VVIP
NEAS WANIMBO
MENCERDASKAN ANAK-ANAK PEDALAMAN PAPUA LEWAT PERPUSTAKAAN Pemuda 25 tahun ini lahir di pedalaman Papua, namun berhasil “mentas” di luar negeri berkat kegigihannya bersekolah dan mewujudkan cita-citanya: mendirikan perpustakaan untuk mencerdaskan anak-anak Papua seperti dirinya. Mari kita berkenalan dengan calon Menteri Pendidikan di masa depan dan mengenal kehidupannya.
S
edikit tentang Neas dari saya, si penulis. Kami berteman sudah cukup lama. Neas Wanimbo adalah salah satu pemuda asal Papua yang bergabung di komunitas yang saya juga aktif di dalamnya. Ia penuh semangat. Saking semangatnya, saya pikir dia nggak pernah mengeluh tentang tantangan hidup yang ia alami di Jakarta. Minimal, saya nggak pernah mendengar dia mengeluh. Tidak seperti pemuda dari daerah-pedalaman pula, Neas banyak bertanya hal-hal yang tidak ia mengerti. Sebuah poin yang saya puji, mengingat bahkan anak Jakarta pun malas bertanya jika tidak tahu. Neas memiliki banyak teman. Bahkan, dia “diangkat” anak oleh sebuah keluarga Jawa yang baik hati. Neas sangat mencintai keluarga baru dan teman-temannya. Ia pun sangat ringan tangan. Memasuki tahun-tahun terakhir kuliah, Neas membicarakan proyek Hano Wene (Kabar Baik dalam bahasa Indonesia) dengan saya. Mendengar visi misi proyek ini, saya memendam harap yang besar padanya: kelak, Neas akan menjadi sumbangsih yang sangat berharga bagi Papua, bagi Indonesia. Sumbangsih itu mulai ia tapaki dengan mendapat undangan dari berbagai acara kepemimpinan di luar negeri: India, Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, di antaranya. Wah, anak asli pedalaman Papua mampu mengukir nama Indonesia di pentas dunia. Semua hanya karena semangatnya untuk membangun Tanah Kelahirannya yang tidak pernah padam. Kisah hidupnya patut menjadi cambuk bagi kita semua untuk terus semangat membantu para pendidik, khususnya di pedalaman Indonesia yang belum atau bahkan tidak terjangkau instansi pemerintah. Yuk, kita mengenal dan berbincangbincang dengan Neas lebih dalam. Hai Neas, Kapan dan di mana kamu dilahirkan? Saya dilahirkan di Tangma (Hipela), 20 Juli 1995, Kab. Yahukimo, Provinsi Papua.
32 |
www.indomedia.com.au
Ceritakan masa kecil kamu, dan bagaimana kamu mengenal sekolah? Di kampungku, kami tidak memiliki Taman Kanak-Kanak (TK), kami hanya memiliki satu sekolah, namanya SD YPPGI Tangma. Waktu kecil, saya takut ke sekolah, karena saya punya kakakkakak yang sering menceritakan pengalaman mereka di sekolah: dipukul dengan kayu atau rotan oleh pak guru karena sering terlambat, tidak bisa baca, menulis, dan tidak mengerjakan tugas. Mendengar cerita mereka membuat saya sangat takut bersekolah, dan pada suatu titik saya tidak mau bersekolah. Dalam pikiran, kalau saya bersekolah akan “dapat pukul”, sama seperti mereka. Jadi, saya lebih memilih untuk ikut orangtua berkebun daripada bersekolah. Teman-teman sering mengajak saya untuk bersekolah, tetapi saya selalu menolak. Suatu hari, ada satu teman yang datang memanggil saya, pagi-pagi, untuk ikut bersekolah. Entah kenapa, pada hari itu saya mau ikut. Sejak dari itu saya rajin sekali masuk sekolah. Waktu kelas 1, saya sudah bisa baca dan menulis sedangkan teman-teman yang lain belum bisa. Pasalnya, di rumah, bapa, mama, dan kakak setiap pagi baca Alkitab dengan keluarga sebelum beraktifitas. Alfabet pertama yang saya hapal adalah A-L-K-I-T-A-B. Karena saya sudah dapat membaca, di kelas 1 SD juga saya mengajarkan teman-teman, karena sekolah kami hanya memiliki 1 guru. Satu guru untuk mengajar enam kelas. Itu artinya, kalau dia sedang mengajar di kelas lain, saya bantu mengajar kelas 1 dan 2. Waktu itu saya mengajarkan huruf dan angka. Saya juga masih tidak berpakaian, dan masih sangat kecil. Saya tidak bisa menulis di papan tulis yang tinggi. Kami biasanya mendorong meja ke depan papan tulis agar saya bisa berdiri di atas meja dan mengajar. Telanjang dan berdiri di atas meja, dengan percaya diri saya memperkenalkan huruf dan angka. Walaupun kebanyakan teman saya tidak dapat melanjutkan sekolah karena kendala ekonomi, saya sangat terharu
dan bangga dengan mereka karena sekarang mereka dapat membaca dan menulis. Apakah orang di desamu umumnya bersekolah? Kalau tidak mengapa dan kalau ya, siapa yang paling berperan untuk memperkenalkan pendidikan formal kepada mereka? Total populasi di kampung saya 6000 jiwa. 35% dari jumlah itu memiliki ijazah SD, 20%-nya SMP, dan hanya 5% yang berijazah SMA dan pendidikan tinggi. Sebanyak 40% orang di kampung saya tidak pernah ke sekolah. Alasan tidak bersekolah dan melanjutkan sekolah karena ekonomi lemah. Yang memperkenalkan pendidikan di kampung saya adalah anak-anak muda dan tokoh gereja. Ceritakan secara singkat bagaimana pendidikan kamu di tingkat SD, SMP, dan SMA? Saya menyelesaikan SD dengan gratis. Ketika mau masuk SMP, saya harus pindah ke kampung lain. Jaraknya dengan berjalan kaki sekitar 10-15 jam. Biaya pendaftarannya 80 ribu dan orangtua saya tidak ada uang sama sekali. Saya dapat lanjut SMP karena hari itu seorang teman bapa saya datang ke sekolah untuk bayar uang masuk anaknya. Di kampung kami, tidak ada orang lain lagi yang kami bisa pinjami selain orang itu. Hari itu, beliau memberi kami uang 100 ribu. Saya masih ingat sekali perkataannya sembari
memberikan uang, “Jangan takut, uangnya Neas ada.” Setelah masuk SMP, saya sadar bahwa saya punya mimpi untuk mau jadi pilot agar bisa mengantar orang-orang ke pedalaman. Tapi, menurut pak guru, sekolah pilot itu biayanya mahal. Saya pikir, kalau saya mau melanjutkan SMA dan kuliah, pasti orangtua saya tidak sanggup untuk membiayainya. Akhirnya, di tahun pertama, saya berusaha untuk ikut program lomba sekolah dengan hadiah beasiswa, tetapi gagal. Di tahun kedua, juga ada program beasiswa. Lagi-lagi gagal. Sejujurnya, saya patah semangat dan mau pulang saja. Tiba-tiba, seorang guru Pendidikan Jasmani (Penjas) memanggil saya untuk menawari program beasiswa lainnya. Jika lolos seleksi, saya akan dikirim ke Jayapura untuk ikut latihan angkat besi. Saya pikir, meskipun tidak mau jadi atlet, ini adalah satu cara untuk bisa lanjut sekolah tanpa pusing memikirkan biayanya. Puji Tuhan, dari beberapa siswa yang tes, hanya saya yang lulus. Guru Penjas memberi saya selamat sekaligus menjelaskan bahwa biaya beasiswa tidak termasuk tiket pesawat Jayapura. Sore itu juga saya pulang ke rumah lewat jalan pintas (baca: pegunungan, sungai, dan hutan) yang hanya makan waktu tujuh jam. Setelah berdiskusi dengan orangtua, bapa saya bangun pagi-pagi untuk