Copyrights © 2008 by INDOCASE Published in the Netherlands by INDOCASE Press. All rights reserved. No part of this book may be reproduced in any manner whatsoever without written permission. For information, contact: INDOCASE Press, Bakkersstraat 35, 2513 TJ, ‘sGravenhage – Nederland, Tel: +31- Tel: +31-152160340, Email: gunaryadi@indocase.nl, Website: http://indocase.nl. ISBN/EAN: 9789490633028
Veel dank aan mijn lieve en trouwe vrouw, Dessy... opgedragen aan... en onze dochtertjes: Jasmijn en Hannah
ii
SEKAPUR SIRIH “Transforming the European Union into a single state with one army, one constitution and one foreign policy is the critical challenge of the age.” ― Joschka Fischer (Menteri Luar Negeri Jerman 1998-2005), The Guardian, 26 November 1998
B
uku1 ini adalah hasil sebuah kajian tentang bagaimana dan sejauhmana kebijakan luar negeri Belanda—mengingat negeri ini sebuah negara kecil—mengalami Eropanisasi. Fokus dari kajian ini adalah, pertama, bagaimana kebijakan luar negeri Belanda terkait dengan Common Foreign and Security Policy (CFSP) dan konsekuensinya terhadap kebijakan luar negeri Belanda sebagai sebuah nation state sekaligus anggota Uni-Eropa (EU). Kedua, apakah analisis terhadap kasus kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia—mengingat Belanda adalah bekas penguasa di Hindia Belanda tersebut—bisa memberikan penjelasan terhadap hakikat dari proses Eropanisasi. Pertanyaan yang coba dijawab melalui analisis ini adalah: (1). Sejauhmana kebijakan luar negeri Belanda telah mengalami Eropanisasi?; (2). Bagaimana hubungan antara kebijakan luar negeri Belanda dengan CFSP dan akibatnya terhadap kebijakan luar negeri nasional?; dan (3). Bagaimana kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia bisa memberikan penjelasan terhadap fenomena Eropanisasi tersebut? Disamping untuk menjawab pertanyaan di atas, penyusunan buku ini adalah juga untuk memperbanyak input literatur tentang EU bagi pembaca di tanah air. Hingga saat ini visibilitas EU di Indonesia masih cukup kabur. Padahal EU bagi Indonesia adalah mitra global yang sangat penting. Diharapkan, penyebaran informasi-informasi kontemporer yang berkembang di Eropa bisa memberikan sumbangan dalam pen-
1
Buku ini merupakan hasil kajian yang dinisbatkan kepada INDOCASE. Meskipun lembaga ini dideklarasikan 10 September 2005, tetapi konsep dan gagasan pembentukannya jauh mendahului deklarasi tersebut. iii
ingkatan visibilitas EU di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan hubungan kedua belah pihak. Buku ini disusun ke dalam enam bab. Tetapi sebelum masuk ke korpus analisis, dipaparkan pula tentang ‘Indonesian Centre for Actual Information and Studies on Europe’ atau INDOCASE, disusul dengan tinjuan ringkas peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Eropa hingga paruh-pertama abad ke-20, yang dilanjutkan dengan uraian tentang struktur EU serta organ-organnya. Kemudian, dalam Bab 1 dibahas latar belakang dari masalah yang dianalisis, diikuti oleh batasan dan tujuannya, rumusan pertanyaan, signifikansi, serta metodologi dan koleksi data. Bab 2 secara ringkas meninjau kebijakan luar negeri Belanda. Bagian ini menjadi basis bagi bagian selanjutnya sekaligus memberikan penjelasan terhadap argumentasi bahwa Belanda termasuk kategori negara kecil dalam EU. Tinjauan pada bab ini dimulai dari perspektif historis, dilanjutkan dengan mekanisme nasional dan prosedur kebijakan, kebebasan bermanuver yang mencakup determinan internal dan eksternal, prinsip-prinsip, dan tujuan dari kebijakan luar negeri Belanda. Bab 3 menganalisis bagaimana kebijakan luar negeri Belanda mengalami proses Eropanisasi. Dalam bab ini analisis dikonsentrasikan pada sikap, kontribusi, dan peranannya dalam proses evolusioner perkembangan kapasitas CFSP, sekaligus dampak dari proses tersebut terhadap kebijakan luar negeri nasionalnya. Kapasitas dalam hal ini, sebagaimana yang didefinisikan oleh Christopher Hill (1994) mencakup kemampuan untuk sepakat, kemampuan untuk bertindak dan sejauhmana pengerahan sumbersumber daya untuk mendukung aksi dan tindakan yang telah disepakati bersama. Bagian ini juga mencoba mengukur konsekuensi dari perkembangan tersebut terhadap kebijakan luar negeri Belanda. Periode analisis pada bab ini merujuk pada perkembangan kebijakan luar negeri dan keamanan Eropa hingga bentuk yang lebih kontemporer sebagaimana yang telah digambarkan sebelumnya. Periodesasinya dibagi menurut masa EPC (1970-1980), Akta Tunggal Eropa (1980-1988), CFSP berdasarkan Traktat Maastricht (19881993), dan CFSP dalam Traktat Amsterdam dan Traktat Nice (19932003). iv
Meskipun kajian ini tidak menganalisis perkembangan traktat secara menyeluruh, tetapi tinjauan tetap diberikan pada perubahanperubahan yang relevan terjadi pada kebijakan luar negeri dan keamanan bersama Eropa. Bab ini juga mencakup analisis terhadap perkembangan Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Eropa (European Security and Defence Policy – ESDP) sebagai bagian dari CFSP, dan bagaimana persepsi Belanda dan peranannya dalam perkembangan institusi tersebut. Bab 4 mengkaji kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam periode 1945-2003. Analisis dalam bab ini menggunakan perspektif quasi-intergovernmental di mana kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dikaji sebagai sebuah negara berdaulat nyaris tanpa menempatkan Belanda sebagai salah satu negara anggota EU. Bab 5 menelusuri kebijakan CFSP dan Belanda terhadap Indonesia sejak pembentukan EPC hingga CFSP. Maksud utama dari bagian ini adalah untuk menilai dinamika kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dan apakah mekanisme yang telah tereropanisasi tersebut bisa memberikan peluang-peluang baru baru untuk memperkuat mekanisme yang ada, atau bahkan sebaliknya, membawa resiko yang bisa menghambat kapabilitasnya baik sebagai negara kecil maupun sebagai bekas penguasa Indonesia. Akhirnya, Bab 6 merupakan epilog. Bagian ini memberikan kesimpulan terhadap bab-bab sebelumnya khususnya yang berkaitan langsung dengan tujuan dan pertanyaan yang dirumuskan dalam analisis.
v
INDONESIAN CENTRE FOR ACTUAL INFORMATION (INDOCASE) SELAYANG PANDANG 1. Rasional ndonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara menurut banyak indikator. Dari ukuran, luasnya menyamai bentang geografis Eropa Barat, atau kurang-lebih setara dengan bentang daratan dari Amerika Serikat.2 Terdiri dari lebih 18.000 pulau, Indonesia berpenduduk—menurut proyeksi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)—290 juta jiwa pada tahun 2050. Di Asia Tenggara, Indonesia pernah menjadi kekuatan yang dominan dan diperhitungkan. Aspirasi dan leverage regional ini berakhir ketika krisis moneter dan ekonomi melanda kawasan itu tahun 1997/1998, dan Indonesia adalah negara yang terparah menderita krisis tersebut karena fondasi ekonominya paling rapuh. Krisis tersebut ternyata membawa dampak yang sangat luas dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan keamanan. Salah satunya adalah suksesi kekuasaan (regime change) yang biasa di sebut Era Reformasi. Demokratisasi yang menjadi esensi perubahan kekuasaan dalam masa transisi ini terbukti mengalami perlambatan dari segi partisipasi politik, keterbukaan politik dan intelektual, good governance, memberantas KKN, perbaikan kondisi ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan sektor keamanan. Meskipun akhir-akhir ini Indonesia sering dianggap sebagai bangsa yang berada pada masa transisi, tetapi dalam banyak kesempatan negara ia dinilai sebagai kekuatan demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS. Bagi EU, Indonesia tetap sebagai salah satu pemain kunci di kawasan Asia-Pasifik.3 Kebijakan baru yang diluncurkan EU berupa ‘European Neighbourhood Policy’ (ENP) sebagai sarana strategi untuk mencegah munculnya konflik di perbatasan EU yang
I
2
3
Lihat: H.P. Jones (1971). Indonesia: The Impossible Dream. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., hal. 107. European Commission (2000, 2 February). ‘Developing closer relations between Indonesia and the EU’, COM [2000] 50 final – Communication from the Commission. vi
diperluas tahun 2004 menjadi 25 negara anggota dengan negaranegara di sekelilingnya bisa dipastikan hanya membawa sedikit penyesuaian dalam kebijakannya terhadap Indonesia. Dalam tataran dunia yang interdependen4, pentingnya EU bagi Indonesia bisa dikatakan sama dengan pentingnya Indonesia bagi EU.5 Bagi Indonesia, EU adalah mitra dagang terbesar kedua setelah Jepang, and menjadi tujuan terbesar komoditas produk non-migas Indonesia tahun 1998. Melalui negara anggotanya, EU adalah penanam modalasing langsung terbesar di Indonesia. Sejalan dengan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang ‘bebas’ dan ‘aktif,’ EU juga memerlukan EU sebagai mitra untuk mengimbangi menguatnya unilateralisme dalam penyelesaian persoalan global. Meskipun secara geografis Indonesia tidak terlalu dekat, EU memerlukan Indonesia sebagai pasar bagi produk mereka, begitu pula sebaliknya. Hingga saat ini, komoditas dari EU menguasai porsi terbesar pasar Indonesia. Disamping itu, banyak pula negara anggota EU yang terkemuka yang memiliki kepentingan nasional di Indonesia. Negeri ini juga merupakan lahan yang sesuai untuk menyemai nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan mitra yang konstruktif dalam memberantas terorisme. EU telah menempatkan hubungannya dengan Indonesia dalam kerangka yang paling supranasional yaitu ‘European Communities’ (EC) yang Pilar Pertama EU. Bidang kerjasama lebih banyak dalam aspek kerjasama pembangunan dan perdagangan. Secara legalitas, hingga saat ini belum ada perjanjian kerjasama yang bersifat bilateral antara keduanya. Tetapi, kerjasama yang telah berlangsung selama ini berada dalam bingkai ‘EC-ASEAN Cooperation Agreement’ tahun 1980, dan Indonesia termasuk ke dalam ‘Council’s ALA Regulation.’6 Sejak tahun 1976, nilai finansial kerjasama dengan Indonesia telah mencapai 4
5
6
Selanjutnya, lihat R. Jackson dan G. Sørensen (2003). Introduction to International Relations: Theories and approaches. (2nd Ed.). Oxford: Oxford University Press, hal. 112. Gunaryadi (Mei 2003). ‘European Enlargement and Implications on EU-Indonesia Relations’. ASEM Research Platform (International Institute for Asian Studies – Leiden University), pada: http://www.iias.nl/asem. Regulation (EEC) Nº 443/92 of 25 February 1992 on financial and technical assistance to, and economic cooperation with, the developing countries in Asia and Latin America. vii
€325 juta dalam bentuk bantuan hibah, baik melalui saluran pemerintah maupun non-pemerintah. Dalam kerangka kerjasama multilateral, EU merupakan salah satu donor utama bagi Indonesia melalui ‘Consultative Group for Indonesia’ (CGI). Hubungan perdagangan antara EU dan Indonesia pernah dianggap dalam bentuk yang paling maju di antara negara-negara anggota ASEAN.7 Hal ini disebabkan oleh kebijakan diversifikasi ekspor Indonesia yang sebagai besar terdiri dari bahan mentah dan produk pertanian hingga komoditas konsumsi jangka-panjang seperti tekstil, sepatu, perabot, dan elektronika. Dalam tahun 2005, nilai impor EU dari Indonesia berada dalam posisi stabil yaitu sekitar €10,7 milyar, dan ekspor EU ke Indonesia bernilai €4,8 milyar.8 Prinsip dasar dan tujuan dari strategi EU terhadap Indonesia disesuaikan dengan tujuan traktat-traktat EU yang relevan untuk Indonesia dalam kaitannya dengan kerjasama pembangunan dan panduan umum yang dikeluarkan melalui ‘Commission Communication on Development.’ Fokus dari kebijakan pembangunan EC ini adalah pengentasan kemiskinan dalam 6 bidang utama: (1) perdagangan dan pembangunan; (2) integrasi dan kerjasama regional; (3) dukungan terhadap kebijakan ekonomi-makro yang berkaitan langsung dengan strategi pengentasan kemiskinan; (4) transportasi; (5) keamanan makanan dan pembangunan pedesaan yang berkelanjutan; dan (6) penguatan institusional, good governance, dan perbaikan dalam penerapan hukum. Khusus untuk Indonesia, program kerjasama pembangunan untuk periode 2002-2006 difokuskan dalam 2 sektor kebijakan: good governance dan manajemen sumber daya alam.9 Kebijakan dalam sektor kebijakan good governance mencakup administrasi publik yang menangani sarana kesehatan publik dan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin; dan dukungan terhadap liberalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi internasional. Sedangkan dalam sektor mana7
8
9
Lihat: G. Wiessala (2002). The European Union and Asian Countries. London: Sheffield Academic Press, hal 132. European Commission (2005, June). ‘The EU’s relations with Indonesia’, at: http://europa.eu.int/comm/external_relations/indonesia/intro/index.htm. Lebih lanjut, lihat: European Commission (2002, June). ‘EU & Indonesia - Country Strategy Paper 2002-2006,’ at: http://europa.eu.int/comm/external_relations/indonesia/csp/02_06_en.pdf. viii
jemen sumber daya alam mencakup manajemen kehutanan, air, dan pembangunan pedesaan. Dana yang dianggarkan dalam kerjasama pembangunan 4 tahunan tersebut mencapai €216 juta. Sementara itu, ‘Country Strategy Paper’ untuk periode 2007-2013 sedang disusun. Bidang-bidang yang akan menjadi perhatian mencakaup sektor pendidikan, perdagangan, dan investasi. Disamping mekanisme ‘EC-ASEAN Cooperation Agreement’ tahun 1980 di mana Indonesia termasuk salah satu anggota, sarana dialog institusional yang menyokong hubungan EU dan Indonesia dilakukan melalui ASEM, ‘Ministerial and Senior Official’s Meetings’, dan ‘ASEAN Regional Forum’ (ARF). Institusi yang disebutkan terkahir merupakan forum regional yang membahas isu-isu keamanan. Karena intensitas dialog dengan Indonesia masih terbatas jika dibandingkan dengan, misalnya, Thailand dan Filipina, terlihat ada usaha untuk lebih meningkatkan cakupan dan keterlibatan Indonesia ke dalam forum tersebut. Sepanjang tahun 2004 telah terjadi banyak perubahan yang substansial terhadap lingkungan yang menjadi basis hubungan antara EU dan Indonesia. Dalam tahun tersebut, EU dimekarkan dengan 10 negara anggota baru sehingga secara keseluruhan sekarang berjumlah 25 negara. Sedangkan Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilu legislatif, dan pemilihan presiden secara langsung yang pertama dalam sejarahnya.10 Sebuah pemerintah dengan paradigma baru dan lebih segar muncul di Indonesia. Perkembangan tersebut tentu saja membawa tantangan dan peluang baru. Selain prospek ekonomi dan strategis dari perluasan EU, terdapat pula masalah yang masih menyelimuti hubungan kedua belah pihak yaitu visibilitas EU di Indonesia.11 Dibandingkan dengan negara di Asia dan ASEAN, visibilitas EU di Indonesia masih tertinggal jauh dan lebih kabur. Rendahnya kadar visibilitas tersebut berpotensi menghambat pemahaman yang lebih baik terhadap EU di Indonesia.
10
11
Lihat: Gunaryadi (November 2004). ‘Presidential Election & EU-Indonesia Relations.’ EurAsia Bulletin, Vol. 8, No. 7 & 8 July-August 2004. European Institute for Asian Studies, Brussels. Gunaryadi (April 2005). ‘European Union Visibility in Indonesia,’ Asia Europe Journal, Vol. 3, Issue 1. Heidelberg: Springer. ix
EU adalah sebuah ‘aktor’ internasional. Dari segi penguasaan ekonomi, perdagangan dan investasi dunia, EU merupakan kekuatan raksasa. Menyumbangkan 51% dari aliran investasi asing langsung, nilai ekspor barang dan layanannya menguasai 38% pasar dunia, menguasai 36% GNP dunia, menyumbang 56% dari bantuan pembangunan dunia. Disamping itu, negara anggota EU merupakan blok terbesar dalam institusi Bretton Woods: 23% suara di Bank Dunia dan 29% suara di IMF, dan EU menguasai suara kolektif yang terbesar dalam WTO.12 Dari elaborasi di atas, jelas Eropa sebagai kekuatan ekonomi, politik, sains dan teknologi global yang memiliki potensi kemitraan dengan Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, perdagangan, investasi dan strategis. Langkah awal untuk mencapai tujuan tersebut adalah memperbaiki visibilitas EU di Indonesia melalui peningkatan volume dan intensitas informasi yang komprehensif dan aktual serta kajian-kajian terhadap current issues berkaitan dengan integrasi EU dalam sektor ekonomi, sosial, politik, pertahanan, hukum, sejarah, dan bidang lain yang relevan. Untuk membantu pencapaian target-target di atas—melalui peningkatan visibilitas EU di Indonesia—diperlukan sebuah lembaga penyedia informasi dan kajian integrasi EU yang dikembangkan dan dikelola oleh para peneliti dan pemerhati yang memiliki spesialisasi kepakaran dalam kajian kontemporer terhadap EU. Lembaga ini diharapkan memiliki warna yang khas Indonesia karena dikembangkan dan dikelola oleh putera-puteri Indonesia yang sebagian bermukim dan hidup secara langsung dalam habitat Eropa. Rasional tersebut yang melatarbelakangi lahirnya lembaga “Indonesian Centre for Actual Information and Studies on Europe” ini yang disingkat dengan INDOCASE. 2. Visi “Menuju lembaga informasi dan riset yang independen dan credible dalam menyebarluaskan informasi dan mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan kontemporer di Eropa, serta membangun 12
Lihat: M. van Reisen (1999). EU ‘Global Player’: The North-South Policy of the European Union. Brussels: International Books, hal. 2. x
saling pengertian yang lebih baik antara Asia (Indonesia) dan EU dalam bingkai kerjasama dan kemitraan.” 3. Misi a. Eksistensi and Aktualisasi: • Mengupayakan agar lembaga ini berkembang menjadi sebuah lembaga informasi dan riset yang mapan dan independen, sesuai dengan visi di atas. b. Peran dan Layanan: • Berfungsi sebagai think-tank • Memberikan masukan berupa hasil kajian dalam aspek-aspek dari integrasi Eropa kepada para pembuat-kebijakan pada level nasional dan regional. c. Pendidikan Publik: • Membangun pemahaman yang lebih baik tentang EU di kalangan peneliti, dunia usaha, dan pembuat kebijakan baik dari pihak pemerintah maupun swasta, dan masyarakat madani di Indonesia. • Menyebarkan pengetahuan dan informasi yang mutakhir tentang EU di Indonesia dan Asia Tenggara melalui diskusi, konferensi regional dan internasional, workshop, riset dan publikasi. • Ekspektasi di masa depan, lembaga ini diarahkan untuk bisa memberikan layanan pendidikan dan riset dengan kredit yang bisa dikonversi dengan sistem kredit universitas di Indonesia dan internasional. d. Kemitraan: • Menjalin kerjasama dan kemitraan dengan lembaga lain, dengan ilmuwan dan pakar Indonesia dan Eropa dengan spesialisasi kajian Eropa, eksekutif dan dengan komunitas bisnis.
xi
1. 2. 3. 4. 5.
4. Ruang Lingkup Aktivitas Penyebaran informasi dan riset Konsultansi kebijakan Publikasi, penterjemahan dan penerbitan Seminar dan konferensi Dokumentasi
xii
DAFTAR ISI SEKAPUR SIRIH ......................................................................................................................... iii INDONESIAN CENTRE FOR ACTUAL INFORMATION (INDOCASE) SELAYANG PANDANG..................................................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................................................xiii PERISTIWA PENTING DI EROPA HINGGA PARUH-PERTAMA ABAD KE-20 .... 1 1. Sebelum Masehi................................................................................................................ 1 2. Sesudah Masehi ................................................................................................................ 3 3. Kesimpulan.......................................................................................................................15 INSTITUSI YANG BERKAITAN DENGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI EU ..........19 Struktur EU dalam Perspektif ‘Tiga Pilar’ ................................................................19 1. Dewan Eropa ...................................................................................................................20 2. Komisi Eropa ...................................................................................................................22 3. Dewan Uni-Eropa...........................................................................................................23 4. Parlemen Eropa ..............................................................................................................28 4.1. Kepresidenan, Biro dan Konferensi para Presiden.................................30 4.2. Komite .......................................................................................................................31 4.3. Kekuasan Parlemen Eropa ................................................................................31 4.4. Kekuasaan Legislatif ............................................................................................32 4.5. Kekuasaan Anggaran ...........................................................................................33 4.5. Kekuasaan Pengawasan .....................................................................................34 4.7. Menguatnya Peran Politis Parlemen Eropa ...............................................35 BAB 1 ............................................................................................................................................39 PROLOG........................................................................................................................................39 1. Menuju Sebuah Kebijakan Luar Negeri ‘Bersama’? .........................................39 2. ‘Europeanisasi’ Kebijakan Luar Negeri Nasional?............................................43 3. Batasan dan Tujuan Analisis .....................................................................................50 4. Signifikansi Penulisan Buku ......................................................................................52 5. Metodologi dan Koleksi Data ....................................................................................52 BAB 2 ............................................................................................................................................55 KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA: SEBUAH TINJAUAN ..................................55 1. Pengalaman Historis ....................................................................................................55 2. Mekanisme dan Prosedur Kebijakan .....................................................................56 3. Kebebasan Manuver .....................................................................................................58 3.1. Faktor-faktor Determinan Eksternal ............................................................58 4. Faktor-faktor Determinan Internal ........................................................................60 4.1. Geografis, Demografis, dan Ekonomis..........................................................60 4.2. Faktor Politik ..........................................................................................................62 xiii
4.3. Angkatan Bersenjata ...........................................................................................64 5. Prinsip dan Tujuan ........................................................................................................65 BAB 3 ............................................................................................................................................68 BELANDA DALAM EVOLUSI CFSP ....................................................................................68 1. Belanda dalam Kebijakan Luar Negeri Bersama ..............................................68 1.1. Partisipasi Waspada dalam Kerjasama Politik Eropa (EPC) (19701980) ..................................................................................................................................68 1.2. Keseimbangan antara Transatlantisme dan Integrasi? Pergeseran Paradigma (1980-1988).............................................................................................70 1.3. Isu Pertahanan Tetap Kontroversial (1988-1993) .................................73 1.4. Menuju Kebijakan Luar Negeri, Keamanan dan Pertahanan EU yang Lebih Mapan (1993-2003) ........................................................................................75 2. Kebijakan Keamanan dan Pertahanan EU ...........................................................77 2.1. Evolusi European Security and Defence Policy (ESDP) ........................77 2.2. Belanda dan ESDP.................................................................................................81 2.3. Mengukur Pragmatisme Belanda dalam ESDP .........................................86 3. Dampak dari Penguatan Mekanisme CFSP terhadap Kebijakan Luar Negeri Belanda ....................................................................................................................88 BAB 4 ............................................................................................................................................91 KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP INDONESIA 1945-2003...91 1. Kebijakan Luar Negeri Belanda dalam Masa ‘Dekolonisasi’ 1945-1962 91 1.1. Penyerahan Kedaulatan .....................................................................................92 1.2. Masalah Papua Barat ...........................................................................................95 2. Kebijakan Luar Negeri terhadap Indonesia 1963-1992 ................................97 3. Kebijakan Luar Negeri Belanda terhadap Indonesia 1993-2003 ........... 101 4. Tujuan Kebijakan ........................................................................................................ 102 5. Alat dan Instrumen .................................................................................................... 103 6. Pengaruh Internal....................................................................................................... 105 (1945-1962) ................................................................................................................. 105 (1963-1992) ................................................................................................................. 108 (1993-2002) ................................................................................................................. 109 7. Pengaruh Eksternal ................................................................................................... 111 (1945-1962) ................................................................................................................. 111 (1963-1992) ................................................................................................................. 117 (1993-2002) ................................................................................................................. 117 BAB 5 ......................................................................................................................................... 119 CFSP TERHADAP INDONESIA 1970-2003 ................................................................. 119 1. CFSP dalam Aksi .......................................................................................................... 119 2. Kebijakan Luar Negeri Belanda dan Eropanisasi: Beberapa Pergeseran ................................................................................................................................................. 123 xiv
BAB 6 ......................................................................................................................................... 130 EPILOG ...................................................................................................................................... 130 REFERENSI .............................................................................................................................. 133
xv
PERISTIWA PENTING DI EROPA HINGGA PARUHPERTAMA ABAD KE-2013
B
agian ini mengulas berbagai peristiwa penting dalam sejarah Eropa secara kronologis. Tinjauan sekilas ini mencakup periode ‘Sebelum Masehi’ dan ‘Sesudah Masehi’ hingga paruh pertama abad ke-20. Pemetaan rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut akan membantu memberikan gambaran tentang masa lalu Eropa. Diharapkan wawasan ini juga akan mengantarkan kita kepada penelusuran historis dan implikasi masa lalu terhadap integrasi EU seperti yang kita saksikan sekarang. Seberapa banyak energi dan konsensi yang telah dan masih perlu dicurahkan demi sebuah Eropa yang bersatu sulit diukur. Tetapi usaha perluasan tersebut akan memungkinkan negara-negara di Eropa Tengah dan Eropa Timur menjadi bagian dari sebuah Eropa yang sama sekali berbeda dari Eropa di masa lalu. Mengapa pengamatan terhadap integrasi EU mustahil mengabaikan aspek kesejarahan? Karena— sebagaimana yang ditegaskan oleh Norman Davies (1996)—integrasi Eropa yang dimulai di Eropa Barat pasca Perang Dunia II itu tidak bisa terlepas dari idealisme yang mengandung dimensi historis yang amat penting.14
1. Sebelum Masehi Tahun 3500 Zaman Neolitik (Akhir Zaman Batu) dimulai di Eropa Barat. Zaman ini terus berlangsung hingga sekitar tahun 1700 ketika Eropa memasuki Zaman Perunggu, yang disusul dengan dimulainya Zaman Besi tahun 1000.
13
14
Pada garis besarnya, kronologi ini banyak mengacu pada Merriam-Webster Inc. (1994) Webster’s New Encyclopedic Dictionary, Cologne: Könemann Verlags GmbH, hal. 1451-1481. Lihat Davies, N. (1996) Europe. A History, Oxford: Oxford University Press, hal. 42.
Tahun 753 Kota Roma didirikan. Menurut hikayat, Roma didirikan oleh Romulus, saudara kembar Remus.15 Tahun 658, Byzantium— kemudian menjadi Konstantinopel—didirikan oleh para pendatang dari Yunani. Draco, penguasa Athena, tahun 621 membuat undang-undang yang memungkinkan pelanggarnya dikenakan hukuman mati. Tahun 594 Raja Solon dari Athena memperkenalkan konstitusi baru dan seperangkat undang-undang serta membangun cikal-bakal demokrasi Athena. Tahun 509 Roma menjadi republik. Tahun 490 pasukan Yunani mengalahkan pasukan Persia dalam Pertempuran Marathon. Satu dekade kemudian pecah lagi perang antara Yunani dan Persia di Thermopylae yang disusul pertempuran di Salamis tahun 480, dan Palatai tahun 479.16 Tahun 460 Hippokrates lahir yang kemudian dikenal sebagai dokter dan dianggap sebagai ‘Bapak Ilmu Kedokteran’ Yunani. Kumpulan karyanya tersimpan dalam Corpus Hippocraticum, dan Hippokrates meninggal tahun 370.17 Tahun 449 sejarawan Yunani, Herodotus, dianggap oleh sebagian orang sebagai ‘Bapak Sejarah’, menulis buku yang berjudul History yang berisikan kisah-kisah perang antara Yunani dan Persia. Karyanya ini merupakan gabungan antara legenda dan anekdot. Herodotus merupakan orang pertama yang mengkaji bahan dan fakta sejarah secara kritis. Tahun 399 filosof Yunani, Sokrates, menyusun disiplin kalam Sokratis (Socratic dialogue). Tahun 387 Plato, murid Sokrates mendirikan Akademeia di Athena.18 Berbagai karya dan konsepnya seperti raja-filosof dan eksistensi bentuk-bentuk ideal menjadi dasar terbentuknya filsafat Barat. Tahun 343, Aristoteles, murid Plato, menjadi guru Alexander Agung dari Macedonia. Tahun 336 Alexander Agung menjadi raja Macedonia. Ketika dia meninggal tahun 323, kekuasaannya meliputi seluruh Yunani, Mesir, 15
16
17 18
Halsberghe, G.H. dan Halsberghe, G. (1989) XYZ van de Grieks-Romeinse Oudheid, Houten: De Haan, hal. 667-670. Lihat Smulders, T (1992) Gescheidenis van Europa, Lier: Malmberg/Den Bosch: Van In, hal. 50-51. Smulders, T (1992), op.cit., hal. 340. Smulders, T (1992), op.cit., hal. 598. 2
Persia, dan sampai ke Sungai Indus di India. Tahun 172 pecah perang antara Romawi dan Macedonia. Tahun 168 Romawi mengalahkan Macedonia dalam perang tersebut. Tahun 63 Cicero, seorang politisi, penulis dan orator, memberikan pengaruh yang sangat luas dalam kehidupan politik dan budaya di Republik Romawi. Tulisan-tulisan dan pidatonya menjadi model retorika dan sastra Latin. Tahun 60 Julius Caesar memimpin aksi melawan pasukan Pompei dan Senat, dan Caesar berhasil menguasai Roma. Tahun 44 dia dibunuh oleh Senat Roma. Tahun 43 pasukan Oktavianus pimpinan Markus Vipsianus Agrippa mengalahkan pasukan Markus Antonius dan Cleopatra, Ratu Mesir, dalam Pertempuran Actium.19 Tahun 27 Oktavianus, keponakan dan anak angkat Julius Caesar, mengangkat dirinya menjadi Augustus Caesar20 dan Republik Romawi berubah menjadi Imperium Romawi.
2. Sesudah Masehi Tahun 43 Kaisar Claudius memimpin invansi ke Inggris untuk memperluas kekuasaan Imperium Romawi. Tahun 64 Kaisar Nero memulai kampanye pembasmian terhadap penganut Kristen dan Yahudi. Tahun 165 di seluruh wilayah Imperium Romawi berjangkit wabah penyakit yang ditularkan oleh tentara yang baru pulang dari ekspedisi; wabah itu mengganas dalam beberapa dekade. Tahun 330 bangsa Huns dari Asia Tengah menyerbu Eropa. Tahun 395 Imperium Romawi dibagi menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur, yang mengarah pada pemisahan antara agama Kristen Barat dan Timur. Tahun 399 St. Agustinus menulis karyanya Confession yang menceritakan tentang pengalaman masuknya dia ke dalam Agama Kristen. Tahun 441 Agustinus menulis City of God yang merupakan sintesa pemikiran klasiknya tentang doktrin Gereja. Karya Agustinus ini mempengaruhi pemikiran dalam Agama Kristen selama berabadabad. Tahun 410 bangsa Visigots—bangsa Gothic Barat yang berasal dari Jerman—mengalahkan Imperium Romawi setelah berperang sejak abad ke-3 M. Tahun 451 bangsa Huns dibawah pimpinan Atilla men19 20
Smulders, T (1992), op.cit., hal. 35. Smulders, T (1992), op.cit., hal. 114-116. 3
duduki Gaul—Negeri Keltiks, daerah Prancis sekarang—dan Italia setelah merajalela di berbagai daerah di Eropa. Bangsa Huns ini meninggalkan Eropa tahun 470. Tahun 455 bangsa Vandals menyerbu Romawi dari Afrika Utara di mana mereka mendirikan pangkalan setelah Spanyol jatuh ke tangan bangsa Visigots tahun 461. Tahun 476 Imperium Romawi Barat jatuh ke tangan bangsa-bangsa Barbar. Pertempuran terus berkecamuk di seluruh wilayah Imperium Romawi Barat hingga ke abad berikutnya. Tahun 542 Wabah Hitam melanda Konstantinopel, lalu menyebar ke seluruh Eropa selama 50 tahun dan memakan korban separuh dari populasi Eropa. Tahun 711 pasukan Muslim melalui Afrika Utara menginvansi Jazirah Iberia (Spanyol) dan mendirikan Daulah Islam di sana.21 Tahun 717 Kaisar Leo III berhasil menangkis serangan pasukan Muslim terhadap Konstantinopel. Tahun 732 pecah Pertempuran Poiters (Prancis) di mana pasukan Karel (bangsa Franka) menghentikan laju Muslim Spanyol ke jantung Eropa. Karena keberhasilannya itu Karel— anak haram dari Pippijn II, hertog Herstal22—mendapat gelar ‘Martel’ yang berarti ‘Palu’. Disamping itu dia juga digelari Karel Agung. Tahun 786 Khalifah Harun Al-Rasyid naik tahta Khilafah Dinasti Abbasiyah dengan ibukota di Baghdad. Selama masa kekuasaannya hubungan perdagangan Dunia Islam dengan Eropa berkembang pesat. Tahun 800 Charlemagne dinobatkan menjadi Kaisar Imperium Romawi Suci (Holy Roman Empire) oleh Paus Leo III untuk membangkitkan kembali ide tentang Romawi Barat. Tahun 912 Abdurrahman III dari Dinasti Umayyah menjadi khalifah di Spanyol. Tahun 975 ilmuwan Muslim membawa pemikiran aritmatika modern ke Eropa. Tahun 992 Venesia memperoleh hak untuk berdagang di Imperium Romawi dan menjadi awal munculnya Venesia sebagai kekuatan perdagangan dan ekonomi terkemuka pada masa itu. Tahun 1030 21
22
Lihat Blockmans, W dan Hoppenbrouwers, P. (2002) Eeuwen des Onderscheids. Een Gescheidenis van Middeleeuws Europa, Amsterdam: Prometheus, hal. 226-203, dan Duroselle, J.B. (1990) Europa. Gescheidenis van Zijn Bewoners, Utrecht/Antwerp: Uitgeverij Kosmos, hal. 110-116. Lihat Orlandi, E. (1971) De groten van Alle Tijden. Karel de Grote, Amterdam: De Geïllustreerde Pers N.V., hal. 4-5 4
seorang dokter Muslim, Ibnu Sina atau Avicenna, mengembangkan ilmu kedokteran yang pemikirannya mempengaruhi teori dan praktek kedokteran di Eropa selama berabad-abad. Tahun 1054 perpecahan antara Gereja Kristen Ortodoks dan Barat tidak bisa dirujukkan lagi. Tahun 1071 Dinasti Turki Bani Saljuk berdiri dan berakhirnya kekuasan Byzantium di Asia Kecil. Tahun 1182 bangsa Yahudi diusir dari Prancis. Tahun 1189 Perang Salib III dimulai, dipimpin oleh Kaisar Imperium Romawi Suci, Frederick Barbarossa, bersama Richard I dari Inggris dan Phillip II dari Prancis, yang berakhir tahun 1192. Perang tersebut memperkenalkan peradaban Muslim ke Eropa dan mempengaruhi budaya dan pemikiran mereka. Tahun 1204 Venesia yang menjadi pelopor Perang Salib IV menaklukkan dan menjarah Konstantinopel, sebagai pusat Kristen Ortodoks. Sejak tahun tersebut Venesia menjadi pusat perdagangan terkemuka di Eropa. Tahun 1215, John, raja Inggris menandatangani ‘Magna Charta’ yang memuat aturan tentang hak-hak azasi manusia. Tahun 1225 tentara Perang Salib membawa sistem perhitungan dan desimal Arab ke Eropa. Tahun 1250 Muslim Spanyol pertama kali menggunakan meriam (kanon). Tahun 1253 Universitas Sorbonne didirikan di Paris. Tahun 1273 Rudolf dari Dinasti Hapsburg dinobatkan menjadi raja Jerman dan mendirikan Imperium Hapsburg. Tahun 1290 Utsman mendirikan Khilafah Turki Utsmani yang menguasai wilayah Mediterrania selama enam abad berikutnya. Tahun 1292 Venesia membangun perahu layar besar yang memungkinkan bangsa Eropa berlayar hingga ke Dunia Timur. Tahun 1295 Marco Polo kembali ke Italia dari India dan Cina setelah bekerja pada Khubilai Khan dan memperkenalkan budaya dan pemikiran Timur Jauh ke Eropa. Mesiu digunakan untuk pertama kalinya tahun 1300. Tahun 1337 dimulai ‘Perang Seratus Tahun’ antara Inggris dan Prancis. Tahun 1348 Wabah Hitam kembali menyerang Eropa yang berakhir hingga tahun 1351 yang membunuh separuh penduduk Eropa dan menghancurkan industri dan pertanian hingga abad 5
berikutnya. Tahun 1354 pembangunan Istana Al-Hambra selesai di masa puncak kejayaan Daulah Islam di Granada. Tahun 1376 Partai Reformasi John Wycliffe menguasai Parlemen Inggris dan menyerang otoritas Gereja dalam pemerintahan. Tahun 1453 Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Turki Utsmani 23 , yang mengakhiri eksistensi Byzantium yang telah berlangsung selama 1000 tahun. Kemudian namanya diganti menjadi Istanbul. Ekspedisi itu dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad II yang kemudian mendapat gelar ‘Al-Fatih’. Tahun 1456 pasukan Turki Utsmani menguasai Athena dan berhasil mempertahankan kekuasaan mereka atas Yunani dan Balkan selama empat ratus tahun kemudian. Tahun 1463 pecah perang antara Venesia dan Turki untuk menguasai kawasan Laut Mediterrania. Tahun 1481 Bayazid II menjadi Sultan Turki; selama pemerintahannya Turki menguasai berbagai negeri di Eropa antara lain Hungaria, Polandia, dan Venesia. Tahun 1482 ‘Inquisisi’ dimulai di Spanyol yaitu pembasmian terhadap Kaum Muslimin, Yahudi, ilmuwan Katolik dan penganut ‘aliran sesat’ lainnya. Tahun 1492 Spanyol menguasai Granada, wilayah terakhir Muslimin Spanyol di Semenanjung Iberia. Dalam tahun yang sama Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella I membiayai penjelajahan Columbus ke ‘Dunia Baru’. Tahun 1516 Carlos menjadi raja Spanyol yang kemudian membangun Imperium Hapsburg yang menguasai Spanyol dan menjadi Kaisar Imperium Romawi Suci. Dinasti ini menguasasi Spanyol hingga tahun 1700. Tahun 1521 Martin Luther diseret ke depan Diet of Worms di mana dia menolak menarik kembali ajarannya; dia dipenjarakan di Wartburg dan mulai menterjemahkan Injil ke dalam bahasa Jerman. Tahun 1527 pasukan Imperium Romawi Suci menyerbu Kota Roma dan memenjarakan Paus Clement VII. Tahun 1555 Ratu Mary I mengembangkan kembali agama Katolik di Inggris dan membasmi penganut Protestan. Tahun 1556 Charles V mema’zulkan diri, menyerahkan Spanyol, Belanda, Milan dan koloni Spanyol lainnya kepada puteranya, Fillips, dan memberikan gelar dan wilayah Hapsburg kepada saudaranya, 23
Lebih lanjut bisa dibaca Gibbon, E. (2000) Verval en Ondergang van het Romeinse Rijk, Amsterdam/Antwerpen: Uitgeverij Contact. 6
Ferdinand. Tahun 1558 Ratu Mary I wafat dan digantikan oleh Elizabeth I sebagai penguasa Inggris. Tahun 1562 hingga 1598 pecah perang di Prancis antara Kristen Hugenot dan Katolik Roma. Tahun 1566 Sultan Sulaiman II wafat, yang selama pemerintahannya wilayah Khilafah Turki Utsmani mencakup Eropa Timur dan Persia. Dia juga mereformasi sistem khilafah dan hukum administrasi serta membangun angkatan laut yang kuat. Tahun 1571 angkatan laut Venesia dan Spanyol mengalahkan angkatan laut Turki dalam Pertempuran Lepanto, sehingga kontrol maritim di Mediterrania lepas dari tangan Turki. Tahun 1571 seluruh provinsi di Belanda memberontak melawan pendudukan Spanyol. Pemberontakan tersebut menunjukkan bahwa Belanda mulai muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di Eropa. Tahun 1579 Uni-Utrecht mempersatukan ke 7 provinsi di Belanda waktu itu melawan Spanyol dan menjadi cikal-bakal Republik Belanda. Mereka memproklamasikan kemerdekaan dari Spanyol tahun 1581 dan memilih Willem van Oranje sebagai pemimpin mereka. Tahun 1587 Paus Sixtus V menyerukan Perang Salib melawan Inggris, tetapi pasukan ekspedisi Spanyol berhasil dihancurkan oleh angkatan laut Inggris di Qadiz yang dipimpin Sir Francis Drake. Tahun 1588 angkatan laut Inggris juga berhasil menghancur pasukan Spanyol yang dipimpin oleh Armada yang memugkinkan Inggris muncul sebagai kekuatan utama dalam perdagangan dunia dan kolonialisasi. Tahun 1605 surat kabar pertama terbit di Antwerpen, Belgia. Tahun 1613 Michael Romanov diangkat menjadi Tsar Rusia. Dinasti Romanov ini berkuasa di Rusia hingga pecahnya Revolusi Bolshevik tahun 1917. Tahun 1656 Venesia berhasil mengusir Turki dari Dardanella setelah terjadi anarki internal di Turki. Tahun 1164 Austria berhasil mengalahkan Turki dalam Pertempuran St. Gotthard. Jeda di Vasvar mengakhiri konflik antara Khilafah Turki Utsmani dengan Imperium Romawi Suci dan membolehkan Turki menduduki daerah-daerah yang baru dikuasainya. Tahun 1674 Spanyol dan Imperium Romawi Suci membantu Belanda menghadapi kampanye ekspansi Prancis di Eropa. Tahun 1684 Paus Innocent XI membentuk Liga Suci Linz yang merupakan persekutuan antara Venesia, Austria dan Imperium Romawi Suci untuk melawan Turki. 7
Tahun 1696 Peter Agung memperkuat Imperium Rusia dan merebut Azov dari Turki yang memungkinkan Rusia menguasai Laut Hitam. Perjanjian Karlowitz tahun 1699 mengakhiri perang antara Liga Suci Linz dengan Turki. Turki menyerahkan hampir seluruh wilayah Hungaria, Transylvalnia, Slovenia dan Kroasia kepada Austria; Podolia dan Ukraina Turki kepada Polandia; Morea dan sebagian Dalmatia kepada Venesia. Melalui Perjanjian Beograd tahun 1739, perang selama 3 tahun antara Austria dan Turki berakhir; Austria menyerahkan Beograd dan bagian utara Serbia kepada Turki. Tahun 1748 Montesquieu menerbitkan karyanya, The Spirit of the Laws, yang menganalisis jalannya pemerintahan dan mengusulkan pembagian kekuasaan. Karyanya itu juga menjadi basis disiplin ilmu Sosiologi. Tahun 1771 Rusia mencaplok Semenanjung Krim (Crimea), untuk memperkuat posisinya di Eropa. Dalam Perjanjian Kuchuk Kainarji tahun 1774 Turki membolehkan Rusia memiliki pelabuhan sendiri di Laut Hitam dan mewakili Gereja Ortodoks di Turki. Tahun 1789 Revolusi Prancis dimulai dengan penyerbuan Penjara Bastille oleh rakyat Paris. Dalam tahun yang sama Nederlands-Austria menyatakan kemerdekaannya dengan nama Belgia, tetapi gerakan tersebut berhasil dihancurkan oleh Austria dalam tahun berikutnya. Tahun 1793 Prancis berperang melawan Inggris, Belanda, Austria, Prusia, dan Spanyol. Tahun 1796 pasukan Prancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte berhasil mengalahkan pasukan Austria di berbagai medan pertempuran dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Italia. Tahun 1802 Napoleon mengangkat dirinya sebagai konsul seumur hidup; dia mereformasi sistem pendidikan, membentuk prefektur, dll. Dua tahun kemudian dia mengangkat dirinya menjadi Kaisar Prancis dan menerapkan Kode Napoleon di Prancis dan negerinegeri yang duduki Prancis. Tahun 1810 Napoleon menerapkan Sistem Kontinental untuk menghalangi Inggris memperoleh akses ke Eropa Daratan. Tahun 1810 Napoleon mencaplok Belanda, Hannover, Bremen dan Hamburg. Tahun 1812 dia menguasai Moskow tetapi kemudian dipukul mundur dengan kerugian yang luar biasa dan melemahkan kekuasaannya. Dalam Pertempuran Leipzig Napoleon dikalahkan oleh pasukan gabungan Inggris, Austria, Rusia, Swedia dan Prusia. Kemudian dia 8
diasingkan ke Pulau Elba. Tahun 1815 Napoleon kabur dari Elba dan kembali ke Prancis dan memulai kampanye ‘Seratus Hari’, tetapi dia dikalahkan dalam Pertempuran Waterloo (Belgia) melawan pasukan gabungan Inggris yang dipimpin oleh Lord Wellington, Prusia, dan Belgia; Napoleon kemudian dibuang ke Pulau St. Helena di mana dia meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Tahun 1817 Frederick Hegel menerbitkan karyanya Science of Logic. Metode berpikir dialektik ala Hegel ini sangat mempengaruhi konsep-konsep Karl Marx tentang kepastian perubahan yang radikal dalam sejarah dan masyarakat. Tahun 1821 Yunani memulai perang kemerdekaannya melawan Turki. Tahun 1827, dengan Perjanjian London, Inggris, Rusia dan Prancis mendukung perjuangan kemerdekaan Yunani dari Turki. Tetapi baru tahun 1892 Turki mengakui kemerdekaan Yunani. Tahun 1830 Belgia melepaskan diri dari Belanda dan memperoleh kemerdekaannya. Tahun 1831 Giuseppe Mazzini mendirikan kelompok Italia Muda yang bersungguh-sungguh memperjuangkan kemerdekaan Italia. Kelompok ini sangat berpengaruh terhadap gerakan sejenis di berbagai kawasan di Eropa. Tahun 1833 perbudakan dihapuskan dari Imperium Inggris. Tahun 1844 Sosialisme Utopia menjadi populer di kalangan cendekiawan dan kelas pekerja di Prancis. Tahun 1853 Rusia dan Turki terlibat perang untuk menentukan status atas Tanah Suci Palestina. Tahun 1854 Perang Krim pecah ketika Prancis, Inggris, dan Turki menyatakan perang terhadap Rusia. Tahun 1856 Perjanjian Paris ditandatangani yang mengakhiri Perang Krim; Prancis, Inggris dan Austria menjamin kemerdekaan Turki; Laut Hitam dinyatakan sebagai kawasan netral dan pengakuan secara resmi kemerdekaan Serbia. Tahun 1859 Charles Darwin menerbitkan karyanya On the Origin of Species by Means of Natural Selection. Karyanya yang berisi teori evolusi manusia dan seleksi alam dan penolakannya terhadap penciptaan alam sebagaimana yang terdapat di dalam kitab-kitab suci agama samawi ini sangat kontroversial tetapi sangat berpengaruh terhadap dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan masyarakat. Tahun 1866 Alfred Nobel dari Swedia menemukan dinamit. 9
Tahun 1871 Imperium Jerman bersatu dibawah Raja Willem III dari Prusia dan merupakan awal dari terbentuknya Reich Kedua. Tahun 1873 Herbert Spencer merampungkan karyanya, The Study of Sociology, yang menerapkan teori evolusi Darwin dalam disiplin ilmu Sosiologi. Karyanya ini menganjurkan pemerintah mengambil kebijakan laissez-faire, dia juga berpendapat bahwa ‘survival of the fittest’ akan memajukan masyarakat. Tahun 1875 PM Inggris Benjamin Disraeli memperoleh kontrol atas Terusan Suez yang menjamin dominasi Eropa terhadap tarusan tersebut. Tahun 1877 Rusia menyatakan perang kepada Turki untuk memperoleh kontrol di kawasan Balkan dan membantu perlawanan di sana untuk mengakhiri pendudukan Turki. Pemberontakan yang pecah di Bulgaria, Serbia, dan Montenegro berhasil dipadamkan oleh Turki. Tahun 1878 Perjanjian San Stefano ditandatangani yang mengakhiri sangketa antara Rusia dan Turki; Kongres Berlin membagi wilayah Khilafah Utsmani; Montengero, Serbia, Bulgaria, dan Rumania memperoleh kemerdekaan; berbagai wilayah Turki dibagi-bagi antara Rusia, Prancis, dan Inggris. Tahun 1882 Jerman, Austria, dan Italia membentuk Triple Alliance yang merupakan refleksi dari keinginan Otto Bismarck untuk membangun sebuah kekuatan utama di Eropa. Tahun 1884 reformasi sosial di Jerman berjalan pesat dibawah Bismarck. Dalam tahun itu pula Gerakan Zionisme mengadakan kongresnya yang pertama di Prusia sejalan dengan meningkatnya sentimen anti-Semit di Eropa. Tahun 1885 Karl Benz menemukan mobil; Gottlied Daimler menemukan mesin minyak dan merupakan orang yang pertama memanfaatkan bahan bakar tersebut untuk kenderaan bermotor. Tahun 1897 Kongres Zionisme I diadakan di Basel, Swiss; Theodore Herzl memproklamasikan cita-citanya untuk mendirikan sebuah negara bagi bangsa Yahudi. Tahun 1897 Emile Durkheim memelopori pengembangan ilmu Sosiologi di Prancis dengan karyanya Suicide; dia menghubungkan ideide positivisme dengan isu-isu moralitas. Tahun 1900 Sigmund Freud menerbitkan karyanya The Interpretations of Dreams, dia menjadi pelopor psikoanalis dan merevolusi pemikiran di Eropa; Freud
10
menekankan pentingnya peranan alam bahwa sadar manusia dan seksualitas dalam menentukan perilaku manusia. Tahun 1902 Vlamidir Illyich Lenin menerbitkan What is to be Done? yang memuat konsep pemikirannya tentang kepemimpinan revolusioner kaum proletar yang mendorong munculnya gerakan revolusioner di Rusia. Tahun 1906 Inggris merevolusi rancangan kapal perang baru dengan meluncurkan HMS Dreadnought, yang memprovokasi Jerman meningkatkan kemampuan angkatan lautnya yang manandai dimulainya perlombaan senjata di Eropa khususnya dalam bidang pertahanan maritim. Tahun 1907 Inggris membuat kesepakatan dengan Rusia mengenai pembagian pengaruh mereka di Persia dan Afghanistan yang semakin mengucilkan Jerman dan kekuatan-kekuatan utama lainnya di Eropa. Tahun 1980 Austria mencaplok Bosnia-Harzegovina yang mengejutkan sekaligus menimbulkan silang pendapat di Eropa. Tahun 1909 muncul perselisihan dan konflik internal di Turki yang mendorong Gerakan Turki Muda mema’zulkan Sultan Abdul Hamid. Tahun 1910 revolusi di Portugal menumbangkan monarki yang telah berkuasa di sana sejak tahun 1142; pemerintahan republik dibentuk, dan konstitusi liberal dan undang-undang sekuler diterapkan. Tahun 1911 Italia berperang melawan Turki di mana Italia berhasil mencaplok Tripoli dan Cyrenaica dari Turki. Italia merupakan negara pertama yang menggunakan pesawat terbang dalam peperangan. Tahun 1913 Perjanjian London mengakhiri perang antara Yunani, Bulgaria, Serbia dan Turki. Perang berkecamuk kembali ketika Turki, Rumania, dan Serbia membalas serangan Bulgaria terhadap posisi Yunani-Serbia dan Bulgaria berhasil dikalahkan, tetapi kawasan Balkan tersebut tetap tidak stabil. Tahun 1914 Perang Dunia I pecah di Eropa yang dipicu oleh pembunuhan terhadap Archduke Ferdinand, putera mahkota AustriaHungaria, dan isterinya24 yang sedang berkunjung ke Serajevo. Pem24
Lihat Thomas, H. (1996) World History. The Story of Mankind from Prehistory to the Present, New York: Harper Collins Publishers, hal. 613. 11
bunuhan tersebut dilakukan oleh nasionalis Serbia (Gerakan Rahasia Tangan Hitam). Pembunuhan itu mendorong Austria menyerang Serbia. Tetapi invansi Austria tersebut menyebabkan Tsar Rusia (sebagai ‘pelindung’ tradisional bangsa Slavia yang juga mencakup Yunani dan Serbia) menyatakan perang kepada Austria. Tindakan Rusia itu mendorong Jerman, yang merupakan sekutu Austria dan Turki Utsmani menyatakan perang dan berpihak kepada Austria. Jerman lalu menyerbu Prancis, sekutu Rusia. Pasukan invansi Jerman itu memasuki Prancis melalui Belgia. Dengan alasan untuk melindungi Belgia, Inggris menyatakan perang kepada Jerman. Tahun 1915 Italia pun bergabung ke dalam barisan Sekutu (Rusia, Prancis dan Inggris) melawan Jerman, Austria dan Turki. Dalam tahun yang sama U-boot Jerman menenggelamkan kapal penumpang ‘Lusitania’, yang menewaskan 1100 warga sipil Inggris dan Amerika yang memaksa Amerika menyatakan perang kepada Jerman 2 tahun kemudian (1917). Tahun 1916 pecah Pertempuran Verdun yang memakan korban sekitar 800.000 jiwa tentara25 di kedua belah pihak, dan dalam peperangan ini kenderaan lapis baja (tank) mulai digunakan. Tahun 1917 Tsar Nicolas II dima’zulkan setelah terjadi pemogokan buruh (Kaum Bolshevik) karena dianggap bertanggung jawab terhadap kekalahan Rusia dari Jerman. Tahun 1917 Lenin, dikawal oleh pasukan Jerman, dikembalikan di Rusia dan menyusun gencatan senjata yang mengakhiri keterlibatan Rusia dalam perang. Lenin mulai memusatkan kekuasaan, kepemilikan tanah dan industri secara kolektif dan memperkokoh cengkeraman Kaum Bolshevik di Rusia. Tahun 1918 pasukan Sekutu berhasil menangkis offensif besarbesaran Jerman dan melakukan kontra-offensif yang memaksa Jerman dan sekutunya setuju mengakhiri perang. Tahun 1919 Jerman menandatangani Perjanjian Versailles sebagai pihak yang kalah.26 Mereka diharuskan membayar pampasan perang dalam jumlah yang sangat besar, mengembalikan wilayah Alsace Lorraine kepada Prancis, dan kemampuan angkatan perangnya dibatasi. Dalam tahun yang 25 26
Davies, N. (1996), op.cit., hal. 905. Penandatangan pengakuan kekalahan Jerman itu dilakukan di atas sebuah gerbong keretapi di Versailles. Dalam gerbong yang sama tahun 1940 Hitler menyaksikan delegasi Prancis menandatangni kekalahan negara tersebut dari Nazi Jerman. 12
sama, Perjanjian Saint-Germain mengakhiri Monarki Dinasti Hapsburg,27Austria mengakui kemerdekaan Cekoslovakia, Polandia, dan Hungaria. Tahun 1919 Jerman menjadi Republik Weimar. Tahun 1922 Lenin memulai Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy) di Rusia sebagai respon terhadap menurunnya produksi pertanian dan industri. Dalam tahun yang sama Gerakan Fasisme melakukan pawai di Roma, Raja Viktor Emmanuel menunjuk Benito Mussolini menjadi perdana menteri. Tahun 1923 pasukan Prancis dan Belgia menduduki Lembah Ruhr—yang kaya dengan sumber daya alam—karena Jerman tidak memenuhi pembayaran pampasan perangnya, inflasi merajalela di Jerman, pemimpin Nazi (Nationalist Socialist) Adolf Hitler gagal dalam sebuah makar dan dipenjara. Dalam tahun yang sama Rusia resmi menjadi Republik Sosialis Uni-Soviet (Union of Soviet Socialist Republic – USSR). Dalam tahun itu pula Turki menjadi republik yang mengakhiri Khilafah Utsmani yang telah berkuasa berabad-abad lamanya. Kemal Attaturk menjadi presiden pertama dan mendeklarasikan Turki sebagai negara sekuler. Tahun 1924 Lenin meninggal dunia dan digantikan oleh Joseph Stalin. Tahun 1925 Hitler menerbitkan bukunya Mein Kampf yang berisi ide-ide dan filsafat Gerakan Nazisme. Tahun 1928 Stalin memulai ‘Rencana Pembangunan Lima Tahun’nya untuk membangun industri berat dan pertanian kolektif. Program ini dalam realitanya merupakan penindasan yang luar biasa yang menyebabkan jutaan orang terbunuhnya. Tahun 1931 Raja Alfonso meninggalkan Spanyol dan negara itu menjadi republik yang didominasi oleh kelompok liberal dan sosialis. Tahun 1932 Partai Nazi memenangkan pemilu di Jerman. Tahun 1933 Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman oleh Presiden Hindenburg. Hitler mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan mengeliminasi partai-partai oposisi. Tahun 1934 Hitler menjadi Führer Jerman dan mengeliminasi rival-rivalnya dalam Partai Nazi sendiri. Tahun 1935 dia mengeluarkan Undang-undang Nuremberg 27
Dinasti yang berasal dari Jerman ini berkuasa di Austria dari tahun 1278 hingga 1918, dan di Spanyol dari tahun 1516 hingga 1700, dan di banyak kerajaan di Eropa Barat. 13
yang menjadikan orang-orang Yahudi sebagai warga kelas-dua di Jerman. Dia memulai kembali pembangunan angkatan bersenjata Jerman dan menyatakan tidak terikat lagi dengan Perjanjian Versailles. Tahun 1936 pecah perang saudara di Spanyol ketika Jenderal Francisco Franco memimpin tentara melawan republik. Jerman dan Italia menjalin aliansi dalam tahun tersebut untuk mendukung Franco, sedangkan Rusia mendukung kelompok republik. Dalam tahun yang sama pasukan Jerman menduduki Rhineland dan tindakan itu melanggar Perjanjian Versailles. Tahun 1937 pesawat-pesawat Jerman membombardir Guernica (Spanyol) sebagai dukungan kepada Jenderal Franco. Perang saudara tersebut semakin meluas ketika brigade internasional yang terdiri dari Amerika, Inggris dan Prancis dibentuk untuk membantu pasukan republik.28 Tahun 1938 Jerman bersatu dengan Austria ketika pasukan Nazi bergerak ke Austria. Dengan mengancam Cekoslovakia, dalam tahun yang sama dicapai Perjanjian Munich antara Inggris, Prancis dan Jerman di mana Sudentenland (wilayah Ceko yang penduduknya berbahasa Jerman) dikembalikan kepada Jerman dengan syarat Jerman tidak menginvansi Cekoslovakia. Tahun 1933 Jenderal Franco berhasil mengalahkan kelompok republik di Spanyol. Dalam tahun yang sama Jerman mengumumkan bahwa mereka tidak lagi terikat dengan Perjanjian Munich dan mencaplok Cekoslovakia dan menyerbu ke Polandia. Tindakan Jerman itu menjadi alasan bagi Inggris dan Prancis untuk menyatakan perang kepada Jerman, yang merupakan awal dari Perang Dunia II. Tahun 1939 itu juga Jerman menandatangani perjanjian rahasia dengan Rusia di mana kedua negara tersebut tidak akan saling-serang. Bulan Mei 1940 pasukan Jerman menduduki Belanda, Belgia dan Luxemburg dan menaklukkan Prancis, Denmark, Norwegia, dan Rumania. Kemudian Italia ikut menyatakan perang kepada Inggris. Sekitar 300.000 orang pasukan gabungan Inggris dan Prancis terpaksa diungsikan ke Inggris melalui pantai Dunkerque (Belgia) agar tidak jatuh menjadi tawanan Jerman yang waktu itu telah menguasai Prancis. 28
Lihat Thomas, H. (1986) The Spanish Civil War, Edisi Ketiga, London: Penguin Books Ltd. 14
Tahun 1940 Winston Churchill menjadi perdana menteri Inggris. Dalam tahun yang sama Uni-Soviet mengirimkan tentaranya untuk menguasai Estonia, Latvia, dan Lithuania. Tahun 1941 Jerman menyerang Rusia dan mengepung Leningrad, Rusia melakukan operasi kontra-offensif di Ukraina. Kemudian Jerman menduduki Yunani. Tahun 1943 pasukan Jerman menyerah di Leningrad yang merupakan salah satu titik-balik (turning point) terpenting di panggung Perang Dunia II di daratan Eropa. Tanggal 6 Juni 1944 pasukan Sekutu mendarat di pantai Norman29 dia (barat-laut Prancis) yang memulai pembebasan Prancis dan Belgia dari pendudukan Jerman. Tahun 1945 Kota Dresden binasa dibombardir oleh pesawat pembom Sekutu, ribuan penduduknya terbunuh. Bulan April 1945 pasukan Rusia memasuki Berlin, Hitler bunuh diri beberapa hari kemudian dan Jerman menyerah tanpa syarat tanggal 8 Mei 1945 kepada Sekutu. Dalam tahun yang sama Stalin, Churchill dan Roosevelt bertemu di Yalta untuk menentukan pembagian kawasan pengaruh mereka di Eropa pasca perang. Tahun 1946 Churchill menyampaikan pidato yang berjudul ‘Tirai Besi’ (Iron Curtain) yang menentang kebijakan Rusia di Eropa Timur. Hubungan Barat dan Timur mulai memburuk dan sejak itu Perang Dingin dimulai. Tahun 1947 Amerika Serikat meluncurkan Marshall Plan untuk membiayai pembangunan kembali (wederopbouw) Eropa Barat secara besar-besaran. Tahun 1949 NATO (North Atlantic Treaty Organisation) dibentuk untuk mengantisipasi ketegangan yang semakin memuncak dengan Uni-Soviet. Dalam tahun itu Rusia mematahkan dominasi AS dalam produksi senjata atom atau nuklir. Dan dalam tahun 1949 itu pula tersebut Jerman dibagi menjadi 2 di mana wilayah yang dikontrol oleh Uni-Soviet menjadi Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) dan Republik Federal Jerman (Jerman Barat).
3. Kesimpulan Dari kronologi peristiwa-peristiwa penting di atas bisa ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
29
Lihat Dear, I.C.B. et al. (1995) The Oxford Companion to the Second World War, Oxford: Oxford University Press, hal. 283 dan 848-853. 15
Pada masa awal, perkembangan peradaban di Eropa agak tertinggal daripada kawasan di Timur Tengah. Misalnya, Zaman Besi sudah dimulai tahun 2500 SM di Timur Tengah; pada masa yang sama Eropa Tengah baru memasuki Zaman Batu. Baru tahun 1000 SM Eropa memasuki Zaman Besi. Konflik dan perang, sebagaimana di kawasan lain di dunia, sudah terjadi di Eropa sejak awal. Dalam konflik dan sangketa tersebut terjadi pergiliran antara yang menang dan yang kalah. Itu sesuai dengan sunnatullah bahwa setiap bangsa atau kaum akan dipergilirkan. Aliansi atau persekutuan antara pihak-pihak yang berkonflik tidak selalu ditentukan oleh sentimen atau kesamaan etnis, ras, dan agama; tetapi lebih sering disebabkan oleh persamaan kepentingan. Konflik yang paling banyak memakan korban dalam sejarah Eropa dan melibatkan hampir semua negara di Eropa adalah dalam paruh pertama abad ke-20 yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Perang Dunia I (1914-1918) memakan korban sekitar 15 juta jiwa30, yang sebagian besar adalah tentara, Perang Dunia II (19391945) memakan korban sekitar 50 31 atau 55 juta jiwa. 32 Rusia menderita yang terbanyak yaitu sekitar 20 juta yang terbunuh, di mana 7 juta diantaranya adalah penduduk sipil. Akar peradaban Barat bisa ditelusuri kembali hingga ke peradaban Yunani, Macedonia, dan Romawi. Setelah mengalami berbagai konflik, penyesuaian, dan pengembangan hingga munculnya peradaban materialisme modern di Eropa. Sekularisme lahir di Barat atau di Eropa disebabkan oleh, pertama, peradaban Eropa memang cenderung materialistik. Kecenderungan semacam ini berakar kuat dalam peradaban Yunani dan Romawi. Kedua, disebabkan oleh represi dogma Gereja yang tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi waktu itu. Banyak sekali ilmuwan dan filosuf yang memiliki pemikiran yang tidak sesuai dengan pemahaman Gereja yang dibunuh dan disiksa di Abad Pertengahan. Misalnya, kasus Nicolaus Copernicus (astronom Polandia, 1473-1543) yang berteori bahwa bumi berputar 30
31 32
Lihat Nolan, C.J. (1995) The Longman Guide to World Affairs, New York: Longman Publisher, hal. 438-439. Smulders, T (1992), op.cit., hal. 352. Nolan, C.J. (1995), op.cit., hal. 442. 16
pada sumbunya dan beredar mengelilingi matahari. Teori Copernicus ini mengindikasikan bahwa bumi itu bulat. Sedangkan Gereja berpegang pada pendapat Ptolemeus (astronom, matematikawan, ahli geografi yang hidup abad ke-2 M di Alexandria, Mesir) yang berteori bahwa bumi ini menjadi pusat peredaran planet; matahari, bulan dan planet lainnya mengelilingi bumi. Konflik antara Gereja dan ilmu pengetahuan tersebut sampai pada titik yang ekstrim yaitu pemisahan antara Gereja dan Negara. Peradaban Romawi disamping membawa kemajuan dalam bidang pengairan, filsafat, ilmu pengetahuan, arsitektur, seni, dll., juga memiliki lembaran hitam, misalnya pesta pertarungan gladiator dan perbudakan. Tahun 70 M dimulai pembangunan koloseum di Roma. Pernah dalam suatu pesta yang berlangsung setiap hari selama 4 bulan berturut-turut, sebanyak 9.000 orang gladiator bertarung dan 14.000 ekor binatang menjadi korban (sebagaimana yang ditayangkan dalam program Discovery Channel, 29/4/2001: ‘Gladiator The Brutal Truth’). Para gladiator ini terdiri dari budak, tawanan perang, penganut Kristen (sebelum Dekrit Milan tahun 313 ketika Kaisar Konstantin menyerukan toleransi terhadap penganut Kristen), sukarelawan dan gladiator profesional. Bahkan ada yang menganalogikan bahwa yang menjadi mesin pembunuh tersebut bukan para gladiator dan sukarelawan tetapi Kota Roma itu sendiri, yang waktu itu dianggap sebagai pusat alam semesta (heelal). Peranan para pemikir dan filosof di Eropa tidak bisa diabaikan dalam melakukan rekayasa perubahan sosial dan ideologis. Para filosof Yunani dan Romawi banyak menyumbangkan dan menjadi inspirasi pemikiran, konsep-konsep dan gagasan yang belum dikenal oleh peradaban sebelumnya baik dalam bidang pemerintahan, filsafat, sastra dan seni, kedokteran, maupun demokrasi. Instituti kepausan dan Paus sangat berpengaruh dalam peta geopolitik Eropa. Tahun 590 St. Gregori menjadi paus; pada masa Paus Gregori inilah institusi kepausan mulai bersifat absolut, dan dia memimpin perang melawan Lombardia (Italia). Paus juga memiliki otoritas menyerukan Perang Salib, baik untuk memerangi Kaum Muslimin, bangsa Barbar, Kristen Orthodoks, maupun penganut Protestan yang dianggap sesat. Tetapi pengaruh tersebut semakin berkurang ketika Gereja dipisahkan dari Negara dan otoritas Gereja 17
hanya dibatasi dalam urusan agama. Walaupun pengaruh institusi tersebut di bidang lain masih terasa tetapi itu lebih bersifat moral dan simbolik. Secara tradisional kekuatan-kekuatan utama di Eropa setelah masa Yunani, Macedonia, Viking, dan Romawi adalah Spanyol, Portugis, Turki, Belanda, Inggris, Prancis, Jerman (Prusia dan Austria), Rusia dan Italia. Dari segi ideologis, yang berperang dalam Perang Dunia II adalah antara kekuatan kapitalisme (Amerika dan sekutunya) bersama komunisme (USSR) melawan sosialis nasionalis dan fasisme (Jerman, Italia, dan Jepang). Ketika Jerman dan sekutunya dikalahkan, pertentangan terjadi antara kekuatan kapitalisme dan komunisme, yang menjadi Perang Dingin. Ketika komunisme dianggap cerai-berai ketika Uni-Soviet kalah perang di Afghanistan dan Gorbachev menerapkan glasnost dan perestroika awal tahun 1990-an, kapitalisme tampaknya menciptakan lawan yang baru, yaitu Islam.
18
INSTITUSI YANG BERKAITAN DENGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI EU Struktur EU dalam Perspektif ‘Tiga Pilar’
EU
Pilar Pertama (European Communities) EC Custom union dan pasar tunggal Kebijakan pertanian Kebijakan struktural Kebijakan perdagangan Aturan baru/amendemen terhadap: Warganegara EU Pendidikan dan kebudayaan Jaringan trans-Eropa Perlindungan konsumen Kesehatan Riset dan lingkungan Kebijakan sosial Kebijakan suaka Perbatasan eksternal Kebijakan imigrasi
Pilar Kedua (CFSP) Kebijakan Luar Negeri Kerjasama, posisi dan aksi bersama Peacekeeping HAM Demokrasi Bantuan kepada negara non-anggota EU Kebijakan Keamanan Reposisi terhadap Pakta Pertahanan Eropa Barat (WEU): berkaitan dengan aspek Keamanan EU Perlucutan senjata Aspek keuangan sistem pertahanan Jangka panjang: Kerangka sistem keamanan Eropa
Eurotom ECSE
19
Pilar Ketiga (Kerjasama Kehakiman dan Urusan Internal)
Kerjasama antara otoritas yudisial dalam hukum pidana dan perdata Kerjasama kepolisian Membasmi rasisme dan senofobisme Membasmi narkoba dan perdagangan senjata Membasmi terorisme Membasmi tindak kriminal terhadap anakanak dan perdagangan manusia
M
enurut Pasal 7, ada 5 institusi yang mengemban tugas dan misi Masyarakat Eropa (EC), yaitu Dewan Uni-Eropa (Council of the European Union), Komisi Eropa (Commission of the European Communities), Parlemen Eropa (European Parliament), Badan Pemeriksa Keuangan (Court of Auditors), dan Mahkamah Eropa (European Court of Justice). Di luar itu ada pula insitusi lain yang memainkan peran yang sangat penting seperti Dewan Eropa (European Council), Komite Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Committee), dan Komite Daerah (Committee of the Regions). Tetapi, dalam konteks ini, penulis akan meninjau secara ringkas institusi-instusi berikut: (1) Dewan Eropa; (2) Komisi Eropa; (3) Dewan Uni-Eropa; dan (4) Parlemen Eropa. Mengapa penjelasan hanya dibatasi pada insitusi tersebut? Pertimbangannya adalah lembaga tadi secara umum terlibat dalam proses interaksi EU dengan dunia luar. Dengan kata lain, institusi tersebut memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam penyusunan dan penerapan kebijakan luar negeri EU.
1. Dewan Eropa Dari sisi legalitas, Dewan Eropa tidak termasuk ke dalam 5 institusi yang secara konvensional mengelola tugas-tugas Masyarakat Eropa. Tetapi dewan ini dianggap—dari sisi karakteristik EU yang intergovernmental—berada pada level tertinggi dari keseluruhan sistem EU. Dewan Eropa merupakan wadah pertemuan rutin dari Kepala Pemerintahan dan/atau Kepala Negara dari 15 negara anggota bersama dengan Presiden Komisi Eropa plus satu anggota Komisi Eropa, dan dibantu oleh Menlu semua negara anggota. Sebelum dibentuknya Dewan Eropa, sidang-sidang sebagaimana yang kelak diemban oleh institusi tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1960-an. Lahirnya Dewan Eropa merupakan inisiatif dari Presiden Prancis, Giscard d’Estaing tahun 1974. Institusi ini mengadakan pertemuan formal untuk pertama kalinya bulan Maret 1975 di Dublin, Irlandia. Melalui Single European Act (SEA) 1986, Dewan Eropa secara resmi diakui sebagai salah satu organ Masyarakat Eropa.
20
Mengapa masih diperlukan sebuah institusi baru yang secara hirarkis lebih tinggi dan berada di luar institusi konvensional yang sudah ada? Hal itu dikarenakan banyak aspek kebijakan yang tidak bisa diputuskan oleh Dewan Uni-Eropa pada level menteri. Salah satu tugas dari Dewan Eropa adalah menyelesaikan persoalan yang tertunda tersebut. Pasal 4 TEU mengatur kembali tugas Dewan Eropa. Menurut materi pasal tersebut Dewan Eropa berkewajiban memberikan dorongan kepada EU dan mendefinisikan pedoman umum yang bersifat politis. Institusi ini mengadakan sidang minimal 2 kali setahun, yang diketuai oleh Kepala Negara atau Pemerintahan negara anggota yang sedang menjabat Kepresidenan Dewan. Dewan Eropa menyerahkan laporan setiap sidangnya kepada Parlemen Eropa serta menyiapkan laporan tahunan tertulis mengenai kemajuan yang telah dicapai oleh EU. Lebih teknis Pasal 13 menjelaskan bahwa Dewan Eropa mendefinisikan prinsip-prinsip dan pedoman bagi Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama (Common Foreign and Security Policy – CFSP). Tugas yang kedua adalah membuat strategi yang akan diterapkan oleh EU dalam bidang-bidang di mana negara-negara anggota memiliki kepentingan bersama. Dengan demikian, Dewan Eropa memainkan 2 peranan sekaligus. Pertama, memberikan arahan politik secara menyeluruh kepada EU. Kedua, ia berfungsi sebagai institusi yang menyelesaikan berbagai masalah pelik yang sulit tidak bisa dituntaskan pada level Dewan UniEropa. Keputusan dalam Dewan Eropa diambil melalui konsensus dan dikomunikasikan sebagai pernyataan kepresidenan yang juga dikenal sebagai ‘Conclusions of the Presidency’. Dari perspektif historis, sejak tahun 1970-an Dewan Eropa telah memainkan peranan yang cukup besar dalam mengarahkan integrasi Eropa. Peran ini dimainkan Dewan Eropa setidaknya dalam 3 hal yang saling berkaitan. Pertama, Dewan Eropa berperan sebagai ‘arsitek konstitusional’ yang membuat keputusan penting dalam berbagai bidang kebijakan, seperti perluasan EU, dan integrasi ekonomi dan moneter. Kedua, Dewan Eropa menetapkan agenda-agenda penting dalam proses integrasi dengan cara mengadopsi pedoman umum 21
terhadap banyak isu. Ketiga, tidak jarang Dewan Eropa mengambil banyak keputusan penting secara lintas sektoral. Meskipun keputusankeputusan tersebut tidak memiliki status legal dalam tataran hukum Masyarakat Eropa tetapi setidaknya memberikan kerangka dalam penyusunan legislasi EC.33
2. Komisi Eropa34 Komisi Eropa adalah badan eksekutif EU. Bersama Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa, lembaga ini merupakan salah satu dari tiga institusi utama yang menjalankan pemerintahan EU. Peranan utama Komisi Eropa adalah mengusulkan dan menerapkan perundang-undangan, dan bertindak sebagai ‘pengawal kesepakatan’ yang memberikan dasar hukum bagi EU. Peranan Komisi Eropa ini memiliki banyak kesamaan dengan badan eksekutif pada pemerintahan suatu negara, walaupun juga memiliki beberapa perbedaan. Komisi Eropa terdiri dari 27 komisioner, yang komisarisnyaberasal dari tiap negara anggota EU, dibantu oleh suatu badan administratif yang terdiri dari beberapa ribu pegawai sipil Eropa yang dibagi menjadi departemen-departemen yang disebut Direktorat Jenderal (Directorate-General). Istilah “komisi” umumnya digunakan untuk mengacu baik pada keseluruhan badan administratif tersebut, maupun tim komisioner yang memimpinnya. Ke-27 Komisioner Komisi Eropa tersebut dibagi ke dalam beberapa portofolio, yaitu ekonomi, eksternal, sosial, internal, dan dalam negeri. Secara spesifik, portofolio itu dibagi sebagai berikut:
Portofolio Ekonomi
Portofolio Eksternal
33 34
Kompetisi (Competition) Perlindungan Konsumen (Consumer Protection) Urusan Ekonomi & Keuangan (Economic & Financial Affairs) Dunia Usaha & Industry (Enterprise & Industry) Pasar Internal (Internal Market) Pajak & Bea Cukai (Taxation & Customs Union) Pembangunan & Bantuan Kemanusiaan (Development & Humanitar-
Dinan dalam White (2001), hal. 11-12. Dari Wikipedia, pada: http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Eropa. 22
Portofolio Sosial
Portofolio Internal
Portofolio Dalam Negeri
ian Aid) Perluasan Eropa (Enlargement) Hubungan Eksternal & Kebijakan terhadap Tetangga EU (External Relations & ENP) Perdagangan Internasional (External Trade) Pendidikan, Pelatihan & Kebudayaan (Education, Training & Culture) Urusan Tenaga Kerja & Sosial (Employment & Social Affairs) Kesehatan (Health) Masyarakat Informasi & Media (Information Society & Media) Kehakiman, Kebebasan & Keamanan (Justice, Freedom & Security) Multilingualisme (Multilingualism) Urusan Administrasi, Audit dan Anti-Fraude (Administrative Affairs, Audit and Anti-Fraud) Hubungan Institusional & Strategi Komunikasi (Institutional Relations & Communication Strategy) Program Keuangan & Anggaran (Financial Programming & Budget) Pertanian & Pembangunan Pedesaan (Agriculture & Rural Development) Enegeri (Energy) Lingkungan (Environment) Urusan Perikanan & Kelautan (Fisheries & Maritime Affairs) Perhubungan (Transport) Kebijakan Daerah (Regional Policy) Sains & Riset (Science & Research)
Tidak seperti Dewan Uni-Eropa, komisi ini dimaksudkan sebagai suatu badan yang independen terhadap negara-negara anggota. Karenanya, komisioner tidak dibolehkan untuk menerima instruksi dari pemerintah negara yang mereka wakili, melainkan harus mewakili kepentingan masyarakat EU secara keseluruhan. Komisi ini dipimpin oleh seorang presiden. Saat ini dijabat oleh mantan PM Portugal, José Manuel Durão Barroso.
3. Dewan Uni-Eropa Meskipun Dewan Eropa (European Council) merupakan institusi pembuat-keputusan yang sangat penting khususnya terhadap agendaagenda yang sulit dipecahkan dan sensitif, serta isu yang punya implikasi ‘konstitusional’, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Dewan Uni-Eropa (Council of the European Union) berperan sebagai institusi utama pembuat keputusan dalam EU. Menurut Traktat Masyarakat Eropa (Treaty on the Establishment of the European Community) fungsi dan tanggung jawab dewan ini antara lain: Dewan sebagai badan 23
legislatif ME, untuk isu yang lebih luas, Dewan bersama Parlemen Eropa berperan sebagai badan legislatif; mengkoordinasikan kebijakan umum ekonomi negara anggota; Dewan menjalin kesepakatan internasional baik dengan negara lain maupun dengan organisasi internasional; dan bersama dengan Parlemen Eropa, Dewan memiliki otoritas anggaran yang menyusun anggaran EU. Sedangkan menurut Traktat EU, Dewan mengambil keputusan yang diperlukan dalam mendefinisikan dan menerapkan kebijakan luar negeri dan keamanan, berdasarkan pada panduan umum yang ditentukan oleh Dewan Eropa; dan mengkoordinir kegiatan negara anggota dan membuat aturan dalam bidang kepolisian dan kerjasama yuridis dalam menangani persoalan pidana. Anggota Dewan Uni-Eropa terdiri dari menteri dari masing-masing departemen yang merupakan representasi pandangan masing-masing pemerintah serta memiliki akuntabilitas politis di parlemen masingmasing negara. Oleh karena itu, tidak ada sebuah ‘Dewan’ Uni-Eropa yang tunggal karena masing-masing isu dibahas oleh menteri sesuai dengan bidangnya. Misalnya, ke-15 Menlu bertemu dalam pertemuan yang dikenal dengan Dewan Urusan Umum (GAC) yang membahas masalah-masalah hubungan internasional dan kebijakan umum. Sedangkan ke-15 Menteri Urusan Ekonomi dan Keuangan bertemu dalam Dewan Urusan Ekonomi dan Keuangan (ECOFIN), dst. Pada awalnya terlihat bahwa GAC memiliki senioritas dibanding dewan lain tetapi sejalan dengan semakin mengentalnya fokus EU dalam integrasi ekonomi dan moneter, posisi ECOFIN juga semakin menguat. Meskipun diwakili oleh menteri dari departemen yang berbeda, tetapi Dewan tetap merupakan satu kesatuan institusi. Frekuensi pertemuan Dewan bervariasi tergantung dari urgensi masalah yang dihadapi. GAC, ECOFIN, dan Dewan Pertanian (AC) bertemu sekali sebulan, sedangkan Dewan Transportasi (TC), Dewan Lingkungan (EC), dan Dewan Industri (IC) bertemu dua atau empat kali setahun. Pada saat Dewan berperan sebagai legislator, yang memiliki hak inisiatif dalam Komisi Eropa. Komisi Eropa mengajukan proposal kepada Dewan. Dalam proses pengkajian terhadap proposal dari Komisi itu Dewan memiliki hak untuk melakukan amendemen
24
sebelum disahkan. Pada proposal yang disahkan, Dewan boleh meminta Komisi sebagai pihak yang menerapkannya. Dalam proses legislatif, Parlemen Eropa berperan besar. Dalam isu-isu yang luas, seperti pasar internal, perlindungan konsumen, network trans-Eropa, pendidikan, kesehatan, anggaran ME, dll., legislasi Komunitas disahkan secara bersama antara Parlemen Eropa dan Dewan Uni-Eropa melalui prosedur ‘keputusan-bersama’. Dewan juga bekerjasama dengan ‘mitra sosial’ dan interest group yang lain— melalui Komite Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Committee)—dan otoritas lokal dan regional—yang diwakili oleh Komite Wilayah (Committee of the Regions)—dalam berbagai bidang.35 Bentuk pengambilan keputusan legislatif yang dilakukan oleh Dewan tergantung dari kasusnya. Keputusan itu bisa diambil dengan suara mayoritas anggotanya, bisa dengan mayoritas bersyarat (qualified majority voting), dan bisa dengan suara bulat. Pada tingkat Komunitas, banyak proposal yang diajukan oleh Komisi Eropa, diputuskan oleh Dewan dengan cara mayoritas bersyarat. Keputusan yang diambil dengan metode mayoritas bersyarat ini mulai digunakan dalam bidang-bidang tertentu sejak penerapan Akta Tunggal Eropa (SEA) tahun 1986. Dalam sistem mayoritas bersyarat ini masing-masing negara anggota diberi hak suara dengan bobot suara yang berbeda yang secara umum berdasarkan jumlah populasi suatu negara anggota. Jerman misalnya, mendapat 10 suara, sedangkan Luxemburg punya 2 suara. Jumlah suara total adalah 87. Agar sebuah proposal bisa diterima, mayoritas bersyarat biasanya bermakna 62 suara setuju. Kalau 26 suara menolak, sebuah proposal akan ditolak. Jumlah suara menolak ini dianggap sebagai ‘blocking minority’.36 Dengan proyeksi perluasan EU, bobot dan jumlah komisioner yang ditunjuk oleh masing-masing negara anggota. Dengan aturan baru ini, proposal bisa diterima kalau disetujui oleh 169 suara yang mewakili dua-pertiga negara anggota. Dan jika itu terpenuhi, Dewan masih bisa
35 36
Lebih lanjut bisa dilihat pada http://ue.eu.int/en/Info/index.htm. White, B. (2001) Understanding European Foreign Policy, Palgrave: Hampshire, hal. 12. 25
melakukan verifikasi bahwa mayoritas bersyarat itu mewakili 62% dari populasi EU.37 Bentuk-bentuk kebijakan yang bisa diambil oleh Dewan bisa berupa regulasi, direktif, keputusam, rekomendasi atau opini. Dewan juga bisa membuat kesimpulan yang bersifat politis atau bentuk lainnya seperti deklarasi atau resolusi. Dalam kebijakan luar negeri dan keamanan, Dewan mengambil keputusan yang diperlukan dalam mendefinisikan dan implementasi dari kebijakan tersebut berdasarkan panduan umum yang dibuat oleh Dewan Eropa. Dewan merekomendasikan strategi bersama kepada Dewan Eropa dan mengimplementasinya, khususnya dalam menentukan aksi-bersama dan posisi-bersama. Dalam urusan kepolisian dan kerjasama yuridis, Dewan— berdasarkan inisiatif dari negara anggota atau Komisi Eropa— menetapkan posisi-bersama, kerangka keputusan dan keputusan, dan menyiapkan konvensi. Dalam proses pelaksanaan tugasnya, Dewan dibantu oleh Komite Perwakilan Tetap atau Comité des Représants Permanents – COREPER. Perwakilan ini terdiri dari perwakilan tetap negara anggota (Permanent Representative of the Member States) di Brussel atau Deputi mereka yang bertemu sekali sepekan. Komite ini mengawasi dan mengkoordinasikan kegiatan sekitar 250 komite dan working group yang terdiri dari pegawai negeri dari negara anggota yang menyiapkan bahannya pada level teknis yang kemudian dibahas oleh COREPER dan Dewan. COREPER bertugas mematangkan berbagai isu yang mencakup ketiga pilar EU agar kebijakan yang buat lebih konsisten dan selaras. Dalam kenyataannya, ada 2 COREPER, yaitu COREPER II yang terdiri dari perwakilan tetap dan dutabesar negara anggota yang secara umum menangani urusan eksternal, dan COREPER I yang terdiri dari deputi dutabesar yang cenderung menangani urusan ‘domestik’. Meskipun berbeda bidang yang ditangani, prosedur operaisonal kedua badan ini sama. Pertama mereka mengidentifikasi hal-hal yang 37
Amendemen sub-alinea ke-3, Pasal 23(2) Traktat EU, Protocol Annexed to the Treaty on European Union and to the Treaties Establishing the European Communities, Official Journal of the European Communities, 10.3.2001, C 80/51. 26
disepakati (‘A points’) dan mencari penyelesaian terhadap hal-hal yang tidak disepakati. Jika hal tersebut tetap tidak bisa disepakati mereka membawanya ke pertemuan Dewan Uni-Eropa yang relevan (‘B points’). Dengan sistem bertapis (sifting) ini, menurut Dinan (1998:68), sekitar 80% dari kebijakan EU diputuskan pada level COREPER bahkan lebih rendah lagi yang terdiri dari berbagai komite dan working group. Personalianya terdiri dari pegawai level-madya pada perwakilan nasional masing-masing negara anggota di Brussel, kementerian domestik dan pejabat Komisi Eropa.38 Dewan Uni-Eropa dikepalai oleh sebuah kepresidenan yang bergiliran untuk masa 6 bulan. Pergiliran tersebut berdasarkan nota yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kepresidenan Dewan memainkan peranan penting dalam mengorganisir tugas-tugas institusi ini sebagai tenaga penggerak dalam proses pembuatan-keputusan legiaslatif dan politis. Badan ini mengorganisir dan memimpin semua pertemuan dan mematangkan kompromi sehingga mendorong penyelesaian dari berbagai persoalan. Kepresidenan ini dibantu oleh seorang Sekretaris Jenderal, yang sekaligus juga berperan sebagai Perwakilan Tinggi Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama dan mewakili EU dalam urusan yang tercakup dalam kebijakan tersebut. Secara teknis, kepresidenan bertanggung jawab mengorganisir seluruh urusan Dewan Uni-Eropa yang terdiri dari berbagai kementerian dan Dewan Eropa sendiri, yang bisa mencapai 200 pertemuan; menjadi broker kesepakatan; meluncurkan inisiatif kebijakan strategis; berperan sebagai juru-bicara EU; mewakili EU di dunia internasional; menyelenggarakan kegiatan di Pilar 2 (Kebijakan Luar Negari dan Keamanan Bersama) dan Pilar 3 (Mahkamah Eropa). Beberapa unsur peran eksternal kepresidenan, khususnya dalam mewakili EU, di masa depan akan dibagi dengan ‘Perwakilan Tinggi’ yang baru.39 Dewan Uni-Eropa dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal. Sekretariat ini berperan menyiapkan tugas-tugas Dewan sehingga terlaksana dengan baik di setiap level. Saat ini Sekretariat Dewan UniEropa bertempat di Gedung ‘Justus Lipsius’ di Brussel, dikepalai oleh 38 39
White, B. (2001), hal. 13-1.4 White, B. (2001), hal. 13. 27
Sekretaris Jenderal, Perwakilan Tinggi Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama, Javier Solana, dan dibantu oleh Deputi Sekretaris Jenderal, Pierre de Boissieu. Keduanya ditunjuk oleh Dewan UniEropa. Sekretariat Jenderal ini terdiri dari Kantor Pribadi Sekretaris Jenderal dan Deputi Sekretaris Jenderal, Layanan Hukum, Kantor Pers, dan Direktorat Jenderal untuk semua bidang kebijakan. Tugas utama Sekretariat Jenderal adalah menyiapkan berbagai pertemuan Dewan Eropa dan Dewan Uni-Eropa dan badan-badan persiapannya yaitu Komite Perwakilan Tetap dan working group. Sekretariat Jenderal memberikan masukan kepada Kepresidenan dan Sekretaris Jenderal tentang koordinasi tugas mereka. Tugas ini mencakup penyiapan muatan dan teks kompromi. Sekretariat Jenderal juga berperan sebagai interpreter dalam pertemuan jika negara anggota menggunakan bahasa masing-masing dalam negosiasi tersebut. Selanjutnya, Sekretariat Jenderal juga menyiapkan terjemahan dari dokumen dan laporan pertemuan serta menyiapkan draf dan memberikan advokasi legal kepada Dewan dan Komite. Terakhir, Sekretariat Jenderal mengatur anggaran Dewan Uni-Eropa. Saat ini lebih dari 2.500 pegawai—yang merupakan warganegara dari 27 negara anggota—yang bekerja di Sekretariat Jenderal, yang menggunakan 23 bahasa resmi di EU.
4. Parlemen Eropa Menurut definisi Traktat Roma 1957, Parlemen Eropa mewakili ‘the peoples of the States brought together in the European Community.’ Saat ini populasi dari ke-27 negara anggota EU berjumlah sekitar 496 juta. Pengaruh dan kekuatan Parlemen Eropa, yang memperoleh legitimasi melalui pemilu langsung40 yang diadakan setiap 5 tahun sekali, melalui beberapa traktat semakin menguat. Transformasi peranan Parlemen Eropa dari sebuah majelis yang murni bersifat konsultatif menjadi sebuah perlemen yang berkarakter legislatif—berfungsi sebagaimana sebuah parlemen nasional—diatur dalam Traktat Maas40
Pemilu langsung pertama kali diadakan tahun 1979 atau 34 tahun setelah Eropa tercabik oleh Perang Dunia II. Munculnya parlemen tunggal di Eropa menandai dan menjadi wadah—setidaknya secara simbolik—rekonsiliasi Eropa. 28
tricht 1992 dan Traktat Amsterdam 1997. Kini Parlemen Eropa merupakan mitra yang setara dengan Dewan Uni-Eropa dalam hal menyusun sebagian besar aturan legislasi Masyarakat Eropa. Jumlah anggota Parlemen Eropa saat ini adalah 785, dan untuk pemilu 2009 nanti jumlah tersebut diturunkan menjadi 736 sehingga setiap anggota legislatif akan mewakili 671 ribu warga. Jumlah ini diatur dalam traktat. Metode pemilihan anggotanya menggunakan sistem perwakilan proporsional. Di beberapa negara, pemilu diadakan pada level regional (Belgia, Inggris dan Italia), pada level nasional (Denmark, Prancis dan Spanyol), atau dengan sistem campuran seperti di Jerman. Di Belgia, Luxemburg dan Yunani ikut pemilu diwajibkan. Mereka yang berusia diatas 18 tahun, tanpa mebedakan jenis kelamin dan prinsip-prinsip kerahasiaan suara. Sejak 1993 warga EU yang sedang bermukim di anggota EU yang lain, berhak memilih di tempat tersebut. Representasi anggota wanita di Parlemen pasca pemilu 1999 mencapai 29,7%. Kelompok Politik di Parlemen Eropa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
EPP-ED PES ELDR Greens/EFA EUL/NGL UEN EDD
Kelompok Politik Kelompok Partai Rakyat Eropa dan Demokrat Eropa Kelompok Partai Sosialis Eropa Kelompok Partai Liberal, Demokratik dan Reformis Eropa Kelompok Partai Hijau/Aliansi Bebas Eropa Kelompok Konfederasi Kiri Bersatu Eropa/Kiri-Hijau Nordik Kelompok Uni untuk Bangsa-bangsa Eropa Demokrasi Eropa dan Kelompok Bhinneka
Jumlah anggota Parlemen Eropa dari masing-masing negara anggota ditetapkan dengan traktat. Dalam susunan kursi di Parlemen yang juga dikenal dengan chamber, anggota parlemen duduk menurut beberapa kelompok politik, ditambah beberapa anggota yang independen (nonattached). Kelompok politik ini merupakan anggota lebih dari 100 partai politik di negara anggota. Karena mayoritas kelompok politik memiliki akar di tingkat nasional, fungsinya diakui oleh traktat sebagai sebuah faktor integrasi dalam EU yang membantu munculnya kesadaran Eropa dan ekspresi dari kemauan politik warga Eropa. Di parlemen, masing-masing kelompok politik ini memiliki seorang ketua, biro dan sekretariat. 29
Parlemen Eropa merupakan satu-satunya institusi dalam ME yang bertemu dan berdebat secara publik. Anggotanya merupakan bagian dari kelompok politik di chamber, dan tidak bertindak sebagai wakil negaranya. Begitu juga dengan anggota yang non-attached. Mereka berada sepekan dalam setiap bulan di Strasburg (Prancis) menghadiri sidang paripurna Parlemen. Rapat tambahan selama 2 hari diadakan di Brussel. Sekretariat Parlemen Eropa bertempat di Luxemburg. Dua pekan dalam setiap bulan digunakan mengikuti rapat komite-komite parlemen di Brussel. Pekan sisanya digunakan untuk menghadiri rapat-rapat dalam kelompok politik. Parlemen menngunakan 23 bahasa resmi. 4.1. Kepresidenan, Biro dan Konferensi para Presiden Secara organisatoris, Parlemen Eropa terdiri dari Presiden, Biro dan Konferensi para Presiden, dan komite-komite. ‘Presiden’ Parlemen Eropa berperan mengawasi seluruh kegiatan parlemen dan badanbadan di bawahnya. Presiden memimpin sidang-sidang paripurna dan mengetuai rapat-rapat Biro dan Konferensi para Presiden. Dia juga mewakili parlemen dalam semua urusan eksternal, khususnya dalam hubungan internasional. Presiden Parlemen Eropa 1989 s.d. Sekarang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Enrique Barõn Crespo Egon A. Klepsch Klaus Hänsch José Maria Gil-Robles Nicole Fontaine Pat Cox Josep Borrell Fontelles Hans-Gert Pöttering
Masa Jabatan 1989 - 1992 1992 - 1994 1994 - 1997 1997 - 1999 1999 - 2002 2002 – 2004 2004 – 2007 2007 - sekarang
KP/Negara Asal S/Spanyol PPE/Jerman PPS/Jerman PPE/Spanyol PPE/Prancis ELD/Irlandia PES/Spanyol EPP-ED/Jerman
Sedangkan ‘Biro’ berperan sebagai regulator yang mengatur anggaran dan urusan administratif, organisasi dan staf parlemen. Disamping Presiden dan 14 Wakil Presiden, parlemen juga memiliki 5 orang quaestor yang bertanggung jawab dalam hal administratif khususnya
30
yang berkaitan langsung dengan anggota parlemen. Anggota Biro ini dipilih setiap 2,5 tahun. Kemudian ada Konferensi para Presiden yang terdiri dari Presiden Parlemen Eropa dan para ketua kelompok politik. Sebagai badan yang menangani organisasi politik parlemen, Konferensi para Presiden ini menentukan batasan dan acuan komite parlementaria dan delegasi, menentukan distribusi kursi di chamber dan menentukan jadwal dan agenda untuk sidang-sidang paripurna. Konferensi juga menerima rekomendasi dari Konferensi para Ketua Komite yang berkaitan dengan urusan komite dan agenda-agenda sidang paripurna. 4.2. Komite Parlemen juga dijalankan oleh komite tetap yang berjumlah 17 komite yang menyiapkan urusan persiapan untuk sidang paripurna parlemen. masing-masing komite memiliki seorang ketua, 3 orang wakil ketua dan sekretariat. Komite tersebut juga menyiapkan dan mensahkan laporan tehadap proposal legislatif dan laporan yang merupakan inisiatif masing-masing. Mereka juga menyiapkan opini untuk komite tetap yang lainnya. Parlemen juga membentuk komite sementara dan komite pemeriksa. Disamping itu, parlemen juga memiliki komite jointparlementaria untuk menjalin hubungan dengan parlemen dengan negara calon anggota, dan delegasi antar-parlemen yang menjalin hubungan dengan parlemen negara-negara non-EU. Unsur berikutnya dari Parlemen Eropa adalah Sekretariat yang dikepalai oleh seorang Sekretaris Jenderal. Staf Sekretariat ini mencapai sekitar 3.500 orang yang direkrut secara kompetitif dari seluruh negara anggota. Satu pertiga stafnya menangani urusan multilingual dan bekerja di 3 negara. Biaya operasional Parlemen Eropa mencapai â‚Ź2,5 per tahun per kepala warga EU atau sama dengan 1,08% dari anggaran total EU. 4.3. Kekuasan Parlemen Eropa Sebagaimana yang berlaku di semua parlemen, kekuasaan Parlemen Eropa juga mencakup 3 kekuasaan yang fundamental: kekuasaan legislatif, kekuasan anggaran dan kekuasaan pengawasan. 31
4.4. Kekuasaan Legislatif Bersama Dewan Uni-Eropa, Parlemen Eropa mensahkan legislasi. Prosedur yang biasa mengesahan tersebut adalah keputusan-bersama (codecision). Dengan prosedur ini, Dewan Uni-Eropa dan Parlemen berada pada posisi setara, dan secara bersama mensahkan legislasi yang diajukan oleh Komisi Eropa. Bahkan Parlemen merupakan institusi yang harus memberikan persetujuan yang paling akhir. Sistem keputusan-bersama ini merupakan kekuasaan yang esensial dari Parlemen Eropa yang memungkinkannya senantiasa mempengaruhi legislasi Eropa. Keputusan-bersama ini berlaku dalam bidang mobilitas tenaga kerja, pasar internal, pengembangan riset dan teknologi, lingkungan, perlindungan kosumen, pendidikan, budaya dan kesehatan. Hal itu juga memungkinkan Parlemen berperan penting dalam mensahkan legislasi di mana, misalnya: 1. Negara anggota bisa mengatur bahwa kegiatan olahraga tertentu harus disiarkan tanpa di-encrypt di wilayah mereka; 2. Aturan yang lebih tegas terhadap BMM; 3. Komisi bisa menerapkan tindakan pengaman darurat terhadap makanan ternak, dll. Meskipun keputusan-bersama merupakan prosedur yang standar, ada bidang lain di mana parlemen hanya bisa memberikan pendapat, seperti bidang perpajakan dan tinjauan terhadap harga lahan pertanian tahunan. Disamping memberikan kekuasaan keputusan-bersama, Traktat Amsterdam juga menempatkan Parlemen Eropa sebagai kekuatan penggerak di balik pembuatan keputusan di EU. Dengan dorongan satu atau beberapa komitenya parlemen sering mensahkan laporan yang dimaksudkan mendorong EU menuju ke arah tertentu. Proses kerja legislatif Parlemen Eropa bisa dibagi dalam 3 bagian utama, yaitu: 1. Komisi Eropa mengajukan proposal legislasi kepada parlemen; salah satu komite tetap (‘committee responsible’) diperintahkan menyiapkan laporan dan menunjuk seorang rapporteur (seo32
rang anggota komite yang ditugasi membuat draf laporan komite). Satu atau lebih komite diminta memberikan pendapat. Masing-masing memberikan pendapat mereka dan menyerahkannya kepada ‘committee responsible’; 2. Anggota parlemen—dan komite diminta memberikan pendapat—bisa melakukan amendemen terhadap draf laporan yang disiapkan oleh rapporteur; proposal disahkan, misalnya dengan sedikit perubahan, oleh ‘committee responsible’; 3. Kelompok-kelompok politik mengkaji laporan tersebut dari sudut pandang politis mereka. Akhirnya, laporan tersebut dibahas dalam sidang paripurna. Amendemen bisa dilakukan oleh ‘committee responsible’, kelompok politik atau beberapa anggota parlemen. Parlemen kemudian memberikan pandangan mereka terhadap laporan, yang dengan demikian memperlihatkan posisi mereka terhadap proposal yang asli. 4.5. Kekuasaan Anggaran Bersama dengan Dewan Uni-Eropa, Parlemen Eropa memiliki otoritas anggaran sebagaimana peran bersama legislatif antara keduanya. Di pihak Parlemen, urusan ini disiapkan oleh Komite Anggaran yang bekerjasama dengan komite tetap lainnya. Peranan dalam bidang anggaran ini memperlihatkan prioritas politis mereka. Anggaran tahun berikutnya disiapkan bulan Desember dan hanya akan berlaku setelah ditandatangani oleh Presiden Parlemen Eropa. Dalam banyak alokasi anggaran tahunan, peran parlemen sangat menentukan misalnya pengeluaran untuk wilayah yang kurang makmur, dll. Tetapi dalam bidang pertanian, Dewan Uni-Eropa masih merupakan institusi yang menentukan, tetapi parlemen punya hak amendemen. Parlemen dan Dewan Uni-Eropa juga mempertimbangkan proposal anggaran dari Komisi Eropa. Parlemen juga bisa menolak proposal budget jika dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan EU.
33
4.5. Kekuasaan Pengawasan Parlemen memiliki kekuasaan mengawasi seluruh kegiatan ME. Kekuasaan ini, yang pada awalnya hanya berlaku terhadap kegiatan Komisi Eropa, berkembang menjadi pengawasan terhadap kegiatan Dewan Uni-Eropa dan badan-badan yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan luar negeri dan keamanan. Dalam rangka supervisi ini, parlemen bisa membentuk komite pemeriksa sementara. Hal ini sudah pernah dilakukan misalnya dalam ‘kasus sapi gila’, di mana Parlemen membentuk Badan Kehewanan Eropa (EVA) di Irlandia. *** Dalam kaitannya dengan Dewan Uni-Eropa dan Komisi Eropa, Parlemen Eropa memainkan peran penting dalam penunjukan Komisi Eropa. Parlemen juga meratifikasi penunjukan Presiden Komisi Eropa, melakukan wawancara dengan para calon komisioner dan menolak atau mengangkat komisi, secara keseluruhan, melalui ‘mosi-percaya’ atau vote of confidence. Parlemen juga memiliki hak menggugat Komisi Eropa melalui ‘mosi gugatan’ atau ‘motion of censure’. Dengan dukungan mayoritas mutlak anggota parlemen dan dua-pertiga suara bisa memaksa Komisi untuk mengundurkan diri. Hingga saat ini, hak tersebut belum pernah digunakan, tetapi ia lebih bersifat sebagai faktor pencegah yang ampuh. Parlemen secara rutin melakukan pengawasan terhadap laporan dari Komisi Eropa tentang implementasi kebijakan, legislasi dan anggaran. Komite Parlemen Eropa, kelompok politik atau—dalam jumlah tertentu—anggota parlemen bisa mengajukan pertanyaan secara lisan kepada Dewan Uni-Eropa dan Komisi Eropa. Dalam topik yang memiliki dimensi politis, pertanyaan tersebut biasanya diperdebatkan di parlemen. Dalam setahun ada sekitar 5.000 pertanyaan semacam itu diajukan oleh anggota dan kelompok politik yang juga bisa dijawab secara tertulis.
34
Kepresidenan Dewan Eropa juga mempresentasikan program dan laporan tengah-tahunannya kepada parlemen. Dewan Eropa ini biasanya diwakili pada level menteri dalam rapat yang diadakan oleh komite-komite di parlemen. 4.7. Menguatnya Peran Politis Parlemen Eropa Indikasi menguatnya peran politis Parlemen Eropa terlihat pada hak keputusan-bersama yang dimiliknya dalam membuat legislasi. Pengaruh ini semakin nyata dalam beberapa kegiatan pokok EU seperti Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama (CFSP), kerjasama kepolisian dan urusan yustisi, Uni-Ekonomi dan Moneter, Piagam Hak-hak Fundamental dan Konvensi tentang Masa Depan Eropa. 4.7.1. Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama Tujuan dari kerjasama politik Eropa yang dimulai sejak tahun 1970-an adalah dalam kerangka untuk lebih maju daripada sekedar kerangka kerjasama ekonomi dan sosial. Tujuannya adalah untuk menciptakan strategi bersama di bidang kebijakan luar negeri. Traktat EU 1993, memasukkan dimensi keamanan ke dalam kebijakan luar negerinya. Ini terlihat dari rencana membentuk sebuah Pasukan Reaksi Cepat Eropa. Dewan Uni-Eropa selalu berkonsultasi dengan Parlemen Eropa dalam membuat keputusan terhadap isu-isu kebijakan luar negeri. Parlemen boleh mengajukan pertanyaan kepada Dewan Uni-Eropa dan membuat rekomendasi. Melalui Komite Luar Negeri, HAM, Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Bersama, parlemen selalu menjalin komunikasi dengan Wakil Tinggi Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan EU.
35
4.7.2. Kesepakatan dan Traktat Internsional Setiap penerimaan anggota baru EU dan sebagian besar kesepakatan internasional yang dibuat oleh EU harus melalui persetujuan Parlemen Eropa. 4.7.3. Globalisasi Globalisasi dan peranan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menjadi perhatian Parlemen Eropa. Institusi ini harus memberikan persetujuan dalam setiap negosiasi dengan WTO. Parlemen Eropa, misalnya, menghimbau WTO agar mematuhi aturan perburuhan yang dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan meminta organisasi perdagangan itu agar lebih demokratis dan transparan. Parlemen bahkan mengajukan agar WTO membentuk majelis parlemen. 4.7.4. HAM Internasional Parlemen Eropa sangat memperhatikan perlindungan HAM baik di dalam maupun di luar EU. Parlemen berkali-kali menolak protokol keuangan dengan negara non-EU atas Dasar HAM, memaksa mereka membebaskan tahanan politik, dll. Dengan usaha Parlemen Eropa, Konvensi Cotonou yang menghubungkan EU dengan 77 negara di Afrika, Karibia dan Pasifik (ACP) kini memasukkan ‘klausa demokrasi’ yaitu opsi untuk menghentikan sementara bantuan kepada negara-negara yang dinilai melakukan pelanggaran HAM berat. 4.7.5. Forum Internasional Pengaruh yang dimiliki oleh Parlemen Eropa dalam menentukan kebijakan luar negeri memberikan institusi itu status dalam forum internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, Sekretaris Jenderal PPB, Presiden AS, dll. telah menyampaikan pidato mereka di Parlemen Eropa.
36
4.7.6. Piagam Hak-hak Fundamental EU Piagam ini disiapkan oleh wakil-wakil Parlemen Eropa, parlemen nasional, negara anggota dan Komisi Eropa. Parlemen Eropa memandang piagam tersebut sebagai langkah awal menuju terbentuknya Konstitusi Eropa dan direncanakan akan dimasukkan ke dalam traktat untuk menjamin implementasinya. Parlemen Eropa telah sepakat bahwa setiap legislasi harus menghormati hak-hak fundamental yang disepakati dalam piagam tersebut. 4.7.7. Uni-Ekonomi dan Moneter (EMU) Bank Sentral Eropa (ECB) yang memainkan peranan penting dalam konteks EMU memiliki otoritas independen dalam menentukan kebijakannya. Tetapi ECB harus dan hanya meminta pandangan kepada Parlemen Eropa. Prosedur yang diatur oleh Parlemen Eropa mendefinisikan pengangkatan Presiden, Wakil Presiden dan anggota lainnya dari direksi ECB. Hanya setelah mengikuti hearing dengan komite dan disetujui oleh Parlemen Eropa para calon bisa diangkat oleh Dewan Uni-Eropa. Presiden ACB harus mempresentasikan laporan tahunan dalam sidang paripurna parlemen. disamping itu, Presiden ECB dan anggota direksinya yang lain harus bersedia datang ketika diminta oleh Parlemen Eropa maupun oleh Komite Urusan Ekonomi dan Moneter yang ada di Parlemen Eropa. 4.7.8. Konvensi masa depan Eropa Dalam rangka demokratisasi proses reformasi EU, parlemen berupaya menyusun sebuah konvensi tentang masa depan EU. Konvensi ini terdiri dari seorang presiden, ValÊry Giscard d'Estaing, 2 orang wakil presiden, 16 anggota parlemen, 30 anggota parlemen nasional, 15 wakil dari kepala negara anggota, 2 orang Komisioner Eropa, dan sebagai peninjau ada 39 wakil dari—waktu itu—13 negara calon anggota. Parlemen menginginkan konvensi itu akan menjadikan EU semakin demokratis, efektif, transparan, kuat dan responsif terhadap 37
isu-isu sosial, yang dengan demikian publik merasa memiliki proses integrasi Eropa untuk memahami tugas masing-masing dalam EU, apa yang harus dilakukan EU dan bagaimana merealisasikannya. Diantara topik-topik yang diajukan oleh parlemen yaitu politik, kemajuan ekonomi dan sosial, keamanan dan kemakmuran warga dan penduduk Eropa, penguatan peranan EU di dunia internasional, simplifikasi prosedur legislatif, pemilihan Presiden Komisi Eropa, mendefinisikan status Piagam Hak-hak Fundemental dan penyederhanaan traktat Eropa yang sudah ada.
38
BAB 1 PROLOG 1. Menuju Sebuah Kebijakan Luar Negeri ‘Bersama’?
S
ejalan dengan integrasi Eropa yang semakin erat, kompleks, dan menyeluruh, tuntutan terhadap sebuah suara ‘bersama’ dalam kebijakan luar negeri Uni-Eropa (EU). Perlu ditekankan di sini adalah sebuah kebijakan luar negeri ‘bersama’; bukan sebuah kebijakan luar negeri yang ‘tunggal’. Meskipun dalam realita masih terdapat sebuah skeptisme yang mendalam terhadap kemungkinan lahirnya sebuah kebijakan luar negeri yang ‘tunggal’ tetapi ada juga pihak yang memperkirakan EU—dalam jangka panjang—bisa menjelma menjadi sebuah Eropa Serikat (United States of Europe). Cita-cita untuk memiliki sebuah kebijakan luar negeri ‘bersama’ bagi EU bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Lebih daripada sebuah keinginan, ‘mimpi’ tersebut juga merupakan suatu kebutuhan yang boleh dikatakan ‘mutlak’ ada. Motivasi kebutuhan tersebut didorong dan berkaitan erat dengan postur kontemporer EU yang bisa dikategorikan sebagai sebuah ‘aktor’ di panggung politik dunia dan dalam memperjuangkan kepentingan globalnya. Beberapa indikator tampaknya membuat EU layak sebagai ‘aktor’ internasional tersebut. Dari segi ekonomi, perdagangan dan investasi dalam skala global, EU menempati posisi yang sangat signifikan. EU menguasai 51% dari nilai investasi asing (foreign direct investment) dunia. Volume ekspor barang dan jasa EU menguasai 38% pasar global. EU menguasai 36% GNP dunia, dan menyumbang 56% dari bantuan pembangunan internasional secara resmi. Disamping itu, negara-negara anggota EU merupakan blok terbesar dalam institusi Bretton Woods: 23% suara dalam Bank Dunia, dan 29% suara dalam Dana Moneter Internasional (IMF), sekaligus menguasai suara terbesar menurut kelompok regional dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (Van Reisen, 1999).
39
‘Keaktoran’ (actorness) EU sudah merupakan topik hangat dalam berbagai wacana karena fungsi tersebut lebih merupakan peran dari sebuah negara yang utuh dan berdaulat—sebuah kategori yang kiranya mustahil bisa dicapai dalam konteks integrasi EU secara normal. Oleh karena itu, konsep ‘keaktoran’ ini harus dilengkapi dengan konsep ‘kehadiran’ (presence) EU dalam dunia internasional. Konsep ‘kehadiran’ ini bisa juga memberikan kompensasi terhadap beberapa kelemahan EU—yang meskipun merupakan sebuah kekuatan internasional—untuk memanfaatkan potensinya untuk meraih kepentingan globalnya (J. Peterson, 1998). Dengan demikian, konsep ‘kehadiran’ EU juga merupakan sebuah fenomena yang signifikan yang memperbesar dan memperluas harapan-harapan para pembuat-kebijakan dalam politik internasional.41 Menurut C. Hill (1994:24), ada beberapa kapabilitas yang menjadi motor ‘kehadiran’ EU dalam dunia internasional: kemampuannya untuk setuju, kemampuannya untuk beraksi, dan sejauhmana sumbersumber daya yang dikerahkan untuk mendukung aksi tadi. Dalam konteks ini, kemampuan bisa dibagi menjadi sumber daya, instrumen, dan keterpaduan (cohesiveness). Kapabilitas EU untuk setuju bisa dilihat pada tiga aspek, yaitu sejauhmana sebuah kesepakatan bisa dibuat antara negara anggota, pentingnya pertalian (coherence) dari sebuah posisi ‘bersama’ yang mapan, dan perkembangan sebuah posisi ‘bersama’ dari waktu ke waktu. Sedangkan kemampuan untuk beraksi terdiri dari hubungan dan keterkaitan dengan kebijakan EU/EC dalam bidang-bidang yang lainnya, dan dalam Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama (CFSP) itu sendiri (B. Tonra, 2001:44-45). Langkah menuju sebuah kebijakan luar negeri ‘bersama’ dalam EU sudah menempuh liku yang panjang. Diawali dengan pembentukan Kerjasama Politik Eropa (European Political Cooperation – EPC) 27 Oktober 1970 setelah diterimanya Laporan Luxemburg oleh Menlu Masyarakat Eropa (ME). Dalam fase-fase awal tersebut, EPC pada umumnya beroperasi sebagai sebuah kerjasama antar-pemerintah (in41
Lihat M. Allen dan M. Smith (1991). ‘Western Europe’s presence in the contemporary international arena’, dalam: Holland, M. (Eds.). The Future of European Political Cooperation: Essays on Theories and Practice. London: Macmillan, hal. 95-120. 40
tergovernmental cooperation). Lembaga ini dirancang untuk mengkoordinasikan kebijakan luar negeri nasional negara-negara anggota. Dengan demikian, EPC tidak dibuat untuk melesapkan diplomasi nasional, dan masing-masing negara anggota tetap memiliki kata-putus berdasarkan konsensus. Tetapi EPC ini memungkinkan negara anggota untuk melaksanakan kebijakan nasional sekaligus kolektif sehingga EPC juga dianggap sebagai ‘unsur sentral’ dalam kebijakan luar negeri negara anggota. Penggabungan kedaulatan nasional ini bisa dilakukan dengan adanya aturan tertentu yang bisa berupa kebiasaan-kebiasaan yang sudah mapan (confidential coutûmier) dan laporan para Menlu yang mengikat secara politik (E. Regelsberger, 1997:68). Lahirnya ECP dipicu oleh keinginan Uni-Soviet untuk bisa menghadiri sebuah konferensi keamanan pan-Eropa. Inisiatif tersebut melahirkan Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Conference on Security and Cooperation in Europe). Di masa awal kelahirannya, EPC telah berhasil memainkan peranan yang cukup signifikan di panggung internasional. EPC juga memiliki pengaruh yang krusial menjaga keseimbangan antara blok Barat dan Timur pada waktu itu. Usahausaha untuk memiliki posisi yang tunggal dalam masalah TimurTengah juga semakin meningkat. Dalam periode berikutnya EPC ditantang oleh beberapa peristiwa eksternal seperti pemberlakuan keadaan darurat di Polandia, invasi Kepulauan Falkland oleh Argentina dan Lebanon oleh Israel awal tahun 1980-an. Perkembangan eksternal tersebut memaksa negaranegara anggota untuk meningkatkan kesiapan mereka untuk menggunakan instrumen ME dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri mereka. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ME mulai memiliki sebuah kebijakan luar negeri yang lebih riil, tidak hanya berupa démarches politik belaka.42 Dalam tahun 1987, Akta Tunggal Eropa (Single European Act) mulai berlaku. Bagian III dari Akta ini memungkinkan kerjasama politik ini diakui dalam hukum internasional. Dari tahun 1986 hingga 1993, terdapat beberapa perubahan yang radikal di Eropa Tengah dan Timur. Cakupan dari perubahan dan 42
Nuttal, S. (1997). ‘Two Decades of EPC Performances’, dalam: Regelsberger, E. et al., hal. 19-39. 41
proses tersebut di luar kemampuan mekanisme EPC untuk menanganinya. Mekanisme tersebut juga gagal untuk mencapai kata sepakat dalam kasus Krisis Teluk. Fungsi EPC berakhir ketika berlakunya Traktat EU (Treaty on European Union) tanggal 1 November 1993 dan diganti oleh CFSP. Dibandingkan dengan pendahulunya, CFSP secara mendasar dinilai lebih memiliki potensi. CFSP merupakan sebuah unsur kelanjutan dan tulang punggung dari konsep Uni-Politik Eropa yang secara bersama dengan Uni-Ekonomi dan Moneter yang membentuk kedua keping mata uang yang bernama EU (G. Burghardt, 1997:323). Disepakati di Maastricht, negara-negara anggota mengadopsi tujuan dari ‘kebijakan luar negeri bersama’ ke dalam traktat. Dengan demikian, per 1 November 1993, EU telah mampu membuat suaranya didengar dalam dunia internasional. EU juga telah bisa menyuarakan posisinya terhadap konflik-konflik bersenjata, pelanggaran HAM dan topik-topik lainnya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip fundamental dan nilai-nilai bersama yang merupakan basis dari EU, dan dalam sektor di mana EU berkomitmen membelanya. Beberapa pasal menyangkut CFSP direvisi oleh Traktat Amsterdam yang mulai berlaku tahun 1999. Pasal 11 hingga 28 dari Traktat Uni-Eropa kemudian secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan CFSP ini. Legislasi yang mengatur CFSP merupakan kombinasi antara pasalpasal hukum EU dengan realitas yang ada. Negara-negara anggota diwajibkan mendukung CFSP secara aktif dan tanpa syarat dalam semangat loyalitas dan solidaritas bersama (Pasal J.1[4]).43 Dalam kenyataannya, terdapat kesimpangsiuran terhadap instrumen dan kelemahan dari struktur Pilar.44 Meskipun demikian, CFSP merupakan sebuah langkah yang besar menuju lahirnya sebuah kebijakan luar negeri EU yang lebih terpadu. Salah satu keputusan penting untuk meningkatkan efektivitas dan profil dari kebijakan luar negeri EU adalah pengangkatan Ketua Perwakilan CFSP (High Representative for the CFSP) bulan Oktober 1999 sebagai kelanjutan dari Traktat Amsterdam. 43 44
Regelsberger, E. (1997). op. cit., hal. 74. Regelsberger, E. (1997). op. cit., hal. 79. 42
Kemudian dalam Traktat Nice yang berlaku sejak 1 Februari 2003 juga memuat beberapa pasal baru yang berkaitan dengan CFSP. Perubahan tersebut memperluas wilayah yang berkaitan dengan voting mayoritas bersyarat (qualified majority voting) dan memperkuat peranan Komite Politik dan Keamanan dalam menajemen operasi dalam kondisi krisis. Eropa yang bersatu secara politik—andaikan itu bisa direalisasikan—akan memerlukan beberapa dekade. Realitas sebuah kebijakan luar negeri ‘bersama’ EU dalam mekanisme CFSP masih sangat embrionik. Melihat keterbatasan dan prestasi yang telah dicapai dengan mekanisme tersebut, masih sangat banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan program yang mesti diselesaikan. Masa depan CFSP sangat tergantung dari bagaimana para pembuat kebijakan memandang kelemahan internal dari alat politik itu dan isu-isu global yang berubah dengan sangat cepat. CFSP masih tergantung pada sistem aklamasi dalam pengambilan keputusan yang berpotensi memperlambat pembuatan-keputusan yang cepat dan EU yang baru saja diperluas bisa memperburuk keadaan jika tidak ada perbaikan. Tantangan yang lebih serius adalah beragamnya basis legal terhadap hubungan eksternal dalam skema CFSP, kerjasama pembangunan, perdagangan dan kebijakan moneter. Hal-hal tersebut hanya memperkuat citra bahwa EU sendiri tidak memiliki jati diri legal yang jelas (F. Cameron, 2002:4). Kenyataan ini berpotensi melemahkan CFSP untuk menyuarakan sebuah suara ‘bersama’ Eropa terhadap dunia internasional.
2. ‘Europeanisasi’ Kebijakan Luar Negeri Nasional? Untuk memahami proses Eropanisasi kebijakan luar negeri nasional masing-masing negara anggota, beberapa konsep dan batasan dari Eropanisasi dibahas pada bagian berikut. Berkaitan dengan gagasannya untuk melibatkan lebih banyak negara ke dalam urusan EU, M. Emerson (2004) melukiskan Eropanisasi sebagai transformasi politik nasional yang sejajar dengan nilai-nilai dan standar Eropa yang modern melalui: (1). Kewajiban legal dan kelembagaan yang berasal dari norma-norma dan aturan EU dan Dewan Eropa (Council of Europe); (2). Perubahan-perubahan obyektif dalam struktur ekonomi 43
dan kepentingan individu sebagai akibat dari integrasi; dan (3). Perubahan-perubahan subyektif dalam keyakinan, harapan dan jati diri.45 Dia lebih menekankan definisi ini pada perluasan keanggotan EU. Sedangkan menurut S.J. Bulmer dan C.M. Radaelli (2004) Eropanisasi melibatkan proses-proses: (1). konstruksi; (2). difusi; dan (3). institusionalisasi dari aturan formal dan informal, prosedur, paradigma kebijakan, gaya, ‘tata-cara melakukan sesuatu’, dan keyakinan dan norma yang perlu didefinisikan dan konsolidasi dalam proses kebijakan EU yang kemudian diadopsi ke dalam logika wacana domestik (nasional dan sub-nasional), struktur politik dan kebijakan publik.46 Dari perspektif kebijakan publik, Robert Ladrech (1994:69) mendefinisikan Eropanisasi sebagai ‘sebuah proses yang inkremental yang mereorientasi arah dan menciptakan format politik baru hingga pada taraf di mana dinamika politik dan ekonomi ME menjadi bagian dari logika organisasional dari perpolitikan nasional dan pembuatan kebijakan.’47 Dalam makna ini, Eropanisasi bagaikan sebuah respon nasional dari suatu input EU. Bulmer dan Burch (2000:4) menamakan konsep Eropanisasi semacam ini sebagai ‘penerimaan’ dan mengusulkan agar proses tersebut dilengkapi dengan dimensi lain yaitu ‘proyeksi’ di mana: ‘Integrasi Eropa tidak saja ‘di luar sana’ sebagai sebuah variabel bebas; tetapi proses itu—hingga tingkat tertentu— merupakan produk dari dari harapan pemerintah negara-negara anggota. Karena EU memiliki logika organisasional tersendiri, maka para aktor politik nasional […] menyesuaikan sebagian dari logika tersebut jika ingin memanfaatkan peluang yang diciptakan oleh EU.’ Sementara itu, Eropanisasi juga dipahami sebagai “penetrasi unsur-unsur dan dimensi Eropa ke dalam arena nasional” (Gamble, 2001:1).
45
46
47
Lihat M. Emerson (Februari 2004). ‘Deepening the Wider Europe’, Centre for European Policy Studies, pada http://www.ceps.be. Lihat S.J. Bulmer dan C.M. Radaelli (2004). ‘The Europeanisation of National Policy?’ Queen’s Papers on Europeanisation, No. 1/2004. Lihat R. Ladrech (1994). ‘Europeanization of Domestic Politics and Institutions: The Case of France’. Journal of Common Market Studies, 32(1), hal. 69-99. 44
Dalam kajiannya tentang kebijakan luar negeri Denmark dan Irlandia, Ben Tonra (2000, hal. 229)48 mendefinisikan Eropanisasi sebagai ‘(…) sebuah transformasi dalam hal bagaimana kebijakan luar negeri nasional negara-negara anggota dikonstruksi, dari segi di mana peran-peran profesionalitas didefinisikan dan diusahakan serta dalam hal internalisasi secara konsekuen dari norma-norma dan harapan yang muncul dari suatu sistem yang kompleks dari pembuatan kebijakan kolektif EU.’ Sedangkan Jordi Vaquer i Fanés (2001) mendefinisikan Eropanisasi sebagai ‘sebuah kebijakan luar negeri sebagai sebuah proses perubahan kebijakan luar negeri pada level nasional yang disebabkan oleh tekanan-tekanan tertentu untuk beradaptasi dan peluangpeluang baru yang dihasilkan oleh proses integrasi Eropa.’49 Dalam mengkaji fenomena Eropanisasi, beberapa batasan diberikan karena integrasi Eropa sebagai satu sumber perubahan tidak bisa dianggap sebagai hal yang terisolasi dari sumber-sumber lainnya (yang potensial) dari institusi domestik dan perubahan politik (Hix dan Goetz, 2000:3). Jordi Vaquer i Fanés (2001) memberikan batasan dalam tiga aspek: Pertama, penilaian terhadap magnitude dan kualitas dari perubahan yang diamati, yang dia namakan sebagai ‘relevansi dari perubahan’. Analisis terhadap relevansi perubahan sangat penting dalam segi adaptasi birokrasi dan kelembagaan yang ditimbulkan oleh proses integrasi. Dalam konteks ini, analisis difokuskan pada seberapa dalam dan formal adaptasi yang terjadi, dsb. Kedua, membuat bingkai kausualitas antara integrasi Eropa dan perubahan yang diamati, yaitu mengkaji ‘Eropanisasi sebagai sebuah penyebab’. Dalam pandangan ini, Eropanisasi bisa dianggap sebagai sebuah proses yang bisa dirujuk sebagai sumber dari perkembangan yang terjadi. Analisis ini biasanya mencakup pembahasan tentang unsur-unsur vital dari perubahan dan modus dari Eropanisasi; yang biasanya mencakup pertanyaan tentang berapa lama dan bagaimana.
48
49
Tonra, B. (2000). ‘Denmark and Ireland’, dalam: I. Manners and R. Whitman (eds.). The Foreign Policies of European Union Member States. Manchester: Manchester University Press, hal. 224-242. Lihat J. Vaquer i Fanés (April 2001). ‘Europeanisation and Foreign Policy’, Working Paper No. 21, London School of Economics. Barcelona: Observatori de Política Exterior Europea, pada: http://selene.uab.es. 45
Terakhir, meninjau perubahan yang diamati dari sudut prosesproses lain yang terjadi dalam ranah domestik dan internasional yang sejalan dengan Eropanisasi, yang dia istilahkan sebagai ‘fenomena yang kontras’ (Goetz, 2000:221-223). Mengingat kajian terhadap kebijakan luar negeri di mana Eropanisasi merupakan sebuah variabel tunggal bisa memberikan kontribusi dalam peningkatan pemahaman terhadap kebijakan luar negeri negara-negara anggota—yang dalam waktu bersamaan—secara umum terhadap kebijakan luar negeri Eropa, dampak dari Eropanisasi vis-à-vis kemajuan-kemajuan lainnya yang bisa berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri di mana secara simultan proses Eropanisasi harus dikaji secara khas. Dalam salah satu kajiannya, Ben Tonra (2001)50 meneliti konsep ‘Eropanisasi’ kebijakan luar negeri nasional di EU. Tonra menganalisis kasus kebijakan luar negeri Denmark, Belanda dan Irlandia dalam konteks integrasi Eropa yang semakin erat. Analisis tersebut berfokus pada hubungan antara kebijakan luar negeri nasional dan kebijakan luar negeri EU. Studi Tonra itu mencakup kebijakan ketiga negara anggota tadi sejak tahun 1945 hingga lahirnya EPC tahun 1970 dan diganti oleh CFSP di bawah Traktat Maastricht tahun 1993, Traktat Amsterdam tahun 1999, dan Traktat Nice. Kajian itu dilakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan apakah perkembangan kerjasama kebijakan luar negeri dalam EU menghambat atau malah memperkuat kebijakan luar negeri nasional ketiga negara tadi. Diantara kesimpulan yang diperoleh adalah, pertama, bahwa hubungan antara kebijakan luar negeri nasional dan kebijakan luar negeri dan keamanan bersama EU bersifat timbal-balik (reciprocal) di mana masing-masing secara berkelindan saling menghambat dan memperkuat satu sama lain. Kedua, Tonra menarik kesimpulan yang praktis. Pertama, kapasitas kebijakan luar negeri Eropa tumbuh semakin kuat tetapi tetap memiliki kelemahan fondasi yang dibutuhkan dari segi penerimaan dan akuntabilitas demokratis. Kedua, evolusi kebijakan luar negeri EU telah mencapai titik di mana beberapa negara anggota, kebijakan luar negeri bersama telah menjadi sebuah tujuan kebijakan luar negeri nasional. Dalam makna ini, proses tersebut tidak berarti 50
Tonra, B. (2001). passim 46
adanya pergeseran loyalitas dari kepentingan negara-bangsa menuju sebuah kepentingan Eropa, tetapi lebih merupakan penilaian kembali kepentingan nasional dalam konteks Eropa yang baru.51 Kesimpulan ini agak berkesesuaian dengan tesis ‘mengisi’ (filling-in) dalam mekanisme pembuatan-kebijakan dalam EU; bukan merupakan merupakan bentuk ‘menggerogoti’ (hollowing-out). Meskipun stadium akhir yang hendak dicapai dalam proses integrasi Eropa bersifat politik melalui pasar bersama berupa pasartinggal, proses integrasi politik tampaknya lebih sulit daripada yang bersifat ekonomi. Hal ini sebagian disebabkan oleh proses tersebut mengkompromikan otonomi atau bahkan sebagian dari kedaulatan negara anggota demi lembaga-lembaga bersama yang bergerak dalam suatu sistem legal yang kedudukannya sering lebih tinggi dari negara anggota. Sebagai bagian dari politik ‘adiluhung’ (high-politics), ranah kebijakan luar negeri tentu saja sangat sensitif dalam konteks integrasi yang demikian, khususnya negara anggota yang kuat karena kapabilitasnya yang mumpuni dalam implementasi kebijakan luar negeri dan keamanannya. Hal tersebut juga menjadi penyebab mengapa CFSP ditempatkan pada Pilar Kedua (intergovernemental) dan tidak pada Pilar Pertama (supranational). Tetapi—dengan alasan tertentu—negara anggota yang kecil (minor) lebih menginginkan mekanisme yang terintegrasi dan kapabel dalam kebijakan luar negeri EU dibandingkan negara anggota yang kuat (major). Hal ini didorong oleh keterbatasan sumberdaya mereka dalam implementasi kebijakan luar negeri nasionalnya. Mereka memilih bergabung dengan kelompok dengan mekanisme bersama yang kuat karena sebagai negara kecil kemungkinan mereka akan mampu mengimplementasikan kebijakan luar negerinya lebih kuat dibandingkan jika bertidak sendiri. Hanya saja keputusan untuk bergabung ke dalam entitas yang lebih kuat dalam kasus EU ini bukan suatu hal mudah karena tindakan tersebut bisa mengurangi kapabilitas mereka untuk bertindak secara independen untuk mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut. Lebih-lebih lagi bergabung ke dalam proses ini merupakan sebuah pilihan politik di mana politik adalah proses berkesinambunagn dari menimbang dan 51
Tonra, B. (2001). op. cit., hal. vi. 47
memilih (P.P. Everts, 1996:i). Konteks inilah yang menjadi basis analisis dalam buku ini. Analisis dalam buku ini agak berbeda daripada studi yang telah dilakukan Tonra. Pertanyaan sentral kajiannya adalah apakah perkembangan kerjasama kebijakan luar negeri dalam EU menghambat atau malah memperkuat kebijakan luar negeri negara anggota EU. Sedangkan kajian ini pertama berfokus pada bagaimana kebijakan luar negeri Belanda mengalami Eropanisasi sebagai konsekuensi logis dari integrasi Eropa yang semakin erat dengan menganalisis sumbangan dan peranan sekaligus sikapnya dalam perkembangan CFSP. Kedua, kajian ini mencoba menilai apakah kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia bisa memberikan kontribusi untuk menjelaskan proses Eropanisasi kebijakan luar negeri nasional Belanda. Ada dua alasan mengapa kajian ini mengambil kebijakan luar negeri Belanda dalam kasus Indonesia. Pertama, Belanda adalah bekas negara yang pernah menjajah Indonesia yang memiliki hubungan yang ‘khusus’ dengan Indonesia. Dengan hubungan yang ‘khusus’ ini diasumasikan bahwa dalam implementasi kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia Belanda cenderung bertindak sendiri sebagai sebuah negara yang berdaulat. Kedua, Belanda bisa diklasifikasi ke dalam negara kecil dalam konstelasi dan standarisasi politik internasional apalagi ketika Belanda kehilangan bekas Hindia Belanda (Nederlands Oost-IndiĂŤ) dalam Perang Dunia II. Dalam perspektif ini, sebuah negara kecil cenderung menyandarkan diri pada aliansi atau komunitas yang lebih kuat untuk mencapai kepentingan nasionalnya, yang dalam hal ini, tujuan dan target dari kebijakan luar negerinya. Dari pola behavioral yang dominan, sebagimana yang disebutkan oleh Pfetsch (1994:125,129), Belanda cenderung pada bentuk integrasi Eropa yang mengarah pada konfederasi, supranasional, atau federasi. Dalam kategori ini Belanda menginginkan koordinasi dan harmonisasi kebijakan dengan negara anggota yang lain, yakni saling mengakui, dan perilaku yang seragam yang dioperasikan oleh organ supranasional atau federatif yang diatur dengan undang-undang yaitu perlakuan yang standar.
48
Dari segi kapabilitas, Belanda bisa dikategorikan sebagai negara anggota yang kecil dalam EU hampir dari semua aspek.52 Kapasitas dan keunggulan negara-negara dalam hubungan internasional bisa dinilai dengan kriteria kuantitatif dan kualitatif. Kriteria kuantitatif merupakan ukuran dari aspek kapabilitas yang mutlak. Dalam kriteria ini, negara-negara dirangking dalam beberapa skala yang berbeda seperti luas wilayah, populasi, GDP, GDP per kapita, anggaran bruto dan per kapita militer, cadangan energi, konsumsi energi, produk industri, proporsi penguasaan perdagangan global, kemampuan nuklir, jumlah sumber-sumber strategis, dll.53 Dengan kriteria ini, negara-negara diklasifikasi ke dalam adidaya, kekuatan besar, kekuatan menengah (medium), negara kecil (minor), dan negara mikro (mini). Menurut Tonra (2001), analisis kuantitatif ini sangat berguna tetapi kurang ampuh dalam menakar kapasitas relatif dari sebuah negara. Sedangkan kriteria kualitatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang pakar adalah keseluruhan kemampuan material sebuah negera yang ditinjau dari terminologi psikologis dan relasional (J. Stoesinger, 1973:9). Aspek-aspek psikologis tersebut memungkinkan terjadinya mobilisasi dari aset kebijakan luar negeri nasional yang terdiri dari kualitas kepemimpinan nasional, karakter nasional, dan morale nasional (rasa percaya diri atau rasa malaise nasional). Seluruh faktor tadi bisa memberikan dampak terhadap kemauan sebuah negara memproyeksikan dirinya dalam dunia internasional. Keyakinan bahwa sebuah negara merupakan penyandang/gudang ‘kebenaran’ moral, politik, atau agama bisa juga menjadi inspirasi bagi rakyatnya atau pemimpinnya untuk melaksanakan atau merasionalisasi ambisi-ambisi kebijakan luar negeri nasional masingmasing.54 Untuk mengukur kapabilitas sebuah negara, dengan demikian, kriteria kuantitatif dan kualitatif tersebut harus dikombinasikan. Dari sudut ini, Belanda pantas mendapat status sebagai sebuah negara
52 53 54
Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 46, 54. Handel, M. (1981). Weak States in the International System. London: Frank Cass. Ibid. 49
kecil, baik dalam konteks regional maupun global.55 Dalam persepsi dirinya, posisi Belanda di panggung politik internsional tanpa Hindia Belanda bahkan turun ke tingkat yang setara dengan Denmark.56 Sebagai sebuah negara kecil, diasumsikan bahwa secara kategoris Belanda menyambut baik Eropanisasi kebijakan luar negeri nasional sejak pemberlakuan EPC dan CFSP. Tetapi dalam kasus kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia yang diwarnai oleh beban kolonial, trauma dekolonisasi, dan hubungan yang ‘khusus’ apakah perilaku kebijakan luar negeri Belanda akan mengikuti asumsi di atas?
3. Batasan dan Tujuan Analisis Kajian dan studi terhadap kebijakan luar negeri Eropa dalam konteks EU cenderung bersifat ambigu, berada antara kajian ‘Hubungan International’ dan ‘Integrasi Eropa’, antara ‘Keamanan Eropa’ dan ‘Pembuatan-kebijakan di Eropa’, dan antara ilmu politik dan ilmu hukum. S. Keukeleire (1998, hal. v) pernah mengemukakan bahwa dalam bidang penelitian ini, seharusnya ada konsep yang lebih substansial yang mesti dijawab yaitu: Apakah kebijakan luar negeri EU itu ada? Mengingat luasnya isu dan kompleksnya persoalan dalam kajian tentang kebijakan luar negeri EU, studi ini berfokus pada Eropanisasi kebijakan luar negeri Belanda, bagaimana kaitannya dengan CFSP, dan berusaha mengkaitkannya dengan kasus Indonesia. Dalam batasan tersebut, kajian diarahkan pada sikap, kontribusi, dan peranan yang telah dimainkan oleh Belanda dalam proses integrasi kebijakan luar negeri Eropa. Disamping itu, kajian ini juga untuk mengukur perubahanperubahan dan akibat dari proses Eropanisasi terhadap kebijakan negeri Belanda. Berkenaan dengan hubungan Belanda dengan Indonesia, kajian juga diarahkan untuk menilai apakah keikutsertaan 55 56
Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 48. ‘Trauma dekolonisasi’ ini diasumsikan sebagai akibat dari ‘post power syndrome’ yang dialami Belanda sebagai salah satu pemain global yang dihormati turun menjadi sebuah negara kecil sehingga proses dekolonisasi Indonesia menjadi berlarut-larut. Lebih lanjut, lihat H. Baudet dan M. Fennema (1983). Het Nederlands belang bij Indië. Utrecht: Het Spectrum, hal. 10. 50
Belanda dalam mekanisme EPC dan CFSP memperkuat atau menghambat kapabilitas kebijakan luar negeri Belanda sebagai negara kecil. Dengan demikian, periode analisis mencakup perkembangan evolusioner mekanisme yang ada dari bentuk yang masih embrionik hingga Traktat Nice atau dalam periode 1970 hingga 2003. Namun demikian, periode analisis ini tidak merupakan batasan yang kaku khususnya kalau membahas kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia karena hubungan yang telah terjalin berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, kajian ini—di mana diperlukan—akan meninjau pula periode sebelum pembentukan EPC tahun 1970. Dalam kerangka demikian, studi ini tidak secara khusus mengukur kekuatan dan keterbatasan CFSP dalam politik internasional yang biasanya masih berupa pernyataan bersama (declaratory) atau posisi bersama (common position). Kajian ini juga tidak secara spesifik menganalisis aspek-aspek kelembagaan CFSP, strukturnya, atau prosedur pembuatan keputusan di dalam mekanisme tersebut. Hanya saja, karakteristik-karakteristik tersebut juga akan disinggung jika dianggap relevan dengan isu yang sedang dibahas. Secara implisit, studi ini juga tidak membahas debat teoritis yang ekstensif dalam bidang ini seperti isu-isu membandingkan antara Analisis Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy Analysis – FPA) dengan teori-teori Hubungan Internasional yang lain. Tetapi, kajian ini berusaha memberikan analisis yang memadai pada bagian di mana isu teoritis dianggap relevan. Dengan demikian jelas bahwa kajian ini berfokus pada aspek intergovernmental CFSP atau Pilar Kedua EU, bukan pada kebijakan ‘ekonomi’ eksternal dari Pilar Pertama EU. Meskipun demikian, dalam kaitannya menganalisis kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia—hingga dalam batasan tertentu—bahasan juga akan menyinggung metode ‘communautaire’ yang terdapat dalam Pilar Pertama. Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam kajian ini: Pertama, untuk mengukur sejauhmana kebijakan luar negeri Belanda—merujuk Belanda sebagai negara kecil dalam EU—telah mengalami Eropanisasi. Kedua, bagaimana keterkaitan kebijakan luar negeri Belanda dengan CFSP dan konsekuensinya terhadap kebijakan luar negeri Belanda sendiri. Ketiga, apakah studi kasus kebijakan luar 51
negeri Belanda terhadap Indonesia—sebagai bekas koloni Belanda di Asia Tenggara—bisa memberikan penjelasan tentang bagaimana kebijakan luar negeri Belanda telah mengalami Eropanisasi. Berkaitan dengan tujuan analisis, pertanyaan yang ingin dijawab dapat dirumuskan sebagai berikut: (1). Seberapa jauh kebijakan luar negeri Belanda telah mengalami proses Eropanisasi? (2). Bagaimana kaitan kebijakan luar negeri nasional Belanda dengan CFSP dan bagaimana hubungan tersebut berdampak pada kebijakan luar negeri nasionalnya? (3). Dapatkah studi tentang kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia memberikan penjelasan terhadap proses Eropanisasi tersebut?
4. Signifikansi Penulisan Buku Penulis secara pribadi sangat tertarik untuk mengkaji Eropanisasi kebijakan luar negeri nasional (Belanda) dalam konteks EU. Kesan ini bisa dianggap sebagai signifikansi pertama. Kedua, merujuk pada kesimpulan Ben Tonra (2001) kajian ini secara kategori berusaha menilai kembali konsepnya tentang Eropanisasi kebijakan luar negeri pada tingkat nasional negara-negara anggota dengan meneliti kasus kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam hubungan bilateral yang ‘khusus’ dalam konteks kebijakan luar negeri EU. Ini diharapkan memberikan nilai tambah terhadap signifikansi studi ini. Kemudian, sejauh yang penulis ketahui, studi kasus yang berfokus pada kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam konteks EU dengan penekanan pada proses Eropanisasi kebijakan luar negeri nasional masih langka. Realita ini layak dianggap sebagai signifikansi ketiga. Keempat, kajian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi studi yang lebih lanjut dalam bidang ini sekaligus memperluas debat dan diskusi akademik dalam ranah ini.
5. Metodologi dan Koleksi Data Metodologi dan koleksi data yang digunakan dalam buku tergolong dalam kajian yang berbasis pustaka. Secara prinsip kajian ini berdasarkan sumber-sumber sekunder. Dari awal penulis telah melakukan survei bahan-bahan yang relevan—khususnya yang sekunder— dari sumber-sumber yang ada. Hal ini dilakukan untuk memastikan 52
ketersediaan dan accesibility dari dokumen-dokumen resmi yang diperlukan. Dokumen-dokumen yang relevan kemudian diseleksi dan dinilai lagi untuk menjaga relevansinya dengan tujuan menjawab pertanyaan dan tujuan analisis. Data-data sekunder dikoleksi dari bahan-bahan literatur yang relevan seperti buku-buku, bab-bab dalam berbagai buku, artikel jurnal ilmiah, koran, majalah, dll. Sedangkan data-data primer dikumpulkan dari sumber-sumber berupa dokumen traktat dan bahan kuliah sewaktu penulis mengikuti Program Intensif di Universitas Portsmouth (UK), Musim Semi 2003. Disamping itu, penulis juga mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dari pustaka-pustaka di Portsmouth, Den Haag, dan Leiden. Data-data lain bersumber dari internet (online).
53
54
BAB 2 KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA: SEBUAH TINJAUAN 1. Pengalaman Historis
A
dalah P.R. Baehr (1978:4) yang mengklasifikasi perkembangan kebijakan luar negeri Belanda dari perspektif historis ke dalam tiga bagian, yaitu zaman kejayaan, zaman penurunan, dan zaman aliansi dengan Barat. Masa kejayaan berlangsung dari tahun 1568-1648 hingga 1702-1713. Dalam masa ini Republik Belanda adalah salah satu pemain utama dalam arena internasional. Pada masa tersebut Belanda dinamakan dengan Republik Tujuh Provinsi di mana Holland merupakan provinsi yang paling utama, maju dan makmur karena aktivitas perdagangan dan ekonomi internasional di kota-kota daerah pesisir barat Belanda. Karena posisi yang sangat penting ini, persaingan dengan Spanyol dan Inggris—dua musuh bebuyutan Belanda dan kekuatan adidaya pada masa itu—sangat ketat. Dalam periode tersebut Belanda terlibat perang melawan keduanya. Kebijakan luar negeri Belanda pada masa itu ditekankan pada usaha untuk memelihara perdamaian dengan tujuan untuk menjamin berlangsungnya perdagangan bebas. Seorang negarawan Belanda di abad ke-17, Johan de Witt, dengan tepat melukiskan tujuan ini dengan ungkapan, “Kepentingan negara mensyaratkan adanya ketenangan dan perdamaian di mana-mana sehingga aktivitas perdagangan bisa dilakukan tanpa halangan apapun.� Fase kedua mewakili zaman penurunan dalam kebijakan luar negeri Belanda. Pada masa ini supremasi Belanda khususnya dalam bidang perdagangan internasional dan pengaruhnya mulai menurun. Masa ini berlangsung dari akhir zaman kejayaan hingga pecahnya Perang Dunia Kedua. Masa ini ditandai oleh berdirinya dan kebesaran imperium baik di Hindia Barat maupun di Hindia Timur (Hindia Belanda) hingga pendudukan Hindia Belanda oleh balatentara Jepang
55
tahun 1942. Dalam masa yang cukup panjang ini, kebijakan luar negeri Belanda mengutamakan netralitas. Pada zaman berikutnya yakni pasca Perang Dunia II, Belanda mencampakkan prinsip netralitas dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini didorong oleh pengalaman diinvasi dan diduduki oleh pasukan Nazi Jerman dalam perang tersebut. Pelajaran yang diambil Belanda adalah bahwa netralitas tidak bisa menjamin kemerdekaan dan kedaulatan suatu negara. Pelajaran pahit ini dikombinasikan dengan ancaman komunisme Uni-Soviet di Eropa Tengah dan Timur; Belanda memperlihatkan kecenderungan untuk lebih condong ke aliansi Barat. Fenomena ini juga menjadi latar belakang hisotris mengapa Belanda menjadi salah pendukung setia North Atlantic Treaty Organisation (NATO).
2. Mekanisme dan Prosedur Kebijakan Di Belanda, yang secara formal dan memiliki otoritas dalam menentukan dan merumuskan kebijakan luar negeri adalah pemerintah nasional. Hal itu secara eksplisit tercantum dalam Konstitusi bahwa: “The King shall have the supreme direction of foreign relations.� Berdasarkan prinsip konstitusionil ini, maka Menlu adalah yang bertanggung jawab dalam hal hubungan luar negeri. Sang menteri mengepalai Kemlu dan yang menentukan siapa yang mewakili Belanda di negara-negara sahabat dan organisasi internasional. Dan sejak tahun 1965, sebuah kementerian tanpa portofolio yang berkaitan erat dengan Kemlu dibentuk khusus untuk menangani urusan kerjasama pembangunan. Dari perspektif konstitusional, Menlu Belanda memperoleh kebebasan konstitusional yang lebih besar daripada sejawatnya di banyak negara Eropa. Tetapi dalam hal seperti perjanjian dan traktat internasional, instruksi bagi perwakilan di luar negeri, serta isu-isu penting lainnya yang berkaitan dengan kebijkan luar negeri harus dibawa dan dibahas oleh Dewan Menteri dan selanjutnya harus mendapatkan persetujuan parlemen.57 Dewan Menteri ini juga disebut dengan kabinet dan diketuai serta dikoordinir oleh Perdana Menteri.
57
Rules of Procedure of the Council of Ministers, Pasal 2b, c, dan d. 56
Sedangkan parlemen—menurut konstitusi—memainkan peranannya dalam kebijakan luar negeri yang menyangkut pengesahan traktat internasional dan dalam hal menyatakan atau mengakhiri perang. Berdasarkan reformasi konstitusi tahun 1953 dan 1958 di mana parlemen memiliki otoritas untuk menyerahkan kedaulatan kepada organisasi internasional, mengesahkan suprakonstitutional dari traktat internasional—jika disetujui oleh duapertiga dari anggota parlemen. Parlemen juga dilibatkan dalam pembahasan untuk menentukan anggaran tahunan Kemlu dan anggota parlemen juga memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan lisan dan atau tertulis kepada Menlu.58 Tetapi, secara umum peranan parlemen dalam penyusunan kebijakan luar negeri bisa dikatakan cukup terbatas. Dari perspektif politik, pengaruh dan peranan partai-partai politik di Belanda dalam merumuskan dan menentukan kebijakan luar negeri juga terbatas. Yang sering terjadi adalah muncul perbedaan internal partai sendiri terhadap isu-isu internasional tertentu dibandingkan perbedaan antar partai politik. Ben Tonra (2001) menggambarkan bahwa perbedaan antara sayap liberal dan konservatif di dalam Partai Katolik Belanda59 bisa saja lebih besar dibandingkan sikap resmi Partai Katolik dan partai-partai liberal.60 Dari segi anggaran pemerintah, anggaran Kemlu Belanda melampaui anggaran departemen pemerintah yang lainnya.61 Dari tahun 1948 hingga 1970, proporsi pengeluaran total pemerintah yang dialokasikan untuk Kemlu meningkat dari 0,88% hingga hampir 4,25%.
58 59
60 61
Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 70. Katholiek Volkspartij (KVP) bergabung ke dalam Christen-democratisch Appel (CDA) tahun 1980. Ibid. Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 73. 57
3. Kebebasan Manuver 3.1. Faktor-faktor Determinan Eksternal 3.1.1. Belanda dalam Security Complex Security complex bias dipahami sebagai sekelompok negara yang perhatian security complex-nya (didefinisikan yang didasarkan pada pertimbangan militer, politis, ekonomi, sosial dan lingkungan) saling berkaitan erat sehingga keamanan nasional tidak bisa dianggap sebagai hal yang terpisah dan terisolasi.62 Konsep ini juga mencerminkan karakter inward-looking sebuah negara yang dipengaruhi oleh pola permusuhan dan persahabatan. Hubungan antar negara dalam konsep ini biasanya berkembang paralel dengan perjalanan waktu dan hingga pada titik tertentu didasarkan pada kedekatan geografis. Dalam permahaman local security semacam ini, keamanan Belanda dalam dua abad terakhir diwarnai oleh pola permusuhan dan persahabatan dengan Jerman, Prancis, dan Inggris. Hal ini lebih didorong oleh posisi geopolitik Belanda yang sangat strategis di Eropa Barat. Bagi Belanda, hubungannya dengan Jerman merupakan persoalan yang paling kompleks dibandingkan hubungannya dengan negaranegara tetangganya yang lain. Fenomena ini bisa disebabkan oleh perbedaan latar belakang historis. Sebelum Perang Dunia II, bangsa Jerman mengutamakan kedisiplinan, sedangkan bangsa Belanda lebih cenderung pada akomodasi. Jerman lebih cenderung bersifat sentralistik, sementara Belanda lebih cenderung dengan disentralisasi. Jerman bersifat imperial ekspansionis sedangkan Belanda menerima aspirasi para republiken (M.C. Brands, 1989:11). Menyadari pentingnya hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Jerman, pasca Perang Dunia II para pembuat kebijakan di Belanda menentang sanksi ekonomi terhadap Jerman. Belanda bahkan juga mendukung bergabungnya Jerman ke dalam Eropa Barat dengan catatan negara itu harus dibatasi untuk melakukan manuver politik dengan leluasa. Hingga tahun 1969, arti penting dari politik low profile 62
Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 52. 58
Jerman bisa dianggap pasif sebagai determinan eksternal bagi kebijakan luar negeri Belanda. Berbeda dari kasus Jerman, pengaruh Prancis terhadap kebijakan luar negeri Belanda bisa dikatakan sangat siginfikan. Kekuatiran Belanda terhadap ambisi neo-imperial Prancis menjadi fokus dalam hubungan bilateral antara kedua negara. Sedangkan hubungan Belanda dan Inggris pasca Perang Dunia II bisa dikatakan cukup krusial terhadap kebijakan luar negeri Belanda. Menurut J.J.C Voorhoeve (1979:68), pentingnya hubungan dengan Inggris memiliki dua alasan. Pertama, dukungan Belanda terhadap bergabungnya Inggris ke dalam EU akan memperkuat posisi unsurunsur Transatlantisme di Eropa dan mengimbangi aliansi FrancoJerman. Kedua, Inggris bisa memainkan peranan yang penting dalam memperkuat Aliansi Atlantik (NATO) sekaligus mengimbangi sikap ambivalensi Prancis terhadap kepemimpinan Amerika Serikat (AS). 3.1.2. Belanda dan Overlay Perang Dingin Konsep overlay bisa didefinisikan sebagai suatu situasi di mana satu atau lebih negara memasuki sebuah security complex dan mampu menekan atau mengubah dinamika alamiah dari kompleks tadi. Dalam konteks analisis ini, overlay bisa diamati sebagai bagian dari Perang Dingin dalam masa 1945-1990 di mana AS dan Uni-Soviet muncul sebagai dua pemain utama. Dihantui oleh trauma kelemahan netralitas dan ancaman blok komunis, pasca Perang Dunia II, Belanda berusaha memperkuat hubungannya dengan AS dan Alinasi Transatlantik. Terkuras oleh perang, Belanda memerlukan dukungan ekonomi dari AS khusus melalui Marshall Plan. Hal-hal di atas menjadi penyebab mengapa Belanda memilih menjadi ‘sekutu sejati’ dalam konteks kerjasama Transatlantik. Bisa disimpulkan bahwa AS merupakan aktor eksternal yang paling penting dalam kebijakan luar negeri Belanda dalam keseluruhan periode tersebut. Disamping itu, Belanda melihat bahwa Perserikatan Bangsabangsa (PBB) sebagai penjamin keamanannya pasca Perang Dunia II. Jadi tidak perlu heran mengapa Belanda ikut terlibat aktif dari awal dalam usaha mendirikan organisasi internasional tadi. Dan itu pula 59
yang menjadi alasan mengapa Belanda hingga saat ini merupakan salah satu anggota PBB yang paling berkomitmen mendukung misi dan aksi-aksi PBB.
4. Faktor-faktor Determinan Internal 4.1. Geografis, Demografis, dan Ekonomis Secara geografis, Belanda merupakan sebuah negara mini yang terletak di Eropa Barat berbatasan dengan Laut Utara, antara Jerman dan Belgia. Letak geografis ini sangat cocok dengan orientasi internasional Belanda khususnya perdagangan bebas dan terbuka antar benua dan samudera. Posisi geografis ini pula yang menjadi inspirasi mengapa negeri ini tumbuh menjadi aktor yang penting dalam jaringan transportasi Eropa. Letak yang strategis ini juga membuat geopolitik Belanda sangat menarik di Eropa Barat. Bahkan karena posisi geografis ini pula menjadi salah satu alasan penting mengapa Belanda menderita invasi dari Spanyol, Prancis dan Jerman. Menurut perkiraan tahun 2003, penduduk Belanda berjumlah 16.372.231. Menurut data tahun 2000, jumlah tenaga kerjanya mencapai 7,2 juta. Dari segi ekonomi, ukuran wilayah Belanda jauh melebihi kemampuan ekonominya. Dari segi ini di tingkat global, Belanda menempati urutan ke-16 dari kelompok negara yang paling kuat ekonominya atau setara dengan keseluruhan kekuatan ekonomi 10 negara anggota baru Uni-Eropa.63 Perusahaan-perusahaan Belanda merupakan salah satu investor terbesar di dunia. Dan negeri ini akan tetap menjadi pemain global yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi internasional. Ekonomi Belanda sangat tergantung pada perdagangan luar negeri. Ekonominya yang terbuka dan makmur didukung oleh hubungan industrial yang stabil, tingkat inflasi yang tidak terlalu tinggi, dan surplus dalam aktivitas ekspor-impornya. Dalam tahun 63
Ke-10 anggota baru EU itu ialah Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania, Malta, Poland, Republik Ceko, Siprus, Slovakia, dan Slovenia. 60
2002, GDP Belanda mencapai US$434 milyar, dengan income per capita mencapai US$26.900. Kegiatan industri Belanda sebagian besar bergerak dalam bidang produksi mesin-mesin dan peralatan, bahan-bahan kimiawi, bahan bakar, dan makanan. Belanda juga menghasilkan komoditas pertanian seperti gandum, kentang, buah-buahan, bit untuk gula, sayuran dan hewan ternak. Mitra ekspor utama Belanda mencakup EU yang menguasai 77,1% (Jerman 25,7%, Benelux 12,5%, Inggris 10,5%, Prancis 10,0%, dan Italia 5,9%) dari nilai ekspornya. Nilai ekspor Belanda mencapai US$243,3 milyar f.o.b. Dalam masa yang sama, mitra impor utama Belanda adalah EU yang menguasai 53,1% (Jerman 17,6%, Benelux 9,6%, Inggris 6,7%, Prancis 5,5%) dari nilai impornya, AS 8,7% dengan nilai US$201,1 milyar f.o.b.64 Per 1 Januari 2002 Belanda mulai menggunakan mata uang Euro (€) sebagai mata uang tunggal menggantikan mata uang gulden. Belanda terus menjadi salah satu negara terkemuka di Eropa yang paling menarik bagi investor asing (melalui FDI).65 Pertumbuhan ekonomi Belanda dalam periode 2001-2002 mengalami perlambatan sebagai akibat dari perlambatan perekonimian global. Tetapi empat tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata Belanda mencapai 4% per tahun. Angka ini di atas tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi di EU. Baru-baru ini, ekonomi Belanda memperlihat pertumbuhan yang kurang signifikan (Centraal Bureau voor de Statistiek, 2003:15-28). Sedangkan pertumbuhan volume GDP tahun 2002 hanya mencapai 0,2% atau di bawah rata-rata 2,7% yang sudah dicapai sejak tahun 1970. Dengan pertumbuhan yang 0,2% tersebut, menempatkan Belanda di bawah rata-rata pertumbuhan volume GDP Eropa yang mencapai 1,0%. Disamping itu, ekonomi Belkanda juga tergantung pada ekonomi dunia. Kebangkitan ekonomi dunia dalam musim panas 2002 lenyap secara prematur. Dan eskalasi konflik yang meningkat di Tmur64
65
‘The Netherlands’ in the ‘2002 http://www.cia.gov/cia/publications. Ibid. 61
CIA
World
Fact
Book’,
pada:
Tengah, skandal pembukuan dan penyebaran virus SARS termasuk dari faktor-faktor penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.66 Lambannya pemulihan ekonomi dunia juga berakibat pada pertumbuhan ekonomi Belanda dalam tahun 2002 yang merupakan angka paling rendah sejak resesi yang melanda Belanda tahun 1981 dan 1982. 4.2. Faktor Politik Pasca Perang Dunia II hingga tahun 1970-an, masyarakat Belanda terbagi ke dalam pilar-pilar masyarakat yang juga dikenal sebagai ‘verzuiling’. Ini berarti bahwa masyarakat terbagi menurut aliran agama dan filosofis tertentu. Masing-masing pilar memiliki media, sekolah, serikat kerja, asosiasi sukarelawan, dan bahkan partai politik sendiri. Akomodasi dari kepentingan-kepentingan yang beragam ini dibuat pada tingkat elit melalui konsensus politik dan dewan koalisi.67 Maraknya revolusi kultural dalam tahun 1960-an ternyata membantu luluhnya pilarisasi tersebut. Anggota perkumpulan keagamaan yang merupakan benteng dari sistem pilarisasi ini secara dramatik berkurang. Hal ini membuat daya tarik pilarisasi berkurang di tengah masyarakat Belanda. Penyebab lain lenyapnya pilarisasi ini adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1960-an tersebut. Dalam masa kemakmuran ini, generasi muda Belanda mulai memberontak keluar dari pola-pola perilaku tradisional. Gerakan kontrakultural ini berkembang nyaris tanpa hambatan sepanjang tahun 1960-an sehingga melemahkan sistem pilarisasi yang ternyata berdampak sangat luas di tengah masyarakat. Gerakan tersebut mendirikan berbagai kelompok kepentingan yang memperjuangkan banyak agenda publik. Pada akhirnya banyak dari mereka membentuk kelompok-kelompok aksi.
66
67
‘Economierapportage September 2003’, CPB Notitie aan de Minister van Economische Zaken, 16 September 2003, hal. 2. Beberapa analis menyebut organisasi politik ini sebagai sebuah ‘demokrasi consociational’. Lebih lanjut, misalnya, lihat A. Lijphart (1975). The Politics of Accommodation: Pluralism and Democracy in the Netherlands. California: University of California Press, hal. 211-218. 62
Salah satu dampak dari perubahan sosial ini menimpa struktur partai politik di Belanda. Sebelumnya, sistem partai politik Belanda mengalami fregmentasi berdasarkan warisan pilarisasi. Pemerintahan yang terbentuk biasanya terdiri koalisi partai-partai politik yang terbagi menurut aliran keagamaan dan filosofis. Tetapi dalam tahun 1960-an, partai-partai berbasis agama mulai kehilangan pendukung yang menyebabkan munculnya aliran-aliran politik yang tidak berdasarkan pilar-pilar sebelumnya. Perkembangan ini menghilangkan sistem konsensus antar elit yang berlaku sebelumnya. Sistem partai-partai politik menjadi semakin terfregmentasi yang juga berpengaruh dalam penyusunan pemerintahan dan menghilangkan demarkasi yang jelas antara kelompok yang berkuasa dan oposisi. Batasan yang kabur ini memungkinkan—bahkan partai oposisi—bisa duduk dalam pemerintahan. Dalam prakteknya, adalah cukup naif melibatkan menteri-menteri dari pihak opisisi yang sebelumnya telah mengkritik kebijakan partai-partai besar dalam koalisi. Realita ini bukan hal yang kondusif bagi perkembangan dua atau lebih Weltanschung yang saling bersaing dalam sistem partai.68 Ada kalanya kondisi ini membuat pemerintahan koalisi yang terbentuk menjadi rapuh. Dalam konteks ini, konsensus antar partai diserang dari dua front. Dari dalam, serangan berupa redefinisi dari partai-partai politik. Dari luar, serangan berupa bertambahnya jumlah kelompok-kelompok penekan. Hanya saja, model ini runtuh di akhir tahun 1960-an dan memberikan dampak yang sangat luas dalam dunia politik di Belanda. Secara politik Belanda dengan mantap mengembangkan peran internasionalnya dalam beberapa dekade terakhir. Belanda terkenal sebagai salah satu negara terkemuka yang berjuang mempromosikan perdamaian dan keamanan dunia (Den Haag menjadi markas Mahkamah Internasional, Mahkamah Internasional eks-Yugoslavia, Mahkamah Pidana Internasional), perlucutan senjata, dan HAM.
68
Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 68-69. 63
4.3. Angkatan Bersenjata Postur dan struktur Angkatan Bersenjata Belanda pasca Perang Dunia II sangat dipengeruhi oleh komitmen dan kewajibannya dalam Aliansi Atlantik, dan kemudian oleh komitmennya dalam misi pasukan perdamaian. Setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia tahun 1949, Belanda menarik pasukannya dari bekas koloni tersebut dan kapabilitas angkatan bersenjatanya difokuskan dalam NATO. Perencanaan militernya juga dirancang dalam kerangka yang secara berkala ditinjau kembali sesuai dengan tuntutan Aliansi Atlantik. Anggaran militer Belanda disusun berdasarkan rencana pertahanan untuk beberapa tahun. Secara kasar, dalam masa 1949 hingga 1971, pengeluaran pertahanan Belanda merupakan 4,56% dari GNP. Proposrsi ini dianggap sudah cukup besar dan menempatkan Belanda pada tingkat ke-13 dari seluruh anggota NATO dan Pakta Waesawa. Tetapi, magnitude pengeluaran yang besar ini disebabkan oleh beberapa variabel, yaitu kewajiban kolonialnya terhadap Indonesia, Irian Barat, Suriname, dan Antillen, disamping komitmen dalam NATO. Karena perubahan-perubahan terakhir dalam peta keamanan, pertahanan, dan krisis ekonomi global Angkatan Bersenjata memberlakukan reorganisasi besar-besaran. Jumlah personil Angkatan Bersenjata dirancang lebih kecil, terhormat, dan pasukan yang bisa segera dikerahkan sehingga menjaga kerjasama yang dengan anggota utama NATO, dan bisa dipertahankan dalam jangka panjang. Saat ini proses reorganisasi tersebut sedang berjalan. Dengan strategi ini Kementerian Pertahanan akan mengurangi personil Angkatan Bersenjata sebanyak 11.700 orang menjelang tahun 2008.69 Program pengurangan itu juga akan dilakukan terhadap fasilitas dan perlengkapan militer.70
69
70
‘Prinsjesdag 2003: Bij Defensie verdwijnen 12.000 functies’, Ministry of Defence, 16 September 2003, pada: http://www.mindef.nl. ‘Prinsjesdag 2003: Bezuinigingsgevolgen per krijgsmachtdeel’, Ministry of Defence, 16 September 2003, pada http://www.mindef.nl. 64
Dengan demikian, dalam tahun 2004, Departemen Pertahanan Belanda memperkirakan penghematan mencapai â‚Ź255 juta.71 Untuk mengantisipasi rencana ini, Dephan merumuskan lima prioritas kebijakan yaitu: keseimbangan antara penugasan dan perlengkapan, refomasi organisasi, kerjasama dengan otoritas sipil, kemampuan pengerahan dalam misi perdamaian, dan keterlibatan dalam ESDP. Secara khusus untuk memperbaiki kemampuan pengerahan pasukan untuk misi perdamaian, kabinet telah mengalokasikan anggaran tambahan untuk memperkuat kapasitas kesiapan dan kemungkinan pengerahan gugus-tugas dalam waktu yang lebih lama. Anggaran ini disiapkan untuk membentuk tiga gugus infanteri lapis baja baru yang bisa terdiri dari enam peloton dan pembelian sebuah pesawat angkut militer DC-10. Dalam ESDP, kabinet juga berusaha memperkuat kapasitas militer Eropa dalam kerangka NATO dan EU. Meskipun kapabilitas militer sangat penting dalam konteks implementasi kebijakan luar negeri suatu negara, tetapi kemungkinan Belanda untuk menggunakan kemampuannya untuk maksud tersebut tidak signifikan. Jumlah rata-rata personil Anggota Belanda dalam masa 1947-1970 sekitar 100.000.72 Dalam tahun-tahun mendatang, jumlah ini diperkirakan akan lebih menyusut sejalan dengan rencana pengurangan personil militer. Angkatan Bersenjata Belanda sudah banyak menyumbangkan dalam penyelesaian krisis dan manajemen operasi konflik. Sejak tahun 1950-an, sebagai salah satu penganjur utama integrasi Eropa, Angkatan Bersenjata Belanda telah bertugas dalam menjamin stabilitas dan menjaga nilai-nilai dan norma-norma bersama Eropa.
5. Prinsip dan Tujuan Tujuan yang paling dasar dari kebijakan luar negeri adalah untuk menjaga agar sebuah negara lestari dan mencapai kemakmuran. Konsep survival ini berbeda dari satu negera dengan negara yang lainnya. Dan kemakmuran mensyaratkan adanya kemandirian 71
72
‘Defensie: Vijf Prioriteiten voor Nieuwe Krijgsmacht’, 16 September 2003, pada: http://www.regering.nl. Tonra, B. (2001), op. cit., hal. 58. 65
ekonomi atau kemampuan memanfaatkan sistem ekonomi global dan regional yang interdependen. Tujuan kebijakan luar negeri Belanda—sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga saat ini—bisa dikatakan berada dalam dua jalur, yaitu secara berkelindan diarahkan pada kerjasama Transatlantik dan integrasi EU73 Hal ini ditandai dengan keanggotaan Belanda dalam NATO dan partisipasi dalam Uni-Eropa Barat (Western European Union) dan Masyarakat Batubara dan Baja Eropa (European Coal and Steel Community), Eurotom, dan Masyarakat Ekonomi Eropa yang bermetamarfosa hingga ke dalam formatnya yang sekarang, yaitu EU. Dengan konstelasi tujuan seperti ini, orang bisa saja menilai bahwa Belanda bisa terjebak dalam dua kepentingan yang antagonis. Tetapi pemerintah Belanda tidak pernah memperlihatkan atau merasakan bahwa komitmen mereka dalam NATO membatasi usaha mereka untuk terlibat aktif dalam mendorong proses integrasi Eropa yang lebih erat.74 Hanya saja, memang diperlukan usaha-usaha yang rumit dan ekstra hati-hati untuk menyeimbangkan aspirasi yang potensial berlawanan ini dalam merumuskan dan implementasi kebijakan luar negerinya. Disamping kedua tujuan prinsip tadi, tujuan berikutnya dari kebijakan luar negeri Belanda adalah komitmennya untuk mendukung tujuan dan aksi di bawah bendera PBB, dan komitmen kerjasama pembangunan. Partisipasi Belanda dalam misi PBB dilatarbelakangi oleh nilai tradisional Belanda tentang pentingnya membangun dan memelihara orde legal internasional. Sedangkan keterlibatan Belanda dalam kerjasama pembangunan merupakan bukti bahwa Belanda berkomitmen untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan ekonomi di negara-negara berkembang. Sudah bertahun-tahun Belanda berada di garis depan dalam usaha yang berkesinambungan untuk mengurangi kemiskinan. Belanda berada pada urutan keenam di antara negara-negara donor dan memiliki prestasi terbaik dalam indeks koherensi dari Pusat Pembangunan Global (Centre for Global Development). Indeks ini dirancang untuk mengukur Usaha dan upaya negara anggota Organisation for Eco73 74
Baehr, P.R. (1996), op. cit., hal. 16. Baehr, P.R. (1996), op. cit., hal. 17. 66
nomic Co-operation and Development (OECD) dalam bidang bantuan, perdagangan, investasi langsung, lingkungan dan migrasi, dan perdamaian dan keamanan. Belanda terus melakukan perbaikan prestasinya dalam bidang ini misalnya dengan mengalokasikan anggaran tahunan kerjasama pembangunan sebesar 0,8% dari GNP. Dalam kebijakan ini pengurangan kemiskinan secara berkesinambungan tetap menjadi tujuan sentral dalam kerjasama pembangunan. Kedua tujuan di atas lahir dari prinsip bahwa Belanda bisa memberikan kontribusi dalam pembangunan masyarakat internasional berdasarkan rasionalitas, kemanusiaan, dan keadilan (W. Tims, 1989:11).
67
BAB 3 BELANDA DALAM EVOLUSI CFSP 1. Belanda dalam Kebijakan Luar Negeri Bersama 1.1. Partisipasi Waspada dalam Kerjasama Politik Eropa (EPC) (1970-1980)
K
einginan dan aspirasi untuk bekerjasama dalam bidang politik dan keamanan di EU telah ada sejak awal pendirian Masyarakat Eropa. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencapai cita-cita tersebut khususnya dalam tahun 1952 dan 1961. Tetapi perjuangan tadi gagal karena perbedaan visi antara negara anggota terhadap semangat dari kolaborasi yang diajukan. Dalam hal ini, Belanda termasuk salah satu negara anggota yang menentang usulan-usulan yang menuju ke sana karena kuatir hal tersebut bisa mengancam Aliansi Transatlantik dan tenggelam dalam Masyarakat Eropa. Tahun 1969, Presiden Prancis, Georges Pompidou, mengusulkan diadakan pertemuan puncak untuk mendorong percepatan integrasi Eropa setelah satu dekade mengalami stagnasi. Pertemuan kepala pemerintahan dan negara tersebut diadakan di Den Haag tanggal 1 Desember 1969, yang menghasilkan sebuah communiquĂŠ final yang menugaskan para Menlu untuk â€œâ€Śmengkaji cara yang paling efektif agar tercapai kemajuan dalam hal unifikasi politik dalam konteks perluasan (Eropa).â€?75 Tahun 1970 Menlu dari enam negara anggota menindaklanjuti pertemuan puncak di Den Haag itu di Luxemburg. Belanda mengajukan tiga prioritas dalam negosiasi. Pertama, Belanda akan menentang setiap usaha kerjasama jika hal tersebut melemahkan peranan politik Transatlantik. Kedua, Belanda mengusulkan agar 75
EC Bulletin, No. 1, 1970, hal. 3. 68
peranan lembaga-lembaga dalam ME dilindungi dan dijamin. Ketiga, Belanda mengharapkan adanya unsur-unsur pengawasan yang demokratis dalam proses tadi.76 Kedua argumen terakhir memperlihatkan betapa Belanda berusaha menciptakan sebuah mekanisme sebagai kompensasi bagi posisinya sebagai negara kecil sejak awal dari upaya menuju kerjasama politik dan pertahanan. Belanda kuatir kalau prosedur yang baru bisa mengurangi peranan NATO sehingga menyebabkan Luxembourg Report hanya menghasilkan struktur intergovernmental yang minimalis untuk mempermudah tercapainya kesepakatan dalam bidang kebijakan luar negeri. Dengan diadopsinya Luxembourg Report, Kerjasama Politik Eropa (EPC) didirikan tanggal 27 Oktober 1970. Kelemahan lain dari mekanisme Luxemburg Report adalah absennya batasan yang jelas antara integrasi ekonomi dengan kerjasama politik. Hal ini meresahkan Komisi Eropa. Untuk mengurangi ketidakjelasan tanggung jawab tersebut, bulan Mei 1972 Belanda mengajukan usulan agar dibentuk beberapa instrumen untuk mengkaitkan lembaga-lembaga EPC dengan ME. Dalam pemikiran pihak Belanda keterkaitan tersebut merupakan syarat awal perkembangan EPC lebih lanjut (S.J. Nuttal, 1992:72). Institusionalisasi EPC mengalami kemajuan dalam KTT di Kopenhagen tahun 1973. Sebuah proposal yang diajukan Belanda dan Belgia disetujui untuk menambah frekuensi pertemuan tahunan antara menteri-menteri EPC dan Komite Politik Parlemen Eropa dari dua menjadi empat kali setahun. Belanda juga mendapat dukung atas proposalnya yang mengusulkan agar pejabat tinggi Kemlu dalam Komite Politik diarahkan untuk ‘menyampaikan dan menjelaskan kepada Menlu masing-masing tentang proposal-proposal yang diadopsi Parlemen Eropa terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu dalam kebijakan luar negeri.’77 Dalam kerangka ini, jika ada isu bisa mempengaruhi kegiatan ME, perlu diadakan kerjasama dengan Komisi Eropa. Tahun 1974, Dewan Eropa diformalisasi untuk menyokong mekanisme pembuatan keputusan dalam ME dan EPC. Perkembangan 76 77
Lihat J.J.C. Voorhoeve (1979). passim Lihat J.J.C. Voorhoeve (1985). op. cit., hal. 179 69
institusional ini juga dimaksudkan untuk mendorong koordinasi antara ME dan EPC. Namun Belanda menanggapi formalisasi tersebut dengan waspada karena kuatir kebijakan tersebut akan melembagakan model pertemuan puncak ‘Fouchet-type.’78 Penolakan Belanda berdasarkan, pertama, komitmen untuk tidak menerapkan pertemuan puncak yang melembaga dan resiko menciptakan directoire intergovernmental; dan kedua, berdasarkan sentimen bahwa pertemuan puncak bisa mengurangi posisi konstitusional yang ekslusif dimiliki oleh Menlu Belanda. Dalam bulan Desember 1975 sebuah laporan mengenai ‘UniEropa’ disampaikan kepada Dewan Eropa dengan tujuan meninjau kembali—dalam makan yang luas—institusi-institusi dalam ME untuk menjamin berjalannya integrasi ekonomi dan politik. Salah satu rekomendasi dalam laporan tersebut adalah penyertaan identitas pertahanan dalam kemajuan integrasi (L. Tindemans, 1976:13-15). Tetapi Belanda dengan sengit menolak pemikiran untuk mengadopsi aspek kapabilitas militer ke dalam kompetensi ME dan secara khusus menolak inisiatif untuk memasukkan kapabilitas nuklir ke dalam ME. 1.2. Keseimbangan antara Transatlantisme dan Integrasi? Pergeseran Paradigma (1980-1988) Dalam tahun 1979 dan awal 1980-an dunia menyaksikan banyak siklus krisis. Menghadapi krisis dan peristiwa krusial dalam periode tersebut Uni-Soviet menyerang Afghanistan, revolusi Islam di Iran dan krisis sandera, pemberlakuan keadaan darurat di Polandia, invasi Kepulauan Falklands oleh Argentina, serta Libanon oleh Israel ternyata memperlihatkan bahwa mekanisme EPC kurang efektif. Tantangan eksternal tersebut seakan memperjelas keterbatasan EPC untuk memberikan respon yang segera, terkoordinir, dan decisive terhadap krisis internasional. Realita itu mendorong negara-negara anggota untuk meningkatkan kesiapan mereka untuk menggunakan instrumen ME dalam implementasi kebijakan luar negeri mereka dengan cara merevisi beberapa prosedur EPC dalam KTT di London bulan Oktober 1981. 78
Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 145. 70
Penyesuaian tersebut, pertama, mencakup, pengurangan agenda dalam pertemuan tingkat menteri dengan lebih berfokus pada isu-isu yang sangat penting berbasis pada rekomendasi yang seksama atau opsi-opsi yang terdefinisi jelas dalam agenda. Kemudian, mereka sepakat untuk meningkatkan level partisipasi ME dalam EPC dan pembentukan sistem ‘Troika’. Bagian terakhir ini menunjukkan adanya perkembangan organik dalam EPC untuk menjamin konsistensi subtansi dan proseduralnya. Pertemuan di London itu juga secara resmi memperkenalkan aspek-aspek politik dari keamanan dalam agenda EPC untuk pertama kalinya jika perlu mempertahankan pendekatan yang fleksibel dan pragmatis untuk menghindari reaksi yang negatif dari unsur Transatlantisme dalam ME. Posisi ini tidak berubah dalam ‘Solemn Declaration on European Union’ yang disepakati dalam KTT di Stuttgart tanggal 19 Juni 1983 dengan penegasan bahwa EPC bertujuan ‘…mengkoordinir posisi negara anggota dalam kebijakan keamanan khususnya yang menyangkut aspek politik dan ekonomisnya.’79 Kemudian sebuah komite dibentuk dan dipimpin oleh Senator James Dooge segera menyusun proposal untuk meningkatkan kerjasama baik dalam bidang ME maupun kerjasama dalam bidang politik atau format kerjasama yang lain, yang diselesaikan dalam KTT di Dublin bulan Juni 1985. 80 Kesimpulan dari laporan tersebut diputuskan dengan voting di mana Belanda termasuk salah satu negara anggota yang menyetujui diadakannya sebuah konferensi intergovernmental untuk merevisi traktak-traktat Eropa. 81 Dalam negosiasi awal, Belanda masih memperlihatkan keengganan untuk menformalkan kerjasama intergovernmental ke dalam batang tubuh dari traktat Eropa (A. Pijpers, 1983:174). Meskipun demikian, setelah beberapa rangkaian pertemuan konferensi tersebut, para Menlu menyetujui teks final yang kemudian menjadi Akta Tunggal Eropa (SEA). Regulasi baru tersebut menempatkan EPC ke dalam Bagian III (Title III) dari kesepakatan tadi 79 80
81
EC Bulletin, No. 6, 1983, hal. 25. Fourth Joint Committee on the Secondary Legislation of the European Communities, European Parliament Draft Treaty Establishing the European Union, Report No. 14, Dáil Eireann, 20 Maret 1985, hal. 28. EC Bulletin, No. 6, 1985. 71
meskipun Bagian III itu tidak merupakan bagian yang integral dari traktat yang ada karena beberapa negara anggota enggan menempatkan kebijakan luar negeri ke dalam prosedur normal dalam pembuatan keputusan ME. Dalam pandangan ini, hampir semua keputusan diambil melalui konsensus, dan masing-masing negara anggota bisa bermanuver dengan bebas jika diperlukan, dan tidak ada regulasi yang dibuat dalam mekanisme EPC. Tetapi SEA membawa suatu hal yang baru yaitu kesepakatan untuk mendirikan sekretariat EPC yang permanen di Brussel. Unsur yang penting dari SEA adalah untuk ‘saling menginformasi dan berkonsultansi dalam urusan kebijakan luar negeri yang relevan dengan kepentingan bersama dan untuk menjamin agar pengaruh bersama bisa digunakan dengan cara yang paling efektif melalui koordinasi, penyatuan posisi anggota terhadap isu tertentu dan implementasi dari aksi bersama.’82 Sebagai respon terhadap perkembangan ini, bulan Juli 1986 pemerintah Belanda membentuk sebuah badan semi-resmi yang diberi nama Dewan Penasehat Perdamaian dan Keamanan (Adviesraad Vrede en Veiligheid). Badan ini ditugaskan untuk meninjau kembali kebijakan Belanda terhadap dimensi Eropa dalam kebijakan keamanan Eropa Barat.83 Studi badan ini menemukan bahwa memang terdapat ‘kesenjangan dalam distribusi otoritas dan tanggung jawab dalam Aliansi Atlantik.’84 Badan itu menyarankan bahwa sudah waktunya untuk mempertimbangkan kebijakan tentang pembedaan yang kaku antara kerjasama keamanan dan ekonomi antara NATO dan ME. Lembaga itu juga merekomendasikan bahwa Belanda harus mendorong terjadinya proses ‘Eropanisasi’ kebijakan keamanan di mana—untuk sementara waktu—semua perdebatan dan diskusi tentang hal tersebut harus dilakukan dalam kerangka Uni-Eropa Barat (WEU).85 82 83
84 85
Ibid. Anggota dewan ini terdiri dari pemuka politik, militer, dan pakar akademis. Lebih lanjut, lihat Report by the Adviesraad Vrede en Veiligheid, ‘Western European Security Cooperation: An Atlantic Necessity’, The Hague (1986), hal.1-5. Op. cit., hal. 11. Op. cit., hal. 60. 72
1.3. Isu Pertahanan Tetap Kontroversial (1988-1993) Sepanjang tahun 1988-1990, isu-isu ekonomi dan moneter menguasai agenda utama ME. Hal itu mendorong munculnya kekuatiran bahwa trend tadi bisa mengaburkan tujuan-tujuan politik Eropa. Padahal konstelasi dunia pasca Perang Dingin menantang Eropa untuk memiliki jati diri politik yang lebih mapan. Kemudian diambil sebuah inisiatif oleh Helmut Kohl dan François Mitterrand dengan argumentasi bahwa diskusi lebih lanjut menuju Uni-Politik Eropa sangat diperlukan meskipun harus tanpa mengabaikan kemungkinan perubahan dalam traktat yang ada. Langkah ini diikuti dengan instruksi kepada para Menlu untuk menyiapkan laporan yang harus dipresentasikan dalam KTT di Dublin bulan Juni 1990. Berdasarkan laporan tersebut, Dewan Eropa memutuskan untuk mengadakan dua konferensi intergovernmental (IGCs). Konferensi pertama bertujuan menyiapkan proposal mengenai Uni-Moneter Eropa dan konferensi kedua bertugas mengkaji opsi-opsi untuk membentuk Uni-Politik Eropa sekaligus empat aspek dari uni-politik, penilaian kembali jati diri internasional ME dan ekspektasi terhadap sebuah kebijakan luar negeri dan keamanan bersama. Konferensi tentang uni-politik memulai tugas mereka 14 December 1990. Sebagai reaksi dari perkembangan tersebut, Belanda menggarisbawahi dukungannya terhadap penggabungan EPC ke dalam ME. Rasional yang mereka gunakan adalah bahwa sangat urgen memperkuat kohesi dan koherensi seluruh kebijakan ME. Meskipun demikian, Belanda masih menolak aspirasi agar instrumen pertahanan dimasukkan ke mekanisme ME dan menolak gagasan yang ingin menempatkan Uni-Eropa Barat (WEU) sebagai instrumen pertahanan ME (A. Pijpers, 1996:253-254). Pada paruh pertama tahun 1991 kepresidenan Eropa dipegang oleh Luxemburg. Bulan April 1991, Luxembourg Presidency tersebut menyerahkan sebuah draf kepada IGC. Draf tersebut mengusulkan agar struktur EU ditopang tiga pilar sehingga mampu menjaga struktur pembuatan keputusan antar-negara yang khas bagi EPC dan memberikan struktur intergovernmental tambahan yang berkaitan dengan kerjasama kehakiman. Tanggal 1 Juli 1991, Belanda yang waktu itu memulai jabatan kepresidenan Eropa, membuat beberapa revisi ter73
hadap dokumen yang disusun di Luxemburg tadi dengan mengusulkan kerangka tunggal policy making, dan menghapus pendekatan tiga pilar. Tetapi proposal yang diajukan Belanda kepada Dewan Menteri Eropa tanggal 30 Oktober 1991 ditolak menjadi basis negosiasi, dan hanya menganggapnya sebagai ‘dokumen referensi’ semata.86 Mayoritas negara anggota menginginkan kembali ke dokumen Luxemburg yang akhirnya disepakati sebagai Traktat Maastricht. Bagi Belanda, peristiwa penolakan tersebut juga dikenal sebagai ‘Senin Hitam’ dalam episode negosiasi. Traktat Maastricht tidak saja melahirkan organisasi baru berupa EU tetapi juga memperkenalkan sebuah struktur yang berbasis pada tiga pilar: ME, CFSP, dan bidang Kehakiman dan Urusan Dalam Negeri. CFSP yang ditempatkan pada pilar kedua mengarahkan negara-negara anggota menuju obligasi politik yang mengingkat dalam garis bersama dan melaksanakan kebijakan luar negeri dan keamanan bersama. Pasal-pasal yang baru tadi memberikan obligasi politik kepada CFSP meskipun institusi ini masih berada di luar pengawasan dan kompetensi Mahkamah Eropa (European Court of Justice). Sementara itu, dari segi pembuatan keputusan, prinsip aklamasi masih bertahan meskipun keputusan dalam implementasi aksi kebijakan luar negeri bersama di bawah payung CFSP bisa dilakukan melalui voting mayoritas bersyarat (QMV). Karena ada ketidaksetujuan dari beberapa delegasi, keputusan untuk QMV itu harus disepakatai secara aklamasi (P. de Schoutheete, 1992/1993:22). Penggabungan kebijakan pertahanan ke dalam mekanisme yang baru membutuhkan kompromi antara pihak yang pro-Eropa dan pihak yang pro-Aliansi Atlantik dalam ME. Untuk mengatasi hal tersebut traktat memberikan wewenang kepada Uni-Eropa Barat (WEU) untuk merumuskan dan mengimplemetasi keputusan dan aksi EU yang memiliki implikasi pertahanan jika diminta oleh EU. Konsesi ini diyakini menjadi faktor penentu mengapa traktat tersebut berhasil dengan mudah diratifikasi oleh parlemen Belanda tanggal 12 November 1992 dengan 137 suara setuju dan 13 menolak.87 86
87
Neihe, E.F.C. (6 November 1991). Unpublished speech cited in Tonra, B. (2001), hal. 155. Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 156. 74
1.4. Menuju Kebijakan Luar Negeri, Keamanan dan Pertahanan EU yang Lebih Mapan (1993-2003) Perjalanan Traktat Maastricht atau dikenal juga sebagai Traktat EU (Treaty on European Union atau TEU) harus dievaluasi dalam pertemuan IGC (N. Nugent, 2003:70). Pasal N dari traktat tadi menyatakan hal tadi secara spesifik. Aturan tersebut pula yang mendorong IGC berikutnya tahun 1996 yang merupakan inkubasi dan persiapan Traktat Amsterdam. Selama negosiasi untuk menetapkan Traktat Amsterdam, pemerintah Belanda memperlihatkan keinginan agar Eropa memiliki kebijakan luar negeri, pertahanan dan keamanan yang kuat. Alasan di balik itu adalah untuk menyertakan traktat juga merujuk ‘agar terjadi integrasi Uni-Eropa Barat (WEU) secara bertahap ke dalam EU.’88 Menduduki Kepresidenan Eropa untuk paruh pertama tahun 1997, Belanda jelas terlihat untuk tidak terjebak ke dalam ‘Senin Hitam’ sebagaimana yang mereka alami beberapa tahun sebelumnya. Belanda menyiapkan sebuah proposal yang isinya berusaha membuat kompromi umum untuk menyatukan seluruh negara anggota pada satu barisan. Sebagai reaksi dari proposal yang diajukan oleh Irlandia yang diserahkan bulan Desember 1996, Belanda memutuskan untuk memperluasnya dan membuat beberapa perubahan, dan dengan cerdik membiarkan isu-isu yang lebih kontroversial seperti CFSP tidak termasuk dalam agenda yang dinegosiasikan secara ekstensif pada tahap lanjut untuk menghindari agar topik bahasan tidak ‘tenggelam sebelum berenang’. Tetapi Belanda mengajukan penyesuaian yang signifikan khususnya terhadap prosedur pembuatan keputusan dalam CFSP.89 Dalam kerangka ini, Belanda menginginkan agar Dewan Eropa menetapkan panduan umum dalam kebijakan luar negeri dan keamanan. Saran Belanda berikutnya adalah agar Dewan Eropa harus sepakat secara aklamasi terhadap ‘strategi bersama’ menyangkut topik-topik di mana kepentingan bersama negara anggota sudah 88
89
Dikutip dari Tonra. B. (2001). op. cit., hal. 160, aslinya berasal dari The Irish Times, 12 Juni 1997. Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 160-161. 75
diidentifikasi. Dalam dalam kerangka strategi bersama inilah para Menlu diberikan ruang yang cukup untuk membuat deklarasi atau pernyataan politik melalui QMV, atau aklamasi untuk menentukan ‘posisi bersama’ atau ‘aksi bersama.’ Belanda memperhitungkan bahwa semakin besar peluang sebuah keputusan dicapai melalui QMV maka semakin efektif dan sangat menentukan keputusan yang diambil. Tetapi menurut Belanda, prosedur QMV tersebut tidak bisa diberlakukan pada keputusan-keputusan yang memiliki implikasi pertahanan dan militer. Dengan bertahan pada posisinya dalam isu pertahanan dan keamanan, parlemen Belanda meratifikasi traktat tersebut tahun 1989 meskipun mendapat kritikan tajam tentang kemampuan traktat tadi untuk menghasilkan kebijakan luar negeri dan keamanan yang lebih kuat sebagaimana yang diharapkan. Traktat Amsterdam menekankan pada tujuan-tujuan mendasar dari CFSP. Tujuan tersebut mencakup: melindungi nilai-niulai bersama, kepentingan yang fundamental, kemerdekaan dan integritas dari EU, memperkuat keamanan EU dalam semua segi, memelihara perdamaian dan memperkuat keamanan internasional, mempromosikan kerjasama antar bangsa, mengembangkan dan mengkosolidasi demokrasi dan aturan hukum, dan menghormati HAM dan kebebasan mendasar.90 Traktat Amsterdam ternyata memperkuat provisi dari Uni-Eropa Barat (WEU) dalam beberapa hal. Pertama, instrumen kebijakan dirampingkan tetapi cakupannya diperluas. Kedua, perluasan dari pasal-pasal yang mengatur QMV dengan memperkenalkan mekanisme ‘abstain yang konstruktif’ yang memungkinkan sebuah negara anggota untuk tidak menerapkan sebuah keputusan jika hal itu tidak diwajibkan oleh EU. Kemudian, penggabungan Misi Petersberg (Petersberg Tasks) ke dalam Traktat EU, dan pembentukan CFSP High Representative dalam Dewan EU serta sebuah Unit Perencanaan dan Peringatan-Dini (Policy Planning and Early-Warning Unit).91 90
91
Pasal J.1., alinea. 1, Title V, J.1, Provision on a Common Foreign and Security Policy, Treaty of Amsterdam Amending the Treaty on European Union, the Treaties Establishing the European Communities and Certain Related Acts, European Office for Official Publications of the European Communities (1997). Luxemburg, hal. 9-10. Nugent, N. (2003). op. cit., hal. 415-417. 76
Kesepakatan yang menyusul Traktat Amsterdam adalah Traktat Nice yang disetujui bulan Feburari 2001 dan berlaku efektif mulai bulan Januari 2003. Traktat ini membawa beberapa perubahan dalam pasal-pasal institusional yaitu yang berkenaan dengan perwakilan negara-negara anggota dalam institusi-institusi EU menjelang perluasan keanggotaan EU, perubahan dalam bobot suara QMV dalam Dewan dan perluasan basis legal dari QVM. Perluasan juga mencakup prosedur co-decision, dan dirancang agar prosedur kerjasama lebih mudah dicapai. Sedangkan pada prosedur kebijakan, Traktat Nice hanya membawa sedikit perluasan dalam bidang-bidang kebijakan fungsional seperti bidang Kehakiman dan Dalam Negeri, JHA dan kebijakan sosial. Dalam bidang CFSP, modifikasi terjadi pada kemungkinan penggunaan Pilar Kedua dari traktat untuk mengimplementasikan aksi-aksi bersama sejauh hal tersebut tidak memiliki implikasi militer dan pertahanan.92 Pengkhususan aspek keamanan dan pertahanan dari kebijakan luar negeri ini ditenggarai merupakan salah satu kelemahan dari CFSP meskipun kelamahan semacam itu sebelumnya telah dicoba untuk diperbaiki.
2. Kebijakan Keamanan dan Pertahanan EU 2.1. Evolusi European Security and Defence Policy (ESDP) Sama seperti kemajuan integrasi kebijakan luar negeri bersama, kebijakan keamanan dan pertahanan juga mengalami perkembangan yang lambat dalam EU. Penyebabnya hampir serupa dengan hal-hal yang menghambat perkembangan kebijakan luar negeri bersama, yaitu EU bukan sebuah entitas negara yang berdaulat. Kemudian, terdapat perbedaan kapabilitas militer antara negara anggota, dan perbedaan dalam hal kesiapan dan keinginan di antara mereka untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan konflik, dsb. Lambannya perkembangan kebijakan keamanan dan pertahanan ini juga disebabkan oleh keengganan elit AS untuk melepaskan dominasi mereka dalam urusan keamanan di Eropa khususnya ketika peluang untuk peningkatan kapabilitas substantif sangat kecil. Meskipun 92
Nugent, N. (2003). op. cit., hal. 88. 77
berbagai komplikasi tadi, EU mulai membahas isu-isu yang mengarah pada integrasi kebijakan keamanan dan pertahanan sejak awal tahun 1990-an. Banyak pakar berpendapat bahwa konflik di Kosovo telah menyadarkan para pemimpin EU bahwa kapabilitas militernya saat itu masih lemah.93 Tetapi krisis di Balkan tersebut tidak seluruhnya menjadi motivasi bagi cita-cita untuk bekerjasama dalam bidang pertahanan. Secara historis, pembentukan Pakta Brussel oleh Prancis, Inggris, dan negara-negara Benelux tahun 1948 memperkuat argumen ini. Setahun kemudian NATO berdiri. Inisiatif semakin serius diambil sejalan dengan semakin mengentalnya integrasi Eropa. Tahun 1952, traktat pembentukan Masyarakat Pertahanan Eropa (European Defence Community – EDC) ditandatangani. Tetapi EDC gagal karena Parlemen Prancis (Assemblée nationale) menolak meratifikasi traktat itu dua tahun kemudian. Penolakan Prancis menyiratkan bahwa kerjasama pertahanan terlalu cepat atau terlalu dini. Tahun 1955, Uni-Eropa Barat (WEU) dibentuk. Sayangnya, organisasi ini dianggap kurang relevan lebih dari selama tiga dekade hingga lahirnya Traktat Masstricht tahun 1992 yang menyatakan tanggung jawab EU dalam bidang keamanan ditempatkan dalam kerangka CFSP dan diuraikan dalam Deklarasi Petersberg (Petersberg Declaration). Untuk mengakomodasi aspirasi Eropa, dalam Pertemuan Dewan Atlantik Utara di Berlin tahun 1996, NATO memutuskan untuk mendirikan Identitas Keamanan dan Pertahanan Eropa (European Security and Defence Identity – ESDI) dalam EU. Traktat Amsterdam tahun 1997 mencakup lebih banyak regulasi yang mengikat di dalam EU termasuk penggabungan Misi Petersberg ke dalam Traktat EU. Selanjutnya, tahun 1999, Dewan Keulen (Cologne Council) mengumumkan ‘Deklarasi untuk Memperkuat ESDP’; di mana negaranegara anggota menegaskan tujuan penguatan CFSP dengan memberikan EU kapabilitas untuk bertindak dalam situasi krisis. 93
Lihat E.G. Gunning Jr. (Juli 2001). The Common European Security and Defense Policy (ESDP) (Executive Summary), The INSS Occasional Paper 41, Regional Security Series, USAF Institute for National Security Studies, USAF Academy, Colorado, hal. vii-ix. 78
Dalam tahun yang sama, Dewan Helsinki (Helsinki Council) menyatukan negara-negara anggota untuk membentuk—mulai tahun 2003—Pasukan Reaksi Cepat (RRF) yang mampu melaksanakan semua misi yang diemban oleh Misi Petersberg. Pasukan ini akan terdiri dari 50.000-60.000 personil tempur. Traktat Nice tahun 2000 membuat beberapa penyesuaian institusional. Tahun 2001, Dewan Laeken (Laeken Council) mendeklarasikan bahwa EU kini memiliki ‘kapabilitas melakukan operasi-operasi krisis-manajemen’. Namun demikian, Laeken juga menekankan bahwa kemajuan yang substansial harus dilakukan dalam bidang pengembangan yang seimbang dalam kapabilitas sipil dan militer, finalisasi penataan aturan dengan NATO, dan penerapan pasal-pasal Traktat Nice dengan mitra-mitra EU. Regulasi baru tersebut bertujuan agar EU memiliki struktur yang tepat dan kemampuan—sipil dan militer—operasional yang memadai untuk melaksanakan dan mengimplementasi keputusan-keputusan dalam semua aspek pencegahan konflik dan penugasan manajemen krisis yang diatur dalam Traktat EU. Dengan demikian, ESDP dianggap sebagai sebuah instrumen untuk merealisasikan tujuan-tujuan CFSP.94 Traktat Maastricht memberikan kerangka bagi CFSP dan menjadikannya sebagai sebuah wahana terhadap ‘usaha-usaha untuk membangun sebuah kebijakan pertahanan bersama, menuju 95 terciptanya sebuah mekanisme pertahanan bersama, Uni-Eropa Barat (WEU) dalam hal ini diminta untuk mengkaji dan mengimplementasikan keputusan dan aksi EU yang memiliki implikasi pertahanan’.96 Namun, kewajiban negara anggota yang kebetulan juga anggota NATO tetap dihormati, dan kebijakan EU ‘setara dengan kebijakan keamanan dan pertahanan yang tercantum dalam kerangka NATO.’97 Pada saat yang sama, ‘Final Act’ dari Traktat Maastricht memasukkan sebuah deklarasi oleh 9 anggota WEU bahwa ‘negara 94
95
96 97
‘Greece’s Initial Contribution to Post-Amsterdam Reflections on the Development of a Common Defence Policy by the E.U.’, (Diserahkan kepada General Affairs Council tanggal 17-18 Mei 1999), pada http://www.hri.org. Pasal J.4.1., Title V: Provisions on a Common Foreign and Security Policy of the Maastricht Treaty, 1992. Ibid., Pasal J.4.2. Ibid., Pasal J.4.4. 79
anggota WEU menyambut baik perkembangan identitas keamanan dan pertahanan Eropa’.98 Untuk menyiapkan kapabilitas militer dari ESDP negara-negara anggota EU menyusun sebuah ‘Headline Goal’, di mana mereka sepakat bahwa mulai 2003, mereka akan secara sukarela bekerjasama untuk menyiapkan pasukan yang mandiri dengan kekuatan mencapai level korps atau hingga 15 brigade. Selain itu, jika memungkinkan, mereka harus mampu mengerahkan elemen angkatan laut dan angkatan udara dalam waktu 60 hari dan mempertahankan pengerahan tersebut minimal selama satu tahun. Mereka juga memutuskan untuk mengembangkan ‘Collective Capability Goals’ dalam bidang komando dan pengendalian, intelijen, dan transportasi strategis. Untuk menjaga keseimbangan yang pelik dengan NATO, implementasi dari ‘Headline Goal’ dan ‘Collective Capability Goals’ bukan merupakan pembentukan sebuah Angkatan Bersenjata Eropa ataupun pembentukan pasukan tambahan. Tujuan tersebut akan dicapai cukup dengan reorganisasi pasukan (standing army) yang telah ada di masing-masing negara anggota. Melalui mekanisme ESDP tersebut, EU hanya akan melancarkan operasi militer jika NATO secara keseluruhan menolak melakukan tindakan operasi. Dengan demikian, untuk operasi militer, EU bisa memilih tiga alternatif: (1) Operasi EU dengan menggunakan perlengkapan dan kapabilitas NATO; (2) Operasi EU dengan hanya menggunakan kapabilitas perencanaan NATO; atau (3) Operasi EU secara otonom tanpa menggunakan fasilitas dan kapabilitas NATO sama sekali.99 ESDP merefleksikan sebuah keseimbangan baru antara EU dan AS. Hubungan Transatlantik tersebut sangat penting bagi kepentingan keamanan Eropa. Dan kepentingan AS bisa dicapai melalui stimulasi pengembangan kapabilitas pertahanan Eropa yang lebih ototnom. 98
99
Traktat Amsterdam melangkah lebih maju daripada Traktat Maastricht, dengan merujuk pada ‘pengembangan yang progresif dari kebijakan pertahanan bersama .. .yang mengarah pada sebuah pertahanan bersama, jika itu diputuskan oleh Dewan Eropa’. Traktat Amsterdam dengan demikian memberikan ‘kemungkinan integrasi WEU ke dalam EU, jika itu diputuskan oleh Dewan Eropa.’ Auswärtiges Amt, ‘European Security and Defence Policy’, Publication Data, pada http://www.auswaertiges-amt.de. 80
Dengan demikian, AS akan lebih bisa menerima posisi yang lebih seimbang dalam bidang keamanan Eropa. Pengerahan ESDP telah mulai menjadi realitas. Operasi pertamanya di lancarkan tanggal 1 Januari 2003 di bawah payung Misi Kepolisian EU di Bosnia-Herzegovina. EU juga memutuskan untuk mengerahkan pasukan dalam operasi militer pertama di Macedonia tanggal 18 Maret 2003. Kemudian diikuti dengan operasi perdamaian otonom ESDP yang pertama kali di Republik Demokratik Kongo yang tidak saja merefleksikan bahwa cita-cita ESDP sudah mulai menjadi kenyataan tetapi juga merupakan sebuah langkah yang luar biasa dalam perkembangan selanjutnya dari ESDP.100 2.2. Belanda dan ESDP Kebijakan keamanan dan pertahanan Belanda pasca Perang Dunia II hingga tahun 1980-an secara umum didominasi dan tergantung pada Aliansi Transatlantik. A. van Staden (1974) menyebut Belanda sebagai ‘aliansi sejati’ dalam NATO.101 Menurut Van Staden, persepsi para pembuat kebijakan Belanda terhadap realitas ini dan hubungannya dengan Belanda dipengaruhi oleh beberapa prinsip politik yaitu: (1) Keyakinan bahwa politik luar negeri Uni-Soviet menganut prinsip ekspansionisme; (2) Keyakinan bahwa keamanan Eropa Barat dan Amerika Utara tidak bisa dipisahkan; (3) Barat harus bersatu dan mengkonsolidasi kekuatannya untuk mengimbangi kekuatan Soviet; (4) Keyakinan bahwa Belanda bisa memainkan peranan penting dalam politik internasional melalui NATO; (5) Barat yang bersatu bisa memberikan jaminan keamanan yang adil kepada seluruh anggota
100
101
Operasi yang dimpimpin oleh Prancis di Kongo memperlihatkan bahwa ESDP mampu menangani misi di luar wilayah Eropa. Pengerahan tersebut merupakan misi pertama di luar Eropa yang secara independen tanpa melibatkan NATO sama sekali. Lebih lanjut, lihat ‘Analysis: EU Defense Integration Still a Longway to Go’, People’s Daily, 6 Agustus 2003. Alfred van Staden menyebutnya dalam bahasa Belanda sebagai ‘een trouwe bondgenoot’. Lebih lanjut, lihat A. van Staden (1974). Een trouwe bondgenoot: Nederland en het Atlantisch Bondgenootschap 1960-1971. Baarn: Uitgeverij In den Toren. 81
NATO; dan (6) Bahwa saling mengkritik secara terbuka antara anggotanya akan membahayakan eksistensi NATO.102 Meskipun tetap setia pada NATO, tetapi terdapat beberapa pergeseran dalam kebijakan Belanda sejak berakhirnya Perang Dingin. Hal ini sebagian karena berakhirnya ancaman komunisme dan, sebagian lagi disebabkan oleh semakin kentalnya integrasi Eropa dan peristiwa 11 September 2001. Lebih dari separuh atau sekitar 56% responden Belanda menganggap bahwa manajemen krisis dan menjaga perdamaian sebagai tugas yang paling penting dari NATO.103 ESDP hanya bisa mendapat dukungan yang cukup jika dibangun dengan sebuah visi yang memiliki ambisi. Visi dari Eropa sudah jelas: aliansi yang lebih seimbang dengan Aliansi Atlantik dan mekanisme CFSP yang semakin efektif. Sebuah organisasi pertahanan modern memerlukan transparansi dan tanggung jawab. Militer harus lebih dekat dengan kawula sipilnya. Hal ini bisa juga digunakan untuk memperkuat kontrol demokratis terhadap ESDP untuk mendapatkan legitimasi politik. Jika EU berhasil dengan sistem mata uang tunggalnya (€), maka usaha untuk memperkuat kapasitas pertahanan Eropa bukan hal yang mustahil dicapai.104 Namun Belanda cukup berhati-hati dengan perkembangan tersebut. Bagi Belanda perkembangan dimensi keamanan dalam EU harus tidak mengurangi peran NATO dan AS dalam keamanan Eropa. Dengan demikian, Belanda menekankan bahwa ESDP harus bekerjasama erat dengan NATO. Traktat Amsterdam memang membawa beberapa kemajuan bagi CFSP yang salah satunya adalah pembentukan High Representative for CFSP. Tetapi, yang diharapkan tidak semata perubahan pasal-pasal institusional; tetapi tanpa kemauan politik yang jelas, kekuatan militer yang kuat dan anggaran yang cukup sulit untuk mencapai tujuan yang 102 103
104
Staden, A. van (1974). op. cit., hal. 232. Menurut sebuah jajak-pendapat tahun 2001. Lebih lanjut, lihat ‘Het Europese “Pentagon”’, sebuah pengantar yang disamapikan oleh Menhan Belanda, F.H.G. de Grave, dalam sebuah koloqium mengenai Public Opinion and European Defence, di Royal Military Academy di Brussel, 3 April 2001. Kementerian Pertahanan Belanda, Den Haag. Grave, F.H.G. de, (18 Mei 1999), ‘De toekomst van het Europese defensiebeleid’, Kementerian Pertahanan Belanda, Den Haag. 82
digariskan. Semua komponen tadi mutlak ada. Dalam pandangan Belanda terhadap kapasitas militer Eropa, Traktat Amsterdam telah memungkinkan EU beraksi dalam kerangka WEU, dan jika diperlukan bisa juga diintegrasi ke dalam EU. NATO memberikan jawaban pertamanya terhadap usulan itu tahun 1996. Dalam pertemuan puncak di Berlin, para Menlu memutuskan bahwa sarana dan perlengkapan NATO bisa digunakan untuk operasi EU. Keputusan tersebut memberikan peluang dan kemungkinan kerjasama militer yang sangat maju di Eropa tanpa merusak tatanan kerjasama mereka yang sudah ada dalam NATO. Juga ditenggarai bahwa communiquĂŠ dari pertemuan di Berlin tadi memberikan perhatian khusus kepada ESDI di mana Eropa mengakui bahwa NATO akan tetap memainkan posisi sentral dalam kebijakan pertahanan. Tetapi usaha pengembangan ESDP tetap diteruskan. Dalam tahun-tahun berikutnya mereka sepakat bagaimana untuk menyikapi perkembangkan ESDI tersebut: EU dan NATO akan bekerjasama dalam memutuskan hubungan mutualisma dan pembagian tugas di antara mereka. Kerjasama keamanan dan pertahanan harus menghormati kedaulatan nasional dan parlemen nasional. Isu pertahanan harus senantiasa menjadi ranah otoritas nasional. Namun Belanda menyadari bahwa pembahasan mengenai kerjasama militer dan koordinasi di Eropa akan membawa implikasi politis105 Sebagaimana banyak kebijakan ME lainnya mereka harus menerima kondisi berkurangnya otonomi nasional, mengakui bahwa biaya yang harus dikeluarkan tersebut dalam rangka mengambil keuntungan yang lain. Dalam situasi ini muncul kebutuhan untuk bersepakat dalam hal spesialisasi peran dan interdependensi sebagai kunci asumsi bagi perencanaan pertahanan mereka. Dalam perspektif Belanda, sangat bisa dipahami bahwa negaranegara Eropa harus bekerjasama dalam bidang pertahanan dan harus mengembangkan kolaborasi semacam itu karena didorong oleh faktorfaktor berikut: (1) Seluruh operasi manajemen krisis memiliki hakikat
105
Lebih lanjut, lihat “Speaking Note WEU/iESDA Colloquy� di Berlin oleh De Grave tanggal 3 Maret 2001. 83
multinasional106; (2) Perlunya economies of scale untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi militer; (3) Bangsa-bangsa di Eropa tidak perlu mengembangkan kapabilitas militer jika yang lainnya sudah memiliki kapasitas yang memadai. Dalam Konferensi Peningkatan Kapabilitas (CIC) bulan November 2001, Belanda mengajukan proposal yang bertajuk ‘European Capabilities Action Plan’, yang disetuji oleh para Menhan dalam konferensi tersebut. Rencana Aksi tersebut dimasukkan ke dalam deklarasi CIC yang dibangun atas dasar empat panduan prinsip: (1) Peningkatan efektivitas dan efesiensi usaha-usaha pertahanan Eropa dengan menggunakan kerjasama yang ada dan yang akan dijalin antara negara-negara atau kelompok negara; (2) Pendekatan ‘bottomup’ dengan menciptakan kapabilitas tambahan berbasis nasional dan sukarela; (3) Koordinasi antara negara anggota EU dan harmonisasi hubungan EU-NATO; (4) dan, Rencana Aksi tersebut menjadi dokumen publik (B. Schmitt, 2003:2). Berkaitan dengan perkembangan selanjutnya dari ESDP, Belanda termasuk yang mendukung perluasan peranan dari High Representative CFSP (HR) dalam mengelola krisis misalnya dengan wewenang untuk membuat proposal yang spesifik yang memiliki implikasi sipil dan militer. Fungsi tersebut tidak harus menjadikan HR sebagai komandan operasi tetapi hanya memainkan peranan koordinasi.107 Sedangkan terhadap struktur komando dalam operasi militer, Belanda mengusulkan agar posisi tersebut harus dibawah otoritas langsung dari badan-badan yang berkompeten di Brussel. Namun, Belanda menymabut baik kejelasan lebih lanjut mengenai peranan HR dalam kebijakan pertahanan. Meskipun Belanda setuju dengan pengangkatan pejabat yang berfungsi sebagai pengganti dari HR khususnya jika fungsi tersebut berkaitan dengan kapabilitas militer dan memelihara hubungan erat dengan NATO dan memberikan 106
107
Pemikiran yang disampaikan oleh F.H.G. de Grave di Royal United Services Institute, ‘ESDP as a framework for defence co-operation’. Kementerian Pertahanan Belanda, Den Haag. 30 November 2001. The Secretariat of the European Convention, ‘Dutch comments on the preliminary draft final report of Working Group VIII “Defence” (WD 022), Working Group VIII, Working document 28, hal. 1-6, Brussel, 4 Desember 2002, pada http://european-convention.eu.int. 84
dukungan kepada EU, tetapi Belanda menolak pengangkatan yang bersifat politis untuk peran pengganti tersebut. Belanda juga mendukung klausa proposal dalam pasal-pasal awal dari Konstitusi Eropa yang memungkinkan seluruh instrumen yang dimiliki oleh EU bisa dimobilisir untuk menghadapi ancaman teroris terhadap salah satu institusi non-negara EU atau salah satu negara anggota EU. Klausa ini merefleksikan solidaritas tinggi antar negara anggota.108 Sejalan dengan perlunya keterpaduan antara seluruh instrumen yang ada dalam EU, koordinasi yang lebih erat juga sangat krusial. Hal ini mutlak dalam bidang perlindungan sipil, di mana koordinasi yang erat dengan NATO akan meningkatkan efesiensi dalam masa krisis misalnya kasus yang melibatkan ancaman senjata pemusnah massal. Belanda juga mendukung proposal untuk memodernisasi dan memperluas Misi Petersberg karena bidang tersebut sesuai dengan Kebijakan Belanda yang berdasarkan konsep keamanan yang lebih luas di mana perhatian lebih diutamakan pada pencegahan konflik dengan negara ketiga dalam bidang pertahanan. Frase ‘jangkauan pertahanan’ (defence outreach) bisa diganti dengan ‘kerjasama keamanan’ (security co-operation) karena hal ini memiliki makna yang lebih tepat untuk itu. Belanda juga mendukung proposal yang diajukan oleh Inggris tentang Badan Pengembangan Kapabilitas Pertahanan (Defence Capability Development Agency), sebuah lembaga yang merencanakan dan mengeksekusi peningkatan kapabilitas militer. Hal itu akan melibatkan kelanjutan dari Organisation for Joint Armaments Cooperation dan inisatif Letter of Intent dengan 15 dan kemudian 25 negara anggota. Instrumen ini bisa mempromosikan pemasaran senjata dan tidak harus memaksakan untuk menggunakan pensuplai tertentu. Ketua dari badan ini harus berkonsentrasi bagaimana mengajak negaranegara anggota untuk meningkatkan kapabilitas militernya. Dan
108
Klausa tersebut berbunyi: “As the present internal and external security are closely linked, the Netherlands was of the opinion that, in the current institutional structure of the Union, the primary instruments for protecting our homeland security are in the third pillar, but they should be supported when necessary by first and second pillar instruments.” 85
pembelian serta pengadaan persenjataan tetap merupakan urusan nasional masing-masing. Belanda juga menganggap penting bagi negara ketiga untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam proyek tersebut berdasarkan prinsip ad-hoc. Sekutu anggota NATO tapi bukan anggota EU khususnya Norwegia dan Turki harus diperbolehkan ikut serta dalam kerjasama proyek persenjataan Eropa. Namun usaha integrasi aktivitas Western European Armaments Group/Western European Armaments Organisation (WEAG/WEAO) ke dalam EU hanya akan berjalan kalau negara-negara yang saat ini bergabung di dalam WEAG secara otomatis diperbolehkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kelanjutan aktivitasnya di dalam EU. 2.3. Mengukur Pragmatisme Belanda dalam ESDP Persepsi Belanda sendiri sebagai sekutu terpercaya dalam NATO dan dalam waktu yang sama juga sebagai penganjur agar CFSP menjadi lebih kuat dan unsur-unsur keamanan dan pertahanannya, sudah diterima secara luas di antara anggota NATO lainnya dan anggota EU. Bagi Belanda, sikap pragmatis ini merupakan posisi yang kondusif demi kepentingan perdamaian dan keamanan di Eropa, dan tentu saja, bagi posisinya sebagai negara kecil 109 Penerimaan tersebut bisa dibuktikan dengan peranan yang high-profile yang dimainkan Belanda baik dalam konteks NATO maupun EU. Untuk mengukur peranan itu beberapa contoh yang mutakhir dalam kedua kerangka tersebut diuraikan berikut ini. Dalam konteks Transatlantik, Belanda merupakan salah satu dari 17 negara yang mendukung pasukan yang—waktu itu—dipimpin oleh Inggris dalam International Security Assistance Force (ISAF) di Kabul.110 Kontingen militer Belanda termasuk ke dalam kesatuan multinasional yang—pada saat itu—dipimpin oleh Jerman. Dalam konferensi yang digelar oleh SHAPE tanggal 27 November 2002 untuk ISAF, 109
110
Pemerintah Australia, ‘Netherlands Country Brief - April 2004’, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan, pada http://www.dfat.gov.au. Disepakati tanggal 10 Januari 2002. Lebih lanjut, lihat ‘ESDP timeline 2000s: Key developments in European security during the 2000s’, European Security.Net, pada http://www.europeansecurity.net. 86
NATO mendukung kesediaan Jerman dan Belanda untuk memimpin misi militer dibawah mandat Dewan Keamanan PBB di Afghanistan. Belanda juga akhirnya menyertakan pasukannya ke dalam ‘Coalition of the Willing’ di Irak meskipun sebelumnya Belanda menolak permintaan AS untuk mendukungnya dalam krisis Irak dalam pertemuan khusus NAC NATO tanggal 6 Februari 2003 dengan merujuk pada perpanjangan misi PBB di Irak. Belanda memperoleh pengakuan yang paling tinggi atas posisinya yang unik dalam NATO ketika mantan Menlu-nya, Jaap de Hoop Scheffer, diangkat sebagai Sekjen NATO tahun 2004. Pengakuan high-profile selanjutnya yang diterima Belanda dalam konteks Transatlantik adalah pengangkatan Gijs de Vries bulan Maret 2004 sebagai koordinator dari Badan Kontraterorisme (Counterterrorism Agency) EU.111 Diplomat senior Belanda ini dengan tepat mewakili keseimbangan pembagian kekuasaan di Transatlantik karena badan yang baru itu bertujuan mengkoordinasi dan memperkuat kerjasama antara otoritas EU dan AS dalam memerangi terorisme, dan de Vries sendiri adalah kelahiran New York dan telah terlibat aktif dalam aktivitas Transatlantik. Dalam konteks pengembangan kebijakan keamanan dan pertahanan Eropa, Belanda—sementara tetap berpegang pada keyakinannya dengan Transatlantisme—dengan terbuka memperjuangkan penguatan kebijakan luar negeri dan keamanan dan dengan aktif terlibat dalam pengembangan RRF dalam skema ESDP. Dalam konferensi para Menhan di Brussel tanggal 20 November 2001 Belanda menjanjikan akan menyediakan 5.000 tentaranya dalam skema RRF. Belanda juga ditunjuk memimipin WEAG untuk tahun 2003-2004. Di bawah payung WEU, WEAG bekerjasama untuk menciptakan Pasar Perlengkapan Pertahanan Eropa, antara lain melalui mengembangkan aturan yang bertujuan untuk menghapus hambatan-hambatan dalam perdagangan lintas-batas dan memberikan peluang yang sama kepada kalangan bisnis yang terkait.
111
Pengantar oleh Simon Serfaty dalam Senior European Dialogue, CSIS Europe Program, 13 Mei 2004, pada: http://www.csis.org/europe. 87
3. Dampak dari Penguatan Mekanisme CFSP terhadap Kebijakan Luar Negeri Belanda Isu kebijakan luar negeri tetap merupakan kompetensi nasional. Namun karena EU merupakan organisasi yang sui generis merupakan kombinasi antara intergovernmental dan supranasional, kebijakan luar negeri dan keamanan bersama telah menjadi semakin kohesif dan koheren, terkoordinir dan terintegrasi yang membuatnya menjadi mekanisme yang semakin kuat. Kerangka CFSP yang semakin kuat tentu saja membawa dampak terhadap kebijakan luar negeri Belanda. Hal itu terlihat dalam tataran proses kebijakan luar negeri dan output kebijakan luar negeri. Dalam segi proses kebijakan luar negeri perubahan yang paling nyata adalah prosedur kebijakan luar negeri yang lebih kompleks karena melibatkan banyak lembaga dan berproses secara multi-level. Karena CFSP masih berazas pada prinsip intergovernmental, Dewan Eropa bertanggung jawab atas seluruh arahnya melalui kerjasama dengan General Affairs and External Relations Council (GAC).112 Kelompok yang terakhir ini merupakan badan pembuat keputusan utama dalam CFSP. Unsur yang lain adalah Committee of Permanent Representatives (COREPER), yang terdiri dari perwakilan tetap negara-negara anggota dan biasanya berfungsi sebagai lembaga transit dan penyaring antara dua lembaga lainnya yaitu Political Committee dan Political Security Committee (COPS) dengan GAC. Kemudian terdapat Correspondents’ Group yang berfungsi mengkoordinir CFSP dalam kementerian luar negeri masing-masing negara anggota. Struktur ini juga didukung oleh sekitar 30 Kelompok Kerja, sekretariat umum, dan Policy Planning and Early-Warning Unit, yang beroperasi di bawah kendali High Representative. Di luar Dewan Eropa, Komisi juga terlibat dalam proses kebijakan. Sejak Traktat Maastricht bahwa Dewan diberikan hak untuk merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri dan proposal kepada Dewan. Lembaga lain yang terlibat adalah Parlemen Eropa dan kedutaan, delegasi, dan misi EU di luar negeri.
112
Lihat N. Nugent (2003). op. cit., hal. 424-431. 88
Parlemen Eropa juga memainkan peranan yang semakin penting dalam isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Parlemen harus dikonsultasikan dalam aspek-aspek utama tentang pilihan yang mendasar dari kebijakan luar negeri dan keamanan bersama, pandangan parlemen ini harus dipertimbangkan, mengadakan pembahasan tahunan tentang kemajuan dari implementasi kebijakan luar negeri dan keamanan bersama,113 sekaligus mengatur prosedur anggaran CFSP. Dalam hal prosedur kebijakan, terdapat dua organ yang secara khusus berkenaan dengan ESDP bersama dengan COPS, yaitu Komite Militer Uni-Eropa (European Union Military Committee) atau EUMC, yang terdiri dari Kepala Staf Pertahanan dan Militer Uni-Eropa (EUMS).114 Dengan penyesuaian dan kemajuan demikian, dalam sisi proses kebijakan luar negeri, Belanda dan negara anggota lainnya dalam mekanisme CFSP: (1) Mendapat akses yang lebih luas terhadap informasi dan aktor internasional lainnya; (2) Mengalami perubahan administratif; (3) mengalami perubahan kultural dan sosialisasi.115 Sedangkan dalam hal output kebijakan luar negeri, Belanda: (1) Mempertimbangkan kebijakan keamanan dalam agenda kebijakan luar negerinya; dan (2) berusaha untuk meningkatkan pengaruhnya dalam kebijakan tersebut.
113 114 115
Pasal 21 dari Traktat Uni-Eropa. Lihat N. Nugent (2003). op. cit., hal. 431-432. Tonra, B. (2001). op. cit., hal. 257-268. 89
90
BAB 4 KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP INDONESIA 1945-2003
S
ebagaimana telah disinggung dalam Bab 1, sebagai sebuah negara kecil, Belanda diasumsikan cenderung secara kategoris menyambut baik Eropanisasi kebijakan luar negeri nasional sejak pembentukan EPC hingga penerusnya: CFSP. Tidak diragukan lagi bahwa institusionalisasi yang semakin mantap dari kebijakan luar negeri dan keamanan bersama EU bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara anggota terhadap bekas koloninya. Bab ini mencoba, pertama, mengkaji apakah dan bagaimana perilaku kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia yang digelayuti dengan beban kolonial dan trauma dekolonisasi yang disebabkan oleh oleh 350 tahun ‘hubungan yang khusus’ menurut asumsi di atas. Kedua, bab ini mencoba memberikan landasan bagi analisis studi kasus kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia untuk menjelaskan bagaimana kebijakan tersebut mengalami Eropanisasi dalam bab berikutnya.
1. Kebijakan Luar Negeri Belanda dalam Masa ‘Dekolonisasi’ 1945-1962116 Fase awal dari hubungan yang rapuh antara Belanda dan Indonesia— sebagai sebuah negara yang berdaulat, bisa dianggap mulai ketika Perang Pasifik berakhir. Tanggal 22 Agustus 1945, pasukan Jepang di Indonesia mengumumkan penyerahan mereka kepada pasukan Sekutu. Tetapi kontingen pasukan Sekutu di bawah komando Inggris tidak bisa segera datang ke Indonesia. Dalam masa vakum yang pendek ini Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
116
Segmentasi periode ini diambil dari salah satu karya C. Smith. Lebih lanjut, lihat C. Smith (1976). De dekolonisatie van Indonesië: Feiten en beschouwingen. Groningen: H.D. Tjeenk Willink B.V., hal. 11. 91
Menggunakan Inggris sebagai tameng, pasukan Belanda memanfaatkan peluang tersebut untuk menguasai kembali bekas jajahannya: Hindia Belanda. Dalam peridoe 1945-1949, Belanda telah melancarkan dua operasi militer yang dalam sejarah Belanda disebut sebagai ‘politieonele acties’ atau aksi pemulihan keamanan dan ketertiban; sedangkan dalam sejarah Indonesia peristiwa tersebut dikenal sebagai ‘agresi militer’ Belanda. Analisis berorientasi liberal dan Eurosentris mendominasi kajian tentang kebijakan luar negeri Belanda pasca Perang Dunia II. Sedikit sekali perhatian diberikan terhadap masalah Indonesia. Kajian Nederlands buitenlandse politiek: heden en verleden merupakan salah satu contoh dari kecenderungan tersebut.117 Bahkan karya Voorhoeve (1979) Peace, profits and principles, juga termasuk ke dalam kategori ini. 118 Padahal masalah Indonesia sesungguhnya merupakan tema yang sangat penting dalam kebijakan luar negeri Belanda hingga penyerahan kekuasaan tahun 1949 (A. Lijphart, 1966:110). 1.1. Penyerahan Kedaulatan Pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia yang bagi pemerintah Belanda merupakan tindakan unilateral tidak bisa diterima. Berbedaan dari banyak orang di Belanda yang mulai menyadari bahwa Hindia Belanda memang pantas mendapat kesempatan secara bertahap untuk menentukan nasibnya sendiri, pemerintah Belanda pertama-tama (eerste instantie) mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mengambalikan kekuasaan mereka sepenuhnya atas bekas koloninya tersebut. Sebagai salah sekutu yang utama, Inggris pada awalnya ingin membantu Belanda untuk mencapai tujuan di atas.119 Tetapi setelah 117
118
119
Boogman, J.C. et al. (1978). Nederlands buitenlandse politiek: heden en verleden. Baarn: In den Toren. Voorhoeve, J.J.C. (1979). Peace, profits and principles: a study of Dutch foreign policy. The Hague: Martinus Nijhoff. Lihat juga D. Hellema (1995). Buitenlandse politiek van Nederland. Utrecht: Uitgeverij Het Spectrum B.V., hal. 123. Jenderal A.H. Nasution yakin bahwa Inggris secara de jure membantu Belanda dalam rangka mengembalikan kekuasaan Belanda atas Indonesia. Menurut Nasution, Inggris disesatkan dan digunakan oleh pihak Belanda untuk kepentin92
menyaksikan dan merasakan kerasnya perlawanan dari pejuang Indonesia dalam Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945 dan keteguhan dukungan rakyat terhadap pimpinan nasionalnya, Letjen P. Christison meminta bantuan kepada Soekarno-Hatta. Dalam negosiasi tanggal 14 April 1946 di Hoge Veluwe, Belanda, pemerintahan yang moderat terbentuk di Indonesia dengan demikian terbuka peluang bahwa pihak Indonesia akan lebih siap memberikan konsesi untuk mencapai kesepakatan. Tetapi pemerintahan Schermerhorn-Dress gagal memanfaatkan kesempatan tersebut karena kuatir hal itu akan membiarkan Republik Indonesia menguasai Jawa dan Sumatera. Dalam kampanye pemilu parlemen pertama pasca Perang Dunia II tanggal 17 Mei 1946, pimpinan Partai Katolik Belanda, C.P.M. Romme dengan sengit menyerang perundingan di Hoge Veluwe tersebut. Dia menggambarkan negosiasi dengan pihak Indonesia sebagai ‘skandal sepekan’. Tetapi di bawah tekanan yang terusmenerus dari Inggris, negosiasi dimulai kembali di bawah pemerintahan koalisi Katolik-Merah. Sebuah kesepakatan berhasil dicapai dengan Indonesia bulan November 1946 yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Linggadjati. De Belanda, parlemen menafsirkan pasal-pasal perjanjian tersebut khususnya dalam poin yang ringan dan karakter yang berorientasi pada traktat dari Uni-Indonesia Belanda. Negosiasi terhadap interpretasi dari kesepakatan tersebut ternyata semakin rumit. Salah satu poin yang paling pelik adalah siapa yang memegang kekuasaan selama masa transisi. Belanda menginginkan kekuasaan di tangan mereka pada masa interim tersebut khususnya ketika pasukan Sekutu menyerahkan wilayah Indonesia kecuali Jawa dan Sumatera kepada Belanda. Tanggal 20 Juli 1947, Belanda melakukan operasi militer. Menurut suatu perhitungan, Belanda akan memperoleh sekitar NLG 300 juta dari aksi tersebut (H. Baudet and M. Fennema, 1983:11). Belanda dengan cepat menguasai Jawa Barat dan Timur dan kawasan yang makmur secara ekonomi di Sumatera. Operasi ini di Belanda disebut gannya sendiri. Lebih lanjut, lihat A.H. Nasution (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi atau bertempur. Vol. 2, Bandung: Disjarah-AD dan Penerbit Angkasa. 93
sebagai aksi polisionil pertama dan didukung oleh kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi di bekas Hindia Belanda. Berlawanan dari harapan Belanda, aksi tersebut malah membantu membawa usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapatkan perhatian internasional. Sekitar 20.000 orang mengadakan demonstrasi di Amsterdam tanggal 24 Juli 1947. Sepanjang tahun 1948, Belanda mengalami isolasi dari dunia internasional mengenai masalah Indonesia. Atas fasilitas AS, Belanda dan Indonesia menandatangani Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948. Belanda sangat diuntungkan dengan perjanjian tersebut karena demarkasi wilayah Belanda menjadi semakin luas dibanding Perjanjian Linggadjati. Tanggal 11 Oktober 1948, Van Mook mengundurkan diri sebagai Letnan Gubernur Hindia Belanda. Bulan November 1948, Belanda menggantikan jabatan Gubernur Jenderal dengan ‘Perwakilan Tinggi Kerajaan’ (High Representative of the Crown). Dalam tahun 1948 tersebut, konflik dengan Indonesia berkembang menjadi persoalan prinsip dan prestise. Komunitas bisnis di bekas Hindia Belanda semakin kehilangan kepercayaan terhadap penyelesaian militer atas masalah Indonesia. Tanggal 18 Desember 1948, pejabat Belanda mengumumkan kepada perwakilan Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia bahwa mereka tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Tanpa peringatan, Belanda melancar aksi kepolisian kedua yang dengan mudah menduduki ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948. Dari perspektif militer, operasi tersebut berhasil dengan gemilang. Tetapi hal tersebut membuat perlawanan gerilya semakin menjadi. Dan dari segi politik tindakan Belanda itu menjadi blunder bagi reputasi internasional Belanda. Banyak koran AS yang menurunkan editorial yang mengecam aksi tersebut. Dan 19 negara Asia memboikot Belanda. Akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan bekas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat tanggal 27 Desember 1949. Sebuah kritik menyatakan bahwa Uni-Indonesia Belanda menjadi sebuah mekanisme solusi yang keliru rangka mempertahankan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Strategi tersebut terbukti tidak realistis. Hanya dalam waktu 6 bulan, struktur federal Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Selanjutnya, satu tahun kemudian salah satu ke94
sepakatan yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai masalah Papua Barat kembali membawa Indonesia dan Belanda saling berhadapan. 1.2. Masalah Papua Barat Berdasarkan butir-butir kesepakatan KMB, status Papua Barat akan ditentukan setahun kemudian melalui perundingan. Dalam sebuah pertemuan tingkat menteri di akhir tahun 1950, Indonesia meminta pengembalian Papua Barat kepada Indonesia; sebaliknya, Belanda hanya bersedia menyerahkannya kepada Uni-Indonesia Belanda, sebuah opsi yang ditolak oleh Indonesia dan negosiasi berakhir dengan jalan buntu. Tetapi dalam Official Gazette J.576 tanggal 22 Desember 1949, pemerintah Belanda mengesahkan status pemerintahan otonom Papua Barat yang dikepalai oleh seorang gubernur. Keputusan ini sudah diperjelas sebelumnya dengan Official Gazette, Staatsblad J.599 tanggal 10 Januari 1949, tentang pembentukan Dewan Papua Barat yang terdiri dari perwakilan rakyat Papua yang secara bertahap akan berfungsi sebagai badan legislatif. Tetapi rencana tersebut baru bisa diberlakukan mulai tanggal 5 April 1961.120 Perkembangan tadi memperlihatkan keengganan Belanda untuk mengembalikan Papua Barat kepada Indonesia. Disamping alasan ekonomi dan harga diri, N. Nordholt (1989:654) menduga keengganan Belanda didorong oleh keinginan untuk membangun wilayah tersebut sebagai sebuah model koloni yang bisa menjadi contoh bagi Soekarno dan republiknya yang baru bagaimana caranya untuk membangun sebuah negara. Tahun 1950-an, perselisihan tidak terselesaikan dan mengalami eskalasi. Keputusan Belanda bulan April 1961 memberlakukan aturan baru tentang Papua Barat tersebut memantik api kemarahan Indonesia. Dalam demonstrasi politik tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Presiden Soekarno meluncurkan komando nasionalnya dengan pesan yang mengandung ancaman: “Jika Belanda tetap tidak bersedia
120
‘West Papua as Colony’, History Flashback, at http://www.westpapua.net. 95
mengembalikan Papua Barat maka Indonesia akan merebutnya dengan aksi-aksi yang revolusioner.� Di Belanda, konsesi untuk mengembalikan kedaulatan Papua Barat kepada Uni-Indonesia Belanda mendapat kritik keras di Majelis Rendah (Tweede Kamer) parlemen Belanda dan menyebabkan Menlu Belanda, D. Stikkers mengundurkan diri.121 Di Indonesia, kebuntuan itu menyebabkan munculnya tuntutan untuk membubarkan Uni. Dalam negosiasi bulan Januari 1952 tentang masalah Papua Barat dan masa depan Uni, Belanda mengumumkan bahwa ia siap memenuhi permintaan mengenai Uni, tetapi bukan tentang Papua Barat. Tanggal 29 Juni 1954, setelah Belanda secara formal menolak untuk bernegosiasi mengenai masalah Papua Barat, Indonesia membawa kasus tersebut ke Dewan Keamanan PBB. Usaha tersebut gagal mendapatkan dua pertiga suara untuk mengeluarkan resolusi. Tetapi Indonesia mengambil alternatif lain, yaitu memboikot perusahan Belanda. Dan setelah Indonesia kembali gagal mendapatkan dua pertiga suara dalam isu yang sama dalam sidang ke-12 Dewan Keamanan PBB, tanggal 6 Desember 1954 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa 50.000 warga negara—diantaranya terdapat 30.000 orang Indo-Eropa yang sudah menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka—harus keluar dari Indonesia.122 Tiga tahun kemudian, 500 perusahaan Belanda ditempatkan di bawah pengawasan Indonesia, dan tanggal 3 Februari 1958, Indonesia menasionalisasi instalasi pertambangan minyak Belanda di Aceh dan Sumatera Utara. Peristiwa yang nyaris sama juga terjadi sepanjang tahun 1958 di seluruh Indonesia. Pemerintah Belanda mengutuk keras tindakan Indonesia tersebut dan mengirimkan nota diplomatik bahwa tindakan tersebut merupakan nasionalisasi yang diskriminatif. Belanda juga meminta kompensasi atas nasionalisasi tadi. Sebagai reaksi Indonesia mengakhiri keanggotaannya dalam Uni tahun 1954, dan tiga tahun kemudian Uni secara resmi dibubarkan sebagai akibat dari penolakan Belanda untuk membicarakan masalah Papua. Tahun 1952, Menlu Belanda, J. Luns membawa Belanda ke sikap yang lebih keras dalam kasus Papua Barat. Tahun 1958, dia 121 122
Smith, C. (1976). op. cit., hal. 46. Smith, C. (1976). op. cit., hal. 47. 96
menegaskan sudah memperoleh sebuah ‘jaminan’ dari Menlu AS, J. Dulles bahwa AS akan mendukung pihak Belanda secara militer jika perang tidak bisa dihindari antara Belanda dan Indonesia.123 Tahun 1960, Belanda memperkuat posisi militernya di Papua Barat. Karena Belanda tetap tidak bersedia menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia, Soekarno memerintahkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda tanggal 17 Agustus 1960.124 Indonesia kemudian memperkuat angkatan bersenjatanya dengan membeli berbagai perlengkapan militer yang sebagian besar dari Uni-Soviet. Alihalih mengecutkan pihak Belanda, tindakan Indonesia itu seolah memprovokasi Belanda untuk mengambil langkah-langkah serupa. Tetapi akhirnya, di bawah tekanan dunia internasional, sebuah kesepakatan bisa dicapai tanggal 15 Agustus 1962 dan Papua Barat dikembalikan kepada PBB tanggal 1 November 1962. Kemudian PBB menyerahkan wilayah tersebut kepada Indonesia tanggal 1 Mei 1963.
2. Kebijakan Luar Negeri terhadap Indonesia 1963-1992 Masa ini merupakan fase baru dalam hubungan Belanda-Indonesia. Periode dekolonisasi telah dilewati. Masa ini juga merefleksikan kembali hubungan bilateral ke taraf normal dan tidak lagi dibayangi oleh pola hubungan antara penguasa-kawula atau penguasa-koloni, tetapi sebagai hubungan antara dua negara yang berdaulat dan sejajar. Tahun 1963, hubungan diplomatik mulai dijalin kembali. Tahun 1964, Menlu Indonesia, Subandrio, mengunjungi Belanda dalam rangka penandatanganan kerjasama teknis. Dalam bulan Juli dan Agustus di tahun yang sama, Menlu Belanda, J. Luns mengunjungi Indonesia dalam kesempatan mana dia menjanjikan jaminan ekspor untuk tahun 1965 yang nilainya mencapai NLG 100 juta. Tetapi Belanda tetap meminta agar pemerintah Indonesia memberikan kompensasi bagi perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi. Sesudah peristiwa kudeta yang gagal pihak komunis tahun 1965, Soekarno disingkirkan dari kekuasaan. Rezim yang baru dibentuk 123
124
Belanda mengharapkan bahwa bantuan militer AS akan membuat Indonesia berpikir dua kali untuk mengadakan petualangan militer di Papua Barat. Smith, C. (1976). op. cit., hal. 48. 97
tahun 1967. Dipimpin oleh mantan panglima Kostrad, Soeharto, angkatan bersenjata (Angkatan Darat) ‘membersihkan’ sisa-sisa pengikuti komunis dan menahan ribuan dari mereka di Pulau Buru. Dan banyak dari tokoh-tokoh terkemuka komunis diadili dengan tuduhan terlibat dalam usaha perebutan kekuasaan yang gagal tersebut dan dipenjara. Barat menyambut baik perubahan politik di Indonesia karena kehancuran komunis di Indonesia dianggap sebagai sebagai ‘kemenangan regional’ bagi ‘demokrasi’ menghadapi ancaman komunisme. Salah satu bukti sejarah tentang dukungan Barat terhadap rezim Soeharto adalah pemberian paket bantuan ekonomi tahun 1967 untuk membantu pemulihan ekonomi dan menciptakan kestabilan politik di Indonesia. Dengan inisiatif pemerintah Belanda beberapa negara industri maju menyatakan kesiapan mereka untuk membantu Indonesia mengadakan pertemuan di Amsterdam. Perwakilan dari Belanda, Belgia, Italia, Jerman Barat, AS, Prancis, Inggris, Jepang dan Australia menghadiri pertemuan tersebut. IMF, Bank Dunia, ADB, dan UNDP juga hadir sebagai penasehat. Pertemuan tersebut menghasilkan konsorsium negara donor yang dikenal dengan InterGovernmental Group for Indonesia (IGGI). Atas nominasi Indonesia, Belanda terpilih sebagai ketua dari IGGI. Dari tahun 1966 hingga 1992, hubungan bilateral antara kedua negara berada pada masa puncaknya. Antara tahun 1966 dan 1983, hampir 10% dari bantuan pembangunan Belanda disalurkan kepada Indonesia. Nilai total dari perdagangan meningkat dari NLG 450 milyar di tahun 1966 hingga nyaris mencapai NLG 1.500 milyar tahun 1984. Terdapat juga kerjasama dalam berbagai bidang kultural. Presiden Soeharto mengunjungi Belanda tahun 1970 dan—sebagai balasan—Ratu Juliana mengunjungi Indonesia setahun kemudian. (M. Kuitenbouwer, 1994:46-48). Di akhir tahun 1970-an, ada perubahan yang substansial dalam kebijakan luar negeri Belanda terhadap negara-negara berkembang. Kebijakan tersebut ditekankan pada bantuan pembangunan dan perhatian yang semakin besar terhadap kondisi HAM di negara-negara penerima bantuan. Tahun 1979, Menlu dan Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda yaitu Van der Klaauw dan De Koning, menerbitkan sebuah dokumen yang diberi judul ‘De Rechten van de 98
Mens in het Buitenlands Beleid’. 125 Dokumen tersebut menyatakan bahwa promosi dan perlindungan HAM merupakan ‘bagian yang esensial’ (wezenlijk bestanddeel) dalam kebijakan luar negeri Belanda sejauh cita-cita tersebut bisa dicapai, dan hal itu bukan merupakan satu-satunya tujuan dari kebijakan luar negeri. Selanjuntya tahun 1988, Menlu Belanda waktu itu, Van den Broek, menganggap HAM sebagai ‘sebuah penugasan di dalam semua kemungkinan kebijakan luar negeri Belanda dalam rangka berkontribusi untuk menghormati harkat dan martabat manusia.126 Kebijakan itu sendiri tidak dimaksudkan bahwa bantuan diberikan sebagai penghargaan terhadap perlindungan HAM di negara penerima atau bantaun tidak akan diberikan atau dihentikan kalau negara penerima melakukan pelanggaran HAM. Pemikian yang sejati dibalik kebijakan tersebut adalah pertimbangan memberikan bantuan kepada suatu negara mengandung perhatian terhadap situasi HAM di negara bersangkutan. Mengingat isu ini sangat sensitif bagi negara penerima bantuan, implementasi dari kebijakan tersebut— sebagaimana yang sangat ditekankan oleh dokumen tadi—negara donor harus mengelolanya dengan pendekatan dan modus yang sederhana dan bertahap. Dalam kasus Indonesia, kritik terhadap kebijakan HAM negara itu yang dikaitkan dengan kerjasama pembangunan sangat sensitif. Secara kultural, Jenderal Seoharto memiliki latar belakang Jawa yang sangat kuat di mana urusan harus dilakukan dengan cara yang baik, tidaklangsung, dan terhormat. Karakteristik tersebut merupakan norma yang biasa dalam gaya hubungan interpersonal manusia oriental. Ditambah lagi dengan trauma ‘paternalistik’ kolonial dan perlakuan HAM Belanda di Hindia Belanda di zaman penjajahan masih cukup terasa di Indonesia. ‘Tabu’ diplomasi ini akhirnya dilanggar tahun 1992 ketika Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda, J.P. Pronk menyuarakan kritik yang tanpa tedeng aling-aling terhadap 125
126
Tahun sidang Mejelis Rendah Parlemen Belanda (Tweede Kamer) 1978-1979, 15 571, 1-2, dalam: Baehr, P.R., ‘Mensenrechten en ontwikkelingshulp: Nederland en Indonesië’, dalam: Everts, P.P. (1996). Dilemma’s in de Buitenlandse Politiek van Nederland. Leiden: DSWO Press Rijksuniversiteit Leiden, hal. 117. Pidato yang disampaikan oleh Van den Broek dalam rangka peringatan ke-40 Deklarasi Universal HAM, 10 Desember 1988, hal. 5. 99
pelanggaran HAM di Indonesia. Kritik Pronk sebagian besar dialamatkan pada tuduhan pelanggaran HAM di daerah-daerah konflik seperti di Aceh, Irian Barat, dan di bekas Timor-Timur. Pronk juga dengan semangat menyuarakan isu-isu seperti tahanan politik dan aktivis demokrasi, keputusan melaksanakan hukuman mati terhadap mantan pengawal pribadi Presiden Soekarno yang sudah bertahuntahun dijatuhi hukuman mati karena terlibat dalam kudeta komunis tahun 1965, dan kasus penembakan misterius. Rezim Soeharto sangat tersinggung dan menganggap tindakan dan kritikan Pronk tersebut sebagai perbuatan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan Indonesia tidak bisa menerima hal itu sebagai syarat untuk memperoleh bantuan. Selanjutnya Indonesia menganggap hal tersebut sebagai serangan terhadap kebijakan nasionalnya dalam isu-isu terkait. Konflik tersebut memperburuk hubungan Jakarta-Den Haag hingga pada taraf di mana pada tahun itu juga Indonesia menghentikan semua program bantuan IGGI. Keputusan Indonesia membekukan semua program kerjasama dengan IGGI tahun 1992 tersebut merupakan ‘pelajaran’ berikutnya terhadap para pembuat kebijakan luar negeri Belanda dalam berurusan dengan Indonesia. 127 Pelajaran yang sama dalam penyelesaian penyerahan kedaulatan dan masalah Papua Barat bahkan telah membawa krisis politik internal di Belanda. ‘Blunderblunder’ yang terjadi tidak dipungkiri lagi merupakan pukulan telak terhadap reputasi Belanda yang terhormat dalam diplomasi internasional, sebuah status yang sudah disandang Belanda berabadabad lamanya.128
127
128
Ketidaknyamanan diplomasi dalam negosiasi di kapal USS Renville sebagian disebabkan oleh kurang sensitifnya pihak Belanda terhadap kondisi psikologis delegasi Indonesia dengan menempatkan A.K. Widjojoatmodjo—seorang Indonesia yang melarikan diri bersama pasukan Belanda ke Australia sewaktu Jepang menguasasi Indonesia—sebagai wakil dari juru-runding Belanda, Van Vredenburg. Lebih jauh. lihat I.A.A.G. Agung (1973). Twenty Years of Indonesian Foreign Policy 1945-1965. The Hague: Mouton & Co., hal. 36. S. Rozemond membuat daftar ‘blunder-blunder’ yang lain dari kebijakan luar negeri Belanda seperti persoalan embargo minyak tahun 1973, status Belanda yang rendah di Transatlantik, ‘Senin Hitam’ dalam proses integrasi EU, dan jatuhnya daerah aman (enclave) Srebrenica di Bosnia ke tangan paramiliter Ser100
3. Kebijakan Luar Negeri Belanda terhadap Indonesia 1993-2003 Frustrasi oleh kritikan Belanda terhadap pelanggarana HAM, Indonesia membekukan hubungannya dengan Belanda bulan Maret 1992. Indonesia juga mengakhiri kerjasama yang telah berjalan 24 tahun dengan IGGI, kelompok donor multinasional yang diketuai oleh Belanda. Di bawah prakarsa Bank Dunia sebuah institusi baru dibentuk untuk melanjutkan fungsi dari IGGI. Institusi itu dinamakan Consultative Group on Indonesia atau CGI. Kelompok baru ini tidak menyertakan Belanda ke dalam keanggotaannya. Tetapi, ditandai dengan kunjungan Ratu Beatrix ke Indonesia tahun 1995, hubungan antara Belanda dan Belanda bisa dikatakan mulai kembali ke level yang normal. Masa ini juga diindikasikan dengan pergeseran persepsi kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia. Dan dalam masa ini Belanda memperkenalkan konsep ‘hubungan yang cerdas’ dengan Indonesia. Konsep ini lebih banyak memberikan kesempatan berinisiatif kepada Indonesia dan kerjasama mulai juga disalurkan melalui jalur multilateral seperti UNDP dan EU. Sejalan dengan menipisnya pengaruh generasi yang lebih tua atas kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia, memudarnya ‘trauma dekolonisasi’ dan semakin kentalnya integrasi Eropa, rasa tanggung jawab atas bekas koloninya itu juga semakin berkurang. Boleh jadi hal ini membawa perubahan ‘konsep peran’ dalam kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia. 129 Penekanan dalam kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia adalah pada kerjasama ekonomi dan kultural secara berkesinambungan. Belanda sepertinya menempatkan Indonesia dalam rangking prioritas kebijakan luar negerinya sedikit di bawah posisi negara anggota baru di Eropa Tengah dan Timur, Mediterrania dan Africa.
129
bia. Lebih jauh, lihat S. Rozemond (1998, Januari). ‘Blunders van Nederland’, Internationale Spectator, Vol. 52, No. 1, hal. 2-7. ‘The Bilateral Relationship: Indonesia-The Netherlands’ oleh KBRI Den Haag, 25 Juli 2003, pada http://www.indonesia.nl/articles.php. 101
Ada kecenderungan bahwa Belanda mengambil jarak dalam masalah domestik Indonesia meskipun hal itu merupakan isu-isu yang sangat diperhatikan Belanda tahun 1990-an seperti kondisi HAM. Berkaitan dengan isu separatisme, Belanda mendeklarasikan bahwa negeri tersebut mendukung sepenuhnya integritas wilayah Indonesia dan tidak mengakui aktivis separatis yang mungkin saja menjadikan Belanda sebagai basis mereka. Belanda yakin bahwa Indonesia akan mampu menyelesaikan masalah internalnya secara damai di daerah konflik tanpa interferensi asing. Ditandai oleh pengunduran diri Presiden Soeharto bulan Mei 1998, Indonesia memasuki euforia demokrasi dan masa ini dikenal juga Era Reformasi. Belanda termasuk di antara negara lain cukup gembira dengan perkembangan tersebut. Bulan Februari 2002, Belanda dan Indonesian menandatangani ‘Memorandum of Understanding on the Agenda for Renewed and Intensified Bilateral Co-operation’. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan Belanda dalam hubungannya dengan Indonesia dalam Era Reformasi difokuskan pada dukungan sepenuh terhadap proses reformasi. Kebijakan tersebut diimplementasikan dalam bidang kerjasama pembangunan dan bantuan dalam area penerapan hukum, pengentasan kemiskinan, pendidikan tinggi, militer dan kepolisian, pelatihan pejabat publik dalam bidang HAM, good governance, dan demokratisasi.
4. Tujuan Kebijakan 1945-1962 – Tujuan sentral kebijakan luar ngeri Belanda terhadap Indonesia pasca Perang Dunia II adalah untuk mengembalikan kekuasaannya atas Hindia Belanda. Sesungguhnya Belanda kehilangan Hindia Belanda ketika mereka menyerah kepada pasukan Jepang bulan Maret 1942 dan sejak itu tidak pernah lagi menguasai wilayah tersebut secara utuh. Belanda—setidaknya secara psikologis—tidak siap menerima lepasnya Indonesia mengingat secara ekonomi Indonesia sangat penting dalam usaha untuk memulihkan Belanda pasca perang.
102
Bagi Belanda posisi Indonesia dari segi ekonomi setingkat dengan butuhnya Belanda atas Jerman.130 1963-1992 – Dalam masa ini, penekanan tujuan kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia sebagian besar pada usaha untuk mengembalikan dan memelihara kepentingan ekonomi yang sempat ‘terhenti’ ketika Perang Pasifik pecah. Tujuan ini ditafsirkan dengan usaha memperkuat hubungan perdagangan, kerjasama pembangunan, dan promosi isu-isu HAM. Ketiga tujuan di atas memiliki potensi untuk saling bertentangan satu sama lain khususnya bidang kerjasama pembangunan dengan perdagangan terhadap vis-à-vis promosi HAM. Dalam prakteknya, kepentingan perdagangan dan kerjasama pembangunan lebih diutamakan jika berbenturan dengan tuntutan HAM. 1993-2002 – Disamping menfokuskan diri pada proses reformasi yang secara bertahap semakin berjalan dengan baik di Indonesia, tujuan yang prinsip dari kebijakan luar negeri Belanda pada masa ini masih ditekankan pada usaha untuk memelihara kepentingan ekonominya. Sedangkan kerjasama lebih banyak dalam bidang kultural dan pendidikan tinggi.
5. Alat dan Instrumen 1945-1962 – Dalam bulan-bulan awal kemerdekaan Indonesia, dalam implementasi kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia, Belanda lebih mengutamakan kekuatan dan instrumen militer dibandingkan diplomasi. Alat kebijakan tersebut bisa dipahami karena dalam negosiasi harus jelas siapa mitra dalam perundingan. Adalah mustahil bagi Belanda untuk berbicara dengan para ‘bandit’ atau ‘ekstremis’, istilah yang biasa mereka lekatkan pada para pejuang kemerdekaan Indonesia. Meskipun sejak awal Deplu Belanda sudah menyatakan kesiapannya untuk bernegosiasi dengan mitra dari Indonesia dalam
130
Tahun 1946, pemimpin Partai Katolik Belanda, C.P.M. Romme, mengungkapkan betapa pentingnya Indonesia dari segi ekonomi. Lebih lanjut, lihat D. Hellema (1995). op. cit., hal. 125. 103
suasana yang sejajar, baru setelah ada tekanan dari Inggris dan AS Belanda bersedia untuk menggunakan jalur diplomasi. Dalam diplomasi, tujuan dari kebijakan luar negeri Belanda, pertama, difokuskan pada usaha mencegah agar masalah Indonesia jangan sampai menjadi isu internasional khususnya menjadi topik yang dibahas di PBB. Ketika usaha ini sepertinya menuai kegagalan, delegasi Belanda mempertanyakan kompetensi Dewan Keamanan PBB untuk membahas kasus Indonesia tersebut. Belanda tetap bersikukuh bahwa Indonesia merupakan masalah internal Belanda. Tetapi setelah menemui cul-de-sac dalam diplomasi di PBB, diplomat Belanda akhirnya beberapa kali menerima mediasi dari PBB. Pola diplomasi yang demikian terjadi kemudian dalam beberapa kasus. Dari segi militer, pada puncak usaha mengembalikan kekuasaannya atas Hindia Belanda, Belanda mengerahkan hingga 150.000 tentara di seantero negeri dalam pertengahan kedua tahun 1940-an. 131 Pengerahan tersebut mencakup hampir keseluruhan kapabilitas militer Belanda waktu itu, atau jauh lebih besar daripada komitmen yang dikerahkan Belanda dalam komando NATO yang juga mulai terbentuk di Eropa pada masa yang hampir bersamaan. Kapasitas personil dan perlengkapan militer Belanda dalam mengadakan dua kali operasi militer di Indonesia sebenarnya agak terbatas. Penilaian itu terbukti dari sebuah laporan yang dibuat oleh Dubes Inggris di Den Haag bulan Februari 1946.132 Hal itu disebabkan oleh isolasi Belanda selama pendudukan Jerman dan kurangnya informasi tentang pengalaman militer yang diperoleh oleh pejuang kemerdekaan Indonesia selama pendudukan Jepang di Nusantara. 1963-1992 – Alat dan instrumen yang digunakan Belanda dalam implementasi kebijakan laur negerinya dalam periode ini sebagian beser berupa diplomasi yang dikombinasikan dengan ekonomi dan perdagangan, dan tekanan yang dikaitkan dengan bantuan dalam bidang kerjasama pembangunan. Dalam masa itu, Belanda tidak 131
132
Ada juga sumber yang mengatakan bahwa terdapat 90.000 tentara Belanda di Indonesia dalam periode tersebut. Lebih lanjut, lihat H.P. Jones (1971). Indonesia: The Impossible Dream. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., hal. 107. ‘Public Record Office (PRO), FO371/67851, Bland to Bevin, Annual Report on the Netherlands 1945’, dalam: Hellema, D. (1995). op. cit., hal. 123-124. 104
melibatkan sama sekali instrumen militer. Hal itu tidak saja disebabkan oleh komitmen penuh militer Belanda dalam NATO tetapi memang tidak ada kebutuhan menggunakan instrumen tersebut karena tidak ada konflik antara keduanya dalam aspek integritas wilayah. 1993-2002 – Alat dan instrumen yang digunakan oleh Belkanda dalam implementasi kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia pada periode tersebut bisa dikatakan sama dengan nyaris kerangka yang digunakan dalam periode 1963-1992. Perbedaannya barangkali hanya terdapat dalam segi gaya menggunakannya. Dalam masa ini Belanda cenderung menggunakan alat dan instrumen yang ‘tidak langsung’ untuk menghindari pukulan balik dari Indonesia. Kebijakan lebih disalurkan melalui jalur multilateral seperti Komisi HAM PBB, EU, dsb. dalam isu-isu yang dianggap sensitif. Dalam periode ini pendekatan yang diterapkan Belanda bisa disebut dengan pola hubungan yang ‘dewasa’ dan ‘cerdas’.
6. Pengaruh Internal (1945-1962) Dimensi Historis Dimensi historis bisa dianggap sebagai faktor bawah sadar yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam periode di atas. Hubungan kolonial, romantisme yang sekian lama, dan kehilangan Hindia yang begitu tiba-tiba merupakan faktorfaktor historis yang membuat mengapa Belanda tidak siap menerima kenyataan atas kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Banyak dari pejabat yang telah bekerja di Hindia Belanda sebelum penyerahan kepada Jepang tahun 1942 kembali ke Hindia Belanda ketika Perang Pasifik berakhir yang terlibat dalam usaha mengembalikan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda.
105
Aspirasi Domestik Aspirasi domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda atas Indonesia mencakup situasi politik dan politisi di Belanda, kalangan bisnis, LSM, dan kementerian yang terkait. Partai-partai politik dan para politisi sangat berpengaruh dalam menentukan haluan kebijakan. Keyakinan dan ideologi politik mereka juga sangat menentukan. Partai politik terbesar begitu Belanda lepas dai cengkeraman Nazi Jerman adalah Partai Katolik Belanda, Partai Sosial Demokrat (kemudian menjadi Partai Buruh), dan beberapa partai Kristen gurem. Dominasi koalisi Katolik-Merah terus berlanjut hingga akhir tahun 1940-an ketika munculnya Partai Liberal. Meskipun demikian, kelahiran partai beraliran liberal tersebut tidak langsung bisa menghadang dominasi koalisi Katolik-Merah tadi. Sudah jelas bahwa Partai Katolik dan pemimpinnya, C.P.M. Romme sejak awal mengambil sikap keras menentang setiap usaha konsesi atau kemerdekaan bagi Indonesia. Sikap ini ikut terlibat dalam usaha menafsirkan kembali Perjanjian Linggadjati, dua aksi ‘polisionil’ di Indonesia, dan pemecatan Letnan Jenderal Van Mook.133 Pengaruh para politisi atau pembuat kebijakan atas kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia bisa juga dilihat dari Menlu dalam periode yang relevan. Menlu Belanda pasca Perang Dunia Kedua adalah Van Kleffens (1939-1946). Dia mendukung kebijakan kabinet untuk mengembalikan kekuasaan atas Hindia Belanda (B. Zeeman, 1999:148). Van Kleffens diikuti oleh Van Roijen (1946) yang dinilai oleh koalisi Katolik-Merah terlalu banyak memberikan konsesi dalam konferensi di Hoge Veluwe. Dalam masa konflik Papua Barat, Van Roijen berselisih dengan Menlu J. Luns pada waktu itu tentang janji Menlu AS, Dulles mengenai dukungan militer AS kepada Belanda jika pecah perang terbuka antara Belanda dan Indonesia. 134 Menlu berikutnya, Van Boetzelaer (1946-1948), menyetujui ‘aksi polisionil’ pertama tahun 1947 tetapi ia kuatir dengan konsekuensi serangan tersebut terhadap posisi internasional Belanda. Van Boetzelaer 133
134
Lebih lanjut, lihat J. Bank (1983). Katholieken en de Indonesische Revolutie. Baarn: Uitgeverij Ambo, B.V. Wiebes, C. dan Zeeman, B. (1999). ‘Nederlands diplomaat in bange dagen’, in: Hellema, D., et al. op. cit., hal. 156, 160. 106
kemudian menolak proposal untuk secara langsung melanjutkan aksi tersebut.135 Van Boetzelaer diganti oleh D. Stikker (1948-1952) yang bisa dianggap sebagai tokoh yang bersikap keras ‘keras’ dalam masalah Indonesia. Dia menyarankan agar proses dekolonisasi mempertimbangkan kepentingan ekonomi bagi Belanda. Namun demikian, D. Stikker adalah juga seorang pengusaha yang pragmatis.136 Kemudian J. Luns menjadi Menlu (1952-1971). Kebijakan Luns ini nyaris membawa Belanda dan Indonesia ke kancah perang terbuka dalam penyelesaian masalah Papua Barat.137 Peranan yang dimainkan oleh sektor bisnis dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda dalam periode ini juga cukup jelas. Secara ekonomi perlunya Indonesia bagi Belanda sejajar dengan perlunya Belanda secara ekonomi terhadap Jerman Barat. ‘Aksi polisionil’ pertama tahun 1947 bisa ditinjau dari alasan kepentingan ekonomi sebagai usaha untuk menutupi biaya operasi militer di Indonesia sekaligus untuk melindungi perkebunan dan perusahaan di Jawa dan Sumatera. Dalam kasus Papua Barat, kalangan bisnis ini melibatkan Group-Rijkens yang menginginkan pengembalian yang lebih cepat wilayah tersebut kepada Indonesia karena hal itu dinilai akan menjamin hubungan perdagangan dan ekonomi yang lebih baik dengan Jakarta daripada mempertahankan kekuasaan atas Papua Barat. Hubungan yang kurang mulus dengan Indonesia bisa juga dialamatkan kepada aliran dan pemahaman antar departemen yang berbeda, yang dalam dalam hal ini Deplu, Departemen Urusan Wilayah Seberang Lautan, Departemen Urusan Uni dan Kerajaan, dan Departemen Ekonomi. Masing-masing kementerian memiliki kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang saling kontradiktif satu sama lain. Bagi Kemlu Belanda, penyelesaian secara damai dan teratur dalam masalah Indonesia menjadi fokus dari kebijakan luar negeri Indonesia, meskipun beberapa tokoh dalam kementerian itu masih memiliki pandangan yang dipengaruhi oleh romantisme 135
136
137
Bogaarts, M. (1999). ‘Aanpassing aan de feiten’, dalam: Hellema, D., et al., op. cit., hal. 178. Bank, J. (1999). ‘Overal een ondernemer’, dalam: Hellema, D., et al., op. cit., hal. 184-189. Kersten, A. (1999). ‘De langste’, dalam: Hellema, D., et al., op. cit., hal. 216-220. 107
kolonial. Sementara itu, penyelesaian konflik dan segera menjalin kerjasama dengan Jakarta juga mendapat dukungan dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri. Sedangkan bagi kementerian yang menangani Urusan Wilayah Seberang Lautan dan Urusan Uni dan Kerajaan, kurang tertarik dengan gagasan melepas Indonesia merdeka. (1963-1992) Dimensi Historis Dimensi historis masih mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam periode tersebut. ‘Beban kolonial’ ditransfromasi menjadi tanggung jawab moral untuk membantu pembangunan kembali Indonesia setelah berakhirnya secara resmi konflik mengenai Papua Barat tahun 1962 dan normalisasi hubungan bilateral. Warisan itu akhirnya muncul berupa komitemen kerjasama pembangunan pada awal rezim Order Baru. Hanya saja program bantuan tersebut—kalau dianalisis lebih jauh—mengandung kepentingan ekonomis dan perdagangan. Peningkatan volume perdagangan bilateral antara kedua negara dalam periode tersebut memperkuat asumsi tadi. Aspirasi Domestik Aspirasi domestik yang cukup nyata mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda dalam periode tersebut adalah kalangan partai politik. Kelompok liberal dan Kristen cenderung berfokus pada usaha meningkatkan hubungan perdagangan, ekonomi dan kultural dengan Indonesia. Sedangkan kalangan sosial demokrat dan kiri cenderung lebih berusaha mempengaruhi kebijakan yang memiliki kaitan dengan kondisi HAM di Indonesia. Mereka sangat kuatir dengan rencana pelaksanaan hukuman mati terhadap mantan pengawal Presiden Seokarno yang didakwa terlibat dalam kudeta yang gagal tahun 1965, masalah tahanan politik, dan operasi militer yang menggunakan
108
kekuatan yang berlebihan di daerah-daerah konflik seperti di TimorTimur, Ambon, Irian Jaya, dan Aceh. Bekunya hubungan dengan Indonesia tahun 1992 terjadi pada masa Menlu Van den Broek (1982-1993). Van den Broek bisa dikatakan ikut terkena getah—kalau tidak terlibat—dalam peristiwa pembekuan program IGGI oleh Indonesia.138 Sedangkan LSM yang paling kuat pengaruhnya dalam masa tersebut atas kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia adalah Dewan Gereja Belanda (Nederlands Raad van de Kerken), serikat mahasiswa, Amnesti Internasional, Palang Merah, dan Komitee Indonesië.139 Kelompok penekan ini sangat aktif dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri khususnya yang berkaitan dengan usaha perbaikan situasi dan kondisi HAM di Indonesia. (1993-2002) Dimensi Historis Dimensi historis dalam peridoe ini kurang bisa diamati. Hal tersebut tampaknya dipengaruhi oleh perubahan dalam orde internasional, prioritas regional, dan semakin redupnya perasaan tanggung jawab moral atas Indonesia. ‘Beban kolonial’ yang dikombinasikan dengan ‘perasaan bersalah’ menjadi semakin lenyap sejalan dengan semakin berjalannya halaman linier sejarah. Aspirasi Domestik Sejalan dengan pergeseran fokus kebijakan luar negeri Belanda, aspirasi domestik yang berpengeruh pada masa tersebut juga kurang nyata.
138
139
Rusman, P. (1999). ‘De Laatste Koude-Oorlogsstrijder’, dalam: Hellema, D., et al., op. cit., hal. 278. Baneke, P. (1983). Nederland en de Indonesische gevangenen: een studie naar de effectiviteit van Nederlandse bemoeienis met mensenrechten. Amsterdam: Wiardi Beckham Stichting, hal. 31-34. 109
Setahun setelah pembekuan programa kerjasama IGGI, H. Kooijman (1993-1994) menggantikan Van den Broek sebagai Menlu. Dalam masa tersebut permohonan visa yang diajukan oleh Poncke Princen—seorang disertir tentara Belanda sewaktu revolusi kemerdekaan di Indonesia yang akhirnya menjadi seorang pejuang HAM di Indonesia—ditolak. Keputusan tersebut diambil sewaktu Kooijman dalam masa liburan. Kooijman kemudian diganti oleh Van Mierlo (1994-1998). Tindakan Van Mierlo memberikan izin pengeluaran visa bagi Princen dianggap sebuah keputusan yang berani dari Van Mierlo. Dalam masa Van Mierlo itu pula Ratu Beatrix mengunjungi Indonesia tahun 1995.140 Van Mierlo kemudiaon diganti oleh Van Aartsen (1998-2002). Dalam masa Van Arrtsen ini Belanda tampil sangat tegas dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di TimorTimur.141 Ada usaha dari gabungan partai-partai politik di Belanda untuk membantu percepatan proses demokratisasi di Indonesia pasca lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998. Usaha tersebut disalurkan melalui Netherlands Institute for Multi-party Democracy (NIMD) yang bertujuan memberikan bantuan kepada negara-negara di Dunia Ketiga yang berada dalam transisi menuju demokrasi. NIMD merupakan gabungan beberapa partai politik di Belanda yang menggabungkan energi mereka dengan tujuan membantu proses demokratisasi tadi. Deplu Belanda sangat membantu organisasi yang imparsial ini yang telah memasukkan Indonesia—meskipun NIMD tidak secara ekslusif dibentuk untuk membantu Indonesia—ke dalam agenda mereka berupa pendanaan partai politik lokal, pelatihan, dan demokratisasi.
140
141
Hellema, D. (1999). ‘Een charmant bewindsman’, dalam: Hellema, D., et al., op. cit., hal. 301, 303. Hellema, D. (1999). ‘Zakelijk naar de 21e eeuw’, dalam: Hellema, D., et al., op. cit., hal. 312. 110
7. Pengaruh Eksternal (1945-1962) Aktor Non-Negara Aktor non-negara yang paling berpengaruh atas kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam masa transisi tersebut adalah PBB, melalui dua organnya yaitu Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Adalah Dewan Keamanan PBB yang meminta diadakan gencatan senjata dan kedua belah pihak kembali ke meja perundingan. Sebagai reaksi, pemerintah Belanda menolak mengakui kompetensi Dewan Keamanan dalam hal tersebut. Belanda berpendapat bahwa Indonesia adalah masalah internal mereka. Tetapi, sikap dan posisi Belanda ini sedikit bergeser dan menerima pembantukan Komisi Jasa Baik. Tanggal 4 Agustus 1947, sebuah kesepakatan gencatan senjata dicapai antara Belanda dan Soekarno. Tetapi, di lapangan, hal kesepakatan tersebut diabaikan Belanda yang mengumumkan ‘garis demarkasi Van Mook’ di garis depan pasukan mereka di Jawa dan Sumatera. Dewan Keamanan PBB kembali dengan keras memaksa Belanda untuk melepaskan pemimpin Indonesia yang mereka tawan dan menarik kembali pasukan mereka. Sebuah mediator PBB kembali dibentuk yang dinamakan Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) untuk mencari penyelesaian. Dibawah tekanan yang sengit dari dunia internasional, Belanda kembali ke meja negosiasi. Tanggal 7 Mei 1949, kesepakatan ‘Roem-Roijen’ berhasil dicapai di mana Belanda setuju mengembalikan pemerintahan Indonesia, mengadakan perundingan menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949, dan bekerja menuju penyelesaian konflik dengan merujuk pada kesepakatan Renville. Negara sebagai Aktor Sebenarnya banyak aktor negara yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia. Tetapi untuk analisis ini, kajian
111
hanya difokuskan pada peranan yang dimainkan oleh AS, Inggris, Australia, India, dan Uni-Soviet. Dari perspektif aktor negara sebagai determinan eksternal, tidak bisa dipungkiri bahwa AS memiliki pengaruh yang paling besar dalam kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia. Pengaruh tersebut tidak saja dalam kasus Indonesia, tetapi juga sangat terasa dalam kebijakan luar negeri Belanda secara umum. Hal itu disebabkan oleh munculnya AS sebagai salah satu dari negara adidaya pasca Perang Dunia II. Belanda tidak saja menganggap AS sebagai kekuatan terkuat yang telah membantu pembebasan Belanda dari Nazi Jerman tetapi juga secara ekonomi sangat tergantung pada Marshall Plan dan jaminan keamanan dengan bergabung ke dalam NATO. Bantuan ekonomi AS membantu mempercepat pembangunan kembali Belanda dari reruntuhan akibat perang dan perlindungan atas ancaman serangan dari Pakta Warsawa. Pengaruh Amerika terhadap kebijakan Belanda atas Indonesia bahwa telah terlihat menjelang berakhirnya Perang Pasifik. Adalah dibawah tekanan AS, Belanda bersedia bertemu dengan delegasi Indonesia di atas kapal perang Amerika, U.S.S. Renville tanggal 8 Desember 1947. Tanggal 17 Januari 1948, Perjanjian Renville disetujui atas mediasi PBB, di mana dibuat garis gencatan senjata yang—bagi pihak Indonesia dan lebih khusus lagi bagi gerilyawan di lapangan—lebih menguntungkan bagi Belanda. Pada fase awal kemerdekaan Indonesia, AS masih menganggap pentingnya Indonesia—dari segi ekonomi—untuk pembangunan kembali Belanda. Bahkan sebagian dana Marshall Plan dialokasikan untuk kepentingan Belanda di Hindia Belanda. Tetapi dalam paruhkedua tahun 1948, AS tidak saja mengubah sikap dan posisi mereka terhadap persepsi Belanda atas Indonesia, tetapi juga mengakui Republik Indonesia sebagai entitas politik yang legitimet. Perubahan sikap itu disebabkan oleh keberhasilan pemerintah dan angkatan bersenjata Indonesia membasmi usaha kudeta komunis bulan September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Wakil Menlu AS, R. Lovett memuji Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Timur yang
112
berhasil menghentikan laju para komunis.142 Pergeseran persepsi, sikap dan kebijakan AS itu membuyarkan usaha Belanda untuk memaksa pihak Republik untuk menerima pemerintahan sementara. Kasus tersebut juga diyakini telah menyebabkan merenggangnya— hingga akhir 1948—hubungan antara Den Haag dengan Washington dan London dalam masalah dekolonisasi Indonesia.143 Sebagai reaksi dari invasi Belanda atas ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta bulan Desember 1948, AS menghentikan bantuan Marshall Plan yang digunakan untuk maksud-maksud militer di Indonesia. Pengaruh Amerika juga mempengaruhi dinamika kebijakan Belanda atas masalah Papua Barat. Menlu Belanda, J. Luns yakin sudah mendapat jaminan dari Washington bahwa AS akan berada di belakang Belanda jika pecah perang antara Belanda dan Indonesia dalam kasus Papua Barat. ‘Jaminan’ AS tersebut diyakini telah mendorong Belanda untuk memperkuat kesiapan angkatan bersenjata dan militernya di Papua Barat. Sikap Amerika atas masalah Papua Barat mengalami perubahan sejalan dengan perubahan politik di Washington. Bulan Januari 1961, J.F. Kennedy terpilih sebagai presiden AS. Kennedy memperingatkan Belanda bahwa solusi militer atas masalah Papua Barat akan kontraproduktif dan harus diselesaikan dengan cara-cara politik dan diplomasi. Kennedy kuatir bahwa penyelesaian militer tidak saja bisa membuat Belanda kalah tetapi juga membahayakan dunia ‘yang bebas’ secara keseluruhan. Kennedy kemudian menegaskan bahwa situasi semacam itu hanya akan menguntungkan blok komunis.144 AS kemudian mengajukan proposal yang dikenal sebagai ‘Bunker Plan’. Proposal itu disetujui dan dimediasi oleh PBB. Belanda menerima proposal. Hanya dengan menerima proposal penyelesaian yang diajukan AS itu Belanda bisa menyelamatkan wajah diplomasinya ketika akhirnya Papua Barat secara tidak langsung dikembalikan kepada Indonesia tahun 1962.
142
143
144
Woltjer, J.J. (1992). Recent verleden: Nederland in the twintigste eeuw. Amsterdam: Uitgeverij Muntinga 1994, hal. 291. Schaper (1985, Mei). ‘Wij willen zelfs niet Mönchen-Gladbach: de annexatie kwestie 1945-1949’. Internationale Spectator, Vol. 34, No. 5, hal. 261. Hellema, D. (1995). op. cit., hal. 196. 113
Antara tahun 1945 hingga penyerahan kedaulatan kepada RIS bulan Desember 1949, Inggris sangat berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Belanda. Begitu mendarat di Indonesia setelah beberapa waktu melarikan diri ke Australia sewaktu Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, Belanda menyadari bahwa persiapan militer mereka yang kurang memadai dan secara perlahan terserap di bawah pengaruh dan secara militer sangat tergantung dari Inggris dalam masalah Indonesia. Inggris secara konsisten agar kedua belah pihak menyelesaikan persoalan dengan negosiasi sehingga Inggris bisa segera keluar dari konflik demi kepentingan bersama. Tanggal 27 Desember 1945, negosiasi berlangsung di Chequers antara PM Inggris dan perwakilan pemerintah Belanda. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Belanda setuju mengakui hak rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka dan mencari cara-cara penyelesaian yang damai bagi bangsa Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. 145 Di bawah Inggris pandangan dan sikap pemerintah Belanda terhadap Indonesia mulai berubah yang membawa kedua belah pihak maju ke meja perundingan resmi pertama bulan April 1946 dengan kompromi awal bahwa Belanda mungkin akan mengakui kekuasaan Indonesia atas Pulua Jawa sebagai konsensi bahwa Indonesia menerima dan menjadi bagian dari sebuah federasi yang memiliki hubungan kenegaraan (staatsverband) dengan Belanda.146 Peranan yang dimainkan Australia juga sangat krusial atas kebijakan Belanda terhadap Indonesia khususnya dalam usaha Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Sepuluh hari setelah Belanda melakukan walkout dari negosiasi dengan Indonesia, Australia mengambil langkah diplomatik yang krusial dengan merujuk konflik di Indonesia kepada Dewan Keamanan PBB sebagai bagian dari pelanggaran perdamaian Pasal 39 dari Piagam PBB. 147 Langkah 145 146
147
Agung, I.A.A.G. (1973). op. cit., hal. 19. Drooglever, P.J. (1982). ‘Dekolonisatie van Oost- en West-Indië’, dalam: Algemene geschiedenis der Nederlanden, deel 15, Nieuwste Tijd, Haarlem: Fibula-Van Dishoeck, hal. 425. Pidato oleh A. Downer, Menlu Australia, dalam acara peluncuran buku ‘Australia & Indonesia’s Independence: The Transfer of Sovereignty: Documents 1949’, Borobudur Hotel, Jakarta, 9 Juli 1998, pada 114
semacam ini juga diambil Australia ketika Belanda melancarkan operasi militer atas Republik di Jawa dan Sumatera tanggal 20 Juli 1947. Australia juha berhasil mengajak Inggris dan AS untuk menentang tindakan Belanda. Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan gencatan senjata dan membentuk Committee of Good Offices untuk menengahi kesepakatan di Indonesia dan membantu Belanda dan Indonesia mencapai sebuah sebuah kesepakatan politik sebagai dasar bagi kemerdekaan Indonesia. Tetapi Belanda menolak solusi tersebut dan melancarkan operasi militer bulan Desember 1948. Karena masih kurangnya perhatian internasional atas offensif kedua Belanda di Indonesia, Australia ikut serta dalam Konferensi Asia di New Delhi untuk menyatukan dukungan regional bagi Indonesia. Kebijakan Australia pada masa itu bisa digambarkan sebagai bahwa ‘keamanan dan kemakmuran Asutralia dangat terikat dengan keamanan dan kemakmuran seluruh negara Asia, dan itu tergantung pada kerjasama yang saling menguntungkan dan saling menghormati di kawasan tersebut.’ Australia berusaha dengan aktif menentang ‘Beel Plan’ yang akan menyerahkan kedaulatan—tanpa mengembalikannya kepada Republik—kepada pemerintah federal Indonesia yang akan mereka bentuk dan rencana tersebut memungkinkan Belanda mengendalikan Indonesia secara tidak langsung. Australia bahkan mengancam untuk membawa masalah tersebut ke dalam persidangan Majelis Umum PBB. Hal tersebut memantik tekanan internasional yang memaksa Belanda menyetujui sebuah kesepakatan dengan Republik Indonesia. Dan ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RIS, Australia langsung mengakui RIS pada hari itu juga. India juga dianggap sangat berpengaruh atas kebijakan Belanda terhadap Indonesia. Melalui Dewan India untuk Urusan Internasional, Jawaharlal Nehru mengadakan Konferensi Hubungan antara Negara di Asia tanggal 23 Maret-2 April 1947 di New Delhi. Meskipun konferensi tersebut tidak merupakan sebuah pertemuan politik, tetapi bisa http://www.dfat.gov.au/media/speeches/foreign/1998/980709_ai_sovereignty. html. 115
dianggap mengandung unsur-unsur politik. Indonesia dalam konferensi tersebut diwakili oleh Sutan Sjahrir. Begitu Belanda mengadakan ‘aksi polisionil’ pertama atas Indonesia tanggal 17 Juli 1947, Sjahrir terbang ke New Delhi dan berkonsultansi dengan Nehru. Dua hari kemudian, Nehru mengutuk keras tindakan Belanda tersebut.148 Tanggal 28 Juli 1947, Nehru mengumumkan rencana India untuk merujuk kasus Indonesia ke PBB. India diikuti oleh Australia dan mempresentasikan perselisihan di Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB bulan Agustus 1947. Setelah ‘aksi polisionil’ kedua Belanda bulan Desember 1948, sebuah demonstrasi solidaritas regional di New Delhi yang tidak diragukan lagi membantu Dewan Keamanan PBB sepakat tanggal 28 Januari 1949 memerintahkan pembentukan kembali pemerintah Republik di Yogyakarta, dan memulai kembali negosiasi antara Belanda dan Indonesia. India juga sangat mendukung Indonesia dalam masalah Papua Barat. India memainkan peranan penting melalui usaha yang melahirkan pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Konferensi ini memperlihatkan dukungan moral yang sangat kuat dari negara-negara Asia dan Afrika kepada Indonesia untuk mendapatkan kembali Papua Barat. Peran aktif India ini pula yang menjadi asalan penolakan Menlu Belanda, J. Luns atas rencana konsorsium internasional untuk membantu India. Penolakan Luns ‘didasarkan pada sikap Menlu India, Menon dan delegasi India di PPB dalam masalah Papua Barat’.149 Negara berikut yang sangat berpengaruh atas kebijakan luar negeri Belanda Uni-Soviet baik dalam konteks Eropa—dalam perspektif security overlay and complex—maupun Hindia Belanda. Di Eropa, Belanda sangat kuatir dengan gejala ancaman ekspansionis Uni-Soviet. Dalam masalah Indonesia, Uni-Soviet juga berperan dalam interna-
148
149
Kahin, G. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia: A History. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, hal. 215. Posthumus, G.A. (1999). ‘Een “ideale vorm van hulp”. Bilaterale financiële hulpverlening, het India Consortium en de IGGI’, dalam: Nekkers, J.A. dan Malcontent, P.A.M. (eds.) (1999). De geschiedenis van vijftig jaar Nederlandse ontwikkelingssamenwerking 1949-1999. Den Haag: Sdu Uitgevers, hal. 151. 116
sionalisasi kasus Indonesia. Hal itu berkaitan dengan koneksi pemimpin berhaluan kiri di Indonesia dengan Moskow. Uni-Soviet juga mempengaruhi kebijakan Belanda dalam masalah Papua Barat dengan mengambil posisi di belakang Indonesia. Begitu Soekarno mengeluarkan ancaman untuk menggunakan kekuatan militer untuk merebut Papua Barat, Uni-Soviet memasok banyak perlengkapan militer yang terbilang modern pada masa itu kepada Indonesia. Transaksi penjualan senjata tersebut membuat Presiden Kennedy mengingatkan Belanda agar melunakkan sikapnya dan menempuh solusi damai. (1963-1992) Aktor Non-Negara Dari segi kemitraan, aktor non negara yang berpengaruh atas kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam periode tersebut adalah Inter-Governmental Group for Indonesia (IGGI). Melalui IGGI, Belanda menyalurkan program kerjasama pembangunannya dengan Indonesia. Negara sebagai Aktor Aktor negara yang memainkan peranan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda pada masa ini tidak begitu terlihat. (1993-2002) Aktor Non-Negara Aktor non-negara yang berpengaruh pada periode itu antara lain Komisi HAM Eropa, EU, UNDP, dll. Negara sebagai Aktor Peran aktor negara pada masa tersebut sangat minimal. 117
118
BAB 5 CFSP TERHADAP INDONESIA 1970-2003 1. CFSP dalam Aksi
D
alam periode yang dikaji, hubungan EU-Indonesia sering dipengaruhi oleh masalah Timor-Timur dan kondisi HAM di daerah-daerah konflik di Indonesia. Setelah kemerdekaan Timor-Timur, perhatian EU berfokus pada dugaan pelanggaran HAM di kawasan konflik khususnya dalam iklim ketegangan dan kekerasan yang secara terus-menerus—meskipun kadang sporadis— berlangsung di beberapa provinsi khususnya di Maluku, Aceh dan Papua Barat.150 Terhadap Masalah Timor-Timur: EU sangat memperhatikan masalah Timor-Timur. Tanggal 25 Juni 1996, Dewan EU mengeluarkan ‘Posisi Bersam’a dalam kasus Timor-Timur. EU menyatakan kemauan untuk memberikan kontribusi bagi tercapainya solusi dalam masalah Timor-Timur melalui dialog yang jujur, komprehensif, dan akseptabel secara internasional yang sepenuhnya menghormati kepentingan dan aspirasi rakyat Timor-Timur, sesuai dengan hukum internasional.151 Dalam kasus terkait, Kepresidenan EU yang sedang dipegang oleh Inggris waktu itu mengirimkan misi ‘Dubes Troika EU’ di Jakarta untuk mengunjungi Timor-Timur. 152 Tanggal 10 Oktober 1996, sebuah démarche dilakukan berkaitan dengan kekuatiran terhadap kondisi pengungsi Timor-Timur. Begitu jajak pendapat di mana sebagian besar warga Timor-Timur memilih untuk merdeka tanggal 31 Agustus 1999, EU
150
151
152
‘Indonesia: Climate of tension and violence’, CFSP Presidency Statement: Brussel (28 November 2000) - Press: 450 Nr: 13667/00. Posisi Bersama tanggal 25 Juni 1996 yang didefinisikan oleh Dewan Eropa berdasarkan Pasal J.2 Traktat Uni-Eropa, mengenai Timor-Timur (96/407/CFSP), Official Journal L 168, 06/07/1996, hal. 0002-0002. ‘Annual Report CFSP 1997’, Laporan Pertama (diadopsi oleh Dewan tanggal 30 Maret 1998) mencakup aksi-aksi CFSP dari bulan Juli 1997 hingga April 1998. 119
menyumbangkan dana bantuan sebesar €5 juta kepada ‘UN Trust Fund’. EU mengutuk kekerasan yang terjadi pasca jajak pendapat tersebut di mana seorang jurnalis Belanda juga terbunuh. Sebagai reaksi dari kekerasan tadi, tanggal 16 September 1999, EU mengenakan embargo senjata terhadap Indonesia dan menghentikan kerjasama militer bilateral.153 Dewan EU juga menyetujui muatan dari ‘posisi bersama’ tentang Timor-Timur, dan memutuskan bahwa EU akan mengadopsi deklarasi tersebut secara resmi—tanpa ada perubahan dalam teks—kalau kasus penyanderaan warga EU oleh gerakan anti-Jakarta bisa diselesaikan.154 Dewan EU juga menyatakan ‘Posisi Bersama’ berikutnya mengenai Timor-Timur yang menyetujui inisiatif yang diambil dalam kerangka PBB dalam penyelesaian yang adil dan menyerukan pemerintah Indonesia agar membuat aturan-aturan yang membantu ke arah peningkatan situasi HAM.155 Terhadap Konflik di Maluku: Sementara memperlihatkan dukungannya atas integritas wilayah Indonesia, EU juga menyatakan kekuatiran atas kerusuhan di Kepulauan Maluku. Bulan Oktober 2000, EU mengirimkan misi ke Maluku yang terdiri dari utusan Kedubes anggota EU di Jakarta dan Perwakilan EU di Jakarta. Terhadap Reformasi di Indonesia: EU menyambut gembira dan mengikuti perkembangan di Indonesia setelah lengser-nya Presiden Soeharto bulan Mei 1998.156 Tanggal 18 Juni 1998, Parlemen Eropa mengadopsi sebuah resolusi yang urgen mengungkapkan keprihatinannya atas terbatasnya kemajuan menuju keterbukaan
153
154
155
156
‘Annual (2000) report from the Council to the European Parliament on the main aspects and basic choices of CFSP, including the financial implications for the general budget of the European Communities’, Council of the European Union, Brussel, 6 April 2001, hal. 16. East Timor ‘1902. Council – General Affairs’, CFSP Presidency Statement: Brussel (29 Januari 1996) - Press: 16 Nr: 4496/96. ‘Report on the Progress Achieved by the European Union in 1996, pada http://ue.eu.int/en/info/96en.pdf, p. 124. ‘Annual Report CFSP 1998’, diadopsi oleh Dewan melalui prosedur tertulis tanggal 16 April 1999. 120
politik di Indonesia dan menyerukan kepada otoritas terkait untuk membebaskan semua tahanan politik tanpa syarat.157 EU juga secara finansial mendukung pemilu legislatif yang berlangsung lebih demokratis sejumlah €7 juta untuk membiayai 135 orang anggota pengawas pemilu EU dan bantuan kepada LSM Indonesia, yang diikuti dengan pembentukan pemerintahan yang demokratis. Dewan EU, yang menyambut baik pembentukan pemerintahan baru yang terpilih secara demokratis pasca pemilu tahun 1999, dan dengan cepat menyatakan bahwa sangat perlu melanjutkan hubungan baik dengan Indonesia berkaitan dengan berakhirnya embargo senjata dan pembekuan kerjasama militer bulan Januari 2000. EU kembali memberikan dukungan atas keutuhan wilayah Indonesia dan proses demokratisasi yang sedang berjalan, serta secara khusus menyatakan kesiapan mereka membantu Indonesia dalam pelaksanaan pemilu parlemen dan presiden dalam tahun 2004. EU juga mengakui usaha-usaha Indonesia untuk menstabilkan ekonomi dan prestasi dalam bidang desentralisasi, dan mendorong kemajuan yang lebih pesat dalam menghadapi tantangan-tantangan lain seperti reformasi di bidang kehakiman, hukum, dan ekonomi. Tetapi EU tetap kecewa dengan terbatasnya kemajuan yang dicapai dalam bidang HAM, yang mencakup hasil pengusutan dari kasus dugaan pelanggaran HAM di Timor-Timur oleh pengadilan khusus, dan mendorong pemerintah untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan pengadilan ini dan menjamin bahwa semua tersangka pelaku pelanggaran HAM dibawa ke pengadilan.158 Pembasmian Terorisme: Peristiwa pemboman di Bali bulan Oktober 2002 telah memperkuat urgensi meningkatkan saluran dialog yang sudah ada antara EU dan Indonesia.159 Sesuai dengan kesimpulan 157
158
159
‘Indonesia and East Timor, Human Rights Watch World Report 1999’, pada http://www.hrw.org/worldreport99. ‘Annual report from the Council to the European Parliament on the main aspects and basic choices of CFSP in 2001’, Council of the European Union, Brussel, 18 April 2002, hal. 24. ‘Annual report from the Council to the European Parliament on the main aspects and basic choices of CFSP in 2002’, Council of the European Union, Brussel, 29 April 2003, hal. 21. 121
Dewan EU tanggal 22 Juli mengenai aksi eksternal EU dalam memerangi tindak terorisme, EU memperlihatkan aspirasi untuk bekerjasama dengan erat dengan pemerintah Indonesia dalam semua level. Untuk memperkuat dialog politik dengan Indonesia dalam kontraterorisme, sebuah Troika tingkat-tinggi mengunjungi Indonesia bulan November 2002 dan menegaskan tekad bersama untuk melawan tindak dan ancaman terorisme dengan efektif. EU juga mengembangkan kerjasama dengan Indonesia dalam bidang aturanaturan untuk menangkal tindak terorisme dan menganggap Indonesia sebagai negara pilot untuk menerima bantuan EU dalam implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) No. 1373, mengenai pemberantasan pencucian-uang dan pendanaan terorisme. EU juga memutuskan untuk mempercepat bantuannya kepada Indonesia dan bagian lainnya di Asia Tenggara dalam bidang-bidang lain yang berkaitan dengan aksi membasmi terorisme, termasuk pembentukan good governance, penegakan hukum, dan manajemen perbatasan.160 Terhadap Konflik di Aceh: Dalam kasus Aceh, bulan Mei 2002, EU menyambut baik kesepakatan tentang saling-percaya atas dasar kemanusiaan yang ditandatangi di Jenewa antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Separatis Aceh (GSA).161 EU juga menyambut baik dimulainya proses legal untuk membawa tersangka pelaku pelanggaran HAM di Aceh ke pengadilan dan mendapat peradilan yang transparan. EU juga mendorong pemerintah Indonesia dan pihak-pihak terkait untuk menempuh jalur dialog dan memperkuat usaha mereka untuk mencapai penyelesaian damai di Aceh. EU membujuk semua pihak agar menahan diri untuk mencegah agar kondisi jangan menjadi lebih buruk. EU juga menginginkan sebuah pemerintah yang kuat, demokratis dan utuh di Indonesia. EU juga menyambut baik keputusan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik melalui dialog ketimbang dengan cara-cara militer.162 160 161
162
Ibid. GSA adalah istilah yang umum digunakan oleh pihak Indonesia terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM). ‘Indonesia: Situation in Aceh’, CFSP Presidency Statement: Brussel (25 November 1999) - Press: 377, Nr: 13452/1/99. 122
Sebagaimana digariskan dalam ‘Tokyo Preparatory Conference’ tanggal 3 Desember 2002, EU berkomitmen untuk membantu dalam implementasi kesepakatan melalui kegiatan monitoring sekaligus program kemanusiaan dan pembangunan.163 Terhadap Papua Barat: Kondisi HAM di Papua Barat juga menjadi keprihatinan EU. Hal itu menjadi semakin serius ketika terjadi pembunuhan terhadap Theys Eluay, Ketua Dewan Presidium Papua tanggal 11 November 2001.164 Sebagai reaksi atas pembunuhan tersebut, EU mengeluarkan deklarasi yang juga disetujui oleh negara EropaTengah dan Eropa-Timur yang merupakan calon anggota EU, Siprus, Malta, dan Turki sebagai aspiran calon negara asosiasi, dan negaranegara EFTA. EU menyerukan agar pemerintah Indonesia menjelaskan kejadian pembunuhan tersebut dan segera membawa pelakunya ke pengadilan. EU juga mengharapkan bahwa pembunuhan itu tidak meningkatkan ketegangan dan kekerasan di Papua Barat, dan usahausaha yang jujur untuk mengimplementasikan Undang-undang Otonomi Khusus bisa dilanjutkan sehingga membawa manfaat bagi wilayah tersebut dan masyarakatnya.
2. Kebijakan Luar Negeri Belanda dan Eropanisasi: Beberapa Pergeseran Bagian ini mencoba membandingkan kebijakan luar negeri Belanda dan CFSP terhadap Indonesia. Bagian ini juga menakar sejauhmana Belanda telah memainkan peran dan menyebarkan pengaruhnya dalam pembuatan keputusan yang mewarnai kebijakan luar negeri bersama. Pada Bab 1 sudah disinggung bahwa terdapat tiga pendekatan studi tentang kemungkinan karakteristik Eropanisasi kebijakan luar negeri sebagaimana yang diungkapkan oleh Jordi Vaquer i Fanés (2001). Meskipun tidak sepenuh memadai untuk melihat fenomena Eropanisasi dalam ketiga karakteristik tadi, Eropanisasi kebijakan luar 163
164
‘Hostilities in Aceh’, CFSP Presidency Statement: Brussel (9 Desember 2002) Press: 395, Nr: 15412/02, (Presse 395), hal. 187/02. ‘Papua - kidnapping and subsequent murder of Mr. Theys Eluay’, CFSP Presidency Statement: Brussel (13 November 2001) - Press: 418 Nr: 13899/1/01 Brussel, 13 November 2001, 13899/1/01 REV.1 (Presse 418), hal. 178/01. 123
negeri Belanda terhadap Indonesia bisa ditinjau dari tiga pendekatan tersebut. Pertama, dari perspektif ‘relevansi perubahan’ yang secara umum bisa ditelusuri dari adaptasi birokratis dan institusional dari kebijakan luar negeri, ada dua indikator utama yang bisa digunakan dalam menilai pergeseran kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia sebelum dan setelah adanya mekanisme CFSP yaitu dari segi tujuan kebijakan, alat serta instrumen dari kebijakan. Dari segi tujuan kebijakan, dari tahun 1945 hingga pertengahan 1960-an, tujuan pokok kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia adalah untuk menguasai kembali Hindi Belanda. Negeri tersebut belum siap menerima kenyataan kehilangan Hindia yang dari segi ekonomi sngat penting bagi pembangunan kembali Belanda dari puing-puing Perang Dunia II. Kedua, pada periode berikutnya hingga kini tujuan dari kebijakan luar negeri Belanda adalah secara substansial menjalin kembali dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia yang sempat ‘terputus’ pada masa Perang Pasifik. Implementasi tujuan ini ditafsirkan dengan penguatan hubungan perdagangan, kerjasama pembangunan, dan promosi HAM. Dari perspektif instrumen kebijakan, dalam bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia, Belanda lebih cenderung menggunakan pendekatan militer dibanding diplomasi. Alasannya adalah, pertama bahwa Hindia Belanda adalah milik Kerajaan Belanda. Kedua, mustahil bagi Belanda untuk berunding dengan para ‘bandit’ dan ‘ekstrimis,’ istilah yang sering mereka gunakan terhadap pejuang kemerdekaan Indonesia. Meskipun sejak awal Kemlu Belanda sudah bersedia berunding dengan sejawatnya dari Indonesia, hanya setelah adanya tekanan dari Inggris dan AS, Belanda kembali ke meja perundingan. Dari usaha diplomasi, tujuan kebijakan luar negeri Belanda adalah, pertama, mencegah dan menutup agar isu Indonesia tidak bisa dibawa ke dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Setelah usaha ini terlihat gagal dan isu tersebut dibawa ke PBB, diplomat Belanda menolak intervensi Dewan Keamanan PBB karena Indonesia adalah urusan internal Belanda dan Dewan Keamanan tidak memiliki kompetensi menanganinya. Menghadapi kebuntuan dalam sidang-sidang PBB, Belanda biasanya kemudian menerima mediasi organisasi 124
internasional tadi. Pola diplomasi ini berulang dalam beberapa kasus setelahnya. Dari segi militer, pada masa puncak usahanya menguasai kembali Indonesia dalam paruh-kedua tahun 1940-an, Belanda mengerahkan sekitar 150.000 tentara di Indonesia.165 Kekuatan ini mencakup hampir seluruh kapabilitas militer Belanda, atau jauh lebih besar dibanding jumlah pasukan yang di-BKO-kan Belanda kepada NATO yang pada masa tersebut mulai terbentuk di Eropa. Kemampuan militer Belanda dari segi personil dan perlengkapan perang untuk melakukan operasi militer dalam jangka panjang di Indonesia terbatas.166 Dari paruh-kedua tahun 1960-an hingga 2003, kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia lebih banyak mengunakan sarana dan instrumen diplomasi yang dikombinasikan dengan ekonomi dan perdagangan, serta tekanan politik menggunakan saluran kerjasama pembangunan. Dalam periode ini, Belanda tidak menggunakan instrumen militer. Hal tersebut tidak saja disebabkan oleh komitmen penuh militer Belanda pada NATO, tetapi keperluan menggunakan instrumen ini tidak relevan lagi karena tidak ada lagi ketegangan atau konflik yang berkaitan dengan integritas teritorial Beanda. Perbedaan dari segi sarana dan instrumen kebijakan luar negeri sejak dimulainya kembali hubungan Indonesia Belanda tahun 1998 adalah pada ‘gaya’ dalam memainkanya. Dalam masa ini, Belanda cenderung menggunakan sarana dan instrumen ‘tidak langsung’ untuk menghindari backlash dari pihak Indonesia. Belanda lebih memanfaatkan saluran-saluran multilateral seperti Komisi HAM PBB, dll. Terhadap isu-isu yang sensitif. Dalam dalam periode ini pula Belanda melukiskan hubungannya dengan Indonesia telah berada dalam fase yang ‘dewasa’ dan ‘cerdas.’ Dalam mindset ini pula, pola penerapan sarana dan instrumen kebijakannya menggunakan mekanisme EU baik Komisi Eropa terhadap isu-isu ‘low-politics’ maupun CFSP terhadap persoalan yang bersifat ‘high-politics.’ Dibandingkan dengan kebijakan luar negeri Belanda, kebijakan luar negeri EU—untuk membedakannya dari unsur keamanan dari CFSP—terhadap Indonesia lebih cenderung berada di bawah kompetensi Komisioner Hubungan Eksternal EU daripada di bawah 165 166
Lihat Bagian Keempat. Ibid. 125
kerangka EPC atau CFSP sebab penekanan kerjasama antara EU dan Indonesia berada dalam bidang Kerjasama, ekonomi, perdagangan, pembangunan dan cultural yang termasuk ke dalam ranah ‘lowpolitics.’167 Meskipun EU menganggap Indonesia sebagai salah satu ‘pemain’ utama di kawasan Asia-Pasifik, tetapi secara legal belum ada kesepakatan kerjasama bilateral antara EU dan Indonesia.168 Namun kerjasama antara keduanya dijalin melalui kerangka ‘EC-ASEAN Cooperation Agreement’ tahun 1980, dan Indonesia termasuk salah satu negara dalam klasifikasi ‘Council’s ALA Regulation.’169 Sejak 19 76, kerjasama antara EU dan Indonesia bernilai €325 juta dalam bentuk bantuan hibah, baik melalui saluran pemerintah maupun non-pemerintah. Dalam kerjasama multilateral, EU adalah satu satu donor bagi Indonesia melalui ‘Consultative Group on Indonesia’ (CGI). Dari segi perdagangan, hubungan EU-Indonesia merupakan yang paling maju di antara negara anggota ASEAN (G. Wiessala, 2002:132). Prestasi ini dicapai atas kebijakan diversifikasi produk ekspor dari Indonesia yaitu sebagian besar merupakan komoditas bahan mentah dan produk pertanian hingga barang-barang yang tahan-lama seperti tekstil, sepatu, perabot, dan elektronik. Hingga 2005, nilai ekspor Indonesia ke EU mencapai €10,7 milyar, dan ekspor EU ke Indonesia bernilai €4,8 milyar.170 Prinsip dan tujuan kontemporer dari strategi EU terhadap Indonesia merujuk pada tujuan dan kerjasama pembangunan yang diatur oleh traktat-traktat EU dan panduan umum yang disusun oleh ‘Commission Communication on Development’. Fokus dari kebijakan pem167
168
169
170
Untuk tinjauan ringkas hubungan EU-Indonesia, lihat Gunaryadi (2003, Mei). ‘European Enlargement and Implications on EU-Indonesia Relations’, ASEM Research Platform-International Institute for Asian Studies, pada: http://www.iias.nl/asem/discussion/Gunaryadi_EU_IndonesiaRelations.pdf. European Commission, ‘Developing closer relations between Indonesia and the EU’, COM [2000] 50 final, 2 Februari 2000 - Communication from the Commission. Regulation (EEC) No 443/92, 25 Februari 1992 tentang bantuan finansial dan teknis kepada, dan kerjasama ekonomi dengan negara-negara berkembang di Asia dan Latin America. European Commission, ‘The EU’s relations with Indonesia’, pada: http://europa.eu.int/comm/external_relations/indonesia/intro/index.htm. 126
bangunan EU terhadap Indonesia adalah usaha mengentaskan kemiskinan khususnya dalam 6 sektor prioritas: perdagangan dan pembangunan, integrasi dan kerjasama regional, bantuan terhadap kebijakan makro-ekonomi yang secara eksplisit dikaitkan dengan strategi pengentasan kemiskinan, transportasi, keamanan makanan dan pembangunan daerah pedesaan secara berkesinambungan, institutional capacity building, good governance171 dan penegakan hukum. Disamping mekanisme ‘EC-ASEAN Cooperation Agreement’ wahana dialog yang institusional yang menyokong hubungan EUIndonesia antara lain ‘Asia Europe Meeting’ (ASEM), ‘Ministerial and Senior Official’s Meetings’, dan ‘ASEAN Regional Forum’ (ARF). Wadah yang disebutkan terakhir merupakan forum regional yang membahas isu-isu keamanan. Tidak diketahui secara pasti bagaimana Belanda telah memainkan peranannya dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri EU terhadap Indonesia karena keputusan yang dibuat di Brussel biasanya disiapkan oleh pejabat dan komite yang lebih rendah jenjangnya, serta secara tertutup (closed door). Tetapi bisa diduga bahwa Belanda telah memainkan peranan yang sangat signifkan dalam kebijakan yang berkaitan dengan Indonesia karena beberapa pertimbangan: (1). EU menganggap Belanda tidak saja memiliki hubungan yang ‘istimewa’ dengan bekas jajahannya itu dan mengalami banyak ‘blunders’ dalam interaksi yang telah berlangsung ratusan tahun tersebut, tetapi Belanda juga memiliki pengetahuan yang paling lengkap dan mendalam tetang Indonesia dibandingkan Negara anggota EU yang lain. Oleh karena itu, pendapat dan sikap Belanda terhadap Indonesia bisa dikatakan menjadi referensi bagi negara anggota yang lain dalam menentukan sikap. Peranan ini, misalnya, bisa dilihat dari teks asli sebuah deklarasi EU yang masih menggunakan ejaan Belanda; dalam teks tersebut tertulis Djakarta—ibukota Indonesia—tidak Jakarta;172 (2). Pengaruh Belanda 171
172
Dalam strategi yang baru tersebut, isu ini berkaitan erat dengan demokratisasi. Sebagai sebuah perspektif komparatif, lihat R. Youngs (2002, November). ‘The European Union and Democracy in the Arab-Muslim World’, Centre for European Policy Studies, Working Paper No. 2, Brussel. Pernyataan Presiden CFSP tentang masalah Timor-Timur tahun 1996. Lihat: East Timor ‘1902. Council–General Affairs’, CFSP Presidency Statement, Brussel, 29 Januari 1996, Press. 16, No. 4496/96. 127
juga bisa dilihat dari kasus ketika Indonesia mengumumkan akan mengeksekusi mantan pengawal Presiden Soekarno. Pada waktu itu Belanda sedang mendapat giliran menduduki jabatan Kepresidenan EU sehingga mampu memobilisasi negara anggota EU yang lain merespon pengumuman tersebut dengan démarches;173 dan (3). Banyak dari perhatian kebijakan luar negeri EU—jika tidak semuanya— terhadap Indonesia seperti isu-isu HAM, dsb. termasuk prioritas utama dari kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia dalam periode sebelumnya. Dari fakta ini, maka bisa dideduksi bahwa Belanda—karena lebih berkepentingan dibandingkan negara anggota yang lain—telah membawa isu-isu yang sensitif tersebut ke dalam mekanisme kebijakan luar negeri EU terhadap Indonesia. Prioritas pokok EU terhadap daerah-daerah konflik di Indonesia yaitu di Kepulauan Maluku dan Papua Barat—dua sumber konflik antara Belanda dan Indonesia di masa lalu—bisa ditelusuri pengaruh Belanda di balik sikap CFSP tersebut. Berkaitan dengan gagasan kedua Jordi Vaquer i Fanés bahwa ‘Eropanisasi adalah sebagai penyebab,’ perubahan kebijakan luar negeri Belanda sebagian besar disebabkan oleh semakin kuatnya institusionalisasi mekanisme Hubungan Eksternal EU dan CFSP. Semakin mengentalnya integrasi Eropa telah membentuk persepsi para pembuat kebijakan luar negeri Belanda khususnya dalam tahun 1990an. Perubahan persepsi ini bisa dianggap sebagai sumber dari proses yang terjadi. Tetapi, fakta memperlihatkan bahwa Eropanisasi kebijakan Belanda terhadap Indonesia belum terlihat pada masa awal lahirnya infrastruktur kerjasama bidang politik dalam EU tahun 1970-an dan awal 1980-an. Ketiga, dari perspektif bahwa Eropanisasi merupakan ‘fenomena yang berlawanan,’ perubahan kebijakan luar negeri Belanda terhadap Indonesia bukanlah semata akibat dari proses Eropanisasi itu sendiri. ‘Kegagalan diplomasi’ yang disebabkan ‘beban sejarah’ dan ‘trauma dekolonisasi’ serta berakhirnya dunia yang bipolar yang membuat Belanda mengubah fokus orientasi kebijakan luar negerinya ke kawasan yang lebih dekat secara geografis dengan Belanda—bukannya secara eksklusif akibat dari proses Eropanisasi—adalah penyebab dari 173
Baehr, P.R. (1996), op. cit., hal. 126. 128
transformasi kebijakan luar negeri Belanda tadi. Sebuah bentuk Eropanisasi—sebagaimana dijelaskan sebelumnya—juga terjadi dalam konteks ini sebagai akibat dari pengaruh faktor-faktor eksternal.
129
BAB 6 EPILOG
P
ada bagian akhir ini, beberapa kesimpulan bisa ditarik. Pertama, berbagai usaha untuk menyatukan EU dalam bidang politik menemui kegagalan hingga terbentuknya European Political Cooperation (EPC) tahun 1970. Sejak itu, kerjasama ini terus berkembang menuju bentuknya yang paling mutakhir di mana mekanisme kebijakannya semakin terpadu dan sistematis. Kedua, keraguan Belanda pada periode awal kerjasama politik yang lebih terlembaga dalam EU karena Belanda takut institusi semacam itu bisa mengancam prinsip Transatlatisme yang diyakininya. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa terdapat semacam pergeseran dalam prinsip tadi di mana Belanda akhirnya menjadi salah satu pendukung dari gagasan agar mekanisme kebijakan luar negeri dan keamanan EU diperkuat—dan pada saat yang sama—tetap menjaga keseimbangan hubungannya dengan AS khususnya dalam NATO. Dalam perspektif ini Belanda membuktikan bahwa negeri tersebut telah memainkan peranan yang sangat signifikan dalam proses Eropanisasi kebijakan luar negeri EU. Sepanjang proses institusionalisasi CFSP, penerimaan, penolakan dan abstain-nya Belanda telah ikut memberikan andil penting terhadap kemajuan CFSP serta unsur pertahanannya (ESDP). Ketiga, hakikat dari Eropanisasi kebijakan luar negeri Belanda tidak saja merupakan penyesuaian institusional dalam makna proses pembuatan kebijakan, output kebijakan, penyatuan sarana dan instrumen pada level Eropa, tetapi juga dalam konteks adaptasi kultur diplomasi serta modus bagaimana Belanda memanfaatkan secara optimimal mekanisme ini untuk kepentingan nasionalnya. Agak berbeda daripada tata-urutan dari 3 pola kemungkinan Eropanisasi yang diajukan oleh Jordi Vaquer i Fanés, ternyata ‘relevanasi dari perubahan’ cenderung merupakan efek dari gagasan lain yaitu bahwa integrasi Eropa telah melahirkan Eropanisasi. Integrasi Eropa ini telah mengubah persepsi elit pembuat kebijakan luar negeri Belanda dan selan130
jutnya melakukan penyesuaian dan perubahan sebagaimana disebutkan di atas. Keempat, sebagai negara kecil, Belanda berusaha mencari modusmodus yang cerdas untuk memaksimalkan pengaruhnya dalam CFSP. Hal ini tidak saja diperlihatkan oleh peranan dan dukungannya yang menonjol pada fase akhir dari CFSP, tetapi juga dalam mengelola kebijakan luar negerinya terhadap bekas koloninya yang ‘nasionalistik’ dan ‘sulit diatur’ oleh Belanda: Indonesia. Kelima, dalam pembahasan sebelumnya terbukti bahwa makna ‘khusus’ dari hubungan antara Belanda dan Indonesia semakin hari semakin menjadi historis. Sejak 1992, hubungan yang ‘khusus’ dan pengalaman sejarah antara keduanya tidak lagi menjadi aspek yang signifikan yang mempengaruhi Belanda dalam formulasi dan implementasi kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia melalui saluran bilateral. Isu-isu ‘low-politics’ seperti kerjasama ekonomi dan kultural tetap disalurkan dalam mekanisme bilateral. Sebaliknya, terhadap isuisu sensistif, Belanda lebih cenderung memperbesar pengaruhnya melalui saluran multilateral, khususnya CFSP. Belanda tampaknya mengambil pelajaran dari berbagai ‘blunder’ dalam implementasi kebijakan luar negerinya sebelumnya terhadap Indonesia. Belanda menghindar untuk bertindak sendirian dalam kasus atau isu sensitif seperti pelanggaran HAM atau proses demokratisasi di Indonesia. Belanda menyadari bahwa mereka—bagaimanapun historis sifatnya— tetaplah memiliki ‘beban sejarah’ terhadap Indonesia, dan Indonesia biasanya cenderung mengeksploitasi trauma tersebut untuk kepentingan domestik dan nasionalnya. Dalam konteks diplomasi ini, Belanda sepertinya berada dalam posisi yang dilematis serta kurang menguntungkan dalam menghadapi manuver-manuver diplomasi Indonesia. Menyalurkan unsur-unsur integral dari kebijakan luar negeri Belanda melalui mekanisme EU bisa melindungi Belanda dari serangan-balik Indonesia karena kebijakan tersebut bukanlah kebijakan Belanda tetapi merupakan kebijakan EU. Taktik ini juga untuk menyamarkan motif politik kebijakan luar negerinya terhadap sensitivitas Indonesia terhadap isu-isu tadi. Dari fakta ini, kebijakan luar negeri Belanda dapat dikatakan mengalami sebuah proses Eropanisasi. Dalam perspektif ini, alih-alih membatasi manuver, formulasi dan implementasi kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia, 131
Eropanisasi tersebut malah memperkokoh pengaruh Belanda dalam isu-isu tertentu. Terakhir, ungkapan Eropanisasi dengan demikian tidak harus dipahami sebagai sebuah strategi di mana Belanda yang dengan begitu saja menyerahkan sebagian unsur ‘kedaulatan’ nasional ke Brussel yang bisa ‘menggerogoti’ (hollow-out) otoritas nasionalnya, tetapi keputusan tersebut malah untuk tujuan yang lebih efektif dan efisien untuk memaksimalkan pengaruh kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia. Dalam pemahaman ini, Eropanisasi kebijakan luar negeri Belanda lebih merupakan sebuah ikhtiar ‘mengisi’ (fill-in) dalam framework menuju sebuah kebijakan luar negeri Eropa yang lebih terpadu dan kokoh.
132
REFERENSI Adviesraad Vrede en Veiligheid (1986). ‘Western European Security Cooperation: An Atlantic Necessity’, Den Haag. Agung, I.A.A.G. (1973). Twenty Years of Indonesian Foreign Policy 1945-1965. The Hague: Mouton & Co. Allen, M. dan M. Smith (1991). ‘Western Europe’s presence in the contemporary international arena’, dalam: Holland, M. (Eds.). The Future of European Political Cooperation: Essays on Theories and Practice. London: Macmillan. Auswärtiges Amt, ‘European Security and Defence Policy’, Publication Data, pada http://www.auswaertiges-amt.de. Bank, J. (1983). Katholieken en de Indonesische Revolutie. Baarn: Uitgeverij Ambo, B.V. ____ (1999). ‘Overal een ondernemer’, dalam: Hellema, D., et al. Baehr, P.R. (1996). ‘Mensenrechten en ontwikkelingshulp: Nederland en Indonesië’, dalam P.P. Everts (1996). Dilemma’s in de Buitenlandse Politiek van Nederland. Leiden: DSWO Press Rijksuniversiteit Leiden. Baneke, P. (1983). Nederland en de Indonesische gevangenen: een studie naar de effectiviteit van Nederlandse bemoeienis met mensenrechten. Amsterdam: Wiardi Beckham Stichting. Baudet, H. dan M. Fennema (1983). Het Nederlands belang bij Indië. Utrecht: Het Spectrum. Blockmans, W dan Hoppenbrouwers, P. (2002) Eeuwen des Onderscheids. Een Gescheidenis van Middeleeuws Europa, Amsterdam: Prometheus Boogman, J.C. et al. (1978). Nederlands buitenlandse politiek: heden en verleden. Baarn: In den Toren. Bogaarts, M. (1999). ‘Aanpassing aan de feiten’, dalam: Hellema, D., et al Bulmer, S.J. dan C.M. Radaelli (2004). ‘The Europeanisation of National Policy?’ Queen’s Papers on Europeanisation, No. 1/2004. CFSP (1996). Posisi Bersama tanggal 25 Juni 1996 yang didefinisikan oleh Dewan Eropa berdasarkan Pasal J.2 Traktat Uni-Eropa,
133
____ ____
____
____ ____
____
____
____
____ ____
____
CIA
mengenai Timor-Timur (96/407/CFSP), Official Journal L 168, 06/07/1996. (1996). ‘Report on the Progress Achieved by the European Union in 1996, pada http://ue.eu.int/en/info/96en.pdf. (1998). ‘Annual Report CFSP 1997’, Laporan Pertama (diadopsi oleh Dewan tanggal 30 Maret 1998) mencakup aksi-aksi CFSP dari bulan Juli 1997 hingga April 1998. (1999). East Timor ‘1902. Council – General Affairs’, CFSP Presidency Statement: Brussel (29 Januari 1996) - Press: 16 Nr: 4496/96. (1999). ‘Annual Report CFSP 1998’, diadopsi oleh Dewan melalui prosedur tertulis tanggal 16 April 1999. (1999). ‘Indonesia: Situation in Aceh’, CFSP Presidency Statement: Brussel (25 November 1999) - Press: 377, Nr: 13452/1/99. (2000). ‘Indonesia: Climate of tension and violence’, CFSP Presidency Statement: Brussel (28 November 2000) - Press: 450 Nr: 13667/00. (2001). ‘Annual (2000) report from the Council to the European Parliament on the main aspects and basic choices of CFSP, including the financial implications for the general budget of the European Communities’, Council of the European Union, Brussel, 6 April 2001. (2001). ‘Papua - kidnapping and subsequent murder of Mr. Theys Eluay’, CFSP Presidency Statement: Brussel (13 November 2001) - Press: 418 Nr: 13899/1/01 Brussel, 13 November 2001, 13899/1/01 REV.1 (Presse 418) (2002). ‘Hostilities in Aceh’, CFSP Presidency Statement: Brussel (9 Desember 2002) - Press: 395, Nr: 15412/02, (Presse 395). (2002). ‘Annual report from the Council to the European Parliament on the main aspects and basic choices of CFSP in 2001’, Council of the European Union, Brussel, 18 April 2002. (2003). ‘Annual report from the Council to the European Parliament on the main aspects and basic choices of CFSP in 2002’, Council of the European Union, Brussel, 29 April 2003. Factbook, ‘The Netherlands’ in the ‘2002 CIA World Fact Book’, pada: http://www.cia.gov/cia/publications. 134
CSIS (13 Mei 2004) Pengantar oleh Simon Serfaty dalam Senior European Dialogue, CSIS Europe Program, pada: http://www.csis.org. CPB (16 November 2003). ‘Economierapportage September 2003’, CPB Notitie aan de Minister van Economische Zaken. Davies, N. (1996) Europe. A History, Oxford: Oxford University Press. Dear, I.C.B. et al. (1995) The Oxford Companion to the Second World War, Oxford: Oxford University Press. Dephan Belanda (16 September 2003). ‘Prinsjesdag 2003: Bij Defensie verdwijnen 12.000 functies’, Ministry of Defence, pada: http://www.mindef.nl. ____ (16 September 2003). ‘Prinsjesdag 2003: Bezuinigingsgevolgen per krijgsmachtdeel’, Ministry of Defence, 16 September 2003, pada http://www.mindef.nl. ____ (16 September 2003). ‘Defensie: Vijf Prioriteiten voor Nieuwe Krijgsmacht’, pada: http://www.regering.nl. Deplu dan Perdagangan Australia (9 Juli 1998). Pidato oleh A. Downer, Menlu Australia, dalam acara peluncuran buku ‘Australia & Indonesia’s Independence: The Transfer of Sovereignty: Documents 1949’, Borobudur Hotel, Jakarta, pada: http://www.dfat.gov.au/media/speeches. Drooglever, P.J. (1982). ‘Dekolonisatie van Oost- en West-Indië’, dalam: Algemene geschiedenis der Nederlanden, deel 15, Nieuwste Tijd, Haarlem: Fibula-Van Dishoeck. Duroselle, J.B. (1990) Europa. Gescheidenis van Zijn Bewoners, Utrecht/Antwerp: Uitgeverij Kosmos. EC Bulletin, No. 1, 1970. EC Bulletin, No. 6, 1983. European Union (1997). Treaty of Amsterdam Amending the Treaty on European Union, the Treaties Establishing the European Communities and Certain Related Acts, European Office for Official Publications of the European Communities (1997): Luxemburg. Emerson, M. (Februari 2004). ‘Deepening the Wider Europe’, Centre for European Policy Studies, pada http://www.ceps.be. European Security (2004). ‘ESDP timeline 2000s: Key developments in European security during the 2000s’, European Security.Net, pada http://www.europeansecurity.net.
135
Everts, P.P. (1996). Dilemma’s in de Buitenlandse Politiek van Nederland. Leiden: DSWO Press Rijksuniversiteit Leiden. Fourth Joint Committee on the Secondary Legislation of the European Communities, European Parliament Draft Treaty Establishing the European Union, Report No. 14, Dáil Eireann, 20 Maret 1985, hal. 28. Gibbon, E. (2000) Verval en Ondergang van het Romeinse Rijk, Amsterdam/Antwerpen: Uitgeverij Contact. Grave, F.H.G. de (3 April 2001). ‘Het Europese “Pentagon”’, Kementerian Pertahanan Belanda, Den Haag. ____ (18 Mei 1999), ‘De toekomst van het Europese defensiebeleid’, Kementerian Pertahanan Belanda, Den Haag. ____ (3 Maret 2001) “Speaking Note WEU/iESDA Colloquy” di Berlin. Gunaryadi (2003, Mei). ‘European Enlargement and Implications on EU-Indonesia Relations’, ASEM Research Platform-International Institute for Asian Studies, pada: http://www.iias.nl/asem/discussion. Gunning, E.G. Jr. (July 2001). The Common European Security and Defense Policy (ESDP) (Executive Summary), The INSS Occasional Paper 41, Regional Security Series, USAF Institute for National Security Studies, USAF Academy, Colorado. Halsberghe, G.H. dan Halsberghe, G. (1989) XYZ van de GrieksRomeinse Oudheid, Houten: De Haan. Handel, M. (1981). Weak States in the International System. London: Frank Cass. Hellema, D. (1995). Buitenlandse politiek van Nederland. Utrecht: Uitgeverij Het Spectrum B.V. ____ (1999). ‘Een charmant bewindsman’, dalam: Hellema, D., et al ____ (1999). ‘Zakelijk naar de 21e eeuw’, dalam: Hellema, D., et al. ____ et. al (eds) (1999). De Nederlandse ministers van Buitenlandse Zaken in de twintigste eeuw. Vijfde jaarboek voor de geschiedenis van de Nederlandse buitenlandse politiek in de twintigste eeuw. Den Haag: SDU Uitgevers. Hill, C. (Ed.), National Foreign Policies and European Political Cooperation. London: Royal Institute of International Affairs/Allen and Unwin. ____ (Ed.). The Actors in Europe’s Foreign Policy. London: Routledge. 136
HRI (1999). ‘Greece’s Initial Contribution to Post-Amsterdam Reflections on the Development of a Common Defence Policy by the E.U.’, (Diserahkan kepada General Affairs Council tanggal 17-18 Mei 1999), pada http://www.hri.org. HRW (1999). ‘Indonesia and East Timor, Human Rights Watch World Report 1999’, pada http://www.hrw.org/worldreport99. Jackson, R.dan G. Sørensen (2003). Introduction to International Relations: Theories and approaches. (2nd Ed.). Oxford: Oxford University Press Jones, H.P. (1971). Indonesia: The Impossible Dream. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Kahin, G. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia: A History. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, hal. 215. KBRI Den Haag (25 Juli 2003). ‘The Bilateral Relationship: IndonesiaThe Netherlands’ oleh KBRI Den Haag, pada http://www.indonesia.nl. Keukeleire, S. (1998). Het buitenlands beleid van de Europese Unie. Kluwer: Deventer. Komisi Eropa European Commission, ‘The EU’s relations with Indonesia’, pada: http://europa.eu.int/comm/external_relations/indonesia/intro/i ndex.htm. ____ (2002). European Commission, ‘Developing closer relations between Indonesia and the EU’, COM [2000] 50 final, 2 Februari 2000 - Communication from the Commission. Kersten, A. (1999). ‘De langste’, dalam: Hellema, D., et al. Kuitenbouwer, M. (1994). De Ontdekking van de Derde Wereld: Beeldvorming en Beleid in Nederland 1950-1990. ‘s-Gravenhage: Sdu. Ladrech, R. (1994). ‘Europeanization of Domestic Politics and Institutions: The Case of France’. Journal of Common Market Studies, 32(1). Lijphart, A. (1975). The Politics of Accommodation: Pluralism and Democracy in the Netherlands. California: University of California Press. Merriam-Webster Inc. (1994) Webster’s New Encyclopedic Dictionary, Cologne: Könemann Verlags GmbH. 137
Nasution, A.H. (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi atau bertempur. Vol. 2, Bandung: Disjarah-AD dan Penerbit Angkasa. Nekkers, J.A. dan Malcontent, P.A.M. (eds.) (1999). De geschiedenis van vijftig jaar Nederlandse ontwikkelingssamenwerking 1949-1999. Den Haag: Sdu Uitgevers. Nolan, C.J. (1995) The Longman Guide to World Affairs, New York: Longman Publisher. Nuttal, S. (1997). ‘Two Decades of EPC Performances’, dalam: Regelsberger, E. et al. Orlandi, E. (1971) De groten van Alle Tijden. Karel de Grote, Amterdam: De Geïllustreerde Pers N.V. People Daily (6 Agustus 2003). ‘Analysis: EU Defense Integration Still a Longway to Go’. Posthumus, G.A. (1999). ‘Een “ideale vorm van hulp”. Bilaterale financiële hulpverlening, het India Consortium en de IGGI’, dalam: Nekkers, J.A. dan Malcontent, P.A.M. (eds.) (1999). De geschiedenis van vijftig jaar Nederlandse ontwikkelingssamenwerking 1949-1999. Den Haag: Sdu Uitgevers. Pijpers, A. (1983). ‘The Netherlands: How to keep the spirit of Fouchet in the bottle’: dalam C. Hill (Ed.), National Foreign Policies and European Political Cooperation. London: Royal Institute of International Affairs/Allen and Unwin. ____ (1996). ‘The Netherlands’, dalam: C. Hill (Ed.). The Actors in Europe’s Foreign Policy. London: Routledge. Regulation (EEC) No 443/92, 25 Februari 1992 tentang bantuan finansial dan teknis kepada, dan kerjasama ekonomi dengan negaranegara berkembang di Asia dan Latin America. Rozemond, S. (1998, Januari). ‘Blunders van Nederland’, Internationale Spectator, Vol. 52, No. 1. Rusman, P. (1999). ‘De Laatste Koude-Oorlogsstrijder’, dalam: Hellema, D., et al. Schaper (1985, Mei). ‘Wij willen zelfs niet Mönchen-Gladbach: de annexatie kwestie 1945-1949’. Internationale Spectator, Vol. 34, No. 5.
138
Secretariat of the European Convention, ‘Dutch comments on the preliminary draft final report of Working Group VIII “Defence” (WD 022), Working Group VIII, Working document 28, hal. 1-6, Brussel, 4 Desember 2002, pada http://european-convention.eu.int. Smith, C. (1976). De dekolonisatie van Indonesië: Feiten en beschouwingen. Groningen: H.D. Tjeenk Willink B.V.. Schmitt, B. (2003), ‘European Capabilities Action Plan (ECAP)’, Institute for Security Studies, at http://www.iss-eu.org/esdp/06bsecap.pdf. Smulders, T (1992) Gescheidenis van Europa, Lier: Malmberg/Den Bosch: Van In. Staden, A. van (1974). Een trouwe bondgenoot: Nederland en het Atlantisch Bondgenootschap 1960-1971. Baarn: Uitgeverij In den Toren. Thomas, H. (1986) The Spanish Civil War, Edisi Ketiga, London: Penguin Books Ltd. ____ (1996) World History. The Story of Mankind from Prehistory to the Present, New York: Harper Collins Publishers. Tonra, B. (2000). ‘Denmark and Ireland’, dalam: I. Manners and R. Whitman (eds.). The Foreign Policies of European Union Member States. Manchester: Manchester University Press. Vaquer i Fanés, J. (April 2001). ‘Europeanisation and Foreign Policy’, Working Paper No. 21, London School of Economics. Barcelona: Observatori de Política Exterior Europea, pada: http://selene.uab.es. Voorhoeve, J.J.C. (1979). Peace, profits and principles: a study of Dutch foreign policy. The Hague: Martinus Nijhoff. West Papua. ‘West Papua as Colony’, History Flashback, at http://www.westpapua.net. White, B. (2001) Understanding European Foreign Policy, Palgrave: Hampshire. Wiebes, C. dan Zeeman, B. (1999). ‘Nederlands diplomaat in bange dagen’, in: Hellema, D., et al. Wiessala G (2002). The European Union and Asian Countries. Sheffield Academic Press. Wikipedia, pada: http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Eropa.
139
Woltjer, J.J. (1992). Recent verleden: Nederland in the twintigste eeuw. Amsterdam: Uitgeverij Muntinga 1994. Youngs, R. (2002, November). ‘The European Union and Democracy in the Arab-Muslim World’, Centre for European Policy Studies, Working Paper No. 2, Brussel.
140
141
142