

Dua Monolog
Bianca
Aku tidak pernah akur dengan Fisika. Bukan karena aku membencinya, tapi lebih karena aku tak memahaminya. Angka-angka itu, rumus-rumus itu terlalu rumit untuk kepalaku yang lebih suka merangkai kata daripada menghitung gaya gravitasi. Setiap kali aku membuka lembar jawaban, angka yang tertera selalu sama: tujuh puluh. Tidak lebih, tidak kurang. Tujuh puluh adalah batas amanku— kurang dari itu aku malu, lebih dari itu aku tak mampu.
Aku bukan siswa yang buruk. Bahasa Indonesia adalah duniaku, tempat aku bisa menari dengan kata-kata. Tapi Fisika? Itu seperti musuh bebuyutan yang tak pernah mau berdamai. Buku catatanku penuh coretan, aku ikut jam tambahan di bimbingan belajar—tapi hasilnya tetap tujuh puluh. Remedial jadi rutinitas yang melelahkan, dan aku muak. Aku harus mengubah ini, setidaknya demi cita-citaku.
Sekarang, aku duduk di ruang bimbel, jam menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima malam. Teman-teman sebayaku mungkin sedang santaidikamar,tapiakudisini,menatapbukuFisika dengan harapan yang tipis.
"Aku bener-bener gak ngerti Fisika. Rumusnya masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Mending nulis puisi, aku bisa duduk seharian sambil ngelamun," keluhku pada temanku yang duduk di sebelah.
"Ya Tuhan, Bian, kamu emang penutup buku Fisika yang paling susah dibuka. Coba tanya Ademas, katanya dia jago banget," sarannya.
"Ademas? Siapa itu? Jangan-jangan dia robot yang suka ngomong pake rumus," candaku.
"Bisa jadi! Tapi serius, dia asik kok, cuma agak pendiam," jawab temanku sambil tertawa.
"Pendiam? Aku sih gak takut. Aku pernah debat sama adikku soal siapa yang paling lama mandi, dan aku menang!" kataku bangga.
"Itu debat apa kompetisi gak jelas?" tanyanya sambil menggelengkan kepala.
Aku ingin lebih dari tujuh puluh, tapi apakah aku bisa? Mungkin aku terlalu keras pada diriku sendiri.
Tapi aku tak ingin menyerah. Aku harus mencoba, meski hasilnya sama.
Ademas
Aku benci Bahasa Indonesia karena itu misterius bagiku. Setiap kata punya makna tersembunyi, dan aku tak suka menebak-nebak. Aku lebih suka Fisika—dunia yang jelas, penuh rumus yang bisa kupahami tanpa harus menghapal teori bertele-tele. Di Fisika, aku raja. Nilai sempurnaku adalah kebanggaanku. Tapi Bahasa Indonesia? Homonim, homofon, homograf—aku bahkan tak tahu bedanya. Esai adalah mimpi burukku; aku selalu gagal merangkai kalimat yang "indah".
Aku bukan tipe yang suka menghapal. Otakku dirancang untuk memahami konsep, bukan mengingat detail tak penting. Fisika memberiku kepastian gaya, kecepatan, energi semua bisa kuhitung. Bahasa Indonesia terlalu abstrak, terlalu penuh basa-basi. Tujuh puluh di pelajaran itu memalukanbagiku,tapiakuseringstuckdiangkaitu untuk esai atau puisi.
"Kak, Bahasa Indonesia tuh bikin gue stres. Bikin puisi? Mending gue bikin bom dari soda kue sama cuka di rumah," kataku pada kakakku sambil menghela napas.
"Lo emang aneh, Dem. Dua menit ngomong sama lo, gue jadi takut lo bikin bom beneran," jawab kakakku sambil tertawa.
"Haha, tenang, Kak. Eksperimen gue cuma buat bikin ibu panik pas dapur berantakan," candaku.
"Ibu pasti seneng banget punya anak penutup laboratorium kayak lo. Rumah kita sih udah biasa bau asam," katanya sambil menggelengkan kepala.
"Lebih baik bau asam daripada bau buku Bahasa Indonesia yang gak gue paham," balasku.
Aku benci ketidakpastian, dan Bahasa Indonesia penuh dengan itu. Tapi aku tak bisa terus begini. Mungkin aku butuh bantuan, meski aku tak suka mengakuinya.
Tujuh Puluh yang
Membisu
Ademas
Aku melihatnya duduk sendirian, menatap lembar jawaban dengan wajah pasrah. Tujuh puluh adalah kegagalan bagiku trauma dari cita-cita yang kandas. Tapi di lembar lain, aku melihat "Bahasa Indonesia" dengan skor sempurna: 100. Siapa dia? Aku penasaran.
Bianca
Aku duduk sendirian di bimbel, menatap lembar jawaban Fisikaku yang lagi-lagi bertuliskan tujuh puluh. Tiba-tiba, seorang cowok dengan kacamata tebal dan kaos kotak-kotak mendekatiku. Dia tersenyum santai, lalu membukanya dengan kalimat yang bikin aku sedikit kesal.
"Cuma tujuh puluh?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku menoleh, alis terangkat. "Apa maksudmu?"
"Fisika kamu tujuh puluh terus. Aku cuma heran, soalnya kamu kelihatan pinter."
Aku mendengus, tapi ada senyum kecil di wajahku. "Kalau kamu jago, ajarin aku dong."
Dia tertawa. "Deal. Aku ajarin Fisika, kamu bantu aku nulis esai. Aku payah banget di Bahasa Indonesia."
Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Oke. Aku Bianca. Kamu?"
"Ademas. Panggil aja Demas," jawabnya sambil mengulurkan tangan.
"Kenapa Fisikamu stuck di tujuh puluh?" tanyanya lagi.
"Entah. Mungkin itu batas kemampuanku. Kurang dari itu malu, lebih dari itu aku gak sanggup," kataku sambil menghela napas.
"Aku benci tujuh puluh. Dulu gara-gara nilai segitu, aku gagal masuk sekolah impianku. Makanya aku harus sempurna sekarang," ceritanya.
"Kalau gitu, kita bantu satu sama lain. Aku benci remedial, kamu benci esai. Deal?"
"Deal," jawabnya. Kami tertawa, dan entah kenapa, aku merasa ini awal dari sesuatu yang baru.
"Kamu sekolah di mana, Dem?" tanyaku.
"SMA 3, kelas IPA. Tempatnya sih biasa aja, cuma guru Matematikanya suka bikin lelucon garing," jawabnya.
"Contohnya?"
"Kamera yang bisa nyanyi? Kameraoke," katanya sambil nyengir.
"Ya Tuhan, itu lebih garing dari kerupuk kemaren," candaku.
"Makanya kita cuma ketawa pura-pura biar gak disuruh push-up," tambahnya sambil tertawa.
"Di SMA 5 aku, guru Bahasa Indonesia suka suruh bikin puisi tiap minggu. Aku sih oke, tapi temenku bilang lebih baik makan buku daripada nulis," ceritaku.
"Aku tinggal sama ortu sama adik perempuan. Rumahku deket pasar, rame banget, tiap pagi ada yang teriak jualan sayur," kataku.
"Gue tinggal sama ayah, ibu, sama kakak. Rumah gue di pinggir kota, sepi, cuma kadang ayam tetangga nyanyi subuh-subuh," balasnya.
"Ayam nyanyi? Emang lagu apa?" tanyaku sambil tertawa.
"Lagu kebangsaan ayam: Kukuruyuk Nusantara," jawabnya serius.
Aku ingin lebih dari tujuh puluh, tapi apakah aku bisa? Dia tampak percaya diri, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku ingin tahu lebih banyak. Mungkin ini kesempatanku untuk keluar dari tujuh puluh.
Momentum Cinta
Sejak kesepakatan itu, aku dan Demas jadi sering belajar bareng. Aku mulai paham Fisika berkat dia, dan dia mulai bisa nulis esai yang lumayan berkat aku. Hari itu, aku berlari ke arahnya dengan senyum lebar, tak sabar nunjukin hasil ulanganku.
"Dem! Lihat nih, aku dapat seratus di Fisika!" kataku, excited banget.
"Wow, hebat! Gak sia-sia aku jadi guru dadakan," candanya.
"Terus kamu seneng gitu jadi guru aku?" tanyaku, mataku berbinar.
"Iya lah, muridnya asik," balasnya sambil nyengir.
Demas lalu menyerahkan esai yang dia kerjakan. "Ini, nilaiku 90. Lumayan, kan? "Berkat kamu, penyair cilik," katanya.
Momentum cinta
Pertama kali bayangmu jatuh tepat di fokus hatiku
Nyata, tegak, diperbesar dengan kekuatan lensa maksimum
Bagai tetes minyak yang jatuh di ruang hampa
Dilambangkan dengan alfa dalam sebuah sudut
Walau jarak kita bagai matahari dan Pluto
Amplitudo gelombang hatimu berinterfensi dengan hatiku
Seindah gerak harmonik sempurna tanpa gaya pemulih
Bagai benda yang bertumbukan lenting sempurna.
Energi mekanik cintaku tak terbendung oleh friksi
Energi potensial cintaku tak terpengaruh oleh kecepatan
Bahkan hukum kekekalan energi tak dapat menandingi
hukum kekekalan diantara kita.
Listrik statis berbanding terbalik dengan listrik dinamis
Yang bergantung pada medium rambatnya lintasan
Bagai nada pada dawai dan pipa organa
Inilah hambatan listrik yang terjadi diantara kita.
Momen cintaku tegak lurus dengan momen cintamu
Menjadikan cinta kita sebagai titik ekuilibrium yang sempurna
Yangtakkan tergoyahkanimpulsataupunmomentumgaya
Inilah resultan momentum cinta kita.
Kami merayakannya di Soewarna Café. Di sana, aku menulis puisi tentang hujan di blocknote baruku.
Hujan turun di musim kemarau,
Seperti kamu yang datang tanpa kuharapkan.
Kau ajarkan aku tentang gaya dan energi,
Tapi kenapa hatiku yang jadi tak stabil?
"Apa sih yang kamu tulis?" tanyanya penasaran.
"Puisi tentang hujan," jawabku singkat.
"Emang kamu penyair beneran," godanya. Aku cuma tersenyum, tapi tatapannya bikin aku deg-degan.
"Aku suka banget kafe ini. Tenang, kopinya enak, cocok buat nulis," kataku.
"Iya, gue suka espresso-nya. Lo suka kopi apa?" tanyanya.
"Latte. Manisnya pas, kayak aku," jawabku sambil nyengir.
"Oh, jadi lo kopi yang dibenci temen karena terlalu manis?" candanya.
"Eh, lebih baik manis daripada pait kayak hidupmu," balasku.
"Touche!" katanya sambil tertawa.
"Kamu suka ngapain kalo gak belajar, Dem?" tanyaku.
"Gue suka ngutak-atik vespa ayah. Vespa tua, warna merah, agak karatan, tapi gue sayang banget," jawabnya.
"Keren! Aku sih lebih suka nulis puisi atau cerita pendek. Kadang aku ke kafe cuma buat cari ide," kataku.
"Vespa gue pernah mogok di tengah hujan. Gue dorong sampe rumah, ibu malah bilang aku mirip penutup bengkel," ceritanya sambil tertawa.
"Ibu kamu lucu. Ibuku malah bilang aku penutup buku kalo aku nulis sampe lupa makan," balasku.
"Waktu kecil, gue suka main di bengkel ayah. Pernah nyanyi pake kunci inggris, pura-pura jadi penyanyi rock," ceritanya.
"Haha, serius? Aku kecil suka baca buku cerita sama ibu. Pernah bikin puisi tentang kucingku yang kabur," kataku.
"Hasilnya?" tanyanya.
"Kucingku balik, tapi puisinya ilang," jawabku sambil tertawa.
Sore itu, dia nganter aku pulang pake motor. Di depan rumahku, aku bilang, "Makasih ya, Dem. Kalau semua guru Fisika kayak kamu, aku pasti cinta Fisika."
"Kalau semua guru Bahasa Indonesia se-asik kamu, aku juga pasti jago nulis," balasnya.
"Vespamu bau bensin banget, Dem," kataku sambil mencubit hidung.
"Namanya vespa tua, Bian. Ini aroma vintage, loh," jawabnya sambil nyengir.
"Vintage apa yang bikin aku pusing? Tapi seru sih, berisiknya bikin orang takut," candaku.
"Iya, vespa ini udah kayak anggota keluarga. Ayah bilang dia lebih sayang vespa ini daripada gue," katanya.
"Haha, kasihan kamu kalah sama vespa," balasku sambil tertawa.
Tiba-tiba, aku memeluknya dan mencium pipinya. "Maaf," gumamku, wajahku merah.
"Gak papa," jawabnya, meski kelihatan kaget.
Entah ini kebetulan atau memang takdir Tuhan. Aku mulai menyukai atau bahkan mencintai laki-lakiyang mencintai hal yang kurang kusukai. Mungkin dia akan membuat aku dan Fisika menjadi akrab.
Pengakuan dan Patah Hati
Bianca
Setelah kejadian itu, aku jadi takut menghadapi Demas. Aku tak angkat teleponnya, tak balas pesannya. Dua bulan berlalu, dan akhirnya dia maksa ketemu di kafe.
"Kamu kenapa maksa ketemu, Dem? Serius banget mukanya," tanyaku, berusaha santai.
"Gue cuma pengen jelasin. Lo ngilang dua minggu, gue bingung," jawabnya.
"Aku cuma butuh waktu. Kafe ini enak buat nyanyi dalam hati, tapi gak bisa nyanyi beneran," candaku.
"Lo nyanyi? Lagu apa?" tanyanya.
"Lagu sedih penutup buku yang gak tau endingnya," jawabku sambil tersenyum tipis.
"Kenapa kamu ngilang?" tanyanya langsung.
"Aku butuh waktu," jawabku pelan, mataku menghindar.
"Aku minta maaf kalau aku buat kamu salah paham, Bian. Aku sayang kamu, tapi... kayaknya lebih ke saudara gitu," katanya, suaranya lembut tapi tegas.
Aku terdiam. Mataku berkaca-kaca. "Oh... iya, gak apa-apa. Aku cuma butuh sendiri dulu."
"Bian, tunggu— "
"Aku bisa pulang sendiri," potongku, lalu aku pergi.
"Siapa Ivon, Dem? Kamu pernah cerita sekilas," tanyaku, berusaha memahami.
"Dia pacar pertamaku. Gue sama dia putus karena gue terlalu sibuk belajar. Gue pengen dia bangga, eh malah kehilangan," ceritanya.
"Kamu masih mikirin dia?" tanyaku pelan.
"Gue coba move on, tapi susah. Makanya gue bilang gue sayang lo, tapi kayak saudara," jawabnya.
"Oh, jadi aku cuma penutup luka yang gak bisa nutup bener?" tanyaku, setengah bercanda.
"Bukan gitu, Bian. Lo lebih dari itu, tapi gue gak mau kasih harapan palsu," katanya serius.
"Aku ngerti, Dem. Mungkin kita emang lebih baik temen," kataku, meski hatiku sakit.
"Maaf, Bian. Gue gak mau lo sedih," balasnya.
"Gak apa-apa. Tapi lain kali kalo cerita, jangan pake plot twist kayak gini," candaku, berusaha tersenyum.
"Maaf Demas, aku harus pulang," lanjutku, menahan rasa sesak dalam dadaku.
"Bian, tunggu, biar aku anter kamu pulang," balasnya memohon.
"Ga usah, aku bisa pulang sendiri," jawabku dengan nafas tercekat.
Air mata vang sudah sekian lama tak ku izinkan berlinang, seolah sudah sangat dahsyat sehingga bendungannya sudah tak mampu lagi menahan. Rasa perihnya begitu menyiksajiwa. Merusaksaraf.Melumpuhkankerjaotak,Tak ada yang bisa aku lakukan selain menangis melalui tulisan agar tangisanku tidak terdengar oleh Demas. Agar dia tidak tahu bahwa aku kini menjadi rapuh. Aku membuka Blocknoteku. Blocknote yang diberikan olehnya beberapa bulan lalu. Kutorehkan tinta. Merangkai kata demi kata. Menuliskan semua yang tak mampu aku ungkapkan.
Aku kira, kamu yang akan menyembuhkan luka.
Aku kira, kamu yang akan menjadi alasan untukku bahagia.
Aku kira, kamu akan menjadikanku yang paling istimewa.
Aku kiraa, ah aku terlalu banyak mengira.
Aku terlalu berharap kаmu dan aku akan menjadi “kita” yang bahagia.
Seharusnya aku tak terlalu banyak “mengira” karna pada akhirnya aku kecewa.
Dulu saat kamu datang kedalam hidupku hatiku selalu berkata; Tuhan, mungkin saja dia orang yang akan menyembuhkanlukayangtakkunjungkeringini.Laki-laki yang aku minta dalam setiap bait doaku. Laki-laki yang
akan menghapuskgn airmataku. Laki-laki yang akan tetap berdiri tegak untuk membantu melawan kelemahanku. Laki-laki yang akan mencairkan kebekuaunya untuk menghadapi sifat manjaku. Laki-laki yang akan menjadikanku tujuan, bukan persinggahan.
Saatkamumulaimengisihari-harikubeberapawaktulalu, aku pernah meminta; Tuhan, aku ingin Engkau menjaganya agar tak pernah jauh dariku. karena aku tak bisa mengejarnya.
Hingga beberapa bulan terlewati, kати pergi.
Meninggalkanku untuk orang lain, aku tak pernah tahu
lebin baik atau lebin buruk dariku. Nатип, patut menyebut seseorana itu hebat. Mатри mengambil alih hatimu.
Kamu berhasil membuatku menyayangimu dalam waktu beberapa bulan. Bukan karena kamu yang tidak merasa hebat seperti laki-laki lain yang selalu menganggap dirinya hebat, namun kamu hebat. Bukan karena kamu yang pandai menyembunyikan kekerasan dibalik kelembutan, tapi karena kamu yang justru pandai menyembunyikan kelembutan dtbalik sifat kerasmu. Entah ара yang membuatku cinta sikapmu yang satu itu.
Kalau saja kamu tahu, aku adalah orang yang takut akan cinta yang baru. tapi kamu, membuat aku berani. Berani mencintaimu tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi. Hingga akhirnya aku merasa akan sakit (lagi). Andai kamutahu,dibalikgarissenyumandiwajahkusaatini,ada tetesan air mata ku sembunyikan. Aku bukanlah
perempuan kuat. Tapi aku adalah perempuan yang purapura kuat. Kuat menahan goresan di hati. Yang rasa sakitnya mau tak mau harus aku nikmati sendiri
Untuk kamu yang mungkin tak akan mengerti perasaan ini.
Aku bodoh. Aku terlalu berharap. Tapi aku tak bisa marah padanya. Aku harus pergi, setidaknya untuk menyembuhkan lukaku.
Ademas
Kepada kamu perempuan yang hobby menulis dan berpuisi; Maaf. aku tak bermaksud jahat. Aku memangmencintaidantakinginkehilanganmu.Tapi perasaan itu seperti perasaan seorang kakak terhadap adiknya. Berkal-kali ku mencoba untuk membunuh bayangan dia yang telah pergilalu menggantinya dengan dirimu. Tapi, semakin kuat aku mencoba, semakin bayangan itu mempertahankan posisinya; dihatiku.
Duabulanterakhir,akutidakpernahmendapatkabar dari Bianca. Aku tak tahu ada dimana dia sekarang. Berulang kali aku mencoba menghubunginya, selalu sajatakbisa.Kucobabertanyakepadaorangtuanya, namun mereka tak pernah memberi jawaban. Permintaan Bian, katanya. Sampai saat ini, aku masih menyayangi Bianca meskipun sebatas adik. Bukankah rasa sayang terhadap adik akan lebih besar daripada rasa sayang terhadap kekasih?
Bianca, andai kamu tahu. Perasaanku pada Ivon memang tak sama dengan perasaanku terhadapmu. Tapi, bukan berarti perasaanku untukmu tak lebih besar darinya.
Assalamualaikum, ya Allah Sang Pencipta langit dan bumi... baru saja aku memenuhi kewajibanku sebagai Muslimah; menghadapmu. Sekarang, bolehkah aku meminta waktumu sebentar? Aku ingin bercerita sedikit, ya Rabb. Aku tak perlu suudhan pada-Mu perkara kau mau mendengar atau tidak. Aku yakin, Engkau selalu mendengarsetiapceritahamba-Mu.AkuyakinrangkulanMu masih tertuju pada orang-orang yang membutuhkanMu.
Aku masih ingin menceritakan tema yang sama dan dengan orang yang sama pula. orang yang sering kusebut namanya disetiap sujud rakaat terakhirku. Orang yang sempat memberi warna merah jambu dihatíku meski hanya untuk beberapa waktu.
Aku tahu Engkau adalan penulis skenario paling indah tak perlu aku banyak bertanya atas semua yang sudah kau tuliskan. Termasuk skenario-Mu tentang dia yang tibatiba masuk ke dalam hidupku dan menyelinap ke dalam hatíku namin sekarang menjadi sosok yang tak begitu ku kenal. Dia yang tiba-tiba datang lalu menghúang. Aku juga tahu, saat ini sudah ada perempuan yang mengalihkan perhatiannya. Yang perlahan mulai mengambil alih perasaannya. Tapi tidak berarti aku harus
berhenti menyebut Namanya dalam setiap bait do'aku bukan?
Dan, aku juga sangat tahu, dia sedang berada di tingkat jatuh cinta paling tinggi. Jatuh cinta pada seseorang yang akupun tak tahu seperti apa. Entah lebih baik atau lebth buruk dariku. Аpapun alasannya, aku harus turut berbahagia. Aku mohon pada-Mu, jagalah rasa bahagianya. Buat dia selalu merasakan jatuh cinta, karena aku tak pernah mau melihatnya patah hati. Aku tak perah ingin melihatnya terluka.
Ya Rabb, aku mohon, kali ini jangan bosan mendengar ceritaku. Tentu saja air mataku menetes, dadaku sesak ketika tahu, ada wanita lain yang lebih mampu mengambil hatinya. Aku memnng terlalu berharap tinggi. Menganggap dia yang juga menginginkanku. Aku berantakan ketika harus menerima kenyataan yang tak sesuai rencana. Rencana indahku yang ingin selalu bersamannya. Ya Rabb, Aku memang salah, karena hidup tak selalu berjalan sesuai rencana.
Permintaanku masih sama seperti kemarin, Ya Rabb, Jagalah rasa bahagianya, untuk bahagiaku. Senyum manis yang diikuti mata sipitnya adalah yang selalu ingin aku lihat disepanjang hidupku. Aku ingin lakukan apapun untuk kebahagiaannya, tanpa pemnah mengurangi rasa cintaku pada-Mu Ya Rabb. Aku memang harus rela tak bisa menyentuhnya, namun setidaknya aku bisa memeluknya melalui doa.
Wahai Yang Maha Pengabul do'a. Siapapun wanita yang din cintai, tolong beri tahu pada wanita itu untuk selalu sabar menghadapi sifatnya yang begitu menjengkelkan.
Tolong beri tahu pada wanita itu, jangan pernah melarangnya untuk memutar lagu-lagu Superman is Dead dengan volume yang cukup keras, karena tu adalah hal yang dia sukai.
Ya Rabb, maaf apabila aku terlalu banyak meminta. Tapi, akumohonjagadirinya.Janganbiarkandiaterlalusering makan rujak pedas dan mie, karena aku tak ingin lambungnya terluka. Aku tak ingin badannya yang tidak terlalu berisi itu semakin kurus. Engkau boleh menjewer telinganya atau sekedar mencubit pipinya apabila ia tidur terlalu tarut, atau bila ia tidak mengisi perutnya yang terlihat begitu datar. Dan tolong sampaikan juga padanya bahwa aku begitu mencintainya.
Refleksi dan Melepas
Dua bulan kemudian, aku yang minta ketemu Demas di alun-alun Tangerang. Setelah libur di Yogya, aku merasa lebih ringan. Aku ingin memperbaiki semuanya.
"Dua bulan lo ke mana, Bian?" tanyanya.
"Liburan ke Jogja. Seru banget! Malioboro rame, Prambanan cakep, kafe-kafenya cozy," ceritaku.
"Kafe favorit lo di sana apa?" tanyanya.
"Dekat Malioboro, ada live music. Aku nulis puisi sambil dengerin gitar akustik," jawabku.
"Jogja emang beda ya. Gue cuma di rumah, bantuin ayah benerin vespa," katanya.
"Vespa lo udah gak bau bensin lagi?" tanyaku sambil nyengir.
"Masih, tapi sekarang baunya kayak nostalgia," balasnya.
"Gue kangen ngobrol sama lo, Bian. Dua bulan ini gue cuma cerita sama vespa, tapi dia gak bales," candanya.
Aku tertawa. "Kasihan banget. Aku juga kangen, tapi aku butuh waktu buat mikir."
"Mikir apa?" tanyanya.
"Mikir gimana caranya jadi temen lo tanpa benci vespa lo," jawabku sambil tersenyum.
"Kamu ke mana aja?" tanyanya.
"Liburan ke Yogya. Seru banget," jawabku sambil tersenyum.
"Maaf ya, Bian. Aku tahu kamu kecewa waktu itu."
"Udah lah, Dem. Kamu tua banget, gak usah sok melow. Lagian, aku gak mau pacaran sama orang tua nyebelin kayak kamu," candaku.
Dia tertawa. "Dasar anak kecil."
"Tapi kamu harus beliin aku chupachup yang banyak, ya," pintaku.
"Oke, ayo jalan," ajaknya.
Kami berjalan bareng, ngobrol seperti dulu. Di akhir pertemuan, aku bilang, "Aku seneng kita masih temen. Meski aku pernah suka sama kamu, aku gak benci kamu. Hidup emang gitu."
Dia tersenyum. "Iya, Bian. Aku juga sayang kamu."
"Kamu masih utang chupachup, loh," pintaku.
"Iya, iya, nanti gue beliin sampe lo mabok gula," janjinya.
"Janji ya? Kalo gak, aku suruh vespa lo nyanyi buat aku," candaku.
"Deal. Tapi jangan kaget kalo lagunya cuma bunyi knalpot," balasnya sambil tertawa.
Aku senang kita masih berteman. Meski hatiku sakit, akutakinginkehilangandiasebagaiteman.Mungkin ini yang terbaik.
Aku, Bianca, dan dia, Ademas, tetap berteman, meski masing-masing menyimpan perasaan yang tak terucap. Dari tujuh puluh hingga seratus, kami belajar bahwa cinta sejati adalah tentang melepaskan, bukan memaksa.

Bianca dan Ademas adalah dua sosok yang berseberangan.
Biancamencintaikata-kata,sementaraAdemashidupdalam logika angka. Ketika perbedaan membawa mereka dalam sebuah kesepakatan sederhana, saling membantu memahami dunia masing-masing, tanpa sadar, ikatan mereka semakin erat.
Namun, tak semua cerita tentang kedekatan berujung pada cinta. Saat Bianca mulai menemukan harapan, Ademas justru dihantui oleh masa lalu yang belum ia lepaskan. Apa yang terjadi ketika perasaan tak berjalan searah?
Mampukah mereka tetap berada dalam kehidupan satu sama lain, atau justru harus belajar melepaskan?
Angan, Biarkan Dia Pergi adalah kisah tentang persahabatan, cinta pertama, dan perjalanan menerima kenyataan bahwa tak semua yang kita inginkan bisa kita miliki.
Cerita ini ditulis oleh Salsabila Farah Syauqiyah pada saat dia masih duduk di bangku SMA dan tulisan ini ditemukan oleh ayahnya ditumpukan berkas-berkas sekolahnya dulu, dan dituliskan kembali dan diedit ulang oleh sang ayah sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik untuk dibaca, dan dijadikan hadiah ulang tahun cucu pertama sang ayah yangjugasudahmenjadikakekdariKhawlaKautsaraKarim.