ISSN 1979-1232
Jurnal Ilmu Komunikasi
Volume 5, Nomor 1• Mei-Juli 2014
ULTIMA COMM
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” Novita Damayanti
Penjahat Proletar Ala Bajuri (Realisme dalam Komedi Situasi Bajaj Bajuri Edisi ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’) Djatiprasetyani Hadi New Media dan Multikulturalisme Frame media online dalam mengemas isu anti multikulturalisme dalam Pilkada DKI 2012 Indiwan seto wahyu Wibowo Perspektif & Masalah Komunikasi Partai NasDem sebagai Partai Politik Baru di Indonesia Inco Hary Perdana Anomalous Democracy: Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and Singapore F. X. Lilik Dwi Mardjianto Citra Partai Demokrat di Media Cetak Analisis Pemberitaan Kisruh Wisma Atlit di Harian Media Indonesia Yoyoh Hereyah
Efektivitas Twitter Sebagai Medium Promosi Anastasia Prima dan Emrus
Jurnal Ilmu Komunikasi
ULTIMA COMM ISSN 1979-1232 Volume 5, Nomor 1• Mei-Juli 2014
Jurnal Ilmu Komunikasi diterbitkan dua kali dalam satu tahun sebagai media informasi karya ilmiah untuk bidang kajian Ilmu Komunikasi di Indonesia.Kami menerima naskah berupa artikel ilmiah, ringkasan hasil penelitian atau resensi buku. Redaksi berhak untuk menyunting isi naskah tanpa mengubah substansinya.
Pelindung Rektor UMN Dr Ninok Leksono Penanggung jawab Dekan Ilkom Ir Andrey Andoko M.Sc Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Dr Bertha Sri Eko M.Si Ketua Penyunting Drs Indiwan Seto Wahyu Wibowo M.Si Desain dan Layout Yurike Prastica Arini Sekretaris Dra. Joice Caroll Siagian, M.Si Dewan Penyunting Ambang Priyonggo FX.Lilik M Dr Endah Muwarni Augustinus Roni Siahaan M.Si Sirkulasi & Distribusi Melly Alamat Redaksi : Jl. Boulevard Gading Serpong Tangerang – Banten Telp : (021) 5422 0808/ 3703 9777 Fax : (021) 5422 0800
Jurnal Ilmu Komunikasi
ULTIMA COMM ISSN 1979-1232 Volume 5, Nomor 1• Mei-Juli 2014
KATA PENGANTAR Media Baru merupakan media yang sangat potensial, di satu sisi mampu menawarkan informasi secara interaktif. Sebagai bagian dari komunikasi yang memberi pencerahan kepada masyarakat. Salah satu fungsi dari komunikasi adalah memberikan informasi dan pengetahuan dan bisa mencerdaskan. Begitu juga dengan Jurnal Ilmu Komunikasi ‘ULTIMA COMM” edisi Mei-Juli 2014 yang hadir di hadapan para pembaca. Dalam edisi kali ini, jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara menyampaikan sejumlah topik bahasan diantaranya persoalan new media, semiotika dan komunikasi politik. Di antaranya, ada artikel terkait dengan framing seputar pemberitaan media baru. Artikel berjudul New Media dan Multikulturalisme Frame media online dalam mengemas isu anti multikulturalisme dalam Pilkada DKI 2012. Masih terkait dengan pemberitaan media ada artikel mengenai “Anomalous Democracy: Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and Singapore ditulis oleh F. X. Lilik Dwi Mardjianto. Begitu juga sejumlah artikel dan hasil penelitian memberi warna jurnal Ilmu Komunikasi ini yang ditulis oleh sejumlah akademisi dan praktisi Ilmu Komunikasi. Terkait dengan Komunikasi politik, edisi jurnal kali ini mengangkat Perspektif & Masalah Komunikasi Partai NasDem sebagai Partai Politik Baru di Indonesia yang ditulis oleh Inco Hary Perdana Redaksi sangat berterimakasih atas partisipasi teman sejawat, dan penulis-penulis di bidang Komunikasi. Kami selalu menunggu hasil karya teman-teman, praktisi Komunikasi dan bapak ibu dosen dalam penerbitan jurnal berikutnya.
ii
Mei -Juli 2014 • Volume 5, Nomor 1
Jurnal Ilmu Komunikasi
ULTIMA COMM ISSN 1979-1232 Volume 5, No.1 Edisi Mei-Juli 2014 DAFTAR ISI Efektivitas Twitter Sebagai Medium Promosi Anastasia Prima dan Emrus (Mahasiswa dan Dosen Universitas Pelita Harapan) Anomalous Democracy: Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and Singapore F. X. Lilik Dwi Mardjianto New Media dan Multikulturalisme Frame media online dalam mengemas isu anti multikulturalisme dalam Pilkada DKI 2012 Indiwan seto wahyu Wibowo
1-7
8-15
16-28
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presiden- tial-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” Novita Damayanti 29-44 Perspektif & Masalah Komunikasi Partai NasDem sebagai Partai Politik Baru di Indonesia Inco Hary Perdana Penjahat Proletar Ala Bajuri (Realisme dalam Komedi Situasi Bajaj Bajuri Edisi ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’) Djatiprasetyani Hadi
45-51
52-69
Citra Partai Demokrat di Media Cetak Analisis Pemberitaan Kisruh Wisma Atlit di Harian Media Indonesia Yoyoh Hereyah, M.Si 70-83
Volume 5, Nomor 1• Mei -Juli 2014
iii
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014
ISSN : 1979-1232
EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI Anastasia (mahasiswa) Emrus (dosen Pembimbing) Universitas Pelita Harapan Jl. M.H. Thamrin Boulevard Tangerang, 15811 Banten P: (021) 546 0901 ext. 1171-1172
Abstract: Dalam bidang bisnis, Internet sarana penghubung perusahaan dengan pelanggan secara cepat. Salah satu medium dalam Internet ialah Twitter, yang merupakan situs microblogging. Pemilik akun Twitter dapat menyampaikan apa saja dalam 140 karakter. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, twitter merupakan medium yang sangat efektif bagi usaha kecil, seperti yang dilakukan oleh restoran Taiyo Sushi dalam melakukan promosi. Hal ini dapat menjadi gambaran bagi praktisi usaha kecil menggunakan twitter sebagai medium promosi
Keywords: efektivitas, Twitter, medium promosi
PENDAHULUAN Internet, singkatan dari interconnected network, membawa perubahan dalam berkomunikasi (Seitel, 2011, 393). Internet menjadi alat penyampaian pesan sangat cepat. Salah satu komunikasi melalui Internet adalah social media, seperti Facebook dan Twitter. Sekalipun muncul belakangan, penggunaan Twitter mengalahkan Facebook. Berdasarkan data Internet World Stats, diakses 23 September 2011, pengguna Internet di Indonesia pada Desember 2010 mencapai 39.600.000 orang. Twitter diluncurkan pada tahun 2006, sedangkan Facebook lebih dahulu diluncurkan, yakni pada tahun 2004 (O’Dell, 2011). Tetapi, berdasarkan pada data dari comscore.com (diakses 19 September 2011), pada tahun 2010, penetrasi Twitter di Indonesia (rasio pengguna Twitter dibanding pengguna Internet) menempati peringkat pertama di dunia, sedangkan Facebook menempati peringkat ke tiga. Selain itu, ber-
dasarkan penelitian yang dilakukan, seperti yang dilansir oleh www.marketinghq.com. au ,diakses 25 Oktober 2011, terdapat 52% pengguna Twitter melakukan pembaharuan (update) status setiap hari. Padahal, hanya 12% pengguna Facebook yang melakukan hal serupa. Dalam hubungannya dengan bisnis, penelitian oleh Cruz dan Mendelsohn (2010, 13) mengungkapkan bahwa sejak menjadi pengikut sebuah akun (follower), 67% followers Twitter akan membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh sebuah akun Twitter bisnis, sedangkan hanya 51% fans sebuah akun bisnis di Facebook yang melakukan pembelian. Selain itu, 79% followers Twitter akan merekomendasi suatu akun Twitter bisnis kepada orang lain, dimana hanya 60% fans Facebook yang melakukan hal serupa. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 64% pemasar memilih Twitter sebagai alat pertama ketika memulai suatu usaha baru. Data yang didapat membuat Twitter menjadi
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
1
EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI menarik untuk diteliti. Meskipun berkomunikasi lewat Internet tidak memerlukan biaya, keefektifan suatu medium sangat perlu diketahui agar tidak menjadi sebuah kesia-siaan. Oleh karena itu, tulisan ini menyajikan sejauh mana keefektifan Twitter sebagai medium promosi oleh restoran Taiyo Sushi. MASALAH PENELITIAN Merujuk pada latar belakang, maka pnelitian ini membahas tentang efektivitas Twitter sebagai medium proposi bagi Taiyo Sushi. SUBYEK PENELITIAN Restoran Taiyo Sushi merupakan sebuah usaha rumah makan yang menawarkan makanan dan minuman khas negeri Jepang. Restoran ini berada di Jalan Pluit Putra Raya nomor 17, Jakarta Utara. Restoran yang dibuka sejak tanggal 4 Mei 2011 ini memiliki 40 karyawan. Berdasarkan jumlah karyawan tersebut, Restoran Taiyo Sushi, menurut Stelzer (2011, 17) termasuk sebagai usaha kecil. Ada beberapa latarbelakang menjadikan restoran ini menjadi tempat penelitian, yaitu: (1) restoran Taiyo Sushi termasuk dalam jenis usaha yang baru (buka selama enam bulan). Hal ini sesuai dengan kegunaan dari penelitian ini; (2) restoran Taiyo Sushi bertempat di Jakarta, dimana Jakarta merupakan kota yang memiliki jumlah usaha restoran terbesar di Indonesia, yakni sebesar 26,1 persen (http://binaukm.com/2010/05/sebaran-wilayah-usaha-peluang-usaha-rumahmakan-restoran, diakses 1 November 2011) dan ; (3) restoran Taiyo Sushi menggunakan Twitter sebagai salah satu medium dalam melakukan promosi (Darusman, 2011). TINJAUAN PUSTAKA Internet sebagai channel atau medium dalam model komunikasi interaksional oleh Wilbur Schramm (West & Turner, 2007, 12). Menurut Belch dan Belch (2009, 149), channel adalah tempat dimana pesan berjalan dari sender ke receiver. Hal ini berarti Internet menjadi sarana penyampaian pesan oleh restoran Taiyo Sushi. Namun ada feedback dari penerima pesan sesuai dengan sifat Internet yang interaktif (Duncan, 2008, 389). Medium dalam Internet yang diteliti ialah Twitter, yang merupakan sebuah lay2
Anastasia & Emrus
anan microblogging dimana penggunanya dapat menyampaikan pesan dalam 140 karakter (Boyd, Goler, & Lotan, 2010, 1). Setiap pengguna memiliki nama akun yang dilambangkan dengan simbol @ (Jantsch, 2009, 4). Langkah awal bersosialisasi melalui Twitter dengan menuliskan tweet, yakni pesan umum pada Twitter (Sulianta, 2011, 4142). Sebuah pemilik akun dapat mengikuti perkembangan pembaharuan status akun lain dengan menjadi follower akun tersebut (Jantsch, 2009, 4). Interaktivitas dalam Twitter terlihat melalui mention (menyebutkan akun lain) (Sulianta, 2011, 42) dan retweet (mempublikasikan ulang tweet akun lain) (Jantsch, 2009, 4). Berikut visualisasinya:
Gambar 1. Mention Kepada Akun Twitter Restoran Taiyo Sushi.Sumber: twitter.com/ TaiyoSushi, diakses 20 November 2011
Gambar 2. Retweet Terhadap Pesan Akun Twitter Restoran Taiyo Sushi Sumber: twitter.com/TaiyoSushi, diakses 20 November 2011 Twitter digunakan oleh restoran Taiyo Sushi melakukan promosi. Promosi merupakan penggunaan komunikasi untuk memberikan informasi dan membujuk individu, kelompok, atau organisasi untuk membeli produk atau jasa dari sebuah perusahaan (Fill, 2009, 932). Selain itu, promosi juga merupakan komunikasi dengan pelanggan atau calon pelanggan (Shimp, 2007, 4). Promosi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah menyebarkan informasi mengenai produk, harga produk, alamat, serta promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. Sebagai medium promosi, perlu dilakukan pengukuran keefektifan Twitter dengan menggunakan model information processing, sebagaimana dikemukakan Chaffey dan Smith (2008, 122), Hofacker’s model has five stages of information processing which can be used to review the effectiveness of an ad or a promotional container, or overall page template layout on a site.
EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI Pertama, Exposure. Tahap ini terjadi pada saat stimulus menyentuh atau ditangkap oleh salah satu atau lebih bagian dari panca indera (Engel et al., 1995, 472). Stimulus merupakan masukan atau input apapun yang datang dari pemasar yang disampaikan kepada konsumen melalui berbagai media (Sumarwan, 2004, 70). Setiap manusia memiliki tingkat respon penerimaan stimulus yang berbeda (Sumarwan, 2004, 70). Tingkat keterpaparan seseorang terhadap stimulus dipengaruhi intensitas stimulus. Dengan meningkatnya intensitas, terdapat kemungkinan meningkatnya tingkat exposure, demikian Sumarwan (2004, 71). Berdasarpan pandangan di atas dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan, maka exposure terjadi pada saat followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi membaca pesan (tweet) mengenai produk beserta harga yang ditawarkan dan promosi penjualan yang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. Selain itu, followers membaca alamat restoran Taiyo Sushi pada kolom biodata dan melihat foto produk yang diunggah (upload) oleh akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Kedua, Attention. Menurut Copley (2004, 56), attention merupakan reaksi afektif (perasaan atau emosi). Customer menyeleksi stimuli yang telah dipaparkan untuk diperhatikan dan diproses lebih lanjut. Proses ini dinamakan perceptual selection (Sumarwan, 2004, 75-76). Manusia memilih stimulus mana yang ingin mereka perhatikan. Menurut Hoyer dan Maclnnis (2010, 75), seseorang cenderung kurang memperhatikan hal yang sering ia lihat sebelumnya. Oleh karena itu, pemasar membutuhkan kreatifitas agar tidak menampilkan stimuli yang sama. Disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan, attention terjadi pada saat stimuli yang disampaikan menarik bagi followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Stimuli tersebut terdiri dari pesan (tweet) mengenai produk dan harga yang ditawarkan, serta promosi penjualan yang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. Alamat restoran dan foto produk yang diunggah juga menjadi stimuli yang disampaikan. Ketiga, Comprehension and Perception. Pemahaman terjadi ketika seseorang berusaha menginterpretasikan stimulus (Sumarwan, 2004, 83). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Schiffman dan Kanuk (2000, 158) mengartikan persepsi sebagai proses dimana suatu individu memilih, mengatur, dan mengartikan stimuli menjadi sesuatu yang
Anastasia & Emrus
bermakna. Namun, dapat terjadi miscomprehension dalam tahap ini, yakni dimana seseorang kurang akurat dalam mengartikan sebuah pesan (Hoyer & Maclnnis, 2010, 110). Untuk meningkatkan keakurasian interpretasi pesan, perlu menyusun pesan mudah dipahami dengan menggunakan kata yang sederhana (Hoyer & Maclnnis, 2010, 111). Disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan, comprehension and perception terjadi pada saat customer dapat memahami pesan (tweet) dan foto produk yang disampaikan oleh akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Pesan yang dimaksud berisikan informasi mengenai produk dan harga yang ditawarkan, promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi, serta lokasi (alamat) restoran Taiyo Sushi yang tertera pada kolom biodata. Keempat, Yielding and Acceptance. Chaffey dan Smith (2008, 157) mengungkapkan bahwa yielding and acceptance terjadi ketika informasi yang dipaparkan itu dapat diterima oleh customer. Lebih jauh lagi, Engel et al. (1995, 497-458) menyatakan bahwa yielding and acceptance berfokus pada efek persuasif stimulus, baik dari sisi kognitif (pengetahuan) maupun afektif (sikap). Untuk dapat mempengaruhi pengetahuan, Hoyer dan Maclnnis (2010, 133) menyarankan agar isi pesan memuat argumen yang kuat. Sedangkan untuk dapat mempengaruhi sisi afektif seseorang, sebuah pesan hendaknya menyentuh sisi emosional manusia, seperti perasaan suka, takut, marah, malu, sukacita, atau lain sebagainya (Hoyer & Maclnnis, 2010, 140). Disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan, yielding and acceptance terjadi pada saat pesan (tweet) dan foto produk yang disampaikan oleh akun Twitter restoran Taiyo Sushi, serta alamat restoran yang tertera pada kolom biodata akun Twitter restoran Taiyo Sushi dapat berguna dalam sisi kognitif dan afektif followers. Sisi kognitif followers ditandai dengan bertambahnya pengetahuan followers, serta sisi afektif ditandai dengan munculnya keinginan untuk mengunjungi restoran Taiyo Sushi dan membeli produk yang ditawarkan. Pesan (tweet) yang disampaikan berisi informasi mengenai produk, harga produk, dan promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. Kelima, Retention. Loudon dan Bitta (1993, 402) mendefinisikan retention sebagai materi yang telah dipelajari, yang diingat oleh seseorang. Hal ini serupa dengan apa 3
EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI yang diungkapkan oleh Schiffman dan Kanuk (2000, G-11) mengenai retention, yakni kemampuan seseorang dalam menyimpan informasi dalam ingatannya. Informasi yang disimpan adalah interpretasi mereka terhadap stimulus yang diterima (Sumarwan, 2004, 85). Cara yang dapat dilakukan pemasar dalam meningkatkan retention ialah menyampaikan stimuli secara rutin dengan tujuan untuk mengingatkan (Sumarwan, 2004, 89). Hal ini dinamakan recirculation oleh Hoyer dan Maclnnis (2010, 177). Disesuaikan dengan penelitian ini, retention terjadi ketika followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi dapat mengingat pesan (tweet) dan foto produk yang pernah disampaikan, serta dapat mengingat alamat restoran Taiyo Sushi yang tertera pada kolom biodata akun Twitter tersebut. Pesan (tweet) yang disampaikan merupakan informasi mengenai produk dan harga yang ditawarkan, serta promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kuantitatif, yang berarti pengukuran dilakukan dengan menggunakan angka sebagai representasi suatu karakteristik (Hair et al., 2007, 424). Teknik pelaksanaan dilakukan melalui survei deskriptif yang merupakan salah satu teknik dalam penelitian kuantitatif (Sandjaja & Heriyanto, 2006, 57). Menurut Sekaran (2000, 125), penelitian deskriptif merupakan penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik dari variabel di dalam suatu situasi dan survei adalah teknik penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi (Singarimbun & Effendi, 1989, 3). Populasi adalah sekelompok orang yang akan diteliti oleh peneliti (Sekaran, 2000, 266) yang memiliki pengetahuan akan topik tertentu (Hair et al., 2007, 170), sedangkan sampel ialah bagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data (Riduwan, 2009, 56). Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik convenience sampling, yakni pemilihan sampel yang dengan sukarela memberikan informasi yang dibutuhkan (Hair et al., 2007, 181). Berdasarkan definisi tersebut, populasi dalam penelitian ini ialah followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi yang berjumlah 464 orang (twitter.com/TaiyoSushi, diakses 20 November 2011) dan anggota populasi yang sukarela memberikan jawaban atas angket 4
Anastasia & Emrus
yang disebarkan merupakan sampel dalam penelitian ini. Menurut Neuman (2000, 217), ukuran populasi kurang dari 1000 menggunakan rasio sampel minimal 30 persen dari jumlah populasi. Maka dari itu, 140 sampel adalah jumlah minimum sampel yang dibutuhkan. Data dalam penelitian ini didapat melalui kuesioner sebagai alat pengumpul utama dari setiap individu pada penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif (Hair et al., 2007, 424) dan wawancara dengan representatif dari restoran Taiyo Sushi. Angket dibuat pada situs www.kwiksurveys.com dan alamat (link) angket tersebut disebarkan melalui fitur direct message Twitter kepada 464 followers akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif, yang berfungsi untuk mengelompokkan data, menggarap, menyimpulkan, memaparkan serta menyajikan hasil olahan (Arikunto, 2005, 298). Sebagai penelitian deskriptif, penelitian ini memberikan gambaran tentang fenomena tentang Twitter sebagai medium promosi. Karena itu, penelitian ini menggunakan univariate statistic, yakni melihat distribusi frekuensi dari hasil yang didapat (Fielding & Gilbert, 2000, 49). Untuk melihat efektivitas, penelitian ini merujuk kepada rumusan yang dikemukakan oleh ahli. Efektivitas menurut Hidayat (1986) yang dikutip oleh Kristi (2010, 8) adalah “suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Artinya, semakin besar persentase target yang dicapai, semakin tinggi efektivitasnya”. Berdasarkan definisi tersebut, jawaban responden terhadap kuesioner diintepretasikan menjadi skor dengan kriteria sebagai berikut (Riduwan, 2009, 88): (a) Sangat Tidak Setuju = Sangat Lemah = Sangat Tidak Efektif = 20%; (b) Tidak Setuju = Lemah = Tidak Efektif = 21% sampai 40%; (c) Netral = Cukup = Cukup Efektif = 41% sampai 60%; (d) Setuju = Kuat = Efektif = 61% sampai 80%; (e) Sangat Setuju = Sangat Kuat = Sangat Efektif = 81% sampai 100% HASIL DAN PEMBAHASAN Data didapat dari 160 responden yang menjawab angket yang telah disebarkan. Terdapat 70% responden berjenis kelamin pria (48 orang) dan 30% berjenis kelamin wanita
EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI
(112 orang). Selain itu, 21.3% responden (34 orang) yang berusia kurang dari 20 tahun, 76.9% responden (123 orang) yang berusia antara 20 sampai 40 tahun, dan 1.9% responden (3 orang) yang berusia di atas 40 tahun. Mayoritas responden (94,4% atau 151 orang) tinggal di Jakarta dan sisanya (5.6% atau 9 orang) tinggal di luar Jakarta, yakni Bandung, Tangerang, Samarinda, Bekasi, Yogyakarta, Balikpapan, Bekasi (2 orang), dan Melbourne (Australia). Hasil perhitungan data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat disajikan pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Persentase Efektivitas Dimensi Kategori
Exposure
Persentase 85.975%
Attention
83.375%
Comprehension Acceptance Retention Information Processing
81.455
Sangat Efektif Sangat efektif Sangat efektif
79.45% 75.3% 80.83 %
Efektif Efektif Sangat Efektif
Sumber: Olahan Peneliti, 2011
Dari tabel di atas, dimensi (tahap) exposure, attention, dan comprehension dalam variabel information processing dapat dikategorikan sangat efektif, dimana dimensi acceptance dan retention termasuk dalam kategori efektif. Secara keseluruhan, Twitter merupakan medium promosi yang sangat efektif bagi restoran Taiyo Sushi dengan persentase 80.83%. Akun Twitter restoran Taiyo Sushi memanfaatkan hampir semua fitur yang terdapat di dalam Twitter. Ia menggunakan komponen utama dalam Twitter yakni tweet untuk memberikan informasi kepada pengikutnya, mengisi kolom biodata dengan alamat restoran, dan komponen tambahan yakni unggah foto. Berikut pembahasan dari masing-masing dimensi: 1. Exposure Berdasarkan hasil perhitungan, Twitter dikatakan Sangat Efektif pada tahap pemaparan. Hal ini dikarenakan restoran
Anastasia & Emrus
Taiyo Sushi menggunakan komponen utama dalam Twitter, yakni tweet dan kolom biodata, yang menunjukkan keberadaannya sebagai sebuah akun Twitter. Dengan persentase 85.975%, dapat dikatakan bahwa stimulus yang disampaikan restoran Taiyo Sushi melalui akun Twitter ditangkap oleh penglihatan pengikutnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Engel et al. (1995, 472) mengenai exposure yang terjadi ketika stimulus menyentuh atau ditangkap oleh satu atau lebih panca indera. Skor tertinggi dalam lima pernyataan yang diberikan dalam dimensi exposure terletak pada indikator yang menyatakan bahwa responden membaca pesan (tweet) mengenai promosi penjualan yang sedang berlangsung di restoran Taiyo Sushi. Hal ini dikarenakan pesan (tweet) mengenai promosi penjualan merupakan informasi yang paling sering dibagikan melalui akun Twitter restoran Taiyo Sushi (Darusman, 2011). Dengan demikian, pernyataan Sumarwan (2004, 70) berlaku dalam dimensi ini, yakni keterpaparan dapat meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas penyampaian stimulus. 2 Attention Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase keefektifan Twitter pada dimensi ini sebesar 83.375% dan tergolong Sangat Efektif. Hal ini menunjukkan bahwa stimulus yang dipaparkan menarik perhatian pengikut akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Dalam menulis pesan (tweet), Darusman (2011) mengatakan bahwa ia tidak pernah menggunakan kalimat yang sama dalam menyampaikan informasi atau mengunggah foto yang sama. Pernyataan yang memperoleh nilai pendapat terendah dari responden ialah pernyataan bahwa responden menganggap isi kolom biodata pada akun Twitter restoran Taiyo Sushi menarik perhatian. Menurut Darusman (2011), kolom biodata merupakan fitur yang belum pernah diperbaharui karena hanya berisikan alamat restoran Taiyo Sushi. Rendahnya skor yang didapat pada pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Hoyer dan Maclnnis (2010, 75), yakni seseorang cenderung kurang memperhatikan hal-hal yang sudah pernah ia lihat sebelumnya. 3. Comprehension and Perception Dimensi ini mengukur sejauh mana pendapat responden mengenai pemahaman mereka terhadap stimulus yang disampaikan oleh restoran Taiyo Sushi melalui akun Twit5
EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI ter. Persentase yang didapat ialah 81.45% yang tergolong Sangat Efektif. Hal ini berarti bahwa responden sangat memahami stimuli yang disampaikan oleh pemasar.
Gambar 3. Pesan (tweet) Mengenai Harga Produk Sumber: twitter.com/TaiyoSushi, diakses 20 No vember 2011 Pendapat responden menunjukkan bahwa pemahaman terendah terdapat pada stimulus berupa pesan (tweet) mengenai harga produk yang ditawarkan oleh restoran Taiyo Sushi. Mengacu pada gambar 3, kurangnya informasi yang rinci mengenai harga menyebabkan responden kurang memahami maksud dari pesan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan responden akan harga produk secara rinci, sehingga menyebabkan followers kurang akurat dalam pemberian arti terhadap stimulus tersebut (Hoyer & Maclnnis, 2010, 109). 4. Yielding and Acceptance Berdasarkan hasil perhitungan skor, dimensi ini mendapat persentase sebesar 79.45% dan tergolong Efektif. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden terpengaruh oleh stimulus yang disampaikan melalui akun Twitter restoran Taiyo Sushi, baik dalam sisi kognitif maupun sisi afektif. Namun, angka tersebut lebih kecil dibandingkan angka yang diperoleh dalam dimensi sebelumnya, yakni dimensi exposure, attention dan comprehension. Maka dari itu, pernyataan Copley (2004, 56) berlaku dalam penelitian ini, yakni tidak semua pesan yang diterima dapat menimbulkan keinginan dalam benak followers. Indikator yang memiliki skor terendah ialah pernyataan bahwa stimulus berupa alamat restoran Taiyo Sushi yang tertera pada kolom biodata akun Twitter mempengaruhi sisi afektif responden untuk melakukan kunjungan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kaitan stimulus tersebut dengan sisi emosional responden, dimana menurut Hoyer dan Maclnnis (2010, 140), agar dapat mempengaruhi sisi afektif maka sebuah pesan hendaknya menyentuh sisi emosional seseorang. 5. Retention Menurut hasil perhitungan skor, dimensi retention dalam penelitian ini mem6
Anastasia & Emrus
peroleh 75.3% dan tergolong Efektif. Angka tersebut merupakan skor terendah dari lima dimensi yang dibahas. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua stimulus yang dipaparkan oleh restoran Taiyo Sushi melalui akun Twitter dapat diingat oleh pengikutnya (followers). Intensitas penyampaian stimulus mempengaruhi tingkat ingatan seseorang (Sumarwan, 2004, 89). Daruman (2011) mengungkapkan bahwa akun Twitter restoran Taiyo Sushi tidak diperbaharui setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas penyampaian stimulus tidak disampaikan secara rutin, sehingga mempengaruhi tingkat retention. Skor terendah dalam dimensi ini terletak pada pernyataan bahwa responden mengingat pesan (tweet) mengenai harga produk yang disampaikan melalui akun Twitter restoran Taiyo Sushi. Merujuk pada hasil dimensi comprehension and perception, stimulus serupa juga mendapat skor terendah dibandingkan stimulus lainnya. Responden kurang melakukan intepretasi atau pemberian arti terhadap stimulus tersebut dan mengakibatkan informasi itu tidak diingat oleh responden. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumarwan (2004, 85), bahwa informasi yang disimpan merupakan hasil intepretasi seseorang terhadap stimulus yang diterima. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan, akun Twitter merupakan medium yang sangat efektif bagi usaha kecil untuk melakukan promosi, sebagaimana restoran Taiyo Sushi dalam melakukan promosi. Penelitian ini dapat menjadi gambaran bagi praktisi usaha kecil agar mempertimbangkan pemakaian Twitter sebagai medium promosi bagi usahanya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005. Belch, George E. and Michael A. Belch. Advertising and Promotion: An Integrated Marketing Communication Perspective, 8th ed. New York: McGraw-Hill, 2009. Boyd, Danah, Scott Golder, and Gilad Lotan. Tweet, Tweet, Retweet: Conversational Aspects of Retweeting on Twitter. Hawaii: HICSS, IEEE, 2010. Chaffey, Dave and PR Smith. eMarketing eXcellence: Planning and Optimizing Your Digi-
EFEKTIVITAS TWITTER SEBAGAI MEDIUM PROMOSI tal Marketing, 3rd ed. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann, 2008. Copley, Paul. Marketing Communications Management: Concepts and Theories, Cases and Practices. Oxford: Elsevier ButterworthHeinemann, 2004. Cruz, Brant and Josh Mendelsohn. Why Social Media Matters to Your Business. Boston: Chadwick Martin Bailey, 2010. Dale, Chris. Some Useful Marketing Facts About Twitter and Facebook. Didapat dari http://www.marketinghq.com.au/social-media/some-useful-marketing-facts-about -twitter-and-facebook/; Internet; diakses 25 Oktober 2011. Darusman, Danis, Marketing Officer Restoran Taiyo Sushi. Wawancara oleh Peneliti, 29 September 2011, Jakarta. Duncan, Tom. Principles of Advertising & IMC, 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2008. Engel. James F., Roger D. Blackwell, and Paul W. Miniard. Consumer Behavior, 8th ed. Florida: The Dryden Press, 1995. Fielding, Jane and Nigel Gilbert, Understanding Social Statistic. London: SAGE Publications Ltd, 2000. Fill, Chris. Marketing Communication: Interactivity, Communities and Content, 5th ed. Essex: Pearson Education Limited, 2009. Hair, Joseph F., Arthur H. Money, Phillip Samouel, and Mike Page. Research Methods for Business. Chichester: John Wiley & Sons Ltd., 2007. Hoyer, Wayne D. and Deborah J. Maclnnis. Consumer Behavior, 5th ed. Cengage Learning, 2010. Jantsch, John. Using Twitter for Business. Kansas City: Duct Tape Marketing, 2009. Kristi, Yosseane Widia. Keefektifan Traffic Management Centre dalam Menangani Masalah Lalu Lintas di Jakarta. Depok: Universitas Indonesia, 2010. Loudon, David L. and Albert J. Della Bitta. Consumer Behavior: Concepts and Applications, 4th ed. Singapore: McGraw-Hill Book Co., 1993. Miniwatts Marketing Group. Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statistics and Facebook Information. Didapat dari http://www.internetworldstats.com/asia. htm; Internet; diakses 23 September 2011 Neuman, William L. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches, 4th ed. Massachusetts: A Pearson Education Company, 2000. O’Dell, Jolie. The History of Social Media (Infographic). Didapat dari http://mashable.
Anastasia & Emrus
com/2011/01/24/the-history-of-social-mediainfographic; Internet ; diakses 25 Oktober 2011. PT. Kassa9 International. Indonesia: Nomer Satu Di Perkembangan Twitter, Nomer Tiga di Facebook. Didapat dari http://www. teknoup.com/news_gallery/indonesia-nomer-satu-di-perkembangan-twitter-nomertiga-di-facebook/6012_0; Internet ; diakses 19 September 2011. Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta, 2009. Sandjaja, B. dan Albertus Heriyanto. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006. Schiffman, Leon G. and Leslie Lazar Kanuk. Consumer Behavior, 7th ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 2000. Seitel, Fraser P. The Practice of Public Relations, 11th ed. New Jersey: Pearson Education, Inc., 2011. Sekaran, Uma. Research Methods For Business. New York: John Wiley & Sons, Inc., 2000. Shimp, Terence A. Integrated Marketing Communications in Advertising and Promotion, 7th ed. Ohio: Thomson Higher Education, 2007. Stelzner, Michael A. 2011 Social Media Marketing Industry Report. Social Media Examiner, 2011. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1989. Sulianta, Feri. Twitter for Business. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011 Sumarwan, Ujang. Perilaku Konsumen; Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. West, Richard and Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis and Application, 3rd ed. New York: McGraw-Hill, 2007.
7
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014
ISSN: 1979-1232
Anomalous Democracy
Examination on the Correlation between Press Freedom and Levels of Corruption in Indonesia and Singapore FX.Lilik Dwi Mardjianto dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
Jl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-Banten Telepon (021) 5422 0808 e-mail: lilik@umn.ac.id
Abstract: Indonesia sedang berada di dalam era keterbukaan dan kebebasan pers. Hal itu berarti demokratisasi juga sedang berkembang. Geliat serupa juga dirasakan di ranah pemberantasan korupsi, ditandai oleh banyaknya investigasi kasus-kasus korupsi oleh pers dan aparat penegak hukum. Fenomena itu mengundang pertanyaan; apakah demokrasi—yang salah satunya ditandai oleh kebebasan pers-selalu berjalan beriringan dengan penurunan tingkat korupsi? Adakah faktor di luar demokrasi yang bisa menekan korupsi? Setelah melakukan perbandingan, analisis sejumlah data, dan wawancara, penulis menemukan sebuah anomali demokrasi; bahwa demokrasi dan kebebasan pers tidak selalu diikuti oleh penurunan tingkat korupsi. Hal itu diterapkan oleh Singapura—sebuah negara yang berhasil melepaskan diri dari perangkap korupsi tanpa perlu “repot” mengurusi demokratisasi. Keywords: Pers, demokrasi,anomali,korupsi
INTRODUCTION Corruption is an extraordinary crime. It is so extraordinary that people react to it differently. While some are amused by it, others are enraged. People react to corruption after receiving and analyzing information they get. Those with limited access to primary sources of information tend to rely on information released by the press or media, which regularly scrutinize cases of corruption. The global characteristic of corruption and its massive destructive effects make news headlines everywhere. Corruption is worth dying for, especially for journalists seeking good stories. Furthermore, massive coverage of corruption defines public opinion and attitude. It is clear that there is a correlation between corruption, the press, and public attitude. Whenever possible, corruption will be exposed by the press, and the result of the expose defines the public’s reaction or attitude towards it. 8
Transparency International (TI), a global organization, recognizes that corruption is a transnational problem and measures it through its annual Corruption Perception Index (CPI). CPI is used for this study because it is regularly used by Indonesia and Singapore; on which the study will focus. This study focuses on these two countries because they possess unique and, in certain cases, anomalous characteristics related to press freedom and corruption. Geographically, Indonesia and Singapore are in Southeast Asia and bear similarities in nature and culture. Although the citizens of these countries are close geographically and ethnically, some of them maintain different views about freedom of speech and expression. While Indonesians value press freedom, this does not seem to be shared with an equal fervor by Singaporeans. And while Indonesians are more tolerant of corrupt practices, Singaporeans are less so. As a result, Indonesia and Singapore have achieved different levels of development,
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
Anomalous Democracy with the latter performing much better. The writer also used World Press Freedom Index released annually by a global organization called Reporters without Borders. It measures the state of press freedom in the world and reflects the degree of freedom that journalists and news organizations enjoy in each country. The survey also measures the efforts of authorities to respect this freedom. REVIEW OF RELATED LITERATURE Journalism is an immediate influence upon public opinion. Robert C. Brooks in his book entitled, Corruption in American Politics and Life, states that journalism possesses undeniable influence upon public opinion. It shapes how the public see life. Within a concept of a state, journalism plays an important role in determining public opinion towards politics, and every aspect of it, including corrupt practices. Media are (muzzled) watchdogs. Rodney Tiffen explores several issues about media, politics, and corruption—especially in contemporary Australia. In a research entitled Scandals: Media, Politics & Corruption in Contemporary Australia, Tiffen explores how politics and corruption affect news policies, and how a news policy affects correction of bad politics and eradication of corruption, especially in Australia. The research also puts attention on several aspects that limit the role of the press. Tiffen uses the ideal identity of the media and the press—they are watchdogs. It is the highest aspiration for the media. The media and press are expected to be a vigilant watchdog for the public good against social abuses and official wrongdoing (Tiffen, 1999). But at the same time, the media are under attack from contradictory directions. They are willing but unable to perform their role as watchdogs. The media are hamstrung by restrictive laws, especially those relating to defamation. The media are no longer vigilant, but muzzled watchdogs instead. States are an example of organized crime. The idea goes along with what Weberians think. A state, according to Max Weber, is a human community which, within a defined territory, successfully claims for itself the monopoly of legitimate physical force. For some cases, a state is the sole source of the right to exercise violence (Whimster, 2004:131). Gramscians are of the same opinion. They regard a state, with its powerful hegemony, as 9
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
an entity that tends to coerce. These studies are relevant to the study of press freedom and aspects of social and political life, including corruption. Some of the studies explore media and corruption within a frame called politics. It is understandable since media and corruption in a country will always have something to do with the political practices. But none of the studies explore press freedom and levels of corruption at the same time. Moreover, most of the works are American or Australian-based researches, therefore rarely discussing what is happening in developed or developing countries in Asia like Singapore and Indonesia. This study will offer something new because it concentrates on Asia, especially Indonesia and Singapore. This study also offers elaborations on a relatively new idea, which is correlation between press freedom—a crucial feature of democracy---and level of corruption. METHODOLOGY The study focuses on press freedom and levels of corruption in Indonesia and Singapore. The writer analyzed and interprets World Press Freedom Index and Corruption Perception Index (CPI) in order to compose fundamental argument of the study. The writer, afterwards, strengthen the argument by analyzing several stories released by the press of both countries. The next step is analyzing the idea of ownership, in which the writer indicated the pattern of ownership of the media in Indonesia and Singapore. After that, an analysis on legal aspects in both countries was conducted. The two last steps were crucial for determining potential intervention—both from the authorities and law—experienced by the press. Journalists, experts in media and communication, NGO activists involved in anticorruption movements, and official bodies concerned about the eradication of corruption were interviewed to provide expert opinion and facts. Senior editors of Koran Tempo and Seputar Indonesia, national and investigative newspapers in Indonesia were likewise interviewed. Topics discussed in the interview were mostly about the role of the press in anticorruption movements in Indonesia. Afterwards, the deputy chief of Indonesia Corruption Watch (ICW), the most aggressive NGO in Indonesia, was interviewed. The in-
Anomalous Democracy terview gave an idea of how anti-corruption movements relate to the role of the press, also elaborating on how the press determines the success of anti-corruption efforts conducted by ICW. The commissioner of the Indonesia Corruption Eradication Commission (KPK) was also interviewed. KPK is an official body tasked with combating corruption through preventive and punitive strategies. The interview then explored how the press influences the KPK’s strategy in combating corruption. It also looked at the cooperation between the two entities both interested in eradicating corruption. An adjunct Senior Research fellow of the National University of Singapore was likewise interviewed to explain press freedom, politics and corruption in Singapore. Several cases and testimonials from Singaporean journalists, media companies, and media activists were also studied. Due to time and budgetary constraints, tight deadlines and schedules, the interviewees chose to be interviewed via email. Three Singaporean journalists were also interviewed through email in order to get a comprehensive picture of press freedom in the country. The interviewees explained their opinion and experience about press freedom in relation to political issues and the government’s effort in combating corruption. RESULTS AND DISCUSSION The Indonesian press and media are celebrating the freedom of speech. This has made the press and media effective agents in conveying certain messages and affecting public opinion. The most controversial case that illustrates this is that experienced by the Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK) commissioners, Bibit Samad Rianto and Chandra M. Hamzah, in 2008. The case was widely covered by the press for almost three months, making Indonesians aware of corruption and provoking them to begin a great online movement. Millions expressed their opinion on Facebook and it successfully forced the government to adopt a political policy to stop investigations in the KPK case, which is also known as Bibit-Chandra case. Taking after the Philippines, some refer to this case as Indonesian People Power. Another major case surfaced two years later, the Century Bank case, and cast doubt on the Susilo Bambang Yudhoyono presidency. By 2010, the media and political institu-
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
tions have been dealing with it for almost a year. There is a suspicion that Yudhoyono, the founder of the Demokrat party, received illegal funds amounting to 6.7 trillion rupiahs during his presidential election campaign. Money from the government went to Century Bank, especially to several businessmen who were suspected of having a relationship with Yudhoyono or the Demokrat party. The press has been reporting on this case extensively and everybody, including politicians, has started to talk about impeachment. Yudhoyono and his men have denied the accusations. Indonesian press has been experiencing freedom, indicated by the flow of various stories for years. The freedom began after the fall of Soeharto presidency. It grew rapidly since 2000s. As the result, the world has recognized Indonesia’s press freedom. In the 2009 World Press Freedom Index of RSF, Indonesia ranked 100th, better than its neighboring countries, Singapore (133th), Malaysia (131st), and Thailand (130th). Freedom House, using a similar methodology, also gave a similar assessment, where Indonesia scored 54 in both 2007 and 2008, or improved from 58 in 2006. Meanwhile, the Singaporean press rarely investigated corruption cases. Investigative reports were usually done by foreign media operating in Singapore. Trixia Carungcong, deputy foreign editor of Today newspaper, admits it. In an interview with the writer, Carungcong said that one of the difficulties for journalists working in Singapore is the guessing game they have to play with regard to the gray areas. There are so-called “OB” (out-ofbounds) markers. Journalists may take too much risk if they work carelessly within this area. The area includes some topics that are deemed too sensitive, such as race, religion, religion and corruption. “Criticism and allegations of corruption or abuse of power, for instance, which are not backed by evidence, could end up in a costly libel suit,” Carungcong said. As an experienced journalist, Carungcong confidently claimed that the role of the press is not the main reason for the low incidence of corruption in Singapore. The situation in Singapore is very different from countries like the United States, Britain, the Philippines and Indonesia, where investigative journalists play a major role in keeping officials in check. Another Singaporean journalist, Ansley Ng shared the same opinion. Journalists 10
Anomalous Democracy have limited access to be able to aggressively report on corruption cases in the country. Often, they are able to obtain information that comes from the court—only after the case has gone to court. Before such cases go to court, it can be very difficult to persuade newsmakers to give information. This goes to show that the Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) does not regard the press as a partner in the investigation of corruption cases. The reporter of Today, in an interview with the writer, noted that authorities still control the flow of information, but in a relatively good way. There are more off-the-record briefings for editors and reporters before any major announcement. This allows sensitive questions to be asked, to which frank answers are given by authorities. “On the flip side, such briefings can be seen as yet another way to control information, by keeping it off the record,” Ng said. According to her, there is more press freedom in Singapore, considering that the government was tighter as many as five to eight years ago. In terms of corruption eradication, Indonesia and Singapore seem to live in a different world. Indonesia ranked 111th and scored 2.8 out of 180 countries on the Corruption Perception Index (CPI) 2009 scale released by Transparency International (TI). The score means there is a high level of corruption in Indonesia. TI’s official statement calls attention to the fact that many countries scored less than 5.0. Most of the countries with low scores are countries that are at war or undergoing political and economic instability. The same condition happened in 2010. Indonesia still scored 2.8 and it showed that the country incurred “corrupt desease”. In 2011, Indonesia made “a little” improvement by achieving 3.0. But, according to TI statement, such a score indicate the same corrupt practices still exist. Indonesia is left behind by its neighboring country—Singapore--which scored 9.2 or placed itself at the top of the list, along with several free-corruption countries. Former Singaporean Prime Minister Lee Kwan Yew is an inspiring figure who eradicated corruption in the country. Lee launched a program asking the government to spare funds for the country’s officials. The New York Times reported that the country spent huge amounts of money to reach a 60-percent increase in ministers’ salaries, or about S$1.3 million in 2007. The program 11
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
aimed to stop corruption and it succeeded. The country also has a Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) which plays an important role in combating corruption in the country. It has also successfully brought erring politicians and public officers to jail. The Power of Ownership Power is exercised in every media organization. Reporters are usually ordered by editors to cover several events, while editors obey commands of the owner. Power allows whoever holds it to exercise control over those who don’t. In some news organizations, ownership means the ability to control and create newsroom policy which, according to Warren Breed, is the consistent orientation of a paper’s news and editorial toward issues and events, revolving primarily around partisan, classes, and racial division (Breed, 1955: 326-335). A discussion on the ownership of a news organization will sometimes lead to a discussion of independence. The press can be dependent on anything, including the owner. Two major categories of media owners are public and private, with each group having its own characteristics and news policies. A government-owned news organization is bound to follow government policy and toe the line. Private news organizations, on the other hand, have more freedom to criticize the government but are still dependent on its owners. In Singapore, there is a virtual monopoly of ownership, with owners closely linked to the ruling party. It is different in Indonesia where there is relatively no monopoly of the government, with majority of Indonesian media being financially independent. This means that the country does not allocate any funds for most of the media organizations so that Indonesian journalists are free and enthusiastic about investigating sensitive issues in the country, including corruption. There are 335 weekly magazine and 288 daily newspapers read by Indonesians. Each province has its own magazine and daily newspapers. Some Indonesians in certain provinces also enjoy monthly magazines and various programs produced by several television stations. TV stations, newspapers, and magazines are the most popular media used by Indonesians. Jakarta seems to be the most “well-informed province”. The Press Council counted that there are 14 TV stations, 46 daily newspapers, 134 weekly magazines, and 44 monthly magazines. Freedom of information
Anomalous Democracy is so highly appreciated in Indonesia, that the most remote province—Papua—possesses two main daily newspapers (Press Council, 2010). Indonesian journalists enjoy various advantages that come with press freedom, and for some influential newspapers and TV stations, this is a virtual paradise. But the freedom is also being challenged by problematic media ownership in the country. The Century Bank case depicts the power of media ownership. The press treated this case differently. The government-owned press was expected to “protect” the government by publishing “friendly” stories, while privately-owned media tended to publish more “offensive” stories. This is not decided upon by reporters, but by the owners. ANTARA News Agency, as an example, is a state-owned enterprise. The agency rarely covers stories that “attack” the government. On the other hand, the agency publishes stories that promote government stability. ANTARA, in an article, stated that the Century Bank case has affected President Susilo Bambang Yudhoyono’s second-term government, especially its first 100-day program. This will likely continue to cost a lot of energy even after the end of 2010. “The Yudhoyono-Boediono government has not been able to enjoy a ‘honeymoon’ in the past 60 days of its administration because many problems have emerged, including the alleged framing issue of the Corruption Eradication Commission (KPK) and the Bank Century case,” the article said. The agency also quoted an economic observer from state University of Indonesia, Faisal Basri, who said the decision to bail out Century Bank was right and had saved Indonesia from a crisis. ANTARA also stated its position by quoting that the idea to summon President Susilo Bambang Yudhoyono was not necessary. “Indeed it is not necessary to summon him because he has no connections with the Century Bank case,” ANTARA quoted Anas as saying. The “more independent” press treated the issue differently. The Jakarta Post in an article published in February 2009 said that the crucial question in the Century Bank case was whether Yudhoyono was committed to the policy of bailing out the bank, and whether this policy was justified by the global crisis that was exerting pressure on Indonesia. The article also pointed out the political issue in the case: “Especially for a significant number
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
of politicians, Yudhoyono is the ultimate target.” Meanwhile, The Jakarta Globe called attention to Yudhoyono’s popularity after dealing with the case. A survey conducted by Indonesia Survey Institute (LSI) pegged Yudhoyono’s popularity at 70 percent. LSI queried 2,900 respondents. A previous survey found the president’s popularity standing at 85 percent. The Singaporean press and media are closely connected to the government. Unlike Indonesia, media ownership in Singapore is limited to only two main corporations, Singapore Press Holdings (SPH) and MediaCorp. The British Broadcasting Corporation (BBC) reported close links between SPH and the ruling People’s Action Party (PAP). A set of amendments to the Newspapers and Printing Presses Act (NPPA) in 1974 ended the private ownership of newspapers, allowing only the PAP government to own newspapers, and forcing all newspaper organizations to become public companies. The Act also forbade newspapers from receiving funding from foreign sources without government approval. The government forced all media companies to be public companies with a minimum of 50 shareholders, with no shareholder owning more than three percent of the shares. The government or its nominees has to be given management shares that carry more voting power than those held by the rest of the shareholders combined. Management shares carry some 200 times the voting power that ordinary shares have. Furthermore, only persons approved by the government can be issued management shares, with the transfer of these shares also requiring government approval. Looking at the situation, the editorial policies of the newspapers are automatically managed by those holding a majority of the management shares, and because these shareholders are government-approved, they are, as a matter of course, pro-PAP (Gomez, 2005). It comes as no surprise then that most media analysts describe Singapore’s media environment as highly regulated (Quinn, 2008). Stephen Quinn, in his book entitled, Asia’s Media Innovators, elaborates that SPH is divided into two divisions. About 600 journalists work in the Chinese newspaper division and more than 600 operate in the English, Tamil, and Malaysian division. The company employs 400 of its journalists to run its flag12
Anomalous Democracy ship publication, The Straits Times. SPH is licensed to published 14 newspapers in four languages. Together, these newspapers have a combined circulation of more than a million copies a day. SPH publishes and distributes more than 90 periodicals in the country and region. It also has a 40 percent stake in MediaCorp Press Pte Ltd, which publishes a free daily newspaper, Today. The company also has free-to-air television business through a 20-percent shareholding in MediaCorp’s television holdings (Quinn, 2008). This giant corporation can maintain most of the people living in Singapore. Quinn claims that, every day, SPH newspapers are read by 2.7 million individuals, or 83 percent of people aged 15 or older. This means that more than half of Singapore’s total population read an SPH newspaper. The count of SPH’s consumers will be more if the readers and viewers of other SPH divisions are included. Millions of SPH consumers end up receiving homogeneous information from the company’s publications. And given close relations with the ruling party, content and substance of the company’s publications can be predictable. This situation strengthens the prediction that most of local press and media will follow the government’s intention and rarely oppose it. This leads to the fact that local press and media in Singapore seldom publish or investigate corruption cases that may slap the government. Well-arranged media ownership, along with strict media rules, will maintain the “stability”. Freedom Versus Rule of Law Azhar Azis, senior editor of Seputar Indonesia says that the role of the Indonesian press is significant in exposing corruption cases. Citing the Bibit-Chandra case, Azis says it illustrates the influence of press freedom on Indonesia. Civil society, along with the press and Indonesian judicial systems successfully exposed confidential taping that eventually brought about justice. The public realized that the charges were just trumped up, the commissioners were innocent, and that some Indonesian officials were allegedly bribed to create the false accusations. “In this case, the government was finally forced to follow public demand conveyed by the press,” says Azhar. Abdul Manan, senior editor of Koran Tempo chose to step backwards. He referred 13
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
to the Bulog case to elaborate on the role of the press in dealing with corruption cases. The case was slowly investigated because the suspect was an influential official. It was Tempo which decided to investigate the case and successfully brought the suspect to court. Manan, now in charge of national (law and politics) news, said that the basic role of the press is to encourage change. Talking about corruption, the press should force authorities to honestly investigate every case. “Because the government tends to investigate cases that (are) massively covered by the media,” he said. Deputy chief of Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho said that there are at least five strategies in combating corruption, one of which is working together with the press. The other four include producing original ideas for anti-corruption campaigns, building and developing networks, helping anti-corruption movements in various sectors and area, and working with civil society. Emerson said that ICW and the press are “brothers.” The success of corruption eradication efforts cannot be separated from the support of the press. “So far, our criticism is heard by authorities only if it is massively covered by the press,” Emerson said. Another anti-corruption agent in Indonesia is KPK. The body is an official body established in 2002, which became the most powerful institution in Indonesia, especially in corruption eradication. In completing its mission, KPK often works with the press. KPK commissioner Chandra Marta Hamzah said the Indonesian press and media play an important role, especially in providing information both for the public and KPK. “News can lead to preliminary evidence for KPK to solve certain corruption cases,” Hamzah said to the writer. Sometimes, the press interviews someone who has not been interviewed by KPK. According to Hamzah, KPK can interpret the position of the interviewee in cases that KPK is working on. Furthermore, the news can make informants more confident and more willing to provide hidden information to KPK. A senior Singaporean journalist, Jonathan Burgos, argued that limited access is not the sole problem faced by Singaporean journalists in reporting corruption cases. Another key factor is that the journalists themselves are not as aware of corruption
Anomalous Democracy issues. Journalists believe that corruption is not an issue “worth dying for.” Most of them do not regard corruption cases as a priority for investigation. “We seldom hear of corruption cases that came to light because of media’s vigilance in Singapore,” Burgos said in an interview with the writer. Carungcong of Today added that the success of corruption eradication in Singapore is mainly due to the rule of law—the efficient and credible judiciary and a reliable police force—as well as the philosophy of the government in compensating its employees and officials. The country believes that to keep the best and the brightest in its ranks, and to discourage them from seeking illegal or unethical means of making money, it must compensate its people well in terms of salary and benefits. The government prides itself in running the country well, and as its economic success shows, it has been doing a fairly good job. Ng of Today also claimed that key factor for successful corruption eradication is Singapore’s harsh laws on corruption. It also requires the willingness of the government to carry out the punishments. Corrupted people are given no slack when it comes to being punished. In other countries like Indonesia, prisoners live in comfortable jail cells because they are celebrities, VIPs, or are able to pay the prison guards for it. “This is hardly the case in Singapore. If that happened, the prison director will be jailed instead.” CONCLUSION Based on findings, there is no definite correlation between press freedom and the level of corruption in a country. It means that the press is not the sole factor in bringing about less corruption. Indonesia is an example where press freedom exists alongside anticorruption movements. Two of these, the Indonesian Corruption Eradication Commission and Indonesia Corruption Watch “depend on” the press as they make press coverage one of the essential factors in combating corruption. Yet Indonesia’s ranking in the 2009 Corruption Perception Index remained low. Singapore, on the other hand, is an unusual case. Even without the press and the media, it has successfully battled corruption. Legally speaking, according to Cherian George of the National University of Singa-
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
pore, there is greater press freedom in Indonesia than in Singapore. But the Singaporean state has very effective internal safeguards against corruption and its political culture is such that there is zero tolerance for corruption. Citizens do not tolerate corruption, and will complain if they encounter it. This means that there is a greatly reduced role for investigative journalism in combating corruption in Singapore. This leads to the conclusion that democracy, represented by freedom of the press, is not the sole factor in bringing about good governance and less corruption. Democracy, which has resulted in successful and clean governance in America, Australia and Europe, does not seem to bring about the same results in Southeast Asia. In fact, a democratic country like Indonesia is hardly prosperous. The study reveals that the press is quite aggressive in a democratic country. Meanwhile, in an authoritarian-like country like Singapore, there is a tendency for the press to be less aggressive. Further research on ethics is recommended to analyze the nature of the press in these opposing situations. Does an aggressive press tend to violate ethical codes, while the “obedient” press stays on track, or vice versa? BIBLIOGRAPHY Abdussalam, A. (2009, December 21). Antaranews. Retrieved September 13, 2010, from Antaranews: http://www.antaranews.com/ en/news/1261336269/year-ender-bank-century-case-disturbs-govts-100-day-program Antaranews. (2009, December 11). Antaranews. Retrieved September 13, 2010, from Antaranews: http://www.antaranews.com/en/ news/1260538284/anas-century-bank-committee-must-not-target-individuals Antaranews. (2009, December 11). Antaranews. Retrieved September 13, 2010, from Antaranews: http://www.antaranews.com/en/ news/1260482999/decision-to-bail-out-century-bank-correct-observer Breed, W. (1955). Social control in the newsroom: A functional analysis. In W. Breed, Social Forces (pp. 326-335). Brooks, R. C. (n.d.). Corruption in American Politics and Life. Retrieved November 25, 2009, from questia: http://www.questia.com/ read/98213556?title=Corruption%20in%20 American%20Politics%20and%20Life# Gomez, J. (2005). Freedom of Expression and the Media in Singapore. London: Article 19 14
Anomalous Democracy Pasandaran, C. (2010, January 27). Jakarta Globe. Retrieved September 13, 2010, from Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe. com/indonesia/scandals-dent-yudhoyonospopularity-especially-among-middle-classvoters/355295 Quinn, S. (2008). Asia's Media Innovators. Singapore: Konrad Adenauer Stiftung. Tiffen, R. (n.d.). Scandals: Media, Politics & Corruption in Contemporary Australia. Retrieved November 25, 2009, from questia: http://www.questia.com/ read/23076230?title=Scandals%3a%20 Media%2c%20Politics%20%26%20Corruption%20in%20Contemporary%20Australia# Tiffen, R. (1999). Scandals: Media, Politics & Corruption in Contemporary Australia. Sydney, N.S.W.: UNSW Press. Whimster, S. E. (2004). The Essential Weber: A Reader. London: Routledge.
15
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/ Mei -Juli 2014
ISSN : 1979-1232
NEW MEDIA DAN MULTIKULTURALISME Indiwan Seto Wahyu wibowo Dosen Ilmu Komunikasi
Universitas Multimedia Nusantara Jl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-Banten Telepon (021) 5422 0808/082112297660 e-mail: indiwan@umn.ac.id
Abstract: Kemunculan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI sangat fenomenal bahkan mampu mengalahkan calon kuat yang didukung partai-partai besar menimbulkan tanda Tanya besar, mengapa sosok keduanya ini begitu cepat melejit dan mampu meraih simpati rakyat yang banyak. Apakah kehadiran keduanya yang terkenal karena ‘baju kotak-kotaknya’ ini melulu memang karena kharisma mantan Walikota Solo itu ataukah karena pengaruh opini public yang dihembuskan oleh media massa khususnya new media dan social media. Mengapa kemunculan keduanya ini memunculkan sentiment SARA ( suku,agama dan ras) dan berujung pada gangguan terhadap multikulturalisme bangsa Indonesia? Keywords: New Media, Multikulturalisme, Framing Komunikasi, Konstruksi realitas PENDAHULUAN
Ahok sebagai cermin dari keberagaman suku bangsa di Indonesia. Ada sejumlah teks berita yang dijadikan pijakan saat menganalisis peran dan fungsi social media dalam mengusung multikulturalisme di Indonesia khususnya Jakarta. Makalah ini berawal dari sebuah pertanyaan besar. Apakah berita itu merupakan cermin dari realitas? Apakah berita memang benar-benar merefleksikan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di Indonesia?
Siapa yang tidak tahu Jokowi –Ahok? Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru saja dilantik sebagai pejabat baru menggantikan Fauzie Bowo sebagai orang nomor satu di Ibukota Jakarta. Kemunculan keduanya yang sangat fenomenal bahkan mampu mengalahkan calon kuat yang didukung partai-partai besar menimbulkan tanda Tanya besar, me ngapa sosok keduanya ini begitu cepat melejit dan mampu meraih simpati rakyat yang banyak. 1.2. Pokok Permasalahan Apakah kehadiran keduanya yang terkenal karena ‘baju kotak-kotaknya’ ini Saat Jokowi –Ahok masuk arena pertaru melulu memang karena kharisma mantan ngan kandidat Gubernur DKI Jakarta, seWalikota Solo itu ataukah karena pengaruh jumlah pentolan kelompok tertentu di Jaopini public yang dihembuskan oleh media karta meragukan bahwa keduanya bisa massa khususnya new media dan social me- menang mengingat dalam sejarah gubernur dia. Mengapa kemunculan keduanya ini me- DKI Jakarta belum pernah ada Gubernur munculkan sentiment SARA ( suku,agama atau Wagub DKI Jakarta yang beragama sedan ras) dan berujung pada gangguan terha- lain agama Islam. dap multikulturalisme bangsa Indonesia? Kasus ini dipicu pada awalnya le Paper sederhana ini ingin menguak wat perseteruan antara Rhoma Irama de bagaimana frame media baru khususnya me- ngan Jokowi, hingga menjadi pembicaraan dia online dalam mengusung figure Jokowi Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
16
Jurnal Ultima Com edisi Vol.5 No.1 /Mei-Juli 2014
hangat di sejumlah media khususnya media online dan social media seperti twitter dan facebook. Kasus tersebut semakin terasakan ketika Jokowi Ahok menang dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kita lihat berita di bawah ini:
Universitas Multimedia Nusantara
Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibenarkan JAKARTA, KOMPAS.com — Raja dangdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012). "Di dalam mengampanyekan sesuatu, SARA itu dibenarkan. Sekarang kita sudah hidup di zaman keterbukaan dan demokrasi,
agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga ibadah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya. Dalam ceramahnya, Fauzi Bowo lebih banyak mengingatkan tentang berkah di bulan Ramadhan. "Di bulan Ramadhan mari saling mempererat hablun minannas dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Bulan ini merupakan kesempatan emas melakukan ibadah lebih tekun dan khusyuk agar mendapat bonus Allah," ujar pria yang akrab disapa Foke ini. Dalam akhir paparannya, Foke mengklaim keberhasilannya dalam membuat suasana kondusif selama memimpin Jakarta. "Jakarta ini bukan kota yang sederhana. Saya bersyukur, selama saya memimpin, tidak ada satu pun masyarakat Jakarta yang memaksa mereka berhenti melaksanakan aktivitas," tuturnya. Dalam kesempatan tersebut, Foke
masyarakat harus mengetahui siapa calon pemimpin mereka," kata Rhoma Irama. Rhoma pun menyebutkan nama Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie atas dasar pembenaran penggunaan isu SARA. "Saya dapat berbicara seperti ini karena memang dibenarkan Ketua Dewan, Jimly Asshidiqie," katanya. Senada dengan ustaz dan pengurus masjid sebelumnya yang mengajak para jamaah untuk memilih yang seiman, Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman. "Islam itu
memberikan sumbangan kepada anak asuh PKU yang dikelola Muhammadiyah Tanjung Duren dan Masjid Al-Isra, bantuan masjid sebesar Rp 28 juta, Al Quran, alat olahraga, dan lampu hemat energi. Hadir pula Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Fajar Pandjaitan, Wali Kota Jakarta Barat Burhanuddin, dan petinggi harian Poskota. (Kompas.com/Penulis : Kurnia Sari Aziza | Senin, 30 Juli 2012 | 09:14 WIB) Kemudian setelah suasana mereda , muncul pula pemberitaan yang mengganggu multikulturalisme bangsa Indonesia khusus-
ISSN 1979-1232
17
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/ Mei -Juli 2014
nya yang mulai mempertanyakan keyakinan seorang kandidat dan mengaitkan dengan ajaran agama tertentu. Sebagai contoh dalam pemberitaan Eramuslim, Okezone.com dan sejumlah media online yang peneliti lihat. Persoalan utama yang diangkat dalam makalah singkat ini adalah bagaimana konstruksi pemberitaan media online seputar kasus desakan Front Pembela Islam agar Basuki tidak menjabat sebagai Wakil Gubernut DKI dan mendesak lelaki yang lebih dikenal sebagai Ahok itu masuk Islam. Di dunia maya, persoalan ini menjadi menarik karena isu tersebut mendapat perhatian dan perlakuan yang tidak sama di media online. Kalau kita mengetikkan kata Ahok masuk Islam dalam kotak pencari www.google.com akan beragam fakta dan data yang muncul khususnya dalam judul pemberitaan di media online. Ada beragam judul berita di media online, mulai dari yang netral seperti “Ahok didoakan masuk Islam”, hingga “FPI desak Ahok masuk Islam”. Peristiwa yang sama ternyata dilihat berbeda oleh sejumlah media Online. Bahkan yang menarik, tak lama setelah pemberitaan tersebut muncul berita bahwa “FPI Bantah Nyuruh Ahok Masuk Islam” di laman www.okezone.com, padahal sebelumnya di laman yang sama muncul berita yang menggambarkan bagaimana FPI mendesak Ahok agar masuk Islam. Dalam pemberitaannya www.okezone. com menulis : “Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok akan menjabat 12 tugas ex officio atau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi jabatan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta. Seperti Ketua Badan Pembina Lembaga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua Dewan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama. FPI pun dengan lantangnya menye-
ISSN : 1979-1232
but Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam. "Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012). Dia mengatakan, sangat tidak mungkin dan tidak pantas yang mengisi jabatan tersebut adalah orang nonmuslim. FPI juga memberikan solusi, yakni Ahok tidak menjabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam.” (Geruduk Kantor DPRD, FPI Desak Ahok Masuk Islam -Fahmi Firdaus – Okezone Selasa, 9 Oktober 2012 12:03 wib) Pemberitaan sekecil apapun di media terkait Jokowi dan Ahok sebenarnya selalu mendapat tanggapan yang menguntungkan posisi Jokowi Ahok karena ada sekelompok masyarakat membuat ‘page’ khusus untuk mendukung Jokowi –Ahok. Bahkan uniknya dukungan terus mengalir terbukti hingga tanggal 2 september 2012 ( delapan belas hari sebelum hari H pemilihan) menembus jumlah 101.024 anggota. Grup Facebook berlabel “Dukung JOKOWI-AHOK untuk Gubernur DKI” tersebut adalah media komunikasi paling aktif yang memberikan informasi seputar kegiatan Jokowi –Ahok yang beredar antar dan inter pendukung mereka sekaligus diakui menjadi saring penyaring berita bias yang menyerang Jokowi-Ahok. Dari pemuatan informasinya, grup ini merupakan alat propaganda program dan bisa lebih efektif mempengaruhi konstituen. Secara jelas Facebook mereka gunakan untuk menangkal segala bentuk kampanye hitam pihak lain yang mendiskreditkan figure Jokowi-Ahok. Yang unik lagi tak selamanya anggota grup tersebut adalah pendukung Jokowi, pendukung Foke-Nara pun diijinkan untuk bergabung. Ini dimaksudkan agar diskusi menjadi lebih menarik dan siapapun dapat mengomentarinya tanpa menjatuhkan pihak lawan. Selain Grup tersebut secara resmi ada situs resmi Jokowi Basuki untuk Jakarta Baru yang menjadi sarana utama dan media formal Tim Sukses demi terciptanya komunikasi politik yang positif dan efektif dari berbagai arah. Upaya pendukung Jokowi memanfaatkan social media sangatlah masuk akal karena paling tidak di tahun 2011, ada 41,777,240
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
18
Jurnal Ultima Com edisi Vol.5 No.1 /Mei-Juli 2014
pengguna Facebook di Indonesia (kedua terbesar di dunia), 872,461 pengguna linkedin Indonesia, 5,600,000 pengguna twitter Indonesia, 3,725,258 member Kaskus. Dari hasil survey terbaru MarkPlus di tahun 2011 ternyata bahwa pengguna Internet di Indonesia di tahun 2011 mencapai 55 juta orang. Dibanding sekitar 240 juta penduduk Indonesia diperkirakan 23% sudah tertepa koneksi Internet di kota-kota besar — hanya 4.1% yang berada di area pedesaan. Dari survey tersebut ternyata 29 juta orang Indonesia yang mengakses menggunakan perangkat mobile mencapai 29 juta orang atau sekitar 50% pengguna Internet di Indonesia untuk berselancar di dunia maya. Untuk memperoleh perkiraan tersebut, MarkPlus Insight mengadakan survei terhadap 2161 orang pengguna Internet di sebelas kota besar. Orang yang disurvei memiliki rentang usia 15-64 tahun dengan golongan sosial ekonomi ABC. Rata-rata dari mereka mengakses Internet lebih dari 3 jam per hari. Persoalannya, bagaimana frame dari media online terhadap kasus ‘Ahok diminta masuk Islam” Makna apa yang coba diangkat oleh media online terkait dengan figure Jokowi –Ahok? 2. Kerangka Pemikiran 2.1 Konstruksi Realitas Media online tentunya memiliki tujuan dan kharakteristik tersendiri saat melihat peristiwa yang mereka anggap penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa setiap media massa termasuk juga media online seperti www.kompas.com , www.okezone.com , tentunya memiliki perbedaan baik dalam isi ,penampilan,dasar tujuan dan pengemasan beritanya terkait peristiwa kemenangan Jokowi Ahok. Isu yang diangkat itu terkait bagiamana media tersebut mengemas peristiwa dan melakukan konstruksi atas persitiwa tersebut. Banyaknya kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa baik ekonomi, politik dan sebagainya bisa juga menyebabkan adanya perbedaan penekanan dan framing masing-masing.. Menurut Burhan Bungin dalam sebuah bukunya, pada dasarnya pekerjaan media adalah mengkonstruksikan realitas. Realitas media atau realitas yang ditampilkan dalam berita dibangun dari sejumlah fakta sedangkan fakta dari suatu realitas itupun tidak statis, melainkan dinamis yang mungkin berubah-ubah seiring dengan perubahan ISSN 1979-1232 19
Universitas Multimedia Nusantara
peristiwa itu sendiri. Pada akhirnya menurut Bungin, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Walau ada ‘kebenaran’ di sana namun kebenaran suatu realitas bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.(Bungin,2008:11) Konstruksi sosial dalam masyarakat tak bisa terlepas dari kekuatan ekonomi dan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan media massa terhadap pembaca atau audiensnya atau yang sering disebut sebagai hegemoni massa. Melalui penguasaan intelektual dan massal hegemoni mencoba mengatur massa dengan seamnagt kapitalismenya sedangkan media dimanfaatkan oleh sekelompok elit dominan, sehingga penyajiannya tidak lagi merefleksikan realitas sosial yang nyata. Dengan masuknya unsur kapital, menurut Alex Sobur, media massa mau tidak mau harus memikirkan pasar, media bertarung dalam menyajikan beritanya untuk memperoleh keuntungan (revenue) baik dari oplah penjualan medianya juga mencari pemasukan sebesar-besarnya dari iklan. Pekerjaan media massa menurut Sobur adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Jadi bisa disimpulkan bahwa content atau isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. (Sobur,2006:88) Sobur mengutip Berger dan Luckmann saat penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman antara “kenyataan” dan “pengetahuan”. Berger melihat realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki kharakteristik secara spesifik.(Sobur, 2006:91). 2.2 Media dan Berita dilihat dari Paradigma Konstruktivis Mills sebagaimana dikutip Hard, mengajukan pandangan yang pesimistik tentang media dalam bukunya The Power Elite .Dia memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo world), yang menyajikan realitas eksternal dan pengalaman internal
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/ Mei -Juli 2014
serta penghancuran privasi. Caranya dengan menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi. Itu terjadi karena media memainkan peran penting dalam menjalankan kekuasaan, media membantu menciptakan salah satu problem besar dalam masyarakat kontemporer, yakni pembangkangan atas kekuasaan oleh masyarakat.( Hard,2007:211-212). Sedangkan konsep Berita dalam sudut pandang konstruktivisme dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya menurut Eriyanto, media adalah ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan.( Eriyanto,2002:23). Menurut Eriyanto ada penilaian bagaimana media, wartawan dan berita dilihat dalam paradigma kontruksionis dalam bukunya yang berjudul Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media yakni : pertama Fakta atau Peristiwa adalah hasil konstruksi. Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Dan realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Fakta ada dalam konsepsi pikiran seseorang. Kedua, Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Ketiga, Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi realitas. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Berita pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah buku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Keempat, Berita bersifat subjektif / konstruksi atas realitas. Berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan ata realitas. Pemaknaan atas realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas� yang berbeda pula. Kelima Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan
ISSN : 1979-1232
peristiwa. Sebagai seorang agen, wartawan menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliput. Keenam. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada suatu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Ketujuh, Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam penelitian. Peneliti bukanlah robot yang netral dan menilai realitas tersebut apa adanya. Sebaliknya, peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda ditangan peneliti yang berbeda. Kedelapan, Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri terhadap berita. Khalayak menjadi subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca.. (Eriyanto,2002:19-36). Disini penulis akan menelaah isi media dari paradigma konstruktivis dimana posisi Media dimiliki oleh kelompok yang dominan dan dapat memajukan kelompok lain. Posisi nilai dan ideologi wartawan media yang tidak terpisahkan dari mulai proses peliputan hingga pelaporan. Lalu hasilnya itu mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik tertentu. 2.3 Hakikat Teori Framing Konsep lain yang digunakan dalam makalah ini adalah konsep framing. Framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa sehingga dihasilkan sebuah wacana. Pada mulanya analisis framing dipakai untuk memahami bagaimana anggota-anggota masyarakat mengorganisasikan pengalamannya sewaktu melakukan interaksi sosial. Menurut Eriyanto, dalam sebuah wacana selalu ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makana sesuai frame yang dipilih. Dalam konteks ini relevan dibicarakan proses-proses framing media massa. Dimana dalam penyajian suatu berita atau realitas dimana kebenaran tentang suatu realitas tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhdap aspek-aspek tertentu
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
20
Jurnal Ultima Com edisi Vol.5 No.1 /Mei-Juli 2014
saja, dengan mengunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan ilustrasi lainya. Framing merupakan strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media, karena media massa pada dasarnya adalah wahana diskusi atau koservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita dan khalayak. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi.(Eriyanto, 2001:71) Eriyanto selanjutnya menyatakan bahwa analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam katagori penelitian konstruksionis. Pendekatan konstruksionis melihat proses framing sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. 3. Metodologi Penelitian Secara sederhana, dalam makalah ini mencoba menganalisis sejumlah berita terkait dengan isu gangguan multikulturalisme dimana menempatkan Ahok sebagai tokoh sentral yang menjadi pemberitaan di media Online. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian analisis framing dengan meminjam model kerangka framing Pan dan Kosicki. Tetapi dari beragam unsur yang ditawarkan pan Kosjiki, dalam makalah ini penulis hanya melihat unsur retoris, dan melakukan sedikit modifikasi saat melihat unsur tematik, dan skrip . Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Dalam pendekatan ini perangkat framing (Eriyanto,2002,176) dibagi menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, Kedua, struktur skrip, Ketiga, struktur tematik; dan Keempat, struktur retoris. Dalam pengertian umum; sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita – headline, lead, latar informasi, sumISSN 1979-1232 21
Universitas Multimedia Nusantara
ber, penutup dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Skrip. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W+1 H (who, what, when, where, dan how). Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing yang penting. Skrip adalah salah satu dari strategi wartawan dalam mengkonstruksi berita: bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Tematik. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Di sini, berarti struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis oleh seorang wartawan. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik, antara lain : Detail. Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Hal yang menguntungkan komunikator/ pembuat teks akan diuraikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan detail informasinya akan dikurangi. Maksud. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, yakni menyajikan informasi dengan kata-kata yang tegas dan menunjuk langsung kepada fakta. Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi dengan menyajikan informasi yang memakai kata tersamar, eufemistik dan berbelit-belit. Nominalisasi. Elemen nominalisasi berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah sebagai suatu kelompok (komunitas). Nominalisasi dapat memberi kepada khalayak adanya generalisasi. Koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi, sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Bentuk Kalimat. Bentuk kalimat menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Kata ganti. Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi ba-
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/ Mei -Juli 2014
hasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana. Retoris. Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana ber-
ita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. (Eriyanto,2011). 3.1 ANALISIS BERITA DAN PEMBAHASAN Unit Analisis yang diteliti 1. Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibenarkan. Lead: Raja dangdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012). Media : Kompas.com/Penulis Kurnia Sari Aziza | Senin, 30 Juli 2012 | 09:14 WIB 2.Geruduk Kantor DPRD, FPI Desak Ahok Masuk Islam JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Basuki Tjahaja Purnama atau
ISSN : 1979-1232
yang akrab disapa Ahok akan menjabat 12 tugas ex officioatau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi jabatan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta Fahmi Firdaus – www.Okezone.com, Selasa, 9 Oktober 2012 12:03 wib 2. FPI Minta Pelantikan Jokowi-Basuki Ditunda Lead: JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Alasannya, FPI meminta pelantikan dilakukan setelah SK gubernur tentang jabatan wakil gubernur direvisi terlebih dahulu (WWW.Kompas.com/9/10/2012/editor Hertanto Soebijoto) 3.2 ANALISIS BERITA 1 Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibenarkan JAKARTA, KOMPAS.com — Raja dangdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012). "Di dalam mengampanyekan sesuatu, SARA itu dibenarkan. Sekarang kita sudah hidup di zaman keterbukaan dan demokrasi, masyarakat harus mengetahui siapa calon pemimpin mereka," kata Rhoma Irama.
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
22
Jurnal Ultima Com edisi Vol.5 No.1 /Mei-Juli 2014
Rhoma pun menyebutkan nama Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie atas dasar pembenaran penggunaan isu SARA. "Saya dapat berbicara seperti ini karena memang dibenarkan Ketua Dewan, Jimly Asshidiqie," katanya. Senada dengan ustad dan pengurus masjid sebelumnya yang mengajak para jamaah untuk memilih yang seiman, Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman. "Islam itu agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga ibadah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya. Dalam ceramahnya, Fauzi Bowo lebih banyak mengingatkan tentang berkah di bulan Ramadhan. "Di bulan Ramadhan mari saling mempererat hablun minannas dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Bulan ini merupakan kesempatan emas melakukan ibadah lebih tekun dan khusyuk agar mendapat bonus Allah," ujar pria yang akrab disapa Foke ini. Dalam akhir paparannya, Foke mengklaim keberhasilannya dalam membuat suasana kondusif selama memimpin Jakarta. "Jakarta ini bukan kota yang sederhana. Saya bersyukur, selama saya memimpin, tidak ada satu pun masyarakat Jakarta yang memaksa mereka berhenti melaksanakan aktivitas," tuturnya. Dalam kesempatan tersebut, Foke memberikan sumbangan kepada anak asuh PKU yang dikelola Muhammadiyah Tanjung Duren dan Masjid Al-Isra, bantuan masjid sebesar Rp 28 juta, Al Quran, alat olahraga, dan lampu hemat energi. Hadir pula Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Fajar Pandjaitan, Wali Kota Jakarta Barat Burhanuddin, dan petinggi harian Poskota. Editor : Hertanto Soebijoto UNSUR TEMATIK Tema penting: 1.kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. “…Raja dangdut Rhoma Irama yang juga merupakan tim kampanye pasangan calon gubernur Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menuturkan, kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hal ini disampaikannya saat memberikan ceramah shalat tarawih di MasISSN 1979-1232 23
Universitas Multimedia Nusantara
jid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, (29/7/2012). (paragraph 1) 2. Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman. Senada dengan ustad dan pengurus masjid sebelumnya yang mengajak para jamaah untuk memilih yang seiman, Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman. "Islam itu agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga ibadah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya. 3. Apa yang disampaikan Rhoma senada Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie Rhoma pun menyebutkan nama Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie atas dasar pembenaran penggunaan isu SARA. "Saya dapat berbicara seperti ini karena memang dibenarkan Ketua Dewan, Jimly Asshidiqie," katanya. UNSUR RETORIS. 1. Jargon atau leksikon pembenaran dari Rhoma Irama soal boleh kampanye mengangkat unsur SARA: "Di dalam mengampanyekan sesuatu, SARA itu dibenarkan. ….. (paragraph 2) 2.leksikon bahwa kita hidup di era keterbukaan dan demokrasi "….Sekarang kita sudah hidup di zaman keterbukaan dan demokrasi, masyarakat harus mengetahui siapa calon pemimpin mereka," kata Rhoma Irama.(paragraph 2) 3.Jargon bahwa Islam itu agama yang sempurna maka pilihlah pemimpin yang seiman dengan mayoritas warga Jakarta "Islam itu agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga ibadah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta," ujarnya.(paragraph 4) Analisis dan Pembahasan Dari sisi tematik dan Retoris, berita ini menggambarkan adanya upaya ‘kampanye hitam’ yang mencoba memecah belah para calon pemilih berdasarkan isu SARA. Pengangkatan topic soal imbauan Rhoma Irama yang meminta agar warga muslim memilih pemimpin yang seiman, merupakan bukti
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/ Mei -Juli 2014
nyata adanya upaya menghambat multikulturalisme, mengingat di Jakarta memang terdiri dari warga yang beragam, tidak hanya warga muslim saja. Berita ini jelas menohok dan mencoba melakukan pembenaran aksi kampanye kelompok Fauzi Bowo dan Nara untuk mengangkat isu SARA sebagai bagian dari proses pemenangan mereka. Rhoma Irama yang dianggap dekat dengan warga muslim Jakarta bahkan dengan tegas mengatakan bahwa kampanye SARA itu justru dibenarkan oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie. Sebagai upaya memperkuat tindakannya agar tidak dianggap melanggar aturan kampanye. Paling tidak ada tiga tema penting dari berita tersebut yaitu pertama kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Kedua Rhoma Irama juga mengimbau para jamaah untuk memilih pemimpin yang seiman dan ketiga apa yang disampaikan Rhoma senada Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshidiqie. 3.3 Analisis Berita kedua: Geruduk Kantor DPRD, FPI Desak Ahok Masuk Islam Fahmi Firdaus – Okezone Selasa, 9 Oktober 2012 12:03 wib Ilustrasi (Foto: Dok. Okezone) JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok akan menjabat 12 tugas ex officio atau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi jabatan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta. Seperti Ketua Badan Pembina Lembaga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua Dewan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama. FPI pun dengan lantangnya menyebut Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam. "Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara
ISSN : 1979-1232
hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012). Dia mengatakan, sangat tidak mungkin dan tidak pantas yang mengisi jabatan tersebut adalah orang nonmuslim. FPI juga memberikan solusi, yakni Ahok tidak menjabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam. "Kami minta peraturannya diganti, atau Ahok yang masuk Islam. Kami yakin DPRD DKI mendengarkan kami, karena mereka lebih berilmu dibanding kami," tegasnya. "Dari sebelum Pemilukada, umat Islam diberitahu untuk tidak memilih pemimpin yang tak seiman. Ada ayat larangan jadikan nonmuslim sebagai pemimpin. Bagaimana orang nonmuslim memimpin masalah zakat? Tidak mungkin mengurusi Dewan Masjid sementara dia orang nonmuslim. Dekat saja tak boleh, apalagi mengurusi Islam," cetusnya lagi. Dalam melakukan aksinya, massa FPI juga melantunkan salawat dan berorasi untuk meminta Ahok tidak menjabat sebagai Wagub DKI. (put) Analisis Data Dari berita diatas akan dianalisis makna dibaliknya lewat pencarian unsur tematik dan retorisnya UNSUR TEMATIK 1. FPI pun dengan lantangnya menyebut Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam “..12 tugas ex officioatau jabatan yang dipegang oleh Wagub. Dalam mengisi jabatan tersebut, Ahok akan berhubungan langsung dengan agama Islam dalam hal ini kaum muslimin di Jakarta. Seperti Ketua Badan Pembina Lembaga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua Dewan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Masjid Indonesia, Ketua
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
24
Jurnal Ultima Com edisi Vol.5 No.1 /Mei-Juli 2014
Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama. (paragraph 1-2) 2..Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid "Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012). (paragraph 4) 3..FPI juga memberikan solusi, yakni peraturannya diganti, meminta Ahok tidak menjabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam. "Kami minta peraturannya diganti, atau Ahok yang masuk Islam. Kami yakin DPRD DKI mendengarkan kami, karena mereka lebih berilmu dibanding kami," tegasnya. (paragraph 5) 4..umat Islam diminta memilih pemimpin seiman. Ada ayat larangan jadikan non muslim sebagai pemimpin "Dari sebelum Pemilukada, umat Islam diberitahu untuk tidak memilih pemimpin seiman. Ada ayat larangan jadikan nonmuslim sebagai pemimpin. Bagaimana orang nonmuslim memimpin masalah zakat? Tidak mungkin mengurusi Dewan Masjid sementara dia orang nonmuslim. Dekat saja tak boISSN 1979-1232 25
Universitas Multimedia Nusantara
leh, apalagi mengurusi Islam," cetusnya lagi. (paragraph 2 dari bawah) 1.leksikon/jargon Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin “FPI pun dengan lantangnya menyebut Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam.” UNSUR RETORIS 1. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati "Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid," kata Ketua Dewan Syuro DPD DKI FPI, Habib Shahab Anggawi, di depan gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012). 2. DPRD DKI lebih berilmu dibanding kami "Kami minta peraturannya diganti, atau Ahok yang masuk Islam. Kami yakin DPRD DKI mendengarkan kami, karena mereka lebih berilmu dibanding kami," tegasnya. 3.Ahok sangat tidak mungkin dan tidak pantas mengisi jabatan tersebut karena dia adalah orang nonmuslim …”Dia mengatakan, sangat tidak mungkin dan tidak pantas yang mengisi jabatan tersebut adalah orang nonmuslim. FPI juga memberikan solusi, yakni Ahok tidak menjabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam”
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/ Mei -Juli 2014
PEMBAHASAN Dari wacana di atas, jelas sekali ada tema yang sangat mendeskriditkan pasangan Jokowi Ahok, meski secara formal mereka berdua sudah memenangi Pilkada DKI dan berhak atas jabatan tersebut, kelompok FPI justru mengangkat isu SARA yakni agama Wakil Gubernur Basuki yang memang non muslim. Dari unsur tematik, ada sejumlah tema yang diangkat dalam wacana tersebut yakni pertama FPI menyebut Ahok di luar Islam dan tidak pantas memimpin 12 tugas yang berkaitan langsung dengan umat Islam, Kedua Ahok tidak boleh mendekati Masjid. Bukan najis secara fisik, tetapi najis secara hati. Jadi bagaimana mungkin Wagub DKI yang nonmuslim jadi penasihat masjid, FPI juga memberikan solusi, yakni peraturannya diganti, meminta Ahok tidak menjabat Wagub DKI atau Ahok bersedia masuk Islam dan tematik keempat umat Islam diminta memilih pemimpin seiman. Ada ayat larangan jadikan non muslim sebagai pemimpin. Dari unsur retorisnya, kata-kata yang menjadi penekanan adalah kata tidak pantas memimpin, karena Ahok adalah orang di luar Islam sehingga tidak layak untuk memimpin sebagai wakil gubernur yang secara ex officio memang mengurus 12 jabatan penting terkait dengan kepentingan masyarakat Islam. Jabatan-jabatan tersebut adalah di antaranya Ketua Badan Pembina Lembaga Bahasa dan Ilmu Alquran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Perimbangan Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh, Ketua Dewan Pembina Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia, Ketua Badan Pembina Koordinasi Dakwah Islam, Ketua Dewan Penasehat Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Jakarta Islamic Center, dan Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama.Wacana yang paling menohok adalah desakan kelompok itu agar peraturan terkait soal jabatan ex-officio itu dihapus atau alternative lain adalah mendesak agar AHok masuk Islam. Agak aneh sebenarnya permintaan mereka mengingat beragama adalah hak pribadi dan dijamin oleh undang-undang. Permintaan ini sangatlah berlebihan dan sangat menyinggung rasa hak asasi manusia dan merupakan gangguan nyata dari multikulturalisme. 3.3 Analisis Berita ketiga FPI Minta Pelantikan Jokowi-Basuki Ditunda
ISSN : 1979-1232
JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Alasannya, FPI meminta pelantikan dilakukan setelah SK gubernur tentang jabatan wakil gubernur direvisi terlebih dahulu. "Ini bukan politik. Kami hanya meminta pelantikan ditunda sampai SK itu direvisi," kata juru bicara DPD FPI DKI Jakarta, Jafar Shidiq, di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012). Jafar mengatakan, sebelumnya dia beberapa kali telah meminta waktu berdialog dengan anggota DPRD DKI Jakarta terkait permasalahan ini. Akan tetapi, permintaan dialog tak pernah direalisasi sampai berakhirnya masa pemilihan kepala daerah. Isi SK Gubernur DKI Jakarta yang dipermasalahkan oleh DPD FPI DKI Jakarta adalah mengenai aturan yang menyatakan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta akan membawahi beberapa lembaga keislaman. FPI menilai, tak mungkin wakil gubernur terpilih saat ini, Ahok, dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal. Mengingat yang bersangkutan merupakan pemeluk agama di luar agama Islam. " Kami sudah minta waktu dialog, tetapi tak pernah ditanggapi. Akhirnya sekarang terpaksa berdemo. Ini bukan SARA, kami hanya beranggapan sebaiknya SK tersebut direvisi dahulu karena lembaga itu harus dipimpin oleh orang yang beragama Islam," katanya. Diberitakan sebelumnya, ratusan anggota Front Pembela Islam menggeruduk Gedung DPRD DKI Jakarta untuk mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevisi SK gubernur tentang jabatan wakil gubernur di beberapa lembaga. Untuk diketahui, sedikitnya ada 12 tugas yang secara ex officio dalam jabatan wakil gubernur DKI Jakarta. Di antara tugas dan jabatan ex officio wakil gubernur tersebut terdapat beberapa jabatan yang langsung terkait dengan urusan umat Islam. Jabatan itu di antaranya adalah Ketua Badan Lembaga Bahasa dan Ilmu Al Quran, Ketua Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Ketua Dewan Pertimbangan Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh (Bazis), Ketua Dewan Pembina Badan Perpustakaan Masjid
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
26
Jurnal Ultima Com edisi Vol.5 No.1 /Mei-Juli 2014
Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Dewan Masjid Indonesia, dan Ketua Dewan Penasihat Forum Kerukunan Umat Beragama. Sampai berita ini diturunkan, belasan anggota DPD FPI DKI Jakarta tengah melakukan mediasi dengan anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta. Suasana lalu lintas di Jalan Kebon Sirih cukup padat karena aksi demonstrasi ini menyita perhatian warga masyarakat yang melintas di lokasi tersebut. (editor Hertanto Soebijoto) UNSUR TEMATIK 1.Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). — ……”Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Alasannya, FPI meminta pelantikan dilakukan setelah SK gubernur tentang jabatan wakil gubernur direvisi terlebih dahulu. (paragraph 1) "Ini bukan politik. Kami hanya meminta pelantikan ditunda sampai SK itu direvisi," kata juru bicara DPD FPI DKI Jakarta, Jafar Shidiq, di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2012).(paragraph 2) 2.FPI minta berdialog tapi tak pernah ditanggapi DPRD DKI …”Jafar mengatakan, sebelumnya dia beberapa kali telah meminta waktu berdialog dengan anggota DPRD DKI Jakarta terkait permasalahan ini. Akan tetapi, permintaan dialog tak pernah direalisasi sampai berakhirnya masa pemilihan kepala daerahggapi DPRD (paragraph 3) 3.FPI mendesak agar SK Gubernur ditinjau ulang karena sangat tidak mungkin Ahok menjalankannya sebagai Wakil Gubernur Isi SK Gubernur DKI Jakarta yang dipermasalahkan oleh DPD FPI DKI Jakarta adalah mengenai aturan yang menyatakan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta akan membawahi beberapa lembaga keislaman. FPI menilai, tak mungkin wakil gubernur terpilih saat ini, Ahok, dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal. Mengingat yang bersangkutan merupakan pemeluk agama di ISSN 1979-1232 27
Universitas Multimedia Nusantara
luar agama Islam.(paragraph 3) UNSUR RETORIS Dari wacana tersebut ada sejumlah jargon dan leksikon yang digunakan sebagai penjelas maksud dari kalimat tersebut 1."Ini bukan politik. Kami hanya meminta pelantikan ditunda sampai SK itu direvisi 2.“pemeluk agama di luar agama Islam” 3.”Ini bukan SARA, kami hanya beranggapan sebaiknya SK tersebut direvisi dahulu karena lembaga itu harus dipimpin oleh orang yang beragama Islam” Analisis dan Pembahasan Dari sisi tematik, ada sejumlah pokok pikiran pertama Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pelantikan gubernur terpilih Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok), kedua FPI minta berdialog tapi tak pernah ditanggapi DPRD DKI, FPI mendesak agar SK Gubernur ditinjau ulang karena sangat tidak mungkin Ahok menjalankannya se bagai Wakil gubernur.Jelas sekali bahwa lewat wacana ini digambarkan bahwa kelompok garis keras Islam, yakni Front Pembela Islam mencoba mendesak agar pelantikan Gubernur DKI ditunda, karena hanya alas an yang sepele. Padahal. Sebagai gubernur dan wakil gubernur yang dipilih rakyat Jakarta, tentunya sudah secara sah untuk dilantik. Soal Ahok yang memang non muslim sejak awal diketahui oleh para calon pemilihnya di Jakarta, sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk menolak acara pelantikan gubernur yang memang sudah direncanakan sebelumnya. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Dari sejumlah berita online yang dianalisis ternyata jelas sekali ada wacana anti multikulturalisme di tengah pilkada DKI Jakarta. Upaya mengganggu kenyamanan beragama ini mencuat karena Jokowi dan Ahok justru menang setelah mengalahkan Fauzie Bowo-Nara. Lewat strategi Framing banyak ditemukan wacana pemberitaan sebagai hasil dari konstruksi realitas yang ada. Framing merupakan strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media, karena media massa
Jurnal Ultimacomm Vol.5 No.1/ Mei -Juli 2014
pada dasarnya adalah wahana diskusi atau koservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita dan khalayak. Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam katagori penelitian konstruksionis. Pendekatan konstruksionis melihat proses framing sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas Lewat framing pan Kosjiki dapat disimpulkan bahwa media online yang diteliti justru menampatkan persoalan ‘anti multikulturalisme’ yang peka untuk menunjukkan adanya upaya menggoyang integritas Jokowi-Ahok. Justru dengan cara seperti itu, muncul dukungan terhadap keduanya dan justru merupakan kampanye positif buat Jokowi Ahok. Dari sisi tematik memang ditemukan isu anti multikulturalisme yang menempatkan posisi Ahok yang non muslim sebagai figure yang dianggap tidak layak dan tidak pantas memimpin DKI Jakarta. Bahkan wacana yang coba digulirkan lewat media tersebut adalah isu agama masih menjadi syarat mutlak dalam proses pemilihan gubernur, bahkan bisa ditarik kedepannya menjadi isu yang hangat nanti menjelang Pemilu 2014. Media memang tidak pernah bisa netral, tetapi sebenarnya media bisa juga berperan sebagai pemberi informasi yang bisa memenuhi kebutuhan public untuk memperoleh realitas yang sungguh mencermin kan keadaan sesungguhnya.
ISSN : 1979-1232
Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-berita Politik, Jakarta:Granit Hardt, Hanno, 2007, Myths for the Masses: An Essay on Mass Communication, Wiley-Blackwell Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung Sobur, Alex, Analisis Teks Media Sugiyono. 2005, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung ; CV Alfabeta
DAFTAR BACAAN Berger, Peter & Thomas,1967 The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge.NY, A Double Day Anchor Book Bungin, Burhan,2008 Konstruksi Sosial Media Massa Realitas Sosial Media, Iklan Televisi & Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman , Prenada Media Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln, eds., 1994, Handbook of Qualitative Research, Thousand Oaks, CA: Sage Eriyanto, 2002, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Jakarta Hamad, Ibnu 2004,Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah studi Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
28
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014
ISSN: 1979-1232
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” Universitas Multimedia Nusantara Novita Damayanti dosen Ilmu Komunikasi Jl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-Banten Telepon (021) 5422 0808
Abstract: The background of this research is because during the 2009 elections, the presidential election in particular, mass media were competing to broadcast a variety of shows associated with the presidential election. Among others through a debate show broadcast by Metro TV entitled “Indonesia Bersatu”. Metro TV as the elections Chanel always tries to be leading in providing information about the elections.The Research, entitled “Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV” is a study that aims to determine the meaning construction of meaning in the “Indonesia Bersatu” Show on Metro TV. Keywords: : political communication, mass media, television, social construction of reality
INTRODUCTION The Indonesian presidential election of 2009 has been regarded by the researcher as still used conventional styles just like in the 2004 elections, in order to boost votes. Activities such as mass gathering, political safaris into votes pockets (especially the votes of the floating mass), the installation of a series of campaign paraphernalia such as billboards, posters, and so on were still found. Politics industry in the 2009 elections had become more sophisticated. Kompas daily (24/10/2009) reported that advertising spending of National Mandate Party (PAN), Gerindra, Democrats, Golkar, the Prosperous Justice Party (PKS), and the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) during May-October 2008 alone has reached Rp. 184, 13 billion. Some of the media, especially television, had opened wide the doors of opportunity for all political parties and the presi
dential and vice presidential campaign teams to race in the big event of democracy, such as the General Elections for Legislatives and Executives in April and July 2009. Various steps and efforts related to the needs and political interests ahead of the elections were waged by political elites utilizing mass media as an instrument. The role of media as stated in the general elections law has made the media dare go further in contributing in the elections. Metro TV and TV One are the two television stations that actively participated in providing special space for dynamics of the election to be released to the People. Metro TV with its Election Channel program elegantly presented a series of special election program covering news, highlights on politicians and political parties and their programs, voter surveys, political advertising, open debates among political figures. Television can reach remote audiences and directly hold the communicant emotions
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
29
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
because they contain multimedia elements (audio, visual, and written elements), and becomes something sought by most Success Teams. Holtz Bacha and Kaid in Ahkmad Danial examine how TV is used by political parties to win elections. First, through free, regular media reporting on political activities. In the free coverage, journalistic principles and criteria of selection of production which is often used by journalists and TV managers are applied. Political actors will find it difficult to influence when, how long, and how political events are broadcast. Interestingly, in the 2009 Presidential election, polling activities were held at the same time as presidential and vice presidential pair’s debates, organized by the General Elections Commission (KPU) in a number of television stations. Debate program was deliberately organized formally by the Election Commission and was funded by the state. The Commission itself designed the presidential debates as the American presidential debates between Obama and McCain. This decision was taken by the Commission because the old methods of holding open rallies during campaigns were considered not educative for the public. The debate program was divided into several days with different themes, and each theme was guided by one moderator who also acted as panelist while the broadcasting time was also divided between presidential candidates and vice presidential candidates. Nonetheless, the debate format was limited by the Commission. First, the one that has the right to ask questions is just one single panelist, who also acted as a moderator appointed by the Commission. This format was set by the Commission upon requests from all three candidates’ campaign teams, to avoid attacking each other. Second, each candidate was given only about 2-3 minutes to answer that question. In describing his vision-mission and program, each candidate was given about 15 minutes. After watching the debates, there was an impression that because it was limited in such a way this debate far from the essence of a debate. When the candidates met in person in the show, they are still reluctant to criticize and refute each other. In fact, they looked like they were mutually supporting and reinforcing each program presented by every candidate. At the very least, the statements of each candidate seemed to be complimenting other candidate’s. This debate gave the impression 30
of a reunion of political figures who were supposed to be fighting. Because the mechanism was set up in such a way, it looked like there was limited room for each candidate to perform. While in fact it was not. What was spoken by the candidates, whether it was a description of their vision-mission and programs or answers to questions posed by the moderator, all were reflected in the short messages (sms) polling facilitated by the television station to find out about public opinion after watching the debate. Another thing is, the time lag during the debate, was also filled with a number of commercials placed by each candidate as a venue for political campaigns. The packaging of the presidential and vice presidential debate aired by Metro TV has typical individual characteristics such as the commentary segment, opinion formation as well as polling. The packaging of each broadcast will be very different even though the same debate is aired at the same time. The debate on the show will illustrate how the strength of each candidate either rhetorically, or verbal and non-verbal communication. It also showed how hard each Success Team behind the candidate tried to prepare for the best performance and response of its candidate. The television debate itself was packaged in three segments, namely: a pre-debate where the Success Team would provide a representative as a speaker on a talk show; followed by a live television debate; and the last was a post-debate segment where a talk show was opened to analyze the response and performance of each candidate. There were also some political communication experts and political scientists who became commentators. The small mass gathering in the studio made the debates show livelier. This research is conducted with a constructivist approach to review and analyze "Indonesia Bersatu" television show on presidential and vice presidential debates in the 2009 Presidential Election on Metro TV. 1.2. Problem Formulation Based on the background of the problem that has been described in the research background, the problem is formulated as follows: What is the Constructive Meaning of "Indonesia Bersatu" TV Show on Presidential and Vice Presidential Candidates Debate during Presidential Election 2009 on Metro TV?
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
1.3. Research Objectives 1. Know how Metro TV packaged "Indonesia Bersatu" show. 2. Know and analyze about the constructive meaning of "Indonesia Bersatu" presidential and vice presidential debates show on Metro TV. 2. Framework 2.1. Social Construction of reality Reality is defined as the quality contained within the realities that are recognized as having existence (being) which does not depend on our own will. Knowledge is defined as a certainty that the realities are real and have a specific character. Berger and Luckman (Bungin, 2008:15) say that there are dialectics among individuals which create a society and a society which creates individuals. This occurs through a dialectical process of externalization, objectification, and internalization. The dialectical process has three stages: First, externalization, the outpouring of effort or human self-expression in the world, both in mental and physical activities. Second, objectification, the results that have been achieved, both mentally and physically from the externalization of human activity. Third, internalization. Internalization process is more of a re-absorption of the objective world into the subjective consciousness of the individual in such a way that the world is influenced by the social structure. Various elements of the world that has objectified will be captured as a symptom of reality outside consciousness, as well as internal symptoms for awareness. Through internalization, human beings become the results of society. For Berger, the reality is not something established scientifically, not also something that is handed down by God. Metro TV constructed the show through the process of externalization, objectification, and internalization. When the media define what to be displayed and how it will become externalization, to formulate what will be broadcast by Metro TV, the broadcast will become an objectification of the objective reality of the mass media after various considerations of associated subjective realities. 2.2. Framing. Blach in Liliweri (2011: 218) explains
that framing is how someone builds a visual communication using a language that is sent to the listeners or observers to interpret; to let the effect depends on the clarification of the audience, so the framing can lead to meaning. Framing is also related to the interests of individuals who are dealing with each other by blocking certain beliefs (convincing to support a particular policy by linking the size of the policy with a certain value). Framing approach looks at how reality is constructed by the media. . The end result of the process of formation and construction of reality in the form of a certain part of reality which is more prevalent and more easily recognizable. Framing is a way to present an event by the media to the audience. Stressing on particular sections, highlighting certain aspects, and raising a certain reality are the process of framing in the media. 2.2.1. Framing Analysis of Robert N. Entman. Framing analysis is used for the construction of meaning in the presidential- vice presidential debate show on Metro TV. How the TV station packaged it. The concept of framing by Entman is used to describe the selection process and highlight certain aspects of reality by the media. Framing put more stress on how the text of communication is displayed and which part is highlighted or considered important by the text maker. The word highlighted itself can be defined: to make information more visible, more meaningful, or more easily remembered by the audience. Highlighted information will be more likely received by the audience, more felt and stored in memory compared to the usual presented. In Entman’s conception, framing basically refers to (Eriyanto, 2002:185): Determining the problem; diagnosing the cause; making moral judgment; providing recommendations. News frames arise in two levels. First, mental conceptions that are used to process information and as the characteristics of the news text. Second, the specific narrative news used to develop an understanding of the events. News frame is formed out of certain keywords, metaphors, concepts, symbols, imagery in the news narrative. Hence the frame can be detected and investigated from the words, image, and certain pictures that give a particular meaning of a text message. Entman conception regarding framing describes and broadly interprets how the event 31
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
is signified by journalists. Defining the problem is the first element that can be seen on the framing. This element is the master or the most important frame. Entman emphasizes how events are understood by journalists. When there is a problem or issue, how it is understood. The same issue can be interpreted in different ways and different frames which would lead to the formation of a different reality. Diagnosing causes (estimating the cause of the problem), is an element to frame something or somebody considered to be the actor of an issue. Cause here means what, but it could also mean anyone (who). Making moral judgment is a framing element used to justify or give arguments on the definition of the problem that has been created. Another framing element is the treatment recommendation (emphasizing on settlement). This element is used to assess what is desired by journalists (Eriyanto, 2002:191). 2.2.2. Visual Framing The images or pictures are part of the data that may not be separated and provide deeper analysis in this study. Aside from the analysis framing in general there is a visual framing that explains how to analyze an image be it a still photo or film. So far, the analysis framing has emphasized more on text as the main part of the analysis. But now, with the growing communication technology, the use of image has become a normal and an analysis is not limited to just the text but also in the picture. Television is one of the media types that provide information with picture and sound. Presidential-vice presidential debate 2009 is a television show that is audiovisual in nature. Metro TV as a medium is also constructing “Indonesia Bersatu” show and is also analyzed with the visual framing. There is a difference between the words and pictures in terms of impressions. Words and pictures appear together in the media and audiences receive it simultaneously. Oral and written elements sometimes unite with pictures or visual elements to frame the topic or theme. As a medium of communication there is a different meaning between pictures and words. Visual definition: a media content processed by eye. Like still photos and moving pictures, paintings and colors. Visual component in television news is facial expression, gesture, body posture (Coleman, 2010: 236). 32
"Schwalbe in Coleman (2010:237) defines: “visual framing is a continuous winnowing process. It begins with the choice of events to cover, followed by the selection of what pictures to take, how to take them (angle, perspective, assumptions and biases, cropping, and so forth) and which ones to submit.” Entman (1993) says visual framing in the media also chooses aspects that describe suitable reality in communication with the text, to show the defining of the problem, causal interpretation, moral evaluation, treatment recommendation. In visual studies, framing leads to points of view selection, scene, or angle when making and cropping (cutting), editing, or selection. Mass media visual framing uses elements of shooting selection during Metro’s “Indonesia Bersatu" production. How the show is displayed with perspective and emphasis on the scene and its attributes. 2.3. Political Communication According to Lynda Lee Kaid, political communication itself was inter-disciplinary knowledge that includes the concept of communication, political science, journalism, sociology, psychology, history and others. But today, as a discipline, political communication is not the same as these various fields of study Political communication reflects communication theory which includes research of human society approach to communication. Political communication in the form of political rhetoric; political agitation; political propaganda, and political lobbying (Arifin, 2003: 181). Nevertheless, the importance of the media position being used as a political communication strategy is recorded in the three elements of political communication expressed by Mc Nair, which include: political organizations, the media, and citizens. Mc Nair then provides a wider limitation in political communication: 1.All forms of communication made by politicians and other political actors to achieve specific goals. 2. Communication addressed to political actors of (non-political) individuals as voters or media columnist 3. Communication about political actors and their activities, published in mass media as well as in other media forms.
Referring to Dan Nimmo, as cited by
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
Harsono Suwardi, political communication in the narrow sense, is categorized as a communications with political value, if the communication has political consequences or effects that govern human behavior under conflict. Secondly, in a broad sense political communication is any kind of messaging, especially those with political information from a source to a number of receivers. Dan Nimmo outlines that political communication covers political communication, political messages, political persuasion, political communication media, public political communication, and the effects of political communication. Communicators are the ones that initiate the delivery of the message to another party, or reflect the party that initiates and directs an act of communication. On political communication, communicators can play two positions, namely as individual speakers and collective source persons (Nimmo, 1990 : 56). 2.4. Television as Mass Media and Politics According to Hamad Harsono Suardi in Hamad (2004: XV) mass media are a very important part in political communication. First, it has very broad coverage in disseminating political information; able to pass boundaries, age group, gender and socioeconomic status as well as orientation. Second, it has a remarkable ability to multiply the message. Third, every media is capable to discourse a political event in accordance with its view. Fourth, it has the agenda setting function. Fifth, the media is able to form a chain of media information associated with each other. According to Comer and Pels (2003:7278) politicians generally work in two different domains of political action. First, the domain of institutions and political processes that collectively builds political identity as a politician and accepts it as his duty. Second, the public sphere and popular domain. This is a media era where a complex situation is formed due to the media coverage. At this realm the politician as a public figure, becomes a representation of other politicians to develop a reputation and image. Graber in Saeful (2008:46) indicates that one of the functions of mass media in the political system is as a medium of political socialization. The mass media can be viewed as ideological instrument that provides learning and values orientation to the audience. Through the medium a group will be able to spread its influence and dominance to other
groups. Mass media as a political battlefield is also underscored by Charlotte Ryan in Saeful (2008:47); the media is a symbolic battleground between the parties concerned. They file their own meaning of an issue in order to be accepted by the audience. All parties involved seek to highlight their interpretation, claims, and arguments through rhetoric and labeling to establish their position. Television is different from print media which can only display text or still photos alone. Television can do a live broadcast of what is happening at real time and simultaneously. Events in faraway places can be seen directly by the audience. This ability makes television become increasingly close and intimate with its audience. It was this advantage of television media that made the General Elections Commission granting the right for live broadcasts on television to show the 2009 presidential election political debate. The ability to reach a wide audience and display a real visual image in the sense that what occurred at the scene and what is screened is the same. The Debate show is broadcast live so that audiences can watch it without having to be present. Instead, the media bring it to viewers home. The 2009 presidential election political debate that aired live has its value to the Success Team of each candidate involved. The role of mass media stated in the electoral law has made the media dare go further to contribute in the elections. Metro TV has actively participated in providing special space for dynamics of the elections to be released to the People. Metro TV with its Election Channel program along with the print media with their special elections column, elegantly presented a series of special election program covering news, highlights on politicians and political parties and their programs, voter surveys, political advertising, open debates among political figures as well as political parties. 3. Methodology 3.1. Research Methods Constructivism paradigm is considered the most appropriate in this study with the characteristics of looking into a reality to be specially constructed, being subjective, based on the findings in the field. Reality is relative so the 2009 presidential candidates’ debate will be constructed subjectively by Metro TV. This study uses qualitative methods 33
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
considering that members of Campaign Teams and the media are active individuals, interpreting, creative, displaying behavior that cannot be foreseen. To use a simple definition, qualitative research is a research that is interpretive (using interpretation) involving many methods, in reviewing the research problem. In accordance with the principles of epistemology, qualitative researchers commonly examine the things that are in their natural environment, trying to understand, or interpret, phenomena based on the meanings that people give to such matters. (Mulyana, 2007: 4) This research is qualitative in nature with case study approach. According to Pawito (2007:143) the research itself is designed as a case study which has dynamic characteristics in its use to gain an overview of the various issues of interest in social life. According to Deddy Mulyana (2006:201) a case study is "a comprehensive description and explanation of the various aspects of an individual, a group, an organization (community), a program, or a social situation". In short, a case study can be regarded as a description of the aspects studied, whether it is individuals, groups, organizations and social circumstances, in detail based on the actual situation occurred. The case study aims to provide a detailed overview of the background, characteristics and typical characters of the case. This study uses a case study method to explain that it focuses on "Indonesia Bersatu" 2009 presidential election debate show on Metro TV. 3.2. Informants and Data 2009 Presidential Candidate Debate: 1. Thursday, June 18, 2009, presidential debate with the theme of realizing good and clean governance, as well as upholding the rule of law. 2. Thursday, June 25, 2009, presidential debate with the theme of poverty and unemployment. 3. Thursday, July 2, 2009, presidential debate themed the Unitary State of the Republic of Indonesia, democracy and regional autonomy. Vice Presidential Candidate Debate 2009: 1. Tuesday, June 23, 2009, vice presidential debate with the topic: construction of national identity. 2. Tuesday, June 30, 2009, vice presidential debate with the theme: improving the quality 34
of human life in Indonesia. The Informant interviewed by the researcher is the Deputy Chief Editor of Metro TV, Makroen Sandjaya. 3.3. Data Collection Techniques Data collection techniques used in this study is: 1.Interview, Interviews are used with openended nature, in the sense of giving an opportunity to the informant to provide answers according to their thinking. 2. Documentation Study, Observing and collecting messages contained in the vice-presidential debate shows on CD considered to have a particular meaning in the context of constructing a reality. 3. Library Studies, Search for and collect the writings, books, and other information about the construction of reality built by the television media in the 2009 Presidential election. 3.4. Data analysis techniques In qualitative research, data analysis are conducted during the study. This is done through a description of the research data, a review of the existing themes, and highlights on certain themes (Creswell, 1998:65). There is several common data analysis in qualitative research, namely: 1. Data collection, in this section the researcher collects various types of data from various sources. The documentation debate show, as well as interviews with informants. . 2. Presentation of data (data display). The data collected and grouped are arranged in a logical and systematic manner so that the researcher can see and examine the critical components of the presentation of data. At this stage, data collection is still possible if the data is still considered incomplete... 3. In this section data reduction and classification are also conducted. Here, the researchers gather important information related to the research problem, and then classify the data according to the subject matter. (Grade I construct) 4. Data typication. Rearranging data according to the type of information which then is
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
interpreted and discussed which will result in the model. (Grade II constructs) 5. Conclusions and verification. At this stage, the researcher conducts data interpretation in the context of the research problem and objectives. A conclusion will be derived from the interpretation. 3.5. Framing analysis Robert N. Entman is one of the experts who laid the foundation for framing analysis for the study of media content. The concept of framing is written in an article for the Journal of Political Communication and other writings practicing the concept in a case study of media coverage.In Entman Conception, framing basically refers to define Problems, diagnose causes, make moral judgement and treatment recommendation (Eriyanto, 2002:185). 3.6. Validity Examination Techniques Triangulation is a validity examination technique that utilizes something else. Beyond the data, for checking purposes or as a comparison to the data. Denzin (2009:271) distinguishes four types of triangulation as examination techniques that exploit the use of sources, methods, investigators, and theories. Triangulation with sources means to compare and recheck the degree of reliability of the information through time and different tools in qualitative research (Patton, 1987:331). Triangulation by method, according to Patton (1987:329), consists of two strategies, namely: (1) checking the degree of reliability in the discovery of several research techniques and data collection (2) checking the degree of reliability of multiple data sources with the same method. So triangulation means the best way to eliminate the facts construction differences in the context of a study while collecting data about some events and relationships of various views. 4. RESEARCH ANALYSIS RESULTS AND DISCUSSION 4.1. Construction meaning of “Indonesia Bersatu " presidential- vice presidential debate show in the 2009 Presidential election on Metro TV .
Metro TV considers that the debate
show should also have an entertainment side that is not monotonous, to the point, but also contains reviews and input from resource persons in attendance. "Indonesia Bersatu” which is a formal and serious talk show has become more relaxed and not too tense to watch. So that people will be able to see with a clear mind. Construction of meaning on “Indonesia Bersatu” show is a program of presidentialvice presidential candidates’ debate which will become a consideration for voters in choosing the President and Vice President in the 2009 Presidential election. The debate organized by the Election Commission has not reached the true essence of a debate; it is still limited on mutual expression of each presidential-vice presidential candidate “Indonesia Bersatu” seeks to provide its viewers with an understanding on good discussions with the “campaign team” spokesman and observers. So the outcome of the debate between “Campaign teams” or observers' comments come into consideration for voters to be rational voters . Metro TV packaged the pre- and post- debate shows with elements of peace, the participants sat side by side and each could express his support. The success team spokesman also could explain more deeply about the vision, mission, platform, or any other statement in the presidential-vice presidential candidates’ debate in quite limited time. Meaning Construction of "Indonesia Bersatu" presidential-vice presidential debate show in the 2009 Presidential election on Metro TV tried to give an understanding to the people of Indonesia, especially Metro TV viewers to become rational voters instead of emotional voters through a discussion on presidential-vice presidential debate show in the 2009 Presidential election. A balance for all candidates or campaign (Success) teams on this show indicates that Metro TV did not take sides. Metro TV program which is also audiovisual presented equal scene, angle, zoom and displays time. In addition to the formal presidentialvice presidential candidates debate, Metro TV also provided an element of entertainment so that viewers were not bored and did not feel that politics as a terrible thing . “Indonesia Bersatu” show was packaged with Metro TV style that gives equality to presidential-vice presidential candidate pairs Megawati - Prabowo, SBY - Boediono, and JK 35
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
- Wiranto. In line with its title. “Indonesia Bersatu " (Indonesia Unite) this show makes Indonesia remains united despite differences in choosing presidential-vice presidential candidates 2009. 1). Production of live event “Indonesia Bersatu “show on Metro TV " Indonesia Bersatu" show is a Metro TV production using (talk show) dialogue format and was broadcast live (live event). There are many elements involved in this show such as: the show format, duration, performers, and live broadcast.
Figure 1: Elements in "Indonesia Bersatu" show Metro TV editorial team governed how the show "Indonesia Bersatu" was packaged and broadcast. The decision to choose Grand studio, Najwa as the host, observers to be present, duration, and format of the show are the elements that make up "Indonesia Bersatu" show. Each element in this show is the best option according to the editorial team of Metro TV Metro TV production team produced "Indonesia Bersatu" show with careful preparation and support of all sections. Starting from the preparation of location in Grand studio, “watching-along” locations in some areas, and the location of the 2009 presidential-vice presidential "Indonesia Bersatu" debate. Cameras and the crew were prepared in each location. Grand studio is a studio that was complete with lighting, the laying of the camera, stage, and audio recording. The broadcast from “watching-along” locations and the location of the debate was the result of Metro TV production team consisting of reporters, cameramen, and broadcasting crew. Commercials that appear were 36
based on the advertisers that paid and obtained slots in "Indonesia Bersatu" show. The General Elections Commission decided when the debate would be held and which TV stations to have the turn as the host. Metro TV as one of the national TV stations followed the rules set by the Commission so that Metro just relayed the debates aired live from different locations. Metro TV got the part as the host on the second round of the presidential candidates’ debate. SMS polls SMS polling conducted by Metro TV is part of the opportunity for viewers to be able to participate in “Indonesia Bersatu” show. It was the only independent poll and was a product of Metro TV itself without cooperating with any polling institutes in Indonesia. It was independent with costs and methods undertaken by Metro TV itself. Polls are useful method for collecting information about the public’s opinion, attitudes, and behavior in a variety of political contexts. Campaigns rely upon polls for intelligence as well as an assessment of the effectiveness of their strategy. Polls from an integral element of the research function of the campaign that also includes analyses of potential opponents and their records, historical voting patterns in the constituency, and assessment of advertising content and its effectiveness (Kaid and Bacha, 2006 : 621). Metro TV included poll in Indonesia Bersatu show to provide opportunities for people to participate in the show. Polling is also a benchmark to see the response from the public and the impact of "Indonesia Bersatu" show on voters. . 2). Show Format Show format is the authority of the editorial team to set it up, so it would form an atmosphere of peace in “Indonesia Bersatu” show. “Indonesia Bersatu” is a talk show with a formal, casual, entertaining, and peace discussion. A talk show discussion program consists of three or more people talking about a problem. In this program each character that is invited can talk about his opinions with the presenter (host) acting as a moderator (Wibowo, 2009: 82). Format is made differently on each show as details below: a). First Show It was a Format with 1 host and 3 campaign (Success) team’s spokespersons for each candidate. The Spokesman sat in the audience
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
seats in accordance with the candidate’s number. On the stage there were only a monitor and a presenter, Najwa Shihab. There were also participants from each candidate and 1 youth group representing the public. The youth representatives became independent participants who pass judgment on the results of presidential debate of 2009. During the presidential debate, Metro TV broadcast it live from Trans 7 studio in Jakarta. Metro TV put the crew to do a live broadcast. Its reporters also reported what happened at the debate. Metro TV also broadcast “watching together” programs held in some areas and consisted of candidate participants. b). Second Show The format of the second show was slightly different from the first show though still with Najwa Shihab as host. There were spokespersons of each of the candidates and political observers on the stage. The Spokesperson sat in the order of the candidate’s number represented. On the other side 2 observers sat on the stage. Audience seats were filled with participants supporting the vice presidential candidates. Polls already started on this show. At the time the vice presidential debate was broadcast live from the studio SCTV studio Senayan City, Jakarta; Metro TV puts the crew to do a live broadcast. Reporters were also ready to report what happened on location. Metro TV was also preparing “watching together” in some areas. Reporter would regularly report to the Grand studio over what happened in the area. “Watching together” in some areas also continued to be held and reported directly from the site. Sms polls were opened for public to participate directly in this event. C). Third show The format is different because Metro TV hosted the second round of the 2009 presidential debate. Grand studio was used for presidential debate 2009. Plaza Park at Metro TV becomes the location of “Indonesia Bersatu” pre -and post- debates. Najwa was the presenter of the pre and post- debate along with 3 campaign (success) team spokespersons and one observer .The debate show was broadcast live from studio Grand studio, Metro TV by deploying 3 presenters in the lobby and grand studio to report on the situation there . Participants of the candidates filled the Park Plaza highlighted by Democrazy team. “Watching together” in some areas were also reported directly from the site. Sms
polls opened for public to participate directly in this event. ). Fourth Show " Indonesia Bersatu " show was back to the stage with a format that included three campaign (success) teams spokespersons as well as two observers (commentator) , broadcast live from the Grand Studio with Najwa Shihab of Metro TV as presenter. Metro TV also held “Watching together” in three areas, namely: Pekanbaru, Surabaya, and Makassar. Each of these areas was reported by a reporter. Zakia Arfan in Pekanbaru, Intan Adiana in Surabaya, and Rachel Marembuna in Makassar. Grand studio Metro TV was visited by guests who participated in "Indonesia Bersatu" debate. Present at the event as panelists: Mrs. Siti Aminah a midwife and Mang Idin, an environmental activist. Sms polls were opened so the public can directly participate in this event. E). Fifth show The format was changed for Metro TV provided 2 separate studios. . In the Grand studio it was guided by Najwa Shihab with the candidates’ campaign team. There are 5 Academicians of the UI (University of Indonesia) who were in Metro TV studio with presenter Kania Sutisnawinata. Sms polls were opened so the public can directly participate in this event. 3). Duration “Indonesia Bersatu” shows were broadcast during prime time starting at 18:30 until 22:30 so that the duration of each show ranges from 3-4 hours. The time was adjusted to the time schedule set by the Commission namely at 19:00 to 21:00 so Metro TV can have pre and post debate shows in accordance with the schedule. The show contains a very important national issue, namely the Indonesian Presidential Election 2009, so the long duration is quite natural. The format of "Indonesia Bersatu" show requires about 3-4 hours. 4). Show participants /performers Many parties were involved in "Indonesia Bersatu" show such as: presenters, campaign teams spokespersons, observers, audience, independent groups, and community representatives. • The Presenter was also the Moderator who kept the “Indonesia Unite" show run smooth37
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
ly. Najwa Shihab was assigned to guide five Figure 2: “Indonesia Bersatu” shows Packaging "Indonesia Bersatu" shows as a single host at Grand Metro TV studio. Her job covers opening and guiding the show, asking questions, and closing the show. At the second round of the debate, there were three additional presenters assigned on presidential debate of 2009 locations. • A reporter is a person who covers a story then conveys it to others (Wibowo, 2009: 114). Metro TV reporters covered live reports from the site of “watching together” in some areas in accordance with the constituents regions or assignment from Metro TV. Reporters from the location of the 2009 Presidential election debate reported directly from the site of what was happening. On the spot and on the screen reporter is a reporter who is on the scene and appears on television to report what is happening there (Wibowo, 2009: 103) Observers who were present were invited by Metro TV and all with good track record, high credibility and neutral. Metro TV selected an observer after going through various processes to create a list of observers in accordance with their respected fields. Participants are invited by Metro TV. Those who took part in the 2009 presidential 38
election debate programs were independent groups and a team of Metro TV has done some research in advance on them The same thing goes for public figures who came to represent the people or a particular profession or community in Indonesia, they were all credible and independent. Campaign Teams of candidates were invited by Metro TV and those who were present were the choice of the teams’ not Metro TV. Metro TV gave full rights to campaign teams. There is a relationship between Metro TV and the teams but it was limited to professional relationship and complements each other in meeting the need for information. 5). Live Broadcast ( Live event ) "Indonesia Bersatu" is a live talk show, so it is different from other television programs which have to undergo a production process before being aired . A live broadcast takes foresight and a higher concentration because what is recorded at the moment is directly it aired. So the selection of the scene, angle, and zoom are the key to its success. The process of editing / selection occurs on the live broadcast that is to determine which parts to shoot and then where the camera
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
lead or move to other parts. A live broadcast requires a presenter who can master her audience like Najwa Shihab. As a presenter she must be able to organize and run the show as expected by Metro TV. She must also be able to control the course of events from start to finish according to the duration of time; commercial break, breaking news, and guide the discussion to keep it stay in context. Metro TV as mass media performs its functions, namely: informing, entertaining, being persuasive, and educating. The functions of the mass media are to be a source of information, a source of entertainment, and a persuasion forum (Vivian, 2008: 5-6). Dominick in Ardianto (2007: 14-17) states the functions of mass communication are as surveillance, interpretation, linkage, transmission of values and entertainment. Communication functions in general are expressed by Effendy in Ardianto (2007: 18-19), namely: information, education, and influence functions. Metro TV provided information for Indonesian people on president-vice presidential candidates in 2009 through “Indonesia Bersatu” show. It provided information that is also entertaining with varying formats. The message was conveyed in a very persuasive and instructive way to make viewers become rational voters instead of emotional ones. 6). Framing has been conducted by Metro TV in packaging "Indonesia Bersatu" show on 2009 election presidential-vice presidential candidates debate. Metro TV is a television station which declared itself as the elections channel or television. “Indonesia Bersatu” show was very important for Metro TV as it was the largest “party of democracy” in Indonesia, that is, the direct presidential election. Metro TV called on Indonesian people to be rational rather than emotional voters by airing "Indonesia Bersatu" talk show. Experimental study of Iyengar and Kinder (1983) in Liliweri (2011:202), suggests that reintroduces media can produce: a. Persuasion effect on beliefs, attitudes, and choices of the audience b. Placing issues of significant value in the public agenda, such issues which are prob lematic or small but underestimated pub lic. “Indonesia Bersatu “show persuades
the audience by giving a discussion about the president-vice presidential candidates who would be elected by the people. Metro TV placed the 2009 Presidential election as an important issue that needs to be conveyed to the public. Presidential-Vice presidential debate in 2009 became an important agenda for Metro TV to be aired to Indonesian people. Media frames : media makes something more prominent than the fact that makes the audience more accepting , for example by introducing the definition of a problem, interpret ting the cause of the problem, giving moral evaluation , and / or providing treatment recommendations ( Liliweri 2011:202 ) . Metro TV highlighted presidential-vice presidential debate in the 2009 election as the media frames. Through "Indonesia Bersatu " with long enough duration Metro TV presented presidential-vice presidential debate in the 2009 Presidential election by explaining the problem , the cause of the problem , moral evaluation , and treatment recommendation In Conception Entman, framing basically refers to (Eriyanto, 2002:185): Determining problems, diagnosing causes, making moral choices, and providing recommendations. Tabel 1 Framing in “Indonesia Bersatu” on Metro TV Define Problems
Presidential-vice presidential debate on Metro TV in the 2009 Presidential election Diagnose causes Whether the Presidential-vice presidential debate on Metro TV in the 2009 Presidential election is a real debate that can give reference to the people who want to choose their president and vice president. Make moral judge- The Presidential-vice ment presidential debate has not presented the real essence of a real debate. 39
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
Treatment reco- Metro TV gives the mendations opportunity to the viewers to judge who is the best according to them and it is the right of the viewers to give the Treatment Recommendation. Metro TV as the Election Chanel that focused on the democratic process in Indonesia namely, the legislative as well as and the presidential elections. The source of the problem is not the 2009 presidential-vice presidential candidates debate but how the candidate could convince the voters or prospective voters on July 8, 2009 Election. Metro TV stressed that the real assessment came from the voters who were still undecided. Metro TV on "Indonesia Bersatu" show emphasized that the problem was not only on the essence of the presidential-vice presidential debate but also on the debate format that should be changed to avoid monotony. The Presidential-Vice presidential debate format affects how candidates present their vision, mission and answer questions related to the country's problems. M a k i n g moral decisions that the vice - presidential debate still has not touched the surface of the essence because in each answer during the debate there was neither solution nor concrete step. This is due to the debate format specified by the Commission. Metro TV also invited independent groups and observers to comment on the presidential-vice presidential candidates’ answers and communication style. . Observers noticed that the vice president candidates could not explore the answer in terms of time and format of the Debate set by the Commission. Independent groups were given the opportunity to answer questions related to the presidential debate of 2009. "Indonesia Bersatu" show is a moral decision made by Metro TV by presenting dialog (talk show) from a variety of sources that provide input and information related to the debate. Discussions on this show consist of various parties such as: campaign team that explained and exposed deeper answers given by the candidates during the debate, observers/commentators who provided a neutral assessment of the candidates, independent 40
groups or communities in society who provided input and assessment of the debate. SMS poll was also a form of community participation in order to convey their aspirations or choice of presidential and vice presidential candidates in 2009. Metro TV gave the resolution emphasize that it is the public or viewers themselves who determine their own choice. "Indonesia Bersatu" show is packaged to help people obtain information that is clear, reliable and impartial, and to help people determine who is best to lead Indonesia. Recommendations are given by Metro TV by conveying information in the form of assessment by observers/commentators, the academics team from UI that conducted analysis on the debate as a whole. Entman in Coleman (2010:237) states that visual framing in the media also chooses aspects that describes suitable reality in communication with the text, to show the defining problem, causal interpretation, moral evaluation, treatment recommendation. In visual studies, framing leads to the selection of points of view, scene, and the angle during the making, cropping (cutting), editing or selection. Table .2. Visual Framing of "Indonesia Bersatu" Show on Metro TV Element Viewpoint
Scene
angle
Frame impressions The camera viewpoint leads throughout the studio when the host opens the show. n the Studio there are a stage for the presenter and a large monitor for the live broadcast debate. Audience seats are filled with participants, spokespersons for the success/campaign teams, undecided voters, and observers There are some cameras that take pictures as a whole, from the right and from the left sides.
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
Zoom
Whoever is speaking will be directly shot or zoomed by the camera so viewers can see him. The camera will also zoom the presenter while guiding the show, participants during yells, campaign team spokespersons when they answering questions, undecided voters when answering questions and the observers.
Editing & selection
The part which is considered important is when the presenter begins to ask a campaign team spokesperson so that the points can more deeply answered with the camera on the person who is speaking and of course also on the atmosphere in the Grand Studio Metro TV
"Indonesia Bersatu" is a television show that is audiovisual in nature so the framing is not only of text/sentences contained in the show but also of images/visuals. Pictures became an important component in this show for pictures give emphasis, highlight, and the affirmation of the problems that are being discussed at the "Indonesia Bersatu” discussion. Components of visual framing are the point of view, scene, angle, zoom, and editing The camera becomes the eye of Metro TV which directly provides information to viewers which in parts of the interpretations reinforce a point of view , scene , angle , zoom, and editing of the show " Indonesia Bersatu " . Point of view is a portion of the image taken by the camera when the show opened, during the discussion, and closing. The camera at the beginning of the show would lead throughout the studio that explains that this is a show that was attended by many parties, like the success teams, observers, participants, and presenters. The camera became an important tool that will lead and direct image recording for broadcast. Each scene must fit with the overall part
of “Indonesia Bersatu “show. The stage is the center or hub of activity in “Indonesia Bersatu” shows it is dominating the scene. Discussions and debate were carried out on the stage so that not only the scene but also the angle from all sides as well as zooming are on the host, spokespersons for the camping/success teams, and observers. Cameramen will take the best angle either from the right side, left side, top or bottom of each scene in the show. Zooming or enlarging the images is carried out when there is somebody speaking and it shows that this part of the show is important and deserves the attention of viewers. A live broadcast also goes through the process of editing / selection that is, choosing where the camera should point to capture precious moments. During discussions between each candidate’s campaign team spokesperson and an observer then the camera will immediately lead to the one who is speaking. Occasionally it will quickly move to the person who is answering or to the expressions of the audience on an answer. As in the pictures below:
Viewpoints and scene in “Show
“Indonesia Bersatu
41
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
Figure 3 : Framing of “Indonesia Bersatu” show on Metro TV
Based on the above discussion, a model of the construction of meaning l of “Indonesia Bersatu" show on Metro TV can be illustrated. The Construction of meaning of “Indonesia Bersatu “show originated from the formulation and planning of the show production by Metro TV Editorial Team. The Editorial team made "Indonesia Bersatu" show format starting from the type of the show which is a talk, the show duration which is between 3-4 hours, performers (presenters, reporters, success teams, observers, participants, community). Metro TV set all locations ranging from Grand studio, “watching together” in some areas, and the debate locations. Setting up crew: presenters, reporters, cameramen, the production section and others. Metro TV gives prominence and emphasis on 2009 election presidential-vice presidential debate program as a very important activity. The debate held by the Commission has not yet reached the essence of a real debate so it is difficult for the public to assess which candidate is electable. Metro TV opened a discussion forum related to the content of the debate more freely by inviting success teams, analysts, and the public in general. Sms polls were opened to give viewers the opportunity to participate directly in this show. Metro TV recommendation is that through this discussion people can choose which candidate is the best. People have become rational voters with the information 42
provided by Metro TV which is persuasive, entertaining, educating, and neutral. The construction process of mass media through the following steps (Bungin, 2000:194-200): First, the preparation of construction materials. This stage is the task of the mass media editors to be distributed to the mass media workers. Metro TV Editorial team interpreted presidential-vice presidential debate in 2009 as a national public event that is critical to the continuity of the political system and democracy in Indonesia. Second, the construction distribution phase, this is done through mass media strategies in conveying information which in principle is in real time. Metro TV packaged the presidentialvice presidential debate 2009 to become “Indonesia Bersatu “show with various attributes. Third, the establishment of construction of reality. Metro TV established itself as a mass media which gives a reference to the public in choosing presidential-vice presidential candidate rationally. Finally, the confirmation, is the stage when the mass media and the audience give arguments and accountability for the choice to be involved in the formation stages of construction. Mass media has the ability in the construction of reality based on the subjectivity of the media, yet the presence of mass media in one's life is a source of knowledge to be accessed indefinitely. Social construction of Metro TV is conducted through 3 stages namely, externalization, the first and second stages. Metro TV packaged “Indonesia Bersatu” show. Objectification that is Metro TV turned the presidential-vice presidential debate 2009 into “Indonesia Bersatu” show. The last is internalization, how Metro TV viewers receive the show and influence their behavior. 5.1. Conclusion Based on the results of the research that has been presented, it can be concluded as follows : "Indonesia Bersatu" show which is a formal and serious talk show has become a show with more relaxed nuance so is not too tense to watch. So the public can watch with a clearer mind. The meaning construction on “Indonesia Bersatu” show on Metro TV seeks to
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
provide an understanding to the people of Indonesia, especially Metro TV viewers to become rational instead of emotional voters through discussions on the presidential-vice presidential candidates debate in 2009 Presidential election. Frame: presidential-vice presidential debate 2009 iss a political event, an Indonesian “party of democracy” . The construction process of mass media through the following steps: First , the preparation of construction materials. This stage is the task of the mass media editors to be distributed to the mass media workers. Metro TV Editorial team interpreted presidential-vice presidential debate in 2009 as a national public event that is critical to the continuity of the political system and democracy in Indonesia. Second , the construction distribution phase , this is done through mass media strategies in conveying information which in principle is in real time. Metro TV packaged the presidentialvice presidential debate 2009 to become “Indonesia Bersatu” show with various attributes . Third , the establishment of construction of reality. Metro TV established itself as a mass media which gives a reference to the public in choosing presidential-vice presidential candidate rationally. Finally, the confirmation, is the stage when the mass media and the audience give arguments and accountability for the choice to be involved in the formation stages of construction •Mass media has the ability in the construction of reality based on the subjectivity of the media, yet the presence of mass media in one's life is a source of knowledge to be accessed indefinitely . Social construction of Metro TV is conducted through 3 stages namely, externalization, the first and second stages. Metro TV packaged “Indonesia Bersatu” show . Objectification that is Metro TV turned the presidential-vice presidential debate 2009 into “Indonesia Bersatu” show. The last is internalization, how Metro TV viewers receive the show and influence their behavior . REFERENCES Alfian, Alfan. Political Communication and Political Systems Indonesia. Jakarta: PT. Scholastic Press, 2009 Arifin, Anwar. Political communication: Paradigm-Theory-Application-Communication Strategy and Politics in Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka .2003. Ardinal. Political Communication. Jakarta: PT. Index 2009 Baran, Stanley J., Introduction to Mass Communication, Media Literacy and Culture, New York: McGraw-Hill, 2004. Berger, Arthur Asa. Signs in Contemporary Culture (translation). Yogyakarta: Tiara Discourse. In 2000. ____________. Media Analysis Techniques. Beverly Hills: Sage Publication. 1982. Berger, Peter L and Luckman, Thomas. The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Anchors Book. , 1967. Bungin, M. Burhan. Construction of Social Media: The Power of Influence of Mass Media, Television advertising, and consumer decisions as well as criticism of Peter L Berger and Thomas Luckman. Jakarta: Kencana. , 2008. Cangara, Hafied. Political Communications: Concepts, Theory, and Strategy. Jakarta: Rajawali Press. , 2009. Comer, John and Pels, Dick (ed). Media and restyling of Politics. London: Sage Publications. , 2003. Creswell, John w. Research Design (Translation) Chryshnanda, DL & Bambang Hastobroto. Jakarta: KIK press. , 2002. Danial, Akhmad. Political TV Ad: Modernization of Political Campaign Post-New Order. Yogyakarta: LKiS.2009. Denzin, Norman K and Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research, First Edition. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. , 1994. Eriyanto. Construction Framing Analysis, Ideology, and Politics Media. Yogyakarta: LKIS. , 2002. Firmanza. Political Marketing. Jakarta: Indonesian Torch Foundation. 2007. Hall, Stuart. Culture, Media and Languange. London: Routledge. , 1992. Louw, Eric P. The Media and Political Process. London: Sage Publications. , 2005. McNair, Brian. An Introduction to Political Communication. London, Routledge. , 2003. Mulyana, Deddy. Qualitative Research Methodology New Paradigm of Communication Sciences and Other Social Sciences. Bandung: PT. Teens Rosdakarya. , 2003. Pawito. Mass Media and Election Campaigns. Yogyakarta: Jalasutra. , 2009. Perloff, Richard M. Political Communication: Politics, Press. and Public in America. New Jersey: Lawrence Erlbaum associates, Inc.. , 43
“The Construction of Meaning in “Indonesia Bersatu” Show on Presidential-Vice Presidential Candidates Debate in 2009 Election on Metro TV”
NOVITA DAMAYANTI
1998. . Sobur, Alex. Media Text Analysis An Introduction to Discourse Analysis, Semiotics Analysis and Framing Analysis. Bandung: PT. Teens Rosdakarya. , 2001. Suardi, Harsono, Sedjaja, Sasa Djuarsa and Setio Budi. Political Democracy and Communication Management. Yogyakarta: Galang Press. , 2002. Vivian, John, Theory of Mass Communication, New York: Kencana 2008 Wibowo, Fred. Television Program Production Engineering. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. , 2009.
44
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014
ISSN: 1979-1232
Perspektif & Masalah Komunikasi Partai NasDem sebagai Partai Politik Baru di Indonesia Inco Harry Perdana dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Jl. Boulevard, Gading Serpong Tangerang-Banten Telepon (021) 5422 0808/3703 9777 e-mail: inco@umn.ac.id
Abstrak General Election 2014 which will come bring new parties competing to win votes. One of the new political parties are Nasdem Party. As a political party, Nasdem Party can not be separated from the process of communication, both internally and externally. Effective form of communication that is needed by Nasdem Party to be able to realize their goal of winning legislative elections in 2014. Through this paper will discuss the perspective of communication made by Nasdem Party, also about the communication problems, communication in organizations, public communication and intercultural communication contained in Nasdem Party. The discussion will be based on theories of communication that exist and in accordance with such problems Keywords: partai politik, komunikasi, groupthink, informasi organisasi, retorika face-negotiation PENDAHULUAN Geliat politik menuju Pemilu 2014 sudah mulai terasa. Majalah Tempo, edisi 9 – 15 Mei 2011 pada halaman 38 menyebutkan bahwa telah terdaftar empat partai baru pada Kemenkumham yaitu Partai Persatuan Nasional (PPN), Partai NasDem, Partai Nasional Republik (Nasrep) dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia. Empat partai baru tersebut akan menambah serunya persaingan partai politik yang telah ada selama ini. Reformasi membawa tiga perubahan mendasar dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. Pertama; kembalinya sistem multi-partai seperti tahun 1955 dari sebelumnya hanya tripartai di masa Orde Baru. Kedua; mulai tahun 2004 dilakukan dua kali yaitu untuk memilih wakil-wakil rakyat melalui Pemilu Legislatif dan selanjutnya Pemilu Presiden secara langsung. Ketiga; sesuai dengan PP No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Ke-
pala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) maka dilangsungkanlah Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU No.32 tahun 2004. Pada 1 Februari 2010 lalu, organisasi masyarakat Nasional Demokrat telah dideklarasikan dan manifesto pun dikumandangkan. Salah satu isi manifesto ialah menolak demokrasi yang hanya menghasilkan rutinitas sirkulasi kekuasaan tanpa kehadiran pemimpin yang berkualitas dan layak diteladani. Didukung oleh 45 tokoh nasional yang terdiri tokoh masyarakat, politisi, akademisi, birokrat, budayawan, wartawan dan pengamat politik. Dalam satu tahun kelahirannya ormas Nasional Demokrat telah berkembang dan mengklaim telah mengeluarkan satu juta kartu anggota. Mengusung tema Restorasi Indonesia, Nasional Demokrat berusaha mencapai restorasi negara – bangsa, restorasi kehidupan rakyat dan restorasi kebijakan internasional.
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
45
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014 April 2011 – Patrice Rio Capella – yang menjabat sebagai Wakil Sekjen Kaderisasi Ormas Nasional Demokrat mendirikan Partai NasDem bersama dengan Ahmad Rofiq – Wakil Sekjen Pemberdayaan & Pelayanan Masyarakat Ormas Nasional Demokrat. Partai politik yang mengklaim diri sebagai sayap politik Ormas Nasional Demokrat ini akan berlaga pada Pemilu Legislatif 2014. Partai ini berusaha membawa tema Restorasi Indonesia menjadi menjadi sebuah kebijakan politik yang ditawarkannya. Dengan aturan yang lebih ketat pada revisi Undang-Undang Partai Politik No.2 Tahun 2008, maka diperkirakan akan ssemakin sulit munculnya partai politik baru pada Pemilu Legislatif 2014. Partai NasDem dengan kemudahan jaringan ormasnya menyebutkan bahwa pendirian partai politik tersebut juga menjadi jawaban atas tantangan partai-partai politik yang merevisi Undang-Undang tersebut di parlemen. Partai NasDem juga akan menjawab tantangan dan keragu-raguan dari sebagian besar publik dan pengamat akan eksistensi sebuah partai politik baru. Sebagai partai baru, untuk dapat mewujudkan tujuannya tentulah Partai NasDem harus mempunya sebuah bentuk komunikasi yang efektif – baik internal maupun eksternal. Secara internal, Partai NasDem harus bisa menggunakan bentuk-bentuk komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi sedangkan untuk eksternal menggunakan bentuk-bentuk komunikasi publik dan komunikasi antarbudaya. Perspektif komunikasi yang tepat dan efektif sangatlah dibutuhkan untuk partai yang masih baru seperti Partai NasDem ini. Jangan sampai, bentuk komunikasi yang tidak tepat (baik internal maupun eksternal) akan membuat partai ini hanya berumur pendek dan partai penggembira pada Pemilu Legislatif 2014 yang akan datang. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas seputar permasalahan komunikasi kelompok, komunikasi dalam organisasi, komunikasi publik dan komunikasi antarbudaya yang terdapat dalam Partai NasDem. Pembahasan tersebut akan didasarkan atas teori-teori komunikasi yang ada dan sesuai dengan permasalah tersebut. PERSPEKTIF KOMUNIKASI PARTAI NASDEM 46
Menurut West dan Turner (2007:49)
ISSN: 1979-1232
yang dimaksud dengan teori (theory) adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Dalam tulisan ini, teori-teori yang digunakan teori dalam arti menengah (mid-range theory) di mana teori menjelaskan perilaku dari sekelompok orang dan bukannya semua orang. Dalam tulisan ini akan digunakan empat macam teori yang masing-masing akan menjelaskan tentang komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi publik dan komunikasi antarbudaya. Adapun teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah: 1.Groupthink untuk komunikasi ke lompok. 2.Teori Informasi Organisasi untuk ko munikasi organisasi. 3.Retorika untuk komunikasi publik. 4.Teori Face-negotiation untuk. komu nikasi antar budaya. Sebagai organisasi baru, tentulah Partai NasDem menemui berbagai macam aspek komunikasi dalam organisasi. Teori-teori tersebut akan membahas bagaimana aspekaspek komunikasi dan permasalahannya dalam Partai NasDem sesuai dengan bentuk komunikasi kelompok, komunikasi kelompok, komunikasi publik dan komunikasi antarbudaya. KOMUNIKASI KELOMPOK PARTAI NASDEM Groupthink; Teori ini dicetuskan oleh Irving Janis, di mana anggota-anggota kelompok seringkali terlibat di dalam gaya pertimbangan di mana pencarian konsensus (kebutuhan akan semua orang untuk sepakat) lebih berat dibandingkan akal sehat (West dan Turner, 2007:274). Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh dalam kelompok yang irrasional tapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi keputusan kelompok. Groupthink mempengaruhi kelompok dengan melakukan aksi-aksi yang tidak masuk akal dan tidak mempedulikan pendapat-pendapat yang bertentangan di luar kelompok. Groupthink terjadi manakala ada semacam konvergenitas pikiran, rasa, visi dan nilai-nilai di dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok; dan orang-orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak se-
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014 bagai individu, tetapi sebagai representasi dari kelompoknya. Apa yang dipikirkan, dirasa dan dilakukan adalah kesepakatan satu kelompok. Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara groupthink itu yang berlawan an dengan hati nurani anggotanya maupun orang lain di luarnya. Namun mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua anggota kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama. Kelahiran Partai NasDem tidak bisa dipisahkan dari pembentukan Organisasi Masyarakat Nasional Demokrat. Nama Partai NasDem bukanlah kepanjangan dari kata Nasional Demokrat. Partai NasDem digagas oleh orang-orang muda yang ada di Ormas Nasional Demokrat antara lain Rio Capella, Ahmad Rofiq dan Sugeng Suparwoto. Dalam Ormas Nasional Demokrat, Rio Capella tercatat sebagai Wakil Sekjen Kaderisasi, Ahmad Rofiq sebagai Wakil Sekjen Pemberdayaan & Pelayanan Masyarakat dan Sugeng Suparwoto sebagai Wakil Sekjen Pemberdayaan & Pelayanan Masyarakat. Jadi perlu dicatat bahwa Partai NasDem didirikan oleh para pengurus Ormas Nasional Demokrat. Namun demikian, partai ini bukanlah bentukan dari ormas, melainkan inisiatif dari para anggotanya saja. Oleh karena itu, tidak semua orang di ormas tahu bahwa akan didirikan partai. Maka timbul pertentangan dan pro kontra akan pendirian partai politik tersebut. Pertentangan terjadi tidak hanya di pusat namun juga di tingkat provinsi. Bahkan di beberapa media, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang merupakan Ketua Dewan Pertimbangan Ormas Nasional Demokrat mengatakan bahwa beliau tidak diberitahu masalah pembentukan Partai NasDem. Alasan dari Rio Capella mendirikan Partai NasDem adalah bahwa ia menganggap harus membawa gagasan dari Ormas Nasional Demokrat yaitu Restorasi Indonesia ke dalam kancah politik praktis dan level pembuat kebijakan. Hal itu tidak bisa dilakukan oleh ormas karena gagasan yang dibawakan oleh ormas masih sebatas konsep ideal namun sulit untuk diimplementasikan. Pendirian partai politik merupakan kesempatan untuk mendapatkan tiket mengikuti Pemilu Legislatif 2014. Sebagai organisasi masyarakat, Nasional Demokrat tidak dapat masuk ke dalam kancah politik praktis. Dalam sisi komunikasi kelompok,
ISSN: 1979-1232
penulis melihat bahwa keputusan membuat partai politik dari sekelompok pengurus Ormas Nasional Demokrat merupakan sebuah groupthink. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, teori ini dicetuskan oleh Irving Janis, di mana anggota-anggota kelompok seringkali terlibat di dalam gaya pertimbangan di mana pencarian konsensus (kebutuhan akan semua orang untuk sepakat) lebih berat dibandingkan akal sehat. Dapat dilihat dari kelompok kecil pengurus Ormas Nasional Demokrat ini tidak menghiraukan pro-kontra yang terjadi akan pendirian partai ini. Rio Capella dan Ahmad Rofiq kemudian malah mengajak rekan-rekan ormas di provinsi untuk mendukung gagasan mereka ini. Penulis melihat bahwa sebenarnya ada pengurus dari ormas ataupun pihak lain yang tidak setuju dengan pendirian Partai NasDem. Namun dikarenakan telah terjadi semacam konvergenitas pikiran, rasa, visi dan nilainilai di dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok; dan orang-orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai individu, tetapi sebagai representasi dari kelompoknya. Ada nilai dan kepercayaan bersama bahwa ormas tidak akan mampu mengimplementasikan gagasan Restorasi Indonesia yang mereka perjuangkan bersama, dan partai politik adalah jawabannya. Kelompok pendiri Partai NasDem ini sepertinya tidak melihat berbagai macam permasalahan yang akan datang pada sebuah partai politik baru. Begitu banyak partai politik muncul pada era reformasi, namun hanya sedikit yang mampu bertahan dan menjadi besar. Sebagian besar hanyalah menjadi partai gurem dan menjadi penggembira pemilihan umum. Gagasan dari Ormas Nasional Demokrat tentang Restorasi Indonesia yang telah diterima oleh banyak masyarakat di Indonesia malah mungkin akan ditolak jika kemudian masuk ke dalam unsur politik dan kekuasaan. Masyarakat sudah banyak dibohongi oleh partai-partai politik sebelumnya dan timbul ketidakpercayaan terhadap niat baik dari partai politik terhadap kepentingan bangsa dan negara. Masyarakat melihat selama ini partai politik hanyalah memperjuangkan kepentingan sekelompok orang saja. Janis (dalam West dan Turner, 2007) mengatakan bahwa bagaimana sebuah kelompok dapat belajar untuk menghindari groupthink haruslah (1) melihat sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok, (2) menyusun dan mengkaji ulang rencana-rencana tinda-
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
47
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014 kan yang akan diambil serta alternatif-alternatif yang ada, (3) mempelajari konsekuensi dari tiap alternatif, (4) menganalisa rencana tindakan yang pernah ditolak ketika sebuah informasi baru muncul, dan (5) memiliki rencana kontigensi untuk saran-saran yang gagal.
KOMUNIKASI ORGANISASI PARTAI NASDEM Teori Informasi Organisasi (Organizational Information Theory); Teori ini dikembangkan oleh Karl Weick berdasarkan sebuah penelitian yang kemudian menjelaskan satu cara bagaimana organisasi membuat informasi yang membingungkan atau ambigu menjadi masuk akal. Teori ini berfokus pada proses pengorganisasian anggota organisasi untuk mengelola informasi daripada berfokus pada struktur organisasi itu sendiri (West dan Turner, 2007:339). Weick menyebutkan bahwa sebuah organisasi menerima informasi yang sangat besar jumlahnya sehingga menimbulkan banyak interpretasi. Informasi pun bersifat ambigu. Oleh karena hal itulah diperlukan proses untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut yang terjadi dalam tahapan-tahapan berikut ini: enactment, seleksi dan retensi. Pada tahapan enactment, informasi akan diterima dan diinterpretasikan oleh organisasi. Setelah informasi tersebut diinterpretasikan, maka organisasi memilih metode terbaik untuk mendapatkan informasi tambahan dalam mengurangi ketidakjelasan. Tahapan ini disebut dengan seleksi (selection). Terakhir adalah organisasi menganalisa efektivitas dari aturan dan siklus komunikasi serta terlibat dalam retensi (retention) di mana dalam tahapan ini organisasi menyimpan informasi untuk digunakan kemudian. Komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan diantara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi seperti perusahaan, terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan–hubungan hirarkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan. Partai NasDem tidak bisa dipisahkan dengan Ormas Nasional Demokrat, bahkan Rio Capella sebagai Ketua Umum partai mengatakan bahwa Partai NasDem meru48
ISSN: 1979-1232
pakan sayap politik dari Ormas Nasional Demokrat. Dalam dunia politik sendiri unsur kesimpangsiuran informasi sangatlah tinggi. Informasi tersebut bisa berasal dari luar, bisa juga berasal dari dalam organisasi itu sendiri. Ketika sekelompok pengurus Ormas Nasional Demokrat mendapatkan informasi bahwa revisi Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah disahkan maka terjadilah ketidakpastian, apakah Ormas Nasional Demokrat akan berubah menjadi partai politik atau tidak. Konsekuensinya adalah banyak pengurus di tingkat provinsi bertanya-tanya karena sumber informasi berkumpul di pusat. Media massa pun seringkali menambah keruhnya informasi dengan isu-isu yang belum tentu benar dan tidak akurat. Rio Capella mengatakan bahwa awalnya tidak ada niatan untuk mendirikan Partai Politik NasDem. Namun pada bulan Desember 2010 keluarlah revisi dari UndangUndang No.2 tahun 2008 tentang partai politik yang menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik untuk dapat mengikuti Pemilu Legislatif 201 adalah 22 Agustus 2011. Revisi Undang-Undang tersebut juga membuat persyaratan partai politik untuk dapat mengikuti Pemilu Legislatif 2014 menjadi semakin berat. Partai politik harus mempunyai kepengurusan di semua provinsi, 75% di kabupaten/kota dan 50% di tingkat kecamatan. Padahal sebelumnya Undang-Undang hanya mengharuskan di 75% provinsi, 50% kabupaten/kota dan 25% kecamatan. Dalam Teori Informasi Organisasi yang dikembangkan oleh Karl Weick berdasarkan sebuah penelitian yang kemudian menjelaskan satu cara bagaimana organisasi membuat informasi yang membingungkan atau ambigu menjadi masuk akal. Teori ini berfokus pada proses pengorganisasian anggota organisasi untuk mengelola informasi daripada berfokus pada struktur organisasi itu sendiri (West dan Turner, 2007:339). Weick menyebutkan bahwa sebuah organisasi menerima informasi yang sangat besar jumlahnya sehingga menimbulkan banyak interpretasi. Informasi pun bersifat ambigu. Oleh karena hal itulah diperlukan proses untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut yang terjadi dalam tahapan-tahapan: enactment, seleksi dan retensi. Dalam hal ini, Partai NasDem kemudian didirikan untuk menghindari isu-isu negatif berkembang. Dalam tahapan enactment semua informasi diterima kemudian
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014 diinterpretasikan bahwa Ormas Nasional Demokrat sering disebutkan akan berubah menjadi partai politik. Pada tahapan seleksi (selection), organisasi mengambil metode bahwa bentuk dan fungsi partai politik dan organisasi masyarakat itu adalah dua hal yang berbeda walaupun mempunyai tujuan yang sama. Oleh karena itulah Partai NasDem didirikan sebagai sayap politik dari Ormas Nasional Demokrat. Dengan pemisahan ini, tersaringlah informasi mana yang ormas dan mana yang partai politik. Dengan demikian di tahapan selanjutnya yaitu retensi (retention) maka segala bentuk informasi di antara ormas dan parpol dipisahkan. Jika memang sebuah informasi berisikan tentang hal-hal politik maka Partai NasDem-lah yang berfungsi untuk mengolah informasi tersebut dan bukannya Ormas Nasional Demokrat. Dengan pemanfaatan teori informasi organisasi ini maka diharapkan bahwa pengurus-pengurus ormas di daerah menjadi jelas dan tidak bingung lagi. Jika memang mereka tertarik tentang politik praktis, maka Partai NasDem-lah tempatnya dan jika tidak mereka bisa tetap berada di Ormas Nasional Demokrat tanpa harus dikait-kaitkan dengan kegiatan Partai NasDem. KOMUNIKASI PUBLIK PARTAI NASDEM Retorika (rhetoric); Rethoric merupakan salah satu karya besar Aristoteles, hal tersebut didapati dari banyaknya studi yang terkait dengan psikologi khalayak. Aristoteles kemudian membuat retorika menjadi sebuah ilmu; dengan cara yang sistematis ia meneliti tentang dampak dari seorang pembicara, orasi, serta audiens. Sembari menurutnya orator merupakan orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni – jadi orasi atau retorika adalah sebuah seni berorasi. Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai bentuk komunikasi persuasif, meskipun sebenarnya ia tak menyebutkan hal ini secara tegas, namun ia menekankan bahwa retorika adalah bentuk komunikasi yang sangat menghindari metode kohersif. Kualitas persuasi dari sebuah retorika bergantung pada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator dapat terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat di-
ISSN: 1979-1232
rasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan dan diterima oleh khalayaknya (Griffin, 2009:280). Sebagai partai politik baru, Partai NasDem haruslah memperkenalkan gagasangagasan politiknya kepada publik. Gagasan tersebut tidak hanya diperkenalkan kepada pihak luar namun juga kepada para anggota Ormas Nasional Demokrat. Dalam sebuah wawancara, Rio Capella mengatakan bahwa target Partai NasDem di Pemilu Legislatif 2014 adalah memenangkan pemilu. Target yang menurut penulis sangatlah berat untuk sebuah partai politik baru. Dari contoh, Partai Demokrat pada keikutsertaan pertamanya pada Pemilu Legislatif 2004 hanya mencapai posisi ke-5. Menurut penulis, salah satu cara yang harus digunakan Partai NasDem untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada publik adalah melalui retorika. Retorika sendiri diperkenalkan oleh Aristoteles yang adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai bentuk komunikasi persuasif dan menekankan bahwa retorika adalah bentuk komunikasi yang sangat menghindari metode kohersif. Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Yang pertama adalah courtroom speaking – yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi di persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric. Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator dan para pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu, debat di dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Yang ketiga adalah ceremonial speaking, kegiatan retorika ini berupaya untuk mendapatkan sanjungan dan (atau) menyalahkan pihak lain sehingga pembicara akan mendapatkan perhatian dari khalayak. Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari sebuah retorika bergantung pada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator dapat terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pem-
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
49
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014 buktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan dan diterima oleh khalayaknya. Partai NasDem haruslah menggunakan retorika dalam penyampaian pesan-pesan politiknya agar publik tahu bahwa pesan politik tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu perubahan Indonesia melalui Restorasi Indonesia. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan oleh Partai NasDem adalah orang yang menyampaikan retorika tersebut. Orang ini juga harus dikenal publik dengan akuntabilitas etikanya serta kemampuan emosional yang baik. Retorika dapat dilakukan pada masamasa perkenalan internal anggota Ormas Nasional Demokrat dan kemudian ditingkatkan pada saat masuk masa kampanye pemilu. Jangan sampai, pesan politik yang menarik akan diabaikan atau ditolak oleh publik karena yang menyampaikannya salah orang. Pembuktian etis (ethical proof) berpulang kepada kredibilitas dari seorang orator. Retorika yang baik tidak hanya berfokus dan mengandalkan kata-kata yang baik, lebih dari itu bahwa seorang orator juga harus ‘nampak’ memiliki kredibilitas. Sebab kerap kali khalayak sudah cukup terpesona kepada pribadi seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi; sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut. Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan perihal yang terkait dengan tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PARTAI NASDEM Face-Negotiation Theory; Teori ini membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya dalam merespons konflik. Stella Ting-Toomey (dalam Griffin, 2009:400) berasumsi bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan face. Face adalah istilah kiasan untuk public selfimage, yaitu bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Sedangkan facework berhubungan dengan pesan-pesan verbal dan nonverbal spesifik yang membantu memelihara dan memulihkan face loss (kehilangan muka) dan untuk menegakkan dan serta menghormati face gain. Teori ini menyatakan bahwa facework dari budaya individualistik sangat berbeda dengan facework budaya kolektivistik. Artinya, jika facework-nya ber50
ISSN: 1979-1232
beda, maka cara menangani konfliknya juga berbeda. Digagas sebagai organisasi masyarakat yang majemuk Indonesia dengan menggalang seluruh warga negara dari berbagai macam lapisan dan golongan, maka tentulah terjadi bentuk komunikasi antarbudaya dalam Ormas Nasional Demokrat yang juga terjadi dalam Partai NasDem. Tidak seperti PAN atau PKB yang menjadi sayap politik dari Ormas Muhammadiyah dan NU, maka Partai NasDem juga didasari oleh Ormas Nasional Demokrat yang merupakan kapal induk atau melting point dari segala bentuk lapisan masyarakat di Indonesia. Sedangkan PAN & PKB harus diakui sebagai sayap politik dari ormas yang sekterian dan tidak terdiri dari berbagai macam golongan. Samovar, Porter dan McDaniel (2010:24) menyebutkan bahwa elemen dari budaya adalah sejarah, agama, nilai, organisasi sosial dan bahasa. Dalam aspek komunikasi antarbudaya yang terjadi pada Partai NasDem maka akan dipakai Face-Negotiation Theory; yang membantu menjelaskan perbedaanperbedaan budaya dalam merespons konflik. Teori ini menyatakan bahwa facework dari budaya individualistik sangat berbeda dengan facework budaya kolektivistik. Artinya, jika facework-nya berbeda, maka cara menangani konfliknya juga berbeda. Teori ini berdasar pada pembedaan antara collectivism dan individualism. Menurut Harry Triandis (dalam Samovar, dkk, 2010:27), perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari cara mendefinisikan tiga istilah, yaitu self (diri), goals (tujuan) dan duty (tugas). Menurut Triandis, orang yang kolektivis mendefinisikan self-nya sebagai anggota dari kelompok-kelompok tertentu, dia tidak akan melawan tujuan kelompok, serta melaksanakan tugas yang berorientasi pada lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Orang-orang kolektivis biasanya menilai orang baru berdasarkan asal kelompoknya. Bukan berarti mereka tidak peduli pada tamu mereka, tetapi hal ini semata-mata karena mereka menganggap keunikan individual tidak lebih penting daripada group-based information. Sedangkan orang yang individualis akan mendefinisikan self-nya sebagai seseorang yang independent dari segala kelompok afiliasi, tujuannya adalah memenuhi kepentingan pribadinya, dan melakukan segala tugas yang menurutnya menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri. Selain itu,
JURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014 orang yang individualistis tertarik mengenal seseorang karena keunikannya dan kepribadiannya. Teori dan pendekatan di atas dapat digunakan pada Partai NasDem yang merupakan partai majemuk yang sangat rawan dengan konflik. Misalkan untuk melihat kasus orang-orang dari Ormas Nasional Demokrat yang tidak setuju dengan berdirinya partai maka dapat digunakan pendekatan kolektivis atau individualis tergantung kasusnya. Jika orang yang tidak setuju tersebut berasal dari kalangan partai politik lain, maka pendekatan kolektivis-lah yang dapat digunakan. Dalam pendekatan ini, maka Partai NasDem harus mampu mengkomunikasikan dan membuktikan bahwa Partai NasDem lebih baik dari partai politik lain. Harus dikomunikasikan dengan jelas bahwa nilai-nilai dan gagasan dari Partai NasDem adalah juga merupakan perpanjangan dari Ormas Nasional Demokrat yang telah mereka setujui. Namun jika orang yang tidak setuju dari Partai NasDem misalkan berasal dari golongan non-partisan atau akademisi maka digunakanlah pendekatan individualis di mana Partai NasDem harus mampu mengkomunikasikan bahwa gagasan politik partai bertujuan untuk pencapaian kebutuhan pribadi orang tersebut.
ISSN: 1979-1232 punyai format-format yang baku. Tentulah dalam prakteknya akan berkembang di sanasini sesuai dengan kebutuhan. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran tentang hubungan antara permasalah-permasalahan praktis dalam komunikasi organisasi Partai NasDem dengan teori-teori komunikasi yang telah ada selama ini.
DAFTAR PUSTAKA Griffin, Em. (2007). A First Look at Communication Theory, 7th Edition. New York: McGraw-Hill. Robbins, Stephen P. (2003). Organizational Behavior, 10th Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Ruben, Brent D., and Lea P. Stewart. (2006). Communication and Human Behavior, 5th Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Samovar, Larry A., Richard E. Porter., and Edwin R. McDaniel. (2010). Communication Between Cultures. Boston: Wadsworth. West, Richard., and Lynn H. Turner. (2008). Introducing Communication Theory: Analysis and Application, 3rd Edition. New York: McGraw-Hill. Wawancara dengan Rio Capella, Ketua Umum Partai NasDem. 23 Mei 2011. Pastis Kitchen, Aston Hotel. Jakarta.
PENUTUP Proses komunikasi dapat berlangsung dalam berbagai macam tingkatan dan model. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa Partai NasDem sebagai partai politik baru mempunyai banyak masalah komunikasi. Untuk dapat mencapai tujuan dari Partai NasDem pada Pemilu Legislatif 2014 yaitu memenangkan pemilu, maka segala hambatan dan masalah komunikasi tersebut haruslah diselesaikan. Tantangan bukan hanya terjadi dari pihak luar, namun juga terjadi dari dalam organisasi. Sebagai suatu organisasi yang baru, tentulah Partai NasDem masih terus mencari bentuk-bentuk yang ideal untuk organisasinya. Dalam hal itulah sesungguhnya perlu diujicobakan teori-teori komunikasi yang telah berlaku guna menyelesaikan atau meminimalkan masalah-masalah tersebut. Ilmu praktis tidaklah harus selalu harus sejalan dengan kajian-kajian teori, namun alangkah baiknya jika sebuah ilmu praktis dilandaskan pada teori-teori sehingga memJURNAL ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
51
Jurnal UltimaComm Vol.5 No.1/Mei-Juli 2014
ISSN :1979-1232
Penjahat Proletar Ala Bajuri
(Realisme dalam komedi situasi Bajaj Bajuri edisi “jalani lebaran dalam tahanan”) Djati Prasetyani Hadi dosen Akindo YPK tinggal di Yogjakarta djatiprasetyani@yahoo.co.id
Abstract: Kemahadasyatan media massa, salah satunya terletak pada kemampuannya mengkonstruksi wacana mengenai realitas atau lebih tepatnya kebenaran umum. Dalam kajian kritis, kemampuan media massa dalam mewacanakan realitas atau kebenaran umum tersebut justru seringkali dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan suatu bentuk penjajahan baru yang relatif terselubung: imperialisme budaya melalui media, yang tidak lagi dikaitkan dengan penguasaan fisik melainkan pada konstruksi mental framed. Suatu strategi imperialisme yang dilakukan pararel dengan alih-alih pendidikan akan spirit pembebasan dan kesederajatan dalam kemasan citra modern. PENDAHULUAN Social codes atau disebut sebagai ‘Realitas’ terdiri dari appearance, dress, makeup, environment, Representasi kita mengenai realitas atau ‘world’ selalu ‘bergantung’ dalam arti dikonstruksi oleh kelompok sosial tertentu yang berhasil memenangkan kompetisi wacana dalam suatu perjuangan klas. Kemenangan kelompok sosial tersebut atas kelompok-kelompok sosial lainnya, dari suatu geopolitik tertentu, dikarenakan kelompok sosial pemenang mampu mengorganisasikan persetujuan kolektif yang sangat mungkin dicapai dengan memaksimalkan penggunaan elemen-elemen diskursif untuk difungsikan sebagai ‘pembatas’ pemahaman mengenai realitas atau ‘world’, sehingga pemahaman tersebut hadir tanpa memberi kesempatan pada kita untuk mempertanyakannya. Realitas diterima sebagai sesuatu yang taken-for-granted atau commonsense. Realitas yang demikian tentu saja bersifat ideologis, dengan salah satu ciri utamanya adalah bahwa teks menjadi terpisah dari historisnya. Realitas atau ‘world’ menjadi sesuatu yang fluid dan dinamis, sangat tergantung pada perubahan relasi kuasa antar kelompokkelompok sosial yang ada; kebenaran bisa dengan mudah berubah menjadi hujatan bersamaan dengan perubahan kepentingan dan atau perubahan relasi kelas. Kasus suap Wisma Atlit yang melibat-
kan nama Nazaruddin dan partai Demokrat, cukup representatif untuk menjelaskan kondisi fluid dari suatu realitas ideologis. Bagaimana Nazar yang ‘tertuduh’ pada awal penangkapannya menjadi ‘terbela’ pada proses pengadilan selanjutnya; sementara sebaliknya Demokrat yang menjadi partai yang di puji-puji pra pilpres 2014 salah satunya dengan slogan ‘katakan tidak untuk korupsi’, terkait dengan kasus suap Wisma Atlet tersebut berbalik menjadi partai yang paling ‘dihujat’ karena banyak anggotanya terlibat kasus tersebut. Atau kasus Lumpur Lapindo, bagaimana media mengalihkan realitas ‘tragedi’ menjadi suatu ’pleasure’; dari bencana alam menjadi fenomena wisata baru. Dua kasus diatas untuk kemudian tidak hanya representatif untuk menjelaskan fluiditas realitas, namun juga menunjukkan bahwa media merupakan elemen yang krusial dalam produksi pengetahuan yang commonsense atau taken for granted. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh suatu kelas atau kelompok sosial kemudian untuk memenangkan wacana atau persetujuan masif tersebut; (1) pertama, suatu kelas harus mempunyai kemampuan dan energi untuk tanpa henti-hentinya memproduksi dan mereproduksi wacana klasnya sehingga capable dalam mempengaruhi pandangan kolektif mengenai realitas dan atau world. Level ini bisa juga disebut sebagai perjuangan kelas untuk meraih, meminjam
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara 52
Penjahat Proletar Ala Bajuri istilah Gramsci, konsensus. (2) Kedua, untuk meraih syarat yang disebutkan pertama ini, suatu kelas yang bermaksud untuk menegakkan konsensusnya harus mempertimbangkan ‘kepemilikan’nya atas media sebagai salah satu dari elemen diskursif yang paling esensial. Media dalam konteks ini beralih fungsi sebagai instrumen ideologis kelas, yang menyuarakan kepentingankepentingan kelas yang diabdinya. Media merupakan wadah klas sosial untuk melakukan hegemonic closures menurut Laclau dan Mouffe atau struggle of class menurut Barthes; bagaimana realitas klas diproduksi dan direproduksi termasuk identitas klas (baik identitas klas yang diabdinya maupun identitas kelas lainnya yang terlibat dalam struggle tersebut). Realitas media tetaplah sebuah realitas, sehingga poin kritik disini bukan pada judgement mengenai realitas atau bukan realitas, melainkan pada realitas yang holistik atau parsial; dimana realitas media harus dipahami sebagai realitas yang parsial karena sifat reduktif dan ideologisnya. Apa yang kemudian menjadi masalah adalah ketika keberadaan realitas media tersebut untuk kemudian justru menggantikan kenyataan sosial yang sebenarnya (holistik), dan bahkan diterima sebagai realitas yang taken-for-granted atau commonsense. Inilah yang dipahami dalam Kritik Ideologi yang berakar pada Marx dan sekolah Frankfurt sebagai relasi kuasa yang berjalan beriringan dengan hegemoni bahasa dan secara sistematis menjadi topeng dari realitas. Hegemonic closure untuk kemudian terwujud ketika realitas dinaturalisasikan melalui kode-kode televisual yang dikonstruksi dalam sebuah model narasi tertentu, dan ditampakkan seolah-olah bukan sebagai hasil konstruksi yang dengan cara-cara tertentu menetapkan sebuah makna yang fix dan sekaligus menutup kemungkinan bagi makna-makna potensial lain untuk muncul dan menjadi alternatif bagi pemaknaan yang berbeda dan mungkin berlawanan. Dalam pemahaman yang demikian , maka realitas media yang ideologis dapat didefinisikan sebagai realitas yang terdistorsi, karena kemunculannya sekaligus menyembunyikan relasi-relasi kelasnya, sehingga kita melihat makna-makna tersebut tidak sebagai memahami dunia melainkan (melihat) dunia itu sendiri. Teori yang digunakan disini adalah teori Realisme John Fiske yang masuk dalam cultural study dan Political Economy Grams53
Djatiprasetyani Hadi ci (dengan mempertimbangkan kritik Laclau dan Mouffe). Pemilihan teori ini memang bersifat ekstrem, dimana menurut Babe keduanya mempunyai genealogi yang berbeda dan bahkan berlawanan; critical cultural study yang idealis dan bersifat imaterial dan critical political economy yang reduksionis dan bersifat material yang masing-masing bersifat parsial dan karenanya potensial untuk terjatuh dalam kepentingan-kepentingan politis tertentu. Dengan meng-combine political economy dan cultural study diharapkan mampu mereduksi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu dan menghindarkan kita dari keterjebakan kepentingan ideologis dari masing-masing teori, sehingga validitas penelitian untuk kemudian potensial untuk semakin mendekati kebenaran. Sebagaimana menurut Innis (Innis dalam Babe, 2007: 169) meng-combine political economy dan cultural study dalam artikel ini akan focus pada dialektika medium dan pesan atau matter dan form, sehingga dapat memberi kecenderungan untuk mengirimkan atau meneruskan pesan-pesan baik yang terikat waktu maupun ruang yang digunakan untuk menyokong monopoli pengetahuan dari elit-elit berkuasa dengan menggunakan medium yang ada dan berlaku umum. Rasionalisasi dua teori yang digunakan adalah, bahwa dengan Realisme John Fiske diandaikan konstruksi kode-kode televisual memproduksi atau mereproduksi sebuah realitas media yang bersifat naratif. Hal ini menjadikan realitas media tidak netral dan mengabdi semata untuk kepentingan suatu klas. Semiotik sebagai metode (dimana Realisme Fiske masuk didalamnya), menurut Saukko, memberi keuntungan pada terbukanya kesempatan bagi suara-suara yang berbeda untuk berkontestasi dan berdialog. Namun demikian salah satu kelemahan yang mesti dipertimbangkan dan dicari solusinya adalah pada kenyataannya ‘kebersuaraan’ dari beragam kepentingan tersebut terjebak pada ‘arogansi’ kebenaran masing-masing klas dan kemudian menjadikan kondisi ini endless; dalam arti keberbedaan tersebut yang ditonjolkan dan menjadi tujuan utama bahkan jauh diatas tujuan semula dari suatu analisis yaitu mencari kebenaran. Bisa juga dikatakan dengan alih-alih membangun suatu ‘unity of consciousness’ mengenai suatu keberagaman realitas melalui pemberian ruang untuk bersuara, namun pada praktiknya ini justru sebuah strategi klas dominan untuk mempertahankan fragmentasi dari klas-klas
Penjahat Proletar Ala Bajuri yang powerless tersebut; dan ironisnya sukses terwujud dengan membangun arogansi klas, sebuah kondisi yang semakin menjauhkan untuk terciptanya ‘unity of consciousness’ tadi. Pada titik inilah hegemoni Gramsci dengan memasukkan nuansa politik dari Laclau dan Mouffe bisa masuk. Perpaduan semiotik dan political economy di sisi lain juga meminimalisir kelemahan dari political economy yang kurang detail melakukan analisis terhadap fenomena budaya tertentu. Dialog antara dua teori tersebut kiranya mampu mengembalikan kebenaran pada singgasananya. Melalui konsep hegemoni Gramsci, dialog dari keberbedaan suara dalam liberalism semiotik memperoleh background-nya dalam membongkar historis yang tercerabut dari teks yang menjadikan teks tersebut potensial menyembunyikan relasi dominatif atau tindakan-tindakan subordinasi suatu klas. Bagaimana pengetahuan keberagaman tersebut sebagai realisasi dari tuntutan liberalisasi dan demokratisasi realitas dan politis pada akhirnya justru memproduksi dan mereproduksi pengetahuan dan kebenaran atau realitas dari klas mapan sebelumnya dalam upayanya yang semata demi mengkonservasi kuasa dominan mereka atas domain ideologis politis. Konservasi ideologi klas terwujud dan bahkan sah kemudian karena narasi relasi kode-kode televisual membangun sebuah konsensus melalui apa yang disebut Gramsci sebagai produksi common-sense. Menurut Gramsci hegemoni bersifat dinamis karena sebagai hasil dari struggle of class sehingga dapat dipahami pula bahwa hegemoni dapat dilakukan oleh semua klas (baik yang powerfull maupun yang powerless), maka penyebarluasan commonsense inilah yang menjadi strategi dari klas borjuis (dalam konsep Gramsci) untuk memenangkan hegemoni tersebut. Tujuan dari analisis dalam artikel ini adalah untuk melemahkan kekuasaan dengan mengungkapkan kenyataan ideologis, atau secara spekulatif berupaya membuka topeng kekuasaan dengan kebenaran (to unmask power with truth). Sepakat dengan Saukko, maka metode yang digunakan untuk menganalisis dalam artikel ini adalah dengan mengkolaborasikan dua teori dengan perspektif yang relatif berbeda, yaitu: political economy Gramsci dan realisme Fiske yang fokus pada bahasa sebagai suatu bentuk moda informasi. Se-
Djatiprasetyani Hadi bagaimana karakteristik dari metode cultural study yang ditawarkan oleh Saukko, maka asumsi dasar dari pemilihan teori dan bahkan metodologi yang digunakan dalam analisis artikel ini tidak menutup kenyataan bersifat subjektif. Ada beberapa strategi yang ditawarkan Saukko dalam metodenya, yaitu: Collaboration, self-reflexivity dan polivocality (Saukko, 2003: 55). Strategi self-reflexivity menjadi pilihan utama dalam pengembangan analisis artikel ini, tentu saja dengan beberapa pertimbangan; (1) keterjebakan pada wacana mainstream menjadikan subjektifitas peneliti yang komprehensif mendesak untuk dipertimbangkan. (2) self-reflexivity mengatasi keterbatasan etnografi yang mestinya secara ideal dilakukan dalam analisis artikel ini, dimana eksplorasi dan komparasi mengenai wacana dominasi ideologis penguasa melalui program komedi situasi Bajaj Bajuri pada masyarakat Betawi dan non-Betawi yang menyaksikan komedi situasi tersebut seharusnya dilakukan. Strategi self-reflexivity penulis untuk kemudian berbasis pada kondisi ketidakseimbangan informasi yang terjadi dalam wacana nasional dimana penguasa mempunyai otoritas dalam pembembentukan common-sense atau pandangan umum yang membenarkan tindakan-tindakan koersifnya terhadap masyarakat lokal dan kelompokkelompok sosial terpinggirkan seperti dicontohkan disini. Masyarakat Betawi sebagai representasi dari lokal dan sekaligus juga representasi dari proletar sebagai implikasi dari keterpinggiran mereka dari akses ekonomi. Realisme Fiske dan Imperialisme Media Realitas dalam televisi menurut John Fiske merupakan produk atau konstruksi dari kode-kode budaya dan oleh karenanya tidak pernah bersifat netral ataupun universal, sebagaimana dikutip dibawah ini; “What passes for reality in any culture is that culture’s codes, so ‘reality’ is always al ready encoded, it is never ‘raw’.” (Fiske, 2001: 5) Dari pengertian inilah untuk kemudian realitas televisi dipahami Fiske sebagai hasil konstruksi realitas yang melibatkan partisipasi code-code televisual. Sebagai hasil 54
Penjahat Proletar Ala Bajuri konstruksi budaya, maka realitas televisi tidak bisa dipahami sebagai realitas yang apa adanya karena sebagaimana watak dari tindakan konstruksi yang dilakukan, tentu saja ditujukan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politis dan ideologis kelas tertentu yang dominan. Inilah realisme, sebuah konsep kritis untuk memahami konstruksi reality televisi yang ideologis dan politis. Bagi Fiske realistik atau tidaknya suatu program televisi, bukan ditentukan oleh kemampuannya untuk mereproduksi suatu reality secara jitu, sebagaimana penjelasan Fiske lebih lanjut berikut ini; “…not because it reproduces reality, which it clearly does not, but because it reproduces the dominant sense of reality. We can thus call television essentially realistic medium because of its ability to carry a socially convincing sense of the real. Realisme is not a matter of any fidelity to an empirical reality, but of the discursive conventions by which & for which a sense of reality is constructed.” (Fiske, 2001: 21) Kerealistikkan media justru dikarenakan kemampuan televisi mereproduksi reality dalam pemahaman dominan serta memperluas pemahaman reality (televisi) tersebut secara sosial. Realitas televisi untuk kemudian menjadi ‘seolah-olah’ objektif atau common-sense serta bersifat natural dan universal, sementara bagi fiske justru keyakinan tersebut yang menyelubungi kebenaran reality sebagai hasil dari konstruksi sosiokultural dari suatu kelas dominan. Realisme untuk kemudian justru membangun sebuah false consciousness mengenai reality, karena seolah-olah menyajikan gambar-gambar yang unmediated mengenai external reality melalui kode-kode televisual. Sebagai hasil dari discursive conventions maka definisi realisme diatas mengarahkan kita pada syarat berikutnya dari realitas televisi yaitu bahwa realitas ada, untuk kemudian, karena dibawa oleh wacana, dimana wacana-wacana diskursif direlasikan dalam tujuannya untuk membangun sebuah realitas tertentu yang dikonstruksi oleh relasi technical codes sebagai meta-discoursenya. “The simple access to truth which is guaranteed by the meta-discourse depands on a repression of its own operations & this repression confers an imaginary unity of position on the reader from which the other 55
Djatiprasetyani Hadi discourse in the film can be read.” (MacCabe dalam Fiske, 2001: 35) Selanjutnya, menurut MacCabe, relasi technical codes tersebut membangun sebuah kesatuan imajiner dari wacana-wacana yang beragam dan ditujukan untuk memperkuat konstruksi realitas media tersebut; namun demikan penyatuan tersebut dilakukan secara pararel dengan penindasan wacana-wacana lain yang dianggap tidak mempunyai daya dukung terhadap konstruksi realitas yang dituju. Realisme menjadi sebuah strategi aktif dari suatu klas untuk menegakkan atau memapankan kuasanya dengan cara membangun sebuah konsensus pemahaman mengenai reality sosial. Secara umum Fiske membagi the codes of television menjadi tiga (3) level, yaitu social codes, technical codes dan ideological codes, berikut ini kategori masing-masing level tersebut (Fiske, 2001: 5): behavior, speech, gesture, expression, sound dan lain sebagainya. Pada level berikutnya, Technical codes atau disebut sebagai ‘Representation’, terdiri dari: camera, lighting, music dan sound yang berfungsi untuk mentransmisikan conventional representational codes dalam upayanya untuk membentuk representasi tertentu seperti misalnya naratif, konflik, karakter, aksi, dialog, setting dan casting serta lain sebagainya. Level 3: Ideological code atau disebut sebagai ‘Ideology’ adalah level dimana realitas dan representation diorganisasikan secara koheren dalam kode-kode ideologis agar dapat diterima secara sosial. Kode-kode ideologis tersebut seperti misalnya; individualisme, patriarki, ras, klas, materialisme, kapitalisme dan lain sebagainya. Pada konteks inilah realisme Fiske memposisikan dirinya untuk membongkar ideologi dalam kemasan reality media tersebut dan kemudian memberinya arti dalam hubungannya dengan class struggle. Bagi Fiske, realisme bukan menggambarkan realitas yang sebenarnya melainkan dibatasi pada ‘what you’re looking for’ sehingga berdimensi subyektif, politis dan ideologis. Bagi Fiske, media adalah alat atau instrumen ideologis kelas mapan, sehingga tentu saja realitas yang dibawa media penuh dengan muatan kepentingan ideologis kelas mapan tersebut; yang tidak sekedar pada penyebarluasan nilai ideologis melainkan juga
Penjahat Proletar Ala Bajuri kepentingannya dalam mengkonservasi nilai ideologis tersebut pada kelas-kelas lain yang powerless dan bahkan terpinggirkan. Realisme untuk kemudian menjadikan praktik-praktik penindasan terjadi secara halus karena ‘seakan-akan’ juga mengakomodasi kesenangan dan kepentingan kelas yang powerless sehingga potensial untuk tak tertolakkan dan diterima secara suka cita oleh si oppresed. Sebagaimana Barthes, menurut Fiske realisme selalu bersifat naratif; ditambah dengan dimensi politis dan ideologis, maka realisme dipahami sebagai caranya makingsense dari ‘the real’ dan bukan pada muatannya yang ‘real’. The factual truth is unspoken, is stolen; depolitisasi pun terjadi sebagai akibat dari persebaran common-sense yang merupakan hasil dari naturalisasi reality (eksternal) oleh kode-kode televisual; dalam potensi menyebarluaskan ‘kesesatan kesadaran’ tersebut, dan karenanya harus diperangi menurut Fiske. Naturalisasi untuk kemudian menjadi konsep yang sangat terkait dengan realisme Fiske tersebut dan, meminjam konsep Hartley, dipahami sebagai ‘ the process of representing the cultural and historical as natural’ dan oleh karenanya ‘are experienced as natural’. Naturalness, menurut Fiske, diperoleh dari relasi antara technical codes dan ideology sehingga membuat reality yang disajikan oleh (dalam) televisi diterima sebagai common-sense dalam society. “The process of making sense involves a constant movement up and down through the levels of the diagram, for sense can only be produced when ‘reality’, representations, & ideology merge into a coherent, seemingly natural unity. (Fiske, 2001: 6) Sementara bagi Barthes; realisme dipahami sebagai ideological defense mechanism yang memberi kontribusi yang besar dalam konstruksi Mitos di dunia Modern. Jika Barthes menyatakan bahwa produksi Mitos bisa saja dilakukan oleh oppressor maupun oppressed, namun Television Culture Fiske khusus mengembangkan dan mengeksplorasi realisme sebagai Mitos yang dilakukan oleh oppressor. Disinilah Realisme bertransformasi demi fungsinya sebagai model representasi yang menawarkan pilihan tanpa alternatif, melalui the naturalness, nilai-nilai dari ideologi dominan, dan memposisikan reader sebagai, dalam istilah Althusser: subject in
Djatiprasetyani Hadi ideology, yang tanpa sadar secara aktif dan justru bangga ikut serta dalam konservasi nilai-nilai dominan tersebut. Radicals voice memang diberi ruang dan disajikan dalam realitas televisi namun demikian digunakan dalam fungsinya ‘menenangkan’ tuntutan-tuntutan dari pihak-pihak yang beragam (yang merupakan kumpulan dari kelas-kelas terpinggirkan dan unspoken) dan pada akhirnya diabdikan justru demi eternality of dominant values: kapitalisme atau otoritarianisme misalnya. Dan kemudian ‘dominant ideology strengthens its resistence to anything radical by injecting itself with controlled doses of the desease’. Dan the truth is stolen. Gramsci; Media sebagai Instrumen produksi Knowledge dan Konsensus Ketika relasi kode-kode televisual yang membangun sebuah narasi ideologis tertentu tersebar luas dan ditambah dengan intensitas kemunculan kode-kode televisual tersebut; maka disinilah common sense terbangun dan membentuk konsensus antara si penguasa media dan politis dengan (atau lebih tepatnya atas) masyarakat sipil. Imperialisme budaya melalui media pun terbangun berkat peran aktif media sebagai instrumen ideologis kelas berkuasa. Subordinasi menjadi bias oleh justifikasi keumuman ‘realisme’ media tersebut yang dibangun bersamaan dengan proses identifikasi kelas. Keabadian identitas pun terwujud melalui label-label politis dan membentuk realitas baru sembari secara pararel meniadakan realitas lain yang mungkin tidak kalah pentingnya. Untuk menguraikan fenomena sosial dalam artikel ini, untuk kemudian merasa perlu menggunakan teori Gramsci tentang Hegemoni untuk menjelaskan aksi sosial yang terjadi dan teori Creating of meaning dan dekonstruksi objektif dari Laclau dan Mouffe untuk menguraikan bagaimana aksi sosial yang disebut sebagai proses hegemoni tadi distabilisasikan oleh kelompok ideologi tertentu untuk menaturalisasi ideologinya sehingga diterima sebagai common-sense, sebagaimana dinyatakan oleh Laclau dan Moufe dibawah ini: “Trough the production of meaning, power relation can become naturalized and so much part of common-sense.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 32) 56
Penjahat Proletar Ala Bajuri Meskipun Gamsci dalam tulisannya membedakan secara tegas antara dominasi dan hegemoni, namun hegemoni bisa diartikan sebagai dominasi mental, sebagai akibat dari konsensus kebenaran yang diperoleh dengan memanipulasi ‘kesadaran’ kelas. Berikut ini pembacaan Barrett mengenai pengertian hegemoni Gramsci; “Hegemony is best understood as the organization of consent, the processes through which subordinated forms of consciousness are constructed without recourse to violence or coercion.” (Barrett dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 32) Hegemoni haruslah dipahami sebagai organisasi persetujuan, sebuah proses melalui bentuk-bentuk kesadaran yang menindas yang dikonstruksi tanpa kekerasan atau paksaan, selanjutnya; “Hegemony is a social consensus, which masks people’ real interest. The hegemonic processes take place in the superstructure and are part of a political field. Their outcome is not directly determined by the economy, and so superstructural processes assume a degree of autonomy and the possibility for working back on the structure of the base. It also means that through the creation of meaning in the superstructure people can be mobilized to rebel against existing conditions.” (Gramsci dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 32) Bagi Gramsci hegemoni adalah sebuah konsensus sosial yang menyamarkan kepentingan-kepentingan riil dari kelas yang melakukannya. Kutipan diatas menjelaskan kelebihan analisis Gramsci terhadap Marxis klasik yang economic determinism, dimana tidak hanya relasi produksi atau sistem ekonomi saja yang mampu memotivasi transformasi sosial, melainkan menurut Gramsci sistem ekonomi ini hanya merupakan salah satu wacana diskursif yang tidak hanya menentukan tapi juga ditentukan atau dipengaruhi oleh sistem lain seperti politik, budaya dan lain sebagainya pada proses transformasi sosial. Teori hegemoni Gramsci juga membuka celah bagi terjadinya hegemoni dalam dua arah; yaitu dari klas mapan (yang ditandai dengan kepemilikan pada sumber-sumber ekonomi) dan oleh klas terpinggirkan dengan kekuatan counter culture-nya, namun paper ini sekaligus membutuhkan Laclau 57
Djatiprasetyani Hadi dan Mouffe untuk melengkapi ‘keterbatasan’ Gramsci yang kembali pada pengelompokan kelas berdasarkan kepemilikan ekonomi. Melalui Laclau & Mouffe, hegemoni bisa diaplikasikan dalam ruang politik, sebagaimana dikutip dibawah ini; “There are no objective laws that divide society into particular groups, the groups that exist are always created in political, discursive processes.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 33) Menurut Laclau dan Mouffe, tidak ada hukum yang pasti, tepat atau stagnan dalam pengelompokan sosial (masyarakat), hal ini dikarenakan kelompok-kelompok sosial terbentuk berdasarkan proses diskursif politisnya (berdasarkan kepentingan politisnya). Sementara politik dipahami secara luas oleh Laclau & Mouffe sebagai; “Politics articulations determine how act and think and thereby how we create society. The more or less determining role of the economy is, then, completely abolished.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 34) Politik menentukan bagaimana seseorang atau suatu kelas bertindak, berpikir dan kemudian bagaimana menciptakan suatu bentuk masyarakat. Base (economic dimension) dan superstructure (agama, pendidikan dan lain sebagainya), menurut Laclau & Mouffe diproduksi dalam ruang yang sama dengan proses-proses diskursif. Dalam pengertian ini maka ‘realitas’ sosial termasuk bahasa didalamnya merupakan entitas yang tidak pernah fixed dan changeable, sehingga membutuhkan usaha untuk mencari relasirelasi yang tepat untuk menaturalisasikannya. Permasalahan objektifikasi untuk kemudian dicapai melalui apa yang disebut Laclau & Moufe: discursive of production of meaning. Discursive struggle, dan karena; “…that no discourse can be fully established, it is always in conflict with other discourses that define reality differently and set other guidelines for social action.” (Laclau & Mouffe dalam Jorgensen & Phillips, 2002: 34) Konflik menjadi hal yang penting dalam discursive struggle dari Laclau dan Mouffe ini, realitas untuk kemudian muncul sebagai hasil dari konflik wacana dimana melalui konflik tersebut akan muncul wacana pemenang yang nantinya tidak hanya diakui
Penjahat Proletar Ala Bajuri sebagai realitas yang benar atau objektif melainkan juga mewujud sebagai satu-satunya pedoman dari suatu masyarakat untuk bertindak sosial. Media power dalam mengkonstruksi dan memapankan hegemoni justru menggenerasi disfungsi media dalam bentuk kekerasan media yang bekerja pararel dengan kekerasan ideologis. Meskipun menurut Gramsci hegemoni bisa dilakukan oleh kelas borjuis dan kelas proletar, namun kemampuan modal finansial dan otoritas yang bersifat historis menjadikan hegemoni lebih banyak dilakukan oleh kelas borjuis berkuasa. Penambahan dimensi politis Laclau & Mouffe dalam konsep hegemoni Gramsci, untuk kemudian sangat membantu menguraikan praxis hegemoni pusat atas lokal sebagai kelompok terpinggirkan, yang berjalan sedemikian kompleksnya; sehingga meskipun kepentingan ekonomi mendominasi dalam hubungan hegemonis antara pusat dan lokal, namun juga melibatkan banyak tindakan-tindakan politis ideologis dan secara signifikan disokong pula oleh kekuatan media. Intensitas dan proporsionalitas analogi image terhadap realitas, yang disampaikan dan disebarluaskan melalui media menjadikan hegemoni pun terjadi dalam bentuk-bentuknya yang paling ‘halus’ sehingga dianggap sebagai tindakan yang umum, natural dan tak terelakkan. Peran media dalam pengertian yang demikian adalah sebagai instrumen kelas dalam menjalankan hegemoni kelas berkuasa dan bahkan mengkonservasinya melalui wacana-wacana diskursif sehingga tidak tersedia sedikit pun celah untuk berpikir, bersikap bahkan bertindak dengan cara lain selain yang ditawarkan oleh kelas berkuasa tersebut. Meskipun persoalan utama konflik pusat dan lokal terjadi dalam tataran sumber daya ekonomi, namun meluasnya konflik tersebut hingga mencapai persoalan sosial dan budaya menjadikan konflik yang terjadi semakin kompleks dan bias pemahaman dan kepentingan. Namun demikian terdapat satu pola yang hampir sama terjadi dalam praksis hegemoni manapun yaitu produksi pengetahuan demi mencapai suatu kondisi konsensus, dimana konsensus sangat dibutuhkan untuk membenarkan tindakan hegemonis yang mereka lakukan dan dengan segera melakukan intervensi politis. Ini semacam plotting peran antara pusat yang memerintah dan media yang mempunyai relasi yang relatif dekat baik dengan klas ideologis yang
Djatiprasetyani Hadi ‘memilikinya’ sekaligus juga dengan rakyat sebagai tempat dan target informasi (pengetahuan). Pusat tidak lagi harus secara terangterangan menyatakan kepentingannya atau turun tangan langsung sejak awal, namun melalui media secara edukatif dibuka dengan mengkonstruksi realitas atau wacana. Dengan cara yang demikian, ada banyak keuntungan yang diperoleh pusat sebagai kelas berkuasa, yaitu; pertama, sebagaimana disebutkan karena disokong oleh media massa, praxis hegemoni relatif efisien dalam penggunaan energi dan materi. Kedua, dengan melakukan secara ‘terselubung’, karena bermain dalam ranah produksi pengetahuan dan tidak secara terang-terangan menyatakan kepentingan politisnya sendiri, maka praktik hegemoni melalui media ini justru akan memberi nilai tambah politis bagi kelas berkuasa; yaitu pencitraan positif, dalam konteks ini konflik tidak terjadi dengan memperlawankan pemerintah pusat vis-Ă -vis dengan lokal, namun secara indah justru memposisikan pusat sebagai dewa penolong dari krisis yang dihadapi dan tidak dapat terselesaikan oleh lokal atau secara ironis kembali membalikkan tanggungjawab krisis pada lokal itu sendiri. Pada level membalikkan tanggungjawab krisis pada lokal inilah, tersirat suatu struggle of hegemony dari pusat untuk tidak lagi memperoleh sekedar konsensus lokal melainkan juga mempertahankan kondisi yang memungkinkan untuk mengabadikan konsensus tersebut selama mungkin. Hegemoni Laclau dan Mouffe untuk kemudian dianggap mampu menyempurnakan keterbatasan definisi hegemoni Gramsci yang kembali terjebak dalam diterminisme ekonomi dan karenanya mempersempit potensi analisis terhadap praxis hegemoni di luar relasi produksi tersebut. Sementara pada kenyataannya praxis hegemoni telah membangun dan memperbaiki diri agar dapat terus dipraktikkan disatu sisi, serta sekaligus dalam praxis tersebut tidak dibuka celah sedikitpun untuk dapat dikenali sebagai sebuah praxis hegemoni. Dengan kata lain semakin halus praxis hegemoni ditampilkan, semakin kondisi ketidaksadaran dalam proses konsensus terjadi; maka disinilah efektifitas hegemoni mencapai puncaknya dan kokoh tak tergoyahkan. Ke-ordinary-an serta kenaturalan objek dan peristiwa yang disajikan media, dalam artikel ini diduga mempunyai kontribusi yang tidak 58
Penjahat Proletar Ala Bajuri bisa diabaikan dalam fungsinya ‘memperhalus’ praxis hegemonis sehingga retorika ideologi kelas menjadi bias dalam keobjektifan/ kenaturalan/ke-ordinary-an reality yang disajikan oleh media. Penjahat Proletar dan Otoritas Negara dalam kemasan ‘Bajaj Bajuri’ Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kiranya tayangan televisi dalam berbagai genrenya tentunya juga potensial untuk membiaskan pesan-pesan ideologis politisnya, tidak terkecuali tayangan komedi sekalipun. Komedi, dan hampir semua program televisi, dalam konteks ideologis tidak ubahnya seperti produk yang harus dikemas sesuai dengan target pasar dengan tujuan untuk memberi kesan familiaritas sehingga mudah masuk dalam sense of experience dari si target pasar. Produk dengan kemasan yang demikian ini ditujukan untuk memberi efek tak tertolakkan untuk dikonsumsi. Sebagaimana juga komedi Bajaj Bajuri dalam artikel ini; dengan tampilan kostum, logat dalam dialog-dialognya, karakter pemain utamanya, setting dan bahkan pada pilihan musik pembukanya semuanya secara umum dianggap merepresentasikan kehidupan masyarakat Betawi. Wacana diskursif lainnya mengenai ke terpinggiran Betawi di pusat pemerintahan menyatakan bahwa mayoritas dari kelompok ini minim pengetahuan dan keahlian yang diperlukan sebagai syarat untuk aktif memperebutkan hak-hak ekonomi menjadi salah satu alasan utama bagi kelompok masyarakat ini untuk menjual tanah-tanah warisan mereka kepada pengusaha-pengusaha industrial sebagai bentuk pilihan me reka mempertahankan hidup keseharian mereka. Sebagai akibatnya, kelompok masyarakat ini pun kehilangan haknya atas wilayah teritori sosial mereka dan digantikan degan perkampungan-perkampungan miskin dan padat penduduk se bagai setting utama dari tayangan ini. Sekilas tayangan ini terlihat sebagai kritik terhadap kuasa pemerintah melalui pembangunan nasional yang tidak mampu menyentuh kelompok-kelompok adat atau lokal terutama dalam bidang pemerataan kesejahteraan dan keterpinggiran masyarakat Betawi dianggap representative potensial dipandang sebagai bagian dari wacana 59
Djatiprasetyani Hadi diskursif lainnya yang difungsikan untuk memperkokoh bangunan konsensus realisme televisi. Inilah mengapa Fiske mengajak untuk selalu ‘mencurigai’ berbagai content tayangan televisi, bahkan termasuk dalam program yang secara radikal ‘seolah-olah’ memberi ruang bagi suara-suara yang unspoken untuk berkontestasi. Bagi Fiske televisi tetaplah instrumen ideologis yang dengan mekanisme tertentu difungsikan utamanya menyokong status quo suatu kelas dominan. Tayangan Bajaj Bajuri edisi ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’ pun secara kritis juga potensial untuk difungsikan sebagai instrumen ideologis. Counter discourse yang dibangun melalui wacana-wacana diskursif menjadi sesuatu yang krusial untuk dikonstruksi dan didiseminasikan sebagai upaya untuk membongkar logika realisme televisi; berikut ini wacana diskursif yang potensial difungsikan untuk membongkar realisme televisi; (1)Sementara dalam kamus hukum ‘penjahat’ dipahami sebagai orang yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana ringan maupun berat karena dengan sengaja merusakkan dan atau merugikan property pihak lain, dimana ringan atau beratnya pelanggaran sangat tergantung pada sifat kepemilikan atau nilai-nilai yang berlaku (hal: 399). Pada sifat kepemilikan dan nilainilai yang berlaku inilah, konsep ‘penjahat’ mengalami pergeseran interpretasi, berubah sebagai hasil dari suatu relasi kuasa ekonomi dan ideologis yang dominatif. (2)diskriminasi perlakuan terhadap ‘penjahat’ (setelah mengalami pergeseran interpretasi) menyebabkan ambiguitas relasi antara tingkat kejahatan dengan punishment yang seharusnya potensial untuk diterima. (3)sebagai akibat dari poin 1 dan 2 maka label ‘penjahat’ sangat potensial merupakan hasil dari suatu praksis hegemonis negara melalui institusi peradilan dan bukan lagi secara esensial melakukan pelanggaran murni hak milik dan nilai-nilai hukum. (4)Kode-kode televisual mempunyai kemampuan dalam mengkonstruksi ‘cerita mengenai reality’ secara naratif. Sifat naratif tersebut ditandai dengan subjektifitas pandangan dalam penyampaian suatu reality, yang sangat ditentukan oleh kepentingan dan ideologi suatu klas yang berkuasa. Realisme Bajaj Bajuri, khususnya dalam artikel ini episode ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’ menjadi mungkin untuk dibaca ulang, tidak lagi bisa dipahami sekedar tayangan
Penjahat Proletar Ala Bajuri yang menghibur melainkan justru menjadi agen transformasi sosial yang dalam praksisnya potensial untuk memotivasi kesesatan pemahaman mengenai suatu reality pada penontonnya. Kejahatan dan ‘penjahat’ untuk kemudian mengalami redefinisi; tidak lagi dibatasi pada dampak sosial yang berada dalam ruang lingkup nilai-nilai keadilan hukum dan justru ditentukan atas dasar relasi ekonomi politisnya. Kebenaran yang tersaji untuk kemudian justru mensahkan posisi proletar atau kelas miskin perkotaan sebagaimana diilustrasikan dalam Bajaj Bajuri, sebagai ‘Penjahat’ sebenarnya dari masyarakat sekaligus sebagai satu-satunya klas yang harus diperangi karena potensinya tersebut. Punishment terhadap ‘penjahat proletar’ untuk kemudian tidak hanya terjadi dalam rumah tahanan saja melainkan juga diperolehnya secara sosial sebagai seseorang yang harus dijauhi, diabaikan dan bahkan tidak diakui sebagai kerabat dan walhasil sebutan ‘penjahat’ menjadi suatu label yang lestari disematkan. Dalam praksisnya, judgement terhadap proletar tersebut sekaligus menutup celah bagi massa untuk berpikir apalagi menuduhkan ‘penjahat’ pada klas borjuis. Ditambah kedekatannya dengan kuasa ekonomi politis, maka ketika terjadi hal yang ‘luar biasa’ dalam frame klas borjuis yang dominan; yaitu ketika ada anggotanya yang kemudian terpaksa ‘terlihat’ melakukan suatu tindak pelanggaran, dan harus masuk dalam rumah tahanan, maka tentu saja ada perlakuan istimewa sebagai implikasi dari posisi istemewanya tersebut. Mulai dari desain interior sel, fasilitas jasa kecantikan dan kebugaran hingga dengan bargaining tertentu mereka sangat mudah untuk keluar sel sekedar mencari refreshing atau bahkan melakukan deal-deal bisnis mereka. Ironisnya secara sosial mereka juga dijamin oleh negara sebagai bagian dari kelas borjuis itu sendiri; berbeda dari label ‘penjahat proletar’ yang relatif abadi, label ‘penjahat’ bagi kelas borjuis hanya bersifat sementara dan bahkan dengan produksi of knowledge tertentu secara magis bisa dihilangkan begitu saja. Salah satu faktor utama yang menyebabkan hal tersebut, adalah karena hak istemewa dari borjuis tersebut yang menyebabkan (jika mereka melaluinya) penahanan secara fisik tidak segera dilanjutkan dengan pembekuan asset mereka. Dampak finalnya
Djatiprasetyani Hadi maka eksistensi mereka pun tetap terjaga secara sosial. Secara singkat Bajaj Bajuri dalam episode ‘Jalani Lebaran dalam Tahanan’ ini bercerita tentang nasib apes Bajuri, sebagai tokoh utama, yang harus masuk tahanan karena terjaring Operasi Ketupat polisi dalam rangka pengamanan menjelang Lebaran. Diceritakan kemudian melalui dialog dan shoot-shotnya dengan narapidana lain satu sel dengannya dan juga oleh Oneng, isteri Bajuri ketika menjelaskan kronologis masuknya Bajuri ke tahanan pada Mpok Minah. Kisah berlanjut dengan nasib Bajuri sebagai akibat dari singgahnya ke rumah tahanan, menjadikannya juga mengalami penolakan sosial, khususnya dari Emak, mertua Bajuri, yang karena kemiskinannya dan statusnya yang tidak bergengsi sebagai supir bajaj, Bajuri tidak begitu diharapkan menjadi menantu Emak dari awal. Bagaimana Bajuri yang dianggap penjahat kehilangan haknya untuk dianggap saudara oleh Emak, sebagaimana dialog antara Emak dan Oneng terkait dengan keinginan Oneng untuk menengok Bajuri di tahanan dibawah ini: Oneng: Mak…kite ke penjara sekarang yok Mak. Emak :Neng…sekarang ini hari Lebaran, waktunya kia pergi ke tetangga-tetangga, ke saudarasaudara, minta map-maapan. Bukannya ke penjara! (nada tinggi) Oneng: Yee..tapi kan Oneng mau nengokin bang Juri Mak. Kasihan.. Emak: Heh! Biarin aja dia di penjara. Supaya ke tupat ame sayur opornye awet! Oneng:Ih…Emaaak…gitu banget. Bang Juri kan laki Oneng, kasihan Mak, masak orang lain pada Lebaran, dia sendirian ngringkuk di penjara… Emak:Gue tau dia laki elu…biarin aja dia di penjara. Kagak usah dikasihanin emang dia penjahat!!! Oneng:Bang Juri bukan penjahat!!! (sambil menghentak-hentakkan lembar kerudung di tangannya) Emak:Kalo bukan penjahat ngapain dia ditangkep ama Polisi (dan Oneng pun diam tak tahu harus menjawab apa) Bagaimana narasi dialog di atas kiranya potensial untuk merepresentasikan keterbuangan Bajuri secara sosial, bahkan di lingkup keluarga kecilnya sekalipun sebagai akibat ‘singgah’nya dia di rumah tahanan meskipun akibat salah tangkap. 60
Penjahat Proletar Ala Bajuri Teriakan Oneng sebagai istri Bajuri yang merasa lebih kenal dan tahu sifat dan perilaku suaminya, untuk membela Bajuri pun tidak mampu melawan justifikasi sosial yang direpresentasikan oleh Emak yang dalam struktur keluarga inti merupakan orang luar. Penjahat adalah konstruksi sosial; karena merupakan predikat atau label otoritatif yang disematkan oleh sebuah institusi negara. Sehingga demi kepentingan dan keteraturan secara sosial tetap menjadi ‘harus’ dicurigai sampai akhir hayat mereka dan karenanya harus selalu diawasi dan dikontrol oleh sosial pula. Realitas yang diobyektifkan yang menurut Fiske justru membiaskan nilai-nilai ideologis tertentu. Ketika ketidakberdayaan Oneng secara diskursif diperkuat oleh visualitas tindakannya yang secara emosional menghentak-hentakkan kerudungnya dan direlasikan dengan teknik middle-shoot, potensial untuk dimaknai sebagai statement borjuis atas proletar yang dianggap sebagai si powerless yang emosional. Scene ini sekaligus memberi justifikasi mengenai sifat yang harus dimiliki oleh proletar, yaitu: menekan emosi sebagai hal yang diperlawankan dengan sifat dan sikap anarkis, yang bagi borjuis dikonstruksi sebagai tindakan yang tidak cukup benar dilakukan oleh proletar ketika berhadapan dengan otoritas-otoritas di luar dirinya. Secara ideologis untuk kemudian adegan dan dialog dalam scene tersebut menaturalisasikan suatu nilai yang memapankan keharusan proletar untuk tunduk dan patuh pada aturan-aturan sosial yang dalam hal ini justru tidak didasarkan pada norma-norma sosial melainkan pada pendapat objektif atau pandangan umum. Mengingat fungsi media sebagai instrumen ideologis suatu klas dan peran aktifnya dalam meyabarluaskan nilai-nilai dominan, maka apa yang disebut sebagai pandangan umum secara kritis harus dicurigai sebagai pandangan yang mewakili dan mengabdi pada kepentingan klas dominan dan oleh karenanya ‘kebenaran’ yang diproduksinya potensial bersifat parsial dan bias. Berat ringannya kasus kejahatan yang dianggap potensial membuka jalan seseorang untuk meringkuk di tahanan bukan lagi standar utama seseorang dianugerahi label ‘penjahat’. Sebagaimana Bajuri memahami tahanan sebagai tempat penjahat dikumpulkan dalam dialog dan scene Bajuri dengan teman 61
Djatiprasetyani Hadi satu selnya (sebut saja N) dibawah ini yang bermaksud menanyakan alasan orang tersebut masuk tahanan: Bajuri:Mas…lu mas nyolong ayam ya?!..he.. he..pasti lu nyopet di bis ye…(sambil berkacak pinggang) N:Nggak. Bajuri: Lu pasti nyolong sandal di Masjid lu… (sambil nunjuk N) N:Gue ditangkep gara-gara abis bunuh orang (tanpa ekspresi) semalem sih apes ajah. Dulu gue bunuh 4 orang nggak ditangkep Bajuri:(berubah ekspresinya menjadi ciut karena mendengar tingkat kejahatan N) Pemahaman massa mengenai alasan orang masuk penjara, sangat mudah ditangkap dalam dialog di atas, sebut saja misalnya: nyolong ayam, nyopet di bis, nyolong sandal yang semuanya dilakukan seseorang karena ‘kepepet’ dihadapkan pada diri dan keluarga yang lapar. Kejahatan paling berat, yang membuat Bajuri untuk kemudian berubah sikap dan ekspresinya terhadap N adalah membunuh orang. Bentuk-bentuk kejahatan yang sangat mudah dibuktikan karena bukti-bukti fisiknya untuk kemudian secara (relatif) sederhana langsung mengarah pada pelakunya. Deskripsi mengenai penjahat dan tindak kejahatan dalam dialog tersebut untuk kemudian menjadi ambigu ketika dihadapkan dengan kasusnya dengan Nyolong Duit Negara yang dilakukan beramai-ramai oleh pejabat Negara, atau pembunuhan berencana terhadap tokoh-tokoh oposisi secara siluman karena bukti kejahatan tidak dengan cara mudah dapat dilihat dan juga karena resiko penyebutan nama dalangnya menjadi ‘hantu’ tersendiri. Penjahat pun oleh karenanya memang predikat istemewa yang hanya boleh disematkan pada dada se seorang yang beridentitas proletar. Visual Bajuri yang menunjuk pun untuk kemudian potensi dimaknai sebagai keberanian sosial proletar untuk memahami kejahatan dan penjahat, yang untuk kemudian tingkat paling berat adalah pembunuhan. Statement tersebut tampak pada ekspresi bajuri ketika mendengar pengalaman membunuh N yang diikuti dengan acting Bajuri yang dengan segera menyenderkan punggungnya di dinding sel dan dalam shoot berikutnya divisualkan dengan ‘ndepis’ atau jongkok di pojok sel sebagai representasi dari keterkejutan dan ketakutan Bajuri.
Djatiprasetyani Hadi
Penjahat Proletar Ala Bajuri Kekagetan yang ditunjukkan dalam ekspresi dan gesture Bajuri merepresentasikan reaksinya terhadap tindakan membunuh sebagai bentuk kejahatan yang hanya bisa dilakukan oleh orang berdarah dingin dan karenanya menempati hierarki tingkat kejahatan terberat dalam pandangan awam Bajuri sebagai representasi proletar. Namun tidak sesederhana itu Fiske memahami makna dalam realisme televise, menurutnya ada dimensi ideologis dan politis yang selalu membonceng dalam ‘perumpamaan-perumpamaan’ visual tersebut. Sehingga produksi pengetahuan mengenai kategorisasi berat dan ringannya kejahatan dalam scene yang diilustrasikan dalam gambar 1 dan 2 potensial untuk dipahami sebagai upaya penyuntikan ‘kesesatan’ yang kemudian diobjektifikasi melalui relasi kode-kode televisual sebagai suatu kebenaran yang asasi. Kesesatan pemahaman ini secara logis dapat kita temukan dengan menambahkan didalamnya pertanyaan mengenai dimana kemudian posisi korupsi (serta tindakan-tindakan merusak dan merugikan negara lainnya ketika kita membicarakan imperialisme atau kolonialisme) dalam hirarki tingkat kejahatan tersebut. Statement ‘jahat dan sesat’ yang utamanya hendak disuntikkan adalah; bahwa jika membunuh merupakan tindak kejahatan terberat dilihat dari penghilangan nyawa seseorang yang buktinya mengarah langsung pada si pelaku, tidak demikian dengan tindak kejahatan korupsi dimana buktinya sangat rumit dan complicated karena dilakukan secara sistematis maka tentu saja harus dipandang berada dibawah posisi pembunuhan. Statement atau produksi pengetahuan diatas pada akirnya berjalan dengan meniadakan realitas atau kebenaran lain yang tidak menyokong kebenaran statement dominan tersebut; seperti misalnya; berapa kerugian negara akibat korupsi tersebut, berapa jiwa yang kehilangan kesempatan untuk mendapat hidup yang layak akibat dana-dana subsidi pendidikan atau kesehatan tidak sampai pada sasaran yang tepat, atau berapa nyawa yang hilang atau potensial hilang ketika bangunan-bangunan publik dibangun dengan menurunkan standar kelayakan. Kesesatan kedua yang disuntikkan adalah pada penempatan konflik massa dam proses penangkapan pelakunya yang dioposisikan dengan tindak kejahatan korupsi yang tentu saja dilakukan dalam diam sehingga tidak mengganggu ketenangan massa
(tentu saja kalau tidak ketahuan). Bagaimana berdasarkan ‘ketergangguan ketentraman dan ketenangan’ masyarakat maka tentu saja menjadi logis jika kemudian korupsi juga diposisikan di bawah hierarki kejahatan nyolong ayam, nyopet dan nyolong sandal tersebut. Dapat disimpulkan demikian, bagaimana relasi kode-kode televisual dinarasikan demi menyokong suatu statement utama dan penting dari klas borjuis yang dominan, yaitu justifikasi privilledge borjuis yang ditentukan secara sepihak berdasarkan kategorisari berat-ringannya kejahatan yang disebutkan diatas menjadikan kejahatan yang dilakukan borjuis tidak lebih ‘berbahaya’ dari tindakan nyolong ayam dan bahkan pembunuhan sekalipun yang dilakukan oleh proletar. Secara diskursif kemudian konstruksi klaim ‘kebenaran’ kelas dominan (baca penguasa) ditunjukkan dengan middle-shoot Bajuri menunjuk teman satu selnya. Dengan maksud memberi fokus pada ekspresi bajuri yang merepresentasikan keberanian dan kepercayaan diri ‘menuduh’, memberi predikat atau label penjahat kepada seseorang. Efek middle-shoot yang mengkonstruksi untuk sementara ‘kuasa’ Bajuri atas teman satu selnya tersebut untuk kemudian potensial untuk direlasikan dengan konsep ‘kuasa’ dan ‘hubungan kuasa’ yang dilakukan oleh pihak yang powerfull atas yang powerless. Dalam pemahaman ini maka visualisasi Bajuri dengan teknik middle-shoot dan diambil dari angle yang sedikit di bawah dengan tujuan memberi efek powerfull kepada Bajuri, ditambah dengan wacana bahwa kuasa secara umum ditunjukkan dengan kuasa politik dan ekonomi; maka scene ini untuk kemudian dapat dipahami sebagai upaya konstruksi media untuk membangun sebuah keumuman atau keobjektifan ‘hubungan kuasa’ dimana posisi ditunjuk hanya diperoleh untuk orang atau pihak yang lemah ‘power’nya secara ekonomi politis, siapa lagi kalau bukan proletar. Kelemahan ‘power’nya dan ditambah dengan kelabilan emosi yang direpresentasikan dalam dialog Bajuri dan N mengenai alasan membunuh sebagai bentuk dari kekesalan emosi saja, sebagaimana dikutip dibawah ini ketika N menjawab keingintahuan Bajuri tentang alasan masuknya N ke penjara yang dikisahkan dilakukan N karena alasan simple bahwa dia sedang kesal saja dengan korban; Bajuri
:Boleh nanya nggak?! Ngo62
Penjahat Proletar Ala Bajuri mong-ngomong kenapa sih abang bunuh orang? N:Gue lagi sebel aja. Bajuri :Cuman gara-gara sebel doang. N:Iyah. Ini digambarkan ntuk kemudian mengarahkan penonton untuk kembali pada nilainilai ‘ketundukan’ dan ‘kepatuhan’ yang harus dimiliki oleh proletar serta klaim-klaim kebenaran penguasa untuk melakukan ‘kontrol’ dan ‘penekanan’ terhadap proletar karena potensi kelabilan emosinya yang mempunyai potensi besar untuk menjadi anarkis. Ujung dari upaya kontrol dan penekanan ini adalah demi tercapainya kondisi tentram dan aman, yang secara diskursif dijelaskan dengan kembali pada objektifikasi hierarki kejahatan yang sebagaimana diuraikan diatas yang salah satunya didasarkan pada mengganggu ketentraman dan ketenangan masyarakat. Melalui dialog antara Bajuri dan N diatas, penonton diarahkan untuk menilai karakter dasar proletar yang dicitrakan dalam kisahnya tersebut, sekaligus mengajak penonton untuk mempertanyakan kelayakan dan keabsahan pemerintah dalam memberlakukan kebijakan-kebijakan dan tindakantindakan represif untuk mengatur ketidaklabilan proletar dalam menghadapi tekanan hidupnya. Pernyataan potensial yang muncul setelah kondisi proletar diamini oleh penonton adalah, bahwa untuk itulah dibutuhkan pemerintah yang, dalam kosakata kelas dominan: tegas dan keras demi terciptanya ketertiban sosial. Tingkat pengetahuan proletar menjadi ide yang dikembangkan dalam visualisasi Bajaj Bajuri edisi ini, yang tentu saja difungsikan dalam tujuannya memperkuat klaim kebenaran dan kesahihan penguasa dalam melakukan kontrol dan tindakan-tindakan represif terhadap proletar. S e b a g a i m a n a dijelaskan dalam dua scene diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam realisme Bajaj bajuri kejahatan dan penjahat pun untuk kemudian menjadi sesuatu yang dekat dengan proletar dan tentu saja dialami serta menempatkan proletar sebagai partisipator aktif dari kejahatan itu sendiri. Bagaimana N sebagai penjahat yang dicitrakan sesungguhnya dalam Bajaj Bajuri, menjadi sangat menarik; sebagai orang yang emosional dalam menghadapi hal atau orang yang dianggap tidak sesuai dengan keinginannya dan seka63
Djatiprasetyani Hadi ligus bersikap dingin, tanpa rasa bersalah setelah melakukan hal-hal yang dianggap jahat. Karakter dan kostum N sangat representatif untuk mendukung citra kekejaman penjahat proletar ala Bajaj Bajuri; dimana N, seorang lelaki berotot dan berkulit hitam dengan wajah keras dan dinginnya, menggunakan celana jeans belel dan kaos tanpa lengan yang tentu saja tidak mungkin digunakan oleh orang-orang dari kelas mapan borjuis. Pengambilan gambar yang mayoritas menggunakan teknik medium-shot dan longshot, setidaknya untuk kemudian menjadi rasional dengan upaya penguatan citra penjahat proletar tersebut; yang disajikan dengan seluruh identitas emosi dan penampilannya tersebut. Penghilangan tattoo atau gambar tubuh dalam representasi proletar yang melekat pada N, justru dapat dianggap memperkuat kesan proletar, dimana tattoo tidak lagi menjadi satu-satunya identitas proletar yang agresif (baca: preman) sebagaimana ditemukan pada preman-preman tahun 80-an era Kusni Kadut, namun justru saat ini telah menjadi sebuah hobi dan ekspresi diri yang dilakukan justru oleh kalangan menengah atas seperti selebritis dan olahragawan yang mempunyai aset trilyunan dan juga mempunyai modal sosial karena pesonanya secara fisik. Sebagaimana Ong menyatakan bahwa dalam masyarakat oral dasar, pengetahuan dibentuk dalam keterlibatan pengalaman, maka televisi sebagai bentuk sisa oral dasar berupaya membangun common-sense mengenai proses konstruksi pengetahuan proletar (sebagai kelas yang belum terindustrialisasikan) yang diperoleh dari sekedar pengalaman pribadi dan bukan hasil analisis mendalam. Bagaimana Oneng yang biasanya dikesankan sebagai perempuan ‘oon’ bertransformasi menjadi ‘lebih tahu’ mengenai Operasi Ketupat yang melibatkan dirinya sebagai istri Bajuri yang ditahan karena Operasi Ketupat tersebut, kiranya bisa merepresentasikan bagaimana pengetahuan akan sesuatu hal seperti kejahatan dan penjahat bisa (dan harus) diperoleh dalam masyarakat Proletar. Berikut ini dialog antara Minah (tetangga Bajuri), Emak dan Oneng mengenai alasan Bajuri masuk Penjara; Minah :Saya cuman penasaran doang…kenapa Bang Juri masuk penjara..
Penjahat Proletar Ala Bajuri Emak :Semalam dia ketangkep. Nyolong ketupat. Minah :Maap pok Oneng...masak iya Bang Juri nyolong ketupat? Oneng :Bukannya nyolong ketupat!..hik..hik.. kena O..pe..ra…si.. Ketupat. Karena polisi mau ngamanin Lebaran…hik…hik.. Minah :Maap pok Oneng bukannya saya nggak ngerti, bukannya saya nggak paham. Cuman saya nggak tahu kenapa polisi nangkap Bang Juri?! Oneng :Waktu polisi meriksa Bajajnya Bang Juri…hik…didalam Bajajnya ada shabu shabuuuu….hik..hik. Minah :Maap pok Oneng…emangnya kalok Lebaran kita nggak boleh beli masakan Jepang ya? (dengan ekspresi yang masih tidak tahu) Oneng :Hiee….(memeluk Emak) Praksis ideologi juga diperkuat dalam scene dimana Emak, Oneng dan Pok Minah terlibat pembicaraan mengenai alasan Bajuri masuk penjara. Dalam scene tersebut memperkuat praksis ideologi mengenai bagaimana pengetahuan proletar tentang suatu hal atau peristiwa sangat potensial dicitrakan dalam dialog diatas; bagaimana Oneng yang dalam setiap episode secara umum dicitrakan sebagai perempuan yang ‘oon’ dan sebagai akibatnya sering salah memahami esensi suatu hal dan atau peristiwa, meskipun dikonstruksi menjadi orang yang paling tahu mengenai masuknya bajuri di penjara, tetap dikondisikan tidak tahu dalam keadaan paling tahu jika dibandingkan dengan dua karakter lainnya (yaitu Emak dan Minah). Hal ini disebabkan karena kondisi ‘tahu’ yang dimiliki Oneng, dicitrakan sebagai sekedar tahu dari proses ditangkapnya Bajuri dalam Operasi Ketupat , yaitu pada masalah teknis, dan bukan pada esensi makna mendasar dari Operasi Ketupat itu, seperti misalnya; apa definisinya, apa fungsinya dan kenapa diadakan menjelang Lebaran. Pemahaman Oneng mengenai Operasi Ketupat, dibatasi pada pengetahuan mengenai kegiatan momentum polisi yang pada akhirnya menjerumuskan suaminya ke Penjara. Konflik yang terjadi dalam dialog yang melibatkan Emak, Oneng dan Mpok Minah yang dengan middle-shoot secara bergantiganti mengambil gambar ketiga tokoh diatas, bisa dipahami sebagai technical code yang bekerja dalam tujuannya untuk memfokuskan penonton pada ekspresi ketiga tokoh
Djatiprasetyani Hadi tersebut. Poin penting dalam technical code yang digunakan untuk men-shoot adegan ini adalah tidak lagi sekedar pada konflik sederhana mengenai masuknya Bajuri ke penjara melainkan lebih dari itu, konflik ini dengan dukungan middle-shoot potensial untuk mengarahkan penilaian penonton mengenai pemahaman ketiga tokoh tersebut terkait dengan hukum dan mekanisme atau prosedur penegakan hukum, yang dalam tayangan ini ketiganya merepresentasikan proletar. Dengan middle-shoot yang secara dinamis berganti-ganti, penonton diajak untuk melihat wajah dan ekspresi ketiga tokoh dengan dialog yang terjadi, bagaimana kemudian ketiga ekspresi tersebut secara visual terpolarisasi dalam tiga jenis ekspresi; bingung yang ditampakkan oleh Pok Minah, sedih dan tak berdaya oleh Oneng serta sok-tahu pada Emak. Jika polarisasi ekspresi ketiga tokoh tersebut direlasikan dengan materi dialog yang sedang dikonflikkan dan wacana hukum nasional, maka scene ini sangat potensial untuk dimaknai sebagai strategi labelisasi dari pengetahuan dan sikap proletar terkait dengan permasalahan hukum, dimana mayoritas pengetahuan dan pemahaman proletar tentang hukum memang terpolarisasi dalam ketiga ekspresi dan sikap yang direpresentasikan ketiga tokoh dalam dialog tersebut: bingung karena ambigu antara pengetahuan dan praktis, takut dan tak berdaya karena tahu namun tidak bisa berbuat apa-apa serta sok tahu yang biasanya mengarahkan pada tindakan-tindakan nekat dan agresif kalau tidak anarkis. Labelisasi ini menjadi terselubung dalam naturalisasi social codes yang disajikan secara visual, sehingga meminjam istilah Barthes, dimana Fiske juga terinspirasi olehnya, maka labelisasi ini untuk kemudian menjadi objektif dan common-sense. Dalam arti bahwa label proletar yang ‘mbingungi’, takut tak berdaya dan sok tahu menjadi umum disematkan pada pengetahuan proletar tentang hukum dalam kasus tematik episode tayangan ini, dan kemudian menjadi semacam justifikasi bagi kelas 64
Penjahat Proletar Ala Bajuri berkuasa yang mempunyai otoritas mengenai ‘kebenaran’ untuk mengatur dan mendikte proletar mengenai mana yang salah atau benar, mana penjahat dan bukan penjahat. Sederhananya, dengan relasi dialog dan adegan serta technical-codes yang digunakan, maka di’umum’kan atau dinaturalkan atau di‘common-sense’kan konvensi baru mengenai benar-salah, jahat-tidak yang tidak lagi didasarkan pada hakikat aturan yang berlaku, melainkan disempitkan pada sekedar tingkat pengetahuan dan emosional seseorang; dan kemudian menjadi semacam label ideologis politis yang tidak sedang dalam fungsinya menerangi pengetahuan masyarakat umum, namun justru menyesatkan dan difungsikan utamanya untuk mempertahankan kondisi hierarkhi tersebut dan sekaligus diyakini akan melanggengkan kuasa kelas dominan berkuasa yang minoritas dalam jumlah atas proletar. Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman Oneng sebagai representasi proletar (khususnya perempuan) diperkuat dengan ditunjukkan pada ketidakmarahan Oneng terhadap polisi dan justru dialihkan kepada Emak. Bagaimana secara literal dan visual, kemarahan Oneng justru ditunjukkan dalam konflik Oneng dengan Emak, dimana Emak dianggap tidak adil dan jahat terhadap Bajuri yang masuk penjara sebagai akibat salah tangkap. Kesalahan institusi sebagai representasi penguasa dialihkan menjadi kesalahan proletar, pengalihan kesalahan ini kemudian lebih sempit lagi ditempatkan pada keluarga yang mempunyai peran penting dalam memotivasi ketidakteraturan dan ketidaktentraman sosial. Pengalihan kesalahan institusional kepada proletar juga tampak dalam keseluruhan shoot yang hampir seluruh konflik yang tersaji dalam episode ini adalah konflik Oneng dan Emak, dan sekaligus menghilangkan konflik yang melibatkan polisi (representasi dari negara/pemerintah yang borjuis) sebagai pelaku salah tangkap yang seharusnya dilawan oleh Oneng, Bajuri dan bahkan Emak. Ide salah tangkap dengan demikian secara ideologis dicitrakan dalam visual Bajaj bajuri menjadi suatu yang harus dianggap lazim dan prosedural dan oleh karenanya harus diterima sebagai cobaan untuk lebih bersikap hati-hati, dan kemudian harus menyikapinya dengan sabar dan kuat 65
Djatiprasetyani Hadi karena peristiwa salah tangkap ini sekedar cobaan atas ketidakhati-hatian proletar, dan karenanya bukan kesalahan polisi sebagai representasi dari pemerintah yang hanya menjalankan tugasnya, sebagaimana dialog Minah dan Oneng untuk memberi motivasi Oneng: Minah :Maap Pok Oneng…saya bukannya sok nasehatin, bukannya sok ngajarin, saya cuman mo ngasih saran. Pok Oneng yang sabar ya… Oneng :Pok, saya tuh, udeh nikahnye 5 tahun ame Bang Bajuri. Tiap Lebaran selalu bareng-bareng, maap-maapan. Sekarang… Bang Bajurinye, dipenjaraaa….a (nangis)… saya kasihan ame die pok. Minah :Maap Pok Oneng, saya bukannya sok tahu, bukannya sok pinter. Saya cuman mo bilang saya yakin Bang Bajuri juga bisak sabar…bisak tegar… Oneng :Iye iye..pok saya juga yakin pok. Kalo Bang Juri bisa sabar bisa tegar! (tersendatsendat) Dialog diatas menggunakan realisme Fiske bukan difungsikan dalam tujuannya merepresentasikan Oneng dan Bajuri sebagai representasi proletar yang sabar dan tegar atau kuat, namun secara kontradiktif justru ditujukan untuk semata-mata mengkonstruksi kondisi keterbelakangan pengetahuan proletar yang disamarkan dalam kondisi musibah dan oleh karenanya harus disikapi dengan pasif. Kepasifan proletar justru dicitrakan dalam fungsinya secara ideologis yaitu membekukan kondisi proletar untuk tetap dalam kondisi ketertindasan mereka, karena mereka adalah kumpulan orang-orang yang tetap tidak tahu dan oleh karenanya lemah baik secara individual maupun secara sosial. Kepasifan dalam kaca mata penguasa mampu mengeliminasi kesatuan proletar sehingga mengantisipasi tindakan-tindakan anarkis selanjutnya dan karenanya patut dan sah untuk dipertahankan. Realisme yang terkonstruksi bukan dalam tujuannya merepresentasikan Oneng dan Bajuri sebagai proletar yang sabar dan tegar atau kuat, namun secara kontradiktif justru ditujukan untuk semata-mata mengkonstruksi kondisi keterbelakangan pengetahuan proletar yang disamarkan dalam kondisi musibah dan oleh karenanya harus disikapi dengan pasif. Kepasifan proletar justru secara ideologis ditujukan dalam upayanya membekukan kondisi proletar untuk tetap dalam kondisi
Penjahat Proletar Ala Bajuri ketertindasan mereka; dipertahankan untuk tetap tidak tahu dan karenanya tetap lemah secara individual maupun secara sosial. Diseminasi keyakinan mengenai ‘keharusan’ pasif tersebut, secara bertahap potensial mengantisipasi dan bahkan mengeliminasi kesatuan proletar sehingga tindakan-tindakan anarkis dan kontra-produktif dari sudut pandang penguasa borjuis mampu diminimalisir. Kontradiktifnya jawaban Oneng dalam dialog diatas dengan scene yang diilustrasikan dalam adegan dimana Bajuri divisualisasikan meratap di balik terali penjara kiranya memperjelas kondisi kelemahan proletar yang dengan segera membutuhkan pemerintah Borjuis dengan kematangan pengetahuan dan emosionalnya untuk membimbingnya: Fokus pada Bajuri dengan tetap membiarkan terali besi untuk tampak jelas dalam layar, memvisualkan Bajuri di balik penjara yang meratap sedih karena nasibnya masuk penjara dan teralienasinya dirinya dari sosial: keluarga (Oneng dan Emak) dan tetangga, serta alienasi dari dirinya sendiri sebagai akibat dari ambiguitas antara keyakinannya dan kebenaran umum yang dicitrakan dalam bentuk otoritas institusi. Visualisasi Bajuri di balik jeruji penjara ini untuk kemudian mengkonstruk sebuah realitas dimana proletar yang terkungkung atau ‘terpenjara’ dalam ketidaktahuannya serta kondisi keterasingan yang diakibatkan oleh ketidakberdayaannya tersebut. Realitas hasil konstruksi ini untuk kemudian memperkuat statement utama dari pesan tayangan Bajuri yaitu melazimkan kondisi keterbatasan pengetahuan proletar mengenai hukum dan mekanismenya (dalam kasus episode ini) yang ‘mengharuskan’ uluran tangan sang ‘terdidik’ dan ‘terpelajar’ yaitu pemerintah atau negara, sang borjuasi, untuk membiarkan membimbing si proletar agar tidak salah jalan. Posisi N yang minoritas dalam space, namun tetap tampak jelas dalam shoot secara potensial dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi penguasa mengenai prioritas alasan proletar untuk dikontrol. Dua objek yaitu Bajuri dan N yang dimunculkan secara bersama dengan teknik Depth Of Field (DOF) luas menunjukkan kedua objek ini sama penting namun mempunyai hubungan yang hierarkis. Jika Bajuri dengan ekspresi emosionalnya mengambil mayoritas space, maka hal ini harus dipahami sebagai upaya untuk memprioritaskan bukan pada bajurinya melainkan
Djatiprasetyani Hadi pada ekspresi emosionalnya yang dimiliki oleh bajuri sebagai representasi proletar. Sementara N yang mengambil space yang minor, juga sedang difokuskan ada ekspresi pasif, dingin dan tak pedulinya dari siapa yang diwakili oleh N tadi, yaitu proletar yang lain. Jeruji besi yang juga tampak secara jelas ketika dikaitkan dengan kedua objek; ekspresi Bajuri dan N, maka akan memperjelas makna yang coba dibangun dalam shoot ini dan ketika direlasikan dengan ide mengenai jahatpengetahuan-kontrol, maka shoot ini dapat dipahami sedang dalam tujuannya mengkonstruksi realitas mengenai relasi power antara proletar dan penguasa borjuis. Jeruji besi tidak hanya bisa menggambarkan keterkungkungan seseorang atau kelas, melainkan juga keterbatasan yang dalam konteks ini adalah keterbatasan pengetahuan; dimana keterkungkungan justru disebabkan karena keterbatasan pengetahuan proletar akan konsep jahat dan kejahatan serta hukum dan mekanisme hukum menjadi justifikasi penguasa akan kelemahan proletar dan sekaligus mengibarkan klaim-klaim kebenarannya untuk terlibat dan campur tangan terhadap proletar bahkan sampai di tingkat keluarga dan keseharian mereka. Kelemahan yang membawa mereka pada sifatutama yang kontradiktif namun sama-sama ‘berbahaya’ dalam kaca mata pengusa borjuis; aktif agresif dan pasif, dianggap sebagai halangan bagi keberlangsungan keteraturan dan ketentraman sosial dan karenanya harus dikontrol dan dibimbing oleh penguasa yang lebih stabil karena keberlimpahruahan mereka akan pengetahuan. Maka sebagaimana scenes yang lain, sekali lagi image proletar sedang dikonstruksi diatas klaim-klaim kebenaran penguasa. Inilah realisme menurut Fiske, dan dalam konteks yang demikian Bajaj Bajuri untuk kemudian harus dipahami sedang menyuntikan pengetahuannya mengenai penjahat proletar diatas klaim-klaim kebenaran dan kebijaksanaan penguasa, yang muncul setidaknya karena tiga (3) hal, yaitu: kekurangpengetahuannya, himpitan ekonominya dan juga karena kalabilan emosionalnya. Dan sekali lagi inilah penjahat yang harus dipahami oleh awam sebagai kriminal masyarakat dan harus diperangi tidak saja dengan hukum-hukum negara melainkan juga norma sosial. Dan karena potensinya lahir dalam masyarakat proletar yang serba terbatas akses 66
Penjahat Proletar Ala Bajuri ekonomi politiknya, maka Bajaj Bajuri sangat berperan serta dalam melegalkan kepemimpinan dan dominasi pemerintah kelas proletar yang labil tersebut. Tentu saja dengan aktor yang mempunyai status yang kompleks, selain duduk dalam pemerintahan juga menjadi bisnisman, tindakan opresif negara atas proletar untuk kemudian tidak berhenti sebatas hukum yang salah tangkap ini, melainkan sebaliknya dengan justifikasi kurangnya pengetahuan, tidak berdaya dan sok tahu yang dinarasikan akan membawa proletar pada pilihan jalan yang salah, maka negara dengan justifikasinya tersebut bisa melebarkan tindakan represifnya hingga pada kebijakan pasar, pendidikan, kepemilikan aset, modal dan lain sebagainya. Penindasan negara atas proletar pada perkembangannya mengarah pada bentuk totalnya, yang merupakan strategi ideologis politis untuk menutup segala kemungkinan atau celah untuk pilihan lain bagi proletar. Dan sebagaimana Barthes menyebutkan bahwa suntikan pengetahuan merupakan tahap awal yang krusial dari proses mitologi, maka Bajaj Bajuri melakukan perannya sebagai alat kepentingan penguasa yang mengabdi demi mengkekalkan nilai-nilai dominasi kelas berkuasa tersebut dengan menciptakan Mitos Penjahat Proletar misalnya. Dan sebagaimana peran mitos dalam masyarakat pre-industri yang dikritik dalam fungsinya menciptakan kondisi fatalisme, maka Bajaj Bajuri juga mentransformasikan peran mitos pre-industrial dalam masyarakat modern saat ini dengan memberi satusatunya guideline mengenai suatu hal (misal pengetahuan tentang penjahat) bagi penontonnya dan tidak menyisakan ruang bertanya sedikitpun untuk meragukan kebenaran realitas yang disampaikan. Dan akhirnya oppressor is everything, his language is rich, multiform, supple, with all the possible degrees of dignity at its disposal; he has an exclusive right to meta-language sementara the oprresed is nothing. Realisme Penjahat Proletar sebagai Sebuah Praxis Hegemoni Ideologi dalam pandangan Marxisme dan media study dimaknai secara negatif dan mendapat kritik. Ideologi dikritik sebagai sebuah fixing of meaning atau neutralization yang sangat erat kaitannya dengan relasi-relasi sosial yang dominatif, dimana 67
Djatiprasetyani Hadi ideologi bekerja dalam praksis-praksis penindasan yang justru secara sistematif dan diskursif melestarikan relasi-relasi kekuasaan tertentu. Inilah mengapa ideologi disebut sebagai instrumen kekuasaan klas dan mengabdi pada klas tersebut. Dalam konteks yang demikian ideologi dapat diartikan kemudian sebagai alat produksi dan diseminasi keyakinan-keyakinan yang salah dan keliru. Media menjadi instrument yang penting dalam konsep hegemoni Gramsci, dimana melalui media ideologi disebarluaskan dan memperoleh efeknya secara dramatis dan efektif. Media menjadi instrumen produksi dan reproduksi wacana, dimana melalui realisme , sebagaimana dipahami dalam Fiske, relaitas yang selektif dan parsial, diterima dan dipahami sebagai realitas sebenarnya salah satunya karena ‘kemasan’ naratifnya. Pararel dengan produksi realisme tersebut, maka media, televisi dalam artikel ini, melakukan pula upaya pemiskinan pengetahuan dan atau kebenaran mengenai dunia atau realitas; dimana melalui realisme yang diproduksi, perumpamaan-perumpaan dari suatu grand-naratif tentang fear, felling dan desire pada tingkat yang paling dasar. Dan tujuan utama dari beroperasinya mekanisme produksi dan eksklusi pengetahuan dan realitas tersebut adalah menegakkan dan atau mengkonservasi relasi dominatif, dimana bentuknya mengalami transformasi yang signifikan dari tindakan-tindakan yang mengutamakan koersif menuju suatu pola konsensus. Gramsci tidak secara mentah meninggalkan tindakan koersif dari konsep hegemoninya, hanya saja konsensus sebagai syarat utama terwujugnya kondisi hegemonic, menjadikan tindakan-tindakan koersif menjadi sah, benar dan legal dilakukan. Demikian juga realisme Bajaj Bajuri difungsikan, bagaimana relasi naratif dari kode-kode televisual membangun suatu pemahaman baru mengenai penjahat negara. Penjahat negara ala ‘Bajuri’ sebagaimana telah dianalisis sebelumnya, didefinisikan sebagai orang bawah, miskin secara materi maupun pengetahuan dan medhok untuk memperlihatkan konektifitas lokal mereka. Identitas yang dalam artikel ini disebut sebagai proletar. Distorsi realitas dalam realisme Penjahat proletar ala Bajuri ini dikonstruksi pararel dengan upaya negara sebagai masyarakat politik untuk membiaskan realitas yang kompleks mengenai praktik hukum dan peradilan nasional. Bagaimana pemahaman mengenai jahat dan adil dipangkas sedemikian
Penjahat Proletar Ala Bajuri rupa dengan mengeksklusi kemungkinankemungkinan lain identifikasi tentang jahat dan tindakan kejahatan seperti misalnya tindakan korupsi, genocide era 65 misalnya atau penculikan dan pembunuhan politis. Pengetahuan tentang jahat dan kejahatan dibatasi pada wilayah relasi yang paling sederhana dan meniadakan faktor-faktor lain yang sangat mungkin bercampur dan menjadikan jahat dan tindakan kejahatan dapat dioperasikan dan kemudian dipahami secara kompleks. Konsep negara yang diperluas, menjadi salah satu fokus yang menarik dalam pemaparan Gramsci mengenai hegemoni, dimana Gramsci menyadari betul perubahan tren adanya negara-negara global yang membawa serta perspektif globalnya. Robbie Robertson (Robertson, 2003: 12-13) menyebutkan era tersebut sebagai gelombang ketiga globalisasi, yang menempatkan isu-isu Amerikanisasi yang membawa serta demokratisasi dan pesebarluasan perspektif-perspektif global atau yang disebut Marjorie Ferguson (Ferguson dalam McQuail,2005 : 23-32) sebagai mythology of globalization. Masalah Demokrasi global menjadi menarik untuk diulas dalam artikel ini terkait dengan isu lokalitas dan keberagaman identitas. Demokratisasi, menurut Robbie Robertson (Robertson, 2003: 12), dipahami sebagai ‘the process of social empowerment that makes modernity attainable’. Definisi ini dapat dipahami kemudian, bahwa Robertson memahami demokratisasi sebagai prasyarat dari modernitas, dan karenanya harus diwujudkan tidak hanya oleh negara asal demokrasi tersebut, yaitu Amerika, melainkan juga membutuhkan interkonektifitas di seluruh penjuru dunia dalam upayanya membangun sebuah blok historis tertentu. Lebih lanjut Robertson (Robertson, 2003: 12-13) menyebutkan ada tiga tantangan demokratisasi yang potensial melemahkan dinamika modernitas dunia, yaitu: (1) Tantangan perluasan dan memperdalam demokratisasi secara global dan meningkatkan sentralitas masyarakat sipil, (2) tantangan lingkungan mengenai isu-isu sustainabilitas global, (3) permasalahan multikultural. Dalam konteks tiga tantangan tersebut, artikel ini menempatkan poin ketiga sebagai pilihan untuk memperkaya pembahasan Bajaj Bajuri sebagai instrumen hegemoni penjahat negara yang dilakukan oleh negara sebagai pemegang kuasa politik. Pemapanan hegemoni sebagai upaya melakukan trans-
Djatiprasetyani Hadi formasi sosial dari kelas berkuasa, menurut Gramsci, dilakukan dengan membangun sebuah commonsense, hanya saja commonsense ini bersifat ideologis dan karenanya memuat suatu kepentingan politis klas tertentu. Sebagaimana realisme penjahat proletar ala Bajuri sebagaimana diuraikan diatas, mampu membangun suatu mental map tentang definisi penjahat negara yang disederhanakan menjadi khas proletar dan menutup kemungkinan untuk masuknya actor-aktor lain atau tipe-tipe lain yang mempunyai konsekuensi sosial yang relative sama atau bahkan melebihi tipe proletar tersebut. Inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemonic closure. Hegemonic clossure ini menjadikan kesadaran akan kondisi ketertindasan dari klas proletar, dalam hal ini lokal yang dicontohkan dengan Betawi) tidak terbentuk, sehingga ‘unity of consciousness’ dari lokal yang proletar tersebut menjadi jauh dari jangkauan. Dan transformasipun tidak terjadi dengan perubahan struktur dominasi, dominasi tetap milik dari negara yang borjuis. Berikut ini skema proses hegemoni melalui kodekode televisual terjadi dalam realisme Bajaj Bajuri; Hegemonic closure dalam artikel ini terjadi melalui realisme media yang meskipun menyajikan keberagaman bersuara dari lokal dan kelompok sosial lain terpinggirkan, namun toh hanya berada pada tataran bentuk saja dan bukan secara esensial. Sebagaimana disebutkan oleh Robertson, dimana isu multikulturalisme yang muncul sebagai implikasi historis dari tuntutan kesederajatan dari klas-klas minoritas di Amerika, menjadikan isu ini signifikan dan mendesak untuk dicari solusinya agar sebagaimana tujuan awalnya untuk menjamin modernitas dapat dilaksanakan secara efektif. Menjadi berbeda kemudian dengan apa yang dikemukakan Gramsci, bahwa kondisi hegemonic hanya bisa efektif dengan mempertahankan kondisi ketidakseimbangan termasuk didalamnya ketidakseimbangan informasi. Rasionalisasi dari hal ini adalah, bahwa dalam kondisi ketidakseimbangan informasi tersebut, keberagaman etnis, informasi atau perspektif dijamin semata-mata demi mempertahankan ketidakpastian yang berjalan pararel dengan arogansi klas atau perspektif. Kondisi ini sangat potensial untuk membuka celah terjadinya chaos, dimana 68
Penjahat Proletar Ala Bajuri hanya dalam kondisi tidak pasti seperti ini intervensi pemerintah dalam wacana nasional dan negara global dalam wacana internasional dapat dilakukan, dan koersif menjadi hal yang wajar dan legal ketika keyakinan dominan mengalami krisis. Dalam konteks sebagaimana disebutkan diatas, maka Betawi sebagai proletar yang diberi ruang, harus dipahami secara kritis. Alih-alih menegakkan demokrasi sebagaimana yang didesakkan oleh negaranegara global demi menjaminkan efektifitas modernitas yang tentu saja ideologis, pada praksisnya justru memproduksi suatu pengetahuan mengenai demokrasi yang bias. Alasan yang paling mungkin disertakan untuk menjelaskan kondisi ini adalah, bahwa desakan-desakan internasional yang tak terelakkan, salah satunya sebagai konsekuensi dari tindakan bantuan asing, menjadikan negara sebagai agen dari kepentingan internasional. Kasuistik di Indonesia dimana kuasa politik bertumpang tindih dengan kuasa ekonomi menjadikan media sebagai saluran informasi yang tidak netral dan bahkan politis. Baik negara nasional maupun internasional, berjuang untuk membangun sebuah konsensus yang menjamin dominasinya atas kelas terpinggirkan lain diatas kemungkinankemungkinan perpecahan keyakinan dan politis yang tetap dipertahankannya dalam tujuannya membangun celah intervensi ketika ‘penguasa’ mengalami krisis hegemoni.
69
Djatiprasetyani Hadi DAFTAR PUSTAKA Adam David Morton, 2007 Unravelling Gramsci; Hegemony and Passive Revolution in The Global economy, London, Pluto Press. Denis McQuail, Peter Golding and Els de Bens, 2005 Communication Theory & Research; An EJC Anthology, London, Sage Publication. Howard Davis & Paul Walton ed, 1984 Language, Image, Media, England, Basil Blackwell Publisher Limited. James T. Siegel, 2000 Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas,Yogyakarta, LKiS John Fiske, 2001 Television Culture, London, Routledge Marianne Jorgensen & Louise Phillips, 2002 Discourse Analysis as Theory and Method, London, SAGE Publications Ltd Meenaksi G. Durham & Dauglas M. Kellner ed, 2006 Media & Cultural Studies Keyworks, Australia, Blackwall Publishing. Mike Wayne, 2003 Marxism & Media Studies: Key Concepts & Contemporary Trends (Marxism & Culture), London, Pluto Press. Paula Saukko, 2003 Doing Research in Cultural Studies An Introduction to Classical & New Methodological Approach, London, Sage Publication. Robbie Robertson, 2003 The Three Waves of Globalization; A History of a Developing Global Consciousness, London, Fernwood Publishing Robert E. Babe, 2009 Cultural Studies and Political Economy; Toward a New Integration, New York, Lexington Books Roger Simon, 1999 Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Roland Barthes, 1983 Mythologies, New York, Granada Publishing Walter J. Ong, 1988 Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, New York, Routledge
Jurnal Ultima Comm
Vol. 5, Nomor 1/ Mei-Juli 2014
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK ( ANALISIS PEMBERITAAN KISRUH WISMA ATLIT DI MEDIA INDONESIA) Yoyoh Hereyah dosen komunikasi Universitas Mercubuana Jakarta Jl.Meruya Selatan No.01 Kembangan Jakarta Barat Telepon (021) 5840816 e-mail: yoyohwibowo@yahoo.com
Abstract: Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun disisi lain media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasan. Dalam penelitian ini, yang hendak diangkat adalah seputar kisruh di balik skandal wisma Atlit yang mencemari nama baik partai democrat meski sejumlah pihak mengkaitkan dengan scenario pemilu 2014. Realitas media yang ditampilkan dalam kasus yang menjerat sejumlah petinggi partai Demokrat sangat menarik untuk dikupas, khususnya menggunakan analisis framing. Keywords: Framing, Komunikasi politik, media massa, Partai Demokrat
PENDAHULUAN Saat ini, salah satu ciri masyarakat modern ditandai dengan ketergantungan memperoleh dan menggunakan media komunikasi. Selain dapat memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, keberadaan media massa dapat menyembuhkan hati yang terluka dan melupakan kesulitan Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Realitas adalah hasil dari ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang disebut oleh George Simmel, bahwa reali as dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesannya bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya (Bungin,2008:12)
Realitas atau kenyataan sosial (social reality) adalah realitas sosial suatu masyarakat yang sedang melaksanakan berbagai penyesuaian modernitas sebagai konsekuensi keputusan untuk menjadi suatu negara kebangsaan. Dalam penyiapan materi konstruksi, media massa memposisikan diri pada tiga hal antara lain Pertama, keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Dalam arti media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Kedua, keberpihakan semu kepada masyarakat. Dalam bentuk simpati, empati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “menjual berita” dan menaikkan ratting untuk kepentin70
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
gan kapitalis. Ketiga, Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk ini merupakan arti sesungguhnya yaitu visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar. (Ibid.196197) Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun disisi lain media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasan. (Sobur,2006:30) .Dalam penelitian ini, yang hendak diangkat adalah seputar kisruh di balik skandal wisma Atlit yang mencemari nama baik partai democrat meski sejumlah pihak mengkaitkan dengan scenario pemilu 2014. Realitas media yang ditampilkan dalam kasus yang menjerat sejumlah petinggi partai Demokrat sangat menarik untuk dikupas, khususnya menggunakan analisis framing. 1,1 Fokus Masalah
Yoyoh Hereyah
wisma Atlit yang melibatkan petinggi-petinggi Partai Demokrat?� b.“Bagaimana framing media dibalik pemberitaan kasus tersebut dikaitkan dengan citra partai demokrat , karena Media Indonesia sebagai media yang dimiliki Suryo Palloh yang memiliki ideology sendiri. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian ini adalah untuk : a. Mengetahui bagaimana Surat Kabar Media Indonesia mengkonstruksikan pemberitaan bagaimana Surat Kabar Media Indonesia mengkonstruksikan berita-berita seputar kasus wisma Atlit yang melibatkan petinggi-petinggi Partai Demokrat?� 1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Adapun manfaat teoritis dari penelitian deskriptif kualitatif ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengaplikasian teori jurnalistik mengenai framing dan pembingkaian serta kosntruksi realitas sosial secara umum diintergrasikan pada perubahan sosial..
b. Manfaat Praktis Dalam penelitian deskriptif kualita- Sedangkan manfaat praktis dari penelitian tif ini masalah dibatasi dengan mengetahui ini diharapkan dapat memberikan masukkan, bagaimana pemberitaan seputar penangkapan umumnya bagi Surat Kabar Media Indonesia eks bendahara Partai Demokrat dan kisruh di dalam setiap pemberitaannya. balik pembangunan wisma Atlit yang melibatkan sejumlah petinggi partai Demokrat. pada KERANGKA PEMIKIRAN Surat Kabar Media Indonesia. Penulis akan menganalisis wacana pada berita yang dimuat 2.1 Konstruksi Realitas pada Surat Kabar Media Indonesia dengan Setiap media massa memiliki karakter dan latar analisis framing Pan Kosjiki. belakang tersendiri, baik dalam isi dan pengemasan beritanya, maupun tampilan serta tu1.2 Perumusan Masalah juan dasarnya. Perbedaan ini dilatarbelakangi Berdasarkan kronologi pemberitaan yang oleh kepentingan yang berbeda dari masingtelah diuraikan, maka dapat dirumuskan ma- masing media massa. Baik yang bermotif polisalah dari penelitian ini adalah : tik, ekonomi, agama dan sebagainya. a.“Bagaimana Surat Kabar Media Indonesia Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan berita-berita seputar kasus mengkonstruksikan realitas. Realitas dalam 71
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
berita dibangun oleh adanya sejumlah fakta. Fakta dari suatu realitas itupun tidak selalu statis, melainkan memiliki dinamika yang mungkin berubah seiring dengan perubahan peristiwa itu sendiri. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun kebenaran suatu realitas bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.(Bungin,2008:11) Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Dimana buku tersebut mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.(Ibid.13) Konstruksi sosial dalam masyarakat tak bisa terlepas dari kekuatan ekonomi dan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan media terhadap pemirsa atau hegemoni massa. Kekuatan hegemoni adalah kekuatan kapitalis yang menguasai individu melalui penguasaan intelektual dan massal. Media dimanfaatkan kelompok elit dominan, sehingga penyajian berita tidak lagi mencerminkan refleksi dari realitas sosial. Kedudukan media ataupun peneliti tidak independen, namun dikuasai oleh banyak kepentingan kelompok elit dominan sebagai hasil penelitian. Media menampilkan cara-cara dalam memandang suatu realitas, karena media dikuasai oleh unsur kepentingan ideologi kelompok dominan yang berkuasa, yang pada akhirnya hasil pemberitaan atas kenyataan atau realitas sosial bisa dimanipulasi. Dimana media menguasai individu melalui penciptaan kesadaran palsu, yaitu kesadaran yang diciptakan oleh media karena masyarakat mengkonsumsi berita atau informasi yang ditampilkan.
yoyoh Hereyah
Dengan masuknya unsur kapital, media massa mau tidak mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan (revenue) baik dari penjualan maupun iklan. Pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. (Sobur,2006:88) Berger dan Luckmann memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki kharakteristik secara spesifik.(Sobur, 2006:91). Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas – realitas media – yang akan muncul dibenak khalayak. Lewat konteks pemberitaan, pembaca dapat menyadari bahwa wartawan kadang menghidangkan “madu” dalam menu beritanya, kadang pula dalam berita yang lain menuangkan “racun. Oleh karena itu media massa harus memahami dan memaknai realitas yang ditonjolkan dalam pemberitaan. Dengan penonjolan atau penekanan realitas tersebut masyarakat dapat dengan mudah mengingat dan mengerti. 2.2 Media dan Berita dilihat dari Paradigma Konstruktivis Mills mengajukan pandangan yang pesimistik tentang media dalam bukunya The
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
72
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
Power Elite dan memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu� (pseudo world), yang menyajikan realitas eksternal dan pengalaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi. Karena media memainkan peran penting dalam menjalankan kekuasaan, media membantu menciptakan salah satu problem besar dalam masyarakat kontemporer, yakni pembangkangan atas kekuasaan oleh masyarakat.(Hard,2007:211-212). Berita dipandang bukanlah sesuatu yang netral dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya media adalah ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan.(Eriyanto,2002:23). realitas. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada suatu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.Khalayak menjadi subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan atau berita yang dibaca oleh pembaca. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama.(Eriyanto,2002:19-36). Di sini penulis akan meneliti media dan berita dari paradigma konstruktivis dimana posisi Media Indonesia dimiliki oleh kelompok yang dominan dan dapat memajukan kelompok lain. Posisi nilai dan ideologi wartawan media yang tidak terpisahkan dari mulai proses peliputan hingga pelaporan. Lalu hasilnya itu mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik tertentu. 2.3 Wacana dan Ideologi media massa
Yoyoh Hereyah
Indonesia, sebagai salah satu bangsa di dunia, tentu tak lepas dari terpaan globalisasi yang berhembus dari dan ke seluruh penjuru dunia. Terpaan tersebut mencakup dalam pembentukan wacana dalam media massa. Pembentukan wacana merupakan media perjumpaan sekaligus konsentrasi antara pihak yang dominan dan pihak yang resisten. Pihak dominan membangun wacana dan hegemonik. Michael Faucoult (2000) mengemukakan bahwa setiap pembentukan wacana pada dasarnya merupakan sebentuk pemberlakuan kekuasaan. Tanpa disadari gagasan dan konsep yang digulirkan mengandung kuasa. Maksudnya, gagasan tersebut menjadi kekuatan yang dapat menaklukkan kesadaran orang untuk mengikuti gagasan dan konsep tersebut. Sehingga wacana mampu mengontrol, mengarahkan dan meminta seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang diinginkan. Wacana secara ideologi dapat menggusur gagasan orang atau kelompok tertentu. Karena yang dihadapi adalah teks sebagai sarana sekaligus media melalui mana satu kelompok mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain. Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya karena teks percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi adalah sebuah rekayasa mental. Ideologi itu terjadi disebabkan kekuatan yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk dapat mempertahankan posisi dan kekuatannya. Menurut Magnis Suseno, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. (Sobur,2004:243). Media berperan mendefinisikan
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara 73
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Dimana fungsi pertama dalam ideologi di media adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Alex sobur mengatakan istilah ideologi memang mempunyai dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang mengatakan yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai kesadaran palsu yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan untuk memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. 2.4 Hakikat Framing Framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa sehingga dihasilkan sebuah wacana. Pada mulanya analisis framing dipakai untuk memahami bagaimana anggota-anggota masyarakat mengorganisasikan pengalamannya sewaktu melakukan interaksi sosial. (Poloma, dalam Erving Goffman, 1974,247-248) Dalam sebuah wacana selalu ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makana sesuai frame yang dipilih. Dalam konteks ini relevan dibicarakan proses-proses framing media massa. Dimana dalam penyajian suatu berita atau realitas dimana kebenaran tentang suatu realitas tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhdap aspek-aspek tertentu saja, dengan mengunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan ilustrasi lainya. Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu Komunikasi, melainkan konsep yang dipinjam dari ilmu Kognitif.
yoyoh Hereyah
Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media, menjelaskan dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah caracara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.(Sobur, 2001, 162). Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan menyediakan kategorikategori standar untuk mengapresiasi realitas. (Sudibyo,2002,219). Framing merupakan strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media, karena media massa pada dasarnya adalah wahana diskusi atau koservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita dan khalayak. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi.(Eriyanto, 2001,71). Eriyanto selanjutnya menjabarkan mengenai kedua hal yang mempengaruhi tersebut: Pertama soal Dimensi Psikologis. Framing sangat berhubungan dengan dimensi psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks berita) lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf paling awal tidak dapat dilepaskan dari aspek psikologis. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan dunia yang kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai perspektif/dimensi tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda pula (Eriyanto,2001,79-80). Kedua soal Dimensi Sosiologis. Se-
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
74
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
lain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama dapat ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat nerita membentuk secara bersama-sama. Ini menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di dalamnya praktik professional. Pendekatan semacam ini membedakan pekerja media sebagai individu sebagai mana dalam pendekatan psikologis. Melihat berita dan media seperti ini, berarti menempatkan berita sebagai institusi sosial. Berita ditempatkan, dicari, dan disebarkan lewat praktik professional dalam organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses institusional. Praktik ini menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu dilaporkan. Berita adalah produk dari institusi social, dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian analisis framing dengan meminjam model kerangka framing Pan dan Kosicki. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.
Yoyoh Hereyah
ing dibagi menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, Kedua, struktur skrip, Ketiga, struktur tematik; dan Keempat, struktur retoris. (Sobur, 2001,176) Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa dan pernyataan. Opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip; dan sebagainya). Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa. Struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat, atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih kecil. Struktur retoris berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pemakaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar, yang juga dipakai guna memberi penekanan pada arti tertentu. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah metode penelitian kualitaif. Menurut Sugiyono (2005 : 1) metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, tehnik pengumpulan data dilakukan secara tringgulasi (gabungan), analisis bersifat induktif dan hasil 2.5 Framing Pan dan Kosicki penelitian kualitatif lebih menekankan makna Dalam pendekatan ini perangkat fram- daripada generalisasi. 75
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
3.2. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri “peneliti pada penelitian kualitatif bekerja sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian “ (Moleong, 2000 :121) 3.3 Paradigma Penelitian Paradigma didefinisikan Guba sebagai �..........a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles ......a world view that defines, for its holder, the nature of the world� .....�, (dalam Denzin dan Lincoln, 1994:107). Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dalam melihat bagaimana media mengkonstruksi dan menggambarkan kisruh dibalik wisma Atlit yang melibatkan petinggi Partai Demokrat. 3.4. Jenis Penelitian Dalam melihat konstruksi media mengenai citra partai democrat terkait kisruh wisna Atlit peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memahami realitas yang diteliti dengan pendekatan menyeluruh, tidak melakukan pengukuran pada realitas. Secara umum, makna pendekatan penelitian adalah cara pandang peneliti dalam melihat permasalahan penelitian . Menurut Denzin dan Lincoln (1994:4), istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada prosesproses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensi. Penelitian kualitatif memberi penekanan pada sifat bentukan sosial realitas, hubungan akrab antara peneliti dan objek yang diteliti, dan kendala-kendala situasional yang menyertai penelitian. Penelitian kualitatif mencari jawaban atas pertanyaan yang menekankan pada bagaimana pengalaman sosial dibentuk. Suatu penelitian kualitatif dilandasi oleh beberapa
yoyoh Hereyah
asumsi dasar tentang realitas sosial, hubungan peneliti dengan realitas sosial dan cara peneliti mengungkap realitas sosial tersebut.Peneliti kualitatif dapat mengungkap kebenaran tentang realitas sosial yaitu dengan menangkap pandangan subjektif dari orang yang diteliti. Oleh karenanya, dalam penelitian kualitatif hubungan antara peneliti dengan objek yang diteliti adalah hubungan yang setara (Subjek-Subjek). 3.5. Pemilihan Media Media yang dipilih dalam penelitian ini adalah Media Indonesia online. Pemilihan media ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa media tersebut memiliki latar belakang visi dan misi serta ideologi yang berbeda dengan partai demokrat sehingga menarik untuk diteliti. 3.6. Teknik Analisis Data Dalam pendekatan ini, perangkat framing (Eriyanto,2002,176) dibagi menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, Kedua, struktur skrip, Ketiga, struktur tematik; dan Keempat, struktur retoris. Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa dan pernyataan. Opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip; dan sebagainya). Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa. Struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat, atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih kecil.
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
76
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
Struktur retoris berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pemakaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar, yang juga dipakai guna memberi penekanan pada arti tertentu. Sintaksis. Dalam pengertian umum; sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita – headline, lead, latar informasi, sumber, penutup dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Bagian itu tersusun dalam bentuk yang tetap dan teratur sehingga membentuk skema yang menjadi pedoman bagaimana fakta hendak disusun. Bentuk sintaksis yang paling popular adalah struktur piramida terbalik yang dimulai dengan judul headline, lead, episode, latar, dan penutup. Dalam bentuk piramida terbalik ini, bagian yang atas ditampilkan lebih penting dibandingkan dengan bagian bawahnya. Elemen sintaksis memberi petunjuk yang berguna tentang bagaimana wartawan memaknai peristiwa dan hendak kemana berita tersebut akan dibawa. Headline merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan kecenderungan berita. Skrip. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W+1 H (who, what, when, where, dan how). Meskipun pola ini tidak selalu dapat dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing yang penting. Skrip adalah salah satu dari strategi wartawan dalam mengkonstruksi berita: bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Tematik. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Di sini, berarti struktur 77
Yoyoh Hereyah
tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis oleh seorang wartawan. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik, antara lain : Detail. Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan detail informasinya akan dikurangi. Maksud. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, yakni menyajikan informasi dengan kata-kata yang tegas dan menunjuk langsung kepada fakta. Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi dengan menyajikan informasi yang memakai kata tersamar, eufemistik dan berbelit-belit. Nominalisasi. Elemen nominalisasi berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah sebagai suatu kelompok (komunitas). Nominalisasi dapat memberi kepada khalayak adanya generalisasi. Koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi, sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Bentuk Kalimat. Bentuk kalimat menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Termasuk ke dalam bagian bentuk kalimat ini adalah apakah berita itu memakai bentuk deduktif atau induktif. Dalam bentuk kalimat deduktif, aspek kemenonjolan lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif inti dari kalimat ditempatkan tersamar atau tersembunyi.
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
Kata ganti. Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana. Retoris. Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. Ada beberapa elemen struktur retoris yang dipakai oleh wartawan. Yang paling penting adalah leksikon, pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa. Leksikon, pemilihan dan pemakaian kata yang dipakai tersebut tidak dipakai semata-mata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas. Selain lewat kata, penekanan pesan dalam berita juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Elemen grafik memberikan efek kognitif, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukkan apakah suatu informasi itu dianggap penting dan menarik sehingga harus dipusatkan/difokuskan. Elemen struktur retoris lainnya adalah pengandaian. Elemen wacana pengandaian merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Pengandaian adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Pengandaian hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya dan karenanya ti-
yoyoh Hereyah
dak perlu dipertanyakan. Dalam menyampaikan wacana, wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan dan metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita. Pemakaian metafora tertentu juga bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora itu menjadi landasan berpikir, alasan pembenar atau bahkan bahan yang ditekankan kepada publik, karenanya metafora merupakan salah satu elemen dalam struktur retoris. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1. Deskripsi Objek Penelitian :Media Indonesia Media Indonesia pertama kali diterbitkan pada tanggal 19 January 1970. Sebagai surat kabar umum pada masa itu, Media Indonesia baru bisa terbit 4 halaman dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT. Haryono, Jakarta, disitulah sejarah panjang Media Indonesia berawal. Lembaga yang menerbitkan Media Indonesia adalah Yayasan Warta Indonesia. Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman. Sementara itu perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan terjadi. Salah satunya adalah perubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Karena perubahan ini penerbitan dihadapkan pada realitas bahwa pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus tumbuh sebagai badan usaha. Dengan kesadaran untuk terus maju, pada tahun 1988 Teuku Yousli Syah selaku pendiri Media Indonesia bergandeng tangan dengan Surya Paloh, mantan pimpinan surat kabar Prioritas. Dengan kerjasama ini, dua kekuatan bersatu : kekuatan pengalaman bergandeng dengan kekuatan modal dan sema ngat. Maka pada tahun tersebut lahirlah Media Indonesia dengan manajemen baru dibawah
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
78
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
PT. Citra Media Nusa Purnama. Surya Paloh sebagai Direktur Utama sedangkan Teuku Yousli Syah sebagai Pemimpin Umum, danPemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary Luhur. Sementara itu, markas u saha dan redaksi dipindahkan ke Jl. Gondandia Lama No. 46 Jakarta. Awal tahun 1995, bertepatan dengan usianya ke 25 Media Indonesia menempati kantor barunya di Komplek Delta Kedoya, Jl. Pilar Mas Raya Kav.A-D, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Di gedung baru ini semua kegiatan di bawah satu atap, Redaksi, Usaha, Percetakan, Pusat Dokumentasi, Perpustakaan, Iklan, Sirkulasi dan Distribusi serta fasilitas penunjang karyawan. Tahun 1997, Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar di Vietnam dan sebagai wartawan yang pernah memimpin beberapa harian dan majalah, serta menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum LKBN Antara, oleh Surya Paloh dipercayai untuk memimpin harian Media Indonesia sebagai Pemimpin Redaksi. Saat ini Djafar H. Assegaff dipercaya sebagai Corporate Advisor. Para pimpinan Media Indonesia saat ini adalah : Direktur Utama dijabat oleh Lestari Moerdijat, Direktur Pemberitaan dijabat olehUsman Kansong dan di bidang usaha dipimpin oleh Alexander Stefanus selaku Direktur Pengembangan Bisnis.
Yoyoh Hereyah
mokrat Anas Urbaningrum. Ia menyebut Anas sebagai koruptor sekaligus otak dalam kasus suap wisma Atlit. “Memang Anas (Urbaningrum) koruptornya,” ujar Nazaruddin yang didampingi kuasa hukumnya, Elza Syarief, usai penyerahan fisik dirinya sebagai tersangka kasus wisma Atlit ke penuntutan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (10/11). Nazaruddin sebelumnya mendatangi KPK sekitar pukul 13:15 WIB untuk menandatangani dokumen pelimpahan berkas ke penuntutan. Menurut mantan anggota DPR itu, Anas merupakan pihak yang layak menjadi tersangka baru di kasus suap wisma Atlit. Saat ditanya mengenai dugaan aliran dana dari proyek wisma Atlit ke partai-partai politik, Nazaruddin kembali melempar ‘bola panas’ ke Anas Urbaningrum. Menurut dia, Anas merupakan pihak yang mengomandoi seluruh pergerakan di kasus wisma Atlit. “Tanyakan saja ke Pak Anas. Pak Anas yang tahu. Karena, itu semua dia yang memerintahkan,” sambung dia. Meskipun demikian, Nazaruddin memilih bungkam saat ditanya mengenai namanama politikus lain yang layak menjadi tersangka. Seperti diketahui, beberapa nama yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi untuk kasus wisma Atlit adalah anggota DPR I Wayan Koster (Fraksi PDI-Perjuangan) dan Angelina 4.2. Hasil Penelitian Sondakh (Partai Demokrat). Nazaruddin tidak berkomentar mengenai bekas rekannya di parleDari sejumlah berita yang dianalisis peneliti men itu. mendapatkan temuan sebagai berikut: “Tanyakan saja ke KPK,” tukasnya sebelum memasuki mobil tahanan. (SZ/OL-10) Kamis, 10 2011 16:45 WIB Kasus Proyek Wisma Atlit Nazaruddin: Anas Koruptornya Penulis : Amahl S Azwar (MI/M Irfan/rj) JAKARTA--MICOM: Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kembali menyerang bekas koleganya, Ketua Umum Partai De79
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
yoyoh Hereyah
Analisis Berita 1. Judul: NAZARUDDIN : ANAS KORUPTORNYA struktur perangkat framing sintaksis
Skrip
Tematik
Skemaberita
unit yang diamati
bukti dalam teks
Headline
Nazaruddin: Anas
Lead
Kelengkapan berita
Detail
”Mantan bendahara Umum Partai Demokrat Muhamad Nazaruddin kembali menyerang bekas koleganya, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ia menyebut Anas sebagai koruptor sekaligus otak dalam kasus suap wisma Alet”
Latar Informasi
Ada keterkaitan erat Anas dalam kasus korupsi wisma Atlit
Pengutipan narasumber
Yang dikutip oleh media ini adalah Mantan bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin
Penutup
Penutup yang dipakai adalah penutup yang menggantung: ”Tanyakan saja ke KPK,” tukasnya sebelum memasuki mobil tahanan
who
Nazaruddin
What
Menyebut Anas Urbaningrum Koruptor dalam kasusWisma Atlit
Where
di gedung KPK Jakarta
why
karena Anas merupakan pihak yang mengomandoi seluruh pergerakan dari kasus wisma Atlit
How
Media menyebut Nazaruddin seolah hanya melempar bola panas, yang coba dikaitkan dengan petingi Partai Demokrat
Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator)
maksud kalimat Nominalisasi
Koruptornya
meski melempar bola panas, Media mengambarkan Nazaruddin tak mau menyebutkan informasi terkait dengan dugaan pelaku suap di tubuh Partai Demokrat secara langsung. Bahkan dia meminta pers agar langsung menanyakan hal tersebut kepada Anas (paragraf kelima dari atas) Maksud dari kalimat itu adalah ada keterkaitan kasus wisma Atlit dengan petinggi Partai Demokrat khususnya Anas Urbaningrum mengingat posisi Anas sebagai ketua, adalah menjadi komandan
Elemen nomina lisasi berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah se bagai suatu kelompok (komunitas).
Ketua Umum Partai Demokrat
koherensi
saat ditanya......(paragraf 4 dari atas) meskipun demikian...(paragraf 6 dari atas) seperti diketahui....(paragraf 7 )
Bentuk kalimat
kalimat aktif ....menyerang..(paragraf 1) ....mendatangi KPK (paragraf 3) ....kembali melempar (paragraf 4 ) ....memilih bungkam (paragraf 6) Kalimat Pasif ....saat ditanya (paragraf 4) ....seperti diketahui (paragraf 7) Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
80
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
Retoris
Yoyoh Hereyah
Grafis
gambar/foto
diperkuat dengan foto Nazaruddin yang tengah berbicara dengan mata serta raut wajah bersemangat
Metafor
kata-kata ungkapan sebagai otak...(paragraf 1) melempar bola panas...
Framing berita 2: Kamis, 10 2011 17:00 WIB Kasus Proyek Wisma Atlit Nazaruddin Serang Anas, Ketua KPK No Comment Penulis : Amahl S Azwar JAKARTA--MICOM: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas memilih untuk tidak berkomentar alias no comment saat dimintai tanggapan tentang tuduhan terakhir tersangka kasus wisma Atlit Muhammad Nazaruddin. Sebelumnya diberitakan, mantan bendahara umum Partai Demokrat itu menyebut Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum patut menjadi tersangka sebelumnya pada kasus suap tersebut. “Saya no comment saja,� ujar Busyro, dalam pesan singkat yang diterima Media Indonesia, Kamis (10/11). Nazaruddin sebelumnya menuding Anas sebagai sebagai koruptor sekaligus otak dalam kasus suap terhadap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora). Hal ini diutarakan Nazaruddin setelah penyerahan fisik dirinya sebagai tersangka kasus wisma Atlit ke penuntutan oleh penyidik KPK, Kamis (10/11) hari ini. Di sela-sela peluncuran bukunya di gedung Komisi Yudisial, Selasa (8/11), Busyro mengatakan lembaga pemburu koruptor itu membuka kemungkinan adanya tersangka baru di dalam kasus suap wisma Atlit.
81
Saat didesak, mantan ketua Komisi Yudisial itu mengatakan tersangka berikutnya berasal dari kalangan kader partai politik. Seperti diketahui, beberapa nama yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi untuk kasus wisma Atlit adalah anggota DPR I Wayan Koster (fraksi PDI-Perjuangan) dan Angelina Sondakh (Partai Demokrat). KPK juga pernah memanggil politikus Demokrat, Andi Mallarangeng yang juga Menteri Pemuda dan Olahraga. Meskipun demikian, Busyro pada Selasa (8/11) mengatakan belum tentu nama-nama yang pernah dipanggil KPK bakal menjadi tersangka baru kasus wisma Atlit. (SZ/OL-10)
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
yoyoh Hereyah
Framing berita :
Media Indonesia membingkai pemberitaan meski Nazaruddin bernyanyi dan menyerang Anas Urbaningrum Ketua KPK tidak berkomentar.
Struktur
Perangkat Framing
Unit yang diamati
Bukti dalam teks
SINTAKSIS
SKEMA BERITA
headline
KASUS PROYEK WISMA ATLET NAZARUDDIN SERANG ANAS,KETUA KPK NO COMMENT
Lead
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas memilih untuk tidak berkomentar alias no Comment saat dimintai tanggapan tentang tuduhan terakhir tersangka kasus Wisma Atlit Muhammad Nazaruddin.
Latar Informasi
Sebelumnya Nazaruddin mengatakan bahwa Anas adalah koruptor dalam kasus wisma Atlit karena dia adalah sebagai ketua partai yang mengomandani semuanya
pengutipan narasumber
Mengutip Ketua KPK Busyro Muqoddas meski yang bersangkutan tidak berkomentar alias no comment
Penutup
�Meskipun demikian, Busyro padaSelasa (8/11) mengatakan belum tentu nama-nama yang pernah dipanggil KPK bakal menjadi tersangka baru kasus Wisma Atlit�
who
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas
what
Tidak berkomentar atas tudingan Nazaruddin soal keterlibatan Anas dalam kasus korupsi Wisma Atlit
SKRIP
Kelengkapan berita
where When why How
Tematik
Detail
RETORIS
Leksikon
Di gedung Komisi Yudisial Jakarta Kamis 10/11 tak ada tanggapan Dia memilih no comment, dalam pesan singkat yang diterima Media Indonesia, Kamis 10/11 Tidak ada detail mengingat isu utama dari Media soal keterlibatan Anas tidak ditanggapi oleh ketua KPK
Idiom
No comment Tuduhan terakhir Koruptor sekaligus otak (paragraf 4) Tersangka baru (paragraf 8)
Metafor
Sekaligus otak dalam kasus suap (paragraf 4) Pemburu koruptor (paragraf 5)
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
82
CITRA PARTAI DEMOKRAT DI MEDIA CETAK
4.3. Pembahasan Dari dua berita yang dianalisis menggunakan framing Pan Kosciki, jelas terlihat ada upaya menggiring opini bahwa seharusnya KPK juga menyentuh Anas Urbaningrum, karena secara logis sebagai ketua umum Partai Demokrat, tidak mungkin dia tidak mengetahui apa pun yang terjadi di partainya. Kesimpulan dan Saran
Yoyoh Hereyah
DAFTAR PUSTAKA Berger, Peter & Thomas,1967 The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge.NY, A Double Day Anchor Book Bungin, Burhan,2008 Konstruksi Sosial Media Massa Realitas Sosial Media, Iklan Televisi & Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman , Prenada Media Chesney,Robert, (1998) Konglomerasi Media Massa dan ancaman terhadap Demokrasi:Aliansi Jurnalis Independen. Curran, James. (1997). Mass Media and Democracy: A Reappraisal. James Curran And Michael Gurevitch (ed), Mass Media and Society. Third Edition. London: Arnold Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln, eds., 1994, Handbook of Qualitative Research, Thousand Oaks, CA: Sage Eriyanto, 2002, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Jakarta
5.1 Kesimpulan Dari sisi sintaksis dan Skrip, terlihat jelas pemilihan narasumber, lead dan headline media Indonesia mengarah pada pencitraan negative terhadap Anas Urbaningrum sebagai ketua Umum Partai Demokrat Framing pertama, Media Indonesia membingkai persoalan tudingan Nazaruddin bahwa Anas terlibat dalam kasus korupsi Wisma Atlit, bahkan Anas adalah koruptor karena dialah pihak yang mengomandoi semua yang terlibat dalam proyek tersebut. Framing: Media Indonesia membingkai Hamad, Ibnu 2004,Konstruksi Realitas Politik pemberitaan meski Nazaruddin bernyanyi dan dalam Media Massa : Sebuah studi menyerang Anas Urbaningrum Ketua KPK tiCritical Discourse Analysis Terhadap dak berkomentar. Berita-berita Politik, Jakarta:Granit Hardt, Hanno, 2007, Myths for the Masses: An 5.2 Saran Essay on Mass Communication, Wiley-Blackwell Penelitian ini bisa dikembangkan men- Hartley,John (1982) Understanding News, jadi lebih mendalam dengan menggunakan par- London & New York: adigm kritis atau menggunakan Teknik Anali- Lexy J Moleong, 2000, Metodelogi Penelitian sis Wacana Kritis, mengingat persoalan ada apa Kualitatif, Rosda Karya. dibalik pemberitaan macam itu agak suit bila Bandung hanya dilihat dari analisis teks semata. Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung Sobur, Alex, Analisis Teks Media Sugiyono. 2005, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung ; CV Alfabeta
83
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
Jurnal Ilmu Komunikasi
JURNAL ULTIMACOMJURNAL ULTIMACOMM
ISSN 1979-1232