WARGA SEKITAR KAMPUS BELUM MENJADI PRIORITAS
MEREKA DEKAT TAPI BERSEKAT
POTRET PENDIDKAN DAN EKONOMI WARGA SEKITAR KAMPUS
SLiLiT
ARENA
Jelas & Mengganjal
MEREKA DEKAT TAPI BERSEKAT
Karikatur Doel, diilustraikan Agus
Daftar isi SLiLiT Arena 07 WARGA SEKITAR
KAMPUS BELUM MENJADI PRIORITAS
10 MEREKA DEKAT TAPI BERSEKAT
12 POTRET PENDIDIKAN
DAN EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR KAMPUS
16 PEMBERDAYAAN
PERPUSTAKAAN DARI BOPTN KURANG
18 BELUM SERIUS
MENGELOLA PERPUSTAKAAN FAKULTAS
LAPORAN UTAMA UNIVERSITARIA WAWANCARA LEBIH DEKAT OPINI RESENSI
20 MAHASISWA ADALAH MASYARAKAT SEMU
22 MENGHORMATI
DAN MEMBAUR DENGAN MASYARAKAT
24 MEMIJAK BUMI,
MENJUNJUNG LANGIT, MENGHORMATI KEHIDUPAN
26 SARJANA MESTINYA TURUN KE ‘BAWAH’
DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PELINDUNG: Allah SWT // PENASEHAT: Rektor UIN Sunan Kalijaga // PEMBINA: Dr. Abdur Rozaki // DEWAN REDAKSI: Sabiq Ghidafian Hafidz, Lugas Subarkah // PEMIMPIN UMUM: Abdul Rohim // WAKIL PEMIMPIN UMUM: M. Abdul Rouf // SEKRETARIS UMUM: Lailatus Sa’adah // BENDAHARA: Alifah Amalia // PEMIMPIN REDAKSI: Isma Swastiningrum // REDAKTUR ONLINE: Wulan Agustina Pamungkas //REDAKTUR SLiLiT: Mujaeni // REDAKTUR Artistik: Agus Teriyana, Abdul Rohim // STAF REDAKSI: Ilham Habibi, Afin Nur Fariha, Mar’atus Shalihah, Rodiyanto, Ilham Rusdy, Anis N Nadhiroh, Rahmat Hidayat, Fikriyatul Islami Mujahidiyah, Muh. Abdul Qoni Akmaluddin, Khaerul Muawan, Dadan Maulana, Muyasharoh, Nia Kurniati Azizah, Rosi Salvajae, A. Hakiki, Hedi, Aliviatun N. // FOTOGRAFER: Mujaeni // DIREKTUR PERUSAHAAN & PRODUKSI: Agus Teriyana // KOORDINATOR PUSAT DATA & ANALISA (PUSDA): Dewi Anggraini // KOORDINATOR JARINGAN & KOMUNIKASI (JARKOM): Syakirun Ni’am // KOORDINATOR PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (PSDM): Ajid Fu’ad Muzaki Kantor Redaksi: Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281 // Telp.:+62858 788 067 11(Agus) // E-mail: lpm_arena@yahoo.com // Website: www.lpmarena.com // Fanspage: LPM Arena // Instagram: @lpmarena // Twitter: PersMaArena
SLILIT ARENA MENGUNDANG SEMUA KALANGAN AKADEMIKA UIN SUNAN KALIJAGA UNTUK MENGIRIMKAN TULISAN MAUPUN ARTIKEL KE ALAMAT REDAKSI LPM ARENA. BAGI PIHAK YANG MERASA TIDAK PUAS DENGAN PEMBERITAAN SLILIT ARENA,BISA MENULISKAN HAK JAWABNYA, ATAU DATANG LANGSUNG KE KANTOR REDAKSI LPM ARENA GUNA BERDISKUSI LEBIH LANJUT. WARTAWAN SLILIT ARENA DIBEKALI TANDA PENGENAL DALAM SETIAP PELIPUTAN DAN TIDAK MENERIMA AMPLOP DALAM BENTUK APAPUN.
RINDU MAHASISWA PEDULI Mengenang masa lalu. Ingin rasa ini kembali ke masa lalu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di IAIN Sunan Kalijaga. Keteduhan, kenyamanan, dan keasrian. Sebuah kampus putih yang bersahaja, tapi sekarang susah untuk mendapatkan kembali. Keakraban mahasiswa dengan masyarakat sangat terasa sekali zaman 90-an apakah akan terulang lagi? Susah rasanya untuk mendapatkan hal semacam itu di saat ini, di masa kemajuan zaman. Mahasiswa lebih peduli dengan ponsel, komputer dan media sosial lainnya. Mana ya, kepedulian mahasiswa kepada lingkungan sekitarnya. Bisakah zaman diputarbalikan lagi? Bisakah jembatan kepedulian kembali dibayar oleh asa dan rasa? Entahlah, kerinduan akan mahasiswa yang peduli pada lingkungan dan masyarakat sekitar bisa direalisasikan dan bagaimana caranya ya? Hanya hati dan nurani yang bisa membayar asa dan rasa itu diri sendiri dan mahasiswanya![] Mang Yudi, Warga Ngentak, Sapen, Komplek UIN Sunan Kalijaga
TERLIHAT BAIK-BAIK SAJA Ketika dimintai tulisan terkait sikap mahasiswa terhadap masyarakat saya agak ragu mengiyakannya, mengapa? Pertama, posisi saya tinggal di masjid. Kedua, rata-rata mahasiswa yang ngekos ataupun ngontrak di desa yang saya tempati terlihat jarang srawung ke masjid jadi kurang bisa mendapat implikasi yang baik. Entahlah, mungkin saya yang tidak peka dan kurang mengamati. Sebenarnya jika kita ingin mengamati suatu sikap sosial, komunikasi dan sebagainya. Maka yang jelas dan mudah didapat barangkali hanya dua, baik dan buruk. Bagaimana seseorang berkait dengan lainnya itu merupakan suatu dialektika sendiri untuk mencari keadaan yang tepat, pas, dan nyaman bagi masing-masing pribadinya. Apakah baik atau buruk bergantung bagaimana orang menilai dan mengamati dari tiap keadaan. Yang dianggap baik saat ini belum tentu menjamin sama baiknya untuk beberapa saat kemudian begitu pula sebaliknya, jadi di tahap ini akal dan hatilah yang harus meregulasi untuk mendapat kesimpulan yang baik dan bijak. Itulah fungsi sejati akal dan hati. Terkait sikap mahasiswa di kos maupun yang mengontrak dengan masyarakat sejauh yang saya tahu di mana saya bertinggal sepertinya baik-baik saja. Soalnya tiga tahun selama berada di masjid belum pernah mendengar ada kejadian anak kos/kontrak yang ricuh dan mengganggu keamanan masyarakat. Entahlah saya juga kurang begitu yakin, sebab itulah mengapa tadi di muka tulisan saya sudah mempertanyakannya. Kalau berbicara soal aturan dan kebijakan sebenarnya dalam suatu lingkup masyarakat tertentu telah ada yang namanya kode etik atau aturan yang mengikat seseorang, kelompok dan sebagainya untuk mematuhinya. Nah, posisi mahasiswa yang in come dalam sistem sosial kemasyarakatan itulah yang harus menghormati budaya setempat. Begitu pun yang berada di masjid juga sama halnya, cuman ada aturan khusus dibanding yang ngekos maupun ngontrak. Terlepas apakah di luar tempat ia baik atau buruk, hanya saja ketika in group kita lebih mengutamakan aturan yang disepakati bersama.[] Aji Shofwab Ashari, Mahasiswa semester VI, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.
lpmarena.com- 03 -
TELAAH RELASI SIVITAS AKADEMIKA DAN MASYARAKAT
S
LiLiT ARENA sampai di awal tahun lagi, 2018. Hadir dengan konsep yang masih baru: menyerupai majalah ARENA kecil untuk lingkup kampus. Metamorfosa tersebut sebagai konsekuesi nyata kami menjadi agent of social control; dengan kritik yang reflektif-progresif bagi kampus yang selalu merasa dirinya baik-baik saja. Kerja-kerja keredaksian diarahkan mengulas satu tema untuk kami telaah secara mendalam. Liputan dikerjakan oleh reporter-reporter yang siap pontang-panting dan merelakan waktu liburan semesternya demi pembaca setia SLiLiT. Dan edisi awal tahun ini kami menyoroti tentang “Sivitas Akademika dan Masyarakat”. Edisi ini sekaligus menjadi salah satu hadiah ulang tahun LPM Arena yang ke-43 tahun. Merawat ingatan, merepresentasikan tindakan. Sudah sejak lama sinergi dan simbiosis mutualisme antara sivitas akademika dan masyarakat diakui penting di bibir. Berdirinya kampus di suatu tempat akan menarik magnet-magnet di berbagai bidang untuk tumbuh. Tak hanya pada bidang pendidikan, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. Kampus menciptakan relasi-relasi antara mahasiswa/dosen dengan masyarakat di sekitarnya; di sisi lain masyarakat juga mendapat percikan berkah ekonomi dengan menjamurnya tempat kos, rumah makan, toko baju, tempat foto kopi, sampai pedagang-pedagang sektor informal di kawasan ring satu kampus. Nyatanya, melihat hubungan antara sivitas akademika dan masyarakat di lingkup UIN Sunan Kalijaga masih terbilang renggang. Pasalnya, pertama mahasiswa secara tak sadar menempatkan dirinya pada posisi eksklusif. Padahal sebenarnya, masyarakat telah membuka keran bagi mahasiswa untuk terlibat di dalam kegiatan masyarakat. Menurut pengakuan dari hidden narrator SLiLiT edisi khusus ini, yang sudah hidup dan tinggal selama 27 tahun di Ngentak, Sapen, dan ia sekaligus menjadi tempat keluh kesah warga menuturkan, mahasiswa sebagian besar “hanya numpang hidup dan numpang kuliah”. Pihak RT/RW di sekitar rumahnya telah mengundang mahasiswa untuk
menghadiri undangan-undangan warga, seperti srawung, rembug warga, jaga ronda, tapi mahasiswa yang diundang cuek. “Ngrasa tinggal di situ bayar,” ketusnya. Ditambah, sebagian besar waktu yang dipunyai dihabiskan di kos—kecuali jika mahasiswa itu aktivis berkategori sibuk. Sayangnya, ketika di kos, mahasiswa tak mengetahui nama pak RT/RW-nya siapa? Tetangga di sebelah rumah kosnya siapa? Bahkan jangan-jangan, nama dari ibu/bapak kosnya sendiri tidak kenal. Di kondisi lain, beberapa mahasiswa yang mengaku kritis juga sering bersikap “gajah di pelupuk mata tak kelihatan, semut di seberang lautan kelihatan”. Mahasiswa cenderung abai dengan kondisi masyarakat yang ada di dekatnya, dan lebih memilih terjun ke masyarakat jauh secara reaksioner dengan legitimasi lebih urgent dan mendesak. Kedua, program-program CSR (Campuss Social Responsbility) ala universitas yang menjadi tanggung jawab kampus tidak menyentuh hal-hal mendasar yang dibutuhkan warga. Sifatnya hanya momentuman saja. Seperti jalan santai, pembagian hewan qurban ketika Idul Adha, seminar, pelatihan, baksos, dan lain-lain. Ketiga, antara sivitas akademika dan masyarakat sendiri memiliki kepentingan yang berbeda. Di satu sisi pihak kampus meningkatkan kapasitas akademik, di sisi lain masyarakat kepentingan utamanya adalah pemenuhan sosial dan pemenuhan kebutuhan. Maka, ruang terbuka yang mempertemukan kedua pihak menjadi penting. Untuk bisa mendialogkan kepentingannya masing-masing. Problema di atas pada akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan dibahas dalam SLiLiT edisi ini. Tentang bagaimana upaya UIN Sunan Kalijaga di dalam memberikan pengabdian terhadap masyarakat sekitar kampus? Program-program apa sajakah yang telah dilakukan UIN untuk memenuhi salah satu tri dharma perguruan tinggi bagi masyarakat sekitar? Lalu, bagaimana relasi sosial antara mahasiswa dan masyarakat?[]
SELAMAT MENGABDI PADA KAPITALIS Lugas Subarkah, S.Sos Pimpinan Redaksi LPM ARENA 2014-2015
Taufiqurrahman, S.I.kom Pimpinan Umum LPM ARENA 2012-2013
- 04 -SLiLiT ARENA MARET 2018
Redaksi
S
Dokumen Istimewa
UNGGUH DALAM TULISAN INI saya tidak ingin berpusing-pusing membangun perspektif dengan berlandaskan tumpukan teori yang jlimet. Karena dalam bayangan saya hal tersebut akan sama sia-sianya tidak berguna di mata manusia modern hari ini, yang cenderug simplistik dan pragmatik. Jadi biarkanlah tulisan ini mengalir seperti deru ombak yang siap menerjang kemanapun yang saya suka. Banyak hal yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini, salah satu yang mengusik kesadaran saya adalah bagaimana hari ini banyak orang suka sekali membicarakan hal besar, dengan quote inspiratif, dan cita-cita perubahan yang revolusioner. Namun sekali lagi, apa arti semua itu di tengah hingar bingar ketidakberdayaan kita membendung arus kapital yang membabi-buta menghanyutkan kesadaran seperti sekarang ini. Perubahan macam apa yang ingin diharapkan? Padahal kita masih duduk mesra ditemani segelas kopi sampai pagi. Saya ingin katakan hari ini kita terjebak pada hiperrealitas. Sebab realitas yang sesungguhnya tidak hadir di tengah-tengah kita. Kita hidup hanya pada tataran simulasi-simulasi yang payahnya, dianggap sebagai realitas yang benar-benar ada. Hal ini dijelaskan oleh Jean Baudrillard, yang mengatakan bahwa hiperrealitas tidak diproduksi tetapi “ia siap selalu di reproduksi�. Tegasnya ia adalah sebuah simulasi yang lebih nyata dari pada yang nyata (Baurdrillard, 1976:73). Artinya semua hal yang kita anggap realitas pada kenyataanya tidak ada sangkut pautnya dengan realitas sesungguhnya. Perkembangan teknologi dengan begitu masifnya pada hari ini mengakibatkan mudahnya kita disuguhkan berbagai realitas kosong. Melalui media sosial yang hari ini menghantui kehidupan kita. Akibatnya realitas menjadi dunia lain yang seolah dekat dengan kita, padahal semuanya adalah citraan-citraan yang didramatisir sedemikian rupa. Fenomena kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini di Jakarta misalnya, adalah contoh jelas bagaimana opini massa dibangun dari sebuah media sosial. Padahal media sosial tak ubahnya buah simalakama yang setiap saat menyebarkan virus-virus yang dianggap realitas. Padahal di dalamnya menyimpan misi terselubung kepentingan politik yang siap menggilas siapa saja. Kalau kita tarik jauh pada kesadaran mahasiswa hari ini, saya rasa tak jauh beda dengan apa yang diungkapkan di atas. Mahasiswa terjebak pada fatamorgana hiperrealitas yang selalu diandaikan sebagai suatu yang benar-benar ada. Ketakutan-ketakutan yang didasarkan pada citraan realitas membentuk kesadaran palsu, selalu direproduksi di ruangruang kelas. Kalaupun tidak imajinasi tentang kesuksesan yang bersumber dari hitungan-hitungan statistik ataupun beragam quote dari orang sukses, selalu menjadi doktrin untuk membentuk kesadaran mahasiswa. Tidak semuanya
lpmarena.com- 05 -
“
Begitulah gambaran rumit terkait bisa disalahkan, tapi dari situlah kondisi subyek kita hari ini. Yang perlu mahasiswa hari ini bisa dikatakan kita sadari adalah bagaimana mampu semakin menjauh dari realitas konkrit mengembalikan subyek yang radikal ke yang sesungguhnya hadir di dalam diri kita. Memang tidak mudah sekelilingnya. untuk mencapai hal tersebut, tapi tidak Pada kenyataanya seperti yang salah juga kita mencobanya. Dalam diungkapkan oleh Lacan, bahwa subyek Saya pikir pandangan saya, proses identifikasi diri manusia hari ini tersegmentasi menjadi kita hari ini merupakan jalan di mana kita menjadi tiga bagian, yaitu yang nyata, yang simbolik, yang imajiner. Saya pikir kita berada pada konteks subyek yang radikal dalam pengertian Žižek. hari ini berada pada konteks yang yang simbolik. Proses identifikasi diri dalam simbolik. Terjebak pada dunia yang pemahaman saya adalah membaca tersusun dari struktur bahasa, seperti Terjebak segala apapun yang masuk ke dalam halnya penanda mendominasi petanda. pada dunia diri kita. Hal ini dilakukan melalui Ekspresi makna kata bukan berasal proses pembacaan secara lebih kritis dari subyek melainkan dari tatanan yang tersusun dari dan radikal untuk menemukan suatu sosial yang ada. Artinya, sepemahaman struktur bahasa yang esensial dari realitas saya, subyek kesadaran terbentuk atas sesungguhnya. Tidak hanya itu, setelah persentuhan kita atas simbol-simbol membaca kondisi di luar diri kita, yang terbentuk dari manifestasi tanda. kemudian kita dituntut untuk mampu membaca ke dalam Hal inilah yang mengakibatkan tindakan kita terjebak diri kita, yang meliputi potensi, hasrat, naluri, yang ada. pada simbolitas yang dianggap sebagai realitas. Parahnya, Hal ini sangatlah penting untuk mengetahui subyek kita selalu mengamini bahwa apa yang dilakukan sudah seperti apakah kita seutuhnya. bersentuhan dengan realitas padahal tidak sama sekali. Kemudian setelah proses identifikasi sudah Justru sebaliknya tindakan kita dikondisikan oleh realitas dilakukan, mencari posisi yang tepat di mana ruang dan itu sendiri. waktu kita berada menjadi tindakan yang harus juga Seperti yang dapat kita rasakan hari ini, di mana kita dilakukan. Akhirnya tindakan politis yang mendorong dikondisikan oleh banyaknya sebaran tentang nilai-nilai pada pembentukan identitas diri menjadi alternatif untuk kemanusiaan, seruan solidaritas, memperjuangkan HAM, mencapai subyek radikal. dan banyak lagi lainnya. Setiap saat hal tersebut mengisi Kiranya seperti itulah harusnya kita hari ini, termasuk ruang kesadaran kita melalui media sosial. Semuanya mahasiswa yang semakin menjamur kedalam ketidak secara tidak sadar membangkitkan hasrat kemanusiaan berdayaan dirundung banyaknya ketakutan pada realitas kita. Tapi sekali lagi, itu bukanlah realitas konkrit yang yang dijelaskan. Cobalah cermati apa yang paling dekat masuk ke dalam kesadaran kita melainkan hanya citraan. dengan kita, bagaimana penindasan itu sungguh nyata, Perdebatan panjang mengenai subyek ini sebenarnya mengangah dan sama sekali belum tersentuh oleh dimulai dari pandangan Althusser yang menyatakan tangan-tangan kita. Karena kita selalu bepikir jauh bahwa subyek terbentuk atas relasi struktur sosial dan kedepan dengan bayangan perubahan-perubahan besar. ideologi, dengan interpelasi sebagai mediumnya. Tindakan kita belum sama sekali mengerjakan hal yang Sehingga subyek hilang digantikan oleh struktur dan paling kecil persoalan di sekitar. ideologi borjouis. Dari situlah subyek dikatakan sebagai Sepertinya tulisan ini semakin bergulir tanpa arah, itu ilusi bagi dirinya sendiri. Semenjak itu juga subyek artinya saya harus segera mengakhiri curhatan ini. Tanpa berusaha dihilangkan oleh para pemikir era posmodern mengurangi rasa hormat bagi siapapun yang membaca datang. tulisan ini, saya ingin katakan minta maaf kepada Dalam hal ini, Slavoj Žižek memberi gambaran pembaca, karena pembukaan dalam tulisan ini saya bagaimana mengembalikan subyek yang dikatakan oleh janjikan untuk tidak berpusing-pusing dengan segudang Lacan dan Althusser sebagai subyek yang bolong/ilusi teori. Nyatanya sungguh susah untuk tidak menggunakan tadi dengan menjadikan subyek radikal. Artinya subyek teori-teori yang telah dijelaskan panjang lebar di atas. yang diradikalisasi sedemikian rupa sehingga mencapai Walaupun demikian, saya rasa kiranya penting poin-poin tingkat optimisme dan optimal dalam menghadapi tersebut untuk dijadikan bahan diskusi lanjutan di ketakmungkinan struktur dan negativitasnya. Walaupun manapun pembaca berada. dalam konteks yang lebih luas bagaimana subyek radikal Sebelum tulisan ini berhenti pada tanda titik, saya agar menjadi gerakan yang emansipatif dimaknai secara ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada LPM luas, sampai hari ini juga belum bisa dijelaskan oleh Arena yang telah menginjak usia 43 tahun. Ternyata saya Žižek. baru sadar umur ARENA sudah begitu tua, dan saya Semakin memusingkan bukan? Apa yang saya ingin mengucapkan beribu terimakasih karena di ruang jelaskan pada dasarnya ingin menggugat sebagian orang kecil yang bernama ARENA ini, intelektualitas kita yang sok ngaktivis, sok sibuk, sok nyeniman, dengan terutama saya terbentuk walaupun belum seberapa. teriak-teriak memperjuangkan rakyat, memperjuangkan Terakhir, tetaplah menjadi alternatif dan munculkanlah masa depan, memperjuangkan kebudayaan. Padahal yang orang-orang gila seperti saya.[] ia lakukan tak ubahnya menjerumuskan dirinya sendiri pada kesia-siaan. Apa yang saya maksud dengan kesiasiaan adalah karena dirinya tidak pernah memaknai Doel Rohim, dirinya sebagai subyek yang utuh. Karena seperti yang Pemimpin Umum LPM ARENA dijelaskan di awal tadi, bahwa hari ini subyek kita terbentuk hanya dari citraan-citraan realitas.
- 06 -SLiLiT ARENA MARET 2018
WARGA SEKITAR KAMPUS BELUM MENJADI PRIORITAS Program kerja kampus belum memprioritaskan warga sekitar. Warga mengeluh, dan meminta kampus untuk memperhatikan warga di lingkungannya. Oleh Syakirun Ni'am Muzaeni/LPM ARENA
Kendaraan lalu lalang melintasi Jl. Bimokurdo, Dusun Ngentak Sapen, Kelurahan Demangan, Kecamatan Gondoksuman pada sore hari, Rabu (7/2). Sapen merpakan salah satu pemukiman yang berdekatan dengan UIN Sunan Kalijaga.
S
IANG ITU angin berhembus di antara tembok-tembok kompleks perumahan dusun Ngentak, Sapen, Sleman. Wilayah itu berbatasan langsung dengan kampus UIN Sunan Kalijaga. Seseorang menunjukkan rumah pak RT 04 RW 01 pada ARENA. Letaknya di timur pagar kompleks gedung Prof. Amin Abdullah persis. Wahidin Ketua RT yang sedang tertidur dibangunkan cucunya. Di ruang tamu berukuran kurang dari 4x3 meter, ia menemui ARENA dan menceritakan pengalamannya berhubungan dengan pihak kampus.
Menurutnya kampus cenderung lambat dalam menanggapi keluhan warga setempat. Ia pernah meminta pihak kampus untuk memberlakukan penutupan gerbang kampus timur saat malam. Baginya kebijakan itu penting untuk menjaga keamanan wilayahnya. Sebab dengan begitu, orang yang keluar masuk pada jam tertentu dapat terkontrol. Sekaligus mengantisipasi pemuda kampung dan mahasiswa yang sering nongkrong. Sebab dalam riwayatnya, kampus timur kerap menjadi medan tawuran antar pemuda. Selain itu, tidak jarang
dijadikan tempat mesum. Alasan itu, membuat Wahidin melayangkan surat ke rektorat, tapi suratnya tak kunjung ditanggapi. Tidak hanya masalah gerbang, warga juga kerap diresahkan oleh suara bising dari area gelanggang yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman warga. Berdasarkan pemberitaan SLiLiT ARENA edisi bulan November 2016, berkaitan dengan persoalan tersebut, pada tanggal 7 Maret 2012 warga melayangkan surat resmi ke rektorat. Namun suratnya tidak mendapatakan respon. Tak habis
lpmarena.com- 07 -
akal, warga pun mengirim surat terbuka untuk rektor melalui kolom Surat Pembaca di media massa lokal yang terbit pada 16 Desember 2012. Namun tetap saja, kampus tak kunjung memberi tanggapan. Selanjutnya, pada 10 Juli 2016, warga membuat perjanjian yang telah disetujui oleh pemerintah Yogyakarta dan Kapolda. Barulah pada 17 Agustus 2016, pihak kampus mengundang warga untuk melakukan kesepakatan di gedung rektorat. "Lama (prosesnya) pake banget," ujarnya sambil tertawa. Hal itu dibenarkan Untung Wahyono ketua RW 01 Ngentak, Sapen, Sleman. Warga pernah menginisiasi dialog dengan pihak kampus, tapi urung mendapatkan respon. Menurutnya pihak kampus enggan melakukan pertemuan, karena jadwalnya di luar jam dinas. Sementara warga yang dominan bekerja sebagai pedagang, tidak bisa meninggalkan sumber mata pencahariannya pada jam-jam tersebut. "Emangnya sini nggak nyari makan," ujar Untung dengan nada kesal, Jumat (12/1). Respon yang lambat membuat warga merasa enggan menyurati atau melakukan komunikasi dengan kampus. Beberapa kali ARENA bertanya kepada Wahidin terkait tanggal atau tahun kejadian, seringkali ditanggapi dengan jawaban "Tahun ora kepenak pokoke (Pokoknya tahun tidak enak)," dengan nada jengkel dan tawa kecut. Saat dimintai daftar surat yang dikirim ke kampus, mereka mengaku data-data tersebut sudah terhapus dari komputer TIDAK SEHARMONIS DULU Baik Untung, maupun Wahidin, sama-sama mengungkapkan bahwa dahulu komunikasi antara warga dengan pihak kampus tidaklah buruk seperti sekarang. Hal itu karena adanya perumahan dosen di kompleks kampus. Sehingga memudahkan komunikasi di kedua belah pihak. Di sisi lain, orang-orang yang menempati perumahan
- 08 -SLiLiT ARENA MARET 2018
tersebut adalah petinggi kampus. Seperti rektor Amin Abdullah yang kerap jalan-jalan di kampung saat pagi hari. “Jadi ada kepedulian gitu loh Mas,� kenang Untung. Namun setelah lahan perumahan dosen dialihfungsikan menjadi gedung Multi Purpose yang sekarang berganti nama menjadi Prof. Amin Abdullah, akibatnya komunikasi menjadi renggang. Meskipun hubungan baik dengan dosen yang pernah tinggal di daerah itu tetap dijaga baik. Sutarman, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) UIN Sunan Kalijaga menjelaskan, tugas pokok dan fungsi unit Humas melayani masyarakat, mahasiswa, dan kunjungan pihak luar. Seperti kunjungan Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA), yang menanyakan persoalan akademik, persyaratan masuk, beasiswa dan sebagainya. Dia juga mengungkapkan, tugas Humas sangat teknis. Apabila ada keluhan dari masyarakat atas kebijakan kampus, ia akan menyampaikannya ke pemangku kebijakan. Ia mengaku sering melakukan komunikasi dengan warga sekitar kampus, termasuk daerah Sapen. Biasanya melalui momen hajatan atau takziah. Lewat forum itu ia lebih mengenal masyarakat, baik Organisasi Masyarakat (Ormas), ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun aktivitasnya bukan atas nama lembaga, melainkan pribadi. Meskipun begitu menurutnya identitasnya sebagai pegawai UIN selalu melekat pada dirinya. "Ya melekat menyatu," ungkapnya. Namun, pernyataan tersebut dibantah Untung dan Wahidin. Mereka mengaku tidak melihat aktivitas Humas UIN yang melakukan sosialisasi di lingkungannya dan tidak merasa mengenal Sutarman. Menanggapi lamanya UIN dalam merespon surat dari warga, Sutarman beralasan bahwa surat yang dilayangkan ke kampus melaui proses yang panjang. Surat tersebut
akan diserahkan ke rektor, kemudian diturunkan ke wakil rektor, dilanjutkan disposisi pada unit terkait. Tidak hanya itu, banyaknya pekerjaan menjadi alasan mengapa respon tersebut cenderung lambat. "Kan surat masuk itu tidak hanya dari RT tadi," ujarnya. Wakil Rektor (WR) II Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Administrasi Umum Sahiron, melalui pesan Whatsapp, Selasa (16/1) mengungkapkan, pihaknya akan senang apabila warga memiliki inisiatif untuk berdialog. Dia menceritakan pihaknya sudah menindaklanjuti keinginan warga terkait jam malam di kampus timur. Meskipun, berdasarkan keterangan warga, dalam pelaksanaan di lapangan belum sesuai dengan kesepakatan. Pasalnya, satpam tidak berani menutup gerbang. Pada Rabu (22/1), Sahiron juga mengungkapkan, rektorat telah membentuk Tim Penerima Pengaduan Masyarakat yang diketuainya beberapa hari lalu. Tim tersebut bertugas, menerima pengaduan dan mencari masalah yang kerap dipersoalkan. Aduan bisa dilayangkan melalui surat resmi. Walapun begitu ia mengaku, selama menjadi WR II belum pernah menerima surat pengaduan dari masyarakat Ngentak, Sapen. PROGRAM UNTUK WARGA SEKITAR UIN Sunan Kalijaga dalam historisnya pernah melakukan pelatihan membatik ke masyarakat sekitar. Menurut Linawati, istri pak RW yang turut nimbrung saat wawancara, program tersebut dilaksanakan melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di bawah kepemimpinan Priyatna yang menjabat sebelum Al Makin. Melalui program itu warga diajari membatik jenis jumput. Linawati menunjukkan gaun hasil pelatihannya dari kampus yang kebetulan sedang ia kenakan. Sebuah daster berwarna biru. Shoft
skill yang diperoleh dari pelatihan pihak kampus, serta lembagalembaga pelatihan lainnya, menjadi kerja sampingan ibu-ibu di kompleksnya. Hasil olahan tersebut diikutsertakan dalam pameran. "Kemarin juga dibeli Sri Purnomo satu. Istri bupatinya Sleman," ungkapnya. Selain batik, Linawati dan ibu rumah tangga lainnya juga memproduksi aksesoris rumah tangga dari bahan bekas. Dia menunjukkan kotak berwarna kuning emas yang terbuat dari koran bekas yang dibentuk menyerupai cincin yang kemudian dirangkai dengan motif berlubang. Tempat tersebut biasanya dijadikan wadah menaruh koran. Pelatihan dari kampus sendiri hanya berlangsung dua hari dan tidak ada program lanjutan sampai sekarang. "Ya, cuma pelatihan saat itu memang," celetuk Untung. Meskipun begitu, Linawati mengatakan, bedasarkan informasi dari salah satu pihak LPPM yang ia lupa namanya, warga bisa mendapatkan program pemberdayaan dengan cara mengajukan proposal terlebih dahulu. Kemudian kampus akan menjadi fasilitator. Saat ini warga belum bisa memproduksi secara rutin. Penyebabnya, selain warga yang masih menjadikan aktifitas tersebut sebagai kerjaan sampingan, kurangnya pemahaman tentang pemasaran juga menjadi kendala yang dihadapi. Untung mengungkapkan, mereka kerap bingung akan menjual hasil produksi tersebut ke mana. Dia berharap, kampus bisa memberikan pelatihan tentang pemasaran pada warga. "Masyarakat tahu. Tapi kita membuang (menjual) kemana, kan repotnya di situ," jelas Untung. Selain pemberdayaan, Untung juga pernah mengusulkan pada pertemuan beberapa tahun lalu di rektorat lama, meminta kampus memberi ruang untuk warga berjualan. Di lain waktu, perbincangan ARENA dengan
Yudhi, salah satu warga yang kerap menjajakkan nasi bungkus dan kue basah keliling kampus mengungkapkan, bahwa mereka mengaharapkan ruang tersebut dengan proses perizinan yang tidak menyulitkan. Namun lagi-lagi tidak ada tanggapan dari pihak kampus. BUKAN PRIORITAS Kepala LPPM Al Makin mengaku jika tahun 2017 pihaknya tidak menganggarkan program untuk masyarakat sekitar. Terakhir LPPM melaksanakan program dialog dengan masyarakat pada tahun 2015. Teknisnya, ketua RT dan RW mengumpulkan pemilik kos. Kemudian mereka menyampaikan keluhan tentang mahasiswa yang ngekos di tempatnya. Setelah itu, pihaknya mengundang perwakilan mahasiswa untuk melakukan evaluasi. Hal itu guna menghindari gesekan antar mahasiswa sebagai penghuni kos dengan masyarakat sekitar. Al Makin menjelaskan anggaran serta kerja unit LPPM untuk tahun 2017 di wilayah pengabdian, tersedot ke perbatasan Indonesia. Seperti daerah Atambua yang berbatasan dengan Timor Leste, Gorontalo, dan Papua. Bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Bersama Migrant Care ia juga menggarap isu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan bentuk program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Meskipun LPPM memiliki wewenang untuk memetakan wilayah pengabdian masyarakat, Al Makin mengungkapkan hal itu tetap berdasarkan pilot project. Pemilihan lokasi pengabdian cenderung tidak dilaksanakan di wilayah yang sudah pernah tersentuh. Di sisi lain, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, LazisNU, dan LazisMu sebagai lembaga yang sering bekerjasama menginstruksikan, agar LPPM melakukan pengabdian mengacu pada 3T, yaitu terjauh, terpencil, dan
tertinggal. "Dan sekarang road map pengabdian seluruh universitas itu mengejar itu," ungkapnya saat ditemui di ruang kerja, Jumat (12/1). Al Makin menampik hal itu sebagai bentuk pemerataan jangkauan program kerja. Sebab, di daerah-daerah tersebut memang memiliki banyak persoalan. Seperti bencana kelaparan, pendidikan, dan lainnya. "Indonesia mau pecah itu letaknya di sana," ujarnya. Dia juga menyangkal bahwa masyarakat bisa menerima program pemberdayaan dengan cara mengajukan proposal. Menurutnya, itu wilayah Kementerian Sosial. Sementara anggaran universitas harus dan hanya digunakan untuk operasional pendidikan. Bahkan, program dialog serta pengabdian lainnya pun orientasinya untuk mahasiswa. "Untuk masyarakat ditangkap kita oleh negara. Nggak boleh itu," tegas Al Makin. Namun ia juga tidak memungkiri jika LPPM hendak melakukan pengabdian di sekitar kampus. Syaratnya harus direncanakan dulu tahun ini dan baru bisa dilaksanakan tahun depan. Sementara untuk penelitian di wilayah sekitar kampus sangat sulit. Sebab, untuk tahun ini saja penelitian dengan kategori Sosial Humaniora, yakni selain Saintek, harus dilakukan di luar Jawa, bahkan luar negeri. Begitu pun tahun depan, LPPM berencana fokus meneliti mozaik Islam nusantara yang bertautan dengan budaya non Jawa. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan tentang Jawa sudah begitu banyak. Di sisi lain, menurutnya, orientasi dari program penelitian bukanlah untuk masyarakat. Melainkan untuk ilmu pengetahuan. Berbeda dengan Al Makin, Sahiron beranggapan mungkin program LPPM untuk masyarakat belum dirasakan maksimal. Dia menyatakan pada 2018 program tersebut akan dimaksimalkan. "Sehingga bisa lebih bermanfaat bukan hanya bagi mahasiswa tetapi masyarakat sekitar," jelas doktor hermeneutika tersebut.[]
lpmarena.com- 09 -
MEREKA DEKAT TAPI BERSEKAT
Hidup berdampingan tak menjadikan hubungan selalu harmonis. Mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus contohnya. Keduanya seperti ada jarak untuk berkomunikasi. Oleh: Ilham Habibi dan Hedi Muzaeni/LPM ARENA
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga melakukan komunikasi dengan penjual warung makan di Sapen, Rabu (7/2).
B
EBERAPA DAERAH di sekitar kampus UIN Sunan Kalijaga, banyak dipilih menjadi tempat singgah mahasiswa kala ia menimba ilmu di kampus tersebut. Tinggal di tengah-tengah masyarakat, mestinya mampu memberikan peran aktif dalam berkegiatan di lingkungan sekitarnya. Bukan malah sebaliknya, cenderung individualis dan abai. Hal itu diungkapkan Kusnanto salah seorang warga Sapen saat ditemui ARENA, Jumat (5/1). Ia mengatakan, mahasiswa sekarang ini lebih banyak berdiam diri di kosnya masing-masing, tidak
- 10 -SLiLiT ARENA MARET 2018
jarang ketika ada himbauan bersihbersih lingkungan di akhir pekan, mereka enggan untuk hadir. Kusnanto merasa mahasiswa sekarang cenderung tertutup, mereka seperti mempunyai kesibukan yang sangat padat. Sampai tidak ada waktu lagi untuk sekedar bercengkerama dengan warga di sekitarnya. Ia menyayangkan kondisi yang kurang mau bergaul tersebut. Menurutnya apa yang dilakukan mahasiswa dalam kesehariannya adalah cerminan dari diri mahasiswa itu sendiri. “Kalau masih di sini saja tidak mau banyak bergaul, nanti
pas pulang dan terjun ke masyarakat di daerahnya nggak bisa ngomong,� kata Kusnanto. Keadaan itu diperparah dengan tidak adanya ruang masyarakat yang disediakan kampus. Hal itu menurutnya menjadi salah satu faktor hilangnya kedekatan mahasiswa dan warga di sekitar kampus. Meskipun begitu, di lingkungannya setiap dua minggu sekali diadakan bersih-bersih komplek. Namun sayangnya sedikit mahasiswa yang ikut serta dalam kegiatan tersebut. Padahal hal-hal kecil seperti itu justru bisa
dijadikan ruang untuk saling berinteraksi. “Kan seneng tuh kalau habis bersih-bersih bisa ngobrol sambil rokokan plus ngopi,” tambah Kusnanto. Wahidin ketua RT 04 RW 01 Ngentak Sapen saat ditemui ARENA di kediamannya, Rabu (3/1), menyampaikan bahwa sebagai ketua RT, ia tidak membebankan mahasiswa atas partisipasi mereka kepada warga sekitar, dan tidak mau disalahkan ketika membebankan mahasiswa untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat. “Mereka di sini itu disuruh kuliah sama orang tuanya. “Kalau saya suruh macam-macam nanti saya yang disalahkan,” terang Wahidin. Namun begitu ia tetap berupaya untuk melibatkan mahasiswa dalam kegiatan di lingkungannya. Meski hanya segelintir mahasiswa yang ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan tersbeut. “Kalau ada kegiatan macam pengajian kita undang untuk hadir,” tutur Wahidin Selain kurangnya keaktifan mahasiswa, ia mengeluh masih banyaknya mahasiswa yang tidak memenuhi formulir administrasi yang sudah dibagikan. Ia menjelaskan, kelengkapan administrasi penting untuk pemenuhan bukti domisili. Mahasiswa yang tidak mengisi formulir administrasi, menurutnya akan dianggap sebagai penghuni ilegal, dan konsekuensinya surat keterangan domisili tidak bisa diberikan, “Formulir itu kan buat bukti, kalau ada masalah apa-apa kan kita bisa ngurusin,” ujar Wahidin. Muhamad Hakim, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin membenarkan, perihal kurangnya partisipasi mahasiswa dalam kegiatan warga sekitar di tempat tinggalnya. Hakim mengaku selama lima bulanan tinggal di kos, ia belum pernah sekalipun mengikuti kegiatan yang diadakan oleh warga. Baik kerja bakti, maupun kegiatan lainnya. Meski ia pernah mendapatkan undangan untuk menghadiri pengajian di lingkungan sekitar kos. Namun karena tidak ada mahasiswa yang hadir, membuatnya enggan berpartisipasi pada acara tersebut. “Lihat temen nggak pada berangkat jadi ya mau berangkat sendiri males,” ujar Hakim, Kamis (4/1).
Menanggapi formulir administrasi yang banyak tidak diisi, Muhamad Raffiudin, mahasiswa Teknik Informatika Fakultas Sains dan Teknologi mengatakan bahwa ia mengetahui adanya peraturan tersebut. “Di peraturan kos itu tertulis, tapi belum tak isi sih, karena belum dimintain juga,” ujar mahasiswa yang sering dipanggil Raffi ini. Raffi menyadari selama ini ada kerenggangan antara mahasiswa dengan masyarakat sekitar. Menurutnya mahasiswa yang bertempat tinggal di kos susah untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Hal itu disebabkan, masyarakat maupun mahasiswa memiliki kesibukannya masing-masing. Ditambah lagi dengan tidak adanya inisiatif, untuk memperbaiki komunikasi. Sehingga interaksi keduanya tidak berjalan dengan baik. Ia menambahkan, kebanyakan mahasiswa yang bertempat tinggal di kos lebih memilih berdiam di dalam kosan dengan kesibukannya masing-masing. “Mungkin karena udah punya kamar sendiri-sendiri, keluar juga paling cari makan,” tambah Raffi. Menurut Heri Setiawan salah seorang warga Gowok menyampaikan mahasiswa sekarang sudah terlalu pusing dengan tugastugas sampai lupa ada kehidupan lain selain ruang kuliah dan kamar kosnya. Mahasiswa dirasa hanya berpindah tempat tidur tanpa mau mengetahui kehidupan di luarnya, keadaan mahasiswa yang cenderung tertutup. Padahal menurut Heri keaktifan mahasiswa dalam bermasyarakat merupakan bekal dan modal saat lulus nanti, karena mau tak mau mereka juga akan selalu bersinggungan dengan masyarakat umum. “Di kuliahan juga ada program kayak KKN, tapi kalau bergaul di lingkungannya sendiri masa nunggu ada KKN dulu,” tutur Heri, Jumat (5/1). Ia juga menambahkan acaraacara semacam pengajian dapat menjadi sarana melatih mahasiswa untuk berbagi ilmu yang diperoleh di ruang kuliah pada masyarakat sekitarnya. “Kan mahasiswa UIN bisa lah bagi-bagi ilmu agamanya sama ceramah sedikit,” tambah Heri Machasin guru besar UIN Suka ketika ditemui ARENA di
ruangannya pada Senin sore (8/1) memberikan kometarnya terkait renggangnya hubungan mahasiswa dan masyarakat sekitar. Selain sikap individualis dari kedua pihak, tidak adanya ruang menjadi faktor lain yang menyebabkan kerenggangan hubungan antara mahasiswa dan masyarakat di sekitarnya. Berkaca pada tahun 70-an, Machasin membandingkan bagaimana hubungan mahasiswa dan masyarakat saat itu. Ia menjelaskan mahasiswa dan masyarakat waktu itu memang tak sesibuk sekarang, ruang-ruang untuk mereka berinteraksi juga tak seformal sekarang. “Ruang untuk berinteraksi tahun-tahun itu masih banyak. Sekarang kalau tidak di masjid mau di mana lagi?” terangnya. Keengganan memulai interaksi, menurut Machasin juga menjadi faktor lainnya ketika menyoal bagaimana hubungan mahasiswa dan masyarakat saat ini. Menurutnya hal ini lah yang harus disadari oleh mahasiswa untuk memulai mendekatkan diri dan bergaul dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. “Memang mahasiswa tidak diwajibkan tentang itu, tapi mestinya dia berinisiatif, peduli dengan lingkungannya,” jelas Machasin. Kondisi hubungan mahasiswa dan masyarakat saat ini menurut Machasin akan sama-sama merugikan masing-masing pihak. Mahasiswa tidak tahu bagaimana dan apa yang terjadi pada masyarakat di sekitarnya. Bagi masyarakat hal ini bisa menghilangkan potensi-potensi mahasiswa yang ada di lingkungannya, yang mana hal itu akan bermanfaat bagi masyarakat sendiri. Machasin mengatakan kondisi hubungan yang kurang baik ini bukan hanya masalah yang harus ditanggapi oleh mahasiswa, tapi juga oleh masyarakat sekitar sendiri. Ia menambahkan kondisi seperti ini akan terus berlangsung jika tidak ada tanggapan serius dari mahasiswa maupun masyarakat. “Kalau mahasiswa dan masyarakat memandang kondisi ini bukan masalah ya akan begini terus,” tambahnya.[]
lpmarena.com- 11 -
POTRET PENDIDIKAN DAN EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR KAMPUS Kampus tidak terlepas dari Tridharma Perguruan Tinggi. Salah satunya pengabdian kepada masyarakat. Namun masyarakat di sekitar UIN Sunan Kalijaga justru hidup dalam angka pendidikan dan ekonomi yang masih minim.
Oleh: Muh. Abd Qoni Akmaludin dan Ajid Fuad Muzaky
S
UASANA KAMPUNG Ngentak, Sapen, Kelurahan Depok, Sleman pada sore lepas hujan, terlihat tidak banyak kendaraan yang hilir mudik. ARENA menyusuri ruas-ruas jalan kampung yang berada di belakang gedung Prof. H.M. Amin Abdullah, atau biasa dikenal dengan nama gedung Multi Purpose, Selasa (9/1). Sampai di sebuah rumah di belakang gedung tersebut, tepatnya di rumah Untung Wahyono (57), ketua RW 1 kampung Ngentak, Sapen. ARENA menunggu beberapa saat untuk menemui Untung. Selang sepuluh menit Untung turun dari tangga dan menemui ARENA. Dia menjelaskan tentang kondisi hubungan UIN dengan warganya. “Sekarang hubungan UIN dengan masyarakat tidak harmonis, tidak seperti dulu,” kata Untung. Menurutnya, kondisi itu terjadi karena rektor tidak pernah berkomunikasi dengan masyarakat. Bahkan ia mengaku tidak tahu nama rektor yang sekarang. “Pengabdiannya pada masyarakat kurang,” katanya. Ia menjelaskan sebagian besar warganya bermata pencaharian buruh bangunan. Walau ada beberapa yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut data jumlah warga Ngentak, Sapen, RW 1 ada 188 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar dalam 5 RT. Dengan rincian 80 KK dari RT 1, 32 KK dari RT 2, 28 KK dari RT 3, 30 KK dari RT 4, dan 18 KK dari RT 19. Untuk masalah pendidikan ia menjelaskan, sebagian besar warganya lulusan SMP. Meski ada juga yang lulusan SMA dan sarjana. “Di sini lebih dominan lulusan SMP,” katanya. Meski letaknya berdekatan dengan UIN Suka ia mengaku selama ini dalam hal pendidikan kampus tersebut kurang memberikan prioritas kepada
- 12 -SLiLiT ARENA MARET 2018
masyarakat sekitar. Seperti saat masyarakat mendaftar di UIN Suka, tidak ada kuota untuk itu. Dalam kenyataannya, ada juga beberapa warga yang kuliah, tapi tidak di UIN. Hal itu terjadi karena masyarakat merasa malas untuk mendaftar, karena kurang diperhatikan. “Malasnya tersebut, juga dikarenakan hubungan UIN dengan masyarakat tidak harmonis,” terangnya. Keberadaan UIN sebagai lembaga pendidikan di kawasan Sapen bukanlah satu-satunya, terdapat SD Muhammadiyah Sapen, Demangan, Gondokusuman tepat berada di barat Kampus UIN Suka. SD dengan mobil berjejer ketika jam berangkat sekolah dan jam pulang sekolah tersebut, keberadaannya memberikan perubahan pada kehidupan waraga. Untung mengakui, meskipun keberadaan SD Muhammadiyah Sapen cukup jauh dengan RW 1, tapi hubungan pihak sekolah dengan warga sangat baik. Pendidikan masyarakat di sekitar diprioritaskan dan ditanggung oleh kepala sekolah. Ia membandingkan dengan UIN, yang tidak mau tahu tentang pendidikan masyarakat sekitar. “Semuanya tergantung pemimpinya Mas, lha wong dulu aja baik-baik saja kok,” pungkas Untung. Kondisi di RW 1 Kelurahan Depok tersebut berkebalikan dengan kondisi di Keluran Demangan, Kota Yogyakarta yang secara letak berada di sebelah barat UIN Suka. Berdasarkan data warga, di kawasan RW 6, RW 7, dan RW 8, tingkat pendidikan mayoritas SLTA sebanyak 678 warga, dan yang paling sedikit adalah S3 dengan 15 warga, sementara S1 sebanyak 464 warga. “Banyaknya yang lulusan SD dari data tersebut itu, anak SD yang akan sekolah SMP, dan begitu dengan yang SMP ke SMA,” ujar Sanu Sarihusada selaku lurah
Demangan. EKONOMI WARGA Somo, seorang nenek tua warga RW 1, pencari barang bekas sering berkunjung ke UIN. Nenek tua ini, adalah seorang pengepul beragam barang bekas, seperti kardus, kertas, bekas botol minum, dan barang plastik lain yang tak terpakai. Sisasisa jajan mahasiswa tersebut, ia kumpulkan untuk menyambung hidup. hal itu sudah dilakukannya sejak kampus masih IAIN, hingga kini menjadi UIN. Saat kampus masih sempit, hingga menjadi luas. “Dulu pas zaman IAIN kampusnya cuma di timur ini,” ujarnya sambil menunjuk telunjuknya ke arah Kampus Timur, Sabtu (10/2). Berbeda dengan Somo, Heri Setiawan, warga RT 1, yang setiap hari berjualan angkringan menjelaskan kondisi ekonominya. Setiap hari ia menjajakan dagangannya di depan Kopma. Aktifitas itu sudah ia jalani sejak tahun 2009. Sudah sembilan tahun ia berjualan, tidak menjadikannya berkecukupan. Ia mengaku saat ini keuntungan yang didapat tiap harinya tidak menentu. Ia merasa, hasil yang didapat masih kurang untuk memenuhi kehidupan keluarganya sehari-hari. “Masih kurang Mas, apalagi sekarang anak sudah mulai sekolah, kebutuhan mulai bertambah. Apalagi sekarang harga-harga mahal,” ujar bapak dua anak ini, Rabu (10/1). Untung menambahkan bahwasannya masyarakat RW 1, sebagian besar mempunyai usaha kos-kosan. Dari usaha tersebut masyarakat mendapatkan penghasilan tambahan. “Sebagian masyarakat menyewakan kos-kosan untuk memenuhi hidupnya,” tuturnya.[]
Data warga RW 1, Ngentak, Sapen, Kelurahan Depok, Sleman
Data warga Sapen, Kelurahan Demangan
Kondisi ekonomi masyarakat Sapen, Demangan
Kondisi pendidikan masyarakat Sapen, Demangan
Sumber data: Statistik di Kelurahan Demangan
lpmarena.com- 13 -
JAJAK PENDAPAT ARENA MAHASISWA DAN MASYARAKAT
G
ELAR SEBAGAI MAHASISWA adalah keistimewaan tersendiri. Keistimewaan yang disandang mahasiswa tidak lain ialah agent of change, agent of control, agent of knowledge. Keistimewaan yang dimiliki ialah kaya akan pengetahuan. Mereka merupakan agen akademis yang selalu dibekali banyak wawasan, baik wawasan ilmiah maupun sosial. Alih-alih dengan banyak keistimewaannya, mahasiswa kerap tidak melibatkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa mestinya terlibat dalam perubahan di masyarakat. Berbicara seorang pemuda, kita memiliki sosok anak bangsa cerdas dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi, salah satunya adalah Drs. Moh. Hatta atau sering kita kenal dengan Bung Hatta. Ia merupakan pemuda intelektual. Tetapi tak hanya sebagai generasi yang diam dan menikmati pengetahuan untuk dirinya. Ia juga mengembangkan, mengaplikasikan, dan mengabdikan pengetahuan untuk memajukan masyarakat dan negaranya. Dari jajak pendapat yang dilakukan tim Pusat Data dan Analisa (Pusda) ARENA, pada 3 Januari sampai 3 Februari 2018, mengenai keterlibatan mahasiswa dalam masyarakat sebanyak 203 responden. Ditujukan untuk seluruh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang dipilih secara acak. Metode kuisioner menggunakan sistem daring dan teknik pengambilan sampel menggunakan kuota sampling. Sebanyak 69,5% menyatakan dirinya pernah terlibat kegiatan di masyarakat, sebanyak 30,5 % menyatakan belum pernah melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat. Keterlibatan mahasiswa di masyarakat beraneka ragam, di antaranya: sebanyak 8,5% dalam kegiatan kerja bakti, 19,8% dalam karang taruna, 4,7%
40,4% laki-laki JUMLAH JENIS KELAMIN
59,6% perempuan
dalam kegiatan takziah, 5,7 % dalam kegiatan pembelajaran TPA, 10,4% dalam kegiatan pengajian, sebanyak 18,9 % dalam kegiatan masjid/mushola, sebanyak 5,7% dalam kegiatan yasinan, sebanyak 2,8% dalam kegiatan ronda malam. NORMA MASYARAKAT Dalam kehidupan bermasyarakat diatur melalui norma. Norma adalah aturan yang mengondisikan perilaku seseorang di masyarakat. Apabila melanggar norma yang ada akan dikenai sanksi sosial, contoh: didiamkan tetangga dan sanksi terberat adalah dijauhi tetangga. Ketika ditanya terkait kepatuhan terhadap norma masyarakat, sebanyak 94,1 % menjawab harus mentaati norma yang berlaku di masyarakat. Mahasiswa harus bisa menyesuaikan diri dengan berbagai macam kehidupan baik di kampus dan masyarakat. Bermasyarakat harus juga mengenal satu dengan lainnya. Karena sesungguhnya manusia tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Hal ini diamini oleh para responden. Sebanyak 74,4 % menyatakan sepakat mahasiswa juga harus mengenal masyarakat di lingkugan tempat tinggalnya atau sering kita sebut tetangga. Sebanyak 25,6 % responden menyatakan dirinya tidak mengenal tetangganya. Dilihat dari intensitas komunikasi mahasiswa dengan masyarakat sekitar tempat tinggal, hasil jajak pendapat ARENA menemukan sebanyak 47,3% memilih opsi kadang, sebanyak 5,9% menjawab tidak pernah berkomunikasi, sebanyak 17,7% menjawab jarang berkomunikasi, 17,7 % menjawab sering berkomunikasi dan sebanyak 11,3% menjawab sangat sering berkomunikasi.[]
Alamat tempat tinggal saat ini (kos/kontrakan) berada di... Sapen 21% Papringan
6%
60% Luar kampus 11% Gowok 2%
Demangan
Apa yang mendorong Anda untuk tinggal di tempat tinggal Anda saat ini ? Akses bepergian mudah 30% Full fasilitas - 14 -SLiLiT ARENA MARET 2018
9%
40% Lainnya 21% Harga murah
Setujukah Anda, apabila kita berada di lingkungan yang baru harus mengikuti norma dan aturan yang berlaku di lingkungan tempat tinggal Anda?
1,0% setuju dan tidak setuju 4,9% tidak setuju 94,1% setuju
Apakah anda mengenal tetangga?
Pernahkah Anda melibatkan diri dalam kegiatan warga di lingkungan tempat tinggal Anda ?
74,4% iya 25,6% tidak Saat ini saya tinggal di...
30,5% tidak pernah 69,5% pernah
Kos
48,8%
Sudah berapa lama Anda tinggal di kos/kontrakan/tempat yang anda tempati ?
Rumah sendiri
25,1%
<1 tahun
36,5%
Kontrakan
21,7%
>3 tahun
33,5%
Pesantren
1,0%
1-3 tahun
30%
Kegiatan apa yang pernah Anda ikuti? pemotongan kurban tidak ada kegiatan masjid/mushola Yasinan pengajian pembelajaran TPA
5,7% 2,8% 13,2% 5,7% 10,4% 5,7%
0,9% 19,8% 1,9% 2,8% 4,7% 8,5%
Shalat Id Karang Taruna belum pernah ronda malam ta'ziah kerja bakti
Seberapa sering Anda berkomunikasi dengan tetangga/warga sekitar di lingkungan tempat tinggal Anda ? Sangat sering
11,3%
sering
17,7%
Jarang
17,7%
Kadang
47,3%
Tidak pernah
5,9%
lpmarena.com- 15 -
PEMBERDAYAAN PERPUSTAKAAN DARI BOPTN KURANG Pengalokasian BOPTN di perpustakaan masih dirasa kurang. Akibatnya koleksi bacaan belum bisa memenuhi kebutuhan mahasiswa. Oleh: Nia Kurniati A. dan Fikriyatul Islami M. Muzaeni/LPM ARENA
Mahasiswa mencari referensi buku bacaan di perpustakaan pusat UIN Sunan Kalijaga, Rabu (8/3)
B
ANTUAN OPERASIONAL Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) merupakan salah satu sumber pendanaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diberikan pemerintah. Dana ini diberikan untuk membiayai kebutuhan biaya operasional. BOPTN telah tercantum pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi Nomor 6 tahun 2016. Bagi kampus, BOPTN bisa membantu menutupi kekurangan biaya operasional, mendukung peningkatan mutu layanan, memperlancar proses pembelajaran, dan meningkatkan anggaran penelitian di Perguruan Tinggi. Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan UIN Sunan Kalijaga (Suka) Sahiron menjelaskan, dana BOPTN dialokasikan ke berbagai sektor dalam rangka menumbuhkan kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Misalnya praktikum mahasiswa, penjaminan mutu akademik, kegiatan mahasiswa yang bermacam-macam mulai dari Dewan Mahasiswa (Dema), Senat
- 16 -SLiLiT ARENA MARET 2018
Mahasiswa (Sema), baik tingkat universitas maupun fakultas. Selain itu, dana tersebut juga digunakan untuk membayar dosen tetap nonPNS, dosen luar biasa, membiayai pengadaan Ma'had Jami'ah (asrama mahasiswa). Bahkan kerjasama pengembangan kelembagaan dengan perguruan tinggi lain di dalam maupun di luar negeri. Menurut laporan penggunaan dana BOPTN tahun 2017, UIN Suka mendapat kucuran dana sejumlah Rp 30.334.447.000. Anggaran tersebut dialokasikan ke berbagai sektor. Sektor yang mendapatkan prioritas tinggi yakni pada Pelaksaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang mendapatkan anggaran sebanyak 35% atau senilai Rp 10.624.406.000, dengan pembagian 11% pengabdian masyarakat, 85% lembaga penelitian, dan 4% dialokasikan untuk difabel. Sedangkan sektor yang mendapat nominal terendah yakni pada pengalokasian bahan pustaka, biaya pemeliharaan inventaris, honor dosen, pengadaan dosen tamu, sarana dan prasarana ringan, yang masing-masing mendapatkan 2% atau sejumlah Rp 607.109.000 dari total dana
BOPTN. Pengalokasian di sektor lain yakni pada penambahan bahan praktikum 4%, penjaminan mutu 8%, pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan 12%, pembagian layanan dana dan jasa 7%, pelaksaan kegiatan penunjang 10%, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan pembelajaran 7%. Kegiatan lain yang merupakan prioritas dalam Rencana Strategis Perguruan Tinggi mendapat anggaran 7%. Menurut Sahiron, pembagian tersebut berdasarkan keputusan pemerintah pusat. Ia berharap dengan adanya kucuran dana itu, mahasiswa mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu serta sarana dan prasarana yang memadai tanpa harus membayar nominal uang cukup besar.
PERPUSTAKAAN MASIH DIRASA RENDAH Menanggapi rendahnya pengalokasian BOPTN untuk bahan pustaka ia menjelaskan sektor tersebut juga ditambahkan dari sumber pendanaan BLU menjadi Rp
1,2 miliar. Ia berharap mahasiswa mau meluangkan waktu untuk mengakses layanan pustaka. Menurutnya kampus mengalokasikan anggaran jurnal tidak sedikit. Biaya yang dikeluarkan yakni mencapai Rp 600 juta sampai Rp 700 juta. "Ini belum, jika ada pemesanan buku baru, pihak perpustakaan yang akan ke sini mengusulkan mengenai judul dan jumlah," ujarnya di Kantor Rektorat lantai dua UIN Sunan Kalijaga, Sabtu (10/2). Keberadaan perpustakaan memang dianggap penting untuk menunjang pembelajaran. Hal ini seperti diungkapkan Niki Amelina, Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam. "Perpus itu pusat informasi untuk literatur dan bacaan, apalagi banyak mahasiswa yang senang mengerjakan tugas di sana," ujar mahasiswa semester VI ini, Minggu (4/2). Namun ia menyayangkan masih kurangnya koleksi buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga masih belum memenuhi kebutuhan mahasiswa. "Buku tentang sejarah tidak banyak tersedia di perpustakaan, buku literatur mengenai metode penelitian juga tidak ada, khususnya sejarah, karena saya mahasiswa jurusan sejarah," ungkap Niki yang kerap pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi dari tugas-tugas kuliah. Ia juga kerap kesulitan dalam mencocokan data dari mesin pencari koleksi OPAC, dengan data di rak buku. â&#x20AC;&#x153;Data yang ada di OPAC dengan yang ada di rak tidak sesuai alias kurang," kata Niki. Hal senada juga disampaikan Zakiyul Umam, mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara, menurutnya keberadaan perpustakaan dengan beragam bacaan sangat penting untuk menambah referensi bagi mahasiswa. Semakin banyak referensi maka wawasan mahasiswa pun akan bertambah. â&#x20AC;&#x153;Tidak hanya dalam satu buku saja yang dijadikan referensi,â&#x20AC;? katanya. Ia mengaku jarang ke perpustakaan karena sering mendengar keluhan mahasiswa lain mengenai koleksi perpustakaan yang kurang lengkap. Ia lebih sering berselancar di internet untuk mencari referensi karena lebih mudah ketimbang di perpustakaan. "Browsing di internet lebih
lengkap," ujar mahasiswa semester VIII ini, Senin (5/2). Bahkan E-book yang disediakan kampus menurutnya tidak lengkap. Referensi skripsi buku elektronik yang sering muncul hanya latar belakangnya saja. Salah satu mahasiswa prodi Manajemen Dakwah, Jamaluddin mengungkapkan, bahwa buku yang ada di perpustakaan kurang diperbaharui. Bahkan untuk menunjang mata kuliah mahasiswa saja sangatlah kurang. "Seperti minimnya referensi mengenai multikultural, manajemen, dan akutansi," kata Jamal. Selain itu, buku metodologi penelitian yang menurutnya dibutuhkan oleh hampir seluruh mahasiswa juga jumlahnya sangat tidak mencukupi. Ia mengaku sering kehabisan stok buku yang akan dipinjam untuk referensi perkuliahan. Jika begitu, ia terpaksa harus memfotokopi di tandon yang jelas akan merogoh kocek. Hal itu diakui memberatkan mahasiswa dengan ekonomi menengah sepertinya. Jamaluddin meragukan mengenai adanya kabar yang menyatakan bahwa Perpustakaan UIN termasuk ke peringkat empat perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara. Hal tersebut sangat bertentangan dengan kenyataan fasilitas perpustakaan yang masih sangat minim. Padahal seharusnya perpustakaan bisa memenuhi kebutuhan mahasiswa secara utuh, karena termasuk ke dalam fasilitas kampus. Saat dikonfirmasi, pihak perpustakaan mengatakan tidak tahu-menahu mengenai jatah 2% dari BOPTN untuk bahan pustaka. Ida Nor'aini Hadna, koordinator Bidang Teknis Perpustakaan menjelaskan, anggaran perpustakaan yang digunakan untuk pengadaan buku eletronik tahun 2017 mencapai Rp. 1 miliar, sementara buku cetak hanya sebanyak Rp 170 juta yang menghasilkan 625 judul buku. Jumlah tersebut memang dirasa minim bagi pihak perpustakaan, mengingat kebutuhan mahasiswa mengenai referensi dari hari ke hari semakin kompleks. Selain jatah pembelian buku baru sangat tidak mencukupi, pihak perpustakaan juga mengaku berada diambang
kebingungan terutama ketika mengahadapi keluhan mahasiswa mengenai kurangnya kelengkapan dan jumlah referensi bacaan. Ia menjelaskan pembelian buku untuk penambahan koleksi bacaan perpustakaan hanya dilakukan satu tahun sekali. Penambahan itu juga disesuaikan dengan anggaran yang dimiliki. Biasanya pembeliaan dilaksanakan pada akhir tahun saat anggaran mulai dikucurkan. Mekanisme pembelian bacaan, biasanya menggunakan sistem lelang. Namun akhir tahun ini tidak menggunakan sistem tersebut karena anggaran untuk penambahan bahan bacaan cetak di perpustakaan tidak mencapai Rp 200 juta. Jatah satu judul buku adalah tiga eksemplar bahkan untuk bukubuku asing hanya satu eksemplar. Selain itu, jika ingin memperbaharui buku lama, otomatis akan mengurangi jatah anggaran untuk pengadaan judul buku baru. "Kita memang masalah anggaran tidak bisa apa-apa. Kita lebih mengarah ke elektronik dan mengarahkan mahasiswa kepada e-book yang free," tutur Ida, Sabtu (24/2). Namun ia juga mengakui masih banyaknya mahasiswa yang tidak mengetahui bacaan e-book dan ejurnal. Untuk mengenalkan bahan bacaan terbaru dan termasuk mengenalkan e-journal dan e-book, pihak perpustakaan mengadakan sosialisasi ke fakultas-fakultas. Kegiatan itu bertujuan agar mahasiswa lebih maksimal dalam memanfaatkan bahan bacaan yang ada. Menurutnya saat ini keberadaan e-book justru lebih banyak digunakan oleh mahasiswa pascasarjana karena kebutuhan referensi yang lebih tinggi di kalangan mereka. Dalam pandangan ke depan, pihak perpustakaan ingin mengadakan kelas khusus untuk mahasiswa semester akhir berupa kelas literasi informasi perpustakaan. Sejenis user education tetapi lebih menekankan kepada informasi terkait penggunaan e-book dan e-jurnal. Menurut Ida, banyak mahasiswa yang belum memahami sistematika perpustakaan dan mereka tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Hal ini dirasa cukup penting untuk menunjang mahasiswa dalam penggarapan skripsi.[]
lpmarena.com- 17 -
BELUM SERIUS MENGELOLA PERPUSTAKAAN FAKULTAS “Jadi jelas secara definitif, tidak memenuhi syarat perpustakaan, baik manajemennya maupun pengelolaannya,“ tegas Munasir, pustakawan Fakultas Dakwah saat ditemui ARENA, Jumat (5/1). Oleh: Ilham Rusdi Muzaeni/LPM ARENA
Mahasiswa mengnjungi layanan perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Rabu (1/3).
M
ENURUT MUNASIR sejauh ini pengembangan perpustakaan di fakultas belum maksimal. Khususnya di Fakultas Dakwah yang teknis pengelolaannya masih dianggap tidak sesuai dengan syarat dan manajemen standar perpustakaan. Tak hanya itu, sumber daya manusia (SDM) yang mengelola juga masih kurang. Hal ini karena pustakawan yang ditugaskan tidak sesuai dengan tuntutan profesinya. Salah satunya Munasir sendiri, ia mengaku penempatan dirinya tidak sesuai dengan keahlian yang ia miliki. Mestinya fakultas menggaet pustakawan yang professional. “Karena profesi saya tidak cocok,” lanjut mantan staf akademik Fakultas Tarbiyah itu.
- 18 -SLiLiT ARENA MARET 2018
Kendala kualitas SDM pustakawan memberikan pengaruh yang signifikan. Pasalnya kapasitas SDM menjadi penentu baik atau tidaknya kinerja manajemen dan pengeloalaan sebuah perpustakaan. Hal itu diakui Rahmanto, Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubag TU) Fakultas Dakwah, bahwa kendala pengembangan di perpustakaan fakultasnya adalah kurangnya SDM pustakawan. “Seringkali kurangnya SDM tersebut berdampak pada pelayanan kepada mahasiswa kurang maksimal, juga kurang menata buku,” tegas Rahmanto, Selasa (30/1). Menurut Abdul Haris Mahmudi, Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) Fakultas Dakwah dan Komunikasi, selama ini fakultas
hanya bisa memanfaatkan tenagatenaga pengelola yang bisa diajak kerjasama. Ia menjelaskan penempatan posisi tenaga kependidikan (Tendik) mestinya diisi oleh orang yang memiliki pelayanan maksimal dan sesuai latar belakang keilmuan. Namun, jumlah Tendik di fakultasnya masih sangat kurang, hanya sekitar 23 orang. Sehingga pihak fakultas terpaksa hanya menempatkan Munasir sebagai pustakawan meski bukan keahliannya. "Ia (Munasir) menjelang pensiun, kedua juga pendengarannya kurang. akhirnya mau diletakkan di mana gitu kan? Memang tidak idealislah," paparnya. Sebenarnya di Fakultas Dakwah sendiri memiliki Tendik yang lulusan ilmu perpustakaan. Namun
Haris menyayangkan jika Tendik tersebut hanya ditempatkan di perpustakaan. Sebab ia menganggap di perpustakaan yang dikerjakan hanya melayani atau menata buku. Sedangkan di fakultas, kebutuhan akan Tendik untuk mengurus administrasi seperti ijazah atau pendataan, sangat mendesak dan kekurangan tenaga. Tak hanya di perpustakaan Fakultas Dakwah, kendala serupa juga dirasakan oleh pustakwan di fakultas lain. Seperti halnya di perpustakaan Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek). Thoriq Tri Prabowo pustakawan Fakultas Saintek, mengaku selama ini perpustakaan fakultas hanya dikelola sendirian. Ia berharap ada penambahan SDM agar perpus menjadi lebih progresif. “Ke depan ditambah satu orang (pustakawan) atau beberapa lagi mungkin,” ujarnya. Mujiadi, Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) Fakultas Sains dan Teknologi, memaparkan mekanisme perekrutan pustakawan, bukanlah kewenangan dari pihak fakultas. Fakultas hanya berhak mengajukan kriteria atau klasifikasi pegawai yang dibutuhkan. Kemudian nantinya pihak rektorat bersama dengan Dekan dan Wakil Dekan fakultas yang bersangkutan akan menyeleseksi. Terkait pembekalan kapasitas pustakawan, ia menjelaskan bahwa setelah penyeleksian, pustakawan baru akan diberikan pelatihan untuk pertama kalinya sebelum masuk kerja. Mereka digiring untuk mengikuti beberapa agenda pelatihan di perpustakaan pusat. Selebihnya tidak ada lagi agenda kepustakaan yang dibentuk oleh pihak fakultas dalam meningkatkan kinerja dan SDM perpustakaan. Terkadang pustakawan hanya mengajukan diri mengikuti seminar kepustakawanan jika ingin mengembangkan keahlian mereka. "Pustakawan (terkhusus) kalo di Saintek, diinduksi ke perpustakaan pusat," papar Mujiadi. FUNGSI PERPUSTAKAAN DAN PENINGKATAN MINAT BACA Adanya perpustakaan fakultas lebih berfungsi pada penyimpanan koleksi karya ilmiah dosen dan mahasiswa. Seperti halnya penambahan skripsi, tesis, maupun disertasi dan juga
beberapa karya dosen yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Rahmanto menjelaskan bahwa memang yang diprioritaskan di perpustakaan, khususnya Fakultas Dakwah adalah karya tulis mahasiswa maupun dosen. Ia menilai adanya karya tulis tersebut penting sebagai referensi mahasiswa maupun dosen dalam menyelesaikan tugas akhir kampus. “Karena itu penting untuk mahasiswa yang menyusun skripsi, dan minimal dosen punya karya di situ (perpustakaan fakultas),” paparnya. Namun fungsi demikian, justru membuat perpustakaan fakultas kurang diminati oleh sebagian mahasiswa. Sebab koleksi bukubuku yang tersedia masih sangat minim dan masih kurang relevan dengan konsumsi pengetahuan mahasiswa di masing-masing fakultas.
“Di jurusan juga itu ada kewajiban penambahan buku, tapi juga dimonopoli oleh masing-masing prodi,”
Seperti yang dikatakan Ammi Kasmi, mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Islam ini, merasa kurang puas dengan koleksi buku yang ada saat berkunjung ke perpustakaan fakultas. Hal itu kerap membuat Ammi kurang antusias lagi untuk mengunjunginya. “Di perpustakaan dakwah itu belum lengkap bukunya, terus kebanyakan isinya adalah skripsi,” ujarnya. Begitu pun yang dialami oleh Siti Yulianti, saat berkunjung ke perpustakaan Saintek. “Kalo koleksi bukunya itu tidak memuaskan karena masih kurang,” tutur mahasiswa jurusan Pendidikan Fisika. Di satu sisi, ketertarikan Ammi dan Yuli sebagai pengunjung perpustakaan fakultas hanya sebatas karena jaraknya yang lebih dekat dibanding perpustakaan universitas. Mereka merasa belum menemukan
ketertarikan khusus yang menumbuhkan minat mahasiswa berkunjung ke perpustakan selain karena persoalan jarak. “Mungkin karena hanya lebih dekat dari fakultas dan lebih gampang dijangkau oleh mahasiswa,” ujar Ammi. Memang di perpustakaan fakultas tidak hanya diisi oleh karya tulis mahasiswa dan dosen. Ada juga beberapa judul buku yang menjadi koleksi bacaan. Baik di Fakultas Saintek maupun Dakwah, buku tersebut berasal dari hibah atau sumbangan buku dari mahasiswa sebagai syarat bebas pustaka. Sebelum diwisuda, mahasiswa hanya diberikan syarat untuk menyumbang satu buku yang telah direkomendasikan oleh pengelola perpustakaan. Spesifikasi buku yang ditawarkan adalah buku yang relevan dan kriterianya telah diajukan ke pihak birokrasi fakultas. Rahmanto menegaskan, tak ada transaksi jual beli buku yang disalurkan ke perpustakaan fakultas. “Ya, setahu saya, karena saya baru di sini (sebagai Kasubag TU), ya gak ada penganggaran dana, tapi sumbangan buku,” katanya. Namun, menurut Munasir, tidak semua buku itu terkumpul di perpustakaan fakultas. Di Fakultas Dakwa khusunya, buku-buku itu justru disimpan oleh jurusan melalui laboratorium yang mereka miliki. “Di jurusan juga itu ada kewajiban penambahan buku, tapi juga dimonopoli oleh masing-masing prodi,” ujarnya. Namun ada juga fakultas yang menaruh buku di laboratorium jurusan karena tidak memiliki perpustakaan fakultas. Seperti halnya jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang memilih menyimpan buku di laboratorium atau ruang baca jurusan. Selain itu Munasir juga sedikit mempersoalkan koleksi buku yang ditampung di perpustakaan fakultas. Beberapa buku yang ada merupakan buku lawas yang jarang diminati mahasiswa karena sudah tak sesuai dengan kurikulum yang diterapkan. Ditambah lagi sebelumnya sempat terjadi tranformasi perubahan jurusan. “Karena perubahan kurikulum, buku yang lama (dulu) harusnya jadi pokok, sekarang sudah ndak berguna, tapi tetap untuk dosen,” lanjutnya.[]
lpmarena.com- 19 -
MAHASISWA ADALAH MASYARAKAT SEMU Oleh: Khaerul Muawan
H
UBUNGAN MAHASISWA dan masyarakat sering kali mengalami persoalan. Sebagai bagian dari strutur sosial mahasiswa dan masyarakat mestinya bisa bahu-membahu dalam membangun kondisi sosial yang lebih maju. Namun kondisi ini urung sekali dapat terwujud. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai keberadaan mahasiswa dan masyarakat, ARENA melakukan wawancara bersama Sri Wahyuni (38) selaku Wakil Dekan III Fakultas Syariah. Tidak hanya sebagai akademisi, Sriwahyuni merupakan orang yang sekaligus memiliki usaha kos-kosan yang dihuni oleh mahasiswa. Sri Wahyuni memberikan kritik terhadap mahasiswa maupun masyarakat dalam hal mewujudkan hubungan yang lebih membangun. Ia juga menekankan adanya campur tangan kampus yang seharusnya bertindak lebih aktif dalam menangani persoalan-persoalan mahasiswa yang terjadi di masyarakat. Wawancara ini berlangsung di ruangannya, lantai 2 Fakultas Syariah dan Hukum, Senin (5/1). Bagaimana relasi mahasiswa dengan masyarakat sehari-hari? Menurut saya, mahasiswa adalah masyarakat semu. Ada, tapi lebih cenderung aktif dengan kediriannya sebagai mahasiswa. Sehingga lebih banyak waktu yang dihabiskan di kos, kampus, dan organisasi-organisasi yang digeluti dan tidak membaur dengan masyarakat. Hal itu yang menjadikan mahasiswa tidak membaur dengan masyarakat.
SRI WAHYUNI
Menurut Anda bagaimana pandangan masyarakat terhadap mahasiswa? Kalau hubungan di luar dari kontraktual biasanya masingmasing tidak peduli, malah elitis. Kecuali yang warung nasi, misalnya, dia berkepentingan untuk menjajakan sehingga banyak mahasiswa datang. Tapi itu kan hanya untuk menarik pelanggan. Kalau masyarakat pure, tidak. Di Sapen sendiri orang sudah individual. Paling kita ketemu di masjid atau di jalan dan tidak ada interaksi lebih jauh. Bagaimana mahasiswa bisa ikut berperan di masyarakat? Yang berperan di masyarakat hanya sejumlah kelompok kecil, seperti takmir, dan mahasiswa-mahasiswa yang turut andil apabila ada kegiatan besar di masyarakat. Pas kurban itu kerja bakti, masak-masaknya, atau bersih-bersihnya, makan bareng, terus pengajian. Nah, itu biasanya yang sering berinteraksi dengan masyarakat. Ada pun yang terstruktur itu malah jauh. Memang dengan masyarakat, tapi bukan masyarakat di sekitar kampus. Misalnya mahasiswa mengadakan kegiatan baksos atau punya desa binaan, itu lokasinya malah jauh dari kampus.
- 20 -SLiLiT ARENA MARET 2018
Menurut Anda apa penyebab kurangnya interaksi antara mahasiswa dengan masyarakat? Penyebab lain dari kurangnya interaksi antar mahasiswa dengan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat kota yang juga sudah cenderung individual. Tidak seperti masyarakat tradisional yang masih memegang solidaritas mekanik. Kita bingung juga. Simbolnya bermasyarakat itu seperti apa? Apakah bertamu ke rumahnya atau apa? Mahasiswa juga cenderung cuek. Saya sering menjumpai mahasiswa yang sangat tidak acuh. Eh, saya baru mau senyum, dia tiba-tiba mengalihkan pandangan, buang muka. Di era digital ini juga telah mempengaruhi masyarakat untuk cenderung individual. Di pengajian misalnya. Orang gini, 'kan? Mana dia ngobrol dengan orang di sampingnya. Belum tentu. Mahasiswa yang sebagai pendatang jauh lebih parah. Mereka berinteraksi dengan masyarakat hanya sekadar kontraktual. Bu, beli ini, ini. Mungkin nggak akan cerita. Hanya kepentingan kontraktual. Ibu kos juga misalnya, yang penting bayar, yang penting tinggal. Selaku ibu kos juga, saya sering menjumpai anak kosnya yang kurang berinteraksi. Mereka kalau sudah masuk kamar, ya sudah di kamar saja. Nggak pernah ada tanggungjawab.
â&#x20AC;&#x153;
Apakah sering terjadi konflik antar mahasiswa dengan masyarakat? UIN Suka telah memiliki Memorandum of Understanding (MoU). Suatu nota kesepahaman yang terjalin antar kampus dengan masyarakat. Nah, itu berarti sudah ada hubungan formal, yuridis, dengan masyakarat. Tinggal bagaimana menerapkan itu. Kadang terjadi konflik, tapi hal tersebut sangat jarang muncul di permukaan. Misalnya terjadi tindakan asusila di suatu kos. Hal itu wajar jika masyarakat langsung menindaklanjuti, karena itu terjadi di wilayah mereka. Tapi laporan tersebut kurang yang sampai di telinga pejabat-pejabat UIN. Harusnya kan dengan MoU ini kita bisa saling kontrol. Bagaimana masyarakat mengontrol mahasiswa-mahasiswa di sekitarnya. Begitu juga dengan pejabat-pejabat kampus. Seharusnya lebih sering berinteraksi dengan masyarkat. Nah, itu yang kurang maksimal. UIN Suka memiliki tim kode etik yang menangani persoalan-persoalan etika dan tata tertib mahasiswa. Tim kode etik ini kurang melakukan investigasi terhadap mahasiswa, sehingga apabila mahasiswa melakukan pelanggaran di wilayah masyarakat, pihak tim kode etik kurang mengetahui hal tersebut. Penegakan kode etik selama ini hanya dalam ranah menjemput bola. Dulu di zaman saya juga pernah ada remaja masjid. Kami aktif dan berbaur dengan masyarakat. Tapi kemudian dibubarkan karena masyarakat menganggap bahwa peran mereka telah didominasi oleh mahasiswa, padahal kita sudah berusaha. Misalnya di struktur organisasi, ketuanya mahasiswa dan wakilnya pemuda masyarakat sekitar. Nah, sekarang apa? Kalau untuk mengajar anak-anak TK atau TPA sudah tidak ada. Kalaupun ada, takmir misalnya, itu sekedar kontraktual.
Mahasiswa juga cenderung cuek. Saya sering menjumpai mahasiswa yang sangat tidak acuh. Eh, saya baru mau senyum, dia tiba-tiba mengalihkan pandangan, buang muka. Di era digital ini juga telah mempengaruhi masyarakat untuk cenderung individual.
Bagaimana solusi yang Anda tawarkan? Sering menjalin interaksi antar mahasiswa dengan masyarakat. Tidak hanya sekadar interaksi kontraktual. Pihak kampus juga seharusnya lebih mengoptimalkan perealisasian MoU dalam ranah kordinasi yang riil. Misalnya bikin baksos di sekitar kampus, kalau ada masalah biar lapor, sehingga terjalin komunikasi yang intensif.[]
lpmarena.com- 21 -
Warga Surau Tuo antusias mengikui bazar murah, yang diadaan Surau dalm rangka memperingati hari jadinyak-19.
MENGHORMATI DAN MEMBAUR DENGAN MASYARAKAT Oleh: Mar'atus Sholihah
M
INGGU MALAM (14/1), ARENA mengunjungi pendopo Lembaga Kajian Islam (LKiS) untuk menemui Ridwan Mundzir, generasi pertama sekaligus pendiri Surau Tuo Institute. Pria yang sering disapa Inyiak itu sedang mengisi diskusi mingguan LKiS membahas tentang filologi. Setelah satu jam menunggu, kami mulai berbincang. Obrolan diawali dengan cerita tentang awal mula bedirinya Surau Tuo Institute. Berawal dari tujuh kawan
- 22 -SLiLiT ARENA MARET 2018
berasal dari daerah Minang, terdiri dari Ridwan, M. Sukri, Nurus Solihin Jamra, Afrizal Andi, dan dua orang lainnya yang berkeinginan mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal bersama. Mereka mendapat rumah kontrakan tersebut di daerah Jl. Timoho No 52 Catur Tunggal, Depok Sleman pada tanggal 11 November 1999. Kemudian muncul inisiatif dari para penghuni kontrakan untuk memanfaatkan ruang tersebut. â&#x20AC;&#x153;Daripada cuman kontrakan biasa gimana kalo diisi dengan kegiatan yang
Muzaeni/LPM ARENA
lebih bermanfaat seperti diskusi?” kenang Ridwan. Akhirnya mulailah kegiatan diskusi itu dilaksanakan. Mengenai sejarah nama Surau sendiri, Ridwan menjelaskan bahwa dalam budaya Minang anak laki-laki yang sudah balig tidak tinggal di rumah, melainkan tinggal di surau. Tujuannya untuk belajar AlQuran, silat, agama, dan tradisi. “Kami namakan Surau untuk mengingat asal dan mengambil semangat dari surau sebagai tempat belajar,” tambah Ridwan. Sedangkan penambahan kata institute belakangan ini dikarenakan pengaruh dari lembaga-lembaga kekinian saja, seperti lembaga a, b, c, dan lain-lain. Sejak awal berdirinya, Surau Tuo tidak ada kepengurusan secara formal, baik ketua, wakil, sekretaris maupun bendahara. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan Surau Tuo dimusyawarahkan bersama seluruh anggotanya. Kegiatan utama anggota Surau Tuo yaitu diskusi yang diadakan seminggu dua kali. Harinya pun disesuaikan dengan jadwal para anggotanya. Diskusi yang pertama berisi teoritis, membahas berbagai macam disiplin keilmuan yang silabusnya telah disetujui oleh anggota. Diskusi teoritis yang pernah dilaksanakan di antaranya membahas tentang pengantar sosiologi, pengantar filsafat, pengantar metode penelitian, pengantar kritik ideologi, pengantar post kolonial dan lain sebagainya. Sedangkan untuk diskusi kedua membahas hal-hal yang aktual, semacam isu-isu kekinian, seputar Minang dan sosial politik yang berkembang di masyarakat. Perjalanan Surau Tuo selama ini mengalami pasang surut. Anggota yang datang silih berganti dan intensitas diskusinya naik turun. Memasuki tahun ke-19, Surau Tuo tak bisa lepas dari wacana ke-Minangkabauan. Seperti sejarah, tradisi, dan adat istiadat Minang kerap menjadi pembahasan. “Dan hampir selalu sudut pandang yang digunakan untuk menganalisis wacana tersebut adalah sudut pandang kritis,” papar Ridwan. HIDUP DENGAN WARGA Beberapa bulan yang lalu Surau Tuo genap berumur 19 tahun. Bazar murah untuk warga sekitar, serta penampilan berbagai kesenian khas Minang menjadi suguhan pada momen tersebut. Hal itu tidak lain untuk membangun hubungan harmonis dengan warga sekitar. Surau Tuo sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang dalam membangun keakraban bersama warga. Pada satu sampai tiga tahun pertama, tepatnya pada 1999 sampai 2002-an Surau masih sebatas kontrakan biasa pada umumnya. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan anggota Surau sudah mulai bisa membaur dengan masyarakat, ngobrol di warung, ngeteh, ikut ngobrol di pos ronda. Lambat laun keakraban itu kian terjalin. “Kita saling mengundang tokoh masyarakat untuk acara syukuran wisuda, syukuran nikah, atau saat syukuran
memperbarui kontrakan tahun ke tahun,” jelas Ridwan. Keakraban itu kian terjalin erat tatkala terjadi peristiwa gempa Jogja 2006. Sebagian besar warga Ngentak, Sapen, menjadi korban dalam bencana tersebut. Walapun bangunan Surau Tuo tidak roboh, tapi kebanyakan anggotanya ikut mengungsi, karena alasan iseng. Mereka bergumul menempati tempat pengungsian di lahan yang sekarang menjadi gelanggang futsal UIN Sunan Kalijaga. “Dulu, di situ lapangan jadi pos pengungsian warga Ngentak, Sapen, dan anak-anak ikut mendirikan tenda pengungsian di sana,” kenang Ridwan. Ridwan menjelaskan, sejauh ini Surau Tuo mampu membaur dengan masyarakat, artinya bisa menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berlaku di sekitarnya. Misalnya, di wilayah Ngentak, Sapen, yang masih tabu membawa pasangan lawan jenis ke dalam kamar atau menginapkannya. Sejauh yang ia tahu, hal itu masih dipegang kuat oleh anggota Surau Tuo. “Jadi ada doktrin yang dikembangkan, kalau mau pacaran di luar! Dan itu terbukti siapa saja yang sering bawa pacar main ke Surau malah termarjinalkan,” jelasnya. Hal itu tidak lain untuk menghormati nilai-nilai yang ada pada lingkungan Ngentak, Sapen. PERAN MAHASISWA Mengenai peran ideal mahasiswa, menurut Ridwan peran tersebut untuk sementara dan yang paling mungkin dilakukan saat ini ialah menghormati dan membaur dengan masyarakat. Menurutnya, tindakan itu sudah cukup ideal dan anggota Surau Tuo sudah berusaha untuk konsisten, “Karena itu yang paling mungkin, kalo mahasiswa mau nyumbang pengetahuannya dalam konteks lain, ilmu pengetahuan apa yang bakal disumbangin, yang konkrit dirasakan masyarakat selain ngajar anak TPA. Untuk selanjutnya seperti pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan bla bla bla, lah wong mahasiswa sendiri nggak berdaya gimana mau memberdayakan masyarakat,” jelasnya. Menurutnya mahasiswa sekarang tidak diberi kesempatan untuk memberdayakan dirinya kecuali untuk patuh pada disiplin yang diciptakan oleh kampus. Lewat berbagai macam tuntutan seperti lulus cepat, nilai tinggi, absensi dan lain sebagainya. “Boro-boro mikirin masyarakat, mikirin dirinya sendiri aja sudah stres mahasiswa. Jadi saya sebut idealnya mahasiswa, mampu saja menghormati masyarakat dan membaur itu sudah top. Mengingat kondisi pendidikan tinggi kita yang sekarang Masya Allah brengsek. Jadi lupakanlah jargonjargon gerakan yang itu omong kosong,” tandasnya. Ia berharap Surau Tuo Institute tidak hanya bermanfaat untuk mahasiswa penghuni Surau Tuo saja, tetapi juga bermanfaat untuk warga sekitar. Kedepannya Surau Tuo Institute berencana untuk membuat perpustakaan anak-anak. Hal itu merupakan hasil refleksi dari penghuni Surau Tuo. Di sisi lain ia mempertanyakan kemanfaatan dari keberadaan kampus UIN untuk masyarakat sekitar. Selain hanya menyediakan konsumen bagi warga yang berjualan dan menyediakan kos-kosan, tidak ada manfaat lebih dari itu. Mahasiswa UIN hanya menjadi pasar bagi warga yang memiliki usaha.”Sejauh yang saya tahu sejak 1998 tidak ada sumbangsih kampus terhadap warga sekitar, omong kosong. Jadi manfaatnya sebatas penyedia konsumen dan penyedia jasa saja,” tegasnya.[]
lpmarena.com- 23 -
MEMIJAK BUMI, MENJUNJUNG LANGIT, MENGHORMATI KEHIDUPAN Oleh: M. Abd. Rouf
D
I MANA BUMI DIPIJAK, di situlah langit dijunjung. Begitulah sekira bebunyian yang tidak asing di telinga. Kebanyakan orang mungkin hafal betul detail kalimat ini. Pelajaran sewaktu di sekolah dasar pasti memuatnya. Artinya yang tidak terlalu rumit untuk dipahami memudahkan kita mengingatnya di kepala juga pada laku. Yang jika dibahasakan secara paling sederhana adalah bagaimana kita harus bisa menyesuaikan diri dengan sekitar. Sangat mudah dicerna otak. Penyesuaian yang dimaksud lebih tertuju kepada penghormatan serta penghargaan terhadap karakter, sikap, dan perilaku yang telah melekat lama dalam peradaban manusia. Pribadi yang telah banyak terdekonstruksi didudukkan seapik mungkin dalam sebuah sistem besar bernama kehidupan. Penglihatan sejeli mungkin terhadap konteks yang terbatas ruang dan waktu diperlukan di sini. Di atas, saya lebih sepakat menggunakan kata “menghormati” dari pada kata “mentaati” dalam mendeskripsikan penyesuaian. Alasan pastinya saya sandarkan pada pemahaman akan dinamika yang terjalin dalam ruang dan waktu, antara diri dengan sekitar. Sangat tidak setuju jika bayi yang baru lahir tercap di jidatnya dengan label “harus patuh” pada zaman dan sampai mati tiada bisa kata merubah termunculkan dalam gerak. Atau perpindahan diri secara geografis tertuntut pasti mengikuti laku yang telah ada, yang terkadang laku tersebut juga terbentuk dari ilusi berbagai narasi terkutuk. Tentu diri mempunyai pilihan yang membebaskan baginya dengan tetap mengedepankan sikap humanis. Dalam pertemuan antara diri dengan lingkungan ada misi yang dibawa oleh keduanya. Misi ini bisa beragam, bisa juga tunggal. Menghadapkannya dalam sebuah ruang bersama, dibutuhkan dorongan semangat diskursus yang tidak menghardik salah satunya. Dibutuhkan kesepakatan-kesepakatan yang tidak mereduksi rasa kemanusiaan. Ruang yang menampung misi tadi pun harus bersih dari kepentingan yang memihak dan bersifat dinamis serta terbuka terhadap kritik. Penjelasan ini saya ambil dari penuturan konsep ruang publiknya Habermas. Menurut saya, memang pertemuan diri dengan sekitar ini tak ubahnya sebuah pertemuan dalam ruang publik itu sendiri. Berbagai kepentingan didudukkan dalam kesetaraan posisi juga kekuatan. Sebagai contoh, mahasiswa perantauan. Diharuskannya bertransmigrasi—meski dalam beberapa tahun—oleh iming-iming kebesaran nama institusi yang melabeli diri sebagai yang “lebih maju” membuatnya mesti meracik cara bagaimana menyesuaikan diri dengan sekitar. Entah itu di dalam kampus atau di masyarakat
- 24 -SLiLiT ARENA MARET 2018
tempat kasur bersemayam. Dalam kampus, tentu masih ingat betul sewaktu masa sosialisasi pembelajaran pada tahun ajaran baru, para dosen sangat antusias sekali dalam menyebutkan kata pedagogi. Tata kelakuan cara berpikir yang nantinya juga merembet dalam sikap juga tindakan, diproklamirkan di hadapan teman-teman berseragam hitam putih yang dipandang belum move on dari siswa. Mengkhotbahkan untuk merenungkan betul kata tersebut. Menuntut si mahasiswa untuk mencari artinya yang subtansial dalam setiap injakan kaki yang membekasi lantai universitas. Pedagogi mengajarkan bahwa tata hidup itu tidaklah absolut. Ia akan mengalami perubahan bentuk mengiringi perputaran waktu. Menandakan bahwa hal tersebut bisa diubah. Memakai celana sobek, berkaos oblong, bersandalkan jepit, tentu bukan suatu aturan paten. Bisa saja di abad yang mendatang nanti keformalan yang digaungkan berganti bentuk dari sepatu ke alas berlambang burung walet. Bisa saja—namanya juga masa depan. Belum terjadi. Jadi bisa diandaikan senyaman hati. Apalagi, kalau kritik tajam dengan tetap berlandas rasionalitas yang memanusiakan disodorkan serta dalam praktik diskursifnya mampu menghancurkan ilusi tentang pendisiplinan diri melalui cara berpakaian “yang semestinya”, tentu dunia akan berganti rupa. Akan tetapi ketika jam, hari, minggu, bulan, serta tahun terlampaui, arti kata tersebut memudar ketika diucapkan ulang dalam laku. Mungkin ini tata hidup yang telah lama terbangun di kampus. Membuih dalam konsep intelektualitas yang dipandang menduduki jabatan agung. Tapi, hanya dalam buih. Hilang diterpa angin waktu. Untuk yang di masyarakat, selayaknya perhatian lebih ditujukan pada sektor ini. Memindahkan kasur ke ruangan berukuran tidak lebih dari 3 x 3 meter bukanlah hanya persoalan mencari ruangan nyaman dengan suasana yang dapat menyenyakkan mimpi ditambah harga sepadan kantong. Kiranya pertemuan mahasiswa perantau dengan masyarakat sekitar tidaklah hanya sebatas pada persoalan yang ekonomistik semata. Si mahasiswa butuh tempat bermalam dan masyarakat menawarkan berbagai bentuk ruangan dengan spesifikasi harga bervariasi. Mahasiswa butuh makanan untuk memacu pikiran yang lesu tapi—katanya—tidak punya waktu memasak lalu masyarakat hadir membentangkan menu di sepanjang jalan, tinggal pilih mana suka, mana pas di dompet. Bukan hanya demikian pondasi utama peradaban. Ya apa ya tidak membosankan pikir kala hidup hanya berkalang satu gerak saja. Guyon bareng warga di angkringan dengan mengangkat satu kaki di atas kursi ditambah candaan renyah yang mengakrabkan
sambil membicarakan harga beras yang naik itu juga perlu lho. Ada berbagai macam laku manusia di dalamnya yang sepanjang umur mahasiswa—yang semakin diperpendek dan berganti rupa manusianya tiap tahun—sedikit banyak berubah kondisi. Si mahasiswa perantau bukanlah makhluk asing yang datang di waktu tahun ajaran baru serta pergi ketika tali toga berpindah dari kiri ke kanan. Secara tidak langsung mereka juga menjadi bagian dari masyarakat sekitar yang turut serta bermalam di pos ronda, kerja bakti bersama membersihkan selokan, juga memberikan saran yang membangun, dan bahkan memberikan argumentasi memanusiakan yang menandakan bahwa dia—mahasiswa—tidak harus mengikuti semuanya. Ini sebagai bentuk “menghormati” yang saya maksudkan. Kos atau kontrakan bukanlah ruang yang terpisah dengan tanah dan rumah di sebelahnya. Mereka terikat dalam satu kesatusan seperti satu RT, satu RW, satu padukuhan, satu desa, satu kecamatan, serta satu kesatuan lainnya. Ini baru dari segi geografis. Bagaimana kalau ada anggota masyarakat sekitar yang suka dengan band yang disukai oleh mahasiswa perantau. Atau bahkan ada dari keduanya yang suka makanan yang sama. Tidakkah kita hidup ini terkumpul dalam banyak kategori. Bukankah dengan begitu sebenarnya diri dengan sekitar ada keterikatan yang dalam perkembangan umur peradaban manusia semakin kompleks dan terpecah menjadi keterikatan kelompok yang lebih beragam bentuk. Kalau kata Amartya Sen, banyaknya keterikatan dalam diri manusia dengan sekitar sebenarnya tidak mereduksi sifat kebersamaan dalam multikuturalistik kehidupan. Satu orang bisa saja terikat dengan banyak bentuk kelompok. Hal yang perlu diperhatikan adalah kepentingan apa yang dibawa oleh si diri tadi. Kepentingan yang bersifat relatif dan tersesuaikan dengan konteks. Betul memang mahasiswa perantau hanya perlu tempat tinggal dan warung makan untuk bertahan hidup dalam beberapa tahun mendatang. Tapi sekali lagi, kehadirannya di tengah masyarakat juga menandakan hadirnya keterikatan-keterikatan baru yang mengikat dirinya. Setiap keterikatan atau setiap hubungan yang muncul antara diri dengan sekitar tidaklah mengekang pilihan dan kritik. Semuanya bisa berubah. Perlu penyikapan yang membumi. Seperti dengan “menghormati” yang dimaksudkan di atas. Dalam bukunya, Kekerasan dan Identitas, pada penutup Bab 2, ada kata menarik dari Sen. Hidup bukan semata-mata suratan takdir, begitu katanya. Kata itu juga sepertinya cocok untuk menutup tulisan ini. Sekian.[]
lpmarena.com- 25 -
SARJANA MESTINYA TURUN KE 'BAWAH' Oleh: Abd. Hakiki OLA PIKIR MASYARAKAT yang berkembang saat ini cenderung menuntut setiap sarjana harus menjadi seorang pekerja. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula tuntutan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dan seringnya pemikiran ini menjadi salah kaprah di mana pekerjaan yang dianggap paling baik adalah bekerja di sebuah kantor, entah itu kantor pemerintahan atau swasta. Yang jelas bekerja di kantor dengan memakai seragam atau baju necis dan berdasi. Pekerjaan sebagai petani tentu tidak layak bagi seorang sarjana. Sosok seorang tokoh bernama Irul dengan titel sarjana pertanian yang memilih bekerja sebagai petani. Ia menepis pemikiran masyarakat saat ini yang melulu berorientasi pada pekerjaan. Irul seperti mengingatkan kembali kepada idealisme kita bahwasannya tujuan sekolah atau pendidikan untuk mencari ilmu, yang diimplementasikan dalam kehidupan nyata, bukan mencari pekerjaan. Sebagaimana yang digambarkan dalam sinema Sarjana Kambing, berlatar belakang di daerah Indramayu. Sinema ini diperankan oleh Alfy Alfandy sebagai Irul, dan kedua sahabatnya yakni Rohman SBY sebagai Torang, Kukuh Prasetyo sebagai Kukuh. Irul adalah seorang pemuda yang cerdas dan mempunyai mimpi besar, yakni menjadi seorang petani. Bagi kebanyakan orang, pekerjaan sebagai petani merupakan profesi yang memalukan dan tidak mempunyai prospek yang baik ke depannya, termasuk menurut ayah Irul. Mimpi Irul menjadi seorang petani ditentang habishabisan oleh ayahnya. Bahkan ayahnya merasa sangat kecewa karena telah menjual sebagian besar sawahnya untuk menyekolahkan Irul yang ujung-ujungnya hanya ingin menjadi seorang petani. Bagi ayahnya kerja kantoran adalah pekerjaan yang terbaik, tak apa meski kerja di Kantor Urusan Agama (KUA) yang jelas-jelas bukan bidangnya. Asal kerja kantoran. Berangkat pagi-
P
- 26 -SLiLiT ARENA MARET 2018
pagi pakai seragam dan kalau sudah diangkat jadi PNS kan gajinya lumayan. Sejahtera. Sehingga ayahnya memaksa Irul untuk kerja di KUA, sampai-sampai ayahnya meminta bantuan kepada salah satu anggota di KUA untuk menerima Irul bekerja di sana. Namun Irul tetap saja menolaknya, karena tidak sesuai dengan ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi, adapun jurusannya pertanian, sedangkan KUA persoalan keagamaan, sangatlah berseberangan, otomatis di luar bidang Irul dalam persoalan keagamaan. Dalam keseharian selain bertani, ia juga berternak kambing bersama kawannya bernama Kukuh. Aktifitasnya tak lepas dari bahan tertawaan banyak orang, â&#x20AC;&#x153;sarjana kok jadi petani, sarjana kok angon kambing.â&#x20AC;? Cemoohan orang tesebut lama-lama menjadi julukan baru bagi Irul, yakni Sarjana Kambing. Namun, hal itu tak membuat Irul kecil hati, ia tetap bersikukuh ingin menjadi seorang petani. Ia berpikir bahwa dengan berprofesi sebagai petani, ia bisa mengaplikasikan ilmu yang telah diperolehnya selama di perguruan tinggi. Selain itu, ia juga punya harapan besar untuk menyejahterakan para petani. Hingga suatu hari datanglah Torang kawan lama saat di bangku kuliahnya dulu. Awalnya Torang megatakan bahwa maksud kedatangannya ke rumah Irul adalah dalam rangka urusan bisnis. Ia mengaku ingin mencari kayu jati terbaik sebagai bahan baku untuk membuat meubel yang akan diekspor ke luar negeri. Namun, keesokannya Torang mengaku bahwa kedatangannya tidak lain adalah untuk menenangkan diri pasca membuat usaha keluarganya rugi milyaran rupiah. Sehingga Torang meminta kepada Irul, untuk bersedia memberi tumpangan untuk beberapa waktu. Kedatangan Torang itu pada akhirnya memunculkan kembali ide brilian sekaligus gila dari Irul. Irul mengajak Torang dan Kukuh untuk melakukan bisnis dalam bidang pertanian (agribisnis). Melalui website Petarung.com Irul
Sutradara // Agus Elias || Penulis // M. Haris Suhud || Pemain // Alfi Alfandy, Kukuh Prasetyo, Rohman SBY, H.Nurul Qomar, Raslina Rasidin. || Stasiun TV // SCTV || Tayang // 27 Maret 2017 || Durasi // 1 Jam 14 Menit 50 Detik. ingin mempertemukan petani dengan pembeli secara langsung sebagai usaha untuk memutus mata rantai para tengkulak yang mempermainkan harga. Selain itu ia juga ingin mempertemukan petani dengan para ahli pertanian baik sarjana ataupun professor, agar dapat berkonsultasi secara langsung. Tujuan dari bisnis ini, tak lain adalah untuk membuat para petani sejahtera. Saat upaya itu mulai berkembang, Irul mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan besar di Jakarta yang tentu sangat membuat hati ayah Irul senang. Di satu sisi ia tetap ingin menjadi seorang petani, tapi di sisi yang lain ia tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, yang terlanjur bahagia karena panggilan kerja tersebut. Namun, pada akhirnya Irul tetap memutuskan untuk tidak bekerja dan melanjutkan perjuangannya membangun Petarung.com. Ayahnya saat itu sangat murka pada Irul. Namun sekali lagi, hal itu tak membuat tekad Irul gentar. Ia tetap berusaha mengembangkan Petarung.com, sampai lambat laun usahanya menjadi cukup besar dan diakui kemanfaatannya. Baik oleh masyarakat maupun pemeritah. Sampai pada akhirnya orang tua Irul pun ikut bangga pada anaknya. SARJANA SEBAGAI AGEN PERUBAHAN Ketika Irul tengah berdiskusi dengan kawannya, ia menjelaskan alasan mengapa ia memilih tetap hidup di kampung. Alasannya tidak lain untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari bangku perkuliahan. Hidup memang harus bermanfaat bagi orang lain. Ia menganggap jika hidup mencari karier sangatlah mudah, tapi itu bukan tujuannya. Justru ia merasa bermanfaat ketika tinggal di kampung bersama para petani. Tugas seorang petani tidaklah mudah, di mana prosesnya berawal dari tahap demi tahap. Dimulai dari mengolah tanah, menyemai benih, dan menunggu masa panen, proses tersebut membutuhkan waktu yang lama. Mereka harus taat pada hukum alam, karena sekali gagal, mereka harus memulai dari awal lagi. Ditambah lagi tidak adanya dana asuransi ketika gagal panen melanda. Saat musim panen mereka juga tidak punya kuasa menentukan harga. Mestinya petani mendapat perlindungan dan pemberdayaan dalam menyiasati segala tantangan. Sebab mereka merupakan urat nadi bagi sektor pangan. Terlalu banyak sarjana yang memikirkan keluarganya sendiri, bersikap apatis terhadap keadaan masyarakat sekitar. Di negeri ini membutuhkan sarjana petarung, bukan sarjana abal atau cemen, yang kerjaannya hanya mengandalkan ijazah semata. Mestinya lebih dari itu, sebab mereka merupakan agen perubahan, di mana mampu bertarung dengan kehidupan nyata yang melahirkan lapangan pekerjaan, bukan sibuk mencari lowongan pekerjaan. INTERNET DAN MARKET Sektor pertanian kita yang masih tradisional membutuhkan input sains dan teknologi. Karena dengan internet orang yang ada di pelosok timur bisa bertemu secara mudah dengan orang yang di pelosok barat. Tidak ada batasan daerah maupun negara yang menghalangi komunikasi mereka. Namun para petani atau pun
peternak yang ada di desa masih merasakan adanya batasan-batasan itu. Masih ada tembok pemisah antara mereka dan para pembeli. Di kota-kota harga komoditas sangat tinggi, tapi mengapa para petani, peternak, masih saja mendapatkan penghasilan yang sangat rendah. Salah satu permasalahannya ialah karena terlalu panjang rantai redistribusinya. Petani juga memiliki keterbatasan ilmu pengetahuan, nyatanya petani belum mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP), dan juga belum mempunyai konsistensi produksi. Maka dari itu kita harus membuat platform sebagai wadah untuk memberantas keterbatasan itu melalui teknologi. Hal itu untuk mempermudah mempertemukan langsung dengan para ahli pertanian, yakni mahasiswa, sarjana, maupun profesor, agar dapat berkonsultasi secara langsung. Selain itu petani mampu memasarkan produknya kepada tengkulak secara langsung, sebagai usaha untuk memutus mata rantai para tengkulak yang mempermainkan harga. IDEALISAME SEBAGAI SARJANA Adapun pola pikir masyarakat saat ini terkait sarjana masih dianggap sebagai tingkat pendidikan yang paling tinggi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula tuntutan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tentu menurut mereka, pekerjaan yang dianggap paling baik adalah bekerja kantoran. Pemikiran tersebut tentu tidak terlepas dari kondisi ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Dari segi ekonomi, di mana kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia masih cukup rendah. Sehingga mendorong mereka untuk berpikir bahwa mereka harus mempunyai pekerjaan yang lebih baik. Dengan harapan pendapatan yang lebih banyak lagi. Bagaimana cara mendapatkan pekerjaan yang lebih baik? Yaitu dengan pendidikan yang tinggi. Sehingga pola pikir â&#x20AC;&#x153;Sekolah untuk mencari pekerjaanâ&#x20AC;? sudah tertanam dengan sendirinya dalam benak mereka. Dari segi budaya sendiri kita tidak dapat memungkiri bahwa sejak zaman dulu pikiran mengenai orang yang dianggap â&#x20AC;&#x153;priayiâ&#x20AC;? atau terpandang di masyarakat adalah orang yang mempunyai kedudukan atau jabatan. Sehingga, setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi sosok terpandang dengan menduduki suatu jabatan tertentu. Sayangnya, petani bukanlah kedudukan yang dimaksud. Selain itu, sinema ini juga mengingatkan bahwa pendidikan sejatinya membutuhkan suatu implementasi dalam kehidupan nyata. Melalui sikap Irul yang lebih memilih untuk menggunakan pupuk kompos dibandingkan dengan pupuk kimia karena pupuk kompos lebih ramah lingkungan. Dan juga diingatkan bahwa tujuan dari pendidikan seseorang adalah untuk kemanfaatan banyak orang, bukan hanya untuk kemanfaatan dirinya sendiri. Dengan ilmu yang dimilikinya, Irul berusaha untuk membagikan pengetahuannya kepada para petani lain di desanya. Ia juga mencari cara untuk bisa lebih menyejahterakan para petani dengan memutus mata rantai para tengkulak yang banyak mempengaruhi harga. Titel sarjana merupakan sebagai formalitas semata, akan tetapi yang lebih penting adalah pengaplikasian ilmunya dalam kehidupan seharihari.[]
lpmarena.com- 27 -
MAHASISWA, SANG PENCERAH MASYARAKAT
S
EORANG DOSEN BERTANYA kepada mahasiswa pada mata kuliah Pengantar Pengembangan Masyarakat di salah satu jurusan UIN Sunana Kalijaga. “Apa tugas seorang mahasiswa?” tanya dosen tersebut. Beberapa pendapat disampaikan oleh mahasiswa yang ada di dalam kelas. “Agent of Change” ucap salah seorang mahasiswa. “Agent of Control” sahut mahasiswa yang lainnya. Definisi-definisi absurd tersebut memenuhi bayangan mahasiswa sekarang. Yang sebenarnya mereka juga tidak paham arti atau makna yang terkandung dalam simbol tersebut. Menurut saya itu merupakan doktrin senior yang belum tuntas dalam menjelaskan maksud simbol tersebut. Para mahasiswa yang hanya disuguhi dengan istilah-istilah yang sebenarnya itu jauh dari mereka. Mungkin, hal itu yang menyebabkan mahasiswa sekarang tidak mengetahui atau kehilangan identitasnya. Hilangnya identitas inilah yang membuat mahasiswa terhambat dalam produktifitas. Gelar Agent of Change dan Agent of Control hanya menjadi pelengkap. Gelar tersebut yang terkadang menjadikan mahasiswa sangat reaksionis terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Bahkan, sebagian dari mereka juga memutuskan untuk berdiam diri dan bersemayam dengan tumpukan buku atau berimajinasi dengan telepon genggam, karena mereka ingin melakukan perubahan lewat jalur atas. Tingkah-tingkah unik seperti itulah membuat mahasiswa tidak lagi mengetahui substansi ataupun esensinya mereka menjadi mahasiswa. Tridharma Perguruan Tinggi pun sekarang sudah jarang dikenali mahasiswa. Pengajaran, penelitian, dan pengabdian hanya sebagai semboyan administratif kampus. Kalaupun mengenali hal itu, hanya waktu semester akhir saja. Ketika ritual Kuliah Kerja Nyata (KKN) akan dilaksanakan. Entah siapa yang harus disalahkan dalam kasus seperti ini. Ceramah-ceramah di dalam kelas lebih banyak mengarahkan mahasiswa untuk menjadi manusia yang elitis. Kuliah cepat, IPK tinggi, dengan segudang prestasi menjadi motivasi utama. Jarang sekali dosen yang mengajak mahasiswa untuk peduli pada lingkungannya. Memperhatikan masyarakat sebagai bentuk pengabdiannya. Motivasi inilah yang membuat mahasiswa ingin menjadi makhluk yang sempurna. Memaksakan dirinya untuk menjadi seperti apa yang diinginkan dosennya. Walau itu harus dipaksakan. Mereka tidak lagi diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan dirinya. Apalagi diarahkan atau dibimbing untuk dapat bermanfaat kepada masyarakat secara langsung. MAHASISWA SEBAGAI PENCERAH MASYARAKAT Mahasiswa sebagai penghubung masyarakat dengan penguasa. Mahasiswa sebagai partner pemerintah untuk
- 28 -SLiLiT ARENA MARET 2018
membina mayarakat. Mahasiswa sebagai pengontrol pemerintah supaya menetapkan kebijakan sesuai dengan kehendak rakyat. Begitu kira-kira aktivitas yang dikerjakan mahasiswa dulu. Dekat dengan masyarakat, bahkan mereka mampu mencium bau keringat masyarakat, sehingga keberadaan mereka benar-benar dianggap sebagai pencerah masyarakat yang awam. Mengarahkan dan menjelaskan masyarakat yang tidak tahu. Sebab setiap hari mereka hidup seatap dengan masyarakat. Pernah saya wawancara dengan salah satu dosen. Dia menceritakan kepada saya untuk menjadi mahsiswa yang ideal. Mahasiswa sebenarnya mempunyai peran penting dalam membantu pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat. Transformasi pengetahuan supaya mengalir dan masyarakat menjadi manusia yang cerdas (nggak gugupan). Realitas sekarang, jauh dari kata demikian. Mahasiswa disibukkan dengan aktivitas kampus, dan ruang kecil berukuran dengan 3x3 meter. Ditemani dengan telepon genggam dan bersolek di dalamnya. Sudah jarang sekali mereka yang mau membaur dengan masyarakat. Bahkan hanya sekadar untuk bercanda pun mereka enggan, apalagi yang lainnya. Hal ini terjadi mungkin karena faktor zaman, yang bergerak menuju penyempurnaan, dengan teknologi yang mendukung, dan serba instan. Zaman tersebut lah yang mengiring masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif. Mencetak manusia individualis, sehingga tidak mengenal yang lainnya. Kondisi tersebut, didukung dengan pendidikan yang mengarah kapitalistik. Kampus ingin mencetak mahasiswa yang cepat lulus, sehingga banyak tugas yang diberikan. Banyaknya tugas tersebut yang kerap kali menjadi alasan mahasiswa tidak membaur dengan masyarakat. “Tidak ada waktu Mas, tugas banyak” alasan jitu ini kerap kali ditemui penulis. Mahasiswa seringkali mengeluh. Waktu untuk menyelesaikan tugas saja, sehari semalam nggak tidur masih kurang. Lah bayangin, 24 SKS dan semuanya ada tugas, waktu habis untuk bolak balik keperpusatakaan. Belum lagi ditambah penelitian atau praktikumnya. Boro-boro memikirkan masyarakat, memikirkan diri sendiri saja masih terpontang-panting. Boro-boro memikirkan perubahan untuk masyarakat, memikirkan lulus tepat waktu saja masih belepotan. Mungkin hanya orang-orang gila yang berani untuk mengambil risiko tersebut. Memikirkan masyarakat, dan memberi pencerahan di dalamnya. Bahkan, mereka sering kali dianggap sebagai penghambat laju peradaban. Lantas siapa yang harus disalahkan? Mahasiswa atau siapa?[] Muhammad Abdul Qoni' Akmaluddin, Mahasiswa semster IV, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, aktif di Forum Anak Desa.
lebih gelap, kelam, dan suram tidak seperti biasanya. Suasana lengang nyaris kehilangan tanda1 tanda kehidupan, kecuali bunyi Ketoprak bertalu samar dari kejauhan. Maklum, malam sudah terlalu larut. Biasanya para warga sedang sibuk menyiapkan diri bertemu mimpinya atau menikmati malam panjang dengan kekasihnya. “Katanya untuk menunaikan sunnah rasul!” Aku menikmati kesunyian itu di teras depan. Ditemani secangkir kopi dan tiga batang rokok sisa dari kantor. Sementara nanar mataku mengunjungi segala sudut arah memastikan keadaan sedang baik-baik saja. Benar, tidak ada yang berubah. Kecuali dingin semakin kuat mendekap. “Tanah cahaya...” Spontan istilah itu melintas di kepalaku ketika mendapati cahaya lampu yang menggelantung di pojokan rumah tetangga. Cahayanya yang remang semakin menarik perhatianku untuk kembali mengingat Tanah Cahaya. Tapi entahlah, apa sebenarnya yang membuatku semakin tertarik memikirkan perihal Tanah Cahaya itu. Memang akhir-akhir ini Tanah Cahaya menajadi topik pembicaraan paling alot dan sering diperdebatkan. Menjadi bahan pembicaraan paling panjang untuk ditemukan asal-muasalnya. Masyarakat kerap kali beradu argumentasi berharap bisa menjelaskan serasional mungkin, dan dapat dengan mudah diterima semua kalangan. Mulai dari anak muda sampai yang berumur tua pun tidak melewatkan hal yang sebenarnya belum
1
jelas keberadaannya. Aku yang termasuk dalam bagian mereka, terhanyut penasaran. “Konon, di sekitar sini ada sepetak tanah yang bercahaya. Ia akan datang kembali dikemudian hari. Kira-kira di tanggal ganjil,” begitu pitutur salah satu Kiai karismatik yang sangat dihormati di desaku kala itu. Tapi sayang, beliau lebih dulu dipanggil Sang Khaliq sebelum membuktikan atas ucapannya sendiri. Penasaranku semakin menjadi-jadi dan acap kali menyimpulkan diri. “Jika tanah itu memang ada, jelas bukan tanah biasa. Mungkin tanah itu pernah dihuni para dewa atau orang-orang yang dulu memiliki kekuatan luar biasa. Jika tidak benar, mungkin ada alasan lain mengapa istilah itu muncul ke permukaan.” Tentu bagi orang-orang yang hanya mengagungkan hitung-hitungan logika, terang ini dianggap lelucon semata dan menjadi cerita paling konyol sejagad raya. Namun beda denganku, tidak semudah itu membuang cerita yang sudah menyebar luas dan menjadi kepercayaan umum. Apalagi sesuatu yang kadang dianggap mistis di daerahku, seringkali tidak hanya ilusi. “Saat usia saya setinggi jagung, si Mbah pernah cerita tentang itu, Pak. Katanya sepetak tanah itu memancarkan cahaya, berwarna hijau,” ucap Mbak Anindi, salah satu stafku yang baru diangkat beberapa bulan yang lalu. Aku semakin kagum. “Ada yang bilang kuning keemasan,” sahutku meyakinkan. Padahal aku sendiri tidak yakin dengan ucapanku yang apriori ini. Dia mengernyitkan dahi. Seolah menemukan sesuatu
Sejenis pertunjukan tradisonal. Biasanya lebih banyak terdapat di Madura dan Jawa
lpmarena.com- 29 -
yang ganjal atas celotehanku. “Lagian itu hanya cerita, Pak Yusuf. Cerita dari mulut ke mulut,” jawabnya singkat menunjukkan ketidaktertarikan dengan sesuatu yang menurutku misterius ini. Namun ada benarnya juga. Mengapa aku tidak pernah menyoal siapa sesungguhnya empu dari cerita ini, atau barangkali ada yang melihatnya secara langsung perihal Tanah Cahaya itu. Mungkin ini akibat keingintahuanku yang terlalu berlebihan, semacam ada kekuatan yang mengajakku untuk memastikan keberadaanya. Walhasil, aku sendiri dengan mudah meyakininya. Lain lagi potongan cerita yang disampaikan kepala dusun pada suatu kesempatan saat kami berpapasan di jalan menikmati pagi. Dia mengatakan, sepetak tanah yang bercahaya itu suatu saat akan menjadi lonceng kehancuran. Akan menjadi saksi bisu ketika orang-orang merasakan penderitaan yang maha besar. Tidak ditemukannya lagi senyum sumringah. Yang ada hanyalah tangis tidak berkesudahan, dan lapar yang berkepanjangan. Terang pernyataannya yang filosofis itu semakin mengaburkan keraguanku. “Akan aku cari kebenaran Tanah Cahaya itu...!” “Katanya seperti itu.” “Yang realistis saja Pak..!! Tuh, lihat mahasiswa berdemo menuntut biaya pendidikan murah. Tuh, lihat ada wakil kita di parlemen yang terjerat kasus korupsi. Tuh, lihat banyak kepala daerah jadi tawanan KPK. Tuh, dengar jeritan para warga yang tanahnya digusur demi pembangunan. Tuh, lihat ada pejabat mobilnya seharga miliaran rupiah. Tuh, lihat sudah berapa juta rakyat miskin dan pengangguran. Tuh, lihat meningkatnya angka kriminalitas yang sebagian besar disebabkan faktor ekonomi. Itu realistis pak, nyata! Tidak perlu bertakhayul dengan Tanah Cahaya itu,” cerocos Mbak Anindi sembari tubuhnya beranjak dari kursi. “Jadi kamu ngga percaya?” tanyaku mencegah langkahnya. Dia hanya menoleh seraya mengangkat bahu dan kedua tangannya. Seolah pertunjukan pantomim di balai desa beberapa minggu yang lalu. Kembali pada cerita awal... Secangkir kopi menyisakan ampas dan tiga puntung rokok menyesaki asbak yang mulai penuh. Sementara malam semakin larut, gelap benar-benar sempurna menyelimutinya. Namun, malam yang menua tak mampu merayuku terlelap tidur. Tekadku terlanjur bulat, menunggu cahaya datang seakan menjadi kewajiban yang mesti kutunaikan. Entah dari mana dan bagaimana pula datangnnya. Gerombolan makhluk berjajar tak beraturan seperti anggota dewan sedang rapat di Senayan. Seolah serius membahas permasalahan rakyat jelata di negeri ini. Yang sebagian menyatakan begini, yang lainnya begitu. Cekcok yang seakan sukar menemukan kesepakatan. Makhluk itu sulit teridentifikasikan. Bukan hewan, tidak pula dapat dikatakan manusia. Jika pun itu manusia, untuk apa mereka bergerumul di kegelapan, bukankah malam semakin menjanda?
- 30 -SLiLiT ARENA MARET 2018
Atau paling tidak mereka mengindahkanku yang mengamatinya sedari tadi. Jika itu tikus, ukurannya melampaui kewajaran. ....... “Hama-hama di tanah kita semakin menggila,” ujar Pak Harun, si pemilik tanah terluas di desaku saat dia bertandang ke rumahku beberapa hari yang lalu. Ia berharap aku bisa memberikan solusi untuk menjawab masalah pertaniannya yang semakin memburuk. Memang benar, belakangan ini para warga diresahkan dengan kehadiran tikus-tikus tak terurus. Hasil panen jagung dan padi musim ini mengalami penurunan yang cukup drastis, tidak sebanding dengan jumlah tikus yang terus berkoloni melahap tanaman-tanaman dengan rakus. “Apalah guna tanah subur, sementara hama terlalu sulit diatur, bahkan tikusnya sendiri yang mengatur!”. Berbagai macam cara sudah masyarakat lakukan untuk membasmi hama. Mulai dari memberi jebakan di setiap pinggir sawah dan tegal, sampai dengan membongkar markasnya sekalipun. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Tikus-tikus itu malah semakin sulit dibasmi, bahkan semakin berani. “Memang tikus lebih cerdik dari yang cerdik!” Pada sudut yang sama, pancaran cahaya bersinar dari kejauhan. Ukurannya sebesar bulan purnama yang kadang menghilang tertutup dedaunan. Warnanya juga belum jelas, antara hijau atau kuning keemasan. Aku mencoba mengalihkan pandangan pada sudut yang lain, berharap mendapatkan cahaya yang serupa. Tapi hasilnya nihil, benar-benar cahaya tunggal. “Astaga, bukankah stafku pernah menyebutkan warna hijau? Bukankah kuning keemasan adalah warna yang aku yakini selama ini?” sontak tubuhku terbangun memastikan cahaya itu. Baru satu dua kakiku melangkah, cahaya itu meredup. Pada langkah yang ketiga cahaya itu mengecil, semakin kecil, sangat kecil dan menghilang, total. Sementara makhluk misterius yang bergerombol tadi ikut menghilang. Entah apa yang membuatku memutuskan diri untuk kembali melangkahkan kaki. Dari pada berdiam diri menunggu datangnya cahaya yang sebenarnya belum pasti, lebih baik menyusurinya walau belum tentu ada. Barang kali dalam ketiadaan bisa mendapatkan tanda-tanda. Kini aku persis seperti pencari kemustahilan. Andai saja ada orang yang melihatku, jelas akan mengecamku sebagai manusia yang telah sempurna kegilaannya. “Hendak kemana?” gelegar suara asing di telingaku. Kaget bukan main. Dari awal mataku hanya terpaku pada satu arah, tiba-tiba tanpa disadari sesosok lelaki tepat berada di samping kananku. Beberapa detik aku memilih diam, tidak mengajukan pertanyaan sebab ketakutan menguasaiku.
Dengan berani mataku beradu dengan penglihatannya. Aku tetap diam, dan diapun tidak melanjutkan kata-katanya. Jujur, selama aku hidup belum pernah melihat manusia yang seperti dia. Wajahnya nampak jelas bersih meskipun sejatinya kami berdua berada dalam kegulitaan. Matanya seakan berair, memancarkan cahaya. Entah dalam situasi ini aku sulit menyimpulkan; antara rasa takut dan takjub. Sebab sesungging senyum melintang di bibirnya. “Maaf, pernahkah sebelumnya kita bertemu?” tanyaku memberanikan diri dengan suara yang tertatih-tatih. Dia semakin melebarkan senyum. Seolah melecehkan pertanyaanku yang mungkin terlalu bodoh. “Iya, pernah. Tapi sudah teramat lama,” jawabnya singkat. Aku hanya menundukkan kepala pelan, mengingat-ingat siapa pemilik wajah yang serupa dengannya. “Mungkin saya tidak......” “Hendak kemana Anda?” dia memotong pembicaraanku. Ini pertanyaan kedua yang belum aku jawab sebelumnya. “Saya hendak mencari cahaya yang baru saja menghilang. Saya yakin cahaya itu bersumber dari sepetak tanah yang belakangan ini jadi isu di masyarakat sini,” ucapku dengan suara meyakinkan. “Iya benar, cahaya yang tadi memang memancar dari sepetak tanah yang kamu yakini itu.” “Jadi benar kalau tanah cahaya itu ada di sekitar sini?” rasa takutku mulai mengurang. Dia tak hentihentinya menebarkan senyum. “Coba sekarang kamu lihat kesana,” seraya jari telunjuknya menunjuk lurus ke depan di mana kami berdua berada. Dan benar, tempat yang tadi memancarkan cahaya itu kembali bersinar. Ini jauh lebih besar ukurannya. Besarnya persis sebidang tanah di belakang rumahku. Yang tak kalah menakjubkan, cahaya itu berwana kuning keemasan pada lapisan bawahnya, disusul warna hijau terhampar di atasnya. Sumpah, aku menjadi manusia paling beruntung untuk malam ini. Ternyata Tanah Cahaya bukanlah sekedar cerita, tapi nyata adanya. Jika ini bukan tengah malam, pasti aku berteriak mengabarkan pada orang-orang. Seakan aku menyombongkon diri bahwa akulah sebagai jawaban dari pertanyaan—siapa yang pernah melihatnya secara langsung?—belakangan ini. Dengan tergesa aku mencoba berlari untuk melihatnya pada jarak yang lebih dekat. Mengabaikan sesosok lelaki yang belum jelas identitasnya. Sementara mataku terpaku pada satu fenomena yang menakjubkan itu. Tanpa kusadari, Tanah Cahaya itu berjarak satu meter di depanku, dekat. “Lantas siapa mereka yang berjajar di seberang itu?” kembali aku dikejutkan dengan pertanyaannya. “Entahlah...., dilihat dari tubuhnya, saya rasa bukan warga sekitar sini,” jawabku sekenanya.
Setelah beberapa kali kusipitkan mata memastikan siapa gerangan yang berjajar di seberang Tanah Cahaya itu. “Iya benar, bahkan bukan berkewarganegaraan sini. Dia adalah makhluk aneh yang bergerombol di depan rumahmu tadi.” “Bagaimana anda bisa tahu?” “...” Lelaki itu hanya diam seakan menunggu pernyataanku berikutnya. “Bukan mereka. Yang saya lihat tadi sejenis tikus, bukan manusia,” aku berusaha meyakinkan dengan apa yang sebenarnya dilihat dan kualami. Jelas-jelas ini berbeda. Bagaimana mungkin seekor tikus menjadi manusia. “Iya, benar. Mereka manusia. Tapi tikus yang kamu lihat tadi telah menjelma menjadi mereka,” aku berusaha menepis kepercayaan atas apa yang dia sampaikan. Namun wajahnya yang penuh keyakinan itu, membuatku luluh tak berdaya, tak kuasa membantahnya. “Bagaimana mungkin?” ucapku membatin. Belum sempat aku menerka-nerka pernyataannya agar bisa diterima akal sehatku, ia melanjutkan katanya. “Mereka adalah hama-hama yang lebih biadab daripada hama-hama pada umumnya. Mereka lebih rakus daripada kerakusan tikus-tikus pada biasanya. Mereka jauh-jauh datang dari negerinegeri industri tidak lain untuk mengeksploitasi negeri agraris, termasuk negeri kita ini. Bumi, air dan kekayaan alam baik di dalam maupun di atasnya yang kita miliki sebagai karunia dari Tuhan diangkut ke negerinya. Mereka menikmati hasilnya sementara kita menikmati ampas dan pilunya,” suaranya ditinggikan pada bagian kalimat terakhir. “Entah akan seperti apalagi kondisi negeri kita ini, termasuk pertanian-pertanian kita. Kau tahu mengapa mereka yang biadab itu dengan mudah bisa menggerogoti kekayaan kita? Mulutku terkunci, sekatapun sulit. Hanya engsel leherku yang masih kuasa untuk memberikan isyarat ketidaktahuaan, aku menggeleng. “Para pemegang kekuasaan di negeri ini takluk dengan sesuatu yang mereka janjikan. Mereka terbuai hingga lalai pada tanggungjawabnya. Pemerintah kita di negeri ini juga biadab, sekali lagi biadab!” benar-benar kemarahannya kini memuncak. Aku mendapati wajahnya yang berubah begitu cepat. Dari yang ramah menjadi garang, yang murah senyum berubah murka. “Tapi bukan berarti semuanya biadab, kita tidak bisa menggeneralisirnya,” sontak ucapku memberanikan diri. “Benar, memang sebagian. Tapi sebagian ini yang banyak berpengaruh. Coba lihatlah mereka,” ia kembali menunjuk. “Mereka ulah pemerintah kita..,” ucapnya melanjutkan. Puluhan manusia asing yang berjejer tadi semakin mengejutkanku bukan kepalang. Satu persatu cahaya hijau dan kuning yang terhampar di
lpmarena.com- 31 -
Tanah Cahaya itu dengan bergiliran dilahapnya. Entah manusia sejenis apa bisa memakan cahaya. Kini cahaya Tanah Cahaya itu telah habis seperempat. “Lihatlah, lihatlah...!” Dengan sekejap kilat manusia-manusia itu telah menghabiskan separuh, sepertiga dan seperempat cahaya di Tanah Cahaya. Benar-benar ini di luar rasio. Beberapa kali aku menampar pipi sekeraskerasnya berharap adegan ini sebatas mimpi. Tapi, ini memang nyata! Kebingungan kini menguasaiku. Aku benarbenar bingung... “Apa yang musti kita lakukan?” tanyaku gemetar. Lelaki itu tidak memandangku. Namun pada bibirnya aku melihat ia berkata, tanpa suara. “Terlambat!” “Kita sudah telambat, mereka sudah leluasa mau berbuat apa dan seperti apa. Kekuatan besar mereka telah ditopang dengan kekuatan-kekuatan pengkhianatan para penguasa di negeri ini yang tidak berkemanusiaan. Kini yang tersisa hanyalah sesal dan penyesalan. Penguasa kita hanya tergiur pada cahaya, sementara lupa bahwa gelap adalah yang mencipta. Kita melupakan bahwa kegelapan bisa menetukan apa dan seperti apa, termasuk meredupkan cahaya. Ketika kegelapan sudah menguasai di atas segalanya. Maka cahaya-cahaya akan luluh padanya. Cahaya akan binasa, dan kita sebagai manusia menguntiti kebinasaannya. Setelah itu, kitalah yang binasa.” Lelaki bejubah yang belum kukenal identitasnya itu semakin memekik nyaring. Dengan segala sumpah serapah dilontarkan atas kesumat kebencian yang teramat sangat. “Laknat kalian, biadab..!!!” suaranya yang melengking sontak menghentikan aktivitas manusia-manusia yang dianggapnya 'biadab' itu. Dengan secepat mata elang, beberapa mata mengunjungi pemilik suara tadi. Dua, tiga, empat, lima, enam dan sepuluh manusia itu berjalan menuju kami. Mendekat, semakin dekat, sangat dekat dan akhirnya tepat di depan kami, dekat!!! Dengan ganas mereka menyeret lelaki yang tepat berada di sampingku ke tengah Tanah Cahaya yang cahayanya tersisa seperempat saja. Sementara aku dibiarkan menyendiri, tak saseorang pun mengusikku seolah aku memiliki kekuatan tidak bisa terlihat. Sudah kucoba menahan lelaki tua itu. Namun, kekuatanku tidak mampu melawan kemampuan mereka yang berlipat. Setelah lelaki tua itu benarbenar tepat di tengah Tanah Cahaya, manusiamanusia itu semakin rakus mencabik-cabiknya. Lelaki tua itu hanya bisa mengaduh kesakitan. “Aaaaaaaaaaa..!!!” selepas teriakan memilukan itu, tiba-tiba semburat cahaya keluar dan membalut tubuhnya. Keheningan tercipta, manusia-manusia itu juga diam. Sementara lelaki tua itu memalingkan wajahnya menghadapku. Pandangannya menusuk ingatanku, senyumannya yang melintang
- 32 -SLiLiT ARENA MARET 2018
mengingatkanku pada siapa pemilik wajah itu. “Kiai...!!!” pekikku, setelah ingatanku betulbetul sempurna. Dia Kiai Shomad, Kiai yang sangat kuhormati. Dengan sigap kuayunkan langkahku. Belum sampai dua langkah, manusia-manusia itu kembali melahap tubuh Kiai Shomad. Cahaya di tubuhnya meredup, redup, sangat redup dan akhirnya hilang bersama senyumnya. “Tidak.....!!” suaraku melengking nyaring bak menantang suara-suara di langit. Berharap dewa langit mendengar pekikku dan segera turun untuk mengutuk manusia-manusia biadab yang telah menghabiskan tubuh Kiaiku. Namun yang terjadi sebaliknya. Mata manusia-manusia itu tertuju padaku, merah menyala dan menakutkan. Kini kakiku seolah terkunci, mundur satu langkah saja tidak bisa, apalagi berbalik arah. Sementara manusia-manusia itu telah berada tepat di depanku. Kini jumlahnya tak terbilang pasti, semakin banyak. Aku mendapati darah segar meleleh dari mulut-mulutnya yang bertaring tajam. Hidungnya mendengus berat seolah telah siap menerkamku. Kemudian sejurus kepalan tangan melayang tepat di kanan pipiku. “Kau bermimpi apa sampai ketakutan begitu?,” suara istriku menggema lembut dalam rongga pendengaranku. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku. Memastikan ini nyata ataukah mimpi, atau mimpi dalam mimpi?. “Apakah aku sedang bermimpi?” tanyaku pada istriku. “Iya, tadi. Tapi sekarang tidak.... Lupakan Tanah Cahaya itu. Itu hanya mimpi. Cahaya tak akan pernah mati. Meskipun cahaya kini semakin meredup, namun percayalah bahwa kita masih bisa mengembalikan cahaya itu sempurna kembali. Entah di dunia ini, atau setelahnya...” “Kau percaya bahwa pemerintah kita penghianat?” “Tidak sepenuhnya. Karena aku yakin di sana masih ada orang yang memihak dan memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan untuk rakyatnya. Ia akan terus menerus menyalakan cahaya walaupun kegelapan seringkali memaksanya padam. Karena setiap kegelapan menyimpan cahaya, sementara cahaya akan terus hidup bersama keabadia.” “Terus bagaimana dengan hama-hama itu?” “....” Sumenep, 01 Februari 2018
Nofan Atmadja, Mahasiswa Ilmu Hukum FSH UIN Sunan Kalijaga semester genap. Dari Madura merantau ke Jogja demi mendapatkan kata-kata.
ISLAMKU, ISLAMMU, ISLAM KITA
KUTEMU KEBAIKAN
Gubahan : Al-Musafiru (M. Khoirul Anam) Ada yang membumikan Islam, dengan cinta dan kedamaian Ada yang membumikan Islam, dengan jalan kekerasan Ada yang membumikan Islam, dengan mengklaim kebenaran Ada yang membumikan Islam, dengan mengajar di surau-surau Ada yang membumikan Islam, dengan membangun sarana-prasarana keagamaan Ada yang membumikan Islam, dengan tarawih di Bulan Ramadhan Ada yang membumikan Islam, dengan menulis di koran-koran Ada yang membumikan Islam, dengan razia warteg kelas pinggir jalan Ada yang membumikan Islam, dengan belanja di mall-mall peradaban Ada yang membumikan Islam, dengan isak tangis doa dan harapan Ada yang membumikan Islam, dengan mensyukuri tempe uyah bawang sebagai makanan Ada yang membumikan Islam, dengan meminum minuman kaleng di iklan-iklan Ada yang membumikan Islam, dengan secangkir kopi sebagai renungan Ada yang membumikan Islam, dengan berlomba-lomba dalam kebaikan
Kutemu kebaikan Di jalanan aspal yang kering sapaan Berpaju oren bermulut peluit Mengatur lalu-lalang dengan nafas keluarganya Demi sesuap nasi dan satu senyum anak-istri Kutemu kebaikan Di pembuangan sampah yang berkah Berparas sayu dan lesu Membidik botol minuman para penguasa Demi bertahan hidup di kerasnya Ibukota Kutemu kebaikan Di ladang-ladang milik petani Berlindung capil dan bertangan cangkul Membelai tanah memetik buah Demi sekolah anak yang kian entah Kutemu kebaikan Di sekolah-sekolah Ikhlasnya guru tak diragukan lagi untuk asah Sang anak menjadi gagah Dengan nada bijak dan bajik mereka berkata padaku "ingatlah nak, miskin harta bukanlah puncak derita" tetapi "miskin nurani adalah sepuncak-puncaknya derita" 21 September 2016
Ada yang membumikan Islam, dengan tausyiah-tausyiah keagamaan Ada yang membumikan Islam, dengan halal bihalal - bersalam-salaman Sokorini, 9 Juli 2016
Khoirul Anam, penulis meninggal pada 10 Desember 2017. Syair penulis yang diterbitkan ARENA ini merupakan kiriman sahabatnya, Ahmad Pujianto. Anam atau yang kerap disapa Gus Irul tersebut merupakan mahasiswa di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Pendiri Taman Baca Cahaya Pelangi Sokorini di Magelang. Penasehat Keluarga Mahasiswa Magelang (Karisma) dan anggota IPNU Magelang.
lpmarena.com- 33 -
PADAMU KU BERTANYA pada akhirnya kaum demonstran itu akan mati tak ada yang tersisa kecuali puisi idealisme bukan lagi soal kebenaran yang hakiki produktivitas bukan lagi tentang diksi lalu apa yang sebenarnya kau cari? padamu ku bertanya tentang idealisme mahasiswa yang terkotori padamu ku bertanya tentang pengabdian, perjalanan, dan perjuangan bangsa ini padamu ku bercerita bahwa aku masih mencoba sekuat tenaga yang tersisa memeras keringat hingga tetes-tetes air mata lalu apa yang sebenarnya kau cari? detik berganti, pemikiran ikut pulih bak bunglon di pentas politisi lalu untuk siapa sebenarnya abdimu hari ini? Sumenep, 2017
TANGISAN YANG TERTUNDA deru angin di kesunyian malam seumpama cerita, kalam tuhan dilantunkan, direnungi, dipahami ayat demi ayat terdapat senyum kekuatan sementara di jalanan suara mahasiswa masih saja dibungkam rentetan ide usang di pojok temaram perjuangan kini belum selesai diterjemahkan lalu, di mana akan memperjuangkan keterwakilan? sementara di kantor pemerintahan mereka sedang asyik menghitung alam bercanda ria menyanyikan lagu kebangsaan katanya, suara mahasiswa penuh kepentingan lalu, kapan ia kan diperhitungkan? ah, sepertinya relasi ini hanya seni keberpihakan Sumenep, 2018
Ach. Toifur Ali Wafa atau kerap disapa Ifur Bimantika. Lahir di desa terpencil, kasur pasir putih Legung Timur, Batang-Batang, Sumenep. Aktif di berbagai organisasi kepemudaan, sebagai Pimpinan LPM Esensi STITA, pengurus PMII DK Madura, dan ketua II PMII STITA Sumenep. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai majalah di Sumenep, salah satunya “Bukit yang Gelisah” dan “Perempuan Bermata Rindu”.
- 34 -SLiLiT ARENA MARET 2018
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA ARENA