Free tradewatch edisi i april 2013

Page 1

Free Trade Watch

Edisi I - April 2013

Edisi I - April 2013

IMPOR GARAM

Free Trade Watch

IMPOR SAPI

IMPOR BERAS

IMPOR IKAN

IMPOR BAWANG

NEGARA vs KARTEL


Cover:

Penanggung Jawab/ Executive Director IGJ: M. Riza Damanik Chief of Editor: Salamuddin Daeng Reporter: Rika Febriani Rachmi Hertanti Kontributor: Program Officer dan Staff IGJ Financial Reni Kusumawardani Prabowo Panjaitan General Affairs Else Tehnik Idris

Alamat Baru Indonesia for Global Justice Jl. Tebet Barat XIII / No. 17 Jakarta Selatan Telp/Fax : 021 – 8297340 www.igj.or.id twitter : @igj2012 facebook : Indonesia for Global Justice

mengundang anda untuk menuliskan gagasan kritis, kreatif, inovatif dan visioner yang berorientasi pada tema-tema yang membangun wacana keadilan global di tengah masyarakat. Naskah 8-10 halaman kwarto, selayaknya dilengkapi dengan referensi acuan maupun pendukung. Redaksi dapat menyunting naskah tanpa mengubah maksud maupun isi.


DAF TAR I S I

REDAKSI GLOBALISASI

REGIONALISME

NASIONAL

IDEOLOGI

Negara Vs Kartel

2

Menghadirkan Kembali Fungsi Negara

4

Impor Ikan Pilihan “Orang Kalah”

10

Tunduk di Bawah Rezim WTO

16

Hilangnya Kemerdekaan Petani Berproduksi

20

Pandangan Terhadap KTM IX WTO: “Empat Alasan Kenapa Menolak Perundingan Paket Bali”

23

KTT Apec Bali ; Menuju Dominasi Korporasi Asing

27

Astra Internasional Mesin Kapitalis Pengeruk Uang Rakyat

33

Masa Depan Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional

38

Negara Versus Kartel Pangan

45

Demokrasi dan Kartel: Two Faces Of Development

59

Menggantungkan Pangan Nasional Dalam Sistem Globalisasi

67

Otonomi Daerah dan Sindikat Tambang

73

Harta Karun Republik Indonesia

80

Baron, Tambang dan Laron Pilkada Indonesia

93

Keadilan Ekologis Sebagai Resolusi

100

Mempertanyakan “Hilirisasi” Tambang dan “Swasembada” Pertanian

107

Pukulan Akhir Bagi WTO

112 118

KEGIATAN IGJ

Edisi I - April 2013

1


REDA K S I

NEGARA VS KARTEL

S

elama 9 tahun terakhir rezim SBY sukses membawa negeri ini ke dalam cengkraman sindikat modal asing. Tanah air Indonesia diserahkan pada kapitalis dalam bentuk kontrak karya (KK) pertambangan, Ijin Pertambangan (IP/IUP), kontrak kerja migas (KPS/PSC), HPH dan HTI kehutanan, dan HGU perkebunan. Selain itu, berdasarkan peraturan presiden tentang daftar negatif investasi (DNI) seluruh sektor dapat dikuasai secara mayoritas oleh modal asing. Kedaulatan negara dan rakyat terhadap kekayaan alam Indonesia lenyap secara perlahan-lahan. Sejak amandemen UUD 1945 yang merupakan suatu upaya untuk menghapus sama sekali peran negara dalam ekonomi telah memindahkan kekuasaaan negara kepada korporasi swasta, kartel internasional yang bekerjasama dengan sindikat, mafia dan pemerintahan yang korup. Dengan landasan UUD 1945 amandemen, yang diikuiti dengan lahirnya UU dan peraturan di bidang investasi, pertambangan, migas, energi dan sumber daya alam yang berwatak liberal, maka langkah sindikat pemilik modal besar semakin leluasa menguasai kekayaan alam Indonesia. Namun pemodal besar yang beroperasi di Indonesia tidak hanya menggunakan UU dan hukum dalam mempertahankan dominasinya. Dalam situasi penyelenggaraan pemerintahan yang sangat koruptif, modal besar menguasai pemerintahan melalui mafia bekerja di dalam pemerintahan dan DPR. Dengan kemampuan menyogok pemerintah, DPR dan pejabat daerah, para pemodal besar dapat menentukan arah kebijakan ekonomi. Berbagai praktek penyuapan terjadi

2


dalam praktek pengambilalihan kekayaan alam Indonesia. Prilaku pejabat negara baik pusat maupun daerah yang seringkali mempertukarkan secara murah kekayaan negara kepada pihak asing demi kepentingan pribadi. Sebagai contoh penghargaan dari Ratu Inggris kepada Presiden SBY yang kemudian dibalas Presiden SBY dengan memberikan Blok Migas Tangguh kepada Perusahaan asal Inggris British Petrolium (BP). Kasus yang sama terjadi dalam gelar kehormatan yang diterima oleh Hatta Rajasa dari Korea Selatan yang terindikasi dibarter dengan delapan proyek dalam MP3EI dengan nilai sebesar USD 50 miliar. Delapan proyek itu adalah 1) jembatan Selat Sunda, 2) proyek gas alam terkompresi (compressed natural gas/ CNG), 3) pembangunan rel kereta api Bengkulu-Muara Enim, 4) restorasi Sungai Ciliwung, 5) pembangunan klaster industri berbasis pertanian, 6) pembangunan jembatan Batam-Bintan. 7) pembangunan pembangkit batu bara di Sumatera Selatan dan 8) pembangunan kantor cabang perusahaan kapal asal Korea Selatan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME). Kasus lainnya yaitu penyuapan oleh Hartati Murdaya terhadap Bupati Buol Amran Batalipu dalam rangka memperoleh izin HGU perkebunan. Praktek pemerintahan yang korup ini yang semakin menyuburkan sindikat dalam praktek penguasaan dan pengendalian SDA. Akibatnya kekayaan negara dan sumber penghidupan rakyat secara cepat berada dalam genggaman segelitir pemilik modal perusahaan-perusahaan tersebut yang bergerak dalam bidang pertanian, pertambangan, migas, kehutanan, yang notabene mereka adalah kartel internasional. Mereka secara leluasa mengontrol kekayaan alam Indonesia melalui tangan mafia, sindikat yang bekerjasama dengan oknum pemerintahan yang korup secara simbiosis mutualisme.

Salamuddin Daeng

Edisi I - April 2013

3


G LOBA L IS A S I

Menghadirkan Kembali Fungsi Negara Oleh Khudori1

1

4

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014), penulis buku �Ironi Negeri Beras� (Yogyakarta: Insist Press, 2008), dan peminat masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi.


H

anya kurang dari setahun kita telah dihadapkan pada gonjang-ganjing harga tiga komoditas: kedelai, daging, dan bawang (merah dan putih). Harga tiba-tiba melonjak tinggi. Padahal, tidak ada tekanan pada sisi permintaan. Urusan pangan ternyata kian rentan karena ketergantungan pangan impor kian akut. Ketika harga pangan di pasar dunia bergejolak, harga akan langsung ditransmisikan ke pasar domestik. Bagai pedang bermata dua, saat harga turun memukul produsen, saat harga naik menghajar konsumen. Pemerintah tak berdaya dan tak mampu mengendalikan harga. Negara yang mustinya hadir sebagai pelindung rakyat, baik produsen maupun konsumen, justru absen. Ada sejumlah hal yang bisa menjelaskan mengapa semua ini terjadi. Pertama, kemerosotan produksi pangan, terutama pangan strategis. Pemerintah telah menetapkan target ambisius: swasembada jagung, kedelai, gula dan daging serta surplus beras 10 juta ton pada 2014. Waktu yang tersisa untuk mencapai target itu tidak lama lagi. Tapi tanda-tanda pencapaian masih jauh. Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih. Menurut angka ramalan II BPS, produksi padi, jagung dan kedelai tahun ini masing-masing 68,96 juta ton (naik 4,87% dari 2011), 18,96 juta ton pipilan kering (7,47%), dan 783,16 ribu ton biji kering (-8%). Produksi gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton, dan produksi daging 399.320 ton. Dari lima komoditas itu, kemungkinan yang targetnya tercapai hanya beras dan jagung. Sementara kedelai, gula dan daging nonsense diraih. Dalam batasbatas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris dan oligopolis. Kedua, liberalisasi kebablasan. Sektor pertanian dan pasar pangan mengalami liberalisasi besar-besaran sejak Indonesia menjadi pasien IMF tahun 1998. Lewat Letter of Intent (LoI), Indonesia harus meliberalisasi berbagai sektor, termasuk sektor pertanian-pangan. Liberalisasi tak hanya menyangkut pasar (impor), tapi juga kelembagaan dan pendanaan. Pada 2003 sekitar 83% jenis produk yang masuk ke Indonesia dikenai applied tariff 0-10%, 15% produk jatuh pada tingkat applied tariff antara 15-20%, dan hanya 1% produk menerapkan applied tariff di atas 30%. Liberalisasi itu belum dikoreksi secara memadai. Indonesia sebetulnya memiliki fleksibilitas menerapkan tarif sejumlah komoditas seperti dinotifikasi di WTO. Misal, bea masuk beras, gula, dan susu masing-masing 9%-160%, 40%-95%, dan 40%-120%. Tapi akibat liberalisasi lewat berbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), baik bilateral (seperti FTA Indonesia-Jepang, FTA Indonesia-China) maupun regional (seperti ASEANChina FTA, ASEAN-Australia-Selandia Baru FTA, dan ASEAN-India FTA), bea masuk beras dan gula hanya 30%, dan susu 5%. Tak heran bila tarif bea masuk di Asia, rata-rata tarif Indonesia paling rendah: 4,3%. Padahal India rata-rata 35,2%; Vietnam 24,9%; Jepang 34,0%; Thailand 24,2%; dan China 17,4% (The

Edisi I - April 2013

5


Akibat liberalisasi lewat berbagai perjanjian bebas, baik bilateral maupun regional, tak heran bila tarif bea masuk rata-rata Indonesia paling rendah. Selain itu lemahnya karantina, penerapan SNI dan berbagai aturan pengaman membuat impor membanjiri Indonesia.

Economist, 2012). Lemahnya karantina, penerapan SNI, dan berbagai aturan pengaman membuat impor membanjiri Indonesia. Ketiga, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, termasuk kedelai, daging dan bawang, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persayaratan itu belum terpenuhi. Efisiensi dan daya saing seringkali jadi alasan impor. Argumen yang selalu dibangun adalah ‘kalau harga pangan impor lebih murah mengapa susah-susah memproduksi sendiri.’ Atau ‘kalau harga pangan impor lebih murah mengapa harus membeli pangan petani domestik yang lebih mahal.’ Argumen ini sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena harga itu terdistorsi oleh subsidi/bantuan domestik, dan pembatasan akses pasar. Akibatnya, harga pangan di pasar dunia bersifat artifisial dan rendah. Di AS misalnya, ada 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Dari US$24,3 miliar subsidi pada 2005 sekitar 70-80% diterima 20 komoditas ini. Ujung beleid ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai, gandum, beras, dan gula naik (IATP, 2007). Petani AS dan Uni Eropa (UE) menerima subsidi rata-rata US$21,000 dan US$16,000 per tahun. Petani apel AS menerima US$100 juta/tahun sebagai kompensasi atas kehilangan dalam proses pemasaran. Sekitar 78% pendapatan petani padi di OECD dari bantuan pemerintah. Harga jual produk kemudian tak lagi mengacu kepada biaya produksi. Harga ekspor gandum AS dan UE masingmasing hanya 46% dan 34% di bawah biaya produksi, dengan penguasaan pasar separuh dari ekspor gandum dunia. AS menguasai sekitar separuh dari ekspor jagung yang dijual dengan harga seperlima di bawah harga produksi. Uni Eropa merupakan eksportir terbesar skimmed-milk powder dan white sugar yang diekspor pada harga separuh dan seperempat dari harga produksi.

6


Keempat, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami “setengah privatisasi� menjadi Perum, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilege kini semua itu telah dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil, rata-rata antara 7-8%. Dengan kondisi seperti itu, Bulog sebagai representasi negara tidak memiliki kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak. Gejolak harga pangan akhirnya jadi rutin. Dalam stabilisasi kebutuhan pokok, Malaysia jauh lebih baik. Malaysia memiliki The Price Control Act untuk mengontrol harga barang-barang yang kebanyakan barang-barang makanan sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang berlaku 1961. Undang-undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan. Dalam UU itu harga 225 kebutuhan sehari-hari warga dan 25 komoditas dikontrol pada hari-hari besar. Ada pula Majelis Harga Negara yang bertugas memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Ditopang beleid yang komprefensif dan kelembagaan yang kredibel, inflasi di Malaysia bisa ditekan rendah. Kelima, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar dan absennya negara sebagai stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengambil-alih kendali tata niaga. Fungsi stabilisasi harga kini berada di tangan swasta. Padahal, swasta selalu berorientasi maksimalisasi untung. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, tak terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking yang gurih. Keenam, absennya kelembagaan pangan. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Bisa dikatakan, saat ini tidak ada kelembagaan yang mengurus pangan dalam arti riil. Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal elit daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik. Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot diiringi melonjaknya pangan impor. Pada 2012, nilai impor pangan mencapai Rp63,9 triliun, hortikultura Rp12,9 triliun, dan peternakan

Edisi I - April 2013

7


Rp15,4 triliun. Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan. Saat krisis pangan meledak pada 2008, defisit subsektor pangan baru US$3,178 miliar, tahun 2011 defisit meledak lebih dua kali lipat (US$6,439 miliar). Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan dan bawang putih. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100% untuk gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi, dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan terus melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87% per tahun. Agar kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih 5% per tahun. Padahal, tidak mudah menggenjot produksi pangan lebih 5% per tahun. Untuk mengurai berbagai problem struktural itu diperlukan sejumlah kebijakan. Inti dari semua kebijakan tersebut adalah menghadirkan kembali fungsi negara sebagai pelindung rakyat. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumberdaya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar dan teknologi. Untuk menopang itu semua perlu alokasi anggaran memadai. Kedua, mengoreksi ulang liberalisasi yang kebablasan. Adalah tindakan gegabah agresif mengintegrasikan perekonomian dan pasar domestik dengan perekonomian dan pasar global dan regional tanpa banyak berbuat mengintegrasikan perekonomian nasional. Pemerintah abai membangun jaring-jaring pengaman pasar. Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku cari selamat sendiri-sendiri. Hasilnya: banjir pangan impor. Ironisnya, barang-barang yang terdesak di pasar domestik adalah hasil produksi dari industri yang sejatinya kita punya potensi keunggulan komparatif, seperti mebel kayu dan rotan, hasil perikanan, pertanian dan hortikultura, hutan, industri makanan dan minuman. Tersedia dua jalan untuk mengakhiri masalah ini: mengkaji ulang pelbagai perjanjian perdagangan bebas yang kebablasan, dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional. Ketiga, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisator harga pangan strategis. Caranya, merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga diserahi mengurus sejumlah komoditas penting lain disertai instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa

8


swasta dalam kontrol harga dan mereduksi praktik rente politik. Harus diakui, saat ini tata niaga sejumlah komoditas masih jauh dari sempurna. Pada kedelai misalnya, dua perusahaan –PT Gerbang Cahaya Utama (menguasai pangsa impor 47%) dan PT Cargill Indonesia (27,6%)—menguasai pangsa impor hampir 75%. Dengan penguasaan pasar (impor) sebesar itu, importir berpeluang me-remote harga. Dalam gula, penguasanya hanya 7-8 perusahaan, yang sering disebut Seven Samurai. Pada terigu, rasio konsentrasi (concentration ratio/CR) 4 industri terigu mencapai 76,2%. Kuasa swasta ini harus dikoreksi dengan menghadirkan kembali fungsi negara via Bulog. Amanat ini juga merupakan perintah pasal-pasal dalam UU No 18/2012 tentang Pangan. Keempat, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126 UU No 18/2012 tentang Pangan. Kehadiran kelembagaan pangan tidak bisa ditawar-tawar untuk menyelesaikan centang perenang dan karut-marut pangan yang tak terurus selama hampir 14 tahun. Kelembagaan baru ini diharapkan tak hanya berkutat pada perumusan kebijakan, dan koordinasi pembangunan pangan, tapi juga menuntaskan kemelut harga pangan yang selalu menjadi agenda rutin tahunan yang telah menggerus sumberdaya yang cukup besar. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi halhal rutin yang mustinya bisa diselesaikan dengan cara cerdas. ***

Edisi I - April 2013

9


G LOBA L IS A S I

Impor Ikan Pilihan “Orang Kalah”

M. Riza Damanik

Executive Director Indonesia for Global Justice

10


W

ujud kegagalan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) teraktual ditandai dengan semakin tergantungnya pemenuhan kebutuhan pangan domestik—baik untuk konsumsi maupun industri pengolahan—terhadap ikan impor. Adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo dalam Chief Editors Meeting bertema “Industrialisasi Kelautan dan Perikanan” di Jakarta, Selasa (29/11) menyampaikan maksud dan keinginan pemerintah untuk membuka kran impor. Meski pada praktiknya, volume impor ikan dalam kurun 5 tahun terakhir sudah melonjak tajam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, sepanjang tahun 2010, volume ikan impor telah lebih dari 318 ribu ton. Jumlah tersebut mengalami peningkatan hampir 100 persen dibanding tahun 2006, yang jumlahnya baru mencapai 184 ribu ton. Kondisi ini terus berlanjut di tahun 2011, setidaknya hingga bulan September, volume impor telah menembus angka 210 ribu ton. Lebih rinci, sebanyak 40 dari 79 jenis produk perikanan yang diimpor dapat diproduksi di dalam negeri. Diantaranya ikan gembung, tuna, tongkol, belut, nila dan udang. Dari sini, hasrat membuka impor ikan menuai protes dari segenap rakyat Indonesia! Pertama, bagi persaudaraan nelayan tradisional Indonesia. Membanjirnya ikan impor telah menambah daftar panjang penghambat bangkitnya ekonomi nelayan. Mulai dari sulitnya mendapat akses permodalan, sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak bersubsidi, maraknya “pungutan liar” di Tempat Pelelangan Ikan dan sebagainya, yang menandakan masih tingginya biaya produksi yang ditanggung oleh nelayan tradisional Indonesia. Namun, tidak demikian yang terjadi di negaranegara asal ikan impor, seperti Cina, India, termasuk negara terdekat Malaysia. Hal hasil, harga jual ikan impor lebih murah dibanding hasil tangkapan nelayan tradisional. Sebut saja harga ikan kembung lokal bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram, sedang ikan kembung impor hanya berkisar Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram. Terdapat 3 aspek pendukung yang menjadikan ikan impor dapat merajai pasar tradisional: harganya murah, jenis komoditasnya sama dengan yang menjadi konsumsi rakyat Indonesia, serta, lemahnya pengawasan pintu dan distribusi impor ikan di Tanah Air. Dalam posisi tanpa perlindungan tersebut telah membuat kompetisi yang terjadi di pasar-pasar domestik selalu memposisikan nelayan-nelayan tradisioanl Indonesia dalam posisi yang kalah dan merugi. Begitu pula, pencapaian kesejahteraan nelayan kian jauh dari harapan. Kedua, bagi rakyat pengkonsumsi ikan. Disini, jaminan terpenuhinya produk

Edisi I - April 2013

11


perikanan yang sehat untuk di konsumsi menjadi isu penting. Kenyataan, setidaknya, pada bulan Maret hingga minggu ketiga April 2011, Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menahan 12.060 ton atau 245 kontainer (Kompas, 25/4). Alasannya, selain tidak memiliki ijin, ikan-ikan tersebut juga diketahui tidak memenuhi standar minimum kualitas kesehatan produk perikanan yang diperbolehkan: baik terkait kadar air, kandungan logam berat, maupun penggunaan formalin. Modus tersebut ternyata masih berlangsung. Buktinya, Setember 2011, KKP masih menemukan sebanyak 191,2 ton ikan impor berformalin milik PT BAS. Dalam kondisi demikian itu, kehadiran ikan-ikan impor di pasar-pasar tradisional akan memberi dampak buruk terhadap asupan protein bagi rakyat Indonesia pada umumnya. Padahal, konsumsi ikan di Tanah Air belakangan ini terus melonjak, hingga lebih dari 30 kg per kapita per tahun. Ketiga, bagi pelaku usaha menggunakan sumber bahan baku ikan yang sehat adalah penting. Sama pentingnya dengan membangun kemitraan yang adil dan berkelanjutan dengan kelompok-kelompok nelayan yang berada disekitarnya. Dengan komposisi kualitas ikan impor yang buruk dan implikasi dari membanjirnya impor ikan terhadap himpitan ekonomi nelayan lokal, dipastikan performa industri perikanan di dalam negeri tidak akan pernah bangkit. Setidaknya, industrialisasi perikanan tidak akan mampu menjadi solusi bagi pembangunan ekonomi nasional, terlebih dalam rangka mewujudkan kesejahteraan keluarga nelayan. Apalagi belakangan diketahui, impor ikan juga syarat dengan praktik kejahatan perikanan: Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU). Buktinya, berdasarkan data UN-Comtrade (2011) yang disampaikan oleh Suhana dalam Refleksi 2011 dan Proyeksi 2012 Agenda Kelautan dan Perikanan diketahui bahwa terdapat selisih yang besar antara nilai ekspor ikan asal Cina ke Indonesia yang tercatat di Cina pada tahun 2010 lalu, dengan nilai impor ikan dari Cina yang tercatat di Indonesia di tahun yang sama. Jika Cina mencatat nilai perdagangannya sebesar US$ 170 juta lebih. Di Indonesia, nilai yang tercatat atau dilaporkan hanya sebesar US$ 83 juta. Dengan demikian ada selisih sekitar US$ 87 juta yang tidak dilaporkan di Indonesia. Hal ini mengindikasikan praktik impor ikan ilegal asal Cina saja sudah mencapai 43 ribu ton atau sekitar 51 persen dari total impor Indonesia dari Cina. Belum lagi volume impor ikan yang tidak tercatat yang bersumber dari negara lain, semacam Thailand, Malaysia, termasuk India.

12


Pelemahan Sistemik Dalam ranah politik kebijakan publik, menghasilkan sebuah kebijakan publik yang baik adalah penting, namun tidak cukup. Lebih dari itu, setidaknya diperlukan pengawasan dan penegakkan hukum yang baik pula. Dalam hal kebijakan impor ikan, sejatinya Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan instrumen hukum: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2010 tentang Pengendalian Mutu dan Kemananan Hasil Perikanan yang masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia. Melalui Permen ini pemerintah menjalankan peran strategisnya untuk melindungi kualitas produk ikan impor akan aman untuk di konsumsi oleh rakyat Indonesia. Tidak cukup, pemerintah juga telah mengeluarkan daftar komoditas ikan yang tidak boleh diimpor melalui Keputusan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 231 Tahun 2011 tentang Pengaturan Jenis-Jenis Ikan yang Dapat Diimpor. Ditengah minimnya penegakan hukum atas aturan di tingkat kementerian diatas, Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan. Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa pada level kebijakan, Presiden SBY tidak melihat ada kepentingan untuk menutup impor ikan. Kenyataannya, instruksi presiden teraktual alpa memberi penekanan kepada para pejabat terkait, semisal Menteri Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, maupun Kepala Kepolisian RI untuk menghentikan sindikasi impor yang merugikan tersebut. Pasifnya SBY dalam menutup kran impor ikan juga terlihat dari tindakan negosiasi yang diambil oleh Pemerintah Indonesia saat berlangsungnya Perundingan WTO. Pada hari ke-2 negosiasi Putaran Doha, sejumlah negara di antaranya Argentina, Australia, Chili, Kolombia, Ekuador, Selandia Baru, Norwegia, Peru, dan Amerika Serikat di bawah bendera kelompok Friends of Fish—mendesakkan proposal penghapusan subsidi perikanan yang mereka anggap berkontribusi terhadap kelebihan kapasitas armada penangkapan dunia. Lagi-lagi Delegasi Indonesia memilih pasif. Padahal, proposal ini bertolak belakang dengan kepentingan Indonesia sebagai negara bahari: dimana laut merupakan ruang hidup bagi 91,8 persen nelayan Indonesia dengan armada kapal rata-rata bertonase di bawah 5 gross ton. Dalam posisi demikian itulah kita dapat menyadari bahwa upaya pelemahan kebijakan penutupan kran impor dilakukan secara sistemik. Baik di dalam negeri, maupun dilemahkan melalui komitmen perjanjian dagang Indonesia, baik secara

Edisi I - April 2013

13


Kenyataannya, instruksi presiden teraktual alpa memberi penekanan kepada para pejabat terkait, semisal Menteri Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, maupun Kepala Kepolisian RI untuk menghentikan sindikasi impor.

bilateral maupun multilateral. Pada demikian itulah, volume ikan impor akan meningkat di tahun 2012 hingga 20 persen.

Karakter Bangsa Mantan Presiden RI Megawati Soekarno Putri saat meluncurkan Gerakan Memasyaraktkan Makan Ikan atau lebih dikenal Gemarikan menyebutkan bahwa rakyat Indonesia perlu terus meningkatkan konsumsi ikannya sebagai upaya character and nation building. Karenanya, melindungi pangan perikanan nasional menjadi penting, yakni untuk membangun karakter bangsa. Dalam posisi demikian, pangan perikanan tidak sekedar komoditas ekonomi, tetapi telah menjadi sumber pangan utama bagi segenap rakyat Indonesia. Karenanya, niat untuk membuka impor ikan harus dibatalkan. Apalagi, bagi nelayan, konsumen, maupun bagi pembangunan industri perikanan dalam negeri, tidak terlihat ada urgensi dibukanya impor ikan. Kecuali hanya sekedar untuk memfasilitasi para importir “nakal� yang meraup banyak keuntungan dari praktik impor ilegal. Karenanya, terdapat 3 strategi yang perlu dijalankan pemerintah—dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR): pertama, kebijakan nasional untuk menutup kran impor perlu diikuti pengawasan, dan konsistensi penegakan hukum. Pada level ini, Presiden SBY perlu menambah bobot Inpres Perlindungan Nelayan yang telah dikeluarkannya untuk memerintahkan para menteri maupun pejabat terkait untuk melakukan penegakan hukum dalam melindungi kepentingan nasional dari membanjirnya ikan impor. Kedua, disadari atau tidak bahwa kasus impor ikan ilegal juga menjelaskan bahwa biaya produksi ikan di dalam negeri masih tinggi. Akibatnya, produk perikanan Indonesia dipecundangi produk impor di dalam negeri. Untuk itu,

14


biaya produksi perikanan nasional perlu ditekan serendah mungkin. Caranya, dengan memberikan insentif kepada nelayan tradisional Indonesia. Persoalan pendistribusian bahan bakar bersubsidi, pemberian subsidi pakan ikan, penyediaan akses informasi dan permodalan adalah syarat mutlak yang perlu disegerakan. Ketiga, pemerintah perlu mengintensifkan kampanye dan pendidikan publik agar mengkonsumsi ikan sehat, dari perairan Indonesia, dan tangkapan nelayan tradisional Indonesia. Tahapan ini tidak boleh dikesampingkan. Karena, modalitas dukungan tersebut dapat memicu lahirnya kesadaran kolektif dan sikap kritis publik. Disaat yang sama, akan mempersempit perdagangan produk perikanan dari hasil kejahatan: pencurian, pengeboman, pembiusan, trawl, dan pencemaran. Kesemuannya perlu disegerakan. Publik mengetahui dengan baik, bahwa hasrat membuka impor ikan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Tidak juga, untuk pemenuhan kesehatan konsumen, apalagi keinginan untuk mensejahterakan nelayan seperti yang digembar-gemborkan. Dengan demikian, kebijakan impor adalah pilihan orang-orang kalah! ***

Edisi I - April 2013

15


G LOBA L IS A S I

Tunduk di Bawah Rezim

WTO

Rachmi Hertanti Indonesia for Global Justice

Carut-marut wajah kebijakan impor Indonesia telah memberikan pengaruh terhadap pelemahan perekonomian masyarakat. Hal tersebut dikarenakan peningkatan drastis harga beberapa komoditas yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat.

16


B

eberapa bulan terakhir ini harga daging sapi sempat mencapai kisaran Rp.100.000 perkilo. Begitu juga dengan komoditas hortikultura yang diwakili oleh bawang merah dan bawang putih. Dua produk ini sempat menyentuh hingga Rp 80.000 perkilo naik sebesar 200%. Belum lagi persoalan korupsi yang menyelimuti praktek impor pangan. Bahkan persoalan manipulasi data terkait impor pangan, khususnya daging, menjadi salah satu pemicu kekacauan persoalan impor nasional. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan tahun 2012 menyebutkan terjadi kelebihan pasokan impor daging dari nilai kebutuhannya. Disebutkan bahwa kebutuhan impor daging hanya sekitar 15.000 ton tetapi angka realisasi impor mencapai 35.000 ton di tahun 20121. Di tengah keresahan masyarakat atas kekacauan impor pangan di Indonesia, berita rencana Amerika Serikat (AS) yang hendak membawa kebijakan impor Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) semakin melengkapi persoalan impor yang ada. Benar saja, pada 10 Januari 2013 AS akhirnya membawa Indonesia ke forum konsultasi di WTO untuk mempertanyakan kebijakan impor yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Proses konsultasi ini tengah berlangsung sejak Februari 2013. Indonesia telah menjawab keberatan AS dan menyatakan akan segera mengevaluasi kebijakan impor yang memberatkan.

Akar Persoalan Keberatan AS Kasus ini berawal dari kebijakan impor yang dikeluarkan pemerintah mengenai Pengaturan impor produk hortikultura, yang diatur dalam Permendag No.60/M. DAG/PER/9/2012 Jo Permendag No.30/M.DAG/PER/5/2012, dan Pengaturan impor & ekspor hewan dan Produk hewan, yang diatur dalam Permendag No.24/M.DAG/PER/9/2011. Dalam pernyataan resminya2, Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (The United States Trade Representative) memaparkan bahwa keharusan mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Rekomendasi Persetujuan Pemasukan (RPP) untuk produk hewan dari Kementerian Pertanian merupakan proses yang terlalu panjang dan rumit. Bahkan RIPH dan RPP yang menjadi salah satu prasyarat pengajuan izin impor ke Kementerian Perdagangan dianggap sebagai tahapan yang tidak perlu. Sehingga Pemerintah AS menyebut proses perizinan ini dengan non-automatic import licensing regime (Rezim perizinan 1 2

IHPS II tahun 2012, BPK, hal.179. USTR, “United States Challenges Indonesia’s Import Restrictions on Horticultural Products, Animals and Animal Products�, 10 Januari 2013. http://www.ustr.gov/about-us/press-office/press-releases/2013/january/uschallenges-indonesia-import-restrictions

Edisi I - April 2013

17


impor yang tidak otomatis). Kedua aturan impor ini mengatur proses perizinan impor yang dianggap AS sangat memberatkan dan tidak bijaksana. AS merasa kebijakan impor pemerintah Indonesia telah memberikan hambatan serius terhadap produk ekspor pertanian AS yang masuk ke Indonesia. Selain itu, AS juga menganggap Indonesia telah bertentangan dengan aturan di dalam WTO, yaitu Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT 1994) Pasal 10 (ayat 3) yang mengatur tentang keharusan Pemerintah Indonesia untuk menginformasikan segala perubahan yang terjadi dalam kebijakan nasionalnya, dan 11 (ayat 1) yang mengatur tentang keharusan Pemerintah Indonesia untuk tidak melakukan pembatasan impor melalui kuota ataupun proses perizinan. Dalam Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) AS mengatakan bahwa Indonesia bertentangan dengan Pasal 4 (ayat 2) yang mengatur mengenai pelarangan pembatasan akses pasar produk-produk pertanian sesuai dengan komitmen yang telah diikatkan ke WTO. Dalam Perjanjian tentang Perizinan Impor (the Import Licensing Agreement) disebutkan bahwa Indonesia melanggar Pasal 1 (ayat 2) yang mengatur tentang keharusan pengaturan perizinan impor sesuai dengan GATT 1994, dan Pasal 3 (ayat 2 dan 3) yang mengatur tentang pelarangan non-automatic import licensing yang menimbulkan distorsi dan hambatan dalam perdagangan.

WTO Vs Kepentingan Nasional Andai saja Indonesia tidak masuk ke dalam jebakan WTO, pastinya Pemerintah bebas menentukan kebijakan yang akan diterapkan di seluruh wilayah Indonesia tanpa perlu khawatir akan digugat. Masuknya Indonesia menjadi anggota WTO sejak tahun 1995 telah memberikan konsekuensi perubahan terhadap wajah kebijakan nasional. Sistem perdagangan nasional saat ini mengalami perubahan yang sangat signifikan, dari perdagangan yang tertutup menjadi perdagangan yang sangat terbuka. Hal ini karena WTO memiliki tujuan untuk mendorong perdagangan bebas di dunia. WTO mengharuskan seluruh anggotanya untuk membuka akses pasar seluas-luasnya tanpa hambatan, baik berupa tarif maupun non-tarif. Dalam mencapai tujuannya, maka seluruh aturan WTO harus mengacu pada prinsip-prinsip perdagangan bebas multilateral, yaitu (1) perlakuan nondiskriminasi; (2) menciptakan perdagangan bebas dengan menghilangkan seluruh bentuk hambatan perdagangan; (3) menghapus tindakan perdagangan yang tidak adil; (4) transparansi kebijakan melalui harmonisasi seluruh kebijakan nasional; dan (5) perlakuan khusus bagi negara berkembang dan terbelakang.

18


Dalam menerapkan prinsip-prinsip perdagangan bebas, maka WTO telah melengkapinya dengan lembaga penegak hukum atau aturan WTO dan mekanisme pengawasan kebijakan perdagangan. Lembaga penegak aturan WTO dilakukan oleh Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) yang akan berperan aktif ketika ada protes dari satu atau beberapa negara terhadap negara yang dianggap melanggar aturan WTO. Mekanisme pengawasan kebijakan perdagangan dalam WTO dilakukan dengan satu program rutin evaluasi kebijakan yang dikeluarkan oleh negaranegara anggota. Mekanisme itu disebut dengan Trade Policy Review Mechanism (TPRM). Indonesia pada April 2013 telah mendapat jatah untuk jadwal TPRM. Mekanisme ini berfungsi untuk mengharmonisasi kebijakan-kebijakan nasional suatu negara dengan aturan dan prinsip WTO. Dari kasus protes AS terhadap kebijakan impor Indonesia yang dibawa ke forum konsultasi WTO merupakan satu penggambaran atas penerapan aturan dan prinsip WTO. Terlebih lagi, dari hasil konsultasi antara Pemerintah AS dengan Pemerintah Indonesia pada 20-21 Februari 2013 disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia akan segera melakukan review terhadap kebijakan Impor yang memberatkan AS dan beberapa negara lainnya hingga memiliki kesesuaian dengan aturan WTO. Dalam hal ini, maka Pemerintah Indonesia telah kehilangan kedaulatannya dalam menetapkan kebijakan dan regulasi nasional dalam rangka melindungi kepentingan nasional. Padahal, kebijakan impor yang dikeluarkan pemerintah Indonesia ditujukan untuk melindungi produk hortikultura dan produk hewan Indonesia dari serangan produk impor yang meningkat tajam dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, Pemerintah Indonesia harus kalah dalam rangka menegakkan aturan dan prinsip WTO dibandingkan dengan nilai penegakan konstitusi yang mengamanatkan untuk melindungi kepentingan nasional. ***

Edisi I - April 2013

19


G LOBA L IS A S I

Hilangnya Kemerdekaan

Petani Berproduksi Rika Febriani Indonesia for Global Justice

20


P

ada tanggal 27-28 Maret 2013, beberapa organisasi masyarakat yang dikoordinir oleh FIELD Indonesia (Farmer’s Initiative for Ecological Livelihoods and Democracy) melakukan forum silaturahmi temu produsen pangan skala kecil yang terdiri dari petani dan nelayan di Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Beberapa diskusi yang dilakukan terkait dengan: Penguatan dan Pengembangan Usaha Pangan Petani dan Nelayan, Penguatan sistem benih petani dan Perkoperasian di tingkat Petani dan Nelayan. Salah seorang petani yang saya temui adalah Pak Karsinah (80 tahun) seorang petani penggarap dan pemulia benih. Pak Karsinah telah melakukan pemuliaan benih separuh hidupnya dan kepandaian ini telah diwariskannya secara turun termurun. Dia berharap kepandaiannya ini bisa diturunkan kepada generasi penerus di Kertasemaya, tetapi ternyata harapannya harus pupus disebabkan adanya aturan yang tidak membiarkan petani untuk melakukan pemuliaan benih dan mendistribusikannya, bahkan dalam skala kecil sekalipun. Kabupaten Indramayu adalah salah satu daerah di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Mereka adalah pelaku produksi bahan pangan skala kecil yang menghasilkan benih padi dan mengkonsumsinya sendiri. Selain bertani, banyak diantara mereka yang juga merangkap sebagai peternak. Pekerjaan multitasking ini sudah mereka jalani untuk dapat mencukupi kehidupan keluarganya. Disamping pertanian, juga ada kelompok masyarakat yang terletak di pesisir Indramayu yang berprofesi sebagai nelayan. Mereka melakukan usaha nelayan baik di perairan maupun pengelolaan tambak. Basis nelayan di Indramayu cukup kuat, berdasarkan informasi dari nelayan, mereka telah mempunyai Kelompok Usaha Bersama (KUB). KUB ini berfungsi sebagai wadah bagi para nelayan untuk mengumpulkan ikan dan kemudian dilelang. Sistem kelompok yang mereka punyai ini terbukti dapat memberikan kesejahteraan kepada para anggotanya karena menghindarkan mereka untuk menjual ikan kepada tengkulak dengan harga yang murah. Petani dan Nelayan ini mungkin tidak tahu apa yang disebut dengan World Trade Organization (WTO). Organisasi perdagangan tingkat internasional yang tahun ini akan melaksanakan pertemuan di Bali. Namun dampak aturan yang dibuat oleh WTO ini secara langsung dirasakan oleh para petani dan nelayan ini. Bagi para petani, yang nyata mereka rasakan adalah melalui UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT). Melalui UU ini, pemerintah telah membatasi kreativitas mereka dalam melakukan pemuliaan benih. Tidak hanya dalam melakukan pemulian benih, aturan ini juga mengontrol proses distribusinya. UU 12/1992 adalah aturan yang diturunkan langsung dari Trade Related

Edisi I - April 2013

21


Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs). Di dalam aturan ini mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual bagi negara yang tergabung di dalam WTO. Sebagai konsekuensinya, Indonesia wajib memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman yang berada di wilayahnya. Pemerintah seakan tidak tahu ada petani yang ternyata bisa menghasilkan varietas tanaman yang lebih baik daripada yang dihasilkan oleh perusahaan besar seperti : Monsanto dan Syngenta. Seorang petani pemulia benih bernama Joharifin (56 tahun) telah berhasil menemukan varietas benih padi yang dia namakan dengan varietas “Alhamdulillah�. Nama ini menurutnya terinspirasi karena pada saat musim paceklik, hanya benih padi tersebut yang mampu bertahan. Varietas ini terus dia kembangkan dan Pak Joharifin juga mendistribusikan kepada sesama petani di Kertasemaya. Tidak ada kecurigaan bahwa benih tersebut akan disalahgunakan oleh orang lain. Justru merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya karena orang lain juga dapat memanfaatkan apa yang dia kembangkan. Masyarakat petani dan nelayan pada kenyataannya dapat hidup dengan sistem pengetahuan dan usaha yang mereka buat sendiri. Tetapi aturan-aturan yang masuk telah menekan dan menjadikan mereka asing dengan kesehariannya.

***

22


G L O B AL I S AS I

Pandangan Terhadap KTM IX WTO:

“Empat Alasan Kenapa Menolak Perundingan Paket Bali”

Edisi I - April 2013

23


P

ertemuan KTM IX WTO pada 3 – 6 Desember 2013, di Bali Indonesia, nampaknya akan digunakan untuk menghidupkan kembali sistem kapitalisme di bawah rezim WTO. Terdapat tiga alasan yang mendukung dugaan tersebut. Pertama, pada kenyataannya, perlambatan ekonomi global akhir-akhir ini telah mengarahkan banyak negara melakukan proteksi. Bahwa kebutuhan saat ini adalah tetap membuka pasar dan menjaganya untuk tetap terbuka dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga penegasan kembali terhadap komitmen liberalisasi perdagangan dengan tidak melakukan tindakan proteksi sangat diharapkan. Kedua, perkembangan regionalisme saat ini yang memiliki banyak preferensi perdagangan diantara negara yang terlibat telah menimbulkan ketidak-efisienan dalam perdagangan internasional dan akhirnya menimbulkan ketidak-stabilan perdagangan. Tentu, ke-eksklusifan perdagangan dalam regionalisme akan berdampak pada keengganan untuk memajukan multilateralisme. Ketiga, untuk menghilangkan kemandekan dalam memajukan sistem perdagangan multilateral maka diperlukan kemajuan dalam proses negosiasi WTO itu sendiri. Dalam kerangka itu, maka telah disusun tiga agenda utama yang menjadi fokus pembahasan di dalam KTM IX WTO mendatang yang disebut sebagai Paket Bali (Bali Packages) yang berisi negosiasi tentang Fasilitasi Perdagangan, Paket LDCs, dan Pertanian. Keberhasilan ketiga isu ini nantinya akan dianggap sebagai capaian penyelesaian dari perundingan Doha Round yang selama ini sulit mencapai kesepakatan. Namun, dengan karakter yang dimiliki oleh WTO dengan mengusung semangat liberalisasi perdagangan tetap saja institusi itu didominasi oleh kepentingan negara-negara maju dan tidak membawa banyak keuntungan untuk negara berkembang dan terbelakang. Oleh karena itu, keberhasilan Paket Bali di KTM IX WTO nanti tidak akan pernah menjadi capaian keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional, sehingga pemerintah harus menolak Perundingan Paket Bali. Ada 4 (empat) alasan yang mendasari kenapa Pemerintah Indonesia harus menolak KTM IX WTO nanti di Bali, yaitu: Pertama, Fasilitasi Perdagangan (Trade facilitation) bertujuan untuk mempermudah akses pasar ekspor-impor melalui fasilitasi perdagangan yang dilengkapi dengan standarisasi prosedur kepabeanan (customs procedures) yang memiliki komitmen implementasi tinggi dari seluruh anggota WTO dan terikat sanksi. Bahwa, isu Trade Facilitation sebenarnya hanya menguntungkan negaranegara maju karena Trade Facilitation lebih memfasilitasi impor dari pada ekspor. Hal ini akan berdampak pada peningkatan jumlah impor dan menghancurkan

24


daya saing produk lokal. Ketentuan Special & Differential Treatment dalam bentuk technical assistance dan capacity building di perjanjian Trade Facilitation juga tidak akan memberikan keuntungan bagi negara berkembang dimana pada akhirnya pemberian bantuan pendanaan oleh negara maju akan memposisikan negara berkembang pada situasi yang tidak dapat memiliki posisi tawar selain melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam perjanjian Trade Facilitation. Kedua, Least Development Countries (LDCs) Packages, terdiri dari beberapa paket kebijakan untuk memberikan pengecualian dalam penerapan Kesepakatan WTO (Special and Differential Treatment) bagi negara-negara LDCs seperti Duty free-quota free, Rules of Origin under Duty Free Quota Free, The LDCs Services waiver, cotton, dan TRIPs Waiver. Namun, penerapan perlakuan khusus dan berbeda untuk LDCs tidak semulus dan semudah yang diharapkan. LDCs masih harus berjuang untuk mendapatkan perlakuan khusus itu, karena tidak ada negara maju yang mau secara sukarela memberikan kemudahan akses pasar bagi LDCs, khususnya Amerika Serikat. Ketiga, isu pertanian, khususnya terkait dengan isu subsidi ekspor, praktek dumping dan pemanfaatan bantuan pangan (food aid) yang dimanfaatkan negaranegara industri dan TNCs pangan untuk memperluas bisnisnya di negara-negara lain. Dalam KTM IX kali ini, G-33 muncul dengan usulan agar negara-negara berkembang diberikan pengecualian atau perlakuan berbeda (S&DT) untuk dapat melakukan domestic support terkait Pembelian stok pangan dengan tujuan mendukung produsen berpendapatan rendah (low income and poor resources producers/petani miskin), program land reform, pembangunan pedesaan dan keamanan penghidupan desa. Namun dapat kita pastikan, usulan ini segera mendapat hambatan besar dari Amerika Serikat dan Uni Eropa yang selama ini diuntungkan dari sistem yang ada. Terlebih lagi dampak dari Kesepakatan trade facilitation akan semakin membuka pintu impor yang kemudian menghilangkan daya saing petani kecil, dan hilangnya kedaulatan pangan kita. Keempat, Dalam perundingan KTM IX WTO, negara-negara maju akan menggunakan politik ‘trade-off’ yang merugikan negara-negara berkembang dan terbelakang. Negara maju akan menukar Kesepakatan LDCs Packages dan Pertanian dengan Kesepakatan Trade Facilitation. Penukaran tersebut sangat tidak signifikan bagi kepentingan negara berkembang dan terbelakang mengingat dampak negatif yang akan ditimbulkan dari Trade Facilitation lebih besar ketimbang keuntungan yang akan diterima dari dua isu yang menjadi kepentingan negara berkembang dan terbelakang.

Edisi I - April 2013

25


Delegitimasi WTO Sekarang Juga Momentum KTM IX WTO akan dijadikan negara maju sebagai momentum untuk melupakan dan menyudahi Doha Round dengan capaian yang akan disepakati dalam pertemuan tersebut sebagai hasil dari mekanisme ‘trade-off’. Untuk kemudian negara maju hendak mengembalikan perundingan di WTO kepada Isu Singapura (KTM I WTO Singapura) sebagai isu pembangunan yang mengandung banyak kepentingan negara maju, beberapa diantaranya adalah isu Information Technology Agreement (ITA 1) dan International Services Agreement (ISA). Kedua isu tersebut (akan menjadi isu WTO Post-Bali) akan memberikan dampak negatif bagi kepentingan negara-negara berkembang dan LDCs. WTO akan kembali pada tracknya yang semula, yaitu menjadi lembaga yang hanya mengabdi pada kepentingan negara-negara maju yang mengusung liberalisasi dan bukan kepada sistem keadilan ekonomi yang berdasarkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, alasan-alasan diatas telah menjadi dasar yang kuat bagi Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan kembali keanggotaannya di dalam WTO, sekaligus perlu menghitung kembali perannya yang secara sukarela menjadi tuan rumah KTM IX WTO, karena WTO ataupun segala aspek yang akan dibawa dalam KTM IX nanti sangat tidak signifikan bagi kepentingan Indonesia. Jika tidak, maka Pemerintah Indonesia hanya akan membawa rakyatnya kedalam kesengsaraan yang lebih dalam. ***

Gerak-Lawan (Gerakan Rakyat Lawan NeokolonialismeImperialisme) Indonesia for Global Justice (IGJ) - Bina Desa - Serikat Petani Indonesia (SPI) - Solidaritas Perempuan (SP) - Aliansi Petani Indonesia (API) - Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS) - Climate Society Forum (CSF) - Koalisi Anti Utang (KAU) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) - Institut Hijau Indonesia (IHI) - Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta). Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Serikat Buruh Indonesia (SBI), ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), Universitas Al-Azhar Indonesia (Dosen Hubungan Internasional), AEPI (Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia), KRuHA (Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air), APPI (Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia).

26


R E G I O NAL I S M E

KTT APEC Bali ;

Menuju Dominasi Korporasi Asing Salamuddin Daeng Indonesia for Global Justice IGJ)

Edisi I - April 2013

27


S

alah satu pertemuan internasional penting yang menjadi rangkaian Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) ke-9 yang akan digelar di Bali pada bulan Desember 2013, adalah pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang juga akan berlangsung di Bali pada Oktober 2013. Dengan demikian Indonesia akan menjadi tuan rumah dua perhelatan organisasi besar yang menjadi motor bagi liberalisasi perdagangan. Pertemuan APEC merupakan bagian terpenting dari upaya menyukseskan liberalisasi perdagangan melalui WTO. Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC Summit pada Oktober 2013 adalah pertemuan bagi para negara anggota APEC yang berasal dari 21 negara di kawasan lingkar Pasifik, melibatkan sedikitnya 6.000 delegasi dan 2.000 wartawan. Pertemuan yang dijadwalkan selama delapan hari ini akan berlangsung di Nusa Dua yang meliputi Finance Ministrial Meeting (FMM), Concluding Senior Officials-Meeting (CSOM), APEC Ministrial Meeting (AMM), CEO Summit, dan APEC Economic Leaders-Meeting (AELM) dan Senior Officials Meeting (SOM). Posisi APEC ini sangat menentukan dalam perdagangan global. Negara-negara anggota APEC mewakili 44% dari perdagangan dunia, APEC memainkan peran penting dalam memajukan Doha Development Agenda WTO untuk memastikan sistem perdagangan multilateral yang lebih baik. Oleh karena itu pertemuan Menteri ini berencana untuk membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung WTO Ministerial Conference ketika mereka bertemu di Bali pada bulan Desember 2013 ini. Agenda utama dari pertemuan APEC Bali sebagaimana yang disampaikan dalam siaran pers sekretariat APEC di Singapura pada 11 April 2013 adalah bagaimana memajukan agenda liberalisasi perdagangan melalui dua agenda utama yaitu (1) infrastructure and connectivity dan (2) Trade facilitation. Seberapa signifikan kedua agenda tersebut terhadap perekonomian dunia dan perekonomian Indonesia pada saat sekarang ini? Infrastructure and connectivity merupakan isu penting dalam perdagangan global dewasa ini karena berkaitan dengan rantai pasokan (supply chain) internasional dari perusahaan multinasional. Tujuan utamanya adalah meningkatkan efesiensi dari transaksi internasional perusahaan. Dengan pengurangan hambatan perdagangan: tarif, subsidi, dan berbagai jenis hambatan non-tarif. Strategi memperkuat rantai pasokan berpusat pada perubahan semua kebijakan yang berdampak besar pada efisiensi rantai pasokan dan menawarkan relevansi perjanjian perdagangan untuk menekan biaya perusahaan. Sedangkan trade facilitation telah menjadi topik diskusi di WTO pada

28


Konferensi Tingkat Menteri di Singapura pada Desember 1996, ketika diarahkan Anggota Dewan Perdagangan Barang “untuk melakukan pekerjaan eksplorasi dan analitis” untuk penyederhanaan prosedur perdagangan dalam ruang lingkup aturan WTO (Deklarasi Menteri Singapore; ayat 21). Namun Setelah beberapa tahun kerja eksplorasi, Anggota WTO secara resmi setuju untuk memulai negosiasi mengenai trade facilitation pada bulan Juli 2004, atas dasar modalitas tercantum dalam Lampiran D atau yang disebut dengan “paket Juli”. Di bawah mandat ini, Anggota diarahkan untuk memperjelas dan meningkatkan GATT Pasal V (Kebebasan Transit), Pasal VIII (Biaya dan Formalitas terhubung dengan Impor dan Ekspor), dan Pasal X (Publikasi dan Administrasi Peraturan Perdagangan). Negosiasi juga bertujuan untuk meningkatkan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas di wilayah ini dan meningkatkan kerjasama yang efektif antara Costums dan otoritas lainnya yang sesuai tujuan trade facilitation dan isu-isu kepatuhan kepabeanan. Negosiasi harus selesai di bawah keseluruhan Agenda Pembangunan Doha WTO.1 Dr Alan Bollard, Direktur Eksekutif Sekretariat APEC menyatakan bahwa Menteri APEC telah diarahkan oleh Pemimpin Negara masing –masing untuk memajukan tujuan trade facilitation dan isu-isu pembangunan terkait lainnya untuk secara komprehensif dan realistis meninjau kemajuan yang dicapai dalam WTO.2 “Pengalaman regional APEC harus menginspirasi perundingan multilateral dengan komitmennya untuk mengurangi tarif menjadi 5% atau dibawahnya pada sejumlah barang-barang pada akhir 2015,” tambahnya. “Kami berharap bahwa keberhasilan APEC telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir dapat mengembalikan kepercayaan di WTO dan mengarah pada kesimpulan yang sukses.” Dikatakan pula bahwa para Menteri APEC bertanggung jawab untuk Perdagangan akan meninjau pekerjaan yang sedang berlangsung di Surabaya pada 20-21 April dan mengatur agenda perdagangan dalam persiapan untuk Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC (APEC Summit) pada bulan Oktober 2013 nanti.

Tumpukan Utang Dalam rangka menyukseskan kedua agenda yang di usung APEC tersebut, Bank Pembangunan Asia (ADB) menciptakan Program Rantai Pasokan Keuangan (SCFP) yang menyediakan lebih dari US$1 milyar yang akan disalurkan sebagai utang dan investasi dalam mendukung penguatan suply chain. Selain itu ADB telah 1 2

http://www.wto.org/english/tratop_e/tradfa_e/tradfa_intro_e.htm http://www.apec.org/Press/News-Releases/2013/0411_surabaya.aspx

Edisi I - April 2013

29


memasok hingga US$200 juta untuk SCFP dalam jangka pendek. Selanjutnya, US$200 juta diperkirakan untuk menarik tambahan, US$300 juta investasi sektor swasta melalui SCFP. 3 ADB juga telah membuat Program Pendanaan Perdagangan (TFP) yang memiliki omset tahunan sekitar US$4 miliar tanpa default dan memfokuskan untuk memberikan dukungan perdagangan di negara berkembang termiskin Asia. Program ini terbatas untuk mengasumsikan risiko bank untuk transaksi lintas batas. Selain itu Asian Development Bank (ADB) memberikan dukungan proyek Trade Facilitation Support for ASEAN Economic Community Blueprint Implementation (Greater Mekong Subregion/Indonesia-Malaysia-Thailand), melalui berbagai program Technical Assistance yang berkelanjutan. 4 Andil terbesar dalam trade facilitation adalah dari Bank Dunia dengan membiayai sekitar delapan puluh proyek senilai sebesar US$ 4,6 miliar bagi perubahan kebijakan seperti reformasi kelembagaan dan peraturan bea cukai dan efisiensi pelabuhan.5 Di Indonesia Bank Dunia melalui Development Policy Loan (DPL) memberikan utang bagi Indonesia dalam rangka membuat kebijakan trade facilitation. Pijakan bagi trade facilitation tercakup dalam tiga pinjaman baru, Kelembagaan, Administrasi Perpajakan, Sosial dan Investasi (Instansi) DPL, senilai US$300 juta, yang berfokus pada penguatan manajemen keuangan publik dan meningkatkan upaya pengentasan kemiskinan, dalam rangka meningkatkan kualitas belanja fiskal. Selain itu melalui Connectivity DPL, senilai US$100 juta, Bank Dunia mendukung upaya Indonesia untuk memperkuat kerangka kebijakan untuk meningkatkan logistik perdagangan, transportasi,ICT, dan trade facilitation. DPL ini mendukung tujuan pemerintah Indonesia untuk memperkuat konektivitas, strategi utama pendukung nya Rencana Induk 2011-2025 Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).6

Dominasi Korporasi Jika dilihat secara ekonomi politik, perdagangan global sesungguhnya adalah perdagangan antar perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki cabang atau anak perusahaan di berbagai negara. Sangat jarang atau bahkan tidak ada pengusaha kecil yang terlibat dalam kegiatan perdagangan internasional secara 3 http://www.adb.org/news/adbs-first-supply-chain-finance-program-help-regions-small-businesses 4 http://www.adb.org/projects/45100-001/details 5 http://web.worldbank.org, atau : http://go.worldbank.org/QWGE7JNJG0 6 http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2012/11/20/world-bank-approves-new-financing-priorityreforms-indonesia

30


langsung. Perusahaan yang memiliki rantai pasokan internasional yang luas adalah pihak yang paling berkepentingan dengan agenda perdagangan bebas (free trade). Kebijakan trade facilitation dan konektivitas infrastuktur merupakan agenda perdagangan bebas untuk meningkatkan kinerja perusahaan multinasional dan efesiensi usaha berkaitan dengan investasi dan perdagangan yang dilakukannya. Kedua kebijakan ini merupakan bagian terpenting dari perdagangan internasional perusahaan-perusahaan multinasional dalam rangka memperbesar keuntungan. Dengan demikian perdagangan bebas yang berisikan penghabusan hambatan tarif penghilangan hambatan non tarif, penghapusan subsidi dan pembukaan investasi serta penegakan Intelectual Property Right (IPR), akan semakin mengokohkan posisi perusahaan multinasional. Hal itulah yang menyebabkan pemerintahan SBY terkesan sangat antusias untuk menghapuskan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan memaksakan kenaikan harga BBM dalam bulan Mei 2013. Kebijakan ini berkaitan erat dengan komitmen Indonesia dalam menyongsong pertemuan APEC dan WTO pada akhir tahun 2013 mendatang. Selama ini harga BBM yang rendah dianggap oleh perusahaan asing sebagai hambatan untuk menguasai pasar Indonesia dikarenakan pesaingpesaing mereka yakni perusahaan nasional, Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia mendapatkan subsidi energi. Isu subsidi energi adalah masalah yang paling sensitif dalam perdagangan bebas. Kebijakan liberalisasi perdagangan sangat diperlukan oleh perusahaanperusahaan multinasional di Indonesia. Mengingat sebagian besar kegiatan ekonomi skala besar dikendalikan oleh modal asing. Lebih dari 75% kegiatan investasi diluar tambang, migas, dan keuangan, dikuasai oleh modal asing. Sementara migas sebanyak 85% dikuasai asing, dimana separuh kegiatan usaha hulu migas dikuasai Chevron. Sementara di sektor pertambangan emas, perak dan tembaga 95% dikendalikan oleh dua perusahaan modal asing asal AS yakni Newmont dan Freeport. Trade facilitation dan infrastructure connectivity akan memperlancar arus lalu lintas barang dan ekspor impor perusahaan-perusahaan tersebut dengan biaya yang semakin rendah. Sementara tidak sedikit perusahaan nasional yang diakuisisi asing. Sebut saja produk seperti kecap ABC yang telah dikuasai Heinz dan saat ini dibeli oleh orang terkaya nomor tiga dunia Warren Buffet. Lalu perusahaan air minum dalam kemasan Aqua yang telah diakuisisi Danone. Perusahaan rokok Sampoerna yang saat ini diketahui telah diakuisisi oleh perusahaan AS yaitu Philip Morris yang kemudian menjadi market leader dalam industri tembakau dan rokok. 7 Dalam sektor otomotif sebagian besar dikuasai oleh perusahaan multinasional. Pengamat 7

http://suarapengusaha.com/2013/02/19/pemerintah-tanggapi-perusahaan-milik-pengusaha-ri-banyak-yangdicaplok-asing/

Edisi I - April 2013

31


otomotif Rudi Kurniadi, mengatakan industri skala kecil menengah bidang komponen otomotif masih sebatas penonton di negerinya sendiri. Apa yang disebut industri komponen lokal sebagai mitra strategis industri otomotif global bukanlah 100% lokal. Kebanyakan industri pemasok komponen itu sebenarnya anak-anak perusahaan dari perusahaan global itu. Sehingga dari sisi kepemilikan, tetap saja tidak bisa sepenuhnya disebut industri lokal.8 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat sampai dengan semester satu 2009, jumlah importir teregistrasi di Indonesia jumlahnya mencapai 19.730 importir.9 Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, jumlah perusahaan importir yang terdaftar mencapai 26.000 perusahaan.10 Jika dilihat data Badan Pusat Statistik (2013) bahwa sebagian besar impor Indonesia adalah impor bahan baku yang mencapai 76,90 persen, impor barang modal 16,83 persen, sedangkan impor barang konsumsi sebesar 6,27 persen. 11 Dengan demikian berdasarkan fakta diatas maka agenda APEC yang akan berlangsung di Bali 2013 mendatang, yakni trade facilitation dan infrastructure connectivity sebagian besar dinikmati oleh perusahaan modal asing yang berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai bisnis dalam seluruh sektor ekonomi nasional akan dapat meningkatkan efesiensi dari rantai pasokan (supply chain) internasional mereka yang akan semakin mendominasi pasar Indonesia. Sementara usaha kecil dan menengah nasional akan tersapu oleh bisnis raksasa global dan impor yang semakin merajalela. ***

8

http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=509:industri-komponenjangan-jadi-penonton-di-negeri-sendiri&catid=37&Itemid=142 9 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/80274-importir_terdaftar_capai_19_730 10 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/29/15073821/Aturan.Importir.Resmi.Ditunda.Lagi 11 http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_01apr13.pdf

32


R E G I O NAL I S M E

ASTRA INTERNASIONAL

MESIN KAPITALIS PENGERUK UANG RAKYAT Chaeruddin Affan Peneliti AEPI - Jakarta

Edisi I - April 2013

33


L

iberalisasi pasar keuangan dalam sistem perdagangan dunia yang tidak mengenal batasan-batasan negara merupakan mimpi buruk bagi para pelaku bisnis di negara dunia ketiga. Pincangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta arus informasi antara negara berkembang dan negara maju, menjadikan sistem kapitalisme sebagai senjata negara maju untuk terus meningkatkan dominasi dan kemampuan ekploitasinya terhadap negara berkembang. Di banyak negara berkembang, penggunakan sistem investasi dan keuangan yang liberal, menjadikan kekayaan ekonomi negara berkembang sebagai santapan kapitalisme global. Lembaga keuangan yang mempayungi sebuah perusahaan raksasa di buat serumit mungkin. Kerumitan tersebut sengaja diciptakan untuk mengaburkan jejak dominasi asing atas ekonomi sebuah negara. Kenyataan inilah yang terjadi dalam industri kendaraan bermotor di Indonesia. Pasar otomotif yang sangat besar di Indonesia telah menjadi santapan pemilik modal raksasa yang berkantor pusat di negara industri maju. Modal perusahaan nasional “secepat cahaya� berpindah kepemilikan ke tangan raksasa keuangan global. Dengan demikian maka jadilah kekayaan ekonomi Indonesia menjadi mesin pengerukan uang kapitalis multinasional yang sangat sempurna. Menarik mengamati kasus berpindahnya kepemilikan saham PT Astra International Tbk dan bagaimana perusahaan ini dikuasai dan dikendalikan oleh raksasa keuangan global. Akibatnya keuantungan yang dihasilkan atas perdagangan otomotif dan berbagai kegiatan lainnya mengalir secepat kilat ke tangan modal internasional. Padahal perushaaan ini merupakan aktor dominan dalam industri otomotif nasional. Sebagai contoh dari total penjualan kendaraan roda empat hingga Agustus 2011 sebesar 580.022 unit, penjualan otomotif di bawah Astra Group mencapai 316.022 unit atau menguasai 54% dari total penjualan roda empat di dalam negeri. Jika dibandingkan dengan penjualan pada periode yang sama 2010, Astra Group tetap mempertahankan dominasinya dengan pangsa pasar 54% atau setara dengan 284.267 unit. Pada periode saat itu, total penjualan otomotif nasional mencapai 507.093 unit. Khusus penjualan mobil pada Agustus, Astra Group membukukan volume sebesar 39.259 unit atau naik 12,8% dibandingkan dengan penjualan pada bulan yang sama 2010 sebesar 34.804 unit. Hingga kini, Astra International menjadi agen tunggal pemegang merek (ATPM) untuk Daihatsu (PT Astra Daihatsu Motor), Isuzu (PT Isuzu Astra Motor Indonesia), UD Trucks (PT Astra Multi Trucks Indonesia), Toyota (Toyota Astra Motor), Peugeot (PT Astra International Peugeot).1 1

34

http://archive.bisnis.com/articles/astra-pertahankan-dominasi-pasar-otomotif


PT Astra International merupakan salah satu perusahaan yang cukup tua di Indonesia, perusahaan tersebut didirikan pada tahun 1957. Pada awal berdirinya perusahaan yang didirikan di Jakarta ini diberi nama PT Astra International Incorporate. Ruang lingkup kegiatan perseroan mencakup perdagangan umum, perindustrian, pertanian, pembangunan, dan jasa konsultan. The subsidiaries main activities are the assembly and distribution of automobiles, motorcycles, and related spare parts, mining and related services, development of plantations, finalcial services, infrastructure and infomation teknology. Perusahaan yang didirikan oleh Tjia Kian Tie dan William Soeryadjaya ini mulai go public pada tanggal 4 April 1990, dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan harga penawaran sebesar Rp 14.850 per lembar saham saat itu.

Jatuh dalam Genggaman Asing Sayangnya, salah satu perusahan terbesar di Indonesia ini mulai memasuki pasar yang sangat liberal di awal tahun 2000 hingga sekarang. Di saat yang bersamaan, William Soeryadjaya mengalami krisis setelah harus membailout atas kejatuhan Bank Sumo yang dimiliki anaknya. Kondisi tersebut membuat kepemilikan saham atas PT Astra Internasional sedikit demi sedkit dikuasai oleh asing. Pada awal maret 2003, sekitar 39,5% saham Astra dibeli oleh konsorsium Cycle & Carriage Mauritius yang menjadi pemenang ketika BPPN menjual saham entitas bisnis ini. Pada tahun 2004, perusahaan yang lebih dikenal dengan nama C&C Maurtius ini menambah porsi kepemilikan sahamnya di Astra hingga 41,76%. Pada akhir 2004. kemudian kepemilikan perusahaan C&C Mauritius di beli oleh Jardine Cycle & Carriage (JC&C), dan setahun kemudian pada tahun 2005 saham JC&C di Astra mencapai 50,11%. Sisa saham dari Astra International dimiliki presiden komisaris sebesar 0.02%, 0.02% dimiliki Anthony Jhon sebagai komisaris, dan 49.85% dimiliki oleh publik. Namun prinsip dari kepemilikan saham, dimana pememiliki saham mayoritas merupakan pemegang kendali, maka walau 49.85% dimiliki publik, namun pemegang kendali tetap berada di tangan JC&C, begitupun dengan penikmat keuntungan terbanyak dan penentu arah kebijakan perusahaan. Astra merupakan perusahaan yang menjadi lumbung pendapatan untuk JCC. Tercatat Pendapatan JCC pada tahun 2006 mencapai Rp 65 triliun, pendapatan sebesar itu ternyata di sokong oleh Astra sebesar Rp 55 triliun, atau dengan kata lain, hampir 85 % keuntungan JCC berasal dari Astra. Lalu binatang buas apa Jardine Cycle & Carriage, dan siapa yang memelihara binatang sebuas itu? JC & C telah langsung dipegang perusahaan bermotor yang beroperasi di

Edisi I - April 2013

35


Singapura dan Malaysia di bawah Cycle & Carriage banner. Perusahaan tersebut juga memegang kontrol atas kepentingan distribusi motor lain di Indonesia dan Vietnam. JC & C merupakan kelompok yang mewakili beberapa dunia Marques otomotif terkemuka termasuk Mercedes-Benz, Toyota, Honda dan Kia. Perusahaan tersebut di pimpin oleh Alexander Newbigging sebagai Group Managing Director. Selain memiliki beberapa anak perusahaan selain Astra Grup, perusahaan ini memiliki anak perusahaan yaitu Singapore Motors, Cycle &Carriage Bintang, Tunas Ridean, Truong Hai Auto Corporation. Shareholders dari JC&C adalah 71% dimiliki oleh Jardine Strategic Holdings Limited, dan Employees Provident Fund of Malaysia 6%. Dengan kata lain JC&C berada dibawah kontrol Jardine Strategic Holdings Limited, atau secara explisit, penikmat terbesar dari keuntungan Astra dinikmati oleh Jardine Strategic Holdings Limited. Lalu binatang apa lagi oleh Jardine Strategic Holdings Limited itu? Jardine Strategic Holdings Limited merupakan perusahaan induk dengan kepentingan utamanya di Jardine Matheson, Hongkong Land, Dairy Farm, Mandarin Oriental, Jardine Cycle & Carriage dan Astra International. Perusahaanperusahaan tersebut bergerak di bidang rekayasa dan konstruksi, jasa transportasi, pialang asuransi, investasi dan pengembangan properti, ritel, restoran, hotel mewah, kendaraan bermotor dan kegiatan terkait, jasa keuangan, alat berat, pertambangan dan agribisnis. Perusahaan ini juga memiliki investasi minoritas di Rothschilds, perusahaan penasihat keuangan global. Jardine Matheson Limited, yang beroperasi dari Hong Kong, bertindak sebagai general manager kepada perusahaan dan memberikan jasa manajemen kepada perusahaan. Jardine Strategic Holdings yang memiliki investasi minoritas di Rothschilds Continuation, memiliki kebijakan untuk mengambil saham strategis di perusahaan multinasional, terutama mereka yang memiliki fokus Asia, dan untuk mendukung ekspansi mereka. Ini juga melengkapi kepentingan-kepentingan dengan posisi yang lebih kecil dalam bisnis berkualitas dengan link yang ada atau potensial dengan Grup. Jardine Strategic memegang bunga 21% di Rothschilds Continuation, yang merupakan perusahaan induk dari sebuah grup jasa keuangan independen yang memiliki sekitar 50 kantor di lebih dari 37 negara di seluruh dunia. Rothschild adalah kelompok penasehat keuangan global yang dikendalikan oleh keluarga dan independen. Grup Rothschild telah berada di pusat pasar keuangan dunia selama lebih dari 200 tahun. Nampaknya seperti itulah konstilasi astra dalam bisnis global, seperti yang dinyatakan oleh Gita Wirjawan selaku Menteri Perdagangan di salah satu media online yang secara implisit mengatakan bahwa PT Astra International Tbk, yang

36


saham mayoritasnya dikuasai perusahaan asal Inggris. Dengan total penjualan pada bulan februari 2012 Astra Internasional mampu menjual 103.501 unit, dan 199.989 unit di bulan februari 2013, dan keuntungan yang diperoleh PT Astra Internasional sebesar Rp 46,7 trilun per triwulan pertama tahun 2013. Dengan begitu Indonesia hanya di jadikan tempat menumpuk besibesi baja yang menjadi sumber kemacetan di kota-kota besar di Jakarta dan uang hasil keuntungan tetap di nikmati oleh asing. Dari penjelasan runtutan struktur kepemilikan grup perusahaan di atas terlihat struktur yang kompleks, hal tersebut dikarenakan berbagai kepentingan yang berkumpul menjadi satu dan dioprasionalkan secara bersama-sama. Kompleksnya konstilasi bisnis global dalam hal ini PT Astra Internasional, merupakan cara untuk mengaburkan dominasi asing yang mengambil secara jelas merugikan negara berkembang, dalam hal ini Indonesia.

Sumber Refrensi: http://www.indonesiafinancetoday.com/read/42155/Pangsa-Pasar-Mobil-AstraInternational-Turun http://www.antarasumsel.com/berita/273958/pt-astra-international-bukukanpendapatan-rp467-triliun http://finance.detik.com/read/2013/04/24/170135/2229496/6/astra-cetak-laba-rp43-triliun-menipis-65 http://www.jardines.com/assets/files/Investors/Reports/strategic/js-ar2009.pdf http://www.hoovers.com/company/Jardine_Strategic_Holdings_Limited/ryjrhti-1. html http://www.reuters.com/finance/stocks/companyProfile?symbol=JSH.SI http://114.57.38.118/corporate_actions/new_info_jsx/jenis_informasi/01_laporan_ keuangan/04_Annual%20Report/2011/ASII/Astra_AR_2011.pdf http://www.jcclgroup.com/investor.asp http://www.jardines.com/group-companies.html http://www.rothschild.com/about_rothschild/financial_disclosures/ http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/Bab%202__10-121.pdf http://www. jcclgroup.com/assets/Group Structure.jpg http://indonesian-banking.blogspot.com/2006/03/melacak-keberadaan-temasekdalam.html; http://m.inilah.com/read/detail/41906/temasek-strategis-kadang-naif/http:// my.opera.com/Yrel/blog/temasek-penguasa-perusahaan-strategis-di-indonesia http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=176368 http://dunia.news.viva.co.id/news/read/303450-gita-minta-investor-inggrisinvestasi-tol

Edisi I - April 2013

37


REGIO NA LIS M E

Masa Depan Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional Ahmad Suryono, SH., MH.* Anggota Tim Kuasa Hukum Uji Materi UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan ASEAN Charter

38


S

eperti yang telah diduga sebelumnya, permohonan Uji Materi UU Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan ASEAN Charter dengan nomor perkara 33/ PUU-IX/2011 yang diajukan oleh Perkumpulan IGJ, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, Serikat Petani Indonesia, Perkumpulan KIARA, FNPBI, Migrant Care, ASPPUK, Salamuddin Daeng, Dani Setiawan dan Haris Rusly yang tergabung dalam Aliansi Keadilan Global, berakhir anti klimaks. Bahkan boleh dikatakan Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dengan terobosan hukum yang telah dibuatnya sendiri, dimana terobosan hukum tersebut baru pertama kali terjadi dalam sejarah hukum acara pengujian UU terhadap UUD. Ironisnya lagi, bahkan putusan Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak menyentuh substansi permasalahan yang telah dan berpotensi merugikan Para Pemohon.

Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Nasional Perkara ini diajukan oleh Para Pemohon bulan Mei 2011, dimana sidang pertama dengan agenda Sidang Pendahuluan dilakukan pada tanggal 7 Juni 2011. Pada sidang pendahuluan dibahas mengenai pokok substansi permohonan dan saran perbaikan, Majelis Hakim Panel memfokuskan pada positioning Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional. Permasalahan ini juga yang kemudian menjadi fokus utama majelis hakim dan Pemerintah, dimana majelis hakim kemudian memberikan sebuah terobosan hukum berupa afirmasi terhadap posisi UU hasil ratifikasi Perjanjian Internasional yang diwujudkan dalam diloloskannya permohonan ini dalam sidang pleno majelis. Terobosan hukum dan pilihan majelis hakim ini yang di kemudian hari juga masih sempat dipermasalahkan oleh Pemerintah, terutama Kementerian Luar Negeri. Hal ini terbukti pada Sidang Pleno pertama pada tanggal 20 Juli 2011 dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Pemerintah cq. Kementerian Luar Negeri masih “ngotot” tidak mengkualifikasi UU Ratifikasi Perjanjian Internasional sebagai UU pada umumnya dan menjadi bagian integral dalam sistem hukum nasional. Bahkan penolakan Kementerian Luar Negeri dinyatakan secara tertulis dalam nota keterangan Pemerintah dalam sidang Pleno pertama tersebut. Secara tersurat Kementerian Luar Negeri memperotes majelis hakim pleno dengan mengatakan, “...Piagam ASEAN sebagai lampiran dan bagian tidak terpisahkan dari UU Nomor 38 Tahun 2008 harus diartikan bahwa Naskah Piagam ASEAN yang disetujui oleh DPR dalam undang-undang dimaksud adalah bukan naskah yang lain, melainkan naskah yang termuat dalam lampiran tersebut. Dengan kata lain, dilampirkannya Piagam ASEAN dalam UU Nomor 38 Tahun 2008 adalah murni dalam rangka formalitas guna menunjukkan secara spesifik naskah yang telah disetujui oleh DPR.”

Edisi I - April 2013

39


Sikap Pemerintah c.q. Kementerian Luar Negeri yang menolak mengkualifikasi UU Ratifikasi Perjanjian Internasional sebagai UU pada umumnya, mensyaratkan setidaknya dua hal, pertama, Kementerian Luar Negeri tidak mempercayai hasil Putusan Sidang Pendahuluan Majelis Hakim, dimana jika sebuah perkara telah masuk ke dalam sidang pleno, secara otomatis pula perkara tersebut telah melewati fase pemeriksaan secara formil. Pemeriksaan secara formil sendiri terdiri dari pemeriksaan terhadap pemohon, kualifikasi bertindak pemohon dan objek permohonan (dalam hal ini adalah UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan ASEAN Charter). Secara tersurat, keputusan majelis hakim untuk meloloskan perkara ini dalam sidang pleno merupakan sebuah ikhtiar hukum atau boleh dikatakan sebagai sebuah terobosan hukum dimana kasus seperti tidak pernah terjadi sebelumnya. Langkah Kementerian Luar Negeri ini merupakan penghinaan serius terhadap lembaga peradilan, bahkan dalam konteks tertentu hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai Contempt of Court (Penghinaan terhadap Lembaga Peradilan). Kedua, sikap Kementerian Luar Negeri yang masih mempermasalahkan kualifikasi UU Ratifikasi Perjanjian Internasional sebagai UU pada umumnya menimbulkan dugaan adanya maksud terselubung dari ditandatanganinya Perjanjian Internasional ini. ASEAN Charter merupakan pintu masuk bagi liberalisasi perdagangan dan jasa (selanjutnya akan dibahas pada bagian terpisah), dimana dampaknya akan sangat masif dan merugikan. Analisis kami menyoal sikap Kementerian Luar Negeri terkait formalitas UU sebagai bentuk ratifikasi hasil perjanjian internasional terbukti pada putusan mahkamah, dimana mahkamah berpendapat bahwa “baju� ratifikasi hasil perjanjian internasional dalam bentuk UU dirasa kurang pas, sehingga jika terjadi ketidaksetujuan atau pertentangan secara normatif, dibutuhkan proses dan tata cara yang tidak gampang dan cenderung berbelit. Padahal bisa saja terjadi dinamika hubungan internasional antara negara dengan negara, atau negara dengan kumpulan negara sehingga akan menyulitkan langkah revisi suatu negara atas keikutsertaan serta ketertundukannya pada suatu hasil perjanjian internasional (selanjutnya akan dibahas pada bagian tersendiri).

Substansi Permasalahan Permohonan Permasalahan utama permohonan uji materi UU Nomor 38 Tahun 2008 sebenarnya terletak pada konten dari ASEAN Charter, terutama pada Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Tujuan kerjasama ASEAN adalah menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan secara ekonomi terintegrasi dengan fasilitas yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas;

40


terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh dan arus modal yang lebih bebas�, dan Pasal 2 ayat (2) huruf N yang berbunyi “...menganut peraturan-peraturan perdagangan multilateral dan rezim berbasis-aturan ASEAN untuk pelaksanaan yang efektif atas komitmen-komitmen ekonomi dan pengurangan progresif menuju penghapusan semua hambatan bagi integrasi ekonomi regional, dalam sebuah ekonomi yang dikemudikan pasar.� Karakter utama dari kedua pasal tersebut adalah konsepsi penyatuan pasar di atas landasan neoliberalisme dengan cakupan yang sangat luas meliputi seluruh isu ekonomi, investasi, perdagangan, keuangan dan perburuhan. Kedua pasal tersebut merupakan “nyawa� dari Piagam ASEAN yang menjadi kerangka pelaksanaan agenda liberalisasi, termasuk juga menjadi konstitusi baru bagi negara-negara ASEAN menggantikan konstitusi asal negara-negara yang tergabung dalam Piagam ASEAN, terutama dalam isu ekonomi, investasi, perdagangan, keuangan dan perburuhan tersebut. Konsep ASEAN Charter sendiri merupakan sebuah upaya untuk mempersatukan negara-negara ASEAN dalam sebuah komunitas negara-negara, dengan kata lain menjadikan ikatan-ikatan kedaulatan masing-masing negara menjadi nihil untuk kemudian menyatukan diri dalam sebuah ikatan bersama. Tengara ini terutama nampak dalam ketentuan Pasal 1 ayat 5 yang intinya menyatakan bahwa tujuan kerjasama ASEAN adalah menciptakan pasar tunggal, dimana terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas. Dalam konteks pasal ini, dapat disimpulkan bahwa negara tidak boleh melakukan intervensi terhadap arus barang, jasa dan investasi yang masuk meski akan merugikan kepentingan nasional, dengan kata lain negara tidak lagi memiliki kedaulatan di bidang ekonomi. Ketentuan pasal di atas kemudian dipertegas dengan ketentuan pasal 2 ayat 2 huruf (n) yang intinya menyatakan bahwa kerjasama ASEAN ini akan melakukan penghapusan terhadap seluruh hambatan bagi integrasi ekonomi regional, dalam sebuah (sistem) ekonomi yang dikemudikan oleh pasar. Padahal dalam praktek perdagangan internasional lazim dikenal pembatasan-pembatasan terhadap komoditas tertentu agar perdagangan yang dijalankan antar negara tersebut tidak sampai merugikan kepentingan nasional, baik dari sisi industri nasional maupun dari sisi pekerja atau buruh. Secara matematis, penghapusan terhadap hambatan perdagangan internasional akan menyebabkan mekanisme perdagangan internasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada intervensi dari negara. Pemerintah kemudian secara sadar membuat regulasi untuk me-liberalisasi pasar dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat Kementerian teknis. Langkah ini memberikan keuntungan tersendiri, dimana kontrol terhadap konten/ isi dari regulasi sepenuhnya adalah selera dari Pemerintah dimana misi liberalisasi

Edisi I - April 2013

41


dapat dengan mudah dimasukkan tanpa ada review dari pihak manapun. Selain itu, nampak sekali ASEAN Charter bertindak sebagai payung hukum bagi seluruh peraturan teknis untuk melegitimasi proses liberalisasi pasar. Persebaran regulasi di level teknis inilah yang sedikit menyulitkan konsolidasi perlawanan terhadap upaya untuk mengkritisi kebijakan liberalisasi pasar. Oleh karena itu, langkah untuk melakukan review terhadap Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf N, tidak hanya sekedar bermakna uji materi biasa, tetapi juga bermakna sebagai upaya perlawanan terhadap simbol utama liberalisasi di bidang ekonomi. Dampak kerugian secara langsung terhadap diberlakukannya ASEAN Charter adalah para petani, perajin, nelayan dan buruh. Sebagai contoh, petani bawang merah di kabupaten Brebes dimana hasil panen petani bawang merah bulan februari 2011 penghasilannya hanya cukup untuk biaya produksi. Harga yang sebelumnya mencapai Rp. 20.000/Kg, langsung jatuh sampai Rp. 6000/Kg disebabkan masuknya bawang merah impor. Kerugian potensial petani bawang merah secara nasional, berdasarkan pusat data statistik, bahwa pada tahun 2010 luas produksi Bawang Merah nasional seluas 109,468 Ha, dengan jumlah produksi 1,048,228 Ton, maka secara nasional petani kehilangan pendapatan potensial mereka sebesar Rp. 14.675.192.000.000,00 (14.000 x 1,048,228 ton). Dari sektor perikanan terdapat dampak harga produk perikanan kalah bersaing dengan produk impor. Contohnya harga ikan kembung impor dari Cina hanya seharga Rp 5.000,- per kg, sedangkan harga ikan kembung lokal bisa mencapai Rp 20.000,- per kg. Contoh lain adalah lele impor seharga Rp 10.000,- sedangkan lele lokal (terutama di Kalimantan) dapat mencapai harga Rp 20.000,- sampai dengan Rp 25.000,- . Perbedaan harga ini otomatis memukul para nelayan, terlebih lagi biaya untuk keperluan melaut semakin mahal dan tidak terjangkau, selain juga beberapa hak nelayan tradisional dilanggar dengan semena-mena seperti hak untuk melintasi mengakses laut, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh sumber daya pesisir laut yang berdasarkan kearifan lokal dan tradisional bahari. Sementara itu pedagang batik dan perajin batik yang telah menjalankan usahanya sejak tahun 1989, dan biasanya berdagang di Pasar Klewer dan pusat batik lainnya, semenjak tahun 2010-an, pasar batik mulai diserbu oleh batikbatik impor dari Cina yang harganya lebih murah bermotif lebih cerah (ngejreng - jawa). Banyak konsumen yang tidak tahu motif, proses pembuatan, batik tulis atau cap, sehingga banyak konsumen yang beralih ke batik impor dari Cina yang lebih murah. Selain itu para perajin sandal batik juga tersingkir karena merasa terdesak dengan kehadiran sandal-sandal impor dari Cina yang harganya lebih murah. Akibatnya omset mereka jauh menurun drastis akibat kehadiran sandal impor dari Cina yang bersaing langsung dengan sandal yang diproduksi oleh

42


kelompok perajin sandal Dampak di sektor industri juga dialami oleh salah satu saksi yang juga buruh pada PT. Yudiya Wangi, sebuah perusahaan yang memproduksi biskuit, yang berdiri pada tahun 1991 dan mengalami kebangkrutan pada tahun 2010. Penurunan produksi PT Yudiya Wangi dirasakan sudah terjadi pada tahun 2008 sampai dengan 2010, dimana saksi selaku perwakilan buruh (Ketua Serikat Buruh Tingkat Kerja Federasi Nasional Buruh Indonesia / FNPBI) menanyakan penurunan produksi tersebut kepada manajemen perusahaan dan memperoleh jawaban bahwa penurunan produksi tersebut diakibatkan oleh produk yang dijual di pasaran tidak laku, sehingga mengalami penumpukan di gudang. Produk PT Yudiya Wangi kalah bersaing dengan produk sejenis yang diimpor dari luar, sehingga kalah bersaing dan tidak laku di pasaran.

Review Putusan Permohonan ini sempat terkatung-katung sampai bulan Februari 2013 atau terhitung hampir dua tahun tanpa kejelasan. Sensifitas isu serta akibat hukum yang mungkin akan ditimbulkan dapat diduga juga menjadi alasan majelis hakim sehingga putusan menjadi sangat terlambat dan tanpa pemberitahuan apapun kepada prinsipal. Kecurigaan kami terkonfirmasi ketika majelis hakim konstitusi dalam putusannya justru bertindak antiklimaks, dimana amar putusannya adalah menolak permohonan untuk seluruhnya. Parahnya lagi putusan majelis hakim sama sekali tidak mengupas konten atau materi dari permohonan prinsipal, terutama mengenai dampak, kerugian serta potensi kerugian dari para saksi. Majelis hakim justru lebih fokus kepada pembahasan mengenai bentuk formil dari persetujuan pemerintah terhadap hasil dari perjanjian internasional, mengingat prinsipal mengajukan uji materiil terkait dengan konten pasal dari ratifikasi UU Nomor 38 Tahun 2008. Bahkan dua hakim konstitusi yang melakukan dissenting opinion yaitu memberikan pendapat bahwa seharusnya putusan dari majelis hakim adalah putusan tidak dapat diterima bukan putusan menolak. Alasan kedua hakim tersebut linier dengan konsepsi bahwa permohonan ini tidak layak masuk dalam sidang pleno majelis hakim. Namun justru sebaliknya terjadi, majelis hakim yang menyetujui perkara ini masuk dalam sidang pleno malah sama sekali tidak membahas konten permohonan yang diajukan oleh pemohon, seperti pertentangan dengan konstitusi serta dampak dan potensi kerugian yang terjadi dan kemugkinan terjadi. Dalam putusan tersebut juga terungkap bahwa “baju� Undang-Undang terhadap hasil ratifikasi perjanjian internasional sangat tidak efektif, bahkan cenderung menjadi ruang manipulasi bagi pembuat kebijakan. Hal ini dimungkinkan karena

Edisi I - April 2013

43


karakter perjanjian internasional secara umum adalah berlaku ketentuan “siapa yang kuat dia yang menang”, artinya tidak dimungkinkan kesetaraan dalam perjanjian internasional, kecuali negara peserta sejak awal sudah memposisikan diri “kritis” terhadap agenda yang dimaksud dalam perjanjian internasional tersebut. Jika sejak awal pemerintah sudah memposisikan diri untuk “menerima” hasil set up dari perjanjian internasional tersebut, maka dapat dipastikan kita sebagai negara peserta dalam perjanjian internasional tersebut tidak memiliki daya tawar apapun, bahkan cenderung menjadi legitimator dari hasil perjanjian internasional tersebut yang kemungkinan akan merugikan kita di kemudian hari. Selain itu secara ketatanegaraan, “baju” ratifikasi perjanjian internasional berbentuk Undang-Undang sangat tidak praktis, dimana jika di kemudian hari diketahui perjanjian internasional tersebut tidak menguntungkan bagi kita, proses untuk melakukan revisinya (dari sudut pandang internal ketatanegaraan) akan menyulitkan. Oleh karena itu dalam putusannya, majelis hakim juga memiliki kecenderungan perlunya pemikiran ulang mengenai baju terhadap ratifikasi hasil perjanjian internasional.

Kesimpulan Permohonan ini merupakan sejarah baru dalam hukum kita, terutama hukum acara konstitusi, dimana tidak pernah ada sebelumnya permohonan uji materi terhadap UU hasil ratifikasi perjanjian internasional, terlebih lagi majelis hakim kemudian sepakat untuk meneruskan permohonan ini ke dalam sidang pleno. Keadaan ini menimbulkan setidaknya tiga catatan penting, yaitu: Pertama, secara yuridis UU hasil ratifikasi pernjanjian internasional dapat dikategorikan sebagai UU pada umumnya, sehingga terhadap UU hasil ratifikasi perjanjian internasional lainnya dapat dimungkinkan adanya upaya permohonan uji materi. Kedua, materi permohonan ini merupakan sebuah yurisprudensi, dimana suatu saat nanti dapat dimungkinkan jika terdapat permohonan serupa, majelis hakim memiliki dasar hukum dan pembenaran untuk menerima permohonan serupa dan menyidangkannya dalam sidang pleno. Terakhir ketiga, permohonan ini sekaligus juga memberikan notasi dan warning pada UU Perjanjian Internasional bahwa terdapat konsepsi yang harus diperbarui dalam prinsip ratifikasi hasil perjanjian internasional. Jika tidak segera diperbarui, tidak dapat dibayangkan betapa repotnya pemerintah akan menjawab permohonan uji materi seluruh UU hasil ratifikasi perjanjian internasional, dan di sisi lain juga tergambar dengan jelas betapa sangat rapuhnya posisi Indonesia dalam pergaulan internasional dewasa ini. ***

44


NAS I O NAL

Negara Versus Kartel Pangan Salamuddin Daeng Indonesia for Global Justice

Edisi I - April 2013

45


S

ejak awal 2013 lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan pokok secara drastis. Harga daging meningkat sampai dengan Rp 100.000 per kilogram, jauh melampaui harga normal Rp 28.000- 35.000 per kilogram. Demikian juga dengan harga bawang mencapai Rp 80.000 per kilogram melampaui harga normal sekitar Rp 15.000 per kilogram. Harga cabai Rp 40.000 per kilogram dari harga normal Rp 15.000- 20.000 per kilogram. Sebelumnya juga terjadi gejolak kenaikan harga kedelai, gula dan produk-produk pangan lainnya. Kenaikan harga berlipat ganda memicu protes dari berbagai elemen masyarakat menuntut pemerintah untuk melakukan intervensi. Namun gejolak kenaikan harga pangan terus berlangsung dan pemerintah kehilangan kemampuan mengendalikan keadaan. Kontrol atas pangan dalam negeri dikuasai sektor swasta yang sebagian besar adalah importir pangan. Semestinya negara melalui pemerintah menjamin ketahanan pangan bagi rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Sedikitnya ada tiga faktor utama yang menyebabkan dominasi sektor swasta khususnya importir pangan dalam mengendalikan pasokan dan harga pangan nasional yaitu (a) Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas, melemahnya peran negara dan meningkatnya dominasi importir swasta. (b) Belum sinergisnya antar instansi pemerintah Kementan, Kemendag, Bulog, dan pemerintah daerah serta tingginya peluang korupsi, kolusi dan jual beli peraturan yang berkaitan dengan pangan. (c) Rendahnya produksi, produktifitas dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional serta rendahnya pendapatan petani. Ketiga hal tersebut merupakan penyebab hilangnya kendali negara dan menguatnya kartelisasi, sindikat dan mafia pangan yang bekerjasama dengan aparat pemerintah yang korup secara simbiosis mutualisme.

Sejarah Kartelisasi Pangan Karut marutnya persoalan pangan nasional dimulai dengan perubahan peran Badan Urusan Logistik (BULOG) sebagai kelembagaan yang menjaga stabilitas pangan nasional. Tanggung jawab dalam menjaga ketahanan pangan nasional secara umum diserahkan kepada sektor swasta. Campur tangan pemerintah dalam menjamin stabilitas harga pangan berkurang. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator dalam menjamin persaingan yang sehat dalam mengatur produksi, distribusi dan perdagangan pangan. Intinya perdagangan pangan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Haluan kebijakan pangan nasional sejak era reformasi mengacu pada saran dan rekomendasi IMF sebagaimana yang diatur dalam Letter of Intent (LoI). Tekanan untuk meminimalisasi fungsi BULOG secara khusus telah diatur dalam LOI

46


1998-2000. Berbagai kesepakatan ditandatangani oleh pemerintah dengan IMF sebagai persyaratan utang yang diberikan lembaga tersebut diantaranya ; (1) membuka impor beras, kebijakan ini adalah untuk yang pertama kalinya dalam tiga puluh tahun dan diberikannya peluang kepada pedagang swasta untuk mengimpor beras. (2) restrukturisasi status hukum dan fungsi BULOG serta menetapkan strategi penyediaan beras dimana BULOG akan secara aktif mencari kontrak impor beras baru untuk untuk memastikan bahwa stok tetap memadai dan pedagang swasta akan bebas diizinkan untuk mengimpor beras. (3) Subsidi kurs untuk impor beras oleh BULOG untuk dihapus1 (4) Mempromosikan persaingan di sektor pangan termasuk beras dimana perdagangan semua jenis beras dari berbagai kualitas dibuka untuk importir dan eksportir umum, dimana tarif ditetapkan sebesar Rp 430 per kg dan berlaku hanya sampai Agustus 2000 dan dapat ditinjau kembali. (5) Selanjutnya reformasi Bulog bertujuan menerapkan sistem akuntansi yang lebih transparan dan struktur operasi efisien untuk BULOG melalui perubahan status hukum.2 Liberalisasi perdagangan pangan khususnya beras dan perubahan status hukum dan fungsi serta upaya mengeliminasi peran BULOG di dalam mengatur stabilitas pangan merupakan persyaratan utama yang harus dijalankan pemerintah Indonesia. Sejak saat itu peran negara dalam mengatur penyediaan pangan digantikan oleh private sektor. Dengan demikian maka peran BULOG juga digantikan oleh perusahaan-perusahaan swasta baik nasional maupun asing. Untuk menjaga persaingan dalam bisnis pangan tersebut pemerintah membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi jangan sampai terjadi persaingan yang tidak sehat dan melanggar hukum dalam perdagangan pangan di dalam negeri. Dalam logika pasar harga pangan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran dalam pasar. Jika pasokan pangan menurun maka harga cenderung naik dan sebaliknya jika pasokan melimpah harga cenderung turun. Namun logika semacam ini ternyata tidak berlaku di Indonesia. Seringkali pasokan pangan melimpah namun harga cenderung naik. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam sektor pangan mempermainkan harga demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara negara tidak lagi memiliki kewenangan dan kemampuan yang memadai untuk menjamin pasokan dan menjaga stabilitas harga. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi kartelisasi dalam perdagangan 1 Jakarta, Indonesia, November 13, 1998, http://www.imf.org/external/np/loi/1113a98.htm 2 http://www.imf.org/external/np/loi/2000/idn/01/, Jakarta, Indonesia 20 Januari 2000

Edisi I - April 2013

47


pangan di Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan kartel menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha adalah kolusi antara dua atau lebih perusahaan untuk mengatur harga dan suplai barang kepada konsumen, dengan demikian konsumen menanggung harga lebih tinggi karena kartel membebankan inefisiensi produksi kepada mereka. Meskipun kartel dilarang berdasarkan UU tersebut, namun tampaknya pemerintah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol praktek semacam ini. Lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengontrol harga pangan disebabkan oleh maraknya praktek mafia dalam penyelenggaraan kekuasaan. Definisi mafia dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah.3 Kartelisasi memang dapat tumbuh subur dalam lingkungan penyelenggaraan pemerintahan yang cenderung korup. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus impor daging yang menyeret para menteri dan petinggi partai membuktikan adanya kartel dan mafia dalam dalam pengelolaan pangan di Indonesia.

Regulasi Pro Importir Sejak era reformasi Indonesia yang sebelumnya adalah net-eksportir pangan menjadi net-importir pangan. Impor pangan cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, berdasarkan data dari Pusat Data dan Sistem Pertanian (Pusdatin) Kementerian Pertanian 2012 dalam kuartal pertama defisit neraca perdagangan pangan sejumlah 3.312.263 ton impor pangan atau senilai 1,395 Milyar USD, impor hortikultura 435.526 ton atau senilai 306 juta USD, impor peternakan 213.247 ton atau senilai 476 juta USD. Selain itu pasokan pangan yang semakin tergantung pada sumber-sumber impor menyebabkan ketersediaan pangan semakin terbatas sementara tingkat kebutuhan akan pangan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, ditambah lagi dengan dijadikannya pangan sebagai salah satu komoditas spekulatif menyebabkan rentan terhadap permainan para pelaku pasar. Ketergantungan yang semakin besar terhadap pangan impor sebagai akibat dari kebijakan liberalisasi perdagangan yang ditandatangani pemerintah baik melalui World Trade Organization (WTO) maupun perjanjian perdagangan bebas regional ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), semakin menyebabkan pemenuhan 3 http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4225&Itemid=29

48


nasional dikendalikan oleh para importir. Hingga tahun 2012 diperkirakan jumlah importir yang bergerak dalam berbagai kegiatan impor termasuk pangan jumlahnya mencapai 22 ribu perusahaan. Mereka membentuk asosiasi importir untuk mengatasi persaingan dan mengendalikan harga. Sementara harga pangan pada tingkat global cenderung naik. Berdasarkan data dari World Trade and Comodity Price tahun 2012-2013 harga pangan umum meningkat dari 100 USD menjadi 121 USD. Beras meningkat dari 100 USD menjadi 111 USD. Sereal/biji-bijian meningkat dari 100 USD menjadi 136 USD. Barley meningkat dari 100 USD menjadi 141 USD. Ditengah kenaikan harga pangan global, jumlah impor pangan nasional terus membesar, konsumsi daging separuhnya dipenuhi impor, separuh kebutuhan gula dipasok dari impor, susu nasional 70 persen diimpor dari berbagai negara. Sebanyak 70 persen kebutuhan kedelai di Indonesia saat ini didapat dari impor. Seluruh kebutuhan gandum di Indonesia masih 100 persen diimpor. Meningkatnya impor pangan didorong oleh berbagai perjanjian perdagangan bebas yang ditandatangani oleh pemerintah dengan berbagai negara dan kawasan di dunia. Salah satu diantara perundingan perdagangan bebas yang paling cepat adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA). Melalui AFTA pemerintah menyepakati berbagai perjanjian penurunan tarif perdagangan hasil pertanian, pangan dan produk holtikutura dengan sesama anggota ASEAN. Selain itu ASEAN menandatangani perjanjian perdagangan bebas ASEAN+3 (China, Korea, Jepang) dan ASEAN+6 (India, Australia dan New Zealand). Dalam rangka menjalankan komitmen AFTA, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.011/2012 tentang tarif bea masuk dalam rangka Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Seluruh bea masuk produk-produk pertanian dan pangan dipangkas hingga 0 persen. Hanya beras yang disisakan ditetapkan bea masuk sekitar 5 persen dari harga beras nasional. Berdasarkan PMK Nomor 117 itu, tarif bea masuk produk pertanian dan pangan, seperti jagung, kedelai, kacang tanah, gandum, bawang merah, bawang bombai, kentang, kubis, kol, daging, susu, ikan, telur, unggas, ayam, dan berbagai produk pertanian lain, seperti tembakau, bakal dipangkas menjadi 0 persen. Akibat penghapusan bea masuk, arus bahan pangan impor meningkat, dan menyebabkan produk pertanian yang diusahakan oleh para petani kalah bersaing. Bahan pangan impor bahkan masuk ke daerah-daerah yang menjadi sentra produksi komoditas tertentu sebagai contoh bawang merah impor masuk ke pasar yang merupakan sentra produksi bawang merah. Berdasarkan data Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Brebes, volume bawang merah impor yang masuk di Kabupaten Brebes makin tak terkendali. Pada tahun 2010 sebanyak 50 ribu ton dan

Edisi I - April 2013

49


tahun 2011 melonjak hingga 150 ribu ton. Kejadian tersebut telah menyebabkan harga bawang merah petani jatuh dan sulit untuk bangkit lagi.4 Dengan demikian maka kenaikan harga bawang merah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir sama sekali tidak menguntungkan petani Indonesia, namun hanya menguntungkan segelintir perusahaan importir pangan dan petani di negara-negara lain. Dalam rangka memfasilitasi impor pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mengatur berbagai kebutuhan nasional seperti garam, tekstil, makanan minuman, elektornik, besi, kosmetik, gula, sepatu, daging, jagung, beras, dan lain-lain. Dalam tahun 2012 Mendag telah dua kali mengeluarkan peraturan menteri perdagangan dalam rangka membuka impor, yaitu melalui Permendag no 27/M-DAG/PER/5/2012, menjadi Permendag No 59/M-DAG/PER/9/2012. Kedua peraturan tersebut menggantikan Permendag No 45/M_DAG/PER/9/2009 yang lebih ketat terhadap importir. Pergantian Permendag ditenggarai untuk memfasilitasi importir besar. Sebagaimana Permendag 27/2012 disebutkan bahwa importir hanya boleh impor untuk 1 jenis HS saja. Namun pasal ini digugat importir besar. Beberapa hari kemudian dikabulkan dan tertuang di Permendag No 59/2012 yang kemudian importir boleh mengimpor tidak terbatas. Selanjutnya Kementerian Pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 60/PERMENTAN/QT.140/9/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Peraturan ini menetapkan perusahaan yang melakukan impor dan kuota yang diberikan. Praktik penetapan kuota inilah yang kemudian disinyalir diperjualbelikan kepada pihak tertentu. Sehingga peraturan yang dikeluarkan kehilangan orientasi bagi perlindungan sektor pertanian nasional. Tidak adanya rencana strategis di dalam menjaga ketahanan pangan nasional menyebabkan aktor-aktor, baik itu institusi pemerintah maupun swasta, yang terlibat di dalam tata kelola pangan mengambil inisiatif sendiri didasarkan pada kepentingan institusi dan kelompok masing-masing. Akibatnya stabilitas harga pangan menjadi tidak terkendali. Namun yang jelas dibalik kenaikan harga-harga bahan pangan yang melambung tinggi, para importir yang notabene adalah importir besar menikmati keuntungan yang sangat besar dari gejolak harga pangan. Sementara daya beli rakyat semakin terkuras untuk membiayai/ memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Tingginya harga-harga bahan pangan telah berdampak semakin meningkatnya angka kemiskinan, kekurangan gizi, yang mengancam ketahanan negara dan keselamatan rakyat. Sementara di dalam negeri, berkurangnya subsidi dan insentif terhadap sektor 4

50

http://www.jpnn.com/read/2012/01/10/113761/Bawang-Impor-Rugikan-Petani,-Didesak-Perda-Tata-NiagaBawang-Merah


pertanian sebagai pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan sebagaimana yang kita sepakati dengan IMF dan kesepakatan melalui perjanjian perdagangan bebas (WTO, AFTA). Selain itu Regulasi hak intelektual (Intelectual Property Right/IPR) khususnya di bidang pertanian di Indonesia sangat sulit didapatkan petani dikarenakan rumitnya prosedur dan biayanya relatif mahal, ditambah lagi kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga penelitian menyebabkan petani sulit mendapatkan sumber-sumber produksi khususnya benih/bibit yang berkualitas. Sebagian besar hak atas IPR seperti paten hanya dikuasai oleh perusahaanperusahaan besar asing. Di dalam negeri belum sinergisnya antar instansi pemerintah Kementan, Kemendag, Bulog, dan pemerintah daerah serta tingginya peluang korupsi, kolusi dan jual beli peraturan yang berkaitan dengan pangan. Selain itu Tidak adanya panduan yang jelas dan mengikat sebagai strategi dalam meningkatkan pertumbuhan produksi pangan, stabilitas harga pangan, dan pemerataan pendapatan bagi masyarakat menyebabkan ketahanan pangan nasional semakin lemah. Akibatnya aktor-aktor yang terlibat baik pemerintah maupun swasta memanfaatkan situasi kegentingan pangan untuk kepentingan kelompok dan golongan. Kewenangan dan pengaturan persoalan pangan bersifat multisektoral tetapi tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan usaha-usaha di dalam penyediaan pangan yang berbasis pada kebijakan sektoral menyebabkan institusi dan lembaga pemerintah terkait yang memiliki kewenangan didalam membuat regulasi yang berkaitan dengan tata niaga pangan rentan terhadap komersialisasi kebijakan. Diperjual belikan ijin impor pangan yang mendorong terjadinya kartelisasi dalam impor pangan. Dimana importir besar yang memiliki kemampuan untuk membeli ijin-ijin impor. Masalah kedekatan antara penguasa dan pengusaha dalam satu jaringan politik, partai politik atau kekuasaan dalam eksekutif dan DPR memicu terjadinya kolusi dalam hal penyediaan pasokan pangan dan pengendalian harga yang secara langsung akan menguntungkan pengusaha. Ditambah lagi dengan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan pemerintah sangat luas kepada pemerintah daerah dalam mengalokasilkan tanah/lahan yang menyebabkan semakin menyempitnya lahan-lahan pertanian akibatnya produksi pertanian nasional semakin merosot. Otonomi daerah telah mengakibatkan maraknya terjadi alih fungsi lahan pertanian petani menjadi lahan tambang, perkebunan sawit, juga mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan yang berkaitan dengan pertanian. Selain itu kewenangan dalam menggunakan keuangan daerah juga telah menyebabkan dislokasi keuangan yang sangat luas dan tidak memprioritaskan pertanian.

Edisi I - April 2013

51


Tekanan Rezim Pasar Bebas Mekanisme pasar bebas telah berdampak terhadap ketergantungan yang semakin tinggi pada barang-barang impor. Di dalam negeri terjadinya persaingan bebas di dalam bisnis pangan menimbulkan praktek free fight liberalism menyebabkan yang kuat semakin kuat dan yang lemah semakin lemah, yang kuat mengendalikan harga baik secara monopolistik maupun oligopolistik. Keadaan ini menyebabkan pasokan dan harga dikendalikan oleh satu dan beberapa perusahaan. Hilangnya fungsi BULOG sebagai alat negara dalam menjamin ketersediaan, harga dan keterjangkauan masyarakat terhadap sumber-sumber pangan menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber pangan pada tingkat harga yang terjangkau. Terjadinya benturan di dalam kebijakan pangan nasional baik antar pemerintah dan legislatif maupun antar lembaga pemerintah dan antara pemerintah pusat dan daerah yang memprioritaskan kepentingannya masing-masing dan cenderung mengabaikan tujuan nasional untuk membangun ketahanan pangan yang kuat. Merajalelanya praktek memperjualbelikan peraturan termasuk lisensi atau ijin impor sebagai lahan subur korupsi didalam penyelenggaraan pemerintahan. Terjadinya penyempitan dan kerusakan lahan pertanian sebagai akibat pelaksanaan otonomi daerah dalam memberikan ijinnya, alokasi lahan bagi kegiatan pertambangan dan perkebunan skala besar telah menyebabkan semakin menurunnya kemampuan petani dalam menghasilkan pangan dan pendapatan. Lemahnya keberpihakan kebijakan fiskal dan moneter dalam mendukung sektor pertanian mengakibatkan produksi, produktivitas dan pendapatan petani semakin menurun. Pada Global, krisis pangan telah menjadi isu yang mengemuka di dunia dewasa ini. Hampir satu milyar penduduk dunia mengalami kekurangan pangan yang semakin besar berada di negara berkembang dikarenakan keadaan ekonomi mereka yang sangat miskin. Sebanyak seratus sepuluh juta penduduk miskin berada di Indonesia. Sisi lain pertumbuhan penduduk global semakin tinggi yang menuntut suplai pangan global pada tingkat harga terjangkau. Sementara pangan menjadi alat spekulasi yang menyebabkan harganya cenderung fluktuatif bergerak ke arah yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kontrol terhadap harga pangan pada tingkat global dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar. Pada tingkat Regional, Maraknya perjanjian pasar bebas regional sebagai strategi mengatasi kebuntuan putaran perundingan perdagangan bebas melalui WTO. Perdagangan bebas regional memiliki komitmen liberalisasi bebas dibanding WTO.Hal tersebut terjadi di dalam skema perjanjian bebas ASEAN. Hampir di seluruh sektor termasuk pertanian terikat dalam komitmen liberalisasi

52


penuh melalui Asean Free Trade Agreement (AFTA). Hampir seluruh komoditi pangan kecuali beras dan gula dapat diimpor pada tingkat bea masuk 0%. Selanjutnya pada tingkat nasional, kondisi pertanian nasional kian terpuruk dikarenakan penghapusan subsidi dan insentif yang rendah terhadap petani yang menyebabkan produksi produkitivitas dan pendapatan petani kian menurun. Pertanian nasional diperlemah oleh penyempitan lahan akibat perubahan tata ruang yang tidak terencana dengan baik, meluasnya pertambangan dan perkebunan skala besar yang melahap lahan-lahan pertanian penduduk, menyebabkan akses petani terhadap sumber-sumber pertanian semakin berkurang. Hal ini yang menjadi penyebab meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan gizi buruk di daerah-daerah pedesaan. Pada dasarnya Indonesia berpeluang untuk memajukan pertanian. Negara ini memiliki populasi penduduk yang besar dengan peningkatan pendapatan kelas menengah yang pesat yang merupakan potensi pangan yang besar. Masih dimungkinkannya revitalisasi peran Bulog dalam sebagai institusi negara yang diberi peran dalam mengatur stabilitas pangan baik dalam hal pasokan maupun dalam menjamin harga dengan meningkatan integrasi dengan lembaga terkait dan menekan segala bentuk korupsi dalam pengelolaan pangan, ketersediaan lahan yang cukup besar dan sumber anggaran yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahun memberikan peluang bagi pemerintah dalam mengembangkan pertanian, agroindustri dalam rangka meningkatkan produksi, produktifitas, pendapatan petani dan penyediaan lapangan pekerjaan. Namun terdapat kendala seperti perjanjian perdagangan bebas yang bersifat mengikat yang memerlukan keseriusan dalam upaya untuk melakukan renegosiasi ulang terhadap semua perjanjian perdagangan bebas yang merugikan. Selain itu korupsi dan kolusi yang tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menyebabkan tujuan strategis dalam membangun kedaulatan pangan terabaikan. Tidak terlaksananya reforma agraria dalam menyediakan lahan dan akses reform yakni penyediaan sumber-sumber produksi yang diperlukan petani dalam mengembangkan usaha tani, meningkatkan produksi dan produktifitas.

Dominasi Korporasi Pangan Global Krisis pangan global yang ditandai dengan fenomena overproduksi pangan dimana ketersediaan pangan global khususnya di negara-negara industri maju yang melimpah. Produksi kedelai, susu, daging, gandum, jagung, tembakau yang dihasilkan negara-negara maju seperti AS, Eropa, China, India, dangat melimpah. Sementara pada saat yang sama kemampuan sebagaian besar masyarakat dunia dalam mengakses bahan pangan sangat rendah dikarenakan rendahnya pendapatan

Edisi I - April 2013

53


dan daya beli atau disebut dengan underconsumption. Seringkali upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat negara-negara berkembang dibiayai dengan utang luar negeri yang berasal dari negara maju dan lembaga keuangan global. Sebagaimana utang dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, PNPM mandiri yang diberikan kepada rakyat Indonesia bersumber dari pinjaman luar negeri. Kelebihan produksi pangan di negara-negara industri maju mendorong mereka mempromosikan berbagai kebijakan perdagangan bebas, baik melalui World Trade Organization (WTO), Free Trade Agreement (FTA), Economic Partnership Agreement (EPA) dan berbagai kebijakan perdagangan bebas lainnya yang bersifat mengikat (legally binding). Perjanjian perdagangan bebas tersebut yang awalnya dipromosikan negara maju adalah dalam rangka memburu pasar ekspor dari kelebihan produksi pangan nasional mereka. Negara-negara industri maju dapat menjual produk mereka ke luar negeri dibawah harga pokok produksi. Tingginya subsidi yang diberikan dalam perekonomian negara-negara maju menyebabkan kegiatan pertanian dan agro industri mereka sangat efisien. Situs resmi World Trade Organization pada 11 September 2012, memberitakan petemuan Direktur Jenderal FAO, JosĂŠ Graziano da Silva, dan Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, sebagai respon terhadap tingginya harga pangan internasional dan meningkatkan kewaspadaan terhadap semakin ketatnya pasar pangan. Kedua pemimpin mendesak negara-negara untuk menggunakan instrumen koordinasi internasional dan menahan diri dari tindakan sepihak seperti membeli pangan secara panik atau pembatasan ekspor, yang sering mengakibatkan mendorong harga dunia lebih tinggi. Mereka juga menekankan peran perdagangan terbuka dalam menjamin ketahanan pangan, dengan perdagangan menjadi kendaraan yang memungkinkan persediaan makanan untuk memenuhi permintaan di seluruh dunia. Mereka menekankan perlunya pasar pertanian yang lebih dalam. Selain itu mereka mereka membahas pentingnya harmonisasi non tarif diterapkan untuk perdagangan pangan pertanian dan terutama dengan tujuan untuk meningkatkan akses pasar global dan ketahanan pangan. Mereka setuju pada kebutuhan untuk memperkuat standar masyarakat global, khususnya Codex Alimentarius, yang menetapkan keamanan pangan internasional dan standar kualitas untuk mempromosikan makanan yang lebih aman dan lebih bergizi bagi konsumen di seluruh dunia. 5 Pembentukan cadangan beras ASEAN oleh banyak kalangan dinilai mengandung agenda terselubung dikarenakan dua hal. Pertama, negara-negara industri China, Jepang, dan Korsel justru yang mendominasi dalam ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR). China misalnya siap menyediakan 5

54

http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/igo_11sep12_e.htm


beras hingga 300.000 ton. Sementara Jepang 250.000 ton. Adapun Korsel sebesar 150.000 ton. Sementara Indonesia hanya mampu menyediakan 12.000 ton. Pembentukan cadangan beras ASEAN berkomtimen mengumpulkan sekaligus mengelola beras hingga sebanyak 787.000 ton. Kedua, cadangan beras yang dimaksud ternyata bukan semata-mata beras namun sejumlah uang (emergency rice reserve financing) sebagaimana disebutkan dalam pertemuan pejabat senior pertanian dan kehutanan se-ASEAN +3 (SOM-AMAF) ke-33 di Jakarta, Rabu (5/10/2011) yang menyepakati pembentukan lembaga pembiyaan cadangan beras sebesar US$ 4 juta. Dana tersebut dikutip dari iuran 14 negara anggota setiap tahun. Ketiga negara mitra ASEAN itu menyatakan kesiapannya memberikan masingmasing US$ 1 juta. Sementara sisanya sebesar US$ 1 juta dibagi proporsional kepada seluruh negara ASEAN. Adapun Indonesia menganggarkan pendanaan US$107.000. Semua anggota harus menuntaskan pembiayaan selama lima tahun ke depan. 6 Gambaran diatas menunjukkan betapa organisasi internasional yang merupakan organisasi yang bekerja untuk kepentingan perdagangan bebas dan liberalisasi investasi menunjukkan perhatian besar dalam isu pangan. Dalam perspektif organisasi tersebut diatas masalah pangan global hendak diselesaikan melalui mekanisme pembukaan pasar pangan dan investasi internasional. Hal tersebut tentu akan semakin mendorong dominasi perusahaan pangan multinasional, negara-negara maju, dan lembaga keuangan global dalam mengontrol pangan global. Sektor pangan yang merupakan basic need akan didorong menjadi sarana untuk akumulasi keuntungan semata. Dominasi perusahaan besar multinasional dalam memproduksi pangan mulai dari hulu sampai ke hilir. Pada tahun 2007 perusahaan benih utama, Monsanto dan Du Pont, menyatakan peningkatan keuntungan sebesar 44% dan 19% untuk tahun sebelumnya. Perusahaan pupuk terbesar, Potash Corp, Yara dan Sinochem melihat keuntungan tumbuh sebesar 72%, 44% dan 95% antara 2007 dan 2006. Hal yang sama terjadi dengan processers makanan utama seperti NestlĂŠ dengan keuntungan meningkat sebesar 7% pada periode yang sama. Para distributor komersial besar juga mendorong margin mereka. Rantai supermarket utama di Inggris, Tesco, menyatakan meningkat 12,3% pada keuntungan mereka dalam periode ini, sedangkan Carrefour dan Wal-Mart diidentifikasi penjualan makanan sebagai sumber utama pendapatan mereka (GRAIN, 2008a; Vivas, 2008b). Laporan tahun 2007 tahunan oleh jaringan supermarket Safeway AS menunjukkan bahwa laba bersih meningkat sebesar 15,7% antara tahun 2006 dan 2007.7 Seluruh rantai makanan agribisnis terkena konsentrasi bisnis yang tinggi. Pada 6 7

Kepala Badan Ketahanan Pangan, Chairman SOM AMAF ke-33 Achmad Surjana, http://www.kabarbisnis.com/ read/2823438 Vivas Esther, 27 Juni 2010, Krisis pangan: penyebab, konsekuensi dan alternatif

Edisi I - April 2013

55


tahun 2007, nilai tambah dari merger dan akuisisi dalam industri pangan global (termasuk produsen, distributor dan penjual) adalah sekitar US$ 200 miliar, dua kali pada tahun 2005. Merger ini mencerminkan kecenderungan global ke atas dalam penciptaan monopoli dalam industri makanan (ETC Group 2008). Jika kita amati bahwa sepuluh perusahaan global terbesar (Monsanto, DuPont, Syngenta, Bayer dan sebagainya) memiliki nilai sekitar 21 miliar dolar per tahun. Hukum kekayaan intelektual memberikan perusahaan hak eksklusif atas benih memiliki lebih merangsang konsentrasi bisnis dan telah mengikis hak-hak dasar petani untuk pemeliharaan bibit asli dan keanekaragaman hayati. Bahkan, 82% dari pasar benih komersial di seluruh dunia terdiri dari biji dipatenkan (tunduk pada monopoli eksklusif seperti properti intelektual) (ETC Group 2008). Industri benih berhubungan erat dengan pestisida. Perusahaan benih besar juga mendominasi sektor pestisida dan sering pengembangan dan pemasaran kedua produk ini dilakukan bersama-sama. Sepuluh perusahaan terbesar kontrol 84 persen dari pasar global (ETC Group, 2005b).

Hancurnya Basis Produksi Pangan Nasional Ketergantungan yang tinggi pada impor yang semakin tinggi . “Impor produkproduk pangan Indonesia setiap tahun makin tidak terbendung dan sudah pada tahap kronis. Hampir 65 persen dari semua kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor,� kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur di Jakarta, Selasa, 4 September 2012. 8 Sementara data Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian menyebutkan harga beras, kedelai. Jagung, gula pasir, terigu, daging, meningkat antara 11 – 16 persen per tahun dalam periode 1990 -2008. 9 Ketahanan pangan yang disandarkan pada bantuan utang luar negeri. Sebagaimana disebutkan bahwa Di Indonesia, Bank Dunia saat ini mendukung Departemen Pertanian melalui bantuan proyek pemberdayaan petani sebesar US $ 123.000.000 yang mendukung pengembangan sistem layanan pertanian yang berorientasi pasar. Juga bekerjasama dengan pemerintah pada sebuah proyek baru yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja sistem riset pertanian di Indonesia, dalam pengembangan dan penyebaran petani dan permintaan pasar-yang didorong oleh teknologi.10 8 http://www.antaranews.com/berita/331187/65-persen-kebutuhan-pangan-nasional-masih-diimpor 9 Sri Hery Susilowati dan Benny Rachman, Perkembangan Harga Pangan Dan Implikasinyabagi Masyarakat Pedesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MSU_3. pdfSimilar 10 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,, contentMDK: 21799964 ~ pagePK: 1497618 ~ piPK: 217854 ~ theSitePK:. 226309,00 html

56


Menjamurnya importir pangan akibat liberalisasi perdagangan dimana para pengusaha lebih memilih menjadi importir daripada melakukan investasi dalam kegiatan menghasilkan pangan di dalam negeri. Lemahnya sinergi lembaga dan merajalelanya korupsi dan jual beli kebijakan dan peraturan sehingga rentan terjadinya jual beli peraturan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Lemahnya akses petani terhadap sumber produksi khususnya lahan yang menyebabkan produktifitas rendah dan pendapatan rendah. Sebagian besar kebutuhan bahan pangan utama (beras, jagung, dan kedelai) di Indonesia dihasilkan oleh petani dengan usaha skala kecil (<0,5 ha), disebut petani gurem. Data BPS menunjukkan, jumlah petani gurem di Indonesia terus meningkat, dari 10,80 juta orang pada tahun 1993 menjadi 13,66 juta orang pada tahun 2003 dan 15,60 juta orang pada tahun 2008. Bahkan Indonesia merupakan negara agraris dengan penguasaan lahan tersempit di dunia, dengan land-man ratio 362 m2 / kapita pada tahun 2003 dan 354 m/kapita pada tahun 2008 (Adnyana 2005; SPI 2010). Jumlah petani gurem yang makin banyak mencerminkan makin banyaknya petani yang terperangkap dalam kemiskinan. Rendahnya dukungan kebijakan anggaran dalam bentuk subsidi dan insentif bagi petani serta kebijakan moneter yang menyebabkan petani menjadi lemah, produktifitas dan pendapatan rendah dan bahkan justru petani yang menyambung hidup dari pangan impor. Selain itu kebijakan fiskal dan moneter yang kurang berpihak kepada kepentingan petani menyebabkan pertanian nasional semakin lemah di tengah persaingan global, hilangnya sumber-sumber pendapatan petani dan masyarakat pedesaan.

Membangun Kembali Ketahanan Pangan Telah menjadi hukum dalam politik ekonomi, apabila negara lemah maka swasta akan kuat dan sebaliknya jika peran negara kuat, maka swasta akan tunduk pada kebijakan negara. Dalam sebuah negara yang elite pemerintahan, parlemen dan aparat penegak hukumnya sangat korup, pihak swasta justru semakin enggan menggunakan cara-cara legal dan konstitusional dalam berbisnis namun cenderung menggunakan cara-cara sindikat dan mafia. hal inilah yang bermuara pada munculnya kartelisasi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, strategi dasar yang dapat digunakan dalam mengatasi dominasi kartel pangan adalah dengan menguatkan kembali peran negara dalam menghadapi lliberalisasi perdagangan. Penguatan peran negara dapat dilakukan dengan revitalisasi fungsi Bulog secara sinergis dengan lembaga pemerintah terkait dalam rangka menjaga pasokan pangan dan menjamin stabilitas harga. Selain itu diperlukan upaya untuk meningkatkan akses petani terhadap lahan dan

Edisi I - April 2013

57


sumber produksi bagi peningkatan produksi, produktifitas dan pendapatan. Upaya menguatkan kembali peran negara dalam menghadapi lliberalisasi perdagangan dapat dilakukan adalah melalui (a) Renegosiasi berbagai perjanjian perdagangan bebas dalam rangka melindungi pertanian dan industr pangan nasional (b) Menghentikan pinjaman luar negeri dan bantuan tehnis dalam pembuatan UU kebijakan yang merugikan kepentingan nasional, (c) Menempatkan petani sebagai soko guru dalam menghasilkan pangan nasional menghentikan investasi skala besar dalam menghasilkan produk pertanian yang merupakan bahan pokok (d) Menekan segala bentuk spekulasi pangan melalui pasar keuangan yang berdampak pada meningkatnya harga pangan secara tidak terkendali (e) Membatasi kepemilikan asing dalam investasi pangan untuk menjamin keterjangkauan petani atas sumber-sumber produksi. Untuk merevitalisasi fungsi Bulog secara sinergis dengan lembaga pemerintah terkait dalam rangka menjaga pasokan pangan dan menjamin stabilitas harga, melalui (a) Meningkatkan peran Bolog dalam membeli hasil produksi petani pada tingkat harga yang menguntungkan petani dan menghentikan impor oleh Bulog. (b) Sinergi antara peran dan fungsi Bulog dengan kebjakan lembaga pemerintahan terkait. (c) Mengkonsentrasikan dukungan anggaran APBN dalam penguatan pertanian agar lebih terfokus dan tidak terfragmentasi, (d) Menjamin harga pangan pokok yang terjangkau oleh daya beli masyarakat melalui intervensi pasar. Selanjutnya upaya meningkatkan produksi, produktifitas dan pendapatan petani dapat dilakukan melalui (a) peningkatan akses petani terhadap lahan dan sumber produksi bagi peningkatan produksi, produktifitas dan pendapatan, (b) Jaminan penguasaaan lahan oleh petani melalui land reform dan sumber-sumber produksi bagi petani. (c) Memajukan kemampuan penguasaan tehnologi pertanian bagi petani (d) Dukungan kebijakan anggaran dalam bentuk subsidi dan insentif baik subsidi dalam penyediaan faktor-faktor produksi, subsidi harga, subsidi bunga, serta perlindungan atas kegagalan panen. Penguatan peran negara dalam menjamin pasokan dan harga pangan dalam negeri yang terjangkau oleh rakyat dan sekaligus menguntungkan petani merupakan langkah yang efektif untuk mengakhiri praktek kartel, mafia dan sindikat yang menguasai sektor nasional sekarang ini. ***

58


NAS I O NAL

DEMOKRASI DAN KARTEL:

TWO FACES OF DEVELOPMENT

Ziyad Falahi Peneliti AEPI Jakarta

Edisi I - April 2013

59


L

ebih dari setengah abad tepatnya setelah perang dunia, manusia telah berupaya untuk menciptakan upaya-upaya dalam membangun negara berkembang. Periode 1950an sebagai era pasca kolonalisme yang berangkat dari spirit self-determination memunculkan berbagai macam harapan akan masa depan yang lebih baik pasca perang dunia. Terlebih Para scientist telah mencetuskan berbagai teori, begitu pula para aktor yakni negara-negara maju telah mengirimkan bantuan pinjaman, investasi dan juga pendidikan. Namun setelah mengkorelasikan dengan realitas sosial yang terjadi, maka muncul keraguan. Lebih dari duapertiga masyarakat Less Developing Country (LDCs) yang merujuk kepada negara selatan justru hidup begitu memprihatinkan. Sekitar 3 juta orang yang hidup tersebar di LDCs harus bertahan hidup dengan income $1 per hari. Sedangkan sisanya hidup dengan pendapatan yang bisa mencapai ratusan kali lipat dari pendapatan masyarakat menengah kebawah. Maka tidak salah jika Konferensi Asia-Afrika yang dipelopori oleh Soekarno tahun 1955 membahas isu tentang Neo-kolonialisme. Banyak yang berpandangan, problem kesejahteraan negara berkembang lebih karena sistem politik yang tidak demokratis sehingga menjauhkan rakyat dari akses pengambilan kebijakan. Namun realitanya ketika sistem politik telah didemokrasikan, namun mengapa rakyat masih belum mampu mengambil kebijakan? Dan mengapa justru problem kesenjangan semakin berkembang?. Inilah lubang dalam ide demokrasi yang ternyata tidak kuasa menghadapi sindikat kartel yang justru mendapat legitimasi dalam sisitem demokrasi. Oleh karena itulah tulisan ini akan menjelaskan bagaimana relasi demokrasi dan kartel yang dipraktikkan beberapa negara justru semakin menjauhkan demos (rakyat) dari kratos (pemerintahan).

Perkembangan Demokrasi dan Perkembangan Kartelisasi Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan gelombang demokrasi seperti diungkapkan Mc Faul beriringan dengan perkembangan pasar bebas dan Globalisasi. Fenomena peralihan rezim dari negara tidak demokratis menuju negara yang lebih demokratis berlangsung dalam empat tahap. Perkembangan masif di era pasca Perang Dingin disebut sebagai demokrasi gelombang ke empat (McFaul 2002). Perkembangan demokrasi gelombang keempat terjadi pada periode 19902001 Dalam gelombang demokrasi keempat yang merupakan kelanjutan dari gelombang demokrasi ketiga pada tahun 1974-1990 ini menghasilkan lebih dari seratus negara yang menganut sistem Demokrasi (Mc Faul, 2002: 77). Fukuyama (2000: 55) menekankan bahwa gelombang demokrasi ketiga mengindikasikan

60


“The End of History” seiring dengan runtuhnya tembok Berlin yang menandai era pasca perang dingin. Globalisasi diasumsikan dapat menjadi driving force demokrasi karena perkembangan tekologi informasi memungkinkan penyebaran nilai-nilai cosmopolitan antar society tanpa dibatasi oleh sekat-sekat politis. Oleh karena itulah maka tidaklah menherankan perkembangan demokrasi beriringan dengan percepatan perdagangan dalam skala global. Robert Dahl (2003: 77) mengatakan jika perkembangan demokrasi sesungguhnya bermotif ekonomi. Robert Dahl mencontohkan bagaimana demokrasi diimplementasikan hanya sebatas ekses seiring adanya demokrasi model campuran seperti yang dipraktekkan di Indonesia era Suharto dan Singapura pada rezim Lee Kuan Yeuw. Perlu diketahui jika berdasarkan laporan Chicago tribune, maka negara yang otoriter ternyata memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik ketimbang negara yang sepenuhnya menerapkan nilai substansial demokrasi. Sehingga tidak heran jika otoritarianisme sering dianggap sebagai pilihan terbaik dalam negara yang permisif terhadap patrimonial dan mengharapkan suntikan investasi demi pembangunan. Perlu untuk meninjau asumsi dari Martin Lipset (2001: 99) yang melihat bahwa demokrasi akan timbul dengan sendirinya sebagai konsekuensi dari kesejahteraan yang meningkat. Sehingga demokrasi sesungguhnya bukanlah ‘alat’ melainkan adalah ‘tujuan’. Teori Lipset ini menjadi kritik terhadap proses demokratisasi yang seringkali dipaksakan, seperti yang terjadi dalam kasus Irak seiring otoritarianisme Saddam dan juga eropa timur pasca runtuhnya Sovyet. Sehingga tidak heran jika dalam kasus Indonesia pasca reformasi, kesejahteraan justru tidak kunjung datang. Rachel Caoli menekankan bahwa demokrasi acapkali menyebabkan destabilitas politik, sehingga investor memilih untuk tidak berinvestasi karena destabilitas menyebabkan proses pembuatan hukum menjadi berbelit-belit. Dengan begitu, maka demokrasi yang sedang trend di sepuluh tahun terakhir ini sesungguhnya tidak sepenuhnya mengadopsi nilai ideal demokrasi, melainkan hanya menerapkan demokrasi prosedural yang bermotif ekonomi. Sehingga tidak heran jika dalam implementasi demokrasi ternyata lebih dekat pada Oligarki, dimana para pemilik modal diuntungkan. Bahkan Robert dahl menyebutnya sebagai polyarchy dengan sistem hybrid. Nilai demokrasi yang bersimbiosis dengan kepentingan pasar tentu menyebabkan tidak adanya peraturan yang jelas dalam perekonomian. Mengutip pernyataan Hira Jhamtani (2002) bahwa kebebasan ala demokrasi liberal hanya menawarkan “same opportunity without same modality”.

Edisi I - April 2013

61


Belum lagi dalam era globalisasi, uang tidak lagi berfungsi sekedar sebagai alat tukar, melainkan juga menjadi komoditas. Permainan nilai mata uang inilah yang disebut Susan Strange (2001: 65) sebagai “casino capitalism’. Kebebasan para spekulan dalam memainkan mata uang diperkuat oleh doktrin neoliberalisme bahwa negara tidak diperkenankan intervensi. Kalaupun ada krisis sebagai impact dari casino capitalisme, maka kaum neoliberalism tetap optimis bahwa krisis akan segera mereda oleh “invisible hand’ sehingga intervensi negara tidak diperlukan. Namun yang terjadi sebaliknya, justru negara uyang mem-peg mata uangnyalah yang selamat dari krisis semisal Cina. Fenomena casino capitalism ini berkembang seiring dengan runtuhnya sistem Bretton wood yang menekankan Fixed Exchange Rate, sehingga dunia kemudian beralih pada model floating exchange rate. Tidak heran jika Joseph stiglitz (2000) kemudian menganalogikan jika negara dalam era globalisasi ibarat berlyar ditengah ombak yang besar yang mengancam keselamatan penumpangnya. Implikasinya, terdapat korelasi yang interdependensi antara pembangunan politik yang berbanding terbalik dengan pembangunan. Pembangunan politik minimalis justru akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi1. Meskipun preposisi tersebut tidak sepenuhnya reliabel namun penulis berasumsi bahwa world view tersebut sangat validable. Argumen tersebut semakin kuat jika kita compare dengan proses politik negara lainya. Malaysia era Mahatir dan Singapura rezim Lee Kuan Yew menunjukkan bahwa demokrasi mereka tidak betul-betul demokratis. Rezim yang menekan oposisi merupahan refleksi dari Partai politk tunggal atau dominan menjadi solusi alternatif meskipun malah terkesan represif dan otoriter seperti sistem pemerintahan komunis. Hal tersebut Merupakan sebuah gambaran demokratisasi “semu”, tetapi justru semakin memperkuat perekonomian mereka meskipun legislatif ditekan secara represif. Sebaliknya Cina lebih jujur mengakui bahwa dirinya memang tidak demokrasi, ketimbang negara bermuka dua seperti yang dijadikan contoh diatas. Tapi Cina juga harus mengakui inkonsistensi Komunismenya yang justru melestarikan kapitalisme. Sekalipun peran negara sangat besar, Cina hingga kini yang masih dependen dengan ketergantungan yang tinggi terhadap investasi asing, sekalipun China memiliki cadangan devisa terbesar di dunia, Cina mencoba keluar dari ketergantungan tersebut dengan cara menginternasionalisasikan nilai tukar mata uang mereka dan mengurangi hak istimewa dari dollar selama ini dengan menjual obligasinya melalui bursa saham Hongkong. 2 Model pembangunan negara LDCs diasumsikan dapat menciptakan distribusi 1 2

62

Baca lebih lanjut ,Inu kencana Syafie dan Azhari dalam bukunya “sistem politik indonesia”. Arvind, Subramanian, 2011., The Inevitable Superpower: Why China’s Dominance Is a Sure Thing”. Foreign Affair, Vol 90 (5). Oktober 2011Pp.67-90


kekayaan yang kemudian dikenal dengan istilah teori Trickle down effect. Namun bagi kaum Neo-Marxis Trickle Down Effect hanyalah isapan jempol belaka yang terjadi justru penghisapan seluruhnya (Backwash effect). Kaum Neo Marxis berasumsi bahwa backwash effect merupakan sesuatu eksperimen yang gagal karena kesengajaan dari negara maju untuk mengeruk keuntungan ekonomis (surplus value) dari negara berkembang.

Perusahaan Multinasional sebagai Aktor dalam Demokrasi Kartel Kemunculan perusahaan multinasional atau multi national corporation (MNC) menandai adanya suatu konstelasi baru dalam ekonomi politik kartel. Kedatangan MNC dalam negara bukan hanya berdampak secara ekonomi, melainkan juga dapat dilihat dari sisi politis. Eksistensi MNC tak pelak menjadikanya sebagai salah satu institusi yang mampu melakukan fungsi-fungsi sebagaimana institusi politik, terutama yang berkaitan dengan kemampuan bernegosisasi. Bahkan beberapa pihak menyebut bahwa kapabilitas MNC dalam menjalin relasi diasumsikan setara dengan Negara atau malah lebih karena MNC jauh lebih flexible. Diangankan demikian, karena kepentingan ekonomi yang menjadi tujuan MNC sifatnya lebih pragmatis ketimbang kepentingan ideologis atau keamanan yang menjadi beban Negara.Sehingga wajar jika infiltrasi MNC perlu diperhitungkan dalam dunia dewasa ini. Gilberto Sarfati (2008) mengungkapkan bahwa kekuatan MNC lebih disebabkan oleh dua factor yang ia sebut sebagai structural power dan soft power. Aspek pertama lebih dipandang sebagai ikhwal dari luar (external) yang sifatnya deterministik sehingga membuat Negara harus bersedia untuk menerima kedatangan MNC untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Sedangkan factor kedua lebih merupakan skill dari MNC tersebut untuk dapat merebut mindshare dari masyarakat agar dapat memperileh legitimasi. Kedua Faktor tersebut merupakan sarana yang menyebabkan kenapa MNC menjadi sangat berpengaruh, Berdasarkan asumsi Sarfati mengenai structural power, maka dapat disimak bahwa seringkali kondisi ekonomi suatu negara yang kurang baik sebagai isyarat mengenai perlunya intervensi MNC. Masalah pengangguran dan Tingkat GDP rendah menjadi pendorong Negara untuk terbuka terhadap investasi. Disnilah MNC memainkan perananya sebagai institusi yang filantropi untuk turut berjasa menumbuhkan perekonomian. Aspek structural dapat juga disebut sebagai jalan formalMNC untuk memuluskan langkahnya. Sarfati menyebut ada dua aspek, yakni aspek sensitivity dan vurnerability. Pandangan mengenai sensitivity menyebutkan bahwa kedatangan MNC memiliki ketergantungan yang besar apalagi jika MNC

Edisi I - April 2013

63


mampu beradaptasi dengan cepat dalam market suatu Negara. Sedangkan asumsi mengenai Vulnerability lebih melihat mengenai kegiatan-kegiatan MNC yang acapkali melakukan kegiatan non-ekonomi untkmempengaruhi politik suatu Negara. Dengan kekuatan structural, maka Kepentingan ekonomi MNC akan mudah terealisasi. Aspek struktural ini seringkali dilakukan melalui lobi-lobi yang sifatnya sangat elittis dan birokratis. Sedangkan faktor yang kedua yakni Soft Power merupakan kemampuan yang menjadi ciri khas dari multi national corporation. Melalui suatu strategi pasar, MNC turut memainkan persepsi masyarakat mengenai merk. Sehingga wajar jika dalam realitanya ternyata merk MNC jauh lebih disegani ketimbang produk lokal. Semisal bagaimana Mc Donald yang menjadi suatu produk yang telah mengglobal dalam hal consumer goods. Merk menunjukkan suatu nilai yang signifikan yang kemudian menyebabkan ada suatu keuntungan yang lebih bagi MNC ketimbang perusahaan local. Ini sekaligus menunjukkan bahwa soft power MNC amatlah penting sebagai komplemen dari structural power. Soft power jika kita simak sesungguhnya memiliki fungsi yang sama seperti halnya propaganda yang sering pula dilakukan oleh Negara. Strategi marketing berupa pencitraan merk agaknya menunjukkan bahwa MNC tidak naya dapat mempengaruhi elit dan birokrasi dalam suatu Negara, melainkan juga turut menkonstruksi legitimasi dihadapan masyarakat. Kemampuan soft power semacam inilah yang kurang dimiliki oleh Negara sehinggga menunjukkan kelebihan MNC. Berbicara mengenai diplomasi ekonomi yang dalam definisi tradisional disebut sebagai diplomasi perdagangan (Trade diplomacy), maka disinilah MNC memiliki kedudukan penting. Dalam realitanya ada beberapa MNC seperti Shell, Microsoft yang kekayaanya ternyata dapat melebihi beberapa Negara, khususnya afrika. Fakta ini menunjukkan bahwa kita tidak lagi dapat memandang sebelah mata mengenai eksistensi MNC. Sarfati (2007) mengemukakan bahwa MNC mrmiliki tiga keyword yang membuatnya memiliki kemampuan berdiplomasi, yakni akses, expertise dan paling penting ialah capital. Akses dalam konteks ini dapat berupa kedekatan dengan sumber daya alam. Ekspertise lebih meyoroti tentang tersedianya tenaga ahli dan kapital tentu adalah modal. Oleh karena ketiga hal tersebut MNC acapkali dapat mempengaruhi politik suatu Negara. MNC juga diasumsikan lebih fleksibel dalam melakukan fungsi negosiasi ketimbang negara yang seringkali terbentur dengan permasalahan ideologi. Dengan demikian, maka tidaklah mengeherankan jika lobby MNC dirasa lebih efisien karena MNC menekankan pragmatisme untuk meraih profit. 3

3

64

Lebih lanjut dalam Guoguang Wu, 2011., China 2010: Dilemmas of Scientific development, Asian Survey, Vol.51., No.1, Januari-Februari 2011, Hal .19


Kartel Indonesia dalam gempuran Demokratisasi Lalu bagaimana dengan Indonesia? Seperti kita ketahui bahwa ekonomi yang dijalankan Indonesia kontemporer sangat berorientasi pasar. Krisis 1997 tidak memberikan pelajaran bagi Indonesia untuk memperkuat perekonomianya, malah era reformasi harus diiringi oleh kebijakan menjual BUMN pada perusahaan multinasional asing. Penyakit tersebut masih sangat terasa dalam era kepemimpinan SBY yang tidak berusaha secara aktif untuk menekankan suatu produk nasional yang kompetitif. Sebaliknya, Indonesia semakin pasif dengan bersikap tergantung akan investasi asing. Sehingga MNC menjadi salah satu bagian dalam sisiem kartel pasca refromasi. Kondisi yang dialami Indonesia pasca krisis ini merupakan wujud ketidakpercayaan diri negara dalam mengintervensi perekonomian. Setelah krisis 1997, banyak pihak beramai-ramai menyalahkan negara yang terlalu kuat sebagai biang kerok hancurnya perekonomian nasional. Bahkan Birokrasi dan BUMN kini telah identik dengan sarang koruptor sehingga tentu saja semakin meminimalkan kepercayaan diri negara. Oleh karena itulah tidak terlihat adanya visi yang terarah mengenai perekonomian indonesia pasca reformasi. Dengan kata lain mekanisme pasar-lah yang menggantikan fungsi negara menggerakan kemana perekonomian bangsa indonesia berjalan. Dalam kondisi abstainya peran negara, maka mekanisme pasar akan memberi ruang bagi para pemilik kapital untuk bermain dalam kancah politis. Kondisi perekonomian pasca reformasi berbanding terbalik dengan zaman Suharto yang terkenal dengan era pembangunan. Meskipun banyak yang mengkritik Suharto sebagai oligarkis, namun visi perekonomian direncanakan dengan matang melalui pembangunan Repelita. Ditambah lagi sebuah visi berupa trilogi pembangunan semakin memperjelas visi ekonomi Suharto. Meskipun Suharto sangat terbuka terhadap investasi, namun tujuan investasi tersebut akan jelas arahnya serimg adanya visi pembangunan berencana. Salah satunya dapat disimak saat pertemuan di Amsterdam pada tanggal 20 Februari 1967 berhasil mendatangkan bantuan sebesar USD 363 juta dari negaranegara yang kemudian dikenal sebagai intergovernmental group of Indonesia (IGGI) (Hadiz, 1995, 23). Perundingan dengan IGGI menunjukkan Suharto mampu menterjemahkan kondisi untuk mempercepat industrilisasi di Indonesia dengan memanfaatkan perang dingin. Suharto memanfaatkan agenda policy of containment yang mengharuskan negara liberal membantu negara berkembang untuk membendung komunisme (Hadiz, 1995:67-90). Dengan demikian maka perundingan di Paris Club dengan IGGI dilandasi oleh kecerdikan Suharto menempatkan diri dalam kostelasi perang dingin.

Edisi I - April 2013

65


Meskipun demikian, tidak sedikit pula sisi negatif atas langkah tersebut yang dianggap menyimpang dari prinsip demokrasi sosial sebagai amanah konstitusi 45. Tanpa disadari politik oligarki militer juga berkembang dalam era Suharto dengan berlindung dibalik gagasan pembangunan. Terlepas dari perdebatan apakah sistem kartel Suharto merupakan sebuah keberhasilan atau kegagalan, namun dalam era kontemporer aktor yang bermain dalam sitem kartel bukan hanya negara dan pengusaha lokal, tetapi juga perusahaan multinasional sebagaimana dalam era SBY. Tanpa adanya visi nasional ekonomi yang jelas, maka Kehadiran presiden SBY dalam forum ekonomi dunia hanyalah reaksi yang temporer dan berasaskan kepentingan pasar global. Sehingga wajar jika banyak pihak yang perimis terhadap sikap Presiden SBY yang senantiasa terlihat ragu-ragu dalam menentukan posisi karena karakter diplomasinya yang reaktif dan menunggu. Padahal model kebijakan yang menunggu seperti inilah yang paling disukai oleh mekanisme pasar untuk semakin memberi ruang bagi politik kartel dan politik transaksional untuk terus berkembang.

Kesimpulan Jika harus memilih kemana akan menyerahkan perekonomian, maka pilihan sementara hanya dua, yakni oleh mekanisme pasar atau negara. Pilihan pertama akan membuat ekonomi Indonesia hanyalah sebagai sebuah “reaksi� dari akselerasi pasar bebas global. Sebaliknya pilihan yang kedua akan menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia adalah sebuah “aksi� untuk menentukan arah dalam determinasi pasar bebas global. Sehingga keliru ketika mengasumsikan jika pilihan pertama mampu mengurangi sistem kartel, malah membuatnya berkembang dengan aktor yang jumlahnya semakin multiple. Namun dalam pilihan kedua, seringkali atas nama kemakmuran dan kemasyuran negara, kesejahteraan rakyat dinomorduakan sebagaimana era Suharto. Wajar jika dilema Sukarno akan revolusi nasional sebagai tahapan menuju revolusi sosial masih belum terpecahkan. Namun yang pasti dalam era pasar bebas kontemporer, abstainnya visi jangka panjang membuat artikulasi kebijakan hanya akan berpedoman pada aspek pragmatis semata, yang malah memungkinkan para elit untuk melakukan transaksi. Sehingga kita perlu menyadari jika dalam derajat tertentu visi perekonomian jangka panjang merupakan ide yang mampu membatasi ruang gerak politik kartel. Akan tetapi visi jangka panjang perekonomian tentunya bukan lagi didesain oleh negara dan pasar semata, tapi juga melibatkan rakyat (demos) yang secara konstitusional memiliki hak untuk memerintah. ***

66


NAS I O NAL

Menggantungkan Pangan Nasional Dalam Sistem Globalisasi

Nirmal Ilham1

1

Sekjen Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta (IEPSH)

Edisi I - April 2013

67


P

ada tanggal 13 Maret 2013, Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung menemui Presiden SBY untuk menjelaskan rencana investasi peternakan dan pertanian di luar negeri, dengan tujuan mengamankan pasokan pangan di dalam negeri. Mengingat tanah di Indonesia tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan 250 juta penduduk, sehingga dikaji untuk menggunakan lahan di negara lain. Negara tujuan investasi peternakan sapi adalah Australia dan Selandia Baru, sedangkan pertanian padi adalah Laos dan Myanmar. Terkait rencana ini, Presiden SBY memberikan tanggapan yang antusias, dan meminta agar segera dimplementasikan.1 Dari berita tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pangan bagi rakyat Indonesia diarahkan oleh pemerintahan SBY ke dalam skema besar globalisasi. Karena globalisasi menciptakan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia dalam berbagai bidang. Dan kebijakan pemerintah untuk melakukan investasi pertanian padi dan peternakan sapi di negara lain, berarti masuk ke dalam sistem globalisasi ekonomi. Dalam sistem globalisasi ekonomi, negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi ekonomi mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan (tarif dan non tarif) terhadap arus modal, barang dan jasa. Sistem globalisasi ekonomi membuat ekonomi suatu negara terkait dengan ekonomi negara lain, dan perekonomi nasional terintegrasi dengan perekonomian internasional. Pendukung globalisasi menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif (Comparative Advantage) yang dicetuskan Adam Smith dan disempurnakan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi, termasuk sektor pangan. Teori ini sendiri menghendaki dilakukan diatas dasar perdagangan bebas. Tapi apakah pantas sektor pangan dimasukkan dalam skema globalisasi?

Usaha Negara-Negara Industri Maju Melindungi Pangannya Sejarah pertanian negara industri maju di Eropa dan Amerika Serikat adalah sejarah proteksi dan subsidi. Dan pemeran utama dari kebijakan tersebut adalah pemerintah. Dalam 50 tahun terakhir, meningkatnya produksi pertanian secara 1

68

http://finance.detik.com/read/2013/03/13/152749/2192922/4/lahan-pertanian-terbatas-ri-pilih-investasi-sapidan-beras-di-luar-negeri


besar-besaran di negara-negara tersebut adalah karena intervensi pemerintah. Intervensi ini biasanya dalam bentuk (1) pembayaran yang berlebih (deficiency payment) sehingga mempertahankan tingkat produksi tetap tinggi dan memberikan pendapatan yang lebih besar kepada petani dibanding harga yang diberikan pasar; (2) menciptakan pasar buatan (artificial market) sebagaimana yang dilakukan oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), dimana harga internal biasanya lebih tinggi ketimbang harga pasar dunia; dan (3) berbagai bentuk subsidi lainnya, yang telah lama dilakukan semenjak abad pertengahan untuk berbagai kelompok kepentingan. Dengan cara ini, maka para petani di Amerika Serikat dan Eropa selalu memperoleh surplus yang besar. Kebijakan intervensi pemerintah dalam pertanian tersebut diarahkan untuk meningkatkan swadaya (self-sufficiency) nasional.2 Selain itu, kebijakan pertanian di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II adalah mengandalkan pada kebijakan New Deal Farms (NDF), sedang di Uni Eropa mengandalkan pada kebijakan Comon Agricultural Policy (CAP). Isinya terutama adalah peran proteksionisme negara atas pembangunan sektor pertanian. Di Eropa, khususnya peran regulasi nasional untuk melindungi dari tekanan impor, sedangkan di Amerika Serikat, khususnya pada subsidi atas ekspor.3 Sampai sekarang dua kebijakan tersebut tetap berjalan dan tidak pernah dikurangi, sekalipun ada perjanjian pertanian Agreement on Agriculture (AOA) hasil Putaran Uruguay 1986-1994, yang merupakan sebuah perjanjian pertanian di dalam World Trade Organization (WTO). Perjanjian pertanian itu juga mencerminkan pertentangan yang tidak pernah selesai antara kedua kubu tersebut dalam melindungi sektor pertaniannya masing-masing, dan dalam kompetisi global. Begitupun dengan perkembangan pertanian di Jepang yang pararel dengan perkembangan pertanian di Eropa dan Amerika Serikat. Pada awalnya Jepang adalah korban dari praktek perdagangan bebas ketika di tahun 1858, Komodor Matthew Perry dari Amerika memaksa Jepang untuk membuka ekonominya bagi perdagangan luar negeri. Akibatnya Jepang dipaksa untuk menetapkan kebijakan pengurangan tarif impor menjadi maksimum 5%, padahal saat itu Amerika sendiri bisa menetapkan tarif yang setinggi-tingginya hingga 500%. Kebijakan ini menyebabkan membanjirnya barang-barang dari luar dan mengakibatkan hancurnya industri-industri lokal. Sampai akhirnya hal ini berubah semenjak 2 3

Bonnie Setiawan, Globalisasi Pertanian (Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani) IGJ, 2003, hlm 31. Clive Onting, A Green History of the World, Penguin Books, 1992, hlm 246. Bonnie Setiawan, Globalisasi Pertanian (Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani) IGJ, 2003, hlm 32. Harriet Friedmann, “Changes in the International Division of Labour : Agri-food Complexes and Export Agriculture�, dalam William H Friedland et .al, Towards a New Political Economy of Agriculture, Westview Press, 1991, hlm 80

Edisi I - April 2013

69


berkuasanya dinasti Meiji di tahun 1868 yang merasa dihinakan oleh perlakuan negara-negara barat, hingga akhirnya menjadi nasionalistik. Jepang kemudian menjalankan program landreform secara drastis serta secara simultan masuk ke industri berat. Dan yang unik dari Jepang adalah negara tersebut tetap menjalankan kebijakan proteksi pertaniannya meskipun sekarang telah menjadi negara industri maju. Kebijakan proteksi Jepang terhadap semua produk baik manufaktur maupun pertanian adalah dengan membatasi impor, dengan cara kuota sukarela, hambatan kuantitatif, diskriminasi, kontrol devisa, dan tarif yang tinggi. Proteksionisme juga diberlakukan untuk melawan investasi asing, baik lewat aturan masuk yang ketat maupun melalui patungan yang disubsidi. Dengan demikian Jepang menjadi negara maju justru karena tidak mematuhi pasar bebas dan melanggar semua aturan persaingan bebas.

Pangan Adalah National Security Pangan adalah hal yang sangat penting dan merupakan kebutuhan mendasar dari manusia. Pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup bagi setiap orang di setiap waktu merupakan salah satu hak yang paling asasi bagi manusia. Sedangkan kekurangan pangan yang terjadi meluas di suatu negara akan menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas suatu negara. Dan bila pangan tidak mencukupi kadar gizi, maka akan dapat menimbulkan masalah kesehatan dan menurunkan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Dalam skala yang lebih luas, kekurangan gizi dapat menjadi ancaman bagi ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Dengan demikian pangan bukan hanya sebatas komoditi biasa yang hanya memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik. Lebih dari itu, pangan berpengaruh besar terhadap ketahanan ekonomi nasional. Dan pangan juga merupakan faktor penentu bagi perwujudan pertahanan keamanan nasional. Kebijakan seluruh negara di dunia itu sama yaitu didasarkan pada tiga hal, paling utama adalah National Security, kemudian National Resources dan National Interest. Kebijakan National Interest adalah kebijakan suatu negara terhadap kepentingan negara tersebut yang ingin mewujudkan cita-cita dan harapannya, berdasarkan atas waktu atau situasi saat itu. Sedangkan Kebijakan National Resources adalah kebijakan suatu negara yang berdasarkan pada semua potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh negara tersebut, seperti letak geografis, sumber daya alam, dan populasi. Namun Kebijakan National Security adalah kebijakan utama suatu negara

70


untuk mewujudkan keamanan nasional yang didasarkan atas dua sektor yaitu pangan dan energi. Sehingga national security sebuah negara tidak didasarkan atas waktu, dan sumber daya yang dimiliki, karena kebutuhan akan pangan dan energi tidak mengenal waktu dan sumber daya. Tapi wajib diusahakan dengan segala cara oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mengingat pangan dan energi merupakan eksistensi sebuah negara itu sendiri.

Anomali Kebijakan Masalah pemenuhan kebutuhan pangan merupakan sasaran utama pemerintahan suatu negara. Negara wajib untuk mampu memberikan jaminan kebutuhan pangan kepada setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Persoalan pangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi, laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dan masalah dalam pertanian seperti konversi lahan pertanian, kualitas tanah yang menurun, degradasi sumber daya air, anomali iklim, teknologi pertanian yang tidak merata, serta infrastruktur pertanian dan pedesaan yang tidak memadai. Selain itu, naiknya income penduduk yang diikuti dengan bertambahnya kelas menengah di Indonesia membuat kualitas pola konsumsi makanan semakin meningkat. Salah satunya adalah permintaan terhadap daging sapi yang terus naik, sementara produksi sapi dalam negeri stagnant. Kebutuhan masyarakat yang ingin memenuhi gizinya agar lebih baik tidak ditanggapi oleh kebijakan pemerintah yang mumpuni dalam sektor peternakan. Kebijakan pemerintah dengan melakukan investasi pertanian padi dan peternakan sapi di luar negeri sebelumnya sudah dilakukan oleh China. Pemerintah China telah melakukan investasi untuk menjamin ketersediaan pangan rakyatnya di Afrika. Saat ini negara-negara di Afrika praktis hampir semuanya sudah dikontrol oleh China. Namun China melakukan itu dengan terlebih dahulu memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara di Afrika yang notabene adalah negara miskin. Selain itu, posisi politik China di dunia internasional sangatlah kuat. Apa yang ditempuh dan dimiliki China tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan dan dipunyai pemerintah Indonesia saat ini. Karena pemerintahan SBY justru akan berinvestasi peternakan sapi di Australia dan Selandia Baru yang merupakan negara kaya. Dimana kedua negara tersebut tidak dapat dipengaruhi kebijakan ekonominya oleh Indonesia tapi justru Indonesia yang dapat didikte oleh mereka.

Edisi I - April 2013

71


Begitupun dengan rencana pemerintah untuk melakukan investasi pertanian padi di Laos dan Myanmar. Kebijakan investasi pertanian tersebut dipastikan tanpa didahului oleh pemberian bantuan ekonomi oleh pemerintah kepada kedua negara tersebut. Karena kebiasaan selama ini justru pemerintah Indonesia yang suka meminta-minta bantuan ekonomi dari negara lain. Selain itu, dalam peta politik internasional, posisi Indonesia sangatlah lemah. Sehingga jika membandingkan kebijakan pangan negara-negara industri maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, dengan kebijakan pangan pemerintah yang ingin melakukan investasi pangan di luar negeri, maka kebijakan pangan pemerintah tersebut adalah kebijakan yang anomali. Karena di saat negara-negara industri maju menghalalkan segala cara agar dapat berdaulat dan mandiri dalam sektor pangannya, Indonesia sebagai negara agraris yang masih berkembang justru menggantungkan kebutuhan pangan rakyatnya di negara lain. Seharusnya solusi yang ditempuh adalah dengan membangkitkan kedaulatan pangan untuk membangun kemandirian bangsa Indonesia. Seperti strategi kedaulatan pangan yang telah dirumuskan sebelumnya oleh pendiri bangsa ini. Dalam amanat Presiden Soekarno tentang Pembangunan Semesta Berencana, dikatakan bahwa untuk mencapai kedudukan self sufficiency (swasembada) di lapangan pangan bahan makanan, sandang pakaian, dan obat-obatan, perlu dilakukan intensifikasi pertanian untuk menaikkan produksi dalam negeri berupa hasil-hasil bahan makanan dan pakaian, supaya dalam jangka pendek tercapai self supporting (keswadayaan). Jadi, kebijakan tersebut mengarahkan agar dalam mencukupi kebutuhan sendiri (swasembada) harus menggunakan kekuatan sendiri (swadaya), bukan memakai kekuatan negara lain. ***

72


NAS I O NAL

Otonomi Daerah dan Sindikat Tambang Salamuddin Daeng

Indonesia for Global Justice

Edisi I - April 2013

73


Latar Belakang Sejak era reformasi yang diikuti dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, laju eksploitasi sumber daya alam tambang, perkebunan dan kehutanan semakin masif. Adanya kewenangan yang sangat besar yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk melakukan ekploitasi sumber daya alam mendorong pejabat daerah memburu investor dalam rangka mengeruk kekayaan alam di daerahnya. Seringkali kewenangan yang dimiliki para pejabat bupati, walikota dan DPR dalam mengeluarkan ijin penguasaan tanah bagi eksploitasi kekayaan alam daerah, dselewengkan untuk kepentingan memperkaya diri pribadi dan kroninya. Penguasaan tanah dan kekayaan alam jatuh ke tangan segelintir pemodal besar yang mengendalikan jalannya kekuasaan daerah. Data yang dikumpulkan Indonesia for Global Justice (IGJ) memperlihatkan dalam sektor Mineral dan Batubara, Sejauh ini jumlah izin usaha pertambangan mencapai 10.566 izin. Dari total izin itu, sebanyak 5.940 izin di antaranya bermasalah atau non clean and clear, yang terdiri atas 3.988 izin usaha pertambangan operasi dan produksi mineral serta 1.952 IUP operasi dan produksi batubara. Selanjutnya dalam sektor Minyak dan Gas: sejak 2002 hingga 2011, terdapat 287 wilayah kerja migas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Data BP Migas tahun 2007 wilayah kerja migas hanya 169 unit, 200 unit wilayah kerja migas pada 2008. Selanjutnya, bertambah lagi menjadi 228 pada 2009 dan 245 pada 2010. Dalam sektor Kehutanan, Jumlah pemegang izin hak penguasaan hutan (HPH) saja sampai dengan kuartal III/2011 mencapai 22,9 juta hektare dengan jumlah pengusaha pemegang izin sebanyak 286 unit. Kini HPH disebut dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan alam. Pemegang izin hutan tanaman industri (HTI) sampai dengan kuartal III/2011 sebanyak 244 unit dengan luas 9,9 juta ha. Sejak 2010 sampai dengan saat ini, terdapat permohonan izin HTI sebanyak 315 unit dengan luas 18,0 juta ha. Di beberapa kabupaten di Indonesia, izin konsensi pengelolaan SDA yang dikeluarkan oleh pejabat daerah telah sangat luas, bahkan ada yang lebih luas dari wilayah daerah tersebut. Akibatnya terjadi tumpang tindih dan overlapping dalam penguasaan tanah yang bermuara pada konflik diantara penguasa, pengusaha berhadapan dengan rakyat. Di Nusa Tenggara Barat PT. Newmont Nusa Tenggara menguasai 50 persen wilayah NTB dengan luas kontrak seluas 1,27 juta hektar. Di Pulau Sumbawa salah satu wilayah NTB Newmont menguasai 770 ribu hektar, setara dengan 50 persen lebih luas wilayah daratan pulau sumbawa seluas 1,4 juta hektar. Sementara

74


para bupati/walikota di tiga 5 kabupaten/kota di Pulau Sumbawa terus memberi ijin tambang diatas lahan-lahan yang tersisa. Saat ini lebih dari 150 Izin Usaha Pertambangan yg beroperasi di NTB baik yang sedang melakukan eksplorasi maupun produksi. Di Papua, Kontrak Karya (KK) Freeport seluas 2,6 juta hektar, HPH 15 juta Hektar, HTI 1,5 juta hektar, Perkebunan 5,4 juta hektar, Â setara dengan 57 persen luas daratan Papua. Belum termasuk kontak migas yang jumlahnya sangat besar, sehingga diperkirakan Papua telah habis dibagi kepada ratusan perusahaan raksasa. Kalimantan Timur diperkirakan seluruh wilayah daratannya seluas 19,8 juta hektar telah dibagi-bagikan kepada modal besar. Ijin tambang mineral dan batubara 5 juta ha, Perkebunan 2,4 juta hektar, ijin hutan HPH, HTI, HTR dan lainnya mencapai 9,7 juta (data MP3EI), belum termasuk kontrak migas, dimana Kaltim adalah salah satu kontributor terbesar pendapatan migas negara. Kontrak migas ugal-ugalan lainnya adalah di Madura, dimana luas kontrak migas sudah melebihi luas pulau Madura sendiri, yang diserahkan pemerintah kepada Petronas, Huski Oil, Santos, dan perusahaan asing lainnya. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, saat ini terdapat lebih dari 350 izin usaha pertambangan (IUP) yang menyebar di seluruh kabupaten. Sementara berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tengah, saat ini ada 372 IUP yang terbit di semua kabupaten/kota di Sulteng.1 Di Bombana Sultra, aktivitas pertambangan nikel di Pulau Kabaena memunculkan kekhawatiran, mengingat pulau dengan luas hanya 873 kilometer persegi itu dikepung 32 izin usaha pertambangan. Ijin tambang di beberapa kabupaten di Sultra telah lebih luas dibandingkan dengan wilayah kabupaten itu sendiri. Tidak jarang kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah diselewengkan. Ada tujuh bupati dan walikota yang sedang dipantau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga telah menyalahgunakan pemberian izin tersebut. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri menyatakan sering menemukan IUP palsu yang dikeluarkan oleh kepala daerah, baik Bupati maupun Walikota. Izin palsu tersebut diduga dikeluarkan oleh Bupati baru tanpa melihat izin-izin yang dikeluarkan oleh pejabat daerah sebelumnya. Kewenangan yang sedemikian besar diberikan kepada pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin dan konsesi dalam pengelolaan kekayaan alam telah menyebabkan tanah/lahan beserta kekayaan alam yang terkadung di dalamnya jatuh ke tangan segelintir pengusaha swasta khususnya asing baik yang melakukan penanaman modal asing langsung maupun yang menggunakan tangan swasta nasional. 1

http://nasional.kompas.com/read/2012/12/30/02514585/bayang-bayang.petaka.di.balik.berkah

Edisi I - April 2013

75


Mudahnya memperoleh izin dan konsesi dalam rangka penguasaaan tanah dan eksploitasi sumber daya alam mendorong para investor asing langsung berhubungan dengan pemerintah daerah dengan menggunakan sindikat dan mafia yang berada di sekitar para pejabat daerah. Ditengah upaya negara-negara maju dalam memburu dan menumpuk stok raw material dalam menjamin keberlangsungan industri mereka, akan memicu modal internasional memburu sumber daya alam di daerah-daerah kaya di Indonesia. Kondisi ini akan menyebabkan kekayaan alam Indonesia akan jatuh ke tangan genggaman sindikat yang dikendalikan oleh kartel internasional.

Perburuan Raw Material Raw material merupakan sumber yang sangat strategi dalam perekonomian global baik sebagai komoditi perdagangan maupun sebagai modal dalam membangun industri. Namun raw material merupakan sumber daya alam (natural resources) yang tidak terbaharukan dan semakin menipis ketersediaannya seiring laju eksploitasi yang meningkat. Kondisi semacam ini telah mendorong negaranegara industri untuk membuat strategi yang efektif dalam rangka melakukan mobilisasi raw material secara murah bagi perekonomian mereka. Eropa membuat kebijakan Raw Material Inisiative (RMI) untuk mengamankan akses ke komoditas raw material seperti gas, kelapa sawit dan beberapa lainnya banyak disebutkan dalam dokumen RMI ke Uni Eropa2 Kawasan Asia Tenggara memiliki potensi raw material yang sangat besar. Tidak kurang dari 90 persen ketergantungan impor karet Uni Eropa terhadap kawasan Asia Tenggara, dan salah satunya adalah Indonesia selain Malaysia dan Thailand. Upaya untuk mempetahankan pasokan raw material EU dilakukan dengan memberikan berbagai dukungan dana dan keuangan dalam menyelaraskan kebijakan EU dengan Indonesia. Amerika Serikat (AS) sejak lama telah mengerahkan perusahaan multinasional mereka ke seluruh penjuru dunia dalam rangka melakukan eksploitasi dan mengontrol pasokan natural resurcess global. Di Indonesia perusahaan-perusahaan raksasa Aemrika Serikat (AS) mendominasi kegiatan eksploitasi pertambangan dan migas. Demikian juga Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia yang mempertahankan kontrolnya atas sumber daya alam khususnya di negaranegara Asia seperti Indonesia dengan mengerahkan lembaga keuangan dan bank pemerintah dalam rangka membiayai investasi luar negeri swasta Jepang di luar 2

76

“EU chemical trade group support push raw material acess�, diakses dari http://m.theindonesiatoday.com/news/ eu-chemical-trade-group-supports-push-raw-materials-access/


negeri. Perusahaan-perusahaan Jepang yang beroperasi di luar negeri selanjutnya mengirim raw material untuk selanjutnya masuk dalam proses industrialisasi di Jepang. Strategi investasi Jepang di Indonesia dalam hal eksploitasi sumber daya alam mengambil ciri yang demikian. Kemajuan Cina yang bergerak begitu cepat secara multidimensional – dengan pergerakan laju ekonomi yang sangat akseleratif sebagai motornya – tentu saja membutuhkan SDA yang cukup banyak. Menguatnya postur dan prospek kemajuan ekonomi Asia. Diungkapkan juga bahwa pada 2025, diperkirakan Asia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, ekonomi Jepang, Cina dan India akan melampaui PDB AS. Dengan gambaran geoekonomi seperti ini diperkirakan ke depan secara berangsur kebijakan ekonomi, politik dan pertahanan Jepang dari yang selama ini condong ke Barat akan bergeser ke Asia seiring dengan makin kuatnya Cina dan India. ADB memperkirakan dalam kurun waktu 22 tahun ke depan atau pada 2035, Asia akan menjadi pemain utama ekonomi dunia yang menguasai 44% PDB dunia. Dengan peran besar tersebut, Asia bakal mengonsumsi 51% dari total pasokan energi dunia guna menggerakkan pertumbuhan. “Kalau melihat prediksi less optimistic selama 10 tahun terakhir, kebutuhan energi Asia bahkan lebih tinggi sekitar 56% kebutuhan dunia,� 3 Hal tersebut akan semakin menimbulkan persaingan dan perebutan SDA yang ada di dunia antara Cina sebagai kekuatan baru di bidang ekonomi melawan AS dan Eropa sebagai kekuatan lama. Persaingan untuk memperebutkan SDA tersebut semakin kuat terasa di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan wilayah yang memiliki SDA yang cukup besar dan sebagian belum dapat diolah. Belakangan Indonesia bahkan menjadi sasaran invasi perusahaan-perusahaan Malaysia dalam rangka merebut sawit dan tambang. Persaingan ekonomi negara-negara besar tersebut, dapat berimplikasi diberbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, hukum dan pertahanan keamanan. Gelombang ideologi transnasional termasuk gaya hidup, demokratisasi, dan HAM. Kepentingan politik ekonomi asing terhadap Indonesia baik melalui institusi negara, lembaga swadaya masyarakat, maupun korporasi, khususnya dalam penyusunan kebijakan serta peraturan perundangan nasional. Indonesia sebagai negara yang memiliki SDA yang melimpah merupakan sasaran dari negara-negara besar untuk menanamkan modal untuk berinvestasi di bidang pertambangan mineral, migas dan batubara. Adanya desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah akan menyebabkan modal multinasional akan langsung menyasar pemerintah daerah dalam rangka menguasai dan mengontrol 3

Priasto Aji, Ekonom Asian Development Bank (ADB) http://m.koran-sindo.com/node/306398

Edisi I - April 2013

77


kakayaan alam Indonesia. Melalui tangan pemerintah daerah, perusahaan modal asing dapat lebih mudah dan murah untuk memperoleh kekayaan yang sangat berharga yaitu raw material dalam rangka menopang industri nasional mereka.

Sindikat Tambang Jika negara kuat maka pelaku bisnis swasta akan tunduk sepenuhnya dalam aturan regulasi negara, namun sebaliknya jika negara lemah, sementara pada saat yang sama penyelenggara kekuasaan koruptif, maka pemerintahan akan tunduk dibawah kekuasaan sindikat, yang mengatur jalannya perekonomian. Ichsanuddin Noorsy dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa pertarungan global sekarang ini adalah pertarungan antara korporasi swasta yang diwakili oleh perusahaanperusahaan swasta AS dengan perusahaan negara yang diwakili oleh perusahaan China, baik dalam merebut sumber daya alam maupun komoditas perdagangan lainnya. Dalam sistem politik Indonesia pelaksanaan peran negara dalam bidang ekonomi menjadi amanat dari Pancasila yang merupakan idiologi negara dan diatur lebih lanjut dalam UUD 1945. Dalam pasal 33 UUD 1945 peran negara diatur dalam pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 yang memadatkan asas kekeluargaan dalam penyelenggaraan ekonomi negara, penguasaan negara terhadap bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun strategi ekonomi negara ini dilanggar oleh para penyelenggara negara, dan pelanggaran tersebut semakin nyata dalam era reformasi sejak dilakukannya perubahan UUD 1945, amandemen UU BUMN dan lahirnya UU penananaman modal dan UU lainnya sebagai strategi menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar bebas. Lemahnya sistem bernegara melahirkan hukum rimba dalam praktek perebutan sumber daya alam khususnya tambang. Berlakulah hukum � siapa yang kuat dia yang menang� dan sebaliknya, yang lemah akan mati. Dalam liberalisasi ekonomi sekarang yang disertai dengan pemerintahan yang korup, banyak konsesi tambang, perkebunan yang dikuasai BUMN beralih ke tangan swasta melalui cara-cara yang tidak legal. Selanjutnya munculnya otonomi daerah yang menyerahkan kekuasaaan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam mengalokasikan keuangan daerah dan kekayaan alam daerah, semakin memperlemah posisi negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam seminar bertajuk ‘Pencaplokan Tambang Milik Negara: Pelanggaran

78


Hukum dan Penggelapan Pajak’, menyampaikan bahwa banyak lahan-lahan milik BUMN yang dicaplok oleh perusahaan-perusahaan swasta dan lahan tersebut adalah lahan potensial. Beberapa lahan tambang yang dimiliki BUMN, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero), dan PT Timah Tbk (TINS) telah dikuasai oleh pihak swasta. Akibat hal tersebut, negara mengalami kerugian ratusan triliun. “Lahan yang dicaplok umumnya mengandung mineral, batu bara, dan migas yang berada di berbagai wilayah di Sumatera, Kalimantan, Bangka Belitung, Sulawesi, dan Maluku�.4 Hukum rimba tersebut semakin menemukan bentuknya dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan yang korup. Dalam banyak kejadian pemilik modal menggunakan cara-cara mafia dalam memperoleh konsesi sumber daya alam. Sebagaimana contoh dalam kasus Hartati Murdaya yang menyogok Bupati Buol Amran Batalipu dalam rangka memperoleh izin HGU perkebunan. Praktek pemerintahan yang korup ini yang semakin menyuburkan sindikat dalam praktek penguasaan dan pengendalian SDA. Secara definisi sindikat merupakan gabungan beberapa perusahaan di suatu bidang usaha atau perhimpunan beberapa orang bermodal untuk mendirikan perusahaan besar; yang cenderung merupakan kriminal gabungan (kerja sama) beberapa orang (perusahaan dsb) yang bergerak di bidang usaha yang melanggar hukum, atau politik gabungan (kerja sama) beberapa orang (perusahaan dsb) yang bergerak dalam bidang politik (pemerintahan): susunan kabinet itu telah dipaketkan dulu -- politik yang bertugas mempertahankan kepentingan golongan berkuasa.5 Untuk mengatasi menguatnya sindikat tanah dan tambang tersebut itu maka diperlukan upaya untuk menguatkan kembali peran negara sebagaimana diamatkan oleh konstitusi UUD 1945 yang asli dengan disertai upaya evaluasi komprehensif terhadap implementasi dan peraturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah dalam pengelolaan SDA untuk memperkuat kapabilitas dan peran negara melalui BUMN dalam pengelolaan SDA sebagai modal strategis nasional. Dalam bidang hukum diperlukan kepastian hukum, sinergi, dan harmonisasi implementasi kebijakan/peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait industri-industri hasil pengelolaan SDA, serta menyusun perencanaan pengelolaan SDA dan peningkatan kapasitas SDM nasional secara terpadu dan berkelanjutan. ***

4 5

Marwan Batubara, di Gedung MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (9/8/2012) http://www.artikata.com/arti-351239-sindikat.html

Edisi I - April 2013

79


NASI ONA L

Blok Tangguh, Papua

Blok Minas, Riau

Untuk warga waras yang sadar bahwa kita bukan keledai. Sebab keledai terperosok dua kali Blok Mahakam, Kaltim

Harta Karun 1 Republik Indonesia M. Yudhie Haryono

1

80

Tulisan Pertama dari dua tulisan Penulis: M. Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Centre [Rumah Persemaian Kepemimpinan]


Pengantar Sejarah Indonesia adalah sejarah kekayaan dan kemiskinan. Kekayaanlah penyebab datangnya perampok kumpeni. Kemiskinanlah akibat perampokan para kompeni. Term kaya-miskin sesungguhnya contradictio in terminis. Tetapi, begitulah kenyataannya. Dalam babad kemiskinan yang selalu hadir dan menjadi kenyataan sejarah itulah, pertanyaan benarkah kita adalah “negara” miskin menjadi niscaya. Praktis pertanyaan itu hadir dalam tiap sidang kabinet, obrolan santai maupun pertengkaran antar aktifis ketika kuliah dan demonstrasi. Ini juga layak dipahami, sebab mata kuliah keIndonesiaan praktis absen selama lebih dari 40 tahun sejak revolusi-kudeta 1966 digelorakan oleh tentara. Rupanya, absensi kurikulum keindonesiaan adalah “keberhasilan kumpeni.” Hal itu dilakukan agar mereka tetap dominan di Indonesia. Ini juga “kebodohan nasionalis” untuk mencetak kader sebagai penjaga republik. Kader yang siap melakukan jihad kesejahteraan dan save the nation, save the constitution. Riset dalam tulisan ini akan mencoba mencari jawab dari pertanyaan di atas yang sangat menggugah. Sebuah riset yang menjawab “kenapa kita miskin, di mana dan berapa harta karun kita serta bagaimana cara mendapatkannya agar warga negara sejahtera.” Sesungguhnya, kemiskinan itu adalah ketidakwajaran. Kondisi miskin, selain karena faktor eksternal penjajahan (londo putih lan londo ireng), juga bisa karena internal (etos yang rendah dan salah model pembangunan). Ketidakwajaran itu bisa dipahami karena seluruh manusia memiliki ‘kesempatan yang sama’ untuk menjadi kaya dan sejahtera. Gandhi (1962:126) menyebut bahwa, “Tuhan menciptakan dunia cukup untuk seluruh manusia tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Sesungguhya, berjuta yang manusia miliki dan hanya satu yang tidak mereka punya.” Artinya, setiap manusia memiliki kesempatan yang relatif sama untuk sejahtera, tetapi ia berhadapan dengan ‘sesamanya’ yang serakah, berhadapan dengan manusia yang tak cukup memiliki sejuta kekayaan. Manusia, kata Gandhi lebih sering memburu ‘ketidakpunyaan’ tanpa menyadari ‘kepemilikan.’ Proses perburuan agar mempunyai inilah, asal muasal dan motif orang untuk kaya dengan cara yang seringkali melawan kehendak alam. Karena ingin “punya” dan ingin “memiliki” maka manusia jatuh dalam usaha imperialisme (mencuri, merampok dan menjajah) terhadap sesama. Kita bisa menyebut mereka yang memiliki motif itu dengan sebutan greedy (nafsu serakah). Karena keserakahan inilah, dunia menjadi bipolar dan terpecah: dunia penjajah dan dijajah (colonizer and colonization). Para penjajah biasanya datang dari benua miskin sumber daya alam (SDA) tetapi berisikan manusia serakah dan cerdas, sedang tanah

Edisi I - April 2013

81


jajahan biasanya merupakan benua kaya sumber daya alam (SDA) tetapi dihuni oleh manusia jabariah dan alamiah-nerimo. Akhirnya, terjadilah apa yang dihipotesakan oleh Rodney (1974:87) yang menulis bahwa, “dunia pada akhirnya dapat dibagi menjadi dua; bagian dunia yang alamnya sungguh kaya tetapi miskin penghuninya, dan dunia yang tak begitu kaya alamnya tetapi kaya.” Persoalan kemudian menjadi rumit karena dunia yang bipolar itu tunduk pada pasar bebas dan keinginan manusia untuk selalu mendominasi manusia lainnya. Dengan logika pasar—kebebasan manusia untuk mengakumulasi kekayaan semau-maunya—maka berakibat pada dominasi yang sistemik. Menurut John Perkins (2004:74), terjadilah apa yang disebut sebagai “kutukan sumber daya alam.” Kutukan ini karena mayoritas negara kaya SDA ternyata tidak sejahtera melainkan mengalami kemiskinan dan kelaparan akut. Hal ini karena negaranegara miskin dirampok SDAnya dan kemudian menyerahkan kepemilikan SDAnya pada bangsa asing (bangsa penjajah). Joseph Stiglitz (2006:99), salah seorang ekonom peraih Nobel menengarai bahwa, “bekerjanya sistem pasar yang timpang karena perebutan kekayaan alam dengan pola kerakusan dan penindasan sehingga lahir kesenjangan yang sangat lebar. Akibatnya, pasar menjadi sangat fundamentalis karena menyisakan pemangsa dan yang dimangsa. Lahirlah fundamentalisme pasar sebagai rezim oligarki baru di zaman global. Dalam rezim fundamentalis pasar ini, Steven Hiatt (2007:29) memiliki catatan menarik. Menurut Steven, rezim ini menjadi dahsyat karena menguatnya ekonom ‘hitman’ yang bekerja pada yang bayar dan kelompknya dengan filosofi homo homini lupus and survival of the fittest—yang kuat yang berjaya. Ekonom hitman inilah manusia-manusia yang melupakan nasib sesama bangsanya. Ekonom hitman inilah agen pelaksana dan penjaga rezim fundamentalisme pasar, pemuja dan pengiman kolonialisme dan pemamah hasil rampokan penjajah-imperialisme. Sungguh, problema ini makin mengerikan jika kita telisik lebih mendalam. Sebab, kemiskinan yang melegenda tersebut ternyata bukan hanya faktor eksternal yang destruktif tetapi juga faktor intenal yang mentradisi. Di depan telah disebut faktor itu adalah etos yang lemah dan salah model pembangunan. Tetapi ada yang jauh lebih fundamental berupa pelepasan aset dan pembiaran sumber kekayaan manusia berupa tanah tempat mereka berpijak, hidup dan berkembangbiak. Hernando De Soto (2009:23) menyebutkan bahwa, “di negara miskin, tanah yang seharusnya menjadi aset masih menjadi “beban” karena tidak bersertifikat. Akibatnya tanah menjadi tidak bankable: tak bisa dijadikan alat dan modal produksi, lalu kehilangan pasar untuk jual beli hasil produksi. Di zaman yang makin modern, ketika harta-tanah tak menjadi aset yang dapat dijadikan modal, peristiwa ini adalah tak lazim. Tetapi, itulah potret tanah dan pewarisnya yang terjadi telanjang mata di depan kita semua.

82


Kekayaan Indonesia Indonesia adalah negara kaya. Tetapi, Indonesia adalah negara miskin. Habibie (2011:6), mantan presiden ke-3 menyebut dengan serius bahwa Indonesia dibangun atas kesadaran; kita kaya tapi miskin (kaya sumber daya alam, miskin penghasilan); kita besar tapi kerdil (besar wilayah dan penduduk, kerdil produktivitas dan daya saingnya); kita merdeka tapi terjajah (merdeka secara politik, terjajah secara ekonomi); kita kuat tetapi lemah (kuat dalam anarkisme, lemah dalam menghadapi tantangan global); kita indah tapi jelek (indah potensi dan prospeknya, jelek dan korup dalam pengelolaannya). Tentu ini refleksi sekaligus proyeksi yang mesti dicari solusinya oleh kita semua. Lebih jauh Habibie menengarai bahwa kesadaran itu merupakan buah kolonial dengan mengatakan, “salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain. Setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian produk-produknya dijual ke negara asal, sehingga rakyat harus membeli jam kerja bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC dengan baju baru.” Indonesia adalah negara kaya. Buktinya, kita adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau, berada di antara benua Asia dan Australia sehingga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Pantainya sepanjang 3.977 mil, daratannya 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km² sehingga menghasilkan ikan dan kekayaan laut yang dahsyat luar biasa. Menurut data di Dirjen Pajak (2011), negara ini memiliki penghasilan yang tersebar luas dari berbagai sumber. Sektor jasa menyumbang PDB (45.3%), industri (40.7%), pertanian-perkebunan-nelayan (14.0%). Negara ini adalah tanah paling subur di dunia, paling kaya variasi SDA, tumbuhan dan hewannya. Tetapi, negara ini juga paling banyak koruptornya, paling banyak agamanya, paling eksotis ceweknya, paling munafik perbuatannya, paling suka mengkhianati konstitusinya sendiri. Begitu kayanya, kita sampai mendapati gambaran itu dari penyanyi Koes Plus (1976) dalam lagu Kolam Susu. “Bukan lautan/Hanya kolam susu/Kail dan jala cukup menghidupimu/ Tiada badai tiada topan kau temui/Ikan dan udang menghampiri dirimu/Orang bilang tanah kita tanah surga/Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Begitu juga nyanyian yang digubah oleh C.Simanjuntak (1944) dalam lagu Tanah Tumpah Darahku. “Tanah Tumpah Darahku yang Suci Mulia/Indah dan Permai Bagaikan Intan Permata/Tanah Airku Tanah Pusaka Ibuku/Selama Hidupku Aku Setia Padamu/Di Manakah Sawah Luas Menghijau/Di Manakah Bukit Biru Menghimbau/Itu Tanahku Tumpah Darahku/Tanah Pusaka Yang Kaya

Edisi I - April 2013

83


Raya/Harum Namanya Indonesia/Di Mana Puput Berbunyi Merdu/Di Bawah Gunung Lembah Yang Biru/Itu Tanahku Tumpah Darahku/Tanah Pusaka Aman Sentosa/Harum Namanya Indonesia/Di Mana Nyiur Melambai-lambai/Di Mana Padi Masak Mengurai/Itu Tanahku Tumpah Darahku/Tanah Pusaka Bahagia Mulya/Harum Namanya/Indonesia.” Begitu kayanya negara ini maka penjajah kolonial kumpeni datang (sampai sekarang) untuk merampok dan menumpuk gold, glory, slavery, gospel and orrientalism (emas, kejayaan—tanah, perbudakan, zending, dan pembaratan). Lima alasan datangnya penjajah sampai hari ini masih dapat kita temukan. Itulah mengapa Herbert Marcuse (1976:15) menyebutnya dengan kalimat “never ending colonialism.” Sebab, kumpeni adalah penyakit laten orang-orang serakah. Sebuah keserakahan yang menyebabkan kita belum menyadarinya sebagai problema “perang semesta.” Hey, sadarlah rakyat kita diperangi terus oleh neokolonial. Begitu kayanya bangsa ini sampai kita tak pernah menghitungnya. Dan, begitu sulit kita mendatanya apalagi menguasainya. So, berapakah kekayaan bangsa kita? Ini pertanyaan menarik sekaligus enigmatis. Sebab, menurut penulis belum ada satupun manusia yang mencoba menghitung secara serius. Karena itu, jika menelusuri sejarah para penjajah, maka kita tahu bahwa mereka telah mengambil begitu banyak harta karun republik ini. Begini cara (asumsi) menghitungnya. Katakanlah APBN lama kita 1000 Triliun/Tahun. Maka selama penjajah lama (Portugis, Spanyol, VOC, Belanda, Inggris, Jepang) berada selama 300 Tahun, akan didapati angka 150.000 Triliun. Yaitu angka dari perkalian 1000TX300ThnX50% (diskon). Sedang waktu dijajah penjajah modern (Amerika, World Bank, IMF) selama 67 Tahun dengan APBN baru kita 2000 Triliun/Tahun maka akan didapati 67.000 Triliun. Yaitu angka dari perkalian 2000TX67ThnX50% (diskon). Jumlah semuanya Rp.217.000Triliun. Begitu banyaknya angka, uang dan kekayaan itu maka, Thomas Raffles (1818:99) sampai menyimpulkan bahwa kota-kota di Eropa seperti Amsterdam, Middelburg (Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam dibangun dari harta rampokan di negeri Indonesia. Bayangkan saja, dari harta rampokan tersebut pada tahun 1669, VOC menjadi perusahaan dunia terkaya sepanjang sejarah imperialisme lama, dengan kepemilikan lebih dari 150 perahu dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, dan 10.000 tentara, 20 kota dan pelabuhan besar di seluruh dunia (belum lagi istana-istana yang dibangun untuk tetirah seperti istana Bogor dll.). Menurut catatan Edward Gibbon (1793:12), jumlah kekayaan Indonesia yang diambil penjajah sekitar Rp.100.000Triliun. Ahmad Kameel Mydian Meera (2004:90) menyebut sekitar 200.000Triliun yang diambil paksa kekayaan jajahan Hindia Belanda oleh para penjajah (Belanda, VOC, Inggris, Portugis).

84


Adrian Vickers (2005:79) menyebut sekitar 190.000Triliun kekayaan Indonesia yang mengalir ke negeri penjajah. Frances Gouda (1995:65) menaksir sekitar 79.000Triliun kekayaan Indonesia mengalir ke negeri Belanda. Sedang Tim Hannigan dalam, Raffles and The British Invasion of Java, (Monsoon Books Pte Ltd, 2012:99) menghitung harta rampokan Thomas Raffles sebesar 130.000T selama lima tahun berkuasa di Jawa. Walau sangat beragam dan berbeda tetapi inti dari catatan itu adalah “betapa banyaknya” harta karun yang kita miliki. Janganjangan, seluruh atau sebagian besar harta karun kita adalah modal negara-negara Eropa, Amerika dan bank-bank dunia (IMF, WB, ADB) dalam mengelola ekonomi kapitalis dunia. Jika itu yang terjadi maka kita adalah negara yang berhutang dari “kekayaan sendiri” yang dikelola oleh bangsa dan manusia asing (para keturunan perampok tersebut). Sungguh ini suatu ironi dan “kejahiliyahan luar biasa.” Intinya, jika angka-angka ini adalah perkiraan yang valid maka betapa banyaknya “harta karun” kita yang telah membuat bangsa lain “kenyang, sejahtera, dan bermartabat” di dunia. Mereka disembah sebagai penjajah, kita sengsara sebagai terjajah. Coba para pembaca merenungkan ini sebagai picu kesadaran global. Begitu banyaknya harta rampokan itu dan cara penggunaannya yang tak masuk akal sehingga pernah suatu kali dengan bangga Thomas Raffles mengatakan bahwa Singapura merupakan miniatur dari harta rampokan Indonesia yang tak dibawa ke dataran Eropa. Menurutnya, ada sekitar 30.000 Triliun yang berhasil dibawa dari Indonesia untuk membangun kota dan negara Singapura sebagai koloni dan satelit penjajah Inggris. Bayangkan, Singapura—negara yang dibangun dengan modal merampok republik, hari ini masih meneguhkan dominasi ekonomi dan rasnya kepada kita. Singapura—negara yang dibangun dari personifikasi dan perilaku imperialisme baru masa perang Napoleon—masih menganggap kita sebagai negara “indon” dan layak diejek dan tak ditakuti-dihormati. Rupanya banyak dari yang kita merasakan rabun sejara dan buta konstitusi. Gambar 1 memperlihatkan kekuasaan VOC dan kota-kota koloni yang dikuasai dan dibangun dari harta rampokan mereka. Sejak 1652, VOC menguasai kota Tanjung Harapan (ujung selatan Afrika Selatan), Persia (Iran), Benggala (Bangladesh dan India), Ceylon (Sri Lanka), Malaka (Malaysia), Siam (Thailand), Cina Daratan (Kanton), Formosa (Taiwan), dan tentu saja seluruh Indonesia.

Edisi I - April 2013

85


Tentu saja akibat terburuk dari penjajah kumpeni adalah “kemiskinan dahsyat� luar biasa yang melahirkan putus asa. Kemiskinan seakan-akan takdir yang tak bisa diputus, bahkan hanya bisa diwariskan pada generasi berikutnya. Untungnya, kita memiliki para pendiri republik yang cerdas. Mereka bahu membahu bergotong-royong melakukan perlawanan. Mereka mendesain revolusi menentang penjajahan. Dan, alasan utama pendorong revolusi kemerdekaan bangsa kita adalah kesengsaraan dan kemiskinan (akibat perampokan oleh kumpeni) agar mendapat kekayaan milik sendiri. Para pendiri republik sadar betul bahwa kita adalah bangsa besar, bangsa kaya, bangsa yang bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Jadi, sangat jelas alasan dan argumentasi revolusi kemerdekaan kita. Yaitu usaha merebut harta milik dan masa depan sendiri yang telah lama dirampok oleh bangsa lain demi memperkaya diri mereka dengan memperbudak kita semua. Jadi, jika ada manusia Indonesia memperkaya diri sendiri dan membiarkan bangsa lain kaya dengan mengambil harta itu dari bumi pertiwi, maka dapat dipastikan dia tak memahami makna kemerdekaan. Sayangnya setelah 67 tahun perjalanan revolusi kemerdekaan itu, kemerdekaanmu tidak melahirkan kejayaan apalagi kesejahteraan, kekayaan, kepemilikan dan kebahagiaan. Hal ini karena, kita baru merdeka secara politik. Kita tidak merdeka secara ekonomi. Apa buktinya? Buktinya adalah, tanah airmu sekarang bukan tanah airmu lagi. Temuan Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2012:9) menjadi bukti tak terbantahkan dari kumpeni-oligarkis yang membajak kemerdekaan politik karena ditemukan kenyataan bahwa mereka sangat berkuasa.

86


Sekitar 6.2% manusia (londo putih dan londo ireng) menguasai aset nasional sebanyak 78%. Sedangkan 93.8% penduduk pribumi menguasai sisanya sebanyak 22%. Selebihnya sejarah mencacat kita sebagai negeri jongos dan jongosnya bangsa-bangsa. Sebab, lebih dari 117 dari 240 jumlah penduduknya adalah kaum miskin dan menjadi kuli di seluruh dunia. Dan, angka penganggurannya selalu berkisar di antara 6-22% per tahun. Ini menjadi picu diaspora (kuli-jongos) yang luar bisa sejak kemerdekaan diproklamirkan.

Kemerdekaan dan Kekayaan Indonesia Versi Pendiri Republik Indonesia adalah negara kaya. Karena itu agar kekayaannya menjadi milik sendiri, kita harus merebutnya, kita harus merdeka. Dan, revolusi adalah jalannya. Dalam salah satu pidatonya Soekarno (1944:39) mengatakan, “kita bukanlah bangsa lembek, bukanlah bangsa tempe yang diam saja atas perampokan yang terjadi. Kita wajib membuat penjajahan berhenti dan menyampaikan bahwa mental kita mampu mengelola tanah air di atas kaki tangan diri sendiri—berdikari dalam trisakti.” Melengkapi hipotesa Soekarno, Hatta (1947:19) mengatakan lebih dalam lagi karena berharap tindakan manusia merdeka adalah, “asas gotong-royong dan koperasi akan menjadikan bangsa ini berbeda dalam politik dan ekonomi dari para penjajah yang asusila dan amoral.” Garis demarkasi antara manusia yang dijajah dan merdeka dengan manusia penjajah yang memperkosa sangat jelas. Perbedaan iitu adalah pada road map dan moral sebagai dasar pelaksanannya. Begitupula Tan Malaka (1941:11). Ia mengatakan bahwa, “semua anak manusia mampu hidup layak tanpa utang dan modal asing sepanjang ia mampu merdeka dengan kaki dan tangan sendiri.” Ini adalah pikiran jangka panjang yang sangat cerdas mendahului zamannya. Tan sadar bahwa penjajah akan selalu datang dengan motif dan model yang berbeda tetapi intinya sama: menjarah. Karena itu, hipotesa ini dipertajam oleh Syahrir (1946:66) yang mengatakan, “kita hanya ingin semua bekerja bagi manusia dan kemanusiaan walau terasa berat di tempat dan waktu yang tak adil.” Visi itu dipertegas oleh salah seorang pejuang kemerdekaan yang sangat sederhana dan visioner bernama Kartosuwiryo (1948:6). Menurutnya, “hanya dengan penguasaan tanah dan zaman oleh tangan sendiri, pikiran sendiri, cita-cita sendiri maka angan dan cita-cita suatu bangsa dapat dan wajib dipertahankan.” Jadi, telah muncul kesadaran antropologis, teritorialistis dan futuristis yang sangat jelas berkenaan dengan cita-cita dan angan kemerdekaan. Dan, dalam tafsir paling jernih tentang model negara pasca kemerdekaan dilukiskan oleh IJ Kasimo (1948:5) yang menyebut bahwa, “rebutlah kemerdekaan

Edisi I - April 2013

87


dengan pengorbanan tanpa pamrih, gunakan beginsel atau prinsip teguh untuk melaksanakan salus populi suprema lex esto—kepentingan rakyatlah sebagai hukum tertinggi—the welfare of the people shall be the supreme law.” Di sini, negara merdeka Pancasila harus menjadi panitia kesejahteraan rakyat, pelayan rakyat sekaligus pelindungnya. Singkatnya, apalah arti kemerdekaan bagi kita jika kepentingan rakyat diabaikan sehingga mereka miskin, sengsara dan paria di negara sendiri, apalagi jika bepergian ke luar negeri. Sungguh ini perlu selalu dipikirkan dan dicari jalan keluarnya. Tanpa usaha sungguh-sungguh maka kemerdekaan kita seperti hadir bayangannya saja, sementara rakyat tak mampu memahami makna kemerdekaan sesungguhnya. Sebab, bukankah cita-cita kemerdekaan adalah menciptakan warga merdeka, berdaulat, adil dan makmur?

Kondisi Indonesia Hari Ini Indonesia adalah negara kaya. Sayangnya, hari ini pergulatan dan perjuangan pendiri republik “absen.” Martha Harnecker, penulis Chile (2007:3) menulis bahwa, “semoga Anda semua makin bingung, karena penerus Soekarno, pelaksana jalan Pancasila dan roadmap non blok ternyata bukan orang Indonesia, tidak berbahasa Indonesia melainkan Hugo Chavez, orang Venezuela, pahlawan bangsa-bangsa Amerika Latin, jauh sekali dari Jakarta.” Rupanya, gelombang deras neokolonial telah merubah idola perjuangan bangsa. Tentu di samping perubahan idola dan tokoh kejuangan, hal ini juga karena kita mengalami rabun sejarah atas alasan kehadiran Indonesia—Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Akibatnya lupa “kesempatan” untuk menjadi bangsa yang mandiri, kaya dan bahagia lahir batin sesuai dengan amar konstitusi. Buta konstitusi yang mengamanatkan kekayaan SDA harus menjadi milik yang menyejahterakan seluruh rakyat. Akhirnya, terjadilah “penelantaran aset-kekayaan utama rakyat” berupa tanah sehingga tidak menjadi milik sesungguhnya (rakyat indekos). Singkatnya, negara dan pemerintah gagal menjalankan fungsinya melakukan land reform. Dus, bagaimana mau mengelola, memiliki dan menjadi harta milik paling berharga jika tak diakui oleh negara? Ketika warga negara tak memiliki hartanya yang purba dan merasa tak mampu produksi maka di negara yang kaya SDA ini kemudian akan terjadi deindustrialisasi secara besar-besaran sehingga tak memiliki alat produksi, modal produksi dan pasar untuk jual-beli hasil produksi. Lalu menjalarlah budaya konsumtif dan

88


cinta produk asing (impor). Lebih parah lagi terjadi dengan sengaja apa yang disebut pelegalan undang-udang kolonial lewat legislasi di DPR-Eksekutif yang merugikan dan membunuh kemerdekaan-kemandirian Indonesia. Inilah babak economist with legal drafting, penjajahan (hanya) dengan selembar kertas via undang-undang (kolonial) sebagaimana yang sering diperingatkan oleh para pendiri republik. Mahkamah Konstitusi (MK) menilai ada 136 lebih UU disusun tidak berdasarkan semangat konstitusi, melainkan berdasar kepentingan sesaat dan semangat daulat modal. Buktinya, banyak UU itu didanai oleh donor asing. Tentu saja yang paling dirugikan adalah warga negara, sebab mereka menjadi terjajah di negeri sendiri oleh “sesama� warga sendiri yang lalai asas gotongroyong dalam hidupnya. Bradley R. Simpson, dalam Economist With Guns, (2010:5) menyebut era ini adalah kelanjutan dari kolonialisme dengan senjata. Di Indonesia, kata Bradly, Orde Baru dijajah dengan senjata yang menghasilkan korban jutaan dengan tuduhan PKI dan subversif, sementara di Orde Reformasi dijajah dengan undangundang dan kertas yang menghasilkan bertumpuknya kaum miskin kota dan pedesaan yang membuncah tak terkira.

Jawaban Konstitusi Dalam Hak Ekonomi Warga Negara Indonesia adalah negara kaya. Agar kekayaan itu menjadi milik sendiri maka kita harus merebutnya, mengolahnya dan membaginya ke seluruh warga negara. Dengan alat konstitusi dan etos yang tinggi maka kita pasti bisa. Dari UUD 45 kita mendapati ada enam pasal, yaitu pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34), yang melindungi warga negara dari amok kolonial serta kewajiban negara untuk mengurus kemiskinan dan kesejahteraan warga negaranya. Itu artinya, konstitusi kita telah mengatakan dengan jelas bahwa mestinya kita menjalankan negara dengan; 1) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 5 Pancasila). Pasal ini kemudian memberi mandat yang diterjemahkan dalam UUD 45 pasal 33 yang berbunyi: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. 3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Ayat (1) menyebutkan bahwa pengaturan ekonomi seharusnya �disusun� dan berbasis pada kekeluargaan plus kebersamaan (gotong

Edisi I - April 2013

89


royong). Asas kekeluargaan di sini, biasa diterjemahkan, misalnya oleh Sri Edi Swasono (2002:79) sebagai asas kebersamaan dan brotherhood antar semua kelompok pelaku ekonomi, bukan family system (KKN). Itu artinya, ekonomi kerakyatan-kepemilikan-kegotongroyongan yang menyebabkan kesejahteraan adalah “hak ekonomi konstitusional” seluruh warga negara yang harus dikerjakan dan dibagi serta dilindungi oleh semua komponen bangsa. Di sini, UU Pokok Agraria No.5/1960 kemudian memberikan keharusan bagi kita semua untuk melindungi hak milik rakyat atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing. Artinya setiap rakyat harus mendapat hak kekayaan atas tanahnya dengan sertifikat yang sah. Dengan sertifikat yang sah, warga negara akan memiliki modal dan bisa mengelola seluruh “isi dan kandungannya” agar sejahtera. Argumentasi lebih jauh dapat kita sampaikan karena tanah adalah sumber produksi, alat produksi, rumah produksi dan tempat kembali: sadumuk bathuk, sanyari bumi (My blood is my motherland). Karena itu mempertahankannya adalah “kewajiban manusia merdeka.” Oleh sebab itu, dikuasainya tanah oleh orang dan perusahaan asing serta oleh segelintir pengusaha sehingga melahirkan monopoli, oligopoli maupun praktek kartel adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi, melawan-menistakan hukum, mengkhianati republik dan melakukan kejahiliyahan semesta. Ini buktinya, BPN (2012:11) menyebut bahwa hari ini tanah-tanah menjadi milik asing/non pribumi (HGB dan HGU), 78% asing; 22% pribumi. Aset dan isinya akhirnya menjadi milik asing. Jika struktur penguasaan atas tanah tidak segera dikoreksi maka problem itu akan menjadi pintu awal pengkhianatan pada konstitusi dan pengkhianatan pada warga negara serta menjadi picu konflik antar warga negara. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), “sejak tahun 2004 telah terjadi 618 konflik tanah yang menewaskan lebih dari 50 orang, 941 ditahan, 459 luka-luka. Luas tanah yang disengketakan 2.4 juta hektar yang melibatkan 732 KK. Para pelaku sengketa itu adalah petani, perusahaan, preman, polisi hutan, polisi, tentara, pegawai pemerintah dan pegawai pertanahan. Kita sadar bahwa jumlah konflik ini terus bertambah sesuai dengan kesadaran masyarakat akan tanah dan hak-hak politik lainnya. ***

90


Daftar Pustaka A. Prasetyantoko, Ponzi Ekonomi, Penerbit Kompas, Jakarta, 2010. Adrian Vickers, Wawancara dalam www.indonesiaglobal.co.id/Indonesia Di Tengah Globalisasi. Ahamed Kameel Mydin Meera, dalam www.ahamedkameel.com/aboutCachethe-theft of nation. Anda memberi ini +1 secara publik. Urungkan Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, (terj.) Suheba Kamadibrata, UI Press, Jakarta, 1986. Bernard HM Vlekke, Nusantara, (terj.), Freedom Institute, Jakarta, 2010. Bradley R. Simpson, Economist With Guns, (terj.) Johanes Supriyono, Gramedia Jakarta, 2010. BJ Habibie, Naskah Pidato Politik Akhir Tahun: Indonesia dan Kemerdekaan Baru, www.mediakemerdekaan.com diunduh/2011:6. Edi Subkhan, Intelektual Revolusioner Tan Malaka, dalam ”Crank: 13 Kisah Pahlawan Di Atas Bendera Revolusi,” Kalam Nusantara, tt, 2009. Hendri Saparini, Kembali Pada Jalan Ekonomi Konstitusi, Kompas, 11 Juni 2010. Hernando De Sotto, The Mystery of Capital, (terj.) Naluri Press, Solo, 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Cornel_Simanjuntak http://id.wikipedia.org/wiki/Ignatius_Joseph_Kasimo_Hendrowahyono http://id.wikipedia.org/wiki/Koes_Plus http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie http://id.www.kpa.or.id, sub judul Konflik Agraria di Indonesia. http://id.www.kamusbesar.com/5128/bipolar http://mediasastra.com/alwi_atma_ardhana/28/05/2012/dutch_culture_overseas_ buku_frances_goud http://id.shvoong.com/humanities/history/2363717-raffles-sang-penjarahkeraton/#ixzz2OciEKVV9 J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, (terj.) Samsudin Berlian, Freedom Institute&Gramedia, Jakarta, 2009. John Stuart Mill, “Pengantar,” dalam, On Liberty, The Subjection of Women & Utilitarianism, (terj.), Kalam Nusantara, 2004. Jeffery A. Winters, Oligarki, Gramedia, Jakarta, 2011. Jengsar, Kartosuwiryo: Meluruskan Sejarah, dalam www.biografitokohislam. co.id John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, (terj.), Kalam Nusantara, Jakarta, 2004. Joseph Stiglitz, Wawancara Dengan Stiglitz, Jurnal Demokrasi, Jakarta, 2006. K.H. Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Cetakan Ketiga, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, 2004.

Edisi I - April 2013

91


Laporan BPS 2011 dan 2012. Laporan BPN 2011 dan 2012. Laporan Dirjen Pajak 2011 dan 2012. Laporan MK 2011 dan 2012. Laporan BP Migas 2010 dan 2011. Laporan SKK Migas (2013:122). Laporan Susenas BPS 2011 dan 2012. Majalah Forbes, Edisi Kamis, 29/11/2012. Majalah Tempo, Edisi 18-24 Maret 2013. Majalah Tempo, Edisi 25-31 Maret 2013. M. Yudhie Haryono, Mengeja Indonesia Mengkonsolidasikan Nusantara, Kalam Nusantara, Jakarta, 2013. MK Gandhi, Mahatma Gandhi: Sebuah Autobiografi, (terj.), Narasi, Jogjakarta, 2009. Mohammad Hatta, Sosialisme di Indonesia, Naskah Pidato, 11 Oktober 1957, tt. Nusantara Centre, Proseding Hasil Riset SDA Indonesia, Jakarta, 22 Mei 2012. R.E. Elson, The Idea of Indonesia, Sejarah dan Gagasan, (terj.) Zia Anshor, Serambi, Jakarta, 2009. Revrisond Baswir, Ekonomi Merdeka, dalam Awan Santosa, “Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep dan Aplikasi,� Penerbit GP Ibob, Jogjakarta, 2010. Risalah BP Migas, Migas Di Indonesia, 2005, tt. Sri Edi Swasono, (ed.), Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat: Memperingati Satu Abad Bung Hatta, Yayasan Hatta, Jakarta, 2002. Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka, PT Inti Idayu Press, Jakarta, Cetakan Kedua, 1984. Steven Hiatt, A Game AS Old As Empire, (terj.), Kalam Nusantara, Jakarta, 2007. Tan Malaka, Gerpolek: Gerilya Politik-Ekonomi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000. Tim Hannigan dalam, Raffles and The British Invasion of Java, Monsoon Books Pte Ltd, 2012. Walter Rodney, How Europe Underdeveloped Africa, Howard University Press, Washington DC, 1974. Wahyu Indarti, Mengungkap Harta Rampasan Thomas Raffles, Makalah Diskusi Terbatas, Jakarta, Nusantara Centre, 29 Juni 2011.

92


NAS I O NAL

Baron, Tambang dan Laron Pilkada Indonesia1 Salamuddin Daeng Indonesia for Global Justice

1 Disampaikan dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas M16, pada Hari Senin, Tanggal 18 Maret 2013, di Ruang Publik M16, Jln. Sriwijaya No. 16 Kota Mataram di Mataram Nusa Tenggara Barat.

Edisi I - April 2013

93


K

isah sosok Tuan Baron mengingatkan kita pada Film Little Missy yang ditayangkan TVRI pada era 90-an? Tuan Baron adalah pemilik budak yang kejam, ganas dan haus harta. Ia mengendalikan politik dan hukum yang berlaku di wilayahnya. Sosok Tuan Baron ini tetap untuk menggambarkan bagaimana pemilik-pemilik modal besar baik asing maupun domestik saat ini, dengan uang yang dimilikinya sanggup mengendalikan politik dan hukum khususnya di daerah yang kaya akan bahan tambang. Sementara elite politik daerah dan masyarakat bagaikan laron mengelilingi baron, mengira baron adalah lampu dan tergoda oleh cahayanya, yang ternyata adalah panas yang mematikan laron-laron. Tragis !

Baron Di era ekonomi liberal dewasa ini, pemerintahan Indonesia mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah ternyata hanya dikendalikan oleh segelintir korporasi atau pemilik modal. Melemahnya fungsi negara merupakan konsekuensi dari liberalisasi perdagangan, privatisasi sektor publik, deregulasi keuangan, telah menyebabkan perekonomian jatuh ke tangan pemilik modal besar, sindikat dan para mafia. Penyebab utama dari melemahnya fungsi negara adalah amandemen UUD 1945 yang diikuti dengan desentralisasi atau otonomi daerah yang memberikan kewenangan sangat besar kepada pejabat daerah menjual kekayaan alam. Proses pilkada langsung dengan biaya yang sangat mahal, menjadi pintu masuk  bagi pemilik modal untuk menjadikan elite politik lokal sebagai kaki tangannya. Pemilik modal yang ditopang oleh lembaga keuangan internasional dan negara-negara maju, membiayai proses politik seperti Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), pembuatan peraturan perundangan, menentukan arah pemerintahan hingga menentukan opini publik melalui lembaga-lembaga survey. Terus, Siapa para pemilik modal tersebut? Struktur penguasaan sumbersumber ekonomi Indonesia, modal asing menguasai 70-95% struktur modal nasional. Modal asing tersebut memanfaatkan pelaku nasional. Misalnya dalam penguasaan batu bara seperti Bumi Resources yang merupakan perusahaan milik Aburizal Bakrie, sebagai perusahaan batubara terbesar di Indonesia, merupakan perusahaan yang sebagian besar modalnya dibentuk oleh utang dan investasi luar negeri. Disaat kondisi rakyat yang sangat miskin, separuh penduduk Indonesia hanya berpendapatan dibawah USD 2 purchasing power parity (PPP). Para pemilik modal besar melalui elite politik, dapat membeli suara rakyat dengan harga yang

94


sangat murah melalui Pemilu dan Pemilukada. Pemilik modal besar juga dapat membeli para politisi yang korup dalam lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah dalam rangka mempertahankan dominasinya dalam menguasai kekayaan Indonesia. Kondisi ekonomi dan politik Indonesia sejak era reformasi membenarkan pandangan bahwa siapa yang manguasai basis (ekonomi) maka dia akan mengendalikan  suprastruktur (politik dan kebijakan). Dengan demikian maka pemerintahan yang berkuasa tidak lain adalah alat atau kaki tangan dari kekuasaan para pemilik uang.1 Akibatnya para baron dengan leluasa dapat menguasai kekayaan tambang nasional dengan menggunakan tangan pemerintah daerah.

Tambang Tambang adalah komoditas paling strategis dewasa ini. Eropa menyusun apa yang disebut dengan raw material inisiatif (RMI) sebagai satu skema dalam menguasai kekayaan tambang. AS mengerahkan perusahaan multinasionalnya untuk memburu tambang, Jepang mengerahkan bank-bank nasional mereka, China mengerahkan seluruh BUMNnya untuk memburu raw material, khususnya tambang dan migas. Indonesia adalah negara dengan kekayaan tambang yang luar biasa besarnya. Indonesia adalah satu-satunya negara dengan kekayaan alam terlengkap di dunia. Negara ini menjadi produsen utama berbagai komoditas tambang seperti emas, perak, tembaga, biji besi, nickel dan juga komoditas perkebunan dan hasil hutan. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada ekspor bahan mentah hasil tambang telah menyebabkan negara ini menjadi incaran pemodal internasional dengan menggunakan kaki tangan pihak nasional. Kementrian Energi Sumber Daya Mineral mencatat pada awal 2012, pemerintah daerah sudah menerbitkan sedikitnya 10 ribu izin tambang. Belum termasuk ijin yang diterbitkan pemerintah pusat sendiri yang luasnya tidak kalah dengan pemda. Ijin tambang dan eksploitasi sumber daya alam di beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi, Madura, Papua, yang dikeluarkan oleh pejabat Pemda telah melebihi luas wilayahnya. Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah dengan kekayaan alam tambang. Sepanjang mata memandang wilayah Lombok, Sumbawa dan Bima diliputi oleh emas, perak, tembaga dan biji besi. Pemerintah telah mengeluarkan Kontrak Karya (KK) emas PT Newmont Nusa Tenggara mencapai 1,127 juta hektar. Selain itu pemerintah kabupaten kota telah mengeluarkan berbagai ijin 1

Korporatokrasi di Indonesia, Jurnal Free Trade Watch (FTW), Edisi IV Desember 2012 diterbitkan Indonesia for Global Justice (IGJ)

Edisi I - April 2013

95


Kementrian ESDM mencatat pada awal tahun 2012 Pemerintah Daerah sudah menerbitkan sedikitnya 10 ribu ijin tambang. Belum termasuk yang diterbitkan oleh pemerintah pusat sendiri yang luasnya tidak kalah dengan luas dari ijin pemda.

tambang dalam bentuk IUP dalam jumlah yang cukup besar. Ijin tambang ini bahkan diperkirakan telah lebih dari separuh luas wilayah NTB. Konsesi tambang semakin luas sejak pelaksanaan otonomi daerah dan Pilkada langsung. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan ijin tembang dalam rangka mengumpulkan pendapatan daerah. Kuat dugaan bahwa ijin-ijin tambang yang marak ini sebagai imbalan jasa dari para kepala daerah kepada donatur-donatur mereka yang membiayai pemenangan Pilkada. Kewenangan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU otonomi daerah, UU Mineral dan Batubara (Minerba) telah memberi kewenangan yang besar pemerintah daerah untuk menjual kekayaan daerah, yang seringkali hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Akibatnya ekploitasi kekayaan tambang yang melimpah kontra produktif dengan kesejahteraan rakyat dikarenakan kepentingan rakyat diabaikan. Akobatnya NTB tetap berada dalam urutan terbawah terkait dengan kemiskinan dan kualitas hidup serta kualitas sumber daya manusia. Ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”, itulah pepatah untuk menggambarkan nasib rakyat NTB, yang sangat kaya emas telah menjadi lahan jarahan kapitalis rakus. Saat yang sama menjadi daerah termiskin di Indonesia, dengan tingkat kesenjangan yang terus melebar, konflik antar sosial yang semakin sering meledak. Kebijakan divestasi yang melibatkan Gubernur NTB, Bupati Sumbawa dan Bupati Sumbawa Barat adalah penyebab utama jatuhnya kekayaan rakyat ke tangan para Baron. selain itu, tidak adanya kehendak para penguasa daerah ini untuk mengubah kebijakan secara transparan dan akuntabel semakin melanggengkan donasi korporasi besar multinasional. Akibatnya Kekayaan Emas NTB menjadi ajang rebutan para Baron dan semakin memiskinkan rakyat. Kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara merupakan skandal keuangan terbesar daerah ini yang menggambarkan

96


bagaimana institusi keuangan internasional mengambil alih kekayaan nasional melalui tangan-tangan pemerintah daerah. Proses jatuhnya kekayaan emas NTB ke tangan Group Bakrie terjadi melalui proses divestasi saham Newmont. Divestasi merupakan kewajiban Newmont untuk melepaskan sahamnya hingga 51 persen hingga tahun ke - 10 kepada Pemerintah Indonesia sebagaimana amanat UU penanaman modal asing dan Kontrak Karya (KK) antara pemerintah Indonesia dengan PT NNT. Namun Pemerintah Daerah justru menyerahkan saham ini kepada Bakrie Group dengan meminjam uang dalam membeli saham, sekaligus membentuk perusahaan patungan dengan Bakrie Group. Akibatnya divestasi yang seharusnya untuk memperkuat peran negara dalam pengelolaan tambang, malah terindikasi menjadi alat untuk memperkaya diri pejabat daerah dengan bekerja sama dengan pihak swasta dengan cara yang merugikan negara. Ketiga pemerintah daerah di atas ibarat “Tangan Ghaib Bakrie”. Mereka kunci dari keberhasilan Bakrie Group mengambil alih 24 % saham PT Newmont Nusa Tenggara. Ketiga pejabat politik daerah ini juga akan menjadi kunci upaya Bakrie merebut 7% saham lagi, yang akan menjadikan Bakrie Group mayoritas dalam kepemilikan saham Newmont. Dengan kepemilikan saham ini Group Bakrie yaitu PT Multikapital anak perusahaan Bumi Resources, dapat dengan leluasa memobilisasi dana investasi internasional. Dengan jaminan penguasaan saham mayoritas Newmont Group Bakrie dapat memperoleh harta melimpah ruah. Deposit emas yang terkandung dalam bumi NTB, akan menjadi barang dagangan yang paling laris di pasar uang Eropa dan AS. Hasil menggadai kekayaan alam Indonesia Bakrie Group telah menarik uang US$ 2,1 Billion untuk Bumi Resources Minerals dari Rothschild’s Vallar (Nathaniel Rothschild). Memperoleh dana sebanyak US$ 1.9 billion untuk PT Bumi Resources dari CIC (perusahaan investasi China). Bakrie Group memang rajanya pasar uang. Perusahaan ini didukung oleh think-tank pasar uang kelas internasional. Cerdik bermain di pasar uang. Lebih dari 80% keuangan perusahaannya bersumber dari investasi luar negeri, utang dan pasar keuangan.2 Sejak tahun 2011, kepemilikan saham Bakrie Group melalui anak perusahaannya PT. Multi Daerah Bersaing (Perusahaan patungan Multikapital dan Perusahaan daerah NTB) di PT. Newmont Nusa Tenggara dijadikan sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari Credit Suisse AG Singapura. Total pinjaman anak perusahaan Bakrie Broup di Credit Suisse Singapura tersebut hingga USD 1,35 milliar. Tahun 2011 juga Multicapital juga mendapatkan uang IPO Bumi Mineral anak perusahaan Bumi Resources dan induk perushaan multikapital Rp 2,07 triliun. 2

Indonesia for Global Justice (IGJ) data dikumpulkan dari berbagai sumber terpercaya

Edisi I - April 2013

97


Itulah Bakrie group hasil dari merebut saham Newmont dengan menggunanakan tangan ghaib pemda. Namun Pemda NTB tidak dapat apa apa.3 Dengan demikian Bakrie Group - Bumi Mineral - Multikapital - bersama dengan perusahaan daerah, menanggung utang yang sangat besar. Seluruh utang ini dibayarkan bersamasama. Artinya perusahaan daerah adalah bagian dari yang menanggung utang kepada Credit Suisse. Itulah mengapa perusahaan daerah tidak selalu menerima deviden hasil divestasi Newmont. Menurut pengakuan Martiono Dirut Newmont pada saat kesaksian di MK mengatakan bahwa pada tahun 2011 jumlah deviden yang disetor ke MDB USD 187.751.655. Dana deviden tersebut langsung disetorkan ke rekening Credit Suisse AG Singapura. Dengan demikian maka hak deviden daerah sebesar USD 46.937.912, ikut disetorkan sebagai pembayaran cicilan utang. Disaat menumpuknya utang Group Bakrie kepada sindikasi keuangan internasional maka Pemda NTB harus bersiap-siap kehilangan deviden dari divestasi Newmont, dan siap-siap ikut urunan untuk menanggung utang Group Bakrie yang bernilai miliaran dolar yang sebagian besar akan jatuh tempo pada akhir 2013.

Laron Dua tahun terakhir adalah masa-masa yang sulit bagi Group Bakrie. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya harga komoditas batubara pada tingkat internsional yang menyebabkan jatuhnya harga saham bumi di bursa. Akibatnya PT Bumi Resources mencatat rugi bersih untuk paruh pertama tahun 2012. Penyebab utamanya adalah kerugian transaksi derivatif dan valas serta kejatuhan harga batubara termal. Bumi Resources mencatat rugi bersih US$ 322,06 juta dalam enam bulan pertama tahun 2012. Di kuartal pertama 2012, Bumi juga mencatat kerugian US$ 100,36 juta. Perusahaan itu menyatakan mereka membukukan kerugian US$ 145,83 juta dari transaksi derivatif, akibat kejatuhan harga sahamnya dan kemerosotan nilai present value opsi prepayment pinjaman China Investment Corp senilai US$1,3 miliar. 4 Selain itu PT Newmont Nusa Tenggara dimana Bakrie Group menguasai 24% saham juga mencatat kerugian. Akibatnya tahun 2012 Newmont tidak membagikan deviden. Keadaan tersebut adalah bencana bagi Bakrie yang tengah mengalami kekeringan liquiditas, akibat sengketanya dengan Rothschild di Bumi PLC London. Bakrie Group terpaksa akan menjual aset strategisnya untuk bisa 3

Doni Rimbawan, Hubungan Negara dan Perusahaan di Era Reformasi ; Studi Kasus Bisnis Group Bakrie, (20042012), Free Trade Watch (FTW) edisi IV Desember 2012. 4 http://realtime.wsj.com/indonesia/2012/08/27/bumi-resources-rugi-lagi/

98


selamat.5 Satu-satunya cara Bakrie Group untuk selamat adalah dengan menguasai kepemilikan mayoritas di Newmont. Bakrie Group akan melakukan berbagai daya upaya untuk menguasai 7 persen lagi saham PT NNT. Kepemililkan mayoritas Bakrie menjadi peluang besar untuk mengeruk uang melalui pasar keuangan, dan utang baru, dengan menggadaikan kekayaan tambang milik bangsa. Pilkada NTB tampaknya akan menjadi pertarungan dalam merebut kekayaan tambang yang melipah di daerah ini. Rencana pembukaan kawasan pertambangan baru di wilayah Dodo Rinti Sumbawa yang diperkirakan depositnya mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan batu hijau merupakan darah segar bagi para baron. Mereka akan melakukan berbagai upaya untuk menancapkan kuku kekuasaannya. Khususnya Bakrie Group, Pilkada NTB adalah kunci keselamatan kelompok ini. Jika kelompok ini dapat menguasai mayoritas saham pada Newmont maka akan semakin memudahkan memperoleh dana utang dari lembaga keuangan internasional dan dana-dana publik dari pasar keuangan derivatif. Sementara para kandidat dan rakyat NTB ibarat laron yang berkerumun di lampu yang terang, mengira para pengisab kekayaan rakyat NTB sebagai cara menyelamatkan diri dari kegelapan. Padahal lampu itulah yang nantinya akan membunuh mereka. ***

5 http://mobile.kontan.co.id/news/rugi-brms-terkait-investasinya-di-newmont

Edisi I - April 2013

99


NASI ONA L

Keadilan Ekologis Sebagai Resolusi Tumpak Winmark Hutabarat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – WALHI

100


H

utan Indonesia kini menjadi perhatian dunia, diiringi massifnya praktek perambahan hutan, pembakaran hutan dan illegal loging. Begitu juga dengan praktek di kelautan, maraknya eksploitasi terumbu karang, penjualan hewan langka, sampai hilangnya berbagai biota laut akibat praktik bom di laut dan penggunaan pukat harimau. Ini menjadi keresahaan bersama, sebab menjadi konsekuensi yang harus ditanggung dari bertahannya semangat kapitalisme (akumulasi modal) di negara ini. Semangat kapitalisme (mengakumulasi keuntungan untuk kepentingan pribadi) sebenarnya sudah lama terbuka lebar lewat hadirnya revolusi industri di dunia. Maka ditabuhla genderang masuknya babak baru zaman eksploitasi bermodus modernitas. Bermula kegiatan produksi penggunaan tenaga batubara, berlanjut eksploitasi minyak bumi dan perluasan perkebunan monokultur. Keinginan mengepakkan sayap usaha menguatkan negara-negara maju mencoba mencari daerah koloni baru yang potensial dijadikan boneka eksploitasi sumber daya alam secara besarbesaran demi keuntungan sebanyak-banyaknya. Penggunaan bahan bakar fosil (minyak, batubara, dan gas) dalam jumlah yang sangat besar, yang membentuk kehidupan modern ini sejak 200 tahun lalu telah menciptakan masalah global terhadap peradaban manusia. Inilah awal dari permasalahan global warming yang menjadi keresahan kita bersama. Ekspansi usaha yang dilakukan negara maju telah menggurita selama puluhan bahkan sampai pada ratusan tahun di negara-negara berkembang (Afrika, Amerika Latin dan Asia). Emisi karbon yang dihasilkan eksploitasi merekalah yang mengakibatka besarnya jumlah emisi karbon (gas rumah kaca) di bumi ini, yang saat ini menunjukkan peningkatan panas 0,74Âşc, yang apabila angka ini menunjukkan angka 2Âşc, merupakan panas yang sangat menyengat. Angka 6 Âşc merupakan angka panas terakhir yang menyebabkan makhluk hidup di dunia ini tidak bisa bertahan hidup lagi, atau mati.

Penghancuran Lingkungan Hidup dan SDA Data yang dimiliki oleh WALHI per Juni 2012, pemberian izin perambahan hutan sudah mencapai 30 juta hektar. Kementerian kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi yang menjadi sasaran ekspansi perekubanan kelapa sawit dan tambang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Menariknya lagi, review pelepasan kawasan hutan yang diajukan oleh 22 gubernur dengan dalih penyesuaian tata ruang ini sama persis dengan jumlah

Edisi I - April 2013

101


kawasan hutan yang beralih fungsi yakni seluas 12.357.071 hektar. Pelepasan kawasan hutan secara massif telah terjadi di Riau, Kalteng, Maluku dan beberapa provinsi lain, seperti kawasan hutan di Papua mencapai 6 juta hektar. Bila dicermati pada pemberian izin pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, maka sampai dengan juni 2012 pemerintah Indonesia telah mengalokasikan peruntukan kawasan hutan Indonesia kepada pengusaha hingga 50,4 juta hektar atau 38.4 % dari luas hutan Indonesia. Maraknya penghancuran lingkungan juga disebabkan oleh industri tambang terkait adanya pelemahan regulasi sektor tambang yang tentunya tidak praktek baru di republik ini. Upaya perlindungan terhadap berbagai ancaman racun tambang hanya menjadi diskursus di meja diskusi dan seminar, sementara rakyat lingkar tambang khususnya dan rakyat Indonesia umumnya hanya menjadi korban dari kerakusan industri pertambangan. Bukti lemah tersebut terlihat dari dibiarkannya PT. Newmont membuang limbah tailing ke laut yang secara fakta telah merusak ribuan mata pencarian nelayan di Teluk Senunu. Praktek ini tidak ada diterapkan di negara-negara imperialis seperti Australia, Selandia Baru, dan daratan utama Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, diterapkan dengan dilangsungkannya pembuangan limbah tambang terbesar di dunia ke laut di Teluk Senunu. Padahal secara legal ijin pembuangan tailing sudah berakhir.

Krisis Daya Dukung Lingkungan Di tengah konflik agraria dan SDA yang terus terjadi, dari kasus ke kasus tanpa ada penyelesaian, di ruang yang lain kekuatan ekonomi global terus menggunakan kekuatan mereka lewat menjual “isu� krisis global sebagai legitimasinya. Pemantauan WALHI hingga Desember 2012, konflik SDA dan perkebunan di Indonesia sudah mencapai 613 konflik yang tersebar di 29 provinsi Indonesia. WALHI sendiri menerima pengaduan dan melakukan advokasi terhadap 149 kasus yang terdiri dari kasus perkebunan kelapa sawit 51 kasus, tambang 31 kasus, kehutanan 33 kasus, agrarian 14 kasus dan pencemaran 15 kasus. Dari semua kasus ini tercatat 188 warga ditahan, 102 mengalami kekerasan dan 12 orang meninggal. Krisispun dijadikan sebagai kesempatan untuk tetap menguasai sumber ekonomi berlimpah yang tersedia di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Maka tak jarang, tiap harinya pemberitaan kita dipenuhi dengan sajian informasi bencana ekologis, akibat ulah dari sejumlah korporasi yang beraktivitas di berbagai sektor kehidupan.

102


Bencana ekologis didefinisikan sebagai sebuah bencana yang diakibatkan oleh salah urusnya negara dalam pengelolaan sumber daya alam, dan isu air dalam hal ini krisis air (kekeringan dan banjir) termasuk sebagai bencana ekologis. Tahun 2012, WALHI telah mencatat telah terjadi 503 kali banjir dan longsor yang menewaskan 125 orang. Sedangkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang tahun 2012 memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385 Hektar. Angka ini baru mecakup dua pulua yaitu Jawa, Sumatera ditambah Bali, NTB dan NTT. Jika digabungkan dengan Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang masih dalam proses pendataan, diperkirakan angka luas kebakaran hutan dan lahan sekurangnya akan mencapai angka 17 ribu hektar. Selama tahun 2012, degradasi dan ancaman keberlangsungan produksi pangan terjadi di berbagai daerah oleh berbagai faktor. Ancaman terhadap sumber sumber pangan rakyat terjadi akibat alih fungsi lahan, pencemaran, degradasi dan kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pembukaan pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan pembangunan infrasturuktur diareal tanaman pangan dan daerah penyangganya. Jawa sebagai produsen pangan terbesar terancam oleh maraknya industri, infrastruktur besar dan perumahan yang dibangun diatas lahan pertanian. Hal ini terjadi di basis pertanian rakyat Bekasi, Kerawang, Subang (industri dan pemukiman dan infrastruktur), Bogor (perumahan mewah, villa dan pariwisata), Sukabumi (industri dan pemukiman) Sumedang (Waduk) di Jawa Barat. Hal serupa banyak terjadi juga di Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Di luar Jawa, jumlah lahan terkonversi dan atau kehilangan daya dukung lingkungannya disebabkan oleh izin dan usaha pertambangan bisa kita temukan di Maluku Utara, NTT, Bengkulu, Sumatera barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, Bangka Belitung. Selain konversi lahan, trend perubahan jenis tanaman pangan kepada jenis tanaman perkebunan seperti sawit dan tanaman kayu industri juga marak terjadi.

Krisis dan Pertarungan Ekonomi Politik Global Persoalan atau krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia, juga tidak bisaa dilepaskan dari sistem ekonomi politik global dimana korporasi, lembaga keuangan dan termasuk negara didalamnya saling berkolaborasi demi pelanggengan kekuasaannya baik secara ekonomi maupun politik. Tahun 2012 juga menjadi saksi bagaimana pengaruh koporasi di ranahranah publik global juga semakin meningkat. Dua pertemuan tingkat tinggi PBB – KTT Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brazil (Rio+20) dan KTT Perubahan Iklim COP 18 di Doha, Qatar justru menegaskan bagaimana pengaruh

Edisi I - April 2013

103


korporasi semakin menguat dalam penentuan berbagai kebijakan pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab melindungi warga negara dan lingkungan hidupnya. KTT Rio+20 menjadi titik balik yang mengecewakan bagi masyarakat sipil dunia dan menjadi satu catatan sejarah terburuk inkosistensi pemerintahan negaranegara yang dua dekade sebelumnya telah memancangkan tonggak bagi adanya upaya global mewujudkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. KTT Rio+20 menampilkan ketidakpedulian para pemimpin-pemimpin negara maju dalam mendorong agenda pembangunan berkelanjutan, alih-alih, mereka menyerahkan kepemimpinan untuk agenda pembangunan berkelanjutan ini kepada korporasi. Dalam pertemuan ini lebih dari 1000 perwakilan bisnis besar hadir dan dengan kekuatan lobby yang luar biasa berhasil memasukkan kepentingan-kepentingan mereka dalam KTT ini. Sementara Pertemuan Para Pihak/COP ke-18 dari KTT Perubahan Iklim di di penghujung tahun 2012 juga menunjukkan hal yang mengecewakan. Perjanjian iklim global kali ini diselenggarakan di tengah pesimisme bahwa proses negosiasi akan membawa resolusi untuk mengatasi perubahan iklim secara adil, terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim. Salah satu hal yang menjadi pembahasan utama adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (offset), dimana negaranegara industri Annex-1 dengan gencarnya mendorong perdagangan karbon dengan skema offset sementara negara-negara non-Annex-1 menolak dengan tegas (atau setidaknya tidak menyatakan dukungan secara eksplisit). Pemerintah Indonesia dalam konferensi kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema offset (perdagangan karbon) sebagaimana yang diinginkan oleh negara-negara industri. Negara-negara industri makin tanpa malu-malu menunjukkan keengganan mereka melaksanakan kewajiban penurunan emisi, padahal untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim terutama bagi negara-negara berkembang dan miskin, penurunan emisi oleh negara-negara industri maju adalah suatu keharusan. Sementara itu, pendekatan bisnis seperti biasa di masing-masing negara tak banyak berubah. Alih fungsi hutan dan pengerukan bahan bakar fosil terus dilakukan di negara-negara berkembang. Sementara negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional terus mendanai proyek-proyek yang meningkatkan gas rumah kaca.Seminggu setelah COP 18 Doha berakhir, Bank Dunia justru segera mengucurkan dana bagi PLTU batubara milik tambang emas Rio Tinto di Mongolia.

104


Di dalam negeri, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang pada dasarnya membagi wilayah Republik Indonesia ke dalam 6 koridor komoditas yang akan menjadi target eksploitasi. Hal ini bukan saja bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia sendiri untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga 2020, namun juga akan meningkatkan kerentanan masyaraat terhadap berbagai bencana ekologis, dan meningkatkan konflik sosial yang diakibatkan praktik-praktik pengusiran paksa warga masyarakat yang sampai saat ini jamak terjadi dalam proyek-proyek pembangunan berskala besar. Tahun 2013, MP3EI terus melenggang dengan 82 proyek pembangunan infrastruktur senilai sekitar Rp. 143 trilyun dengan rincian antara lain di Jawa sebanyak 13 proyek. Ini artinya, pembangunan ekonomi khususnya pembangunan infrastruktur akan jalan terus meskipun daya dukung alam sudah tidak mendukung lagi. Sebagaimana penjelasan di atas dan yang tertera dalam grafik di bawah ini, Jawa dinilai sebagai wilayah yang tinggi dengan bencana ekologisnya. Karenanya, kami prediksikan bencana ekologis akan semakin tinggi dan meluas. Jawa menuju collapse.

Keadilan Ekologis sebagai Sebuah Resolusi Melihat dari fakta-fakta krisis yang terjadi, dan berbagai peristiwa bencana ekologis, kita tidak mungkin menunggu waktu yang lebih lama untuk menghentikan jatuhnya korban yang semakin banyak dan meluas, krisis ini harus segera dipulihkan di tengah negara yang abai dan kejahatan korporasi yang semakin menguat berkelindan dengan penguasa. Angka-angka kerusakan lingkungan, korban bencana ekologis dan korban pembangunan bukanlah sekedar angka-angka statistik. Angka-angka tersebut merepresentasikan wajah korban, wajah warga negara yang dicerabut hak-haknya, bahkan oleh pemimpin negaranya sendiri. Kerusakan lingkungan telah menyerabut hak hidup manusia baik terkait dengan bencana ekologis, dan kerusakan lingkungan hidup juga semakin menurunkan atau menghilangkan kualitas hidup manusia, yang disebabkan oleh kemiskinan akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan akibat bencana ekologis tersebut atau bencana yang ditimbulkan akibat salah urusnya pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Keadilan ekologis sebagai sebuah hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, laki-laki maupun perempuan, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran lingkungann hidup dan sumber-sumber kehidupan Edisi I - April 2013

105


rakyat. Keadilan ekologis adalah sebuah perjuangan keseimbangan alam dan manusia tanpa penguasaan untuk kepentingan intra dan antar generasi.

Hak atas lingkungan hidup menekankan pentingnya tanggungjawab negara untuk memberikan jaminan terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap penegakan hukum dan kemauan politiknya. Perwujudan hak atas lingkungan hidup akan menjadi prasyarat penting bagi upaya perlindungan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat. Hak atas lingkungan juga harus dibarengi dengan penghormatan terhadap hak dasar lainnya seperti hak partisipasi politik, hak mendapatkan informasi, hak menentukan nasib sendiri dan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, tanpa itu penegakan terhadap hak atas lingkungan sebagai hak asasi rakyat akan menjadi mustahil. Maka, penting diperjuangkan secara bersama filosifs nilai keadilan ekologis, bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat atas hak-hak dasarnya yang dibangun dengan semangat kolektivitas. Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus didefenisikan menurut korban terbesar dan siapa yang paling tersubordinasi dalam pembangunan. Tiga hal mendasar tersebut adalah bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya, bagaimana jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya dan bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan alamnya. ***

106


NAS I O NAL

Mempertanyakan “Hilirisasi” Tambang dan “Swasembada” Pertanian Nirmal Ilham1

1

Sekjen Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta (IEPSH)

Edisi I - April 2013

107


Latar Belakang Guru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan, menulis pada sebuah majalah nasional mengenai apakah peningkatan dari suatu rantai produksi alias value chain seperti proses hilirisasi akan selalu memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi? Karena banyak pihak mendesak pemerintah untuk mendorong hilirisasi di dalam negeri. Misalnya dalam industri pertambangan atau memaksa “swasembada� untuk setiap proses produksi hortikultura, pangan, dan peternakan. Lebih lanjut tulisan itu mengupas bahwa pilihan hilirisasi idealnya harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat untuk melihat apakah kebijakan ini layak secara ekonomis baik dalam upgrading akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan masyarakat) atau tidak. Lebih luas lagi, analisis ini perlu dilengkapi dengan melihat dampaknya terhadap lingkungan hidup dan penurunan kemiskinan serta distribusi pendapatan. Perhitungan independen di Australia menunjukkan, setelah memperhitungkan dampak lingkungan, hilirisasi akan menghasilkan dampak ekonomi yang negatif. Hilirisasi ini akan mendorong peningkatan impor input antara lainnya termasuk impor barang modal (mesin) dan impor bahan baku lain. Jika margin keuntungan pada industri hilir tidak terlalu besar, secara ekonomis kegiatan hilirisasi tidak menarik dikembangkan lebih lanjut. Tulisan ini selanjutnya mempertanyakan apa implikasi bagi kita? Pertama, kebijakan pemerintah untuk melakukan pencitaan nilai tambah dengan proses hilirisasi tidak bisa disamaratakan untuk semua produk dan komoditas. Walaupun kita kaya akan bahan baku, tidak berarti kita akan mampu menghasilkan produk akhir yang bisa bersaing. Kemampuan kita menghasilkan produk yang bersaing bergantung pada keterbatasan input domestik dan input antara yang efisien. Kedua, analisis harus dilakukan secara komprehensif untuk setiap komoditas dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif pada setiap kegiatan dalam supply chain.1 Dalam bidang pertanian tulisan tersebut mencontohkan Cina yang pada tahun 1990-an masih merupakan negara eksportir kedelai, tapi kini berubah menjadi importir kedelai terbesar dunia. Mereka melepaskan status eksportir karena merasa kehilangan keunggulan komparatif pada produksi kedelai dibandingkan dengan Brazil, Argentina dan Amerika. Cina memilih mengembangkan produk akhir berbasis kedelai (impor) yang dapat menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi. 1

108

Majalah Tempo, Edisi 8-14 April 2013, Kolom Tempo: Hilirisasi: Penciptaan Nilai Tambah dan Pertumbuhan Ekonomi, hal 94


Pada bidang peternakan, tulisan tersebut mencontohkan bagaimana dalam kasus Indonesia, pengembangan daging sapi yang permintaan potensialnya di pasar domestik meningkat tajam dewasa ini dan mendatang perlu mengikuti prinsip serupa. Beberapa studi menunjukkan bahwa kita mempunyai keunggulan termasuk dengan Australia dalam penggemukan sapi, tapi bukan untuk semua kegiatan. Untuk bidang pertambangan, tulisan tersebut mencontohkan pada industri pengilangan minyak, margin pengolahannya tergolong rendah. Industri ini hanya layak secara ekonomi jika dikembangkan secara integratif dengan produk kimia lain. Tak mengherankan bila perkembangan industri pengilangan minyak di Indonesia berhenti pada tingkat MOU saja. Kesimpulan dari contoh-contoh diatas adalah tidak semua kegiatan dalam rantai penawaran ekonomis untuk dikembangkan. Proses produksi semua komoditas kini mengikuti pola spesialisasi yang horizontal. Produksi iPad, misalnya, melibatkan proses produksi di banyak negara yaitu Amerika, Jepang, Cina, Taiwan, dan Jerman. Dan poin penting dari contoh-contoh tersebut adalah walaupun input antara domestik tidak tersedia, kita tetap bisa menghasilkan produk akhir (diproduksi di pasar domestik) jika kita dapat mengindentifikasi kegiatan dalam supply chain yang memiliki keunggulan komparatif dan menjamin akses terhadap input antara (termasuk impor) yang efisien.

Menjadi Instrumen Dalam Mesin Kapitalis Tulisan diatas memberikan penjelasan mengenai bagaimana dalam keseluruhan proses produksi di dalam suatu produk pertanian, peternakan, dan pertambangan, tidak semua tahapannya wajib dikerjakan sendiri. Karena tidak semua bagian dalam rantai penawaran ekonomis tersebut menghasilkan keuntungan yang besar. Sehingga sebuah negara cukup hanya fokus mengerjakan beberapa bagian saja dalam supply chain yang benar-benar menghasilkan keuntungan yang besar, sedangkan yang tidak memberikan margin yang besar dapat di impor. Pandangan pada tulisan tersebut jelas menunjukkan keberpihakkan pada sistem ekonomi kapitalis yang menghendaki liberalisme perdagangan dan berorientasi pasar bebas (free market oriented). Karena dalam sistem ekonomi kapitalis, seluruh negara dipaksa untuk ikut dalam sistem produksi yang mengandalkan keunggulan komparatif yang dimilikinya, didalam bingkai perdagangan bebas. Dengan begitu akan tercipta pertumbuhan ekonomi di seluruh negara. Walaupun pertumbuhan tertinggi tetap ada di negara-negara maju, sedangkan di negaranegara pinggiran pertumbuhannya tertatih-tatih. Bila hal ini berjalan langgeng,

Edisi I - April 2013

109


maka sistem ekonomi kapitalis akan eksis. Namun bila sebagian negara tidak ikut menjadi instrumen dalam mesin kapitalisme tersebut, maka roda pertumbuhan ekonomi dunia akan terganggu. Banyak negara tidak akan mengalami pertumbuhan ekonomi. Ini akan mengakibatkan sistem ekonomi kapitalisme kehilangan legitimasinya, dan kemudian akan ditinggalkan.

Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Kemandirian Ekonomi Keberhasilan sebuah bangsa dan negara adalah jika rakyatnya makmur dan sejahtera. Untuk mencapainya diperlukan perencanaan yang strategis dan berkelanjutan. Secara legal formal Sistem Ekonomi Indonesia merupakan Sistem Ekonomi Kerakyatan, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 lebih khusus disebutkan dalam frasa “kesejahteraan rakyat”. Pengejawentahan dari amanat UUD 1945 tersebut jelas memperlihatkan orientasi sistem ekonomi Indonesia adalah “rakyat banyak” bukan “orang perorang”. Pasal-pasal dalam UUD1945 juga mendepankan demokrasi ekonomi, yang pada intinya menyatakan peran semua warga negara dalam kegiatan ekonomi, dan harus diarahkan pada peningkatan kemakmuran semua, bukan untuk perorangan. Ekonomi pasar yang berdiri di atas prinsip spesialisasi, justru mendukung keikutsertaan semuanya dalam kegiatan produksi yang semakin kompleks. Akan tetapi dalam tataran pelaksanaannya sistem ekonomi Indonesia setelah reformasi ini justru menunjukkan kearah Liberalisme, bahkan menuju pada Neoliberal. Dan di era Presiden SBY, sistem ekonomi Indonesia semakin terpuruk mengarah pada Neo Kolonialisme dan Imperalisme. Implikasinya kini terlihat nyata tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan politik. Contohnya para petani yang kehilangan kemerdekaannya dalam memproduksi benih, karena perusahaan benih asing yang modern dan canggih diijinkan berdiri oleh pemerintah di daerahnya yang membuat petani menggunakan benih produksi mereka, dan melarang petani untuk memproduksi benih dari tanaman yang dihasilkannya. Begitu juga dengan masyarakat lokal yang memanfaatkan hutan dan melestarikannya, kini mereka kehilangan mata pencarian sebagai pencari rotan, madu, dan buah-buah hutan lainnya karena hutan telah diprivatisasi oleh pemerintah untuk kemudian dijual kepada perkebunan kelapa sawit besar milik asing yang bekerjasama dengan pengusaha nasional. Nasib yang sama diderita para nelayan, karena saat ini mereka tidak dapat bersaing dengan kapal-kapal besar penangkap ikan milik asing yang telah diijinkan oleh pemerintah untuk mengambil ikan di wilayahnya. Dan bahkan rakyat banyak

110


di suatu lokasi yang terdiri dari petani, nelayan dan masyarakat di sekitar hutan harus terusir dari rumah, lingkungan sosial, dan sumber ekonomi didaerahnya, karena perluasan kontrak karya pertambangan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan pertambangan asing. Seharusnya, Neo Kolonialisme dan Imperialisme yang mencekik rakyat Indonesia saat ini tidak perlu terjadi. Karena sejak awal pembangunan, Presiden Soekarno mengutarakan bahwa dalam konteks berdikari secara ekonomi, bangsa Indonesia harus bersandar pada kekuatan rakyat dan semua potensi, dana, dan tenaga yang memang sudah dimiliki, untuk digunakan semaksimalnya bagi kemakmuran rakyat. Kemandirian ekonomi Indonesia dapat dicapai melalui pembangunan yang bersandarkan pada jiwa “self reliance�, jiwa percaya pada kekuatan sendiri dan jiwa “self help�, jiwa berdiri diatas kaki sendiri. Kemandirian ekonomi tersebut juga dapat dibangun melalui perluasan kerjasama dengan negara lain, tetapi atas dasar kesederajatan dan dengan menjunjung tinggi kedaulatan serta saling menguntungkan. Kemandirian ekonomi Indonesia tidak mengharamkan bantuan, modal, dan kerjasama asing, tetapi lebih kepada menerima bantuan, modal dan kerjasama asing yang tidak bertentangan dengan arah politik dan tujuan nasional. Dalam mewujudkan berdikari secara ekonomi tersebut, Presiden Soekarno mengecam cara-cara text books yang digunakan para doktor dan professor di bidang ekonomi yang mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi barat tanpa mempertimbangkan dan melihat kondisi realitas bangsa Indonesia. Dan cara-cara text books yang mencoba menghipnotis bangsa Indonesia bahwa kolonialisme-imperialisme sudah mati sehingga bangsa Indonesia melupakan roh dari berdikari itu sendiri.

***

Edisi I - April 2013

111


IDEO L OGI

SERUAN AKSI!

GERAK AN RAK YAT LA WAN NEO KOLONIALISME - IMPREALISME

PUKULAN AKHIR BAGI WTO Saatnya Wujudkan Keadilan Ekonomi, Akhiri WTO dan Gelombang Baru Perjanjian Perdagangan Bebas

112


S

istem kapitalisme berada dalam krisis mendalam. Sejak 2008, krisis keuangan menyebabkan sistem ini hampir runtuh, dan belum sepenuhnya pulih. Justru makin meluas dan memperparah krisis pangan, ekonomi, energi dan iklim. Krisis sistemik yang memburuk ini bukti nyata rezim neoliberal harus berakhir. Namun, bukannya mendengar tuntutan mayoritas 99% penduduk dunia, pemerintah Negara-negara yang dipimpin G-20, justru melakukan langkahlangkah penghematan dengan memotong dana pelayanan sosial, memaksa rakyat membayar bail-out1 bank-bank dan perusahaan-perusahaan, tanpa melakukan tindakan apapun untuk mengekang para spekulan penyebab krisis. Parahnya, justru pemerintah-pemerintah yang sama berupaya menghidupkan kembali lembaga-lembaga internasional yang telah lama kehilangan legitimasi rakyat, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan sekarang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Bersama itu, muncul dorongan baru melanjutkan liberalisasi perdagangan, mendorong terciptanya gelombang baru Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) seperti Perjanjian Kemitraan Transpacific (TPP), AS dengan Uni Eropa, Uni Eropa dengan negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin, Perjanjian Investasi Bilateral, dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), serta model baru eksploitasi alam melalui ÂŤekonomi hijauÂť.

Asia Tidak Asing dengan Krisis Krisis keuangan 1997 yang melumpuhkan negara-negara Asia meninggalkan luka mendalam. Dalam sekejap, nilai mata uang anjlok hingga 70 persen. Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dengan cepat terbelit utang, yang tak mampu mereka lunasi. Hal ini menyebabkan jutaan orang di bawah garis kemiskinan dan pengangguran. Pada Januari 1998, Indonesia kehilangan 75 persen nilai mata uangnya. Sebagian besar analis sepakat, krisis tersebut disebabkan liberalisasi ekonomi Asia, yang membiarkan para spekulan keluar masuk, mencuri miliaran dolar, meninggalkan jejak kehancuran ekonomi. Saat itu Program Penyesuaian Struktural (SAP) dipaksakan Lembaga Keuangan Internasional, yang mengubah Asia menjadi berorientasi ekspor, mendorong perluasan perkebunan (cash crops) dan sepenuhnya bergantung pada pasar internasional. Langkah-langkah penghematan yang dipaksakan IMF di tengah krisis tersebut, justru menimbulkan kerusakan dan kehancuran ekonomi lebih jauh. Ini langkah-langkah serupa yang dipaksakan G-20 pada rakyatnya. 1

Membiayai utang-utang bank dan perusahaan untuk menjaga kestabilan keuangan.

Edisi I - April 2013

113


Meningkatnya Ketergantungan Bertahun-tahun setelah itu, ketergantungan ekonomi Asia terhadap pasar internasional masih terlihat. Di Indonesia, liberalisasi pasar mendorong tingginya ketergantungan terhadap impor berbagai jenis barang. Pada 2012 misalnya, nilai impor pangan Indonesia mencapai Rp 125 trliyun, diantaranya untuk mendatangkan berbagai jenis bahan pangan seperti daging, gandum, beras, kedelai, ikan, kentang, dan bahkan garam. Situasi ini berakibat minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan, hingga meningkatnya kekerasan pada perempuan dan anak. Celakanya, perlindungan terhadap investor asing justru menguat. Menurut data Bursa Efek Jakarta 2012, nilai investasi asing di Indonesia mencapai Rp 436 trilyun (US$ 45 milyar) atau sekitar 70 persen total perdagangan saham. Pada 2012, Investasi Asing-Langsung (Foreign Direct Investment) pada sektor-sektor primer, macam tanaman pangan, perkebunan dan tambang bernilai US$ 4,8 juta. Tren investasi sektor primer ini berujung meluasnya konflik agraria, perampasan lahan dan sumber daya alam oleh investor dan perusahaan raksasa. Lucunya peningkatan jumlah investasi asing itu tak berhasil meningkatkan kesejahteraan buruh Indonesia. Sebaliknya, terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja. Dalam sektor pertanian, sedikitnya 450.000 tenaga kerja tidak bisa terserap, menambah angka pengangguran. Ini hantaman keras bagi pelaku ekonomi kecil dan menengah. Sekaligus menunjukkan pemerintah Indonesia justru lebih suka melayani investor asing dibanding rakyatnya sendiri. Namun, kisah ketergantungan di atas tak hanya milik Indonesia, namun di seluruh kawasan. Di Korea Selatan, para petani terbelit utang, jatuh miskin, dan memilih bunuh diri karena liberalisasi perdagangan. Di Filipina, kemiskinan masyarakat pesisir telah mencapai 53 persen, lebih tinggi dari rata-rata kemiskinan nasional sebesar 30 persen. Di India, pekerja sosial dibayar sangat rendah di zona ekonomi khusus, sebagai bagian perlakuan istimewa bagi para investor dalam perjanjian perdagangan bebas. Di Thailand, akibat aturan hak kekayaan intelektual dalam perdagangan, tak terkira jumlahnya penderita HIV dan HIV/ AIDS meninggal, tak mampu membeli obat paten anti-retroviral yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.

Kita Harus Mengubah Sistem Tidak akan ada masa depan bagi kemanusiaan dan keberlanjutan alam jika kita terus melanjutkan jalan yang diciptakan sistem kapitalisme ini. Sistem produksi, konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebih ini harus segera diakhiri. Prinsip kapitalisme berdasar pertumbuhan tanpa akhir telah mendorong bumi mencapai ambang batas kemampuannya, yang harus dibayar dengan harga

114


tinggi, bahkan dengan nyawa. Cuaca ekstrim, banjir, kekeringan, badai—telah menyebabkan jutaan orang menjadi pengungsi, kehilangan hidup dan sumber penghidupan. Di Filipina, Badai Bopha misalnya telah menyebabkan kematian jutaan orang. WTO, Perjanjian Perdagangan Bebas, dan Perjanjian Investasi Bilateral hanya memberikan perlindungan bagi kepentingan perusahaan transnasional dan minoritas 1 persen populasi dunia yang mendapatkan keuntungan dari krisis yang terjadi hari ini. Kita harus segera mengakhiri rejim neoliberalisme dan menghentikan WTO serta arus baru Perdagangan Bebas yang mengancam dunia.

Saatnya Keadilan Ekonomi Tanpa WTO akan terjadi kekacauan di dunia adalah mitos yang harus kita hapus. Tuntutan untuk mengakhiri rejim perdagangan bebas dan perlawanan menuju dunia tanpa WTO harus diperhebat. Ada alternatif bagi perdagangan bebas dan ketergantungan pada pasar internasional. Perdagangan hendaknya bertujuan untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Apa yang kita tuntut dan tawarkan ialah tercapainya Keadilan Ekonomi— sebuah sistem dimana terjadi redistribusi kesejahteraan yang adill dan pemulihan kontrol masyarakat atas sektor-sektor vital pada perekonomian. Demi pelayanan yang lebih baik terhadap masyarakat dibanding para elit. Sektor keuangan dan industri perbankan tidak bisa berspekulasi dan bertaruh atas nama masa depan manusia. Industri ekstraktif, agribisnis dan jasa tidak bisa mengeksploitasi terusmenerus bumi pertiwi dan memperlakukan manusia sebagai budak.

Menuju KTM9 Bali Di tengah situasi ini, Kami yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme (Gerak Lawan)—ingin mengajak gerakan masyarakat sipil Indonesia dan seluruh dunia bersama-sama menghentikan upaya menghidupkan kembali WTO dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX mendatang yang akan diadakan di Bali, Indonesia pada 3-6 Desember 2013. Kami ingin menyatukan dan memperkuat perjuangan yang dilakukan di Indonesia dengan gerakan rakyat di wilayah lain, bersama-sama menyerukan: Mendelegitimasi WTO—WTO telah menyalahgunakan mekanisme hukum untuk membatasi kedaulatan dan hak negara dalam mengatur kebijakan nasionalnya bagi kepentingan manusia dan bumi pertiwi. Kami ingin dunia tanpa WTO—Tidak peduli apakah WTO melakukan reformasi atau mengubah perjanjian di dalamnya, WTO tidak akan pernah

Edisi I - April 2013

115


menjadi organisasi yang adil, karena dibangun atas prinsip-prinsip perdagangan bebas, pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi manusia dan alam. Watak WTO juga tak akan berubah meski kepemimpinan didalamnya berubah. Bahkan dengan pemilihan Direktur Jenderal yang baru terpilih, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah tercapai melalui sistem perdagangan bebas WTO. Mencabut semua Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dan Perjanjian Investasi (Investment treaties) serta mendesak pemerintah tidak lagi menandatangani FTA dan Perjanjian Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaties)—Dorongan untuk liberalisasi perdagangan lebih lanjut, harus segera dihentikan. Terlalu lama masyarakat dan alam mengalami kerusakan akibat sistem ini. Merumuskan model alternatif perdagangan internasional berdasarkan Keadilan Ekonomi—gerakan sosial, Petani, Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan, Pemuda, Buruh Migran, Aktivis Lingkungan dan Aktivis Gerakan Keadilan Perdagangan serta organisasi lainnya telah banyak memberi usulan alternatif berdasar pada keadilan. Banyak diantaranya telah mengimplementasikan berbagai usulan alternatif ini seperti agroekologi, kedaulatan pangan, dan contoh lainnya. Semuanya menunjukkan model perdagangan berbeda, yang memperhatikan keselarasan antara manusia dan alam adalah sangat mungkin dilakukan. Kita perlu bersama-sama menata kembali sistem perdagangan internasional yang mempromosikan keadilan ekonomi, berdasar prinsip saling melengkapi, kerjasama dan solidaritas. Kami akan mengadakan serangkaian kegiatan menuju Konferensi Tingkat Menteri di Bali dan mengajak berbagai organisasi dan gerakan di seluruh dunia bergabung, memberikan pukulan-akhir, menghentikan kebangkitan neoliberalisme serta memajukan gagasan alternatif rakyat. Kami mengajak semua gerakan sosial, organisasi masyarakat, petani, nelayan, buruh, perempuan, migran, pemuda, gerakan lingkungan, akademisi, dan gerakan sosial lainnya, untuk datang ke Bali, Indonesia pada 3-6 Desember 2013, bersamasama menghentikan WTO dan FTA serta mendorong tercapainya Keadilan Ekonomi. Mari kita bangkitkan kembali semangat perjuangan yang berhasil di jalanan Hong Kong pada KTM WTO 2005. Bersama-sama, kita dapat mengalahkan sistem yang rakus ini dan menciptakan dunia lain yang lebih baik. *** *Jika organisasi anda ingin mendukung seruan ini atau bergabung dalam kegiatan kami, silahkan hubungi : geraklawan@yahoo.com

116


Gerak-Lawan (Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme & Imperialisme) Indonesia for Global Justice (IGJ) - Bina Desa - Serikat Petani Indonesia (SPI) - Solidaritas Perempuan (SP) - Aliansi Petani Indonesia (API) - Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS) - Climate Society Forum (CSF) - Koalisi Anti Utang (KAU) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) - Institut Hijau Indonesia (IHI) - Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta) - Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) - Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) - Serikat Nelayan Indonesia (SNI) - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) - Serikat Buruh Indonesia (SBI) - Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) - Universitas Al-Azhar Indonesia (Dosen Hubungan Internasional) - Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) - Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI) - Migrant Care

Pendukung: All Nepal›s Peasants› Federation - Alliance of Progressive Labor (APL) Aniban ng mga Manggagawa sa Agrikultura (Union of Agricultural Workers) Philippines - Automotive Industry Workers› Alliance (AIWA) - Assembly of the Poor, Thailand - Automotive Industry Workers› Alliance (AIWA) - ATTAC Japan - Bangladesh Krishok Federation - Bhartiya Kisan Union, BKU, India - Border Agricultural Workers Project, El Paso, Texas, USA - Focus on the Global South FTA Watch Thailand - Global Justice Ecology Project - Jubilee South-Asia-Pacific Movement on Debt and Development - Karnataka Rajya Raitha Sangha, India Kilos Ka, Mindanao - La Via Campesina - Migrant Forum in Asia - Mindanao Peoples› Peace Movement - MONLAR, Sri Lanka - Northern Peasants Federation, Thailand - NOUMINREN, Japan - Partido ng Manggagawa (PM) - Philippine Airlines› Employees Association (PALEA) - Philippine Independent Public Sector Employees Association - Philippine Metalworkers› Alliance - Polaris Institute, Canada - Public Services Labor Independent Confederation (PSLINK) - Social Movements for Alternative Asia - South Indian Coordination Committee of Farmers Movements - Sumpay Mindanao - Trade Union Congress of the Philippines (TUCP) - Transnational Institute - World March of Women, Pilipinas - Indian Social Action Forum, India (INSAF) - Corporate Europe Observatory, Europe - Asesoría e Investigación, A.C., México - Global Justice Ecology Project, USA - Europe solidaire sans frontières (ESSF), France - Earth People.

Edisi I - April 2013

117


KEGIATA N IGJ

118


Edisi I - April 2013

119


Catatan

120


Cover:

Penanggung Jawab/ Executive Director IGJ: M. Riza Damanik Chief of Editor: Salamuddin Daeng Reporter: Rika Febriani Rachmi Hertanti Kontributor: Program Officer dan Staff IGJ Financial Reni Kusumawardani Prabowo Panjaitan General Affairs Else Tehnik Idris

Alamat Baru Indonesia for Global Justice Jl. Tebet Barat XIII / No. 17 Jakarta Selatan Telp/Fax : 021 – 8297340 www.igj.or.id twitter : @igj2012 facebook : Indonesia for Global Justice

mengundang anda untuk menuliskan gagasan kritis, kreatif, inovatif dan visioner yang berorientasi pada tema-tema yang membangun wacana keadilan global di tengah masyarakat. Naskah 8-10 halaman kwarto, selayaknya dilengkapi dengan referensi acuan maupun pendukung. Redaksi dapat menyunting naskah tanpa mengubah maksud maupun isi.


Free Trade Watch

Edisi I - April 2013

Edisi I - April 2013

IMPOR GARAM

Free Trade Watch

IMPOR SAPI

IMPOR BERAS

IMPOR IKAN

IMPOR BAWANG

NEGARA vs KARTEL


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.