Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132
ISBN
978-602-19911-2-1
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung Gedung Labtek IX-C, lt. 3 Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 http://crs.itb.ac.id email: office@crs.itb.ac.id
Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Yayusman Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil Cetakan Pertama : April 2013 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
ii
Kata Pengantar Isu-isu mengenai lingkungan, pangan, kependudukan, dan berbagai isu lain yang berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia selalu penting untuk dipelajari secara seksama. Kebutuhan tersebut semakin menyadarkan betapa pentingnya informasi spasial yang dapat diperoleh dengan mudah, cepat, dan akurat untuk membangun suatu sistem pengambilan keputusan yang tepat dan efisien. Penginderaan jauh yang merupakan teknologi berbasis geospasial dengan kemampuan memberi informasi mengenai gambaran di permukaan bumi dapat mempermudah manusia dalam mengambil keputusan terhadap berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar. Teknologi penginderaan jauh yang semakin berkembang dengan diluncurkannya berbagai jenis satelit dan sensor memungkinkan semakin banyak aplikasi-aplikasi yang dapat didukung. Buku dengan judul “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012� ini ditujukan sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penginderaan jauh. Beragam karya ilmiah mengenai aplikasi dalam berbagai bidang baik lingkungan, pertanian, perikanan, dan bencana alam menjadi bagian dalam buku ini. Harapan redaksi agar buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun sumber pengetahuan baru di bidang penginderaan jauh. Tentunya partisispasi dari para peneliti dan penulis lain juga dinantikan agar semakin banyak inovasi dan penyampaian ilmu pengetahuan mengenai penginderaan jauh khususnya di Indonesia di masa yang akan datang.
Tim Redaksi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
iv
Daftar Isi Kata Pengantar ...................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................... iv Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas Padi dengan Pendekatan Integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing, Algoritma Genetika dan Model Pertumbuhan Ekonomi Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier:.................... 1 Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Area Frame dengan Citra Satelit Multisensor .......................................................................................................... 23 Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi Terakibat Organisme Pengganggu Tumbuhan Wereng Batang Coklat (WBC) ......................................................... 39 Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah dari Citra Resolusi Tinggi Menggunakan Metode Object Based Image Analysis ......................................... 57 Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Industri ................................................................................................................ 75 Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah Potensi Air Permukaan Berbasis Data Spasial ....................................................................................................... 103 Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi Penangkapan Ikan di Indonesia ... 123 Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah .................................................................................... 137 Pembentukan Model dan Parameter untuk Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan Data Light Detection and Ranging (Lidar)........................................................ 149 Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR Menggunakan Citra Alos Palsar......................................................................................................... 167 Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok Karbon ....... 183
Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas Padi dengan Pendekatan Integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing, Algoritma Genetika dan Model Pertumbuhan Ekonomi Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier: -Sistem untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional-
Muhamad Sadly, S. Mulyono, A. Sulaiman
1
2
Muhammad Sadly, dkk.
Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas Padi dengan Pendekatan Integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing, Algoritma Genetika dan Model Pertumbuhan Ekonomi Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier: -Sistem untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional-
Muhamad Sadly, S. Mulyono & A. Sulaiman Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gedung II BPPT, lantai 19, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340 Telp. : (021) 3169700; Fax: (021) 3169720 Email: msadly2000@yahoo.com; muhamad.sadly@bppt.go.id; sidikm@gmail.com
Abstrak Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, perhitungan produktifitas padi masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di dalam implementasinya. Model yang dikembangkan di sini dinamakan “Model prediksi HyperSRI�. Model pertumbuhan berdasarkan dinamika nonlinier akan tergantung terhadap parameter dan kondisi awal. Ketepatan penentuan kedua parameter tadi akan menetukan hasil model untuk prediksi jangka panjang. Penentuan tersebut dilakukan berdasarkan teknologi remote sensing hyperspectral dengan studi khusus daerah kabupaten Karawang. Genetic algorithms based new sequence principal component regression (GA-NSPCR) yang dikombinasikan dengan algoritma genetika yang digunakan untuk membangun model prediksi sekaligus untuk pemilihan fitur (band) yang optimal dari data penginderaan jauh hiperspektral. Model pertumbuhan ekonomi diturunkan dan dilakukan analisis standard berdasarkan kondisi kestabilan dan diselesaikan secara numerik. Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Kegunaan dari hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi distribusi pertumbuhan padi (paddy growth stage distribution) dan prediksi produktivitas padi (Yield prediction) yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses. Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah pengembangan model integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan model pertumbuhan ekonomi pertanian
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
3
berdasarkan dinamika nonlinear untuk aplikasi dalam pengembangan sistem prediksi produktivitas padi yang mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Model yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini akan divalidasi dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Kata Kunci : dinamika nonlinier, model pertumbuhan ekonomi, pertanian, hiperspektral, penginderaan jauh, algoritma genetika Abstract In this research proposed a new approach in the development of rice yield prediction system to support National Food Security Program. Hyperspectral remote sensing technology is integrated with Genetic Algorithm and agriculture economic growth model based on nonlinear dynamic decided as a new approach in order to improve the existing conventional method. The main problem of a conventional method is the estimation of rice productivity using manual system and the result obtained is not optimal and impractical in its implementation. Model developed called “HyperSRI Prediction model�. Agriculture economic growth model based on nonlinear dynamic depend on the initial parameter and condition. The suitable of both parameters are important factor for long term prediction. The deciding of parameters are based on hyperspectral remote sensing technique in Karawang District, West Java. Genetic algorithm based New Sequence Principle Component Regression (GANSPCR) combined with Genetic Algorithm is used to build the prediction model and also for optimal feature selection (optimal band selection) from hyperspectral data. Economic growth model based on stability condition and finalized by numerical approach. This model can provide the rice yield prediction model more accurate than conventional method. Also, HyperSRI Prediction Model is capable of providing technology solutions to address these issues in the conventional method. The benefit of this research can give data and information related to the paddy growth stage distribution and yield prediction easily accessible, fast and accurate. This model having having the concept: advanced, profitable, prosperity and sustainable. Model developed is indicated by the characteristics as intelligent decision support system, cost minimizing objective function and economic beneficial. Furthermore, this system can provide appropriate information of paddy growth stage distribution and yield prediction easily accessible, fast and accurate and also this model can help the agriculture society to increase their income, local economic, country foreign exchange from
4
Muhammad Sadly, dkk.
fishery industry sector. The model will be validated and implemented in several regions in Indonesia, for example in the paddy field of Karawang District, West Java. Keywords: nonlinear dynamic, economic growth hyperspectral, remote sensing, genetic algorithm
model,
agriculture,
1. PENDAHULUAN Salah satu produk pertanian dalam hal ini beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar negara Asia, termasuk Indonesia. Sebagai makanan pokok, pemenuhan kebutuhan beras bagi penduduk Indonesia mendapat perhatian khusus, karena hal ini menyangkut masalah stabilitas sosial, ekonomi dan politik. Segala daya upaya harus disiapkan oleh pemerintah dari semua lini terkait secara sinergi untuk mengupayakan stabilitas pemenuhan kebutuhan pokok akan pangan, mulai dari kebijakan pemerintah, payung hukum, kontrol sarana produksi pertanian di pasar, asistensi teknik, teknik estimasi produksi, distribusi panen, sampai pada kontrol harga jual di pasar. Sebagai negara agraris, luas daratan Indonesia hanya sepertiga dari total luas wilayah, sedangkan sisanya merupakan lautan. Luas daratan itu harus dibagi lagi untuk berbagai peruntukan, seperti hutan lindung, hutan produksi, permukiman, pasar, kawasan industri, fasilitas infrastruktur, dan lain-lain. Kebutuhan lahan untuk permukiman, sekolah, pasar, dan fasilitas infrastruktur terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk yang kini telah mencapai sekitar 234.2 juta jiwa dan bertambah dengan laju 1,3% per tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (Prihtiyani, dkk., 2011), kebutuhan beras penduduk Indonesia per kapita telah direvisi menjadi sebesar 113 kg per tahun, yang berarti kebutuhan beras nasional mencapai sekitar 27 juta ton beras pada tahun 2011. Dari sekitar 21 juta hektar luas keseluruhan lahan pertanian Indonesia, 7,7 juta hektar merupakan lahan sawah padi (Tetanel). Di sisi lain, kemampuan produksi rerata lahan padi di Indonesia adalah 4,6 ton per hektar. Itu berarti kemampuan produksi padi untuk sekali tanam adalah 35,42 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 21,25 juta ton beras. Bila diasumsikan secara pesimis rata-rata penanaman padi yang berhasil dilakukan dalam setahun adalah 1,5 kali tanam untuk setiap sentra produksi pertanian, maka produksi beras total Indonesia hampir mencapai 32 juta ton beras. Hal ini sangat memungkinkan Indonesia memiliki surplus beras sebesar 5 juta ton beras yang dapat digunakan sebagian untuk stok ketahanan pangan dan sebagian untuk keperluan ekspor. Akan tetapi ironisnya nilai impor beras semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masalah utama yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah kesimpangsiuran dan ketidakjelasan informasi stok beras Indonesia, di mana masing-masing pihak memiliki data yang saling berbeda, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, dan Badan Urusan Logistik (BULOG). Dalam konteks ketahanan pangan, ketidaktersediaan informasi terkini tentang persedian beras
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
5
nasional serta tidak adanya sistem estimasi prediksi produksi padi nasional yang cepat, tepat, dan handal, sudah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah setiap tahun yang hanya untuk impor beras. Melalui pemanfaatan remote sensing, perlu untuk dilakukan penelitian untuk membangun suatu model prediksi produksi beras di sentra produksi pertanian Indonesia yang cepat, tepat (lebih akurat), handal, serta mudah digunakan pada tingkat operasional. Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, perhitungan produktifitas padi masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di dalam implementasinya. Model yang dikembangkan di sini dinamakan “Model prediksi HyperSRI� (Nakariyakul dkk., 2003; Valls dkk., 2005; Mulyono dkk., 2012) Dalam perencanaan pembangunan diperlukan prediksi secara tepat tentang produksi beras beberapa tahun kedepan. Prediksi ini dilakukan dengan memperhitungkan beberapa faktor yang pada dasarnya faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lain. Pemahaman secara terintegrasi faktor-faktor tersebut hanya dapat dilakukan melalui suatu model dinamika. Model dinamika tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial sehingga analisis sistem persamaan diferensial menjadi suatu keharusan. Tetapi tiga dasawarsa ini telah berkembang bahwa model ekonomi dibangun oleh sistem persamaan diferensial yang tak linier dimana belum ada solusi analitik yang general sehingga analisis sistem yang bersangkutan masih sangat terbuka. Ada banyak cara untuk menganalisis sistem ini. Pada dasarnya secara numerik kita bisa mencari solusi sistem persamaan diferensial ini tetapi ini merupakan pekerjaan brute force jika kita tidak dapat mengenali sistem secara baik. Hal yang sangat menarik adalah bahwa solusi sangat tergantung dari parameter yang terkandung dalam persamaan dan kondisi awal. Penentuan kondisi awal inilah dapat diperoleh secara tepat dengan menggunakan teknologi remote sensing hyperspectral (Vaiphasa dkk., 2004). Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Model yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa
6
Muhammad Sadly, dkk.
negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini akan di validasi dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
2. PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI HYPERSRI: METODOLOGI DAN HASIL Metodologi yang akan dijabarkan berikut ini disusun secara hierarki sedemikian rupa agar didapatkan hasil kajian yang komprehensif, sistematik dari hulu yang berisi mengenai pengembangan metode baru di dalam membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Adapun detil metodologi dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.1 Monitoring dan Prediksi Produktivitas Padi dengan Penginderaan Jauh Hyperspectral dan Genetic Algorithm Teknologi penginderaan jauh (Remote sensing technology) adalah teknologi untuk mengumpulkan informasi tentang permukaan bumi berdasarkan perekaman energi cahaya pantul dan pancaran cahaya objek dengan menggunakan sensor yang dipasang pada wahana satelit di luar angkasa. Dengan kemampuannya mengumpulkan informasi dalam cakupan area yang sangat luas dan cepat, maka membuat teknologi ini cepat berkembang dan mudah diaplikasikan untuk keperluan analisis dengan berbagai macam aplikasi. Di awal perkembangannya, teknologi ini masih menggunakan beberapa sensor (multispectral remote sensing) terutama untuk mendeteksi cahaya tampak (visible light) dan cahaya dekat infra merah (near infrared) untuk pemantauan vegetasi secara umum. Karena tuntutan kebutuhan akan pengamatan objek lain di permukaan bumi yang lebih rinci, maka diperlukan sensor yang mampu mendeteksi cahaya dengan jangkauan yang lebih luas dan dengan resolusi spektral yang sangat tinggi. Teknologi penginderaan jauh hiperspektral (Hyperspectral Remote Sensing) yang merupakan pengembangan terbaru dari teknologi penginderaan jauh memiliki beberapa keuntungan nyata dibandingkan dengan teknologi sebelumnya yaitu penginderaan jauh multispektral (Multispectral Remote Sensing). Sensor remote sensing generasi baru ini memiliki spectral band hingga ratusan buah dengan lebar pita (bandwidth) relatif sempit berkisar 5-10 nm. Dengan demikian membuat teknologi ini memungkinkan untuk dipelajari secara lebih rinci untuk pemantauan vegetasi pada umumnya, serta lebih spesifik untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan kondisi tanaman padi. Teknologi ini memiliki potensi untuk memberikan informasi tentang tanaman pertanian secara kuantitatif dan cepat, tanpa merusak tanaman itu sendiri dalam area jangkauan yang sangat luas. Hal ini terjadi karena hyperspectral menyediakan informasi spektral yang mencirikan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
7
unik dan mengidentifikasi bahan kimia, kelembaban, dan sifat fisik dari bagianbagian konstituen dari suatu obyek masukan (Nakariyakul , 2003). Data hyperspectral juga telah berhasil digunakan untuk melakukan klasifikasi seperti: internal-almond yang rusak dari yang normal (Casasent, dkk., 2000), diskriminasi spesies mangrove tropis (Valphasa, dkk., 2004). Di satu sisi remote sensing hyperspectral, dengan memanfaatkan dimensi yang tinggi ini (high spectral resolution) terbuka peluang untuk menganalisa suatu objek dengan lebih rinci lagi. Tetapi di sisi lain, hal ini juga akan menimbulkan permasalahanpermasalahan tersendiri dalam analisa. Salah satunya adalah diperlukannya metode baru yang efektif untuk memproses data dengan dimensi yang tinggi, yang sangat bergantung pada kemampuan dari memori dan kecepatan prosesor komputer. Selain itu untuk meningkatkan kestabilan numerik maupun algoritma diperlukan metode pemilihan fitur (feature selection) yang efektif. Genetic algorithms based new sequence principal component regression (GANSPCR) adalah metode regresi komponen utama yang dikombinasikan dengan algoritma genetika yang digunakan untuk membangun model prediksi sekaligus untuk pemilihan fitur (band) yang optimal dari data penginderaan jauh hiperspektral. Prediktor (variabel bebas) yang digunakan adalah nilai band spektral dari sekumpulan sampel data hipersepktral yang jumlahnya hingga ratusan band, yang disusun ke dalam bentuk matriks (spectral matrix). GA berfungsi untuk menentukan kromosom terbaik dengan teknik mutasi maupun perkawinan silang antar generasi, yang dievaluasi menggunakan regresi komponen utama. Agar dapat dianalisis menggunakan GA, terlebih dahulu seluruh band spektral ini dirubah ke dalam bentuk kromoson biner [0,1]. Dengan melalui sejumlah iterasi generasi, maka akan diperoleh kromoson yang terbaik, yaitu yang menunjukan jumlah band yang sedikit dan memiliki nilai galat yang kecil. Skema proses GA-NSPCR diperlihatkan pada Gambar 1. Sejalan dengan proses GA di atas, spectral matrix yang telah terbentuk ditransformasikan ke dalam ruang orthogonal untuk mendapatkan komponen utama (PC). Seluruh PC yang terbentuk dievaluasi tingkat korelasinya terhadap nilai sampel produktifitas padi (yield) secara linear sederhana (simple linear regression), dan disusun ulang yang dimulai dari nilai korelasi yang tertinggi. Dari susunan PC yang telah tersusun ulang tersebut, dipilih sebanyak 80% dari seluruh PC yang digunakan ke dalam analisis regresi linear ganda (multiple linear regression) untuk keperluan kalibrasi model menggunakan dataset sampel pelatihan (training dataset). Hasil kalibrasi model ini selanjutnya diuji kembali menggunakan dataset sampel pengujian (testing dataset), hingga diperoleh model prediksi terbaik. Model prediksi yang diperoleh dari GA-NSPCR selanjutnya diimplementasikan ke dalam citra hyperspectral HyMap untuk mengetahui peta sebaran prediksi produksi padi.
8
Muhammad Sadly, dkk.
Gambar 1. Skema proses GA-NSPCR (S. Mulyono dkk.,2012)
Citra HyMap ini merupakan hasil airborne campaign di sekitar Kabupaten Karawang pada 14 Juli 2011, kerja sama antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Earth Remote Sensing Data Analysis Center (ERSDAC) Jepang. Wilayah pengamatan mencakup 10 kecamatan, tetapi hanya ada 2 kecamatan yang tercakup secara penuh batas administrasi, sedangkan 8 kecamatan lainnya hanya tercakup sebagian. Hasil prediksi ini kemudian dibandingkan dengan data ubinan Desember tahun 2011 yang tersedia di Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Karawang. Sedangkan, Peta distribusi prediksi yield padi untuk kecamatan di Kabupaten Karawang diperlihatkan pada Gambar 2 sampai dengan 4.
(a)
(b)
Gambar 2. Peta distribusi prediksi yield padi untuk kecamatan (a) Lemahabang dan (b) Talagasari
9
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
(a)
(b)
Gambar 3. Peta distribusi prediksi yield padi untuk sebagian kecamatan (a) Banyusari dan (b) Cikampek
(a)
(b)
Gambar 4. Peta distribusi prediksi yield padi untuk sebagian kecamatan (a) Cilamayakulon dan (b) Klari
2.2 Model Pertumbuhan Ekonomi Pertanian Dengan Dinamika Nonlinier Apabila kita ingin mengetahui pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah, indikator umum yang dapat digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam suatu negara untuk waktu satu tahun (Perko, 1991; Martono, 2011). Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung PDRB suatu Negara atau wilayah, yaitu melalui pendekatan pendapatan, pendekatan pengeluaran, dan pendekatan produksi. Selama ini perhitungan nilai PDRB yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah PDRB dengan pendekatan produksi yang
10
Muhammad Sadly, dkk.
dibentuk dari sembilan sektor atau lapangan usaha, yaitu: ( 1) Pertanian, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, (5) Konstruksi/Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan (9) Jasa-Jasa. Kesembilan sektor pembentuk PDRB tersebut merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional maupun daerah. Dalam penerapannya ke skala Kabupaten misalnya maka yang dilakukan adalah perhitungan sektor yang dominan. Sebagai contoh untuk kabupaten Karawang sektor dominan adalah pertanian (dengan komoditi terutama beras) dan industri. Dengan memasukkan faktor jasa lingkungan maka bersamasama dengan PDRB atau disebut PDRBD maka kita mempunyai tiga fungsi ekonomi. Dinamika yang dibangun oleh ke tiga fungsi tersebut akan membentuk persamaan diferensial dengan tiga fungsi yang tak diketahui dan umumnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas maka fungsi akan semakin banyak (Alayarna dkk., 2004). Telah dikemukakan di atas bahwa untuk studi kasus di kabupten Karawang maka sektor yang dominan adalah pertanian dan industri. Sektor pertanian menghasilkan produk yang sangat bagus di mana 60% digunakan untuk konsumsi atau pemenuhan kebutuhan di dalam dan sisanya 40% dijual keluar sehingga akan memberikan dampak pada pendapatan domestik bruto daerah (PDBD). Variabel atau fungsi ekonomi yang akan dibahas umumnya adalah total capital (K(t)), rate of interest (r(t)) dan harga komoditi pertanian (pa(t)). Pembangunan model dimulai dengan mendifinisikan parameter atau fungsi yang memerikan dinamika system yaitu K(t), r(t), dan pa(t) yang menyatakan berturut-turut total modal (capital), rata-rata interest dan harga dari komoditas pertanian. Indeks a menyatakan pertanian (agriculture) dan indeks i menyatakan industri. Huruf L dan N berturut-turut menyatakan total luas lahan dan kekuatan buruh (labor force). Nj(t) dan Kj(t) adalah labor force dan stock modal yang dilakukan oleh sektor ke j yaitu j=a,i. La(t) tataguna lahan dari sector pertanian, S(t) total saving, Lh(t) adalah land use untuk housing, Fj(t) adalah output dan Cj(t) konsumsi produksi. Sedangkan wj(t) dan R(t) adalah (rente upah) wage rate dan rente. Setelah parameter dan fungsi didefinisikan maka tibalah saatnya membangun model. Pada dasarnya model bisa apa saja tetapi umumnya sudah ada studi sebelumnya dan jika dirasa kurang akan dilakukan modifikasi. Studi terdahulu tidaklah salah karena berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang terjadi tetapi dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada maka diperlukan modifikasi atau inovasi terhadap teori atau model terdahulu. Dalam penyusunan model perlu dilakukan asumsi-asumsi untuk memudahkan penyusunan model dan reabilitas di lapangan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa proses produksi masing-masing sektor diperikan dalam fungsi produksi. Sebagai contoh produksi pertanian merupakan kombinasi dari modal, pekerja/buruh (labor force) dan lahan. Secara matematis fungsi produksi sektor pertanian dinyatakan sebagai berikut (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
11
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Fa t K aa H
mq
a
a
N a La
(1)
dimana ma ≥ 0, α+β+ς=1, dengan parameter diatas adalah konstanta positif. Suku H adalah input tenaga kerja (petani) yang berkualitas. Parameter ma/β mengukur bagaimana keefektifan sektor pertanian dalam penggunaan modal manusia. Kondisi marginal untuk sector pertanian diberikan oleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
r
a pa Fa
w
;
Ka
a pa Fa
;
Na
R
pa Fa La
(2)
Sedangkan sektor industri yang dinyatakan dalam fungsi produksi industry diberikan dalam (Alayarna dkk., 2004; Zhang dkk., 2005),
Fi t Nii H
mi
i
i
Ni
(3)
dimana mi ≥ 0, α+β+ς=1, dengan parameter diatas adalah konstanta positif. Dua input yaitu mesin dan kekuatan buruh dimasukkan pada perhitungan sebagai produksi industri Dalam kasus ini perubahan lahan untuk industry diabaikan yang berarti industry tetap dan tidak mengalami perluasan daerah. Kondisi marginal sektor industri diberikan oleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
r
i Fi Ki
;
w
i Fi
(4)
Ni
Persamaan (1) dan (3) menyatakan kelakuan produksi dari sektor pertanian dan industri Asumsikan bahwa lahan milik petani yang berarti bahwa pendapatan dari lahan akan di bagi diantara populasi. Asumsikan lagi bahwa marketnya homogen di setiap urban land dan rural land. Total revenue diberikan oleh R(t)L dan jika Y(t) menyatakan income dari household (rumah tangga) maka netto income terdiri dari tiga bagian yaitu income upah (wage income), interest payment dan revenue dari yang punya lahan yaitu ditulis (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
Y t rK wN RL
(5)
Asumsikan bahwa utility level U(t) dari masing-masing household bergantung pada tingkat konsumsi dari komoditas industri dan pertanian masing-masing diberi simbol Ci(t) dan Ca(t) sedangkan kondisi housing Lh(t) dan saving S(t) maka fungsi utilitas dinyatakan sebagai (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005), ,
U t Ca Ci Lh S
, , , 0
1
(6)
12
Muhammad Sadly, dkk.
Masing-masing parameter menyatakan kecenderungan untuk mengkonsumsi pertanian yang bagus, komoditas industry dan housing sedangkan yang terakhir menyatakan kecenderungan untuk tetap kaya. Kendala budget untuk households diberikan oleh(Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
paCa Ci RLh S Y K
(7)
Dimana RL menyatakan payment for housing. Dengan metode prinsip pengali Lagrange atau maximum diperoleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
dK Y t K t K t Yˆ K , H K dt
(8)
Dimana persamaan ini menyatakan akumulasi kapital dari households. Lebih lanjut diasumsikan bahwa kapital, buruh, dan lahan full employed yaitu (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
Ki K a K
Ni N a N
Lh La L
(9)
Dan produk industry semua terkonsumsi dan terinvestasi yang dinyatakan oleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
Ci S K K Fi
(10)
Dan keseimbangan antara permintaan dan suplai untuk produk pertanian direpresentasikan oleh Ca=Fa. Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah human capital (H). Dalam ekonomi kabupaten Karawang maka faktor politik yang dianggap dapat menentukan pertumbuhan ekonomi adalah keterbukaan. Bagaimanapun juga interaksi dengan kabupaten lain terutama Jakarta dan pembangunan pesat dari sektor industri akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Faktor ini akan memberikan tekanan pada perubahan lahan dari pertanian ke sektor pendukung industry dan lainnya. Meskipun pemerintah daerah telah menetapkan peraturan daerah tentang perubahan kawasan pertanian menjadi kawasan lainnya maka bukan tidak mungkin perubahan lahan pertanian akan tetap terjadi. Dalam upaya memahami optimalisasi lahan pertanian yang ada maka dinamika lahan tetap perlu dilakukan di mana lahan akan dikenai dua gaya utama yaitu gaya pengerak dan gaya pendorong atau gaya internal dan eksternal. Peningkatan faktor eksternal ini akan berkecenderungan mengurangi luas lahan(Zhang, 2005). Dalam bahasa matematik faktor ekspansi dinyatakan oleh eksponensial pertumbuhan dan factor pengurang akibat umpan balik dinyatakan dalam bentuk nonlinier. Maka jika perubahan luas lahan kita nyatakan dalam variabel (L) maka dinamika perubahan lahan akan mempunyai bentuk metematis sebagai berikut,
dLa 3 Tx La La qK , H dt
(11)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
13
dimana Tx adalah parameter adjustment yang positif Suku eLa menyatakan kekuatan internal dan suku La3 menyatakan kekuatan eksternal. Jadi secara fisis menyatakan bahwa suku eLa memberikan kualitas pertanian dan keuntungan sector pertanian meningkat sedangkan suku La3 akan melawan ketertarikan orang untuk menjadi petani akibat factor eksternal yaitu industry dan lainnya. Secara umum jika kondisi kehidupan meningkat maka human capital akan naik maka masyarakat akan lebih terbuka sehingga efek eksternal makin kuat. Kecepatan adjustment merupakan aspek yang paling sulit ditentukan karena terpengaruh psikologi masyarakat yang umumnya sulit dikuantisasi. Fungsi q(K,H) menyatakan efek K dan H pada luas lahan pertanian. Pada umumnya parameter ini positif tetapi tidak ada yang menjamin bahwa akan terus positif. Berdasarkan hipotesa tadi maka dinamika human kapital diperikan oleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
N F NF dH aLa Th a a a a i i i i h H dt NH NH 1 bH
(12)
di mana konstanta yang muncul adalah parameter yang umumnya positif. Suku δH manyatakan depresiasi dari human capital. Suku pertama dari persamaan (12) menyatakan bahwa jika system ekonomi menjadi lebih terbuka maka human capital akan naik. Tetapi efek interaksi dengan factor eksternal pada akumulasi human capital akan berkecenderungan untuk deklinasi jika human capital masyarakat telah sangat tinggi. Suku kedua menyatakan learning by doing dari sector pertanian dan suku ketiga menyatakan learning by doing dari sector industry (Zhang, dkk., 2005). Sejauh ini maka fungsi atau variable yang menyusun system ekonomi ini ada delapan belas (17) yaitu K(t), H(t), Ka(t), Ki(t), Na(t), Ni(t), Lh(t), La(t), Fa(t), Ca(t), Ci(t), S(t), U(t), r(t), w(t) dan pa(t). Fungsi-fungsi tersebut saling berinteraksi satu sama lain sehingga akan membentuk system persamaan diferensial biasa terkopling dan nonlinier yang rumit. Dengan kata lain sangat sulit untuk mengekspresikan semua variable ekonomi secara lengkap. Dalam analisis biasanya peneliti hanya melihat beberap variabel saja , misalnya variable K,La dan H saja yang memerikan capital household, lahan pertanian dan human capital. Secara matematis untuk merubah delapan belas variabel menjadi tiga variabel digunakan lemma. Berikut adalah lemma tersebut (Zhang dkk., 2005). Lemma. Untuk sembarang fungsi K(t) > 0, H(t) >0 dan X(t)> 0 pada suatu titik di suatu saat, variable lain di dalam system secara unik ditentukan sebagai fungsi dari K(t) dan H(t) melalui prosedur berikut ini: Ω(t) akan diwakili oleh Ka(t) dan Ki(t) diwakili oleh Na(t) dan Ni(t) diwakili oleh Lh(t), Fa(t) menjadi pa(t) sedangkan Fi(t) diwakili oleh r(t) dan w(t) sedangkan Ca(t) diwakili S(t) dan Ci(t) diwakili U(t). Karena itu persamaan untuk K(t), H(t) dan X(t) memenuhi system persamaan diferensial berikut (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
14
Muhammad Sadly, dkk.
dK Yˆ K , H K dt dLa 3 Tx La La qK , H dt N F NF dH aLa Th a a a a i i i i h H dt NH NH 1 bH
(13)
di mana ada relasi yang dbangun oleh lemma tersebut yaitu (Zhang dkk., 2005),
i K f (Yˆ , K , H ) H mj Y K 1 1
j
i
i K 1 0 Y K 2 2
(14)
dengan
Ka
a YK 1Y 1 K
;
1 a i i , N i Y K i Na a Y
Ki
Y K K 1Y 1 K
i
1 i ;
Ni N a N
Ini adalah menyerupai persamaan keadaan di dalam system termodinamika. Dengan lemma tersebut maka kita digaransi bahwa dengan hanya mengetahui variabel tersebut maka semua system ekonomi yang diperikan oleh delapan belas variebel tersebut dapat ditentukan. Jadi sistem ekonomi kita yang rumit tadi sudah diperikan secara lengkap oleh persamaan-(13).
3. ANALISIS DAN DISKUSI Analisis hasil citra satelit dengan sensor hyperspectral dan perbandingannya dengan data di lapangan untuk kasus Kabupaten Karawang di sarikan dalam Tabel-1. Dari Tabel 1 diketahui bahwa Kecamatan Lemahabang dan Talagasari yang tercakup secara penuh pada citra HyMap dapat memberikan hasil prediksi dengan akurasi di atas 90%. Sedangkan untuk kecamatan lain yang tidak tercakup secara penuh pada citra HyMap memberikan hasil dengan akurasi yang masih beragam antara 65,86% sampai dengan 95,46%. Selain karena daerah cakupan yang tidak penuh, hal ini disebabkan oleh faktor kondisi perawanan pada citra masih cukup dominan, sehingga mempengaruhi hasil prediksi panen padi khususnya di Kecamatan Cilamayakulon dan Tempuran.
15
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 Tabel 1. Rekapitulasi prediksi panen di 10 Kecamatan Karawang No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SubDistrict
Lemahabang Talagasari Banyusari Cikampek Cilamaya Kulon Klari Majalaya Rawamerta Tempuran Tirtamulya Total rata-rata
Total Production [Ton]/ Harvested Area [Ton/Ha] 27,553 / 4,142 22,881 / 3,409 6,068 / 986 9,183 / 1,893 14,909 / 2,089 27,094 / 4,875 6,679 / 1,218 17,464 / 2,827 21,962 / 2,946 16,918 / 3,532 170711 /27917 72.34%
Yield [Ton/Ha]
Data from Dinas [Ton/Ha]
Accuration
6.65 6.71 6.15 4.85 7.14 5.56 5.48 6.18 7.46 4.79
6.14 6.64 6.47 6.31 5.64 6.06 6.64 6.47 5.56 6.14
91.73% 98.95% 95.00% 76.89% 73.49% 91.76% 82.53% 95.46% 65.85% 77.99%
Langkah pertama dalam menganalisis system dinamik adalah melihat kondisi setimbangnya (equilibrium condition). Kondisi kesetimbangan umumnya dicapai dengan mencari solusi steady dari persamaan-(13) yaitu,
Yˆ K , H K 0
La La 3 qK , H 0 aLa a N a Fa i N i Fi 1 bH
NH a
NH i
(15)
hH 0
Karena jumlah parameter lebih banyak dari jumlah persamaan maka solusi tak akan diperoleh. Salah satu cara adalah menspesifikasi parameter. Misalkan kita spesifikasi parameter b=0 maka persamaan-(14) menjadi,
Yˆ K , H K 0
La La 3 qK , H 0 a N a Fa i N i Fi aLa
NH a
NH i
(16)
hH 0
dari persamaan tersebut maka titik kesetimbangan dapat ditentukan. Dengan mengunakan persamaan keadaan yaitu Y=K/λ maka luas lahan akan mempunyai tiga kemungkinan solusi keseimbangan. Sebagai contoh jika q(K,H)= υ1K + υ2H maka titik keseimbangan dicapai dengan luas lahan La=±√ε/θ dan La= (υ1K + υ2H)/ √ε/θ. Maka fungsi produksi Fa dan Fi akan stabil pada kondisi lahan pertanian tetap. Jika perubahan lahan lambat maka akan diperoleh persamaan,
16
Muhammad Sadly, dkk.
Suku eLa dan γ2 menyatakan kekuatan internal: Kualitas dan keuntungan sector pertanian , suku La3 menyatakan kekuatan eksternal: industry dan lainnya. Jika γ > 2.35 sistem runtuh
Gambar 5. Diagram bifurkasi system diatas
Persamaan (13) dapat dikerjakan dengan pengetahuan funsi q(K,H). Jika kita mengambil bentuk fungsi tersebut adalah,
q( K , H )
K N
(17)
Yang menyatakan bahwa perubahan luas lahan dipengaruhi oleh kapital (K) diperoleh persamaan dinamika,
dK rK wN RLa 1K dt dLa K 3 Tx La La dt N
(18)
N F NF dH aLa Th a a a a i i i i h H dt NH NH 1 bH Persamaan tersebut dipecahkan menggunakan metode numerik yaitu menggunakan skema Runge-Kutta yang sudah digunakan secara luas dalam code Matlab ode45. Hasil plot dengan syarat awal (0.5, 0.3, 0.5) seta asumsi pertumbuhan faktor industri linier dinyatakan dalam Gambar 6.
17
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6. Hasil simulasi persamaan-13 dalam Matlab dengan syarat awal (0.5, 0.3, 0.5) dan koefisien atau parameter persamaan lamb=0.2; r=0.1; w=0.5; del=0.03; eps=0.8; teta=0.35; nu=0.5; Tx=0.09; Th=0.07; a=0.9; ta=0.2; ti=0.5; epsa=0.6; epsi=0.45; Na=1; Ni=1; Fa=1; R=1; N=2; b=0.7; delh=del*eps; a) faktor pertumbuhan industri linier b) dengan memasukkan faktor teknologi, c). pertumbuhan industry eksponensial, d) ada insentif terhadap lahan pertanian
Pada Gambar 6, Terlihat bahwa dengan asumsi pertumbuhan industri linier maka luas lahan dan modal akan mencapai kondisi tunak tetapi produksi masih bisa tumbuh. Jika memasukkan efek teknologi yang dimodelkan dengan hadirnya suku e^(0.05*t) di faktor pertumbuhan pertanian maka terlihat bahwa pertumbuhan dapat meningkat dua kali lipat pada saat modal dan luas lahan dalam kondisi tunak. Pembangunan pertanian bersifat menggunakan teknologi padat tenaga kerja dan secara relatif menggunakan sedikit kapital, meskipun ada investasi pada pembuatan jalan, saluran dan fasilitas pengairan, serta pengembangan teknologinya. Kenaikan produktivitas sektor pertanian memungkinkan penggunaan tenaga kerja lebih sedikit untuk menghasilkan kuantitas output bahan makanan yang sama. Dengan demikian sebagian dari tenaga kerja dapat dipindahkan ke sektor industri tanpa menurunkan output sektor pertanian. Di samping itu pembangunan atau kenaikkan produktivitas dan output total sektor pertanian akan menaikan pendapatan di sektor tersebut. Jadi perubahan yang terjadi pada sektor tenaga kerja dapat diatasi dengan teknologi pertanian atau mekanisasi pertanian.
18 4.
Muhammad Sadly, dkk.
KEUNGGULAN DAN MANFAAT MODEL PREDIKSI HyperSRI
Keunggulan utama dari sistem prediksi yang dikembangkan dalam kegiatan ini adalah mampu memberikan solusi teknologi untuk mengatasi permasalahanpermasalahan pada metode konvensional (yang merupakan salah satu peran BPPT). Keunikan dari system prediksi yang dikembangkan ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai sistim pendukung keputusan secara cerdas (intelligent decision support system), fungsi obyektif meminimumkan biaya (cost minimizing objective function), bermanfaat secara ekonomi, serta mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Lebih lanjut, prediksi tidak sepenuhnya tergantung pada pengalaman dan pengetahuan operator. Dapat membantu pengguna/user di dalam menyusun perencanaan strategis di bidang pertanian, khususnya dalam program ketahanan pangan nasional. Dapat memberikan data dan informasi distribusi pertumbuhan tanaman padi dan prediksi produktivitas padi yang cepat, akurat, dan relatif mudah untuk diakses. Sistem ini dapat digunakan untuk Pemerintah dan instansi swasta dalam mengelola dan menyusun rencana strategis sumberdaya pertanian di Indonesia. Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Kegunaan dari hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi distribusi pertumbuhan padi (paddy growth stage distribution) dan prediksi produktivitas padi (Yield prediction) yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses. Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah pengembangan model integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear untuk aplikasi dalam pengembangan Sistem prediksi pproduktivitas padi yang mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Model yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini akan di validasi dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. 5.
KESIMPULAN
Dalam riset ini telah diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
19
nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Model yang dikembangkan disini dinamakan “Model prediksi HyperSRI�. Model prediksi produksi panen padi dengan metode GA-NSPCR telah diimplementasikan pada citra hyperspectral HyMap untuk menghasilkan peta distribusi yield tanaman padi dengan akurasi yang cukup tinggi. Sedangkan citra yang mengadung faktor perawanan yang cukup dominan, perlu dilakukan perlakuan khusus terlebih dahulu agar tidak mempengaruhi hasil prediksi. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa berdasarkan data dari inderaja menunjukkan bahwa modal dan luas lahan akan mencapai kondisi tunak dimana pertumbuhan produksi masih dapat tumbuh. Dengan memasukkan faktor teknologi maka meskipun modal dan luas lahan berada dalam kondisi tunak tetapi pertumbuhan faktor produksi dapat naik beberapa kali lipat. Model ini masih dapat dikembangkan untuk memasukkan beberapa faktor dengan cara melakukan perubahan di lemma. Penentuan parameter yang sesuai masih perlu dilakukan untuk penyempurnaan model dinamika tesebut. Analisis kestabilan struktural berdasarkan teori cathastrope sedang dilakukan. Lebih lanjut, hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi distribusi pertumbuhan padi (paddy growth stage distribution) dan prediksi produktivitas padi (Yield prediction) yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini telah divalidasi dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
DAFTAR REFERENSI Prihtiyani E., A. Mulyadi, 2011. Konsumsi Beras Turun 25,7 Kg Per Kapita, Harian Kompas. Tetanel Y., Kedaulatan Pangan dan Nasib Pertanian Indonesia, Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Khudori, 2007. Impor dan Statistik Beras, Koran Tempo. Ruslan K., 2012. Menyoal Nilai Impor Beras Indonesia yang Telah Mencapai 7 Triliun Hingga Juli 2011, Kompasiana. Jingfeng H., T. Shuchuan, O. A.Ismail, Wang Renchao, 2002. Rice yield estimation using remote sensing and simulation model, Journal of Zhejiang University Science, 3 (4): 461-466 Nakariyakul S., 2003. Hyperspectral Feature Selection for Detection of Chicken Skin Tumors, Electrical and Computer Engineering, Carnegie Mellon University, Pittsburgh. Casasent D., and X. W. Chen, 2000. Waveband selection for hyperspectral data: optimal feature selection, Proc. SPIE, vol. 4203, pp. 27-36.
20
Muhammad Sadly, dkk.
Vaiphasa Ch., and S. Ongsomwang, 2004. Hyperspectral Data for Tropical Mangrove Species Discrimination, Proceedings of the 25th ACRS Conference: p. 22-28. Casasent D., and X.W. Chen, 2004. Aflatoxin detection in whole corn kernels using hyperspectral methods, Proc. SPIE 5271, 275; doi:10.1117/12.516135. Camps-Valls G., and L. Bruzzone, 2005. Kernel Based Method for Hyperspectral Image Classification, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 43, no. 6. Mulyono S., Student Member, IEEE, M. I. Fanany, Member IEEE, T. Basaruddin, 2012. Genetic Algorithm Based New Sequence of Principal Component Regression (GANSPCR) for Feature Selection and Yield Prediction Using Hyperspectral Remote Sensing Data, International Geoscience and Remote Sensing Symposium, IEEE 2012. Proceedings. IGARSS. Chambers D., and J.T Guo, 2009. Natural Resources and Economic Growth: Some theory and evidence” , Annals of Economic and Finance , 10-2, 376-389. Fauzy A., 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan” Penerbit Gramedia, Jakarta. Gilmore D., 1981. Catastrophe Theory for Scientist and Engineers” , Dover Publication, New York. Marcouiller D.W., and S.C. Deller, 2009. Natural Resources Stocks, Flows and Regional Economic Change: seeing the forest and the trees” , Annals of Economic and Finance , 10-2, 376-389. Perko L., 1991. Differential Equation and Dynamical Systems” , Springer Verlag, Berlin. Martono W., 2011. private communication. Alayarna T., and D. F. Larson , 2004. Rural Development and Agricultural Growth in Indonesia, the Philiphines and Thailand “Asia Pacific Press, Canbera. Zhang, Wei-Bin, 2005. Differential Equation, Bifurcation and Chaos in Economic” World Scientific , Singapore.
BIOGRAFI PENULIS Dr. Muhamad Sadly Dr. Muhamad Sadly lahir di Makassar (Sulawesi Selatan) pada 14 Desember 1963. Menamatkan SD, SMP dan SMA di Kota Makassar. Pendidikan Tinggi diawali di Universitas Indonesia Jurusan Teknik Elektro dan meraih gelar Insinyur UI tahun 1988. Meraih Master of Engineering (M.Eng.) dari Department of Information and Computer Sciences, Faculty of Engineering, Chiba University, Japan pada Tahun 1996 dengan riset pengembangan algoritma/model untuk aplikasi bidang penginderaan jauh. Memperoleh gelar Doktor pada tahun 2000 dari, Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Japan. Pada Bulan Maret 1989 diterima bekerja di Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Alam (sekarang Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam/PTSDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pada Tahun 2004-2009 penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Teknologi Pemodelan Sistem SDA pada Pusat Teknologi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
21
Inventarisasi SDA (PTISDA), BPPT. Kemudian, pada tanggal 7 Agustus 2009, dilantik sebagai Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), BPPT. Penulis juga aktif pada beberapa organisasi profesi, baik skala nasional maupun skala internasional. Berbagai jejaring kerjasama luar negeri (International Networking) bidang R & D dalam Penginderaan jauh telah dibangun, diantaranya dengan Jepang, Belgy, U.S.A, dan Taiwan. Puluhan karya ilmiah telah di publikasikan, baik pada publikasi skala nasional maupun pada skala internasional. Penghargaan yang ia peroleh, antara lain: Piagam Satya Karya Satya X dan XX Tahun 1999 dan 2009; Sebagai Peneliti Utama (PU) pada Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Bidang Kelautan untuk Mendukung Kemandirian Agribisnis Budidaya Perikanan, dengan tema riset Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Identifikasi Ekosistem Terumbu Karang Dan Kesuburan Perairan di Kepulauan Bangka (2000-2001); Riset Unggulan Terpadu IX (RUT-IX), Bidang Informasi dan Mikroelektronika tentang “Perancangan Stasiun Bumi Penerima Data Satelit NOAA-AVHRR Dan Aplikasinya di Indonesia” (2002-2003). Sebagai Peneliti Utama Program Insentif Ristek (2007); Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI “SATYALANCANA WIRA KARYA Tahun 2008; Masuk dalam “101 Indonesia Innovations pada tahun 2009”, Salah satu Inventor dan pemegang hak cipta (copyright) Perangkat Lunak “SIKBES-IKAN”. Sidik Mulyono Sidik Mulyono, Perekayasa Muda pada Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Meraih S1 ( B.Eng.) dari College of Science and Technology, Nihon University, Japan dalam bidang Teknik Mesin pada tahun 1991. Meraih Master of Engineering (M.Eng.) dalam bidang Mechanical Engineering dari Collage of Science and Technology, Nihon University, Japan pada bulan Maret 1993. Riset interes: Pengembangan model berbasis statistic dan non parametric untuk aplikasi pada penginderaan jauh, khususnya pada bidang pertanian. Saat ini, Sidik Mulyono sedang melakukan riset S3 di Fakulitas Ilmu Komputer Universitas Indonesia dengan focus pada pengembangan model prediksi berbasis teknologi penginderaan jauh jenis hiperspektral untuk melakukan prediksi produksi beras. Paper sudah banyak d publikasi dalam bentuk jurnal maupun prosiding skala nasional maupun internasional. Sebagai Chief Engineer (CE) pada project of Hyperspectral Remote Sensing Technology for mapping the Agricultural production centers, BPPT, 2011-2012.
22
Muhammad Sadly, dkk.
Albert Sulaiman Albert Sulaiman, Perekayasa muda di Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA)- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Meraih S1 (Insinyur) dalam bidang sains atmosfir dan laut – Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1994. Kemudian, meraih M.Sc dalam fisika terori (Theoretical Physics) Universitas Indonesia pada tahun 2005. Saat ini Albert Sulaiman sedang mempersiapkan disertasi S3 dalam Fisika Teori, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan akan meraih Doktor pada tahun 2012. Riset interes : ,pengembangan model matematika, seperti: nonlinear dynamical system, path integral, nonlinear wave, quantum dissipative system, statistical mechanics, advection-dispersion modeling, digital signal and image processing in natural phenomena. Hasil penelitiannya sudah banyak dipublikasi dalam beberapa jurnal internasional, diantaranya: international journal such as Physical Review, Physica D, Physica Scripta, International Journal of Modern Physics, Journal of Computational and Theoretical Nanoscience etc. A Sulaiman juga interes dalam bidang observasi laut menggunakan kapal riset dan observasi wilayah pesisir dan lautan. Ditengah kesibukan melakukan riset, Albert Sulaiman juga tidak lupa mengembangkan hobbinya bermain musik yang sudah ditekuninya sejak lama.
Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Area Frame dengan Citra Satelit Multisensor
La Ode Syamsul Iman, Diar Shiddiq, Bambang H.Trisasongko Mahmud H. Raimadoya, Ernan Rustiadi, Baba Barus
23
24
La Ode Syamsul Iman, dkk.
Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Area Frame dengan Citra Satelit Multisensor
La Ode Syamsul Iman1,2), Diar Shiddiq1,2), Bambang H.Trisasongko1,2,3), Mahmud H. Raimadoya1,2,4), Ernan Rustiadi1,2,3), Baba Barus1,2,3) 1) Tim Bimas-21, Institut Pertanian Bogor, 2) P4W, Divisi Sistem Informasi Wilayah LPPM IPB, 3) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lingkungan,Fakultas Pertanian IPB, 4) Depertemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB Kampus IPB Dramaga, Jalan Meranti, 16144 Jawa Barat Email: 1)odesyam74@gmail.com
Abstrak Padi merupakan komoditas pertanian yang menjadi isu nasional dan tolok ukur ketahanan pangan. Dukungan basis data sawah dan padi yang baik akan sangat diperlukan untuk prediksi ketahanan pangan secara akurat dengan proses pemantauan dan pemutakhiran data yang terpantau secara kontinyu sebagai kunci penting dalam melakukan estimasi. Sistem estimasi produksi padi yang ada saat ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, penyempurnaan metode dengan teknologi terbaru terus dilakukan. Sesuai dengan perkembangannya, sistem estimasi produksi dahulu berbasis tabel (list frame) dimana memiliki banyak kelemahan, sehingga telah mulai ditinggalkan. Pilihan lain yang diketahui lebih baik dan dapat ditelusuri (di-verifikasi) dengan mudah adalah basis spasial (area frame) dengan memanfaatkan tekonologi penginderaan jauh multi sensor (optik dan radar), dimana pendekatan ini cukup representatif terhadap kondisi bio-fisik wilayah di Indonesia dengan tingkat ketelitian baik. Pemutakhiran data sawah merupakan faktor kunci melalui pendekatan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan survei lapangan. Kombinasi teknik dan prosedur baku pengukuran data (training set dan sampling test) merupakan poin utama proses validasi data dan estimasi produksi dengan menggunakan citra multisensor. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi fase pertumbuhan tanaman padi, dan aktual petak sawah baku di pantai utara Jawa. Hasil awal menunjukkan data MODIS deret waktu mampu menyajikan informasi dasar bagi akuisisi data dan analisis lanjutan pada skala yang lebih detil dan data SAR polarisasi ganda Envisat ASAR menunjukkan informasi yang bermanfaat untuk fase pertumbuhan padi dan fase bera berair yang mengindikasikan dimulainya periode baru penanaman padi. Kata Kunci : fase pertumbuhan, SAR, MODIS, area frame 1. LATAR BELAKANG Sistem estimasi produksi padi yang ada sekarang sudah dimulai sejak tahun 1970an, sehingga dirasakan perlu dilakukan upaya penyempurnaan metode
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
25
dengan teknologi terbaru. Sesuai dengan kondisi pada saat dikembangkan, sistem estimasi produksi dilakukan berbasis tabel (list frame). Sistem ini telah diketahui memiliki banyak kelemahan. Pilihan lain yang diketahui lebih baik dan dapat ditelusuri (diverifikasi) dengan mudah adalah dengan basis spasial (area frame). Pendekatan ini menjadi terobosan dalam pengamatan luas areal pada lahan pertanian termasuk lahan sawah. Upaya penyempurnaan lahan sawah baku di Pulau Jawa kontinyu dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Pemutakhiran data sawah dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang umum dilakukan adalah dengan survei lapangan. Pendekatan ini memiliki keunggulan tingkat kepercayaan tinggi. Namun demikian, luas lahan yang sangat besar dan tersebar di berbagai lokasi akan sangat menyulitkan, terutama pada wilayah non sentra produksi. Pendekatan lain yang dapat mendukung kegiatan pemutakhiran adalah dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Dalam lingkup penelitian, berbagai data penginderaan jauh telah banyak dikaji. Pemetaan lahan sawah merupakan salah satu komponen yang dominan menjadi pusat perhatian, menggunakan berbagai sensor dan teknologi analisis citra. Memanfaatkan Landsat TM/ETM data (resolusi spasial 30 meter), Panuju, et al., 2007a menunjukkan kinerja metode klasifikasi Decision Trees yang cukup konsisten pada dua lokasi pengamatan yang memiliki struktur kepemilikan lahan yang relatif berbeda. Dengan data yang sama, pendekatan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification) juga telah diujicobakan (Panuju, et al., 2007b). Pada kajian tersebut, dua metode kontemporer ditelaah, yaitu Expectation Maximization dan Kohonen Networks, yang dibandingkan dengan metode yang telah mapan yaitu K-Means. Untuk berbagai kasus di Indonesia, masalah dinamika atmosfer seperti haze, awan dan kejadian lain yang dipengaruhi kegiatan manusia merupakan kendala yang sangat besar bagi aplikasi data penginderaan jauh untuk pertanian. Kejadian ini mengakibatkan ketidaktersediaan data, sehingga berakibat lemahnya sistem inventarisasi sumberdaya. Untuk berbagai kasus tersebut, penggunaan data Synthetic Aperture Radar (SAR) yang mampu meminimalkan interaksi dengan atmosfer sangat disarankan. Kendala tersebut dapat pula diminimalkan dengan penggunaan data multi-temporal. Pemanfaatan data SAR untuk aplikasi pertanian lahan sawah telah dimulai di Indonesia. Raimadoya, et al.,2007 menggunakan citra Envisat ASAR Wide Swath Mode (polarisasi tunggal) multi-temporal untuk mengidentifikasi dinamika penanaman padi. Citra yang memiliki resolusi medium tersebut secara makro mampu menunjukkan wilayah yang aktif. Wilayah penanaman yang tidak aktif (memiliki hamburan balik radar yang relatif sama pada waktu yang berbeda) yang ditunjukkan dengan warna abu-abu (greyscale). Beberapa penelitian terkait pernah dilakukan oleh Wu, et al., 2011 dimana koefisien hamburan balik masih menjadi sarana yang baik dalam mempelajari estimasi biomasa tanaman padi, dan polarisasi HV menjadi penanda yang paling baik
26
La Ode Syamsul Iman, dkk.
pada korelasi dengan umur tanaman. Penelitian yang sama juga dilakukan Li, et al., 2010 dimana polarisasi HH memiliki kemampuan lebih baik dalam memisahkan kelas. Kombinasi polarisasi HH dan HV merupakan kombinasi dual-pol yang sangat bermanfaat. Zhao, 2011 menekankan pentingnya data deret waktu dalam pemetaan padi. Pemetaan padi terlalu ambigu untuk dapat disimpulkan dari data yang terbatas seri waktunya. Dalam penelitian yang dilakukan Yang, 2012 menunjukkan bahwa C-band dengan polarisasi VV sulit diimplementasikan dalam pemantauan padi. Sehingga dengan polarisasi HV merupakan pilihan terbaik untuk keperluan pemantauan tersebut. Penelitian yang dilakukan Kim, 2012 dengan menggunakan Radar Vegetation Index untuk kelembaban tanaman pada berbagai frekuensi, menunjukkan bahwa L-band merupakan estimator terpenting untuk identifikasi kelembaban tanaman Penelitian-penelitian di atas memusatkan perhatian pada usaha pemetaan lahan sawah dengan teknologi SAR dan pemanfaatan data deret waktu. Perkembangan teknologi tersebut telah dirasakan cukup maju dan berhasil, guna untuk pemetaan pada berbagai tingkat skala informasi yang diinginkan. Namun demikian, usaha untuk memetakan dengan skala yang lebih detil perlu diupayakan. Selain hal tersebut, inventarisasi padi juga membutuhkan informasi temporal perkembangan padi. Upaya tersebut perlu dikaji untuk menyediakan informasi peluang hasil panen. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi fase pertumbuhan tanaman padi, dan aktual petak sawah baku di pantai utara Jawa.
2. METODE 2.1 Lokasi Lokasi kegiatan dipilih untuk memantau wilayah produksi padi baik dengan status sentra maupun non-sentra. Status wilayah sentra padi akan menjadi lokasi utama kegiatan (Gambar 1). Wilayah penelitian berlokasi di pantai utara Jawa yang ditunjukan dengan warna keemasan dan ploting sampling berwarna merah.
Gambar 1. Lokasi kegiatan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
27
2.2 Pembangunan Basis Data Dasar Petak sawah aktual menjadi wadah informasi spasial utama yang terekam, saat waktu awal tanam, dan panen. Basis data dasar dibangun dengan skema feature_id unik dari sumber data resmi pemerintah berbasis wilayah. Informasi petak sawah aktual berbasis wilayah administrasi desa, menjadi faktor kunci identifikasi posisi petak sawah yang berbatasan antar wilayah desa dilakukan melalui survey lapangan. Secara spasial unit lahan terkecil yang akan digunakan adalah unit peta petak sawah. Masing-masing unit petak sawah ini akan diberi identitas yang unik dengan susunan identitas mengikuti format berikut ini: ID_DESA+F_ID Dimana ID_DESA
:
kode desa berdasarkan tatanama dari BPS
F_ID
:
feature id yaitu id unik yang secara otomatis dibuat oleh perangkat lunak SIG ketika proses pemasukan data/dijitasi
2.3 Citra Synthetic Aperture Radar (SAR) Dengan definisi sasaran yang ingin dicapai di atas, kegiatan ini akan memanfaatkan dua jenis sensor utama yaitu SAR (aktif) dan MODIS (pasif). SAR, utamanya pada data non ScanSAR, akan dimanfaatkan untuk melakukan karakterisasi padi pada beberapa variasi polarisasi. Data ini juga akan dimanfaatkan untuk memetakan fase pertumbuhan padi, utamanya pada fase awal tanam dan panen. Pendekatan dari penelitian ini adalah polarisasi ganda berbasis hamburan balik (sigma-nought) yang diturunkan dari data Single Look Complex (SLC). Pemantauan dan ekstraksi informasi status pertumbuhan padi dapat dilakukan dengan pendekatan tak terbimbing dimana teknik penggerombolan seperti Kmeans dan ISODATA. Pendekatan klasifikasi terbimbing dengan Decision Tree (DT) dari beberapa penelitian menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa metode Bayesian. Ujicoba beberapa jenis algoritma DT antara lain: QUEST (Loh and Shih, 1997; Lim, et al., 2000), CRUISE (Kim and Loh, 2001; Kim and Loh, 2003). Uji kemampuan klasifikasi menggunakan data training. Kombinasi data training dan testing ditetapkan 1:1 secara presisi yang diharapkan bias karena data imbalance dapat direduksi seminimal mungkin. Citra hasil klasifikasi akan diuji menggunakan matrik akurasi dan nilai Kappa. 2.4 Citra MODIS Deret Waktu Kedua jenis data (polarisasi ganda dan/atau penuh) resolusi tinggi ini akan ditelaah untuk menghasilkan data liputan sawah pada fase awal tanam dan menjelang panen. Selanjutnya data yang diekstrak akan diintegrasikan dengan data petak lahan sawah delineasi citra optik resolusi tinggi.
28
La Ode Syamsul Iman, dkk.
Mengingat liputan wilayah yang luas dengan keterbatasan citra SAR resolusi tinggi, maka perlu diupayakan telaah data deret waktu, baik dari citra MODIS maupun ScanSAR, sebagai bentuk pemantauan rutin serta menunjang estimasi produktivitas sawah secara makro. Dengan demikian, early warning yang dapat diinformasikan oleh analisis deret waktu dapat segera ditindaklanjuti dengan akuisisi citra pada tingkat kedetilan lebih tinggi serta ekstraksi informasi. Data MODIS diperoleh dari situs US Geological Survey dengan liputan yang cukup luas (ukuran piksel 250m-1km). Kendala awan menjadi faktor yang diperhatikan mengingat sifatnya yang pasif dengan panjang gelombang tampak dan infra merah, walaupun telah diupayakan direduksi melalui berbagai teknik seperti Maximum Value Composite atau teknik lain (Prachmayandini, 2012). Beberapa penelitian terkait pemanfaatan data MODIS sesuai untuk masa tanam musim kemarau (Panuju, et al., 2009; Prachmayandini, 2012). Untuk musim hujan, analisis data deret waktu sepenuhnya perlu mengandalkan pada data SAR C-band. 2.5 Survei lapangan Pengamatan lapangan dilakukan untuk pengumpulan data acuan dasar bagi analisis data penginderaan jauh. Basis data survei lapangan adalah peta petak sawah baku aktual, delineasi citra optik resolusi tinggi (IKONOS dan QuickBird). Unit analisis petak sawah dijadikan landasan pengamatan sewaktu survei.
3. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Fenologi Padi Dari Analisis Deret Waktu Kurun waktu 2004-2010 data MODIS yang dianalisis menunjukkan kualitas yang cukup baik di Indramayu dan Subang. Hasil analisis EVI deret waktu lokasi Indramayu sedikitnya missing data akibat gangguan awan sehingga persoalan awan dapat dikurangi dengan melakukan time averaging data 16 harian. Pada Gambar 2 (a), menunjukkan kesamaan pola dari dua lokasi pengamatan di bagian barat (SW1) dan bagian timur (SW2) Indramayu. Secara umum, mengindikasikan bahwa wilayah Indramayu dikenal 2 waktu tanam yang memanfaatkan musim penghujan. Indikasi lain bahwa pemberaan dilakukan masyarakat pada waktu musim kemarau,dimana petani diketahui mengelola usaha bata merah di areal sawah selama musim kemarau. Sementara untuk lokasi Subang (b), menunjukan adanya variasi penanaman di wilayah barat (SW4) dan timur (SW3), dimana penciri yang menarik adalah masa bera yang lebih singkat dibandingkan lokasi di Indramayu. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi di Wilayah Subang, dinamisme penanaman yang lebih tinggi. Kedua lokasi memiliki pola penanaman 2 kali setahun pada awal seri (sekitar 2004-2008) seperti halnya Indramayu (IP200). Namun demikian, pada akhir data seri (sekitar
29
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
tahun 2010), terdapat usaha untuk melakukan pola tanam yang lebih intensif (IP250) khususnya lokasi di wilayah Subang. 1 0.9 0.8 0.7 0.6 SW1
0.5
SW2
0.4 0.3 0.2 0.1
20 04 20 00 1 04 20 09 7 04 20 19 3 04 20 28 9 05 20 01 7 05 20 11 3 05 20 20 9 05 20 30 5 06 20 03 3 06 20 12 9 06 20 22 5 06 20 32 1 07 20 04 9 07 20 14 5 07 20 24 1 07 20 33 7 08 20 06 5 08 20 16 1 08 20 25 7 08 20 35 3 09 20 08 1 09 20 17 7 09 20 27 3 10 20 00 1 10 20 09 7 10 20 19 3 10 28 9
0
(a) 1 0.9 0.8 0.7 0.6 SW3
0.5
SW4
0.4 0.3 0.2 0.1
20 04 20 00 1 04 20 09 7 04 20 19 3 04 20 28 9 05 20 01 7 05 20 11 3 05 20 20 9 05 20 30 5 06 20 03 3 06 20 12 9 06 20 22 5 06 20 32 1 07 20 04 9 07 20 14 5 07 20 24 1 07 20 33 7 08 20 06 5 08 20 16 1 08 20 25 7 08 20 35 3 09 20 08 1 09 20 17 7 09 20 27 3 10 20 00 1 10 20 09 7 10 20 19 3 10 28 9
0
(b) Gambar 2. data deret waktu lokasi pengamatan Indramayu : SW1;biru dan SW2; merah (a) dan lokasi pengamatan Subang : SW3;biru dan SW4; merah (b)
Exponential / Simple (SW1) 0.9 0.8 0.7
SW1
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 2004000
2005000
2006000
2007000
2008000
2009000
ID SW1
Exponential(SW1)
2010000
2011000
30
La Ode Syamsul Iman, dkk. Exponential / Simple (SW2) 0.8 0.7
SW2
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 2004000
2005000
2006000
2007000
2008000
2009000
2010000
2011000
2010000
2011000
2010000
2011000
ID SW2
Exponential(SW2)
Exponential / Simple (SW3) 0.8
0.7
SW3
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2 2004000
2005000
2006000
2007000
2008000
2009000
ID SW3
Exponential(SW3)
Exponential / Simple (SW4) 0.8 0.7 0.6
SW4
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2004000
2005000
2006000
2007000
2008000
2009000
ID SW4
Exponential(SW4)
Gambar 3. Perbandingan data awal dan hasil penghalusan (kiri) dan sebaran residunya (kanan)
Kondisi diatas diperkuat dengan kuantifikasi hasil analisis yang menguatkan dugaan bahwa pada lokasi pengamatan di Indramayu (SW1) dan (SW2), memiliki pola tanam yang seragam dengan memanfaatkan musim (seasonal). Sementara, hasil residual memberikan pola yang relatif berbeda antara SW3 dan SW4 di wilayah Subang. Hal ini memberi petunjuk bahwa kuantifikasi seasonality perlu dilakukan untuk waktu mendatang sebagai upaya penyempurnaan model. Karakteristik pola perubahan hasil analisis dari masingmasing lokasi pengamatan seperti pada Gambar 3.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
31
3.2 Pemetaan Padi dengan Data SAR Polarisasi Ganda Hamburan balik sigma nought dari data Envisat ASAR, diproses dari data hasil rekaman 3 April 2012 dan 15 Maret 2012, sesaat sebelum satelit Envisat tidak merespon kontrol dari stasiun bumi. Kedua scene tersebut merupakan dua dari scene-scene terakhir Envisat ASAR sebelum dinyatakan tidak beroperasi. Kedua data dipesan dalam bentuk Image mode yang telah diproyeksikan ke bumi (ground range) dimana modus datanya baku, yang hanya memiliki informasi pantulan balik tanpa informasi beda fase. Konfigurasi menghasilkan citra dengan geometri yang cukup baik khusus daerah dataran rendah dengan variasi topografi yang kecil sampai menengah. Pada lokasi penelitian, koreksi geometri dilakukan dengan 4 titik (di wilayah Pantura) dengan RMS total 0,49.
Gambar 4. Citra komposit polarisasi ganda
32
La Ode Syamsul Iman, dkk.
Pencirian obyek pertanian utama dilakukan dengan mengambil contoh. Di wilayah Subang, beberapa komoditas pertanian dominan adalah sebagai berikut: padi, tebu, karet, kelapa sawit dan tambak (bercampur mangrove). Hasil pengambilan contoh (sampling) disajikan pada gambar berikut. -5 -25
-20
-15
-10
-5
HH
-10
-15
Tebu Karet Sawit Sawah-Veg
-20
Sawah-Air Tambak-Mgv
-25 HV
Gambar 5. Diagram backscatter polarisasi HV-HH (testing) dan data sampling lapangan
Pada Gambar 5, terlihat bahwa terdapat dua pola besar yang ditentukan oleh vegetasi penutup yaitu vegetasi berkayu dan tidak berkayu. Vegetasi berkayu, dalam hal ini karet, sawit dan mangrove, memiliki ciri hamburan balik yang mirip dan cenderung tidak dapat dipisahkan dengan mudah pada kombinasi polarisasi HH dan HV. Hal ini umumnya ditentukan oleh keterbatasan daya tembus kanopi dari sinyal C-band. Pada polarisasi HV, rentang hamburan balik vegetasi berkayu berkisar antara -10 sampai sekitar -17dB. Sementara itu, hasil pengambilan contoh menunjukkan bahwa kisaran vegetasi berkayu pada polarisasi HH berada antara -5 sampai -12. Vegetasi semusim, seperti padi, memiliki penciri yang berbeda dengan vegetasi berkayu. Namun demikian,nampak bahwa vegetasi semusim memiliki tegakan tinggi seperti tebu, yang masih sulit dibedakan dengan vegetasi berkayu. Tipe kelas pengamatan akan memiliki pola berbeda pada areal persawahan dengan fase tanam bera basah atau awal musim tanam baru. Pada kondisi tersebut, Cband dapat mengidentifikasi kelas dengan sangat baik.
33
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Dari matriks Transformed Divergence menunjukan bahwa keterpisahan (separability) antar kelas yang dihasilkan mampu dibedakan untuk seluruh kanal yang ditetapkan (dalam hal ini dua kanal yaitu polarisasi HH dan HV). Hasil analisis Transformed Divergence disajikan pada tabel berikut. Tabel 1. Matriks Transformed Divergence Tebu Tebu Karet Sawit Sawah
Karet
Sawit
Sawah
Sawah-Air
TambakMangrove
0.18137282
0.17568103
1.11188270
1.99169169
0.79374790
0.14704504
1.41279125
1.99586233
1.08640000
1.43145963
1.99993053
1.45509887
1.93828028
1.12941338 1.80573546
Sawah-Air TambakMangrove
Sesuai dengan pemahaman yang dibangun pada analisis kualitatif (diagram pencar), terlihat bahwa sawah berair merupakan satu-satunya kelas yang dapat dipisahkan dengan sempurna. Wilayah penanaman padi ditunjukkan oleh warna jingga muda (fase vegetatif). Warna hitam menunjukkan fase siap tanam.
Gambar 5. Diagram pencar HV-HH pada Citra Envisat ASAR.
34 4
La Ode Syamsul Iman, dkk.
KESIMPULAN
Petak sawah baku menjadi wadah spasial dalam proses pemantauan produksi padi secara permanen antar waktu. Data MODIS deret waktu mampu menyajikan informasi dasar bagi akuisisi data dan analisis lanjutan pada skala yang lebih detil. Pada kedua lokasi terdapat pola tanam yang kurang lebih seragam yaitu 2 kali tanam per tahun dengan masa bera yang cukup panjang yang disebabkan oleh efektifitas dam dan/atau jaringan irigasi yang menurun. Penelitian lanjutan dengan data MODIS deret waktu dapat dilakukan dengan menambahkan data sekunder untuk deret waktu pengamatan curah hujan dan data pengairan di lokasi penelitian. Pemanfaatan data SAR polarisasi ganda Envisat ASAR menunjukkan informasi yang bermanfaat untuk fase pertumbuhan padi. Fase bera berair yang mengindikasikan dimulainya periode baru penanaman padi dapat diidentifikasi dengan baik mengingat sifat hamburannya yang cenderung spekular.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian atas kerjasama dan dukungan data citra satelit IKONOS serta blok sawah baku (Pusdatin Kementan), Fakultas Pertanian IPB dan Tim KKP IPB. Tak lupa pula kami sampaikan ucapan terimakasih kepada Reyna dan Tia pada studio Sistem Informasi Wilayah P4W IPB atas dukungan analisis. DAFTAR REFERENSI Kim Y., Jackson T., Bindlish R., Lee H., Hong S. 2012. Radar Vegetation Index for stimating the Vegetation Water Content of Rice and Soybean. IEEE Geoscience and Remote sensing Letters Vol.9 No.4 July 2012. p.564-568. doi : 10.1109/LGRS.2011.2174772 Kim, H., W-Y. Loh. 2001. Classification trees with unbiased multiway splits. Journal of the American Statistical Association Vol.96: p.589-604 Kim, H., W-Y. Loh. 2003. Classification trees with bivariate linear discriminant node models. Journal of Computational and Graphical Statistics Vol.12: p.512-530. Li K., Shao Y., Zhang F. 2010. Paddy Rice Identification using Polarimetric SAR data in Southern China. International Conference on Multimedia Technology (ICMT), 2010. p.1-4. doi : 10.1109/ICMULT.2010.5631077 Lim, T-S., W-Y. Loh, Y-S. Shih. 2000. A comparison of prediction accuracy, complexity, and training time of thirty-three old and new classification algorithms. Machine Learning Vol.40: p.203-228. Loh, W-Y., Y-S. Shih. 1997. Split selection methods for classification trees. Statistica Sinica Vol.7: p.815-840.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
35
Panuju, D.R., B.H. Trisasongko, B. Susetyo, M.A. Raimadoya, B.G. Lees. 2010. Historical fire detection of tropical forest from NDVI time-series data: Case study on Jambi, Indonesia. ITB Journal of Science 42A(Vol.1): p.47-64. Panuju, D.R., B.H. Trisasongko. 2012. Seasonal pattern of vegetative cover from NDVI time-series. In: Tropical Forests (Eds. P Sudharsana, M Nageshwara-Rao, JR Soneji). p. 255-268. Intech, Rijeka, Croatia. ISBN 979-953-307-651-4. Panuju, D.R., E. Rustiadi, I. Carolita, B.H. Trisasongko, Susanto. 2007a. On the decision tree analysis for coastal agriculture monitoring. Proceedings Geomarine Research Forum, Bogor, 2007. Panuju, D.R., F. Heidina, B.H. Trisasongko, B. Tjahjono, A. Kasno, A.H.A. Syafril. 2009. Variasi nilai indeks vegetasi MODIS pada siklus pertumbuhan padi. Jurnal Ilmiah Geomatika 15(2): 9-16. Panuju, D.R., I. Carolita, B.H. Trisasongko, Susanto, E. Rustiadi. 2007b. Performance of three clustering algorithms for paddy field mapping. Proceedings Indonesian Remote Sensing Society Symposium, Banda Aceh, 2007. Prachmayandini, P. 2012. Potensi citra MODIS sebagai salah satu input perhitungan evapotranspirasi dengan metode Blaney-Criddle (Studi kasus: DAS Cimadur, Banten). Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Raimadoya, M.A., B.H. Trisasongko, Nurwadjedi. 2007. Eksplorasi citra radar untuk intelijen ketahanan pangan. Indonesian Geospatial Technology Exhibition. Jakarta, Indonesia. Wu F., Wang C., Zhang H., Zhang B.,Tang Y. 2011. Rice Crop Monitoring in South China With RADARSAT-2 Quad-Polarization SAR Data. IEEE Geoscience and Remote sensing Letters Vol.8 No.2 March 2011. p.196-200. doi 10.1109/LGRS.2010.2055830 Yang S., Zhao X., Li B.,Hua G. 2012. Interpreting RADARSAT-2 Quad-Polarization SAR Signatures From Rice Paddy Based on Experiments. IEEE Geoscience and Remote sensing Letters Vol.8 No.2 March 2011. p.65-69. doi : 10.1109/LGRS.2011.2160613. Zhao X., Yang S., Shen S., Li B. 2011. Assessment of ENVISAT ASAR Data for Rice Monitoring Based on Three Years Experiments. International Conference on Remote Sensing, Environment and Transportation Engineering (RSETE). p.136-139. doi : 10.1109/RSETE.2011.5964234.
BIOGRAFI PENULIS UTAMA La Ode Syamsul Iman La Ode Syamsul Iman dilahirkan di Buton 3 Januari 1974. Pendidikan Master Sain, Geografi bidang minat sumberdaya fisik, dan lingkungan pesisir diperoleh pada tahun 2008 di Universitas Indonesia. Saat ini aktif sebagai Peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W), Divisi Sistem Informasi Wilayah LPPM IPB. Minat penelitian utama pada aplikasi data penginderaan jauh untuk geografi fisik terapan.
36
La Ode Syamsul Iman, dkk.
BIOGRAFI PENULIS PENDAMPING Diar Shiddiq Diar Shiddiq dilahirkan di Kuningan, 28 Februari 1970. Pendidikan Master Sain program studi ilmu parencanaan pembangunan wilayah dan pedesaan diperoleh pada tahun 2011 di Institut Pertanian Bogor. Saat ini aktif sebagai Peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W), Divisi Sistem Informasi Wilayah LPPM IPB. Minat penelitian utama pada aplikasi sistem infomasi geografi untuk perencanaan wilayah. Bambang H. Trisasongko
Bambang H. Trisasongko lahir di Malang, 3 September 1970, Pendidikan Master of Science, Geografi, University of New South Wales, Australia. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, (Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial), Fakultas Pertanian dan peneliti P4W IPB. Minat penelitian utama pada penginderaan jauh (radar polarimetri) dan analisis spasial (sumberdaya air). Mahmud H Raimadoya Mahmud H Raimadoya, Pendidikan Master of Science, Soil sciences, Ghent State Univmersity, Belgia. Dosen Teknik Sipil dan Lingkungan (Teknik Geomatika), Fakultas Teknologi Pertanian dan peneliti senior P4W IPB. Minat penelitian utama pada penginderaan jauh (radar interferometri) dan fotogrametri.
Ernan Rustiadi Ernan Rustiadi lahir di Bandung, 11 Oktober 1965. Pendidikan Doktor (Ph.D), Regional planning, Kyoto University, Japan. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, (Perencanaan dan Pengembangan Wilayah). Dekan Fakultas Pertanian dan peneliti P4W IPB. Minat penelitian utama pada perencanaan wilayah, dan analisis spasial.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
37
Baba Barus Baba Barus lahir di Berastagi 01 Januari 1961. Pendidikan Doktor (Ph.D), Geografi, University of Portsmouth, UK. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, (Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial), Fakultas Pertanian dan peneliti P4W IPB. Minat penelitian utama pada sistem informasi geografi, perencanaan lingkungan, dan studi bencana.
38
La Ode Syamsul Iman, dkk.
Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi Terakibat Organisme Pengganggu Tumbuhan Wereng Batang Coklat (WBC)
Hartanto Sanjaya, Fauziah AlHasanah
39
40
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi Terakibat Organisme Pengganggu Tumbuhan Wereng Batang Coklat (WBC)
Hartanto Sanjaya*), Fauziah AlHasanah**) Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Email: *)hartanto.sanjaya@bppt.go.id; **)fauziah.alhasanah @bppt.go.id
Abstrak Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens Stal, merupakan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) utama pada tanaman padi di Indonesia. Serangan dari WBC terjadi hampir pada setiap musim tanam di lumbung padi nasional. Gejala serangan yang terjadi pada tanaman padi dapat digolongkan menjadi beberapa kelas yang menjelaskan kondisi tanaman padi tersebut. Kelas ini antara lain merepresentasikan kondisi fisik dari daun padi yang terserang oleh WBC tersebut. Perekaman spektral terkait dengan kondisi daun padi oleh spektrometer dapat membedakan stadia dan kelas serangan pada suatu varietas padi. Hal ini dapat digunakan untuk membangun spectral library (pustaka spektral) untuk kepentingan lebih lanjut. Penggunaan light source pada konfigurasi peralatan perekaman dapat meningkatkan efektifitas dan akurasi dari pengukuran spektral dibandingkan hanya dengan mengandalkan sinar matahari sebagai sumber cahaya. Sampel yang direkam berjumlah lebih dari 50 buah daun untuk setiap kategori yang telah ditentukan. Grafik nilai rerata sampel dapat menjadi acuan dalam membangun pustaka spektral. Referensi yang baik dari perekaman ini dapat membantu memetakan sebaran serangan WBC pada hamparan tanaman padi dengan pengolahan citra satelit baik data multispektral maupun hiperspektral. Kata Kunci: wereng batang coklat, spektral, spektrometer, daun padi, organisme pengganggu tumbuhan.
Abstract The Rice Brown Planthopper (WBC), Nilaparvata lugens Stal, is a plant pest in the main rice crop in Indonesia. The attack of the WBC occurred in almost every season in the national granary. Symptoms that occur in rice plants can be classified into several classes that describe the condition of the rice plant. This class represents, among others, the physical condition of the rice leaf is affected by the WBC. Spectral recording conditions associated with rice leaf by the spectrometer can distinguish stadia and an attack on a class of rice varieties. It can be used to build
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
41
a spectral library (spectral library) for further interest. The use of light source on the configuration of the recording equipment can improve the effectiveness and accuracy of spectral measurements compared to only relies on sunlight as a light source. The recorded sample of more than 50 pieces of leaves for each category that have been determined. Graph the mean of samples may be a reference in building a spectral library. A good reference of this recording can help map the distribution of WBC attack on a stretch of rice plants with both data processing multispectral and hyperspectral satellite imagery. Keywords: rice brown planthopper, spectral, spectrometer, paddy leafs, pest.
1. PENDAHULUAN Wereng merupakan kata yang sangat populer bagi petani maupun nonpetani pada beberapa tahun lalu. Keberadaan wereng yang telah dianggap sebagai hama pengganggu tanaman padi terjadi di sentra-sentra produksi padi utama Indonesia, yaitu di daerah pantai Utara Provinsi Jawa Barat, dan beberapa sentra padi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Serangga penghisap cairan tumbuhan ini adalah anggota dari ordo Hemiptera dan subordo Fulgoromorpha. Beberapa wereng penting yang dikenal adalah: wereng hijau (Nephotettix spp.) yang juga dikenal sebagai penyebar virus tungro, wereng punggung putih (Sogatella furcifera), dan wereng coklat (Nilaparvata lugens). Genus Nilaparvata diketahui ada 14 spesies, dan yang terdapat di Indonesia yang diketahui sampai saat ini adalah N. lugens (Stal). Wereng batang coklat (WBC), Nilaparvata lugens Stal (Delphacidae, Homoptera), sampai saat ini masih dianggap sebagai hama utama pada tanaman padi, karena kerusakan yang diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan pada tanaman padi terjadi dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung adalah saat mana WBC menghisap cairan dari batang tanaman padi hingga tanaman tersebut mati. Dan secara tidak langsung adalah saat WBC menjadi vektor penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa yang juga menyerang tanaman padi (Subroto, 1992). Populasi WBC dalam tiap rumpun sangat menentukan tingkat serangan pada tanaman tersebut. Keberadaan populasi yang besar (diatas 20 ekor per rumpun) sudah dapat dikatakan sebagai hama pada tanaman padi. Serangan WBC dapat membuat tanaman padi menjadi kekurangan nutrisi karena dihisap oleh WBC melalui bagian batang. Akibat yang dapat diderita oleh tanaman padi ini adalah kekeringan dan berakhir pada kematian tanaman tersebut. Tanaman padi yang terserang oleh WBC dapat diketahui secara langsung dari kondisi daunnya yang menguning khas. Perubahan warna, dan kemudian bentuk atau struktur, pada daun tanaman padi menjadi perhatian utama dalam mengamati sebaran serangan WBC pada hamparan tanaman padi.
42
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Untuk pengamatan pada hamparan yang luas maka teknologi remote sensing (penginderaan jauh) merupakan salah satu teknologi unggulan yang dapat digunakan dalam mengetahui sebaran serangan WBC ini. Tanaman padi sebagai salah satu sumberdaya alam hayati dan merupakan salah satu sumber pangan negeri kita menduduki posisi penting sebagai obyek pengamatan. Pengamatan tanaman padi dari suatu ketinggian, melalui teknologi citra (image) berwahana satelit ataupun pesawat terbang, memerlukan suatu referensi untuk memadukan suatu pemahaman dijital. Referensi dalam pengolahan citra dijital antara lain berupa nilai pantulan (reflection) dari suatu obyek pengamatan. Daun tanaman padi yang terserang oleh WBC adalah obyek pengamatan yang penting dalam mengetahui kondisi kesehatan tanaman tersebut. Daun adalah tempat tanaman berfotosintesis, sehingga kesehatannya akan sangat mempengaruhi hasil fotosintesis terutama untuk mendukung pemasakan dari bulir padi. Kegagalan pasokan nutrisi dari akar menuju daun akan berpengaruh pada kemampuan produksi dan juga kehidupan dari tanaman padi tersebut. Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tumbuhan secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematode dan tumbuhan tingkat tinggi (Wiyono, 2007). Perubahan fisiologis pada daun padi, baik dari sisi warna ataupun struktur daun, dapat dideteksi atau diamati dengan melihat nilai pantulan cahaya pada permukaan daun tersebut. Nilai pantulan dari daun terdampak oleh serangan WBC direkam dengan menggunakan spektrometer (atau sering juga dikenal dengan spectrophotometer). Dalam pengukuran nilai pantulan ini diperlukan kehati-hatian yang cukup tinggi mengingat kondisi obyek dan lingkungan yang ada, terkait dengan kebenaran prosedur pengukuran yang akan berakibat pada konsistensi hasil pengukuran. Penginderaan jarak jauh bekerja berdasarkan kenyataan bahwa OPT atau gejala kerusakan tanaman inang sasaran dapat dibedakan dalam kenampakannya dengan vegetasi di sekitarnya. Gambaran vegetasi ditangkap dengan sensor, seperti kamera khusus atau radar, dan gambaran tersebut kemudian diproses dengan program komputer. Program dapat menghasilkan peta tipe vegetasi saat itu dan melakukan penghitungan seperti presentase area yang terinfeksi oleh suatu spesies OPT. Penginderaan jarak jauh telah digunakan untuk mendeteksi dan memantau kerusakan yang disebabkan oleh serangga OPT dan penyakit tanaman, serta keberadaan dan penyebaran spesies tanaman invasif (Greenfield, 2001).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
43
Untuk kepentingan referensi dalam pengolahan citra remote sensing maka diperlukan pengukuran obyek di lapangan secara langsung. Hasil dari pengukuran inilah yang dapat dijadikan spectral library sebagai acuan banyak proses dalam image processing berikutnya. Tiap obyek di permukaan bumi masing-masing mempunyai penanda spektral (spectral signature) dan panjang gelombang di alam mempunyai spektrum yang lebih lebar dari panjang gelombang sinar tampak yang dapat dilihat oleh mata manusia. Sehingga obyek tersebut sangat mungkin memiliki informasi yang lebih dari pada yang dapat dilihat oleh mata manusia.
Gambar 1. Kurva nilai reflektan spektral secara umum untuk berbagai material yang terdapat di muka bumi. (Sumber gambar: http://www.rsacl.co.uk/rs.html)
Spektral yang direkam dengan baik oleh spektrometer pencitraan memiliki manfaat untuk pendekatan kontekstual metode analisis citra. Hal ini memungkinkan untuk mendeteksi jauh lebih baik perubahan halus antara permukaan tanah berbagai komponen struktural dan vegetasi campuran kompleks dari permukaan. Sejauh ini pendekatan kontekstual tidak diberi banyak perhatian oleh peneliti meskipun hasil mereka menarik terutama dengan ketersediaan resolusi tinggi spasial dan ketersediaan resolusi tinggi spektral (van Der Meer, 2001). Penggunaan teknologi penginderaan jauh menjadikan pemantauan menjadi lebih cepat. Penginderaan jauh adalah alat yang berguna untuk survei penyakit untuk tanaman pertanian, perkebunan dan hutan karena medan yang sulit. Hal ini sangat lebih berguna untuk tanaman tumbuh di hamparan yang lebih besar, yaitu gandum, padi, tanaman perkebunan pisang dan lainnya (Hatfield, 1990 dalam Chaube, 2005).
44
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
2. METODE Perekaman spektral daun padi pada tanaman padi yang terserang oleh WBC dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: a. Tahap persiapan referensi/pustaka, b. Tahap persiapan peralatan c. Penentuan lokasi perekaman d. Survey perekaman spektral, dan e. Pemrosesan data rekaman Tahapan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tahap persiapan referensi/pustaka Studi pustaka sangat perlu dilakukan untuk memperkuat persiapan materi. Berbagai landasan pengetahuan perlu diketahui dari beberapa artikel keilmuan dan juga jurnal. Beberapa pengukuran telah dilakukan oleh beberapa pihak, sehingga dapat dijadikan masukan yang baik untuk pelaksanaan di lapangan. Terdapat dua kelompok referensi utama yang harus disiapkan. Pertama adalah referensi mengenai obyek yang akan direkam, dalam hal ini adalah hal yang terkait dengan wereng batang coklat dan akibat yang ditimbulkan oleh serangan WBC tersebut pada tanaman padi. Kelompok referensi berikutnya adalah mengenai peralatan yang digunakan, metode pengukuran, dan pemrosesan data yang didapat untuk menghasilkan pustaka spektral dari obyek tersebut. b. Tahap persiapan peralatan Peralatan yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah sensor cahaya dengan kemampuan khusus. Pada umumnya alat yang digunakan dikenal dengan nama spectrophotometer (atau sering disebut sebagai spektrometer). Spektrometer mempunyai kemampuan perekaman untuk panjang gelombang tertentu sesuai dengan tipe alat. Secara umum, yang dapat diukur oleh spektrometer adalah intensity (intensitas), absorbance (serapan), transmission (transmisi), reflection (pantulan), dan relative irradiance. Dalam prosesnya, terkait dengan perekaman spektral daun padi ini hanya digunakan kemampuan proses reflection. Pada kegiatan ini perekaman nilai spektral dilakukan dengan menggunakan spektrometer OceanOptics tipe USB4000 FL yang dilengkapi dengan light source tipe PX-2. Probe digunakan dengan fiber optic sebagai penghubung antara spektrometer, probe, dan light source. Sesuai dengan tipe dari spektrometer, yaitu tipe florescence maka sensor yang dipergunakan ini mempunyai kemampuan rekam panjang gelombang dalam rentang efektif 200 sampai dengan 1100 nanometer. Sehingga dalam
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
45
prosesnya penting diperhatikan mengenai target panjang gelombang terekam dan hal ini terkait pada obyek terekam yang akan dianalisis selanjutnya. Perekaman spektral daun tanaman padi memerlukan sumber energi cahaya sebagai sumber dari gelombang yang akan dipantulkan oleh obyek. Untuk itu maka light source digunakan sebagai sumber pencahayaannya.
Gambar 2. Perangkat yang digunakan dalam pengukuran: Spectrometer OceanOptics tipe USB4000 FL dan light source OceanOptics tipe PX-2.
c. Penentuan lokasi perekaman Lokasi perekaman direncanakan sedemikian rupa untuk memperbesar tingkat keberhasilan kegiatan. Hal-hal yang dipertimbangkan antara lain adalah: - Merupakan daerah serangan WBC dengan tingkat keparahan tinggi. Hal ini untuk memudahkan pencarian dan pengambilan sampel daun padi terakibat. - Lokasi dengan hamparan yang terdiri dari beberapa stadia tanaman padi yang akan direkam. Keberadaan stadia padi yang sesuai dengan sasaran akan memudahkan dan mempercepat proses perekaman. - Lokasi adalah tempat yang memudahkan untuk diakses. Kemudahan akses perlu dipertimbangkan mengingat keterbatasan peralatan yang memerlukan catu daya yang diperoleh dari kendaraan atau catu daya khusus. Lokasi yang relatif berdekatan juga akan memaksimalkan penggunaan waktu yang efektif.
46
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Gambar 3. Hamparan sawah yang terserang oleh wereng batang coklat di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Gambar direkam pada Juli 2012.
d. Survey perekaman spektral Proses perekaman di lapangan yang telah teridentifikasi dengan baik, sebagaimana yang telah diterangkan pada (c) diatas, akan sangat menunjang proses perekaman spektral ini. Perekaman spektral dengan menggunakan sumber pencahayaan (light source) sendiri mempunyai konsekuensi tersedianya catu daya mandiri untuk peralatan tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan/membawa catu daya power bank atau dengan memanfaatkan sumberdaya dari kendaraan yang dipergunakan survey pada kegiatan. Obyek perekaman, yang berupa daun tanaman padi terakibat WBC, dipilih pada serangan berintensitas tertinggi dan pada kondisi khusus pada daun tersebut. Intensitas serangan pada daun adalah terkait dengan luasan bagian daun yang telah terserang dan beberapa kondisi lain seperti sebagian besar permukaan daun telah berwarna kekuningan. Kelas pada gejala serangan WBC ini dikenal sebagai skor yang terdiri dari:
Skor-1: Sebagian daun pertama menguning, belum terjadi kelayuan tanaman; telah ditemukan populasi; ada sedikit embun jelaga. Skor-3: Sebagian daun pertama dan ke-2 menguning; daun agak layu; banyak ditemukan embun jelaga, Skor-5: Sebagian besar daun menguning; daun bagian bawah layu; tanaman agak kerdil; embun jelaga sangat banyak, Skor-7: Daun mengeriting dan hampir semua layu; tanaman sangat kerdil, dan Skor-9: Layu sempurna; tanaman mati
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
47
Sedangkan stadia yang diperhatikan adalah: S1: Stadia-1, tanam sampai dengan anakan maksimum (<40 hari setelah tanam) S2: Stadia-2, primordia sampai dengan pengisian malai (40 – 60 hst) S3: Stadia-3, masak susu sampai dengan pemasakan (60 – 90 hst) S4: Stadia-4, panen (90 – 110 hst) Pada perekaman spektral daun tanaman padi terdampak WBC ini dibagi dalam pengelompokan sebagai berikut: 1. Daun tanaman sehat pada stadia-1, 2 dan 3. 2. Daun tanaman stadia-1 pada skor-5 dan skor-9 3. Daun tanaman stadia-2 pada skor-5 dan skor-9 4. Daun tanaman stadia-3 pada skor-5 dan skor-9 Kondisi daun yang akan dijadikan sampel terakibat serangan WBC dipilih dengan memerhatikan hal berikut: a. Lebar daun paling kecil adalah satu cm. b. Area yang direkam adalah yang terlihat pada sampel sepenuh dari lebar daun, dan mempunyai radius minimal satu cm. Dua hal diatas adalah agar area yang terwakili sesuai dengan luasan area yang direkam oleh sensor spektrometer. Hal ini juga terkait dengan jarak permukaan daun ke lensa probe. Jarak dari lensa ke permukaan obyek yang akan direkam disesuaikan dengan hitungan matematis, yaitu memerhatikan bukaan sudut lensa probe yang digunakan (window), dan lebar minimal sampel daun yang akan diukur. Dengan jarak yang tepat maka dapat dimaksimalkan perekaman khusus pada muka daun yang terserang saja.
Gambar 4. Contoh perhitungan: jika window pada lensa probe mempunyai sudut 30 derajat, dan asumsi lebar daun minimal adalah 1 cm, maka jarak antara obyek dan probe adalah 1,87 cm.
48
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat proses perekaman ini adalah sebagai berikut: a. Perekaman didahului oleh penentuan referensi putih, yaitu untuk menentukan pantulan dengan nilai tertinggi yang dapat diterima sensor pada saat itu, dan referensi gelap atau nilai terendah yang dapat direkam sensor. Kedua nilai ini akan menjadi acuan nilai tertinggi dan terendah nilai pantulan oleh perangkat lunak pengendali sensor. b. Potongan sampel daun diletakkan pada posisi yang telah ditentukan dengan tepat dan peletakan probe sesuai jarak yang telah dihitung. Ketepatan ini sangat berpengaruh pada grafik reflektansi yang tergambar secara langsung di komputer. Luasan permukaan yang terekam sesuai dengan perhitungan awal terkait sudut bukaan lensa probe dan jarak lensa probe ke permukaan daun. c. Hasil rekaman disimpan dengan penamaan file dengan aturan tertentu, agar memudahkan dalam pemilahan dan pengolahan hasil akhir.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada perekaman spektral daun tanaman padi kali ini dilakukan pada tanaman padi varietas Sunggal. Lokasi hamparan adalah di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Perekaman dilakukan pada beberapa stadia tanaman padi Sunggal dalam beberapa kondisi.
Gambar 5. Berbagai dampak serangan WBC pada tanaman padi.
Gambar 6. Populasi WBC pada rumpun tanaman padi.
Pada masing-masing stadia direkam untuk kondisi daun sehat, daun yang terakibat khusus (skor-5), dan daun yang telah kering keseluruhan (skor-9).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Gambar 7. Varietas Sunggal pada stadia-2 skor-5.
49
Gambar 8. Varietas Sunggal pada stadia-2 skor-9
Perekaman spektral dilakukan sesuai dengan prosedur pengoperasian alat dan prosedur survey lapangan. Keduanya telah mengalami pembaruan dari beberapa survey yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan konfigurasi peralatan yang sama.
Gambar 9. Pengukuran di lapangan siap dilaksanakan.
Gambar 10. Perekaman spektral daun sehat.
Sampel spektral dari daun padi yang terekam oleh perangkat lunak SpectraSuite dalam format binary. Untuk itu semua sampel harus dikonversi kedalam format text (ASCII) agar dapat diolah oleh perangkat lunak lainnya dengan mudah. Berhubung tipe spektrometer yang digunakan hanya efektif pada rentang nilai tertentu, yaitu 400 sampai dengan 900 nanometer, maka nilai dibawah 400 dan diatas 900 nanometer dapat diabaikan. Jumlah sampel yang didapat untuk masing-masing obyek dikelompokkan sesuai penggolongannya. Tiap golongan sampel kemudian direrata untuk mendapatkan gambaran keterwakilan dari sampel yang direkam.
50
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Jumlah sampel yang direkam adalah sebagai berikut: Stadia
Sehat
Skor-5
Skor-9
1 2 3
61 63 60
52 60 61
60 59 55
Data yang telah dalam format text dapat dibaca dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Hal ini dapat dilakukan dengan perangkat lunak spreadsheet. Grafik ditampilkan dengan menempatkan data nilai reflektan pada sumbu ordinat dan nilai panjang gelombang pada sumbu axis. Pemotongan nilai maksimum dan minimum dilakukan sesuai dengan kemampuan optimal sensor spektrometer yang digunakan seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil penggabungan nilai reflektan dari stadia-1 varietas Sunggal dan daun dalam kondisi sehat adalah sebagai berikut:
Gambar 11. Grafik reflektan gabungan dari semua sampel untuk kondisi daun sehat varietas Sunggal pada stadia-1.
Kurva dari hasil pemilahan pada kelas tertentu kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik untuk mendapat gambaran lebih baik mengenai perbedaan yang terdapat pada rentang yang sama. Tidak semua proses mendapatkan hasil yang baik dikarenakan banyak kondisi yang dapat saling mempengaruhi. Tetapi dengan melakukan pererataan hasil akan mengurangi random noise dari nilai reflektan terekam.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
51
Gambar 12. Grafik dari nilai rerata sampel untuk kondisi daun sehat pada stadia-1, stadia-2, dan stadia-3 varietas Sunggal.
Dari Gambar 12 di atas kita dapat lihat bahwa kurva yang mewakili nilai reflektan stadia-1 (biru), stadia-2 (merah), dan stadia-3 (hijau) mempunyai perbedaan nilai. Perbedaan terlihat jelas pada panjang gelombang 400 sampai dengan 500 nm dimana ini masuk dalam daerah serapan Caroten dan Klorofil. Klorofil pada masing-masing stadia mempunyai kandungan yang berbeda-beda. Pada daerah 700 â&#x20AC;&#x201C; 100 nm adalah daerah infra merah dekat (NIR) yang masuk pada rentang panjang gelombang yang menandakan atau terkait dengan struktur daun. Pada rentang ini kita juga melihat ada perbedaan untuk masing-masing stadia.
Gambar 13. Grafik dari nilai rerata sampel pada stadia-2 untuk kondisi sehat, skor-5 dan skor-9 varietas Sunggal.
52
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Pada satu stadia yang sama, yaitu stadia-2, kita dapat melihat kurva dari masingmasing kondisi sehat, skor-5 dan skor-9. Untuk kondisi sehat maka kurva memperlihatkan serapan pada rentang panjang gelombang biru dan hijau untuk kemudian memiliki nilai reflektansi yang tinggi saat memasuki rentang merah ke infra merah dekat (NIR). Pada kondisi daun padi yang memiliki skor-5 dengan kondisi daun sebagian besar menguning masih memiliki sedikit kandungan klorofil dan pada rentang panjang gelombang merah ke infa merah dekat kurva menunjukan struktur sel yang memiliki pola berbeda dengan daun sehat dimana di panjang gelombang 800 nm terjadi penyerapan dan di pantulkan kembali di panjang gelombang 850 nm. Kurva yang ditunjukkan pada kondisi daun padi yang memiliki skor-9 memiliki pola yang sudah sangat berbeda dengan kurva sebelumnya, pola kurva linear terlihat pada panjang gelombang biru dan hijau. Hal ini dapat diartikan bahwa kandungan klorofil dalam daun sudah tidak ada karena daun padi sudah mengalami layu sempurna.
Gambar 14. Grafik dari nilai rerata sampel pada stadia-1, 2, dan 3 pada kondisi skor-5 untuk varietas Sunggal.
Untuk kondisi skor-5 pada stadia-1 (biru), stadia-2 (merah) dan stadia-3 (hijau) tampak pada Gambar 14. Dari kurva yang terbentuk terlihat bahwa pada kondisi skor yang sama maka pada tiap stadia mempunyai kurva yang berbeda. Hal ini juga terkait dengan kondisi stadia dari tanaman padi tersebut. Perekaman spektral daun padi terdampak serangan WBC ini dilakukan dengan mengutamakan pada prosedur perekaman dengan berbagai kondisi khusus dari obyek seperti yang telah dijelaskan di atas, pada bagian metode. Perbedaan kondisi ini dikelaskan sesuai dengan gejala yang menyertai daun tanaman padi tersebut.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
53
4. KESIMPULAN Perbedaan kurva dari berbagai kondisi sampel yang telah disebutkan di atas menandakan ada keunikan untuk masing-masing kondisi obyek yang direkam. Perbedaan stadia dari daun tanaman padi untuk varietas yang sama, walau tampak sama oleh penglihatan mata, ternyata mempunyai grafik yang berbeda. Untuk kondisi serangan WBC terlihat adanya perbedaan untuk skor yang berbeda pada stadia yang sama, dan juga untuk stadia berbeda walaupun pada penggolongan skor yang sama. Hasil rerata dari sampel yang diproses membuktikan adanya perbedaan untuk tiap kategori yang telah ditentukan. Perbedaan stadia pada kondisi tanaman yang sehat tetap dapat terlihat perbedaan kurva reflektansinya. Demikian juga pada kondisi tanaman yang terdampak serangan WBC pada skor tertentu. Perbedaan grafik untuk kondisi unik pada daun terdampak serangan WBC ini dapat digunakan untuk menjadi bagian dari referensi spektral pada proses pemrosesan citra dijital. Data ini dapat juga dipergunakan sebagai analisis subpiksel jika ingin mengetahui lebih tajam mengenai kondisi serangan OPT WBC pada satu unit luasan terkecil dari citra pada satu hamparan sawah. Hasil perekaman spektral daun tanaman padi yang terdampak serangan WBC ini dapat menjadi masukan dalam pembangunan pustaka spektral. Pustaka spektral yang baik akan dapat digunakan sebagai acuan dalam memroses citra satelit yang terkait dengan deteksi sebaran serangan WBC pada tanaman padi. Pustaka spektral sangat menentukan dalam analisis dijital dalam pemrosesan citra satelit. Prosedur yang handal dan komprehensif dapat menjadi acuan dalam menghasilkan pustaka spektral yang baik. Penggunaan peralatan dengan memerhatikan konfigurasi dan penggunaan yang tepat dapat mempercepat pengambilan sampel yang mana jumlah sampel sangat penting untuk pengayaan analisis. Penguasaan pengoperasian spektrometer dan pendukungnya, baik perangkat lunak ataupun keras, sangat penting untuk mengatasi hambatan yang sangat mungkin terjadi. Kehati-hatian dalam mengoperasikan peralatan di lapangan sangat diperlukan dilakukan.
DAFTAR REFERENSI Afifah, Lisa Nisfi dan Hartanto Sanjaya, 2010. Aplikasi Metoda Linear Spectral Unmixing Citra Hyperspectral untuk Pengamatan Sebaran OPT BLB Tanaman Padi (Studi Kasus Subang). Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN: Jakarta. Chaube, H.S., and V. S. Pundhir, 2005, Crop Diseases and Their Management, PrenticeHall of India, New Delhi. Ferwerda, J.G. et al., 2002, Field Spectrometry of Leaves for Nutrient Assessment, Department of Natural Resources, ITC: Enschede, The Netherland. Freek D. van der Meer dan Steven M. de Jong, 2001, Imaging Spectrometry, Basic Principles and Prospective Applications, Kluwer Academic Publisher, New York USA.
54
Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Greenfield, P.H. 2001. Remote Sensing for invasive species and plant health monitoring. Detecting and monitoring invasive species. Proceedings of Plant Health Conference 2000, 24 -25 October, Raleight, North Carolina, USA. Jensen, John R. 1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing Persective, 2nd Ed. Prentice Hall: New Jersey. Kusmayadi, Ayi. et. al., 1992, Population Characteristics of The Rice Brown Planthopper, Nilaparvata Lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) in West Java, Indonesia. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Lusch, David P., 1999, Introduction to Enviromental Remote Sensing, Basic Science and Remote Sensing Inisiative, Department of Geography, Michigan State University USA. OceanOptics. 2007. SpectraSuite Spectrometer Operating Software, Installation Installation and Operation Manual, OceanOptics Inc. OceanOptics. 2007. USB4000 Fiber Optic Spectrometer, Installation and Operation Manual, OceanOptics Inc. Sims, Daniel A., dan John A. Gamon, 2002, Relationships Between Leaf Pigment Content and Spectral Reflectance Across A Wide Range of Species, Leaf Structures and Developmental Stages, Remote Sensing of Environment, Elsevier, USA. Subroto, SW Gaib. et. al. 1992. Taksonomi dan Bioekologi Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stall. Wereng Batang Coklat. Laporan Akhir Kerjasama Teknis Indonesia â&#x20AC;&#x201C; Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman, KEHATI.
BIOGRAFI PENULIS Hartanto Sanjaya Hartanto Sanjaya dilahirkan di kota Tanjungkarang, Lampung, pada tahun 1969. Menyelesaikan strata-1 di Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung pada tahun 1995. Strata-2 pada spesialisasi Sustainable Agriculture, program Natural Resources Management, di ITC (Geo-information Science and Earth Observation) Belanda pada tahun 2003. Aktif di kepengurusan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) Pusat pada beberapa periode. Mengajar di beberapa perguruan tinggi sebagai dosen S1 dan S2 pada matakuliah pilihan dan sebagai dosen pembimbing skripsi dan thesis. Dari tahun 1996 hingga saat ini sebagai perekayasa di Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
55
Teknologi (BPPT). Bidang pendalaman adalah pengolahan citra dijital multispektral dan hiperspektral untuk aplikasi manajemen daerah aliran sungai dan pemetaan sumberdaya alam. Saat ini banyak ditugaskan pada kajian mengenai sebaran organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada tanaman padi khususnya dalam pembangunan spectral library daun tanaman padi terakibat OPT, dan pemodelan dinamik peramalan sebaran OPT tanaman padi dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Fauziah AlHasanah Fauziah AlHasanah dilahirkan di Jakarta pada tahun 1980. Menyelesaikan Sarjana Pendidikan di Jurusan Geografi Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2003. Pendidikan master diselesaikan di Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan pada Institut Pertanian Bogor tahun 2006. Staf perekayasa di Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Bidang pendalaman adalah pemetaan pertanian terkait dengan prediksi produksi padi dan banyak mendalami kajian mengenai perekaman spektral dan pembangunan spectral library daun tanaman padi berOPT. Permodelan dinamis peramalan sebaran OPT juga didalami dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis.
Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah dari Citra Resolusi Tinggi Menggunakan Metode Object Based Image Analysis (Studi Kasus di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, Indonesia)
Achmad Ramadhani Wasil, Soni Darmawan, Ketut Wikantika
57
58
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah dari Citra Resolusi Tinggi Menggunakan Metode Object Based Image Analysis (Studi Kasus di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, Indonesia)
Achmad Ramadhani Wasil1, Soni Darmawan2, Ketut Wikantika3 1,2,3 Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung 1,2,3 Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi Bandung Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia. Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702 E-mail: 1ramadhani.wasil@gmail.com, 2soni_darmawan@yahoo.com, ketut@gd.itb.ac.id
Abstrak Perhitungan produksi padi di Indonesia telah dilaksanakan oleh tiga instansi; BULOG, BPS, Kementrian Pertanian, dengan metodenya masing-masing dengan menggunakan pendekatan luas lahan sawah, jumlah bibit, maupun laporan mantri tani. Perbedaan metode pada setiap instansi memberikan informasi yang berbeda pula bagi pengguna informasi. Namun dari berbagai metode tersebut belum ada metode perhitungan produksi padi berbasiskan teknologi spasial. Penginderaan jauh dapat dimanfaatkan sebagai alternatif metode yang lebih baik dimana perhitungan produksi padi dilakukan dengan mengidentifikasi lahan baku sawah dan mengklasifikasi jenisnya dengan menggunakan citra dan metode OBIA (Object Based Image Analysis) sebagai metode klasifikasi lahan sawah. Dalam proses klasifikasi, metode OBIA memandang objek tidak hanya berdasarkan nilai piksel per piksel citra namun juga berdasarkan bentuk, luasan, tekstur, serta relasional objek sekitarnya. Berdasarkan penelitian ini didapatkan metode OBIA terbukti dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi lahan baku sawah menurut karakteristik fase padi yang dimilikinya secara tepat dan relatif cepat. Selanjutnya proses perhitungan luas sawah dapat diestimasi dari hasil klasifikasi citra. Kata kunci: Identfikasi, OBIA, Lahan Sawan, Fase pertumbugan padi. Abstract The calculation of existing land of food is very important to estimate the national food security. In this case remote sensing can be used as better alternative method in the paddy field identification. The study focuses on paddy field identification using very high resolution imagery, Quickbird imagery acquired in 2008, and applying OBIA (Object Based Image Analysis) as a method for analysis of paddy field in Rancaekek, Bandung, Indonesia. To identify an object, this method not only analyse the value of a pixel but also to consider the
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
59
neighbour pixels. By the application of OBIA method in identifying wetland that it considers many parameters such as land form (shape), soil characteristics (spectral), land texture, and the relationship between wetland and other objects around them. The study found that OBIA method can be used to identify fields of raw land, generating a clear delineation of fields and also classified wetland according to the characteristics of paddy growth phase (water phase, vegetative, generative, and harvest phases) with accurate. Finally, the calculation of paddy field can be estimated from the results of image classification. Keywords: Identification, OBIA, Paddy field, Paddy growth phase. 1. PENDAHULUAN Sejalan dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk, lahan sawah di Jawa yang merupakan lumbung beras nasional cenderung menyusut dari waktu ke waktu. Isa (2006) mengemukakan bahwa laju konversi lahan pertanian ke non- pertanian merupakan masalah utama yang dihadapi sektor pertanian. Fenomena konversi lahan sawah menjadi daerah non-pertanian ini mendorong Departemen Pertanian mengambil kebijakan untuk penetapan lahan baku sawah agar kelangsungan produksi pangan (padi) tidak terganggu. Tanaman padi (Oryza sativa) sebagai salah satu komoditi sawah, termasuk kelompok tanaman pangan yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, lebih dari 50% produksi padi nasional berasal dari areal sawah di Pulau Jawa. Sehingga apabila terjadi penurunan tingkat produksi dan produktivitas padi di Jawa secara drastis, maka dapat mempengaruhi ketersediaan beras nasional dan akan berdampak negatif terhadap sektor-sektor lainnya. Dalam era globalisasi informasi untuk mendukung program ketahanan pangan, dituntut kecepatan dan ketepatan informasi sumberdaya pertanian yang lebih kuantitatif. Untuk itu diperlukan sarana pengumpul data dan informasi sistem produksi pertanian yang lebih akurat dalam waktu yang secepat mungkin. Teknologi penginderaan jauh memberikan informasi mengenai suatu objek di permukaan bumi menggunakan sensor tanpa mendekati secara langsung objek tersebut. Penginderaan jauh mengambil peran dalam mengidentifikasi suatu objek dengan lebih spesifik sehingga objek tersebut dapat dikenali dan dibedakan dengan objek lainnya. Diidentifikasi semua objek pada permukaan bumi kemudian disegmentasikan dan diklasifikasikan menjadi objek-objek yang berbeda. Sawah dideskripsikan sebagai lahan usahatani yang secara fisik permukaan tanahnya rata, dibatasi pematang, dapat ditanami padi, palawija/ tanaman pangan lainnya (Departemen Pertanian, 2010). Sedangkan luas baku sawah merupakan suatu lahan yang tersedia untuk ditanami padi atau jenis tanaman lainnya yaitu luas area pertanian yang hanya digunakan sebagai area tanam (tidak termasuk di dalamnya lahan-lahan yang berupa kebun, jalan, permukiman, halaman bukit, dsb). Lahan baku sawah beserta karakteristiknya
60
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
memiliki paramater yang unik yang dapat membedakannya dengan objek lainnya. Parameter inilah yang dijadikan acuan pada metode object based image analysis. Terdapat beberapa metode pengklasifikasian pada teknologi penginderaan jauh yaitu metode pixel based dan metode object based image analysis. Metode pixel based merupakan teknik klasifikasi citra dengan parameter pertimbangan nilai piksel (digital number) suatu citra. Teknik ini membedakan antara satu objek dengan objek lainnya berdasarkan nilai intensitas kecerahan pada setiap piksel citra. Sedangkan metode object based image analysis tidak hanya menggunakan parameter pertimbangan berupa nilai intensitasi kecerahan per piksel citra namun juga menambahkan parameter-parameter lainnya seperti bentuk (shape), spektral (tekstur dan piksel), dan juga relasional (relation). Untuk mengidentifikasi suatu objek, metode object based image analysis tidak hanya melihat nilai dari satu piksel tetapi melihat secara keseluruhan objek tersebut dengan memperhatikan kondisi piksel ketetanggaannya. Diharapkan dengan penerapan metode object based image analysis pada pengidentifikasian lahan sawah dilakukan klasifikasi berdasarkan parameter bentuk lahan (shape), karakteristik tanah (spectral), dan hubungan antar sekitar lahan sawah (relation) sehingga didapatkan luas lahan sawah yang mendekati nilai sebenarnya di lapangan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi objek berupa lahan sawah dari citra beresolusi tinggi (Quickbird) kemudian ditentukan batas lahan sawah (delineasi) sehingga luas baku sawah dapat ditentukan. Identifikasi dan klasifikasi menggunakan metode object based image analysis. 2. DATA AND WILAYAH STUDI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Quickbird wilayah Desa Sukamanah, Kecamatan Rancaekek, Bandung Selatan tanggal 13 Agustus 2008. Citra tersebut telah mengacu pada datum geodetik WGS 84 dengan sistem koordinat Universal Transverse Mercator dan sistem proyeksi TM-6 o . Data citra yang diperoleh terdiri atas 3 band visible light (merah, hijau, biru).
Gambar 1. Daerah Penelitian, Desa Sukamanah, Rancaekek Bandung Selatan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
61
Daerah Peneletian (Gambar 1) yang dilakukan pada studi kasus ini adalah daerah Bandung Selatan yang memiliki luas 640, 7239 Ha dengan koordinat geodetik dari 6o 58’ 57. 02411” LS, 107o. 42’ 7.1083” BT sampai 6o 59’ 56.9914” LS, 107o 44’ 1.8613” BT. Daerah penelitian tidak hanya didominasi oleh lahan persawahan namun terdapat beberapa pepohonan, permukiman, sungai dan lahan kosong. 3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan menggunakan alur metode seperti yang dapat dilihat dari Gambar 2. Dalam aplikasi metode Object Based Image Analysis untuk mengidentifikasi lahan sawah terdapat tiga tahapan penting yaitu, pra pengolahan citra, Object Based Segmentation, Object Based Classification.
Gambar 2. Flowchart Penelitian
3.1 Pra Pengolahan Citra Data citra yang didapatkan dari satelit tidak dapat langsung digunakan untuk proses segmentasi dan analisis karena masih mengandung kesalahan geometri yang bersifat sistematis. Pra pengolahan citra adalah langkah dasar pengolahan citra agar citra tersebut terbebas dari kesalahan sistematis dan mempunyai bentuk yang sedekat mungkin dengan bentuk aslinya permukaan bumi. Dalam penelitian ini pra pengolahan citra meliputi koreksi geometrik, pemotongan citra, dan peningkatan kualitas citra.
62
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
3.1.1. Koreksi Geometrik Data pada penelitian ini merupakan data citra Quickbird wilayah Bandung Selatan. Data citra yang diperoleh telah dilakukan proses koreksi geometri oleh penyelenggara citra Quickbird tersebut yakni DigitalGlobe. Citra yang diperoleh sudah memiliki proyeksi peta dan juga sudah terdifinisi pada koordinat sistem yang unik. Proyeksi peta yang digunakan adalah TM-6 o dengan sistem koordinat Universal Transvere Mercator. Karena citra sudah terkoreksi dari kesalahan geometri citra maka tidak dilakukan kembali proses koreksi geometrik pada penelitian ini. 3.1.2. Pemotongan Citra Berdasarkan Wilayah Studi Data citra meliputi wilayah Kota Bandung bagian selatan (Gambar 3) di mana kawasan tersebut didominasi oleh lahan persawahan. Diperlukan pemotongan data citra agar mendapatkan batas area penelitian. Pemotongan dilakukan pada citra yang telah terkoreksi geometrik. Pemotongan citra dilakukan pada batas wilayah 6o 58’ 57. 02411” LS, 107o. 42’ 7.1083” BT sampai 6o 59’ 56.9914” LS, 107o 44’ 1.8613” BT. Gambar 3 menunjukkan daerah penelitian hasil pemotongan.
Gambar 3. Citra Satelit Quickbird Daerah Bandung Selatan
3.1.3 Peningkatan Kualitas Citra Peningkatan kualitas citra adalah suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara yang biasa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis, pemfilteran, dan lainnya. Tujuan utama dari peningkatan kualitas citra adalah memproses citra sehingga citra yang dihasilkan lebih baik daripada citra aslinya untuk aplikasi tertentu (Sutoyo, et al., 2009).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
63
Peningkatan kualitas citra yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses peregangan kontras (contrass strecthing) (Lillesand & Kiefer Ralph, 1994). Penajaman dengan perentangan kontras memperluas daerah tingkat keabuan/ nilai piksel sehingga nilai tersebut dapat digambarkan dalam daerah tingkat keabuan yang penuh (Purwadhi, 2001). Hal ini dilakukan untuk mengatur kontras dari keseluruhan citra sehingga didapatkan citra yang lebih baik.
Gambar 4. Data Setelah Dilakukan Penajaman Citra Menggunakan Histogram Strecthing
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa tingkat kecerahan daerah tidak merata, di sebelah barat terlihat lebih gelap dan di sebelah timur terlihat lebih cerah. Hal ini dimungkinkan disebabkan oleh kabut, awan, atau intensitas pencahayaan matahari yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kualitas citra dengan peregangan histogram (histogram strech) dengan nilai rentang 3Ď&#x192; (standar deviasi). Setelah itu dapat dilihat pada citra kajian hasil peregangan (Gambar 3.3), didapat visualisasi yang lebih baik sehingga jalan setapak pada perbatasan petak sawah lebih terlihat. 3.2 Object Based Segmentation Setelah dilakukan pra pengolahan citra untuk mengkoreksi kesalahan geometri dan radiometri citra kemudian dilakukan segmentasi. Segmentasi merupakan proses pembuatan poligon (image object) pada citra. Pembuatan poligon didasarkan pada parameter yang menentukan ukuran dan keragaman poligon yang terbentuk. Segmentasi terdiri dari 5 paramater, yaitu: 1. Scale Parameter 2. Color 3. Shape 4. Smooth 5. Compact
64
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Parameter paling utama adalah scale parameter yang menentukan seberapa banyak jumlah piksel minimal yang dapat membentuk satu poligon, color mendefinisikan jumlah poligon berdasarkan heterogenitas warna, shape mendefinisikan julah poligon berdasarkan heterogenitas bentuk. Parameter color dan shape bersifat saling berkebalikan, sehingga color ditambah shape harus sama dengan satu. Semakin besar nilai color semakin peka poligon yang terbuat berdasarkan perbedaan nilai warna/rona. Sebaliknya, semakin besar nilai shape, semakin kecil nilai color, maka poligon yang terbuat akan mempertahakan bentuk dibanding membuat keragaman warna. Dalam segmentasi ditentukan nilai kelima parameter di atas untuk mendapatkan segmentasi terbaik sesuai dengan yang diharapkan. Satu set segmentasi disebut satu level data. Level data yang baik diindikasikan dengan terbentuknya image object yang sesuai dengan citra sehingga segmentasi yang terbentuk berbasiskan objek. Pada beberapa kasus segmentasi seringkali tidak hanya dibutuhkan satu level data untuk mendeskripsikan suatu objek sehingga diperlukan beberapa level data untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi. Pada penelitian ini dilakukan eksperimen kombinasi parameter segmentasi yang meliputi scale parameter 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 dan kombinasi persentase parameter yang lain. Diambil sebagai sampel percobaan yaitu nilai tengah (moderate) dari setiap scale parameter. Gambar 5 merupakan skema percobaan yang dilakukan untuk mendapatkan segmentasi terbaik untuk lahan sawah.
Gambar 5. Skema Percobaan Penentuan Segmentasi Terbaik
Penamaan level data berdasarkan nilai scale parameter yang diikuti abjad sebagai keterangan persentase parameter segmentasi, yaitu sebagai berikut : - abjad a, 10% color's percentage , 90% smooth - abjad b, 50% color's percentage, 50 % smooth - abjad c, 90% color's percentage, 10% smooth
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
65
Dari setiap level data menghasilkan segmentasi yang berbeda-beda. Perbedaan segmentasi ini memang diperlukan untuk mengidentifikasi objek sesuai karakteristiknya. Sebagai contoh, untuk segmentasi atap bangunan lebih baik menggunakan coarse segmentation (> level 50) karena dapat terbentuk dengan jelas poligon atap rumah sedangkan untuk segmentasi hutan lebih baik menggunakan fine segmentation (level 5, 10, 20, 30) karena unsur-unsur poligon kecil sebagai penyusun utama objek hutan. 3.3 Object Based Classification Klasifikasi dilakukan setelah data citra tersegmentasi. Klasifikasi bertujuan untuk menidentifikasi suatu objek sehingga menjadi objek unik yang berbeda dengan objek lainnya. Pengklasifikasian menggunakan metode OBIA berbasis pada karakteristik objek yang akan diklasifikasikan. Lahan sawah sebagai objek utama penelitian dideskripsikan berdasarkan karakteristiknya, mulai dari bentuk, ukuran luasan, nilai digital number lahan sawah, serta relasi lahan sawah dengan objek sekitarnya, seperti sungai, bangunan, pepohonan, maupun dengan lahan sawah lainnya. 3.3.1. Nilai Layer (Layer Value) Yaitu parameter yang mendeskripsikan objek berdasarkan nilai digital number citra objek tersebut. Nilai piksel dapat dilihar dari tingkat kecerahan, nilai piksel setiap bandnya, ataupun perbedaan/ selisih nilai piksel pada setiap bandnya. Layer value tersusun dari beberapa parameter yaitu brightness value, mean red, mean green, mean blue, dan maxx difference. 3.3.2. Bentuk (Shape) Parameter ini mendeskripsikan objek berdasarkan bentuknya. Shape terdiri dari parameter penyusun yang sangat banyak, diantaranya: - area, yaitu nilai luas area - width, panjang area - length, lebar area - length/ width, rasio antara nilai panjang dan lebar area - border length, panjang garis batas area - density, kepadatan area yang tebentuk - shape index, tingkat kompleksitas bentuk area - compactness, tingkat kesatuan area - roundness, tingkat kemulusan batas area 3.3.3. Relasi (Relational) Parameter ini mendeskripsikan hubungan antara objek yang akan diklasifikasikan dengan objek sekitarnya. Hubungan ini dapat bermacam- macam, diantaranya: - existence of , yaitu keharusan mendeteksi kehadiran objek tertentu di sekitar objek kajian. - near of, yaitu hubungan keterdekatan antara objek tertentu dengan objek kajian.
66
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
- distance to, yaitu jarak antara objek tertentu dengan objek kajian. - number of, yaitu hubungan jumlah objek tertentu yang berdekatan dengan objek kajian. Parameter-parameter tersebut didefinisikan dalam satu segmen tertentu, selain itu hubungan relasional juga dapat mendeskripsikan hubungan antar objek terklasifikasi pada level data yang berbeda. Gambar 6 menunjukkan hubungan relasional antara objek kajian pada level 40, dengan objek tertentu pada level 50 (super object) maupun dengan level 10 (sub level).
Gambar 6. Hubungan antara Objek Penelitian dengan Objek Terklasifikasi pada Level yang Berbeda
Penentuan nilai setiap parameter dilakukan dengan mengambil sampel objek klasifikasi dan dibandingkan secara statistik setiap parameter yang akan digunakan. Perbandingan statistik ini digunakan agar didapat nilai batas (threshold) dari setiap parameter sehingga suatu objek dapat terbedakan dengan objek lainnya. Parameter klasifikasi di atas dapat digunakan dengan cara mengkombinasikan semua parameter. Kombinasi paramater-paramater tersebutlah yang menjadi representasi model dari karakteristik objek di dunia nyata. Kombinasi parameter tersebut disebut rule set. Tabel 1. Tahapan Fase Pertumbuhan Padi No 1
Fase Fase awal pertumbuhan Fase pertumbuhan vegetatif Fase pertumbuhan generatif Fase Panen
Deskripsi Lahan sawah digenangi oleh air 2 Semakin lebatnya daun tanaman padi 3 Tanaman padi digantikan butir-butir padi 4 Lahan dibiarkan kososng (tidak ada tanaman) Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000.
Penampakan pada Citra Lahan padi tampak berwarna biru Lahan padi tampak berwarna hijau Lahan padi tampak berwarna kuning pucat Lahan padi tampak berwarna coklat kemerahan
Untuk mengklasifikasi lahan sawah dilihat dari karakteristik spektralnya, dimana lahan sawah yang ditanami padi memiliki penampakan yang berbeda-beda sesuai
67
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
dengan fase hidupnya. Tabel 1 menunjukkan tahap fase kehidupan padi. 4. HASIL Pada penelitian ini, citra kajian dibagi menjadi dua bagian membujur, bagian kiri (barat) dijadikan wilayah kajian dalam penentuan kombinasi segmentasi terbaik bagi setiap objek dan juga penentuan paramaeter klasifikasi bagi setiap objek. Setelah setiap objek dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan dengan baik kemudian semua parameter yang terbentuk diuji coba ke bagian citra kanan (timur). Hipotesis hasil yang diharapkan adalah parameter yang telah terbentuk di citra kiri akan memberikan hasil yang baik pada bagian kanan citra sehingga teridentifikasi objek sejelas pada citra kiri. 4.1. Segmentasi Terbaik Setelah dilakukan eksperimen segmentasi didapatkan segmentasi terbaik untuk setiap objek. Segmentasi level 50b merupakan segmentasi terbaik bagi lahan sawah dan sungai (Gambar 7a), level 40b digunakan untuk pepohonan dan klasifikasi fase padi (Gambar 7b), dan level 10b merupakan segmentasi terbaik untuk identifikasi pematang sawah (Gambar 7c).
(a)
(b)
(c) Gambar 7. (a) Level data 50b terbaik untuk lahan padi dan sunga, (b) Level data 40b terbaik untuk pepogonan dan fase padi, (c) Level data 10b terbaik untuk pematang sawah.
68
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
4.2. Klasifiksai Terbaik Penentuan parameter klasifikasi didasari pada sifat fisis objek yang akan diklasifikasikan. Berdasarkan hal tersebut didapatkan parameter- parameter yang menjadi representasi terbaik sifat masing-masing objek, yaitu: a. Parameter Pepohonan - length/width < 2.5 - mean green < 333 - mean green > 286 - shape index >= 1.6 - distance to pohon <15 b. Parameter Sungai - area < 1900 - brightness <241 - existance of sungai [1] = 1 - length/width >= 2.8 - main direction >=60 - shape index >1.5 - width > 8.2 - not pohon c. Parameter Lahan Sawah - area >=250 - distance to sawah <3 - number of sawah [1] >= 0 - shape index <= 2.1 d. Parameter Pematang Sawah - area < 60 - border to jalan <=2 - length/width >= 2.6 - number of jalan [1] <=2 - not pohon - not sungai e. Parameter Fase Air - brightness < 232 - brightness > 209 f.
Paramater Fase Vegetatif - area > 700 - brightness <= 250
-
brightness > 232 distance to fase vegetasi [1] <= 35 existance of fase vegetasi [1] = 1 mean red <= 185 not fase air
g. Parameter Fase Panen (Bera) - brightness <= 309 - brightness > 244 - existance of fase bera [1] =1 - length/ width <= 3 - not area < 300 - not fase air
69
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
(a)
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 8. (a) Klasifikasi pematang sawah, (b) Klasifikasi lahan sawah, (c) Klasifiksi sawah fase air, (e) Klasifikasi sawah fase vegetatif, (f) Klasifikasi sawah fase panen
4.3 Hasil Akhir Sesuai dengan metodologi di awal yaitu penerapan segmentasi dan klasfikasi yang dibagi menjadi dua bagian sama besar, bagian kiri menjadi bagian uji coba mencari parameter yang tepat dan bagian kanan menjadi hasil percobaan parameter yang didapatkan. Berikut hasil identifikasi menggunakan parameter yang didapatkan pada citra bagian kanan:
70
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Gambar 9. Hasil Klasifikasi Gabungan pada Bagian Kanan Daerah Kajian
4.3.1. Hasil Klasifikasi Seluruhnya Parameter yand didapatkan kemudian digunakan pada seluruh (bagian kanan dan kiri) citra kajian. Hasil identifikasi tersebut digambarkan dalam peta berikut:
Gambar 10. Peta Klasifikasi Lahan Sawah Desa Sukamanah
71
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
4.3.2. Validasi Data Validasi data dilakukan dengan membandingkan hasil klasifikasi lahan sawah menggunakan OBIA dengan hasil pengukuran di lapangan (terestris measurement). Dari seluruh area penelitian diambil sampel lahan sawah untuk pengukuran luas area. Tiga sampel area diambil dimana ketiga area tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda. Area pertama merupakan lahan gabungan dari beberapa lahan sawah segi empat. Area kedua merupakan gabungan dari tiga lahan sawah yang membentuk bangun trapesium. Area ketiga merupakan lahan yang memiliki bentuk yang tidak beraturan. Ketiga area tersebut dipilih karena keberagaman bentuk dan juga akses ke daerah tersebut. Setelah pengukuran terestris dengan menggunakan metode tachimetri, kemudian hasilnya dibandingkan dengan hasil klasifikasi menggunakan metode OBIA. Perbandingan luas ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Perbandingan antara Hasil Klasifikasi OBIA dan Pengukuran Lapangan. No 1 2 3 4 5 6
Luas Area (m2) 27069.3010 25544.5199 4739.9600 4230.7200 38815.8980 40020.1202
Bidang Field Area-1 OBIA Area-1 Field Area-2 OBIA Area-2 Field Area-3 OBIA Area-3
Selisih (m2) 1524.7811 509.2400 1204.2222
Dilakukan juga pengambilan sampel titik di lapangan untuk memvalidasi hasil klasifikasi menggunakan OBIA. Validasi tersebut dituangkan dalam bentuk confusion matrix berikut: Table 3. Validasi Data dalam Confusion Matrix CLASSIFIED IN SATELLLITE IMAGE AS : RICE FIELD TREES RIVER BUILDINGS ROAD Ground truth pixels Producer Accuracy
GROUND TRUTH rice field 20 0 0 0 0 20 100%
trees
river
buildings
No. classified pixels
road
5 17 0 0 2
0 0 4 0 0
2 1 0 21 0
0 0 0 0 2
24 70.80%
4 100%
24 87.50%
2 100%
27 18 4 21 4 74
User Accuracy 74.10% 94.40% 100% 100% 50%
72
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Overall accuracy =
5. ANALISIS Dari penelitian yang dilakukan terdapat beberapa poin analisis terkait hasil yang didapatkan, diantaranya: 1. Segmentasi harus dilakukan pada kombinasi yang berbeda (beberapa level data) untuk mendapatkan objek yang diinginkan. 2. Klasifikasi objek meggunakan parameter- parameter sifat bersifat general dan sangat ditentukan oleh hasil segmentasi sehingga terdapat objek yang bukan anggota klasifikasi ikut masuk ataupun objek yang sebenarnya merupakan anggota namun tidak masuk dalam klasifikasi. 3. Pada saat klasifikasi didapatkan masih ada beberapa wilayah sawah yang tidak terklasifikasikan karena tidak memenuhi dengan semua kriteria yang ditentukan. Sulit untuk mencari parameter yang dapat melingkupi objek kajian dan bersifat generalisir. 4. Masih diperlukan manual editing dalam penentuan klasifikasi wilayah yang tidak dapat digeneralisir. Manual editing juga diperlukan dalam penentuan patokan klasifikasi awal sebagai anti objek dari objek lainnya. 5. Estimasi luas baku sawah dapat dilakukan dengan menghitung luas baku sawah yang sudah terklasifikasi. Luas yang didapat merupakan estimasi kasar dari luas baku sawah yang berfungsi untuk prediksi hitungan cepat. Agar didapatkan luas lahan sawah yang lebih presisi perlu dilakukan survey lapangan untuk validasi data. DAFTAR REFERENSI D., S., Lopez, A., C., L., Hinton, S., & J., W. , 2009. Object-based classification of residential land use within Accra, Ghana based on Quickbird satellite data. International Jurnal Remote Sensing Desclee, B., Bogaert, P., & Defourny, P., 2004. Object-based method for automatic forest change detection. UCL, Department of Enviromental Sciences and Land Use Planning. Kamagata, N., Hara, K., Mori, M., Akamatsu, Y., Li, Y., & Yoshinobu, H. (2006). A New Method Of Vegetation Mapping By Object-Based Classification Using High Resolution Satellite Data. Commision VII, WG VIII/11 . L, W., Sousa, W., & Gong, P., 2004. Integration of object-based and pixel-based classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. University California, Texas State University, University Drive. Lillesand, M. T., & Kiefer Ralph, W., 1994. Remote Sensing and Image Interpretation (Third Edition ed.). New York: John Wiley & Son, Inc. Nasional, Badan Standardisasi., 2010. Klasifikasi Penutup Lahan SNI 7645. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
73
Purwadhi, F. S. , 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Gramedia Widisarana Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat., 2000. Estimasi Produks Padi Sawah Melalui Analisis Citra Satelit. Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat . Wahyunto, Hikmatullah., 2006. Menduga Produksi Padi dengan Teknologi Citra Satelit. Wahyunto, Widagdo, & Heryanto, B., 2006. Pendugaan Produktivitas Tanaman Padi Sawah Melalui Analisis Citra Satelit. Informatika Pertanian , 15.
BIOGRAFI PENULIS Achmad Ramadhani Wasil Achmad Ramadhani Wasil lahir di Bandung pada tanggal 8 April 1990, menyelesaikan sarjana di Institut Teknologi Bandung di Jurusan Teknik Geodesi Geomatika pada tahun 2012. Penelitian yang dilakukan fokus kepada pengolahan citra satelit dengan metode object based image analysis. Bidang pendalaman adalah estimasi dan identifikasi lahan baku sawah terkait dengan produksi padi dan ketahanan pangan daerah. Aktif sebagai asisten riset dalam bidang penginderaan jauh dan di kegiatan mitigasi bencana, baik penelitian juga kegiatan praktis. Kini melanjutkan studi sebagai master candidate bidang Geomatika di Institut Teknologi Bandung. Soni Darmawan Soni Darmawan lahir di Bandung pada 12 Januari 1976. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Teknik Geodesi dan Geomatika ITB pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan master di bidang teknologi informasi spasial dan doktor di bidang penginderaan jauh pada universitas yang sama. Program riset juga pernah dilakukan dalam Japan International Research Center for Agricultural Sciences (JIRCAS) Program di Tsukuba tahun 2007-2008 dan Sandwich like Program 2009ďź?2010 di Chiba University, Jepang. Hingga saat ini aktif melakukan penelitian di bidang penginderaan jauh di Pusat Penginderaan Jauh dan Kelompok Keahlian Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
74
Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Ketut Wikantika Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB, dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB. Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor Indonesia.
Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Industri
Eddi Nugroho
75
76
Eddi Nugroho
Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Industri
Eddi Nugroho Sinarmas Forestry, Plaza BII Menara II Lt. 19, Jl. M.H. Thamrin Kav. 51, Jakarta 10340 Email: enugroho_2000@yahoo.com
Abstrak Aplikasi Penginderaan Jauh dalam bidang kehutanan telah secara luas dilaksanakan karena memanfaatkan kemampuannya untuk mendapatkan informasi pada areal yang tak mudah dijangkau dan untuk memantau perubahan liputan hutan yang dinamis. Spesies pohon cepat tumbuh yang ditanam untuk menghara industri bubur kertas misalnya, dapat dimonitor dengan menggunakan analisis citra multi tingkat guna mendukung pengambilan keputusan dalam tiap tingkat manajemen. Pengelolaan hutan tanaman industri dengan terus-menerus melaksanakan rotasi penanaman dan pemanenan dapat menggunakan citra penginderaan jauh multi resolusi secara serial. Hal ini memerlukan suatu model analisis untuk mendayagunakan Citra Penginderaan Jauh pada pengelolaan hutan tanaman dengan sistem silvikultur tertentu. Pada kajian ini digunakan Citra Penginderaan Jauh dengan resolusi menengah seperti Citra Landsat yang diperoleh secara serial dengan selang waktu dua tahunan dan citra resolusi tinggi seperti Airborne RADAR dengan selang waktu lima tahunan. Analisis multitemporal antara citra resolusi menengah dilakukan dengan menghitung rasio NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), sedangkan pendetilan informasi dari citra resolusi menengah ke citra resolusi tinggi dilakukan dengan digitasi manual pada data GIS yang bersifat hirarkikal. Pada data GIS ini pula ditambahkan informasi lain berupa hasil inventarisasi hutan di lapangan, yang ketika dikombinasikan dengan data Penginderaan Jauh dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan hutan tanaman yang berkesinambungan. Kata kunci: model analisis citra, konsep multi citra, NDVI, rotasi hutan tanaman, basisdata secara hirarki Abstract Remote sensing application on forestry is extensively carried out by taking advantage on its capability to deliver information of remote area and to monitor forest cover dynamic change. Fast growing species for instance, those are planted for supplying pulp industry can be monitored timely by using multi image analysis in order to support decision making in every management level. Industrial plantation forest management implementing planting and harvesting alternately should utilize multi resolution remote sensing images in serial time.
77
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
This will require analysis model to apply this kind of imageries in this specific silviculture system. In this study, medium resolution imagery is Landsat image which is acquired every two year and the higher resolution one is Airborne RADAR image which is recorded every five year. Multi temporal analysis between serial medium resolution images is done by determining the difference between their NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), and this will be particularized by the higher resolution by manual digitization on hierarchical database in GIS. In this spatial database, plantation forest data upcoming from field inventory is appended to be combined with remotely sensed data to support a sustainable plantation forest management. Keywords: image analysis model, multi image concept, NDVI, plantation forest rotation, hierarchical database. 1. PENDAHULUAN Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan yang berpotensi rendah atau bahkan telah rusak dengan cara melakukan penanaman jenis tumbuhan hutan untuk menghara bahan baku suatu industri. Kecuali hutan tanaman di Pulau Jawa yang telah dibangun sejak sebelum kemerdekaan, kebanyakan hutan tanaman industri di luar Pulau Jawa dibangun setelah tahun 1990-an untuk memasok kayu bulat kecil (chipwood) sebagai bahan baku industri bubur kertas (pulp). Sampai akhir tahun 2008, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) secara definitif telah diterbitkan untuk areal seluas 7.154.832 ha di 18 provinsi (Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan, 2009) yang sebagian besar memang terkait dengan industri pulp. Tabel 1. Perkembangan pembangunan hutan tanaman dan produknya 2004 -2008 Tahun
Luas Penanaman Hutan (ha)
Produksi Chipwood (m3)
Produksi Pulp (ton)
2004
131.914
316.673
2.593.926
2005
153.125
352.078
988.192
2006
231.953
556.967
3.370.600
2007
334.838
1.103.506
4.881.966
2008 291.984 278.320 4.784.733 Sumber: Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan, 2009
Dengan menerapkan teknik silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB), lahan dibersihkan untuk ditanami dengan tanaman hutan komersial seperti pinus, Eucalyptus, Acacia, jati, karet dan sebagainya. Tentunya ada perlakuan seperti pemupukan, pembebasan gulma, pemangkasan dan penjarangan guna mempercepat tumbuh dan memperbaiki kualitas produk kayunya. Semua
78
Eddi Nugroho
kegiatan tersebut memberi dampak yang tidak kecil secara ekonomis, sosial serta lingkungan baik dalam lingkup daerah maupun secara nasional bahkan internasional. Salah satu kunci keberhasilan pembangunan hutan tanaman industri dalam mencapai tingkat produktivitas tinggi yang berkelanjutan adalah efektifnya perencanaan dan pemantauan setiap kegiatan operasional. Mengingat luasnya areal hutan yang biasanya tak mudah dijangkau serta perubahan liputan lahan yang dinamis, maka Penginderaan Jauh menjadi perangkat yang penting karena kemampuannya memberikan informasi secara serentak dan dapat dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu. Karena kemampuan tersebut, pemotretan dari udara maupun pencitraan dari satelit telah lama digunakan dalam bidang kehutanan. Penginderaan Jauh dapat mendeteksi, identifikasi, klasifikasi, evaluasi dan pengukuran bermacam tipe liputan hutan dan perubahannya secara kualitatif dan kuantitatif (Hussin and Bijker, 2000). Rotasi tebang dan tanam memerlukan pemantauan yang cepat dan akurat, yang hasilnya dapat disajikan untuk para pengambil keputusan dan para pemangku kepentingan seperti manajemen perusahaan pemegang ijin, pemerintah, kontraktor, konsumen dan masyarakat umum termasuk LSM. Pemanfaatan citra secara multi temporal dengan resolusi citra yang juga berbedabeda akan menjadi model aplikasi yang disesuaikan dengan spesifikasi pengelolaan hutan tanaman. Untuk mendeteksi dinamika hutan berupa kompetisi tumbuhan, dapat digunakan pencitraan dengan kamera resolusi tinggi dan menerapkan beberapa metode ekstraksi data seperti klasifikasi spektral, analisis tekstur and deteksi garis (Pouliot, D.A., D.J. King, and D.G. Pitt., 2006). Adanya kebutuhan informasi sesuai tingkatan managerial berimplikasi pada kebutuhan berbagai resolusi citra. Analisis citra multi resolusi ini dikombinasikan dengan analisis multi temporal guna mendukung kebutuhan untuk monitoring dinamika kondisi hutan tanaman. Contoh otomatisasi analisis multi temporal tetapi hanya dengan satu resolusi spasial untuk mendeteksi penebangan dan penanaman hutan ditunjukkan oleh Nunes, A. dan M. Caetano (2006) yang hasilnya langsung ditampilkan dengan aplikasi WEB oleh Portuguese Geographic Institute. Berbagai metode di atas dapat diadaptasi untuk memperoleh informasi geospatial hutan dan dapat digunakan sebagai masukan pada aplikasi selanjutnya yaitu GIS (Sistem Informasi Geografis) khususnya dalam hal pengaliran data yang bersifat sangat dinamis karena rotasi penanaman hutan yang berkesinambungan. 2. ASPEK SPASIAL PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Karena lamanya waktu tunggu hingga masak tebang untuk dipanen kayunya, areal hutan yang diperlukan untuk memasok suatu industri harus cukup luas sehingga ada kesempatan untuk melakukan pengaturan hasil. Tanaman Acacia crassicarpa misalnya, baru akan siap dipanen setelah berumur antara 4 sampai 7 tahun, karena itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku serat kayu pada suatu pabrik bubur kertas berkapasitas produksi sedang, taruhlah 1 juta ton pulp per
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
79
tahun, diperlukan luasan minimum lahan hutan 300.000 ha. Selain besarnya luasan lahan, juga persebaran atau distribusi tegakan hutan merupakan aspek spasial yang penting dan menentukan dalam pengelolaan hutan. Beberapa kegiatan pengelolaan hutan tanaman yang mempunyai kaitan erat dengan aspek spasial adalah (1) penetapan areal kerja, (2) inventarisasi hutan, (3) klasifikasi unit lahan, (4) perencanaan dan pemantauan kegiatan silvikultur dan (5) conservation management plan. Dokumentasi dari kegiatan beraspek spasial ini sangat penting untuk menperoleh sertifikasi dari berbagai lembaga dan untuk proses perijinan dari pemerintah. 2.1. Penetapan Areal Kerja Setelah areal konsesi diperoleh, studi kelayakan dan studi AMDAL dilakukan untuk mengetahui keberlangsungan dan memperkirakan dampak yang ditimbulkan dengan dibangunnya hutan tanaman industri. Kedua kegiatan ini pun sudah beraspek spasial, oleh sebab itu diperlukan adanya Peta Areal Kerja yang menunjukkan letak dan kondisi umum areal konsesi tersebut. Peta ini bersumber dari Peta Rupabumi atau Peta Topografi yang tersedia dengan skala 1:50.000, dan berdasarkan Peta Areal Kerja ini mulai disusun suatu perencanaan operasional budidaya (silvikultur) hutan tanaman. Sementara itu di lapangan dilakukan pemancangan batas areal melalui pengukuran secara manual. Trayek pengukuran direncanakan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik konsesi yang berbatasan atau jika tidak ada konsesi lain di sebelahnya, maka penataan batas dilakukan sendiri, semuanya di bawah koordinasi Departemen kehutanan. Dalam prakteknya, penataan batas dilakukan secara bertahap karena belum adanya akses jalan atau karena lamanya pencapaian kesepakatan antar berbagai pihak. Citra Penginderaan Jauh berperan dalam pemetaan areal kerja dan penataan batas adalah dengan: a. penentuan titik ikat pengukuran batas konsesi dengan mengidentifikasi obyek alam seperti misalnya percabangan sungai. b. penggambaran kenampakan alami dan buatan seperti sungai, jalan, kanal dan adanya desa atau permukiman. Penetapan dan pengukuhan areal kerja menjadi hal yang penting karena menjamin kepastian hukum dalam mengelola hutan tanaman industri yang proses usahanya berjangka panjang. Pemetaan daerah konflik seperti tumpang tindih kepemilikan, adanya perambahan hutan dan pembalakan liar juga penting pada fase ini. 2.2. Inventarisasi Hutan Informasi pokok yang diperlukan bagi pengelolaan hutan tentulah tentang kondisi hutan itu sendiri. Sisa tegakan hutan alam yang masih ada serta hutan tanaman yang telah terbangun menjadi obyek utama kegiatan inventarisasi ini. Informasi ini dapat diperoleh dari data Penginderaan Jauh ataupun dengan melakukan survei lapangan. Penggunaan Citra Satelit Landsat hasil perekaman minimal dua tahun sekali sudah menjadi kewajiban pemegang konsesi hutan
80
Eddi Nugroho
yang dikaitkan dengan berbagai macam perijinan dari Departemen Kehutanan. Pada tahun 1990-an, selain Citra Landsat, potret udara skala 1:20.000 juga diwajibkan bagi pemegang konsesi untuk menyusun rencana jangka panjangnya, namun sekarang penggunaan selain Citra Landsat bukan merupakan kewajiban lagi. Teknik penggunaan berbagai Citra Penginderaan Jauh akan ditelaah lebih detil dalam bab-bab selanjutnya pada tulisan ini. Survei lapangan untuk mengetahui kondisi hutan yang dilaksanakan secara rutin dan yang diwajibkan oleh pemerintah paling tidak ada tiga jenis survei yaitu Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB), inventarisasi tegakan sebelum penebangan (risalah hutan) dan pembuatan petak ukur permanen. Meskipun demikian, bagi keperluan operasional pengelolaan hutan, ada banyak lagi kegiatan survei hutan dilakukan. Tabel 2. di bawah ini menampilkan berbagai kegiatan survei bagi pengelolaan hutan tanaman. Tabel 2. Survei hutan bagi pengelolaan hutan tanaman industri No 1
2
3
Jenis Survei Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (Risalah Hutan) Mid Rotation Inventory
4
Petak Ukur Permanen (Permanent Sample Plot)
5
Pengukuran Luas Penanaman Plantation Assessment
6
7
Survei ekologi
Tata Waktu dan Cakupan Areal Tiap 10 tahun. Keseluruhan konsesi.
Tujuan
Metode
Mengetahui keseluruhan kondisi dan potensi hutan
Systematic sampling w/ random start
1 tahun sebelum pemanenan. Dalam blok kerja tahunan.
Estimasi produksi (yield)
Grid sampling dengan intensitas 5%
3 @ 4 tahun setelah penanaman. Dalam blok tanaman seumur.
Mengukur pertumbuhan (growth) dan mengetahui kondisi tanaman Mengukur pertumbuhan (growth)
Grid sampling dengan intensitas 1%
Mengetahui kemajuan luas penanaman Mengetahui kualitas penanaman dan persentase tanaman yang hidup
Pengukuran terestris atau GPS kinematic Grid sampling dengan intensitas 1%
Identifikasi dan pemantauan hutan bernilai konservasi
Purposive Sampling (transek)
Setiap tahun dalam satu rotasi tanam. Satu plot untuk setiap kelas kesesuaian. Segera setelah penanaman setiap petak tanam 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun setelah penanaman. Dalam blok kerja tahunan. Sesuai kebutuhan. Areal konservasi.
Stratified sampling
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
81
2.3. Klasifikasi Unit Lahan Pada dasarnya setiap jengkal lahan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda baik dalam fisiografi, morfologi, ekologi maupun kondisi tanahnya. Di samping itu, terdapat juga kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk mendukung operasional pengelolaan hutan tanaman, seperti misalnya pembangunan sistem kanal untuk transportasi produksi di lahan rawa. Semuanya ini memerlukan pengaturan penggunaan areal secara spasial yang efektif dengan melakukan klasifikasi unit lahan. 2.3.1. Delineasi Areal Kerja Klasifikasi unit lahan yang wajib dilakukan oleh pengelola ialah membuat delineasi areal untuk mengidentifikasi fungsi produksi dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan keseimbangan lingkungan. Untuk areal yang teridentifikasi sebagai hutan alam bekas tebangan, maka akan dilanjutkan dengan delineasi mikro seperti nampak dalam Tabel 3. di bawah ini. Tabel 3. Kondisi liputan lahan yang didelineasi secara makro dan mikro
1. Areal hutan alam bekas tebangan A Areal hutan alam yang harus dipertahankan Areal hutan alam yang dipertahankan untuk diusahakan dengan sistem B silvikultur bukan THPB Areal hutan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan C tanaman dengan sistem silvikultur THPB 2. Areal yang telah ditanami 3. Areal tanah kosong, alang-alang 4. Sarana dan prasarana 5. Permukiman, ladang, kebun, areal pinjam pakai Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008.
Ada kriteria tertentu dalam mendelineasi hutan alam menjadi tiga bagian yaitu pada intinya dengan mempertimbangkan kerentanannya jika pada areal berhutan tersebut dilakukan suatu sistem silvikultur atau budidaya. Berdasarkan delineasi mikro ini, dapat dilakukan penataan ruang lebih lanjut. 2.3.2.
Penataan Ruang Hutan Tanaman Industri
Pola pemanfaatan lahan berupa alokasi peruntukan ruang di dalam suatu konsesi hutan tanaman industri ditata dengan memperhatikan aspek kepastian lahan, sumberdaya hutan, kontinuitas produksi hasil hutan, konservasi, sosial ekonomi dan institusi. Dasar dari penataan ruang adalah hasil delineasi mikro seperti yang telah diuraikan di atas. Tabel 4. di bawah ini menunjukkan alokasi peruntukan dan persentase luasnya.
82
Eddi Nugroho
Tabel 4. Alokasi peruntukan lahan dalam penataan ruang hutan tanaman industri
No 1. 2. 3. 4. 5.
Peruntukan Areal tanaman pokok Areal tanaman unggulan
Keterangan Tanaman komersial untuk tujuan produksi Tanaman jenis asli yang mempunyai nilai tinggi Tanaman yang menghasilkan hasil Areal tanaman hutan bukan kayu untuk dimanfaatkan kehidupan oleh masyarakat sekitar Areal Areal yang dilindungi tetap sebagai konservasi hutan alam Areal sarana Infrastruktur pengusahaan HTI: jalan, dan prasarana kanal, camp
% luas 70% 10% 5% 10% 5%
Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95
Peruntukan berupa areal konservasi dalam penataan ruang adalah areal hutan alam yang harus dipertahankan sesuai hasil delineasi mikro. Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam menentukan areal tersebut di antaranya: a. Kawasan hutan yang mempunyai kombinasi kelerengan, jenis tanah dan intensitas curah hujan dengan agregat skoring lebih besar 175. b. Kawasan hutan dengan kelerengan lebih besar 40% dan atau dengan kelerengan lebih besar 15% untuk jenis tanah tertentu yang sangat peka erosi. c. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3 meter. d. Kawasan hutan dengan radius atau jarak tertentu sampai dengan 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air, 100 meter dari tepi sungai, 50 meter dari tepi anak sungai, 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang dan 130 kali selisih pasang tertinggi dan terendah dari tepi pantai. e. Kawasan penyangga hutan lindung atau kawasan konservasi. f. Kawasan pelestarian plasma nutfah. g. Kawasan perlindungan satwa liar. h. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan serta i. Kawasan rawan bencana. 2.3.3.
Penataan Areal Kerja
Guna mempermudah pengaturan hasil yang berkesinambungan, maka dilakukan pembagian blok-blok kerja tahunan, misalnya untuk tanaman hutan dengan daur produksi enam tahunan, maka luas efektif areal tanaman pokok akan dibagi enam. Gambar 1.(i) di bawah ini menunjukkan contoh pembagian blok kerja tahunan menjadi enam blok setelah dikurangi areal yang dialokasikan untuk Areal Konservasi, Tanaman Unggulan dan Tanaman Kehidupan.
83
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Keterangan
(i)
(ii)
Gambar 1. (i) Contoh pembagian blok kerja tahunan dan (ii) kompartemen atau petak tanaman
Tiap blok kerja tahunan terdiri dari beberapa kompartemen atau petak tanaman yang merupakan suatu unit manajemen terkecil yang mempunyai suatu keseragaman dalam karakteristik lahannya. Petak tanaman ini mempunyai luas optimum 25 hektare dengan pertimbangan bahwa pengerjaan pemanenan dan penanaman dapat diselesaikan dalam waktu paling lama dua bulan. Contoh petak tanaman dapat dilihat pada Gambar 1.(ii) di atas. Dikatakan bahwa petak sebagai unit manajemen terkecil karena tanaman dalam satu petak akan dikenai perlakuan yang sama, sehingga dalam satu petak terdapat hanya satu tegakan hutan yang seumur dan seragam spesiesnya. Idealnya, kompartemenisasi ini bersifat permanen dan tidak berubah pada rotasi tanam berikutnya, akan tetapi pada kenyataannya petak-petak ini sering berubah, terutama jika batas petak yang berupa jalan itu mengalami pergeseran. 2.3.4. Kesesuaian Lahan Pada dasarnya, ekosistem hutan dapat berkembang secara alami di daerah beriklim tropika basah seperti di Indonesia, karena itu kesuburan tanah bukan suatu hal yang menentukan bagi hutan. Akan tetapi, dalam konteks hutan tanaman, agar memberikan tingkat produktivitas yang tinggi, kesesuaian lahan akan tanaman komoditi tertentu tetaplah penting. Telah lama dikenal konsep bonita yang menggambarkan kemampuan produksi suatu tempat tumbuh jenis pohon tertentu, berdasarkan karakteristik lahan dan pertumbuhan pohon dominan pada berbagai tingkat umur (Arief, 2001). Karena itulah bagi pembangunan areal yang relatif baru, jenis dan karakteristik tanah dapat diteliti untuk dapat menentukan kesesuaian lahan terhadap varietas pohon tertentu.
84
Eddi Nugroho
Karakteristik tanah dan faktor lain seperti iklim dapat dievaluasi untuk memprediksi produktivitas hutan tanaman. Faktor-faktor seperti ini dapat direpresentasikan secara spasial dalam bentuk peta, yang nantinya akan diperkaya dengan data pertumbuhan tanaman itu sendiri untuk memprediksi tingkat produktivitas tiap unit karakteristik lahan. Peta site matching yang diperlukan bagi pembangunan hutan tanaman memuat informasi sebagai berikut: a. b. c. d.
jenis tanah spesies pohon yang sesuai rekomendasi pemupukan dan perlakuan khusus lainnya perkiraan produksi kayu
2.4. Transportasi Produk Aksesibilitas ke seluruh areal tertanam sangat penting untuk dibangun, karena akan mempermudah terlaksananya semua kegiatan mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan perlindungan hutan, serta terutama untuk mengangkut produk kayu hasil panenan. Jika pada areal lahan kering, aksesibilitas menggunakan sarana jalan, maka pada areal rawa-rawa, aksesibilitas menggunakan rel lori atau kanal. Peranan data spasial dan data Penginderaan Jauh dalam menunjang transportasi adalah: a. Membuat rencana pembangunan infrastruktur jalan atau kanal atau sering disebut Pembukaan Wilayah Hutan yaitu dengan menyiapkan trase jalan, desain jalan dan rencana jembatan. b. Menentukan lokasi tempat penumpukan kayu, pos faktur dan camp produksi. c. Pemilihan rute terpendek dengan melakukan analisis jaringan transportasi dan menghitung panjang jalan untuk penganggaran biaya pengangkutan maupun biaya perawatan infrastruktur. 2.5. Pengaturan Tata Air Bagi hutan tanaman yang dibangun di areal rawa atau rawa gambut, diperlukan pengaturan tata air (water management) dengan membuat sistem parit drainase dan jaringan kanal. Pada intinya, jaringan drainase dan kanal untuk mengatur elevasi muka air tanah dengan mengendalikan air di kanal primer yang dilengkapi dengan pintu air atau dibangun dam overflow. Jika lahan gambut dikeringkan tanpa diatur, maka lahan akan mengalami pemadatan dan penurunan (subsidence) bahkan gambut tidak akan dapat terisi oleh air lagi yang akan menjadi mudah terbakar pada musim kemarau. Konsep pengaturan tata air tersebut adalah: a. Elevasi muka air tanah dipertahankan pada kedalaman sekitar 80 cm sehingga ada tempat bagi pertumbuhan perakaran. Untuk mengendalikan penurunan tanah dan peroses pematangan gambut, muka air tanah dapat dinaikkan secara perlahan sampai kedalaman 30 cm pada akhir rotasi sebelum dipanen.
85
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
b. Sebelum musim kemarau setiap tahunnya, muka air tanah dibiarkan setinggi mungkin yaitu sekitar 10 â&#x20AC;&#x201C; 30 cm di bawah permukaan tanah untuk mencegah kebakaran. Pada akhir musim kemarau diharapkan muka air tanah akan turun maksimal menajdi 80 cm lagi. Pada areal yang luas, tentu tidak semua kanal atau parit itu dapat dihubungkan menjadi satu jaringan terbuka, tetapi harus dibagi dalam zona-zona tertentu tergantung pada keseragaman tinggi muka airnya. Dengan asumsi bahwa tinggi muka air tanah mengikuti kontur tanahnya, maka pengukuran topografi dengan ketelitian tinggi pada areal tersebut harus dilakukan terlebih dahulu agar zonasi jaringan kanal dapat direncanakan dengan baik. Transportasi produk kayu di areal rawa memerlukan kanal-kanal dengan spesifikasi yang lebih lebar daripada jaringan parit yang hanya berfungsi untuk mengeringkan lahan, spesifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. di bawah ini. Tabel 5. Spesifikasi infrastruktur kanal transportasi dan parit pengering.
Kanal Utama Kanal Cabang Parit Kolektor Parit Pengering
Lebar permukaan 12 m 7m 3m 1m
Lebar dasar
Kedalaman
9m 4m 2m 1m
3m 3m 2m 1m
2.6. Rencana Pengelolaan Lingkungan Untuk mengelola area konservasi, mempertahankan keanekaragaman hayati serta bentuk komitmen perusahaan dalam melindungi lingkungan, maka dibuatlah Conservation Management Plan. Sebagai dasar utama penyusunan rencana ini adalah delineasi unit lahan dan penataan ruang yang telah dilakukan terlebih dahulu serta rekomendasi AMDAL. Di samping itu dilakukan juga survei ekologi untuk mengidentifikasi dan memantau hutan bernilai konservasi, yaitu dengan membuat transek berupa jalur pengamatan dengan meletakkan plot ukur di sepanjang jalur. Penempatan jalur dilakukan secara purposive yaitu di areal konservasi dan Tanaman Unggulan. Dimensi plot ukur adalah 10 m x 10 m. Flora dan fauna yang ada diamati untuk mengetahui kekayaan jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang ada. Di dalam Conservation Management Plan disusunlah rencana kegiatan yang akan dilakukan di antaranya: pemancangan tugu batas dan papan nama areal konservasi, penyuluhan kepada masyarakat dan kontraktor akan pentingnya perlindungan lingkungan serta melakukan penanaman pengayaan dengan jenis tumbuhan unggulan setempat. Perlindungan hutan dari kebakaran juga dilakukan dengan penempatan menara pengawas dan kolam penampungan air, serta membentuk regu pemadam kebakaran hutan. Sebagai aset perusahaan, semua kegiatan itu dipetakan dan semua fasilitas diberi nomor identifikasi dalam basisdata spasial.
86
Eddi Nugroho
3. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI BERKELANJUTAN Pada tahun 1990-an, pengguna Citra Satelit Landsat dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) didominasi oleh bidang kehutanan bahkan pernah mencapai lebih dari 60% dari seluruh pengguna. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan kewajiban para perusahaan kehutanan di Indonesia untuk menggunakan Citra Landsat. Bahkan proyek pemotretan udara terbesar ada di bidang kehutanan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia meliputi seluruh kawasan Hutan Produksi seluas 64 juta Ha. Seiring dengan menurunnya jumlah konsesi hutan alam, menurun pula persentase pengguna Citra Landsat dari sektor kehutanan. Meskipun demikian, aplikasi Citra Penginderaan Jauh di bidang kehutanan tetap berkembang, apalagi setelah pengelolaan hutan alam bergeser menjadi pengelolaan hutan tanaman industri yang menuntut ketelitian lebih tinggi sehingga membuka peluang digunakannya Citra Penginderaan Jauh dengan resolusi lebih tinggi dari pada resolusi Citra Landsat. Secara umum, pengembangan teknologi Penginderaan Jauh pun masih cukup pesat dengan diluncurkannya berbagai satelit pencitraan yang lebih tinggi resolusinya, di lain pihak makin aplikatifnya teknologi RADAR dan LIDAR memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan teknologi ini. Di samping itu, pengembangan beberapa sistem kamera dan scanner yang lebih praktis juga tersedia di pasaran membuka peluang makin bervariasinya teknologi yang digunakan untuk bidang pengelolaan hutan tanaman ini. Dalam uraian mengenai aspek spasial dalam pengelolaan hutan tanaman di atas, telah disampaikan begitu banyak kegiatan yang dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi Penginderaan Jauh. Hussin dan Bijker (2000) membuat matriks tentang peluang penerapan Penginderaan Jauh untuk pengelolaan hutan secara umum seperti tertuang dalam Tabel 6. di bawah ini: Tabel 6. Peluang Penerapan Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan. No 1.
Jenis / Sub Pemotretan Udara - Pankromatik - Berwarna - Inframerah Berwarna Semu - Inframerah Hitam Putih
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aplikasi Resolusi Frekuensi
Biaya Pembatasan
+++*) +++ +++ ++
++ ++ ++ ++
++ ++ ++ ++
--------
-----
- Multispektral - Hyperspektral
+++ +++
++ ++
++ ++
--
---
Citra Satelit RADAR dari Udara RADAR dari Satelit LIDAR/Laser dari Udara Videografi
++ ++ + + +
+ ++ + ++ ++
+ ++ + ++ ++
---
--**) ---
Scanning dari Udara
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
87
*) Tanda (+ )dan (â&#x20AC;&#x201C;) serta banyaknya tanda tersebut menunjukkan banyaknya peluang **) Satelit RADAR yang ada saat itu Sumber: Hussin dan Bijker (2000)
Berdasarkan pengalaman dalam penerapan Penginderaan Jauh untuk pengelolaan hutan tanaman serta melihat tersedianya teknologi terbaru yang ada di pasaran, maka ada beberapa catatan setelah mencermati Tabel 6. di atas, yaitu sebagai berikut: a. Peluang penggunaan potret udara konvensional seperti pada Tabel 6. nomor 1 akan semakin berkurang. Sebagai pengganti potret udara tersebut, pesaing yang potensial adalah scanner multispektral seperti pada Tabel 6. nomor 2 yang sekarang tersedia dalam format digital di pasaran yang dapat langsung diperoses menghasilkan Digital Elevation Model (DEM). b. Scanner hyperspektral dinyatakan mempunyai peluang yang tinggi meskipun biaya dan pembatasnya pun juga tinggi, namun dalam prakteknya peluang penerapannya rendah karena keunggulan digunakannya hyperspektral seperti untuk mendeteksi penyakit dan sebagainya tidak terlalu signifikan diterapkan di areal hutan tropis. c. Dalam Tabel 6. nomor 3 di atas, Citra Satelit dikatakan memiliki peluang penerapan yang rendah, padahal menurut pengalaman justru Citra Satelit memiliki peluang penerapan yang paling besar, selain karena biayanya jauh lebih murah, juga karena tersedia banyak macam dan resolusi di pasaran dengan kualitas yang konsisten. Untuk daerah tropis seperti di Indonesia ini, memang ada kendala besar yaitu banyaknya liputan awan, dan pada kenyataannya dari Citra Satelit masih sulit untuk diperoleh DEM. d. Perkembangan terakhir adalah meningkatnya peluang RADAR dan LIDAR dari wahana udara. Resolusi RADAR/LIDAR yang tersedia di pasaran semakin tinggi, aspek geometrinya juga sudah tidak ada masalah lagi. Demikian juga produk Digital Surface Model (DSM) dan atau DEM yang berasal dari pengukuran interferometri RADAR/LIDAR ini mempunyai akurasi elevasi yang sangat tinggi sudah mencapai ketelitian hingga submeter. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya peluang penggunaan Penginderaan Jauh secara umum menurut Hussin dan Bijker (2000) adalah karena para ahli kehutanan berpikir konservatif dan ada keengganan untuk meninggalkan metode lama. Alasan lain adalah karena kurangnya pengetahuan akan penerapan teknologi ini secara khsusus. Dalam konteks Indonesia, menurut hemat penulis, tenaga surveyor, forest cruiser dan pengawas lapangan relatif banyak jumlahnya dan dengan biaya survei yang relatif rendah dibandingkan dengan di negara seperti Canada atau Finlandia sehingga penerapan Penginderaan Jauh memiliki prioritas rendah.
88
Eddi Nugroho
3.1. Hirarki Tingkat Kedetilan Informasi Spasial Berdasarkan jenjang pengambilan keputusan dan jangka waktu pelaksanaannya, perencanaan pengelolaan hutan tanaman dapat dibagi setidaknya dalam tiga tingkatan yaitu Rencana Strategis berjangka panjang, Rencana Managerial berjangka menengah dan Rencana Operasional berjangka pendek. Semakin pendek termin rencana akan semakin detil kegiatan yang direncanakan karena merupakan penjabaran dari termin rencana yang lebih panjang tersebut, demikian pula akan semakin sempit ruang lingkupnya, seperti nampak dalam Tabel 7.a. di bawah ini: Tabel 7.a. Tingkat perencanaan dan contoh dokumen formal.
No. 1. 2.
3.
Perencanaan (Termin) Rencana Strategis (Jangka Panjang) Rencana Managerial (Jangka Menengah) Rencana Operasional (Jangka Pendek)
Contoh Dokumen Business Plan, Studi Kelayakan, AMDAL dan Rencana Karya Usaha (RKU) Rencana Karya Sepuluh Tahunan, Rencana Karya Tahunan dan Conservation Management Plan Surat Perintah Kerja Tanam/Tebang, Rencana Rasionalisasi/Modifikasi Petak Tanam.
Tabel 7.b. Skala peta dan sumber data Penginderaan Jauh
No. 1.
2.
Pemetaan Tinjau < Skala 1:50.000 Semi Detil Skala 1:50.000 Skala 1:20.000
Contoh Citra Penginderaan Jauh Resolusi lebih kecil dari 25 m - Citra Landsat ETM - Citra Envisat Resolusi antara 10 â&#x20AC;&#x201C; 25 m - Citra SPOT 4, SPOT 5 XS - Citra Terra ASTER - Potret Udara Skala 1:20.000
Data dan informasi spasial dalam wujud peta untuk mendukung tiap tingkatan perencanaan juga memiliki jenjang tingkat kedetilan informasi yang dinyatakan dalam skala peta. Tabel 7.b. menunjukkan tingkatan skala peta untuk mendukung tingkatan kegiatan perencanaan, misalnya peta skala detil 1: 5.000 untuk mendukung Rencana Operasional berjangka pendek. Tingkat kedetilan peta ini ada hubungannya dengan data Penginderaan Jauh sebagai penyedia informasi, sedangkan tingkat kedetilan informasi pada data Penginderaan Jauh tergantung dari resolusi atau tingkat akurasi dan kelengkapan informasi yang dapat disadap. Ketinggian wahana pembawa sensor, kepekaan detektor pada sistem optik atau lebar impulse pada sistem RADAR akan mempengaruhi resolusi spasial citra yang dihasilkan. Seringkali resolusi spasial
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
89
citra diidentikkan dengan ukuran pixel, makin kecil ukuran pixel berarti makin tinggi resolusinya dan akan menghasilkan gambar yang lebih tajam. 3.2. Pemenuhan Kebutuhan Informasi Melalui Penginderaan Jauh Energi elektromagnetik sebagai media dalam Sistem Penginderaan Jauh akan dipantulkan oleh obyek permukaan bumi dan akan direkam oleh sensor sehingga nantinya akan dapat ditafsirkan menjadi data dan informasi beraspek spasial. Informasi penutup lahan dan vegetasi adalah informasi yang dapat langsung diperoleh dari Citra Penginderaan Jauh. Tingkat kedetilan dan kelengkapan informasi penutup lahan ini jika dikaitkan dengan tingkat skala peta, maka akan diperlukan tiga tingkat hirarki informasi. Tabel 8. dan Tabel 9. di bawah ini menunjukkan tiga orde atau tingkat kedetilan informasi yang dapat dipadankan dengan tiga tingkat skala peta seperti tersebut dalam Tabel 7.b. Tabel 8. Informasi penutup lahan tingkat tinjau dan tingkat semi detil. Penutup Lahan Tingkat Tinjau
Bervegetasi 1. Hutan primer 2. Hutan sekunder 3. Hutan tanaman 4. Vegetasi bukan hutan
Tak Bervegetasi 5. Lahan terbuka 6. Tubuh perairan 7. Lain-lain
Tipe Lahan
1. Lahan basah 2. Lahan basah (payau) 3. Lahan kering 4. Lahan transisi (ecotone)
Penutup Lahan Tingkat Semi Detil Hutan alam: - Potensi tinggi - Potensi rendah Hutan Tanaman: - Rincian spesies Vegetasi Bukan Hutan: - Semak - Belukar - Ladang/Lahan Pertanian - Perkebunan Areal Tak Bervegetasi: Lainlain - Permukiman/Kampung - Infrastruktur (Jalan/Kanal/Camp) - Tambang Gambut
Penutup lahan tingkat tinjau dapat diperoleh dari Citra Landsat atau Citra Envisat, sedangkan penutup lahan tingkat semi detil dapat diperoleh dari Citra SPOT 5 atau Citra Terra ASTER. Peta untuk studi kelayakan, delineasi makro dan AMDAL memuat informasi penutupan lahan tingkat tinjau, sedangkan informasi penutupan tingkat semi detil diperlukan untuk membuat Rencana Karya Usaha Sepuluh Tahunan dan Conservation Management Plan.
90
Eddi Nugroho
d a
d a
b
b c
Š LAPAN
Š SPOT Image
(i)
c (ii)
Gambar 2. (i) Citra Landsat resolusi 30 m dan (ii) Citra SPOT 5 resolusi 10 m
Tingkat kedetilan berbeda dapat jelas terlihat pada gambar di atas. Gambar 2.(i) adalah Citra Landsat 7 ETM+ yang direkam 3 bulan setelah Citra SPOT 5 daerah yang sama seperti terlihat pada Gambar 2.(ii). Tanda panah huruf (a) pada Citra SPOT 5 menunjukkan adanya jalan yang tidak terlihat pada Citra Landsat. Areal pada huruf (b) nampak tanaman baru yang pada Citra Landsat rekaman 3 bulan sesudahnya terlihat telah lebih berkembang tajuknya. Pada areal huruf (c), nampak bahwa areal tersebut sedang mengalami pembukaan, sedangkan pada huruf (d), terlihat areal hutan tanaman. Tabel 9. Informasi penutup lahan tingkat detil Penutup Lahan Tingkat Detil
1.
Hutan alam
2.
Hutan tanaman
3.
Infrastruktur:
- Biomass - Potensi tegakan - Umur tanaman - Luas area tertanam netto - Potensi tegakan - Spesifikasi infrastruktur - Progress pembangunan: Panjang jalan/kanal
Informasi penutup lahan tingkat ketiga yang paling detil seperti dalam Tabel 9. digunakan untuk perencanaan operasional seperti rencana pemanenan atau penanaman dalam suatu petak, perawatan infrastruktur dan sebagainya. Pada kenyataannya di lapangan, informasi seperti ini diperoleh dengan cara survei yang di antaranya memang sudah menjadi kewajiban pemegang konsesi, sehingga dalam hal ini Penginderaan Jauh lebih berperan untuk membuat stratifikasi atau sebagai alat konfirmasi saja.
91
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
a b Š Intermap Inc.
Š GeoEye
(i)
(ii)
(iii)
Gambar 3. (i) Citra IKONOS resolusi 1 m, (ii) Citra RADAR orthorectified resolusi 1.25 m dan (iii) Potret udara format kecil
Pada contoh Gambar 3. di atas, nampak citra dengan resolusi tinggi yang memberikan tingkat kedetilan yang tinggi. Citra IKONOS pada Gambar 3.(i) memberikan gambaran stratifikasi tajuk yang nampak jelas, sedangkan Citra RADAR pada Gambar 3.(ii) menunjukkan sempadan sungai yang dibiarkan tetap bervegetasi hutan alam dan sisi kanan maupun kiri sudah dibangun hutan tanaman. Pada Gambar 3.(iii) nampak jelas perbedaan stratifikasi tanaman Acacia mangium (a dan b) akibat tingkat umur yang berbeda. 3.3. Penerapan Penginderaan Jauh Konsep Multi Mengingat pengelolaan hutan tanaman memiliki rotasi panen dan penanaman yang sangat dinamis dan berjangka waktu yang panjang, maka pemantauan terhadap kegiatan operasional sangatlah penting dan dalam hal inilah teknologi Penginderaan Jauh berperanan besar. Berjenjangnya tingkat kedetilan informasi yang dapat disajikan oleh Citra Penginderaan Jauh, menyebabkan perlunya mengatur pola urutan waktu pemanfaatan citra multi resolusi. Memang untuk Citra Landsat sudah ada ketentuan dari pemerintah agar mengadakannya paling tidak dua tahun sekali. Untuk Citra Penginderaan Jauh lain yang sifatnya tidak wajib, tentu disesuaikan dengan kegiatan operasional di lapangan. Diagram di bawah ini menunjukkan pola urutan pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk pengelolaan hutan tanaman industri. Pada Gambar 4. di bawah, nampak adanya kombinasi citra secara multi temporal dan multi resolusi. Selain pengadaan Citra Landsat setiap dua tahun sekali yang memang sudah ada ketentuan dari pemerintah, jadwal pengadaan citra lainnya tentu tidak harus seketat pola urutan seperti dalam gambar di atas. Jika ada permasalahan yang membutuhkan penyelesaian segera seperti misalnya terjadi water logging atau ada klaim areal oleh masyarakat dan sebagainya tentu pengadaan citra resolusi tinggi dapat disesuaikan waktunya. Airborne imaging yang digunakan dapat berupa potret udara, potret udara format kecil, atau Citra RADAR atau bahkan kombinasi tergantung kebutuhan serta dana yang disiapkan.
92
Eddi Nugroho
Demikian pula, airborne imaging atau citra resolusi tinggi tidak harus mencakup seluruh areal, tetapi dapat saja areal-areal yang karena alasan tertentu mempunyai prioritas tinggi.
Gambar 4. Pola urutan waktu pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh multi resolusi.
Hasil penafsiran citra resolusi lebih tinggi yang menghasilkan informasi lebih detil pada tahap berikutnya akan digeneralisasi untuk diperbaharui dengan citra dengan resolusi lebih rendah, kemudian citra dengan resolusi rendah tersebut akan dimutakhirkan lagi menggunakan citra yang lebih tinggi resolusinya dengan cara mendetilkan informasi. Demikian siklus ini berlangsung terus dan tentunya sangat didukung oleh adanya basisdata relasional yang dapat menjaga konsistensi isi informasi. 4. ANALISIS CITRA UNTUK MENGEKSTRAKSI INFORMASI VEGETASI Informasi dari Citra Penginderaan Jauh dapat diperoleh dengan cara menginterpretasinya yaitu dengan mengidentifikasi obyek dan menganalisis keberadaan obyek tersebut baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Teknik interpretasi yang sudah umum dilakukan adalah dengan mengidentifikasi obyek berdasarkan pada unsur kunci interpretasi yaitu: rona/warna, tekstur, bayangan, bentuk, pola, ukuran, tinggi obyek, situs dan asosiasi obyek terhadap obyek lain (Lillesand dan Kiefer, 2000). Ketentuan pemanfaatan Citra Landsat yang ada pada beberapa peraturan yang diwajibkan oleh Kementerian Kehutanan adalah dengan melakukan interpretasi secara visual. Akan tetapi jika ada alternatif metode lain tentu tidak ada salahnya kalau diterapkan dalam mengekstraksi informasi yang diperlukan bagi pengelolaan hutan tanaman. 4.1. Kajian Spektral untuk Mengungkap Kondisi Vegetasi Dengan makin berkembangnya perekaman Citra Penginderaan Jauh secara digital, makin berkembang pula teknik pengolahan citra secara digital. Respon spektral atau pantulan balik media energi setelah berinteraksi dengan obyek di permukaan bumi diterima oleh sensor, dikodifikasi dan disimpan secara digital sehingga
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
93
membuka peluang penggunaan teknologi komputer untuk membantu pengolahannya. Pendekatan statistik dan operasi matematika dapat diimplementasikan terhadap data digital untuk mendukung penyadapan informasi. Berikut ini beberapa kajian terhadap nilai spektral yang berkaitan dengan penyadapan informasi vegetasi dari Citra Penginderaan Jauh. a. Penampilan citra sangat mendukung interpretasi baik secara visual maupun secara digital. Citra multispektral terdiri dari beberapa band yang masingmasing menggunakan spektrum tertentu, padahal untuk menampilkan citra di layar komputer hanya dibutuhkan tiga band spektral saja untuk membangun komposisi Red-Green-Blue (RGB). Kementerian Kehutanan membakukan tampilan Citra Landsat menggunakan band 5 pada layer Red, band 4 pada layer Green dan band 2 pada layer Blue atau dikenal dengan istilah komposit RGB band 542, sehingga menunjukkan warna natural. Namun sebetulnya, ada cara tersendiri untuk menilai kombinasi tiga band yang paling optimum memberikan informasi ketika ditampilkan yaitu dengan rumus yang dikembangkan oleh Chavez et al. (dalam Qaid dan Basavarajappa, 2008): â&#x2C6;&#x2018; â&#x2C6;&#x2018;
(1)
Keterangan: OIF : Optimum Index Factor StDi : Simpangan baku pada band spektral i Abs : Nilai Absolut rij : Koefisien korelasi band spektral i dan band spektral j Nilai tertinggi OIF menunjukkan kombinasi band dengan variasi warna yang paling banyak sehingga memberikan informasi yang beragam. Jika kombinasi band tersebut dipasang dengan urutan berbeda-beda pada layer RGB, maka jumlah variasi warna tidak akan berbeda meskipun tampilan warnanya berbeda. Perhitungan OIF Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra SPOT 5 yang mencakup areal bervegetasi khususnya hutan tanaman ditunjukkan pada Tabel 10. di bawah ini: Tabel 10. Hasil perhitungan OIF Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra SPOT 5 di areal berhutan.
Citra Landsat 7 ETM+ Kombinasi OIF Ranking Band 145 51,045 1 345 44,392 2 457 42,356 3 147 41,594 4 245 40,463 5
Citra SPOT 5 Kombinasi OIF Ranking Band 124 65,354 1 134 58,592 2 123 41,278 3 234 24,059 4
Keterangan: Citra SPOT 5 format DIMAP: band1=HI3, band2=HI2, band3=HI1, band4=HI4
94
Eddi Nugroho
Pada Tabel 10. di atas, nampak bahwa kombinasi band 145 pada Citra Landsat memiliki nilai OIF yang paling tinggi, disusul dengan kombinasi band 345, sedangkan pada Citra SPOT 5, kombinasi 124 memiliki nilai OIF paling tinggi.
(i)
(ii)
(iii)
Gambar 5. (i) Citra Landsat RGB 541, (ii) RGB 543 dan (iii) Citra SPOT 5 RGB 412
b. Interpretasi secara digital melibatkan pengkategorian nilai-nilai pixel untuk dipadankan dengan satu bentuk penutup lahan. Jika menggunakan citra multispektral, maka analisis statistik secara multivariat dapat dilakukan yaitu dengan memandang setiap band spektral sebagai suatu variabel. Untuk mengelola hutan tanaman industri, kebutuhan informasi yang utama ialah mengetahui umur tanaman dan spesies tanaman. Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan Citra Penginderaan Jauh dalam membedakan kategori penutup lahan adalah dengan uji separabilitas menggunakan formula indeks divergence D dan Transformed Divergence TD (Swain and Davis, 1978) : Dij = ½ tr (( Ci – Cj )( Ci-1 – Cj-1)) + ½ tr (( Ci-1 – Cj-1 )( μi – μj )( μi – μj)T)
(2)
TDij = 2 x (1 – exp( -Dij / 8))
(3)
Keterangan: i dan j = dua kelas penutup lahan yang dibandingkan Ci = matriks kovarians kelas i μi = vektor rerata kelas i tr = trace matriks yaitu penjumlahan diagonal utama T = tranposisi matriks exp = exponen bilangan natural Nilai Transformed Divergence TDij berkisar antara 0 sampai 2, dengan nilai 0 berarti kedua kelas penutup lahan tidak terpisah sama sekali dan nilai 2 berarti kedua kelas penutup lahan dapat dibedakan secara sempurna berdasarkan warnanya. Nilai TDij untuk tanaman Acacia crassicarpa yang berumur satu tahun hingga enam tahun pada empat band Citra SPOT 5 adalah sebagai berikut:
95
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Tabel 11. Hasil perhitungan TDij umur tanaman Acacia crassicarpa pada Citra SPOT 5
2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun
1 tahun 1,048372 1,234581 1,262882 1,271929 1,270920
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
1,606488 1,892219 0,520285 1,611638 0,711986 1,893177 1,885007 1,581844 0,965311 0,823878
Menurut Tabel 11. di atas, hampir semua kelas umur tanaman tidak terpisah sempurna jika dideteksi menggunakan Citra SPOT 5, artinya masih ada percampuran nilai spektral. Hanya tanaman umur 2 tahun dan umur 6 tahun serta umur 4 tahun dan 5 tahun yang dapat dibedakan cukup baik. Kesimpulannya, umur tanaman tidak dapat dideteksi secara memuaskan hanya dari warnanya saja, tapi juga harus dari unsur kunci interpretasi lain terutama tekstur dan bentuknya. Uji separabilitas terhadap nilai spektral Citra SPOT 5 untuk mendeteksi spesies tanaman yaitu Eucalytus spp., Acacia mangium dan Acacia crassicarpa menghasilkan nilai TDij yang lebih rendah lagi. Akan tetapi jika menggunakan Citra Satelit IKONOS yang mempunyai resolusi spasial lebih baik yaitu 4 meter serta resolusi radiometrik 11 bit, tanaman Eucalyptus spp. dapat dideteksi dengan baik, terpisah dari tanaman A. mangium dan A. crassicarpa. Akan tetapi jenis tanaman A. mangium dan A. crassicarpa ternyata masih belum juga dapat dibedakan. Masih harus dikaji lebih jauh bagaimana kumpulan tajuk tanaman Eucalyptus spp. memberikan nilai spektral yang berbeda dengan tanaman Acacia. Hasil perhitungan TDij selengkapnya tercantum dalam Tabel 12. dan Tabel 13. di bawah ini. Tabel 12. Hasil perhitungan TDij spesies tanaman pada Citra SPOT 5 A. mangium A. crassicarpa Hutan Alam Semak Belukar
Eucalyptus 0,310830 0,528890 0,9693781 1,576735
A. mangium
A. crassicarpa
Hutan Alam
0,657693 0,609888 1,926445
1,044744 1,877221
1,986601
Tabel 13. Hasil perhitungan TDij spesies tanaman pada Citra IKONOS A. mangium A. crassicarpa Hutan Alam Semak Belukar
Eucalyptus 1,999999 1,999999 1,999999 2,000000
A. mangium
A. crassicarpa
Hutan Alam
0,8190602 1,408939 1,866752
1,718923 1,817654
1,967929
96
Eddi Nugroho
(i)
(ii)
Gambar 6. (i) Citra IKONOS dan (ii) Hasil klasifikasinya pada areal hutan tanaman
c. Salah satu pendekatan kuantitatif untuk memperoleh informasi keberadaan, kuantitas dan fenomena vegetasi adalah dengan menggunakan Indeks Vegetasi. Formula Indeks Vegetasi melibatkan band yang menggunakan spektrum infra merah dekat (NIR dengan panjang gelombang/λ = 0,7 – 1,2 μm ) dan spektrum merah (R dengan λ = 0,6 – 0,7 μm). Formula ini pertama kali dikembangkan oleh Rouse, Haas, Schell dan Deering pada tahun 1970an karena adanya kenyataan bahwa spektrum merah diserap dengan kuat oleh klorofil a dan b pada dedaunan hijau, dengan maksimum penyerapan pada panjang gelombang 0,69 μm, sedangkan dinding sel daun memantulkan spektrum infra merah dekat secara kuat pada panjang gelombang 0,85 μm (Glenn, E.P., et al. 2008). Rumusan yang paling umum dari Indeks Vegetasi ialah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index): NDVI = (ρNIR – ρR) / (ρNIR + ρR)
(4)
ρNIR : nilai pantulan pada spektrum infra merah dekat ρR : nilai pantulan pada spektrum merah Formula turunan Indeks Vegetasi sudah cukup banyak dikembangkan, tetapi intinya ialah berkaitan dengan kegiatan fotosintesis pada skala kanopi atau ekosistem yaitu fenologi, produktivitas primer dan net carbon fixation, dan Indeks Vegetasi ini merepresentasikan sifat gabungan dari fraksi penutup vegetasi dan LAI (leaf area index/indeks penutupan tajuk) (Glenn, E.P., et al. 2008) serta digunakan untuk pemetaan kandungan biomass atas permukaan (AGB: Above Ground Biomass) (Murdiyarso, D., et al. 2004). Dalam tataran praktis pada pengelolaan hutan tanaman industri, misalnya untuk menduga produktivitas kayu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari
97
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
korelasi antara NDVI dengan atribut tajuk vegetasi yang dideteksi, kemudian mencari konversi antara atribut tersebut dengan volume atau tonase kayu. Untuk masing-masing jenis tanaman komersial pun akan mempunyai nilai korelasi yang berbeda-beda sebagai contoh struktur tajuk pohon Eucalyptus sangat berbeda dengan pohon Acacia. Akan tetapi jika hanya menggunakan Citra Landsat ETM+, obyek hutan dan tanaman industri seperti karet, Acacia dan kelapa sawit mempunyai rentang nilai yang tumpang tindih sehingga keempat liputan vegetasi tersebut sulit dibedakan secara langsung (Molidena, E. dan A.R. Asy-syakur, 2012). d. Jika untuk menduga produktivitas hutan tanaman masih memerlukan penelitian lebih lanjut, maka Indeks Vegetasi sudah banyak digunakan untuk menaikkan nilai separabilitas pada klasifikasi digital, yaitu dengan menambahkan Indeks Vegetasi sebagai sebuah band artificial pada Citra Satelit. Hal praktis lain yang sudah banyak dilakukan dengan menggunakan Indeks Vegetasi ialah untuk memantau dan mendeteksi perubahan penutup vegetasi. Citra Satelit yang meliput areal yang sama secara periodik dikalibrasi terlebih dahulu sebelum dihitung nilai NDVI-nya kemudian nilainilai tersebut dibandingkan dengan cara menghitung rasio atau selisih antara kedua nilai NDVI, maka akan didapatkan satu data digital yang berisi perubahan liputan vegetasi yang dengan mudah dapat dipetakan. Nilai rasio pada sekitar 1 berarti tak ada perubahan penutup vegetasi, perubahan liputan terjadi pada kaki-kaki histogram. Secara teoritis, histogram data rasio Indeks Vegetasi adalah seperti dalam Gambar 7. di bawah ini:
Frekuensi
clearing
reforestasi
0
1
Rasio NDVI
threshold (i)
98
Eddi Nugroho
reforestasi
clearing (ii)
(iii)
(iv)
Gambar 7. (i) Histogram rasio NDVI (ii), Citra Landsat 7 ETM+ rekaman tahun 2007, (iii) rekaman tahun 2009 dan (iv) Rasio NDVI setelah diiris pada nilai tertentu.
4.2. Simulasi Data Elevasi dari Interferometri RADAR/LIDAR Salah satu trend baru di pasaran data Penginderaan Jauh adalah data DSM (Digital Surface Model) atau DEM (Digital Elevation Model) dari hasil pengukuran interferometri RADAR atau LIDAR. Resolusi vertikal yang ditawarkan pun sudah cukup tinggi, mencapai ketelitian decimeter. Pada data DSM, nilai pixel merepresentasikan ketinggian permukaan (surface), termasuk bangunan dan vegetasi, sedangkan pada DEM, data ketinggian sudah dikoreksi menjadi ketinggian tanah, sehingga pada areal berhutan, nilai pixel DSM dikurangi nilai pixel DEM menghasilkan nilai ketinggian pohon. Simulasi tegakan hutan secara rinci dapat dibuat dari data hasil pengukuran interferometri ini. Pengembangan penerapan DSM/DEM untuk berbagai bidang aplikasi memang sangat menjanjikan, meskipun demikian data DSM/DEM dengan resolusi vertikal antara 3 â&#x20AC;&#x201C; 10 meter pun memiliki nilai guna yang sangat tinggi dalam pengelolaan hutan tanaman. Pembuatan Peta Kelas Lereng skala 1:10.000 serta perencanaan infrastruktur jalan sudah dapat dilakukan dengan menganalisis data DSM/DEM dengan resolusi vertikal seperti tersebut di atas. Akan tetapi, pembuatan zonasi untuk pengaturan tata air pada sistem kanal dan beberapa hal teknis ketelitian tinggi tetap membutuhkan data DEM dengan ketelitian decimeter. 4.3. Teknik Interpretasi Citra Multi Resolusi dan Multi Temporal Mengingat masih adanya keterbatasan metode interpretasi secara digital, maka bagaimanapun juga kombinasi dengan metode visual tetap menjadi pilihan yang terbaik. Hasil analisis separabilitas beberapa informasi penting seperti umur tanaman dan spesies tanaman tidak dapat diperoleh hanya dari nilai spektralnya saja, padahal secara visual terlihat ada unsur interpretasi lain yang dapat digunakan seperti tekstur yang berbeda dan adanya bayangan di sela-sela tajuk pohon yang dapat menjadi indikasi bagi pembedaannya. Hasil pengolahan secara digital seperti Indeks Vegetasi dan klasifikasi nilai spektral dapat dikonversi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
99
menjadi data vektor untuk diedit lagi nantinya, atau dapat juga Indeks Vegetasi dan hasil klasifikasi digital ditampilkan di layar komputer sebagai latar belakang (backdrop) mendukung interpretasi secara visual/manual. Agar interpretasi citra selalu konsisten walaupun pada resolusi yang berbeda dan dari waktu ke waktu, maka perlu didesain basisdata yang sifatnya hirarkikal. Artinya, ketika mendapatkan informasi yang lebih detil dari citra dengan resolusi lebih tinggi, maka informasi ini merupakan perincian dari hasil interpretasi citra sebelumnya yang lebih kasar. Sebaliknya, ketika mendapatkan informasi yang kurang detil dari citra dengan resolusi yang lebih kasar, maka informasi ini akan merupakan generalisasi. Untuk ini ada beberapa asumsi yang harus dipatuhi seperti misalnya citra yang lebih baru akan mengubah isi informasi yang sudah ada sebelumnya tanpa mempertimbangkan resolusinya. Pada informasi yang berubah drastis inilah akan dilaksanakan pekerjaan lapangan berupa observasi secara sampling. 5. PENUTUP Setelah menginventarisasi kebutuhan data spasial bagi pengelolaan hutan tanaman dan mengetahui kemampuan Citra Penginderaan Jauh untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka perlu disiapkan pembakuan dan praktek (standards and practices) untuk mendukung pelaksanaannya. Di samping itu, data yang dihasilkan harus dapat menjadi acuan bagi pekerjaan dalam skala operasional. Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti sehubungan dengan penerapan teknologi Penginderaan Jauh dalam pengelolaan hutan tanaman industri ialah: a. Implementasi Sistem Informasi Geografis (GIS): agar data yang diperoleh dari berbagai sumber, baik dari aplikasi teknologi Penginderaan Jauh maupun survei lapangan dapat diintegrasikan. Basisdata spasial yang dibangun disimpan dalam suatu media tetap yang tunggal sehingga selalu konsisten. Dalam skala korporasi, perlu dibangun suatu jaringan penampilan, pemasukan (input) dan transaksional data spasial, salah satu yang paling populer ialah dengan menerapkan GIS berbasiskan Web. Data atribut disimpan dalam suatu RDBMS dan dapat digunakan oleh sistem Enterprise Resource Planning (ERP) yang digunakan. b. Pola penerapan konsep multi: seiring dengan bergulirnya rotasi hutan tanaman industri, secara periodik diupayakan pengadaan Citra Penginderaan Jauh secara multi resolusi (lihat Gambar 4. di atas). Waktu pengadaan citra dengan suatu resolusi spasial tertentu boleh tidak terlalu ketat, kecuali Citra Landsat yang sudah ditentukan oleh pemerintah dan suatu saat nanti harus dicari alternatif penggantinya jika program Landsat tidak diteruskan oleh NASA/USGS. Masih banyak kesempatan pengembangan aplikasi Penginderaan Jauh bagi pengelolaan hutan tanaman industri, terutama karena perkembangan teknologi baru seperti misalnya scanner hiperspektral yang portabel,
100
Eddi Nugroho
teknologi RADAR dan LIDAR yang terus berkembang dan sebagainya. Sementara teknologi lama yang sangat efektif dan terbukti berguna seperti potret udara format kecil berbiaya murah tidak banyak diulas dalam tulisan ini karena keterbatasan penerapan oleh penulis. Kemungkinan pengembangan lainnya ialah aplikasi pendugaan potensi hutan berdasarkan biomass yang sebenarnya sudah banyak diteliti, serta standarisasi penghitungan Indeks Luas Daun dari Citra Penginderaan Jauh yang nantinya akan banyak digunakan dalam perdagangan karbon sebagai produk samping pengelolaan hutan. DAFTAR REFERENSI Akingbogun, A., O Kosoko, and D.K. Aborisade. 2012. “Remote Sensing and GIS Application for Forest Reserve Degradation Prediction and Monitoring”. FIG Young Surveyors Conference: “ Knowing to Create the Future”. Rome, Italy, 4-5 May 2012. Arief, Arifin. 2001. “Hutan dan Kehutanan”. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius. Bruzzone, L., Fabio Roli, and Sebastiano B. Serpico. 1995. “An Extension of JeffreysMatusita Distance to Multiclass Cases for Feature Selection”. IEEE Transaction on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 33 No. 6: 1316 - 1321. Davis, L.S., and K.N. Johnson. 1987. “Forest Management Third Edition”. New York, USA: McGraw-Hill Book Company. Glenn, E.P., A.R. Huete, P.L. Nagler, S.G. Nelson. 2008. “Relationship between Remotely-sensed Vegetation Indices, Canopy Attribute and Plant Physiological Processes: What Vegetation Indices Can and Cannot Tell Us about the Landscape.” www.mdpi.org/sensors Hussin, Y.A. and W. Bijker. 2000. “Inventory of Remote Sensing Application in Forestry for Sustainable Management”. Amsterdam: International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing. Vol XXXIII Part B.7 Keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK 04/VII-PW/2005 tentang: “Prosedur Pemeriksaan Peta Hasil Penafsiran Citra Landsat Kawasan Hutan yang Akan Dilepaskan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan”. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Badan Planologi Kehutanan. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95 Tanggal 6 Februari 1995 tentang: “Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri”. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 2000. “Remote Sensing and Image Interpretation”. New York, USA: John Wiley & Sons, Inc. Molidena, E. dan A.R. Asy-syakur. 2012. “Karakteristik Pola Spektral Vegetasi Hutan dan Tanaman Industri Berdasarkan Data Penginderaan Jauh”. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIX “Geospasial dalam Pembangunan Ruang yang Berkualitas”. Makasar, 7 Juni 2012 Murdiyarso, D., U. Rosalina, K. Hairiah, L. Muslihat, I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya. 2004. “Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut”. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor. Indonesia: Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.9/VI/BPHA/2009 Tanggal 21 Agustus 2009 tentang: “Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
101
dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi”. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2008 Tanggal 6 Februari 2008 tentang: “Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman”. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Pouliot, D.A., D.J. King, and D.G. Pitt. 2006. “Automated Assessment of Hardwood and Shrub Competition in Regenerating Forest using Leaf-Off Airborne Imagery”. Remote Sensing of Environment 102 (2006): 223 – 236 Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan. 2009. “Statistik Kehutanan Indonesia 2008”. Jakarta: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Sunarto, K, and Wasrin, U. R. 1992. “Vegetation Mapping of Baturaja and Its Surroundings Using SPOT Imagery”. Yogyakarta, Indonesia: The International Conference on Geography in the Asean Region, 2nd prosiding, Yogyakarta, 31 Ags – 3 Sep 1992. Susilo, B. 2004. Perbandingan antara Integrasi Penginderaan Jauh Fotografis dan Sistem Informasi Geografis dengan Pemetaan Pemetaan Bonita untuk Pemetaan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jati. Studi Kasus di Bagian Hutan Karangsono KPH Telawa Jawa Tengah dalam: Danoedoro, P. (ed). “Sains Informasi Geografis: dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial”. Yogyakarta, Indonesia: Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM. Swain, P.H., and S.M. Davis. 1978. “Remote Sensing: The Quantitative Approach”. New York, USA: McGraw-Hill Book Company. Nunes, A., and M. Caetano. 2006. “Forest Monitoring with Remote Sensing: a Web Applicator for the Common User”. Nevada, USA: ASPRS 2006 Annual Conference. Qaid, A.M. and H.T. Basavarajappa. 2008. “Application of Optimum Index Factor Technique to Landsat-7 Data for Geological Mapping of North East of Hajjah, Yemen”. American-Eurasian Journal of Scientific Research 3 (1): 84-91
102
Eddi Nugroho
BIOGRAFI PENULIS: Eddi Nugroho Eddi Nugroho lahir di Purwokerto pada tanggal 10 Juni 1962, menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Geografi Jurusan Geografi Teknik Program Studi Penginderaan Jauh, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1988. Dari tahun 1989 hingga tahun 1999 bekerja sebagai analis citra penginderaan jauh di PT. Kayu Lapis Indonesia, lalu selama 1 tahun bekerja di PT. Smart Tbk.. Selanjutnya bekerja sebagai konsultan yang menangani berbagai aplikasi geomatika seperti inventarisasi sumberdaya alam dan penataan ruang di PT. Waindo SpecTerra sampai tahun 2006. Setelah itu hingga sekarang bekerja di sektor kehutanan yang menangani hutan tanaman untuk industri bubur kertas di Sinarmas Forestry. Pengalaman mengajar dan memberikan training di bidang pengolahan citra penginderaan jauh dan aplikasinya diperoleh sewaktu bekerja di BTIC (Biotrop Training and Information Centre) dan menjadi asisten praktikum pada Program Master of Science in Information Technology Institut Pertanian Bogor di Bogor dari tahun 2000 hingga 2006.
Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah Potensi Air Permukaan Berbasis Data Spasial
Ika Puspita Sari, Boedi Tjahjono, Komarsa Gandasasmita, Bambang H. Trisasongko
103
104
Ika Puspita Sari, dkk.
Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah Potensi Air Permukaan Berbasis Data Spasial
Ika Puspita Sari, Boedi Tjahjono, Komarsa Gandasasmita, Bambang H. Trisasongko Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Jalan Meranti, Bogor 16680. Email: ikapuspitasari18@gmail.com
Abstrak Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh kelemahan dalam pengelolaan air. Kajian tentang air dan pemanfaatannya sangat terkait dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Faktor topografi mempunyai peranan penting dalam menentukan pola spasial terhadap areal-areal jenuh air. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan adalah Topographic Wetness Index (TWI). Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimadur merupakan salah satu DAS utama di Kabupaten Lebak, Banten yang turut berkontribusi dalam kejadiankejadian banjir. Kajian mengenai TWI di DAS Cimadur menjadi cukup penting karena dapat menunjukkan sebaran titik-titik dugaan konsentrasi air yang dapat digunakan untuk menentukan daerah-daerah yang berpotensi tergenang atau daerah-daerah yang berpotensi untuk menyimpan air di DAS tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis bentuk lahan, penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM), (2) Melakukan analisis Topographic Wetness Index (TWI) untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan, dan (3) Melakukan analisis ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit analisis untuk penentuan daerah yang potensial menyimpan air. Hasil analisis ekologi bentanglahan menunjukkan bahwa DAS Cimadur didominasi oleh bentuklahan pegunungan denudasional vulkanik Tersier (DV1 dan DV2) seluas 10.046 Ha, penggunaan lahan kebun campuran seluas 8.952 Ha, kemiringan lereng 15-30% (curam) seluas 8.534 Ha, dan kelas TWI sedang (= kelas 2) seluas 20.987 Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi daerah penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah penelitian cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk diloloskan namun pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk mengalami kekeringan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
105
Kata kunci: Banten, Bentuklahan, Cimadur, Daerah Aliran Sungai, Ekologi Bentanglahan, Topographic Wetness Index. Abstract Indonesia was predicted would have water crisis in 2025 in the World Water Forum II in the Hague in March 2000. Most of the cause has been by the weaknesses in water management. Study of water and its high demand has been associated with shapes and physical characteristics of an area. Topographic factors play an important role in determining spatial pattern water resources. In this research, Topographic Wetness Index (TWI) is implemented to determine spatial pattern of surface water saturation zone. Cimadur watershed was selected as one of main watersheds in Lebak, Banten which has been contributing on flood hazard. Study on TWI in Cimadur watershed has became important because it could show distribution points containing concentration of water and therefore useful for determining potential inundation as well as areas potentially storing water in the watershed. This research aims to: (1) Identify types of landform, land use, and slopes using remote sensing data (Google Earth imagery, ALOS AVNIR-2 imagery, and SRTM imagery), (2) Conduct analysis of TWI to obtain the distribution of spatial pattern of surface water saturation zones, and (3) Conduct an analysis of the landscape ecology (landform, land use, slope, and grade TWI) using landform as unit of analysis for determination of potential water storage. Landscape ecological analysis shows that Cimadur watershed is dominated by Tertiary denudational volcanic landforms (DV1 and DV2), which covers 10.046 Ha, mixed-use garden covers 8.952 Ha, the slope of 15-30% (steep) covers 8.534 Ha, and middle TWI class (= grade 2) covers 20.987 Ha. It shows that ecological conditions in test site are still at safe water saving, however, the area is fairly vulnerable to climate change or land cover/land use change. These are due to dynamics of water flow in the area during rainy and dry seasons. Keywords: Banten, Cimadur, Landform, Landscape Ecology, Topographic Wetness Index, Watershed.
1.
PENDAHULUAN
Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dan mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia di muka bumi. Tingkat pemanfaatan sumberdaya air dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya. Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh kelemahan dalam pengelolaan air (Sosiawan dan Subagyono, 2007). Pemanfaatan air secara nasional telah mencapai sekitar 80 miliar m3/tahun,
106
Ika Puspita Sari, dkk.
dimana pemanfaatan tertinggi berada di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 60% (Suara Pembaruan, 2006). Tingkat pemanfaatan air yang tinggi ini tidak diimbangi dengan pengelolaan air yang baik, sehingga menyebabkan meningkatnya potensi kekurangan air, terutama air bersih. Hal ini diperburuk dengan pencemaran air permukaan oleh kegiatan industri dan pertanian di berbagai wilayah. Kajian tentang air dan pemanfaatannya sesungguhnya sangat terkait dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Menurut Grabs et al. (2009), topografi berperan penting dalam menentukan pola spasial area jenuh air. Pola ini dapat menjadi kunci untuk memahami proses-proses hidrologi yang terjadi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun demikian, kajian proses hidrologi yang terkait dengan topografi masih belum banyak dilakukan. Data turunan yang umum digunakan untuk memahami proses hidrologi yang terkait dengan topografi adalah kemiringan dan aspek lereng. Topographic Wetness Index (TWI) merupakan salah satu data turunan yang dihasilkan dari data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi akumulasi aliran dan kelerengan. Dengan demikian TWI bermanfaat untuk menilai kondisi kebasahan suatu lahan di dalam suatu DAS dengan asumsi bahwa tinggi muka air tanah mengikuti gradien permukaannya. Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang banyak mengalami bencana banjir di antara kabupaten-kabupaten lain, seperti Pandeglang, Serang, Cilegon, dan Tangerang. DAS Cimadur merupakan salah satu DAS utama di Kabupaten Lebak yang turut berkontribusi terhadap kejadiankejadian banjir. DAS merupakan suatu sistem hidrologis, sehingga kejadiankejadian banjir atau permasalahan hidrologis lainnya dapat ditelaah melalui analisis bentanglahan dan kondisi ekologis yang terjadi secara aktual di dalam DAS. Dalam kaitannya dengan analisis ekologi bentanglahan (landscape ecology), telaah TWI dapat dimanfaatkan untuk identifikasi terhadap titik-titik dugaan konsentrasi air yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah yang berpotensi tergenang atau berpotensi untuk menyimpan air di dalam DAS tersebut. Berkaitan dengan itu, maka metode TWI diharapkan dapat memberikan hasil untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan di DAS Cimadur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis bentuklahan, penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM), menganalisis TWI untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan, serta menganalisis ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit analisis untuk penentuan daerah yang potensial menyimpan air.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
2.
107
METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian dan Data DAS Cimadur, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian. DAS tersebut mengalir dari kompleks Gunung Salak-Halimun ke Samudera Hindia. DAS tersebut memiliki potensi banjir bandang yang cukup besar, namun sangat jarang diteliti oleh masyarakat ilmiah. Data yang digunakan adalah data spasial berupa kontur dan jaringan sungai yang diperoleh dari peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) digital skala 1:25.000, peta geologi digital skala 1:100.000, citra Google Earth tahun 2011, citra ALOS AVNIR-2 tahun 2009, dan citra SRTM tahun 2000. Adapun peralatan yang digunakan adalah GPS, kamera digital, seperangkat komputer dengan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG). 2.2 Analisis Data Pendahuluan Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan data, baik yang berasal dari penelitian sebelumnya maupun data penunjang untuk memahami metode yang telah berkembang berkaitan dengan penelitian ini. 2.2.1 Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur Peta batas DAS Cimadur dibuat dengan mempertimbangkan garis-garis kontur dan sungai utama serta anak-anak sungainya yang mengalir pada wilayah DAS Cimadur. Melalui pola-pola garis kontur, diperhatikan batas-batas topografi yang terdapat di sekitar sungai utama tersebut. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan definisi DAS yang merupakan suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau (Asdak, 2010). Peta batas dari tiap sub-DAS yang ada di dalam DAS Cimadur juga dibuat dengan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap order sungai yang mengalir di DAS tersebut, yaitu dimulai dari order 3, 4, dan seterusnya hingga order terbesar untuk Sungai Cimadur. Klasifikasi order sungai yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi Strahler. Selanjutnya, peta batas sub-DAS yang dihasilkan digunakan untuk analisis hubungan antara order sungai dan kelas TWI. 2.2.2 Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur Peta penggunaan lahan dibuat dengan melakukan interpretasi visual dan digitasi terhadap citra Google Earth, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 berfungsi sebagai citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan. Hasil klasifikasi yang dilakukan dari digitasi citra tersebut kemudian dicek di lapang agar memberikan ketepatan antara kenampakan yang ada pada citra dan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
108
Ika Puspita Sari, dkk.
2.2.3 Pembuatan Peta Bentuklahan DAS Cimadur Peta bentuklahan (landform) DAS Cimadur dibuat melalui interpretasi secara visual pada citra (SRTM) dimana perangkat lunak SIG digunakan untuk menampilkan citra secara 3 dimensi, sehingga morfologi permukaan bumi dapat terlihat dengan jelas agar interpretasi bentuklahan bisa lebih mudah. Sebelum memulai identifikasi bentuklahan, hal yang harus diperhatikan adalah melihat keadaan di sekitar wilayah penelitian, baik dari aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, maupun litologinya. Kondisi morfologi wilayah penelitian yang tampak pada citra, kemudian didelineasi sesuai dengan bentuk morfologi termasuk kerapatan kontur, serta kondisi geologi yang menyusun wilayah penelitian. Klasifikasi umum bentuklahan ditentukan berdasarkan kriteria geomorfologi yang dikemukakan oleh van Zuidam (1985). 2.2.4 Pembuatan Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur Peta kemiringan lereng DAS Cimadur dibuat berdasarkan peta kontur digital RBI skala 1:25.000 yang dikonversi ke TIN (Triangulated Irregular Network). TIN adalah struktur data vektor tiga dimensi yang mempresentasikan permukaan bumi dengan membangun jejaring segitiga. Selanjutnya, data TIN dikonversi ke data raster. Data yang dihasilkan dari proses ini adalah data elevasi digital dalam format raster yang berisi sel-sel dengan ukuran tertentu dimana setiap nilai sel menunjukkan angka ketinggian. Setelah itu, dilakukan konversi dari data ketinggian menjadi data kemiringan lereng yang ada pada menu 3D Analyst. Data yang dihasilkan dari proses ini adalah data dalam format raster yang belum diklasifikasi. Peta kemiringan lereng biasanya dinyatakan dalam interval kelas, sehingga langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi kelas lereng. 2.3 Tahap Pengecekan Lapang Tahap pengecekan lapang dilakukan 2 kali, yakni di bulan Februari dan Juli tahun 2011. Pada tahap ini dilakukan pengambilan beberapa lokasi piksel/titik (x,y) untuk menentukan daerah kajian penelitian dengan menggunakan perangkat GPS. Pengamatan lapang difokuskan pada observasi terhadap jenis-jenis bentuklahan dan obyek-obyek di atasnya, yakni penggunaan lahan dan lereng. 2.4 Analisis Data Lanjutan 2.4.1 Analisis Topographic Wetness Index (TWI) DAS Cimadur Analisis TWI dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 dengan tools tambahan Terrain Analysis. Data dasar untuk analisis TWI adalah Peta kontur digital RBI skala 1:25.000. Peta ini kemudian dipotong dengan peta batas DAS Cimadur dan diubah menjadi titik-titik ketinggian untuk selanjutnya dilakukan interpolasi. Interpolasi merupakan proses estimasi nilai pada wilayah yang tidak diukur, sehingga dapat dihasilkan sebaran nilai pada seluruh wilayah. Dalam penelitian ini digunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW). Metode IDW merupakan metode deterministik yang sederhana dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya. Asumsi dari metode ini adalah bahwa
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
109
nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linier sesuai dengan jaraknya terhadap data sampel. Dalam proses ini data yang dihasilkan merupakan data baru dalam bentuk grid (raster), sehingga data ini dapat digunakan untuk analisis TWI. Data dalam bentuk grid ini menghasilkan 9 data TWI yang bersifat kontinu (continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas TWI rendah (= kelas 1) dengan selang kelas nilai <5, kelas TWI sedang (= kelas 2) dengan selang kelas nilai 5-10, dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dengan selang kelas nilai >10. Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa referensi awal mengingat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan. Pengkelasan ini digunakan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan konsentrasi air. Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan delineasi masing-masing kelas TWI yang sudah diklasifikasi agar keluaran akhir yang dihasilkan berbentuk data vektor. 2.4.2 Analisis Ekologi Bentanglahan DAS Cimadur Analisis ekologi bentanglahan dimulai dengan melihat hubungan antara komponen-komponen bentanglahan, seperti penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuklahan sebagai unit analisisnya untuk menentukan daerah yang berpotensi menyimpan air. Analisis dilakukan dengan metode tumpangtindih (overlay) dengan perangkat lunak SIG.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Geomorfologi Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses geomorfologis endogen dan eksogen seperti proses-proses tektonik, vulkanisme, dan denudasional mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Hal ini dapat merujuk pada jenis batuan yang menyusun daerah penelitian dan kenampakan morfologi yang ada secara aktual. Dalam analisis morfologi terdapat dua aspek, yakni aspek morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif dari suatu bentuklahan yang ada di permukaan bumi, sedangkan morfometri merupakan aspek kuantitatif dari suatu bentuklahan, seperti kemiringan lereng. Morfografi daerah penelitian terdiri atas dataran, perbukitan, pegunungan, tebing, dan lembah sungai seperti tersaji pada citra SRTM (Gambar 1.a), sedangkan gambaran morfometrinya disajikan dalam bentuk peta kemiringan lereng (Gambar 1.b).
110
Ika Puspita Sari, dkk.
(a)
(b) Gambar 1. Citra SRTM (resolusi 90 m) (a), Peta Kemiringan Lereng (b) di DAS Cimadur
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
111
Secara spasial (Gambar 1.a) morfologi dataran di daerah penelitian lebih banyak tersebar di bagian Utara daripada di Selatan DAS, hal ini sangat menarik karena terletak di daerah hulu yang seharusnya lebih banyak mempunyai lereng yang curam. Jika dilihat lebih detail morfologinya, pada daerah ini dijumpai suatu cekungan dengan bentuk melingkar, berdiameter 8000 meter dan dibatasi oleh tebing, tersusun oleh endapan abu dan batuapung. Seperti diketahui bahwa endapan abu-batu apung (ignimbrite) merupakan hasil letusan vulkanik tipe Plinian atau letusan besar yang seringkali menghasilkan kaldera seperti kaldera Bromo-Tengger, kaldera Tambora, kaldera Sunda-Tangkuban Perahu dan sebagainya. Kaldera adalah kawah besar berdiameter lebih dari 2000 meter sebagai hasil proses runtuhan tubuh puncak gunungapi akibat kekosongan dapur magma, sehingga secara morfologis kaldera dibatasi oleh dinding yang terjal berbentuk melingkar. Berdasarkan karakteristik kaldera ini, maka dapat diduga bahwa bentuklahan tebing berbentuk hampir melingkar atau berbentuk huruf â&#x20AC;&#x153;Uâ&#x20AC;? ini dapat diinterpretasikan sebagai tebing kaldera dari hasil letusan gunungapi pada zaman Tersier. Hipotesis ini diperkuat oleh adanya endapan abu-batuapung di sekitarnya atau di tengah kaldera yang membentuk morfologi dataran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompleks pegunungan di wilayah ini dahulunya merupakan suatu kompleks gunungapi meskipun pada saat sekarang morfologi vulkanik seperti bentuk-bentuk kerucut sudah tidak ditemui lagi akibat adanya proses eksogenik denudasional yang telah berjalan sejak jaman Tersier dan juga terhentinya aktivitas vulkanik di wilayah ini. Berdasarkan uraian di atas, maka morfologi perbukitan yang terletak di bagian tengah DAS diperkirakan merupakan bagian lereng bawah dari kompleks gunungapi dimaksud, sedangkan perbukitan struktural berbatuan sedimen merupakan batuan dasar (basement rock) dari tubuh-tubuh gunungapi yang tumbuh di atasnya pada zaman Tersier tersebut. Untuk morfologi dataran di bagian Selatan luasannya relatif sangat kecil berupa bentuklahan hasil proses fluvial (deposisi) dan merupakan bentuklahan termuda yang terbentuk pada zaman Kuarter dibandingkan umur morfologi-morfologi lain yang telah disebutkan sebelumnya. Berdasarkan Gambar 1.b di atas, terlihat bahwa kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8% (landai) tersebar di bagian Utara dan sedikit di bagian Selatan DAS, kemiringan lereng 8-15% (agak curam) tersebar juga sedikit di bagian Utara dan Selatan DAS, sedangkan kemiringan lereng 15-30% (curam) tersebar hampir di seluruh wilayah DAS, dan kemiringan lereng >30% (sangat curam) tersebar di bagian tengah dan sedikit di bagian Utara DAS. Melihat persebaran kelas lereng ini dan luasannya (Tabel 1) memastikan bahwa daerah penelitian terletak di daerah atas (upland areas) yang berupa perbukitan dan pegunungan, sehingga cukup wajar jika proses denudasi menjadi lebih dominan. Oleh karena itu dari sisi morfogenesis, nama-nama bentuklahan sebagian besar akan berupa bentuklahan denudasional vulkanik dan sebagian yang lain berupa denudasional struktural dan fluvial.
112
Ika Puspita Sari, dkk. Tabel 1. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur No
Kemiringan Lereng
Keterangan
Luas Area Ha
%
1
0-3%
Datar
1822
8,67
2
3-8%
Landai
3359
15,98
3
8-15%
Agak curam
2640
12,56
4
15-30%
Curam
8534
40,59
5
>30%
Sangat curam
4667
22,20
21022
100
Luas Total
Bentuklahan asal proses denudasional vulkanik tersebar dari bagian tengah ke hulu daerah penelitian, sedangkan bentuklahan asal proses denudasional struktural tersebar di bagian Selatan daerah penelitian, seperti perbukitan lipatan yang telah mengalami erosi lanjut, hal ini dicirikan dengan batuan-batuan yang menyusun bentuklahan tersebut, yang terdiri dari batupasir, konglomerat, batukapur, dan batulempung (Formasi Cimanceuri). Batupasir dan konglomerat umumnya lebih resisten terhadap erosi sehingga menghasilkan bentuklahan igirigir perbukitan, sedangkan batukapur sebagian berbentuk igir-igir atau bukit namun sebagian yang lain terlarut membentuk lembah/cekungan. Sedangkan batulempung karena lebih lunak maka cenderung membentuk morfologi lembahlembah. Bentuklahan asal proses fluvial terdapat di bagian Selatan daerah penelitian, memiliki relief datar dengan batuan penyusun utama Aluvium, dan menempati elevasi terendah (0-300 m dpl) sebagai wilayah yang lebih didominasi oleh proses-proses deposisi. Morfokronologi daerah penelitian di bagian Utara tersusun oleh batuan vulkanik yang terbentuk pada zaman Tersier: Miosen-Pliosen, di bagian tengah disusun oleh batuan vulkanik dan sedimen Tersier lebih tua: Eosen-Miosen, sedangkan di bagian selatan mempunyai batuan penyusun Kuarter: Holosen sebagai hasil proses pengendapan sungai. Dengan demikian, berdasarkan morfokronologinya dapat disimpulkan bahwa secara umum morfokronologi bentuklahan di daerah penelitian mempunyai umur lebih muda ke arah Utara. Jenis batuan induk di daerah penelitian menurut Peta Geologi digital (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung) skala 1:100.000 terdiri dari 11 Formasi, yakni: Formasi Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv), Anggota Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj), Formasi Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping (Tmtl), Anggota Konglomerat (Teb), dan Aluvial (Qa).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
113
3.2 Identifikasi Bentuklahan Berdasarkan hasil analisis geomorfologi yang telah dikemukakan di atas dan hasil interpretasi citra, maka bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 8 macam, yakni: Lembah Sungai (F), Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik Tersier tua (DV2), Perbukitan denudasional vulkanik Tersier tua (DV3), Tebing denudasional vulkanik Tersier muda (DV4), Dataran vulkanik bermaterial tufa Tersier muda (DV5), Perbukitan denudasional struktural Tersier muda (DS1), dan Perbukitan denudasional struktural Tersier tua (DS2) seperti yang disajikan pada Gambar 2.a, sedangkan untuk kenampakan bentuklahan di Citra SRTM dapat dilihat pada Gambar 2.b dengan luas dari masing-masing bentuklahan pada Tabel 2.
(a)
114
Ika Puspita Sari, dkk.
(b) Gambar 2. Gambaran dan interpretasi bentuklahan dari citra SRTM (a), Peta Bentuklahan SRTM (b) di DAS Cimadur Tabel 2. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur No
Simbol
Bentuklahan
Luas Area Ha
%
1
F
Lembah sungai
61
0,29
2
DV1
Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda
5837
27,76
3
DV2
Pegunungan denudasional vulkanik Tersier tua
4209
20,02
4
DV3
Perbukitan denudasional vulkanik Tersier tua
2641
12,56
5
DV4
Tebing denudasional vulkanik Tersier muda
3941
18,75
6
DV5
Dataran vulkanik bermaterial tufa Tersier muda
1406
6,69
7
DS1
Perbukitan denudasional struktural Tersier muda
1334
6,35
8
DS2
Perbukitan denudasional struktural Tersier tua
1593
7,58
21022
100
Luas Total
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
115
Dalam Tabel 2. terlihat bahwa bentuklahan Pegunungan vulkanik denudasional muda (DV1) dan tua (DV2) merupakan bentuklahan yang mempunyai luasan terbesar di daerah penelitian, dengan luasan masing-masing 5.837 Ha dan 4.209 Ha. Hal ini sangat wajar disebabkan daerah penelitian sebelumnya merupakan kawasan kompleks gunungapi. Adapun bentuklahan Lembah sungai (F) merupakan bentuklahan dengan luasan terendah, yakni 61 Ha karena terbentuk setelah proses denudasi berlangsung. 3.3 Identifikasi Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil interpretasi citra GeoEye dari Google Earth dan citra ALOS AVNIR-2, penggunaan lahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 6 macam, yakni: sawah, permukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan, dan tanah terbuka, serta selebihnya adalah sungai. Peta penggunaan lahan yang dihasilkan disajikan pada Gambar 3, sedangkan luasan masing-masing dapat dilihat dalam Tabel 3.
Gambar 3. Peta Penggunaan Lahan di DAS Cimadur
116
Ika Puspita Sari, dkk. Tabel 3. Luas masing-masing penggunaan lahan di DAS Cimadur
No
Simbol
1 Su 2 H 3 Kc 4 P 5 Sa 6 Se 7 Tb Luas Total
Penggunaan Lahan Sungai Hutan Kebun campuran Pemukiman Sawah Semak/tegalan Tanah terbuka
Luas Area Ha % 90 0,43 7284 34,65 8952 42,58 221 1,05 3691 17,56 744 3,54 40 0,19 21022 100
Berdasarkan Tabel 3. di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di DAS Cimadur dengan total luas sebesar 8.952 Ha. Fenomena ini dapat dipahami mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala terhadap morfologi, sehingga dapat berkembang pada berbagai bentuklahan dan kemiringan lereng, dan akses jalan yang ada di daerah penelitian memungkinkan manusia untuk mengintervensi lahan. Sebaliknya penggunaan lahan tanah terbuka merupakan penggunaan lahan terkecil atau sebesar 40 Ha, dikarenakan sebagian kawasan DAS Cimadur masuk ke dalam kawasan Taman Nasional yang dilindungi oleh Pemerintah. 3.4 Analisis TWI Analisis TWI dalam penelitian ini menghasilkan data TWI yang bersifat kontinu (continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas 1 atau nilai TWI rendah (<5), kelas 2 atau nilai TWI sedang (antara 5 hingga 10), dan kelas 3 atau nilai TWI tinggi (>10). Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada referensi awal. Hal ini disebabkan masih sangat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan untuk reklasifikasi. Adapun reklasifikasi ini sendiri dimaksudkan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan yang mempunyai konsentrasi air di permukaan lahan. Dalam hal ini kelas TWI rendah (= kelas 1) menggambarkan suatu wilayah dengan potensi simpanan air yang rendah, sehingga dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas TWI tinggi (= kelas 3), menggambarkan suatu wilayah dengan potensi simpanan air yang tinggi, sehingga dapat diasumsikan bahwa wilayah ini memiliki peluang tinggi untuk terjadinya genangan air ditinjau dari variasi topografi lokal. Adapun untuk kelas TWI sedang (= kelas 2) menggambarkan suatu potensi yang berada di antaranya, atau mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang sedang
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
117
atau dapat diasumsikan memiliki potensi yang masih dapat diharapkan untuk menyimpan air. Pada Gambar 4.a terlihat bahwa kelas TWI tinggi (= kelas 3) tersebar di bagian Utara dan Selatan DAS meskipun relatif kecil. Hal ini disebabkan pada DAS bagian Utara didominasi oleh bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa Tersier muda (DV5) dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar), sedangkan pada DAS bagian Selatan didominasi oleh bentuklahan Perbukitan denudasional struktural Tersier muda (DS1) dengan kemiringan lereng dominan 8-15% (agak curam). Kelas TWI rendah (= kelas 1) memiliki penyebaran sangat sedikit juga, yakni di DAS bagian tengah, tepatnya pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda (DV1) dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam). Adapun kelas TWI sedang (= kelas 2) merupakan kelas yang paling mendominasi daerah penelitian, terutama di atas bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda (DV1) dengan kemiringan lereng 15-30% (curam).
(a)
118
Ika Puspita Sari, dkk.
(b) Gambar 4. Peta Kelas TWI (a), Peta Hasil Tumpang-tindih Kelas TWI dan Order Sungai (b) di DAS Cimadur
Mengingat bahwa ketersediaan air sangat erat kaitannya dengan aliran permukaan (sungai), maka keterkaitan kelas TWI perlu dikaji hubungannya dengan order sungai. Dalam tulisan ini klasifikasi order sungai akan mengacu pada metode klasifikasi Strahler. Hasil klasifikasi order sungai DAS Cimadur dengan metode Strahler menunjukkan bahwa order sungai tertinggi dari Sungai Cimadur adalah order 6, sedangkan dalam penelitian ini order 3 ditetapkan sebagai order terendah (untuk penyederhanaan) karena banyaknya order-order yang lebih kecil di dalam DAS Cimadur. Seperti disebutkan di atas, order 6 ditetapkan sebagai order tertinggi, artinya bahwa aliran sungai yang mengalir pada order 6 merupakan aliran sungai terbesar di dalam DAS Cimadur. Dalam Gambar 4.b terlihat bahwa kelas TWI yang paling dominan adalah kelas TWI sedang (= kelas 2) di semua order sungai mulai dari order 3, 4, 5, dan 6. Kelas TWI tinggi (= kelas 3) menyebar di bagian Utara dan Selatan DAS dengan order sungai yang paling dominan adalah order 3. Selanjutnya, untuk kelas TWI rendah (= kelas 1) sedikit sekali penyebarannya, hanya dibeberapa titik di bagian tengah DAS yang dapat dijumpai pada order sungai 3 dan 4. Tabel 4 menunjukkan total panjang segmen sungai yang berada dalam kelas TWI dan order sungai yang telah diklasifikasi.
119
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Tabel 4. Klasifikasi kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen sungai di DAS Cimadur No
Kelas TWI
Order sungai
Total panjang segmen sungai (m)
1
3
38,9
4
13,3
3
336.806,2
4
4
251.612,1
5
5
297.179,4
6
6
235.917,1
3
2.478,5
8
4
1.987,4
9
5
1.011,4
10
6
1.711,7
1 2 3
7
2
3
Berdasarkan pada Tabel 4 terlihat bahwa kelas TWI rendah (= kelas 1) dengan order sungai 3 mempunyai total panjang segmen yang lebih besar dibandingkan dengan order 4, yakni sepanjang 38,9 m. Hal ini juga terjadi pada kelas TWI sedang (= kelas 2) dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dimana pada order sungai 3 mempunyai total panjang segmen lebih besar dibandingkan order 4, 5, dan 6, berturut-turut 336.806,2 m dan 2.478,5 m. Hal ini mengindikasikan bahwa subDAS sungai-sungai order 3 perlu mendapat perhatian khusus dalam pengelolaan, karena sub-DAS sungai-sungai order 3 ini berpotensi cukup tinggi untuk dapat menahan atau menyimpan air. 3.5 Analisis Ekologi Bentanglahan Salah satu yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan antara unsur lahan dan unsur kehidupan yang berada di atasnya yang saling terkait dan ketergantungan sehingga membentuk suatu sistem kehidupan yang mempunyai karakteristik tertentu. Kondisi lahan dalam hal ini lebih ditekankan pada unit geomorfologi yang direpresentasikan dalam bentuklahannya, sedangkan kehidupan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada aktivitas manusia di atas lahan yang dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan yang dihasilkan. Dalam konsep ekologi bentanglahan pada penelitian ini, semua bentuk aktivitas dan parameter yang berada di suatu bentanglahan, seperti: penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI, dianalisis berlandaskan pada bentuklahan sebagai unit analisisnya sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik dan persebaran wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk menyimpan air. Berdasarkan analisis ekologi bentanglahan ini DAS Cimadur yang yang didominasi oleh bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda
120
Ika Puspita Sari, dkk.
(DV1), penggunaan lahan kebun campuran, dan kemiringan lereng 15-30% (curam) ternyata mempunyai TWI dominan kelas sedang (= kelas 2). Hal ini menyiratkan bahwa wilayah DAS Cimadur yang dicerminkan oleh kondisi bentanglahan saat ini memiliki potensi aman untuk ekologi bentanglahan DAS, meskipun kapasitas untuk menahan/menyimpan airnya berdasarkan karakteristik bentuklahan sesungguhnya rendah dikarenakan bentanglahan tersusun oleh bentuklahan-bentuklahan pegunungan mempunyai kemiringan lereng yang curam, dan bermaterial vulkanik, sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk diloloskan dan saat musim kemarau rentan terhadap kekeringan.
4.
KESIMPULAN
1.
Geomorfologi daerah penelitian didominasi oleh morfologi pegunungan dengan total luas 10.046 Ha atau 47,78% berbatuan vulkanik tua (Tersier). Dengan morfologi ini maka dinamika hidrologi atau pergerakan air (permukaan dan bawah tanah) di daerah penelitan menjadi sangat besar akibat besarnya nilai elevasi bentuklahan, kemiringan lereng, dan gravitasi bumi.
2.
Kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di daerah penelitian dengan total luas 8.952 Ha atau 42,58% dan persebarannya melintas di seluruh bentuklahan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa intervensi manusia terhadap bentuklahan cukup dominan. Sehingga kegiatan manusia di daerah penelitian yang terkait perubahan penggunaan lahan perlu mendapat pengawasan yang baik agar tidak merusak kondisi ekologi yang sudah ada.
3.
TWI kelas sedang sangat dominan di daerah penelitian (total luas 20.987 Ha atau 99,83%), dimana persebarannya melintas di berbagai bentuklahan dan berbagai sub-DAS order sungai. Namun demikian wilayah sub-DAS order 3 di daerah penelitian terindikasi berpotensi menyimpan air paling besar sehingga perlu mendapat perhatian/pengelolaan tersendiri agar fungsi subDAS lebih optimal dalam menyimpan air dan untuk menjaga ekologi DAS.
4.
Ekologi bentanglahan daerah penelitian didominasi oleh bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik Tersier (VD1 dan VD2), penggunaan lahan kebun campuran, kemiringan lereng 15-30% (curam), dan kelas TWI sedang (= kelas 2). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi daerah penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah penelitian cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk diloloskan namun pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk mengalami kekeringan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
121
DAFTAR REFERENSI Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Grabs T, Seibert J, Bishop K, Laudon H. 2009. Modeling spatial patterns of saturated areas: A comparison of the topographic wetness index and a dynamic distributed model. Journal of Hydrology 373, 15-23. Sosiawan H, Subagyono K. 2007. Pembagian Air Secara Proporsional untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Air. Jurnal Sumberdaya Lahan 1, 17-18. Suara Pembaruan. 2006. Benarkah Indonesia krisis air tawar? tanggal terbit 27 Februari 2006). www.suara pembaruan.com. [8 Januari 2012]. Zuidam R A V. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. Netherlands: Smith Publisher Hague.
BIOGRAFI PENULIS Ika Puspita Sari Ika Puspita Sari, alumnus Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap, Sistem Informasi Geografis dan Kartografi, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, serta Pengantar Ilmu Tanah.
Bambang H. Trisasongko Bambang H. Trisasongko merupakan staf pengajar di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB, sejak tahun 2009. Bidang minat yang ditekuni adalah aplikasi penginderaan jauh aktif untuk pertanian dan lingkungan.
122
Ika Puspita Sari, dkk.
Boedi Tjahjono Boedi Tjahjono menjadi staf pengajar (1989) di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian-IPB. Menekuni bidang geomorfologi, kebencanaan alam, dan aplikasi penginderaan jauh untuk geomorfologi.
Komarsa Gandasasmita Komarsa Gandasasmita merupakan staf pengajar di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan-IPB, sejak tahun 1976. Bidang minat yang ditekuni penginderaan jauh dan GIS serta permodelan sumberdaya alam.
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi Penangkapan Ikan di Indonesia (Studi Kasus Kabupaten Indramayu)
Dinarika Jatisworo, Ari Murdimanto
123
124
Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi Penangkapan Ikan di Indonesia (Studi Kasus Kabupaten Indramayu)
Dinarika Jatisworo, Ari Murdimanto Balai Penelitian dan Observasi Laut Jl. Baru Perancak, Perancak, Negara, Bali Email: pgold01@yahoo.com; ari23murdimanto@gmail.com
Abstrak Luas perairan negara Indonesia sebesar 5,8 juta km2, namun PDB dari sektor perikanan sekitar 3,2%. Untuk meningkatkan produksi yang efektif dan efisien, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui BPOL menerbitkan PPDPI, yang disusun berdasarkan data penginderaan jauh berupa citra suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a, dan tinggi muka air laut. PPDPI yang dihasilkan didistribusikan melalui website, surat elektronik, faksimili, dan layanan pesan singkat. Nelayan Kabupaten Indramayu yang telah menggunakan PPDPI memperoleh omzet tidak kurang dari 200 juta rupiah sehingga bisa menambah satu unit kapal. Untuk meningkatkan akurasi PPDPI, BPOL meminta kepada pelabuhan perikanan dan pengguna untuk mengirim data respon balik tangkapan ikan berdasarkan koordinat lintang-bujur. Kata kunci: PPDPI, penginderaan jauh, suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a
Abstract Indonesia ocean area is 5,8 million km2, while GDP is about 3,2% from fisheries sector. To increase effectiveness and efficiency, Ministry of Fisheries and Marine Affairs, through BPOL, produce PPDPI, which is based on remote sensing data such as sea surface temperature, chlorophyll-a concentration, and sea surface height. PPDPI distributed via website, email, fax, and short-message-service. Fisherman in Regency of Indramayu using PPDPI get a turnover no-less-than 200 million rupiahs, so that he can add one unit of ship. To increase PPDPI accuracy, BPOL ask fish-ports and users to send fish catchment feedback data based on latitude-longitude coordinate. Keywords: PPDPI, remote sensing, sea surfae temperature, chlorophyll-a concentration
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
125
1. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara bahari memiliki luas wilayah perairan sekitar 3,1 juta km2 atau sekitar 70% dari seluruh wilayah Nusantara. Dengan diundangkannya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) maka luas perairan tersebut menjadi 5,8 juta km2 dibandingkan dengan luas seluruh daratan yang hanya 1,8 juta km2. Kepulauan Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau dengan total panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumber daya kelautan tidak saja akan mempengaruhi perekonomian bangsa Indonesia di masa mendatang, akan tetapi juga mampu meningkatkan kebutuhan akan bahan makanan dan bahan baku, posisi dan pengaruhnya terhadap negara sekitar, ketahanan nasional, dan kualitas lingkungan hidup negara secara keseluruhan. Untuk banyak negara, kekayaan dan keanekaragaman hayati laut Indonesia dianggap sebagai sumber bahan baku makanan yang sangat penting seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang dan rumput laut (http://www.dishidros.go.id/hidrografi/174-side-scan-sonar-teknologipenginderaan-bawah-laut.html, akses 26 Juli 2012). Dari karakteristik wilayah perairan Indonesia seperti disebut di atas, Indonesia memiliki tantangan yang perlu mendapat perhatian serius, di antaranya adalah (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.18/MEN/2011): a. Dengan luas laut 5,8 juta km2, PDB perikanan baru sekitar 3,2%; b. Potensi sumberdaya perikanan tangkap 6,4 juta ton/tahun, tetapi nelayan masih miskin; c. Produksi perikanan tangkap di laut sekitar 4,7 juta ton/tahun dari jumlah yang diperbolehkan maksimum 5,2 juta ton/tahun, sehingga tersisa 0,5 juta ton/tahun; dan d. Jumlah nelayan (laut dan perairan umum) sebesar 2.755.794 orang, tetapi lebih dari 50%-nya (1.466.666 nelayan) berstatus sambilan utama dan sambilan tambahan. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui UPT Balai Riset dan Observasi Kelautan (pada 2012 nomenklaturnya menjadi Balai Penelitian dan Observasi Laut) melakukan pengumpulan data oseanografi dari data satelit maupun data yang dapat mendukung kegiatan para nelayan dan masyarakat pesisir dalam memanfaatkan hasil perikanan (Jatisworo, 2010). Hal ini juga tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 34 tahun 2011 mengenai organisasi dan tata kerja Balai Penelitian dan Observasi Laut, dimana salah satu fungsinya adalah â&#x20AC;&#x153;pelaksanaan penelitian dan observasi sumber daya laut di bidang fisika dan kimia kelautan, daerah potensial penangkapan ikan, perubahan iklim, serta pengkajian teknologi kelautanâ&#x20AC;? (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi, akses 26 Juli 2012). Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) merupakan salah satu produk nyata Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) untuk masyarakat nelayan di Indonesia. PPDPI telah dibuat dan didistribusikan sejak tahun 2000, saat itu
126
Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
masih dilakukan langsung oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Dari awal diproduksi hingga saat ini, PPDPI terus mengalami perkembangan dan perbaikan. Pembuatan PPDPI didasarkan pada informasi sebaran konsentrasi klorofil-a, suhu permukaan laut, dan anomali tinggi permukaan air laut dari citra satelit. Saat ini ada 3 jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL, yaitu PPDPI Nasional, Laut Sawu, dan Pelabuhan Perikanan (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi, akses 26 Juli 2012). Dihasilkannya Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan bertujuan untuk memudahkan nelayan dalam navigasi menuju lokasi yang diperkirakan memiliki potensi ikan, sehingga paradigma nelayan yang awalnya “mencari ikan” berganti menjadi “menangkap ikan”. Hal ini akan berkaitan dengan manfaat yang diharapkan dari dihasilkannya PPDPI, yakni membantu meningkatkan hasil tangkapan para nelayan dan membuat kegiatan penangkapan menjadi lebih efektif dan efisien. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan saat ini dapat diakses melalui beberapa media, yakni website BPOL, surat elektronik, faksimili, dan pesan singkat melalui telepon seluler. Di Asia-Pasifik, tidak hanya Indonesia yang memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk penangkapan ikan dan mengembangkannya. India melalui INCOIS (Indian National Centre for Ocean Information Services) telah menyediakan Potential Fishing Zone (PFZ) Advisories untuk dimanfaatkan oleh komunitas nelayan di India dengan memanfaatkan data suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a (http://www.incois.gov.in/Incois/marine_fisheries_main.jsp, akses pada 3 Oktober 2012). Di Cina, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk penangkapan ikan telah dimulai sejak tahun 1983 dengan dikirimkannya data suhu permukaan laut ke perusahaan perikanan (Shinxing, 1992). Bahkan, pada 2002, Cina telah meluncurkan satelit HY-1A yang dapat diaplikasikan untuk informasi perikanan (Yan, 2004). Bagi nelayan komersial, khususnya penangkapan tuna, informasi suhu permukaan laut dianggap sangat berharga. Di Jepang, data suhu permukaan laut tidak hanya diakuisisi oleh kapal untuk riset, namun juga oleh kapal penangkap ikan dan didistribusikan melalui radio faksimili (Yamanaka, 1982). Selain itu, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk perikanan mulai mengarah ke penangkapan yang berkelanjutan (Saitoh et al, 2011). Selain Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang dihasilkan Balai Penelitian dan Observasi Laut yang berada dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Indonesia ada dua produk yang serupa, yakni SIKBES-FG (Sistem Informasi Knowledge-based Expert System Fishing Ground) yang dihasilkan oleh Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam yang berada dibawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan ZPPI (Zona Potensi Penangkapan Ikan) yang dihasilkan oleh Balai Penginderaan Jauh Pare-pare yang berada dibawah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) (Wikantika dan Fajri, 2012).
127
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
2. TUJUAN DAN MANFAAT 2.1 Tujuan Tersedianya Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan untuk wilayah perairan nasional, pelabuhan, dan pesisir yang dapat diakses dengan mudah dan dimanfaatkan oleh nelayan untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan yang lebih efektif dan efisien. 2.2 Manfaat Membantu meningkatkan hasil tangkapan para nelayan dan membuat kegiatan penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien. 3. METODE 3.1 Metode Penentuan Daerah Potensi Ikan Daerah prakiraan potensi ikan ditentukan berdasarkan parameter suhu permukaan laut, klorofil-a, dan tinggi muka airlaut. Lebih jelas mengenai parameter yang digunakan, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter yang Digunakan
Parameter Data Suhu permukaan laut Citra Aqua MODIS Level 2 dan 3 Konsentrasi klorofil-a Citra Aqua MODIS Level 2 dan 3 Tinggi muka airlaut Jason/TOPEX Sumber: Jatisworo, 2010
Sumber Oceancolor Oceancolor CCAR
3.1.1. Suhu Permukaan Laut Kondisi suhu air laut akan mempengaruhi metabolisme dan perilaku ikan. Suhu yang terlalu ekstrim baik dingin maupun panas akan membuat ikan bergerak secara dinamis di tempat-tempat yang cocok dengan kondisi tubuhnya. Suhu air laut juga sangat berpengaruh pada siklus rantai makanan yang terdapat di laut. 3.1.2. Konsentrasi Klorofil-a Konsentrasi klorofil-a di perairan laut dapat menjadi indikator bagi keberadaan ikan-ikan pelagis. Hal ini terkait dengan siklus rantai makanan dimana klorofil-a dianggap sebagai produsen. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan. 3.1.3. Tinggi Muka Air Laut Data tinggi muka air laut digabungkan dengan data suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a untuk mendapatkan daerah front, di mana pada daerah front merupakan daerah lautan dengan pertemuan massa air yang berbeda dan dapat menjadi perangkap ikan karena daerah ini memiliki pergerakan air yang sangat cepat dan ombak yang besar.
128
Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Selain ketiga data utama di atas, dalam PPDPI juga memuat informasi arah dan kecepatan angin di permukaan laut serta tinggi gelombang laut. Informasi ini berfungsi sebagai panduan keselamatan bagi para nelayan.
Gambar 1. Proses Pengolahan PPDPI (Jatisworo, 2010)
Upwelling diidentifikasi melalui interpretasi data suhu permukaan laut dengan asumsi upwelling ditandai dengan adanya daerah perairan dengan suhu rendah yang dikelilingi suhu lebih tinggi di sekitarnya (Robinson, 2010). Daerah front diperoleh melalui interpretasi data tinggi muka air laut dengan asumsi daerah front berasosiasi dengan arus yang kuat dan perbedaan tinggi muka laut (Jatisworo, 2010). Kedua parameter tersebut kemudian di-overlay dengan data konsentrasi klorofil-a, dengan asumsi tingkat konsentrasi klorofil-a yang mendukung adanya ikan adalah 0,2 â&#x20AC;&#x201C; 1 mg/m3. Jika di suatu daerah terbentuk upwelling dan front tanpa ada konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut diperkirakan bukan daerah potensi ikan. Jika di suatu daerah terbentuk upwelling atau front dengan adanya konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut diperkirakan daerah potensi ikan. Jika di suatu daerah terbentuk upwelling dan front serta ada konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut diperkirakan daerah tangkapan ikan. Lebih rinci mengenai metode penentuan daerah tangkapan ikan, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Metode Penentuan Daerah Tangkapan Ikan Perkiraan
Upwelling
Front
Daerah Tangkapan Ikan Daerah Potensi Ikan Daerah Potensi Ikan Bukan Daerah Potensi Ikan Bukan Daerah Potensi Ikan Bukan Daerah Potensi Ikan Bukan Daerah Potensi Ikan
v v x v v x x
v x v v x v x
Konsentrasi Klorofil-a (0,2 â&#x20AC;&#x201C; 1 mg/m3) v v v x x x x
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
129
Data gelombang dan angin dari BMKG digunakan untuk menampilkan informasi arah dan kecepatan angin serta tinggi gelombang laut yang dimaksudkan sebagai panduan keselamatan bagi nelayan. Data respon balik dikirimkan setiap bulannya dari pihak pelabuhan yang menerima PPDPI digunakan untuk lebih meningkatkan akurasi penentuan daerah tangkapan ikan. 3.2 Metode Distribusi PPDPI Ketiga jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL dapat diakses melalui website di http://www.bpol.litbang.kkp.go.id. Selain itu, media surat elektronik dan pengiriman faksimili juga digunakan untuk pendistribusian PPDPI. Saat ini, bekerjasama dengan Pusdatin, BPOL sedang mengembangkan distribusi PPDPI melalui media layanan pesan singkat, sehingga mudah diakses kapan saja oleh para nelayan.
4.
HASIL DAN DISKUSI
Balai Penelitian dan Observasi Laut menghasilkan Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang meliput seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada 3 jenis peta yang dihasilkan, yakni PPDPI Nasional, Laut Sawu, dan Pelabuhan Perikanan (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi, akses 26 Juli 2012). Periode penerbitan PPDPI Nasional adalah tiga kali dalam seminggu, yakni setiap Senin, Rabu, dan Jumâ&#x20AC;&#x2122;at. PPDPI Nasional meliput wilayah-wilayah yang pembagiannya berdasarkan pulau-pulau besar di Indonesia, yakni Sumatera; Sulawesi; Maluku dan Papua; Kalimantan; dan Jawa, Bali, Nusa Tenggara.
.
130
Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
131
Gambar 2. Liputan Wilayah PDPPI Nasional (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id, akses 2 Juni 2012)
Untuk jenis PPDPI Pelabuhan Perikanan, wilayah yang diliput adalah PPN Kejawanan, PPN Pemangkat, PPN Pengambengan dan PPP Muncar, PPN Ternate dan Bitung, PPS Belawan, PPS Cilacap, PPN Ambon, PPN Pelabuhan Ratu, PPN Sungai Liat, PPP Tamperan (Pacitan), serta wilayah perairan Bali Utara dan Bali Timur. Sedangkan dalam rangka mendukung kegiatan IPTEKMAS pada Juni 2009, BPOL mulai menerbitkan PPDPI untuk wilayah perairan Laut Sawu. PPDPI Pelabuhan Perikanan dan Laut Sawu diterbitkan setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu. Semua jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL dapat diakses melalui website http://www.bpol.litbang.kkp.go.id. Pengiriman melalui faksimili dan surat elektronik dapat dilakukan jika ada permintaan khusus, baik dari instansi maupun perusahaan penangkapan ikan dan nelayan, kepada BPOL. Akses informasi melalui layanan pesan singkat sedang dalam tahap pengembangan oleh BPOL dan Pusdatin, namun untuk saat ini dapat digunakan dengan cara ketik IKAN dan kirim ke nomor 0878 8632 0200. Informasi yang diterima melalui layanan pesan singkat adalah informasi daerah potensi ikan dari PPDPI Nasional. Manfaat langsung PPDPI telah dapat dirasakan oleh nelayan yang menggunakan. Cerita sukses mengenai pemanfaatan PPDPI dapat dilihat pada pemaparan yang diakses dari website BPOL berikut ini: Cerita sukses pemanfaatan Peta Potensi Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) kembali terdengar santer dari Kabupaten Indramayu. Sebelumnya pemanfaatan PPDPI mengantarkan Bapak Haji Cartisa menjadi pengusaha penangkapan ikan yang sangat mapan dengan armada kapal berjumlah lebih dari 30 unit dengan kapasitas masing-masing kapal lebih dari 30 GT. Kini PPDPI kembali mengulang suksesnya mengantarkan seorang nelayan menjadi pengusaha yang berkembang pesat. Adalah bapak Rusmadi, seorang nelayan yang pada dua tahun
132
Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
belakangan mengalami perkembangan sangat pesat. Berawal dari ketertarikannya terhadap kesuksesan Haji Cartisa, Rusmadi yang saat itu hanya memiliki kapal kecil dengan kapasitas dibawah 30 GT berusaha mencari tahu rahasia dibalik usaha Haji Cartisa. Hal inilah yang mengantarkan Rusmadi untuk mengikuti langkah dan teknik penangkapan ikan memanfaatkan PPDPI yang diproduksi dan dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Observasi Laut. Rusmadi sangat meyakini akurasi PPDPI yang dikirimkan oleh BPOL dua kali seminggu melalui internet, dan kemudian didistribusikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Indramayu melalui SMS Center. Dengan masa hari layar kapal Âą 45 hari dalam sekali trip, maka informasi PPDPI menjadi sangat berharga bagi para punggawa kapal yang sedang di tengah laut. Dengan panduan lokasi daerah potensial penangkapan ikan tersebut, maka biaya operasional kapal dan waktu tempuh menuju lokasi penangkapan menjadi sangat efektif dan efisien. Kondisi inilah yang oleh Rusmadi diyakini menjadi musim panen ikan sepanjang tahun tanpa ada musim paceklik. Dengan omzet perolehan ikan yang tidak kurang dari 200 juta rupiah setiap mendarat, maka usaha penangkapan ikan Rusmadi meningkat pesat, sehingga saat ini sudah bisa menambah 1 unit kapal tangkap. Bisa dibayangkan berapa penghasilan bersih Rusmadi jika biaya operasional sekali layar adalah 45 juta. Rusmadi menuturkan bahwa dengan kondisi usahanya yang demikian menjanjikan, maka dirinya berani berharap banyak untuk bisa memberikan pendidikan yang lebih baik kepada anaknya sampai memperoleh jenjang pendidikan yang tinggi. Rusmadi juga sudah merencanakan untuk menunaikan ibadah Haji sebagai kewajiban dan ungkapan rasa sukur atas rejeki yang diterimanya. Sebagai informasi, operasional PPDPI di Kabupaten Indramayu sudah berjalan dengan cukup sistematis. Distribusi PPDPI dilakukan dengan berbagai cara yang memudahkan nelayan untuk mendapatkan lokasi potensial penangkapan ikan dengan tepat waktu. Setiap harinya seorang operator akan mengunduh informasi PPDPI dari website BPOL di http://www.bpol.litbang.kkp.go.id kemudian memasukan tabel lokasi potensial tersebut ke SMS center. Informasi selanjutnya akan disebarkan melalui SMS secara otomatis kepada pengguna yang telah terdaftar. Sebagai pendukung, informasi juga ditampilkan sebagai running text melalui papan pengumuman yang dipasang di tempat tempat strategis baik di halaman kantor dinas maupun di pelabuhan-pelabuhan perikanan. Secara swadaya kelompok nelayan rutin mengadakan pertemuan untuk membahas dan mengkomunikasikan pemanfaatan PPDPI kepada kelompoknya maupun kepada kelompok lain. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu pun turut mendukung dengan mengadakan talkshow di sebuah stasiun radio untuk mengabarkan kesuksesan penggunaan PPDPI tersebut.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
133
Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Indramayu menyampaikan agar program PPDPI ini bisa terus berjalan dan berkembang sehingga memberikan manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat. Disampaikan juga agar Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa memberikan dukungan yang lebih banyak terhadap operasionalnya.
Gambar 3. Running-text Informasi Daerah Penangkapan Ikan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu (foto oleh Denny Wijaya Kusuma)
Cerita sukses ini telah sampai ke Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo. Pada 25 Februari 2012 di Pelabuhan Pendaratan Ikan Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, beliau meresmikan SMS Centre Informasi Daerah Penangkapan Ikan (IDPI). Informasi pada IDPI adalah informasi PPDPI yang dikembangkan dan didistribusikan oleh BPOL serta diinformasikan sebanyak tiga kali dalam seminggu. Berikut alur distribusi PPDPI di Indramayu akses 26 Juli 2012, dengan perubahan) :
(http://www.bpol.litbang.kkp.go.id,
- Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu mengunduh PPDPI melalui website BPOL; - Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu memiliki Laboratorium IDPI (Informasi Daerah Penangkapan Ikan), dengan operator khusus yang akan mendistribusikan Informasi PPDPI tersebut kepada nelayan; - Operator IDPI bertugas menkonversi posisi lintang dan bujur lokasi potensi ikan dari PPDPI; - Lokasi potensi ikan tersebut kemudian dikirimkan operator melalui SMS Center dan running-text IDPI.
134
Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Sebagai validasi hasil prakiraan daerah potensi ikan, BPOL meminta kepada beberapa pelabuhan perikanan untuk mengirimkan data respon balik. Data yang diminta adalah data hasil tangkapan nelayan berbasis koordinat lintang dan bujur. Diharapkan dengan adanya data respon balik, BPOL dapat meningkatkan validasi PPDPI di masa mendatang.
Gambar 4. Contoh Tabel Respon Balik Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (Tim Penyusun, 2010)
5. KESIMPULAN DAN SARAN Dari pemaparan pada sub-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan dan saran sebagai berikut: 5.1. Kesimpulan a. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) dihasilkan oleh Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL); b. PPDPI meliput seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. PPDPI dapat diakses setiap hari melalui website http://www.bpol.litbang.kkp.go.id; d. PPDPI dapat diperoleh melalui surat elektronik dan faksimili jika ada permintaan khusus dari pengguna kepada BPOL; e. Akses informasi PPDPI melalui layanan pesan singkat masih dalam tahap pengembangan oleh BPOL dan Pusdatin, namun saat ini sudah dapat diakses melalui nomor (sementara) 0815 8966 008; f. Nelayan sangat antusias untuk memanfaatkan PPDPI karena sudah mengetahui manfaatnya bagi efektifitas dan efisiensi penangkapan ikan; g. Nelayan di Kabupaten Indramayu yang memanfaatkan PPDPI meningkat pendapatannya dalam sekali melaut.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
135
5.2. Saran a. PPDPI membutuhkan respon balik dari para pengguna untuk meningkatkan akurasi prakiraan daerah potensi ikan yang dihasilkan; b. Integrasi lembaga pemerintah penghasil peta prakiraan daerah potensi ikan diperlukan dalam pengembangan PPDPI, baik dari segi akurasi dan sistem yang digunakan.
DAFTAR REFERENSI Balai
Penelitian dan Observasi Laut. Akses pada 26 Juli 2012 dari http://www.bpol.litbang.kkp.go.id. Dishidros. 2011. SIDE SCAN SONAR Teknologi Penginderaan Bawah Laut. Akses pada 26 Juli 2012 dari http://www.dishidros.go.id/hidrografi/174-side-scan-sonarteknologi-penginderaan-bawah-laut.html. Indian National Centre for Ocean Information Services. Akses pada 3 Oktober 2012 http://www.incois.gov.in/Incois/marine_fisheries_main.jsp Jatisworo, Dinarika et al. 2010. Laporan Kegiatan Operasional: Operasionalisasi Stasiun Bumi Penerima Dara Satelit Oseanografi. Jembrana: Balai Riset dan Observasi Kelautan. Jatisworo, Dinarika. 2010. The Album Map of Potential Fsihing Ground Prediction – Bilingual Edition. Jembrana: Balai Riset dan Observasi Kelautan. MODIS Web. Akses pada 2 Oktober 2012 dari http://www.modis.gsfc.nasa.gov. Realino, et al. 2007. Pola Kesuburan Perairan Indonesia. Jembrana: Balai Riset dan Observasi Kelautan. Robinson, Ian S. 2010. Discovering the Ocean from Space: The unique applications of satellite oceanography. Chichester: Springer. Saitoh, Sei-Ichi et al. 2011. Some Operational Uses of Satellite Remote Sensing and Marine GIS for Sustainable Fisheries and Aquaculture. Japan. Shixing, Han. 1992. Remote Sensing in China Fisheries. China. Wikantika K. dan Fajri L., editor. 2012. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia – Pengembangan Sistem Penjejak Ikan nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing, dan GIS Model. Bandung: Pusat Penginderaan Jauh ITB. Yamanaka, Ichiro. 1982. Application of Satellite Remote Sensing to Fishery Studies in Japan. Japan. Yan, Jihui. 2004. China’s HY-1A Ocean Satellite and Its Application. China.
136
Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
BIOGRAFI PENULIS Dinarika Jatisworo Lahir pada 16 Mei 1985 di Solo, putri dari pasangan Edhi Sumaryoto dan Lina Chabibi ini besar di Yogyakarta. Menamatkan SD, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada 2003 diterima di Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 2008, dengan skripsi mengenai transportasi daerah perkotaan Yogyakarta. Pada 2009 mulai bekerja di Balai Penelitian dan Observasi Laut. Pada 2010 mulai menjabat sebagai Koordinator Operasional Stasiun Bumi dan PPDPI.
Ari Murdimanto Lahir di Jakarta pada 23 Februari 1986. Menamatkan SD, SMP, dan SMA di Tangerang. Pada 2003 diterima di Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Lulus pada 2008 dengan skripsi mengenai tingkat kemacetan rute Trans Jogja. Pada 2009 sampai 2010 bekerja di konsultan lingkungan Sekala sebagai RS/GIS officer dan terlibat dalam pemetaan partisipatif di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sejak 2011 mulai bekerja di Balai Penelitian dan Observasi Laut sebagai operator stasiun bumi dan PPDPI.
Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah
Rosalina Kumalawati, Seftiawan S. Rijal, Rijanta, Junun Sartohadi, Rimawan Pradiptyo
137
138
Rosalina Kumalawati, dkk.
Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah
Rosalina Kumalawati1, Seftiawan S. Rijal2, Rijanta3, Junun Sartohadi4, Rimawan Pradiptyo5 1 Kandidat Doktor Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2 Mahasiswa Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta 3 Promotor, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 4 Co-Promotor, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 5 Co-Promotor, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak Kecamatan Salam merupakan kecamatan yang paling parah terkena banjir lahar pasca erupsi Gunungapi Merapi 2010. Sebanyak empat desa terkena banjir lahar di Kecamatan ini yaitu Sirahan (45,76%), Jumoyo (32,77%), Seloboro (13,56%) dan Gulon (7,91%). Di antara kerusakan yang diakibatkan oleh banjir lahar adalah kerusakan permukiman. Integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat digunakan untuk melakukan pemetaan kerusakan permukiman dan menentukan tingkat risiko permukiman akibat banjir lahar yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 275 rumah rusak akibat banjir lahar di Jumoyo, 226 rumah di Gulon, 69 rumah di Seloboro dan 861 rumah di Sirahan. Kata Kunci :
Risiko, Erupsi, Banjir Lahar, Permukiman
Abstract Salam Sub-District is the most destructed sub-district due to lahar flood from the Merapi Volcano eruption. There are four villages on this sub-district flooded by lahar flood, i.e. Sirahan (45,76 %), Jumoyo (32,77 %), Seloboro (13,56 %) and Gulon (7,91 %). Among the damage due to lahar flood is settlement damage. The integration of remote sensing and geographic information system can be used for settlement damage mapping and decide the risk level of settlement damage due to lahar flood. This research result showing there are 275 houses was destructed due to lahar flood in Jumoyo, 226 houses in Gulon, 69 houses in Seloboro and 861 houses in Sirahan. Keywords : Risk, Eruption, Lahar Flood, Settlement
139
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
1.
PENDAHULUAN
Gunungapi Merapi mengalami erupsi pada tahun 2010 dengan VEI 4 atau setara dengan erupsi yang pernah terjadi pada tahun 1822. Jumlah material piroklastik yang dihasilkan pun mencapai angka 150 Juta m3, atau 30 kali lipat dari jumlah material piroklastik yang dikeluarkan Gunungapi Merapi pada tahun 2006. Di antara bahaya gunungapi yang terus mengancam pasca erupsi adalah bahaya sekunder yaitu lahar. Pada akhir tahun 2011, banjir lahar yang mengalir melalui Kali Putih meluap hingga merusak permukiman. Kerusakan permukiman yang paling parah terjadi di Kecamatan Salam, terutama Desa Sirahan. Tabel 1 menyajikan tingkat kerusakan permukiman yang diakibatkan oleh banjir lahar yang berasal dari Kali Putih. Banjir lahar bukan saja terjadi hanya pada saat Gunungapi Merapi mengalami erupsi, walaupun Jitousono et al (1995) dan Shimokawa et al (1995) dalam Lavigne (2000) telah memprediksikan bahwa banjir lahar sangat mungkin berulang dalam kurun waktu per 4 tahun pada skala erupsi kecil dan menengah, akan tetapi Volcanological Survey of Indonesia (1995) dalam Lavigne (1999) menyatakan bahwa banjir lahar dapat terjadi hanya karena curah hujan sebesar 40 mm dalam kurun waktu 2 jam. Dengan demikian, diperlukanlah sebuah kegiatan pemetaan pada daerah bahaya banjir lahar guna mengurangi risiko yang ditimbulkan pada element at risk. Penelitian ini melakukan pemetaan risiko bangunan permukiman sebagai element at risk dengan memperhatikan kondisi topografi, cross section, dan tracking area banjir lahar. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui luas luapan banjir lahar di masing â&#x20AC;&#x201C; masing desa dan untuk mengetahui tingkat risiko permukiman yang terkena banjir lahar. Tabel 1. Tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar yang melalui Kali Putih
Kecamatan
Desa
Gulon Sucen Salam Jumoyo Seloboro Sirahan Ngluwar Blongkeng Mungkid Ngrajek Adikarto Muntilan Tamanagung Gondosuli Jumlah Sumber : BNPB (2011)
Roboh / Hanyut 54 11 5 13 2 2 87
Rumah Rusak Rusak Berat Sedang 4 4 36 5 2 7 58 6 2 50 12 11 135 62
Rusak Ringan 2 2
140 2.
Rosalina Kumalawati, dkk.
METODE
2.1 Interpretasi citra Penelitian ini menggunakan citra IKONOS multispektral yang memiliki resolusi spasial 4 meter. Citra IKONOS ini direkam pada tahun 2010 sebelum erupsi terjadi, sehingga citra ini tidak digunakan untuk melakukan interpretasi bangunan permukiman yang terkena banjir lahar melainkan citra ini digunakan untuk interpretasi bangunan permukiman yang masih utuh sebelum terkena banjir lahar. Bangunan permukiman memiliki kunci interpretasi antara lain : bentuk, bayangan, ukuran, pola dan situs. Interpretasi dilakukan on screen seperti yang terdapat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Interpretasi citra
2.2 Survey lapangan Survey lapangan yang dilakukan meliputi cross section dan tracking area luapan banjir lahar. Pada perhitungan cross section, maka dapat diketahui bahwa luas penampang sungai akan mempengaruhi volume maksimum yang dapat ditampung oleh sungai tersebut, dimana hal ini akan berpengaruh pada kondisi banjir lahar yang dapat meluap atau tidak. Semakin besar luas penampang sungai maka semakin kecil potensi luapan lahar dan sebaliknya, semakin kecil luas penampamg maka semakin besar potensi luapan lahar. Ilustrasi cross section terdapat pada gambar 2.
Gambar 2. Cross Section
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
141
Tracking area luapan banjir lahar dilakukan dengan menggunakan GPS. Tracking dilakukan mulai dari Desa Jumoyo, di mana banjir lahar Kali Putih mulai meluap pada desa tersebut, hingga berhenti di Kali Blongkeng. Setelah itu, hasil tracking diubah ke dalam struktur data poligon agar dapat di-overlay sehingga luas luapan banjir lahar dan jumlah permukiman yang rusak dapat diketahui. 2.3 Sistem Informasi Geografis Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan overlay dan layout peta. Overlay yang dilakukan antara lain terhadap hasil tracking area luapan banjir lahar dan hasil interpretasi bangunan permukiman. Teknik ini dapat memudahkan kita untuk mengetahui bangunan mana saja yang terkena banjir lahar. Gambar 3. menampilkan teknik overlay hasil tracking dan hasil interpretasi bangunan.
Gambar 3. Overlay
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tracking area yang dilakukan, banjir lahar yang meluap di Kecamatan Salam mencapai 1,7 Km2. Desa yang paling parah terdampak banjir lahar adalah Desa Sirahan yakni mencapai 0,81 Km2 sedangkan desa yang paling sedikit terkena banjir lahar adalah Desa Gulon yakni 0,14 Km2. Desa Sirahan terkena banjir lahar paling parah disebabkan Kali Putih yang dilalui banjir lahar mengalir di tengah desa tersebut. Selain itu, penampang sungai yang berada pada desa ini sempit dan tinggi tebing pun rendah, kondisi topografi yang demikian sangat mendukung untuk terjadinya luapan banjir lahar. Tabel 2 menunjukkan luas area desa yang terkena banjir lahar dan gambar 4 memperlihatkan peta banjir lahar.
Rosalina Kumalawati, dkk.
142
Gambar 4. Peta luapan banjir lahar
143
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 Tabel 2. Luas area yang terkena banjir lahar
No
Kecamatan
1 2 3 4
Salam
Desa Gulon Jumoyo Seloboro Sirahan
Jumlah
Luas Area (Km2) 0.14 0.58 0.24 0.81 1.77
Persentase (%) 7,91 32,77 13,56 45,76 100
Desa Sirahan sebagai desa yang paling parah terkena luapan banjir lahar, juga menjadi desa dengan tingkat bahaya permukiman paling tinggi (sebanyak 861 rumah) dan tingkat tidak berbahaya paling rendah (sebanyak 80 rumah). Hal ini menandakan sebagian besar Desa Sirahan sudah terkena bahaya dari banjir lahar. Desa Gulon adalah desa dengan tingkat terdampak banjir lahar paling rendah, demikian pula dengan kondisi bahaya permukiman akibat banjir lahar, Desa Gulon adalah desa dengan tingkat permukiman tidak berbahaya paling tinggi yakni sebanyak 3022 rumah. Hal ini diakibatkan oleh letak Kali Putih yang berada di perbatasan Desa Gulon dengan Desa Jumoyo dan Desa Seloboro, tidak seperti desa lainnya, dimana Kali Putih berada di tengah desa tersebut. Tabel 3 menampilkan tingkat bahaya permukiman akibat banjir lahar dan gambar 5 menampilkan peta bahaya permukiman akibat banjir lahar. Tabel 3. Tingkat bahaya permukiman
No Kecamatan 1 2 3 4
Salam
Jumlah
Desa Gulon Jumoyo Sirahan Seloboro
Tinggi 226 275 861 69 1431
Tingkat bahaya permukiman Sedang Rendah Tidak Berbahaya 112 411 391 307 1221
173 748 14 120 1055
3022 1822 80 287 5211
144
Rosalina Kumalawati, dkk.
Gambar 5. Peta bahaya permukiman akibat banjir lahar
Banjir lahar mengalir menuju kondisi topografi yang lebih rendah. Hal ini menjadi salah satu parameter yang diperhatikan dalam pembuatan peta kerentanan. Selain itu, jarak rumah terhadap sungai juga menjadi salah satu masukan dalam pembuatan peta tersebut. Risiko diasumsikan sebagai bahaya dikali kerentanan. Penelitian ini melakukan pembuatan peta bahaya dan peta kerentanan terlebih dahulu untuk kemudian dapat menentukan peta risiko permukiman terhadap banjir lahar. Tabel di bawah ini menampilkan kondisi rumah yang rawan banjir lahar dan berisiko terhadap banjir lahar. Tabel 4. Tingkat kerentanan permukiman
No. Kecamatan 1 2 Salam 3 4 Total
Tingkat Kerentanan Permukiman Tinggi Sedang Rendah Gulon 269 2545 719 Jumoyo 402 1284 1570 Sirahan 926 414 6 Seloboro 194 543 46 1791 4786 2341 Desa
145
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Gambar 6. Peta kerentanan permukiman akibat banjir lahar Tabel 5. Tingkat risiko permukiman
No. Kecamatan Desa 1 2 3 4
Salam
Total
Gulon Jumoyo Sirahan Seloboro
Tingkat Risiko Permukiman Tinggi Sedang Rendah Tidak Berisiko 269 433 926 194 1822
69 253 326 182 830
173 748 14 120 1055
3022 1822 80 287 5211
146
Rosalina Kumalawati, dkk.
Gambar 7. Peta risiko permukiman akibat banjir lahar
4.
KESIMPULAN 1. Desa Sirahan adalah desa yang dikenai banjir lahar terparah sekaligus memiliki permukiman dengan tingkat risiko paling tinggi sebesar 926 rumah. 2. Pemetaan risiko permukiman akibat banjir lahar dapat dilakukan dengan membuat peta bahaya dan kerentanan dengan parameter kondisi topografi, jarak rumah terhadap sungai dan luas luapan banjir lahar.
DAFTAR REFERENSI BNPB. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar. http://geospasial.bnpb.go.id/. Diakses pada 17/01/2011. Lavigne, F., J.C. Thouret, B. Voight, H. Suwa, and A. Sumaryono. 2000. Lahars at Merapi Volcano, Central Java : an Overview. Journal of Volcanology and Geothermal Research Vol. 100 : 423 â&#x20AC;&#x201C; 456. Lavigne, Franck. 1999. Lahar Hazard Micro-Zonation and Risk Assessment in Yogyakarta City. Indonesia. GeoJournal Volume 49. Hal : 173 â&#x20AC;&#x201C; 183. Rosalina, K., Afrinia, L.P., Seftiawan, S.R.. 2012. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar Pasca Erupsi Gunung Api Merapi 2010 Di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Seminar Nasional Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sumintadiredja, Prihadi. 2000. Catatan Kuliah Volkanologi. Bandung : ITB.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
147
Thouret, J.C., F. Lavigne, K. Kelfoun, S. Bronto. 2000. Toward a Revised Hazard Assessment at Merapi Volcano, Central Java. Journal of Volcanology and Geothermal Research Vol. 100 : 479 â&#x20AC;&#x201C; 502. Wahyono, Sri Agus. 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta. Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
BIOGRAFI PENULIS Rosalina Kumalawati Rosalina Kumalawati lahir pada 4 Mei 1981. Menamatkan pendidikan dasar hingga menengah di Bantul pada tahun 1999. Mengawali pendidikan tinggi S1 di UGM, Fakultas Geografi, Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah, pada tahun 1999-2003. Pendidikan jenjang S2 di UGM, Fakultas Geografi, Program Studi Geografi Fisik, pada tahun 2003-2005. Semasa kuliah pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Kini sedang melanjutkan kuliah jenjang S3 di UGM, Fakultas Geografi, Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah, pada tahun 2010 sampai sekarang. Bekerja Sebagai Dosen di program Studi Geografi, FKIP UNLAM Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Aktif mengikuti seminar baik nasional maupun international. Aktif juga menulis paper pada seminar geospasial yang diadakan oleh UMS, UNS, seminar TIK yang diadakan UDINUS Semarang dan International Conference â&#x20AC;&#x201C; ACIKITA Foundation. Junun Sartohadi Junun Sartohadi menamatkan pendidikan dasar hingga menengah di Yogyakarta pada tahun 1986. Pendidikan jenjang S1 ditempuhnya di UGM, Fakultas Geografi, Program Studi Geomorfologi Sumberdaya Lahan, pada tahun 1991. Master of Science bidang Geoinformasi diperolehnya dari Asian Institute of Technology, BangkokThailand pada tahun 1997. Pendidikan jenjang S3 bidang Geografi Tanah ditempuhnya dari Leopold Franzens University of Innsbruck-Austria pada tahun 2001. Guru besar bidang geografi tanah disandangnya sejak 2009 dari Fakultas Geografi UGM tempatnya bekerja saat ini.
148
Rosalina Kumalawati, dkk.
Seftiawan S. Rijal Seftiawan S. Rijal, lahir pada 2 September 1990 di Balikpapan. Mengawali pendidikan tinggi pada Program Diploma III SIG dan PJ Fakultas Geografi UGM. Semasa kuliah pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Kini sedang melanjutkan kuliah jenjang sarjana di Program Extensi Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Aktif menulis paper pada seminar geospasial yang diadakan oleh UMS, UNS, seminar TIK yang diadakan UDINUS Semarang dan International Conference â&#x20AC;&#x201C; ACIKITA Foundation. R. Rijanta R. Rijanta memulai jenjang pendidikan tinggi S1 di Fakultas Geografi UGM pada tahun 1981 hingga 1986 dengan keahlian pada bidang Population Geography. S2 ditempuhnya di International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Department of Integrated Survey for Resource Development, Enschede, The Netherlands dengan keahlian dibidang Survey Integration for Resource Development pada tahun 1988 â&#x20AC;&#x201C; 1990. Sedangkan gelar Doktor untuk keahlian Rural Geography diraihnya dari Fakultas Geografi UGM dan Department of Human Geography of Developing Countries, Faculty of Geographical Sciences, Utrecht University-The Netherlands pada tahun 1998 hingga 2006. Telah menyandang Guru besar bidang Rural Geography dan Rural Development sejak 2008 dari Fakultas Geografi UGM. Rimawan Pradiptyo Rimawan Pradiptyo memulai pendidikan strata 1 di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, kemudian MSc dan PhD dalam bidang Ekonomi diraihnya pada University of York, UK. Ia mempunyai keahlian pada riset terkait Crime Economics, Game Theory, Experimental Economics, Economic Evaluation dan Industrial Economics. Mengajar pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM sejak 1994 dan menjadi Deputy of Research di P2EB FEB UGM.
Pembentukan Model dan Parameter untuk Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan Data Light Detection and Ranging (Lidar) (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit, Sumatra Selatan)
Priske Kandia, Agung Budi Hartono, Ketut Wikantika
149
150
Priske Kandia, dkk.
Pembentukan Model dan Parameter untuk Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan Data Light Detection and Ranging (Lidar) (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit, Sumatra Selatan)
Priske Kandia, Agung Budi Hartono, Ketut Wikantika Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi Bandung Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia. Email: priskekandia@yahoo.com
Abstrak Salah satu teknologi penginderaan jauh yang tengah berkembang sangat pesat ialah LiDAR, pemanfaatan data LiDAR semakin banyak dikembangkan salah satunya yakni pada bidang perkebunan dan kehutanan. Teknologi LiDAR dapat menawarkan proses pengukuran yang sangat cepat untuk area yang luas dan menghasilkan ketelitian yang bervariasi. Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia perlu mengembangkan suatu metode yang secara efektif dapat memberikan informasi detail struktur pohon kelapa sawit yang dapat digunakan untuk manajemen dan monitoring perkebunan. Di dalam Tugas Akhir ini akan dikaji mengenai proses pengolahan data point clouds LiDAR hingga dibentuk DTM (Digital Terrain Model), DSM (Digital Surface Model) dan CHM (Canopy Height Model) yang akan digunakan untuk membentuk model dan parameter kelapa sawit untuk mendeteksi individu pohon kelapa sawit dalam suatu area penelitian. Pendeteksian individu pohon secara otomatis tersebut akan menghasilkan estimasi jumlah pohon dalam suatu area, serta dilengkapi dengan informasi tinggi dan lebar diameter kanopi tiap individu pohon yang terdeteksi. Dari hasil penelitian area studi penelitian pada perkebunan kelapa sawit seluas 20 Ha, di Kabupaten Prabumulih, Sumatra Selatan, didapat hasil sejumlah 2618 pohon yang berhasil terdeteksi secara otomatis. Kemudian setelah dilakukan validasi pada beberapa sample tile pada area penelitian didapat keakurasian sebesar 93%, dengan estimasi besar kesalahan sebesar 7% untuk area seluas Âą 20 Ha. Standar deviasi yang dihasilkan untuk tinggi sebesar 0.150 meter dan untuk lebar diameter kanopi pohon sebesar 0.790 meter. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan masukan untuk pemanfaatan teknologi penginderaan jauh khususnya LiDAR dalam upaya-upaya manajemen dan identifikasi perkebunan di Indonesia. Kata kunci: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, model dan paremeter pendeteksian pohon, jumlah pohon kelapa sawit.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
151
Abstract One of the remote sensing technology that is currently growing very rapidly is LiDAR, LiDAR data utilization is being more developed in lots of fields, one of them is for plantation and forestry application. LiDAR technology can offer a very fast measurement process and produce varying accuracy for large area. Indonesia as the largest oil palm producer in the world needs to develop a method which can effectively provide detailed structural information of oil palm trees that can be used for plantation and forestry monitoring and management. This final project would assess on the data processing LiDAR, point clouds to be formed as DTM (Digital Terrain Model), DSM (Digital Surface Model) and CHM (Canopy Height Model). CHM will be used to establish model and parameter of oil palm trees to detect individual oil palm trees in a study area. Automatic detection of individual oil palm trees would provide the estimates amount of trees in study area complete with the height and diameter canopy width informations of each individual detected trees. This research showed that in the oil palm tree plantation area of 20 hectares, in Kabupaten Prabumulih, South Sumatra, a number of 2618 trees successfully detected automatically. After validation process on some tile samples in the study area of Âą 20 Ha was obtained accuracy of 93% and 7% of error estimation. The height standard deviation is 0.150 meters and the width canopy standard deviatiom is 0.790 meters. This study hopefully can be an input that is useful for the utilization of remote sensing technology especially LiDAR for plantation management and forestry monitoring in Indonesia. Keywords: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, model and parameter for trees detection, counting the amount of oil palm trees. 1. PENDAHULUAN Penggunaan teknologi penginderaan jauh kini semakin berkembang sangat pesat salah satunya yakni LiDAR (Light Detection and Ranging). LiDAR merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan tanah dalam posisi horizontal dan vertikal, (Soetaat). LiDAR dapat melakukan pemetaan skala besar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Namun pada kenyataannya, aplikasi LiDAR untuk manajemen hutan dan analisis kehutanan lebih lanjut masih jarang dilakukan terutama di Indonesia, LiDAR lebih sering digunakan untuk keperluan rona awal atau pemantauan lahan topografi suatu wilayah tambang (Comarthy, 2012). Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia memiliki area kelapa sawit diperkirakan seluas 8,4 juta hektar pada tahun 2012. Produksi minyak sawit di Indonesia mencapai 24 juta ton dan 60% dari hasil produksi tersebut telah diekspor ke negara lain, (Laporan World Growth, 2011).
152
Priske Kandia, dkk.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dikaji mengenai salah satu aplikasi LiDAR dalam bidang kehutanan atau perkebunan yakni membuat model dan parameter pohon kelapa sawit untuk mendeteksi setiap individu pohon kelapa sawit dalam suatu area studi. Sehingga dapat diestimasikan jumlah pohon kelapa sawit pada sebaran area tertentu, dilengkapi dengan informasi struktur morfologi berupa tinggi dan lebar kanopi setiap individu kelapa sawit yang terdeteksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai metode perhitungan jumlah pohon kelapa sawit yang efektif dan efisien serta dapat dijadikan sebagai masukan untuk pemanfaatan teknologi penginderaan jauh khususnya LiDAR dalam upaya-upaya manajemen dan pelestarian hutan di Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini terdapat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Skema metodologi penelitian
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
153
2. METODE Tahap awal terdiri dari studi literatur mengenai prinsip, sistem dan aplikasi LiDAR dalam bidang kehutanan, serta proses pengolahan data LiDAR dan mengenai struktur morfologi kelapa sawit khususnya mengenai stuktur morfologi kelapa sawit seperti lebar diameter kanopi dan tinggi pohon kelapa sawit relatif terhadap umur. Karena akan digunakan sebagai parameter yang dibutuhkan untuk pendeteksian setiap individu pohon kelapa sawit. Pengolahan data LiDAR yang diawali dengan proses klasifikasi data point clouds yang berjumlah jutaan titik tersebut harus dikelompokan ke dalam kelaskelas sesuai kebutuhan. Kemudian proses selanjutnya rasterisasi yakni metode untuk mendapatkan nilai pikselnya yang dapat menggambarkan ketinggian titik tersebut. Point cloud pada kelas ground akan diolah menjadi DTM dan point cloud pada kelas high vegetation pada point highest hit Z akan diolah menjadi DSM. CHM didapat dari proses pengurangan nilai piksel pada raster antara DSM dan DTM, sehingga diperoleh Canopy Height Model (CHM) yakni perbedaan tinggi antara permukaan kanopi pohon dan permukaan tanah, yaitu ketinggian pohon. Selanjutnya proses pendeteksian kelapa sawit, hasil statistik berupa sebaran ketinggian pohon tersebut dapat digunakan sebagai parameter untuk melakukan pendeteksian setiap individu pohon kelapa sawit.
3. DATA DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Dalam Tugas Akhir ini data yang digunakan didapat dari PT McElhanney Indonesia. Data tersebut diakuisisi pada tanggal 8-9 Juli 2011, menggunakan alat Leica ALS60 diintegrasikan dengan IMU dan Antenna GPS L1/L2 Novatel. Area tersebut merupakan area perkebunan kelapa sawit yang berada di daerah Kabupaten Prabumulih, Provinsi Sumatra Selatan, seluas Âą 20 Ha dengan total point clouds sejumlah 600.245 titik dalam kelas yang belum terklasifikasi (default). Data tersebut telah tergeoreferensi dalam TM WGS 1984. Serta dilengkapi dengan orthophoto true colour .menggunakan kamera digital Leica RCD105 Digital Frame Camera for ALS dengan resolusi 39 Mega Pixels yang sudah direferensikan ke TM WGS84.
154
Priske Kandia, dkk.
Gambar 2. Area studi penelitian
3.2 Pengolahan Data Proses pengolahan data terbagi dalam beberapa tahap yakni: 3.2.1
Proses Pengolahan Data LiDAR
Proses pengolahan LiDAR dilakukan dalam perangkat lunak Bentley Microstation TerraSolid yang memiliki ekstensi Terra Scan, Terra Photo dan Terra Model. Tahap pengolahan data LiDAR yang pertama dilakukan ialah: 1. Tiling Proses pembagian data tersebut dalam grid yang lebih kecil agar software dapat lebih mudah memproses jutaan titik. 2. Klasifikasi Ground Points Proses klasifikasi dilakukan untuk memisahkan antara point cloud hasil pemantulan dari suatu jenis objek dengan jenis objek lainnya, maupun dengan hasil pemantulan dari permukaan tanah (Sithole,2005). Dalam makalah ini, point clouds akan terbagi menjadi 4 kelas yakni ground, low vegetation, medium vegetation dan high vegetation. Tahapan klasifikasi dilakukan melalui dua metode klasifikasi, yaitu secara semi-otomatis dan manual. a. Klasifikasi Semi-otomatis Dalam klasifikasi semi otomatis terdapat proses penentuan batas-batas parameter pada area studi yang diperlukan dan harus ditentukan sendiri oleh pengguna. Tahap klasifikasi yang pertama adalah ground filtering. Pada tahap ini dilakukan pemisahan antara ground point dengan titik-titik lainnya. Klasifikasi ini merupakan bagian yang penting karena DTM yang akurat hanya dapat diperoleh apabila titik-titik lainnya telah dihilangkan dari ground points.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
155
Untuk mengidentifikasi ground points ke dalam kelasnya, sangatlah penting untuk memahami karakteristik fisik dari ground points yang terklasifikasikan dalam beberapa parameter dalam perangkat lunak Bentley Microstation Terrasolid, yakni : ď&#x201A;ˇ Maximum building size : Ukuran panjang atau lebar terbesar dari semua bangunan yang ada pada area survey. Namun, pada area studi tidak terdapat bangunan apapun. ď&#x201A;ˇ Terrain angle : Batas kecuraman dari sudut kemiringan terbesar yang diperbolehkan bagi dua buah titik yang berketetanggaan untuk dapat dianggap sebagai satu kelas permukaan tanah pada proses pengidentifikasian. ď&#x201A;ˇ Iteration angle : Sudut maksimum antar titik atau perubahan sudut kemiringan maksimum antara dua iterasi selama analisis permukaan tanah. Biasanya antara 4 o -10 o. ď&#x201A;ˇ Iteration distance: Jarak maksimum antara dua titik yang akan diklasifikasikan, tegak lurus dengan model permukaan tanah yang sudah ada. Disebut juga jarak maksimum antar dua titik. Biasanya antara 0,5 meter - 1,5 meter. Parameter klasifikasi ground points terdapat pada tabel 1. Tabel 1. Parameter klasifikasi point cloud kelas ground
Terrain Angle Itteration Angle Itteration Distance Max Building Size
77o 8o 1,5 m 26 m
Parameter tersebut didapat dari beberapa literatur (Meng, 2010) serta uji statistik trial and error. Ilustrasi parameter diatas ditunjukan pada gambar 3 di bawah ini:
Gambar 3. Ilustrasi parameter klasifikasi kelas ground
156
Priske Kandia, dkk.
Proses klasifikasi diawali dengan membentuk model awal permukaan tanah di mana titik inisial berupa titik-titik dengan elevasi terendah dan berdasarkan jarak sesuai parameter maximum building size. Setelah itu dilakukan uji kesesuaian titik-titik yang berada pada model permukaan tanah yang sudah ada terhadap ketiga parameter lainnya. Apabila memenuhi, maka titik tersebut akan dimasukkan ke dalam kelas permukaan tanah atau ground point. b. Klasifikasi Manual Klasifikasi dengan cara manual dilakukan untuk memeriksa data point cloud hasil klasifikasi dari proses automatic classification. Sering kali terjadi kesalahan klasifikasi (misclassified). Karena itu, diperlukan pengecekan dan klasifikasi secara manual untuk memastikan semua data berada pada kelas yang sesuai dengan melakukan visualisasi tampak samping (cross section atau side seeing). c. Klasifikasi Low, Medium, High Vegetation Parameter tinggi vegetasi rendah, sedang dan tinggi relatif dari ground ditunjukkan pada Tabel 2. Parameter di bawah ini hasil uji statistik trial dan error serta studi referensi mengenai parameter tinggi klasifikasi vegetasi. Tabel 2. Parameter tinggi klasifikasi kelas vegetasi
3.
Rasterisasi DTM dan DSM Selanjutnya kelas-kelas point cloud tersebut akan di-generate untuk diperoleh raster dua dimensi dari DTM dan DSM. Point clouds kelas ground akan menjadi Digital Terrain Model (DTM). Sedangkan kelas DSM akan dibentuk dari high vegetation (point cloud kanopi pohon yang memiliki tinggi terbesar dari permukaan tanah).
4.
Mengekstrak Canopy Height Model (CHM) CHM didapat dari proses pengurangan nilai piksel pada raster (raster DSM yang dikurangi oleh raster DTM). CHM yang didefinisikan sebagai sebaran perbedaan tinggi antara permukaan kanopi pohon dan permukaan tanah, yaitu ketinggian pohon.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
157
Hasil statistik dari ketinggian pohon tersebut dapat digunakan sebagai parameter untuk melakukan pendeteksian dan perhitungan jumlah kelapa sawit. 3.2.2
Proses Pendeteksian Pohon
Tahap proses pendeteksian pohon secara otomatis terdiri dari beberapa tahap yakni: 1.
Penentuan Parameter Identifikasi Pohon Dalam proses pendeteksian pohon oleh perangkat lunak Terrasolid terdapat beberapa parameter yang harus ditentukan yakni: ď&#x201A;ˇ Minimum Height (tinggi minimal satu pohon) : 3 meter ď&#x201A;ˇ Maximum Height (tinggi maksimal suatu pohon) : 16 meter. ď&#x201A;ˇ Width Variation (variasi lebar kanopi pohon) : 10 % - 30% Parameter tersebur didapat dari hasil CHM (Canopy Height Model) pada proses pengolahan data LiDAR. Dalam proses ini, data point clouds akan dilihat berdasarkan range tinggi minimum dan maksimumnya, apakah sebaran point clouds tersebut terkategorikan sebagai suatu pohon.
2. Pembentukan sampel model individu pohon Pembentukan model individu pohon kelapa sawit tersebut dibentuk dari pengambilan sampel satu individu pohon pada data point cloud-nya. Pada Gambar 4 (kiri) ditunjukkan hasil cross section point cloud satu individu pohon, setelah itu dibuat pemodelan satu bentuk kelapa sawit mengikuti sebaran point cloud yang membentuk pohon tersebut. Setelah di-generate maka bentuk tersebut akan direfleksikan secara otomatis hingga membentuk satu model bentuk pohon (kanan).
Gambar 4. Point cloud dan sampel model individu pohon
3.2.3
Proses Validasi Hasil Pendeteksian Pohon
Hasil pendeteksian pohon secara otomatis tersebut akan divalidasi dalam beberapa proses yakni:
158
Priske Kandia, dkk.
1.
Estimasi range jumlah pohon kelapa sawit pada area seluas 20 ha. Biasanya kelapa sawit ditanam dengan jarak tanam 9x9x9 meter, sehingga dalam 1 ha terdapat 130-145 pohon, (Badan Pusat Statistik Sawit, 2012). Dari total ± 20 Ha dan dengan total lahan kosong seluas ± 0,67 Ha. Maka total jumlah pohon diestimasikan berada pada range: 2512 – 2764 pohon sawit. 2. Tiling Membagi orthophoto tersebut menjadi 20 tiles yaitu 5 kolom secara horizontal dan 4 baris secara vertical. 3. Export & Convert Export hasil deteksi pohon (otomatis) dan convert shapefilenya yang berupa titik centroid & poligon setiap individu pohon yang terdeteksi secara otomatis. Membuat Titik Validasi Titik validasi berupa titik centroid dan poligon yang tersebar merata pada kanan-kiri (atas & bawah) dan tengah. 4. Deteksi Visual Mendeteksi secara visual apakah pada sebaran poligon titik validasi tadi terdapat juga poligon hasil deteksi otomatis. 5. Bandingkan Lebar Kanopi dan Tinggi Pohon Setiap individu pohon yang berhasil terdeteksi memiliki informasi tinggi dan perimeter (keliling pohon) yang dapat dihitung diameternya dari rumus keliling lingkaran. Jumlah pohon dalam beberapa sampel tiles Bandingkan jumlah pohon dari hasil deteksi otomatis dan manual pada tiga jenis tile yang karakteristik pohonnya rapat sekali, cukup rapat dan teratur, renggang sekali juga terdapat lahan kosong. 4. PEMBAHASAN 4.1 Analisis Hasil Proses Pengolahan Data LiDAR Setelah seluruh point clouds terklasifikasi ke dalam kelas yang sesuai. Tabel 3 merupakan hasil statistik klasifikasi kelas point clouds: Tabel 3. Hasil statistik klasifikasi point clouds Class 1 2 3 4 5 6
Description Default Ground Low Vegetation Medium Vegetation High Vegetation Building Total points
Points 0 136.420 10.274 8.100 445.451 0 600.245
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
159
Parameter proses pengklasifikasian point clouds harus tepat (sesuai dengan karakteristik lahan area penelitian) dan juga dengan melakukan uji statistik dan trial error. Ketika input parameter telah memberikan hasil statistik yang terbaik, maka perlu dilakukan pengecekan point clouds dengan draw section dan membrush manual sehingga point terklasifikasi dengan baik. Hasil DTM dihasilkan terdapat pada gambar sebagai berikut:
Digital Terrain Model (DTM)
Gambar 5. Hasil Digital Terrain Model
Digital Surface Model (DSM) Legend
Gambar 6. Hasil Digital Surface Model
Canopy Height Model (CHM)
Legend
Gambar 7. Hasil Canopy Height Model
Tinggi rata-rata sebaran pohon yang ditunjukkan pada CHM yakni 12,5 meter, dengan nilai range antara -0,5676 meter hingga 17,8 meter dan tinggi minimum 3 meter. Ketika mengekstrak CHM terdapat tinggi pohon yang minus, dilihat dari
160
Priske Kandia, dkk.
value pixel raster terdapat 226 value dalam jumlah value 204683 yakni hanya sebesar 0,1%. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh low points pada data LiDAR. Low points disebut juga noise (kesalahan/gangguan) pada LiDAR, seharusya dihilangkan pada proses pengklasifikasian titik. Faktor lainnya mungkin dikarenakan ketika proses pengklasifikasian titik ground dan vegetasi lainnya masih belum sempurna. 4.2 Analisis Hasil Proses Pendeteksian Pohon Hasil dari pendeteksian pohon secara otomatis terdeteksi jumlah pohon sebanyak 2.618 pohon pada luasan area kurang lebih 20 hektar. Berdasarkan referensi Badan Pusat Statistik Sawit, dalam 20 Ha diestimasikan berada pada range: 2512 â&#x20AC;&#x201C; 2764 pohon sawit. Sehingga 2618 dinyatakan telah masuk dalam range. Hasil deteksi pohon kelapa sawit secara otomatis merupakan poligon pohon, setiap individu dari poligon pohon kelapa sawit yang berhasil terdeteksi masingmasing memiliki identitas (ID) dari setiap poligon, elevasi (mengacu pada MSL) serta tinggi dari masing-masing pohon.
Gambar 8. Hasil deteksi otomatis poligon pohon kelapa sawit
Analisis dari hasil pendeteksian pohon tersebut yakni: ď&#x201A;ˇ ď&#x201A;ˇ
Parameter pendeteksian pohon harus tepat dan sesuai dengan sebaran tinggi pohon pada area tersebut. Pemodelan sampel bentuk individu pohon harus mewakili sebaran pohon pada area tersebut. Apabila terlalu lebar, maka sedikit sekali pohon yang akan terdeteksi. Bentuk harus disesuaikan dengan hasil point cloud yang membentuk satu pohon.
4.3 Analisis Hasil Proses Validasi Pendeteksian Pohon Hasil validasi menunjukkan terdapat 93 pohon yang terdeteksi pada total 100 pohon hasil digitasi manual di area yang sama. Terdapat 7 pohon yang seharusnya terdeteksi namun tidak berhasil terdeteksi. Standar deviasi untuk
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
161
tinggi sebesar 0,150 meter dan standar deviasi untuk lebar kanopi sebesar 0,790 meter. Dari keseluruhan data hasil validasi terdapat selisih lebar kanopi yang terbesar dan terkecil sebesar 2,299 meter dan -5,1E-06 meter. Perbedaan lebar kanopi tersebut disebabkan karena tegakan pohon yang terlalu rapat membuat proses delineasi menjadi kurang tepat karena kanopi antar pohon saling tumpang tindih. Kemudian karena proses validasi menggunakan orthophoto maka terdapat efek distorsi kamera pada foto yang letaknya jauh dari pusat eksposur kamera. Semakin menjauhi pusat eksposur maka semakin besar distorsi kamera yang terjadi pada orthophoto. Validasi lainnya yang dilakukan yakni analisis jumlah pohon pada 3 sample tile yang diasumsikan rapat sekali, cukup rapat (renggang) dan renggang serta terdapat lahan kosong. Tile 3 diasumsikan memiliki sebaran pohon kelapa sawit yang cenderung rapat sekali. Hasil uji validasi: Hasil deteksi otomatis: 130 pohon Hasil deteksi manual: 134 pohon Perbedaan jumlah pohon: 4 pohon. Persentase kesalahan: 2,99 %
Gambar 9. Tile 3 (rapat sekali)
Tile 14 diasumsikan memiliki sebaran pohon kelapa sawit yang cenderung cukup rapat dan juga memiliki jarak spasi antar pohon (renggang). Hasil uji validasi: Hasil deteksi otomatis: 118 pohon Hasil deteksi manual: 117 pohon Perbedaan jumlah pohon: 1 pohon. Persentase kesalahan: 0,86 %.
162
Priske Kandia, dkk.
Gambar 10. Tile 14 cukup rapat & memiliki spasi
Tile 16 diasumsikan memiliki sebaran pohon yang renggang juga terdapat lahan kosong. Hasil uji validasi: ď&#x201A;ˇ Hasil deteksi otomatis: 103 pohon ď&#x201A;ˇ Hasil deteksi manual: 108 pohon ď&#x201A;ˇ Perbedaan jumlah pohon: 5 pohon. ď&#x201A;ˇ Persentase kesalahan: 4,63 %.
Gambar 11. Tile 16 (renggang dan ada lahan kosong)
Selain itu sebaran point clouds yang merata pada area penelitian akan mempengaruhi hasil pendeteksian pohon. Semakin rapat point clouds maka semakin baik hasil delineasi pohon yang dihasilkan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
5
163
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini ialah: 1. Penentuan model bentuk dan parameter untuk mengestimasi jumlah kelapa sawit dalam penelitian ini dapat digunakan untuk estimasi jumlah kelapa sawit dengan akurasi yang cukup baik yakni 93 % untuk area seluas 20 hektar. Dengan standar deviasi untuk tinggi sebesar 0,150 meter dan standar deviasi untuk lebar kanopi sebesar 0,790 meter. Referensi menyatakan bahwa perbedaan hasil perhitungan pohon secara manual (survei lapangan) dan otomatis (hasil digitasi citra) pada perkebunan tidak boleh melebihi 2 % dari total jumlah area yang sangat luas. 2. Ketelitian output produk LiDAR (DTM, DSM dan CHM) sangat bergantung pada proses pengklasifikasian titik point cloud ke dalam kelasnya. Kesalahan pengklasifikasian titik (point labeling error) dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya ialah: ď&#x201A;ˇ Parameter klasifikasi pada metode automatic classification. Semakin tepat parameter klasifikasi yang digunakan yakni semakin sesuai dengan sebaran area point cloud pada terrain area maka hasil statistik dari klasifikasi point akan semakin baik dan tepat. ď&#x201A;ˇ Uji statistik trial & error, Dengan melakukan uji statistik trial and error maka beberapa parameter akan diuji dan dilihat mana yang member ikan hasil yang terbaik. ď&#x201A;ˇ Inspeksi manual pada metode semi automatic classification Apabila tahap klasifikasi point cloud tersebut telah dilakukan dengan baik maka hasil generate DTM dan DSM nya pun akan lebih baik. Sehingga akan menghasilkan CHM yang lebih baik pula.
5.2 Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya ialah: 1. Metode penelitian ini akan dapat memberikan hasil yang lebih baik lagi apabila kelapa sawit yang diteliti masih berumur muda yakni 3-5 tahun. Karena kanopi antar pohon belum terlalu rapat (tumpang tindih). Sehingga hasilnya akan memberikan keakuratan yang lebih teliti lagi karena pelapah pohon masih pendek dan belum merambah ke pepohonan lain. 2. Selain itu, menurut referensi jumlah point density yang ideal untuk studi penelitian atau aplikasi data LiDAR pada bidang kehutanan dan perkebunan ialah 4-10 points/sqm. (Cormarty, 2012). Sedangkan kerapatan point cloud dari data yang digunakan dalam peneltian ini sebanyak 2-3 points/sqm, hal ini menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan data LiDAR tersebut
164
Priske Kandia, dkk.
khususnya dalam bidang perkebunan. Karena rimbunnya dedaunan dari pepohonan pada kawasan kehutanan dan perkebunan menyebabkan pulsa laser tidak dapat meng-cover elevasi ground dengan sempurna apabila kerapatan titiknya hanya sebanyak 2-3 points/sqm.
DAFTAR REFERENSI Abidin, H. Z. (2001). Geodesi Satelit. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Aldred A. dan Bonner M. 1985. Application of Airborne Lasers to Forest Surveys. Canada: Canadian Forestry Service, Petawawa National Forestry Centre, Information Report. Alif, Teguh Fayakun. (2010). Airborne LIDAR Bathymetry. Bogor : Bakosurtanal. Barbara, K., Ursula, Heyder, H., & Weinacker. (2006). Detection of Individual Tree Crowns in Airborne Lidar Data.American Society for Photogrammetry and Remote Sensing. BC-CARMS. (2006) LiDAR â&#x20AC;&#x201C; Overview of Technology Applications . Victoria, BC. Burtch, Robert. (2001) Lidar Principles and Applications. Big Rapids. Esri. 2010. Lidar Analysis in ArcGIS 9.3.1 for Forestry Applications. New York, USA : Esri. Kelley, Beth. (2010) Lidar monitors environmental changes [Online] // SPIE. http://spie.org/x41688.xml. Lohani, Bharat. 1996. Airborne Altimetric LIDAR: Principle, Data Coleection, Processing. India : Departement of Civil Engineering. Meng, X., Currit, N., & Zhao, K. (2010). Ground Filtering Algorithms for Airborne LiDAR Data: A Review of Critical Issues. San Marcos, USA. M.Z.A., Rahman & Gorte, B. Individual tree detection based on densities of high points of high resolution airborne lidar. the Netherland : Delft University of Technology, 2629 HS. Tittmann, P., Shafii, S., & Hartsough, B. Tree detection and delineation from LiDAR point clouds using RANSAC. Young, James. (2008) LiDAR Trends and Development. Colorado. Yayusman, Lissa Fajri. (2011). Pengukuran Parameter Struktural Hutan menggunakan Data Light Detection and Ranging. Tugas Akhir. Bandung: Teknik Geodesi dan Geomatika. Institut Teknologi Bandung
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
165
BIOGRAFI PENULIS Priske Kandia Priske Kandia dilahirkan di Bandung pada 30 September 1991. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 3 Bandung dan kemudian memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung. Saat ini Priske aktif bekerja sebagai salah satu data processor di Asean Geos Sdn Bhd, Kuala Lumpur.
Agung Budi Harto Agung Budi Harto dilahirkan pada tanggal 22 Agustus 1967 di Malang. Memperoleh gelar Insinyur dari Teknik Geodesi pada tahun 1991. Kemudian melanjutkan program Master dan Doktor di Chiba University pada bidang Geoscience. Semenjak tahun 1995 hingga saat ini aktif mengajar di Teknik Geodesi dan Geomatika ITB. Berbagai hasil karya penelitian pun telah banyak dipublikasikan khususnya terkait dengan bidang penginderaan jauh hidrologi, fotogrametri, dan Sains Informasi Geografis. Hingga saat ini Agung Budi Harto juga aktif dalam berbagai organisasi yang berkaitan dengan bidang penelitian tersebut, di antaranya Ikatan Surveyor Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia serta Pusat Penginderaan Jauh ITB.
Ketut Wikantika Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB,
166
Priske Kandia, dkk.
dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB. Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor Indonesia.
Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR Menggunakan Citra Alos Palsar
Rohullah Ragajaya, Firman Hadi, Ketut Wikantika
167
168
Rohullah Ragajaya, dkk.
Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR Menggunakan Citra Alos Palsar
Rohullah Ragajaya1, Firman Hadi2, Ketut Wikantika3 1,3 Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. 1,2,3 Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi Bandung Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia. Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702 Email: rohullahragajaya@rocketmail.com
Abstrak Mengingat pentingnya perhitungan jumlah biomassa pada suatu hutan untuk menganalisis perubahan iklim serta kelestarian alam, maka diharapkan ada metode perhitungan jumlah biomassa secara cepat, hemat, efektif dan efisien baik tenaga, biaya, dan waktu. Mengetahui jumlah biomassa pada hutan juga bisa digunakan sebagai referensi untuk mengambil kebijakan-kebijakan terkait dengan isu-isu tentang global warming dan climate change. Dalam realisasinya, sebenarnya ada banyak metode yang digunakan untuk menghitung dan mengestimasi jumlah biomassa, namun dalam metode-metode tersebut ada beberapa kelebihan dan kekurangan. Metode perhitungan biomassa yang biasa digunakan adalah metode secara perhitungan langsung ke lapangan (in situ), namun metode perhitungan biomassa seperti ini memiliki banyak kekurangan, diantaranya yaitu memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang sangat lama apabila perhitungan biomassa tersebut dilakukan dihutan yang sangat luas. Oleh karena itu diperlukan metode perhitungan biomassa lain yang bisa dilakukan untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut. Metode yang akan digunakan tersebut adalah metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan satelit Radar yang saat ini teknologinya sedang mengalami perkembangan yang pesat. Untuk melakukan perhitungan biomassa dengan menggunakan metode ini, diperlukan data polarimetrik SAR (Synthetic Aperture Radar). Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahawa metode perhitungan biomassa dengan menggunakan metode polarimetrik SAR ini dapat mengesetimasi jumlah biomassa pada hutan, perkebunan, dan daerah tutupan lahan lainnya. Kata Kunci : Penginderaan Jauh, Biomassa, Polarimetrik SAR Abstract Given the importance of the calculation of the amount of biomass on the forest for analyzing climate change and environmental sustainability, it is expected that no method of calculation of the amount of biomass in a timely, efficient, effective
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
169
and efficient good effort, cost, and time. Knowing the amount of forest biomass can also be used as a reference for taking policies related to issues of global warming and climate change. In fact there are many methods used to calculate and estimate the amount of biomass, but in these methods there are some advantages and disadvantages. Biomass calculation method is commonly used the method of direct calculation on the field (in situ), but the method of calculation of biomass as it has many disadvantages, among which were expensive and a very long time if the calculation is done the forest biomass is a very broad. Therefore we need another method of calculation of biomass that can be done to cover the shortfall. The method to be used is a method of remote sensing using satellite radar technology that is currently undergoing rapid development. To doing these calculation of biomass by using this method, polarimetric SAR (Synthetic Aperture Radar) data are needed. The results in this study shows that the method of calculation of the biomass by using polarimetric SAR can estimate amount of biomass in forests, plantations and other land cover areas. Keywords : Remote sensing, Biomass, Polarimetric SAR
1.
PENDAHULUAN
Isu tentang pemanasan global akhir-akhir ini sedang banyak diperbincangkan di dunia. Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya suhu rata-rata permukaan muka bumi yang disebabkan oleh semakin banyaknya gas-gas rumah kaca yang dihasilkan secara alami dan dari aktivitas manusia. Salah satu di antara gas-gas rumah kaca tersebut adalah karbondioksida. Dengan meningkatnya perindustrian dan transportasi mengakibatkan meningkatnya pula penggunaan bahan bakar fosil sehingga kadar karbondioksida di atmosfer semakin bertambah. Untuk mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer salah satu caranya adalah dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi pohon dihutan. Hal ini dikarenakan pepohonan dapat menyimpan karbon di dalam tubuhnya melalui berbagai proses pada tumbuhan, salah satunya adalah proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis tersebut, karbondioksida disimpan sebagai materi organik dalam biomassa tumbuhan. Perhitungan biomassa merupakan salah satu proses penting yang harus dilakukan untuk mengamati dan mempelajari adanya perubahan iklim akibat meningkatnya jumlah karbondioksida. Perhitungan biomassa ini bisa dilakukan secara konvensional dengan pengukuran lapangan, namun metode konvensional ini memiliki banyak kekurangan, di antaranya yaitu area pengukuran yang sangat luas sehingga membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang cukup besar sehingga kurang efektif dan efisien. Salah satu metode yang efektif dan efisien yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Dan yang akan dibahas pada makalah ini adalah perhitungan atau estimasi biomassa dengan menggunakan
170
Rohullah Ragajaya, dkk.
teknologi penginderaan jauh dengan memanfaatkan citra radar dari satelit ALOS PALSAR.
2.
WILAYAH STUDI
Penelitian ini dilakukan di daerah kabupaten Subang di bagian utara Provinsi Jawa Barat yang mempunyai letak geografis pada posisi 6° 12’ 41” LS - 6° 48’ 21” LS dan 107° 31’ 51” BT - 107° 55’ 16” BT. Kabupaten Subang ini mempunyai batas-batas wilayah yaitu disebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Bandung, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Indramayu, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang. Luas wilayah Kabupaten Subang sekitar 205176 ha. Namun, karena data citra satelit hanya mencakup sebagian dari wilayah Kabupaten Subang,
maka luas area penelitian ini sebesar 188035,02 ha.
Gambar 1. Daerah Penelitian, Kabupaten Subang, Jawa Barat (Sumber: http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id)
Secara umum wilayah Kabupaten Subang memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun 2352 mm. Dengan iklim yang demikian serta ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai, menjadikan sebagian besar tanah di Kabupaten Subang digunakan untuk hutan, pertanian, perkebunan, dan tambak. Secara umum wilayah kabupaten Subang terbagi menjadi tiga bagian wilayah, yaitu wilayah selatan, wilayah tengah, dan wilayah utara. Sebagian besar wilayah kabupaten Subang bagian selatan berupa daerah
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
171
perkebunan, hutan, dan lokasi pariwisata. Pada bagian tengah wilayah kabupaten Subang ini berkembang perkebunan karet, tebu dan buah-buahan dibidang pertanian dan pabrik-pabrik dibidang industri, selain perumahan dan pusat pemerintahan serta instalasi militer. Kemudian pada bagian utara wilayah kabupaten Subang berupa sawah berpengairan teknis dan tambak serta pantai.
3.
DATA YANG DIGUNAKAN
Pada penelitian ini digunakan data sebagai berikut :
Citra ALOS-PALSAR yang dicitrakan pada tanggal 25 Maret 2007, dengan jumlah piksel row 18432 dan column 1248 yang mempunyai resolusi 21 meter. Citra ini adalah citra yang diambil di sekitar kabupaten Subang, Jawa Barat.
Peta DEM (Digital Elevation Model) yang didapatkan dari SRTM, yang mengacu pada datum geodetik WGS 1984 dengan sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zona 48 bumi bagian selatan. Resolusi pada peta DEM ini adalah 90 meter.
4. METODE Data citra ALOS PALSAR yang dipakai adalah citra dengan mode PLR (Polarimetric) yang bersifat quad-polarization. Data citra ini masih bersifat SLC (Single Look Complex) sehingga harus dilakukan beberapa pra-pengolahan citra. 4.1 Proses Multilook dan Filtering Proses multilook ini berfungsi untuk mengubah data citra yang masih bersifat SLC (Single Look Complex) menjadi data citra yang sudah ter-multilook. Citra radar SLC (Single Look Complex) masih terlihat “strecth”, oleh karena itu melalui proses multilook inilah citra tersebut di extract dan di”mampatkan” sehingga nampak terlihat lebih “padat”. Setelah dilakukan proses multilook pada citra radar, langkah selanjutnya adalah melakukan proses filtering. Proses filtering ini dilakukan untuk mengurangi secara signifikan kesalahan-kesalahan yang terjadi akibat gangguan pada saat pengambilan citra, gangguan-gangguan ini dapat mempengaruhi kenampakan pada citra sebagai piksel-piksel yang terang atau gelap. Secara fisik hal ini dapat dilihat pada citra yaitu kenampakan adanya titik-titik buram atau titik-titik putih terang. Titik-titik buram atau titik-titik putih terang pada piksel tersebut dikenal sebagai speckle noise
172
Rohullah Ragajaya, dkk.
Gambar 2. Citra Radar yang sudah multilook
Gambar 3. Citra Radar yang sudah dilakukan proses filtering
4.2 Geocoding Proses geocoding adalah proses untuk menghubungkan data yang belum mempunyai sistem koordinat dengan data yang sudah mempunyai sistem koordinat (misalnya sistem koordinat geografis) atau secara lebih sederhananya adalah proses penentuan proyeksi peta dan datumnya. Sebagai data yang belum mempunyai sistem koordinat di sini adalah citra radar ALOS PALSAR, karena data ini hanya mempunyai ukuran-ukuran piksel saja. Sedangkan data yang digunakan untuk proses geocoding dan yang sudah mempunyai sistem koordinat, digunakan data DEM (Digital Elevation Model). Data DEM ini menggunakan sistem proyeksi UTM dengan datum WGS â&#x20AC;&#x2122;84.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
173
Gambar 4. Hasil proses geocoding pada citra radar
Metode resampling yang digunakan untuk melakukan proses geocoding adalah nearest neighbor. Metode resampling adalah teknik atau model matematik yang digunakan untuk membuat versi baru dari gambar atau image dengan lebar dan/atau tinggi yang berbeda. Metode resampling nearest neighbor adalah metode resampling yang paling sederhana, metode ini hanya menghitung nilai piksel yang baru sebagai nilai dari piksel yang terdekat pada gambar asli (Sachs, 2001). Keuntungan dalam penerapan metode nearest neighbor adalah nilai kecerahan pada masing-masing piksel yang terdapat pada citra output/ keluaran akan sama pada citra aslinya, karena metode ini tidak membuat nilai intensitas yang baru yang dapat mengubah informasi yang ada pada citra input/ masukan, sehingga informasi yang terdapat pada citra masukan dan keluaran akan tetap sama (Novresiandi, 2011). 4.3 Polarimetric Decomposition Hamburan balik radar ini banyak dipengaruhi oleh karakteristik permukaan, misalnya permukaan pada objek pada permukaan bumi. Selanjutnya menurut Freeman dan Durlen (1998), terdapat tiga mekanisme scattering dasar yaitu surface scattering (single bounce), double bounce scattering, volume (canopy) scattering. Untuk mendapatkan citra radar sesuai dengan karakteristik scattering dasar tadi, dilakukan proses polarimetric decomposition. Dalam kaitannya untuk melakukan perhitungan atau estimasi biomassa, diperlukan dua jenis mekanisme scattering dasar yaitu surface scattering (single bounce) dan volume (canopy) scattering.
174
Rohullah Ragajaya, dkk.
A B Gambar 5. (A) Citra dengan mekanisme surface scattering dan (B) Citra dengan mekanisme volume (canopy) scattering
4.4 Menghitung nilai µ Menurut Shane R. Cloude nilai µ adalah nilai rasio dari surface scattering dan volume (canopy) scattering. Untuk mendapatkan nilai µ ini adalah dengan melakukan perhitungan bandmath menggunakan software ENVI 4.8 pada citra surface scattering dan citra volume (canopy) scattering. Nilai piksel pada kedua citra tersebut kita rasiokan sehingga menghasilkan satu citra radar baru. Dalam kaitannya dengan penelitian tugas akhir ini citra tersebut diberi nama citra µ. Citra µ yang didapatkan bisa dilihat pada gambar 6 sebagai berikut :
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
175
Gambar 6. Visualisasi hasil citra µ
Nilai µ yang didapatkan dari citra yang akan diolah mempunyai rentang nilai Digital Number (DN) dari 0 sampai dengan 186,3347. Apabila rona pada citra µ semakin gelap maka nilai DN µ-nya mendekati nilai 0, sedangkan apabila rona pada citra µ semakin terang maka nilai DN µ-nya akan semakin besar. Warna yang semakin gelap pada citra µ menunjukkan banyak terdapat vegetasi pada daerah tersebut, sedangkan warna yang semakin terang pada citra µ menunjukkan jarang atau tidak terdapat vegetasi pada daerah tersebut. 4.5 Pengklasifikasian landcover pada citra µ Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengklasifikasian pada beberapa landcover yaitu daerah hutan, daerah perkebunan, daerah pemukiman, dan daerah perairan. Tujuan pemilihan beberapa landcover tersebut agar bisa dilakukan perbandingan hasil perhitungan jumlah biomassa pada area yang banyak terdapat vegetasi (hutan), area yang cukup banyak terdapat vegetasi (perkebunan), dan area yang jarang/ tidak ada vegetasi (pemukiman/ perairan). untuk mengetahui atau mengklasifikasi landcover misalnya daerah hutan atau daerah perkebunan pada citra radar tidak bisa dilakukan secara langsung visual. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka digunakanlah citra/ image dari Google Earth untuk mengklasifikasi. Citra dari Google Earth bisa memberikan citra visual yang lebih jelas dibandingkan dengan citra dari radar. Berikut adalah tampilan citra wilayah kabupaten Subang pada Google Earth :
176
Rohullah Ragajaya, dkk.
Gambar 7. Citra wilayah kabupaten Subang dari Google Earth
Tampak pada gambar di atas citra Google Earth, secara visual lebih jelas dan lebih terlihat asli pada objek yang ada di permukaan bumi. Pada Google Earth tersebut, satelit yang digunakan adalah satelit GeoEye yang diambil tahun 2012. Apabila dilakukan zoom akan lebih nampak jelas landcover pada wilayah tersebut. Pada Gambar 8 dapat dilihat tampilan contoh gambar landcover hutan, perkebunan, dan pemukiman yang telah dilakukan zooming. Apabila sudah dilakukan klasifikasi berdasarkan landcover, maka langkah berikutnya adalah mencari nilai koordinat pada citra Google Earth. Dalam pencarian nilai koordinat tersebut, pada penelitian ini diambil nilai koordinat tengah dalam plot area landcover yang sudah dibuat. Selanjutnya dengan nilai koordinat yang sudah didapat dari citra Google Earth, nilai koordinat ini digunakan untuk mencari daerah landcover hutan, perkebunan, pemukiman, dan perairan pada citra radar.
177
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
A
B
C Gambar 8. (A) Daerah hutan; (B) daerah perkebunan; (C) daerah pemukiman
Dari masing-masing landcover yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, dan perairan dibuat enam plot area di mana dalam masing-masing plot area dibagi lagi menjadi tiga ROI (Region of Interest). Pada Gambar 8 menunjukkan pengambilan plot area pada daerah hutan yang berjumlah enam plot area. Pada masing-masing plot area tersebut dibuat tiga ROI, dimana dalam satu ROI memliki ukuran 3x3 piksel. Pada masing-masing ROI inilah dihitung nilai DN Âľnya yang kemudian dihitung jumlah biomassanya dengan menggunakan WCM (Water Cloud Model).
178
Rohullah Ragajaya, dkk.
4.6 Perhitungan Biomassa Untuk melakukan perhitungan biomassa, digunakan suatu model perhitungan yang disebut sebagai WCM (Water Cloud Model). Melalui penurunan hitungan secara matematis yang mengacu pada model tersebut oleh Shane R. Cloude, didapatkan persamaan matematis untuk menghitung stem volume, yaitu : (
)
(1)
Keterangan : V = stem volume β = konstanta two-way transmissivity (0,004) R = perbandingan koefisien backscatter (0,5) µ = nilai rasio dari surface scattering dan volume (canopy) scattering Setelah didapatkan nilai V (stem volume) maka nilai ini kemudian dikonversi menjadi nilai biomassa. Menurut Askne J. dan M. Santoro, et al (2003) e.g. for Boreal Forest, hubungan biomassa dan stem volume adalah sebagai berikut : Biomassa = 60% x stem volume 5.
(2)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan biomassa dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung biomassa pada beberapa landcover area yaitu landcover hutan, perkebunan, pemukiman, dan perairan. Dengan demikian bisa dilakukan perbandingan jumlah biomassa antara jumlah biomassa di daerah yang mempunyai banyak vegetasi/ tumbuhan dan biomassa di daerah yang mempunyai sejumlah kecil vegetasi/ tumbuhan. Proses pengambilan sampel biomassa dilakukan pada masing-masing area yaitu area hutan, perekebunan, pemukiman, serta perairan. Dalam setiap area diambil enam sampel lagi dan tiap sampel area dibagi menjadi tiga ROI (Region of Interest). Setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan biomassa didapatkan hasil yaitu pada area hutan primer jumlah total biomassanya sebesar 2815,33 ton, dengan nilai µ rata-rata adalah 0,0545565. Pada area hutan jarang jumlah total biomassanya sebesar 563,21 ton dengan nilai µ rata-rata sebesar 0,846707778. Pada area perkebunan jumlah total biomassanya sebesar 316,96 ton, dengan nilai µ rata-rata adalah 1,6796577. Pada area pemukiman jumlah total biomassa yang didapatkan adalah sebesar 68,8 ton, dengan nilai µ rata-rata adalah 8,340408944, sedangkan pada area perairan jumlah total biomassanya adalah sebesar 21,65 ton dengan nilai µ rata-rata adalah 26,91395028.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
179
Dari hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa jumlah total biomassa pada area hutan primer memiliki jumlah total biomassa yang paling besar, sedangkan jumlah total biomassa yang paling kecil adalah pada area pemukiman dan perairan. Hal ini terjadi karena pada area pemukiman/ perairan tidak banyak terdapat vegetasi/ tumbuhan yang mengandung biomassa. Selain itu, dalam pengolahan data yang sudah dilakukan, hasil dari nilai µ berbeda cukup signifikan antar landcover. Nilai rata-rata µ pada area hutan memiliki nilai ratarata yang paling rendah dibandingkan nilai rata-rata µ pada landcover pemukiman dan landcover perairan. Perairan memiliki jumlah total biomassa yang paling kecil, tetapi area perairan memiliki nilai rata-rata µ yang paling besar. Semakin kecil nilai µ maka jumlah biomassanya akan semakin besar, sebaliknya semakin besar nilai µ maka jumlah biomassanya akan semakin kecil.
Gambar 9. Grafik perbandingan nilai µ dan jumlah biomassa
6.
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa didapatkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Jumlah biomassa untuk daerah landcover hutan sebesar 2815,33 ton, untuk daerah landcover perkebunan sebesar 316,96 ton, untuk daerah landcover pemukiman sebesar 68,80 ton, dan untuk daerah landcover perairan sebesar 21,65 ton. 2. Selain dengan menggunakan sistem penginderaan jauh pasif, perhitungan biomassa juga dapat dilakukan dengan sistem penginderaan jauh aktif (Radar). 3. Perhitungan biomassa dengan teknologi penginderaan jauh bisa dilakukan dengan cepat tanpa harus datang langsung ke lapangan (in situ). 4. Perhitungan biomassa dapat dilakukan dengan menggunakan citra ALOS PALSAR dengan mode PLR (polarimetric).
180
Rohullah Ragajaya, dkk.
5. Metode POLSAR (Polarimetric Synthetic Apperture Radar) bisa digunakan untuk melakukan perhitungan biomassa. 6. Jumlah nilai biomassa dapat didapatkan dengan menggunakan persamaan matematis yang mengacu pada WCM (Water Cloud Model). 7. Nilai µ dan nilai biomassa berbanding terbalik. Semakin tinggi nilai µ jumlah biomassa akan semakin kecil, sebaliknya semakin kecil nilai µ jumlah biomassa akan semakin besar. 8. Hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding untuk perhitungan biomassa dengan menggunakan metode atau cara-cara yang lain.
DAFTAR REFERENSI Askne Jan, et al. 2003. Multitemporal Repeat-Pass SAR Interferometry of Boreal Forests. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, vol.41, No.7. Cloude, Shane.R. 2011. Biomass from Radar: From Backscatter to POLInSAR. AEL Consultants. Scotland, UK. Dandun Sutaryo. 2009. Perhitungan Biomassa. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Freeman and Durden. 1998. A three-component scattering model for polarimetric SAR data. IEEE Transactions Geoscience and Remote Sensing, vol.36, no.3. Kumar, Shashi. 2009. Retrieval of Forest parameters from Envisat ASAR data for biomass inventory in Dudhwa National Park, U.P., India. Thesis. International Institute for geo-information Science and Earth Observation Enschede, The Netherlands& Indian Institute of Remote Sensing. Katmoko Ari, dkk. 2005. Klasifikasi Data Polarimetrik Radar Dengan Menggunakan Metode Dekomposisi Cloude&Pottier. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh-LAPAN. I. Hajnsek, E. Pottier, S.R. Cloude. 2003. Inversion of Surface Parameters From Polarimetric SAR. IEEE Transactions on Geoscience And Remote Sensing. Vol.41, No.4. Jing-Yun fang, et al. 1998. Forest Biomass of China: An Estimate Based on the BiomassVolume Relationship. Ecological Applications, vol.8, issue 4. Muukkonen,P. 2005. Estimating biomass for Boreal Forest using ASTER satellite data combined with standwise forest inventory data. Remote Sensing of Environment. Novresiandi, Dandy Aditya. 2011. Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung. Tugas Akhir. Bandung: Institut Teknologi Bandung. POLSARPRO v.4.0 Tutorial software. European Space Agency. Rignot, Eric. 1998. Effect of Faraday Rotation on L-Band Interferometry and Polarimetric Synthetic-Aperture Radar Data. Jet Propulsion Laboratory, California Institute of Technology. Riska, Ahsana. 2011. Pendugaan Biomassa Atas Permukaan Pada tegakan Pinus Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m. Skripsi. Bogor: Intitut Pertanian Bogor.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
181
Sandra Brown, Andrew J. R. Gillespie, Ariel E. Lugo. 1989. Biomass Estimation Methods for Tropical Forests with Application to Forest Inventory Data. Forest Science, vol.35, no.4. Syarif, Risa D. 2011. Penyusunan Model Pendugaan dan Pemetaan Biomassa Permukaan pada Tegakan Jati Menggunkan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. T. Mette, K.P. Papathanassiou, R. Zimmermann. Forest Biomass Estimation using Polarimetrik SAR Interferometry. Germany: Institute for Radio Frecuency Technology and Radar System. T. Svoray, M. Shoshany. 2002. SAR-based estimation of areal aboveground biomass (AAB) of herbaceous vegetation in the semi-arid zone: a modifiaction of the watercloud model. International Journal of Remote Sensing. Vol.23, No.19, 4089-4100.
BIOGRAFI PENULIS Rohullah Ragajaya Rohullah Ragajaaya dilahirkan pada tanggal 19 September 1989 di Kediri, Jawa Timur. Sekarang sudah menyelesaikam kuliah dari ITB di jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, dan menunggu untuk wisuda bulan Oktober 2012 nanti. Saat ini masih aktif membantu penelitian di Pusat Penginderaan Jauh (Center for Remote Sensing) pada program studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB.
Firman Hadi Fiman Hadi dilahirkan di Bogor pada 21 Desember 1975. Memperoleh gelar doktor dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung. Beliau memperoleh gelar Sarjana di bidang biologi spesialisasi ekologi di Universitas Padjajaran. Saat ini beliau aktif sebagi trainer pelatihan software open source yang berhubungan dengan penginderaan jauh misalnya Radar. Beliau juga masih aktif sebagai peneliti di bidang Environmental Remote Sensing di Pusat Penginderaan Jauh (Center for Remote Sensing), Institut Teknologi Bandung.
182
Rohullah Ragajaya, dkk.
Ketut Wikantika Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB, dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB. Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor Indonesia.
Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok Karbon
Muhammad Ilham, Firman Hadi, Ketut Wikantika
183
184
Muhammad Ilham, dkk.
Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok Karbon
Muhammad Ilham1, Firman Hadi2, Ketut Wikantika3 1,3 Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. 1,2,3 Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi Bandung Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia. Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702 Email: ilham_basir@yahoo.com
Abstrak Dalam penelitian ini dilakukan pendugaan cadangan karbon dengan pendekatan indeks vegetasi menggunakan Citra Satelit LANDSAT 5 TM yang mencakup sebagian wilayah Jawa Barat, Indonesia. Citra satelit yang digunakan direkam pada tangal 2 Juli 2005 dengan pengukuran data cadangan karbon yang dilakukan dari bulan Juli 2008 â&#x20AC;&#x201C; Agustus 2008. Cadangan karbon di dekati dengan persamaan multiregresi persamaan linier dan exponential. Hasil perhitungan dari persamaan linier berupa Y=102.135*WI-295.647*NDVI-23 dengan R-square adalah 0.78 dan hasil perhitungan persamaan exponential berupa Y = 0.192*( dengan nilai korelasi (R2)-nya adalah 0.865. Hasil studi juga menunjukan bahwa dengan mengkombinasikan beberapa variabel (multivariabel) indeks vegetasi dengan persamaan linier, menghasilkan peningkatan nilai korelasi yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pengestimasian cadangan cadangan karbon menggunakan satu variabel indeks vegetasi. Kata Kunci: Cadangan Karbon, Multiregresi, Indeks Vegetasi, LANDSAT 5 TM
Abstract The research purpose is creating mathematical model to estimate the amount of carbon stock. In this research, the estimation of carbon stock has been done with regression method which involve vegetation index (as independent variable) using LANDSAT 5 TM images as raw satellite data located in a part of West Java, Indonesia. The satellite data was taken on July, 2, 2005 and the field data of carbon stock (as sample) was collected on July 2008 â&#x20AC;&#x201C; August 2008. The amount of Carbon stock was approached by two methods of multiple regressions which are linearly and exponentially.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
185
On linearly regression, the output is Y = 102.256(WI) -295.556(NDVI)-21.35 with R-square value of 0.78, and exponential regression, the output is Y = 0.192 * ( with R-square value of 0.82. Study result, has shown that the combination of using more than one independent variable (multiple regression) can create a better mathematic model compared to just using only one independent variable (single regression). The increasing R-square value, indicate this result. Keywords: Carbon Stock, Multiple Regression, Vegetation Index, LANDSAT 5 TM
1.
PENDAHULUAN
Dalam upaya menekan laju pemanasan Global, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah mengoptimalkan fungsi ekosistem hutan sebagai penyerap gas CO2. Hutan berperan penting dalam menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam ekosistem hutan. Konversi lahan, deforestasi, degradasi hutan, dan reforestasi dapat mengubah jenis penutupan lahan dan berkonskuensi mengubah komposisi biomasa terestrial (Peichl dan Arain, 2007; Sierra et al., 2007). Pendugaan cadangan karbon yang tersimpan pada suatu vegetasi, bisa dilakukan melalui beberapa cara seperti pengukuran langsung di lapangan, dan metode remote sensing. Walaupun pengukuran langsung di lapangan bisa memberikan hasil yang lebih teliti, metode remote sensing dapat mencakup wilayah yang lebih luas, dengan ketilitian yang cukup baik. Karena itu untuk keperluan praktis, pendugaan cadangan karbon dengan metode remote sensing efektif dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model estimasi cadangan karbon dengan pendekatan multiregresi indeks vegetasi dengan citra satelit LANDSAT 5 TM sebagai informasi awal bagi pemegang pengambil keputusan setempat dalam kegiatan perdagangan karbon (carbon trading).
2.
METODE PENELITIAN
Pendugaan cadangan karbon dilakukan dengan melakukan multiregresi antara data stok karbon pengukuran lapangan dengan nilai index vegetasi yang didapat dari pengukuran remote sensing. Terlebih dahulu dilakukan eliminasi nilai yang dianggap sebagai outlier, dan berbagai koreksi pada data citra satelit. Kedua proses tersebut bertujuan untuk mendapatkan hubungan index vegetasi dengan cadangan karbon yang berkorelasi dengan baik. Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 5 TM yang merupakan satelit ke-5 dari program observasi bumi dari luar angkasa ( Earth Resources Observation Satellites Program ) yang dilakukan NASA sejak tahun 1966.
186
Muhammad Ilham, dkk.
Landsat 5 TM diluncurkan pada 1 Maret, 1984, dengan tujuan utama membuat arsip dari penampakan muka bumi secara menyeluruh. Satelit ini memiliki 7 band dengan resolusi spasial 30 meter (kecuali Band 6 yang memiliki resolusi spasial 120 m).
Gambar 1. Metode Penelitian
3.
STOK KARBON PENGUKURAN LAPANGAN
Stok karbon didefinisikan sebagai jumlah karbon absolut yang tersimpan dalam biomassa pada waktu tertentu (IPCC, 2003) Mengukur stok karbon meliputi stok karbon di atas tanah (Aboveground biomass ) dan karbon tanah. Perhitungan stok karbon pada penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh sehingga hanya dapat memantau stok karbon di atas tanah. Pada dasarnya cadangan karbon diestimasi dari besarnya biomasa suatu pohon, yaitu sebesar 46% dari jumlah biomassa (Hairiah dan Rahayu, 2007). Biomassa pohon diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik sebagai berikut (Brown, 1997) : B = 0,118 D 2,53 di mana : B = Biomassa di atas tanah (kg) D = diameter batang setinggi dada (Ď&#x20AC;) Ď&#x20AC; = 3.14155927
(1)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
187
Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46% (Hairiah dan Rahayu, 2007), oleh karena itu estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung sebagai berikut: Karbon tersimpan (C ton/ha) = Berat kering biomassa atau nekromassa (ton/ha) x 0,46
Dalam pendugaan cadangan karbon pada tegakan pohon, dibuat plot pengukuran yang dibagi berdasarkan besarnya diameter pohon. Untuk pohon dengan diameter > 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 20 x 100 m2 (disebut sebagai plot besar), sementara untuk pohon dengan diameter 5 â&#x20AC;&#x201C; 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 5 x 40 m2 yang terletak di dalam plot besar (Gambar 2).
Gambar 2. Plotting Area (Sumber : Hairiah dan Rahayu , 2007)
Data cadangan karbon pengukuran lapangan diukur pada agustus 2008 oleh Pusat Infrastruktur data Spasial (PIDS). Area penelitian dilakukan di beberapa provinsi di Jawa Barat meliputi Ciwidey, Bandung, Sukabumi, and Banjaran seperti ditunjukan pada gambar 3.
Gambar 3. Area Penelitian
188
Muhammad Ilham, dkk. Table 1. Nilai Sampel Stok Karbon
No
Land Use
Lokasi
Cadangan Karbon di Atas Tanah (ton)
1
Hutan
Ciwidey
221.09
2
Hutan
Sukabumi (Situ Gunung)
272.84
3
Hutan
Sukabumi (Gunung Salak)
537.11
4
Sektor Pertambangan
Bandung
0.61
5
Perkebunan
Ciwidey
84.08
6
Perkebunan
Sukabumi
15.69
7
Ladang
Ciwidey
0.37
8
Ladang
Ciwidey
0.83
9
Ladang
Ciwidey
1.74
10
Padang Rumput
Sukabumi
9.92
11
Padang Rumput
Sukabumi
3
12
Permukiman
Sukabumi
31.64
13
Perkebunan
Ciwidey
364.05
14
Sawah
Banjaran
6.28
15
Sawah
Sukabumi
2.73
16
Semak Belukar
Bandung
6.88
17
Semak Belukar
Sukabumi
2.54
18
Tanah Kosong
Banjaran
2.14
3.1 Reduksi Outlier Outlier adalah data pengamatan dengan nilai yang berada jauh dari pengamatanpengamatan yang lainnnya. Secara umum outliers dapat dikelompokan ke dalam 4 penyebab,yaitu : 1. 2. 3. 4.
Kesalahan prosedur Kejadian diluar kebiasaan dengan penjelasan Kejadian diluar kebiasaan tanpa penjelasan Tidak diluar kebiasaan tapi dengan kombinasi yang unik
Outlier di evaluasi dengan cara Labeling Rule. Metode Labeling rule membatasi data dalam 2 rentang yaitu Upper dan Lower, yang ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut (Tukey, J. W., 1977): Upper = Q3+( Q3 â&#x20AC;&#x201C; Q1 )*g Lower = Q1-( Q3 â&#x20AC;&#x201C; Q1 )*g
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
189
Dimana Q1 = Percentile 75 dari data Q3 = Percentile 25 dari data g = 2.2
Gambar 4. Distribusi nilai sampel Stok Karbon
Dari persamaan (2), ditentukan batas Outlier berupa 264.348 ton. itu perlu dilakukan eliminasi 3 data Outlier yaitu data stok karbon bernilai 272.84 ton, 537.11 ton, dan 364.05 ton. 3.2 Koreksi Geometrik Kesalahan geometrik terjadi karena adanya kondisi tidak ideal pada sebuah sensor ketika merekam objek dilapangan. Akibatnya ukuran, posisi dan bentuk citra menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dibutuhkan bantuan titik control tanah ( Ground Control Point ) sebagai titk sekutu (titik yang diketaui koordinatnya pada sistem referensi yang juga teridentifikasi pada citra) untuk melakukan proses transformasi koordinat pada citra Landsat 5 TM. Proses transformasi ini akan menggunakan model transformasi affine-2D. Transformasi Affline 2D digunakan sebagai persamaan matematika untuk mentransformasikan nilai-nilai koordinat dari suatu sistem koordinat dua dimensi ke sistem koordinat dua dimensi lainya. Pada penelitian ini digunakan datum WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 bumi bagian selatan sebagai sistem koordinat acuan.
190
Muhammad Ilham, dkk.
Titik GCP yang digunakan sebanyak 11 titik yang tersebar di sekeliling area penelitian. Objek yang digunakan sebagai titik GCP adalah perpotongan jalan dan perpotongan sungai. Setelah itu dihitung penyimpangan koordinat titik hasil transformasi dengan koordinat titik pada peta atau citra referensi yang direpresentasikan dengan harga standar deviasi untuk mengetahui tingkat kepresisian hasil plot data-data GCP pada citra. Untuk validasi ketelitian dari koreksi geometrik yang kita lakukan, dibutuhkan titik Independent Check Point (ICP) yang diletakan secara merata didalam kawasan cakupan GCP pada citra yang dikoresi. Titik ICP yang digunakan sebanyak 6 titik. Objek yang digunakan sebagai titik GCP dan ICP adalah perpotongan jalan dan perpotongan sungai. Tingkat ketelitian dari ICP dapat ditentukan dengan menghitung nilai RMSEICP-nya. Persamaan untuk perhitungan nilai standar deviasi ditunjukan pad persamaan berikut: ∑
̂
∑
̂
√
√
√
(4) (5) (6)
Dari hasil koreksi geometrik didapatkan ketelitian GCP berupa 0.47 dan ICP berupa 0.5 dimana nilai – nilai standar deviasi GCP dan RMSEICP yang dihitung memenuhi kriteria koreksi geometrik, dimana secara umum nilai-nilai tersebut harus lebih kecil dari 1 pixel (Purwadhi & Santojo, 2008), sehingga citra yang digunakan dianggap sudah mewakili kondisi geometris wilayah penelitian. 3.3 Koreksi Radiometrik Pada saat gelombang elegtromagnetik dari sebuah sensor melintasi atmosfer, dapat terjadi beberapa fenomena yang menyebabkan gangguan pada proses perekaman citra seperti hamburan dan serapan (dimana fenomena ini menyebabkan citra tampak lebih cerah karena efek hamburan, dan lebih gelap karena efek serapan). Kondisi ini menyebabkan nilai yang terekam oleh citra satelit, bukan merupakan nilai sebenarnya (Sri Hartanti. 1994). Oleh karena perbedaan informasi itu, harus dilakukan suatu koreksi yakni dengan mengubah nilai digital setiap piksel (DN) ke nilai reflektan untuk setiap piksel pada citra satelit agar dapat dibaca dengan jelas dan di-interpretasikan sesuai kegunaan citra yang dipakai (Gao, 2009). Koreksi radiometrik merubah nilai DN ke nilai reflektansi berdasarkan persamaan berikut:
191
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
(7) Dimana L adalah nilai radiansi setiap piksel dalam (W m-2sr-1m-1), λ adalah band spektral, DNMIN = 1, DNMAX = 255, LMIN dan LMAX adalah nilai radiansi untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX. Dan DN merupakan nilai digital untuk setiap piksel pada citra satelit. citra satelit. Nilai radiansi diubah menjadi nilai reflektansi dengan persamaan berikut: (8) Dimana ρ adalah nilai reflektansi pada lapisan atas atmosfir untuk setiap piksel pada citra, Lλ adalah nilai radiansi diperoleh dari persamaan 2.7, Esunλ adalah konstanta radiansi exoatmosferik matahari, θs adalah sudut zenith matahari dalam derajat, π sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit astronomi (UA).
3.4 Eliminasi daerah Laut Salah satu sumber error dari proses pengolahan citra satelit adalah adanya daerah lautan pada citra. Hal ini menyebabkan eror dikarenakan nilai digital number yang ada pada daerah yang di tutupi oleh laut menjadi sangat rendah, dimana nilai digital number ini tidak dibutuhkan karena penelitian terfokus di daerah daratan. Karena itu perlu dilakukan proses penghilangan daerah laut dengan cara dijitasi daerah yang diliputi laut sehingga hanya menyisakan daerah daratan.
a
b
Gambar 5. Eliminasi daerah Laut; (a) Daerah laut di-ikutsertakan pada Landsat 5-TM (b) Citra Landsat-5 TM tanpa daerah laut
192
Muhammad Ilham, dkk.
Eliminasi daerah laut juga diperlukan untuk kepentingan koreksi radiometrik dimana pada proses tersebut, menggunakan informasi nilai DN pada perhitunganya. Jika daerah laut diikutsertakan, menyebabkan adanya nilai DN yang terlalu rendah sehingga hasil yang didapatkan tidak mencapai tingkat akurasi yang baik.
3.5 Vegetation Index Indeks Vegetasi merupakan proses pengolahan citra satelit dengan mengkombinasikan dua atau lebih band spectral, sehingga mampu menggambarkan kondisi vegetasi di wilayah tersebut. Suatu Vegtasi dikatakan subur, jika mengandung clorophil (Zat hijau daun) dalam jumlah besar sehingga aktif berfotosintesis atau dengan kata lain, aktif menyerap karbon. Sebuah satelit remote sensing, bisa mendeteksi seberapa optimal suatu tumbuhan menyerap karbon, dikarenakan adanya perbedaan karakteristik suatu tumbuhan dalam menyerap dan memantulkan spectrum gelombang tertentu (NIR dan RED) pada gelombang yang dipancarkan oleh sensor satelit. Ada 5 pendekatan index vegetasi yang digunakan dalam pendekatan perhitungan cadangan karbon yaitu : Simple Ratio (SR), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), Modified Soil Adjusted Vegetation Index 2 (MSAVI 2), Green Vegetation Index (GVI).
3.6 Water Band Index Water Band Index adalah Index yang menggambarkan kadar air pada suatu wilayah. Water Index digunakan dalam penelitian ini, untuk mengakomodasi pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu tumbuhan terhadap citra yang terekam. Jumlah air yang meningkat secara drastis menyerap gelombang NIR dan MID Infrared yang mengakibatkan citra tampak lebih gelap (Environmental Protection Agency). Water Index digunakan untuk mengakomodasi pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu vegetasi, terhadap citra yang terekam. Aspek ini menjadi penting karena semakin tinggi kadar air pada suatu vegetasi, mengindikasikan kondisi vegetasi yang lebih sehat (Penuelas, Serrano, & R.Save, 1995). Digunakan 2 pendekatan water band index pada perhitungan cadangan karbon yaitu : Water Index (WI), dan Normalized Difference Water Index (NDWI).
193
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 Table 3 Persamaan Index Vegetasi Vegetation Index SR
(Band 4/Band 3)
Tucker, 1979
NDVI
(Band 4-Band 3)/(Band 4+Band 3)
Tucker, 1979
SAVI
1.5(Band 4-Band 3)/(Band 4+Band 3+0.5)
Persamaan
2
Referensi
Qi et al., 1994 0.5
Msavi-2 GVI
(2Band4+1-[(2Band3+1) -8(Band4-Band3)] )/2 -(0.2848b1)-(0.2435b2)-(0.5436b3)+(0.7243b4) +(0.0084b5)-(0.1800b7)
WI
(Band 4/Band 5)
NDWI
(Band 4-Band 5)/(Band 4+Band 5)
Qi et al., 1994 Kauth and Thomas (1976) Serrano et all, 2000 Serrano et all, 2000
a
b
c
d
194
Muhammad Ilham, dkk.
e
f
g Gambar 6 Visualisasi Indeks Vegetasi; (a) SR; (b) NDVI; (c) SAVI; (d) MSAVI-2; (e) GVI; (f) WI; (g) NDWI
3.7 Multiregresi Analisis regresi merupakan analisis yang mempelajari bagaimana membangun sebuah model fungsional dari data untuk dapat menjelaskan ataupun meramalkan suatu fenomena alami atas dasar fenomena yang lain (Soemartini, 2007). Regresi digunakan untuk memodelkan hubungan antara variable terikat (Dependent Variabel) dengan variabel bebas (Independent Variabel). Variabel bebas (atau variabel tidak bergantung atau independent atau predictor atau X) merupakan variabel yang berubah-ubah tanpa adanya pengaruh variabel atau variabel-variabel yang lain. Ada tujuh variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu indeks vegetasi SR, NDVI, SAVI, MSAVI-2, GVI, WI, dan NDWI. Sedangkan sebagai variabel terikat dugunakan data Stok karbon hasil pengukuran langsung di lapangan.
195
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Hubungan linear lebih dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan linear ditunjukan pada persamaan berikut: Y = a + b1x1 + b2x2 ……bnxn
(9)
Y = e(b0 + b1*X1+ b2*X2+... + bn*Xn)
(10)
Dimana : x, x1, x2……..xk = variabel-variabel a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel Untuk keperluan evaluasi seberapa baik korelasi antara variabel-variabel yang digunakan, dihitung koefisien determinasi (R-square atau R2). Nilai R2 memiliki rentang dari 0 sampai 1. Semakin mendekati 1 nilai sebuah R2 dari model matematika hasil perhitungan regresi, semakin baik kualitas model tersebut. R2 bernilai 0 artinya variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan untuk persamaan regresi tidak saling berkorelasi. Pada persamaan (11) ditunjukan persamaan umum perhitungan nilai R2 adalah (Anto, Dajan, 1991): R2 =
b1 x1y b2 x 2 y
y
(11)
2
Dimana : x, x1, x2……..xk = variabel-variabel a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel 3.7.1
Multiregresi linear
Multiregresi linear dilakukan dengan metode Stepwise dimana metode ini menghasilkan kombinasi terbaik dari variabel-variabel bebas (Indeks Vegetasi) yang akan digunakan. Regresi Stepwise adalah salah satu metode untuk mendapatkan model terbaik dari sebuah analisis regresi. Metode regresi Stepwise secara langsung men-seleksi variabel-variabel dengan kombinasi terbaik untuk dijadikan model matematika. Tabel 4 menunjukan hasil dari proses multiregresi linear dengan metode stepwise. Table 4 Output dari regresi Stepwise
Model
R
1 2
.770a .883b
R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 0.593 0.78
a. Predictors: (Constant), wi b. Predictors: (Constant), wi, ndvi
0.562 0.743
38.46 29.44
196
Muhammad Ilham, dkk.
3.7.2 Multiregresi Exponensial Pada pendekatan multiregresi eksponential, pemilihan variabel bebas berdasarkan pada tiga indeks vegetasi dengan koefisien determinasi hubungan regresi exponential tunggal yang terbesar seperti ditunjukan pada tabel 5. Table 5. R-square regresi eksponensial tunggal
No Variabel 1 SR 2 NDVI 3 SAVI 4 Msavi-2 5 GVI 6 WI 7 NDWI
R-square (single exponential regression) 0.426 0.301 0.285 0.367 0.351 0.514 0.458
Berdasarkan tabel 5, dipilih index vegetasi SR, WI, dan NDWI sebagai variabel bebas untuk dilakukan proses Multiregresi Eksponensial
4.
HASIL DAN ANALISIS
Hasil penelitian tugas akhir ini berupa 2 model matematika pendugaan stok karbon sebagai berikut: Table 6 Model Matematika Pendugaan Stok Karbon Model
Persamaan
Variabel bebas
R2
I
y = 102.135 WI -295.647 NDVI -23.072
2
0.78
3
0.865
II
y = 0.192 * (
Model matematika I merupakan model yang dibentuk dari persamaan multiregresi linear menggunakan metode stepwise dengan indeks vegetasi WI dan NDVI. Model matematika II merupakan model yang dibentuk dari persamaan multiregresi exponential indeks vegetasi SR, WI, dan NDVI yang dipilih berdasarkan besarnya nilai korelasi hubungan exponential-nya terhadap data stok karbon pengamatan lapangan. Pengujian persamaan regresi dilakukan dengan menghitung nilai estimasi stok karbon dari model matematika yang dihasilkan dan dihitung nilai RMSe-nya dengan membandingkan terhadap stok karbon hasil pengukuran lapangan. Tabel 8 menunjukan nilai RMSe tiap-tiap model, dimana nilai RMSe tersebut bisa dijadikan parameter ketelitian dari model matematika yang dihasilkan.
197
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 Table 7 Pengujian Model Matematika Pendugaan Stok Karbon
1
Stok Karbon (ton) 221.09
Nilai Prediksi dari Model I (ton) 192.42
Nilai Prediksi dari Model II (ton) 219.31
2
15.69
22.09
2.38
3
0.83
7.10
4.59
4
1.74
-11.36
2.69
5
9.92
21.31
3.41
6
3
6.93
2.14
7
31.64
35.62
8.99
8
6.28
0.78
4.06
9
2.73
8.57
1.78
10
2.54
9.52
13.42
11
2.14
1.70
1.78
No
Table 8 Model RMSE Model
RMSe
R-square
I
36.72
0.78
II
17.38
0.865
Dari nilai RMSe pada tabel 8, menunjukan bahwa Model II yang dihitung berdasarkan persamaan multiregresi eksponensial, memiliki nilai R2 yang lebih besar dengan nilai RMSe yang lebih kecil dibandingkan Model I. Hal ini menunjukan bahwa Model II, memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dalam pendugaan stok karbon. 5.
KESIMPULAN
1.
Pada regresi linear tunggal, Index vegetasi yang paling mendekati untuk mengestimasi cadangan karbon adalah Water Index dengan nilai R2 = 0.59 Kombinasi dari berbagai index vegetasi untuk membentuk suatu persamaan multiregresi dapat meningkatkan tingkat korelasi. Water Index memiliki pengaruh yang cukup besar pada pendugaan stok karbon Persamaan linier yang bisa digunakan untuk mengestimasi cadangan karbon adalah dengan menggunakan index vegetasi NDVI dan WI yaitu Cadangan Karbon = 102.135 WI -295.647 NDVI -23.072 dengan R2 =0.78 Persamaan ekspoensial yang bisa digunakan untuk mengestimasi cadangan karbon adalah menggunakan index vegetasi SR, WI, dan NDWI yaitu : Cadangan Karbon = 0.192 * ( dengan nilai R2 = 0.865.
2. 3. 4.
5.
198
Muhammad Ilham, dkk.
DAFTAR REFERENSI Asner, G. P. (2009). Measuring Carbon Emissions from Tropical Deforestation : An Overview. Environmental Defense Fund , 4. Baral, S. (2011). Mapping Carbon Stock Using High Resolution Satellite Images in Subtropical Forest of Nepal. Enschede, The Netherlands. Environmental Protection Agency . (Queensland). Water Body Mapping Using the Normalised Difference Water Index (NDWI). Queensland Government. Environmental Protection Agency, U. S. (2007). Frequently Asked Question about global warming and climate change : Back to Basic. The Intergovernmental Panel on Climate Change's (IPCC) Fourth Assessment Report, (p. 2). Fardani, I. (2012). Pendugaan Cadangan Karbon dengan Multivariabel Index Vegetasi dari Citra Satelit ALOS AVNIR -2 ( Studi Kasus : Taman Nasional Merubetiri, Jawa Timur ). Bandung: ITB. Gao, B. (1995). Normalized Difference Water Index for Remote Sensing of Vegetation Liquid Water from Spaceuvyg. Proceedings of SPIE 2480 , 225-236. IPCC, I. P. (2003). Expert Meeting Report. Science Statement on Current Scientific Understanding of the Processes Affecting Terrestrial Carbon Stocks and Human Influences upon Them (p. 19). Geneva: IPCC. Krisnawati, H., & Imanudin, R. (2011). Carbon stock estimation of aboveground pool based on forest inventory (permanent sample plot) data: a case study in peat swamp forest in Jambi. Bogor, Indonesia: Research and Development Centre for Conservation and Rehabilitation, Forestry Research and Development Agency (FORDA). Kurniawan, D. Y. (2011). Potensi Simpanan Karbon Hutan Tanaman Jati. Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan , 151. Lillesand, T. M., & Kiefer, R. W. (1997). Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra. terjemahan Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mason, Anthony K. (1996). Cost Estimation Predictive Modelling (Regression versus Neurak Network) : The Engineering Economist Penuelas, J. F., Serrano, C. B., & R.Save. (1995). The Reflectance at the 950-970 Region as an Indicator of Plant Water Status. International Journal of Remote Sensing , 1887-1905. Pusat Infrastruktur Data Spasial. (2008). Pembuatan Peta Untuk Provinsi Jawa Barat. Bandung: Kementerian Lingkungan Hidup dan ITB. Soedomo, A. S., & Sudarman. (2004). Sistem dan Transformasi Koordinat. Bandung: Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung. Solomon, S. D. (2007). Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
199
Subekti Rahayu, B. L. Pendugaan Cadangan Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Cadangan Karbon di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur: Monitoring Secara Spasial dan Pemodelan . Sulistyawati, E., Ulumuddin, Y. I., Hakim, D. M., Harto, A. B., & Ramdhan, M. (2006). Estimation of Carbon Stock at Landscape Level using Remote Sensing : a Case Study in Mount Papandayan. Environmental Technology and Management Conference . Bandung: Institut Teknologi Bandung. Tukey, J. (1977). Exploratory Data Analysis. Reading: Addison-Wesley.
BIOGRAFI PENULIS Muhammad lham Lahir di Jakarta, 4 Desember 1988, Muhammad Ilham menyelsaikan pendidikan terakhir di tingkat perguruan tinggi pada oktober 2012 di Institut Teknologi Bandung jurusan teknik Geodesi dan Geomatika. Sebagai mahasiswa, penulis memiliki skill dan pengalaman untuk melakukan pengolahan data citra Remote Sensing. Saat ini, penulis terlibat dalam penelitian terkait kandungan cadangan karbon yang tersimpan pada biomasa tumbuhan. Firman Hadi Fiman Hadi dilahirkan di Bogor pada 21 Desember 1975. Memperoleh gelar doktor dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung. Beliau memperoleh gelar Sarjana di bidang biologi spesialisasi ekologi di Universitas Padjajaran. Saat ini beliau aktif sebagi trainer pelatihan software open source yang berhubungan dengan penginderaan jauh misalnya Radar. Beliau juga masih aktif sebagai peneliti di Pusat Penginderaan Jauh (Center for Remote Sensing) Institut Teknologi Bandung.
Ketut Wikantika Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh
200
Muhammad Ilham, dkk.
dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB, dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB. Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor Indonesia.
201