Regulasi lahan gambut

Page 1


MELINDUNGI EKOSISTEM GAMBUT INDONESIA Bagaimana Peraturan Baru Diperkirakan Akan Menjadi Sebuah Inisiatif Yang Gagal 10 Maret 2014

_____________________________________________________________________ Mengapa Perlindungan Lahan Gambut Penting Hutan gambut tropis merupakan representasi dari sebuah ekosistem unik. Perubahan apa pun terhadap keseimbangan alami antara air, tanah dan vegetasi akan menyebabkan emisi gas rumah kaca. Lahan gambut terbentuk ketika pasokan air menghambat peluruhan materi organik dari banyak vegetasi yang terkumpul selama ribuan tahun. Diperkirakan lahan gambut di seluruh dunia menyimpan 20 – 35% karbon dalam tanah dari total gambut yang ada di bumi inii. Lahan gambut di Indonesia menyimpan hampir 60 miliar ton karbonii, hampir enam kali lipat lebih banyak dibanding emisi karbon yang dihasilkan oleh seluruh umat manusia sepanjang tahun 2011iii. Saat lahan gambut dikeringkan, kandungan karbon bereaksi dengan oksigen yang ada di udara untuk melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Lahan gambut yang kering juga sangat rentan terbakar, meningkatkan resiko api bawah tanah yang berskala besar dan bertahan lama. Konsekuensinya, seperti yang ditunjukkan oleh analisa peta terbaru Greenpeace di bawah ini, hampir 76 persen titik api yang terjadi baru-baru ini ada di kawasan lahan gambutiv. Lebih dari 86 persen titik api berada dalam kawasan yang dilindungi oleh moratorium, dan ada yang di kawasan lahan gambutv, meskipun ada moratorium jelas-jelas bertujuan untuk menghentikan sementara pembukaan lahan baru di kawasan inivi. Lahan gambut Indonesia mencakup kurang dari 0,1 persen dari total permukaan bumi tetapi melalui pengeringan dan kebakaran hutan dan lahan, telah mengakibatan 4 persen emisi gas rumah kaca secara global tiap tahunnyavii, membuat Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar dunia. Lahan gambut tidak saja harus dilindungi untuk menghilangkan sumber penting emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Sebagian besar hutan gambut adalah habitat satwa dan spesies yang terancam punah secara kritis seperti Harimau Sumatra dan Orang-Utanviii. Penyebab utama perusakan lahan gambut di Indonesia adalah perkebunan kelapa sawit dan bubur kertasix, mengeringkan kawasan ini, berarti menyebabkan makin rentannya kawasan ini terhadap kebakaran. Bukti di dalam analisa peta memperlihatkan bagaimana dalam derajat tertentu sektor perkebunan meremehkan komitmen iklim pemerintah Indonesia dengan terus menghancurkan hutan dan lahan gambut. Lebih dari 5,5 juta hektar konsesi kelapa sawit dan kertas di seantero Indonesia tumpang tindih dengan lahan gambut dan sekitar 50 persen titik api terkini yang berada di lahan gambut, berada dalam konsesi-konsesi itux. Asal Mula RPP Gambut Lima tahun lalu, parlemen Indonesia mengesahkan UU No. 32 Tahun 2009 tertanggal 3 Oktober 2009xi mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan, atau lebih dikenal


sebagai Undang-Undang Lingkungan Hidup. Undang-Undang ini merupakan langkah penting menuju perbaikan tata kelola dan perlindungan ekosistem di Indonesia. Meski demikian, untuk membuat UU ini lebih efektif, pemerintah masih perlu memperkuat aturan implementasinya dalam beberapa aspekxii. Aturan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, atau singkatnya Peraturan Gambut, adalah peraturan pertama yang akan segera disetujui oleh Pemerintah Indonesia dan Presiden Yudhoyono, yang memainkan peran penting dalam mendorong proses ini. UU Lingkungan dan Aturan Gambut ini tidak datang tiba-tiba. Hal ini harus dilihat dalam konteks komitmen Presiden pada 2009 yang menyatakan akan mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia lebih dari 26 persen pada 2020 dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan kondisi saat inixiii. 85 persen emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari aktivitas penggunaan lahan, yang sekitar setengahnya terkait dengan gambutxiv. Rencana aksi langsung menyusul komitmen penurunan emisi gas rumah kaca Presiden Yudhoyono adalah Rencana Kerja Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Nasional pada 2011xv. Rencana tersebut berisikan serangkaian aktivitas penting yang harus dilakukan untuk mewujudkan perlindungan lahan gambut, mulai dari survey dan koleksi data, inventarisasi dan pemetaan kriteria untuk melindungi kubah gambut serta rencana kerja tingkat provinsi untuk perlindungan gambut, hingga pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan. Baik secara vertikal maupun horisontal, beberapa badan pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan rencana aksi tersebut: Kementerian Lingkungan, Kementerian Pekerjaan Umum, BAPPENAS, dan berbagai institusi di tingkat provinsi. Aturan gambut yang baruxvi mengadopsi pendekatan serupa dan secara eksplisit mengelompokkan kembali tugas-tugas dalam Rencana Kerja Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca menjadi sebuah mandat bagi Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut yang sejalan dengan kebijakan-kebijakan nasional dan lokal. Mandat itu juga menegaskan kriteria untuk menentukan ekosistem lahan gambut mana yang harus dilindungi dan mana yang bisa dikelola. Di saat hal ini adalah langkah maju untuk mencapai koherensi kebijakan, tetapi peraturan baru ini tidak menegaskan tugas-tugas penting bagi strategi dan kebijakan pemerintah yang lain, tidak mencantumkan semua aktor politik yang relevan, dan kriteria yang ditetapkan terlalu lemah.

Pemerintah Indonesia Membaurkan Perlindungan Gambut Dan Kebijakan Pengelolaan Dalam beberapa tahun terakhir, satu lagi paket dokumen strategis telah disusun dengan mandat jelas bagi berbagai lembaga pemerintahan untuk bekerja dalam beberapa aspek penting untuk mengurangi emisi dari degradasi gambut dan untuk menghentikan konversi gambut, berdampingan dengan paket lintasan pendorong dengan diadopsinya UndangUndang Lingkungan dan Rencana Kerja Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Meski rencana kerja dan strategi klaster kedua ini juga punya kaitan langsung dengan komitmen penurunan emisi Presiden Yudhoyono, ia berjalan dalam koridor yang ditetapkan oleh kemitraan bilateral REDD+ antara Indonesia dan Norwegia yang ditetapkan pada 2010 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LoI)xvii.


Dua hal penting yang terkandung dalam LoI adalah penyusunan strategi REDD+ menyeluruh dan pembentukan Badan REDD+ untuk mengawasi penyusunan dan implementasi kerja-kerja terkait REDD+. Indonesia telah mempublikasikan Strategi Nasional REDD+ pada 2012. Strategi ini mencakup misi eksplisit untuk memperkuat institusi-institusi pengelola lahan gambut, meningkatkan aturan-aturan dan undang-undang terkait sertai meningkatkan kapasitas pengelolaan sumberdaya lahan gambut dengan mandat jelas bagi Badan REDD+ untuk bertanggung jawab terhadap peningkatan kapasitas pengelolaan lahan gambut melalui berbagai ukuran termasuk implementasi moratoriumxviii. Badan ini juga mendapat mandat untuk menyiapkan mekanisme dan aturan guna mengklasifikasi ulang konsesi-konsesi yang ada. Di atas semua itu, sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan berbagai sektor juga secara eksplisit disebutkan sebagai pendekatan utama untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan lahan berkelanjutan serta konservasi dan rehabilitasi lahan. Sebuah inventarisasi lahan gambut, evaluasi kondisinya, riset mengenai ijin eksploitasi dan mengambil langkah menuju rehabilitasi, semuanya menjadi bagian dari pendekatan ini. Tumpang tindihnya mandat ini dengan mandat Kementerian Lingkungan dalam Regulasi Gambut yang baru adalah sangat jelas, terutama untuk mempercepat implementasi UU Lingkungan tersebut sebagai mandat eksplisit bagi Badan REDD+. Satu hal lain yang juga sangat jelas dalam Regulasi Gambut baru yang baru ini adalah kelalaian terkait pencapaian-pencapaian penting untuk menghentikan disintegrasi lahan gambut yang masuk dalam strategi nasional REDD+; rehabilitasi dan restorasi ekosistem gambut, peninjauan kembali konsesi, memfasilitasi pertukaran lahan dan pembentukan database lahan terdegradasi. Badan REDD+ sendiri baru secara formal berdiri pada Agustus 2013xix. Mandatnya secara jelas adalah peran koordinasi terkait masalah-masalah yang relevan dengan REDD+ tetapi tidak diberkan kewenangan pada institusi ini untuk melakukan langkah terhadap kementerian-kementerian yang terkait serta tidak melibatkan Kementerian Pertanian yang bertanggung jawab terhadap pengeluaran izin perkebunan seperti kelapa sawit. Pilihan Presiden untuk tidak memberi mandat yang kuat kepada badan ini menjadikan negara ini tidak punya badan koordinasi yang diperlukan untuk menangkal penyebab perusakan gambut dan deforestasi dalam cara yang terintegrasi. Mandat pararel Regulasi Gambut untuk Menteri Lingkungan Hidup untuk menyusun rencana kerja gambut terpisah membuat keadaan menjadi semakin membingungkan.

Kenapa Aturan Baru Tidak Bisa Efektif Dalam Menyelamatkan Lahan Gambut Tumpang tindih mandat dan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan serta kurangnya keterlibatan para pemain kunci seperti Kementerian Pertanian mengarah kepada pendekatan yang terpisah dan campur aduk dalam pengelolaan dan perlindungan lahan gambut tanpa adanya rencana kerja terpadu yang mengintegrasikan semua kerjakerja relevan demi efektifitas dalam menangani penyebab perusakan gambut. Peraturan Gambut diharapkan akan dapat mengatasi masalah itu. Kurangnya pendekatan holistik terkait ekosistem gambut dan pertanahan serta untuk mengatasi penyebab perusakan gambut menjadi gamblang dengan kriterianya yang lemah untuk membedakan antara ekosistem yang harus dilindungi dengan yang bisa dikelola. Gambut dangkal yang dalamnya kurang dari satu meter praktis tidak terlindungi, tanpa adanya pertimbangan bahwa faktanya kawasan itu kerap menjadi bagian dari kubah


gambut yang lebih besar. Kubah gambut semacam ini dalam ancaman besar dan akan rusak jika lingkungan sekitarnya sudah terdegradasi dan tidak dilindungi sepenuhnya. Peraturan Gambut juga mengabaikan fakta bahwa banyak kawasan lahan gambut berada dalam konsesi yang sudah diberikan. Peraturan itu tidak dapat berbuat apa-apa dalam melindungi kawasan tersebut dan juga tidak mempertimbangkan solusi bagaimana mengatasi permasalahan banyaknya lahan gambut yang masuk dalam wilayah konsesi dari perspektif pengelolaan lahan yang dipromosikan oleh Strategi Nasional REDD+. Singkatnya, regulasi ini tidak akan mengatasi masalah rusaknya lahan gambut Indonesia di masa mendatang. Pentingnya pendekatan pemerintah yang koheren tidak bisa diragukan lagi. Gelombang kebakaran lahan gambut yang terjadi baru-baru ini di Sumatra dan Kalimantan adalah kasus yang menunjukkan apa yang akan terus terjadi jika pendekatan yang dilakukan masih sama seperti saat inixx. Berbagai Undang-undang dan peraturan yang secara terpisah melindungi lahan gambut praktis tidak ditegakkan: Inpres tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung termasuk perlindungan gambut dalamxxi, larangan pembakaran untuk pembukaan lahanxxii, moratorium yang telah diperbaharuixxiii dan berbagai Keputusan serta Peraturan Kementerian Kehutanan mengenai taman nasional dan kawasan hutan lindung. Hal ini menambah satu peraturan baru yang juga punya rencana kerja tersendiri yang samasekali bukan merupakan solusi. Tertinggal Dari Gerakan Global Untuk Menghentikan Perusakan Gambut Sementara itu, semakin banyak aktor-aktor yang bergerak untuk mengatasi perusakan gambut dari rantai suplai komoditi global. Pada sisi produsen, perusahaan seperti Golden Agri Resources (GAR)xxiv, Asia Pulp & Paper (APP)xxv, Wilmarxxvi dan para anggota Palm Oil Innovation Groupxxvii telah secara eksplisit mengeluarkan komitmen penghentian perusakan gambut dalam membangun perkebunan mereka. Perusahaan yang memilikiperkebunan di lahan gambut yang cukup luas itu, kini sedang melakukan eksplorasi dan penelitian tentang solusi-solusi untuk mencegah dampak buruk ini. Di saat masih membutuhkan banyak bantuan, masyarakat lokal juga semakin banyak yang bergabung dengan gerakan rantai suplai minyak sawit global ini, dengan mengupayakan didapatkannya sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan melakukan praktek-praktek pengelolaan gambut dan hutan yang baikxxviii. Pada sisi konsumen, semakin banyak merekxxix yang mengeluarkan minyak sawit yang berasal dari perusakan hutan dan gambut dalam rantai suplai mereka dan bekerja sama dengan pemasok mereka demi mencapai tujuan tersebut. Pemerintahan negara-negara konsumen juga menerapkan inisiatif untuk mengurangi perusakan hutan dan gambut dalam rantai pasokan global, mulai dari melakukan kemitraan-kemitraan masyarakat-swastaxxx hingga melakukan penghitungan terhadap jejak hutan global merekaxxxi. Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan dan pengukuran untuk menghentikan disintegrasi gambut, tetapi sebagian besar dilakukan dalam perspektif REDD+ dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Pendekatan rantai pasokan global tambahan untuk menanggulangi penyebab utama perusakan hutan belum diadopsi oleh pemerintah dimana pada saat bersamaan hal berpotensi untuk mewujudkan tujuanpengurangan emisi gas rumah kaca pemerintah yang telah diadopsi oleh makin banyak perusahaan. Kebijakan-kebijakan individu perusahaan dan metodologi penerapan mereka harus terintegrasi dengan kebijakan pemerintah daripada muncul secara sendiri-sendiri.


Lebih jauh lagi, pemain korporat perlu masukan dan dukungan pemerintah untuk bisa sukses mengimplementasikan kebijakan mereka dalam bentuk insentif bagi praktik yang baik; penyusunan Undang-Undang, tatakelola pemerintahan yang baik dan penegakkan hukum untuk menciptakan kesetaraan di seluruh sektor, serta kerangka aturan yang tepat untuk memungkinkan adanya implementasi kebijakan-kebijakan Perlindungan Hutan dan Nol Deforestasi. Habitat satwa liar dan lahan gambut melebihi batas-batas konsesi. Solusi terintegrasi pada tingkat pemerintah diperlukan untuk mendorong dampak positif dari inisiatif perlindungan dan restorasi gambut perusahaan-perusahaan tersebut. Kesimpulan Dan Rekomendasi Peraturan Gambut baru yang akan disahkan Presiden Yudhoyono ini tidak akan memperbaiki kondisi kritis lahan gambut dan hutan gambut Indonesia. Aturan ini gagal melindungi semua lahan gambut, termasuk gambut dangkal dan kawasan gambut yang berada dalam konsesi yang telah diberikan. Rencana kerja yang koheren untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut juga tidak ada, ditambah dengan banyaknya sasaran penting yang tersebar secara pararel di bawah beragam badan pemerintah yang berbeda. Di saat bersamaan, para pemain industri sudah mulai menjalankan kegiatan mereka untuk merusak lahan gambut. Pemerintah Indonesia harus mengimbangi ambisi ini dan menciptakan kerangka kerja agar inisiatif ini bisa sukses. Presiden Yudhoyono harus menunda penandatanganan Peraturan Gambut ini dan menginstruksikan kepada pemerintah untuk: -

Merevisi draft RPP Gambut untuk melindungi semua lahan gambut;

-

Menciptakan rencana aksi gambut koheren yang dibangun berdasarkan seluruh rencana kerja pemerintah yang sudah ada dengan fokus kepada solusi pertanahan yang terintegrasi. Sebuah rencana kerja pemerintah juga perlu memasukkan inisiatif dari sektor swasta dan masyarakat yang relevan;

-

Menegakkan moratorium dan memastikan bahwa perkebunan kelapa sawit, kertas dan lainnya dibangun di lahan bernilai karbon rendah;

-

Mengkaji ulang izin konsesi yang telah diberikan. Memberantas ilegalitas, termasuk kegagalan mengikuti proses perizinan dan kegagalan memenui aturan-aturan lahan gambut atau pelarangan pembakaran. Mencabut konsesi yang terus menerus melanggar serta konsesi yang didapat berdasarkan pelanggaran aturan;

-

Menciptakan daftar publik nasional segala jenis konsesi –termasuk penebangan hutan selektif, kelapa sawit, kertas dan batubara—dan mempublikasikan Satu Petaxxxii. Membangun sistem pengawasan deforestasi nasional yang independen untuk menuju proses transparansi yang lebih besar, memastikan pengawasan dan penegakkan yang efektif, dan memberdayakan masyarakat lokal serta pemangku kepentingan lain. Ini akan membuat para pemangku kepentingan dapat mengawasi dampak operasi, mengungkap dan membuat pihak-pihak perusak lingkungan seperti pembakaran dan pengeringan gambut ilegal untuk bertanggung jawab dan meningkatkan tatakelola dengan cara memperkuat upaya penegakkan hukum terhadap pihakpihak yang melanggar;

-

Menyusun basis data lahan terdegradasi untuk digunakan dalam proses pertukaran lahan yang efektif, memungkinkan konsesi resmi di hutan dan kawasan lahan gambut ditukar dengan konsesi di kawasan bernilai karbon


rendahxxxiii dengan memperhitungkan lingkungan dan ekonomi.

kepentingan-kepentingan

Greenpeace Indonesia Jl. KH. Abdullah Syafi'ie Tebet Timur, Jakarta 12820 www.greenpeace.or.id

sosial,




i

IGBP (1999); Patterson (1999) dikutip dari: Noor, et al 2005. Pendekatan Berbasis Komunitas dalam Adaptasi dan Pengelolaan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, Jambi, dan Sumatra Utara, Indonesia. Dipublikasikan dalam: Mudiyarso D. & H. Herawati (eds) 2005. Karbon Kehutanan: Siapa yang akan diuntungkan. Menyusul Workshop Sekuestrasi Karbon dan Sumber Penghidupan Berkelanjutan, http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BMurdiyarso0501.pdf : 128. ii Page, S.E., Rieley, J.O. & Banks, C.J. 2011. Kepentingan Global dan Regional dari Pengumpulan Karbon LahanGambut Tropos. Biologi Perubahan Global 17: 798–818 iii IPCC (2013) Perubahan Iklim 2013: Basis Ilmu Fisika, kontribusi Kelompok Kerja I untuk Laporan Asesmen IPCC ke-5 Ch. 6 http://www.ipcc.ch/report/ar5/wg1/#.Um6XYDhFD5o iv Lihat Appendix 1: Titik Api pada Februari 2014 di lahan gambut dalam kawasan moratorium. v Ibid. vi Presiden Republik Indonesia 2013. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/173769/Inpres0062013.pdf. vii Berdasarkan emisi dari deforestasi sebesar 8,52 miliar ton. IPCC WGIII (2007): 104. Emisi lahan gambut Indonesia adalah 1,8 GT/tahun. Hooijer et al (2006): 29. CIA (2007) menyatakan kawasan tanah adalah seluas 15 miliar hektar. IPCC,Kelompok Kerja III 2007.Perubahan Iklim 2007: Mitigasi. Kotribusi Kelompok Kerja III kepada Laporan Kajian Keempat Panel Antarpemerintah Untuk Perubahan Iklim Metz B., Davidson O. R., Bosch P. R., Dave R., Meyer L. A. (eds), Cambridge University Press, Cambridge, Inggris dan New York, USA. Hooijer, A, M Silvius, H Wösten, H dan S Page (2006) PEAT-CO2, asesmen emisi CO2 dari pengeringan lahan gambut di Asia Tenggara laporan Delft Hydraulics Q3943 7 Desember 2006 www.wetlands.org/ckpp/publication.aspx?ID=f84f160f-d851-45c6-acc4-d67e78b39699: 29 viii Lihat Appendix 3: Titik api pada Februari 2014 di lahan gambut dan habitat spesies. ix Analisa pemetaan Greenpeace, berdasarkan peta tutupan lahan pada 2009 dan 2011, disediakan pada Greenpeace oleh Kementerian Kehutanan, Indonesia, pada 2013. x Lihat Appendix 2: Titik api pada Februari 2014 pada lahan gambut dan kawasan konsesi. xi Presiden Republik Indonesia 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%2032%20Tahun%202009%20%28PPLH%29.pdf. xii Salah satu aspek kritis dari Undang-Undang Lingkungan adalah kewajiban untuk mendapat Izin Lingkungan sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin bisnis lain. Kementerian Lingkungan telah menyusun dan mengimplementasikan peraturan yang hingga saat ini belum disetujui. xiii The Jakarta Globe, 22 November 2009. Greenpeace Mendesak SBY untuk Beraksi Demi Emisi Indonesia, http://www.tffindonesia.org/index.php/en/the-jakarta-globe/170-greenpeace-calls-out-sby-to-act-on-indonesias-emissions. xiv Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) 2010. ‘Menetapkan arah bagi pertumbuhan hijau Indonesia’ presentasi Konferensi Pers 6 September 2010, http://forestclimatecenter.org/files/2010-09-06%20Setting%20a%20Course%20for%20Indonesias%20Green%20Growth%20-%20DNPI%20Press%20Conference%20Presentation.pdf : 5. xv Presiden Republik Indonesia 2011. Peraturan Presiden no 61_2011 tentang Rencana Kerja Nasional dalam Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, http://forestclimatecenter.org/files/2011-0920%20Presidential%20Regulation%20No%2061%20on%20The%20National%20Action%20Plan%20for%20Greenhouse%20G as%20Emission%20Reduction.pdf. xvi Pemerintah Republik Indonesia 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor X Tahun X Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, http://jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.PP%20PPEG.pdf. xvii Pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Republik Indonesia 2010. Nota Kesepahaman mengenai Kerjasama penurunan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, 26 Mei 2010. http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/Letter_of_Intent_Norway_Indonesia_26_May_2010.pdf. xviii SATGAS REDD+ 2012. REDD+ Strategi Nasional, http://www.unorcid.org/upload/doc_lib/Indonesia%20REDD+%20National%20Strategy.pdf. xix Presiden Republik Indonesia 2013. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 Tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan Dan Lahan Gambut, http://www.fordamof.org//files/Perpres_62_20133.pdf. xx Aritonang, M. S. & N. Osman 2014. Badan Penanggulangan Bencana Nasional menyatakan bahwa hal terburuk masih akan datang. The Jakarta Post online Headlines, Rabu, 5 Maret 2014, http://www.thejakartapost.com/news/2014/03/05/disasterrelief-agency-says-worst-yet-come.html. xxi Presiden Republik Indonesia 1990. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/dokumen-publikasi/doc_download/337-keppres-no32-tahun-1990-. xxii Membuka lahan dengan cara membakar dilarang oleh Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (lihat endnote xi) dan Peraturan Pemerintah No. 4/2001 tentang Pengelolaan Degradasi Lingkungan dan/atau Polusi terkait Hutan atau Kebakaran Lahan: http://dsdan.go.id/index.php?option=com_rokdownloads&view=file&task=download&id=35%3App-nomor-04-tahun2001&Itemid=2. xxiii Presiden Republik Indonesia 2013. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/173769/Inpres0062013.pdf. xxiv Golden Agri Resources 2011. Golden Agri Resources Menginisiasi Pendekatan Industri untuk Konservasi Hutan, 9 Februari 2011, http://www.goldenagri.com.sg/110209%20Golden%20AgriResources%20Initiates%20Industry%20Engagement%20for%20Forest%20Conservation.pdf.


xxv

APP 2013. Kebijakan Konservasi Hutan APP, http://www.asiapulppaper.com/system/files/app_forest_conservation_policy_final_english.pdf. xxvi

Wilmar 2013. Kebijakan No Deforestasi,No Gambut, No Eksploitasi,5 Desember 2013, http://www.wilmarinternational.com/wp-content/uploads/2012/11/No-Deforestation-No-Peat-No-Exploitation-Policy.pdf. xxvii Palm Oil Innovation Group 2013. Palm Oil Innovation Group Charter, 13 November 2013, http://www.greenpeace.org/international/Global/international/photos/forests/2013/Indonesia%20Forests/POIG%20Charter%201 3%20November%202013.pdf. xxviii Lihat Sawit Watch & Oxfam Novib s.d. Program Meningkatkan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan bagi Masyarakat, petani kecil dan buruh untuk berpartisipasi dan mengambil keuntungan, http://www.oxfamnovib.nl/Redactie/Downloads/English/SPEF/103%20SpecialProj%20Leaflets%20%20Palmolie%20gewHerdruk%20-%20def%20LoR.pdf. xxix Lihat contoh Davidson, H. 2014. Greenpeace desak Procter & Gamble untuk menolak praktek minyak sawit yang merusak. The Guardian Online, 27 Februari 2014, http://www.theguardian.com/environment/2014/feb/27/greenpeace-urges-proctergamble-to-reject-harmful-palm-oil-practices. xxx Tropical Forest Alliance 2013. Tropical Forest Alliance 2020: Mengurangi Deforestasi yang Didorong oleh Komoditi, http://www.tfa2020.com/index.php/objectives. xxxi European Commission 2013.Dampak konsumsi Uni Eropa dalam deforestasi: Analisa komprehensif mengenai dampak konsumsi Uni Eropa dalam deforestasi.Laporan final, http://ec.europa.eu/environment/forests/pdf/1.%20Report%20analysis%20of%20impact.pdf. xxxii Satu Peta adalah sistem pemetaan yang menstandarisasi pemetaan tutupan hutan yang berbeda-beda, pemanfaatan lahan dan batas administratif yang digunakan oleh kementerian serta pemerintah lokal – lihat Anderson, J. 2013. Sebuah Perbincangan dengan Nirarta “Koni” Samadhi terkait hutan Indonesia. WRI Insight 7 Mei 2013, http://insights.wri.org/news/2013/05/conversation-nirarta-koni-samadhi-indonesias-forests#sthash.dh95bKFM.dpuf. xxxiii

Sebuah pendekatan HCS yang pantas sebagai tambahan bagi asesment HCV bisa digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi lahan terdegradasi yang sebelumnya adalah hutan. Kriteria untuk lahan terdegradasi harus memasukkan identifikasi dan dikeluarkannya hutan HCS dan lahan gambut. Hutan HCS berada di atas level antara hutan sekunder yang terdegradasi secara natural dan lahan terdegradasi yang merupakan semak belukar muda atau padang rumput. Pendekatan HCS yang secara efektif dikombinasikan dengan konservasi karbon dan keanekaragaman hayati yang bertujuan untuk menciptakan hutan alam yang mungkin dikonservasi secara ekologis. Lihat situs Golden Agri-Resources ‘Konservasi Hutan Berkandungan Karbon Tinggi’ dan Greenpeace International 2013. Mengidentifikasi hutan Berkandungan Karbon Tinggi (HCS) untuk diproteksi, Maret 2013 http://www.greenpeace.org/international/Global/international/briefings/forests/2013/HCS-Briefing-2013.pdf.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.