Minggu, 04 Juli 2010
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulangulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak setimbang. (QS.67:3)
Rindu Bangsa dan Negeri Pertiwi pada Pemimpin Yang Terpimpin Ilaahi Rabbi arilah kita amati dan renungi bahwa dengan rahmat kasih-sayang Allah semata, terciptalah hamparan kehidupan bersemesta di muka bumi dalam keadaan satu gerak getaran rajutan ketenagaan berkesetim- bangan. Hamparan kehidupan itu terus berputar berolah-lanjut berkesinambungan secara berjenjang naik dalam ketetapan batas ruang dan waktu yang ditentukan. Inilah perwujudan dari sikap sifat Allah selaku Dzat Maha Sempurna di atas segala makhluq ciptaan yang disempurnakan. Allah telah mempersilahkan kepada manusia untuk memberikan penilaian terhadap ciptaan-Nya sebagaimana diisyaratkan pada firman-Nya di atas.
Pemimpin bagai puncak gunung: tinggi menjulang menjadi pedoman arah masyarakat. Di puncak gunung tak ada tanaman, fungsinya menampung-wadahi rahmat hujan dari Allah. Di kakinya, titik air yang dihimpunnya mewujud menjadi sungai-sungai yang menghidupi lingkungan dan rakyatnya. Bertauhid murni, memimpin kemajemukan
Demikian itulah kesempurnaan sifat Allah yang telah ditampilkan-Nya pada penciptaan kehidupan bersemesta. Pada seluruh makhluq ciptaan Allah, tidak ada yang memiliki sifat kemuliaan dan kesempurnaan secara muthlaq. Makhluq ciptaan telah ditetapkan berada dalam batasan ruang-waktu yang ditentukan. Makhluq ciptaan mempunyai sifat ketidaksempur- naan. Di antara seluruh makhluq-Nya, manusia telah dimuliakan dan disempurnakan dengan kemurahan kasih-sayang Allah semata. Hal itu semestinya selalu disadari seorang pemimpin. Ia selayaknya menyadari dengan sedalam-dalamnya sifat ketidak-sempurnaannya di dalam diri. Jika disadari, maka dengan segala kerendahan diri dan atas desakan nurani-hatinya yang tulus, ia pasti membuka ungkap-kata puji syukur ke hadirat Allah Dzat yang Maha Sempurna dalam Keterpujian Muthlaq tanpa-Batas, yang telah mencurahkan sebagian rahmat kemurahan-kasih-Nya dalam bentuk pertolongan dan kemudahan dalam menyaji-gelarkan buah renungan dari rahasia hatinya untuk
kemakmuran bangsa dan negerinya. Seorang pemimpin sejati tak akan mengucapkan puji syukur kepada Allah dengan keangkuhan menilai dirinya telah berbuat jasa pada bangsanya, mengingat begitu besar resiko yang dapat dihadapinya di akhirat kelak.
Begitu pula, senantiasa teriring dari bathinnya ungkap-kata dalam bentuk shalawat dan salam tertuju pada junjungan Nabi besar Muhammad s.a.w. beserta keluarga dan sahabatnya yang telah membuka jalan sekaligus telah menghantarkan segenap manusia pada pencapaian tingkat kemuliaan dan kesempurnaan hidup, serta memberi suri-tauladan kepemimpinan pada dirinya. Dapat ditambahkan, seorang pemimpin selayaknya pula merasa tak lebih selaku seorang anak bangsa belaka. Ia tidak akan merasa dan berlebihan menilai dirinya menjadi warga-negeri yang istimewa. Namun demikian, ia penuh kepedulian dan keprihatinan mendalam terutama ketika jika arah perjalanan bangsanya belum mendapatkan titikterang dalam kepastian. Arah yang dimaksud adalah utuh-tegaknya kesatuan bangsa dalam kesatuan dan kebersamaan jalinan ikatan hati.
Memecah-belah, atau menjaga kesatuan negeri?
Sebahagian besar manusia Indonesia pasti masih sangat mendambakan capaian arah perjalanan kehidupan bangsa sampai pada jenjang kemuliaan dan kesempurnaan hidup, karena hal demikian sangat bersesuaian pula dengan fithrah manusia. Khususnya bagi bangsa Indonesia, nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup itu pernah teraih. Sayangnya saat ini kemuliaan dan kesempurnaan hidup bangsa yang di dalamnya terdapat nilai harkat dan martabat luhur, sedang diterpa amukan kereta-perang kepalsuan bernaungkan mega-hitam bergelombang-badai kekufuran. Wujud amukannya, masyarakat negeri ini hidup dalam pencampuran golongan-golongan yang saling bertentangan. Akibatnya sebagian golongan merasakan adanya keganasan dan kebengisan dari sebagian golongan, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya: “Katakanlah: “Dia yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu kepada keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih
berganti agar mereka memahami(nya)�. (QS.6:65)
Sayangnya kenyataan pahit demikian itu sangat sedikit disadari bangsa Indonesia, terutama pemimpinnya. Boleh jadi hal ini disebabkan dari adanya kebutaan diri dalam memahami tanda-lambang yang digelarkan Allah secara silih berganti. Kebutaan itu disebabkan penumbuh-kembangan dan pendaya-manfaatan bakat potensi ketenagaan di dalam diri tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya, karena terbunuh oleh cara berfikir duga-sangka rekayasa logika. Itu sama dengan membunuh kemuliaan dan kesempurnaan di dalam pribadi tiap manusia, yang sebenarnya dipasangkan Allah sebagai modal tampil ke depan selaku kholifah.
Dalam tradisi, kepemimpinan dilambangkan dengan tumpeng, yang juga menyerupai gunung. Di puncaknya, hanya ada nasi putih. Di kakinya, tersajikan aneka lauk-pauk untuk kemakmuran rakyat. Pemimpin terbaik adalah para nabi. Tak ada satu nabi pun yang tak berkorban untuk ummatnya. Pemimpin yang haqq pasti penuh dengan pengorbanan pada kaum lemah, bukan menguasai rakyatnya demi kesombongan prestise-prestasi diri atau kedengkian. Apalagi demi keserakahan nafsu hewani: ikut berebut lauk-pauk di bahagian bawah tumpeng jatah rakyat kecil!
Dengan kemurahan kasih-sayang Allah semata, manusia dimuliakan dan disempurnakan derajatnya, sehingga manusia dapat tampil selaku wadah kecintaan Allah. Manusia yang demikian sekaligus akan tampil berdiri selaku kholifah di muka bumi untuk menaburbiaskan nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup kepada alam lingkungan sekitarnya,
sebagaimana diisyaratkan pada firman-Nya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, ... Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluq yang telah Kami ciptakan.� (QS.17:70) Dipimpin logika-nafsu, atau dipimpin Allah?
Meskipun muthlaq berkehendak agar kemuliaan dan kesempurnaan dipasangkan kepada manusia, tapi Allah tidak akan bersewenang-wenang. Buktinya, tidak sedikit jumlah manusia yang dengan sengaja mencampakkan nilai kemuliaan dan kesempuraan yang dipasangkan Allah. Dampaknya, arah perjalanan hidup bangsa bahkan alam semesta pun akan hidup timpang. Dari seluruh kehidupan bersemesta di muka bumi ini, manusialah yang menjadi titik poros bagi perputaran gerak-ketenagaan dalam satu rajutan. Adapun nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup manusia terletak pada penumbuh-kembangan sekaligus pendaya-manfaatan terhadap bakat potensi ketenagaan di dalam diri.
Tetapi, nilai kemuliaan dan kesempurnaan hidup perjalanan bangsa tidak akan dapat dicapai dan tidak pula dapat ditentukan dengan ketinggian nilai duga-sangka rekayasa logika. Justru semakin tinggi nilai duga-sangka rekayasa logika diterapkan pada arah perjalanan hidup bangsa, pasti hanya akan memperburuk perjalanan hidup bangsa. Karena bagaimanapun tingginya pencapaian tingkat nilai duga-sangka rekayasa logika, tidak akan pernah mencapai tingkat kepastian. Mengapa nilai duga-sangka rekayasa logika dapat dipastikan hanya akan menghantarkan hidup suatu bangsa pada kehancuran? Dan siapakah yang telah menumbuh-kembangkan dengan subur cara berfikir dugasangka rekayasa logika? Jawaban ada di dalam firman Allah: �Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman.� (QS. 34:20).
Sifat-laku perbuatan iblis selalu merobek dan membunuh nilai kemuliaan dan kesempurnaan dengan alat dugasangka rekayasa logika. Oleh karena itu dapatlah dijadikan sebagai alat ukur, kapan kemuliaan dan kesempurnaan hidup gagal dicapai oleh perjalanan kehidupan bangsa, dapat dipastikan yang sedang memimpin perjalanan hidup
adalah duga-sangka rekayasa logika. Bila hal ini yang terjadi tidak perlu disangsi-ragukan bahwa akhir dari segalanya adalah kehancuran hidup. [Bagaimana keadaan berfikir dengan logika yang subjektif, telah kami sajikan pekan kemarin, lihat "Membaca Sesuatu Bersama Logika, atau Bersama Allah?" -Admin]
Diringkas dan dituliskan kembali oleh Taufik Thoyib dari Muqaddimah buku buah pena Ki Moenadi MS berjudul "Arah Perjalanan Bangsa Meraih Kesempurnaan Hidup", terbitan Yayasan Badiyo, Malang, 1420H. Admin.
Diunggah oleh kajian budaya ilmu pukul 05:42 Label: Budaya Kebangsaan/Keindonesiaan, Teropong Peristiwa