ISSN 1979-1232
Jurnal Ilmu Komunikasi
ULTIMA COMM Volume IV, Nomor 1• Juni 2012
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan • Dr. Irwansyah, MA
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta) • Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Propaganda dan Ilmu Komunikasi • Moeryanto Ginting Munthe
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi • R. Masri Sareb Putra
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern • Hendri Prasetyo
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo • Indiwan Seto Wahyu Wibowo Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan • Suharsono
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara • Dessy Kania
Jurnal Ilmu Komunikasi
ULTIMA COMM ISSN 1979-1232 Volume IV, Nomor 1• Juni 2012
Jurnal Ilmu Komunikasi diterbitkan tiga kali dalam satu tahun sebagai media informasi karya ilmiah untuk bidang kajian Ilmu Komunikasi di Indonesia. Redaksi menerima naskah berupa artikel ilmiah, ringkasan hasil penelitian atau resensi buku. Redaksi berhak untuk menyunting isi naskah tanpa mengubah substansinya.
Pelindung Rektor UMN Dr Ninok Leksono Penanggung jawab Dekan Ilkom Ir Andrey Andoko M.Sc Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Dra Bertha Sri Eko M.Si Ketua Penyunting Drs Indiwan Seto Wahyu Wibowo M.Si Desain dan Layout Mohammad Rizaldi, S.T., M.Ds Sekretaris Dra. Joice Caroll Siagian, M.Si Dewan Penyunting Ambang Priyonggo Masri Sareb Putra Dr Endah Muwarni Augustinus Roni Siahaan M.Si Sirkulasi & Distribusi Augustinus Roni Siahaan M.Si Alamat Redaksi : Jl. Boulevard Gading Serpong Tangerang – Banten Telp : (021) 5422 0808/ 3703 9777 Fax : (021) 5422 0800
Jurnal Ilmu Komunikasi
ULTIMA COMM ISSN 1979-1232 Volume IV, Nomor 1• Juni 2012
KATA PENGANTAR Kata komunikasi merupakan kata yang sangat ajaib. Komunikasi menjadi kata kunci yang menjadi pembicaraan karena sangat berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah satu fungsi dari komunikasi adalah memberikan informasi dan pengetahuan dan bisa mencerdaskan. Begitu juga dengan Jurnal Ilmu Komunikasi ‘ULTIMA COMM” yang hadir di hadapan para pembaca. Kami hadir dan mencoba meramaikan panggung wacana seputar Ilmu komunikasi di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan social media. Dalam edisi kali ini, jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara menyampaikan sejumlah topik bahasan. Di antaranya, ada artikel terkait dengan perkembangan Sosial Media dan Media Baru. Artikel berjudul Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta) ditulis oleh Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si. Masih terkait dengan perkembangan teknologi komunikasi, ada artikel mengenai teknologi awan ( Cloud Technology ) yang dilihat dari perspektif wartawan oleh Dr. Irwansyah, MA. Ada juga soal “ Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern,” oleh Hendri Prasetyo Di bidang media massa, edisi jurnal kali ini mengangkat soal lingkungan hidup dan komunikasi, soal propaganda, tradisi hermeneutika, Propaganda dan Ilmu Komunikasi dan peranan media dalam dunia turisme begitu juga analisis teks yang menggunakan Metode semiotika, Redaksi sangat berterimakasih atas partisipasi teman sejawat, dan penulis-penulis di bidang Komunikasi. Kami selalu menunggu hasil karya teman-teman, praktisi Komunikasi dan bapak ibu dosen dalam penerbitan jurnal berikutnya.
ii
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Jurnal Ilmu Komunikasi
ULTIMA COMM ISSN 1979-1232 Volume IV, Nomor 1• Juni 2012
DAFTAR ISI Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta) Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan Dr. Irwansyah, MA Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern. Hendri Prasetyo Propaganda dan Ilmu Komunikasi Moeryanto Ginting Munthe Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo Indiwan Seto Wahyu Wibowo The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara Dessy Kania Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi R. Masri Sareb Putra Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan Suharsono Suharsono
Volume IV, Nomor 1• Juni 2012
iii
0
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si Dosen Partimer (Lepas) Universitas Multimedia Nusantara email: prisgunanto@gmail.com
ABSTRACT The research examines effect of the confidence level of students in social media to communicate to their buying behavior. The theories used in this research are impersonal interpersonal communication model developed by Miller DeVito continuum of interpersonal and Word of Mouth model’s Ian Safko. This is a quantitative study using associative effects among variables Knowing, Confidence and buying behavior. Thus research uses semantic differential scale with a student population of information technology at a private university in Jakarta with a simple sample about 92 people as the random sampling model. From this survey results that there is influence between the level of confidence to communicate in social media purchasing behavior student, but very small. Equation that there is a Y (buying behavior) = 0.136 +1.16 X 1 (Confidence) + 0.049 X2 (Knowing) Keywords: internet, social media, interpersonal communication, word of mouth
1.
PENDAHULUAN
Dunia saat ini sudah berkembang menjadi kampung kecil seperti yang konseptualisasikan oleh Mc Luhan. Kondisi dimana tidak ada lagi batas geografis, kekuatan politik, hukum dan ekonomi negara, semua yang ada adalah hubungan antar manusia atau interfaces. Konseptualisasi Mc Luhan ini menjadi terbukti dengan kehadiran internet, sebagai gawai super cepat dan handal untuk keperluan apapun. Prediksi bahwa interkoneksitas sosial merupakan Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
modal dasar agar jaringan informasi bergerak cepat dan berkembang sudah terbukti saat ini dengan maraknya berbagai bentuk jejaringan sosial yang pada banyak literatur disebut dengan istilah social media. Dengan kemudahan akses informasi dan murahnya melakukan interkoneksi internet membuat setiap orang pasti menggunakan jejaringan sosial ini. Apalagi dengan berkembangnya telepon cerdas blackberry dan android (Straubhaar and La Rose. 2004:20). Orang bisa dimana saja, kapan saja melakukan akses internet dan berhubungan den1
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
gan orang lain dalam kisaran nano detik. Tidak ada kerahasiaan dan semua bisa dipertukarkan dengan orang lain demi mendapatkan masukkan dan pertimbangan dalam melakukan sesuatu, mulai dari sesuatu yang besar sampai yang sepele (remeh temeh). Jejaringan sosial dijadikan patokan (referensi) orang melakukan sesuatu dan menentukan sikap. Tidak ada lagi keraguan dalam bersikap dan orang dapat menilai sesuatu lebih cepat dan dapat waspada terhadap sesuatu terlebih dahulu. Dari hasil penelitian survei terhadap 1.000 pembisnis di Amerika Serikat diketahui, bahwa ada 99,1% yang mengetahui jejaringan sosial dan imbasnya terhadap efek mereka bekerja dan beraktivitas (Safko, 2010: ix). Dengan demikian jelas, bahwa jejaringan sosial bukanlah barang baru bagi kebanyakan orang dan di sini ada ketertarikan untuk mengkaji hal-hal penting dalam operasi kerja jejaringan sosial dan apa saja yang dilakukan di gawai tersebut? Tentu saja dalam tulisan ini tidak akan dibahas tentang bahasa pemrograman, atau stuktur arsitek data dari jejaringan sosial, namun akan dilihat dari sisi komunikasi yang menonjol, terutama sehubungan dengan tingkat kepercayaan netter terhadap isi informasi yang dapat dikategorikan sebagai pola berkomunikasi dalam jejaringan sosial di internet. Jejaringan sosial yang marak saat ini dapat dikategorikan dengan gawai keseharian manusia dalam berinteraksi dengan orang lain. Gambaran bahwa orang yang menggunakan internet akan asosial, mudah tersinggung dan menjadi aneh karena jauh dari kehidupan manusia terbantahkan. Kondisi saat ini malah terbalik, bahwa mereka yang menggunakan jejaringan sosial (social media) lebih pro aktif dan peka dengan segala isu yang beredar di jejaringan sosial. Perhatian yang besar dengan hal ihwal di jejaringan sosial ini menjadikan dunia digital lebih interaktif dalam memaknai hubungan antar manusia. Pendapat yang menyebutkan bahwa di era digital yang ada adalah penguasaan akan informasi, bukan kapital (penguasaan alat-alat 2
produksi). Pemikiran model kapitalis mulai ditinggalkan karena dianggap kuno oleh banyak orang. Informasi adalah modal utama dalam mereka berhubungan dengan orang lain, dan mereka yang tidak memiliki akan terlindas dan terpuruk (Straubhaar and La Rose, 2004: 48). Kondisi ini akhirnya yang membaiat bahwa memiliki informasi berarti harus mengecap bangku sekolah. Demikianlah pandangan konservatif dari orang-orang Asia, yang mengenal sistem hirarki patrilineal para aristokrat. Sentimen ini muncul karena memang negara-negara Asia dan Timur lebih menganut budaya konteks tinggi (high context culture). Kekuatan akan Raja, Kaisar dan Pemimpin adat masih kental dan semua dominasi hanya bisa dilawan dengan adanya kepandaian (kecerdasan) yang diakui secara akademis bangku sekolah. Tak heran akhirnya gelar kesarjanaan dianggap sebagai pengganti gelar kebangsawanan dalam sistem aristokrat yang hilang karena dorongan angin keras demokrasi dalam konteks negara Republik. Kondisi sedemikian didukung oleh budaya konteks tinggi bangsa Asia dan Timur yang masih belum bisa meninggalkan budaya kraton dan istana yang dianggap adiluhung dan lebih agung daripada nilai dari manapun, termasuk budaya asing. Tingkat keterpengaruhan dalam konteks budaya tinggi inilah yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini, apakah orang Indonesia masih memegang nilai-nilai budaya. Jejaringan sosial dalam dunia internet (microblogging) atau social media dalam kategori; vlog, podscast, blog, lifecasting, followes, flaming, tags, SEO dan SAM (Safko, 2010:5). Social media, seperti; facebook, twitter, LinkedIn, What ups atau blogging, dll. 2. KAJIAN TEORI 2.1. Komunikasi Antar Pribadi Komunikasi antar pribadi adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih, fungsi komunikasi ini adalah untuk meningkatkan hubungan, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
ketidakpastian, serta meningkatkan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Budiman, 2009:3). Sedangkan menurut Beebe (2008:3) komunikasi antar pribadi adalah distinctive, transaction form of human communication involving mutual influence, usually for the purpose of managing relationships. Suatu bentuk transaksi komunikasi manusia dengan ciri khas melibatkan tindakan saling memengaruhi bertujuan mengatur hubungan satu sama lain. Ada juga yang berpendapat komunikasi antar pribadi adalah komunikasi informal, dimana seseorang tidaklah berbicara sebagai seseorang yang profesional atau komunikator komersial, tetapi lebih cenderung menjadi seorang teman yang lebih persuasif karena pengirim pesan tidak mempunyai kepentingan sama sekali atas tindakan si penerima setelah itu Prasetijo (2005: 131). Komunikasi antar pribadi ada dalam bentuk kontinum, mulai dari peran informasi pribadi yang berisi kepercayaan dan identitas pribadi seseorang yang berkaitan dengan peran individual dalam konteks pelanggan. Satu yang diakui bahwa peran pribadi ini sangat unik pada tiap kelompok dan orang. Peran kedua adalah
Sumber
Pesan
kehidupan sosial dan aturan pribadi dan ketiga adalah prediktif penjelasan data (Miller dalam Devito, 2009:5). 2.2. Elemen Komunikasi Antar Pribadi Elemen-elemen yang menjadi faktor utama dalam komunikasi antar pribadi antara lain (Cangara, 2005: 8) : 1. Sumber : sumber komunikasi berupa orang, ataupun kelompok. 2. Pesan : sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan secara tatap muka atau melalui media komunikasi 3. Media : alat yan digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. 4. Penerima : pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. 5. Pengaruh : perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. 6. Tanggapan balik : salah satu bentuk dari pengaruh yang telah yang berasal dari penerima 7. Lingkungan : adalah faktor-faktor tertentu yang bisa mempengaruhi jalannya komunikasi, (Cangara, 2005: 8).
Media
Penerima
Pengaruh
Tanggapan Balik Lingkungan n Gambar. 1 - Model Komunikasi Antar Pribadi
2.3. Perilaku Konsumen Definisi perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
(Kanuk dalam Prasejito, 2005: 9). Studi-studi perilaku konsumen adalah bagaimana pembuat keputusan (decision unit), baik individu, kelompok ataupun organisasi, dalam melakukan keputusan beli atau melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengkonsumsinya. 3
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Berbeda dengan itu Mangkunegara (2002:4) mendefinisikan perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi lingkungan.
Peneliti menyimpulkan dari pengertianpengertian diatas bahwa perilaku konsumen adalah tindakan tindakan yang dilakukan individu, kelompok, atau organisasi dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan tindakan setelah menggunakan produk atau jasa yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya (Prasetijo, 2005: 14).
Gambar. 2 - Model Perilaku Konsumen
2.4. Proses Terbentuknya Perilaku Konsumen Proses terbentuknya perilaku konsumen meliputi beberapa tahapan, yakni (Prasetijo, 2005: 10) : 1. Tahap perolehan (acquisition) Mencari (searching) dan membeli (purchasing) 2. Tahap konsumsi (consumption) Menggunakan (using) dan mengevaluasi (evaluating) 3. Tahap tindakan Pasca Beli (disposition) Apa yang dilakukan oleh konsumen setelah produk itu digunakan atau dikonsumsi. 4
2.5. Faktor Dalam Perilaku Konsumen Ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menurut Sujoto (2009: 60) : 1. Sifat individual a. Faktor kebudayaan Perilaku setiap orang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dimana mereka hidup dan tinggal b. Faktor sosial Perilaku seseorang ditentukan oleh berbagai faktor sosial seperti keanggotannya dalam kelompok sosial, keluarga, dan kedudukannya di masyarakat Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
c. Faktor orang perorangan Perilaku seseorang ditentukan berbagai faktor pribadi atau Individual, seperti usia, gender, pekerjaan, dan jumlah penghasilan tetap. d. Faktor Psikologis Perilaku konsumen dipengaruhi oleh tiga macam faktor psikologis yakni motivasi, persepsi, dan kepercayaan diri 2. Proses pengambilan keputusan Proses pengambilan keputusan ditentukan oleh 5 tahap yakni : a. Pengenalan kebutuhan, rasa membutuhkan sesuatu yang disebabkan dorongan untuk membeli suatu produk apabila mendapat pengaruh dari luar diri konsumen b. Pencarian alternatif informasi, internsitas upaya konsumen untuk mencari informasi tentang produk yang mereka butuhkan. c. Penilaian terhadap berbagai macam informasi yang terkumpul , mempergunakan informasi tentang berbagai macam produk yang berhasil mereka butuhkan sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan pilihan pada produk dengan merek dagang tertentu. d. Keputusan untuk membeli, bila tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya biasanya konsumen membeli produk dengan merek tertentu yang menjanjikan paling banyak atribut yang dianggap sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. e. Evaluasi sesudah pembelian, pengalaman konsumen setelah menggunakan produk yang memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan untuk membeli lagi produk yang sama saat mereka membutuhkannya lagi. 3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan model analisis data kunatitatif dengan paradigma positivistik. Skala yang digunakan adalah Semantic DifJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
ferential, sehingga data yang dihasilkan berupa rasio dan interval, dengan rentang nilai 1 s/d 9. Jenis penelitian adalah penelitian assosiatif sebab akibat dengan pengolahan data menggunakan uji regresi. Penelitian menggunakan dua variabel yakni; Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi Mahasiswa Dalam mengakses Jejaringan Sosial dengan Perilaku Beli Mahasiswa di dunia Maya. Guna mengetahui kualitas penelitian maka digunakan uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan nilai Alpha Cronbach untuk melihat nilai keajegan (konstan) penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan populasi mahasiswa jurusan Teknik Informatika di satu universitas swasta di Jakarta. Jumlah populasi sebesar 1.200 orang dengan menggunakan rumus Slovin maka didapat nilai sampel sebesar 92 orang Penarikan sampel dengan menggunakan Simpel Random Sampling dengan menggunakan penommoran yang kemudian diacak nilainya untuk dimasukkan sebagai obyek dalam penelitian. Dalam pelaksanaannya penelitian ini dilakukan selama dua bulan dengan penyebaran kuesioner secara insidental. 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Penelitian 4.1.1. Uji Validitas Penelitian Penelitian ini melakukan penyebaran uji kelayakan pre-test pada 30 orang responden. Tujuannya untuk mengetahui pemahaman terhadap pernyataan-pernyataan pada butir kuesioner. Oleh sebab itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen penelitian, bila nilai validitas dan reliabilitas yang rendah hal itu menunjukkan bahwa kalimat dari pernyataan-pernyataan dalam kuesioner sulit dipahami oleh responden. Dengan demikian harus dilakukan perbaikan pada indikator instrumen penelitian. Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir dalam suatu daftar (konstruk) pertanyaan dalam mendefinisi5
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
kan suatu variabel. Daftar pertanyaan ini pada umumnya mendukung suatu kelompok variabel tertentu. (Nugroho, 2005: 67). Penentu pertanyaan valid atau tidak, peneliti menggunakan nilai r-tabel yang diperoleh melalui df (degree of freedom) = n – k. k merupakan jumlah butir pertanyaan dalam suatu variabel. Peneliti melakukan pre-test terhadap 30 orang responden dengan demikian perhitungannya adalah Variabel Kepercayaan Berkomunikasi Jejaringan Social Media Mahasiswa
df = 30 – 10 = 20, r-tabel 20 = 0,423 dengan α sebesar 5% Variabel Perilaku Beli Df = 30 – 8 = 22 r-tabel 22 = 0,404 dengan α sebesar 5% Dengan demikian butir pertanyaan yang diajukan responden dikatakan valid jika nilai r-hitung yang merupakan nilai dari Corrected Item-Total Correlation > Dari r-tabel.
Tabel 1 – Validitas Variabel Tingkat kepercayaan berkomunikasi Mahasiswa di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) (X)
Terlihat bahwa nilai Corrected Item-Total Correlation sebagai nilai r-hitung > r-tabel yakni 0,423. Sehingga dapat dikatakan statemen dalam pertanyaan yang valid kuesioner memiliki nilai
validitas yang sesuai dengan diharapkan. Dengan demikian semua masuk dalam daerah HA, penolakan H0. Dalam uji validitas penelitian untuk melihat ketepatan jawaban responden.
Tabel 2 - Hasil Uji Validitas Variabel Perilaku Beli Mahasiswa (Y)
6
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Berdasarkan uji validitas untuk variabel perilaku juga didapat bahwa semua pertanyaan dalam statemen kuesioner variabel dinyatakan valid karena nilai r-hitung yang berasal dari Corrected Item-Total Correlation > (lebih besar) dari r-tabel yakni 0,404. Dengan demikian, maka uji hipotesis validitas berada pada ruang HA, dengan penolakan H0.
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
sangat tinggi. Dengan demikian berada pada wilayah HA dengan penolakan H0. Tabel 4 - Nilai Reliabilitas Variabel Perilaku Beli Mahasiswa (Y)
4.1.2. Uji Reliabilitas Penelitian Tabel 3 - Nilai Reliabilitas Variabel Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) (X)
Terlihat nilai Cronbach’s Alpha untuk variabel Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) adalah sebesar 0,956 termasuk dalam koefisien yang Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Terlihat, bahwa nilai Cronbach’s Alpha untuk variabel perilaku beli mahasiswa adalah sebesar 0,960, dan nilai tersebut termasuk golongan sangat tinggi. Dengan demikian maka penelitian ini dalam uji reliabilitas berada pada ruang penerimaan HA dengan penolakan H0. Dari pengujian validitas dan reliabilitas jelas penelitian ini memiliki kualitas penelitian yang tinggi karena semua berada pada penerimaan HA dengan penolakan H0. Dalam rentang nilai juga penelitian menunjukkan memiliki nilai obyektivitas yang tinggi, sehingga penelitian 7
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
bisa dilanjutkan untuk diuji dalam hipotesis hubungan asosiatif untuk model bivariat.
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Tabel. 6 – Frekuensi Responden Mengakses internet
4.2. Analisis Deskriptif Sebelum dilakukan penelitian analitis terlebih dahulu dilakukan analisis deskriptif, maksudnya adalah data deskriptif tentang responden yang ada dapat mendukung pembenaran bahwa responden adalah pihak yang tepat menjadi sumber utama penelitian. 4.2.1. Data Demografi Tabel. 5 - Usia responden
Gambar. 4 – Frekuensi menggunakan internet
Gambar. 3 – Jenjang Usia Responden
Dari tabel 5 terlihat bahwa responden yang terjadi kebanyakan adalah mereka yang berusia 20 tahun yakni ada 45 orang (48,9%) sedangkan yang kedua adalah mereka berusia 19 tahun ada 30 orang (32,6%). Dengan demikian jelas bahwa responden dalam penelitian ini adalah mereka yang sudah mengenal dan akrab dengan gawai internet, karena usia sedemikian tergolong muda dan pasti gandrung dengan internet. 8
Dari tabel data 6 di atas juga terlihat bahwa frekuensi responden dalam mengakses internet juga tinggi, terlihat responden yang setiap saat mengakses internet ada 56 orang (60,9% ) adalah jumlah tertinggi. Sedangkan minimal responden mengakses sekali dalam sehari ada 30 orang (32,6%) dan mereka yang dalam 2-3 hari sekali mengakses ada 6 orang (6,5%). Dengan demikian dapat diketahui bahwa memang frekuensi mengakses internet mereka tergolong tinggi ada sekitar hampir seluruhnya mengakses internet dalam hidup keseharian mereka. Tabel. 7 - Media Yang Digunakan Dalam Akses Internet
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Gambar. 5 – Media Akses Internet Yang Digunakan
Dari data pada tabel 7 diketahui bahwa responden kebanyakan mengakses internet dengan menggunakan komputer/laptop, ada 60 orang (65,2%). Sedangkan sisanya menggunakan akses melalui Blackberry 16 orang (17,4%). Mereka yang mengakses internet melalui Warnet tergolong kecil hanya 10 orang (10,9%), sedangkan yang mengakses internet melalui telepon gengganm (handphone) adalah yang terendah sebesar 6 orang (6,5%). Dengan demikian jelas responden adalah mereka yang mengakses internet dalam kondisi serius dan bukan untuk hanya pengisi waktu luang, atau hanya iseng-iseng daja, terlihat dalam penggunaan gawai akses komputer yang berarti sedemikian perlu informasi yang ada dalam internet, bukan sepintas lalu saja. Tabel 8 - Seberapa sering Responden mengakses kaskus.us
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
Gambar. 6 – Frekuensi Menggunakan Social Media Kaskus
Dari data tabel. 8 di atas jelas terlihat bahwa paling banyak responden dalam seminggu menggunakan 3-5 kali ada 53 orang (57,6%). Dengan demikian dapat diketahui bahwa memang responden bukan pihak yang setiap hari mengakses jejaringan ini namun dalam seminggu pasti mereka mengakses kaskus. Berbeda dengan ini ada sebanyak 17 responden (18,5%) yang mengaku mengakses kaskus 2-3 kali dalam seminggu. Jumlah ini termasuk besar yang artinya mereka jarang sekali menggunakan kaskus. Sedangkan responden yang mengaku mengakses setiap hari kaskus hanya ada 9 orang (9,8%). Dengan demikian kemungkinan pembenaran dan jawaban subyektif terhadap penelitian ini kecil, karena responden termasuk yang sedang dalam mengakses kaskus. 4.2.2. Analisis Deskriptif Pervariabel Dari pengujian deskriptif didapat nilai mean dari masing-masing variabel sedemikian; Tabel 9 - Descriptive Statistics
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
9
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Variabel Kepercayaan Berkomunikasi di jejaringan sosial (Social media) mahasiswa terdiri dari 2 (dua) sub variabel, yakni Keyakinan dan Knowing, sedangkan untuk perilaku beli tetap menggunakan satu variabel yaitu Perilaku Beli. Dari nilai Mean diketahui bahwa nilai tertinggi adalah Knowing (8,30). Artinya bahwa pemahaman mahasiswa tinggi tentang keberadaan Kaskus sebagai jejaringan sosial untuk forum jual beli. Namun bila melihat nilai keyakinan terlihat bahwa responden masih sangsi tentang keberadaan dan kebenaran melakukan transaksi di sana (5.00). Namun dari nilai Perilaku termasuk sedang karena responden masih sering juga melakukan jual beli lewat kaskus (6,34). 4.3. Uji Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa. Guna mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan secara tepat maka digunakanlah uji hipotesis untuk penelitian. Dengan demikian penelitian ini menggunakan hipotesis sebagai berikut; H0 : Tidak ada pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (social media) terhadap perilaku beli, HA : Ada pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (social media) terhadap perilaku beli. Tabel 10 - Correlations
Dari uji korelasi diketahui bahwa antara variabel Knowing dengan Perilaku beli nilai r sebesar 0,410 dan nilai p value sebesar 0,000 karena nilai tersebut di bawah 0,05 dengan demikian dapat dikatakan ada hubungan antar variabel tersebut sebesar 0,410 tergolong lemah. Sedangkan untuk hubungan variabel Keyakinan dengan Knowing terlihat nilai 0,536 dengan nilai p value sebesar 0,000 karena nilai tersebut di bawah 0,05 maka dapat dikatakan ada hubungan antar variabel dengan kategori sedang. Berbeda dengan itu hubungan antar variabel Keyakinan dengan perilaku bernilai 0,711 dengan p value sebesar 0,00 karena berada di bawah 0,05, maka ada hubungan di kedua variabel dalam kategori kuat karena berada di nilai 0,711. Tabel 11 - Model Summary (c)
a Predictors: (Constant), KEYAKINAN b Predictors: (Constant), KEYAKINAN, KNOWING c Dependent Variable: PERILAKU BELI Guna mengetahui berapa kuat hubungan antar kedua variabel, dapat diketahui bahwa nilai 0,506 dengan kategori ada pengaruh tetapi hanya dalam kategori sedang, karena berada di atas 0,5. Artinya ada pengaruh signifikan antara keyakinan dan pengetahuan akan kaskus responden terhadap perilaku beli mereka di dunia maya. Tabel 12 - Coefficients (a)
a Dependent Variable: KEYAKINAN 10
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
Guna mengetahui nilai pertambahan atau pengurangan antar variabel maka dapat dijelaskan dari persamaan di atas. Dengan demikian maka persamaan yang dapat dibuat adalah; Y(perilaku beli) = 0,136 +1,16X1 (Keyakinan) + 0,049X2 (Knowing)
Apakah persamaan ini bisa berlaku, maka dalam uji colinearity sebagai berikut; Tabel 12 - Collinearity Diagnostics(a)
a Dependent Variable: KEYAKINAN Dari uji kolinearitas diketahui nilai Eigenvalue Knowing adalah 0,020 dankeyakinan adalah 0,014 dengan demikian keduanya di bawah 0,05 dengan demikian berada di ruang HA, maka persamaan tersebut dapat berlaku dalam penelitian ini. Bila digambarkan dalam bentuk grafik, sedemikian:
Tabel 8 - Bentuk Grafik Uji Kolinearitas
Terlihat bahwa dalam gambar grafik data tersebar merata sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini memang bisa menggunakan rumus yang ada, karena antar data seimbang. 5.
KESIMPULAN
1. Ada pengaruh antara tingkat kepercayaan berkomunikasi di jejaringan sosial internet (social media) mahasiswa terhadap perilaku beli mereka, namun pengaruhnya dalam kategori biasa saja. 2. Pengetahuan mahasiswa terhadap kaskus sudah tinggi, namun pemahaman tersebut tidak menggiring pada perilaku beli hanya kepada keyakinan mereka terhadap kaskus. 3.Tingkat kepercayaan berkomunikasi dan perilaku beli mahasiswa dalam menggunakan kaskus hanya dalam kategori biasa saja (sedang), meski dalam mengakses tergolong sering. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
11
Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)
• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
DAFTAR PUSTAKA Beebe, Stephen. 2008. Interpersonal CommunI cation: Relating to Others. United States: Pearson Education Inc. Budiman, C. Hartati. 2009. Komunikasi Bisnis Efektif. Tangerang: PT Pustaka Mandiri. Cangara, Hafied. 2005. Pengantar Ilmu Komu nikasi. Jakarta Raja Grafindo. Devito, Joseph. A. 2009. The Interpersonal Communication Book. Boston: Pearson
12
Prasetijo, Ristiyanti dan Jhon J.O. Ihalauw. 2005. Perilaku Konsumen. Yogyakarta: ANDI. Safko, Lon. 2010. The Social media bible: tac- tics, tools, and strategies for businees success. 2nd.ed. New Jersey: Wiley. Straubhaar and La Rose. 2004. Media now: understanding media, culture, and tech nology. Belmont: Wadsworth. Sutojo, Siswanto. 2009. Manajemen Pemasa- ran; Untuk Eksekutif Non-Pemasaran. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan Dr. Irwansyah, MA Dosen Teknologi Komunikasi di Universitas Indonesia, Universitas Multimedia Nusantara, Universitas Mercubuana, Universitas Pelita Harapan dan Ketua Pusat Kajian (Laboratorium) Komunikasi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ABSTRAK Tahun 2011 merupakan era baru teknologi komputasi awan (Cloud Computing). Teknologi komputasi awan adalah solusi teknologi informasi dan komunikasi yang memberikan kesempatan kepada konsumen untuk dapat menyewa layanan teknologi dari penyedia (provider). Penyedia memberikan jasa pengelolaan infrastruktur, platform, dan aplikasi jasa teknologi informasi sehingga memudahkan konsumen tanpa harus berinvestasi. Hanya saja, ketika media baik media massa cetak dan media online menyebarluaskan informasi tentang teknologi komputasi awan, yang terjadi adalah penggunaan istilah-istilah teknologi yang berada pada level pakar (expert sphere) yang sulit dimengerti oleh masyarakat luas. Analisis yang digunakan adalah tiga kategori teknologi komputasi awan seperti Platform as a Service (PaaS), Infrastructure as a Service (IaaS), dan Software as a Service (SaaS); dua lapisan dari model Arnold Pacey seperti lapisan pakar (expert sphere) dan pengguna (user sphere) dalam pemanfaatan teknologi; dan dua pendekatan dari Arnold Pacey tentang pendekatan obyek (object approach) dan manusia (human approach). Dengan metode analisis isi diperoleh bahwa pemberitaan tentang teknologi komputasi awan lebih banyak pada kategori PaaS, expert sphere, dan object approach. Kemudian penelitian ini memperlihat adanya kecenderungan penggunaan bahasa dan tulisan wartawan yang tidak seimbang. Dengan menggunakan analisis framing, penelitian ini memperlihatkan adanya bingkai tertentu yang dilakukan oleh wartawan dalam menulis artikel dan berita terkait dengan teknologi komputasi awan. Kata kunci: Teknologi Komputasi Awan, Level Pakar dan Pengguna, Pendekatan Obyek dan Manusia, Bingkai Media PENDAHULUAN Tahun 2011 adalah babak baru era transisi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari komputasi berbasis klien atau server menuju ke komputasi awan atau cloud computing. Berbeda dengan komputasi klien atau server, komputasi awan memungkinkan 2Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
konsumen untuk menyewa layanan teknologi dari provider seperti software, penyimpanan, platform infrastruktur dan aplikasi layanan teknologi melalui jaringan internet. Dengan layanan komputasi awan, konsumen hanya menggunakan layanan sesuai yang dibutuhkan dan membayar sesuai layanan yang dipakai. 13
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
Teknologi komputasi awan menguntungkan konsumen karena konsumen tidak perlu lagi mengeluarkan investasi besar-besaran untuk software dan aplikasi data, penyimpanannya dan perawatannya. Babak baru perkembangan komputasi awan ini ditandai dengan aksi penggelontoran dana investasi besar-besaran dari pemain-pemain besar TIK seperti IBM, Intel, Google, Fujitsu, dan Microsoft untuk mengembangkan bisnis komputasi awan. Dikatakan babak baru karena transisi menuju cloud computing pada dasarnya sudah dimulai sejak tahun 1960 ketika John McCarthy (1960) memperkirakan suatu hari komputasi akan menjadi infrastruktur publik seperti listrik dan telepon. Visi tersebut kemudian dilanjutkan oleh Larry Ellison (1995) yang memunculkan ide network computing. Kualitas jaringan komputer yang belum memadai membuat network computing ditinggalkan. Baru kemudian di era 1990-an awal muncul konsep Application Service Provider (ASP) yang memungkinkan pemilik data centre menawarkan fasilitas ‘hosting’ aplikasi yang dapat diakses pelanggan melalui jaringan computer (Falahuddin, 2010). Lebih lanjut, jargon atau istilah cloud computing sendiri mulai menggema di industri TIK pada tahun 2005 terutama sejak namanama besar di dunia TIK seperti Amazon.com meluncurkan Amazon Elastic Compute Cloud (EC2), kemudian Google dengan google app engine, dan IBM dengan Blue Cloud Initiative. Babak demi babak transisi ini kemudian sampai pada tahun 2011 ketika IBM pada tanggal 7 Maret 2011 yang lalu mengumumkan investasi sebesar US$38 Miliar untuk membangun pusat data yang dinamai “IBM Asia Pacific Cloud Computing Data Centre” di Singapura. Tidak main-main, fasilitas baru ini menambah kemampuan IBM sebagai jaringan pelayanan awan global yang terintegrasi dengan pusatpusat IBM lainnya seperti Jerman, Kanada, dan Amerika Serikat. Integrasi juga mencakup 13 laboratorum awan global yang dimiliki IBM, yang tujuh diantaranya ada di Asia Pasifik – 14
• Dr. Irwansyah, MA
China, India, Korea, Jepang, Hong Kong, Vietnam dan Singapura (IBM, 2011). Sementara itu, Fujitsu juga menginvestasikan dana US$1.1 Miliar sekaligus melakukan pelatihan kepada 5.000 spesialis teknologi komputasi awan hingga akhir 2012 untuk mengembangkan infrastruktur komputasi awan Fujitsu “Infastructure as a Service” (IAAS). Dengan fasilitas IAAS yang sudah ada sebelumnya, pelayanan komputasi awan Fujitsu telah menghasilkan US$ 14 juta. Dengan pengembangan yang masih terus berjalan, Fujitsu menargetkan bisa mendapatkan revenue dari bisnis layananan komputasi awan sebesar US$ 17 Miliar pada tahun 2016 (www.fujitsu.com, 2011). Meski tidak menyebutkan jumlah investasinya, nama besar lain seperti Google dan Intel juga sudah mengarahkan gerbong bisnisnya menuju pengembangan layanan cloud computing. Jika Google sudah bersiap dengan sistem operasi Cloud Chrome OS (Falahuddin, 2010), Intel juga menetapkan pergeseran menuju komputasi awan dalam visi Intel’s Cloud 2015 melalui Intel Cloud Builder (Intel, 2010). Dalam visi ini komputasi awan difederasi, diotomatisasi dan sadar akan kliennya. Terfederasi artinya komunikasi, data, dan layanan dapat berpindah secara mudah di dalam maupun melintasi infrastruktur komputasi awan. Terotomatisasi artinya layanan dan sumberdaya komputasi awan dapat ditetapkan, ditempatkan dan disiapkan secara aman hampir tanpa interaksi manusia. Sementara yang dimaksud dengan sadar klien adalah aplikasi yang berbasis awan dapat secara dinamis memahami dan memberi keuntungan pada penggunanya dengan cara mengoptimalkan kemampuan device yang dimiliki klien dan meningkatkan kapabilitas layanan dengan cara yang aman (Intel, 2010). Jika beberapa pemain besar sedang mulai membangun dan memantapkan infrastrukturnya untuk menuju era komputasi awan, Microsoft mengaku bahwa secara keseluruhan (all in) sudah berada di awan (Harms & YaJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
martino, 2010). Microsoft sudah mulai melangkah dengan layanan komersial “Software as a Service” (SaaS) dengan Office 365 dan platform komputasi awan yang disebut “Windows Azure Platform”. Office 365 menonjolkan aplikasi yang familiar dengan pelanggan misalnya pertukaran e-mail dan kolaborasi sharepoint melalui awan milik Microsoft. Sementara “Windows Azure” merupakan platform komputasi awan yang memungkinkan pelanggan untuk membangun sendiri aplikasinya dan mengoperasikan IT-nya dengan cara aman dan terukur di dalam awan. Membentuk aplikasi yang terukur dan sempurna tidak mudah, oleh karena itu Microsoft membangun “Windows Azure” dengan memanfaatkan keahlian ahli di Microsoft dalam membangun aplikasi yang memaksimalkan awan, misalnya “Office 365”, “Bing” dan “Windows Live Hotmail“ (Foley, 2011). Tidak hanya sekedar memindahkan mesin virtual ke dalam awan, Microsoft juga membangun platform sebagai layanan yang mengurangi kompleksitas pengembang dan administrator teknologi informasi (Harms & Yamartino, 2010). Dalam pengembangan komputasi awannya Microsoft juga membangun hubungan dengan 600.000 rekanan yang tersebar di sekitar 200 negara (Harms & Yamartino, 2010). Microsoft juga telah melayani jutaan bisnis dan berkolaborasi dengan ribuan rekanan di dalam transisi awan. Demi mengembangkan layanan komputasi awan yang paling aman, paling bisa diandalkan, paling tersedia dan paling terukur, Microsoft gencar mengadakan pengenalan dan edukasi teknologi komputasi awan di negara-negara yang bekerja sama dengan Microsoft, salah satunya Indonesia (Harms & Yamartino, 2010). Tidak banyak yang tahu jika di Indonesia Microsoft telah melakukan pengenalan teknologi komputasi awan tidak hanya untuk dunia bisnis tetapi juga di dunia pendidikan. Sutanto Hartono (2010) mengatakan bahwa Microsoft membantu edukasi di Indonesia untuk menuju era digital dalam mewujudkan Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
knowledge base society. Salah satu kerjasama yang dibangun adalah bersama dengan Primagama. Primagama saat ini telah mengadopsi layanan cloud computing dari Microsoft secara keseluruhan yang terdiri dari infrastruktur, platform, dan software karena menggunakan server Microsoft (Zuhri, 2011). Bahkan untuk memperkuat sosialisasi teknologi komputasi awan di Indonesia, Microsoft Indonesia juga menyelenggarakan kompetisi penulisan jurnalistik teknologi komputasi awan. Dengan menggunakan tema “komputasi awan” diharapkan reporter sebagai ujung tombak sosialisasi dengan menggunakan media dapat memberikan penjelasan yang baik tentang komputasi awan. Hal ini dikatakan oleh Zuhri (2011) bahwa komputasi awan bukan hal baru dalam sektor teknologi informasi dan komunikasi, namun bagi masyarakat umum yang tidak terlalu bersinggungan dengan TIK, komputasi awan merupakan hal yang baru. Selama ini, teknologi komputasi awan belum banyak dimengerti oleh masyarakat awam dan terus dianggap sebagai barang baru yang sulit untuk dipahami. Hal ini salah satunya diakibatkan oleh pemberitaan media massa baik media konvensional maupun media baru (online) di Indonesia yang memberitakan komputasi awan yang ditengarai menggunakan bahasa yang berada pada level expert sphere atau level pakar. Sehingga artikel-artikel yang muncul menggunakan istilah-istilah teknologi yang hanya dimengerti oleh orang yang berkecimpung di dunia TIK. Padahal media dianggap sebagai saluran yang digunakan untuk membuat masyarakat melek terhadap teknologi (technological literacy). Media dianggap sebagai bagian dari sistem edukasi informal yang menyediakan kesempatan untuk masyarakat untuk mempelajari dan menjadi terlibat dalam beragam isu yang berhubungan dengan teknologi. Media dianggap memiliki dampak yang bisa diukur dalam membuat khalayak memperoleh pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Miller, 2002). 15
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
Penyebarluasan informasi tentang teknologi komputasi awan, yang dilakukan oleh media massa di Indonesia masih sering menggunakan istilah-istilah yang berada pada level pakar karena umumnya reporter yang meliput kegiatan-kegiatan yang terkait dengan teknologi komputasi awan di Indonesia seringkali tidak memiliki latar belakang TIK. Selain itu seringkali media yang memberitakan teknologi komputasi awan adalah media massa umum yang tidak memiliki segmentasi di bidang TIK. Sehingga jika di dalam media massa umum yang tidak segmentasi TIK muncul liputan-liputan komputasi awan yang menggunakan bahasa level pakar, maka pembaca umum yang tidak memiliki latar belakang TIK menjadi sulit memahami komputasi awan tersebut. Karena pemilihan kata, kalimat dan frase yang kurang sesuai dengan kebutuhan informasi khalayak umum yang notabene tidak semuanya memiliki dasar TIK, maka fungsi media yang membuat masyarakat melek teknologi sulit terpenuhi. Beranjak dari permasalahan tersebut maka penelitian ini mencoba menggali lebih dalam model dan jenis pemberitaan tentang teknologi komputasi awan yang dimuat oleh media massa baik itu media cetak atau media online. Adapun permasalahan dalam penelitian ini diuraikan secara lebih rinci adalah: (1) media-media apa saja yang memberitakan perkembangan teknologi komputasi awan di Indonesia? (2) bagaimana media-media tersebut memberitakan teknologi komputasi awan? (3) bagaimana perbandingan lapisan (sphere) pada pemberitaan teknologi komputasi awan dalam pemberitaan media-media tersebut? Pertanyaan penelitian yang diajukan terkait dengan tujuan dan signifikansi penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis media yang memberitakan perkembangan teknologi komputasi awan di Indonesia, mengetahui kategori-kategori yang dibuat oleh media terkait dengan pemberitaan teknologi komputasi awan dan mengetahui perbandingan lapisan (sphere) yang terdapat 16
• Dr. Irwansyah, MA
dalam pemberitaan teknologi komputasi awan di media massa dan online. Kemudian signifikansi teoritis dan akademis yang terkait bahwa belum adanya pengkajian teknologi komputasi awan secara konseptul dari perspektif teknologi komunikasi khususnya dari perspektif media yang spesifik kepada reporternya. Sementara dalam konteks signifikansi praktis, penelitian memperlihatkan perlu adanya perubahan dalam gaya penulisan reporter terkait dengan pemberitaan dan peristiwa teknologi. KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini menggunakan tiga konsep pemikiran untuk menganalisis pemberitaan teknologi komputasi awan. Konsep pemikiran yang pertama menjelaskan mengenai komputasi awan. Kemudian konsep pemikiran kedua menjelaskan budaya teknologi komputasi awan dan konsep pemikiran ketiga menjelaskan mengenai agenda setting teknologi komputasi awan yang kemudian dijadikan dasar untuk melakukan framing. Teknologi Komputasi Awan Komputasi awan muncul karena meningkatnya tuntutan permintaan pusat data (data center) dengan kapasitas tinggi dan sumberdaya yang semakin terintegrasi. Permintaan ini dibarengi dengan meningkatnya kebutuhan untuk mengelola pertumbuhan bisnis dan meningkatnya fleksibilitas TIK (Harms & Yamartino, 2010). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, komputasi awan berkembang secara bertahap dalam dua bentuk. Pertama dalam bentuk awan publik (public cloud) yang dikembangkan oleh perusahaan internet, telekomunikasi, provider layanan hosting dan sebagainya. Bentuk yang kedua adalah awan pribadi atau awan perusahaan (private cloud or enterprise cloud) yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan dengan menggunakan firewall untuk penggunaan internal organisasi (Intel, 2010). Selain tuntutan permintaan pusat data dan sumberdaya yang terintegrasi, teknologi komputasi awan juga muncul karena adanya pergeseran Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
yang mendasar dalam ekonomi TIK. Komputasi awan membuat standarisasi dan mengumpulkan sumberdaya TIK serta mengotomatisasi beberapa tugas dan fungsi yang selama ini masih dikerjakan secara manual. Desain awan memfasilitasi konsumsi secara elastis dan fleksibel, layanan mandiri, dan harga yang sesuai dengan penggunaan fasilitas. Komputasi awan juga memungkinkan infrastruktur TIK yang paling mendasar dapat diubah menjadi pusat data yang luas, sehingga secara ekonomis, komputasi awan memberikan tiga keuntungan (Intel, 2010). Keuntungan teknologi komputasi awan yang pertama adalah penghematan dari sisi supply, yaitu pusat data yang berskala luas (Large-data centers –DC’s) dapat menghemat biaya yang dikeluarkan untuk server. Yang kedua pengkombinasian dari sisi permintaan. Pengkombinasian permintaan dari komputasi untuk melancarkan komunikasi memungkinkan peningkatan pemanfaatan server. Sementara yang terakhir adalah efisiensi multi sewa (multy-tenancy) (Intel, 2010) . Ketika berganti ke dalam model aplikasi yang multi sewa, maka komputasi awan dapat menghemat biaya yang dikeluarkan untuk sewa dan pengelolaan aplikasi (Harms & Yamartino, 2010). Secara praktis, komputasi awan memberikan keuntungan karena sifat dasar komputasi awan adalah menggunakan pusat data yang besar sehingga bisa menyebarkan sumberdaya komputasi dengan biaya yang jauh lebih murah dari pada menggunakan pusat data yang lebih kecil. Selain itu permintaan penyatuan (pooling) dalam suatu pusat data yang luas memungkinkan peingkatan pemanfaatan sumberdaya, terutama dalam awan publik (public cloud). Kemudian penyedia sewa aplikasi yang multisewa (multy-tenancy) dapat menghemat biaya tenaga kerja dan perawatan aplikasi. Komputasi awan juga menjanjikan penawaran yang elastis dan ketangkasan yang memungkinkan berkembangnya solusi dan aplikasi baru (Intel, 2010). Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
Komputasi awan memiliki layanan yang dapat dibagi menjadi tiga segmen. Segmen tersebut adalah software (perangkat lunak), platform, dan infrastruktur. Masingmasing segmen ini memiliki tujuan berbeda dan menawarkan produk yang berbeda untuk bisnis dan individu di seluruh dunia. Layanan yang pertama adalah Software as a Service (SaaS), yaitu layanan yang berbasis pada konsep menyewakan software dari sebuah provider layanan sehingga pelanggan tidak perlu membeli software. Dari SaaS, industri berpindah menuju Platform as a Service (PaaS) yang menawarkan pengembangan platform untuk para developer. Pengguna layanan ini membuat kode mereka sendiri, kemudian provider PaaS mengunggah dan menampilkannya di web. PaaS menyediakan layanan untuk mengembangkan, menguji, menyebarkan, menjadi host dan menjaga aplikasi di dalam lingkungan pengembangan yang sama. Segmen terakhir dari komputasi awan adalah Infrastructure as a Service (IaaS) yang memungkinkan pengguna komputasi awan untuk membeli infrastuktur berdasarkan kebutuhan mereka. Keuntungannya adalah pengguna hanya membayar layanan sesuai dengan yang mereka gunakan, sehingga tidak perlu membayar mahal untuk membeli layanan yang pada dasarnya jarang digunakan (cloudtweaks.com, 2011). Budaya Teknologi Konsep teknologi Arnold Pacey dapat digunakan untuk memahami budaya teknologi komputasi awan. Pacey (2000) membantu meluruskan pemahaman tentang teknologi di era sebelumnya yang selalu diasosiasikan dengan mesin. Menurut Pacey, teknologi memiliki tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek organisasi yang merepresentasikan keran-keran administrasi, kebijakan publik yang berhubungan dengan aktifitas desainer, insinyur, teknisi, pekerja, dan juga kepedulian kepada pengguna dan konsumen. Aspek kedua adalah aspek teknikal yang berhubungan dengan mesin, teknik pengetahuan dan hal-hal penting lainnya 17
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
yang memungkinkan teknologi dapat berjalan. Kedua aspek ini bersamaan dengan beragam keyakinan dan kebiasaan berpikir yang merupakan karakter dari aktivitas teknis dan ilmiah dapat diindikasikan sebagai aspek budaya dari teknologi. Kemudian, Pacey (2000) juga melihat adanya aspek organisasional yang mencakup aktivitas ekonomi, industri, professional, pengguna dan konsumen. Sementara aspek teknis mencakup pengetahuan, keahlian dan teknik, peralatan, mesin, bahan kimia, sumberdaya, produk dan limbahnya. Sedangkan aspek kultural mencakup tujuan, nilai dan kode etik, keyakinan pada kemajuan, kesadaran dan kreativitas. Dalam sebuah teknologi, selalu ada aspek teknis yang dapat menimbulkan masalah misalnya kerusakan alat atau teknologi terlalu sulit untuk digunakan. Kemudian secara organisasional, sering kali ada kesulitan dalam perawatan (maintenance) teknologi. Kemudian teknologi selalu memiliki aspek budaya, yaitu teknologi yang diciptakan sesuai dengan budaya (keyakinan dan kebiasaan berpikir) para pencipta teknologi. Dari ketiga aspek ini maka dari segi utilisasi, teknologi dapat dibedakan menjadi dua ruang, yakni ruang ahli/pakar (expert sphere) dan ruang pengguna (user sphere). Dengan menggunakan model Arnold Pacey (2000) mengenai tiga aspek teknologi dan dua sphere teknologi, maka penelitian ini menggali pemberitaan teknologi komputasi awan di media massa Indonesia. Berdasarkan tiga aspek teknologi Pacey, idealnya pemberitaan di media massa mengenai teknologi komputasi awan juga mencakup ketiga area ini. Namun pada kenyataannya baik dari penciptaan, pelayanan maupun ulasan di media sering kali terjadi ketimpangan antara ketiga area tersebut. Begitu pula dengan pembagian ruang teknologi pada ulasan media. Ulasan teknologi pada media harus mengakomodasi kedua ruang, baik expert dan user secara proporsional. Adanya dua lapisan: pakar (expert sphere) dan pengguna (user sphere) dalam pemanfaatan teknologi, penelitian ini bermaksud membedah 18
• Dr. Irwansyah, MA
pemberitaan-pemberitaan media massa di Indonesia mengenai teknologi komputasi awan. Dengan dua sphere Pacey, penelitian ini bermaksud mencari tahu kecenderungan penggunaan bahasa dan tulisan wartawan yang tidak seimbang antara bahasa expert sphere dan user sphere. Sesuai konsep Pacey, idealnya penulisan artikel teknologi komputasi awan pada media massa di Indonesia tidak hanya dibatasi pada hal teknis, namun juga memperhatikan dimensi lain seperti politik, sosial, dan ekonomi untuk menyelaraskan ruang expert dan ruang user dalam ulasan di media. Kemudian dari tiga aspek teknologi, Pacey (2001) juga mengungkapkan adanya dua pendekatan pada teknologi yaitu pendekatan objek (object approach) dan pendekatan manusia (human approach). Perbedaan antara pendekatan obyek dan pendekatan manusia muncul karena adanya dua ide dasar yang ada. Disatu sisi, ada komitmen yang nyata pada kemanusiaan dan niat yang benar-benar murni berpusatkan pada kehidupan para ilmuwan dan insinyur. Namun di sisi lain ada antusiasme dan dorongan yang berhubungan dengan mesin yang berkekuatan tinggi, yang membuat pola visual dan eksplorasi yang sama sekali tidak memiliki kaitan langsung dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia (Pacey, 2001). Agenda Setting Teknologi Komputasi Awan Teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell Mc Combs dan Donald Shaw (1972) adalah salah satu teori tentang proses dampak media atau efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Teori ini termasuk dalam Phase 3 dari The Primes Of Media Effect yakni Powerful Media Rediscovered (McQuail, 2000). Agenda setting menggambarkan kekuatan pengaruh media yang sangat kuat terhadap pembentukan opini masyarakat. �‌ media massa dengan memberikan perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Orang akan cenderung mengetahui tentang hal-hal yang diberitakan Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
media massa dan menerima susunan prioritas yang diberikan media massa terhadap isu-isu yang berbeda” (Sendjaja, 2000: 1999). Media massa memiliki kemampuan untuk memberitahukan kepada masyarakat atau khalayak tentang isu-isu tertentu yang dianggap penting dan kemudian khalayak tidak hanya mempelajari dan memahami isu-isu pemberitaan tapi juga seberapa penting arti suatu isu atau topik berdasarkan cara media massa memberikan penekanan terhadap isu tersebut. Jadi sesuatu yang dianggap penting dan menjadi agenda media maka itu pulalah yang juga dianggap penting dan menjadi media bagi khalayak. Menurut Bernard Cohen, "The press may not be successful much of the time in telling its readers what to think, but it is stunningly successful in telling its readers what to think about" (1963: 13). Untuk itu, media melakukan seleksi sebelum melaporkan berita kemudian melakukan gatekeeping terhadap informasi. Kemudian media membuat pilihan terhadap sesuatu yang akan diberitakan. Dengan demikian sesuatu yang diketahui oleh khalayak pada umumnya merupakan hasil dari media gate keeping (Shoemaker & Vos, 2009). Ada tiga proses agenda setting : Pertama, media agenda yaitu ketika isu didiskusikan dalam media. Kedua, public agenda yaitu ketika isu didiskusikan dan secara pribadi sesuai dengan khalayak. Ketiga, policy agenda yaitu pada saat para pembuat kebijaksanaan menyadari pentingnya isu tersebut. Secara umum, ketiga proses agenda setting saling terkait satu sama lain, agenda media dapat mempengaruhi agenda publik, dan agenda publiklah yang nantinya akan menentukan agenda kebijakan. Namun, saling berkaitannya variabel-variabel tersebut bisa jadi tidaklah linear, melainkan bisa timbal balik, hanya besar dan luasnya tingkat keterpengaruhan itu bisa dijadikan bahan kajian lanjut (McQuail, 2000). Kekuatan media banyak bergantung kepada hubungannya dengan pusat kekuasaan. Jika media erat hubungannya dengan para elit kekuasaan, maka akan terpengaruh oleh kekuaJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
saan, dan media agenda juga bisa terpengaruh olehnya. Sehingga keadaan ini membuat media bisa menjadi bagian dari ideologi dominan dalam masyarakat, dan jika ini terjadi, maka pada gilirannya ideologi dominan tersebut akan merembes ke dalam agenda publik. Jadi media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan menekankan topik tertentu yang dianggapnya penting (menetapkan ‘agenda’) sehingga membuat publik berpikir bahwa isu yang dipilih media itu penting (McQuail, 2000). Eksplorasi pada efek ageda setting telah mengobservasi fenomena komunikasi massa dari berbagai perspektif. Salah satunya adalah tipologi Acapulco (McCombs, 1981 dalam McCombs, 2005) yang dapat digunakan untuk menerangkan agenda setting. Tipologi Acapulco terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi pertama, fokus pada keseluruhan item-item yang paling mengartikan suatu agenda kemudian dimensi kedua, membagi pengukuran kesesuaian agenda media dengan agenda publik menjadi dua, mendeskripsikan pengukuran keseluruhan grup atau populasi atau mendeskripsikan pengukuran secara individu (McCombs, 2005). Tipologi Acapulco juga terdiri dari empat perspektif; yaitu perspektif pertama, dari perspektif agenda media, nilai kepentingan dari sebuah isu dapat dilihat dari jumlah total artikel yang membahas tentang isu tersebut. Kemudian dari perspektif publik, dapat dilihat berdasarkan jumlah khalayak yang “tergerak” setelah isu tersebut dijadikan perhatian publik. Selanjutnya perspektif kedua, hampir sama dengan perspektif pertama, hanya pada perspektif ini fokusnya lebih pada agenda publik secara individu. Sedangkan perspektif ketiga, fokus pada tingkat koresponden antara agenda media dan agenda publik yang naik turun berdasarkan waktu. Terakhir perspektif keempat, fokus pada individu di tingkat kepentingan tunggal agenda (McCombs, 2005). Agenda setting menggambarkan kekuatan pengaruh media yang sangat kuat dalam pembentukan opini masyarakat. Media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan 19
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
menekankan topik tertentu yang dianggapnya penting (menetapkan ‘agenda’ / agenda media) sehingga membuat publik berpikir bahwa isu yang dipilih media itu penting dan menjadi agenda publik. Menurut teori Agenda Setting ada tiga proses agenda setting yakni media agenda, public agenda dan policy agenda (McCombs, 2005). Pada penelitian ini teori agenda setting difokuskan untuk melihat agenda media. METODOLOGI Penelitian ini menganalisis pemberitaan media di Indonesia baik cetak maupun online mengenai teknologi komputasi awan selama periode November 2010 hingga Februari 2011. Periode ini berdasarkan periode yang digunakan oleh Microsoft Indonesia dalam melakukan kompetisi penulisan jurnalistik teknologi komputasi awan. Pengumuman periode ini telah dilakukan pada bulan Maret 2011 yang lalu. Kemudian dengan menggunakan metode analisis isi yang dikembangkan dalam analisis framing, penelitian ini memperlihatkan adanya bingkai tertentu yang dilakukan oleh wartawan dalam menulis artikel dan berita terkait dengan teknologi komputasi awan. Untuk memudahkan pengumpulan data melalui studi literature yaitu menganalisa artikel, maka dipergunakan kategorisasi dan penggunaan indikator atau kata kunci. Kategorisasi dan kata indikator ini dibuat sesuai dengan permasalah penelitian. Dalam permasalahan penelitian terdapat tiga pertanyaan yang dapat dijawab dengan menggunkan pendekatan-pendekatan yang dijabarkan dalam kerangka konsep. Untuk menjelaskan cara media-media di Indonesia memberitakan teknologi komputasi awan digunakan dua kategori. Kategori pertama adalah pendekatan atau fokus yang memiliki dua indikator yaitu fokus pada obyek yang menjelaskan bahwa artikel lebih menekankan pada aspek teknis perkembangan teknologi, dan fokus pada manusia yang menjelaskan bahwa artikel lebih menekankan pada pengembangan kemampuan manusia dengan adanya teknologi. 20
• Dr. Irwansyah, MA
Kategori kedua adalah layanan yang terbagi dalam tiga indikator yaitu Platform as a Service (PaaS), Software as a Service (SaaS) dan Infrastructure as a Service (IaaS) yang menjelaskan kecenderungan media massa Indonesia dalam membahas layanan komputasi awan. Kategori terakhir yaitu kategori lapisan digunakan untuk menjawab pertanyaan perbandingan lapisan (sphere) pada pemberitaan teknologi komputasi awan di media massa. Kategori ini memiliki dua indikator yaitu lapisan pengguna (user sphere) dan lapisan ahli (expert sphere) yang dapat menganalisa kecenderungan pemberitaan artikel komputasi awan di Indonesia. Setelah data kualitatif telah terkumpul seluruhnya, selanjutnya dilakukan pengkodean. Analisis data dilakukan pada setiap kode atau kategori. Dalam penelitian ini digunakan dua coder yang masing-masing menghasilkan coding dari seluruh artikel yang dianalisis. Kemudian hasil kategori dari dua coder diuji reliabilitasnya dengan menggunakan rumus Holsti (1969). Coefisien reliabilitas (CR) diperoleh dengan pembagian dari jumlah pernyataan yang disetujui oleh dua coder (M) dengan jumlah objek yang dikategorikan (Holsti, 1969). Dari hasil perhitungan coefisien reliabitas, maka ditemukan observed agreement yang diperoleh dari penelitian. Hasil pengujian reliabilitas antar coder dengan rumus Hostli memperlihatkan angka 0.96 yang berarti bahwa terdapat 96 persen tingkat kesepakatan yang terjadi antara dua coder. Hasil pengkodingan yang tidak sesuai antara kedua coder dikeluarkan dari analisis. Kemudian dari hasil yang terbanyak secara kuantiatif (frekuensi tertinggi) dari setiap kategori dipilih masingmasing tiga artikel menjadi bahan dasar untuk melakukan framing. Pemilihan tiga artikel dari masing-masing kategori berdasarkan pada tiga artikel yang berada pada tiga rangking di atas yang sering muncul di setiap kategori. Metode framing yang digunakan adalah model Pan dan Konsicki. Hal ini disebabkan karena model Pan dan Konsicki (2001) berasumsi bahwa setiap berita mempunyai Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Frame ini merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu, ke dalam teks secara keseluruhan. Dalam pendekatan ini, perangkat framing dibagi ke dalam empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, berhubungan dengan cara wartawan menyusun fakta berdasarkan peristiwa, pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa. Pengamatan dilakukan pada headline, lead, latar belakang informasi, kutipan sumber, pernyataan, dan penutup. Kedua, struktur skrip atau terkait dengan kelengkapan berita. Hal ini berhubungan dengan wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Pengamatan kelengkapan berita dilihat dari what, who, where, when, why (5W) dan how (1H). Kemudian selanjutnya yang ketiga adalah struktur tematik. Hal ini berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa. Pengamatan dilakukan ketika wartawan mengisahkan fakta secara detail, koherensi, bentuk kalimat, dan kata ganti. Indikatornya adalah adanya pernyataan dalam paragraf, preposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Yang terakhir atau keempat adalah struktur retoris. Bagian ini berhubungan dengan cara wartawan menekankan fakta dengan arti tertentu ke dalam berita. Pengamatan dilakukan pada leksikon, grafis, dan metafora. Indikator dilihat dari kata, idiom, gambar/foto, dan grafik. Dalam analisisnya, keempat struktur tersebut merupakan rangkaian yang dapat menunjukan framing dalam suatu media (Pan & Kosicki, 2001; Eriyanto, 2002). HASIL DAN DISKUSI Dari hasil penelusuran artikel mengenai teknologi komputasi awan selama periode November hingga Februari 2011, terdapat 23 media yang disepakati memberitakan secara khusus tentang teknologi komputasi awan. Sesuai dengan pertanyaan pertama, maka Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat 10 media online (43,49%) dan 13 (56,51%) diantaranya adalah media cetak. Dari 13 media cetak yang mengulas mengenai teknologi komputasi awan ini, hanya ada satu (7,69%) yang berasal dari majalah, sementara 12 (92,31%) lainnya adalah surat kabar. Kemudian dari 23 media massa yang dianalisis, terkumpul dan disepakati 35 artikel yang membahas teknologi komputasi awan. Untuk menganalisa artikel-artikel ini digunakan tiga kategori yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan kedua dalam penelitian ini. Kategori pertama adalah kategori fokus atau pendekatan yang terbagi menjadi dua indikator yaitu fokus atau pendekatan pada obyek dan fokus atau pendekatan pada manusia. Kategori kedua adalah kategori layanan, yaitu PaaS, SaaS, dan IaaS. Kedua kategori ini digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian cara media-media memberitakan teknologi komputasi awan. Kemudian kategori yang ketiga adalah kategori lapisan (sphere) yaitu lapisan ahli (expert sphere) dan lapisan pengguna (user sphere), yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga, yaitu perbandingan lapisan (sphere) pada pemberitaan teknologi dalam pemberitaan media massa di Indonesia. Fokus atau Pendekatan Pemberitaan Komputasi Awan Untuk kategori pertama, yaitu fokus artikel, dari 35 artikel terdapat 26 artikel (74,3%) yang berfokus pada cloud computing sebagai obyek dan praktek penggunaannya. Sementara itu artikel yang lebih memfokuskan pada manusia sebagai pengguna yang dapat meningkatkan kemampuan dengan teknologi ini hanya ada sembilan (9) artikel (25,7%). Contoh artikel yang memfokuskan pada objek teknologi komputasi awan adalah artikel di media yang berjudul “Microsoft Cloud Summit 2011: Microsoft Cloud Road to Prepare For Consumers� (thepresidentpost.com, 2011). Dari segi sintaksis, artikel ini memiliki lead dan head21
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
line yang orientasinya lebih ke obyek teknologi daripada unsur manusia. Berikut adalah cuplikan lead artikel ini, “Microsoft once again proves that the com-
pany’s software development of cloud computing.Microsoft has more than 15 years experience in cloud computing and has a total commitment to develop….” (thepres-
identpost.com, 21 Januari 2011).
Dari awal, artikel ini sudah lebih merujuk kepada obyek komputasi awan dibanding peningkatan kemampuan manusia dengan komputasi awan. Contoh lead lain yang lebih merujuk kepada objek daripada manusia adalah artikel dari media online yang berjudul “Microsoft Lync Diperkenalkan di Pasar Indonesia” (SWA-Online.com, 2010). Berikut adalah lead artikel ini, “Apakah perusahaan anda sudah mengaplikasikan Microsoft Lync?Jika belum, ada kabar baik karena per 17 Nopember 2010, konsumen bisnis di Indonesia dapat mengunduh versi percobaan Lynch secara cuma-cuma…dan dapat dibeli di pasaran…” (SWA-Online.com, 16 November
2010).
Cuplikan artikel di atas alih-alih bersifat informatif dengan fokus manusia dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kemampuan, namun ternyata justru seperti kalimat awal sebuah iklan mengenai teknologi baru. Selain cenderung berpromosi, artikel ini sangat fokus pada objek teknologi. Contoh artikel lain yang lebih cenderung mengarah pada obyek adalah artikel media online yang berjudul “Microsoft Reaches for Clouds With Indonesia Ambitions” (thejakartaglobe.com, 2011) dengan lead sebagai berikut, “Software giant Microsoft is looking to invest around $2,5 billion in Indonesia to develop cloud computing system….cloud computing in which vast data banks and program can be eccesed remotely using a personal
22
• Dr. Irwansyah, MA
(thejakartaglobe.com, 21 Januari 2011). comuter connected to the…”
Ketiga contoh artikel dari “thepresidentpost.com”, “Swa-Online” dan “the Jakarta Globe” menunjukkan bahwa secara sintaksis, dari lead dan headline menggambarkan body artikel yang lebih berfokus dari objek. Secara sintaksis, kecenderungan fokus pada objek juga diperlihatkan dari pernyataan penutup, misalnya kalimat penutup artikel “Microsoft Lync Diperkenalkan di Pasar Indonesia” yang berbunyi “Lync online termasuk menyediakan layanan pesan singkat, kehadiran secara maya/online, konferensi audio dan video serta telfon suara …” (SWA-Online. com, 16 November 2010), atau pada pernyataan penutup artikel “Microsoft Reaches for Clouds With Indonesia Ambitions” yang berbunyi “Sharp said competing firms offering cloud services would drive companies like Microsoft to develop better technology and products..”(thepresidentpost.com, 21 Januari 2011). Selain itu kutipan-kutipan dari sumber juga lebih fokus pada pendekatan obyek dari pada manusia, misalnya “Microsoft is very flexible, we designed a plan and a system according to the needs of every business...” (thepresidentpost.com, 21 Januari 2011). Hal yang sama seperti “Cloud computing is now the center of all the things we do...it’s an evolution of virtualization...” (thejakartaglobe.com, 21 januari 2011). Dari segi kelengkapan berita, ketiga artikel yang dianalisis ini memiliki unsur berita 5 W dan 1 H yang lengkap dan memiliki pendekatan yang sangat fokus pada obyek. Umumnya unsur dalam artikel-artikel ini sama, yaitu unsur what adalah urgensi komputasi awan, unsur who adalah Microsoft atau pemilik layanan komputasi awan, unsur why adalah alasan-alasan yang menjelaskan urgensi komputasi awan, unsur when adalah tahun perkembangan komputasi awan dari tahun 2009 hingga 2011 dan unsur where adalah Indonesia sebagai lokasi yang dipandang urgent untuk Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
mengembangkan komputasi awan. Sedangkan untuk unsur how cara penyebaran teknologi komputasi awan di Indonesia misalnya pada kalimat “kami dapat membangun solusi ini di atas sistem ini dan bekerja dalam jangkauan set sistem yang terluas..”(SWA-Online.com, 16 November 2010). Kemudian di media online tertulis,
“Through cloud summit participants can obtain the latest information about Cloud that delivered by a number of international expert speakers as well as to study the opportunity to begin to make the transition cloud, through a number of birds and plans…”(thepresidentpost.com, 21 Janu-
ari 2011).
Dari segi tematik atau cara wartawan menulis fakta dan dari segi retoris atau cara wartawan menekankan fakta, paragraf-paragraf yang digunakan dan kata-kata juga idiom juga lebih fokus pada pendekatan secara obyek. Misalnya saja “Microsoft once again proves that the company’s software development world is the leader in the development of cloud computing...”(thepresidentpost, 21 Januari 2011). Kemudian seperti pernyataan penutup “Now, all the company needs is a computer and broadband (to benefit from) cloud computing...” (thejakartaglobe.com, 21 Januari 2011), yang jelas-jelas tidak menggunakan pendekatan manusia sama sekali karena menekankan bahwa dalam era komputasi awan, yang dibutuhkan hanya sebuah komputer dan jaringan broadband, tanpa menyebut unsur manusia. Pemberitaan Layanan Komputasi Awan Kategori yang kedua adalah kategori layanan yang dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan artikel-artikel media massa dan online di Indonesia dalam membahas layanan komputasi awan. Hasil analisa menunjukkan bahwa dari 35 artikel terdapat 11 artikel (31,42%) yang mengupas semua tiga layanan yaitu platform as a service (PaaS), software as a service (SaaS), dan infrastruktur as a service Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
(IaaS). Namun demikian, yang paling banyak menjadi fokus artikel dari sisi layanan komputasi awan adalah PaaS, yaitu sebanyak 28 artikel (80%). Hal ini seperti artikel dari majalah SWA (9-19 Desember, 2010) yang berjudul “Komunikasi Mulus, Aset Migas Terurus”. Dari segi sintaksis, artikel “Komunikasi Mulus, Aset Migas Terurus” menggunakan lead dan headline yang jelas memfokuskan isi berita pada layanan komputasi awan PaaS. Misalnya saja headline artikel tersebut yang mengungkapkan “Dengan memadukan solusi ERP, BPM dan teknologi Unified communication, manajemen PT Medco E&P Internasional tidak lagi kesulitan...”(SWA, Desember, 2010). Contoh lain artikel yang secara sintaksis lebih mengupas layanan PaaS adalah artikel yang berjudul “Jalin Komunikasi dengan Lync” (Koran Tempo, 2010). Headline dari artikel ini adalah, “Mengintegrasikan layanan pesan, audio, video, serta konferensi web dan suara…Microsoft Lync merupakan platform tunggal yang mengintegrasikan layanan pesan, kehadiran secara online, audio, video...”(KoranTempo, 2010). Contoh lain artikel yang secara sintaksis yaitu dari headline dan lead lebih menekankan pada layanan PaaS adalah artikel surat kabar harian yang berjudul “Komunikasi Satu Platform saja” (Media Indonesia, 2010). Artikel ini memiliki lead sebagai berikut, “Waktu produktif pekerja bisa terkikis gara-gara mengirim e-mail, pesan singkat, dan menelepon dengan platform yang beragam...”(Media Indonesia, 20 November 2010). Secara sintaksis, dari segi kutipan sumber artikel-artikel ini juga lebih menegaskan pada layanan PaaS misalnya artikel majalah SWA yang mengupas pengalaman PT MEPI dalam menggunakan PaaS komputasi awan yang tergambar dalam pernyataan “MEPI telah mengadopsi platfor teknologi Unified Communication (UC) dari salah satu vendor…dengan solusi UC ini, kami bisa melakukan kolaborasi kerja secara virtual, sekaligus menggantikan sistem PABX di kantor pusat...” (Swa, 9-19 23
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
Desember 2010). Contoh lain adalah kutipan dari General Manager of Information System Planning Departement Nikon Corp di Koran Tempo (2010) yang menegaskan keuntungan penggunaan layanan PaaS komputasi awan sebagai berikut, “Penggunaan Microsoft Lync dengan sharePoint dan Exchange dapat meningkatkan produktifitas karyawan perusahaan…kami ingin bergerak lebih jauh lagi ketimbang hanya mengandalkan alat komunikasi tertentu seperti e-mail..” (Koran Tempo, 22
November 2010).
Dari segi sintaksis, jika dilihat melalui pernyataan penutup, ketiga artikel “Jalin Koneksi dengan Lynch” (Koran Tempo, 2010), “Komunikasi Satu Platform Saja” (Media Indonesia, 2010) dan “Komunikasi Mulus Migas Terurus” (SWA, 2010) juga sangat fokus kepada layanan PaaS. Hal ini terungkap dengan penutup yang menyatakan “cloud menjadi pilihan yang baik, perusahaan tak perlu repot-repot membangun server sendiri yang kompleks..,”(Media Indonesia, 20 November 2010). Kemudian penutup artikel yang menyatakan “melalui cloud computing... ini menjadi layanan komunikasi yang terintegrasi, murah, dan sederhana...”(Koran Tempo, 22 November 2010). Dari segi kelengkapan berita, ketiga artikel yang dianalisis ini memiliki semua unsur 5W+1H. Umumnya yang menjadi unsur what dalam artikel adalah layanan komputasi awan PaaS. Kemudian yang menjadi unsur who adalah para pengguna yang telah berpengalaman menggunakan teknologi PaaS seperti PT MEPI atau Nikon Corp. Kemudian yang menjadi unsur why adalah alasan para pengguna dalam memanfaatkan layanan PaaS untuk bisnisnya, sedangkan unsur when adalah tahun 2010 dan unsur where adalah di Indonesia. Untuk unsur how, ketiga artikel yang dianalisis mengungkapkan cara pengimplementasian layanan PaaS dalam bisnis. 24
• Dr. Irwansyah, MA
Dari segi tematik dan retoris artikel “Komunikasi Mulus, Aset Migas Terurus” (SWA, 2010) juga lebih berfokus pada PaaS. Hal ini diperlihatkan dengan paragraf-paragraf dan kata yang merujuk pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan PaaS. Hal ini seperti pada kalimat “Pada solusi ERP mulai diimplementasikan sebagai backbone untuk semua transaksi...” (SWA, 9-19 Desember 2010) atau “Fungsi BPM ini sebagai workflow dan governance atas semua proses …” (SWA, 9-19 Desember 2010) dan “melihat benefit dari platform UC berbasis OCS ini jauh lebih besar, maka...”(SWA, 9-19 Desember 2010). Demikian juga pada artikel “Komunikasi Satu Platform Saja” (Media Indonesia, 2010) yang banyak memunculkan kalimat-kalimat yang mengandung kata platform seperti “...di Amerika misalnya, seorang pekerja bisa sibuk sendiri dengan lima platform komunikasi...” (Media Indonesia, 20 November 2010), atau pada kalimat “... tak hanya mampu mengintegrasikan berbagai macam platform komunikasi, Lync juga menyajikan…” (Media Indonesia, 20 November 2010). Lapisan Ahli dan Pengguna dalam Artikel Komputasi Awan Berdasarkan kategorisasi mengenai lapisan pengguna teknologi yaitu user sphere dan expert sphere yang dioperasionalisasikan berdasarkan kerangka teori, maka dari 35 artikel yang terkumpul, 24 artikel (68,57%) diantaranya menggunakan bahasa yang lebih mengacu pada expert sphere. Hanya 11 artikel (31,43%) yang berada pada tataran user sphere. Contoh artikel yang lebih mengacu pada expert sphere adalah artikel di media Online yang berjudul “Teknologi Komputasi Awan Mulai Digunakan Perusahaan Start Up” (SWA-Online, 15 Desember 2010). Secara sintaksis dari skema berita, headline, lead, hingga pernyataan penutup disusun dengan bahasa yang cenderung mengarah pada expert, salah satunya kalimat “...cloud memungkinkan biaya start-up yang rendah dan hilangnya investasi Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
modal…” (SWA-Online, 15 Desember 2010). Pada paragraf sebelumnya artikel ini tidak menjelaskan konsep dasar awan dan definisi atau pemahaman mengenai start-up. Hal ini memperlihatkan bahwa artikel ini lebih ditujukan untuk pembaca yang berada pada lapisan atau level expert. Contoh lain artikel berita yang secara sintaksis dari segi lead dan headline mengacu kepada lapisan ahli adalah artikel dari media cetak yang berjudul “Cloud Computing Yang Tidak Terbatas” (Media Indonesia, 24 Januari 2011) yang memiliki lead sebagai berikut, “Bagi pecinta film pasti sepakat film fiksi ilmiah avatar karya James Cameron memang luar biasa…” (Media Indonesia, 24 Januari 2011). Dari kalimat pertama saja artikel ini sudah mengerucutkan pembacanya dengan kalimat “bagi pecinta film pasti sepakat”. Kemudian contoh kecondongan yang cukup jelas dapat dilihat pada artikel di media online kompas.com yang berjudul “Fleksibilitas Layanan Komputasi Awan” (Kompas.com, 20 Januari 2011) yang leadnya sebagai berikut,
“Layanan komputasi awan (cloud computing) menawarkan fleksibilitas kepada perusahaan untuk….dengan teknologi inilah perusahaan bisa memilih skala infrastruktur yang dibutuhkannya tanpa terbebani total cost ownership (TCO) atau ongkos investasi di awal” (Kompas.com,
20 Januari 2011).
Secara keseluruhan artikel-artikel yaitu “Fleksibilitas Layanan Komputasi Awan” (Kompas.com, 20 Januari 2011), “Teknologi Komputasi Awan Mulai Digunakan Perusahaan Start Up” (Swa-Online, 15 Desember 2010), dan “Cloud Computing Yang Tidak Terbatas” (Media Indonesia, 24 Januari 2011), ketiganya menggunakan sumber yang merupakan pemilik layanan, dan mitra pengembang layanan komputasi awan, bukan dari sisi pengguna yang sudah menggunakan teknologi ini. Dalam ketiga artikel ini, sumber yang digunakan umumnya berasal dari Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
Microsoft Indonesia yang merupakan expert dari teknologi komputasi awan. Sumber lain juga adalah sumber yang ahli di bidang TIK seperti Analis dari VP Gartner. Dari sintaksis berita dari segi pernyataan penutup, semua artikel ini menggunakan paragraph dan kalimat penutup yang sulit dipahami oleh pengguna awam. Misalnya saja pada artikel “Fleksibilitas Layanan Komputasi Awan” yang memiliki pernyataan penutup, “Biaya sebesar 112 miliar dollar AS akan dibelanjakan secara kumulatif untuk software asa a service, platform as a service dan infrastructure as a service dalam kurun waktu 5 tahun mendatang (Kompas.com, 20 Januari 2011). Demikian juga pada artikel “Teknologi Komputasi Awan Mulai Digunakan Perusahaan Start Up” yang memiliki pernyataan penutup sebagai berikut, “Sifat Jangkauan solusi Microsoft pun mencakup Public Cloud, Privete Cloud, dan Hybrid Cloud” (Swa-Online, 15 Desember 2010). Juga penutup pada artikel “Cloud Computing Yang Tidak Terbatas” yang menyatakan “Namun kalau untuk mengakses data-data seperti banking application, memang butuh internet berkecepatan tinggi” (Media Indonesia, 24 Januari 2011). Dari segi skrip, artikel berita ini sudah memenuhi unsur 5 W dan 1 H. Umumnya yang menjadi unsur what adalah perkembangan komputasi awan, unsur who adalah layanan komputasi awan yang tidak terbatas, unsur why adalah alasan-alasan yang menjelaskan pentingnya komputasi awan, unsur when adalah tahun masuknya komputasi awan di Indonesia yaitu tahun 2010 dan unsur where adalah Indonesia sebagai lokasi perkembangan komputasi awan. Sedangkan untuk unsur how cara penyebaran teknologi komputasi awan di Indonesia. Dari segi tematik dan retoris, fakta, kalimat yang digunakan, kata-kata juga idiom yang digunakan juga mengacu ke pembaca expert. Kata-kata seperti cloud, start up, SaaS, PaaS, IaaS, Public Cloud, Private Cloud, dan Hybrid Cloud muncul dalam artikel “Teknologi Komputasi Awan Mulai Digunakan Peru25
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
sahaan Start Up” (Swa-Online, 15 Desember 2010) tanpa ada penjelasan yang dapat digunakan pembaca yang awam untuk memahami kata-kata tersebut. Demikian juga kata-kata seperti kapasitas broadband dan banking application dan siapa atau apa VP Gartner yang muncul tanpa penjelasan dalam artikel “Cloud Computing Yang Tidak Terbatas” (Media Indonesia, 24 Januari 2011), akan membingungkan pembaca yang tidak mengikuti perkembangan TIK. KESIMPULAN Teknologi komputasi awan adalah salah satu solusi layanan TIK yang memungkinkan penggunanya menyewa layanan TIK dari penyedia jasa layanan (provider) baik itu layanan software, platform maupun infrastruktur. Perkembangan teknologi komputasi awan pada tahun 2011 semakin pesat dengan banyaknya investasi dari perusahaan-perusahaan besar yang bermain di industri TIK, misalnya Microsoft, Fujitsu, Google, IBM dan Intel. Tidak hanya di luar negeri, perkembangan teknologi komputasi awan juga sudah merambah Indonesia dengan banyaknya lembaga dan korporasi di Idonesia yang mulai menggunakan teknologi komputasi awan misalnya Primagama dan PT Medco E&P Internasional. Meskipun sudah banyak perusahaan yang menggunakan layanan komputasi awan, namun gaung komputasi awan di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat awam belum begitu kencang terdengar. Padahal tidak menutup kemungkinan, perkembangan komputasi awan di Indonesia bisa sampai pada level pengguna individu, tidak hanya pada perusahaan besar saja. Hal ini disebabkan oleh penyebaran informasi tentang teknologi komputasi awan yang dilakukan oleh media massa cetak dan online di Indonesia masih sering menggunakan istilah-istilah yang kurang sesuai dengan kebutuhan informasi khalayak umum yang notabene tidak semuanya memiliki dasar TIK. 26
• Dr. Irwansyah, MA
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media yang dominan mengupas teknologi komputasi awan adalah surat kabar dan media online. Penelitian ini memperlihatkan juga cara media memberitakan teknologi komputasi awan yang kebanyakan masih memfokuskan pada komputasi awan sebagai obyek, bukan pada manusia sebagai pengguna komputasi awan yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan menggunakan teknologi komputasi awan. Kemudian, sebagian besar artikel juga masih memfokuskan pokok bahasan pada Platform as a Service (PaaS), padahal perlu adanya keseimbangan dalam pemberitaan mengenai tiga layanan komputasi awan agar masyarakat memahami dengan baik layanan-layanan komputasi awan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas artikel di Indonesia masih mengacu pada lapisan ahli (expert sphere). Dari lead, hingga kata-kata yang digunakan sampai sumber berita, sebagian besar masih berada di level expert padahal artikel tersebut ditulis oleh media yang pangsa pasarnya umum atau tidak tersegmentasi pada para ahli atau pakar TIK. Hal ini tentu meyurutkan minat pembaca untuk berusaha memahami lebih lanjut tentang teknologi komputasi awan. Kata-kata dan idiom yang tidak dijelaskan artinya tentu tidak akan dipahami oleh masyarakat awam. Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa informasi mengenai teknologi komputasi awan dalam pemberitaan pada media massa baik cetak maupun online di Indonesia masih belum seimbang, baik itu dari fokus bahasan yang masih memfokuskan pada teknologi sebagai obyek maupun informasi mengenai layanan. Selain itu pemberitaan di media massa juga masih cenderung mengacu pada lapisan ahli sehingga sulit dipahami oleh masyarakat awam. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan bagi para pemangku kepentingan di media massa baik cetak maupun online dalam melakukan pemberitaan, sehingga masyarakat dapat mudah memahami teknologi komputasi awan. Idealnya, Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dr. Irwansyah, MA
sebuah berita harus seimbang. Khususnya untuk pemberitaan mengenai teknologi, pemberitaan harus cover both side dari sisi lapisan pengguna (user sphere) maupun lapisan ahli (expert sphere).
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
Holsti, O.R. (1969). Content Analysis for the Social Sciences and Humani ties. Reading, MA: Addison-Wesley.
IBM (2011) IBM invests US$38M in cloud computing data centre to address Asia REFERENSI Pacific growth, diakses dari http://www-03.ibm.com/press/us/en/ Cloudtweaks.com (2011) Unleashed cloud pressrelease/33974.wss, tanggal 3 ma performance: Making the promise of ret 2011, pukul 9.53 WIB. cloud reality, diakses dari http://www. Intel, (2010) Intel’s vision of the ongoing shift cloudtweaks.com/2011/03/unleashing- to cloud computing: Executive summa cloud-performance-making-the ry, diakses dari www.intel.com/go/ promise-of-cloud-a-reality/, tanggal 29 cloud tanggal 24 Februari 2011 pukul Maret 2011, pukul 08.00 WIB. 13.30 WIB Cohen, B.C. (1963). The press and foreign pol Janssen, M. C. (2005) A framing analysis of icy. Princeton, NJ: Princeton. weblogs and online newspapers, tesis de Vreese, C. H. (2005) News framing: master, paper 3811, diakses dari Theory and typology, Information De http:// scholarworks.sjsu.edu/etd_the sign Journal + Document Design, 13 ses/3811, tanggal 21 Februari 2011, pu (1), 51-62. kul 15.00 WIB Eriyanto (2002), Analisis Framing, Yogyakar McCombs, M. (2005). “A Look at agenda ta: LkiS. setting: Past, present and future.” Jour Falahuddin, M.J. (2010) Lebih Jauh nalism Studies 6, 4. 543-557. Mengenal Komputasi Awan, diakses McCombs, M., & Shaw, D. (1972), The agen dari http://www.detik.com/read/ da-setting function of mass media, 2010/02/24/lebih-jauh-mengenal-kom Public Opinion Quarterly, 36, 176-187. putasi-awan, tanggal 25 Maret 2011, McQuail, D. (2000). McQuail’s mass commu pukul 14.00 WIB nication theory (4th ed.).Thousand Foley, Mary Jo. Microsoft Deliver Toolkit Oaks, CA: Sage Publications. for Using Windows Azure to Miller, J. H. (2002) Get a life! The way we live Build Windows Phone 7 Apps, (now and then): Paper disajikan pada diakses dari, http://www.zdnet.com/ the Digital Culture Workshop, Univer microsoft/microsoft-deliver-toolkit- sity of California, Irvine, January 2003. for-using-windows-azure-toPacey, A. (2000) Culture of technology, Bos build-windows-phone-7-apps/8993, ton: MIT Press. tanggal 28 Maret 2011, Pacey, A. (2001) Meaning in technology, Bos pukul 16.00 WIB ton: MIT Press. Fujitsu.com (2011) Cloud computing to be Pan, Z., & Kosicki, G. (2001) "Framing as Stra come Fujitsu cornerstone strategy in tegic Action" in Reese, S., Gandy, O., 2011, diakses dari http://www.fujitsu. & Grant, A., (eds.) Framing Public Life: com/id/news/pr/20110125-en. Perspectives on Media and our under html, tanggal 20 Februari 2011, pukul standing of the social world . Mahwah, 12.31 WIB. N.J: Lawrence Erlbaum. Harms, R., & Yamartino, M. (2010) The eco Reese, S. (2005). Framing Public Life: A nomics of clouds, Microsoft. Bridging Model for Media Re Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
27
Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan
search dalam Reese,S., Gandy, O. & Grant A. (eds), Framing Public Life: Perspectives on Media an dour Understanding of the Social World. Hillsdale, NJ: Lawrence Erl baum &Associates. 7-33. Reese, S. D. (2007) The Framing project: A bridging model for media research re visited. Journal of Communication 57: 148–54. Scheufele, D. A. (1999) Framing as a theory of media effects, Journal of Communi cation, 103-123. Scheufele, D. A., & Tewksbury, D.(2007) Framing, agenda setting, and priming: The evolution of three media effects models.
28
• Dr. Irwansyah, MA
Journal of Communication 57: 9–20. Sendjaja, S. D., (2000) Teori Komunikasi, Ja karta, Jakarta: Universitas Terbuka. Shoemaker, P. J., & Vos, T. P., (2009) Gate keeping theory, New York: Routledge. Weaver, D. H. (2007) Thoughts on agenda set ting, framing, and priming. Journal of Communication 57: 142–47. Zhou, Y., & Moy, P. (2007) Parsing framing processes: The interplay between on line public opinion and media cover age. Journal of Communication 57: 79–98. Zuhri, (2011) Siapkah RI mengadopsi cloud computing, Bisnis Indonesia, Kamis 22 Januari 2011.
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Hendri Prasetyo
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern. Hendri Prasetyo Dosen komunikasi di universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta ABSTRACT Cyberspace is a brave new world that creates a new cultural form comes from daily life interaction among the user by computer network technology. People creates selves through social interactions and built sense of community – virtual community. Meaning and reality that constructed and shared within the cyberspace turns to cybercultures containing with feelings, attitude, emotional and pattern of behavior - also specific communication behavior. Pattern of communication behavior existing a set of norms, value that maintaining through continuous interaction and become a social map of meaning. This paper try to capture cyberspace and cybercultures from Gidden’s structurations stand point that view a user as an agent that constructing meaning and subjective reality of cyberspace with their cultural perspective. It’s offering a unique phenomena when people from different culture dealing with cyberspace activity and creating specific cybercultures Keywords: Cyberspace, Cyber Community
Media komunikasi dan informasi merupakan mesin pendorong proses social yang memungkinkan terjadinya interaksi antar manusia, mengukuhkan keberadaannya sebagai makhluk social. Dalam kehidupannya, manusia berinteraksi dengan beragam. cara, mulai dari yang se-alamiah mungkin hingga yang melibatkan penggunaan perangkat-perangkat teknis. Berbagai media komunikasi diciptakan dan dikembangkan dalam peradaban komunikasi manusia - Sejak peradaban manual, mekanis hingga era elektronika modern, banyak sudah perangkat-perangkat komunikasi manusia. Loncatan teknologi pada era elektronik tidak hanya menempatkan media sebagai wahana penyampaian pesan semata (transportasional), namun media mampu menyimpan dan mengolah informasi-informasi tersebut. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Konsepsi mediamorfosis (Fidler, 2003:23) bukan sebagai rangkaian perkembangan media semata, melainkan suatu alur pikir yang memberikan pemahaman secara menyeluruh mengenai bentukan teknologi yang ada sebagai bagian dari suatu sistem yang saling terkait. Di dalamnya tercatat berbagai kesamaan dan hubungan antara bentuk dan sifat media yang muncul di masa lalu, masa sekarang dan yang masih berada dalam proses kemunculannya. Pendeknya, ketika bentukan media baru muncul bukan berarti media lama begitu saja mati, melainkan akan melebur dan menemukan bentukan baru yang adaptatif. Sebagaimana yang dideskripsikan oleh Lievrouw dan Livingstone dalam bukunya, New Media: Social Shaping and Social Consequences of ICT’s: 29
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
“New media have not replaced older media. Rather, people’s information and communication environment have become ever more individualized and commoditized, integrating pint, audio, still and moving image, broadcasting, telecommunication, computing and other mode and channel of communication and information sharing”
(Lievrouw and Livingstone, 2006:1).
Media baru lahir sebagai hibridasi dari kemampuan media-media konvensional sehingga membentuk media dengan dimensi ganda. Tidak hanya itu, media baru didasarkan pada system komputerisasi dan pola jaringan yang terintegrasi secara global. Media baru didefinisikan oleh Manuel Castell (1996) sebagai “new system of communication based on digitized networked integration of multiple communication modes” (lihat Holmes, 2005:8). Istilah media baru sendiri merujuk pada pembedaannya dengan media lama dikaitkan dengan kemampuan dan konsekuensi teknologisnya. Ron Rice (1984, dalam Lievrouw et.al, 2006:21-25) mengatakan,”new media as communication technologies typically involving computer capabilities that allow and facilitate interctivity among users or between users and information”. Media baru lebih menekankan pada kondisi keterhubungan (network) yang dalam aplikasinya dapat bersifat one to one, one to many dan many to many. Jaringan computer digunakan untuk membuat dunia parallel dan memfasilitasi komunikasi antar manusia melalui dasar teknologi yang disebut dengan “Computer Mediated Communication” - CMC. istilah CMC merujuk pada suatu proses tempat manusia menciptakan, merubah dan mempersepsikan informasi dengan menggunakan sistem telekomunikasi jaringan yang memfasilitasi terjadinya encoding, transmitting dan decoding suatu pesan. Tidak hanya terjadi secara one to one, CMC dapat dikembangkan untuk berkomunikasi secara many to many tergantung dari bagaimana kita menggunakannya. Dengan 30
• Hendri Prasetyo
demikian maka CMC dapat dijadikan wahana bagi pembentukan komunitas bersama. Dalam perspsektif ini, komputer merupakan sarana untuk masuk dalam jaringan cyber. Namun begitu terdapat beberapa anggapan yang membedakan CMC dengan konsepsi media baru yaitu: 1. CMC lebih memfokuskan pada keunikan peristiwa komunikasi yang terjadi pada ruang maya. 2. Lebih memfokuskan pada proses interaksi daripada integrasi. Dengan demikian makan kajiannya lebih pada proses antar individu daripada keseluruhan konteks sosial – dan juga tradisi bagaimana komunikasi berlangsung. 3. Mencoba memahami faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses pengunaannya. (Lievrouw dan Livingstone, 2006: ) Meskipun lebih melihat pada proses interaksi daripada integrasi, CMC mencoba memahami integrasi dalam hal penyebaran informasi yang terjadi “integration of information”. Jones mengatakan, One of the central tenets of CMC theory is that CMC enables a form of “socially produced space” (Jones, 1995:17). Beragam kegiatan layaknya kegiatan sosial pada dunia riil dapat dilakukan pada interaksi melalui CMC. Para pengguna saling berkenalan, bertegur sapa, berbisnis, beragumentasi, melontarkan ide, gagasan kritik, ancaman dan mereka pun saling jatuh cinta melalui mediasi ini. Hanya saja mereka meninggalkan dunia fisik (body). Interaksi melalui CMC menciptkan ruang alternative baru bagi interaksi social manusia. Aktivitas social melalui CMC melibatkan berbagai konteks komunikasi, baik yang bersifat personal, kelompok ataupun massa. Sebagaimana kehidupan ruang nyata, para pengguna CMC berinteraksi, bertransaksi, mendiami suatu alamat dan bersosialisasi dalam ruang maya yang dikenal dengan cyberspace. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Hendri Prasetyo
Asal kata cyberspace muncul melalui novel trilogy fiksi ilmiah karya William Gibson yang berjudul Neuromancer (1984), Count Zero (1986) dan Mona Lisa Overdrive (1988). Cyberspace digunakan untuk menyebut tempat kata, hubungan manusia, data, kekayaan dijalankan melalui aktivitas menggunakan teknologi CMC (Bell, 2001:22). Jelas, pada awalnya kehidupan maya berasal dari fantasi manusia tentang realitas dunia yang lebih maju, sebuah hiper-realitas manusia tentang nilai, citra, dan makna kehidupan manusia sebagai simbol pembebasan (escaping) manusia akan kekuatan materi dan alam semesta (Bungin, 2006:160). Dan ketika teknologi memungkinkan semua itu, maka terbentuklah ruang baru bagi manusia di dalam dunia hiper realitas (hyperreality). Konsepsi cyberspace melalui CMC mengingatkan pada apa yang disebut dengan “Agora” pada jaman Yunani Kuno. Agora adalah suatu ruang terbuka dimana informasi dan barang dipertukarkan. Informasi hadir darimulut ke mulut atau tertuliskan pada suatu dinding besar. Wadah ini kemudian dimodernisasikan dalam bentuk yang disebut sebagai “cosmopolitan coffee house” – inilah yang menjadi cikal bakal kemunculan cyberspace yang melakukan itu semua melalui mediasi komputer yang saling terhubung secara global. Deskripsi lainnya mengenai cyberspace diberikan oleh Michael Benedikt sebagai berikut :
“Cyberspace: A common mental geography, built, in turn, by consensus and revolution, canon and experiment; a territory swarming with data and lies, with mind stuff and memoriesof nature, with a million voices and two million eyes in a silent, invisible concert to enquiry, deal making, deram sharing and simple beholding”
(dalam Bell, 2001:7).
Saat ini, keterhubungan antar individu baik secara one to one, one, to many dan many to many sudah dapat terselenggara meJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
lalui berbagai fasilitas dalam aplikasi internet. Keterhubungan da pembentukan jaringan antar pengguna ini baik bersifat asyncronous maupun synchronous. CMC menyediakan ruang baru bagi pembentukan keterhubungan antar manusia dengan menanggalkan batasan waktu dan tempat. Holmes (2005:45) mengatakan, “Any medium which enclose human communication in an electronically generated space could be a form of cyberspace”. Cyberspace sering kali disandingkan dengan internet, mengingat ruang maya ini terbentuk dari kondisi keterhubungan komputer dalam suatu jaringan (network). Bell (2001:7) mengungkapkan, “we can define cyberspace in terms of hardware – as a global network computers, linked through communications infrastructures that facilitate form of interaction between remote actors”. Keterhubungan ini tidak hanya bersifat perangkat teknis semata antar komputer (hardware network) – namun harus dipahami pula bahwa keterhubungan manusia penggunanya ini memungkinkan terjadinya pertukaran makna simbolik hingga membentuk suatu realitas baru. Lebih lanjut, Bell mengatakan, “a definition partly on the ‘symbolic trope’ could define cyberspace as an imagine space between computer in which people might build new selves, new world – Cyberspace is all this; it is hardware and software, and it is images and ideas – the two are inseparable”(2007:9).
Sejalan dengan definisi tersebut, Holmes dalam bukunya “Virtual Politics: Identity & Community Cyberspace” (1997:3) mengungkapkan bahwa ruang maya merupakan dunia dimana terbentuk nilai-nilai budaya (new cultural form) baru yang terbangun melalui inetraksi keseharian (daily life interaction) diantara penggunanya melalui mediasi teknologi. Dalam ruang maya, masyarakat penggunanya membangun dirinya dengan melakukan interaksi dan proses social dalam kehidupan kelompok (jaringan) intra dan antar sesama ang31
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
gota masyarakat maya. Konstruksi masyarakat maya (cybercommunity) pada awalnya kecil dan berkembang menggunakan pola jaring laba-laba sehingga terbentuklah masyarakat yang besar. Dengan demikian, keberadaan ruang maya selalu terkait dengan komunitas virtual, yaitu mereka yang saling berinteraksi menggunakan teknologi komputer (cyberspace - cyber community), karena melalui interaksi antar mereka ruang itu tebentuk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Oswald, “The critical component of any definition of cyberspace is the element of community” (Oswald, dalam Holmes, 2005:45). Anggota masyarakat maya tidak terikat secara territorial atau bahkan tidak pernah bertemu muka sekalipun. Melalui sarana virtual mereka ber-interaksi, mempertukarkan makna dan membangun realitas dunia. Kelompok masyarakat ini diberikan label sebagai virtual communities. “Virtual communities are social aggregation that emerge from the net when enough people carry on those public discussion, with sufficient human feeling, to form webs of personal relationship in cyberspace” (Rheingold 1993:5) Lebih lanjut, Holmes menguraikan, “Virtual communities are formed and function within cyberspace – the space that exist within the connection and networks of communication technologies. They are presented by growing number of writers as exciting new form of community which liberate the individual form the social constraints of embodied identity and from the restrictions of geographically embodied space; which equalize through the removal embodied hierarchical structures; and promote the sense of connectedness (or fraternity) among interactive participants”
(Holmes, 1997: 148).
Beberapa definisi tersebut menekankan bahwa komunitas maya sama sekali tidak menekankan adanya struktur dan pertemuan tatap muka sebagaimana yang biasanya men32
• Hendri Prasetyo
jadi karakteristik dari komunitas secara konvensional namun lebih memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi yang berlangsung (on going communication). Anggapan seperti itu sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Hagel dan Amstrong (1997) yang memusatkan perhatianya pada isi dan aspek-aspek komunikasi. “Virtual communities are computer mediated spaces where there is a potential for a integration of content and communication with an emphasis on member generated content”. (dalam Wibawa, 2001) Fiona Lee (2003) menggaris bawahi karakteristik cyber communities yang diberikan oleh Rheingold: • The net / cyberspace refers to activities carried out in cyberspace, to differentiate them from real community activities; • Public discussion suggests that participant have discussion with one another, whether to share opinions, knowledge, feelings, or common interest. There is the implication that topics are generated by participants rather than web site coordinators. • Personal relationship indicates that with sufficient time, participants develop a self-sustaining relationship among themselves. Dari definisi dan deskripsi yang ada, dapat disimpulkan bahwa ruang-ruang berdimensi computer memiliki arti yang sama dengan cyberspace dan ruang internet ketika diakses melalui teknologi; dan muatan (content) yang ada mengacu pada data, informasi, diskusi, ekspresi dan perasaan-perasaan yang timbul dalam diskusi yang terjadi sesama anggota. Secara sosial keberadaan komunitas biasanya akan memunculkan apa yang disebut sebagai “sense of community” yakni karakteristik suatu komunitas yang ditandai oleh perilaku saling membantu dan secara emosional adal perasaaan memiliki “attachment”. Demikian Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Hendri Prasetyo
halnya dengan komunitas virtual, perasaan berkelompok muncul melalui pertukaran dukungan dan rasa kepercayaan yang ditanamkan ketika melakukan interaksi. Komunitas virtual bahkan memberikan cara dan kemudahan bagi individu mendapatkan perasaan diikutsertakan (inclusion), terutama bagi para individu yang mencari orang-orang yang berfikiran sama dengan mereka. Pandangan mengenai komunitas dan pembentukan komunitas maya hingga saat ini memang masih menjadi perdebatan, beberapa kalangan masih melihat komunitas dalam bentukan yang nyata dalam suatu ikatan wilayah, meskipun tidak semua orang yang berada dalam satu lingkungan yang sama dapat dikatakan komunitas, dapat dikatakan komunitas jika anggota anggota yang ada di dalamnya memiliki pengalaman yang sama dan rasa sebagai suatu komunitas “sense of community”. Jones (1997) mengatakan, komunitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu komunitas yang berdasarkan pada lingkungan yang sama “place based community” dan komunitas yang berdasarkan kepentingan bersama “communities of interest” Sementara itu, Schement membagi kategori komunitas menjadi dua berdasarkan sifat hubungannya yakni: Primary relationship dan Secondary relationship. Komunitas virtual masuk dalam kategori secondary relationship. “internet communities are really made up of secondary relationship in which pople only know each other in single, or few dimension” (Schement dalam Livingstone, 2006:98) Sementara itu Van Djik membedakan bentukan komunitas ini menjadi apa yang disebutnya sebagai “organic community” dan “virtual community”.Komunitas organic realtif memiliki homogenitas diantara anggotanya, berbeda dengan komunitas virtual yang lebih heterogen dan sifatnya melengkapi “virtual communities can’t replace organic communities since since they are limited, but perhaps they can supplement and strengthen organic communities” (Lievrouw dan Living stone, 2006:99) Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
Umumnya, kajian mengenai komunitas lebih banyak pada jenis komunitas berdasarkan tempat. Meskipun perilaku khas komunitas sepertihalnya memberikan perhatian dan dukungan emosional juga terjadi pada komunitas yang berdasarkan kepentingan bersama tanpa batasan tempat. Pool (1983) menjelaskan, Cyberspace involvement can create alternative communities that are valuable and useful as our family, physically located communities” (dalam Lievrouw dan Livingstone, 2006:99). McMillan dan Chavis mengatakan, rasa komunitas “sense of community” adalah perasaan memiliki, perasaan menjadi satu kesatuan dengan anggota lain dan perasaan berbagi. Terdapat empat dimensi dalam melihat komunitas yaitu : Pertama feeling of membership yaitu mempunyai rasa memiliki dan mengidentifkasikan dirinya dalam suatu komunitas, kedua feeling of influence, rasa memiliki pengaruh dan dipengaruhi oleh komunitasnya dan ketiga adalah integration and fulfillment of need atau rasa di dukung oleh anggota lain yang berada pada komunitas tersebut. Dan terakhir adalah shared emotional connection, atau memiliki hubungan emosional sehingga menciptakan spirit komunitas. Sense of community yang diungkapkan oleh Chavis tersebut hidup dan ada pada komunitas virtual. Ketika rasa itu tercipta maka proses sosial terjadi; seperti saling memberikan dukungan, berbagi infomasi, menciptakan memelihara dan menjalankan norma dan batasan, memberikan control social dan dukungan emosional hingga material. Mc Millan dan Chavis mengungkapkan, dalam sense of virtual community, anggota dalam komunitas virtual mulai melakukan kegiatan komunitas sebagaimana disebutkan di atas. Kegiatan ini dilakukan terus menerus sehingga terkukuhkan melalui aktivitas CMC. 33
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
Dalam realitas komunitas virtual banyak hal yang sebangun dan serupa dengan realitas social yang terdapat di dunia nyata, sebagaimana yang digambarkan oleh Rheingold berikut ini: “In cyberspace, we chat and argue, engage in intellectual intercourse, performs act and commerce, exchange knowledge, share emotional support, make plans, brainstorm, gossip, fall in love, play games, create a little art and a lot of idle talk. We do everything people do when they get together, but we do it in computer screen, leaving our bodies behind. Million of us have already built communities where our identities commingle and interact electronically, independent of local time and location”. (Rheingold,
1999:414).
Lebih lanjut, Rheingold (dalam Gibson, 1996:5) mengungkapkan, ketika CMC terjadi diantara dua orang atau satu orang dan banyak kelompok secara berkelanjutan, maka komunitas virtual terwujud. Menurutnya, komunitas virtual adalah agregasi social yang muncul dari Net ketika orang melangsungkan interaksi dan diskusi secara terus menerus dengan menyertakan perasaan pembentukan hubungan personal di ruang maya. Jadi, komunitas virtual berisi sejumlah orang yang secara regular berhubungan dan terhubungkan melalui interest, keahlian, masalah, ide, gagasan dan keinginan yang sama pada hal-hal tertentu. Meskipun demikian, dikalangan para ahli masih banyak yang mempermasalahan keabsahan komunitas maya sebagai suatu komunitas. Sebagian lain tetap mempertahankan bahwa komunitas virtual dapat saja terbentuk sepanjang perasaan berkelompok itu ada pada anggotanya. Peter L. Berger mengatakan masyarakat sebagai suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia. Dalam pandangan Cresswell masyarakat merupakan kelompk social, suatu commite yaitu sekelompok orang orang yang membangun dan berbagi kebudayaan, nilai, kepercayaan dan asumsi-asumsi bersama. 34
• Hendri Prasetyo
Intinya, komunitas adalah hasil dari interaksi dan mempertahankannya melalui interaksi yang berlanjutan. Komunitas virtual menggunakan jaringan social internet sebagai tempat (space) bertemunya anggota-anggotanya sebagai upaya mempertahan afiliasinya sehingga interaksi dan keterhubungan tersebut dapat terus berlangsung. Dengan demikian, setiap komunitas virtual memiliki budaya kolaboratif yang dibentuk, dipelihara, dipertahankan dan dikembang oleh partisipannya. Budaya ini mempengaruhi bagaimana orang berperilaku di dalamnya, dan orang berinteraksi untuk berbagi nilai, makna dan juga identitas mereka. Inilah mengapa keberadaan komunitas virtual selalu memunculkan budaya virtual, sehingga pembahasan mengenai komunitas maya ini tidak terpisahkan dengan bentukan norma dan tata nilai diantara mereka (cyberculture). Nilai dan Norma Masyarakat Virtual (Cyberculture). Ruang maya (cyberspace) dengan bentukan realitas sosial budaya yang terdapat di dalamnya membentuk cyberculture, yang terbangun dari, oleh dan untuk penggunanya (cyber community). “Cyberspace is always cyber cultures, in that we cannot separate cyberspace from its cultural context…. Cyber culture as an environment saturated by technology, so we need to read those technologies themselves as cultural” (Bell, 2001: 7).
Dunia maya merupakan bentukan alternatif ruang sosial di samping dunia nyata. Di dalamnya terbangun interaksi dengan beragam bentuk dan tujuan yang dibangun oleh mereka yang menghidupinya. Pertukaran makna, penciptaan identitas, aktivitas wacana, pertemanan dan penciptaan nilai-nilai tertentu, layaknya di dunia nyata. Pendeknya, terdapat banyak kemiripan bentuk interaksi yang tedapat di duni maya dengan realitas nyata keseharian. Ketika interaksi terbangun secara berkelanjutan dalam kurun waktu yang lama Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Hendri Prasetyo
diantara sejumlah pengguna, maka terajutlah pemaknaan-pemaknaan bersama yang lahir dari dan untuk mereka (pengguna). Tata nilai dan norma interaksi melalui CMC muncul secara alamiah. Jika tata aturan pengoperasionalan CMC tercipta secara teknis, maka tata nilai dan pemaknaan bersamaan ini terbentuk secara sosiologis. Inilah yang disebut sebagai cybercultures. Jika ruang maya “cyberspace” merujuk pada ruang baru dimana penggunanya membangun interaksi hingga terbentuklah suatu masyarakat maya (cybercommunity), maka cyberculture atau budaya maya merujuk pada seperangkat realitas yang hidup di dalamnya. Dibangun melalui proses pemaknaan bersama diantara para penggunanya. Tidak seperti tata aturan pengoperasionalan CMC yang bersifat teknis dan berlaku universal, tata nilai social dalam interaksi melalui CMC ini dapat terbentuk secara parsial, dan sangat dipengaruhi oleh konteks social dan budaya dimana teknologi tersebut digunakan. Interaksi dua arah diantara teknologi, pengguna dan konsepsi social budaya dimana teknologi itu digunakan melahirkan karaktersitik dan keunikan makna mengenai teknologi itu sendiri. Ketika teknologi dimaknai secara subyektif dengan latar social budaya penggunanya, maka teknologi itu akan ter-redefinisi dan terekonstruksi sedemikian rupa yang dapat nampak pada perlakuan pengunanya pada perangkat tersebut. Lebih lanjut, tidak hanya perangkat tersebut yang ter-redefinisi, namun lebih jauh pola perlakuan dan pemaknaan atas perangkat tersebut pada saatnya akan memaknai realitas kehidupan penggunanya. Memahami budaya maya (cyberculture) berarti mengabungkan antara dunia maya “cyber” dan budaya culture. Christine Hine (2000) mengungkapkan bahwa ruang maya sebagai suatu budaya dan menjadi artefak budaya. Pemahaman mengenai cyberspace menuntut untuk melihat pada beberapa dimensi yang terkait di dalamnya; sebagai material, secara Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
simbolik dan dimensi experiental. Sebagai suatu teknologi, cyberspace menyediakan ruang bagi penciptaan dan pertukaran pesan yang di dalamnya makna diciptakan, dikonstruksi, dikembangkan dan dijalankan. Pertukaran pesan dan pemaknaan ini tentu saja melibatkan (dan merupakan) dimensi simbolik sebagai suatu aktivitas social, dan ketika pemaknaan social itu terjadi maka konsepsi budaya selalu ada sebagai cetak biru Berangkat dari pemahaman tersebut maka cyberspace merupakan konsepsi budaya cyberspace as culture, dimana di dalamnya terdapat realitas yang hidup, dibangun dan dipelihara melalui interaksi keseharian pengunanya. Realitas dan makna yang terbangun dalam ruang inilah yang menjadi budaya dunia maya “cybercultures”. Sebagai sebuah artefak cultural, realitas tersebut senantiasa berubah, berkembang dan sebagian lainnya hilang. Masyarakat maya sepenuhnya membangun dirinya melalui interaksi social dan proses sosial yang terjadi dalam jaringan antar sesame pengguna. Proses relasi social (social relation) masyarakat maya ini ada yang bersifat menetap, artinya pengguna (individu) menciptakan alamat (address) tinggal, tergabung dalam suatu kelompok social dengan beragam tujuan dan kepentingan atau yang hanya sekedar “berjalan-jalan” melalui aktifitas browsing atau search. Sepertihalnya yang terdapat pada masyarakat nyata, substansi utama pada masyarakat maya adalah berlangsungnya kontak social “social contact” dan proses komunikasi. Meskipun secara teknis mereka terhubung melalui gelombang pada alur (bandwidht) yang bersifat teknologis, namun sejatinya hubungan yang dibangun oleh masyarakat maya ini merupakan hubungan yang yang memiliki makna yang luas. Mereka saling membangun makna dalam dunia intersubjektif tentang dunia yang dihuninya. Salah satu ciri dari masyarakat adalah aktif menciptakan kebudayaan, baik yang bersifat artefak atau nilai-nilai. Budaya yang dikem35
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
bangkan pada masyarakat maya adalah budaya-budaya pencitraan dan makna yang setiap saat dapat dipertukarkan ke dalam ruang interaksi simbolis. Budaya ini sangat subyektif atau lebih objektif lagi jika disebut sebagai intersubyektif yang sangat didominasi oleh kreator dan imajinater yang setiap saat membangun makna tersebut (Bungin, 2006:166). Kebudayaan secara umum dapat dikatakan sebagai sesuatu yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan meruipakan hasil interaksi antarindividu. Rosalie Wax sebagaimana yang dikuti oleh Kuswarno (2008:39) mendefinisikan sebagai suatu kenyataan dari “pengertian yang dialami bersama” (shared meaning), sehingga budaya merupakan milik sekelompok orang atau setidaknya dua orang, karena ada sesuatu yang dimiliki dan dibagi bersama. Konsepsi budaya suatu masyarakat dapat terlihat pada pemaknan yang mereka berikan pada objek social yang berada pada lingkungannya. Proses pemberian makna inilah yang selalu melibatkan penggunaan bahasa baik sebagai penyampai pesan, penamaan (naming) atau pelabelan (labeling). Sehingga bahasa dan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi pada kelompok masyarakat akan memperlihatkan pola budaya yang tumbuh di baliknya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, komunitas dunia maya (cybercommunity) membangun seperangkat pemahaman dan nilai-nilai bersama melalui aktivitas komunikasinya. Bentukan dan pola komunikasi yang berlangsung di dalamnya merupakan wujud dari tata nilai yang disepakati dan dipelihara dari dan oleh mereka. Dari sudut pandang etnografi komunikas, inilah yang disebut sebagai masyarakat komunikatif. Etnografi komunikasi memandang bahwa kaidah-kaidah komunikasi dapat berbeda dari satu kelompok dengan kelompok, mereka memiliki kaidah dan variasi linguistic. Dengan demikian keberagaman tidak komunikasi memiliki implikasi bentuk linguistic dan norma-norma social. (Kuswarno, 2008:41). 36
• Hendri Prasetyo
Cyber Cultures dalam Tinjauan Teori Strukturasi (Anthony Giddens) Webster (1998) mengungkapkan, pembahasan mengenai teknologi media komunikasi menempatkan manusia (audience) pada tiga posisi, yakni, audience-as-mass, audience-as-outcome dan audience-as-agent (dalam Thompson dan Bryant, 2002:370). Konsepsi mengenai determinisme teknologi melihat teknologi sebagai sentral yang memunculkan dampak-dampak di masyarakat (audience as outcomes) mereka (audience) diasumsikan sebagai pihak yang pasif menerima terpaan teknologi. Berbeda dengan pandangan determinisme teknologi, konsepsi sosioteknologi memahami teknologi sebagai sebuah produk socialbudaya masyarakat penciptanya. Teknologi tidak diciptakan dalam situasi hampa social. Maka aspek sosial budaya terbenam dalam proses penciptaan teknologi tersebut. Manusia sebagai agent yang memiliki kapasitas dalam memilih hingga merekayasa bentukan teknologi tersebut, baik secara teknis mapun sosial. Teori Strukturasi dari Giddens dapat digunakan untuk menjelaskan dialektikan yang terbentuk dalam interaksi antara teknologi CMC dengan penggunanya. Penggunaan teknologi CMC oleh komunitas sebagai suatu praktik sosial, yang mana di dalamnya tercipta suatu bentukan realitas sosial yang terbangun melalui aktivitas penggunanya. Teknologi memiliki bentukan struktur yang tercipta melalui konsepsi pemikiran penciptanya. Manusia pengguna adalah agen yang berinteraksi dengan struktur tersebut melalui suatu konsepsi social budaya. Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya, bahwa tindakan dibatasi dan dimungkinkan oleh struktur yang diproduksi dan diperroduksi oleh tindakan tersebut. Dalam penelitian ini agen merujuk pada pengguna atau mereka yang berinteraksi melalui CMC dan tindakan (act) dapat dianalogikan sebagai penggunaan CMC pada jejaring sosial,sedangkan ‘struktur’ adalah pola komunikasi dan tata cara Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Hendri Prasetyo
interaksi yang berkembang pada penggunaan CMC. Maka penggunaan CMC dapat dibatasi (diarahkan, dibentuk atau dikonstruksi) oleh pola komunikasi dan interaksi CMC, namun pada akhirnya pola komunikasi yang baru akan terbentuk dari proses penggunaan CMC yang dikembangkan oleg agen melalui proses timbale balik dan pemaknaan terhadap objek. Hubungan dua arah ini menghasilkan interplay yang berkesinambungan dan menghasilkan redefinisi serta restrukturasi. Suatu kelompok akan secara aktif mengadaptasi teknologi CMC yang kemudian direkstrukturisasi ke dalam bentukan interaksi kelompok tersebut. Lebih lanjut, Giddens (dalam Livingstone, 2006:123) mengatakan bahwa kelompok sosial akan memilih teknologi yang diinginkannya dan secara sosial mengkonstruksi makna-makna dari keberadaan teknologi tersebut. Konstruksi pemaknaan inilah yang dapat terlihat melalui pola perilaku komunikasi yang terajadi melalui penggunaan CMC. Dalam pandangan tersebut, individu memainkan peran sentral melalui penilaian dan interpretasinya pada kejadian di sekitarnya (pengalaman). Asumsi yang mendasari konstruksi realitas secara social adalah sebagai berikut : • Realitas tidak hadir dengan sendirinya, tetapi siketahui dan dipahami melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa. • Realitas dipahami melalui bahasa yang tumbuh dari interaksi social pada saat dan tempat tertentu • Bagaimana realitas dipahami bergantung pada konvensi-konvensi social yang ada. • Pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara social membentuk banyak aspek penting dalam kehidupan, seperti aktivitas berfikir dan berperilaku. Dikaitkan dengan keberadaan ruang maya “cyberspace” sebagai hasil bentukan interaksi individu melalui CMC, budaya virtual terbangun melalui aktivitas bersama tersebut, dan pada gilirannya melandasi proses interaksi yang terjadi di dalamnya (cybercultures). RealJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
itas yang terbangun menjadi suatu tata perilaku dan melandasi aktifitas berfikir yang juga merupakan peta pemaknaan (maps of meaning) diantara para penggunanya (cybercommunity). Seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan perilaku yang berulang, disebut sebagai kebiasaan (habits). Kebiasaan inilah yang akan menuntut manusia mengatasi suatu permasalahan secara otomatis. Dalam suatu interaksi, setiap actor saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain (actor lainnya). Kebiasaan tersebut bernteraksi, dipertukarkan dan membentuk pembedaan dalam aktifitas tindakan actor. Inilah yang dikatakan sebagai pengkhasan (tipikasi). Dari interaksi yang berkelanjutan itu, beberapa kebiasaan menjadi milik bersama seluruh anggota komunitas dunia maya, maka terbentuklah suatu lembaga (institution). Melalui institusi inilah komunitas maya mengkategorikasasikan dirinya, nilai-nilai, norma dan aturan yang mereka anut bersama. Institusi ini memungkinkan terbangunnya suatu susunan peran (roles), atau kumpulan kebisaan (habitual behavior). Norma dan nilai hadir sebagai perangkat yang mengatur peranan-peranan tersebut. Dengan demkian maka institusi menjadi kendali social (social control) yang mengarahkan realitas sosial yang terjadi diantara komunitas dunia maya tersebut. Semua itu terlegitimasi melalui interaksi keseharian yang berulang sehingga institusi tersebut dapat eksis diantara para pengguna CMC. Selanjutnya, roles dan habitual behavior inilah yang tersusun mengkonstruksi realitas sosial komunitas jejaring social dunia maya. Pemaknaan subyektif masyarakat atas realitas dunia akan memunculkan cetak biru lahirnya teknologi dalam masyarakat. Konsepsi Social Construction of Technology (SCOT) mengungkapkan bahwa peta pemaknaan individu akan menentukan makna yang terbentuk atas teknologi tersebut dan pada akhirnya menentukan proses penggunaan dan pengembangannya (Bijker 1987, dalam Livingstone, 37
Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.
2002:249). Demikian halnya ketika teknologi tersebut dioperasionalisasikan. Konsepsi sosial budaya pengguna akan menentukan bagaimana teknologi tersebut dimaknai. Proses pemaknaan terhadap bentukan teknologi tersebut lahir dari proses interaksi diantara individu sehingga melahirkan peta pemaknaan. Peta pemaknaan (maps of meaning) inilah yang akan menentukan bagaimana teknologi tersebut diperlakukan. Demikian selanjutanya hingga terjadi interplay yang rumit diantara aspek-aspek dalam social budaya masyarakat hingga pada kemunculan bentukan teknologi selanjutnya. Dengan demikian, perbedaan social budaya akan memunculkan pemaknaan yang berbeda hingga akhirnya teknologi akan diperlakukan secara berbeda-beda. Bucciarelli mengatakan, “technology design is a fundamentally communicative process that brings object, actions and social relationship together; design is best seen as a social process of negotiation and consensus, a consensus somewhat awkwardly expressed in the final product” (1994:20).
38
• Hendri Prasetyo
Makna-makna subyetif tersebut ditransaksikan melalui proses interaksi sehingga memunculkan makna bersama (shared meaning), dan sebagai muaranya adalah tindakan social yang teramati. Di sinilah pemaknaan social terbentuk menjadi budaya masyarakat maya (cybercultures) yang dibangun dan dikembangkan melalui aktivitas CMC. DAFTAR PUSTAKA Fidler, Roger. 2003. Mediamorphosis: Mema hami Media Baru. Terjemahan: Harto no hadikusumo. Yogyakarta: Bentang. Lievrouw, Leah and Sonia Livingstone, 2006. Handbook of New Media: Updated Student. London; Sage Publ. Holmes, David. 2005. Communication Theory. Media, Technology ans Society. Lon don: Sage Publishing. Bell, David. 2001. Inroduction to cybercul tures. London. Routhledge. Bungin, Burhan.2006. Sosiologi Komunikasi. Teori, Paradigma dan Diskur sus Teknologi di masyarakat. Jakarta.
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Moeryanto Ginting Munthe
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
Propaganda dan Ilmu Komunikasi Moeryanto Ginting Munthe Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Jalan Raya Lenteng Agung 32 Jakarta Selatan 12610 Tel 021-7806223, Fax:021-7817630 email:moeryantoginting@yahoo.co.id.
ABSTRAK/ ABSTRACT Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata propaganda.Sayangnya, meskipun sekadar mendengar kata propaganda, dalam pikiran seseorang langsung muncul suatu persepsi yang buruk.Demikian jeleknya citra yang melekat pada propaganda, karena dianggap sebagai suatu kegiatan yang negatip.sehinggatidak jarang ditabukan orang. Sebenarnya, propaganda hanyalah alat, sebagai salah satu teknik komunikasi, sebagai bagian dari ilmu komunikasi.Yang buruk bukan propagandanya, tetapi bagaimana atau untuk apa orang yang melakukan atau mempergunakannya. Dengan demikian, sangat perlu diketahui hakekat propaganda dalam kaitan dengan ilmu komunikasi, yang coba diungkap dalam tulisan ini. In our daily life, we often listen the word propaganda. It is a pity, that although merely listening the word, in somebody’s mind directly appears a bad perception. A bad image is attached to propaganda because it is concidered as a negative activity resulting a taboo. In fact, propaganda is a medium of one of the technique of communications as a division of communication science. The bad side is not propaganda itself, but how and for what purpose it would be implemented and applied. With this understanding, it is important to know the nature of propaganda in its relation with the communication science attempted to be reviewed in this article. Keywords: komunikasi, propaganda. A. PENDAHULUAN Istilah atau terminology Propaganda mungkin sering kita dengar dari percakapan, atau kita lihat dan baca dari berbagai sumber bahan bacaan seperti buku, surat kabar atau dokumen lain.Membaca atau mendengar istilah propaganda acapkali membuat orang langsung menafsirkannya sebagai suatu kegiatan atau tindakan yang negatip. Kata “propaganda” langsung mencetak gambaran di benak orang sebagai suatu tindakan yang buruk. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Mungkin ungkapan-ungkapan bernada seperti berikut pernah anda dengar: Si A telah berusaha mempropagandai si B. Jangan sampai kamu termakan oleh propaganda si Polan. Perpecahan Partai Siang Malam terjadi karena keberhasilan propagandist (kadang- kadang ditulis tanpa huruf t).Pemerintah Negara X senantiasa mempropagandai pemerintah Negara Y. Ah, jangan percaya, tak usah dipikirkan, semua itu hanya propaganda. Pada awal tahun 2011 ramai diberitakan oleh media massa bagaimana keberhasilan pengikut aliran NII mempengaruhi beberapa 39
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
korban dari kalangan dunia pendidikan untuk mengikuti aliran mereka. Akibatnya, beberapa orang diberitakan hilang, atau minggat dari rumah orang tuanya, dan tidak mau pulang. Ternyata keyakinan sampai tingkah laku mereka berubah secara total. Tentu tidak dapat disangkal bahwa hal ini juga merupakan keberhasilan kegiatan propaganda yang dilakukan oleh propagandis. Istilah propaganda bisa jadi telah mengukirkan suatu gambaran negatif atau hal buruk di dalam pikiran seseorang. Akibatnya, mungkin banyak orang beranggapan bahwa mempelajari propaganda adalah sesuatu yang buruk, tidak ada kebaikannya.Karena itu lebih baik tidak perlu diketahui, apalagi dipelajari. Hasil penelitian dan tulisan Harold D. Lasswellkhusus mengenai propaganda tercatat sebagai temuan yang sangat bernilai. Lasswell meneliti kegiatan propaganda khususnya pada perang dunia pertama.Ketika disertasi doctoral Harold Lasswell tentang penggunaan propaganda pada Perang Dunia I itu dipublikasikan sebagai sebuah buku pada tahun 1927 (Propaganda Technique in The World War), banyak mendapat reaksi, malah ada yang meminta supaya segera dihancurkan.Reaksi para pengulas menunjukkan adanya semacam ketakutan memandang teknikteknik propaganda setelah Perang Dunia I (Severin; Tankard Jr, 2007:127). Pada dunia akademis atau jajaran perguruan tinggi pun,propaganda tersebut seakan ditabukan. Kegiatanpropaganda memang sangat terkait dengan kepentingan politik.Kegiatan propaganda paling mencolok mendapat sorotan adalah propaganda Hitler dalam mempengaruhi bangsa Jerman dengan ajaran atau paham Nazi.Penggunaan propaganda secara intensif dalam bidang politik dilakukan oleh Hitler bersama dengan menteri propagandanya Joseph Goebbels. Kebohongan-kebohongan, ancaman, dilakukan dalam menyebarkan, menanamkan dan menumbuhkembangkan idiologi fasisme nazional socialisme (Nazi) terutama untuk merebut, meraih, memperluas, 40
• Moeryanto Ginting Munthe
dan mempertahankan kekuasaannya. Yang penting, bagi Hitler untuk mencapai suatu tujuan segala cara dapat dihalalkan. Menurut Ardial (2009:186) sejak itu, istilah propaganda mendapat reaksi negatif di negara-negara demokrasi, karena dengan propaganda Nazi, banyak korban jiwa...Semua negara demokrasi yang dipelopori Amerika serikat, sangat anti terhadap kegiatan propaganda.Propaganda sedikit pun tidak ada memberikan pencitraan yang baik, tetapi melulu menimbulkan kesan yang buruk. Dalam dunia ilmu komunikasi sendiri pun demikian.Ilmu tentang propaganda dianggap tidak mempunyai manfaat yang berarti. Barangkali propaganda lebih cocok dipelajari oleh orang yang memang ditargetkan untuk mendalami kegiatan perang, seperti dunia militer. Hal ini sangat relevan dikaitkan dengan pendapat Lasswell (dalam Severin; Tankard Jr, 2007:129) bahwa tujuan utama propaganda adalah: 1. untuk menumbuhkan kebencian terhadap musuh; 2. untuk melestarikan persahabatan sekutu; 3. untuk mempertahankan persahabatan dan, jika mungkin, untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak netral, dan 4. untuk menghancurkan semangat musuh. Dari rangkaian tujuan utama propaganda menurut Lasswell tersebut terlihat jelas bahwa kegiatan propaganda dilakukan sematamata terbatas pada waktu terjadi permusuhan atau peperangan, atau setidak-tidaknya ketika terjadi konflik antara satu pihak dengan pihak lainnya.Pada saat konflik terutama jika telah terjadi perang total, propaganda telah diakui sebagai suatu alat untuk memenangkan perang.Dalam kondisi seperti itu sangat diperlukan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan, meningkatkan semangat pihak sendiri, upaya-upaya untuk meraih, memperoleh dukungan dari pihak ketiga mencakup sahabat dan juga pihak-pihak netral. Contohnya, berkaitan dengan konflik kasus Ambalat antara Indonesia dan Malaysia. Sejak peristiwa klaim Malaysia atas Ambalat itu, langkah-langkah mempengaruhi pihak lain Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Moeryanto Ginting Munthe
pun dilakukan oleh`Malaysia dan Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan, membenarkan alasan-alasan, juga untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Intinya, kedua pihak ingin memenangkan pengaruh sekaligus memenangkan kepemilikan terhadap Ambalat (Ginting Munthe, 2006:14).Sama halnya pada tahun 2003, dalam peristiwa penyerangan Irak oleh Amerika Serikat bersama sekutunya‌terjadilah perang argumentasi, perang informasi, perang fakta, perang propaganda, dan rangkaian kegiatan perang urat syaraf antara kedua kubu (Ginting Munthe,2006a:65).Tujuan pokok semua kegiatan itudilakukan adalah guna menghancurkan, melemahkan pihak musuh, sehingga dalam pertikaian, konflik, atau peperangan itu diperoleh kemenangan. Padahal, apabila ditelaah lebih mendalam, propaganda tidak hanya dilakukan pada waktu perang, tetapi dalam situasi apa pun bisa digunakan untuk mempengaruhi pihak lain agar melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan si propagandis. Mungkin juga karena itu, Lasswell, sepuluh tahun kemudian, tahun 1937 mendefinisikan “propaganda dalam arti yang paling luas adalah teknik memengaruhi tindakan manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bisa berbentuk lisan, tulisan, gambar atau musikâ€? (Severin; Tankard Jr, 2007:128). Dalam pengertian seperti ini, penggunaan propaganda terlihat lebih umum, tidak terikat pada waktu, kondisi, situasi tertentu.Artinya, setiap saat bisa dilakukan, baik perang maupun damai, baik dalam keadaan genting atau keadaan biasa-biasa saja, propaganda dapat dilakukan. Kata memanipulasi menunjukkan bahwa dalam kegiatan propaganda diperlukan dan diperkenankan berbagai cara (jujur atau tidak jujur, halus atau kasar, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik) dalam menyajikan sesuatu kepada sasaran. Yang penting adalah supaya dapat diterima, dipercaya, diyakini, akhirnya didukung oleh sasaran/penerima. Pengungkapan sesuatu yang diharapkan diterima itu pun bisa diwujudkan melalui berbagai bentuk lambang komunikasi Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
seperti kata-kata lisan, tertulis, suara musik, lagu, coretan, gambar maupun bentuk lain. Di Indonesia, pada era tahun 1990an, mata kuliah Propaganda dijadikan sebagai salah satu mata ujian Negara pada jurusan ilmu komunikasi. Pada waktu itu status perguruan tinggi swasta (PTS) masih dibagi menjadi tiga katagori, yaitu Terdaftar, Diakui, dan Disamakan.Lulusan PTS diwajibkan menempuh beberapa mata kuliah yang diberlakukan sebagai mata ujian Negara. Dewasa ini, terkait dengan status, perguruan tinggi tidak dibedakan antara perguruan tinggi yang dikelola oleh Negara (PTN) maupun oleh swasta (PTS). Dengan demikian, semua perguruan tinggi dianggap sama martabatnya, yang mempunyai otoritas masing-masing. Namun, semua program studi yang diasuh harus mendapatkan akreditasi. Meskipun status terakreditasi mempunyai tingkatan A,B,C tetapi tidak dikenakan lagi kewajiban ujian Negara meliputi mata kuliah tertentu. Kini, jika diperhatikan kurikulum ilmu komunikasi di beberapa perguruan tinggi, ternyata banyak yang telah menghilangkan ataudengan kata lain, tidak mengajarkan mata kuliah Propaganda. Terlepas dari itu, kenyataan menunjukkan bahwa ada pihak yang memandang propaganda hanya sebagai kegiatan. Kegiatan tersebut pun sekadar mencerminkan tindakan yang buruk. Ada pula pihak yang melihat propaganda sebagai suatu teknik seni dari kegiatan yang buruk tadi. Namun, di sisi lain, ada pula pihak yang memandang propaganda sebagai suatu ilmu, sehingga kedudukannya lebih tinggi. Semua pandangan tersebut sah-sah saja karena masing-masing memiliki argumentasi. Beranjak dari kenyataan di atas, sangatlah diperlukan suatu pemahaman tentang propaganda.Apalagi sebagai suatu ilmu, yang dapat dikaji atau dipelajari.Suatu ilmu dipelajari untuk mengetahui hakekatnya.Suatu ilmu juga dapat diterapkan atau diaplikasikan untuk kepentingan kehidupan manusia yang mempelajarinya.Ilmu tentu tidak ada yang jelek. Mungkin, yang membuat jelek suatu istilah 41
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
atau suatu ilmu adalah faktor ulah manusia yang menggunakannya, atau menerapkannya. Termasuk begitu buruknya persepsi orang terhadap propaganda, terjadi akibat ulah manusia yang menerapkannya.Karena itu, ada baiknya kita coba mempelajarinya secara lebih objektif.Apalagi jika dikaitkan dengan propaganda yang semakin banyak dilakukan oleh manusia, baik secara sadar atau tidak, melingkupi berbagai aspek kepentingan, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya.Dari cakupan yang sempit sampai yang luas menggelobal.Berkaitan dengan kelompok yang kecil atau organisasi sederhana di dalam satu negara, sampai kelompok yang lebih besar, satu negara atau kumpulan beberapa negara. Untuk kepentingan pribadi, kelompok, lokal, nasional, maupun internasional. Dalam hubungan antarnegara pun kegiatan propaganda sangat lazim dipraktekkan, meskipun kadang-kadang dilakukan secara tersamar atau tidak diakui sebagai kegiatan propaganda. Hal itu diakuiL. John Martin, yang dalam tulisannya berjudul Keefektifan propaganda Internasional mendefinisikan propaganda sebagai kegiatan komunikasi persuasif sebuah pemerintahan yang ditujukan kepada khalayak asing. Menurutnya, hanya sebagian pemerintahan yang mengakui menjalankan propaganda secara terbuka, karena istilah ini memiliki makna buruk. Biasanya dipilih atau dilakukan cara penghalusan (eufemisme) seperti program informasi atau kegiatan kebudayaan. (dalam Malik; Rakhmat; dan Shoelhi, 1993:183, 185). Karenanya, wajar Edward Bernays menyatakan bahwa propaganda bukanlah usaha beberapa orang yang patut dicela untuk meracuni pikiran kita dengan kebohongan.Lebih dari itu, propaganda merupakan suatu usaha terorganisasi untuk menyebarluaskan suatu kepercayaan atau opini.Propaganda baru (new propaganda) merupakan sesuatu yang tersebar lebih jauh lagi, lebih kuat, dan lebih penting daripada sekadar perkembangan informasi. Secara lebih tandas Bernaysmengungkapkan, apa pun kepentingan sosial 42
• Moeryanto Ginting Munthe
yang dilakukan sekarang . . . harus dilakukan dengan propaganda . . . sehingga propaganda sangat dibutuhkan bagi peradaban ini (Combs dan Nimmo,1994:57). Dari pendapat tersebut, terlihatlah betapa penting dan besarnya peran propaganda dalam perkembangan sosial atau peradaban manusia. Beranjak dari paparan di atas, tulisan ini mencoba melihat propaganda secara lebih jernih, sehingga akan terurai kaitan propaganda dengan komunikasi, atau ilmu komunikasi. Juga mengupas sejarah propaganda dari aspek kegiatan dan terminology. B. PEMBAHASAN 1. Bermula dari Komunikasi Mempelajari propaganda kita mulai penelusuran dari “komunikasiâ€?.Istilah komunikasi bagi masyarakat umum tentu tidak asing, bahkan komunikasi dianggap sebagai suatu hal yang rutin dalam kegiatan manusia.Coba cermati kegiatan kita sehari-hari, dominan diisi dengan kegiatan komunikasi. Penelitian membuktikan bahwa 75 persen waktu bangun kita berada dalam kegiatan komunikasi. . . .dapat dipastikan bahwa sebagian besar komunikasi itu dilakukan secara lisan (Rakhmat,2002:2). Hal itu wajar terjadi, karena kita adalah makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Mulai dari manusia dalam lingkup anggota keluarga kita, selanjutnya manusia lain yang menjadi tetangga kita, diteruskan ke manusia pada lingkungan yang lebih luas lagi pada masyarakat. Jadi, wajarlah bahwa komunikasi merupakan hal yang umum bagi seseorang.Tetapi, apakah yang dimaksud dengan komunikasi? Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa Latin Communicatio, asal katanya Communis=sama. Kesamaan arti atau makna mengenai sesuatu. Secara terminologi komunikasi adalah proses penyampaian pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Secara pragmatis komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau unJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Moeryanto Ginting Munthe
tuk mengubah sikap, pendapat, atau prilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media (Effendy, dalam Ardial,2009:21). Everet M. Rogers menekankan bahwa komunikasi adalah proses di mana ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud mengubah tingkah laku mereka. Kemudian dikembangkan Kincaid (1981), komunikasi adalah proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi satu sama lainnya yang pada gilirannya timbul saling pengertian yang mendalam(Ardial,2009:21).Sedangkan Hovland mengartikan, communication is the process to modify the behavior of the other individuals– proses memodifikasi tingkah laku atau perbuatan seseorang, tentu sesuai dengan yang kita kehendaki, atau yang kita inginkan. Berbagai pengertian diungkapkan orang tentang konsep komunikasi, bermacam definisi, bahkan bisa mencapai ratusan, disodorkan para ahli mengenai komunikasi. Ada yang mengemukakan definisi dengan menekankan prosesnya, ada yang menekankan tindakannya, ada pula yang menekankan kandungan unsur-unsurnya, serta ada juga yang melihat tujuannya. Yang pasti, masing-masing definisi ditentukan berdasarkan cakrawala pandangan, minat atau keahlian individu yang mengungkapkannya, dan bisa saja masing-masing pendekatan yang dilakukan itu unik. Hal ini menurut West dan Turner (2008:5) terjadi karena para ahli cenderung melihat fenomena manusia melalui sudut pandang mereka sendiri . . .Artinya, ahli dalam bidang komunikasi akan menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menginterpretasikan komunikasi karena nilai-nilai yang mereka miliki juga berbeda. Berkaitan dengan pengertian komunikasi yang diberikan pun, bisa mengalami perubahan, berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban, kebudayaan, ketrampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehubungan dengan pandangan di atas, West bersama Turner, (2008:5-8) mendefinisikan komunikasi (communication) adalah Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka. Definisi dari West dan Turner ini mengandung lima kata kunci yaitu sosial, proses, symbol, makna, dan lingkungan. Sebagai suatu proses sosial menunjukkan bahwa komunikasi selalu melibatkan manusia serta interaksi. Ketika dipandang secara sosial, komunikasi selalu melibatkan dua orang yang berinteraksi dengan berbagai niat, motivasi dan kemampuan . . . komunikasi sebagai proses, berarti komunikasi mempunyai sifat yang berkesinambungan dan tidak memiliki akhir.Komunikasi juga bersifat dinamis, kompleks, dan senantiasa berubah.Simbol (symbol) adalah sebuah label arbitrer atau representasi dari fenomena. Biasanya telah disepakati bersama dalam sebuah kelompok, tetapi mungkin saja tidak dimengerti di luar kelompok tersebut.Dalam hal ini ada simbol konkrit (concrete symbol) – symbol yang merepresentasikan benda – dan simbol abstrak (abstract symbols) - simbol yang merepresentasikan suatu pemikiran atau ide. Makna adalah yang diambil orang dari suatu pesan. Pesan dapat memiliki lebih dari satu makna. Lingkungan (environment) adalah situasi atau konteks di mana komunikasi terjadi.Lingkungan terdiri dari beberapa elemen, seperti waktu, tempat, periode sejarah, relasi, dan latar belakang budaya pembicara dan pendengar. Dengan uraian yang lengkap mengenai masing-masing pengertian dan keterkaitan antara kata-kata kunci yang terdapat dalam definisi tersebut, kemudian Turner dan West memberikan gambaran secara skema sebagai berikut:
Gambar 1
43
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
Begitu banyak definisi komunikasi, sehingga menurut Dan Nimmo seakan-akan diobral. Nimmo (2005:7) pun mendefinisikan, komunikasi sebagai proses interaksi social yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui symbol-simbol. Di samping definisi ahli dari asing yang begitu banyak, dari Indonesia pun tidak ketinggalan. Mungkin pembaca sendiri juga mempunyai pengertian atau definisi komunikasi. Itu sah saja. Salah satu definisi dikemukakan di bawah ini dan dikembangkan di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, sebagai perguruan tinggi yang tertua mendalami dan mengembangkan ilmu komunikasi (berdiri tanggal 5 Desember 1953 dengan nama Perguruan Tinggi Ilmu Djurnalistik – salah satu pendirinya adalah almarhum A.M. Hoeta Soehoet). Dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi, Hoeta Soehoet (2002:2) mengemukakan bahwa Ilmu komunikasi adalah suatu ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Sebagai ilmu, maka komunikasi memiliki objek kajian yaitu usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Dari definisi tersebut dapat kita tarik satu pengertian bahwa komunikasi adalah suatu proses yang menggambarkan kegiatan manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Dari pengertian ini pula kita dapat melihat adanya tiga unsur pokok komunikasi yaitu: 1. Manusia yang ingin menyampaikan isi pernyataan. Dalam istilah lain yang populer disebut sebagai komunikator. Dalam pengertian yang lain ada menyebutnya sebagai Sumber (source), ada pula yang menyebutnya dalam konteks teknis sebagai Encoder; 2. Isi pernyataan yang ingin disampaikan. Dalam istilah lain yang populer disebut sebagai message, atau pesan, ada pula yang menyebutnya sebagai lambang; dan 3. Manusia lain yang menjadi sasaran/tujuan penyam44
• Moeryanto Ginting Munthe
paian isi pernyataan. Dalam istilah lain yang populer disebut sebagai komunikan. Mungkin juga ada menyebutnya sebagai Sasaran, Tujuan (Destination), Decoder. Mengapa orang berkomunikasi? Setiap orang melakukan tindak komunikasi pasti mempunyai alasan. Alasan atau hal yang mendorong seseorang untuk menyampaikan isi pernyataannya kepada orang lain disebut motif komunikasi. Menurut Hoeta Soehoet (2002a: 48) ada enam gradasi intensitas (tingkat kekuatan) yang dapat dicapai isi pernyataan, yaitu 1. pemberitahuan, 2. penerangan, 3. pembujukan atau persuasi, 4. propaganda, 5. agitasi, dan 6. indoktrinasi. Dari paparan di atas terlihat bahwa tingkat gradasi keempat, adalah propaganda. Pada tingkatan propaganda, komunikator sekaligus sebagai propagandis menyampaikan isi pernyataan kepada komunikan yang bisa mengandung fakta dan nonfakta. Kandungan atau muatan isi pernyataan dapat dicampur antara hal-hal yang benar terjadi dengan yang tidak benar terjadi, dicampur antara fakta yang benar sebagaimana adanya atau dicampur dengan fakta yang dibuat berdasarkan kebohongann atau hasil rekayasa, manipulasi.Sesudah itu komunikator/propagandis memibujuk komunikan supaya menyetujui kandungan isi pernyataan untuk kepentingan komunikator. Gradasi intensitas dikandung oleh motif komunikasi komunikator adalah supaya komunikan melaksanakan isi pernyataan untuk kepentingan komunikator. 2. Bagian Ilmu Komunikasi Dalam buku Teori Komunikasi 1, Hoeta Soehoet, (2002a: 9) mengatakan, Ilmu Komunikasi teoritika adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Ilmu komunikasi praktika adalah ilmu yang mempelajari penggunaan ilmu komunikasi teoritika untuk mencapai beberapa tujuan hidup. ‌ Ilmu komunikasi teoritika digunakan untuk mencari kebenaran, semata-mata untuk kebenaJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Moeryanto Ginting Munthe
ran saja.Ilmu komunikasi praktika, digunakan untuk mencapai beberapa tujuan hidup. Dari ilmu komunikasi teoritika dapat disusun lebih dari satu ilmu komunikasi praktika‌(Hoeta Soehoet,2002a:16,17). Dengan demikian lahirlah beberapa ilmu komunikasi praktika yang digunakan atau diaplikasikan manusia sesuai dengan beberapa tujuan hidup dalam usaha manusia mencapai atau memperoleh kebahagiaan. Di antaranya termasuk ilmu perang urat syaraf, ilmu propaganda, ilmu retorika. Ilmu Propaganda adalah salah satu ilmu komunikasi praktika.Ilmu teoritikanya adalah ilmu komunikasi teoritika.Ilmu teoritika ini digunakan untuk mencapai kebahagiaan di bidang politik. Objek kajiannya adalah bagaimana caranya menyampaikan isi pernyataan agar komunikan memahami isi pernyataan tersebut sebagaimana dimaksudkan oleh komunikator dan komunikan melaksanakannya untuk kepentingan komunikator (Hoeta Soehoet,2002a:19). Ilmu Retorika adalah salah satu ilmu komunikasi praktika.Ilmu teoritikanya adalah ilmu komunikasi teoritika.Ilmu teoritika ini digunakan untuk mencapai kebahagiaan di bidang komunikasi lisan. Objek kajiannya adalah bagaimana caranya menyampaikan isi pernyataan dengan lisan agar komunikan memahami isi pernyataan tersebut sebagaimana dimaksudkan oleh komunikator (Hoeta Soehoet, 2002a: 19). Mengenai retorika sebagai ilmu, ada yang menyebutnya sebagai Ilmu bicara atau ilmu bertutur kata. Namun, terkait dengan propaganda, retorika pun sering dianggap orang sebagai suatu kegiatan yang negatif seperti dikemukakan oleh Y.B.Mangunwijaya, sebagaimana dikutip Rakhmat (2002: v) bahwa: pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa seJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
laku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. 3. Sejarah Propaganda Propaganda berasal dari kata Latin Propagare (kata kerja) yang mempunyai arti menyebarkan, menaburkan, membibitkan, yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan to propagate, generate, atau to produce. Dengan demikian, kata propagare bermakna menanamkan, atau memperbanyak tanaman. Secara singkat tindakan propagare bertujuan untuk memperbanyak populasi tanaman yang bisa dilakukan dengan semaian bibit, dengan memotong atau stek, mencangkok. Kata propagare tadinya memang banyak digunakan dalam ilmu biologi terutama bidang pertanian. Kemudian kata ini tumbuh subur setelah berada pada ilmu sosial, dalam arti penyebaran ide atau gagasan, keyakinan, isme tertentu. Dalam Ensiklopedia Indonesia (Redaksi, h 2778) disebutkan kata Propagare = perluasan. Dalam upaya perluasan yang dimaksud, kegiatan propaganda berarti mengandung informasi terpilih, benar atau salah, yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut sesuatu keyakinan, sikap, atau arah tindakan tertentu.Selama abad ke-20 semua idiologi politik menggunakan propaganda serta memanfaatkan media modern untuk mencapai pendengarnya. Propaganda juga memainkan peranan penting dalam peperangan modern, dan selama Perang Dunia II, biro-biro dan badan-badan khusus telah diadakan untuk memperteguh moral pihak sendiri, dan sebaliknya, melumpuhkan pihak lawan. Di sisi lain, menyangkut suatu lembaga, disebutkan: Propaganda Fide sebagai 1). Kongregasi di Roma untuk menyebarkan iman; nama baru Sacra Congregatio pro Gentium Evangelisatione, instansi gerejani tertinggi yang mengurus misi serta, kegiatannya dan membagi-bagi daerah misi menjadi wilayah perserikatan-perserikatan misi, mengangkat prefek-prefek dan vikaris-vikaris apostolik (berhubungan dengan atau berdasarkan aja45
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
ran para rasul – pen. ) 2). Perguruan tinggi di Roma yang dibiayai Kongregasi Propaganda Fide bagi pendidikan imam-imam pribumi untuk tanah misi. Untuk meneliti arti propaganda, ada baiknya ditinjau kembali ”saat kelahiran” istilah itu pada perbendaharaan kata manusia. Pengertian kata propaganda dalam arti yang baik sangat erat hubungannya dengan sejarah perkembangan agama Nasrani, yaitu berupa kegiatan-kegiatan para Misionaris atau para Apostel yang memasuki segala pelosok dunia untuk menyebarkan kebesaran dan kesucian Tuhan pada seluruh umat manusia. Penggunaan kata propaganda secara populer pertama kalinya adalah untuk penyebaran agama Kristen di mana pada tanggal 6 Januari 1622 Paus Gregorius ke XV mengeluarkan sebuah dekrit yang mendirikan badan bernama: ”Sacra Congregatio de Propaganda Fide atau Sacred Congregation for Propagation of the Faith” (Perhimpunan Suci untuk penyebaran Agama) yang dalam hal ini penyebaran agama Kristen Roma Katolik (Simatupang, dalam Deppen RI,1995: 68). Berkaitan dengan pendirian lembaga itu, Nimmo (2005:124) menyebutkan tahun 1622 Paus Gregorius XV membentuk suatu komisi para kardinal, Cogregatio de Propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan Kristiani di antara bangsa-bangsa lain . . . para misioner ditugasi untuk menyebarkan doktrin, seorang misioner untuk satu kelompok yang terdiri atas beberapa ribu pemeluk baru yang diharapkan. Severin; Tankard Jr, (2007:128) mengatakan pendirian lembaga tersebut tercatat sebagai penggunaan istilah propaganda pertama sekali dilakukan. Paus sebagai pimpinan Gereja Roma Katolik mendirikan sebuah lembaga bernama Congregatio de propaganda fide atau Congregation for the Propagation of Faith, saat terjadinya reformasi, di mana berbagai kelompok membelot dari Gereja Katolik dan jemaat tersebut adalah bagian dari gereja kontra-Reformasi. Isu yang besar dalam peri46
• Moeryanto Ginting Munthe
ode ini adalah pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai sumber ilmu tentang dunia.Seorang tokoh utama dalam pertentangan ini adalah Galileo, yang beragumentasi berdasarkan observasi melalui sebuah teleskop bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.Pemikiran ini secara langsung menentang ajaran agama Katolik, yang merupakan salah satu teori yang dilarang gereja.Galileo diadili dan dijatuhi hukuman dalam pengadilan tahun 1633 dan diminta untuk menarik pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Nama lembaga yang didirikan Paus itu akhirnya mempopulerkan kata propaganda. Adapun tugas lembaga tersebut antara lain untuk mempersiapkan bahan-bahan untuk penyebaran agama katolik, mempersiapkan tenaga-tenaga untuk ditugaskan sebagai penyebar agama katolik, mempersiapkan dan menentukan metode penyebaran agama katolik yang disesuaikan dengan sasaran, juga menampung dan mempelajari laporan-laporan para penyebar (misionaris), serta mengadakan evaluasi terhadap semua kegiatan yang telah dilakukan, sehingga dapat disempurnakan rencana penyebaran yang lebih baik. Pada dasarnya suatu propaganda sebagai bagian dari kegiatan komunikasi seharusnya merupakan “symbolic interaction” dengan menggunakan lambang-lambang komunikasi yang penuh arti, yaitu: bahasa (lisan dan atau tulis), gambar-gambar, tandatanda, isyarat-isyarat, dan telah dirumuskan/ di-encode sedemikian rupa sehingga dapat merangsang jiwa komunikan untuk menerima pesan dan kemudian memberikan reaksinya yang pada akhirnya menumbuhkan efek atau hasil seperti yang telah direncanakan atau ditetapkan oleh komunikator. Dalam hubungan dengan symbolic interaction, kegiatannya bersifat kejiwaan atau psikologis. Namun, karena perkembangan dari ilmu itu sendiri sesuai dengan zamannya, maka kenyataan itu merupakan fakta untuk diterima yang bertujuan untuk mengadakan perubahan sikap, pandangan, dan tingkah laku komunikan. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Moeryanto Ginting Munthe
Propaganda pada dasarnya bersifat persuasi. Metode persuasi menggunakan himbauan, rayuan, ajakan, ”iming-iming” dengan tujuan agar komunikan dengan senang hati, sukarela melakukan sesuatu sesuai dengan pola yang ditentukan komunikator. Persuasi merupakan suatu gejala kejiwaan atau psychologis, ia menyangkut kepada suatu penggerakan jiwa untuk melakukan sesuatu dengan rela dan kehendak sendiri. Namun, sifat persuasi di sini hanyalah sebagai bagian dari teknik untuk mempengaruhi orang agar melakukan sesuatu, dalam konteks orientasinya adalah untuk kepentingan komunikator. Penggunaan istilah atau terminologi propaganda pertama sekali tercetus pada saat Paus mendirikan lembaga penyebaran agama sacra congregatio de propaganda fide.Pengungkapan istilah pertama kali ini dianggap sebagai kelahiran terminologi propaganda.Hal ini juga menyiratkan bahwa propaganda sebagai istilah lahir dalam konteks penyebaran agama. Namun karena akhirnya propaganda lebih banyak dilakukan untuk menanamkan suatu ajaran politik dalam kerangka mencari dukungan, mencari kekuasaan, maka justru propaganda dalam konteks politik ini yang sangat membesarkan kegiatan propaganda, yang akhirnya memperoleh citra buruk. Maka timbul pertanyaan, sejak kapankah kegiatan propaganda dilakukan?Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya ditinjau lebih dahulu masalah pokok atau kajian pokok propaganda.Dari pengertian propaganda dapat ditarik suatu landasan mengenai objek kajian propaganda.Dalam kaitan itu, R.M. Simatupang mengatakan, beragam alasan orang melakukan berbagai kegiatan propaganda baik di bidang politik, di bidang ekonomi, di bidang agama dan lain-lain.Menurutnya, persoalan pokok di dalam propaganda adalah ”How to influence and to control the mind’s of men’’ - Bagaimana mempengaruhi dan menguasai pikiran manusia (Deppen RI,1995: 31). Mempengaruhi dalam hal ini berarti adanya suatu kekuatan di dalam diri seseorang yang berJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
peran sebagai propagandis untuk mengarahkan atau menanamkan sesuatu kepada orang lain (propagande). Arahan ini bisa dalam bentuk pengertian, pemahaman, mengenai suatu objek dalam pesan yang disampaikan. Sedangkan menguasai berarti kita bisa mengarahkan pemahaman itu untuk ditindaklanjuti dengan perbuatan oleh propagande. Tindakan yang dimaksud tentu saja dalam rangka mencapai tujuan atau kepentingan propagandis. Dengan demikian propaganda mempunyai targetsampai pada tingkah laku atau perbuatan orang yang dipropagandai, sesuai dengan yang diarahkan, diinginkan, atau kepentingan dari orang yang mempropagandai. Hanya dengan kenyataan seperti itu maka dapat dikatakan bahwa kita sudah menguasai pikiran seseorang.Bagaimana caranya? Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi jalan pikiran manusia. Bisa dengan memakai kata-kata bujukan atau rayuan supaya dia mengikuti apa yang kita inginkan. Bisa dengan mengiming-iming atau menjanjikan sesuatu yang sangat indah, sehingga menarik baginya, yang apabila dia ikuti setidaknya akan menguntungkan kepadanya. Atau sebaliknya, bisa pula dengan mengungkapkan sesuatu sedemikian rupa, yang kadangkadang dibumbui dengan kenyataan semu atau kebohongan supaya dia merasakan suatu yang buruk terhadap dirinya.Adanya rasa takut yang dapat menekan tindakannya. Bisa dilakukan dengan menyogok, agar mempengaruhi pandangan atau pendapatnya, dengan janji mulukmuluk dan lain-lain cara atau tindakan. Setelah jalan pikiran manusia dikuasai atau dapat dikendalikan dengan sendirinya tindakan-tindakannya dikuasai juga. Dengan demikian, kegiatan propaganda hakekatnya menghendaki sampai seseorang melakukan sesuatu seperti yang diarahkan atau yang diinginkan. Bukan sekadar sasaran telah menerima, memahami sesuatu, atau menyetujui sesuatu. Tetapi lebih jauh dari itu, pemahaman, penerimaan, persetujuan terhadap sesuatu itu harus direalisasikan sampai 47
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
ke tingkat tindakan atau perbuatannya. Di situlah terwujud keberhasilan propaganda. Dengan demikian, kembali pada pertanyaan di atas, sejak kapankah kegiatan propaganda dilakukan? Tentu dikaitkan ke kajian pokok ‘Bagaimana mempengaruhi dan menguasai pikiran manusia’ agar orang yang dipropagandai melakukan tindakan untuk mencapai tujuan propagandis. Jawaban yang diberikan bisa bermacam-macam, dengan alasan yang beragam pula. Namun, hakekat jawaban itu harus menggambarkan suatu awal tindakan manusia yang dapat disebut sebagai tindakan atau kegiatan propaganda. Jika ada yang mengatakan bahwa kegiatan propaganda untuk pertama kalinya dilakukan sejak manusia berinteraksi dengan manusia lainnya, maka itu berarti terjadi sejak manusia diciptakan Tuhan yaitu Adam dan Hawa. Lihat catatan 1) Setelah membaca Catatan 1). Apakah anda melihat adanya propaganda di situ? Apakah anda setuju dengan pernyataan bahwa pada peristiwa itulah kejadian propaganda yang pertama? Kalau setuju mengapa dan kalau tidak setuju apa pula alasannya? 1
Setelah Tuhan menciptakan bumi beserta isinya termasuk manusia, kemudian diuraikan dalam KEJADIAN 2:15-17 Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: ”Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”. Kej.3:1-13 Adapun ular ialah yang paling cerdik dari binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohon dalam taman ini boleh kami makan, tetapi buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan
48
• Moeryanto Ginting Munthe
kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati”. Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya, matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat”. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan memakannya dan diberikannya juga kepada suaminya, yang bersamasama dengan dia dan suaminya pun memakannya. Dan terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: “Di manakah engkau?” Ia menjawab:”Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi”. Firman-Nya: “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan”. Kemudian berfirmanlah Tuhan Allah kepada perempuan itu: “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan”. (Sumber: Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Penerjemah Nugroho Hananiel, Cetakan kedelapan, Penerbit Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta,2004).
C. KESIMPULAN Dari paparan yang dikemukakan di atas dapat ditarik beberapakesimpulan. Komunikasi merupakan perilaku manusia yang berproses dalam penyampaian isi pernyataan meliputi pikiran, kehendak, atau perasaannya kepada orang lain, baik secara lisan maupun tertulis, Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Moeryanto Ginting Munthe
diiringi gerak gerik, sikap tubuh dan mimik, serta lambang-lambang lainnya.Jika dikaitkan dengan kegiatan komunikasi maka propaganda merupakan bagian dari kegiatan komunikasi. Komunikasi dilakukan dengan berbagai tingkat tujuan.Propaganda merupakan suatu tujuan pencapaian isi pernyataan dalam melakukan komunikasi yaitu agar komunikan memahami isi pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keinginan komunikator dan komunikan melaksanakannya untuk kepentingan komunikator. Faktor kepentingan komunikator dalam propaganda menjadi patokan.Untuk mencapai tujuan tersebut, kandungan isi pernyataan bisa berupa fakta atau nonfakta, bisa kebenaran atau kebohongan.Semua isi itu dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu keyakinan, sikap, sampai pada arah tindakan tertentu. Apabila dikaitkan dengan konteks ilmu maka ilmu propaganda merupakan salah satu ilmu praktika dari ilmu komunikasi. Propaganda mempunyai kajian pokok “How to influence and to control the mind’s of men’’ - Bagaimana mempengaruhi dan menguasai pikiran manusia. Tindakan ini sebagai bagian dari upaya membujuk orang lain agar mengikuti atau melakukan sesuai keinginan propagandis telah dilakukan pada awal penciptaan manusia (Kisah Adam dan Hawa pada Catatan 1). Sebagai suatu peristilahan, penggunaan kata propaganda diawali pada lingkungan agama Roma Katolik ketika Paus Gregorius XV mendirikan lembaga Sacra Congregatio de Propaganda Fide pada awal abad ke-17. Jadi istilah propaganda lahir dalam upaya penyebaran suatu keyakinan/agama. Namun, pada abad berikutnya propaganda justru lebih banyak digunakan dalam tujuan politik, sehingga propaganda lebih berkembang di bidang politik. *** DAFTAR PUSTAKA Ardial. 2009.Komunikasi Politik, PT Indeks, Jakarta. Combs, James E.; Nimmo, Dan. 1994.Propa ganda Baru, Kediktatoran Perundingan Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
dalam Politik Masa Kini,Penerjemah : Lien Amalia, Remaja Rosdakarya, Bandung. Deppen RI.1995.Pengetahuan Penerangan Bagi Petugas Penerangan, Proyek Op erasi Penerangan, Kanwil Deppen RI Provinsi Jawa Barat. Ginting Munthe, Moeryanto. Konflik Menge nai Blok Ambalat Dalam Pres pektif Perang Urat Syaraf. Jurnal ilmiah COMMUNIQUE Vol 2 No.2 Januari 2006, FISIP, Universitas Pelita harapan, Tangerang, Hal 13-31. --------, Propaganda dan Perang Urat Syaraf (Kasus Invasi AS ke Irak 2003).Jurnal IISIP, Edisi 02/Januari 2006, Yayasan kampus Tercinta, Hal 63-82. Hoeta Soehoet,A.M. 2002.Pengantar Ilmu Ko munikasi, Yayasan Kampus Tercinta- IISIP Jakarta. --------. 2002a.Teori Komunikasi 1, Yayasan Kampus Tercinta-IISIP Jakarta. Malik, Dedy Djamaluddin; Rakhmat, Jalalu ddin; Shoelhi, Mohammad. 1993. Komunikasi Internasional, LP3K dan Remaja Rosdakarya, Bandung. Nimmo,Dan.2005. Komunikasi Politik komunikator, Pesan, dan Media,Cetakan keenam,Penerjemah Tjun Surjaman, PT Remadja Rosdakarya, Bandung. Rakhmat, Jalaluddin. 2002.Retorika Modern Pendekatan Pendekatan Praktis, Ce takan kedelapan, PT Remaja Rosda karya, Bandung. Redaksi.Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, Jilid 5, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Severin, Werner J; Tankard Jr, James W. 2007. Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Ke-5, Dialihbahasakan oleh Sugeng Hariyanto, Cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Tim Editor. 2004.Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Penerjemah Nugroho Hananiel, Cetakan kedelapan, Penerbit 49
• Moeryanto Ginting Munthe
Propaganda dan Ilmu Komunikasi
Gandum Mas dan Lembaga Alkitab In donesia, Jakarta. Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, cetakan pertama, Ja karta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional dan
50
PT Gramedia Pustaka Utama.
West, Richard; Turner, Lynn H. 2008. Pengan tar Teori Komunikasi Analisis dan Ap likasi Edisi 3, Buku 1, Penerjemah: Maria Natalia Damayanti Maer, Salemba Humanika, Jakarta.
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo Indiwan Seto Wahju Wibowo Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, penulis buku Semiotika Komunikasi (2011) terbitan Mitra Wacana Media E-mail: indiwanseto@hotmail.com ABSTRACT Soeharto’s death becomes a major topic of Tempo Magazine ,issue No.50/XXXVI/04-10 February, 2008 specially in the magazine’s cover. And this cover is so controversial as describes Soeharto as Jesus at the last supper an iconic Christianity symbol. The last supper is the final meal that according to Christian belief, Jesus shared with his apostles in Jerusalem before his crucifixion. This research is about to describe what Tempo Magazine play their role as social control and it’s rivalitation towards Soeharto. The purpose of this Research is to find out the meaning behind the Tempo Magazine Cover as describes Soeharto – the former Indonesia President- as Jesus. Kata kunci : makna kematian Soeharto, Semiotika Charles Sander Peirce, Kualitatif
Gambar 1 : Cover Tempo
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
1.1 LATAR BELAKANG Berita adalah komoditi yang dijual bebas. Sesuai konsep dagang, terkadang apapun dilakukan, demi urusan ’komoditi’ inilah terkadang pers terjebak dalam kebebasan mereka sendiri tidak mau peduli terhadap nilai-nilai moral atau nilai-nilai yang dianut kelompokkelompok masyarakat. Contoh yang paling hangat adalah kontroversi pemuatan cover Soeharto tak lama setelah kematian mantan orang kuat negeri ini. sampul depan majalah tersebut mirip lukisan The Last Supper (perjamuan terakhir) karya Leonardo da Vinci. Dalam lukisan aslinya, gambar itu adalah gambar Yesus dan murid-muridnya . Di dunia politik, komunikasi simbol dalam bentuk lain juga menunjukkan eskalasi kepentingan kelompok . Kandidat presiden Amerika Barack Obama sangat marah ketika fotonya yang memakai sorban saat di Kenya, tanah air ayahnya di tahun 2006 disebarkan di berbagai 51
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
media. Ketegangan dengan kubu Hillary Clinton tidak terhindarkan. Tengok pula bagaimana fluktuasi emosi massa mengemuka ketika simbol-simbol agama dipakai secara tidak tepat di Denmark (kasus kartun Nabi Muhammad) dan cover Tempo 'The Last Supper' itu muncul. Deretan kasus lainnya: cover album Iwan Fals 'Manusia 1/2 Dewa' harus berurusan dengan umat Hindu, termasuk juga cover buku Supernova, Dewi Lestari yang memuat simbol/ huruf AUM yang merupakan simbol suci umat Bali itu. Termasuk juga suatu kali desain poster film Amerika "Hollywood Buddha" dengan seorang pria duduk di atas pundak patung Buddha dengan alat vitalnya menyentuh tengkuk Buddha. Reaksi keras dari dunia pun bertubitubi menghampiri.[1] Komunikasi simbol ini bisa berdampak negatif apabila ditanggapi secara radikal oleh mereka yang merasa tersinggung, sebagaimana yang terjadi pada kasus pemuatan cover majalah Tempo beberapa waktu lalu. Dalam cover edisi no 50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008, majalah berita mingguan, Tempo memuat laporan khusus mengenai meninggalnya mantan presiden Soeharto. Pada sampul depan dengan judul laporan utama Setelah Dia Pergi itu, digambarkan Soeharto duduk di sebuah meja dikelilingi anak-anaknya. Ilustrasi posisi duduk keluarga Cendana dalam sampul halaman depan Tempo tersebut mirip dengan lukisan Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci. Yakni, ketika Yesus Kristus duduk dikelilingi murid-muridnya, menjelang penyaliban.[2] Masalah majalah Tempo itu adalah karena sampulnya mirip dengan The Last Supper, lukisan karya Leonardo da Vinci. Dan memang, menurut Kendra Paramita sang ilustrator, sampul tersebut dibuat karena terinspirasi The Last Supper karya Leonardo da Vinci. Sejumlah orang, yang mengaku sebagai perwakilan umat Katolik, mendatangi kantor majalah Tempo untuk mempertanyakan sampul majalah itu. Para perwakilan tersebut menilai bahwa sampul itu menyinggung perasaan umat Katolik karena menyamakan posisi Yesus 52
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
dalam The Last Supper dengan posisi Soeharto dalam ilustrasi sampul Tempo. "Kami meminta majalah Tempo untuk edisi tersebut ditarik dari peredaran. Itu agar tidak menimbulkan keresahan," kata Hermawi Taslim, Ketua Forum Komunikasi PMKRI usai bertemu Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo, Toriq Hadad, Selasa (5/2/2008). Hermawi yang juga Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyatakan, dalam pertemuan sekitar 1 jam dengan redaksi Majalah Tempo itu, terjadi perbedaan penafsiran antara umat Kristiani dengan Tempo terkait cover tersebut. Ada tiga poin yang disinggung Hermawi dan PMKRI di dalam pertemuan tersebut. Pertama, mereka menegaskan bahwa cover Tempo tersebut menyingung hati nurani dan keimanan umat Katolik. Sebab, jelas Hermawi, foto penjamuan tersebut merupakan perlengkapan ibadah bagi kaum Kristiani. "Karena itu, kami minta klarifikasi dan maaf, serta pertanggungjawaban dari pihak Tempo," katanya. Hermawi juga mengatakan, dengan dialog di kantor Majalah Tempo, mereka ingin memastikan bahwa peristiwa yang meresahkan umat beragama seperti itu tidak akan terulang lagi di masa-masa mendatang. "Terutama bagi seluruh umat beragama lainnya di Indonesia," pungkasnya. Perbedaannya cover majalah Tempo itu adalah tiruan dari sebuah duplikasi lukisan (bukan reproduksi potret/foto diri Yesus). Yang ditiru adalah hasil imajinasi atau khayalan Leonardo di Ser Piero da Vinci pada tahun 1495-1497 (bukan rekaman lensa kamera yang menampakkan wujud Yesus sesungguhnya—sebab ketika itu belum ada kamera). Mahakarya Leonardo Da Vinci, pelukis Renaisans Italia (15 April 1452 – 2 Mei 1519) itu sendiri mesti dipertanyakan akurasinya sebab posisi duduk semua orang yang digambar disitu tidak sama dengan ketika Yesus dan murid-muridNya duduk makan. Lukisan yang digambar pada dinding biara Santa Maria di Milan itu telah rusak akibat dimakan waktu, sehingga yang beredar Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
Gambar 2 : The Last Supper
kemudian adalah duplikasinya yang tidak dimaksudkan Da Vinci—dan tak dapat dinobatkan—sebagai suatu obyek kudus dalam iman Kristen, sebab selain Da Vinci ada banyak pelukis di berbagai penjuru dunia yang juga menghasilkan gambar serupa itu. Da Vinci menjadi tersohor juga bukan semata-mata karena lukisannya, melainkan karena ia bekerja untuk Raja Louis XII dari Perancis di Milan dan untuk Paus Leo X di Roma. Yang jadi masalah adalah mengapa Soeharto yang ditempatkan pada posisi ’Yesus’. Mengapa tokoh kuat di era orde baru ini yang ditempatkan di tengah sebagai simbol perjamuan terakhir menjelang kematiannya. Interpretasi yang terlalu berlebihan dari Tempo sedikit banyak melukai perasaan warga Kristen di tanah air. Meski tidak meledak-ledak dan keras sebagaimana terjadi pasca pemuatan kartun yang menghina Nabi Muhammad beberapa waktu lalu. . Cover itu sendiri diakui oleh perancangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci The Last Supper, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya sebelum Dia disalib. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan The Last Supper. Sementara Pemred Majalah Tempo, Toriq Hadad menyampaikan maaf secara langsung kepada umat Kristiani atas pemuatan cover tabloidnya yang beredar sejak Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
Senin (5/2). "Atas nama seluruh wartawan dan institusi Tempo, kami meminta maaf jika telah melukai hati umat Kristiani dalam penggunaan poster tersebut. Ke depannya, Tempo akan bersikap lebih hati-hati dalam produk jurnalis kami ke depan," kata Toriq Hadad. Ia mengatakan bahwa Tempo sama sekali tidak melakukan kesengajaan untuk menciderai umat Kristiani dalam pemuatan cover itu. Dia menegaskan, sama sekali tidak bermaksud melecehkan atau merendahkan agama mana pun. Toriq menuturkan, cover majalah tersebut memang dibuat sebagai interpretasi dari lukisan Leonardo da Vinci, The Last Supper. "Tetapi bukan mengilustrasikan kejadian di Kitab Suci. Yang jelas, untuk segala hal yang menimbulkan ketersinggungan, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan sakit hati, saya sebagai pemimpin Tempo sekali lagi mohon maaf," ujar Toriq. 1.2 RUMUSAN MASALAH Jadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apa makna dari tanda ikon, indeks dan simbol yang ada pada cover majalah Tempo edisi no 50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008 ‘ versi ‘Setelah dia pergi’ ? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna di balik cover majalah Tempo terkait dengan kematian mantan Presiden Soeharto, sekaligus ingin mengetahui bagaimana media massa dalam hal ini majalah Tempo mengkonstruksi makna kematian mantan presiden Soeharto 1.4 SIGNIFIKANSI PENELITIAN 1.4.1 Signifikansi Akademis Secara teoritis, penelitian ini ingin memberikan pemahaman tentang bagaimana makna yang muncul oleh pemberitaan media terutama makna verbal non verbal. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan akan memperkaya studi analisis semiotika dengan paradigma konstruktivisme yang membahas ma53
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
salah penggambaran realitas kematian tokoh terkenal di Indonesia lewat pemakaian gambar dan warna pada cover majalah Tempo. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman teori tentang semiotika media dan konstruksi sosial atas realitas yang dihubungkan dengan komunikasi politik. Penelitian ini akan menggambarkan realitas kematian mantan presiden RI Soeharto yang ditampilkan dalam cover majalah, khususnya yang berkaitan dengan makna-makna yang kontroversial yang ditimbulkannya. 1.4.2 Signifikansi Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis, pengamat media, praktisi partai, para pekerja media khususnya surat kabar dan majalah di Indonesia . KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Interpretasi media Persoalan interpretasi. Itu adalah pernyataan yang paling tepat untuk menganalisis perang simbolik di media massa, terutama saat membahas kontroversi cover tempo. Interpretasi lambang simbolik ini paling pas bila kita menggunakan Semiotika. Dalam perkembangan semiotik, ada beberapa tokoh yang menonjol dan mempengaruhi laju perkembangannya, misalnya Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Eco, dan Charles Sanders Peirce. Konsep Barthes banyak dipengaruhi oleh Saussure, sementara konsep Eco mewarisi konsep Peirce. Menurut Aart Van Zoest (1992), Saussure dan Peirce ditahbiskan sebagai Bapak Semiotika Modern.[3] 2.2 Semiotika Istilah semiotik atau semiotika sendiri lebih mengacu pada tradisi Peirce, sementara dalam tradisi Saussure istilah yang dipakai adalah semiologi.Antara Saussure dan Peirce tidak saling mengenal. Saussure tokoh awal linguistik umum, sementara Peirce salah satu ahli filsafat . Latar belakang yang berbeda ini tampaknya berdampak pada perbedaan54
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
perbedaan penting, terutama dalam penerapan konsep semiotik, yang dijelaskan keduanya. Perbedaan ini juga menurun pada orang-orang yang berkiblat pada keduanya. Sebut saja Barthes, tokoh yang berjasa menjelaskan lebih dinamis konsep semiotik Saussure, tak ayal memiliki perbedaan mendasar dengan Peirce dalam menjelaskan ilmu tentang tanda ini. Untuk membahas interpretasi terhadap cover majalah Tempo kita menggunakan Model tanda trikotomis atau triadik dari Charles Sander Peirce. Konsep ini tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali, pertamakali dikemukakan oleh Peirce. Prinsip dasar dari model tanda trikotomis ialah bahwa tanda bersifat representatif. Dengan prinsip dasar seperti itu, tanda menjadi sesuatu yang menjelaskan sesuatu yang lain (something that represent something else). Karenanya, Peirce menjadikan proses pemaknaan tanda mengikuti hubungan antara tiga titik berikut: representamen (R) -- objek (O) -- interpertant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi (secara fisik atau). Pada bagian inilah, seorang manusia mempersepsi dasar (ground). Selanjutnya, tanda ini merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Bagian ini menuntun seseorang mengaitkan dasar (ground) dengan suatu pengalaman. I sendiri merupakan bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Di sinilah, seseorang bisa menafsirkan persepsi atas dasar yang merujuk pada objek tertentu.Dengan cara pandang demikian, Peirce menjadikan tanda tidak hanya sebagai representatif, tetapi juga interpretatif.[4] Maksudnya, tanda tidak hanya mewakili sesuatu, tetapi juga membuka peluang bagi penafsiran kepada yang memakai dan menerimanya. Jadi,setiap tanda diberi makna oleh manusia dengan mengikuti proses yang disebutnya semiosis. Teori Peirce tentang tanda memperlihatkan pemaknaan tanda menjadi suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
2.3 Proses Semiosis semiotika Charles Sander Peirce Proses semiosis adalah suatu proses pemaknan tanda yang bermula dari persepsi atas dasar, kemudian dasar merujuk pada objek, akhirnya terjadi proses interpretan.[5] Penerapan dari model trikotomis Peirce ini dapat dilihat dalam contoh berikut: apabila seseorang melihat sebuah bendera warna kuning ( R ) yang membuatnya merujuk pada suatu O, yakni dilekatkan pada sebuah kayu yang dipegang oleh seorang pengendara motor. Proses selanjutnya ialah saat menafsirkannya, misalnya, bahwa bendera itu menandakan bahwa ada orang yang meninggal dan si pemegang bendera hendak mengantar si jenazah ke pekuburan (I). Pada saat tanda (bendera berwarna kuning) ini masih dalam tataran antara R dan O, maka tanda itu masih menunjukkan identitas (dasar: identitas). Inilah nanti yang disebut dengan ikon. Selanjutnya, bila dalam kognisi pemakai tanda itu, ia menafsirkan bahwa bendera kuning adalah simbol ada kematian maka tanda seperti itu disebut lambang, yaitu hubungan antara R dan O bersifat konvensional (seseorang harus memahami konvensi tentang hubungan antara bendera berwarna kuning dengan “kematian” Bagi Peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Jadi, suatu tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi seperti itu menjadi fungsi utamanya. Representasi juga baru dapat berfungsi apabila ada bantuan dari sesuatu (ground). Sering kali ground suatu tanda merupakan kode, namun ini tidak berlaku mutlak. Kode sendiri merupakan suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual (melampaui batas individu).[6] Namun demikian, banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual. Seperti dikemukakan di atas, tanda juga diinterpretasikan. Jadi, tanda selalu dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru (interpertant). Jadi, tanda selalu terdapat hubungan segitiga (ground, objek, interpertant) yang satu sama lain saling terikat. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
Berdasarkan sifat hubungan antara ground dan objek-nya, Peirce membagi tanda menjadi tiga jenis: indeks, ikon, dan lambang. Indeks adalah melihat keterkaitan atau hubungan kausal antara dasar dan objeknya. Misalnya, asap adalah indeks dari adanya kebakaran; bau wangi adalah indeks dari model cantik. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan.Dengan kata lain, terjadi kemiripan identitas antara tanda dan objeknya. Contoh, foto yang menjadi ikon dari gambar orang atau tanda yang tersimpan di dompet seseorang. Lambang sendiri adalah hubungan yang terbentuk secara konvensional. Jadi, terjadinya hubungan antara dasar dan obyeknya itu didasarkan pada konvensi, meskipun tidak ada kemiripan antara dasar dan obyek yang diacunya dan tidak mempunyai kedekatan dengan objek tersebut. Menurut konsep Peirce, ada sejumlah tingkat pemahaman. Yakni : kepertamaan (firstness), kekeduaan (secondness), dan keketigaan thirdness). Kepertamaan adalah tingkat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Maksudnya, pemahaman dan keberlakuan tanda masih bersifat ”kemungkinan”;”perasaan”;, atau ”masih potensial” ;.Tingkat Kekeduaan adalah tingkat pemahaman dan keberlakuan yang sudah ”berkonfrontasi/berhadapam dengan kenyataan” atau merupakan ”pertemuan dengan dunia luar” atau ”apa yang sudah berada” ;, namun tanda ini masih dimaknai secara individual. Keketigaan adalah tingkat pemahaman dan keberlakuan yang sudah bersifat ”aturan” atau “ hukum”, ”yang sudah berlaku umum”. Artinya, saat di tahap ini tanda dimaknai secara tetap sebagai suatu konvensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut. Sesuai dengan tingkat-tingkat keberlakuan tanda di atas, jenis tanda ada yang berupa qualisign (quality sign), sinsign (singular sign), dan legisign (dari lex, hukum). Jadi, kertas berwarna kuning itu masih berada pada 55
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
tingkat kepertamaan karena masih bersifat potensial untuk menjadi tanda yang mewakili ”ada orang meninggal”; Kertas minyak berwarna kuning itu masih berada pada tingkat kepertamaan karena masih ada kemungkinan penafsiran lain. Akan tetapi bila kertas minyak berwarna kuning itu sudah dibentuk menjadi bendera dan diletakkan di tempat yang seharusnya (biasanya pada tiang listrik, pohon, atau tiang di mulut jalan), maka ia sudah menjadi sinsign, tanda yang berlaku khusus untuk menyatakan ” ada orang meninggal di daerah ini”; dan sudah berada pada tingkat kekeduaan. Dengan demikian, ia berbeda dengan kain kuning, baju kuning, atau pun bunga kuning. Akhirnya, jika setiap kertas minyak berwarna kuning berbentuk bendera dan ditempatkan di tempat tertentu secara umum bagi suatu masyarakat mewakili pesan ”ada yang meninggal di daerah ini”, maka tanda tersebut sudah berada pada tingkat legsign, yakni tingkat ketigaan (karena sudah berlaku umum dalam masyarakat tertentu).
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
2.4. Cover kontroversial Tempo Sebenarnya secara umum, kasus ’interpretasi’ terhadap karya Leonardo Da Vinci bukan hal baru. Ada sejumlah karya baik yang mirip atau bahkan kontroversial sudah dibuat mengenai ‘mitos’ The Last Supper ini. Secara objek, lukisan Leonardo itu sendiri belum menggambarkan sisi-sisi kebenaran yang benar-benar sesungguhnya. Karya tersebut juga merupakan hasil ‘interpretasi’ pelukisnya terhadap hari-hari terakhir Yesus sebelum ‘dipercaya’ oleh umat Kristen mengalami kematian di kayu salib. Di sejumlah negera Barat , soal intrepretasi dan interpretasi ulang terhadap peristiwa perjamuan terakhir Yesus banyak terjadi dan tidak memunculkan protes berlebihan. Lihat saja interpretasi bebas dari seniman Francis dibawah ini. Interpretasi bebas The Last Supper bahkan memakai figur wanita cantik sebagai personifikasi Yesus dan murid-muridnya saat perjamuan terakhir.
Gambar 3 : Intrepretasi bebas The Last Supper Sumber: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://voyage.typepad.com/lfc_images/ The_Last_Supper_Francois_Girbaud.jpg&imgrefurl=http://voyage.typepad.com
56
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
Dilihat dari Prinsip dasar dari model tanda trikotomis Peirce ialah bahwa tanda bersifat representatif. Dengan prinsip dasar seperti itu, maka lukisan atau cover Soeharto menjadi sesuatu yang menjelaskan sesuatu yang lain (something that represent something else). Karenanya, Peirce menjadikan proses pemaknaan tanda mengikuti hubungan antara tiga titik berikut: representamen (R) --objek (O) --interpertant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi. METODOLOGI 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma didefinisikan Guba sebagai ”..........a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles ......a world view that defines, for its holder, the nature of the world” .....” [7] Studi ini memakai paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka. Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya.[8] Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat / sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
deranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium dan merasakannya. Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menterjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian/makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimana dari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku sosialnya. Konstruktivis anti pada esensialis, karena konstruktivis menyimpulkan bahwa apa yang kita terima sebagai suatu kenyataan diri (misalnya, laki-laki, perempuan, kebenaran, konsep tentang diri sendiri) sebenarnya merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman manusia yang rumit dan tidak saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Sebenarnya kita semua adalah konstruktivis bila kita percaya bahwa pikiran/otak kita berperan secara aktif dalam membentuk suatu pengetahuan. Sebagian dari kita akan setuju bahwa mengetahui sesuatu bukanlah didapat secara pasif tetapi secara aktif. Dalam pengertian seperti ini, konstruktivisme dalam membangun ilmu pengetahuan daripada sekedar pasif yaitu menemukan pengetahuan. Jadi ”kebenaran” dan ”pengetahuan objektif” bukan ditemukan, melainkan diciptakan individu. Apa yang terlihat nyata tak lain merupakan konstruksi dan bermakna. ”Kebenaran” disini berkaitan dengan banyaknya informasi dan konstruksi secara konsensus dianggap terbaik pada saat tertentu. Pada sisi ini konstruktivisme bersifat memilih subjektif, karena jika realitas hanya mewujud dalam benak individu-individu, maka interaksi subjektif hanyalah satu-satunya cara untuk menangkap dan memahami pikiran mereka. Oleh karenanya, konstruktivisme biasanya menggunakan metode dialektik dan hermeunetik. Konstruktivisme mempunyai dua kriteria dalam menilai kualitas penelitian, yaitu pertama, trustworthiness, terdiri atas credibility (paralel dengan validitas internal), transferability (paralel dengan validitas eksternal, con57
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
firmability (paralel dengan objektivitas). Yang kedua, authenticity, meliputi, ontological authenticity (memperbesar konstruksi personal), educative authenticity (menggiring pemahaman terhadap orang lain), catalic authenticity (merangsang aksi), tectical authenticity (memberdayakan aksi). Dalam pandangan konstruksionis, media massa dilihat tidak sekedar sebagai sebuah saluran yang bebas, ia adalah subjek yang mengkonstruksi realitas, di mana realitas yang dikonstruksi berdasarkan realitas sesungguhnya tersebut juga mengandung adanya pandangan, bias dan pemihakannya dari para pekerja media yang mempersiapkan berita yang akan disajikan. Sebagai sebuah ”arena pertarungan” dari kekuatankekuatan sosial politik yang saling bersaing untuk memperebutkan wacana tentang definisi suatu ”realitas”, industri media massa sebagai pabrik wacana tidak dilihat sebagai institusi yang objektif, karena media massa tidak mungkin dapat menyajikan seluruh realitas sosial dalam medium yang terbatas sehingga ada proses seleksi ketika para editor sebagai gatekeeper memilih berita-berita apa saja yang akan dimuat atau yang tidak. Pemilihan ini jelas sangat subjektif dan bergantung pada misi, visi, nilai atau ideologi yang ingin disampaikan media massa itu kepada masyarakat luas. Oleh karenanya ketika media massa melakukan seleksi terhadap berita yang akan dimuat, maka media itu telah berpihak terhadap suatu nilai. Menegaskan hal tersebut Lippman[9] (1965:223) menyatakan bahwa, ”Suatu surat kabar ketika mencapai pembacanya adalah hasil serangkaian proses seleksi”. 3.2 Jenis Penelitian Penelitian teks media ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dan memakai teknik penelitian teks yaitu analisis semiotika menggunakan teknik analisis charles Sander Peirce dalam melihat cover media majalah Tempo. 58
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
Metode penelitian deskriptif adalah suatu motode yang digunakan untuk menekankan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap objek penelitian pada suatu saat tertentu Tujuan utama dalam menggunakan metode deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.[10] Dengan demikian, penelitian ini hanya memaparkan situasi/peristiwa, membuat deskriptif, gambaran/lukisan secara sistematis. 3.3 Unit Analisis Unit analisis adalah setiap unit yang akan dianalisa, digambarkan atau dijelaskan dengan peryataan-peryataan deskriptif.[11] Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah tanda-tanda verbal maupun non verbal yang ada pada cover majalah Tempo Penelitian ini difokuskan pada makna masing-masing tanda baik berupa ikon, indeks maupun symbol yang ada pada cover majalah Tempo. Karena itu unit analisis penelitian ini adalah tanda-tanda verbal dan non verbal yang ada pada cover. 3.4 Teknik Analisis Data Proses semiosis adalah suatu proses pemaknan tanda yang bermula dari persepsi atas dasar, kemudian dasar merujuk pada objek, akhirnya terjadi proses interpretan. [12] Penerapan dari model trikotomis Peirce ini dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: bagaimana peneliti melihat gambar atau tanda-tanda yang ada pada cover majalah Tempo ( R ) yang membuatnya merujuk pada suatu O, yakni dilekatkan pada sebuah konsep keyakinan kelompok tertentu yang melihatnya sebagai peristiwa yang sakral. Proses selanjutnya ialah saat menafsirkannya, misalnya, bahwa gambar tersebut menandakan bahwa ada sebuah perjamuan terakhir dan sipemimpin berada di tengah hendak berpamitan kepada teman-teman nya. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Singkat PT TEMPO Tempo adalah salah satu media cetak mingguan yang bertahan di kancah di Indonesia. Bahkan, Tempo Grup juga telah memiliki satu surat kabar harian yang mampu bersaing di pasaran, yaitu Koran Tempo. Majalah Tempo pun memiliki dua edisi berbeda pada setiap minggunya, yaitu Tempo edisi bahasa Indonesia dan Tempo Magazine ed-
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
isi bahasa Inggris. Keduanya hanya dibedakan dalam bahasa, tetapi isi beritanya sama. Tempo terbit pertama kali di era pemerintahan Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia. Sejak mula, majalah ini dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah. Mereka juga tak jarang "menyerang" kalangan lain, di antaranya pengusaha kakap yang dinilai sering merugikan rakyat. B.
Deskripsi cover kontraversial Tempo
Tabel 1 : Tabel penggolongan tanda verbal dan non verbal
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
59
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Meskipun pada akhirnya Tempo meminta maaf kepada sejumlah kecil umat kristiani usai pemuatan cover majalah ini, tapi Cover ini tidak ditarik dari peredarannya. Pemred Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo meminta maaf atas pemuatan cover Tempo edisi 4-10 60
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
Februari 2008 yang mendapat reaksi keras umat Kristiani. Namun, majalah itu tidak ditarik. “Saya atas nama seluruh wartawan dan institusi Tempo, memohon maaf. Karenanya permohonan maaf ini akan kita muat dalam Koran Tempo edisi besok, situs Tempo interaktif online dan Majalah Tempo edisi minggu Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
depan,” ujar Pemred MBM Tempo Toriq Hadad dalam jumpa pers di gedung Tempo Jalan Proklamasi Jakarta Pusat, Selasa (5/2). Toriq mengatakan, pihaknya tidak bermaksud melukai perasaan umat Katolik dengan memuat cover di majalah Tempo. “Ini hanya salah tafsir. Ternyata penafsiran kita berbeda. Kami hanya mengambil inspirasi dari Leonardo Da Vinci. Ternyata foto itu diagungkan oleh umat Kristiani,” ujar pria berkacamata ini. Cover itu sendiri diakui oleh perancangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci The Last Supper, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya sebelum Dia disalib. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokohtokohnya persis lukisan The Last Supper. Perbedaannya cover majalah Tempo itu adalah tiruan dari sebuah duplikasi lukisan (bukan reproduksi potret/foto diri Yesus). Yang ditiru adalah hasil imajinasi atau khayalan Leonardo di Ser Piero da Vinci pada tahun 1495-1497 (bukan rekaman lensa kamera yang menampakkan wujud Yesus sesungguhnya— sebab ketika itu belum ada kamera). Mahakarya Leonardo Da Vinci, pelukis Renaisans Italia (15 April 1452 – 2 Mei 1519) itu sendiri mesti dipertanyakan akurasinya sebab posisi duduk semua orang yang digambar disitu tidak sama dengan ketika Yesus dan murid-muridNya duduk makan Dari analisis menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce, terbukti bahwa memang ada konotasi yang lain saat melihat cover Soeharto edisi Setelah Dia Pergi ini. Ada upaya serius dari perancang grafis cover ini untuk menyamakan ‘kondisi hari terakhir’ Soeharto dengan kondisi hari-hari terakhir Yesus Kristus sebelum akhirnya Nabi yang dipuja dan dihormati Umat Kristiani itu ditangkap dan disalib di Golgotha. Pemilihan gambar Soeharto yang dianalogikan dengan kisah terakhir Yesus ini bisa melukai perasaan umat Krsitiani karena degan begitu seolah menyamakan Yesus dengan SoeJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
harto. Soeharto adalah manusia fana yang disingkirkan dan dipaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden Indonesia coba dipadankan dengan Yesus yang memiliki pengikut secara rohani dominan di dunia. Konotasi yang muncul dari cover itu adalah mencoba menyamakan kesalehan, kebaikan dan segala sifat baik dari Yesus dengan Soeharto yang dalam banyak hal memiliki sejumlah kelemahan sebagai manusia biasa. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan Dari hasil penelitian dan kajian peneliti menggunakan semiotika Peirce bisa disimpulkan bahwa : 1. Koran Tempo mencoba menyamakan sosok Soeharto dengan sosok Yesus Kritus dalam penggambaran hari-hari terakhir sebelum keduanya meninggal dunia 2. Dari sisi konotasi, penggunaan lukisan Leonardo Da Vinci ini memang tidak serta merta merupakan realitas sesungguhnya dari saat-saat terakhir Yesus, meski begitu secara tradisional umat kristiani menganggap bahwa hari-hari terakhir Yesus memang seperti itu, dia melakukan perjamuan terakhir dengan para muridnya sebelum akhirnya dia ditangkap dan dijatuhi hukuman salib. Sedangkan Soeharto meninggal karena sakit, dan dia tidak diadili secara ‘serius’ oleh pengandilan resmi di Indonesia. Jadi bisa disimpulkan terdapat upaya simplikasi dan analogi yang keliru untuk menyamakan Yesus dengan Soeharto. B.SARAN 1. Semestinya Tempo lebih peduli terhadap nilai-nilai yang dianggap sakral oleh agama manapun, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri dan aspek penjualan produk majalah yang mereka miliki. 2. Kepada pengelola media, perlu sekali memahami pandangan serta nilai-nilai yang dianggap sebagai ajaran dan ke61
Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo
benaran oleh penganut agama apapun seperti halnya cover Majalah Tempo 3. Penelitian ini bisa ditingkatkan pada penelitian lain yang mencoba menguak bagaimana persepsi keluarga Soeharto menanggapi pemberitaan terkait Soeharto termasuk penerbitan cover majalah Tempo yang menganalogikan Soeharto dengan Yesus.
• Indiwan Seto Wahyu Wibowo
[10] Consuelo G Sevilla et.all, 1993 :71 [11] Jalaludin Rakhmat, Op. Cit., hal. 92 [12] Ibid. hal 28
DAFTAR PUSTAKA Hoed, B.H. 2002,Strukturalisme, Pragmatik, Dan Semiotik Dalam Kajian Budaya ; dalam T. Christomy (penyunting), In donesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Shoemaker, pamela J and Stephen D Reese, REFERENSI 1996 , Mediating The Message,Theories [1] http://andriewongso.com/awartikel-1390- Of Influences on Mass Media Content, Artikel_Tetap-Menarik_Simpati_Den Longman Publisher gan_Komunikasi_Simbol Werner J. Severin with James W. Tankard, Jr., [2] Persda Network/Februari 2008 Communication Theories, Longman [3] Van Zoest, Aart dan Panuti Sudjiman. 1992. London, 2nd edition, 1998 Serba- Serbi Semiotika Gramedia Van Zoest, Aart dan Panuti Sudjiman. 1992. Pustaka utama: Jakarta. Serba- Serbi Semiotika Grame [4] Hoed, B.H. 2002,Strukturalisme, Pragma dia Pustaka utama: Jakarta tik, Dan Semiotik Dalam Kajian Buda ya ; dalam T. Christomy (penyunting), Indonesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Website: http://andriewongso.com/awartikel-1390-Ar Wedatama Widya Sastra. tikel_Tetap Menarik_Simpati_Den [5] Ibid. hal 28 gan_Komunikasi_Simbol [6] Van Zoest, Aart dan Panuti Sudjiman. 1992. http://images.google.co.id/ Serba- Serbi Semiotika Gramedia imgres?imgurl=http://voyage. Pustaka utama: Jakarta. typepad.com/lfc_images/ [7] Denzin dan Lincoln, 1994:107 The_Last_Supper_Francois_Girbaud. [8] Suparno, 1997:11-15 jpg&imgrefurl=http://voyage.typepad.com [9] Lipmann, 1965, Opcit.hal 223
62
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dessy Kania
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara Dessy Kania Universitas Bakrie, Jakarta dessykania@gmail.com ABSTRACT Tourism is an important component of the Indonesian economy as well as a significant source of the country’s foreign exchange revenues. According to the Center of Data and Information - Ministry of Culture and Tourism, the growth of foreign visitor arrivals to Indonesia has increased rapidly by 9.61 percent since 2010 to the present. One of the most potential tourism destinations is Komodo Island located in East Nusa Tenggara. With the island’s unique qualities, which include the habitat of the Komodo dragons and beautiful and exotic marine life, it is likely to be one of the promising tourism destinations in Indonesia and in the world. In 1986, the island has been declared as a World Heritage Site by UNESCO. The Ministry of Culture and Tourism continuously promotes many of the country’s natural potential in tourism through various media: printed media, television and especially new media. However, there are challenges for the Indonesian tourism industry in facilitating entrepreneurship skills among the local people in East Nusa Tenggara. According to the Central Bureau of Statistics (2011), East Nusa Tenggara is considered as one of the poorest provinces in Indonesia where the economy is lower than the average, with a high inflation of 15%, and unemployment of 30%. This research is needed to explore further the phenomenon behind the above facts, aiming at examining the role of new media in facilitating entrepreneurship in the tourism industry in Komodo Island. The results of this study are expected to provide insights that can help local tourism in East Nusa Tenggara. Keywords: Tourism, Entrepreneurship, New Media I. BACKGROUND It is inevitable that tourism in Indonesia has become an important indicator in stimulating the economy of the country. In 2009, tourism was considered as one third of the foreign exchange revenue after oil, natural gas and palm oil. According to the Central Bureau of Statistics (BPS), tourists who visited Indonesia in August 2011 reached 621,084 people, where the number is rising by Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
7.32% compared to the number of tourists in the same period in 2010 as many as 4.63 million people (http://www.mediaindonesia.com/ read/2011/10/03/264996/4/2/621.084-TurisBerkunjung-ke-Indonesia-selama-Agustus-, accessed on October 18 2011). An Indonesian Economist, Faisal Basri, indicated in his speech, “Indonesian Economic Development Roadmap 2009-2014”, that the tourism sector is projected to become the driving force of the economy 63
• Dessy Kania
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
in the coming period of 2009-2014, and that the sector will be able to contribute about 10 percent to 15 percent of the Gross Domestic Growth (GDP) in the coming year (http://nasional.kompas.com/read/2009/10/15/1756231/, accessed on October 18, 2011). The number of foreign tourists visiting Indonesia has increased periodically. This is due to the wealth and natural beauty, historical heritage and the diversity of Indonesia’s culture. These are considered as important elements in supporting the country’s tourism. In addition, Indonesia is known as the largest archipelagic country in the world that has the fourth longest coastline in the world with approximately 17,480 islands. With its geographical layout, "Indonesia located below the equator has resulted for having tropical and wet climate throughout the year. Moreover, its position which mediates the continents of Asia and Australia and the Indian Ocean and Pacific, Indonesia has a very strategic location" (http://www.wisatalk.com/ accessed on October 18, 2011). In addition to natural conditions that support the potential of tourism in Indonesia, the government also issued laws and regulations that support its citizens for having and experiencing tourism activities. According to the country’s law:
read/2008/12/02/09454362/berwisatalah. di.dalam.negeri accessed on October 3 2011): "Travel in your own country, we will definitely obtain beauty that is no less more interesting than places abroad. Help this nation by not having spending sprees buying international products, including not buying the beauty of other nations"
From various selections for tourist destinations in Indonesia, East Nusa Tenggara is considered as a very popular tourist destination and well-loved foreign destination. Although the province of East Nusa Tenggara is one of the poorest provinces in Indonesia, its natural scenery and diversity for tourist attractions encompasses it as an amazing tourist destination. As illustrated in the following quote (http://www.tourismntt.com/ (accessed on October 3, 2011): “…traditional ceremonies like the Pasola of Sumba, the whip fighting of Flores and the war dances of Sabu. See the prehistoric Dragons of Komodo, the three colored crater lakes of Keli Mutu in Flores; dive in the world renowned diving destinations of Alor and Komodo; surf the waves of Rote and Sumba…”
“Freedom to travel and spend your spare time travelling is a part of human rights.”
(Undang-Undang NO.10, 2009)
Kepariwisataan,
UU
With support from its natural and physical beauty and the government in promoting tourism in Indonesia, the next stage is the selection of tourism destinations. When it comes to tourism destinations, one might consider choosing between going abroad or exploring the country. Unfortunately, many Indonesian people are more interested in going abroad for travel. As urged by the Chairman of the National Mandate Party, Soetrisno Bachir, adapted by Imam Prihandoko in Kompas (http://nasional.kompas.com/ 64
Picture 1: East Nusa Tenggara Tourism Map Source: www.indonesia-tourism.com
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dessy Kania
From all tourist destinations located in Flores, the uniqueness of the Komodo National Park (with area of 1,817 km ²) is one of the sought after destinations which lead to become as one of the finalists in "The New Seven Wonders of Nature". This is due to the existence of the Komodo Dragon’s habitat (Varadus komodoensis), which is one of endangered species that occupies the island of Komodo, Rinca and Gili Motang. In 2008, the number of foreign tourists who visited the Komodo Island amounted to 21.000 people. In 2009, the number of tourists increased to 36.000 people. In 2010, it increased to 45.000 people. Most of the visitors are “foreign tourists who come mainly from Australia, Southeast Asia, and the United States (http://www.indonesia. travel/id/news/detail/471/promosi-mandiriindonesia-untuk-taman-nasional-komodothe-real-wonder-of-the-world accessed on October 3, 2011). In facilitating to promote the Komodo National Park, the Indonesia government through Ministry of Culture and Tourism is also assisted by a non-profit organization named Swisscontact. The organization developed a program known as the Regional Tourism Development Project (WISATA) which began in 2009-2013 and includes the island of Flores in province of East Nusa Tenggara (NTT). The main activities will focus on developing local destination management organizations with two entry points to Flores: Labuan Bajo and Maumere. (http://www.swisscontact.or.id/ projects/eastern-indonesia/wisata-–-regional-tourism-development-on-flores-island/ accessed on October 3 2011). Since 2010, the Ministry of Culture and Tourism has set a new program in Indonesia in order to increase tourist visits: "Destination Management" (DMO). There are 15 tourism destinations which will be developed by applying the concept of DMO in the period of 2010 to 2015. Tourist desJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
tinations include: Kota Tua (Jakarta), Pangandaran (West Java), Borobudur (Java), Bromo-Tengger-Semeru (East Java), Toba (North Sumatra), Sabang (Aceh), Lake Batur (Bali), Rinjani (NTB ), Komodo, FloresFlores (NTT), Tanjung Putting (Borneo), Derawan (East Kalimantan), Toraja (South Sulawesi), Bunaken (North Sulawesi), Wakatobi (North Sulawesi), and Raja Ampat (Papua) (http://nttonlinenews.com/ntt/index. php?option=com_content&view=article&id =10697:pakar-pariwisata-dunia-akan-bahaswisata-ri&catid=40:pariwisata&Itemid=57 accessed on October 3 2011) Due to its very far whereabouts, many tourists seek information regarding accommodations, attractions, services of tour operators, as well as the restaurants surrounding The Komodo National Park that can be accessed through the internet. Fares for Aviation and maritime transport services connecting from the main port of Labuan Bajo to Komodo National Park are all available in the Internet. The use of the Internet for obtaining information is on high demand and can be illustrated from the picture below:
Picture 2: Visitor’s Flag Counter Source: www.TourismNTT.com
From the background described above, there is a need for further research in order to examine how the role of new media, government and other agencies facilitate tourism and entrepreneurship in Komodo Island in Nusa Tenggara. In addition, this research will also study efforts from the Indonesian government and other agencies in promoting Komodo Island. 65
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
II. LITERATURE REVIEW II.1. New Media and Entrepreneurship The way we communicate and promote products and/or services is highly influenced by the medium we use. Many entrepreneurs use various mediums such as television, radio, and newspapers to promote its products. Equally important, the current medium of choice is "New Media". New media is a form of interactive communication that uses the Internet, including podcasts, RSS feeds, social networking, text messaging, blogs, wikis, and other virtual worlds. There are many uses of New Media. New media allows for anyone to create, modify, and share content and share it with others, using a relatively simple tool that is often free or inexpensive. New media requires a computer or mobile device with internet access (http://aids.gov/using-newmedia/basics/what-is-new-media/ accessed on October 3 2011). The role of new media in facilitating entrepreneurship can be seen from the articles Jaya Akunuri adapted by Nwankwo and Gbadamosi in his book "Entrepreneurship Marketing: Principles and Practice of SME Marketing" (2010: 177): “It has been well documented in academic literature that entrepreneurs rely hugely on both personal and social networking contact. Online media further enables entrepreneurs to do what they are best at – interact with people, build relationship and talk with their customers.”
The use of the Internet for small and medium entrepreneurs has increase along with the uprising of business and market development. As said by Kuratko and Hodgetts (2007: 14), small businesses use the Internet for various operations, including customer-based identification, advertising, consumer sales, business to business transactions, email and private internal network for employees. 66
• Dessy Kania
II.3. Tourism and Destination Management There are several approaches to defining tourism. Reid, in his book "Tourism, Globalization and Development: Responsible Tourism Planning" (2003: 111), states: “Tourism is also defined economically among entrepreneurs, according to consumption patterns, and by profit and loss. In many developing countries, the prices charged for many exhibits maintained by government agencies changes based on whether the visitor is a non-national tourist or a citizen of the country. In a sense, then, there are two distinct types of visitors to such exhibits, even though the attraction may be the same. For these purposes, domestic tourism is seen as much as a recreation as it is a form of tourism.”
One definition of tourism that emphasizes the importance of experience gained from tourists proposed by Urry (1990) adapted by Lobo in his article "Cultural Tourism and the Leisure Paradigm: The Australian Experience" in the book "The Tourism and Leisure Industry: Shaping the Future" (2005:136): “Tourism is a departure from everyday experience. He describes tourism as experience and as a free-time activity that contracts with the daily routine and which can chiefly be identified by means of “signs” bringing significance to the attention of the tourist (for example, beauty, romance, nature).” Macleod and Carrier, in their book "Tourism, Power and Culture: Anthropological Insights" (2010), says that: “Tourism as an experience and an industry is infused by culture in its various dimensions, and influenced throughout by relationships of power; this is particularly apparent at the destination site.”
One of the concepts that need to be examined in connection with the concept of tourism that has been described above is the conJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dessy Kania
cept of "destination". According to Steven Pike in his book Destination Marketing - An Integrated Marketing Communication Approach (2008: 24): “A destination is a geographical space in which a cluster of tourism resources exist, rather than a political boundary.“
Pike, adapted from rubies (2001:39), also describes the Cluster as: “an accumulation of tourist resources and attractions, infrastructures, equipments, service providers, other support sectors and administrative organisms whose integrated and coordinated activities provide customers with the experiences they expected from the destination they chose to visit”
There are various categories of tourism activities. Here are the categories based on Reid, Fuller, Haywood and Bryden, (1993) adapted by Reid (2003:108):
Picture 3: Categories of Tourism Activities Source: Reid, Fuller, Haywood and Bryden, 1993
Eco-tourism is one of the categories of tourism activities that are currently favored by many local and foreign tourists. According to Hammitt and Symmonds in his article "WilderJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
ness" Weaver in his book "The Encyclopedia of Ecotourism" (2001: 327): “Ecotourism is travel to fragile, pristine, and unusually protected areas that strive to be low impact and (usually) small scale. It helps educate the traveler; provides funds for conservation; directly benefits the economic development and political empowerment of local communities; and foster respect for different cultures for human rights”.
III. METHODS In this research, a qualitative approach is applied. The research period took place from August 28 until October 22, 2011. The methods used in collecting data for this study consisted of semi-structured personal interviews, examination of documents and personal observations. Application of multiple methods or triangulation in social research has been supported by many researchers because they help to overcome the shortcomings inherent in the use of one method. Case studies are used as a research strategy because the focus of this study is the island of Komodo as a tourist destination. Retrieval of data using techniques such as in-depth interviews to a key informant and also informants for this study was needed. The key informant in this study was Ir. Firmansyah Rahim, MM, as the Director General of Tourism Destination Development (PDP) Ministry of Culture and Tourism. Informants from Swisscontact were Mr. Christian Maramis as a Field Office Manager of Eastern Flores Swisscontact (Indonesian Swiss Development Cooperation) for the program TOURISM - Tourism Destination Development Flores located in Maumere. Other informants included Mr. Frans Teguh M.A as the Head of Planning and Legal Directorate General of Tourism Destination Development (DG PDP), who was an important informant, especially for detailed data with respect to the program Destination Management in Flores. Researchers also included Mr. Anang Subiantoro, as the first entrepreneur of an internet café available for tourists, 67
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
was chosen for this research. Internet Apik; owned by Mr. Anang is an internet café located in Labuan Bajo. IV. FINDINGS AND DISCUSSION IV.1.The Role of New Media (Internet) in promoting Flores and Komodo Island When researchers examined the role of new media, especially the Internet, the first step was to inspect and search the Internet network facilities that are available in the area; for this study, the target area was Labuan Bajo, Flores. Interestingly, there are only two Internet providers in Labuan Bajo, which are Telkomsel and Indosat. According to Mr. Anang, an internet café entrepreneur, Internet Apik, said that internet connection was established in 1998 by Telkomnet using a long distance rate. He stated that: “In 2004 Telkomnet instant with local rate was installed. However, it only existed for three years. During that period, I used GPRS system from Indosat IM3 which is better than Telkomsel Flash. After that, most internet café owner uses IM2 Satellite. For the past two years, we have faster Internet access from Telkom Speedy.”
To access the Internet, most tourists come to Internet cafes along the main road in Labuan Bajo. These services are provided by many cafes and restaurants in Labuan Bajo and the connection is generally the same at 1 Mb / s, which is good for Skype and Youtube connections. This result leads to a challenge for the tourism industry in the area when it comes to providing Internet service as well as price competitiveness for the available Internet services. This situation is very contrast compare to tourism destinations such as Bali, where tourists have various internet provider options. With the wide range of Internet providers in an area, small businesses and tourism will be able to flourish alongside with the fast development of global opportunity. This is due to the abil68
• Dessy Kania
ity of each provider offering a range of facilities and ease for surfing in cyberspace, including options in price and/or in quality. Other areas, such as Pontianak in East Kalimantan (as one of the poorest provinces in Indonesia according to BPS, 2011) that has just received aid from the Ministry of Communications and Information Technology (Menkominfo) RI, a five-unit Car Internet Service Center District (M-PLIK) sees the importance of the Internet for its community. According to the Head of Department of Transportation, Tourism and Culture (P2K) Pontianak regency, Suharjo Lie (http://www.equator-news.com/lintas-barat/ kab-pontianak/20111029/dunia-maya-rambahmasyarakat-terpencil accessed on 31 October 2011): "There are so many positive impacts with the internet service. Community can easily obtain all information needed for the general public, students and others. As a source for communication between communities and between regions of the other regions,"
In terms of obtaining information using the internet, when a researcher entered the keyword "Flores, Indonesia" into the Google search engine, there were about 6,100,000 search results in categories from all sources. While using the keyword "Komodo Island" there was about 737.000 results in the same category. All sources mean that it includes Images, Maps, Videos, News, Shopping, More. When a researcher compared the above results by entering the keyword "Bali", there were about 67,900,000 results, and the keyword "Lombok" resulted in about 38,100,000 sources which confirmed the gap in the information the internet provided using the Google search engine. In contrast to other tourist destinations that have a unique Eco-Tourism attraction such as Raja Ampat and Wakatobi, Komodo Island is still lagging far behind. (With the keyword "Raja Ampat", there were about 1,040,000 results and about 845.000 results for "Wakatobi Island"). These findings reveal that Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dessy Kania
the Komodo Island obviously needs more support in order to make it one of the prime tourist destinations in Indonesia. Internet facilities in Flores, especially Labuan Bajo as the main port to Komodo Island, have only been running for about 2-3 years. Here is an excerpt regarding the available internet facilities by Mr. Rahim Firmansyah as the Directorate General PDP Ministry of Tourism and Culture: “I requested Telkomsel to build their station in Komodo because the Vice President was coming... When the Vice President was there, he couldn’t do this and that, so he told us to do it (activate the internet)... The Vice President told us to activate the internet connection quickly when he was there.” (In-
terview in October 7, 2011)
Mr. Christian of the Swisscontact, who sees the importance of internet facilities to the community as a learning device, added:
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
IV.2. Tourism and Destination Management Each destination has its own uniqueness and distinctiveness of the present-owned tourist attraction. The uniqueness is what makes a tourist area more prominent than other regions. Therefore, the concept of destination management proposed by the Ministry of Culture and Tourism can provide a competitive advantage for every 15 existing destinations in Indonesia. One of the backgrounds of why this concept will benefit tourism destinations in Indonesia is due to geographical differences in comparison with other countries. As noted by Mr. Firmansyah: "What country would you like to compare it to? Singapore? Indonesia is too vast. But for me, that’s not an obstacle, it’s an asset. The difference is Singapore or Thailand has a short distance... We have different characteristics, and that’s what makes it interesting for me. That’s where our uniqueness lies. Plus, we’re divided by the ocean. That could be an obstacle, but for me, that’s actually what makes it interesting.” (Interview on October 7, 2011).
“Oh yes, it’s very important. A broader range will facilitate them in capacity building, so they can learn, right? It wil make it easier for them to obtain information that is smart enough. The problem is, provinces usually have it better, almost all government offices have access to the internet so everything goes smoothly. This is because Kupang is actually the capital city of a province, but if you see regions, it’s so unfortunate. The Tourism Office in Maumere has no internet connection, even though it’s a tourism office. So it’s a tourism office, but it has no internet connection, it’s quite depressing." (Inter-
The same was said by Mr. Frans Teguh to explain the differences between Indonesia’s tourism with other countries, which can be seen from the location map of where Indonesia consists of many islands, while other Asian countries do not have as many islands as Indonesia (interview on October 11, 2011). A tourism concept proposed by Reid (2003) and Urry (1990) which focuses on 'experience' in line with what was raised by Mr. Frans is as follows:
The above statements reveal how both the Ministry of Culture and Tourism and Swisscontact feel that there is a lack of internet facilities in tourist areas and the island of Labuan Bajo Komodo. It is not in line with the concept put forward by Jaya Akunuri where more online media allows employers to do what they are best at, ie: interact with people, build relationships and talk with their customers.
“...A link chain must be built in a certain destination, which means it should begin from the tourist arriving at the airport, or the docks, or whatever transportation he or she used. As for information, he or she will need a guide. He eats at a restaurant, sleeps in a hotel, buys culinary souvenirs, he or she may use or buy transportation, meet the community. This is a design of a tourism product where the experience is created by experience. Experience that is arranged, experience that must be created”. (Interview on October 11, 2011).
view on October 13, 2011)
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
69
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
By supporting the concept of destination management up until fully executing the idea, tourists will be able to focus more on submerging themselves in the adventure and feel of the area. Thus, creating a more lively and remarkable experience. One finding from the interview with Mr. Christian of Swisscontact is a different category of tourist activities made for the island of Komodo, which is Eco-tourism. It was expressed as follows: “For us, those who designed the project, also from the inputs by the stakeholders, we try to avoid making it like Bali, so we avoid that type of max tourism. We avoid it. We prefer it to be more on the lines of ecotourism. That’s why in the master plan, there will be more inputs, designs and other things that avoid max tourism. We avoid it because it can become ‘uncontrollable’. So we will also avoid manufactures. One of our famous visions is Flores, which challenges manufacturers, because it’s still natural. That’s what we will try hard to maintain in the future, so there won’t be too many things or attractions or manufactured buildings." (Interview on
October 13, 2011)
As seen from the suggestion put forward by Mr. Christian, one of the uniqueness of the management of destinations (Destination Management) is the different categories of tourism such as Eco-tourism for the island of Komodo. Eco-tourism destinations have become one of the most sought after areas for those who crave a different experience for their holiday. It is unique because it provides a different experience compared to other tourist destinations. Adventure, knowledge and an ambience that is different than what we experience in our daily lives are only a few things that eco-tourism can offer. The Komodo Island is a perfect destination to experience all that, and many more. The Komodo Island is obviously widely acknowledged as the habitat of the endangered Komodo dragon, the largest lizard on earth. Yet aside from that, the island has much more to 70
• Dessy Kania
offer. Several other animals have nestled on the island such as the Javan Deer, buffalos, cockatoos, and others. The island is also bordered by a beautiful beach with rare pink sand that can only be found in a handful of areas around the world. It is also a popular spot for diving and exploring the creatures that lie beneath the ocean. By executing destination management well and promoting Flores as one of the primary targets for alternate vacations spots, such as eco-tourism destinations, the pristine Komodo Island can be an experience that local and international tourists will never forget. V. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS Tourism is an important element for the growth of the Indonesian economy. Although Komodo Island is one of the most promising destinations in Indonesia, it still faces many challenges in facilitating entrepreneurship skills among the local people in East Nusa Tenggara. Based on the observation, there are a few things that need to be accomplished in order to maximize the area’s potential. With Flores as one of the prime tourist destinations, there are some crucial points that need to be observed. First, internet or new media is a very important tool in the field of tourism. This study has shown that through this, we can appeal to a wider range of tourists, locally and internationally, by upgrading the promotional tools, expanding networking and others. Second, entrepreneurism is still lacking in Flores. By helping the people develop this area of expertise, it can facilitate the tourists in enjoying their experience when they arrive at their destination. Third, destination management can support the promotion of tourism in Indonesia by providing experience that can be engineered through a synergy among the stakeholders in their respective destinations. With destination management, it will be known that ecotourism is one of the unique qualities that can be found in Flores. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Dessy Kania
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
There are also some research suggestions that could be conducted in order to further enhance Indonesian tourism. It is known that some destinations still have very minimal internet facilities that can support the facilitation of communication and promotion of tourism, both for local and international tourists. Further studies to determine the interest in entrepreneurship at each destination is needed so that a program can be proposed to a non-profit organization, such as Swisscontact, and also create a synergy with destination management programs from the Ministry of Culture and Tourism. Based on this analysis, there are still many things that need to be done in order to further enhance the growth of tourism in East Nusa Tenggara, specifically the Komodo Island. Hopefully, aiding this area will be able to boost Indonesia’s tourism industry in the years to come.
nesia-untuk-taman-nasional-komodo- the-real-wonder-of-the-world accessed on October 18 2011 http://www.mediaindonesia.com/ read/2011/10/03/264996/4/2/621.084- Turis-Berkunjung-ke-Indonesia-sela ma-Agustus- accessed on October 18 2011 http://www.swisscontact.or.id/projects/east ern-indonesia/wisata-–-regional-tour ism-development-on-flores-island/ ac cessed on October 3 2011 http://www.tourismntt.com/ accessed on Oc tober 3 2011 http://www.wisatalk.com/ accessed on October 18 2011 Kuratko, Donald F; Hodgetts, Richard M, En trepreneurship: Theory, Process, Prac tice, South-Western College Pub; 6 edi tions, 2003 Macleod, Donald V. L; Carrier, James G. “Tourism, Power and Culture: Anthro pological Insights”, Channel View VI. BIBLIOGRAPHY Publications, Bristol, UK, 2010 http://aids.gov/using-new-media/basics/what- Maramis, Christian. Field Office Manager of is-new-media/ accessed on October 3 Eastern Flores Swisscontact. Personal 2011 Interview. October 13 2011. http://nasional.kompas.com/ Nila, Sari. Communications Consultant at PT read/2008/12/02/09454362/berwisa Putri Naga Komodo / founder of Ta talah.di.dalam.negeri accessed on man Bacaan Pelangi in Labuan October 18 2011 Bajo. Personal Interview. http://nasional.kompas.com/ Nwankwo, Sonny; Gbadamosi, Ayantunji. read/2009/10/15/1756231/, ac (2010), Entrepreneurship marketing cessed on October 18 2011 : principles and practice of SME http://nttonlinenews.com/ntt/index. marketing, New York : Routledge, php?option=com_content&view=arti 2011 cle&id=10697:pakar-pariwisata-dunia- Rahim, Firmansyah. Director General of Tour akan-bahas-wisata-ri&catid=40:pariwi ism Destination Development (PDP) sata&Itemid=57 accessed on October 3 2011 Ministry of Culture and Tour http://www.equator-news.com/lintas-barat/ ism. Personal Interview. Conducted On kab-pontianak/20111029/dunia-maya- October 7 2011. rambah-masyarakat-terpencil accessed Raja, John. Field Office Manager, West Flores. on October 31 2011 Personal Interview. www.indonesia-tourism.com Reid, Donald G., Tourism, Globalization and http://www.indonesia.travel/id/news/de Development: Responsible Tourism tail/471/promosi-mandiri-indo Planning, Pluto Press, 2003 Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
71
The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara
Teguh, Frans. Head of Planning and Legal Directorate General of Tourism Destination Development. Personal in terview. October 11 2011. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor
72
• Dessy Kania
10. Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Weiermair, Klau; Mathies, Christine,The Tour ism and Leisure Industry: Shaping the Future, Routledge, 2004 www.google.com accessed on October 18 2011
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• R. Masri Sareb Putra
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
R. Masri Sareb Putra Universitas Multimedia Nusantara Jl. Boulevard, Gading Serpong Telp. 021-54220808, 37039777, e-mail: masrisareb@yahoo.com
ABSTRAK Tradisi “hermeneutika” sudah dikenal dalam mitologi Yunani lewat figur Hermes yang dikenal piawai menafsirkan pesan “dunia atas” atau realitas ontologis untuk disampaikan kepada manusia. Kemudian, hermeneutika dipraktikkan para pakar untuk menemukan makna hakiki sebuah teks Akitab. Sekolah Frankfurt kemudian mengembangkan metode hermeneutika sebagai cabang filsafat yang mencapai puncaknya pada Gadamer. Akan tetapi, hermeneutika baru menarik perhatian para pakar komunikasi Amerika pada 1976. Di Indonesia, hermeneutika belum banyak digunakan untuk studi komunikasi, padahal hermeneutika dapat membongkar makna yang terselubung di balik realitas yang ada di balik teks dan wacana secara radikal. Kata kunci: Hermeneutika, eksegese, makna, filsafat, komunikasi, wacana, teks.
PENDAHULUAN Filsafat adalah induk dan cikal bakal dari semua ilmu (Grant, 1996; Barrett dan Aiken; 1962; Agushevits, 2008). Jika demikian, maka ilmu komunikasi yang kita kenal saat ini juga asal mulanya dari filsafat. Sebagaimana diketahui bahwa makna atau true conditions adalah inti dari penelitian kualitatif. Hermeneutika ialah usaha rasional mencari makna suatu teks atau realitas dengan jalan menafsirkannya. Di dalam proses penafsiran tersebut, si penafsir dituntun oleh vorurteil (prejudice), yakni sejumlah pengalaman dan seperangkat pengetahuannya. Berdasarkan Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
vorurteil tersebut, si penafsir coba mencari hakikat sebuah teks atau realitas dalam konteks sejarah dan tradisi pada saat teks atau realitas lahir. Inilah yang disebut “lingkaran hermeneutika”, sebuah horizon yang terus berposes dan berkembang dalam usaha rasional menemukan hakikat. Terkait dengan topik pembahasan, struktur paper ini mula-mula menggali lebih dahulu etimologi dan sejarah hermeneutika, praktik hermeneutika pada studi dan penafsiran Alkitab, hermeneutika sebagai cabang filsafat, dan pada bagian akhir bagaimana filsafat hermeneutika berproses dan berdialek73
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
tika sehingga diadopsi menjadi salah satu metode penelitian komunikasi untuk mencari makna (sensus plenior/true conditions) atau hakikat sesuatu lewat usaha rasional berupa penafsiran. PEMBAHASAN Menelisik kembali asal usul kata, kerap sangat membantu upaya kita memahami sesuatu. Dalam konteks ini, untuk memahami “hermeneutika”, kita perlu terlebih dahulu menggali etimologinya. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuō yang berarti: saya menasfirkan. Terminologi ini dipetik dari nama Hermes dalam epik karya Homeros[1] yaitu Ililiad dan Odyssey. Dikisahkan bahwa Hermes adalah utusan dewa, ia mengemban tugas membawa pesan Zeus dari dunia dewa kepada alam manusia, terutama agar “bahasa dewa” dapat dimengerti dan diterjemahkan ke dalam “bahasa manusia” (Palmer, 1999). Hermes dikisahkan sangat piawai menasfirkan tanda yang diberikan dewa-dewa dan memiliki kemampuan menerjemahkan pesan-pesan tersebut dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. SEJARAH HERMENEUTIKA Di dalam mengemban tugas tersebut, Hermes menjembatani apa yang disebut “gap ontologis” (ontological gap) yakni gap antara pemikiran atau alam dewa dan pemikiran atau alam manusia. Dalam mitos, dikisahkan bahwa Hermes memiliki kemampuan muncul dan menghilang kapan saja, punya kemampuan lari secepat kilat, dan punya daya magis untuk membuat orang tertidur atau bangun. Dikisahkan pula bahwa Hemes bukan hanya sanggup menjembatani antara jarak fisik (physical distance) dan jarak ontologis (ontological gap) antara dunia dewa (illahi) dan dunia manusiawi (Palmer, hlm. 2). Tugas hemeneutika, seperti halnya tugas dewa, ialah: menjembatani gap antara ontologi (realitas) dan apa yang tampak di permukaan (fenomena). Dengan demikian, terjadi 74
• R. Masri Sareb Putra
verifikasi sesuatu yang tampak di permukaan dengan substansi atau realitas yang merupakan “ada” atau being yang sesungguhnya. Inilah inti hermeneutika, sebagaimana namanya (dari nama dewa Hermes) yang piawai menafsirkan dan menjembatani jarak ontologis dunia dewa dan jarak fisik dunia manusia. Dalam salah satu karya Aristoteles “De Interpretatione”[2] (tentang Interpretasi) kembali muncul istilah yang kurang lebih sama dengan Hermes, yakni “Peri Hermenias” yang mengacu kepada penafsiran dalam arti sempit, yakni penafasiran yang mengandung benar/salah. Dalam tradisi pemikiran Yunani, penafsiran seperti ini diarahkan pada teks pidato (retorika) seperti pidato Homeros dan syair-syairnya. Pada abad pertengahan, para Bapa Gereja menafsirkan Alkitab secara lebih sistematis dan metodis dengan mencari makna alegorinya (sensus allegoricus) yang coba memahami teks berkenaan dengan isi doktrinal dari dogma Gereja, sehingga yang menjelaskan setiap elemen literal yang memiliki makna simbolis. Hermenutika kemudian berkembang dan diadopsi para pakar Akitab (Kristen) yang mengembangkan studi penasfiran kitab suci secara ilmiah, dengan melihat konteks (kapan, di mana, lingkungan sosial budaya, serta ciri tekstual/struktur sastra) Alkitab tersebut untuk coba menangkap pesan (makna) yang dimaksudkan si penulis teks tersebut agar tidak bias dan maknanya tidak lari dari maksud si penulis. Dalam metode penasfiran Alkitab[3] tersebut, sejarah dan tradisi tidak boleh lepas dari konteks. Oleh karena itu, metodologinya disebut “eksegese” (penafsiran), yakni sebuah usaha rasional melakukan interpretasi secara sistematis. Cara kerja seperti ini hanya dapat ditemukan pada Philo dari Aleksandria, yang melakukan refleksi tentang makna alegoris dari Perjanjian Lama yang berasumsi bahwa makna literer dari sebuah teks dapat menyembunyikan arti non-literer (true conditions) yang hanya dapat ditelusuri melalui kerja interpretasi yang sistematis. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• R. Masri Sareb Putra
St. Origenes (185-254) dari Alexandria selanjutnya mengembangkan studi interpretasi Kitab Suci secara sistematis dan dengan berani menyatakan bahwa Alkitab memiliki tiga tingkatan makna, seperti bangun segitiga yakni: tubuh, jiwa, dan semangat yang masingmasing mencerminkan tahap yang semakin lebih maju kepada pemahaman Kitab Suci secara lebih menyeluruh dan mendekati kepenuhan atau plenior (Seiler, 1835: 4). Dengan kata lain, Alkitab dilihat bukan semata-mata sebuah teks-tertulis per se (tubuh), akan tetapi Alkitab juga memiliki dimensi makna (jiwa), dan dimensi power atau semangat yang dapat menggerakkan orang (afeksi, kognisi, dan behavioral). Konsep segitiga “temuan” Origenes ini nantinya memengaruhi teori-teori psikologi, yang selanjutnya mempengaruhi teori komunikasi, terutama mengenai dampak dari isi atau pesan komunikasi.[4] Power (spirit)
Tubuh (teks)
Jiwa (makna)
Gambar 1: Segitiga tingkatan makna Alkitab menurut St. Origenes
Selanjutnya, St. Agustinus dari Hippo (354-430) adalah salah seorang pemikir yang berpengaruh terhadap hermeneutika modern seperti diakui oleh Dilthey, Heidegger, dan Gadamer. Menurut Gadamer, justru Augustinuslah yang pertama kali memperkenalkan universalitas hermeneutika. Pernyataan ini didasarkan pada bagaimana Agustinus memandang hubungan antara bahasa dan interpretasi, juga bagaimana penafsiran Kitab Suci melibatkan tingkatan yang lebih eksistensial dari sekadar pemahaman atas teks itu sendiri. Karya Thomas Aquinas (Summa Theologia), di mana Heidegger banyak menJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
curahkan perhatian dan mendapatkan inspirasi, juga berpengaruh pada perkembangan hermeneutika modern. Sebagaimana diketahui bahwa Thomas Aquinas membagi empat lapis makna Alkitab, yakni 1) the literal or historical level (Alkitab sebagai teks itu sendiri), 2) the allegorical[5] level (peristiwa literal berkaitan dengan pristiwa Perjanjian Baru), 3) the moral level (menjelaskan pelajaran abstrak moral yang bisa ditarik dari peristiwa literal), dan 4) the anagogical level (yang berkaitan dengan makna) yang juga kerap disebut sebagai “heavenly things”. Layer yang keempat ini oleh Brown disebut sebagai “sensus plenior” yakni fuller sense atau cita rasa yang purna dari Alkitab. Inilah makna yang sesungguhnya dari seluruh kegiatan penafsiran, yakni upaya menemukan true conditions, sesuai dengan arti anagoge: tingkatan tertinggi yang melampaui apa yang kelihatan. Filsuf lain yang turut mempengaruhi tahap awal hermeneutika modern adalah Spinoza. Dalam bab ketujuh dari Tractatus theologicopoliticus (1670), Spinoza mengusulkan bahwa untuk memahami bagian paling esensial dan paling sulit dari Kitab Suci, si penafsir haruslah berangkat dari cakrawala historis di mana teks-teks tersebut ditulis dan merekonstruksi bagaimana Alkitab tersebut diproduksi. Dengan demikian, Alkitab bukanlah pertama-tama sebuah teks-mati, melainkan mengandung makna terdalam seperti dicatat Caroll (2002:6) bahwa …in traditional Christian and Jewish circles the Bible is read as the story of the Jewish nation or the Church –from the creation of the world until the end of time—give or take a few centuries. It also read as the “story of salvation” (Heilsgesclichte) by many Christian reading communities.
Selanjutnya, Caroll (hlm. 7) menekankan bahwa tradisi hermeneutik Kristen di dalam 75
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
menafsirkan Alkitab tidak pernah lepas-lepas, melainkan selalu dilihat secara “intertextual”. Jalan dialektika bagaimana para pakar dalam tradisi Kristen menafsirkan Alkitab secara hermeneutik seperti dilukiskan di atas panjang sekali. Sejarah dan tradisi menafsirkan itu sendiri adalah kegiatan hermeneutik di mana konteks tradisi dan sejarah tidak dapat dilepaskan dari sang penasfir, sehingga mereka bersepakat memandang bahwa Alkitab pertama-tama bukanlah sebuah teks-mati; namun harus dapat menangkap maknanya yang terdalam pada tataran anagogical atau sensus plenior. Dalam perkembangan selanjutnya, metode eksegese ini juga dipakai ilmu sastra (menasfirkan teks/terjemahan) dan psikologi (menafsirkan mimpi). TIPE-TIPE HERMENEUTIKA Menurut Palmer (1999), selain Gadamer, terdapat dua belas filsuf yang pemikiran dan karyanya berkorelasi dengan hermeneutika yakni: 1) Plato (metode dialogis yang dikembangkannya dari Sokrates, mitos tidak bertentangan dengan rasio/logos) 2) Aristoteles (Organon, terutama de Interpretatione) 3) Hegel (dialektika: tesis, antitesis, sintesis) 4) Husserl (fenomenologi) 5) Heidegger (fenomenologi, terutama Being and Time) 6) Wittgenstein (filsafat bahasa) 7) Adorno (teori kritis Frankfurt School) 8) Habermas (hermeneutika salah satu dimensi teori kritik sosial). 9) Derrida (mendekati hermeneutika dari latar post-structuralist theory) 10) Foucault (strukturalis/ "interpretative analytics"). 11) Rorty (menggunakan hermeneutika untuk membangun posisi menentang epistemologi yang berbasis-filsafat, masa lampau, dan masa kini) 12) Davidson (menafsirkan Alkitab sebagai dialog hermeneutikal) 76
• R. Masri Sareb Putra
TUJUAN YANG INGIN DICAPAI DARI HERMENEUTIKA Tentu saja, dalam kertas kerja ini tidak mungkin membahas secara mendetail semua pemikiran para filsuf tersebut terkait dengan hermeneutika. Untuk itu, akan dipilihkan beberapa saja yang dianggap mewakili atau dianggap cukup fenomenal baik karena pemikirannya yang luar biasa maupun karena diakui berjasa meletakkan fondasi bagi pemikiran dan metode hermenutika. Oleh karena Gadamer dianggap sebagai “bapak hermeneutika modern” maka porsi pembahasannya cukup panjang lebar, terlebih lagi mengingat bahwa hermeneutika Gadamer diadopsi para pakar untuk membangun teori komunikasi (Deetz, 1976; Palmer, 1999). Dengan demikian, mengelaborasi bagaimana filsafat hermeneutika berproses dan berdialektika menjadi teori komunikasi sangatlah menarik dan sangat relevan dengan perkuliahan “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Sekaligus melalui usaha elaborasi ini dipaparkan bagaimana proses terjadinya konsep dan teori baru dalam ilmu komunikasi –dalam hal ini hermeneutika-- dan bagaimana para tokoh membangun teori ini secara induktif-logis. Pada akhirnya, hermeneutika adalah upaya rasional menafsirkan realitas (ontologis) untuk mengungkapkan hakikat atau substansi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada (being) yang dalam bahasa teknis-ilmiah disebut sebagai “true conditions”. Menurut Ricour (1991), hermeneutika ialah “the theory of operations of understanding in their relation to the interpretation of text (1991: 53). Dengan kata yang sederhana dapat disebutkan bahwa metode filsafat hermenutika ialah: kegiatan olah pikir yang menafsirkan dan memahami makna suatu teks (realitas) secara rasional untuk mencari/menemukan hakikatnya. Filsafat hermenutika dibangun dan dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, Hegel, dan Heidegger[6]. Gadamer yang dianggap Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• R. Masri Sareb Putra
sebagai filsuf hermeneutika modern dipengaruhi oleh fenomenologi Heidegger (terutama melalui Being and Time) karena Gadamer adalah murid Heidegger. Pengaruh pemikiran fenomenologi[7] ini nantinya cukup kental dalam karya Gadamer yakni Wahrheit un Methode (1960) atau Truth and Method dan atas “temuan”-nya ini Gadamer dipandang sebagai tokoh filsafat hermenutika modern yang mengelaborasi penafsiran sebagai usaha memahami realitas yang hakiki dalam konteks sejarah dan tradisi. Gadamer menegaskan bahwa kontemplasi metodikal berlawanan dengan pengalaman dan refleksi. Menurut Gadamer, manusia dapat meraih kebenaran hanya dengan mengerti atau bahkan menguasai pengalamannya. Oleh karena metode hermeneutika mengandalkan olah akal budi rasional dalam upaya memahami realitas/ontologi (menafsirkan teks) dan kontemplasi ini maka hermeneutika oleh Habermas disebut sebagai metode kritis (Wachterhauser, 1986: 243-276) dan oleh Ricoeur disebut sebagai “kritik atas ideologi” (Wachterhauser, hlm. 400). Pengalaman, menurut Gadamer, tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah; dan pengalaman tersebut selalu menunjukkan perspektif waktu. Gadamer menunjukkan pada kita bahwa kita tidak pernah dapat melangkah keluar dari tradisi. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah: berusaha atau mencoba untuk memahami tradisi tadi. Konsep atau proposisi ini kemudian mengelaborasi atau menguraikan gagasan tentang lingkaran hermeneutika. Bagi Gadamer, sejarah bukanlah milik kita, tetapi kita adalah milik sejarah. Lama sebelum kita bisa memahami diri kita (autos hepa), kita memahami siapa diri kita dalam cara yang terbukti dengan sendirinya, yakni kita ada dalam keluarga, masyarakat, negara, dan tempat tinggal kita (tradisi). Inilah yang disebut dengan “realitas historis”. Konsep yang penting dalam pandangan Gadamer ialah bahwa Gadamer melihat realitas sebagai sebuah teks. Gadamer juga meyakini bahwa jika kita Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
mengerti teks maka penasfiran adalah metode [8] atau jalan untuk mencapai pengertian yang ada di balik teks tersebut. Dengan demikian, Filsafat Hermeneutik adalah kritis, bahkan cenderung skeptis (salah satu sikap ilmuwan untuk tidak mudah percaya begitu saja). Ketika kita menafsirkan teks, maka ada jarak waktu (dialektis). Teks mempengaruhi saya. Terjadi proses dialektis antara teks dan saya, oleh karena itu, ada horizon. Teks juga dimengerti dalam dialektis perpaduan horizon. Jadi, tahap ini aktual tidak hanya pada zaman dulu. Di dalam upaya memahami realitas sebagai teks: ada vorurteil (prejudice), praduga. Vorurteil ini dipakai untuk membaca teks. Inilah syarat supaya pemahaman akan sebuah teks terjadi. Dengan demikian, menurut Gadamer, pengalaman individu selalu hermeneutik, selalu berkembang dalam proses penafsiran. Karena itu, pengalaman negatif dalam teks harus dipelajari dengan baik. Sejarah yang negatif, misalnya Gerakan 30-S/PKI dan Tragedi Mei 1998, karena itu, menjadi penting. Mengapa? Karena peristiwa tersebut merupakan “peristiwa sosial” yang dalam bahsa Ricoeur disebut sebagai “symbol of evil”[9] dan hanya dapat dipahami secara utuh-menyeluruh dalam konteks sejarah. Sebagai contoh, (teks) lagu “Genjer-Genjer”, hanya dapat dimengerti secara purna apabila dikaitkan dengan peristiwa sosial jelang G30S/PKI tahun 1965. Bagi para saksi sejarah yang hari ini masih hidup lagu tersebut adalah sebuah “teks” yang mengandung realitas ontologis yang, apabila ditafsirkan dalam konteks sejarah pada waktu itu, dapat menyingkap banyak hal. Sebaliknya, bagi generasi sekarang, lagu yang sama hanyalah sebatas teks (tubuh) saja. Demikian halnya dengan teks atau tulisan “Milik Pribumi” yang ditulis di tembok, depan toko, ruko, atau barang-barang tertentu pada Kerusuhan Mei 1998. Teks tersebut untuk saat ini “tidak berbunyi” apabila tidak dikaitkan dengan sejarah atau peristiwa sosial pada saat itu. Amuk massa sebagai pelampiasan 77
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
kekecewaan dan dendam yang terpendam pada Pemerintahan Orde Baru dilampiaskan pada kalangan nonpri, sehingga apa pun yang menyimbolkan nonpri halal untuk dirusak dan dijarah; namun “milik pribumi” haram hukumnya untuk diganggu, apalagi dirusak. Makna terdalam atau sensus plenior dari teks “Milik Pribumi” hanya dapat dimengerti dalam konteks sejarah dan pengalaman kolektif pada saat itu dan pendekatan hermeneutika dapat menjelaskan makna di balik sebuah teks. Dalam konteks itulah Gadamer berpandangan bahwa hermeneutika adalah metode yang terus berproses dalam lingkaran historis sebagai usaha rasional untuk memahami ontologis. Teks adalah realitas yang tampak, teks yang tampak tersebut haruslah ditafsirkan dalam tiga dimensi: 1) psikologis, 2) struktur, dan 3) historis untuk menemukan kebenaran (realitas) yang sejati –yang dalam bahasa Thomas Aquinas disebut sebagai “anagogical level”, upaya menemukan sensus plenior dari sesuatu. Jadi, what is truth? Teks adalah petunjuk (clue) to something. Aletheia (kebenaran) menampakkan diri dalam seluruh dialektis (interaksi antara aku-teks: aku sebagai si penafsir dan teks sebagai objek yang ditafsir) dan agar sampai pada pemahaman yang purna (sensus plenior) mengenai hakikat segala sesuatu yang ada (being) maka interaksi aku-teks ini berlangsung dalam lingkaran hermeneutika. HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENELITIAN KOMUNIKASI Menurut Gadamer, manusia adalah makhluk yang tidak dapat lepas dari bahasa. Melalui bahasa, dunia ini terbuka bagi kita. Kita belajar untuk mengetahui dunia dengan belajar menguasai bahasa. Oleh karena itu, kita tidak dapat benar-benar memahami diri kita kecuali kita memahami diri sebagai bagian dari budaya dan bahasa dalam dimensi ruang dan waktu yang menyejarah. Hal ini membawa konsekuensi dalam pemahaman kita tentang 78
• R. Masri Sareb Putra
seni, budaya, dan sejarah teks. Sejarah (teks) merupakan bagian dari tradisi kita sendiri, karya-karya sejarah tidak terutama menampilkan diri kepada kita sebagai objek netral dan bebas-nilai dari penyelidikan ilmiah. Sejarah (teks) adalah bagian dari cakrawala di mana kita hidup dan melalui cakrawala tersebut pandangan kita terhadap dunia akan dibentuk. Dengan kata lain, kita dibentuk oleh karyakarya besar (tradisi dan histori) sebelum kita mendapatkan kesempatan untuk mendekatinya dengan tatapan yang objektif. Melalui usahaa interpretatif untuk memahami realitas yang sejati, kita mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan lebih mendalam tidak hanya sebatas apa yang disajikan oleh teks yang menurut istilah Origenes “tubuh”, akan tetapi juga memahami diri kita sendiri (autos hepa). Hal inilah yang diangkat Deetz (1976) dalam Kolokuium Komunikasi Verbal di Florida, Juli 1976. Deetz antara lain menekankan hal yang berikut ini. However, when these concepts are taught and make their way into everyday language, they are often understood as representing things rather than experiences and process. “self,” “attitudes,” norms,” “culture,” and so forth are example of concepts suffering from this reification. Explanation using these concepts in understood as one thing causing another rather than chosen way of structuring the experience on continuity. The experience is thus explained away in abstraction rather than brought to clearer understanding. For example, what does it mean to say that a communication problem is a result of cultural differences? And how does that move us towards solving the problem? Concepts do not need to be seen as tools of classification (in a categorical sense) but can be seen as opening experience in interpretative sensee.” (Deetz, hlm. 23-24).
Pemahaman akan realitas sejati dan pemahaman akan diri ini terus-menerus berproses dalam apa yang dinamakan “lingkaran hermeneutik” seperti gambar berikut ini di mana teks (realitas) terus berputar dan tidak pernah selesai. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• R. Masri Sareb Putra
Gambar 2: Lingkaran hermeneutika Sumber: http://www.friesian.com/hermenut.htm
Dalam upaya memahami sebuah teks secara utuh-menyeluruh maka interpretasi harus terus-menerus mengikutinya. Dalam konteks inilah penafsiran harus diletakkan dalam dimensi waktu (sejarah) dan tradisi –sesuatu yang mengingatkan kita akan Berger dan Luckmann[1] (1966) mengenai kesadaran kolektif yang membentuk konsepsi mengenai realitas sosial. Relasi antarmanusia dan kesadaransejarah ini kembali ditekankan Deetz (hlm. 24) bahwa hermeneutika, terutama Gadamer, memberikan kontribusi penting bagi studi komunikasi yang intinya ialah bahwa: makna (true conditions) dari segala sesuatu yang ada baru dapat dipahami seutuhnya jika dikaitkan dengan kesadaran-sejarah (historical consciousness). Apa relevansi filsafat hermenutika dengan studi-studi ilmu komunikasi? Deetz menyebutkan bahwa hermeneutika sangat menarik bagi para pakar ilmu komunikasi Amerika. Alasannya: metode filsafat hermeneutika sangat cocok dan relevan untuk studi komunikasi, terutama karena hemerneutika membantu studi komunikasi di dalam “understanding the message becomes primarily an instrumental act towards this end” (Deetz, hlm. 10). Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
Di tempat lain, Palmer dalam “The Relevance of Gadamer’s Philosopical Hermeneutics to Thirty-Six Topics or Fields of Human Activity” menyebutkan terdapat 36 topik yang relevan dengan filsafat hermeneutika Gadamer, salah satu di antaranya untuk studi komunikasi, yakni topik ke-35 “Communication Theory”, terutama menyangkut bahasa sebagai alat komunikasi (verbal), bagaimana bahasa bekerja, serta bagaimana metode penasfiran hermeneutika Gadamer dipakai untuk menafsirkan metabahasa atau realitas di balik bahasa verbal. Sebagai metode dalam penelitian/studi komunikasi, hermeneutika mengikuti langkah yang berikut ini: 1) Menetapkan being atau objek material (teks, objek, fenomena) yang hendak diselidiki atau diamati. 2) Berusaha menafsirkan being tersebut dengan mengikuti “segitiga” tingkatan makna Origenes. 3) Lalu berupaya mencari sensus plenior (hakikat terdalam/true conditions) dari being tersebut. 4) Jika si penafsir yang sudah sampai pada sensus plenior di mana ia sudah berhasil menjadi jembatan (mediator/messenger) dan berhasil menunaikan tugas seperti yang dilakukan Hermes yaitu berhasil menjembatani gap ontologis realitas yang sesungguhnya dengan apa yang tampak, maka hermeneutika sudah sampai pada metode penelitian kualitatif: menemukan makna terdalam dari segala sesuatu yang ada (being). PROSES KESAHIHAN DAN KEABSAHAN DATA Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kesahihan data (validitas) dan keandalan (realibilitas) data dalam penelitian kualitatif, yakni nilai subjektivitas, metode pengumpulan data, dan sumber data dalam penelitian. Dalam hermeneutik, si penafsir adalah subjek yang tidak dapat dihindarkan karena di dalam upaya memahami makna sebuah realitas (teks) ia berada pada posisi menafsirkan dan dalam 79
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
penafsiran tersebut di balik kepala si subjek diandaikan adanya vorurteil, prejudice[11] (Gadamer,273 ) “Actually ‘prejudice’ means a judgement that is rendered before all the elements that determine a situation have been finally examined. In German legal terminology a ‘prejudice’ is a provisial legal verdict before the final verdict is reached.” Cita rasa prejudice dalam bahasa Inggris tidak sepenuhnya dapat menjelaskan apa yang Gadamer maksudkan sebagai vorurteil yang dalam bahasa Latin, praejudicium yang berarti: adverse effect, disadvantage, harm. Cita rasa negatif kata tersebut hanyalah derivatif, konsekuensi negatifnya sangat bergantung pada validitas positif, nilai dari “provisial decission” sebagai prejudgement, sebagaimana halnya setiap preseden. Dengan demikian, “prejudice” sebagaimana dimaksudkan Gadamer, ialah “certainly does not necessarily mean a false judgement, but part of the idea is that it can have either a positive or negative value.” (Gadamer, hlm. 273). Dengan demikian, “subjektif” dalam hermeneutika tidak identik maknanya dengan subjektif sebagaimana yang kita mengerti sehari-hari, yakni mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 1095). Metode pengumpulan data dalam studi hermeneutika ialah bahwa data terdapat dalam teks atau dalam wacana. Dapat tunggal (datum) dapat juga jamak (data) bergantung pada sifat atau lingkup unit analisisnya. Adapun sumber data dalam penelitian hermeneutika haruslah orisinal atau sumber primer. PENERAPAN METODE HERMENEUTIKA DALAM STUDI KOMUNIKASI Oleh pakar komunikasi, hermeneutika dimasukkan ke dalam teori kritis (Littlejohn, 2009: xiv; 469-474). Diakui bahwa metode hermeneutika memberikan perspektif baru dalam studi komunikasi. 80
• R. Masri Sareb Putra
“At the heart of hermeneutics is a novel view of the structure of discursive understanding, which it takes to be circular rather than linear. Analytic logic moves one step at a time toward a conclusion and attempts to exclude presuppositions or predeterminations. Hermeneutics not only affirms the impoverishment of this kind of thinking, but it makes predispositions and prederminations constitutive and central to the communication process itself.”
Hermeneutika ialah upaya rasional mencari dan menemukan makna atau sensus plenior dari sebuah teks (realitas); sementara hakikat dari penelitian kualitatif juga mencari makna hakiki dari being, segala sesuatu yang ada yang hendak diteliti. Sebagai contoh, seseorang hendak meneliti teks/wacana Orde Baru yakni “amankan”. Mendapatkan prefiks ke-an, kata dasar wacana ini adalah “aman” yang berarti: bebas dari gangguan, terlindung atau tersembunyi, tenteram[12]. Arti kamus ini menurut Origenes adalah “tubuh” atau teks per se. Untuk mengerti makna dan peristiwa (sosial) di balik teks “amankan” ini, kita (peneliti) harus dapat menangkap jiwa dari kata tersebut, yaitu bukan benar-benar terlindung atau tenteram sebagaimana tersurat dalam pengertian kamus; sebaliknya seseorang yang “diamankan” dalam konteks sejarah Orde Baru justru berarti hilang (diculik atau dibunuh) agar yang bersangkutan tidak mengganggu sepak terjang dan menghalang-halangi penyelenggaraan pemerintahan pada saat itu. Makna terdalam dari wacana ini dapat dijelaskan dengan pendekatan hermeneutika, yakni dengan mencari sensus plenior-nya, tidak hanya sebatas teks saja. Jika hanya menelaah teks maka makna hakiki dari wacana tersebut tidak terungkap. Untuk mengungkap secara utuh-menyeluruh teks tersebut, pendekatan hermeneutika dapat membantu dengan menempatkan objek material (unit analisis) “amankan” ke semua aras dari bangun segitiga Origenes dan mengangkatnya ke aras anagogikal (anagogical level) sebagaimana yang disarankan oleh Thomas Aquinas. KemuJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• R. Masri Sareb Putra
dian, menempatkannya dalam konteks sejarah (dan tradisi) sesuai dengan yang dianjurkan Gadamer di mana aku (penafsir) terus-menerus berdialog dengan teks, dan dalam dialektika tersebut, ada horizon yang memungkinkan sebuah teks atau realitas ditangkap secara utuhmenyeluruh. Penafsiran (hermeneutika) ini berlangsung dalam sebuah siklus yang disebut “lingkaran hermeneutika”.
Gambar 3: Tampilan struktur spiral turun yang sama dengan tabel “siklus realistis hermeneutika” Sumber: http://www.friesian.com/hermenut.htm
Sebagaimana tampak dalam gambar di atas, penafsiran hermeneutik dibatasi oleh teks, atau oleh bukti empiris, atau oleh hal lain, sehingga ada kemungkinan bahwa siklus hermeneutik justru bukan mempersempit spiral di luar kendali. Limit dari spiral, apakah tercapai atau tidak, merupakan prinsip objektivitas dan realitas. Seperti dalam mekanika kuantum itu sendiri, akan ada kisaran yang lebih besar atau lebih kecil dari ketidakpastian, tetapi ini hanyalah kisaran, bukan sebuah kemungkinan tak terhingga atau tak terbatas. Jika teks “amankan” dimasukkan ke dalam siklus hermeneutika dan coba dicari maknanya yang paling hakiki maka aku (penafsir) terus-menerus berdialog dengan teks (realitas), di dalam proses dialektis tersebut ada jarak waktu tersebut ada horizon yakni garis yang sejajar antara batas pendekatan atau usaha rasional untuk mengerti teks (approach Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
limit) dan dan garis batas ontologis yang (masih) terkendala oleh realitas. Gap antarkedua garis ini yang coba dijembatani atau dihubungkan si penafsir dan dalam horizon yang bersifat dialektis inilah si penafsir menemukan kepurnaan makna sebuah teks. Dengan demikian, teks “amankan” yang ontologis sebagai “bahasa dan jargon dewa” berusaha dijembatani oleh si penafsir dengan menemukan sensus plenior-nya pertama-tama memang melalui salah satu kaki segitiga Origenes yakni “tubuh/teks”. Akan tetapi, hal yang jauh lebih penting setelah itu ialah melihat kaki-kaki yang lain, yakni jiwa dan spiritnya dalam peristiwa sejarah dan keadaan pada saat itu. Begitu dari dunia dewa datang titah untuk “mengamankan” seseorang maka itulah isi pesan yang langsung dapat dimengerti warga dunia atas, namun yang tidak sepenuhnya dimengerti orang kebanyakan. Si penafsir akan bertindak selaku Hermes dan ia akan menjadi mediator antara dunia dewa dan dunia manusia, sehingga manusia yang melaksanakan pesan itu di lapangan melakukan apa yang dikehendaki dewa. Dalam upaya menemukan sensus plenior inilah agaknya kita memahami apa yang ditekankan Gadamer berikut ini. All the beginning of all historical hermeneutics, then, the abstract thesis between tradition and historical research, between history and the knowlede of it, must be discarded. The effect (Wirkung) of a living tradition and effect of historical study must constitute a unity of effect, the analysis of which would reveal only a texture of reciprocal effects. Hence we would do well not regard historical consciousness as something radically new –as it seems at first—but as a new element in what has always constituted the human relation to the past. In other words, we have to recognize the element of tradition in historical research and inquire into its hermeneutic productivity. That element of tradition affects the human sciences despite the methodical purity of their procedures, an element that constitutes their real nature and distinguishing
81
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
mark, is immediately clear if we examine the history of research and note the difference between the human and the natural sciences with regard to their history. Ofcourse none of man’s finite historical endeavors can completely erase the trace of this finitude. (Gadamer, hlm. 283-284).
Dalam upaya mencari dan menemukan kepurnaan makna teks “amankan” maka pendekatan hermeneutika pertama-tama harus menempatkan teks tersebut dalam bingkai sejarah untuk menemukan sensus plenior-nya. Aspek kesadaran akan sejarah dan vorurteil inilah yang membedakan Gadamer dari Habermas seperti yang dicatat Palmer. What separates Heidegger and Gadamer is Gadamer's concept of wirkungsgeschichtliches Bewußtsein, a consciousness in which history is always at work. For Gadamer there is no escape from history or from prejudices, although one must continually become aware of them. But they are the basis of our understanding at all, so "prejudgments" are always already there (Palmer).
Gadamer memandang teks (bahasa) sebagai “the house of Being”. Untuk mengungkap sekaligus menemukan makna yang purna dari “Being” tersebut, pertama-tama si penafsir haruslah lebih dahulu masuk ke dalam rumah Being dimaksud sebagai upaya awal mengurai apa yang oleh Gadamer disebut sebagai “hermeneutic circle”. Dari perspektif studi komunikasi, menurut Boldonova (2008: 504), konsep lingkaran hermeneutik ini penting untuk diurai karena …hermeneutic circle provide the explanation of the circular movement of understanding, which runs from the part of the conversation to the whole conversation, and back. The interlocutor calls the expectation of meaning a force-conception of completeness: this solve the problem of contradiction between something unknown and the familiar.
82
• R. Masri Sareb Putra
Menurut Gadamer, hermeneutic circle adalah dialektika antara knowledge and fore-knowledge. Dialektika tersebut tidak lain tidak bukan adalah apa yang disebut sebagai “temporal distance” yakni jarak antara dua horizon: horizon masa lampau yang menyejarah (the horizon of the past) dan horizon masa kini (the horizon of present). The horizon of the past (of an object itself) ialah bingkai tempat segala sesuatu terjadi atau tempat peristiwa historis berlangsung. Sementara the horizon of present (of an interpreter) ialah segala usaha yang coba memahami dan menginterpretasi suatu objek atau peristiwa. Salah satu aspek penting dari hermeneutik kontemporer ialah sudut pandang bahwa setiap usaha yang dianggap berhasil dari pemahaman atau interpretasi suatu teks (realitas) ialah memahami hakikatnya. “... in order to understand Gadamer’s contribution to the study of interpersonal understanding, one must realize that understanding is communicative.” (Boldonova, hlm. 490). Apabila sang interpreter atau penafsir berhasil memecahkaan persoalan antara something unknown and the familiar -- yang dalam istilah filsafat menjembatani antara jarak fisik (physical distance) dan jarak ontologis (ontological gap)-- maka ia sama melakukan tugas seperti dilakukan Hermes. Komunikasi dan pemahaman tejadi ketika interlokutor mencapai kesepahaman (commonality). Gadamer menyebut ini sebagai fenomenon fusi dari horizon (fusion of horizon) dan menggambarkan tipe ini sebagai “konversasi hermeneutik” ketika makna yang sama sudah terbangun. Menurut Boldonova (hlm. 496) konsep hermeneutik lain dari Gadamer dapat juga diterapkan pada komunikasi antarpribadi. “Application is connected with feedback is the form of verbal expression or actions as a result of understanding. In interpersonal communication, interlocultors must have proper listening skills, interpretative competence, and the Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• R. Masri Sareb Putra
ability to give immediate feedback.” Sumbangan hermeneutika, terutama Gadamer, untuk studi komunikasi tidak diragukan lagi seperti dicatat Deetz berikut ini. Gadamer would have communication studies become aware of time not as a variable to be considered as “timing” not as something along side interaction (as interaction happens through time) but as an integral part of the structure of interaction itself…. Meaning is not extra wordly ut is subject to change in time and thus open to new significance. Meaningful everyday interaction like a great literary work is never closed in meaning but able to speak again in a different but significant way…. Communication directed toward increased understanding is opening of meaning to time and change and the interactants to new experience (Deetz,
hlm. 18).
Deetz sesungguhnya menegaskan kembali makna sebuah teks sebagaimana dikatakan Gadamer, “… the task of understanding is concerned in the first place with the meaning of the text itself (Gadamer, hlm. 335). Adapun kriteria untuk memahami sebuah teks “The criteria for understanding must be the harmony of all the details itself (Gadamer, hlm. 259). Dengan kata lain, makna sebuah teks dipahami secara intertextual. Akhirnya, Deetz menyimpulkan bahwa hermeneutika terutama memberikan sumbangsih bagi studi komunikasi untuk mengkonstruk body of knowledge. “It should clear that Gadamer's analysis of character of undertanding makes problematic the basic assumed goal of communication studies to construct a body of knowledge” (Deetz, hlm. 22). SIMPULAN Relevansi filsafat hermeneutika dalam studi komunikasi ialah: Filsafat hermeneutika memberikan kontribusi pada studi komunikasi untuk melihat realitas di balik data (meta data), menyingkap meta-teks dengan coba membongkar ada apa di balik teks tersebut, menyJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
ingkap realitas di balik data yang terselubung, dan bagaimana menangkap makna di balik halhal yang tampak di permukaan (ucapan, teks, gesture). Hermeneutika memberikan sumbangan pada metode penelitian komunikasi untuk menemukan makna yang purna (sensus plenior) dari segala sesuatu yang ada (being). END NOTE [1] Homeros hidup sekitar abad 8 sebelum Masehi. Jika diakui sebagai karya Homeros maka Ililiad dan Odyssey diperkirakan lahir bersamaan waktunya dengan masa kehidupan sang penciptanya. Boleh dikatakan bahwa epik tersebut adalah awal mula dari literatur Barat yang selanjutnya sangat mempengaruhi sejarah sastra. [2] Sebagaimana diketahui dalam karya Aristoteles, Organon, salah satu dia antaranya De Interpretatione ini atau dalam bahasa Yunaninya Peri Hermenias. Karya ini terdiri atas delapan bab, pada intinya dibahas di dalamnya hubungan antara bahasa dan logika. Selengkapnya lihat Aristotle’s Categories and Propositions (De interpretatione), 1980. [3] Lihat misalnya Davidson, The Old Testament (1857) di mana Aklitab secara hermeneutis dikritisi latar teksnya, dengan metode hermeneutika yakni dengan mengkritisi (interpretasi) teks tersebut dalam hubungannya dengan tradisi dan sejarah bangsa Ibrani pada saat teks itu ditulis. [4] Leon Festinger misalnya, dalam teori Cognitive Dissonace menekankan tiga efek komunikasi yang jika dicermati dengan saksama mirip dengan bangun segitiga Origenes. [5] Dari kata Yunani anagoge yang secara harfiah berarti: “naik” atau “pendakian”. [6] Untuk melihat bagaimana pengaruh fenomenologi demikian kuat dalam diri Gadamer, baca misalnya Wachterhauser, Hermeneutics and Modern Philosophy (1986). [7] Sedemikian kuatnya pengaruh Heidegger pada Gadamer dilukiskan Palm83
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
er sebagai berikut “…then a German philosopher, Hans-Georg Gadamer, who had been Heidegger’s assistant for five years in Marburg, from 1923-1928, while Heidegger was writing Being and Time,came to see in Heidegger’s thought-both in Being and Time and in the 1935 essay, “Der Ursprung des Kunstwerkes”(“The Origin of the Work of Art,” pp. 139-212 in Heidegger, Basic Writings) the basis for a “philosophical hermeneutics.” Hermeneutika Gadamer yang menekankan interpretasi dalam bingkai waktu sejarah dan tradisi ada benang merahnya dengan karya Heidegger, Being and Time. [8] Metode dalam bahasa Latin, methodus yang diderivasi dari kata Yunani, méthodos (metá: sesudah dan hodós: jalan) yang secara harfiah berarti: orang yang mengikuti jalan tertentu. [9] Untuk mendalaminya, baca buku The Symbol of Evil (1967) Paul Ricoeur yang diterjemahkan E. Buchanan. [10] Berger dan Luckmann dalam buku Social Construction of Reality (1966) membahas sosiologi pengetahuan dan melihat bahwa apa yang disebut dengan “realitas” ialah hasil dari konstruksi sosial yang menjadi nyata dalam kerangka sejarah. “…Humans do construct social life, but this social life, becomes real, a series of ‘social facts’. This can be seen clearly in historical terms —and the famous ‘castaways on a desert island’ example make this clear.” [11] Oleh karena cita rasa prejudice dalam bahasa Inggris kurang sanggup mentransfer seluruhnya cita rasa vorurteil dalam bahasa Jerman, banyak pakar tidak menggunakan bahasa Inggris, tetapi tetap mempertahankan aslinya. Ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses hermeneutika di mana istilah tersebut coba dicari makna hakikinya. [12] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 35. 84
• R. Masri Sareb Putra
DAFTAR PUSTAKA Agushevits, Reuven. 2008. Principles of Phi losophy. Jersey City: KTAV Publishing House. Apostle, Hippocrates George (terj.) 1980. Aris totle's Categories and Propositions (De interpretatione). California:Peripatetic Press. Barret, William dan Henry David Aiken. 1962. Philosophy in the Twentieth Century: An Anthology, Volume 1. New York: Random House. Berger, P. dan Luckmann T. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise on the Sociology of Knowledge. London: Penguin University Books. Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yo gyakarta: Kanisius. Boldonova, Irina. 2008. “On H.G. Gadamer’s Truth and Method: The Hermeneutics of Interpersonal Communica tion” dalam William Sweet (ed.), The Dialoque of Cultural Traditions: A Global Perspec tive. Washington: The Council for Research in Values and Philosophy. Caroll, Robert P. 2002. “Removing An Ancient Landmark: Reading The Bible as Cul tural Production” dalam Martin O’Kane (ed.), Borders, Boundaries and the Bible. New York: Sheffield Academic Press ltd. Davidson D.D., Samuel. 1857. The Text of the Old Testament. London: Longman. Deetz, Stanley. 1976. “Gadamer’s Hermeneu tics and American Communication Studies”, paper presented at the Annual International Colloquium on Verbal Communication. Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Meth od. London-New York: Continuum. Grant, Edward. 1996. The Foundations of Modern Science in The Middle Ages: Their Religious, Insti tutional, and Intellectual Con text. Cambridge: Cambridge University Press. Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss (edi Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• R. Masri Sareb Putra
tors). 2009. Encyclopedia of Communi cation Theory. California: Sage. Ricoeur, Paul. 1973 “The Hermeneutical Function of Distanciation” dalam Phi losophy Today 17. -----------------. 1967. The Symbol of Evil (ter jemahan oleh E. Buchanan. New York: Harper & Row. -----------------. 1991. From Text to Action: Es says in Hermeneutics, II. Illio nis: Northwestern University Press. Seiler, Georg Friedrich, Jodocus Heringa
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi
&William Wright. 1835. Bibli cal Hermeneutics; or, The Art of Inter pretation. London: Kessinger Publishing. Vatimmo, Gianni. 1997. Beyond Interpreta tion: The Meaning of Hermeneutics of Philosophy. Standford, Califor nia: Standford University Press. Wachterhauser, Brice R. (ed.). 1986. Herme neutic and Modern Philosophy. New York: State University of New York. http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-log ic/ diunduh pada 5 Maret 2011.
85
• Suharsono
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
Suharsono Penulis adalah pemerhati masalah sosial, budaya dan organisasi. Mengajar di FIABIKOM UAJ, FTI Usakti, dan FIKOM UMN.
ABSTRAK Kota masih menjadi pusat harapan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di luar wilayah perkotaan. Kota dipandang sebagai wilayah yang mampu memenuhi harapan itu, oleh karena itu setiap tahun jumlah penduduknya semakin bertambah. Disisi lain peningkatan jumlah penduduk menyebabkan penambahan beban dalam menyediakan berbagai fasilitas dan akses yang lain. Salain itu karena kebijakan pembangunan perkotaan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup maka akhirnya menimbulkan berbagai masalah perkotaan seperti banjir, kepadatan penduduk, lingkungan yang kumuh, kemacetan dan lainnya. Kota tidak berkembang sebagai kota yang manusiawi (humanopolis) dan nyaman secara ekologi (ecopolis). Persoalan ini dapat diatasi antara lain dengan meningkatkan partisipasi dalam menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan melalui peran komunikasi interper dan proses sosialisasi. Dengan demikian perkembangan kota diharapkan menjadi kota yang berkelanjutan (sustainability). Kata kunci : Budaya Gaya Hidup Peduli Lingkungan, Komunikasi Interpersonal, Sosialisasi, dan Partisipasi.
1. PENDAHULUAN Membicarakan kota atau perkotaan khususnya di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri, mengapa ? Kota terutama kotakota besar seperti Jakarta seolah memiliki kekuatan atau magnit yang luar biasa besarnya. Meskipun sebagian sudah ada yang merasa penat tetapi justru sebagian besar 86
masyarakat daerah masih banyak yang merindukan untuk datang ke Jakarta. Mereka datang bukan untuk melihat persidangan berbagai kasus korupsi yang tidak kunjung selesai dan justru memunculkan persoalan baru, tetapi mereka ingin memperjuangkan nasib dengan mencari peluang pekerjaan yang tersisa. Fenomena ini kiranya sangat mudah Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Suharsono
dilihat misalnya ketika terjadi mudik Idul Fitri (Lebaran) atau Natal dan Tahun Baru. Arus pertambahan jumlah penduduk ini pada gilirannya menimbulkan dampak pada daerah perkotaan misalnya tingkat kepadatan penduduk, akses pelayanan berbagai kebutuhan dasar seperti, bahan makanan, air bersih, transportasi dan sarana-sarana umum lainnya (Irwan Abdullah, 2009:27). Oleh karena itu ketika berbicara tentang kota atau perkotaan maka yang terbayang adalah berbagai kepadatan ruang, bangunan, manusia, barang, lalu lintas dan lain-lain demikian dikatakan oleh Eko Budihardjo dalam pengantar buku Inoguchi (2003: ix). Selanjutnya dikatakan bahwa karena kepadatan ruang dan manusia maka berkembang pemukiman kumuh dalam bentuk perkampungan kumuh legal (slum) maupun perkampungan kumuh liar (squatters). Terkesan hanya mereka inilah yang menjadi persoalan daerah perkotaan. Keberadaan kelompok miskin ini dianggap mengganggu keindahan dan kenyaman kota. Oleh karena itu tindakan yang sering diambil oleh para pengambil keputusan biasanya dengan menggusur mereka dan menggantikannya dengan bangunan-bangunan baru seperti pusat perbelanjaan (mall), perkantoran atau apartemen. Secara sosiologis keberadaan mereka tetap dibutuhkan bagi perkembangan kota yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi masyarakat kota. Selain itu menurut Koswara dalam bukunya Irwan Abdullah (2009:30) dikatakan bahwa paling tidak ada empat persoalan dalam pembangunan perkotaan, (1) fasilitas-fasilitas lingkungan dan infrastruktur yang kurang memadahi, (2) kondisi perumahan yang kurang sehat, (3) tingginya tingkat kepadatan penduduk dan pola penggunaan tanah yang tidak teratur, dan (4) tatanan kehidupan sosial yang kurang teratur. Dengan demikian yang lebih penting adalah bagaimana menata daerah perkotaan menjadi daerah hunian yang aman, nyaman dan menyenangkan untuk berbagai aktivitas baik ekonomi, bisnis, sosial, politik dan budaya. Menurut Eko Budihardjo (ibid) pembangunan kota-kota di Indonesia lebih tepat jika berorientasi pada pembangunan kota yang Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
manusiawi (humanopolis), dan kota yang bersahabat dengan lingkungan (ecopolis). Pembangunan kota yang manusiawi pada dasarnya adalah pembangunan kota yang memperhatikan aspek kebutuhan sosial dan budaya masyarakat. Sebagai contoh misalnya ruang untuk saling berinteraksi diantara warga seperti tempat bermain untuk anak, ruang fasilitas sosial dan umum. Sedangkan pembangunan kota ecopolis pada dasarnya merupaka pembangunan kota yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan seperti tersedianya ruang hijau, kebersihan air, resapan, terjaganya kesuburan tanah dan sebagainya. Semua ini demi tercapainya pembangunan kota yang memperhatikan daya dukung alam yang berkelanjutan (sustainability). Dalam bukunya yang lain Eko Budihardjo (1993: 231) mengatakan bahwa dalam perspektif ekopolis maka lahanlahan yang terletak di daerah pantai, daerah resapan air dan kawasan lindung merupakan tempat yang harus dihindari untuk pembangunan fisik untuk mempertahankan daur hidrologi dan daur kehidupan. Dewasa ini sering kita mendengar keluhan dari masyarakat bahwa tinggal di wilayah perkotaan sekarang ini sudah tidak nyaman lagi, gerah, kotor, macet, banjir dan masih banyak lagi kata-kata yang senada. Kondisi seperti ini ditangkap oleh para pelaku bisnis perumahan sebagai peluang baru dengan sama-sama mengangkat isu lingkungan namun dengan tindakan (action) yang berbeda. Oleh karena itu maka banyak pengembang yang menawarkan hasil produknya dengan kemasan penataan lingkungan yang nyaman melalui berbagai media. Tetapi sayangnya realitanya justru berbalik dengan apa yang ditawarkan lewat berbagai iklan itu. Proses pembangunan justru sering kurang memperhatikan faktor kelestarian lingkungan, sehingga memunculkan masalah baru, seperti banjir, kemacetan, kekumuhan baru. Seperti dikatakan oleh Takashi Inoguchi dkk. bahwa pembangunan perkotaan secara nyata merusak lingkungan alam dan wilayah-wilayah di sekitarnya (2003:2). Seperti juga dikatakan 87
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
oleh Le Corbusier seorang arsitek dari Prancis (Eko Budihardjo, 1993: 230) bahwa “…suatu kenyataan, bahwa kota-kota besar yang ada sekarang merupakan hasil dari pembantaian terhadap alam (an assault on nature). Demikian juga Sonny Keraf (2010:1) mengatakan bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang sekarang terjadi baik pada tingkat global maupun nasional bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab. Bagi masyarakat perkotaan isu pelestarian lingkungan dan ketersediaan ruang untuk kebutuhan sosial dan budaya masyarakat kota menjadi sangat penting dan mendesak karena mereka yang paling banyak merasakan akibat dari kerusakan lingkungan tersebut. Dalam situasi seperti di atas maka ada satu sisi yang bisa dilakukan untuk pelestarian lingkungan yaitu mengubah gaya hidup yang tadinya kurang memperhatikan lingkungan menjadi peduli terhadap lingkungan. Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan partsipasi masyarakat perkotaan dalam menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan ? 2. BUDAYA GAYA HIDUP PEDULI LINGKUNGAN Jika diperhatikan, pembangunan wilayah perkotaan (baru) misalnya perumahan-perumahan baru, pertokoan, perkantoran dan pusat-pusat belanja (mall), kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, misalnya kurang menyediakan ruang hijau, resapan air dan sebagainya. Yang terjadi kemudian orang merasakan kepengapan atau panas yang luar bisa pada musim kemarau dan kesusahan ketika banjir terjadi disana sini pada musim hujan tiba. Sebagai contoh mari kita coba perhatikan pembangunan berbagai komplek perumahan di sekitar tempat tinggal kita, dapat dikatakan bahwa sebagian besar sudah kurang memperhatikan faktor kelestararian lingkungan. Seperti dikatakan oleh Eko Budihardjo (Inoguchi, dkk., hal. xi) bahwa selama ini para pengusaha real estate lebih banyak membangun rumah88
• Suharsono
rumah, rumah ditambah toko (ruko), rumah ditambah kantor (rukan) dan sarana lain yang lebih menguntungkan secara finansial. Ironis sekali memang tetapi begitulah hasilnya. Sebagai gantinya mereka lebih banyak menggunakan AC untuk penyejuk ruangan dan mengganti pohon dengan pohon imitasi. Isu tentang pelestarian lingkungan pada dasarnya sudah menjadi pengetahuan umum kita semua baik masyarakat, pemerintah maupun pengembang. Tetapi perwujudannya masih lebih banyak pada tataran pengetahuan dalam bentuk seminar, sepanduk dan tulisan-tulisan lainnya, belum banyak menyentuh pada bentuk perilaku konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu mari kita coba perhatikan fenomena lain misalnya jika rata-rata setiap hari setiap keluarga menghasilkan 2 kg saja sampah rumah tangga, maka berapa banyak (kilo atau ton) sampah yang menjadi beban lingkungan untuk satu komplek perumahan. Kenapa menjadi beban, selama ini sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa sampah, sekali lagi sampah maka harus dibuang, dibuang jauh dari rumah. Oleh karena itu maka biasanya setiap komplek perumahan, pasar, pertokoan memiliki armada dan petugas khusus sebagai “kolektor” dan sekaligus tenaga pembuang sampah. Pola pikir dan perilaku ini sebenarnya dapat dikatakan tidak bertanggungjawab karena sampah atau limbah yang dihasilkan dilimpahkan kepada pihak lain. Pihak lainlah yang harus menanggung efek negatifnya seperti bau busuk, kotor, pencemaran air dan sebaginya. Selain itu jika pohon-pohon sebagai media pengatur udara, penahan panas dan penyaring debu sudah banyak ditebang, jalan-jalan diaspal atau beton sehingga tidak ada kesempatan air meresap ke tanah kembali maka semakin lengkap kerusakan lingkungan di perkotaan. Kondisi ini oleh Takashi Inoguchi digambarkan sebagai akibat tidak baiknya sistem manajemen lingkungan dan gagalnya para tokoh perkotaan bekerjasama meyampaikan berbagai masalah dengan semangat persamaan dan persatuan (ibid: hal 3). SedanJuni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Suharsono
gkan Sonny Keraf (2010:3) menggambarkan kondisi ini sebagai akibat kesalahan manusia dalam memandang alam dan menempatkan diri dalam konteks kehidupan alam semesta. Dengan demikian maka untuk mengembalikan atau sekurang-kurangnya menjaga kerusakan alam yang lebih parah dapat dilakukan dengan mengubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Perubahan tersebut dilakukan dengan menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan. Seperti dikatakan oleh Yukio Aoshima dalam pengantar buku Kota dan Lingkungan (Inoguchi dkk., 2003: halaman xv) bahwa salah satu akar persoalan lingkungan perkotaan adalah gaya hidup. Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1990: 1-4) menggambarkan bahwa memahami budaya itu begitu luasnya karena menyangkut seluruh kompleks pemikiran, perasaan, perilaku dan hasil karya manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mempermudah dalam memahami kebudayaan maka dapat dilihat dari wujudnya. Ada tiga wujud kebudayaan yaitu (1) ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan dan sebaginya, (2) Suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) Benda-benda hasil karya manusia. Soedjatmoko dalam pengantar buku yang ditulis van Peursen berjudul Strategi Kebudayaan (1989:5), mengatakan sebagai berikut : “usaha pembangunan dan modernisasi kita menghadapkan kita secara langsung dengan masaalah kebudayaan Indonesia ….. , dan dengan proses kebudayaan kita memperbaharui diri dalam kita menjawab tantangan-tantangan kehidupan modern”.
Selanjutnya dikatakan bahwa van Peursen memandang kebudayan sebagai siasat manusia menghadapi masa depan dan sebagai proses pembelajaran (learning proces) yang berlangsung terus menerus. Dalam proses ini penilaian kritis menjadi sangat penting agar manusia dapat mengabil tanggungjawab secara bebas dan dewasa atas keadaannya dan Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
teknologi yang dipakai dan dikembangkannya. Van Peursen (ibid:) kemudian mengatakan bahwa “manusia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya sebagai solusi persoalan hidupnya”. Dapat disimpulkan bahwa budaya dalam konteks ini dipandang sebagai strategi atau cara manusia untuk mengatasi persoalan hidupnya. Dari penjelasan di atas dalam tulisan ini pemahaman kebudayaan ditekankan pada wujud kebudayaan yang kedua yaitu segenap perilaku berpola individu dalam masyarakat sebagai cara untuk mengatasi permasalahan hidup. Segenap perilaku yang dimaksud dalam tulisan ini adalah menciptakan atau membentuk perilaku atau gaya hidup yang peduli lingkungan. Kepedulian ini tidak berhenti pada batas kesadaran saja tetapi harus sampai pada tingkat tindakan (action) yang juga menjadi gaya hidup baru. Selanjutnya dikatakan bahwa di Jepang masyarakat peduli lingkungan ini disebut dengan “masyarakat berwawasan ekologi”. Meskipun belum banyak definisi yang digunkan dalam membahas topik ini, pengertian yang diajukan oleh Yukio Aoshami ini dapat digunakan sebagai acuan dalam memahami dan mengembangkan lebih lanjut tentang masyarakat peduli lingkungan pada masyarakat kota khususnya di Indonesia yaitu : “Sebuah masyarakat yang peduli terhadap sinar matahari, udara, air, tanah, tumbuhtumbuhan hijau, dan karunia-karunia alam lainnya, sebuah masyarakat yang mengendalikan konsumsi sumber-sumber alam dan energi secara massal dan sebuah generasi yang tidak berguna, yang berusaha keras mendaur ulang menggunakan sumber-sumber alam secara efektif; sebuah masyarakat yang berusaha keras kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur ulang untuk memperkecil beban lingkungan”.
Secara umum tujuan masyarakat peduli lingkungan menurut Takashi Inoguchi (2003, 4) adalah : 1. Menyampaikan masalah-masalah yang secara nyata ada dan cenderung memburuk. 89
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
2. Menjadikan kota sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk bekerja, hidup, danmembesarkan anak-anak, tanpa merusak kemampuan generasi masa depan untuk berbuat hal yang sama. 3. Kepedulian hidup berdampingan dengan alam dalam penyelenggaraan perkotaan. Tujuan tersebut konkritnya adalah : mengurangi polusi udara dan air di perkotaan, memperkecil dan mengatur sampah rumah tangga dan industri lebih baik, mengatur sistem air seefisien dan seadil mungkin, merawat tempattempat rekreasi yang alamiah dan menyenangkan, mengembangkan sistem transportasi yang efisien dan adil bagi seluruh masyarakat dan merencanakan pembangunan perumahan yang sesuai dengan kebutuhan umat manusia dan kesinambungan ekologis di wilayah perkotaan. Nenek moyang kita sebenarnya secara tidak langsung telah mengajarkan kepada kita untuk hidup harmonis berdampingan dengan alam. Oleh karena itu dalam tatanan kehidupan mereka diciptakan sistem budaya untuk peduli dalam melestarikan lingkungan yang diwariskan secara turun-temurun. Yang masih ada dalam ingatan penulis misalnya, tidak boleh menebang pohon “sembarangan” karena ada penunggunya, menebang pohon dengan perhitunganperhitungan tertentu, sehingga tidak setiap saat boleh menebang pohon. Selain itu tidak boleh membuang sampah di sembarang tempat karena ada yang “baurekso”, tetapi harus di buang di “pawuhan”, yaitu tempat sampah yang dibuat dengan menggali tanah, biasanya di belakang rumah atau disamping rumah. Membuang sampah pada “pawuhan” ini ternyata memiliki nilai pelestarian ekologis yang kompleks, misalnya berkaitan dengan aspek estetika, polusi, kesuburan tanah, dan resapan air. Uraian di atas pada dasarnya menggambarkan masyarakat yang peduli lingkungan melalui kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan agar terjaga hubungan kehidupan yang harmonis berdampingan dengan alam yang saling menguntungkan. Sekarang persoalannya bagaimana dengan masyarakat perkotaan yang sudah ti90
• Suharsono
dak banyak yang mengenal cerita-cerita seperti di atas dan bahkan cenderung terkena virus budaya instan yaitu beli, pakai dan buang? Meminjam istilah yang sering digunakan pada masa pemerintahan Orde Baru, “mau tidak mau, suka tidak suka” harus menciptakan budaya peduli lingkungan bagi masyarakat perkotaan. Banyak yang bisa dilakukan masyarakat perkotaan sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan, misalnya dimulai dengan peduli sampah rumah tangga dan lingkungan sekitar tepat tinggal. Sebagai contoh misalnya memisahkan sampah organik dan non-organik, membuat biopori dan kompos sampah rumah tangga. Selain itu sudah mulai tumbuh berbagai aksi peduli lingkungan baik komunitas maupun individu dengan mengubah gaya hidup dengan prinsip 4R yaitu Reduce, Reproduce, Reuse dan Recicle. Namun demikian untuk menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun bukan berarti tidak bisa. Budaya ini dapat dimulai dari tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Secara individu , misalnya dapat dilakukan oleh seorang dosen dengan memberi contoh, tidak meninggalkan sampah di kelas, menyediakan tempat sampah di setiap ruang kelas. Dalam lingkup keluarga dapat dilakukan misalnya dengan memisahkan sampah basah dan kering, sampah organik dan non-organik. Selain itu menanam pohon di sekitar rumah, kalau sudah tidak ada lahan dapat digunakan dengan media pot, atau membuat lobang biopori. Demikian juga pada lingkup kelompok dan masyarakat, dapat dilakukan hal yang sama di atas. Disinilah pentingnya peran komunkasi interpersonal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan. 3. PERAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN PROSES SOSIALISASI Dari berbagai literatur yang membahas tentang komunikasi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari komunikator Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Suharsono
(source-sumber) kepada komunikan (recieverpenerima). Proses komunikasi itu terjadi apabila pesan yang disampaikan itu menghasilkan dampak (respon-reaksi) bagi penerimanya yang berupa tanggapan atau perilaku (feedback). Dalam konteks peningkatan partisipasi dalam menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan, komunkasi interpersonal dipilih karena diharapkan dapat memiliki pengaruh langsung kepada pihak yang terlibat. Dari berbagai sumber misalnya Hardjana, A.M., (2003), Yuyun Wirasasmita (2002), Joseph A. DeVito (2007), Richard West dan Lynn H. Turner (2006), dan Onong U. Effendi (2005), selengkapnya dapat dibaca dalam makalah penulis (Suharsono,2008), dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersosal pada dasarnya merupakan komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang besifat langsung dan dialogis. Langsung dan dialogis yang dimaksudkan adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam proses komunikasi dapat diketahui pada saat itu juga, misalnya kalau ada yang kurang jelas maka dapat ditanyakan dan dijawab pada saat itu sehingga diharapkan dapat lebih efektif. Dengan proses komunikasi yang langsung, dialogis dan berjalan secara akrab diharapkan akan memberikan dampak yang lebih kuat pengaruhnya bagi pihak lain yang mendengar dan melihat apa yang menjadi pokok pembicaraan. Di atas telah dijelaskan bahwa menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena menyangkut perubahan baik pola pikir maupun perilaku yang selama ini jarang diperhatikan bahkan cenderung bertolak belakang dengan kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan orang. Dengan konsep peduli lingkungan maka pola pikir dan perilakunya harus berubah. Singkatnya harus ada perubahan pola pikir dan perilaku baik individu, kelompok atau masyarakat harus peduli terhadap lingkungannya masing-masing. Untuk mengubah pola pikir dan perilaku tersebut dapat dilakukan dengan proses sosialisasi. Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari berarti proses belajar untuk mengenal dan memahami bagaimana hidup bersama dengan orang lain. Dengan demikian orang tahu apa yang harus dilakukan sebagai anggota suatu masyarakat. Proses belajar ini dilakukan secara terus menerus sepanjang hidup manusia. Demikian pula dalam konteks peduli lingkungan ini, apabila dilakukan secara terus menerus dengan contoh-contoh langsung maka diharapkan dapat mempengaruhi orang lain untuk ikut peduli terhadap lingkungannya sendiri. Dengan demikian maka budaya gaya hidup peduli lingkungan akan tercipta. 4. BAGAIMANA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT ? Pada dasarnya keberhasilan pembangunan itu tergantung antara lain pada partisipasi semua pihak. Seperti dikatakan Eko Budihardjo bahwa dalam rangka mencapai pembangunan perkotaan berkelanjutan yang manusiawi dan ramah terhadap lingkungan antara lain tergantung pada partisipasi warga kota dan segenap stakeholders. Secara umum partisipasi sering diartikan sebagai bentuk keterlibatan individu atau kelompok secara fisik yang meliputi tenaga, uang atau barang. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1982: 79), pengertian partisipasi dibagi 2 yaitu : a. Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek pembangunan yang khusus (biasanya bersifat fisik-memaksa). b. Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan (bersifat sukarela-individual). Selama ini partisipasi lebih banyak dipahami hanya sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat secara fisik dalam melaksanakan suatu program. Sebagai contoh ketika ada program pembanguan jalan, maka bentuk partisipasi masyarakat berupa tenaga, dana atau bentuk fisik lainnya seperti makanan dan minuman. Sedangkan menurut Norman Uphoff, partisipasi tidak sebatas keterlibatan se91
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
cara fisik saja tetapi merupakan keterlibatan seseorang dalam proses pembangunan mulai dari merencanakan, melaksanakan, menikmati, memelihara dan mengevaluasi. Demikan pula dalam tuisan ini, pemahaman partisipasi berkaitan dengan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan mengacu pada pendapat Norman Aphoff di atas. Pemahaman partisipasi seperti ini menjadi bagian dalam membudayakan masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Dengan keikutsertaan mulai dari merencanakan, sampai dengan evaluasi, maka kepedulian terhadap lingkungan ini diharapkan dapat menjadi bagian hidup keseharian masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Selanjutnya bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menumbuhkembangkan budaya gaya hidup peduli lingkungan? Agar dapat meningkatkan partisipasi maka harus menghindarkan berbagai persoalan partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti yang diidentifikasi oleh Loekman Soetrisno (1995) sebagai berikut. a. Interaksi Aparat dan Masyarakat Selama ini ada anggapan Aparat pembangunan bahwa : (1) Proyek pembangunan yang datang dari atas (pemerintah-dinas) dianggap sebagai proyek yang sungguh-sungguh merupakan pemenuhan kebutuhan rakyat. (2) Sedangkan yang datang dari bawah (rakyat) hanya merupakan “keinginan” saja yang tidak harus diperhatikan atau dipenuhi. Sikap seperti ini menimbulkan dampak perilaku, bagi aparat pemerintah, cenderung merasa lebih tahu segalanya dan meremehkan masyarakat. Bagi masyarakat, cenderung merasa hanya sebagai obyek, tidak pernah dipedulikan dan hanya akan menerima begitu saja apa yang menjadi program pemerintah tanpa sikap kritis yang berorientasi pada kemanfaatan dan masa depan. b. Penggunaan Bahasa (yang berlebihan) Penggunaan bahasa, akronim dan bahasa asing yang cenderung berlebihan dalam proses pembangunan di Indonesia sering menimbulkan kebingungan bagi masyarakat 92
• Suharsono
dan tidak menutup kemungkinan bagi aparat pemerintah sendiri. Sebagai contoh misalnya berbagai akronim (singkatan) dan bahasa asing yang digunakan dalam berbagai bentuk kegiatan pembangunan tetapi realitanya dipertanyakan sehingga hanya “NATO” saja. c. Sikap Paternalistik Masyarakat Indonesia dikenal memiliki sikap paternalistik. Dalam konteks pembangunan dapat dilihat dari dua sisi yaitu (1) Aparat pemerintah atau pemimpin yang memposisikan dirinya sebagai “bapak” dan (2) Masyarakat yang memposisikan dirinya sebagai “anaknya”. Dalam hubungan bapak dan anak ini maka sering kali pemimpin atau aparat pemerintah lebih bersikap seperti “bapak” dalam keluarga yang merasa wajib memberi bantuan terhadap segala permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Mereka bertindak seperti sinterklas. Menurut Loekman Soetrisno, perilaku seperti di atas menimbulkan sikap sense of inadequacy (sikap ketidakmampuan) yang menyebabkan masyarakat kurang kreatif dan inovatif. Selain itu juga sikap dan perilaku yang kurang mandiri karena selalu meminta “petunjuk” atau “restu”, bukan “bagaimana” mereka memecahkan masalahnya sendiri (alternatif-mandiri). Menurut Koentjaraningrat (1990:69) ada segi positif dari masyarakat yang memiliki nilai berorientasi ke atas yaitu mereka akan lebih mudah diajak untuk berpartisipasi dengan memberi contoh-contoh perilaku konkrit bukan sekedar anjuran apalagi hanya perintah. d. Sikap Traumatik Dalam berbagai kasus masyarakat merasa tertipu oleh program-program yang dicanangkan pemerintah, sehingga mengalami berbagai kekecewaan. Sebagai contoh ketika pemerintah mencanangkan penanaman jarak untuk mengatasi krisis energi, sebagian masyarakat sudah menanam tetapi ternyata tidak ada tindak lanjutnya. Ketika pemerintah mencanangkan program penanaman sejuta kemudian semilyar pohon, tetapi realitanya dipertanyakan. Koperasi yang katanya sebagai soko guru perekonomi Indonesia, tetapi prakteknya justru sering digunakan sebgai sarana untuk menipu, maka muncul lawak Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
• Suharsono
(“dagelan”-bahasa Jawa) misalnya KUD artinya “Ketua Untung Duluan” atau “Kongkonan Utang Duit”. Oleh karena itu maka harus ada usaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa program yang dilakukan itu akan mendatangkan kemanfatan bagi semua pihak. Selain itu menurut Koentjaraningrat (1990:74) masyarakat kita memiliki “mentalitas menarabas”. Menarabas dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya, memperoleh kekayaan, kekuasan, status sosial, ingin lulus ujian (di kampus) dengan cara yang tidak wajar dan cenderung hanya untuk kebutuhan sesaat atau jangka pendek saja. Sedangkan Irwan Abdulah (2009: 32-35) menggambarkan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat kota (satelit) yang tidak sekedar untuk pemenuhan fisik tetapi berubah menjadi pola konsumsi simbolis yang menjadi lambang identitas dan citra (image). Gaya konsumsi seperti ini cenderung boros dan sekaligus sebagai pemisah individu dengan kelompoknya karena masing-masing berusaha mencari barang konsumsi yang membedakan satu dengan yang lain sebagai nilai tambah (value added). Selain itu sebagai dampak dari pola hidup bersaing satu dengan yang lain ini maka cenderung kurang memperhatikan lingkungan. Dalam situasi seperti ini untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, Koentjaraningrat menawarkan beberapa konsep antara lain (1) hidup yang berorientasi ke masa depan, (2) hemat, (3) bertanggungjawab sendiri. 5. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pembangunan daerah perkotaan sekarang ini cenderung kurang memperhatikan faktor lingkungan. Kurang tersedianya berbagai fasilitas kota seperti tempat hunian yang murah dan layak, transportasi, air bersih, listrik, pedagang informal, ruang terbuka hijau dan sebaginya. Ditambah dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan kota yang kurang memperhatikan aspek lingkungan sehingga kehidupan wilayah kota terlihat menjadi lebih padat penduduk dan kendaraan (macet), kumuh, panas dan kotor. Dengan Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan
kata lain kota menjadi kurang aman dan nyaman secara manusiawi dan ekologis. Kondisi di atas dapat diatasi setidak-tidaknya terkurangai permasalahannya dengan menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan. Menanamkan budaya ini dapat dilakukan denga proses sosialisasi yang terus menerus dengan perilaku konkrit melalui peran komunkasi interpersonal. Dengan komunikasi interpersonal ini diharapkan masing-masing individu dapat berbagi informasi secara langsung sehingga lebih mudah dalam proses perubahan perilaku. Selanjutnya dengan proses sosialisasi dan komunikasi interpersonal ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat perkotaan untuk peduli terhadap lingkungan. Meskipun tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan, namun dapat dilakukan mulai dari diri sendiri, kelompok dan masyarakat dengan tindakan yang paling sederhana di sekitar kita. DAFTAR PUSTAKA A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Penerbit Kompas, Jakarta, 2010 C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1989. Eko Budihardjo dan Sudanti Hardjohubo jo, Kota Berwawasan Lingkun gan, Penerbit Alumni, Bandung, 1993. Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2009. Iwan J. Azis, dkk., (editor), Pembangunan Berkelanjutan, peran dan kon tribusi Emil Salim, Gramedia, Jakarta, 2010 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1990. Loekman Soetrisno, Menuju Masyarakat Parti sipatif, Kanisius, Yogyakarta, 1995. Suharsono, Komunikasi Interpersonal dan Ke berhasilan Kepemimpinan, Jurnal Ilmu Komunikasi, UBM, Desember 2008. Takashi Inoguchi, dkk. (editor), Kota dan Ling kungan, Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi, LP3ES, Jakarta, 2003. 93
PEDOMAN PENULISAN JURNAL KOMUNIKASI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
11. 12.
Artikel berupa hasil penelitian, baik penelitian lapangan maupun kajian pustaka atau yang setara dengan hasil penelitian, serta kajian konseptual di bidang komunikasi Bisa juga memuat hasil penelitian/skripsi dari mahasiswa yang sudah dinyatakan lulus tetapi dalam penulisannya didampingi oleh pembimbingnya dan disesuaikan dengan format yang ditentukan Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila artikel menggunakan bahasa Indonesia abstraknya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan bila artikel menggunakan bahasa Inggris, abstraknya berbahasa Indonesia Abstrak ditulis sebanyak 100-150 kata, ditulis dengan huruf miring serta dilengkapi dengan kata-kata kunci. Bila artikel yang ditulis merupakan hasil penelitian maka abstrak harus memuat latarbelakang,dan perumusan masalah,tujuan,metode,hasil atau kesimpulan penelitian Panjang naskah sekitar 18-22 (maksimal) halaman Quarto, di luar bagan,gambar/foto dan referensi Pengetikan naskah menggunakan program Microsoft Word, spasi ganda (Spasi 2), jenis huruf Times News Roman, ukuran 12. Marjin kanan-kiri, atas bawah 3 cm. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk 1 print out (hard copy) dan 1 soft copy yang dikirimkan via e-mail atau dikemas dalam CD dengan format rtf atau Doc Komposisi artikel hasil penelitian : (1) Judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), di bawah nama penulis dicantumkan afiliasi/alumni, (3) abstrak, (4) kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Tinjauan Pustaka/Kerangka Teori , (7) Metodologi Penelitian, (8) Hasil dan Pembahasan (9) Simpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel Komposisi artikel konseptual: (1) Judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), (3) abstrak, (4) Kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Sub judul- sub judul sesuai kebutuhan, (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel). Penulisan kutipan dibuat dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang,tahun penulisan, dan halaman penulisan. Contoh: Satu penulis :…………….(McQuail,1994:43) Dua penulis :…………….(Green dan Vivian,2005:56) Lebih dari dua penulis :…………….( Chesney,dkk,1996:59) Penulisan daftar pustaka menggunakan model: Nama Belakang, nama depan.Tahun Penerbitan,Judul Buku (cetak miring).Kota:penerbit. Contoh: Conboy,Martin.2003.The Press and Popular Culture.London:Sage Publication. Print Out dan soft copy artikel ( dalam format RTF/doc) bisa dikirimkan paling lambat satu bulan sebelum periode penerbitan kepada :
PUSKA (PUSAT KAJIAN KOMUNIKASI) PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN) Jalan Boulevard Gading Serpong Tangerang Banten Telp + 6221 5422 0808 Fax +6221 5422 0800. Atau bisa dikirimkan via email ke: Ketua Penyunting Jurnal Komunikasi , Indiwan seto di alamat email: indiwan_seto@yahoo.co.id
94
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1
PUSKA (PUSAT KAJIAN ILMU KOMUNIKASI) Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Jalan Boulevard Gading Serpong Tangerang Banten Telp + 6221 5422 0808 Fax +6221 5422 0800.