EDISI I ~ DESEMBER 2011
Pengantar Assalamu’alaikum wr. Wb. Puji dan Syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas anugerah dan nikmat-Nya kepada kita semua serta Shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW. Alhamdulillah, Buletin Bina Edukasi dapat hadir di tengah kita sebagai media informasi dan komunikasi Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu dengan masyarakat pendidikan. Buletin ini menjadi salah satu program kerja yang diharapkan mampu memberikan gagasan yang konstruktif dan inovatif bagi peningkatan kualitas dan karakter pendidikan sekaligus menjadi media sosialisasi program dan kegiatan yang dilakukan oleh Dewan Pendidikan kepada masyarakat. Saya berharap apa yang kami lakukan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pendidikan di Labuhanbatu. Mari bersama kita memajukan dunia pendidikan dengan kemampuan yang kita miliki. Bangkit Pendidikan Labuhanbatu! Wassalamu’alaikum wr. Wb. H. M. H. Thamrin Hasibuan Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu Periode 2011-2015
SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab: H. M. H. Thamrin Hasibuan; Pemimpin Redaksi: Tatang Hidayat Pohan; Dewan Redaksi: H. Marwan Effendi Siregar, H. Hasballah, Annim Hasibuan, Sabaruddin Marpaung, Elida F Simanjorang, Osman Naibaho, Yuniman Zebua; Redaksi Pelaksana: Agung Sugiri; Keuangan dan Iklan: Johny; Sirkulasi/Distribusi: Ngampuni Tarigan, Amir Bahrum . Diterbitkan untuk Kalangan Sendiri secara Gratis. Untuk berlangganan hubungi Redaksi serta Kantor Diknas dan UPT Kecamatan. Redaksi menerima tulisan dan liputan seputar dunia pendidikan. Kirim dalam bentuk hard copy/soft copy disertai identitas penulis ke Alamat Redaksi: Jl. Imam Bonjol 154 Rantauprapat. Telp: 0624-21053. E-mail: dpk_labuhanbatu@yahoo.com
Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu pada 24 September 2011 mengadakan Seminar Nasional dengan tema Peningkatan Mutu Pendidikan Berkarakter di Labuhanbatu bertempat di Aula Asrama Haji Rantauprapat yang diikuti oleh sekitar 500 peserta yang terdiri dari pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kementrian Agama, organisasi profesi pendidikan, serta tokoh agama dan tokoh masyarakat.
D
alam sambutannya, Ngampuni Tarigan, S.Pd selaku Ketua Panitia menyampaikan bahwa seminar nasional ini adalah bagian dari Program Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu untuk meningkatkan Mutu Pendidikan dan Mengimplementasikan Program Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa sebagaimana yang diamanatkan Bupati Labuhanbatu pada Dewan Pendidikan. H.M.H. Thamrin Hasibuan, Ketua Dewan pendidikan Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu Periode 2011-2016 dalam sambutannya berharap ada peningkatan mutu pendidikan dan karakter di Labuhanbatu. Secara khusus beliau menyampaikan keprihatinannya akan kondisi pendidikan di wilayah pantai yang masih ter ting g al dibandingkan wilayah lain di Labuhanbatu. Dewan Pendidikan bertekad untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di wilayah pantai dengan sejumlah program seperti pengangkatan guru dari putra daerah setempat agar kekurangan guru dapat diatasi. Bupati Labuhanbatu, dr. Tigor Panusunan Siregar, Sp. PD dalam sambutannya berharap program pemerintah untuk Pendidikan Karakter dapat diterapkan di Labuhanbatu. Beliau juga berharap mutu pendidikan di seluruh Kabupaten Labuhanbatu dapat merata sehingga tidak ada lagi ketimpangan antara wilayah kota Rantauprapat dengan di kecamatan-kecamatan. Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu berupaya meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh satuan pendidikan seperti Perbaikan Ruang Belajar dan Perpustakaan. Seminar Nasional yang direncanakan diisi Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, Kepala BPSDMPMP Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia digantikan oleh Bapak Bambang, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Utara. Beliau menyampaikan 18 Nilai Karakter dan Budaya Bangsa yaitu: Religius; Jujur; Toleransi; Disiplin; Kerja Keras; Kreatif; Mandiri; Demokratis; Rasa Ingin Tahu; Semangat Kebangsaan; Cinta Tanah Air; Menghargai Prestasi;
Bersahabat/Komunikatif; Cinta Damai; Gemar Membaca; Peduli Lingkungan; Peduli Sosial; dan Tanggung Jawab. Nilai-nilai ini bersumber pada Budaya dan Nilai bangsa Indonesia serta Agama dianggap mampu meningkatkan dan mengangkat moral dan karakter peserta didik yang mengalami degradasi moral dan nilai. Pendidikan karakter dan budaya bangsa dalam implementasinya terintegrasi pada mata pelajaran yang ada dan melalui kegiatan pengembangan diri/kegiatan ekstrakurikuler serta bentuk pembiasaan keseharian dalam pengembangan kultur sekolah. Mata pelajaran Budi Pekerti yang diterapkan di sekolah-sekolah tertentu sebagai muatan lokal dapat terus dilanjutkan. Pe l a k s a n a a n p r o g r a m i n i s e c a r a komprehensif memerlukan pengkondisian dan keteladanan dari para pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan. Lebih lanjut, Pak Bambang melalui LPMP mengharapkan seminar ini dapat ditindaklanjuti dalam bentuk workshop yang akan dipandu oleh trainer profesional dan Ulama untuk mengintensifkan dan menginternalisasi nilainilai pendidikan karakter dan budaya bangsa kepada guru. Red.
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah budayanya.
P
endidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing� dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya. Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan cenderung menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain.
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam mengembangkan pendidikan karakter dan budaya bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilainilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan k a ra k t e r b a n g s a p a d a d a s a r n y a a d a l a h pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Red.
(Sekretaris Dewan Pendidikan Labuhanbatu)
P
ada tanggal 9 hingga 12 Oktober 2011, Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu melakukan studi banding ke Sumatera Barat. Kunjungan dilakukan untuk mempelajari pembuatan dan implementasi pendidikan. Sumatera Barat dijadikan sebagai daerah kunjungan dan sejumlah pertimbangan antara lain: Pertama, Sumatera Barat adalah provinsi tetangga kita dan mudah dijangkau. Kedua, Sumatera Barat memiliki masyarakat dan budaya yang menghargai pendidikan. Ketiga, Sumatera Barat memiliki kebijakan pendidikan dan baik dan memiliki rekam jejak yang baik dalam dunia pendidikan. Sumatera Barat yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara memiliki pemandangan alam yang indah disepanjang jalan yang kami lalui. Kondisi jalan yang berkelok namun cukup baik membuat perjalanan semakin menarik. Untuk mencapai Kota Padang, Ibukota Sumatera Barat bisa kita lakukan melalui Provinsi Riau atau melalui Kabupaten Mandailing Natal. Perjalanan darat adalah perjalanan yang menyenangkan dan cukup murah dalam kunjungan ini.
Sumatera Barat adalah provinsi yang sangat menjunjung nilai-nilai adat dan syariat. Adat dan agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi jiwa dalam keseharian masyarakat Sumatera Barat. Dalam dunia pendidikan hal yang sama juga berlaku dimana nilai-nilai adat dan agama menjadi ciri khas pendidikan Sumatera Barat. Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa yang dicanangkan pemerintah pada 20 Mei 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan 18 Nilai Karakter Bangsa yang ingin dikembangkan. Benih-
benih pendidikan karakter ternyata sudah disemai dalam pendidikan di Sumatera Barat. Formulasi pendidikan karakter yang ingin diimplementasikan mengacu pada Nilai-nilai Minangkabau, yaitu: Hormat-menghormati (kato nan ampek); Bahambauan (peka terhadap kaba buruak); Baimbauan (peduli terhadap kaba baiak); Sapikue-sajinjiang (barek samo dipikue ringan samo dijinjing); Raso jo pareso; Baso-basi; Sopan-santun; Randah hati (manyauak di hilia-hilia bakato di bawahbawah); Saiyo-sakato; Sahino samalu; Pacayo diri (taguah); Kemandirian; Keberanian; Kegigihan; Arif-bijaksano. Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, H. Bagindo Letter yang juga ulama dan tokoh adat Sumatera Barat menekankan tentang pentingnya budaya dan agama dalam pendidikan. Nilai-nilai budaya dalam hal ini adalah budaya Minangkabau yang merupakan etnis mayoritas di Sumatera Barat. Pendidikan keputrian seperti memasak dan menjahit adalah pendidikan keahlian dasar yang harus dimiliki setiap pemudi untuk menjadi manusia yang terampil dan mandiri. Sedangkan pemuda harus pandai pencak silat dan merantau agar dapat menjadi pemuda yang tangguh dan mandiri. Pendidikan keputrian dan kepemudaan ini dimasukkan dalam kurikulum lokal atau kegiatan ekstra di setiap satuan pendidikan di Sumatera Barat. Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Sumatera Barat adalah Islam dan nilai-nilai Islam inilah yang menjadi panduan hidup mereka. Setiap siswa harus pandai shalat dan mengaji sehingga kurikulum muatan lokal memasukkan hal ini sebagai bagian dalam pendidikan. Adat dan agama adalah perpaduan yang menjadi jiwa bagi setiap masyarakatnya dan senantiasa dipertahankan dalam menghadapi jaman yang berubah dan sering tak terkendali, demikian penekanan dari Sang Ketua Dewan Pendidikan.
Undang-undang Dasar 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerinntah wajib membiayainya. Ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Konstitusi kita adalah konstitusi yang pro pendidikan dimana dalam rumusan pasal d a n a y a t n y a menjelaskan tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa ini. Bahkan dalam pembukaan UUD 1945 negara ini berkeinginan untuk mencerdaskan bangsanya. Konstitusi kita yang ringkas dan supel membutuhkan sejumlah peraturan lanjut dan teknis. Keseragaman kita saat ini hanya sebatas anggaran dua puluh persen tetapi beragam dalam alokasi dan implementasi anggaran. Akibatnya kita menemui ketimpangan kualitas pendidikan di negeri ini bahkan ketidakmerataan pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Sumatera Barat, Drs. Syamsurizal menyadari bahwa Sumatera Barat bukanlah provinsi yang kaya, dan mereka menyadari potensi alamnya tidaklah sehebat provinsi lainnya di Sumatera. Maka mereka harus mengembangkan potensi sumber daya m a nu s i a n y a j i k a i n g i n m e m a j u k a n d a n mensejahterakan daerah. Pendidikan adalah pondasi yang harus dibina dan dikembangkan lewat sejumlah
kebijakan pendidikan. Kesadaran kolektif inilah yang membuat Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan APBD untuk pendidikan di atas dua puluh persen. Pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah kebijakan yang harus dilakukan. Kebijakan wajib belajar 9 tahun sudah diterapkan bahkan beberapa Kabupaten/Kota menerapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun. Kebijakan pendidikan ini berbentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang walaupun tidak dimiliki Pemerintah Provinsi tetapi hampir dimiliki semua Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumbar. Pendidikan yang dikembangkan jug a mengandung nilai-nilai budaya dan agama. Beberapa produk kebijakan pendidikan yang khas adalah Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 70 Tahun 2010 tentang Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Al-Quran, Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 71 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Al-Quran Tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Produk Kebijakan Pendidikan tidak hanya di tingkat provinsi tetapi juga diikuti oleh kebijakan di tingkat Kabupaten/Kota dimana hampir seluruh Kabupaten/Kota di Sumatera Barat memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Bupati tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Bahkan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah mengeluarkan Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Satuan Pendidikan (Sekolah) pada akhir 2011. Kota Padang Panjang adalah Kabupaten/Kota yang lahir dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1956 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 yang dijuluki Kota Serambi Mekkah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1982 Kota Padang Panjang dibagi atas dua Kecamatan, Padang Panjang Barat dan Timur, dengan 16 Kelurahan.
Wakil Ketua DPRD Kota Padang Panjang, H. Eko Furqani, SE. MM, meng atakan bahwa perhatian Pemerintah Daerah sangat serius dalam bidang pendidikan dan menjadikan pendidikan sebagai keung gulan. Kota Padang Panjang ditetapkan sebagai Kota Pendidikan yang menjadi tujuan bagi Kabupaten/Kota di Sumatera Barat bahkan di Pulau Sumatera. Pemerintah Kota Padang Panjang mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar 25% dari APBD. Komitmen ini diperkuat dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang pada awalnya dimulai dari Peraturan Bupati tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Di kota ini berdiri sekolah agama Islam yang terkenal Sumatra Thawalib, yang merupakan kelanjutan dari sekolah agama yang bernama Surau Djembatan Besi yang didirikan oleh Syekh Abdullah pada masa peralihan abad ke-20. Selain itu juga terdapat pula Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang yang sekarang telah berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI), Perguruan Diniyah Putri, Pesantren Terpadu Serambi Mekkah dan banyak lagi pesantren lainnya. Dewan Pendidikan K abupaten Labuhanbatu berkesempatan mengunjungi SMA Negeri 1 Padang Panjang yang menjadi SMA unggulan Kota Padang Panjang dan Sumatera Barat. SMA Negeri 1 menempati sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang ditetapkan sebagai cagar budaya. Sekolah ini sarat prestasi sehingga menjadi tujuan siswa lulusan SMP di seluruh Sumatera Barat dan juga luar Sumatera Barat. Tiga orang wakil kepala sekolah yang menemui kami mengatakan dibutuhkan sejumlah syarat administrasi dan test yang ketat untuk dapat menjadi siswa di sekolah ini. Semua seleksi berjalan fair tanpa intervensi pihak manapun termasuk oleh Kepala Daerah. Hal ini menjadi komitmen sekolah dan Pemerintah Daerah sehingga kualitas sekolah tetap terjamin sehingga
hampir 90 persen siswanya diterima di Perguruan Tinggi Negeri di seluruh Indonesia. Aura pendidikan di SMA Negeri 1 Padang Panjang ini sangat terasa dimana kegiatan belajar meng ajar dilakukan hingga sore hari. Bagi siswa berasrama kegiatan bahkan hingga malam hari dan dilanjutkan pagi hari sebelum jam pelajaran biasa dimulai. Asrama disediakan bagi siswa unggulan yang dibiayai provinsi (Unggulan Provinsi Sumatera barat) dan kota (Unggulan Kota Padang Panjang). Asrama Mandiri disediakan juga bagi mereka yang cukup berprestasi namun tidak dapat ditampung di Unggulan Provinsi dan Kota dikarenakan keterbatasan anggaran. Pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari kunjungan kerja ini adalah: Pertama, Diperlukan kebijakan Pemerintah Daerah yang pro pendidikan untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tersebut. Kerjasama dan kesepahaman Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat diperlukan sehingga dapat menelurkan Produk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Alokasi anggaran yang signifikan bagi pendidikan. Kedua, nilai-nilai budaya dan agama dapat dijadikan menjadi ciri khas pendidikan di suatu daerah yang dituangkan dalam kurikulum muatan lokal sehingga budaya dan kearifan lokal menjadi karakter generasi Indonesia. Ketiga, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim pendidikan yang kondusif. Masyarakat harus mendorong anak-anaknya untuk bersekolah dan berprestasi setinggi mungkin. Masyarakat juga harus memberikan apresiasi bagi pendidik dan tenaga kependidikan atas perannya dalam mencerdaskan anak bangsa. Keempat, guru harus memiliki kebanggaan dan tanggung jawab sebagai pendidik generasi sehingga memberikan yang terbaik yang dia miliki dan secara sadar menjadi panutan (role model) dalam pembentukan karakter.
(Ketua STIE Labuhanbatu) Tentang Pendidikan dan Pengajaran Di dalam mempelajari sejarah pendidikan, kita harus dapat menemukan garis-garis besar yang menunjukkan kepada kita, bagaimana leluhur kita melaksanakan tugas mendidiknya dari masa ke masa. Tidak ada artinya apabila sejarah pendidikan hanya merupakan deretan sejarah kehidupan para ahli ilmu mendidik, yang pada umumnya satu sama lain sama pandangannya. Sejarah pendidikan dan pengajaran harus memberi pengetahuan kepada kita tentang pertumbuhan dan keyakinan tentang pendidikan pada zaman dahulu, yang seringkali bertentangan satu sama lain. Sebab kejadian-kejadian yang lalu itu bukanlah sesuatu yang hanya dilupakan begitu saja, ialah cara memberi pejaran secara menghafal, melainkan tentu mempunyai akibat. Timbulnya misalnya menghafal al-quran. Mula-mula siswa pendapat-pendapat tadi tentu ada sebab-sebabnya, menirukan berkali-kalai dari kyai, sehingga hafal. dan ini berhubungan erat dengan keyakinan orangDemikian pula cara memberi peljaran individual orang tentang agama, filsafat, kesusilaan serta politik yaitu satu per satu. Dan keistimewaannya para yang mendahuluinya. Juga keadaan masyarakat, siswa tidak ingin menjadi pegawai, melainkan keadaan dunia mempunyai pengaruh yang besar ingin hidup bebas beramal. sekali atas pendidikan dan pengajaran. d. Pendidikan Abad 18-19 Para pendidik tahu, bahwa praktek pendidikan yang Pendidikan itu pada hakikatnya dapat diartikan baik harus memerlukan bantuan yang berwujud memberi pengertian dan contoh-contoh. teori ilmu mendidik yang baik. Ilmi mendidik Disamping itu pendidikan bertujuan pula adalah teori yang mempelajari soal-soal tentang mengarahkan pengetahuan, memberi pengertian pendidikan dan memerlukan juga ilmu tentang nilai-nilai hidup, nilai-nilai kesusilaan, pembantunya, seperti: ilmu jiwa, ilmu filsafat, nilai-nilai kehindahan dan nilai-nilai ke tuhanan sejarah dan lain-lain. Bagaimana pada zaman e. Pendidikan Abad ke 20 dahulu cara memecahkan problem pendidikan, Tokoh –Tokoh Pengajaran Modern merupakan sumbangan yang berarti untuk - Jan ligthart, dasar-dasar pendidikan yang ia memecahkan soal tadi pada zaman sekarang. anjurkan adalah sebagai berikut : Selintas tentang pendidikan dan pengajaran di 1. Tujuan dalam pendidikan ialah: manusia yang Indonesia: berbudi tinggi, tidak hanya manusia yang a. Pendidikan Zaman Purba terdidik otaknya. Ia mengakui bahwa Tujuan pendidikan ialah anak-anak harus di kecerdasan otak juga perlu, tetapi itu persiapkan agar mampu mempunyai kecakapan bunkannya terpenting. Begitulah dikatakan istimewa dan kekuasaan dalam masyarakat. bahwa tujuan pendidikannya tidak b. Pendidikan Zaman Hindu-Belanda intelektualistis, melainkan harmonis. Irama metodiknya cara mengajar, murid-murid 2. Yang diutamakan kata hati sebagai gaya jiwa menghafalkan dan diberi buku pelajaran untuk yang memperingatkan akan semua perbuatan, dihafalkan, sehingga dapat dikatakan benaryaitu menyesali perbuatan yang jahat dan yang benar menguasai. menimbulkan kemauan untuk mencegahnya. c. Pendidikan Zaman Permulaan Agama Islam ... Metodiknya: cara yang biasa dipakai oleh guru
.
...harus ada kata hati. Orang yang lemah dapat menjadi kuat, orang bodoh dapat menjadi pandai, tapi orang yang tidak punyai kata hati tidak mungkin dapat diperbaiki. Untuk terlaksananya pendidikan kata hati, harus ada suasana; cintai mencintai dan percaya mempercayai. 3. Kepatuhan murid terhadap guru harus ada bukannya patuh karena takut, tetapi patuh karena cinta. Pendidikan adalah soal kecintaan, kesabaran dan kebijaksanaan. Kesabaran dan kebijaksanaan berkembang jika itu di dukung oleh kecintaan - John Dewey, tujuan pendidikannya ialah: membentuk anak didik menjadi anggota masyarakat yang berfaedah. Tujuan sekolah : sekolah kerja, yakni belajar bekerja sama dan membentuk watak. - DR. Maria Montessori, asas-asas pendidikan: 1. Pembentukan sendiri: maksudnya bahwa dalam jiwa anak-anak terpendam tenagatenaga batin, yang harus berkembang dan dikembangkan. Perkembangan terjadi dengan berlatih, yang dapat dikerjakan sendiri oleh anak-anak. Anak itu berlatih dengan sendirinya, dengan tiada disuruhkan orang lain. Biarlah dia mencoba sendiri. Biarlah dia mencari sendiri. Anak harus di beri kesempatan ber-eksperimen sendiri. Fungsi pendidik hanyalah pemimpin pada perkembangan itu 2. Masa peka: kebutuhan-kebutuhan anak timbulnya pada waktu tertentu. Pada waktu itu mereka peka bagi keperluan-keperluan itu, tanpa pertolongan dari pendidik. Satu kepandaian/pembawaan dapat berkembang sebaik-baiknya hanya pada waktu yang tertentu. Jika waktu itu sudah lampau, maka
fungsi itu mungkin menjadi tumpul, tidak dapat dikembangkan lagi. Masa, dimana ber macam-macam fungsi muncul menonjolkan diri dengan tegas untuk dilatih, dinamai: masa peka. Yang menjadi kesulitan dalam hal ini ialah : kapan timbulnya masa peka itu bagi seseorang anak. Hal itu tidak dapat dikatakan dengan tegas, oleh sebab itu, anak-anak harus diberi kebebasan : 3. Kebebasan: tugas pemimpin (termasuk guru), tidak lain daripada mengamati dan membuat supaya anak-anak memperoleh bahan-bahan yang serasi dengan tujuan, jika masa peka bagi satu kepandaian atau kecekatan telah tiba. Masa peka itu datangnya dengan spontan, oleh sebab itu kepada anak-anak secara indivudual apa-apa yang perlu baginya pada suatu waktu. Inilah “asas kebebasan� anak harus bebas sekali dalam perkembangannya. Guru tidak boleh memaksa, menghukum atau mengahalang-halangi. 4. Semua indera anak harus mendapat kesempatan sebaik-baiknya berkembang : bahwa segala pengertian anak terdapat dalam pikiran anak, tentu melalui indera. Terang bahwa indera hubungannya dengan intelek anak. Jika indera kurang sempurna, persepsi anak kurang sempurna. Semua indera harus mendapat kesempatan, tidak salah satu saja. Pentingnya Teori Pendidikan Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang hanya dilakukan oleh manusia, memiliki lapangan yang sangat luas. Ruang lingkup lapangan pendidikan mencakup semua pengalaman dan pemikiran tentang pendidikan. Pendidikan sebagai suatu kegiatan manusia, dapat kita amati sebagai suatu praktik dalam kehidupannya, seperti halnya kegiatan manusia yang lain, seperti kegiatan dalam ekonomi, kegiatan dalam hukum, agama dan sebagainya. Disamping itu pula kita dapat mengkaji pendidikan secara akademik, baik secara empirik pengalaman, yang bersumber dari pengalaman pendidikannya, maupun dengan renungan-renungan, yang mencoba melihat makna pendidikan dalam suatu lingkup yang lebih luas. Yang pertama dapat disebut praktik pendidikan, sedangkan yang kedua disebut teori pendidikan.
Antara teori dan praktik pendidikan merupakan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, memiliki hubungan komplementer (saling melengkapi), saling mengisi satu sama lainnya, seperti misalnya pelaksanaan-pelaksanaan pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dapat dijadikan sumber dalam menyusun teori pendidikan, begitu pula sebaliknya suatu teori pendidikan bermanfaat sebagai suatu pedoman dalam melaksanakan praktik pendidikan. Dapat disimpulkan, bahwa mempelajari teori tentang pendidikan, yaitu teori tentang membimbing dan membina atau mendidik anak, adalah cara yang paling praktis. Pendidikan Dalam Lingkup Mikro dan Makro Pendidikan dalam ruang lingkup mikro artinya mengkaji pendidikan yang dilaksanakan dalam sekala kecil, dan pendidikan dalam ruang lingkup makro, kita megkaji pendidikan yang dilaksanakan dalam skala besar. Seperti telah dikemukakan di muka bahwa lapangan pendidikan merupakan wilayah yang sangat luas menyangkut pengalaman dan pemikiran manusia dalam pendidikan. Pernyataan tersebut melihat pendidikan merupakan kegiatan manusia yang sangat luas, jadi ini dilihat dari lingkup makro. Pendidikan yang dilakukan secara nasional dengan segala perangkat aturannya seperti undang-undang sistem pendidikan nasional, pendidikan mencakup pendidikan sekolah dan luar sekolah, berlangsung seumur hidup, hal tersebut melakukan tinjauan pendidikan secara makro. Pengelompokan kajian pendidikan secara mikro dan makro tersebut dapat dilihat dari dua segi, yaitu: a). Manusia sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat Manusia sebagai individu ia hidup bersamasama di masyarakat, hidup bersama dengan orang banyak di luar dirinya. Antara individu dan masyarakat bagi seorang manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain, artinya individu tak mungkin berkembang dengan sebaik-baiknya, bahkan individu tak mungkin hidup, tanpa dibantu oleh dan hidup bersama dengan orang lain. Havigurst mengatakan bahwa manusia tidak akan menjadi manusia kalau ia tidak hidup bersama dengan dan dalam masyarakat.
Suatu masyarakat tak mungkin ada tanpa adanya anggota-anggota masyarakat atau individuindividu yang hidup di dalamnya. Sering juga suatu masyarakat dapat maju karena jasa-jasa orang-orang tersebut yang pernah memimpin masyarakat itu atau yang pernah memberikan sumbangannya di mana individu itu hidup dan bekerja. Individu dan masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling membutuhkan. Kedua aspek manusia yang saling berlawanan sifatnya, individu merupakan makhluk yang unik, artinya tidak ada manusia yang sama, dia berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya, inilah suatu sifat menusia yang disebut individualitas. Dalam pendidikan individual bukan saja dikembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak-anak sebagai individu, melainkan juga kepada anak kita berikan persiapan-persiapan untuk kehidupan bermasyarakat. Perlu diadakan pendidikan bagaimana bergaul secara akrab, atas dasar pergaulan yang akrab antara pendidikan dan anak didik. Kita perlu menyadari betapa pentingnya memelihara nilai-nilai yang baik dan susila, demi terselenggaranya hidup bersama yang harmonis dan bagaimana menyiapkan anak-anak menjadi anggota masyarakat yang berguna, serta menyiapkan anak untuk kehidupan berkeluarga yang harmonis. b). Tanggung jawab pendidikan Pada bagian awal telah dikemukakan bahwa pendidikan dapat dilihat dalam arti khusus dan arti luas. Dalam arti khusus pendidikan diartikan sebagai bahwa pendidikan merupakan usaha mendidik anak untuk menjadi dewasa. Jadi, pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasannya. Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai. Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang terpusat dalam lingkungan keluarga. Pendidikan mikro sebagai upaya pendidikan untuk mendewasakan anak, sepenuhnya merupakan tanggung jawab keluarga. Tanggung jawab pendidikan dalam tatanan mikro ini sepenuhnya tanggung jawab keluarga. Keluargalah yang paling bertanggung jawab secara moral, spritual, dan fisik material untuk mendewasakan anak.
(Wakabid. Organisasi & PNF Dewan Pendidikan Labuhanbatu) Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Labuhanbatu nomor 420/174/Kesra/2011 tanggal 5 Juli 2011 Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu telah dibentuk yang pelantikannya dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2012 dengan mengambil tempat di Ruang Data & Karya Kantor Bupati Labuhanbatu. Dalam acara pelantikan tersebut hadir unsur Muspida dan segenap Jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu beserta guru-guru dan para Kepala Sekolah. Adapun para Pengurus Dewan Pendidikan Labuhanbatu untuk Periode 2011-2016 yang dilantik oleh Bupati dr. H. Tigor Panusunan Siregar, Sp.PD yaitu terdiri dari : Ketua Wakabid. Organisasi & PNF Wakabid. Seminar/Lokakarya Wakabid. Dikdasmen Wakabid. Humas & Komite Sekolah Wakabid SDM & Tenaga Kependidikan Wakabid Penelitian & Pengembangan Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara
: H.M.H. Thamrin Hasibuan : Ir.H. Marwan E. Siregar, MM : Drs.H. Hasballah Basyah : Sabaruddin Marpaung, SE : Dra. Annim Hasibuan, M.Pd : Yuniman Zebua, SE : Elida F. S. Simanjorang, S.Sos, MSP : Tatang Hidayat Pohan, M.Si : Ngampuni Tarigan, S.Pd : Ir. Jhoni, SE, Dipl.CIM : Osman Naibaho, SE, M.Pd
Ke-11 orang pengurus Dewan Pendidikan Labuhanbatu yang dilantik tersebut diatas berasal dari tokoh dan pengelola pendidikan, dan mereka terpilih berdasarkan hasil seleksi Panitia yang dibentuk oleh Bupati. Dari sebanyak 62 orang tokoh-tokoh dan pengelola pendidikan yang ada di Labuhanbatu selama ini, terpilih sebanyak 22 orang, dan dari 22 orang tersebut Bupati Labuhanbatu menetapkan sebanyak 11 orang, seuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Adapun sebagai landasan hukum pembentukan Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu adalah UU RI No.20 Thn.2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, Kepmendiknas No.044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, PP No.17 Thn.2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan Program Pemkab Labuhanbatu tentang Peningkatan Mutu Pendidikan. Fungsi Dewan Pendidikan sebagaimana pada Psl. 192 ayat (2) PP No.17 Thn. 2010 menyebutkan: Dewan Pendidikan berfungsi dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Selanjutnya pada ayat (4): Dewan Pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada Bupati terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan. Pembentukan Dewan Pendidikan sebagai suatu badan, bertujuan untuk mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Dewan Pendidikan sesuai dengan fungsinya diharapkan mampu mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan.
Dewan Pendidikan Labuhanbatu Disamping itu, Dewan Pendidikan dapat meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan, dan mampu menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan bermutu. Dalam menjalankan fungsinya, Dewan Pendidikan hendaklah dapat berperan sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan kebijaksanaan pendidikan, sebagai pendudkung (supporting acency), baik yang berwujud financial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagai pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyeleng garaan dan keluaran pendidikan, dan sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan DPRD (legislative) dengan masyarakat. Bupati Labuhanbatu dalam bimbingan dan arahannya pada saat pelantikan mengharapkan agar dengan telah dibentuknya Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu, akan mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, dan meminta kepada Dewan Pendidikan untuk melakukan kerjasama dengan masyarakat, pemerintah, dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, dan dapat menampung, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Selain itu juga Bupati mengharapakan agar Dewan Pendidikan dapat memberikan masukan, per timbang an dan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah dan DPRD mengenai kebijakan dan program pendidikan, keriteria tenaga daerah dalam bidang pendidikan, khususnya guru, mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan, serta melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan. Dewan Pendidikan Labuhanbatu yang
berkantor di Jl. Imam Bonjol No.154 Rantauprapat, setelah pelantikannya diawal Juli 2011 yang lalu, langsung berpacu melaksanakan berbagai kegiatan berdasarkan program kerja yang telah disusun, yang meliputi : 1. Audiensi Pengurus DPK Labuhanbatu dengan beberapa unsur Muspida (Bupati, DPRD, Kapolres dan Dinas Pendidikan L.Batu) mohon dukungan dan kerja sama. 2. Melaksanakan Seminar Nasional dengan tema: Peningkatan Mutu Pendidikan Berkarakter di Labuhanbatu, diadakan di Asrama Haji Ujung Bandar . 3. Studi Banding dan sharing ke Propsu di Medan, yaitu ke Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Depdiknas Wil. I, ke SMAN IV Medan dan ke Nhan Yang School yang sudah menerapkan pendidikan karakter. 4. Studi Banding ke Provinsi Sumatera Barat, yaitu ke Dinas Pendidikan Provinsi; ke Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, di Padang; ke DPRD dan SMAN-I Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. 5. Kunjungan Dewan Pendidikan Labuhan Batu ke jajaran pendidikan dan Pemerintah Kecamatan di 9 Kecamatan, yang didahului 3 Kecamatan Pantai, yaitu, Labuhan Bilik, Sei Berombang, dan Tj. Sarang Elang. 6. Kunjungan Dewan Pendidikan Labuhanbatu ke jajaran Kemenag dan ke MTSN-I Rantauprapat. 7. Menyusun dan mempersiapkan Draft Ranperda Pendidikan di Labuhanbatu untuk diajukan/disyahkan oleh DPRD L. Batu. 8. Pembuatan Buletin Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu. 9. Pengelolaan Data (Data-Base) Pendidikan di Labuhanbatu dan data Stakeholder. 10.Penyusunan Program Dewan Pendidikan Kabupaten Labuhan Batu untuk Tahun Anggaran 2012. Dengan berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan dalam waktu yang relatif baru berusia kurang lebih 5 bulan, Dewan Pendidikan Labuhanbatu diharapkan dapat meletakkan dasardasar kebijakan dan arah pengelolaan pendidikan di Labuhanbatu sebagai bentuk rekomendasi dan masukan kepada Pemerintah Daerah, khususnya kepada Bapak Bupati dr.H. Tigor Panusunan Siregar, Sp.Pd selaku pemegang kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di daerah Labuhanbatu yang kita cintai ini.
(Rektor Universitas Islam Labuhanbatu) Banyak orang mengkambinghitamkan globalisasi sebagai sumber banyak masalah, padahal globalisasi sesuatu yang tidak mungkin dihindari selama bumi masih satu adanya, tiada bumi lain tempat berpindah. Sungguh, bukanlah globalisasi yang salah melainkan suatu keadaan yang harus disikapi dengan berbagai kearifan, kearifan keilmuan, kearifan mental, kerifan moral, dan kearifankearifan lain yang kesemuanya menjadi karakter bangsa.
K
emiskinan akan karakterlah yang membuat kacau kehidupan pribadipribadi bangsa yang pada gilirannya menjadi ketidakkuatan bangsa berada bersama dengan bangsa lain. Mari kita simak keadaan dan peristiwa sebagai gejala hilangnya karakter sebagian bangsa ini, kasus Gayus Tambunan dan kasus tokoh politik yang korup, kasus jaksa seperti Cyrus Sinaga yang menyalahgunakan jabatan, anggota DPR/D yang tidak perduli dengan rakyat yang diwakilinya dan diduga banyak yang berperan sebagai agen anggaran serta terjerat hukum sebab korupsi, kasus PNS yang memperkaya diri, hingga yang mutakhir yang dilansir oleh Aliansi Pita Putih Indonesia dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, bahwa 63 persen remaja Indonesi terlibat seks bebas (Harian Waspada, Rabu 2 Nopember 2011), tauran mahasiswa dimana-mana,dan demonstrasi yang tidak jelas juntrungnya. Keadaan kacau ini membuat bangsa ini saling menyalahkan, pendidikan, terutama guru menjadi sasaran kambing hitam. Benarkah pendidikan atau guru yang salah? Bukankah pendidikan karakter menjadi tanggungjawab semua kita? Memahami Pendidikan Karakter Perlunya pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 33 dinyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab''. Jika dicermati lima dari
delapan potensi peserta didik yang perlu dikembangkan dalam Sistem Pendidikan Nasional tersebut sangat signifikan dengan revitalisasi pendidikan karakter di Indonesia. Secara Akademis, pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan, baik-buruk, memelihara apa yang baik itu dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis menenkankan pentingnya component of good character, mencakupi moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona, 1991 dan Lickona dalam Muslich, 2011). Sebagai moral knowing, karakter dapat diajarkan dan harus diajarkan oleh siapapun kepada siapa pun juga; sebagai moral feeling, karakter harus ditanam dan tertanam di dalam diri siapapun sebagai nilai rasa dan ini menjadi sumber energy dalam bertindak berdasar nilai-nilai moral; dan moral action merupakan tindakan nyata sebagai wujud dari pengetahuan akan moral (moral knowing). Seorang terdorong bertindak secara moral untuk berbuat baik disebabkan dia memiliki kompetensi akan hal dimaksud, keinginan (will) untuk melakukannya, dan kebiasaan (habit) baginya akan hal-hal yang baik. Secara pedagogis, pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach, dengan pengertian bahwapendidikan karakter bukanlah sesuatu yang harus ditambah sebagai satu program khusus melainkan sesuatu yang include dalam kehidupan persekolahan. Dalam hal ini setiap guru adalah pengajar pendidikan karakter, dan setiap guru adalah kurikulum karakter (the hidden curriculum). (Berkowitz dalam goodcharacter.com: 2010). ...
B
erdasarkan pendapat tersebut di atas, nampak jelas bahwa pendidikan nilai/moral memang sangat diperlukan atas dasar argumen: Pertama, adanya kebutuhan nyata dan mendesak; proses transmisi nilai sebagai proses peradaban. Kedua, peranan persekolahan sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat. Ketiga, tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai. Keempat, kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral. Kelima, kenyataan sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai. Keenam, persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan yang kuat dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah. Semua argumen tersebut tampaknya masih relevan untuk menjadi cermin kebutuhan akan pendidikan nilai/moral di Indonesia saat ini. Proses demokrasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam di satu pihak dan dunia pendidikan yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan dan mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan karakter. Lebih jauh dari itu adalah Indonesia dengan masyarakatnya yang ber-Bhineka Tunggal Ika dan dengan falsafah negaranya Pancasila yang sarat dengan nilai dan moral, merupakan alasan filosofis-ideologis, dan sosial-kultural tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan dilaksanakan secara nasional dan berkelanjutan. Berbagai peristiwa yang dikemukakan pada pendahuluan di atas menggambarkan bahwa bukan saja siswa yang bermasalah atau berdekadensi melainkan hampir semua komponen bangsa. Seperti kita ketahui bersama saat ini tampak begitu jelas dekadensi moral yang sedang menjangkit bangsa ini. Hasil survey terakhir terhadap pergaulan bebas pada remaja kita amat mengkhawatirkan. Kesadaran masyarakat akan budaya kebersihan semakin menurun. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan semakin memprihatinkan. Masih banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai sebagai layaknya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah hingga mengakibatkan bencana banjir. Budaya antre dan sopan-santun semakin pudar ditelan oleh arus zaman globalisasi. Materialistik, konsumerisme, hedonisme, sekulerisme dan individualistic kini secara perlahan tapi pasti telah menginternalized dalam masyarakat. Pelanggaran lalu lintas dan tata tertib menjadi budaya
baru yang seolah mengokohkan sebuah anekdot bahwa “hukum dan tata tertib memang dibuat untuk dilanggar�. Di sisi lain kasus-kasus kekerasan, plagiarisme, illegal logging dan korupsi pun kian menjamur. Inilah beberapa fakta yang dapat menjadi pertimbangan dan renungan bangsa ini betapa urgen-nya moral and character building bagi terwujudnya bangsa yang unggul dan beradab. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran kognitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan kognitif melalui pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarg aneg araan, Pendidikan Sosial, Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian, harus diakui karena kondisi zaman yang berubah dengan cepat, maka upaya tersebut belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dirancangulang dan dikemas kembali dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu direformulasikan dan dioperasionalisasikan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah/perguruan tinggi. Untuk itu, dirasakan perlunya membangun wacana dan sistem pendidikan karakter yang sesuai dengan konteks sosial kultural Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika dengan nilai-nilai Agama dan Pancasila sebagai sumber nilai dan rujukan utamanya. Urgensi dari pelaksanaan komitmen nasional pendidikan karakter, telah dinyatakan pada Saresehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional pada Tanggal 14 Januari 2010 yakni, pertama pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Kedua, pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Ketiga, ....
...pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Keempat, dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan. Kebutuhan tersebut sangat mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun non cetak (televisi dan jaringan maya lainnya) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara holistik dan berkesinambungan. Pendidikan moral dan ahlak vs karakter Terdapat satu jenis pendidikan yang menekankan kepada hal baik dan buruk atau menyangkut nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah, yang lama sekali dipertahankan pada pendidikan Indonesia, yakni pendidikan moral. Hal ini menjadi ikon pendidikan nasional setidaknya selama kurun pemerintahan orde baru yang disebut pendidikan moral Pancasila. Sayangnya, pendidikan ini memudar seiring dengan pergantian-pergantian rejim pemerintahan. Saat ini pendidikan moral Pancasila dimaksud nyaris tak terdengar gaungnya. Andai berhasil membumikan pendidikan moral Pancasila tersebut selama 32 tahun niscaya negeri ini tidaklah secarut dan marut korupsi, hedonis, ria kemewahan, tawuran, dan lemahnya semangat keindonesiaan se per ti sekarang ini, karena
penyandang cacat kenegaraan yang disebut tadi masih produk kurikulum yang mendidikkan pendidikan moral Pancasila dimaksud. Artinya, terdapat kekeliruan dalam membelajarkan pendidikan moral dimaksud, yakni tidak menyentuh ranah afektif, sangat kental dengan pembelajaran yang bersifat kognitif. Pendidikan lain yang sangat diperhatikan adalah pendidikan ahlak. Pendidikan ini dipersepsi sangat dekat dengan ranah agama, sehingga pendidikan jenis ini menjelaskan hal-hal keseimbangan nafsu dan jiwa. Dalam kehidupan nyata, anak diharapkan dapat hidup seimbang di tengah masyarakat, dapat diterima sebagai anggota masyarakat karena akhlak yang disandang berimbang antara yang baik sebagai perwujudan pahala dan yang buruk sebagai perwujudan dosa. Akhirnya pendidikan karakter adalah pencakupan kedua semesta moral dan akhlak. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan tidak hanya yang baik dan yang buruk, tidak hanya persoalan dosa dan pahala, melainkan mencakup seluruh hal sifat apa yang pantas dan tidak pantas, sifat-sifat baik dan terpuji. Dalam praktik persekolahan utamanya, pendidikan karakter merupakan bagian integritas dari setiap mata pelajaran, dengan demikian tidaklah penting membuat kurikulum eksplisit cukuplah membenahi wawasan dan kinerja karakter setiap guru. Jadikanlah setiap guru adalah guru pendidikan karakter (the hidden curriculum). Kesimpulan Pendidikan karakter tidak menjadi tanggung jawab persekolahan saja, apabila hal ini disepakati maka orang-orang yang tidak mendapat pendidikanlah yang menjadi biang ketidakkuatan bangsa, namun kenyataannya orang terpelajarlah yang cenderung membuat kekuatan bangsa ini rapuh. Dengan demikian pendidikan karakter harus dijadikan sebagai gerakan bukan pendidikan dalam arti persekolahan dengan demikian para menteri, anggota DPR/D, Polisi, Jaksa, Hakim, Bupati, dan pejabat apapun namanya harus memperoleh pendidikan karakter. Di sekolah, pendidikan karakter tidak harus melaksanakan kurikulum yang dirancang khusus (explisit curriculum) melainkan menjadikan setiap guru menjadi guru karakter sebagai pengembangan guru sebagai pendidik (afektor).
Dari penelitian diberbagai belahan dunia yang terus berkembang, hasil riset tentang tehnik penyerapan informasi ke otak dibagi menjadi 5 tahap: Membaca 10%, Mendengar (20%), Mendengar dan Melihat dengan prosentase penyerapan informasi 50%, Mengatakan (70%), Mengatakan dan melakukan (90%).
D
ari informasi diatas mudah bagi kita untuk mengetahui cara yang paling efektif untuk mendidik karakter anak bukan? Untuk memaksimalkan penyerapan diatas 50 % maka metode mendidiknya harus disesuaikan dengan cara otak menyerap informasi. Tentunya cara itu adalah kombinasi antara Melihat, Mendengar, Mengatakan dan Melakukan. Kita dapat membaginya dalam dua tahap penjelasan, yaitu: 1. Melihat dan Mendengar Adalah proses belajar yang ada contoh dan ada pengajarnya. Jika disekolah tentunya guru yang akan bersuara, jika dirumah maka orangtua. Sebagai guru tentunya harus memberikan contoh dan model karakter yang dikehendaki anak didiknya bagaimana serta mengajarkan “how to achieve�. Jadi pada dasarnya semua guru disekolah bisa menjadi guru pendidikan karakter, jika berkomitmen untuk menjadi contoh dan mau menjelaskan bagaimana agar siswa dapat memiliki karakter seperti gurunya. Sama halnya orangtua yang ada dirumah, siswa hanya 30% berada disekolah, 10-15 % lingkungan sosialnya dan sisanya dirumah. Maka porsi terbesar adalah orangtua yang menjadi guru pendidikan karakter bagi anaknya. Seorang anak dari bayi, dia tidak mengenal bahasa. Saat dia kecil dia belajar dengan melihat contoh, dia belajar jalan, membuka pintu, menyalakan tv, semuanya melihat. Dan proses belajar seperti ini masih berlanjut pada kehidupan kita orang dewasa. Jadi jangan anggap sepele dalam sikap dan perilaku kita untuk memberikan contoh yang baik untum pendidikan karakter anak. 2. Mengatakan dan Melakukan Ini terkait dengan peraturan dan system yang berlaku lingkungan belajar pendidikan karakter (sekolah dan rumah). Bagaimana peraturan disekolah dan dirumah selaras dengan tujuan pendidikan karakter. Baiklah saya akan memberi contoh, di Indonesia, di Surabaya khususnya saya masih bisa memberhentikan angkutan umum (metromini) sembarangan. Dimana saya ada di jalan raya, saya lihat ada angkutan umum saya tinggal angkat tangan saja maka amgkutan umum itu akan
berhenti. Hal ini bisa berlaku di Surabaya, tapi tidak di Singapura. Jika saya pindah ke Singapura maka saya tidak bisa seenaknya saja memberhentikan angkutan umum, ada tempat khusus dimana angkutan umum tersebut mau berhenti. Maka perilaku saya akan berubah mengikuti aturan yang berlaku, saya akan ke halte jika mau naik kendaraan umum. Jadi dalam pendidikan karakter juga diperlukan seting macam ini juga, seting lingkungan untuk mendukung perilaku Melakukan yang akhirnya akan terbiasa. Seperti ada pepatah bisa karena biasa, sama seperti halnya aturan baru dalam berlalu lintas. Belakangan ini banyak aturan baru sehingga jalan yang biasanya bisa 2 arah hanya satu arah untuk keefektifan pengguna jalan dan menghindari kemacetan, jika kita langgar maka tilang. Pertama terasa berat, setelah 1 bulan sudah biasa, tidak ada beban lagi. Manusia adalah mahluk yang mudah beradaptasi, terasa berat jika itu dijalankan terus menerus, maka lama-lama terbiasa. Dalam melakukan pola ini jangan lupa memberikan konsekuensi jika melanggar, tentunya konsekuensi yang mendidik dan tidak merusak harga diri anak. Contoh: jika melanggar maka mainan kesukaan anak akan disita 2 hari. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Red.
(Wakabid. Humas & Komite Sekolah Dewan Pendidikan Labuhanbatu) S. S. Wimkel (1996:27) mengemukakan “Motif adalah daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk mencapai aktivitas-aktivias tertentu demi mencapai tujuan�. Berarti di dalam diri setiap manusia tersimpan sesuatu kekuatan atau potensi dinamis, jika potensi atau kekuatan itu sewaktu-waktu dapat bereaksi. Dengan demikian subjek akan melakukan aktivitasnya terhadap objek yang dianggap sebagai suatu tujuan.
M
otivasi berasal dari kata motif, yaitu daya atau kekuatan dalam diri seseorang. Sementara itu Sardiman mengemukakan bahwa “Motivasi sebagai daya penggerak yang telah aktif �. Pendapat di atas dapat dipahami bahwa motivasi itu merupakan suatu kekuatan yang ada di dalam diri setiap individu, dimana kekuatan tersebut dapat bereaksi dan diarahkan kepada suatu tujuan tertentu setelah adanya stimulasi dari luar dirinya. Dengan demikian daya penggerak atau perubahan tenaga yang diarahkan pada pencapaian tujuan itu kembali stabil sebelum datangnya kebutuhan lain. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat penulis kemukakan suatu definisi motivasi adalah kecenderungan suatu energi yang ada di dalam diri setiap individu untuk melakukan suatu sikap atau perilaku yang dipengaruhi oleh kebutuhan dan diarahkan kepada pencapaian suatu tujuan. Fungsi Motivasi dalam Belajar Di dalam berbentuk kegiatan yang dilakukan oleh setiap individu, baik dalam belajar maupun dalam kegiatan lainnya sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kebutuhan yang dapat membangkitkan energi di dalam diri individu untuk melakukan suatu sikap yang diarahkan pada tujuan yang dicapainya. Usaha seseorang untuk mencapai tujuan merupakan suatu dorongan untuk berbuat, mengarahkan dan menentukan sikap yang harus dilakukan. Berkaitan dengan masalah tersebut berarti motivasi dapat mendorong, mengarahkan perbuatan seseorang. Dalam hal ini S Nasution (1982:72) mengemukakan fungsi motivasi sbb: Mendorong manusia untuk berbuat, motivasi sebagai penggerak berfungsi bagi seseorang apabila ingin melakukan sesuatu perbuatan atau aktivitasnya. Menentukan arah perbuatan, fungsi motivasi yang kedua ini sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan suatu kegiatan ke arah tujuan yang hendak dicapai. Menyeleksi perbuatan motivasi berfungsi untuk
menentukan sikap atau perbuatan yang harus dikerjakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian motivasi dalam belajar adalah sebagai pembangkit sesuatu perbuatan atau tingkah laku, sebagai pedoman atau petunjuk arah dalam berbuat, sebagai alat pengontrol atau menyeleksi dalam proses belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan. Contohnya seorang siswa ingin berprestasi seperti kawankawannya, maka ia har us membangkitkan minatnya untuk selalu belajar dengan giat. Cara Meningkatkan Motivasi Siswa dalam Belajar Mengajar Sebagaimana telah disebutkan dalam uraian sebelumnya bahwa motivasi itu dapat ditimbulkan dari dalam diri siswa apabila ada rangsangan dari luar dirinya. Tetapi rangsangan tersebut belum berarti jika siswa belum mendapatkan respon yang diwujudkan melalui tingkah lakunya. Dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan adanya reaksi-reaksi berbeda terhadap berbagai materi pelajaran dan tugas yang diberikan oleh guru. Ada sebagian siswa yang langsung tertarik dan menyukai pelajaran yang diberikan oleh guru. Bagi siswa yang bersikap demikian berarti telah memiliki motivasi yang cukup tinggi. Namun ada sebagian siswa yang menerima pelajaran dengan perasaan jengkel dan pasrah dan ada sebagian lagi yang menolak pelajaran. Selanjutnya Sudirman AM (1988:91-94) mengemukakan bentuk dan cara menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah adalah:
? Pemberian angka. Tidak jarang ditemui siswa
yang belajar hanya untuk mendapatkan nilai yang tinggi, baik dalam nilai hariannya maupun nilai rapor. Nilai yang tinggi dapat merupakan simbol menyenangkan siswa. Oleh karena itu nilai angka yang tinggi itu dapat dijadikan salah satu alat untuk menimbulkan motivasi yang sangat kuat. Namun demikian perlu diingat bahwa angka atau nilai tinggi yang telah dicapai siswa belum sepenuhnya dapat dikatakan hasil belajar yang sejati, karena biasanya siswa berusaha hanya pada saat ingin mencapai nilai saja. Untuk itu guru dalam memberikan angka harus dengan nilai yang terkandung dalam setiap pengetahuan yang dianjurkan kepada siswa. ? Hadiah. Memberikan hadiah dapat dikatakan sebagai salah satu cara menumbuhkan motivasi agar siswa lebih efektif dalam belajarnya. Tetapi dengan memberikan hadiah tidak selamanya dapat memberikan motif, karena diantara sekian banyak siswa ada yang tidak termotivasi dengan hadiah tersebut. Dalam hal ini guru harus memperhatikan bentuk hadiah yang akan diberikan, kapan waktunya diberikan dan dalam mata pelajaran apa saja, sehingga hadiah itu dapat merupakan motivasi bagi siswa dalam belajarnya. Sebagai contoh hadiah yang diberikan untuk apresiasi yang terbaik mungkin tidak akan menarik bagi seseorang siswa yang tidak memiliki bakat minat apresiasi. ? Saingan/Kompetisi. Menciptakan persaingan/kompetisi diantara sesama siswa dapat menimbulkan motivasi untuk mencapai secara ke l o m p o k t e t a p i s e b a l i k n y a persaingan dapat merugikan siswa yang pemalu, tidak acuh karena harapannya memang tidak menang dalam persaingan. Memang unsur persaingan ini banyak dimanfaatkan di dalam dunia industri atau perdagangan, tetapi juga sangat baik digunakan untuk meningkatkan belajar siswa. Contoh cerdas Cermat, perlombaan antar kelas dalam bidang olahraga, dll. ? Ego-Involment. Siswa harus diikutsertakan
dalam menyelesaikan suatu yang merasa penting dan tugas tersebut diterimanya sebagai suatu tantangan yang harus diselesaikannya. Jika tugas tersebut tidak dapat diselesaikannya, harga dirinya merasa akan berkurang, maka dengan ego-involment siswa mau berusaha semaksimal mungkin demi mempertahankan harga dirinya. ? Memberikan Ulangan. Dengan memberikan ulangan kepada siswa mereka lebih efektif belajar untuk mempersiapkan dirinya menghadapi ujian ulangan yang diberikan guru. Maka ulangan dapat dijadikan salah satu cara untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa. Tetapi yang harus diingat oleh guru, adalah jangan terlalu sering memberikan ulangan (misalnya setiap hari) karena dapat membosankan siswa. Dalam hal ini guru harus juga terbuka misalnya kalau akan ulangan harus diberitahukan kepada siswanya. ? Mengetahui Hasil. Mengetahui hasil belajar yang dicapai siswa dapat memperbesar kegiatan belajar dimana tujuan yang dicapainya adalah ingin sukses. Untuk itu keberhasilan siswa dalam setiap kegiatan belajar perlu diketahuinya. Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. ? Pujian. Memberikan pujian kepada siswa atas keberhasilannya dalam menyelesaikan satu tugas, ketelitian, serta atas tingkah lakunya yang baik akan dapat memupuk perasaan yang menyenangkan sekaligus pujian ini merupakan motivasi. Dengan pujian yang tepat akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga dirinya. ? Hukuman. Hukuman yang diberikan secara tepat dapat merupakan alat memotivasi siswa. Oleh karena itu guru harus memperhatikan hukuman yang diberikannya. Contohnya: disuruh lari keliling lapangan untuk siswa yang terlambat. ? Hasrat untuk Belajar. Yang dimaksud dengan hasrat untuk belajar adalah keinginan tekad belajar yang telah ada dalam diri siswa. Dorongan itu timbul dengan tekad bahwa yang dipelajarinya akan sangat bermanfaat bila nilai dan tujuan pelajaran tersebut baik baginya. Hal ini akan lebih baik bila dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
Wawancara dengan M. Iqbal Panglimunan (Ketua Rantauprapat Creative Forum ~ RCF)
Medium apa yang relevan dan menarik siswa untuk membentuk karakternya? Ulasan wawancara berikut akan memberikan gambaran bagaimana Teater bisa menjadi alternatif yang potensial untuk 'dikelola' sebagai wahana pendidikan karakter.
K
ecerdasan intelektual tidak akan berarti apapun apabila kecerdasan emosional tidak terkelola dengan baik. Pendidikan karakter merupakan bagian penting bagi proses pendidikan nasional yang akan menentukan cara berpikir dan bersikap anak atau siswa di masa depannya. Karena itu, sekolah selayaknya menempatkan proses pendidikan karakter sebagai bagian integral proses pencerdasan intelektual yang dilakukannya. Menurut pandangan M. Iqbal sebagai salah seorang pegiat dunia kreatif di Labuhanbatu, teater dapat dijadikan medium efektif untuk membentuk karakter siswa. Guru dapat menjadikan teater sebagai cara ampuh membentuk kematangan karakter siswa. Disiplin seni teater adalah disiplin yang terbuka dan kontekstual untuk merefleksikan situasi kekinian. Selain itu, secara teoritis, teater juga mengajarkan banyak hal tentang nilai-nilai kerjasama dan memahami diri serta lingkungan. Kebanyakan kebingungan generasi muda adalah ketika dihadapkan pada realitas yang menuntut dipahami dan dikelola demi keberhasilan hidupnya. Seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks, sehingga sering disebut
dengan collective art atau synthetic art artinya teater merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan berbagai macam keahlian dan keterampilan. Seni teater menggabungkan unsurunsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang meliputi bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa. Disini narasumber mencontohkan, teater mengajarkan kerjasama kelompok yang baik demi meraih tujuan bersama. Ada nilai-nilai unggul yang ditawarkan bahwa keberhasilan sebenarnya bukan karena kerja individual. Seseorang disebut berhasil manakala mampu menempatkan orang lain dalam porsi yang tepat sesuai kapasitas dan kemampuannya. Kualitas kerja setiap bidang akan menjadi harmonis jika masing-masing dapat bekerja secara bersama dan bekerja bersama akan berhasil dengan baik jika semua elemen memahami tugas dan tanggung jawabnya. Itulah inti dari proes penciptaan seni teater, “kerja sama�. Kerja kelompok atau kerja tim adalah hal yang sering dilupakan seiring menguatkan watak indivualistis generasi kekinian. Lantas bagaimana aplikasi teknisnya dalam pembelajaran di sekolah? Secara logis, guru yang akan mendidik karakter siswa harus memiliki karakter...
...yang unggul. Artinya, dia harus memiliki kepercayaan diri untuk tampil di hadapan siswa dalam membawakan materi pelajaran. Misalnya dengan mengajak siswa membuat sosiodrama dengan tema tertentu sesuai dengan tema besar yang akan diajarkan. Kelas bisa dibagi menjadi beberapa kelompok, melalui tema besar, siswa diberi kebebasan untuk memilih bentuk penampilan. Dan hal penting yang perlu diingat adalah: hindari perkataan 'salah'. Secara psikologis, tudingan salah akan mempersempit ruang kepercayaan diri siswa. Menurut narasumber, sosiodrama bisa menjadi varian alternatif seni teater yang paling sesuai untuk diberikan di dalam kelas. Karena tidak menuntut konsekwensi artistik yang besar sebagaimana pementasan teater. Dan guru juga bisa memberikan tema yang sesuai dengan matapelajaran yang diajarkan. Mendidik siswa mandiri, berpikir kritis, memiliki kebebasan memilih, bekerjasama, mampu menempatkan diri dalam ruang dan waktu yang tepat adalah bagian proses pembuatan sosiodrama. Tanpa itu, tidak mungkin sosiodrama, akan berhasil disajikan dengan baik. Di sisi lain, akan sangat menguntungkan apabila sekolah memiliki ekstrakurikuler teater. Dimana proses 'kerja' teater dapat diperkenalkan secara utuh tetapi tentu disesuaikan dengan kemampuan sekolah. Melalui ekstrakurikuler teater, siswa diajak untuk melatih kepekaan batinnya, jiwa kepemimpinannya, serta kesadaran atas kapasitas dirinya. Inilah bagian terpenting pendidikan karakter, yakni siswa diajak untuk mengenali dirinya sendiri. Diharapkan setelah mengenali dirinya sendiri, siswa akan mampu menentukan dan memilih peran yang cocok untuk hidupnya di masa depan. Begitulah sekilas, teater ternyata mampu menjadi medium alternatif dalam mendidik karakter siswa. Tinggal persoalannya, mampu dan maukah guru memilih teater sebagai pilihan metode pengajaran? Dalam pandangan narasumber, guru yang baik akan selalu tertarik dengan tantangan baru.
S
ejarah panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia mulai melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga berlangsung bersamaan dengan tafsiran-tafsiran terhadap alam semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater tidak jauh berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia dan alam semesta. Selain itu, sejarah seni teater pun diyakini berasal dari usaha-usaha perburuan manusia primitif dalam mempertahankan kehidupan mereka. Setelah selesai melakukan perburuan, mereka mengadakan ritual atau upacara-upacara sebagai bentuk “rasa syukur� mereka, dan “penghormatan� terhadap Sang Pencipta semesta. The Theatre berasal dari kata Yunani Kuno, Theatron yang berarti seeing place atau tempat menyaksikan atau tempat dimana aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya. Sedangkan istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya theatre mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri. Namun demikian, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno, Draomai yang berarti bertindak atau berbuat dan Drame yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah atau dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata drama juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata teater dan drama bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra. Terlepas dari sejarah dan asal kata yang melatarbelakanginya, seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks, sehingga sering disebut dengan collective art atau synthetic art artinya teater merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan berbagai macam keahlian dan keterampilan.
19
S
etiap bangsa mempunyai karakter budaya yang tidak sama. Karakter suatu bangsa dapat mengalami perubahan, bisa ke arah yang lebih baik atau sebaliknya, bahkan bisa hilang sama sekali. Hal ini tergantung bagaimana masyarakatnya melindungi atau menjaga karakter budaya yang sudah diwariskan oleh nenekmoyangnya. Pendidikan karater merupakan proses pewarisan budaya pada generasi muda untuk membentuk kepribadian sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Dalam tujuan pendidikan nasional, pendidikan karakter merupakan gambaran tentang kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh satuan pendidikan, serta menjadi dasar dalam mengembangkan pendidikan karakter b a n g s a . Pe n d i d i k a n karakter lebih mudah
diberikan pada usia dini, hal ini akan mudah diterima dan tersimpan dalam memori anak, akan membawa pengaruh pada perkembangan watak dan pribadi anak hingga dewasa. Daniel Golemen dalam bukunya “Kecerdasan Ganda� menyebutkan bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan dibutuhkan 80%, sedangkan kecerdasan intektual hanya sebesar 20%. Kecerdasan emosional dan sosial diyakini para ahli lebih membawa dampak pada perjalanan hidup bahkan karier anak dikemudian hari. Berbagai media bisa digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter, salah satunya Kepramukaan. Kepramukaan sebagai media pendidikan karakter. Unsur di dalam pendidikan non-formal adalah pendidikan kepemudaan. Unsur yang ada di dalam pendidikan kepemudaan adalah Gerakan Pramuka. Dalam UU No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, disebutkan Gerakan Pramuka adalah organisasi yang dibentuk oleh Pramuka untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Gerakan pramuka merupakan wadah pendidikan generasi muda usia 7 – 25 tahun, yang mempersiapkan anggotanya untuk mempunyai karakter bangsa sesuai Dasa Darma dan Tri Satya. Tujuan dari Gerakan Pramuka untuk membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup. Dengan demikian, tujuan dari Gerakan Pramuka sejalan dengan fokus pendidikan karakter yang menjadi program utama Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam menanamkan dan menumbuhkan karakter bangsa, di Kepramukaan mempergunakan
...10 pilar yang menjadi kode kehormatan. Kode kehormatan mempunyai makna suatu norma yang menjadi ukuran kesadaran mengenai akhlak yang tersimpan dalam hati yang menyadari harga dirinya, serta menjadi standar tingkah laku Pramuka di masyarakat. Sepuluh (10) pilar tersebut bernama Dasa Dharma, yaitu: 1. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia; 3. Patriot yang sopan dan kesatria; 4. Patuh dan suka bermusyawarah; 5. Rela menolong dan tabah; 6. Rajin, terampil dan gembira; 7. Hemat,cermat dan bersahaja; 8. Disiplin, berani dan setia; 9. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya; dan 10. Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Dalam mengimplemasikan 10 pilar tersebut, antara anggota penggalang, penegak dan pandega hingga anggota dewasa disesuaikan dengan perkembangan rohani dan jasmani. Sedangkan untuk anggota siaga, pilar yang digunakan untuk menanamkan pendidikan karakter melalui Dwi Dharma, yang berbunyi sebagai berikut “Siaga itu menurut ayah dan bundanya”; serta “Siaga itu berani dan tidak putus asa”. Mengingat usia siaga masih senang dengan bermain, maka dalam menanamkan norma Pramuka melalui media permainan dan visual serta contoh dari bunda dan ayahandanya. Pendidikan kepramukaan merupakan proses pendidikan non-formal dan di luar keluarga d a l a m b e n t u k ke g i a t a n y a n g m e n a r i k , menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan (PDK dan MK) yang sasaran akhirnya adalah upaya pembentukan watak. Setiap item dalam sepuluh pilar Dasa Darma dijabarkan dalam satuan kecakapan khusus (SKK) yang menjadi alat untuk mengetahui perkembangan kemampuan dan keterampilan dalam menerapkan norma-norma yang ada. Bila anggota pramuka usia 11 hingga 25 tahun mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari pilar norma yang ada, tentunya akan menjadi kunci penguatan karakter bagi peserta didik itu sendiri. Sedangkan anggota dewasa menjadi pembimbing dan memantau dalam menghayati dan melaksanakan dalam keseharian. Ketergantungan pembina semakin kecil pada anggota penegak dan pandega (hanya sekitar 10 %), karena anggota pramuka penegak dan pandega sudah cukup dewasa utamanya pada pandega, sehingga bisa melaksanakan kegiatan
pramuka secara mandiri, pembina hanya berfungsi sebagai motivator dan konsultan program. Hal ini sesuai dengan sistem “among” yang digunakan dalam salah satu prinsip metode pendekatan di kepramukaan. Sistem “among” adalah proses pendidikan kepramukaan yang bertujuan membentuk peserta didik agar berjiwa merdeka, disiplin dan mandiri dalam hubungan timbal balik antar manusia. Sistem “among” selalu terimplimentasikan dalam kegiatan pramuka mulai tingkatan anggota siaga hingga dewasa, dengan cara atau pola yang dipergunakan disesuaikan dengan usia peserta didik, sehingga memudahkan dalam menanamkan karakter bangsa dan dapat tersimpan lama dalam memori pikiran. Terdapat 3 prinsip dalam sistem “among”, yaitu “di depan menjadi teladan, ditengah membangun kemauan dan di belakang mendorong dan memberikan motivasi kemandirian”. Dengan adanya sistem among tersebut, karakter anggota pramuka sudah terpantau sejak usia 7 tahun dan terus dipantau sampai berhenti menjadi anggota pramuka. Sedangkan anggota dewasa, untuk memantapkan penanaman karakter melalui jenjang kursus, mulai kursus pembina pramuka mahir dasar dan lanjut hingga jenjang kursus pelatih pembina pramuka tingkat dasar hingga lanjut. Bila anggota sudah mencapai tingkatan Kursus Pelatih Pembina Pramuka Tingkat Lanjut (KPL) maka diharapkan sudah mendarah daging norma tentang kepramukaan, sehingga bisa menjadi contoh tauladan di masyarakat. Penutup Pendidikan karakter saat ini memang harus segera dilakukan, mengingat perkembangan masyarakat yang berjalan (menurut penulis, secara kualitatif bergerak mundur). Karakter budaya Indonesia yang sudah dikagumi bangsa lain jangan sampai pupus oleh gesekan mental generasi muda yang lebih menyenangi budaya asing. Pramuka sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sangat relevan dengan pendidikan karakter bangsa, hal ini dapat dilihat dari kesamaan nilai-nilai pendidikan karakter dengan nilai-nilai Dasa Dharma, sehingga sangat tepatlah bila lewat pramuka pendidikan karakter dibentuk. Berbagai aktifitas yang menyenangkan dan menarik dapat menjadi bagian dari cara Gerakan Pramuka untuk membentuk karakter diri individu.
Pelantikan Dewan Pendidikan Labuhanbatu
Pelantikan Dewan Pendidikan Labuhanbatu
Kunjungan Kerja Padang Panjang
Wawancara dengan TVRI Sumatera Barat
Kunjungan NANYANG School Medan
Lomba Debat DPK - IPMALAY
Kunjungan DPRD Labuhanbatu
Seminar Nasional Pendidikan Karakter
Kunjungan Kerja Kec. Rantau Utara
Kunjungan Kerja KEMENAG Labuhanbatu
Kunjungan Kerja Kec. Panai Hilir
Kunjungan Kerja Kec. Panai Hulu
Kunjungan Kerja Kec. Bilah Hilir
Kunjungan Kerja DPK-IGTKI PGRI
Kunjungan Kerja Kec. Panai Tengah
Kunjungan Kerja Kec. Panai Hilir
P
ada prinsipnya, pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah. Gur u dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam KTSP, silabus dan RPP yang sudah ada. Indikator nilai-nilai budaya dan karakter bangsa ada dua jenis yaitu (1) indikator sekolah dan kelas, dan (2) indikator untuk mata pelajaran. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah, gur u dan personalia sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana pendidikan budaya dan karakter bangsa. Indikator ini berkenaan juga dengan kegiatan sekolah yang diprogramkan dan kegiatan sekolah sehari-hari (rutin). Indikator mata pelajaran menggambarkan perilaku afektif seorang peserta didik berkenaan dengan mata pelajaran tertentu. Perilaku yang dikembangkan dalam indikator pendidikan budaya dan karakter bangsa bersifat progresif, artinya, perilaku tersebut berkembang semakin komplek antara satu jenjang kelas dengan jenjang kelas di atasnya, bahkan dalam jenjang kelas yang sama. Guru memiliki kebebasan dalam menentukan berapa lama suatu perilaku harus dikembangkan sebelum ditingkatkan ke
perilaku yang lebih kompleks. Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa menggunakan pendekatan proses belajar aktif dan berpusat pada anak, dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, s e ko l a h , d a n m a s y a r a k a t . D i ke l a s dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru dengan cara integrasi. Di sekolah dikembangkan dengan upaya pengkondisian atau perencanaan sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Di masyarakat dikembangkan melalui kegiatan ekstra kurikuler dengan melakukan kunjungan ke tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta tanah air dan melakukan pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial. Adapun penilaian dilakukan secara terus menerus oleh guru dengan mengacu pada indikator pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter, melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan), maupun memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya.