artefak
MEDIA KOMUNIKASI ARKEOLOGI
Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi
Dialog Moko : Produk Lokal untuk Pemenuhan Kebutuhan 10 Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid 12 Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik Indonesia 15
Berita Penelitian Bharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi Guide Wisata di Candi Borobudur 36
1
Ilmiah Mereproduksi Nilai Candi 20 Dampak Keberadaam Kawasan Karst MarosPangkep Terkait Masyarakat Ssekitar 23 Wisata Educotourism: Upaya Pelestarian Situs Gunung Padang, Jawa Barat 28
Sosok Penggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni,M.A. 38
Media Komunikasi Arkeologi Edisi 30 | Volume 1 | November 2014 | ISSN 0215-6342
DAFTAR ISI Dialog Moko : Produk Lokal untuk Pemenuhan Kebutuhan 10 Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid 12 Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik Indonesia 15
Lepas Catatan Nusantara 17
Berita Penelitian Bharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi Guide Wisata di Candi Borobudur 36
Puisi Candi Sambisari 49
Resensi Buku Arkeologi untuk Publik 50
Ilmiah Mereproduksi Nilai Candi 20 Dampak Keberadaam Kawasan Karst MarosPangkep Terkait Masyarakat Ssekitar 23 Wisata Educotourism: Upaya Pelestarian Situs Gunung Padang, Jawa Barat 28
Sosok Penggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni,M.A. 38
Dari Lapangan Ekskavasi di Halaman Candi Mendut, Magelang 46 Ekskavasi Situs Tegalweru 47
Guntingan Ringan Abu Vulkanik di Candi Garuda Dibersihkan 52 Situs Gunung Padang Terbesar di Asia Tenggara 52 Logam Temuan Bukan Emas 53 Artefak Abad 7 Ditemukan di Tuntang 54
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014 | ISSN 0215-6342 Pelindung: Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM | Penasihat Ilmiah: Fahmi Prihantoro, S.S., S.H., M.A. | Penanggung Jawab: Ketua Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya UGM | Pemimpin Umum: Umar Hanif Al Faruqy | Pemimpin Redaksi: Safitri Setyowati | Staf Redaksi: Asror Fikri Hagaspa, Elfani Warasti Dewi, Eugenius Olafianto, Fatikhatus Sholikhah, Fatma Yunita, Hera Indry, Hisar Agustinus Sinambela, Umar Hanif Al Faruqy | Editor: Fatma Yunita | Kepala Produksi dan Artistik: Siswanto | Staf Produksi dan Artistik: Ahmad Noor Aji Kesuma, Arief Muunandar, Christommy Martotama Sasabana, Mathilda Chandra R | Kepala Distribusi dan Promosi: Sugiarto Hadinata Majalah Artefak diterbitkan oleh: Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada | Alamat Redaksi: Sekretariat Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia | Email: hima@ugm.ac.id
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
2
DARI KAMI
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Majalah Artefak ini dapat diterbitkan. Saat ini artefak hadir kembali dengan sajian tema yang lebih luas. Pada edisi kali ini artefak mengambil tema Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi. Pantauan terhadap Indonesia dilakukan khususnya dengan pendekatan arkeologi sebagai ilmu yang membahas benda atau budaya materi pada masa lampau dan hubungannya dengan manusia pendukungnya sehingga dapat membahas Indonesia baik berawal dari masa lampau atau pun dari masa kini ditarik atau dicari ‘tali ikat’ di masa lampau. Tema yang diambil tersebut terasa lebih luas karena terkait dengan munculnya kembali artefak setelah beberapa periode tidak terbit. Kami berharap majalah ini dapat bermanfaat dan menampah pengetahuan dengan bahasan yang sesuai untuk semua kalangan, baik mahasiswa maupun kalangan umum. Kemudian untuk rekan-rekan arkeologi, kami sangat mengharapkan kehadiran dan partisipasinya untuk ikut berkiprah menjaga kelangsungan hidup artefak dan sekaligus menuangkan kreatifitas serta ide-ide baru. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang memberikan dukungan dan bantuan demi terbitnya artefak. Selanjutnya tak ada gading yang tak retak, kami menyadari masih banyak beberapa sisi yang kurang sesuai sehingga kami mengharapkan berbagai kritik, masukan dan saran yang membangun agar artefak periode selanjutnya dapat terbit dengan lebih baik lagi. Salam Redaksi
Ilustrasi: Muunandar/ARTEFAK
3
Media Komunikasi Arkeologi
Memantau Indon
Memantau negeri pertiwi bernama Indonesia dapat dilaku peralatan. Salah satunya, adalah dengan menggunakan ter Arkeologi, Indonesia dapat dipantau perbandingannya, per sekarang. Melalui tinggalan-tinggalan budaya seperti moko dibandingkan antara wajah dulunya dan wajahnya hari in Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
4
nesia dari Teropong Arkeologi
ukan dengan berbagai macam cara dan berbagai macam ropong bernama Arkeologi. Dengan menggunakan rkembangannya, dan perubahannya dari dulu hingga o, masjid, dan prasasti, sebagian sisi dari Indonesia dapat ni.
5
Media Komunikasi Arkeologi
Foto : Arief/ARTEFAK
FOKUS
Arkeologi Sebagai Teropong Oleh : Safitri Setyowati
Foto : Aji/ARTEFAK
I
ndonesia merupakan negara kepulauan dengan masing-masing pulau yang terhubung perairan. Setiap pulau memiliki keunikan dan kekhasan masingmasing sehingga menarik untuk diketahui lebih lanjut. Memantau Indonesia dari setiap pulau tidak hanya menggunakan
satu kali pandangan, membutuhkan berulang kali pandangan secara berkelanjutan untuk benar-benar memahami Indonesia yang pulaunya berjumlah ribuan. Menilik Indonesia dari masa lampau merupakan salah satu hal yang menarik untuk diambil pelajaran lebih lanjut dengan teropong
arkeologi. Arkeologi sebagai teropong untuk melihat sesuatu yang sulit dijangkau, sulit terbayangkan, dan bahkan belum pernah terfikirkan sebelumnya. Pantauan arkeologi terhadap Indonesia mengenai masa lampau, bahkan ratusan tahun yang lalu kemudian dikaitkan
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
6
FOKUS terhadap kejadian yang ada sekarang ini. Masa lampau Indonesia yang secara umum bermula dari masa prasejarah mempunyai hal-hal yang menarik untuk dikenali dan dipelajari lebih lanjut untuk menjadi bahan ajar kehidupan di masa ini agar kehidupan saat ini menjadi lebih baik dan tidak mengulang berbagai kesalahan di masa lampau. Berbagai kejadian menarik masa lampau tersebut dapat ditarik kesinambungan dengan kehidupan saat ini, dapat pula sebagai perbandingan, serta lebih baik dapat diambil solusi dan manfaat dari kejadian masa lampau untuk kehidupan masa kini. Di dalam menempuh kehidupan terkadang ada beberapa peristiwa sejenis yang terjadi berulang, ada yang dalam kondisi sama ada pula dalam kondisi yang lebih baik; selalu ada perbaikan disetiap kekurangannya atau bahkan sebaliknya. Kejadian yang terjadi di Indonesia pun juga demikian, peristiwa yang terjadi di masa lampau ada yang terulang lagi di masa kini dengan berbagai persamaan dan banyak perbedaannya karena waktu dan pertumbuhan itu selalu berjalan seiring. Kejadian politik di Indonesia misalnya di masa lampau dengan sistem politik di dalam kerajaan sedangkan sekarang sistem politik demokrasi namun ada kesamaan salah satunya ialah masih adanya perbuatan
7
korupsi yang melekat pada sistem pemerintahan yang sulit untuk dibersihkan. Kemudian selain mengenai persamaan dan perbedaannya, kehidupan yang ada di masa sekarang ini juga hadir karena adanya masa lampau. Adanya kesinambungan hidup baik dari segi budaya, teknologi dan segi kehidupan lainnya. Hal itu berlaku terhadap bangunan peribadatan pada masa klasik (Hindu Budha) yang berbentuk meru meniru bentuk gunung. Arsitektur bangunan tersebut mengalami keberlanjutan ciri arsitektur pada masa Islam yang juga pada bangunan peribadatannya. Masjid pada masa-masa awal Islam di Indonesia dijumpai arsitektur masjid dengan bentuk arsitektur atap tumpang yang merupakan kesinambungan budaya dengan masa sebelumnya. Kesinambungan berupa materi budaya juga terjadi terhadap salah satu benda, yaitu moko sebagai benda yang dulu digunakan pada masa lampau saat masa berkembangnya logam dan tetap dipergunakan dibeberapa tempat di Bali dan wilayah Indonesia timur sekarang. Kesinambungan budaya yang berlangsung itu akan lebih bernilai jika di setiap perjalanannya diambil pelajaran yang terjadi. Berbagai perjalanan hidup terutama yang sudah terjadi di masa lampau dapat diambil pelajaran untuk menentukan
Media Komunikasi Arkeologi
langkah kehidupan di masa yang akan datang sehingga menjadi solusi untuk permasalahan yang terjadi saat ini agar kesalahan yang terjadi di masa lampau tidak terulang lagi dan dapat tertangani dengan lebih baik. Permasalahan salah satunya dalam mengahadapi berbagai bencana alam, dapat melihat kejadian masa lalu yang dapat menangani bencana dengan baik, misalnya terkait arsitektur bangunan masa lampau yang disesuaikan dengan daerah yang rawan mengalami gempa sehingga dengan berbagai inovasi dapat disesuaikan dengan apa yang terjadi saat ini. Akhirnya, ‘Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi’ mempunyai sudut ketertarikan tersendiri dengan memantau negara kita yang mempunyai ciri dan kekhasan yang melekat kemudian diteropong dengan ilmu arkeologi, ilmu yang dapat menceritakan bagaimana masa lalu, rekonstruksi budaya, dan perubahan budaya dari budaya material yang ada. Mengingat hal tersebut, maka tulisan yang tersaji dalam setiap lembaran ini dapat menjadi acuan untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan masa lampau terkait masa kini di Indonesia, kesinambungannya dan solusi bagi permasalahan yang ada sehingga teropong arkeologi dapat melihat segala sesuatunya menjadi semakin bermakna.
OPINI
Masyarakat Sipil Terpelajar Oleh : Asror Fikri Hagaspa
Mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang sangat penting peranannya. Mahasiswa menurut Wikipedia merupakan panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan di sebuah perguruan tinggi, tetapi peranannya bukan hanya menuntu ilmu, melainkan menjadi sebuah elemen yang mampu mengubah apa yang salah menjadi benar. Mahasiswa bukan sekedar mengenyam pendidikan tetapi harus menjadi suatu tolak ukur dalam hal kebenaran demi kemajuan bangsa.
S
eperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa itu juga merupakan bagian masyarakat sipil terpelajar yaitu masyarakat sipil yang mendapatkan pendidikan khusus yang kemudian diaplikasikan ke masyarakat umum. Mahasiswa bisa masuk ke dunia budaya politik, ekonomi, dan sebagainya. Inilah keistimewaan mahasiswa. Mahasiswa bersifat fleksibel artinya bebas untuk memilih. Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa pun sangat beragam. Potensi independen, kritis, komunikatif, idealis, semangat dan enerjik, mempunyai bidang keilmuan, multidisiplin ilmu, dan keberagaman wawasan dst. Potensi-potensi inilah yang membuat mahasiswa menjadi salah satu elemen yang penting dan istimewa untuk mengemban tugas dan menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa tersebut tentunya
harus diimplementasikan. Tanpa pengimplementasian, potensipotensi tersebut menjadi sia-sia, seperti seorang anak elang yang mempunyai potensi untuk terbang tinggi, tetapi ia hanya mau di tanah saja dan tidak mau terbang. Mahasiswa sebagai masyarakat sipil terpelajar seharusnya bisa menjadi model, yaitu tipe masyarakat yang selalu dinamis dan tidak berpaku pada asumsiasumsi yang seringkali salah. Model berarti juga dilihat orang, berarti model harus mempunyai suatu keunikan khusus sehingga dilihat orang, dalam hal ini, mahasiswa mempunyai keunikan yaitu dari segi idealis dan kritis, sehingga masyarakat seharusnya tidak hanya pasrah terhadap kebijakan pemerintah tetapi harus kritis dan juga tanggap. Selain itu, mahasiswa juga disebut juga agen perubahan. Oleh karena itu mahasiswa dengan sifat kritis dan idealisnya, harus bisa mengubah suatu sistem yang dianggap tidak ideal. Mahasiswa bukan
merupakan “thermometer� yang dipengaruhi lingkungan sekitarnya, melainkan mahasiwa merupakan “thermostat� yang bisa mengubah lingkungan sekitarnya. Jika mahasiswa tidak bisa menjadi tolak ukur, maka suatu negara akan menuju kehancuran sebab tidak ada yang menjadi kontrol dalam sistem tersebut. Selain itu mahasiswa juga merupakan penjaga nilai-nilai, dimana bertugas dalam menjaga nilainilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Mahasiswa harus menjadi penjaga nilai-nilai luhur bangsa sehingga nilai-nilai tersebut tidak terkikis seiiring kemajuan zaman, tetapi tetap dipertahankan dan diwariskan secara turun menurun. Sungguh mahasiswa memiliki peranan yang begitu berat, satu dari segi akademis dan satu lagi dari sisi non akademis. Dua hal ini harus berjalan seimbang, sebab jika hanya memikirkan dari non akademis, maka apa
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
8
OPINI
Ada beberapa faktor yang membedakan mahasiswa zaman dulu dan zaman sekarang, Faktor yang pertama yaitu perbedaan musuh yang dihadang. Musuh yang dihadapi mahasiswa pada zaman dahulu dan zaman sekarang berbeda. Pada zaman dahulu, musuh yang dihadapi sangat jelas. Pada zaman kemerdekaan, musuh yang dihadapi adalah penjajah dan penindas. Sedangkan pada zaman orde baru dimana presiden memimpin layaknya seorang raja
“
Faktor yang kedua yaitu menghilangkan anggapan mahasiswa ber-IPK rendah. Memang pada zaman dahulu, cenderung mahasiswa yang menjadi aktivis memiliki IPK yang rendah. Apalagi dahulu, seorang insiyur harus melewati dua fase sarjana, yaitu sarjana muda dan sarjana penuh. Ini membuat banyak mahasiswa yang lulusnya lama dan harus bersusah payah. Oleh karena masalah ini, mahasiswa pada zaman sekarang cenderung untuk mengurangi kegiatan-kegiatan berorganisasi entah itu berbau politik, sosial, dan sebagainya. Karena jika mereka harus ikut hal tersebut, mereka harus siap terima resiko mendapat indeks prestasi yang
berkualitas semakin tinggi. Ini dapat dilihat dari penerimaan karyawan baru di perusahaan yang bergitu ketat dengan berbagai tes baik tertulis maupun lisan. Persaingan kerja punsangat ketat dan para sarjana berusaha keras untuk masuk perusahaan yang diinginkannya dengan “menyikut� sana dan sini. Tantangan kerja pada saat ini memang sulit karena memang pertumbuhan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan pertumbuhan lulusan-lulusan sarjana, sehingga banyak sarjana yang menganggur. Seperti yang disebutkan pada faktor nomor dua, bahwa mahasiswa sekarang cenderung untuk berfokus pada indeks prestasi, karena tuntutan pekerjaan yang semakin berat dan juga persaingan yang ketat. Kesimpulan yang dapat
potensi-potensi tersebut menjadi sia-sia, seperti seorang anak elang yang mempunyai potensi untuk terbang tinggi, tetapi ia hanya mau di tanah saja dan tidak mau terbang.
dengan gaya kepemimpinan turun temurun, padahal negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem presidensial. Namun, jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, musuh yang dihadapi sekarang , musuh yang tidak kelihatan adalah kebodohan yang merajalela di Indonesia, kelaparan, kemiskinan, korupsi setiap hari oleh aparat yang hanya mencari keuntungan sendiri, birokrasi yang dibuat susah dan harus ada uang dan uang, cari muka agar
9
mendapatkan keuntungan, dan sebagainya.
rendah. Memang pada zaman sekarang juga, seorang aktivis mahasiswa tidak hanya pandai berorasi tetapi juga pandai secara akademis sebab bagaimana orasinya itu dapat didengarkan orang sementara di kampusnya sendiri pun ia gagal dan tidak bisa menjadi contoh dalam akademis. Faktor yang terakhir yaitu karena tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi. Pada zaman yang serba canggih ini, tuntutan sumber daya manusia yang
Media Komunikasi Arkeologi
“
gunanya disebut mahasiswa yang masih ada kata “siswa� nya yang seharusnya menjadi pelajar di suatu institusi. Jika hanya memikirkan akademis, maka suatu negara akan mengalami kemunduran sebab tidak ada kontrol sosialnya.
diambil yaitu meskipun tantangan zaman berbeda, kita sebagai mahasiswa seharusnya masih bisa menumbuhkan sikap kepedulian terhadap masyarakat sekitar dengan tidak mengorbankan akademik. Kepedulian terhadap masyarakat dan akademik harus berjalan seimbang sehingga menciptakan suatu harmonisasi hidup dimana seorang mahasiswa menjadi seorang warga masyarakat sipil terpelajar yang berguna bagi nusa dan bangsa.
DIALOG
Moko : Produk Lokal untuk Pemenuhan Kebutuhan Oleh : Safitri Setyowati
“
P
roduk lokal sebagai hasil buatan masyarakat suatu daerah tertentu; hasil buatan khususnya berupa budaya materi yang merupakan ciri khas dan tidak ditemukan di daerah lain. Produk itu dihasilkan umumnya untuk memenuhi kebutuhan sesuai apa yang perlu dengan tujuan tertentu. Salah satu produk lokal yang ada di Indonesia ialah moko sebagai produk lokal untuk pemenuhan kebutuhan. Mengenai hal tersebut untuk mengetahui bagaimana secara garis besarnya maka artefak mewawancarai Dr. Anggraeni, MA di Kantor Jurusan Arkeologi FIB UGM untuk mengetahui hal itu lebih lanjut. Mengawali pembicaraan, beliau yang sering disapa Bu Anggra
menjelaskan bahwa moko itu produk lokal yang merupakan adaptasi nekara. Beberapa hal perbedaan antara moko dan nekara ialah mengenai ukuran, proporsi timpanium (bidang pukul dan tubuh); moko berukuran langsing sedangkan nekara berukuran pendek dan gemuk. Moko sebagai produk lokal diindikasikan dengan adanya alat cetak yang ditemukan di Bali dan Pantura. Kemudian mengenai produksinya moko yang terdapat di Gresik masih dijumpai sampai awal abad ke duapuluh sedangkan yang menjadi konsumen produk moko berada di daerah Indonesia Timur, salah satunya ialah Flores. Gresik memproduksi moko karena sangat dibutuhkan di Indonesia Timur yang di tempat tersebut moko dinilai
“
Moko yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia tersebut dapat dikatakan sebagai suatu produk lokal yang merupakan inovasi kreativitas masyarakat masa lalu untuk membuat suatu benda yang dapat digunakan atau difungsikan sesuai dengan kebutuhan di beberapa daerah tertentu selain untuk memenuhi kebutuhan juga merupakan suatu khas produk yang tidak ditemui di tempat lain
merupakan barang berharga dan berguna (prestisius). Produsen dan konsumen tersebut dapat diketahui dari etnografi yang ada di Indonesia karena moko dipakai dalam beberapa hal misalnya terdapatnya moko di pura, ada di situs sejarah, ada pula di wadah kubur di Jawa Timur dan Bali. Mengenai moko yang ada di Bali, diduga moko tersebut merupakan produk yang diproduksi oleh masyarakatnya sendiri. Hal tersebut didasarkan pada temuan berupa cetakan batu sebagai cetakan untuk membuat alat-alat logam termasuk moko. Cetakan tersebut ditemukan di Daerah Manuaba, Kecamatan Tegalallang, Kabupaten Gianyar sehingga disinyalir sebagai situs perbengkelan alat-alat logam di
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
10
DIALOG
Bali. Selain adanya cetakan batu, ada pula pola hias Kedok Muka sebagai pola hias khas di Bali yang semakin memperkuat bahwa itu memang produk khas di Bali dan tidak didatangkan dari wilayah lain yang berfungsi sebagai benda yang disakralkan dan wadah kubur. Moko yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia tersebut dapat dikatakan sebagai suatu produk lokal yang merupakan inovasi kreativitas masyarakat masa lalu untuk membuat suatu benda yang dapat digunakan atau difungsikan sesuai dengan kebutuhan. Selain untuk memenuhi kebutuhan, moko juga merupakan suatu khas produk yang tidak ditemui di tempat lain. Hal tersebut dapat dijadikan suatu refleksi atau pemahaman untuk masyarakat Indonesia masa kini yang mempunyai orientasi ekonomi lebih senang menjadi konsumen terutama produk impor dengan anggapan ketika sudah membeli lebih mudah kenapa harus beratberat membuat. Padahal moko tersebut merupakan produk lokal dan dalam bahasan masyarakat masa kini merupakan produk dalam negeri yang dipergunakan untuk kepentingan di dalam negeri sendiri. Kemudian alangkah lebih baiknya jika negara ini memanfaatkan kekuatan kekayaan alam, seni, dan budayanya dengan berusaha mengembangkan produk lokal berkualitas baik untuk memenuhi kebutuhan bangsa sehingga dapat mandiri, maju dan tidak tergantung dengan negara lain. Foto : Aji/ARTEFAK
11
Media Komunikasi Arkeologi
DIALOG
Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid Oleh : Umar Hanif Al Faruqy
Foto : Umar/ARTEFAK
Arsitektur masjid kuno dan modern di Indonesia seolah tidak menunjukkan kesinambungan sama sekali. Gagasan-gagasan Nangkula Utaberta yang tertulis dalam buku Arsitektur Islam terbitan Universitas Gadjah Mada menjadi bekal utama untuk dibenturkan dalam dialog bersama Sektiadi, salah seorang dosen Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Alih-alih berbenturan, hasil dialog justru berbuah penguatan terhadap argumen dan interpretasi yang ditulis oleh Nangkula Utaberta, seorang Arsitek Malaysia-Indonesia.
M
asjid Agung Jawa Tengah Semarang, Masjid Dian Al-Mahri Depok, dan Masjid Al Akbar Surabaya. Ketiga masjid ini menunjukkan perkembangan arsitektur masjid di Indonesia saat ini.Ketiga masjid tersebut memiliki kubah yang besar, menara yang tinggi, halaman yang luas,
ornamentasi yang mewah, dan ruang utama yang megah. Bagi sebagian masyarakat, masjid semegah itu bagus untuk dijadikan objek wisata religi. Masyarakat dari manapun akan tertarik dan bebas untuk berwisata ke sana; berfoto, beribadah, menggelar pertemuan, dan menyelenggarakan acara pernikahan. Fungsi sejati masjid
seolah berbelok dari fungsi religi menuju fungsi sosial, mengikuti pembelokan arsitektur masjid kuno menjadi modern. Ada banyak sekali masjidmasjid kuno di Indonesia;mulaidari Masjid jami Indrapuri Aceh, Masjid Gang Bengkok Medan, Masjid Nagari Lubuk Bauk Padang, Masjid Agung Banten, Masjid Agung
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
12
DIALOG
Demak, Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Masjid Sunan Ampel Surabaya, Masjid kuno NTB, Masjid Air Mata NTT, Masjid Abdurrahman Pontianak, Masjid Hatangka Gowa, hingga Masjid Sultan Ternate di Maluku. Dari segi pola arsitektur, seluruh masjid tersebut memberi gambarantentang sebuah kesamaan besar. Hal ini disebabkan oleh adanya “cetak biru budaya� yang berarti,masyarakat Indonesia pada masa itu telah memiliki gagasan-gagasan yang sama dalam membangun Masjid dan lingkungan mereka. Kesamaan gagasan tersebut lahir dari kondisi iklim dan sosial di Indonesia yang relatif sama di seluruh wilayah. Sehingga masyarakat pada saat itu kemudian mendesain masjidnya untuk memiliki fitur-fitur unik dengan penerapan teknologi dan penerapan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan mereka. Salah satu fitur itu adalah atap yang berbentuk tajug dan tumpang. Penggunaan atap jenis ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu telah mengembangkan teknologi sirkulasi udara yang baik. Udara akan masuk dari lubang-lubang pintu dan jendela, kemudian dialirkan dan keluar melalui celah yang terletak di antara bagian atap masjid sehingga orang-orang yang berada di dalam masjid kuno akan merasa sejuk. Masjid-masjid kuno juga memiliki fitur unik lain seperti pawestren, serambi, dan kolam. Pawestren merupakan tempat
13
ibadah wanita. Bentuknya persegi panjang dan menggunakan desain arsitektur gandok atau teras rumah tradisional masyarakat Jawa. Sedangkan serambi merupakan bagian yang menempel pada bangunan masjid, berbentuk seperti pendopo, dan digunakan untuk mewadahi berbagai kebutuhan masyarakat. Danfitur kolam yang sudah dikenal baik sejak masa hindu-buddhaberfungsi sebagai tempat untuk bersuci bagi para muslim sebelum melaksanakan ibadah. Pemberian fungsi dan penggunaan arsitektur yang telah dikembangkan menggambarkan bahwamasyarakat sudah menggunakan fitur-fitur hasil pengembangan teknologi sejak lama. Artinya, keempat fitur tersebut menunjukkan kesinambungan budaya yang berjalan dengan baik. Dalam berubahnya agama masyarakat dari Hindu-Buddha menjadi Islam, jejak-jejak budaya pada masa sebelumnya terekam dalam arsitektur masjid tidak terhapus dan diganti begitu saja. Sebagian orang menginterpretasi fenomena itu sebagai upaya pendekatan Islam terhadap masyarakat yang masih memegang kepercayaan Hindu-Buddha. Pembangunan, penggunaan, hingga masalah perawatan masjid-masjid kuno di Indonesia dikerjakan secara bersama-sama oleh masyarakat setempat, sebab saat itu profesi arsitek belum dikenal. Namun, tentu ada satudua orang yang lebih ahli, yang
Media Komunikasi Arkeologi
bertugas mengorganisasi dalam tahap pembangunan. Oleh karena pengerjaan secara bersama-sama, seluruh masyarakat menjadi paham dengan baik arsitektur masjid yang mereka butuhkan. Mereka paham bagaimana cara membangun, merawat, dan bahan apa saja yang dibutuhkan jika masjid perlu diperbaiki. Bahanbahan yang diperlukan dalam pembangunan dan perawatan masjid pun berasal dari apa yang terdapat di lingkungan sekitar. Dapat disimpulkan, masjid-masjid kuno di Indonesia didesain dengan menjadikan masyarakat sebagai inti pembangunannya. Sayangnya, yang demikian itu tidak ditemukan dalam kebanyakan masjid modern sekarang. Inti dan fokus tersebut berbelok kepada sebuah komunitas atau masyarakat yang ada entah di mana.Gagasangagasan dan teknologi asing yang semakin bebas masuk ke dalam masyarakat modern berhasil mengubah arsitektur masjid yang telah diwariskan dan dikembangkan sekian lama. Masyarakat pun menerima dengan tidak menghiraukan apakah gagasan dan teknologi yang diadopsi dari komunitas asing tersebut sesuai atau adaptif dengan kondisi iklimdan sosial masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh, pola arsitektur dan ornamentasi masjid modern cenderung mengikuti pola Turki dan Timur Tengah. Sehingga tidak ada lagi celah pada bagian atap masjid yang dapat mengalirkan udara. Ornamentasi yang ditampilkan pun
DIALOG
asing dan tidak mencerminkan budaya masyarakatnya. Dan oleh sebab kemegahannya, masjidmasjid modern harus berupaya mencari dukungan finansial akibat biaya perawatannya yang mahal. Maka datanglah aspek-aspek komersial di dalam lingkungan masjid. Sehingga mereka harus
jalan. Hal ini bertentangan dengan konsep pembangunan masjid zaman dulu yang mengatakan jika dalam suatu wilayah masih terdengar adzan, maka tidak boleh membangun masjid lagi di wilayah tersebut. Berbagai masalah yang dihasilkan akibat pembelokan
iklim dan sosial masyarakat. Akan tetapi saat inihal tersebut telah ditinggalkan. Banyak masjiddibangun secara tidak profesional secara teknis, boros energi, tidak menggambarkan budaya masyarakat setempat, dan bahkan tidak menimbulkan kehikmatan dalam beribadah.
Foto : Umar/ARTEFAK
membuat fitur-fitur baru seperti gedung pertemuan, wisata menara, dan ruang acara pernikahan yang bisa disewa siapapun dan mampu mendatangkan uang. Wujud arsitektur dan fungsinya bisa dikatakan telah berbelok dari yang sejatinya. Pembelokan-pembelokan ini diwarnai oleh gaya hidup yang berkembang di Indonesia saat ini. Masjid-masjid sekarang lebih menonjolkan aspek-aspek sosial dibandingaspek-aspek religi dan budaya. Maka banyak dijumpai saat ini masyarakat yang berlombalomba membangun masjid padahal letaknya hanya berseberangan
arsitektural ini tidak berarti tidak dapat diembalikan ke fungsi masjid yang sejatinya. Masih ada harapan yang dapat dibangun selanjutnya. Sebaiknya, para arsitek mendesain masjid dengan lebih menonjolkan aspek religiusitas dari pada aspekaspek kemewahan, ornamental, dan kemegahan yang tidak banyak diperlukan. Selain itu, masjidmasjid di Indonesia juga haruslah menunjukkan sisi wawasan kearifan lokal masyarakat. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memiliki dan mengembangkan warisan-warisan teknologi dalam arsitektur masjid yang adaptif dengan kondisi
Fungsi masjid yang telah berubah ini harus dikembalikan lagi kepada sebagaimana mestinya. Sektiadi menjelaskan, “Tugas arkeolog juga mungkin, untuk menunjukkan keunggulankeunggulan masjid yang telah dimiliki masyarakat Indonesia sejak lama, dan kemudian mensyiarkannya pada masyarakat�. Sehingga, arsitektur masjidmasjid modern di Indonesia selanjutnya akan kembali berkembang untuk memenuhi fungsinya dan berkembang untuk mengembangkan kehidupan masyarakat.
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
14
DIALOG
Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik Indonesia Oleh : Safitri Setyowati
“
Foto : Aji/ARTEFAK
Ini situasi yang cukup berbahaya karena hukum merupakan alat pengontrol masyarakat. Kalau hukum menjadi remeh maka masyarakat bisa bertindak semaunya dan berakibat pada ketidaktertiban masyarakat dalam kehidupan.
“
H
ukum sebagai salah satu sistem yang terpenting atas rangkaian kelembagaan di dalam pelaksanaannya merupakan hal yang harus ada hampir dalam setiap sisi kehidupan agar dapat tercipta keadilan dan keharmonisan hidup. Di dalam hukum ada beberapa hal yang dibahas misalnya mengenai hukuman, cara memutuskan perkara, dan lain-lain. Selain itu hukum juga mempunyai landasan dan pengaruh dari luar sehingga ada hukum tertentu yang terkadang berbeda antar masa atau antar daerah. Sistem tersebut sekarang
15
menjadi hal yang wajar dan harus ada di dalam suatu negara salah satunya di Indonesia. Di wilayah Indonesia, jauh sebelum masa kini telah ada sistem hukum antaranya di masa klasik misalnya di Kerajaan Mataram Kuno, . Mengenai hal tersebut untuk mengetahui bagaimana secara garis besarnya maka artefak mewawancarai Fahmi Prihantoro, S.S., S.H., M.A. untuk mengetahui mengenai hukum di Indonesia di masa kini dan masa klasik Indonesia. Hukum di Indonesia secara sistem sudah baik, artinya memiliki aturan hukum yang cukup baik
Media Komunikasi Arkeologi
secara isi (materi) sebagai acuan dalam memutuskan perkara hukum namun secara pelaksanaannya masih lemah. Hal ini disebabkan oleh aparat penegak hukum yang juga lemah. Hakim dapat disuap untuk memihak pada salah satu pihak tertentu untuk memenangkan perkara. Kasus yang terjadi misalnya mengenai kejadian Hakim MK Akil Mochtar yang disuap. Adanya kejadian seperti itu membuat masyarakat merasa tidak takut dengan ancaman hukuman karena pada akhirnya dapat menyuap untuk menghindari hukum. Kejadian suap lain misalnya terjadi pada
DIALOG
polisi yang umumnya dapat disuap dan masyarakat juga melakukan suap dalam kasus tilang. Jadi kesimpulannya yang perlu diperbaiki adalah mental manusianya; aparat hukum dan masyarakat. Selain hal itu, perlu juga menengok sejenak bagaimana hukum masa klasik. Hukum jaman dulu pada Masa Mataram Kuno relatif memiliki sistem yang baik, baik secara aturan, hukum, maupun pelaksanaan hukumnya. Apa yang disebutkan dalam data tentang peradilan masa lalu memang benar. Sehingga hukum dapat berjalan dengan baik. Misalny pada kasus Ratu Sima yang menegakkan hukum tanpa pandang bulu meski dari keluarga kerajaan tetap di hukum apabila salah. Jadi jika dibandingkan dengan masa kini relatif lebih baik pada masa lalu (klasik). Hukum masa kini relatif kurang bisa menimbulkan efek jera karena pelaksanaanya yang tidak konsisten. Masyarakat menganggap remeh hukum karena hukum bisa diatur dan di kompromikan. Ini situasi yang cukup berbahaya karena hukum merupakan alat pengontrol masyarakat. Kalau hukum menjadi remeh maka masyarakat bisa bertindak semaunya dan berakibat pada ketidaktertiban masyarakat dalam kehidupan. Solusinya adalah menguatkan mental masyarakat dan generasi muda untuk tahu dan paham hakekat hukum. Penegak hukum harus di ubah supaya pelaksanaannya menjadi kuat.
Perlu ada yang mampu merubah sistem penegakan hukum. Hal tersebut merupakan tugas pemerintah. Berkaca pada masa lalu tentang pelaksanaan hukum dapat menjadi acuan melalui cerita sejarah yang disosialisasikan kepada generasi muda. Selanjutnya, selain mengenai hukuman juga diketahui tentang ketentuan pengambilan keputusan hakim. Pada masa klasik dalam Jayapatra dikatakan bahwa sebelum mengambil keputusan, para hakim mempelajari kitab-kitab sastra, peraturan daerah, hukum adat, petuah-petuah orang tua, dan kitab-kitab hukum sebagaimana yang selalu diungkapkan hakim sejak dulu kala. Jika melihat hal itu, maka sebenarnya melihat kualifikasi hakim di Indonesia sudah baik, artinya secara ilmu mereka memiliki pengetahuan yang cukup. Secara teori dalam memutuskan perkara perlu mempelajari lebih jauh kasus dan melihat aturan aturannya. Hakim juga akan menghadirkan saksi untuk mendukung keputusan akhir. Hal itu sudah berjalan baik hanya ketika memutuskan seringkali sudah berbeda dengan yang seharusnya karena ada kompromi antara hakim dengan terdakwa. Jadi sekali lagi lebih kepada mental hakim dan terdakwanya. Hukum dengan berbagai hal didalamnya tersebut mempunyai landasan atau pengaruh dari suatu hal tertentu. Masa klasik di Indonesia memberlakukan perundang-undangan dari India disamping hukum adat yang
sudah dimulai sejak kerajaan kuno di Indonesia serta dengan landasan ketatanegaraan India sesuai dengan kitab-kitab hukum sebagaimana yang selalu diungkapkan hakim sejak dulu kala. Hal tersebut berbeda dengan masa kini, hukum di Indonesia saat ini dikembangkan dari sistem hukum Belanda. Meskipun hukum adat juga diakui di Indonesia, tetapi dominasinya berasal dari Belanda karena sistem penjajahan yang mewariskan sistem hukum. Hukum yang berlaku merupakan hukum modern yang diadopsi di Eropa. Namun dalam hal tertentu ada perbedaan budaya yang mengakibatkan cara mengatur yang juga berbeda terutama pada hukum pidana dan perdata sehingga saat ini sudah banyak aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah RI terutama UU yang mengatur berbagai hal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akhir kata, beliau yang akrab disapa Pak Fahmi menyampaikan bahwa hukum di Indonesia memang belum sempurna dalam pelaksanaannya tetapi tidak perlu apatis terhadap hukum, karena hukum memang harus ada dan ditegakkan. Perlu ada penanganan serius berkaitan dengan hukum oleh pemerintah untuk menegakkan hukum dan mendidik masyarakatnya agar sadar hukum. Beliau tetap optimis suatu saat hukum akan lebih baik karena esensinya hukum memang menjadi bagian dari manusia sampai kapanpun.
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
16
LEPAS
Catatan Nusantara Oleh : Theodorus Aries Brian
Foto : Umar/ARTEFAK
Apa yang pernah terlintas jika mendengar kata “Nusantara”? Apakah itu Indonesia atau ada definisi lain?
N
ama Nusantara berasal dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu nusa yang berarti “pulau” dan antara yang berarti “luar”. Nusantara digunakan untuk menyebut pulau-pulau di luar Majapahit (Jawa). Perkataan Nusantara kita dapatkan dari Sumpah Palapa Patih Gajah Mada yang diucapkan dalam upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Kerajaan
17
Majapahit (tahun 1258 Saka/1336 M) yang tertulis di dalam Kitab Pararaton Sekilas dengan melihat definisi kata “Nusantara” diatas maka kita dapat menarik sebuah kesimpulan yaitu sebutan bagi seluruh wilayah yang berada diluar wilayah kekuasaan Majapahit atau kepulauan lain yang ada di luar Jawa. Namun saya sendiri menafsirkan sebagai wilayah dimana beberapa negara yang kini tergabung dalam perserikatan
Media Komunikasi Arkeologi
yang kini disebut sebagai ASEAN. Karena dalam beberapa kajian peneliti yang pernah meneliti wilayah Indonesia terutama Asia Tenggara mendapatkan hasil temuan yang sempat menjadi bahan perdebatan panjang dikalangan para peneliti dunia. Salah satunya adalah tentang tulisan Prof. Aryo Santos yang menyebutkan bahwa salah satu posisi dari peradaban kuno yang telah menghilang yaitu Atlantis
LEPAS
peradaban Atlantis di Indonesia, namun kita juga masih perlu banyak bukti untuk menyatakan bahwa Indonesia pernah memiliki peradaban maju. Berdasarkan penelusuran dari berbagai cerita rakyat yang ada
“
lebih jauh tentang apa yang pernah dilakukan oleh Prof. Stephen Oppenheimer dan juga Prof. Aryo Santos dalam kajiannya tentang peradaban dunia dan juga surga di timur. Indonesia merupakan negara tropis dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah ruah dan tak terbatas akan keindahan alamnya. Belakangan dunia arkeologi sedang heboh dengan adanya penemuan situs Gunung Padang di Jawa Barat, yang menimbulkan adanya interpretasi bahwa itu adalah bentuk dari Piramida. Bahkan beberapa peneliti dari luar Indonesia rela datang hanya untuk melihat dari dekat seperti apa bentuk dari Gunung Padang yang dikabarkan sebagai Piramida Nusantara. Namun setelah diteliti lebih lanjut teryata situs Gunung Padang
situs Gunung Padang yang berusia 5200 SM berarti lebih tua dari usia Piramida Mesir. Masih banyak peninggalan masa prasejarah yang belum terungkap di Indonesia, dan masih butuh penelitian lebih lanjut demi mengungkap adanya sebuah peradaban maju di Indonesia. Berdasarkan pengalaman mencari adanya dugaan peradaban masa lampau yang ada di Indonesia, baik itu dari cerita rakyat (folklore), mitos, maupun legenda yang ada dibeberapa daerah, maka didapatkan kesimpulan bahwa memang menurut cerita secara turun temurun pada jaman dahulu pernah hadir sebuah kebudayaan yang dapat kita kategorikan maju secara spiritual dan memudahkan segala macam kegiatan seharihari dengan kata lain kebudayaan
menurut cerita secara turun temurun pada jaman dahulu pernah hadir sebuah kebudayaan yang dapat kita kategorikan maju secara spiritual dan memudahkan segala macam kegiatan sehari-hari dengan kata lain kebudayaan itu bisa kita sebut sebagai “Kearifan Lokal” yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari masyarakat pada masa itu.
di Indonesia, banyak memiliki kesamaan cerita tentang adanya sebuah peradaban yang sangat maju dari nenek moyang mereka pada jaman dahulu kala. Nah dari cerita inilah kita dapat mengembangkan penelusuran
adalah sebuah situs peninggalan masa Megalithik yang berusia sangat tua sekitar 5200 SM berdasarkan carbon dating yang telah dilakukan. Bayangkan jika Piramida Mesir saja berusia 5000 SM maka bisa dibayangkan kalau
“
adalah di Indonesia. Dalam kajiannya menyebutkan bahwa Indonesia memiliki semua kriteria yang telah disebutkan oleh Plato dalam tulisannya. Memang benar Indonesia merupakan tempat paling ideal bagi perkembangan peradaban yang maju, namun itu semua memerlukan sebuah penelitian panjang agar menghasilkan sebuah hasil yang maksimal dan tidak hanya sebatas dari interpretasi semata. Mungkin kita bisa sedikit berbangga dengan apa yang telah beliau lakukan selama 33 tahun menelusuri jejak
itu bisa kita sebut sebagai “Kearifan Lokal” yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari masyarakat pada masa itu. Kita jangan menganggap sebuah mitos ataupun legenda sebagai suatu hal yang kosong tanpa melihat
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
18
LEPAS
makna dari mitos atau legenda itu sendiri. Karena banyak dari mitos itu merupakan sebuah fakta yang sebenarnya dan karena budaya masyarakat Indonesia merupakan budaya lisan, maka terciptalah sebuah cerita yang berkembang berdasarkan pada perkembangan jaman. Mungkin pada masa kini sangat jarang orang yang memahami sisi lain dari sebuah mitos yang berkaitan dengan arkeologi. Namun jika kita melakukan sebuah penelitian dengan kajian etnoarkeologi maka kita akan dapat menjelaskan
ditinggalkan oleh nenek moyang kita di masa lampau, sekaligus menjadi tonggak kesadaran kita akan sebuah masa depan kebudayaan bangsa. Mungkin kita perlu mendalami lebih lanjut dengan kebudayaan kita sendiri, jika peneliti asing saja berminat dengan kebudayaan kita mengapa kita tidak punya keinginan untuk mengeksplorasi sendiri kebudayaan kita karena kitalah yang punya
bagaimana sebuah mitos dan legenda itu menjadi sebuah awal dari perjalanan panjang pencarian tinggalan arkeologis. Fakta bahwa arkeologi lebih banyak mengarah pada peninggalan masa klasik itu juga yang mungkin mempengaruhi kurangnya kajian penelitian terhadap peninggalan masa prasejarah, dan minimnya kegiatan ekskavasi pada situs prasejarah dibeberapa tempat. Jika peninggalan masa prasejarah dapat kita ungkap dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan terbukanya tabir misteri peradaban yang kini hanya tinggal mitos itu dapat terungkap ke ranah publik, sebagai bagian dari perjalanan panjang kebudayaan manusia di Indonesia. Semoga semua ini dapat menjadi pemicu bagi kita para calon arkeolog untuk lebih jeli dalam menentukan sikap demi memberikan sebuah pengetahuan bagi masyarakat luas akan pentingnya sebuah pelajaran berharga yang pernah
19
Media Komunikasi Arkeologi
ini semua dan ada disekitar kita juga. Semoga sedikit tulisan ini dapat memberikan sebuah inspirasi bagi teman-teman untuk lebih mendalami kebudayaan kita sendiri dengan berbagai macam pendekatan yang dapat kita lakukan dan jangan takut untuk merangkai ulang sejarah kita sendiri.
Foto : Aji/ARTEFAK
ILMIAH
MEREPRODUKSI NILAI CANDI Oleh : Jajang Agus Sonjaya
Foto : Umar/ARTEFAK
Pernahkah Anda membayangkan jika seribu tahun lalu leluhur bangsa kita memiliki pemikiran dan karya yang luar biasa? Jika belum pernah, itu maklum, sebab kita telah menjadi bangsa yang kurang pandai mengapresiasi masa lalu. Kita menjadi bangsa yang lupa akan sejarah. Hal ini sungguh bahaya karena bangsa yang lupa sejarah tidak beda dengan manusia yang lupa ingatan. Ia tak hanya lupa akan jatidirinya, melainkan pula tidak memiliki orientasi masa depan.
U
ntuk memahami situasi ini, saya ingin mengajak Anda untuk bercermin pada candi yang terserak di sekitar kita, khususnya di Jawa. Mungkin baru sedikit orang yang tahu bahwa candi merupakan bangunan suci
yang dibuat untuk tujuan religius dan kemanusiaan. Aspek religius terletak pada fungsinya sebagai rumah dewa. Candi menjadi poros yang menghubungkan manusia dengan sang pencipta dan pemelihara alam semesta. Di sisi yang lain candi juga menjadi tetengger
yang mengingatkan kita tentang pentingnya hubungan antar sesama manusia. Keletakan, bentuk, arca, dan ornamen candi, termasuk relief-reliefnya, sarat akan makna yang bisa menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah habis dalam menjalani kehidupan. Relief-relief
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
20
ILMIAH
tentang membajak sawah, kapal, pedati, pakaian, bentuk istana, bentuk rumah, menggambarkan pada kita tentang kebesaran pada masa lalu. Jauh sebelum pluralisme ramai diperbincangkan pada awal abad ke-21, dahulu, seribu tahun lalu, leluhur kita sudah menjalankan kehidupan yang pluralistik. Kita bisa belajar dari Kompleks Candi Prambanan yang Hindu dengan Kompleks Candi Sewu yang Budha. Dua kompleks candi besar yang berbeda ideologi ini bisa berdampingan di lokasi yang sama. Bahkan, dua kilometer di timurlaut Prambanan terdapat Candi Plaosan yang berciri Budha dan Hindu. Candi-candi itu ada dan berdiri di sana seolah mengingatkan pada generasi waktu itu dan juga generasi berikutnya bawa hubungan kemanusiaan begitu penting, tidak kalah penting dengan urusan ke-Tuhan-an. Dari pemikiran merekalah kemudian muncul istilah Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda tapi satu jua. Meski mereka berbeda keyakinan (agama) tapi mereka tetap satu dalam hubungan-hubungan sosial-kenegaraan. Ketika bangsa ini berdiri seribu tahun kemudian semboyan itu ternyata dipakai oleh para pendiri bangsa, namun kita belum benarbenar memahami maknanya. Kita benar dalam memaknai perbedaan, namun kita masih keliru dalam memaknai kesatuan. Satu jua diterjemahkan oleh pemerintah kita sebagai sesuatu yang selalu harus sama. Dari Sabang sampai Merauke harus sama seragamnya ke-
21
tika sekolah, harus sama makanannya (nasi), harus sama bentuk pemerintahannya (sistem desa), harus sama jumlah gajinya (PNS), harus sama cara pernikahannya (di catatan sipil), dan banyak lagi. Ujung-ujungnya antara konsep persamaan dan perbedaan menjadi sesuatu yang anakronistis, padahal sejatinya Bhineka Tunggal Ika itu menekankan perbedaan dalam kesederajatan seperti yang digagas para leluhur kita, para stapaka candi-candi itu. Selain semangat pluralisme, masih banyak nilai yang bisa kita pelajari dari candi-candi di sekitar kita. Masing-masing bangunan candi meninggalkan pesan tentang religiusitas, sosial, budaya, dan seni. Pesan dari masa lalu tersebut tertera dalam setiap bagian bangunan candi mulai dari arsitektur, ornamen, relief, hingga seni arcanya. Satu relief Karmawibhangga di Candi Borobudur bisa diangkat sebagai contoh di sini. Di sudut tenggara bagian kaki candi terdapat relief yang menggambarkan tentang seorang laki-laki dan perempuan yang berzinah (selingkuh), kemudian dalam panel berikutnya (dalam kehidupan berikutnya), mereka dilahirkan buruk rupa. Kisah-kisah tentang aspek kemanusiaan banyak sekali digambarkan di Borobudur. Namun, entah karena alasan teknis atau karena relief tersebut dianggap tidak senonoh, maka reliaf-relief yang sarat makna itu kini telah ditutup oleh batu-batu. Ribuan candi yang kini telah ditemukan menjadi gudang spirit dari masa lalu. Candi menjadi
Media Komunikasi Arkeologi
saksi hubungan kita dengan India dan Asia Tenggara Daratan nun jauh di sana. Candi-candi yang dibangun selama ratusan tahun menggambarkan totalitas mereka pada tanggung jawab. Bayangkan semangat seperti apa yang bisa melahirkan bangnan seperti Borobudur, Prambanan, Kompleks Candi Dieng, Kompleks Candi Gedongsongo. Sekarang bandingkan dengan karya-karya kontraktor kita yang membangun secepat mungkin dengan bahan seminim mungkin tetapi kemudian roboh atau rusak seperti jembatan di sebelah timur Polda DIY yang ambalas sebelum usianya genap 17 tahun. Orang awam lazim menduga hal itu terjadi karena dananya dipotong oleh oknum dan partai. Ini adalah salah satu indikator bahwa para kontraktor dan “penguasa� negeri ini tidak memiliki orientasi masa depan yang visioner dan baik seperti para “kontraktor� candi pada masa lalu. Kalau mau jujur, candi di Indonesia sebagai pusat kultural oleh negara secara sepihak telah dijadikan sebagai pusat ekonomi untuk objek parwisiata. Borobudur, misalnya, telah diperlakukan pemerintah sebagai mesin penghasil uang sampai-sampai kaum Budhis cukup kesulitan ketika hendak menjadikan Candi Borobudur untuk kegiatan mereka. Nilai kultural dan kesakralan Borobudur pun akhirnya tenggelam di antara hiruk-pikuk pedagang asongan, tertimbun ratusan pedagang kaki lima, dan samar tertutup hotel mewah yang dibangun pihak pengelola (Sonjaya, 2010) .
ILMIAH
Nasib Kompleks Candi Dieng tak jauh berbeda. Karena uang retribusi dari Dieng begitu besar, maka Dieng pun menjadi barang rebutan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Sementara keduanya saling berebut, candi-candi di Dieng pun terbengkalai. Arca-arca sering dicuri, batu-batu candi banyak yang hilang, bahkan situsnya sendiri sudah disulap menjadi taman dan lahan pertanian (Sonjaya, 2010). Pemerintah seolah lupa bahwa Dieng pernah menjadi pusat para arsitek dan pekerja belajar tentang membangun candi. Pemerintah juga tidak mengindahkan upaya-upaya yang dilakukan para spiritualis Kejawen dan Hindu yang berusaha menghidupkan kembali nilai-nilai spiritualis candicandi dan warisan budaya lainnya di Dieng dengan alasan bahwa kompleks tersebut masuk kategori “death monument”. Pemakaian istilah death monument sepertinya perlu ditinjau ulang karena proses belajar atau pewarisan nilai-nilai kehidupan dan pengetahuan yang dapat dipetik dari candi menjadi terpagari. Candi-candi akhirnya hanya menjadi objek rekreatif belaka. Candi telah dianggap sebagai sumber daya, seperti halnya sumber daya alam, yang bisa dieksploitasi untuk memenuhi keserakahan manusia. Padahal, menurut saya, candi bukanlah sumber daya, karena yang menjadi daya (tenaga) adalah nilai-nilai yang direproduksi oleh kita yang mengapresiasinya, terutama para arkeolog. Reproduksi berarti melahirkan kembali. Sesua-
tu yang dilahirkan tidak harus sama dengan yang melahirkan. Artinya, nilai-nilai baru yang dilahirkan dari candi harus kontekstual sesuai jamannya dan lebih baik. Jadi, letak daya bukan pada candinya melainkan pada masyarakat yang mengapresiasinya. Konsep sumber daya yang diusung oleh para ahli studi pembangunan telah lama dikritik karena ada kecenderungan melahirkan pemikiran dan sikap eksploitatif—pemikiran dan sikap yang bertolak belakang dengan para leluhur kita yang mengedepankan keseimbangan dan risiliansi. Demikianlah, candi bukan entitas yang mati yang hanya berfungsi untuk sawangan thok. Candi justru bisa menjadi cermin bangsa Indonesia dalam menata diri menghadapi masa depan, karena di dalamnya sarat akan pemikiran dan nilai yang bijak. Dalam ranah ini, peran arkeolog tak sebatas rekonstruksi masa lalu, melainkan perlu merambah pada upaya-upaya reproduksi nilai. Referensi Aksa, Laode Muhammad. 2004. “Integritas Sumberdaya Budaya Arkeologi dan Pembangunan”. http://www.arkeologi.com. Byrne, Denis, Helen Brayshaw dan Tracy Ireland. t.t. Social Significance a Discussion Paper. NSW National Park and Wildlife Service. Research Unit Cultural Heritage Division. Hurstville. Carman, John. 2001. Archaeology and Heritage: An Introduction.
Continuum. London-New York. Cleere, Henry F. 1990. Archaeological Heritage Management in The Modern World. UnwimHyman. London. Cotter, Maria; Bill Boyd dan Jane Gardiner. 2001. Heritage Landscapes: Understanding Place and Communities. Southern Cross University Press. Lismore, Australia. Darvil, Timothy. 1995. “Value System in Archaeology”. Dalam Malcolm A. Cooper dkk. Managing Archaeology. Routledge. London and New York.Hlm. 40 – 50. Fagan. Brian, M. 2003. Recent Trends In Archaeology. http://www. arkeologi.com. Hodder, Ian. 1989. Reading the Past: Current Approaches ti Interpretation in Archaeology. Cambridge University Press. Howard, Peter. t.t. Heritage: Management, Interpretation, Identity. Continuum. London-New York. Mayer-Oakes. 1990. “Science, Service and Atewardship – a Basis for the Ideal Arcaheology of the Future”. Dalam H. F. Cleere (Ed.). Archaeological Heritage Management in the Modern World. Unwim-Hyman. London. Mikkelsen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Terjemahan oleh Matheos Nalle. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sonjaya, Jajang Agus.2010. Candi untuk Masa Depan. Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 2010. Yogyakarta.
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
22
ILMIAH
DAMPAK KEBERADAAN KAWASAN KARST MAROS-PANGKEP TERKAIT MASYARAKAT SEKITAR* *Diseminarkan dalam PIAMI XV di Benteng Rotterdam.
Oleh : Safitri Setyowati dkk.
Foto : Umar/ARTEFAK
Abstrak Dampak keberadaan kawasan karst di Maros-Pangkep tentunya mempunyai pengaruh bagi masyarakat sekitar kawasan yang merubah pola hidupnya. Dampak keberadaannya baik positif maupun negatif dapat dilakukan pengkajian dengan metode survey, wawancara, dan focus group discussion sehingga dapat menjaring informasi sebanyak-banyaknya. Informasi yang didapat kemudian dapat dirumuskan menjadi kumpulan permasalahan dan selanjutnya dihasilkan rekomendasi dari masyarakat untuk diajukan ke pihak yang berwenang untuk ditindak lanjuti. Kata Kunci: Dampak keberadaan, Kawasan Maros-Pangkep, Masyarakat I. Pendahuluan Pertemuan Ilmiah Arkeologi Mahasiswa se-Indonesia (PIAMI) tahun 2014 merupakan PIAMI ke-15 yang diselenggarakan oleh Universitas Hasanuddin.
23
bertemakan Archaeologi for Society yaitu “Pemanfaatan dan Pelestarian Kawasan Karst Maros-Pangkep yang Berbasis Masyarakat�. Tema ini diangkat dengan melihat kenyataan di lingkungan masyarakat, apakah
Media Komunikasi Arkeologi
masyarakat memiliki pengetahuan mengenai situs yang berada di kawasan Pangkep-Maros dan turut serta dalam menjaga kawasan tersebut. Sebelumnya dalam PIAMI tahun 1983 dan 1986 sempat menyinggung mengenai
ILMIAH kawasan karst ini , tetapi hanya menyinggung mengenai lukisan secara ringkas. Penelitian kali ini bertujuan mengetahui pandangan masyarakat mengenai tinggalan arkeologi yang berada di MarosPangkep, serta mengetahui sejauh mana situs tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat dari penelitian ini agar masyarakat dapat mengeluarkan pendapat mengenai persepsinya terhadap situs di Maros-Pangkep sehingga tercipta keselarasan antara tinggalan arkeologis dengan masyarakat yang tinggal
disekitarnya agar dalam menjaga situs tidak merugikan salah satu pihak. II. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survey, wawancara, dan focus group discussion (FGD). Metode survey digunakan untuk melihat dan mengamati situs secara langsung agar dapat melihat kondisi situs saat ini, sehingga dapat memberikan gambaran dalam melakukan wawancara dan FGD dengan masyarakat.
Setelah melakukan survey, tahap selanjutnya ialah wawancara dengan beberapa masyarakat yang tinggal disekitar situs. Selain itu dilakukan pula FGD dengan masyarakat yang berada di satu RT dimana situs tersebut berada. alur yang digunakan dalam FGD dapat di lihat pada tabel 1. III. Deskripsi Situs a. Kabupaten Pangkep Keseluruhan leang yang terdapat di Kabupaten Pangkep berjumlah 35 leang (Permana,
Tabel 1 : Alur FGD No 1.
Sesi Pembukaan
Tujuan Membuka diskusi
2.
Perkenalan
Memperkenalkan nama agar lebih akrab, lebih santai dan nyaman untuk warga menyampaikan pendapatnya.
3.
Ground Rules
4.
5.
6.
Alur/Tahapan Salam pembukaan dilanjutkan apresiasi kepada masyarakat Fasilitator memperkenalkan diri, dilanjutkan dengan perkenalan nama masing-masing warga, dan Ice breaking
Alat
Durasi 2 menit
-Kertas -Papan -Spidol -Lakban -Kamera
15 menit
Mencapai kesepakan forum bisa lebih terarah Menjelaskan peran masingmasing
Menjelaskan tugas masingmasing Kesepakatan aturan Penjelasan durasi pertemuan
-Kertas -Papan -Spidol -Lakban -Kamera
15 menit
Parafrase
Mencari pandangan awal
Bertanya kepada masing-masing peserta
-Kertas -Papan -Spidol -Lakban -Kamera
30 menit
Pertanyaan kunci/penelitian
Menggali pemahaman masing-masing
Diskusi Tanya jawab
-Kertas -Papan
55 menit
Mencapai tujuan diskusi (FGD)
Ice breaking
-Spidol -Lakban -Kamera
Penutup
Menyimpulkan apa yang dilakukan selama FGD
5 menit
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
24
ILMIAH 2014: 102). Leang yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu Leang Cammingkana dan Leang Buloriba. Leang tersebut ialah leang kategori B yang dilindungi secara hukum dan fisik dengan dipagari namun kurang dikembangkan dan kurang dimanfaatkan. Permana (2014) menjelaskan bahwa situs Cammingkana berbentuk leang dalam, berada pada ketinggian 25 m dpl. Mulut leang berukuran 12 meter, tinggi 10 meter dan menghadap kearah utara (340°). Leang Cammingkana merupakan leang vertikal, dimana di bagian dalam teratas terdapat cap tangan berwarna merah. Sebagian besar cap tangan berorientasi keatas, memiliki lima jari, berukuran dewasa, dan tangan kanan. Keadaan cap tangan masih dapat diidentifikasi dan keseluruhan cap tangan berjumlah ¹ 20. Keadaan leang ini kurang terawat; terdapat banyak kotoran, sisa-sisa makanan burung, bangkai burung, dan vandalisme. Fasilitas yang terdapat di leang ini yaitu memiliki pagar, papan pengumuman, dan beberapa anak tangga untuk mencapai puncak leang. Akses jalan menuju leang Cammingkana dengan melewati sawah penduduk yang berada di sisi selatan leang. Sedangkan Leang Buloriba merupakan ceruk, jalan menuju mulut ceruk terdapat banyak sisa moluska yang mengeras dan menyatu dengan batuan ceruk. Tinggalan akeologisnya berupa
ikan dan di dekat lukisan ikan terdapat seperti lukisan berwarna merah namun sudah tidak dapat diidentifikasi. Di lain hal, akses menuju leang ini dengan melewati sawah sedangkan fasilitasnya berupa pagar dan papan pengumuman yang sudah patah. b. Kabupaten Maros Di Kabupaten Maros terdapat 56 leang (Permana, 2014: 104). Leang yang diteliti dalam penulisan ini adalah Leang Uluwae. Leang Uluwae ialah leang dengan kategori tipe B yang dilindungi secara hukum namun tidak dilindungi secara fisik karena tidak dipagari dan kurang dikembangkan atau pun dimanfaatkan. Menurut Permana (2014:198) dijelaskan bahwa Situs Uluwae berupa leang dangkal, terletak di Kampung Lopi Lopi, Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung. Situs ini memiliki ketinggian 30 m dpl, mulut leang berukuran lebar 30 m dan tinggi 10 m, dan menghadap kearah barat daya (230°). Tinggalan arkeologisnya berupa cap tangan berwarna merah dan sebagian besar menghadap keatas. Beberapa cap tangan yang masih dapat diidentifikasi ada tiga lukisan cap tangan dan lukisan lainnya sulit untuk diidentifikasi. Selain itu ditemukan beberapa pecahan gerabah sedangkan tinggalan nonarkeologis berupa sisa kotoran sapi dan sekam karena dahulu leang tersebut digunakan sebagai tempat menyimpan padi dan hewan ternak.
lukisan menyerupai bentuk
25
Media Komunikasi Arkeologi
IV. Pembahasan Situs yang terdapat di Kabupaten Maros-Pangkep secara umum dijumpai temuan berbagai seni hias di dinding leang yang biasa disebut rock art. Beberapa leang dengan tinggalan arkeologis berupa cap tangan itu mempunyai beberapa permasalahan dengan masyarakat. Permasalahan yang ada kemudian akan dibahas lebih lanjut sampai rekomendasi dari masyarakat. Permasalahan di Kabupaten Pangkep tepatnya yang berada di RT 3 RW 4, Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasa Te`ne ialah masyarakat kurang memiliki pengatahuan mengenai situs, mereka hanya mengetahui namanama leang di sekitarnya dan mengetahui bahwa didalamnya terdapat gambar cap tangan dan ikan. Masyarakat juga merasa sungkan untuk memasuki leang karena merasa takut dengan adanya peraturan yang menjelaskan bahwa pada leang tersebut dilarang merusak dan mengotori leang. Hal tersebut diperkuat lagi dengan isu yang beredar bahwa pernah ada salah satu warga yang dituduh merusak leang tapi pada kenyataannya isu tersebut belum dapat dibuktikan. Hal lain yang mempengaruhi mengapa masyarakat Pangkep tidak memperhatikan leang ialah karena permasalahan kepemilikan pohon dan air. Masyarakat mempermasalahkan kepemilikan pohon yang terdapat di kawasan karst khusunya yang berdekatan dengan leang karena sekarang
ILMIAH
Foto : Umar/ARTEFAK
sudah dijadikan hutan lindung dan dipasang patok sebagai penanda dari kawasan hutan yang dilindungi, sedangkan menurut pendapat masyarakat pohonpohon didaerah tersebut ditanam sendiri, tetapi mereka tidak dapat menebangnya karena kawasan tersebut sudah masuk kedalam kawasan hutan lindung. Di lain sisi masyarakat merasa pohon tersebut hak milik mereka dan tidak terima dengan kondisi seperti ini. Bahkan jika ingin menbang memerlukan surat ijin satu buah untuk satu pohon dan belum lagi mengenai tata cara perijinan yang berbelitbelit. Selanjutnya permasalahan terkait air terutama mengenai irigasi untuk sawah masyarakat tetapi kini air dari sumber air di Leang Kassi digunakan untuk PDAM sehingga debit air ke persawahan mereka berkurang. Sebelumnya pernah terjadi diskusi langsung antara masyarkat dengan
kelurahan untuk masalah PDAM namun tidak ada tindak lanjut. Masyarakat dengan pemerintah sudah membuat MOU mengenai pembagian air yang merata dengan perjanjian bahwa masyarakat meminta dua bulan saat musim tanam pada jam 10 hiingga jam 4 pagi air dibuka agar bisa memenuhi untuk pengairan sawah dan sisanya bisa ditutup untuk ke pipa PDAM, tetapi yang terjadi ialah MoU tersebut belum berjalan hingga sekarang. Permasalahan tersebut juga ditambah hal lain dikarenakan masyarakat tidak mengetahui manfaat leang itu, masyarakat menganggap bahwa leang tersebut sudah dikelola oleh pemerintah dan masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan tersebut. Masyarakat hanya mengetahui keberadaan leang-leang tersebut menguntungkan dalam menjaga dari masuknya perusahaan semen karena apabila perbukitan karst
tersebut tidak memiliki leang yang diindungi, sudah pasti perbukitan tersebut juga akan dijadikan tambang semen. Kemudian dalam hal partisipasi dijumpai adanya keikutsertaan masyarakat dalam menjaga situs hanya ketika leang dalam keadaan sangat kotor sehingga mereka melakukan kerja bakti dalam membersihkannya, namun apabila leang hanya sedikit kotor pembersihan hanya dilakukan oleh juru pelihara. Selanjutnya setelah mengetahui permasalahan, kurangnya manfaat, dan tingkat partisipasi kemudian masyarakat menginginkan adanya sosialisasi mengenai leang-leang yang berada di Kelurahan Biraeng agar mereka memiliki pengetahuan yang lebih mengenai peninggalan prasejarah leang tersebut. Masyarakat juga menginginkan agar juru pelihara ditegur dan dievaluasi dalam penjagaannya supaya tidak ada masalah terkait salah tuduh lagi.
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
26
ILMIAH Selain itu mengenai permasalahan kepemilikan pohon dan air, masyarakat menginginkan adanya pengaturan mengenai perizinan kepemilikan pohoin dengan Dinas Kehutanan setempat serta kesepakantan dan penegasan ulang mengenai MOU dengan PDAM. V. Penutup Berdasarkan hasil survey dan FGD yang dilakukan selama kegiatan PIAMI di Maros-Pangkep dijumpai beberapa permasalahan terkait sosialisasi dan kurangnya pemanfaatan yang belum optimal terutama mengenai peran masingmasing pihak dan masyarakat padahal di Kabupaten Pangkep dan Maros memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai pariwisata yang berwawasan budaya, pendidikan, dan alam sehingga masyarakat mengajukan beberapa hal dalam FGD agar permasalahan itu dapat ditekan seminimalnya.
air Sedangkan rekomendasi yang diajukan oleh masyarakat terhadap situs Maros (Leang Uluwaekategori c): -Dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat mengenai situs tersebut. -Dinas terkait dapat membuat fasilitas yang mendukung untuk menjaga dan melindungi situs,
seperti membuat pagar, kawat berduri, papan nama yang ditujukan untuk wisatawan dan penduduk lokal. -Pemberdaan masyarakat untuk menjaga situs menjadi juru pelihara jika berkompeten -Pengenalan sejak dini mengenai tinggalan arkeologi mengenai pemanfaatan, pemeliharaan, pengelolaan.
Rekomendasi yang diajukan oleh masyarakat terhadap situs Pangkep (Leang Cammingkana dan Buloribba-kategori B): -Dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat mengenai situs tersebut. -Adanya evaluasi untuk juru pelihara dengan masyarakat sekitar -Pengenalan sejak dini mengenai tinggalan arkeologi mengenai pemanfaatan, pemeliharaan, pengelolaan -Pengkajian kembali mengenai MOU dengan pihak PDAM dan PEMDA mengenai permasalahan
27
Foto : Umar/ARTEFAK
Media Komunikasi Arkeologi
ILMIAH
WISATA EDUCOTOURISM: UPAYA PELESTARIAN SITUS GUNUNG PADANG, JAWA BARAT Oleh : Restu Ambar Rahayuningsih
Abstrak Wisata educotourism adalah konsep gabungan dari education tourism dan ecotourism. Konsep ini mengedepankan pendidikan dan budaya. Konsep ini dapat diterapkan untuk memecahkan masalah wisata di Situs Gunung Padang. Metode yang dilakukan adalah memberikan kerangka pikir dan rekomendasi kepada pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk berkoordinasi terkait kelayakan metode educotourism dalam upaya pelestarian Situs Gunung Padang saat ini dan masa yang akan datang. Kata kunci: Wisata Educotourism, Pelestarian, Situs Gunung Padang Abstract Educotourism Travelisa combined concept of tourism education and ecotourism. This concept emphasizes education and culture. This conceptcan be applied to solve problems in Sitetourof Mount Padang. The method does is provide a framework and recommendations to the government, academia, and the community to coordinate related to the feasibility of the method educotourism in conservation sites of Mount Padang current and future. Keywords: EducotourismTravel, Wildlife, World Mount Padang
Pendahuluan Wisata erat kaitannya dengan wisatawan dan pariwisata. Menurut The International Dictionary of Tourism (1953), wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan keluar untuk kesenangan dengan rasa ingin tahu karena mereka tidak mempunyai aktivitas yanglebih baik untuk dilakukan. Sedangkan menurut The World Tourism Organization
(WHO), pariwisata adalah jumlah fenomenayang berhubungandengan timbulnyaperjalanan dan kepergian orang untuk meninggalkan rumahnya sementara waktu. Jadi wisata adalah aktivitas perjalanan untuk bersenang-senang, memperluas pengetahuan, dan sebagainya. Menurut Singh (2010), di dalam wisata, ada dua elemen utama, yaitu “tujuan dan tinggal�.
Kedua elemen tersebut akan terpenuhi apabila sudah ada konsep yang jelas tentang prosedur kepariwisataan. Namun sejauh ini, banyak kegiatan wisata yang justru menimbulkan beberapa konflik kepentingan. Fenomena semacam itu, tidak hanya berefek buruk bagi orang yang berkaitan, tetapi juga bagi tempat wisatanya. Situs Gunung Padang merupakan salah satu tempat
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
28
ILMIAH wisata di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Situs ini diduga telah mengalami deformasi akibat beberapa permasalahan. Permasalahan pertama berhubungan dengan konservasi. Sejauh ini, kajian konservasi Situs Gunung Padang belum banyak dilakukan. Menurut Djavid (1977), Situs Gunung Padang merupakan bangunan megalitik (punden berundak)yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya dalam kurun waktu yang cukup lama. Bangunan tersebut dibangun dengan batuan vulkanis berupa batu andesit berwarna hitam yang sangat riskan terhadap kerusakan (Lutfi Yondridalam Punden Berundak Gunung Padang Maha Karya Nenek Moyang dan Kandungannya akan Nilai-nilai Kearifan Lingkungan di Masa Lalu di Tatar Sunda diakses pada 2 Juni 2014). Jenis batu megalitik di Situs Gunung Padang adalahbatu tegak berbentuk kolumnar, batu berbentuk prismatik, monolit, dan sebagainya. Batu-batu tersebut mengalami kerusakan karena faktor alam maupun faktor buatan. Faktor alam yang dimaksud diantaranya adalah keretakan atau kerenggangan batuan dan pertumbuhan lumut pada bangunan megalitik. Sedangkan faktor buatan diduga akibat aktivitas wisata, dan vandalisme yang sudah populer mengancam warisan budaya Indonesia.
terletak di perbukitan yang rawan dengan bencana.Ada 3 jenis bahaya yang mengancam Situs Gunung Padang, yaitu runtuhan, gelinciran, dan aliran. Runtuhan ditandai dengan robohnya bangunan megalitik karena rusak, gempa, dan tanah longsor. Gelinciran ditandai dengan tergelincirnya batu-batu megalitik menuruni lereng dan berubahdari posisi aslinya. Sedangkan, aliran ditandai dengan terbawanya material bangunan megalitik akibat aliran air (diduga adalah air hujan).
Menurut Soejono (2002), memang Situs Gunung Padang berada pada titik seisme dan
Adanya alih fungsi Situs Gunung Padang di atas menyebabkan situs tersebut menjadi wisata
29
Permasalahan kedua, berhubungan dengan sejarah. Situs Gunung Padang diduga pernah beralih fungsi dari bangunan megalitik menjadi tempat persinggahan Raja Putra (Raja Galuh) (Naskah Jawa Barat dari Keraton Kasepuhan Cirebon Abad 19: 428). Selain itu, keberadaan Situs Gunung Padang yang menghadap ke arah Gunung Gede semakin memperkuat kesakralan Situs Gunung Padang. Tempat tersebut kerap dikaitkan dengan Prabu Siliwangi (Raja Sunda) yang membangun istana dalam semalam pada sekitar 2.000 SM. Menurut, Naskah Bujangga Manik (abad ke 16) dalam http://id/wikipedia.org/ wiki/SitusGunungPadang diakses pada 15 Juni 2012, terdapat tempat kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda), tempat tersebut terletak di hulu Sungai Ci Sokan (di sekitar Gunung Padang).
Media Komunikasi Arkeologi
religi hingga saat ini. Setiap bulan Maulud dan Jum’at Kliwon, banyak peziarah yang datangke Situs Gunung Padang. Mereka meziarahi 11 leluhurnyayang diduga bersemayam di Situs Gunung Padang. Menurut Lutfi Yondri dalam Punden Berundak Gunung Padang Maha Karya Nenek Moyang dan Kandungannya akan Nilai-nilai Kearifan Lingkungan di Masa Lalu di Tatar Sunda (diakses pada 2 Juni 2014), tokoh utama yang bersemayam di bagian puncak adalah Prabu Siliwangi, Eyang Rama, dan Eyang Ibu. Sementara lokasi yang lain yang mereka ziarahi dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Syekh Marjuli (tokoh diduga yang memberikankepandaian mengaji), Sunan Bonang (tokoh yangdiduga memberikankepandaianmenabuh gendang), Eyang Kuta (tokoh yang diduga memberikantambahan harta), dan Eyang Tajimalela (tokoh yang diduga memberikan pertolongan agar naik jabatan). Wacana Terkini tentang Gunung Padang Sejak rentan waktu tahun 2010 – 2011 di Indonesia sangat gempar dengan pemberitaan tentang keberadaan piramida dalam Gunung Padang. Piramida tersebut diduga lebih tua daripada Piramida Giza di Mesir. Selain pemberitaan tentang piramida, ada beberapa pemberitaan lain yang menyertainya, yaitu Adam turun ke Bumi pertama kali di Cibinong, dan tentang status Indonesia sebagai Atlantis. Kabar tersebut berlanjut
ILMIAH
sebagai persepsi yang disebut pseudoarkeologi. Pseudoarkeologi berasal dari kata pseudo yang artinya semu dan arkeologi yang artinya disiplin ilmu yang mempelajari tinggalan-tinggalan masa lampau untuk mengetahui dan merekonstruksi kehidupan masa lampau. Jadi dapat dikatakan jika pseudoarkeologi (arkeologisemu) adalah sebuah pemahaman yang mengacu pada deskripsi dari masa lalu yang didasarkan pada fakta tetapi sebenarnya bergesekan dengan pemahaman arkeologi mengenai masa lalu (semu). Biasanya, pseudoarkeologi membantah suatu teori maupun interpretasi yang dianggap berpikiran sempit dengan menggunakan data-data yang dipilih secara selektif agar lebihmenguatkan “fakta� yang ada, namunpadakenyataannya, pseudoarkeologi-lah yang berpikiran sempit dan merugikan (Share dan Ashmore, 1993).
Sudut pandang psedoarkeologi nampaknya muncul dari bagaimana orang menafsirkan arkeologi dengan pemikiran mereka seolah-olah sebagai arkeolog. Sama halnya dengan wacana tentang keberadaan piramida di Gunung Padang, penulis mendasarkan fakta tersebut berdasarkan konsep pemikirannya sendiri. Sebagai contohnya, menurut Natawidjaja (2011:138139), Piramida Gunung Padang dapat menjadi bukti besar dari peradaban super yang belum pernah ada sebelumnya. Merekonstruki peradaban Gunung Padang ada hubungannya dengan Peradaban Atlantis karena dapat menggambarkan isu tersebut lebih baik (Natawidjaja 2011:139). Menurut Ali Akbar (2011, 2013), penelitian di Situs Gunung Padang adalah penelitian di bidang ilmiah dengan menggabungkan metode geologi-geofisika dan arkeologi untuk menghindari persepsi yang sesat. Pertanggalan
Figur 1. Landscape Gunung Padang Dokumentasi DNH 2011
di Situs Gunung Padang dilakukan dengan carbon dating (C-14) terhadap arang yang merupakan hasil pengeboran tanah. Hasil pertanggalan menunjukkan bahwa Situs Gunung Padang dibuat sebelum 11.000 tahun yang lalu (Natawidjaja 2011:139). Fenomena Gunung Padang tersebut memperkuat dugaan bahwa Atlantis yang musnah 11.600 tahun yang lalu adalah Indonesia dan Adam atau manusia pertama yang turun di dunia tepatnya di Cibinong, Indonesia (Natawidjaja 2011:139). Tuntutan Wisata Beberapa wacana tentang Situs Gunung Padang seolaholah menjadi topik hangat yang menggugah daya tarik segenap lapisan masyarakat. Menurut Amri dan Permadi dalam Vivanews (diakses pada 19 Juni 2012), kondisi Situs Gunung Padang terancam ambles karena ulah wisatawan. Ketika musim liburan panjang, kunjungan ke situs yang belum tereksplorasi ini menanjak tajam mencapai 2.000 orang setiap minggunya (Amri dan Permadi dalam Vivanews diakses pada 19 Juni 2012). Kondisi tersebut tidak sepadan dengan kondisi kontruksi bangunan megalitik Gunung Padang yang sudah mulai rapuh dan tidak kuat menahan beban terlalu berat. Hal yang lebih parah, kadangkadang wisatawan seenaknya menggoyangkan bebatuan yang ada dan mencabut rumput Jepang yang sengaja ditanam (Amri dan
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
30
ILMIAH
Permadi dalam Vivanews diakses pada 19 Juni 2012). Sejauh ini belum ada peraturan yang mengatur frekuensi pengunjung ke Situs Gunung Padang. Hal tersebut semakin membahayakan keselamatan situs. Sebagai pembanding saja, Borobudur yang merupakan salah satu world heritage dan telah memiliki peraturan pengunjung tetap mengalami keamblesan hingga lima milimeter pertahun, bagaimana dengan Situs Gunung Padang? Permasalahan di atas nampaknya diakibatkan oleh ketidakstabilankepentingan dalam hal konservasi, pariwisata, peneliti, dan masyarakat lokal. Sebagai contohnya proyek peneliti bentukan Pemerintah Kabupaten Cianjur dan tim independen yang melakukan kegiatan di Situs Gunung Padang dianggap illegal. Pasalnya, hal tersebut terjadi karena tim katastropik yang dibentuk Staf Khusus Presiden telah resmi dihentikan sebelumnya tetapi masih bermunculan tim-tim peneliti lainnya. Sementara ini belum ada alasan yang jelas untuk memastikan duduk masalahnya, muncul permasalahan baru, yaitu pembangunan menara pantau yang justru dianggap merusak peninggalan-peninggalan sejarah yang belum ditemukan. Arief dalam Antara News (diakses pada 5 Juni 2012) meminta Pemerintah Kabupaten Cianjur membongkar menara pantau karena belum ada zonasi yang jelas dan kelongsoran pasca pengeboran tanah.
31
Konsep Pelestarian Permasalahan di Situs Gunung Padang merupakan masalah ganda. Maksudnya, masalah satu belum selesai tetapi sudah ada masalah yang baru. Untuk itu diperlukan pemecahan masalah yang bertahap agar permasalahan tersebut dapat diurai satu persatu benang merahnya. Tidak hanya dengan penelitian dan pembangunanpembangunan sarana tambahan saja yang perlu dilakukan tetapi perlu pemikiran yang bijak untuk menyelamatkannya. Menurut Tanudirjo dalam Warisan Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang (diakses pada 12 Juni 2014), cara-cara pengelolaan warisan budaya saat ini diduga tidak akan dapat diterapkan lagi di masa mendatang. Jika pun dipaksakan hanya akan menimbulkan lebih banyak konflik daripada keberhasilan dalam pelestariaannya (Tanudirjo dalam Warisan Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang diakses pada 12 Juni 2014).Cara-cara pengelolaan warisan budaya saat ini lebih mengedepankan “pengelolaan warisan budaya untuk negara� (dari archeology in the service of the state). Hal tersebut menunjukkan bahwa di era globalisasi ini diperlukan upaya pelestarian warisan budaya yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Media Komunikasi Arkeologi
Menurut Tanudirjo (2000: 11-26), masa globalisasi saat ini menimbulkan perubahan yang sangat cepat dan kontradiksi. Fenomena tersebut tidak hanya berimbas terhadap anggapan orang tentang warisan budaya milik seluruh umat manusia tetapi juga menimbulkan tuntutan agar setiap orang atau pihak boleh memaknai warisan menurut gagasannya (Tanudirjo (2000: 11-26). Untuk itu, diperlukan suatu arah kebijakan baru dalam pengelolaan warisan budaya, diperlukan adanya penataan kembali peran pemerintah dalam pengelolaansumber daya budaya ini. Menurut Schiffer (1976), ada dua elemen yang perlu diperhatikan untuk menjelaskan keberadaan sumberdaya budaya, yaitu konteks sistem dan konteks arkeologis. Konteks sistem berhubungan dengan peran aktif (masih dipergunakannya) sumberdaya budaya oleh masyarakat, sedangkan konteks arkeologis berhubungan dengan lingkungan tempat sumberdaya budaya (baik yang tangible maupun yang intangible) sudah tidak digunakan lagi. Menurut Tanudirjo dalam Warisan Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang (diakses pada 12 Juni 2014), pelestarian pada hakekatnya adalah upaya mempertahankan agar suatu sumberdaya budaya tetap berada pada konteks sistem agar dapat berfungsi
ILMIAH
aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun, nampaknya upayapelestarian untuk pelestarian itu sendiri. Untuk itu, pelestarian saat inidiharapkan mampu memberi makna baru dalam keragaman masyarakat, pelestarian warisanbudaya harus dapat dibicarakan, dinegosiasikan, dan perlu disepakatibersama pula melalui suatu dialog yang terbuka serta seimbang. Perbedaanpemberian makna suatu warisan budaya harus sedapatnya dihargai dan diwadahi dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis (Tanudirjo 2000). Menurut Tanudirjo dalam Warisan Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang (diakses pada 12 Juni 2014), visi pengelolaan warisan budaya di Indonesia diubah dari “pengelolaan warisan budaya untuk negara” menjadi “pengelolaan warisan budaya untuk masyarakat” (publik archeology). Sebagai konsekuensinya, dalam kebijakan yang baru, para aparatus negera atau pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan warisan budaya tidak lagi menjadi “abdi negara” tetapi menjadi “abdi masyarakat”. Selain itu, harus selalu disadari bahwa warisan budaya adalah sumberdaya dimasa mendatang tentunya harus dilandasi prinsip menajemen konflik. Jadi, semestinya pemerintah pada masa mendatang lebih dapat diposisikan sebagai fasilitator sekaligus mediator dan masyarakat dapat dilibatkan sebagai public
domain(Tanudirjo dalam Warisan Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang diakses pada 12 Juni 2014). Pengembangan Konsep Wisata Educotourism Saat ini dunia mengalami perubahan yang seismikakibat globalisasi. Perubahan ini menyebabkan masyarakat dan pariwisata mengalami degradasi. Untuk mengurangi dampak internal ataupun eksternal dari efek global tersebut diperlukan keterampilan yang berbeda, bakat, dan pengetahuan yangmenyiratkan bahwa wisata memiliki nilai pendidikan atau education tourism. Menurut Sheldon, Fesenmaier, Woeber, Cooper, dan Antonioli (2007: 62-68), dalam upaya mengatasi permasalahan global dalam hal pariwisata diperlukan kerangka kerja bidang pariwisata yang memahami perubahan lingkungan, nilainilai, pengetahuan dan memiliki kemampuan positif. Bidang tersebut tidak hanya dilakukan oleh stakeholder di bidang pariwisata tetapi pihak lain yang bersangkutan bahkan masyarakat pada umumnya (Sheldon, Fesenmaier, Woeber, Cooper, dan Antonioli2007: 62-68). Beberapa prosedur dalam education tourism menurut Sheldon, Fesenmaier, Woeber, Cooper, dan Antonioli (2007: 62-68), adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan mengelola/ merayakan keragaman budaya berdasarkan aspek pluralisme dan etika 2. Experiential learningatau pembelajaran berbasis eksperimen. 3. Kepemimpinan multifaset rakyat (kreativitas, inovasi, memiliki kecerdasan emosional, aktualisasi diri, inklusi, menghormati pendidikan, berpikir kritis, fleksibel, memiliki keterbukaan, optimisme, dan kewarganegaraan baik) Konsep education tourism yang mengedepankan pendidikan sebagai tonggak wisata. Konsep tersebut sangat cocok dipadukandengan konsep ecotourism. Menurut Wood (2002: 9), ekowisata (ecotourism) telah didefinisikan sebagai dari pariwisata berbasis alam, tetapi juga telah dirumuskan dan dipelajari sebagai alat pembangunan berkelanjutan oleh LSM, ahli pembangunan dan akademik sejak tahun 1990. Ekowisata juga merupakan perjalanan bertanggung jawab ke daerah alami yang melestarikan lingkungan dan menopang kesejahteraan masyarakat lokal (Wood 2002: 9). Berdasarkan definisi di atas, maka ekowisata memiliki sub komponen bidang pariwisata berkelanjutan, dengan kata lain ekowisata bercita-citadalam semua kasus untuk mencapai hasil pembangunan berkelanjutan. Beberapa prosedur ekowisata menurut Wood (2002: 10) adalah
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
32
ILMIAH
sebagai berikut: 1. Memberikan kontribusi untuk konservasi keanekaragaman hayati 2. Mempertahankan kesejahteraan masyarakat setempat 3. Termasuk dalam penafsiran atau pengalaman belajar 4. Melibatkan tindakan yang bertanggung jawab pada masa lalu wisata dan industri pariwisata 5. Disampaikan utama untuk kelompok kecil oleh usaha kecil 6. Membutuhkan konsumsi serendah mungkin sumber daya tak terbarukan 7. Menekankan partisipasi, kepemilikan dan peluang bisnis lokal, khususnya untuk masyarakat pedesaan. Apabila konsep education tourism dan ecotourism dipadukan menjadi satu konsep akan dihasilkan sebuah konsep yang dapat memanajemen lingkungan dan sumber daya budayanya. Konsep tersebut dapat diistilahkan sebagai konsep “Wisata Educotourism�. Konsep tersebut merupakan konsep wisata yang dalam programnya tidak harus menghentikan arus wisatawan yang berkunjung. Inti konsep educotourism adalah education (pendidikan), ecology (ekologi), dan tourism (pariwisata). Jadi konsep educotourism adalah pariwisataberkelanjutan secara ekologis dengan fokus primer padawilayah alamyang menumbuhkan pemahaman lingkungan, budaya, apresiasidan konservasi agar orang paham
33
tentang makna tempat wisata tersebut untuk pendidikan.Konsep tersebut mampu menjembatani beberapa kasus yang saat ini mengancam warisan budaya yang telah menjadi sumber daya pariwisata. Upaya Penerapan Konsep Wisata Educotourism Konsep educotourism dinilai mampu memecahkan masalah kepentingan pada warisan budaya. Sebagai contohnya, Situs Gunung Padang. Konflik kepentingan di situs tersebut tidak patut untuk didiamkan begitu saja. Kebijakan yang terarah dan pemikiran yang kritis perlu segera ditampung untuk memecahkan masalah pelestarian Situs Gunung Padang ini. Konsep educotourism merupakan konsep yang menjembatani konflik kepentingan di Situs Gunung Padang. Konsep ini dapat dilakukan dengan beberapa program bertahap dan berkelanjutan sebagai berikut: a. Tahap 1: Persiapan program wisata educotourism Tahap persiapan dilakukan dengan koordinasi pemerintah, akademisi, dan masyarakat terkait dengan studi kelayakan (penelitian terpadu), cara pembebasan lahan untuk pembangunan tangga alternatif, jadwal koordinasi stakeholder, upaya penyelamatan, pembiayaan, dan rehabilitasi. b. Tahap 2: Pelaksanaan wisata educotourism Tahap pelaksanaan ini merupakan tahap pokok dalam
Media Komunikasi Arkeologi
konsepwisata educotourism. Tahap ini dapat dilakukan dengan upaya pembuatan jalur alternatif pendakian, pembangunan ekomuseum, dan konservasi alam serta bangunan megalitik. Secara lebih rinci gambaran tahap pelaksanaan adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan konsep educotourism pada tahap awal, dapat dilakukan dengan pembangunan jalur alternatif. Pada proses ini, pengunjung masih diperbolehkan melewati jalur asli menuju puncak punden berundak tetapi ada pengaturan jumlah pengunjung. 2. Setelah pembangunan jalur alternatif selesai, pengunjung diarahkan ke arah jalur tersebut. Sementara itu, fokus konservasi dapat dilakukan pada bangunan megalitik. 3. Setelah keduanya terlaksana, dapat dilakukan penataan lokasi dan pembangunan ekowisata pada wisata Situs Gunung Padang sesuai dengan kaidah pariwisata berbasis pendidikan dan lingkungan (educotourim). c. Tahap 3: Penetapan hukum dan aturan terkait wisata educotourism di Situs Gunung Padang. Penetapan ini tidak hanya sebatas hitam di atas putih tetapi juga terkait upaya zonasi yang kerap kali menjadi permasalahan pada warisan budaya. Masterplan konsep wisata educotourism di Situs Gunung Padang adalah sebagai berikut:
ILMIAH
Figur 2. Konsep Wisata Educotourism untuk Situs Gunung Padang Dok. Penulis 2012
Adanya masterplan di atas maka pengunjung akan lebih mudah menikmati keindahan Situs Gunung Padang dan terseleksi secara alamiah dengan kemampuan mereka menaiki tangga. Selain itu, bangunan megalitik yang menjadi objek utama juga akan lebih mudah dikonservasi. Sebagai alternatif lain, alangkah baiknya keberadaan warisan budaya seperti Stasiun lempengan, terowongan, dan rumah dinasnya; perkebunan teh rosa; dan wisata air terjun Cikondang juga dikembangkan sebagai objek wisata pelengkap Situs Gunung Padang. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Situs Gunung Padang sangat riskan terhadap bencana alam maupun buatan. Bencana alam datang secara alamiah, sedangkan bencana buatan diakibatkan oleh ulah manusia.
2. Konsep wisata educotourism dapat dijadikan alternatif upaya pengelolaan Situs Gunung Padang pada saat ini. 3. Upaya penerapan konsep wisata educotaurism dapat dilakukan dengan upaya zoning kawasan, ekomuseum, dan Saran penelitian ini adalah menghimbau masyarakat dan segenap stakeholder di Situs Gunung Padang untuk bersamasama berkoordinasi dalam upaya melestarikan dan menyelamatkan Situs Gunung Padang saat ini dan untuk masa yang akan datang. Referensi Ali Akbar, Taqyuddin. 2013. Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi. Change Publication. ................. 2011. Artikel : Adam, Atlantis dan Piramida di Indonesia : Antara Fakta Arkelogi dan Gegar Jati Diri, Jakarta : Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Amri, Arfi Bambang dan Permadi. Gunung Padang Terancam Ulah Wisatawan, diakses pada Selasa, 19 Juni 2012. VIVAnews. Arief, Andi. Menara Pantau Situs Gunung Padang Diminta Dibongkar, diakses pada Selasa, 5 Juni 2012. ANTARA News. Djavid. 1977. Air Manis di Gunung Padang. Balai Pustaka Lutfi Yondri. Peneliti Utama pada Balai Arkeologi Bandung. Punden Berundak Gunung Padang Maha Karya Nenek Moyang dan Kandungannya akan Nilai-nilai Kearifan Lingkungan di Masa Lalu di Tatar Sunda, diakses pada 2 Juni 2014 Martabat alam tujuh (patarekan). Abad 19. Keraton Kasepuhan Cirebon. Katalog Naskah Jawa Barat:428. Sam. Menguak fakta-fakta misterius paling fenomenal di dunia. Enigma 2. 2013. 428. Jakarta: Tangga Pustaka.
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
34
ILMIAH
Schiffer, M.B. 1976, Behavioral Archaeology. New York Academic Press
Arkeologis dan Masalah Penanganan Situs Gunung Padang”.
Sharer & Ashmore. 1993. Archaelogy: Discovering Our Past (second edition). California Mayfiled Publishing Company.
Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur. Cipas, Cianjur, Agustus 2002 (tidak diterbitkan)
Singh, Jagbir. 2010. Ecotourism. New Delhi: International Publishing House Pvt. Ltd. SheldonPauline, Dan Fesenmaier, Karl Woeber, Chris Cooper, dan Magda Antonioli. Tourism Education Futures, 2010– 2030: Building theCapacity to Lead, diakses pada 23 Juni 2014. Journal of Teaching in Travel & Tourism: Routledge Soejono, R.P. 2002. “Potensi
35
Tanudirjo, D.A. 2000. Reposisi arkeologi dalam era global. Buletin cagar budaya,vol.1 no,2, Juli 2000 (suplemen). Hlm.1126 Tanudirjo. D.A. Konggres Kebudayaan. Warisan
Natawidjaja, Danny Hilman. 2011. Plato Never Lied: Atlantis is in Indonesia: 139. Jakarta: BOOKNESIA The International Dictionary of Tourism 1953. Monte Carlo: The International Academy of Tourism. Wood, Megan Epler. 2002. Ecotourism: Principles,Practices, Poicies for Sustainability.Edisi 2002. USA: United Nations Punlication. http://id/wikipedia.org/wiki/ SitusGunungPadang
Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatangdiakses pada 12 Juni 2014.
Ilustrasi: Christommy/ARTEFAK
Media Komunikasi Arkeologi
BERITA PENELITIAN
Bharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi Guide Wisata di Candi Borobudur Oleh : M. Hasbiansyah Zulfahri
Foto : Hasbi/ARTEFAK
Peninggalan situs cagar budaya adalah suatu yang dapat memberikan berbagai manfaat sedikit diantaranya bermanfaat secara ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa peninggalan situs cagar budaya mempunyai nilai eksternalitas yang positif bagi Bangsa dan Negara.Indonesia memiliki berbagai jenis dan corak cagar budaya serta menyebar di berbagai daerah, potensi untuk dikembangkan dari berbagai aspek masih sangat potensial.Salah satu aspek yang dapat di kembangkan yaitu aspek pariwisata dan edukasi.
B
angunan-bangunan purbakala yang berasal dari “jaman purba� terkenal dalam mulut rakyat dengan nama “candi� terutama di Jawa. (Soekmono,2005: 1) Candi adalah peninggalan arsitektural yang berasal dari masa klasik Indonesia, yaitu masa berkembangnya HinduBudha abad ke-5 sampai 15 M. Tidak terlepas Candi Borobudur, Candi Borobudur dilihat dari peradaban dan budaya manusia dikenal sebagai monument suci yang terbesar dari umat Budha di dunia, sehingga candi ini tercatat sebagi keajaiban dunia dan
mempunyai data-data terlengkap dibandingkan dengan candi-candi lain di Indonesia. (Renville, 2002: 39) Candi Borobudur merupakan aset situs cagar budaya yang sangat potensial untuk di kembangkan. Semenjak candi ini dijadikan sebagai warisan budaya dunia (World Cultural Heritage) Nomor 592 Tahun 1992 oleh UNESCO. Kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Setiap tahun kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur sudah mencapai 3.000.000 pengunjung. Sebagai tempat
kunjungan wisata, tentunya memerlukan sarana dan prasarana informasi yang memadai untuk pengunjung. Salah satu bentuk informasi yang perlu diberikan kepada pengunjung adalah informasi tentang makna relief yang dipahatkan pada dinding candi. Prasarana dan sarana informasi tentang relief belum dapat ditemukan di Candi Borobudur, Jika pengunjung dipandu oleh pemandu wisata tentunya akan mendapatkan informasi tentang relief. Namun pengunjung yang datang tanpa pemandu wisata tentunya tidak akan memperoleh informasi tentang makna relief
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
36
BERITA PENELITIAN
yang dipahat di dinding candi. Dengan melihat kenyataan tersebut maka perlu upaya inovasi untuk mengembangkan informasi yang praktis yang dapat diakses dan dinikmati oleh pengunjung dengan mudah. Menurut Kepala Balai Konservasi Borobudur, Drs Marsis Sutopo, beliau menyampaikan bahwa hampir 80% pengunjung Candi Borobudur membawa ponsel tak terlepas dengan ponsel pintar, hal ini belum dapat dimaksimal oleh pengelolah karena keterbatasan SDM. Padahal potensi ponsel pintar sangat besar, terlebih untuk mengakses pengetahuan tentang candi. Dalam Ilmu Teknologi Informasi terdapat aplikasi yang dinamakan dengan aplikasi 3D Unity, aplikasi ini pada dasarnya adalah sebuah game engine multi fungsi yang dapat menghasilkan output diberbagai platform diantaranya adalah Windows, iOS, Android, Blackberry 10, Linux, dan sebagainya. Selanjutnya untuk
menambah nilai manfaat dari aplikasi ini, kami modifikasi dengan aplikasi Vuforia platform yang memungkinkan pengembang untuk membuat aplikasi berbasis Augmemted Reality (AR). Metode yang digunakan dalam penelitian penerapan teknologi kali ini yaitu menerapkan Augmented Reality (AR) sederhana berbasis android dengan menggunakan Vuforia Software Development Kit dan Unity3D sebagai aplikasi pengolahnya. Hasil dari penerapan dan modifikasi aplikasi 3D unity, kami namakan dengan aplikasi Bharabudhara Smart Temple, dengan hasil luaran dari penelitian penerapan teknologi Augmented Reality (AR) adalah menerapkan aplikasi 3D unity sebagai tools yang dapat bermanfaat bagi pengunjung Candi Borobudur agar dapat dengan mudah memahami relief candi dengan output Android. Aplikasi yang terapkan pada relief candi Borobudur selain membantu memudahkan pengunjung dalam memahami
makna dibalik setiap relief candi Borobudur dengan menggunakan smartphone berbasis Android, juga membantu Balai Konservasi Borobudur selaku pengelola dalam hal penyajian system informasi relief candi. Sehingga sesuai catatan amanat (World Cultural Heritage) Nomor 592 Tahun 1992 oleh UNESCO yang mengatakan bahwasannya pengunjung berhak mendapatkan nilai lebih dari situs warisan dunia. Dengan demikian tentunya aplikasi Bharabudhara Smart Temple akan sangat membantu dalam mencapai amanat UNESCO tersebut. Luaran lainnya yaitu mendigitalisasi Candi Borobudur sebagai upaya dalam kajian arkeologi publik merupakan impact penerapan aplikasi Bharabudhara Smart Temple. Dengan demikian istilah candi tempat kuno akan terbantahkan karena pada kenyatannya benda/situs kuno dapat berhubungan dengan teknologi.
Foto : Hasbi/ARTEFAK
37
Media Komunikasi Arkeologi
SOSOK
Penggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni, M.A. Oleh : Umar Hanif Al Faruqy
Foto : Aji/ARTEFAK
“Ngecharge hape!” “Tok!”Bu Anggra memukul meja pelan.“Anak muda sekali”.Beliau seperti menyayangkan para anak muda yang ditemuinya di Karama. Tidak ada listrik di sana. Hanya ada sebuah generator. Begitu menyala, seketika anak-anak berebut dengan Bu Anggra yang ingin mencharge laptop dan ponsel demi pekerjaannya.
B
u Anggra, begitu beliau akrab disapa. Salah satu dosen terbaik Fakultas Ilmu Budaya UGM yang dimiliki jurusan Arkeologi ini mulai tertarik denganArkeologi sejak kecil.Saat SD, guru Seja-
rah beliau berhasil menceritakan Sejarah Kuna dengan sangat menarik. Namun minat itu terhenti di jenjang pendidikan selanjutnya. Guru Sejarah beliau tidak sukses bercerita dengan baik.“Apalagi pada masa SMA,” jelasnya.Guru
Sejarah beliau menjelaskan manusia purba dengan singkatansingkatan.Bagi beliau, itu tidak masuk akal. “Tidak make sense,” katanya.“Mengenalkan manusia purba dengan namaHomo erectus misalnya, dan menjelaskan dari
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
38
SOSOK
mana asal-usul namanya, bisa lebih membantu para siswa untuk membayangkan seperti apa manusia purba dan bagaimana kehidupannya dahulu kala. Guru menjadi kunci,” tegas beliau. Kendati demikian, istilah Arkeologi tidak beliau dapatkan dari guru-guru sejarah yang beliau temui semasa jenjang pendidikan. Ayahnya lah yang memperkenalkan istilah tersebut ketika beliau masih kecil. Guru, lagi-lagi menjadi alasan beliau memiliki minat di bidang Epigrafi saat bangku kuliah.Namun, beliau terkendala bahasa sumber yang kebanyakan bahasa Belanda.“Bahasa Belanda saya nol,” jelasnya.“Sehingga, kalau saya mendalami epigrafi, saya harus belajar bahasa Belanda dulu dan otomatis, menambah lama studi.Akhirnya, Bu Anggra memilih untuk mendalami prasejarah.Alasannya, bahasa sumber prasejarah, adalah bahasa Inggris, dan beliau mengaku sedikit menguasainya. Alasan lain, masa prasejarah adalah masa yang dialami seluruh masyarakat di dunia. Jadi, mau ambil studi di negara manapun, prasejarah akan tetap ada. Berbeda dengan klasik dan Islam, selain tidak semua masyarakat di dunia mengalami, Bu Anggra juga tidak mengungkapkan ketertarikannya pada bidang-bidang itu. Sampai saat ini, beliau berkecimpung di dunia Arkeologi, beliau merasa cukup dan tidak ingin pindah ke bidang yang lain. Beliau pun memberikan pandangannya tentang prospek arkeologi di
39
Indonesia. Menurut beliau, Arkeologi bisa menjadi sumber kreativitas bangsa.Masyarakat bisa saja mengembangkan motif batik, misalnya, dari artefak-artefak masa lalu, atau juga bagi para desainer dan arsitek, juga bisa membantu mengembalikan identitas-identitas bangsa Indonesia melalui karyakarya kreatifnya. Dan akhirnya, kini Bu Anggra telah berhasil menjadi seorang “The real archaeologist”, yang tak hanya bertugas menggali tanah dan mengungkap data, tetapi juga menggali kehidupan dan mengungkap kearifan.
Drama di Kalumpang “Sampai saat ini, apa sih yang telah Ibu lakukan untuk arkeologi?”Menjawab pertanyaan ini, Bu Anggra tertawa sebentar, kemudian menjelaskan.Selama ini, beliau lebih fokus di dunia pendidikan.Turun langsung di masyarakat masih menjadi hal baru untuknya. Itu pun masih belum intensif seperti arkeolog-arkeolog lain.Sebagai pendidik atau dosen, beliau turut melakukan sosialisasi di daerah penelitiannya,Kalumpang, Sulawesi Barat.Sebab, melakukan sosialisasi sudah menjadi kewajiban, salah satu tri dharma perguruan tinggi, “pengabdian pada masyarakat”. Baru saja menginjakkan kaki di Australia selama tiga minggu untuk melanjutkan studinya di The Australian University, beliau langsung mendapat tawaran untuk melakukan penelitian bersama di Kalumpang. Adalah Pak Tru-
Media Komunikasi Arkeologi
man, yang memberi tawaran tersebut. Dosen beliau di Australia pun sontak terkejut,sampai harus melakukan konfirmasi via email, seolah Ia tak percaya. Sementara itu, Bu Anggra sedang kebanjiran ide yang ingin digarap saat penelitian.Beliau benar-benar memahami latar belakang dan pentingnya wilayah Kalumpang. Terlebih, saat itu belum banyak penelitian yang dilakukan di sana.Proposal penelitian yang hanya dua lembar dan sekian banyak dokumen keamanan untuk keluar dari Australia pun beres dalam tempo yang singkat. Di Kalumpang, Bu Anggra bersama Pak Truman meneliti hanya selama dua minggu. Begitu selesai, beliau langsung kembali ke Australia dengan bekal yang sangat banyak. Sekian besar biaya yang digelontorkan Fakultasnya untuk mendanai penelitian itu berbuah hasil yang sangat manis. Di sana, beliau tidak hanya sekedar melakukan penelitian dan sosialisasi. Beliau juga melihat sebuah drama terjadi. Drama tersebut dimainkan oleh masyarakat dan birokrat pada tahun 2008.Drama tersebut bercerita, bahwa masyarakat di Kalumpang terancam direlokasi oleh pemerintah tingkat provinsi dengan alasan pembangunan DAM untuk pembangkit listrik.Rencana relokasi itu ternyata juga didukung oleh beberapa investor.Bagi para arkeolog, ini menjadi satu ancaman besar.Kalumpang adalah situs yang sekupnya mencapai internasional. Benar saja, ketika Bu Anggra melemparkan isu ini di Australia pada
SOSOK
saat beliau mengambil S3, para arkeolog di sana melihat ini sebagi ancaman yang sangat besar dan serius. Beruntung, masyarakat di sana juga menolak relokasi tersebut. Mereka merasa memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah kelahiran mereka.Informasi mengenai keadaan di sana, selanjutnya Bu Anggra dapatkan melalui pemantauan rekan-rekannya di Makassar. Drama ini berlanjut hingga tahun 2013. Saat Bu Anggra kembali melakukan penelitian di sana, suasana sedang ricuh. Masyarakat sampai mendemo gubernur, menolak pembangunan DAM. Sebelum melakukan penelitian, Bu Anggra melakukan sosialisasi kepada masyarakat Kalumpang. Beliau menceritakan nilai penting Kalumpang untuk arkeologi dan sejarah bangsa Indonesia.Barulah mereka tersadar, di mana posisi mereka, nenek moyang mereka, serta tanah leluhur mereka ini memiliki sejarah yang luar biasa panjangnya. Sebenarnya, ada satu kepala adat di sana, yang bacaannya luas dan sudah banyak tahu tentang penelitian-penelitian arkeologi yang dilakukan di Kalumpang. Tetapi selama itu pula, sosialisasi yang dilakukan rupanya masih sangat minim.Sehingga, Bu Anggra merasa sosialisasi yang dilakukan pada saat itu adalah momentum yang sangat tepat, sehingga masyarakat dapat tahu persis.Dan mereka dapat menjadikan arkeologi ini sebagai tameng tambahan untuk
menolak pembangunan DAM yang berujung pada ancaman relokasi tersebut. Selesai melakukan sosialisasi, keterlibatan Bu Anggra di tengah masyarakat Kalumpang belum selesai.Beliau berusaha untuk menjembatani berbagai permasalahan yang ada.Di antaranya, masyarakat meminta agar para peneliti yang sembarang masuk mengambil temuan untuk mengembalikan lagi temuan-temuannya.Mereka juga meminta dibangunnya museum atau pusat informasi di wilayah Kalumpang. Di antara banyak masalah itulah, Bu Anggra merasa punya kewajiban untuk mengawal dan membantu merealisasikan harapan-harapan masyarakat, agar masyarakat Kalumpang memiliki bukti nyata dan tegas akan besarnya nilai arkeologi di sana. Dari berbagai permasalahan itulah, Bu Anggra menjalin keterikatan batin dengan masyarakat dan daerah yang beliau pijakkan kakinya, dan kemudian memperkuat ikatan itu.
Pengetahuan yang Terputus Selain Kalumpang, Bu Anggra juga melakukan penelitian di dekat muara sungai Karama, Sulawesi Selatan. Beliau merasa heran dengan adanya sebaran temuan yang mengindikasikan pemukiman di sepanjang sungai, yang menunjukkan masa neolitik hingga logam awal.Di Karama itulah, beliau memutuskan untuk tinggal meneliti selama dua bulan.Waktu dua bulan jelas bukanlah waktu yang singkat.
Waktu selama itu, membuat Bu Anggra faham mengenai kondisi sosial masyarakat di sana. Selama itu beliau melakukan penelitian, selama itu pula beliau kembali membangun keterikatan batin. Selama dua bulan itu beliau menggali tanahKarama untuk mengungkap data.Dan selama itu pula beliau menggali kehidupan masyarakat untuk mengungkap kearifan. Wilayah yang Bu Anggra teliti di Karama, berada di dekat kecamatan.Tepatnya berada di Dusun Pantaraan.Meskipun berada di dekat kecamatan, tingkat pendidikan rata-rata masih lulusan SD. Sanitasi di sana pun terbilang buruk. Air sangat tercemar karena para petani di sanamenggunakan pestisida dengan ukuran yang sangat berlebihan. Maklum, para petani itu rata-rata masih lulusan SD. Mungkin mereka tidak mengerti kadar pestisida yang wajar seberapa banyak. Gara-gara itu, Bu Anggra harus terkena serangan diare sampai dua kali! Penggunaan pestisida yang terlewat batas itu juga berdampak pada pohon-pohon cokelat mereka yang tumbang keracunan.“Padahal karena tanaman cokelat itulah dahulu mereka pernah jadi orang kaya,� jelas Bu Anggra. Di muara sungai Karama inilah, Bu Anggra lagi-lagi menemukan masalah yang sama dengan apa yang beliau temukan di Gunung Kidul.Masalah kearifan lokal mulai tergusur modernisasi. Kearifankearifan lokal yang dahulu dimiliki masyarakat di sana mulai terputus. Kearifan yang selalu diwarisi
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
40
SOSOK
melalui transfer knowledge secara turun-temurun sejak dulu, kini seolah telah mencapai titk jenuhnya. Gelombang modernisasi datang sampai ke desa-desa, merusak hubungan manusia dengan alam. Manusia yang dulu mampu beradaptasi dengan alam, mulai berubah menjadi manusia yang mengeksploitasi alam. Di sinilah Bu Anggra menekankan agar kita bisa belajar dari kearifan-kearifan yang masih ada di tengah masyarakat desa atau tradisional.Kearifan tersebut, dapat kita lihat dari bangunan rumah tradisional misalnya.Rumah-rumah tradisional lebih banyak menggunakan kayu.Tentunya, bukan sembarang kayu. Yang menarik, adalah bagaimana masyarakat tradisional itu mendapat pengetahuan tentang kayu seperti apa dan dari mana kayu yang paling tepat untuk membangun rumah itu didapat. “itu kana ada ilmunya,” tegas Bu Anggra. “Nah itu, kita belajar dari situ”.Itulah yang membuat Bu Anggramemilih untuk memiliki rumah yang terbuat dari kayu.Beliau juga tidak suka dengan rumah yang terkesan modern.Beliau lebih suka yang memiliki kesan etnik. Akan tetapi, ada satu masalah yang biasanya harus dihadapi para pemilik rumah kayu, yakni rayap. Bu Anggra yang membeli kayu dari para tukang jelas harus berhadapan dengan masalah ini. Sebab, tukang kayu tidak peduli kayu seperti apa yang harus ia jual. “Kalau kayu muda saja bisa, kenapa harus yang tua.”Berbeda dengan kayu yang masyarakat tradisional pilih Foto : Andi/ARTEFAK
41
Media Komunikasi Arkeologi
SOSOK
untuk membangun rumah-rumah mereka.Itu sebabnya, mengapa rumah mereka bisa bertahan minimal sampai seratus tahun.Ketika melakukan penelitian itulah, Bu Anggra berpikir bagaimana beliau memperoleh kayu seperti itu. “Tapi ya… apa boleh buat.” Lain rayap, lain tikus. Bagi Bu Anggra, tikus benar-benar menjadi musuh utama. “Karena kucing saya suka makan tikus tanpa dihabiskan, jadi saya fobia terhadap tikus. Tikusphobia”.Di situ lagi-lagi beliau melihat masyarakat tradisional begitu arif.Mereka membangun pagar atau batas berupa papan yang melingkar jauh lebih lebar daripada tiang. Sehingga begitu tikus memanjat tiang itu untuk mencapai lumbung padi mereka, tikus itu akan tertahan oleh papan itu dan membuat tikus harus merayap dengan cara terbalik. “Nah itu kan tidak mungkin.Ini satu kearifan lokal yang membuat si tikus tidak bisa memangsa padi.Dan masih ada banyak kearifan lokal lainnya yang saya pelajari dari masyarakat dan arkeologi”. Akan tetapi, kearifan-kearifan lokal itu, sekali lagi, terancam terhenti. Bu Anggra di Gunung Kidul melihat orang-orang tua di sanasudah kehilangan generasi mudanya yang memilih pergi ke kota. Sayangnya, kondisi ini diperparah dengan orang-orang tua itu yang juga melihat bahwa pengetahuan lokal mereka seolah sudah tidak pas untuk diturunkan lagi kepada anak-anak mudanya. Entah apakah karena mereka hidup sebagai petani, sedang
anak muda di sana sangat sedikit sekali yang menjadi petani. Kebanyakan dari anak muda di sana memang pergi ke kota, mencari dan membawa uang yang bisa dipakai untuk membangun desa mereka. Padahal, bagaimanapun juga Gunung Kidul masih membutuhkan anak-anak muda yang meneruskan menjadi petani, untuk menerima kearifan-kearifan lokal yang dimiliki orang-orang tua di sana.Mereka butuh itu.Gunung Kidul kini sudah sangat terancam dengan penambangan besar-besaran.Entah untuk urusan kosmetik atau bahan bangunan.Entah untuk infrastruktur atau lainnya.Jika ini terus dibiarkan, kantong air mereka bisa menghilang.“Kearifan-kearifan seperti itu, yang lama-lama menghilang”. Hal itu berdampak besar.Transfer of knowledge yang terputus menyebabkan anak-anak muda baik di Gunung Kidul terlebih Karama, mungkin juga desa-desa lainnya, kini beralih orientasi kepada duit. Semuanya adalah tentang duit. Duit, duit, dan duit! Bu Anggra melihat itu.Meskipun untuk memastikannya, perlu ada penelitian lebih lanjut. Di Karama, misalnya. Meskipun berada di dekat kecamatan, namun daerah itu masih tidak ada listrik. Energi listrik mereka bergantung pada sebuah generator yang ada di sana. Generator ini dihidupkan dengan bahan bakar, yang tentunya mahal.Sedangkan kualitas ekonomi mereka sudah menurun akibat tanaman cokelat mereka yang mati.Sehingga, Bu Anggra merasa
harus membelikan bahan bakar generator itu, agar dapat bekerja dengan baik. DRRRMM! DRR DRR DRR TAK TAK TAK… begitu generator menyala dan terdengar di satu dusun itu, anak-anak muda di sana seketika berdatangan “Apa yang mereka lakukan?” Tanya Bu Anggra pada kami ketika berbincang dengan beliau.Kami bingung.Entahlah, kami belum pernah melihat hal seperti itu.“Ngecharge hape!”Bu Anggra diam sejenak, “Tok!”Bu Anggra memukul meja pelan.“Anak muda sekali!”Beliau seperti menyayangkan para anak muda yang ditemuinya di Karama.Tak hanya duit dan hape, mereka juga membawa kendaraan, televisi, bahkan kulkas!Semuanya berlomba-lomba mendatangkan lambing-lambang kemajuan. Maju, maju! Semua itu, mereka persembahkan untuk diri mereka, orang tua mereka, mungkin juga untuk desa mereka. Dengan listrik yang hanya ditanggung sebuah generator itu, nyatanya kulkas yang mereka bawa tidak berfungsi sama sekali. Televisi mungkin masih bisa menyala. Bu Anggra melihat bagaimana televisi di sana berubah menjadi primadona di desa. Sejak televisi masuk ke sana. Tak ada lagi tradisi bercerita di waktu senggang, menyambung kearifan yang telah lama diwariskan.Semuanya lebih memilih datang menonton televisi. Yang menampilkan gambar-gambar hidup bernama sinetron. Mereka melihat adegan si kaya dan si miskin di kota. Televisi, berhasil menjadi guru mereka.
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
42
SOSOK
Keadaan seperti itu akan sangat berisiko terutama bagi kehidupan anak-anak kecil di sana. Bu Anggra merasa harus ada pemantik untuk kembali menyalakan api kearifan lokal. Transfer of knowledge harus dibangun kembali. Beliau berharap agar
orang-orang luar bisa membantu mengembalikan itu semua dengan meningkatkan kualitas pendidikan di sanadan mengajarkan kepada anak-anak agar senang membaca. Bahkan, beliau pun tertarik untuk mengajak calon sarjana, melakukan pengabdian berupa KKN
(Kuliah Kerja Nyata) di sana. “Ya‌ siap-siap bawa obat yang banyakâ€?. Beliau mengatakan itu sambil tersenyum.Kami pun ikut tersenyum. Dalam hati, kami bergumam, Aduh! Harus-harus siap diare berkali-kali ini.Anda berminat?
Foto : Andi/ARTEFAK
43
Media Komunikasi Arkeologi
RESENSI BUKU
Ekskavasi di halaman Candi Men penggali dan lebih dari dua belas Candi Mendut terlihat ramai dan Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
44
Traffic Jam in Excavation
ndut berlangsung selama sepekan. ada sepuluh kelompok s kotak diekskavasi. dengan jumlah sebanyak itu, halaman n padat.
45
Media Komunikasi Arkeologi
Foto : Andi/ARTEFAK
DARI LAPANGAN
Ekskavasi di Halaman Candi Mendut, Magelang Oleh : Fatma Yunita
Foto : Umar/ARTEFAK
Berawal dari laporan juru pelihara Candi Mendut yang menemukan temuan bata di halaman utara candi ketika melakukan penggalian kolam, maka Balai Konservasi Borobudur melakukan ekskavasi di beberapa titik zona 1 Candi Mendut. Selain menanggapi laporan dari juru pelihara Candi Mendut,
ekskavasi ini bertujuan untuk menambah data arkeologis Candi Mendut yang hingga saat ini masih minim data-data arkeologi. Dari beberapa literatur menyebutkan bahwa Candi Mendut dulunya berbahan batu bata yang kemudian ditutupi dengan batu andesit seperti yang terlihat saat ini.
Ekskavasi yang dilakukan berlangsung selama lima hari pada tanggal 21-25 April 2014 dengan melibatkan 9 orang dari Balai Konservasi Borobudur, 1 orang dari Balai Arkeologi Yogyakarta, 3 orang dari Jurusan Arkeologi UGM, dan 8 tenaga lokal. Penggalian dilakukan di sisi Utara, Barat, dan Tenggara Candi Mendut. Di dalam ekskavasi
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
46
DARI LAPANGAN tersebut ditemukan struktur bata yang memanjang sejajar dengan Candi Mendut. Ekskavasi yang sudah dilakukan itu dilanjutkan oleh mahasiswa Jurusan Arkeologi UGM yang sedang melakukan pelatihan ekskavasi. Pelatihan diikuti oleh 53 mahasiswa dan 4 orang dosen pendamping selama satu minggu dimulai dari tanggal 24 April 2014 hingga 30 April 2014. Para mahasiswa dibagi menjadi 10 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5-6 orang. Dari hasil pelatihan ekskavasi, mereka menemukan struktur lantai yang terbuat dari batuan desit diduga merupakan bagian dari bangunan pendukung Candi Mendut. Ada kemungkinan temuan baru itu merupakan
bagian dari candi perwara Mendut. Struktur tersebut berada di halaman dengan jarak sekitar 20 meter dari sisi Utara bangunan utama Candi Mendut. Menurut Kepala Balai Konservasi Borobudur, Marsis Sutopo, mengatakan bahwa sisa-sisa batu candi yang bukan bagian dari Candi Mendut dan selama ini tersimpan di halaman candi diindikasikan merupakan bagian dari candi perwara Mendut. Selain struktur lantai, ditemukan pula susunan batu-batu bolder dan lapisan pengerasan tanah yang bercampur dengan hancuran bata merah. Temuan ini termasuk fitur artifisial yakni fitur yang dibuat oleh manusia dengan sengaja. Pada penggalian kali ini ditemukan temuan artefaktual seperti fragmen gerabah dan
keramik. Temuan-temuan tadi memunculkan berbagai interpretasi dan pertanyaanpertanyaan besar. Bahkan hingga artikel ini ditulis, Balai Konservasi Borobudur dan Tim Arkeolog pun belum dapat mengasosiasikan temuan. Maka dari itu diperlukan pengkajian secara mendalam dan penelitian lebih lanjut. Setelah masa pelatihan berakhir, kotak galian ditutup sementara dikarenakan halaman candi akan digunakan sebagai tempat perayaan hari raya Waisak, Kamis, 15 Mei 2014. Selanjutnya ekskavasi akan dilanjutkan kembali oleh Balai Konservasi Borobudur setelah hari raya Waisak.
Ekskavasi Situs Tegalweru Oleh : Fatma Yunita Ekskavasi situs Tegalweru berada di area persawahan milik seorang warga Dusun Tegalweru, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Kegiatan ekskavasi itu dilakukan karena pada bulan Januari lalu pemilik tanah melapor ke kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta bahwa ia mengaku menemukan arca di tanahnya pada tahun 1964 dan kini arca tersebut disimpan di
47
rumah mantan lurah desa itu. Laporan tersebut baru ditanggapi oleh pihak BPCB pada bulan April 2014 karena mereka terlebih dahulu melakukan peninjauan lokasi dan membuat pemetaan untuk ekskavasi penyelamatan. BPCB bekerjasama dengan jurusan Arkeologi UGM melakukan ekskavasi yang dimulai dari tanggal 28 April hingga 09 Mei 2014. Proses penggalian sendiri menggunakan 17 tenaga,
Media Komunikasi Arkeologi
terdiri atas 5 orang tenaga lokal, 10 orang mahasiswa, dan 2 orang dosen pebimbing dari jurusan Arkeologi UGM. Selama proses penggalian, tim belum menemukan adanya struktur candi yang menandakan bahwa di situs tersebut telah berdiri suatu candi. Tim hanya menemukan reruntuhan batuan candi dan beberapa antefik. Menurut Kepala Kelompok Kerja (Kapokja) Pengamanan,
DARI LAPANGAN Penyelamatan, dan Zonasi BPCB DIY, M. Taufik, temuan situs ini diduga pernah berdiri sebuah candi. Namun beliau juga tidak menampik kemungkinan batuan candi terbawa oleh arus lahar dingin erupsi Merapi ratusan
tahun lalu. Di dalam melakukan kegiatan tersebut, tim mengalami kendala karena banyaknya air pada lubang galian sehingga sulit mengangkat batuan candi ke permukaan. Hal tersebut terjadi
karena lokasi situs berada di area persawahan. Meskipun begitu kegiatan ini dapat dilalui sampai akhir kemudian ketika proses penggalian berakhir, hasil temuan didokumentasikan dan setelahnya lubang galian ditutup kembali.
Foto : Fatma/ARTEFAK
Foto : Fatma/ARTEFAK
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
48
PUISI
Candi Sambisari Oleh : M. Wahyu Sholihudin
terbangun dari tidur pulasmu mungkin engkau ingin menikmati udara serta hiruk pikuk abad ini kami singkapkan selimut hangatmu selimut lahar yang menjagamu rupamu pun mulai terlihat cermin kejayaan Mataram ditemani tiga perwara setia bersama gelang pagarmu kau tunjukkan kemegahanmu
untuk sebentar,
untuk dikagumi
untuk bahan intepretasi
untuk sebentar,
untuk diteliti
untuk sebentar, ya untuk sebentar
usiamu yang semakin renta mungkin tulangmu mulai rapuh tak kuat menahan terjangan hujan tak tahu berapa lama bertahan dari sinar surya yang menjadi tenda di waktu siang
Foto : Aji/ARTEFAK
49
Media Komunikasi Arkeologi
RESENSI BUKU
Arkeologi untuk Publik Oleh : Hera Indry
Judul buku : Arkeologi Untuk Publik “Peranan Arkeologi dalam Pembangunan Jati Diri dan Karakter Bangsa� Penulis : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Penerbit : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Cetakan : 2012 Tebal : 824 halaman 39-74
P
Foto : Aji/ARTEFAK
eristiwa yang terjadi pada masa lalu yang ingin dimaknai ke dalam penguatan jati diri bangsa sekarang memang tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu yang menjadi penghambatnya. Sehingga perlu adanya pemaknaan lebih untuk persitiwa masa lalu agar menjadi pelajaran baik untuk masa kini atau pun masa mendatang.
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
50
RESENSI BUKU
Pemaknaan dalam konteks penguatan jati diri bangsa salah satunya ialah tiga arca naga yang tersimpan di Goa Raja Besakih. Naga atau ular adalah simbol bumi yang dimaknai sebagai simbol kesuburan kemudian dikaitkan dengan Raja Naga Tiga: Hyang Anantaboga, Hyang Basuki dan Hyang Taksaka atau dewa-dewa kesuburan. Para dewa menciptakan baik buruk jagat raya dari Gunung Mahameru. Gunung ini dililit oleh Sang Hyang Naga Tiga yang merupakan dewa-dewa Trimurti yang pada hakikatnya merupakan Siwa sebagai sumber kesejahteraan. Sumber-sumber kesejahteraan yang melimpah ruah itu juga perlu adanya kepribadian khusus untuk mengolahnya. Hal tersebut menerangkan bahwa
sumber daya yang ada juga harus dioleh demi adanya kesejahteraan. Kontribusi arkeologi dalam pembangunan karakter dan jati diri bangsa, ditunjukan pada penelitian yang dilakukan di Jawa Timur tentang permukiman di kawasan danau-danau sebagai salah satu sumber daya yang ada. Terdapat tiga pengelompokan di danau, pengelompokan ini dikaitkan dengan pola perilaku masyarakat sekarang dalam mengelola lingkungan alamnya. Dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia, karena dapat mengetahui tentang pentingnya menjaga dan merawat lingkungan alam. Pengelolaan sumberdaya arkeologi ini akan melibatkan peran masyarakat sekaligus masyarakat akan cepat
memahami akan arti pentingnya pelestarian tinggalan arkeologi yang semuanya itu akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Selain itu dalam buku ini juga dijelaskan tentang Ida Bang Hyang yang terampil, bijak dan suka berkorban. Pribadi tersebut penting untuk menguatkan jati diri bangsa dengan sikap personalnya itu Belajar dari tulisan tersebut kita dapat melihat bahwa ilmu arkeologi dapat mengungkap beberapa makna yang terdapat pada tinggalan, makna dari tinggalan yang memiliki arti tentang pentingnya penguat jati diri dan karakter bangsa. Penjelasan yang singkat namun detail bagi kalangan umum.
Foto : Aji/ARTEFAK
51
Media Komunikasi Arkeologi
GUNTINGAN RINGAN
Abu Vulkanik di Candi Garuda Dibersihkan Pembersihan dilaksanakan di Candi Garuda depan Candi Siwa, di bagian tubuh candi sampai pagar dan keliling candi. Dikatakan ketua kegiatan Aris Setyawan dari PT Kawan Lama DIY, pembersihan candi menggunakan alat semprot bertekanan cukup tinggi. Untuk penyedotan debu digunakan vacum S3 cfm yang didatangkan dari Jakarta.
PRAMBANAN (KR) - Untuk menggairahkan kembali kunjungan wisata di Candi Prambanan, setelah sempat ditutup untuk umum karena abu vulkanik Gunung Kelud, hingga Sabtu (22/2) kompleks wisata candi tersebut masih dilakukan pembersihan. Pembersihan candi tak hanya dilakukan pengelola,
namun juga pihak swasta seperti PT Kawan Lama Sejahtera Peduli Bencana. Dengan mengerahkan sejumlah petugas, PT Kawan Lama ikut membantu membersihkan abu vulkanik yang menempel di Candi Prambanan, Sabtu-Senin (22-24). Sedangkan petugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY juga ikut membantu.
Pembersihan Candi Garuda, Sabtu (22/2) dilaksanakan secara berhatihati, dengan metode yang benar sehingga abu yang ada dicelahcelah batu bisa tersapu bersih. Seperti dikatakan petugas dari BPCB DIY, abu yang masuk dicelah-celah batu candi akan berakibat fatal bagi kekuatan susunan batu candi. (Isw)-f
Situs Gunung Padang Terbesar di Asia Tenggara CIANJUR (KR) – Melihat usianya, Situs Megalithikum Gunung Padang akan banyak menarik perhatian peneliti asing. Apalagi situs ini dikaitkan dengan situs serupa di banyak Negara di Amerika Latin, Timur Tengah,
Eropa, Tiongkok, dan lain-lain. “Ini tentu sesuatu yang luar biasa di mata mereka. Saya berprinsip dan berpendapat kita buat dulu cetak biru. Kemudian, kalau mereka ingindatang, menyaksikan atau apapun, semua
itu setelah kita punya cetak biru dan rencana aksi,� kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat meninjau Situs Gunung Padang di Desa Karyamukti Kecamatan Cempaka Kabupaten Cianjur Jawa Barat, Selasa (25/2).
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
52
GUNTINGAN RINGAN Keterlibatan pihak asing dalam penelitian, sejauh membawa manfaat, sah-sah saja. Namun, Presiden mengingatkan, hendaknya prioritas untuk putraputri bangsa. Mengingat situs ini sudah lama diketahui publik, menjadi tanggung jawab peneliti untuk melakukan pemugaran sampai tuntas. “Jangan hanya business as usual, melainkan harus ada percepatan-percepatan dan tentunya dengan tidak menghilangkan kehati-hatian,” ujarnya. Presiden berharap dukungan semua pihak, termasuk masyarakat local, sehingga tim bisa bekerja optimal. “Mudahmudahan dalam satu-dua bulan ini maksimal, sudah bisa kita tetapkan (kebijakannya).
Kemudian, kita lakukan penelitian lanjutan dan nanti pemugaran,” tuturnya. Tim Terpadu Riset Mandiri (TPRM) Situs Megalith Gunung Padang telah bekerja sejak 2011. Dimulai dengan membentuk tim peneliti katastrofi purba untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang situs megalith ini. Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) dan Peraturan Presiden (Perpres) untuk memperjelas organisasi pemugaran situs megalitik tersebut. Keppres dan Perpres tersebut juga mengatur penetapan area penelitian, pembagian tugas dan tanggung jawab anggaran, serta logistik yang diperlukan.
Ditambahkan, penggalian
Situs Gunung Padang akan menjadi ikon sejarah warisan dan wisata, sekaligus menghormati leluhur. Penelitian akan bisa memugar kembali menjadi original site dan temuan-temuan yang mungkin bisa lebih melengkapi lagi, seperti kisah pemugaran Candi Borobudur. Dari hasil penelitian Tim TPRM, Situs Gunung Padang berusia lebih dari 10.000 tahun sebelum Masehi. Luas kompleks bangunan kurang lebih 900 m2 dan berada di areal seluas 3 hektare. Hal ini menjadikan Situs Gunung Padang merupakan situs punden berundak terbesar di Asia Tenggara. (Sim)-d
Penelitian Balai Konservasi Borobudur
Logam Temuan Bukan Emas WATES (KR) – Balai Konservasi Borobudur (BKB)
Kepurbakalaan (Sepur), Singgih Hapsoro yang ditemui di ruang
pemeriksaan di laboratorium BKB di batangan logam tersebut tidak
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang melakukan penelitian di laboratorium terhadap penemuan logam batangan di Pantai Glagah memastikan bukan emas.
kerjanya, Rabu (26/2).
mengandung unsur emas atau Au (aurum). Tetapi, untuk hasil resmi masih menunggu surat dari BKB,” kata Joko.
Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kulonprogo, Joko Mursito dan Kepala Seksi Sejarah dan
53
Dikatakan, 3 dari 28 logam batangan untuk dilakukan penelitian di BKB Magelang. Disbudparpora masih menunggu surat resmi dari BKB. Dari hasil deteksi peralatan yang digunakan di laboratorium pada logam batangan tersebut tidak mengandung unsur emas. “Beberapa pegawai Bidang Kebudayaan dapat melihat hasil
Media Komunikasi Arkeologi
Seperti diketahui sebelumnya pada pertengahan Januari 2014 ada penemuan peti berisi 28 batang logam batangan mirip emas di Pantai Glagah. Pada setiap logam tertulis tahun 1945, gambar dunia dan gambar Presiden RI pertama, Ir Soekarno.
GUNTINGAN RINGAN Singgih Hapsoro mengatakan untuk mengetahui kepastian kandungan dalam logam batangan tersebut, Disbudparpora meminjam tiga batang logam untuk diteliti di BKB Magelang. Dari hasil penelitian di laboratorium menunjukkan dugaan logam batangan tersebut harta
karun tidak terbukti. Menurutnya, dalam logam batangan tersebut mengandung unsur besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), timah (Sn), atau Cu 55, Nikel (Ni), antimon (Sb) dan sejumlah kandungan lain.
batangan bertuliskan tahun 1945 apakah dapat dikategorikan benda cagar budaya atau tidak. “Untuk menentukan membutuhkan penelitian lebih lanjut,” tambahnya. (Ras)-b
Dijelaskan, Disbudparpora masih akan mendalami logam
Artefak Abad ke 7 Ditemukan di Tuntang UNGARAN-Tim gabungan arkeologi menemukan sejumlah benda kuno dan artefak yang diduga peninggalan peradaban masyarakat dari abad ke-7 Masehi di wilayah Dusun Ngreco, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang. Benda purbakala berupa batu bata, pecahan gerabah, dan jaladwara ditemukan tim ahli gabungan dari Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta bersama Balai Arkeologi UGM Yogyakarta, Geomorfologi ITB Bandung, serta Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta. “Melihat temuan ini, berarti di sini sebelumnya ada peradaban. Ada batuan candi (batu bata), pecahan dan jaladwara,” ujar ketua tim dati Pusat Arkeologi Nasional Agustijanto Indradjaja kemarin. Menurut Agustijanto, temuan di Tuntang tersebut merupakan rangkaian penelusuran ahli arkeologi atas jejak kebudayaan era dinasti Syailendra,
khususnya di wilayah pantai utara Jawa. Penelitian dimulai dari kabupaten Tegal, Pekalongan, Batang hingga Kabupaten Semarang. “Di Kabupaten Batang, tepatnya di wilayah Gringsing, selama dua minggu di sana sempat menemukan petirtaan dan jalan tembus ke dieng,” ucapnya. Benda-benda di Tuntang tersebut bermula dari temuan sebuah prasasti tak jauh dari lokasi ekskavasi saat ini. Tmuan prasasti bertuliskan angka 685 Saka atau sekitar 760 Massehi tersebut memberikan petunjuk adan adanya peradaban lampau di Ngreco. Tim arkeolog tengah melakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan benda-benda di Ngreco merupakan peninggalan abad ke-7. Termasuk meneliti jejak jaladwara. Pasalnya, batu panjang yang merupakan gugusan saluran air dengan hiasan fragmen tertentu ini mengindikasikan ada
pertitaan, yakni sumber ait atau tempat pemandian. “Tim akan berada di lapangan untuk meeliti dan mengambil data hingga 8 April nanti,” ujarnya. Agustijanto menambahkan, jika prasasti tersebut berasal dari daerah periode 760 Masehi dan ada struktur bangunan di dekatnya, maka bisa digolongkan bangunan tua. Berdasarkan data, prasasti tertua adalah Prasasti Canggal di Magelang, ada tanda penanggalan 732 Masehi. “Di bandingkan dengan prasasti Canggal yang hanya berjarak sekitar 20 hingga 40 tahun, maka bisa dikatakan cukup tua di periodisasi Syailendra,” ujarnya Pamong Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Semarang Tri Subekso mengaku telah memberikan pengertian kepada warga dan tokoh masyarakat sekitar lokasi ekskavasi. (agus joko)
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
54
Foto : Aji/ARTEFAK
55
Media Komunikasi Arkeologi
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
56