2
Maria Tri Sulistyani & Iwan Effendi (Direktur Artistik/ Art Directors of MWATHIRIKA)
Mementaskan MWATHIRIKA untuk kese kian kalinya di ber bagai tempat berbeda, se macam menjadi se buah anugerah dan ke sem patan besar bagi ka mi. Kesempatan un tuk menceritakan ki sah ini kepada lebih banyak orang lagi, ke sem patan untuk sama-sama mengingat, dan kesempatan untuk mem bagi rasa. Berangkat dari sejarah abu-abu bangsa Indonesia puluhan tahun yang lalu, MWATHIRIKA sesungguhnya juga ingin membicarakan banyaknya sejarah kehilangan (dan kehilangan sejarah) yang terjadi di muka bumi. Sejarah-sejarah yang bagi kami menjadi penting untuk diingat, dibicarakan dan dipelajari, di kala banyak orang memilih tidak lagi membahas dan mengingatnya.
3
4
Entah karena merasa topik ini sudah terlalu tua dan kadaluwarsa, atau entah karena enggan, trauma atau takut. Dan di kala sebagian kecil orang memilih menulis buku, membuat diskusi atau membuat film tentang sejarah-sejarah tua itu, kami justru memilih MWATHIRIKA sebagai bahasa kami untuk bicara. MWATHIRIKA adalah sebuah pertunjukan visual tanpa kata, mengenai sejarah kehilangan, yang kami sampaikan dengan cara imajinatif seperti di negeri dongeng. Sebuah pertunjukan teater boneka bak film animasi yang kami ramu sedemikian rupa agar kisah terasa mudah dikunyah. Sebuah pertunjukan, dimana kami tidak bicara tentang siapa yang membunuh siapa. Ini adalah sebuah kisah tentang adanya sejarah kehilangan (dan kehilangan sejarah) di dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang? MWATHIRIKA kami hadirkan kembali untuk teman-teman semua, karena kami tidak ingin sejarah kehilangan semacam ini terjadi lagi. Baik di negeri ini, atau di bagian lain belahan bumi. ---
Performing MWATHIRIKA for the umpteenth time in different places is a blessing that opens up opportunities. It is a chance to tell this story to more people, a chance to remember and share feelings. Based on the gray history of Indonesia decades ago, MWATHIRIKA talks about the history of loss (and the loss of history) both at home and globally. For us, those histories are important to be remembered, to talk about and to be learned. Especially in times when no one talks and nobody remembers, either because they feel the issues are no longer important and have expired, or because they don’t want to relive a fear that caused trauma. And when some people choose to write books, discuss, or make films about these historical events, we prefer to present MWATHIRIKA as our language of expression. MWATHIRIKA is a visual performance without words about the history of loss, presented in an imaginative way as if this was a fairy tale that
5
6
happened in a land far far away. A puppet play resembles animation movies in that they can present stories in ways that are easy to digest. A play that tells no stories of who killed whom. This is a story about the history of loss (and the loss of history) in our lives. Shouldn’t it be so, that if we know what has happened in the past, then we can understand why we stand here now, and where we want to go in the years to come? MWATHIRIKA is presented one more time, in front of you, our dear friends, because we don’t want this history of loss to repeat itself again. Not in our country, Indonesia; not in another country; not in the whole wide world and the universe. ---
----------------------------------MWATHIRIKA adalah karya penerima Hibah
Empowering Women Artist 2010 oleh Yayasan Kelola, HIVOS dan FORD Foundation. MWATHIRIKA is the grantee of Empowering Women Artist 2010, that was supported by Kelola Foundation, HIVOS and Ford Foundation.
7
8
Ketika para wakil rak yat berusaha “mem bela” kepen tingan bang sanya, sia pakah korbannya? Ketika para tentara beru paya me num pas keja hatan, sia pa kah korban nya? Dan ketika ki ta ha nya akan men cari jalan aman, sia pa kah korbannya? Anak, kakak, adik, ke ka sih, orang tua, te tangga, sahabat, me reka, yang tak ber salah. Moyo dan Tupu adalah kakak beradik, yang dibesarkan oleh ayahnya, Baba, pria pe kerja keras yang ber ta ngan satu. Mereka adalah ke luarga harmonis yang ber tetangga dengan Haki yang memiliki seorang anak per empuan, Lacuna, yang selalu duduk di kur si roda. Mereka adalah te tangga baik yang tinggal “ber se be rang an”. Hidup bertetangga mere ka yang baik-baik saja men dadak mengalami perubahan besar semenjak terjadi kon flik besar di tataran penguasa, lapisan yang tak pernah mereka pahami. Dan perubahan itu terjadi hanya gara gara sebuah gambar segitiga di jendela rumah dan sebuah peluit kecil berwarna merah ---
When a representative of the people tries to de fend the interests of the nation, who are the vic tims? When the army attempts to fight off evil, who are the victims? And when we will only seek the safe path, who are the victims? Chil dren, brothers, sisters, loved ones, parents, neighbours, friend, they, who are not guilty. Moyo and Tupu are siblings, raised by their father, Baba, a hard working man with one hand. They are a happy family, neigh bours with Haki who has a daugh ter, Lacuna, who is wheelchairbound. They are good neighbours, who live “side by side.” Their peaceful neighbour hood suddenly undergoes a huge change, beginning with a enor mous conflict between the power ful, a strata they have never understood. And that change starts only with a triangle drawn on their window, and a small red whistle. ---
9
10
Papermoon Puppet Theatre didirikan pada tahun 2006, oleh Maria Tri Sulistyani (seorang ilustrator dan penulis, mantan aktris teater realis), dan kini dibesarkan bersama dengan Iwan Effendi (seorang perupa yang suka bercerita). Diawali dengan membuat pementasan teater boneka untuk anak-anak di kampung pada awal kelahirannya, kini Papermoon telah menetapkan hati sebagai seniman yang melakukan eksperimen seni dengan menggunakan media teater boneka yang diperuntukkan bagi publik yang lebih luas.
Papermoon Puppet Theatre was founded in 2006, by Maria Tri Sulistyani (an illustrator and writer, and former theatre ac足 tor) and now extends to Iwan Effendi (an artists who likes to tell stories). Beginning with performing puppet-theatre for neighbourhood children, now Papermoon continues fulfills its artistic heart with experi足 mental art which uses the me足 dium of puppet theatre to reach a wider audience. Not content with working in performance spaces, Papermoon
Tak hanya menggelar berbagai pementasan di gedung pertun jukan, Papermoon memiliki keter tarikan besar untuk membuat site specificperformance di pasar, kereta, rumah sakit, panti jompo dan tempat lain. Selain membuat pementasan, Papermoon juga kerap menggelar workshop teater boneka untuk segala usia dan juga kerap menjadi tuan rumah residensi bagi seniman mancanegara dan lokal. Tujuannya sejak awal hingga detik ini masih sama,
chooses to expand itself into site-specific performances in markets, trains, and hopefully next time in hospitals, nursing homes and other places. As well as performing, Paper moon also facilitates puppettheatre workshops for all ages and hosts residencies for local and international artists. From its beginnings until now, Pa permoons goals remain the same, that is to use the art of pup pet-theatre to talk about many things, to even more people. Outside Yogya, Papermoon Puppet
yaitu menggunakan seni teater boneka untuk bicara tentang banyak hal, kepada lebih banyak orang. Di luar Yogyakarta, Papermon Puppet Theatre juga sempat menggelar beberapa pementasan dan membuat workshop di Raja Ampat-Papua, Padang PanjangSumatera, Blora-CilacapSukoharjo-Malang, New York, Baltimore, Philadelphia, Washington DC (USA), Korea Selatan, Malaysia, Singapore dan Jepang.
Theatre has also had the opportunity to perform and facilitate workshops in Raja Ampat, Papua; Padang Pajang, Sumatera; Blora; Cilacap; Sukoharjo; Malang; and either New York; Baltimore; Philadelphia; Washington DC(USA); South Korea; Malaysia, Singapore and Japan.
11
12
Produser/Producer Papermoon Puppet Theatre Konseptor/Conceptor Maria Tri Sulistyani & Iwan Effendi Direktur Artistik/Artistic Directors Maria Tri Sulistyani & Iwan Effendi Sutradara/ Director Maria Tri Sulistyani Desainer Artistik/Artistic Designer Iwan Effendi Asisten Desainer Artistik/ Ass. Artistic Designer Octo Cornelius Pembuat Boneka dan Seting/ Puppet and Setting Builder Anton ‘Grewo’ Fajri, Beni Sanjaya, Octo Cornelius Pemain Boneka/Puppeteers Amanda Mita, Maria Tri Sulistyani, Anton ‘Grewo’ Fajri, Beni Sanjaya, Octo Cornelius, Iwan Effendi
13
Penata Musik/Music Director Yennu Ariendra Penata Lampu/ Lighting Director Banjar Triandaru Video Artist Doni Maulistya Pembuat kostum/ Costume Maker Gemailla Gia Geriantiana, Retno Intiani Production Manager Amanda Mita, Tarlen Handayani Staf Produksi/ Production Staff Wulang Sunu Penerjemah/Translator Elly Kent, Ingvild http://issuu.com/ gamaliel_wb/docs/ mwathirika_bdg
Perancang Publikasi/ Publication Designer Gamaliel W. Budiharga
14
Tuhan Yang Maha Ini dan Itu, kedua orangtua tercinta, kakak-adik dan kekasih. IFI Bandung, Mr.Philippe Germain-Vigliano, Mbak Dina Soeria Soemantri, Iwan Effendi, Maria Fri Sulistyani, Octo Cornelius, Anton ‘Grewo’ Fajri, Amanda Mita, Beni Sanjaya, Wulang Sunu, Yennu Ariendra, Banjar Triandaru, Doni Maulistya, Mba Tarlen Handayani dan teman-teman TOBUCIL, Mba Herra Pahlasari, Bang Ucok, dan Layka, Elly Kent, Ingvild, Gamaliel W. Budiharga, Indra Wicaksono, Hera Ariani, Gemailla Gia Geriantiana, Retno Intiani, Mba Dini & Mas Aji NLS. Pakde & Bude Kus, dan keluarga dan tetangga kami yang menjadi narasumber MWATHIRIKA. Oom Agung Kurniawan, Ibu Amna W. Kusumo, Yayasan KELOLA, Mbak Jeannie Park, Mas Besar Widodo dan rekan rekan Yayasan Bagong Kussudiardjo. KOTASIS, Tetangga Langensuryo. Untuk semua pemantik inspirasi: Super Shaun Tan, Os Gemeos, Ahmad Tohari, Black and White di Tekkonkinkreet, Taiyo Matsumoto, Tom Lee dan teman-teman Ko’olau, Luis dan Laurel Tentindo, Machinarium, The Boy in Striped Pyjamas, dan semua sahabat yang bersedia bersabar untuk menemani pementasan ini. ---
disponsori oleh/ sponsored by
didukung oleh/ supported by
An Indonesian Contemporary Puppet Theatre
Rumah Papermoon Jl. Langensuryo KT II/176 Yogyakarta 55131 INDONESIA papermoonpuppet@gmail.com www.papermoonpuppet.com twitter: @papermoonpuppet Director Maria Tri Sulistyani (+62 812 270 8012)