10 minute read

Gambar 1.5 Proses Pengumpulan Data Penelitian di Kab. Karawang

Gambar 1.5 Proses Pengumpulan Data Penelitian di Kab. Karawang Peneliti lokal, Sakri Chaerudin (kiri) sedang mewawancarai purna PMI asal Kab. Karawang yang telah mengetahui keberadaan LTSA

menandakan praktik intermediasi yang selama ini ada tetap berjalan. Petugas lapangan terus mendampingi PMI sejak level RT/RW hingga masuk ke LTSA, sehingga tidak jelas bagaimana praktik LTSA yang sekarang berjalan mengubah pola-pola buruk sebelumnya yang didasarkan pada logika penempatan. PMI terus diposisikan sebagai obyek, bukan subyek yang memiliki political agency sendiri. Sistem perantaraan oleh calo yang telah membudaya berpuluh-puluh tahun mengindikasikan lebih jauh bagaimana konteks Indonesia ditandai dengan politik koneksi dan hubungan antara patron dengan klien (patronage) ketimbang sistem politik/ kemasyarakatan yang berbasis hak (Lindquist 2018). Khususnya dalam konteks pembangunan desa, secara historis proyek-proyek pemerintah kerap melibatkan infantilization, di mana masyarakat desa diperlakukan sebagai anak kecil (infant).

Advertisement

• Tidak adanya mekanisme pengaduan di LTSA

Dari perspektif HAM, ketiadaan saluran pengaduan merupakan sebuah cacat besar, karena mengisyaratkan ketiadaan mekanisme pemulihan. Mekanisme pemulihan khususnya menjadi krusial ketika ada aktor swasta yang terlibat dalam sebuah sistem. Sistem penempatan pekerja migran Indonesia yang dalam perundangan baru UU No. 18 Tahun 2017, meski memberlakukan pembatasan peran terhadap P3MI, masih memberikan ruang kepada swasta, dan selama ini terjadi, maka pemerintah perlu memastikan adanya akses terhadap pemulihan. Sebagaimana yang umum diketahui, PMI memiliki berbagai kerentanan, khususnya dalam relasinya terhadap P3MI. Eksploitasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor swasta dalam migrasi ketenagakerjaan Indonesia sudah banyak didokumentasikan, dan telah tercatat terjadi di semua tahapan migrasi.

Indonesia sendiri telah memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM yang diterbitkan pada tahun 2017. Secara eksplisit, RAN tersebut mengambil acuan Prinsip-prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Bisnis dan HAM yang mensyaratkan komitmen negara dalam menangani dampak HAM dari kegiatan

operasional. Dalam tafsirnya terhadap Prinsip-prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM, RAN yang dikembangkan Indonesia bertumpu pada tiga pilar yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan bisnis yang peduli HAM. Pilar pertama, yakni perlindungan, menggariskan kewajiban negara untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk pelaku bisnis. Pilar kedua mengharuskan adanya penghormatan terhadap HAM oleh perusahaan pelaku bisnis. Sementara itu pilar ketiga, yakni pemulihan, mengamanatkan perluasan akses bagi korban dalam mendapatkan pemulihan yang efektif. Mekanisme pengaduan yang terlembaga di dalam LTSA dapat memberikan perluasan akses bagi PMI terhadap pemulihan yang efektif tersebut.

• Belum munculnya perhatian kepada aspek responsif gender

Secara garis besar, belum tampak pemahaman mengenai aspek responsif gender dalam penyelenggaraan LTSA sejauh ini. Padahal, dalam lingkup besarnya, Indonesia telah memiliki Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Dalam dokumen acuan dasar tersebut, Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Ini seharusnya diturunkan ke berbagai level pemerintahan, termasuk di LTSA. Meski gender tidak bisa disamakan dengan perempuan, dalam tata kelola migrasi perlu dilakukan langkah-langkah afirmatif bagi perempuan pekerja migran. Berbagai kajian telah menggarisbawahi migrasi ketenagakerjaan Indonesia yang berwajah perempuan, dan perlunya perhatian khusus pada kerentanan spesifik perempuan PMI yang berlipat ganda ditinjau dari tiga posisi marginalnya, sebagai perempuan, sebagai pekerja berupah rendahan, dan sebagai migran.

Dalam praktiknya, walau sudah ada beberapa usaha untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan, secara lebih substansial, pengarusutamaan gender masih belum menjadi bagian intrinsik dari kinerja layanan publik. Sebagai contoh, misalnya MPP di Banyuwangi sudah menyediakan sarana berupa ruang menyusui (meski tidak spesifik di ruang yang dialokasikan untuk LTSA), akan tetapi perencanaan dan penganggaran MPP tidak menampakkan penggunaan aspek responsif gender sebagai indikator evaluasi performa layanan. Indikator Key Factor yang dipergunakan MPP Banyuwangi di juga bermasalah dari sudut pandang gender karena menyamakan istilah petugas layanan/sumber daya manusia dengan kata “man” (laki-laki), di mana hal ini menandakan masih kentalnya pemahaman yang menormalisasi dominasi peran laki-laki di ruang publik.

Pada penelitian ini, para peneliti komunitas di daerah tidak mendapatkan akses ke data LTSA, sehingga tidak dapat memeriksa apakah data telah terpilah gender. Tentunya lebih sulit lagi untuk mengetahui apakah perencanaan dan penganggaran di level LTSA sudah responsif gender sesuai amanat PUG. Juga sulit untuk memastikan, apakah perangkat pemerintah yang bertugas di LTSA sudah mendapatkan pembekalan atau pelatihan berbasis gender. Sebagaimana telah dikemukakan, banyak dari petugas LTSA berstatus honorer, bukan pegawai tetap. Kemungkinannya, mereka tidak mendapatkan pembekalan yang memadai tentang gender. Berdasarkan keterangan dari Kementerian Ketenagakerjaan, yang pasti telah mendapatkan pelatihan gender dari kementerian adalah pengantar kerja, yang berpotensi memainkan peran dalam melakukan sosialisasi ke desa-desa terkait keberadaan LTSA. Namun, dalam praktiknya, penugasan mereka kemudian berada bergantung pada pemerintah daerah, dan mereka bisa ditugaskan di unit kerja yang berbeda sesuai dengan diskresi/wewenang pemerintah daerah di bawah amanah desentralisasi.

Bab 4

Diskusi dan analisis: Evaluasi pemenuhan hak asasi manusia dan aspek gender

Dari paparan yang sudah dikembangkan dalam bab sebelumnya, kita dapat melakukan simpulan evaluasi berbasis HAM sesuai indikator yang telah diuraikan dalam Bab I, yakni indikator struktural, proses, hasil, dan norma HAM. Evaluasi berbasis HAM urgen untuk diketengahkan, karena dalam tren globalnya, tercatat ada kemunduran kerangka HAM dalam wacana tata kelola migrasi. Saat ini, pembahasan isu migrasi lebih banyak dibingkai dalam kerangka neksus migrasi dan pembangunan. Wacana HAM banyak terpinggirkan, sebagaimana terlihat dalam marginalisasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya (1990).

Menjadi catatan bahwa layanan publik di Indonesia memiliki rujukan perundangan, yakni UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang secara jelas ikut menyertakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) sebagai acuan. Kedua kovenan tersebut merupakan instrumen HAM internasional yang paling mendasar. UU No. 25 Tahun 2009 menyebutkan dalam Pasal 4 bahwa penyelenggaraan pelayanan publik didasarkan pada sejumlah asas, yang mencakup kesamaan hak, partisipasi, antidiskriminasi, dan dan akuntabilitas. Dengan demikian, indikator norma HAM secara jelas termaktub dalam aturan hukum yang memandu penyelenggaraan layanan publik. Lebih jauh, Pasal 5(7) dari perundangan ini menggariskan bahwa pelayanan administratif diorientasikan pada maksud pelindungan. Juga penting digarisbawahi, dalam Pasal 8(2), UU ini juga menegaskan bahwasanya penyelenggaraan pelayanan publik tidak terbatas pada pelaksanaan saja, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain yang mendukung pelaksanaan, yakni: pengelolaan pengaduan masyarakat; pengelolaan informasi; pengawasan internal; penyuluhan kepada masyarakat; dan pelayanan konsultasi.

4.1. Indikator struktural: Payung hukum dan orientasi hak asasi manusia

Ditinjau dari indikator struktural, terlihat bahwa penyelenggaraan LTSA sejauh ini belum dapat dikatakan sudah sesuai/optimal. Jelas terlihat bahwa banyak aturan hukum yang menaungi LTSA belum diselaraskan dengan UU No. 18 Tahun 2017 yang berorientasikan HAM. Kendala yang paling menghambat tentunya ketiadaan aturan turunan di tingkat nasional yang dapat menjadi rujukan mengoperasionalisasikan LTSA. Banyak dari aturan yang menaungi LTSA kemudian masih mengikuti konsideran lama, yang berkontribusi pada masih lekatnya logika penempatan, ketimbang orientasi pelindungan, dalam penyelenggaraan LTSA. Tidak tampak komitmen terhadap norma HAM internasional yang relevan, dalam hal ini terkait pelindungan pekerja migran.

UU No. 18 Tahun 2017 secara jelas menyebutkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 20l2 tentang Konvensi Internasional PBB mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Instrumen internasional memuat komitmen untuk melindungi berbagai hak asasi manusia yang seharusnya dinikmati oleh pekerja migran dan keluarganya. Artikel 42 dalam instrumen ini memuat bahwa: (1) Negara-negara pihak (baik negara asal maupun negara tempat bekerja migran) wajib mempertimbangkan penetapan prosedur-prosedur atau lembaga-lembaga yang dapat memberikan perhatian mengenai kebutuhan khusus, aspirasi dan kewajiban para pekerja migran dan anggota keluarganya, dan wajib merencanakan jika perlu, kemungkinan bagi para pekerja migran dan anggota keluarganya untuk secara bebas memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. LTSA dapat kita posisikan sebagai prosedur yang memberikan perhatian terhadap kebutuhan khusus migran tersebut, khususnya dalam tahapan prakeberangkatan. Belum terpenuhinya indikator struktural berdampak langsung pada signifikansi dan efektivitas layanan. Regulasi yang tidak berkomitmen pada norma HAM tentunya tidak akan mendukung tercapainya tujuan pelindungan pekerja migran Indonesia sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2017. Tidak berkembangnya payung hukum yang tepat kemudian tercermin dalam belum tampaknya perubahan dalam tata kelola migrasi Indonesia, yang dalam pengamatan kami, masih berjalan sesuai logika penempatan di bawah perundangan sebelumnya.

Dalam Pasal 38 UU No. 18 Tahun 2017 disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai layanan terpadu satu atap diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hingga saat ini, aturan turunan yang lebih spesifik memandu pengaturan LTSA sesuai mandat Pasal 38 belum diturunkan. Yang telah ikut hadir saat ini adalah PP No. 59 Tahun 2021 mengenai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dari perkembangan

yang ada, sepertinya PP akan dicukupkan untuk pelindungan, dan tidak akan ada PP khusus untuk LTSA. Sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 59 Tahun 2021, pengaturan selanjutnya mengenai LTSA akan didetilkan dalam Peraturan Menteri.

Di satu sisi, kehadiran PP Pelindungan tetap disambut, karena setidaknya terdapat tambahan penjelasan mengenai LTSA, dan setidaknya sebagian dari paparan yang ditawarkan PP ini memiliki potensi orientasi HAM lebih jauh. Dalam bagian ketentuan, misalnya terdapat penambahan wawasan akan LTSA, dalam fungsinya, yakni selain sebagai sistem layanan pemberian informasi dan pemenuhan persyaratan, LTSA juga mengadakan penanganan permasalahan Pekerja Migran Indonesia yang terintegrasi dalam pelayanan publik yang murah, mudah, dan cepat tanpa diskriminasi.

PP No. 59 Tahun 2021 juga memberikan secercah titik terang tentang kewajiban sosialisasi oleh LTSA, praktik yang masih banyak lalai dilakukan dalam catatan penelitian kami. Penting digarisbawahi bahwa Pasal 7 ayat (1) memuat dengan jelas bahwa pemberian sosialisasi dan informasi kepada pencari kerja dilakukan oleh LTSA, dan bahwa pemberian informasi tersebut dilakukan dengan pelibatan pemerintah desa. PP ini juga mengakomodasi konteks baru yang dihadirkan oleh pandemi COVID-19 dengan pemberian informasi baik secara luring maupun daring.

Namun demikian, organisasi-organisasi masyarakat sipil penggiat isu migrasi memberikan catatan-catatan kritis berikut ini:

Pertama, terkait dengan fungsi LTSA, terdapat pembahasaan yang mengesankan fungsi-fungsi tertentu sebagai opsi, karena adanya penggunaan kata “dapat”. Pasal 31 ayat (3) memuat bahwa, “LTSA PMI dapat berfungsi sebagai penyelenggara OPP, tempat konsultasi, mediasi, advokasi, dan bantuan hukum bagi permasalahan CPMI/ PMI/keluarganya.” Penelitian ini mencatat pentingnya keberadaan mekanisme/ akses ke pemulihan, dan ini tidak dapat menjadi sesuatu yang sifatnya pilihan.

Kedua, terkait pengawasan. PP No. 59 Tahun 2021 tidak menggariskan pengawasan proses di LTSA. Yang diatur hanyalah pengawasan terhadap P3MI/ kantor cabang, LPK swasta, fasilitas layanan kesehatan, lembaga psikologi, BPJS, dan seterusnya. Tidak adanya panduan mengenai pengawasan LTSA patut menjadi catatan terlebih karena PP Pengawasan belum dibuat oleh Pemerintah.

Ketiga, yang menjadi kekhawatiran masyarakat sipil adalah klausul mengenai seleksi PMI sebagai tugas dan tanggung jawab P3MI, sebagaimana tertuang dalam Pasal 86 ayat (3c). Maksud dan lokus seleksi perlu diperjelas di sini, apakah mandat seleksi kemudian secara eksklusif diberikan kepada P3MI? Dalam pemahaman kami, pasal-pasal lain memberikan wawasan mengenai peran dan tugas seleksi yang sebenarnya juga dilakukan oleh LTSA dan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini

sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 ayat (2f), di mana dikatakan bahwa LTSA diselenggarakan untuk mendekatkan layanan pendaftaran pencari kerja, serta Pasal 70 yang menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota melakukan pelindungan sebelum bekerja melalui pendataan dan verifikasi kelengkapan dokumen CPMI. Penyematan seleksi secara khusus sebagai tugas dan tanggung jawab P3MI dikhawatirkan dapat mengaburkan peran dan keikutsertaan LTSA dan pemerintah kabupaten/kota yang juga sebenarnya turut memfasilitasi penyeleksian PMI. Dalam pemahaman kami, layanan pendaftaran pencari kerja, pendataan, hingga verifikasi kelengkapan dokumen CPMI merupakan bagian dari keseluruhan proses seleksi PMI. Seleksi oleh P3MI kemudian menjadi hilir dari keseluruhan proses/mekanisme seleksi yang dijalankan oleh LTSA atau pemerintah/kota.

Lebih lanjut, PP No. 57 Tahun 2021 masih menyisakan pertanyaan/kekhawatiran tentang siapa yang menjadi beneficiaries dari layanan LTSA. Sesuai temuan penelitian kami, salah satu pertanyaan utama yang muncul terkait dengan kepada siapa layanan didekatkan? Pasal 31 menyatakan bahwa diselenggarakan untuk mendekatkan fungsi pelayanan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, tetapi tidak secara eksplisit disebutkan bahwa layanan tersebut didekatkan langsung kepada (calon) PMI. Selain itu Pasal 30 ayat (4) mengenai pembentukan LTSA masih menyisakan peluang pembentukan LTSA berdasarkan kriteria lain di luar daerah basis dan perlintasan PMI, karena ada kriteria yang kemudian ditetapkan oleh Menteri. Tidak tertutup kemungkinan kemudian LTSA diadakan atau ditiadakan karena pertimbangan ada/tidaknya P3MI di suatu daerah, sebagaimana terindikasikan dalam pengalaman Kabupaten Karawang yang kami rekam dalam penelitian ini.

4.2. Indikator proses: Jumlah LTSA yang telah dibuka, fungsi layanan

LTSA yang tersedia

Ditelisik dari indikator proses, implementasi LTSA saat ini juga belum memenuhi standar HAM. Ketidaklengkapan layanan merupakan penanda utama belum maksimalnya layanan terpadu yang seharusnya diberikan. Dilihat khususnya dengan komparasi dengan sebelum LTSA diberlakukan, tidak tampak nyata bagaimana keterpaduan layanan sudah tercapai saat ini, karena belum ada LTSA yang memberikan layanan lengkap berupa 8 desk instansi sebagaimana digariskan oleh aturan. Dalam catatan penelitian kami, performa proses LTSA justru tampak memburuk. Seperti yang diilustrasikan oleh kasus Karawang, seiring berjalannya waktu, layanan di LTSA malah justru semakin berkurang, bukannya bertambah.

Meninjau apakah tujuan-tujuan LTSA telah tercapai terpenuhi, yakni mendekatkan

This article is from: