Insco Magazine Edisi Januari

Page 1

2012 Insco Magazine

Insco Multi Pratama INSCO MULTI PRATAMA 1/1/2012


PT INSCO Multi Pratama Graha Insco, Lantai 2 Jalan Warung Buncit Raya 155 Jakarta 12740 Edisi Januari

Review Berita Berbagai Sumber MICROINSURANCE PENDORONG ANGKA PENETRASI

sangat besar, tetapi biaya tinggi dan premi rendah.

Angka penetrasi asuransi di Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 1,67 persen. Yang berani baru 1,67 persen dari sekitar 238 juta penduduk Indonesia, kurang lebih 15,9 juta jiwa yang telah memiliki polls asuransi.

Sayangnya, pihak pemerintah belum melihat kemungkinan memberikan subsidi. "Yang mungkin dilakukan adalah membuat ketentuan untuk mendorong industri masuk dengan harga produk yang rendah. Kami akan membuat peraturan yang sesuai dengan kondisi di Indonesia," katanya saat memberikan sambutan dalam seminar First Microinsurance Marketplace in Indonesia, di Jakarta akhir Oktober.

Dari sisi sebaran penduduk di kota dan desa, jumlah ini memang dapat dimengerti, karena selama ini asuransi masih terkonsentrasi pada penduduk kelas menengah ke atas yang tinggal di

Gbr.1 Hal. Berita dan Event Insco Magz Ed. Nop 2011

perkotaan. Dalam kondisi seperti ini, microinsurance (asuransi mikro) akan menjadi jawaban karena menyasar pada masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di wilayah pedesaan, Namun, untuk dapat menuju ke sana ada beberapa haf yang harus dibenahi terlebih dulu, termasuk dari sisi regulasi. Asuransi mikro dianggap sebagai salah satu jawaban untuk peningkatan angka penetrasi asuransi ini. Ketua Bapepam-LK Nurhaida mengakui bahwa potensi pasar asuransi mikro -

Nurhaida mengatakan, asuransi yang ada saat ini umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar dengan segmen pasar menengah ke atas. "Produk asuransi tidak hanya untuk menengah ke atas, namun untuk seluruh masyarakat. Tapi untuk mengejar itu, ada tiga aspek utama yang perlu diperhatikan tidak raja oleh pemerintah, tetapi seluruh stakeholder asuransi," tegasnya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menggencarkan upaya sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran berasuransi kepada seluruh masyarakat Indonesia. Kemudian yang kedua, menciptakan produk-produk asuransi yang dapat terjangkau oleh golongan masyarakat berpendapatan rendah. Hal ketiga adalah saluran distribusi. "Ini penting untuk menjaring masyarakat untuk menggunakan asuransi," jelas Nurhaida. Kabiro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata berharap, melalui pengembangan asuransi mikro, penetrasi asuransi di Indonesia dapat ditingkatkan. Dia berharap dapat tumbuh melampaui angka penetrasi asuransi di Thailand yang telah mencapai Iebih dari dua persen. "Sebelum ini, kami menggunakan Filipina sebagai perbandingan. Sekarang, karena angka penetrasi Indonesia sudah melampaui -


Review Berita & Event Insco Filipina, kami ingin mengejar Thailand," katanya. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeberle, menyampaikan bahwa keberadaan asuransi mikro sangat penting bagi penduduk yang berpendapatan rendah di Indonesia tanpa beban keuangan tambahan. "Kejadian-kejadian tak terduga dalam hidup, seperti jatuh sakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan, gagal panen, atau kematian memiliki dampak besar bagi siapapun. Namun, dampak dari kejadiankejadian tersebut jauh lebih parah bagi rumah tangga berpendapatan rendah," ujar Koeberle. Asuransi mikro sebenarnya adalah salah satu komponen kunci bagi strategi nasional untuk inklusi keuangan di Indonesia. Karena akan tersedia produk-produk asuransi dengan premi yang rendah untuk segmen pasar yang luas dan belum dilayani hingga saat ini. Apalagi sekitar sepertiga populasi di Indonesia, atau sekitar 77 juta penduduk, yang tidak memiliki tabungan atau asuransi. Mengingat besarnya potensi pasar, perusahaan asuransi swasta saat ini terlihat mulai tertarik dan mengembangkan produk di segmen pasar tersebut. Namun, masih ada sejumlah faktor yang masih menghambat perkembangan asuransi mikro di Indonesia. Antara lain polls yang rumit dan susah untuk dimengerti, penagihan klaim yang memakan waktu dan penuh birokrasi, serta adanya biaya transaksi yang tinggi. Di sisi lain, permintaan akan asuransi masih minim, karena masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya asuransi. Selain itu, harus diakui bahwa memang produkproduk asuransi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin masih kurang. Stefan Koeberle memberi perbandingan dunia asuransi dengan dunia telepon seluler ( ponsel). Dia mengingatkan bahwa saat ponsel baru mulai dikenal dengan sistem langganan atau pascabayar, hanya orang-orang kaya yang mampu memilikinya. Pada saat itu orang-orang miskin tidak mampu memiliki ponsel.

Hal. 2 Tetapi kemudian industri telekomunikasi memperkenalkan sistem prabayar, orangorang yang miskin mampu membeli ponsel dan hanya dengan membeli pulsa pra bayar Rp5.000,- mereka dapat menggunakan ponselnya untuk berkomunikasi melalui telepon. Ini dua hal yang berbeda cara pemasarannya, yang pertama dengan membayar setelah menggunakan (pascabayar) dan yang kedua konsumen cukup membeli pulsa Rp5.000,- dan kalau pulsanya habis mereka dapat membeli lagi Rp5.000,- begitu seterusnya. Perbandingan semacam ini dapat berlaku di industri asuransi, karena konsumennya juga dapat dibedakan antara orang kaya (kelas menengah ke atas) dan orang miskin (kelas menengah ke bawah), sehingga perlu dibedakan cara pelayanannya. Jadi harus dipikirkan untuk membuat produk yang nilai preminya jutaan rupiah, sehingga cocok untuk menengah ke atas. Namun perusahaan juga hendaknya dapat membuat produk serupa dengan pembayaran premi hanya Rp5.000,- misalnya. Tentu saja harus dilakukan sejumlah penyesuaian, terutama terkait dengan kemudahan mengakses dan mengajukan klaim.

Lebih lanjut Koeberle mengingatkan bahwa tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana menyosialisasikan asuransi mikro ini kepada masyarakat. Oleh karena itu peranan agen asuransi sangat penting. "Sekarang bagaimana caranya agen asuransi itu tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota besar saja, melainkan juga tersebar di daerah-daerah pinggiran hingga pedesaan di seluruh penjuru negeri ini," katanya. Menurut Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Kemenkeu Isa Rachmatarwata, jalur distribusi memang merupakan salah satu masalah yang harus dipecahkan. Dia mengatakan bahwa karakteristik orang Indonesia sebenarnya lebih suka bertemu tatap muka, apalagi untuk promises yang -


Review Berita & Event Insco masih lama akan mereka nikmati manfaatnya. "Tetapi kemungkinan kita harus mulai mengeksplorasi penggunaan komunitas-komunitas yang ada. Misalnya kelompok pengajian dan arisan ibu-ibu," kata dia. Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) Kornelius Simanjuntak juga mengatakan bahwa perlu dikaji dan diatur regulasinya untuk menjadi landasan bagi industri, apakah nanti kelompok tani, kelompok pengajian, paguyuban atau toko alat pertanian, dapat menjadi jalur distribusi. Dia mengakui regulasi bahwa setiap agen asuransi harus lulus ujian sertifikasi, itu bagus. "Tetapi kalau untuk produk microinsurance, bagaimana kita harus membuat saluran distribusi di desadesa itu, jika setiap agen harus lulus sertifikasi," tuturnya. Bak gayung bersambut, Bapepam-LK saat ini tengah berencana memberikan kelonggaran peraturan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan asuransi mikro di Indonesia, termasuk dalam masalah saluran distribusi. Ketua Bapepam-LK Nurhaida mengatakan bahwa pihaknya sedang melihat kemungkinan dibuatnya regulasi yang lebih fleksibel untuk mendorong industri masuk ke segmen mikro. "Beberapa insentif yang akan dikaji oleh regulator yaitu kelonggaran tentang kewajiban agen berlisensi dalam memasarkan produk asuransi mikro dan ketentuan dalam hal membuka kantor cabang atau perwakilan," katanya. Lebih lanjut Nurhaida menambahkan, hal itu diperlukan untuk dapat menekan biaya produksi untuk produk asuransi mikro sehingga perusahaan dapat menjual produk asuransi dengan premi rendah yang terjangkau oleh segmen masyarakat berpenghasilan rendah.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor menilai kelonggaran regulasi adalah insentif tersendiri untuk mengembangkan segmen asuransi mikro. "Aturan untuk produk reguler cukup ketat. Tapi itu bisa dipahami karena regulator tidak ingin masyarakat-

Hal. 3 dirugikan dengan dispute klaim dan lain-lain. Untuk mikro memang perlu kelonggaran, tapi bukan berarti bebas karena akan bahaya nantinya," katanya. Nurhaida mengingatkan bahwa program pengembangan asuransi mikro di Indonesia bukan hanya merupakan tanggung jawab regulator. Melainkan perlu dilakukan kerja bersama, baik regulator, industri perasuransian, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang banyak berhubungan dengan masyarakat di daerah pedesaan. Semua pihak ini harus dapat memperkenalkan dan lebih meningkatkan pemahaman masyarakat kepada industri perasuransian, khususnya asuransi mikro.


Review Berita & Event Insco

Hal. 4

Perkembangan ERM di Industri Asuransi Enterprise Risk Management (ERM) pada intinya bertujuan untuk mengidentifikasi risiko -baik risiko-risiko yang ada saat ini maupun yang akan datang— kemudian mengukur dampaknya (dari sisi keuangan dan non-keuangan), dan membuat rencana kerja untuk mengelola dan mengontrol risiko-risiko tersebut, serta mengevaluasinya secara strategis bersamaan dengan kinerja manajemen.

Perusahaan asuransi sebenarnya sudah lama mengenal dan mempraktikkan berbagai aktivitas manajemen risiko di dalam mengelola perusahaan. Mulai dari mengidentifikasi dan memprioritaskan risiko, baik dari sisi melihat pandangan ke depan ataupun berdasarkan pengalaman/pelajaran setelah terjadinya bencana. Mengelola risiko dengan transfer melalui reasuransi atau produk keuangan lainnya, juga telah menjadi hal yang umum. Sama halnya di saat perusahaan melakukan rencana kelangsungan bisnis (business contingency plan) atau dalam mengelola manajemen krisis. Namun hiasanya, pengelolaan manajemen risiko ini tidak dikoordinasikan dengan perencanaan yang baik dan terpadu, namun lebih kepada individu atau masing-masing departemen. Pemikiran dan praktik manajemen risiko di perusahaan asuransi pada abad ke-21 ini telah banyak mengalami perubahan. Hal ini berawal dari tahun 1990-an saat mulai terjadi perubahan paradigma bagi kebanyakan perusahaan asuransi dalam mengelola manajemen risiko perusahaan mereka. Pendorong utama perubahan paradigma ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

• Risiko-risiko barn yang muncul jauh lebih kompleks dibandingkan sebelumnya. Dua puluh tahun terakhir, jumlah bencana (atas harta benda dan keuangan) semakin banyak terjadi. • Bencana alam : topan Andrews, Lothar & Martin, Katrina di Amerika, bencana tsunami di Asia, banjir besar di Eropa timur, gempa bumi di New Zealand dan yang terakhir di lepang. • Bencana akibat ulah manusia: tragedi Bhopal, tragedi ledakan di ladang minyak Piper Alpha di Scotland, serta pencemaran lingkungan oleh perusahaan minyak BP di Amerika. • Terorisme intemasional: London, Madrid serta World Trade Centre. • Ambruknya perusahaan asuransi besar: HIH di Australia, Independent Insurance Company di Inggris, Monoliners di Amerika Serikat, serta hampir jatuhnya AIG pada tahun 2008. • Ambruknya perusahaan besar lainnya seperti Enron, Worldcom, Baring, Long Term Capital Management (LTCM) dan Lehman Brothers. • Krisis asuransi tanggung gugat (liability) di Amerika Serikat di tahun underwriting 19982002 akibat dari premi yang dijual dibawah harga dan kurang memadainya antisipasi dan Jana cadangan Haim dari pihak perusahaan asuransi alas besamya klaim-klaim tanggung gugat yang terjadi di kemudian hari. • Krisis keuangan: 1987, di Asia 1997-1998, di Amerika 2007-2008 dan juga saat ini kemungkinan akan terjadinya krisis keuangan di Eropa (2011).

Berawal dari banyaknya bencana dan skandal korporasi, membuat banyak pihak seperti regulator, lembaga pemeringkat dan pemegang saham mulai memberikan-


Review Berita & Event Insco tekanan mengenai pentingnya manajemen perusahaan asuransi lebih bertanggung jawab dalam pelaksanaan manajemen resiko yang lebih terpadu. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa dalam industri asuransi, minimum modal berdasarkan RBC (risk based capital) juga perlu ditingkatkan, serta menekankan pentingnya penggunaan manajemen risiko yang lebih efisien dan terpadu untuk menangani dan mengelola risiko-risiko yang semakin kompleks. lnilah awal mulanya ide ERM untuk segera diterapkan dalam manajemen risiko perusahaan asuransi. Diawali dengan diterbitkannya beberapa regulasi.

Perkembangan Regulasi Pada tahun 1974, komite Basel yang mengawasi dunia perbankan dibentuk oleh gabungan beberapa bank sentral serta regulator. Pada tahun 1988 hasil pertemuan komite BIS (Bank for International Settlements) di Basel merumuskan penggunaan kerangka RBC (risk based capital) untuk bank. Kesepakatan ini telah mengalami beberapa kali perubahan, yang terakhir pada tahun 2010 dengan proposalnya untuk menerapkan Basel III sebagai kelanjutan dari Basel II dengan konsep tiga pilarnya yang telah diterapkan sejak tahun 2004. Pada tahun 1985, COSO (Committee of Sponsoring Organisations of the Treadway Commission) dibentuk oleh beberapa organisasi independen, yang bertujuan mempelajari faktor-faktor penyebab terjadinya kasus-kasus kejahatan serta skandal-skandal pelaporan keuangan di Amerika Serikat. Kemudian kerangka kerja COSO I atau model internal mulai direkomendasikan untuk mengidentifikasi serta memonitor risiko-risiko perusahaan. Serta penggunaan 'risk register' (daftar risiko) dan 'risk map' (peta risiko) mulai-

Hal. 5 diperkenalkan untuk menjelaskan posisi perusahaan atas risiko-risiko tersebut. Di Amerika Serikat setelah beberapa perusahaan asuransi tutup akibat tidak bisa membayar kewajiban kepada tertanggungnya, maka pada tahun 1985 NAIC (National Association of Insurance Commissioners) mengeluarkan peraturan tentang solvabilitas dalam bentuk RBC. Sistem RBC yang diperkenalkan sudah mulai menggunakan perhitungan aktuari dan analisa keuangan di dalam menghitung modal minimum yang harus dicapai oleh perusahaan asuansi. Setelah banyak kasus dan skandal perusahaan dalam membuat laporan keuangan, termasuk di Amerika Serikat, pada tahun 2002 regulator di sana mengeluarkan Sarbanes Oxley Act 2002 atau yang lebih sering disebut SOX. Regulasi SOX termasuk didalamnya proses manajemen risiko yang bertujuan untuk meningkatkan keefektifan kontrol internal atas pelaporan keuangan perusahaan. Di Australia dan New Zealand, mereka mulai menerapkan standar nasional AS NZS 4360 untuk manajemen risiko sejak tahun 1995 dan direvisi terakhir pada tahun 2004.

Risiko sistemik Jika dilihat dari tragedi serangan 11 September 2001 di mana melibatkan kerugian harta benda, tanggung gugat, worker compensation, gangguan usaha, kapal terbang serta juga asuransi jiwa, hal ini merupakan risiko sistemik dan ekstrim yang sebelumnya tidaklah pernah diperhitungkan oleh kebanyakan perusahaan asuransi. Dalam dunia risiko sistemik ini sudah diketahui sejak lama, tetapi hal ini merupakan jenis risiko baru bagi perusahaan asuransi. Setelah krisis keuangan global 2007 orang mulai menamakan risiko ini dengan istilah 'Black Swan'. Maksudnya sebuah risiko di-


Review Berita & Event Insco mana tingkat probabilitas atau kemungkinan untuk terjadinya kecil, namun dampak kerugiannya sangatlah besar jika hal ini terjadi. Untuk membantu mengidentifikasi atau memperkirakan kekuatan serta ketahanan suatu perusahaan asuransi atas kejadian sistemik banyak regulator yang mengharuskan perusahaan asuransi mulai menerapkan 'stress testing' untuk mengukur seberapa besar kekuatan keuangan perusahaan akibat dari kerugian atas kejadian-kejadian besar 'Oka' terjadi secara bersamaan. Maksudnya di sini juga seberapa cepat perusahaan asuransi dapat menaikkan modalnya dan meningkatkan perusahaan, dalam menghadapi peristiwa sistemik, jika terjadi.

Istilah The Black Swan diperkenalkan oleh Nassim Nicholas Taleb pada tahun 2007, dalam buku "The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable". Dalam buku ini diterangkan bahwa dahulu sebelum orang Eropa menemukan benua Australia, mereka hanya mengenal dan percaya bahwa angsa itu hanya mempunyai bulu putih, Namun pada saat mereka menemukan benua Australia di abad ke-16 mereka sangat terkejut saat melihat dan menemukan ada angsa yang berbulu hitam. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak pernah mereka bayangkan atau percayai sebelumnya bahwa ada angsa berbulu hitam. Risiko sistemik sebelumnya tidak pernah terpikirkan di dunia asuransi karena kemungkinan untuk terjadinya sangat kecil. Namum apabila terjadi, maka dampaknya sangat besar. Bayangkan berapa besar kerugian kalau sebuah perusahaan asuransi menanggung sekaligus risiko- risiko harta benda, kapal terbang, gangguan usaha, tanggung gugat, serta asuransi jiwa di saat peristiwa serangan 11 September 2001 terjadi.

Hal. 6 Tuntutan Lembaga Pemeringkat

Lembaga pemeringkat, juga mulai mengantisipasi fenomena ERM, dengan mengukur seberapa efektif kemampuan perusahaan dalam risiko manajemennya. Sebagai contoh, S&P's (Standard & Poor's) resrni memasukkan unsur analisa ERM pada tahun 2005 sebagai salah satu komponen kritikal di dalam mmoclologi pemeringkatan perusahaan asuransi. Dalam salah satu artikelnya S&P's, mengungkapkan bahwa mereka menekankan pentingnya perusahaan asuransi untuk menerapkan disiplin serta mempraktikkan ERM ke dalam unsur manajemen. Ada lima unsur mama ERM yang dinilai oleh S&P's, yaitu (1) budaya manajemen risiko perusahaan, (2) proses kontrol risiko, (3) manajemen untuk kejadian atas risiko yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya, (4) risiko dan modal ekonomis, serta (5) manajemen risiko strategik. Berikut adalah contoh beberapa pertanyaan umum dari lembaga pemeringkat dalam menganalisa kemampuan ERM suatu perusahaan asuransi: (1) apakah perusahaan memiliki ERM yang terpadu, (2) apakah perusahaan memiliki CRO (Chief Risk Officer) atau komite risiko, (3) apakah perusahaan memiliki budaya manajemen risiko, (4) bagaimana kecukupan sistem kontrol internal perusahaan, kualitas pelaporan, manajemen akumulasi risiko, pedoman penggunaan limit risiko bagi setiap departemen, dan (5) seberapa besar perhatian dan tanggung jawab direksi atas manajemen risiko perusahaan. Perkembangan ERM COSO II Pada tahun 2001, COSO bekerja sama dengan PricewaterhouseCoopers, memulai-


Review Berita & Event Insco suatu proyek yang bertujuan untuk meningkatkan kerangka kerja manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh semua pihak manajemen. Pada tahun 2004 "Enterprise Risk Management—Integrated Framework" atau lebih dikenal sebagai COSO II, mulai diperkenalkan ke publik. Ini merupakan kelanjutan dari COSO I -kontrol internal, yang diperkenalkan pada awal tahun 1990-an. Kerangka kerja ERM dalam COSO II dapat digambarkan dalam kubus tiga dimensi (lihat gratis). Dimensi pertama adalah tujuanperusahaan, dimensi kedua adalah delapan komponen manajemen risiko, dan pada dimensi ketiga adalah struktur organisasi atau perusahaan. Pada dimensi pertama, tujuan perusahaan dapat dibagi dalam empat kategori: 1. Strategik, yang menjelaskan misi dan visi serta tujuan perusahaan 2. Operational, pengelolaan yang efektif atas sumber-sumber daya perusahaan 3. Laporan, laporan-laporan yang dapat dipertanggungjawabkan 4. Kepatuhan, mengikuti semua peraturan dan undang-undang yang berlaku

Pada dimensi kedua, ada delapan unsur manajemen risiko, mulai dari (1) lingkup internal perusahaan, yang mengatur budaya manajemen risiko, penjelasan akan tingkat selera dan toleransi risiko yang dapat diterima oleh perusahaan sehubungan dengan usahanya. (2) penetapan tujuan dari manajemen risiko, (3) identifikasi atas kejadian-kejadian, baik internal maupun ekstemal, yang dapat meningkatkan risiko perusahaan, (4) kemudian pengukuran risiko yang telah diidentifikasi dari sini kemungkinan atau probabilitas serta dampak kerugian keuangan. (5) rencana kerja untuk menurunkan tingkat risiko yang telah diukur tadi, lalu (6) pemantauan aktivitas alas rencana kerja yang telah dibuat, (7) kemudian informasi ini di komunikasikan kepada bagian-bagian yang-

Hal. 7 berkepentingan dalam perusahaan, dan terakhir (8) memonitor kerja dari sistem manajemen risiko ini secara keseluruhan. Dimensi ketiga merefleksikan struktur dari perusahaan, yaitu divisi, anak perusahaan atau business unit, dstnya. Walaupun kelihatannya kerangka kerja ERM COSO mudah untuk diterangkan, sebenarnya banyak hal dan tantangan yang hams ditangani oleh manajemen perusahaan untuk menerapkan ERM ini secara terpadu. Selain investasi hiaya, waktu serta sumber daya manusia, tantangan yang paling utama adalah komitmen dan keseriusan dari manajemen perusahaan dalam menerapkan ERM. Hal ini menuntut adanya direksi atau manajer senior yang ditunjuk khusus untuk bertanggung jawab atas ERM serta dapat membantu memimpin perubahan alas budaya perusahaan yang lebih mengarali kepada ERM.


Review Berita & Event Insco PSAK baru akan gerus 60% perolehan premi ANGGI OKTARINDA JAKARTA: Penerapan pedoman standar akuntansi keuangan yang mengacu International Financial Report System diperkirakan menggerus penghitungan premi industri asuransi jiwa sekitar 50%-60%.

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia(AAJI) Hendrisman Rachim mengatakan salah satu hal mencolok dalam penerapan pedoman standar akuntansi keuangan (PSAK) yang sesuai dengan International Financial Report System (IFRS) adalah perubahan penghitungan perolehan premi asuransi dan investasi. “Dengan aturan yang baru ini, penghitungan perolehan premi asuransi akan dipisahkan dari penghitungan investasi. Tentunya akan berpengaruh karena asuransi jiwa banyak bermain di unit linked. Pengaruhnya kurang lebih bisa sebesar 50%-60%,”ujarnya kepada Bisnis kemarin. Penurunan tersebut akan berbeda-beda, tergantung dari komposisi bisnis unit link yang dimiliki masing-masing perusahaan asuransi jiwa. Dia menuturkan produk unit link masih mendominasi perolehan premi industri asuransi jiwa sampai dengan akhir kuartal III tahun lalu, baik dari bisnis baru maupun lanjutan. Berdasarkan data AAJI, pada periode tersebut, perolehan premi produk baru produk unit link mencapai Rp25 triliun atau 53,9% dari keseluruhan premi baru yang mencapai Rp47 triliun. Adapun perolehan premi bisnis lanjutan produk unit link mencapai Rp11,5 triliun atau 57,5% dari keseluruhan premi lanjutan sebesar Rp20 triliun. Data asosiasi ketika itu menunjukkan realisasi-

Hal. 8 perolehan premi industri asuransi jiwa mencapai Rp67 triliun, tumbuh 32,81% dari kuartal III/2010. “Kami belum bisa menyebutkan keseluruhan hasil bisnis 2011, masih dalam proses penghitungan,” katanya. Tetap dijalankan Namun begitu, ujarnya, kalangan industri tetap berusaha mengimplementasikan aturan baru tersebut pada pelaporan keuangan kuartal pertama tahun ini. “Memang tertatih-tatih, tetapi kita semua tetap harus menerapkan karena sudah menjadi aturan,” ujarnya. Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan memang akan ada banyak perubahan seiring penerapan IFRS sehingga memerlukan peran seluruh lini perusahaan. Dia menuturkan jika salah satu lini abai menerapkan ketentuan itu, hal tersebut akan berbuntut panjang. “Jangan sampai tidak diberikan opini yang baik oleh akuntan publik,” ujarnya. Sebab, lanjutnya, jika laporan keuangan perusahaan mendapatkan opini tidak baik dari akuntan, maka tidak dapat digunakan untuk tender-tender bisnis dan tidak dapat digunakan untuk berkompetisi di pasar.


Review Berita & Event Insco

Hal. 9

Klaim asuransi Costa Concordia capai 1 (satu) miliar USDollar BLOOMBERG ROMA: Moody’s Investors Service memperkirakan klaim asuransi kecelakaan kapal pesiar Costa Concordia mencapai US$1 miliar. Senior Credit Officer Moody’s James Eck menuturkan estimasi tersebut adalah total klaim jika kerusakan lingkungan dan luka-luka fisik turut dihitung.

“Kecelakaan kapal pesiar milik Carnival Corp merupakan kejadian pertama, yang menyebabkan kerugian perusahaan asuransi di awal tahun ini. Kondisi tersebut akan berdampak pada pendapatan di kuartal I/2012,” tulisnya kemarin. Tanpa mempertimbangkan kerugian lingkungan, klaim asuransi atas kerusakan kapal diperkirakan US$500 juta. Menurut James Eck, perusahaan reasuransi akan menanggung sebagian besar klaim asuransi. Sementara itu, Jefferies In ternational Ltd mengalkulasi total klaim asuransi kecelakaan kapal pesiar di Pantai Tuscan, Italia itu sebesar 650 juta euro atau setara dengan US$850 juta. Menurut Jefferies, perusahaan asuransi Lancashire Holdings menanggung klaim berkisar US$20 juta – US$30 juta. Adapun, Munich Re, perusahaan reasuransi terbesar di dunia, menyampaikan estimasi klaim di atas 10 juta euro, sedangkan Hannover Re menyatakan klaim asuransi mencapai 30 juta euro. Sebelumnya juga diberitakan, -

Assicurazioni Generali SpA, RSA Insurance Group Plc, dan XL Group Plc merupakan konsorsium asuransi kapal Costa Condordia. Ketiga perusahaan asuransi ini diperkirakan menanggung klaim asuransi 405 juta euro atau sekitar US$512 juta. Analis asuransi dari Shore Capital Group Ltd Eamonn Flanagan mengatakan klaim yang ditanggung perusahaan asuransi sangat besar. Sebab, perusahaan asuransi tidak hanya membayar kerugian fisik kapal pesiar tetapi juga proteksi jiwa penumpang Costa Concordia. Dalam hal ini, perusahaan asuransi tersebut bisa mengklaim kembali pada penangggung asuransi tanggung gugat (liability) Carnival Corp, jika kapten kapal terbukti bersalah menyebabkan kecelakaan. Adapun, kerugian asuransi yang dibebankan kepada RSA diestimasi mencapai jutaan euro. Perusahaan asuransi XL adalah ketua konsorsium asuransi kapal pesiar Costa Concordia. Menurut Flanagan, kerugian akibat kecelakaan tersebut berpotensi memengaruhi industri asuransi dan reasuransi secara global. Kapal pesiar milik Carnival Corp ini tenggelam setelah menabrak sebuah karang di Pantai Tuscan, perairan Italia pada 13 Januari lalu. Kapal tersebut membawa sekitar 4.229 penumpang beserta kru kapal, berlayar dari Roma menuju Palermo, Cagliari, Palma, Barcelona, dan Marseille.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.