Edisi 147 OKTOBER 2014
Perpustakaan: Mengesampingkan Koleksi Demi StandarisasiMTV/Lutfi Tak Sesuai 'Golongan'
UKT 2014
(AK 47, FKIP UNS) Pembagian golongan dalam sistem UKT 2014 tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa. Teknisnya justru banyak mahasiswa baru yang salah masuk golongan.
Berbeda dengan tahun 2013 yang menggunakan jalur masuk sebagai dasar penggolongan, Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun 2014 menggunakan sistem penggolongan berdasarkan penghasilan orang tua. Namun pada kenyataannya, masih banyak mahasiswa yang masuk ke golongan yang tidak sesuai. Selain itu, rentang antar golongan yang signifikan pun dipertanyakan mahasiswa. Misalnya, golongan dua membayar UKT sebesar 1 juta, sedang golongan tiga sebesar 4,2 juta. “Kemarin sempat kita tanyakan kok nyemplange jauh banget. Dari 500 ribu, 1 juta, kok tiba-tiba langsung 4,2 juta?” ujar Menteri Dalam Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP UNS, Fera Astuti, Selasa (2/9). Dengan rentang sekian besarnya, maka secara otomatis orang tua berpenghasilan 1,5 juta sangat dimungkinkan untuk masuk ke golongan tiga. “Nah, terus itu bagaimana? Masa' penghasilan 1,5 juta dengan 4,5 juta UKTnya sama?” tambah Fera, Selasa (2/9). Menanggapi hal ini, pihak universitas menjawab bahwa nantinya akan ada subsidi silang untuk menyikapi kondisi tersebut. Bahkan pihak optimis bahwa penempatan golongan itu sudah yang terbaik. Namun demikian, mahasiswa baru (maru) mengeluhkan UKT yang menurut mereka tergolong mahal. “Dulu aku tanya katanya dua juta, tternyata bayarku empat juta, kaget juga sih. Malah banyak teman yang masuk golongan 5,2 juta atau 6,2 juta,” ungkap Diana Wahyu Rahmawati, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi 2014, Selasa (2/9). Berdasarkan pengakuannya, Diana menjadikan biaya UKT tahun sebelumnya sebagai referensi. ”Lemahnya kita (sistem UKT, _red) ya itu tadi, bahwa yang dipakai benar-benar penghasilan kotor. Tidak mempertimbangkan yang lain,” ungkap Fera, Selasa (2/9). Menurut Fera, tidak adil jika penggolongan berdasarkan ekonomi orang tua, karena penghasilan yang dicantumkan adalah penghasilan kotor. Ketika on desk, maru sudah diminta untuk menyertai tagihan listrik, jumlah tanggungan, dan sebagainya, tetapi belum ada follow up untuk hal itu. Selain itu, dengan jumlah UKT yang demikian besar, maru mengaku belum mendapatkan fasilitas. Hal itu pula yang dikeluhkan oleh Diana, “Sampai sekarang sih fasilitasnya belum aku rasakan. Jas almamater juga belum dapat.” Tidak jauh berbeda dengan Diana, Pungky Ayu
(AK-47, UNS) Pekerja bangunan sedang mengangkut bahan material untuk proses pembuatan pondasi perpustakaan, Selasa (29/8).
(AK-47, UNS) Pembangunan Perpustakaan UNS yang direncanakan delapan lantai dinilai mengabaikan koleksi buku dan literatur yang dikeluhkan mahasiswa tak lengkap. Mahasiswa juga mengaku kesulitan untuk mengakses jurnal internasional.
Mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) mengenai luas perpustakaan dengan jumlah mahasiswa, UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS) merehab gedung perpustakaan menjadi delapan lantai. Kepala Bagian Tata Usaha UPT Perpustakaan UNS, Sugeng Widaryatno, menjelaskan bahwa perbandingan setiap mahasiswa dengan luas perpustakaan yaitu satu mahasiswa mendapat bagian setengah meter persegi. “Kita kan mempunyai mahasiswa kurang lebih 40.000 mah a si sw a . Se d a ngkan l uas keseluruhan perpustakaan saat ini hanya 10.000 meter persegi. Sehingga kebutuhan untuk memenuhi standar nasional sekitar setengah dari 40.000 yakni sekitar 20.000 meter persegi,” tutur Sugeng, Selasa (2/9). Dikutip dari kompas.com tertanggal 3 September 2014, gedung setinggi delapan meter tersebut akan dibangun dengan anggaran sebesar 65 miliar rupiah. Melihat pembangunan yang memakan sekian miliar dana, Mahasiswa Fakultas Ekonomi angkatan 2009 yang tengah menjalani skripsi, Ardiyanto Puji Laksono, menyayangkan koleksi jurnal internasional yang dimiliki oleh perpustakaan. “Beberapa literatur dari luar di sini masih kurang diperbarui. Saya lihat memang ada cuma satu saja. Tapi itupun nggak
kredibel karena sudah lama, tahun 90an. Kurang diupdate lah,” tutur Ardiyanto, Selasa (29/8). Ardiyanto juga membandingkan pelayanan jurnal perpustakaan UNS dengan perpustakaan di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Ia menyebutkan bahwa akses jurnal di sana sangat mudah dan banyak jurnal internasional yang bisa diberikan kepada mahasiswa secara gratis dengan memiliki password dan username. Menanggapi hal tersebut Sugeng menjelaskan, untuk jurnal internasional prosedurnya sangat susah karena jurnal internasional termasuk barang impor. “Itu pun kalau ada yang mengadakan ke sini, juga tidak mungkin untuk akomodosi dan prosedur-prosedur yang dikarenakan kita ikut negeri (prosedur-red), itu yang menjadi masalahnya,” jelas Sugeng. Prioritas Saat ditanya mengenai pembangunan perpustakaan dan penambahan koleksi, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, Imas Silotika memilih untuk menambah koleksi. Dengan alasan agar wawasan mahasiswa lebih luas karena banyak membaca buku banyak wawasan. Ardiyanto juga berpendapat demikian, menurutnya harus ada prioritas. “Kita nggak tahu apakah pembangunan ini kelak akan menjadikan perpustakaan lebih baik atau tidak, kalau baik kita setuju. Meskipun untuk sementara waktu harus bersusah payah,” ujarnya. Ardiyanto