PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan oleh: Ginandjar Kartasasmita Penerbit : PT. Pustaka CIDESINDO Jl. Kebon Sirih No. 85, Jakarta 10340 Disain Sampul : Drs. Bambang Sidharta, Tata Letak : MAZ Disain Artistik : Arjoni Pertama kali diterbitkan oleh Penerbit PT. Pustaka CIDESINDO, Jakarta, Oktober 1996.
PENGANTAR
i - iv
PRAKATA
v - vi
Sambutan Peluncuran Buku
vii - x
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
WAWASAN PEMBANGUNAN
BAB III
BAB IV
1.
Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan
2.
Dimensi Akhlak dalam Pembangunan Nasional
3.
Kepemimpinan dalam Wawasan Kebangsaan
1-3 4 - 19 4-8 4 - 15 15 - 19
ARAH PEMBANGUNAN
20 - 43
1.
Pembangunan menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri
20 - 27
2.
Transformasi Masyarakat Indonesia dalam PJP II
27 - 35
3.
Beberapa Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia menjelang Abad ke-21
35 - 43
PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT
44 - 114
1.
Demokrasi Ekonomi: sebuah Tinjauan Institusional
44 - 57
2.
Pemberdayaan Masyarakat: Strategi Pembangunan yang Berakarkan Kerakyatan
57 – 66
3.
Pemberdayaan Masyarakat: sebuah Tinjauan Administrasi
66 – 78
4.
Beberapa Pokok Pikiran tentang Pembangunan Koperasi
78 – 82
5.
Kemitraan Usaha
82 – 89
6.
Membangun Kemitrasejajaran Pria dan Wanita melalui Konsep Pemberdayaan
89 – 97
7.
Globalisasi dan Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat
97 – 103
8.
Strategi Pengentasan Penduduk dari Kemiskinan
103-109
9.
Penanggulangan Kemiskinan melalui Program IDT
109-114
BAB V
BAB VI
BAB VII
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
115-147
1.
Tinjauan tentang Teknologi, Kebudayaan, dan Pendidikan dalam Pembangunan Nasional
115 - 126
2.
Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Industrialisasi
126-138
3.
Strategi dan Kebijaksanaan Ketenagakerjaan
139 - 147
PEMBANGUNAN DAERAH
148 - 192
1.
Berbagai Aspek Pembangunan Daerah
148 - 149
2.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
150 - 159
3.
Pemerataan Pembangunan Antardaerah, Khususnya Pembangunan 159 - 166 KTI
4.
Pembangunan Perkotaan dan Pembangunan Perdesaan
166 - 183
5.
Penataan Ruang
183 - 192 193 - 197
PENUTUP Agenda Pembangunan
193 -197
SINGKATAN dan AKRONIM
198 - 201
DAFTAR PUSTAKA
202 - 212 2013
CATATAN TENTANG PENULIS
Perpustakan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Kartasasmita, Ginandjar, 1941PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan / Ginandjar Kartasasmita. -- Cet. 1, -- Jakarta : PT. Pustaka CIDESINDO, 1996 xx + 519 hlm. : 15 x 22,5 cm ISBN 979-638-021-8 1. Pembangunan ekonomi - Indonesia
I. Judul. 338.959 8
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pengantar Pembangunan ekonomi Indonesia yang kini memasuki jangka panjang kedua, bukannya tidak dipersiapkan. Beberapa peristiwa bisa dicatat: seminar Trase Baru yang diselenggarakan di Universitas Indonesia pada tahun 1966. Lebih awal lagi seminar Angkatan Darat I di Bandung yang dalam kaitan itu juga senantiasa disebut peranan para ahli ekonomi yang mengajar di lembaga pendidikan ABRI. Dalam forum-forum itu dibicarakan bagaimana masa depan Indonesia dan bagaimana pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi, agar diselenggarakan. Bahan-bahan pemikiran itu kemudian dituangkan dan dijabarkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara, yang semula diprakarsai oleh pemerintah makin diserahkan kepada masyarakat. Dilakukan persiapan lama, pengumpulan bahan, pengalaman di lapangan, menyerap aspirasi masyarakat. Prosesnya mengikuti jalur konstitusional sampai akhirnya diputuskan oleh Sidang Umum MPR sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan berpedoman dan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara itulah pembangunan dilaksanakan melalui program yang konsisten dalam anggaran belanja tahunan, melalui repelita-repelita. Penyesuaian terhadap perkembangan terus dilaksanakan. Perkembangan itu disebabkan oleh keberhasilan pembangunan seperti yang direncanakan dan dikehendaki maupun oleh hasil-hasil samping yang tidak dimaksudkan. Demikianlah misalnya, perubahan pokok yang terjadi dalam urutan strategi Trilogi Pembangunan. Pada mulanya, urutannya ialah pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Kemudian sejak Repelita III diubah menjadi pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas. Perubahan urut-urutan dalam Trilogi disebabkan oleh proses pembangunan, keberhasilan maupun ketidakberhasilannya. Perubahan itu juga sesuai dengan aspirasi yang makin hidup dalam masyarakat. Pembangunan ekonomi Indonesia sejak Repelita I, tahun 1969, mengikuti jalan ekonomi pasar. Jalan ekonomi pasar itu tetap mengacu kepada paham ekonomi Indonesia, yakni paham ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, secara eksplisit pasal 33 UUD. Jalan ekonomi pasar membuka peluang untuk berperannya usaha ekonomi swasta dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kebijakan, iklim dan kemudahan diberikan dan diselenggarakan untuk merangsang berkembangnya usaha swasta. Hasilnya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 7 persen per tahun cukup pesat. Dampak berlipatgandanya terjadi dan merangsang perkembangan lebih lanjut. Dengan menempuh ekonomi pasar, Indonesia sekaligus membuka dirinya dan menjadi bagian yang aktif dari kegiatan ekonomi dunia. Modal dan teknologi masuk, demikian pula jaringan pasar ke dalam maupun ke luar. Indonesia membuka pintu, tepat pada saat dunia makin mengacu kepada globalisasi dan arus informasi. Pola hidup ekonomi pasar yang bertahap oleh arus informasi dan globalisasi, serentak memperoleh rangsangan yang membangkitkan serba keserentakan. Pola gaya hidup, perilaku dan pandangan hidup konsumerisme ikut tumbuh amat subur. Bukan hanya kebutuhan-kebutuhan pokok yang dipenuhi, sekaligus dengan itu juga diciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang perlu maupun yang tidak perlu. Kebutuhan masyarakat konsumen menjadi tidak ada habis-habisnya dan kondisi itu ikut membangkitkan sikap ambivalen. i
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kemajuan ekonomi Indonesia diakui dan disyukuri, bahkan juga oleh bangsa lain. Kemakmuran meningkat. Akan tetapi melaju pula kesenjangan, perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, serta sebagai akibat warisan sejarah masa kolonial, perbedaan dan kesenjangan itu merupakan masalah serius. Kecuali kesenjangan, dinamika ekonomi pasar yang adakalanya tidak terkendali mengundang munculnya masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan tanah, penggusuran, dan rasa keadilan. Talitemali persoalan yang menyertai pembangunan ekonomi itu seakan-akan menimbulkan dualisme; dualisme antara ekonomi sebut saja Garis-garis Besar Haluan Negara dan ekonomi pasar yang mengikuti dinamikanya sendiri, dualisme antara pertumbuhan dan pemerataan. Lebih jauh, adakalanya keadaan itu merangsang pertanyaan, apakah pembangunan ekonomi masih pada relnya, yakni ekonomi pasar yang mengacu kepada paham kemakmuran dan kesejahteraan bersama, seperti termaktub dan diamanatkan oleh UUD 1945. Bagaimana sebenarnya duduknya perkara antara ekonomi negara, ekonomi koperasi, dan ekonomi swasta. Berbagai kebijakan, bahkan perubahan urutan Trilogi, kebijakan koreksi dan komplementasi dilakukan oleh pemerintah. Begitu seringnya campur tangan itu sehingga konsistensi kebijakan pemerintah dipertanyakan, sehingga acapkali kita mendengar anggapan tentang kurangnya kepastian usaha. Pemikiran-pemikiran yang menggugat pertumbuhan dan membela pemerataan dilontarkan oleh berbagai ilmuwan ekonomi. Bertambah ramailah medan adu pandangan dan adu argumentasi. Adakalanya gambaran yang dihasilkan bukanlah peta yang jelas, melainkan lebih menyerupai hutan belantara. Untuk keperluan debat akademis, tidak mengapalah, hutan belantara itu. Malahan makin mengasyikkan diskusi. Menjadi lain persoalannya, jika juga dipertimbangkan bahwa seraya dialog dan diskusi, kita juga harus tetap melangkah secara pasti. Diperlukan suatu gambaran pemikiran yang kecuali berada dalam tataran akademis, cukup pula terurai sehingga memberikan arah, kemana suatu kebijakan umum dan suatu langkah dapat diayunkan. Sampailah kita pada buku Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita: Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Suatu kehormatan bagi saya untuk ikut memberikan kata pengantar. Sekaligus juga suatu tantangan, bagaimana menempatkan kumpulan karangan pemikir, yang adalah juga pejabat negara. Buku kumpulan karangan Ketua Bappenas ini, merupakan suatu unikum. Letak keunikan itu pertama-tama pada kemampuan dan keberaniannya untuk mencoba menyajikan persoalan pembangunan ekonomi dalam suatu pola pemikiran yang menyeluruh, yang komprehensif. Pendekatan demikian jarang dilakukan. Kebanyakan pemikiran dan penulisan mendekatinya secara parsial. Kepada seorang ilmuwan ekonomi terkemuka, hal itu pernah saya tanyakan sepuluh tahun yang lalu. Dijawabnya, pembahasan semacam itu memerlukan pemikir ulung. Itulah sebabnya, menurut pandangan saya, karya yang dikerjakan dalam kumpulan karangan ini merupakan suatu keberanian. Kapan akan dimulai jika tidak ada yang memulai. Kapan akan ada bahan tertulis yang bisa dikaji lebih lanjut, jika bahan itu tidak tersaji. Biarlah mereka yang mempunyai keahlian dalam bidangnya, membuat penilaian secara kritis terhadap buku ini. Jasa paparan ini adalah tersajinya bahan tertulis, suatu pemikiran, dan pendekatan yang mencakup perihal pembangunan ekonomi Indonesia, terutama ditinjau dari usaha menyerasikan pertumbuhan dan pemerataan. Dua dimensi pembangunan itu menjadi ii
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
topik utama bangsa kita. Topik itu menjadi bahan diskusi di kalangan cendekiawan, di kalangan orsospol dan ormas, di kalangan LSM, di kalangan khalayak ramai. Sejauh kita bisa menangkap, pendekatan Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita bukanlah pendekatan menang-kalah, satu pihak menang, pihak lain kalah. Pendekatannya lebih win-win position, kedua pihak menang, kedua pihak diuntungkan, kedua pihak diberi kesempatan. Namun karena kekuatan serta posisi kedua pihak tidaklah sama, yang satu kuat, yang lain lemah, diperlukan intervensi pemerintah. Intervensi itu dalam strategi, dalam kebijakan, dalam alokasi biaya, dalam perlindungan dan pengembangan terhadap yang lemah. Keunikan kedua, pemikiran dan pendekatannya terletak pada usahanya untuk mengaitkan pemikiran dengan strategi serta kebijakan dan sekaligus juga dengan arah serta program aksi. Dengan demikian, buah pemikirannya bukan sekadar suatu paparan akademis, melainkan suatu pandangan yang dikaitkan dengan keharusan dan keperluannya untuk dijabarkan dalam kebijakan dan dalam implementasinya. Dengan kata lain, pemikirannya bukanlah suatu pandangan teoretis ilmiah. Buku semacam itu sangat diperlukan. Namun buku kumpulan karangan ini, menurut hemat saya, tidak masuk dalam kategori itu dan barangkali memang juga tidak dimaksudkan demikian. Pandangan dan pendekatannya lebih bermotifkan menjawab tantangan secara menyeluruh: dalam tataran pandangan hidup, dalam tataran referensi konstitusional, dalam pandangan kebijakan serta arah implementasi. Sebaliknya, paparannya tidak terbatas sebagai program aksi atau rencana. Ditarik lebih ke atas, pada tataran penjabaran falsafah pembangunan seperti dinyatakan dan diamanatkan oleh konstitusi dan setiap lima tahun sekali diadaptasikan dengan perkembangan. Karena itu, tampak jelas alur pokok dan semangatnya. Bagaimana membangun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagaimana menyelenggarakan ekonomi rakyat, sesungguhnya pada tingkat pemikiran akademis pun, persoalan ini menarik. Bagaimana secara sengaja dan secara khusus mengembangkan ekonomi pasar yang sasarannya bukan sekadar kemajuan dan kemakmuran para pelaku ekonomi, melainkan juga rakyat banyak. Bahkan kemakmuran mereka itulah tujuan utamanya. Kecuali kebijakan dan arah yang juga menyediakan sarana-sarananya, terutama modal, iklim, pengembangan, seperti terurai dalam buku ini sangatlah menentukan peran birokrasi. Dipakainya istilah birokrasi, yakni birokrasi yang mengacu ke pemerintahan, governance. Karena kalau akan efektif, demikianlah letak posisinya, bukan birokrasi masing-masing atau perorangan melainkan sebagai lembaga pemerintahan eksekutif. Birokrasi ď‚ž pemerintah ď‚ž agar membangun partisipasi rakyat. Agar dilibatkan masyarakat sampai ke tingkat akar rumput (grassroots). Dengan sadar dan dengan sengaja, birokrasi memihak yang lemah, bukan yang kuat. Ini suatu pilihan politik yang harus dibuat imperatif dan operatif. Bahkan dikatakan, yang kuat sudah bisa mengurus dirinya sendiri, yang lemah belum. Usaha pemberdayaan rakyat yang terutama dibahas adalah pemberdayaan dalam bidang ekonomi. Sementara itu, pengalaman makin menunjukkan pemberdayaan ekonomi yang diprioritaskan, agar berhasil, memerlukan pemberdayaan masyarakat dalam bidang-bidang lain, sosial, budaya, hukum, politik. Pemberdayaan dalam bidang nonekonomi, bahkan makin minta perhatian. Hasrat itu hidup kuat dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga masuk komitmen birokrasi. Demikian pula terselenggaranya kebijakan, prosedur dan implementasi yang terbuka, transparan, sehingga pertanggungjawaban lebih mudah diberikan. Pertanggungjawaban birokrasi berarti pertanggungjawaban penyelenggaraan kekuasaan.
iii
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Sekalipun dengan bahasa yang lugas dan santun, peran birokrasi alias pemerintahan, menentukan. Demikian vitalnya peranan pemerintah, sehingga seorang ilmuwan menegaskan: ekonomi pasar tidak mungkin dapat menimbulkan keadilan, pemerintahlah yang dapat. Sepanjang dapat diikuti dan dirasakan berbagai persoalan dalam masyarakat, masalah itu juga yang mencuat kuat: harapan bahkan desakan agar pemerintah tidak hanya mendorong pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam menyelenggarakan keadilan, baik rasa keadilan maupun keadilan sosial. Disadari bahkan oleh pemerintah, syaratnya adalah pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan efektif. Betapapun, pemerintahan memegang peranan kunci, para pelaku ekonomi yang adalah juga bagian masyarakat, tidak kalah pentingnya. Karena itu, para pelaku, terutama mereka yang sudah lebih dulu maju dan kuat, agar juga mempunyai pandangan dan sikap yang sama. Bukan hanya ekonomi negara dan ekonomi koperasi yang terikat pada komitmen dan imperatif konstitusi, juga ekonomi swasta. Perhatian ke sana bukankah perlu juga lebih besar dan lebih mencakup. Kesadaran dan pemahaman jangan terbatas pada pemikiran kuantitatif saja, berapa persen membantu misalnya. Pemikiran mengacu kepada rasa perasaan dan pertanggungjawaban sebagai warga negara, bahkan warga negara yang maju. Karena itu, pemahaman dan kesadaran itu menjadi bagian dari usaha pembangunan bangsa, watak dan integrasinya yang makin kukuh dan kenyal. Dengan pemahaman dan kesadaran itu, jika dilaksanakan oleh semua pihak, pembangunan ekonomi, bagi bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk ini sekaligus merupakan usaha memperkukuh serta memberi makna wawasan kebangsaan kepada seluruh masyarakat yang majemuk itu. Itu juga unsur kuat dalam alur pemikiran Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, bahwa pembangunan ekonomi adalah juga pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Justru di tengah arus gelombang perubahan serba serentak dan global sekarang ini, pemahaman dan kesadaran tentang bangsa dan negara Indonesia harus disegarkan kembali dengan pandangan dan sikap yang adaptif, kritis inovatif, tetapi tetap on our terms, seperti yang kita kehendaki, dalam ukuran dan format Indonesia yang terbuka, lincah, kenyal. Semangat itu pula yang menjadi nafas buku, kumpulan karangan Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.
Jakarta, Oktober 1996
Jakob Oetama
iv
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Prakata Lima puluh tahun lebih telah kita lalui sebagai bangsa merdeka. Dalam kurun waktu itu bangsa Indonesia telah berhasil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya dengan pembangunan yang berhasil meningkatkan taraf kehidupan rakyat dan menempatkan bangsa Indonesia dalam kedudukan yang terhormat dalam pergaulan antarbangsa. Bahkan pembangunan Indonesia dinilai masyarakat dunia sebagai salah satu pembangunan yang paling berhasil dan sering kali dijadikan contoh dalam berbagai literatur pembangunan masa kini. Namun, dengan keberhasilan itu kita masih berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus kita pecahkan dalam rangka membangun masyarakat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan latar belakang demikian buku ini diterbitkan dengan maksud menghaturkan sumbangan pemikiran kepada bangsa dan negara dalam rangka mengisi dan mensukseskan pembangunan nasional pasca-lima puluh tahun Indonesia merdeka. Buku ini sumber pokoknya adalah kumpulan tulisan dan pandangan di berbagai kesempatan yang saya sampaikan pada masa jabatan saya sekarang ini sebagai menteri yang bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan nasional. Isinya merupakan refleksi pemikiran dan pengalaman saya bergelut dengan permasalahan-permasalahan pembangunan. Dalam buku ini saya tekankan pentingnya tanggung jawab kita sebagai golongan terpelajar untuk memahami dan menjabarkan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) ke dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan pembangunan. Saya tekankan juga bahwa walaupun keadaan dan tantangan telah banyak berubah, dalam menetapkan langkah-langkah untuk menghadapi tantangan di masa depan kita semestinya tetap mengacu pada konstitusi dan amanat rakyat untuk memastikan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah bagi kepentingan rakyat. Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan hanya akan sinambung dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik itu berupa produktivitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin kita tumbuh dan berkembang atas daya rakyat sendiri, makin kukuh kemandirian kita sebagai bangsa. Kemandirian yang kita bangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandekan. Dalam kecenderungan liberalisasi, regionalisasi, dan globalisasi yang memberi ciri pada interaksi perekonomian sekarang ini, kita membutuhkan daya tahan dan daya saing nasional yang harus kita bangun dari dalam. Ketangguhan perekonomian nasional tidak dapat berkembang hanya dengan membuka perekonomian kita pada persaingan internasional, tetapi kita harus membangunnya dengan dukungan sumber daya manusia kita sendiri dan dengan kemampuan kita di dalam negeri. Dengan demikian, maka persaingan internasional akan melengkapi dan memperkuat kemampuan yang telah kita bangun terlebih dahulu. Buku ini membahas mulai dari upaya menerjemahkan GBHN ke dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan; membangun ekonomi rakyat yang ditopang oleh usaha kecil dan menengah yang menampung sebagian besar tenaga kerja kita; upaya mengembangkan sumber utama pembangunan yaitu sumber daya manusia dan teknologi; memecahkan berbagai permasalahan pembangunan seperti kemiskinan, kesempatan kerja produktif, dan pembangunan regional; sampai pada apa yang ingin kita capai pada masa mendatang sebagai bangsa yang merdeka. Harapan saya adalah bahwa buku ini dapat bermanfaat bagi para penentu kebijaksanaan di pusat dan daerah, para peneliti dan pemerhati pembangunan, para v
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
mahasiswa studi pembangunan, dan masyarakat luas yang berminat mengikuti arah gerak pembangunan kita. Dalam mengembangkan pemikiran dan menerjemahkannya menjadi kebijaksanaan pembangunan, saya mendapat arahan dari Bapak Presiden Republik Indonesia Soeharto. Kepada beliau saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas pengarahan beliau yang membuat saya makin memahami akan makna pembangunan yang kita laksanakan bersama ini. Sampainya buku ini ke tangan pembaca dalam bentuknya sekarang ini adalah berkat bantuan rekan-rekan saya. Saya harus mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Umar Juoro yang bertindak sebagai editor dalam membuat bentuk yang semula mungkin di sana-sini agak retorik ke dalam buku yang rangkaian pembahasannya menjadi lebih urut. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Muslimin Nasution, Sdr. Sukarno Wirokartono yang bersama-sama Sdr. Umar Juoro menentukan susunan pembahasan dalam buku ini. Saya sampaikan pula terima kasih kepada Sdr. Benny Hoedoro Hoed dan Sdr. Gunawan Sumodiningrat yang telah meluangkan waktu membaca keseluruhan naskah buku ini dan memeriksa ulang redaksinya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan saya di Bappenas yang banyak memberikan masukan dalam merumuskan berbagai pandangan di berbagai kesempatan sebagai sumber utama penulisan buku ini. Kepada Sdr. Adi Sasono dan staf CIDES, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menerbitkan buku ini, yang semula sebetulnya dimaksudkan sebagai sumbangsih pada peringatan emas kemerdekaan bangsa Indonesia tahun yang lalu. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih pula kepada kawan saya, yang pandangan, sikap, dan integritasnya saya hormati, yakni Sdr. Jakob Oetama yang telah bersedia memberikan pengantar.
Jakarta, Oktober 1996
Ginandjar Kartasasmita
vi
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Sambutan pada Peluncuran Buku “Pembangunan untuk Rakyat� Ketika Gutenberg pada abad pertengahan di Eropa menciptakan mesin cetak, sejak itu buku, sebagai sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan, menjadi mudah diperoleh karena dapat diproduksi dalam jumlah berganda. Dengan demikian, akses pada pengetahuan dan ilmu pengetahuan menjadi terbuka lebar melalui buku.
Kita memang bergembira sekarang ini sudah makin mudah memperoleh buku-buku untuk menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan kita. Akan tetapi, kita pun sepatutnya prihatin bahwa karangan asli penulis kita sendiri masih terbatas jumlahnya sehingga para mahasiswa dan cendekiawan termasuk kita-kita sendiri masih harus banyak mengandalkan pada buku-buku asing. Memang pengetahuan tidak dibatasi oleh tapal batas negara, tetapi untuk kepentingan bangsa kita sendiri, perlu pula penulisan-penulisan yang bersumber dari dalam diri kita sendiri. Ketika Cides menawarkan untuk membukukan berbagai tulisan saya yang berupa esei, makalah, dan kuliah, saya sambut dengan gembira karena dengan demikian saya memperoleh kesempatan untuk memberikan sumbangan pada kelangkaan tulisan dari kalangan kita sendiri. Saya tidak berpretensi bahwa seluruh apa yang saya ungkapkan dalam buku ini benar. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada kebenaran yang mutlak. Ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif dalam suatu proses yang panjang. Teori, konsep, dan gagasan akan selalu berinteraksi dengan teori, konsep, dan gagasan yang lain, dan dari dialog itu biasanya lahir gagasan, konsep, atau bahkan teori baru. Bagi kita sebagai bangsa dan negara yang sedang berkembang, dialog serupa itu penting karena kita sangat membutuhkan gagasan-gagasan baru yang lahir dari permasalahan di negeri kita sendiri. Dengan latar belakang demikian buku ini diterbitkan dengan maksud memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengisi dan mensukseskan pembangunan nasional pasca-lima puluh tahun Indonesia merdeka. Buku ini sumber pokoknya adalah kumpulan tulisan dan pandangan yang pernah saya sampaikan di berbagai kesempatan, dan isinya merupakan refleksi pemikiran dan pengalaman saya bergelut dengan permasalahanpermasalahan pembangunan selama ini. Sebagai latar belakang pemikiran, pembangunan kita pahami sebagai upaya menciptakan kehidupan yang sejahtera, yang sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pada dekade-dekade awal, yaitu tahun 1950-an dan 1960-an perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang sangat tergantung pada para ahli dari negara-negara maju serta tenaga ahli dari negara berkembang yang mengikuti pendidikan di negara maju. Mereka pada umumnya merumuskan konsep-konsep pembangunan berdasarkan pengalaman empiris negara-negara maju dan teori-teori yang dikembangkan atas dasar pengalaman tersebut. Pendekatan pembangunan tersebut terutama bertitik berat pada pembangunan ekonomi dengan asumsi bahwa hasil pembangunan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan dan menghapus kemiskinan. Berdasarkan pandangan tersebut penanaman modal dan penerapan teknologi modern diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, menyerap angkatan kerja di sektor subsisten ke lapangan kerja modern atas dasar upah, dan dengan sendirinya akan menghilangkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Pola yang ditempuh adalah proses industrialisasi, sebagaimana yang dialami negara-negara maju yang telah menghasilkan peningkatan taraf hidup yang cepat dan telah menghilangkan kemiskinan di vii
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
sektor subsisten. Sasaran awal yang penting adalah mencapai kemampuan untuk mandiri dalam melanjutkan pembangunan, atau mencapai kondisi yang disebut “take-off “ atau “lepas landas.� Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak negara, meskipun dengan penanaman modal dan penerapan teknologi modern, tidak mampu menghasilkan pertumbuhan pada tingkat yang cukup memadai untuk mencapai tahapan lepas landas itu. Bahkan di beberapa negara yang mencatat pertumbuhan tinggi sekali pun, kondisi kemandirian tidak wujudkan. Yang terjadi adalah ketergantungan atau keterikatan akan hutang yang makin besar. Dampak yang lebih buruk lagi tercermin pada makin melebarnya kesenjangan. Hal ini karena kegiatan yang menghasilkan pertumbuhan itu hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat dan umumnya di wilayah terbatas. Akibatnya, hasil yang diperoleh dari pertumbuhan itu hanya dinikmati sejumlah kecil orang dan di wilayah tertentu saja. Dunia juga makin menyadari akan adanya bahaya kerusakan alam yang dapat mengganggu kelanjutan kehidupan manusia di muka bumi ini akibat pembangunan yang memberi penekanan yang berlebihan kepada pertumbuhan. Dengan pengalaman-pengalaman tersebut telah dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan. Berkembanglah cara pandang bahwa dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan, selain upaya pertumbuhan ekonomi, diperlukan juga pembangunan yang berorientasi kepada manusia, yang dikenal dengan berbagai nama. Pertumbuhan ekonomi diyakini tetap diperlukan tetapi disadari bahwa bukanlah satu-satunya kriteria dan juga tidak selalu harus yang paling utama, karena harus serasi dengan pembangunan sosial yang fokusnya adalah pada manusia dan kualitas dan kesinambungan kehidupannya. Semua konsep pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun, kesejahteraan tersebut ingin dicapai dengan membangun harkat dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia berkeinginan untuk membangun kehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya dengan berlandaskan kepada kemampuannya sendiri dan dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Manusia yang bermartabat tidak akan puas dengan kehidupan karena belas kasihan orang lain, dan tidak ingin tergantung kepada bantuan orang lain. Oleh karena itu, satu paradigma yang tidak pernah berubah sepanjang sejarah manusia adalah kebutuhan manusia akan lapangan pekerjaan. Pengangguran dengan demikian merupakan tantangan utama pembangunan, dan merupakan masalah pertama yang selalu menjadi pusat perhatian ilmu ekonomi dan ekonomi pembangunan, dan merupakan penyebab masalah sosial yang utama. Khususnya di negara berkembang keterbatasan lapangan pekerjaan, disertai pula dengan kondisi kemiskinan, yang disebabkan antara lain oleh eksploitasi dalam masa penjajahan. Keadaan miskin ini setelah kemerdekaan tidak otomatis teratasi, dan seperti telah dikemukakan di atas ada kecenderungan di negara berkembang keadaannya menjadi makin buruk. Kemiskinan dengan demikian merupakan masalah kedua yang menjadi pusat perhatian pembangunan, dan merupakan masalah ekonomi dan masalah sosial. Kita mengenal berbagai bentuk kemiskinan. Kemiskinan absolut, yaitu taraf kehidupan miskin di bawah suatu garis pendapatan (atau konsumsi) tertentu yang menjadi batas minimum untuk manusia dapat hidup secara layak. Selain itu ada juga kemiskinan relatif, yakni perbandingan tingkat pendapatan antara berbagai golongan pendapatan. Hal ini terkait dengan masalah ketimpangan. Perbedaan pendapatan tentu selalu ada karena adanya perbedaan dalam potensi atau endowments manusia, masyarakat, atau bangsa. Akan tetapi apabila perbedaan tersebut terlalu jauh, maka terjadilah ketimpangan.
viii
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Oleh karena itu ketimpangan adalah masalah sosial yang ketiga, yang juga ingin diatasi dengan upaya pembangunan. Ketimpangan memiliki berbagai wujud. Pertama, ketimpangan antargolongan pendapatan seperti yang telah disebut di muka. Kedua, ketimpangan antardaerah dan dapat juga antarkelompok etnis atau agama (di negara-negara tertentu). Ketiga, ketimpangan antarsektor, seperti sektor pertanian dan industri atau sektor perkotaan (urban) dan perdesaan (rural). Keempat, ketimpangan jender, yakni antara pria dan wanita. Kelima, yang sebetulnya dapat dikatakan menjadi penyebab dari berbagai bentuk ketimpangan di atas adalah ketimpangan dalam kesempatan. Keenam, ketimpangan antarmasyarakat di dunia maju dan di dunia berkembang. Hal ini yang menimbulkan gejala yang disebut keterbelakangan, dan melahirkan ketergantungan (dependency), yang merupakan masalah pembangunan yang keempat. Keterbatasan lapangan kerja, kemiskinan, ketimpangan dan keterbelakangan, adalah empat masalah dasar yang ingin dipecahkan dengan pembangunan. Keempat hal tersebut, selain merupakan lawan dari keadaan sejahtera, juga merupakan penghalang bagi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi juga mencerminkan ketidakadilan, dan dengan demikian, bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Konsep pembangunan kita sejak beberapa waktu yang lalu sudah memperhatikan berbagai paradigma tersebut. Kalau kita pelajari konsep-konsep pembangunan pada beberapa repelita terakhir selama PJP I, kita akan melihat adanya benang merah itu, seperti tercermin dalam Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Dalam PJP II, kita ingin lebih menegaskan komitmen dan keberpihakan kita kepada upaya pembangunan yang berakarkan kerakyatan itu. Dasar-dasarnya telah ada yaitu Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1993 (GBHN 1993), yang sangat jelas memberikan tekanan kepada tujuan keadilan sosial dari pembangunan. Dalam buku ini saya tekankan pentingnya tanggung jawab kita sebagai golongan terpelajar untuk memahami dan menjabarkan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN 1993 ke dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan pembangunan. Saya tekankan juga bahwa walaupun keadaan dan tantangan telah banyak berubah, dalam menetapkan langkah-langkah untuk menghadapi tantangan di masa depan kita semestinya tetap mengacu pada konstitusi dan amanat rakyat untuk memastikan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah bagi kepentingan rakyat. Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan hanya akan sinambung dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik itu berupa produktivitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin kita tumbuh dan berkembang atas daya rakyat sendiri, makin kukuh kemandirian kita sebagai bangsa. Kemandirian yang kita bangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandekan. Dalam kecenderungan liberalisasi, regionalisasi, dan globalisasi yang memberikan ciri pada interaksi perekonomian sekarang ini, kita membutuhkan daya tahan dan daya saing nasional yang harus kita bangun dari dalam. Ketangguhan perekonomian nasional tidak dapat berkembang hanya dengan membuka perekonomian kita pada persaingan internasional, tetapi kita harus membangunnya dengan dukungan sumber daya manusia kita sendiri dan dengan kemampuan kita di dalam negeri. Dengan demikian, maka persaingan internasional akan melengkapi dan memperkuat kemampuan yang telah kita bangun terlebih dahulu. Buku ini membahas mulai dari upaya menerjemahkan GBHN ke dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan; membangun ekonomi rakyat yang ditopang oleh usaha kecil dan menengah yang menampung sebagian besar tenaga kerja kita; upaya mengembangkan sumber utama pembangunan yaitu sumber daya manusia dan teknologi; memecahkan berbagai permasalahan pembangunan yang disebut di atas, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan kesempatan kerja produktif, serta pembangunan regional; sampai pada apa yang ingin kita ix
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
capai pada masa mendatang sebagai bangsa yang maju. Pemikiran yang sangat mendasari dan mewarnai pandangan-pandangan dalam buku ini adalah konsep pemberdayaan. Pembangunan juga harus diawali dan dilandaskan pada pemahaman kita yang kuat sebagai bangsa, oleh karena itu wawasan kebangsaan adalah semangat yang ada dalam buku ini. Buku ini diakhiri dengan renungan mengenai tantangan pembangunan masa depan dan agenda-agenda pembangunan untuk mengatasinya. Salah satu di antaranya adalah penguatan kebudayaan bangsa. Harapan saya adalah bahwa karya yang kecil ini dapat bermanfaat bagi mereka yang terlibat (stakeholders) dalam pembangunan, yakni para peneliti dan pemerhati pembangunan, para mahasiswa studi pembangunan, serta masyarakat luas yang berminat mengikuti arah gerak pembangunan kita. Sampainya buku ini dalam bentuknya sekarang ini adalah berkat bantuan rekan-rekan saya di Bappenas, dan untuk itu saya sangat berterima kasih. Saya harus mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Sdr. Umar Juoro yang bertindak sebagai editor sehingga membuat rangkaian pembahasan buku ini menjadi lebih urut. Kepada Sdr. Adi Sasono dan staf CIDES, terutama kepada Sdr. Djumhur Hidayat, saya mengucapkan terima kasih atas prakarsanya menerbitkan buku ini. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kawan saya, Sdr. Jakob Oetama yang telah bersedia memberikan kata pengantar, dan kepada Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, serta Prof. Dawam Rahardjo, yang telah bersedia mengulasnya. Jakarta, 28 Oktober 1996
Ginandjar Kartasasmita
x
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Bab I : PENDAHULUAN Melewati usia kemerdekaan yang ke-50, bangsa Indonesia menapak ke Pembangunan Jangka Panjang II yang merupakan bagian dari rangkaian panjang perjalanan bangsa dalam mewujudkan cita-citanya menuju masyarakat yang adil dan makmur. Menurut sistem konstitusi Indonesia, rakyat sendirilah yang menentukan masa depan yang dikehendakinya. Hal ini dilaksanakan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara. Dengan memperhatikan perkembangan, MPR menentukan haluan-haluan negara dalam garis besar yang disebut dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Presiden sebagai mandataris MPR berkewajiban melaksanakan GBHN tersebut. GBHN pada dasarnya adalah kehendak politik, dan lebih bersifat menunjukkan arah. Untuk pelaksanaannya, GBHN kemudian dijabarkan dalam sebuah sistem perencanaan lima tahunan yang dinamakan Repelita. Repelita, dengan berdasarkan pada arahan-arahan GBHN, mengandung sasaran-sasaran dan upaya untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Repelita tidak hanya berisi sasaran-sasaran kualitatif, tetapi juga mengandung sasaran-sasaran kuantitatif yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa jauh berbagai aspirasi mengenai masa depan itu telah dapat dicapai. Selain merumuskan apa yang ingin diwujudkan, repelita juga mengenali tantangan-tantangan yang dihadapi serta kendala-kendala dan peluang-peluang untuk mengatasi tantangan itu. Jadi, repelita mengandung visi mengenai masa depan dan cara mewujudkannya. Repelita, meskipun disusun oleh pemerintah, dalam proses penyusunannya telah menampung pendapat dan masukan dari kalangan masyarakat luas. Selain itu, sebelum ditetapkan, naskah repelita dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berdasarkan pembahasan tersebut, diperbaiki lebih lanjut sehingga menjadi suatu dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa repelita adalah kesepakatan nasional mengenai upaya pembangunan lima tahun ke depan. Selanjutnya Presiden melaksanakan repelita, sebagai pengejawantahan pelaksanaan GBHN yang menjadi tugas dan tanggung jawab konstitusionalnya. Pada akhir masa jabatannya, Presiden mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada MPR. Pelaksanaan repelita dalam setiap tahunnya, untuk kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, diwujudkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama pelaksanaannya, DPR mengawasi jalannya pembangunan. Dengan demikian, sambil berjalan dapat diadakan perbaikanperbaikan dan koreksi-koreksi. Inilah sistem pembangunan nasional bangsa Indonesia. Dalam sistem tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berperan dalam mengkoordinasikan penyusunan repelita dan perencanaan anggaran pembangunan negara yang merupakan bagian dari APBN. Kebijaksanaan pembangunan yang merupakan implementasi dari rencana pembangunan itu dilaksanakan oleh departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) selain Bappenas. Sebagian terbesar dari kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, Bappenas berupaya menyumbangkan pemikiran-pemikiran (moral voices) mengenai pembangunan nasional, termasuk dalam pelaksanaannya, tidak saja kepada departemen dan LPND tetapi juga kepada masyarakat, melalui berbagai forum. Beberapa pokok pemikiran yang telah disampaikan dalam berbagai kesempatan tersebut disarikan dalam buku ini. Pokok-pokok pikiran tersebut disajikan dalam tujuh bab yang keseluruhannya mencakup duapuluh lima topik. Bab pendahuluan menguraikan penjelasan singkat mengenai keseluruhan isi pada masing-masing topik. Di bab kedua, dibahas wawasan pembangunan yang mencakup 1
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
wawasan kebangsaan dan dimensi akhlak dalam pembangunan nasional serta kepemimpinan dalam wawasan kebangsaan. Pokok bahasan ini menggambarkan kaidah-kaidah yang dianut dalam membangun bangsa. Kaidah-kaidah tersebut merupakan dasar-dasar bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional yang sesuai dengan jiwa dan jatidiri bangsa Indonesia. Bab ketiga adalah mengenai arah pembangunan, yang terdiri dari tiga topik. Pembahasan diawali dengan berbagai paradigma pembangunan secara umum, dilanjutkan dengan tinjauan mengenai perkembangan paradigma dan kinerja pembangunan nasional. Uraian dalam bab awal tersebut ditutup dengan mengetengahkan kemajuan, kemandirian, dan keadilan sebagai paradigma pembangunan. Dalam proses pembangunan menuju bangsa yang maju dan mandiri, masyarakat Indonesia akan mengalami suatu transformasi. Proses transformasi tersebut merupakan proses pembangunan dalam jangka panjang. Dalam jangka yang lebih pendek, Indonesia menghadapi berbagai tantangan pembangunan yang utamanya adalah dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, sebagai penutup dalam bagian ini disajikan beberapa masalah dalam perekonomian memasuki abad ke-21, yang menyiratkan ke mana arah pembangunan menuju. Pembangunan pada hakikatnya adalah dari dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya bertepatan atau sesuai dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). Suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila ekonomi rakyat berkembang. Dengan basis perekonomian yang lebih luas (tidak terpusat pada perorangan, sekelompok orang atau perusahaan tertentu), ketahanan perekonomian nasional terhadap goncangan-goncangan ekonomi eksternal dan internal menjadi lebih kukuh. Inti dari semua itu adalah pentingnya untuk mengembangkan ekonomi rakyat sesuai dengan amanat rakyat dalam GBHN, dan sekaligus mengamankan keberlangsungan pembangunan nasional. Posisi penting pengembangan ekonomi rakyat bagi pembangunan yang berkelanjutan menunjukkan adanya keterpaduan antara pemerataan dan pertumbuhan. Mengingat pengembangan ekonomi rakyat merupakan pokok permasalahan yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional, maka bab keempat menyajikan hal ini dengan pembahasan yang cukup panjang meliputi sembilan topik. Pertama-tama dibahas terlebih dahulu landasan pengembangan ekonomi rakyat, yaitu demokrasi ekonomi. Pembahasan mengenai ekonomi rakyat ini berturut-turut dilanjutkan dengan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi pembangunan yang berakarkan kerakyatan, dengan tinjauan khusus mengenai administrasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat, dan kemudian diuraikan pokok-pokok pikiran tentang koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional serta pengembangan kemitraan usaha, dengan tinjauan khusus mengenai membangun kemitrasejajaran pria dan wanita. Rangkaian strategi dan program pemberdayaan masyarakat, yang meliputi globalisasi dan strategi pengembangan ekonomi rakyat, strategi pengentasan penduduk dari kemiskinan, dan program Inpres Desa Tertinggal, merupakan topik-topik akhir dalam bab empat ini. Bab kelima membahas salah satu unsur utama dalam mengembangkan ekonomi rakyat yaitu pengembangan sumber daya manusianya. Upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia menjadi semakin penting dalam era industrialisasi yang diwarnai dengan perubahan-perubahan yang cepat, yang terutama ditunjang oleh perubahan teknologi yang pesat. Upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia tersebut perlu disertai dengan strategi ketenagakerjaan yang tepat. Dengan demikian, kemampuan sumber daya manusia yang sudah berhasil ditingkatkan tadi dapat dimanfaatkan dalam pasar tenaga kerja secara produktif. Perlu dicatat bahwa pemanfaatan sumber daya manusia sebagai faktor produksi adalah merupakan satu sisi dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dari sisi lain, peningkatan kemampuan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat akan meningkatkan apresiasi rakyat terhadap kehidupan yang dijalani, yang juga merupakan suatu bagian dari peningkatan kesejahteraan 2
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
rakyat. Pembahasan dalam bab lima mengenai pengembangan sumber daya manusia ini terdiri atas tiga topik, yaitu topik tinjauan tentang teknologi, kebudayaan, dan pendidikan dalam pembangunan nasional, topik mengenai pengembangan sumber daya manusia dalam era industrialisasi dan topik mengenai strategi dan kebijaksanaan ketenagakerjaan. Selanjutnya dalam bab keenam dibahas pembangunan daerah, yang juga harus diperhatikan sebagai salah satu aspek penting pembangunan nasional dan salah satu dasar penting pengembangan ekonomi rakyat. Dalam pembangunan daerah, masalah pemerataan dan otonomi daerah serta ketimpangan antarkawasan, terutama antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, merupakan masalah yang sudah lama dihadapi. Uraian mengenai kedua hal tersebut merupakan sumbangan pemikiran melengkapi berbagai pemikiran yang sudah banyak dikemukakan oleh berbagai kalangan. Seluruh rangkaian uraian dalam buku ini akan diakhiri dalam bab penutup, yang merumuskan agenda pembangunan yang penting untuk diperhatikan di masa mendatang, khususnya yang berkaitan dengan hal-hal yang dibahas dalam buku ini.
3
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Bab II : WAWASAN PEMBANGUNAN 1. Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJP II) merupakan masa kebangkitan nasional kedua sehingga merupakan saat yang tepat untuk mengkaji kembali berbagai pandangan mengenai wawasan kebangsaan, serta memantapkan dan memperbaharuinya sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam memasuki abad ke-21, abad yang penuh dengan harapan dan tantangan, tetapi juga dengan tempo perubahan yang tinggi, ada baiknya kita menyegarkan kembali pandangan mengenai paham kebangsaan dan perannya dalam pembangunan pada abad yang akan datang itu.
Wawasan Kebangsaan dalam Perspektif Sejarah Pembahasan mengenai wawasan kebangsaan, tidak akan terlepas dari perjalanan sejarah perjuangan suatu bangsa. Pemahaman kebangsaan itu dirangsang oleh pertanyaan-pertanyaan yang kerap tumbuh dalam hati sanubari, seperti mengapa ada pahlawan dan syuhada yang berjuang dengan rela dan ikhlas, serta mengorbankan nyawa untuk melahirkan dan mempertahankan tegaknya bangsa ini; mengapa karya-karya pemikiran dan gagasan-gagasan besar para pendahulu bisa tercipta dan mengantarkan kemerdekaan bangsa, bahkan mampu berlanjut dalam mengisi kemerdekaan seperti yang dinikmati kini; bagaimana seni budaya yang gemilang bisa tercipta oleh para pujangga, seniman dan budayawan Indonesia, sehingga menyentuh hati dan kecintaan untuk merasa memiliki dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; betapa hati bergetar setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya; betapa bait-bait lagu kebangsaan membangkitkan perasaan yang dalam. Rasanya setiap orang memiliki rasa kebangsaan, dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan ataupun pikiran, paling tidak dalam hati nuraninya. Dalam kenyataan, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tapi sulit dipahami. Namun, ada getaran hati dan resonansi pikiran tatkala rasa kebangsaan tersentuh dan terpanggil. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang ke orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dahsyat kekuatannya. Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 telah mengonsepkan pikiran wawasan kebangsaan Indonesia dalam pemikiran Kepulauan Nusantara. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit seperti yang tersirat dalam Sumpah Palapa Gadjah Mada yang meyakini adanya kesatuan kehidupan di wilayah Nusantara. Pada awal abad ke-20 yang akan segera berakhir, Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 memperlihatkan wawasan kebangsaan dalam tekad dan keinginan membangun persatuan dan kesatuan karena menyadari adanya kebinekaan dan keragaman budaya, agama, etnis, dan suku yang akhirnya menuju kepada perjuangan kemerdekaan nasional. Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa yaitu rasa persatuan dan kesatuan yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan. Rasionalisasi rasa dan wawasan kebangsaan akan melahirkan suatu paham 4
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
yang disebut nasionalisme atau paham kebangsaan, yaitu pikiran-pikiran, yang bersifat nasional, bahwa suatu negara memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan tersebut, timbul semangat kebangsaan yang memiliki ciri khas, yaitu rela berkorban demi kepentingan tanah air, atau semangat patriotisme. Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jatidirinya, serta mengembangkan tata lakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya. Rasa kebangsaan merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’être) bangsa-bangsa di dunia. Masalah kebangsaan bukan monopoli sesuatu bangsa, dan bukan sesuatu yang unik dalam diri bangsa, karena hal yang sama juga dialami bangsabangsa lain. Bagaimanapun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, pandangan kebangsaan suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dengan intens dan saling mempengaruhi. Dengan perbenturan budaya yang kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesisnya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat, yang kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan. Memang pemikiran mengenai paham kebangsaan berkembang dari masa ke masa, dan berbeda dari satu lingkungan masyarakat ke lingkungan lainnya yang dicirikan oleh berbagai aliran atau haluan. Dalam sejarah bangsa-bangsa, dapat dilihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan. Ada yang menggunakan pendekatan ras atau etnis seperti nasional sosialisme (Nazisme) di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia, atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945. Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut, antara lain mengatakan: "Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa Kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar; lautan Pasifik dan lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatra, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan". Jika berbicara mengenai wawasan kebangsaan, memang kita perlu mendengarkan apa yang dikatakan oleh Bung Karno, seorang Nasionalis besar, seorang negarawan yang berada pada peringkat dunia. Pada tahun 1926 dalam tulisannya Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, Bung Karno mengatakan "Nasionalisme itu suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Memang semua paham nasionalisme yang berkembang, berpangkal tolak pada persatuan dan kesatuan suatu bangsa yang mengatasi paham golongangolongan". Bung Karno lebih jauh lagi mencoba mengikatnya sehingga dapat menampung berbagai aliran dan ideologi, yang secara hakiki sebenarnya amat bertentangan. Pandangan ini menjadi paham yang dipegangnya sepanjang hidupnya. Paham ini pulalah yang kemudian berkembang tiga puluh tahun kemudian menjadi Nasakom. Bung Hatta sebagai salah seorang proklamator tidak sepenuhnya sependapat dengan berbagai pandangan Bung Karno tersebut, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu. Bung Hatta menyatakan: "Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita; bangsa Filipina bangga mengatakan bahwa mereka adalah bangsa Melayu". 5
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Memang, kata Bung Hatta, soal bangsa dan kebangsaan tidak begitu mudah memecahkannya secara ilmiah. Sukar memperoleh kriterium yang tepat apa yang menentukan "bangsa". Tidak dapat diambil sebagai kriteria: (1) persamaan asal; (2) persamaan bahasa; (3) persamaan agama. Atas dasar itu, Bung Hatta mengatakan: "Bangsa ditentukan oleh keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama tertanam dalam hati dan otak". Mengapa berbagai pandangan mengenai kebangsaan tersebut perlu digali? Hal ini tidak lain adalah untuk memberikan perspektif mengenai wawasan dan paham kebangsaan ini, terutama di dalam memasuki zaman baru. Pandangan-pandangan nasionalisme yang dikembangkan oleh para pendiri Republik ini, memang banyak bersumber dari berbagai teori pemikiran Barat. Pikiran-pikiran nasionalisme ini berkembang di Eropa, sebagai bentuk perlawanan terhadap feodalisme serta terhadap penjajahan oleh bangsa-bangsa yang kuat terhadap yang lebih lemah. Paham nasionalisme ini kemudian berkembang di bagian dunia lain, di Amerika, Asia, dan Afrika yang hidup di bawah tekanan kekuasaan feodal atau penjajah. Namun, kalau dilihat lebih dalam lagi, dapat ditemukan pula pandangan-pandangan mengenai bangsa dan kebangsaan yang mencerminkan pandangan hidup khas Indonesia, seperti yang diutarakan Ki Hadjar Dewantara: "Rasa kebangsaan adalah sebagian dari rasa kebatinan yang hidup dalam jiwa dengan disengaja. Asal mulanya rasa kebangsaan itu timbul dari rasa diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan, lalu menjalar menjadi rasa keluarga; rasa ini terus jadi rasa hidup bersama (rasa sosial)". Wawasan Kebangsaan dan Tantangannya Dalam memasuki zaman kehidupan yang makin mengglobal, wawasan kebangsaan banyak dibahas kembali. Tentu ada sesuatu di balik itu semua. Dengan mencoba mendalami, menangkap berbagai ungkapan dari masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang ada hal-hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah mendangkal atau terjadi erosi terutama di kalangan generasi muda; sering kali disebut bahwa sifat materialistis, telah menggantikan idealisme yang merupakan sukmanya kebangsaan. Kedua, ada kekhawatiran ancaman desintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah kejadian di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, Sri Lanka, dan juga di negara-negara lainnya, seperti di Afrika yang paham kebangsaannya merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini. Mengenai kekhawatiran yang pertama, memang bisa diperoleh banyak pandangan. Pada dasarnya gejala yang dikhawatirkan itu sebenarnya lebih mencerminkan perkembangan gaya hidup. Cara berpakaian, lagu-lagu, makanan, bahasa, bahkan sikap sehari-hari sering kali mencerminkan gaya hidup internasional, terutama di perkotaan. Peningkatan taraf hidup, globalisasi dan arus informasi menyebabkan terjadinya hal itu. Apakah makin terintegrasinya Indonesia kepada pola kehidupan dan ekonomi dunia merupakan ancaman yang mendasar terhadap rasa kebangsaan? Hal ini sulit untuk dapat dibuktikan. Ujiannya nanti adalah seberapa jauh bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya, merasa terpanggil dan bereaksi ketika bangsa dan negaranya berada dalam ancaman. Namun, yang juga bisa menjadi ujian sekarang ini adalah seberapa jauh bangsa Indonesia dapat mengembangkan semangat menghargai dan mendahulukan karya bangsa sendiri sebagai ungkapan nasionalisme atau patriotisme baru.
6
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kekhawatiran yang kedua yang juga perlu mendapat perhatian adalah terutama mengenai adanya gejala mempertentangkan berbagai perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sangat majemuk, sangat bineka. Karena itu ada Sumpah Pemuda. Karena itu ada semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sejarah telah menunjukkan betapa kemajemukan itu dapat mendorong divergensi yang dengan susah payah telah diatasi sehingga Indonesia tetap menjadi bangsa yang utuh. Upaya ini dilakukan sejak awal kemerdekaan, yaitu dengan diterimanya perubahan Piagam Jakarta, menjadi apa yang dikenal dalam UUD 1945 sekarang. Di pihak lain, di samping ada potensi divergensi, kemajemukan atau kebinekaan juga merupakan potensi kekuatan yang besar bagi suatu bangsa. Adanya unsur-unsur yang berbeda jika dapat dihimpun akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar, daripada hanya terdiri atas unsur yang seragam. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya dan tidak mencerminkan pandangan kebangsaan, untuk menutup mata akan adanya perbedaan dan bertindak seakan-akan bangsa Indonesia adalah homogen, tidak ada perbedaan suku, agama atau etnis. Dan bukan itu pula pengertian kebangsaan yang dikehendaki pendiri Republik ini. Di pihak lain, sangat bertentangan pula dengan rasa kebangsaan untuk memperbesar perbedaan. Sesungguhnya, sangat penting mengenali adanya kemajemukan, dan memadukan serta memanfaatkannya untuk membangun kekuatan yang dahsyat untuk mewujudkan cita-cita perjuangan. Kekhawatiran yang ketiga, tidak terlepas dari kedua hal di muka. Kesadaran masyarakat yang makin meningkat, sebagai hasil pembangunan menyebabkan tumbuhnya sikap kritis. Keterbukaan yang dihasilkan oleh pembangunan politik membuat segala pandangan dapat dikemukakan secara bebas. Dengan sendirinya terjadi pula interaksi yang makin leluasa dan kerap dengan pandangan-pandangan dari luar. Akibatnya, timbul berbagai jargon politik, yakni “demokratisasi�, “arus bawah� dan sebagainya, yang sebetulnya merupakan rumusan-rumusan netral, kalau tidak dimuati dengan konotasi tertentu. Keinginan untuk membangun kehidupan nasional yang partisipatif dan demokratis, adalah wajar, dan menjadi tujuan pembangunan politik. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana mewujudkannya. Ada kekhawatiran, dalam proses itu berkembang pemikiran-pemikiran yang asing, yang mungkin tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia, bahkan akan bertentangan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, terkesan bahwa perubahan menuju arah kehidupan yang makin bebas sepertinya boleh dicapai dengan menghalalkan segala cara dan asal berbeda. Sesungguhnya tidak ada orang yang menentang pembaharuan, bahkan hal itu diamanatkan oleh UUD 1945, seperti semangat yang dapat ditangkap pada penjelasan Pasal 3. Namun, pembaharuan itu harus dilakukan di dalam sistem itu sendiri. Pembaharuan di luar sistem, akan menyebabkan gejolak, yang tidak menguntungkan siapa pun, yang tidak bisa menghindar dari dampak gejolak itu.
Pengamalan Wawasan Kebangsaan dalam Membangun Masa Depan Dari uraian di atas, pertanyaan yang muncul adalah konsep kebangsaan yang bagaimana yang tepat untuk masa kini dan masa depan bangsa. Karena persoalan feodalisme dan kolonialisme, yaitu musuh-musuhnya nasionalisme, sudah tidak relevan lagi sekarang, tentu wawasan kebangsaan harus ditunjukkan dengan wujud baru. Dalam hal ini, meskipun penampilannya bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tantangan yang dihadapi suatu bangsa juga berubah, tetapi pengertian pokoknya tidak pernah berubah seperti apa yang telah diuraikan pada awal pembahasan ini.
7
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Dengan mengupas berbagai pandangan tadi, maka dapat dikatakan bahwa hakikat wawasan kebangsaan bagi bangsa Indonesia adalah yang termaktub di dalam jiwa pembukaan UUD 1945, yang menetapkan dasar dan tujuan kemerdekaan kebangsaan Indonesia. Memang ada pandangan yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia dicerminkan dalam sila Persatuan Indonesia. Meskipun persatuan merupakan unsur paling pokok dalam setiap paham kebangsaan, tetapi bukan merupakan unsur satu-satunya. Konsep kebangsaan menurut paham bangsa Indonesia lebih luas daripada hanya unsur persatuan. Karena kalau hanya itu saja, ia menjadi sangat terbatas, dan kalau sudah menjadi satu lantas tidak diperlukan lagi. Paham kebangsaan bangsa Indonesia mengemban misi, yaitu seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan, "maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam .....". Paham kebangsaan Indonesia adalah paham yang memiliki landasan spiritual, moral dan etik, karena itu bersilakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia ingin membangun masa kini dan masa depan, di dunia dan akhirat. Paham kebangsaan Indonesia tidak menempatkan bangsa Indonesia di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban asasi manusia. Oleh karena itu, paham kebangsaan Indonesia mempunyai unsur kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu pula paham kebangsaan Indonesia mengakui adanya nilainilai universal kemanusiaan. Sebagai bangsa yang majemuk, tetapi satu dan utuh, paham kebangsaan Indonesia jelas bersendikan persatuan dan kesatuan bangsa. Pandangan ini kemudian dituangkan dan dimantapkan dalam konsep Wawasan Nusantara. Paham kebangsaan ini berakar pada asas kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu paham kebangsaan Indonesia adalah paham demokrasi, dan bertentangan dengan paham totaliter. Paham kebangsaan ini memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan pandangan itu, wawasan kebangsaan tidak lagi hanya dilihat sebagai wujud yang reaktif terhadap sesuatu keadaan atau ancaman, atau kekhawatiran terhadap "ini" atau terhadap "itu". Wawasan kebangsaan Indonesia sebaiknya merupakan pandangan proaktif, untuk membangun bangsa menuju perwujudan cita-citanya. Dengan demikian pembangunan sebagai pengamalan wawasan kebangsaan, tidak lain adalah pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, yang merupakan konsepsi pembangunan yang paling mendasar. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, kita tidak perlu jauh-jauh mencari, tetapi mempelajari saja GBHN, karena petunjuk-petunjuknya telah jelas. GBHN 1993 memberikan tuntunan, bahwa berdasarkan pokok pikiran pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, maka pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya. Dari amanat tersebut disadari bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelmaan pula dari proses perubahan politik, sosial, dan budaya yang meliputi bangsa, di dalam kebulatannya. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tidak dapat dilihat terlepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik. Mekanisme dan kelembagaan politik berdasarkan UUD 1945 telah berjalan. Pelaksanaan pemilu secara teratur selama Orde Baru juga sudah menunjukkan kemajuan perkembangan demokrasi. Pembangunan di berbagai bidang selama ini memberikan kepercayaan kepada bangsa Indonesia bahwa upaya pembangunan yang telah ditempuh, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan keberhasilan. Ini yang ingin dilanjutkan dan akan ditingkatkan dalam era baru pembangunan, yaitu era Kebangkitan Nasional Kedua.
8
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
2. Dimensi Akhlak dalam Pembangunan Nasional Akhlak adalah nilai-nilai dasar yang membimbing seseorang dalam berperilaku. Seorang dikatakan berakhlak atau bermoral, apabila perilakunya mengikuti kaidah-kaidah kehidupan yang dikehendaki atau dibenarkan oleh agama, masyarakat, dan hati nuraninya. Kaidah-kaidah kehidupan itu berisi tuntunan atau petunjuk mengenai baik dan buruk. Karena perjalanan kehidupan pada dasarnya adalah rangkaian pilihan yang sambung-menyambung, tidak henti-hentinya, maka akhlak menunjukkan pilihan-pilihan yang baik dalam berperilaku dan menempuh kehidupan. Moral atau akhlak, tidak dapat diukur semata-mata oleh diri sendiri, tetapi oleh lingkungan dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pada dasarnya, akhlak berkenaan dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila seseorang hidup sendiri, tanpa orang lain, maka masalah akhlak menjadi kurang menjadi persoalan, karena perbuatan yang dilakukan hanya menyangkut dirinya sendiri. Karena itu akhlak berkenaan tidak hanya dengan nilai-nilai individual, tetapi terkait dengan nilai-nilai sosial dan bersifat transendental. Oleh karena itu, seseorang dikatakan berakhlak apabila perilakunya baik, yakni tidak bertentangan dengan norma-norma yang dipandang baik oleh masyarakat. Norma-norma masyarakat itu sendiri dibentuk oleh keyakinan yang dianut oleh masyarakat tempat seseorang menjadi anggotanya. Bagi masyarakat beragama, ajaran-ajaran agama adalah nilai-nilai yang paling hakiki yang membentuk norma-norma masyarakat itu. Bagi umat beragama akhlak adalah cerminan dari pengejawantahan keimanan. Seseorang yang berperilaku amat baik, artinya tidak pernah melanggar kaidah-kaidah yang menjadi pegangan terhadap hal-hal baik, dikatakan berakhlak mulia, yang dalam agama Islam dikenal dengan akhlaqul karimah. Akhlak berbeda dengan watak, karena watak adalah sifat atau kecenderungan pembawaan seseorang. Oleh karena itu, tidak ada akhlak yang buruk, tetapi ada watak yang buruk. Orang yang perilakunya terus-menerus buruk, disebut orang yang wataknya buruk, tidak berakhlak atau tidak bermoral, atau a moral.
Akhlak dalam Pembangunan Dalam kaitan akhlak dengan pembangunan nasional, pertanyaan yang segera muncul adalah, pembangunan yang bagaimana yang berakhlak? Pembangunan pada umumnya diarahkan untuk memperbaiki keadaan, sehingga dapat dikatakan sebagai perbuatan kebaikan. Namun, sejarah menunjukkan tidak senantiasa demikian kenyataannya. Pembangunan dapat merupakan perbuatan yang tidak baik, apabila hal-hal berikut yang terjadi. Pertama, jika ditujukan untuk kepentingan pembangunan suatu kelompok dengan mengorbankan yang lain. Contohnya, adalah pembangunan kembali Jerman dari reruntuhan perang dunia pertama, dengan menempatkan kelompok etnisnya di atas yang lain. Kedua, apabila pembangunan hanya menguntungkan sebagian orang, tetapi tidak bermanfaat bagi banyak yang lain. Contohnya, banyak pembangunan di negara berkembang yang mengakibatkan kemajuan hanya bagi kelompok atau lapisan tertentu yang sedikit jumlahnya, sedangkan yang lainnya tidak berkesempatan untuk turut serta atau menikmatinya. Pembangunan yang demikian acapkali menghasilkan atau mengabadikan kemiskinan bagi lapisan rakyat yang terbanyak. Ketiga, apabila pembangunan dijalankan dengan menggunakan cara yang tidak benar, tidak baik, atau tidak halal. Pembangunan yang menghalalkan segala cara bukan pembangunan yang benar dari tinjauan akhlak. 9
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Keempat, pembangunan yang hanya mengejar kebutuhan lahiriah dan mengabaikan sisi rohaniah manusia, sebagai makhluk yang utuh. Pembangunan yang demikian menghasilkan manusia yang materialistis, yang segala perbuatannya hanyalah untuk kepuasan di dunia ini saja. Kelima, pembangunan yang merusak alam dan lingkungan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi, memikul tanggung jawab untuk memelihara lingkungan hidupnya, baik lingkungan sosial maupun alam. Merusak alam sekarang berarti menyengsarakan generasi mendatang. Keenam, pembangunan yang dijalankan dengan tidak memperhatikan nilai kemanusiaan pada umumnya. Misalnya, pembangunan melalui penjajahan dan penindasan. Akhlak atau moral selalu sejalan dengan fitrah kemanusiaan. Karena itu, pembangunan yang bermoral adalah pembangunan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang fitrah.
Pembangunan menurut Paham Bangsa Indonesia Pokok yang paling mendasar dalam falsafah pembangunan bangsa Indonesia ialah bahwa pembangunan adalah pengamalan Pancasila. Karena itu GBHN menyatakan bahwa keseluruhan semangat, arah dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Berdasarkan pokok pikiran tersebut, maka pembangunan dalam pengertian bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedoman pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila. Pembangunan nasional diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir batin, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tenteram, dan rasa keadilan. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional menurut pokok-pokok pikiran di atas, ada sembilan asas pembangunan yang harus diterapkan dan dipegang teguh seperti yang diamanatkan GBHN 1993. Asas-asas tersebut mencerminkan kaidah-kaidah yang paling pokok yang membentuk moral pembangunan bangsa Indonesia. Asas-asas tersebut adalah (1) asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) asas manfaat; (3) asas demokrasi Pancasila; (4) asas adil dan merata; (5) asas keseimbangan; (6) asas hukum; (7) asas kemandirian; (8) asas kejuangan; dan (9) asas ilmu pengetahuan dan teknologi. Di urutan paling atas, ditempatkan asas keimanan dan ketaqwaan. Dengan asas ini bangsa Indonesia menyatakan bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional harus dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etis dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Nilai-nilai dasar tersebut menunjukkan watak pembangunan yang dikehendaki dalam melaksanakan pembangunan nasional.
Kaidah Penuntun sebagai Norma Pembangunan Bagaimana menyelenggarakan pembangunan yang mencerminkan sifat-sifat seperti tersebut di atas, telah pula diberikan pedomannya oleh GBHN dalam sepuluh butir Kaidah Penuntun, yang meliputi semua bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.
10
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Khususnya di bidang ekonomi, Kaidah Penuntun menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi harus selalu mengarah pada mantapnya sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi. Dalam Kaidah Penuntun ditunjukkan delapan hal yang menjadi ciri demokrasi ekonomi yang harus ditegakkan dan diwujudkan melalui upaya pembangunan, dan tiga hal yang harus dihindari karena bertentangan dengan watak perekonomian Pancasila. Ciri demokrasi ekonomi dan tiga hal yang harus dihindari tersebut diuraikan secara singkat di bawah ini, yang memberikan rambu-rambu moral pembangunan bangsa Indonesia.
1.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
Butir ini dipetik dari pasal 33 UUD 1945. Ini merupakan dasar demokrasi ekonomi yang menunjukkan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dan di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang. UUD 1945 menunjukkan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Dengan demikian, perekonomian yang semata-mata didasarkan kepada mengejar keuntungan untuk diri sendiri dan sifat keserakahan amat bertentangan dengan kaidah ini. Asas kekeluargaan mengamanatkan semangat senasib sepenanggungan yang tercermin dalam solidaritas sosial. Majikan dan buruh, yang besar dan yang kecil haruslah hidup dalam hubungan yang serasi dan saling menunjang. Dalam hubungan kekeluargaan tidak ada hamba sahaya dan tidak ada tindas-menindas dan mati-mematikan. Apa yang ada adalah tenggang rasa, nikmat sama dirasakan, penderitaan sama dipikul. Kenikmatan yang diperoleh dari penderitaan yang lain atau dengan membuat penderitaan bagi yang lain tidak sesuai dengan asas kekeluargaan.
2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ini merupakan ayat kedua pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasannya diingatkan jangan sampai tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasnya. Apa yang dimaksud dengan yang berkuasa, tentunya bukan hanya yang memiliki kekuasaan politik saja, tetapi juga kekuasaan ekonomi, melalui kekuatan yang dimilikinya dalam penguasaan pasar dan faktor-faktor produksi. Karena itu hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ditangani orang seorang. Penguasaan oleh negara memang tidak perlu diartikan sebagai sepenuhnya pemilikan, tetapi bahwa negara harus menjamin adanya kemampuan bagi negara untuk menegakkan kedaulatan serta melindungi kepentingan umum dan kepentingan ekonomi rakyat. Kedaulatan termasuk di bidang ekonomi tidak boleh bergeser ke tangan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab kepada dan tidak berada di bawah pengawasan rakyat karena kedaulatan di negara Indonesia berada di bawah pengawasan rakyat atau di tangan rakyat, yang pengejawantahannya dilakukan melalui mekanisme perwakilan.
3.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Butir ini adalah ayat ketiga pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tanah air dan kekayaan alam adalah karunia Allah bagi rakyat Indonesia dan menjadi sumber bagi kemakmurannya. Dengan keterbatasan yang ada pada negara, maka pengembangan sumbersumber kekayaan alam tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan orang perorang atau usaha swasta, tetapi harus tetap dalam pengawasan pemerintah dan penilikan 11
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
masyarakat. Dalam kaitan ini, potensi kekayaan alam dikembangkan dengan cara yang dapat memberikan imbalan yang layak bagi yang mengusahakan sesuai dengan pengorbanan dan risiko yang diambilnya, tetapi juga menjamin bahwa hasil akhirnya adalah kemakmuran yang sebesarbesarnya bagi rakyat.
4.
Sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan rakyat.
Butir ini mencerminkan amanat pasal 23 UUD 1945. Di sini ditegaskan kedaulatan rakyat terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kekayaan dan keuangan negara pada umumnya. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan betapa caranya rakyat, sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan dewan perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Dengan memiliki hak anggaran Dewan Perwakilan Rakyat mengawasi (mengontrol) pemerintah. Selain menegakkan hakikat kedaulatan rakyat dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan negara, menunjukkan juga sifat demokratisnya.
5.
Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi sesuai dan seimbang dalam satu kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta daerah secara optimal.
Kaidah ini memberi petunjuk mengenai pemerataan pembangunan antardaerah dan kewajiban negara untuk mendorong pembangunan wilayah-wilayah yang terbelakang seperti misalnya kawasan timur Indonesia. Pembangunan yang makin merata antardaerah tidak hanya akan memenuhi tuntutan keadilan, tetapi akan memperkukuh landasan pembangunan, karena berkembangnya potensi-potensi pembangunan yang ada di semua daerah sehingga menghasilkan sinergi yang akan mendorong pertumbuhan. 6.
Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Butir ini adalah bagian dari hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 pada Bab X, pasal 26, 27, 28, 29 dan 30, dalam hal ini khususnya pasal 27 ayat (2). Di sini dijamin bahwa rakyat tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak dikehendakinya. Aspek yang lebih mendasar lagi bahwa negara wajib mengupayakan pekerjaan bagi rakyat dan membangun perikehidupan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya memang menjadi tugas dan pokok perhatian pemerintah mana pun di dunia, demikian pula menjamin penghidupannya yang layak. Keseluruhan upaya pembangunan bangsa pun, apabila dipadatkan, ke sinilah arahnya. Demikian pula upaya pengentasan penduduk dari kemiskinan, karena adanya kemelaratan di tengah kemakmuran sangat bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan. Selain itu, rakyat yang miskin bukan pula rakyat produktif sehingga mengatasi kemiskinan, selain merupakan persoalan kemanusiaan adalah juga masalah ekonomi.
12
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
7.
Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Hak milik perorangan memang dijamin oleh negara. Dengan jaminan itu, ada perangsang bagi setiap orang untuk memperbesar kegiatan yang produktif, yang dapat pula bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat. Namun, hak milik perorangan tidak bersifat mutlak, dalam arti dapat digunakan sesukanya. Pembatasnya adalah kepentingan umum. Pemanfaatan hak milik perorangan tidak boleh merugikan masyarakat, bahkan sebaliknya harus diusahakan untuk menguntungkan selain dirinya sendiri juga masyarakat. Dalam paham bangsa, hak milik perorangan diharapkan pula mempunyai nilai dan fungsi sosial.
8.
Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
Menyadari betapa sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan, maka potensi, inisiatif, dan daya kreasinya harus terus menerus didorong dan dirangsang untuk dikembangkan. Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan bangsa-bangsa terkait erat dengan dorongan dan kebebasan untuk mengembangkan prakarsa dan kreativitas yang tercermin dalam berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membawa bangsa pada tataran peradaban yang lebih tinggi. Untuk itu memang harus diusahakan adanya perangsang, baik dalam bentuk kenikmatan hasilnya ataupun penghargaan masyarakatnya. Namun, moralnya adalah kebebasan berprakarsa dan berkreasi itu tidak boleh merugikan orang lain, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Egoisme pribadi, keangkuhan intelektual, dan pelecehan terhadap nilainilai budaya serta martabat anggota masyarakat harus dihindari. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa demokrasi ekonomi pada prinsipnya menjamin hak-hak warga negara, disertai pembatasannya, yang pada dasarnya adalah upaya mencari keseimbangan antara hak-hak individu dan kepentingan masyarakatnya. Kaidah Penuntun juga mengajarkan adanya tiga hal yang mutlak harus dihindari dan tidak boleh terjadi pada bangsa ini. Ketiga hal itu adalah musuh demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila.
a.
Sistem “free-fight liberalism�
Sistem ini menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktural ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia. Sistem ini memang terkait dengan sistem ekonomi pasar yang terbukti merupakan mekanisme yang lebih unggul dibandingkan mekanisme lainnya yang juga telah dicoba, antara lain dengan sistem Marxisme/komunisme atau sistem ekonomi komando dalam berbagai bentuk dan variasinya. Perdagangan bebas sebetulnya adalah mekanisme yang berkembang dalam sistem ini. Namun, melalui pengalaman lebih dari dua abad, sistem kapitalisme liberal, telah mengalami cukup banyak perubahan, karena dalam perjalanannya diketemukan banyak kelemahan. Kelemahan itu, adalah antara lain, terjadinya distorsi dalam penyediaan barang dan jasa publik, terciptanya persaingan yang tidak seimbang karena terakumulasinya kekuatan pasar pada sejumlah orang atau kelompok yang terbatas, alokasi sumber daya terjadi secara tidak efektif dan optimal, dan terjadinya kesenjangan dalam pendapatan yang pada gilirannya melahirkan masalah-masalah sosial. Sistem ini juga melahirkan keserakahan dan kebuasan dalam persaingan yang merangsang penjajahan dan penghisapan satu bangsa atas bangsa lain, semata-mata untuk menguasai pasar dan faktor-faktor produksi secara lebih murah sehingga dapat memperkuat daya saing. Di negara-negara maju, sistem ini telah 13
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
“dijinakkan� dengan berbagai intervensi dari negara melalui pembatasan-pembatasan. Tindakan yang sangat menonjol adalah ketentuan-ketentuan anti-trust, serta pengaturan redistribusi pendapatan untuk menolong golongan yang dirugikan dalam persaingan pasar tersebut. Di banyak negara, perlindungan diberikan kepada usaha kecil sehingga dapat memasuki persaingan pasar secara lebih kuat. Dengan demikian, di negara Barat pun, yang pertama-tama menerapkan sistem ini, persaingan bebas atau free-fight liberalism sudah diupayakan untuk dihindari. Apalagi tentunya di Indonesia yang sejak semula memang tidak mengatakan dirinya sebagai penganut paham ini.
b.
Sistem etatisme
Dalam sistem ini negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara. Dari pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan pengalaman bangsa-bangsa lain, diketahui bahwa sistem ini tidak mampu mengelola sumber daya dan kekayaan negara secara efisien, efektif dan optimal, karena tidak berkembangnya prakarsa dan kreativitas masyarakat. Bukti menunjukkan bahwa masyarakat dapat lebih mampu menyelenggarakan berbagai kegiatan ekonomi dibandingkan dengan jika negara yang melakukannya. Oleh karena itu, selayaknya negara membatasi keterlibatannya secara langsung dalam hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak saja, dan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri seluas atau sebaik seperti apabila dilakukan oleh pemerintah, atau yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi tidak ada rangsangan ekonomi bagi masyarakat untuk melakukannya sendiri.
c.
Persaingan tidak sehat
Persaingan dianggap tidak sehat bila terjadi pemusatan kekuatan ekonomi dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Seperti telah dikemukakan di atas, mekanisme pasar harus disertai dengan pengendalian agar persaingan yang terjadi adalah persaingan yang sehat yang mencerminkan keadilan. Monopoli dan monopsoni, juga oligopoli dan oligopsoni, adalah produk mekanisme pasar yang melenceng, yang terjadi karena tidak ada atau kurang efektifnya kendali yang mencegah terjadinya penguasaan kekuatan pasar pada orang atau kelompok yang jumlahnya terbatas. Gejala ke arah itu jelas harus dihindari karena selain menyebabkan distorsi pasar yang akan merugikan rakyat banyak, juga bertentangan dengan pesan konstitusi bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Selanjutnya, harus diingat bahwa pembangunan bukan hanya di bidang ekonomi. Selain kaidah-kaidah yang menuntun pembangunan ekonomi, GBHN 1993 juga meletakkan kaidahkaidah pembangunan di bidang-bidang lainnya. Apa yang ingin dibangun adalah kehidupan yang konstitusional, demokratis, dan berdasarkan hukum. Pembangunan yang dilaksanakan adalah yang bermoral, berakhlak, berdasarkan pada kesepakatan bersama mengenai dasar-dasar negara yang merupakan landasan dalam membangun kehidupan sebagai bangsa yang merdeka. Dasardasar itu adalah konstitusi. Perbuatan yang bertentangan dengan konstitusi, meskipun atas nama pembangunan, tidak dikehendaki. Pembangunan harus juga dilakukan dengan asas demokrasi, karena negara adalah milik rakyat, dan segala sesuatu yang dilakukan untuk dan atas nama negara, termasuk pembangunan, haruslah dengan persetujuan rakyat, dan pelaksanaannya mengikutsertakan rakyat, serta hasilnya dinikmati rakyat seluruhnya.
14
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pembangunan juga harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan dengan menghormati hukum. UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Meskipun untuk pembangunan, segala kegiatan tidak dapat hanya dilakukan dengan kekuasaan, tetapi harus berdasarkan hukum. Karena itu pembangunan yang bertentangan dengan amanat konstitusi atau yang tidak dilakukan secara demokratis, atau yang melanggar hukum, bukanlah pembangunan yang bermoral atau berakhlak.
Pelaksanaannya Dari berbagai uraian di atas, kiranya dapat diperoleh gambaran mengenai akhlak pembangunan dan pembangunan yang berakhlak, dari sudut pandang bangsa Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana pelaksanaannya. Jika sudah sampai di situ, tentu pandangan yang ada dalam masyarakat dapat berbeda-beda. Fakta-fakta menunjukkan bahwa keadaan bangsa Indonesia hari ini jauh lebih baik dari kemarin. Artinya apa yang dicita-citakan, dan dirumuskan dalam rencana-rencana, telah dijalankan dan telah memberikan hasil. Artinya, diyakini bahwa dalam garis besarnya pembangunan nasional yang dilaksanakan berada di jalan yang benar. Namun, disadari masih banyak kelemahan atau ketidaksesuaian antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Keadaan itu dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut ini. Pertama, ada kekeliruan dalam kebijaksanaan atau pendekatan. Ini mungkin saja terjadi, karena bagaimanapun upaya pembangunan ini acapkali dilaksanakan secara berjalan sambil belajar. Jadi, tidak tertutup kemungkinan ada jalan-jalan salah yang dipilih. Semestinya begitu diketahui salah, harus segera diperbaiki. Kedua, kebijaksanaannya benar, tetapi pelaksanaanya tidak berjalan seperti atau menghasilkan apa yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena ada rintangan yang sulit diatasi, atau terjadi perkembangan yang di luar perhitungan atau rencana. Ketiga, sejak semula memang pelaksanaannya menyimpang, yang dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena ketidakmampuan yang melaksanakan. Ini bersangkutan dengan kualitas sumber daya manusianya yang tidak sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul. Kedua, karena ada itikad buruk yang biasanya untuk keuntungan diri sendiri, misalnya korupsi, kesewenangwenangan, dan lain sebagainya. Karena dunia bukan tempat yang ideal, dan tidak dimaksudkan Tuhan juga sebagai tempat yang serba baik, maka tantangan serupa itu akan terus dihadapi betapapun kemajuan yang telah dicapai. Banyak negara lain, yang sudah sangat maju sekalipun, masih menghadapi masalah yang sama. Menjadi tugas bersama pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut menjadi sekecil-kecilnya agar pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan moral pembangunan bangsa Indonesia.
3. Kepemimpinan dalam Wawasan Kebangsaan Faktor kepemimpinan penting sekali dan amat menentukan dalam kehidupan setiap bangsa, karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa, ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpinlah yang akan merancang masa depan serta menggerakkan masyarakat untuk mencapainya. Banyak teori mengenai kepemimpinan. Juga banyak pendekatan untuk bisa memahami kepemimpinan. Dalam topik ini akan dibahas beberapa pandangan terutama mengenai corak kepemimpinan masa depan, yakni kepemimpinan yang dapat membawa bangsa menuju kemajuan yang berkeadilan di atas landasan kebangsaan. 15
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Warisan para Leluhur Bangsa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah sebuah konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Brata, atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.1 Seorang pemimpin harus berwatak matahari, artinya memberi semangat, memberi kehidupan dan memberi kekuatan bagi yang dipimpinnya. Harus mempunyai watak bulan, dapat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan. Memiliki watak bintang, dapat menjadi pedoman. Berwatak angin, dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat. Harus berwatak mendung, artinya bahwa pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat. Pemimpin harus berwatak api, yaitu bertindak adil, mempunyai prinsip, tegas tanpa pandang bulu. Ia juga harus berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan luas, berisi dan rata. Akhirnya seorang pemimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci. Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani.2 Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur tadi serta asas-asas kepemimpinan yang telah dimiliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala zaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apa pun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinannya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu pada dasarnya bagi bangsa Indonesia seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat, yaitu: Pertama, ia harus memiliki idealisme, artinya jelas ke mana atau ke arah mana ia ingin membawa yang dipimpinnya.
1
Hastha Brata adalah ajaran tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Sri Rama kepada Bharata, adiknya, yang akan menjadi Raja Ayodhya. Ini diceritakan dalam Ramayana Kakawin (cerita berbentuk puisi dalam bahasa Jawa Kuno dari abad ke-10), yaitu ketika Rama harus meninggalkan istana untuk mengembara di hutan bersama Laksmana, adiknya, dan Dewi Shinta, istrinya. Atas permintaan ayahnya, Dastharata, Raja Ayodhya, Rama harus mengembara di hutan dahulu sebelum boleh menggantikannya. Di hutan itulah, ia kehilangan Dewi Shinta karena mengejar Kijang Kencana, alat tipuan Dasamuka.
2
Ini diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam berbagai kesempatan berpidato kepada anak-anak didiknya serta para pengasuh di Perguruan Taman Siswa yang dibangunnya pada masa penjajahan Belanda. Tiga prinsip kepemimpinan itu bermakna bahwa “seorang pemimpin harus berada di depan yang dipimpinnya untuk menjadi teladan, di tengah-tengah untuk membangun semangat (kemauan), dan mengikuti dari belakang untuk memberi kekuatan (daya)�. Kata-kata itu dikutip oleh Ki Hadjar dari Drs. Raden Mas Sosrokartono (saudara kandung Raden Adjeng Kartini) yang bunyi aslinya adalah: Ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
16
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan,3 dan menempatkan kepentingan perjuangan dan masyarakat yang dipimpinnya di atas kepentingannya sendiri. Ia harus memiliki komitmen kepada tujuan perjuangan itu dan senantiasa berupaya untuk mencapainya. Bagi bangsa Indonesia tujuan perjuangan itu jelas. Ia lahir bersama kemerdekaannya. Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi pemersatu. Dalam hal kepemimpinan kebangsaan seorang pemimpin harus menjadi pemimpin bangsa, bukan hanya mementingkan kelompok yang dipimpinnya atau suatu bagian dari bangsa. Seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan. Kedua, ia harus memiliki pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang dipimpin ke arah tujuan yang “diidealkannya�. Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai bidang atau tugas dari kelompok yang dipimpinnya. Dengan demikian, ia harus seorang profesional. Ini berarti bahwa seorang pemimpin, bukan hanya mengerti teknik kepemimpinan, tetapi juga menguasai bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Ketiga, seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu, seorang pemimpin diharapkan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di atas iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan. Pemimpin juga harus memahami dan menghayati budaya bangsanya.4 Ajaran leluhur dan doktrin kepemimpinan yang telah diungkapkan di atas mencakup sifat pertama dan ketiga, bahkan juga sebagian sifat kedua, yaitu menunjukkan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin. Dengan demikian, masalahnya menjadi lebih sederhana. Bukan doktrin atau asasnya yang masih harus dicari tetapi kualitas pemimpin dan kepemimpinan itu yang perlu di kembangkan, agar mampu menjawab tantangan-tantangan masa depan.
Kepemimpinan Masa Depan Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang besar seperti Bung Karno dan Pak Harto, yang mempunyai kapasitas individu dan kualitas kepemimpinan yang luar biasa, dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari kedua beliau itu, kita dapat belajar mengenai bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya. Dari sudut pandang ini, maka pertama-tama pemimpin masa depan tidak mungkin bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, karena peran sejarah, atau dibuat secara sintetis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur dari prestasi nyata dan kualitas pemikirannya oleh masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya. Para pemimpin nantinya mungkin tidak berbeda terlalu lebih dari yang lain. Namun, pemimpin yang dituntut adalah yang berjiwa kerakyatan, dan sadar bahwa kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus 3 4
Kalau dipahami hakikat pembangunan sebagai perjuangan. Dalam kepemimpinan perusahaan, banyak perusahaan multinasional yang mengharuskan para eksekutifnya untuk mengikuti “cross-cultural training�. Bahkan dalam pembahasan teori-teori kepemimpinan, kebudayaan suatu bangsa merupakan suatu variabel contingency yang sangat penting untuk diperhatikan.
17
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
dipertanggungjawabkannya. Tidak mungkin lagi seorang pemimpin pada masa kini dan masa mendatang merasa kepemimpinan itu sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan, atau kepintarannya. Para pemimpin masa depan akan memimpin rakyat yang makin luas dan dalam pengetahuannya, yang makin paham akan hak-haknya dan makin menjaga martabat, dan kepentingannya. Maka pemimpin tidak lagi bisa mengandalkan kepada kekuatan fisik, seperti di masa awal di banyak negara berkembang, tetapi harus lebih kepada kekuatan moral dan intelektual. Pemimpin masyarakat modern harus siap memimpin secara demokratis, karena kehidupan demokrasi adalah senafas dengan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian pemimpin yang diperlukan, dan yang paling akan berhasil memimpin, adalah pemimpin yang berjiwa demokrat, dan bukan yang otoriter. Pemimpin yang tegas bukan harus pemimpin yang otoriter, tetapi justru yang mampu meyakinkan yang dipimpinnya akan kebenaran arah yang akan ditempuh. Masyarakat akan makin canggih, dan tuntutan kepada pemimpinnya akan makin canggih pula. Masyarakat memilih pemimpin yang punya wawasan ke masa depan. Karena masa depan sangat padat teknologi, maka seorang pemimpin tidak boleh merasa asing terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini tidak berarti seorang pemimpin harus seorang ilmuwan (scientist). Yang lebih penting adalah seorang pemimpin harus memiliki apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan peran teknologi sebagai unsur yang sangat pokok dalam membentuk kehidupan masa depan. Dalam suasana kehidupan yang makin rumit, menentukan pilihan yang paling baik menjadi makin sulit. Maka kearifan sangat diperlukan, lebih daripada di masa lalu, untuk menentukan mana yang terbaik, atau mana yang paling kurang buruk di antara alternatif-alternatif yang buruk. Di samping kearifan, diperlukan pula suatu tingkat pemahaman teknis, agar keputusan yang menyangkut implikasi yang kompleks tidak diambil semata-mata atas dasar intuisi, seperti dalam banyak masyarakat tradisional, tetapi dengan dasar pengetahuan dan perhitungan yang matang. Karena masyarakat akan lebih terbuka, dan kebebasan akan menjadi ciri masyarakat masa depan sebab kebebasan diperlukan untuk mengembangkan kreativitas, maka untuk mencapai konsensus akan makin pelik. Kembali diperlukan kearifan dari pemimpin untuk mengambil keputusan yang tepat, yang tidak selalu mendapat dukungan orang banyak. Perkembangan ekonomi dunia serta persaingan yang makin tajam, membuat pemimpin bangsa di masa depan, harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai tata hubungan internasional dan mengenai bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin bangsa nanti harus memiliki kemampuan untuk membawa bangsa ini memenangkan persaingan yang sangat diperlukan untuk kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Tidak ada bangsa yang dapat mengisolasi diri dan yang tidak tergantung kepada hubungan internasional. Pemimpin modern dengan demikian harus mempunyai minat dan pengetahuan yang cukup mengenai hal ikhwal yang terjadi di luar batas kepentingan bangsanya sendiri yang langsung. Ia harus memiliki jiwa kemanusiaan dan perhatian (concern) terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Para pemimpin masa depan harus mampu memelihara kedaulatan dan kehormatan bangsa di antara masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Selain kekuatan yang dimiliki suatu negara baik dalam bidang politik, ekonomi atau militer, kualitas kepemimpinan suatu bangsa juga mempengaruhi martabatnya dalam pergaulan internasional. Secara keseluruhan pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi landasan serta modal untuk membangun bangsa yang adil dan makmur, yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
18
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat tradisional yang melambangkan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah seorang yang memiliki jiwa kerakyatan, seorang yang profesional, memiliki wawasan, inovatif dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah yang kompleks, dan mampu menemukan pemecahan yang sederhana dan mudah dilaksanakan bagi masalah-masalah yang kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga mampu menghitung risiko. Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa dijawab. Seperti dikatakan tadi, pemimpin bisa dibuat. Bahkan acapkali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader), atau pemimpin adalah "produk budaya" masyarakatnya. Maka sungguh penting menanam lahan yang subur dari sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki. Di sini peran pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpinpemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan.
19
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Bab III : ARAH PEMBANGUNAN 1. Pembangunan menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri Upaya untuk membangun bangsa agar menjadi maju dan mandiri seperti diamanatkan GBHN 1993 tidaklah mudah. Upaya tersebut tidak saja membutuhkan tekad, tetapi yang lebih penting adalah kerja keras untuk mengupayakan akselerasi pembangunan dan pada saat yang bersamaan memeratakan hasil-hasilnya. Topik ini mengulas upaya menuju bangsa yang maju dan mandiri, dimulai dari tinjauan atas berbagai paradigma pembangunan, kinerja pembangunan nasional, dan ditutup dengan pembahasan tentang kemajuan, kemandirian dan keadilan sebagai paradigma pembangunan.
Tinjauan atas berbagai Paradigma Pembangunan Setelah Perang Dunia Kedua, upaya mengatasi keterbelakangan dunia ketiga ditempuh dengan mengejar pertumbuhan ekonomi karena diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika paradigma pembangunan kala itu didominasi oleh pemikiran pentingnya pertumbuhan ekonomi dalam mengejar ketertinggalan.5 Dalam paradigma ini diyakini bahwa pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah, baik dengan sendirinya atau melalui campur tangan pemerintah. Beberapa kalangan berpendapat bahwa ketimpangan pembangunan, apabila hal itu terjadi, adalah merupakan situasi yang tidak terelakkan dan justru keadaan itu yang akan terus memacu pertumbuhan itu sendiri. Namun, hipotesis "trickle-down effect" yang melekat pada "growth paradigm" itu, dan diharapkan otomatis menyertai pertumbuhan, ternyata tidak terwujud. Bahkan yang terjadi di banyak negara yang sedang membangun adalah sebaliknya, kesenjangan justru semakin melebar.6 Melihat berbagai kegagalan itu, maka timbullah pemikiran bahwa pertumbuhan haruslah secara beriringan dan terencana mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata. Hanya dengan demikian maka mereka yang miskin, tertinggal, dan tidak produktif (yang di sebagian terbesar negara berkembang merupakan
5
Di awal tahun ‘50-an dan ‘60-an pemikiran mengenai tahap-tahap pembangunan (pertumbuhan) seperti versi Rostow (1960) tampil menonjol di arena diskusi para pemikir ekonomi. Dalam melewati tahap-tahap pertumbuhan tersebut akumulasi modal (investasi) memegang peran sentral. Paradigma pembangunan seperti tesis yang diajukan oleh Rostow, dengan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama strategi pembangunan, telah menjadi pegangan banyak perencana ekonomi di negara-negara berkembang. [W. W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, Cambridge: Cambridge University Press, 1960].
6
H.W. Arndt, Economic Development: The History of an Idea, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987; dan Fifty Years of Development Studies; Canberra: The Australian National University, National Centre for Development Studies 1993.
20
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
mayoritas penduduk) akan menjadi produktif, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri. Strategi demikian, antara lain dikenal dengan "redistribution with growth".7 Disadari pula bahwa masalah pembangunan tidak dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri oleh negara berkembang mengingat sumber dayanya yang terbatas. Untuk itu perlu ada komitmen bantuan dari negara-negara maju.8 Meninggalkan dasawarsa tujuh puluhan, paradigma pembangunan dunia kembali mendapat nuansa baru. Permasalahan pembangunan makin disadari bukanlah semata-mata persoalan ekonomi. Permasalahan hak asasi manusia makin menjadi perhatian masyarakat dunia. Demikian pula dengan demokrasi, yang makin disadari erat kaitannya dengan keberhasilan pembangunan. Makin disadari pula bahwa fokus pembangunan haruslah bertumpu kepada manusia. Pilihan masyarakat (people’s choice) terhadap arah, tujuan, dan jalan yang ditempuh dalam pembangunan haruslah meningkatkan secara sepenuhnya keberdayaan dan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan.9 Keterbatasan sumber daya alam merupakan faktor yang harus dipertimbangkan pula dalam pembangunan dunia secara keseluruhan. Permasalahan lingkungan hidup, yang sebelumnya tidak termasuk agenda pembangunan di kebanyakan negara berkembang, dewasa ini sudah merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi seperti disepakati dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992). Makin disadari pula bahwa upaya memecahkan berbagai permasalahan pembangunan yang mendasar yang menyangkut masalah pemerataan dan keadilan haruslah melibatkan kerja sama antarnegara secara erat. Hal ini telah disepakati oleh para pemimpin dunia dalam KTT Dunia Pembangunan Sosial di Kopenhagen bulan Maret 1995. Dalam konteks pembangunan dunia secara keseluruhan, Indonesia pun mengikuti dengan seksama pandangan yang mengatakan bahwa pendekatan pembangunan sosial ekonomi tidaklah harus merupakan suatu "zero-sum game". Oleh karena itu, tantangannya kemudian adalah bagaimana mengupayakan mencari "positive-sum game". Sementara itu, di Indonesia dalam kurun waktu 1959  1965, sebagai koreksi atas sistem demokrasi dan ekonomi liberal di waktu sebelumnya, paradigma yang diterapkan pada masa itu ditandai dengan "demokrasi terpimpin", dan "ekonomi terpimpin", yang bagi banyak orang tidak lain adalah suatu varian dari paradigma politik ekonomi Marxis. Dalam kurun ini pembangunan nasional dapat dikatakan mengalami kegagalan. Kegagalan pembangunan nasional pada periode itu, tidak saja disebabkan penyimpangan terhadap ideologi dan konstitusi, Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga pada bentuk intervensi dengan sistem komando yang mengabaikan kaidah-kaidah ekonomi dan administrasi yang rasional, realistis, dan efisien. Kegagalan pembangunan pada masa itu bersamaan dengan lahirnya Orde Baru, telah mengundang "paradigma baru" sebagai dasar pendekatan pembangunan nasional yang bertitik berat pada upaya menerapkan mekanisme pasar pada perekonomian. Pada masa PJP I itu, strategi pembangunan bertumpu pada suatu trilogi yang terdiri atas stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. 7
Irma Adelman dan Cynthia Taff Morris, Economic Growth and Social Equity in Developing Countries, Standford: Standford University Press, 1973; Hollis Chenery and Montek S. Ahluwalia, et al., Redistribution With Growth, London: Oxford University Press, 1974.
8
Lester B. Pearson (ed.), Partners in Development: Report of The Commision on International Development, New York Washington-London: Praeger Publishers, 1969.
9
Joan M. Nelson (ed.), Economic Crisis and Policy Choice: The Politics of Adjustment in the Third World, New Jersey: Princeton University Press, 1990.
21
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Dengan berlandaskan pada Trilogi Pembangunan yang urutan prioritasnya disesuaikan dengan perkembangan keadaan, pembangunan dalam PJP I telah memberikan hasil yang nyata dan cukup berarti dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Kinerja pembangunan Indonesia dalam masa PJP I, telah diakui dan dikagumi dunia. Pembangunan di bidang ekonomi yang merupakan titik berat selama PJP I telah mengubah struktur ekonomi menjadi lebih kuat, dengan sektor industri manufaktur mulai tampil sebagai pemeran utama. Peran masyarakat dalam kegiatan pembangunan telah meningkat dan mengambil alih peran pemerintah yang dominan pada tahap-tahap awal PJP I, seperti tercermin dalam besarnya tabungan dan investasi masyarakat dibandingkan dengan tabungan dan investasi pemerintah. Kualitas hidup dan kualitas sumber daya manusia Indonesia juga telah meningkat, yang tercermin dalam taraf pendidikan dan derajat kesehatan yang lebih tinggi.
Berbagai Tantangan Pembangunan dalam PJP II Walaupun keberhasilan dalam PJP I cukup mengesankan, dan dapat menjadi landasan yang cukup kuat untuk melanjutkan pembangunan pada tahapan berikutnya, tetapi disadari pula betapa banyaknya masalah yang belum terselesaikan. Bahkan, keberhasilan pembangunan telah melahirkan banyak masalah baru. Di antara banyak persoalan yang dihadapi pada saat memasuki PJP II adalah masalah kesenjangan atau ketimpangan. Masalah ketimpangan antardaerah, antarsektor, antarusaha dan antargolongan pendapatan dalam masyarakat masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Sejak awal pembangunan, kesenjangan itu ada, tetapi terasa makin lebar karena ketidakseimbangan dalam kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Kepincangan dalam kesempatan berpartisipasi ini telah menumbuhkan rasa ketidakadilan. Lebih jauh dari itu, mulai ada orang mempertanyakan apakah arah pembangunan nasional sekarang ini masih sejalan dengan kehendak para pendiri Republik, ketika negara ini diproklamasikan. Mulai banyak orang mencemaskan bahwa asas-asas perekonomian seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945 kurang tercermin dalam keadaan ekonomi sekarang ini, dan dapat terjadi jarak yang makin jauh jika tidak segera diambil langkah-langkah nyata untuk memperbaikinya. Bahkan jika keadaan tersebut terus berlanjut, ada kekhawatiran bahwa di masa depan akan makin sulit untuk mengarahkannya kembali kepada demokrasi ekonomi, yakni yang berdasarkan asas kekeluargaan, yang kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Memang ada alternatif lain, yaitu melepaskan prinsip-prinsip ini, dan mengembangkan dasar baru, yang berarti mengubah arah yang ditetapkan oleh UUD 1945. Mungkin saja sudah ada orang yang berpikir demikian karena beranggapan bahwa jarak tersebut sudah terlalu jauh dari amanat konstitusi itu dan tidak mungkin untuk menuju kembali ke sana. Sesungguhnya amanat UUD 1945, khususnya pasal 33, dapat diwujudkan meskipun secara bertahap, asal bangsa Indonesia mempunyai tekad yang sungguh-sungguh ke arah itu. Keadaan sekarang sebenarnya hanya sebagai transisi dalam proses menuju arah yang dicita-citakan. Dengan demikian, jurang yang memisahkan keadaan tersebut dengan cita-cita besar itu bukanlah mustahil untuk diseberangi. Namun, jelas bahwa perjalanan itu harus ditempuh dengan langkah-langkah yang nyata, karena tidak ada jalan atau eskalator yang secara otomatis akan membawa bangsa Indonesia ke sana, tanpa berbuat apa-apa. Upaya tersebut memang akan berat, sejak dari merumuskan konsep-konsepnya sampai pada pelaksanaannya. Permasalahan lain adalah jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi. Erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk adalah masalah angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja masih relatif tinggi dibandingkan dengan kesempatan kerja. Dalam jumlah angkatan kerja 22
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
yang cukup banyak ini, sebagian besar (70,0 persen) berpendidikan SD dan bekerja pada sektor pertanian (47,3 persen). Akibatnya produktivitas tenaga kerja yang dihasilkan juga rendah yaitu sebesar US$1.400 per kapita dalam tahun 1990, dan lebih rendah dibandingkan dengan negara Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan yang masing-masing adalah sebesar US$2.600, US$5.400, dan US$12.200, yang pada akhirnya menyebabkan daya saing juga rendah karena kemampuan untuk memanfaatkan, menguasai, dan mengembangkan teknologi sangat terbatas. Di samping itu, persebaran penduduk tidak merata, yang juga diikuti oleh proses urbanisasi yang cepat. Ketersediaan prasarana juga masih kurang mendukung. Banyak daerah di luar Pulau Jawa yang belum memiliki prasarana yang lengkap yang pada akhirnya akan mempengaruhi investor untuk menanamkan modalnya. Hambatan-hambatan lain yang tidak mudah untuk diatasi adalah hambatan kelembagaan yang mengakibatkan inefisiensi dalam perekonomian, yang meliputi antara lain kelemahan-kelemahan pada (a) aparatur negara dalam tingkat pusat sampai tingkat desa, (b) perangkat hukum, dan (c) prosedur dan perizinan. Dalam kegiatan ekonomi, belum berperannya secara optimal pelaku ekonomi sesuai amanat pasal 33 UUD 1945, yang menyangkut baik koperasi, negara (BUMN/BUMD), maupun perorangan (swasta). Permasalahan-permasalahan tersebut ditambah lagi oleh sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang makin terbatas dan yang di beberapa tempat hampir mencapai tingkat kritis. Sumber-sumber tersebut antara lain meliputi tanah, air, dan energi. Sikap mental dan budaya aparatur pemerintah serta masyarakat juga kurang mendukung pembangunan. Tidak kalah pentingnya adalah pengaruh luar dan perkembangan internasional yang tidak selalu mendukung (conducive), antara lain, (a) gejala regionalisasi dan proteksi di dalam suasana globalisasi yang seharusnya membuka pasar dunia, (b) persaingan yang makin ketat untuk barang-barang ekspor, dan (c) persaingan yang makin ketat untuk memperoleh sumber pembiayaan luar negeri baik bantuan luar negeri yang bersifat lunak maupun dana investasi swasta. Upaya untuk mengatasi masalah-masalah seperti tersebut di atas, selain merupakan amanat konstitusional, juga amat penting artinya bagi usaha memelihara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Lebih jauh lagi, yang juga harus diperhatikan dan perlu penanganan secara khusus adalah masalah kemiskinan. Upaya pengentasan penduduk dari kemiskinan merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945, baik dalam pembukaannya maupun dalam pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pengentasan penduduk dari kemiskinan harus mendapatkan prioritas dan dilakukan secara efektif melalui program-program yang makin terarah pada kawasan-kawasan dan kelompok-kelompok kemiskinan. Selain itu, bangsa Indonesia juga akan menghadapi tantangan dari dunia yang makin menyatu dan kehidupan bangsa yang makin terbuka. Gagasan-gagasan, nilai-nilai, pola hidup, pola pikir, serta gaya hidup termasuk sikap dan moral dari luar akan mempengaruhi perilaku bangsa Indonesia. Berbagai nilai itu, ada yang baik yang memang diperlukan dalam proses pembangunan dan proses modernisasi bangsa Indonesia. Namun, sungguh banyak di antaranya yang tidak sesuai dengan pandangan bangsa mengenai jatidiri dengan kepribadian dan kemandirian bangsa Indonesia. Bahkan ada di antaranya yang membahayakan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara yang diletakkan oleh para pendiri Republik ini setengah abad yang lalu. Jelasnya di antara nilai-nilai positif ada aspek negatif dari pengaruh asing pada kehidupan bangsa Indonesia. Jadi, merupakan tantangan yang tidak ringan untuk menciptakan kemampuan bangsa Indonesia untuk menyaring berbagai unsur asing itu, menyerap yang baik dan menepis yang tidak baik. Karena tidak mungkin untuk menutup pintu dan jendela supaya angin luar tidak masuk, yang dapat dilakukan adalah memperkuat ketahanan bangsa Indonesia, agar tidak tergoyahkan oleh betapapun kuatnya tekanan pengaruh dari luar. Ini terutama merupakan tantangan bagi para intelektual bangsa Indonesia, terutama bagi yang muda. Biasanya pemuda 23
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
sangat kagum pada gemerlapnya teori dan pikiran-pikiran orang asing dan sebagai intelektual tidak jarang ada kecenderungan meremehkan pikiran yang berasal dari bangsa sendiri. Ini merupakan tantangan dalam segala aspek kehidupan, ekonomi, sosial, dan politik, terutama kalau kita tidak ingin pembangunan ini keluar dari cita-cita perjuangan. Dengan demikian, bagi bangsa Indonesia, kemampuan melaju di atas gelombang globalisasi, merupakan tantangan yang harus dapat diatasi. Semuanya menuntut tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada sekadar mempertahankan daya saing ekspor Indonesia. Karena dunia sudah makin menyatu, arus informasi, orang, barang dan jasa, makin bebas, maka batas persaingan luar dan dalam negeri sudah makin kabur, bahkan pada saatnya sudah tidak akan ada lagi. Berarti persaingan yang akan terjadi bukan hanya adu kekuatan antarnegara, tetapi sudah antarsatuan-satuan ekonomi bahkan tanpa batas identitas negara. Sebenarnya, kalau semua pesaing itu memiliki kekuatan yang kurang lebih seimbang, atau masing-masing punya keunggulan yang dapat memperkuat daya saing, perkembangan tersebut dapat menguntungkan. Oleh karena itu, sistem dan tatanan sosial ekonomi bangsa Indonesia harus diperbaiki. Demikian pula sistem dan tatanan sosial politik harus terus disempurnakan. Tantangannya adalah bagaimana mengupayakan pembaharuan, di atas landasan dan dengan cara yang setepattepatnya sehingga tidak menghilangkan dan membuat mundur apa yang telah dibangun selama ini, melalui proses yang panjang dan tidak mudah serta penuh pengorbanan. Segala sesuatu harus dijalankan dalam kerangka sistem yang telah dibangun meskipun untuk memperbaiki sistem itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan majemuk sehingga selalu mempunyai kecenderungan untuk mengalami divergensi. Di masa depan, bangsa Indonesia harus selalu berusaha untuk tidak memberi peluang kepada unsur atau benih yang dapat membuat perpecahan. Upaya pembaharuan harus dijalankan secara konstitusional dalam batasan hukum karena konstitusi dan hukum tidak hanya menjadi penjamin hak dan kewajiban, tetapi juga kehidupan yang tertib yang amat diperlukan untuk bisa membangun dalam suasana yang tenang, tenteram, dan menggairahkan. Karena itu pula, dalam PJP II, hukum seperti juga ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi bidang pembangunan sendiri. Bangsa Indonesia menyadari betapa hakikinya peran dan fungsi hukum dalam segenap aspek kehidupan. Namun, perlu juga disadari bahwa pembangunan hukum agak tertinggal, dibandingkan dengan pembangunan ekonomi dan perkembangan keadaan, sehingga hukum belum dapat berfungsi sebagai rambu-rambu atau penerang jalan yang efektif bagi pembangunan dan kehidupan bangsa. Berkaitan dengan itu, disiplin nasional tidak berkembang sejalan dengan dinamika kemajuan sehingga dirasakan bahwa gerak pembangunan belum optimal. Membangun, menegakkan, dan membudayakan hukum serta disiplin nasional merupakan tantangan pula dalam PJP II untuk menjamin proses pembangunan yang optimal. Secara keseluruhan, seperti yang telah diamanatkan oleh GBHN, tantangan besar yang dihadapi adalah meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan peran serta rakyat dalam pembangunan. Dalam rangka itu, faktor kepemimpinan sangat penting. Kepemimpinan tersebut mulai dari tingkat nasional sampai di tingkat perdesaan, baik di lingkungan pemerintah maupun masyarakat, yaitu organisasi-organisasi sosial politik, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya serta dunia usaha. Hasil dan kualitas segala pekerjaan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan hankam, ditentukan oleh kualitas kepemimpinan di segala jenjangnya. Seperti telah dibahas dalam topik sebelum ini, maka menjadi tantangan pula adalah membangun kepemimpinan yang tepat dan efektif, yang mampu menampung, memotivasi, meneladani, dan membimbing masyarakat menuju kemajuan, memenangkan persaingan, mengatasi masalah-masalah, dan memanfaatkan peluang-peluang. Untuk menghadapi dan menjawab berbagai tantangan itu bangsa Indonesia punya modal, yaitu yang sifatnya tetap sebagai karunia Tuhan maupun apa yang telah berhasil dibangun selama 24
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
ini. Karunia Tuhan antara lain adalah kekayaan alam yang besar dan beragam. Potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik termasuk stabilitas nasional. Potensi besar lainnya adalah sumber daya manusia yang dimiliki makin berkualitas. Selain itu, juga ada peluang dari perkembangan di luar negeri, yaitu meredanya ketegangan politik dunia, perdagangan yang makin bebas dan pasar yang makin terbuka, perkembangan teknologi, perkembangan kawasan sekitar Indonesia yang dinamis, dan sebagainya yang harus dapat dimanfaatkan. Memanfaatkan secara tepat modal yang dimiliki dan yang telah dibangun selama ini dan potensi yang dapat dikembangan sebagai peluang juga merupakan tantangan tersendiri. Untuk menghadapi berbagai tantangan pembangunan tersebut, dirasakan perlunya untuk mengembangkan paradigma baru. Apabila paradigma berarti kesepakatan antara para pemikir dan praktisi mengenai teori dan nilai-nilai yang mewarnainya, serta apabila paradigma pembangunan suatu bangsa merupakan konsensus dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan, maka paradigma pembangunan nasional bangsa Indonesia tidak lain daripada wawasan dan kehendak rakyat mengenai pembangunan, yang tidak lain adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur di atas landasan cita-cita dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh UUD 1945. Dengan demikian, paradigma pembangunan nasional akan memiliki landasan konstitusional yang kuat dan memiliki kekuatan yang mengikat. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, landasan konstitusional UUD 1945 tersebut diterjemahkan ke dalam landasan operasional Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN 1993 mengamanatkan bahwa dalam PJP II bangsa Indonesia memasuki proses tinggal landas menuju terwujudnya masyarakat yang maju, adil, makmur, dan mandiri, berdasarkan Pancasila.
Kemajuan, Kemandirian, dan Keadilan sebagai Paradigma Pembangunan Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu, pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan, haruslah pula merupakan upaya membangun kemandirian. Kemandirian senantiasa merupakan aspek penting dalam falsafah pembangunan. Manifestasinya dalam kebijaksanaan politik dan ekonomi memang beragam dalam berbagai variasi. Sebelum masa Orde Baru, cita-cita kemandirian itu diterjemahkan dalam politik berdiri di atas kaki sendiri atau berdikari, yang lebih mencerminkan sikap defensif menghadapi dunia luar daripada suatu konsep yang proaktif. Politik berdikari itu, seperti banyak konsep kemandirian di negara-negara berkembang lain, mengarah kepada isolasionisme yang berkaitan erat dengan sikap claustrophobia. Dalam perjalanan pembangunan selama PJP I, upaya kemandirian ini ditempuh dengan membangun kemampuan dalam negeri dalam berbagai bidang pembangunan. Di bidang ekonomi upaya mendorong perkembangan produksi dalam negeri dilakukan dengan berbagai cara. Pertama-tama adalah dengan mendahulukan penggunaan hasil-hasil produksi dalam negeri oleh instansi-instansi pemerintah. Karena sampai pertengahan PJP I peran pemerintah masih besar di dalam kegiatan pembangunan seperti tercermin dalam besarnya pengeluaran pemerintah sebagai bagian dari permintaan dalam negeri, maka strategi tersebut cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan usaha nasional untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa, dan dengan demikian membangun pula lapisan usaha nasional. Jalan proteksi juga ditempuh, untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar dan sedang tumbuh sehingga dapat menjadi pendorong bagi 25
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
pertumbuhan industri nasional. Bukan hanya barang-barang hasil industri manufaktur, melainkan juga pelbagai hasil pertanian dan jasa berkembang sejak waktu itu. Jalur lainnya adalah mengampanyekan kepada masyarakat penggunaan produk dalam negeri sebagai ungkapan rasa cinta kepada bangsa dan negara, sebagai manifestasi idealisme dan patriotisme dalam masa damai dan era pembangunan. Pada waktu itu digunakan semboyan "cinta bangsa cinta karyanya". Sebenarnya cara ini adalah yang paling tepat, untuk membangun ekonomi nasional didasarkan pada kemampuan produksi bangsa. Semangat masyarakat seperti ini, yaitu memilih dengan kesadaran, akan lebih langgeng dan efektif dibandingkan dengan pembatasan pilihan kepada konsumen. Potensi nasional yang berkembang pada masa itulah yang menjadi modal bangsa Indonesia dan yang kemudian berkembang pada saat kesempatan makin terbuka, pada tahap pembangunan berikutnya, yaitu tahap deregulasi. Dengan deregulasi, secara bertahap proteksi yang diberikan oleh pemerintah secara berangsur-angsur dikurangi. Hasilnya telah terlihat pada apa yang terjadi sekarang. Dalam keadaan demikian, bangsa Indonesia meninggalkan PJP I dan memasuki PJP II. Perkembangan dunia yang cepat menuju ke arah kehidupan global telah membangkitkan perhatian lebih besar kepada masalah kemandirian yaitu akan perlunya ketegasan bahwa kemajuan yang ingin dicapai dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat haruslah bersamaan dengan peningkatan kemandirian. Satu sama lain saling berkaitan dan tidak saling mengecualikan (not mutually exclusive). Bangsa yang ingin dibangun bukan hanya yang maju, tetapi juga mandiri; tidak hanya berdikari, tetapi juga harus maju. Konsep kemandirian ini bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Dengan demikian, masalah kemandirian tidak didasarkan pada paradigma ketergantungan yang banyak dibicarakan terutama di negara-negara berkembang di Amerika Latin pada tahun '50 dan '60-an. Kemandirian dengan demikian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan (interdependency) yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, baik masyarakat dalam suatu negara, maupun masyarakat bangsa-bangsa. Justru persoalan kemandirian itu timbul oleh karena adanya kondisi saling ketergantungan. Kemandirian dengan demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya. Untuk dapat mandiri, suatu bangsa harus maju. Suatu bangsa dikatakan makin maju apabila makin tinggi tingkat pendidikan penduduknya, makin tinggi tingkat kesehatannya dan makin tinggi tingkat pendapatan penduduk, serta makin merata pendistribusiannya. Selain itu, peran sektor industri manufaktur sebagai penggerak utama laju pertumbuhan juga makin meningkat, baik dilihat dari segi sumbangannya dalam penciptaan pendapatan nasional maupun dalam penyerapan tenaga kerja; berkembangnya keterpaduan antarsektor, terutama sektor industri, sektor pertanian, dan sektor-sektor jasa-jasa; serta pemanfaatan sumber alam secara rasional, efisien, dan berwawasan jangka panjang. Sementara itu, suatu bangsa dikatakan semakin mandiri apabila bangsa tersebut semakin mampu mewujudkan kehidupannya yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan kekuatannya sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian, mutlak harus dibangun kemajuan ekonomi. Namun, meskipun kemajuan dan kemandirian mencerminkan perkembangan ekonomi suatu bangsa, ia tidak semata-mata konsep ekonomi. Kemajuan dan kemandirian juga tercermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan sosial. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya mencerminkan sikap seseorang atau suatu bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap, maka kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya. 26
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Karena itu, ukuran kemajuan dan kemandirian suatu bangsa tidak dapat hanya berupa pendapatan per kapita, atau besar kecilnya utang, tetapi lebih mendasar lagi menyangkut manusianya. Sejalan dengan itu, GBHN 1993 menetapkan sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri, serta sejahtera lahir batin. Dan memang dalam falsafah pembangunan bangsa Indonesia, yaitu pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, manusialah yang merupakan titik sentral dari segala upaya pembangunan. Manusia adalah subjek pembangunan, yaitu sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia di muka bumi ini, yang akan dibangun harkat dan martabatnya. Manusia juga adalah sumber daya pembangunan yang paling utama di antara sumber-sumber daya lain yang akan dibangun kemampuan dan kekuatannya sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan. Hal itu berarti pula bahwa pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pandangan ini menunjukkan asas demokrasi dalam konsep pembangunan nasional. Demokrasi berarti partisipasi yang aktif dan adil bagi rakyat baik dalam melaksanakan maupun dalam menikmati hasil pembangunan. Oleh karena itulah, masalah keadilan merupakan ciri yang menonjol pula dalam PJP II. Jika dibulatkan, maka akan diperoleh beberapa pokok paradigma pembangunan nasional untuk menjawab tantangan-tantangan besar dalam PJP II seperti yang telah diuraikan di atas, yakni kemajuan, kemandirian, dan keadilan.
2. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam PJP II Pada pembahasan terdahulu telah dikemukakan bahwa dalam PJP II, bangsa Indonesia akan tumbuh dan berkembang dengan makin mengandalkan pada kemampuan dan kekuatannya sendiri. Dengan demikian, pada akhir PJP II, bangsa Indonesia mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju yaitu sebagai bangsa industri. Ini berarti selama kurun waktu 25 tahun mendatang bangsa Indonesia akan mengalami proses transformasi dalam berbagai bidang kehidupannya, antara lain pergeseran yang mendasar dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, dan dari masyarakat perdesaan ke masyarakat perkotaan.
Arahan GBHN 1993 mengenai PJP II GBHN 1993 mengamanatkan bahwa PJP II tidak terlepas dari PJP I, dan Repelita VI harus merupakan kelanjutan Repelita V. Dengan demikian, akan dapat terpelihara kesinambungan dan konsistensi yang amat diperlukan agar pembangunan pada PJP II dapat memanfaatkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam PJP I dan repelita-repelita sebelumnya. Hal itu tidak berarti bahwa Repelita VI sama dengan Repelita V. Repelita VI harus merupakan proses kelanjutan, peningkatan, perluasan dan pembaharuan terhadap RepelitaV. Pembaharuan berarti koreksi, penyempurnaan, serta dimasukkannya nilai-nilai baru untuk memperbaiki nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai lagi. Terlebih lagi PJP II adalah era baru yang memerlukan pemikiran-pemikiran yang baru dan segar dengan tetap memperhatikan perlunya kesinambungan. Pembaharuan tersebut antara lain tercermin pada perumusan Asas-asas Pembangunan Nasional, Modal Dasar, dan Faktor Dominan. Demikian pula dalam pembidangan pembangunan nasional, dari semula empat bidang menjadi tujuh bidang. Pembaharuan yang mendasar dalam GBHN 1993 adalah adanya Kaidah Penuntun, yang seperti telah dibahas dalam topik pembahasan sebelumnya, merupakan pedoman bagi penentuan kebijaksanaan pembangunan nasional agar senantiasa sesuai dengan landasan, makna dan hakikat, asas, wawasan, dan tujuannya, yang merupakan pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Pada hakikatnya Kaidah Penuntun merupakan penjabaran makna, ciri, dan norma Demokrasi Pancasila sebagai tuntunan bagi penyelenggara negara dan seluruh masyarakat dalam penyelenggaraan 27
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
pembangunan dan perwujudan nilai-nilai Pancasila di segala aspek kehidupan bangsa. Semangat pembaharuan tercermin dalam sasaran-sasaran dan prioritas-prioritas pembangunan, baik yang bersifat umum pada bidang-bidang maupun pada sektor-sektor. Hakikat pembangunan nasional adalah manusia itu sendiri yang merupakan titik pusat dari segala upaya pembangunan. GBHN 1993 berbicara mengenai manusia sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama di antara sumber-sumber daya lain, dan yang akan dibangun adalah kemampuan dan kekuatannya sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan. Seperti telah dibahas dalam topik pembahasan sebelumnya, GBHN 1993 menetapkan bahwa PJP II bertujuan mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju terwujudnya tujuan nasional. Dalam mencapai tujuan tersebut, sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang berdasarkan Pancasila, dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungan antarsesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam dan lingkungannya, manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan tujuan dan sasaran pembangunan seperti di atas, titik berat PJP II diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional. Titik berat pembangunan dalam PJP II sudah beranjak lebih maju daripada PJP I yang meletakkan titik berat atau prioritas semata-mata pada bidang ekonomi. Penetapan prioritas ini mencerminkan wawasan mengenai kemajuan dan tantangan yang dihadapi 25 tahun mendatang. Wawasan kemajuan dan tantangan yang dihadapi tersebut, haruslah diperhitungkan dalam proses perencanaan. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, secara konstitusional, arah pembangunan nasional dalam rencana pembangunan dua puluh lima tahun kedua ditetapkan oleh MPR di dalam GBHN 1993. Adalah menjadi tugas Presiden, sebagai mandataris, untuk menjabarkan lebih lanjut arahan GBHN. Proyeksi 25 tahun ke depan tersebut merupakan acuan bagi bangsa Indonesia agar sumber daya masyarakat dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki rakyat. Tidak banyak negara di dunia ini yang mempunyai aset seperti GBHN. Kedua, dengan perencanaan jangka panjang 25 tahun itu, paling tidak bangsa Indonesia mempunyai gambaran mengenai wujud masa depan bangsa yang diinginkan dan perkiraan kemampuan untuk mencapainya. Ini harus dibedakan dengan ramalan terinci mengenai apa yang akan terjadi di berbagai aspek dan sektor pembangunan dua puluh lima tahun mendatang. Ramalan terinci untuk waktu 25 tahun memang tidak perlu dan juga tidak mungkin dapat dilakukan. Setelah direnungkan kembali pengalaman bangsa Indonesia dalam PJP I, adanya arah pembangunan 25 tahun ke depan sangatlah bermanfaat. Misalnya, bangsa Indonesia harus merencanakan pembangunan prasarana dan sumber daya manusia (SDM) lima sampai sepuluh tahun sebelum hasilnya dapat dimanfaatkan oleh suatu perekonomian. Dengan demikian, rencana jangka panjang 25 tahun memungkinkan penyusunan prioritas serta strategi pembangunan yang mencakup pula pengalokasian sumber daya yang serba terbatas, agar secara bertahap makin mendekatkan bangsa Indonesia pada cita-citanya. Contohnya, upaya pemerataan, khususnya penghapusan kemiskinan, tidak bisa dilakukan hanya dalam satu repelita. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus punya perspektif ke depan tentang hal ini. Demikian pula sasaran-sasaran di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berbagai upaya dalam pembangunan 28
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
SDM. Juga sasaran-sasaran pembangunan prasarana dasar yang membutuhkan waktu yang lebih panjang dari hanya lima tahun. Misalnya, kapan seluruh desa di Indonesia akan dapat menikmati listrik untuk menjamin kesinambungan pembangunan.
Modal Pembangunan Memasuki PJP II Dalam menetapkan sasaran-sasaran pembangunan yang dapat diukur, tentunya harus berpangkal tolak pada modal yang telah dimiliki, yaitu segala sesuatu yang telah dicapai selama ini. Dalam menyusun rencana pembangunan 25 tahun, ke depan, terlebih dahulu harus dimulai dengan menginventarisasi modal yang sudah dimiliki, yaitu segala sesuatu yang telah berhasil dibangun dan dipelihara selama 25 tahun terakhir. Selama hampir seperempat abad bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan, sudah cukup banyak kemajuan di berbagai bidang yang telah dicapai. Di bidang ekonomi, stabilitas ekonomi yang telah dicapai disertai dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan telah memantapkan langkah bangsa Indonesia untuk memasuki tahap pembangunan berikutnya. Stabilitas ekonomi yang cukup mantap selama PJP I tercermin antara lain dalam laju inflasi yang dapat dikendalikan. Dalam tahun 1968, laju inflasi mencapai 85,0 persen dan telah menurun menjadi sebesar 8,6 persen pada tahun 1994/95. Hal ini merupakan cermin keberhasilan dalam membangun sistem distribusi nasional yang berciri tata niaga mekanisme pasar dalam mengarahkan ekonomi masyarakat yang sekaligus menjamin stabilisasi harga-harga kebutuhan pokok termasuk pupuk, semen, besi baja, dan kertas koran. Pola penyaluran dan pengadaan barang dalam negeri yang efisien dan efektif ini dikarenakan didukung oleh meningkatnya sarana dan prasarana perdagangan dalam negeri. Hasil pembangunan ekonomi lainnya adalah peningkatan pendapatan rata-rata per jiwa penduduk Indonesia, dinyatakan dalam dollar Amerika pada harga yang berlaku, lebih dari sebelas kali, yaitu dari sekitar US$70 dalam tahun 1969 menjadi di atas US$1.000 pada tahun 1995. Ini merupakan suatu prestasi besar dibandingkan dengan kebanyakan negara berkembang lainnya. Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara di dunia dengan penduduk di atas 10 juta yang mampu tumbuh dengan rata-rata hampir 7 persen per tahun selama 25 tahun. Pertumbuhan ekonomi tersebut telah menghasilkan lapangan kerja yang besar dan amat berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari tahun 1971 sampai dengan 1995 telah tercipta 43,6 juta lapangan kerja baru. Dengan demikian, tingkat pengangguran telah berkurang lebih dari separuhnya. Selain itu, telah terjadi transformasi tenaga kerja antarsektor. Pada periode yang sama, tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian yang semula sebesar 66,3 persen kini menurun menjadi 47,3 persen. Penurunan tenaga kerja di sektor tersebut beralih pada peningkatan di sektor industri dan jasa dengan muatan teknologi yang lebih besar dan produktivitas yang lebih tinggi. Bersamaan dengan itu, perkembangan industri telah mendorong struktur perekonomian dari titik berat bidang pertanian menuju bidang industri. Bila pada awal Repelita I sumbangan sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) baru 9,2 persen, maka pada tahun 1995 telah meningkat menjadi 24,3 persen. Angka ini melampaui sasaran akhir Repelita VI, yakni 24,1 persen. Sumbangan sektor pertanian turun dari 47,0 persen pada awal Repelita I menjadi 17,2 persen pada tahun 1995. Meskipun demikian, sektor pertanian selama PJP I mampu tumbuh dengan rata-rata sebesar 3,6 persen per tahun. Prestasi besar pembangunan pertanian adalah tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 yang dapat dipertahankan secara dinamis. Selama PJP I produksi padi meningkat rata-rata sebesar 4,2 persen per tahun ditunjang oleh peningkatan produktivitas per hektare sebesar 2,9 persen per tahun, serta perluasan areal panen sebesar 1,3 persen per tahun.
29
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Peningkatan produksi padi dan produksi komoditas pangan lainnya telah meningkatkan ketersediaan bahan pangan melebihi angka kecukupan pangan yang dianjurkan. Di sisi yang lain, pembangunan dapat pula diukur keberhasilannya dari kinerja ekspor. Nilai keseluruhan ekspor meningkat 53 kali, yaitu dari US$872 juta dalam tahun 1968 menjadi US$46,3 miliar dalam tahun 1995/96. Di samping itu, struktur nilai barang yang diekspor juga mengalami perubahan, yaitu dari ekspor yang didominasi migas menjadi ekspor yang didominasi oleh produk-produk nonmigas. Peningkatan ekspor nonmigas ini telah menyumbang bukan saja kepada stabilitas neraca pembayaran, tetapi juga kepada perluasan lapangan kerja, kesempatan berusaha dan distribusi pendapatan. Kemajuan di bidang ekspor tersebut adalah berkat keberhasilan membuat terobosan-terobosan di pasar luar negeri, baik pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar yang baru. Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut juga disertai penyebaran manfaatnya. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan penurunan secara tajam jumlah penduduk miskin. Pada tahun 1970, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin masih sekitar 70 juta orang atau 60 persen dari seluruh penduduk. Pada tahun 1993, jumlah penduduk miskin telah menurun menjadi 25,9 juta orang atau kurang dari 14 persen seluruh penduduk. Keberhasilan dalam pembangunan ekonomi juga diikuti oleh pembangunan di bidangbidang lainnya. Dalam bidang sosial, kesadaran masyarakat makin meningkat, seperti tercermin dalam berbagai kegiatan kesetiakawanan sosial. Kegiatan sosial makin meluas, baik di dalam organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan wanita, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peran serta masyarakat makin meningkat di dalam berbagai segi kehidupan sosial sehingga pelayanan sosial tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah, tetapi juga bahkan terutama oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi tersebut juga jauh melampaui laju pertumbuhan penduduk yang pada periode tahun 1971-1980 dan 1980-1990 masing-masing mencapai sebesar 2,32 persen dan 1,97 persen per tahun, dan pada tahun 1993 turun lebih lanjut menjadi 1,66 persen. Penurunan laju pertumbuhan penduduk, perbaikan status gizi dan peningkatan derajat kesehatan berdampak terhadap peningkatan kualitas penduduk yang ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi dari 145 kematian perseribu kelahiran hidup pada tahun 1967 menjadi 55 pada tahun 1995. Dengan meningkatnya kualitas penduduk, meningkat pula rata-rata umur harapan hidup dari 45,7 tahun pada tahun 1967 menjadi 63,5 tahun pada tahun 1995. Pembangunan pendidikan antara lain tercermin pada peningkatan angka partisipasi pada berbagai jenjang pendidikan. Pada pendidikan dasar, angka partisipasi kasar (APK) Sekolah Dasar pada tahun 1995/96 tercatat 111,9 persen dibandingkan dengan 68,7 persen pada tahun 1968. Kenaikan yang mencolok ini terutama berkat dilancarkannya program Inpres SD sejak tahun 1973/74 dan ditunjang oleh Program Wajib Belajar Enam Tahun sejak tahun 1984. Pada pendidikan menengah, APK SLTP dan SLTA berturut-turut sebesar 50,8 persen dan 35,9 persen pada tahun 1995/96, dibandingkan dengan 16,9 persen dan 8,6 persen pada tahun 1968. Pada tahun 1995/96 APK pendidikan tinggi telah mencapai 11,4 persen, suatu peningkatan yang sangat berarti dibandingkan pada awal PJP I yang baru mencapai 1,6 persen. Berbagai indikator menunjukkan pula bahwa selama PJP I banyak kemajuan yang telah dicapai oleh wanita Indonesia. Kemajuan ini antara lain ditunjukkan oleh menurunnya angka buta aksara penduduk wanita usia 10 tahun ke atas dari 50 persen pada tahun 1971 menjadi 21 persen pada tahun 1990, laju penurunannya lebih cepat daripada angka buta aksara keseluruhan, yaitu 39,1 persen menjadi 15,9 persen. Selain itu, peningkatan peranan wanita dalam pembangunan secara nyata tercermin dari meningkatnya tingkat partisipasi tenaga kerja wanita dari 32,7 persen pada tahun 1980 menjadi 37,6 persen pada tahun 1995. 30
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Gambaran Masyarakat Indonesia pada Akhir PJP II GBHN mengamanatkan bahwa dalam PJP II bangsa Indonesia bukan hanya harus makin maju dan sejahtera tetapi juga makin mandiri. Dalam PJP II ingin dikejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang telah lebih dahulu maju dengan mengandalkan pada kekuatan sendiri. Dengan pengarahan itu, dicoba disusun wujud masa depan tersebut, yang dapat diperkirakan mampu dicapai dalam 25 tahun. Dalam melakukannya ada beberapa patokan yang dijadikan pegangan. Pertama, keinginan politik rakyat, yang pokok-pokoknya diamanatkan oleh GBHN. Kedua, pengalaman pembangunan selama ini dan hasil yang telah dicapai. Memperhitungkan pengalaman ini penting, karena tidak mungkin misalnya apabila di masa lalu laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen, kemudian dalam PJP II mendadak direncanakan menjadi 10 persen. Jadi, masa depan bertolak dan harus terkait dengan masa lalu. Ketiga, memperhitungkan hambatan-hambatan yang dihadapi, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar tubuh bangsa Indonesia. Keempat, memperhitungkan potensi yang dapat dikembangkan, baik yang dimiliki sekarang maupun yang diharapkan akan dimiliki sebagai hasil proses pembangunan yang berkelanjutan. Kelima, memperkirakan apa yang sungguh-sungguh dapat dicapai dalam kurun waktu itu. Artinya, menempatkan sasaran-sasaran secara maksimal tetapi yang realistis dapat dicapai. Sasaran-sasaran itu harus dibuat setinggi mungkin sehingga benar-benar ada upaya yang optimal untuk mencapainya, dan dibuat tidak terlalu mudah, sehingga dapat memacu untuk bekerja keras. Namun, sasaran juga tidak terlalu tinggi sehingga dengan cara apa pun tidak mungkin tercapai. Atas dasar itu, maka dirumuskan beberapa sasaran pokok, yang apabila diletakkan secara serasi akan menggambarkan wujud masa depan bangsa Indonesia. Pada tahap ini sasaran utama adalah menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa industri. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa perkembangan teknologi di negara berkembang mula-mula terkonsentrasi di sektor industri manufaktur. Demikian pula potensi pengembangan tabungan yang besar juga berada pada sektor tersebut sehingga penanaman modal yang tumbuh relatif cepat terjadi di sektor industri manufaktur. Di samping itu, peran tenaga kerja terampil di sektor industri lebih tinggi dibanding sektor primer, sebagaimana tercermin dari tingkat upahnya. Berbagai faktor itu mencerminkan terjadinya proses akumulasi, yaitu suatu proses peningkatan kualitas dan kuantitas stok barang modal per tenaga kerja. Hal ini tentunya memperbesar peluang berkembangnya sektor tersebut. Karena itu, seperti negara-negara lain yang telah maju, Indonesia menempatkan sektor industri manufaktur sebagai motor penggerak pembangunan. Akan tetapi, pembangunan sektor ini tidak boleh terpisah, melainkan diarahkan untuk saling mendukung dengan sektor-sektor lainnya. Industrialisasi bukanlah hanya memperbanyak jumlah pabrik, tetapi menyangkut proses pergeseran yang amat mendasar dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, dan dari masyarakat perdesaan ke masyarakat perkotaan. Berdasarkan berbagai pegangan tersebut di atas, maka sasaran-sasaran pokok PJP II adalah sebagai berikut. Pertama-tama, kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan nyata dan cukup berarti. Untuk itu perlu laju pertumbuhan yang cukup tinggi, diperkirakan rata-rata di atas 7 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada akhir PJP II sudah akan di bawah 1 persen. Dengan demikian, pendapatan per kapita bangsa Indonesia akan meningkat empat kali dalam nilai riil pada akhir PJP II. Dengan tingkat pertumbuhan yang demikian, ekonomi Indonesia pada waktu itu sudah akan berkembang menjadi ekonomi yang besar (mendekati US$1 triliun dengan harga tahun 1993). Bahkan apabila disesuaikan daya beli relatifnya (purchasing power parity) akan menjadi sekitar US$2,0 triliun. Volume ekonomi yang 31
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
demikian menjadikan Indonesia sebagai pasar yang besar, dan dengan demikian menjadi pendorong bagi pertumbuhan produksi di dalam negeri. Pasar ekspor yang diperkirakan juga akan berkembang, dengan perdagangan dunia yang makin tanpa hambatan, masih tetap akan merupakan penunjang pertumbuhan industri. Selain itu, proses transformasi struktural akan berlangsung sehingga peran sektor industri manufaktur dalam perekonomian akan meningkat menjadi sekitar sepertiga pada akhir PJP II dari sekitar seperlima pada akhir PJP I. Transformasi struktural itu akan didorong antara lain oleh perubahan dalam pola konsumsi. Peran produk makanan dalam struktur konsumsi masyarakat akan mengecil, sedangkan permintaan terhadap hasil industri manufaktur dan jasa akan terus meningkat. Perkembangan struktur produksi dimungkinkan oleh perubahan kuantitas dan kualitas faktor produksi dan perkembangan penguasaan teknologi. Hal ini erat kaitannya dengan proses akumulasi, seperti yang telah disebut di muka, yang secara lebih rinci tercermin dalam beberapa aspek berikut ini. Pertama, peningkatan kuantitas stok modal per tenaga kerja melalui peningkatan tabungan nasional, investasi, serta pemasukan modal asing. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan tingkat pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang tercermin dari peningkatan persentase jumlah tenaga kerja terdidik. Pada akhir PJP II, dapat dikatakan seluruh angkatan kerja bangsa Indonesia sudah akan berpendidikan sekurang-kurangnya sembilan tahun, dan sebagian besar sudah akan berpendidikan sekurang-kurangnya 12 tahun. Angkatan kerja Sarjana akan makin banyak. Tingkat keterampilan makin tinggi, sehingga tingkat produktivitas tidak akan terlalu jauh lagi dari negara-negara industri lainnya. Ketiga, peningkatan efisiensi penggunaan barang modal melalui proses learning by doing. Keempat, peningkatan penguasaan teknologi baik dalam bentuk technical know how maupun kemampuan manajerial. Kelima, perbaikan kondisi prasarana dan sarana transportasi serta prasarana lainnya. Dalam kaitan dengan transformasi struktur produksi, dewasa ini berkembang diskusi mengenai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Ada pemikiran yang mempertentangkan keduanya. Namun, sebetulnya keduanya tidak bertentangan dan merupakan konsep yang kurang relevan untuk diperbandingkan karena memang tujuan analisisnya berbeda. Keunggulan komparatif merupakan perangkat analisis alokasi sumber daya yang optimal dan didasari oleh produktivitas relatif; kata komparatif berkaitan dengan upaya memperbandingkan produktivitas relatif dari berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu negara dan juga dibandingkan dengan produktivitas relatif dari kegiatan ekonomi di negara lain. Sedangkan keunggulan kompetitif berkaitan dengan kemampuan suatu industri atau perusahaan dalam bersaing secara internasional. Keduanya dapat ditempuh secara serasi dan optimal dalam apa yang mungkin bisa disebut sebagai twopronged strategy. Banyak negara lain juga menggunakan pendekatan ini. Kuncinya adalah pada memilih produk mana yang tepat untuk dikembangkan, yang memiliki prospek dan potensi untuk memberikan keunggulan, antara lain melalui peningkatan daya saing internasional. Selain pada struktur produksi, perubahan juga akan terjadi pada struktur ketenagakerjaan. Perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, khususnya industri dan jasa akan makin cepat. Seperti dikatakan di atas, angkatan kerja juga makin terdidik. Peran tenaga profesional, teknisi, dan ketatalaksanaan akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita. Begitu pula, tenaga kerja dengan upah dan gaji tetap akan meningkat sebagai akibat peningkatan spesialisasi. Dengan kata lain, peran sektor formal dalam penciptaan lapangan kerja dan usaha makin meningkat. Proses ini akan mendorong terbentuknya kelas menengah yang makin kuat, yang menjadi tulang punggung perekonomian yang makin handal. Kelas menengah ini terdiri atas tenaga kerja profesional dan para pengusaha menengah yang mandiri. 32
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Hal ini berkaitan dengan perbaikan dalam struktur dunia usaha. Dalam PJP II diharapkan berkembang lapisan menengah yang makin kuat, yang akan saling mendukung dengan lapisan usaha kecil yang kukuh, dan dengan usaha besar yang diharapkan juga makin luas basisnya. Di dalam dunia usaha harus dapat diciptakan keseimbangan yang adil antara usaha besar, menengah, dan kecil. Konsentrasi kekuatan pasar pada usaha besar harus makin berkurang dengan mendorong lapisan menengah dan kecil agar tumbuh lebih cepat. Oleh karena itu, berbagai kebijaksanaan ekonomi dengan didukung oleh peraturan perundangan harus ditujukan ke arah itu. Seperti halnya negara industri lainnya, pada saat itu Indonesia sudah akan makin kuat ketahanan ekonominya dengan ketergantungan pada sumber daya alam sudah sangat berkurang. Dengan intensifikasi dan penguasaan teknologi pertanian, persoalan pangan sudah tidak akan menjadi masalah yang terlalu besar. Stabilitas ekonomi tidak lagi akan didominasi oleh masalah pangan. Dengan demikian, kelangkaan dalam persediaan bahan pokok sudah tidak akan terlalu besar pengaruhnya karena tata niaganya sudah berjalan sesuai prinsip-prinsip pasar dan bersifat transparan. Globalisasi dan transparansi juga mendorong makin baik dan berfungsinya lembagalembaga ekonomi yang penting bagi masyarakat. Karena pasar domestik telah terintegrasi dengan pasar dunia, maka suku bunga, tingkat inflasi, dan lain-lain indikator moneter juga tidak akan berbeda jauh dengan yang terjadi di dunia, sekurang-kurangnya di kawasan sekitar Indonesia. Era perdagangan baru dengan keterbukaannya diharapkan juga akan mendorong transformasi dalam struktur ekonomi dunia, termasuk di bidang moneter. Dengan demikian, diharapkan krisis ekonomi besar akan makin berkurang, frekuensi dan intensitasnya, meskipun dunia tidak akan pernah bebas dari gejolak. Pada akhir PJP II Indonesia sudah bukan lagi negara yang dapat menerima pinjaman lunak. Perdagangan luar negeri akan menjadi sumber perolehan devisa dan sekaligus sebagai pendukung utama bagi kesehatan neraca pembayaran dan tidak lagi dari bantuan luar negeri. Hal ini sejalan dengan kemampuan pembangunan yang makin mandiri (tidak berarti bahwa tidak ada pinjaman, karena pinjam-meminjam adalah praktik yang biasa dalam kehidupan ekonomi). Akan tetapi harus diingat bahwa kemajuan ekonomi baru akan ada artinya bagi kesejahteraan rakyat apabila rakyat dapat menikmati dan merasakannya sebagai perbaikan hidup yang nyata. Oleh karena itu, dalam PJP II salah satu program yang terpenting adalah penanggulangan kemiskinan. Diharapkan bahwa dalam dua repelita, masalah kemiskinan absolut, artinya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sudah akan terselesaikan. Mungkin hanya tersisa di kantung-kantung kemiskinan yang sulit terjangkau, yang upayanya harus dilanjutkan sehingga sebelum PJP II berakhir, masalah ini telah tuntas terselesaikan. Kesenjangan pembangunan antardaerah secara sistematis dan konsisten akan terus diatasi. Kawasan terbelakang memperoleh perhatian khusus agar dapat melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan, dan dapat turut melaju dalam arus kemajuan ekonomi bersama kawasan lainnya yang telah lebih dulu berkembang. Misalnya, kawasan timur Indonesia dipercepat laju pertumbuhannya agar dapat mencapai rata-rata di atas kawasan barat. Pada akhir PJP II, prasarana di kawasan timur sudah dapat menunjang pembangunan dan kegiatan ekonomi sehingga industri manufaktur dapat berkembang dan neraca perdagangan dengan kawasan barat makin seimbang. Kesejahteraan rakyat yang makin meningkat juga akan tercermin pada derajat kesehatan yang makin baik. Dalam PJP II, umur harapan hidup diharapkan dapat meningkat dengan delapan tahun sehingga menjadi 71 tahun. Hal tersebut antara lain akibat menurunnya angka kematian bayi menjadi 26 per- 1000 kelahiran hidup, dari 58 per-1000 kelahiran hidup pada awal PJP II. Lebih jauh lagi, pada akhir PJP II lebih separuh atau bagian terbesar dari penduduk Indonesia sudah menjadi penduduk perkotaan. Artinya, penduduk perkotaan yang kini berjumlah 33
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
sekitar 65 juta, atau 35 persen dari total penduduk, akan meningkat menjadi sekitar 155 juta atau sekitar 60 persen dari total penduduk. Pada saat itu, diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di kota-kota besar, sedang, dan kecil akan meningkat lebih dari dua kali lipat. Dengan demikian, penduduk perkotaan diperkirakan sekitar 38 persen tinggal di metropolitan, 14 persen di kotakota besar, 20 persen di kota-kota sedang, dan 28 persen di kota-kota kecil. Dalam jangka 25 tahun ke depan di Indonesia diperkirakan akan tumbuh tiga kota megapolitan, sembilan kota metropolitan dan 12 kota besar baru. Perkembangan kota tersebut sejalan dengan transformasi ekonomi yang berkaitan erat dengan urbanisasi. Proses urbanisasi tersebut telah dan akan terus membawa berbagai dampak dalam pembangunan. Meningkatnya konsentrasi penduduk dalam proses urbanisasi memungkinkan pelayanan sosial dan berbagai kebutuhan dasar menjadi murah dan mudah. Hal ini tercermin antara lain dalam meningkatnya mutu pendidikan dan kesehatan. Urbanisasi juga mengurangi tekanan penduduk di daerah perdesaan, dan pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian, yang masih tetap besar perannya meskipun secara relatif sudah jauh berkurang. Perkembangan wilayah perkotaan juga akan mendorong majunya wilayah perdesaan sekitarnya. Di pihak lain, urbanisasi dapat membawa masalah-masalah sosial karena terjadi dislokasi, alienasi, keterbatasan dalam pelayanan kota, kekumuhan, serta kecenderungan tumbuhnya berbagai penyakit sosial, seperti kejahatan. Dengan menyadari adanya berbagai dampak tersebut, sejak sekarang pengelolaan perkotaan harus diarahkan untuk mengantisipasinya. Secara keseluruhan proses transformasi ekonomi akan berjalan bergandengan dengan transformasi budaya. Bangsa Indonesia, dengan tingkat pendidikan yang makin tinggi, dengan penguasaan iptek yang makin canggih, dengan interaksi yang makin intensif dengan dunia internasional, akan cepat tumbuh menjadi bangsa yang modern. Persaingan yang makin ketat, karena globalisasi yang sudah di ambang pintu, akan mendorong tenaga kerja untuk makin produktif. Berarti bukan hanya makin terampil, tetapi etos kerjanya makin kuat, dan disiplinnya makin tinggi. Daya kreasi dan inovasinya akan makin dirangsang. Manusia Indonesia pada akhir PJP II akan berpendidikan lebih tinggi, lebih sehat, pengetahuan umumnya lebih luas, tetapi pekerjaannya makin terspesialisasi. Ia akan senantiasa membandingkan dirinya dengan bangsa lain. Ia tidak ingin jauh tertinggal, dan dirangsang untuk terus mengejar ketertinggalan. Inilah ciri-ciri masyarakat Indonesia pada akhir PJP II. Transformasi ekonomi dan budaya tersebut akan terjadi pada semua lapisan penduduk, tidak saja pada penduduk perkotaan, tetapi juga pada penduduk perdesaan. Selain itu, masyarakat petani Indonesia sudah makin berpendidikan, sebagian besar sembilan tahun, dan akan makin menguasai teknologi. Mereka sudah makin dapat memilih budi daya apa yang paling menguntungkan. Para petani tersebut sudah makin pandai menghitung biaya sarana-sarana produksi dan hasil yang akan diperolehnya. Dengan taraf pengetahuan para petani yang demikian, agroindustri dan agrobisnis sudah akan berkembang di wilayah perdesaan sehingga akan meningkatkan nilai tambah dan memperkuat nilai tukar barang pertanian. Di pihak lain, juga disadari bahwa keterbukaan budaya, akan membawa ekses-ekses yang tidak menguntungkan. Materi sebagai ukuran keberhasilan (atau materialisme) dan sikap individualisme yang hidup kuat di kalangan masyarakat barat, dapat merasuk pula ke dalam budaya Indonesia. Demikian pula nilai-nilai moral yang berbeda dapat menimbulkan benturanbenturan budaya. Misalnya, ukuran-ukuran kelayakan, kepantasan, dan kesopanan (decency) berbeda antara budaya Indonesia dan budaya Barat. Semuanya itu tentu akan ada pengaruhnya dan menjadi tantangan bangsa Indonesia untuk mengatasinya. Bukan hanya dalam kehidupan sosial, juga di bidang politik, nilai-nilai dalam budaya politik dan praktik-praktik politik akan terus-menerus ditantang dan diuji. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diserap dari negara Barat bukannya bebas nilai. Ia dilatarbelakangi oleh suatu 34
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
sistem nilai yang membentuk budaya mereka. Dengan sendirinya, banyak di antara orang Indonesia yang secara tidak sadar pada waktu menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, juga menyerap nilai-nilai budaya mereka termasuk budaya politik. Karena itu, masyarakat mulai melihat pandangan-pandangan yang menggunakan ukuran Barat dalam menilai kehidupan demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lain-lain aspek dalam kehidupan politik yang diterapkan di Indonesia. Di pihak lain, semangat pembaharuan dan sikap kritis yang sekarang sedang berkembang antara lain oleh keterbukaan itu, jelas ada sisi positifnya. Dalam arti, meskipun bangsa Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip seperti yang diamanatkan oleh konstitusi, cara melaksanakannya dapat terus-menerus disempurnakan dengan adanya interaksi kultural itu. Lagi pula sudah disepakati bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, dalam arti dapat mengakomodasikan perkembangan zaman. Berkembangnya lapisan menengah yang makin kuat juga akan memberi warna kepada kehidupan demokrasi dan mempengaruhi proses perubahan yang terusmenerus akan berlangsung. Dengan demikian, pada akhir PJP II, kualitas demokrasi akan makin meningkat sebagai hasil dari peningkatan kualitas lembaga-lembaga sosial politik serta kualitas para pelakunya. Kehidupan masyarakat yang makin transparan akan tercermin bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat pada umumnya termasuk di bidang politik. Rakyat akan terus-menerus menuntut keadilan. Jalan yang paling utama bagi diperolehnya keadilan adalah hukum. Tidak ada negara yang maju dan modern yang tidak bersendikan hukum, atau yang hanya bersendikan kekuasaan belaka. Hukumlah yang akan melindungi masyarakat dan setiap warga negara. Dalam PJP II pembangunan hukum akan terus berlangsung dengan prioritas tinggi sehingga Indonesia benar-benar menjadi negara hukum seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pada akhir PJP II, hukum telah makin mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum, yang berintikan keadilan dan kebenaran. Semuanya itu menjurus pada peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia. Bangsa Indonesia ditantang untuk menyerasikan kebutuhan akan ruang dan sumber daya alam dengan pelestarian lingkungan, agar pembangunan yang dilaksanakan berkelanjutan. Dengan pengalaman yang panjang, dan kesadaran yang kuat akan artinya memelihara lingkungan, tidak ada keraguan bahwa dalam 25 tahun ini bangsa Indonesia akan menemukan formula keseimbangan antara kebutuhan pemakaian dan pelestarian sumber daya alamnya. Demikianlah gambaran mengenai transformasi masyarakat Indonesia dalam PJP II dalam berbagai aspeknya. Pada waktu itu bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa industri yang maju dan kemajuannya makin berlandaskan pada kemandirian, serta masyarakatnya makin sejahtera, dan kesejahteraannya makin merata.
3. Beberapa Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia menjelang Abad ke-21 Setelah berbicara mengenai visi jangka panjang pembangunan nasional bangsa Indonesia, ada dua masalah penting pembangunan ekonomi Indonesia jangka menengah yang harus mendapat perhatian dalam memasuki abad ke-21, yaitu hingga tahun 2000 mendatang. Pertama, pengendalian keseimbangan ekonomi agar selalu terpelihara dalam kondisi pertumbuhan yang dinamis. Kedua, penyelesaian tiga tahun terakhir Repelita VI dengan berhasil dan sekaligus persiapan memasuki Repelita VII. Topik kali ini membahas kedua masalah pembangunan nasional menjelang 35
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
abad ke-21 tersebut dan akan didahului dengan perkembangan ekonomi Indonesia dan diakhiri dengan bagaimana dunia usaha Indonesia sebagai pelaku ekonomi yang utama harus memanfaatkan poros perkembangan ekonomi dunia memasuki abad ke-21.
Keadaan Perekonomian Indonesia Dewasa Ini Dalam dua tahun pertama Repelita VI, perekonomian Indonesia telah tumbuh dengan menggembirakan. Pertumbuhan itu bahkan di atas yang diduga, sehingga diadakan revisi sasaran pertumbuhan dalam Repelita VI dari rata-rata 6,2 persen menjadi 7,1 persen setahun. Sasaran yang direvisi itu pun juga telah terlampaui. Pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1994 diperkirakan 7,3 persen, dalam kenyataannya adalah 7,5 persen. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 1995, yang diperkirakan 7,5 persen namun kenyataannya mencapai 8,1 persen. Pertumbuhan PDB pada tahun 1995 terutama disebabkan oleh peningkatan yang cukup besar pada produksi sektor di luar migas, khususnya sektor pertanian. Sektor ini mengalami peningkatan pertumbuhan yang pesat dari 0,55 persen pada tahun 1994 menjadi 3,96 persen pada tahun 1995. Hal ini karena produksi tanaman bahan makanan yang mengalami penurunan pada tahun 1994 sebesar 2,14 persen, pada tahun 1995 meningkat sebesar 4,46 persen. Faktor-faktor di luar sektor migas dan sektor pertanian yang berpengaruh terhadap pertumbuhan PDB antara lain tingginya pertumbuhan di sektor pertambangan di luar migas, sektor listrik, gas, dan air bersih, serta sektor perdagangan. Sektor perdagangan tumbuh lebih cepat karena adanya pertambahan produksi barang di satu pihak dan meningkatnya impor di pihak lain. Sewa bangunan juga meningkat pesat karena erat kaitannya dengan pertumbuhan di bidang properti. Mekipun demikian, ada sisi lain yang harus menjadi perhatian, yaitu adanya gejala bahwa pertumbuhan yang demikian itu diikuti dengan menghangatnya suhu perekonomian. Suhu perekonomian ini diukur dari angka laju inflasi dan defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran luar negeri. Laju inflasi memang cukup tinggi, meskipun masih dalam batas satu angka (single digit) tetapi terus-menerus di atas sasaran Repelita VI yang baru direvisi yaitu sekitar 6 persen. Defisit transaksi berjalan yang pada tahun 1993/94 masih di bawah $3miliar, meningkat menjadi $3,5 miliar pada tahun 1994/95 dan diperkirakan mencapai $6,9 miliar pada tahun 1995/96, yaitu sekitar 2,0 persen dari PDB menjadi sekitar 3,3 persen, jauh di atas sasaran Repelita VI, yaitu 2 persen. Laju inflasi memang sangat “keras kepala� (stubborn), sejak Repelita V, hanya satu tahun saja laju inflasi di bawah 5 persen, yaitu tahun 1992 sebesar 4,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa laju inflasi sudah menjadi masalah kronis, dan mencerminkan ada bagian-bagian yang belum lancar dalam mata rantai perekonomian Indonesia. Laju inflasi mencerminkan perkembangan harga-harga dan perubahan indeks biaya hidup. Laju inflasi menyangkut ketersediaan dan kelancaran arus barang kebutuhan pokok yang selanjutnya mempengaruhi harga barang lainnya. Ada masa-masa tertentu laju inflasi meningkat disebabkan oleh melonjaknya permintaan masyarakat, misalnya pada hari-hari Lebaran. Secara umum, laju inflasi acapkali dikaitkan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Permintaan yang meningkat tajam, menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang melebihi kemampuan sisi penawaran untuk mencukupinya menyebabkan laju inflasi yang makin tinggi pula. Namun, sulit untuk menyalahkan semata-mata tingginya tingkat pertumbuhan sebagai penyebab laju inflasi. Pengalaman negara berkembang lain yang sudah lebih maju tidak selalu menunjukkan tingkat pertumbuhan tinggi diikuti dengan inflasi tinggi. Negara-negara tetangga pada umumnya dapat menikmati tingkat pertumbuhan yang terus-menerus (bahkan dengan laju yang lebih tinggi), tanpa harus disertai laju inflasi yang tinggi. 36
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Upaya menyembuhkan laju inflasi ini haruslah bersifat mendasar. Kebijaksanaankebijaksanaan, seperti yang dilakukan setelah pemanasan ekonomi di tahun 1990 dan 1991, berhasil menekan laju inflasi hanya untuk satu tahun saja yaitu pada tahun 1992. Pada tahun 1993, inflasi kembali lagi menjadi 9,8 persen. Oleh karena itu, perhatian perlu diberikan pada sektor-sektor riil, di bidang produksi dan distribusi termasuk pembangunan prasarana dan sarana ekonomi yang akan menyediakan kebutuhan untuk produksi dan memperlancar arus distribusi sehingga menekan biaya-biaya ekonomi. Kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal dan moneter yang tepat sangatlah esensial, tetapi tidak memadai (necessary but not sufficient). Mengenai defisit transaksi berjalan, kita menyadari banyak faktor yang mempengaruhi. Investasi yang meningkat dengan laju di atas tingkat tabungan, menyebabkan terjadinya resource gap yang harus ditutup dengan aliran modal dari luar negeri. Sebenarnya keadaan itu wajar saja dalam ekonomi yang tinggi dinamika pertumbuhannya, dan bisa menjadi petunjuk keberhasilan dan bukan kegagalan dalam pembangunan. Besarnya investasi menunjukkan kepercayaan dunia usaha terhadap kondisi ekonomi dan kebijaksanaankebijaksanaan ekonomi. Negara-negara berkembang yang dinilai sukses juga mencatat defisit transaksi berjalan yang cukup tinggi, seperti Thailand. Bahkan dalam persentase terhadap PDB, defisit transaksi berjalan Thailand lebih tinggi daripada Indonesia, yaitu 8,1 persen dan juga Malaysia, yaitu 8,9 persen pada tahun 1995. Defisit transaksi berjalan yang cenderung meningkat harus diimbangi dengan meningkatnya aliran modal masuk agar stabilitas ekonomi tetap terjaga. Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah struktur dana luar negeri untuk mengatasi defisit tersebut. Apabila diatasi dengan investasi langsung untuk kegiatan produktif dan dengan dana-dana berjangka panjang, tentunya tidak ada masalah. Masalah akan timbul apabila defisit tersebut diatasi dengan dana-dana berjangka pendek, yang digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek jangka menengah dan jangka panjang. Arah perkembangan itu dipengaruhi oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi makro, baik kebijaksanaan moneter, nilai tukar, maupun kebijaksanaan fiskal yang turut mempengaruhi volume uang beredar. Namun, pada akhirnya neraca pembayaran ditentukan oleh perimbangan antara ekspor dan impor barang maupun jasa. Masalah defisit dalam transaksi berjalan yang dialami akhir-akhir ini selain disebabkan oleh laju peningkatan impor yang tinggi, antara lain karena besarnya investasi, tetapi juga untuk barang konsumen, juga oleh karena laju pertumbuhan ekspor tidak mampu mengimbanginya. Dalam tahun-tahun terakhir ini laju peningkatan impor jauh lebih tinggi daripada ekspor. Dengan menyadari keadaan ini, persiapan menghadapi masa depan harus dilakukan lebih baik. Selanjutnya harus dilihat kekuatan-kekuatan dan potensi yang dapat dikembangkan serta masalah yang harus diatasi.
Masalah Pembangunan Ekonomi Jangka Pendek Seperti diutarakan di atas, masalah utama dalam jangka pendek adalah mengembalikan keseimbangan ekonomi, baik keseimbangan internal, yaitu menurunkan inflasi, maupun keseimbangan eksternal, yaitu menurunkan kembali kecenderungan meningkatnya defisit transaksi berjalan. Sasaran tersebut diupayakan melalui penurunan laju permintaan agregat dalam negeri yang meningkat agak cepat dalam beberapa tahun terakhir, antara lain melalui kebijaksanaan moneter yang berhati-hati. Langkah-langkah ke arah itu telah diambil. 37
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Di bidang moneter diupayakan untuk mengendalikan pertumbuhan kredit yang terlalu cepat di bidang-bidang usaha tertentu seperti sektor bangunan dan perumahan. Selain itu, karena meningkatnya penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial telah mendorong peningkatan jumlah kredit dan mengurangi tingkat kehati-hatian perbankan, telah dikeluarkan ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial melalui bank umum. Penerbitan surat berharga komersial melalui bank umum harus dinilai terlebih dahulu oleh lembaga yang berwenang. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian uang yang beredar melalui operasi pasar terbuka telah dilakukan penyempurnaan atas tata cara penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), tata cara perdagangan SBI yang belum jatuh waktu, dan pelunasan SBI. Selain itu untuk meredam ekspansi moneter yang berlebihan telah ditingkatkan cadangan wajib minimum baik dalam rupiah maupun valuta asing (reserve requirement) yang sebelumnya 2 persen menjadi 3 persen. Juga telah ditingkatkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan pembiayaan dalam penarikan pinjaman luar negeri, penyaluran pinjaman yang bersumber dari kredit perbankan, penerbitan surat sanggup bayar, serta kualitas aktiva produktif. Salah satu langkah penting lagi adalah penyempurnaan aturan nilai tukar. Selain nilai tukar konversi yang berlaku selama ini diberlakukan pula nilai tukar intervensi yang ditetapkan dengan memperbesar selisih harga beli dan harga jual (spread) nilai tukar konversi dolar Amerika Serikat, yaitu dari semula 2 persen (sekitar Rp44) menjadi 3 persen (sekitar Rp66), yang kemudian diperlebar lagi menjadi 5 persen (sekitar Rp118). Peningkatan fleksibilitas nilai tukar ini diharapkan akan meningkatkan efektivitas pengendalian moneter, kestabilan nilai tukar, dan sekaligus sebagai usaha mengurangi tekanan atas cadangan devisa pemerintah. Peningkatan jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit perbankan dalam tahun anggaran 1996/97 diupayakan untuk tidak melebihi masing-masing 15 persen, 17 persen dan 16 persen, dibandingkan dengan 16,1 persen, 26,5 persen, dan 26 persen dalam satu tahun sebelumnya (September 1994 ď‚ž September 1995). Di bidang fiskal, anggaran tahun 1996/97 dirancang mempunyai dampak moneter yang kontraktif bahkan lebih kontraktif daripada anggaran tahun 1995/96. Dampak kontraktif timbul sebagai akibat dari penyedotan dana masyarakat melalui penerimaan dalam negeri lebih besar daripada peningkatan ekspansi moneter dari dana yang dikembalikan kepada masyarakat melalui pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Memang ada peningkatan yang cukup besar dalam pengeluaran rutin, namun bagian yang cukup besar adalah untuk pelunasan pinjaman luar negeri. Anggaran pembangunan meningkat 12,1 persen yang berarti lebih kecil dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 12,4 persen. Meskipun demikian, anggaran pembangunan telah diarahkan untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat dengan menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan seperti listrik, jalan, telepon, dan pelabuhan. Dalam program-program itu telah diusahakan untuk tidak membatasi ruang gerak swasta, dan pemerintah hanya melakukan kegiatan yang tidak dapat dilakukan swasta atau yang harus cepat dibangun karena kebutuhannya telah amat mendesak. Sebagai contoh, penambahan sambungan telepon yang mencapai lebih dari 700 ribu saluran. Rencana pembangunan ini sudah memperhitungkan investasi yang akan dilakukan oleh swasta dalam Repelita VI. Sebagian dari anggaran pembangunan pemerintah akan bersumber dari bantuan luar negeri yang telah tersedia sebagai komitmen di waktu yang lalu. Anggaran ini terutama diperuntukkan bagi pembangunan jaringan telepon di daerah perdesaan yang tidak terjangkau jaringan yang disediakan oleh pihak swasta.
38
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Hal yang sama juga terjadi di bidang kelistrikan. Pada anggaran pembangunan untuk bidang ini praktis tidak ada peningkatan. Ini menunjukkan bahwa swasta telah mulai dipertimbangkan perannya, dan PLN sendiri telah meningkat kemampuan pembiayaannya. Pembangunan prasarana lainnya juga diarahkan untuk tidak mengambil bagian yang bisa dilakukan oleh swasta. Misalnya, pembiayaan jalan tol tidak ada lagi dalam APBN, tetapi pembangunan jalan-jalan di perdesaan dan di wilayah di luar Jawa terutama yang memiliki potensi segera berkembang diberi prioritas. Demikian pula perhatian diberikan kepada pembangunan pelabuhan dan bandar udara yang hanya layak dilakukan oleh pemerintah. Pembangunan prasarana itu merupakan salah satu upaya untuk memecahkan sumbatansumbatan (bottlenecks) pada perekonomian. Upaya ini dalam rangka mengurangi faktor-faktor penyebab tidak efisiennya perekonomian (yang antara lain tercermin dari memanasnya suhu ekonomi kalau pertumbuhan agak tinggi) serta menyiapkan landasan pertumbuhan dan pemerataan di masa depan. Selain itu, upaya pembangunan sumber daya manusia harus tetap mendapat perhatian besar. Anggaran pembangunan di bidang pendidikan, termasuk pelatihan tenaga kerja dan kesehatan, harus disediakan secara memadai. Kegiatan ini untuk menyiapkan sumber daya manusia produktif yang akan menjadi modal utama pembangunan di masa depan. Upaya pemerataan tidak boleh dihentikan. Dalam anggaran 1996/97 misalnya, sejumlah 38 persen anggaran pembangunan dicurahkan ke daerah hanya melalui program-program Inpres dan PBB. Belum lagi program-program pembangunan prasarana yang sebagian besar berlokasi di luar Jawa dan dalam proporsi yang besar di KTI. Selain tujuan keadilan, pemerataan pembangunan itu merupakan kebutuhan untuk membuka potensi daerah yang belum berkembang agar dapat menjadi modal yang efektif bagi pembangunan nasional. Demikian pula upaya pengentasan penduduk dari kemiskinan, dalam keadaan bagaimanapun harus mendapat prioritas tinggi. Upaya mendorong ekspor harus tetap memperoleh prioritas tinggi dalam strategi pembangunan nasional. Dalam tahun 1996/97 diharapkan ekspor nonmigas meningkat dengan 19,5 persen yang akan berlanjut pada tahun-tahun sesudah itu. Suatu peningkatan yang tinggi tetapi seharusnya tidak mustahil untuk dilakukan. Pertama, karena volume dan nilai perdagangan dunia masih akan terus tumbuh. Kedua, daya saing produksi domestik masih cukup kuat, diukur misalnya dari nilai tukar rupiah dan biaya buruh. Ketiga, dengan investasi yang menggebu-gebu yang segera akan terealisasikan, kapasitas terpasang unit-unit produksi akan meningkat pula. Kebijaksanaan pengembangan ekspor bersifat jangka panjang, tidak hanya untuk mengatasi masalah satu dua tahun ini saja. Upaya yang perlu dilakukan harus mendasar, tidak saja deregulasi, tetapi juga penguatan aspek-aspek penunjangnya seperti prasarana dasar, sumber daya manusia, teknologi, dan akses kepada berbagai informasi. Selain itu perlu juga diikuti dengan penataan dan penyempurnaan lembaga-lembaga perekonomian agar dapat menjadi wahana bagi ekonomi yang berorientasi ekspor. Salah satu program yang harus dilaksanakan dalam jangka menengah adalah diversifikasi ekspor, yang meliputi tiga aspek. Pertama, diversifikasi produksi, yaitu memperluas dan memperdalam komoditas ekspor, antara lain dengan lebih memanfaatkan ketersediaan sumber daya di dalam negeri sebagai masukan produksi. Kedua, diversifikasi negara tujuan ekspor terutama di negara sedang berkembang yang prospek pertumbuhan impornya masih akan relatif besar. Ketiga, diversifikasi spasial, yakni memanfaatkan wilayah-wilayah potensial sehingga produksi memiliki basis yang lebih luas. Wilayah-wilayah di luar Jawa, khususnya di kawasan timur Indonesia harus dikembangkan sebagai landasan pacu peningkatan ekspor di tahun-tahun yang akan datang. Sebagai prinsip dalam melaksanakan diversifikasi produk ekspor adalah peningkatan produksi, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk mengurangi kebutuhan impor, bagi barang dan 39
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
jasa yang memiliki keunggulan. Kegiatan-kegiatan lain yang tidak memiliki keunggulan atau diperkirakan tidak akan unggul dalam jangka panjang sebaiknya dialihkan pada kegiatan unggulan. Kalau diperhatikan komposisi ekspor dan impor nonmigas terutama yang berasal dari hasil industri manufaktur (menurut Standard International Trade Classification/SITC, yaitu SITC 5 sampai dengan 9 tanpa 68) dewasa ini, maka terlihat gambaran sebagai berikut: pertama, bagian terbesar dari ekspor hasil industri manufaktur Indonesia adalah terdiri atas hasil industri manufaktur padat karya (labor intensive) dan padat kekayaan alam (resource intensive); kedua, bagian terbesar dari impor hasil industri manufaktur Indonesia adalah terdiri atas hasil industri manufaktur yang memerlukan tingkat keterampilan relatif tinggi (differentiated goods) dan padat modal (capital intensive); ketiga, peran impor hasil industri manufaktur padat ilmu pengetahuan (science based) relatif lebih kecil baik bila dibandingkan dengan impor differentiated goods maupun impor capital intensive industry, sedangkan peran ekspornya jauh lebih kecil lagi; keempat, untuk hasil industri padat karya dan padat kekayaan alam Indonesia sudah menjadi pengekspor neto, sedangkan untuk hasil industri yang berketerampilan relatif tinggi, padat modal, dan padat ilmu pengetahuan masih lebih banyak diimpor. Strategi pengembangan ekspor haruslah memperhatikan aspek-aspek itu. Terobosan yang terjadi di bidang teknologi transportasi, telekomunikasi, dan komputasi telah mengakibatkan, antara lain, biaya pengangkutan barang dan penyebarluasan informasi menjadi relatif murah. Dewasa ini pada industri penghasil barang logam, mesin, alat pengangkutan, dan instrumen yang diperlukan oleh tenaga profesional (atau kelompok industri manufaktur International Standard Industrial Classification/ISIC 38) hampir tidak dijumpai lagi pola produksi yang seluruh komponennya dihasilkan oleh negara yang sama. Dengan kata lain, untuk kelompok itu lokasi industrinya cenderung mengglobal, dalam arti tiap negara lebih memusatkan untuk memproduksi komponen yang paling unggul konsisten dengan tahap kemampuan dalam penguasaan teknologinya. Bagian terbesar impor hasil industri manufaktur adalah hasil industri manufaktur yang termasuk dalam differentiated goods yang diikuti oleh hasil industri manufaktur yang termasuk dalam padat modal. Dalam meningkatkan upaya menembus pasar ekspor di luar negeri, sudah saatnya untuk menggalakkan kegiatan produksi berbagai komponen kelompok industri unggul tersebut, terutama melalui aliansi internasional dengan berbagai perusahaan yang sudah terkenal di dunia. Secara bertahap produksi jenis komponen terus dikembangkan, konsisten dengan peningkatan dalam penguasaan teknologinya. Upaya ini dilakukan dengan memperhatikan besarnya potensi pasar dunia dan pertumbuhannya yang relatif cepat serta relatif besarnya peran impor hasil produksi kelompok ini dalam total nilai impor nonmigas Indonesia dewasa ini maupun di masa datang. Peningkatan produksi komponen tersebut tidak saja dapat meningkatkan pertumbuhan ekspor nonmigas, tetapi juga sekaligus menekan impor netonya. Sumbangan ekspor hasil industri manufaktur padat karya dan padat kekayaan alam dalam total nilai ekspor hasil industri manufaktur cukup besar (lebih dari 65 persen). Dengan memperhatikan makin meningkatnya persaingan dari negara sedang berkembang lainnya yang memiliki tenaga kerja yang cukup banyak dan dengan tingkat upah relatif lebih murah, serta makin terbatasnya potensi produksi kayu di Indonesia, maka perlu diupayakan peningkatan pertumbuhan nilai ekspor kedua kelompok barang ini. Peningkatan kualitas dan desain yang lebih baik serta peningkatan dalam tahapan proses produksi lebih lanjut (misalnya dari ekspor kayu lapis ke perabot rumah tangga dari kayu) merupakan upaya yang perlu ditempuh. Selain meningkatkan pertumbuhan nilai ekspor nonmigas seperti diuraikan di atas, maka dalam rangka menurunkan defisit dalam transaksi berjalan perlu diupayakan peningkatan kegiatan yang akan dapat mengurangi defisit dalam neraca jasa. Dalam kaitan ini neraca jasa 40
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
biasanya dibedakan menjadi neraca jasa bukan faktor (mencakup jasa pengangkutan, turisme, asuransi, dan komisi) dan neraca jasa faktor (mencakup upah dan gaji, bunga, dan keuntungan dari investasi). Diperkirakan neraca jasa faktor masih akan terus mengalami defisit, setidaktidaknya yang berhubungan dengan bunga dan keuntungan. Kemungkinan untuk menekan defisit dalam neraca jasa bukan faktor dan bahkan pada suatu waktu menjadi surplus perlu diobservasi lebih mendalam. Dalam rangka mengamankan neraca pembayaran, impor pada dasarnya ingin dikendalikan. Impor yang akan menghasilkan ekspor tentu tidak boleh dihambat, namun yang bersifat konsumtif harus dibatasi. Pembatasannya tentu tidak dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yang telah disepakati, tetapi dengan meningkatkan produksi dalam negeri, baik dalam volume maupun kemampuan bersaing (yang tercermin dalam kualitas, harga dan pelayanan purnajual). Impor juga dapat dikurangi dengan mengarahkan pola konsumsi dalam negeri yang menjauhi barang-barang konsumsi yang padat impor, terutama impor barang mewah. Di sini peran perangkat moneter dan fiskal teramat penting. Selain itu, semangat penggunaan produksi dalam negeri dalam masyarakat harus dikobarkan, yang harus diteladani oleh pengadaan pemerintah sendiri dan juga dunia usaha dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan semangat itu laju peningkatan impor nonmigas ingin ditekan serendah mungkin, yaitu pada tahun 1996/97 menjadi 11 persen. Pola peningkatan ekspor dan impor yang direncanakan untuk tahun 1996/97 itu harus benar-benar diwujudkan dan dilanjutkan pada tahun-tahun yang akan datang sampai akhir Repelita VI. Masih dalam rangka mengamankan neraca pembayaran, tetapi dengan tujuan yang lebih besar, yaitu membangun kemandirian, maka tingkat pertumbuhan tabungan nasional diupayakan lebih besar daripada tingkat pertumbuhan investasi. Peningkatan tabungan pemerintah diupayakan melalui peningkatan penerimaan negara, terutama yang berasal dari sumber nonmigas. Secara bersamaan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan ditingkatkan. Peningkatan penerimaan negara dari pajak harus tetap dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, asas pemerataan, asas manfaat, dan kepastian hukum serta memperhatikan pengaruhnya terhadap iklim usaha. Tabungan masyarakat ditingkatkan melalui kebijaksanaan moneter yang saling mendukung dengan kebijaksanaan pembangunan di bidang-bidang lainnya, yaitu yang menjamin kestabilan nilai mata uang dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan lembaga keuangan dan perbankan yang efisien dan makin meluas jangkauannya, serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang meningkat. Pada dasarnya peningkatan tabungan masyarakat memerlukan iklim yang mendukung seperti, misalnya tingkat inflasi yang rendah, suku bunga yang menarik, instrumen penempatan dana yang makin berkembang, lembaga keuangan yang andal, dan pendapatan yang makin meningkat. Peningkatan tabungan masyarakat di negara yang sedang membangun, seperti Indonesia, juga harus disertai kesediaan kelompok penduduk yang berpotensi menabung untuk membatasi diri dalam pengeluaran konsumtif, terutama bagi barang dan jasa yang kurang esensial yang pada umumnya memiliki komponen impor relatif tinggi. Pembatasan diri untuk tidak mengkonsumsi barang dan jasa yang kurang esensial juga sangat penting dilihat dari upaya untuk mengurangi kecemburuan sosial. Kesadaran akan hal ini harus ditanamkan serta dibudayakan dalam masyarakat kita melalui gerakan nasional menabung. Dengan berbagai usaha tersebut diharapkan dapat tercapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pemerataan yang makin meluas dengan landasan stabilitas yang aman dalam tahun-tahun terakhir memasuki abad ke-21. Sasaran pertumbuhan ekonomi selama Repelita VI sebesar 7,1 persen rata-rata per tahun diharapkan akan dapat terlampaui, demikian pula sasaran
41
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
tingkat inflasi sekitar 6 persen, diperkirakan dapat pula tercapai pada tahun-tahun terakhir Repelita VI. Defisit transaksi berjalan pada akhir Repelita VI memang tidak akan turun seperti perkiraan semula pada saat laju pertumbuhan ekonomi Repelita VI ditetapkan sebesar 6,2 persen. Defisit transaksi berjalan mungkin masih harus lebih besar dari US$5 miliar, tetapi dengan perekonomian yang tumbuh cepat maka rasio defisit tersebut terhadap PDB diperkirakan sekitar 2 persen saja pada akhir Repelita VI. Demikian pula dengan stok utang yang secara absolut tetap akan meningkat, terutama karena melonjaknya pinjaman baru oleh swasta, tetapi rasionya terhadap PDB akan turun pula dengan cepat.
Agenda bagi Dunia Usaha Indonesia Tantangan paling besar yang akan dihadapi dalam menyongsong Repelita VII adalah berbagai penyesuaian yang harus dilakukan dalam mempersiapkan dan menghadapi keterbukaan ekonomi yang semakin intens. Pasar dunia telah menjadi semakin terintegrasi. Arus perdagangan antarnegara, baik untuk bahan mentah maupun barang setengah jadi dan barang jadi, arus informasi dan modal terus meningkat pesat. Kecenderungan makin kerapnya perdagangan dunia adalah demikian kuatnya sehingga batas komersial dapat mengalahkan batas negara. Hal ini merupakan tantangan yang tidak kecil bagi dunia usaha mengingat perusahaan-perusahaan raksasa internasional dengan berbagai keunggulan yang mereka miliki akan dengan mudahnya lalu-lalang di pasar domestik. Untuk menghadapinya dunia usaha tidak dapat defensif, tetapi harus ofensif atau proaktif. Menjaga agar pasar domestik sukar diterobos oleh luar adalah penting. Namun, lebih penting lagi dan menguntungkan adalah meningkatkan upaya merebut pasar dunia yang terbuka makin lebar. Selama dekade terakhir abad ke-20 telah terjadi perubahan yang mendasar dalam tatanan hubungan ekonomi dan perdagangan dunia. Blok-blok ekonomi di berbagai belahan dunia, seperti Uni Eropa, AFTA, NAFTA, LAFTA, APEC dan lainnya, bermunculan untuk memanfaatkan kesamaan tujuan dan sinergi di kawasan masing-masing. Dengan demikian, tidak saja arus barang dan jasa antarnegara menjadi makin deras di kawasan tersebut, tetapi juga berbagai sumber daya ekonomi seperti tenaga kerja, teknologi, dan modal akan mengalir dengan deras pula. Merupakan tantangan bagi dunia usaha untuk dapat memanfaatkan seoptimal mungkin berbagai perkembangan itu. Bersamaan dengan itu, berbagai aturan yang telah disepakati dalam WTO akan mempunyai dampak yang luas bagi perekonomian nasional Indonesia, misalnya pada saat makin banyaknya bidang-bidang yang tidak diproteksi, seperti bidang jasa, termasuk jasa perdagangan dalam negeri. Oleh karena itu, dunia usaha harus dengan cermat mengikuti dan mengantisipasi aturanaturan baru dalam WTO. Berbagai persoalan seperti isyu dumping, lingkungan, dan HAM harus ditangani secara profesional untuk mengamankan ekspor. Dunia usaha perlu pula mencatat berbagai pelanggaran aturan dagang internasional yang dilakukan oleh pihak lain. Untuk itu pemahaman yang handal terhadap hukum bisnis internasional menjadi penting. Tanpa itu, pengusaha nasional hanya akan menjadi bulan-bulanan pengusaha raksasa internasional. Dalam lingkungan ASEAN telah disepakati untuk mempercepat waktu pelaksanaan AFTA, yakni 31 Desember 2003. Ini bertepatan dengan akhir Repelita VII. Dunia usaha harus dapat memetik peluang pasar itu. Selain itu, AFTA sekaligus harus pula dijadikan "training ground" untuk membentuk pelaku-pelaku yang tangguh sebelum pasar menjadi benar-benar terbuka sesuai dengan kesepakatan APEC atau WTO/GATT. 42
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Singkatnya, upaya memenangkan persaingan yang kian tajam di pasar internasional maupun di pasar domestik harus dilakukan secara "all-out". Usaha yang setengah-setengah hanyalah akan menjadikan bangsa ini menjadi pemain papan bawah selamanya dalam percaturan ekonomi dunia yang penuh tantangan ini. Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang bergerak cepat menuju tahapan baru dalam pembangunan. Berkembangnya pasar domestik yang cepat dan juga tumbuhnya kelas menengah baru yang mempunyai daya beli tinggi, akan disertai dengan persaingan yang tajam antarperusahaan domestik dan dengan perusahaan asing. Semuanya itu akan menimbulkan perubahan besar dalam iklim berusaha. Untuk dapat sukses dalam situasi yang seperti ini, dunia usaha perlu mencari dan mengembangkan alternatif-alternatif agar dapat memproduksi dengan biaya yang kompetitif. Dunia usaha perlu meningkatkan produktivitas dan meningkatkan pula mutu produknya. Jalan meningkatkan daya saing dalam jangka panjang adalah (1) dengan memberikan perhatian pada penguasaan teknologi serta upaya penelitian dan pengembangan (R&D), (2) melakukan pelatihan-pelatihan agar sumber daya manusia dapat digunakan secara optimal, (3) memberi perhatian khusus terhadap pemanfaatan sumber daya alam secara optimal, karena ini juga merupakan faktor keunggulan, dan di dalamnya upaya untuk melestarikannya, dan (4) meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha. Dalam upaya untuk lebih meningkatkan daya saing serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas, setiap unit usaha harus lebih memusatkan pada bisnis intinya (core business). Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan unit usaha yang bukan merupakan bisnis inti seyogianya dikerjakan oleh unit usaha lain atau oleh mitra usahanya. Mitra usaha ini tidak perlu yang sama tingkatnya, tetapi yang pada dasarnya menjadi mitra usaha yang memiliki atau dapat mengembangkan keunggulan masing-masing. Kemitraan ini bisa terjadi antara unit usaha yang besar dan unit usaha yang kecil. Setiap mitra memusatkan kegiatannya konsisten dengan keunggulannya. Upaya ini akan menumbuhkan banyak kesempatan berusaha yang akan mendorong keselarasan tujuan pemerataan hasil-hasil pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
43
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Bab IV : PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT 1. Demokrasi Ekonomi: Sebuah Tinjauan Institusional Dalam 25 tahun terakhir ini, perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan dan kemajuan, baik dilihat dari struktur distribusi tingkat pendapatan rata-rata, maupun sistem kelembagaannya pada sektor publik dan swasta. Sektor swasta makin berperan, sedangkan sektor publik makin mantap. Dalam tahap pembangunan selanjutnya masyarakatlah yang akan menjadi pelaku utama pembangunan. Globalisasi ekonomi telah memperluas jangkauan kegiatan ekonomi sehingga tidak lagi terbatas pada suatu negara. Kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang informasi, komunikasi, dan transportasi, telah memungkinkan arus orang, barang, jasa, dan informasi bergerak dengan jauh lebih cepat, dalam jumlah yang makin besar, dengan kualitas yang makin baik, dan dengan biaya yang makin murah. Konsekuensi proses globalisasi ekonomi tersebut sangat besar terhadap perekonomian negara mana pun. Transformasi ekonomi politik yang terjadi di negara-negara Eropa Timur, RRC, dan bekas Uni Soviet merupakan ilustrasi pengaruh globalisasi ini, dan cukup berpengaruh terhadap perkembangan dan tatanan ekonomi dunia. Indonesia juga tidak dapat menghindar dari arus perubahan ini. Oleh karena itu, segala upaya harus diarahkan untuk memperoleh manfaat daripadanya, dan mengatasi kerugian yang dapat ditimbulkannya. Arus globalisasi, dan pola perkembangan ekonomi global seperti di atas akan membawa perekonomian suatu bangsa makin terintegrasi secara dinamis dengan perekonomian dunia. Namun, di sini akan berlaku hukum persaingan, yaitu yang akan keluar sebagai pemenang dan memperoleh manfaat dari ekonomi dunia adalah yang telah secara mantap mempersiapkan diri. Proses tersebut merupakan gelombang yang melanda seluruh dunia dan dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam menghadapi perkembangan dunia, khususnya globalisasi ekonomi itu, bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan arah. Sebaliknya, harus tetap berpegang pada amanat konstitusi yang merupakan landasan dan acuan pembangunan, pada tingkat perkembangan dan kondisi apa pun. Salah satu amanat yang amat mendasar dalam UUD 1945 adalah bahwa perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menjadi kewajiban bangsa Indonesia untuk menjaga bahwa segala kemajuan yang telah dicapai haruslah merupakan langkah-langkah yang menuju secara bertahap ke arah perwujudan cita-cita tersebut. Topik ini mencoba mengupas hal-hal tersebut di atas dikaitkan dengan konsep demokrasi ekonomi Indonesia.
Mengenai Demokrasi Demokrasi ekonomi, pokok katanya adalah demokrasi. Arti dan makna demokrasi itu sendiri ditinjau dari berbagai sudut pandang dan falsafah dapat melahirkan bermacam penafsiran
44
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
dan definisi.10 Pada masa perang dingin, kedua sistem besar di dunia menggunakan demokrasi sebagai landasan falsafahnya, dan menggunakan demokrasi sebagai atribut. Dari pengalaman, pengamatan, dan bacaan berbagai literatur, diketahui bahwa meskipun kedua pihak mengaku demokrasi sebagai pahamnya, namun praktiknya bertolak belakang. Diketahui pula bahwa demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan, berasal dari Yunani, yaitu pemerintahan (kratos) oleh rakyat (demos). Selama dua ratus tahun sistem pemerintahan ini dijalankan di Atena, sampai negara kota ini diduduki oleh Macedonia. Sejak itu, demokrasi tenggelam dalam sejarah dan baru muncul kembali sekitar tiga abad yang lalu sebagai konsep politik (William, 1976). Lawan demokrasi adalah otokrasi. Seperti juga demokrasi, otokrasi ada banyak varian dan hibridnya. Tidak jarang sistem otoriter menggunakan nama demokrasi. Sebaliknya ada pemerintahan dengan sistem monarki, yang dalam sejarah ingin dilawan dengan demokrasi (misalnya revolusi Prancis), sekarang sudah masuk ke dalam kelompok demokrasi (meskipun dengan monarki diakui bahwa tidak semua orang dilahirkan sama). Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Philip Green (1993): "Democracy in the late twentieth century is not only a contested concept but also a remarkably ambiguous one ...... virtually everyone with a claim to leadership seeks to legitimate that claim in democracy's name". Betapapun luasnya dan sangat beragamnya orang menafsirkan demokrasi, kalau dilihat pada sejarah kontemporer, pergerakan ke arah demokrasi dan kebebasan merupakan perkembangan sejarah yang paling dramatis menjelang akhir abad ini (Haggard dan Webb, 1994). Proses itu di Eropa dimulai dengan Yunani, Portugal, dan Spanyol, pada pertengahan ‘70an. Di Amerika Selatan satu demi satu rezim otoriter berguguran dan, memasuki dasawarsa ‘90an, seluruh kawasan itu telah menerapkan pemerintahan demokrasi, dalam arti pemerintahan yang dipilih oleh rakyat (elected government). Pada tahun ‘80-an, negara-negara di Asia yang sekarang menjadi “macan-macan” ekonomi Asia telah meninggalkan sistem otoriter dan menerapkan sistem demokrasi yang sekarang terus dalam proses kristalisasi. Dan yang paling besar dampaknya pada konstelasi dunia, adalah perubahan di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet. Dalam memasuki dasawarsa ‘90-an, negara-negara yang masih belum menjalankan asas demokrasi mendapat tekanan yang besar, baik dari dalam karena krisis ekonomi yang bertubitubi, berakhirnya perang dingin yang berarti berakhirnya "sponsor" rezim-rezim diktator yang dapat bertahan dengan memainkan kartu-kartu perang dingin, serta tekanan dari negara-negara dan lembaga-lembaga donor yang memberi bantuan. Kini hanya tinggal beberapa negara saja yang masih bertahan dalam sistem pemerintahan yang tidak bersandar pada hak politik rakyat.11 Bangsa Indonesia sejak dini telah mengembangkan paham demokrasi dalam pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaannya. Cita-cita menjadi bangsa yang merdeka, tidak pernah terlepas dari pengakuan bahwa rakyatlah yang memegang kedaulatan. Proklamasi kemerdekaan secara nyata menunjukkan sikap itu, karena para proklamator memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia.
10
Baca antara lain: David Beetham (ed.), Defining and Measuring Democracy, London: Sage Publications, 1994.
11
Menurut Samuel P. Huntington, dari tahun 1974 sampai 1990 ada 30 negara yang mengalami transisi ke arah demokrasi, “Democracy’s Third Wave”, dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (ed.), The Global Resurgence of Democracy, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1993.
45
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Seluruh pernyataan dalam UUD 1945 dilandasi oleh jiwa dan semangat demokrasi. Penyusunan naskah UUD 1945 itu sendiri juga dilakukan secara demokratis. UUD 1945 merangkum semua golongan dan kepentingan dalam masyarakat Indonesia. Pasal pertama UUD 1945 adalah pernyataan hakikat demokrasi negara Republik Indonesia, yaitu bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, kemerdekaan dan demokrasi bagi bangsa Indonesia adalah konsep-konsep yang tidak dapat dipisahkan, yang satu merupakan unsur bagi yang lainnya. Pandangan yang ketiga adalah kesejahteraan yang berkeadilan. Pada tahun-tahun awal negara ini, dalam keadaan menghadapi ancaman dan serangan penjajah serta pengkhianatanpengkhianatan dari dalam, pemerintahan senantiasa diupayakan untuk diselenggarakan secara demokratis. Namun, memang tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk UUD 1945. Bahkan setelah penyerahan kedaulatan, UUD 1945 digantikan oleh konstitusi-konstitusi lain yang berjalan selama hampir 10 tahun. Dalam periode ini pun pemerintahan di Indonesia dijalankan dengan sistem demokrasi, meskipun bukan demokrasi seperti yang dikehendaki UUD 1945. Dalam istilah populer, masa itu dikenal sebagai zaman demokrasi liberal. Setelah menyadari bahwa tidak ada sistem lain yang tepat selain UUD 1945, UUD 1945 kembali dipergunakan. Perangkat-perangkat pemerintahan berdasarkan UUD 1945 didirikan dan dikembangkan, seperti MPR, DPR, DPA, BPK, dan Mahkamah Agung. Pemerintah selanjutnya tidak bertanggung jawab kepada DPR. Namun, dalam praktiknya, ketentuan demokrasi yang diamanatkan UUD 1945, tidak semuanya terpenuhi. Lembaga-lembaganya telah ada, tetapi sistem hubungannya dan budaya politik yang berkembang tidak sesuai dengan kehendak UUD. Baru pada periode berikutnya, yaitu pada masa Orde Baru diupayakan dengan sungguhsungguh untuk menegakkan kehidupan demokrasi yang konstitusional dan berdasarkan hukum. Artinya, lembaga-lembaga dan mekanisme serta hubungan antarlembaga konstitusi itu diatur seperti yang dikehendaki oleh UUD dan ditetapkan oleh MPR (dengan ketetapan-ketetapannya) dan undang-undang. Dalam masa Orde Baru pun demokrasi tidak berjalan sekali jadi. Meskipun prinsipprinsipnya telah ditetapkan sejak awal, tetapi penerapannya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan perkembangan kemajuan dan kesiapan bangsa secara keseluruhan untuk melaksanakannya. Dewasa ini Indonesia jelas berada dalam kelompok negara yang menjalankan demokrasi secara penuh seperti dikehendaki konstitusinya. Namun, disadari bahwa penyelenggaraan demokrasi di sini belumlah sepenuhnya memuaskan dan masih harus terus-menerus disempurnakan. Oleh karena itu, pengembangan demokrasi merupakan bagian dari pembangunan politik, yang merupakan bagian dari pembangunan nasional, yang masih terus berlanjut. Pembahasan mengenai masalah demokrasi ini tidak pernah berhenti, karena dari sejarah, terutama belakangan ini, tampak makin jelas betapa erat kaitan antara kemajuan kehidupan umat manusia dan demokrasi.12 Namun, tali-temali kaitan itu dalam kehidupan ekonomi dan politik yang sebenarnya tidaklah mudah dipahami. Banyak variabel lain yang mewarnai kaitan tersebut. Pengalaman dan banyak literatur menunjukkan betapa demokrasi dipertentangkan dengan stabilitas dan kemajuan ekonomi pada tahun-tahun awal setelah perang dunia kedua. Betapa 12
Sebagai contoh lihat Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed.), Economic Reform and Democracy, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1995.
46
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
banyak pemikiran di negara berkembang mengarah pada perlunya pemerintah yang "kuat" (baca: tidak perlu demokratis), untuk menjamin stabilitas dan membawa kemajuan. Demokrasi yang dianggap sebagai sistem dan manifestasi budaya politik Barat acapkali dicemoohkan sebagai mendatangkan "chaos" dan tidak menunjang pembangunan. Memang beberapa negara berkembang yang menerapkan demokrasi sejak awal, seperti India, banyak menghadapi kesulitan dalam perkembangan ekonominya.13 Namun, perkembangan sejarah menunjukkan sebaliknya, bahwa pertumbuhan yang terjadi tanpa demokrasi tidak mampu berjalan secara berkelanjutan seperti dibuktikan oleh pengalaman negara-negara komunis. Juga pertumbuhan ekonomi dalam sistem yang tidak mengindahkan partisipasi politik rakyat, cenderung menghasilkan kesenjangan, yakni kesenjangan antara yang memperoleh kesempatan dan tidak memperoleh kesempatan dalam sistem yang tertutup. Tidak terjadinya rembesan dalam pertumbuhan seperti yang diharapkan melalui paradigma “trickle down�, adalah karena struktur kekuasaan menghambat terjadinya dampak rambatan dari pertumbuhan ekonomi pada kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, manfaat pertumbuhan ekonomi terbendung dalam struktur yang hanya memberi kesempatan pada lingkup yang terbatas. Lebih jauh lagi, negara-negara industri baru yang kemudian sukses dalam pembangunan ekonominya, adalah negara-negara yang menerapkan asas-asas demokrasi. Di Asia dan Amerika Selatan, polanya serupa, yakni demokrasi dan kesejahteraan berjalan bergandengan. Fenomena itu mungkin dapat dijelaskan secara sederhana seperti berikut. Kemajuan ekonomi, untuk dapat berjalan secara berkesinambungan, harus didukung oleh sumber daya manusia, yang memiliki prakarsa dan daya kreasi untuk memajukan diri. Prakarsa itu hanya tumbuh apabila telah ada emansipasi serta kesempatan yang penuh untuk berpartisipasi dalam proses perubahan. Untuk itu diperlukan kebebasan dan kesempatan untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri setiap individu dan masyarakatnya. Dalam ketiadaan kebebasan dan kesempatan ini, maka prakarsa dan daya kreasi juga menjadi terbatas. Karena manusia adalah makhluk yang utuh, tidak mungkin prakarsa dan daya kreasinya berkembang hanya untuk bagian tertentu dalam dirinya (misalnya ekonominya) dan tidak untuk bagian lain. Dengan sendirinya, demokrasi tidak menghasilkan panacea. Tidak otomatis negara demokrasi maju ekonominya. Tentu banyak faktor-faktor lain yang juga ikut mempengaruhi. India, misalnya, seperti tadi disebutkan, adalah sebuah contoh. India di satu pihak menjalankan demokrasi dalam politik (bahkan yang di sini disebut demokrasi Barat), tetapi di pihak lain untuk jangka waktu yang panjang ekonominya tertutup. Selain itu, sistem sosialnya juga menjadi kendala. Akan tetapi, belakangan ini India menggulirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pembaharuan dan membuka kembali perekonomiannya. Ekonomi India sekarang juga telah bergerak kembali dan punya potensi untuk tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang besar. Juga tidak bisa diabaikan adanya Martinez Paradox, yang diambil dari nama Menteri Perdagangan Nikaragua. Pada masa Somoza (masa diktator), toko-toko penuh, tetapi yang mampu membeli sedikit. Dalam masa demokrasi, toko-toko kosong tetapi setiap orang mampu membeli apa yang ada (Axworthy, 1990). Hal yang sama disampaikan oleh Henry Kissinger pada penulis tentang keadaan di Rusia. Pada zaman komunis toko-toko kosong, tetapi apa yang ada dapat dibeli. Sekarang toko-toko penuh, tetapi tidak ada kemampuan membeli.
13
Lihat pembahasan oleh Larry Diamond, “Three Paradoxes of Democracyâ€?, dalam Larry Diamond dan Marc. F. Plattner (ed.), The Global Resurgence of Democracy, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1993, hlm. 95ď€107.
47
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Dari pengalaman-pengalaman itu memang ada elemen lain yang juga penting, yakni kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tepat. Seperti dikatakan Axworthy: "To thrive, democracy requires growth; and to grow economies needs democracy."
Demokrasi Ekonomi Seperti dikemukakan di atas, sejarah perkembangan ekonomi negara-negara berkembang menunjukkan ada kaitan erat antara sistem politik yang dianut dengan pertumbuhan. Telah disebutkan pula bahwa sistem politik saja yakni demokrasi tidak memadai tetapi harus didukung kebijaksanaan ekonomi yang tepat. Demokrasi tidak berjalan serasi dengan sistem ekonomi yang tertutup. Dalam negara demokrasi biasanya sistem ekonomi yang dianut adalah ekonomi pasar. Di negara-negara Barat kedua sistem ini telah tumbuh dan berkembang serta teruji dan berjalan sekurang-kurangnya selama dua ratus tahun. Keduanya sudah menyatu bahkan dapat dikatakan yang satu mendukung kelahiran yang lain dan keduanya saling memperkuat. Untuk negara-negara berkembang, kedua sistem tersebut tidak selalu dapat berkembang secara alamiah. Oleh karena memang sistem-sistem tersebut lahir dan berkembang dalam budaya barat sehingga seperti telah dicontohkan di atas, tidak semua negara yang menganut paham demokrasi pembangunan ekonominya otomatis berhasil. Banyak pemimpin perjuangan dan pemikir di dunia ketiga yang mencoba mengembangkan sistemnya sendiri, yang berakar pada tradisi, latar belakang sejarah dan kondisi lingkungannya. Pemikir-pemikir ekonomi di Amerika Latin malah mengembangkan teori "melawan" arus pemikiran ekonomi politik dan ekonomi pembangunan yang berkembang di Barat dan dicoba diterapkan di negara berkembang, antara lain melalui bantuan-bantuan teknik dan bantuan ekonomi, yang dikenal dengan "dependency theory". Di Indonesia sendiri pernah diterapkan konsep demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, sosialisme (Marxisme) yang diterapkan di Indonesia, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), “oldefos” (old established forces) dan “nefos” (new emerging forces), dan sebagainya. Sejarah memang akhirnya menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh pada waktu itu tidak memberikan hasil terutama pada kesejahteraan masyarakat, dan juga tidak mengembangkan kehidupan demokrasi. Akan tetapi, harus dipahami adanya keinginan pada waktu itu untuk tidak menerapkan begitu saja konsep-konsep politik dan ekonomi dari luar. Sejarah ekonomi juga telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak otomatis disertai dengan pembagian manfaatnya secara adil. Oleh karena itu pula, berkembang berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan. Maka muncullah teori-teori redistribution with growth, people-centered development, human development, dan sebagainya. Sesungguhnya, para pendiri Republik ini sudah juga melihat berbagai hal tersebut. Mereka berupaya untuk merancang negara ini di atas dasar kepribadian bangsa Indonesia dan tradisi budaya dan sejarahnya. Para pendiri Republik ini tampaknya telah melihat perlunya dicari jalan yang memungkinkan negara ini berkembang maju, tetapi di atas cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, selain pernyataan bahwa secara politik Indonesia menganut paham demokrasi, yaitu kedaulatan adalah di tangan rakyat, juga secara ekonomi Indonesia adalah negara demokrasi. Tampaknya para pendiri Republik kita ingin menyatakan bahwa demokrasi politik saja tidak mencukupi karena harus disertai demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi ekonomi ingin dijamin bahwa negara tidak akan berbelok dari arah yang menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 48
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kata demokrasi ekonomi itu sendiri dalam literatur tidak banyak ditemukan. Mungkin karena dalam pemikiran Barat demokrasi ekonomi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi pasar serta dapat dianggap membatasi hak-hak individu untuk berprakarsa dan mengembangkan diri secara maksimal.14 Demokrasi ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Dengan lebih tegas lagi, demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi yang dilaksanakan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Atau dengan rumusan UUD 1945: "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang". Warna kerakyatan dalam kehidupan ekonomi tersebut adalah sama dengan cita-cita keadilan dalam kehidupan ekonomi. Berbicara mengenai demokrasi ekonomi adalah berbicara mengenai kedaulatan ekonomi rakyat yang berarti berbicara mengenai keadilan ekonomi. Keinginan untuk menampung nilai-nilai kerakyatan atau nilai-nilai keadilan ke dalam kehidupan ekonomi dengan demikian adalah cita-cita yang amat mendasar bagi bangsa Indonesia. Demokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian Indonesia secara tegas dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 33. Namun, tidak hanya pada pasal itu, UUD menunjukkan watak kerakyatan dalam perekonomian bangsa Indonesia yang ingin dibangun. Penjelasan Pasal 2 mengingatkan akan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi. Yang dimaksud dengan golongangolongan ialah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan badan kolektif yang lain. Pasal 23 dalam penjelasannya menyatakan bahwa dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja negara itu ditetapkan dengan undang-undang. Artinya dengan persetujuan DPR. Selanjutnya Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, juga menunjukkan sifat kerakyatan perekonomian Indonesia. Kemudian Pasal 28, 29 Ayat (1), dan 34, seperti dikatakan dalam Penjelasan, menunjukkan hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Pasal 31 Ayat (1) juga sangat penting karena pendidikan sangat mendasar bagi pembangunan bangsa dan bagi upaya membangun kemandirian yang merupakan unsur penting dalam demokrasi. Dengan tidak mengurangi pentingnya pasal-pasal lain tadi, memang pada Pasal 33-lah jelas tertulis pokok-pokok pikiran bangsa Indonesia mengenai demokrasi ekonomi. Di sini tercermin hakikat demokrasi, yaitu dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Unsur pokok dalam perekonomian yang berdasarkan demokrasi bagi bangsa Indonesia adalah asas kekeluargaan. Asas ini tidak searah dengan paham individualisme, juga tidak dengan paham kolektivisme yang diajarkan oleh marxisme. Memang pengarahan yang diberikan oleh UUD bersifat umum karena seperti dikatakan UUD 1945 itu sendiri, undang-undang dasar bersifat supel, untuk menjaga supaya sistem undangundang dasar jangan sampai ketinggalan zaman. Untuk pelaksanaannya amanat UUD itu harus dijabarkan lebih lanjut dan dioperasionalkan dalam berbagai undang-undang. Dalam GBHN 1993, demokrasi ekonomi dijabarkan dalam Kaidah Penuntun sebagai memiliki delapan ciri dan 14
Dengan gagalnya dua sistem ekonomi yang ekstrem ď€kapitalisme demokratis dan sosialisme kolektif oleh negaraď€ di negara-negara barat/Eropa, kini beberapa pakar studi demokrasi mulai melirik beberapa aspek semangat “demokrasi ekonomiâ€?, seperti Paul Hirst, yang mengajukan konsep associative democracy, walaupun tidak sama persis dengan demokrasi ekonomi dalam UUD 1945, yaitu dalam bukunya Associative Democracy, New Forms of Economic and Social Governance, Amherst: The University of Massachusetts Press, 1994.
49
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
harus tidak terperangkap dalam tiga jenis lawannya. Untuk mewujudkan hal-hal ini merupakan tantangan yang tidak pernah akan ada hentinya.
Mewujudkan Demokrasi Ekonomi Pembangunan selama hampir 30 tahun telah menghasilkan banyak kemajuan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nyata. Peningkatan pendapatan berjalan seiring dengan peningkatan taraf kecerdasan yang mencerminkan kemajuan pendidikan dan kesehatan bangsa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang secara berkesinambungan dipelihara secara terus-menerus rata-rata sekitar 7 persen per tahun selama tiga puluh tahun, telah mendorong perubahan ekonomi Indonesia, dari ekonomi yang bersifat agraris ke arah ekonomi industri, dari ekonomi yang bergantung kepada sumber daya alam menuju ekonomi yang dimotori oleh sumber daya manusia, dari ekonomi perdesaan ke ekonomi perkotaan, dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dan dari ekonomi yang didominasi negara menjadi ekonomi yang masyarakat berperan lebih besar. Banyak kemajuan yang patut disyukuri dan dibanggakan. Indonesia bahkan telah berani "menantang" negara-negara di sekitarnya untuk mempercepat terbentuknya perdagangan bebas di wilayah Asia Tenggara ini, dan di wilayah Asia Pasifik yang lebih luas. Bangsa Indonesia merasa cukup memiliki kemampuan untuk bersaing dan mengambil manfaat dari berkembangnya kesempatan yang lebih luas karena berkurangnya hambatan. Indonesia tidak merasa khawatir akan kalah bersaing karena pembangunan selama ini telah menghasilkan pelaku-pelaku ekonomi yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi. Deregulasi yang telah dijalankan selama 12 tahun lebih telah membuat unit-unit usaha Indonesia terbiasa bersaing dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia baik di dalam maupun di luar negeri secara makin efisien sehingga memperkuat daya saing produk-produk dalam negeri. Ini adalah semangat dan sikap sebagai bangsa dalam menghadapi dan mengambil keuntungan dari proses globalisasi. Namun, dalam hiruk-pikuknya upaya menyusun perekonomian yang berdaya saing tinggi, bangsa Indonesia tidak boleh lepas dari arah membangun perekonomian yang berdasarkan demokrasi ekonomi. Dalam mewujudkan demokrasi ekonomi, harus diperhitungkan dan dimanfaatkan kelembagaan-kelembagaan ekonomi dan politik, dan harus sekuat mungkin mengarahkannya ke arah yang dikehendaki.15 Institusi, atau biasa juga disebut pranata, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu aturan main dalam masyarakat, atau seperangkat aturan yang hidup di masyarakat yang membentuk dan melandasi adanya interaksi (tertentu) antar-anggota masyarakat (North, 1990). Dengan pandangan ini institusi yang hidup dalam masyarakat mengandung seperangkat aturan, nilai, sistem, dan mekanisme yang memberikan arahan tentang apa yang boleh, apa yang tidak boleh, dan syarat-syarat apa saja yang memperbolehkan individu melakukan sesuatu. Bangun institusi demikian ditemui dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Bekerjanya institusi yang ada dalam masyarakat mempengaruhi pola serta jalannya kehidupan bermasyarakat. Yang menjadi tantangan adalah apakah institusi sosial itu dapat dibuat
15
Lihat masalah lembaga ekonomi dan politik dalam kaitan aspek dan masalah ekonomi dengan politik yang dibahas secara tajam oleh Donald Wittman, The Myth of Democratic Failure, Why Political Institutions Are Efficient, Chicago: University of Chicago Press, 1995.
50
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
atau dirancang, atau dipengaruhi berfungsinya dalam upaya menuju bentuk masyarakat yang dicita-citakan. Jawaban terhadap hal itu penting karena diketahui bahwa institusi yang tumbuh dan berkembang serta dapat memberi jawaban terhadap berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat yang terus berubah secara dinamis dapat dipastikan akan tumbuh langgeng. Sebaliknya, institusi yang tidak dapat memberi jawaban terhadap permasalahan kehidupan masyarakat dapat dipastikan keberadaannya tidak akan bertahan dan akan lenyap dengan sendirinya. Runtuhnya tatanan dan paham sosialis di banyak negara merupakan contoh nyata karena paham tersebut tidak dapat memberi jawaban atas pemecahan masalah kehidupan masyarakat yang mendasar. Konsep demokrasi ekonomi sebagai dasar perekonomian Indonesia dikehendaki oleh para pendiri bangsa ini untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Konsep tersebut diketengahkan setelah mengkaji praktik baik ekonomi liberal maupun sosialis yang dinilai tidak memberikan jawaban sepenuhnya terhadap fitrah manusia di dunia. Perwujudannya memerlukan institusi, yakni pranata dan pengorganisasian formal, yang benar-benar cocok dan dapat berkembang secara alamiah dalam masyarakat Indonesia. Jelas kiranya bahwa untuk terwujudnya demokrasi ekonomi diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap berbagai tatanan kemasyarakatan Indonesia. Dengan demikian, dapat dihindari terjadinya hambatan institusional, yang menyebabkan tidak berfungsinya (disfunctioning) institusi yang ada, yang pada kondisi yang relatif sama atau dapat diperbandingkan dengan institusi di tempat atau di negara lain ternyata dapat berfungsi dengan baik. Dalam setiap perekonomian, paling sedikit dikenal tiga unsur kelembagaan, yaitu pelaku ekonomi, pasar, dan pengatur atau aturannya. Pelaku ekonomi terdiri atas produsen dan konsumen. Yang membedakan kelembagaan ekonomi dalam suatu sistem ekonomi dengan sistem yang lainnya adalah normanya. Normanorma kelembagaan dalam demokrasi ekonomi harus dapat dijabarkan dari petunjuk UUD 1945 dan GBHN. Secara ringkas perangkat institusional tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, produsen. Berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dikenal tiga bentuk usaha, yaitu badan usaha milik negara (BUMN), usaha swasta, dan koperasi, yang berinteraksi dengan konsumen atau rumah tangga dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa. Semua bentuk usaha tersebut perlu tumbuh secara seimbang, serasi, dan bersama atau bermitra, serta saling mengisi dan saling menunjang, sehingga masing-masing ataupun secara bersama dapat berkembang menjadi kekuatan yang tangguh. Usaha milik negara dapat berperan sebagai perintis usaha, pengelola bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, penyeimbang kekuatan di pasar, dan penunjang pelaksanaan kebijaksanaan negara. Walaupun mempunyai misi tersebut, setiap usaha negara haruslah dikelola secara efisien dan produktif. Sementara itu, koperasi sebagai bangun usaha yang menurut UUD 1945 paling sesuai untuk demokrasi ekonomi, harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan sesuai dengan hakikatnya sebagai kesatuan ekonomi yang berwatak sosial. Sedangkan usaha swasta berperan sebagai penggerak dinamika kegiatan ekonomi nasional. Dalam perkembangannya, skala usaha yang tadinya kecil dan lemah diharapkan dapat menjadi kuat atau bahkan meningkat menjadi skala usaha menengah, yang menengah menjadi besar, dan yang besar bertambah kukuh. Dalam rangka ini, perlu dibedakan antara bangun usaha dan pemilikan. Usaha negara, jelas dimiliki oleh negara. Itu pun dimungkinkan pemilikannya sebagian oleh masyarakat.
51
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Usaha besar yang efisien amat diperlukan untuk memenangkan persaingan, terutama karena dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk pengembangan dan penguasaan teknologi (R&D), tetapi juga untuk biaya penetrasi pasar, seperti promosi, misalnya dalam memasarkan produk-produk yang baru dapat dihasilkan atau memasuki wilayah pasar baru. Namun, usaha besar tidak perlu dan tidak dikehendaki hanya dimiliki oleh mereka yang bermodal besar. Usaha besar harus dapat dimiliki oleh orang banyak. Dengan cara itu, usaha besar tidak perlu bertentangan dengan asas demokrasi dalam bidang ekonomi. Koperasi harus tidak diartikan sebagai bangun usaha yang lemah dan berskala kecil. Ia memang menghimpun perorangan yang secara sendiri-sendiri mungkin lemah, tetapi secara bersama, dengan prinsip kebersamaan dan kekeluargaan, dapat memadu kekuatan sehingga dapat membangun usaha yang kuat, dan dapat menjadi usaha besar. Juga tidak perlu dikaitkan skala usaha dengan keandalannya. Usaha besar tidak selalu andal, bahkan berbagai literatur menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang banyak usaha besar yang bersandar pada fasilitas dan proteksi dari pemerintah. Usaha kecil tidak selalu harus lemah. Ada kegiatan yang memang lebih tepat berskala kecil, tetapi tangguh. Oleh karena itu, yang ingin dibangun adalah dunia usaha yang kukuh dan mandiri, yang dapat menjadi andalan dalam memasuki abad ke-21, dan memenangkan persaingan di pasar dunia. Pengembangan produsen barang dan jasa tidak terlepas pula dari peningkatan produktivitas pekerjanya. Peningkatan produktivitas berkait erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dihasilkan oleh pendidikan, kesehatan, teknologi dan budaya kerja yang menghasilkan pekerja-pekerja yang kuat semangat dan daya kerja serta disiplinnya. Peningkatan produktivitas akan menghasilkan peningkatan pendapatan, yang berarti peningkatan kesejahteraan. Produktivitas juga akan makin meningkat apabila pekerja diikutsertakan dalam proses produksi, bukan hanya sebagai faktor produksi, tetapi sebagai manusia yang mempunyai kepribadian, daya pikir, dan daya nalar. Karena itu, sudah menjadi kebutuhan untuk mengikutsertakan pekerja dalam proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, peran serikat pekerja seperti diamanatkan UUD 1945 teramat penting. Kedua, konsumen. Ketiga pelaku ekonomi utama tersebut di atas secara umum dapat digolongkan dalam kelompok produsen. Di sisi lain adalah lembaga ekonomi yang dapat disebut konsumen. Konsumen merupakan lembaga ekonomi yang penting pula mengingat bahwa pada dasarnya seluruh masyarakat melakukan kegiatan konsumsi di berbagai bidang dan meliputi berbagai jenis kebutuhan. Pilihan seseorang dalam mengonsumsi suatu barang yang dipasarkan ditentukan oleh preferensi konsumen (consumer preference) dan dibatasi oleh penghasilan yang diperolehnya (budget constraint). Preferensi dan penghasilan tiap individu berbeda-beda sehingga pola konsumsinya berbeda-beda pula. Namun, setiap konsumen atau kelompok konsumen akan berupaya mengoptimalkan pola konsumsinya. Kepuasan optimal dapat tercapai apabila konsumen mempunyai pilihan yang luas dan memperoleh informasi yang tepat dan benar tentang berbagai produk yang dipasarkan sehingga menghasilkan pola konsumsi yang betul-betul optimal. Secara makro, gabungan preferensi konsumsi dari setiap individu/rumah tangga akan menentukan pola konsumsi nasional yang pada gilirannya akan menentukan pemanfaatan sumber daya nasional. Pemanfaatan tersebut akan menjadi optimal apabila kebutuhan rakyat banyak memperoleh prioritas. Selanjutnya juga penting untuk mengembangkan sikap mencintai produksi dalam negeri, dan mengutamakan penggunaannya. Hal ini akan mendorong pertumbuhan produksi yang pada gilirannya kembali akan menguntungkan konsumen. Peningkatan produksi dalam negeri akan 52
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
berarti peningkatan pendapatan, yang berarti peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesempatan kerja. Pola konsumsi dalam negeri juga harus diarahkan untuk tidak menjurus pada pola hidup mewah, artinya yang berlebihan dan yang sesungguhnya belum tepat dalam ekonomi yang secara keseluruhan masih serba terbatas. Selain itu, pola hidup mewah juga tidak menguntungkan bagi kesetiakawanan sosial yang merupakan unsur penting dalam memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, menggairahkan pola konsumsi dalam negeri agar menunjang kegiatan produktif dan tidak semata-mata konsumtif, berperan pula dalam usaha membangun perekonomian yang sehat, yang artinya dapat memanfaatkan sumber daya tersedia dan mengembangkan potensi yang ada secara efisien. Ketiga, pasar. Kenyataan menunjukkan bahwa pasar merupakan lembaga perekonomian yang penting. Negara yang paling sosialis pun, bahkan pada masa puncak jayanya, meskipun di dalam negerinya tidak menerapkan sistem pasar, dalam memasuki pasar internasional, untuk mengekspor hasil produksinya dan mengimpor yang dibutuhkannya, mengikuti aturan pasar. Mekanisme pasar ini (yang oleh Adam Smith disebut tangan yang tidak tampak ď‚ž invisible hand) merupakan proses interaksi para pelaku ekonomi dan menentukan volume produksi barang dan jasa serta harga menurut hukum permintaan dan penawaran. Pandangan mengenai pasar yang ideal adalah yang dapat menjadi peralatan yang efisien dan berkeadilan dalam pengalokasian sumber daya, dalam distribusi barang dan jasa. Meskipun adanya suatu mekanisme alami yang disebut pasar sulit untuk dibantah, pasar yang ideal itu tidak pernah ada.16 Keadaan yang ideal itu hanya dapat terjadi apabila para pelaku ekonomi seimbang kekuatannya termasuk, dan terutama, dalam kehidupan modern ini, dalam penguasaan informasi. Oleh karena itu pada waktu berbicara mengenai ekonomi pasar, seperti yang ingin dikembangkan di Indonesia sejak awal Orde Baru dan makin diperkuat pada dasawarsa terakhir ini, harus diberikan catatan-catatan. Memang dalam perekonomian dunia tidak dapat dihindari kecenderungan ke arah pasar bebas, yakni sistem perdagangan internasional tanpa hambatan, baik hambatan yang dibuat oleh negara ataupun oleh kelompok negara. Dalam hal ini pilihannya sempit sekali, ikut dan mengambil manfaatnya, atau tidak ikut dan ditinggalkan oleh masyarakat dunia dalam kegiatan perdagangan. Namun, sesungguhnya di dalam negeri tersedia pilihan yang lebih luas. Artinya, setiap negara memiliki kedaulatan, termasuk kedaulatan ekonomi. Jelas kedaulatan ekonomi tidak dapat dilepaskan kepada mekanisme pasar karena negara ini dibangun dengan serangkuman cita-cita yang jelas isi dan kerangkanya. Di pihak lain, berlakunya hukum alam dalam ekonomi, yaitu hukum permintaan dan penawaran, tidak dapat diabaikan. Sejarah perkembangan ekonomi juga menunjukkan adanya korelasi erat antara perkembangan kegiatan ekonomi dengan mobilitas barang dan jasa. Makin
16
Lihat antara lain Paul Hirst. Associative Democracy: New Forms of Economic and Social Governance, Amherst: The University of Massachussets Press, 1994; dan Donald Wittman. The Myth of Democratic Failure: Why Political Institutions Are Efficient, Chicago: The University of Chicago Press, 1995.
53
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kecil hambatannya, berarti makin lancar, dan berarti pula makin besar kegiatan ekonomi. Makin besar kegiatan ekonomi makin besar pula kesejahteraan yang dapat dinikmati. Di pihak lain, sudah lama diketahui bahwa mekanisme pasar itu tidak mampu menghasilkan kesejahteraan yang berkeadilan. Pasar yang bebas cenderung akan memperkuat kedudukan yang telah kuat, sehingga menjurus ke arah peran serta dan penguasaan pasar oleh jumlah orang yang terbatas. Penguasaan pasar seperti itu merugikan bagi kepentingan rakyat banyak. Kegagalan pasar itu menyebabkan adanya kebutuhan untuk melakukan koreksi-koreksi dengan intervensi-intervensi dari pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan publik, yang sebenarnya dalam teori aslinya tidak dikehendaki. Dengan intervensi itu diharapkan ekonomi pasar dapat terkendali, dan dapat diarahkan menuju tujuan yang ingin dicapai. Di Amerika, misalnya, intervensi itu diwujudkan dalam berbagai peraturan seperti anti trust law. Intervensi pemerintah itu memperoleh dukungan kuat dengan penerapan teori Keynes dalam pengelolaan ekonomi, dengan memanfaatkan instrumeninstrumen fiskal dan moneter. Kemudian, kepada mereka yang tertinggal, termasuk kaum minoritas (ethnic groups) diberikan bantuan khusus, misalnya melalui small business act. Dengan demikian, sebenarnya prinsip pengendalian pasar telah lama dipraktikkan oleh negara-negara yang dari semula menyatakan diri menganut paham ekonomi pasar bebas. Indonesia sudah merasakan "limbah" dari upaya menegakkan sistem pasar. Dalam dua puluh lima tahun PJP I, upaya besar-besaran telah dilakukan untuk membangun secara berkeadilan. Hasilnya tampak jelas, antara lain, dari pengurangan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam sepuluh tahun terakhir, setelah deregulasi dilancarkan, pertumbuhan ekonomi memperoleh dorongan baru, dengan makin cepatnya pertumbuhan produksi dan ekspor sektorsektor nontradisional, khususnya sektor manufaktur. Dalam proses itu, diciptakan kesempatan kerja di sektor industri dengan produktivitas yang lebih tinggi. Hasilnya tingkat kesejahteraan yang meningkat pula. Namun, di pihak lain, dengan kesempatan yang terbuka luas itu yang dapat memanfaatkan relatif sedikit sehingga secara relatif dirasakan kesenjangan justru makin melebar. Selain itu, dirasakan bahwa pemanfaatan sumber daya juga tidak merata, yakni pemanfaatan lahan, kredit, dan sebagainya. Upaya telah banyak dilakukan untuk mengatasi kesenjangan itu, yakni melalui berbagai program kredit, program-program Inpres, termasuk yang paling baru program IDT, pembangunan prasarana di perdesaan dan kawasan-kawasan di luar Jawa, pelarangan pemanfaatan lahan beririgasi teknis untuk penggunaan lain di luar pertanian, dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar. Karena kalau semata-mata mengikuti hukum pasar tentunya tidak boleh ada pembatasan terhadap pemanfaatan sumber daya, yang dengan sendirinya (secara alami) akan mencari yang paling efisien, artinya dengan pengorbanan atau ongkos yang sama menghasilkan yang sebesar-besarnya, menurut ukuran-ukuran swasta. Pengendalian terhadap pasar ini harus dilanjutkan, dan tidak boleh dikendorkan sematamata karena ingin mengikuti arus liberalisasi perdagangan. Pengendalian itu memang harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum pasar karena sulit akan berhasil. Pengendalian harus dilakukan dengan menggunakan perangkat-perangkat kebijaksanaan yang ada pada pemerintah secara bijaksana. Perangkat kebijaksanaan ekonomi itu harus difungsikan untuk mempengaruhi permintaan dan penawaran dengan tujuan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan ekonomi dan proses pembangunan bangsa Indonesia agar terarah kepada pencapaian tujuan yang diinginkan. Pengendalian ekonomi makro dilakukan melalui kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran yang tepat. Kebijaksanaan ekonomi mikro 54
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
diarahkan pada penyempurnaan bekerjanya mekanisme pasar agar tercapai pemanfaatan sumber daya yang optimal dan terciptanya harga-harga secara wajar sehingga menguntungkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme pasar terkendali tersebut, ketidaksempurnaan pasar, baik karena para pelaku ekonomi tidak seimbang kekuatannya, maupun karena para pelaku ekonomi melakukan persaingan dengan cara-cara yang tidak sehat, harus dapat diatasi. Selain itu, melalui mekanisme pasar dimungkinkan kebijaksanaan untuk mencegah agar kebebasan permintaan dan penawaran tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih tinggi. Intervensi pemerintah hanya berkisar pada sumber daya dan komoditi yang menguasai hajat hidup orang banyak, selain mengusahakan agar pasar tidak distortif. Di dalam sistem Demokrasi Ekonomi Indonesia, sasaran pembangunan ditujukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Untuk itu, monopoli pada dasarnya tidak dikehendaki, kecuali apabila betul-betul diyakini bahwa hanya dengan cara itu kepentingan rakyat banyak akan terpenuhi atau terlindungi. Pangsa pasar yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari keseluruhan pangsa pasar haruslah relatif kecil sehingga tidak dapat menentukan harga. Harga pasar seharusnya terbentuk melalui interaksi yang terbuka antara permintaan konsumen dan penawaran produsen. Demokrasi ekonomi melarang sistem persaingan liberalis, yang menumbuhkan penindasan dan penghisapan terhadap manusia atau bangsa lain. Akan tetapi, kompetisi positif dan konstruktif untuk meninggikan mutu barang dan jasa, serta meningkatkan efisiensi, tetap diperlukan. Keempat, Pemerintah. Tanggung jawab pengendalian pasar itu sepenuhnya berada pada negara. UUD '45 jelas mengamanatkan tanggung jawab negara untuk mencapai tujuan nasional. Dalam bidang eksekutif aparatur negara adalah pemerintah. Seperti sebagian telah terurai di atas, pemerintah dengan aparat birokrasinya sangat penting dan menentukan bagi upaya mewujudkan tatanan perekonomian yang berlandaskan demokrasi ekonomi. Dalam hubungan ini dapat disebutkan sekurang-kurangnya empat bidang yang menduduki fungsi/peran strategis dari pemerintah dalam upaya penjabaran demokrasi ekonomi secara operasional. Peran strategis yang pertama adalah penegakan hukum, dan ini adalah fungsi yang paling mendasar dari negara. Pembahasan mengenai demokrasi ekonomi dalam artian yang penuh tidak dapat dilakukan apabila sumber keadilan yang paling mendasar sebagai hasil ciptaan peradaban manusia, yaitu keadilan hukum, belum dapat ditegakkan atau dilaksanakan bagi setiap warga masyarakat. Keadilan hukum adalah landasan bagi keadilan ekonomi. Hukum yang adil adalah prasyarat dari aturan main yang adil. Aturan main yang adil adalah prasyarat dari proses kegiatan ekonomi yang adil. Dan proses kegiatan ekonomi yang adil adalah prasyarat dari pembagian manfaat yang adil. Dengan demikian, jelas bahwa salah satu unsur yang paling mendasar dalam program untuk melaksanakan demokrasi ekonomi adalah program pembaharuan di bidang hukum. Dalam arti sempit, bidang hukum yang langsung terkait dengan kegiatan ekonomi adalah bidang hukum pemilikan aset termasuk di dalamnya hukum yang memberi kepastian hak milik dan hukum yang membatasi hak milik secara kualitatif maupun kuantitatif, hukum yang mengatur transaksi ekonomi, dan proses ekonomi pada umumnya. Pembaharuan hukum untuk demokrasi ekonomi dapat dimulai dari bidang-bidang ini, tetapi tidak berhenti di situ. Peran strategis yang kedua dari pemerintah adalah menciptakan persaingan yang sehat. Apabila disepakati bahwa titik tolaknya adalah sistem ekonomi yang berlandaskan pada demokrasi ekonomi, maka ini juga berarti bahwa pasar tetap digunakan sebagai mekanisme yang mengatur kehidupan ekonomi. Mekanisme pasar pada dasarnya dapat digunakan untuk mencapai kemakmuran bersama. Namun, ada syarat penting yang harus dipenuhi, yaitu iklim persaingan 55
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
yang sehat. Adanya iklim persaingan yang sehat mencerminkan adanya keadilan dalam kesempatan untuk berkiprah dalam kehidupan ekonomi. Mekanisme pasar tanpa suasana persaingan yang sehat hanya menghasilkan ketidakadilan dan tidak optimalnya penggunaan sumber daya ekonomi yang terbatas. Persaingan yang tidak sehat tersebut dapat timbul apabila terdapat pemusatan kekuatan ekonomi dalam berbagai bentuk, seperti monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan. Oleh karena itu, adalah tugas pemerintah untuk mengupayakan terwujudnya kekuatan yang seimbang di antara pelaku ekonomi. Lebih lanjut juga disadari bahwa di dalam mekanisme pasar itu sendiri tidak ada unsurunsur yang secara inheren dapat menjamin adanya, terpeliharanya, atau berkembangnya sasaran persaingan yang sehat. Mekanisme pasar dengan iklim persaingan yang sehat pun tidak dapat secara otomatis memelihara dirinya sendiri. Hanya negara yang dapat menjamin adanya, terpeliharanya, atau berkembangnya iklim persaingan yang sehat. Dengan demikian, penjabaran demokrasi ekonomi harus juga mencakup upaya untuk memperkuat kemampuan negara dalam memelihara iklim persaingan yang sehat. Upaya ini dapat dilaksanakan melalui berbagai kebijaksanaan ekonomi maupun melalui jalur hukum dan perundang-undangan. Cara mana yang dipilih tergantung pada cara mana yang lebih efektif, lebih efisien, dan lebih menjamin tercapainya tujuan tersebut. Peran strategis yang ketiga adalah peranan redistribusi. Peranan ini sangat penting karena, seperti telah disebutkan terdahulu, mekanisme pasar tidak dapat menjamin adanya keadilan dalam pembagian dari manfaat atau hasil dari kegiatan ekonomi. Disebutkan tadi bahwa mekanisme pasar yang disertai dengan iklim persaingan yang sehat berarti adanya keadilan dalam kesempatan. Namun, terbukanya kesempatan saja masih tetap tidak dapat menjamin adanya distribusi "kue nasional" yang dianggap adil oleh masyarakat. Distribusi "kue nasional" akan menjadi lebih adil jika kekuatan dan kesempatan berbagai pelaku ekonomi lebih kurang seimbang secara wajar. Ini berarti harus ada pemihakan kepada pelaku ekonomi yang lemah kemampuannya, agar dapat berkembang sehingga mampu bersaing. Ini berarti pula bahwa kebijaksanaan dan pelaksanan redistribusi harus sekaligus memperkuat kemampuan lapisan ekonomi rakyat untuk bersaing dan memperoleh kesempatan. Hal ini sangat penting dalam dunia yang semakin terbuka dan penuh persaingan. Untuk mewujudkan demokrasi ekonomi, kemampuan negara untuk melaksanakan redistribusi hasil-hasil kegiatan ekonomi harus makin diperkuat. Pelaksanaan sistem perpajakan yang adil, kebijaksanaan pengeluaran pemerintah yang mendukung tujuan-tujuan pemerataan serta kegiatan yang menyangkut kepentingan rakyat secara langsung adalah upaya-upaya yang perlu diperkuat. Melalui fungsi ini negara mengarahkan aliran sumber daya untuk mengatasi kesenjangan, baik antardaerah, antarsektor, atau antargolongan pendapatan, dan mendemokratiskan kehidupan ekonomi. Peran strategis yang keempat dalam rangka menunjang tercapainya demokrasi ekonomi adalah di bidang pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Peran ini pada hakikatnya terkait dengan berbagai peran di atas, dan merupakan salah satu perwujudan dari peranan redistribusi tersebut di atas. Namun, karena pentingnya ada baiknya disebutkan secara tersendiri. Peran negara dalam menyediakan pelayanan-pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, air minum, perbaikan gizi, perumahan/permukiman serta kesempatan kerja, dan lainnya bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tertinggal jauh di belakang dalam proses pembangunan, amatlah penting. Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat harus merupakan bagian pula dari upaya memperkuat kemampuan produktif rakyat sehingga ekonomi rakyat dapat berkembang dengan kekuatan yang bersumber di dalam dirinya. Dengan kata lain, memberdayakan untuk membangun keswadayaan dan kemandirian perekonomian rakyat. 56
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Rakyat Berbicara mengenai demokrasi ekonomi adalah berbicara mengenai kedaulatan rakyat dalam perekonomian, yang berarti berbicara mengenai berbagai dimensi ekonomi politik yang berfokus pada cita-cita keadilan dan kemajuan ekonomi rakyat, juga berbicara mengenai posisi dan peran negara dan administrasi publik dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Keinginan untuk mewujudkan nilai-nilai kerakyatan atau nilai-nilai keadilan ke dalam kehidupan ekonomi adalah cita-cita yang amat mendasar bagi bangsa Indonesia, sehingga menempatkan sistem demokrasi ekonomi dalam konstitusi negaranya. Hal ini berarti upaya untuk mewujudkan demokrasi ekonomi sebagai wahana efektif untuk mencapai kemajuan ekonomi yang berkeadilan, harus menjadi komitmen seluruh lembaga ekonomi politik dan administrasi publik. Komitmen sistem Demokrasi Ekonomi Indonesia adalah pada keberpihakan yang dapat meningkatkan peran rakyat dalam perekonomian, dan kesejahteraan rakyat dalam kehidupan nyata. Berhubungan dengan itu, kelembagaan demokrasi ekonomi tidak dapat dikembangkan melalui pengembangan paham individualisme atau kolektivisme yang berasal dari Barat, karena paham kapitalisme liberal maupun komunisme adalah paham-paham yang lahir di dunia Barat. Demokrasi Ekonomi Indonesia berlandaskan pada kekeluargaan dan kebersamaan, mengandung ajaran-ajaran pengembangan individu dan masyarakat secara serasi, selaras, dan seimbang.17 Ekonomi rakyat diartikan sebagai ekonomi usaha kecil, masih lemah dan kurang tangguh untuk menghadapi dan memperoleh manfaat dari ekonomi yang terbuka. Selama ini lapisan ekonomi rakyat, meskipun mencatat kemajuan-kemajuan, cukup jauh tertinggal dan dapat makin tersisih jika harus dihadapkan pada persaingan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar. Upaya mengatasi kesenjangan harus dilakukan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya. Untuk menumbuhkan perekonomian nasional yang kuat maka perekonomian rakyat harus kukuh dan menjadi bagian integral dari perekonomian nasional. Dengan dikukuhkannya hak demokrasi ekonomi rakyat, maka rakyat akan lebih diteguhkan sebagai subjek pembangunan, bukan sematamata objek pembangunan. Ulasan lebih lanjut tentang ekonomi rakyat akan disajikan pada topik selanjutnya.
2. Pemberdayaan Masyarakat: Strategi Pembangunan yang Berakarkan Kerakyatan Inti uraian dalam topik ini, sesuai dengan judulnya, mencakup dua pokok persoalan yang amat penting dalam pembangunan nasional, yakni pertama, konsep pembangunan yang berakar kerakyatan, dan kedua, pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi dalam menjalankan pembangunan yang berakarkan kerakyatan.
17
Nilai-nilai kerakyatan dan keadilan yang dimaksudkan di sini sebenarnya juga termasuk hak-hak asasi manusia (HAM), namun nilai HAM yang dimaksud tidaklah selalu sama, seperti pengertian HAM misalnya, yang dibahas oleh Sara Steinmetz, Democratic Transisition and Human Rights, Perspective on U.S. Foreign Policy, New York: State University of New York Press, 1994.
57
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pemikiran mengenai konsep-konsep tersebut relatif baru dalam kajian pembangunan dari berbagai disiplin ilmu dan sekarang pun masih terus berkembang. Di Indonesia, kepustakaan mengenai hal-hal tersebut dirasakan masih sangat kurang. Berbagai pemikiran yang ada acapkali hanya dilandasi oleh pernyataan-pernyataan normatif, yang jika tidak dikembangkan sebagai konsep yang dapat dioperasionalkan, tidak banyak artinya. Generasi ini memiliki tanggung jawab sejarah ď€dan tanggung jawab moralď€ untuk secepatnya berusaha menjabarkan nilai-nilai yang menjadi dambaan pada waktu negara ini diproklamasikan ke dalam konsep-konsep yang dapat dioperasionalkan. Dengan latar belakang pemikiran itulah topik ini disusun. Menjalankan dan mewujudkan amanat konstitusi bukan masalah yang sederhana. Tidak keseluruhan upayanya dapat dicakup dalam satu bab atau dalam satu buku saja. Apa yang akan dibahas dalam topik ini dan topik-topik lainnya hanyalah sekelumit saja dari upaya mencari jawaban terhadap tantangan besar yang berada di pundak setiap warga negara Indonesia. Namun, jika upaya seperti ini dikembangkan dan dilanjutkan secara konsisten dan intensif oleh berbagai kalangan dan di berbagai kesempatan, besar harapan dapat tersusun kehidupan bangsa dan negara dalam bangunan seperti yang dicita-citakan pada waktu Republik ini didirikan.
Pembangunan yang Berakarkan Kerakyatan Tinjauan latar belakang Seperti telah dikemukakan di atas, pemikiran-pemikiran mengenai pembangunan yang berorientasi kerakyatan tidak terlalu banyak dihasilkan di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh karena memang pemikiran-pemikiran mengenai pembangunan di Indonesia berasal dari lembaga-lembaga dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di dunia Barat, yang untuk jangka waktu yang panjang didominasi oleh teori-teori yang bersumber pada hegemoni pasar, dan bahwa rakyat adalah suatu konsep yang abstrak, dan lebih merupakan objek atau sasaran. Pada suatu titik dalam sejarah perkembangan ekonomi bercabang dua (dengan berbagai variasinya), yakni mazhab ekonomi kapitalis liberal dan sosialis. Bentuk ekstrem aliran sosialis ini dikembangkan oleh Marx dengan komunismenya. Sejarah menunjukkan bahwa yang terakhir ini, setelah dipraktikkan selama lebih dari setengah abad di sejumlah besar negara dan mencakup bagian besar dari umat manusia, terbukti gagal memenuhi apa yang dijanjikan dalam konsep-konsepnya, dan sekarang sudah ditinggalkan secara dramatis. Bagi banyak orang, seolah-olah perkembangan besar itu menunjukkan bahwa konsep yang berkembang di dunia Barat adalah yang terbukti benar. Benar dalam arti sesuai dengan hukum alam, seperti halnya hukum gravitasi. Berarti pula konsep-konsep pembangunan yang dikembangkan oleh berbagai teori ekonomi politik di dunia Barat itulah yang menjadi pegangan strategi pembangunan di negara-negara berkembang. Padahal konsep-konsep pembangunan itu pun mengalami proses perubahan. Konsep awal didasari oleh pandangan-pandangan mengenai pertumbuhan, yang ukuran utamanya adalah pendapatan per kapita, yang diharapkan akan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya.
58
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pertumbuhan, atau resource generation, itu memang terjadi, tetapi perjalanan pembangunan sejak akhir Perang Dunia Kedua sampai akhir dasawarsa ‘60-an menunjukkan bahwa hasilnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil manusia, sedangkan mayoritas rakyat di negara berkembang kurang menikmati cucuran hasil pembangunan seperti yang diharapkan itu. Bahkan yang terjadi di banyak negara berkembang, pembangunan justru mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungkan (privileged) sehingga akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin. Oleh karena itu, ketika dunia memasuki dasawarsa ‘70-an berkembanglah berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan. Meluaslah cara pandang bahwa, dalam memecahkan problematika kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, selain upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga perlu ada pembaruan sosial. Oleh karena itu, dalam upaya pembangunan, kebijaksanaan ekonomi dan sosial harus seimbang dan terpadu. Dalam dasawarsa ini, tingkat pertumbuhan yang tinggi tetap diyakini akan dapat mendorong pencapaian tujuan-tujuan sosial seperti penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Namun, pertumbuhan ekonomi saja disadari tidak cukup, karena harus didukung pula oleh meningkatnya kualitas sumber daya manusia, keseimbangan pembangunan antardaerah, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pengendalian pertambahan penduduk. Pada sekitar masa itu pula, ke dalam konsep-konsep pembangunan di Indonesia, dimasukkan Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Namun, ketika memasuki dasawarsa ‘80-an, dunia diancam berbagai krisis, seperti resesi global dan krisis utang negara-negara berkembang, sehingga masalah kesenjangan dan kemiskinan kembali menjadi terabaikan (Kirdar dan Silk, 1995). Pertumbuhan kembali dipacu, dan pembangunan industri makin dikedepankan sehingga telah ikut mendorong terjadinya arus urbanisasi. Sektor pertanian menjadi makin tertinggal, dan nilai tukarnya makin menurun. Akibatnya, terjadi marjinalisasi di wilayah perdesaan, disertai dengan pengangguran terbuka di wilayah perkotaan. Pada masa itu pula ufuk globalisasi mulai tampak disertai dengan tumbuhnya kekuatankekuatan ekonomi swasta yang dihasilkan oleh dorongan proses industrialisasi, baik berdasarkan strategi substitusi impor pada tahun ‘70-an, maupun strategi penggalakan ekspor pada tahun ‘80an. Dalam proses ini beberapa negara telah berhasil melewati batas keterbelakangan, dan memasuki kelompok negara industri baru. Di negara-negara itu, pembangunan sosial telah berjalan seiring dengan transformasi struktur perekonomiannya sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan sosial yang cukup merata. Akan tetapi banyak negara lainnya makin tertinggal jauh di belakang. Banyak pula yang mengalami kemandegan bahkan kemunduran. Di antara dua kelompok negara berkembang tersebut ada kelompok antara, yaitu negaranegara yang dapat mengikuti arus pertumbuhan itu, tetapi pertumbuhan itu masih terpusat pada lapisan masyarakat atau wilayah tertentu sehingga kesenjangan masih merupakan masalah. Indonesia dapat ditempatkan dalam kelompok antara ini.
59
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kondisi memasuki PJP II Seperti dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi yang pesat secara terus-menerus selama 25 tahun PJP I telah berhasil menaikkan peringkat Indonesia dari negara yang termasuk berpenghasilan paling rendah pada awal PJP I menjadi negara berpendapatan menengah. Selain itu, jumlah orang miskin juga telah jauh berkurang, dari 70 juta atau sekitar 60 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 26 juta atau kurang dari 14 persen memasuki PJP II. Indonesia menjadi salah satu negara yang dinilai berhasil dalam program pembangunannya. Namun, ada pula sisi lain dari gambaran itu, yang harus diakui dan tidak boleh ditutupi. Meskipun jumlahnya terus berkurang, laju penurunan jumlah penduduk miskin makin lambat dan lokasinya makin terpusat pada kantung-kantung kemiskinan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah kesenjangan, secara mendasar, masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Dari Sensus Penduduk tahun 1990 diketahui 3,2 persen angkatan kerja menganggur, sekitar 36,6 persen dari jumlah penduduk yang bekerja, bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau setengah menganggur, dan lebih dari 77 persen pekerja hanya berpendidikan sampai sekolah dasar. Selain itu, lebih dari 97 persen unit usaha pada tahun 1992 beromset kurang dari Rp50 juta per tahun. Satu di antara dua (51,6 persen) rumah tangga petani adalah petani gurem, yang menguasai lahan pertanian kurang dari setengah hektare. Jumlah petani gurem ini bukannya berkurang, tetapi bahkan bertambah. Rakyat di daerah perdesaan dan di kawasan-kawasan tertinggal, seperti di banyak bagian kawasan timur Indonesia dan juga di beberapa bagian kawasan barat, hidup di dunia lain yang sangat terbelakang dan sangat jauh dari kehidupan modern. Dari sisi distribusi pendapatan masyarakat yang diukur dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga, nampak bahwa tingkat pengeluaran masyarakat berpendapatan tinggi meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran kelompok penduduk berpendapatan rendah. Data susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga secara riil untuk 40 persen penduduk terendah pendapatannya per bulan dalam periode 1984ď€1993 adalah 3,8 persen per tahun, sedangkan ratarata pengeluaran konsumsi rumah tangga secara nasional selama kurun waktu yang sama meningkat 4,8 persen per tahun. Dengan membandingkan angka-angka itu dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun pembangunan telah banyak menunjukkan keberhasilan, terdapat kesenjangan pendapatan antargolongan penduduk yang dirasakan cenderung makin lebar. Masalah kesenjangan ini harus dihadapi dalam PJP II. Padahal dalam PJP II bangsa Indonesia sudah memasuki zaman dunia baru, yang berbeda dengan yang dikenal selama ini. Zaman baru ini akan ditandai oleh keterbukaan dan persaingan, yang peluangnya belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh golongan yang ekonominya lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan makin melebarnya kesenjangan. Iwan Jaya Azis dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menunjukkan pula kerisauannya bahwa perdagangan bebas tidak harus bermanfaat terhadap perbaikan distribusi pendapatan (Azis, 1996). Padahal bangsa ini memikul tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai salah satu tujuan membuat negara yang merdeka. Inilah tantangan yang dihadapi sekarang, dan salah satu jawabannya adalah kembali kepada fitrah ekonomi bangsa ini sendiri seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.
60
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi Dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pembangunan ekonomi teramat penting. UUD 1945 juga menempatkan pasal 33 yang jelas merupakan arah bagi susunan perekonomian bangsa di bawah judul kesejahteraan sosial. Hal ini menunjukkan kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan, dan untuk membangun kesejahteran sosial, sistem ekonomi yang terbentuk sangat menentukan. Banyak konsep-konsep pembangunan di negara berkembang menemui kegagalan karena memisahkan pembangunan sosial dari pembangunan ekonomi. Sektor-sektor yang selama ini dikelompokkan dalam bidang sosial seperti pendidikan dan kesehatan, menjadi terabaikan dan terkalahkan oleh sektor-sektor dalam kelompok ekonomi, seperti pembuatan jalan. Dalam sistem pembangunan nasional pun kategorisasi itu diikuti sehingga ada kesan bahwa "sektor-sektor sosial" kurang diperhatikan. Padahal terbukti bahwa keberhasilan negara-negara industri baru, terjadi justru karena penekanan yang diberikan pada bidang pendidikan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada umumnya. Dalam perkembangan ilmu ekonomi pun ditemukan bahwa ada perbedaan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat penambahan stok modal dan angkatan kerja. Perbedaan ini, yang merupakan faktor residual yang kemudian dinamakan total factor productivity (TFP) dan dijelaskan sebagai hasil dari peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi. Peningkatan produktivitas ini diperoleh dari perubahan teknologi dan peningkatan kualitas SDM. Atas dasar itu, berkembanglah konsep mengenai modal manusia (human capital), yang antara lain dipelopori oleh pemenang hadiah Nobel tahun 1992, Gary Becker. Investasi dalam modal manusia, yakni dalam pendidikan, pelatihan, dan kesehatan, berdasarkan berbagai penelitian menunjukkan telah menghasilkan sumber pertumbuhan yang tidak kalah pentingnya dengan investasi pada modal fisik. Dengan latar belakang pengetahuan itu, dikembangkan pemikiran-pemikiran mengenai pembangunan yang berakarkan kerakyatan.
Pembangunan yang berakarkan kerakyatan Kalau UUD 1945 dibaca dengan baik, dipahami sejarah penyusunannya, serta dipelajari latar belakang pemikiran para penyusunnya, jelas bahwa Republik ini disusun berdasarkan semangat kerakyatan. Dalam bidang ekonomi tegas diamanatkan Demokrasi Ekonomi. Dalam bab sebelum ini telah dikemukakan pandangan bahwa Demokrasi Ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Dengan lebih tegas lagi, demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atau dengan rumusan UUD ‘45: "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang". Kemajuan yang ingin diupayakan melalui pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi, haruslah meningkatkan kemakmuran atas dasar keadilan sosial, atau menurut kata-kata UUD ‘45: "kemakmuran bagi semua orang!" Arah perkembangan ekonomi seperti yang dikehendaki oleh konstitusi itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan tersebut mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Masalah utamanya, seperti telah ditunjukkan di atas, adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang 61
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
terbuka dalam proses pembangunan. Dengan proses pembangunan yang terus berlanjut, justru ketidakseimbangan itu dapat makin membesar yang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan. Dalam upaya mengatasi tantangan itu diletakkan strategi pemberdayaan masyarakat. Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain, memberdayakannya. Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Jadi, partisipasi rakyat meningkatkan emansipasi rakyat.
Pemberdayaan Masyarakat Memadukan pertumbuhan dan pemerataan Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity�. Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Donald Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai "incompatible or antithetical". Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap "zero-sum game" dan "trade off". Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), "the pattern of growth is just as important as the rate of growth". Yang dicari adalah seperti dikatakan Ranis, "the right kind of growth", yakni bukan yang vertikal menghasilkan "trickle-down", seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horizontal (horizontal flows), yakni "broadly based, employment intensive, and not compartmentalized" (Ranis, 1995). Hasil pengkajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International Fund for Agriculture Development (IFAD) menunjukkan bahwa dukungan bagi produksi yang dihasilkan masyarakat di lapisan bawah telah memberikan sumbangan pada pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih besar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pula 62
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
(Brown, 1995). Hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya. Pengalaman Taiwan menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan beriringan. Taiwan adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah ditinjau dengan berbagai ukuran (tahun 1987, Gini rationya 0,30, termasuk yang terendah di dunia), tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi yang dapat dipeliharanya secara berkelanjutan (Brautigam, 1995). Konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningatan kualitas sumber daya manusia.
Pengertian pemberdayaan Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik seperti di atas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti kekeluargaan, kegotongroyongan, dan bagi bangsa Indonesia, kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya itu harus diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern ď€seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawabanď€ adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya.
63
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis on autonomy in the decision-marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning�.
Bias-bias Pemikiran tentang Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia Barat. KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tenteram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan. Bias pertama adalah adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan itu ialah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang demikian. Bias kedua adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat. Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia, dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah. Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang, di satu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam tahap perkembangannya ini. Di lain pihak, pendekatan pembangunan terlalu mengabaikan potensi teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi impor. Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang di kalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat lembaga-lembaga masyarakat di lapisan bawah itu kurang dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya. Bahkan 64
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
justru terdapat kecenderungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat. Bias keenam, adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Ini tercermin pada reaksi pertama terhadap program Inpres Desa Tertingal (IDT) yang meragukan apakah tepat masyarakat miskin dipersilakan memilih sendiri bagaimana memanfaatkan dana bantuan yang diperolehnya. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai objek dan bukan subjek pembangunan. Bias ketujuh, berkaitan dengan di atas, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya haruslah bersifat paternalistik seperti memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan. Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi. Bias kedelapan, adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya ICOR, diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) yang lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknis dan tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan. Bias kesembilan adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan perdesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besar-besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra dengan petani dan usaha-usaha kecil di sektor pertanian dan perdesaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki risiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian dan usaha kecil di perdesaan. Bias kesepuluh, berkaitan dengan di atas, adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana. Kecenderungan menabung pada rakyat, yang cukup tinggi di Indonesia seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan PDB (di atas 30 persen, termasuk salah satu tingkat tertinggi di dunia), acapkali terasa tidak terimbangi dengan kebijaksanaan investasi melalui sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar, dan sebagian cukup besar di antaranya untuk investasi di sektor properti yang bersifat sangat spekulatif. Kegiatan investasi makin cenderung terpusat di perkotaan, di sektor industri yang justru banyak disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) menunjukkan bahwa investasi di wilayah perdesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus pemerataan yang menyebabkan ekonominya menjadi kukuh.
Pemberdayaan Masyarakat: Jembatan bagi Konsep-konsep Pembangunan Makro dan Mikro Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah,
65
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Teori-teori ekonomi makro, yang umumnya bersandar pada peran pasar dalam alokasi sumber daya, serta dengan praanggapan bahwa kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat akan menguntungkan semua lapisan masyarakat, dalam kenyataannya tidak dapat menghasilkan jawaban yang memuaskan bagi masalah kesenjangan. Kekuatan sosial yang tidak berimbang, menyebabkan kegagalan pasar untuk mewujudkan ha-rapan itu (Brown, 1995). Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang tepat, agar kebijaksanaan pada tingkat makro mendukung upaya mengatasi kesenjangan yang harus dilakukan dengan kegiatan yang bersifat mikro dan langsung ditujukan pada lapisan masyarakat terbawah. Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi konsep-konsep pembangunan makro dan mikro. Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri. Pengertian pemupukan modal seperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana, prasarana, dan sarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok. Pertama, mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan pengelola (acceptable); kedua, dapat dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable); ketiga, memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable); keempat, hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga sosial ekonomi setempat (sustainable); dan kelima, pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas (replicable). Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Konsep ini telah dioperasionalkan di Indonesia, bahkan dalam skala besar, yaitu melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Pembahasan lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat ditinjau dari berbagai aspeknya akan dilanjutkan dalam berbagai topik pembahasan dalam buku ini.
3. Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi Administrasi negara adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam family kegiatan kerja sama antarmanusia. Yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerja sama antarmanusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh adanya tujuan yang ingin dicapai pada waktu kegiatan yang disebut administrasi itu dilakukan. Administrasi negara berkenaan dengan administrasi dalam lingkup negara, sering kali pula diartikan sebagai pemerintah. Seperti halnya dalam genusnya, administrasi, adanya tujuan yang ingin dicapai juga merupakan konsep yang mendasar administrasi negara. Tujuan itu sendiri tidak perlu hanya satu; pada setiap waktu, tempat, bidang, atau tingkatan, bahkan pada kegiatan tertentu terdapat tujuan-tujuan tertentu. Akan tetapi, sebagai negara tentu harus ada asas, pedoman dan tujuan, yang menjadi landasan dan cara bekerjanya administrasi negara. Pada 66
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
umumnya (meskipun tidak semuanya) gagasan-gagasan dasar itu ada dalam konstitusi negaranegara bersangkutan. Demikian juga administrasi negara di Indonesia, dasarnya adalah UUD 1945. Di dalam UUD 1945 itu ditunjukkan apa tujuan bangsa Indonesia bernegara, dan dasardasar bagaimana mewujudkannya. Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengingatkan bahwa "yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan". Apabila peran penyelenggara negara (untuk sementara kita kaitkan dengan administrasi negara) demikian pentingnya, maka amat penting pula peran administrasi negara dalam mewujudkan pembangunan yang berkeadilan, yang salah satu pendekatannya adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Bab ini akan membahas peran tersebut.
Administrasi Negara dalam Perkembangannya Administrasi negara dalam perkembangannya selama satu abad sangat disibukkan dengan upaya untuk menemukan jati diri. Persoalan yang dibahas banyak menyangkut di mana dan apa (locus dan focus) kegiatan administrasi. Yang sentral dalam pengertian administrasi adalah bahwa ada tujuan yang telah ditetapkan lebih dulu, dan dalil ini dipandang sebagai petunjuk bahwa penetapan tujuan itu berada di luar kegiatan atau proses administrasi. Jadi, ada "tuan" ("masters") dalam administrasi yang memiliki kewenangan dan hak untuk menetapkan tujuan atau kebijaksanaannya sedangkan tugas administrasi hanyalah melaksanakannya. Inilah yang menjadi pokok persoalan sehingga melahirkan pembaharuan dari para pemikir administrasi terhadap gagasan-gagasan administrasi lama, pada dua dasawarsa terakhir. Mereka melihat bahwa dunia sudah berubah, masyarakat sudah berubah, dan sifat birokrasi juga berubah. Birokrasi tidak bisa lagi "steril" dari proses penetapan kebijaksanaan, bahkan ia merupakan bagian penting dari proses itu. Birokrasi bahkan juga turut menetapkan kebijaksanaan. Juga makin santer suara-suara yang ingin mengaitkan administrasi dengan demokrasi, bahkan demokrasi sudah berkembang menjadi paradigma tersendiri dalam ilmu administrasi.18 Hal ini didorong oleh sikap "kesewenang-wenangan" kekuasaan birokrasi yang dianggap terlalu besar dan tumbuh makin besar. Banyak seruan untuk mengembalikan kekuasaan kepada rakyat (power to the people) dan penghormatan terhadap hak-hak rakyat dan hak-hak asasi manusia. Perkembangan itu juga melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Semuanya itu, menandakan bergulirnya gerakan yang disebut administrasi negara baru yang momentumnya masih terus bergerak hingga kini. Pada dasarnya administrasi negara baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas dari nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. H. George Frederickson, seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi negara harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak bisa netral.19 Dengan 18
Penganjurnya antara lain adalah Vincent Ostrom (Vincent Ostrom, The Intelectual Crisis in American Public Administration, Alabama: University of Alabama Press, 1973).
19
Frederickson menyatakan: “Administrators are not neutral. They should be committed to both good management and social equity as value, things to be achieved, or rationales� (H. George Frederickson, “Toward a New Public Administration�, dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde (ed.), op. cit., hlm. 369).
67
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
itu, ia menegaskan bahwa administrasi negara baru harus mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial.20 Meskipun terhadap gagasan-gagasan administrasi negara baru itu tumbuh reaksi yang tidak semua positif, bahkan ada yang menyindir sebagai kembali kepada aliran romantik abad ke-19 (yang sering disebut Jeffersonianism), jelas kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.21 Sementara itu, dunia juga mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan munculnya proses globalisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam memasuki abad ke-21, terutama ilmu-ilmu sosial ditantang untuk mengikuti kemajuan teknologi yang pesat yang dihasilkan ilmu-ilmu eksakta, dan merumuskan apa dampaknya pada kehidupan manusia dalam berbagai sisinya, dan bagaimana mengarahkan agar perkembangan itu menuju ke arah yang menguntungkan umat manusia. Dalam suasana global ini, persaingan dan kerja sama merupakan tarikan-tarikan besar dalam tata hubungan baru antarmanusia dan antarbangsa. Kualitas hidup manusia baik secara perorangan maupun sebagai masyarakat mendapat perhatian yang lebih besar, terutama karena keterbatasan sumber daya alam. Lingkungan hidup, sudah menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam setiap disiplin ilmu. Peran masyarakat dituntut makin besar, dan karena itu privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi menjadi pola pemikiran dan pembahasan yang amat berkembang, termasuk dalam ilmu administrasi. Semuanya itu menuntut reorientasi kembali peran pemerintah (baca: birokrasi). Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien selain efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan, tetapi harus tidak birokratis. Pemikiran dalam administrasi yang sedang berkembang adalah administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya. Dewasa ini memang sedang terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam pendekatan mengenai administrasi negara, yang belum selesai proses kristalisasinya. Dengan uraian ini, kiranya jelas bagaimana perkembangan administrasi negara modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, tumbuh ke arah makin ditempatkannya manusia dalam posisi yang sentral dalam proses administrasi. Pemberdayaan Masyarakat: Pengembangan Konsep 20
“Simply put, new Public Aministration seeks to change those policies and structures that systematically inhibit social equity” (Frederickson, ibid).
21
Stillman menggambarkan gerakan administrasi baru ini sebagai berikut: “Bored with the dry realism of the postwar behaviorialists, in search of new intellectual foundations for Public Administration, caught up in the egalitarian enthusiasms of the moment, and concerned with the “excessive abuses” of bureaucratic authority in Vietnam and elsewhere, the New Public Administrationists wanted to make a fresh beginning for the field. Although the essays contained in the The Minnowbrook Perspective seem loosely linked with one another, even at times contradictory, there was evidence of common themes of participation, consensus, decentralization, trust, and even love of mankind. However, the essence of their weltanschauung was perhaps best captured in two words of one author, H. George Frederickson: social equity”. (Richard J. Stillman II, The Changing Patterns of Public Administration Theory in America. dalam Joseph A. Uveges, Ir., op. cit., hlm. 30).
68
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Sejarah dan proses pembangunan menunjukkan bahwa pembangunan bersifat multi dimensi, dan tujuan-tujuan pembangunan banyak serta bervariasi. Upaya untuk mencapai suatu tujuan harus terkait dengan yang lainnya. Sekarang para ahli dan praktisi pembangunan memahami bahwa pertumbuhan saja tidak cukup, tanpa upaya pemerataan. Sebaliknya pertumbuhan tetap diperlukan, karena tanpa pertumbuhan akan terjadi kemandekan atau kemunduran. Upaya mencari cara pembangunan yang lebih baik yang bisa makin memenuhi berbagai tujuan dan sasarannya memang masih terus berlangsung, baik di bidang ekonomi maupun administrasi. Dalam upaya itu, strategi pembangunan harus ditujukan ke dua arah, yakni dengan menyadari bahwa ada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat yang maju dan berada di sektor modern, serta yang tertinggal dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan untuk kedua sektor itu tidak bisa disamakan begitu saja. Strategi pertama adalah memberi peluang agar sektor dan masyarakat modern dapat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Di sini termasuk peningkatan efisiensi, produktivitas, dan pengembangan serta penguasaan teknologi, yang amat diperlukan untuk memperkuat daya saing. Di bidang ekonomi dan administrasi, misalnya, upaya itu adalah dengan memberikan kepada sektor ini keleluasaan, yakni tanpa terlalu banyak campur tangan (baca: hambatan) pemerintah. Bahkan dalam sektor ini, jika masyarakat telah mampu, pemerintah harus mundur dari menangani kegiatan yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat. Yang dibutuhkan oleh sektor ini adalah lebih banyak kebebasan untuk bergerak dan iklim usaha yang merangsang, dan bukan semata-mata suntikan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah. Tugas pemerintah adalah menjaga bahwa keleluasaan dalam bergerak yang menjadi tujuan deregulasi tidak mematikan yang lemah, sebaliknya harus ikut mengangkatnya antara lain melalui kemitraan usaha. Juga pemerintah harus menjaga agar keleluasaan itu tidak mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam yang melampaui batas daya dukungnya sehingga mengancam keberlanjutan pembangunan. Bahkan harus dijaga bahwa sektor modern itu tidak menghisap sumber daya secara berlebihan dengan akibat sektor tradisional menjadi terdesak dan kehabisan atau berkurang kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang masih amat dibutuhkan untuk perkembangannya. Strategi kedua adalah memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan rakyat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi inilah yang ingin dikembangkan. Intinya adalah membantu rakyat agar lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional. Berbagai pengertian mengenai keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat telah dibahas dalam topik sebelumnya. Kedua strategi tersebut jelas tidak terlepas satu dengan lainnya. Keduanya saling berhubungan. Pola hubungan tersebut perlu ditata agar menghasilkan suatu struktur ekonomi dan masyarakat yang sinergis menuju ke arah pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, merata, dan tumbuh di atas landasan yang kukuh. Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat harus dilakukan melalui tiga jurusan. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya
69
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
untuk membangun daya itu dengan mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kepada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah, dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat diakses oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan tempat terkonsentrasinya penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program yang umum yang berlaku untuk semua tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Dalam rangka ini, adanya peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangat diperlukan. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.
Peran Administrasi Seperti telah dikemukakan di atas, orientasi administrasi negara sekarang makin mengarah kepada manusia, serta mengenali bahwa pemerataan dan keadilan sosial (social equity) adalah persoalan yang harus menjadi perhatian ilmu administrasi. Dalam konteks itulah diletakkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam administrasi. Dari sudut ilmu administrasi, apabila administrasi dicerminkan untuk mencari wujudnya, akan ditemukan dua sosok, yaitu organisasi dan manajemen. Organisasi dapat diibaratkan sebagai anatomi tubuh administrasi, sedangkan manajemen adalah fisiologinya. Organisasi biasanya digambarkan sebagai wujud statis dan mengikuti pola tertentu, sedangkan manajemen adalah dinamis, dan menunjukkan gerakan atau proses. Kedua-duanya dapat digunakan untuk analisis administrasi. Dalam meninjau bagaimana pemberdayaan masyarakat dilakukan di dalam administrasi, dipilih pendekatan yang dinamis. Bertitik tolak dari teori pokok manajemen, yang meskipun sudah banyak mengalami perubahan, administrasi sekurang-kurangnya harus terdiri atas tiga 70
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kelompok kegiatan besar, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Selain itu juga akan sedikit disinggung masalah koordinasi yang menurut Koontz dan O'Donnel (1959) merupakan esensi dalam manajemen, bahkan oleh banyak ahli dianggap sebagai salah satu fungsi manajemen. Selanjutnya akan diuraikan secara singkat bagaimana fungsi-fungsi manajemen tersebut dalam manajemen pemerintah memberdayakan masyarakat dalam proses pembangunan.
Perencanaan Segala sesuatu harus dimulai dengan perencanaan. Perencanaan pembangunan yang berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat harus meliputi pokok-pokok sebagai berikut. Pertama, mengenali masalah mendasar yang menyebabkan terjadinya kesenjangan; kedua, mengidentifikasi alternatif untuk memecahkan masalah; dan ketiga, menetapkan beberapa alternatif yang dipilih dengan memperhatikan asas efisiensi dan efektivitas, memperhitungkan sumber daya yang tersedia dan dapat dimanfaatkan, serta potensi yang dapat dikembangkan. Alternatif-alternatif tersebut di atas meliputi: Pertama, alternatif-alternatif kebijaksanaan makro, yang bersifat umum dan berlaku secara nasional, yang harus dijamin tidak merugikan dan bahkan harus menguntungkan masyarakat yang lemah, baik kedudukan ekonomi maupun kedudukan sosialnya. Kedua, alternatif-alternatif kebijaksanaan sektoral, yang berkenaan dengan dan berada di dalam lingkup sektor-sektor tertentu, yang juga harus dijamin tidak merugikan dan bahkan harus menguntungkan masyarakat yang lemah. Ketiga, alternatif-alternatif kebijaksanaan regional, yang berkenaan dengan atau diselenggarakan dalam suatu wilayah atau kawasan tertentu yang harus dijamin mendahulukan kepentingan masyarakat yang terbelakang atau tertinggal di wilayah atau kawasan tersebut. Keempat, alternatif-alternatif kebijaksanaan khusus, yang ditujukan terutama kepada (targetted) golongan masyarakat yang lemah, terbelakang dan tertinggal; kebijaksanaan khusus ini harus mengenali kebinekaan masyarakat, keragaman kebutuhannya dan perbedaan tingkat perkembangannya, sehingga tidak bisa disamaratakan dan harus memperhatikan kondisi setempat (local specific). Kunci dari perencanaan adalah penetapan pilihan atas alternatif-alternatif yang tepat (the right alternative choices), yang satu sama lain merupakan suatu rangkaian kebijaksanaan yang saling menunjang dan saling memperkuat sehingga memaksimalkan hasil yang dicapai. Untuk dapat menjamin kepentingan masyarakat lemah dan menjamin bahwa kegiatan pembangunan akan menghasilkan pemberdayaannya, maka aspirasi masyarakat harus tercermin dalam perencanaan. Intinya adalah partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya dalam perencanaan (participatory planning). Oleh karena itu, perencanaan harus meliputi dua proses timbal-balik, yaitu dari bawah, yang mencerminkan apa yang dikehendaki oleh masyarakat dan keadaan yang nyata di lapangan, dan dari atas, yang memperhitungkan kepentingan-kepentingan nasional, kebijaksanaan-kebijaksanaan makro dan sumber daya pembangunan yang tersedia serta potensi yang dapat dikembangkan secara nasional.
Pelaksanaan Setelah perencanaan menetapkan apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya, kebijaksanan-kebijaksanaan tersebut haruslah dilaksanakan secara konsisten. Pelaksanaan pembangunan yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan pokok. Pertama, seperti dikemukakan di atas, kegiatan yang 71
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
dilaksanakan harus terarah bagi atau menguntungkan masyarakat yang lemah, terbelakang, dan tertinggal. Kedua, pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, dimulai dari pengenalan apa yang ingin dilakukan. Ketiga, karena masyarakat yang lemah sulit untuk bekerja sendiri-sendiri akibat kekurangan keberdayaannya, maka upaya pemberdayaan masyarakat menyangkut pula pengembangan kegiatan bersama (kooperatif) dalam kelompok yang dapat di bentuk atas dasar wilayah tempat tinggal (kelompok arisan, RT, RW, dusun, desa), jenis usaha (pertanian, industri, perdagangan), atau kesamaan latar belakang (pemuda, wanita). Keempat, menggerakkan partisipasi yang luas dari masyarakat untuk turut serta membantu dalam rangka kesetiakawanan sosial; di sini termasuk keikutsertaan orang-orang setempat yang telah maju, anggota masyarakat mampu lainnya, organisasi-organisasi kemasyarakatan termasuk lembaga swadaya masyarakat setempat, perguruan tinggi dan sebagainya. Semuanya itu menyangkut pekerjaan besar, dan dalam banyak hal harus merombak pola pikir dan praktik yang dijalankan selama ini. Justru di sinilah terletak persoalan utamanya. Dari pengalaman pembangunan selama ini, makin jelas bahwa banyak persoalan yang menghambat dan dapat menggagalkan pembangunan adalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam ilmu administasi berkembang pula penelitian-penelitian yang khusus mendalami masalah pelaksanaan (implementation) sebab betapapun baiknya perencanaan tidak akan lebih baik daripada hasil pelaksanaannya. Dalam pelaksanaan ini tercakup beberapa aspek. Ia menyangkut masyarakat dan aparat pemerintah (birokrasi) sebagai pelaksana pembangunan. Masyarakat sendiri. Masalah besar yang dihadapi dalam upaya memberdayakan masyarakat adalah ketidaktahuan (ignorance) di kalangan masyarakat itu sendiri. Hambatan inilah yang pertama-tama harus diterobos agar masyarakat dibangkitkan kesadarannya bahwa ada kehidupan yang lebih baik dari yang sekarang, dan bahwa ada harapan serta peluang untuk memperbaiki kehidupan, tetapi untuk itu harus ada usaha dari diri sendiri. Ini adalah pekerjaan yang tidak mudah, tetapi mendasar sifatnya bagi aparat pemerintah sebagai manajer pembangunan. Aparat pemerintah. Salah satu hambatan utama bagi pembangunan yang berhasil ternyata adalah aparat pemerintah sendiri. Seluruh bidang studi administrasi pembangunan ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Ia menyangkut masalah mental, pengetahuan, kecakapan, dan juga kesejahteraan sumber daya manusianya. Ia juga menyangkut masalah sistem dan pengorganisasian termasuk tatanan, fungsi, prosedur dan sebagainya, dari aparat pemerintah sebagai aparat pembangunan. Berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat, beberapa hal perlu mendapat perhatian, antara lain sebagai berikut ini. Pertama, sikap birokrasi mengenai hakikat tugas dan tanggung jawabnya, serta sifat hubungannya dengan masyarakat. Hal ini teramat penting, karena sifat birokrasi yang tradisional adalah paternalistis bahkan feodalistis. Dalam pandangan birokrasi yang demikian, birokrasi berada di atas rakyat dan bukan di tengah-tengah rakyat. Rakyat adalah "urusan", dan diperlakukan sebagai objek. Untuk menyelesaikan urusan rakyat itu, diperlukan proyek. Oleh karena itu, pendekatan proyek sudah menjadi kebiasaan dalam cara pandang birokrasi. Inilah yang harus kita ubah. Pandangan birokrasi baru harus dilandasi pemikiran bahwa rakyat mampu memperbaiki kehidupannya, asal diberi kepercayaan, peluang dan kesempatan. Rakyat bukan kawula, tetapi mitra dalam pembangunan. Kata kuncinya adalah membantu memperkuat potensi yang dimiliki rakyat. Kedua, sehubungan dengan itu, maka pelayanan birokrasi harus makin didekatkan kepada rakyat yang dilayani. Dalam rangka ini, prinsip desentralisasi dan otonomi sangat relevan. Persoalannya memang tidak sederhana. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia birokrasi 72
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
yang bukan hanya berdedikasi, tetapi juga kompeten di lapangan. Ini tidak mudah, karena umumnya tenaga-tenaga yang baik berada di pusat atau di staf. Oleh karena itu, mungkin diperlukan sistem kepangkatan, penjenjangan karier, dan tatanan organisasi yang memberi perangsang kepada orang-orang yang terbaik dalam birokrasi untuk berada di daerah dan bekerja di lapangan. Hal ini berarti memperbaharui pendekatan mengenai struktur dan fungsi organisasi pemerintah. Ketiga, berkaitan dengan itu pula, perlu pendelegasian lebih banyak kewenangan penggunaan dana-dana pembangunan ke daerah, terutama yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat. Hal ini menyangkut bukan hanya anggaran pemerintah, tetapi juga dana yang berasal dari sumber lain seperti perbankan. Misalnya, pagu kredit di daerah dan alokasinya untuk keperluan usaha kecil perlu ditingkatkan. Pembaharuan dalam sistem anggaran pembangunan, memang perlu terus diupayakan untuk lebih menjamin bahwa dana pemerintah tersalur secara lebih terarah kepada penduduk yang lemah dan wilayah yang tertinggal. Dalam upaya ini mekanisme Instruksi Presiden (inpres) dalam sistem anggaran pemerintah, merupakan wahana yang efektif dan sampai sekarang belum ada penggantinya. Inpres yang dikenal dengan nama Inpres Desa Tertinggal (IDT) adalah contoh pendekatan spesifik dan terarah (targetted) yang amat mendasar dalam konsep pemberdayaan masyarakat.22 Apabila didalami berbagai upaya dalam pemberdayaan masyarakat seperti yang diuraikan di atas, maka akan tampak bahwa persoalannya bukan hanya menyangkut teknik administrasi dan manajemen, tetapi lebih mendasar lagi, yakni menyangkut segi budaya atau sistem nilai yang mempengaruhi sikap kita. Pembaharuan nilai-nilai, dengan demikian amat penting dan harus mendapat perhatian, terutama dalam sistem pendidikan sejak dari tahap yang paling dini. Dalam administrasi, pembaharuan nilai-nilai ini menyangkut apa yang dinamakan etika administrasi yang dirasakan oleh masyarakat sangat kurang dalam amalan birokrasi Indonesia.
Pengawasan dan umpan balik Pengawasan selalu ditempatkan paling belakang dalam proses manajemen sehingga menimbulkan kesan seperti sesuatu yang kurang penting. Padahal yang benar adalah sebaliknya. Pengawasan sungguh penting dan sangat menentukan keberhasilan administasi dalam mewujudkan tujuannya. Disebabkan oleh makin kompleksnya administrasi, dan senantiasa terbatasnya sumber daya yang tersedia dibandingkan butuhannya, dan oleh adanya kecenderungan-kecenderungan negatif dalam perilaku manusia yang juga dikenali dalam ilmu administrasi, maka pengawasan merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam fungsi manajemen. Pengawasan juga akan menghasilkan umpan balik sebagai bahan masukan bagi perencanaan dan bagi kegiatan pelaksanaan yang lebih baik pada tahap berikutnya.
22
Dalam rangka ini, menambah dana Inpres berarti menambah dana yang penggunaannya diarahkan untuk kepentingan daerah. Menambah jumlah dana “block grant� berarti menambah besar dana yang penggunaannya diatur dan ditetapkan sendiri oleh daerah. Melalui inpres itu pula, kita menyerahkan penggunaan dana dan pengaturannya ke daerah untuk tujuan-tujuan yang spesifik, seperti pendidikan, kesehatan, penghijauan, dan pembangunan prasarana (jalan). Melalui inpres itu pula, kita menggunakan dana anggaran untuk kelompok masyarakat tertentu di daerah-daerah tertentu, yakni masyarakat miskin di desa-desa tertinggal. Pendekatan inpres seperti IDT sejauh mungkin harus diupayakan pula dalam program sektoral dan semua program kegiatan pembangunan lainnya.
73
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, pengawasan dan umpan balik ini sangat besar perannya, karena sebagai konsep upaya ini merupakan pengalaman yang relatif baru bagi birokrasi dan masih belum dipahami secara luas, bahkan mudah untuk diselewengkan. Dapat saja yang terjadi malah sebaliknya, birokrasi bukan memberdayakan, tetapi memperdayakan masyarakat. Misalnya, pejabat di daerah yang "menyalurkan" dana IDT ke kantongnya sendiri. Oleh karena itu, aparat pengawasan terutama di daerah perlu diperkuat, dan diberi motivasi akan betapa pentingnya tugas yang diembannya.
Koordinasi Koordinasi adalah pekerjaan sehari-hari dan setiap hari dalam manajemen. Koordinasi selalu diperlukan dalam organisasi yang besar dan kompleks, serta dalam kehidupan modern karena pada umumnya untuk suatu tujuan ada berbagai kegiatan yang dilakukan, atau dalam berbagai kegiatan yang meskipun berlainan tujuannya, di dalamnya ada hal-hal yang saling berkaitan. Koordinasi atau kurangnya koordinasi ternyata sering juga merupakan hal yang mengganggu dalam pencapaian sasaran pembangunan secara optimal. Dalam upaya pemerataan dan penanggulangan kemiskinan, misalnya, banyak program yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, dan di berbagai sektor, yang sering kali satu sama lain tidak berkaitan. Bahkan di daerah yang sama ada kegiatan untuk tujuan yang sama, tetapi dilakukan oleh instansi yang berbeda dan satu sama lain tidak saling berhubungan. Lemahnya koordinasi jelas sangat merugikan karena akan mengakibatkan pemborosan sumber daya, bahkan kalau berbagai kegiatan itu bertabrakan, akan menyebabkan kegagalan. Penyebab kelemahan dalam koordinasi sering kali adalah terlalu kuatnya rasa "hegemoni sektoral".23 Koordinasi merupakan masalah di semua sistem administrasi. Oleh karena itu, koordinasi senantiasa merupakan bahan telaahan yang penting dalam ilmu administrasi. Demikian pula di Indonesia, koordinasi harus diupayakan berjalan sehingga dapat menjamin keserasian dan sinergi dari berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan. Terutama karena sumber daya yang dimiliki amat terbatas, berlangsungnya koordinasi secara efektif menjadi terlebih penting lagi. Koordinasi meliputi seluruh kegiatan manajemen, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pengawasan, dan dilakukan di setiap tingkatan.
Pembaharuan Administrasi Sikap administrasi negara yang demikian, hanya bisa terjadi jika administrasinya itu sendiri diperbaharui. Dalam keadaan sekarang, sulit rasanya berbagai tugas besar itu dapat dilayani dengan baik oleh administrasi negara. Oleh karena itu, perbaikan aparatur negara (untuk tujuan ini disinonimkan dengan administrasi negara) harus merupakan bagian dalam setiap upaya pembangunan nasional. Di Indonesia hal itu terjadi sejak Kabinet Pembangunan Pertama dan bahkan telah menjadi salah satu krida dari setiap kabinet. Dalam konteks pembaharuan administrasi, pembaharuan birokrasi menjadi tema sentralnya.
23
Sumber masalah koordinasi sering kali bukan pada instansi atau pelaksana-pelaksana di lapangan, tetapi justru di instansi-instansi pusat sendiri. Ketiadaan atau kekuranglancaran koordinasi ini acapkali ditimbulkan oleh sulitnya atau adanya keengganan antara pejabat untuk berkomunikasi dan saling berkonsultasi.
74
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Birokrasi, menurut pandangan Weber, adalah model organisasi yang paling ideal untuk pemerintah dalam menjalankan tugasnya.24 Di banyak negara berkembang birokrasi pemerintah mungkin adalah satu-satunya organisasi yang berpola modern, dan menjadi satu-satunya harapan untuk memelopori dan menggerakkan proses modernisasi dan pembangunan. Birokrasi di negara berkembang, dan di banyak negara maju sampai Perang Dunia Kedua, masih menjadi pusat berkumpulnya putra-putra bangsa yang terbaik. Namun, dengan perkembangan dunia yang makin didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, birokrasi yang didasarkan pada tatanan hierarki dan prosedur kerja yang cenderung mapan kurang dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan yang cepat. Birokrasi makin jauh ketinggalan dari harapan, dan tidak dapat mengikuti dinamika masyarakat dalam zaman yang amat didominasi oleh teknologi informasi. Birokrasi, yang di masa lalu adalah paling mengetahui (informed), sekarang justru sudah jauh ditinggalkan oleh dunia usaha dan masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Oleh karena itu, timbul kesan umum bahwa birokrasi lamban, menghalangi kemajuan, dan cenderung lebih memperhatikan prosedur dibandingkan dengan substansi. Birokrasi tidak efisien dan tidak dapat diharapkan menghasilkan public goods dan public service dengan harga dan kualitas yang bersaing, dibandingkan dengan jika dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, kesan umum pada birokrasi adalah negatif, kata birokrasi itu sendiri digunakan untuk menunjukkan ketidakefisienan, berkonotasi regresif, dan degeneratif (sudah sangat jauh dari teori Weber). Oleh karena itu, di samping deregulasi, lahir pula kata debirokratisasi, untuk menunjukkan upaya meningkatkan efisiensi perekonomian nasional. Ini bukan hanya keadaan birokrasi di Indonesia atau negara berkembang saja, tetapi juga menjadi keluhan terhadap birokrasi di hampir semua negara termasuk negara yang paling maju sekali pun.25 Dengan sendirinya tidak mengherankan kalau birokrasi di banyak negara berkembang keadaannya lebih buruk lagi. Patologi birokrasi di berbagai negara berkembang menunjukkan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri. Dalam upaya untuk membangun dengan merata dan berkeadilan, peran birokrasi teramat penting. Ini adalah suatu tanggung jawab yang tidak dapat "diswastakan" seperti pekerjaan pembangunan lainnya. Masyarakat, terutama yang telah maju, memang memiliki tanggung jawab moral dan diharapkan turut serta dalam upaya pemerataan, misalnya dalam program-program
24
Max Weber, “The Essentials of Bureaucratic Organization: An Ideal Type Construction�, dalam David H. Rosenbloom, Deborah D. Goldman, Esq., dan Patricia W. Ingraham (ed.), Contemporary Public Administration, New York: McGraw-Hill Inc., 1994.
25
Drucker, misalnya, mengatakan: "Governments find it very hard to abandon an activity even if it has totally outlived its usefulness. They thus become committed to yesterday, to the obsolete, the no longer productive. And government cannot give up either when an activity has accomplished its objectives" (Peter F. Drucker, The New Realities: In Government and Politics/In Economics and Business/In Society and World View, New York: Harper & Row Publishers, 1989, hlm. 63). Wilson juga menunjukkan bahwa: "Inefficiency is not the only bureaucratic problem nor is it even the most important. ...people complain about bureaucracy as often because it is unfair or unreasonable as because it is slow or cumbersome" (James Q. Wilson, Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It, New York: Basic Books, 1989, hlm. 326).
75
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kemitraan. Namun, tanggung jawab sepenuhnya tetap ada pada Pemerintah. Pasal 27 dan Pasal 34 UUD 1945 jelas mengisyaratkannya. Untuk dapat mengemban amanat itu, memang perlu ada pembaharuan dalam cara kerja, etika, dan semangat kerja birokrasi. Dengan kata lain, harus dikembangkan paradigma baru dalam administrasi pembangunan kita yang dapat menjawab tantangan-tantangan tersebut. Di dalamnya terkandung berbagai unsur pikiran sebagai berikut. Pertama, birokrasi harus membangun partisipasi rakyat.26 Pembangunan memang dapat juga berjalan dengan mengandalkan pada kekuatan yang ada pada pemerintah. Namun, hasilnya tidak akan sama jika dibandingkan dengan pembangunan yang mendapat dukungan dan partisipasi rakyat.27 Partisipasi haruslah dilandasi oleh kesadaran dan bukan oleh paksaan. Partisipasi rakyat pada lapisan bawah (grass-roots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities). Bentuk dan cara partisipasi yang demikian akan menghasilkan sinergi yang pada gilirannya akan menghasilkan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua mereka yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) serta program lain yang terangkai dengan program IDT, seperti pembangunan prasarana perdesaan di desa-desa tertinggal, adalah salah satu contoh dari pendekatan tersebut. Kedua, birokrasi hendaknya tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the under privileged).28 Netral saja tidak cukup. Sikap pemihakan ini hanya akan ada, kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu memang harus diatasi hambatan psikologis, karena birokrasi di banyak negara berkembang (terutama di lapisan atas yang justru menentukan) umumnya merupakan kelompok elite suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah untuk menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.29 Sekarang banyak orang berbicara tentang menciptakan a level playing field, dalam menuju ekonomi pasar. Akan tetapi tampaknya yang kurang mendapat perhatian adalah bahwa untuk itu harus dijamin agar pemain-pemainnya setara. Menjadi tugas aparatur negara untuk menambah bobot pada yang kurang kuat agar persaingan menjadi seimbang serta menjaga agar persaingan bersifat positif dan tidak harus saling mematikan (benign competition).
26
Montgomery, misalnya, mengembangkan teori bureaucratic populism. Ia mengatakan: "Bureaucrats are called upon to help people help themselves by participating in the administration of social programs. The problem becomes acute when the people involved are poor, apathetic, or alienated. Bureaucrats are expected through their interventions to even up the score of injustice by touching the lives of these politically inactive elements of the community, who are usually also the less privileged ones not reached by ordinary civic processes" (John D. Montgomery, Bureaucrats and People: Grassroots Participation in Third World Development, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1988, hlm. 3).
27
Berdasarkan berbagai penelitian, Montgomery menyimpulkan: "There is, then no satisfactory substitute for popular initiatives and public support in development programs, ... (Ibid, hlm. 31).
28
"Bureaucrats are accustomed to serving the mighty", Montgomery, op. cit. hlm. 6.
29 "
Bureaucrats in most developing countries prefer to associate with elites that share their class traditions", (Ibid, hlm. 38).
76
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Ketiga, peran aparatur negara harus sudah bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering).30 Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara di mana hubungan birokrasi dengan rakyat bersifat paternal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. Asumsi selama ini bahwa pemerintah pasti dan senantiasa lebih tahu apa yang terbaik untuk rakyat, sudah harus ditinggalkan. Keempat, mengembangkan keterbukaan (transparancy) dan kebertanggungjawaban (accountability). Yang acapkali membuat aparatur negara jauh dari rakyat atau masyarakat yang harus dilayaninya, adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, maka masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keengganan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan seringkali juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya kita untuk menyempurnakan aparatur negara. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalui saling silang gagasan (cross-fertilization). Keterbukaan juga membawa suasana yang menggerakkan partisipasi dan dengan demikian menghidupkan demokrasi. Oleh karena itu, demokrasi yang selama ini sepertinya berada di luar lingkup administrasi, karena sudah dianggap bagian dari politik, sekarang berkembang sebagai paradigma baru dalam ilmu administrasi negara.31 Berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit diminta pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukanlah kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai suatu tujuan yang lebih besar sehingga tindak-tanduknya haruslah selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hierarkis dari bawah ke atas di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut bahwa setiap pejabat harus siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kebijaksanaan-kebijaksanaan publik dituntut untuk transparan dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa menguntungkan rakyat banyak. Untuk itu sebaiknya kebijaksanaan publik yang berdampak luas pada rakyat dibahas secara terbuka sebelum ditetapkan. Pembahasan terbuka (public debate) ini akan meningkatkan kualitas kebijaksanaan dan menjamin diperolehnya dukungan masyarakat betapapun beratnya konsekuensi-konsekuensi kebijaksanaan tersebut pada rakyat. Dalam proses pengambilan keputusan dengan keterbukaan, maka pengambilan keputusan kebijaksanaan publik, menjadi lebih luas, baik premis maupun pilihannya. Pandangan masyarakat yang secara langsung disampaikan, baik melalui media massa maupun cara-cara lain, akan berpengaruh positif pada penetapan kebijaksanaan publik. Teknologi informasi menyebabkan kejadian-kejadian tidak lagi dapat terisolasi, dan segera menjadi berita kalau ada masalah. Oleh karena itu, seorang pejabat tidak lagi hanya dapat diminta pertanggungjawaban oleh atasannya, tetapi langsung oleh masyarakat. Meskipun yang dapat menindak adalah atasannya, tekanan dari masyarakat (popular pressure) makin lama akan makin besar pengaruhnya pada keputusan-keputusan yang akan diambil.
30
David Osborne, dan Ted Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, New York: Penguin, 1993.
31
Vincent Ostrom, The Intellectual Crisis in American Public Administration, Alabama: University of Alabama Press, 1973.
77
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Demikianlah, berbagai aspek dari sisi administrasi negara dalam upaya membangun dengan makin memberi perhatian kepada rakyat kecil yang kurang berdaya, yakni dalam memberdayakan masyarakat. Administrasi yang memberdayakan masyarakat, adalah pendekatan yang relatif baru. Ia menyangkut pendekatan administrasi yang berbeda dari cara klasik, yang di atas telah dicoba untuk ditunjukkan. Ia juga menuntut semangat atau sikap administrator yang berbeda. Oleh karena itu, budaya administrasi baru ini perlu pula ditanamkan dalam-dalam dan sejak pagi-pagi dalam sistem administrasi dan pendidikan administrasi di Indonesia.
4. Beberapa Pokok Pikiran tentang Pembangunan Koperasi UUD 1945 Pasal 33 Ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam penjelasannya antara lain dinyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang, dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Pesan konstitusional tersebut sangat kental mewarnai isi GBHN 1993 yang menunjukkan betapa pentingnya kedudukan koperasi dalam pelaksanaan PJP II. Dalam konteks inilah akan dikupas pokok-pokok pikiran tentang pembinaan dan pengembangan koperasi berikut berbagai permasalahan yang dihadapi.
Pokok-Pokok Pikiran tentang Koperasi Koperasi sebagai wadah atau kumpulan manusia, terutama manusia yang apabila berusaha sendiri-sendiri lemah posisinya, merupakan instrumen yang tepat untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Hal ini sesuai dengan fungsi dan peran koperasi, yaitu membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, serta mempertinggi kualitas kehidupannya. Upaya mewujudkan kemandirian sangat cocok dengan konsepsi koperasi karena kemandirian adalah salah satu prinsip koperasi yang hakiki. Kemandirian bagi koperasi mengandung pengertian dapat berdiri sendiri, tanpa tergantung pada pihak lain, dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan, dan usaha sendiri. Dalam kemandirian koperasi terkandung pula pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri. Dengan demikian, semangat pembangunan koperasi adalah sesuai dengan semangat dan nafas pembangunan yang berakar pada kemampuan bangsa sendiri, yakni pembangunan untuk mewujudkan kemandirian nasional. Koperasi sesuai dengan watak sosialnya adalah wahana yang tepat untuk pembangunan yang berkeadilan. Koperasi sebagai gerakan lapisan masyarakat terbawah (grassroots), apabila lebih banyak dilibatkan dalam pembangunan, akan dapat menghasilkan pembangunan yang lebih merata, pembangunan yang tumbuh dari bawah, berakar di masyarakat dan mendapat dukungan rakyat. Sebagai wadah ekonomi rakyat koperasi mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan, keterbukaan, solidaritas, otonom, partisipatif dan berwatak sosial dan dengan demikian merupakan organisasi ekonomi yang mencerminkan peran serta rakyat yang luas. Maka pesan GBHN untuk meningkatkan peran serta rakyat dalam pembangunan akan mudah diwujudkan apabila koperasi dapat berperan lebih kuat dalam perekonomian. Antagonisme buruh dan majikan dalam koperasi tidak dikenal sehingga koperasi dapat menghimpun dan memobilisasi potensi masyarakat dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan. Tidak berarti bahwa koperasi dapat dikelola tanpa memperhatikan prinsip-prinsip manajemen yang baik, yang 78
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
memerlukan kaum profesional yang mampu menjalankan usaha. Justru ini salah satu tantangan yang harus dihadapi untuk dapat menumbuhkan koperasi sebagai badan usaha yang bukan hanya partisipatif dan demokratis, tetapi juga dikelola secara modern dengan efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Dengan demikian, koperasi dapat tumbuh juga sebagai agen pembangunan dan agen pertumbuhan di samping fungsinya sebagai wahana pemerataan. GBHN 1993 sarat dengan petunjuk-petunjuk untuk membangun koperasi sebagai perwujudan Pasal 33 UUD 1945. Selain yang sudah dijabarkan di atas, disebutkan pula bahwa sasaran bidang ekonomi untuk PJP II adalah terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang cirinya adalah (a) industri yang kuat dan maju, (b) pertanian yang tangguh (c) koperasi yang sehat serta kuat, dan (d) perdagangan yang maju, dengan sistem distribusi yang mantap. Banyak lagi pesan-pesan GBHN bagi pembangunan koperasi, baik sebagai strategi dasar ataupun sasaran-sasaran yang bersifat lintas sektoral, maupun koperasi itu sendiri sebagai sektor pembangunan dan juga peranan koperasi dalam bidang-bidang atau sektor-sektor lainnya, seperti industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, pembangunan daerah, keuangan, transmigrasi, energi, permodalan dan perumahan. Bahkan GBHN telah menggariskan arah pembangunan koperasi secara sangat konkret yang, jika dapat dilaksanakan, akan membuka peluang bagi perkembangan koperasi secara lebih mantap. Petunjuk-petunjuk itu, antara lain, adalah seperti yang diuraikan berikut ini. Pertama, pengembangan koperasi didukung melalui pemberian kesempatan berusaha yang seluas-luasnya di segala sektor kegiatan ekonomi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan penciptaan iklim usaha yang mendukung dengan kemudahan memperoleh permodalan. Kedua, untuk mengembangkan dan melindungi usaha rakyat yang diselenggarakan dalam wadah koperasi demi kepentingan rakyat, dapat ditetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi. Ketiga, kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh koperasi agar tidak dimasuki oleh badan usaha lainnya dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional dalam rangka pemerataan kesempatan usaha dan kesempatan kerja. Keempat, kerja sama antarkoperasi dan koperasi dengan usaha negara dan usaha swasta sebagai mitra usaha dikembangkan secara lebih nyata, serta saling mendukung dan saling menguntungkan. Kelima, potensi koperasi untuk tumbuh menjadi usaha skala besar terus ditingkatkan, antara lain, melalui perluasan jaringan usaha koperasi, keterkaitan dengan usaha hulu dan usaha hilir baik dalam usaha negara maupun usaha swasta. Dari uraian di atas nampak bahwa tantangan dalam pengembangan koperasi bukanlah terletak pada ketiadaan kemauan atau dukungan politik, atau ketidakpastian landasan dan arah pembangunan koperasi. Semuanya itu sudah jelas terpateri dan cukup rinci dalam GBHN 1993. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mewujudkannya. Bagaimana cita-cita koperasi dapat dicapai, sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan sebagai bangun usaha yang paling cocok bagi bangsa Indonesia, di dalam kehidupan yang nyata.
Pengembangan Koperasi Selama PJP I pembangunan koperasi telah mencatat kemajuan yang cukup pesat. Jumlah koperasi berikut jumlah anggota, modal dan nilai usahanya meningkat tajam. Demikian juga bidang usaha koperasi telah makin meluas meliputi usaha di bidang perikanan, perkebunan, 79
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
peternakan, berbagai jenis industri, termasuk industri kerajinan, pertambangan rakyat, angkutan, listrik perdesaan, jasa telekomunikasi, dan sebagainya. Dari segi kualitas, yang antara lain diukur dari kemandiriannya, kemajuannya juga cukup menonjol. Misalnya, secara rata-rata di setiap kecamatan terdapat sekurang-kurangnya satu buah koperasi unit desa (KUD) mandiri. Sumbangan koperasi secara nasional dalam pengadaan maupun penyaluran beberapa komoditas penting cukup besar. Dalam pengadaan pangan nasional sumbangan koperasi telah mencapai lebih dari 90 persen. Dalam kegiatan penyaluran pupuk, sumbangan koperasi telah lebih dari 75 persen dan koperasi susu telah memasok sekitar 55 persen dari kebutuhan susu nasional. Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai oleh koperasi nasional, keadaan sekarang masih jauh dari cita-cita perjuangan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa seharusnya hasil yang dicapai lebih daripada yang sudah terlaksana. Bahkan ada yang berpendapat bahwa dalam konstelasi perekonomian sekarang ini, perjalanan pembangunan nasional belum sepenuhnya mendekat kita pada cita-cita Pasal 33 UUD 1945. Mengenai yang terakhir ini, perlu dilihat situasinya secara proporsional. Pembangunan memerlukan prakarsa individual, dan tempat untuk itu memang disediakan oleh UUD 1945. Namun, jelas-jelas diamanatkan bahwa yang harus memegang peran adalah koperasi. Kalau ada yang masih risau atas tumbuhnya kekuatan ekonomi swasta yang besar yang menguasai banyak sisi perekonomian nasional, hendaknya keadaan itu dilihat sebagai transisi dalam proses pembangunan yang memang harus dilalui. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh prakarsa dan kewiraswastaan individual itu dibutuhkan untuk membangun landasan bagi tahap-tahap pembangunan selanjutnya yang diharapkan dapat mendekatkan kepada cita-cita kemerdekaan itu. Suatu pernyataan Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, yang disampaikan pada peringatan Hari Koperasi tahun 1951 kiranya masih relevan dalam menggambarkan keadaan sekarang: "Lebih penting daripada cita-cita kita tentang kesejahteraan hidup rakyat di masa datang dengan dasar kekeluargaan, ialah desakan rakyat untuk mendapat perbaikan hidup sekarang juga. Rakyat jelata tidak bisa hidup dengan cita-cita saja, tak sabar menunggu terlaksananya masyarakat koperasi Indonesia, yang hanya dapat diselenggarakan berangsur-angsur dalam waktu yang agak panjang. Ia menghendaki tindakan apa pun juga, yang bisa meringankan hidupnya sekarang ini. Oleh karena itu, politik kemakmuran yang realis harus dapat memisahkan politik perekonomian dalam jangka panjang dan politik perekonomian dalam jangka pendek. Antara kedua cabang politik kemakmuran itu harus ada koordinasinya, perhubungannya. Politik perekonomian berjangka panjang meliputi segala usaha dan rencana untuk menyelenggarakan berangsur-angsur ekonomi Indonesia yang berdasarkan koperasi. Oleh karena koperasi hanya bisa subur di atas pangkuan masyarakat yang bersemangat koperasi, maka usaha menghidupkan dan menumbuhkan semangat koperasi itu adalah tugas yang pertama. Usaha ini menghendaki waktu, kesabaran dan keyakinan yang tak kunjung goncang. Di sebelah menunggu tercapainya hasil politik perekonomian berjangka panjang ini, perlu ada politik kemakmuran berjangka pendek, yang realisasinya bersandar kepada bukti-bukti yang nyata. Sekalipun sifatnya berlainan daripada ideal kita bagi masa datang, apabila buahnya nyata memperbaiki keadaan rakyat dan mengecilkan kekurangan kemakmuran kini juga, tindakan itu sementara waktu harus dilakukan. Dilakukan oleh mereka yang sanggup menjalankannya." Meskipun demikian, masalah koperasi terlalu mendasar dan sangat prinsipiil bagi kehidupan bangsa Indonesia untuk tidak ditangani secara sungguh-sungguh dengan penuh kesadaran dan ketetapan hati. Pertama, karena koperasi adalah amanat konstitusi, tetapi lebih dari sekadar ketentuan formal, kedua, juga diyakini bahwa memilih jalan koperasi adalah pilihan yang benar. Kalau koperasi berhasil digalang, ia akan merupakan kekuatan ekonomi yang tangguh dan mampu memberi jalan bagi rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. 80
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Untuk mewujudkannya memang masih harus ditingkatkan komitmen yang sungguhsungguh yang tulus dan ikhlas dari semua pihak, bukan hanya mereka yang berada dalam lingkungan koperasi, tetapi dari semua unsur dan kekuatan di masyarakat. Sikap mengambang (ambiguous) yang ditandai oleh retorika dan lip service harus ditinggalkan, apalagi sarkasme dan sinisme yang banyak dilontarkan kalau orang berbicara mengenai koperasi. Juga harus bisa dibuktikan bahwa koperasi di abad ke-21 bukan hanya masih relevan, bahkan justru dapat menjawab berbagai tantangan untuk membangun kemakmuran yang adil dan dengan demikian lebih lestari dan akan terjamin kesinambungannya. Harus ditumbuhkan kesadaran dan keyakinan di kalangan masyarakat bahwa demokrasi ekonomi menurut pengertian bangsa Indonesia hanya akan terwujud kalau telah tercipta koperasi sebagai gerakan dan wadah ekonomi rakyat yang kuat. Untuk itu, diperlukan konsep-konsep yang operasional. Upaya melahirkan suatu konsep yang operasional yang mampu dilaksanakan secara partisipatif oleh segenap anggota masyarakat, khususnya anggota koperasi, dan bahu-membahu dengan pemerintah, memang tidaklah mudah. Tetapi, ada beberapa catatan yang kiranya dapat dipergunakan dalam menyusunnya. Dalam pembangunan koperasi selama ini, ada kesan di kalangan masyarakat koperasi sendiri akan kuatnya pendekatan top-down sehingga timbul pandangan seakan-akan koperasi adalah "kepanjangan tangan" pemerintah. Memang jelas, tanpa adanya dorongan dari pemerintah, koperasi pada tahap awal pertumbuhannya, tidak mungkin dapat berkembang dengan baik. Namun, sekarang dengan perkembangan kemajuan masyarakat, dan dengan jiwa dan semangat kemandirian pembangunan koperasi perlu lebih diarahkan untuk menggerakkan dan menumbuhkan motivasi dan inisiatif dari bawah, sehingga dapat melahirkan gerak membangun bottom-up yang lebih berkualitas. Oleh karena itu, strategi selanjutnya mungkin harus disertai dengan pendekatan yang lebih bersifat membangun karsa dan kreativitas masyarakat. Singkatnya, koperasi harus berkembang sebagai gerakan ekonomi rakyat yang tumbuh dan berakar di masyarakat. Kalau pikiran tadi ada unsur kebenarannya, maka tantangan yang dihadapi adalah menempatkan posisi Pemerintah secara tepat dalam pembangunan koperasi. Di satu pihak tidak bisa terlalu banyak campur tangan, sehingga koperasi dibirokrasikan, di pihak lain, pemerintah tidak bisa lepas tangan begitu saja, karena tanpa bimbingan dan dukungan pemerintah sulit juga koperasi untuk berkembang apalagi bersaing dengan usaha swasta yang telah menjadi raksasaraksasa bisnis. Masalah ini perlu menjadi perhatian setiap insan yang terlibat dalam pengembangan koperasi secara seksama, secara rasional, dan objektif. Posisi, peran, dan fungsi pemerintah pada dasarnya haruslah mendorong peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat melalui koperasi; meningkatkan kegairahan, kesadaran, dan kemampuan berkoperasi di seluruh lapisan masyarakat; meningkatkan kemitraan antarkoperasi, antara koperasi dengan usaha swasta dan usaha negara; dan menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuhnya koperasi secara sehat dan mandiri. Yang pasti adalah antara pemerintah dan gerakan koperasi harus ada keserasian, jangan sampai dipertentangkan, dan pembangunan koperasi harus dianggap sebagai tanggung jawab bersama, sesuai dengan semangat kekeluargaan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bagi dunia koperasi sendiri, tantangannya adalah membangun koperasi menjadi andal dan mandiri. Tantangan yang paling utama dalam upaya ini adalah membangun kelembagaannya dan sumber daya manusia koperasi. Sebagai suatu bangun usaha koperasi harus mampu membangun kemampuan wirausaha (entrepreneurship). Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan di samping pemberian perlindungan dan kesempatan berusaha, merupakan unsur pembinaan koperasi yang amat pokok. Dengan demikian, rakyat yang berkoperasi harus diupayakan meningkat kesadaran berekonomi, mampu aktif berproduksi, dan mampu menarik serta memanfaatkan kesempatan ekonomi. Pengembangan efektivitas dan kualitas kelembagaan koperasi dari tingkat terbawah sampai pada tingkat pembinaan di atas, juga teramat penting. 81
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pemerintah dan swasta nasional mengemban misi serupa dalam memajukan dan membangun koperasi Indonesia. Dalam kesamaan misi ini maka kerja sama antara pemerintah dan usaha swasta mutlak diperlukan. Pemerintah mempunyai peran membina dengan menumbuhkan iklim kondusif bagi tumbuhnya koperasi dari bawah, sebagai gerakan peningkatan partisipasi dan produktivitas rakyat. Tujuannya adalah membuat rakyat mampu untuk mandiri. Pemerintah melindungi dan sekaligus menolong koperasi yang merupakan gerakan ekonomi rakyat sebagai upaya untuk menumbuhkan kelas menengah yang tangguh. Usaha swasta harus juga turut berperan, dengan membuka diri untuk memberi kesempatan kepemilikan oleh koperasi dan membantu dengan bermitra dalam kegiatan dan dengan cara yang efektif, edukatif, dan partisipatif, yang dilakukan secara ikhlas dan saling menguntungkan. Namun, pada dasarnya gerakan itu sendirilah yang berkoperasi secara aktif dan nyata, bukan pihak lain.
82
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
5. Kemitraan Usaha Ada dugaan bahwa terdapat masalah dalam tatanan dan iklim usaha di Indonesia sehingga dipandang perlu untuk mengatasinya dengan upaya-upaya yang strategis. Dasar pertimbangannya adalah pandangan bahwa ada kepincangan dalam mesin perekonomian yang menyebabkan perekonomian tidak berfungsi secara optimal. Seperti kepincangan pada semua jenis mesin, kepincangan pada mesin perekonomian menyebabkan mesin tidak berjalan mulus, tidak efisien, sering tersendat-sendat, dan boros dalam penggunaan sumber daya. Keadaan itu tercermin antara lain dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, kalau tumbuh sedikit tinggi saja menyebabkan laju inflasi meningkat. Negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga yang mesin perekonomiannya lebih efisien mencatat pertumbuhan yang jauh lebih tinggi, tanpa banyak terganggu oleh laju inflasi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mampu menghasilkan tingkat pendapatan nyata yang lebih tinggi, dan merangsang gerak perekonomian selanjutnya. Mesin perekonomian Indonesia yang pincang itu juga menunjukkan adanya kesenjangan struktural, yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Keseluruhannya itu terjadi justru dalam dunia yang makin ketat persaingannya, yang menuntut ketahanan dan efisiensi yang lebih tinggi. Proses globalisasi menuju ekonomi dunia yang makin menyatu, menuntut mesin perekonomian berjalan dengan serasi, dan dengan demikian berdaya saing tinggi. Globalisasi, selain membuka peluang yang besar, juga merupakan tantangan terutama bagi sektor ekonomi yang tertinggal dalam proses modernisasi karena dapat mengakibatkan ketertinggalan yang makin jauh, yang berarti kesenjangan yang makin melebar. Usaha memecahkan masalah ini menuntut perhatian dan konsentrasi upaya yang besar. Salah satu di antaranya adalah kemitraan. Kemitraan dilakukan di antara para pelaku ekonomi itu sendiri. Namun, peran pemerintah tidak dapat diabaikan, bahkan sangat menentukan. Dalam hubungan itu, maka tinjauan khusus mengenai peran birokrasi dalam pengembangan kemitraan dirasa perlu untuk dilakukan. Topik ini menjelaskan pokok-pokok pemikiran mengenai kemitraan usaha dan peran birokrasi.
Permasalahan Struktural Dunia Usaha Nasional Dunia usaha di Indonesia dalam dekade terakhir ini telah berkembang dengan pesat, dan telah memberikan sumbangan yang nyata bagi pembangunan nasional, bagi pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penerimaan devisa, dan penerimaan negara. Namun, kinerja tersebut ternyata tidak didukung oleh struktur yang mantap. Ada masalah struktural dalam dunia usaha yang ditunjukkan oleh adanya lapisan pengusaha besar yang relatif sedikit jumlahnya namun menguasai bagian besar aset produktif, sedangkan lapisan pengusaha kecil sebagai dasar perekonomian rakyat dan merupakan bagian terbesar dari pengusaha, kurang andal dan hanya menguasai sebagian kecil aset nasional.32 Sementara itu, lapisan pengusaha menengah yang seharusnya merupakan tulang punggung
32
Sebanyak 32,6 juta atau 97,4 persen dari jumlah seluruh usaha rumah tangga dan perusahaan pada tahun 1992 (33,5 juta) adalah usaha yang memiliki output/omset/SHU rata-rata kurang dari Rp50 juta per tahun. Lebih jauh lagi, usaha kecil tersebut tersebar secara tidak merata di 9 sektor yaitu: pertanian (21,3 juta); perdagangan (5,4 juta); industri pengolahan (2,4 juta); jasa lainnya (1,3 juta); angkutan (1,2 juta); pertambangan/penggalian (87,2 ribu); keuangan dan asuransi (19,6 ribu); bangunan/konstruksi (847,6 ribu); serta listrik, gas dan air (16,5 ribu) (BPS, Informasi Pengusaha Kecil di Indonesia tahun 1992, Jakarta, Maret 1994).
83
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
pengembangan dunia usaha ternyata kurang tangguh dan jumlahnya juga tidak memadai sehingga menimbulkan keadaan "hollow middle" (kekosongan di tengah). Kesenjangan itu merupakan akibat dari tidak meratanya pemilikan sumber daya produksi dan produktivitas, serta sistem distribusi dan pasarnya, di antara para pelaku ekonomi. Kelompok masyarakat dengan pemilikan faktor produksi terbatas dan produktivitas rendah yang menghasilkan tingkat kesejahteraan rendah dihadapkan pada kelompok pelaku ekonomi maju, berkembang dan kuat. Maka kesenjangan pun telah terjadi dan berlanjut selama beberapa waktu. Kesenjangan itu telah menyebabkan terjadinya dikotomi, yaitu antara pelaku ekonomi kuat dan pelaku ekonomi lemah, serta menumbuhkan rasa ketidakadilan. Dualisme dalam perekonomian Indonesia itu tidak mudah untuk dihilangkan karena menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses pasar, dan sumber daya manusia. Kenyataan ini menyebabkan pula perekonomian Indonesia sulit untuk tinggal landas secara serempak di seluruh wilayah tanah air, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan dan pedalaman yang jumlahnya lebih besar dan masih menghadapi tantangan berat untuk dapat mengaitkan kegiatan ekonomi mereka dengan sistem perekonomian modern yang sangat menekankan pentingnya efisiensi dan produktivitas. Kesenjangan struktural ini tercermin, baik dalam kegiatan produksi, distribusi, maupun permodalan. Dengan struktur dunia usaha yang seperti itu, perekonomian nasional menjadi kurang kukuh dan demokrasi ekonomi tidak mudah diwujudkan. Padahal sebenarnya, usaha menengah dan kecil, termasuk koperasi, serta usaha informal dan tradisional, memiliki potensi yang besar dalam memperkukuh struktur dunia usaha serta mampu menciptakan kesempatan usaha dan lapangan kerja sehingga meningkatkan pendapatan rakyat. Proses membesarnya kesenjangan itu harus dihentikan. Caranya memang tidak dengan menghambat upaya meningkatkan efisiensi perekonomian, yang antara lain dilakukan dengan deregulasi, tetapi dengan upaya mendorong percepat-an perubahan struktural, yang memperkuat ekonomi usaha kecil dan ekonomi rakyat pada umumnya, serta membangun lapisan menengah yang kukuh dan andal. Perubahan struktural ini meliputi proses perubahan ekonomi tradisional ke ekonomi modern, ekonomi yang lemah ke ekonomi yang tangguh, ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dan dari kedudukan ketergantungan ke kedudukan kemandirian. Upaya ini antara lain dilakukan melalui program-program kemitraan.
Makna Kemitraan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kata "disusun" dalam pasal tersebut mengisyaratkan perlunya peran aktif pemerintah dalam menjabarkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam amanat tersebut ke dalam nilai-nilai normatif-praktis yang sesuai. Dalam GBHN 1993 amanat tersebut telah dijabarkan dalam berbagai petunjuk sebagai landasan bagi program-program pembangunan. Salah satu instrumen untuk mewujudkan asas kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam perekonomian nasional adalah kemitraan usaha. Kemitraan, terutama dalam dunia usaha, adalah hubungan antarpelakunya yang didasarkan pada ikatan usaha yang saling menguntungkan dalam hubungan kerja sinergis, yang hasilnya bukanlah suatu zero-sum game, tetapi positive-sum game atau win-win situation. Dengan perkataan lain, kemitraan usaha merupakan hubungan kerja sama antarusaha yang sejajar, dilandasi oleh prinsip saling menunjang, dan saling menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Setiap pelaku usaha, memiliki potensi, kemampuan, dan keistimewaan sendiri, walaupun berbeda ukuran, jenis, sifat, dan tempat usahanya. Setiap pelaku usaha juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Di dalam kelebihan dan kekurangan itu timbul keperluan kerja sama dan kemitraan. Kemitraan bukan sebuah konsep baru. Dalam dunia 84
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
bisnis internasional sudah lama dikenal dan dipraktikkan, dengan berbagai nama, seperti strategic alliance.33 Dalam dunia yang makin sarat dengan persaingan, justru kerja sama dan kemitraan menjadi makin marak dalam praktik bisnis. Banyak pengamat menunjukkan betapa kecenderungan di dunia usaha sekarang bukan kepada membangun usaha yang makin besar, tetapi kepada unit-unit usaha yang kecil atau menengah dan independen sehingga menjadi lincah dan cepat tanggap dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang cepat di pasar. Peluang pasar juga akan terdiri bukan atas peningkatan permintaan yang besar, tetapi atas peluang-peluang kecil (smaller market niches). Dengan demikian, maka pola yang akan terjadi bukan penguasaan vertikal atau horizontal, seperti gejala umum pada dasawarsa-dasawarsa terakhir abad kedua puluh ini, tetapi adalah kerja sama atau dalam konsep kemitraan.34 Peran pengusaha kecil di negara maju sangat besar dalam perekonomian mereka. Menurut Naisbitt (1994), 50 persen ekspor Amerika dilakukan oleh perusahaan dengan pekerja kurang dari 20 orang. Hanya 7 persen ekspor Amerika dilakukan oleh perusahaan yang jumlah pekerjanya di atas 500 orang; 90 persen ekonomi Amerika dikuasai oleh usaha kecil dan menengah (tentunya menurut ukuran mereka).35 Hal yang serupa juga terjadi di Jerman dan Jepang, serta negara-negara lain yang ekonominya kuat. Dengan demikian, bahwa dalam ekonomi Indonesia, sebagian besar adalah usaha kecil, sebenarnya tidak perlu menjadi masalah, asalkan usaha kecil itu kuat kedudukan persaingannya. Kemitraan merupakan upaya bersama untuk memperkuat kemampuan bersaing. Tujuannya adalah untuk membangun tatanan dunia usaha yang kuat dengan tulang punggung usaha menengah yang tangguh, saling mendukung dengan usaha kecil dan usaha besar, melalui ikatan-ikatan kerja sama ke depan dan ke belakang. Kemitraan meliputi bidang produksi, distribusi, dan permodalan. Kemitraan tidak boleh diartikan sebagai penguasaan yang satu atas yang lain. Kemitraan harus menjamin kemandirian masing-masing pihak. Dengan pola yang demikian, maka prakarsa dan daya kreasi akan berkembang, karena kemitraan tidak menghilangkan persaingan. Dalam suasana persaingan yang sehat, kemitraan justru akan tumbuh lebih subur. Kemitraan mendukung efisiensi ekonomi karena pihak-pihak yang bermitra masingmasing menawarkan sisi-sisi unggulnya. Melalui kemitraan kita dapat menghindarkan diri dari kecenderungan monopoli. Monopoli menyebabkan distorsi dalam pasar, sedangkan kemitraan memperkuat mekanisme pasar, dengan sekaligus menghindari persaingan yang tidak sehat dan saling mematikan. Dengan demikian, hakikat kemitraan tidak sama, bahkan berlawanan dengan sifat kartel atau kerja sama lain untuk menguasai pasar, yang menjurus ke arah monopoli dan oligopoli, atau monopsoni dan oligopsoni. Kemitraan memberikan jawaban terhadap kecenderungan dari "economies of scale" ke "diseconomies of scale", yang dialami oleh perusahaan-perusahaan yang tumbuh menjadi ter-
33
Lynch menyatakan: “Alliances are, unquestionably, one of the most important weapons in a business’s strategic arsenal. Alliances extend corporation’s boundaries and potentialities to new limit by finding new synergies and leveraging precious resources for competitive advantages” (Robert P. Lynch, Business Alliances Guide: The Hidden Competitive Weapon, John Wiley and Sons, Inc., 1993, hlm. 311).
34
Naisbitt, antara lain mengatakan: “Competition and cooperation have become the yin and yang of the global marketplace. Like yin and yang they are always seeking balance and always changing” (John Naisbitt, Global Paradox: Megatrends, The Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players, New York: William Morrow Company, Inc., 1994, hlm. 18).
35
Naisbitt, Ibid, hlm. 13.
85
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
lalu besar. Kemajuan teknologi telah memungkinkan kebutuhan-kebutuhan khusus dan berskala kecil dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah tanpa kehilangan efisiensi usahanya. Kemakmuran yang meningkat juga telah melahirkan kelas konsumen yang berpendapatan cukup tinggi (affluent) dan tidak mau begitu saja membeli barang yang seragam yang dihasilkan oleh metode produksi masal model lama (mass production). Kebutuhan mereka makin terspesialisasi, dan harus dipenuhi dengan skala produksi yang kecil tetapi efisien. Upaya ini dapat dicapai melalui kemitraan antara usaha yang satu dan usaha yang lain. Demikianlah, beberapa pandangan yang mendasar mengenai kemitraan yang tentunya penerapannya perlu diserasikan dengan kondisi dan kebutuhan sendiri.
Bentuk-bentuk Kemitraan Dapat dimaklumi apabila terdapat keraguan di antara sementara pihak yang beranggapan bahwa program kemitraan adalah program belas kasihan, yang lebih merupakan kewajiban sosial daripada kepentingan ekonomi, yang cenderung mengarah kepada inefisiensi, dan karenanya tidak akan dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana diharapkan. Dalam kenyataannya memang ada program kemitraan yang gagal karena pendekatannya yang keliru. Namun, tidak sedikit program kemitraan yang berhasil. Program kemitraan subkontrak (sub-contracting), yaitu usaha kecil menghasilkan komponen yang dibutuhkan usaha besar mitra usahanya, merupakan salah satu contoh pola kemitraan dengan model keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang telah terbukti keampuhannya dalam menumbuhkembangkan usaha kecil di berbagai negara maju dan negara industri baru. Syarat bagi keberhasilan kemitraan usaha adalah adanya imbalan renumeratif yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, untuk dapat berhasil, program kemitraan, di samping saling menguntungkan, juga harus adil dan dinamis. Adil, dalam arti kemitraannya tidak bias kepada salah satu pihak, misalnya yang kuat, tetapi harus sesuai dengan sumbangan masing-masing pihak dalam bermitra. Dinamis, dalam arti tidak terpaku pada suatu keadaan, tetapi senantiasa berkembang, sehingga efektivitas, produktivitas, dan kualitas usaha kemitraan senantiasa berkembang pula. Pengembangan kemitraan ini memerlukan waktu dan menuntut kesabaran, keterbukaan, kearifan, dan ketekunan dari semua pihak. Namun, keberhasilannya mempunyai dampak yang tidak kecil karena bukan saja menguntungkan pihak-pihak yang terlibat, tetapi secara lebih luas akan besar dampaknya pada pembentukan tatanan dan pengembangan iklim dunia usaha yang kuat, sehat, dan bergairah. Dalam upaya mengembangkan dunia usaha yang demikian, terdapat beberapa bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan. Pertama, ialah kemitraan antarskala usaha. Khususnya kemitraan antara pengusaha atau industri besar dan pengusaha atau industri kecil serta menengah, termasuk di sini hubungan antara BUMN, swasta, dan koperasi. Memang kemitraan secara luas telah dilakukan di dunia bisnis internasional pada skala usaha yang sama, tetapi bentuk kemitraan yang dimaksud pada topik ini adalah antarskala usaha. Dengan kemitraan, maka dualisme dalam struktur industri dapat diatasi. Bahkan, menurut Hughes (1992), sebagai hasil penelitian yang dilakukan untuk Bank Dunia dan UNIDO, kemitraan dapat menghasilkan sinergi yang mendorong proses industrialisasi.36 36
Hughes menunjukkan bahwa â€œâ€Ś it has become evident in recent years that dualism in the structure of manufacturing can be a strong and healthy trend in the industrialization process, providing there is vigorous and creative interaction between the large-scale modern manufacturing sector and the more traditional small-scale sectorâ€? (Helen Hughes, “Achievements and Objectives of Industrializationâ€?, dalam John Cody, Helen Hughes, dan David Wall, Policies for Industrial Progress in Developing Countries, Oxford: Oxford University Press, 1982, hlm. 17).
86
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kedua, ialah kemitraan usaha antardaerah atau antarkawasan. Mendorong meningkatnya kemitraan antarskala usaha saja tidak cukup. Terutama Indonesia, karena potensinya yang begitu luas untuk peningkatan perekonomian, maka kemitraan antardaerah atau antarkawasan juga menjadi penting untuk diperhatikan. Meningkatnya kemitraan usaha antardaerah atau antarkawasan akan mendukung secara tidak langsung upaya membangun dunia usaha yang kuat. Ketiga, ialah kemitraan usaha antarsektor. Pada saat ini, sektor industri dan jasa tumbuh dengan pesat, sementara sektor pertanian tertinggal pertumbuhannya. Kemitraan antarsektor ini tercermin antara lain dalam pengembangan agroindustri dan agrobisnis. Dengan kemitraan antarsektor, keuntungan komparatif berdasarkan potensi masing-masing sektor dapat dioptimalkan dan kegiatan ekonomi dapat terwujud dalam suatu rangkaian kegiatan yang terpadu. Keempat, ialah kemitraan dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan iptek. Ini merupakan aspek yang amat penting dalam program kemitraan. Pelatihan sumber daya manusia dan bantuan teknologi bagi mitra akan meningkatkan efektifitas dan keuntungan yang akan diperoleh dari kerja sama kemitraan.
Peran Pemerintah dalam Mendorong Kemitraan Usaha Setelah membahas berbagai pemikiran dan konsep kemitraan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah berperan dalam mengembangkan kemitraan. Pertama-tama tentunya ingin diketahui apakah perlu ada peran pemerintah. Apakah kemitraan tidak dibiarkan saja berkembang di antara dan di dalam dunia usaha sendiri, atau diserahkan kepada para pelakunya sendiri? Apakah intervensi pemerintah justru tidak berlawanan arah dengan gerakan deregulasi dan debirokratisasi yang menjauh dari terlalu banyaknya campur tangan pemerintah? Jika dilihat perkembangan di negara maju, kerja sama antarusaha yang di sini disebut kemitraan, didorong terutama oleh adanya kebutuhan mereka, dan karena mendatangkan keuntungan sehingga tidak perlu lagi ada yang menyuruh. Seperti dikatakan Ozaki (1991), di Jepang kemitraan merupakan salah satu ciri dari apa yang disebutnya organized market.37 Bagaimana di Indonesia? Sikap yang spontan tentunya adalah ingin menyatakan alangkah baiknya apabila kemitraan itu diprakarsai oleh dunia usaha sendiri. Dengan demikian, kemitraan dapat berlangsung secara alamiah. Dalam jangka panjang, memang kondisi itu yang ideal dan sesuai dengan naluri dan prinsip ekonomi yang berorientasi pasar. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa iklim dan kondisi ekonomi Indonesia belum menciptakan rangsangan ke arah kemitraan yang semata-mata atas prakarsa dunia usaha sendiri tanpa adanya dorongan dari pemerintah. Kenyataan menunjukan betapa kuatnya kecenderungan usaha besar untuk menguasai mata rantai produksi, bahkan sampai kepada distribusi dan institusi pembiayaan. Kemitraan, meskipun sudah dijalankan, antara lain melalui konsep "bapak angkat", belum membudaya dan belum melembaga, serta belum tercipta sebagai kebiasaan dalam praktik bisnis. Kemitraan yang sudah berjalan selama ini, berlangsung karena ada himbauan dari pemerintah. Memang ada pula usaha besar yang bermitra dengan usaha yang lebih kecil
37
“Large manufacturing firms in Japan extensively practice subcontracting as a means of avoiding the diseconomies of scale (problems that arise when a company gets too big) and of developing the strategic flexibility of the firm by taking full advantage of the organized market (Robert Ozaki, Human Capitalism: The Japanese Enterprise System as World, Middlesex, Harmondsworth: Penguin Books Ltd., 1991, hlm. 51).
87
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
semata-mata didasarkan pada motivasi ekonomi, karena ternyata lebih menguntungkan. Namun, jumlahnya relatif kecil. Berdasarkan pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pemerintah tetap harus berperan, setidaknya sampai kemitraan dapat berjalan dengan momentumnya sendiri. Intervensi pemerintah tidak selalu buruk, bahkan intervensi yang tepat diperlukan untuk menciptakan iklim yang baik untuk pengembangan dunia usaha.38 Jika demikian halnya, maka ada beberapa prinsip yang dapat dikembangkan dalam meninjau peran pemerintah dalam memajukan kemitraan usaha. Pertama, pemerintah harus menunjukkan bahwa kemitraan itu menguntungkan, dan tidak membebani atau merugikan. Di sini peranannya adalah mendidik (to educate). Hal ini teramat penting, karena prinsip saling menguntungkan adalah mendasar dalam kemitraan. Kedua, berkaitan erat dengan prinsip pertama tadi, pemerintah harus membantu menunjukkan (to guide) bagaimana kemitraan dapat dijalankan dengan cara menguntungkan. Apakah dengan cara subkontrak atas suatu bagian dari pekerjaan, penyediaan bahan baku atau komponen, pemasaran, atau bentuk lainnya. Perlu dikembangkan pengetahuan mengenai cara kemitraan yang menjamin adanya keuntungan bagi pihak-pihak yang bermitra. Kegagalan pada tahap awal akan membuat jera (discouraged) untuk melakukan upaya kemitraan selanjutnya. Ketiga, pada tahap awal pula, mungkin diperlukan upaya mempertemukan (matchmaking) calon-calon mitra usaha atas prakarsa pemerintah, terutama dalam keadaan di mana informasi mengenai dunia usaha, terutama usaha-usaha yang potensial untuk menjadi mitra, tidak tersedia secara luas. pemerintah dapat berperan sangat efektif dengan menyebarluaskan informasi mengenai dunia usaha dan potensi kemitraan, bersama-sama dengan dunia usaha sendiri, misalnya Kamar Dagang dan Industri (KADIN) atau asosiasi-asosiasi pengusaha. Keempat, pemerintah meneladani, dengan memelopori (to pioneer) kemitraan melalui badan-badan usaha yang dimilikinya sendiri, baik BUMN, BUMD, maupun bank milik pemerintah. Akan menjadi tanda tanya apabila di satu pihak pemerintah menganjurkan kemitraan, tetapi di pihak lain, badan usaha miliknya sendiri tidak melakukannya. Usaha ke arah itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan bukan hanya dalam ucapan saja (lips service). Kewajiban bagi BUMN ini jangan dianggap berhenti karena perusahaan itu telah menyetorkan satu sampai lima persen dari keuntungan. Proses dan tahapan swastanisasi BUMN juga tercermin dalam kegiatan kemitraan, yaitu usaha-usaha yang biasanya dilakukannya sendiri, sekarang dipercayakan pada usaha swasta, yaitu swasta menengah dan kecil dalam hubungan kemitraan. Kelima, jika langkah-langkah tersebut belum efektif mendorong kemitraan, paling tidak pada tahap awal dapat dipikirkan untuk menggunakan sistem insentif dan disinsentif guna mendorong terjadinya kemitraan. Sistem insentif dan disinsentif tidak menghilangkan hak memilih pelaku-pelaku ekonomi yang bersangkutan ď‚ž yang sangat mendasar pada sistem ekonomi pasar ď‚ž tetapi memberi bobot pada pilihan ke arah mengembangkan kemitraan. Sistem insentif dan disinsentif yang bagaimana, yaitu yang efektif dan tidak justru merugikan (counter productive), tentu dapat dipikirkan setelah prinsipnya disepakati. Kemitraan untuk
38
Seperti dikatakan oleh Naya: “At a more fundamental level, the central issue is not government intervention per se but the nature of that intervention. It is not just a question of government versus private sector but, more important, how government can create the best environment for a successful, competitive, and technologically dynamic private sector. Growth-oriented governments have been able to promote private sector initiative and development through favorable policies� (Seiji Naya, Private Sector Development and Enterprise Reforms in Growing Asian Economies, San Francisco, California: An International Center for Economic Growth Publication, 1990, hlm. 15).
88
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
mengembangkan SDM dan iptek terutama akan sangat terdorong oleh adanya insentif tambahan ini. Keenam, terkait dengan yang telah diutarakan, melalui kewenangan pengaturan dan berbagai kebijaksanaan, pemerintah dapat mengembangkan kemitraan. Seperti pengaturan dan kebijaksanaan tentang perizinan yang memberikan kesempatan untuk membuka usaha dan meningkatkan skala usaha kecil (mengurangi barriers to entry); pengaturan kebijaksanaan pengadaan bahan yang menampung kelebihan produksi usaha kecil (buffer program); penerapan kebijaksanaan harga yang adil melalui subsidi silang bagi skala usaha kecil dengan usaha besar; serta kebijaksanaan menjaga dasar nilai tukar barang yang dihasilkan oleh usaha kecil terhadap usaha besar yang menjamin adanya daya beli yang stabil bagi usaha kecil. Ketujuh, berbagai lembaga dan instrumen ekonomi lain, yang dikuasai oleh pemerintah, dapat pula mendukung kemitraan. Misalnya, pengembangan modal ventura dan guarantee fund. Dalam rangka ini, pemerintah dapat mengembangkan program percontohan model kemitraan yang menjamin kaitan sektor (backward dan foreward linkages), yakni sejak dari penyediaan bahan baku, penyiapan sumber daya manusia yang terampil, penyediaan teknologi yang tepat, peluang pemasaran, sampai pemberian bimbingan dalam pembentukan modal. Model pengembangan semacam ini telah ada dan dikenal, antara lain, dengan nama business incubator atau small business development program. Dalam program percontohan semacam ini, pemerintah mengambil prakarsa dengan mengikutsertakan sejak awal usaha kecil dan besar, dan kemudian secara bertahap peran pemerintah diperkecil. Kedelapan, untuk mendukung kemitraan yang lebih luas, seperti kemitraan antardaerah dan antarsektor, kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan sektoral termasuk pembangunan prasarana, baik fisik maupun sosial, harus lebih terarah dan terkoordinasikan, serta merangsang terjadinya kemitraan itu. Apabila uraian di atas diikuti, akan tampak jelas bahwa peran pemerintah yang efektif adalah yang bersifat mendorong (to motivate) dan bukan memaksa (to coerce). Sekali ada kesan paksaan, kegiatan kemitraan akan berubah sifat menjadi simbol-simbol saja untuk menghindar dari sesuatu yang lebih ditakuti. Akibatnya, sifat mendasar dalam kemitraan, yaitu "suka sama suka", tidak akan ada dan namanya bukan lagi kemitraan, tetapi "kawin paksa". Dari uraian di atas diharapkan dapat tertangkap pesan, betapa besarnya manfaat kemitraan bagi perkembangan dunia usaha dan kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Kemitraan adalah sebuah konsep bisnis yang menjanjikan keuntungan bagi pihak-pihak yang terkait. Disadari bahwa usaha ke arah itu tidaklah mudah, dan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terutama prakarsa yang datang dari dunia usaha sendiri. Namun, sebelum melembaga dalam masyarakat bisnis dan berkembang menjadi budaya bisnis, pemerintah bersama birokrasinya harus berperan, bahkan perannya itu menentukan. Peran tersebut haruslah tepat bentuk dan kadarnya, agar kemitraan dapat berkembang secara sehat dan efektif.
6. Membangun Kemitrasejajaran Pria dan Wanita melalui Konsep Pemberdayaan Masyarakat bangsa-bangsa di dunia, dalam konferensi Dunia tentang Wanita IV di Beijing pada tahun 1995, telah menyepakati langkah-langkah bersama untuk mengatasi masalah kesenjangan antara wanita dan pria dalam kehidupan umat manusia. Masalah kesenjangan ini pada sebagian besar masyarakat di dunia sudah merupakan warisan sejarah dan gejala budaya, yang terkait erat dengan hubungan manusia dengan alam serta persepsi manusia tentang perbedaan jender di antara laki-laki dan perempuan. Secara 89
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
empiris manusia melihat adanya perbedaan biologis, disertai dengan persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan setiap jender. Atas dasar itu manusia mengatur pembagian tugas antara wanita dan pria dalam rumah dan masyarakat. Pergerakan emansipasi wanita di dunia adalah upaya untuk mengoreksi citra serta kondisi sosial yang senjang itu. Di Indonesia perjuangan kaum wanita sudah berjalan lama, bahkan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pemimpinpemimpin perjuangan kemerdekaan wanita menghiasi sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Lama sebelum meraih kemerdekaannya, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah tidak lagi membedakan wanita dari pria. Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas tidak membedakan antara pria dan wanita, dan menyatakan bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Bahkan, tidak ada satu pun peraturan perundangan di dalam tatanan hukum Indonesia yang membedakan antara pria dan wanita. Kalaupun ada, sifatnya adalah untuk melindungi dan bukan untuk mengurangi hak kaum wanita. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi kaum wanita Indonesia masih tertinggal dalam segala aspek kehidupan, baik di bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial. Dengan demikian, terdapat masalah yang lebih mendasar selain dari norma-norma hukum, yang harus dikaji dan ditangani secara sungguh-sungguh untuk mengatasi masalah kesenjangan ini. Dalam masa Orde Baru, upaya untuk meningkatkan peran wanita dan menghapus kesenjangan antara pria dan wanita telah banyak dilakukan. Dengan atau tanpa kesepakatan internasional, upaya itu telah dan akan terus dilakukan. Namun, komitmen bersama bangsabangsa di dunia akan menempatkan persoalan ini pada tataran yang lebih tinggi dan memungkinkan adanya kerja sama internasional untuk menunjang program-program nasional. Kesepakatan itu akan dapat mendorong dimanfaatkannya sumber daya di negara maju guna membantu negara-negara berkembang, yang mempunyai sumber daya sangat terbatas, untuk memperbaiki nasib kaum wanita dan menghapus kesenjangan antara pria dan wanita. Oleh karena itu, upaya sosialisasi hasil-hasil Konferensi Beijing untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa persoalan ini sudah menjadi perhatian dunia harus didukung. Dengan demikian, tekad dan komitmen bangsa Indonesia juga bisa diperkuat untuk lebih meningkatkan lagi usaha meningkatkan harkat dan derajat kaum wanita, serta mengembangkan potensi perannya dalam pembangunan. Untuk itu, konsep-konsep yang realistis dan praktis harus dikembangkan karena konsep-konsep idealnya sudah cukup diketahui oleh masyarakat. Salah satu di antara konsep yang tepat itu adalah konsep yang menggunakan pendekatan pemberdayaan.
Masalah Kaum Wanita di Indonesia Seperti telah dikemukakan di atas, sesungguhnya tidak ada peraturan atau kebijaksanaan yang menghambat wanita di Indonesia untuk berperan penuh dalam segenap aspek kehidupan. Baik secara politis maupun dalam bidang ekonomi tidak terdapat hambatan bagi kemajuan kaum wanita di Indonesia. Juga tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa investasi untuk sumber daya manusia (SDM) pria akan menghasilkan keuntungan (returns) yang lebih tinggi, dibandingkan untuk kaum wanita. Bahkan banyak studi yang menunjukkan sebaliknya, yakni investasi SDM wanita (di bidang pendidikan, pelatihan, dan kesehatan) menghasilkan returns yang lebih tinggi, melalui peningkatan produktivitasnya. Memang terdapat kekhawatiran bahwa investasi pada wanita tidak menghasilkan keuntungan (returns) karena wanita akan kawin dan tidak bekerja, padahal telah dilakukan banyak investasi. Hal inilah yang mempengaruhi perencanaan investasi dalam rumah tangga yang investasi untuk anak laki-laki sering lebih besar daripada untuk anak perempuan dalam rumah tangga yang kemampuan keuangannya tidak berlebihan. Namun, kekhawatiran ini 90
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
tidak berdasar karena investasi SDM wanita, selain akan meningkatkan produktivitasnya, juga akan memberikan nilai tambah kepada masyarakat berupa penurunan angka kelahiran, angka kematian bayi, perbaikan tingkat dan mutu pendidikan serta gizi anak (dari wanita yang berpendidikan). Walaupun demikian, karena alokasi sumber daya lebih sedikit diberikan kepada kaum wanita, maka tingkat pendidikan dan derajat kesehatannya pada umumnya lebih rendah. Hal ini mengakibatkan produktivitas kaum wanita menjadi lebih rendah, bukan karena sematamata kodratnya sebagai wanita, tetapi karena investasi dalam modal manusia (human capital) yang ada dalam dirinya memang lebih rendah. Akibatnya, upahnya lebih kecil dan jabatannya selalu terbatas pada tingkat rendah. Sebagai akibat selanjutnya, makin kuat kesan dalam masyarakat bahwa di situlah memang tempatnya wanita, di samping sebagai "pekerja rumah tangga" yang tidak berupah, kecuali memperoleh bagian dari penghasilan anggota keluarga prianya. Dengan demikian, persoalannya bukanlah persoalan sikap politik, aturan hukum atau kaidah-kaidah ekonomi, melainkan persoalan budaya, atau apa yang disebut Bank Dunia sebagai social conventions and norms. Angka-angka statistik menunjukkan gejala itu dengan jelas. Pada umumnya pekerja perempuan Indonesia (pada tahun 1992) menerima upah 40 persen lebih rendah daripada lakilaki. Keadaan tersebut memprihatinkan apabila dibandingkan dengan keadaan di Filipina dan Thailand di mana upah pekerja perempuan hanya 20 persen lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Di Indonesia, perbedaan upah pekerja perempuan dan laki-laki terlihat mencolok pada pekerja yang berpendidikan rendah. Pada tahun 1991 rata-rata upah atau gaji pekerja perempuan yang tidak tamat SD 53 persen lebih rendah daripada upah pekerja laki-laki, yang mempunyai tingkat pendidikan yang sama. Sedangkan pekerja perempuan yang berpendidikan SMTA memperoleh upah 79 persen dari upah pekerja laki-laki. Perbedaan upah juga bervariasi menurut sektor produksi. Rata-rata upah pekerja perempuan di industri makanan hanya sekitar 43 persen dari rata-rata upah pekerja laki-laki. Sedangkan pekerja perempuan di industri tekstil menerima upah sebesar 83 persen dari upah pekerja laki-laki. Di sektor perdagangan, pekerja perempuan menerima upah sebesar 74 persen dari upah pekerja laki-laki. Dilihat dari status pekerjaan, pada tahun 1994 perempuan di perdesaan lebih banyak bekerja sebagai pekerja keluarga atau tenaga kerja tak dibayar, yaitu 49 persen dari jumlah pekerja perempuan umur 10 tahun ke atas, di perdesaan dan hanya 17 persen yang bekerja sendiri tanpa dibantu orang lain, sedangkan 17 persen lagi sebagai karyawan atau buruh. Pola yang sama juga terlihat di perkotaan. Jumlah wanita sebagai pekerja keluarga masih cukup besar, yaitu 18 persen, sedangkan laki-laki yang bekerja sebagai pekerja keluarga hanya 5 persen. Dipandang dari sudut pendidikan, secara nasional perbedaan angka partisipasi di berbagai jenjang pendidikan antara murid wanita dan laki-laki, sudah jauh berkurang. Di tingkat pendidikan dasar, kesenjangan itu sudah hampir tidak ada. Pada awal PJP I murid wanita yang bersekolah di SD sebanyak 6,2 juta, dan murid laki-laki sebanyak 7,5 juta, atau rasionya adalah 83,1 persen. Pada tahun 1995/96, angka tersebut telah meningkat menjadi 12,5 juta murid wanita dan 13,5 juta murid laki-laki, atau rasionya meningkat menjadi 92,8 persen. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1994 dari BPS juga menguatkan angka tersebut. Rasio murid perempuan terhadap murid laki-laki yang masih bersekolah di SD adalah 9:10. Meskipun belum sebaik di jenjang pendidikan dasar, kesenjangan partisipasi murid wanita dan pria di SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi juga menunjukkan kecenderungan yang mengecil. Pada awal PJP I rasio murid perempuan terhadap murid laki-laki yang bersekolah di SLTP adalah 62,7 persen, dan rasio tersebut untuk SLTA adalah sebesar 51,5 persen. Pada tahun 1995/96 rasio tersebut masing-masing meningkat menjadi 89,2 persen dan 84,2 persen.
91
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kesenjangan tingkat buta aksara antara wanita dan pria juga berkurang. Bila pada awal PJP I (tahun 1971) penduduk wanita usia 10 tahun ke atas yang buta aksara sebesar 31,8 persen lebih banyak dari pria, maka pada tahun 1995 kesenjangan ini menurun menjadi 9,9 persen. Kecenderungan tersebut mengikuti pola di negara-negara berkembang umumnya, yaitu tingkat buta aksara umumnya menurun, tetapi jumlah wanita yang buta aksara tetap masih lebih banyak daripada pria. Ditinjau dari indikator kesehatan dan gizi, angka harapan hidup rata-rata penduduk pada umumnya makin panjang dalam dua dasawarsa terakhir. Di negara-negara maju, wanita mempunyai harapan hidup 6 sampai 8 tahun lebih panjang dari laki-laki. Di negara-negara berkembang, perbedaan harapan hidup tersebut lebih kecil, yaitu 2 sampai 3 tahun. Bahkan di negara-negara yang sangat terbelakang, usia harapan hidup wanita lebih pendek. Meskipun sebenarnya wanita mempunyai keunggulan dalam sifat-sifat biologisnya, ternyata angka kesakitan dan angka kematian wanita lebih tinggi daripada pria, terutama pada masa kanakkanak dan pada masa reproduksi. Setiap tahunnya menurut Bank Dunia, diperkirakan sekitar 500 ribu wanita di dunia meninggal karena komplikasi kehamilan dan kelahiran. Angka kematian ibu melahirkan (AKI) di Indonesia pada periode 1980-1992 adalah sebesar 450 perseratus ribu kelahiran. Dibandingkan dengan negara berkembang di kawasan Asia Pasifik, AKI di Indonesia masih sangat tinggi. Misalnya AKI di Filipina adalah 100 perseratus ribu kelahiran hidup, bahkan di Thailand telah mencapai 50 perseratus ribu kelahiran hidup. Dalam kurun waktu yang sama AKI di negara maju sudah sangat rendah. Misalnya, AKI di Singapura sudah mencapai 10 perseratus ribu kelahiran, hampir setingkat dengan di Amerika Serikat, yakni sebesar 8 perseratus ribu kelahiran. Indikator lain yang dicatat dalam Konferensi Beijing menyangkut masalah politik, hakhak asasi wanita, kelembagaan, dan masalah kekerasan. Dalam bidang politik, bila indikator yang dipakai adalah partisipasi wanita di lembaga-lembaga politik, yaitu DPR dan MPR, maka sejak tahun 1982 sampai tahun 1992 terjadi peningkatan yang berarti, yaitu masingmasing dari 7 dan 8,4 persen menjadi 10,1 dan 11,8 persen, suatu persentase yang tidak jauh berbeda dengan angka rata-rata dunia. Namun, terlihat bahwa peran wanita di bidang politik masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan peran kaum pria.
Mengubah Sikap Budaya Masyarakat Oleh karena itu, pekerjaan besar yang harus dilakukan adalah mengubah pola budaya yang cenderung merugikan kaum wanita, seperti yang telah dikemukakan. Upaya-upaya ke arah perubahan sikap budaya itu harus benar-benar diarahkan (targetted) untuk memperoleh dampak yang maksimal. Kampanye peningkatan kesejajaran antara wanita dan pria harus diarahkan secara efektif kepada lapisan masyarakat yang masih didominasi oleh nilai-nilai tradisional mengenai kedudukan wanita dalam rumah tangga dan masyarakat. Sasarannya terutama adalah masyarakat di perdesaan dan golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Upaya-upaya tersebut harus menunjukkan bahwa membedakan kesempatan dan investasi rumah tangga antara anak laki-laki dan perempuan tidak menguntungkan bagi ekonomi rumah tangga dalam jangka panjang. Perubahan sikap itu hanya dimungkinkan apabila persepsi masyarakat terhadap anak perempuan dan peran wanita dalam kehidupan juga berubah. Upaya untuk meningkatkan kualitas wanita harus melihat wanita baik sebagai sumber daya pembangunan maupun sebagai insan. Sebagai sumber daya pembangunan, wanita harus ditingkatkan kemampuannya dan dioptimalkan pemanfaatannya. Sedangkan sebagai insan yang mempunyai kodrat kewanitaan, wanita harus diakui dan ditempatkan secara proporsional sesuai dengan fungsi dan peranannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan sebagai pengendali rumah tangganya. Selain itu, secara keseluruhan upaya peningkatan ini terkait erat dengan pemberdayaan, yang pada pokoknya ingin menempatkan wanita bukan hanya sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek dalam pembangunan. 92
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Dengan demikian, program-program pemberdayaan wanita harus dikembangkan sebagai bagian dari program-program pemberdayaan masyarakat yang lebih luas.
Pemberdayaan Kaum Wanita Seperti yang telah diuraikan pada topik sebelumnya, dapat dikatakan bahwa keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dan yang membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik seperti di atas, terdapat pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga merupakan sumber keberdayaan, seperti kekeluargaan, kegotongroyongan, dan, khususnya bagi masyarakat Indonesia, kebinekaan. Dengan pandangan itu, maka memberdayakan wanita adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap budaya, kemiskinan, dan keterbelakangan. Memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus diupayakan agar yang lemah tidak menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan ini. Seperti telah dikemukakan, melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan makin melemahkannya. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk memecah hambatan sosial budaya yang menempatkan wanita pada posisi yang tidak menguntungkan dalam persaingan, dan memberi kesempatan untuk berkembang. Dengan kata lain, memberdayakan wanita adalah memampukan dan memandirikan kaum wanita sebagai warga masyarakat yang sejajar dengan kaum pria. Dalam kerangka pikir itu, upaya memberdayakan wanita harus pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi kaum wanita berkembang, dengan bertitik-tolak pada pengenalan bahwa setiap manusia, pria dan wanita masing-masing memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya itu harus diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh kaum wanita. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Dalam hal ini kaum wanita harus diberi kesempatan dengan membuka akses pada modal, teknologi, informasi, pasar, dan berbagai peluang lainnya. Selain itu, aspek penting dalam konsep ini adalah partisipasi wanita dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri, keluarga, dan masyarakatnya. Dengan mengenali berbagai aspek itu, strategi pemberdayaan wanita harus mencakup hal-hal pokok berikut: (1)
Harus ada komitmen (political will) yang tegas.
(2)
Upaya itu harus terarah (targetted). Inilah yang secara populer disebut keberpihakan.
(3)
Program itu harus mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat atau kelompok yang menjadi sasaran, yaitu kaum wanita itu sendiri.
(4)
Karena keterbatasannya, secara sendiri-sendiri kaum wanita sulit dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup pembinaannya menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara perorangan. Oleh karena itu, pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan bila ditinjau dari penggunaan sumber daya 93
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
juga lebih efisien. Dalam kelompok ini, wanita dapat menghimpun diri baik dalam kalangan wanita saja maupun bermitra dengan kaum pria yang juga menjadi sasaran pemberdayaan. Dalam upaya itu semua lembaga yang ada yang dapat membantu harus dilibatkan, baik organisasi pemerintah, organisasi masyarakat (orpol, ormas, LSM), lembaga-lembaga adat, maupun kelembagaan masyarakat lainnya. Lembaga-lembaga ini sebelumnya harus "diberdayakan", dalam arti dibuat agar memahami upaya yang sedang dilakukan dan memberikannya kemampuan untuk dapat berpartisipasi secara efektif. Perhatian khusus harus diberikan kepada lembaga dari kaum wanita itu sendiri, seperti ormas-ormas wanita, terutama lembaga yang bergerak langsung di tengah masyarakat, seperti Program Kesejahteraan Keluarga (PKK). Konsep pemberdayaan kaum wanita mengandung arti upaya untuk memecahkan belenggu sosial budaya, yaitu dengan secara langsung memberi peran ekonomi kepada kaum wanita terutama pada lapisan masyarakat yang tidak mampu, tempat beradanya sebagian besar kaum wanita. Namun, pemberdayaan juga dapat dan perlu dilakukan di bidang lain, seperti politik, pemerintahan, serta dalam tatanan sosial. Masalah ini patut ditelaah lebih lanjut, agar dapat diperoleh rumusan-rumusan untuk dikembangkan dalam langkah-langkah nyata.
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Makanan Tambahan untuk Anak SD (PMT-AS) Program IDT dan PMT-AS merupakan program pembangunan yang berlandaskan konsep pemberdayaan masyarakat di mana kaum wanita mempunyai peranan yang sangat penting. Bahkan, secara umum, kaum wanita mempunyai peran yang unik ditinjau dari pendekatan yang berwawasan jender dalam upaya-upaya peningkatan penanggulangan kemiskinan. Peran yang sangat penting ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Peran wanita yang berwawasan jender dalam peningkatan penanggulangan kemiskinan adalah pelibatan secara maksimal peran aktif kaum wanita dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka mempercepat pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, tanpa harus meninggalkan peran kodrati kewanitaannya, serta sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Seperti yang telah dibahas pada topik sebelumnya, program IDT merupakan suatu program khusus untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan sebagai upaya pengembangan ekonomi rakyat. Dalam lingkup program IDT sebagai gerakan nasional, maka peran aktif wanita yang maksimal dalam peningkatan penanggulangan kemiskinan, dapat dikembangkan melalui dua jalur utama, yaitu sebagai anggota kelompok yang ingin diberdayakan dan sebagai tenaga pendamping yang membantu upaya pemberdayaan ini. Sebagai anggota kelompok masyarakat (pokmas), wanita mewakili keluarganya dalam wadah kelompok. Sebagai anggota kelompok, kaum wanita juga dituntut sikap kemandirian dan keluwesannya dalam berorganisasi, memiliki keyakinan yang kuat untuk maju, serta mempunyai keinginan untuk selalu meningkatkan kemampuannya, baik fisik maupun mental dan spritual. Berdasarkan data dan pengamatan langsung di lapangan ternyata kiprah wanita (ibu rumah tangga) dalam pokmas penerima dan pengelola dana IDT secara umum sudah setaraf dengan kaum pria. Bahkan di beberapa daerah justru peran kaum wanita dalam mengelola dana IDT lebih menonjol. Secara kualitatif, kemampuan wanita dalam mengelola dana IDT untuk usaha produktif jauh lebih baik dibandingkan kaum pria. Hal ini bukan berarti kaum pria tidak aktif, melainkan kemampuan kaum wanita dilihat dari sisi keuletan, ketekunan, dan kecermatannya dapat lebih menonjol. 94
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Beberapa contoh ada baiknya dikemukakan untuk memperkuat proposisi itu. Pertama, adalah kasus Ibu Ruth Mendome (35) dari desa Nahepese, Kecamatan Manganitu, Kabupaten Sangihe Talaud. Sebelum mendapat dana IDT, modal usaha tibo-tibo (dagang kecil) Ibu Ruth diperoleh dari seorang pelepas uang di pasar Tahuna. Biasanya ia meminjam Rp25 ribu. Pengembalian pinjaman dilakukan setiap hari sebesar Rp2 ribu selama 20 hari, atau seluruhnya Rp40 ribu. Artinya, ia membayar bunga 60 persen per 20 hari atau 90 persen per bulan. Ibu Ruth mengaku tidak pernah menghitung secara terinci berapa penghasilannya dari usaha tibo-tibo sebelum mengelola dana IDT. Oleh karena itu, ia tidak tahu persis berapa penghasilannya sebulan dari usahanya itu. Namun, sekarang ia berusaha melakukan perhitungan yang terinci agar dapat mengetahui perkembangan usahanya dari waktu ke waktu. Ini saja sudah merupakan kemajuan besar dan telah meningkatkan tingkat keberdayaannya. Keuntungan yang diperolehnya dari usaha tibo-tibo dengan menggunakan dana IDT adalah Rp213 ribu dalam 20 hari. Padahal modal yang diputarkan hanya Rp51,8 ribu. Ia sendiri meminjam dana IDT dari pokmasnya sebesar Rp250 ribu. Dari dana tersebut Rp50 ribu digunakannya untuk melunasi tunggakan uang sekolah anaknya. Yang lain digunakan sepenuhnya untuk mengembangkan usahanya. Dagangan Ibu Ruth meliputi bahan-bahan untuk keperluan dapur, seperti buncis, kol, vetsai, daun bawang, bawang merah, kecap asin, kecap manis, kacang merah, dan makaroni. Semua barang ini dibelinya di pasar Tahuna, sekitar 40 km jauhnya dari desanya. Dengan program IDT, selain terbebas dari ketergantungannya pada pelepas uang, ia juga kini dapat menikmati pendapatan yang jauh lebih besar, karena tidak harus membayar bunga yang tinggi kepada pelepas uang. Sebelum mendapat dana IDT, penghasilannya sekitar hanya Rp60 ribu per 20 hari. Karena ia pergi ke gereja pada hari Minggu, maka penghasilannya dalam sebulan tidak akan jauh melampaui angka itu juga. Setelah mendapatkan dana IDT, Ibu Ruth memperoleh penghasilan bersih Rp213 ribu per bulan, atau terjadi peningkatan 225 persen. Kedua, adalah kasus yang diambil dari propinsi di kawasan barat yaitu Bengkulu. Kasus ini mengenai seorang ibu muda bernama Linda Agus (28). Program IDT telah mengubah status sosial ekonomi suaminya dari sekadar buruh nelayan dengan pendapatan sekitar Rp5 ribu sehari, menjadi nelayan mandiri. Kini ia bisa membawa pulang uang senilai Rp20 ribu, meskipun dalam kondisi angin barat yang relatif "sulit ikan". Dengan bangga ia menunjukkan pesawat televisi berwarna 14 inci yang baru dibeli dua bulan sebelumnya dari hasil tabungannya. Sejak itu, pendapatan Agus, suaminya, meningkat “luar biasa� karena perahunya dilengkapi dengan jaring baru yang telah dimilikinya sendiri. Linda dan suaminya tinggal di kompleks perumahan kumuh di Desa Pasar Pantai, Kecamatan Teluk Segara, Kotamadya Bengkulu. Dengan dua orang anak, mereka menghuni sebuah petak rumah seng berukuran 6 x 6 m yang bocor bila hujan, dan disewanya Rp15 ribu per bulan. Cita-citanya adalah mempunyai rumah sendiri, yang kemungkinan memang cukup besar dapat diperolehnya dari usahanya sebagai nelayan yang rajin dan hidup secara hemat. Yang menarik adalah bahwa yang menjadi anggota pokmas IDT sebenarnya bukan Agus, tetapi Linda, karena suaminya malu tidak bisa baca tulis. Linda telah meminjam dana IDT empat kali (setelah melunasi dulu pinjaman sebelumnya) masing-masing Rp150 ribu, Rp300 ribu (dua kali) dan yang terakhir Rp500 ribu. Semua pinjaman dari pokmas ini diangsur Rp5 ribu per hari, kadang-kadang lebih sehingga rata-rata dilunasinya dalam tiga bulan. Pinjaman terakhir yang berjumlah Rp500 ribu hanya tinggal Rp190 ribu saja yang belum dibayar. Pinjaman pertama dipakai membeli suku cadang mesin perahu yang sudah rusak, pinjaman kedua untuk membeli jaring, dan pinjaman ketiga serta keempat untuk membuat badan perahu. Ini menunjukkan betapa suami dan 95
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
istri bekerja sama sebagai mitra yang sejajar dan hasilnya telah meningkatkan dengan sangat berarti pendapatan rumah tangga mereka dan dengan demikian kesejahteraan keluarganya. Kaum wanita juga dapat berperan sebagai tenaga pendamping, yang bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok sebagai pemandu (fasilitator), penghubung (komunikator), serta penggerak (dinamisator). Selain itu, sebagai tenaga pendamping, kaum wanita harus siap bekerja purnawaktu, menghadiri pertemuan kelompok, mengorganisasikan program latihan, serta membantu kelompok dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan. Tenaga pendamping dari kaum wanita telah menempatkan peran wanita sejajar dengan pria. Dari kurang lebih 4.000 tenaga sarjana pendamping khusus, yang telah dilatih dan ditempatkan di desa-desa tertinggal, sekitar 30 persen adalah kaum wanita. Motivasi, dedikasi, kecerdasan, dan ketahanan mental spiritual mereka tidak kalah dengan apa yang dimiliki oleh pendamping pria. Selain itu, kiprah wanita sebagai pendamping yang disalurkan melalui PKK, tenaga kesehatan, guru, karang taruna, dan sebagainya, juga semakin meningkat. Program lainnya yang juga berlandaskan konsep pemberdayaan masyarakat, serta keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh kaum wanita, adalah Program Makanan Tambahan bagi Anak SD (PMT-AS). Program ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan gizi anak-anak SD di desa-desa IDT, dan dilaksanakan sejak bulan Juli 1996. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk mendukung upaya pengembangan ekonomi desa melalui pemanfaatan kebun sekolah dan pekarangan keluarga. PMT-AS diselenggarakan bersama-sama oleh unsur kepala sekolah, guru, PKK, dan orang tua murid. Bentuknya berupa pemberian tambahan makanan jajanan dengan menggunakan bahan makanan setempat yang disusun dan diolah demikian rupa sehingga nilai gizi jajanan tersebut cukup untuk menambahkan kurang lebih 300 kalori dan sedikitnya 5 gram protein untuk tiap anak per hari. Jajanan diberikan sedikitnya 3 kali seminggu selama 9 bulan hari belajar efektif. Selain itu, kepada tiap anak diberikan juga obat cacing dua kali dalam satu tahun. Dana yang disediakan oleh Pemerintah untuk penyediaan makanan jajanan ini tidak boleh digunakan untuk membeli bahan makanan produk pabrik yang didatangkan dari kota. Dengan demikian, dana tersebut akan berputar di desa dan ikut mengembangkan ekonomi rakyat desa. Program ini juga merupakan satu bentuk pemberdayaan masyarakat yang peran utamanya dijalankan oleh wanita, karena pengelolaan dana, pemilihan bahan makanan, pembelanjaan dan pemasakan makanan, diatur dan dilaksanakan oleh ibu-ibu PKK dan ibu-ibu orang tua murid. Apabila upaya pemberdayaan ini dapat berlangsung dengan baik, bukan hanya derajat kesehatan dan gizi, dan dengan demikian produktivitas generasi muda akan meningkat, tetapi juga ekonomi desa dapat berkembang dan keadaan ekonomi masyarakat bertambah baik. Dengan demikian, diharapkan selanjutnya masyarakat akan turut melestarikan program PMTAS menurut kemampuannya sendiri. Upaya-upaya pembangunan untuk mempercepat proses penyejajaran wanita-pria dengan pendekatan praktis seperti program IDT dan PMT-AS masih perlu terus dikembangkan. Upaya-upaya nyata tersebut yang berlandaskan konsep pemberdayaan masyarakat pada umumnya, dan pemberdayaan kaum wanita pada khususnya, terbukti amat efektif. Meskipun demikian, kendala-kendala sosial budaya, berupa konvensi sosial dan norma-norma budaya yang menjadi pegangan hidup dari sebagian besar masyarakat Indonesia, harus tetap disadari dapat memperlambat pencapaian tujuan dari upaya-upaya tersebut. Upaya ini harus dilakukan seluas-luasnya mencakup tidak hanya bidang ekonomi, tetapi juga semua bidang lainnya sehingga benar-benar wanita dapat berperan penuh sesuai potensinya, dan menjadi mitra yang efektif dan sejajar dengan kaum pria. Untuk itu, perangkat-perangkat kebijaksanaan yang mendukung program-program pemberdayaan wanita harus dikembangkan. Salah satu di antaranya adalah pengembangan 96
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
variabel-variabel dan indikator sosial budaya yang bermuatan jender sebagai dasar dan masukan bagi proses perencanaan serta untuk mengukur seberapa jauh upaya yang dijalankan telah menghasilkan kemajuan.
7. Globalisasi dan Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat Pengertian ekonomi rakyat muncul sebagai akibat adanya kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Adanya kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat tampak pada perbedaan pendapatan dan kesejahteraan yang mencolok antara satu kelompok dengan kelompok yang lain dalam masyarakat. Ada kelompok masyarakat yang tingkat pendapatan dan kesejahteraannya sangat tinggi, ada kelompok masyarakat yang pendapatan dan kesejahteraannya rendah, dan ada pula yang pendapatan dan kesejahteraannya sangat rendah atau miskin sekali. Kegiatan ekonomi masyarakat lapisan bawah inilah yang disebut ekonomi rakyat. Sampai saat ini memang belum ditemukan batasan ekonomi rakyat yang memuaskan semua pihak. Namun, sebagai pendekatan, ekonomi rakyat dapat dikenal dari ciri-ciri pokoknya yang bersifat tradisional, skala usaha kecil, dan kegiatan atau usaha ekonomi bersifat sekadar untuk bertahan hidup (survival). Pada topik sebelumnya telah dibahas bahwa kesenjangan itu adalah akibat dari pemilikan sumber daya produksi dan produktivitas yang tidak sama di antara pelaku ekonomi. Kelompok masyarakat dengan pemilikan faktor produksi terbatas dan produktivitas rendah yang menghasilkan tingkat kesejahteraan rendah dihadapkan pada kelompok pelaku ekonomi maju, modern, berkembang, dan kuat. Kesenjangan yang melebar menyebabkan terjadinya dikotomi di antara pelaku ekonomi kuat dengan pelaku ekonomi lemah. Keadaan kesenjangan itu yang telah terjadi dan berlanjut dalam dimensi waktu sejak zaman pemerintah Belanda dikenal sebagai keadaan yang dualistis. Ini bukan hanya fenomena yang terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara berkembang lainnya. Dengan perjalanan waktu, terlebih lagi dengan kemajuan teknologi, perbedaan produktivitas makin tajam, sehingga menyebabkan seakan-akan ada pengotakan antara pelaku ekonomi penduduk asli yang lemah dan bersifat tradisional, ekonomi rakyat, dan ekonomi pendatang yang modern dan kuat. Sampai sekarang dualisme dalam perekonomian Indonesia itu belum berhasil dihilangkan, meskipun integrasi sistem ekonomi tradisional ke dalam sistem ekonomi modern sudah semakin jauh berlangsung. Dualisme tersebut tidak mudah dihilangkan begitu saja karena menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan kepada sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Seperti telah dikemukakan pada topik sebelumnya, kenyataan ini membuat perekonomian Indonesia sulit untuk tinggal landas secara serempak di seluruh wilayah tanah air kita. Yang mulai dapat tinggal landas adalah perekonomian masyarakat kota yang meliputi hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih besar yang menghuni daerah perdesaan dan pedalaman masih menghadapi tantangan berat untuk bisa mengaitkan kegiatan ekonomi mereka dengan sistem perekonomian modern yang sangat menekankan efisiensi dan produktivitas. Dalam konteks inilah pembahasan mengenai strategi pengembangan ekonomi rakyat ini dilakukan.
Ekonomi Rakyat dalam Globalisasi Ekonomi Dalam memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia bertekad untuk kembali menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang sekarang ini sudah jauh lebih maju ekonominya. Akan tetapi tekad ini tidak ada artinya tanpa upaya untuk mengambil langkah-langkah kongkret sejak sekarang untuk benar-benar mewujudkan ekonomi tinggal landas secara lebih merata. Tantangan yang sudah jelas terbentang adalah liberalisasi perdagangan. Di wilayah Asia-Pasifik sudah ada jadwalnya, yaitu pada tahun 2010/2020 sebagaimana disepakati ber97
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
sama di Bogor tahun 1994 yang lalu. Di kawasan ASEAN bahkan lebih cepat lagi, yaitu tahun 2003. Tidak sedikit orang yang memandang dengan penuh kecemasan gagasan liberalisasi perdagangan itu. Bagi mereka liberalisasi perdagangan akan lebih menguntungkan negara-negara maju. Banyak yang mengkhawatirkan bahwa bagi negara-negara sedang berkembang liberalisasi perdagangan pada saat sumber daya manusia belum disiapkan dan pranata-pranata sosial, politik, dan ekonomi belum kukuh, akan mengarah pada ketergantungan yang lebih besar pada negara-negara maju, mulai dengan ketergantungan ekonomi sampai pada ketergantungan budaya. Di pihak lain, kenyataan menunjukkan bahwa negara-negara yang menempuh jalan ekonomi bebas tumbuh lebih maju daripada mereka yang menganut paham lain. Berbagai studi menunjukkan bahwa perdagangan dunia akan meningkat dengan berlakunya rezim perdagangan bebas. Peningkatan volume perdagangan berarti peningkatan produksi yang berarti pula peningkatan lapangan kerja dan pada akhirnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Bahwa perdagangan internasional adalah pendorong kemajuan yang efektif secara empiris telah dibuktikan oleh percepatan proses industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi negara industri baru, yang melandaskan strateginya pada ekspor. Selain itu, sekarang ini persoalannya bukan lagi setuju atau tidak setuju, ikut atau tidak ikut. Tidak ada bangsa di dunia ini yang bisa memilih tidak ikut, karena itu akan berarti tersingkir dari arus perdagangan dan pergaulan ekonomi masyarakat dunia. Hubungan internasional, perdagangan termasuk di dalamnya, menganut asas resiprositas. Kalau ingin sebanyak-banyaknya dan sebebas-bebasnya memasuki pasar orang lain, maka juga harus memberikan kesempatan orang lain untuk memasuki pasar domestik. Makin lama pembedaan pasar domestik dan pasar internasional akan menjadi makin tipis dan kabur. Akhirnya yang ada hanyalah pasar saja. Persoalan yang mendasar bukanlah memperdebatkan prinsipnya, tetapi bagaimana memanfaatkannya untuk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia, dan mengurangi kemungkinan dampak-dampak yang merugikan. Jawabannya sebetulnya hanya satu, yaitu meningkatkan daya saing. Peningkatan daya saing ini harus bersumber dari peningkatan efisiensi dan produktivitas, dan tidak bisa melalui cara lain. Proteksi untuk sementara masih bisa digunakan untuk menopang daya saing di pasar dalam negeri. Itu pun secara bertahap harus dilepaskan, lebih cepat lebih baik, karena adanya proteksi membuat beberapa lini ekonomi berproduksi secara tidak efisien. Peningkatan daya saing untuk memenangkan pacuan perdagangan di pasar dunia, dihasilkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguasaan teknologi dan penguatan kelembagaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi baik makro maupun sektoral, baik moneter dan fiskal maupun di sektor riil, harus serempak dan harmonis mendukung upaya ini. Pengamatan menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia memang mengarah ke sana. Hal yang sebenarnya merupakan persoalan lebih mendasar lagi, dan secara sungguhsungguh harus dipecahkan adalah, bagaimana nasib rakyat banyak dalam keseluruhan proses yang sedang berlangsung itu. Jelasnya adalah: bagaimana jadinya ekonomi rakyat sebagai akibat liberalisasi perdagangan itu? Masalah ini patut dibahas dengan sungguh-sungguh, karena hal ini menyangkut kepentingan sebagian terbesar rakyat Indonesia. Secara kuantitatif gambaran tentang ekonomi rakyat ini dapat dikaji dari data BPS (September 1994) yang menunjukkan bahwa pada tahun 1992, sebanyak 97,4 persen atau 32,6 juta dari usaha rumah tangga memiliki output/omset rata-rata kurang dari Rp50 juta per tahun. Sebagian besar, yaitu 65,2 persen di antaranya adalah usaha di bidang pertanian. Mereka inilah yang harus diperhatikan. Juga harus diperhatikan bahwa 14 persen rakyat Indonesia atau sekitar 26 juta orang pada tahun 1993 hidup di bawah garis kemiskinan.
98
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Persoalan sebenarnya dalam menghadapi kecenderungan globalisasi ini adalah bagaimana menjamin bahwa manfaat ekonomi dari liberalisasi akan sampai kepada rakyat secara luas sedemikian rupa sehingga secara nyata arah pembangunan akan menuju ke arah perwujudan amanat UUD 1945. Tidak boleh sekali-kali dilupakan bahwa tujuan bernegara antara lain adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Dengan demikian, tantangan yang besar dalam menghadapi liberalisasi ini adalah bagaimana mencegah membesarnya kesenjangan. Pandangan bahwa pertumbuhan yang dihasilkan oleh perdagangan yang makin luas karena bebas hambatan secara otomatis akan memperbaiki distribusi pendapatan harus dianalisis secara hati-hati. Jauh sebelum era globalisasi sekarang ini, para ahli, seperti Michael Todaro (1977), menunjukkan secara jelas hal itu. Penelitiannya menyimpulkan: "There was no evidence of any automatic "trickle down" of the benefits of economic growth to the very poor. On the contrary, the growth process experienced by (the) LDCs has typically led to a "trickle up" in favor of the small middle class and especially the very rich" . Persaingan bebas dalam kondisi ekonomi rakyat seperti sekarang tidaklah seimbang, dan karenanya tidak wajar dan tidak adil. Selama ini saja, lapisan ekonomi rakyat yang diartikan sebagai usaha ekonomi kecil masih lemah dan kurang tangguh untuk menghadapi dan memperoleh manfaat dari ekonomi yang terbuka. Tanpa ada usaha yang terarah pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kemakmuran hanya akan melewati lapisan rakyat banyak ini, dan akan dinikmati hanya oleh sedikit orang. Inilah tantangan yang harus dijawab, yang tidak bisa dihindari. Jawabannya adalah pemihakan yang nyata yang diwujudkan dalam langkahlangkah strategis untuk memperbaiki kondisi keterbelakangan dan memperkuat posisi daya saing ekonomi rakyat itu.
Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat dalam PJP II Pengembangan ekonomi rakyat tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan pada pertumbuhan. Sejak awal PJP I pun hal tersebut sudah disadari. Oleh karena itu, strategi pembangunan ekonomi Indonesia bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Dalam PJP II strategi itu masih ditempuh, karena memang terbukti kebenarannya. Namun, dalam PJP II upaya yang lebih kuat perlu diarahkan untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation) untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Transformasi struktural ini seperti telah diungkapkan di muka meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian. Perubahan struktural serupa ini mensyaratkan langkah-langkah mendasar yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, serta pemberdayaan sumber daya manusia. Dalam upaya ini beberapa langkah strategis harus ditempuh. Di antaranya yang penting adalah sebagai berikut. Pertama, peningkatan akses kepada aset produksi (productive assets). Bagi masyarakat petani yang masih dominan dalam ekonomi rakyat, modal produktif yang utama adalah tanah. Oleh karena itu, kebijaksanaan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah sungguh penting dalam melindungi dan memajukan ekonomi rakyat ini. Pemilikan tanah yang makin mengecil (marjinalisasi) harus dicegah. Persoalan ini tidak mudah, karena menyangkut budaya dan hukum waris. Namun, dalam rangka proses modernisasi budaya masyarakat, kebiasaan untuk membagi tanah semakin kecil sebagai warisan harus dihentikan. Untuk bisa melakukan hal itu memang harus ada alternatif, antara lain berupa pemanfaatan lahan secara lebih efisien (misalnya mixed farming), penciptaan lapangan kerja perdesaan di luar pertanian (agroindustri dan industri jasa), program transmigrasi dan sebagainya. Dalam rangka ini upaya untuk memelihara dan meningkatkan produktivitas (dan dengan demikian 99
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
nilai aset) lahan harus ditingkatkan, misalnya dengan pengairan, pemupukan, diversifikasi usaha tani atau pemilihan jenis budi daya (untuk memperoleh nilai komersial yang tinggi). Salah satu pilihan diversifikasi usaha tani adalah ternak. Dalam program IDT ternak terbukti sebagai jalan yang paling banyak dipilih oleh masyarakat miskin. Hampir 70 persen dana IDT digunakan untuk beternak. Potensi pengembangannya cukup besar, dan tidak dibutuhkan terlalu banyak keahlian dalam menanganinya. Penyuluhan yang sederhana sudah akan menumbuhkan kegiatan yang secara nyata menghasilkan tambahan pendapatan. Segi lain yang juga sangat mendasar dalam rangka transformasi struktural ini ternyata adalah akses kepada dana. Tersedianya kredit yang memadai dapat menciptakan pembentukan modal bagi usaha rakyat sehingga dapat meningkatkan produksi, pendapatan dan menciptakan surplus yang dapat digunakan untuk membayar kembali kreditnya dan melakukan pemupukan modal. Salah satu kendala yang membatasi adalah adanya prasyarat perbankan yang membuat masyarakat lapisan bawah umumnya dinilai tidak bankable. Keadaan ini menyebabkan sedikitnya interaksi antara lembaga keuangan yang melayani pemberian kredit dengan masyarakat kecil yang memerlukan kredit. Akhirnya, modal makin banyak terkonsentrasikan pada sektor modern, khususnya pada usaha besar, yang pada gilirannya makin mempertajam jurang kesenjangan. Oleh karena itu, langkah yang amat mendasar yang harus ditempuh adalah membuka akses ekonomi rakyat kepada modal. Untuk itu memang diperlukan pendekatan yang berbeda dengan cara-cara perbankan konvensional. Akses kepada modal harus diartikan sebagai keterjangkauan, yang memiliki dua sisi; pertama, ada pada saat diperlukan, dan kedua, dalam jangkauan kemampuan untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, persyaratan teknis perbankan seperti yang biasa digunakan di sektor modern, tidak bisa diterapkan di sini, paling tidak pada tahap awal. Misalnya, penilaian pemberian kredit tidak harus berdasarkan agunan, tetapi berdasarkan prospek kegiatan usaha. Demikian pula penentuan tingkat suku bunga harus memperhatikan kondisi ekonomi rakyat yang senyatanya, dan menguntungkan usaha ekonomi rakyat. Secara mendasar dan sesuai dengan tujuan membangun kemandirian masyarakat perdesaan yang merupakan bagian terbesar ekonomi rakyat, membangun lembaga pendanaan perdesaan, yang dimiliki, dikelola dan hasilnya dinikmati oleh rakyat sendiri, amatlah strategis sifatnya. Inilah sebenarnya tujuan utama bantuan modal kerja dalam rangka program IDT, yaitu menanamkan prinsip simpan-pinjam di perdesaan. Simpan-pinjam merupakan dasar pemupukan modal, dan pemupukan modal adalah landasan dalam perubahan struktural yang tumbuh berkembang. Modal usaha tersebut adalah hibah kepada masyarakat, yang dipinjamkan kepada anggota masyarakat, dengan biaya atau bunga, sebesar yang ditentukan masyarakat sendiri dengan cara yang sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Kelompok masyarakat yang mengelola modal usaha ini diharapkan dapat berkembang menjadi lembaga dana di perdesaan. Pengembangan lembaga keuangan semacam ini sekarang telah mulai berjalan, yakni Baitul Mal Wat Tamwil (BMT), Tempat Pelayanan Simpan Pinjam KUD (TPSP-KUD), Hubungan bank dengan KSM (HBK), dan sebagainya. Di banyak daerah juga telah berkembang lembaga pendanaan khas daerah seperti Badan Kredit Desa di Pulau Jawa, Lumbung Pitih Nagari di Sumatra Barat, Kredit Usaha Rakyat Kecil di Jawa Timur, dan Lembaga Perkreditan Desa di Bali. Pada tataran yang lebih tinggi, tetapi juga masih menangani ekonomi rakyat, selain kredit usaha kecil (KUK) yang telah berjalan tetapi perlu lebih diefektifkan, juga perlu dikembangkan sistem pendanaan lain, seperti modal ventura, dan lembaga penjamin kredit. Faktor penting di sini adalah adanya kesungguhan dan komitmen untuk memecahkan kendala struktural yang menghalangi transformasi ekonomi rakyat menjadi ekonomi modern yang mandiri, dan tangguh.
100
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Tidak kurang penting pula adalah akses kepada teknologi. Bukan teknologi tinggi yang rumit, tetapi teknologi sederhana yang penerapannya dapat meningkatkan produktivitas atau keterjaminan produksi dan segera memberi hasil berupa peningkatan pendapatan. Misalnya, pengetahuan mengenai peternakan itik, pemeliharaan ikan di kolam kecil atau menanam sayur di lahan kering. Hasil pengamatan dari pelaksanaan program IDT menunjukkan betapa penerapan teknologi sederhana, yang biayanya murah dan terjangkau oleh rakyat, dapat mengubah taraf kehidupan secara dramatis. Kedua, memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat. Sebagai produsen dan penjual, posisi dan kekuatan rakyat dalam perekonomian sangatlah lemah. Mereka adalah price taker karena jumlahnya yang sangat banyak dengan pangsa pasar masing-masing yang sangat kecil. Lebih jauh lagi, dalam operasinya mereka biasanya menghadapi kekuatan usaha besar yang melalui persaingan tidak seimbang akan mengambil keuntungan yang lebih besar. Akibatnya tidak ada insentif untuk meningkatkan mutu karena keuntungan dari peningkatan mutu justru akan ditarik oleh usaha besar. Oleh karenanya, kualitas dan tingkat keterampilan rendah menjadi karakteristik pula dari ekonomi rakyat. Selain itu, khusus untuk yang bergerak di sektor pertanian bahan makanan, umumnya jumlah penawaran rakyat tidak dapat menyesuaikan secara cepat dengan naik atau turunnya harga, terlebih lagi sifat produksinya yang tidak tahan lama. Mereka tidak dapat menambah atau mengurangi persediaan secara cepat dengan naik atau turunnya harga. Terlebih lagi sifat produknya yang tidak tahan lama. Keadaan ini harus diperbaiki. Untuk itu pertama-tama rakyat harus dibantu dengan prasarana dan sarana perhubungan yang akan memperlancar pemasaran produknya. Ini juga menjadi salah satu bentuk program penanggulangan kemiskinan yang terkait dengan program IDT. Dari tahun 1995 hingga tahun 1998 pemerintah akan menyediakan sekitar Rp700 miliar untuk mengatasi masalah prasarana di sekitar 7.000 desa. Upaya ini perlu dilanjutkan dalam repelita berikutnya, sehingga pada akhir Repelita VII tidak ada lagi atau sedikit sekali kendala fisik yang menjadi penyebab terjadinya kantung-kantung kemiskinan. Selain itu, rakyat harus pula diorganisasikan untuk bersama-sama memasarkan hasil produksinya sehingga sedikit banyak memperkuat posisinya. Wadah koperasi amat cocok untuk kegiatan ini, meskipun tidak harus satu-satunya. Amat penting pula adalah informasi pasar mengenai kecenderungan permintaan di pasar domestik maupun pasar internasional, harga, kualitas, standar, dan sebagainya sehingga produksi rakyat sejalan dengan permintaan pasar. Ini tentunya bukan hanya tugas pemerintah, tetapi ini juga tugas dunia usaha untuk turut membantu. Tugas pemerintah yang amat penting adalah pengelolaan ekonomi makro yang menunjang bagi ekonomi rakyat. Stabilitas ekonomi amat penting bagi ekonomi rakyat karena yang pertama-tama dirugikan jika terjadi gejolak adalah rakyat. Kebijaksanaan harga, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dikuasai pemerintah, juga harus diarahkan untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Upaya untuk memelihara nilai tukar sektor pertanian, misalnya, amatlah penting. Kelancaran arus distribusi barang dan jasa pada umumnya amat penting pula bagi ekonomi rakyat di lapisan paling bawah, yang umumnya tidak banyak punya pilihan. Ketiga, meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sejak PJP I program ini telah dilaksanakan, dengan hasil yang cukup menggembirakan. Dalam PJP II harus dilanjutkan dan makin ditingkatkan. Program Pendidikan Dasar Sembilan Tahun adalah salah satu di antara program strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Program yang sasarannya kuantitatif ini harus diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan di semua jenjang dan di seluruh daerah. Pendidikan harus makin terkait dengan kebutuhan pasar kerja, terutama pasar kerja setempat. Pelayanan kesehatan juga harus makin ditingkatkan secara makin merata, disertai dengan upaya peningkatan gizi. Di samping penge-
101
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
tahuan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan, kesehatan berperan besar dalam menentukan produktivitas. Keempat, kebijaksanaan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat. Industri rakyat, yang berkembang menjadi industri-industri kecil dan menengah yang kuat harus menjadi tulang punggung industri nasional. Hal ini bukan impian utopia, karena di negara lain seperti Taiwan, telah terbukti bisa dilakukan. Proses industrialisasi harus mengarah ke perdesaan dengan memanfaatkan potensi setempat, yang umumnya adalah agroindustri. Dalam proses itu justru jangan terjadi "penggusuran" ekonomi rakyat karena yang datang adalah industri berskala besar yang mengambil lahan subur, merusak lingkungan, menguras sumber daya, dan mendatangkan tenaga kerja dari luar, yang justru menyaingi ekonomi rakyat sendiri. Akibatnya adalah proses pemiskinan baru, dan diciptakannya kesenjangan antara pendatang dan masyarakat setempat. Industri perdesaan, adalah industri kecil dan sedang, yang memanfaatkan sumber daya alam setempat dengan cara yang lestari, memakai tenaga kerja setempat, menggunakan lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang ada, dan memperkuat ekonomi rakyat pada umumnya. Pola industrialisasi serupa ini harus ditempuh bersamaan dengan pengembangan industri berteknologi tinggi dan padat modal yang berkembangnya di perkotaan. Kelima, kebijaksanaan ketenagakerjaan yang merangsang tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal bakal lapisan wirausaha baru, yang berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang. Dalam rangka itu secara luas harus disediakan pelatihan keterampilan teknis, manajemen dan perdagangan, termasuk pengetahuan mengenai pasar serta cara untuk memperoleh pendanaan. Bagi mereka harus disediakan sistem pendanaan seperti kredit yang diperingan syarat-syarat dan biayanya, modal ventura, dan sebagainya. Dalam kebijaksanaan ketenagakerjaan, kebijaksanaan upah amat penting. Upah yang terlalu rendah tidak merangsang produktivitas, dan merupakan distorsi pada biaya produksi. Upah yang rendah juga menyebabkan investasi di bidang pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja menjadi tidak ekonomis. Sebaliknya upah yang terlalu tinggi melampaui batas produktivitas, juga akan merugikan. Karena perusahaan tidak akan sanggup memikulnya, dan kalau dipaksakan akan kehilangan daya saing. Dengan demikian penetapan upah yang wajar, adil, dan secara ekonomis dibenarkan, sangatlah diperlukan dan strategis pula sifatnya, dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang erat kaitannya dengan pengembangan ekonomi rakyat. Keenam, pemerataan pembangunan antardaerah. Ekonomi rakyat tersebar di seluruh penjuru tanah air. Meskipun di Jawa keadaannya juga cukup berat, di luar Jawa terutama di kawasan timur dan di beberapa daerah di kawasan barat keadaannya lebih berat lagi. Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat ini, perhatian besar perlu diberikan agar pembangunan dapat lebih merata dan dengan demikian memberi kesempatan yang lebih besar pada ekonomi rakyat di daerah yang terbelakang untuk juga berkembang. Indonesia adalah negara yang besar dan luas. Penduduknya beraneka ragam tingkat budaya dan ekonominya. Di samping adanya kebijaksanaan yang seragam dan bersifat nasional, harus dimungkinkan juga adanya kebijaksanaan khusus. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan yang sesuai dengan kondisi setempat, atau yang disebut sebagai region specific atau local specific. Selain itu Pemerintah Daerah perlu diberi tanggung jawab yang lebih luas untuk membangun daerahnya dan memperkuat ekonomi rakyatnya. Dalam rangka itu harus diupayakan untuk mempercepat proses otonomi daerah, yang titik beratnya di tingkat II. Untuk itu, sumber daya manusia dan institusi-institusi daerah perlu terus-menerus diperkuat. Penguatan itu antara lain dengan makin memberikan kepercayaan yang lebih besar dalam mengelola dana pembangunan. Ketujuh, adanya perangkat peraturan perundangan yang memadai untuk melindungi dan mendukung pengembangan ekonomi rakyat yang ditujukan khusus untuk kepentingan 102
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
rakyat kecil. Banyak negara, termasuk negara-negara yang paling maju sekalipun, telah memiliki perundangan tersebut. Perangkat peraturan ini di Indonesia masih belum memadai dan perlu segera diterbitkan. Undang Undang Tentang Usaha Kecil (UU No. 9/1995) baru dikeluarkan pada bulan Desember tahun 1995. Undang-undang mengenai koperasi sebagai wadah yang tepat untuk mengembangkan ekonomi rakyat sebenarnya sudah ada, tetapi peraturan pelaksanaannya masih diperlukan, antara lain yang mengatur perlindungan dan pencadangan usaha, serta wilayah kegiatan. Tanpa ketentuan-ketentuan yang kuat dan ditegakkan (enforced) secara konsekuen, pengembangan ekonomi rakyat akan tetap tersendatsendat. Telah ditunjukan di atas bahwa pandangan (notion) "pertumbuhan otomatis akan menghasilkan pemerataan" secara empiris tidak sesuai dengan kenyataan. Memang pendekatan pertumbuhan tidak mungkin sama sekali ditinggalkan. Pertumbuhan tetap diperlukan, tetapi cara menghasilkannya tidak harus dengan memusatkan investasi pada sektor-sektor tertentu, usaha-usaha tertentu atau kawasan-kawasan tertentu saja. Cara itu terbukti tidak efektif untuk pemerataan distribusi pendapatan dan secara ilmiah hal itu telah ditunjukkan. Pemerataan, dan dalam hal ini peningkatan kesempatan untuk berkembang lebih cepat pada ekonomi rakyat, harus ditangani secara tersendiri dan bukan sebagai hasil sampingan. Dengan cara itu, justru diharapkan akan dihasilkan pertumbuhan, bahkan secara makin kukuh dan berkesesinambungan. Ini yang sering disebut sebagai paradigma pembangunan baru, yaitu pertumbuhan dengan pemerataan. Sebetulnya paradigma itu juga tidak terlalu baru karena sudah sejak lama banyak yang telah memikirkannya. Todaro (1989), seperti disebutkan di atas misalnya, telah mengkaji persoalan ini secara sangat mendalam. Mahbub ul Haq di tahun 1971, antara lain menyatakan "we were taught to take care of our GNP as this will take care of poverty. Let us reverse this and take care of poverty as this will take care of the GNP�. Dalam strategi pembangunan yang mengutamakan pemerataan ini ada tiga hal yang amat pokok. Pertama, upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut keberpihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dalam program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program itu harus mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat atau kelompok yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai dua tujuan, yakni (i) agar supaya bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka; (ii) sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, karena keterbatasannya, secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Oleh karena itu, pendekatan kelompok adalah yang paling efektif sehingga penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Hal ini telah dibuktikan dalam berbagai kegiatan, baik yang dilaksanakan di Indonesia maupun di negara lain. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi landasan bagi program IDT sebagai program pemberdayaan ekonomi rakyat yang pelaksanaannya akan dibahas pada topik terakhir dalam bab keempat ini.
8. Strategi Pengentasan Penduduk dari Kemiskinan Pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan di Indonesia bermuara pada manusia sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus merupakan sumber daya pembangunan yang harus terus ditingkatkan kualitas dan kemampuannya untuk mengangkat harkat dan martabatnya.
103
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Sejalan dengan pandangan kemanusiaan dalam hakikat pembangunan bangsa maka upaya pembangunan dalam PJP II harus makin mewujudkan keadilan dan pemerataan. Agar mencapai sasarannya, maka pembangunan nasional yang bertumpu pada peran serta rakyat diselenggarakan secara merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air. Kegiatan pembangunan nasional yang diarahkan pada peningkatan produktivitas rakyat harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan pribadi warganegara serta dilakukan dengan semangat kekeluargaan yang bercirikan kebersamaan dan gotong-royong melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam perspektif ini masalah kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama sehingga upaya penanggulangannya pun menuntut keikutsertaan aktif dari seluruh bangsa Indonesia. Selain itu, kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup banyak segi. Karena masalah kemiskinan adalah bagian dari masalah-masalah yang lebih besar yang harus diatasi dengan sungguh-sungguh, yaitu masalah ketimpangan antarsektor, antarwilayah, dan antargolongan penduduk. Dengan demikian, kemiskinan adalah masalah nasional dan tidak dapat diselesaikan hanya oleh pemerintah sendiri melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunannya saja, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama segenap pelaku ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam rangka itulah upaya penanggulangan kemiskinan harus ditempatkan sebagai gerakan nasional yang melibatkan semua pihak baik pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Berbagai Konsep Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, dan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Selain itu, berdasarkan pola waktunya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi persistent poverty, cyclical poverty, seasonal poverty, serta accidental poverty. Kemiskinan juga dapat dibedakan atas kemiskinan yang dialami oleh penduduk dan ketertinggalan wilayah. Konsep-konsep tersebut akan dibahas dalam bagian ini. Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut. Kriteria yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis kemiskinan tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan minimum untuk hidup ini diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan nonmakanan yang meliputi perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian dan barang tahan lama. Pada tahun 1993, angka pengeluaran minimum sebagai batas garis kemiskinan absolut tersebut ditetapkan rata-rata sebesar Rp27.905 per kapita per bulan untuk daerah perkotaan dan Rp18.244 untuk daerah perdesaan. Kemiskinan absolut umumnya disandingkan dengan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan, dan kelompok masyarakat yang relatif lebih kaya. Dengan menggunakan ukuran pendapatan, maka keadaan ini dikenal dengan ketimpangan distribusi pendapatan.
104
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Dikaji dari pola waktu, kemiskinan di suatu daerah dapat digolongkan sebagai persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun-temurun. Daerah seperti itu pada umumnya merupakan daerah-daerah yang kritis sumber daya alamnya, atau daerahnya yang terisolasi. Pola kedua adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. Pola ketiga adalah seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus nelayan dan pertanian tanaman pangan. Pola keempat adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Setiap pola kemiskinan tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan suatu wilayah. Kemiskinan juga dapat dikaji berdasarkan keadaan penduduk dan potensi wilayah. Dari segi keadaan penduduk, penentuan penduduk miskin didasarkan pada garis kemiskinan. Adapun potensi wilayah digunakan untuk menetapkan wilayah-wilayah atau desa-desa yang dikategorikan sebagai wilayah atau desa tertinggal. Meskipun demikian, penduduk miskin umumnya erat kaitannya dengan wilayah miskin. Wilayah dengan potensi daerah yang tertinggal besar kemungkinan menyebabkan penduduknya miskin. Berdasarkan hubungan antara penduduk dan wilayah seperti itu, pengembangan desa yang dikategorikan tertinggal diharapkan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin.
Profil Rumah Tangga Miskin Gambaran makro menurut data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin telah berkurang dari 54,4 juta atau 40 persen dari jumlah penduduk pada tahun 1976 menjadi 25,9 juta atau 13,7 persen pada tahun 1993. Penurunan jumlah penduduk miskin terjadi baik di kota maupun di desa. Penduduk miskin di daerah kota telah menurun menjadi 8,7 juta jiwa dan penduduk miskin di daerah perdesaan menjadi 17,2 juta jiwa. Meskipun jumlah penduduk miskin telah sangat berkurang, yang tersisa masih cukup besar. Selain itu penurunan jumlah penduduk miskin juga makin melambat. Rumah tangga miskin pada tahun 1993 di Indonesia rata-rata mempunyai 5,9 anggota rumah tangga, sedangkan jumlah rata-rata anggota rumah tangga tidak miskin sebesar 4,3. Ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibandingkan dengam rumah tangga yang tidak miskin. Terlebih lagi rumah tangga miskin di daerah perdesaan rata-rata mempunyai 6,1 anggota rumah tangga dibandingkan dengan 4,1 pada rumah tangga yang tidak miskin. Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumah tangga miskin di daerah perdesaan ternyata lebih besar lagi dibandingkan dengan rumah tangga pada umumnya. Dari segi lain dapat dilihat bahwa corak lama masyarakat, yang menginginkan banyak anak untuk membantu mencari nafkah, masih mewarnai masyarakat miskin. Ditinjau dari segi pendidikan, sebanyak 68,4 persen kepala rumah tangga miskin di perdesaan tidak tamat SD dan 28,8 persen dari kepala rumah tangga miskin yang hanya berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama dijumpai pada rumah tangga miskin di perkotaan. Sekitar 54,4 persen rumah tangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala rumah tangga yang tidak tamat SD dan 34,4 persen dipimpin oleh kepala rumah tangga yang hanya berpendidikan SD. Secara keseluruhan kurang lebih 94 persen rumah tangga miskin mempunyai kepala rumah tangga yang tidak tamat SD dan ini menjadi masalah bagi rumah tangga miskin baik di perdesaan maupun perkotaan. Dari sisi lain dapat dilihat bahwa seperenam rumah tangga yang dipimpin oleh kepala rumah tangga yang tidak tamat SD adalah rumah tangga miskin. Sepersepuluh rumah tangga yang kepala rumah tangganya hanya tamat SD adalah rumah tangga miskin. Dilihat dari segi lokasinya, sebagian besar atau 57,3 persen dari jumlah total penduduk miskin berada di pulau Jawa, 18,75 persen di Sumatra. Namun, hanya 14 persen penduduk Jawa dan Sumatra yang miskin, dibandingkan dengan 23,4 persen di Maluku dan Irian Jaya, 105
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
serta 22,8 persen di Kalimantan. Bahkan 42,4 persen dari penduduk Timor Timur tergolong miskin, NTT 24 persen dan NTB 23 persen. Sekitar 72,3 persen penduduk miskin di daerah perkotaan terdapat di Jawa dan 14,15 persen di Sumatra. Persentase persebaran penduduk miskin perdesaan juga tidak jauh berbeda. Penduduk perdesaan yang miskin sebagian besar berada di Jawa. Gambaran yang sedikit berbeda dengan pernyebaran jumlah penduduk miskin adalah wilayah miskin. Sebanyak 34,9 persen dari jumlah desa miskin di Indonesia terdapat di Sumatra, dan di Jawa 26,7 persen. Profil rumah tangga dan wilayah miskin tersebut menunjukkan bahwa keadaan kemiskinan di perdesaan dan perkotaan, meski hakikat kemiskinannya sama, perlu dibedakan, demikian pula antara Jawa dan luar Jawa. Karena itu usaha-usaha penanggulangan kemiskinan harus pula berbeda, dan disesuaikan dengan keadaan setiap wilayah. Ditinjau dari sumber penghasilannya, apabila dibedakan menurut desa-kota, sekitar 79,5 persen rumah tangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumah tangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumah tangga petani. Kegiatan ekonomi perkotaan yang telah beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula kepada rumah tangga miskin di perkotaan. Lebih dari 74 persen rumah tangga miskin di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian dan hanya 25,6 persen rumah tangga miskin mengandalkan pada sektor pertanian saja. Ini berarti bahwa jenis kegiatan ekonomi yang perlu dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan di kedua daerah tersebut perlu dibedakan. Dilihat dari status pekerjaan, sekitar 72,4 persen kepala rumah tangga miskin di daerah perdesaan berusaha sendiri, 20,1 persen bekerja sebagai buruh atau karyawan, dan 7,3 persen sebagai pekerja keluarga. Sementara itu, sekitar 49,4 persen kepala rumah tangga miskin di kota berusaha sendiri, 39,8 persen berstatus sebagai buruh atau karyawan, dan sekitar 10,0 persen sebagai pekerja keluarga. Selanjutnya, lebih dari 70 persen rumah tangga miskin mencurahkan waktu kerja lebih dari 30 jam dalam seminggu untuk mendapatkan imbalan, dan hanya 8,7 persen rumah tangga miskin yang mencurahkan waktu kerjanya kurang dari 15 jam dalam seminggunya. Dengan persentase yang berbeda, kecenderungan yang sama juga dijumpai baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Hal ini berarti bahwa kemiskinan terutama karena kemalasan penduduk miskin adalah tidak benar. Kemiskinan pada dasarnya disebabkan oleh tingkat pendapatan mereka yang berada di bawah batas kecukupan.
Berbagai Penyebab Kemiskinan Profil rumah tangga miskin seperti diuraikan di atas menunjukkan betapa luasnya permasalahan yang dihadapi. Untuk memecahkannya, diperlukan pengenalan penyebab timbulnya permasalahan tersebut. Ditinjau dari sumber penyebab kemiskinan, dikenal adanya kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup, dan budayanya. Mereka sudah merasa kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak terlalu tergerak berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya sehingga menyebabkan pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang umum dipakai. Dengan ukuran absolut, misalnya tingkat pendapatan minimum, mereka dapat dikatakan miskin, tetapi mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin. Dalam keadaan seperti ini, bermacam tolok ukur kebijaksanaan pembangunan tidak dengan mudah dapat menjangkau mereka. Keadaan pemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan akan menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan tidak merata pula. Ketimpangan ini pada gilirannya menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang, dan selanjutnya menimbulkan 106
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
struktur masyarakat yang timpang. Perbedaan antara masyarakat yang telah ikut serta dalam proses pembangunan dengan yang masih tertinggal menyebabkan keadaan kemiskinan, baik absolut maupun relatif. Keadaan semacam ini dikenal sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini juga dikenal sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh pembangunan yang belum seimbang dan hasilnya belum terbagi merata. Kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab berikut. Pertama, rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Dalam bersaing untuk mendapatkan lapangan kerja yang ada, taraf pendidikan menentukan. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. Kedua, rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa. Ketiga, terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu. Keempat, kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya. Keempat penyebab yang diuraikan di atas menunjukkan adanya lingkaran kemiskinan. Rumah tangga miskin pada umumnya berpendidikan rendah dan terpusat di daerah perdesaan. Karena berpendidikan rendah, maka produktivitasnya pun rendah sehingga imbalan yang diterima tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan, yang diperlukan untuk dapat hidup dan bekerja. Akibatnya, rumah tangga miskin akan menghasilkan keluargakeluarga miskin pula pada generasi berikutnya. Imbalan yang rendah juga menghambat pengembangan kegiatan sosial ekonomi, serta membatasi peran serta penduduk miskin dalam kegiatan pembangunan. Sedangkan di dalam proses pembangunan, yang menikmati hasil pembangunan haruslah yang dapat menghasilkan sesuatu. Maka kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut serta dalam proses produksi dan kepemilikan aset produksi.
Upaya Penanggulangan Kemiskinan Untuk menanggulangi kemiskinan dan sekaligus memeratakan pembangunan dan hasilhasilnya, diperlukan upaya untuk memadukan berbagai kebijaksanaan dan program pembangunan yang tersebar di berbagai sektor dan wilayah. Dengan memperhatikan tantangan, modal, dan potensi yang ada, kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan tertuang dalam tiga arah kebijaksanaan. Pertama, kebijaksanaan tidak langsung yang diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan; kedua, kebijaksanaan langsung yang ditujukan kepada golongan masyarakat berpenghasilan rendah; dan ketiga, kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk mempersiapkan masyarakat miskin itu sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program, dan sekaligus memacu dan memperluas upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Stabilitas ekonomi, sosial dan politik, pertumbuhan penduduk yang terkendali, dan lingkungan hidup yang terjaga kelestariannya merupakan kondisi yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Program 107
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
penanggulangan kemiskinan hanya dapat berjalan baik dan efektif apabila suasana tenteram dan stabil telah tercipta. Peperangan, pertikaian antarkelompok, dan situasi politik yang tidak stabil, tidak mendukung upaya apa pun untuk menanggulangi kemiskinan. Setiap langkah yang diambil untuk menciptakan ketentraman mempunyai arah yang sama dengan upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Demikian pula halnya kestabilan ekonomi. Tingkat inflasi yang tinggi dan tidak terkendali merupakan situasi yang berlawanan bagi program penanggulangan kemiskinan. Ini menegaskan bahwa masalah penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari pengendalian perekonomian makro. Tekanan paling utama dalam kebijaksanaan yang langsung ditujukan kepada masyarakat miskin harus diletakkan pada perbaikan pelakunya, terutama menyangkut pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pengembangan kegiatan ekonominya. Program ini harus dilaksanakan secara selektif dan terarah, dengan memperhitungkan ketersediaan sumber daya. Langkah yang diperlukan adalah meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan jangkauan program tersebut. Searah dengan itu, pengembangan sistem jaminan sosial secara bertahap perlu terus ditingkatkan. Berbagai kebijaksanaan tersebut dituangkan ke dalam berbagai program pembangunan sektoral, regional, dan khusus, baik secara langsung maupun tidak langsung, dirancang untuk turut memecahkan tiga masalah utama pembangunan, yakni pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Program-program pembangunan sektoral yang secara tajam diarahkan pada masyarakat miskin dapat dipandang sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Untuk dapat merencanakan program pembangunan sektoral yang akurat diperlukan suatu metode penentuan kelompok sasaran (targetting) yang mapan. Sehubungan dengan itu pengembangan informasi dasar yang berkaitan dengan profil penduduk miskin dan wilayah miskin harus dapat digunakan sebagai dasar bagi penentuan kelompok sasaran secara tepat dan terarah. Dengan berpedoman pada kelompok sasaran yang jelas, perencanaan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan sektoral dapat dilakukan secara terpadu. Keterpaduan dalam pelaksanaan penanggulangan kemiskinan menyangkut keterpaduan program dan lokasi pembangunan. Di samping itu, program penanggulangan kemiskinan yang menjangkau masyarakat akan lebih efektif jika direncanakan dan dilaksanakan dalam unit yang agregatif atau berkelompok. Namun, tingkat agregasi tersebut harus sedekat mungkin dengan rakyat miskin sebagai kelompok sasaran yang ingin dibantu. Pihak yang mengetahui secara tepat permasalahan dan lokasi kantung-kantung kemiskinan di daerah adalah aparat daerah yang bersangkutan. Makin dekat hubungan pelaksana kegiatan dengan kelompok sasaran akan makin efektif. Oleh sebab itu, pendelegasian wewenang atau desentralisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap program penanggulangan kemiskinan harus diupayakan sehingga sampai ke tingkat serendah mungkin. Namun, pendelegasian wewenang ada prasyaratnya, yaitu kesiapan para aparat dan masyarakat di daerah itu sendiri. Atas dasar itu, aparat daerah dan masyarakat miskin itu sendiri harus dipersiapkan terlebih dahulu melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan yang konsisten dan berkesinambungan. Program pembangunan regional diarahkan pada pengembangan potensi dan kemampuan sumber daya manusia dan prasarana dasar yang ada di daerah, khususnya daerah perdesaan sehingga swadaya dan kreativitas masyarakat dapat ditingkatkan, misalnya Program Inpres. Selain itu, juga dilaksanakan program pembangunan yang dirancang secara khusus untuk menanggulangi kemiskinan dan mengembangkan kemampuan masyarakat di daerah-daerah yang relatif tertinggal karena belum tersentuh oleh program-program pembangunan dan menghadapi permasalahan khusus yaitu keterpencilan lokasi, keterbatasan sumber daya alam, kawasan perbatasan, lahan kritis, kekurangan prasarana dan sarana fisik, dan berbagai hal lainnya. Salah satu contoh dari program tersebut yang telah diselenggarakan dalam Repelita V adalah Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), yang merupakan 108
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
penerapan model pembangunan dari bawah, yakni pelaksanaan pembangunan yang direncanakan, dilaksanakan dan ditujukan langsung untuk kepentingan masyarakat miskin setempat. Dalam pelaksanaannya program ini disesuaikan dengan kesiapan masyarakat setempat dan dengan kemampuan sumber daya setempat. Mulai Repelita VI upaya penanggulangan kemiskinan diperluas dan ditingkatkan dengan sebuah inpres baru khusus untuk menanggulangi kemiskinan, yaitu program Inpres Desa Tertinggal atau program IDT. Program IDT mengintegrasikan usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini termasuk Program PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), sehingga berdampak lebih luas dan menampakkan hasil lebih cepat. Program IDT diharapkan selain menjadi program yang dapat memperluas dan mempercepat upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, juga membuat masyarakat miskin bukan hanya terbebas dari kemiskinan, tetapi juga menjadi masyarakat yang mandiri. Program IDT ini akan dibahas lebih terinci pada topik pembahasan selanjutnya.
9. Penanggulangan Kemiskinan melalui Program IDT Seperti diuraikan pada topik pembahasan terdahulu, jumlah penduduk miskin telah berkurang dengan cepat dalam PJP I, dari sekitar 60 juta atau 70 persen dari jumlah penduduk pada tahun 1970 menjadi 25,9 juta atau 13,7 persen dari jumlah penduduk pada tahun 1993. Padahal pada waktu yang bersamaan penduduk Indonesia bertambah sekitar 71,6 juta jiwa, dari 117,5 juta menjadi 189,1 juta. Meskipun jumlah penduduk miskin telah berkurang, yang tersisa masih cukup besar. Selain itu, penurunan jumlah penduduk miskin juga makin melambat. Dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1987 laju penurunan penduduk miskin per tahun selalu di atas 5 persen. Sedangkan mulai tahun 1987 sampai dengan tahun 1993 laju penurunannya berkurang menjadi sekitar 4 persen. Sebabnya ialah penduduk miskin yang ada sekarang merupakan bagian yang paling miskin dari yang miskin sehingga lebih sulit melepaskan diri dari kemiskinan (core poverty, the poorest of the poor). Oleh karena itu, untuk dapat mengatasinya diperlukan program yang langsung ditujukan untuk memecahkan perangkap kemiskinan itu. Untuk itu mulai Repelita VI dilaksanakan program khusus yang diarahkan untuk mempercepat dan memperluas upaya penanggulangan kemiskinan melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Topik ini akan membahas konsep program IDT sebagai salah satu strategi penanggulangan kemiskinan.
Pokok-Pokok Pikiran Program IDT Program IDT mengandung tiga pengertian dasar, yaitu (1) sebagai pendorong gerakan nasional penanggulangan kemiskinan, (2) sebagai strategi dalam pemerataan pembangunan, dan (3) sebagai upaya pengembangan ekonomi rakyat melalui pemberian bantuan dana bergulir untuk modal usaha bagi penduduk miskin. Sebagai suatu gerakan nasional, program IDT membuka peluang bagi semua pihak untuk turut serta dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Keberhasilan program IDT mewujudkan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat ditentukan oleh (1) adanya motivasi penduduk miskin itu sendiri untuk mengubah nasibnya, (2) adanya dukungan aparat yang penuh dedikasi dalam penanggulangan kemiskinan, dan (3) adanya peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat baik dari kalangan organisasi politik dan kemasyarakatan, dunia usaha, media massa, perguruan tinggi, maupun unsur masyarakat lain yang mendorong dan menunjang keberhasilan program. 109
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Sebagai salah satu strategi pemerataan pembangunan program IDT mengandung moral pembangunan bahwa (1) pembangunan bersumber dari rakyat, diselenggarakan oleh rakyat, dan hasilnya harus ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, (2) adanya pemihakan yang nyata kepada penduduk paling miskin di desa tertinggal, serta (3) untuk memecahkan perangkap ketertinggalan dan meningkatkan peran serta dan produktivitas rakyat dalam kegiatan sosial ekonomi. Sebagai upaya pengembangan ekonomi rakyat, program IDT dilaksanakan sendiri oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan. Pertama, agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Kedua, sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Program IDT adalah juga upaya membangun kesetiakawanan sosial dan rasa kebersamaan melalui peningkatan kesadaran, kemauan, tanggung jawab, harga diri, dan percaya diri masyarakat. Program ini memberikan tanggung jawab kepada aparat yang paling dekat dengan masyarakat, dan memberi keleluasaan kepada masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri. Aparatur pemerintah terutama di tingkat desa, dituntut untuk peka, peduli, dan tanggap terhadap permasalahan pembangunan di lingkungan masyarakat sehingga dapat memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat. Usaha ini dimulai dengan pembentukan kelompok masyarakat yang akan memperoleh bantuan. Kelompok yang dibentuk haruslah terdiri atas anggota masyarakat yang paling lemah dan paling tertinggal keadaan ekonominya, yang dengan bantuan dana IDT dapat meningkatkan sendiri taraf kesejahteraannya. Pembentukan kelompok ini merupakan langkah awal yang paling strategis dan menentukan keberhasilan program ini selanjutnya. Kepada setiap desa yang diidentifikasi sebagai desa tertinggal diberikan bantuan dana sebesar Rp20 juta sebagai modal usaha untuk pengembangan ekonomi rakyat. Dana program IDT tersebut setelah dicairkan dan diserahkan kepada kelompok menjadi milik kelompok dan tidak akan dikembalikan kepada pemerintah. Dana ini menjadi dana abadi yang harus tetap bergulir di daerah perdesaan, dan tidak dialihkan untuk peruntukan lain di luar wilayah perdesaan dan di luar kepentingan masyarakat perdesaan.
Dana Program IDT Alokasi dana program IDT sebesar Rp20 juta per desa disalurkan langsung kepada kelompok masyarakat melalui bank penyalur yang ditunjuk di tingkat kecamatan. Pencairan dana oleh kelompok masyarakat dilakukan berdasarkan DIKK (Daftar Isian Kegiatan Kelompok) yang berasal dari DUK (Daftar Usulan Kegiatan) dari masing-masing anggota masyarakat miskin yang bersangkutan, yang telah dibahas bersama dalam musyawarah kelompok, disetujui dalam forum diskusi UDKP, dan diketahui oleh lurah/kepala desa. Dengan berpedoman pada DIKK tersebut, kelompok masyarakat dapat mencairkan dana sesuai kebutuhan dan kesiapan dari anggota kelompok masyarakat sasaran. Dengan demikian tanpa prosedur tersebut dana IDT tidak bisa dicairkan. Dana yang disalurkan adalah sebesar yang dibutuhkan dan disetujui seperti tertuang dalam DIKK tersebut, serta tidak ada dan tidak boleh ada pengurangan atau pemotongan untuk tujuan apa pun. Sekali dana itu dikeluarkan selanjutnya telah menjadi tanggung jawab kelompok dan masyarakat untuk mengatur penggunaannya. Dana program IDT adalah modal usaha untuk digunakan oleh kelompok masyarakat bagi kegiatan soal ekonomi yang produktif. Kegiatan usaha dikelola sendiri oleh anggota kelompok. Penggunaannya disesuaikan dengan budaya usaha setempat dan dalam batas
110
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kemampuan pelaksanaan anggota-anggota kelompok masyarakat yang bersangkutan, sehingga dapat menguntungkan, berkembang, dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Dana program IDT sebagai revolving grant (hibah bergulir) dapat diartikan sebagai dana abadi dalam bentuk bantuan modal kepada kelompok masyarakat yang tetap berada dan tumbuh berkembang di desa bersangkutan. Bagi anggota kelompok, dana tersebut merupakan pinjaman yang harus dikembalikan kepada kelompok. Dana tersebut dapat dipinjam kembali oleh anggota yang bersangkutan atau anggota lain dalam lingkup kelompok atau dipinjamkan kepada orang-orang atau kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan mendapatkan dana IDT. Dengan dana ini diharapkan kelompok simpan pinjam ini dapat berkembang menjadi lembaga dana masyarakat desa yang menjadi milik desa, dan dikelola oleh warga desa setempat.
Pembagian dana Tata cara pembagian dana kepada kelompok dalam satu desa dan antaranggota dalam satu kelompok sepenuhnya menjadi kewenangan dari masyarakat penerima dana dan diputuskan dalam musyawarah desa. Demikian pula penggunaan dana untuk modal usaha produktif anggota pada dasarnya ditetapkan oleh anggota sendiri, setelah dibahas dalam musyawarah kelompok. Dana yang digunakan oleh anggota kelompok diharapkan tumbuh berkembang dengan keuntungan yang dihasilkan dalam kegiatan produktif. Tata cara peminjaman, penggunaan, pengembalian, biaya, sanksi, dan aturan main lainnya menjadi tanggung jawab, kewenangan dan kesepakatan bersama dalam musyawarah kelompok. Tata cara pengelolaan ini disusun dengan bimbingan pendamping dan lembaga musyawarah desa. Berdasarkan musyawarah desa, dana Rp20 juta dapat dibagi menurut kondisi dan kebutuhan anggota kelompok. Namun, yang paling pokok adalah dana harus dibagi sesuai kemampuan kelompok dan anggota kelompok masing-masing dalam menggulirkan dana. Setelah dibagi, modal usaha tersebut dapat secara bebas digunakan untuk kegiatan produktif berdasarkan rencana yang tertuang dalam DIKK. Perubahan dari rencana harus dibahas dalam kelompok. Anggota melaporkan penggunaan dana modal usaha tersebut dalam musyawarah kelompok, dan dicatat oleh ketua dan bendahara kelompok. Apabila jumlahnya telah memadai, melalui lembaga musyawarah desa dengan persetujuan kelompok yang bersangkutan, dana yang telah terhimpun dapat dimanfaatkan oleh kelompok atau anggota kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan yang sama.
Perguliran dana Cara perguliran dana yang telah umum digunakan dalam kelompok masyarakat dapat diterapkan dengan penyesuaian seperlunya. Kebiasaan yang umum tersebut antara lain adalah sistem angsuran harian, mingguan, atau bulanan. Namun, harus diusahakan agar dana terus berkembang. Misalnya, angsuran ke-1 sampai angsuran ke-10 digunakan untuk melunasi pinjaman pokok, angsuran ke-11 digunakan untuk membayar biaya yang ditanggung kelompok dan sisanya menjadi pemupukan modal kelompok. Bahkan dapat pula dilakukan angsuran ke-12 sebagai tabungan anggota untuk membesarkan dana bergulir. Dengan tata cara simpan pinjam semacam ini, anggota mempunyai tabungan pribadi, kelompok masyarakat menjadi makin berkembang, dan dana abadi tersebut bertambah besar jumlahnya. Dana yang makin membesar tersebut oleh kelompok dapat dipinjamkan kepada anggota lain yang belum mendapatkan giliran, atau dapat dipinjam lagi oleh anggota yang bersangkutan jika pinjamannya sampai jangka waktu tertentu telah lunas. Kegiatan simpan pinjam semacam ini telah dilaksanakan oleh lembaga dana dan keuangan yang sudah berjalan di perdesaan.
111
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Tata cara baku yang dilakukan oleh lembaga dana dan kredit perdesaan tersebut adalah menerapkan prinsip koperasi, yaitu musyawarah di antara anggota, disertai pencatatan yang sederhana tetapi mudah diperiksa untuk pemantauan, serta dikelola secara mandiri dan menguntungkan. Dengan mekanisme demikian dalam jangka panjang, lembaga keuangan perdesaan akan berkembang sejalan dengan arah perkembangan sistem keuangan nasional, serta menuju kepada perwujudan cita-cita keadilan sosial. Aparat di daerah dapat mengkoordinasi para pembina lembaga keuangan seperti itu, jika telah ada, untuk memberikan perhatian dan pembinaan khusus kepada kelompok penduduk miskin dalam pengelolaan dana IDT yang telah berkembang. Jika belum ada, perlu diupayakan pengembangannya sesuai dengan budaya, tradisi, dan tingkat kesiapan masyarakat setempat. Disadari bahwa budaya atau kebiasaan masyarakat, tingkat perkembangan masyarakat, serta kesiapan masyarakat dalam menggunakan dana untuk modal usaha berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya. Di samping itu, satu jenis usaha dengan jenis usaha lainnya juga berbeda. Mekanisme pengembalian secara teratur sebagai harian, mingguan, atau bulanan kemungkinan belum dapat diterapkan secara menyeluruh. Sebagai contoh adalah usaha perkebunan, peternakan, dan usaha lain yang memerlukan jangka waktu menghasilkan yang panjang. Padahal penduduk miskin mungkin tidak mempunyai pekerjaan lain yang dapat memberikan pendapatan sampingan untuk mengembalikan pinjaman secara teratur dalam jangka pendek. Dalam keadaan seperti ini kelonggaran perlu diterapkan. Anggota tidak diharuskan mengangsur di luar kemampuan sehingga untuk itu harus meminjam lagi, tetapi pada waktu yang disepakati diwajibkan menyetor kembali sejumlah dana kepada kelompok. Dana yang disetor tersebut adalah bagi hasil yang merupakan keuntungan dari usaha yang dibiayai dana program IDT tersebut. Melalui upaya ini, penduduk miskin didorong dan diberi kesempatan untuk melakukan investasi bagi dirinya sendiri.
Pendampingan Berlandaskan kepedulian serta melalui pengarahan dan pembinaan, para anggota masyarakat yang lebih mampu, di samping aparat desa, diharapkan dapat menjadi pendamping kelompok penduduk miskin dalam mengenali masalah dan memecahkan masalahnya sendiri. Peran pendamping sangat menentukan keberhasilan gerakan nasional penanggulangan kemiskinan ini. Pendamping pada dasarnya berperan membantu masyarakat meningkatkan kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin di desa tertinggal. Pendamping di samping yang berasal dari masyarakat sendiri diutamakan dari petugas penyuluh lapangan dan tenaga sukarela yang telah dibiayai dengan dana APBN, yakni tenaga penyuluh sektoral yang ada di tingkat kecamatan. Tenaga penyuluh tersebut diarahkan pada desa tertinggal. Bagi desa tertinggal yang belum ada tenaga pendampingnya, diusahakan untuk dipenuhi secara bertahap. Di samping itu, pendamping diharapkan dari daerah sendiri dengan dukungan dan bentuk kepedulian aktif lain, seperti APBD dan bentuk inisiatif daerah lain, dan pendamping khusus. Dari 20.633 desa tertinggal pada tahun 1993, telah ditemukenali sejumlah desa tertinggal parah di Jawa dan Luar Jawa. Pada desa-desa tertinggal parah tersebut diupayakan pendampingan khusus. Bersamaan dengan itu, telah dipersiapkan tenaga Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W) yang dikoordinasi oleh Departemen Dalam Negeri bersama Bappenas. Pemenuhan tenaga SP2W dilakukan melalui kerja sama dengan Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS). Di samping itu, dipersiapkan pula pendamping purnawaktu Tenaga Kerja Mandiri Profesional (TKMP) dari Departemen Tenaga Kerja, Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (SP3) dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Petugas Sosial Kecamatan (PSK) dari Departemen Sosial, dan sarjana-sarjana yang direkrut melalui perguruan tinggi. Bersamaan dengan itu pula, Departemen Dalam Negeri telah menyelenggarakan pelatihan bagi aparat dan tokoh masyarakat tingkat
112
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kecamatan dan tingkat desa, yaitu pelatihan bagi Kader Pembangunan Desa (KPD), dan pelatihan bagi pengurus LKMD kategori I dan kategori II.
Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan Sebagai bagian dari gerakan nasional, program IDT diarahkan pula pada koordinasi berbagai program yang mendukung peningkatan kesejahteraan penduduk miskin di mana saja mereka berada. Dukungan pembangunan prasarana dan sarana perdesaan sebagai bagian penting dari pelaksanaan program IDT diupayakan dari sumber dana sektoral APBN, dana Inpres (Dati I, Dati II, dan Desa), bantuan luar negeri dan sumber-sumber lain. Proses perencanaan pembangunan prasarana perdesaan diupayakan agar benar-benar menerapkan mekanisme perencanaan dari bawah dengan pelaksanaan pembangunan yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah tingkat II, disertai mekanisme pemantauan yang dibakukan. Pemerintah daerah tingkat II harus mengenali kebutuhan dan mengkoordinasi penyiapan pembangunan prasarana perdesaan yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam menentukan besaran dana pembangunan prasarana untuk tiap-tiap daerah tingkat II. Kebutuhan prasarana tersebut dicatat berdasarkan usulan dari bawah melalui mekanisme Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D) yang dilaksanakan sejak dari musyawarah LMD/LKMD, forum diskusi UDKP, rapat koordinasi pembangunan dati II, sampai dengan rapat koordinasi pembangunan dati I. Bupati/wali kota madya/Kepala Daerah Tingkat II ditunjuk menjadi penanggung jawab pelaksanaan pembangunan prasarana desa tersebut dan dibantu oleh Ketua Bappeda Tingkat II sebagai koordinator perencanaan prasarana, Kepala Dinas Pekerjaan Umum sebagai koordinator pelaksanaan pembangunan prasarana, dan Kepala Kantor Pembangunan Masyarakat Desa, sebagai koordinator peningkatan peran serta masyarakat dalam setiap langkah pembangunan di desa. Di tingkat pusat, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan prasarana perdesaan di desa tertinggal dibentuk tim koordinasi yang beranggotakan unsur-unsur dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan, dan Bappenas. Pemerintah Daerah melalui APBD menunjang program IDT dengan mengembangkan program-program yang paralel di desa-desa yang belum tercakup dalam program ini, untuk mempercepat upaya mengatasi masalah kemiskinan langsung di kantung-kantung kemiskinan. Dalam pelaksanaan pembangunan prasarana desa, peran serta masyarakat desa setempat sangat diutamakan. Penyaluran dana untuk pembangunan diupayakan menggunakan mekanisme yang paling sesuai dengan upaya desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu melalui Surat Pengesahan Anggaran Bantuan Pembangunan (SPABP) yang langsung disampaikan kepada pemerintah daerah tingkat II.
Pelaksanaan Program IDT Dalam tahun anggaran 1994/95 dilakukan penyempurnaan pendataan desa tertinggal sebagai dasar penentuan alokasi bantuan dana program IDT tahun anggaran 1995/96. Dari hasil penyempurnaan pendataan diketahui bahwa jumlah desa tertinggal tercatat sebanyak 22.094 desa. Jumlah desa tertinggal tahun 1994/95 berkurang sebanyak 2.455 desa, yaitu 2.320 desa dengan jumlah penduduk kurang dari 50 KK dan 135 desa yang mengalami penggabungan. Dengan demikian, jumlah desa tertinggal yang mendapat bantuan program IDT 1995/96, terdiri atas 18.178 desa tertinggal yang telah melaksanakan program IDT 1994/95, dan 3.916 desa tertinggal baru. Sementara desa tertinggal hasil pendataan 1994/95, yang berjumlah penduduk kurang dari 50 KK dan tidak lagi menerima dana bantuan 113
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
langsung, tetap mendapat bantuan dana BOP (bantuan operasional pemantauan) guna membina pengembangan usaha pokmas di desa tersebut. Di samping itu, dari 22.094 desa tertinggal terdapat 4.914 desa dengan kategori desa terpencil. Untuk memantau pelaksanaan program IDT di desa terpencil ini, setiap kecamatan mendapat tambahan dana BOP sebesar Rp100.000 per desa, dan tiap desa/kelurahan mendapat tambahan sebesar Rp300.000 per desa. Pada tahun anggaran 1994/95, penggunaan bantuan dana program IDT oleh masyarakat mencapai 97,82 persen, sedangkan penggunaan dana program IDT 1995/96 sampai dengan Desember 1995 telah mencapai 48,95 persen. Sementara itu, jumlah pokmas yang telah terbentuk selama tahun anggaran 1994/95 adalah 98.027 pokmas dengan jumlah anggota sebanyak 2,76 juta kepala keluarga atau sekitar 14 juta jiwa. Pada tahun anggaran 1995/96 jumlah pokmas menjadi 122.946 pokmas dengan anggota sebanyak 2,90 juta KK. Untuk tahun 1996/97, yang merupakan tahun ketiga program IDT, hanya desa dengan penduduk lebih dari 100 kepala keluarga yang masih memperoleh bantuan. Namun, pada tahun ini ditambah dengan semua desa di luar desa tertinggal di propinsi Timor Timur, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Langkah ini adalah untuk mempercepat pengentasan penduduk dari kemiskinan di wilayah-wilayah tersebut. Selain itu, ada beberapa daerah tingkat II, yang semua desanya memperoleh dana IDT, yakni Kabupaten Sangihe Talaud di Sulawesi Utara, Riau Kepulauan di Riau, Nias di Sumatra Utara dan Banggai di Sulawesi Tengah. Seluruh wilayah kabupaten ini terdiri dari pulau-pulau. Dengan demikian, jumlah desa yang memperoleh dana IDT menjadi lebih dari 28.223 desa atau 43 persen dari semua desa yang tercatat pada tahun 1996/97. Untuk itu bantuan langsung IDT mencapai hampir Rp480 miliar, dan selama 3 tahun mencapai Rp1,3 triliun. Kunci keberhasilan program IDT untuk menaikkan taraf hidup penduduk miskin di perdesaan adalah diberikannya kepercayaan kepada mereka untuk mengelola sumber daya pembangunan. Karena diberi kepercayaan, maka berkembang pula rasa percaya diri penduduk miskin bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk menanggulangi kemiskinan mereka. Program IDT tidak bercita-cita terlalu muluk, tetapi bertujuan meningkatkan usaha dan kegiatan ekonomi yang sudah biasa dilakukan penduduk miskin sehari-hari, atau melalui usaha-usaha baru "ekonomi keluarga" berdasarkan potensi sumber daya alam setempat. Program IDT membantu menyediakan tambahan modal kerja agar usaha kecil-kecilan ini dapat diperbesar. Jika sebelumnya modal kerja dipinjam dari pelepas uang, dengan adanya program IDT modal kerja itu dapat diperoleh dengan bunga rendah, bahkan pada awal program IDT dilaporkan banyak pokmas yang tidak mengenakan bunga pada uang yang dipinjamkan kepada anggotanya. Melalui program IDT, untuk pertama kali dalam sejarah pembangunan Indonesia, orang miskin di perdesaan dipercaya untuk memutuskan sendiri apa yang mereka anggap terbaik untuk menangulangi kemiskinan mereka. Terbaik dalam hal ini berarti disesuaikan dengan kemampuan yang mereka miliki, ketersediaan sumber daya lingkungan, dan pola budaya masyarakat setempat. Akhirnya, pendamping sangat diperlukan oleh penduduk miskin yang tergabung dalam pokmas. Pendampingan dapat dilakukan oleh pendamping-pendamping khusus yang bekerja purnawaktu atau oleh instansi-instansi sektoral dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Pendamping penting sebagai unsur perekat antara ekosistem tradisional dan ekosistem modern sehingga dapat terjadi transformasi ekonomi dan sosial secara berkelanjutan. Meningkatnya kinerja ekonomi masyarakat lapisan bawah atau ekonomi rakyat akan meningkatkan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Ekonomi rakyat yang mandiri dan andal yang berbasis pada kekuatan rakyat sendiri akan merupakan landasan bagi perekonomian nasional yang kuat dan tangguh.
114
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Bab V : PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA 1. Tinjauan Tentang Teknologi, Kebudayaan, dan Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Tahapan Pembangunan Jangka Panjang Kedua atau PJP II berlangsung dalam proses perubahan besar yang terjadi pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa di dunia kini, yang dikenal sebagai globalisasi. Oleh karena itu, pikiran-pikiran pembangunan yang berkembang di Indonesia dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kesadaran yang makin kuat akan tidak terhindarkannya keikutsertaan bangsa Indonesia dalam proses global yang sedang berlangsung itu. Diharapkan proses ini membawa keuntungan dan mendorong proses pembangunan nasional. Hal yang ingin dicegah adalah bahwa bangsa Indonesia hanyut tanpa kendali dalam arus globalisasi itu dan tenggelam di dalamnya, dan bahwa proses globalisasi akan berwujud proses dehumanisasi. Pada waktu yang bersamaan, bangsa Indonesia juga menghadapi tantangan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang telah lebih dahulu maju. Dengan memperhitungkan kondisi strategis serta semangat yang dinamakan “kebangkitan nasional kedua� itu, maka disusunlah konsep-konsep pembangunan nasional untuk 25 tahun ke depan yang tujuannya adalah membangun bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera lahir dan batin. Dalam konsep pembangunan ini, peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan merupakan tujuan utama. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kesejahteraan itu harus dicapai dengan upaya meraih kemajuan yang harus diwujudkan secara berkesinambungan. Kemajuan itu ingin kita bangun di atas kemandirian karena bagi bangsa Indonesia kemandirian adalah nilai hakiki kemerdekaan. Kesejahteraan, kemajuan, dan kemandirian, selain merupakan konsep-konsep ekonomi, juga merupakan konsep kebudayaan dan menyangkut manusia sebagai manusia, dan bukan sebuah konsep yang abstrak. Oleh karena itu, pembangunan bangsa yang maju dan mandiri, untuk mewujudkan kesejahteraan, mengharuskan dikembangkannya konsep pembangunan yang bertumpu pada manusia dan masyarakatnya. Atas dasar itu, dan untuk mencapai tujuan pembangunan yang demikian, titik berat pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi seiring dengan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan Ekonomi, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi Seperti diuraikan dalam Bab IV topik ketiga, teori pertumbuhan (neoklasik) pada tahap awalnya bertumpu pada peningkatan modal dan tenaga kerja sebagai sumber-sumber pertumbuhan. Setelah ditemukan bahwa dalam neraca pertumbuhan ada perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat penambahan stok modal dan angkatan kerja, disadari bahwa ada unsur lain yang mempengaruhi pertumbuhan. Perbedaan ini, yang merupakan faktor residual dan dinamakan total factor productivity (TFP), adalah hasil dari penerapan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Atas dasar itu, berkembanglah konsep mengenai modal manusia (human capital). Berbagai teori mencoba menjelaskan keterkaitan antara pengembangan SDM, aplikasi teknologi, dan pertumbuhan ekonomi. Kaum neoklasik, yang diprakarsai oleh Solow (1957) berpendapat bahwa teknologi dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat eksogen yang datang begitu saja (dari luar sistem) ke dalam proses produksi. Siapa pun atau negara mana pun mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan teknologi dengan pengeluaran
115
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali.39 Di dalam perekonomian yang terbuka, hampir semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.40 Ternyata konvergensi yang diharapkan itu tidak terjadi, yang terjadi justru kesenjangan makin melebar antara negara maju dan negara berkembang. Maka berkembang pola pikir yang lain, yakni pertumbuhan endogen. Inti pola pikir ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemajuan serta dinamika ekonomi bersumber dari dalam, dan unsur dalam ini mewujudkan diri dalam efisiensi dan produktivitas masyarakat. Makin besar peran efisiensi dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan, maka makin besar pula unsur pembangunan dari dalam. Sumber pertumbuhan, dalam teori endogen, antara lain adalah yang dikembangkan oleh Romer (1990), yaitu meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif.41 Teori pertumbuhan endogen ini didasarkan pada berbagai premis pokok, antara lain pengenalan bahwa pasar tidak sempurna, dan adanya eksternalitas dalam perekonomian. Teknologi atau penemuan-penemuan baru itu memberi eksternalitas bagi perekonomian.42 Pengembangan teori pertumbuhan endogen ini meningkatkan perhatian yang lebih besar terhadap pembangunan manusia. Apabila pengetahuan baru dan keterampilan terkandung dalam SDM, dan pembangunan ekonomi tergantung pada peningkatan teknologi, pengetahuan, dan cara-cara baru dalam proses produksi, maka keberhasilan pembangunan
39
Menurut pandangan ini, teknologi bersifat pure public goods yang mempunyai sifat non-rival goods dan sekaligus non-excludable goods. Sebagai non-rival goods, teknologi bisa didapatkan tanpa harus bersaing (mengurangi ketersediaan) satu sama lain. Sedangkan sebagai non-excludable goods, manfaat teknologi tidak dapat dikhususkan hanya untuk sekelompok pengguna jasa, atau, dalam skala yang lebih luas, hanya untuk suatu negara saja (Solow, 1957).
40
Oleh karena negara-negara maju telah memiliki modal yang cukup banyak, sedangkan di negaranegara berkembang modal masih amat langka, maka rentabilitas modal di negara-negara maju akan lebih rendah dibandingkan dengan rentabilitas di negara-negara berkembang. Hal ini dijelaskan karena adanya hukum pertambahan yang semakin berkurang (the law of diminishing returns). Atas dasar pemikiran ini maka akan terjadi transfer modal dengan berbagai cara dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Transfer ini, maka akan meningkatkan daya tumbuh negara-negara berkembang dan pada saatnya akan terjadi konvergensi antara negaranegara berkembang dan negara-negara maju. Dalam pandangan ini, maka unsur luar, yaitu injeksi modal dan teknologi dari luar, akan mampu mendorong pembangunan masyarakat negara berkembang dan menimbulkan konvergensi tersebut.
41
Lihat juga Gene M. Grossman dan Elhanan Helpman, Innovation and Growth in the Global Economy, Cambridge, MA: the MIT Press, 1991.
42
Adapun sumber pertumbuhan yang didorong oleh munculnya produk baru yang menggantikan produk yang sudah usang, diilhami oleh pendapat Schumpeter dalam model inovasi yang disebut sebagai creative destruction. Creative destruction dapat dilihat dalam kegiatan inovasi vertikal dengan sektor riset yang sangat kompetitif. Creative destruction timbul karena produk baru (tidak yang dihasilkan oleh inovasi ini) berhasil dimanfaatkan oleh para entrepreneur dalam kegiatan komersial. Hal yang paling penting dalam teori ini adalah: (1) munculnya produk inovatif ini akan menggantikan produk lama yang sudah ada di pasar, dan (2) adanya entrepreneur yang berani mengambil risiko dengan mengembangkan produk baru untuk bersaing dengan produk lama yang sudah ada di pasar. Creative destruction dapat menjadi sumber pertumbuhan jangka panjang bagi perekonomian yang sangat tergantung pada kegiatan inovasi vertikal (Aghion dan Howitt, 1992). Negara yang mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan inovasi vertikal adalah negara yang superior di bidang teknologi maju.
116
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
akan ditentukan oleh proses akumulasi dari kualitas SDM (Becker, Murphy, dan Tamura, 1990). Banyak studi empiris dilakukan untuk melihat kaitan antara kualitas SDM dan pertumbuhan. Denison (1962), misalnya, menemukan adanya sumbangan yang besar dari peningkatan years of schooling terhadap pertumbuhan di AS. Barro (1991) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menyatakan bahwa partisipasi pendidikan dan investasi yang cukup besar untuk pendidikan pada tahun ‘60-an merupakan faktor yang penting dalam menjelaskan variasi pertumbuhan negara-negara di dunia selama 30 tahun terakhir ini. Mereka memperlihatkan bahwa kualitas SDM menyumbang secara cukup berarti bagi pertumbuhan. Sumbangan itu kira-kira sama dengan sumbangan physical capital. Becker (1995) bahkan menunjukkan adanya estimasi bahwa sekitar 80 persen aset atau kekayaan di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terdiri atas modal manusia. Dengan pendekatan ini, dapat diterangkan secara jelas apa yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara di Asia yang berkembang cepat, dimulai dari Jepang, kemudian Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, yang memberikan penekanan besar pada penguatan kualitas manusia. Dengan sumber daya alam yang terbatas dan hambatan yang mereka hadapi dalam ekspornya ke Barat, mereka dapat tetap memelihara daya saing dan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan.
Peradaban, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Dari uraian singkat di atas, jelaslah kiranya peran SDM dalam pembangunan. Kinerja pembangunan amat ditentukan oleh kualitas SDM. Di antara berbagai aspek yang membentuk kualitas SDM, yang teramat penting adalah penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi ini mempengaruhi pemanfaatan dan bekerjanya faktor-faktor produksi, baik itu modal, sumber daya alam maupun sumber daya manusia itu sendiri. Dengan sudut pandang itu, penguasaan teknologi pulalah yang menentukan tingkat kemajuan dan terjadinya perbedaan taraf kemajuan antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya, antara satu bangsa dan bangsa lainnya, atau antara satu peradaban dan peradaban lainnya.43 Sebaliknya, penguasaan teknologi itu sendiri erat kaitannya dengan taraf penguasaan ilmu pengetahuan. Dewasa ini kedua kata itu sudah diucapkan dalam satu nafas, yaitu iptek atau sience and technology. Dan memang seharusnya demikian karena teknologi yang diartikan sekarang adalah penerapan ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh manusia untuk memanfaatkan alam atau mengatasi masalah alam, dalam mengamankan, memanjangkan, menyamankan atau menyejahterakan kehidupannya di muka bumi ini. Apabila ilmu pengetahuan adalah hasil upaya memahami hukum-hukum alam dengan kaidah ilmiah, maka teknologi adalah upaya untuk memanfaatkannya sesuai kebutuhan. Teknologi adalah intervensi manusia atas proses alamiah. Sebenarnya, keterkaitan yang demikian erat antara ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan gejala yang relatif baru. Meskipun revolusi ilmu pengetahuan dalam sejarah dinyatakan terjadi sekitar empat abad yang lalu, dibangkitkan oleh Galileo dan dikembangkan serta dilembagakan oleh Bacon, perkembangan teknologi yang secara sistematis bersumber
43
Peradaban atau civilization seperti dikatakan Huntington (1993) adalah: â€œâ€Śa cultural entity. [It is] the highest cultural grouping of people and the broadest level of cultural identity people have short of that which distinguishes human from other species. It is defined both by common objective elements, such as language, history, religion, customs, institutions, and by the subjective self identification of peopleâ€?.
117
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
pada ilmu pengetahuan barulah mengambil bentuk yang nyata setelah revolusi industri, bahkan menurut para ahli baru setelah pertengahan abad ke-19. Contohnya, penemuan mesin uap mendahului hampir satu abad pemahaman prinsip-prinsip termodinamika. Invensi teknologi tidak hanya terjadi sesudah Renaissance. Sejak beribu tahun, manusia telah berhasil mencari jalan untuk mengatasi alam dan memanfaatkan alam bagi kehidupannya. Manusia menemukan api, hampir pasti, secara kebetulan kemudian mengingat bagaimana terjadinya dan berusaha mengulang untuk memanfaatkannya. Baru sekitar setengah juta tahun kemudian diketahui apa itu api dan apa yang menjadikan api. Penemuanpenemuan serupa itulah yang menyebabkan berkembangnya peradaban. Kemajuan teknologi telah meningkatkan manusia pada taraf peradaban yang lebih tinggi. Selanjutnya peradaban yang lebih tinggi mendorong ditemukannya teknologi yang lebih canggih. Penemuanpenemuan itu kemudian ada yang dibarengi dengan landasan pengetahuan mengenai sebabmusababnya, tetapi banyak juga yang tidak diketahui sebabnya, meskipun telah dirasakan manfaatnya. Bahkan sampai dua abad yang lalu, penemuan teknologi lebih sering disebabkan oleh intuisi atau kebetulan (lebih tepat keberuntungan) dibandingkan dengan perhitungan yang rasional atas dasar logika, yang menerangkan hubungan sebab akibat. Misalnya, obatobatan tradisional, yang di Cina telah berkembang ribuan tahun (yang juga dikenal luas oleh masyarakat tradisional Indonesia), telah berhasil mengatasi banyak penyakit. Namun, secara empiris, tidak diketahui secara pasti (menurut ukuran sekarang) bagaimana bekerjanya. Sistem meridian yang digunakan dalam akupuntur sampai sekarang belum bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, dari kacamata manusia sekarang perkembangan teknologi di masa lalu amat lambat. Dalam dua abad setelah revolusi industri, terjadi perubahan pada kehidupan manusia yang jauh lebih besar dan berdampak lebih luas dibandingkan dengan 7000 tahun peradaban manusia sebelumnya. Derap perubahan yang cepat itu, yang disebabkan oleh kemajuan umat manusia pada abad terakhir ini, yang dicerminkan oleh penguasaan teknologi, telah makin bersandar pada ilmu pengetahuan. Kemajuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan meningkatkan kemajuan teknologi. Sebaliknya, taraf penguasaan teknologi yang maju akan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan lebih lanjut. Demikianlah roda ini berputar, dan perputarannya pun makin cepat dengan lingkaran perputaran yang makin luas. Artinya, perkembangan suatu teknologi tidak hanya akan mendorong kemajuan satu disiplin ilmu secara linear saja, tetapi dapat memicu pengetahuan di berbagai cabang ilmu pengetahuan. Misalnya, teknologi informasi mendorong kemajuan di bidang ilmu matematika, ilmu fisika, ilmu bahan-bahan, atau bahkan juga ilmuilmu sosial dan budaya. Sebaliknya, kemajuan dalam satu bidang ilmu pengetahuan dapat melahirkan tidak hanya satu jenis teknologi. Misalnya, ilmu fisika atom dan subatom dapat dimanfaatkan bukan hanya untuk membangkitkan energi, tetapi juga bagi kesehatan dan pertanian. Apa maknanya semua itu? Bangsa yang maju teknologinya dan kuat basis ilmu pengetahuannya mempunyai potensi berkembang dengan percepatan yang lebih tinggi dibanding yang masih tertinggal. Hal ini menjelaskan, mengapa negara-negara maju makin jauh meninggalkan negara-negara berkembang dalam taraf kesejahteraan. Akan tetapi, apa yang sekarang terjadi di beberapa negara adalah suatu gejala yang berlainan dengan pola itu. Beberapa negara berkembang itu tampak berhasil mengadakan lompatan-lompatan sehingga dapat mengurangi jarak antara negara-negara itu dan negaranegara maju. Bahkan beberapa negara itu memperlihatkan tanda-tanda akan segera menyusul negara-negara maju. Jepang sudah membuktikan dengan cepat dapat mengejar ketertinggalannya, bahkan sudah dapat jauh melewati banyak negara maju di Eropa. Korea, Taiwan, dan Singapura sudah makin mendekati taraf negara-negara maju. Telah ditunjukkan di atas bahwa salah satu yang memungkinkan proses percepatan itu terjadi adalah perhatian besar yang diberikan kepada pembangunan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. 118
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kemajuan pesat yang dicapai negara-negara tersebut segera menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti: mengapa mereka mampu melakukan itu, dan banyak negara lain tidak? Atau secara lebih mendasar lagi, mengapa ada bangsa-bangsa yang lebih maju dari pada yang lain? Karena faktor genetikkah? Atau lingkungan hidup, artinya wilayah tertentu menghasilkan lingkungan yang lebih mendorong orang lebih maju dibanding yang lain? Atau keduanya? Atau ada faktor-faktor lain? Sekarang ini peradaban modern sudah diidentikkan dengan peradaban Barat. Ilmu pengetahuan modern berasal dari Barat. Teknologi modern berasal dari Barat. Peradaban industrial (industrial civilization) sekarang ini adalah peradaban Barat. Negara-negara Asia yang baru maju itu, bisa maju karena belajar serta mengadopsi pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari Barat. Setiap orang yang belajar sejarah mengetahui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sekarang disinonimkan dengan peradaban Barat, tidak seluruhnya bersumber dari dunia Barat. Meskipun ilmu pengetahuan modern tidak bisa dipisahkan dari akar tradisi skolastik Greco-Roman dan Judeo-Christian yang mengikutinya, tetapi sumber mata air ilmu pengetahuan yang dikenal sekarang jauh lebih luas. Sejarah menunjukkan adanya persuburan silang (cross fertilization) dari berbagai peradaban yang membentuk puncak-puncak peradaban baru. Hal ini tidak dibahas lebih lanjut di sini. Hal yang ingin disoroti adalah bahwa jauh sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi menancap dengan kuat di bumi Barat, bagian-bagian dunia lain telah berkembang dengan sangat maju. India dan Cina mempunyai sejarah peradaban ratusan bahkan ribuan tahun, meskipun dalam wujudnya yang sekarang dinamakan pengetahuan dan teknologi tradisional. Khususnya Cina, negeri ini adalah sumber bagi banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian berkembang di dunia Barat. Apa yang oleh Bacon dinyatakan sebagai penyebab perubahan-perubahan besar pada Renaissance Eropa, yaitu teknologi percetakan, mesiu, dan kompas magnetik, ketiganya adalah produk peradaban Cina (Basalla, 1988). Blast furnace telah dikenal di Cina dua belas abad sebelum tiba di Eropa pada akhir abad ke-14. Bangsa Cina menemukan kertas seribu tahun sebelum kertas dikenal di Eropa. Dalam desain dan konstruksi kapal, bangsa Cina telah berabad-abad lebih maju daripada orang Eropa. Banyak lagi kemajuan yang bisa dirinci dalam bidang teknologi pertanian, energi, sandang, keramik (terutama porselin) dan sebagainya. Bukan hanya dari Cina, Eropa belajar, melainkan juga dari dunia Islam. Pada awal abad pertengahan, titik pusat peradaban Eropa berada di wilayah Laut Tengah, yang pada waktu itu dikuasai oleh Islam mulai dari Timur Tengah, Afrika Utara sampai Spanyol. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ilmu pengetahuan modern bersumber dari peradaban Islam. Ilmu pasti, ilmu alam, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu kimia, justru berkembang dari dunia Islam. Teknologi kertas, tekstil, metalurgi, gelas dan keramik, dan berbagai bahan kimia, dikembangkan oleh dunia Islam sehingga mencapai puncaknya. Di bidang pertanian pun kemajuan di dunia Islam begitu pesat, sehingga ada yang menyebut kemajuan pada masa itu sebagai revolusi pertanian, dengan pengembangan tanaman-tanaman dan bibit-bibit baru dengan sistem irigasinya (Mokyr, 1990). Daftarnya masih panjang. Semuanya itu sudah menjadi pengetahuan umum sekarang. Pertanyaan yang mengganggu sekarang adalah mengapa kemajuan yang gemilang itu tiba-tiba terhenti? Sehingga dunia Timur, seperti peradaban yang diwakili oleh Cina dan Islam (serta India sebelumnya) seperti air yang surut dan tidak pernah naik lagi. Mengapa setelah lima abad lamanya menguasai dunia, kemajuan peradaban dunia Islam pada abad ke-13 mendadak berhenti? Atau Cina setelah abad ke-15? Pada saat Eropa memasuki masa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, yang mengubah pola kehidupan manusia, dunia Timur seperti mandeg dan bahkan mundur. Bangsa Indonesia sendiri patut bertanya mengapa kemampuan teknologi yang cukup dahsyat untuk ukuran waktu itu (lebih dari seribu tahun yang lalu) yang dapat membangun 119
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
karya besar seperti Borobudur tidak berlanjut dan tidak melahirkan tradisi ilmiah dalam masyarakat.44 Jelas sejarah (termasuk yang kontemporer) menunjukkan bahwa kekuatan intelektual manusia tidak tergantung pada ras (dunia Islam sendiri terdiri atas banyak ras). Juga tidak karena faktor lingkungan alam tertentu, ataupun kombinasi dari kedua-duanya. Tentunya harus ada penjelasan lain, dan penjelasan lain itu harus dicari agar ditemukan jalan yang tepat sehingga dapat dibuat lompatan-lompatan untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia. Penjelasan itu diperlukan bukan sekadar untuk memenuhi rasa keingintahuan (intellectual curiousity), tetapi sangat relevan dalam upaya bangsa mengatasi tantangan membangun masa depan di atas landasan yang kukuh dan menjamin kesinambungannya.
Kebudayaan dan Teknologi Masalah punahnya peradaban telah menjadi bahan kajian para ahli. Banyak literatur mencoba menjelaskannya. Di sini hanya akan diungkapkan beberapa hal yang relevan bagi pembahasan topik ini, serta untuk dimanfaatkan dalam merancang masa depan secara lebih tepat. Mokyr (1990) melihat fenomena itu dari berbagai segi, termasuk kondisi lingkungan geografi, faktor-faktor demografi, bahkan perang, kondisi kesehatan atau wabah. Namun, argumentasinya yang paling meyakinkan adalah pengaruh dari perkembangan perilaku yang mencerminkan perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Artinya, tinjauan mengenai apa sebab suatu bangsa berhenti maju atau bahkan mundur harus diawali dari tinjauan kebudayaan. Di dalamnya pun Mokyr menempatkan hierarki nilai atau hierarchy of values sebagai yang paling menentukan.45 Pendapat tersebut dapat dipahami karena hierarki nilai ini mencerminkan sistem prioritas suatu masyarakat. Dasar pikirannya adalah bahwa bagaimana suatu masyarakat memberikan penghargaan (valuation) terhadap suatu fungsi atau kegiatan. Hal itu akan menentukan ke arah mana upaya didahulukan dan penggunaan sumber daya diprioritaskan. Jenjang atau relative prestige ini berbeda pada berbagai masyarakat. Sistem dan struktur nilai itu juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam masyarakat di negara berkembang, penghargaan tertinggi diberikan pada mereka yang bekerja dalam administrasi pemerintah. Pedagang atau petani dianggap diperlukan, tetapi tidak merupakan kelompok yang menduduki jenjang tinggi dalam strata sosial.46 Rendahnya penghargaan yang diberikan kepada kegiatan ekonomi membawa akibat yang sangat tidak menguntungkan pada perkembangan kemajuan teknologi pada masyarakat yang demikian.
44
Sungguh menarik apa yang dikatakan Daoed Joesoef (1991) yang mungkin memaksudkannya sebagai sebuah aforisme, yaitu bahwa “nilai yang satu ini (nilai ilmiah maksudnya) betul-betul “asing” dalam keseluruhan sistem nilai asli bangsa Indonesia dan karena itu, untuk menguasainya, harus mampu diciptakan tradisi baru dan kemudian berdisiplin untuk melaksanakan tradisi itu. Betapa tidak! Di dalam sistem nilai (budaya) warisan nenek moyang, yang samarsamar kehadirannya, kalaupun ada secara embrional, justru adalah ilmu pengetahuan tersebut, dan berkaitan erat dengan itu, semangat ilmiah (scientific spirit)”.
45
Persisnya Mokyr menyatakan “As far as collective influences on behavior are concerned, perhaps the most pervasive influence on the propensity of a society to experience technological progress is the hierarchy of values”.
46
Pada masyarakat Hindu dahulu urutan tertinggi diberikan pada kegiatan keagamaan, diikuti oleh kegiatan pemerintahan, dan baru di bawah itu kegiatan-kegiatan memproduksi.
120
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pertama, kondisi yang demikian akan mengakibatkan disalurkannya energi kreatif dari orang-orang yang paling berbakat dan berpendidikan tidak ke arah kegiatan yang akan meningkatkan kapasitas produktif masyarakat atau bangsanya. Kedua, karena kegiatan produktif dilakukan oleh orang-orang yang kurang berpendidikan dan terbatas daya kembangnya (inarticulate class), maka pengembangan teknologi yang terkait dengan kegiatan berproduksi menjadi terhambat. Sebagai akibat dari keadaan yang demikian, jikapun secara kebetulan atau secara empiris ada kemungkinan berkembangnya pengetahuan atau teknologi baru, yang dari waktu ke waktu di semua masyarakat selalu akan dijumpai, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berakal budi, namun kesempatan untuk mengembangkannya lebih lanjut akan hilang. Kalaupun bisa berkembang, perkembangannya tidak akan optimal atau tidak berkelanjutan (tidak sustained).47 Pergeseran dalam sistem nilai itulah yang dapat menyebabkan suatu masyarakat menjadi lebih atau menjadi kurang atau bahkan berhenti kreatif atau inovatif. Bagaimana sistem itu berubah, tentu banyak sekali faktor yang dapat menjadi penyebabnya. Ia dapat berkembang secara evolusioner atau secara mendadak karena tekanan suatu kekuatan, baik alamiah maupun manusiawi. Salah satu faktor penyebab perubahan sistem adalah peran dari institusi yang amat penting dan besar pengaruhnya, yaitu negara atau kekuasaan politik. Institusi politik ini adalah juga produk kebudayaan yang pada gilirannya sangat mempengaruhi wujud dan perkembangannya. Kemunduran Cina, misalnya, berbarengan dengan tampilnya dinasti Ming, yang bersifat sangat represif dan "inward looking". Para penguasanya hanya berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya dan berupaya menutup kemungkinan tumbuhnya tantangan. Sejak sekitar masa itu Cina berhenti menjadi sumber berkembangnya teknologi bagi dunia (Mokyr, 1990). Bahkan apa yang telah berkembang dihancurkannya sendiri. Misalnya Cina, seperti telah dikatakan tadi, sangat maju dalam teknologi perkapalan.48 Kisah pelayaran Cheng Ho amatlah terkenal. Namun, kurang dari satu abad sesudah itu, galangan-galangan kapal Cina ditutup dan kapal-kapal yang memiliki lebih dari dua tiang layar (mast) dilarang. Tujuannya adalah untuk menutup kemungkinan bangsa Cina berhubungan dengan bangsa lain yang dianggapnya biadab (barbarians). Kondisi yang serupa juga terjadi di Jepang. Senjata api diperkenalkan di Jepang oleh orang Portugis pada tahun 1534. Senjata api dengan cepat dibuat, sehingga pada akhir abad keenam belas jumlah absolut senjata api di Jepang lebih banyak dibanding negara lain mana pun di dunia (Basalla, 1988). Namun sejak awal abad ke-17 penggunaan senjata api dihentikan, dan Jepang kembali menggunakan pedang, tombak dan panah sebagai senjata utamanya. Dapat dipahami kehendak pemerintah (Tokugawa) untuk mengendalikan senjata yang demikian ampuhnya itu adalah agar kelanggengannya tidak mengancam. Sejarah juga menunjukkan gejala yang sama pada masyarakat Islam, yang setelah meninggalkan Spanyol, menjadi masyarakat yang tertutup. Pada saat dunia Barat menyerap pengetahuan dari berbagai penjuru dunia, masyarakat Islam justru menutup diri. Akibatnya 47
Mokyr (1990) merumuskannya sebagai berikut: “Technological progress depends on the extent to which homo creativus was also homo economicus�.
48
Sejarah mencatat bahwa armada Cina berlayar sampai di pulau Jawa, misalnya terlihat dari singgahnya I T’sing di pulau Jawa dalam perjalanan ke India, juga sejarah bahwa armada Cina beberapa kali mendatangi raja-raja Jawa untuk meminta upeti guna menunjukkan kekuasaan Kaisarnya. Akan tetapi, ketika utusan Kaisar Kubilai Khan minta upeti kepada Kertanegara, ia ditolak dan bahkan dipotong telinganya. Beberapa tahun kemudian armada Cina menyerbu raja Jawa. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-14 dan diceritakan dalam kitab Pararaton.
121
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
tidak terjadi pembenihan baru dalam kreativitas. Setelah memelopori demikian banyak pengembangan pengetahuan dan teknologi, sejak abad ke-13 masyarakat Islam mulai mundur. Jelas bukan karena kredo agama yang membuat kemunduran itu atau karena sifat ketertutupan masyarakatnya.49 Kemunduran itu disebabkan oleh kebijaksanaan para penguasa dunia Islam pada waktu itu yang menghendaki ketertutupan. Selain itu, sejarah juga mencatat betapa semasa kemundurannya, dunia Islam selalu terganggu oleh pertentangan di dalam dan perpecahan yang menyebabkan terhambatnya penyaluran bakat dan energi ke arah yang kreatif. Dapat disimpulkan bahwa sifat pemerintahan di dunia Timur menjadi penyebab utama kemunduran. Pemerintahan di dunia Timur pada masa-masa itu dijalankan oleh sistem yang despotik, sedangkan pada saat yang bersamaan di dunia Barat berkembang gerakan pembaharuan dan pencerahan yang memberikan keleluasaan yang terus makin besar kepada masyarakat. Pada akhirnya yang amat berpengaruh pada perkembangan peradaban Barat adalah berkembangnya kreativitas dan inovasi melalui perkembangan demokrasi. Meskipun sistem feodal masih dianut, kedaulatan rakyat dikenal dan diakui. Tidaklah heran apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di dunia Barat di antaranya berjalan bersamaan dengan perkembangan demokrasinya. Negara yang akhirnya menjadi paling kuat ekonomi dan teknologinya, yaitu Amerika Serikat, dilahirkan di atas landasan demokrasi. Jauh di kemudian hari, pada penghujung abad ke-20, terlihat betapa eratnya kaitan antara demokrasi, kreativitas, dan kemajuan ekonomi. Hal ini dibuktikan kembali dengan runtuhnya sebuah sistem otoriter, yang meskipun tidak mengatasnamakan hak keturunan (divine right) tetapi mengatasnamakan rakyat, tetapi represifnya tidak kalah dari negaranegara feodal di bawah monarki yang paling absolut sekalipun. Adanya perbedaan taraf hidup yang besar di dunia sekarang ini dengan demikian dapat dicari sebabnya pada pengalaman sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa-bangsa di dunia.50
Pengembangan Iptek di Indonesia dan Masalahnya Dengan berlatar belakang uraian di atas, bagian berikut mencoba melihat perkembangan iptek di Indonesia. Dari berbagai ukuran, diketahui bahwa dalam bidang iptek bangsa Indonesia tertinggal jauh.51 Pernyataan itu, tidak berarti bahwa tidak ada kemajuan, tetapi kemajuan itu relatif lam49
Ajaran agama Islam sangat mendorong berkembangnya pengetahuan, sebagaimana perintah pertama dalam wahyu pertama Al-Qur’an, yaitu Iqra’. Selain itu, terdapat puluhan perintah untuk melakukan penelitian, pengamatan, dan perjalanan untuk membuktikan dorongan Islam bagi pengembangan ilmu. Pada awalnya masyarakat di dunia Islam sangat terbuka, yang bukan saja tercermin dalam anjuran untuk belajar sampai ke Cina, atau pernyataan Nabi Muhammad SAW: “Di mana pun pengetahuan diperoleh, maka umat Islam lebih berhak meraihnya”, tetapi juga tercermin dalam praktik kehidupan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad dan kejayaan Islam. Mereka bekerja sama dengan warga nonmuslim, dan memanfaatkan, bahkan mengambil alih serta mengembangkan hasil pemikiran dan karya-karya kerajaan Romawi dan Persia.
50
Salomon, Jean-Jacques, Francisco R. Sagasti, dan Celine Sachs-Jeantet (1994), mengatakan bahwa memasuki abad ke-21 ini, peradaban di dunia dapat dibagi dua. “The first civilization is based on the growth of science as the main knowledge-generating activity, the rapid evolution of science-related technologies, the incorporation of these technologies into productive and social process, and on the emergence of new forms of working and living deeply influenced by the Weltanschauung of modern science and science-related technologies. The second civilization is characterized by the lack of a capacity to generate scientific knowledge on a larger scale and by a passive acceptance of scientific results generated in the first…”
122
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
bat, dibandingkan dengan negara-negara tetangga atau negara industri baru. Oleh karena itu, strategi pembangunan dalam PJP II banyak berorientasi pada iptek. Secara normatif misalnya, iptek telah ditempatkan sebagai asas tersendiri. Bahkan sebagai bidang pembangunan ia telah berdiri sendiri. Dari segi anggaran pembangunan, anggaran iptek selama Repelita VI sejak tahun 1994/95 meningkat rata-rata di atas 23 persen per tahun. Dalam Repelita VI dan untuk PJP II, bangsa Indonesia telah mempunyai rencana pengembangan iptek yang cukup rinci bahkan dengan beberapa sasaran kuantitatif.52 Sasaran-sasaran itu tidak akan dibahas di sini, tetapi yang justru ingin diketengahkan adalah masalah-masalah yang dihadapi yang membuat upaya pembangunan iptek di Indonesia tidak mudah. Masalah-masalah ini diperkirakan akan lebih memerlukan pembahasan karena pilihan-pilihan kebijaksanaan amat dipengaruhi oleh bagaimana upaya penyelesaiannya. Tanpa harus membuat sebuah daftar masalah yang panjang, untuk kepentingan pembahasan sekarang ini kiranya ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian utama. Pertama, seperti tergambar di atas, dari sisi kebudayaan ada masalah yang harus dihadapi. Semua sepakat bahwa teknologi adalah hasil budi daya atau cermin kebudayaan suatu masyarakat. Teknologi itu sendiri merupakan unsur pembentuk kebudayaan. Oleh karena itu, seperti telah digambarkan di atas, kebudayaan suatu bangsa sangat mempengaruhi kemajuan teknologinya. Kemajuan teknologi memerlukan sikap kreatif, dan sikap kreatif dibentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat. Suatu masyarakat yang mendorong dan menghargai kreativitas dan kerja produktif kebudayaannya menjadi lahan yang subur bagi perkembangan iptek. Masyarakat Indonesia sangat heterogen. Sebagian telah menjadi masyarakat industri, tetapi sebagian masih hidup dalam alam agraris tradisional, bahkan masih banyak yang berada dalam suasana kehidupan praagraris. Oleh karena itu, kalau berbicara mengenai kebudayaan dan teknologi, harus sungguh-sungguh mengenali dalam konteks apa atau untuk masyarakat Indonesia yang mana hal itu dibicarakan.
51
Misalnya, salah satu indikator untuk mengukurnya adalah banyaknya tenaga peneliti dibandingkan dengan jumlah penduduk. Karena Korea sudah diambil sebagai contoh, dapat dilihat bahwa jumlah tenaga penelitinya perď€10.000 penduduk pada tahun 1989 adalah 15,6. Sedangkan di Indonesia hanya sekitar 1,8 perď€10.000 penduduk. Pengeluaran R & D (penelitian dan pengembangan) di Korea dibandingkan PDB pada tahun 1989 adalah 1,92 persen, sedangkan, Indonesia kurang dari 0,3 persen.
52
Pada saat ini diperkirakan sekitar 80 persen dari total pengeluaran kegiatan penelitian dan pengembangan bersumber dari anggaran pemerintah. Dalam PJP II diharapkan akan terjadi pergeseran, yaitu peran anggaran pemerintah diharapkan menjadi hanya sekitar 20ď€30 persen. Pada saat ini sekitar 70 persen pengeluaran iptek tersebut dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan di lembaga-lembaga pemerintah. Pada akhir PJP II diharapkan 60ď€70 persen dari total pengeluaran kegiatan iptek dipergunakan oleh dunia usaha untuk meningkatkan mutu produk dan mutu proses produksi agar meningkatkan daya saing di pasar internasional. Pergeseran tersebut diharapkan pula akan meningkatkan pangsa pengeluaran kegiatan pengembangan iptek terhadap PDB menjadi sekitar 2 persen pada akhir PJP II. Selanjutnya, untuk mencapai critical mass yang dibutuhkan dan mengejar kemampuan yang setara dengan negara-negara tetangga dan negara industri di Asia Pasifik, jumlah sarjana MIPA dan perekayasaan dalam derajat S1 akan ditingkatkan dari 15 ribu pertahunnya pada awal PJP II, menjadi 65 ribu sarjana per tahunnya pada akhir PJP II. Selain itu, tenaga teknik lulusan D3 dan politeknik diharapkan terus meningkat pula, sehingga pada akhir PJP II jumlah tenaga peneliti, pengajar, teknisi, operator, dan penyelia dengan pelbagai derajat pendidikan yang berkemampuan dan andal di bidang iptek mendekati 1 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
123
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Banyak masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang sebenarnya adalah konflik-konflik kebudayaan. Transformasi kebudayaan melalui teknologi adalah bagian dari proses modernisasi. Namun, setiap upaya pengembangan teknologi, meskipun ada lingkup makro atau nasionalnya, haruslah disesuaikan dengan kondisi masyarakat tempat teknologi itu akan berkembang. Konflik kebudayaan karena upaya pengenalan teknologi yang asing bagi suatu masyarakat tidak selalu dapat dihindari karena teknologi itu sendiri adalah suatu wujud kebudayaan. Teknologi dapat berdimensi konflik antara kebudayaan modern dan tradisional, atau kebudayaan suatu daerah (misalnya, Jawa yang datang dengan transmigrasi) dengan kebudayaan setempat, atau kebudayaan luar negeri dengan kebudayaan nasional atau kebudayaan lokal. Pengenalan teknologi harus merupakan interaksi yang menghasilkan pengayaan kebudayaan, dan bukan penghancurannya. Kemampuan untuk mengendalikan dan menjuruskan proses perubahan kebudayaan ini amat penting untuk menciptakan lahan subur bagi pengembangan iptek yang seluas-luasnya dalam masyarakat Indonesia.53 Kedua, mengikuti alur pikir tadi, persoalan selanjutnya adalah masalah kesenjangan yang akan makin melebar karena adanya perbedaan kemampuan masyarakat untuk menerapkan dan menyerap teknologi baru. Masyarakat yang telah maju dan biasanya lebih terbuka akan lebih mudah dan lebih cepat menerima pikiran-pikiran dan teknologi daripada yang lebih terbelakang dan biasanya lebih tertutup. Persoalan ini cukup mendasar dalam pembangunan bangsa Indonesia karena sejak sekarang saja kesenjangan itu sudah dirasakan cukup lebar. Prospek kesenjangan yang makin melebar itu tentu sangat merisaukan. Masalah ini tidak sederhana, tetapi harus dipecahkan. Salah satu jalannya adalah dengan upaya pemberdayaan masyarakat yang dasarnya adalah penguatan daya yang ada pada masyarakat, serta upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan bertumpu pada masyarakat itu sendiri. Dalam kerangka pikir ini, pengembangan teknologi yang sudah dikenal oleh masyarakat teramat sentral. Artinya, modernisasi tidak harus berarti implantasi teknologi, tetapi dapat berarti pembaharuan teknologi tradisional menjadi teknologi modern dengan didukung oleh kaidah-kaidah ilmiah. Ketiga, pemilihan teknologi yang akan diterapkan acapkali merupakan hal yang sangat tidak mudah, yaitu teknologi maju yang sesuai dan mengikuti perkembangan teknologi di dunia yang umumnya padat modal dan padat pengetahuan, atau teknologi yang sederhana tetapi padat tenaga kerja. Ini persoalan yang tidak kunjung selesai dibahas dan banyak sekali variasi jawabannya. Sebenarnya dalam kondisi masyarakat seperti bangsa Indonesia ini, yang satu kakinya sudah
53
Dalam hubungan ini, menarik untuk diketengahkan apa yang disebut oleh Stella Quah (1995) dengan pragmatic acculturation. Kata akulturasi (acculturation) di sini berarti pengadopsian aspek kebudayaan oleh kelompok dalam masyarakat atas aspek kebudayaan yang tidak terdapat pada kebudayaan asli mereka. Quah menekankan bahwa akulturasi ini sangatlah berbeda dengan apa yang disebut dengan asimilasi. Asimilasi adalah proses budaya yang dialami oleh kaum pendatang atau imigran yang harus melebur kebudayaan asli mereka dengan kebudayaan setempat. Akulturasi pragmatis memperkenankan seseorang atau masyarakat untuk tetap memiliki nilainilai tradisi asli mereka, tetapi di samping itu mereka dapat “meminjam� nilai-nilai dari kebudayaan lain yang dianggap dapat bermanfaat dalam pencapaian suatu tujuan tertentu. Hal yang menarik dari akulturasi pragmatis ini ialah dapat dihindarinya kontradiksi atau konflik dengan nilai-nilai baru itu dari pihak masyarakat yang menjalaninya.
124
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
berada di masa depan dan satu kaki lagi masih berada di masa lalu, yang tuntutan persaingan (dan karenanya aplikasi teknologi mutakhir yang umumnya hemat tenaga kerja) berada bersamaan dengan tuntutan penciptaan lapangan kerja dalam jumlah banyak, persoalannya bukan pilihan yang satu terhadap yang lain, karena memang kedua-duanya diperlukan. Namun, masalahnya bagaimana menciptakan keseimbangan di antara keduanya. Hal ini amat penting karena letak keseimbangan itulah yang akan menentukan pengalokasian sumber daya. Masalah ini menjadi lebih besar karena sumber daya yang ada sangat terbatas, padahal kebutuhannya amat banyak. Keempat, berkaitan dengan keterbatasan sumber daya itu, bangsa Indonesia dihadapkan pada pilihan dalam menetapkan prioritas-prioritas. Di antaranya, yang amat mendasar, adalah ke mana perhatian utama akan diberikan: menciptakan landasan sumber daya manusia yang luas atau mengkonsentrasikannya pada upaya terbatas untuk menjadi ujung tombak gerakan dan lompatan-lompatan teknologi. Secara konkret, misalnya di bidang pendidikan, apakah pendidikan dasar yang akan didahulukan atau pendidikan tinggi yang akan menghasilkan kader-kader iptek yang akan diprioritaskan. Pertanyaan ini amat relevan, dan Bank Dunia, misalnya, menggunakannya sebagai salah satu alat uji untuk menilai kebijaksanaan sumber daya manusia yang tepat (sound policy). Bank Dunia membandingkan Korea dengan Venezuela. Venezuela mencurahkan 43 persen anggaran pendidikannya pada pendidikan tinggi, sedangkan Korea hanya 10 persen. Sebagai hasilnya murid SD Korea tercatat paling tinggi dalam kemampuan kognitif berdasarkan penelitian terhadap murid-murid SD di berbagai negara (World Bank, 1993).54 Anak-anak inilah yang menjadi modal SDM Korea yang amat andal. Di pihak lain, kebutuhan sekarang segera menuntut perhatian yang diberikan secara memadai pada pendidikan tinggi karena di situlah terletak titik pusat kemajuan iptek suatu bangsa. Bagi negara yang terbatas sumber dayanya, ini merupakan dilema pilihan yang tidak mudah. Tahap pembahasan berikutnya dan yang terakhir pada topik bahasan ini adalah mengenai pendidikan.
Pendidikan, Iptek, dan Kebudayaan Pada waktu membahas berbagai konsep mengenai pertumbuhan, telah ditunjukkan, baik secara empiris maupun secara teoretis, betapa SDM berperan sebagai sumber kemajuan yang dicerminkan dalam ukuran ekonomi melalui pertumbuhan. Modal manusia ini yang paling utama dihasilkan oleh pendidikan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan berjalan dalam suatu sistem yang saling menunjang. Ilmu pengetahuan dikembangkan di dunia pendidikan, dan pendidikan berkembang karena ilmu pengetahuan berkembang. Dalam kehidupan masyarakat, pendidikan pulalah yang menjadi faktor utama yang menggerakkan proses pembaharuan budaya menuju taraf yang lebih maju. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan dan iptek tidak dapat dipisahkan. Untuk membangun masyarakat yang berkebudayaan ilmiah, peran pendidikan terutama sejak tingkat dini teramat penting. Oleh karena itu pula, pembentukan kebudayaan iptek harus merupakan sasaran dari upaya pendidikan nasional pada tingkat pendidikan dasar.
54
Secara sangat subtil dikatakan oleh Takeshi (1996), “In all eras of Japan’s history there has been a gap between the level of technology in Japan and that abroad, but that gap was never wide enough that Japan was unable to breach it and catch up. Whenever Japan had contact with other countries through trade, it was able to absorb advance techonology in a relatively short perod of time�.
125
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Selain mata pelajaran dalam kurikulum, kebudayaan iptek itu harus ditanamkan dalam sikap anak didik. Sikap ini harus meliputi: - rasa ingin tahu yang tidak henti-hentinya: bertanya adalah kebiasaan yang baik dan harus didorong dan bukan dimatikan (seperti dalam masyarakat tradisional Indonesia); - berpikir logis dan rasional harus dibiasakan: jauhkan anak-anak dari berpikir mistik, dan sikap pasrah pada alam; - menghasilkan yang terbaik harus menjadi sasaran: kebiasaan untuk jangan menonjol, berada di bagian tengah adalah yang paling baik dan aman, harus dihilangkan; - semangat bersaing harus digelorakan: jangan mau gampang kalah atau cepat mengalah; - jangan dibiasakan mentolerir sikap asal jadi saja atau mencari yang gampang saja; - sikap mengakui kebaikan dan kekuatan yang ada pada orang lain harus dikembangkan, dan - menghargai kerja keras dan tidak memandang rendah kerja kasar. Seperti sebuah corong, makin tinggi taraf pendidikan, sikap serupa itu harus makin deras dialirkan. Di lingkungan pendidikan tinggi puncaknya harus tercapai. Dengan demikian, pendidikan akan menghasilkan insan-insan yang tidak cuma menyandang gelar sarjana (yang sering kali hanyalah sebuah ilusi), tetapi insan-insan yang bersemangat ilmiah, yang kreatif, yang selalu mencari kesempurnaan (unending search for excellence) dan menghindarkan sikap mediocre. Manusia-manusia yang demikian inilah yang akan menjadi modal pembangunan yang utama, yang akan menjadi andalan masa depan. Kemajuan Jepang yang begitu cepat sebelumnya adalah berkat modal sumber daya manusianya yang dihasilkan oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sistem pendidikan yang ketat. Oleh karena itu, masyarakat Jepang cepat sekali dapat menyerap gagasan baru yang membawa kemajuan.16 Inilah berbagai tuntutan yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kalau pendekatan itu dapat dilakukan, maka masalah dunia pendidikan, yang sekarang ini senantiasa dikeluhkan pada keterbatasan sumber daya khususnya anggaran, akan terasa lebih ringan. Dalam berbagai pembicaraan mengenai masalah pendidikan, yang muncul senantiasa persoalan anggaran. Jelas memang ini merupakan masalah dan tidak pantas untuk diremehkan. Akan tetapi, kebutuhan anggaran untuk pendidikan tampaknya bukan hanya soal bangsa Indonesia saja, banyak negara lain juga menghadapinya, termasuk negara-negara maju. Hal yang penting dipertanyakan adalah apakah bangsa Indonesia sudah melakukan segala sesuatu yang terbaik yang dapat dilakukan dalam keadaan yang serba terbatas ini? Atau lebih tajam lagi terkait dengan topik pembahasan ini, apakah sisi pengembangan kebudayaan (yang relatif tidak memerlukan biaya besar) sudah cukup diperhatikan? Atau lebih diarahkan lagi, apakah jalur kebudayaan dalam proses belajar mengajar telah ditempuh dan dimanfaatkan secara optimal? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu dapat membantu upaya untuk mencari alternatif-alternatif dalam strategi pembangunan yang bertumpu kepada manusia karena di dalam pembangunan itu, teknologi, kebudayaan, dan pendidikan, merupakan unsur yang bertalian dan bersenyawa secara sinergis.
2. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Industrialisasi Banyak peluang akan terbuka dari proses globalisasi yang sedang berlangsung sekarang ini. Arus informasi, teknologi, modal, barang dan jasa yang mengalir makin deras dan kurang hambatannya, membuat roda-roda ekonomi bisa berputar lebih cepat. Pasar yang semula
126
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
terkotak-kotak, menjadi lebih luas dengan terbukanya tirai-tirai pelindung antara unit-unit ekonomi yang lebih kecil. Gejala ini memberi peluang dan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia. Kuncinya adalah kemampuan bersaing untuk dapat mengejar ketinggalan dari negara-negara industri atau sekurang-kurangnya dari negara-negara tetangga yang disebut negara industri baru. Agar mampu bersaing, salah satu jalannya tidak lain adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan daya serap teknologi yang lebih tinggi. Daya saing yang bersumber dari kualitas manusia harus makin diandalkan karena bangsa Indonesia tidak bisa terusmenerus mengandalkan tenaga kerja dan sumber alam yang dihargai murah. Topik ini membahas konsep SDM, dan usaha-usaha untuk mengembangkan SDM.
Konsep Pembangunan SDM Semua ideologi, semua sistem, baik sistem politik maupun sistem ekonomi berbicara mengenai usaha untuk memperbaiki dan membangun kehidupan manusia. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah caranya, dan pada kedudukan apa manusia ditempatkan. Tampak betapa manusia ditempatkan lebih banyak sebagai faktor produksi yang derajat kemanusiaannya dihargai setara dengan jasa dan produktivitas yang dihasilkannya. Juga dapat dilihat berkembangnya konsep manusia sebagai masyarakat, sehingga manusia secara perorangan menjadi kabur dan abstrak, dan jika perlu dapat dikorbankan untuk kepentingan masyarakat. Harkat manusia sebagai pribadi tidak dikenal dan diakui. Indikator yang digunakan dalam menilai kemajuan pembangunan sering melupakan kedudukan manusia itu sendiri. Sering kali analisis agregat-agregat statistik seperti tingkat pertumbuhan dan PDB per kapita terlalu ditekankan sehingga ukuran-ukuran lain sering terabaikan. Dalam hal ini yang amat penting seakan-akan adalah bagaimana harapan-harapan yang ideal menurut ukuran-ukuran ekonomi dapat dipenuhi. Orang sering lupa bahwa sesungguhnya yang ingin dan perlu dibangun bukanlah manusia sebagai konsep yang abstrak, sebagai kumpulan sosok-sosok yang kabur, sebagai alat produksi yang dapat digantikan oleh mesin, melainkan manusia sebagai manusia. Konsep indikator pembangunan manusia atau human development indicators sebagai ukuran pembangunan yang sejajar dengan indikator pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan, baru-baru ini saja dikembangkan. Semuanya terkait dengan proses pergolakan sosial yang besar yang berlangsung dalam tiga dasawarsa terakhir, sejak awal tahun ‘60-an. Di Amerika Serikat gerakan emansipasi kaum kulit berwarna dan masalah perkotaan sudah mengambil tempat utama dalam konflik sosial ekonomi, menggantikan konflik-konflik klasik antara buruh dan majikan atau antara pertanian dan industri. Proses itu juga berlangsung dalam sistem yang menjadi antipodanya, yaitu sistem sosialis. Puncak proses itu adalah hancurnya sistem komunis. Semuanya itu menunjukkan makin dikenalinya manusia sebagai insan atau sebagai human being. Masalah keterbukaan, demokratisasi serta hak asasi manusia, bahkan lingkungan hidup yang melanda dunia kini tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk memanusiakan kembali manusia, menempatkan manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya mencakup pembangunan manusia, baik sebagai insan maupun sebagai sumber daya pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pembangunan manusia sebagai insan memberikan tekanan pada harkat, martabat, hak, dan kewajiban manusia yang tercermin dalam nilai-nilai yang terkandung dalam diri manusia baik segi etika, estetika, maupun logika yang meliputi nilai-nilai rohaniah, kepribadian, dan kejuangan. Selain itu, pembangunan manusia mencakup pula pembangunan jasmaniah terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keadaan gizinya. 127
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Manusia sebagai insan menjadi perhatian utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia karena menjadi dasar dari kehidupan dirinya. Keberhasilan membangun manusia sebagai insan seutuhnya akan menentukan keberhasilan membangun manusia pada sisi lainnya, yakni pelaku yang tangguh dalam membangun diri dan lingkungannya dengan berbekal pengetahuan, keterampilan, dan akhlak yang baik. Pembangunan manusia sebagai insan tidak terbatas pada kelompok umur tertentu, tetapi berlangsung dalam seluruh kehidupan manusia sejak janin sampai usia lanjut. Setiap tahap dari pertumbuhan tersebut, terutama tahap awal, sangat mempengaruhi kualitasnya sehingga perhatian yang sungguhsungguh akan membentuk manusia yang tangguh, baik dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya, serta sehat jasmani dan rohaninya. Melalui proses itu, ingin dibangun manusia dan masyarakat yang maju dan mandiri. Kemajuan tercermin dari makin tingginya tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan penduduk, serta dimilikinya nilai prestasi. Kemandirian tercermin dari sikap dan kemampuan seseorang, kelompok atau suatu bangsa dalam menghadapi tantangan dengan mendayagunakan seluruh potensi yang ada di dalam diri dan lingkungan sekitarnya, serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Bangsa yang maju dan mandiri hanya mungkin terbentuk dari kualitas manusia dan masyarakatnya, kekukuhan ekonomi, dan ketahanan nasionalnya. Pembangunan manusia sebagai sumber daya pembangunan menekankan manusia sebagai pelaku pembangunan yang memiliki etos kerja produktif, keterampilan, kreativitas, disiplin, profesionalisme, serta memiliki kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kemampuan manajemen. Kualitas manusia sebagai insan dan sumber daya pembangunan seperti itu akan membawa Indonesia tumbuh dan maju menjadi bangsa besar yang sejajar dengan bangsa maju lainnya. Selain merupakan perwujudan pelaksanaan amanat UUD 1945 dan pengamalan Pancasila, peningkatan kualitas sumber daya manusia juga merupakan tuntutan yang cepat dan kompleks. Perkembangan ekonomi, industrialisasi, arus informasi, dan perkembangan iptek yang pesat makin menuntut sumber daya manusia yang tinggi kualitasnya. Dengan demikian, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi tuntutan yang sangat mendesak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Keadaan SDM Indonesia Memasuki Era Kebangkitan Nasional Kedua Tidak ada orang yang dapat membantah fakta bahwa pembangunan dalam PJP I telah menunjukkan banyak keberhasilan. Kemajuan yang paling besar tercermin bukan hanya pada tingkat pendapatan, tetapi pada taraf pendidikan dan kesehatan yang mencerminkan peningkatan kualitas hidup dan kualitas sumber daya manusia pada umumnya. Namun, apabila dikaji dengan seksama, akan ditemukan bahwa dalam banyak hal kualitas sumber daya manusia Indonesia masihlah lemah, terutama bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Dengan menyadari masih adanya kelemahan itu, tidak berarti bahwa banyaknya kemajuan yang telah dicapai dalam PJP I tidak patut dihargai. Beberapa aspek masyarakat yang mencerminkan tingkat kualitas sumber daya manusia itu dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut. Dalam PJP I tingkat pendidikan masyarakat secara umum telah meningkat. Jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta aksara telah turun dari sekitar 40 persen pada tahun 1971 menjadi kurang dari 14 persen pada tahun 1995. Namun, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain seperti, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Sri Langka dan Singapura, yang angka buta aksaranya sudah sangat rendah, yaitu berkisar dari 2 sampai 12 persen. Dalam hal kesempatan belajar untuk tingkat sekolah dasar, kebijaksanaan wajib belajar enam tahun telah terwujud sehingga Indonesia sudah sejajar dengan negara-negara tetangga. 128
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Namun, mutu pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal. Hal ini, terlihat dari masih rendahnya kemampuan baca lulusan sekolah dasar kita, yaitu 52 persen, sedangkan di negara-negara industri baru sudah mencapai 76 persen. Sisi lain kualitas sumber daya manusia dapat diukur dari kemampuan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek yang tentunya bergantung pada jenis pendidikan yang menunjang kegiatan riset dan teknologi. Dalam hal ini, antara lain di tingkat pendidikan tinggi masih terdapat ketidakseimbangan antara bidang ilmu sosial dengan eksakta. Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa di bidang eksakta yang meliputi keteknikan, pertanian, kesehatan, dan MIPA hanya sekitar 28,4 persen dari seluruh jumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta. Sisanya menuntut ilmu di bidang ilmu-ilmu sosial termasuk pendidikan. Hal ini berdampak pada jumlah sarjana sains dan teknologi yang menjadi ukuran kekuatan dalam kemampuan iptek. Diukur dengan persentasenya terhadap jumlah penduduk usia 22 tahun, Indonesia baru mencapai kurang dari 0,5 persen pada tahun 1991, sementara Taiwan 4,2 persen, sedangkan Korea dan Jepang masing-masing 6,0 persen pada tahun 1990. Ketertinggalan dalam iptek digambarkan pula dengan penyediaan anggaran untuk pengembangan iptek. Pada tahun 1994/95 Indonesia baru mampu membiayai riset sekitar 0,25 persen dari PDB. Sedangkan di Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Cina telah menyediakan biaya iptek antara 1,0 - 1,9 persen dari PDB. Pembiayaan riset yang masih kecil di Indonesia itu pun masih dilakukan hampir seluruhnya oleh lembaga pemerintah. Kegiatan iptek di sektor swasta masih sangat terbatas. Ditinjau dari ukuran derajat kesehatan, angka harapan hidup waktu lahir penduduk Indonesia terus meningkat dari rata-rata 45,7 tahun pada tahun 1967 menjadi rata-rata 63,5 tahun pada tahun 1995. Namun, masih cukup jauh tertinggal dibandingkan dengan angka harapan hidup di antara negara-negara ASEAN (tahun 1992), yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Brunei masing-masing adalah 74,2 tahun, 70,4 tahun, 68,7 tahun, 64,6 tahun dan 74,0 tahun. Kualitas sumber daya manusia juga tercermin dalam jumlah penduduk yang miskin secara absolut. Dalam PJP I telah banyak kemajuan yang dicapai, yaitu penurunan jumlah penduduk miskin dari Âą 70 juta (60 persen) pada tahun 1970 menjadi 25,9 juta (13,67 persen) pada tahun 1993. Namun, jumlah itu menunjukkan bahwa satu dari setiap tujuh orang Indonesia kehidupannya sangat miskin dan tidak layak jika diukur dari martabat kemanusiaan. Salah satu ukuran yang diperkenalkan oleh UNDP untuk mengukur kualitas SDM adalah apa yang disebut human development index (HDI). Penduduk yang kualitasnya rendah nilai HDI-nya mendekati 0, sedang yang baik mendekati 1. Indeks tersebut dirangkum dari indikator pendidikan, umur harapan hidup, dan pendapatan per kapita penduduk. Dari 173 peringkat HDI dari 174 negara, pada laporan UNDP tahun 1996, Indonesia masuk peringkat 102 dengan indeks 0,641. Sedangkan negara-negara ASEAN lainnya, kecuali Filipina, sudah masuk peringkat antara 34 dan 53 dengan angka indeks antara 0,885 dan 0,826. Korea Selatan pada peringkat 29 dengan indeks 0,886 dan Cina pada peringkat 108 dengan indeks 0,609. Filipina sedikit di atas Indonesia, yaitu pada peringkat 95 dengan indeks 0,657 (UNDP, Human Development Report 1996). Meskipun tidak sempurna, dari angka-angka indeks semacam HDI tersebut dapat dilihat sampai di mana kemajuan yang dicapai di bidang SDM. Bappenas bersama-sama BPS dan lembaga-lembaga penelitian sedang mengembangkan semacam HDI yang sesuai dengan ciri-ciri dan tujuan pembangunan Indonesia. Dari hasil sementara dengan menggunakan data sensus 1980 dan 1990, ada dua hal yang menarik. Pertama, sebagaimana kemajuan-kemajuan yang dicapai di bidang ekonomi, selama dasawarsa ‘80-an juga terdapat kemajuan dalam kualitas SDM, tidak saja pada tingkat nasional, tetapi juga di semua daerah. Kedua, terdapat kesenjangan yang cukup mencolok pada laju percepatan indeks SDM sehingga berdampak pada kesenjangan angka indeks antardaerah. Angka indeks nasional tahun 1990 mencapai 129
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
0,580 dengan rentang antara 0,250 (Timor Timur) dan 0,820 (DKI). Untuk dapat memahami penyebab kesenjangan itu, angka indeks tersebut perlu diuraikan kembali ke dalam komponen indikator sosialnya masing-masing, yaitu kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Tentu terlalu rinci untuk dilakukan dalam konteks buku ini, namun dengan mempelajari indikator menurut kemampuan tersebut daerah demi daerah, dapat diperoleh gambaran pada sisi mana kondisi SDM paling memprihatinkan untuk tiap-tiap daerah sehingga ke sanalah perbaikan perlu dilakukan. Bahwasanya peningkatan pendapatan per kapita bangsa tidak dibarengi secara seimbang dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya, tercermin pula dari data. Pada waktu pendapatan per kapita bangsa Indonesia mencapai US$500 (1989), rata-rata angka harapan hidup adalah 61,5 tahun dan angka melek huruf orang dewasa (10 tahun ke atas) adalah 77 persen. Dibandingkan dengan negara Sri Langka, misalnya, pada waktu pendapatan per kapita yang sama, yaitu US$500 pada tahun 1991, rata-rata angka harapan hidup di Sri Langka sudah mencapai 71,2 tahun dan angka melek huruf orang dewasa mencapai 89 persen.
Kebijaksanaan Pembangunan SDM dalam PJP II Apabila ditengok ke belakang, dalam PJP I titik berat pembangunan memang diletakkan pada bidang ekonomi karena keadaan dan kemampuan nasional pada waktu itu masih sangat terbatas sehingga pembangunan ekonomi harus didahulukan. Dalam PJP II, bidang ekonomi masih merupakan titik berat pembangunan karena masih diperlukan untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan, tetapi sekarang dan selanjutnya, pembangunan haruslah dilakukan seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ini merupakan kemajuan dalam pendekatan dan strategi pembangunan yang teramat penting. Memang disadari bahwa pembangunan bidang ekonomi, setelah melampaui suatu taraf tertentu tidak dapat tidak harus dilakukan bersamaan dengan pembangunan sumber daya manusia. Tahap industrialisasi membutuhkan sumber daya manusia yang makin tinggi kualitasnya, untuk dapat menunjang pertumbuhan yang berkesinambungan. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat dan laju pertumbuhan penduduk yang cenderung menurun, diharapkan pembangunan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nyata. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dilakukan melalui empat jalur kebijaksanaan, yaitu peningkatan kualitas hidup yang meliputi baik kualitas manusianya seperti jasmani, rohani, dan kejuangan, maupun kualitas kehidupannya; peningkatan kualitas sumber daya manusia yang produktif dan upaya penyebarannya; peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berkemampuan dalam memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai iptek; serta pengembangan pranata yang meliputi kelembagaan dan perangkat yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia. Semuanya itu merupakan kebijaksanaan yang bersifat lintas sektoral serta menjadi dasar keterpaduan kebijaksanaan dan program yang bersifat sektoral. Dalam setiap sektor ada kebijaksanaan dan program SDM. Demikian pula ada program-program yang lintas sektoral, yang artinya dalam satu program terkait kebijaksanaan berbagai sektor. Pembahasan mengenai program-program di berbagai sektor tidak dapat ditampung dalam tulisan ini karena keterbatasan ruang, lagi pula umumnya telah tertuang dalam Repelita VI.
130
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Berbagai Masalah Ketenagakerjaan Pada akhirnya, tujuan pembangunan adalah meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk dapat hidup sesuai dengan martabatnya, maka setiap orang membutuhkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, di semua negara, tujuan penting dari pembangunan adalah menciptakan lapangan pekerjaan yang seluasluasnya yang memberikan hasil yang sebaik-baiknya. Pembangunan selama ini telah berhasil menciptakan 43,6 juta lapangan kerja baru. Namun, tingkat pengangguran masih cukup tinggi, baik pengangguran terbuka (4,45 juta atau 5,1 persen pada tahun 1995) atau setengah menganggur, yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu (45,8 persen). Produktivitas tenaga kerja Indonesia tahun 1985-1995 memang sudah meningkat cukup pesat, yaitu hampir dua kalinya. Namun, dibandingkan dengan negara-negara lain produktivitas pekerja Indonesia masih jauh tertinggal. Pada tahun 1990, tingkat produktivitas di negaranegara Asia Tenggara seperti Malaysia sebesar US$4.904, Thailand US$3.527, Singapura US$10.960, dan Philipina US$2.326, sedangkan Indonesia pada periode yang sama hanya mencapai US$1.751. Ditinjau dari struktur lapangan kerja, pada tahun 1995 sebagian besar masih berada di sektor pertanian (47,3 persen), disusul sektor perdagangan (16,6 persen), jasa (14,5 persen), dan industri (10,7 persen). Dengan demikian, kesempatan kerja bangsa Indonesia masih bertumpu pada sektor pertanian, yang pada umumnya berpendidikan dan berketerampilan rendah, sehingga produktivitas tenaga kerjanya juga rendah. Hal ini tercermin dalam sumbangan sektor pertanian terhadap PDB yang jauh lebih kecil yaitu 17,4 persen pada tahun 1994 (berdasarkan harga berlaku) dibandingkan dengan tenaga kerja yang diserap di sektor tersebut. Di samping itu, pendidikan tenaga kerja masih rendah, yakni pada tahun 1994 sekitar 70,7 persen berpendidikan SD ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan pekerja mencerminkan besarnya tenaga berketerampilan rendah seperti tenaga usaha pertanian, tenaga produksi, operator alat angkutan (sopir, kenek, dan sebagainya), dan tenaga kasar yang jumlahnya sekitar 69,6 persen dari pekerja keseluruhan. Dilihat dari status pekerja, tampak bahwa lapangan kerja di sektor informal (pekerja yang berusaha sendiri tanpa dibantu oleh orang lain, pekerja yang berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap, dan pekerja keluarga) masih cukup besar, yaitu 66,1 persen. Berbagai hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi di berbagai sektor pembangunan belum dapat secara langsung menciptakan lapangan kerja produktif. Bersamaan dengan itu, dihadapi pula masalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah (drop out). Setiap tahunnya diperkirakan kurang lebih 1,2 juta anak tidak tamat SD, dan lebih dari 1,2 juta tidak melanjutkan ke jenjang SLTP. Berarti masih akan banyak pekerja yang pendidikannya di bawah SD atau setinggi-tingginya tamatan SD.
Sistem Pendidikan dan Lapangan Kerja Pendidikan sebagai komponen utama dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia harus dapat ditingkatkan baik dari segi mutunya maupun dari segi jumlah tenaga terdidiknya. Kenyataan menunjukkan bahwa tenaga-tenaga terdidik untuk mendukung pembangunan amat dibutuhkan. Namun, di sisi lain banyak tenaga kerja, baik lulusan sekolah lanjutan atas maupun lulusan perguruan tinggi, tidak mendapatkan pekerjaan. Studi Bank Dunia baru-baru ini juga menunjukkan bahwa 40 persen dari tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan swasta tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan keahlian yang diharapkan perusahaan tersebut. Jelas ini merupakan akibat dari ketidaksesuaian antara 131
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
keahlian lulusan pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan di pasar kerja, atau mutu lulusan tersebut tidak mencapai standar minimal dari keahlian yang diperlukan. Peningkatan pendapatan per kapita sebesar empat kali lipat dalam PJP II membutuhkan tenaga-tenaga terdidik yang profesional akan makin bertambah. Perubahan ini akan berlangsung dengan cepat yang memerlukan sistem pendidikan dan pelatihan yang mengarah ke pasar. Jika tidak, akan terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan tenaga kerja dan kebutuhan pasar kerja. Di satu pihak telah terjadi pemborosan pada sumber daya untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang pengetahuannya terlalu umum atau jumlahnya terlalu banyak dibanding kebutuhan. Di lain pihak dibutuhkan lulusan pendidikan di bidang-bidang tertentu. Di samping persoalan kualitas, kuantitas pendidikan seperti tercermin pada jumlah lulusan yang tidak memadai untuk kebutuhan di berbagai bidang pembangunan perlu dibicarakan. Masalah ini harus cepat diselesaikan. Pemborosan sumber daya tersebut harus dihentikan dan mulai difokuskan pada kegiatan pendidikan agar tanggap pada kebutuhan yang nyata dalam masyarakat. Ini tidak berarti mengecilkan makna pendidikan yang tidak secara langsung dapat melayani sektor ekonomi, tetapi hal-hal di atas berkaitan dengan prioritas, pengalokasian sumber daya, serta pengendalian program-program. Dengan demikian, diperlukan keseimbangan yang tepat dalam sistem pendidikan agar penyelenggaraannya dapat dilakukan seefisien dan seefektif mungkin. Kalau tidak, maka yang akan menjadi korban bukanlah hanya negara dan masyarakat, melainkan juga para lulusan itu sendiri. Selain itu, juga disadari adanya kekhawatiran terjadinya dehumanisasi dalam pendidikan, kalau manusia hanya dipersiapkan sebagai sumber daya untuk berproduksi. Hal itu tidak perlu terjadi karena dalam lapangan kejuruan dan keahlian apa pun pendidikan yang menyangkut kejiwaan dan kepribadian harus tetap merupakan bagian yang integral. Masalahnya, sebenarnya menyangkut keseimbangan dalam pola pendidikan agar sungguhsungguh efektif menunjang pembangunan. Salah satu tugas berat yang dihadapi dalam PJP II adalah meningkatkan mutu tenaga kerja untuk dapat memenuhi tantangan peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas, dan dengan demikian menjadikan sumber daya manusia sebagai sumber pertumbuhan efektif. Jelas ini bukan tugas yang ringan karena kita harus berhadapan dengan kekakuan (rigidities) di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal tempat proses peningkatan mutu sumber daya manusia berlangsung pada tahap persiapan sebelum terjun ke masyarakat. Di pihak lain, diketahui adanya perubahan yang terus-menerus dan cepat di pasar tenaga kerja yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti perubahan teknologi, perubahan pola permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan, dan faktor persaingan global. Semua ini berakibat pada perubahan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Apabila penyesuaian terhadap perubahan-perubahan ini tidak bisa dilaksanakan dengan tepat waktu dan tepat tindak, maka akan terjadi kekurangseimbangan di antara kualifikasi keahlian atau kemampuan yang dibutuhkan dan apa yang dihasilkan oleh atau yang ditempa pada lembaga-lembaga pendidikan itu. Ini berarti inefisiensi dalam investasi sumber daya manusia. Mungkin ada tanggapan bahwa tidak mungkin mengadakan perubahan setiap kali di dalam sistem pendidikan. Kurikulum tentu tidak bisa dan tidak boleh berubah setiap tahun. Dalam hal ini memang terdapat dua jenis perubahan di pasar kerja yang sistem pendidikan perlu memberi tanggapan. Pertama adalah perubahan yang bersifat jangka panjang. Terhadap perubahan jangka panjang, sistem pendidikan formal perlu mengantisipasi perubahan tersebut dan memberi tanggapan yang tepat. Kedua adalah perubahan-perubahan jangka pendek. Terhadap perubahan jangka pendek, sistem latihan jangka pendek umumnya dan di dalam atau pada tempat kerja khususnya perlu memberi tanggapan secara tepat. Dalam konteks pembangunan Indonesia salah satu perubahan jangka panjang yang penting adalah perubahan struktur lapangan kerja. Pada tahun 1990 sekitar 49 persen ang132
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
katan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian. Pada akhir Repelita VI persentase ini diharapkan akan menurun menjadi 44 persen dan pada akhir PJP II menurun lagi menjadi sekitar 28 persen. Sejalan dengan itu, pada akhir PJP II angkatan kerja yang bekerja di sektor industri diharapkan dapat mencapai tingkat sekitar 20 persen dari seluruh angkatan kerja. Perubahan struktur lapangan kerja ini merupakan salah satu sumber perubahan yang penting yang memerlukan penyesuaian pada jenis-jenis dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Kecenderungan ini jelas berkaitan dengan upaya untuk menjadikan sektor industri sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi. Sektor pendidikan harus bisa mengantisipasi arah kecenderungan tersebut dan menyiapkan diri untuk memberikan tanggapan yang tepat. Kalau tidak, maka kebutuhan tenaga kerja dan pendidikan akan bergerak ke arah yang berbeda, dan akibatnya sasaran pembangunan, yaitu membangun bangsa yang maju dan mandiri tidak akan tercapai. Bersamaan dengan berlangsungnya perubahan sektoral lapangan kerja dan perubahan sumber-sumber pertumbuhan dari sumber-sumber primer ke efisiensi dan produktivitas adalah perubahan teknologi dan ilmu pengetahuan. Bahkan perubahan teknologi ini makin cepat sehingga membutuhkan pula tanggapan yang serba cepat dan tepat dari sistem pendidikan baik yang formal jangka panjang maupun yang bersifat jangka pendek. Jelaslah kiranya bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, khususnya di dunia kerja, mempersyaratkan bahwa sistem pendidikan perlu memiliki ciri fleksibilitas yang relatif besar. Di pihak lain, banyak hal yang dapat dipertahankan pada sistem pendidikan Indonesia. Ini memang dimensi menonjol dalam pengelolaan sistem pendidikan dalam kaitan dengan dunia kerja, yaitu mengupayakan pembaharuan terus-menerus sekaligus dalam keseimbangan yang relevan. Manajemen mengganda ini, yaitu pembaharuan terus-menerus dan kesinambungan, merupakan hal yang sangat penting bagi sistem pendidikan dalam pembangunan suatu bangsa. Satu hal kiranya dapat dikemukakan dengan derajat kepastian yang tinggi ialah bahwa bidang apa pun yang diajarkan dan pada tingkat mana pun pengajaran itu berlangsung, pendidikan perlu makin bermutu. Mutu di sini dipandang dari dua segi yang relevan untuk menanggapi perubahan yang cepat di dunia kerja. Pertama, mutu pendidikan sebagai satu proses. Proses belajar mengajar perlu memiliki ciri bahwa yang dididik akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan dunia yang cepat berubah, memiliki keterampilan intelektual untuk menyerap pengetahuan baru dan memanfaatkan teknologi baru dan menyerap nilai-nilai disiplin dan etos kerja yang tepat yang terkandung di dalam proses pendidikan yang baik. Upaya untuk melaksanakan kewajiban belajar pendidikan dasar sembilan tahun adalah antara lain dengan maksud agar mutu pendidikan dan angkatan kerja Indonesia secepatnya dapat meningkat. Dengan peningkatan itu maka efisiensi dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan akan mudah direalisasikan. Dipandang dari segi ini, jika pendidikan dasar sembilan tahun bagi semua yang berumur 7ď€15 tahun makin cepat dapat dituntaskan makin baik, terlebih lagi karena manfaat sosial yang tinggi yang diraih masyarakat dengan investasi di bidang ini akan saling mendukung dengan hasil ekonominya. Kedua, mutu dalam pengertian relevansi lulusan pendidikan bagi pembangunan bangsa. Di bidang pendidikan profesional dan teknis harus berani dan mampu dilaksanakan penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan. Sistem pendidikan yang diwarisi sampai saat ini dirancang dan dikembangkan terutama untuk memenuhi kebutuhan lowongan pada strukturstruktur pemerintahan yang perlu diisi setelah perang kemerdekaan. Dalam perjalanan bangsa Indonesia, terutama dalam tiga dasawarsa terakhir, misi ini untuk sebagian besar sudah terpenuhi. Sekarang kalau diperhatikan ke depan jenis dan kualifikasi tenaga profesional dan teknisi yang dibutuhkan untuk mewujudkan sasaran-sasaran jangka panjang, terlihat berbagai ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini terutama terlihat pada bidang-bidang yang di 133
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
masa depan memegang peran makin penting dalam pencapaian sasaran-sasaran pembangunan. Contohnya adalah sebagai berikut. Sehubungan dengan peran industri yang meningkat, terdapat suatu kelompok tenaga kerja yang permintaannya meningkat pesat yaitu tenaga teknisi tingkat tinggi seperti insinyur ataupun teknisi tingkat menengah. Kalau dalam Repelita V kedua kelompok ini diperkirakan sekitar 29 persen dari seluruh tambahan tenaga profesional dan tenaga teknis, maka proporsi ini diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 33,4 persen pada Repelita VI dan 50 persen pada Repelita X. Di pihak lain, kemampuan menghasilkan dari sistem pendidikan atas dasar proyeksi kemampuan yang ada diperkirakan tidaklah dapat meningkat secepat meningkatnya kebutuhan. Oleh karena itu, dalam Repelita VI dan seterusnya, kemampuan sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga-tenaga teknisi yang sesuai perlu ditingkatkan secara berarti, baik dalam pendidikan tinggi maupun pendidikan menengah dan kejuruan. Satu kelompok tenaga profesional yang permintaannya diperkirakan juga meningkat adalah di bidang kesehatan. Masalah kesehatan adalah penting karena di samping pendidikan, kesehatan merupakan faktor lain yang mempengaruhi kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. Terlebih lagi telah ditargetkan untuk meningkatkan usia harapan hidup, sebagai salah satu indikator penting derajat kesehatan suatu bangsa, menjadi di atas 70 tahun, dari 61 tahun pada tahun 1990. Untuk itu diperlukan upaya pembangunan kesehatan yang intensif dengan didukung oleh tenaga kesehatan yang memadai. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, maka Indonesia belumlah termasuk negara dengan tenaga kesehatan yang cukup besar secara relatif walaupun sudah ada perbaikan. Pada tahun 1988, umpamanya, jumlah penduduk per dokter adalah 7.316 untuk Indonesia, 605 orang untuk Jepang, 2.697 untuk Malaysia, 891 untuk Filipina, 837 untuk Singapura dan 5.595 untuk Thailand. Memang pada tahun 1992/93 keadaan sudah lebih baik. Dengan 30.317 dokter untuk seluruh Indonesia maka telah tersedia seorang dokter untuk 6.100 orang. Namun, Indonesia masih kekurangan dibandingkan dengan berbagai negara di atas. Demikian juga dengan tenaga-tenaga medis lainnya seperti juru rawat. Karena itu, sistem pendidikan, baik pendidikan tinggi maupun pendidikan menengah, perlu diarahkan untuk menghasilkan tenaga kesehatan dalam jumlah yang lebih banyak. Sebenarnya masalah yang pokok barangkali bukanlah semata-mata jumlah yang kurang atau lebih, tetapi juga penyebaran dan mutunya. Para lulusan perguruan tinggi umumnya terpusat di kota-kota besar, sehingga masalah kelebihan penawaran makin akut. Padahal di kotakota kecil dan wilayah perdesaan tenaga mereka pasti akan bermanfaat. Demikian pula ada masalah mutu para lulusan perguruan tinggi. Dengan mutu ahli-ahli teknik yang baik, maka kebutuhan jumlah mungkin dapat dikurangi karena peningkatan pada efisiensi dan produktivitas yang dihasilkan oleh peningkatan mutu. Demikian pula dengan mutu lulusan yang baik, meskipun kelebihan di pasar kerja dalam negeri, dapat saja diupayakan untuk mengisi kebutuhan tenaga-tenaga profesional di negara-negara berkembang yang lain. Lihat saja betapa negara-negara di Asia Selatan dan bahkan Filipina dapat mengekspor jasa tenaga profesionalnya sehingga menjadi penghasil devisa yang besar. Penyesuaian melalui sistem pendidikan formal memang memerlukan waktu yang lama. Sementara itu, pembangunan khususnya pembangunan industri sudah membutuhkan tenagatenaga terampil baik tingkat menengah maupun tingkat tinggi. Dalam hubungan ini perlu digalakkan pendidikan teknis jangka pendek baik melalui cara-cara klasikal maupun dengan cara latihan di tempat-tempat kerja. Peningkatan pendidikan teknik tingkat menengah memang memerlukan biaya relatif mahal dan juga membutuhkan waktu. Akan tetapi pendidikan teknik tingkat menengah amat perlu ditingkatkan baik jumlah sekolahnya maupun mutunya. Selain itu, perusahaan-perusahaan dan tempat-tempat kerja lainnya perlu melaksanakan program latihan terus-menerus. Dengan demikian, tidak saja tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi terus segar pandangan intelektualnya, tetapi mereka juga merupakan wahana untuk selalu bisa mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu 134
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
pengetahuan dan teknologi agar daya saing dapat dipertahankan dan nilai tambah dapat selalu ditingkatkan. Latihan terus-menerus di tempat kerja merupakan syarat agar efisiensi dan produktivitas dapat diwujudkan menjadi sumber pertumbuhan efektif untuk mengurangi tekanan kebutuhan pada sumber alam dan modal lainnya. Ini berarti perkembangan pasar harus pula dapat diantisipasi oleh dunia pendidikan. Karena itu, perlu dialog dan kerja sama antara lembaga-lembaga pendidikan sebagai lembaga yang mempersiapkan tenaga kerja, perusahaan sebagai penyerap utama tenaga kerja, dan pemerintah sebagai pengarah jalannya pembangunan. Selain itu, juga perlu diperhatikan agar lulusan tidak hanya mampu mengisi lapangan kerja yang terbuka, tetapi akan mampu pula menciptakan dan memperluas kesempatan kerja. Dengan demikian, akan tercipta keterkaitan yang kuat antara pembangunan kesempatan kerja dengan penyediaan tenaga kerja, sehingga kesenjangan antara sistem pendidikan dan kebutuhan pembangunan, secara bertahap dapat dijembatani.
Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Salah satu tugas besar yang segera dihadapi adalah memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan terutama melalui pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Dalam hal ini, dihadapi kendala yang tidak mudah pemecahannya. Kendala tersebut antara lain adalah masih tingginya angka putus sekolah di SD dan tingginya angka tidak melanjutkan ke SLTP. Kendala tersebut mungkin berkaitan dengan masalah kemiskinan, terutama di perdesaan. Keluarga yang amat miskin sulit dapat membiayai anaknya sekolah. Meskipun pada tingkat SD biaya SPP dibebaskan, ada biaya-biaya lain yang tetap harus dikeluarkan oleh keluarga untuk mengirim anaknya ke sekolah, seperti untuk pakaian yang pantas, alat tulis-menulis, dan keperluan sehari-hari lainnya. Pada keluarga yang sangat miskin setiap anak juga diharapkan untuk turut mencari nafkah agar mengurangi beban hidup. Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari pendidikan dasar, dengan umur anak yang lebih dewasa dan kebutuhan pendidikan yang lebih besar, beban tersebut akan dirasakan tambah besar. Potensi anak remaja sebagai pekerja juga lebih besar, sehingga kecenderungan untuk mendorong mereka untuk lekas bekerja menjadi besar. Di sisi lain, tingginya angka putus sekolah di SD dan tingginya angka tidak melanjutkan ke SLTP mungkin juga disebabkan oleh cara pandang mengenai seberapa pentingnya sekolah untuk meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat mereka secara langsung. Hal ini dapat berkaitan dengan metode pendidikan yang penekanannya cenderung luas namun tidak mendalam, sehingga pendidikan dirasakan kurang memberikan bekal untuk memasuki dunia kerja. Tamatan sekolah lanjutan tidak terjamin memperoleh kesempatan kerja, dan tamatan SLTP kalaupun dapat pekerjaan tidak terjamin lebih tinggi derajat pekerjaannya dibandingkan dengan tamatan sekolah dasar. Bahkan tamatan SLTA kemungkinan tidak memperoleh pekerjaan lebih tinggi lagi. Menurut statistik BPS tahun 1990, 12,8 persen tamatan SLTA menganggur dibandingkan dengan 8,7 persen tamatan pendidikan tinggi, 4,3 persen SLTP dan 0,9 persen tamatan SD ke bawah. Di pihak lain, seperti telah dibahas dalam topik sebelumnya, salah satu sebab kemiskinan adalah rendahnya tingkat pendidikan kepala keluarga. Kurang lebih 68 persen dari rumah tangga miskin di perdesaan kepala rumah tangganya tidak tamat SD, yakni 29 persen hanya tamat SD. Demikian juga di perkotaan, 54 persen rumah tangga miskin, kepala rumah tangganya tidak tamat SD. Dari semua rumah tangga miskin di kota dan desa, 94 persen kepala rumah tangganya tidak tamat SD atau hanya tamat SD. Dengan cara pandang 135
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
lain, 15 persen kepala rumah tangga yang tidak tamat SD dan 10 persen yang hanya tamat SD, rumah tangganya miskin. Lingkaran kemiskinan, kebodohan dan rendahnya tingkat pendidikan ini harus dipatahkan pada PJP II. Karena itu, peningkatan derajat pendidikan mempunyai peran penting sekali. Untuk itu diprogramkan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Melihat keadaan angka putus sekolah di SD dan angka tidak melanjutkan ke SLTP, program wajib belajar tersebut perlu direncanakan dengan cermat. Masalah ini harus dihadapi dari berbagai segi. Pertama, membuat syarat yang seringanringannya bagi anak-anak untuk mengikuti pendidikan sampai sembilan tahun. Untuk masyarakat miskin bahkan mungkin harus ada perhatian khusus, yang harus dibedakan dari mereka yang mampu. Kedua, membangun sistem pendidikan yang membuat tamatan sekolah sembilan tahun dapat terjun ke pasar kerja secara lebih efektif. Ini menyangkut penyusunan kurikulum, kesiapan para guru, serta fasilitas pendidikan termasuk peralatannya. Dengan cara ini sekolah menjadi menarik untuk diikuti dan memberi harapan untuk membuka tabir masa depan yang lebih baik. Ketiga, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun itu harus dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan tingkat kesiapan pemerintah dalam hal menyediakan segenap sumber daya dan perangkat yang diperlukan, dan kesiapan masyarakat itu sendiri, yang tidak bisa dilihat secara umum, tetapi wilayah demi wilayah, yaitu masyarakat di wilayah yang telah lebih siap bisa didahulukan. Mengingat keterbatasan kemampuan keuangan negara, maka dalam pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, ada beberapa hal pula yang harus mendapat perhatian. Pertama, pembangunan SLTP baru oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan gedung sekolah untuk memenuhi wajib belajar sembilan tahun itu tidak mematikan atau mengurangi kahadiran sekolah-sekolah swasta yang sudah ada atau direncanakan akan ada di suatu kawasan, termasuk sekolah-sekolah yang didirikan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kedua, perlu diperhatikan kemungkinan memanfaatkan gedung-gedung SD yang sudah ada, terutama yang mulai kosong di berbagai daerah yang kekurangan murid. Ketiga, pengalamanpengalaman yang kurang baik dalam pembangunan SD Inpres, seperti mutu gedung yang rendah dan lokasi sekolah yang jauh dari daerah hunian, tidak terulang lagi. Masalah lain yang juga sangat menentukan mutu pendidikan adalah mutu dan kesejahteraan guru serta tenaga kependidikan lainnya. Pengelolaan pendidikan, pengangkatan dan penempatan guru serta tenaga kependidikan lainnya pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan perlu diperlancar, terutama untuk sekolah-sekolah di daerah-daerah terpencil. Untuk ini harus dapat dijamin bahwa apa yang menjadi hak mereka dapat diterima secara penuh pada saat yang tepat. Itu saja sudah akan banyak membantu di samping usaha untuk terus meningkatkan kesejahteraan mereka. Semua ini bergantung pada kemampuan keuangan pemerintah. Dalam hubungan ini, betapa pentingnya peran serta masyarakat dalam pendidikan harus digarisbawahi. Belakangan ini banyak perhatian tertuju pada menurunnya penghargaan masyarakat terhadap guru. Lulusan yang tergolong baik tidak berminat menjadi guru karena penghasilan yang rendah. Media massa banyak mengulas sulitnya kehidupan guru. Permasalahan ini harus dipecahkan. Perbaikan taraf kehidupan guru merupakan salah satu persyaratan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan Tumbuhnya sikap kemandirian dalam diri manusia masyarakat Indonesia yang merupakan sasaran Repelita VI diusahakan melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat dalam rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan lahir batin. Upaya ini harus pula diwujudkan dalam bidang pendidikan. Peran serta 136
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan tradisi historis bangsa Indonesia, bahkan tidak lepas dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Berbagai gerakan kemerdekaan dalam zaman penjajahan dilahirkan dengan atau melalui upaya-upaya pendidikan. Tradisi ini harus dipelihara bahkan harus ditumbuhkan. Jangan karena kemajuan pembangunan justru prakarsa swasta dimatikan sehingga pemerintah didorong mengambil alih seluruh tanggung jawab pendidikan. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan segala upaya pendidikan lainnya haruslah memperhatikan aspek yang amat penting ini. Justru karena kebutuhan makin besar dan kemampuan pemerintah selalu serba terbatas, maka peran swasta harus makin ditingkatkan dalam semua bidang pembangunan, termasuk di bidang pendidikan. Pemerintah dan masyarakat harus menganjurkan mereka yang mampu untuk terjun membantu dunia pendidikan dengan memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan dan mendukung peningkatan mutu lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Barangkali untuk pendidikan di wilayah perkotaan, di daerah-daerah yang industrinya sudah berkembang, pihak swasta harus diminta lebih banyak berperan. Pemerintah dapat lebih mengkonsentrasikan diri pada upaya pemerataan pendidikan dan perhatian yang lebih besar dan lebih sungguh-sungguh ke daerahdaerah, pada penduduk miskin, terpencil dan terbelakang. Dalam upaya pemerataan pendidikan ini pun pemerintah harus menjalin kerja sama yang erat dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang telah bergerak di bidang pendidikan di perdesaan dan wilayah-wilayah terpencil. Lembaga-lembaga tersebut umumnya adalah lembaga-lembaga keagamaan. Sejarah membuktikan bahwa peran serta mereka sangat efektif dalam memberikan kesempatan belajar pada masyarakat yang kurang mampu dan sulit terjangkau oleh pemerintah. Secara bertahap harus dibangun sistem pendidikan nasional yang mengikutsertakan semua golongan, termasuk yang kurang mampu baik fisik maupun ekonominya, dalam rangka upaya demokratisasi pendidikan. Pendidikan di lingkungan keluarga teramat penting sebagai tempat pendidikan pertama dan pendidikan prasekolah. Pendidikan di lingkungan keluarga diarahkan untuk menanamkan benih-benih kehidupan bermasyarakat dan nilai-nilai luhur lainnya dalam budaya bangsa Indonesia. Pendidikan di lingkungan keluarga ini merupakan titik awal pendidikan seumur hidup. Pendidikan keluarga yang baik akan menumbuhkan ketahanan jiwa dan kepribadian anak dan remaja dalam menghadapi pancaroba kehidupan yang tidak selalu mudah dapat diatasi jika hanya diserahkan kepada mereka sendiri. Dalam kaitan ini, menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan sebagai asas pertama pembangunan nasional sangat penting dan harus menjadi tanggung jawab bersama keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan bukanlah hanya bertujuan menghasilkan manusia profesional yang terampil, tetapi juga manusia yang matang jiwanya. Mengingat keterbatasan fisik sekolah, maka pendidikan luar sekolah juga harus memperoleh perhatian yang lebih besar. Bahkan untuk kepentingan pembangunan, pengetahuan praktis dan keterampilan yang segera dibutuhkan dan bermanfaat bagi pengembangan diri dan masyarakat, sering kali lebih banyak diperoleh dari pendidikan luar sekolah dan pendidikan masyarakat.
Pendidikan dan Pengembangan Iptek Jelas tidak akan ada yang mempersoalkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berperan besar dalam pembangunan bangsa di masa-masa mendatang. Tidak banyak yang membantah kalau dikatakan bahwa persaingan antarbangsa di masa depan akan makin ketat, dan daya saing makin ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, dan kualitas sumber daya manusia itu sendiri ditentukan oleh kadar teknologi yang dimiliki (embodied). 137
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Namun, hal ini tidak boleh terhenti di situ. Masa depan harus ditatap agar tidak tertinggal terlalu jauh lagi. Industri yang didukung hanya oleh buruh yang murah tidak selamanya dapat diandalkan. Banyak negara lain akan tampil menawarkan buruh yang lebih murah lagi. Dalam proses industrialisasi, secara bertahap harus dibangun industri yang makin bernilai tambah tinggi dengan produktivitas buruh yang lebih tinggi. Pada waktu yang bersamaan harus dibuat pancangan kaki ke masa depan dengan mengembangkan industri yang sejak sekarang sudah tidak bergantung pada buruh murah dan nilai tambah yang kecil. Kondisi persaingan pada abad ke-21 akan berbeda dari sekarang dan yang membuat perbedaan itu adalah unsur teknologi. Oleh karena itu, harus dilakukan persiapan untuk menghadapinya. Juga harus diperhitungkan makin terbatasnya sumber daya alam yang dimiliki, yang selama ini juga menjadi tiang penyangga lainnya bagi industri di samping buruh yang dihargai rendah. Penggunaan sumber alam yang berlebihan, bahkan acapkali dengan subsidi seperti yang selama ini dilakukan, tidak bisa dipertahankan terus. Sikap hemat sumber daya harus dikembangkan, dan mengambil manfaat yang sebesar mungkin dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin. Itu hanya dimungkinkan dengan teknologi. Membangun bangsa yang maju dan mandiri hanya bisa dilakukan dengan menguasai teknologi yang dapat menempatkan bangsa ini pada posisi persaingan yang kuat di antara bangsa-bangsa di dunia. Dalam rangka membangun kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran pendidikan ada di garis terdepan. Secara garis besar jika dilihat sebagai suatu proses menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, maka dunia pendidikan diharapkan menghasilkan produk pendidikan massal dan besar-besaran, yaitu sumber daya manusia yang berketerampilan yang dibutuhkan dunia kerja dan dapat memenuhi tuntutan kehidupan sesuai harkat kemanusiaan yang layak, menciptakan critical mass para ahli dan praktisi yang akan berkecimpung dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik itu dunia pendidikan, riset maupun dunia usaha. Untuk dapat melahirkan momentum yang cukup kuat dalam menggerakkan roda perekonomian ke arah kemandirian diperlukan orang yang cukup, baik jumlahnya maupun kualitasnya. Upaya menciptakan critical mass ini akan membutuhkan pengerahan sumber daya termasuk pembiayaan yang besar. Oleh karena itu, harus didukung oleh penetapan prioritas yang tepat serta keikutsertaan semua pihak dalam masyarakat. Upaya ini harus didukung dengan kegiatan riset yang memadai yang dilakukan oleh perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset, dan dunia usaha. Kegiatan riset itu harus terkoordinasikan dan terarah untuk mengoptimalkan sumber daya yang serba terbatas yang dimiliki. Untuk mencegah tumpang tindih dan kesenjangan dalam riset yang diperlukan maka identifikasi penelitian harus dilakukan secara cermat dan terarah sehingga tidak ada penghamburan dalam upaya dan dana. Anggaran pemerintah untuk riset memang cukup besar, tetapi banyak yang mempertanyakan seberapa jauh hasil dari berbagai upaya riset tersebut bagi pembangunan nasional dan apakah dana yang ada itu telah sepenuhnya digunakan secara optimal. Selain dana pemerintah seharusnya dunia usaha telah mulai ikut serta dalam mencetak tenaga-tenaga riset dan teknologi dan mendukung kegiatan riset, antara lain dengan memberikan endowment. Banyak perusahaan-perusahaan besar yang omsetnya ratusan miliar rupiah yang semestinya sudah dapat ikut memberi perhatian dalam memajukan bidang pendidikan dan iptek, seperti yang dilakukan oleh dunia usaha di negara lain. Sayangnya mereka tetap saja lebih mengandalkan paket-paket teknologi yang datang bersama lisensi-lisensi dan barang-barang impor. Keterkaitan yang lebih erat antara perguruan tinggi dan dunia usaha ini harus lebih didorong dalam PJP II dan harus tumbuh menjadi pola alternatif dari ketergantungan yang terlalu besar kepada pemerintah.
138
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
3. Strategi dan Kebijaksanaan Ketenagakerjaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 27, ayat (2) menyatakan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Dengan demikian, penciptaan kesempatan kerja merupakan masalah yang amat mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kesempatan kerja tidak hanya mempunyai arti ekonomis, tetapi juga mempunyai arti kemanusiaan, yaitu menumbuhkan harga diri. Ini mempertegas prinsip bahwa setiap upaya pembangunan harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, sehingga setiap warga negara dapat memperoleh pekerjaan dan menempuh kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam PJP I, pembangunan telah menghasilkan kemajuan di berbagai bidang. Namun, masalah lapangan kerja tetap belum terselesaikan secara mendasar. Melalui pembaharuan wawasan pembangunan dalam PJP II, dengan ditempatkannya peran manusia, khususnya peran tenaga kerja, sebagai sasaran sekaligus penggerak utama pembangunan, diharapkan masalah lapangan kerja yang mendasar akan dapat diatasi. Topik ini membahas tantangan-tantangan dalam ketenagakerjaan dan mengajukan upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk memperluas kesempatan kerja produktif.
Tantangan Pembangunan Ketenagakerjaan Pembangunan tenaga kerja mempunyai arti strategis dalam pencapaian keseluruhan sasaran pembangunan nasional. Angkatan kerja yang produktif merupakan akar terbentuknya manusia mandiri, manusia yang dapat menolong dirinya sendiri serta membangun keluarga sejahtera. Hasil karya mereka akan memberikan landasan kesejahteraan masyarakat masa kini ataupun masa depan karena besarnya hasil karya tersebut menentukan tidak hanya tingkat konsumsi saat ini, tetapi juga tabungan untuk kesejahteraan masa depan. Kegiatan ekonomi di berbagai sektor yang makin meningkat, telah memberikan dampak baik langsung maupun tidak langsung pada penciptaan lapangan kerja produktif. Berbagai kegiatan pembangunan selama PJP I telah berhasil menciptakan lapangan kerja baru, sehingga tambahan angkatan kerja dapat terserap di berbagai sektor pembangunan. Jumlah orang yang bekerja meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja. Pada topik pembahasan sebelumnya telah diutarakan bahwa antara tahun 1971 dan 1995 jumlah angkatan kerja meningkat sebesar 44,3 juta menjadi 85,6 juta. Pada saat yang sama perkembangan lapangan kerja baru yang tercipta adalah 43,6 juta menjadi 81,2 juta. Dengan demikian, tingkat pengangguran telah menurun dari 8,8 persen menjadi 5,1 persen. Struktur lapangan kerja juga ditandai dengan pergeseran dari sektor produksi agraris ke sektor produksi nonagraris dan jasa dengan muatan teknologi yang lebih besar serta produktivitas yang lebih tinggi. Seperti telah diungkapkan pada topik sebelumnya, apabila pada tahun 1971 mereka yang bekerja di sektor pertanian adalah 66,3 persen, maka pada tahun 1995 pangsa pekerja di sektor pertanian telah turun menjadi 47,3 persen dari seluruh pekerja. Sementara itu, pekerja di sektor industri meningkat dari 6,8 persen menjadi 10,7 persen. Pergeseran struktur pekerja dan peningkatan mutu pekerja bukan saja terjadi dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, tetapi juga dari sektor informal ke sektor formal. Selain itu, kualitas tenaga kerja juga meningkat. Persentase angkatan kerja yang memperoleh pendidikan formal sekurang-kurangnya SD meningkat dari 28,8 persen pada tahun 1971 menjadi 60,1
139
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
persen pada tahun 1995. Partisipasi wanita dalam pasar kerja juga meningkat dari 29,4 persen pada tahun 1971 menjadi 37,6 persen pada tahun 1995.55 Walaupun berbagai kemajuan telah dicapai, kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan nasional dalam PJP I belum dapat menyelesaikan masalah pengadaan lapangan kerja secara mendasar. Kapasitas dan skala kegiatan ekonomi nasional masih terbatas, sehingga tenaga kerja yang benar-benar terserap dengan tingkat produktivitas yang memadai belum cukup tinggi. Akibatnya, pada akhir PJP I di Indonesia masih terdapat tingkat setengah pengangguran yang cukup tinggi, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu yang, seperti telah dikemukakan pada bagian sebelum ini, pada tahun 1995 mencapai 41,3 persen dari jumlah pekerja. Demikian juga persentase angkatan kerja yang bekerja sebagai pekerja keluarga, yaitu pekerja yang tidak menerima upah secara tersendiri, masih relatif tinggi bahkan cenderung naik dari 17,8 persen pada tahun 1980 menjadi 19,9 persen pada tahun 1990, dan 20,6 persen pada tahun 1995. Apabila diperhatikan secara lebih dalam lagi, justru dalam dekade terakhir PJP I, yaitu 1980ď€1990, keadaan pengangguran cukup memprihatinkan karena pada dasawarsa itu ekonomi Indonesia melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam dasawarsa ini, dengan kegiatan ekonomi yang berkembang pesat berkat dorongan oleh deregulasi, angkatan kerja bertambah 21,5 juta orang sementara lapangan kerja bertambah hanya 20,0 juta orang. Sejalan dengan itu, perkembangan selama 1980ď€1995 mencatat bahwa angkatan kerja perkotaan meningkat dengan 7,1 persen per tahun sedangkan angkatan kerja perdesaan dengan 2,1 persen per tahun. Ini berarti ada arus urbanisasi angkatan kerja dari desa ke kota, sementara pertumbuhan angkatan kerja secara umum adalah di bawah 3,3 persen. Masalah pengangguran terselubung di desa cenderung dikonversikan menjadi masalah pengangguran terbuka di kota. Dengan meningkatnya tingkat pendidikan angkatan kerja, maka pengangguran terbuka ini juga terdiri atas tenaga terdidik. Walaupun angka pengangguran terbuka relatif rendah yaitu sebesar 5,1 persen pada tahun 1995, komposisi pengangguran ini makin terkonsentrasi pada golongan muda yang berpendidikan. Distribusi angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan menurut golongan umur 10ď€29 tahun adalah 71,9 persen pada tahun 1980 dan meningkat menjadi 88,8 persen pada tahun 1995. Di samping itu, distribusi pengangguran terbuka dengan pendidikan SLTP ke atas meningkat dari 24,1 persen pada tahun 1980 menjadi 67,0 persen pada tahun 1995 dari seluruh pengangguran terbuka. Pada waktu yang bersamaan sebagian besar tenaga kerja (71,9 persen pada tahun 1995) masih berpendidikan SD dan di bawah SD. Ditinjau dari segi masalah pengangguran, ekonomi Indonesia masih merupakan suatu ekonomi negara yang sedang membangun dengan kelebihan tenaga kerja serta banyak masalah-masalah klasik yang menandai ekonomi yang demikian. Selain masalah pengangguran dari masa lalu yang belum terselesaikan, terdapat pula potensi tambahan pengangguran di masa depan yang berasal dari peningkatan jumlah angkatan kerja baru. Angkatan kerja Indonesia bertambah dari 78,8 juta pada akhir Repelita V menjadi 147,9 juta pada akhir Repelita X, atau bertambah dengan 69,1 juta. Selama Repelita VI angkatan kerja bertambah sekitar 12,6 juta sehingga secara keseluruhan menjadi 91,4 juta pada akhir Repelita VI. Dengan makin meningkatnya berbagai faktor seperti tingkat pendidikan dan proses urbanisasi yang cepat, ekonomi yang makin terbuka, ketatnya persaingan, teknologi yang makin maju, dan proses globalisasi informasi, maka penyelesaian masalah ini bertambah mendesak. Saat ini dapat
55
Data tahun 1971 dihitung berdasarkan kelompok penduduk berumur 10 tahun ke atas, sedangkan pada tahun 1995 dihitung berdasarkan penduduk berumur 15 tahun ke atas.
140
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
dilihat adanya kecenderungan bahwa masalah pengangguran beralih dari masalah sosial ekonomi menjadi masalah sosial politik yang sangat mempengaruhi stabilitas nasional dan karenanya mempengaruhi kelancaran serta kesinambungan pembangunan. Amat keliru anggapan bahwa masalah pengangguran adalah masalah sektoral, yaitu masalah Departemen Tenaga Kerja. Masalah pengangguran dan masalah penyediaan lapangan kerja adalah masalah sumber penghidupan seluruh rakyat Indonesia. Pengangguran sebagai suatu gejala memang merupakan gambaran sesaat tentang keadaan sosial ekonomi, tetapi sebab-sebab terjadinya pengangguran merupakan kaitan dinamis di antara berbagai faktor yang juga dinamis dan rumit. Jumlah tenaga kerja yang banyak saja tidaklah dapat dijadikan penyebab sumber pengangguran berkelanjutan. Pengalaman sejarah memperlihatkan bahwa ada negara berkembang yang berhasil menghapus pengangguran terselubung dari ekonominya dalam waktu 20ď€25 tahun. Pengalaman juga memperlihatkan bahwa masalah pengangguran berakar pada dua hal pokok, yaitu pada pola pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di satu pihak dan pada sumber pertumbuhan ekonomi yang dijadikan andalan di pihak lain. Pertumbuhan ekonomi yang kurang seimbang, baik antarsektor, antardaerah, maupun antargolongan, akan menimbulkan ketimpangan dalam produktivitas tenaga kerja. Hal ini pada gilirannya cenderung berakibat bukan saja pada pola distribusi pendapatan dari kerja yang kurang seimbang, melainkan juga mempersulit penyelesaian masalah pengangguran. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi yang kurang mengandalkan sumber daya manusia sebagai sumber pertumbuhan akan berakibat bukan saja pada pola distribusi pendapatan antara upah, keuntungan, dan pendapatan penanam modal yang kurang seimbang, melainkan juga akan cenderung melembagakan (perpetuate) masalah pengangguran. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang ditempuh perlu memiliki dua syarat, yaitu mampu mengubah pola pertumbuhan dan mampu mengubah sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Memang dalam PJP II bidang ekonomi telah ditetapkan sebagai penggerak utama pembangunan. Akan tetapi, penggerak utama yang menggerakkan penggerak utama itu adalah manusia, yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat Indonesia secara keseluruhan. Kalau penggerak utama pembangunan ini dapat berfungsi secara optimal, maka pembangunan akan dapat digerakkan dengan hasil yang optimal pula. Kelompok yang menjadi penggerak utama pembangunan ini tidak lain adalah angkatan kerja suatu bangsa. Angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di atas umur tertentu yang bekerja atau mencari pekerjaan dan merupakan kelompok penduduk yang menghasilkan produksi barang dan jasa baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan generasi di bawah mereka yang belum mampu bekerja ataupun untuk generasi yang sudah pensiun dan kurang mampu bekerja. Angkatan kerja merupakan kelompok manusia yang menjembatani generasi yang akan berperan dalam kehidupan bangsa dengan generasi yang sudah berperan. Merekalah yang menggerakkan pembangunan ekonomi. Merekalah yang menghasilkan tabungan domestik yang dibutuhkan untuk membiayai segala kebutuhan investasi baik di bidang ekonomi maupun di bidang nonekonomi. Batas umur angkatan kerja telah disesuaikan sejak Repelita VI. Bila pada PJP I digunakan batas umur penduduk 10 tahun ke atas, maka untuk Repelita VI dan seterusnya digunakan definisi angkatan kerja sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Walaupun perbedaan dalam jumlah angkatan kerja tidak besar sebagai akibat perbedaan definisi ini (tahun 1993 sebesar 2,4 juta dan tahun 1998 sebesar 1,7 juta), hal ini menggambarkan tekad untuk mempersiapkan angkatan kerja baru sebaik-baiknya dengan memberikan pendidikan minimum sembilan tahun sebelum memasuki pasar kerja dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja nasional.
141
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Sasaran Strategis Konsekuensi strategis bahwa pembangunan ekonomi ingin kita dorong melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat adalah menempatkan angkatan kerja menjadi sasaran strategis dari segenap kebijaksanaan pembangunan. Menjadikan angkatan kerja sebagai sasaran strategis memiliki banyak konsekuensi kebijaksanaan di berbagai sektor pembangunan yang perlu diikuti secara konsisten, bukan saja dalam rangka pelaksanaan GBHN 1993, tetapi yang lebih mendasar lagi, yakni dalam rangka pelaksanaan Pasal 27 UUD 1945 dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan itu, seperti pasal 33 mengenai kesejahteraan sosial, Pasal 31 mengenai pendidikan, dan Pasal 28 mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Masalah yang berkaitan dengan pengaturan kesejahteraan, dengan pendidikan, dan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul perlulah dilihat dalam hubungan dengan upaya meningkatkan mutu sumber kehidupan secara keseluruhan. Sasaran pembangunan yang tercermin dalam penciptaan lapangan kerja produktif memiliki dua sisi. Pertama, sasaran kuantitatif. Angkatan kerja baru yang memerlukan lapangan kerja perlu diupayakan mendapatkan pekerjaan. Jumlah angkatan kerja baru ini adalah 12,6 juta selama Repelita VI dan 69,1 juta selama PJP II. Sasaran lapangan kerja baru dalam Repelita VI adalah 11,9 juta dan PJP II adalah 68,6 juta. Ini berarti masih akan ada pengangguran terbuka, tetapi terus diupayakan agar berada dalam batas yang wajar, dan tetap menuju kepada perwujudan cita-cita keadilan sosial. Pada akhir Repelita VI pengangguran terbuka diharapkan menurun menjadi 0,8 persen, dari 5,1 persen pada tahun 1995. Bersamaan dengan itu, sasaran yang tidak kurang pentingnya dalam PJP II adalah tingkat pengangguran terselubung yang harus terus dikurangi. Masalah ini diharapkan sudah dapat diatasi secara lebih mendasar pada akhir PJP II. Hal ini bukan pekerjaan yang mudah karena kedua segi dari sasaran tadi tidak selalu berjalan sejajar, sehingga upaya mewujudkannya harus selalu dijalankan dalam keseimbangan yang dinamis. Kedua, sasaran kualitatif. Lapangan kerja baru bagi angkatan kerja yang baru memasuki pasar kerja perlu meningkat mutunya. Demikian juga lapangan kerja bagi angkatan kerja lama. Peningkatan mutu ini berarti meningkatnya produktivitas lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan tenaga kerja. Peningkatan-peningkatan ini harus diupayakan berlangsung secara berkelanjutan. Peningkatan mutu lapangan kerja amat strategis perannya karena berkaitan dengan upaya pemberantasan pengangguran terselubung. Pengalaman selama PJP I memperlihatkan bahwa peningkatan kuantitatif secara makro saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah pengangguran terselubung dan juga kurang memberi sumbangan yang cukup bagi penyelesaian masalah-masalah struktural, terutama yang menyangkut pemerataan, serta penghapusan kemiskinan.
Upaya Mengatasi Pengangguran Dimensi pemecahan masalah kesempatan kerja sangat luas dan memerlukan waktu yang panjang untuk mengatasinya secara tuntas. Masalah pengangguran pada dasarnya mencerminkan adanya kelebihan penawaran tenaga kerja dibanding kemampuan ekonomi untuk menyerapnya. Dalam naskah Repelita VI upaya mengatasi pengangguran telah dibahas secara mendalam baik dalam sektor tenaga kerja maupun pada bidang-bidang dan sektor-sektor lainnya. Selanjutnya, akan dibahas upaya untuk mengatasi masalah tersebut dilihat dari sisi penyediaan dan kebutuhan secara berurutan. Dari sisi penawaran, pertama-tama masalah ini harus diatasi dari sumber awalnya, yaitu menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, 142
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
laju pertumbuhan penduduk Indonesia dianggap telah termasuk paling rendah. Namun, karena jumlah penduduknya besar, secara absolut tambahan penduduk setiap tahunnya masih besar, tidak kurang dari 3 juta orang. Karena itu, pertumbuhan penduduk harus diupayakan serendah-rendahnya. Selama PJP II, harus diupayakan untuk menurunkan laju kenaikan penduduk dari sekitar 1,7 persen saat ini menjadi sekitar 0,9 persen pada akhir Repelita X. Perlu ditekankan bahwa upaya ini efektif dalam jangka panjang. Sebagai contoh, angkatan kerja baru yang masuk dalam pasar kerja dalam waktu dekat ini sudah ditentukan 15 tahun sebelumnya. Erat kaitannya dengan upaya penurunan laju pertumbuhan penduduk adalah upaya untuk lebih memeratakan persebarannya, yaitu antara Jawa dan luar Jawa, dan antara desa dan kota. Pada tahun 1995, 59 persen penduduk tinggal di pulau Jawa, yang luasnya hanya 7 persen dari luas daratan Indonesia. Di masa datang sumber daya ekonomi dan daya dukung alam di Jawa akan makin terbatas. Sebaliknya, di luar Jawa banyak potensi ekonomi yang belum digarap secara optimal. Upaya ini sangat rumit dan memerlukan berbagai langkah terpadu. Perlu dicatat di sini bahwa keputusan penduduk untuk pindah ke suatu daerah terutama dilandasi oleh motivasi ekonomi. Dalam jangka pendek, program transmigrasi merupakan langkah yang efektif untuk mendayagunakan tenaga kerja dan menyebarkan penduduk. Untuk mendorong transmigrasi secara mandiri, maka prioritas harus lebih diberikan pada permukiman-permukiman baru yang terkait dengan pembukaan dan pengembangan daerah produksi serta komoditas-komoditas unggulan. Dalam jangka yang lebih panjang, maka langkah mendasar untuk menarik minat penduduk berpindah adalah meningkatkan pembangunan daerah. Ketimpangan pembangunan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia dengan kawasan timur Indonesia masih sangat terasa walaupun terus menurun selama tiga dasawarsa ini. Karena itu, pembangunan daerah harus makin diintensifkan untuk lebih meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal. Untuk mendorong pertumbuhan, pembangunan sarana dan prasarana di daerah ditingkatkan terutama untuk wilayah-wilayah yang menjadi atau dekat pusat pertumbuhan dan disesuaikan dengan jenis usaha yang potensial dikembangkan di setiap daerah. Pembangunan daerah yang dilaksanakan tidak akan menggalakkan secara maksimal perekonomian daerah tanpa adanya peran serta dunia usaha. Dengan demikian, berbagai upaya harus diarahkan untuk menarik dan mendorong penyebaran penanaman modal baik dalam negeri maupun asing di daerah. Sementara itu, pembangunan desa dan kota harus lebih diserasikan. Pembangunan yang terpusat di kota-kota besar akan mendorong permintaan sarana publik seperti sarana pendidikan dan sarana pelayanan kesehatan yang akan makin terkonsentrasi. Karena itu, pembangunan di perdesaan perlu lebih ditingkatkan. Modernisasi dan industrialisasi perlu diperkenalkan ke wilayah perdesaan melalui agroindustri dan agrobisnis yang dapat menampung peralihan lapangan kerja dari sektor tradisional ke sektor modern di perdesaan dan dengan demikian mengurangi arus urbanisasi. Upaya memperkuat kondisi sosial ekonomi termasuk kelembagaannya di perdesaan harus didorong oleh berbagai program sektoral dan regional, termasuk antara lain melalui program IDT, yang mencakup hampir sepertiga desa-desa di seluruh Indonesia. Mengenai hal-hal tersebut pembahasannya akan dilanjutkan dalam bagian lain buku ini. Masih dari sisi penyediaan, masalah ketenagakerjaan tidak dapat ditinjau hanya dari segi kuantitatifnya saja, tetapi juga dari segi kualitatifnya. Dalam hal ini kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik harus dijadikan kekuatan pembangunan bangsa. Kualitas SDM ini tercermin dari tingkat keterampilan dan pendidikannya. Harus diusahakan agar angkatan kerja yang memasuki pasar tenaga kerja memiliki keterampilan dan kemampuan dasar yang memadai. Upaya ini dipercepat dengan mengembangkan sistem keterpaduan antara dunia pendidikan, pelatihan keterampilan yang sepadan dan kebutuhan pasar kerja serta 143
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
perkembangan pembangunan dan teknologi. Peningkatan keterampilan diperoleh dengan pembaharuan pelatihan yang antara lain memuat kemitraan pelatihan antara penyelenggara dan pengguna tenaga kerja dalam bentuk kerja sama dengan serikat pekerja dan asosiasi profesi kerja. Kemitraan tersebut juga mencakup pendanaannya sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja. Hal-hal tersebut telah dibahas dalam topik sebelum ini. Dalam rangka ini, sistem pendidikan dan pelatihan tenaga kerja nasional harus mengembangkan tenaga-tenaga yang profesional dan mandiri yang bukan hanya mampu mengisi kebutuhan lapangan kerja, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Untuk itu, perlu dikembangkan kewirausahaan (entrepreneurship). Dari 11,9 juta lapangan kerja baru yang perlu diciptakan dalam Repelita VI sekitar 1,6 juta adalah pengusaha tanpa bantuan orang lain atau kalau dibantu orang lain adalah oleh anggota keluarga sendiri. Sasaran jumlah pengusaha kecil dan menengah baru dengan buruh/karyawan dalam Repelita VI adalah 555 ribu. Perhitungan-perhitungan yang tersedia memperlihatkan bahwa sektor pertanian perlu menciptakan 151 ribu pengusaha baru, sektor industri 23 ribu pengusaha baru, sektor bangunan 152 ribu pengusaha baru, sektor perdagangan 125 ribu pengusaha baru, dan jasa masyarakat dan sektor lainnya 104 ribu pengusaha baru. Para pengusaha baru ataupun para pengusaha yang lama khususnya pengusaha kecil dan menengah diharapkan akan mempekerjakan 9,7 juta buruh/karyawan baru selama Repelita VI. Dalam perspektif PJP II jumlah pengusaha dengan buruh tetap diperkirakan sekitar 5,4 juta orang. Meningkatnya kesempatan kerja juga perlu ditempuh dengan mengembangkan kesejahteraan pekerja. Kesejahteraan pekerja antara lain meliputi gaji/upah, tunjangan kesehatan dan perumahan, serta jaminan sosial tenaga kerja. Bagi pengusaha, meningkatnya kesejahteraan pekerja berarti meningkatnya posisi tawar-menawar untuk memperoleh tenaga kerja yang berkualitas. Dengan adanya tenaga kerja yang berkualitas berarti peluang untuk merebut pasar menjadi lebih besar. Usaha pengembangan kesejahteraan tenaga kerja harus ditempuh melalui peningkatan pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang serasi dan didukung oleh perbaikan syarat-syarat kerja dan perlindungan tenaga kerja. HIP merupakan sarana untuk mempertemukan aspirasi pekerja dengan kemampuan perusahaan secara kekeluargaan. Kebijaksanaan upah sebagai unsur penting bagi kesejahteraan pekerja perlu diterapkan secara sungguh-sungguh meskipun dengan berhati-hati. Upah Minimum Regional (UMR) harus ditetapkan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan pekerja dan kemampuan pengusaha. Upah tersebut didasarkan pada kebutuhan hidup, pengembangan diri pekerja dan keluarganya yang mempertimbangkan peningkatan produktivitas, dan prestasi kerja. Pada akhir Repelita VI diharapkan UMR sudah setara dengan kebutuhan hidup minimum. Bila UMR telah ditetapkan, maka pengusaha minimal harus membayar sesuai dengan UMR, tetapi tidak berarti harus berhenti di situ. Sejalan dengan kemajuan perusahaan, maka upah pekerja harus ditingkatkan. Sebaliknya, tuntutan peningkatan yang terlalu cepat dibanding produktivitas menjadikan proses produksi tidak efisien. Akibatnya, pengusaha akan cenderung menggunakan teknologi produksi yang padat modal, yang pada gilirannya akan merugikan penyediaan lapangan kerja secara keseluruhan. Peningkatan pendapatan secara wajar amat tergantung pada adanya dan efektifnya lembaga musyawarah untuk menetapkan pembagian manfaat dari peningkatan produktivitas secara adil. Lembaga serikat pekerja, selain harus berfungsi sebagai pembawa aspirasi buruh, juga harus bersikap murni, dengan menyadari segala aspek yang melingkupi masalah perburuhan yang mencakup setidaknya dua hal, yaitu kepentingan untuk memelihara perusahaan yang sehat agar bisa terus menghidupi karyawannya dan tuntutan keadilan bagi kaum pekerja. Sebaliknya, apabila pengusaha masih berpandangan bahwa tenaga kerja hanyalah faktor produksi dan bukan aset perusahaan serta hanya mengutamakan keuntungan jangka pendek, maka tumbuhnya musyawarah yang produktif tentu juga sulit. Karena itu, hubungan industrial 144
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pancasila (HIP) ď€bukan sistem dan cara lain, misalnya sistem dan cara konfrontatifď€ harus dikembangkan dengan sungguh-sungguh di Indonesia. Dalam rangka itu pula, organisasi koperasi karyawan juga merupakan wadah bagi pekerja untuk meningkatkan kesejahteran. Dari sisi kebutuhan, masalah penyerapan tenaga kerja perlu didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang memadai. Selama PJP II, sekurang-kurangnya harus dapat dicapai pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7 persen setiap tahunnya. Dengan laju pertumbuhan tersebut, diharapkan dapat tercipta 68,6 juta tambahan kesempatan kerja baru. Untuk itu, sektor industri diharapkan menjadi motor penggerak utama pembangunan. Industrialisasi harus dilaksanakan dengan tetap memperlihatkan sumbangannya terhadap pemecahan masalah-masalah sosial ekonomi yang mendesak, seperti kesempatan kerja, kemiskinan, dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Karena itu, sektor industri juga diandalkan sebagai motor penyerap lapangan kerja produktif menggantikan peran sektor pertanian. Berdasarkan intensitas pemanfaatan faktor produksi, maka pilihan jenis industri yang dikembangkan perlu dikaji dengan hati-hati. Dalam jangka menengah industri padat karya tetap penting untuk mendorong ekspor dan juga dalam upaya menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Dalam jangka panjang persaingan dalam menjual produk-produk yang didasarkan atas sumber daya alam dengan tenaga murah, yang sampai sekarang masih menjadi andalan Indonesia, akan makin ketat. Dari kawasan Asia Pasifik persaingan berat akan muncul dari Cina, Vietnam, dan negara-negara Asia Selatan karena mereka memiliki tingkat upah yang rendah. Jalan keluarnya bukanlah dengan menekan upah buruh supaya lebih rendah lagi atau menguras sumber daya alam dengan berbagai subsidi yang tidak wajar. Pemecahan masalah ini harus dengan meningkatkan diri agar menjadi produsen barangbarang yang bernilai tinggi dan bermutu tinggi, sehingga memiliki daya sama pada tataran yang lebih tinggi. Secara bertahap pola produksi di sektor industri harus dikembangkan dari barang-barang yang mengandalkan pada tenaga kerja murah dan sumber daya alam yang melimpah menjadi barang-barang yang bernilai tambah tinggi dan padat keterampilan. Dalam hubungan ini, selain mengarah kepada pasaran ekspor, pasar dalam negeri juga harus tetap dikuasai, tetapi bukan dengan jalan proteksi, melainkan dengan kesadaran masyarakat. Untuk itu semangat penggunaan produksi dalam negeri harus didorong. Bersamaan dengan itu, keterkaitan antara sektor industri dan sektor pertanian dan sektor lainnya makin ditingkatkan, sehingga akan makin memperkukuh landasan industri, khususnya dengan makin mengembangkan agroindustri dan agrobisnis. Pengembangan agroindustri dan agrobisnis ini berperan penting bagi pengembangan industri perdesaan sekaligus bagi upaya penyerapan angkatan kerja di desa dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Pengembangan industri perdesaan terutama sangat penting artinya bagi peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan dan penyerapan angkatan kerja yang tidak tertampung oleh usaha-usaha pertanian. Sektor pertanian akan tetap memegang peran strategis dalam PJP II. Meskipun sumbangan sektor pertanian dalam produksi nasional diperkirakan akan terus menurun, sektor ini masih akan merupakan sumber mata pencaharian utama angkatan kerja nasional. Ini berarti pula produktivitas rata-rata pertenaga kerja di sektor pertanian, meskipun secara absolut meningkat, akan tetap berada di bawah produktivitas rata-rata nasional. Upaya untuk mengurangi perbedaan produktivitas ď€dengan kata lain juga mengurangi perbedaan pendapatan pekerja sektor pertanian yang berada di perdesaan dengan sektor-sektor lainnyaď€ sangat penting, khususnya dalam mengatasi setengah pengangguran yang 58,2 persen di antaranya pada tahun 1995 justru berada di sektor pertanian. Ini antara lain dilaksanakan melalui pengembangan teknologi tepat guna yang harus makin diintensifkan. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung proses industrialisasi, selain tetap memproduksi tanaman pangan untuk memantapkan swasembada pangan, peningkatan produksi komoditi pertanian yang bernilai komersial tinggi, seperti hasil-hasil hortikultura, 145
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
peternakan, dan perikanan, harus diperhatikan secara khusus. Untuk mendukung keseluruhan proses tersebut, pemberian pelatihan keterampilan industri dan jasa bagi petani untuk dapat pindah ke sektor-sektor yang produktivitasnya lebih tinggi harus didorong. Pembangunan sektor industri dan pertanian memerlukan dukungan sektor jasa seperti jasa perhubungan, perdagangan, dan pelayanan keuangan yang andal dan efisien. Keterkaitan antara industri, pertanian, dan jasa ini sangat penting dalam rangka mewujudkan jaringan kegiatan agroindustri dan agrobisnis yang produktif dan memperluas penyediaan lapangan kerja. Sektor-sektor jasa juga menyerap tenaga kerja besar, terutama sektor perdagangan dan pelayanan jasa perhubungan. Sektor pariwisata memiliki potensi menyediakan lapangan kerja yang banyak, dengan penyebaran yang meluas ke berbagai penjuru tanah air. Di samping itu, kesempatan untuk mengekspor jasa-jasa tenaga kerja perlu dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya. Sasaran Repelita VI, yaitu sejumlah 1,25 juta orang akan dikirim ke luar negeri dengan pemasukan devisa sebesar US$3 miliar perlu diusahakan dengan sebaik-baiknya. Sebenarnya potensinya lebih besar daripada itu. Untuk itu, sistem pelatihan dan pemagangan tenaga kerja profesional yang efektif dan bersifat swadaya perlu didorong perkembangannya. Untuk mencapai berbagai sasaran pertumbuhan itu diperlukan investasi yang cukup besar, yang dalam Repelita VI diperkirakan Rp815 triliun, di mana 77 persen berasal dari masyarakat. Maka sungguh penting, kemampuan untuk menghimpun dana masyarakat agar supaya sasaran-sasaran tersebut dapat tercapai. Dengan demikian, peran sektor keuangan dan moneter amatlah penting. Selain penghimpunan dana, kebijaksanaan penyaluran dana juga teramat penting, agar investasi dapat mengarah kepada sasaran perluasan lapangan kerja produktif seperti yang dikehendaki. Sebagaimana telah dikemukakan di atas dalam Repelita VI sasaran penciptaan lapangan kerja baru adalah 11,9 juta. Sasaran ini tersebar secara sektoral, yaitu sektor pertanian 1,9 juta dengan pertumbuhan 1,0 persen per tahun, sektor industri pengolahan 3,0 juta dengan pertumbuhan 5,4 persen, sektor perdagangan 2,2 juta dengan pertumbuhan 3,5 persen per tahun, dan lain-lain 4,8 juta dengan pertumbuhan 4,5 persen. Untuk mencapainya, maka sektor-sektor tersebut perlu tumbuh secara seimbang. Sasaran sektor pertanian adalah meningkat dengan 3,3 persen rata-rata per tahun, industri pengolahan 10,2 persen, perdagangan 8,3 persen dan lain-lain 6,4 persen. Keseimbangan pertumbuhan nilai tambah dan lapangan kerja di berbagai sektor ini perlu diupayakan agar dapat diciptakan pola pertumbuhan sektoral yang berkemampuan bukan saja untuk menyerap angkatan kerja baru, melainkan sekaligus juga mengatasi pengangguran terselubung. Berbagai sasaran lapangan kerja, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, juga memiliki dimensi daerah. Penciptaan lapangan kerja baru sejumlah 11,9 juta tersebut tersebar di berbagai pulau utama, yaitu 3,0 juta di Sumatra, 6,4 juta di Jawa, 715,7 ribu di Bali-Nusa Tenggara, 803,2 ribu di Kalimantan, 603,9 ribu di Sulawesi dan 418,8 ribu di Maluku dan Irian Jaya. Dengan demikian, masalahnya bukanlah hanya menciptakan serangkaian kebijaksanaan makro ekonomi yang akan menarik bagi investasi secara umum, melainkan juga berbagai kebijaksanaan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan produktivitas rata-rata tenaga kerja antarsektor dan daerah. Apabila keseimbangan ini dapat diciptakan secara berlanjut, maka selama PJP II sumbangan kesempatan kerja sektor pertanian akan terus menurun dari 48,2 persen pada akhir Repelita V menjadi 28,0 persen dari seluruh kesempatan kerja yang ada pada akhir Repelita X. Sektor nonpertanian, khususnya industri, diharapkan akan memiliki kemampuan untuk menampung secara produktif tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian ini. Selain untuk mendukung pertumbuhan dari penyerapan tenaga kerja antarsektor, penyaluran dana investasi perlu diarahkan untuk menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan, dengan sumber-sumber pertumbuhan yang lebih luas. Untuk itu, dana investasi dan akses kepada dana investasi harus makin meluas dan merata. Ketersediaan dana investasi 146
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
yang bersaing harus dapat merangsang pertumbuhan daerah-daerah yang terbelakang dan meningkatkan perluasan kesempatan kerja sehingga menghasilkan kemampuan golongan berpendapatan rendah. Tidak kurang pentingnya adalah upaya untuk memperkuat kelembagaan, baik kelembagaan ekonomi secara keseluruhan, di sektor produksi, distribusi, maupun moneter, begitu pula pranata dan kelembagaan di sektor ketenagakerjaan itu sendiri. Termasuk pula yang perlu dikembangkan adalah sistem informasi dan bursa ketenagakerjaan sejalan dengan berkembangnya kesempatan kerja yang makin terspesialisasi, serta tingkat mobilitas tenaga kerja. Banyak ketentuan dan peraturan yang harus disesuaikan untuk menghadapi tantangan, baik yang datang dari luar maupun yang bersumber dari dalam negeri. Oleh karena itu, pembaharuan dan penguatan kelembagaan haruslah menempati prioritas tinggi sehingga mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas dan peran serta rakyat, yang merupakan kuncikunci keberhasilan pembangunan. Penciptaan lapangan kerja produktif sebagai upaya mengurangi pengangguran dan setengah pengangguran hanyalah dapat berlangsung dalam suasana kehidupan yang dinamis dan bergairah di atas landasan stabilitas nasional yang kukuh. Karena itu, dengan segenap daya harus diupayakan untuk senantiasa menjaga stabilitas nasional, baik stabilitas politik maupun stabilitas ekonomi. Seperti telah disinggung sebelumnya, diperlukan pula kebijaksanaan yang dapat menciptakan keseimbangan pertumbuhan baik antarsektor maupun antardaerah. Untuk itulah pada Bab VI akan dibahas secara khusus berbagai aspek yang berkaitan dengan pembangunan daerah.
147
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Bab VI : PEMBANGUNAN DAERAH 1. Berbagai Aspek Pembangunan Daerah Wawasan dalam penyelenggaraan pembangunaan nasional untuk mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara. Wawasan nasional tersebut bersumber pada Pancasila dan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mencakup perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial dan budaya, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan. Sebagai perwujudan Wawasan Nusantara, pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah, antarkota, antardesa, antara kota dan desa, antarsektor, serta pembukaan dan percepatan pembangunan kawasan tertinggal, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, yaitu disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan Wawasan Nusantara. Pembangunan daerah bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu baik antarsektor maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok tanah air. Berkenaan dengan pandangan-pandangan yang mendasar itu, maka dilihat dari segi perencanaan pembangunan, pada dasarnya ada 3 aspek perencanaan, yaitu (1) makro; (2) sektoral; (3) regional; yang ketiganya tersusun dalam satu kesatuan sehingga ibarat cermin setiap sisi juga merefleksikan sisi lainnya. Ketiga aspek perencanaan tersebut saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai hasil keseluruhan yang maksimal perlu dipadukan dengan sebaik-baiknya. Proses perencanaan yang dilakukan berjalan dua arah, yaitu dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dari atas ke bawah berupa penetapan sasaran-sasaran makro dan sektoral serta kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan secara nasional. Dari bawah ke atas berupa aspirasi daerah yang merencanakan pengembangan potensi daerah serta menampilkan keadaan yang nyata di lapangan. Proses "perencanaan dari bawah" dimulai dari musyawarah LKMD (rembug desa) pada tingkat kelurahan/desa, dan diteruskan dengan musyawarah UDKP pada tingkat kecamatan; diikuti rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) tingkat kabupaten dan propinsi. Selanjutnya diadakan konsultasi regional (konreg) antar sejumlah propinsi dalam satu wilayah, dan diakhiri dengan konsultasi nasional (konnas) pembangunan daerah, di mana rencana-rencana pusat (sektoral) dan daerah dipertemukan dan dipadukan. Dengan berbagai pendekatan itu, pembangunan nasional dan pembangunan daerah telah mencatat kemajuan yang sangat berarti. Tidak ada daerah yang tidak maju, tanpa kecuali. Namun, dalam kenyataannya ada perbedaan yang cukup tajam antara kemajuan satu daerah dan daerah lainnya. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, 148
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, dan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Sebagai akibat dari tingkat dan laju perkembangan yang tidak seimbang itu, meskipun semua daerah akan memperoleh kemajuan sebagai hasil pembangunan, tetapi karena tingkat landasannya sudah berbeda, maka tanpa usaha khusus, dengan kecenderungan pertumbuhan yang ada, kesenjangan akan membesar. Mengatasi keadaan ini bukan pekerjaan mudah karena upaya itu akan menentang "arus" yang kuat yang menjadi kendala yang tidak mudah diatasi. Pertama, adalah keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mencurahkan dana yang lebih besar untuk membangun prasarana dan sarana yang akan lebih membuka dan menyeimbangkan kesempatan berkembangnya secara lebih cepat kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah-wilayah terbelakang. Kedua, adalah keterbatasan sumber daya manusia di wilayah terbelakang, yang antara lain menjadi penyebab dan sekaligus akibat keterbelakangan itu. Ketiga, bahwa dalam ekonomi yang terbuka dan menganut prinsip-prinsip pasar, apalagi dengan semangat deregulasi dan debirokratisasi, dan menghadapi tantangan globalisasi, persaingan menjadi amat penting, dan dengan sendirinya yang paling mampu bersaing apakah itu pengusaha, sektor, atau wilayah, akan lebih mampu memanfaatkan kesempatan. Keempat, yang berkaitan dengan ketiga kendala tersebut adalah sulitnya menarik investasi swasta sebagai sumber dan pemacu pertumbuhan ke wilayah terbelakang, terutama investasi yang berkualitas, yaitu yang membuka lapangan kerja luas dan meningkatkan pertumbuhan daerah secara berkelanjutan, dengan efek sampingan positif (multiplier effect) yang sebesar-besarnya. Pembangunan daerah untuk dapat berhasil haruslah mampu menjawab dan mengatasi berbagai tantangan dan kendala tersebut. Permasalahannya tidak gampang dan tidak ada rumus apa pun yang dapat menjawab secara sederhana. Namun, yang harus dan dapat dilakukan adalah merekayasa perkembangan pembangunan secara cermat, terencana, konsisten agar secara bertahap berbagai kendala itu dapat diatasi. Selain itu, hal yang amat penting adalah tekad daerah yang tertinggal sendiri untuk berusaha maju menuju ke arah yang dikehendaki. Dalam upaya itu, pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi pembangunan sektoral. Pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilakukan di daerah disesuaikan dengan kondisi dan potensinya. Kedua, dari segi pembangunan wilayah yang meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi wilayah tersebut. Kota dan desa saling terkait dan membentuk suatu sistem. Oleh karena itu, pembangunan wilayah meliputi pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan yang terpadu dan saling mengisi. Ketiga, pembangunan daerah dilihat dari segi pemerintahannya. Agar tujuan dan usaha pembangunan daerah dapat berhasil dengan baik maka pemerintah daerah perlu berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, pembangunan daerah merupakan usaha mengembangkan dan memperkuat pemerintahan daerah dalam rangka makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab. Topik-topik selanjutnya akan membahas berbagai aspek tersebut, terutama masalah kesenjangan antara kawasan timur dan kawasan barat Indonesia, masalah pembangunan perkotaan dan perdesaan, penyelenggaraan otonomi daerah serta penataan ruang, yang amat penting artinya sebagai perangkat kebijaksanaan bagi pembangunan daerah. 149
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
2. Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pasal 18 UUD 1945 menetapkan bahwa "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 dikemukakan bahwa (1) oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga; (2) daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil; (3) daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang, dan (4) di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Desentralisasi pada dasarnya adalah penataan mekanisme pengelolaan kebijaksanaan dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan lebih efektif dan efisien. Di bidang pengurusan berarti ada pendelegasian kewenangan kepada daerah dalam pengurusan hal-hal tertentu sehingga birokrasi dalam pengurusan tersebut menjadi lebih pendek dan sederhana, dan oleh karena itu, masyarakat akan diuntungkan. Di bidang keuangan berarti daerah telah mampu menggali sumber keuangannya sendiri dan menggunakannya dengan bertanggung jawab. Di bidang politik berarti rakyat di daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk memilih sepenuhnya siapa yang pantas untuk memimpin daerahnya dan membawakan aspirasi daerah, serta mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sedangkan di bidang administrasi berarti tanggung jawab administrasi penuh ada pada daerah. Dalam batas-batas yang disepakati, yakni bahwa otonomi tidak berarti terlepas dari negara kesatuan dan kaidah-kaidah serta aturan-aturan yang mengikat bangsa ini menjadi satu, dan bahwa maksud diadakannya otonomi adalah demi kesejahteraan masyarakat di daerah dan di seluruh tanah air, maka desentralisasi di berbagai bidang itu akan berpengaruh positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan mungkin bukan hanya keinginan melainkan merupakan kebutuhan, karena perkembangan masyarakat serta lingkungan strategis mengharuskan kelincahan dalam mengatasi kendala dan memanfaatkan peluang. Secara terpusat kelincahan akan menjadi terbatas karena besar dan luasnya negara ini. Di pihak lain, harus pula dijaga bahwa desentralisasi tidak mengakibatkan makin besarnya kesenjangan antardaerah, tetapi justru harus mampu mendekatkan taraf kemajuan daerah satu dengan daerah lainnya.
Aspek-aspek Pokok dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah ditetapkan bahwa daerah otonom terbagi atas dua tingkatan yaitu daerah tingkat I (Dati I) dan daerah tingkat II (Dati II). Titik berat otonomi daerah diletakkan pada Dati II. Penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Otonomi daerah, sesuai dengan amanat konstitusi dan undang-undang tersebut, didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut ini. Pertama, negara Indonesia adalah negara kesatuan, dan oleh karenanya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah di bawahnya (pemerintah daerah) sudah tentu dalam 150
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kerangka "negara kesatuan", di mana Presiden merupakan pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan negara. Kedua, di dalam negara kesatuan, tidak dibenarkan adanya negara di dalam negara. Ketiga, mengingat adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan antardaerah, maka pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan melalui desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sedangkan pelaksanaannya dapat menempuh salah satu asas atau kombinasi antarketiganya, sesuai dengan permasalahan atau urusan yang dihadapi, serta tingkatan perkembangan daerah. Keempat, otonomi daerah itu sendiri seharusnya bukanlah tujuan akhir karena tujuan adanya daerah otonomi adalah sama dengan tujuan negara, dan otonomi merupakan cara untuk mencapai tujuan itu. Dalam rangka itu otonomi daerah haruslah menguntungkan bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan dan bagi bangsa dan negara kesatuan secara keseluruhan. Kelima, otonomi daerah tidak didasarkan pada faktor primordial seperti ras, suku, agama, sedangkan penduduk daerah otonom tidak perlu dibedakan antara asli dan pendatang. Semua warga negara harus dapat hidup di seluruh wilayah tanah air tanpa ada perbedaan karena asal usul. Otonomi Daerah dan Berbagai Tantangan Pembangunan Dalam rangka pembangunan nasional, perwujudan otonomi daerah perlu mempertimbangkan pengaruh dan hubungannya dengan aspek-aspek lain, antara lain yang utama adalah sebagai berikut. Pertama, hubungan dengan globalisasi dan proses industrialisasi yang sedang dan akan terus berlangsung. Salah satu persyaratan untuk sukses dalam mengarungi arus globalisasi adalah tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam diri masyarakat dan organisasi pemerintahan. Kemandirian tersebut antara lain dicerminkan oleh kemampuan pemerintah daerah mengambil keputusan dengan benar dan bertanggung jawab. Kemampuan organisasi dan kecepatan dalam proses pengambilan keputusan ini merupakan keharusan dalam era globalisasi. Hal ini erat kaitannya dengan otonomi daerah. Kedua, hubungan dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa datang, dengan kemajuan yang pesat dalam bidang telekomunikasi dan transportasi sehingga mobilitas informasi, barang dan jasa serta manusia sangat tinggi, jarak bukan merupakan suatu persoalan besar. Artinya kemajuan dalam teknologi komunikasi dan transportasi yang cepat akan mendorong terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional yang kukuh. Dengan demikian, otonomi daerah dan pemisahan wilayah dari negara kesatuan tidak berkorelasi positif. Ketiga, hubungan dengan kecenderungan egalitarianisme (kesamaan derajat, hak dan kewajiban) dalam masyarakat. Kecenderungan egalitarianisme ini akan makin meningkat. Ketimpangan kekuasaan dan kesejahteraan bertentangan dengan semangat ini. Otonomi daerah adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang egaliter, tetapi tetap dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini penting untuk ditekankan mengingat otonomi daerah dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya merupakan aspek yang erat berkaitan. Keempat, hubungan dengan pemberdayaan rakyat. Dengan mendekatnya pada rakyat maka pemerintah daerah akan lebih mampu untuk menilai potensi maupun kemampuan yang terdapat pada masyarakat, sehingga kemampuan yang terdapat dalam masyarakat dapat dioptimalkan. Dari sudut pandang di atas, tampak bahwa otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 menjadi sasaran pembangunan yang sangat strategis sifatnya. Pengembangan otonomi daerah haruslah dilihat sebagai proses yang memperkuat, atau "politik dorong gelombang", yaitu bagaimana pembangunan nasional didasarkan atas kemajuan dan kemandirian daerah otonom, bukan sebaliknya, sebagai "politik tarik tambang", yaitu politik adu kekuatan antara pusat dan 151
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
daerah. Dari dimensi administratif dengan otonomi penyelenggaraan pemerintahan, dan pelayanan terhadap masyarakat harus lebih efektif dan efisien.
Keberagaman Penyelenggaraan Otonomi Daerah Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, yang memiliki keragaman baik dalam aspek-aspek geografis, maupun kondisi sosial, ekonomi dan kebudayaannya. Kenyataan keanekaragaman ini sudah barang tentu akan terwujud pula dalam keanekaragaman permasalahan dari satu daerah dengan daerah lainnya sehingga memerlukan pendekatan, strategi, dan kebijaksanaan penanganan yang berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah diperlukan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan setiap daerah. Dengan demikian, sekalipun dalam konsep otonomi daerah terkandung asas-asas dan prinsip-prinsip yang sama, dalam pelaksanaannya tidak dengan sendirinya harus ada keseragaman. Pada prinsipnya jelas bahwa otonomi daerah adalah penataan penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan hierarki dan kesatuan wilayah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pemerintahan umum maupun pembangunan dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Otonomi itu sendiri mengandung arti pemberian kewenangan dalam mengambil keputusan dan pengelolaan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Substansi apa yang dikelola dalam suatu daerah otonom dan bagaimana mengelolanya akan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi, kemampuan teknis dan manajerial, tata nilai dan tradisi serta kelembagaan yang mengakar dan berkembang dalam suatu daerah yang kondisinya tidak selalu seragam dibandingkan dengan daerah lain. Keanekaragaman yang berharga dan saling memperkuat adalah keanekaragaman yang didasarkan atas keunggulan tiap-tiap daerah menurut potensi dan kemampuannya masing-masing. Hal ini mengandung arti bahwa kebijakan pemerintah pusat untuk setiap daerah tidaklah harus sama. Konsekuensi dari pola pikir di atas antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, perlunya membangun wawasan dan sikap politik yang memahami bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab perlu mempertimbangkan kondisi dan tingkat perkembangan daerah yang beragam, yang terwujud dalam pengaturan kewenangan dan sikap hubungan organisasi pemerintahan di daerah sebagai instrumen dalam bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, permasalahannya adalah sampai sejauh mana, melalui otonomi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan di daerah dapat dilaksanakan secara efisien, efektif, dan berkelanjutan. Kedua, otonomi daerah tidak boleh menyebabkan melebarnya kesenjangan antardaerah. Artinya, daerah yang miskin dan tertinggal karena keterbatasan sumber daya atau latar belakang historis menjadi makin miskin dan tertinggal, sedangkan daerah yang kaya dan telah lebih maju menjadi makin kaya dan maju. Ketiga, diperlukan kelengkapan informasi mengenai keadaan daerah, dan kemampuan komunikasi antara pusat dan daerah serta antardaerah yang akurat, cepat, tepat, dan terbuka. Kelancaran komunikasi dan ketepatan informasi ini merupakan prasyarat bagi terselenggaranya otonomi daerah yang efektif. Keempat, perlu dikembangkan proporsi yang tepat antara pelbagai aktivitas pemerintahan dan pembangunan, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi daerah. Misalnya, pemberian bantuan pemerintah pusat kepada dati II. Untuk inpres dati II, dilihat dari bantuan per kapita maka yang banyak menerima adalah daerah di pulau Jawa. Sedangkan daerah di luar Pulau Jawa yang jarang penduduknya hanya mendapat bantuan yang kecil, padahal daerah di luar Pulau Jawa wilayahnya lebih luas, sehingga biaya untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan menjadi lebih besar untuk menghasilkan kinerja 152
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
yang sama. Oleh karena itu, kebijakan alokasi dana pembangunan di luar Pulau Jawa melihat pula luas wilayah binaan, dan daerah yang mempunyai kepulauan yang berpenduduk tetap mendapatkan bantuan khusus. Kelima, diperlukan struktur pengambilan keputusan yang tepat, cepat, terbuka, dan terjamin keabsahannya. Tanpa itu maka perbedaan yang sifatnya instrumental akan terasa sebagai perbedaan yang fundamental, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi politik. Dalam hubungan ini, di satu pihak, daerah harus penuh inisiatif menyesuaikan dengan kebijaksanaan nasional; dan di pihak lain, jajaran pemerintah daerah, termasuk badan legislatif harus senantiasa tanggap terhadap aspirasi rakyat di daerah. Sebagai negara kesatuan, Republik Indonesia akan berwajah lebih semarak dengan meningkatnya otonomi daerah yang sejalan dengan keadaan dan tingkat perkembangan pembangunan daerah. Daerah-daerah di Indonesia akan maju lebih pesat tanpa kehilangan jatidiri dan akar budaya daerah masing-masing. Pusat-pusat pertumbuhan akan berkembang di seluruh wilayah tanah air dengan saling keterkaitan wilayah yang makin erat dalam kesatuan Wawasan Nusantara. Perdagangan antardaerah dan antarpulau akan semakin berkembang sebagai hasil dari keanekaragaman produksi barang dan jasa antardaerah, atas dasar keunggulan sumber daya tiap-tiap daerah. Persaingan antardaerah akan makin marak, yang menghasilkan proses kemajuan yang berkesinambungan. Daerah telah lebih mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan berinovasi untuk menginternalisasikan aspirasi lingkungan yang terus berubah dalam mewujudkan kemandirian, kesejahteraan, dan keadilan secara keberlanjutan. Peningkatan Kemampuan Aparatur Daerah Otonomi daerah akan menuntut aparatur pemerintah yang berkemampuan, sehingga masyarakat secara nyata memperoleh manfaat dari adanya otonomi itu. Agar tujuan dan usaha pembangunan daerah dapat berhasil dengan baik maka pemerintah daerah perlu berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, pembangunan daerah juga merupakan usaha mengembangkan dan memperkuat pemerintahan daerah dalam rangka makin mantapnya penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah bukan diartikan hanya sebagai proses administrasi politik yang berupa pelimpahan wewenang pembangunan dan pemerintahan kepada pemerintah daerah, melainkan lebih merupakan suatu proses pembangunan daerah sendiri dengan segala rangkaian komitmen dan tanggung jawab yang mengiringinya, yang menuntut kemampuan seluruh aparatur pemerintah daerah di dalam penguasaan substansi dan manajemen pembangunan. Dalam hal ini, perlu diperhatikan unsur yang amat penting dalam upaya meningkatkan otonomi daerah, yaitu kemantapan kelembagaan dan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, khususnya aparatur pemerintah daerah, serta kemampuan keuangan daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri. Untuk dapat menangani semua urusan yang telah diserahkan, pemerintah daerah terutama dituntut untuk menata kembali serta memperbaiki struktur dan kelengkapan kelembagaan desentralisasi yang ada, sehingga dapat dan mampu menangani setiap bidang urusan yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Penyempurnaan struktur kelembagaan pemerintah daerah tersebut perlu dilakukan melalui (i) pengembangan struktur jabatan struktural dan fungsional; (ii) penjenjangan karier dan tugas yang diperlukan; dan (iii) penyederhanaan mekanisme dan administrasi pemerintah bagi pelaksanaan pembangunan di daerah tingkat I dan II.
153
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Partisipasi Masyarakat Salah satu ciri dari daerah yang mandiri adalah peran serta masyarakat yang tinggi dalam pembangunan. Masyarakat akan makin terbuka, makin berpendidikan dan makin tinggi kesadarannya. Dengan demikian, juga makin tanggap dan kritis terhadap segala hal yang menyangkut kehidupannya. Dalam masyarakat yang makin maju dan makin modern, rakyat tidak puas dengan hanya mendengar dan melaksanakan petunjuk, tetapi ingin turut menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, apa kehendak rakyat harus diperhatikan secara sungguh-sungguh, bahkan masyarakat harus dirangsang untuk ikut memikirkan masalahmasalah pembangunan yang dihadapi dan turut memecahkannya. Partisipasi masyarakat yang aktif akan lebih menumbuhkan potensi daerah, sehingga dapat mempercepat proses pertumbuhan di daerah. Demokrasi akan makin berkembang, didukung oleh partisipasi rakyat yang tulus dan dilandasi kesadaran akan hak dan tanggung jawab sebagai warga negara dari suatu negara kesatuan yang memungkinkan berkembangnya prakarsa dan mengenali kemajemukan. Sinergi yang dihasilkan oleh kehidupan masyarakat yang didorong oleh otonomi dan desentralisasi, akan mendorong pembangunan nasional, yang mempercepat terwujudnya sasaran-sasaran yang kita kehendaki dalam proses mencapai tujuan nasional.
Masalah Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Undang-undang No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara Daerah-daerah, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri disusun dengan salah satu pertimbangannya adalah "untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya di daerah-daerah harus ada kesanggupan keuangan yang seluas-luasnya pula". Berdasarkan pertimbangan itu, dalam UU tersebut ditetapkan sumber penerimaan daerah yang mencakup pajak, retribusi dan hasil perusahaan daerah serta pendapatan negara yang diserahkan kepada daerah. Khusus mengenai yang terakhir ini, disebutkan persentase tertentu dari pendapatan negara (pajak peralihan, pajak upah, pajak meterai, pajak kekayaan, dan pajak perseroan) yang harus diserahkan kepada daerah. Besarnya persentase yang harus diserahkan kepada daerah untuk pajak peralihan, pajak upah dan pajak meterai bahkan sudah ditetapkan minimal sebesar 75 persen dan maksimum sebesar 90 persen, sedangkan yang lainnya ditentukan untuk ditetapkan setiap tahunnya melalui peraturan pemerintah. Pada praktiknya, hanya pajak kekayaan yang bersama-sama dengan iuran pembangunan daerah (ipeda), kemudian diganti dengan pajak bumi dan bangunan (PBB), yang diserahkan kepada daerah dengan sistem persentase. Dewasa ini seluruh penerimaan PBB diserahkan kembali kepada daerah. Namun, di samping bagian pemerintah daerah yang berasal dari penerimaan PBB, dialokasikan pula dana inpres. Adapun dasar pertimbangan yang melandasi perubahan tersebut adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Prinsip otonomi daerah yang dipakai bukan lagi "otonomi yang riil dan seluas-luasnya", melainkan "otonomi yang nyata dan bertanggung jawab". Selanjutnya dijelaskan bahwa kata-kata otonomi yang seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan karena dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi kepada daerah. Kedua sumber dana tersebut merupakan bagian yang besar dari anggaran pembangunan dalam APBD. Pada tahun anggaran 1995/96, dana inpres dan PBB yang dikembalikan ke daerah merupakan lebih dari 38 persen anggaran pembangunan rupiah murni. Pada APBN tahun 1996/97 persentase itu tetap dipertahankan. Apabila ditambahkan subsidi daerah otonom dalam anggaran rutin, maka jumlah tersebut menjadi lebih besar lagi. Dana Inpres, dan dana yang bersumber dari PBB, merupakan komponen anggaran pembangunan penting bagi daerah, baik dati I, dati II, maupun desa. Kecuali propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatra Utara, lebih dari seperempat APBD daerah tingkat I bersumber 154
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
dari dana-dana tersebut. Namun, patut dicatat bahwa ketergantungan itu cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan asli daerah telah meningkat. Dengan demikian, meskipun tidak ada undang-undang khusus yang mengatur pembagian keuangan pusat-daerah, dalam kenyataannya pembagian tersebut telah berjalan dan diatur dengan undang-undang karena setiap tahun dituangkan ke dalam UU APBN. Mekanisme yang sekarang, seperti inpres, terbukti sangat efektif dalam memeratakan pembangunan, dengan perhatian khusus kepada kepentingan-kepentingan tertentu misalnya kawasan tertinggal dan terpencil serta rakyat miskin. Inpres ini juga efektif karena keluwesannya dan dapat disesuaikan setiap waktu sesuai dengan perkembangan, baik perkembangan kemampuan keuangan negara maupun perkembangan di suatu daerah atau antardaerah. Kecenderungan yang akan diupayakan sejalan dengan upaya desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah selanjutnya adalah akan semakin banyaknya dana-dana sektoral (DIP) yang akan dikonversi menjadi dana bantuan pembangunan daerah, terutama ke daerah tingkat II, secara berangsur-angsur menjadi dana-dana yang bersifat bantuan umum (block grant), atau bantuan umum sektoral (sectoral block grant) yang penggunaannya diserahkan kepada daerah secara sepenuhnya, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi serta potensi yang tersedia. Dengan bantuan tersebut, diharapkan daerah-daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) rendah akan dapat semakin meningkatkan tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya akan meningkatkan PAD. Untuk itu, anggaran pembangunan yang disediakan oleh pemerintah pusat, yang ditujukan untuk membantu pembangunan daerah, pengelolaannya diupayakan makin banyak dipercayakan kepada pemerintah daerah masing-masing. Upaya untuk lebih memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan dana pembangunannya masing-masing, ditunjukkan pula oleh adanya beberapa komponen bantuan inpres yang sebelumnya masih bersifat specific grant menjadi sepenuhnya block grant. Langkah ini menunjukkan tekad yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan otonomi daerah yang makin nyata, serasi, dinamis, dan bertanggung jawab. Dengan pengalihan dana sektoral ke bantuan daerah, pertama-tama yang perlu dipahami adalah bahwa bantuan pembangunan daerah yang berupa dana, sarana dan prasarana, harus dipandang sebagai suatu injeksi atau pemancing untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi rakyat di daerah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merata antardaerah secara berkesinambungan. Pembangunan yang muncul dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, merupakan strategi pembangunan yang paling pokok. Nantinya diharapkan hanya program pembangunan yang mempunyai skala antardaerah atau skala nasional yang dilaksanakan secara sektoral. Dengan pengalaman penanganan program inpres yang diperoleh selama ini, diharapkan daerah makin lebih mampu dalam mengatur kebutuhan daerahnya masing-masing, sehingga bantuan pembangunan daerah melalui program inpres lebih terintegrasi dengan kebijaksanaan investasi dan pembangunan daerah secara keseluruhan. Pada akhirnya, sesuai dengan makna otonomi, kemampuan keuangan pemerintah daerah, yang merupakan salah satu indikator kemandirian daerah, perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah dituntut untuk lebih aktif dalam menemukan dan menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah, yang cenderung akan meningkat sebagai akibat dari meningkatnya hasil-hasil pembangunan itu sendiri. Otonomi daerah selain memberikan hak kepada daerah juga membawa kewajiban. Kedua aspek ini harus dapat diserasikan, dan untuk itu, secara sungguh-sungguh harus dikenali seluruh potensi dan sumber daya yang ada di daerah, disertai peluang-peluang dan kendala-kendala dalam pengembangannya. Kemampuan memanfaatkan potensi daerah seba-
155
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
gai sumber pembiayaan pembangunan daerah amat penting dalam mengefektifkan desentralisasi bagi kepentingan daerah dan masyarakatnya.
Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah dalam Konteks Otonomi Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab mengandung ciri politis, yakni pemberian otonomi harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa serta menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini berkaitan pula dengan upaya untuk menjamin stabilitas politik. Di samping itu, otonomi mengandung ciri sosial ekonomi, yakni pemberian otonomi dapat memperlancar pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok. Hal ini erat kaitannya dengan strategi pembangunan ekonomi untuk menjamin keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan. Ciri yang lain adalah berkaitan dengan aspek administrasi, yakni pemberian otonomi perlu didukung dengan kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Perumusan tersebut juga mencerminkan satu prinsip bahwa hakikat otonomi lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab (lihat Penjelasan Umum butir 1. f Undangundang No. 5 Tahun 1974). Dengan demikian otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab menempatkan kebebasan daerah berdampingan dengan pengawasan pusat. Perlu terdapat keseimbangan antara partisipasi daerah dan pengawasan pusat. Dalam sistem yang berlaku terdapat beberapa hal yang tunduk pada pengawasan preventif pusat melalui lembaga persetujuan/pengesahan: a.
setiap peraturan daerah termasuk peraturan daerah mengenai perpajakan daerah memerlukan pengesahan pusat terlebih dulu sebelum dapat diberlakukan;
b.
penyusunan aparatur pemerintah, termasuk struktur organisasinya, memerlukan persetujuan pusat;
c.
pengangkatan pegawai daerah dalam batas-batas formasi yang telah ditetapkan memerlukan persetujuan pusat juga, mengingat gaji pegawai daerah dibiayai dengan subsidi daerah otonom;
d.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tingkat I membutuhkan pengesahan pusat, dan APBD tingkat II membutuhkan pengesahan dati I;
e.
kewenangan daerah untuk mengadakan utang piutang atau menanggung pinjaman bagi kepentingan dan atas beban daerah juga memerlukan pengesahan pusat.
Selain itu, peraturan-peraturan dan norma-norma mengenai pemerintahan yang bersih dan berwibawa juga berlaku bagi pemerintah daerah seperti pemerintah pusat, karena itu pengawasan pusat juga tidak lepas dalam sistem pengawasan daerah. Dalam kaitannya dengan pengawasan apakah bersifat politis, legal, teknis, atau finansial, pada dasarnya pengawasan merupakan satu aspek dalam keseluruhan proses pembangunan. Pengawasan bersifat politis, karena pengawasan oleh pemerintah pusat adalah bagian dari sistem politik dan pemerintahan dalam sebuah negara kesatuan. Pengawasan bersifat legal, karena pengawasan diatur secara tegas dan jelas dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan bersifat teknis, karena pengawasan dilakukan oleh aparat yang secara teknis fungsional melaksanakan pengawasan. Sedangkan pengawasan bersifat finansial karena pengawasan ini juga dimaksudkan untuk mengawasi penggunaan keuangan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
156
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kedudukan dan Peranan Pemerintahan Desa Desa dengan ragam penghayatan dan pengenalannya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai akar bagi tumbuhnya kebudayaan berorganisasi dan bermasyarakat dalam skala yang lebih besar. Oleh karena itu, melestarikan nilai-nilai budaya yang bersumber dari perdesaan merupakan hal yang sangat penting bagi pembinaan kesatuan bangsa. Keberadaan desa sebagai "susunan asli" diakui dalam UUD 1945 Pasal 18 dan penjelasannya. Oleh karena itu, keberadaan desa harus diperhatikan dan dilestarikan, namun tidak terlepas dari sistem dan mekanisme pemerintahan Republik Indonesia. Pemerintahan desa diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979. Undang-undang ini mengakui adanya lembaga-lembaga asli milik desa, tetapi disesuaikan dengan dinamika dan perkembangan organisasi kelembagaan pemerintahan dengan manajemen modern. Dengan demikian, desa sebenarnya merupakan daerah dengan hak otonomi tersendiri, tetapi tidak sama dengan pengertian otonomi yang digariskan dalam Uundang-undang No. 5 Tahun 1974. Pengakuan otonomi desa lebih banyak didasarkan pada kenyataan otonomi asli masyarakat desa yang lahir dan hidup sejak dahulu kala. Keberadaan kehidupan tradisional ini perlu dirangkum menjadi suatu kekuatan pembangunan. Sesungguhnya tidak ada ketentuan yang melarang pemberian otonomi pada tingkat desa. Bahkan sebagai prinsip, otonomi daerah dapat berkembang ke samping yang berarti tumbuhnya daerah-daerah otonom baru ataupun penghapusan daerah otonom yang telah ada, ke atas dalam arti menjadi lebih dari dua tingkat, dan ke bawah dalam arti menjadi kurang dari dua tingkat. Namun, pelestarian budaya desa tidak berarti harus membuat desa menjadi daerah otonom. Dalam hal ini harus dibedakan perlunya membangun struktur pemerintahan otonom yang efisien, efektif dan partisipatif, dengan melestarikan budaya desa. Desa terlalu kecil untuk dijadikan daerah otonom, sehingga akan sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pemerintahan. Dati I pun sudah beragam, apalagi dati II, maka keberagaman antara satu desa dan desa yang lain di berbagai wilayah Republik ini akan jauh lebih besar lagi. Terutama pada tingkat desa otonom akan tidak praktis, dan tidak menjamin bahwa masyarakat akan diuntungkan, bahkan yang terjadi justru penyempitan dalam kesempatan memanfaatkan sumber daya, dalam keadaan yang ketersediaan sumber daya pada umumnya serba terbatas. Hambatan lainnya adalah pada sumber daya manusia yang di wilayah perdesaan sangat terbatas untuk dapat menangani otonomi dengan segala konsekuensinya. Juga tidak dikehendaki politisasi masyarakat desa yang akan mengundang konflik-konflik yang lebih kerap dan dapat menjadi beban bagi masyarakat desa serta mengurangi daya yang seharusnya dapat dicurahkan untuk pembangunan dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Setelah menyatakan demikian, tidak berarti bahwa tidak dikehendaki masyarakat desa menjadi mandiri. Kemandirian itu harus dibangun dan dikembangkan, dan strateginya adalah dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan berarti membangkitkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat desa itu sendiri. Peranan aparat desa tentu penting dalam upaya pemberdayaan masyarakat, tetapi aparat desa itu sendiri perlu diberdayakan. Upaya ke arah membangun kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa ini lebih mendesak dan lebih dibutuhkan oleh rakyat di perdesaan daripada mengembangkan otonomi.
Masalah Hak Ulayat dan Otonomi Daerah Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat yang bersifat komunal. Dengan UUPA (UU No. 5/1960), hak ulayat diangkat ke atas, menjadi hak bersama bangsa Indonesia. 157
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
UUPA mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Apabila negara memerlukan, maka hak ulayat dapat diambil oleh negara dan kepada masyarakat adat diberikan kompensasi berupa “recognitie�, yaitu dalam bentuk bangunan atau lainnya yang diperlukan oleh masyarakat adat untuk keperluan bersama. Jadi, kompensasi itu tidak diberikan kepada orang perorang, tetapi kepada masyarakat hukum adat itu. Tentunya hak ulayat yang diada-adakan tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, mengenai hak ulayat ini perlu penelaahan yang mendalam dari semua aspek. Diakui bahwa ini bukan masalah yang mudah, dan ada potensi perbenturan kepentingan. Namun, dalam keadaan bagaimanapun juga pada akhirnya Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi pegangan yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, pegangannya adalah UUPA yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa masalah agraria merupakan urusan pemerintah pusat. Pelaksanaannya di daerah dapat dilimpahkan melalui asas dekonsentrasi dan/atau medebewind (pembantuan). Dengan asas dekonsentrasi ini, urusan agraria di daerah (pemberian hak atas tanah, izin lokasi, dan sertifikasi tanah) dilakukan oleh aparat vertikal BPN di daerah, yaitu Kantor Pertanahan dati II dan Kantor Wilayah BPN propinsi dalam batas-batas tertentu. Sebagaimana halnya semua instansi vertikal di daerah, kantor pertanahan kabupaten/kota madya berada di bawah koordinasi kepala wilayah yaitu bupati/wali kota madya kepala daerah tingkat II setempat sesuai ketentuan dalam PP No. 6 Tahun 1988. Selain itu Pakto 23 (paket deregulasi Oktober) Tahun 1993 telah memberikan peranan lebih besar kepada instansi di daerah tingkat II, baik instansi otonom maupun vertikal, untuk mempercepat pelayanan di bidang agraria/pertanahan. Urusan agraria memang dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah. Untuk meningkatkan penerimaan daerah sedang dipertimbangkan untuk meningkatkan pemasukan uang ke kas dati II dari proses pemberian hak atas tanah menjadi sebesar 40 persen dari semula 20 persen.
Penyerahan Tanggung Jawab Personel Topik ini akan ditutup dengan sedikit pembahasan mengenai tanggung jawab personel pemerintah daerah. Ada berbagai sisi yang perlu mendapat perhatian dalam hal penyerahan tanggung jawab personel sepenuhnya kepada pemerintah daerah, yang terkait dengan hak dan kewajiban otonomi. Di satu pihak, penyerahan tanggung jawab itu akan lebih memberi makna pada otonomi, di pihak lain, subsidi pegawai harus dihentikan. Tidak mungkin kedua-duanya dikehendaki karena adanya subsidi menunjukkan masih adanya ketergantungan, dan adanya ketergantungan berarti pula adanya keterkaitan dengan aturan-aturan yang bersifat menyeluruh. Dengan demikian harus dicari pengertian yang tepat mengenai kata "penuh" dalam hal penyerahan personel kepada daerah. Sebenarnya yang pokok adalah kebijaksanaan dalam pembinaan. Pembinaan personel bersifat administratif dan teknis. Seberapa jauh pemerintah daerah dapat sepenuhnya menyelenggarakan kedua jenis pembinaan itu, lebih merupakan masalah yang penting atau mendesak untuk dipecahkan dalam rangka penerapan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Hal ini terkait erat dengan perkembangan kemampuan daerah, yang dalam satu bidang urusan dengan bidang urusan lainnya tidak selalu seragam pula tingkat perkembangannya. Mengenai penyerahan personel, perlengkapan dan pembiayaan, memang merupakan masalah, dan senantiasa menjadi hambatan dalam upaya meningkatkan otonomi daerah. Tidak 158
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
semua instansi dengan serta merta siap menyerahkan kewenangannya. Hal ini menjadi tantangan dan merupakan proses yang harus dilewati untuk bisa tiba pada sistem pemerintahan nasional, yang terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang benar-benar sesuai dengan cita-cita bangsa, sesuai dengan kondisi negara dan dapat menjawab tantangan-tantangan dalam memasuki abad ke-21.
3. Pemerataan Pembangunan Antardaerah, khususnya Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Upaya pemerataan sebagai cara untuk mengatasi kesenjangan telah dilakukan sejak awal PJP I karena pembangunan telah dilaksanakan berdasarkan suatu trilogi yang mencakup bukan hanya pertumbuhan, tetapi juga pemerataan dan stabilitas. Selama PJP I, telah diterapkan strategi pemerataan yang dinamakan “delapan jalur pemerataan�. Hasilnya telah dirasakan. Kesejahteraan masyarakat makin meningkat dan peningkatannya juga telah mencakup semua daerah. Tidak ada daerah yang tidak mengalami kemajuan, dan hampir semua lapisan masyarakat tersentuh oleh kemajuan, meskipun tingkat kemajuan itu berbeda-beda. Di pihak lain, pembangunan ekonomi yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, dan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Merupakan kenyataan bahwa kondisi ekonomi nasional tidaklah homogen, artinya terdapat keragaman ekonomi antarwilayah. Hasil analisis Bappenas menunjukkan bahwa hampir semua daerah produk nasional domestik brutonya (PDRB) meningkat. Meskipun demikian, diperkirakan ada beberapa propinsi yang pertumbuhannya agak tersendat-sendat karena struktur ekonomi wilayahnya kurang siap menyesuaikan diri dengan tempo pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari distribusi PDRB menurut wilayah. Pada tahun 1994, 84,0 persen dari total PDRB nasional disumbangkan oleh kawasan barat Indonesia (KBI) yang terdiri atas 14 propinsi di Sumatra (21,0 persen), Jawa dan Bali (63,1 persen), sedangkan sisanya (15,9 persen) disumbangkan oleh kawasan timur Indonesia (KTI). Upaya untuk mengatasi kesenjangan antarkawasan ini akan dibahas lebih lanjut pada topik berikutnya. Topik ini akan membahas beberapa aspek pemerataan pembangunan antardaerah, khususnya antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI).
Dilema Pembangunan KTI Pengalaman membangun selama ini menjadi modal yang amat berharga bagi pembangunan pada tahap selanjutnya. Demikian pula pengalaman dalam membangun wilayah KTI. Dari berbagai pengalaman itu dapat ditarik berbagai pelajaran. Pelajaran utama di antaranya adalah bahwa pembangunan di KTI penuh dengan dilema. Sebenarnya bukan hanya pembangunan di KTI, seluruh proses pembangunan sebenarnya merupakan hasil pemilihan dari berbagai alternatif. Penentuan pilihan tidak selalu mudah. Proses pengambilan keputusan, termasuk penetapan-penetapan prioritas harus senantiasa memperhitungkan adanya trade-off antara satu pilihan (option) dan pilihan lainnya. Misalnya, membangun industri atau menyelamatkan lingkungan, membangun industri padat teknologi atau industri padat karya, menaikkan upah minimum regional (UMR) dapat dianggap mengurangi daya saing produsen. Konsekuensi-konsekuensi dari setiap pilihan itu acapkali menghadapkan kita pada situasi yang dilematis, apa pun yang dipilih, ada saja kerugiannya. Jika mungkin, tentu dicari 159
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
alternatif ketiga untuk menghindari dilema. Jika tidak ada, acapkali yang diupayakan adalah memilih yang paling sedikit dampak negatifnya atau paling banyak dampak positifnya. Itu pun tidak selalu mudah diperhitungkan secara matematis. Banyak sekali keputusan yang harus didasarkan pada judgement; atau yang ditempuh adalah mengkompromikan judgement dengan perhitungan, yang berarti dipilih kedua jalan itu, tetapi masing-masing diambil sebagian saja. Biasanya dengan jalan ini tidak ada yang merasa puas dan sasaran tidak tercapai sepenuhnya, dan pelaksanaannya pun menjadi lebih lambat. Namun, acapkali cara inilah yang terbaik, yaitu dengan pengorbanan yang terkecil. Biasanya keputusan serupa itu diambil atas nama manfaat yang optimal. Begitulah realitasnya, termasuk pula dalam pembangunan KTI. Pilihan-pilihan yang dilematis itu harus sungguh-sungguh dipahami, karena di sanalah titik awal persoalannya. Dengan pemahaman itu, maka upaya membangun kawasan timur Indonesia dapat dengan sungguh-sungguh beranjak dari keinginan politik, dan retorika yang sudah terlalu sering didengar menjadi upaya nyata, yang disertai dengan kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan dan risiko-risiko yang dihadapi. Beberapa dilema pembangunan KTI dibahas berikut ini, meskipun secara ringkas saja karena sudah banyak seminar, lokakarya, rapat kerja, sarasehan dan berbagai forum dengan nama lain yang membahas masalah pembangunan kawasan timur Indonesia. Dilema yang sifatnya mendasar adalah sebagai berikut. Pertama, dilema antarpenduduk dan antarwilayah. KTI meliputi lebih dari 68 persen wilayah daratan Indonesia, tetapi penduduknya hanya sekitar 18 persen. Di kawasan barat Indonesia (KBI), pada tahun 1994 pulau Jawa saja penduduknya 59 persen dari seluruh penduduk Indonesia, padahal wilayahnya hanya kurang dari 7 persen. Dengan demikian, muncul pertanyaan. Yang dibangun itu manusia atau wilayahnya? Jawabannya tentu adalah manusia, karena membangun wilayah juga adalah untuk manusia. Dari sini timbul beberapa masalah berikut. Kedua, masalah pelayanan dasar. Karena jumlah penduduk di Pulau Jawa dan di KBI pada umumnya lebih besar, maka pelayanan kebutuhan dasar (basic needs) harus ditujukan ke daerah yang penduduknya lebih banyak. Daerah-daerah yang padat penduduknya harus mendapat pelayanan kebutuhan dasar yang sesuai dengan jumlah penduduknya. Itu pandangan dari satu sisi. Namun, pandangan dari sisi lain juga teramat kuat. Kawasan timur Indonesia meskipun jumlah penduduknya sedikit, karena wilayahnya luas, untuk mencapai penduduk dan memberikan pelayanan sosial dan ekonomi yang sama seperti di Jawa dan di wilayah KBI pada umumnya diperlukan upaya dan biaya yang lebih besar. Dengan upaya dan biaya yang sama, jangkauan pelayanan lebih kecil atau terbatas. Maka dari sudut pandang manusiawi, untuk keadilan memang perlu perhatian dan biaya yang lebih besar guna memberikan taraf dan kualitas pelayanan yang sama. Berarti ada pengurangan biaya untuk daerah yang penduduknya padat. Ini jelas merupakan dilema. Ketiga, pembangunan prasarana. Sebagai contoh, misalnya jalan yang besar sekali perannya bagi kegiatan ekonomi. Jaringan jalan di KTI hanya mencapai 38 persen dari seluruh jaringan jalan di Indonesia. Dibandingkan dengan luas wilayah yang 68 persen itu jaringan jalan tidak seimbang. Namun, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang 18 persen, dan peran kegiatan ekonomi yang sekitar 16 persen, jaringan jalan tersebut sudah cukup luas, bahkan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Hal itu antara lain terlihat dari angka Volume Capacity Ratio (VCR)-nya yang masih rendah. VCR adalah ratio antara volume kendaraan yang lewat terhadap kapasitas jalan. Nilai VCR yang rendah mengindikasikan pemanfaatan jalan yang rendah dalam kegiatan ekonomi. Pada akhir tahun 1994, di Jawa dan Bali hanya 46 persen dari prasarana jalan yang ada memberi indikasi pemanfaatan yang rendah (VCR<0,5). Sedangkan VCR rendah, di Sumatra 77 persen, Kalimantan 71 persen, Sulawesi 86 persen dan KTI lainnya 97 persen. Namun, jalan seperti juga prasarana lainnya, seperti pelabuhan perlu untuk mengembangkan perekonomian dan membuka potensi wilayah yang belum berkembang. 160
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Maka timbul persoalan, yaitu ke mana arah prioritas pembangunan prasarana diberikan, ke wilayah yang kebutuhan prasarananya tinggi dan segera membutuhkan karena kepadatan penduduk dan intensitas perekonomian, atau untuk mengembangkan wilayah dan potensi baru meskipun secara ekonomi, artinya dari hukum permintaan dan penawaran, belumlah mendesak. Masalah investasi pembangunan prasarana ini akan menentukan pula tinggi rendahnya angka ICOR. Proyek-proyek pembangunan diharapkan dapat dilaksanakan seefisien mungkin dan membawa manfaat sebesar dan secepat mungkin bagi pertumbuhan ekonomi. Berarti ICOR-nya akan menjadi rendah. Padahal investasi prasarana di KTI dibandingkan dengan di Jawa dan KBI pada umumnya akan menghasilkan ICOR yang lebih tinggi, setidak-tidaknya dalam jangka waktu menengah dan pendek. Hal-hal tersebut jelas menunjukkan pilihanpilihan yang tidak mudah, terutama pada tingkat kebijaksanaan yang lebih makro, yang harus dihadapi. Keempat, masalah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Jawa ada 14,5 juta orang, dan di KBI 19,8 juta orang. Sedangkan di KTI berjumlah 6,0 juta orang. Dari segi jumlah orang miskin, panggilan kemanusiaan akan mendorong untuk memberi perhatian yang sepadan dengan banyaknya orang miskin. Di pihak lain, meskipun jumlah penduduk miskin secara absolut lebih sedikit, dalam persentase terhadap jumlah total penduduk (poverty incidence), di KTI lebih besar. Persentase penduduk miskin di KBI sebagian besar di bawah rata-rata nasional sebesar 13,67 persen, kecuali Jawa Tengah (15,78 persen) dan Sumatra Selatan (14,89 persen). Sementara itu, persentase rata-rata penduduk miskin di KTI di atas rata-rata nasional yaitu sebesar 19,31 persen. Persentase rata-rata penduduk miskin Timor Timur 36,24 persen, Kalimantan Barat 25,05 persen, Irian Jaya 24,16 persen, dan Maluku 23,93 persen. Ini menunjukkan bahwa kondisi di KTI cenderung menyebabkan kemiskinan dibandingkan dengan di KBI. Persentase jumlah desa tertinggal di beberapa propinsi di KTI bahkan di atas 50 persen, seperti Irian Jaya 78,2 persen, Timor Timur 82,8 persen, Kalimantan Tengah 60,4 persen dan Maluku 57,6 persen. Sedangkan di Sulawesi tidak terlalu tinggi, yaitu 33,4 persen. Karena itu, wajar pula apabila ada kehendak agar kepada KTI diarahkan lebih banyak perhatian, dan dipenuhi kebutuhan sumber dayanya untuk mengatasi masalah tersebut. Kelima, masalah kualitas sumber daya manusia. Masalah utama di KTI salah satunya adalah sumber daya manusia. Masalah kuantitas di beberapa propinsi, sedangkan di propinsi lain kualitasnya, dan di propinsi lain lagi kedua-duanya. Hal ini tentu akan mempengaruhi kualitas dan produktivitas angkatan kerja. Proporsi angkatan kerja yang tidak/belum pernah bersekolah pada tahun 1994 di KTI adalah 14,1 persen, sedangkan di KBI adalah 10,3 persen. Proporsi angkatan kerja berpendidikan tinggi di KTI adalah 2,5 persen dan di KBI adalah 3,0 persen. Dengan demikian, untuk mengejar ketinggalan, maka pendidikan di KTI harus ditingkatkan. Masalahnya adalah apakah kuantitas atau kualitas pendidikan yang diprioritaskan. Masalah ini memang bukan hanya persoalan di KTI, melainkan juga persoalan nasional, yaitu pilihan antara pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan. Di KTI, masalah ini menjadi lebih besar karena biaya penyelenggaraan pendidikan per murid juga akan lebih besar dibandingkan dengan di KBI. Penduduk yang jarang dan terpencil membuat pelayanan pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mahal. Misalnya, upaya untuk melanjutkan pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, akan besar biayanya di KTI. Di pihak lain, mutu pendidikan jelas pada umumnya di KTI lebih tertinggal, termasuk pendidikan tinggi. Selain itu, banyak propinsi di KTI yang telah menghadapi masalah tenaga berpendidikan yang menganggur, termasuk sarjana. Pengangguran tamatan pendidikan tinggi di KTI, meningkat dari 7,3 persen pada tahun 1990 menjadi 13,6 persen pada tahun 1994. Hal ini dapat disebabkan oleh lulusan yang dihasilkan bukan yang dibutuhkan oleh pasar kerja, atau kualitasnya tidak memadai, atau keterisolasian menyebabkan terbatasnya mobilitas 161
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
sarjana untuk mencari lapangan pekerjaan di luar daerahnya. Hal ini juga merupakan tantangan yang tidak kecil. Keenam, masalah industri dan perdagangan. Struktur perekonomian KTI masih lemah dan bertumpu kepada sektor pertanian yang sumbangannya sebesar 29,5 persen dari total PDRB nonmigas KTI (1994). Padahal secara nasional pada tahun 1994 kontribusi sektor pertanian dalam PDB nonmigas adalah 19,1 persen (berdasarkan angka PDB dan PDRB dari BPS menggunakan tahun dasar 1993). Meskipun sumber daya alam KTI cukup banyak, sumbangan PDRB nonmigas KTI terhadap PDB nonmigas nasional hanya sekitar 15,78 persen, dan pangsa ekspor nonmigas KTI hanya 19,6 persen dari ekspor nonmigas nasional. Apabila dilihat dari sisi neraca perdagangan antara KBI dan KTI, terlihat adanya kesenjangan yang merugikan KTI. Pada tahun 1990 neraca perdagangan seluruh komoditias KTI terhadap KBI mengalami defisit sebesar Rp2,9 triliun. Defisit perdagangan KTI terhadap KBI ini terutama disebabkan oleh nilai impor domestik komoditas hasil industri nonmigas dan jasa sebesar Rp7 triliun. Komoditas hasil industri pengolahan dan jasa mempunyai peran yang penting dalam pembentukan nilai tambah, pengembangan kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang lebih terdidik dan perkembangan ekonomi masa depan. Meskipun komoditas sektor-sektor primer mengalami surplus, daya serapnya bagi kesempatan kerja rendah bagi tenaga yang terdidik, sehingga kurang berperan dalam pembentukan nilai tambah dan peningkatan mutu tenaga kerja. Selain itu, komoditas sektor pertambangan dan pengolahan migas memberikan sumbangan yang rendah dari segi kesempatan kerja dan PDRB. Jawabannya adalah mendorong perkembangan industri di kawasan timur. Dalam kenyataannya, masalahnya tidak sesederhana itu. Pertama, pasar bagi hasil-hasil industri, selain ekspor, adalah di kawasan barat, terutama Jawa dengan penduduk besar dan daya beli yang relatif tinggi. Kedua, prasarana untuk industri kawasan barat sudah lebih berkembang, seperti energi, pelabuhan peti kemas, dan sebagainya. Ketiga, sumber daya manusia industri lebih tersedia di kawasan barat. Sebagai akibatnya pada periode 1984ď&#x20AC;1991 investasi swasta di KTI relatif kecil dibanding KBI, yaitu rata-rata hanya 8,4 persen dari total investasi swasta di Indonesia (selisih antara total investasi dengan investasi pemerintah, yang diolah berdasarkan data BPS). Ini juga merupakan dilema yang tidak mudah dipecahkan. Dengan memahami berbagai masalah yang dihadapi tadi, diupayakan mencari jalan mempercepat pembangunan kawasan timur. Beberapa di antaranya akan diuraikan di bawah ini.
Pembangunan KTI dalam PJP II Sasaran pertumbuhan ekonomi selama Repelita VI telah direvisi dan ditetapkan menjadi 7,1 persen setahun. Untuk itu investasi yang diperlukan selama Repelita VI adalah sebesar Rp815 triliun. Investasi masyarakat harus meningkat dan diharapkan memberikan sumbangan sebesar 77 persen dari seluruh investasi pembangunan selama Repelita VI. Dari pertumbuhan ekonomi sebesar itu, peran sektor industri akan terus meningkat menjadi lebih dari 25 persen pendapatan nasional di akhir Repelita VI. Pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7,1 persen tersebut merupakan sumbangan dari berbagai kegiatan ekonomi di semua daerah. Berdasarkan itu, dalam Repelita VI diharapkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata setiap tahun di KBI menjadi sebesar 7,0 persen dan di KTI sebesar 7,5 persen. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi KTI sebesar 7,5 persen setahun tersebut, dalam Repelita VI diperlukan sekitar seperempat dari kebutuhan total investasi nasional. Untuk mencapai sasaran tersebut, upaya yang mutlak harus dilakukan adalah menarik investasi ke KTI. Pertama-tama tentunya adalah investasi pemerintah sendiri. Propinsi-propinsi di KTI diharapkan akan memperoleh peningkatan investasi pemerintah dari 26 persen pada tahun 1993 menjadi 28 persen pada akhir Repelita VI. Secara bertahap pada akhir PJP II investasi pemerintah di KTI akan ditingkatkan, sehingga mendekati sepertiganya. Dengan 162
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
investasi pemerintah yang meningkat ini, diharapkan investasi swasta akan meningkat pula karena melalui investasi pemerintah itu akan dibangun berbagai prasarana dan ditingkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan taraf pendidikan serta derajat kesehatan yang akan menampung investasi swasta. Di bidang prasarana, dalam perencanaan Repelita VI, 54 persen pembangunan jalan dan jembatan baru akan berada di KTI, 44 persen anggaran pembangunan pelabuhan adalah untuk wilayah KTI, 33 persen pembangunan jaringan irigasi baru dan 53 persen pencetakan sawah baru adalah di KTI. Di samping itu, sedang dikembangkan satu juta hektare areal persawahan baru di Kalimantan Tengah. Proyek-proyek prasarana perhubungan yang sedang dikembangkan dalam Repelita VI antara lain adalah prasarana jalan di Irian Jaya (WamenaTengon), Maluku (Saleman-Taniwel), Sulawesi Tenggara (Lasolo-Asera), Timtim (CairuiLaciuta), NTT (Dampek-Pota-Maurole), NTB (Lanyuk-Ropang), Kaltim (TanjungselorMelanau-Tou Lumbis), Kalteng (Muarataweh-Lampeong), Kalbar (NangamarakaiNangakantuk-Badau), dan Kalsel (Jembatan Barito); pelabuhan laut di Ujung Pandang, Bitung, Biak, Sorong, Kupang dan Balikpapan; bandar udara di Manado, Ambon, Ujung Pandang, dan Balikpapan, dan beberapa lapangan terbang perintis. Pada tahun 2000 bandar udara di Balikpapan diperkirakan akan melayani 1,45 juta penumpang per tahun, bandar udara di Ujung Pandang 1,66 juta per tahun, bandar udara Manado 871,8 ribu per tahun dan bandar udara Ambon 379,8 ribu per tahun. Seiring dengan bidang ekonomi, pembangunan sumber daya manusia dalam PJP II juga merupakan titik berat pembangunan, termasuk di KTI. Di bidang pendidikan, anggaran sektor pendidikan untuk tahun pertama dan kedua Repelita VI telah dialokasikan lebih tinggi dibanding proporsi penduduk dan siswa. Hal ini akan terus dilanjutkan pada tahun-tahun Repelita VI dan selanjutnya, sampai akhir PJP II. Perhatian besar diberikan pula pada pendidikan menengah kejuruan, termasuk upaya untuk mengembangkan kerja sama dengan industri dan dunia usaha, yang merupakan program sistem ganda yang sekarang sedang dikembangkan. Pada tingkat pendidikan tinggi, beberapa proyek yang dibiayai bantuan luar negeri secara khusus diarahkan untuk menangani pembangunan pendidikan tinggi di KTI. Seperti misalnya, proyek Indonesia-Australia Eastern University Project (IAEUP) dengan bantuan Pemerintah Australia, Eastern Indonesia Universitas Development Project (EIUDP) dengan bantuan Pemerintah Kanada, serta Higher Education Project (HEP) bantuan dari ADB. Proyek IAEUP meliputi tiga universitas sasaran, yaitu Universitas Udayana, Universitas Mataram, dan Universitas Nusa Cendana, ditambah dua universitas peserta, yaitu Universitas Tadulako dan Universitas Halu Oleo. Kegiatan utama program ini adalah pengembangan sistem pendidikan terutama dalam bidang ilmu-ilmu dasar, pertanian dan peternakan. Proyek EIUDP dilaksanakan di empat universitas, yaitu Universitas Sam Ratulangi, Universitas Pattimura, Universitas Cenderawasih (termasuk yang berlokasi di Manokwari) dan Universitas Halu Oleo. Kegiatan utamanya adalah pengembangan staf. Proyek HEP di KTI meliputi Universitas Tadulako, Universitas Cenderawasih, Universitas Mataram, Universitas Nusa Cendana dan Universitas Halu Oleo. Kegiatannya meliputi pembangunan dan peralatan terutama di bidang biologi dan pertanian serta pengembangan staf. Sementara itu, sebuah proyek lain diluncurkan, yaitu Education Engineering Project dengan dana dari ADB, yang ditujukan untuk mengembangkan bidang keteknikan di perguruan-perguruan tinggi di KTI. Di Universitas Hasanuddin sendiri antara lain juga sedang dilaksanakan pembangunan pusat penelitian (research center) dengan penekanan pada disiplin ilmu kelautan. Di Universitas Mulawarman dilaksanakan pengembangan Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan dan Fakultas Ilmu-ilmu Dasar. Yang dikemukakan ini adalah beberapa contoh saja dari upaya besar yang dilakukan untuk membangun pendidikan di KTI, terutama pendidikan tinggi. Di bidang kesehatan direncanakan dan telah dilaksanakan berbagai kegiatan yang akan berdampak besar pada peningkatan derajat kesehatan penduduk KTI. Untuk menjadi pusat 163
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
rujukan pelayanan kesehatan di KTI, pada akhir tahun kedua Repelita VI telah selesai dibangun RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Ujung Pandang. Rumah sakit ini tidak saja dibangun baru dengan peralatan mutakhir, tetapi juga ditingkatkan kelasnya dari kelas B menjadi kelas A. Dengan demikian, RSUP tersebut akan setingkat dengan RS Cipto Mangunkusumo di Jakarta dan RS Dr. Soetomo di Surabaya. Selain itu, untuk mendukung pelayanan kesehatan di propinsi-propinsi Sulawesi bagian utara, pada tahun 1995 selesai dibangun serta telah diresmikan RS Malalayang di Manado yang dilengkapi dengan peralatan baru. Selama Repelita VI akan diteruskan pembangunan rumah sakit untuk propinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Irian Jaya, Timor Timur, dan daerah lain yang masih perlu mendapat perhatian di seluruh propinsi di Sulawesi. Saat ini, belum semua rumah sakit kabupaten mampu memberikan pelayanan kesehatan spesialistis empat dasar (penyakit dalam, kebidanan dan kandungan, kesehatan anak, dan bedah). Penyebab utamanya adalah karena terbatasnya jumlah tenaga dokter spesialis dan sulitnya menempatkan dokter spesialis di rumah sakit kabupaten yang relatif terpencil yang pada umumnya tidak memiliki fasilitas pelayanan yang memadai. Untuk mengatasinya, dalam Repelita VI dikembangkan program penempatan peserta pendidikan dan pelatihan dokter spesialis (PPDS) tahun terakhir khusus untuk spesialis kebidanan dan kandungan serta anak. Program ini dimulai pada tahun 1994/95 di 21 rumah sakit kabupaten di 10 propinsi. Sebagian besar rumah sakit kabupaten tersebut, yaitu sebanyak 17 buah, terletak di delapan propinsi KTI. Selain itu, untuk menyediakan tenaga dokter spesialis, terutama untuk spesialis anak, kebidanan, dan kandungan, bedah, dan penyakit dalam, disediakan beasiswa untuk dokter yang berasal dari KTI atau dokter yang bersedia ditempatkan di KTI setelah selesai menjalani pendidikan spesialisnya. Dengan cara ini, dalam Repelita VI diharapkan kekosongan tenaga dokter ahli di berbagai rumah sakit kabupaten di KTI secara bertahap akan teratasi. Memang, kurangnya tenaga kerja terampil yang mampu mengolah potensi sumber daya alam yang ada di sana merupakan kendala bagi pembangunan di wilayah KTI. Oleh karena itu, sejak Repelita VI transmigrasi diarahkan ke KTI, baik melalui transmigrasi umum maupun transmigrasi swakarsa mandiri yaitu transmigrasi yang didasarkan pada prakarsa sendiri. Jumlah transmigran dari daerah penduduk padat memang belum mempunyai dampak yang besar terhadap keserasian persebaran penduduk, namun terhadap wilayah KTI yang berpenduduk tipis, transmigrasi telah mampu mendukung keserasian persebaran penduduk, mendorong penyebaran teknologi pemanfaatan sumber daya alam serta mengembangkan akses daerah produksi ď&#x20AC;termasuk daerah-daerah produksi terpencilď&#x20AC; ke pasar. Dalam dua tahun pertama Repelita VI, 69 persen dari lokasi permukiman transmigrasi yang dibangun berada di KTI, sehingga diharapkan mempunyai manfaat yang besar terhadap pembangunan daerah di KTI.
Investasi Swasta Dengan berbagai upaya tersebut, baik di bidang prasarana ekonomi maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia, diharapkan iklim investasi di KTI akan menjadi lebih baik. Investasi swasta di semua sektor memang sangat dibutuhkan karena hanya dengan investasi swasta dapat diperoleh laju pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja yang cukup tinggi. Diharapkan pangsa investasi swasta akan meningkat dari 11, 4 persen pada awal Repelita VI menjadi 12,6 persen di akhir Repelita VI. Upaya peningkatan investasi swasta akan didorong oleh berbagai faktor yang berkembang di dalam negeri maupun di luar negeri. Sekurang-kurangnya ada lima faktor yang akan menjadi pendorong.
164
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pertama, faktor globalisasi dan keterbukaan ekonomi. Faktor ini akan meningkatkan kegiatan ekonomi dan perdagangan, sehingga permintaan akan komoditas yang dihasilkan oleh kawasan ini juga akan meningkat. Peningkatan permintaan diharapkan akan mendorong minat investasi. Kedua, kerja sama antara kawasan yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Pusat Wilayah Pertumbuhan Sub-Regional ASEAN Timur Brunei Darussalam - Indonesia Malaysia - Filipina (BIMP-EAGA), Segitiga Pertumbuhan Indonesia - Malaysia - Thailand (IMT-GT), dan kerja sama dengan Australia Utara, akan menggerakkan momentum pertumbuhan. Secara keseluruhan kegiatan di Asia Pasifik melalui kerja sama APEC diharapkan akan mendorong gerak pertumbuhan wilayah KTI ini, yang berada di pusaran kegiatan APEC. Ketiga, kebijaksanaan tata ruang nasional dan terbatasnya lahan di Jawa dan di kawasan barat pada umumnya akan mendorong investor ke luar Jawa, di antaranya ke kawasan timur. Sekarang, untuk meningkatkan produksi pangan saja, akan dibangun satu juta hektare, lahan pertanian di Kalimantan Tengah. Pembatasan terhadap penggunaan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan lain akan mendorong industri bergerak ke luar Jawa. Keempat, proses restrukturisasi industri negara-negara maju yang masih terus berlanjut dan akan mengakibatkan relokasi industri. Sebagian di antaranya adalah industri yang perlu dekat dengan sumber bahan baku, sehingga akan tertarik ke kawasan timur yang kaya akan sumber alam. Banyak di antaranya adalah industri ekspor, sehingga terbatasnya pasar di KTI tidak menjadi masalah. Kelima, pemberian berbagai perangsang, antara lain insentif perpajakan untuk investasi di kawasan terbelakang, secara selektif akan diberikan. Selanjutnya, mengingat luasnya wilayah KTI, terbatasnya prasarana dan terbatasnya sumber daya manusia, maka harus dikembangkan pendekatan tata ruang yang tepat agar sumber daya yang tersedia dapat digunakan secara efisien, dengan memusatkan pembangunan pada kawasan-kawasan tertentu, yang disebut kawasan andalan. Kawasan-kawasan perbatasan tadi merupakan kawasan andalan. Kawasan andalan yang dewasa ini sudah mempunyai penggerak tentu perlu terus dikembangkan. Namun, bukan hanya itu saja. Pada akhir PJP II diharapkan telah ada 54 kawasan andalan di KTI. Enam belas lokasi kawasan andalan berada di Kalimantan, 9 di propinsi-propinsi Nusa Tenggara termasuk Timor Timur, 16 di Sulawesi, 4 di Maluku dan 9 di Irian Jaya. Kawasan andalan yang dikembangkan dalam tahap pertama antara lain adalah Sanggau di Kalimantan Barat, Barito-Kapuas-Kahayan di Kalimantan Tengah, Batulicin di Kalimantan Selatan, Balikpapan-Samarinda-Sanga-sanga di Kalimantan Timur, Manado-Bitung di Sulawesi Utara, Pare-pare di Sulawesi Selatan, Batui di Sulawesi Tengah, Segitiga BUKARI di Sulawesi Tenggara, Mbay di NTB, Kupang di NTT, Betano di Timor Timur, Seram di Maluku, dan Biak di Irian Jaya. Kawasan-kawasan andalan ini kemudian disebut kawasan andalan pertumbuhan ekonomi terpadu (KAPET). Melalui berbagai usaha itu, terutama didorong oleh investasi pemerintah yang meningkat di KTI, diharapkan investasi swasta di KTI pada akhir PJP II dapat meningkat menjadi mendekati 20 persen dari seluruh investasi swasta di Indonesia.56 Dengan demikian, selama PJP II, KTI akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat yang diikuti dengan pertumbuhan lapangan kerja yang di KTI dalam PJP II diharapkan mencapai 2,3 persen setahun, lebih tinggi daripada di KBI yang diperkirakan tumbuh dengan 2,0 persen setahun. Keseluruhan upaya itu harus didukung oleh kebijaksanaan makro dan sektoral yang terpadu. Secara nasional berbagai perangkat fiskal dan moneter serta kebijaksanaan perdagangan dan investasi, termasuk kebijaksanaan perizinan yang masih tersisa 56
Angka perkiraan berdasarkan anggapan pengaruh kenaikan investasi saja (Bappenas, Regional Economic Projections from SSD-Model, Jakarta, 1994)
165
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kewenangannya pada pemerintah, harus diarahkan untuk mendukung. Dengan sendirinya pemerintah daerah juga harus berperan. Dan perannya teramat besar. Suasana yang menarik untuk investasi harus dikembangkan oleh Pemerintah dan masyarakat di daerah. Pelayanan harus ditingkatkan, dan hambatan-hambatan, baik dari aturan tertulis maupun (apalagi) tidak tertulis, serta hambatan mental psikologis harus dihilangkan. Pemerintah daerah harus mengupayakan meningkatnya pendapatan asli daerah. Dan teramat penting pula merencanakan pembangunan di daerah termasuk penggunaan anggaran pembangunan daerah dengan sebaik-baiknya. Semuanya itu terkait dengan peningkatan otonomi daerah yang garis besarnya telah dibahas dalam topik sebelum ini.
Masa Depan KTI Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan, potensi dan prospek pengembangan KTI seperti diuraikan di atas, percepatan pembangunan KTI perlu diupayakan melalui (i) peningkatan dukungan investasi pemerintah terhadap wilayah yang tertinggal, yang sekaligus menciptakan dan memperbaiki iklim investasi untuk menarik modal swasta; (ii) perwujudan keterkaitan fisik dan ekonomi antarwilayah, termasuk pada kawasan cepat tumbuh, kawasan perbatasan antarnegara dan kawasan andalan; (iii) pengembangan kotakota prioritas sebagai pusat-pusat ekonomi perkotaan dalam kawasan andalan sebagai suatu kesatuan struktur wilayah, seperti pusat pertumbuhan wilayah nasional di Ujung Pandang, Manado, Pontianak, Banjarmasin, dan pusat pertumbuhan antarwilayah di Balikpapan, Samarinda, Mataram, dan Dili; serta (iv) pembentukan pusat-pusat pertumbuhan dan kawasan andalan di KTI seperti Kupang-Darwin dan BIMP-EAGA. Berbagai upaya tersebut perlu dibarengi dengan peningkatan kinerja dan kemampuan dari pemerintah daerah tingkat I maupun tingkat II se-KTI agar dapat lebih berperan aktif dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, pelaksanaan programprogram pembangunan KTI tidak lagi semata-mata ditentukan oleh pemerintah pusat, namun lebih ditentukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Untuk itu, perlu lebih didesentralisasikan wewenang dan tanggung jawab dari pusat kepada pemerintah daerah sejalan dengan otonomi daerah, yang perwujudannya sangat ditentukan dari kesiapan dan kemampuan pemerintah daerah masing-masing. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa KTI mempunyai masa depan yang sangat cerah. Ini didorong oleh optimisme terhadap perkembangan keadaan (turn of events) yang akan menguntungkan bagi KTI. Orang mengatakan bahwa abad kedua puluh satu adalah abadnya kawasan timur, bagi dunia adalah kawasan Asia Pasifik, sedangkan bagi bangsa Indonesia adalah KTI. Arus pembangunan dengan sendirinya akan menuju ke kawasan ini. Justru yang harus dilakukan adalah menjaga agar yang maju bukan hanya daerahnya, tetapi rakyatnya. Jangan sampai dalam hiruk-pikuknya pembangunan, malah rakyat di kawasan ini terabaikan. Akibatnya, pembangunan yang terjadi hanya akan menyentuh kulitnya, bahkan lebih buruk, hanya berupa eksploitasi sumber alam saja, yang tidak dinikmati secara adil dan penuh oleh rakyat banyak. Ini merupakan tantangan dan tangung jawab sejarah yang berat, bahkan lebih berat lagi dari hanya membangun secara fisik kawasan ini.
4. Pembangunan Perkotaan dan Pembangunan Perdesaan Wilayah perkotaan berperan makin penting dalam pembangunan nasional. Sumbangannya terhadap pembangunan nasional bertambah besar. Sebaliknya dampak negatifnya besar pula terhadap munculnya masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Di sisi lain, tampak peranan wilayah perdesaan, yang makin tertinggal jauh dibanding wilayah perkotaan. Dikotomi desa-kota dalam konteks pembangunan nasional ini perlu diatasi secara konseptual, agar dalam jangka panjang tidak mengganggu keserasian pembangunan. Keserasian
166
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
pembangunan ini merupakan prasyarat bagi perwujudan cita-cita keadilan sosial bangsa Indonesia. Oleh karena itulah, dalam buku Repelita VI ada sebuah bab yang khusus membahas pembangunan perkotaan dan perdesaan, sehingga satu sama lain saling mendukung dan memperkuat, dan bukan saling merugikan. Keseluruhannya itu harus merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional, yang ingin selalu dilaksanakan dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Telah ditekadkan bahwa dalam PJP II proses industrialisasi akan dipercepat. Berarti sektor industri akan didorong untuk berfungsi sebagai motor penggerak perekonomian dan dapat diandalkan sebagai penyerap tenaga kerja produktif yang secara bertahap menggantikan penyerapan sektor pertanian. Dengan makin majunya sektor industri, maka sumbangan sektor pertanian dalam pendapatan nasional secara relatif akan menurun. Pembangunan industri hampir berarti sama dengan pembangunan wilayah perkotaan. Dengan demikian, pembangunan wilayah perkotaan berarti juga harus memotori pembangunan nasional secara keseluruhan. Meskipun demikian, tidak berarti sektor pertanian tidak penting. Bahkan sebaliknya sektor pertanian tetap memegang peran strategis dalam PJP II sesuai dengan fungsinya, untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang jumlahnya besar dan sebagai sumber mata pencaharian yang besar pula bagi rakyat Indonesia. Selain itu, pembangunan pertanian merupakan unsur yang amat menentukan dalam pembangunan perdesaan. Dengan titik pandang tersebut, topik ini akan membahas pembangunan perkotaan dan pembangunan perdesaan dalam berbagai aspeknya.
Kecenderungan Urbanisasi Berbicara mengenai masalah perkotaan adalah bicara mengenai berbagai aspek masalah urbanisasi. Urbanisasi mempunyai arti sebagai proses pembangunan perkotaan melalui meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat kota. Di sisi lain, urbanisasi juga merupakan proses perpindahan penduduk ke kota sebagai akibat permasalahan di perdesaan. Urbanisasi merupakan proses pergeseran aktivitas penduduk dari sektor tradisional ke sektor modern. Studi empiris menunjukkan adanya hubungan positif antara kenaikan urbanisasi (level of urbanization) dan peningkatan pendapatan per kapita. Makin tinggi pendapatan per kapita, makin tinggi tingkat urbanisasi. Dengan meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota, makin banyak tersedia tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memungkinkan terciptanya spesialisasi sesuai dengan kemampuan yang beragam dari para pendatang. Produktivitas kerja penduduk perkotaan meningkat, kegiatan sosial ekonomi di perkotaan meningkat, dan sumbangan perkotaan terhadap kegiatan ekonomi nasional meningkat pula. Telah diketahui secara umum, betapa proses urbanisasi berlangsung dengan amat cepat di Indonesia. Perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan telah berlangsung sejak lama. Mula-mula terjadi sebagai akibat gangguan keamanan, kemudian disebabkan oleh kondisi yang kurang mendukung perkembangan di daerah perdesaan, antara lain karena keterbatasan lapangan kerja, keterbatasan lahan usaha, serta kurangnya sarana dan prasarana pelayanan dasar. Akan tetapi, ada pula perpindahan penduduk ke kota karena perkembangan kegiatan ekonomi di kota. Tenaga kerja secara sengaja didatangkan dari luar wilayah perkotaan sebagai pekerja sektor modern di perkotaan. Proses urbanisasi ini membawa berbagai dampak, baik bagi daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Pada tahun 1971 tingkat urbanisasi adalah 17 persen, pada tahun 1990 telah mencapai 31 persen, dan pada tahun 1995 diperkirakan 36,1 persen. Apabila pada dekade 1960-1970 urbanisasi lebih banyak terjadi karena pertambahan alamiah, pada dekade selanjutnya telah ditambah lebih banyak dengan migrasi desa-kota. Pada akhir PJP II penduduk di 167
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
perkotaan diproyeksikan mencapai 60 persen. Dengan demikian, bagian terbesar dari penduduk Indonesia pada akhir PJP II sudah menjadi penduduk kota (urban dwellers). Distribusi penduduk perkotaan juga makin tersebar. Jumlah penduduk yang berada di daerah perkotaan akan meningkat dengan tajam di setiap propinsi yang mencerminkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang lebih tinggi, diikuti dengan kegiatan ekonomi yang makin beragam. Tujuh propinsi akan mempunyai persentase penduduk kota lebih dari 60 persen, sepuluh propinsi dengan persentase penduduk kota lebih dari 50 persen dan hanya satu atau dua propinsi kurang dari 40 persen. Keadaan ini amat berbeda dengan situasi pada tahun 1990 yang hanya ada satu propinsi dengan persentase penduduk kota di atas 50 persen, yaitu DKI Jakarta, (ibu kota negara, dengan lima kota madya), dan sembilan propinsi dengan persentase penduduk kota kurang dari 20 persen. Pada awal Repelita VI, terdapat sebelas pusat perkotaan (urban centers), yaitu kota madya dan daerah perdesaan di sekitarnya yang punya hubungan fungsional, berpenduduk satu juta jiwa atau lebih. Delapan di antaranya terdapat di Pulau Jawa. Pada akhir PJP II, diperkirakan akan terdapat 23 pusat perkotaan dengan jumlah penduduk perkotaan lebih dari satu juta jiwa, yang sekitar 11 kota di antaranya berada di luar Pulau Jawa. Empat kota diperkirakan akan mempunyai penduduk lebih dari lima juta jiwa. Salah satu di antaranya adalah kawasan Jabotabek yang diperkirakan akan mempunyai penduduk perkotaan antara 30-35 juta jiwa (sekarang kawasan Jabotabek telah dihuni oleh 15 juta penduduk perkotaan). Pada saat sekarang, terjadi pertambahan penduduk perkotaan lebih dari 3,5 juta jiwa (5,5 persen) setiap tahunnya, dan angka ini terus bertambah. Jumlah tersebut merupakan satu setengah kali penduduk Kota madya Bandung atau setara dengan tujuh kota dengan ukuran sebesar Kota madya Padang. Kawasan-kawasan perkotaan akan memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial. Lebih dari 60 persen dari PDB nonmigas akan berasal dari kawasan-kawasan perkotaan. Hampir semua lokasi industri manufaktur berada di perkotaan begitu pula bisnis eceran, pusat-pusat bisnis modern, pelayanan kesehatan dan pendidikan modern, kegiatan-kegiatan yang sarat dengan teknologi mutakhir, serta kesenian dan kebudayaan. Keunggulan relatif ekonomi perkotaan yang diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita penduduknya menimbulkan tuntutan yang lebih besar akan sarana dan prasarana perkotaan. Hal ini merupakan cerminan adanya korelasi yang kuat antara tingkat urbanisasi dan peningkatan pendapatan per kapita serta peningkatan tuntutan terhadap daerah perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan, mengakibatkan penggunaan ruang menjadi lebih efisien karena dengan ruang yang lebih kecil dapat ditampung jumlah penduduk yang lebih besar. Berarti pula pelayanan sosial ekonomi dapat makin terkonsentrasi. Dari sisi lingkungan, kebutuhan akan lahan luas menjadi berkurang, sehingga dapat disediakan ruang yang lebih besar untuk pengamanan lingkungan. Misalnya Jepang, negara yang relatif besar penduduknya dibandingkan dengan luas tanahnya, dengan urbanisasi yang efisien telah menghasilkan negara yang sangat baik pelestarian lingkungannya. Tidak berarti bahwa masalah lingkungan di perkotaan tidak ada, karena tetap saja masalah lingkungan di perdesaan atau di perkotaan harus mendapat perhatian. Di pihak lain, urbanisasi juga membawa masalah. Proses urbanisasi yang terlalu cepat, menghasilkan ketidaksiapan kota-kota untuk menampung arus perpindahan penduduk. Akibatnya sarana ekonomi dan prasarana sosial tidak memadai. Dengan demikian, timbul ekses urbanisasi yang terjadi hampir di semua wilayah urban dalam kondisi serupa itu, yaitu kekumuhan dan kemiskinan perkotaan (urban poverty), yang pada gilirannya menghasilkan gangguan sosial, seperti kekerasan dan ketidakstabilan politik. Sejarah menunjukkan bahwa konflik-konflik politik dapat dimulai baik di desa maupun di kota, tetapi ujungnya senantiasa berakhir di perkotaan.
168
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kemampuan yang tidak memadai di wilayah perkotaan untuk menampung angkatan kerja yang cepat bertambah itu, diperberat pula dengan kualitas penduduk yang berpindah, yang tidak selalu memiliki persyaratan untuk memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan di kota-kota, yaitu di sektor industri dan jasa, sehingga membuat permasalahan perkotaan menjadi makin rumit. Sebagai contoh, pada tahun 1994 dari sekitar 24,3 juta pekerja, yaitu angkatan kerja yang bekerja di perkotaan yang berpendidikan maksimal SD adalah 48,8 persen, berpendidikan sekolah menengah sebesar 44.0 persen, dan berpendidikan tinggi sebesar 7,2 persen. Rendahnya kualitas tenaga kerja di perkotaan tersebut menimbulkan kesenjangan antara kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan dan yang tersedia, yang selanjutnya menimbulkan pengangguran di perkotaan. Masih dari sisi tenaga kerja, data menunjukkan bahwa angkatan kerja perkotaan meningkat dengan 7,1 persen pada tahun 1985-1994, sedangkan angkatan kerja perdesaan meningkat 2,0 persen, padahal secara total angkatan kerja meningkat sekitar 3,3 persen. Ini berarti masalah pengangguran terselubung di daerah perdesaan cenderung dikonversi menjadi pengangguran terbuka di perkotaan. Hal ini mengakibatkan timbulnya kemiskinan di kota. Walaupun saat ini penduduk miskin di perkotaan terus menurun, yaitu dari 9,4 persen pada tahun 1990 menjadi 8,7 persen dari total jumlah penduduk miskin pada tahun 1993, secara absolut jumlah penduduk miskin tersebut masih tetap besar, yaitu 8,8 juta jiwa pada tahun 1993. Akibat lainnya adalah adanya tekanan kebutuhan terhadap berbagai prasarana dasar, baik sosial, seperti perumahan, sekolah, rumah sakit, air bersih, maupun kebutuhan prasarana ekonomi seperti perhubungan, yang tidak dapat dipenuhi secara seimbang oleh kota-kota pada umumnya. Oleh karena itu, sejauh mungkin arus perpindahan penduduk ke kota harus diredam dengan mengembangkan alternatif kehidupan yang lebih baik di perdesaan. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian lain dari topik ini. Namun, betapapun juga berhasilnya upaya menahan penduduk di perdesaan, proses urbanisasi akan terus berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang tepat agar proses ini tidak merugikan bahkan dapat menguntungkan.
Pembangunan Perkotaan Pembangunan perkotaan mengenal berbagai tingkatan wilayah perkotaan, yaitu kota megapolitan, metropolitan, kota besar, kota sedang, dan kota kecil. Dilihat dari fungsinya, dikenal juga kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal, dan pusat yang mempunyai fungsi khusus dalam menunjang sektor ekonomi tertentu. Selain itu, tiap-tiap kota mempunyai ciri sosio-kultural tersendiri, meskipun ada kesamaan kultur kosmopolitan yang berkembang di kota-kota. Berbagai hal itu merupakan unsur-unsur yang patut diperhatikan dalam pendekatan pembangunan di tiap-tiap kota terutama dalam mendorong pertumbuhan kota, sebagai simpul-simpul utama dalam keseluruhan proses pembangunan nasional. Dengan pemahaman itu, maka secara garis besar dalam meninjau pembangunan perkotaan dapat diterapkan dua pendekatan, yakni pendekatan makro dan pendekatan mikro. Dalam pendekatan makro pembangunan perkotaan ditinjau dalam konteks wilayah nasional. Salah satu cirinya adalah kecenderungan makin mengelompoknya kegiatan ekonomi perkotaan di beberapa kota metropolitan, terutama di Pulau Jawa. Sementara itu, kota-kota lain di luar Jawa, terutama kota-kota di kawasan timur Indonesia, masih tertinggal tingkat perkembangannya. Kenyataan ini mengakibatkan kurang berfungsinya kota-kota di luar Jawa sebagai katalisator pengembangan wilayah. Keadaan itu menyebabkan kesenjangan antarwilayah yang makin melebar.
169
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Permasalahan lainnya adalah belum mandirinya kota-kota kecil yang tumbuh di sekitar wilayah metropolitan. Penduduk di kota-kota kecil ini masih banyak bergantung pada kota inti/ induk, baik dalam hal lapangan pekerjaan maupun penggunaan fasilitas pelayanan. Hal ini mengakibatkan beban yang cukup besar bagi kota inti, antara lain makin tingginya kemacetan lalu lintas serta makin terbatasnya pelayanan prasarana dan sarana perkotaan karena selain harus melayani kebutuhan masyarakatnya sendiri, harus pula melayani kebutuhan bagi kota-kota kecil di wilayah sekitarnya. Perbedaan yang tinggi antara penduduk kota pada waktu siang hari dan pada waktu malam hari yang diakibatkan arus ulang-alik (commuters) menimbulkan masalah tersendiri pula. Termasuk dalam masalah makro ini adalah terdapatnya kesenjangan pertumbuhan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Hal ini terutama disebabkan oleh: a)
lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan;
b)
keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas di daerah perdesaan, sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan;
c)
kurangnya prasarana dan sarana perhubungan di daerah perdesaan, khususnya prasarana dan sarana yang menghubungkan suatu kawasan miskin perdesaan dengan daerah-daerah yang lebih maju.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan makro ini, perlu dikembangkan beberapa strategi pembangunan perkotaan. Pertama, pengelolaan pembangunan kota-kota secara nasional melalui pembentukan sistem perkotaan yang hierarkis, mantap, dan seimbang. Untuk itu, daerah perkotaan atau kota dibedakan berdasarkan peran dan fungsi pelayanannya, yakni daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal dan kota-kota atau daerah perkotaan yang mempunyai fungsi khusus dalam menunjang pengembangan sektor strategis dan pengembangan wilayah baru. Dengan pemantapan sistem kota-kota, diharapkan kegiatan pembangunan dapat lebih disebarkan ke wilayah-wilayah lainnya. Dengan pola semacam itu, diharapkan pertumbuhan dan perkembangan kota-kota (metropolitan, besar, menengah dan kecil) dapat lebih terkait satu sama lain secara fungsional sehingga mendukung pemantapan struktur perekonomian nasional, sekaligus mengatasi ketimpangan antarwilayah. Kedua, mencegah makin membengkaknya wilayah Jabotabek serta wilayah metropolitan lainnya. Untuk itu, perlu dikembangkan kota-kota lain, seperti di luar Jawa, Ujung Pandang dan Palembang, yang dapat berfungsi sebagai kota antara atau â&#x20AC;&#x153;magnit tandinganâ&#x20AC;? (counter magnet). Dengan demikian, kota-kota ini diharapkan dapat mengalihkan arus migrasi dan investasi tidak terpusat di wilayah tertentu saja. Ketiga, perlu ditingkatkan pula fungsi dan peran kota-kota menengah (secondary cities), khususnya di daerah-daerah luar Jawa. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengarahkan penanaman modal pada sektor-sektor strategis/unggulan, disertai dengan pemberian insentif perpajakan, perbaikan dan peningkatan pembangunan sarana dan prasarana penunjang agar memungkinkan peningkatan produktivitas yang selanjutnya akan meningkatkan daya tarik kota-kota menengah tersebut bagi investor. Keempat, peningkatan fungsi dan peran kota-kota kecil yang berada di sekitar kota-kota metropolitan. Kota-kota kecil ini diharapkan dapat berfungsi sebagai kota-kota penyangga (buffer cities) yang mandiri (self contained cities) baik dalam penyediaan lapangan kerja maupun dalam penyediaan fasilitas perkotaan bagi penduduk di kawasannya. Untuk itu, diperlukan peningkatan sarana dan prasarana perkotaan serta kebijaksanaan yang mendorong penanaman modal untuk menempatkan atau mengalihkan modalnya dari wilayah metropolitan ke kota-kota kecil di sekitarnya. Kelima, mendorong terciptanya keterkaitan kegiatan ekonomi yang efektif dan saling menunjang dan saling menguntungkan antara wilayah perkotaan dan perdesaan, melalui: 170
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
a)
perluasan pembangunan sarana dan prasarana, terutama sarana perdagangan, dan prasarana perhubungan dan telekomunikasi;
b)
pengembangan industri di perdesaan mulai dari pengolahan bahan baku sampai bahan setengah jadi;
c)
peningkatan sumber daya manusia di daerah perdesaan;
d)
pembangunan jaringan informasi mengenai potensi pemasaran wilayah, terutama yang menyangkut sektor-sektor unggulan.
Dalam pendekatan mikro, kota dipandang sebagai satu kesatuan lingkungan permukiman beserta aktivitasnya. Masalah mikro perkotaan terkait erat dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan yang pesat, baik karena pertambahan secara alamiah maupun akibat perpindahan penduduk (migrasi). Sementara itu ketersediaan kesempatan kerja dan fasilitas pelayanan perkotaan tidak seimbang dengan meningkatnya kebutuhan. Akibatnya, muncul masalah kemiskinan perkotaan yang menyebabkan makin meningkatnya angka kriminalitas kota, kemerosotan tingkat pelayanan sarana dan prasarana perkotaan termasuk kemacetan lalu lintas, masalah air, sampah dan banjir, berkembangnya kawasan kumuh, pencemaran industri, dan benturan-benturan pemanfaatan lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi permasalahan mikro ini, diperlukan beberapa strategi pendekatan pembangunan perkotaan, antara lain sebagai berikut. Pertama, peningkatan pengelolaan pembangunan perkotaan yang dapat meningkatkan produktivitas perekonomian kota. Dalam upaya ini, perlu ditingkatkan peran serta dunia usaha dan masyarakat. Usaha pemerintah dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan perlu lebih difokuskan selain pada kelancaran pelayanan umum, juga pada pemberian kemudahan-kemudahan kepada sektor dunia usaha dan masyarakat agar dapat menjadi pelaku utama dalam penyediaan fasilitas pelayanan perkotaan. Kedua, pemantapan fungsi dan peranan kelembagaan serta peningkatan kemampuan keuangan kota. Pemantapan kelembagaan ditujukan terutama untuk dapat mengkoordinasikan dan melaksanakan program-program pembangunan secara terintegrasi, efisien dan efektif. Kelembagaan kota perlu ditingkatkan agar mampu mengatasi masalah-masalah sosial yang khas di perkotaan seperti kekumuhan, kriminalitas, kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang dan sebagainya. Upaya itu dan peningkatan kemandirian kota memerlukan peningkatan kemampuan keuangan kota, dengan titik berat pada peningkatan pendapatan daerah, efisiensi penggunaannya, serta pengerahan dana masyarakat dan dunia usaha. Ketiga, pengaturan penggunaan ruang perkotaan secara lebih efisien dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Penataan ruang kota harus diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat berdasarkan kemitraan dalam pembangunan yang dapat menjamin kemakmuran bagi semua orang. Pembangunan perkotaan tidak menjadi alat untuk memindahkan kemiskinan, tetapi justru untuk membangun kesejahteraan bagi semua. Di samping itu, rencana pembangunan kota harus mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap dinamika perkembangan dan tidak kalah cepat dengan kebutuhan pembangunan. Rencana tata ruang kota yang dimaksud bukanlah rencana tata ruang kota yang konvensional seperti rencana induk kota (masterplan) pada zaman tahun 50ď&#x20AC;60an yang hanya menetapkan tata guna lahan secara deterministis untuk jangka waktu yang panjang. Rencana konvensional itu mengalami berbagai hambatan dalam pelaksanaannya disebabkan oleh banyaknya faktor-faktor yang berkembang secara dinamis dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan perkotaan, tetapi sangat sulit untuk diperkirakan untuk jangka waktu yang panjang. Yang diperlukan dalam penataan ruang perkotaan adalah suatu rencana yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan, operasional, dan benar-benar mampu berfungsi sebagai instrumen koordinasi. Pertama-tama dibutuhkan suatu visi mengenai bentuk dan 171
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
struktur kota di masa yang akan datang, misalnya 20ď&#x20AC;30 tahun mendatang. Selanjutnya, perlu disusun suatu rencana tata ruang kota yang memberikan arahan dan struktur ruang kota untuk jangka waktu 10ď&#x20AC;15 tahun. Selain itu, melalui penataan ruang kota diharapkan dapat diwujudkan mekanisme dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menjamin alokasi penggunaan lahan yang efisien, baik bagi kepentingan pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha, untuk kepentingan ekonomi maupun sosial. Dalam rangka itu, penataan ruang perkotaan harus menjamin pula bahwa ruang perkotaan tidak hanya disediakan bagi golongan yang mampu saja, tetapi harus tersedia bagi masyarakat luas, sehingga penduduk perkotaan baik dari golongan ekonomi lemah maupun golongan ekonomi kuat dapat hidup berdampingan secara serasi dan kegiatannya secara bersama-sama menjadi lebih kreatif, produktif, dan sinergis. Akhirnya, perlu dukungan hukum yang tegas, jelas, konsisten dan transparan. Transparansi ini penting agar sistem peraturan dan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pembangunan dan penataan ruang perkotaan memungkinkan masyarakat ikut serta melaksanakannya secara tertib dan bertanggung jawab, dan terjamin kepastiannya.
Pembangunan Perdesaan Keterkaitan antara pembangunan perkotaan dan perdesaan Perkembangan daerah perkotaan tidak terlepas dari perkembangan daerah perdesaan. Bila diperhatikan proses perkembangan suatu desa menjadi kota, terlihat jelas bahwa kota dan desa, atau kawasan perkotaan dan perdesaan, saling melengkapi dan membentuk satu sistem yang saling terkait. Di satu pihak, keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan terlihat dalam pemenuhan bahan pokok pangan, fasilitas dan pelayanan dasar, penyediaan bahan baku, bahan setengah jadi dan sumber daya manusia untuk industri serta kegiatan ekonomi lainnya. Pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut selama ini cenderung berlangsung dari desa ke kota saja. Di pihak lain, daerah perdesaan umumnya memiliki kondisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan daerah perkotaan. Keterbatasan inilah, yakni dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, lahan usaha, serta sarana dan prasarana pelayanan dasar di perdesaan, yang mendorong terjadinya migrasi ke kota-kota. Sudah saatnya persepsi mengenai penanganan permasalahan kota dan desa diubah. Desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, tetapi sebaliknya, perkembangan suatu kota atau daerah perkotaan harus pula mampu meningkatkan perkembangan daerah perdesaan. Oleh karena itu, kota atau daerah perkotaan harus turut meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi di daerah perdesaan dalam rangka menjaga momentum pembangunan daerah perkotaan itu sendiri. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan ini merupakan dasar bagi pertumbuhan yang serasi antara desa dan kota. Pembangunan perkotaan dan pembangunan perdesaan harus diusahakan sekuat tenaga agar tidak saling merugikan, melainkan justru harus saling mendukung dan saling memperkuat. Penduduk perdesaan yang cukup besar jumlahnya adalah pasar yang potensial untuk produk yang dihasilkan oleh kawasan perkotaan. Sebaliknya, perdesaan juga menyediakan input bagi sektor produksi dan konsumsi perkotaan. Daerah perkotaan merupakan sumber barang dan jasa untuk kepentingan produksi di daerah perdesaan. Perkotaan merupakan sumber inovasi dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas masyarakat perdesaan. Meningkatnya taraf hidup masyarakat perkotaan di atas pengorbanan masyarakat desa harus dicegah. Berkembangnya kesejahteraan masyarakat perkotaan harus turut mengangkat martabat dan kehidupan masyarakat di perdesaan. Untuk itu perlu dijalin kaitan sektor ekonomi antara daerah perdesaan dan perkotaan (forward dan backward linkages) yang saling menguntungkan.
172
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Strategi pembangunan perdesaan Meskipun pembahasan dalam topik ini dimulai dengan pembangunan perkotaan dan dilanjutkan dengan keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan, tidak berarti bahwa pembangunan perdesaan menempati urutan di bawah pembangunan perkotaan. Tidak juga berarti bahwa pembangunan perdesaan adalah hasil limpahan dari pembangunan perkotaan, seperti paradigma â&#x20AC;&#x153;trickle downâ&#x20AC;? yang sekarang sudah usang. Pendekatan di atas semata-mata dilakukan atas dasar konsep yang relatif baru dalam pembangunan, yaitu pendekatan kewilayahan. Dewasa ini pendekatan kewilayahan telah menjadi strategi penting dalam pembangunan. Dengan pendekatan kewilayahan itu, diupayakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dan investasi dengan memanfaatkan keunggulan setiap wilayah serta mengembangkan produk-produk yang tepat untuk wilayah itu. Dalam rangka itu, telah dikenali 111 kawasan andalan yang masing-masing memiliki komoditas-komoditas unggulan. Dalam setiap kawasan itu ada wilayah perkotaan dan perdesaan yang satu sama lain harus saling mendukung dan memperkuat, serta tidak bertolak belakang atau yang satu mengisap yang lain. Namun, pembangunan perdesaan adalah pembangunan perdesaan, dengan sifat dan cirinya sendiri yang membedakannya dari daerah perkotaan. Ciri wilayah perkotaan umumnya adalah tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, kegiatan usaha utamanya di luar pertanian, dan masyarakatnya umumnya heterogen, baik dalam hal mata pencaharian, maupun dalam budaya dan adat istiadat. Di wilayah perdesaan pada umumnya kepadatan penduduknya tidak terlalu tinggi, kegiatan ekonomi utamanya adalah pertanian (termasuk kehutanan, peternakan, perikanan), masyarakatnya relatif homogen dalam hal mata pencaharian maupun budaya dan adat istiadat. Tingkat pendapatan masyarakat kota pada umumnya rata-rata lebih tinggi dibanding masyarakat desa, karena kegiatan ekonominya lebih maju dan produktivitasnya tinggi. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembangunan perdesaan harus dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan sifat dan cirinya, dan tidak dapat disamakan begitu saja dengan pembangunan perkotaan meskipun unsur-unsurnya kurang lebih sama. Dalam rangka itu, pembangunan perdesaan harus meliputi empat upaya besar, yang satu sama lain saling berkaitan. Mengembangkan kegiatan dalam keempat alur itu harus merupakan strategi pokok pembangunan perdesaan. Pertama, memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Dalam upaya ini, diperlukan masukan modal dan bimbingan-bimbingan seperti teknologi dan pemasaran untuk memampukan dan memandirikan masyarakat perdesaan. Contoh upaya di sini adalah program IDT, takesra, dan kukesra, kupedes, dan lain-lain usaha pada tingkat masyarakat yang langsung diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Upaya tersebut adalah dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat (capacity building) dalam perubahan struktur masyarakat perdesaan tradisional ke masyarakat perdesaan yang maju dan mandiri. Peningkatan kapasitas masyarakat perdesaan harus mengikutsertakan masyarakat melalui pemupukan modal (capital accumulation) yang bersumber dari surplus nilai tambah kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan. Dengan surplus masyarakat perdesaan yang terakumulasi ini, maka kebutuhan masyarakat baik untuk kepentingan rumah tangga maupun kebutuhan umum (publik) dapat secara bertahap dipenuhi sendiri. Upaya ini berkaitan erat dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang layak. Untuk itu selain program-program pendanaan di atas, berbagai program sektoral juga teramat penting, di antaranya adalah program transmigrasi yang bagi wilayah-wilayah perdesaan yang jarang penduduknya sangatlah dibutuhkan. Untuk wilayah yang kelebihan tenaga kerja, program ini juga dapat membantu meringankan beban tekanan kebutuhan lapangan pekerjaan dan kepadatan penduduk. Kedua, dalam jangka yang lebih panjang meningkatkan kualitas sumber daya manusia perdesaan, agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan memperkuat produk173
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
tivitas dan daya saing. Upaya ini sekurang-kurangnya harus meliputi tiga aspek, yaitu pendidikan, kesehatan, dan gizi. Dalam hal pendidikan, dengan program wajib belajar enam tahun yang didukung oleh Inpres SD dan berbagai paket belajar, telah banyak kemajuan yang diperoleh. Upaya ini harus dilanjutkan, utamanya dengan meningkatkan wajib belajar menjadi sembilan tahun, serta meningkatkan mutu pendidikan dan pelatihan keterampilan di perdesaan. Di bidang kesehatan, sistem jaringan pelayanan kesehatan termasuk keluarga berencana telah tersusun dengan baik, yakni dengan tersedianya posyandu dan bidan desa yang menjangkau pelosok-pelosok desa sebagai basis pelayanan kesehatan di wilayah paling bawah dan langsung sehari-hari menangani pelayanan kesehatan masyarakat, didukung dengan jaringan puskesmas yang sekurang-kurangnya ada juga di setiap kecamatan, bahkan sebagian besar kecamatan telah memiliki lebih dari satu, diperkuat oleh puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling. Di atas itu ada rumah sakit kabupaten dengan pelayanan kesehatan yang terspesialisasi. Sistem yang telah tertata ini perlu ditingkatkan mutunya, serta keandalannya dengan memperbanyak jumlah dokter dan paramedik serta memenuhi kebutuhan akan obat-obatan dan peralatan kesehatan yang memadai. Upaya peningkatan kualitas gizi masyarakat terkait dengan pendapatan dan daya beli serta pemahaman masyarakat akan makanan yang sehat bergizi, yang harganya tidak mahal dan bahannya tersedia setempat. Oleh karena itu, upaya memperbaiki taraf kehidupan melalui pemberdayaan ekonomi amat erat kaitannya dengan peningkatan gizi masyarakat. Dengan demikian, diperlukan penyuluhan gizi dan makanan yang sehat kepada masyarakat perdesaan. Upaya ini harus dimulai dari saat yang dini untuk mempersiapkan generasi muda yang menjadi insan pembangunan masa depan. Dalam rangka ini program makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS) teramat penting nilainya. Program ini diharapkan akan menghasilkan kader-kader pembangunan yang sehat dan sadar akan pentingnya gizi dan makanan yang sehat. Melalui program ini, dikembangkan makanan dari hasil produksi setempat, sehingga juga akan memperkuat ekonomi perdesaan. Melalui program ini, dapat pula dikembangkan rasa cinta dan bangga akan produksi rakyat sendiri. Ketiga, pembangunan prasarana. Berbagai upaya di atas tidak cukup bermanfaat bagi masyarakat apabila mereka hidup terpencil atau tidak dapat memanfaatkan secara optimal sumber daya yang ada di wilayahnya. Untuk itu, diperlukan prasarana pendukung perdesaan yang memadai. Prasarana perhubungan teramat penting karena sangat menentukan kelancaran arus pemasaran hasil produksi setempat serta barang yang dibutuhkan masyarakat yang tidak dapat dihasilkannya sendiri. Tanpa prasarana perhubungan yang memadai, maka harga komoditas yang diproduksi setempat akan bernilai rendah karena biaya pengangkutan yang tinggi untuk sampai di pasar. Bahkan keadaan ini juga akan mengakibatkan menurunnya kualitas komoditi pertanian sejalan dengan bertambahnya waktu yang terbuang, sehingga menyebabkan harga makin rendah. Barang hasil industri yang dibutuhkan, pada saat tiba di desa, harganya menjadi lebih tinggi karena biaya transportasi yang lebih besar. Sebagai akibatnya, nilai tukar yang diterima petani di wilayah perdesaan akan makin memburuk. Oleh karena itu, pembangunan jaringan transportasi perdesaan haruslah diutamakan. Pembangunan jalan, mulai dari jalan arteri, kolektor, sampai ke jalan desa, harus mendapat prioritas untuk dibangun. Demikian pula moda transportasi lain untuk wilayah-wilayah yang amat terpencil dan berkepulauan, seperti angkutan laut dan angkutan udara. Agar wilayah perdesaan tidak tertinggal dari kehidupan modern dan bisa mengambil manfaat dari kemajuan umat manusia, arus informasi juga harus lancar diperoleh di perdesaan. Untuk itu, jaringan telekomunikasi dan penerangan harus menjangkau wilayah perdesaan.
174
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Berbeda dengan di kota, di wilayah perdesaan pembangunan prasarana masih harus menjadi tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah. Di kota, pembangunan prasarana harus lebih banyak diserahkan kepada swasta, tetapi, untuk wilayah perdesaan, tanggung jawab itu harus tetap berada pada pemerintah. Hal ini disebabkan produktivitas daerah perdesaan masih rendah dan investasi pembangunan prasarana tidak dengan cepat memberikan manfaat kepada penanam modal. Perkecualiannya adalah pada pembangunan prasarana yang dilakukan oleh usaha-usaha besar yang berlokasi di wilayah perdesaan seperti usaha perkebunan besar dan kehutanan, atau pertambangan. Perusahaan-perusahaan ini skala usahanya cukup besar, sehingga mampu dan harus membiayai sendiri kebutuhan prasarananya, yang harus dapat digunakan pula oleh seluruh masyarakat. Pada dasarnya dengan berbagai perkecualian tersebut, investasi swasta besar di wilayah perdesaan harus ditanggapi dengan hati-hati. Maksudnya adalah agar jangan sampai terjadi kesenjangan antara masyarakat perdesaan dan industri besar yang pemiliknya dan bahkan pekerjanya datang dari wilayah lain. Sedapat mungkin harus diusahakan bahwa kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan industri di perdesaan, dilakukan dan dimiliki sendiri oleh masyarakat perdesaan, atau sekurang-kurangnya masyarakat desa ikut memilikinya. Dengan demikian, kemajuan yang terjadi di wilayah perdesaan senantiasa identik dengan kemajuan masyarakatnya. Dalam pembangunan prasarana perdesaan, keikutsertaan masyarakat desa setempat harus diutamakan. Mengontrakkan pembangunan prasarana perdesaan, seperti jalan desa atau jembatan desa dan irigasi desa kepada kontraktor dari luar dirasa kurang tepat. Dengan mempercayakan pembangunan prasarana sederhana itu kepada masyarakat desa, akan diperoleh berbagai keuntungan, selain dimilikinya prasarana itu oleh masyarakat setempat. Pertama-tama, dengan mengefektifkan semangat gotong royong yang merupakan salah satu nilai yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, khususnya masyarakat perdesaan. Selanjutnya, dengan kegotongroyongan itu, dengan anggaran yang sama biasanya diperoleh hasil yang lebih besar. Dan akhirnya, masyarakat desa akan memperoleh nilai tambah dari pengetahuan dan pengalaman dalam membangun proyek-proyek itu. Dalam hal ini bimbingan teknis perlu diberikan oleh aparat teknis yang terdekat dengan masyarakat desa. Untuk itu, maka LKMD harus diperankan. Di sini kita berbicara mengenai penguatan kelembagaan desa. Keempat, untuk mendukung berbagai upaya di atas, pembangunan kelembagaan perdesaan teramat penting pula. Lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan desa perlu diperkuat agar pembangunan perdesaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemerintah desa dan masyarakat desa itu sendiri. Aparat desa harus mampu menampung aspirasi, menggali potensi,dan menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Peran lembaga kemasyarakatan desa seperti Lembaga Musyawarah Desa (LMD), dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kader Pembangunan Desa (KPD) dan lain-lain, perlu ditingkatkan agar masyarakat desa dapat lebih berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Salah satu lembaga ekonomi yang mampu memberikan kesempatan dan menumbuhkan prakarsa masyarakat di perdesaan untuk meningkatkan usaha sesuai dengan kebutuhan, serta sekaligus memberikan pelayanan yang bermanfaat bagi kesejahteraan mereka adalah koperasi. Koperasi harus diperkuat dan dibudayakan dalam kehidupan ekonomi perdesaan. Sebelum tiba pada koperasi, dapat dikembangkan kelompok-kelompok masyarakat sebagai badan-badan pra-koperasi seperti yang diterapkan dalam konsep program IDT. Pembangunan kelembagaan perdesaan ini perlu mendapat perhatian yang sangat khusus. Oleh karena itu, pada akhirnya di sini terletak kunci keberhasilan pembangunan perdesaan.
175
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pembangunan pertanian adalah pembangunan perdesaan Dari uraian di atas diharapkan pemahaman yang jelas mengenai pembangunan perdesaan yang menyangkut semua sektor dan harus dilaksanakan secara serempak dan terarah dan dalam program yang berdampak besar di semua sektor itu. Betapapun pentingnya peran sektor-sektor lain, usaha yang berkaitan dengan sektor pertanian tetap merupakan bidang usaha yang paling cocok dan paling serasi untuk wilayah perdesaan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian pada dasarnya harus dipandang sebagai pembangunan perdesaan. Betapapun pertanian Indonesia memasuki abad ke-21 tetap akan mempunyai peran yang penting dan strategis, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan menyerap angkatan kerja perdesaan yang jumlahnya masih cukup besar, menyediakan bahan baku bagi industri, menghasilkan atau menghemat devisa, dan dalam rangka memelihara swasembada pangan serta dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Perlu digarisbawahi kemantapan swasembada pangan karena hal ini berkaitan langsung dengan kemandirian ekonomi. Swasembada pangan menentukan bagi stabilitas ekonomi, dan pada gilirannya juga stabilitas sosial dan politik. Akan tetapi, pembangunan pertanian tidak dapat berhenti hanya pada usaha mengatasi persoalan pangan. Bahwa PJP II telah dinyatakan sebagai era menuju masyarakat industri tidak berarti sektor pertanian ditinggalkan. Sebaliknya industrialisasi yang kukuh harus didukung oleh ketersediaan sumber daya yang memadai dan merupakan modal pokok bagi pengembangan daya saing, yakni sumber daya manusia dan sumber daya alam, yang dalam sektor pertanian ketersediaannya sangat memadai. Bangsa Indonesia juga harus mengambil pelajaran dari pengalaman negara-negara lain. Uni Soviet adalah contoh suatu negara adikuasa yang telah mengirimkan orang menjelajah ruang angkasa, tetapi memberi prioritas rendah pada sektor pertanian, sehingga akhirnya mengalami kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok rakyat. Keadaan itu menyumbang pada keruntuhannya. Sebaliknya, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara maju di Eropa dan Australia, kemajuannya dan industrialisasinya bertumpu pada sektor pertanian yang kuat. Begitu juga Korea Selatan dan Taiwan, sebagai negara industri baru, meletakkan prioritas tinggi pada bidang pertaniannya. Hasil penelitian International Food Policy Research Institute57 menunjukkan bahwa apabila pendapatan petani meningkat, mereka membelanjakan uangnya untuk produk-produk nonpertanian dan meningkatkan kesempatan kerja di sektor lain, termasuk industri. Hasil studi ini menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan US$1.0 dalam output pertanian di negara berkembang, keseluruhan ekonomi akan tumbuh sebesar US$2.32. Pembangunan pertanian memang menghadapi berbagai masalah yang mendasar. Pertamatama, sistem pertanian yang berkembang sampai saat ini masih belum mendukung peningkatan daya saing. Sebagian besar petani Indonesia adalah petani gurem dengan luas rata-rata lahan yang dimiliki kurang dari 0,5 hektare bahkan sektor pertanian juga didominasi oleh usaha tani berskala kecil dengan rata-rata lahan seluas 0,9 hektare.58 Para petani atau pekerja di sektor 57
James L. Garrett, “Commentary: Agriculture Can Give A Helping Hand to Cities”, IFPRI Report Vol. 18, No. 2, June, 1996.
58
Meskipun Jonsson, Köll dan Petterson menunjukkan bahwa sesungguhnya “...small farm could be an efficient and equitable basis for agricultural development ...”. Pandangan ini yang disebut mereka “new orthodoxy” dikontraskan dengan apa yang disebut “old orthodoxy” yang berasumsi bahwa pertanian besar-besaran dengan mekanisasi merupakan prasyarat bagi modernisasi pertanian. Mereka mencontohkan Jepang, Korea, dan Taiwan (Ulf Jonsson, Anu-Mai Köl dan Ronny Petterson dalam Magnus Mörner dan Thommy Svensson (ed.), The Transformation of Rural Society in the Third World, London: Loutledge, 1991, hlm. 64).
176
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
ini pada umumnya berpendidikan rendah, yaitu sekitar 90 persen maksimal hanya tamat sekolah dasar. Sistem pertanian (agrarian system) Indonesia juga sangat bervariasi, mulai dari sistem yang masih subsisten, yang dicirikan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan bergantung pada hasil hutan, sampai pada sistem yang sudah sangat berorientasi pada pasar, seperti perusahaan pertanian yang ada pada perkebunan-perkebunan dan perusahaan pertanian besar. Dualisme ini sudah menjadi ciri sistem pertanian di Indonesia sejak zaman kolonial. Dengan variasi yang sangat besar ini tentunya tidak mudah untuk menyusun satu konsep mengenai struktur dan perubahan struktural yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan memberdayakan masyarakat petani serta sistem agrarisnya. Sistem dan pola hubungan ini, dengan karakteristik dan sifat-sifatnya sudah barang tentu harus diteliti secara mendalam dan menyeluruh dalam upaya mengarahkan proses transformasi agraris ke arah yang dikehendaki. Selain itu, struktur pertanian Indonesia masih mengandung unsur-unsur kelemahan yang mendasar dan melekat pada petani pada umumnya, yaitu lemahnya kemampuan dari masyarakat perdesaan dalam teknologi, informasi, dan permodalan serta insentif. Dalam hal ini ada satu masalah yang besar, yaitu harga produk yang dibeli acapkali terlalu mahal, sebaliknya harga yang diterima oleh petani sering kali terlalu rendah. Demikian pula sarana produksi dan kebutuhan petani lainnya yang harus dibayar oleh petani seringkali terlalu mahal. Kondisi tersebut yang tercermin pada rendahnya nilai tukar petani, di samping mengurangi insentif berproduksi, juga menjadi kendala peningkatan daya saing hasil pertanian. Ketimpangan tersebut terutama disebabkan oleh sistem tata niaga yang tidak terlalu efisien. Kondisi usaha pertanian serupa itu tentu tidak mendukung percepatan pengembangan pertanian apabila tidak dilakukan pembaharuan dalam struktur internal sektor pertanian yang disesuaikan dengan perkembangan sektor di sekitarnya. Sistem pertanian yang produktif dan efisien dengan komponen iptek dan manajemen yang andal memerlukan perubahan tradisi pertanian secara keseluruhan. Reformasi sistem pertanian dengan demikian merupakan suatu keharusan.
Pertanian dengan kebudayaan industrial Pertanian yang telah dibangun pada PJP I pada hakikatnya adalah pertanian yang sebagian besar bersifat adaptif terhadap lingkungan yang sudah siap. Padi dikembangkan karena sudah siap dengan sawah yang sudah menyatu dengan budaya masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Rehabilitasi perkebunan diadakan untuk meraih kembali (merevitalisasi) kemampuan ekspor yang memang sudah ada sejak zaman kolonial. Teknologi yang melandasi revolusi hijau pada dasarnya adalah teknologi yang pemakaiannya didasarkan atas kesiapan-kesiapan di atas. Hasilnya sudah jelas, yaitu produksi pangan khususnya padi meningkat pesat. Dapatkah pendekatan di atas terus digunakan untuk menjamin kebutuhan pangan dan komoditas pertanian di masa depan? Atau lebih jauh lagi untuk meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial? Dilihat dari ketersediaan sumber daya yang makin terbatas, tampaknya tidak mungkin untuk terus-menerus mengeksploitasi sumber daya dengan cara yang dipakai selama ini. Untuk mencapai swasembada pangan sampai akhir Repelita VI saja diperlukan tambahan luas panen padi yang diperkirakan lebih dari satu juta hektare. Dengan cara seperti sekarang, tampaknya produktivitas sektor pertanian ď&#x20AC;dan berarti pula masyarakat petaniď&#x20AC; akan tetap rendah, dan posisi tawar-menawarnya senantiasa rawan. Jawabannya mungkin adalah mengembangkan pertanian secara industrial.
177
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Sudah ada ancang-ancang ke arah itu karena keberhasilan pertanian selama PJP I tidak mungkin terjadi tanpa didukung oleh penguasaan teknologi budi daya. Dalam upaya membangun pertanian, di masa depan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan teknologi, selain dari teknologi budidaya tersebut, perlu ditingkatkan dan diperluas sebaran teknologinya. Dengan demikian, pada sekitar tahun 2020-an nanti sumber daya manusia dan iptek yang meningkat kualitasnya, jangkauannya, dan penerapannya, akan menjadi sumber daya utama untuk menjamin dan meningkatkan mutu proses produksi, mutu produk, kontinuitas suplai dan output, dan berkembangnya inovasi pertanian. Pembaharuan fungsi-fungsi pertanian itu, harus dikembangkan agar sesuai dengan proses pergeseran mendasar dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Pertanian yang dilandasi oleh profesionalisme dan kompetensi para pelakunya itu haruslah pertanian yang bernafaskan industri. Pengertian industri di sini tidak berarti mendirikan pabrikpabrik. Pengertian yang lebih fundamental adalah membangun sikap mental dan budaya sebagaimana yang hidup di masyarakat industri yang pada intinya mempunyai ciri-ciri berikut: (i)
pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan (bukan intuisi atau kebiasaan saja),
(ii) kemajuan teknologi merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan sumber daya, (iii) mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang dan jasa, (iv) efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya, dan karena itu hemat dalam penggunaan sumber daya, (v) mutu dan keunggulan merupakan orientasi, wacana (discourse), sekaligus tujuan, (vi) profesionalisme merupakan karakter yang menonjol dalam setiap karya yang dihasilkan, (vii) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam, sehingga setiap produk yang dihasilkan senantiasa sesuai dengan yang dikehendaki dalam mutu, jumlah, bentuk, rasa, dan sifat-sifat lainnya, dengan ketepatan waktu. Ciri-ciri tersebut pada gilirannya akan mendorong terwujudnya pranata dan sistem masyarakat yang dinamis sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Membangun pertanian yang berbasis industri adalah mengembangkan ciri-ciri tadi. Dasar suatu industri adalah rekayasa dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah setinggi mungkin. Dengan merekayasa dan menerapkan teknologi secara tepat, baik masukannya, prosesnya, maupun pengendalian kualitasnya, akan diperoleh produk yang tepat seperti yang dikehendaki dalam jenis, jumlah, kualitas, dan waktu. Sejak awal, produk serupa itu tentunya telah diperhitungkan sebagai kehendak pasar atau konsumen. Bahkan dengan teknologi industri yang digabungkan dengan teknologi pemasaran, dikembangkan produk-produk yang bukan hanya memenuhi pasar yang ada saja, tetapi juga membentuk pasar atau permintaan yang baru. Adaptasi teknologi yang berkembang dari pengalaman memproduksi dan pemantauan keinginan serta selera konsumen, membuat produk-produk industri menjadi fleksibel dan mudah disesuaikan.59 Produk-produk sudah makin terspesiali-
59
Pengalaman Korea, misalnya, menunjukkan hal itu dengan jelas. Seperti dikatakan Dr. Bon Ho Koo, Presiden dari Korea Development Institute, â&#x20AC;&#x153;Export activity enlarged technological capability by facilitating technology transfers and by stimulating efforts to develop new technology. Foreign buyers contributed to product innovation by demanding certain characteristics from exported product. The transfer of know-how from export buyers contributed to minor innovations in the manufacturing process, which led to gradual improvements that had great cumulative effects. Thus the drive to penetrate overseas markets stimulated forts leading to the gradual upgrading of product standardsâ&#x20AC;? (Socio cultural factors in the Industrialization of Korea, International Center for Economic Growth, 1992, hlm. 16).
178
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
sasi dan metode produksi tidak terikat lagi pada produksi massal yang harus menghasilkan barang yang seragam. Dalam proses itulah, industri memperoleh nilai tambah. Makin tepat hasilnya memenuhi keinginan konsumen, makin tinggi nilainya. Oleh karena itu, produktivitas dalam industri menjadi lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut, tanpa ada perubahan mendasar dalam sektor pertanian (business as usual), kesenjangan antara sektor industri dan pertanian akan makin melebar. Sektor pertanian seperti sekarang akan makin terpojok menjadi residu saja dari kegiatan ekonomi. Produktivitasnya akan tetap rendah dan akan senantiasa rawan terhadap fluktuasi pasar dan gangguan alam. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan industri dalam menangani pertanian secara industri. Mungkin ini bukan konsep yang terlalu baru karena perekayasaan sebagai inti industri juga telah diterapkan dalam bidang pertanian antara lain di negara-negara industri yang pertaniannya juga maju, seperti Jepang, Korea, Taiwan. Yang menjadi tema pembahasan ini adalah membuat kebudayaan industrial itu menjadi kebudayaannya pertanian di Indonesia.. Kebudayaan industrial bukan hanya monopoli sektor industri manufaktur, melainkan dapat diterapkan juga di sektor pertanian. Dengan sendirinya pengaruh alam masih tetap akan ada, tetapi dengan perekayasaan dan penanganan secara industri dampak perubahan karena alam sudah dapat sangat diminimalkan. Dengan pendekatan ini, maka kelemahan-kelemahan dalam sistem pertanian yang tradisional dapat diperbaiki. Produktivitas sektor pertanian dapat ditingkatkan, demikian pula harkat dan martabat para petaninya. Dengan demikian, maka era industrialisasi dalam PJP II bukan hanya eranya industri manufaktur, tetapi juga eranya pertanian yang ditangani secara industri. Dengan demikian, proses industrialisasi adalah juga proses transformasi yang berlangsung di sektor pertanian.60 Industrialisasi Perdesaan Proses transformasi budaya itu haruslah menjadi penggerak proses modernisasi masyarakat pertanian. Dan karena pertanian berada di wilayah perdesaan, proses tersebut juga menjadi wahana modernisasi perdesaan. Paradigma ini mempunyai sedikitnya tiga aspek. Pertama, kita memulai dengan mengutamakan manusia dan kelembagaan perdesaan tempat pertanian itu berada. Artinya, memulai dari akar permasalahannya, yaitu manusia sebagai pelaku dan sekaligus sebagai tujuan pembangunan, dan kelembagaan sebagai motor yang menggerakkan perilaku berbagai maujud (entities) sosial-ekonomi. Kedua, menggunakan desa sebagai wadah kegiatan akan memperluas wawasan kita dari sektor ke wilayah. Kegiatan sektoral memang penting, tetapi kegiatan sektoral yang lebih penting lagi adalah yang memberikan kontribusi sumbangan kepada wilayah dan langsung pada masyarakat, yaitu kehidupan masyarakat perdesaan yang sebagian besar adalah petani. Misalnya, dengan menggunakan desa sebagai basis, investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian dapat diarahkan secara terpadu.
60
Mengenai transformasi ini, Hettne, misalnya menyatakan â&#x20AC;&#x153;The transformation of traditional agriculture as well as the lack of it has always been a contested issue in the study of social change and economic development. â&#x20AC;&#x2DC;... Transformationâ&#x20AC;&#x2122; here means a complete change in a number of factors, such as organization of production, ownership of means of production, including land, labour control, technology, the choice of crops, links to the market, etc". (Hettne, BjĂśrn dalam Magnus MĂśrner dan Thommy Svensson (ed.), The Transformation of Rural Society in the Third World, 1991, hlm. 44).
179
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Ketiga, pendekatan kewilayahan itu akan memperjelas hubungan kota-desa yang harus berkembang secara serasi dan saling menunjang, seperti telah diutarakan di atas. Berdasarkan bahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertanian industri akhirnya sejalan dengan industrialisasi perdesaan dan keterkaitan sinergis antara desa dengan kota. Dengan industrialisasi perdesaan berkembang cakrawala baru pembangunan pertanian. Sumber peningkatan produktivitas perdesaan adalah investasi di sektor pertanian modern yang didukung oleh investasi di bidang sumber daya manusia seperti pendidikan dan pelatihan, sarana dan prasarana fisik serta prasarana iptek. Peningkatan produktivitas perdesaan melalui pembangunan pertanian industri itu akan makin didorong dengan tumbuhnya lembaga-lembaga perdesaan yang modern, tetapi tetap mengakar pada masyarakat perdesaan. Industrialisasi perdesaan juga merupakan poros utama dari proses modernisasi masyarakat perdesaan. Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan masyarakat desa diikuti oleh peningkatan investasi dalam pertanian modern beserta industri pengolahannya. Pengembangan kawasan andalan dengan basis perdesaan sebagai pusat pertumbuhan alternatif akan menjadikan perdesaan sebagai â&#x20AC;&#x153;kota-kota pertanianâ&#x20AC;?. Perkotaan pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi desa-kota yang diharapkan dapat mengurangi tumbuhnya zona ketidakstabilan masyarakat. Di samping nilai tambah akan meningkat (nilai tambah waktu, nilai tambah bentuk, dan nilai tambah tempat), industrialisasi perdesaan juga akan mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di perdesaan. Bahkan dapat menjadi pemacu daya tarik bagi tenaga terdidik untuk berkarya dan berkiprah di perdesaan. Dengan industrialisasi, desa akan memiliki posisi tawar-menawar yang lebih kuat, sehingga dapat memperkuat pula posisi nilai tukarnya. Industrialisasi perdesaan tidak berarti segala macam industri bisa berada di perdesaan. Industrialisasi perdesaan harus berpangkal pada keunggulan komparatif setempat, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Seperti diutarakan di atas, dalam proses industrialisasi ini harus dicegah terjadinya kesenjangan baru di perdesaan karena industri yang disamakan dengan pendatang. Oleh karena itu, industri perdesaan pertama-tama harus berakar pada masyarakat perdesaan sendiri, sekurang-kurangnya harus ikut dimiliki oleh masyarakat desa. Harus dicegah terjadinya alienasi antara industri dan masyarakat di perdesaan. Di pihak lain, keterkaitan industri di perdesaan dengan industri di perkotaan penting untuk diperhatikan dalam strategi industrialisasi. Dengan demikian, masalah pemasaran hasil industri perdesaan dapat lebih mudah teratasi. Teknologi perdesaan Industri perdesaan harus didukung oleh teknologi yang tepat dan sesuai dengan kondisi dan lingkungan budaya masyarakat setempat. Dalam rangka itu, mengembangkan teknologi untuk mendukung proses industrialisasi ini menjadi teramat penting. Teknologi harus diartikan sebagai cara yang lebih baik dan lebih efisien untuk suatu kegiatan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan daya serap masyarakat. Teknologi tidak harus yang serba baru yang belum terdapat dalam lingkungan masyarakat setempat, meskipun juga tidak harus selalu bersifat tradisional. Teknologi yang berdaya guna dan berkembang tumbuh adalah yang dapat diserap dengan mudah oleh budaya masyarakat dan dengan demikian menciptakan nilai tambah secara berkesinambungan. Banyak teknologi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat perdesaan, terutama yang diarahkan langsung untuk perbaikan dan meningkatkan kemampuan masyarakat perdesaan. Namun, tidak semua teknologi sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat perdesaan. Apa pun teknologi yang dipergunakan, pilihan utama diletakkan pada pemecahan masalah dalam pembangunan yang sesuai bagi masyarakat, serta dalam kerangka membangun kualitas manusia dan kualitas masyarakat perdesaan. 180
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Penerapan teknologi perdesaan pertama-tama harus diarahan pada peningkatan kemampuan dalam pengelolaan usaha pertanian masyarakat perdesaan untuk makin memperlancar keanekaragaman produksi, serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian. Untuk menjamin kesinambungan pembangunan pertanian, usaha penelitian dan pengembangan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani perlu diprioritaskan. Peran teknologi melalui berkembangnya industri manufaktur di perkotaan juga perlu mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya yang ada di perdesaan. Secara tidak langsung masyarakat perdesaan dan upaya produktifnya hendaknya dapat turut dalam proses itu, dengan memasok kebutuhan industri dan kehidupan perkotaan. Meskipun merupakan yang paling penting bagi pembangunan perdesaan, usaha pertanian bukanlah satu-satunya. Misalnya, potensi lainnya yang dapat dikembangkan adalah pariwisata pada daerah-daerah yang berpotensi dan dapat menjadi penggerak bagi perdesaan yang berada pada lingkungan potensi pariwisata tersebut. Selain itu, ada pula desa-desa yang basis utamanya bukan semata-mata pertanian tetapi pertambangan. Di sini pun perlu dikembangkan industri perdesaan dengan teknologi yang tepat agar masyarakat desa memperoleh manfaat langsung dari kegiatan pertambangan yang berlangsung di wilayah itu. Industri rakyat, seperti industri kerajinan juga berpotensi besar untuk dikembangkan, dengan teknologi yang tidak terlalu rumit. Dalam hal ini, acapkali permasalahan yang paling utama adalah pemasarannya. Untuk itu, seperti telah diuraikan di muka, sarana dan prasarana telekomunikasi dan transportasi harus berkembang memadai, sehingga arus informasi, barang dan jasa, serta manusia dapat berjalan dengan cepat dan lancar. Desa bukan lagi tempat yang terisolasi tapi menjadi tempat yang menarik untuk dihuni dan potensi ekonominya berkembang. Selain itu, penting juga untuk menghilangkan citra informal dari usaha ekonomi yang berlangsung di perdesaan.
Pendidikan, pelatihan, dan penelitian, serta penyuluhan Mengingat industrialisasi merupakan proses perubahan budaya dari budaya agraris menjadi budaya industri, maka yang mendasar perlu dikembangkan adalah nilai-nilai atau norma yang mencirikan masyarakat industri. Salah satu hal penting yang menjadi ciri masyarakat industri adalah bersenyawanya nilai-nilai iptek dalam kehidupan masyarakat. Persenyawaan budaya ini sangat ditentukan oleh tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat perdesaan pada umumnya. Dengan demikian, akselerasi pendidikan masyarakat perdesaan agar mampu secara efektif menyerap iptek menjadi hal yang sangat penting. Untuk itu, substansi dan metode pendidikan, termasuk penyuluhan pertanian kiranya perlu terus diperbaharui. Persoalan yang harus dicermati dalam mengembangkan budaya industri adalah bahwa di negara berkembang pada umumnya proses industrialisasi berbeda dengan yang terjadi di Barat. Di Barat, industrialisasi didahului oleh berkembangnya budaya iptek di masyarakat yang kemudian memunculkan revolusi industri. Sedangkan yang terjadi di dunia berkembang adalah iptek sudah tersedia tetapi masih bersifat eksternal terhadap kebudayaan masyarakat. Dengan demikian, tantangan utamanya di sini adalah, di samping bagaimana meningkatkan kemampuan iptek, juga bagaimana membangun kebudayaan iptek ini secepat mungkin. Industrialisasi memerlukan peningkatan mutu tenaga kerja yang tergambar dalam spesialisasi keahlian atau keterampilan. Dengan demikian, pelatihan tenaga kerja menjadi hal sangat penting pula. Dewasa ini berbagai bentuk pelatihan tenaga kerja berlangsung di kotakota. Untuk mendukung industrialisasi perdesaan diperlukan pula pelatihan-pelatihan tenaga kerja di perdesaan. Selain pemerintah, dunia usaha perlu didorong untuk turut serta dalam pelatihan ini dan sekaligus menyerap tenaga kerja yang dilatihnya dalam usaha pertanian di perdesaan. Ditemukannya teknologi baru, seperti bioteknologi, baik dalam proses produksi primer maupun dalam tahapan proses produksi selanjutnya dalam berbagai jenis komoditas memer181
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
lukan metode atau pola penyuluhan yang berbeda dengan yang bersifat tradisional. Berkembangnya secara pesat teknologi informasi baik yang melekat dalam proses produksi maupun dalam proses pemasaran serta persyaratan kualitas lingkungan hidup juga memerlukan pembaharuan dalam kelembagaan penyuluhan. Dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat perdesaan dan makin kuatnya dunia usaha dalam bidang pertanian, maka terbuka kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat petani dan dunia usaha untuk bekerja sama secara menguntungkan dalam penelitian pertanian.61 Artinya, perlu didorong pola kemitraan antara masyarakat serta dunia usaha dan lembagalembaga penelitian pertanian yang sudah mapan yang dewasa ini pada umumnya milik pemerintah, dan sebagian besar pangkalan ilmiahnya adalah perguruan-perguruan tinggi. Dengan demikian, peran perguruan-perguruan tinggi juga penting dalam modernisasi perdesaan.
Kelembagaan ekonomi desa Di atas telah dikemukakan pembangunan kelembagaan perdesaan sebagai bagian pokok dalam strategi pembangunan perdesaan. Antara lain disebutkan bahwa peran koperasi dan lembaga kooperatif lainnya di tingkat perdesaan yang perlu dikembangkan untuk mendorong pengembangan potensi masyarakat perdesaan dengan upaya bersama. Selain itu, teramat penting pula membangun lembaga permodalan perdesaan. Untuk menunjang pembangunan perdesaan perlu upaya mengembangkan kelembagaan yang dapat mendorong aliran modal ke perdesaan dan mengelolanya untuk mengembangkan potensi pertanian perdesaan. Hal ini sangat penting mengingat dewasa ini arus modal mengalir lebih kuat dari desa ke kota daripada sebaliknya. Pertanian bernafaskan industri, atau industri pertanian, berbeda dengan pertanian tradisional yang belum begitu memperhatikan modal sebagai faktor produksi utama. Pada pertanian industri justru tekanannya adalah pada faktor modal, selain iptek, yang menggeser faktor tenaga kerja dan tanah sebagai faktor produksi utama. Kelembagaan ekonomi yang teramat penting pula adalah pasar. Dalam bidang pertanian, pasar yang monopsonistis atau oligopsonistis pada umumnya merupakan ciri pasar produk komoditas pertanian. Kekuatan penguasaan pasar yang demikian akan menekan harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya, dominasi serupa itu juga akan meningkatkan harga yang dibayar konsumen. Dengan demikian, petani sebagai penghasil produk primer menghadapi struktur pasar yang menekan posisinya, dan pada saat yang bersamaan konsumen juga harus membayar harga yang lebih tinggi. Keadaan ini perlu dipecahkan dalam membangun kehidupan pertanian dan perdesaan. Penyempurnaan dan pembaharuan tata niaga yang tidak merugikan para petani harus merupakan agenda yang penting dalam pembangunan pertanian. Dalam hal ini peran pemerintah besar. Bukan hanya pasar domestik yang harus ditata agar tidak bias terhadap pertanian, tetapi juga keterkaitan dengan pasar internasional harus dikembangkan. Hal ini penting karena dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan, pada akhirnya tidak ada lagi pembatasan antara pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Yang ada nantinya hanyalah pasar. Salah satu faktor keberhasilan Thailand adalah orientasi ekspor komoditas pertaniannya yang telah membangkitkan sistem insentif yang kuat untuk mendorong alokasi sumber daya secara efisien dan terbentuknya lembaga-lembaga pemasaran yang juga efisien serta dinamis dalam mengikuti perkembangan pasar.
61
Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi dalam bidang iptek pertanian memberikan rate of return sekitar 30 sampai 50 persen dan bahkan untuk beberapa komoditas mencapai hampir 100 persen (Ruttan, V.W. 1995 dalam IFPRI Report Vol. 17, No. 2, June, 1995).
182
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Makin disadari bahwa perdagangan adalah landasan yang efisien dalam mengalokasikan sumber daya, dengan melihat potensi pasar secara keseluruhan. Dengan memulai dari sisi perdagangan, khususnya ekspor-impor, dapat juga secara lugas ditempatkan posisi pertanian dalam konteks kemandirian dan daya saing sekaligus. Dengan demikian, maka orientasi pertanian akan makin mengarah kepada kecenderungan pasar, dan tidak lagi kepada memproduksi komoditas tertentu yang menjadi tradisi. Dengan berbagai latar belakang pemikiran itulah, perlu diletakkan upaya pembangunan perdesaan. Sasaran pokok pembangunan perdesaan adalah terciptanya kondisi ekonomi rakyat di perdesaan yang kukuh, mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan, sehingga terwujud masyarakat perdesaan yang sejahtera.
5. Penataan Ruang Penataan ruang merupakan perangkat kebijaksanaan pembangunan yang strategis, baik secara nasional maupun pada tingkat daerah. Dalam topik ini, penataan ruang akan dibahas, khususnya dalam konteks pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
Upaya Penataan Ruang Upaya penataan ruang di Indonesia telah dimulai sejak Repelita I dalam berbagai bentuknya, yaitu dalam penyusunan rencana garis besar kota dan rencana induk kota, wilayah pusat pertumbuhan industri, kawasan industri, tata guna hutan kesepakatan, dan sebagainya. Dalam upaya tersebut telah digunakan berbagai kriteria baik sektoral maupun regional. Dengan berbagai kriteria tersebut telah dibuat bermacam rencana tata ruang, misalnya 58 Rencana Garis Besar Kota, 9 Rencana Induk Kota, Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), Kawasan Pengembangan Jakarta - Bogor - Tangerang - Bekasi (Jabotabek) dan Gresik - Bangkalan - Mojokerto - Surabaya - Sidoarjo - Lamongan (Gerbangkertasusila), Kawasan Batam, Kawasan Hutan Lindung seluas 30 juta hektare, Kawasan Hutan Konservasi Alam seluas 19 juta hektare, dan sebagainya. Semua upaya tersebut pada umumnya bersifat penetapan zona fisik pemanfaatan ruang untuk berbagai keperluan usaha. Sementara itu, penduduk terus bertambah dan berpindah mengikuti kegiatan ekonomi dan sosial yang membentuk tata ruangnya sendiri menurut kepentingannya masing-masing. Maka berkembanglah perkampungan di lereng yang terjal, di tengah hutan alam, di sekitar hutan mangrove dan terumbu karang, dan di seputar kota. Berkembang pula kawasan industri dan perumahan di tengah-tengah persawahan yang subur, di atas situs purbakala, dan di sepanjang tepi jalan, dan bantaran sungai serta sempadan pantai. Kegiatan pembangunan dan gerakan masyarakat yang makin dinamis menimbulkan konflik penggunaan lahan yang makin rumit dan sukar diatasi, sehingga membangkitkan berbagai masalah sosial dan budaya. Konflik pemanfaatan ruang telah memicu keresahan sosial, misalnya di Bopunjur, di Bandung Utara, di Bekasi, dan di Kedung Ombo. Namun, harus diakui pula bahwa pembangunan oleh masyarakat juga telah menghasilkan pemanfaatan ruang yang lebih bermutu, ditinjau baik dari segi nilai tambah maupun lapangan kerja, seperti kawasan perkebunan yang produktif, kawasan industri yang maju, kawasan perumahan yang baik, dan kota yang rapih, dan produktif. Berbagai sektor itu membangun di dalam ruang yang sama dan masing-masing menurut peraturan perundangan sektornya. Karena acapkali tidak ada keserasian, maka di lapangan sering terjadi konflik yang makin lama makin tajam antara berbagai kepentingan. Konflik pemanfaatan ruang, yang menyebabkan tidak efisiennya pemanfaatan ruang, telah merangsang upaya untuk menyatukan sistem pengelolaan ruang nasional yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas ruang, meningkatkan keserasian antara pemanfaatan ruang dan fungsi lingkungan hidup, meningkatkan keselarasan perkembangan antarkawasan, mempercepat perkembangan kawasan tertinggal dan meningkatkan pemerataan pembangunan antardaerah 183
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
dan kawasan, memperkuat kesatuan dan persatuan nasional, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Dalam semangat itulah, sejak tahun 1992 diberlakukan Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang dirancang untuk memadukan berbagai pengaturan penataan ruang yang bersifat sektoral menjadi suatu kesatuan yang saling berkait dan memberi tempat bagi keperluan semua sektor dan semua orang serta memelihara fungsi lingkungan hidup. Dalam Undang-undang No. 24 tentang Penataan Ruang dirumuskan kawasan budi daya dan kawasan lindung, serta ketentuan-ketentuan perencanaan dan penggunaan ruang yang lebih maju tidak hanya dari aspek fisik ruang, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan nasional.62 Masalah Pemanfaatan Ruang dalam PJP II PJP II merupakan periode lepas landas yang merupakan proses yang berkesinambungan dengan segala hasilnya selama PJP I. Selama PJP II, diupayakan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik ditinjau dari segi pendapatan, pemerataan, penciptaan lapangan kerja, kualitas penduduk, maupun pertumbuhan ekonomi. Kemajuan yang akan dihasilkan itu akan mempunyai dampak terhadap pemanfaatan ruang. Untuk mengantisipasinya, haruslah dikembangkan pola penataan ruang yang memungkinkan tercapainya sasaran-sasaran pokok pembangunan tersebut dengan sebaik-baiknya. Selama PJP II Indonesia akan mengalami transformasi sosial ekonomi yang cukup mendasar. Juga akan terjadi proses perubahan yang cepat dalam masyarakat, menuju masyarakat modern. Keterkaitannya dengan penataan ruang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, Indonesia sedang mengalami masa transformasi ekonomi dan demografi, yang mengarah kepada kehidupan di perkotaan. Jumlah penduduk pada akhir PJP II diperkirakan akan mencapai sekitar 260 juta orang dengan asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk dapat diturunkan dari 1,7 persen pada tahun 1992 menjadi kurang dari 0,9 persen pada akhir PJP II. Penduduk perkotaan akan berjumlah sekitar 155 juta, atau hampir 60 persen dari jumlah penduduk. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat laju pertumbuhan penduduk perkotaan tertinggi di dunia. Di daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang pesat seperti daerah perkotaan, konflik pemanfaatan ruang akan makin banyak. Masalah itu bukan hanya masalah pemanfaatan tanah permukaan seperti yang telah kita ketahui, tetapi akan merebak dan meluas ke pemanfaatan ruang di bawah tanah dan udara di atasnya. Pembangunan jalan kereta di bawah tanah (subway) dan jalan kereta layang (skyway) akan memerlukan pengaturan pemanfaatan ruang yang lebih canggih. Sementara itu, daerah perdesaan juga terus berkembang. Dengan adanya pembangunan sumber daya manusia, perdesaan akan meningkat kualitasnya, demikian pula produktivitasnya. Jumlah warga masyarakat yang bekerja di sektor pertanian akan berkurang. Industri di
62
Semua bentuk penataan ruang tersebut merupakan hasil penjabaran dari berbagai peraturan perundangan seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, dan Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Khusus untuk penataan ruang daerah perkotaan, berlaku pula berbagai peraturan perundangan tentang penataan kota seperti Stadsvorming ordonantie atau SVO (Staatsblad 1948 No. 168), Stadsvorming verordening atau SVV (Staatsblad 1949 No. 40), dan ruimtellijke ordening tahun 1951. Di samping itu, berbagai peraturan perundangan di bidang perikanan laut, pertambangan, perhubungan, dan sebagainya telah memberikan kontribusi dalam berbagai bentukan pemanfaatan ruang yang kita lihat sekarang ini.
184
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
perdesaan yang umumnya adalah agroindustri juga berkembang, sehingga nilai tambah yang dinikmati masyarakat perdesaan meningkat. Demikian pula pendapatannya. Daerah perdesaan yang semula merupakan daerah pertanian yang subur penghasil bahan makanan bagi seluruh masyarakat, mulai digunakan pula untuk menampung kegiatan-kegiatan industri dan pembangunan perumahan untuk orang yang bekerja di kota-kota. Konflik antara pemanfaatan ruang untuk sawah beririgasi teknis dengan pemanfaatan ruang yang sama untuk industri dan perumahan makin tajam di daerah sekitar perkotaan dan di seluruh Jawa dan Bali. Masalah konversi lahan sawah beririgasi teknis menjadi lahan nonpertanian tersebut amat nyata di Pulau Jawa yang menghasilkan 60 persen dari seluruh produksi beras di Indonesia dan berpenduduk sekitar 60 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Ditinjau dari segi nilai tambah pemanfaatan ruang, masyarakat memilih menggunakan ruang tersebut untuk kegiatan yang menghasilkan nilai tambah yang besar dan cepat, dan untuk itu mengkonversi sawah menjadi kawasan industri dan permukiman. Namun, dilihat dari segi keamanan penyediaan bahan makanan utama beras, ditambah lagi dengan pertimbangan investasi yang telah ditanamkan yang acapkali dengan mempergunakan dana pinjaman luar negeri, pemerintah dan masyarakat luas memilih mempertahankan lahan sawah beririgasi teknis dan mengarahkan kegiatan nonteknis keluar dari daerah persawahan. Dalam proses transformasi itu, harus dijaga agar daya dukung alam dan lingkungan dapat senantiasa menunjang kehidupan dan pembangunan yang berkesinambungan. Sumber daya alam akan makin terbatas, padahal kebutuhannya akan terus meningkat, misalnya tanah, air, dan energi. Karena itu, aspek lingkungan dan keterbatasan sumber daya alam harus diperhitungkan secara cermat dalam proses industrialisasi yang sekarang sedang terjadi. Masalah penataan ruang di bawah permukaan bumi, di angkasa dan di lautan masih belum banyak diketahui meskipun sudah banyak masalah yang timbul. Konflik dalam pemanfaatan laut (a body of seawater) dari segi perikanan laut sudah marak terutama di perairan pantai. Di banyak tempat seperti Selat Malaka, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Makassar, dan Laut Banda, konflik pemanfaatan ruang laut telah menimbulkan bentrokan fisik antarnelayan, dan antara nelayan tradisional dan nelayan modern. Konflik internasional dapat pula terjadi di sebelah utara Natuna, Laut Cina Selatan, dan Celah Timor. Di samping itu, penangkapan ikan yang kurang bertanggung jawab, seperti dengan menggunakan dinamit, telah mengganggu bahkan merusak ekosistem kelautan. Terumbu karang, taman-taman laut yang indah yang merupakan potensi pariwisata, terancam dengan kerusakan yang sulit diperbaiki. Berbicara mengenai perencanaan tata ruang, kita tidak dapat hanya berbicara mengenai perencanaan fisik, tetapi juga harus memperhatikan sisi sosial dan budaya karena perencanaan tidak dilakukan dalam ruang hampa. Dalam pembangunan perkotaan, aspek sosial budaya dan sosial politik, misalnya, berperan amat besar dan mempengaruhi kegiatan dan proses perencanaan fisik. Oleh karena itu, harus diupayakan memadukan secara serasi semua aspek itu dalam suatu pola perencanaan yang utuh. Dalam rangka ini, sungguh teramat penting peran penataan ruang, yang menampung semua aspek kehidupan masyarakat, dalam mengatur pemanfaatan ruang itu bagi kehidupan dan kegiatan ekonomi, yang mendukung keberlanjutan pembangunan karena penggunaan ruang yang efisien dan efektif dan menjamin tersedianya daya dukung alam yang lestari. Kedua, proses transformasi dalam PJP II berjalan dalam lingkungan dunia yang juga sedang mengalami proses perubahan dalam globalisasi. Proses perubahan ini dipacu oleh perkembangan teknologi yang pesat, terutama di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi. Dewasa ini sedang terjadi proses transformasi struktural dalam sistem perekonomian dunia dengan arus yang kuat menuju ke arah makin bebasnya aliran sumber daya, melalui investasi dan perdagangan, serta persebaran teknologi. Produksi sudah makin mengglobal seperti juga modal dan teknologi. Perubahan-perubahan yang cepat terjadi dalam teknologi menyebabkan produk, baik barang maupun jasa, menjadi cepat usang. Dengan makin meningkatnya tuntutan akan 185
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
kualitas hidup, produk yang digunakan manusia makin terspesialisasi, dan produksi massal dengan biaya yang murah, secara bertahap digantikan oleh produk-produk yang berkualitas, yang dimungkinkan oleh tingkat kemakmuran yang makin tinggi. Teknologi juga memungkinkan produk yang berkualitas dihasilkan dengan biaya yang lebih murah. Dalam keadaan tersebut, batasan ruang secara fisik dalam suatu negara menjadi kurang berarti. Kemajuan yang telah dicapai, terutama sebagai hasil penerapan teknologi, telah berdampak pada pemanfaatan ruang secara umum. Hal ini dapat dilihat dari makin tersebarnya kegiatan-kegiatan perkotaan karena telah didukung oleh teknologi komunikasi dan transportasi. Kegiatan-kegiatan tersebut berkembang menjadi kegiatan â&#x20AC;&#x153;tanpa pijakanâ&#x20AC;? (footloose), yang dapat berlokasi di mana saja. Atau, dengan kemajuan teknologi, penduduk tidak perlu melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya karena berbagai kegiatan dapat dilakukan melalui komunikasi jarak jauh, seperti yang terjadi di California, tempat orang telah mulai bekerja di rumah dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih. Perkembangan serupa ini dapat mendorong proses desentralisasi yang selanjutnya akan mempengaruhi alokasi kegiatan ekonomi dalam ruang. Para pengelola pembangunan yang akan menggunakan ruang, haruslah memiliki wawasan global ini, sehingga hasil pembangunan dan pemanfaatan ruang mempunyai daur hidup yang panjang. Ketiga, sektor swasta akan berperan makin besar dalam kegiatan pembangunan. Selama ini swasta sudah menyediakan 70 persen dari seluruh investasi. Kecenderungan ini akan terus berlanjut. Banyak kegiatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah telah dilaksanakan oleh swasta. Misalnya, di bidang prasarana, swasta telah membangun jalan tol dan jaringan telekomunikasi, jaringan kelistrikan, pelabuhan, bandar udara, kereta api, air bersih, rumah sakit dan sekolah-sekolah, terutama di daerah-daerah yang tinggi tingkat pertumbuhan dan taraf pendapatannya. Swasta akan berperan lebih besar dalam memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang baik. Dengan demikian, pemerintah dapat lebih memberikan perhatian ke wilayah-wilayah yang tertinggal dan membangun jaringan prasarana yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dan tidak ekonomis dilakukan swasta. Peran swasta dalam pemanfaatan ruang akan menjadi amat dominan, dan apabila pengelolaan pembangunan kurang waspada akan terbawa oleh kepentingan swasta yang pada umumnya kurang responsif terhadap kebutuhan golongan masyarakat yang lemah. Keempat, proses desentralisasi dalam rangka menegakkan otonomi daerah. Indonesia adalah negara yang besar, baik luas wilayahnya maupun jumlah penduduknya. Seperti telah diuraikan pada topik sebelum ini, pengelolaan pemerintah secara terpusat tidak praktis dan tidak mungkin dilakukan secara efisien dan efektif. Masyarakat Indonesia juga sangat beraneka ragam, baik kebudayaannya maupun kehidupan sosial ekonominya. Oleh karena itu, diupayakan untuk mengembangkan otonomi daerah yang titik beratnya pada dati II. Dengan otonomi daerah, diharapkan juga untuk dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat yang makin aktif dengan merangsang prakarsanya dalam penataan ruang daerahnya. Desentralisasi, selain memberikan hak kepada daerah juga membawa kewajiban. Kedua aspek ini harus dapat diserasikan, dan untuk itu, secara sungguh-sungguh harus dikenali seluruh potensi dan sumber daya yang ada di daerah, disertai peluang-peluang dan kendala-kendala dalam pengembangannya. Kemampuan memanfaatkan potensi daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah amat penting dalam mengefektifkan desentralisasi bagi kepentingan daerah dan masyarakatnya, terutama dalam meningkatkan kualitas ruang yang dikuasainya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kelima, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan kehidupan bangsa akan makin meningkat. Masyarakat Indonesia akan makin terbuka, makin berpendidikan dan makin tinggi kesadarannya. Dengan demikian, juga makin tanggap dan kritis terhadap segala hal yang menyangkut kehidupannya. Dalam masyarakat yang makin maju dan makin modern, rakyat 186
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
tidak puas dengan hanya mendengarkan dan melaksanakan petunjuk, tetapi ingin turut menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, upaya pembangunan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh apa kehendak rakyat, bahkan harus merangsang masyarakat untuk ikut memikirkan masalah-masalah pembangunan yang dihadapi dan turut memecahkannya. Partisipasi masyarakat yang aktif, akan lebih menumbuhkan potensi daerah, sehingga dapat mempercepat proses pertumbuhan di daerah. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat yang meningkat juga dibutuhkan dalam pembangunan agar pembangunan dapat memberikan hasil yang seluas-luasnya dan seoptimalnya. Upaya meningkatkan peran serta masyarakat itu perlu dibarengi pula dengan peningkatan efisiensi dan produktivitasnya. Dalam menyusun rencana dan program penataan ruang, kesadaran masyarakat perlu digugah dan prakarsa serta partisipasinya perlu didorong dan dikembangkan. Pemahaman mengenai penataan ruang serta perlunya menata ruang merupakan hal yang penting bagi masyarakat dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang. Apabila mereka memahaminya, maka mereka lebih mudah berpartisipasi dalam pengendaliannya. Keenam, pembangunan yang berkelanjutan. Pola pembangunan berkelanjutan harus dikembangkan, karena akan menjamin biaya sosial yang rendah, menjamin manfaat yang maksimal dan berkelanjutan, menjamin estafet pembangunan yang makin beranekaragam, secara terus-menerus. Ada dua persyaratan yang secara umum dapat disebutkan, yaitu (1) kesesuaian sosial budaya dan sosial ekonomi, dan (2) kesesuaian ekologis. Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu memeliharanya. Pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekologis akan mengikuti kecenderungan siklus alamiah dan akan mendapat hambatan minimum secara alamiah, sehingga mudah dan murah memeliharanya serta meningkatkan kemampuan ekosistem untuk mengadopsinya sebagai bagiannya yang terpisahkan. Pengalaman memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya ekosistem itu mampu memelihara dirinya sendiri asal tidak dirusak oleh manusia sendiri, begitu juga dengan sistem sosial ekonomi. Untuk menjawab tantangan-tantangan dan memecahkan masalah-masalah tersebut di atas, diperlukan suatu konsep penataan ruang yang menjamin keberlanjutan serta mengacu kepada pemberdayaan masyarakat.
Konsepsi Penataan Ruang Bila ditelusuri secara teoretis, salah satu faktor yang menentukan perilaku ekonomi individual ď&#x20AC;yang terwujud antara lain dalam pemilihan lokasi kegiatan melalui mekanisme pasarď&#x20AC; adalah asas manfaat yang mengacu pada gagasan bahwa peruntukkan sumber daya lahan harus mengarah pada penggunaan yang sebaik mungkin, yang berpusat pada kepentingan manusia. Oleh karena itu, bentuk pola tata guna lahan yang bertentangan dengan kepentingan pemeliharaan keserasian dengan alam, seperti pengorbanan lingkungan hidup yang merugikan aspek fisik biologis pada gilirannya juga akan merugikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka pemikiran yang berasaskan manfaat tersebut, efisiensi merupakan landasan dasar tujuan alokasi lahan yang dilakukan melalui mekanisme pasar. Bahkan menurut Johnson (1976) banyak negara berkembang mengabaikan konsekuensi spasial dalam kegiatan investasi yang dilakukan. Menurutnya, tujuan utama dari perencanaan adalah meningkatkan jumlah investasi yang ditujukan untuk sektor-sektor produktif dalam suatu negara. Akan tetapi, hal itu tidak hanya cukup diwujudkan dengan mengalokasikan investasi pada sektor-sektor dimaksud ataupun dengan mendistribusikan pendanaan untuk infrastruktur. Hal yang lebih penting lagi adalah mempertimbangkan secara cermat lokasi geografis tempat investasi tersebut akan dikembangkan. Strategi penataan ruang harus berupa rumusan yang lebih daripada sekadar komponen dari keseluruhan strategi dalam pembangunan ekonomi.
187
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, dan bersamaan dengan makin memburuknya kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong perencana dan pembuat keputusan mencari pendekatan baru dan untuk penataan ruang, seperti melalui pengembangan kota-kota baru, dan mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang yang sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (Rondinelli, 1976). Berry (1973) mengidentifikasikan empat model dalam perencanaan perkotaan yang prinsip-prinsipnya dapat pula diterapkan dalam perencanaan secara umum, yaitu ameliorativeproblem-solving form, allocative trend-modifying, exploitive opportunity-seeking dan normative goal-oriented planning. Yang banyak ditemui adalah model ameliorative problem-solving form, yang disusun berdasarkan permasalahan yang ada serta cenderung hanya berorientasi pada jangka pendek. Allocative trend-modifying lebih berorientasi pada masa depan dan disusun berdasarkan kecenderungan saat ini untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang muncul pada masa yang akan datang. Model exploitive opportunity-seeking sama sekali tidak mengidentifikasipermasalahan pada masa mendatang, tetapi langsung melihat peluang-peluang baru yang muncul. Dalam model ini, baik masyarakat maupun swasta menjadi pelaku utama dalam sektor-sektor ekonomi, selain itu pendekatan ini cenderung bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan dengan sedikit sekali memperhatikan masa depan. Adapun model normative goal-oriented planning cenderung berorientasi pada masa depan dan mengidentifikasi tujuan-tujuan jangka panjang yang ditetapkan oleh negara. Pada kenyataannya, kebijaksanaan perencanaan yang diterapkan di hampir semua negara merupakan penggabungan dari model-model tersebut. Normative model kemungkinan digunakan pada negara-negara yang cenderung menerapkan sentralisasi. Dasar-dasar itulah yang menjadi landasan bagi perumusan mengenai penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan, yang tidak terlepas dari pekembangan kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan fokus pada kepentingan masyarakat luas dan bukan pada kepentingan investor besar semata.
Pengertian Penataan Ruang Pada dasarnya, penataan ruang bertujuan agar pemafaatan ruang yang berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budi daya dapat terlaksana, dan pemanfaatan ruang yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya. Penataan ruang secara umum memiliki pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan, pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus terkait satu sama lain. Jadi di dalam penataan ruang terkandung berbagai pengertian mengenai tata ruang yang komprehensif. Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Tata ruang pada hakikatnya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisatoris/fungsional antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu (Rapoport, 1980). Di dalam tata ruang tercakup distribusi tindakan manusia dan kegiatannya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dirumuskan sebelumnya. Tata ruang dalam hal ini, menurut Wetzling (1978), merupakan jabaran dari suatu produk perencanaan fisik. Dengan perkataan lain, tinjauan pengertian struktur ruang harus tetap mengacu kepada suatu wawasan yang lebih luas. 188
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Konsep tata ruang ini, menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut suatu wawasan yang disebut sebagai wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977). Berdasarkan konsepsi penataan ruang tersebut, maka di dalam Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan secara lebih spesifik bahwa penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana, dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antarlingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu mendasarkan pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, memelihara lingkungan hidup dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanan keamanan.
Komponen Penataan Ruang Struktur ruang pada hakikatnya merupakan hasil dari suatu proses yang mengalokasikan objek-objek fisik dan aktivitas ke suatu kawasan di suatu wilayah. Wawasan sistem tata ruang ini berdasarkan pada kerangka konseptual yang diformulasikan oleh beberapa pakar seperti Kevin Lynch dan Llyod Rodwin (1958), Donald Foley (1964), Stuart Chapin (1965), Melvin M. Webber (1967), dan Peter Hall (1970) yang semuanya menekankan adanya kaitan antara tiga proses yang saling bergantung. Pertama, proses yang mengalokasikan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan fungsional tertentu. Kedua, proses pengadaan atau ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang bagi aktivitas seperti untuk tempat bekerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi. Proses ini, yakni pengadaan bangunan jalan, prasarana umum dan sebagainya, akan merupakan faktor pendukung bagi proses pengalokasian aktivitas yang disebut pada pertama. Dalam hal ini, proses pengalokasian aktivitas akan ditentukan oleh ketersediaan sumber daya alam dan buatan, serta kondisi fisik di wilayah tersebut. Ketiga, dalam proses pengadaan dan pengalokasian tatanan ruang, kaitan antara bagian-bagian permukaan bumi, tempat berbagai aktivitas dilakukan dengan bagian atas ruang (angkasa) serta ke bagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya perlu dilihat dalam wawasan yang integratif. Jadi berfungsinya suatu tatanan ruang akan sangat ditentukan oleh komponen-komponen pembentuknya yang merupakan perwujudan tatanan aktivitas. Dengan kata lain, penataan ruang merupakan proses pengalokasian aktivitas atau kegiatan yang pada dasarnya merupakan penjabaran perkembangan ekonomi dan sosial. Hierarki Penataan Ruang Langkah awal penataan ruang adalah penyusunan rencana tata ruang. Rencana tata ruang diperlukan untuk mewujudkan tata ruang yang memungkinkan semua kepentingan manusia dapat terpenuhi secara optimal. Rencana tata ruang, oleh sebab itu, merupakan bagian yang penting dalam proses pembangunan, bahkan merupakan persyaratan untuk dilaksanakannya pembangunan, baik bagi daerah-daerah yang sudah tinggi intensitas kegiatannya maupun bagi daerah-daerah yang baru mulai tumbuh dan berkembang. Rencana tata ruang diperlukan mulai dari tingkat nasional, propinsi dan kabupaten sampai ke tingkat kawasan, sesuai dengan kebutuhannya.
189
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pada tingkat nasional, diperlukan arahan-arahan yang strategis dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW Nasional) ini merupakan penjabaran secara keruangan arah pembangunan nasional jangka panjang dan merupakan acuan dalam penyusunan program-program pembangunan nasional jangka menengah dan jangka pendek. RTRW Nasional juga merupakan kebijaksanaan pemerintah yang menetapkan rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang dilindungi, kawasan budi daya dan, kawasan lainnya. Pada wilayah daerah tingkat I, diperlukan rencana struktur tata ruang yang merupakan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang untuk daerah tingkat I (rencana tata ruang wilayah propinsi dati I). RTRW propinsi dati I merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah propinsi dati I. RTRW propinsi dati I adalah kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan dan wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang. Kebijaksanaan itu meliputi kebijaksanaan-kebijaksanaan pengelolaan kawasan lindung, pengelolaan dan pengembangan kawasan budi daya yang meliputi arahan pengembangan kawasan-kawasan budi daya, sistem pusat-pusat permukiman perdesaan dan perkotaan, sistem prasarana wilayah, dan kebijaksanaan untuk pengembangan wilayah-wilayah yang diprioritaskan. RTRW propinsi dati I ini perlu dilengkapi dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan pendukung agar dapat dioperasionalkan, antara lain kebijaksanaan penggunaan tanah, prosedur perijinan dan lain-lain. Aspek pengelolaan ini penting karena tanpa ada arahan yang jelas, rencana tata ruang akan tetap menjadi rencana. Di antara propinsi-propinsi sepulau juga perlu disusun rencana tata ruang pulau, seperti untuk Pulau Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di KTI yang maksudnya adalah untuk mengintegrasikan rencana pemanfaatan ruang secara fungsional terutama di kawasan yang berbatasan, misalnya antara lain sistem jaringan jalan, kawasan lindung, dan kawasan budi daya. Pada wilayah daerah tingkat II, dikenal rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota madya dati II yang merupakan penjabaran RTRW propinsi dati I ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota madya dati II. RTRW kabupaten/kota madya dati II adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan. Unsur-unsur RTRW kabupaten/kota madya dati II sama dengan yang ada pada wilayah daerah tingkat I, dengan tingkat kedalaman yang lebih besar. Pemanfaatan ruang yang dikehendaki sudah lebih jelas batas-batasnya. Selain itu, sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan dan pengelolaan lingkungan, penatagunaan air, penatagunaan tanah, penatagunaan udara, juga sudah lebih terperinci dan merupakan satu kesatuan dalam RTRW kabupaten/kota madya dati II. Selanjutnya, pada kawasan-kawasan di bawah wilayah daerah tingkat II serta kawasankawasan yang diprioritaskan pembangunannya, diperlukan rencana detail tata ruang. Kawasan-kawasan tersebut antara lain kawasan permukiman (kota dan desa), kawasan industri, kawasan pertambangan, dan kawasan wisata. Rencana detail ini dipergunakan antara lain sebagai acuan untuk menerbitkan izin mendirikan bangunan. Rencana bagi kawasan-kawasan tertentu disusun, baik pada tataran nasional, propinsi dati I maupun kabupaten/kota madya dati II, seperti misalnya kawasan perbatasan antarnegara, kawasan perbatasan antarpropinsi, kawasan-kawasan yang berkembang dengan cepat (Jabotabek, Gerbangkertasusila, dan sebagainya), Kawasan pantai utara Jakarta, Kawasan Segitiga Pertumbuhan, dan sebagainya. Rencana-rencana yang telah disusun ini merupakan acuan dalam pemanfaatan ruang dan juga dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Upaya penataan ruang selama ini menghadapi berbagai hambatan, antara lain karena data dan informasi yang kurang lengkap, termasuk ketidakseragaman peta dasar yang digunakan dalam penataan ruang; kemampuan sumber daya manusia yang masih terbatas terutama di daerah; kurangnya koordinasi antarpihak yang terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang; 190
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
masih banyaknya pihak yang berkepentingan dalam penataan ruang yang belum memahami secara benar mengenai penataan ruang; dan kurang transparannya penataan ruang dan kebijaksanaan penggunaan lahan pada masa lalu. Dalam penataan ruang di masa depan masalahmasalah ini harus dapat diatasi agar dihasilkan rencana-rencana tata ruang yang baik dan berkualitas. Pendekatan Operasional Penataan Ruang Penataan ruang harus menghasilkan rencana tata ruang yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan dan tidak kalah cepat dengan kebutuhan pembangunan, di samping itu juga harus bersifat realistis operasional dan benar-benar mampu berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi program-program pembangunan dari berbagai sumber pendanaan. Rencana tata ruang hendaknya tidak hanya dilihat sebagai aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan, tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan itu sendiri, dengan mewujudkan mekanisme prosedur yang tepat dan efektif, terutama dalam penggunaan lahan, baik bagi kepentingan pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Rencana tata ruang harus memberikan peluang yang lebih luas bagi peran serta masyarakat dan swasta dalam pembangunan. Upaya-upaya untuk memasyarakatkan pengertian penataan ruang bagi seluruh pelaku pembangunan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan interpretasi atau terdapat harapan-harapan yang kurang sesuai terhadap kedalaman maupun isi dari tiap-tiap tingkatan penataan ruang. Keberhasilan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang tidak terlepas dari dukungan kelembagaan dan personil yang mewadahinya. Proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang pada saat ini masih terikat oleh â&#x20AC;&#x153;ego sektorâ&#x20AC;? perlu lebih dipadukan sampai pada tingkat operasional di daerah tingkat II. Selain hal-hal tersebut di atas, untuk menyelesaikan permasalahan penataan ruang, mekanisme koordinasi dan komunikasi harus dikembangkan terutama menuju kepada adanya kesepakatan-kesepakatan mengenai peraturan-peraturan yang mendukung penataan ruang, misalnya peraturan mengenai peran serta masyarakat dalam penataan ruang, peraturan mengenai perpetaan dalam penataan ruang, peraturan mengenai pertanahan dan sebagainya.
Penataan Ruang untuk Pemerataan Pembangunan bukan hanya harus menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga pemerataan. Demikian pula tata ruang, bukan hanya mengakomodasikan kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil. Untuk itu, dan sebagai kesimpulan topik bahasan ini, beberapa hal perlu digarisbawahi. Pertama, perlunya pemahaman secara penuh dan utuh tentang kebijaksanaan desentralisasi dan pelaksanaan otonomi di daerah dalam penataan ruang, serta penerapannya secara arif, agar pemerintah, swasta, dan masyarakat paham akan hak dan tanggung jawabnya untuk meningkatkan manfaat penataan ruang. Hal ini tentunya memerlukan kesatuan gerak dan usaha seluruh masyarakat, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat pada umumya. Kedua, diperlukan kerangka hukum yang jelas, konsisten, dan komprehensif. Sistem peraturan dan perundangan yang mengatur pengelolaan pembangunan dan penataan ruang di kawasan perdesaan dan perkotaan perlu lebih terpadu dan transparan, sehingga memungkinkan seluruh masyarakat termasuk dunia usaha ikut serta mengembangkannya dalam pelaksanaan. Ketiga, perlu mengantisipasi masa yang akan datang, di mana pembangunan yang berkualitas dapat mengatasi masalah keterbatasan sumber alam, modal, dan teknologi, serta 191
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
mampu mengantarkan Indonesia ke dalam pergaulan dunia yang maju. Penataan ruang di bawah tanah, angkasa, serta lautan juga mengharuskan penyerasiannya dengan sistem yang digunakan di dunia internasional. Keempat, karena kota akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi utama, maka penataan ruang kota perlu diarahkan kepada pola pembangunan perkotaan yang mempunyai kesesuaian tinggi dengan sistem sosial budaya, sistem sosial ekonomi, dan sistem ekologis, sehingga mampu meningkatkan manfaat nyata dan mengurangi beban sosial bagi masyarakat banyak. Ciri utama sistem seperti itu adalah keterpaduan antarsektor dan lintas waktu, serta sistem yang memelihara dirinya sendiri yang menjamin kelangsungan pembangunan. Kelima, sebagai pusat pelayanan, kota harus mampu memberikan pelayanan kebutuhan ruang bagi setiap golongan masyarakat, baik yang berjalan kaki, yang naik sepeda, yang naik mobil, yang berpenghasilan rendah, yang berpenghasilan tinggi, yang dewasa (pria dan wanita), maupun yang masih anak-anak, sehingga manusia kota secara bersama menjadi kreatif, produktif, dan serasi satu sama lain. Pengembangan tata nilai nasional untuk kota yang majemuk amat diperlukan untuk membentuk solidaritas nasional dalam memanfaatkan globalisasi tanpa menghilangkan jati diri bangsa. Selain itu, sistem perkotaan harus terkait erat dengan sistem perdesaan. Fungsi kota dalam mendukung pembangunan desa harus dikembangkan secara nyata dalam berbagai aspek seperti aspek ekonomi, sosial, budaya dan ketahanan nasional. Keenam, penataan ruang harus mengacu kepada pemberdayaan ekonomi rakyat dan kemitraan dalam pembangunan, sehingga dapat menjamin kemakmuran bagi semua orang. Janganlah tata ruang itu menjadi alat untuk memperbesar jurang kesenjangan atau memindahkan kemiskinan dari satu tempat ke tempat lain, melainkan justru untuk membangun kesejahteraan bagi semua, sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bangsa Indonesia. Dan akhirnya ketujuh, melalui penataan ruang, kita menerapkan prinsip-prinsip yang menjamin keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Dengan perkataan lain, pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan.
192
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Bab VII : PENUTUP Agenda Pembangunan Bab ini adalah penutup seluruh uraian dalam buku ini. Sebagai penutup, pembahasan dalam bab ini memberikan penekanan serta membulatkan seluruh pembahasan dalam bab-bab sebelum ini dalam rangkuman-rangkuman kesimpulan. Selain itu, bab ini juga sekaligus digunakan untuk mengekspresikan renungan-renungan mengenai pembangunan nasional serta berbagai tantangannya. Karena bersifat renungan, maka kesimpulan ini akan sangat dipengaruhi oleh pandangan terhadap nilai-nilai budaya dan masyarakat di mana dan untuk siapa pembangunan itu berlangsung. Hampir semua topik terdahulu telah banyak berbicara mengenai globalisasi sebagai arus yang melanda seluruh dunia dan semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada masyarakat atau bangsa yang dapat menghindar dari arus itu. Setidak-tidaknya semua akan terkena pengaruhnya. Globalisasi ini dapat diibaratkan sebagai gelombang yang bergerak tidak hentihentinya, menghanyutkan semua yang dilaluinya. Gelombang ini membawa manusia kepada suatu tahapan baru dalam perkembangan peradabannya. Dunia sedang menuju kepada terbentuknya sistem mondial yang makin menyatu, yang segenap komponennya makin kaitmengait, dorong-mendorong, dan topang-menopang. Komponen-komponen itu dapat berupa masyarakat, bangsa atau negara, tetapi juga dapat berupa kegiatan, seperti kegiatan politik, ekonomi, atau budaya. Mengenai kecenderungan-kecenderungannya, banyak sudah upaya untuk menerawangnya. Namun, ke mana arahnya dan bagaimana wujudnya, katakanlah dua puluh tahun mendatang, sulit bisa diramalkan, karena begitu cepatnya perubahan itu terjadi. Alvin Toffler, di antara banyak ahli, lebih dari dua puluh tahun yang lalu, ketika masih pada puncaknya perang dingin jauh sebelum runtuhnya tembok Berlin, telah mengingatkan bahwa dunia sedang memasuki jeram arus pertumbuhan yang cepat. Fajar era globalisasi itu telah mulai tampak yang kelahirannya didorong oleh percepatan perkembangan teknologi. Ia meramalkan demikian cepatnya perubahan itu terjadi, sehingga akan mengakibatkan gejala, bukan hanya culture shock, melainkan lebih dahsyat dari itu, yang diberinya nama dengan eufemisme Future Shock (Toffler, 1971). Dikatakannya: "We have in our time released a totally new social forceď&#x20AC;a stream of change so accelerated that it influences our sense of time, revolutionizes the tempo of daily life, and affects the very way we 'feel' the world around us. .... this acceleration lies behind the impermanenceď&#x20AC;the transienceď&#x20AC;that penetrates and tinctures our consciousness, radically affecting the way we relate to other people, to things, to the entire universe of ideas, art and values". Salah satu manifestasi globalisasi adalah keterbukaan, yaitu runtuhnya sekat yang membatasi pergaulan antarbangsa. Apakah itu sekat politik, ekonomi, ataupun budaya. Globalisasi menyebabkan informasi mengalir bebas dari hambatan. Berarti gagasangagasan juga bergerak bebas. Bangsa Indonesia harus siap menerima kenyataan bahwa banyak hal yang menjadi keyakinan selama ini akan dipertanyakan dan diuji keabsahannya atau relevansinya. Kita harus sudah memperhitungkan bahwa sistem kenegaraan dan pandangan-pandangan yang melandasinya akan terus-menerus diuji dan ditantang.
193
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Kita tidak bisa menghindari masuknya gagasan-gagasan asing, yang selama ini haram (anathema) bagi kita, misalnya istilah liberalisasi. Pernah pada suatu masa, kata liberal sama buruknya dengan komunis sekarang. Kita memang dengan kuat berargumentasi bahwa liberalisasi, sebagai bentuk nyata proses globalisasi di bidang ekonomi, bukanlah liberalisme. Akan tetapi, banyak orang sudah menantang dan menanyakan apa bedanya. Yang jelas, ekonomi nasional akan makin terintegrasi ke dalam ekonomi global. Persaingan nanti bukan lagi antarnegara melainkan antarunit ekonomi/produksi karena dalam ekonomi global pengertian asal-muasal suatu produk akan menjadi kabur dan merupakan rangkaian unit-unit produksi yang mata rantai proses produksinya berada di berbagai penjuru dunia. Di kawasan Asia Pasifik, semua itu akan terjadi pada tahun 2020. Di kawasan Asia Tenggara bahkan lebih cepat lagi, yaitu tahun 2003. Jelas, bahwa seperti terjadi pada semua bangsa lainnya, arus perubahan ini akan mempengaruhi bangsa Indonesia. Persoalan kita adalah apa artinya semua itu bagi bangsa Indonesia? Oleh karena itu, agenda pembangunan kita yang pertama adalah menumbuhkan daya saing agar dapat melanjutkan pembangunan dalam momentum dan laju yang tinggi, dengan memanfaatkan peluang yang terbuka dari proses perubahan besar yang sekarang sedang berlangsung di tengah kehidupan umat manusia. Secara teoretis, perdagangan bebas akan meningkatkan volume aliran modal dan jasa yang akan membawa kemanfaatan ekonomi bagi semua yang terlibat di dalamnya. Deregulasi dan debirokratisasi adalah suatu bagian saja dari upaya ke arah itu. Namun, tidak berarti kita berhenti di situ. Maka, pertanyaan berikutnya adalah, dalam tubuh bangsa kita siapa yang terlibat dalam proses itu, atau siapa yang dapat mengambil manfaatnya? Di sektor ekonomi modern yang sudah cukup berkembang, kita telah memiliki kelompok-kelompok yang cukup kuat mempunyai peluang untuk berkompetisi. Bahkan dengan deregulasi dan debirokratisasi, kesempatan berkembang bagi mereka bisa lebih luas lagi. Yang menjadi masalah bagi kita terutama ialah apakah ekonomi rakyat, yang kita artikan sebagai ekonomi usaha kecil, dapat terlibat di dalamnya dan turut mengambil manfaatnya? Dalam kondisi seperti sekarang, jelas lapisan terbesar rakyat Indonesia ini tidak akan dapat mengikuti, apalagi memanfaatkan perkembangan ekonomi yang demikian. Selama ini saja, dalam ekonomi nasional yang masih terlindung oleh berbagai perisai, lapisan ekonomi rakyat ini masih jauh tertinggal, apalagi jika harus dihadapkan pada persaingan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa dari luar. Yang dikhawatirkan adalah terciptanya kesenjangan yang makin melebar yang dapat melahirkan kecemburuan sosial dan dapat mengganggu integritas kita sebagai bangsa. Kita belajar saja dari pengalaman negara-negara lain. Faktor yang paling dapat mengganggu stabilitas dan keutuhan bangsa Indonesia, bukanlah lagi primordialisme, seperti agama dan suku, karena itu sudah lama kita lewati, melainkan persoalan kesenjangan ekonomi. Betapapun majunya negara kita, antara lain berkat globalisasi, kalau yang maju hanya satu bagian kecil saja, sedangkan lapisan terbesarnya makin jauh tertinggal, ancaman disintegrasi justru akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan pada saat kita semua sama-sama serba kekurangan. Oleh karena itu, membangun ekonomi usaha kecil, menghilangkan kemiskinan, mendorong kemajuan wilayah-wilayah yang tertinggal harus menjadi agenda pembangunan kedua dalam menghadapi globalisasi. Ditempatkannya hal tersebut pada urutan kedua, bukanlah oleh karena nomor dua penting, tetapi semata-mata demi runtunnya pembahasan. Segenap kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh negara harus ditujukan ke arah membangun pertumbuhan yang serasi dengan pemerataan dan keadilan. Kebijaksanaan-ke194
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
bijaksanaan ekonomi, baik makro maupun sektoral dan regional, harus secara terpadu mengupayakan agar ekonomi rakyat yang lemah dan tertinggal itu dapat secepatnya dibangkitkan, sehingga menjadi lapisan ekonomi kecil dan menengah yang tangguh. Pengalaman di masa yang lalu juga menunjukkan bahwa upaya ke arah itu tidak bisa dilakukan secara kecil-kecilan, misalnya dengan proyek-proyek perintis saja, tetapi harus dengan usaha yang besar dan berdampak besar. Untuk itu, memang diperlukan alokasi sumber daya yang memadai, terutama modal, dan, tidak kalah pentingnya, juga pengetahuan dan keterampilan. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) adalah salah satu contoh upaya tempat kita mencurahkan hampir setengah triliun rupiah setiap tahun untuk memecahkan masalah kemiskinan pada akar kemiskinan. Upaya itu adalah dengan cara pemberdayaan masyarakat melalui pemberian modal dan pendampingan serta pembangunan prasarana yang dibutuhkan untuk memecahkan lingkaran kemiskinan. Upaya serupa ď&#x20AC;dalam skala yang besarď&#x20AC; harus kita lakukan juga dalam sektor-sektor lain, dengan memanfaatkan semua perangkat ekonomi yang dimiliki, antara lain dalam bentuk kebijaksanaan, termasuk instrumen-instrumen fiskal dan moneter. Di masa yang lalu upaya serupa ini telah dilakukan, tetapi acapkali kandas karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan tujuannya, atau para pelaksananya tidak melihatnya sebagai misi. Masalah ekonomi rakyat adalah satu sisi. Sisi lainnya adalah pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sebagai prasyarat dalam membentuk kekuatan bangsa untuk membangun kemajuan dan memantapkan kemandirian. SDM dan iptek adalah penentu daya saing. Di sinilah sebenarnya terletak perlombaannya. Kalau globalisasi dianggap sebagai suatu perlombaan, maka yang diperlombakan sebenarnya adalah kualitas SDM dan penguasaan iptek. Oleh karena itu, dalam program-program pembangunan bangsa ini, kedua hal itu harus diberi prioritas yang tinggi. Ini merupakan agenda pembangunan ketiga, dalam mempersiapkan bangsa menghadapi era global. Program-program pemerintah dengan sendirinya amat penting, tetapi masyarakat dan dunia usaha harus turut mencurahkan perhatian dan sumber daya ke arah peningkatan kualitas SDM dan penguatan iptek. Sekarang kita rasakan perhatian dunia usaha kita masih belum memadai ke arah itu. Untuk itu, mungkin perlu dikembangkan sistem insentif dan disinsentif guna merangsang dunia usaha mengadakan investasi lebih besar dan untuk tujuan jangka panjang dalam SDM dan iptek. Kita harus mengembangkan sektor-sektor dan produk-produk unggulan, sehingga sumber daya terbatas yang kita miliki itu dapat secara lebih optimal digunakan. Secara bertahap kita memperdalam penguasaan produksi di sektor-sektor dan produk-produk tersebut, serta memperluasnya ke sektor atau produk yang lain. Dengan sendirinya kemampuan membuat saja tidak memadai. Kita juga harus mengembangkan kemampuan pemasaran. Dari pengalaman negara-negara lain yang baru saja masuk tahapan industri, kita menarik pelajaran bahwa upaya menembus pasar dan memenangkan persaingan harus menjadi gerakan bersama, seperti total football, bukan hanya sisi produksi, tetapi seluruh sistem harus mendukungnya. Oleh karena itu, sasaran kita pada akhir PJP II bukan hanya menjadi bangsa industri yang kuat, tetapi juga bangsa niaga yang tangguh. SDM yang berkualitas adalah yang bersikap maju dan berpikir modern, yang produktif dan profesional. Di atas SDM yang demikian itulah kita membangun iptek karena kemampuan iptek bukan hanya tercermin dari peralatan yang dimiliki, melainkan kemampuan kreatif dan inovatif dari manusianya. Maka membangun SDM dan iptek pada hakikatnya sama, dan pada dasarnya keduanya berkaitan dengan masalah budaya. SDM iptek dan industri, yang akan menjadi tumpuan kita dalam menghadapi persaingan, hanya dapat tumbuh subur dalam alam budaya yang mendukung, sebagai mediumnya. Dengan demikian, membangun kebudayaan bangsa dan memperkuat
195
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
ketahanannya, harus menjadi agenda yang keempat dalam menghadapi masa yang penuh harapan tetapi juga penuh cobaan di muka kita. Kemajuan yang ingin kita capai melalui pembangunan ekonomi sebenarnya adalah kemajuan sosial budaya. Seperti dikatakan UUD 1945, pada akhirnya tujuan kita bernegara adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, konsep pembangunan kita sebenarnya menetapkan perilaku ekonomi sebagai perilaku sosial budaya yang harus didasari oleh kebudayaan kita. Karena ini merupakan konsep yang mengatur perilaku ekonomi masyarakat kita, maka konsep itu sendiri adalah suatu konsep budaya yang harus kita kembangkan dan kita mantapkan menjadi nilainilai yang hidup pada setiap insan Indonesia. Sikap budaya yang terbiasa dengan "upaya seadanya" atau "hanya cukup dengan meniru-niru saja" harus diubah menjadi sikap budaya yang mementingkan "upaya mencapai kecanggihan" dan "keunggulan (excellence)". Di bidang perdagangan kita harus mampu menjadi wirausahawan yang ulung, di bidang ilmu pengetahuan kita harus menghasilkan ilmuwan yang bertaraf internasional, di bidang teknologi kita harus mempunyai penemupenemu teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan bangsa sendiri dan kemanusiaan, di bidang seni kita harus menghasilkan karya seni yang agung dan dikagumi dunia dan di bidang sastra kita harus dapat menghasilkan karya sastra yang mendunia. Kualitas SDM, menurut konsep kita, tidak hanya diukur secara materi saja. Pembangunan kita bertujuan menghasilkan manusia Indonesia yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, patriotik dan berdisiplin. Dengan demikian, konsep budaya kita memberikan tekanan pada aspek kualitas manusia seutuhnya. Perilaku sosial warga masyarakat kita dalam berbagai bidang haruslah sesuai dengan konsep budaya tersebut. Hari depan bangsa dan negara kita akan ditentukan oleh mereka yang sekarang "dibentuk" oleh pembangunan dalam paradigma budaya nasional itu. Jelas kita tidak bisa menghindari terjadinya interaksi antara budaya bangsa kita budaya luar. Interaksi itu dapat membuahkan hasil yang positif dengan memperkaya budaya bangsa dan mendorong proses modernisasi. Interaksi itu juga akan menjadi pemacu pembaharuan dan merangsang pemikiran yang lebih maju. Sebaliknya, interaksi tersebut juga dapat membawa dampak yang negatif, bahkan bisa mengguncang masyarakat kita, karena dua hal, yakni pertama, bangsa kita belum siap menerimanya, dan kedua, secara hakiki bertentangan dengan norma-norma dasar yang membentuk kepribadian. Menghadapi interaksi serupa ini, ketahanan budaya kita diuji. Di sini secara sungguhsungguh kita harus mengendalikan wilayah-wilayah interface di mana interaksi itu terjadi. Dalam hal yang pertama, perlu ada peredaman terhadap dampak interaksi sampai masyarakat siap menerimanya. Dalam hal yang kedua, jelas kita harus memasang benteng yang kuat karena mempertahankan nilai-nilai dasar yang membentuk kepribadian bangsa merupakan masalah yang hakiki bagi tiap bangsa, misalnya, bagi bangsa kita adalah nilai-nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan. Kekeluargaan, bukan berarti nepotisme, tetapi mencerminkan semangat kebersamaan, tolong-menolong, solidaritas sosial, dan senasib sepenanggungan. Demikian pula nilai-nilai spiritual yang tidak lekang dan lapuk karena teriknya sinar modernisasi. Membentengi masyarakat dan bangsa kita, tampaknya sudah tidak bisa dilakukan lagi dengan mendirikan tembok penghalang, tetapi harus dengan penguatan ketahanan budaya kita sendiri. Pendidikan di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat teramat penting. Di samping itu, media komunikasi harus menjadi benteng pula. Pertimbangan komersial, yang tidak selalu berarti jelek, haruslah disesuaikan dengan kepentingan kehidupan jangka panjang bangsa ini.
196
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Pendidikan agama membuat benteng yang kokoh pula yang datang dari, dan bersifat intrinsik, dalam pribadi individu dan masyarakat. Yang terakhir dan tidak kalah pentingya adalah keteladanan. Para pemimpin dan pemuka masyarakat, baik dari kalangan pemerintah maupun organisasi-organisasi politik dan kemasyarakatan, pemuka adat maupun ulama, harus memberi suri tauladan bagi masyarakat. Perhatian khusus perlu diberikan kepada pembinaan generasi muda, yang amat peka terhadap berbagai pengaruh. Dalam jiwa generasi muda diharapkan tertanam dalam-dalam nilai-nilai dan sikap orang modern, di atas landasan penghayatan terhadap institusi-institusi sosial yang "sakral" seperti agama, negara, keluarga, guru, dan perilaku, serta budi pekerti yang berakar pada kebudayaan bangsa. Rangkuman nilai-nilai budaya tersebut harus diberi bingkai lembaga-lembaga dan pranata sosial budaya yang tepat, sehingga menjadi satu sistem sosial budaya yang mendukung berkembangnya kemajuan dan kemandirian bangsa. Kesemuanya itu ingin kita bangun dalam mengembangkan sistem sosial budaya Pancasila, yang di satu pihak menjamin kelestarian hakikat jati diri kita sebagai bangsa Indonesia, di pihak lain senantiasa akrab terhadap pembaharuan.
197
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Singkatan dan Akronim A ABRI ADB AFTA AKI APBN APBD APEC APK ASEAN
= Angkatan Bersenjata Republik Indonesia = Asian Development Bank = Asean Free Trade Area = Angka Kematian Ibu Melahirkan = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah = Asia Pacific Economic Cooperation = Angka Partisipasi Kasar = Association of South East Asian Nations
B Bappenas berdikari BMT BOP Bopunjur BPK BPN BPS BUMD BUMN
= Badan Perencanaan Pembangunan Nasional = berdiri di atas kaki sendiri = Baitul Mal Wat Tamwil = Bantuan Operasional Pemantauan = Bogor-Puncak-Cianjur = Badan Pemeriksa Keuangan = Badan Pertanahan Nasional = Biro Pusat Statistik = Badan Usaha Milik Desa = Badan Usaha Milik Negara
C CIDES
= Center for Information and Development Studies
D dati I dati II DIKK DPA DPR DUK
= daerah tingkat I = daerah tingkat II = daftar isian kegiatan kelompok = Dewan Pertimbangan Agung = Dewan Perwakilan Rakyat = daftar usulan kegiatan
E EIUDP
= Eastern Indonesia University Development Project
G GATT GBHN GNP
= General Agreement on Tariffs and Trade = Garis-garis Besar Haluan Negara = gross national product
H hankam HBK HDI HDR HEP HIP
= pertahanan keamanan = hubungan bank dengan kelompok swadaya masyarakat = Human Development Index = Human Development Report = Higher Education Project = Hubungan Industrial Pancasila
198
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
I IAEUP ICOR IDT IPEDA IFAD inpres iptek ISIC
= Indonesia-Australia Eastern University Project = Incremental Capital Output Ratio = Inpres Desa Tertinggal = Iuran Pembangunan Daerah = International Fund for Agriculture Development = instruksi presiden = ilmu pengetahuan dan teknologi = International Standard Industrial Classification
J Jabotabek
= Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi
K KADIN KAPET KBI KMA-PBS Konnas konreg KPD KTI KSM KTT KUD KUK Kukesra Kupedes
= Kamar Dagang dan Industri = Kawasan Andalan Pertumbuhan Ekonomi Terpadu = kawasan barat Indonesia = Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar = Konsultasi Nasional = konsultasi regional = Kader Pembangunan Daerah = kawasan timur Indonesia = Kelompok swadaya masyarakat = Konferensi Tingkat Tinggi = Koperasi Unit Desa = Kredit Usaha Kecil = Kredit Usaha Keluarga Sejahtera = Kredit Usaha Perdesaan
L LAFTA LKMD LMD LPND LSM
= Latin America Free Trade Area = lembaga ketahanan masyarakat desa = lembaga musyawarah desa = lembaga pemerintah nondepartemen = lembaga swadaya masyarakat
M MA migas MIPA MPR
= Mahkamah Agung = minyak dan gas bumi = Matematika Ilmu Pasti dan Alam = Majelis Permusyawaratan Rakyat
N NAFTA Nasakom Nefos NTT NTB
= North America Free Trade Area = Nasionalisme, Agama, Komunisme = New Emerging Forces = Nusa Tenggara Timur = Nusa Tenggara Barat
O Oldefos Orba Orla
= Old Established Forces = Orde Baru = Orde Lama 199
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
ormas orpol orsospol P PAD Pakto P5D
= organisasi masyarakat = organisasi politik = organisasi sosial politik
PBB PDB PDRB pemilu PJP I PJP II PKK PKT PLN PMT-AS Pokmas posyandu PPDS PSK puskesmas
= Pendapatan Asli Daerah = Paket deregulasi Oktober = Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan untuk Daerah = pajak bumi dan bangunan = Produk Domestik Bruto = Produk Domestik Regional Bruto = pemilihan umum = Pembangunan Jangka Panjang tahap Pertama = Pembangunan Jangka Panjang tahap Kedua = Pembinaan Kesejahteraan Keluarga = Pengembangan Kawasan Terpadu = Perusahaan Listrik Negara = Program Makanan Anak Tambahan untuk Anak SD = kelompok masyarakat = pos pelayanan terpadu = Pendidikan dan Pelatihan Dokter Spesialis = Petugas Sosial Kecamatan = pusat kesehatan masyarakat
R rakorbang R&D Repelita RT RTRWK RTRWN RTRWP RW
= rapat koordinasi pembangunan = Research and Development = rencana pembangunan lima ahun = rukun tetangga = rencana tata ruang wilayah kabupaten = rencana tata ruang wilayah nasional = rencana tata ruang wilayah propinsi = rukun warga
S SBI SDM SHU SITC SP2W SP3 SPABP Susenas SVO SVV
= Sertifikat Bank Indonesia = Sumber Daya Manusia = Sisa hasil usaha = Standard International Trade Classification = Sarjana Pendamping Purnawaktu = Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan = Surat Pengesahan Anggaran Bantuan Pembangunan = survei sosial ekonomi nasional = Stadsvorming ordonantie = Stadsvorming verordening
T Takesra TFP TKMP TPSP
= Tabungan Kesejahteraan Rakyat = Total Factor Productivity = Tenaga Kerja Mandiri Profesional = Tempat Pelayanan Simpan Pinjam
200
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
U UDKP UMR UNDP UNIDO UUD UUPA
= Unit Daerah Kerja Pembangunan = Upah Minimum Regional = United Nations Development Programme = United Nations Industrial Development Organization = Undang-undang Dasar = Undang-undang Pokok Agraria
V VCR
= Volume Capacity Ratio
W WTO
= World Trade Organization
201
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Daftar Pustaka Adelman, Irma dan Cynthia Taff Morris. Economic Growth and Social Equity in Developing Countries. Standford: Standford University Press. 1973. Aghion, Philippe dan Peter Howitt. “A Model of Growth through Creative Destruction”. Econometrica. Vol. 60. No. 2. 1992. Arndt, H.W. Economic Development: the History of an Idea. Chicago/London: University of Chicago Press. 1987. Axworthy, Thomas S. “Democracy and Development: Luxury or Necessity?” dalam Kenneth E. Bauzon (ed.). Development and Democratization in the Third World: Myths, Hopes, and Realities. Washington: Crane Russak, 1992. Azis, Iwan Jaya. Kesenjangan Antara Ekonomi Makro dan Gejala Mikro: Keterbatasan Ilmu Ekonomi? Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 29 Februari 1996. Bahk, Byong-Hyong dan Michael Gort. “Decomposing Learning by Doing in New Plants”. Journal of Political Economy. Vol. 191. No. 4. 1993. Baker, Randall (ed.). Comparative Public Management: Putting U. S. Public Policy and Implementation in Context. Westport: Praeger Publishers. 1994. Bappenas. Regional Economic Projection from SSD - Model. Jakarta. 1994. Barnard, Chester I. The Function of the Executive. Cambridge. Mass: Harvard University Press. 1966. Barro, Robert J. “Economic Growth in Cross Section Countries”. Quarterly Journal of Economics. Mei 1991. Basalla, George dan William Coleman. The Evolution of Technology. Cambridge: Cambridge University Press. 1988. Becker, Gary S., Kevin M. Murphy, dan Robert Tamura. “Human Capital, Fertility and Economic Growth”. Journal of Political Economy. 1990. Becker, Gary S. “Human Capital and Poverty Alleviation”. Makalah atas dasar transkrip ceramah yang disampaikan di World Bank pada tanggal 16 Desember 1994. Human Resources Development and Operations Policy Working Paper (HROWP) 52. Maret 1995. Bedeian, Arthur G. Organizations: Theory and Analysis. Chicago: The Dryden Press. 1984. Beetham, David. (ed.). Defining and Measuring Democracy. London: Sage Publications. 1994. Berry, Brian J. L. “City Size Distribution and Economic Development”. Economic Development and Cultural Change. Vol. 9. No. 4. 1961. Biro Pusat Statistik. Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 1990. Seri S2. Jakarta. 1992. . Informasi Pengusaha Kecil di Indonesia Tahun 1992. Jakarta: BPS, Maret. 1994 (a). . Laporan Hasil Sensus Pertanian 1993. Seri A2. Jakarta. 1994 (b). . Penduduk Miskin dan Desa Tertinggal 1993: Metodologi dan Analisis. Jakarta. 1994 (c). 202
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
BP-7 Pusat. Undang-undang Dasar 1945, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta. 1993. . Undang-undang Dasar 1945, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-garis Besar Haluan Negara 1993. Jakarta. 1994. Brautigam, Deborah. “Reducing Poverty: Lesson from Taiwan”, dalam Üner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press. 1995. Brown, Donald. “Poverty-Growth Dichotomy”, dalam Üner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press. 1995. Chambers, Robert. “Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?”, dalam Üner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press. 1995. Chapman, Richard A. and A. Dunsire. Style in Administration: Reading in British Public Administration. London: The Royal Institute of Public Administration. 1971. Chapin, F. Stuart. Urban Land Use Planning. Urbana: Illinois. 1968. Chenery, Hollis, dan Montek S. Ahluwalia, et al., Redistribution With Growth. London: Oxford University Press. 1974. Conyers, Diana. An Introduction to Social Planning in the Third World. Chichester: John Wiley & Sons. 1982. O'Donnell, Cyril dan Heinz Weihrich. Essentials of Management. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc. 1986. D. H. Penny. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 1990. Dahl, Robert A. “The Science of Public Administration: Three Problems”, dalam Public Administration Review, 7 (1). 1947. Denison, E.F. “United States Economic Growth”. Journal of Business. April 1962. Diamond, Larry. “Three Paradoxes of Democracy”, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed.). The Global Resurgence of Democracy; Baltimore: The John Hopkins University Press. 1993. hlm. 95107. Diamond, Larry dan Marc F. Plattner (ed.). Economic Reform and Democracy; Baltimore: The John Hopkins University Press. 1995. Drucker, Peter F. Management: Tasks, Responsibilties, Practices. New York: Harper & Row Publishers. 1985. . The New Realities: In Government and Politics/In Economics and Business/In Society and World View. New York: Harper & Row Publishers. 1989. . The Age of Discontinuity: Guidelines to Our Changing Society. New Brunswick: Transaction Publishers. 1992. Effendi, Sofian. “Pembangunan Kualitas Manusia: Suatu Perspektif Administrasi Negara”, dalam Sofian Effendi, et al. (ed.). Membangun Martabat Manusia: Peran Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1992. Fayol, Henry. General and Industrial Management. London: Sir Isaac Pitman and Sons. 203
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
1949. Foley, Donald. “An Approach to Metropolitan Spatial Structure”, dalam M. Webber, Exploration Into Urban Structure. University of Pennsylvania Press. 1970. Frank, Andre Gunder. “The Development of Underdevelopment”, Monthly Review, 18 (4). 1966 Frederickson, H. George, dan Charles R. Wise (ed.). Public Administration and Public Policy. Lexington: Lexington Books. 1977. Frederickson, H. George. “Toward a New Public Administration”, dalam Frank E. Marini, Toward a New Public Administration: The Minnowbrook Perspective. Novato Chandler Publishing Company. 1971. . The New Public Administration. Alabama: University of Alabama Press. 1980. Friedman, John. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell. 1992. . Garrett, James L. Commentary: Agriculture can Give a Helping Hand to Cities. IFPRI Report Vol. 18, No. 2. Juni 1996. Gant, George F. Development Administration: Concepts, Goals, Methods. London: The University of Wisconsin Press. Ltd. 1979. Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. 1973. Golembiewski, Robert T. Public Administration as Developing Discipline Part 2: Organization Development as One of a Future Family of Miniparadigms. New York: Marcel Dekker. 1977. Goodnow, Frank. Politics and Administration: A Study on Government. New York: Russel and Rassel. 1900. Green, Philip. Democracy: Key Concepts in Critical Theory. New Jersey: Humanities Press. 1993. Grossman, Gene M. dan Elhanan Helpman. Innovation and Growth in the Global Economy. Cambridge, MA: The MIT Press. 1991. Gulick, Luther dan Lyndall Urwick (ed.). Papers on The Science of Administrations. New York: Institute of Public Administration. 1937. Haggard, Stephan dan Steven B. Webb (ed.). Voting for Reform: Democracy, Political Liberalization, and Economic Adjustment. New York: Oxford University Press. 1994. Hall, Peter. Urban and Regional Planning. London/New York: Routledge. 1992. Henry, Nicholas. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1995. Hirst, Paul. Associative Democracy: New Forms of Economic and Social Governance. Amherst: The University of Massachussets Press. 1994. Hughes, Helen. “Achievements and Objectives of Industrialization”, dalam John Cody, Helen Hughes, dan David Wall (ed.). Policies for Industrial Progress in Developing Countries. Oxford: Oxford University Press. 1982. Huntington, Samuel P. “Democracy's Third Wave”, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed.). The Global Resurgence of Democracy; Baltimore: The John Hopkins 204
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
University Press. 1993 (a). hlm. 325. . “The Clash of Civilizations?”, Foreign Affairs, Vol. 72 No. 3. Summer 1993 (b). Jaap, Tom. Enabling Leadership: Achieving Results With People. Hampshire: Gower House. 1986. Johnson, E.A.J. The Organization of Space in Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press. 1976. Joesoef, Daoed. “Krisis Metafisis Dalam Ilmu Pengetahuan”, dalam Saswinadi Sasmojo et al. (ed.). Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung. 1991. Kartasasmita, Ginandjar. Teknologi, Budaya, dan Lingkungan. Pengarahan pada Seminar Nasional Ikatan Alumni ITB. Jakarta, 4 November 1992. . Beberapa Pokok Kebijaksanaan dalam Perencanaan Pembangunan pada PJP II dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Dephankam 1993, 25 Mei 1993 (a). . Pokok-pokok Pikiran dalam Penyusunan Rencana Pembangunan pada PJP II dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja DPE 1993. 25 Mei 1993 (b). . Beberapa Pokok Pikiran dalam Penyusunan Rencana Pembangunan PJP II dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Raker Paripurna Departemen Penerangan. Jakarta, 3 Juni 1993 (c). . Beberapa Pokok Pikiran dalam rangka Penyusunan Rencana PJP II dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Raker Gubernur seluruh Indonesia di Depdagri, 7 Juni 1993 (d). . Beberapa Pokok Pikiran mengenai Pembangunan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan dalam Repelita VI Dan PJP II. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta, 3 Agustus 1993 (e). . Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk Mendukung Pembangunan Nasional Makalah disampaikan pada Seminar HUT Persada XXX Jakarta, 26 Agustus 1993 (f). . Beberapa Pokok Pikiran Arah Pembangunan Ekonomi dalam Repelita VI. Makalah disampaikan pada Raker Departemen Perdagangan, 31 Agustus 1993 (g). . Strategi Pembangunan Nasional dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pembangunan Nasional dalam PJP II. 16 November 1993 (h). . Pembangunan Jangka Panjang II dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Kongres ISEI XII, 22 November 1993 (i). . Perencanaan Pembangunan Nasional dan Tantangannya Menghadapi PJP II. Makalah disampaikan pada Kongres PWI ke-19, 2 Desember 1993 (j). . Peluang dan Tantangan dalam PJP II; Makalah disampaikan pada Peluang dan Tantangan PJP II. Jakarta, 20 Desember 1993 (k).
Seminar
. Kebijaksanaan Pembangunan Nasional, Arah Dasar dan Sasaran-sasaran Utama Pembangunan Berkelanjutan dalam Repelita VI. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Menyongsong Pelaksanaan PJP II: Jakarta. 18 Januari 1994 (a). . Sasaran dan Kebijaksanaan Pokok Pembangunan Jangka Panjang Kedua dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Munas KORPRI IV. Jakarta, 13 April 1994 205
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
(b). . Pokok-pokok Repelita VI. Makalah untuk Raker Dephankam: Jakarta, 14 April 1994 (c). . Pokok-pokok Kebijaksanaan, Susunan Program dan Anggaran Pembangunan Aparatur Negara dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Rakor PAN. Jakarta, 20 April 1994 (d). . Berbagai Pokok Strategi Pembangunan Nasional dalam Rangka Mengatasi Pengangguran. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Ketenagakerjaan. Jakarta, 3 Mei 1994 (e). . Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan. Makalah disampaikan pada sarasehan Nasional Wawasan Kebangsaan. Jakarta, 9 Mei 1994 (f). . Strategi Pembangunan Masyarakat Perdesaan dalam Rangka Mengatasi Kemiskinan. Makalah disampaikan pada Seminar Teknologi Untuk Perdesaan. Dalam Rangka HUT ke-42 Persatuan Insinyur Indonesia. Jakarta, 26 Mei 1994(g). . Perencanaan Pembangunan dalam Perspektif Demokrasi Ekonomi: Agenda Pembangunan Ekonomi Rakyat sebagai Dasar Pembentukan Ekonomi Nasional. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Teknis DPP Golkar. Jakarta, 6 Juni 1994 (h). . Pembangunan Sumber Daya Manusia. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1994. Jakarta, 7 Juni 1994 (i). . PJP II: Pembangunan yang Berkesinambungan dan Berkeadilan. Makalah disampaikan pada Rakernas Deppen. Jakarta, 2 Juli 1994 (j). . Kebijaksanaan Pembangunan Perkotaan dalam Memasuki Pembangunan Jangka Panjang Kedua dan Implementasinya pada Repelita VI. Makalah disampaikan pada Musyawarah Antarkota Seluruh Indonesia XI: Surakarta, 15 Juli 1994 (k). . Berbagai Tantangan Pembangunan dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Rapim ABRI 1994. Jakarta, 18 Juli 1994 (l). . Beberapa Tantangan Pembangunan dalam PJP II dan Repelita VI. Makalah disampaikan pada Pembekalan kepada Manggala BP-7 Pusat. Jakarta, 22 Juli 1994 (m). . Pembangunan Sumber Daya Manusia Iptek dan Perannya Dalam Pembangunan Nasional. Makalah disampaikan pada Pembukaan Penataran P-4 Mahasiswa Baru Institut Teknologi Bandung. Bandung, 13 Agustus 1994 (n). . PJP II: Prospek dan Tantangannya. Makalah disampaikan pada Muktamar III PPP. Jakarta, 30 Agustus 1994 (o). . Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia. Makalah disampaikan pada Universitas Siliwangi. Tasikmalaya, 26 September 1994 (p). . Perencanaan Pembangunan Nasional: Berbagai Tantangan dan Permasalahannya Memasuki PJP II. Makalah disampaikan pada kuliah umum Civitas Academica Universitas Brawijaya. Malang, 2 Desember 1994 (q). . Strategi Pembangunan Sumber Daya Manusia dalam PJP II. Makalah disampaikan pada Kongres VI Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia. Surabaya, 2 Desember 1994 (r). . Tantangan Pembangunan dalam PJP II: Suatu Tinjauan dari Sisi Penguasaan Teknologi. Makalah disampaikan pada Kongres Nasional XIII Persatuan Insinyur 206
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Indonesia (PII). Jakarta, 19 Desember 1994 (s). . Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat: Menghadapi Tantangan Globalisasi. Makalah disampaikan pada Seminar Dies Natalis ke-45 Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 20 Desember 1994 (t). . Pembangunan menurut Paradigma Budaya Nasional: Tinjauan terhadap Globalisasi dan Dampaknya bagi Kemajuan, Kemandirian, dan Ketahanan Budaya Bangsa. Makalah disampaikan pada Silaknas IV ICMI. Jakarta, 7 Januari 1995 (a). . Demokrasi Ekonomi: Sebuah Tinjauan Institusional; Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Hambatan Institusional Mewujudkan Demokrasi Ekonomi, diselenggarakan oleh Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia (PERSADI). Jakarta, 18 Januari 1995 (b). . Tantangan Administrasi Negara: Peningkatan Pelayanan Masyarakat pada Era Globalisasi. Makalah disampaikan pada Orasi wisuda STIA-LAN Angkatan XXIX. Jakarta, 21 Januari 1995 (c). . Peningkatan Pemerataan Pembangunan dan Pemantapan Penyelenggaraan. Makalah disampaikan pada Raker Gubernur seluruh Indonesia. Jakarta, 30 Januari 1995 (d). . Pembangunan menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri. Sebuah Tinjauan mengenai berbagai Paradigma, Problematika, dan Peran Birokrasi dalam Pembangunan. Makalah disampaikan pada penerimaan penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu administrasi pembangunan dari Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 15 April 1995 (e). . Pembangunan Kelautan sebagai Pendorong Pembangunan Daerah Kelautan. Pidato pada Acara Dies Natalis Universitas Pattimura ke-33. Ambon, 24 April 1995 (f). . Tantangan dan Strategi Pembangunan dalam Masa Kebangkitan Nasional Kedua: Ditinjau dari Segi Sumber Daya Manusia. Makalah disampaikan pada Seminar Peringatan Lima Tahun Berdirinya Lembaga Perguruan Taman Taruna Nusantara (LPTTN). Magelang, 11 Mei 1995 (g). . Pengembangan Kemitraan Usaha: Dengan Tinjauan Khusus Mengenai Peran Birokrasi. Makalah disampaikan pada Kongres III Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia (PERSADI). Jakarta, 12 Mei 1995 (h). . Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Administrasi pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya: Malang, 27 Mei 1995 (i). . Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat. Makalah disampaikan pada Muktamar Muhammadiyah ke-43: Banda Aceh, 8 Juli 1995 (j). . Masa Depan yang Kita Tuju dalam PJP II: Peran Ilmuwan Indonesia dalam Mewujudkannya. Makalah disampaikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VI. Serpong, 12 September 1995 (k). . Penataan Ruang dalam Perspektif Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Kebijakan Tata Ruang dan Aspek Pertanahan dalam Perspektif Pertumbuhan dan Pemerataan. Bandung, 9 Oktober 1995 (l).
207
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
. Pembangunan Daerah yang Makin Cepat, Serasi, Berkeadilan, dan Berkesinambungan. Makalah disampaikan pada acara Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang) ke-13. Jakarta, 23 Oktober 1995 (m). . Pembangunan Sumber Daya Manusia: Kerangka Pemikiran, Harapan, dan Tantangan. Makalah disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke-35 Lustrum VII Universitas Sriwijaya, Inderalaya-Palembang, 4 November 1995 (n). . Pembangunan Sumber Daya Manusia: Kerangka Pemikiran, Harapan, dan Tantangan. Makalah disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke-35 Lustrum VIII Universitas Sriwijaya, Palembang, 4 November 1995 (o). . Ekonomi Kerakyatan. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Kerakyatan: Konsep dan Pelaksanaannya, diselenggarakan oleh harian Merdeka dan harian Bisnis Indonesia. Jakarta, 5 Desember 1995 (p). . Pemberdayaan Masyarakat. Bahan Kuliah Program Pascasarjana Program Studi Pembangunan. Institut Teknologi Bandung: Bandung, 1995 (q). . Otonomi Daerah dan Penyelenggaraan Desentralisasi. Makalah disampaikan pada Pertemuan Konsultasi dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Jakarta, 11 Januari 1996 (a). . Meningkatkan Daya Saing Pertanian dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam Rangka Kongres XI dan Konpernas XII Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI). Denpasar, 9 Agustus 1996 (b). Key, Jr. , V. O. “The Lack of a Budgetary Theory”; American Political Science Association 34. Desember 1940. Keynes, John M. The General Theory of Employment, Interest, and Money. Harcourt: Brace and World, 1936. Kirdar, Uner dan Leonard Silk (ed.). People: from Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press, 1995. Koo, Bon Ho. Socio-Cultural Factors in the Industrialization of Korea. Koontz, Harold dan O'Donnell, Cyril. Principles of Management: An Analysis of Managerial Functions. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc. 1959. Korten, David C. dan Rudi Klauss (ed.) People-Centered Development: Contributions Toward Theory and Planning Frameworks. West Hartford: Kumarian Press. 1984. Lynch, K. Rodwin L. “A Theory of Urban Form”. Journal of American Institute of Planners, 24, 1960. . Good City Form. Cambridge, Mass.: MIT Press. 1987. Lynch, Robert P. Business Alliances Guide: The Hidden Competitive Weapon; John Wiley and Sons, Inc. 1993. Mankiw, Gregory N., David Romer, dan D. Weil. “A Contribution to the Empirics of Economic Growth”. Quarterly Journal of Economic. Mei 1992. Maslow, Abraham H. “A Theory of Human Motivation”. Psychological Review, 50 : 370396, 1943. Mokyr, Joel. The Lever of Riches: Technological Creativity and Economic Progress; New York. Oxford University Press. 1990. 208
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Montgomery, John D. dan William J. Siffin. Approaches to Development: Politics, Administration and Change. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc. 1966. . Bureaucrats and People: Grassroots Participation in Third World Development. Baltimore: The John Hopkins University Press. 1988. Mรถrner, Magnus dan Thommy Svenson (ed.). The Transformation of Rural Society in the Third World. London: Routledge. 1991. Mubyarto (ed.). Growth and Equity in Indonesia Agricultural Development; Yogyakarta: YAE. 1982. . Profil Desa Tertinggal Indonesia 1994. Yogyakarta: Aditya Media, 1994. . Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media. 1995 (a). . Iki Duwit Tangkarno. Yogyakarta: Aditya Media. 1995 (b). Mustopadidjaja AR. Paradigma-Paradigma Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan: Perkembangan dan Penerapan Studi Kebijaksanaan Dilihat dalam Kaitan Disiplin dan Sistem Administrasi dan Manajemen. Laporan Temu Kaji Posisi dan Peranan Ilmu Administrasi dan Manajemen Dalam Pembangunan. Jakarta. LAN: 1988. Naisbitt, John. Global Paradox: Megatrend; the Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players. New York: William Morrow Company, Inc. 1994. Naya, Seiji. Private Sector Development and Enterprise Reforms in Growing Asian Economies. San Francisco, California: An International Center for Economic Growth Publication. 1990. Nigro, Felix A, dan Lloyd G. Nigro. Modern Public Administration, 5th edition. New York: Harper and Row. 1980. North, Douglass C. Institution, Institutional Change, and Economic Performance. Cambridge: Cambridge University Press. 1990. Osborne, David dan Ted Gaebler. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York: Penguin. 1993. Ostrom, Vincent, David Feeny dan Hartmut Picht (ed.). Rethinking Institutional Analysis and Development: Issues, Alternatives, and Choices. San Fransisco, CA: Institute for Contemporary Studies. 1993. Ostrom, Vincent. The Intellectual Crisis in American Public Administration. Alabama: University of Alabama Press. 1973. Otubusin, Paul O. Exploitation, Unequal Exchange and Dependency: A Dialectical Development. New York: Peter Lang. 1992. Ozaki, Robert. Human Capitalism: The Japanese Enterprise System as World Model. Middlesex, Harmondsworth: Penguin Books Ltd. 1991. Portes, Alejandro, Manuel Castells, dan Lauren A. Benton (ed.). The Informal Economy: Studies in Advanced and Less Developed Countries. London: The John Hopkins University Press. 1991. Pearson, Lester B. (ed.). Partners In Development: Report of The Comission on International Development. New York: Praefer Publisher. 1969.
209
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Porteous, J. Douglas. Environment and Behavior - Planning and Everyday Urban Life. Reading Addison Wesley Publishers Company. 1981. Quah, Stella R. “Socio-Cultural Factors and Productivity: The Case of Singapore”, dalam Kwang-Kuo Hwang (ed.). Easternization: Socio-Cultural Impact on Productivity. Tokyo: Asian Productivity Organization. 1995. Ranis, Gustav. “Reducing Poverty: Horizontal Flows Instead of Trickle Down”, dalam Üner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment To Empowerment. New York: New York University Press. 1995. Rapoport, Amos. Human Aspects in Urban Form - Towards a Man - Environment Approach to Urban Form and Design. Oxford: Pergamon International Library of Science, Technology, Engineering and Social Science. 1980. Riggs, Fred W. (ed.). Frontiers of Development Administration. Durham, North Carolina: Duke University Press. 1971. Romer, Paul M. “Growth Based on Increasing Returns Due to Specialization”. American Economic Review. Mei 1987. . “Endogenous Technological Change”, dalam Journal of Political Economy. Oktober 1990. Rondinelli, Dennis A. Why Secondary Cities are Critical for National Development, Secondary Cities in Developing Countris: Policies for Difussing Urbanization. Beverly Hills: Sage Publication. 1983. Rosenbloom, David H. Deborah D. Goldman, Esq., dan Patricia W. Ingraham. Contemporary Public Administration. New York: Mc Graw-Hill, Inc. 1994. Rostow, W. W. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press. 1960. Sajogyo (ed.). Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Obor/YAE. 1982. Sajogyo et al. Program IDT: Penelitian Data Dasar Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Tertinggal Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya (Ringkasan Eksekutif). Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional - Yayasan Agro Ekonomika. 1995. Salomon, Jean-Jacques, Francisco R. Sagasti, dan Céline Sachs-Jeantet (ed.). The Uncertain Quest: Science, Technology, and Development. Tokyo: United Nations University Press. 1994. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Himpunan Risalah Sidang dari: Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berhubungan dengan Penyusunan Undangundang Dasar 1945. Jakarta. Sen, Amartya. Inequality Reexamined. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. 1995. Shafritz, Jay M. dan Albert C. Hyde. Classics of Public Administration. Belmont, CA.: Wadsworth Publishing Company. 1992. Simon, Herbert A. Administrative Behaviour: A Study of Decission Making Processes in Administrative Organization. London: MacMillan Publishing Company. 1976. Singarimbun, Masri dan D. H. Penny. Penduduk dan Kemiskinan. Jakarta: Brathara. 1976. Solow, Robert M. “Technical Change and the Aggregate Production Function” dalam Review of Economics and Statistics: Agustus 1957.
210
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Steinmets, Sara. Democratic Transition and Human Rights: Perspectives on U.S. Foreign Policy. New York: State University of New York Press. 1994. Stillman II, Richard J. “The Changing Partners of Public Adminsitration Theory in America” dalam Joseph A. Uveges. Public Administration: History and Theory in Contempory Perspective. New York: Marcel Dekker, Inc. 1982 Swasono, Sri-Edi. Demokrasi Ekonomi: Komitmen dan Pembangunan Indonesia; Pidato pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 13 Juli 1988. Swasono, Sri-Edi dan Fauzie Ridjal (ed.). Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). 1992. Takeshi, Tsukamoto. “A History of Industry in Japan”, dalam Journal of Japanese Trade & Industry: Vol. 15, No. 2, Maret/April 1996. Taylor, Frederick. “Scientific Management”, dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classics of Public Administration. Belmont. CA.: Wadsworth Publishing Company. 1992. Tim Pembinaan Penatar dan Bahan-bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia. Undangundang Dasar 1945, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-garis Besar Haluan Negara: Jakarta, 1980. Tjokroamidjojo, Bintoro. Administrasi Pembangunan: Administrasi Negara untuk Mendukung Proses Pembangunan. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Luar Biasa. Universitas Brawijaya: Malang. 1978. Toffler, Alvin. Future Shock. London: Pan Books. 1971 . The Third Wave. New York: Bantam Books. 1981 Todaro, Michael P. Economic Development in the Third World (4th edition). New York: Longman, 1989. Ul Haq, Mahbub. The Poverty Curtain: Choices for the Third World. New York: Columbia University Press. 1976. United Nations Development Programme, Human Development Report 1991. New York: Oxford University Press. 1991. . Human Development Report 1995. New York: Oxford University Press. 1991. . Human Development Report 1996. New York: Oxford University Press. 1996. Uveges, Joseph A. Public Administration: History and Theory in Contemporary Perspective. New York: Marcel Dekker, Inc. 1982. W.F. Wertheim et al. (ed.). Indonesian Economics: The Concept of Dualism in Theory and Policy. Amsterdam: Royal Tropical Institute. 1961. Waldo, Dwight. The Enterprise of Public Administration: A Summary View. Novato, CA.: Chandler & Sharp Publishers, Inc. , 1992. Weber, Max. “Bureaucracy”, dalam Hans H. Gerth, From Max Weber: Essay in Sociology. London: Oxford University Press, Inc. 1973 (Dimutakhirkan). Weber, Melvin. The Urban Place and The Non Place Urban Realm, Exploration into Urban Structure. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. 1970. Wetzling, W. “Spatial Planning”, dalam Ratcliffe, J. An Introduction to Town and Country Planning. London: Hutchinson of London. 1978. 211
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Wheaton, W. “A Comparative Static Analysis of Urban Spatial Structure”. Economic Theory. 1974. 9, 223237.
Journal of
White, Leonard D. Introduction to The Study of Public Administration. New York: MacMillan Publishing Company. 1926 . Introduction to The Theory of Public Administration. London: MacMillan Publishing Company. 1954. William, Raymond. "Democracy” in Keywords; London: Fontana/Croom Helm. 1976. Wilson, James Q. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It. New York: Basic Book. 1989. Wilson, Woodrow. “The Study of Administration”, dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde (ed.). Classics of Public Administration. Belmont, CA.: Wadsworth Publishing Company. 1992. Wittman, Donald. The Myth of Democratic Failure: Why Political Institutions Are Efficient. Chicago: The University of Chicago Press. 1995. World Bank. The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Oxford: Oxford University Press. 1993.
212
Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
Catatan tentang Penulis Ginandjar Kartasasmita, lahir di Bandung 9 April 1941. Sekarang ini adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Ia adalah juga Guru Besar Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya, Malang. Pendidikannya dimulai di Institut Teknologi Bandung, kemudian mendapatkan gelar Sarjana Teknik Kimia dari Tokyo University for Agriculture and Technology dan Sarjana Administrasi Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara. Doctor Honoris Causa (HC) diperoleh dari Northeastern University, Boston, USA, dalam bidang jasa publik, dari Takushoku University, Tokyo, Jepang dalam bidang ekonomi, dan dari Universitas Gadjah Mada dalam bidang Ilmu Administrasi Pembangunan. Karier pemerintahannya dimulai di G5-KOTI, kemudian dilanjutkan di Sekretariat Negara dalam berbagai jabatan. Di lingkungan Angkatan Udara RI pangkat terakhirnya adalah Marsekal Madya. Dengan jabatannya sebagai Menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, ia telah menjadi Menteri dalam tiga kabinet, sebelumnya dalam Kabinet Pembangunan IV sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri merangkap Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan dalam Kabinet Pembangunan V sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Ia juga aktif dalam kegiatan di luar pemerintahan di berbagai organisasi yang berkaitan dengan pendidikan, olahraga, dan profesi. Menerima berbagai tanda jasa sebagai bukti pengabdiannya kepada bangsa Indonesia dan juga tanda jasa dari beberapa negara sahabat. Menulis sekitar 400 makalah yang disampaikan dalam berbagai seminar dalam bidang ekonomi, sosial, politik, administrasi negara dan teknologi. Penerbit.
213