Restu Ratnaningtyas Catalogue

Page 1




Colophon

“Memento: Privatization Room� A Solo Exhibition by Restu Ratnaningtyas CURATOR

Hafiz Translator

Rani Elsanti PHOTOGRAPHS BY

Gamaliel W. Budiharga Catalogue Designer

Kotasis Kamar Desain 3x3x3 Yogyakarta, Indonesia kotasis@kotasis.com www.kotasis.com Edition

300 copies Copyright

2008. vivi yip art room Lot 2-3 The Promenade Jalan Warung Buncit Raya 98, Jakarta Selatan, 12510, Indonesia p/f: +62-21-79 00 480 e: vivi@viviyipartroom.com


Introduction from The Gallery

Restu has a unique personality; she seems so quiet, but her friends are all over the world; she looks mysterious, yet her laughter can be so boisterous. I’m impressed by her works, they can so well represent her, very personal. They are not pretentious, not beautified or, conversely, made to look mystical to heighten the mystery. She has prepared her solo exhibition so thoroughly that she even moved to Yogyakarta in order to concentrate on working. Observing her works, we feel as if we are entering a comic book, conveying a coherent story but at the same time being independent as well. The world of Restu’s generation is akin to her works. So close, so clear, yet so reflective. Enjoy the works! Pejaten, November 2008 vivi yip art room


Memento: Privatisasi Ruang pameran tunggal restu ratnaningtyas

Pertanyaan pertama sebenarnya apakah ruang personal itu sebenarnya? Kata “ruang” begitu dekat dengan kita. Namun, jarang sekali kita berpikir tentang ruang-ruang itu sendiri, baik dalam konteks pribadi maupun sosial. Sering ada istilah “ruang kota”. Namun apakah ruang itu sudah hadir sebagai ruang yang memberikan peluang “ruang” kepada individu-individu di dalamnya? Kota yang kita kenal selama ini sering mengabaikan individu. Kota lebih dibangun sebagai struktur sosial untuk kepentingan ekonomi. Jakarta sebagai contoh paling pas untuk ini. Kepentingan manusia sangat terabaikan dalam tata letak kota besar ini. Ruang untuk berjalan kaki saja sangat sulit untuk mendapatkannya. Semua sudah didominasi kendaraan roda dua dan empat. Belum lagi pedagang kaki lima yang tidak pernah mendapat ruang yang layak, sehingga mengokupasi ruang-ruang yang diperuntukkan bagi publik.


Bagaimana membaca Restu Ratnaningtyas? Dalam sebuah pertemuan beberapa bulan lalu, seniman yang pernah kuliah di Universitas Negeri Jakarta ini meminta saya untuk mengkuratori pameran tunggalnya. Dari pembicaraan awal banyak sekali pertanyaan di kepala kami berdua. Apa yang harus disampaikan ke publik dengan karya-karyanya yang sangat personal dengan gaya melukis seperti komik ini? Pada pertemuan berikutnya hadir beberapa ide tentang benda-benda. Tapi pertanyaan lanjut muncul benda apa yang dimaksud oleh Restu. Benda-benda yang hadir dalam karya-karyanya adalah benda-benda yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan apa yang dikenal oleh generasi sebaya seniman ini. Tidak ada yang spesial. Namun, menjadi tantangan buat saya bagaimana membongkar benda-benda yang ada dalam bidang-bidang lukisannya itu dalam konteks bacaan senirupa sekarang. Kami banyak melakukan diskusi melalui teknologi anak zaman sekarang: chatting (Yahoo Messenger). Dialog teks melalui teknologi maya ini sangat menarik. Ada keintiman di situ. Restu mulai membongkar sendiri bagaimana kode-kode dari benda-benda itu hadir di dalam karyanya.


Dari kode-kode benda ini kami mencoba merelasikan dengan persoalanpersoalan yang paling aktual dari fenomena masyarakat kontemporer. Kami bicara komputer (baik secara fungsi, kegilaan, teknologi, dan ruang) dengan berbagai perspektif. Tentu, itu ada kaitannya dengan apa yang menjadi pengalaman pribadi seniman ini. Melalui pembicaraan itu kami mencoba membongkar satu per satu kode-kode visual itu dalam berbagai perspektif; sosial, politik, ekonomi, budaya, dan konteks personal (memori, di situ juga ada passion, cinta, ketakutan, dan keterasingan). Dari rangkaian kode-kode yang kami diskusikan, Restu

menemukan persoalan “ruang� yang saya tulis di pembuka tulisan ini. Ruang ini menjadi sangat berubah saat kode-kode itu dirunut dalam beberapa tingkatan kepentingan menurut senimannya. Saya menemukan bahwa Restu punya ikatan-ikatan yang sangat sensitif dan emosional dengan bendabenda itu. Bagi saya ikatan-ikatan inilah yang memunculkan ruang-ruang yang diprivatisasi oleh senimannya dalam bingkai-bingkai lukisannya.


Kode-kode visual ini hadir dengan “sejarah” dan “memorinya” sendiri-sendiri. Baginya ruang adalah bagaimana membangun batas-batas tertentu baik dengan sengaja maupun tidak. Ruang-ruang ini memberikan kepercayaan diri dan memberi “kuasa” kepadanya untuk mengontrol peristiwa-peristiwa sosial di sekitarnya. Ada peristiwa dan kesakitan di dalamnya. Tentu, itu milik Restu sebagai seniman yang tidak perlu saya jelaskan di sini. Ada kekecewaan yang mendalam pada peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak bisa diabaikan. Memori inilah yang mengiringi dalam kode-kode visual Restu. Misalnya; pada suatu ketika kami mendiskusikan apa sebenarnya itu donat. Kenapa donat bundar? Kenapa sekarang ada donat yang tidak bolong di dalamnya. Restu punya obsesi tertentu dengan donat ini. Ia bisa menjelaskan bagaimana membuat donat walau itu pengalamannya membuat donat ketika masih kecil. Dalam diskusi itu ada kesenangan yang tak bisa diabaikan dalam membuat donat. Saat kami diskusi, saya sendiri baru tahu ternyata donat bisa dibuat dari kentang. Dari pameran ini Restu mencoba membongkar kepingan-kepingan memorinya selama ini, yang pasti dilihat dengan perspektif saat ini. Karena kehadiran


benda-benda yang membentuk ruang yang saya sebutkan juga menghadirkan kode-kode visual kontemporer yang memang tidak bisa lepas dari dunia anak muda zaman sekarang. Pada pameran ini Restu menampilkan lukisan dan figur yang hampir semua merupakan karyakarya baru. Juga ditampilkan beberapa teks sebagai bagian dari pembacaan kode-kode yang selama ini kami lakukan. Inilah Restu Ratnaningtyas, seorang seniman perempuan muda yang berusaha mengokupasi ruang-ruang sosialnya menjadi ruang pribadinya. Pada bagian tertentu dalam salah satu lukisnya ada kaktus berdiri di antara obat-obatan dalam ruang alienasi seniman ini: jamban. Selamat menyaksikan.

Hafiz (Kurator, menulis dari Tokyo)

10


MEMENTO: PERSONALIZED SPACE Solo exhibition by Restu Ratnaningtyas

The first question will be: what is the personal space, actually? The word ‘space’ is so close to us, but only rarely do we stop to think about the spaces, be it in the personal or social context. Often we hear the term ‘urban space.’ But does the space truly exist as one that gives a “spatial opportunity” for the individuals inside? The city that we know today often ignores the individuals. The city has been more developed as a social structure for the interest of the economy. Jakarta is the most apt example for this. Human needs have been very much ignored in the spatial arrangement of the city. It is very difficult even to find a space for pedestrians. All spaces have been dominated by four wheel and two wheel vehicles. Not to mention the street vendors who are not provided with a space of their own and thus occupy the spaces actually reserved for the public. How does one read Restu Ratnaningtyas? During an encounter a few months ago, the artist who once studied at the State University of Jakarta (UNJ) asked me to be the curator for her solo

11


exhibition. From the initial discussions, many questions emerged in our minds. What must we present to the public, with her deeply personal works and the painting style that is akin to that of comics? Our subsequent encounter brought us the idea of things. But then there was a further question of what exactly was the thing that she wanted to present. The things that are present in her works are things that actually are no different with those known by people from her generation. Nothing special about them. But it was a challenge for me to deconstruct the things appearing on her canvass using the context of current art discourses. We had a lot of discussions using the technology so familiar for the youth of today: chatting (using Yahoo! Messenger). The textual dialogues on the virtual platform of technology have been very interesting. There is a certain intimacy with such dialogues. Restu started to peel through the codes of the things on her works, how they appear on her canvasses. We then tried to relate the codes of the things with the actual problems of the contemporary society. We talked about computers (be it in terms of their function, of technology, of space, and of people’s obsession about them), using a variety of perspectives. Naturally, they all had to do with the artist’s personal experiences. In our discussions, we tried to peel through the visual codes one by one, layer upon layer, using a wide range of perspectives:

12


social, political, economic, cultural, and the personal context (memories, in which there were passions, love, fear, and alienation). From the series of codes we were discussing about, Restu arrived at the problem of “space,” which I mentioned in the opening of this essay. The space changes dramatically as the codes are lined up in several layers of interests according to the artist. I found out that Restu has a very sensitive and emotional relationship with those things. To me, it is such relationship that has given rise to spaces that the artist had made personal within the frames of her paintings. Such visual codes are present with their own “history” and “memory.” To her, space is about creating certain boundaries, deliberately or not. The space endows her with the confidence and “power” to control the social events around her. There are events and pain inside. Of course, those are her personal belongings that I do not need to explain here. There are profound disappointments in certain events that she cannot ignore. It is such memories that loom over Restu’s visual codes. One day, for example, we discussed what a doughnut actually was. Why is it round? Why are there doughnuts with no holes in the center? Restu has a certain obsession with the doughnuts. She can explain how to make doughnuts, although the knowledge originated from so long ago, when as a little girl she had the experience of making doughnuts. In that discussion, there was a palpable joy when she

13


talked about the experience. As for myself, I only found out from that discussion that one could actually make doughnuts from potatoes.

From this exhibition, Restu tries to peer through the fragments of her memories so far, naturally by using today’s perspective because the presence of things that gives form to the space also conveys contemporary visual codes that are indeed inextricable with the lives of today’s youth. In this exhibition, Restu presents mostly new paintings and figures. There are also textual parts, representatives of our code-reading efforts so far. This is thus Restu Ratnaningtyas, a young female artist who tries to occupy her social spaces, turning them into her personal spaces. In one of her painting, one can see a cactus standing erect amongst medicines in the artist’s space of alienation: the toilet. Happy viewing.

Hafiz (Curator, writing from Tokyo)

14


HEY! 120 x 150 cm, acrylic on canvas, 2008

15


Popy in The Sky Like Diamond 150 x 100 cm, acrylic on canvas 2008

16


The Messenger Journey 150 x 100 cm acrylic on canvas 2008

17


In The Arm of Sweetness 120 x 150 cm acrylic on canvas 2008

18


Maya Nan Dosa 150 x 120 cm, acrylic on canvas, 2008

19


20

Battle on Empty Street 150 x 180 cm, acrylic on canvas, 2008


The Time for Nothing 140 x 100 cm acrylic on canvas 2008

21


Keep Connected 100x 140 cm acrylic on canvas 2008

22


Insidiousness 150 x 200 cm, acrylic on canvas, 2008

23


A Small History That Will End in The Living Room 37 x 32 x 20 cm, acrylic on fiberglass 2008

24


25


26


Restu Ratnaningtyas

Lahir di Tangerang, 13 November 1981. Berkuliah di Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Seni Rupa tahun 2000 – 2003 (tidak selesai). Selain berkarya Restu bekerja sebagai freelance illustrator, pengajar senirupa, kurator dan organizer pameran. Merupakan salah satu anggota SERRUM, sebuah Art Community di Jakarta. Awalnya menyukai komik dan menjadi salah satu tim artistik sebuah zine independen “GELAK� (gerak langkah kartunis) yang beredar di wilayah kampus. Setelah mengenal Seni grafis, Restu menjadi lebih tertarik pada proses seni cetak mencetak seperti etsa,engraving dan sablon. Dan kemudian ikut terlibat dalam Propagraphic Movement; sebuah kelompok yang bergerak dan melakukan eksekusi karya diruang publik. Beberapa kali mengikuti Kegiatan dan Pameran street Art seperti Revolusi 300cc (2007), Djarum Black Urban Art (2007), Urban Fest (2008).

27


Sejak tahun 2000 aktif mengikuti pameran, antara lain: KRESSEK dan RewindArt UNJ, Pameran dan workshop seni grafis bersama Grafis Minggiran (Yogyakarta),Pameran mahasiswa Jakarta 32°c di Galeri Nasional, Pameran kollaborasi “Collabs and Collaps” bersama M.Sigit Budi.S di SERRUM studio Jakarta,Pameran Tanda kota “Project Satu Selimut”bersama SERRUM di Galeri Cipta II Jakarta,Pameran Mon Décor “FREEDOM” di Galeri Nasional dan Taman Budaya Yogyakarta, Jogja Art Fair, Pameran IniBaruIni di Vivi Yip Art Room. Pada tahun 2007-2008 menjadi kurator dalam sebuah program SeniRupa di CCF (Pusat Kebudayaan Prancis) Jakarta “Hybrid_e”, yaitu: “Instant 3 in 1” dan “Mari bungkus”.

Beberapa penghargaan yang pernah diperolehnya, yaitu: Nominasi karya terbaik sketsa gedung Galeri Nasional (2001) dan Pemenang favorit custom sneakers Djarum Black UrbanArt 2007.

28


Restu Ratnaningtyas

Born in Tangerang, November 13, 1981. Studied at the State University of Jakarta, Department of Art, in 2000 – 2003 (unfinished). Besides working as an artist, Restu is also a freelance illustrator, art teacher, curator, and exhibition organizer. She is a member of SERRUM, an art community in Jakarta. Early on, she began to like comics and was member of the artistic team of an independent zine, GELAK (an acronym for Gerak Langkah Kartunis, or literally “Cartoonists Footsteps”), distributed within the campus. After becoming acquainted with the art of prints, Restu was interested in such print processes as etches, engraving, and screen prints. She then joined the Propagraphic Movement, a group that creates works in public spaces. She joined several street activities and exhibitions such as Revolusi 300cc (2007), Djarum Black Urban Art (2007), and Urban Fest (2008).

29


Since 2000, she has been actively taking parts in many exhibitions, such as KRESSEK and RewindArt UNJ, prints exhibition and workshop with Grafis Minggiran group (Yogyakarta), students’ exhibition Jakarta 32oC at the National Gallery of Indonesia, collaborative work “Collabs and Collaps” with M. Sigit Budi S. at the SERRUM studio in Jakarta, Urban Signs Exhibition, Project Satu Selimut with SERRUM at the Galeri Cipta II Jakarta, exhibition with the Mon Décor gallery at the National Gallery of Indonesia, Jakarta, and at the Taman Budaya Yogyakarta, Jogja Art Fair, and IniBaruIni exhibition at vivi yip art room. In 2007 – 2008, she served as the curator in the “Hybrid-e” art program at the Centre Culturel Français in Jakarta, i.e. “Instant 3 in 1” and “Mari bungkus” (Let’s wrap it up).

Her work has been nominated as the best sketch of the National Gallery of Indonesia (2001), and won the award for the favorite custom sneakers in Djarum Black Urban Art 2007.

30


Works List HEY! 120 x 150 cm acrylic on canvas 2008 Popy in The Sky Like Diamond 150 x 100 cm, acrylic on canvas 2008 The Messenger Journey 150 x 100 cm acrylic on canvas 2008

31


In The Arm of Sweetness 120 x 150 cm acrylic on canvas 2008 Maya Nan Dosa 150 x 120 cm Acrylic On Canvas 2008 Battle on Empty Street 150 x 180 cm, acrylic on canvas 2008 The Time for Nothing 140 x 100 cm acrylic on canvas 2008

32


Keep Connected 100x 140 cm acrylic on canvas 2008 Insidiousness 150 x 200 cm acrylic on canvas 2008 A Small History That Will End in The Living Room 37 x 32 x 20 cm, acrylic on fiberglass 2008

33


THANKS TO Allah s.w.t. //Ibunda tercinta; Yayuk Erlyaningtyas, yang sedang berjuang melawan sakitnya (semoga selalu semangat dan diberi kekuatan oleh Tuhan YME)// Papa ; Endang Djaenudin//My Beloved Hendra “HeHe”Harsono//Mbak Vivi Yip dan Mas Bre Redana// Hafiz beserta teman – teman Forum Lenteng//Dewi Pangestu dan keluarga// Mirna Tamam// Fajar Mahesya// Teman- teman SERRUM // Teman teman Kotasis// Teman - teman SeniRupa UNJ // Teman – teman Propagraphic Movement//Teman - teman Ruang rupa// Andy Tidjels dan Sakit Kuning Collectivo// Teman teman CCF Jakarta // Susan Alysa dan keluarga //AIS //Yahoo Messenger// dan semua pihak yang telah membantu proses pameran ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

34



36


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.