BULETIN ARKARA VOL. 2

Page 1

ARSITEKTUR DALAM AKSARA


Kata Pengantar

Halo! Buletin ARKARA kembali hadir di bulan ini. ‘Arkara’ , Arsitektur dalam Aksara, merupakan buletin Kabinet Eksplorasi Hima Sthapati yang terbit setiap bulan. ‘Arkara’ menjadi suatu media informasi yang memuat kegiatan himpunan dan mahasiswa Arsitektur ITS. Edisi kedua ‘Arkara’ memuat program kerja dan agenda Hima Sthapati antara lain Seminar Arsitektur Nusantara,Wisuda, Kuliah Tamu, dan lain-lain. Ingin tahu lebih banyak? Yuk, kita langsung ke halaman selanjutnya. Selamat membaca


Daftar Isi - Menemukan Narasi-Narasi Lain Dalam Arsitektur Nusantara

2

- Kuliah Tamu Studio Desain Arsitektur 4: On(other) Narrative in Architecture

6

-

10

Arsitektur Punya Cerita

- ARCAMPUS 2018: Regulation Featuring Creativity

13

- Catatan Opini: Arsitektur Yang Perempuan @ NOMAD

16

- Semarak Suasana 90 di Wisuda117 Arsitektur ITS

21

-

24

Kabar Gembira

1


Liputan Arsitektur

Menemukan Narasi-Narasi Lain dalam Arsitektur Nusantara

Setelah lebih dari 20 tahun Profesor Josef Prijotomo mendedikasikan karir dan waktunya untuk meneliti dan mengangkat arsitektur nusantara ke diskursus arsitektur global, bagaimana kemudian pengaruhnya terhadap dunia praktik dan pendidikan arsitektur di Indonesia sekarang?

2


Liputan Arsitektur

“Apa urusannya arsitektur nusantara dengan karyakarya Anda?”

Hal itu yang dicoba untuk dijawab pada acara sarasehan yang berjudul “Peng-konteks-an Arsitektur Nusantara” pada hari Senin, 12 Maret 2018, di Hotel Ayola, Surabaya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bagian dari rangkaian acara purnatugas Profesor Josef Prijotomo dari masa baktinya sebagai akademisi Departemen Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Pertanyaan yang provokatif tersebut dilemparkan kepada semua panelis oleh moderator. Responsnya? mengejutkan, bahkan untuk seseorang yang kita kira secara sadar mempraktikkan arsitektur nusantara. Sebagai arsitek yang terkenal dengan karya-karyanya yang pro bono, melokal, dan bersahaja, Eko Prawoto memandang arsitektur nusantara sesederhana sebagai “payung” yang kuat untuk mengangkat praktik arsitektur yang humanis. “Saya ndak tahu apa itu pemahaman utuh dari arsitektur nusantara. Jadi, ya saya ambil saja karena Pak Josef bisa membingkai dan memayungi kegelisahan saya, sebagai orang pinggiran yang harus berarsitektur dengan apa yang ada dan dengan apa yang didapat. Ini seperti juru survival sebetulnya. Teorinya kan jadi membuat karya saya sedikit lebih berbobot, katakanlah begitu. Karena ada topangan teori yang luar biasa,” Ujar arsitek yang domisili di Jogjakarta ini.

Sarasehan ini mengundang sembilan arsitek dan akademisi arsitektur sebagai panelis. Di antaranya terdapat orang-orang yang memang sudah kondang dalam mengangkat lokalitas dan kenusantaraan dalam pemikiran maupun praktik arsitekturnya, seperti Eko Prawoto, Yori Antar, Popo Danes, Putu Mahendra, Sutrisno Murtiyoso, ataupun Gunawan Tjahjono.

Namun, ada beberapa arsitek yang dalam pemahaman singkat kita, mereka terkenal dengan karyakaryanya yang sangat modern dan meng-global, justru ikut diundang sebagai panelis : Ary Indra, Edwin Nefarin, dan Budiman Hendropurnomo. Tambah lagi, diskusi ini dimoderatori oleh ketua IAI Nasional yang juga karya-karyanya mungkin cukup sulit untuk melihatnya Namun, perspektif berbeda disampaikan oleh Sutrisno Murtiyoso, sebagai karya yang “menusantara”, ia secara terang-terangan menolak yakni Ahmad Djuhara. pemikiran Prof. Josef, bahkan Maka, diskusi kali ini menjadi menarik terhadap terminologi “Arsitektur Nusantara” itu sendiri. “Saya sangat dan kaya akan perspektif-perspektif tidak setuju dengan menggunakan baru terhadap arsitektur nusantara. istilah arsitektur nusantara, itu istilah yang sudah sangat usang, sedangkan kita sekarang hidup di dunia yang baru sekali yang 3


Liputan Arsitektur

namanya Indonesia,” Tegas Sutrisno Murtiyoso yang biasa dipanggil Sumur ini. “Presiden Sukarno, ketika menjelaskan mengenai lahirnya pancasila itu, beliau berkata bahwa “nasionalisme itu hanya bisa tumbuh subur di tengah-tengah tamannya internasionalisme”, sehingga dikotonomi nasionalisme dan internasionalisme itu seharusnya tidak ada. Tetapi, saudara saya (prof. Josef, red) ini selalu memposisikan arsitektur nusantara seakan – akan, “anda di sana, saya di sini”, kita berbeda,” Tambahnya lagi. Pendapat tersebut diamini Ary Indra. Principal Architect dari biro Aboday ini mempertanyakan kembali, yang mana yang dimaksud “nusantara” itu? “Sampai sekarang saya juga belum ngerti sebenarnya, Nusantara itu apa? Jadi, karena belum ngerti, terus saya cari kesimpulan sendiri kadang-kadang. Contohnya hari ini, di depan ada hiasan foto becak, ada gambar candi. Apakah yang seperti itu yang nusantara?” Kurator Pavilion Indonesia pada Venice Architecture Biennale 2018 ini juga menegaskan bahwa arsitektur nusantara seharusnya tidak dipandang sebagai entitas yang terputus dari suatu zaman. Ia berhak untuk berkembang. “Sama seperti Pak Murtiyoso, lagi-lagi saya setuju bahwa harusnya, menurut Kenneth Frampton, tradisi itu tidak pernah bisa hidup tanpa inovasi, dan inovasi juga tidak akan pernah berjalan tanpa tradisi,”

saya menamakan arsitektur indonesia itu adalah arsitektur apapun yang berguna buat orang indonesia, maka itu adalah arsitektur Indonesia. Minimal dia harus berguna dulu buat orang indonesia. Mau arsitekturnya gaya Jawa, gaya Batak, gaya Minang, kalau arsitekturnya mubazir, ya kehilangan yang namanya arsitektur indonesia,” Jelas putra dari arsitek Han Awal ini. Di sisi lain, Yori Antar masih menemukan romantisisme dalam arsitektur nusantara, sehingga mampu menggerakkan hatinya untuk mendokumentasi dan mengonservasi arsitektur nusantara melalui program Rumah Asuh. “Awalnya, saya melihat arsitektur nusantara dari kacamata turis : datang, kemudian terpesona oleh foto-foto. Sampai akhirnya tahun 2008 saya mengunjungi suatu desa, dan ternyata saya adalah rombongan “orang Indonesia” pertama yang datang ke Wae Rebo. Dan di situ saya memutuskan pensiun menjadi turis, saya ingin menjadi bagian dari masyarakat.”

Maka, definisi arsitektur nusantara tidak bisa kita anggap sesempit suatu bangunan kayu yang udik, yang menjadi milik etnis atau suku-suku tertentu lagi. Arsitektur nusantara memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan masyarakatnya pula. Sehingga selanjutnya, penulisan dan pendokumentasian arsitektur nusantara juga seharusnya dilanjutkan Yori Antar, arsitek yang vokal dalam ke arah karya-karya arsitektur memperjuangkan arsitektur nusantara, Indonesia yang kontemporer. “Bagi justru memiliki pandangan yang saya, semua karya-karya yang sudah luwes mengenai hal tersebut. “Ayah diciptakan oleh panelis-panelis di depan ini adalah arsitektur nusantara 4


Liputan Arsitektur

mengkini, dan saya patut senang dan bangga atas itu. Selanjutnya, tugas saya sebagai kritikus adalah menuliskan karyakarya arsitektur mengkini tersebut sehingga bisa disejajarkan dengan narasi arsitektur global,� Simpul Prof. Josef dalam sarasehan siang itu. (aiw)

5


Liputan Arsitektur

Foto: Orphin Gunawan

Kuliah Tamu Studio Desain Arsitektur 4: On(other) Narrative in Architecture 6

Studio Desain Arsitektur 4 (DA4) kali ini mengangkat judul “Scaling the Meaning” sebagai kritik terhadap aspek-aspek dalam arsitektur. Dua aspek yang diambil adalah pemaknaan dalam arsitektur dan pengaruh keterukuran. Menyangkut tema tersebut, Studio DA4 mengundang Kamil Muhammad sebagai pembicara dalam kuliah tamu di Ruang Sidang Djelantik Departemen Arsitektur ITS (24/03). Kamil Muhammad adalah pimpinan dari sebuah studio desain dan riset arsitektur yang berbasis di Jakarta, Pppooolll. Mengusung “O (other) Narrative in Architecture”, kuliah tamu DA4 membahas tentang narasi dalam arsitektur sebagai metode yang digunakan dalam proses desain arsitektur 4.


Liputan Arsitektur

Modernism sebagai suatu cara atau metode Pada tahun 1984 seorang filsuf Perancis mengatakan bahwa saat modernism mulai bergeser menjadi post modernism, maka saat itu teori universal terbantahkan. Maka dari itu, akhirnya mulai muncul cerita-cerita atau narasi lokal. Enam tahun sebelumnya, Edward S. dari Kolombia menulis tentang orientalisme. Orientalisme merupakan konstruksi cerita Asia yang dibangun oleh Barat hingga kemudian cerita tersebut berkembang. Cerita tersebut terus berkembang di tempat itu sendiri dan menjadi cerita yang kini diketahui. Sekitar 50 tahun kebelakang telah dilakukan upaya-upaya untuk melihat cara pandang kita terhadap narasi. Apakah narasi tersebut dominan atau tertutup yang berpengaruh pada munculnya cerita seharihari ke permukaan. Seorang filsuf lainnya mengemukakan bahwa ada dua cara membaca narasi. Yang pertama

Hubungan antar elemen pada lahan. Sumber: pppooolll

yaitu readerly text, bagaimana teks dapat dicerna dengan mudah dan kita cenderung setuju tanpa memiliki perlawanan seperti cerita sejarah nasional. Yang kedua yaitu writerly text, menantang pembaca untuk membaca dengan cara pikir baru untuk mengupas narasi. Writerly membuat pembacanya merasa berhasil dalam membuka narasi pada teks tersebut. Tidak hanya berupa tulisan, teks yang dimaksud yaitu dalam bentuk gambar dan juga cerita tutur, foto dan sebagainya. 7

Apakah narasi itu linear? - Studi Kasus 1: UPC Training Centre UPC Training Centre merupakan proyek dari Urban Planning Community yang dikerjakan oleh pppooolll. Lokasi lahan berada di sebuah desa, Parung, Bogor sekitar dua setengah jam


Liputan Arsitektur

dari Jakarta. Parung merupakan salah satu tempat yang saat ini mengalami proses transformasi dari hotikultural menjadi tempat industri. Perubahan ini menimbulkan pergeseran nilai, jika kerja itu ke sawah maka mulai berganti kerja itu ke pabrik.

dapat memperkuat posisi kultur dan sosial pada lahan tersebut.

Menerapkan sistem panggung, skala menjadi sangat penting karena bangunan ini besar dan bersifat sebagai aula. Bangunan ini juga menerapkan sistem jendela yang bisa dibuka tutup. Dengan demikian tetap terbentuk interaksi Lahan merupakan area pada dalam dan luar fertile, yaitu apapun yang bangunan dengan ditanam disini maka lingkungan sekitar. akan tumbuh dengan Pada 4 April 2017 UPC subur. Lokasi dikelilingi Training Centre ini resmi oleh perumahan warga. dibuka. Menggunakan Selain itu ada rumpun 95% material bambu bambu yang sudah setempat, training centre ditanam dari tahun ini banyak dipakai untuk 1992. Dari ketiga hal kegiatan warga. tersebut, maka diketuhi bahwa disini sudah ada Hasil dari proyek ini suatu ekosistem yang bersifat jangka panjang. terbentuk dari hubungan Mengapa demikian? juga koneksi antar tiga Selain kegiatan aspek tersebut. perkebunan organic, UPC Training Centre menjadi Dari hal tersebut, tempat pelatihan bambu. pppooolll memikirkan Mulai dari perawatan intervensi apa yang bisa hingga aplikasi bambo, dilakukan pada lahan hal ini karena wargatersebut. Fokus melihat lah yang yang akan lansekap, akhirnya menempati bangunan ini dibuat training centre untuk selanjutnya. Hal ini yang perlahan natinya bisa terjadi karena desa akan berubah menjadi merupakan suatu tempat balai warga. Bagaimana yang perkembangannya bangunan tersebut bisa lebih lambat daripada mendukung kegiatan kota. Ada suatu perkebunan organic yang notasi sosioekologis tentang bagaimana 8


Liputan Arsitektur

cara warga mendapat uang dengan memanfaatkan urban farming dari proyek yang berkelanjutan. “Saya pikir, menariknya kita mau mencari benih-benih lokal dan kontekstual yang bisa kita bagaimanakan untuk membentuk cara pandang yang berbeda terhadap suatu desain.’’ tutur pimpinan pppooolll diakhir materi yang disampaikan. Cerita atau narasi memiliki liniearitas, tetapi adanya intervensi mendorong kita untuk melihat titik-titik yang sebelumnya tidak bisa kita lihat. Proses investigasi dan analisa menjadikan arsitek memiliki rasa bahwa kita juga merupakan bagian dari budaya serta lokalitas yang ada.

9


Liputan Arsitektur

Arsitektur Punya Cerita

Arsitektur merupakan sebuah saksi bisu bagaimana peradaban berubah dari masa ke masa, meninggalkan sebuah cerita yang tak pernah ada habisnya. Begitulah seruan semangat konservasi yang ingin dimunculkan kembali melalui program kunjungan dibawah naungan mata kuliah Perkembangan Arsitektur. Untuk tahun ini, Gresik menjadi tujuan studi lapangan dengan Kampong Kemasan dan Masjid Sunan Giri sebagai sasaran utamanya. Melalui kunjungan ini, mahasiswa diajak secara langsung melihat bagaimana sebuah bangunan menampakkan citranya.

10


Liputan Arsitektur

Kampong kemasan yang diimpikan warga Gresik menjadi daerah wisata heritage ini memiliki segudang keunikan yang tak dimiliki oleh semua kampung. Jajaran rumah dua lantai masih menunjukkan kemewahannya meskipun telah termakan usia. Gaya arsitektur perpaduan Eropa tergambar nyata dari pilar pilar besar serta pintu dan jendela yang tinggi. Dibalik gelagarnya, Nampak sekali bahwa pada jaman dahulu kampong kemasan adalah kampong yang kaya raya. Menurut cerita, H. Oemar merupakan salah satu pemilik rumah tersebut. Selain sebagai pedagang kulit yang namanya masyur kala itu, beliaupu memiliki usaha penangkaran burung wallet. Dengan keberadaan penangkaran burung wallet, rumah dua lantai tersebut di desain memiliki jendela dan pintu pintu palsu untuk mengecoh para pencuri. Selain dipengaruhi oleh gaya Eropa khususnya Belanda, pengaruh arsitektur China terlihat dari warna merah pada bangunan yang dipercaya sebagai perlambang kemakmuran, keberuntungan dan kebajikan. Tak jauh berbeda dengan kampong kemasan, ada pula Masjid Sunan Giri yang tak kalah unik. Masjid ini tentunya tidak lepas dari wujud kejayaan peradaban islam di tanah jawa. Namun yang menjadi sebuah nilai penting pada masjid tersebut adalah nilai akulturasi yang mempengaruhinya. Tak hanya kebudayaan Islam, masjid ini ternyata dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang tercitra dari gerbang masuk area Masjid Sunan Giri yang menyerupai gunungan, salah

satu elemen dipagelaran wayang kulit. Selain itu diperkirakan bahwa masjid tersebut dipengaruhi oleh gaya arsitektur China. Menurut cerita, dahulu warna asli dari masjid tersebut didominasi oleh warna merah, hitam dan kuning. Namun belum diketahui pasti bagaimana sejarah berubahnya warna tersebut menjadi hijau dan kuning keemasan. 11


Liputan Arsitektur

12


Eksplorasi Maret

ARCAMPUS 2018: Regulation Featuring Creativity Arcampus 2018 (23/3) mengangkat topik mengenai Regulation ft. Creativity . Berfokus pada UU Arsitek dan juga layouting portofolio. Mengacu pada Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2017 tentang arsitek, diskusi tersebut membahas mengenai beberapa regulasi yang belum diatur sebelumnya. Hari Sunarko, IAI, AA dari HNK Studio sekaligus ketua IAI Jawa Timur, didapuk sebagai pembicara untuk membahas perihal tersebut. Adanya regulasi tersebut, sedikit merubah alur menjadi seorang arsitek setelah lulus dari S1 Arsitektur. Sehingga dirasa perlu untuk mahasiswa mengetahuinya.

13


Eksplorasi Maret

UU nomor 6 tahun 2017 berisikan mengenai ruang lingkup pelayanan berpraktik seorang arsitek. Semua yang berkaitan dengan keprofesian arsitek telah diatur disini. Bagi seorang mahasiswa perubahan regulasi tersebut berpengaruh pada alur menjadi seorang arsitek. Sebelumnya, seorang mahasiswa yang telah lulus strata 1 arsitek dari lembaga pendidikan ataupun LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa dan Konstruksi) akan menjadi arsitek dengan mengantongi SKA (Surat Keterangan Arsitek) kemudian baru bisa berkiprah pada pengguna jasa atau pengguna karya. Setelah regulasi tersebut berlaku, seorang mahasiswa yang telah lulus S1 dituntut untuk mengambil PPArs (Program Profesi Arsitek). Kemudian mengambil magang sekurangkurangnya dua tahun atau menjadi Arsitek RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) minimal 10 tahun. Baru ia bisa dinyatakan sebagai Asitek ber-STRA (Surat Tanda Registrasi Arsitek). Pada jenjang ini seorang arsitek sudah bisa berpraktik arsitek, namun masih belum memiliki lisensi keprofesian. Untuk mendapatkannya, rekomendasi dari organisai profesi dibutuhkan. Dalam keprofesian Arsitek di Indonesia IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) menjadi penanggungjawabnya. Setelah mendapat lisensi tersebut baru seorang arsitek mampu berkarya dalam praktik arsitektur. Dirasa penting untuk diulik, diskusi yang dilaksanakan di ruang Djelantik itu menghadirkan materi lain yang cukup berbeda dari sebelumnya. 14


Eksplorasi Maret

Hadir dengan fresh, M. Siraj Darami, ST membagikan wawasan dalam melakukakan layouting portofolio. Sebagai salah satu lulusan Arsitektur ITS, yang kini tengah menempuh PPArs, cara penyampaiannya begitu luwes khas gaya mahasiswa. Berbekal pengalamannya selama ini, hal yang perlu digarisbawahi dalam pembuatan layout CV dan portofolio adalah pemanfaatan ruang kosong dan juga ketajaman konten gambar. Selain itu bentuk typografi dan penulisan juga patut dipertimbangkan. Mencoba menarik kesimpulan dari jalannya Arcampus 2018, Iwan Adi Indrawan, ST, M.Ars selaku moderator menyatakan bahwa sangat menarik ketika membahas mengenai regulasi dan kreatifitas dalam satu waktu. Di satu sisi, kita sebagai mahasiswa arsitek juga harus mengetahui bagaimana peran serta kita dalam kiprah berpraktik arsitek. Di sisi lain, kemampuan me layouting secara tidak sadar sudah dilakukan dalam mengerjakan tugas-tugas DA (Desain Arsitektur), namun dengan tips-tips yang sudah dijelaskan membuka wawasan kita mengenai bagaimana seharusnya layouting yang baik.

15


Eksplorasi Maret

Arsitektur Yang Perempuan

Suasana diskusi yang dipantik oleh Pak Wahyu Setyawan. Sumber: Himasthapati

Adakah perbedaan yang muncul ketika suatu arsitektur dirancang oleh perempuan?

Catatan opini dari diskusi NOMAD : “Feminism in Architecture� yang diselenggarakan Departemen Indeks Himasthapati pada 16 Maret 2018. 16


Eksplorasi Maret

“Kalau saat ini saja sekitar lima puluh persen-atau bahkan lebih-mahasiswa arsitektur dalam satu angkatan ratarata adalah perempuan, pasti ada, dong!” begitu batin saya, dan mungkin juga sebagian besar mahasiswa arsitektur ketika ditanya hal tersebut. Peran perempuan sudah tidak bisa lepas dari narasi praktik arsitektur kontemporer. Selain dari rasio kaum hawa yang lebih banyak daripada laki-laki pada sekolah arsitektur, bagi masyarakat, ada beberapa proyek yang rasanya akan lebih “afdol” jika dikerjakan oleh arsitek perempuan. Kita akan lebih mudah membayangkan seorang Avianti Armand merancang butik, kamar anak, dan dapur daripada ketika Ary Indra yang melakukannya. Dan sebaliknya, arsitek perempuan akan dipandang tidak lazim ketika terlibat dalam proyek highrise di lapangan. Seakan muncul label atau stereotipe di masyarakat tentang peran-peran perempuan dalam praktik arsitektur : lagi-lagi arsitek perempuan --yang desainnya selalu diasosiasikan dengan pink, colorful, cantik, dan meliuk-liuk-dipandang lebih kompeten dalam mengurusi proyek domestik berskala kecil, daripada mengurusi proyek berskala besar dengan dinding beton dan tiang-tiang pancang raksasa. Seolah-olah lahir arsitektur yang “maskulin” dan yang “feminin.” Apakah stereotipe tersebut benarbenar sahih?

Sejarah Singkat Feminisme Pada diskusi malam itu, Wahyu Setyawan, dosen arsitektur ITS yang berperan sebagai pemantik diskusi membawa terlebih dahulu obrolannya ke dalam sejarah lahirnya pergerakan feminisme dan bagaimana dinamikanya. Wahyu merangkum definisi feminisme sebagai paham, kajian, dan gerakan sosial untuk mengubah status subordinat pada perempuan sehingga muncul kesetaraan terhadap laki-laki. “Intinya, feminisme adalah pemberontakan terhadap dominasi laki-laki dalam bidang apapun,” tegasnya. Pergerakan feminisme kemudian dirangkum dalam empat fase : Fase pertama adalah pada tahun 1500-1700 M di Eropa, saat itu masalah feminisme sebagian besar dihadapkan untuk melawan Sumptuary Law. Hukum yang memposisikan dan memformalkan pandangan perempuan sebagai kaum yang lemah, emosional, dan irasional. Fase pergerakan feminisme berikutnya terjadi pada tahun 1792, ditandai dengan A Vindication of The Right of Woman yang ditulis oleh Mary Wollstonecraft. Buku tersebut membawa arah feminisme ke wacana baru mengenai hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan rasional layaknya kaum pria. Fase Ini juga menjadi batu loncatan yang mengarahkan perjuangan perempuan melalui tulisan-tulisan. Pergerakan berikutnya juga ditandai 17


Eksplorasi Maret

dengan terbitnya buku berjudul The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan tahun 1963. Buku ini kembali mengangkat isu perempuan yang selalu dikonotasikan dengan urusan domestik. Lebih dari itu, buku ini mengkritik industri dan kebijakankebijakan publik yang tidak menaruh perhatian khusus terhadap hakikat biologis perempuan yang berbeda terhadap laki-laki. Fase keempat, yang terjadi sekitar tahun 1980 hingga sekarang menaruh wacana feminisme lebih jauh. Yakni dengan mempertanyakan kembali hakikat feminisme, dan mencoba menaruh perhatian terhadap diskriminasi gender-gender minoritas di luar laki-laki dan perempuan, yang disebut queer. Tercatat lima ratus tahun pergerakan feminisme mampu mengangkat hak, identitas, dan hakikat perempuan terhadap dogma dan persepsi yang ada pada zamannya. Lantas di manakah arsitektur dalam narasi feminisme? atau sebaliknya, di manakah feminisme dalam arsitektur?

Perempuan dalam Praktik Arsitektur T. L. Donaldson, pionir pendidikan arsitektur dan sekretaris pertama dari RIBA (Royal Institute of British Architects), secara lugas menyatakan tujuan utama mengadakan institusi dan pendidikan formal arsitektur adalah “To uphold ourselves the character of Architects as men of taste, men of science, men of honour,� Pernyataan yang menjadikan arsitektur

di Inggris pada awal abad-19 adalah bidang yang maskulin. Baru kemudian lima puluh tahun setelahnya, Ethel Mary Charles dan Bessie Ada menjadi mahasiswa arsitektur perempuan pertama di Inggris, membuka narasi perempuan dalam dunia arsitektur. Meskipun setelah itu nama-nama perempuan dalam dunia arsitektur mulai banyak bermunculan, pengakuan terhadap arsitek perempuan masih mengalami pasangsurut. Salah satu kontroversi terjadi ketika Robert Venturi dianugerahi Penghargaan Prizker pada tahun 1991. Saat itu, arsitek partner sekaligus istri Venturi, Dennise Brown, tidak disebutkan namanya dalam penghargaan tersebut. Padahal, tahun 1988, penghargaan bergensi itu pernah diberikan kepada dua arsitek sekaligus : Gordon Bunshaft dan Oscar Niemeyer. Baru tiga belas tahun kemudian, pihak Pritzker mau mengakui kompetensi arsitek perempuan dengan dianugerahkannya penghargaan tersebut kepada Zaha Hadid. Semenjak itu, kita melihat “keberhasilan� feminisme dalam dunia arsitektur : secara institusional perempuan benar-benar dianggap setara dengan laki-laki, dan tidak terjadi diskriminasi di dalamnya. Yang dulu awalnya hanya ada dua perempuan dalam satu sekolah arsitektur, kini separuh, atau bahkan lebih, mahasiswa arsitektur adalah seorang perempuan. Maka, praktik perempuan dalam arsitektur sudah bukan menjadi masalah lagi.

18


Eksplorasi Maret

Vitra Fire Station (kiri), dan Heydar Aliyev Center (kanan), karya dari Zaha Hadid.

Arsitektur Feminin Meskipun praktik arsitektur masa kini sudah tidak membatasi antara lakilaki dengan perempuan, kenyataan tersebut belum bisa memecahkan stereotipe “gender arsitektur” yang muncul di masyarakat. Benarkah ada arsitektur yang benar-benar merepresentasikan perempuan? Jika istilah “arsitektur feminin” memang ada, maka kita akan segera mengasosiasikannya dengan

karya-karya Zaha Hadid yang parametrik, meliuk-liuk, elegan, dan anggun. Namun, berapa banyak arsitek perempuan lainnya yang rancangannya seperti itu juga? Dan jika ditarik lebih jauh, sebelum teknologi parametrik men-support ide Zaha Hadid, bukankah karya-karyanya justru banyak memainkan komposisi dari bidang-bidang bergaris tegas dan tajam? Misal Vitra Fire Station. Kemudian apakah karya-karya lama dari Zaha Hadid bukanlah sebuah “arsitektur feminin”?

Harbin Opera house (kiri), dan Rumah Baja Sugiharto (kanan). Mana yang dibuat oleh arsitek perempuan?

19


Eksplorasi Maret

Atau benarkah “arsitektur feminin” itu ada? Ketika kita melihat Harbin Opera House, atau karya-karya “meliuk-liuk” dari MAD Architects lainnya, siapa yang mengira bahwa frontman-nya adalah Ma Yansong, seorang arsitek laki-laki? Atau di Indonesia, Rumah Baja Sugiharto yang sempat menjadi nominator pada penghargaan Aga Khan 2004, yang memiliki bentukan sangat fungsional, kotak, dan disusun dari rangka-rangka baja dan plat-plat metal justru ternyata terdapat campur tangan oleh arsitek perempuan bernama Wendy Djuhara. Apakah “arsitektur feminin” kemudian bisa dihasilkan terlepas dari gender seorang arsitek? Atau benarkah “arsitektur feminin” itu ada? Agaknya upaya untuk mencari arsitektur perempuan adalah sulit dan sia-sia. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang tidak pernah lepas dari media representasinya, arsitektur selalu dihadapkan dengan konteks tempat, pengguna, ekonomi, struktural, politik, budaya, dan berbagai faktor lainnya. Maka jikalau pun ada perbedaan fundamental secara intuitif dalam proses perancangan antara laki-laki dengan perempuan, sepertinya hal tersebut akan segera terkubur dalam-dalam ketika dihadapkan dengan batasan konteks. Tidak seluwes seni ataupun sastra, architecture depends. (aiw)

20


Eksplorasi Maret

21


Eksplorasi Maret

22


Halaman ini memang sengaja dikosongkan.

23


Eksplorasi Maret

24


Eksplorasi Maret

25


PIMPINAN REDAKSI: REPORTER LAYOUTER

TITA ADITYA RAHMAH GHINA ALIFIA NABILAH TIARA DEWI HAPSARI ADI IMAN WICAKSONO DAVID ISLAMUDDIN ADHITANTO NABIL S

26


Halaman ini memang sengaja dikosongkan.

27



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.