1
catata n P i m p i nan Produksi
Diterlantarkan Ternyata Ada Gunanya oleh Gir as B as u w o ndo
Monolog “Sarimin” (2007)
Tidak ada ucapan lain selain “terima kasih” kepada pemerintahan SBY. Setelah enam tahun memimpin negeri ini atau usia setahun periode kedua kepemimpinannya, nasib kegiatan di ranah kebudayaan masih konsisten terpuruk. Masih berjalan di tempat. Masih membuat panitia hajatan seni selalu pontang-panting kerepotan menggali dana untuk menyantuni masyarakat melalui program-program yang diproduksinya. Disebut “menyantuni” lantaran kalkulasi “besar pasak dari tiang” sampai hari ini masih menjadi identitas produksi kegiatan kebudayaan di mana pun di Indonesia. Buruknya infrastruktur dalam penyelenggaraan kegiatan kebudayaan, termasuk kesenian, dan belum diberikannya regulasi dalam perkara perpajakan, harus dimaknai sebagai tantangan yang (agaknya) sengaja diberikan oleh pemimpin hasil pilihan rakyat itu. Sebab, hanya dengan dihajar tantangan demi tantangan itulah, seniman dan tim produksi yang menyertainya, memperoleh pengalaman berharga. Teruji kemampuannya untuk bergagah-gagah dalam kemiskinannya. Barangkali, pemerintah memang terlalu percaya bahwa mereka yang bekerja di ranah kebudayaan itu adalah orang-orang yang perkasa. Terbiasa miskin tapi tetap jaya. Tabah dalam kesengsaraan, dan bahkan semakin kreatif dan penuh akal siasat dalam mengatasi keterpurukannya. Toh selama ini mereka diabaikan tetap saja mereka bisa hidup dalam semangat swadaya dan mandiri? Mungkin lantaran itulah setelah enam tahun hidup bersama dalam slogan “LANJUTKAN” – kita, masyarakat kesenian, diminta untuk terus melanjutkan hidup dalam ketidakpedulian pemerintah itu. Jangan-jangan memang itulah “strategi kebudayaan” dalam mendidik masyarakat yang tumbuh di ranah kebudayaan. Strategi ini pun agaknya selaras dengan kebijakan pemerintah yang mendudukkan kebudayaan semata-mata sebagai produk jadi, sebagai barang dagangan, yang karenanya harus dijual sebagai penyedot devisa. Kebudayaan belum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan watak manusia Indonesia. Belum dipahami sebagai investasi, tabungan bagi hari depan bangsa ini. Selama pemerintah masih melihat kebudayaan dalam perspektif untung-rugi dan memperlakukannya sebagai barang dagangan semata, masyarakat kebudayaan yang tak lelah berinovasi dan merayakan kreativitasnya – termasuk anda sekalian para penonton kesenian -- janganlah terlalu berharap memperoleh penghormatan, perhatian dan santunan yang pantas. Kita percaya masih ada para usahawan dan pelaku bisnis serta kaum berpunya lainnya yang peduli untuk ikut mendadani kebobrokan itu. Sebab, betapa pun, diam-diam masyarakat membutuhkan dan merasa perlu merawat, melakoni dan menghidupkannya. Maka, lagi-lagi marilah ucapkan terima kasih itu. Terima kasih kepada mereka yang telah menolong dan menyantuni. Juga terima kasih kepada mereka yang secara sengaja mengabaikan dan menerlantarkan. Ternyata ada gunanya juga diterlantarkan pemerintah! Syalom! ---
2
kisah ringkas
Lakon monolog Kucing ini diangkat dari cerpen karya Putu Wijaya, yang kemudian diolah dan ditulis ulang oleh Agus Noor.
Kisah Kucing adalah kisah sederhana tentang seorang yang suatu hari, karena kesal, memukul kucing milik tetangganya. Ia merasa tak bersalah memukul kucing itu, karena kucing itu memang mencuri dan memakan lauk-pauk miliknya. Ia mengira persoalan kucing itu tak akan berkepanjangan. Tetapi, ternyata, ia menjadi kerepotan setelahnya. Pak RT, mendatanginya, karena ia mendapat komplain dari si pemilik kucing itu, agar minta ganti ongkos perawatan kucing yang menjadi pincang.
Monolog “Matinya Toekang Kritik� (2006)
Begitulah, persoalan kucing itu menjadi persoalan yang kemudian cukup merepotkan bagi si tokoh dalam kisah ini. Ternyata soal kucing juga mempengaruhi hubungannnya dengan sang istri, juga dengan anak-anaknya. Ia juga semakin merasa terpojok, dan merasa diperas, karena ongkos perawatan kucing yang luka itu bertambah besar. Seperti ada “konspirasi� yang semakin hari semakin memojokkannya. Barangkali ini hanya perasaannya saja, tetapi persoalan kucing itu memang benar-benar mengganggu kehidupan si tokoh. Begitulah, persoalan kucing seperti membuka semua watak para tokoh dalam lakon ini. Dengan alurnya yang lincah dan khas, Putu Wijaya berhasil membangun alur yang menarik, sekaligus bisa membicarakan soal hakikat kemanusiaan dan seluruh persoalannnya. Sebuah kisah yang kelihatannnya remeh dan sederhana, tetapi langsung menghunjam ke hakekat dan maknanya. ---
catatan p ENU LIS cerita
3
Mendongkrak Seni Laku o l e h P u tu Wij aya
Seni laku yang mendasari tontonan di Indonesia bukanlah realisme seperti yang dikenal di dramaturgi Barat. Di dalam teater tradisi dan teater rakyat, laku diwujudkan dengan stilisasi, simbol dan lambang-lambang. Realisme dalam kehidupan teater di Indonesia, merupakan sesuatu yang baru, sehingga mesti dipelajari dari semua penemuan-penemuan di Barat. Tetapi ketika itu dipelajari, diupayakan lalu dipraktekkan, muncul berbagai kegagapan, kendala serta ketidakserasian yang menyebabkan realisme dalam tontonan sulit hadir, walau pun bukan tidak bisa. ATNI di Jakarta yang didirikan oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani, misalnya, adalah sebuah langkah yang penting. Dari lembaga itulah kemudian lahir pertunjukan realis dan aktor-aktor seperti: Soekarno M. Noor, Ismed M. Noor, Teguh Karya, Meinar, Taty Maliyati - sekedar menyebut beberapa nama. Kemudian diteruskan oleh Slamet Raharjo dan N. Riantiarno.
Tetapi realisme yang dipelajari dari Barat yang memuncak pada fatwa-fatwa yang diberikan oleh Stanilavsky, masih terus merupakan kesulitan, karena pakem-pakem tradisi begitu kuat. Apalagi kemudian realisme itu cenderung hanya menjadi duta besar teater Barat di bumi Indonesia. Yang sering muncul adalah bule-bule pribumi yang membuat teater modern dan teater tradisi semakin terpisah. Untung masih ada tokoh realisme dalam seni laku seperti Slamet Raharjo dan kemudian Deddy Mizwar, yang mampu keluar dari lingkaran setan penjajahan budaya itu. Ketika pentolan teater seperti WS Rendra (Bengkel Teater) dan Arifin C. Noor (Teater Kecil) dan mungkin harus disebut pula Suyatna Anirun (STB), menggali ruh dan bentuk teater tradisi yang melahirkan fenomena “tradisi baru� ( semangat untuk tidak lagi menjadikan barat sebagai satu-satunya kiblat, tapi hanya sebatas salah satu referensi, karena puncak-puncaki karya teater modern di Indonesia sudah menjadi acuan dalam perkembangan teater modern di Indonesia ) seni laku mulai memperoleh kepercayaannya lagi untuk berekspresi dengan stilisasi, lambanglambang dan simbol.
Tradisi baru itulah yang membuat posisi teater modern di Indonesia menjadi unik dan kuat, sehingga memiliki ciri yang khas. Tetapi dampak buruknya, seni laku realis menjadi kurang digali sehingga semakin lama semakin tidak terkuasai. Dalam kehidupan teater yang sehat, hal tersebut menjadi masalah. Seakanakan seni laku stilisasi yang dipelajari dari tradisi hanya menjadi pelarian dari ketidakmampuan dalam berekspressi secara realis. Maka kini, usaha untuk menumbuhkan kembali minat pada seni laku realis yang disebut dengan istilah akting, merupakan upaya yang penting. Itulah hajat yang nampaknya kini didongkrak oleh Butet dengan monolog Kucing ini. Selamat berjuang. --- (Astya Puri 2, Oktober 2010)
4
catata n sutradara
Menyutradarai Butet Kartaredjasa o l e h W h a n i D a r ma w a n
M
enyutradarai Butet Kartaredjasa, tak terbayangkan oleh saya. Tidak perlu klise saya beralasan bahwa Butet lebih dulu mengenal teater daripada saya, dan saya adalah pemula yang belajar darinya. Bukan. Bukan soal itu.
Tetapi syak wasangka buruk saya (saya!) terhadap Butet bahwa ia adalah aktor stereotype, yang selalu bermain ‘begitubegitu saja’ tanpa inovasi yang berarti. Lebih-lebih di teater Gandrik, Butet nyaris menjadi peran penting dalam permainan. Apa yang bisa dilakukan oleh Butet? Aktor golek guyu (cari-cari tawa penonton), ngeledek pemerintah dan tokoh sosial politik, menirukan suara orang lain, gaya suara teateral. Artinya ada cap artifisial dalam mindset saya itu mengenai tokoh Butet. Dengan kata lain saya meragukan untuk bisa bermain inovatif di luar gaya personalnya itu. Benarkah? Saya tak tahu arahnya datang dari mana didapuk ketiban peran jadi sutradara monolog Kucing ini. Mendadak saja Butet menawarkannya kepada saya, bahkan kalau boleh ge er, mempercayakan kepada saya. Tentu saja saya menerima. Pertama dengan alasan siapa tahu kelak ini menjadi rejeki (tidak ada dalil dosa kan mempercayai seperti ini?) Yang kedua, saya merasa bungah ketika Butet menjlentrehkan masalahnya mengapa ia ingin memainkan lakon Kucing karya Putu Wijaya ini: ia ingin bermain lain, dan pilihannya jatuh pada lakon yang sederhana, nggak heroik-teateral, juga dengan tema yang sederhana: soal kucing dan hidup bertetangga. Setelah saya kunyah, maksud ‘bermain lain’ itu adalah bahwa Butet memang berniat membongkar dirinya dalam permainan yang sublim ala realisme yang kaya dengan pengendalian diri untuk tidak terjebak pada pola-pola teateral, sublim dengan inner acting, rangkaian business acting, siluent acting. Saya menerima secara bulat peran saya, karena saya
sangat menyukai gaya yang demikian. Menjauhkan diri dari prasangka bahwa saya layak menjadi sutradara (kok seolah-olah jenjang karier: dulu aktor sekarang sutradara, padahal nggak gitu), sejauh proses yang kami jalani saya mendudukkan diri sebagai kreator yang hendak menyuguhkan tontonan dengan pijakan dasar realis. Sebutan pijakan dasar ini bagi saya penting, supaya saya tak ketrucut mengibarkan bendera full realisme. Jumawa, Bung! Karena saya tak begitu paham sejarah dan konsistensi realisme (jika isme itu merasuk pada holistifikasi antara set, naskah, permainan dan seluruh anasir artistik lainnya). Maka yang saya bawa dalam lakon Kucing ini adalah thokthok men (pura-puranya) realis. Atau, alih-alih takut dikomplain konsistensi realisme biarlah saya bilang, saya ingin membuat tontonan. Itu saja. Dengan demikian, apapun term gayanya, tetap saja asas komunikasi dengan penonton menjadi poin penting yang harus saya perhatikan daripada sibuk menimbang ini realis atau bukan. Wong saya kurang pengetahuan tentang itu kok, Bung! Perihal gagasan akting saya tidak berpongah ria berangkat dari kepala saya murni. Ngotot mumpung jadi sutradara trus bisa nyuruh-nyuruh Butet seenaknya, bahkan seinci kata pun Butet harus patuh kepada saya (Oalah!) Rasanya tak seperti itu. Dalam tekad saya, betapapun sebagai penata laku, dalam menawarkan gagasan akting berangkat dari kekayaan Butet sendiri sebagai aktor. Saya tidak ingin meninggalkan Butet yang celelekan, tetapi juga tetap mengakomodir kemauannya untuk bermain lain. Untungnya, Butet punya tekad kuat
untuk menjadi orang lain dari Butet sebelumnya. Dengan demikian hampir ‘apapun’ yang saya sodorkan Butet menerimanya. Maka kami pun berlatih. Yang mengejutkan pada diri saya dalam proses ini adalah kepatuhan Butet menerima perintah-perintah saya (Woaah!) Butet sangat patuh dengan isntruksi gagasan saya dan kooperatif. Juga ‘self management’ Butet sebagai aktor sangat bagus. Ketrampilan Butet yang tidak pernah terlihat dalam permainan Gandrik (ya jenisnya aja mungkin beda, ya....) tereksplorasi dalam monolog Kucing ini. Perlahan, satu persatu seperti membuat patung: sket, kerangka patung, bentuk global, detail, rijit, jlimet, semua ditempuh Butet dengan setia. Bahkan dengan rela Butet melakukan repetisi untuk hal-hal yang kecil. Sekedar menoleh, misalnya. Saya berani (dan akhirnya bisa) menyutradarai Butet, karena yang punya gawe mau berendah hati membuka diri. Kata sebuah wisdom, sutradara itu hanya sesaat, tapi aktor selamanya. Aktor itu hanya sementara, yang abadi adalah manusia. Saya senang Butet menyelami style lain dalam seni akting, karena Butet sedang membuka diri memasuki wilayah yang dimaksudkan oleh wisdom itu. Pengetahuan Butet atas manusia dan peristiwa pasti akan bertambah. Tetapi, saya tentu saja tidak ingin mengatakan: “yang penting proses, hasil nanti dulu”. Proses dan hasil saya kira setara penting. Karenanya mari kita saksikan ‘sang Sentilun’ ini berlaga. ---
WAWANCARA KUCING
5
Sosoknya sebagai aktor monolog mendapatkan momentum yang pas saat memainkan lakon Lidah Pingsan dan Lidah (masih) Pingsan. Saat itu hari-hari genting Republik ini menjelang reformasi. Terutama setelah Orde Baru membredel tiga media, Tempo, Detik, Editor. Saat peringatan 1 tahun Tempo dibreidel, Butet meresponnya dengan mengangkat tema soal nasib wartawan dalam lakon Lidah Pingsan (ditulis Indra Tranggono dan Agus Noor). Saat kemudian hiruk pikuk dan haru biru reformasi meletus, lakon itu “dilanjutkan” dengan Lidah (Masih) Pingsan, yang membuat Butet kemudian dikenal dan diidentifikasikan sebagai aktor yang pandai menirukan suarasuara tokoh politik. Lakon-lakon monolognya memang kemudian dekat sekali dengan isu politik dan sosial yang aktual. Seakan itu menjadi “pilihan tematis” lakon-lakonnya seperti juga tampak dalam monolog Mayat Terhormat, Matinya Toekang Kritik dan Sarimin. Di sela-sela latihan, inilah wawancara dengan Butet Kartaredjasa, seputar monolog Kucing yang dipersiapkannya itu: Apa yang membuat Anda memilih lakon Kucing ini? Soalnya judulnya netral. Kucing. Ntar kalau judulnya “Kerbau” disangka nyindir… ha ha ha. Itu jawaban guyon. Jawaban seriusnya, ya kenetralan itu sendiri. Lewat lakon ini saya ingin mengembalikan monolog sebagai permainan seni peran yang otonom. Ikhtiar pematangan diri seorang aktor dalam menafsir karakter dan memberi “nyawa” sebuah teks sastra. Pendeknya, monolog dikembalikan lagi sebagai sebuah proses keaktoran yang menjunjung tinggi kekuatan seni akting. Monolog dikembalikan ke “khitah”-nya… Berarti selama ini Anda telah menyelewengkan monolog... Bukan secara sengaja. Tapi sepertinya memang terjadi salah kaprah. Semenjak 1997 ketika saya memainkan lakon Lidah Pingsan dan diteruskan Lidah (masih) Pingsan dan lakon-lakon lain yang temanya sangat politis – diantaranya saya pernah menirukan suara tokoh-tokoh politik – orang beranggapan seni monolog itu harus bertema politik. Seakan-akan harus ada tokoh politik yang ditirukan suaranya dan diolok-olok. Saya sering menerima pertanyaan konyol dari khalayak, ”Mas, siapa lagi tokoh politik yang mau di-monolog-kan?” Lho, ini kan gawat… Anda merasa bersalah? Gemas aja. Kok begini ya jadinya. Saya merasa punya andil atas terjadinya salah kaprah itu. Karena itulah, saya terpanggil dan ge-er untuk bertanggungjawab meluruskan kembali kekeliruan pemahaman yang terjadi di masyarakat itu. Saya ingin bilang, bahwa monolog itu tidak harus politik. Tidak harus menirukan suara orang lain, apalagi suara tokoh politik. Nah cerpen “Kucing” karya Mas Putu yang tahun lalu (2009) dimuat di Koran Tempo, saya pikir akan sangat menarik jika dimainkan sebagai monolog, dan sekaligus menjawab kegelisahan saya itu. Di mana menariknya? Pertama, karena Kucing temanya tidak politis. Temanya sederhana. Tentang manusia dengan segala problem sehari-harinya yang juga sederhana. Persoalan yang muncul seperti membuka semua watak para tokoh dalam lakon ini. Dengan alurnya yang lincah dan khas, Putu Wijaya berhasil membangun alur yang menarik, sekaligus bisa membicarakan soal hakikat kemanusiaan dan seluruh persoalannnya. Sebuah kisah yang kelihatannnya remeh dan sederhana, tetapi langsung menghunjam ke hakekat dan maknanya. Di situ tersedia peluang bermain untuk mengembangkan seni peran, terutama tuntutan bermain dalam basis bermain ala realisme. Saya ditantang belajar kembali. Menyelami lagi dasar-dasar bermain seni akting sebagaimana dulu (2006) saya sangat menikmati ketika saya turut memainkan lakon realis Kunjungan Cinta bersama Teater Koma. Menurut saya, seekstrim apa pun usaha-usaha eksperimentasi dalam seni akting, pijakan utamanya
T
6
ya tetap pada kekuataan realisme itu. Kembali kepada realisme adalah ikhtiar mengasah kekuatan itu. Yang kedua, lakon ini ditulis Putu Wijaya. Bukan Agus Noor, yang selama ini karya-karyanya paling sering saya mainkan. Ini juga sebuah usaha untuk menemukan kesegaran baru bagi saya. Dan semoga saja juga ada suasana baru dalam monolog yang saya mainkan kali ini. Sekaligus saya ingin membuktikan kalau saya bisa bekerjasama dengan siapa saja, sejauh karyanya memang bermutu…he he he. api masih ada nama Agus Noor juga dalam proses ini... Ya, sewaktu saya membaca cerpen Kucing Putu Wijaya itu, saya memang kemudian mengajak diskusi dengan banyak temen, termasuk Djaduk dan Agus Noor. Intinya bagaimana mencari pola dan format pemanggungan yang simple bagi monolog saya kali ini. Lalu Agus Noor saya tawarkan untuk merekonstruksi ulang cerpen Putu itu, agar sesuai dengan “gagasan pemanggungan” yang kami diskusikan. Dalam beberapa hal, ia memperkaya atau menambahinya, memberi ruang bagi saya, agar sesuai dengan apa yang kami rancang dan diskusikan. Apa sih ‘gagasan pemanggungan’ yang Anda maksud itu? Setidaknya dibandingkan dengan monolog Anda sebelumnya, apa yang membedakan monolog Kucing ini? Kemasan pertunjukannya berbeda. Dibanding lakon Matinya Toekang Kritik dan Sarimin yang panggungnya ribet dengan berbagai trik, bahkan memasukkan unsur multi media, kali ini diupayakan lebih sederhana. Lebih ringkas. Untuk sementara saya ingin menghindar dari pemanggungan saya, meskipun saya sendiri tidak bisa
WAWANCARA
menjamin apakah jejak-jejak lama bisa hilang semuanya. Setidaknya, itulah yang ingin saya jadikan titik pijak penggarapan. Saya memosisikan diri sebagai aktor. Ada sutradara yang menggerakkan dan mengarahkan. Ada cahaya yang berfungsi membangun suasana dan menafsir adegan. Begitu pun musiknya. Tidak lagi berfungsi sebagai partner untuk berinteraksi seperti biasanya. Dalam bayangan saya, lakon ini nantinya gampang digelar di mana saja dengan segala keterbatasannya. Pada saat membicarakan soal konsep musik inilah, Djaduk Ferianto berkesempatan ikut menambahi. Bahwa pada proses Kucing ini, Djaduk lebih menekankan pada musik sebagai elemen pendukung suasana. “Mungkin mirip musik pada ilustrasi film, dimana pilihan warna suara dan elemen-elemen bunyi yang dipilihnya memperkuat peristiwa adegan dan mempertegas suasana, ruang, progresi karakter tokoh,” ujar Djaduk. Musik yang dikembangkan Djaduk kemudian lebih berupaya membangun suasana yang realis pula. Inilah, yang menurut Djaduk, membuat konsep tata musik yang dikembangkannya berbeda dengan yang biasa ia lakukan. Misalkan, ruang celotehan atau interaksi antara dirinya sebagai pemusik dengan Butet sebagai pemain, menjadi dikurangi. Musik adalah bagian yang memberi ruang bermain aktor seluas-luasnya. ”Musik saya pun secara konseptual harus simple bila dibawa ke sana-kemari. Alat musiknya ndak boleh seabreg. Ini kesepakatan terkait konsep dan gagasan monolog Kucing ini, yang harus simple, praktis dan fleksible. Menurut saya ini akan mempertegas kemampuan keaktoran Butet dalam bermain dan membangun cerita yang disampaikan,”
ujar Djaduk. Karena itu wilayah bunyi yang saya kembangkan banyak berasal atau memakai bunyi yang dihasilkan lewat digital. Ada persiapan khusus untuk menyiapkan monolog ini? Pertama tentu saja persiapan fisik. Harus fit. Sekarang kan saya tambah tua, tahun depan udah umur setengah abad. Lagian jantungku udah cacat. Diam-diam sebenarnya pertunjukan ini juga test case, menguji kembali kekuatan fisik saya. Dibanding main rame-rame dalam pertunjukan kelompok, misalnya dengan Teater Gandrik, memainkan monolog kan menuntut kekuatan dan intensitas yang berbeda. Apa sih yang yang Anda lakukan setiap kali menyiapkan lakon monolog? Yang musti disadari, meskipun di atas panggung aktor bermain sendirian, hakekatnya pertunjukan monolog itu sebuah kerja kelompok sebagaimana lazimnya pertunjukan teater. Artinya, proses penafsiran melibatkan semua elemen pendukung. Terlalu sombong kalau seorang aktor merasa dirinya superman, lalu memonopoli seluruh tahapan kerja yang takdirnya kerja kolektif. Kami bersama-sama mempersatukan pandangan dan ide-ide yang menyangkut kebutuhan artistik. Ini yang harus dijaga dan dikawal. Proses selanjutnya: membaca naskah, menghafal sambil mencoba menghidupkan karakter, menggagas lay out panggung dan menentukan elemen-elemen visual pemanggungan. Mendiskusikan dengan sutradara atas temuan-temuan dalam proses sebelumnya yang bertalian dengan pengembangan karakter. Menyeleksi ulang apa yang telah ditemukan. Lalu penataan bloking, penggunaan dan permainan properti yang
Latihan Monolog “Kucing” (2010)
bakal digunakan, serta menjajal kemungkinan-kemungkinan ruang bermain. Semua dicari, diuji, diseleksi dan dijajal. Selalu bongkar pasang. Dalam setiap proses tidak ada temuan yang bersifat final, bahkan sampai menjelang pertunjukan pun semuanya bertumbuh dan berkembang. Di sinilah sebenarnya keasyikan berteater itu. Sementara proses garap pemeranan berlangsung, yang bertugas menata musik dan pencahayaan mulai merancang dan menginventarisir kebutuhan-kebutuhan eksekusi yang kelak diimplementasikan di atas panggung. Barulah nantinya seluruh usaha dari setiap bagian dipertemukan, disusun, dijahit menjadi satu kesatuan yang utuh. Berapa lama proses itu? Dua atau tiga bulan. Mestinya bisa lebih ringkas kalau semua pendukung tidak punya kerjaan lain. Hidupnya hanya fokus untuk berteater saja. Tapi itu hil yang mustahal. Pekerja teater di Indonesia kan masing-masing punya kesibukan individual. Dan yang jauh lebih penting tapi terkadang diabaikan adalah urusan di luar perkara artistik. Yaitu tim kerja bagian produksi yang harus berpikir dan mengatur presentasi sebuah karya ke ruang publik. Ini tugastugas paling ribet karena menyangkut pendanaan, logistik, komunikasi publik, dan pelayanan kepada masyarakat seni yang kelak dijadikan sasaran untuk menikmati hasil seluruh pencapaian kreatif. Ilmunya berbeda. Ini seni yang lain. Seninya adalah seni menggali dana, seni memasarkan, seni promosi, seni negosiasi dan seni melayani. Menurut saya posisi antara perjuangan estetika dan perjuangan produksi adalah setara. Keduanya saling melengkapi dan saling tergantung. Karena itulah saya sering prihatin
melihat arogansi seniman yang acapkali cenderung menyepelekan departemen produksi. Kabarnya monolog ini Akan dikelilingkan ke kota-kota kecil, kotakota “tingkat kabupaten” dan juga luar Jawa. Apa yang diinginkan dari pentas keliling itu? Ya. Soalnya selama ini saya hanya main monolog di kota-kota besar di Jawa. Ada kecerewetan artistik yang memaksa kami harus begitu. Maka kali ini, Kucing sejak awal sengaja didesain sebagai pertunjukan yang lebih ringkas, bersifat sederhana, tuntutan artistiknya tidak aneh-aneh. Ibaratnya dengan kondisi gedung seperti apa pun, lakon ini siap dimainkan. Makanya saya mengundang kawan-kawan pekerja teater dimana pun, terutama kelompok teater dari kampus-kampus perguruan tinggi, untuk mentuanrumahi pertunjukan monolog saya ini. Selain berpentas kami ingin juga melakukan workshop seni (keaktoran, sastra dan musik, mengingat dalam tim kami juga ada Djaduk Ferianto, Whani Darmawan dan Agus Noor). Kami ingin berbagi pengalaman, setelah selama ini kami seperti mengabaikan mereka. Selama ini, saudara-saudara saya di luar Jawa juga di berbagai pelosok, kan hanya bertemu saya lewat pemberitaan pers, tayangan televisi atau dokumentasi pertunjukaan saja. Tahun depan, setelah saya 32 tahun berteater, saatnya saya “bayar hutang” kepada mereka. Saya tidak tahu, mungkin ini semacam moral obligation dari saya dan kawan-kawan sekomunitas. Denger-denger sebelumnya Anda juga punya rencana serupa dengan Rendra? Betul. Bulan April 2009, saat ketemu
7
Mas Willy (Rendra-red) di Mahkamah Konstitusi untuk membela nasib petani tembakau, kami menjadwalkan “go to campus” untuk workshop keaktoran. Mas Willy direncanakan membagi pengalaman keaktorannya, dan saya yang merancang perlawatan itu. Rencananya di Oktober tahun itu. Sayangnya dia gugur duluan. Makanya kalau tahun depan gagasan “go to campus” ini terlaksana, anggaplah ini usaha menjelmakan amanah almarhum. Apa yang Anda bayangkan dari road show itu? Membagi pengalaman melalui workshop, saya pikir sangat inspiratif bagi kawan-kawan di kota-kota dan desa-desa yang kelak kami singgahi. Monolog harus diyakini sebagai media pengembangan diri sebagai aktor yang bersolo karier. Namun, keaktoran bukan sekadar orang terampil berakting. Kita tidak boleh capek untuk meyakinkan semua orang, bahwa keaktoran itu bukan semata-mata berlatih seni peran. Bukan sekadar siasat untuk lekas-lekas menjadi bintang sinetron yang ujungujungnya menjelmakan utopia sebagai orang beken. Melainkan keaktoran itu adalah ilmu yang menghasilkan kekuatan untuk membaca, mengukur dan mengidentifikasi kekuatan diri sendiri sehingga seseorang bisa mengatur masa depannya sendiri. Dari belajar keaktoran kita mengenal pentingnya toleransi, solidaritas, kepekaan sosial, kemampuan mengartikulasikan pikiran dan lain-lain. Setelah monolog Kucing ini, lakon apa lagi yang ingin Anda siapkan? Kirakira tahun berapa? Sejak tiga tahun lalu saya masih setia menunggu Agus Noor ketiban wahyu, dan merampungkan lakon monolog Musuh No. 1. Entah kapan si wahyu itu datang,…hua ha ha. ---
8
9
S
10
p ro f i l a ktor
Butet Kartaredjasa Seor an g A kt o r d a n R umah ya ng D i r i ndu kan Monolog “Sarimin” (2007)
etiap manusia akan menemukan jalan kebahagiaannya sendiri-sendiri, dan itu adalah proses menjadi manusia. Itulah yang difahami Butet Kartaredjasa ketika ia mulai berproses dalam dunia teater. “Proses berteater adalah proses menemukan keyakinan, juga kebahagiaan,” kata Butet yang sejak masa belia memang sudah menjeburkan diri ke dunia teater bersama Teater Kita-kita, Teater Dinasti, Teater Gandrik, dan kemudian setelah ngetop markotop juga rela berpeluh-peluh mengikuti proses produksi pertunjukan. Semua itu, menurut Butet, ia jalani sebagai pilihan untuk terus berproses menemukan apa yang diyakini sebagai “jalan kebahagiaan”. Mungkin seperti Musashi yang menempuh “jalan pedang”, Butet menempuh “jalan keaktoran” untuk mematangkan jiwanya. Karena itulah, proses berteater, yakni proses ketika menjalani darma keaktorannya, selalu Butet upayakan sebagai peningkatan kualitas kemanusiaannya. Main teater bukan berujung pada panggung, tetapi pada hidup. “Karena itulah dalam berteater, kita tak boleh mengorbankan hidup. Teater telah mengajarkan saya, bawa kita hanyalah bagian dari hidup, bagian dari orang lain. Seorang aktor tak pernah hidup sendirian.” Ia memahami hal itu, barangkali, karena ia tak mempelajari teater secara formal. Sekolah teaternya adalah kehidupan dan kehidupan selalu memberinya kesadaran, bahwa sebagai individu, ia hanyalah menjadi bagian dari tata nilai yang lebih besar. Menurutnya, tanggung jawab seorang aktor, sesungguhnya bersikap kritis terhadap tata nilai yang lebih besar itu, terutama ketika tata nilai itu dirasakan makin hegemonik, menekan dan menutup ruang dialog. “Saya bisa merasakan kebahagiaan, apabila sebagai aktor, saya bisa menyurakan keberagaman suara-suara agar tercipta suasana kehidupan yang lebih dialogis,” kata aktor kelahiran Yogyakarta 21 November 1961 ini. “Ketika kita ingin mementaskan sebuah lakon, sesungguhnya kita tengah menggagas sebuah cita-cita. Sedang memperjuangkan gagasan. Secara internal, gagasan itu mesti bertarung dalam suasana yang demokratis, agar ketika ia telah menjadi kenyataan eksternal pertunjukan, gagasan itu pun bisa bersikap demokratis terhadap gagasan lainnya. Karena tak ada yang absolut!” tegas Butet. “Saya mencintai teater, tetapi tidak mendewakannya.” Sejak ia terpilih sebagai Aktor Terbaik di Festival Teater SLTA se DIY tahun 1979 dan 1981 (yang menobatkannya juga sebagai Sutradara Terbaik), hingga ia bermain
monolog membawakan naskah Racun Tembakau tahun (1989) dan kemudian dikutuk menjadi Raja Monolog setelah memainkan monolog Lidah Pingsan (1998), Mayat Terhormat (2002), Matinya Toekang Kritik (2007), Sarimin (2008) hingga Kucing (2010) ini, Butet menghayati itu sebagai proses dan upaya untuk menemukan martabat kemanusiaannya. “Barangkali, dalam proses itu saya gagal. Tetapi sebuah proses adalah proses menjadi, bukan sesuatu yang final atau selesai,” kata peraih penghargaan Tokoh Seni versi PWI Yogya 1999 ini yang ikut main dalam film Petualangan Sherina, Banyu Biru, Maskot, Drupadi atau beberapa sinetron. Setelah menempuh perjalanan panjang jalan keaktorannya, kini ia seperti rindu rumah. Dan rumah itu adalah “seni akting”, yang baginya penuh pengertian dan selalu membukakan diri bagi setiap kegelisahan. “Seni akting pada dasarnya proses memahami yang tidak kita mengerti, semacam proses memahami yang lain, yang bukan kita,” katanya. Itulah hakekat seni peran. “Jadi bukan akting model para politikus yang selalu bergaya di depan kamera televisi. Akting yang memaki-maki.” Seni peran, pada akhirnya, memang seni memberikan seluruh intensitasnya pada yang dilakoni. Barangkali, monolog Kucing ini menjadi manifestasi pada kerinduannya akan “rumah yang menyenangkan itu”, yakni “rumah teater” yang hangat, dimana Butet selama ini menumbuhkan dirinya. Di rumah itulah ia ingin kembali, ingin berbagi. Itulah sebabnya, melalui monolog Kucing ini, ia ingin mengkhidmati kembali yang sederhana dan bersahaja, membangun ruang komunikasi yang karib. Makanya ia pun berniat berkeliling dari kota-ke kota, untuk bertemu dan bertandang ke “rumah-rumah teater” yang selama ini mungkin tak pernah disinggahinya. “Di rumahrumah teater itu, di banyak komunitas teater di kota-kota, saya ingin menyapa dan berdialog.” ---
catata n p ro s es
11
Proses Menjadi Kucing oleh A gus N oo r
Suatu kali, kami (saya dan Butet) bertemu dan ngobrol seperti biasanya, sembari mencoba merancang gagasan pemanggungan. Butet memang berkeinginan menepati niatnya untuk selalu main monolog, minimal dua tahun sekali. Saat itu kami baru saja “merampungkan” pementasan monolog Sarimin. “Saatnya kita memulai satu pertunjukan yang lain,” kata Butet. Saya kemudian bercerita tentang naskah yang mau saya siapkan: Musuh No. 1. Saya sempat menceritakan gagasan pemanggungan dan alur ceritanya, tetapi kemudian terbengkalai. Sampai kemudian kami membicarakan lagi rencana mementaskan monolog, dan dari pembicaraan itulah, saya mengesampingkan lebih dulu lakon Musuh No. 1, yang sudah jadi dalam kepala saya. Karena, pembicaraan kemudian, mengarah pada sebuah upaya untuk “membuat sesbuah pertunjukan yang secara artistik, bisa dilakukan dengan simple dan sederhana”. Sekadar diketahui saja: monolog Musuh No. 1 secara konsep pemanggungan akan memakai ‘sirkus’, lengkap dengan segala akrobatnya, kalau perlu menghadirkan kandang singa. Sudah barang tentu, itu bukan konsep pemanggungan yang simple dan sederhana, sebagaimana yang diinginkan Butet. Saya akan memberi latar belakang, kenapa Butet sampai pada keinginan mementaskan lakon monolog yang simple dan sederhana itu. Boleh dibilang, panggung pertunjukan monolog yang dilakoni Butet, cenderung pada format artistik yang besar. Artinya, lakon-lakon itu sesungguhnya memprasaratkan kebutuhan artistik yang tidak murah, dan juga cenderung wah. Setidaknya, itu terlihat dari tiga pentas monolognya, sejak Mayat Terhormat (karya: Indra Tranggono dan Agus Noor), Matinya Toekang Kritik dan Sarimin, keduanya karya Agus
Noor. Di panggung, Butet memang “ngoceh sendirian”, tetapi, sesungguhnya di “belakang panggung” banyak sekali pekerja yang sibuk: dari yang menata lampu, memainkan musik, sampai memainkan wayang atau bahkan “menggerakkan senar” yang dikaitkan ke properti tertentu, untuk mendukung artistik penceritaan di atas panggung. Dalam Matinya Toekang Kritik misalnya: ada efek bagaimana kursi goyang itu bergerak-gerak, hingga terkesan ada seseorang yang duduk tertidur di kursi goyang itu. Kursi goyang itu pun dikaitkan pada senar yang di tarik-gerakkan oleh kru pendukung. Begitu juga dalam Mayat Terhormat: ketika adegan piring dan benda-benda lain mendadak bisa terbang melayang, seakan “disihir” oleh Butet. Di monolog Sarimin, kerumitan itu makin menjadi-jadi: bagaimana menggerakkan wayang polisi, membuat boneka ‘replika’ tokoh Sarimin, menggerakkan dan memindahkan properti. Belum lagi pencahayaan yang membutuhkan efek khusus, tata musik Djaduk Ferianto yang mengangkut puluhan alat musik dan lain-lain, dan lain-lain. Kenapa tidak ingin membuat ‘sesuatu yang lebih sederhana’? Sebelum tiga lakon monolog yang saya singgung di atas, Butet sesungguhnya pernah memainkan satu monolog yang menurut saya sangat menarik. Saat itu tahun1989, di panggung Purna Budaya, saya menyaksikan Butet memainkan monolog Racun Tembakau karya Jim Adi Limas yang diangkat dari cerpen Anton Chekov. Sebuah pementasan sederhana, dengan perangkat artistik yang sederhana, hanya beberapa
B
12
level yang membagi ruang, dan Butet bermain tanpa “trik atau sulapan panggung” yang macam-macam. Pementasan itu, nyaris sepenuhnya bertumpu pada permainan Butet, pada kemampuannya mengolah seni akting. egitu juga saat memainkan monolog Lidah Pingsan, di Teater Utan Kayu, saat memperingati setahun pembreidelan majalan Tempo, Detik dan Editor. Pemanggungan Butet masih sederhana. Hanya ada meja kursi kayu, dengan mesin tik tua, juga satu level kecil untuk pembagian ruang permainan. Selebihnya Butet membangun dramatik pertunjukan itu melalui permainannya di atas panggung. Pencahayaan dan musik menjadi elemen yang membantu permainannya. Di akhir lakon Lidah Pingsan, memang ada adegan ketika Butet, yang memainkan peran seorang wartawan, kemudian digulung oleh lilitan kertas: sebagai gambaran ketidakberdayaan pers atas kekuatan modal yang disokong oleh kekuasaan. Sebagai seniman panggung, tentu saja Butet ingin agar pementasannya tidak membosankan. Tantangan pada pemanggungan selanjutnya adalah bagaimana menemukan “bahasa artistik yang selalu dinamis”, yang membuat pementasannya tidak membosankan. Dari situlah, pada monolog Mayat Terhormat, digali unsur-unsur pemanggungan dan trik yang biasa dilakukan pada pertunjukan ketoprak: menggulung layar, menggubah setting dan sebagainya. Karena tak ingin mengulang trik itu, saat Matinya Toekang Kritik, dipakai permainan multimedia dengan LCD yang mendukung permainan Butet. Begitulah, panggung-panggung monolog Butet kemudian menjadi penuh trik dalam Sarimin, sebagai sebuah upaya untuk selalu memberi kesegaran pemanggungan. Bagi “penonton setia” Butet, pola pemanggungan seperti itu kemudian menjadi sesuatu yang dikenali, sesuatu yang boleh jadi juga menjadi “harapan” ketika datang menyaksikan monolog Butet. Mereka mengharapkan kebaruan dan kesegaran teknik pemanggungan, yang berbeda dengan
catatan p roses
lakon sebelumnya. Sampai di sinilah kemudian muncul pertanyaan: kenapa tidak mencoba kembali “kepada gagasan pemanggungan yang sederhana”? Sederhana, dalam arti tata panggung dan artistiknya, juga musik dan tema lakonnya. Soal tema ini juga menjadi pertimbangan yang penting: karena bagaimana pun publik penonton sudah terlanjur “mencap” Butet sebagai aktor yang kerap memainkan lakon-lakon bernuansa dan bertema sosial politik, dalam artian selalu merespon isu-isu aktual ke dalam bangunan kisahnya. Bagaimana kalau kita tidak memenuhi “horizon harapan” penonton itu? Kemudian Butet menyodorkan cerpen Kucing Putu Wijaya. Sebuah kisah yang boleh dibilang jauh dari persoalan politik. Kucing berkisah tentang hubungan suami istri, yang melibatkan seekor kucing milik tetangganya. Dari kucing yang suatu hari memangsa rica-rica yang disiapkan si istri untuk berbuka puasa itulah, alur cerita mengalir. Ya, ini pilihan tepat. Karena setidaknya memungkinkan apa yang diinginkan dan digagas. Pertama, tema lakon ini terasa sederhana, tetapi sesungguhnya “menyimpan pesan yang dalam dan tajam”. Kedua, cerita ini ditulis oleh “orang diluar komunitas Butet”. Saya selalu mengatakan kepada Butet: bagaimana pun penting untuk memainkan karya orang lain – dan karenanya soal Musuh No. 1 itu ditunda lebih dulu. Ketiga, lakon Kucing menyediakan kemungkinan pemanggungan yang sederhana. Juga bisa memberikan pola permainan yang berbeda. Ini sangat pas dengan apa yang kemudian digagas Butet: memainkan lakon sederhana, dengan tema yang tidak politis, dan juga dibangun melalui tata panggung yang simple dan sederhana. Dengan begitu, ini akan mengembalikan panggung sebagai permainan seni akting. Yang utama dan terutama di atas panggung adalah: permainan
sang aktor, dengan seluruh perangkat ketrampilan bermain yang dimiliki dan dikembangkannya. Dengan begitu, sesungguhnya, monolog Kucing ini mengembalikan dan “mengingatkan” pada semangat pertunjukan monolog Racun Tembakau, yang dimainkan Butet dulu itu. Tentu saja, pilihan ini bukan tanpa risiko: bagi “penonton setia Butet”, yang terlanjur berharap pada tema-tema politis dan spectacle pemanggungan, boleh jadi akan kuciwa. Tapi semoga saja tidak. Karena monolog Kucing ini, sesungguhnya justru bisa memberi gambaran pada “awal-awal sejarah keaktoran Butet dalam melakonkan monolog”. Keempat, monolog Kucing ini bisa dipentas kelilingkan ke kota-kota kecil, setingkat kota kabupaten atau bahkan kecamatan. Ini juga gagasan yang diinginkan Butet: bagaimana ia ingin mendatangi kota-kota yang selama ini tak terjangkau pentas-pentasnya, sembari memberikan workshop (baca: Wawancara Kucing, di bagian lain buku acara ini, Red). Begitulah, Butet telah berikhtiar dan berproses menjadikan Kucing ini sebagai cara dia mencintai dunia teater. ---
Monolog “Lidah Pingsan” (1997)
W
D
R
13
bi o data pa r a pendukung
hani Darmawan [SUTRADARA] Lahir di Yogyakarta kira-kira enam tahun sebelum setengah abad yang lalu untuk tahun 2010. Aktor teater yang banyak menempa diri melalui banyak kelompok mulai tahun 1985 hingga kini (Asdrafi, ISI, Teater Gandrik, dsb). Di Gandrik ia memerankan tokoh Jaksa Perempuan dalam lakon Sidang Susila. Meski ia bisa menyutradarai, tetapi sebenarnya ia lebih mengakui dirinya sebagai pemain. Senang membaca dan berolahraga. Spirit hidupnya ‘di dalam Jiwa yang sehat terdapat raga yang sehat’. Mensana in Corpore Sano jadi nggak berlaku bagi dia. Sebelum menyutradarai Butet dalam Kucing ini, pernah juga menyutradarai beberapa repertoar; Lautan Jilbab (Emha Ainun Nadjib 1991), Santri Khidlir (Emha Ainun Nadjib, 1992), Karno Tanding (Whani Darmawan, 1998). Menulis beberapa lakon dan beberapa sudah dimainkan oleh beberapa kelompok teater di Yogyakarta. Yang ia mainkan sendiri adalah naskah monolog Metanietzsche: Boneka Sang Pertapa (2001-2004). jaduk Ferianto [PERANCANG SUARA DAN MUSIK] Yogyakarta, 19 Juli 1964, jebolan Fakultas Seni Rupa & Desain ISI ini, malah lebih menekuni musik. Sosoknya tak bisa dilepaskan dari Kua Etnika dan Sinten Remen, dua kelompok musik yang dibentuknya. Menggarap musik untuk Teater Gandrik dan juga monolog Butet. Juga menata musik untuk sinetron dan film. Kucing Pak Selatiban, Dongeng Ndangdut, Bulan pun Terpejam karya Dedi Setiadi; Arak-arakan karya Teguh Karya, film Badut-Badut Kota karya Ucik Supra, film Cemeng-2005 karya N. Riantirano, Soero Buldog karya Slamet Rahardjo, Menghitung Hari, karya Enison Sinaro, juga Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho, Jagad X Code, dll. Bersama kelompok-kelompok kesenian itu ia telah menjelajahi berbagai kota di Indonesia dan di beberapa negara, antara lain: Belanda, Jerman Barat, Swiss, Swedia, Austria, Australia, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat. Pada 1995 ia menerima penghargaan Piala Vidia Festival Sinetron Indonesia sebagai Penata Musik Terbaik, dan dinobatkan sebagai Pemusik Kreatif oleh PWI Cabang Yogyakarta. Kini ia mengelola dan mandegani Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. ulyani Isfihana [PENATA BUSANA dan RIAS] Tak lekang karna panas tak lapuk karna hujan, itu bisa menggambarkan kasih sayang dan pengertian sosok ini kepada Butet Kartaredjasa. Nyaris dengan setia ia menemati Butet setiap kali berproses hendak pentas. Termasuk untuk Kucing ini, dimana ia juga menangani tata kostumnya. Belajar tari di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, bermain untuk
Teater Gandrik. Kepintarannya masak, membuat proses berkesenian bersamanya menjadi menyenangkan. Seluruh energi dan kecapekan yang timbul selama latihan, pasti langsung menguap saat menikmati masakannya. Agus Noor [TEMENNYA BUTET] Sebagai temen ngobrol dalam proses Kucing ini. Untung ditidak di-casting jadi suara kucingnya. Menulis beberapa naskah monolog yang di mainkan Butet Kartaredjasa, seperti Matinya Toekang Kritik dan Sarimin. Kerap menyebut dirinya sebagai prosais, dan telah menerbitkan beberapa kumpulan prosa, terakhir Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang Pustaka, 2009). Belakangan kerap dikaitkan dengan genre fiksimini yang dikembangkannya. Di twitter ia berakun: @agus_noor. Blog-nya www.agusnoorfiles. wordpress.com bisa diakses dengan cara cepat lewat handphone di http://buzzcity. mobi/agusnoorfiles. Rendra Bagus Pamungkas [PENGELOLA PANGGUNG] Kediri, 21 Maret 1984, aktif sebagai aktor, sutradara, kontemporer dance performer sejak tahun 2002 dan belajar bersama Teater Gandrik sampai sekarang. Mencoba menghayati proses kesenian sebagai proses menghayati hidup. Pada proses Kucing ini, ia mencoba belajar menangani tata artitik dan detail keperluan panggung. Dalam kesenian, “kerja” semacam ini dianggapnya jauh lebih mencerahkan pengetahuannnya, karena ia bisa langsung mengetahui kekurangan dan kesalahan, sembari terus mencari jalan keluarnya. Feri Ludiyanto Sopawiro [PENATA ARTISTIK] Kebumen, 15 Januari 1981, sudah tiga tahun ini berproses bersama Teater Gandrik. Sebagai aktor, ia mencatatkan diri sebai Aktor Terbaik pada Festival Monolog Yogyakarta, 2009. Ia menangani scenografi untuk beberapa pertunjukan di Yogya. Permainan dan warna vokalnya unik, khas dan komikal, karena itu ia boleh dibilang termasuk “generasi segar” di Teater Gandrik yang memang tengah mengolah dan memperbaharui diri. Saya beruntung bisa berproses dalam Kucing ini, katanya. Sejak di lakon Sidang Susila dan juga Pandol teater Gandrik, Feri juga sudah terlibat di bagian penataan artistik. Ong Hari Wahyu [KONSULTAN ARTISTIK] Sejak secara syah dan meyakinkan menyandang gelar duda, laki-laki kelahiran Madiun, 22 Desember beberapa purnama yang silam ini, terlihat makin matang mengolah diri. Di samping makin tekun dengan dunia grafis yang membesarkan namanya, ia juga mulai menekuni memelihara ikan lele dan kucing. Kucing itu penuh teka-teki, katanya. Setidaknya ia bisa memahami kesepian kita, tegas
duda keren itu. Sebagai penata artistik, ia banyak memberi sentuhan magis pada panggung-panggung Teater Gandrik, monolog Butet mau pun tata artistik film. Garin Nugroho memujinya sebagai “penata artistik bertangan Midas”. Setiap yang disentuh tangannya jadi langsung terlihat artistik. Mungkin karena setiap kali menggarap artistik ia banyak merenung, memikirkannya masak-masak, hingga hasilnya lamaaaaaa.....dan, insyaallah, bisa diselesaikan tepat waktu. Anton Gendel [PENATA SUARA] Kelahiran 15 September 1979, mengaku pernah tersesat pingin jadi penulis. “Bahkan saya sempat jadi murid Agus Noor di Bengkel Sastra,” katanya. Tapi kemudian merasa terselamatkan karena lebih memilih dunia tata suara. Pernah menjadi drummer band dan nyaris rekaman di mayor label, tetapi ia justru keluar. Ia hobi mancing, yang katanya sangat membantunya dalam mengolah kepekaan yang sangat dibutuhkannya sebagai sound enginering. Menangani tata suara pada pentas dan album-album Kua Etnika, terbaru adalah Nusa Swara (2010) Clink Sugiarto [PENATA CAHAYA] Kemampuannya manata cahaya tak perlu diragukan lagi. Ia telah bekerja sama dengan banyak seniman tari, teater, musik sampai pentas organ tunggal. Bersama Hartati ia berproses bersama dalam koreografi IN/OUT, dan seniman lainnya. Juga dengan Teater Garasi dan Teater Gandrik. Ikut menangani tata cahaya di drama musikal Laskar Pelangi, juga Opera Tan Malaka yang digarap Goenawan Muhamad dan komponis Tonny Prabowo. Giras Basuwondo [PIMPINAN PRODUKSI] Putra Daerah Istimewa Yogyakarta yang lahir 26 September 1981 ini merintis sebagai film maker. Banyak terlibat dalam produksi film dan pentas teater. Ia sebelumnya adalah seorang striker sepak bola yang piawai. Tapi kemudian ia tak meneruskan cita-citanya menjadi pemain bola, karena sepak bola dianggapnya lebih banyak tawurannya ketimbang seninya. Tapi ia masih sesekali bermain bola sebagai hiburan, dan menjaga kesehatan, agar badannya tetap langsing. Zulita [PELAKSANA PRODUKSI] Terlibat di banyak produksi event kesenian dan juga pentas-pentas seni. Ia sangat detail memperhatikan setiap kebutuhan produksi pementasan, juga kebutuhan seniman saat berproses. Atau dalam bahasa kawan-kawannya, “Bahkan untuk urusan tusuk gigi setelah makan pun dia perhatikan.” Ia menangai roadshow Putu Wijaya ke beberapa daerah saat menggelar Burung Merak. Menjadi produser koreografi IN/OUT karya Hartati, dan beberapa event kesenian yang lain. ---
14
k e r a bat kerja
uca pan terima kasih
Pementasan Monolog Kucing ini dimungkinkan terlaksana karena dukungan berbagai pihak. Untuk itu, terimalah ketulusan dan terimakasih kami kepada: AKTOR Butet Kartaredjasa PENULIS CERITA Putu Wijaya PENYELIA Agus Noor SUTRADARA Whani Darmawan PERANCANG SUARA DAN MUSIK Djaduk Ferianto PENATA ARTISTIK Feri Ludiyanto Sopawiro KONSULTAN ARTISTIK Ong Hari Wahyu PENGELOLA PANGGUNG Rendra Bagus Pamungkas PENATA CAHAYA Clink Sugiarto PENATA SUARA Anton Gendel PENATA RIAS DAN BUSANA Rulyani Isfihana PIMPINAN PRODUKSI Giras Basuwondo PELAKSANA PRODUKSI Nur Zulita TIM PRODUKSI JOGJA Abdilah Yusuf , Novindra Dhiratara TICKETING JAKARTA Hemma TICKETING JOGJA Ratri, Hani, Nia ILUSTRATOR Iwan Effendi PERANCANG GRAFIS Gamaliel W. Budiharga
Yayasan Bagong Kussudiardja PKJ – Taman Ismail Marzuki Taman Budaya Yogyakarta PT. Djarum PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Metro TV PT. Bank Central Asia Tbk. PT. BP Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta BPD Yogyakarta PLN Distribusi Jawa Tengah – DIY Centro Dept. Store Red Pepper, Jakarta PT. Warna Mardhika (Hammer), Jakarta Dagadu, Yogyakarta Whatever Shop Delta FM, Jakarta Green Radio, Jakarta Sonora, Yogyakarta Eltira, Yogyakarta Swaragama, Yogyakarta Jogya Family, Yogyakarta Geronimo, Yogyakarta Thunder, Yogyakarta Bapak Putu Wijaya Bapak Iwan Effendi Keluarga Ibu Lily Setiadinata Bapak Santiaji Gunawan dan para wartawan media cetak, cyber serta media elektronik.
Mit r a Penyelen ggar a
sp onsor - s ponsor
mit r a m edi a
MAKLUMAT Mohon dimaklumi jika kami berterimakasih kepada sejumlah pihak karena kami menggunakan cuplikan lagu dan suara-suara sebagai atmosfer dalam penataan bunyi pertunjukan ini: A TIME FOR US dinyanyikan oleh Johnny Matis, karya Larry Kusik dan Eddie Snyder LARI PAGI dinyanyikan dan diciptakan oleh Rhoma Irama MENUNGGUMU dinyanyikan oleh Ridho Roma, karya Rhoma Irama HATI YANG LUKA dinyanyikan oleh Betharia Sonata, karya Obbie Mesakh JAGONE KLURUK dinyanyikan oleh Sinten Remen. CERAMAH oleh Quray Shihab