JIMM: Pemberontakan Anak-anak Muda Terhadap Aktivisme, Skripturalisme dan Orientasi Struktural di Muhammadiyah* Oleh Ahmad Najib Burhani**
Outline Tulisan - Pendahuluan - Kelahiran Tanpa Deklarasi - JIMM: Problem Baru Muhammadiyah atau Alternatif Solusi? - Melihat Model dan Metode JIMM dalam Berwacana - Antara JIMM dan JIL: Isu-isu yang Menyamakan dan Membedakan - Menengok Para Pendukung dan Penentang JIMM - Perjalanan JIMM Menuju Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang - “Takdir” JIMM Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 - Beberapa Catatan Akhir
Pendahuluan Beragam kritik pernah dilontarkan kepada Muhammadiyah. Kritik-kritik tersebut disampaikan oleh kalangan internal Muhammadiyah dan juga para pengamat gerakan keagamaan di Indonesia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun kritik terhadap organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 dengan sifat yang masif, teroganisir dan bahkan dengan membentuk jaringan (network), baru terjadi ketika gerakan modernis Islam ini hendak mencapai umur seabad. Kritik itu dikumandangkan oleh anak-anak muda dari organisasi itu sendiri yang menyebut diri mereka sebagai JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Berangkat dari keresahan, kegerahan, kepedulian, dan kecintaan, JIMM mencoba mendekonstruksi paham-paham dan ajaran-ajaran yang dianggapnya sudah usang (out of date) di tubuh Muhammadiyah. Cita-cita mereka sebetulnya tidak ingin berhenti dengan melakukan dekonstruksi, tapi juga membangun kembali atau merekonstruksi Muhammadiyah sehingga gerakan ini memiliki wajah baru yang lebih baik dan sesuai dengan tuntutan zaman, sebagai the new social movement. Jaringan anak muda ini ternyata tak mudah merealisasikan misi yang dirumuskannya. Niat anak-anak itu juga tak selalu mendapat respon positif di lingkungan Muhammadiyah. Pertarungan wacana yang cukup keras terjadi di Muhammadiyah antara kubu yang pro dan kontra terhadap isu-isu yang digulirkan JIMM. Puncaknya adalah pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang pada 3-8 Juli 2005 yang oleh sementara kalangan disebut sebagai arena “pengadilan” buat JIMM. Kelahiran Tanpa Deklarasi Paruh akhir 2003, sebuah peristiwa yang, untuk sebagaian kelompok Islam, cukup membahagiakan dan sekaligus, untuk kelompok Islam yang lain, menggelisahkan muncul dalam tubuh organisasi keagamaan terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Peristiwa itu adalah lahirnya gerakan dari sekelompok anak muda *
Judul ini terinspirasi dan merupakan terjemahan atas tiga pilar JIMM, yaitu hermeneutika, teori-teori sosial kritis, dan the new social movement. Aktivisme diartikan sebagai aksi yang tak disertai dengan refleksi. Istilah itu merupakan kebalikan dari verbalisme, refleksi yang tanpa disertai dengan aksi.
1
yang menyebut diri sebagai JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Tanggal dan bulan dari kelahiran itu memang tidak diketahui secara pasti karena kemunculannya memang tanpa disertai dengan deklarasi. Tiba-tiba saja pada paruh kedua 2003 itu, berita-berita dan kolom-kolom opini berbagai media massa nasional diramaikan dengan tulisan tentang JIMM atau artikel-artikel yang ditulis oleh aktivisaktivis JIMM. Tiba-tiba pula, anak-anak muda Muhammadiyah yang biasanya hanya berkumpul dan bergerombol dalam ortom-ortom (organisasi otonom) Muhammadiyah, seperti IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), PM (Pemuda Muhammadiyah), dan NA (Nasyiatul Aisyiah), menggabungkan diri dan terlibat dalam aktivitas intelektual bersama dalam berbagai workshop, seminar, diskusi, penelitian ilmiah dan sejenisnya. Jika dirunut dari berbagai peristiwa yang mengiringi kebangkitan intelektual di Muhammadiyah dan juga kondisi-kondisi mempersiapkan lahan bagi kelahiran JIMM, maka bisa disebutkan, diantaranya, adalah sebagai berikut: Gerakan pemikiran yang bergeliat di Muhammadiyah pasca Muktamar ke-43 di Aceh yang, diantaranya, dimotori oleh M Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif serta M Amin Abdullah melalui majelis yang dipimpinnya, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam; Masuknya kembali pemikir-pemikir Muhammadiyah yang selama ini lebih sering aktif di luar Muhammadiyah, seperti Moeslim Abdurrahman. Secara lebih khusus, beberapa peristiwa memang bersinggungan langsung dengan pendirian JIMM adalah pendirian Maarif Institut for Culture and Humanity yang awalnya digadang untuk mempersiapkan ulang tahun Ahmad Syafii Maarif yang ke-70. Di kantor Maarif Institute, Jl. Adityawarman No. 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, inilah gagasan untuk mengkonsolidasi anak-anak muda Muhammadiyah muncul. Awalnya memang hanya beberapa anak muda yang berkumpul di sini. Dari yang sedikit itu lantas muncul ide untuk mengorganisir kegiatan yang bisa mengumpulkan anak-anak muda Muhammadiyah dan mengangkat potensi mereka. Maka diadakanlah Workshop JIMM pertama dengan tema “Membangun Tradisi Intelektual Baru yang Visioner, Terbuka, dan Kritis” di Bogor pada 9-12 Oktober 2003. Ada 70 anak-anak muda Muhammadiyah dari berbagai daerah yang berpartisipasi pada acara ini. Mereka inilah yang menjadi gelombang awal bagi kebangkitan intelektual kaum muda Muhammadiyah. Workshop pertama itu lantas disusul dengan workshop kedua yang diikuti sekitar 50 orang di Kaliurang Yogyakarta pada 13-16 Nopember 2003 dan workshop ketiga di Malang pada 28-20 Nopember 2003. Workshop ketiga yang diberi nama “Tadarus Pemikiran Islam: Kembali ke Al-Quran, Menafsir Makna Zaman” ini merupakan yang terbesar dan menjadi gong atau pertanda resmi kelahiran JIMM dalam blantika pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Workshop Malang ini dihadiri oleh sekitar 120 anak muda Muhammadiyah dari seluruh daerah di tanah air. Dalam workshop ini juga dibentuk semacam kepengurusan dalam bentuk presidium. Ada lima anggota presidium dan seorang sekretaris dalam organisasi JIMM. Mereka adalah Piet H Khaidir (mewakili wilayah Banten, Jakarta dan Jawa Barat), Zakiyuddin Baidhawy (Jawa Tengah), Zuly Qodir (Yogyakarta), Pradana Boy ZTF (Jawa Timur), Ai Fatimah (mewakili unsur perempuan) dan Ahmad Fuad Fanani (Sekretaris). Pasca workshop Malang, serentetan workshop kembali digelar di beberapa daerah seperti Surakarta, Surabaya, dan Yogyakarta (kali kedua). Acara workshop ini lantas
2
menjadi semacam program inisiasi atau pen-syahadat-an atau ospek bagi anggotaanggota baru JIMM. Secara keanggotaan, JIMM sebetulnya terbuka untuk siapa saja yang berminat aktif. Namun pada kenyataannya, hampir semua anggota JIMM adalah para aktivis Muhammadiyah atau memiliki keterkaitan dengan organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini. JIMM: Problem Baru Muhammadiyah atau Alternatif Solusi? Seperti disebutkan di atas, geliat bangkitnya pemikiran-pemikiran progresif di Muhammadiyah pasca Muktamar ke-43 di Aceh merupakan salah satu kondisi internal yang memberikan lahan subur bagi kelahiran JIMM. Namun demikian, ada juga faktor-faktor eksternal yang ikut memicu kelahiran gerakan ini. Diantara faktorfaktor yang penting untuk tidak dilewatkan adalah agresifitas generasi muda NU (Nahdlatul Ulama) dalam mewarnai pemikiran dan gerakan Islam kontemporer di Indonesia. Anak-anak muda NU yang bergerak secara individual maupun tergabung dalam lembaga seperti LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), JIL (Jaringan Islam Liberal), Lakpesdam NU, P3M, dan Desantara telah memicu kecemburuan dari beberapa orang Muhammadiyah, terutama dari kalangan mudanya. NU yang secara umum dikenal sebagai organisasi tradisional ternyata memiliki kader-kader yang cukup progresif dan berani. Sesuai dengan julukan yang disandang sebagai gerakan Islam pembaharu dan Islam modernis, orang-orang Muhammadiyahlah yang mestinya selalu menjadi pelopor dalam meretas jalan baru bagi pemikiran dan gerakan Islam. Memang, di kalangan kelompok tua, Muhammadiyah masih memiliki seabreg stok pemikir yang menjadi lokomotif bagi jalannya diskursus keislaman di Indonesia. Namun untuk lapisan pemuda, Muhammadiyah sepertinya tak memiliki kader pemikir. Kecemburuan itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa JIMM lahir. Pendeknya, JIMM ingin menjawab pertanyaan, “Betulkah Muhammadiyah, yang memiliki ribuan sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tidak memiliki kader-kader intelektual yang akan menggantikan generasi tua mereka?” Kelahiran JIMM yang hampir berbarengan dengan Muktamar Pemikiran Islam yang digelar oleh anak-anak NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo pada awal Oktober 2003 sepertinya bisa menjadi petunjuk bahwa kecemburuan itu memang ada. Meski logika kecemburan itu sering diduga sebagai alasan bagi pendirian JIMM1, namun bagi warga gerakan intelektual itu sendiri alasan pendirian jaringan ini tidaklah bisa disederhanakan sekadar sebagai bentuk jealousy. Ada banyak latar belakang yang lebih substantif mengapa JIMM muncul. Setidaknya, alasan-alasan tersebut bisa dikelompokkan seperti yang tersebut di bawah ini: Pertama, JIMM hadir untuk mengawal tradisi tajdid (pembaruan) di Muhammadiyah yang belakangan cenderung meredup, bahkan mengarah kepada konservatifisme dan fundamentalisme. Berbagai kritik terhadap Muhammadiyah sudah sering dilontarkan berbagai pengamat kepada organisasi yang berdiri tahun 1912 ini. Gerakan yang dulu sarat dengan idea of progress ini sering kehilangan aura kemajuannya menjelang 1 Deliar Noer menulis “Sebagian kalangan Muhammadiyah memang bagaikan iri dengan NU yang bagai menguak dari kebekuan mazhab dengan menambah pemikiran-pemikiran baru, termasuk dalam agama.” Lihat Deliar Noer, “’Second’ Muhammadiyah (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah),” dalam Republika, Senin, 8 Desember 2003.
3
umurnya yang seabad. Muhammadiyah, kata Moeslim Abdurrahman, terlelap terlalu lama. Sebagian kadernya terserap dalam orientasi struktural yang berdimensi kekuasaan, sebagian lain terjebak pada dimensi doktrinal yang skripturalis. Moeslim juga mengatakan, “…(Muhammadiyah) lama sekali tenggelam di dalam rasa kebenaran: bahwa Islamnya lebih murni, ortodoks dan asli. Oleh karena kultur Muhammadiyah adalah ortodoks maka intellectual exercise itu menjadi tertutup.”2 Sebagai organisasi, Muhammadiyah juga sering dikatakan bagai “gajah kegemukan” yang lamban atau sulit bergerak. Muhammadiyah terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalistik, dan strukturalistik. Meminjam penjelasan Zuly Qodir, salah seorang presidium JIMM, “Kaum konservatif telah menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi kader yang kegemukan, namun tidak progresif dalam menangkap tanda-tanda zaman. Muhammadiyah konservatif telah terjebak dalam aktivitas amal usaha praktis yang menjadi semacam ritual dalam Muhammadiyah.”3 Kehadiran JIMM adalah mencoba melakukan kritik-kritik internal dan membongkar ketiga penjara tersebut (ritualisme, formalisme dan strukturalisme) dengan gagasan dan aktivitas yang progresif dan liberatif. “Karena itu, saya kira lahirnya JIMM karena dari suatu keprihatinan,” ungkap Zakiyuddin Baidhawy, presidium JIMM Jawa Tengah.4 Fuad Fanani juga menyatakan, “Kalau kita memiliki Muhammadiyah, itu berarti kita hanya bangga dengan Muhammadiyah saja. Tapi kalau kita ingin menjadi Muhammadiyah, kita harus melakukan kritik terus-menerus terhadap Muhammadiyah dan terhadap Islam itu sendiri.”5 Alasan pertama ini lebih bersifat internal, mengoreksi organisasi Muhammadiyah sendiri. Jadi, meski secara umum gerakan JIMM ditujukan kepada umat Islam, namun secara khusus, wilayah yang menjadi garapan JIMM adalah Muhammadiyah. Karena itulah maka aktivis-aktivis JIMM tidak mendeklarasikan diri mereka sebagai kelompok yang memisahkan diri dari Muhammadiyah, tapi tetap berkiprah dalam lingkaran organisasi modernis ini. Kedua, JIMM lahir untuk mengisi kesenjangan intelektual antar-generasi di Muhammadiyah. Alasan ini lebih berfungsi sebagai kaderisasi intelektual. Belakangan ini kader-kader Muhamadiyah yang mendalami bidang dirasah Islamiyah (Islamic Studies) banyak yang merupakan lulusan pendidikan dari Timur-Tengah. Mereka lantas aktif berkiprah di majelis-majelis dan lembaga-lembaga pendidikan milik persyarikatan ini. Karena, itu warna keagamaan yang lantas cukup menonjol di Muhammadiyah adalah warna Islam Arab. JIMM mencoba untuk mendorong dan memfasilitasi anak-anak muda Muhammadiyah untuk menjadi intelektual-intelektual besar dengan tidak semata menjadikan Arabia sebagai kiblat. Dalam lapis angkatan tua, ahli-ahli Islam di Muhammadiyah yang bisa memadukan antara pendidikan Barat dan Timur Tengah, memadukan antara ilmu-ilmu keislaman dan teori-teori atau metode pembacaan Islam dari Barat, diantaranya adalah M Amien Rais, A Syafii Maarif, M Din Syamsuddin, dan M Amin Abdullah. Setelah angkatan 2
Lihat “Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003. 3 Zuly Qodir, “Bangkitnya ‘Second’ Muhammadiyah” dalam Kompas, Kamis, 20 November 2003 4 “Kelahirannya Tanpa Deklarasi,” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003. 5 “Laisa Minna: Liberalisme, Pluralisme, Inklusivisme,” dalam Tabligh Vol. 02/ No. 09/ April 2004 – Shafar 1425, h.13.
4
mereka seperti terdapat kekosongan intelektual di lapis berikutnya. Inilah yang melahirkan kegelisahan-kegelisahan bagi sebagian orang tua di Muhammadiyah. Alasan ini pulalah yang membuat JIMM perlu dilahirkan. “JIMM lahir karena Pak Syafii Maarif menjadi ketua Muhammadiyah,” demikian figur sentral JIMM, Moeslim Abdurrahman, mencoba menyederhanakan alasan pendirian gerakan ini. Syafii Maarif, kata Moeslim, memang sangat menghendaki agar Muhammadiyah menjadi rumah intelektual. Dengan cara itu maka dunia intelektual Muhammadiyah menjadi bisa bersaing dengan NU, Kristen dan Katolik.6 Di dalam JIMM, kader-kader Muhammadiyah mendapat didikan tentang berbagai teori sosial kritis, metode ilmu pengetahuan, dan pendekatan-pendekatan keagamaan dengan perspektif baru. Bahkan, kini banyak dari mereka yang telah diterima atau belajar di berbagai universitas ternama di Eropa, Australia dan Amerika. Untuk menyebut beberapa nama, mereka adalah Hilman Latief (Arizona State University), Nur Hidayah (Durham University) dan Boy Pradana (Australian National University). “Setelah melihat JIMM, hilang keraguan saya terhadap masa depan Muhammadiyah. Selama ini kita galau,”7 demikian diungkapkan Said Tuhuleley, salah seorang sesepuh di Muhammadiyah. Ketiga, JIMM juga lahir sebagai respon terhadap tantangan dan tuduhan dari dunia luar Muhammadiyah. Tantangan itu bisa berupa pemikiran, tanggung-jawab, dan juga hal lainnya. Anak-anak muda Muhammadiyah kadang menganggap bahwa generasi tua di negeri ini terlalu sibuk dengan urusan ibadah formal dan kurang memberikan respon terhadap berbagai tuntutan zaman. “Kaum konservatif (di Muhammadiyah) lebih mencerminkan dirinya sebagai mazhab Islam murni, sementara mazhab progresif-liberal berada pada Islam kultural atau non-Islam murni. Islam murni memang terkesan lebih rigid dengan ibadah karena didominasi dengan paham fikih, sementara mazhab progresif-liberal tidak rigid dengan fikih,” demikian ditulis oleh Zuly Qodir.8 Lebih dari itu, persoalan-persoalan seperti kesetaraan jender, pluralisme agama, HAM, demokrasi dan neoliberalisme kurang mendapat sentuhan dari generasi tua. “Sementara kaum konservatif biasanya lebih memilih tema ibadah ritual (ibadah khusus) yang lebih berorientasi praksis dan amalan sehari-hari,” lanjut Zuly.9 Di tubuh Muhammadiyah sendiri, kehadiran JIMM tidak selalu mendapat respon positif. Beberapa sesepuh organisasi ini bahkan mencurigai keberadaan JIMM sebagai kepanjangan dari gerakan liberalisme di Indonesia. Yunahar Ilyas, mantan Ketua Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) yang kini menjadi salah satu ketua PP Muhammadiyah, menyebutkan bahwa JIMM telah melanggar aturan organisasi Muhammadiyah. JIMM juga dianggapnya sebagai agen Barat untuk menghegemoni umat Islam dengan menyebarkan isu-isu Barat.10 Sebagaimana alasan pendirian JIMM, orang-orang yang menyambut dengan gembira kelahiran JIMM mengatakan bahwa JIMM merupakan jawaban dari kritik yang selama ini muncul terhadap eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan modernis dan 6
“Kelahirannya Tanpa Deklarasi,” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003. “Intelektualitas untuk Praksis” dalam Republika, Jumat 21 November 2003. 8 “Bangkitnya ‘Second’ Muhammadiyah” dalam Kompas, Kamis, 20 November 2003 9 “Bangkitnya ‘Second’ Muhammadiyah” dalam Kompas, Kamis, 20 November 2003 10 Lihat Pradana Boy ZTF, “JIMM: Sebuah ‘Teks’ Multitafsir” dalam Republika, Sabtu, 24 Maret 2004. 7
5
pembaharu. Kelahiran ini juga menjadi jawaban terhadap kekhawatiran tentang adanya kesenjangan generasi intelektual di Muhammadiyah. “Hiburan tersendiri mendengar JIMM. Ternyata potensi kita luar biasa. Hanya saja selama ini belum manifes,” ungkap Syafii Maarif dengan bangga.11 Melihat Model dan Metode JIMM dalam Berwacana Sebuah gerakan umumnya akan mudah diakui eksistensinya bila ia memiliki concern aktivitas yang berbeda dari gerakan lain, ia memiliki ciri khas tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah gerakan model apakah JIMM itu? apa isu-isu dan tema-tema yang diusung dan menjadi kepeduliannya? Bagaimana ia memenuhi misi-misi tersebut? Dengan melihat hal-hal tersebut, maka “jenis kelamin” dan model dari gerakan JIMM akan terbaca. Sejak awal pendiriannya, JIMM memancangkan tiga pilar untuk gerakannya, yaitu: hermeneutika, teori sosial, dan new social movement. Tiga pilar yang dirumuskan oleh mentor JIMM, Moeslim Abdurrahman, ini merupakan piranti atau strategi untuk membumikan maksud-maksud keberadaannya. Tiga pilar ini juga menjadi tumpuan paradigma gerakan sehingga ada goal yang jelas dan terarah. Penggunaan hermeneutika dalam gerakan ini adalah dimaksudkan untuk mendobrak pendekatan dan pemahaman struktural yang dominan di Muhammadiyah. Dengan hermeneutika ini maka, seperti dikemukakan oleh Pradana Boy, akan terjadi reproduction of new meanings terhadap konsep-konsep kunci yang selama ini tertanam kuat dalam tubuh Muhammadiyah.12 Metode ini akan membebaskan pembacaan Al-Qur’an secara skriptural atau tekstualis menuju pembacaan yang lebih kontekstual dan operatif. Pendeknya, hermeneutika dipilih dengan alasan bahwa metode ini bisa dipakai sebagai tool of analysis dari berbagai persoalan kemuhammadiyahan, tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber klaim kebenaran, tapi sebagai sumber refleksi untuk memaknai zaman baru. Dengan cara ini, maka watak-watak emansipatoris dan transformatif Al-Qur’an menjadi lebih menonjol. Konsep pembebasan terhadap mustadl’afin yang menjadi raison dêtre Muhammadiyah, misalnya, akan bermakna semata-mata sebagai pendistribusian zakat secara karikatif kepada 8 (delapan) asnaf (kelompok orang yang berhak menerima zakat) jika tidak diberi makna baru melalui pendekatan hermeneutika. Padahal konsep fakir-miskin dalam dunia yang mondial dan modern ini mencakup juga orang-orang yang termarjinalkan akibat modernisasi dan globalisasi, seperti para buruh, tani dan nelayan. Selain itu, distribusi zakat pun tidak bisa semata mengandalkan strategi charity dan services, tapi juga harus dengan konsep filantropi yang bisa mengelola zakat tidak berfungsi semata konsumtif atau jangka pendek, tapi revolving, produktif, berkembang, berfungsi maksimal dan membantu sebanyak-banyaknya masyarakat. Teologi Al-Maun yang dikembangkan oleh KH Ahmad Dahlan itu akan dekat dengan praksis sosial bila dibaca kembali dengan pendekatan hermeneutika. Teori-teori sosial kritis digunakan sebagai peralatan intelektual Islam. Kader-kader Muhammadiyah bisa memanfaatkan kerangka teoretik Antonio Gramsci untuk menolak hegemoni, Paulo Freire yang menekankan upaya-upaya penyadaran kaum 11
“Intelektualitas untuk Praksis” dalam Republika, Jumat 21 November 2003. Pradana Boy ZTF, “Intelektual sebagai Agen Perubahan (Respons atas Artikel Deliar Noer)” dalam Republika, Selasa, 16 Desember 2003.
12
6
tertindas, dan juga menggunakan teologi pembebasan untuk memberdayakan kelompok-kelompok marjinal.13 Teori-teori seperti inilah yang dipakai oleh cendekiwan-cendekiawan Muslim seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Ali Syariati, Abid Al-Jabiri, Mohamad Shahrur, dan Abdulkarim Soroush. Dengan pendekatan-pendekatan tersebut maka teologi Islam diharapkan bisa berhadapan dengan berbagai persoalan zaman kontemporer. Meminjam bahasa Moeslim Abdurrahman, dengan memanfaatkan berbagai teori sosial kritis itu maka ulama dan intelektual bukan hanya berfungsi sebagai mediator, tapi sebagai artikulator bagi transformasi sosial. Dengan cara itu maka teologi tidak hadir dalam ruang hampa, tapi betul-betul bisa menjawab persoalan umat; teologi tidak semata-mata menjadi ilmu yang membahas ketuhanan yang sama sekali tak dibutuhkan manusia, tapi bisa menjelaskan Tuhan sebagai kekuatan yang memang tak bisa ditinggalkan oleh kehidupan insan.14 Sebagai misal dari integrasi antara teologi dan ilmu sosial kritis, seperti diutarakan oleh Moeslim Abdurrahman, adalah dalam menghadapi culture of silence, ketika orang-orang miskin tidak sadar akan ketertindasannya, bahkan malah menikmatinya. Kemiskinan yang terjadi masa kini seringkali dianggap bukan karena semata-mata orang miskin itu betul-betul miskin, tapi terjadi apa yang disebut dengan upaya-upaya pemiskinan struktural. Kemiskinan yang terjadi karena sistem ini kadang tidak hanya mengena pada persoalan materi, tapi juga ruhani atau mental manusia. Nah, dengan mengintegrasikan teologi dengan teori sosial kritis maka persoalan seperti ini akan dapat disadari. Konsep the new social movement adalah menjadikan teologi bukan semata-mata sebagai disiplin ilmu, tapi menjadikannya sebagai suatu gerakan. “Sehingga teologi ini merupakan kerja pedagogis kemanusiaan,” kata Moeslim.15 Seluruh elemen yang terpinggirkan dalam masyarakat, seperti buruh, perempuan, anak jalanan dan kaum marjinal lain, digerakkan oleh teologi untuk bersatu melakukan perubahan bersama. Dalam memahami konsep the new social movement ini, menurut Moeslim, anak-anak JIMM diwajibkan untuk mengaji globalisasi. Empat hal yang harus dipelajari dalam hal ini, yaitu: capital on the move, media on the move, people on the move, dan gagasan-gagasan revolusioner. Dengan cara ini, maka ada keharusan bagi anak-anak Muhammadiyah untuk menjadi imajinatif dan kreatif.16 Dalam mengkampanyekan dan menyebarluaskan (disseminate) gagasan-gagasannya, para aktivis JIMM mempergunakan beberapa media, seperti: koran, majalah, mailing list, dan penerbitan buku. Di samping itu, JIMM juga menggelar beberapa training, seminar, diskusi, workshop dan penelitian ilmiah. Dalam lingkaran internal Muhammadiyah, anak-anak JIMM menjalin komunikasi dan kerjasama dengan 13
Untuk Teologi Pembebasan bisa dibaca dalam Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Yogyakarta: LKiS, 2000). 14 “Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003. 15 “Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003. 16 Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah: Sebuah Pengantar,” dalam Pradana Boy ZTF dan M Hilmi Faiq, Kembali ke Al Qur’an, Menafsir Makna Zaman: Suarasuara Kaum Muda Muhammadiyah, (Malang: UMM Press, 2004), h. xii.
7
ortom-ortom (organisasi otonom), universitas-universitas Muhammadiyah, Pimpinan Pusat (PP), Pimpinan Wilayah (PW), Pimpinan Daerah (PD), PC (Pimpinan Cabang) dan juga majelis-majelis serta lembaga-lembaga di Muhammadiyah. Dengan masyarakat di luar Muhammadiyah, anak-anak JIMM membuka tangan lebar-lebar untuk bekerjasama dan diskusi dengan berbagai NGO (Non-Government Organisation) dan CSO (Civil Society Organisation). Bahkan, JIMM tidak canggungcanggung untuk menggandeng kelompok-kelompok dari agama non-Islam untuk berdiskusi dan bergaul. Dilihat dari habitat asalnya, para aktivis JIMM itu merupakan anak-anak yang memiliki kesibukan dan minat yang beragam. Beberapa dari mereka adalah aktivis murni, sebagian yang lain merupakan penulis-penulis prolifik, ada lagi yang berprofesi sebagai peneliti dan pengajar. Beberapa aktivis bahkan mengintegrasikan beberapa keahlian tersebut. Kemampuan yang beragam ini merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki oleh JIMM. Banyaknya penulis muda di tubuh JIMM membuat masyarakat dikejutkan oleh ramainya artikel di media massa yang ditulis oleh anak-anak dengan identitas sebagai “aktivis JIMM” tak lama setelah jaringan ini didirikan. Dalam rentang waktu setahun (November 2003 – November 2004), misalnya, puluhan artikel dan advokasi media telah diterbitkan oleh para aktivis JIMM di berbagai harian nasional, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Merdeka, Sinar Harapan, Jakarta Post dan Suara Pembaruan. Sekedar menyebut sedikit nama, para penulis muda itu adalah Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawy, Pradana Boy, Ahmad Fuad Fanani, Alpha Amirrachman, Said Ramadhan, Zulfan Barron, Zainal Muttaqin, Imam Subkhan, Andar Nubowo, David Krisna Alka, Fajar Z Haq, Isngadi Marwah Atmadja, Imam Cahyono, Kokabudin Uheb, M Hilaly Basya, Ilham Mundzir, Hery Sucipto, Abd Rohim Ghazali, Sri Rahayu, Tuti Alawiyah, Chairul Mahfud, Happy Susanto, dan Piet H Khaidir. Tema tulisan yang diangkat oleh anak-anak JIMM juga sangat beragam, tidak melulu persoalan agama. Tulisan Said Ramadhan, contohnya, hampir selalu mengangkat isu yang berkaitan dengan masalah komunikasi. David Krisna Alka memilih isu yang berhubungan dengan dunia sastra. Fajar Z Haq menyukai tema-tema poskolonialisme. Kehadiran JIMM di pentas nasional dan opini-opini mereka yang ikut memberi warna sendiri pada wacana nasional membuat tokoh sekaliber Kuntowijoyo dan Deliar Noer tergerak untuk menulis artikel menanggapi fenomena ini. Dalam tulisannya yang berjudul “’Second’ Muhammadiyah (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)”17 tersebut Noer, pertama, mempersoalkan penggunaan nama ‘intelektual’ (Jaringan Intelektual) untuk menyebut diri sendiri dan, kedua, menuntut peran-peran tertentu untuk bisa diemban oleh JIMM, diantaranya peran politik. Tulisan Noer ini sekilas seperti mengharapkan agar JIMM bisa membantu merealisasikan cita-cita yang memang selama ini menjadi concern dari Noer, seperti menyatukan partai-partai Islam. Dua tulisan Kuntowijo di Republika yang berjudul “Agama sebagai Konsep Kognitif” lebih merupakan “wasiat” orang tua kepada anaknya agar si anak tidak terkena gejala 17
Republika, Senin, 8 Desember 2003.
8
“sawan kekanak-kanakan”.18 Kunto merasa senang dengan sikap anak-anak muda Muhammadiyah yang mencoba menggunakan berbagai teori Barat untuk membaca agama, namun ia berpesan agar anak-anak itu jangan sampai kehilangan identitas keislamannya. Ia juga mengingatkan agar mereka tidak bersikap “sok” (sok liberal, sok radikal, sok kiri, sok kanan, dan sejenisnya). Hampir sama dengan Noer, Kunto juga terjebak untuk “merayu” agar anak-anak yang sedang bangkit itu bisa membantu memenuhi idealismenya dalam kaitan dengan Muhammadiyah. Kunto, misalnya, mengatakan, “Dan bagaimana kalau JIMM melangkah lebih jauh dari bapak-ibunya dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan menggagas Jamaah Sakinah.”19 Kunto juga mengharapkan agar anak-anak JIMM tetap menjadikan Islam pada posisi sentral dalam segala hal; ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Selain menyebarkan wacana dalam bentuk artikel bebas di media massa, JIMM juga mempublikasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk buku. Diantara buku-buku yang telah diluncurkan JIMM adalah Muhammadiyah sebagai Tenda Kultural (Maarif Institut, 2003) dan Kembali ke Al Qur’an, Menafsir Makna Zaman (UMM Press, 2004). Dua buku bunga rampai ini cukup bisa dipakai untuk membaca ide-ide awal dan mimpi-mimpi para aktivis JIMM tentang Muhammadiyah. Gagasan besar yang dikandung kedua buku itu adalah semacam pemberontakan dan gugatan terhadap Muhammadiyah. Buku pertama mengkritisi tentang karakter Muhammadiyah yang, misalnya, bergeser ke arah dogmatis, terlalu formal, dan terbelenggu oleh paradigma lama tentang perempuan. Buku kedua merupakan ide-ide untuk membawa Muhammadiyah menjadi sebuah new social movement. Dimulai dengan gugatan hermeneutis, pembacaan dengan ilmu sosial kritis, dan dilanjutkan dengan catatancatatan tentang gerakan sosial baru. Selain kedua buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut, banyak aktivis JIMM yang menerbitkan gagasan-gagasannya dalam bentuk buku utuh. Ahmad Fuad Fanani, sebagai misal, mempublikasikan Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif (Kompas, 2004), Pradana Boy ZTF menulis Islam Dialektis: Membendung Dogmatisme, Menuju Liberalisme (UMM Press, 2005). Moeslim Abdurraman sendiri sebagai panutan menerbitkan buku yang menjadi “guidance” bagi gerak sosial JIMM, yaitu Islam sebagai Kritik Sosial (Airlangga, 2003) dan Islam yang Memihak (LKiS, 2005). Agresifitas aktivis JIMM dalam dunia publikasi, terutama di media massa, sempat memunculkan slenthingan kritik, yang kadang bernada cynical, di masyarakat dengan mempersoalkan peran dan eksistensi JIMM, seperti, “Apakah intelektualitas JIMM hanya diukur dengan publikasi artikel di media massa?” Kritik ini barangkali ada benarnya bila melihat penampilan luar dari kehadiran JIMM, yaitu munculnya opiniopini di media massa yang ditulis oleh aktivis-aktivis JIMM. Hal ini sebetulnya juga telah disadari oleh anak-anak JIMM dan juga mentornya, Moeslim Abdurrahman. Bahkan, Moeslim sempat mengatakan, “Kita harus menjadi intelektual yang memiliki kepekaan praksis dan bukan intelektual yang berbentuk imajinatif dan berbahasa onanik. Banyak diantara kesadaran-kesadaran intelektual itu yang akhirnya bermuara pada profesi menulis. Seolah-olah sejarah berubah hanya karena sudah menulis artikel.”20 Moeslim juga menyebutkan, “… Kawan-kawan muda JIMM ini menjadi 18
Republika, Senin dan Selasa , 8 dan 9 Desember 2003. Republika, Senin dan Selasa , 8 dan 9 Desember 2003. 20 Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xiv.
19
9
terbebani untuk mengilustrasikan fenomena sosial ke dalam bentuk artikel. Padahal artikulasi intelektual, tidak hanya bisa dilakukan melalui artikel.”21 Lebih lanjut, Moeslim mengarahkan agar anak-anak JIMM juga mengartikulasikan refleksi intelektual dan melakukan advokasi melalui piranti lain, seperti, video, fotografi, radio komunitas, dan multimedia. Media-media visual dan audio visual bisa melengkapi kekurangan artikulasi tulisan dalam membuka kesadaran masyarakat. Kesadaran akan pentingnya menggunakan tidak hanya satu tool dalam mengartikulasikan intelektualitas itulah yang menyebabkan JIMM juga melakukan advokasi dan penyadaran melalui training, seminar, diskusi dan workshop. Beragam tema telah diangkat, seperti, masalah jender, tafsir Al Qur’an, radikalisme, globalisasi, dan sebagainya. Diantara tokoh-tokoh internasional yang pernah dihadirkan untuk berbagi ilmu adalah Asma Barlas, Nashr Hamed Abu Zayd, dan Abdulazis Sachedina. JIMM juga melakukan kerja bareng dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), ICIP (International Centre for Islam and Pluralism), Labda Shalahuddin UGM (Universitas Gajah Mada), dan RIDEP. Dalam mewujudkan misinya, bahkan, JIMM tidak menolak untuk bergaul dengan Harian Kompas dan Suara Pembaruan. Di dalam Muhammadiyah sendiri, anak-anak JIMM tetap melibatkan diri dalam beberapa ortom, pimpinan Muhammadiyah, universitas Muhammadiyah, dan juga majelis serta lembaga Muhammadiyah. Upaya-upaya kerjasaa yang dibangun JIMM dengan Muhammadiyah ini dilakukan karena memang sasaran utama dari gerak jaringan ini adalah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia ini. Antara JIMM dan JIL: Isu-isu yang Menyamakan dan Membedakan Beberapa suara sumbang yang sempat muncul seputar keberadaan JIMM diantaranya menyebutkan bahwa JIMM adalah kepanjangan tangan JIL yang hendak menyebarkan virus-virus liberalisme di Muhammadiyah.22 Kesamaan dua huruf depan dari JIMM dan JIL lantas, kadang, digunakan untuk melihat kesamaan antara keduanya. Meski tak ada kata-kata “liberal” dalam kepanjangan JIMM, namun anggapan bahwa jaringan ini sebagai bagian dari liberalise tetap saja muncul. Persinggungan tema yang diangkat dan pergaulan beberapa aktivis dari kedua jaringan itu membuat keduanya disebut memiliki rumpun yang sejenis. Namun demikian, menurut para aktivis JIMM dan Moeslim Abdurrahman sebagai mentor JIMM, ada perbedaan-perbedaan mendasar antara kedua jaringan ini. “Saya ingin menyatakan bahwa nanti yang membedakan JIMM dengan gerakan ‘Islam Liberal’ adalah manakala anak-anak muda ini menggunakan ilmu sosial dan juga mempelajari gerakan sosial, maka saya harapkan mereka memiliki corak yang lebih transformatif. Jadi tidak hanya liberal dalam arti kebebasan berfikir, tapi liberalisme yang libratif – dalam arti diikuti dengan
21
Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xiii. Majalah Tabligh yang diterbitkan oleh Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP Muhammadiyah bahkan mengangkat tema besar “Virus Liberal di Muhammadiyah” pada Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425. 22
10
komitmen intelektual yang mengarah pada perubahan dan bagaimana melakukan perubahan itu,” demikian jelas Moeslim Abdurrahman.23 Jadi, kritisisme dan liberalisme dalam JIMM bukanlah tujuan akhir dan gerakan, tapi hanya menjadi perantara. Tujuan utama dari jarigan ini adalah untuk praksis, melakukan pendampingan sosial, committed dalam melakukan pembelaan, bergabung dengan masyarakat akar rumput dan giat dalam penyadaran sosial. Teologi liberal dibutuhkan untuk proses sosial. Karena itulah, maka sumber inspirasi dan konsep yang dipegang oleh JIMM tetaplah sumber inspirasi dan konsep Muhammadiyah, yaitu Al-Maun, pembebasan kaum tertindas. Masalah-masalah umat yang hendak dijawab oleh JIMM, misalnya, adalah, “bagaimana memperjuangkan distribusi sosial ketika neo-liberalisme begitu menggurita dan diyakini sebagai the end of history?” “Bagaimana melawan hegemoni yag semakin menjadi-jadi ?” “Bagaimana membebaskan manusia dari penderitaan yang semakin luas dan dalam?” “Bagaimana kita harus menghadapi penindasan struktur kapitalisme nasional dan global yang tidak adil?” Tema yang diangkat dalam workshop JIMM yang diadakan di Yogyakarta tanggal 5-7 November 2004 adalah “Memahami the New Mustadz’afin,” tentang keperpihakan umat kepada mereka yang disebut sebagai the new mustadz’afin. Modernisasi telah melahirkan hanya segelintir orang yang hidup berkecukupan, sementara mayoritas manusia hidup dalam kesusahan. Isu-isu sosial seperti pekerja seks komersial, anak jalanan, dan pekerja anak-anak, adalah pekerjaan-pekerjaan yang hendak digarap oleh JIMM. “Kelas-kelas marjinal ini yang sudah semestinya menjadi bagian bidikan perjuangan. Sehingga kemudian tauhid diarahkan pada paradigma tauhid sosial,” tukas Zuly Qodir.24 “Orang Muhammadiyah itu habitatnya, praksisnya terkait dengan gerakan sosial bagaimana membangun kesadaran kolektif,” tutur Moeslim.25 Dengan nada sedikit bercanda, Moeslim Abdurrahman membuat statemen yang mencoba menjelaskan perbedaan antara JIMM dan JIL. Katanya, “Islam liberal itu tak memperjuangkan Allah, tidak memperjuangkan orang miskin. Kita ingin memperjuangkan orang miskin atas nama Allah.”26 Ketika Tadarus Pemikiran Islam yang diselenggarakan oleh JIMM di Malang, 18-20 November 2003, mengangkat tema “Kembali ke Al-Qur’an, Menafsir Makna Zaman,” maka pilihan tema ini bukan terjadi arbitrary (secara tak sengaja). Tema itu ingin menunjukkan bahwa JIMM tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama, ingin tetap al-ruju ila al-Qur’an wa asSunnah (kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah), sebagaimana semboyan Muhammadiyah. Menengok Para Pendukung dan Penentang JIMM Seperti umumnya sebuah gagasan, ide atau pandangan, tentu ada yang setuju dan mendukung dan ada juga yang berusaha melawan dan menentang. JIMM dan isu-isu yang diangkatnya pun menuai pujian dan sekaligus kecaman. Barangkali karena sasaran gerakan JIMM adalah Muhammadiyah, maka penentangnya pun datang 23
Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xv. “Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004. 25 “Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003. 26 “Intelektualitas untuk Praksis,” dalam Republika, Jumat, 21 November 2003. 24
11
terutama dari dalam organisasi ini sendiri. Serangan terhadap jaringan anak-anak muda ini tidak semata dtujukan kepada ide-ide yang diusungnya, tapi juga terhadap eksistensinya yang memakai nama Muhammadiyah. Salah seorang ketua Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, yang pada periode kepemimpinan A Syafii Maarif menjadi ketua MTDK (Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus), menilai bahwa keberadaan JIMM itu telah menyalahi aturan organisasi Muhammadiyah. Menurutnya, sebuah lembaga baru bisa memakai nama Muhammadiyah setelah ditanwirkan atau dibahas dan disetujui dalam muktamar.27 Dari segi gagasan, JIMM dianggap berusaha melibas sendi-sendi keagamaan Muhammadiyah. “Mereka yang ingin berkreasi dalam pemikiran dan ingin menjadi orang maju, boleh-boleh saja. Tapi, janganlah diganggu akidah tauhid umat ini, jangan dirusak rumah kita Muhammadiyah ini, dan jangan dipersulit umat dakwah ini dengan pikiran-pikiran yang membingungkan,” kata Goodwill Zubir, Sekretaris PP Muhammadiyah. Secara lebih gamblang, Fakhrurazi Reno Sutan dalam laporan utamanya untuk Tabligh mengatakan bahwa pikiran-pikiran liberalis yang diusung oleh JIMM ini akan membahayakan Muhammadiyah; memecah-belah jamaah, merusak persatuan dan menghancurkan identitas Muhammadiyah. “Dengan kata lain, paham liberalis saat ini bagaikan virus yang mulai menggerogoti tubuh Muhammadiyah,” tulis Sutan.28 Arief Chalid AR. Sutan Mansur, cucu Ketua Umum PP Muhammadiyah 1953-1959, menganggap pikiran-pikiran yang dibawa JIMM telah melenceng dari paham-paham keislaan dan kemuhammadiyah yang diyakini oleh para founding fathers gerakan ini. JIMM, baginya, bukanlah penerus ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ahmad Dahlan, AR Sutan Mansur, Buya Hamka, AR Fachrudin, Buya Malik Ahmad, Ahmad Azhar Basyid, dan sebagainya.29 Bahkan, MTDK PP Muhammadiyah yang merasa terpanggil untuk “mengawal dan mengamankan Islam dari virus liberal,” mengglar seminar nasional bertema “Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon Terhadap Fenomena Liberalisme Islam” dan menerbitkan beberapa edisi Majalah Tabligh yang berisi penyerangan terhadap kelompok JIMM. Dalam edisi yang berjudul “Laisa Minna: Liberalisme, Pluralisme, Inklusivisme,” Majalah Tabligh menfatwakan bahwa anak-anak JIMM yang menyebarkan paham liberalisme, pluralisme dan inklusivisme, bukan lagi bagian dari keluarga besar Muhammadiyah, “maka tidak ada kata yang tepat untuk mereka, selain ‘Laisa Minna’ (bukan golongan kami).”30 Ahmad Adaby Darban menyebut anak-anak JIMM sebagai orang-orang pragmatis dan beridealisme uang. “Bahkan karena duit, mereka berani membongkar hal-hal yang sudah baku bahkan mendekonstruksi Al-Qur’an. Cirinya, mereka kagum pada Barat dan orientalis tapi mempersoalkan Al-Qur’an,” kata Darban seperti dilaporkan
27
“Virus Liberal di Muhammadiyah,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425, h. 13. 28 “Virus Liberal di Muhammadiyah,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425, h. 15. 29 Arief Chalid AR Sutan Mansur, “Menyoal JIMM,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425, h. 17. 30 Tabligh Vol. 02/ No. 09/ April 2004 – Shafar 1425.
12
Hidayatullah.com.31 Sedangkan Choirul Hisyam, yang menyebut identitas dirinya sebagai mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo, menuliskan bahwa anakanak JIMM itu phobia terhadap syariat Islam. “Jika dalam Muktamar NU ke-31 di Boyolali saja NU secara tegas menolak Jaringan Islam Liberal ‘hinggap’ di tubuhnya, mengapa Muhammadiyah tidak?” katanya.32 Tokoh Muhammadiyah yang berusaha mengkritisi isi dari gagasan yang diusung JIMM, diantaranya, adalah Musthafa Kamal Pasha. Menurutnya, induk dari persoalan yang menyusahkan umat Islam saat ini adalah adanya paham liberal. Pasha menyebut gagasan liberalisme itu tak ubahnya seperti racun.33 Ia juga menyayangkan sikap Amin Abdullah dan Munir Mulkhan yang memberikan dukungan terhadap gagasan dan paham yang dianggapnya merusak Islam. Lebih lanjut Pasha menjelaskan bahwa berbagai paradigma berpikir yang dipakai oleh JIMM, seperti metode hermeneutika, itu tak pas bila dipakai untuk membaca Al-Qur’an. “Hermeneutika itu cocoknya diterapkan untuk Injil yang sekarang ini sudah bkan Kalamullah. Al-Qur’an itu sudah ada tafsirnya. Kalau masih kurang, diperlukan ta’wil yang masih bersandar kepada tafsir ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi, hermeneutika itu tidak cocok diterapkan kepada AlQur’an,” jelas Kamal Pasha. Dari berbagai kritik yang dilontarkan terhadap JIMM, terlihat bahwa ada penyamaan antara gerakan JIMM dan JIL. JIMM sering disebut-sebut tak ubahnya sebagai kepanjangan tangan JIL untuk wilayah Muhammadiyah.34 Resistensi terhadap JIMM ini juga melebar kepada orang-orang di Muhammadiyah yang sering melakukan pembelaan terhadap JIMM, seperti Ahmad Syafii Maarif, Moeslim Abdurrahman, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Dawam Rahardjo, M Yunan Yusuf dan juga lembaga-lembaga yang memiliki kedekatan pemikiran dengan JIMM, seperti Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (PSAP-M) dan Ma’arif Institut.35 Para pengritik liberalisme di Muhammadiyah meyakini bahwa kelompok yang mendukung pandangan-pandangan seperti yang dikampanyekan JIMM ini jumlahnya sangat kecil, mereka adalah minoritas. “Islam liberal di Muhammadiyah itu belum menjadi gejala yang kuat. Mereka hanya segelintir orang, tapi mereka di-blow up oleh media massa. Mereka belum merupakan arus besar di Muhammadiyah,” jelas Yunahar Ilyas.36 Perjalanan JIMM Menuju Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang
31
“Syafii Maarif Larang ‘Hukum’ Annak Muda Muhammadiyah,” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2046&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 32 “’Pembusukan’ di Tubuh Muhammadiyah,” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1959&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 33 Musthafa Kamal Pasha, “Islam Liberal Meracuni Kalangan Muda,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425, h. 21. 34 Meskipun demikian, Yunahar Ilyas yang dianggap sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang dengan tegas menentang paham liberal melihat bahwa JIMM tidaklah separah JIL. Lihat “Yunahar Ilyas: Dai Penentang Paham Liberal,” dalam Sabili, No. 1 Th. XIII 28 Juli 2005 / 21 Jumadil Akhir 1426, h. 64. 35 “Jejak Sekularisme-Liberalisme di Tubuh Muhammadiyah,” dalam Hidayatullah.com, http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1958&Itemid=0. Lihat pula “Talbis Iblis Fiqih Pluralis,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 07/ Februari 2004 – Dzulhijjah 1424, h. 13. 36 “JIMM Menyalahi Organisasi” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425, h. 20.
13
Ada tiga kerja besar yang telah diusung JIMM sejak masa pendiriannya hingga Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang. Ketiga kelompok kerja tersebut adalah: Pertama, mengkampanyekan Muhammadiyah sebagai rumah intelektual dan tenda kultural; Kedua, memberikan pemaknaan-pemaknaan baru terhadap beberapa konsep dasar Muhammadiyah dan menegaskan kembali peran sosial organisasi ini; Ketiga, melakukan kritik terhadap politisasi dan radikalisasi Muhammadiyah. Kerja pertama dari JIMM itu diantaranya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap agenda dakwah kultural di Muhammadiyah. Dakwah ini secara formal digagas dan menjadi keputusan Sidang Tanwir di Bali pada 24-27 Januari 2002. Secara ringkas, dakwah kultural merupakan upaya dakwah dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh audience, atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut bilisani qaumihi (QS. 14;4). Fakta bahwa kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dakwah itu adalah heterogen (mis. santri, abangan, priyayi, tradisionalis, modernis, sinkretik, lokal, global, liberal, dan radikal), membuat Muhammadiyah perlu menggunakan bahasa yang beragam, bukan tunggal. Kelompok program yang hendak dicakup dalam dakwah kultural ini diantaranya berbentuk perubahan sikap yang hampir sepenuhnya antipati dan negasi terhadap budaya lokal (local/indigenous culture) menuju afirmasi, legitimasi dan spiritualisasi beberapa budaya lokal.37 JIMM juga mendukung upaya Muhammadiyah untuk membuka wacana yang selama ini terasa tabu, seperti, hak-hak asasi manusia, pluralisme dan multikulturalisme, kebebasan (liberalism), inklusivisme, dan kesetaraan gender. Jika selama ini Muhammadiyah memiliki prestasi bagus dalam pendirian rumah sakit, sekolah, dan panti asuhan, maka prestasi yang menekankan pada banyaknya jumlah itu (aktsaru ‘amalan) perlu ditambah dan ditingkatkan menjadi kualitas yang tinggi (ahsanu ‘amalan). Upaya-upaya ini sebetulnya merupakan gerakan untuk menghidupkan tradisi intelektual yang pernah tumbuh subur di Muhammadiyah. Dengan cara ini, maka Muhammadiyah bisa menjadi pioneer dari gerakan ilmu dan menjadi rumah intelektual. Ahmad Fuad Fanani menulis di Republika (17/10/03) dengan judul “Muhammadiyah dan Imaji Intelektual Kritis” untuk menggambarkan tentang keinginan ini. Dakwah kultural juga melanjutkan gagasan-gagasan mulia yang pernah diputuskan oleh Muktamar-muktamar Muhammadiyah pada tempo dulu. Diantaranya adalah konsep tentang Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah, Keluarga Sakinah dan Qaryah Tayyibah yang secara terus-menerus digulirkan dalam Muktamar ke-38 di Ujungpandang tahun 1971 hingga Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985. Selain itu, dakwah kultural memberikan apresiasi dan pengembangan terhadap seni yang ma’ruf, memanfaatkan teknologi kontemporer seperti multimedia, internet, dan telepon demi mewujudkan misi-misi Islam di era global ini. Masih dalam bingkai menjadikan Muhammadiyah sebagai tenda kultural, anak-anak JIMM melakukan advokasi jurnalistik untuk menghidupkan penegakan moralitas bangsa; menentang korupsi, kolusi dan nepotisme; serta membangun masyarakat yang beradab dan madani. Zainal Muttaqin menulis “Mengawal Agenda Gerakan Antikorupsi” (Suara Pembaruan, 4/5/04) dan “Gerakan Antikorupsi Harus Punya 37
Dakwah Kultural Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadyah, 1424 H / 2003 M), h. 3-5. Diajukan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makassar tanggal 26-29 Juni 2003.
14
Gigi” (Merdeka, 27/4/04); Zuly Qodir menulis “Koalisi NU-Muhammadiyah Berantas Korupsi” (Kompas, 15/10/03); dan Zulfan Barron menanggapi tulisan Masdar Hilmy “Mitologi Korupsi” (Kompas, 15/3/05) dengan artikel ”Korupsi sebagai ‘Dosa’ Sistem” (Kompas, 18/5/05). Secara khusus, Paryanto, aktivis JIMM yang juga Direktur Lembaga Studi Agama dan Perdamaian mengajak warga Muhammadiyah untuk melakukan “refleksi dan advokasi imani dalam pemberantasan korupsi.”38 Dengan menjadi, diantaranya, watch dog dari korupsi tersebut, maka harapannya Muhammadiyah bisa jadi “payung moralitas” bangsa. Kerja besar kedua dari JIMM berkaitan, diantaranya, dengan pemaknaan konsep mustadl’afin dan ruju’ ila Al-Qur’an wa as-Sunnah. Habitat Muhammadiyah itu terkait dengan gerakan sosial. Namun belakang ini gerakan ini, kata Moeslim Abdurrahman, “tenggelam dalam skripturalistik yag berkepanjangan yang membuat Muhammadiyah identik dengan gerakan rumah yatim, gerakan membagi zakat fitrah, dan gerakan sosial pendidikan.”39 Di era neoliberalisme yang menyebarkan kerakusan individualisme pasar ini, konsep gerakan sosial Muhammadiyah, bagi JIMM, mesti mendapat ruh dan semangat baru. “’Miskin’ dan ‘mustdl’afin’” kata Moeslim harus ditempatkan, “sebagai kategori sosial yang lahir dari penindasan struktur kapitalisme nasional maupun global yang tidak adil.”40 Meski Muhammadiyah telah melakukan gerakan sosial berpuluh-puluh tahun, namun “mengapa hegemoni semakin terjadi dimana-mana dan penderitaan umat manusia semakin meluas?”41 Karena itulah makna ruju’ (kembali) ke Al-Qur’an dan sunnah al-maqbulah, dalam konteks kerja sosial, bagi JIMM, harus memiliki makna pembebasan kaum yang tertindas. “Perhatian terhadap kaum mustadz’afin bukannya tidak ada, tetapi lebih banyak dilakukan kaum Muslim pada tataran normative-teologis,” kata Zainuddin Maliki, Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, pada workshop JIMM di Yogyakarta, 5-7 November 2004.42 Zuly Qodir menegaskan, “Kelas-kelas marjinal ini yang sudah semestinya menjadi bagian bidikan perjuangan. Sehingga kemudian tauhid diarahkan pada paradigma tauhid sosial.”43 Sementara menurut Moeslim Abdurrahman, gerakan pemberdayaan orang-orang lemah itu harus dilakukan melalui dua garis, yaitu langsung kepada orang-orang tertindas dan mengubur regulasi yang menindas. “Muhammadiyah tidak bisa hanya sebagai lembaga pemberdayaan melalui komunitas marjinal namun harus pula memiliki agenda politik yang mempengaruhi perubahan regulasi guna redistribusi sosial,” ungkapnya.44 Pola yang dipakai JIMM dalam pemberdayaan orang tertinggal dan tertindas ini agaknya merupakan adopsi dari cara-cara yang biasa digunakan oleh berbagai gerakan community development atau social work. Ini tidak lepas dari pengalaman Moeslim Abdurrahman yang lama bergelut di dunia LSM. Cara pemberdayaan yang biasa dilakukan oleh berbagai aktivis sosial adalah mengikuti empat tahap, yaitu: Pertama, Relief dan Welfare. Tahapan ini menekankan fungsi zakat, misalnya, untuk membantu 38
“Dari Acara Tadarus Pemikiran Islam: Refleksi dan Advokasi Imani dalam Pemberantasan Korupsi,” dalam Suara Pembaruan, Jumat, 21 November 2003. 39 Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xvi. 40 Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xvi. 41 Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xvi. 42 “Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004. 43 “Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004. 44 “Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004.
15
orang yang tak berdaya dalam bentuk yang paling sederhana, seperti meringankan penderitaannya dengan memberi mereka makanan, menyekolahkan, dan membantu pengobatan. Kedua, Community Development. Tahapan kedua ini berpijak pada asumsi bahwa kemiskinan yang terjadi di masyarakat itu disebabkan oleh tak terberdayakannya potensi-potensi masyarakat. Masyarakat miskin karena mereka tidak memiliki skill atau keahlian untuk bekerja, tak terlatih, dan tak memiliki modal. Untuk itu, pada tahap ini, harta zakat digunakan untuk memberdayakan masyarakat dalam bentuk, diantaranya, pendidikan, pelatihan, pemberian modal, dan pendampingan. Ketiga, Sustainability System Development. Sebuah pemberdayaan masyarakat itu terkait erat dengan hukum kebijakan-kebijakan pemerintah, misalnya dengan sistem perundang-undangan yang ada. Seringkali upaya-upaya pemberdayaan dilakukan oleh berbagai LSM (Lembaga swadaya masyarakat) dan CSO (Civil Society Organization), namun upaya-upaya itu berantakan di tengah jalan karena ada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada orang kecil. Kasus yang terjadi pada petani cengkeh pada masa Orde Baru adalah satu contoh. Distribusi beras yang dimonopoli oleh Bulog dan KUD adalah contoh lain. Pada contoh kedua itu, masyakarat yang mulai mampu bertani secara baik terjegal pendistribusian hasil pertaniannya karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan. Keempat, People Movement and Social Change.Ide pokok dari tahapan keempat ini, dalam hal ekonomi, adalah kemiskinan itu terjadi karena ketidakmerataan alokasi terhadap modal, sumber rezeki, dan akses terhadap kekuasaan dalam masyarakat. Karena itulah maka kelompok masyarakat yang tak berdaya harus diberikan berbagai sarana untuk menghadapi struktur-struktur yang ada. Mereka juga harus diberi suara dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang mempengarui kehidupan mereka.45 Para aktivis JIMM sepertinya melihat bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah, meski sudah tua umurnya, belum juga beranjak dari tahap pertama dari empat tahapan pemberdayaan. Untuk membawa ke arah itu, maka hal pertama yang dilakukan oleh JIMM adalah memberikan pemaknaan baru terhadap konsep mustdz’afin.46 Kerja ketiga, kritik terhadap politisasi dan radikalisasi Muhammadiyah, diantaranya dilakukan dengan penolakan terhadap keputusan dan anjuran Muhammadiyah agar warga persyarikatan ini hanya mencoblos M Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah, dalam pemilihan presiden Republik Indonesia tahun 2004. “Dengan dukungan itu Muhammadiyah sudah terlibat aksi dukung-mendukung yang bersifat politis dan partisan.”47 Keputusan Muhammadiyah untuk secara resmi mendukung Muhammad Amien Rais sebagai calon presiden pada Pemilu 2004, mengajak warga Muhammadiyah untuk memilih caleg perempuan dari Muhammadiyah dan partai politik yang benar-benar reformis, memihak dan bersih, merupakan hasil rapat pleno 45
Keempat tahapan tersebut biasanya disebut sebagai “empat generasi” dari “strategies of development-oriented NGOs.” Lihat Andrew Green and Ann Matthias, Non-Govermental Organizations and Health in Developing Countries, (London: Macmillan Press Ltd, 1997), h. 34. 46 Lihat Ahmad Fuad Fanani, “Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam” dalam Republika, Jumat 21 Mei 2004, Piet H Khaidir, “Kemanusiaan dan Gerakan Sosial” (Republika, 7/10/03), dan Zakiyuddin Baidhawy, “Islam Progresif: Manifesto Keadilan, Pembebasan dan Kesetaraaan” dalam Media Indonesia, 7 Mei 2004. 47 “JIMM Sayangkan Muhammadiyah Partisan,” dalam Suara Pembaruan (14/2/04).
16
diperluas di Yogyakarta, 9-10 Februari 2004 yang melibatkan seluruh pimpinan wilayah Muhammadiyah dan organisasi otonom. Keputusan Muhammadiyah tersebut telah lama dikehendaki oleh sebagian elite organisasi ini. Namun, penentangan dari sebagian elite lain menjadikan kehendak untuk memberikan dukungan resmi itu mendapat hambatan. “Fatwa” itu menunjukkan kemenangan kubu politik di Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Bali 2002, Muhammadiyah memberi rekomendasi kepada “kader terbaik” organisasi ini untuk maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2004. Dalam Tanwir ini tidak disebutkan siapa yang dimaksud dengan “kader terbaik.” Pada sidang Tanwir di Makassar 2003, “kader terbaik” itu mengerucut pada sosok M Amien Rais. Demi menjaga netralitas, pada kedua Tanwir tersebut Muhammadiyah tidak secara eksplisit menyebut nama yang didesakkan oleh sebagian aktivis organisasi. Politisasi Muhammadiyah untuk kepentingan jangka pendek itu, oleh JIMM, dianggap akan merusak peran moral yang selama ini diemban Muhammadiyah. “Pernyataan Muhammadiyah itu mengecilkan Muhammadiyah sebagai tenda bangsa,” kata Ahmad Fuad Fanani, aktivis yang sering disebut sebagai “kepala sekolah” JIMM.48 Sebagai kekuatan civil society, semestinya Muhammadiyah berpegang pada politik adiluhung (high politics) dan tidak memihak. Lebih lanjut Fanani mengatakan, “Pernyataan dukungan resmi terhadap pencalonan Amien Rais jelas mempersempit ruang gerak Muhammadiyah. Hal itu juga menyalahi keputusan Tanwir 1971, 2002, dan 2003 yang menegaskan bahwa Muhammadiyah menjaga jarak dari semua parpol dan membebaskan warganya untuk bebas menyalurkan aspirasi politiknya.”49 Sebagai kesimpulan, JIMM mendesak Muhammadiyah untuk meninjau ulang keputusan ini.50 Tulisan di media massa yang berisi ungkapan penyesalan atas sikap Muhammadiyah itu diantaranya disampaikan oleh Zuly Qodir, “Muhammadiyah Memilih Pimpinan” (Indo Pos, 23/5/05) dan “Muhammadiyah, Amien Rais dan Presiden” (Kedaulatan Rakyat, 19/4/04), Zakiyuddin Baidhawy, “PAN dan Muhammadiyah” (Republika, 26/4/04), Ahmad Fuad Fanani, “Menakar Peluang Amien Rais” (Merdeka, 19/4/04) dan “Syahwat Politik Muhammadiyah” (Indo Pos, 23/5/04), Andar Nubowo, “Elitisme dan Overkonfidensi PAN” (Republika, 23/10/03), serta Kokabudin Uheb, “Runtuhnya Benteng Kultural Muhammadiyah” (Waspada, 1/4/04). Untuk Pemilu 2004 secara umum, selain advokasi media melalui individu-individu aktivis JIMM, secara kelembagaan jaringan ini bahkan mengeluarkan suara bersama yang disampaikan dalam bentuk press conference dan press release. Suara bersama itu dinamakan “Seruan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) untuk Pilpres 2004.”51
48
“JIMM Tolak Politisasi Muhammadiyah,” dalam Kompas (21/2/04). “Dukung Amien Rais Jadi Presiden, Fatwa Muhammadiyah Menuai Protes,” dalam Media Indonesia (24/2/04). 50 “JIMM Pertanyakan Sikap Muhammadiyah,” dalam Republika (21/2/04) 51 Isi dari seruan tersebut berjumlah lima butir, yaitu: 1. Tidak menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat presiden/wapres hanya didasarkan atas pertimbangan asal-usul, suku, agama dan golongan. Sebab, pilihan yang didasarkan pada alasan-alasan primordial tersebut sangat bertentangan dengan logika akal sehat dan kepentingan bangsa.
49
17
Kritik terhadap kecenderungan terhadap radikalisme di Muhammadiyah diadvokasi, misalnya, oleh Hilman Latief, Happy Susanto, M Hilaly Basha dan Hery Sucipto. Hery menulis “Membendung Radikalisme, Membangun Moderatisme” (Kompas, 14/10/03). Hery juga membuat satu publishing house yang menerbitkan buku-buku yang mengkampanyekan Islam moderat dan mengkritik keras terhadap radikalisme di Islam. Happy Susanto menulis “Titik Balik Pluralisme Agama, Catatan atas RUU Kerukunan Umat Beragama” (Kompas, 23/10/03). M Hilaly Basha bahkan lebih jauh menerbitkan jurnal Moderat dan menjadi direktur eksekutif dari CMM (Center for Moderate Muslims). Hilman Latief secara serius membuat tulisan tentang pergolakan anak-anak Muda Muhammadiyah dalam menentang puritanisme dalam organisasi ini dalam Jurnal Tanwir.52 “Takdir” JIMM Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 Pada beberapa berita pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang Jawa Timur, Majalah Suara Hidayatullah dan Sabili seakan hendak memberikan gambaran kepada pembacanya bahwa forum Muktamar Muhammadiyah ke-43 merupakan arena hukuman bagi gerakan JIMM. Beberapa penulis, seperti Adian Husaini dan Sukidi, bahkan mensinyalir bahwa Muktamar ini merupakan titik antiklimaks bagi JIMM. Adian Husaini, misalnya, pada Catatan Akhir Pekan (CAP) nya yang ke-108 di Hidayatullah.com menulis “Kaum Islam Liberal di tubuh Muhammadiyah menjerit, karena misi mereka gagal.”53 Sementara Sukidi menyatakan, “Terpentalnya sayap pemikir Muslim liberal seperti Munir Mulkhan dan Amin Abdullah dari formatur 13 juga dapat dibaca sebagai kemenangan anti-liberalisme dalam Muktamar.”54 Hidayatullah.com juga menuliskan bahwa JIMM yang disebutnya sebagai sayap liberal Muhammadiyah sedih dengan komposisi terpilih Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010. “Kalangan JIMM, yang selama ini dianggap penggerak lahirnya pemikiran liberal di Muhammadiyah mengakui, tak ada satu pun dari ketigabelas calon ketua umum itu yang mendukung gerakan mereka. Nama-nama 2.
Melihat secara jernih dan cerdas siapa capres yang pantas memegang tongkat kepemimpinan bangsa. Visi kebangsaan, ekonomi, penegakan HAM, penghapusan KKN, kerakyatan dan kemauan melakukan kontrak sosial adalah pertimbangan dalam menentukan pilihan. 3. Menentukan pilihan politiknya secara cerdas, rasional dengan melihat program kerja, track record, ketegasan, kualitas, kemampuan dan sikap moral yang luhur pada diri setiap kandidat. 4. Menentukan pilihan berdasarkan kesadaran dan hati nurani, bukan berdasarkan pada ancaman, intimidasi dan politik uang. 5. Tidak terpecah belah sebagai satu kekuatan bangsa, sebelum dan sesudah Pilpres 2004. Masyarakat harus tetap menuntut para elite politik-pemegang kebijakan agar terus berpegang pada nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial. Lihat Republika, Senin, 17 Mei 2004. 52 Hilman Latief, “Post-Puritanisme Muhammadiyah: Studi Pergulatan Wacana Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah 1995-2002” dalam Jurnal Tanwir Edisi ke-2, Vol. 1, No. 2, Juli 2003, h. 43-102. Tentang pergulatan anak-anak Muda Muhammadiyah dalam mengkritisi radikalisme baca juga Ahmad Najib Burhani, “’Puritan’ Muhammadiyah and Indigenous Culture” (The Jakarta Post, 6/12/04), “Muhammadiyah’s New Chairman and the Future of Its Liberalism” (The Jakarta Post, 12/7/05), “Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah” (Indo Pos, 24/7/05), “Tolerance and Pluralism in Muhammadiyah Remains” (The Jakarta Post, 30/7/05). 53 Lihat CAP Adian Husaini ke-108 di Hidayatullah.com, http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2095&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 54 Sukidi Mulyadi, “Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal” dalam Majalah Tempo, edisi 20/XXXIV/11-17 Juli 2005.
18
seperti Abdul Munir Mulkan dan Amin Abdullah, dua orang yang paling diunggulkan justru 'keok' dan tak terpilih,” tulis Hidayatullah.55 “Yang jelas, mendung menyelimuti kubu liberal di Muhammadiyah,” tulis Hidayatullah selanjutnya.56 Bila mengamati perkembangan Muktamar, tidak masuknya beberapa nama yang selama ini mendukung langkah JIMM tentu tidak mengherankan. Selama proses Muktamar, seperti diamati oleh Hidayatullah, “Beberapa Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) jauh-jauh sudah menyoroti agar di Muktamar Muhammadiyah kali ini tak memilih calon pemimpin yang mendukung gerakan liberalisme-sekularisme.”57 Salah seorang yang memiliki pendapat agar Muhammadiyah tidak dipimpin oleh orang yang dikenal berpikiran sekuler-liberal adalah Ahmad Adaby Darban.58 Tulisan-tulisan yang berkampanye untuk menentang keberadaan JIMM di Muhammadiyah juga bisa ditemukan di media massa. Choirul Hisyam, misalnya, menulis catatan untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Hidayatullah.com dengan judul “’Pembusukan’ di Tubuh Muhammadiyah.”59 Senada dengan Hidayatullah, Sabili membuat telaah khusus tentang Muktamar Muhammadiyah ke-43 dengan judul “Menggusur Virus Liberal di Muhammadiyah.” Bahkan, Sabili mengawali tulisannya kalimat “Muktamar Muhammadiyah ke-45. Pertarungan antara jalan lurus dan paham liberal.” 60 Meski dalam laporannya Sabili menampilkan tanggapan orang-orang Muhammadiyah, baik yang pro maupun yang kontra terhadap JIMM, namun judul itu mengesankan adanya penilaian kurang baik terhadap JIMM dan isu-isu yang diangkatnya. Lebih dari semua upaya di atas, di arena Muktamar sendiri ada stand yang bernama “Pojok Anti-Liberal.” Stand ini menjual produk-produk yang berisi penentangan terhadap sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Diantara produk-produk tersebut adalah buku karya Adian Husaini berjudul Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya dan Wajah Peradaban Barat; VCD berjudul Menangkal Virus Liberalisme produksi NicheMedia; Majalah Suara Hidayatullah, Majalah Tabligh, Jurnal Islamia; dan merchandise Muktamar, seperti kaos, dengan tulisan “Muhammadiyah Anti-Liberal.” 55
Lihat “Kecemasan Terhadap Pimpinan Baru Muhammadiyah,” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2063&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 56 “Kecemasan Terhadap Pimpinan Baru Muhammadiyah,” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2063&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 57 “Komisi Rekomendasi Minta JIMM Dibubarkan,” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2061&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 58 “Syafii Maarif Larang ‘Hukum’ Anak Muda Muhammadiyah,” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2046&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 59 Lihat di http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1959&Itemid=0. Lihat pula “Jejak Sekularisme-Liberalisme di Tubuh Muhammadiyah,” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1958&Itemid=0. Diakses pada 13 Oktober 2005. 60 Lihat Sabili No. 1 TH. XIII 28 Juli 2005/ 21 Jumadil Akhir 1426.
19
Terpentalnya dua mentor JIMM, Amin dan Munir, dari komposisi 13 pimpinan Muhammadiyah memang bisa dijadikan salah satu indikator kekalahan JIMM di tubuh Muhammadiyah. Dalam organisasi yang berdiri tahun 1912 ini, Amin dan Munir dikenal sebagai sedikit tokoh secara terang-terangan mendukung dan melindungi pemikiran-pemikiran yang diusung JIMM di Muhammadiyah. Gagasangagasan dua orang Yogya ini dianggap bisa mewakili arus baru pemikiran Islam yang mencoba memahami Islam dengan teori-teori dan metode kontemporer. Selain Moeslim Abdurrahman, dua nama ini pulalah yang dijadikan sebagai patron dan mentor oleh anak-anak JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomana Muktamar ini benar-benar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya. Namanama dalam formatur 13 itu tentu akan membuat shock siapa saja yang tidak percaya bahwa unsur militan Islam bukan hanya ada, tapi cukup kuat dalam organisasi modernis ini.61 Selain Din Syamsuddin di posisi pertama, Yunahar Ilyas dan Goodwill Zubir, yang selama ini selalu dianggap menjadi proponents dari Muhammadiyah garis keras, berhasil menyodok ke posisi pimpinan tiga belas.62 Selama ini para pimpinan Muhammadiyah periode 2000-2005, terutama Ahmad Syafii Maarif, berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa Muhammadiyah adalah representasi dari peaceful dan smiling Islam. Untuk menenangkan berbagai pihak yang ketakutan kepada Islam garis keras, keberadaan orang-orang yang berpikir fundamental dalam tingkat grass-root Muhammadiyah selalu saja ditutup-tutupi dan dikatakan bahwa mereka itu hanya menjadi kelompok pinggiran. Bahkan, adagium 61
Susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010: Penasihat 1. Prof Dr HM Amien Rais 2. Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif 3. Prof Drs H Asjmuni Abdurrahman 4. Prof Dr H Ismail Suny SH MCL 5. Ustadz KH Abdur Rahim Noor MA Ketua Umum: Prof Dr HM Din Syamsuddin MA Ketua Prof Drs H Abdul Malik Fadjar MSc Drs H Haedar Nashir MSi Drs H Muhammad Muqaddas Lc MAg Dr H Yunahar Ilyas Lc MAg Prof Dr H Bambang Sudibyo dr H Sudibyo Markus HM Muchlas Abror Sekretaris Umum: Drs HA Rosyad Sholeh Sekretaris: 1. Drs HA Dahlan Rais MHum 2. Drs HM Goodwill Zubir Bendahara Umum: Prof Dr H Zamroni Bendahara: Prof Dr H Fasich Apt 62 Ada asumsi lain yang berkembang bahwa naiknya Yunahar Ilyas dan Goodwill Zubir bukan disebabkan mereka menjadi pendukung kelompok konservatif Muhammadiyah atau menentang liberalisme, tapi karena faktor dukungan dari orang-orang Padang, Sumatra Barat. Yunan Yusuf yang juga orang Padang dan sering mendukung JIMM mendapat nomor 14 dan hanya selisih enam angka dari Sudibyo Markus.
20
yang acapkali didendangkan oleh para pengamat adalah bahwa kelompok radikal Islam di Indonesia itu small in number.63 Kekalahan JIMM pada Muktamar ke-45 bukan semata tak terpilihnya tokoh-tokoh mereka, seperti Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman, Dawam Rahardjo, Hajriyanto Thohari, Abdul Mu’thi, Yunan Yusuf dan Muhadjir Effendy64, tapi lebih jauh dari itu, Komisi D (Rekomendasi) yang bersidang di Aula GKB II Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang, Rabu (6/7/05), bahkan sempat muncul gagasan untuk meminta agar JIMM dibubarkan. Salah satu peserta di Komisi ini menginginkan agar PP Muhammadiyah membubarkan JIMM, atau paling tidak menghilangkan huruf M (Muhammadiyah) dari namanya.65 Usulan ini juga bukan sesuatu yang baru didengungkan. Oleh sebagian bapak-bapak Muhammadiyah, berkali-kali JIMM dianggap sebagai anak durhaka, karena itu ia harus dibuang dan tidak lagi diakui sebagai anak. Bahkan kadang-kadang kepanjangan nama JIMM diplesetkan menjadi “Jaringan Iblis Muda Muhammadiyah”.66 Tuntutan itu tidak lagi menjadi tuntutan di jalan-jalan, tapi sudah mendapat wadah resmi dalam forum tertinggi Muhammadiyah, Muktamar. Ketua Umum PP Muhamadiyah yang baru, Din Syamsuddin, juga belum memberikan pernyataan untuk melindungi eksistensi JIMM dalam lingkaran Muhammadiyah. Salah satu alasan mengapa Din terpilih menjadi pimpinan tertinggi dalam organisasi terbesar kedua di Indonesia itu adalah juga karena kedekatannya kepada warga Muhammadiyah garis keras. Pandangan-pandangan keagamaan Wakil Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) ini dianggap sesuai dengan keinginan mayoritas warga Muhammadiyah yang cenderung puritan dan fundamentalis. Inilah yang membedakan Din dari pimpinan Muhammadiyah yang ia gantikan, Ahmad Syafii Maarif. Seiring dengan pemikirannya yang moderat dan inklusif, popularitas Syafii Maarif –juga Munir Mulkhan dan Amin Abdullah-- di Muhammadiyah terus merosot. Pada Muktamar Malang itu, Buya Syafii berkali-kali melakukan pembelaan terhadap beberapa angkatan muda Muhammadiyah yang memiliki pemikiran liberal dan aneh, seperti yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan Sukidi, Fuad Fanani dan Pramono. Dalam pidato serah terima jabatan di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) Dome (7/7/05), Syafii bahkan berpesan agar orang Muhammadiyah tidak cepat marah dan menuduh ketika membaca pemikiran anak-anak muda. Selama mereka menjalankan prinsip-prinsip ajaran agama, seperti shalat, maka mereka tak perlu dimusuhi.
63
Hal yang sama disampaikan oleh kubu garis keras, bahwa kelompok Islam yang lain hanyalah small in number di Muhammadiyah. “Islam liberal di Muhammadiyah itu belum menjadi gejala yang kuat. Mereka hanya segelintir orang, tapi mereka di-blow up oleh media massa. Mereka belum merupakan arus besar di Muhammadiyah,” kata Yunahar Ilyas dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425, h. 20. 64 Ada asumsi lain yang berkembang bahwa terpentalnya nama-nama seperti Hajriyanto Thohari, Munir Mulkhan, dan Dawam Rahardjo bukan karena mereka mendukung gagasan-gagasan JIMM atau liberalisme, tapi karena kasus Bank Persyarikatan Indonesia (BPI). Namun asumsi ini tidak berlaku untuk kasus Amin Abdullah dan Muhadjir Effendy yang menjadi ketua panitia Muktamar. 65 “Menggusur Virus Liberal di Muhammadiyah” dalam Sabili No. 1 TH. XIII 28 Juli 2005/ 21 Jumadil Akhir 1426. 66 Lihat “Talbis Iblis Fiqih Pluralis,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 07/ Februari 2004 – Dzulhijjah 1424.
21
Berbeda dari Syafii, dalam berbagai pidatonya Din tidak menyatakan pembelaan, dukungan atau apresiasi terhadap pemikiran generasi muda Muhammadiyah. Sikap ini bisa dipahami jika itu terjadi sebelum pemilihan pimpinan. Din perlu mengamankan peluangnya menjadi ketua umum dengan cara menjaga emosi para pendukungnya. Din mungkin sadar bahwa jika ia memberikan apresiasi terhadap JIMM yang cenderung liberal, maka suaranya bisa turun mengingat jumlah warga Muhammadiyah yang tidak menyukai JIMM cukup banyak. Namun pernyataan apresiasi juga tidak keluar setelah ia ditetapkan sebagai ketua umum. Ada beberapa asumsi tentang sikap tersebut. Bisa jadi Din tidak ingin langsung membuat langkah kontroversial begitu ia terpilih. Hal ini penting untuk menghormati para pendukungnya. Tentu mereka akan kecewa bila Din menyampaikan apresiasi terhadap pemikiran yg diusung JIMM segera setelah ia memimpin organisasi yang berdiri tahun 1912 ini. Asumsi lain adalah bahwa Din memang tidak berniat untuk membela anak-anak JIMM. Atau bahkan, sebetulnya ia tidak menyukai model pemikiran itu.67 Asumsi bahwa Din tidak menyukai gerakan yang dilakukan oleh anak-anak muda Muhammadiyah itu tentu agak susah diterima bila melihat bahwa Din lah yang ikut membidani lahirnya PSAP-M (Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah), salah satu gerbong pemikiran “liar” di organisasi modernis ini. Alasan inilah yang dikemukakan Din ketika mendengar isu bahwa ketidaksukaan beberapa orang kepada Din adalah karena ia seorang fundamentalis. Mendengar isu tersebut, Din buru-buru menjawab bahwa orang lupa bahwa dirinyalah pendiri PSAP. Meski di kalangan terbatas Din menolak disebut fundamentalis, ia tetap saja menolak untuk memberikan pernyataan perlindungan kepada 2 (dua) kelompok yang bersebarangan di Muhammadiyah ketika ada seorang tokoh Muhammadiyah meminta hal tersebut.68 Tokoh ini mengatakan bahwa ia telah meminta kepada Din untuk menyampaikan satu statemen bahwa ia akan memayungi dua kelompok yang beroposisi itu dalam pidato serah terima jabatan, namun Din tak bersedia memenuhi. Benar apa yang disampaikan oleh tokoh Muhammadiyah tersebut di atas, tidak ada pernyataan apresiasi terhadap kelompok liberal dalam pidato Din pada acara serah terima jabatan. Din bahkan menyebutkan bahwa kepemimpinan di organisasi ini bersifat kolegial. Dalam urusan-urusan besar, dia hanya akan menyampaikan apa yang menjadi keputusan para pimpinan. Pidato Din itu sebetulnya disampaikan setelah ia mendengarkan pidato Pak Syafii yang, diantaranya, berisi pembelaan habis-habisan terhadap pemikiran yang dikembangkan oleh anak-anak muda. Tapi rupanya Din tidak tergerak sama sekali untuk menanggapi masalah ini. Dia menanggapi segala hal yang disampaikan Syafii Maarif, kecuali tentang pemikiran anak-anak muda. 67
Dalam salah satu komentarnya yang dikutip oleh Waspada (Senin, 29 Agustus 2005) dan Hidayatullah.com, Din Syamsuddin mengatakan bahwa tantangan utama dalam dakwah Islam di Indonesia adalah merajalelanya sekularisme dan liberalisme. Lihat “Din Syamsuddin: Sekularisasi dan Liberalisasi Ancaman Dakwah Islam” dalam http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2213&Itemid=0. Diakses pada 13 ktober 2005. Lihat pula “Liberalisme Tak Akan Terjadi pada Agama Wahyu,” dalam Suara Merdeka, Senin, 05 September 2005. 68 Tokoh ini adalah salah satu wakil sekretaris Muhammadiyah pada periode kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif 2000-2005.
22
Memang, sikap Din di atas tidak bisa dijadikan indokator bahwa ia akan memberangus JIMM atau melarang pemikiran liar di organisasi modernis ini. Namun sikap ini bisa dijadikan salah satu indikasi bahwa tidak ada jaminan dari pimpinan Muhammadiyah terhadap masa depan JIMM dan pemikiran yang diusungnya. Satu catatan yang perlu diperhatikan dari komentar-komentar Din seusai Muktamar adalah bahwa ia akan mengadakan dialog pemikiran untuk menjembatani dua arus pemikiran yang berbeda di Muhammadiyah. “Kalau tidak kita selesaikan secara baik, bijak dan dialogis, maka benturan-benturan itu akan kontraproduktif dan menimbulkan konflik internal,” ungkap Din.69 Din juga tidak serta merta menyamakan antara JIL dan JIMM. “(Antara JIMM dan JIL) ada persinggungan, tapi berbeda. Alhamdulillah, adik-adik kader Muhammadiyah itu masih punya semangat untuk menegakkan Islam, komitmen keagamaan,” ungkapnya.70 Beberapa Catatan Akhir Ketika gagasan “Dawah Kultural” sedang menjadi isu yang hangat diperbincangkan, Kuntowijoyo membuat tulisan yang berjudul “Malin Kundang Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal.”71 Tulisan ini merupakan sebuah refleksi agar jangan sampai sebuah “pemberontakan” itu pada ujungnya tidak mendapatkan apa-apa, di sini tidak kena dan di sana juga tidak dapat, ke sana luput dan ke sini meleset. Sekilas, apa yang dituliskan oleh Kunto itu menjadi nasib JIMM: gagasangagasan JIMM tidak diterima oleh Muhammadiyah, bahkan orang-orang yang mendukung gagasan tersebut pun kini tersingkir dari kepengurusan di organisasi ini. Mengapa resistensi beberapa orang Muhammadiyah terhadap JIMM begitu kuat? Mengapa reaksi mereka kadang berlebihan? Dan mengapa pula JIMM tak kuasa untuk merespon dengan baik berbagai kritik tersebut? Lebih lanjut, mengapa para pendukung JIMM lantas tersisihkan dari Muhammadiyah? Dari berbagai kritik yang disampaikan oleh para penentangnya, terlihat bahwa kritik tersebut lebih banyak ditujukan bukan kepada inti dari gerakan JIMM, yaitu lahirnya the new social movement. Kritik lebih banyak ditujukan kepada bunga-bunga atau percikan-percikan dari misi besar JIMM, seperti tema tentang pluralisme, inklusivisme, liberalisme, dan sekularisme.72 Tema-tema yang menjadi sasaran kritik tersebut merupakan sisi persinggungan antara JIMM dan JIL. Beberapa kelompok Islam di Indonesia beberapa kali menunjukkan sikap antipati yang sangat terhadap JIL. Bahkan, koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, pernah difatwa halal darahnya karena tulisannya di Kompas (18/11/02) yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Persinggungan isu itulah yang lantas dijadikan klaim bahwa JIMM tak lebih dari kepanjangan dari JIL di Muhammadiyah. Kebencian kepada JIL ini lantas melahirkan sikap antipati kepada siapapun yang yang bersinggungan dengan 69
“Dien Syamsuddin: Warga Muhammadiyah Harus Mengaji Kembali,” dalam Sabili No. 1 TH. XIII 28 Juli 2005/ 21 Jumadil Akhir 1426. 70 “Dien Syamsuddin: Warga Muhammadiyah Harus Mengaji Kembali,” dalam Sabili No. 1 TH. XIII 28 Juli 2005/ 21 Jumadil Akhir 1426. 71 Tulisan tersebut disampaikan Kuntowijoyo dalam Halaqah Tarjih I Muhammadiyah “Dialektika Agama dan Budaya Lokal: Apresiasi Terhadap Pluralisme Seni-Tradisi” yang diselenggarakan di Kota Solo, 2-4 November 2001. Untuk naskahnya bisa dilihat dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan (ed.), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Kartasura, Surakarta: Penerbit Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, Universitas Muhammadiyah Surakarta bekerjasama dengan Ford Foundation & Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 2002. 72 Hilman Latief, “Muhammadiyah intellectuals need meaningful dialog,” (The Jakarta Post, 20/7/05).
23
JIL, tak terlewatkan adalah JIMM. Kebencian ini pula yang membuat beberapa orang lantas tidak mempedulikan apa sebetulnya misi utama dari kelahiran JIMM. Di samping karena persinggungan tema, JIMM juga kurang bisa mempromosikan atau menunjukkan bahwa bahwa misi besarnya adalah the new social movement. Jika mereka sudah bisa menunjukkan kerja-kerja atau hasil-hasil dari gerakan ini, barangkali resistensi dari kelompok penentang bisa berkurang. Reaksi yang berlebihan dari beberapa orang terhadap JIMM itu juga terjadi karena dialog yang sehat antara anak-anak JIMM dan para penentangnya jarang atau bahkan tidak terjadi. Hal yang sering muncul justru sebutan-sebutan yang kurang mengenakkan dan kurang dewasa antara dua kubu yang berseberangan ini: anak-anak JIMM menyebut penentangnya sebagai fundamentalis, taliban, konservatif, literalis, radikalis, dan puritanis; sementara penentang JIMM menyebut kelompok ini sebagai sekular, agen Barat, berideologi duit, virus, dan iblis. Komunikasi yang arif dan pendekatan persuasif mungkin bisa menjadi alat untuk meredakan ketegangan. Untuk itulah, apa yang pernah digadang oleh Din Syamsuddin tentang penyelenggaraaan dialog pemikiran yang sehat perlu segera ditagih. Seperti yang dikatakan Sukidi, “Kedua sayap itu justru menandakan terjadinya dinamika pluralisme internal dalam tubuh Muhammadiyah. Jika Din sukses mengelola pluralisme internal ini, Muhammadiyah akan menjadi kekuatan luar biasa sebagai ‘laboratorium pemikiran’ yang mencerahkan umat dan bangsa.”73 Anak-anak JIMM adalah anak kandung dari Muhammadiyah. Pada merekalah, diantaranya, masa depan Muhammadiyah terletak. Tugas bapak adalah membimbing dan mendidik anaknya, sementara tugas anak adalah hormat kepada bapaknya. Saat ini, umur JIMM belumlah genap tiga tahun. Dalam usia semuda itu, barangkali wajar jika dikatakan bahwa anak-anak JIMM memang masih dalam proses menunjukkan kedewasaan. Dan dalam umur semuda itu, barangkali tidak fair jika JIMM sudah dituntut untuk menunjukkan hasil dari misi-misi besarnya. Program JIMM untuk membangun the new social movement bukanlah proyek yang bisa selesai dalam sehari atau seminggu. Butuh waktu lama untuk melihat buah dari upaya tersebut. Hal yang perlu dilakukan JIMM saat ini, seperti diusulkan oleh salah seorang aktivisnya, Hilman Latief, adalah mencoba tampil lagi dengan strategi baru tanpa harus menghilangkan idealisme yang selama ini mereka miliki.74 Jika selama ini apa yang dilakukan JIMM justru melahirkan hal-hal yang sifatnya kontra-produktif, maka dengan strategi baru tersebut, diharapkan apa yang menjadi cita-cita JIMM bisa membumi di Muhammadiyah. Paling tidak, sebagai kesimpulan akhir, apa yang telah diperbuat JIMM saat ini sudah merupakan catatan tersendiri dalam sejarah pemikiran Muhammadiyah, sebuah “pemberontakan.” --oo0oo-*
Ahmad Najib Burhani, Master dalam bidang Islamic Studies dari Universiteit Leiden, Belanda (2004). Saat ini, selain menjadi peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga aktif di Muhammadiyah. Menjadi peneliti
73
Sukidi Mulyadi, “Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal” dalam Majalah Tempo, edisi 20/XXXIV/11-17 Juli 2005. 74 Hilman Latief, “Muhammadiyah intellectuals need meaningful dialog,” (The Jakarta Post, 20/7/05).
24
pada beberapa penelitian, seperti: Islam & Peace Building in Indonesia: the Analysis of Radical Movements and their Implication for Security-Development Prospects (ICIP-JICA, 2004). Buku yang telah dipublikasikan a.l. Tarekat Tanpa Tarekat (Serambi, 2002), Sufisme Kota (Serambi, 2001), Islam Dinamis (Kompas, 2001), Manusia Modern Mendamba Allah (IIMaN-Hikmah, 2002 –editor), SQ, Spiritual Intelligence (Mizan, 2001 –penerjemah), Islam Tanpa Syariat (Grafindo, 2005 –editor). Beberapa tulisannya diikutsertakan dalam buku a.l. M. Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah (Mizan, 1998), Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah (Mizan, 1999), Puasa dan Kejujuran (Kompas, 2000), dan Geger di ‘Republik’ NU (Kompas-Lakpesdam NU, 1999).
25