuk para pekerja TU supaya mereka bisa bekerja lebih profesional. Yang terakhir, untuk bapak kepala TU saya mengingatkan untuk selalu memberikan amanat kepada menterimenterinya agar selalu bekerja dengan baik, ramah, profesional, dan proporsional. Serta menyadarkan mereka (terkhusus Pak Raharjo sebagai petugas yang mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan seminar proposal, skripsi, munaqosyah, dan sebagainya) akan salah satu kewajiban beliau sebagai pegawai TU, yaitu melayani mahasiswa dengan sebaik-baiknya pelayanan. A.S Nugraha, mahasiswa semester X, jurusan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
lpmarena.com- 03 -
GERAKAN
MENGAMBANG S
EPERTI BAGIAN DARI PERGERAKAN mahasiswa pada umumnya, ARENA cukup uringuringan ketika membaca dan berdiskusi mengenai nasib Gerakan Mahasiswa (Germa) saat ini. Khususon di UIN Sunan Kalijaga, kampus yang notabene sarang gerakan. Dari kanan mentok, sampai kiri mentok. Kampus yang dijuluki kampus gerakan. Kampus yang mahasiswanya suka demo! Ah, tak lagi, “suka demo� rasanya menjadi animo yang seksi tatkala apatisme mahasiswa telah mendarah daging. Sebab hanya mereka yang sadar akan ketertindasannyalah yang demo. Masalah yang ARENA diskusikan dan coba untuk dipecahkan begitu banyak. Dari kondisi Germa yang blunder. Gerakan tak lagi gerakan, tapi gerak-gerik. Gerakan sekarang hanya sekedar penggembira. Germa hari ini tidak memiliki arah mewarnai kampus untuk mengubah. Gerakan terjebak pada ikhwal politis atau sekedar jadi Event Organizer (EO) belaka. Gerakan sekarang mengambang, tak punya massa jenis yang cukup besar untuk sekedar membuat orang tenggelam (apalagi tercerahkan). Ramainya masih, seperti ketika ada acara lintas gerakan masih banyak yang ikut. Namun, mereka tak senang berlama-lama. Enggan mempelopori kerja gerakan, padahal penggerak sedikit, tapi yang manja untuk digerakkan banyak. Malamnya, menyemut di warung kopi, terjebak dalam kultur ngopa-ngopi yang tak jelas arahnya. Harus diakui, Germa saat ini mengalami degradasi kapasitas. Pisau analisa yang dimiliki Germa tumpul, karena saling jarangnya dipakai. Hal itu terwujud ketika tak ada Germa yang sanggup memberi pendekatan yang tepat atas kondisi gerakan yang saat ini mati kutu. Lalu memberikan solusi-solusi kongkrit yang bisa diaplikasikan. Juga berkaitan ketidakmampuan Germa untuk mengkritisi ideologinya sendiri. Semua ideologi gerakan pada dasarnya memiliki AD/ART yang mulia. Hanya dalam praksisnya tidak selalu. Secara kuantitas pun mengalami degradasi, semakin hari, semakin sedikit mahasiswa yang mau berorganisasi, apalagi yang militan pada gerakan. Terlebih lagi, jika mahasiswa itu berjenis kelamin perempuan. Perempuan sangat sedikit berperan, jika pun ada dalam gerakan, kebanyakan ia hanya sekedar menjadi asesoris semata. Degradasi lainnya yang berhubungan dengan sesat pikir, bisa dilihat dari orang-orang yang sudah ikut gerakan orientasinya kemana? Apakah untuk kepentingan bersama, atau untuk sekedar menambah nilai, menambah pengalaman, menambah jaringan, atau biar dipanggil aktivis saja? Sebab memang, setiap gerakan mengiming-imingi jaringan yang luas setelah lulus. Ada kecerendungan bergantung pada alumni. Akhirnya, gerakan tak lagi mencetak generasigenerasi yang kritis, tapi generasi-generasi yang manut. Sekedar nggah-nggih sama senior. Suruh sana ngikut, sini ngikut. Di mana independensinya sebagai manusia yang berpikir merdeka? Germa hanya jadi loncatan saja
- 04 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Redaksi.
biar masuk struktur. Parahnya lagi ketika Germa berafiliasi dengan parpol dan menjadi ruang ideologisasi parpol. Selalu ada kepentingan yang menungganggi kerja gerakan. Faktor lainnya yang mempengaruhi Germa ialah birokrasi kampus dengan segala sistem yang dibuatnya. Yang luput dari pembacaan birokrasi kadang adalah mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang mestinya menjadi basis eksponensial kampus malah direpresi kampus melalu kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya. Lihat saja produk-produk birokrasi kampus, dari kualitas keilmuan yang monoton, ruang publik yang dipersempit, kegiatan mahasiswa yang dipersulit, sampai pada hal sepele aktivisnya tak boleh gondrong. Tak bisa dipungkiri birokrasi kampus (jalur kolot) memiliki peran signifikan dalam menggembosi gerakan mahasiswa. Bagaimana instrumen-instrumen kampus mengehegemoni gerakan. Mahasiswa dikonstruk kurikulum. Mirisnya, mahasiswa jarang diajak melakukan diplomasi bersama terkait kebijakan-kebijakan itu, mungkin mahasiswa sekedar dianggap sebagai objek bagi pabrik universitas. Karena itu, seharusnya Germa butuh massa yang banyak untuk mendongkrak sistem kampus tersebut lewat kerja-kerja gerakannya. Ramainya bendera gerakan di UIN Suka juga menjadi tantangan sendiri. Gerakan saat ini meski berbeda, tak bisa menyatu, saling bahu membahu membangun kekuatan. Baik Germa mayor maupun minor saling adu curiga, apalagi jika itu menyangkut perpolitikan kampus. Hal itu menyebabkan bermacam penyakit: demokrasi rusak, terjadinya patron, ada politik yang dominan, dan ada rezim yang menindas. Hegemoni satu bendera pun cukup mendistorsi. Sehingga, ada pembedaan ruang yang bermain. Skema besar kondisi psikologis pun bermain di sana. Dari kondisi yang telah dijelaskan, makin kesini Germa mengalami pergeseran makna yang tidak elegan. Dakwah asyarikatu minal iman (berserikat/berpergerakan adalah sebagian dari iman) tak lagi menyentuh relung-relung rohani mahasiswamahasiswi UIN. Padahal, mahasiswa tak bisa berjuang jika dia seorang diri, dia harus mengorganisir banyak orang. Tantangan mahasiswa dewasa ini lebih kepada mengalahkan kecemasan dirinya sendiri, dan memeriksa posisi diri di tengah kondisi sosial yang ada. Germa patutnya memiliki inovasi dan reorientasi yang berarti. Ini akan susah jika kapasitas tak mendukung. Gerakan sejatinya memiliki dua ruang gerak: pertama lewat struktur yang sifatnya hirarkis, represif, dan mengubah, sebab terkait langsung dengan pembuat kebijakan. Kedua, lewat kultural, lebih pada advokasi, komunikasi, dan pengembangan keilmuan. Dua ruang ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Germa. Bisa jadi apa yang telah ARENA analisa ini hanyalah klaim, karena zamannya berbeda. Mungkin Germa sekarang bergeraknya di medsos. Dalihnya, kalau di
Lusa kita siap aksi tolak UKT dan kejelasan Pangdem
Oke ! Daripada tidak sama sekali. Nanti malu sama identitas.
Hem... Lusa ada presentasi kelompok males ngulang aku
Lusa ada kuliah 1 SKS takut ndak lulus 4 tahun
Diolah oleh Agus dari internet
medsos bisa melakukan 'pergerakan', ngapain harus bergerak di ruang-ruang atau di jalan-jalan? Bikin capek dan panas aja! Sekarang bukan zamannya 66, 78, 90, 98, lagi Bung, tapi zamannya generasi android. Yang demo saja bisa lewat dunia maya, cih. Yah, terlepas dari semua itu, yang pasti kita tahu, ada kenyataan bahwa 'ini tidak baik-baik saja', jika diumpamakan sepur, sepur itu keluar dari rel dan tersesat. Gerakan disebut gerakan jika ia mengubah sesuatu ke arah yang lebih baik. Melakukan subversi pada sistem yang membelenggu. Maka, yang membuat semua gerakan bertemu adalah silaturahmi. Saling memberi ruang bersama untuk menghancurkan dinding-dinding eksklusifitas dan kecurigaan. Sesama organ menjadi
penyambung untuk lainna. Gotong royong antar gerakan perlu dihadirkan untuk melawan musuh bersama. Melalui SLiLiT edisi khusus bertema gerakan mahasiswa ini, kami hendak menyalakan lilin di ruang gerakan. Yang harapannya bisa memantik, kalau perlu membakar. Germa seharusnya memberi sumbangsih. Menciptakan transformasi gerakan dan perubahan untuk mengemban amanat penderitaan mahasiswa. Dan seperti bagian dari pergerakan mahasiswa pada umumnya, ketika ARENA memantikkan api dan tak terbakar, kekecewaan pasti ada. Kami serahkan semua pada pembaca, sebagai ahli tafsir dan penggerak yang brilian. Mengubah hal yang absrak menjadi sesuatu yang riil. Sudah saatnya Germa membuat gebrakan![]
lpmarena.com- 05 -
HISTORIA
GERAKAN MAHASISWA oleh Afin Nur Fariha
“
Sejarah Indonesia modern sering dipahami sebagai sebuah proses 'perjuangan' panjang dari sebuah keluarga.” Muridan S. Widjojo dkk dalam buku “Penakluk Rezim Orde Baru”. Dalam realita perjalanan kelahiran republik Indonesia, hingga mendeklarasikan dirinya merdeka dari belenggu penjajahan kolonial pada 17 Agustus 1945, tidak lepas dari serangkaian jejak-jejak pergerakan. Jejakjejak tersebut ditorehkan dalam lima tonggak atau angkatan, yang disematkan kepada seluruh elemen masyarakat yang tergerak dalam mewujudkan Indonesia ke ranah yang lebih sejahtera. Lima tonggak atau angkatan itu, dapat dilihat dari dimensi waktu mekanik yang mengiringinya, yaitu angkatan: 1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998. Lima angkatan tersebut mempunyai pola gerak dan karakteristik yang berbeda-beda. Angkatan 1908, sebagai jejak awal yang mewarisi titik landas dalam mengawali empat angkatan selanjutnya, cenderung memiliki corak intelektual impor. Sebagaimana diungkapkan pada tulisan Soewarsono dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru, bahwa: “Para penggerak angkatan 1908 adalah para mahasiswa yang mendapat beasiswa dari pemerintah kolonial dan bersama para ekstemiran Indische Partij, di negeri Belanda sana telah menemukan tanah air dan nasionnya dan mereka namai Indonesia- sebuah nama yang dipilih untuk menghindari dominasi Jawa, meskipun sebagai akibat bersifat anti historis.”
Jejak angkatan 1908 yang telah merumuskan nasion bangsa ini dan menemukan diksi “Indonesia” sebagai penamaan negara atas bangsa ini. Selanjutnya diteruskan oleh angkatan 1928, di mana populer dengan peninggalannya Sumpah Pemuda. Estafet pergerakan paska angkatan 1928, selanjutnya diteruskan oleh angkatan 1945. Sebuah angkatan yang tanpa pamrih berkorban jiwa dan raga untuk mempertahankan kemerdekaan di tanah air pertiwi, hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang. Lima tahun setelah Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya, di bawah kepresidenan Soekarno, kuantitas pemuda Indonesia yang memilih untuk mendidik diri di lembaga pendidikan perguruan tinggi mengalami kenaikan yang pesat. Sehingga mulai tahun 1950-1965 perguruan tinggi di Indonesia mengalami peledakan jumlah mahasiswa. Dari buku Penakluk Rezim Baru disebutkan, tahun 1945-1946 terdaftar 387 mahasiswa, sedangkan di tahun 1965 ada sekitar 280 ribu mahasiswa. Kuantitas mahasiswa yang kian meningkat tersebut membawa kabar baru bagi pergerakan masyarakat
- 06 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Indonesia, untuk menciptakan wadahnya dalam identitas mahasiswa. Sehingga muncullah organisasi-organisasi mahasiswa. Diawali dengan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Tiga bulan kemudian, Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) mendeklarasikan dirinya pada tanggal 25 Mei 1947. Bak jamur di musim hujan, banyak mahasiswa yang tergerak menghidupkan organisasi mahasiswa, yang kemudian juga mendeklarasiakan diri, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Banyaknya organisasi yang tumbuh pada era ini, tidak hanya sebatas karena membludaknya kuantitas pemuda yang masuk perguruan tinggi. Namun organisasi mahasiswa juga memiliki hubungan tertentu dengan sebuah partai politik tertentu. Baik karena seideologi maupun yang bersifat underbow. Mengingat warisan angkatan 1966, yang mana kuantitas organisasi masa mahasiswa semakin banyak, serta jejak peninggalannya di panggung sejarah yang berhasil menurunkan Soekarno dari kursi pemerintahan. Menanggapi fenomena tersebut, novelis Pramoedya Ananta Toer berkomentar: “Angkatan 66 adalah angkatan yang dari padanya tidak ada sesuatu yang masih perlu dinilai” bahwa angkatan 1966 adalah angkatan epigon dari partai politik dan militer semata. Berkat bantuan pergerakan mahasiswa dalam menurunkan Presiden Soekarno, tahun 1967 peta politik Indonesia berubah di bawah kepemimpinan Soeharto. Pada masa awal-awal pemerintahannya, Soeharto hadir sebagai pendekar yang memilih peran menyikat habis Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diklaim berbahaya bagi NKRI. Seiring perubahan peta politik, peta perekonomian pun ikut berubah. Pergeseran dalam struktur ekonomi kian kentara, yang ditengarai dengan merambahnya sektor swasta serta banyak bermunculan pemilik modal baru dari kalangan elit negara. Pergeseran struktur perekonomian ini mulai sangat nampak terutama sejak tahun 1980. Sebelum memasuki tahun 1980, atmosfir politik Indonesia sempat diwarnai oleh eksistensi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) tahun 1974 yang menandai perpecahan mahasiswa dengan penguasa Orde Baru. Peristiwa tersebut menyebabkan Orde Baru merasa perlu waspada, sehingga mengharuskan mengeluarkan suatu kebijakan untuk merepresif kemungkinan aksi mahasiswa yang lebih besar lagi. Kebijakan itu akhirnya diwujudkan melalui Surat Keputusan (SK) menteri pendidikan dan kebudayaan, Daoed Josoef No.
0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang turunannya adalah pemberlakuan Sistem Kredit Semester (SKS) yang dilegalkan dengan SK No. 0124. Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Munculnya kebijakan tersebut semakin menyesakkan ruang gerak pemuda, yang sebelumnya ruang gerak pemuda juga sudah dipersempit dengan didirikannya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada bulan juli 1973, dengan tujuan untuk mempermudah mengontrol para pemuda Indonesia di bawah bayang rezim Soeharto. Kondisi atas represifitas berserikat bagi para pemuda ini juga dialami oleh semua elemen masyarakat, seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang semuanya dikemas dalam paket 5 undang-undang politik 1985 yang salah satunya mengatur organisasi massa. Hal ini memberikan gambaran betapa rezim Soeharto berniat untuk melakukan kontrol dan penertiban berserikat, yang mana apabila ada organisasi atau perkumpulan di luar lingkaran yang telah dibentuk oleh Soeharto maka dianggap makar dan perlu ditindaklanjuti. Akibat represifitas berserikat ini, mahasiswa mulai mencari format baru untuk berserikat atau berorganisasi, maka muncullah kelompok-kelompok belajar mahasiswa yang lama kelamaan merambah di berbagai kota. Kelompok belajar adalah format baru dari organisai mahasiswa untuk menyamarkan keberadaannya dalam menjaga agar tidak disapu oleh rezim Orde Baru. Di UIN Sunan Kalijaga sendiri, organisasi gerakan yang sudah lama berdiri seperti PMII, HMI, KAMI, IMM, dan GMNI tidak gentar untuk terus mempertahankan eksistensinya. Salah satu kelompok diskusi yang dapat disinyalir keberadaannya di UIN Sunan Kalijaga adalah Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD). Sejak akhir tahun 1987 organisasi-organisasi mahasiswa bersatu tak pandang bulu dalam menyuarakan gemuruh kegelisahan sosial di jalan-jalan. Akhir 1997, seluruh pergerakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga telah mengadakan aksi besar-besaran untuk menuntut mundur Soeharto dari kursi pemerintahan. Selanjutnya pada Mei 1998, Soeharto telah melepaskan jabatan kepresidenannya, akan tetapi kebijakan represifitas berserikat di kampus lewat
NKK/BKK masih tetap membelenggu pergerakan mahasiswa. Penguasaan perekonomian oleh elit pemerintah rezim Orde Baru dan investor asing yang menyebabkan signifikannya kesenjangan sosial, serta inflasi. Sehingga meyebabkan krisis ekonomi dan beberapa kasus kekerasan yang diterima mahasiswa. Ini sebagai akibat tindak tangan militer, juga ketidakberdayaan pemerintah atas kondisi politik Indonesia dalam tujuh kali pemilu yang terus saja menjadi jalan bagi Soeharto untuk mempertahankan tahta kepresidenanya. Hal tersebut membuat para mahasiswa bersatu tanpa memandang organisasi gerakan. Bersama berbagai elemen masyarakat mereka terus-terusan melakukan aksi. Hingga pada bulan Mei 1998, turunlah Soeharto dari singgasana kepresidenan. Kesamaan nasib yang dialami oleh para mahasiswa dan seluruh masyarakat Indonesia, meyebabkan seluruh elemen dapat dengan mudah bersatu dan bekerja sama dalam menghadapi musuh bersama yang telah dinanti-nanti untuk tidak lagi menyinggahi tahta pemerintahan. Gerakan-gerakan mahasiswa yang telah bersatu dalam mengawal penurunan Soeharto dari kursi kepresidenan, yang terdiri dari semua organisasi yang ada mencangkup: PMII, HMI, KAMI, IMM, GMNI, dan KMPD masih tetap menjaga kebersamaannya paska Soeharto lengser. Wujud dalam menjaga kebersamaan itu dipraksiskan lewat diadakannya Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa). Di tahun 2001 Pemilwa diikuti dari berbagai organ gerakan. Pada saat itu seluruh organisasi mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga memperoleh peran di kursi pemerintahan kampus. Selain sebagai upaya menjaga kebersatuan antar organisasi, Pemilwa juga sebagai salah satu jalan agar mahasiswa kembali sadar berpolitik. Berlanjut pada pola pergerakan mahasiswa di masa reformasi ini, di UIN Sunan Kalijaga gerakan dihadapkan pada hasil dari proses hancurnya gerakan politik kerakyatan. Hal itu berdampak pada kondisi mahasiswa yang akhirnya menjatuhkan pilihan politiknya pada gagasan politik religius konservatif atau religius fundamentalis radikal. Diperparah dengan memudarnya budaya berserikat, berpartai, rapat akbar, aksi, mogok, dan bersuara telah menjadi salah satu penyebab kegagalan era reformasi ini.[]
Di tahun 2001 Pemilwa diikuti dari berbagai organ gerakan. Pada saat itu seluruh organisasi mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga memperoleh peran di kursi pemerintahan kampus. Selain sebagai upaya menjaga kebersatuan antar organisasi, Pemilwa juga sebagai salah satu jalan agar mahasiswa kembali
SADAR BERPOLITIK.
Mahasiswa jurusan Sejarah Kebudyaan Islam, Semester VI, Fakultas Adab dan Budaya
lpmarena.com- 07 -
DINAMIKA GERAKAN MAHASISWA UIN SUNAN KALIJAGA “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.” (Pramoedya Ananta Toer) oleh Ilham M. Rusdy
M
EREKA DIANGKUT naik ke truk, lalu diseret ke markas Kepolisian Resor Kota (Polresta) Yogyakarta, saat hendak melakukan long march ke Alun-Alun Utara. Enam aktivis diperiksa. Mereka yaitu, Arifan Syafe'i (koordinator aksi), Moh Nasta'in (Ketua Cabang PMII), Widiastuti (Ketua GMNI), Stephanus Makambombu (Ketua GMKI), Azwar Yusuf (Ketua HMI), dan Silvester Lahi (Ketua PMKRI)
- 08 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Hari itu, Minggu, 8 Maret 1998, sekitar 50 mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam kelompok Cipayung meramaikan jalan Malioboro melalui aksi “Diam Menuntut Perubahan.” Serba-serbi kebijakan Orde Baru jadi sasarannya. Menjelang runtuhnya rezim Soeharto pertanda tungku api kian membara. Hal itu membuat gerakan mahasiswa semakin gerah dan masif melakukan perlawanan. Hampir tiada hari tanpa demo.
Inilah yang digambarkan oleh Angga Apip WS dalam skripsinya berjudul “Peranan Mahasiswa Yogyakarta dalam Perjuangan Reformasi di Indonesia (1998)”. Yang menjelaskan situasi gerakan mahasiswa Yogyakarta pada masa itu. Lebih lanjut, Angga menggambarkan suasana kian menjelma genting nan gaduh. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Wiranto Arismunandar, menelanjagi sikap mahasiswa dengan ucapannya bahwa mahasiswa sangat amatiran soal politik. Reaksi pun kembali tercipta. Mimbar bebas digelar lebar. Ketika itu Wiranto melayat ke Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk melantik Rektor. Mahasiswa menuntut untuk menarik ucapannya. Tapi sayang, usaha tak sampai pada cita. Lantaran Wiranto keburu beranjak pergi lebih awal dari jadwalnya. Esoknya, mahasiswa hendak menggelar aksi ke Kantor DPRD Yogyakarta. Petugas keamanan sudah siaga. Kekerasan dilancarkan
Dokumen LPM Arena Aksi tolak kenaikan BBM di Pertigaan UIN Sunan Kalijaga pada 9 November 2014
kepada massa aksi. Titik tuju pun belum sampai dikerumuni. Tak hanya mengenai demonstrasi, aksi mogok makan juga pernah dilakoni oleh tujuh mahasiswa. Sebagai bentuk protes atas tindakan represif yang semakin akut. “Dari demonstrasi hingga mogok makan dilakukan mahasiswa. Serta, insiden 2-3 April yang terjadi di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) semakin menguatkan keimanan mahasiswa Yogyakarta dalam memperjuangkan reformasi di Indonesia tahun 1998.� (Angga Apip WS: 2012). 21 April 1998 kala itu, Hari Kartini seakan menangis di pangkuan ibunya. Darah mahasiswa menghujani perjuangan reformasi. Seruan aksi kembali bergema di Yogyakarta. Masyarakat ambil bagian membangun kekuatan massa kali ini. Depan gedung Graha Sabha Pramana UGM lokasi yang di tuju. Para dosen, rohaniawanrohaniawati, pemuda, pelajar, seniman, dan lainnya juga ikut
menjadi saksi sejarah. Aksi mahasiswa Yogyakarta dalam perjuangan reformasi serta peggulingan kekuasaan Presiden Soeharto terus memanas. Dimulai dari tanggal 5 Mei, ribuan mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta meraptkan barisan. Jalan Gejayan dibanjiri mahasiswa. Tepat tanggal 8 Mei 1998, sejarah tergores dengan darah. Di langit Gejayan, batu-batu beterbangan memburu kepala aparat. Gas air mata balik menyerang mata massa aksi. Suasana betul-betul kisruh dan rusuh. Gugur seorang warga di medan tempur yang tak seimbang. Nyawa Mozes Gatotkaca (40), yang kebetulan lewat untuk membeli nasi di sebuah warung daerah Mrican, terkorbankan. Aparat berseragam mengerumuni tubuhnya dengan tangan dan kaki. Namanya sekarang diabadikan menjadi nama jalan. Tepat berada di samping kampus Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Aksi terus berlanjut dan
mahasiswa tak ingin membubarkan barisannya. Aparat datang lagi menyerbu. Gas air mata kembali berkabut. Kejar-kejaran pun terjadi dan massa menebar mengikuti arah pandangan mata. Ada yang masuk di perumahan warga juga mengumpat masuk di dalam kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta-sekarang berubah nama menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Puluhan orang luka-luka. Sekitar 25 yang ditangkap dan puluhan motor hancur sia-sia. Menjelang malam, aksi teralihkan ke jalan Laksda Adisucipto. Jalan diblokir dengan pot penghias juga pohon yang dirobohkan. Hingga hari Sabtu, 9 Mei, aksi masih berlanjut. Gerakan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN)-sekarang berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)-Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta menjadi pemprakarsa, selaku tuan rumah. Tekanan dari mahasiswa Yogyakarta yang salah satunya dimotori oleh gerakan mahaiswa IAIN, serta tekanan dari berbagai
lpmarena.com- 09 -
lini memancing Soeharto untuk membalikkan situasi. Tapi sayangnya kekuatan semakin masif bersatu. Soeharto pun lengser akibat kekacauan yang terus meningkat. Tepat pada tanggal 21 Mei 1998. UIN SUKA BERGERAKAN Menyoal gerakan mahasiswa di UIN Suka–yang dulunya IAIN-dalam perjuangan reformasi 1998 tak dipungkiri signifikansinya. Geraknya tak lapuk dalam catatan sejarah. Manuskrip perjalanan bisa dilacak jauh sebelum iringan peristiwa reformasi menyeruak. Gerakan di lingkup kampus UIN Suka secara sadar memproklamirkan diri sebagai organisasi eksternal kampus. Diruntut historiografi masuknya gerakan di area kampus UIN Suka telah dimulai sejak kampus ini bernama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). HMI mengawalinya pada tanggal 26 September 1952. Mulanya hanya terdiri satu komisariat saja. Kemudian, pada tanggal 17 April 1960, PMII lahir secara resmi di taraf nasional. Tak lama setelahnya PMII hadir di kampus putih bertepatan dengan peralihan status menjadi IAIN Yogyakarta. Diikuti masuknya IMM pada tahun 1981. Pasca reformasi, KAMMI menyusul dengan pendeklarasian diri di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta, tanggal 29 April 2000. Beberapa gerakan mahasiswa lainnya juga bermunculan pada waktu ini. Dinamika perkembangan gerakan mahasiswa di kampus UIN Suka masih pantas dikatakan masif setelahnya. Pengawalan isu bersama kerap menjadi perapat barisan. Demonstrasi tetap menjadi salah satu jalan aksi. Misalnya, pada tanggal 19 Maret 2012 lalu, saat demonstrasi besar-besaran menolak kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ketegangan antara aparat dan massa aksi masih saja jadi pemandangan. Bentrokan disertai pengejaran oleh aparat terjadi. Mahasiswa pun menghamburkan diri menghindari gas air mata. Sembilan pengunjuk rasa ditangkap dan sempat dipukul hingga berdarah. Dua tahun setelahnya, Gerakan
- 10 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Titik
Pasang Surut Gerakan
2012-2016 2012
Tanggal 19 Maret, demontrasi mengenai kenaikan harga BBM mengakibatkan sembilan orang pengunjuk rasa ditangkap di gedung Fakultas dan Perpustakaan Terpadu. Bahkan massa aksi sempat dipukul hingga berdarah.
2014 Aksi sebelumnya tekait BBM, berlanjut 2 tahun sesudahnya. Pada tangggal 17-20 November, atas nama Aliansi Mahasiswa se-Yogyakar ta (AMY) yang diikuti 13 organisasi menuntut dibebaskannya dua orang massa aksi yang sempat ditahan Setelah itu, di bawah komando Aliansi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (AMUK) beralih fokus pada isu kampus terkait naiknya nominal UKT. Demontrasi ini digelar di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Suka, yang menghasilkan 6 buah kesepakatan yang ditanda tangani langsung oleh Dekan Fakultas Saintek, Akhmad Minhaji.
2015-2016 Tanggal 1 Oktober 2015, adalah lanjutan aksi terkait UKT, yang mana masih mendapat pengawalan hingga tahun 2016 pada pegelaran OPAK.
mahasiswa kembali menyatukan kekuatan. Untuk menghadapi kebijakan yang serupa. Demonstrasi besar pecah, lagi. Tepat tanggal 20 November 2014, Gerakan mahasiswa kembali merapatkan barisan atas nama Aliansi Mahasiswa se-Yogyakarta (AMY). 13 gerakan mahasiswa terlibat. Di mana aksi sebelumnya digelar berturut dari tanggal 17-19 November 2014. Pembebasan dua orang massa aksi yang ditahan menambah tuntutan kali ini. Ketegangan tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Bahkan, warga sekitar kampus terlibat menyerang massa aksi yang dinilai cenderung anarkis dan membuat jalanan macet. GERAK BERSAMA GERAKAN Apa kabar gerakan mahasiwa hari ini? Setelah melewati pertarungan panjang dengan pengawalan sejuta kebijakan yang dirasa cacat. Kini gerakan mahasiswa mulai tampak baik-baik saja. Seolah-olah negara serta kampus sudah sesuai dengan kapasitas rakyatnya. Masing-masing gerakan kerap menonjolkan arah individual. Ada yang tak searah, ada juga yang sudah merasa dewasa. Sehingga kerap pengawalan isu-isu kian melemah, bahkan tak mencapai totalitasnya. Kemasifan gerakan dirindukan datang. Kembali masif berarti kembali melakoni peran bersama. Tak hanya masif di ruang aksidemonstrasi, tapi juga masif di ruang politis dan diskusi. Tak hanya mengandalkan jumlah massa, juga mesti mengandalkan kepadatan wacana. Kader gerakan dituntut untuk menunaikan salah satu citacita tersebut. Seperti pendapat Moh. Amin, salah satu motor penggerak penyatu gerakan mahasiswa di Universitas Merdeka Malang, bahwa masifnya gerakan tak hanya dilihat dari kepadatan massa demonstrasi, tetapi lebih kepada suatu pembagian kerja antar gerakan. “Masif tak hanya mengandalkan banyak massa, tapi masif juga dalam pembagian kerja. Sebab, setiap gerakan punya berbagai keahlian. Ada yang ahli demontrasi, ahli advokasi, ahli agitasi, dan sebagainya, dan semua itu bisa dimanfaatkan,� paparnya.[]
GERMA BUTUH RUANG BERSAMA Aksi turun ke jalan masih menjadi senjata Gerakan Mahasiswa (Germa). Namun, antar gerakan cenderung bergerak masing-masing. Kurangnya ruang bersama disinyalir menjadi persoalan yang kini menghinggapi Germa. oleh Rohmad Aditiya Utama
M
ENJELANG ASHAR pada Senin 20 Februari, cuaca mendung disertai gerimis menyelimuti kampus UIN Sunan Kalijaga yang mulai lengang dari aktivitas mahasiswa. Namun, dari seberang jalan terlihat puluhan mahasiswa berkumpul, mengangkat poster dengan berbagai tulisan di jalan raya pertigaan depan kampus. Mereka berbaris melingkar dan beberapa berada di tengah. “Revolusi! Revolusi! Revolusi!” Teriak mereka yang di pandu pengeras suara. Massa aksi secara bergantian menyampaikan orasi politiknya. Massa ditemani petugas polisi yang sedari tadi mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan. ”Ini aksi memperingati Hari Pekerja Nasional,” ujar Nahdi, koordinator lapangan. Aksi tersebut diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Wisma Tradisi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Senin (20/02). Massa aksi mempersoalkan masih adanya diskriminasi pekerja yang seringkali terjadi. Sektor upah pekerja yang dinilai belum layak, serta keadilan bagi pekerja perempuan yang sedang hamil untuk mengambil cuti terkadang tidak dipenuhi. Kasus di Karawang sebagai contohnya, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dianggap belum mendapatkan perlindungan dari pemerintah, serta dukungan terhadap serikat pekerja yang sedang mempersoalkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015. Pertigaan UIN Sunan Kalijaga memang kerap menjadi salah satu tempat berdemonstrasi mahasiswa Yogyakarta. Tercatat aksi serupa kembali terjadi pada Senin (13/03), yang dilakukan sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Yogyakarta (FMY). Aksi itu untuk merespon isu nasional terkait korupsi EKTP yang menghabiskan dana hingga 2,3 Triliun rupiah. Tidak hanya itu, massa aksi juga melakukan pengawalan terhadap gugatan yang dilayangkan Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, terkait Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 235/KEP/2016 tentang Upah Minimun Kabupaten/Kota DIY tahun 2017. Aksi mahasiswa dalam jumlah besar juga pernah terjadi akhir 2014 lalu. Massa aksi yang merupakan gabungan dari Pergerakan Mahasiswa
Doel
lpmarena.com- 11 -
Islam Indonesia (PMII), LMND, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), SMI, RESDEM, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Sekolah Bersama (Sekber), FAM-J, PEMBEBASAN, CAKRAWALA, BEM UIN, FL2MI, dan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) berkumpul di pertigaan, melakukan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia sedang turun. MENDIAGNOSA TUBUH GERAKAN Aksi jalanan memang masih menjadi metode perjuangan Germa. Seperti yang disampaikan Fandi Ahmad ketua koordinator komisariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UIN Sunan Kalijaga kepada ARENA di kediamannya Senin (20/02) malam. Menurutnya, Germa hari ini sedang mengalami permasalahan di beberapa titik. Hal itu menyebabkan perjuangan yang dilakukan seringkali disalahpahami dan tidak tepat sasaran. “Saat ini gerakan mahasiswa 'kalah' dengan media (mainstream),” ujarnya. Sebab, kerap kali media memberitakan sisi keburukan dari aksi ketika tidak sesuai dengan politik medianya. Apalagi jika terjadi bentrokan dengan warga sekitar. “Bahkan kalau kita lihat peristiwa 2014 ke 2015 itu kan yang aksi bahkan kita sampai clash (bentrok-red) dengan warga sekitar,” ungkapnya. Lebih jauh Fandi menjelaskan, selain permasalahan media, pihaknya mengakui jika di internal HMI permasalahan gerakan berada pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengalami penurunan. Strategi untuk menanggulanginya, HMI menerapkan metode pengawalan di setiap proses kaderisasi. “Kampus kita kan modelnya sangat sulit, dalam artian sekarang sudah banyak tugas dan yang lainnya, apalagi mahasiswa baru,” terangnya. Pada wilayah eksternal, tidak adanya ruang komunikasi yang intensif antar gerakan menjadi permasalahan tersendiri. Menurutnya ini didasari oleh adanya sentimen antar gerakan yang biasanya bersumber dari rebutan kader dan gesekan pada saat
- 12 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
“Ya janganlah kaya gini (diskusi bersama-red) itu cuma sekali, tapi memang susah. Setelah itu saya baru ketemu sekali doang sama teman-teman HMI dan PMII sama KAMMI juga susah.” Ayu Inna Karomatika Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa). “Harapannya kan di tingkatan mahasiswa hal itu (bisa) selesai.” Adanya permasalahan di tubuh gerakan tidak hanya dirasakan oleh HMI. Gerakan lain misalnya, IMM, PMII, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesian (GMNI), serta KMPD, saat ditemui ARENA juga mengungkapkan permasalahan yang sedang dihadapi Germa sekarang. IMM selain sebagai Germa, juga merupakan organisasi otonom yang tidak bisa lepas dari salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah. Hal tersebut tercantum dalam dasar ideologi IMM yang disebut dengan Enam Penegasan IMM. Ayu Inna Karomatika pimpinan IMM cabang Sleman menjelaskan, secara umum Germa pasca reformasi mengalami kebimbangan, karena tidak memahami identitasnya. Tuntutan-tuntutan modernitas seperti halnya lulus cepat, dianggapnya sebagai penyebab lemahnya Germa. Identitas mahasiswa sebagai counter kebijakan pemerintah akhirnya berhenti pada tahap membaca berita tanpa adanya aksi. Kuantitas kader pun masih kurang untuk dapat melakukan sebuah kerja perubahan yang nyata. “IMM sendiri pun mentok di diskusi, ibarat kaya, cuma di permukaan,” jelas Ayu pada ARENA, Rabu (22/02). Perbedaan pemahaman kerap menjadi permasalahan, serta adanya kepentingan di masing-masing Germa yang berimbas pada tumbuhnya sensitifitas antar gerakan. “Nah kepentingan itu juga susah sekali, seolah-olah ada sekat antara satu organisasi mahasiswa
dengan organisasi yang lain,” pungkas Ayu. Ayu bercerita, pihaknya bersama Germa dari HMI, PMII, Gema Pembebasan, serta Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada akhir tahun lalu sempat mengadakan diskusi bersama. Diskusi tersebut menyoal permasalahan yang sedang dihadapi Germa sekarang. Salah satu yang menjadi pembahasan serius adalah terkait kepentingan. Ia menjelaskan masing-masing gerakan mengakui bahwa adanya kepentingan telah membuat antar gerakan tidak mampu bersatu. Namun ia menyayangkan, karena setelah acara diselenggarakan hingga hari ini belum ada tindak lanjutnya. “Ya janganlah kaya gini (diskusi bersama-red) itu cuma sekali, tapi memang susah. Setelah itu saya baru ketemu sekali doang sama teman-teman HMI dan PMII sama KAMMI juga susah.” Permasalahan serupa juga disampaikan oleh Farid selaku Komisaris GMNI UIN Sunan Kalijaga. Tuntutan akademik dan sentimen antar gerakan, menurutnya sudah dimulai sejak masa Orde Baru saat diterapkannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Di UIN Suka misalnya, perebutan kursi Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Mahasiswa (DEMA) seringkali membuat hubungan antar gerakan tidak harmonis. “Dia lebih eksis pada gerakannya masing-masing,” kata Farid. Farid menambahkan, adanya kedekatan dan kepentingan dari senior yang menepati posisi birokrasi kerap mengahambat gerak organisasi. Baginya hal itu menjadi permasalahan tersendiri di tubuh gerakan. Posisi mahasiswa yang berada di tengah antara pemerintah dan rakyat haruslah dipahami agar mahasiswa berhati-hati dan menjaga jarak dengan senior. “Jadi tantangannya juga kita melawan mereka,” tegasnya. Beranjak dari ketiga organisasi mahasiswa di atas. Pada Kamis (16/03) di depan Fakultas Tarbiyah, ARENA menemui Mohammad Shofiyulloh selaku ketua PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga. Menanggapi permasalahan Germa, Shofiyulloh juga
saat ini
sulit menemukan
Germa
Germa merefleksikan ulyang idealisang materialisme historisnya masing-masing,” pungkasnya. Dari penuturan para pelaku gerakan di atas, pada Jumat siang (24/03) ARENA menyambangi ruangan kerja Munawar Ahmad, salah satu dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Dosen jurusan Sosiologi Agama tesebut memaparkan pendapatnya mengenai Germa saat ini. Menurutnya saat ini sulit menemukan Germa yang idealis. Germa yang ia maksud adalah bukan sekedar Germa di kampus yang hanya melakukan provokasi. Akan tetapi Germa yang bertujuan membangun tata politik negara yang baik. Munawar menganggap, organisasi Germa yang ada sekarang tidak mempunyai kaitan dengan idealisme suatu gerakan, melainkan hanya merupakan identitas dari macam-macam nama. Mengusung identitas masing-masing dengan ekspektasi dan ideologi mereka sendiri-sendiri. “Tapikan prosesi menekan pemerintahnya sama, melakukan gerakan sosial, gerakan sosial yang politik tentunya bukan gerakan sosial yang untuk nonpolitik,” ungkapnya. Bagi Munawar yang perlu dilakukan oleh Germa sekarang
Diolah oleh Agus dari internet
membenarkan adanya hubungan yang kurang harmonis antar gerakan. Ia menganggap ketidakharmonisan ini membuat Germa sulit untuk bersatu. “Kalau saya melihat sebenarnya pemisah itu hanya sekedar gengsi aja,” ungkapnya. Namun, di sisi lain pihaknya mempunyai pembacaan tersendiri mengenai permasalahan Germa. Mahasiswa tetap menjadi pengawal politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah, tapi tidak sepenuhnya. Menurutnya, mahasiswa lebih dibutuhkan di wilayah ideologi. “Ya nyuwun sewu kalau kita ngomongin perang, sekarang mahasiswa harusnya perang ideologi,” ujarnya. Dari pendapat tersebut, Shofiyulloh memandang meskipun PMII adalah Germa, tapi dengan membaca konteks zaman, serta kata Islam yang tersemat dalam nama organisasi, menjadi salah satu dasar untuk mengambil jalur yang berbeda. Meskipun dulu orangorang menganggap PMII sebagai Germa yang lebih banyak bergerak di wilayah politiknya. “Kalau sekarang ya jelas, kita juga harus memahami betul Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, ada Islam-nya di sana.” Shofiyulloh menuturkan pihaknya lebih menyarankan kaderkader PMII aktif di majelis-majelis Islam moderat. Nilai-nilai Islam seperti Tawasshuth, Tawazzun, Tasammuh, Ta`addul, diusung untuk merespon kelompok yang dianggapnya anti Pancasila. “Mereka mengisi ruang-ruang yang di situ memang ada suatu perebutan kami di Islam nasionalis dengan Islam transnasional”. Sementara itu, Mohammad Ma'sum Yusron sebagai kepala suku KPMD memandang Germa sekarang terburu-buru terjebak dalam politik identitas. Budaya konsolidasi serta membangun kultur lewat ngopi bersama dirasanya sangat kurang. Sehingga masing-masing Germa cenderung menutup diri. “Germa kurang ngopi bareng aja, kalau masih percaya istilah 'dari ngopi menuju revolusi' harusnya Germa sering-sering aja ngopi bareng.” Yusron menjelaskan, tantangan yang dihadapi Germa sekarang sangat kompleks, baik di wilayah globalitas, nasionalitas, serta lokalitas. “Maka kiranya perlu
yang idealis
adalah bukan lagi merevitalisasi, melainkan mengeksplorasi serta membangun idealisme untuk zaman ke depan. “Menjawab tantangantantangan masyarakat berhadapan dengan politik.” Munawar menyebut beberapa kondisi memang menyebabkan Germa sekarang tidak lagi mempunyai akar idealisme. Terputusnya akar idealisme Germa menurutnya, didasari oleh perjuangan yang hanya berpikir untuk mendobrak kekuasaan. Sebab tanpa diimbangi tentang sistem yang ditawarkan dan pada akhirnya hanya di 'mabukkan' oleh persoalanpersoalan internal yang sifatnya narsistik. “Tidak banyak mereka membaca tulisan-tulisan serius tentang teori-teori politik, teori-teori yang kuat untuk membangun sebuah idealisme yang kuat,” kata Munawar. Kondisi tersebut menurut Munawar diperparah oleh pola doktrinasi berdasarkan sisi sejarah yang salah. Seringkali melabeli masa sebelumnya bukan dari ilmu yang diketahui. Serta seringkali para aktivis yang handal berteriak mengusung idealisme menjadi tumpul ketika masuk menjadi birokrat. “Kan idealisme itu tidak pupus karena persoalan usia, tidak pupus karena dia jadi birokrat atau tidak,” tegasnya.[]
lpmarena.com- 13 -
KADER PEREMPUAN KURANG MENGEKSPLORASI
KAPASITASNYA Setiap organisasi memberikan hak yang sama pada setiap kader, termasuk kader perempuan yang memiliki ruang strategis untuk bergerak. Namun, kurangnya eksplosari kapasitas kader perempuan menjadikan permasalahan tersendiri. DOKUMEN ISTIMEWA
oleh Mar'atus Sholihah
Aliansi Komite Perjuangan Perempuan melakukan aksi saat memperigati Hari Perempuan pada 8 Maret 2015 di Malioboro
S
UARA PEKIKAN seorang mahasiswa yang sedang berorasi menyambut kedatangan siapa saja yang menghadiri acara pada malam itu. Acara tersebut dalam rangka memperingati ulang tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 2017 yang diadakan di Gelanggang ESKA Kamis (2/3). Kader laki-laki maupun perempuan keduanya saling unjuk kebolehan dalam berorasi.
- 14 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Saat ini sudah banyak kader perempuan yang berani berorasi, menentang maupun mengkritisi kebijakan birokrasi. “Kalau dulu yang berani orasi biasanya yang udah lama di organisasi, itu pun hanya ada satu atau dua, tapi sekarang kader perempuan yang baru pun udah percaya diri untuk berorasi,� tutur Elvi Suherni, Ketua Bidang Internal Korp HMI-Wati (Kohati) HMI Cabang Yogyakarta. Hampir di setiap organisasi
gerakan mahasiswa memiliki wadah tersendiri untuk mengembangkan kader perempuannya. Misalnya di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang memiliki wadah Korp PMII Putri (Kopri), kemudian Kohati di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Biro Sarinah di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Bidang ke-Immawati-an di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Wadah tersebut lahir bersamaan
dengan lahirnya organisasi itu sendiri. Kopri dibentuk atas dasar kegelisahan kader perempuan, yang pada saat itu kuantitas mereka semakin banyak, sehingga diperlukan adanya wadah khusus perempuan. Sebelumnya, pergerakan perempuan dalam gerakan mahasiswa masih meliputi kegiatan-kegiatan domestik. Misalnya menjahit dan memasak, meskpiun diskusi dan kajian masih tetap dilakukan. “Tahun 1966-1967 para kader perempuan mulai merintis kegiatan pergerakan perempuan yang tidak hanya mengurus kegiatan domestik tapi juga kegiatan sosial,” papar Nisa Ulil Afwa, Koordinator Kopri UIN Sunan Kalijaga. Perjalanan pergerakan perempuan dalam organisasi mengalami pasang surut, misalnya Kopri yang pada tahun 1990-an pernah dibubarkan, karena dianggap tidak relevan lagi. Kegiatan mereka seputar diskusi dan kajian, tapi dianggap tidak memberikan perubahan yang signifikan. Cara berpikir mereka dianggap masih sama dengan cara berpikir orang awam, “Mereka sadar namun hanya sebatas kesadaran untuk diri sendiri,” jelas Nisa. Namun pada tahun 2003, atas dasar kebutuhan wadah khusus kader perempuan PMII kembali mendirikan Kopri AKSES KADER PEREMPUAN Setiap organisasi memberikan hak yang sama kepada setiap kader untuk berkembang. Baik mengisi posisi strategis di kepengurusan ataupun mengambil peran dalam agenda rutinitas. Farid Komisaris GMNI UIN Sunan Kalijaga menjelaskan, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menduduki jabatan. Hal ini sesuai dengan ajaran Soekarno bahwa laki-laki dan perempuan setara. “Soekarno menganalogikan bahwa posisi laki-laki dan perempuan bagaikan sayap burung, sayap kanan adalah laki-laki dan sayap kiri adalah perempuan, jika patah salah satunya, maka burung itu tidak dapat terbang, begitu pula organisasi,” papar Farid. Namun, akses tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan kader perempuan, Seperti di PMII, hal itu terlihat dalam struktur
“Jika REVOLUSI berada di jalan, harusnya mereka bisa masuk ke JAJARAN ITU,” ujar Lusia
kepengurusan PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga. Dari empat belas jabatan penting dalam kepengurusan, baru dua jabatan yang dijabat oleh kader perempuan, yaitu koordinator Badan Semi Otonom Komisariat Gerakan Gender Transformatif dan koordinator Badan Semi Otonom Komisariat Sanggar Jepit. Seperti yang disampaikan Sholhan anggota Pengkaderan PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga. “Saat pengawalan isu semua kita undang,” katanya. Namun seringnya kader perempuan tidak merespon, dan cenderung menarik diri jika melakukan pengawalan isu. Ia menjelaskan bentuk aksi perempuan hari ini mengalami pergesaran dibandingkan dulu. Tidak sedikit perempuan yang saat ini enggan melakukan aksi turun ke jalan. “Seringnya fokus di tulisan, misalnya di blog pribadi,” tambahnya. Meskipun begitu, menurutnya aksi turun ke jalan bukanlah tolak ukur penuh untuk mengukur kualitas kader. Mengader perempuan bukanlah hal yang mudah. Pendekatan yang dilakukan pun tidak sama dengan yang diterapkan ke kader laki-laki. “Cewek seneng nge-’geng’, ketika gengnya gak dateng ia pun ikutan,” terangnya. Melihat kondisi yang seperti itu memang harus menggunakan strategi yang berbeda. “Kita ngikutin mereka, tapi tetap kita pegang,” ujar Sholhan yang juga mahasiswa semester VIII Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam ini. Kesempatan serta akses yang sama menjadikan perempuan memiliki posisi strategis. Menurut pandangan Lusia Ega Andriana anggota Majelis Pengawas dan
Dokumen Istimewa
Konsultasi Pengurus Komisariat HMI Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, baik kader laki-laki maupun perempuan memiliki porsi yang sama. Meskipun cara bergeraknya berbeda-beda, tapi perempuan juga memiliki posisi yang sentral, dan mampu mempengaruhi. “Jika revolusi berada di jalan, harusnya mereka bisa masuk ke jajaran itu,” ujar Lusia saat ditemui ARENA, Selasa (11/04). Menurutnya saat ini kesadaran yang dimiliki kader perempuan, masih sebatas kesadaran di permukaan. Masih sedikitnya kesadaran, yang berdampak pada tindakan. “Saya melihat perempuan di sini masih mengalami ketakutan, baik dari diri sendiri, misal kurang rasa pede,” tambahnya. Padahal proses pengaderan, kader perempuan mendapatkan wadah khusus, selain itu di HMI kader perempuan diberikan pelatian tambahan berupa Latihan Kader
lpmarena.com- 15 -
Keperempuanan (LKK), materinya seputar pengembangan skill mereka. Ia menjelaskan, perempuan cenderung mengkotak-kotakan dirinya. Stigma mahasiswa perempuan yang lebih fokus pada akademik tidak bisa dilepaskan dari konstruk sosial. Selain itu, semisal berbicara di forum umum masih mengangap wadah tersebut ranahnya laki-laki. Sehingga ia tidak mampu mengeksplorasi dirinya. Anehnya saat diskusi di internal Kohati mereka banyak berargumen. “Padahal udah baca gender dan mengamini kesetaraan,” tuturnya. Selain dari kader perempuan itu sendiri, dukungan dari kader lakilaki juga perlu dilakukan untuk mendorong perkembangan kader. Tidak hanya dukungan berbentuk akses, atau sebatas pengakuan terkait kesetaraan. Lusia mencontohkan, jika ada ketua lakilaki saat pemilihan posisi strategis kepala bidang misalnya, ia akan memikirkan berkali-kali lipat untuk memberikannya kepada kader perempuan. Karena sudah menganggap kualitasnya kurang memadai. “Kadang perempuan masih dianggap kaum kedua,” sesalnya. Perihal pergerakan perempuan, Lusia mengharapkan suatu hari nanti di kampus ada pergerakan yang diinisiasi perempuan, yang menjadikannya mandiri. Bergerak dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk semuanya, yang terlepas dari bayang-bayang laki-laki. “Gerakan seperti itu belum terlihat di kampus UIN,” ujarnya. Senada dengan Lusia, Fiya Ma'arifa Ulya Ketua Bidang KeImmawatian IMM Cabang Sleman menjelaskan, masalah utama kader perempuan ada pada kesadaran sendiri. Mereka terlalu nyaman dengan peran sebagai mahasiswa yang fokus ke akademik. Perempuan seperti terjebak pada konstruksi bahwa mereka berperan di ranah domestik. Hal itu berdampak kurangnya spirit untuk menjadi perempuan progresif dan berkemajuan, tetapi justru melanggengkan konstruksi. “Mereka cenderung pragmatis,” ujarnya. Kurangnya ketertarikan pada kegiatan pengembangan pengetahuan. Sedangkan kegiatan yang sifatnya seremonial, seminar ataupun piknik tidak pernah sepi.
- 16 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Nisa Ulil Afwa, Koordinator Kopri UIN Sunan Kalijaga juga menjelaskan, kader perempuan masih belum bisa mengemukakan pendapat mereka secara terbuka lewat tulisan, hingga saat ini hegemoni karya literatur masih didominasi oleh laki-laki. “Selain karena kurang percaya diri, kader perempuan juga masih perlu meningkatkan minat baca mereka terutama tentang keperempuanan agar dapat menelurkan karya,” papar Nisa. ISU YANG SEDANG DIKAWAL Saat ini ada berbagai isu yang sedang dikawal serta wacana yang berkembang di kalangan kader perempuan organisasi gerakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Misalnya di KAMMI, Nashih Ulwan Az-Zuhdi Ketua Umum KAMMI UIN Sunan Kalijaga memaparkan, saat ini anggotanya konsen isu-isu seputar feminisme, peran wanita dalam perpolitikan, dan bedah tokoh R.A. Kartini. Kader perempuan PMII sendiri sedang mengawal isu keperempuanan, seperti kekerasan seksual baik di dalam negeri maupun luar negeri. Mengadakan workshop yang berisi edukasi mengenali kasus-kasus kekerasan seksual, serta cara mengatasinya. Mereka juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga perempuan di Yogyakarta, yaitu One Billion Rising dan Jaringan Perempuan Jogja, untuk melakukan advokasi pendampingan kepada perempuan dan anak di desa-desa yang kurang tenaga pendidikan. Kemudian sosialisasi seputar keperempuanan misalnya, kesehatan reproduksi dan juga mengkampanyekan gender dan feminis lewat puisi-puisi yang dibacakan saat aksi. Di IMM isu yang dikawal seputar ke-Immawati-an “Kami sedang diskusi tentang jati diri Immawati, tentang keadilan gender, tapi masih belum sampai feminisme,” tutur Fiya. Sedangkan HMI mulai merintis lagi kegiatan pengawalan isu keperempuanan, sebab periode sebelumnya kurang aktif dalam pengawalan isu. “Di HMI, para kader perempuan sebelumnya kurang tertarik dengan hal-hal yang berbau keperempuanan, seperti undang-
undang tentang kouta perempuan, perlakuan kepada perempuan,dan kekerasan seksual,” jelas Elvi. PENURUNAN KADER PEREMPUAN Selain permasalahan yang menghinggapi kader perempuan, beberapa kader perempuan ada yang menduduki jabatan strategis. Misal di IMM Cabang Sleman, secara keseluruhan hampir separuh jabatan penting dalam IMM dijabat oleh Immawati, hal ini terlihat dalam struktur kepengurusan IMM Cabang Sleman. Dari dua puluh tiga jabatan penting, sebelas diantaranya dijabat oleh Immawati. Menurut penelusuran ARENA, di beberapa organisasi pergerakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga terdapat beberapa nama kader perempuan yang pernah atau sedang menduduki jabatan strategis. Di antaranya Ayu Ina menduduki kursi Ketua IMM Cabang Sleman periode pengurusan tahun 2016/2017, Erina Dewi selaku Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta periode tahun 2013/2014. Posisi Ketua Rumpun di KAMMI UIN Sunan Kalijaga pernah dijabat perempuan yakni periode tahun 2014/2015 di duduki oleh Nurdana Pratiwi dan Sudiantri. Sedangkan di GMNI pada tahun 2012 kursi Sekjen diduduki Hazir Ika Selviana. Sayangnya, dalam perkembangannya kuantitas kader perempuan dalam organisasi pergerakan mengalami pasang surut, di HMI banyak kader perempuan mencapai 25 persen dari keseluruhan anggota. PMII dan IMM jumlah kader perempuan relatif sama dengan kader laki-laki. Di KAMMI, jumlah kader perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan dengan kader lakilaki. Kondisi jumlah kader perempuan di GMNI pada periode 2017 nyaris tidak ada kader perempuan. Padahal pada tahun 2007 dan 2012 tercatat ada sekitar tiga puluh kader perempuan. Menurut Farid, tidak hanya perempuan yang mengalami penurunan anggota laki-laki pun makin berkurang. “Yang awalnya pengkaderan banyak sekarang turun semakin sedikit, yang dulunya bisa seratus lebih sekarang hanya lima puluhan,” jelas Farid.[]
STUDENT GOVERNMENT DAN MAHASISWA SALING MENUNGGU Student Government sebagai lembaga yang memfasilitasi mahasiswa masih belum diakses secara maksimal. Kurangnya partisipasi mahasiswa dan kerja gerakan reaksioner menjadi masalah yang tumpang tindih. Keduanya cenderung saling 'menunggu bola', ketimbang aktif memanfaatkan ruang-ruang diskursif yang ada. oleh Syakirun Ni'am
T
UJUH BELAS mahasiswa program studi (prodi) Hukum Tata Negara (HTN) lintas angkatan duduk melingkar di parkiran sebelah timur gedung Multi Purpose, kampus timur UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (20/03) sore. Diskusi tersebut merupakan diskusi perdana dari forum yang mereka namakan Lingkar Studi Siyasah (LSS). Kholik Hadi Rohman, mahasiswa HTN menyatakan, forum LSS muncul dari kegelisahannya bersama teman-teman sejurusan. Pasalnya Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau yang telah berganti nama menjadi Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) tidak menyediakan ruang diskusi. Padahal forum semacam itu menjadi kebutuhan mahasiswa untuk menambah akses pengetahuan. “Karena ruang-ruang diskusi buat mahasiswa ini, adalah hal yang sangat penting untuk mengasah intelektual kita sebagai mahasiswa,” ungkap Kholik saat ditemui ARENA di sela-sela diskusinya. Menurut mahasiswa semester IV ini, harusnya HMPS mampu memberikan ruang yang bisa mengakomodir dan memfasilitasi kepentingan mahasiswa. Sementara di tempatnya belum ada ruang diskusi atau pun kegiatan yang menunjang keilmuan mereka, misalnya tentang kajian hukum dan ketatanegaraan. Meskipun ia tidak menampik, kegiatan seminar terkait kajian hukum dan ketatanegaraan pernah diadakan. Namun, kegiatan dengan bentuk seminar dirasa kurang memiliki dampak yang signifikan. “Sehingga dari kegelisahan kita muncul yang
namanya Lingkar Studi Siyasah,” kata Kholik, mewakili temantemannya. Ia memandang HMPS HTN terlihat vakum, karena hanya sekali mengadakan seminar dan setelah itu tidak ada kegiatan. Kholik juga mengaku belum tahu terkait sosialisai proker yang dilakukan HMPS kepada mahasiswa di prodinya. Ditemui ARENA pada Selasa (21/3), Abdul Mukhlis ketua HMPS HTN menjelaskan, pihaknya telah mengadakan diskusi prodi, tapi hanya berjalan sekitar dua bulan, yakni April sampai Mei 2016. Setelah liburan semester genap, diskusi tersebut makin sepi dari peminatnya. Melihat kondisi seperti itu, ia tidak tinggal diam, beberapa kali ia berusaha mengajak temanteman mahasiswanya untuk kembali mengaktifkan diskusi, tapi kurang berhasil. Mereka menganggap sistem diskusi yang ditawarkan kurang menarik. “Mereka (juga) nggak menawarkan sistem diskusi apa yang mereka inginkan,” sesal Mukhlis. Mahasiswa angkatan 2013 ini menjelaskan, selama masa kepengurusannya ia membagi dua kategori proker. Pertama, berbetuk anggaran, biasanya berbentuk event, seperti dialog publik, seminar jurusan, serta pelatihan debat. “Semua telah terlaksana,” ujarnya. Kegiatan berbentuk event memang untuk mempermudah Laporan Pertangung Jawaban (LPJ) dengan tujuan mendapatkan pendanaan dari prodi. Dalam membelanjakannya pun tidak boleh sembarangan. Setiap penggunaan uang anggaran, harus disertai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, proker
berbentuk non anggaran, seperti diskusi prodi dan kegiatan insidental biasanya persoalan mahasiswa dengan birokrasi kampus tingkat prodi. Mukhlis menyadari jika kepengurusannya kurang progresif. Namun, ia menyesalkan temanteman mahasiswanya kurang memberi tawaran solusi terhadap permasalahan yang ada. “Sebaiknya setiap kritik harus disertai tawaran solusi,” ujarnya. Selama ini, ia kerap menampung kritik bernada keras melalui Whatsapp yang berujung pada ketidakharmonisan hubungan HMPS dengan sebagian mahasiswa. Akan tetapi ketika diajak berdialog untuk mencari jalan keluar mereka tidak hadir. Meski demikian, Mukhlis bangga mendengar mahasiswa prodinya telah membuat diskusi rutin. Tidak berbeda dengan Kholik, Zulkarnain Iskarima mahasiswa Sosiologi angkatan 2015 memandang diskusi prodi menjadi hal yang penting. Bagi Zul, diskusi tersebut mengukuhkan prosesnya dalam menjalani studi di kampus. “Karena kalau hanya kuliah di dalam (kelas) kan tidak maksimal,” terang Zul, Kamis (9/3). Belum lama ini prodi Sosiologi mulai menjalankan diskusi rutin. Zul menceritakan angkatannya menyambut kegiatan tersebut dengan antusias. Hal ini tidak terlepas karena sebagian besar dari mereka mengikuti organisasi ekstra kampus, yang tidak asing dengan diskusi. Namun, bukan berarti mahasiswa non organisasi menutup dirinya, mereka turut aktif saat forum itu diadakan. Berjalannya dikusi tersebut pun
lpmarena.com- 17 -
Pandangan Mahasiswa Terhadap Student Government
D
UNIA KAMPUS dianalogikan sebagai miniatur negara. Mahasiswa sebagai rakyat dan terdapat pemerintahan mahasiswa yang sering dikenal dengan istilah SEMA, DEMA, dan HMPS. DEMA menjalankan fungsi eksekutif dan SEMA menjalankan fungsi legislatif, sedangkan HMPS sebagai wujud pemerintahan di tingkat prodi. Hal tersebut merupakan wujud politik kampus. Perkembangannya dari masa ke masa mengalami dinamika. Sebuah kebijakan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi dinamika kehidupan kampus itu sendiri.
50% Pernah mengikuti
INFORMASI peran SEMA, DEMA dan HMJ bagi Mahasiswa di UIN SUKA
59% Tidak
Mengetahui
41%
Mengetahui
50%
Tidak mengikuti
KEIKUTSERTAAN mahasiswa mengikuti kegiatan yang diselenggarakan SEMA, DEMA, dan HMJ di UIN SUKA bukan tanpa hambatan. Zul mengungkapkan bahwa yang menjadi hambatan justru HMPS-nya sendiri. HMPS harus didesak untuk melaksanakan diskusi, dan dinilai kurang bisa menampung aspirasi mahasiswanya. “Kita-kita menunggu momen dari HMPS, sedangkan HMPS sendiri kurang bisa peka terhadap hal itu,” ungkap mahasiswa asal Cilacap tersebut. Muhammad Alfaqih, ketua HMPS Sosiologi 2013 membenarkan prodi Sosiologi memang memiliki diskusi mingguan, yang dilaksanakan untuk optimalisasi penggunaan laboratorium sosiologi. Forum tersebut mengangkat tokohtokoh sosiologi, pemikirannya, serta berbagai fenomena masyarakat yang sedang aktual. Kegiatan kontinu tersebut bahkan menjadi prokernya selama menjabat. Namun Faqih mengakui, diskusi baru berjalan awal Januari lalu. Karena empat bulan pertama pihaknya disibukkan dengan serap aspirasi dan hal-hal yang bersifat administratif. Selain itu, mereka juga disibukkan dengan melakukan kaderisasi HMPS, serta membangun Jaringan Mahasiswa Sosiologi Jawa (JMSJ). “Itu mungkin yang jadi satu alasan kesibukan temen-temen Sosiologi juga lumayan besar di
- 18 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
sana,” kata Faqih menjelaskan. Sedangkan prokernya yang berbentuk anggaran seperti seminar atau diskusi publik hanya sedikit dalam satu periode. “Karena persiapan yang memerlukan banyak waktu, dan anggaran BEM yang terbatas,” kata dia. Berdasarkan penelusuran ARENA terhadap 13 Prodi di berbagai fakultas, secara acak hanya lima HMPS yang masih menjalankan proker yang bersifat kontinu, seperti diskusi. Yakni prodi Sosiologi, Psikologi, Ilmu Hukum, Pendidikan Agama Islam (PAI), dan Bimbingan Konseling Islam (BKI) yang dilanjutkan dengan survei lapangan. Faqih sendiri mengaku, telah melakukan berbagai upaya untuk merangkul mahasiswanya. Seperti melalui serap aspirasi. Namun usahanya belum membuahkan hasil yang maksimal. Meski demikian banyaknya HMPS yang tidak membangun ruang diskusi juga patut disayangkan. Menurut Saefudin Zuhri, ketua HMPS PAI forum diskusi akan ramai saat menjelang UTS atau UAS. Menanggulangi masalah tersebut jajaran kepengurusannya mencoba membangun hubungan kultural dengan mahasiswa, caranya dengan melibatkan mereka dalam event.
33% Ya
61% Tidak
ADVOKASI SE untuk membantu permasalahan den 6%
Tidak menjawab “Dari situ kan kekeluargaannya dapet, nyambung ke yang kontinu,” jelas Zuhri saat ditemui di kantornya, Selasa (7/3). PARTISIPASI MAHASISWA MINIM DAN GERAKAN REAKSIONER Kurangnya partisipasi mahasiswa juga menjadi kendala ketika Student Government menjalankan fungsi serap aspirasi. Hal itu dirasakan salah satunya oleh Senat Mahasiswa (Sema) fakultas dalam menjalankan program advokasinya. Bayu Jati Wicaksono, Sema Fakutlas Syari'ah mengaku kerap menemukan masalah yang menimpa mahasiswa justru dari dekanat. “Cuma mahasiswanya sendiri yang kurang aktif, ada masalah mending pendem sendiri,” tutur Bayu. Bayu mencontohkan, masalah mahasiswa yang telat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) kemarin. Pihaknya hanya mendapatkan sedikit aduan dari mahasiswa. Namun, setelah menemui wakil dekan III bidang kemahasiswaan, ia mendapati tiga puluhan mahasiswa dengan masalah yang sama. Hal itu menunjukkan bahwa Student Government, sebagai fasilitator mahasiswa belum
KEGIATAN yang sering diikuti Mahasiswa 24%
16%
Tidak LainMenjawab lain
49%
PENGETAHUAN program kerja SEMA, DEMA, dan HMJ bagi mahasiswa di UIN SUKA 18%
Mengetahui
11% Diskusi
EMA, DEMA, dan HMJ mahasiswa menyelesaikan ngan birokasi di UIN SUKA
Seminar
82%
Tidak mengetahui
Infografis hasil riset Pusat Data dan Analisa (PUSDA) ARENA terkait Pemerintahan
Mahasiswa (Student Government) periode 2015-2017. Polling yang dilakukan pada tanggal 10-30 Maret 2017 dengan jumlah responden 804 mahasiswa, dari masing-masing fakultas UIN Sunan Kalijaga yang diambil secara acak.
digunakan secara maksimal. Namun, sejauh ini pihaknya hanya baru memfasilitasi masalah berdasarkan pada laporan. Pada tataran universitas, hal serupa juga kerap terjadi. Arta Wijaya, ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Sunan Kalijaga mengaku kerap mendapati masalah mahasiswanya justru dari birokrasi kampus. Persoalannya menurut Arta, terkadang ketika masalah mahasiswa tidak bisa ditangani oleh pihak kampus yang menerima aduan, maka masalah tersebut dinyatakan selesai. “Maka penanganan dinyatakan mentok,” ungkap Arta, Senin (27/3). Hal itu berbeda ketika didampingi Student Government, karena ada upayaupaya lebih. “Banyak juga yang mengajukan per individu itu diacuhkan oleh kampus,” tambahnya. Delik aduan merupakan salah satu asas gerak kerja Dema. Sehingga menjadi persoalan ketika mahasiswa langsung menyampaikan problematikanya kepada birokrasi kampus. Di sisi lain, delik tersebut juga menjadi data dasar advokasi atau penyampaian aspirasi mahasiswa pada birokrasi kampus. Tanpa data tersebut, pihaknya kerap dituduh mengusung kepentingannya
sendiri. Arta mencontohkan masalah advokasi UKT. “Ketika kita langsung mengadvokasi teman-teman UKT yang bermasalah tanpa data yang valid, pihak birokrasi kampus di sini wakil rektor tiga dan rektor bertanya, ini kepentingan siapa? Kalau kepentingan dari mahasiswa data keberatannya mana, data protesnya mana?” jelas Arta. Tidak begitu berbeda dengan Arta, Viky Artiando Putra ketua Senat Mahasiswa (Sema) Universitas juga mengaku tidak memiliki kekuatan politik yang cukup kuat untuk mendesak birokrasi kampus agar melakukan pembenahan tanpa membawa petisi atau data. Misal, mendesak agar segera merealisasikan Panggung Demokrasi (Pangdem), atau membenahi sistem keamanan UIN Sunan Kalijaga yang carut-marut. Karena tanpa hal itu pihaknya dituduh mengusung kepentingan sektoralnya sendiri. “Itu yang sering terjadi,” ujar Viky. Sementara untuk mendapatkan petisi, sejauh ini Viky belum bisa melakukan riset cepat untuk mendapatkan data yang spesifik. Viky memandang kondisi mahasiswa yang kurang partisipatif tidak bisa dihindari. Ia menyadari penyebab sikap apolitis mahasiswa
karena pihaknya masih kurang dalam membangun branding Sema. Seperti Senat bisa mengadvokasi sehingga familiar di kalangan mahasiswa. Sementara, kendala lain dalam menyerap aspirasi adalah kendalakendala teknis. Seperti publikasi informasi yang kurang luas. Sehingga tidak jarang pihaknya melakukan jemput bola. “Makanya kemarin 2015 kita jemput bola yang mengajukan banding (UKT) ya lumayan banyak,” ungkapnya. Sejumlah lembaga dalam Student Government sendiri telah melaksanakan sosialisai pada momen Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) dan setelah Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa). Dema dan Sema Universitas serta beberapa lembaga di bawah strukturnya juga memiliki akun di sejumlah media sosial, untuk menyebarkan informasi ataupun menampung aspirasi publik. “Di beberapa media sosial senat itu ada. Bahkan follower Twitter Senat juga udah lumayan banyak,” pungkasnya. Menurut Viky, menanggapi beberapa kekhawatiran gerakan Student Government yang reaksioner, pihaknya menyadari hal tersebut memang benar adanya.
lpmarena.com- 19 -
Skema dan penjadwalan serap aspirasi yang sejauh ini dijalankan masih belum baik. Hal itu mengakibatkan anggapan keadaan kampus yang tidak bermasalah ketika tidak ada aduan yang masuk. “Padahal persoalan ini terus berjalan dan terakumulasi. Dan itu memang PR besar kita yang nggak selesai-selesai,” terang Viky. MAHASISWA TIDAK TAHU Aisyah Isnaini Mareta Herarmi, mahasiswa prodi Pendidikan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi mengaku tidak tahu tugas pokok dan fungsi dari Sema dan Dema. Meskipun pada Pemilwa lalu dirinya terlibat dalam pemilihan partai di fakultas. Mahasiswa semester VI ini juga mengungkapkan, dirinya tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari Sema maupun Dema. Sebagai mahaisiswa yang aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka yang kerap melakukan aktifitas di Student Centre (SC) ini pun, mengaku tidak mengetahui sosialisasi Sema Dema di SC. “Nggak tahu, pernah atau nggak,” tutur Aisyah saat ditemui di SC, Sabtu (1/4) malam. Senada dengan Aisyah, Novi Anggita Respati mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi juga menyatakan hal serupa. Ketika ditanya sosialisasi ketika OPAK, Gita, panggilan akrabnya, menyatakan bahwa saat itu bukan sosialisasi peran dan fungsi Student Government. Melainkan sosialisasi UKT dan pengenalan kampus secara umum. Pihaknya mengaku tidak pernah menanyakan hal tersebut serta tidak ada yang memberi tahunya. “Bertanya sama temen juga sama-sama nggak tahu,” ungkapnya ketika dihubungi melalui WhatsApp. Berdasarkan hasil riset tim Pusat Data dan Analisa (Pusda) ARENA, dari 804 sampel mahasiswa angkatan 2014, 2015, dan 2016 yang tersebar di setiap fakultas dengan pengambilan responden secara acak. Didapati 59% responden tidak mengetahui, dan 41% menjawab mengetahui peran Sema dan Dema. Selain itu 82% responden menjawab tidak mengetahui program kerja Sema dan Dema sementara 18% lainnya menjawab mengetahui.
- 20 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
MENGHADAPI BIROKRASI YANG KONSERVATIF Viky memiliki pandangan terkait birokrasi kampus yang semakin menjadi konservatif. Sayangnya hal tersebut diamini oleh mahasiswa. Dia menjelaskan bahwa hari ini seiring dengan kritik yang diajukan mahasiswa, birokrasi kampus semakin memperbaiki dirinya. Dia mencontohkan, setelah mendapatkan pengajuan banding UKT dan kritik yang gencar dilakukan mahasiswa. Pihak kampus membenahi dirinya dengan mengharuskan mahasiswa baru angakatan 2016 menandatangani surat pernyataan di atas materai. Isi poinnya mahasiswa tidak akan mengajukan banding UKT dan menyetujui siap menerima sanksi akademik jika melanggar. Viky juga menuturkan, patahnya penggalangan gerakan mahasiswa hari ini bukan hanya karena konservatifnya birokrasi, tapi tidak terlepas dari demoralisasi yang dialami mahasiswa. Sehingga mahasiswa, bahkan terlibat di pergerakan ekstra sekalipun, tidak memiliki taring. Hal itu disebabkan karena tidak selesainya mahasiswa dalam wilayah perspektif. Masalah di atas mengakibatkan kritik atau aspirasi mahasiswa hanya sampai pada wilayah yang dangkal, normatif, dan tidak pada wilayah akar persoalan. Dia mencontohkan banding UKT yang hanya dipandang sebagai masalah mampu dan tidak mampu. Menurut Viky, pengajuan banding merupakan tahap awal dari sikap penolakan pemberlakuan sistem UKT. “Kita menolak UKT, kalau kita banding, kita itu tidak memandang itu sebagai politik kompensasi yang akan kita terima,” jelasnya. Tahap tersebut merupakan upaya mengacaukan sistem serta untuk membuktikan bahwa penerapan sistem tersebut bermasalah karena belum bisa diberlakukan di kampus. “Jadi nalar kita bukan untuk nalar transaksional,” tegasnya. Merespon masalah itu, Viky berpendapat bisa ditanggulangi dengan kegiatan-kegiatan yang bisa dijalankan Dema. Seperti pendidikan secara intensif dan keorganisasian yang bisa menciptakan atmosfer baru dan dilakukan secara berkelanjutan seperti diskusi. Namun, sejauh ini
Viky melihat Dema belum melakukan hal tersebut. Angin segar justru datang dari Sema yang akan mengadakan diskusi rutin untuk membentuk perspektif yang dinilai utuh. Meski masih terbatas untuk internal, tapi Viky berharap dengan delegasi yang dikirimkan dari tiap fakultas, upayanya bisa diteruskan sampai pada tataran akar rumput mahasiswa. Selain itu pihaknya juga sedang membentuk tim riset yang mencoba menggali berbagai masalah di tataran mahasiswa. Data tersebut diharapkan bisa menjadi pengungkapan yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa kampus memang sedang tidak baikbaik saja. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UIN Sunan Kalijaga, Al Makin memandang bagaimana cara agar Student Government bisa dan menopang kegiatan mahasiswa maupun agenda kampus merupakan hal yang penting. Karena menurutnya, Student Government merupakan salah satu sarana belajar mahasiswa di luar kelas. Karena bagi yang akademisi sekalipun, kelas tidak cukup menopang kebutuhan intelektual mahasiswa. Dia menceritakan banyaknya lingkaran diskusi non formal di masjid atau di bawah pohon-pohon kampus menjadi alternatif bagi mahasiswa, yang tidak terlibat dalam lingkaran gerakan.Lingkaran seperti itu yang hari ini sulit ditemui. “Ini yang perlu ditanamkan sekarang ke teman-teman kita,” ungkapnya saat ditemui di ruangannya pada Rabu (29/3). Menurut Al Makin titik tekan gerakan Student Government lebih banyak pada bagaimana membangun ekologi keilmuan yang produktif di kampus. Dengan keadaan mahasiswa yang pragmatis maka Student Government harus menghidupkan lingkaran-lingkaran diskusi yang mampu menopang kebutuhan intelektual mahasiswanya. “Artinya toh kalau memang organisasi struktural intra kampus itu tidak menopang, mahasiswa harus mendirikan yang lain yang mampu menopang,” ujar Al Makin. Usaha itu, diharapkan akan terjadi dialog dan pihak terkait melakukan evaluasi.[]
UIN SUNAN KALIJAGA
DARURAT KEAMANAN Polisi Sektor (Polsek) Depok, Sleman mengungkapkan, UIN Sunan Kalijaga menjadi kampus dengan angka pencurian kendaraan bermotor paling tinggi. Tidak diberlakukannya sistem satu pintu dan lemahnya sistem keamanan menjadi penyebab maraknya kasus tersebut. oleh Ajid Fu’ad Muzaki
P
ETANG SELEPAS MAGRIB bertepatan dengan wisuda UIN Sunan Kalijaga 23 November 2016, Anindia Eka Puspita Sari, terkejut mendapati sepeda motornya raib. Sebelumnya motor itu terparkir di depan gedung Pusat Pengembangan Teknologi Dakwah (PPTD) yang terletak di belakang Multi Purpose (MP). Kejadian berlangsung cepat hanya selisih tiga puluh menit, antara pukul 18.00 sampai 18.30 WIB. Peristiwa itu terjadi setelah ia selesai rapat dan melaksanakan sholat magrib. “Habis sholat tiba-tiba udah nggak ada,” ujar Anin sedikit menahan rasa kesal. Setelah panik melihat motornya raib, perempuan yang sering disapa Anin ini langsung bergegas menghadap ke posko induk kemanan UIN, yang berada di depan Poliklinik. Sayangnya, respon yang didapat kurang memuaskan. “Paling dipinjem temen,” ujar Anin, menirukan tanggapan satpam kala itu. Sembari menahan rasa kesal bercampur panik, dari pos kemanan induk, ia beranjak ke Polsek Depok, Sleman. “Itu atas inisiatif dari omku via telepon,” katanya. Sesampainya di sana, Polsek mempertanyakan pelaporannya yang tidak didampingi pihak kampus. Respon Polsek pun tidak jauh berbeda. Polsek menganjurkan seharusnya terlebih dahulu lapor ke keamanan kampus dengan nada sedikit keras. “Udah motornya hilang, malah dimarahin,” sesalnya. Selain melapor ke pihak keamanan ia juga mengecek Closed Circuit Television (CCTV) yang terpasang di area parkir depan PPTD. Sayangnya, saat diperiksa CCTV tersebut tidak berfungsi, kabelnya terputus. Padahal harapan satu-satunya melihat siapa yang mencuri motornya lewat alat
perekam itu. Sampai berita ini diturunkan, motornya masih berstatus hilang. Kini mahasiswa semester VIII ini kerap mengandalkan jemputan teman saat berangkat ke kampus, karena jarak rumah yang lumayan jauh yakni sekitar 17 kilometer tepatnya berada di Desa Sedayu, Bantul. “Nyari temen yang jadwalnya sama,” tutur Anin. Peristiwa kehilangan sepeda motor di seberang kampus timur pun tidak hanya sekali. Sebelumnya, Afifah Nurhidayah Isnaini pernah kehilangan Beat-nya saat bulan puasa tepatnya 8 Juni 2016. Saat itu mahasiswa yang aktif di Suka TV ini pulang dari masjid, usai menjalankan ibadah sholat tarawih. Saat hendak masuk PPTD ia mendapati motornya sudah tidak ada. Padahal terparkir persis di depan tangga dengan posisi tersembunyi. Setelah mengetahui motornya hilang, Afifah segera melapor ke keamanan kampus, tapi tidak ada tanggapan serius, dan terkesan tidak digubris. Melihat respon keamanan kampus yang tidak bisa diandalkan, lantas ia melapor kehilangannya ke Polsek Depok, Sleman. Keesokan harinya pihak Polsek mendatangi lokasi kejadian. “Kebetulan malingnya kerekam CCTV,” ujar Afifah. Karena penerangan di area tersebut terlalu minim, sehingga wajah pelaku pun tidak terlalu kelihatan. Meskipun sudah ada tindakan pengecekan CCTV motornya tetap saja tidak ditemukan. Bahkan mahasiswa semester VI ini sempat menanyakannya pada orang pintar (dukun), “Kata dukun, motornya sudah berada di kawasan barat Malioboro,” tutur Afifah. Ia sangat menyesalkan layanan keamanan kampus yang menurutnya sangat kacau, baik fasilitas maupun
pelayanan. Ia mencontohkan di beberapa tititk parkir masih minim penerangan, termasuk PPTD. “Keamanan kampus mah, tanggung jawabnya kurang,” sesalnya. Kampus timur memang kerap menjadi titik rawan terjadinya pencurian, salah satunya di PPTD. Posisinya yang berada di belakang gedung MP, yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Ditambah lagi tidak adanya penjagaan di area parkir membuat gedung ini semakin rawan. Menurut penelusuran ARENA, pola kehilangan hampir sama yaitu saat gedung MP mengadakan agenda baik wisuda atau resepsi pernikahan. Selain Anin, sebelumnya Muhammad Rifki Sifa'udin mahasiswa KPI kehilangan motornya di PPTD saat ada acara wisuda tahun 2017. PERKETAT SISTEM KEAMANAN Menurut Zuwono Komandan Satpam UIN Sunan Kalijaga, seringnya kasus pencurian kendaraan bermotor ataupun helm, karena masih bebasnya kendaraan yang keluar masuk kampus. Hal ini diperparah dengan tidak diberlakukannya sistem satu pintu, sehingga sulit untuk mengidentifikasi mana pemilik kendaraan bermotor atau bukan. “Di kampus timur aja ada tiga pintu,” ujar Juwono. Sementara ia tidak memiliki wewenang untuk merubah sistem tersebut. Saat ini yang bisa dilakukan hanya memaksimalkan prasarana yang diberikan pihak kampus. Selain dari pihak keamanan kampus, kesadaran mahasiswa juga sangat penting. Pasalnya cukup banyak mahasiswa yang kunci motornya tertinggal. Meski sudah dipasang peringatan di setiap area parkir. “Kadang ada lima sampai enam kunci per hari,” tambah
lpmarena.com- 21 -
Wah,,, pasti ini sudah aman ini !
Doel
Zuwono. Tidak hanya itu, banyaknya mahasiswa yang parkir bukan pada tempatnya menyulitkan keamanan dalam melakukan pengawasan. Meskipun begitu, pihaknya sering mengadakan sweeping di titik-titik yang sering dijadikan tempat parkir dadakan. Seperti halnya di depan PPTD, karena bukanlah tempat parkir resmi. Menanggapi banyaknya kasus kehilangan, kendaraan bermotor Zamakhsari Kepala Bagian Rumah Tangga UIN Sunan Kalijaga menyatakan, keamanan kampus sudah sesuai Standard Operating Procedur (SOP) yang disahkan tahun 2008. Namun, ia menyadari SOP yang digunakan harus ditinjau ulang, melihat kondisi kampus yang mengalami perubahan setiap tahunnya. “90 persen mahasiswa UIN sekarang pakai motor,” ujar Zamakhsari. Pertumbuhan angka kendaraan bermotor yang meningkat, tapi tidak diimbangi dengan lahan parkir yang memadai menjadi persoalan yang pelik. Akhirnya tidak sedikit, mahasiswa yang parkir tidak pada tempatnya. Ia menilai sudah seharusnya kantong-kantong parkir ditambah, terutama di wilayah kampus timur. Semenjak
- 22 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
pembangunan gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) yang menggusur area parkir selatan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, keadaannya semakin semerawut. Untuk sementara waktu, kantong parkir dialihkan ke barat gedung rektorat lama dan timur Fakultas Dakwah sampai belakang Kantin Dakwah. Menurut Zamakhsari, pihaknya sudah menghimbau kepada mahasiswa agar mau memarkirkan kendaraannya di area lembah timur kampus dekat gelanggang olahaga. Namun, saat himbauan itu diberlakukan tidak ada satupun yang tertarik. “Kalau mau di lembah itu enak, ke depannya bakal seperti itu,” tambahnya. Melihat lahan parkir yang terbatas ia sempat berencana membuat parkiran bertingkat. Namun, terpentok oleh anggaran yang terbatas. “Dana kampus dari Kemenag nggak banyak,” ujar Zamakhsari. Sementara pihaknya masih mencari solusi mengatasi minimnya kantong parkir. Menurutnya MP sempat direncanakan sebagai kantong parkir parkir baru. Jika kebijakan ini diberlakukan tentu harus ada penambahan petugas parkir.
Untuk mengantisipasi pencurian ia sering menginstruksikan agar dilakukannya inspeksi mendadak, pengecekan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Namun tidak sedikit mahasiswa yang keberatan saat kebijakan itu dilakukan. Jika mahasiswa mendukung pengecekan STNK diberlakukan, ia sangat siap jika itu diterapkan. “Kalau sudah diberlakukan jangan ngamukngamuk,” tuturnya. Selain kurangnya lahan parkir minimnya kesadaran pengamanan menjadi masalah yang harus diselesaikan. Seperti yang dikatakan Sukron Maghfur mahasiswa Ahwal As-Sykhsiyyah semester VIII. Sukron menilai penjagaan gerbang masuk masih belum maksimal, di pos-pos penjagaan tertentu. Semisal di Pos Gerbang Timur sebelah makam belum ada petugas yang siaga menunggu gerbang. “Gerbang kampusnya sepi nggak ada petugas,” ujar Sukron. Sukron menambahkan dirinya sering melihat orang yang baru datang ke UIN Sunan Kalijaga merasa kebingungan, karena tidak ada petugas yang berjaga. Selain itu penyebaran satpam dirasa perlu, guna menjaga di setiap pos, dan mempermudah pelaporan jika
terjadi sesuatu. “Pos-posnya itu loh nganggur,” terangnya. Senada dengan Sukron, Latifah Fauziyah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam seperti tidak percaya lagi dengan keamanan kampus. “Keamanan di UIN serba nanggung,” ujar Latifah. Mahasiswa yang sempat kehilangan helm di parkiran perpustakaan ini pun mengaku tidak keberatan jika sistem keamanan diperketat, seperti pengecekan STNK atau pemberian karcis. “Sekarang keluar masuknya motor gak jelas,” sesalnya. Melihat terlalu seringnya pencurian, maka hal itu sudah sepantasnya diberlakukan. Perihal rencana pengalihan parkiran kampus timur ke lembah, ia memiliki pandangan sendiri. Menurutnya tidak keberatan jika kebijakan tersebut diberlakukan asal perencanaannya juga matang. “Dibuat satu kotak terus ada penjaganya,” sarannya. UIN Sunan Kalijaga memiliki 42 satpam, dibagi menjadi 4 regu setiap regu beranggotakan 9 orang, jika dijumlah ada 36 orang, sisanya 6 orang mengisi regu khusus yang berjaga setiap pagi hingga sore. Setiap hari diisi 3 shift yang terdiri
dari 3 regu, yakni pagi, siang, dan sore. Sedangkan satu regu sisanya menunggu jadwal masuk. Menururt SOP, penyebaran satpam ditempatkan di lima pos. Pos I berada di depan gendung Pusat Administrasi Umum (PAU), Pos II depan Poliklinik, Pos III gerbang pintu timur sebelah makam, Pos IV depan perpustakaan, sedangkan yang terakhir Pos V di Student Center (SC). Saat ARENA melakukan pemantauan di lapangan, kondisi Pos III hampir setiap hari kosong dari petugas. Bahkan kondisinya pun seperti tidak terawat. Padahal menurut data yang didapatkan, kampus timur sering terjadi pencurian. Setidaknya tahun 2016 ada tiga kasus. Sedangkan awal tahun 2017, dua kendaraan motor hilang tepatnya di belakang Kantin Dakwah. Menurut Brigadir Picas Sudiyar anggota Polsek Depok, standar keamanan setiap kampus berbedabeda sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Namun, dari kepolisian menghimbau tempattempat yang dianggap rawan agar dipasang CCTV. Fasilitas penerangan juga harus memadai.
Selain itu penerapan sistem satu jalur perlu diterapkan, untuk mengetahui keluar masuk kendaraan. Adanya penjagaan di setiap tempat parkir juga sangat penting. “Kalau hal tersebut diterapkan pasti aman,” saran Picas. Sementara menurut Safrodin anggota Polsek Depok, dari sekian banyak kampus di Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga merupakan kampus yang keamananya paling memprihatinkan. Menurutnya, kinerja dari keamanan UIN Sunan Kalijaga masih minim kesadaran kerja. Padahal kesadaran kerja sangatlah perlu, selain kesadaran dari mahasiswa sendiri tentang keamanan. “Saya itu sering ke UIN, dan melihat satpamnya cuma duduk-duduk,” ujar Safrodin. Ia mengaku, selama tiga bulan saja ada tiga mahasiswa yang lapor ke Polsek saat dirinya kebagian jaga shift. Penyebabnya bermacammacam, ada yang lapor kehilangan motor karena kuncinya ketinggalan di motor. Ada juga yang lapor karena benar-benar kehilangan motor, meski sudah dikunci ganda. “UIN tu kampus di Jogja yang paling sering kemalingan motor,” pungkas Safrodin.[]
Data pelaporan kehilangan sepeda motor mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dari Polres Depok, Sleman, tahun 2015 - 2017
No
Nomor Laporan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
LP/319/XI/2015 LP/67/III/2015 LP/119/IV/2015 LP/212/XI/2015 LP/52/II/2016 LP/77/II/2016 LP/159/VI/2015 LP/226/VI/2016 LP/48/II/2016 LP/73/III/2017
Tanggal Lapor 17/02/2015 09/03/2015 25/04/2015 30/10/2015 13/02/2016 28/02/2016 06/06/2016 08/06/2016 09/02/2016 09/03/2017
Jenis Motor REVO SUPRA 125 SUPRA VARIO JUPITER BEAT VARIO BEAT BEAT BEAT
Sebab Hilang Motor dikunci ganda Kunci ketinggalan di motor Kunci ketinggalan di motor Kunci ketinggalan di motor Motor dikunci ganda Motor dikunci ganda Kunci ketinggalan di motor Motor dikunci ganda Motor dikunci ganda Motor dikunci ganda
Hasil Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan Belum ditemukan
Data pelaporan kehilangan sepeda motor mahasiswa dari Pos Induk UIN Sunan Kalijaga awal Januari-Oktober tahun 2016
No
Tanggal
Pelapor
Laporan
1
Rabu, 3 Februari 2016 Pukul 09.55WIB
Afifi Rahman
Kehilangan Motor Revo Silver 2008 . Nomor polisi BE 42540K.
2
Selasa, 12 April 2016
Puput Sahara
Kehilangan motor Revo merah. Nomor polisi AB 2378 KF.
lpmarena.com- 23 -
Data pelaporan kehilangan sepeda motor mahasiswa dari Pos Induk UIN Sunan Kalijaga awal Januari-April Tahun 2017 No Tanggal Pelapor Laporan Keterangan 1
9 Maret 2017 Pukul 13.30 WIB
Kehilangan Motor Beat Putih. Nomor polisi L 4953 FH
Hilang di timur Kantin Fakultas Dakwah
2
20 Maret 2017 Pukul 17.30 WIB
Kehilangan motor Supra Hilang di Timur Kantin X tahun 2013 Dakwah di bawah pohon beringin
Catatan: Pembukuan khusus kehilangan mulai diberlakukan Januari 2016. Sebelumnya, pembukuan tersebut digabung menjadi satu dengan buku-buku keamanan
STANDARD OPREATING PROCEDURE (SOP) KEAMANAN YANG DITERAPKAN UIN SUNAN KALIJAGA SOP Penjagaan POS BAB V Tahun 2008 Tentang Petugas, Lokasi, Waktu, dan Bentuk Penjagaan 1. Petugas Penjagaan Pos - Satuan keamanan dan ketertiban UIN Sunan Kalijaga - Petugas penjaga malam yang ditunjuk 2. Lokasi Pos Penjagaan - Pos I (Penjagaan di gedung depan PAU) - Pos II (Penjagaan Induk/Depan Poliklinik) - Pos III (Penjagaan pintu timur/ sebelah makam) - Pos IV (Penjagaan UPT Perpustakaan) - Pos V (Penjagaan SC) - Pos penjagaan gardu parkir 3. Waktu Penjagaan - Tugas jaga pagi jam 06.00 s.d. 14.00 WIB - Tugas jaga siang jam 14.00 s.d. 22.00 WIB - Tugas jaga malam jam 22.00 s.d. 06.00 WIB 4. Bentuk Penjagaan - Pos Tetap, dilakukan secara periodik di tempat yang ditentukan. - Pos Sementara, sifatnya insidentil dalam jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan. - Pos Tambahan, dibentuk berdasarkn kepentingan yang memerlukan kehadiran secara fisik petugas di tempat itu.
SOP Pintu Gerbang Bab VA Tahun 2008 Tentang Petugas, Wilayah, dan Waktu Layanan Pintu Gerbang 1. Petugas Pengaturan Waktu Buka Tutup Pintu Gerbang - Kepala Subbag keamanan dan ketertiban - Komandan Sk3 - Komandan regu - Petugas SK3 atas perintah komandan regu 2. Wilayah Pintu Gerbang - Pintu gerbang depan gedung PAU - Pintu gerbang sebelah selatan gedung Fakultas Saintek - Pintu gerbang depan gedung Fakultas Usuluddin
- 24 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
- Pintu gerbang depan Multipurpose - Pintu gerbang sebelah barat gedung rektorat lama (PKSI) - Pintu gerbang sebelah timur kantin - Pintu gerbang barat gedung fakultas Tarbiyah 3. Waktu Buka dan Tutup Pintu Gerbang - Jam kerja 05.30 s.d. 17.00 WIB - Hari libur tutup - Untuk keperluan darurat pintu gerbang bisa ditutup
SOP Parkir Bab VA Tahun 2008 Petugas, Tempat, dan Waktu Layanan Parkir 1. Petugas Pengatur Parkir - Satuan keamanan dan ketertiban UIN Sunan Kalijaga - Petugas parkir yang ditunjuk 2. Tempat Parkir a. Roda Empat - Depan gedung PAU - Sebelah barat gedung PAU sampai Gedung Fakultas Adab - Depan gedung Fakultas Fishum - Sebelah utara Fakultas Syariah - Sebelah gedung Fakultas Tarbiyah - Sebelah utara gedung Poliklinik - Komplek gedung Multi Purpose - Sebelah utara gedung UPT Perpustakaan b. Roda Dua - Sebelah timur gedung Fakultas Pasca Sarjana sampai Adab - Sebelah Barat Gedung Fakultas Syariah dan Tarbiyah - Sebelah barat daya Gedung Fakultas Tarbiyah - Parkir terpadu - Sebelah selatan gedung PKSI - Sebelah timur gedung Fakultas Usuluddin dan Dakwah - Sebelah Utara gedung UPT Perpustakaan 3. Waktu Layanan Parkir - Jam kerja : 07.30 s.d. 16.00 WIB/hari libur tutup - Kondisional sesuai perintah pimpinan[]
Kumpulan cerpen yang berawal dari pemikiran penulis melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Membahas hal-hal sederhana mengenai hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan hewan dan lingkungan. Dari cerpen-cerpen yang ditulis Egi Azwul kemudian diterjemahkan ulang oleh Novan Gharuk menjadi beberapa ilustrasi. Pembaca bisa menikmati bacaan sekaligus lukisan
dan penuh makna, “Mengada-ngada wajib dibaca“~ Thoba Husain Launching dan Bedah Buku pada Minggu, 25 April 2017 di Yayasan Kampung Halaman, Krapyak , Wedomartani, Sleman, Yogyakarta.
Narahubung WA & Line : 085223093935 (Asty) Email : asty.puspita@gmail.com
Order
50K
saja, Kapan dimana saja
lpmarena.com
Laila/LPM Arena
EKO PRASETYO:
JANGAN TERLALU PERCAYA KEPADA KULIAH oleh Lailatus Sa'adah
R
UMAH BERCAT PUTIH itu masih tampak sepi. Hanya ada dua orang duduk di serambi depan sambil berbicang ditemani teh hangat dan jajanan tradisional. Salah satu dari mereka adalah Eko Prasetyo, seorang pendiri Social Movement Institute (SMI) Yogyakarta. Rumah itulah yang menjadi markas besar SMI sebagai basis kegiatan pergerakan. Rumah berhalaman luas dengan pagar bercat hijau itu terletak di daerah Sorogenen, Nitikan Baru, Yogyakarta. Melihat ARENA datang, Eko mempersilahkan untuk masuk agar dapat mengobrol lebih ekslusif pada 2 Februari 2017. Melihat orientasi kampus yang semakin sempit, hanya terpacu di wilayah akademik dan mencetak lulusan siap kerja. SMI memutuskan untuk membentuk suatu wadah organisasi. “Kita ingin mengadvokasi mahasiswa, menumbuhkan rasa empati terhadap sekitar, dan jangan terlalu percaya kepada kuliah,� jelas Eko Prasetyo. Menurutnya, di sinilah peran dan tanggung jawab sosok pergerakan yang saat ini dan selamanya menjadi kelompok minoritas. Tinggal bagaimana yang minoritas ini memerankan diri untuk meruntuhkan budaya yang bisa menghancurkan kultur gerakan. Dengan bersikap egaliter dan saling menghargai pendapat serta punya optimistis yang tinggi, maka situasi sosial yang rumit akan menemukan jalan keluarnya. Dinamika di UIN Sunan Kalijaga yang menurun juga tak lepas dari kebijakan kampus. Jika dulu UIN sangat terkenal dengan gerakan jalanannya, kini upaya aksi-aksi di jalan terus dievaluasi dan ditekan. Mereka mencoba merumuskan praktek alternatif, yakni dengan memunculkan gerakan studi yang mengembalikan mahasiswa pada ide-ide kritis melalui budaya menulis dan diskusi. Hal ini karena memang kampus lebih banyak memberi dukungan pada gerakan mahasiswa yang berorientasi pada kompetisi, misalnya juara debat, pidato, ataupun penelitian. “Karena kampus memang diuntungkan dengan mahasiswa beginian. Jadi dinamika yang menurun di UIN lebih banyak disebabkan oleh kebijakan kampus juga,� tambah Eko Prasetyo. Sampai sekarang tiap pergerakan mempunyai cara mereka sendiri untuk tetap eksis di wilayahnya. Eko Prasetyo menjelaskan, kontradiksi antar golongan tidak
- 26 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
memberikan pengaruh yang berarti. Baginya, kontradiksi terjadi karena tiap posisi berada dalam kompetisi untuk mendapatkan pendukung. Karena masing-masing mempunyai dinamika gerakan yang sesuai dengan kebutuhan anggotanya. Untuk menelisik lebih jauh hasil wawancara ARENA bersama Eko Prasetyo seputar gerakan mahasiswa, berikut laporannya: Bagaimana pola pergerakan mahasiswa tahun 1998? Pola pergerakan tahun 1998 ada tiga model. Jadi ada pola di mana struktur gerakan itu terdiri dari organisasi intra, ekstra dan organisasi seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mungkin tidak sekuat organisasi ekstra dan intra. Pola pergerakan mahasiswa yang berbasis di kampus (Intra) yang berada di naungan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan (NK/BKK) yang masa Orde Baru itu benar-benar menjadi sistem pemerintahan kampus. Lah pada saat itu, itu menjadi kegiatan alternatif mahasiswa. Pada masa itu tiga organ ini bisa bergerak bersamaan, tapi kalau melihat sekarang kenapa kok malah mereka seperti berjalan sendirisendiri? Sebenarnya pada masa dulu perpecahan itu terjadi antar pers mahasiswa dengan lembaga ekstra mahasiswa, selalu nggak akur juga. Ada momentum di mana mahasiswa menemukan musuh bersamanya: Soeharto dan semua kekuatan Orde Baru. Yang kedua karena memang juga relasi-relasi antar akses ini juga dekat dengan personal. Anak UII, UIN, dan UGM mudah untuk berkomunikasi. Itu memudahkan proses penyatuan. Sekarang kan situasinya berbeda, UIN sama UGM jarang juga, karena memang kuliah semakin padat sehingga orang itu berinteraksi sesama kampus itu langka. Yang ketiga memang dipengaruhi oleh dosen. Dosen di UIN juga
ngajar di UGM, juga ngajar di UII, jadi itu memudahkan kita kenal satu sama lain. Penyatuan-penyatuan itu bukan berada pada gerakan, penyatuan itu lebih ke personal katakanlah. Karena setiap anak-anak aktivis itu punya payung organisasi, maka lebih mudah ketemunya. Apakah model lobbying dan relasi di birokrasi pada masa 98 itu, sama modelnya dengan kondisi saat ini? Ya sama, serupa. Cuma keistimewaanya adalah anakanak aktivis pada masa itu punya culture kampus berbeda. Jadi dosen deket sama mahasiswanya. Sekarang kan jomplang, dosennya kaya sekali mahasiswanya miskin, atau mahasiswanya kaya sekali dosennya biasa. Nah, perbedaan-perbedaan strata sosial itu memengaruhi. Memengaruhi akses kedekatan kita, maka kalau sudah ada kedekatan lebih mudah bagi kita untuk melobi urusan apa pun. Pada masa itu seperti itu. Bagaimana tawaran agar isu kampus khususnya, menjadi sesuatu yang menarik bagi semua mahasiswa bukan hanya milik kelompok? Pertama, itu bagaimana membuat isu itu sebagai isu bersama. Kenapa persoalan UKT (Uang Kuliah Tunggal) di UIN itu efektif dan di UGM tidak? Karena di UIN itu semua orang merasakan, biaya naik sedikit kan terasa sekali. Masalah-masalah yang menjadi masalah bersama itu yang penting dicari. Masalah bersama atau masalah yang paling dekat itu. Yang kedua persoalan itu menimbulkan korban yang banyak. Nah, kalau kita bisa mencari problem yang setiap orang berpotensi menjadi korban, itu lebih mudah untuk menggalang dukungan. Yang ketiga masalah itu memang bisa diselesaikan, bukan masalah yang nggak bisa diselesaikan. Semua orang diyakinkan bahwa masalah ini bisa dipecahkan dan itu harus melalui tangan-tangan kalian. Bahwa kalian bisa memecahkan masalah ini, tapi mereka harus terlibat dalam masalah. Ini menjadi tugas gerakan yang paling utama. Kalau melihat pergerakan mahasiswa saat ini yang stagnan dan kurang kritis. Sebenarnya, apa hal yang perlu dibenahi? Banyak juga ya. Pertama, karena situasi kampusnya berbeda, kampus semakin hari semakin mendorong mahasiswanya untuk menyeselesaikan kuliah dengan cepat ya dengan biaya mahal. Sehingga orientasi mahasiswa sudah berbeda pada angkatan saya yang lebih ingin mendapatkan petualangan selama di kampus. Ya begitulah kira-kira. Mengikis ruang imajinasi, organisasi, kalau sudah seperti itu maka mahasiswa ikut orgaisasi dilihat untung ruginya seperti apa. Yang ketiga memang ya itu tadi, mahasiswa-mahasiswa juga bukan hanya enggan, tapi juga mereka tidak punya contoh di dosendosennya yang menyugesti orang yang aktif di organisasi. Karena mereka menjadi dosen kampus bukan karena organisasi, tapi Indeks Prestasi(IP)-nya bagus. Situasi di UIN sendiri yang semakin hening tanpa kegaduhan aktivitas mahasiswa pergerakan mulai
mengusik pikiran. Banyak kelompok-kelompok mahasiswa yang dibentuk, tetapi yang terdengar hanya nama. Bahkan mungkin ada yang tak teringat namanya, saking banyaknya. Mereka mempunyai arah gerak yang bermacam-macam. Gerakan yang banyak dijumpai saat ini, yakni gerakan filantropi yang berusaha mendorong perubahan melalui upaya-upaya etis langsung yang dirasakan masyarakat, misalnya gerakan tolak belanja di mal, mendidik anak di perbatasan, hingga memperbaiki jalan berlubang. Meskipun ada banyak model pergerakan saat ini seperti gerakan yang mendorong pada arus kegiatan politik dengan tujuan dasar meradikalisasi proses transformasi sosial melalui upaya klasik: aksi massa, advokasi, dan pendampingan. Adapula gerakan yang berupaya mendorong opini-opini kritis melalui berbagai jalur, baik itu pers mahasiswa hingga media sosial. Mereka meyakini dengan kekuatan tulisan bisa menyemai gagasan perubahan. SMI tidak terlepas dari pergerakan. Apa faktor yang melatar belakangi dibentuknya SMI? Pertama, kita kawatir dengan situasi di dunia mahasiswa yang semakin hari tidak berminat di pergerakan itu. Kami ingin memperkenalkan mahasiswa dengan fakta-fakta sosial, politik yang di antaranya melalui diskusi, dan pengalaman lapangan. Kami ingin menutup celah yang dulu menjadi kelebihan kampus itu. Yaitu gerakan mahasiswa, yang sekarang kampus tidak memiliki itu. Yang kedua, kami ingin meyakinkan kepada mahasiwa bahwa pengalaman berorganisasi itu lebih utama ketimbang pengalaman kuliah. Yang ketiga, kita emang mau mahasiswa itu produktif berkarya. Nah, produktivitas anak muda itu penting ditumbuhkan agar mereka tidak sekedar kuliah itu, tapi juga memiliki kemampuan di luar akademik mereka. Seperti apa pola pergerakan SMI? Pertama, kita lebih banyak ke pendidikan. Kita bikin sekolah-sekolah menulis, sekolah sejarah, sekolah advokasi. Karena kita ingin menyerupai peran kampus sebagai pendidik itu, cuma ini lebih informal. Yang kedua, kita juga memproduksi jurnal, kaos, teater, dan musik. Itu mengajak mahasiswa untuk berkarya. Dengan seperti itu publik biar tahu, pesan kesan sosial dalam lagu, dalam teater. Jadi kita ingin mengemas situasi politik itu agar mudah dikomunikasikan. Yang ketiga kita mau SMI ini menjadi rumah bersama; yang pengen baca, belajar, mengenal tokoh-tokoh. Kami menyediakan tempat untuk melakukan itu. SMI punya agenda rutin seperti acara Kamisan yang basisnya di aksi massa, kalau agenda rutinan di SMI selain acara Kamisan apa? Dulu ada agenda nonton film tiap Jumat malam, ini belum aktif lagi. Yang kedua kita punya agenda rutin; diskusi tiap Rabu. Sebulan sekali kita punya diskusi buku, dan kita juga punya teater yang latihan itu tiap dua minggu sekali. Sekarang sama Bang John (baca: Johm Tobing) kita buat album tentang pergerakan.[]
lpmarena.com- 27 -
DARAH JUANG
Amalia/LPM ARENA
NEGERI SUBUR, RAKYAT TERSUNGKUR
J
OHN SONY Marhasak Lumbantobing, lebih akrab dipanggil John Tobing, menciptakan lagu Darah Juang di tahun 1991 saat dirinya masih menjadi mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada UGM Yogyakarta. Dua puluh enam tahun berlalu, hingga saat ini Darah Juang masih melegenda dan mampu menembus zaman. Siang itu, Selasa, 7 Februari 2017, saya menuju ke daerah Purwomartani, Sleman mencari alamat rumah yang telah dikirim John Tobing via WhatsApp. Sekitar pukul dua siang, akhirnya sampai di sebuah rumah sederhana bercat putih, dengan halaman depan tanpa pagar yang lumayan luas. Setelah memarkirkan kendaraan roda dua di halaman tersebut, saya dipersilahkan masuk oleh seorang wanita paruh baya yang terlihat tangguh. Setelah berkenalan ternyata ia adalah Dona, istri dari John Tobing. Di ruang tamu dengan sofa putih yang sudah cukup tua, saya dipersilahkan duduk. Tak lama kemudian seorang laki-laki muncul dari balik lemari bufet yang memisahkan antara ruang tamu dengan ruang tengah. Rambutnya cepak, badannya gemuk. Di tahun 2017 ini usianya menginjak 52 tahun, tapi raut wajahnya masih menggambarkan semangat perjuangan. Jiwa darah juangnya seakan tidak pernah pupus. Dengan mengenakan kaos pendek dan setelan celana panjang, John Tobing mulai bercerita. “Sejak SMP aku tahu bahwa Indonesia kita ini kaya raya,” ujar John. “Kita kaya rempah-rempah, - 28 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Lagu “Darah Juang” selalu bergelora di setiap aksi mahasiswa. Bahkan selalu dinyanyikan saat masa orientasi mahasiswa baru. Khususnya di kampus UIN Sunan Kalijaga. Kampus yang sering disebut sebagai kampus putih, kampus pergerakan. Seakan menjadi lagu wajib bagi mahasiswa dan para aktivis gerakan. Siapakah penciptanya? oleh Alifah Amalia tapi dijajah oleh bangsa lain. Kekayaan kita diambil,” sambungnya dengan suara gemetar. Ia mengibaratkan seekor tikus yang kelaparan walaupun berada di lumbung padi. “Indonesia ya seperti itu. Walaupun kaya raya, namun masyarakatnya tetap miskin,” kata lelaki kelahiran Binjai (Sumatera Utara) ini. Konteks situasi itulah yang menginspirasi John membuat lagu Darah Juang. Ia ingin menceritakan kepada orang-orang bahwa Indonesia ini kaya raya, tapi masyarakatnya tetap miskin. Di sisi lain ia ingin membuat sebuah lagu yang dapat diingat semua orang. “Orang akan bersemangat untuk mengenang lagu yang aku buat,” kata John dengan mata berbinar. John tidak sendirian. Bersama kawannya, Dadang, John meminta untuk dibuatkan syair. “Aku minta tolong dibikinin syair yang intinya bicara soal kekayaan Indonesia dan keterpurukan orang-orang Indonesia,” jelasnya yang semenjak kecil sudah memiliki bakat menyanyi. “Sewaktu itu aku bodo soal syair, makanya minta tolong kawan. Baru belakangan ini bisa bikin syair yang menurutku baik,” ungkap John terkekeh menertawai diri sendiri. Dadang membuatkan syair seperti apa yang diminta John. Setelah jadi, syair tersebut tidak langsung digunakan. Namun, John sadur kembali. Hal tersebut tidak terjadi hanya sekali, tapi berkalikali. Hingga akhirnya lagu itu jadi pertama kali di Sekretariat UGM “Dadang membuat syair, lalu aku sadur, lalu sempat dinyanyikan di Keluarga Mahasiswa (KM)
Diolah oleh Agus dari internet
Di sini negeri kami Tempat padi terhampar Samudranya kaya raya Tanah kami subur, Tuhan
Tahun 1996 hingga 2009 John sempat berhenti menulis Di negeri permai ini lagu. Gitar kesayangannya Berjuta rakyat bersimbah luka putus. Bahkan di tahun 2007 ia Anak kurus tak sekolah jatuh sakit terkena struk. Pemuda desa tak kerja “Tahun 2009 disuruh teman pentas di Jakarta. Saat itu aku belum tahu kalau lagu Darah Mereka dirampas haknya Juang yang aku ciptain dipakai Tergusur dan lapar Bunda relakan darah juang kami untuk menjatuhkan Soeharto. Baru tahu tahun 2010,” terang Tuk membebaskan rakyat John sambil tertawa keheranheranan. Mereka dirampas haknya Dari situlah John Tergusur dan lapar beranggapan lagu yang Bunda relakan darah juang kami diciptakannya bagus dan kemudian bersemangat untuk Padamu kami berjanji menciptakan lagu kembali. “Aku ingin membuat lagu legendaris,” ujar John sambil tersenyum. UGM, ada teman-teman yang usul untuk direvisi Tahun 2013 lalu John merilis album berjudul liriknya. Kemudian dinyanyikan lagi di Forum Romantika Revolusi di Komplek Taman Ismail Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY),” cerita Marzuki, Jakarta. Ada sembilan lagu di album John sambil mengingat-ingat. tersebut, antara lain: Doa, Hey, Jaga Saudara, John merasa bangga karena notasi lagu Darah Fajar Merah Esok Milikmu, Darah Juang, Juang ia yang membuat, tapi syairnya banyak yang Marsinah, Musim Senja, Api Kesaksian, dan mengusulkan. Salah satunya lirik kata 'Bunda' Istirahat. Lagunya banyak berkutat pada lagu sebelumnya bukan Bunda, tetapi Tuhan. Kemudian perjuangan dan kritik sosial. ia ganti karena ada teman yang mengusulkan untuk Hingga saat ini lagu Darah Juang banyak diganti. diaransemen ulang oleh kelompok musik Lagu tersebut dinyanyikan pertama kali secara perjuangan, seperti grup musik Marjinal, Lontar, resmi dan massal di FKMY pada kongres pertama Somasi, dan sebagainya. John memang tidak tahun 1992 bertempat di Muntilan. “Setelah membatasi lagu tersebut. Ia tidak mau mengurus dinyanyikan di FKMY pecah. Kan, orang-orang hak cipta untuk lagu Darah Juang tersebut. “Aku FKMY ini dari berbagai macam daerah di sudah cukup senang lagu Darah Juang dinyanyikan Indonesia. Jadi tersebar luas dengan sendirinya,” oleh orang banyak. Kalau mengurus hak cipta lagu jelas John yang sudah menciptakan lebih dari 500 Darah Juang bukan jadi lagu rakyat lagi,” ujarnya lagu. yang saat ini aktif di organisasi alumni KM UGM Kemudian John beranjak dari tempat duduk bernama Paguyuban Darah Juang. menuju lemari bufetnya. Ia ambil beberapa buku Walaupun John sudah merasa senang dengan yang sudah tampak usang. “Ini buku catatan lagulagu Darah Juang-nya, namun ia ingin sekali lagu saya sejak SD,” kata John sembari membuka lagunya diakui. Lagu Darah Juang sudah buku halaman pertama. melegenda, tetapi tidak ada satupun penghargaan “Ini lagu pertama yang saya bikin. Judulnya yang John terima atas lagu ciptaannya tersebut. Manusia tahun 1977. Sekarang udah malas bikin “Aku kepingin lagu itu dinyanyikan secara lagu,” terang John. orkestra besar. Kemudian diklaim jadi lagu Menurut Dona, orang tua John tidak kebangsaan Indonesia. Lagu Darah Juang menjadi mendukung bakat seni dalam bermusiknya. Selain lagu wajib Indonesia. Bisa dinyanyikan di semua itu lagu-lagu yang dibikin John kurang laku dijual sekolah negeri maupun swasta,” ujar John penuh di pasaran dunia musik tanah air. “Setelah lulus harap. kuliah aku jual lagu ke Jakarta. Laguku sempat Ia lalu mengambil gitar dan menyanyikan lagu diminta Fae, mantan gitaris Slank. Tapi karena ada Darah Juang...[] masalah akhirnya gagal. Aku sempat frustasi,” jelas John dengan raut muka sedih. lpmarena.com- 29 -
MELECUT oleh Abdul Rohman
KERJA MENYAMBUNGKAN antara idealita dengan realita. Secara terminologi kaum marxian mengartikan kerja sebagai proses perealisasian diri manusia terhadap lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa eksisitensi manusia di dunia menurut Marx, diukur dari seberapa jauh “kerja” sebagai tindakan manusia mampu berdampak, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Keberadaan organisasi gerakan sebelum dan sesudah bangsa ini dideklarasikan menjadi bangsa yang merdeka, memiliki peranan penting dalam dinamika sejarah negara Indonesia. Namun, ketika sejarah telah mengantarkan kita sampai saat ini, di mana arus modernitas yang begitu masif serta neoliberalisme yang tidak mungkin terbendung. Peran organisasi gerakan sebagai penyambung lidah rakyat, selalu menuntut untuk refleksi serta aksi terus menerus guna merealisasikan diri sebagai bentuk “kerja”. Pertanyaannya, kerja yang seperti apa yang harus selalu diupayakan? Toh kenyataanya sampai saat ini, banyak organisasi yang mengatasnamakan organisasi gerakan telah melakukan berbagai bentuk kerja sebagai wujud eksistensi keberadaannya. Perlu kiranya kritik otokritik terhadap organ gerakan dan kaum bergerakan yang ada di dalamnya. Sampai sejauh mana langkah-langkah yang dilakukan saat ini, sebagai bukti kerja gerakannya tersebut berdampak signifikan terhadap lingkungan sosial. Kalau kita melihat jauh ke belakang, pergerakan Indonesia pada awal abad ke-20 banyak cara yang dilakukan tokoh-tokoh bangsa sebagai kaum berpergerakan dalam mendorong terciptanya suatu perubahan masyarakat. Seperti yang dilakukan Tirto Adhi Surjo dengan Medan Prijaji-nya. Sebagai siasat gerakan, dia menggunakan pers untuk menyiarkan kabar berbagai persoalan masyarakat kepada pemerintahan kolonial saat itu. Ada pula Cokroaminoto dengan partai politiknya mengorganisir masyarakat untuk mengkritisi kebijakankebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Juga Haji Misbah sebagai seorang mubalig menggunakan Teologi Islam Progresifnya mempropaganda buruh melakukan mogok sebagai bentuk protes. Sampai kepada generasi SoekarnoHatta dengan cara diplomasi hingga perlawanan fisik menghantarkan bangsa ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Melihat genealogi gerakan dari setiap fase sejarah bangsa tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa tidak ada satupun para tokoh bangsa melakukan aksi gerakannya sendirian. Selalu saja tokoh-tokoh tersebut menggunakan alat organisasi untuk memuluskan kerjakerja sosial. Baik yang berupa organisasi pers, partai politik, sampai organisasi masyarakat. Hal ini menandakan bahwa, cita-cita perubahan sosial harus
- 30 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
Kerja-Kerja Gerakan
dilakukan secara komunal sistematis melalui proses pengorganisiran dan pengorganisasian massa sebagai tindakan “kerja” gerakan. Tindakan kerja gerakan inilah (pengorganisiranpengorganisasian) massa menjadi cara yang selalu identik dengan fungsi adanya sebuah organisasi pergerakan. Usaha pengorganisiran dan pengorganisasian menjadi pilihan yang paling rasional untuk mendorong suatu perubahan di tengah masyarakat. Upaya pengorganisiran bukan semata-mata mobilisasi massa untuk melakukan tindakan-tindakan yang dikehendaki oknum-oknum tertentu. Namun lebih dari itu, pengorganisiran merupakan hubungan diskursus rasional yang dilakukan Central Organizer (CO), untuk menjelaskan secara sistematis realitas yang sedang terjadi kepada massa. Yang akhirnya mendorong massa untuk melakukan suatu hal tanpa ada determinisme, baik dari CO itu sendiri, maupun ideologi tertentu. Artinya, upaya pengorganisiran dilakukan sebagai siasat organisasi gerakan, untuk menciptakan kesadaran historis massa demi suatu cita asa yang dikehendaki massa. Bukan kehendak yang hadir di luar mereka. Setelah pengorganisiran massa, langkah selanjutnya adalah pengorganisasian massa. Di akomodirnya massa ke dalam suatu wadah organisasi ini, adalah jembatan untuk menjadikan organisasi sebagai juru bicara massa. Dalam hal ini Syahrir memberikan penegas bahwa: organisasi adalah motor yang dijalankan dengan ciri-ciri tersebut yaitu cita-cita yang dikehendaki. Adanya organisasi membuat hal-hal itu menjadi lebih konkret, karena nyawa organisasi adalah massa. Sehingga antara massa dan organisai harus menyatu. Tidak bisa dipungkiri dalam mewujudkan kehendak massa tersebut, upaya pengorganisiran dan pengorganisasian massa harus selalu digalakkan. Satu hal yang harus ditekankan, yaitu langkah dan tindakan organisasi harus selalu melalui strategi perjuangan yang revolusioner dan radikal. Dengan mempertimbangkan langkah taktis, dan strategis untuk terus menerus menyambungkan cita perjuangan dengan massa. Kerja taktis sebagai upaya penyambungan massa dengan cita-citanya, ini tentu harus bersifat dinamis, karena tujuan utamanya adalah hal yang strategis. Maka upaya taktis tersebut selalu berkaitan erat dengan citacita strategis. Dalam hal ini organisasi sebagai wadah dan alat perjuangan massa, dituntut selalu mampu membaca atas kebutuhan massa dan hal-hal yang berkaitan dengan massa. Hal ini agar langkah taktis yang dilakukan mempunyai capaian dan ukuran yang tepat untuk mendekatkan cita-cita setrategis organisasi. MEDAN KERJA ORGANISASI GERAKAN Pemaknaan atas organisasi gerakan sebagai alat
Dokumen Istimewa
perjuangan massa, tentunya harus kita tarik ke dalam medan perjuangan sebagai basis aktivitas berpergerakan dilakukan. Dalam konteks ini ada tiga medan, yaitu medan gerakan, medan politik, serta medan organisasi. Di medan gerakan, organisasi pergerakan mampu mengorganisir massa secara sistematis untuk melakukan tindakan-tindakan perealisasian cita-cita organisasi. Ukuran keberhasilan organisasi gerakan yaitu, seberapa jauh wacana dan gagasan organisasi dapat diterima massa secara sadar. Yang akhirnya mendorong massa untuk melakukan perubahan sosial. Untuk mewujudkan kesadaran massa ini, bukan perkara yang mudah. Dibutuhkan kecakapan dari orang-orang yang ada dalam organisasi, untuk menjelaskan secara rasional cita-cita massa yang terakomodir di organisasi, serta menjelaskan kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalamnya. Di medan politik, adanya organisasi gerakan dibutuhkan untuk mengontrol jalannya kuasa yang sedang berlangsung. Agar kekuasaan yang diamanatkan tersebut mampu dijalankan secara semestinya. Serta mencerminkan kepentingan rakyat, dan di situasi tertentu ketika struktur kekuasaan mengalami ketidaksesuaiaan kepentingan. Organisasi gerakan diharapkan mampu memberikan advokasi, terhadap apa yang dikehendaki massa atas kekuasaan yang ada. Lebih radikal lagi, organ gerakan didorong untuk menciptakan struktur masyarakat yang berkeadilan dan menyejahterakan. Selanjutnya di medan organisasi, organ gerakan dituntut mampu mengakomodir kepentingan yang ada di internal organisasinya. Segala kerja organisasi harus selalu berkaitan dengan individu yang ada di dalam organisasi. Serta apa yang didapatkan internal kader organisasi dari setiap kerja organisasi. Hal ini wujud dari apresiasi organisasi kepada kader, sebagai kapital organisasi. Yang selanjutnya diharapkan akan berdampak kepada kerja taktis menuju perjuangan strategis organisasi. MENYAMBUNGKAN IDEALITA DAN REALITA Setelah adanya alat perjuangan, yaitu organisasi yang dijalankan secara progresif sistematis, dengan langkahlangkah taktis strategis. Selanjutnya adalah, usaha untuk mewujudkan idealita yang dikehendaki massa. Idealita ini biasanya menjadi kebutuhan objektif yang muncul di dalam massa secara historis. Artinya orientasi dari adanya alat perjuangan yang berupa organisasi gerakan, harus selalu hadir dari massa, bersama massa, dan untuk massa. Bukan hal lain yang di luar massa. Selain itu orientasi dan tujuan organisasi harus selalu mempresentasikan kehendak massa yang ada di dalamnya. Sehingga langkah yang dilakukan penuh ukuran dan capaiaan yang tepat untuk mendekatkan
idealita yang menjadi fondasi berdirinya organisasi, dengan keadaan realita yang menjadi medan persemestakan gagasan organisasi. Menjelaskan apa yang menjadi idealita tersebut memang bukan perkara yang mudah. Sebab berkaitan dengan subjektifitas individu yang harus selalu dikaitkan dengan objektivitas massa. Apalagi ketika dihadapkan dengan kondisi realita yang sangat jauh dari idealita yang diharapkan. Usaha untuk mewujudkan idealita ini perlu dihami terlebih dahulu sebenarnya apa yang terjadi di realita. Kemudian mengapa ini bisa terjadi dalam realita, dan bagaimana sikap kita terhadap realita. Untuk mengerti hal ini diperlukan pendekatan yang komprehensif dan tentunya juga revolusioner, agar tidak hanya mengendap dalam kesadaran naif tanpa berujung ke dalam kesadaran kritis. Seperti sebuah organisasi gerakan yang muncul di kampus contohnya. Tentunya adanya organisasi tersebut bersumber atas kehendak cita-cita, atau kesamaan latar belakang baik ideologi maupun kultural dari beberapa mahasiswa yang menjadi anggotanya. Kemudian berkomitmen bersama, untuk berkumpul mewujudkan cita-cita tersebut. Untuk mewujudkan kehendak itu tentunya tidak bisa dilakukan dengan hanya segelintir orang. Maka usaha agar memudahkan cita-cita tersebut cepat terwujud, adalah mengorganisir massa untuk mengikuti dan melakukan secara sadar apa yang dikehendaki organ tersebut. Ini biasanya dilakukan dengan jalan-jalan kultural, seperti ngopi dan dikusi. Untuk mengakomodir massa yang terorganisir agar berjalan secara sitematis, dimasukkanlah massa ini dalam satu wadah organisasi, untuk melakukan kerja-kerja penyadaran selanjutnya. Langkah-langkah seperti inilah yang semestinya menjadi tolak ukur adanya organisasi gerakan. Organisasi benar-benar menjadi alat rakyat untuk mewujudkan kepentingannya. Bukan hanya sekedar sebagai alat legitimasi sosial yang dibanggakan, tapi miskin akan kerja yang berdampak secara signifikan terhadap kebutuhan dan kehendak massa. Proses mewujudkan idealita dalam tataran realita sosial memang membutuhkan komitmen yang bergerak bersama. Bukan hanya kehendak dari kuasa pengetahuan dan elite tertentu. Namun, betul-betul serentak menjadi kesadaran dan kebutuhan massa untuk menciptakan perubahan besar dalam realita yang sesungguhnya. Dengan demikian slogan yang tepat untuk menunjukkan eksistensi organisasi gerakan di tengah gelombang sejarah peradaban saat ini adalah, Mendidik Rakyat dengan Pergerakan, Mendidik Penguasa dengan Perlawanan, sebagai kerja-kerja konkret gerakan.[] Penulis merupakan aktivis gerakan Keluarga Mahasiswa PecintaDemokrasi (KMPD).
lpmarena.com- 31 -
POLA HEGEMONI PEMERINTAH TERHADAP GERAKAN MAHASISWA Dewi Anggraeni
JUDUL BUKU
Penakluk Rezim ORDE BARU Gerakan Mahasiswa '98 PENERBIT Pustaka Sinar Harapan CETAKAN 1999 // TEBAL BUKU 412 halaman
P
ERPOLITIKAN INDONESIA tidak lepas dari peran serta seorang mahasiswa. Mahasiswa merupakan subjek aktif di lingkungan kampus. Mahasiswa mengemban amanah sebagai kontrol sosial, agent of change, dan akademisi. Peran mahasiswa sejatinya dapat memberikan arah perubahan dari pembodohan dan bisa melawan ketertindasan. Untuk merealisasikan hal tersebut banyak mahasiswa mengaktualisasi diri ke dalam Gerakan Mahasiswa (Germa). Rutinitas mahasiswa dan Germa tidak terlepas dari ikut campur pemerintah. Kebijakan pemerintah juga dipengaruhi perubahan sosial, politik, ekonomi suatu negara. Sebagaimana diceritakan dalam sebuah buku yang berjudul “Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa '98� karya Muridan S. Widjojo. Buku itu menceritakan aktivitas Germa dengan rezim pemerintah, pada masa Orde Lama sampai Orde Baru (Orba). PERTENTANGAN ELIT POLITIK Paska kemerdekaan Indonesia, Soekarno secara aklamasi ditunjuk sebagai presiden. Gaya kepemimpinan Soekarno selalu dapat menggerakkan rakyat. Setiap pidatonya selalu menyerukan anti imperialisme dan kolonialisme. Oleh karena itu ia tidak disukai pemimpin Amerika. Di sisi lain, militer Indonesia memiliki bargain politik yang kuat. Pada tahun 1950-an sangat kental dengan perebutan posisi politik Indonesia. Hasil pemilu 1955 sidang konstituante sangat diawasi dengan ketat. Soekarno didesak oleh pihak militer, Peter Briten untuk mengeluarkan dekrit agar kembali ke UUD 45. Konstituen UUD menjamin terlaksananya demokrasi terpimpin, sehingga ruang gerak kekuasaan partai terbatas. Selain itu pihak militer selalu mencari celah untuk terlibat perpolitikan dengan cara menduduki sebagian besar kursi DPR. Anehnya pembagian kekuasaan bukan dengan legislatif dan yudikatif, tetapi dengan pihak militer. Pada taraf tertentu bisa mengarahkan dan mengendalikan presiden. Dalam rangka mengembangkan taktik politik, Soekarno menggandeng Partai Komunis Indonsia (PKI) yang memiliki agitasi tinggi dan dapat mengimbangi progresivitas militer. Sebagaimana diketahui militer dilatarbelakangi oleh tentara Koninklijk NederlandsIndische Leger (KNIL) dan Pembela Tanah Air (PETA),
- 32 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
kedua organisasi ini belajar dari Amerika Serikat. Pendidikan Amerika Serikat sangat jelas anti komunis. Amerika Serikat memberikan pendidikan kepada militer Indonesia untuk membendung pergerakan komunis di Asia Tenggara. Banyak pelajaran yang diperoleh militer Indonesia, antara lain politik dan ekonomi. Harapan Amerika Serikat membawa Indonesia menjadi negara demokratis dan modern. Mereka juga diajarkan gaya Amerika. Pada suatu kesempatan Amerika Serikat dipertemukan dengan cendekiawan Indonesia untuk mendialogkan berbagai persoalan dalam negeri, dari bidang politik, ekonomi, dan sosial. Semenjak itu kemitraan menjadi tradisi di kalangan militer dan perguruan tinggi. Para cendekiawan merasa mendapatkan perlindungan secara politik. Situasi politik internasional antara blok barat dan blok timur juga mempengaruhi situasi politik nasional. Pada tahun 1956 terjadi pergolakan dalam negeri, seperti pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) -Permesta yang didukung oleh Amerika Serikat sebagai penyumbang amunisi utama. Pemimpin Amerika menganggap Soekarno sebagai komunis, dengan alasan tersebut tidak memberikan bantuan pada pembebasan Irian Barat. Dengan demikian hubungan Indonesia dengan Amerika memburuk. Namun, pihak Amerika tetap menjalin hubungan dengan tentara Indonesia. Keadaan ekonomi pasca pembebasan Irian Barat mengalami hal-hal buruk terjadi inflasi yang memberatkan rakyat. Pada 5 Oktober 1965 mahasiswa mulai memprotes dan mengkritik. Kala itu Germa masih dalam skala kecil. Hampir setiap hari mereka berdemonstrasi dengan tuntutan pembubaran PKI dan penurunan harga kebutuhan pokok. Karena Germa belum teorganisir dengan rapi, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Mayjen Syarif Thajeb menyarankan untuk mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang diresmikan pada tanggal 25 Oktober 1965. KAMI pada aksi pertama mengusung Tiga Tuntunan Rakyat (Tritura), yaitu: Pembubaran PKI, Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI, Turunkan harga sembako. Konsep yang diusung sangat sederhana, tapi sangat provokatif. Mereka melontarkan tuntutan di atas kertas dan juga berunjuk rasa di gedung pemerintahan. Pemerintah sangat waspada terhadap aksi yang dilakukan
mahasiswa karena hal itu rentan ditunggangi kepentingan. Namun, mahasiswa menolak anggapan tersebut, mereka tetap melakukan aksi mogok kuliah dan terus memperjuangkan tuntutan itu. Di kalangan politik nasional pihak Soekarno masih sangat kuat. Pihak militer enggan untuk menampakkan konflik terbuka. Oleh sebab itu mereka menggerakkan pihak ketiga, yaitu pemuda dan mahasiswa untuk menyebarkan kampanye anti Soekarno dan sebuah opini untuk perubahan. Pihak militer semakin intensif mendukung mahasiswa. Dukungan yang kuat dari berbagai pihak mendorong KAMI untuk lebih gencar supaya pemerintah melaksanakan Tritura. Pada tanggal 10 Maret 1966 Laskar Ampera melaksanakan aksi secara besar-besaran, serta melakukan aksi corat-coret di berbagai departemen. Pada saat itu pemerintah sedang mengadakan rapat untuk membahas tuntutan mahasiswa. Situasi politik menjadi sangat tegang. Setelah kejadian tersebut, politik dipimpin oleh pihak militer yang dikepalai oleh Soeharto. Keberlangsungan politik nasional yang dipimpinan Soeharto dikenal rezim Orde Baru (Orba). DEPOLITISASI KAMPUS Buku ini menceritakan perjalanan perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang sangat kental dengan kekuatan militer untuk mengukuhkan suatu kekuasaan. Kekuatan militer masuk ke beberapa lini bidang, baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dalam buku diceritakan setelah rezim berkuasa, para Organisasi Masyarakat (Ormas), Organisasi Mahasiswa (ormawa), dan elemen masyarakat dipaksa untuk berpaham Pancasila. Guna mencegah bahaya komunisme dan membenarkan sejarah, bahwa angkatan 66 telah berjasa besar sebagai penyelamat negara. Selain itu melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menerapkan kurikulum yang mengekang kreativitas mahasiswa. Mahasiswa dibebankan dengan capaian target yang tinggi dan dalam aktivitasnya, mahasiswa tidak diperbolehkan mengkaji teori yang berkaitan dengan teori kritis. Akhirnya mengalami depolitisasi kampus. Mahasiswa dilarang untuk melakukan politik praktis seperti mimbar bebas, kuliah umum, workshop, dan aktivitas mengungkapkan perbedaan pendapat secara terbuka. Dikaji dalam teori sosial, istilah yang merepresentasikan keadaan tersebut, yaitu hegemoni dari gagasan seorang tokoh bernama Antonio Gramsci. Yang mana isi gagasan yang diusung adalah relasi kekuasaan yang berdampak ketertindasan masyarakat. Apabila melihat realitas sosial sekarang, hegemoni di perguruan tinggi juga masih terjadi. Pemerintah menuntut mahasiswa perguruan tinggi untuk lulus cepat (lima tahun), selain itu dengan absensi yang harus memenuhi 75 persen atau sistem tugas yang masif. Hal ini berdampak pada cara berpikir mahasiswa. Seolah mereka masih seperti bayi prematur yang dia belum wakutnya mengenal dunia. Mahasiswa tidak memiliki waktu untuk mengenal realitas sosial dan seakan menjadi robot yang digerakkan dan dikontrol oleh pemiliknya. Mahasiswa sekarang banyak diantaranya apatis dan tidak mau mengenal lingkugan sosial. Misalnya, ada aksi demontsrasi, mereka bersikap tak acuh dan menganggap
hanya membuat macet dan ketidaknyamanan. ARAH PERLAWANAN Pada pertengahan tahun 80-an terjadi pergeseran dalam struktur ekonomi, di mana sektor swasta memainkan peran penting. Banyak bermunculan pemilik modal di kalangan elit Negara dan banyak sekali kucuran dana dalam bentuk investasi modal. Pertumbuhan ekonomi di bawah Orde Baru semakin cepat terlihat dari pertumbuhan kelas menengah di kota-kota besar. Kemudian kontrol politik diperketat dan kestabilan politik dipulihkan. Tak terelakkan, kuatnya hubungan elit politik korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi rahasia umum dan diketahui oleh rakyat. Pada tataran mahasiswa masih mengalami pembekuan Dewan Mahasiswa (DM) oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Mereka (mahasiswa-mahasiswa) mencoba menyusun siasat baru dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi atau kelompok studi. Aktivitas diskusi yang rutin dilakukan yakni tentang sosial dan politik. Sehingga aktivitas ini membuka wacana baru. Pada tahun 1987-1989, kesadaran di kalangan mahasiswa mulai tergerak dalam jalur: “jurnalistik – diskusi – aksi�, kemudian bermunculan elemen radikal kritis menentang kebijakan politik dan ekonomi Orba. Kesadaran kritis tersebut dimaksudkan dalam kajian sosial Paulo Freire, seorang tokoh dari Amerika Latin. Ia menyatakan, elemen masyarakat yang sadar akan realitas sosial akan menyuarakan aspirasinya lewat demonstrasi, sehingga dapat menyadarkan orang lain. Berbagai alternatif kritis mulai bermunculan, yakni dengan masifnya Pers Mahasiswa (Persma) untuk menyalurkan wacana baru ke publik melalui jurnalistik atau tradisi tulis menulis. Keberadaan Persma menumbuhkan sikap kritis mahasiswa mampu membangkitkan kembali nilai-nilai humanistik dengan berorientasi pada penyadaran dengan kritik ideologi dan bisa menempatkan dalam konflik realita dan ide. Persma pada tahun 1980-an juga dapat mengorganisir protes-protes. Tak dapat dielakkan, Persma juga mengalami represifitas rezim Orba. Kekangan berupa peraturan pemerintah berupa Permenpen RI No.01/Per/Menpen/1975 yang menggolongkan Persma sebagai penerbitan khusus yang bersifat non-pers dan surat edaran Dikti No. 849/D/T/1989 mengenai Penerbitan Kampus di Perguruan Tinggi. Lalu, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat dan Komite Rakyat yang terdiri dari berbagai kampus di Indonesia mulai bermunculan. Berbagai aksi-aksi dilakukan dengan tuntutan untuk memperjuangkan isu keadilan sosial, isu ekonomi, isu HAM, isu hukum, dan isu kekerasan. Kesuksesan rezim Orba yang selama itu menjaga stabilitas politik, seringkali melakukan represifitas, yang nantinya akan dipenjarakan. Hal tersebut berdampak pada pembungkaman suara rakyat untuk menyampaikan gagasannya, yang berulang kali dapat menundukkan pergolakan. Oleh sebab itu, sebagai eksponen agent of change berkewajiban untuk mentransformasikan penyadaran politik nasional, sehingga kesadaran kolektif terbangun.[] Mahasiswa jurusan Manajemen Keuangan Syariah semester VI, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
lpmarena.com- 33 -
TOA-TOA YANG LAYU Agus Teriyana
B
ULAN MEI 1968 toa-toa itu berdengung kencang menyuarakan revolusi di Prancis. Toa-toa yang digenggam gerakan mahasiswa dan buruh radikal hampir saja menumbangkan rezim Jendral De Gaulle yang saat itu disegani di Eropa. Meskipun tergolong revolusi yang gagal, tapi toa-toa itu menjadikan gerakan mahasiswa pertama yang berhasil menebarkan wacana kebebasan dan demokratisasi. Ciri wacana idealistik revolusioner dengan radikalisme gerakan yang mengambil bentuk verbal ekstrim berupa demonstrasi radikal. Yang ini berhasil diperankan oleh mahasiswa dan kaum buruh Perancis. Secara ideologis, sangat dekat dengan sosialis-anarkis Prancis Proudhon dan filsafat revolusioner Jerman Marx. Hal ini dapat dilihat dari demonstrasi yang dilakukan oleh buruh-mahasiswa Perancis yang tampak seperti praktik komunis dengan hasrat revolusinya. Keberhasilan gerakan mahasiswa Prancis tersebut, tidak akan pernah lepas dari sebuah toa. Toa menjadi simbol identitas demontrasi. Entah sejak kapan budaya ini mulai muncul. Toa-toa itu bukan saja sebagai alat pengeras suara dalam demontrasi, tapi juga sebagai alat hegemoni untuk memobilisasi massa. Suarasuara toa akan selalu berdengung untuk menyuarakan kebebasan dan demokratisasi. Di Indonesia, toa-toa pernah menurunkan rezim Soekarno pada 1966 dan rezim Soeharto pada tahun 1998. Gerakan tersebut masih dianggap fenomenal oleh mahasiswa yang terkenal sebagai angkatan 66 dan 98. Efek dari angkatan 66 dan 98 tersebut masih sangat terasa di kampus-kampus. Terutama di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang dianggap sebagai toa-toa paling radikal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terhitung setiap kali ada agenda kebijakan yang menguntungkan satu pihak, gerakan tidak perlu waktu lama untuk teklap, dan keesokan harinya membuat bising di gedung rektorat, dengan toa-toa dan bakar ban bekas sebagai bentuk pengkaffahan demonstrasi. Demonstrasi di UIN Suka bukan main-main, aksi-aksi tersebut menjadi identitas di kampus putih, kampus perlawanan. Dan ketika bertemu dengan orang lain, tak kala mengucapkan UIN, tanpa pikir panjang akan langsung mengucap sebagai kampus demonstrasi dan kampus ketika demo
- 34 -SLiLiT ARENA APRIL 2017
paling rusuh. Tapi identitas tersebut kini berubah menjadi romantisme belaka. Semenjak turunnya Surat Keputusan Menteri Agama (SK Menag) RI Nomor: B.II/308205, 08206 dan 08207 pada 12 Mei 2016 yang mengangkat Yudian Wahyudi menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga menggantikan rektor sementara Machasin, toa-toa di kampus sudah tidak lagi bersuara. Tidak ada suara toa yang biasa terdengung baik sebagai agenda mingguan, bulanan, atau enam bulanan. Kebungkaman gerakan ini akan mengakibatkan banyak tanya, terutama bagi UIN yang sedikit-sedikit protes, sedikit-sedikit demo, sedikitsedikit risuh dan audiensi dengan birokasi sudah menjadi fardu a'in gerakan di UIN. Efek dari kebungkaman toa-toa sudah kita rasakan, dari naiknya golongan Unit Kuliah Tunggal (UKT) yang awalnya hanya tiga golongan berubah menjadi lima golongan, dengan UKT tertinggi mencapai 7,5 juta. Perampasan ruang publik seperti tidak adanya kejelasan terkait penghancuran panggung demokrasi (pangdem) akibat pembangunan gedung FEBI, dan minimnya transparansi birokasi yang sudah membudaya dengan seribu alibi. Itu baru hanya permasalahan yang tampak di depan mata, sebenarnya masih banyak permasalahn lain di kampus.
Dokumen Istimewa
Rasionalnya, naiknya permasalahan kampus akibat kesewenang-wenangan, akan menaikan juga demontrasi gerakan untuk melayangkan protes sebagai wujud dari agent of change. Tapi hingga kini belum ada satu pun suara toa yang merongrong di sekitaran kampus UIN, kecuali aksi tolak UKT anak baru ketika mengikuti OPAK. Itu pun semacam gladi resik mahasiswa baru sebelum masuk retorika kampus yang rumit ini. Bahkan Yudian sendiri dengan bangganya menyindir keras gerakan mahasiswa tatkala sambutan wisuda pada 23 November 2016, “Semenjak saya menjadi rektor, belum pernah didemo�. Ucapan tersebut mestinya menjadi tamparan keras bagi gerakan, tapi entah kenapa seakan sindiran itu dianggap hanya sebatas angin lewat dan tidak menyentuh rasio kesadaran gerakan. Boleh dibilang, Yudian sebagai pemegang rekor muri UIN dalam kategori sebagai rektor yang tidak pernah didemo. Kebungkaman gerakan tidak lepas dari kuatnya intervensi kampus terhadap mahasiswa. Model perkuliahan yang mengambang dengan pola konversi mata kuliah (makul) terus-menerus. Logika konversi makul hanya menerapkan pola cocokisme terhadap prodi. Setiap mata kuliah dipaksakan sesuai dengan jurusannya, akibatnya prodi masih oleng identitas. Di samping itu, kampus lebih suka pada gerakan yang mengadakan acara-
acara Event Organizer (EO) ketimbang mengadvokasi langsung terhadap persoalan bawah yang berada di kampus dan masyarakat. Beban tugas dosen yang berlebihan juga mengakibatkan enggannya individu untuk menganalisa persoalan sosial. Jangankan menganalisa, untuk menengok persoalan di dekatnya saja sudah enggan. Mereka lebih suka mengikuti pola “Sukses di Perguruan tinggi ala birokasi�, dengan mengejar absensi 100%, selalu mengerjakan tugas dosen, lulus tercepat, dan citacita bisa sambutan ketika wisuda. Padahal, konsep, mekanisme, dan teknisi untuk terjun terhadap sebuah persoalan sosial itu ada di dalam gerakan mahasiswa, bukan di dalam kelas yang hanya duduk-duduk untuk mendapat pujian dari dosen. Pola gerakanlah yang bisa membentuk identitas mahasiswa, bukan logika kampus yang hanya membentuk watak individualis anti-sosial, tidak bisa membentuk watak idealistik revolusioner yang lebih realis di masyakarat. Melihat mahasiswa yang individualis tersebut, sepertinya gerakan harus ada pola baru untuk menghegemoni mereka agar tidak enggan untuk menyuarakan toa. Dan PMII, HMI, KAMMI, IMM, GMMI, dan gerakan lain yang berada di lingkaran UIN Suka, jangan terlalu lama mengurus dapur sendiri. Mengingat kampus sudah darurat demonstrasi, akan lebih retoris bila toa-toa itu diritualkan kembali. Sebab, ketika organ gerakan kampus tersebut hidup, maka bisa menghidupkan kembali toa-toa di kampus. Andai, tiga gerakan yang mempunyai komisariat fakultas, seperti PMII, HMI, dan IMM mempunyai kader militansi-ideologis minimal 20 orang. Per fakultas, ketika dikalikan (3 X 20) hasilnya ada 60 kader militansiideologis. Bila digabung dengan tujuh fakultas, akan menghasilkan 420 kader militansi-ideologis dari tiga gerakan tersebut. Lalu, dari KAMMI dan GMNI memiliki tingkat komisariat di universitas, anggap saja mempunyai kader militansi-ideologis masing-masing 40. Bila digabung akan menghasilkan 80 kader militansiideologis. Bila semua gerakan itu digabung 460 ditambah 80 akan menghasilkan 540 kader militansi-ideologis. Dengan jumlah 540 kader militansi-ideologis ini, akankah mustahil menghidupkan kembali toa-toa, seperti mahasiswa Prancis yang mewacanakan kebebasan dan demokratisasi? Bila mahasiswa Prancis terlalu jauh, jumlah tersebut seharusnya bisa mengadvokasi persoalan lokal kampus UIN Suka. Perbedaan corak pandang advokasi berbagai gerakan mestinya tidaklah menjadi persoalan, karena pada dasarnya persoalan kampus adalah persoalan seluruh mahasiswa dan sama sekali tidak terkait dengan ideologi internal masing-masing gerakan. Baik itu mahasiswa yang berkecimpung dalam gerakan atau mereka yang hanya berada di kampus ketika kuliah saja. Mahasiswa dijerat masalah dan seharusnya gerakan turun jalan. Apakah sebuah kemustahilan di era rektor baru ini, gerakan menyuarakan toa-toa? Bukankah makin banyaknya bendera gerakan, akan lebih banyak juga perspektif advokasinya, dan tentunya akan lebih mudah untuk menghentikan kebijakan yang sewenang-wenang itu?[] Mahasiswa jurusan Hukum Tata Negara semester VIII, Fakultas Syari’ah dan Hukum
lpmarena.com- 35 -
oleh Khaerul Muawan (Awan)
N
AMPAK SEGAR DIPANDANG bungabunga dan rerumputan yang menjalar itu. Hijaunya menyejukkan kalbu, menghapus sendu. Para penyair sering duduk di sana tanpa alas. Memanjakan dirinya dengan menjamah setiap sudut yang menjalar. Para penyair selalu melahirkan karya-karya fenomenal. Bahkan tak jarang dari mereka membahas tentang rerumputan itu hingga terdengar di seluruh pelosok negeri. Gempar orang-orang berbicara perihal rerumputan itu. Banyak yang datang hanya sekedar untuk memastikan batinnya, dan banyak pula yang datang untuk menikmatinya. Semua pendatang mendekatinya tanpa alas, mencium aroma bungabunga di sekitarnya. Angin sepoi-sepoi bertiup, membuat rerumputan itu menari bersama bungabunga. Semua tertawa riang penuh pesona hingga
menghadirkan kebahagian kecil di antara manusia. Seiring berjalannya waktu yang diwakili oleh hujan dan mentari, rerumputan itu menjalar menjadi sabana yang indah. Orang-orang sudah mulai jarang ke sana, sebab mereka sibuk bersenggama dengan kota. Orang-orang kota tak peduli lagi pada rerumputan itu, padahal mereka tinggal tak jauh dari sana. Para penyair juga sudah jarang ke sana, sebab orang-orang kota tak lagi butuh syair. Sebagian dari mereka menyulap diri menjadi kelinci pada seorang tuan. Sebagian pula yang masih bertahan. Para pemuda dari berbagai kalangan berkumpul di sebuah kafe seperti biasa. Di beberapa meja mereka berbicara perihal kuliah dan kerja. Ada yang membahas tentang mode dan gaya. Ada juga yang berkumpul, tapi sibuk di dunia maya. Satu meja di sudut ruang, lima pemuda masih sibuk membahas perihal rerumputan yang telah menjadi sabana. “Kalian masih sering ke sabana?” tanya seorang penyair dari lima pemuda itu. “Sudah jarang sekali,” kata kawannya, “banyak ular sekarang di sana.” “Lagi pula tak ada waktu. Senin sampai Sabtu kerja. Minggunya ada urusan di luar kota,” kata kawannya yang telah menyulap diri menjadi kelinci. “Sama,” kawannya yang mahasiswa membenarkan, “kuliah, kerja tugas, organisasi, hampir menyita semua waktu,” lanjutnya. Kawannya yang satu sedang mengisap rokok itu hanya mengangguk membenarkan. Perihal sabana itu hampir tidak lagi menjadi bahan perbincangan. Para pemuda sudah banyak sibuk dengan dirinya masing-masing. ***
Sekumpulan manusia berdasi sedang rapat di gedung pencakar langit. Mereka sangat serius membahas perihal sabana itu. “Saya siap menjadi investor,” kata orang asing dengan bahasa asingnya. “Baiklah. Soal prosedur dan lain-lainnya biar saya yang atur,” kata seorang pejabat dengan bahasa yang sama. Pejabat dan investor itu berjabat tangan tanda kesepakatan, sedangkan yang lain bertepuk tangan memeriahkan. Sebulan setelah kesepakatan, sebuah bangunan kecil telah didirikan dekat sabana. Beberapa serdadu bergiliran menjaga pos keamanan. Mobil-mobil proyek sudah siap melaksanakan tugasnya. Sabana itu telah dikelilingi oleh pagar seng. Aktivitas pembangunan sudah mulai berjalan sangat cepat. Kabar itu pun terdenganr di kalangan pemuda, khususnya mahasiswa. Dari berbagai organisasi berkumpul mengadakan rapat perihal pembangunan itu. Mereka merencanakan aksidi depan kantor pemerintahan. Ada juga yang mengusulkan untuk langsung mendatangai area pembangunan. Pengambilan suara diputuskan. Sedikit di antara mereka yang siap turun aksi. Yang tak menyetujui mengemukakan argumen-argumennya, sedangkan yang lain juga hanya bisa diam. Tiga hari setelah rapat, segerombolan mahasiswa turun aksi. Mereka berbondong-bondong berjalan dari kantor pemerintahan menuju lokasi pembangunan. Teriknya matahari membakar kulit dan memeras keringat para demonstran. Tulisantulisan penolakan mengiringi suara-suara nyanyian kemerdekaan dan pembebasan. Tibalah mereka di lokasi pembangunan itu. Mereka menyuarakan aspirasi secara bergiliran. Para serdadu mengamankan apa yang seharusnya dibiarkan. Di tengah-tengah sabana yang telah tertimbun tanah, deru sepatu pembangunan terdengar gaduh bersama germuruh mesin. Tak ada lagi rerumputan yang menari bersama bunga-bunga. ***
“Suara-suara apa itu?” tanya orang asing itu. “Biasa. Para mahasiswa sedang mengerjakan tugasnya,” jawab pejabat itu, “tenang saja, sudah ada pengamanan,” sambungnya. Di luar area pembangunan, para mahasiswa masih setia dengan suara-suara merdeka. Sedikit sekali media yang mengarah. Mereka memutar cerita mengarah kota, diam dari kata merdeka. *** Penyair yang masih bertahan itu hanya bisa bertahan dengan syairnya. Ia berdiam di puncak gunung para dewa, namun syair-syairnya berkoar hingga menggetarkan tiang-tiang istana para dewa. Yang tertimbun bukanlah embun Adalah kebun-kebun dengan senyum Yang seharusnya jadi surga diubah oleh sekawanan rubah Bukan tentang rerumputan yang mungil Melainkan rakyat-rakyat kecil Bukan tentang bunga-bunga yang tertawa Melainkan bahagia bersahaja Dan bukan pula tentang ular yang menakutkan Melainkan sebuah bentuk perlawanan Di tengah gaduh, tak ada seruan Mereka membisu dari jeritan, bahkan yang mendambakan keadilan sekedar mendamba dalam khayalan. Syair-syairnya terbang bersama angin dan awan. Para manusia membacanya dengan rasa dan juga tanpa rasa. Syair-syair itu ada yang melanjutkan, ada pula yang mengabaikan, hingga akhir pembangunan. Investor, pejabat, serta manusia berdasi lainnya sedang berpesta foya, merayakan kemenangan di atas rerumputan yang telah ditikam sepatu pembangunan. “Cheers!”
*Penulis adalah mahasiswa Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga.
DEMI WAKTU I demi waktu, kutimang semesta perihal anak bangsa yang ringkih bersambut gelegar tuai luka dan terhenti riaknya :sumbu merakit di antara tuak dan imaji terjebak pada kuburan sendiri logaritma patah arang cumbui prahara #kenikmatan sesaat #euforia sesat Ohh semau sendiri mulut berucap _kau yang hilang kembalilah pada tuanmu dalam damai II di kotaku, kota waktu semua tercipta dari laku menjarah balok-balok tua pada sebagian bangunan tak berpenghuni pada bagian lain, ada yang menantang maut berharap waktu memisahkan angkara walau tak pernah tau, akan jadi mawar, ikan, atau daun kemangi III menunggunya, ibarat maut bertamu tanpa sungkan malu dan rasa canggung menghempas segala, pada Yang Satu muara firman batas waktu terhenti pewaktu bertutur :yang kau emas paksakan kembalilah kini Yogyakarta, 2017
MENEPI DI BALIK MASA aku menemukanmu di kerumunan letih sepotong udara singgah perlahan memutar badan pada siluet kematian kau berkalung sorban selandai tumit menguntit dari langkah ke laku semula ini bukan apa-apa akan tetapi; ...... bias dekil mendaging serupa purba tidak pada masanya Yogyakarta, 2017
SEKILAS SAJAK BERDARAH mengalir bersama riuh perlawanan Trisakti berdarah Semanggi berduka kilas balik serumpun senyawa muda-mudi tumpah pada trotoar-trotoar pejalan kaki satwa liar sebangsa berduyun memadati pekarangan istana jalan lumpuh gerbang berucap salam kelu di bibir sendiri bulan dipaksa purnama sesanding mentari pagi tak lagi buta siang-malam tak lagi beda Yogyakarta, 2017 Rodiyanto, alumni PP. Aqidah Usymuni, Terate, Pandian, Sumenep, Madura. Tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga yang sehariharinya berkutat dengan pasal-pasal sajak dan kopi.Aktif di Pojok Imajiner Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD)Yogyakarta. Ilustrasi : Persitenci of Memory, Salvador Dali, 1931
ADVERTORIAL
KOTREK JAYA LELE Budidaya Ikan Lele dan Nila Merah
Menyediakan : - Ikan Lele Bibit sampai Siap Konsumsi - Bibit Nila Merah
Keunggulan produk, untuk pakan yang kami berikan adalah murni pelet. Pelet ini adalah makanan yang mengandung protein tinggi bagi budidaya ikan. Protein tersusun sekitar 70% bobot kering bahan organik di dalam jaringan tubuh ikan, sehingga kandungan protein merupakan salah satu senyawa bergizi yang paling penting pada pakan ikan.
Pemesanan : - Bibit Lele, tersedia dari ukuran 35, 46, 57, hingga 68. Pemesanan minimal 10.000 dapat diantar ke seluruh Yogyakarta. Sedangkan untuk di Jawa pemesanan minimal adalah 100.000 ekor.
- Lele Siap Konsumsi - Bibit Nila Merah, pemesanan bibit ukuran paling kecil minimal adalah 50.000 ekor untuk wilayah Yogyakarta. Sedangkan ukuran dua hingga tiga jari pemesanan minimal 10.000 ekor di wilayah Yogyaarta dan minimal 50.000 ekor pemesanan yang dapat diantar ke wilayah luar Yogyakarta.
INGAT!
Pemesanan di atas 10.000 ekor siap antar ke lokasi seluruh wilayah Yogyakarta.
Lokasi
utama di Jomblangan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Cabang di Godean, Sleman, Yogyakarta
Hubungi :
082141413120
budidayaikanlele
085743852884
kharis al qorni
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LPM ARENA
Paket Cepat
LULUS - UKT mahal - Banyak Maling - Banyak Tugas
Doel