The Monitor edisi 18- Des 2022

Page 1

Aksi Anak Muda dalam Aksi Anak Muda dalam Nature and Biodiversity Nature and Biodiversity Protection Protection ISSN 2685-5224 Kerentanan Penghidupan Kerentanan Penghidupan Masyarakat Pedesaan Masyarakat Pedesaan Terhadap Perubahan Terhadap Perubahan IIklim klim Legalitas Menuju Kelestarian The Monitor The Monitor Newsletter Edisi XVIII - 2022 Transformasi SVLK: Transformasi SVLK: Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Peluang Masyarakat Hukum Adat Peluang Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Kayu Menuju dalam Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan Lestari Kelola Hutan Lestari Rambu - Rambu Percepatan Rambu - Rambu Percepatan Pengakuan Hutan Adat dan Pengakuan Hutan Adat dan Syarat Dasar Pengelolaan Syarat Dasar Pengelolaan Hutan Kayu Lestari di Tana Hutan Kayu Lestari di Tana Papua Papua

Kata Pengantar

Dinamisator Nasional JPIK, Muhammad Ichwan

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan hidayahNya newsletter The Monitor dapat kembali hadir ke tengah - tengah pembaca. Pada edisi XVIII ini, kami menerbitkan 7 buah tulisan dari akademisi, pegiat lingkungan, dan agenda kerja Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Sepanjang tahun 2022 ini, agenda lingkungan baik secara global dan nasional banyak digelar. Mulai dari Conference of Parties (COP) ke-27 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang digelar di Sharm El-Sheik, Mesir, pada 6-18 November 2022. Ajang negosiasi pemimpin-pemimpin dunia dalam menyoroti perubahan iklim global seperti dampaknya pada ketahanan pangan dan pertanian. Hingga Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI yang telah berlangsung pada pada 23-30 Oktober 2022 di Jayapura, Papua yang menjadi salah satu gawai perjuangan masyarakat adat dalam memperoleh kepastian hak atas wilayahnya. Pertama kalinya dalam sejarah tujuh SK hutan adat Papua diberikan oleh KLHK. Namun demikian, torehan positif tersebut masih diganjal legalisasi pengelolaan kayu secara komersiil oleh masyarakat adat. Sementara, instrumen penjaminan legalitas hasil hutan sudah berjalan selama kurang lebih 13 tahun yaitu SVLK belum mengakomodir nilai-nilai kultural yang inherent dalam kehidupan masyarakat adat. Bukan hanya itu, norma-norma penilaian yang ada dalam SVLK-pun masih belum cukup mampu menjamin kepatuhan bahkan bagi para pelaku bisnis sektor kehutanan sekalipun. Sehingga, transformasi SVLK bukan lagi sebuah harapan melainkan menjadi keharusan, dan jauh melampaui perubahan nomenklatur.

Pada akhirnya tim penyusun The Monitor mengucapkan terima kasih kepada semua kontributor yang telah mengirimkan tulisannya untuk dimuat. Semoga menjadi bacaan yang menambah wawasan bagi kita semua. Aamiin.

The Monitor adalah newsletter triwulanan yang diterbitkan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Newsletter ini sebagai salah satu wadah untuk berbagi informasi mengenai aktivitas JPIK dan mitra, serta pihak terkait lainnya tentang kondisi terkini pengelolaan hutan di Indonesia. JPIK mengajak anda berpartisipasi menjadi kontributor tulisan, dengan panjang tulisan 1 0002 000 kata menggunakan Microsoft Word disertai foto pendukung

Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Jl Babakan Sari VI No 5, Bantarjati, Kec
@laporjpik @laporjpik
Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, 16129 Tel : +62 251 8397371 Email : jpikmail@gmail com Jaringan Pemantau Independen Kehutanan

Daftar Isi

Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Peluang Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan Lestari 09

Rambu - Rambu Percepatan Pengakuan Hutan Adat dan Syarat Dasar Pengelolaan Hutan Kayu Lestari di Tana Papua

Transformasi SVLK : Legalitas Menuju Kelestarian 15

03 8th Training Workshop on Timber Legality Assurance, Vietnam 18

Aksi Anak Muda untuk ‘Nature and Biodiversity Protection’ melalui Kegiatan Youth Leadership Camp for Climate Crisis 2022

Perubahan Iklim dan Kerentanan Perubahan Penghidupan Masyarakat Pedesaan

Ringkasan Peristiwa 2022 33 Agenda Kegiatan JPIK 2022 Daftar Pustaka

The Monitor Edisi XVIII
Refleksi Akhir Tahun 21 24 29 34

Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Peluang Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan Lestari

Oleh : Teguh Yuwono

Dinamika Deforestasi di Tana Papua

Tana Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) memiliki hutan tropis terluas di Indonesia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018) luas kawasan hutan di Papua sebesar 38.153.269 hektar terbagi di Provinsi Papua seluas 29.368.482 hektar dan Provinsi Papua Barat seluas 8.784.787 hektar (atau 91,12% dari luas daratan Tana Papua). Namun perlahan tapi pasti hutan alam di Papua terus menyusut. Menurut data Auriga Nusantara (2022), luas hutan alam di Bumi Cendrawasih hanya tersisa ±33.847.928 hektar, terbagi di Provinsi Papua seluas 24.993.957 hektar dan Provinsi Papua Barat seluas 8.853.971 hektar.

Dilihat dari penyebabnya, sebagian besar deforestasi di Tana Papua terindikasi terjadi dalam konsesi usaha industri ekstraktif, baik sektor perkebunan, sektor kehutanan sektor pertambangan.

Luas deforestasi yang terjadi di dalam areal konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya mencapai sekitar 474.521 hektar, atau 71 persen dari total deforestasi yang terjadi di Tana Papua. Secara terperinci, 474.521,2 hektar deforestasi di dalam konsesi industri ekstraktif itu disumbang oleh usaha perkebunan sawit seluas 339.247 hektar, PBPH-HA seluas 112.373,21 hektar, PBPH-HT seluas 16.234 hektar dan usaha pertambangan 6.666 hektar.

The Monitor Desember 2022 | 03
Deforestasi di Indonesia Sumber: Auriga 2022
1

Untuk tahun 2022, menurut analisis peta citra

di Papua sejak awal Januari – Juni 2022 mencapai lebih dari 1.150 Ha. Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022).

Meskipun Papua memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun ironisnya jumlah penduduk miskinnya masuk urutan teratas. Menurut data Badan Pusat Statistik (2022), jumlah penduduk Papua pada tahun 2021 sebanyak 5.512.285 jiwa, yang terbagi atas Provinsi Papua sebanyak 4.355.445 jiwa dan Provinsi Papua Barat sebanyak 1.156.840 jiwa. Dari populasi penduduk tersebut, jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua sebanyak 26,86%, dan di Provinsi Papua Barat sebanyak 21,84%.

Makna hutan bagi masyarakat adat Papua adalah halaman rumah dan pasar raya bagi masyarakat adat. Semua hal yang dibutuhkan tersedia secara gratis, tinggal bagaimana menjaga, merawat dan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Hutan Papua dalam sistem tenurial dimiliki secara komunal marga, tidak ada kepemilikan pribadi, dan setiap anggota marga berhak mengakses sumber daya hutan.

Pembukaan Hutan untuk Kebun Kelapa Sawit Sumber : Auriga 2021
The Monitor Desember 2022 | 04
satelit Nusantara Atlas menunjukkan Deforestasi Trend Laju Deforestasi di Tana Papua Tahun 2001-2019 Sumber : Auriga 2021

Papua:SurganyaIllegalLogging

Meskipun sejak bulan November 2016, Indonesia mendapat pengakuan dari Uni Eropa sebagai negara pertama peraih Lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Hutan), sehingga produk kehutanan yang diekspor ke benua biru tersebut tidak perlu dilakukan uji tuntas (due diligence), di lapangan implementasi SVLK belum berhasil diterapkan sepenuhnya. Masih banyak kasus para pemegang sertifikat SVLK yang menerima bahan baku yang asalnya bukan berasal dari perizinan yang sah Sampai dengan tahun 2022 di Tana Papua masih marak kegiatan illegal logging. Banyak korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) maupun pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH) yang dalam praktek sehari-hari melakukan kegiatan illegal logging.

Saat ada penangkapan lebih dari 500 kontainer kayu merbau yang dilakukan Ditjen Penegakan Hukum KLHK di akhir tahun 2018, dari belasan industri kehutanan pengirim kayu yang terjaring operasi tersebut, ternyata sebagian merupakan pemegang sertifikat SVLK. Fakta ini membuktikan bahwa bagi sebagian industri kehutanan, SVLK hanya sebatas pemenuhan legalitas namun dalam implementasi penerimaan, pengolahan, dan pemasaran kayu masih belum menerapkan kaidah legalitas kayu.

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik UUD 1945, dan Tap MPR Nomor 91 Tahun 2001, masyarakat adat sebenarnya sudah mendapatkan pengakuan, sebagaimana tertulis dalam Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 188 ayat (2) bahwa “Hak-hak tradisional masyarakat (hukum) adat untuk mengurus dan mengatur masyarakatnya dan mengelola sumber dayanya diakui dan dihormati oleh negara”. Sedangkan dalam Tap MPR Nomor 91 Tahun 2001 dijelaskan bahwa “Negara mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat (hukum) adat dalam pengelolaan sumber daya alam”. Akan tetapi faktanya salah satu akar dari ragam masalah agraria atas Masyarakat Adat di Indonesia adalah ketiadaan pengakuan legal hak dasar atas Tanah-air dan ruang hidupnya (Cahyono, 2022).

Kayu Merbau dari Papua Hasil Tangkapan Ditjen GAKKUM Tahun 2018
The Monitor Desember 2022 | 05
KebijakandanRegulasiPengurusandan PengelolaanHutan

Saat rezim Orde Baru berkuasa, dengan dibukanya pintu bagi korporasi untuk melakukan eksploitasi hutan pada tahun 1970an, pasca lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1967, dan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1970, malah memberangus dan mengkooptasi peran dan hak-hak masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan hasil hutan.

Meskipun pada tahun 1999 lahir UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, namun pengakuan dan penghormatan terhadap hakhak masyarakat hukum adat tidak banyak mengalami kemajuan. Pasal 5 UU 41/1999 menyatakan bahwa hutan adat menjadi bagian dari hutan negara. Hal ini membuktikan bahwa negara belum mau memberikan pengakuan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat hukum adat dalam mengurus dan mengelola sumber daya hutan.

Berkenaan pengakuan hutan adat dan masyarakat hukum adat, pasca berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya posisi masyarakat hukum adat Papua dalam pengelolaan hutan tidak banyak mengalami perubahan. Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang awalnya telah memberikan peluangpeluang positif bagi pemerintah provinsi, dan komunitas masyarakat adat, digerus oleh UU Cipta Kerja. Peraturan Daerah Khusus yang diperbarui --sesuai Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2021 tidak sejalan dengan semangat Otonomi Khusus sebelumnya. Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adat belum mendapat porsi yang seharusnya.

Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adat belum mendapat porsi yang seharusnya. Perbedaan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibandingkan dengan ketentuan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja hanyalah diakomodirnya hutan adat sebagai salah satu bagian dari skema Perhutanan Sosial,

akan tetapi dengan dimasukkannya hutan adat sebagai bagian dari skema Perhutanan Sosial artinya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih memandang hutan adat sebagai bagian hutan negara, bukan sebagaimana yang dimandatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan hak.

Dalam pengakuan hutan adat, pemerintah juga terkesan setengah hati. Dalam Pasal 92 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021, meskipun masyarakat hukum adat diberikan hak untuk melakukan pemanfaatan Kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan atau pemungutan HHK, pemanfaatan atau pemungutan HHBK namun kegiatan-kegiatan pemanfaatan dan/atau pemungutan hasil hutan kayu hanya diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan sesuai dengan Kearifan Lokal MHA yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu untuk tujuan komersial.

Kayu Illegal di Teluk Bintuni tahun 2020 Sumber: JPIK
The Monitor Desember 2022 | 06

Percepatan Hutan Adat dan Limitasinya

Berkenaan pengakuan hutan adat, setelah menunggu selama 10 (sepuluh) tahun sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 tentang

Status Hutan Adat, di bulan Oktober 2022 bertepatan dengan Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jayapura, Provinsi Papua, baru diserahkan 7 (tujuh) Surat Keputusan Penetapan

Status Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 40.881,90 hektar kepada masyarakat di Tana

Papua Bersandar pada data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), potensi Hutan Adat di Provinsi Papua sebesar 6 170 281 hektar dan Provinsi Papua Barat 1.808.288 hektar. Hingga bulan Agustus 2022, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA, 2022) telah meregistrasi 1.119 peta wilayah adat dengan luas mencapai 20,7 juta hektar Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota. Dari data tersebut, terdapat 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Peraturan Daerah) dan Surat Keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar,

yaitu sekitar 17,7 juta hektar. Artinya baru 15% wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah. Menyangkut pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat oleh pemerintah pusat, menurut data sampai Oktober 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menerbitkan surat keputusan hutan adat sebanyak 96 hutan adat dengan luas 116 664,90 hektar.

Peluang Kebijakan

dan Regulasi SVLK Hutan Adat

Pasca pemberlakuan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dilakukan pengaturan pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka pengakuan dan penguatan hak ulayat masyarakat adat di Papua. Dalam pelaksanaan hak ulayat melalui penguasaan masyarakat hukum adat (MHA), Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati,melindungi,memberd ayakan,dan mengembangkan hakhak MHA Berkenaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan pada tahun 2008 Pemerintah Provinsi papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua, dan Peraturan Daerah Khusus Nomor

23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Sebelum terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA, pada tahun 2000-an sudah ada Izin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA) yang dikelola oleh Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas). Sayangnya, operasional IPK-MA di lapangan tidak berhasil mewujudkan tujuan awal pembentukannya Karena keterbatasan modal dan pengetahuan lembaga adat menyebabkan mereka harus bermitra dengan pihak lain, seperti: badan usaha milik daerah/ badan usaha milik negara, pemegang konsesi swasta, dan investor swasta lainnya Di banyak kasus, IPK-MA disinyalir hanya menjadi kedok pihak ketiga untuk memanfaatkan kayu di Papua dengan cara memanfaatkan aturan hukum yang tidak konsisten, tidak tegas, dan lemahnya pengawasan di lapangan. Beberapa kali dilakukan operasi pemberantasan pembalakan liar yang ditujukan pada pemilik izin IPK-MA Izin yang awalnya legal ini kemudian dianggap “tidak legal” oleh pemerintah pusat sehingga aktivitasnya dibekukan dan beberapa pihak kurang beruntung karena dianggap sebagai pembalakan liar.

The Monitor Desember 2022 | 07

IPK-MA dianggap memperluas terjadinya pembalakan kayu secara tidak lestari Melencengnya kegiatan IPK-MA dari tujuan awalnya membuat kebijakan yang hendak memperluas dan mempertegas akses hak masyarakat adat atas hutannya menjadi terhambat, dan mendapatkan stigma yang buruk. Masyarakat dianggap belum bisa dipercaya dalam mengelola hutan secara lestari.

Untuk kepentingan komersial, sesuai Perdasus Nomor 21 Tahun 2008, masyarakat adat dapat membentuk badan usaha Salah satu bentuk izin yang terbit berdasarkan Pasal 38 Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) Pengaturan lebih detail berkenaan IUPHHK-MHA diatur dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua Dari data sampai dengan tahun 2017, ada 18 IUPHHK-MHA yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Papua, dan masih ada empat IUPHHK-MHA yang dalam proses perizinan

Total luas IUPHHK-MHA adalah 78 040 ha Namun demikian meskipun mereka sudah memiliki izin IUPHHK-MHA, namun mereka tidak bisa mengambil manfaat dari izin tersebut Akan tetapi di sisi lain, menunjukkan masih masifnya peredaran kayu tanpa izin yang berada di sekitar lokasi IUPHHKMHA. Proses pengakuan hutan adat sebagai bagian dari hutan hak sebagai mandat putusan Mahkamah Konstitusi mem butuhkan tahapan yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama Dalam proses pengukuhan masyarakat hukum adat sebagaimana ketentuan dalam penjelasan pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999, diperlukan payung hukum dalam bentuk Peraturan Daerah untuk hutan adat yang lokasinya berada di kawasan hutan, dan/atau Keputusan Gubernur / Bupati / Walikota untuk hutan adat yang lokasinya berada di luar kawasan hutan Meskipun saat ini sudah ada Peraturan Daerah Khusus tentang Pedoman Pengakuan Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat seperti Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 9 Tahun 2019, dan

juga Peraturan Daerah di beberapa kabupaten di Provinsi Papua atau Provinsi Papua Barat, namun proses untuk menuju pengakuan dan penetapan hutan adat masih cukup berliku Setelah adanya Peraturan Daerah itu perlu dilakukan identifikasi dan pemetaan batas-batas wilayah hutan adat, penyiapan kelembagaan masyarakat hukum adat, dan penyusunan pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, dan beberapa persyaratan lain untuk mengajukan permohonan pengakuan dan penetapan hutan adat Mengingat banyaknya halhal yang perlu dipersiapkan dan dilengkapi untuk proses pengakuan hutan adat, diperlukan sinergisitas para pihak yang berkepentingan (NGO, akademisi, praktisi) dan kebijakan politik (political will) dari pemerintah daerah untuk mengawal, dan mendorong proses menuju pengakuan hutan adat

Papua,ibaratserpihansurgayangterdampardiBumiIndonesia.NamunkekayaanalamdiPapua belumbisamemberikankemakmuranyangseutuhnya.MasyarakathukumadatPapuasebagai pemiliksahsumberdayaalambelumdiberikanhakuntukmemanfaatkanhutandankehutanan, meskipunsejaktahun2012sudahlahirputusanMahkamahKonstitusibahwaHutanAdatbukan bagiandarihutannegaranamunbagiandarihutanhak.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan konstruktif bagi para pengambilkebijakan,bagaimanaseharusnyahutanadatPapuadikeloladan posisiMHAdalampengelolaandanpemanfaatanhutandiPapua.

The Monitor Desember 2022 | 08

Rambu-RambuPercepatanPengakuanHutanAdatdanSyarat

DasarPengelolaanHutanKayuLestaridiTanaPapua

Oleh : Eko Cahyono2

Antara Berkah dan Bencana

Semua orang tahu, hutan dan sumber

di

kaya dan melimpah Pertanyaannya adalah, apakah ada garis lurus antara

kesejahteraan bagi Orang Asli Papua (OAP)? Ternyata masih jauh panggang dari api Jangankan makmur-sejahtera, sebaliknya, krisis sosial-ekologis, pelanggaran HAM, deforestasi dan kerusakan alam lainnya masih terus terjadi Dari kasus deforestasi di Papua disebutkan bahwa sejak awal Januari – Juni 2022 mencapai lebih dari 1 150 Ha Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022) Luas deforestasi yang terjadi di dalam areal konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya mencapai sekitar 474.521 hektar, atau 71 persen dari total deforestasi yang terjadi di Tanah Papua Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan

Lalu, kekayaan alam itu berkah atau bencana bagi OAP? Setidaknya hal itu dapat dijelaskan dengan dua argumen berikut: Pertama, Salah kaprah pembangunan yang mewariskan residual consequences (endapan konsekuensi) karena mendudukkan Papua (masih) sebagai “objek” Pembangunan Nasional. Selama pemerintahan Orde Baru (1967 - 1998), dengan watak kebijakan developmentalistik, top-down approach (serba pendekatan kebijakan dari atas) dan militeristik, telah terbukti menciptakan ketimpangan struktural dan ketergantungan (sosial-ekonomi) serta ketidakadilan (politik) yang mewariskan trauma dan stigmatisasi buruk pada Orang Asli Papua hingga sekarang. Di era Reformasi, masuknya proyek raksasa Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE, 2010) menjadi penanda kelanjutan salah kaprah pembangunan atas orang Papua dan ruang hidupnya. Praktik kebijakan pembangunan ini seolah menutup mata Merauke dan Papua itu “wilayah berpenghuni” dengan tata ruang adat mereka atas tanah-air dan alam mereka.

Kedua, ketimpangan struktural tata kelola sumberdaya alam terutama hutan. Dari sekitar 415.170,37 Km persegi atau 41.517.037 hektar luas daratan Tanah Papua (Papua dan Papua Barat), wilayah kelola yang diberikan bagi masyarakat hanya sekitar 169.665 hektar saja. Sedangkan total luas izin kelola yang diberikan korporasi besar swasta sekitar 8.589.282, atau 50 kali lipat lebih besar dari izin yang diberikan kepada masyarakat. Dengan demikian wilayah kelola yang diberikan pemerintah kepada OAP ternyata sangatlah kecil dibandingkan untuk kepentingan korporasi. Artinya, Papua kaya, tapi tidak untuk orang Papua. Ekspansi izin dan konsesi di tanah Papua, baik pertambangan, perkebunan, perikanan, pertanian dan proyek-proyek pembangunan nasional lain yang membutuhkan tanah luas di Papua selalu diiringi sikap eksploitasi dan ekstraksi atas sumber kekayaan alam di papua terutama ekosistem hutan. Inilah sumber masalah dari deforestasi dan meningkatnya pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua (Menatap ke Timur Auriga, 2021)[3].

daya alam tanah Papua kelimpahan kekayaan alam dengan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022)
[2] Peneliti dan Pegiat di Sajooyo Institute (SAINS) dan Wakil Direktur Papua Study Center (PSC) [3] https://auriga.or.id/flipbooks/report/id/71 The Monitor Desember 2022 | 09

Ragam Inisiatif untuk Daulat Alam Orang Papua

Secara garis besar setidaknya ada 4 (empat) upaya perbaikan dan perubahan kebijakan telah dilakukan untuk memastikan hak OAP memiliki akses yang lebih baik atas sumberdaya hutan mereka. Pertama, Otonomi Khusus (OTSUS). Terobosan politik afirmatif ini penting ini ternyata dalam pelaksanaanya masih belum menjadikan OAP menjadi subjek penentu perubahan dan penerima distribusi kesejahteraan dari sumber daya alamnya sendiri. Pada tahun 2008, melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) No. 22 Tahun 2008, pemerintah daerah menyatakan masyarakat hukum adat (MHA) Papua memiliki hak atas hutan sesuai dengan batas wilayah adat masing-masing. Kedua, otonomi pengelolaan hasil hutan kayu Tahun, 2010 juga terbit Peraturan Gubernur (Pergub) Papua No. 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Masyarakat Adat. Hasil observasi Tim JPIK, sejak peraturan itu lahir, tercatat kurang lebih 17 SK IUPHHK-MHA diterbitkan. Akan tetapi, faktanya Pergub tersebut belum berjalan dengan baik. Penyebabnya, KLHK tidak mengakui adanya IUPHHK MHA dalam nomenklatur tata kelola kayu di Indonesia.

Ketiga, gagasan awal SVLK Adat. Hal ini merupakan sebuah terobosan yang coba dibuka agar masyarakat ada bisa mengakses kayu di wilayah adatnya secara legal, tidak hanya untuk kebutuhan domestik atau subsisten, namun untuk tujuan komersil. Salah satu tawaran solusi yang bersifat transisi, sembari menunggu pengakuan Hutan Adat, diperlukan kebijakan dari KLHK dapat memberikan perizinan pemanenan kayu adat dengan payung hukum melalui Peraturan Daerah (PERDA) atau Peraturan Bupati (PERBUB)[4]. Keempat, pengakuan masyarakat adat dan hutannya. Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial muncul sebagai jalan baru untuk mempercepat hak atas tanah dan hutan adat. Saat kongres AMAN ke VI di Papua menjadi tonggak penting "pecah telur" dengan ditetapkannya 7 pengakuan hutan adat[5].

4] https://betahita.id/news/detail/7937/peluang-kesejahteraandari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua.html?v=1664429888

[5] https://www.mongabay.co.id/2022/10/26/penetapan-hutandan-wilayah-adat-warnai-kman-di-papua/

Sumber: Yayasan Auriga
The Monitor Desember 2022 | 10

Urgensi Pemenuhan Syarat

Pengakuan Wilayah Adat

Proses negaraisasi dan teritorialisasi kawasan hutan berdampak pada marginalisasi dan eksklusi masyarakat adat dari ruang hidupnya sendiri.Watak paradigma politik agraria yang masih berorientasi ‘pertumbuhan’ dan kapitalistik-neoliberal memposisikan hutan dan kekayaan alam yang ada di dalamnya sebagai komoditas dan “aset ekonomi”. Seringkali hutan dianggap wilayah ‘tak berpenghuni”, atau maksimal hanya ada 2 kategori: Kayu dan Non Kayu. Maka, hutan dinihilkan dari kehidupan manusia. Hutan ada untuk hutan saja. Untuk mewujudkan misi hutan yang bersih dari manusia ini, lalu beragam cara yang tidak manusiawi dilakukan. Salah satunya stigmatisasi atas manusia dan kehidupannya di dalam dan sekitar/pinggiran hutan dengan istilah berkonotasi negatif, seperti perambah, perusak, penyerobot hutan, ‘pencuri’ (kayu milik negara), ‘penyabotase’ reboisasi negara, perusak ekosistem hutan, dan seterusnya (Peluso, 2006). Tak heran, jika hal ini dianggap sebagai induk semang lahirnya benih-benih sikap anti sosial dan dehumanisasi dalam tata kelola kebijakan kehutanan (Kartodihardjo, 2016). Inilah hulu masalah yang dapat menjadi argumen penjelas mengapa hak masyarakat adat, baik perempuan dan laki-laki di tanah Papua dan pulau lain di nusantara masih terus terabaikan hingga kini.

Gerakan Reformasi 1998 memungkinkan berbagai inisiatif dan beragam gerakan masyarakat sipil khususnya yang concern ke perjuangan adat bertunas subur. Benang merah agenda utamanya bertujuan untuk pengakuan negara (state recognition),

penyelesaian konflik dan pemulihan hak Masyarakat Adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (Li, 2001; Nababan; 2018). Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 jadi tonggak penting "Hutan Adat" bukan lagi "Hutan Negara" Maka, berangsur-angsur pemenuhan hak dasar masyarakat adat terjadi. Meski sangat lambat. Kini, merujuk laporan terbaru Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per 9 Agustus 2022, terdapat 1.119 peta wilayah adat yang sudah teregistrasi dengan total luas 20,7 juta hektar, tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota. BRWA telah melakukan sertifikasi terhadap 634.216 ha di 47 peta, verifikasi 3.005.158 ha di 144 peta, registrasi 17.070.397 ha di 923 peta, dan tercatat 74.262 ha di 5 peta.

Namun demikian, proses kebijakan pengakuan Hutan Adat masih nampak bersifat “setengah hati”. Pertama, kebijakan pengakuan yang diberikan, masih di level pengakuan legalitas hutannya, namun belum sampai menyentuh pada pengakuan atas eksistensi identitas pengetahuan adat, termasuk pengakuan sistem tata ruang berbasis adat. Kedua, masih adanya ketidaksinkronan paradigma pengelolaan kawasan hutan antara pemerintah dan masyarakat adat, perubahan lanskap ekologi hutan, dan dinamika perubahan pola penguasaan tanah yang terjadi di dalam masyarakat adat sendiri. [6] (Sajogyo Institute, 2020). Ketiga, mahalnya ongkos PERDA, masih minimnya political will dan dukungan Pemerintah Daerah serta kapasitas yang rendah (BRWA, 2022). Dengan demikian, percepatan pengakuan hutan adat penting disyarati dengan kualitas akurasi dan validitas data empirik yang kokoh dan komprehensif dengan etnografi kritis (critical ethnography) adat.

The Monitor Desember 2022 | 11
[6] Policy Paper, Tiga Catatan Pentapan Hutan Adat: Kasepuhan Karang dan Tapang Sambas-Tapang Kemayu, Sajogyo Institute, 2020

Masalah lainnya adalah tumpang tindih dan disharmoni regulasi pusat dan daerah menjadi satu masalah penting untuk segera disinergikan. Sebab, kini di ranah praksis kebijakan pengakuan atas Hutan Adat berbenturan dengan kebijakan strategis pembangunan nasional yang watak dasarnya kontra tujuan pemenuhan keadilan bagi masyarakat adat. Misalnya, masuknya kembali program food estate di Papua, dan kemudahan dan perluasan izin dan konsesi pertambangan, perkebunan (terutama sawit) dan kehutanan yang dilegitimasi UndangUndang Cipta Kerja No. 11/2020.

Lalu, Apa Rambu-Rambu yang Diperlukan untuk Percepatan Pengakuan Adat

di Papua?

Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian dan referensi tentang hutan dan masyarakat adat di Papua[7], tampak ada ‘kekhususan’ manusia dan alam di Papua. Maka tawaran rambu-rambu percepatan pengakuan adat di Papua adalah: (1) Pentingnya sikap kepekaan batin dan pikir bahwa dalam sejarahnya bahwa semua tanah Papua telah memiliki ‘tuan’/pemilik nya, yakni masyarakat adat dengan sistem nilai Papua yang beragam; (2) Pentingnya sikap dasar kepekaan dan pemahaman yang utuh atas keragaman sistem sosial-budaya tiap suku, etnis dan marga dengan berbasis sejarah tenurial dan lokalitasnya, berikut keragaman lanskapnya, baik dataran tinggi, perbukitan, lembah, dataran rendah, savana, rawa-rawa, pesisirlaut, dst; (3) Penentuan dan penyusunan batas wilayah adat mesti sampai ke tingkat satuan Marga, bukan sebatas batas indikatif di wilayah suku besar atau sub suku. Sebab kepemilikan tanah dan hutan di Papua umumnya berbasis marga; (4) Jika timbul konflik berbasis tanah dan agraria penting mendahulukan penyelesaiannya dengan model sistem adat. Hal ini harus digali ulang

dan ditemukan di komunitas adat yang akan mendapat pengakuan hutan adat; (5) Memastikan ulang secara cermat struktur kelembagaan lokal adat. Hal ini menentukan dalam politik representasi dan keterwakilan kelompok masyarakat adat yang akan dilibatkan dalam pengakuan hutan dan wilayah adat; (6) Mencegah potensi sikap eksklusif atas komunitas, marga, etnik dan adat yang berbeda dalam proses/pasca pengakuan adat; (7) Penting menjembatani/ membumikan konsep Desa-desa Adat atau konsep sejenisnya, yang telah diakui oleh negara untuk diselaraskan dengan sistem kampung adat yang beragam di tanah Papua.

[7] Diantara hasil riset yang dilakukan oleh Penulis bersama beberapa lembaga dapat dilihat dan diunduh di link berikut: https://sajogyo-institute.org/buku-3-konflik-agraria-masyarakathukum-adat-di-kawasan-hutan/, lihat juga, https://fwi.or.id/wpcontent/uploads/2020/06/FWI-2019-Bioregion-Papua-Hutandan-Manusianya.pdf, lihat juga; https://www.greenpeace.org/indonesia/siaranpers/5510/ringkasan-eksekutif-ekspansi-perkebunan-sawitkorupsi-struktural-dan-penghancuran-ruang-hidup-di-tanahpapua/

The Monitor Desember 2022 | 12
Hutan Adat Marga Ogoney, di Distrik Merdey Kabupaten Teluk Bintuni

Tawaran SVLK Berbasis Adat dan Syarat - Syaratnya

Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2009 peraturan terkait SVLK sudah mengalami bongkar pasang sebanyak 9 (sembilan) kali sampai terakhir dikeluarkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021. Hal ini untuk memperkuat dasar ini tujuan SVLK yakni memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia mempunyai status legalitas yang jelas dan meyakinkan. Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganan-nya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.

SVLK juga menjadi salah satu upaya strategi pemerintah untuk mengatasi pembalakan liar yang terjadi, deforestasi dan juga sebagai bentuk mempromosikan kayu legal di Indonesia. Sistem ini juga merupakan upaya untuk mewujudkan good forest governance (tata kelola hutan yang baik) menuju pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan. Masalah lain yang muncul adalah terkait dengan definisi legal dalam arti keterlacakan asal usul kayu atau lacak balak yang seringkali tidak terlalu dihiraukan dalam transaksi penjual dan pembeli, asalkan dokumen-dokumen kayu sudah lengkap. Maka sejak tahun 2000-an, muncul gagasan untuk mempercayakan keterlacakan kayu pada pengetesan DNA (Deoxyribonucleic acid) kayu.

Tes ini secara ilmiah dan otentik dapat mengutarakan tentang asal usul kayu yang sebenarnya, melampaui legalitas dokumen.[8]

[8]

Namun, proses ini butuh teknologi, biaya, waktu dan kompetensi manusia untuk melakukannya. Atas dasar konteks inilah gagasan mengembangkan bentuk-bentuk SVLK berbasis adat penting terus ditumbuhkan. Selain itu, masih tingginya praktik illegal logging kayu adat di Papua, hingga sekarang, menjadi fakta lain bahwa bahwa SVLK ‘biasa” yang ada sekarang masih belum mencukupi untuk melindungi dan menjamin kelestarian alam dan hasil hutan khususnya kayu di Tana Papua.

Sehingga diperlukan terobosan gagasan dan kebijakan tentang SLVK berbasis Adat. Secara prinsip SVLK berbasis adat tersebut mengikuti aturan, regulasi dan mekanisme sebagaimana SVLK pada umumnya, namun yang mem bedakannya adalah dalam praktiknya nanti wajib ditambahkan rambu-rambu dan syarat-syarat yang selaras dengan sistem adat di Papua.

11:1, 51-70, DOI: 10.1215/18752160-3641422

Arum Budiastuti (2017) In DNA We Trust?: Biolegal Governmentality and Illegal Logging in Contemporary Indonesia, East Asian Science, Technology and Society: An International Journal,
The Monitor Desember 2022 | 13
Kayu Merbau di Kampung Siwis, Papua Barat

Berikut ini beberapa tawaran syarat - syarat untuk mendorong SVLK berbasis adat di papua :

1Memiliki baseline dan pemahaman yang utuh tentang sistem tenurial dan sistem pengetahuan adat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat, terutama: ragam fungsi hutan dan kayu adat, kepemilikan dan penguasaan hutan dan kayu adat, ragam bentuk tata ruang adat, sistem ambil-tanam, batas maksimumminimum pengambilan kayu, peruntukan dan tujuan pengambilan kayu adat, sistem transaksi (jual beli, barter, dll ) kayu adat, sistem pemulihan hutan dan kayu adat dst Hal ini menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi dan diintegrasikan terhadap kebijakan SVLK pada umumnya agar berdimensi adat;

2Sebagaimana SVLK pada umumnya, prinsip dasar untuk menjamin efektifitas implementasi SVLK berbasis Adat, sangat ditentukan berfungsi/tidaknya tiga pilar utama, yaitu: peran pemerintah sebagai regulator, Lembaga Sertifikasi (LS) sebagai lembaga auditor, CSO/Gakkum/Pendamping Masyarakat Adat dan aparat/PI sebagai pemantau pelaksanaan SVLK Sebab, fakta lapangnya menunjukkan jumlahpemantau dan penegak hukum tidak sebanding dengan jumlah unit usaha yang dipantau Tambahan wajib dalam SVLK berbasis Adat adalah keterlibatan Wakil Masyarakat Adat sebagai Eksekutor, yang harus dilibatkan dalam keseluruhan proses SVLK berbasis adat;

3Untuk memastikan ada kepatuhan dari Unit Manajemen menjalankan SVLK berbasis Adat dan PHPL penting kontrol ketat dari Pemantau Independen yang terintegrasi dari hulu dan hilir Dalam tujuan ini diperlukan satu strategi dan upaya serius untuk memastikan keterlibatan Masyarakat Adat sebagai subjek pelaku utama dengan seluruh sistem pengetahuan adatnya sebagai bagian integral dalam proses Pemantauan Independen, bukan hanya sebagai penonton, sebab hal ini harus menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar;

4Memastikan keselarasan peraturan pusat dan daerah (PERDA Pengakuan Hutan Adat) untuk pengelolaan kayu hasil hutan adat Jika belum ada Perda Hutan Adat, penting diskresi kebijakan untuk menyediakan mekanisme dan strategi transisi regulasi sembari menunggu pengakuan hutan dan wilayah adat diperoleh secara resmi. Misalnya, memungkinkan transisi pengelolaan kayu hutan adat berdasarkan SK Bupati atau SK Gubernur yang diintegrasikan dengan SVLK Adat. 5

Penghargaan (reward) bagi unit manajemen yang konsisten melaksanakan SVLK hutan adat dengan seluruh syarat-syaratnya; 6

Menghormati 7 rambu-rambu pengakuan hutan dan wilayah adat, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya; 7

Memastikan SVLK hutan adat di Papua mampu mengantisipasi sekaligus dapat memenuhi/menjawab tantangan pasca pengakuan hutan dan wilayah adat untuk memastikan keadilan sosial-ekologis bagi semua lapisan sosial masyarakat adat, bukan melanggengkan ketimpangan struktural lama dan baru

Syarat-syarat SVLK berbasis Adat di Papua ini tentu saja dapat bertumbuh dan berkembang selaras dengan situasi riil di komunitas adat yang akan menerapkan SVLK berbasis Adat Prinsipnya, SVLK berbasis Adat disusun dengan cara mengintegrasikan aturan umum SVLK dengan menambahkan syarat wajib sistem tenurial dan pengetahuan pengelolaan hutan adat yang melekat dan dimiliki oleh masing-masing komunitas adat di Papua. Pendasaran pada penghormatan dan pengintegrasian regulasi/kebijakan negara dan adat inilah yang menjadi pondasi dari SVLK berbasis Adat di Papua maupun tempat lain yang akan mengadopsinya nantinya Tujuan akhirnya adalah memastikan keadilan dan daulat masyarakat adat sepenuhnya atas tanah-air dan ruang hidupnya

The Monitor Desember 2022 | 14

Transformasi SVLK : Legalitas Menuju Kelestarian

Oleh

Latar Belakang

: FWI & JPIK

SVLK adalah sistem untuk memastikan kredibilitas penjaminan legalitas hasil hutan, ketelusuran hasil hutan dan/ atau kelestarian pengelolaan hutan. Kebijakan pemerintah ini bersifat wajib bagi semua pelaku usaha kehutanan. Sejak diterapkannya peraturan SVLK tahun 2009 hingga saat ini, Pemantau Independen (PI) dan kegiatan pemantauan selalu menjadi bagian tak terpisahkan. Pada Permen LHK 08/2021 Pasal 244 ayat 2 disebutkan ‘Pemantauan dilakukan terhadap pelayanan publik dibidang SVLK sebagai bentuk menjaga akuntabilitas, kredibilitas dan integritas’. Untuk memotret kepatuhan IUPHHK Hutan Tanaman Industri (Nomenklatur IUPHHK saat ini menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) dalam menjalankan kebijakan SVLK, maka pada tahun 2022 FWI dan JPIK beserta jejaring di daerah telah melakukan pemantauan pada 6 provinsi; Aceh, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.

Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat merupakan kantong-kantong konsesi hutan tanaman industri di Indonesia. Tidak kurang dari 144 izin telah diberikan dengan luas sekitar 5,97 juta hektare atau 54 persen dari luas izin hutan tanaman keseluruhan. Produksi kayu HTI dari 6 Provinsi ini pada tahun 2019 dan 2020 juga berkontribusi sebesar 85 persen dan 89 persen pada produksi kayu nasional yang berasal dari hutan tanaman

Selain itu, dukungan klaster industri sebanyak 99 pabrik pulp dan kertas telah dibangun guna menampung pasokan kayu bulat yang berasal dari Sumatera, Kalimantan dan Papua. Berbagai isu negatif yang muncul dari pengelolaan HTI di 6 provinsi pun tak lepas dari isu deforestasi dan konversi lahan gambut dan juga konflik sosial.

Pada konteks implementasi SVLK, dari 144 perizinan berusaha (HTI), FWI-JPIK berhasil mengumpulkan resume hasil penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (sekarang Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari/S-PHL) dari 51 perusahaan, sebagai bagian dari surat keterangan yang diberikan kepada perusahaan yang menjelaskan bagaimana kinerja perusahaan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Hasil penilaian tersebut dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi untuk periode penilaian tahun 2019 dan 2020 di 6 Provinsi. Meski hasil penilaian SVLK di dominasi oleh perbaikan atau keberhasilan dalam mempertahankan kinerja perusahaan pada setiap aspek yang dinilai, temuan-temuan hasil pantauan di lapangan yang dilakukan oleh pemantau independen menunjukkan masih banyak indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan HTI di setiap aspek baik aspek prasyarat, aspek produksi, aspek ekologi dan juga aspek sosial. Oleh karena itu policy brief ini bertujuan untuk mendorong perbaikan sistem melalui penguatan standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari.

The Monitor Desember 2022 | 15

Sebagai salah satu instrumen yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan hutan lestari, SVLK dibangun melalui pengembangan prinsip keberlanjutan pada aspek ekologi, produksi dan sosial. Namun demikian, berdasarkan pemantauan lapangan, masih terdapat beberapa kelemahan, antara lain: Masih terdapat verifier yang berpengaruh langsung terhadap kondisi di lapangan yang pembobotannya bersifat co dominan, sehingga tidak berpengaruh signifikan pada hasil akhir penilaian. Seperti verifier yang terkait dengan ketersediaan dokumen legal dan administrasi tata batas, serta realisasinya. Hal ini, mengakibatkan terjadinya konflik lahan antara perusahaan dengan perusahaan, dan konflik tenurial antara perusahaan dengan masyarakat.

Penilaian yang berbasis pada ketersediaan dokumen sebagai bahan verifikasi sudah tidak relevan dengan situasi di lapangan karena tidak mampu menggambarkan kondisi nyata yang terjadi. Verifier tersebut terdapat dalam seluruh aspek penilaian (prasyarat, produksi, ekologi dan sosial). Terjadinya tumpang tindih klaim penguasaan antara perusahaan dengan masyarakat serta tidak adanya pengakuan dari masyarakat terhadap area kerja perusahaan. Masih dimungkinkan pembukaan hutan di areal ekosistem gambut dan di dalam kawasan lindung. Rendahnya implementasi perlindungan dan pengamanan hutan preemtif /preventif /represif), seperti terjadinya kebakaran hutan yang terjadi di lahan gambut pada tahun 2015 dan 2019; terjadi illegal logging dan perambahan kawasan konsesi HTI yang masih berhutan atau

belum dikelola menjadi perkebunan kelapa sawit; menurunnya kualitas tanah dan air akibat operasional HTI; kegiatan land clearing dengan melakukan penimbunan sungai; Pembangunan kanal di dalam konsesi HTI yang mengakibatkan perubahan muka air gambut dan terancamnya habitat spesies dilindungi, termasuk konflik dengan satwa seperti Gajah dan Harimau Sumatera.

Tidak ada upaya sosialisasi secara menyeluruh atas aktivitas/operasional HTI; Tidak ada upaya penyelesaian konflik yang jelas dan dapat diterima oleh para pihak yang terdampak, sehingga kejadian konflik tersebut sering terulang, bahkan bertambah/meningkat secara jumlah di beberapa wilayah; tidak ada kejelasan dan tidak ada pelibatan (secara partisipatif) mengenai kegiatan penata batasan; tidak ada kejelasan mengenai implementasi tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di sekitar konsesi. Ketidaksesuaian implementasi penataan areal kerja di lapangan dengan rencana jangka panjang (RKUPHHK); Masih minimnya pelibatan masyarakat (sekitar perusahaan), Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan dan KPH serta Pemantau Independen dalam proses penilaian LS pada Perusahan HTI,

Permasalahan SVLK
The Monitor Desember 2022 | 16
Interview di Dinas Kehutanan Kalimantan Barat

sehingga tak jarang hasil penilaian LS tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga ada indikasi ketidak objektifan dalam penyusunan laporan LS. Kurangnya peran pemerintah daerah (Kepala Daerah, Dinas Kehutanan dan KPH) dalam bimbingan, pengawasan dan pengendalian dalam implementasi SVLK. Minimnya sosialisasi, cepatnya perubahan kebijakan serta belum padunya skema pendanaan antara kebijakan pusat dan agenda kegiatan di daerah turut menghambat peran pemerintah daerah ini. Minimnya upaya pencegahan, pengawasan dan penegakan hukum yang efektif dan berefek jera disertai dengan pemberian sanksi yang tegas agar pelanggaran yang sama tidak terulang di kemudian hari. Sanksi pembekuan dan pencabutan sertifikat yang berjalan regresif tanpa adanya pencabutan izin operasi, sehingga peredaran kayu oleh pemilik izin yang tersandung masalah hukum masih terjadi. Pemenuhan hak pemantauan independen meliputi terbatasnya pendanaan, data dan informasi yang diberikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait dengan kerja-kerja pemantauan, hingga jaminan keselamatan serta perlindungan hukum bagi para pemantau independen.

Rekomendasi

SVLK berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber asal usul dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. SVLK memuat sejumlah standard, kriteria, indicator verifier, metode verifikasi, dan penilaian yang disepakati bersama. Hal ini merupakan langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia menuju pengelolaan hutan yang lestari. Selain memberikan kepastian hukum, SVLK menyiratkan komitmen pemerintahan Indonesia dalam perbaikan tata Kelola kehutanan Indonesia. Namun demikian, melihat permasalahan sebagaimana yang diuraikan diatas, SVLK

masih belum mampu menjawab sejumlah persoalan yang terjadi di tingkat tapak. Maka dari itu, pemerintah perlu mencermati secara mendalam persoalan yang terjadi di tingkat tapak sebagai diuraikan diatas, dan mempertimbangkan beberapa rekomendasi berikut sebagai upaya perbaikan pelaksanaan SVLK kedepan, diantaranya; Penguatan verifier pada aspek prasyarat terkait kepastian kawasan.

Kejelasan mengenai kejelasan antara konsesi dan wilayah masyarakat adalah hal penting dan harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Penguatan verifier pada aspek sosial, dimana indikator terselesaikannya konflik sebagai salah satu verifier dalam penilaian. Saat ini indikator penyelesaian konflik hanya terbatas pada ketersedian prosedur atau langkah penyelesaian konflik. Dengan adanya indikator terselesaikannya konflik, mengharuskan perusahaan untuk lebih serius menyelesaikan konflik yang ada. Pemerintah (KLHK) harus melakukan pengawasan dan evaluasi yg ketat terhadap perusahaan yg kinerjanya tidak meningkat melalui audit kepatuhan. Perbaikan kebijakan SVLK dengan memasukan dan memperkuat peran Pemerintah Daerah dan KPH dalam bisnis proses SVLK. Harus ada dukungan kebijakan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memperkuat kapasitas Pemerintah Daerah dan KPH dalam pelaksanaan SVLK.

The Monitor Desember 2022 | 17
FGD membangun sinergitas peran Pemda dalam implementasi SVLK di Aceh

8TH TRAINING WORKSHOP ON TIMBER LEGALITY ASSURANCE (TLA-8), VIETNAM

O L E H : D A N I A L D I A N P R A W A R D A N I

JPIK mengikuti kegiatan bertajuk “8th Training Workshop on Timber Legality Assurance (TLA8)” yang berlangsung dari tanggal 6 – 8 Desember 2022 di Hotel Grand Saigon Ho Chi Minh City, Vietnam. Acara tersebut dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai negara di Asia seperti Laos, Kamboja, Malaysia, Thailand, Brunei, Myanmar, Philipina, dan Vietnam Turut hadir pula secara daring para peserta dari Jepang, China, dan Korea Selatan Tujuan diadakan kegiatan ini antara lain:

Bertukar pengalaman praktis antar negara ASEAN dalam penyusunan sistem legalitas kayu.

Meningkatkan kolaborasi para pihak dalam menghadapi persoalan-persoalan kehutanan, tata kelola, dan perdagangan kayu.

Meningkatkan pemahaman terhadap tantangan dan peluang khususnya yang dimiliki oleh industri kecil dan menengah pengolahan kayu untuk berpartisipasi dalam rantai pasok bahan baku legal Pertukaran informasi tentang kemajuan negara anggota ASEAN dan ASEAN +3 Economies (China, Jepang, dan Republik Korea Selatan) dalam proses TLA dan pengembangan uji tuntas, Meningkatkan pemahaman terhadap kebijakan baru EU dalam kehutanan dan perdagangan

Kegiatan TLA-8, dibuka dengan beberapa sambutan diantaranya dari Delegasi EU untuk Vietnam, Pejabat senior ASEAN, dan Direktur Jendral Kehutanan Viet Nam (DDG VN-Forest) selaku tuan rumah.

L A P O R A N K E G I A T A N
The Monitor Desember 2022 | 18

Dalam berbagai sambutan tersebut dipaparkan tentang komitmen para pemangku kepentingan (swasta, pemerintah, dan pasar) dalam membangun TLAS yang lebih komprehensif guna menghadapi tantangan perubahan lingkungan global (deforestasi, perubahan iklim, dan perubahan pola perdagangan di pasar regional), serta membangun keselarasan TLAS dengan inisiatif global (REDD+, NDC, SDG, dan komitmen swasta lainnya).

Turut hadir juga Henriette Færgemann First Counsellor - Environment, Climate Action, ICT salah satu delegasi EU untuk Indonesia menyampaikan paparan terkait dengan status kebijakan baru EUDR (EU Deforestation Regulation) yang baru disahkan pada Desember 2022. Kebijakan baru bebas deforestasi digagas sebagai bentuk kontribusi EU dalam mengurangi deforestasi deforestasi global, melalui mekanisme tuntas bagi operator EU dan pelaku perdagangan yang menempatkan komoditas atau produknya dalam lalu lintas ekspor-impor EU.

Aturan uji tuntas ditempuh melalui langkah yaitu:

Perusahaan perlu memastikan akses informasi terhadap komoditas yang mereka tempatkan pada pasar UE, antara lain berupa: jenis dan jumlah komoditas, pemasok, negara yang memproduksi, dll. Persyaratan utama, pada langkah ini, adalah mendapatkan koordinat geografis bidang tanah atau lokasi komoditas tersebut di diproduksi. Penggunaan koordinat geolokasi dianggap cara yang paling sederhana dan hemat biaya untuk memperoleh informasi geografis yang diperlukan agar pihak berwenang di EU dapat melakukan pemantauan jarak jauh .

melalui citra satelit untuk memastikan bahwa produk dan komoditas yang ditempatkan di EU bebas dari deforestasi.

Langkah kedua, perusahaan perlu menggunakan informasi tentang petak lahan yang digunakan untuk memproduksi komoditas untuk menganalisis dan mengevaluasi risiko dalam rantai pasokan.

Perusahaan juga perlu menyusun tindakan mitigasi yang memadai dan proporsional terhadap resiko yang ada.

Sedangkan cakupan dari regulasi deforestasi EU tersebut meliputi :

Komoditas yang dicakup: Kedelai, minyak sawit, ternak, kakao, dan kopi & beberapa produk turunan (misalnya kulit, cokelat, furnitur)-dasar: penilaian dampak produk mana yang benar-benar berkontribusi terhadap deforestasi

Tidak ada diskriminasi: Berlaku sama untuk produk yang diproduksi di UE dan diimpor dari luar negara negara anggota UE

Cakupan progresif: Cakupan produk akan diperluas seiring waktu

Tanggal batas (cut-off date) 31 Desember 2020: Tidak ada komoditas yang diizinkan memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal tersebut. Hal ini sejalan dengan komitmen SDG

[6] Dokumen joint statement dapat diundung pada tautan berikut: https://drive.google.com/file/d/1qs95d7jqfA8Tr59L6t_Ot73ELepPO-eM/view

The Monitor Desember 2022 | 19
1. 2 3. 4.

Uni Eropa juga akan menerapkan benchmarking (penilaian risiko) bagi tiap negara. Tiap negara akan ada kategori berdasarkan tingkat deforestasinya yaitu, rendah, standar dan tinggi. JPIK bersama sejumlah CSO di Indonesia juga sempat menyoroti terkait inisiatif EUDR yang dituangkan melalui pernyataan bersama (joint statement)[6]. Dalam pernyataan tersebut EUDR didorong agar menjadi pendekatan yang lebih holistik dengan memper- timbangkan pemberian insentif dan dukungan pada upaya pengurangan dan pencegahan deforestasi, serta reformasi pola produksi komoditas di negara produsen, serta mencermati dampak langsung dari regulasi bagi petani swadaya. Namun demikian, pasca disahkannya EUDR masih terbuka ruang untuk mengkaji poin-poin kebijakan selama implementasinya dalam 2 – 5 lima tahun ke depan, seperti peran dan tanggung jawab lembaga keuangan dalam investasi bebas deforestasi akan dikaji dalam dua tahun mendatang.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini juga membahas beberapa agenda, antara lain:

Update implementasi dari rencana kerja FLEG di ASEAN 2016 – 2025 Update dan Rencana tindak lanjut UEDDR proposal

Sharing & learning dari pengalaman implementasi dan perkembangan verifikasi legalitas kayu dari masing-masing negara ASEAN.

Diskusi hasil kajian FLEGT ASIA: Partisipasi UMKM dalam rantai pasok kayu legal. Pembelajaran dari Sustainable Landscapes Initiative

Sebagai satu-satunya negara pemegang FLEGT License, Indonesia berbagi pengalamannya dalam penyusunan SVLK dan VPA (voluntary partnership agreement) dengan EU. Keterlibatan pemangku kepentingan dan konsultasi publik di bawah VPA Indonesia menandai proses negosiasi FLEGT-VPA EUIndonesia, yang sudah dimulai sejak tahun 2006, hingga mencapai keberhasilannya bulan November 2016 dengan penerbitan FLEGT License pertama.

Acara ditutup dengan agenda field trip pada Asosiasi Furniture di Binh Duong untuk mendapatkan wawasan tentang manajemen rantai pasok bahan baku impor dan domestik.

The Monitor Desember 2022 | 20

Dampak Covid-19 pada perdagangan kayu negara - negara ASEAN 1 2. 3. 4
Saat ini beberapa negara yang ikut menjadi peserta pelatihan tengah menjajaki pengembangan TLAS dan menjalin kerjasama dengan EU. Misalnya, Vietnam di tahun 2016 juga menandatangani kesepakatan terkait kewajiban pembangunan sistem jaminan legalitas kayu terhadap produk-produk yang dijual ke Uni Eropa, mengikuti jejak Indonesia. Para peserta juga mendapatkan kesempatan melakukan FGD untuk membahas topik-topik spesifik seperti pengalaman dalam design dan implementasi TLA pada masing-masing negara, pemenuhan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan uji tuntas, dan partisipasi SME dalam rantai pasok kayu legal.

Aksi Anak Muda untuk ‘Nature and Biodiversity Protection’ melalui Kegiatan Youth Leadership Camp for

Climate Crisis 2022

Bicara tentang perubahan iklim, artinya tidak jauh dari aktivitas dan kegiatan manusia di dalamnya. Perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global yang dipicu oleh adanya efek rumah kaca. Manusia tidak bisa lepas sebagai salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca tersebut.

Youth Leadership Camp for Climate Crisis (YLCCC) tahun 2022 hadir dengan fokus pada “Nature and Biodiversity Protection: Water Protection”. Kegiatan YLCCC mengajak para anak muda untuk ikut memahami isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.

Perubahan iklim terjadi begitu saja dan terasa sangat cepat sehingga membutuhkan aksi berbagai pihak untuk memerangi krisis iklim. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda berada di garda terdepan dalam aksi perubahan iklim sesuai poin ke 13 SDG’s yaitu Climate Action

YLCCC juga membekali wawasan, melakukan kampanye, dan advocacy untuk anak muda sehingga mampu melakukan aksi nyata. Kegiatan ini diadakan dengan 3 sesi, yaitu pre-camp, camp, dan post-camp Diadakannya kegiatan ini guna meningkatkan pengetahuan solusi berbasis alam dan membangun jaringan pemuda Indonesia yang peduli pada lingkungan dan keanekaragaman hayati untuk mengambil tindakan nyata.

The Monitor Desember 2022 | 21

Peserta diawali dengan menerima materi BiodiverSEAty: Protect the Nature oleh 30x30 Southeast Asia Coalition (SEA) pada sesi precamp. Dalam materinya, 30x30 SEA membuka pandangan mengenai pentingnya Asia Tenggara sebagai ‘rumah’ bagi 20% biodiversity di dunia dan Indonesia sebagai negara kedua dengan biodiversitas tertinggi di dunia. Sayangnya, Indonesia juga menghadapi ancaman pada keanekaragaman hayatinya. Perubahan iklim dan keanekaragaman hayati merupakan krisis yang tidak dapat dipisahkan. Terjadinya perubahan iklim akan berdampak pada biodiversity loss di Indonesia.

Pemutihan karang akan mengurangi kapasitas tangkapan karbon di laut, dan masih banyak dampak yang akan terjadi. Kemudian apa yang bisa kita lakukan? 30x30 SEA menambahkan bahwa populasi masyarakat adat hanya sebanyak 6% populasi dunia, tapi mereka menjaga 80% hutan dan biodiversitas dunia. Indonesia berada di peringkat ketiga dunia sebagai negara dengan keragaman budaya tertinggi yang terdiri dari 370 kelompok dengan kurang lebih 50 - 70 juta masyarakat adat. Hal ini menjadi potensi untuk Indonesia dalam melakukan lobi, komunikasi, dan pembangunan koalisi dengan masyarakat adat untuk sama-sama menjaga biodiversitas yang masih ada. Kenaikan tinggi muka air laut akan menyebabkan erosi dan rusaknya ekosistem hutan di pesisir laut,

Pada hari pertama kegiatan camp berlangsung, peserta menerima materi yang luar biasa mengenai Climate 101 oleh Mauriza Arivia dan Laetania Belai. Materi selanjutnya disampaikan oleh Dr. Puji Rianti seorang researcher dari IPB University mengenai The Power of Biodiversity. Beliau menyampaikan bahwa Indonesia merupakan rumah bagi 10% spesies flora dan 17% spesies fauna dunia. Dengan potensi tersebut, keanekaragaman hayati di Indonesia mengalami masalah penting antara lain degradasi dan hilangnya habitat, fragmentasi habitat, dan invasi spesies. Dr Puji Rianti menekankan pentingnya Ecotistical Worldview dibandingkan dengan Egotistical Worldview.

Berlanjut pada hari kedua kegiatan camp, peserta menerima materi SWOT Analysis and Theory of Changes oleh Arifah Handayani selaku Community Action Manager, The Climate Reality Indonesia. Materi dibuka dengan bencana yang terjadi akibat perubahan iklim. Dengan dampak yang begitu hebat dari perubahan iklim, peserta diberikan pandangan bagaimana cara mengambil sikap sebagai agent of change melalui Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT) Analysis. Dalam sesi presentasinya, Arifah menutupnya dengan sebuah quote dari Margaret Mead, “Never doubt that a small group of people can change the world. Indeed, it is the only thing that ever has”.

The Monitor Desember 2022 | 22

Materi Rencana Tindak Lanjut (RTL) juga disampaikan oleh Ari W. Adipratomo sebagai Advocacy Manager, The Climate Reality Indonesia. Ari menekankan bahwa RTL diperlukan agar rencana yang sudah ditetapkan bisa lebih efektif dan efisien. RTL juga yang akan menjadi standar dalam kontrol dan evaluasi seluruh kegiatannya. Dalam sesi ini, Ari juga menyampaikan bagaimana project stages dan timeline yang terukur supaya kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Sesi Coaching oleh Amanda Katili selaku Director, The Climate Reality Indonesia merupakan materi terakhir yang diterima peserta pada kegiatan camp. Melalui materi ini, Amanda menyampaikan bahwa team dan group coaching mampu memaksimalkan kemampuan dan potensi untuk mencapai tujuan bersama. Team dan group coaching merupakan proses ko-kreatif dan reflektif dengan sebuah kelompok melalui cara yang saling menginspirasi. Model GROW (Goal, Reality, Options, dan Will) Coaching juga dipaparkan guna menuliskan satu per satu apa yang menjadi tujuan dalam pemecahan masalah, situasi terkini yang sedang terjadi termasuk tantangannya, kemungkinan dan kekuatan dalam pemecahan masalah, dan tindakan terukur untuk pemecahan masalah.

Tidak hanya menerima begitu banyak materi, Trekking Pos to Pos menjadi sarana peserta untuk meningkatkan pengetahuan solusi berbasis alam selama kegiatan camp. Kegiatan pada pos pertama yaitu pengenalan sustainable agroforestry dengan adanya kebun alpukat dan hutan bambu. Dilanjutkan dengan interaksi peserta di alam mengenai biodiversity dan water protection Peserta diminta untuk melakukan permainan yang melibatkan unsur hutan, mata air, satwa, dan manusia. Output dari permainan ini menunjukkan bahwa setiap unsur tersebut saling terkait sehingga harus dijaga kelestariannya. Pos terakhir, peserta diminta untuk membaca kondisi di sekitar dengan terdapatnya penambangan batu kapur dan dampaknya pada lingkungan.

Luaran dari kegiatan YLCCC 2022 yaitu mencetak pemuda yang mampu melakukan tindakan nyata dalam penyelamatan lingkungan khususnya dalam permasalahan perubahan iklim. Setelah kegiatan camp dilakukan, peserta melakukan kegiatan post-camp dengan kembali ke daerah masing-masing. Terdapat 6 kelompok yang siap melakukan advokasi melalui aksi yang berbedabeda. Mereka adalah kelompok Airin, Badak Hijau, Flores, Climate Rangers, Kirana, dan Kalpataru. Mauriza Arivia Azmi selaku Project Lead YLCCC 2022 menyampaikan, “Youth need to be involved in the climate crisis because it is impacting our generation. We are the generation that has grown up with climate change” Dengan aksi nyata ini, diharapkan semakin tinggi awareness pemuda dan seluruh generasi untuk terlibat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Never doubt that a small group of people can change the world. Indeed, it is the only thing that ever has”
The Monitor Desember 2022 | 23

KERENTANAN PENGHIDUPAN

MASYARAKAT PEDESAAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim telah menjadi perhatian dunia selama satu dekade terakhir. Isu ini tak luput menjadi perhatian pemerintah Indonesia, utamanya melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Paris Agreement, dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan roadmap implementasinya telah disusun oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI KLHK) sebagai acuan implementasi aksi terkait perubahan iklim. Pemerintah telah menyatakan komitmen mitigasi dengan rencana pengurangan emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar 29% (tanpa syarat) menjadi 41% (dengan dukungan internasional).

Selain KLHK, Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal juga menggandeng Asian Development Bank (ADB) dalam Mekanisme Transisi Energi (ETM) untuk mendukung transisi energi bersih sebagai upaya pengendalian perubahan iklim. Selanjutnya, dalam pertemuan Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CSWG) yang dihadiri negara-negara anggota Presidensi G20 2022, upaya pengendalian perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan menjadi fokus utama yang dibahas.

Menilai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan suatu sistem atau masyarakat merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan dalam mengembangkan strategi adaptasi dan kebijakan yang tepat sasaran untukmenangani dampak perubahan iklim. Pendekatan yang dilakukan akan menilai seberapa rentan suatu kelompok masyarakat dibandingkan dengan kelompok yang lain dan komponen mana yang paling memengaruhi tingkat kerentanan dalam kelompok masyarakat tersebut. Pendekatan kerentanan berdasarkan kerangka kerja IPCC merupakan instrumen analisis yang paling umum digunakan.

Konsep Kerentanan Penghidupan terhadap Perubahan Iklim

Apabila ditinjau dalam konteks perubahan iklim, istilah kerentanan mengacu pada kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan risiko terhadap dampak bahaya akibat perubahan iklim. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencirikan kerentanan perubahan iklim sebagai tingkat kecenderungan atau ketidakberdayaan suatu sistem alam atau sosial terhadap pengaruh perubahan iklim [7]. Kerentanan perubahan iklim mencakup kapasitas adaptif dan potensi dampak yang kemudian bergantung pada keterpaparan dan sensitivitas sistem tersebut.

Oleh : Divina Umanita Iliyyan
The Monitor Desember 2022 | 24
[7] Y.A. Izrael, S. Semenov, O. Anisimov, Y.A. Anokhin, A. Velichko, B. Revich, I. Shiklomanov, The fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate change: Working group II contribution, Russ. Meteorol. Hydrol. 32 (2007) 551–556.

Komponen kapasitas adaptif (adaptive capacity) mengidentifikasi kapasitas sistem, masingmasing individu, maupun ekosistem dalam melakukan adaptasi atau penyesuaian terhadap potensi bahaya yang ada. Komponen ini juga menyorot seberapa baik sistem mampu menemukan celah dan menemukan alternatif, serta bagaimana respon terhadap berbagai konsekuensi yang muncul. Komponen keterpaparan (exposure) menilai bentuk pengaturan dan lokasi individu, sistem biologi, kapasitas ekologi, infrastruktur, serta sumberdaya sosial yang dapat menyebabkan sistem tersebut dipengaruhi oleh perubahan iklim secara tidak menguntungkan. Komponen sensitivitas (sensitivity) menggambarkan seberapa besar suatu sistem dipengaruhi, secara menguntungkan atau tidak, oleh variabilitas maupun perubahan iklim [8].

Meski dampaknya bervariasi antar wilayah, negara, sektor, dan masyarakat, dapat disadari bahwa masyarakat di Indonesia merupakan salah satu kalangan yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini umumnya

akibat kapasitas adaptasi yang masih rendah dan akses yang terbatas ke alat produksi alternatif. Perubahan iklim mengakibatkan peningkatan intensitas frekuensi cuaca ekstrim dan peningkatan laju perubahan parameter cuaca seperti suhu udara, curah hujan, tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, serta kondisi awan.

Penilaian kerentanan terhadap perubahan iklim dilakukan melalui serangkaian metode yang sistematis dan terintegrasi untuk menjelaskan interaksi manusia dan lingkungan fisik maupun sosialnya. Upaya kuantifikasi masalah yang bersifat multidimensional umumnya dilakukan dengan menggunakan indikator. Indikatorindikator ini kemudian digabungkan menjadi sebuah indeks komposit melalui pembobotan. Menentukan indikator kerentanan adalah langkah pertama dalam melakukan penilaian kerentanan suatu sistem.

Penilaian Kerentanan Perubahan Iklim
The Monitor Desember 2022 | 25

Selain indikator yang representatif, diperlukan pula pendekatan yang dapat menilai komponen yang mendorong profil kerentanan dalam sistem tersebut.

Penilaian kerentanan perubahan iklim juga dapat bersifat luas atau spesifik Penilaian kerentanan yang lebih luas menargetkan beberapa sektor atau area kebijakan yang bersifat global. Penilaian kerentanan yang spesifik menargetkan masalah-masalah yang telah diidentifikasi sebelumnya untuk merekomendasikan tindakan intervensi untuk mengurangi kerentanan. Selain itu, Füssel dan Klein (2006) juga membagi penilaian kerentanan menjadi dua generasi. Generasi pertama adalah saat penilaian kerentanan relatif terfokus pada bagaimana dampak iklim terhadap kondisi baseline, sementara generasi kedua mulai menggabungkan komponen kapasitas adaptif. Penambahan komponen ini juga diiringi oleh munculnya beragam interpretasi tentang penerapan aspek keterpaparan, sensitivitas, dan kemampuan adaptif.

Hahn et al. (2009) mengembangkan metode LVI (Livelihood Vulnerability Index) sebagai metode penilaian kerentanan berbasis indikator yang representatif dan dapat digunakan untuk ragam konteks yang luas. Analisis ini dapat mengidentifikasi sumber dan bentuk kerentanan yang spesifik sehingga mampu membantu pemerintah memahami dan membangun ketahanan masyarakat. Luaran dari analisis ini juga dapat memberi gambaran untuk memahami faktor demografi, sosial dan faktor terkait lainnya yang berkontribusi terhadap kerentanan masyarakat kepada organisasi pembangunan dan pembuat kebijakan lokal.

Masyarakat Pedesaan dan Perubahan

Iklim : Studi Kasus Sumenep, Madura

Sebuah studi tentang kerentanan penghidupan masyarakat terhadap perubahan iklim telah dilakukan di dua desa yaitu Tanah Merah dan Lobuk, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur [8]. Dengan menggunakan metode Livelihood Vulnerability Index (LVI) dan Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) dari KLHK, dilakukan asesmen untuk menilai kerentanan penghidupan masyarakat melalui beberapa komponen dari data kuisioner. Komponen yang dinilai meliputi komponen-komponen yang mempengaruhi dan mendukung rumah tangga dalam memenuhi penghidupannya. Komponen ini meliputi profil sosiodemografi, finansial, perumahan dan lahan, pangan, air, kesehatan, jaringan sosial, bencana alam dan variabilitas iklim, strategi mata pencaharian, serta pengetahuan dan keterampilan.

Hasil studi menunjukkan bahwa kedua desa memiliki profil kerentanan yang sama. Tanah Merah dan Lobuk tergolong dalam kategori rentan dari kedua metode penilaian kerentanan yang dipilih. Komponen profil sosiodemografi disusun dari beberapa indikator yang fokus pada kondisi demografi rumah tangga. Komponen ini disusun oleh indikator persentase rumah tangga dengan kepala rumah tangga wanita, rasio ketergantungan, dll. Kepala keluarga wanita dianggap lebih rentan karena perempuan memiliki banyak kerugian dalam hal beban kerja ganda dalam mencari nafkah dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, kesempatan kerja yang terbatas, serta kondisi fisik dan biologis. Rasio ketergantungan mewakili distribusi usia dalam rumah tangga yang juga berpengaruh pada kemampuan mencari nafkah. Secara umum, dari profil sosiodemografi, Tanah Merah memiliki kerentanan yang lebih tinggi daripada Lobuk. Komponen finansial menilai kondisi ekonomi rumah tangga dari indikator pendapatan,

The Monitor Desember 2022 | 22
The Monitor Desember 2022 | 26

kepemilikan tabungan dan hutang, serta akses terhadap kredit. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki tabungan di Tanah Merah lebih tinggi dibandingkan di Lobuk. Masyarakat enggan menabung karena lebih mengutamakan melunasi hutang terlebih dahulu. Berbeda dengan Tanah Merah, responden di Lobuk memilih menabung pada BMT (Baitul Maal wa Tamwil) atau koperasi syariah yang sering berkeliling dan memberikan bantuan keuangan. Rumah tangga yang tidak memiliki akses kredit atau pinjaman menggambarkan rendahnya kapasitas adaptif rumah tangga dari ketidakmampuan mereka memberikan jaminan untuk menerima akses kredit maupun membayarkannya.

Pada komponen strategi mata pencaharian, rumah tangga yang mata pencaharian utamanya bergantung pada alam mengalami ketidakpastian akibat cuaca, perubahan iklim dan musim, serta bencana. Mata pencaharian masyarakat di Tanah Merah lebih bervariasi, terutama di daerah hilir. Kawasan ini lebih strategis dan dapat diakses oleh jalan provinsi, sehingga memungkinkan mobilitas penduduk yang lebih tinggi. Lobuk terdiri dari daerah pesisir dan dataran rendah. Mata pencaharian masyarakat di daerah pesisir sebagian besar adalah petani rumput laut, nelayan, kuli angkut pabrik perikanan, atau pengumpul ikan, sedangkan di dataran rendah sebagian besar penduduknya adalah petani.

Adapun pada komponen variabilitas bencana alam dan iklim, responden Lobuk di pesisir menyatakan bencana yang paling sering terjadi adalah angin kencang. Hal ini mengakibatkan kerusakan material dinding dan atap rumah namun tidak menimbulkan korban jiwa. Indikator rumah tangga yang tidak mendapat peringatan dini bencana menggambarkan kesiapsiagaan pemerintah daerah dalam mitigasi bencana. Responden dari kedua desa melaporkan bahwa peringatan dini umumnya disebarkan melalui WhatsApp, mikrofon masjid, dan dari berita mulut ke mulut.

Komponen jaringan sosial menilai kekuatan hubungan dalam komunitas, karena dapat mengindikasikan kapasitas adaptif suatu masyarakat. Jaringan sosial yang kuat dapat ditemukan dalam komunitas dengan tradisi gotong royong, norma sosial, dan rasa percaya. Skor komponen ini antara Tanah Merah dan Lobuk tidak berbeda jauh. Receive:Give ratio dan Borrow:Lend money ratio mengukur sejauh mana rumah tangga bergantung pada bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah. Rumah tangga yang menerima lebih banyak tetapi tidak banyak memberikan bantuan dianggap lebih rentan daripada rumah tangga dengan kelebihan sumber daya untuk diberikan kepada rumah tangga lain.

The Monitor Desember 2022 | 27

Hasil studi ini juga menunjukkan perbedaan indikator kunci yang mendorong kerentanan di kedua desa. Indikator kunci di Desa Tanah Merah adalah rumah tangga tanpa pengelolaan sampah, pelatihan dari pemerintah, dan tidak ada sistem peringatan dini. Sebaliknya, indikator utama yang mendorong kerentanan Lobuk adalah rumah tangga dengan kepemilikan tanah kecil dan rumah tangga dengan hutang Selanjutnya, beberapa rekomendasi aksi untuk Tanah Merah adalah menyediakan bank sampah dan fasilitas pemilahan sampah, meningkatkan kapasitas publik melalui penyuluhan dan lokakarya, dan mengadopsi media sosial untuk berbagi informasi terkait iklim. Untuk Lobuk, beberapa rekomendasi aksi yang dapat dilakukan adalah penetapan instrumen regulasi terkait pemanfaatan ruang di kawasan pesisir, pemetaan wilayah terdampak perubahan iklim, dan peningkatan literasi keuangan terutama mendorong penghematan di masyarakat.

Revolusi Kerentanan dan Resiliensi Iklim dengan Pembangunan Berkelanjutan

Dalam Assessment Report 6 (AR6) yang diterbitkan pada tahun 2022, Working Group 2 (WGII) Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memiliki fokus khusus pada adaptasi transformasional terhadap perubahan iklim. Adaptasi transformasional ini mencakup perubahan perilaku masyarakat yang bertujuan untuk mengembangkan adaptasi iklim, manajemen risiko bencana, dan pembangunan berkelanjutan. Transformasi dipandang sebagai solusi yang dapat dilakukan dalam upaya menghadapi perubahan iklim dengan tujuan meningkatkan resiliensi iklim masyarakat. Resiliensi iklim memegang peranan penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, mengingat eratnya hubungan antara tingkat resiliensi iklim suatu masyarakat dengan tingkat keberhasilan pembangunan berkelanjutan.

Resiliensi iklim berperan penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, mengingat eratnya hubungan antara keduanya. Terdapat hubungan timbal balik berupa sinergi dan trade-off antara resiliensi iklim dengan tingkat keberhasilan implementasi (SDGs) [9]. Kendati demikian, kekuatan hubungannya ditentukan oleh banyak faktor seperti kerjasama antar daerah, aksi mitigasi, tata kelola, dan desain kebijakan. Dalam AR6 Bab 18, IPCC juga telah merumuskan Climate Resilient Development (CRD) sebagai alat dan panduan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. IPCC mendefinisikan Climate Resilient Development (CRD) sebagai proses penerapan opsi mitigasi dan adaptasi gas rumah kaca untuk mendukung pembangunan berkelanjutan [10].

[8] J. Amuzu, A.T. Kabo-Bah, B.P. Jallow, S. Yaffa, Households’ Livelihood Vulnerability to Climate Change and Climate Variability: A Case Study of the Coastal Zone, The Gambia, J. Environ. Earth Sci. 8 (2018) 35–46.

[9] H.-M. Füssel, R.J. Klein, Climate change vulnerability assessments: an evolution of conceptual thinking, Clim. Change. 75 (2006) 301–329.

[10] M.B. Hahn, A.M. Riederer, S.O. Foster, The Livelihood Vulnerability Index: A pragmatic approach to assessing risks from climate variability and change—A case study in Mozambique, Glob. Environ. Change. 19 (2009) 74–88.

The Monitor Desember 2022 | 22
The Monitor Desember 2022 | 28

Refleksi Akhir Tahun

Oleh : JPIK

SVLK adalah mengakomodir pengelolaan hutan secara bertanggung jawab, berintegritas, dan kredibel bukan hanya secara ekonomi, namun juga sosial maupun ekologi. Lantas sejauh apa SVLK sebagai sebuah sistem mampu mengakomodir kompleksitas persoalan kehutanan di Indonesia?

Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) awalnya menjadi salah satu inisiatif untuk memperbaiki tata kelola industri perkayuan Indonesia, untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian terhadap illegal logging. Namun demikian rupanya marwah yang diembannya cukup besar, sebab berangkat dari keprihatinan masyarakat dunia akan nasib hutan tropis yang terus mengalami deforestasi dan degradasi.

Selama hampir tiga belas tahun Implementasi SVLK di Indonesia telah mengalami sembilan kali perubahan. Berbagai bentuk pemutakhiran, mulai dari kebijakan / peraturan perundangan hingga pelibatan masyarakat sipil sebagai pemantau independen rantai pasok produk kayu dari hulu hingga hilir. Indonesia bahkan memperoleh otoritas untuk menerbitkan lisensi FLEGT di tahun 2016 silam, dan bisa jadi salah satu pencapaian besarnya. Sehingga produk-produk kayu Indonesia bebas memasuki pasar Uni-Eropa. Mungkin ketir diucap, namun dinamika dan capaian SVLK masih mendudukkannya sebatas instrumen pasar moderat dan masih jauh dari cita-cita bangunan sistem yang holistik. Berikut torehan catatan JPIK sepanjang tahun 2022 terhadap implementasi SVLK di hulu dan hilir industri.

Gambaran hulu sepanjang tahun

dan FWI mengevaluasi pengelolaan HTI di enam provinsi yaitu: Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat yang menjadi kantong-kantong konsesi hutan tanaman industri di Indonesia. Tercatat produksi kayu HTI dari provinsi tersebut pada tahun 2019 dan 2020 juga berkontribusi sebesar 85 persen dan 89 persen pada produksi kayu nasional yang berasal dari hutan tanaman. Dari 144 perizinan berusaha (PBPH) HTI, hanya 51 perusahaan yang berhasil dikumpulkan hasil penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari dalam SVLK. Sayangnya, temuan-temuan di lapangan yang dilakukan oleh pemantau independen masih banyak menunjukkan adanya indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan HTI di setiap aspek penilaiannya baik aspek prasyarat, aspek produksi, aspek ekologi dan juga aspek sosial.

2022, JPIK
The Monitor Desember 2022 | 29

Sengketa tata batas, eksploitasi lahan gambut, kebakaran lahan, konflik masyarakat adat, overlapping konsesi, hingga pencemaran lingkungan melengkapi isu negatif pengelolaan HTI Indonesia dan SVLK masih gagap menyelesaikan persoalaan yang terjadi. Bagaimana tidak, SVLK masih mempertahankan penilaian yang berbasis pada ketersediaan dokumen sebagai bahan penilaian, sehingga tidak mampu menggambarkan kondisi faktual di lapangan. Selain masih membutuhkan penguatan kriteria indikator dalam bobot penilaian.

Hasil studi dinamika dan penguatan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK di enam provinsi juga menekankan pentingya kolaborasi para pihak khususnya pemerintah daerah dan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang memiliki tanggung jawab normatif bimbingan, pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan kegiatan kehutanan sesuai dengan PP No 23/2021. Namun demikian, hingga hari ini belum peran para pemangku kepentingan tersebut masih belum berjalan secara optimal. Terdapat beberapa kendala dan tantangan dalam pengurusan hutan dan implementasi SVLK yang memberikan gambaran realitas pelaksanaannya di masingmasing wilayah (Purba, 2022), antara lain:

1. Kapasitas dan pemahaman terhadap SVLK

Masih terdapat kesenjangan pemahaman terhadap dinamika perubahan kebijakan SVLK di tingkat tapak, selain itu juga keterbatasan kapasitas SDM untuk mengawal implementasinya.

2. Kelembagaan

Minimnya keterlibatan pemerintah daerah (Dishut/DLH, dan KPH) dalam monitoring kinerja PHL dan VLK bagi pemehang perizinan berusaha, ditengah minimnya personel, anggaran dan koordinasi dengan pemerintah pusat. Selain itu, belum terbangunnya mekanisme penanganan yang bersumber dari pelaporan masyarakat atau pemantau independen.

3. Kebijakan

Terbatasnya petunjuk teknis yang mendukung proses pelaksanaan SVLK.

4. Akses dan Sistem informasi

Minimnya informasi perencanaan pemegang perizinan berusaha yang dimiliki pemerintah daerah (khususnya KPH) yang membantu dalam pelaksanaan pengawasan. Selain itu juga belum tersedia sistem informasi untuk mengontrol pemanfataan dan peredaran hasil hutan kayu (khususnya industry kecil, dan hutan hak).

The Monitor Desember 2022 | 30

Sehingga, diperlukan penyusunan Kerangka Acuan Kerja yang terukur meliputi kebijakan (regulasi), kelembagaan, teknologi informasi dan sumber daya manusia, serta ditunjang sinergi dengan pemantau independen untuk membantu pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK agar dapat berjalan secara optimal.

SVLK juga menghadapi tuntutan responsivitas terhadap persoalan masyarakat adat. Berangkat perjuangan masyarakat adat dalam dalam memperoleh pengakuan hutan adat di Papua Kongres ke VI Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jayapura mencetak sejarah yaitu diserahkannya 7 (tujuh) Surat Keputusan Penetapan Status Hutan Adat dari Kementerian Li k Hid d K h l

Sementara, hutan adat memiliki zona-zona pemanfaatan lestari berdasarkan kultur yang melekat di dalamnya. Absennya pengakuan terhadap pemanfaatan kayu secara komersial oleh masyrakat adat justru memperbesar potensi terjadinya pencucian dan penyelundupan kayu hasil hutan adat

Pada akhirnya mendatangkan kerugian negara, dan jauh dari upaya penguatan tata kelola serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam rangka memperkuat tata kelola dan pemanfaatan hasil hutan secara legal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat adat Papua, JPIK bersama Auriga telah melaksanakan rangkaian kegiatan bersama multipihak, dalam hal ini pemerintah, akademisi, asosiasi, lembaga sertifikasi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil. Rangkaian tersebut mencakup diskusi publik, serial FGD terbatas sebanyak 6 kali, FGD lanjutan, dan hasil beberapa FGD tersebut telah ditindaklanjuti melalui penyusunan Policy Brief yang juga telah didiseminasikan melalui seminar nasional. Sinkronisasi kebijakan dan tawaran SVLK adat menjadi landasan di masa mendatang untuk mengembalikan model pengelolaan hasil hutan dan sumberdaya alam yang mandiri dan berdaulat oleh masyarakat adat umumnya dan di Papua khususnya (Yuwono & Cahyono, 2022).

The Monitor Desember 2022 | 31
Harimau di Barumun Nagary Wildlife Sanctuary Rimba Hutan Nimas

Satu catatan kecil di sektor hilir tahun 2022, JPIK melakukan penelusuran terhadap adanya dugaan pasokan bahan baku hasil illegal logging yang berasal dari hutan lindung, pada industri primer dan lanjutan yang ada Kalimantan Tengah. Hasil verifikasi di lapangan menujukkan kegiatan illegal logging memang marak terjadi di hutan lindung sekitar kota Palangkaraya, dan Kabupaten Pulang Pisau. Mirisnya kayu dalam list appendix II CITES, yaitu Kayu Ramin tak luput dari sasaran pembalakan liar. Kayu-kayu tersebut diangkut menggunakan perahu motor melalui Sungai Kahayan dan didistribusikan ke sawmill-sawmill yang diduga tak jelas izinnya di daerah Bukit Pinang dan Pahandut Seberang Kota Palangkaraya. Kayu-kayu tersebut kemudian diolah dan dikirim menuju industri lanjutan ber-SLK untuk diolah kembali produk jadi. Tak tanggung-tangung, produk jadi tersebut lolos ekspor ke mancanegara. Unsur pemalsuan dokumen nota angkut dan ekspor melengkapi kelemahan validatif SVLK untuk mendeteksi aktivitas pencucian kayu, ditambah lambannya upaya penegakan hukum yang sarat alasan klasik tentang personel dan anggaran. Tentu saja, tanpa mengecilkan torehan Gakkum KLHK atas sitaan 57 kontainer kayu olahan Merbau Papua pada 15 Desember 2022 lalu[11].

Desakan Uni-Eropa terhadap komoditaskomoditas bebas deforestasi dan degradasi melalui EU-Deforestation Regulation (EUDR),

diharapkan dapat menjadi pendorong baru bagi perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia dan SVLK khususnya, terlepas masih adanya beberapa catatan kritis[12] di dalamnya. Aturan yang baru disahkan pada 6 Desember 2022 lalu ini akan mewajibkan perusahaan (operator dan pedagang) yang menempatkan komoditasnya di EU untuk mengumpulkan informasi tentang rantai pasokan mereka sebagai informasi yang digunakan untuk melakukan pemantauan dan pengawasan lalu lintas perdagangan EU, melakukan penilaian risiko, dan menerapkan tindakan mitigasi risiko jika diperlukan.

Namun demikian, komisi EU juga telah berjanji menganggarkan 1 milliar euro untuk mendukung dan membantu para negara mitranya dalam penerapan aturan baru ini melalui penguatan tata kelola hutan, pengembangan undang-undang, dan peningkatan kapasitas dalam bentuk kemitraan kehutanan (forest partnerships) yang sesuai dengan kondisi negara mitranya[13]. Indonesia sebagai satu-satunya negara pemegang FLEGT License dengan SVLK-nya mungkin tidak terlalu banyak mengalami penyesuaian akibat aturan baru EUDR. Hanya saja diperlukan, komunikasi bilateral dan multilateral dengan EU untuk membangun roadmap bersama dalam memperkuat reformasi tata kelola yang sudah dicapai.

[11] https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5181/klhk-amankan-57-kontainer-kayu-merbau-ilegal-asal-papua-di-pelabuhantanjung-perak diakses 29 Desember 2022 [12] Lihat joint statement pada tautan berikut: https://drive.google.com/file/d/1qs95d7jqfA8Tr59L6t_Ot73ELepPO-eM/view? usp=sharing [13] https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/qanda_21_5919 diakses 31 desember 2022
The Monitor Desember 2022 | 32

RINGKASAN PERISTIWA 2022

Persiapan Legalitas JPIK

Februari- sekarang

JPIK sedang dalam tahap perubahan menjadi lembaga berbadan hukum Hal ini berdasarkan tindak lanjut dari agenda Pertemuan Nasional (Pernas) JPIK 2022

Kongres AMAN (KMAN) VI

24 - 30 Oktober

perhelatan lima tahunan sekali dan menjadi area dalam pengambilan keputusan strategis tertinggi, di mana masyarakat adat merumuskan sikap, mengkonsolidasikan gerakan, melakukan dialog secara konstruktif, dan menetapkan mekanisme organisasi

20 November COP 27 Mesir

diadakan di Mesir Sharm el-Sheikh Pembahasan terfokus pada tiga masalah, yaitu penghimpunan dana adaptasi krisis iklim, pembentukan penghimpunan dana kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim (loss and damage), dan memberhentikan seluruh penggunaan energi fosil pada 2030

6 Desember Pengesahan EUDDR

UU yang dibuat Uni Eropa dalam upaya untuk memastikan serangkaian barang utama yang ditempatkan di pasar (Uni Eropa) tidak akan lagi berkontribusi pada deforestasi dan degradasi hutan di Uni Eropa serta di tempat lain di dunia

Finalisasi Standar Pedoman SVLK

26 Desember

Pembahasan mengenai standar pedoman SVLK terbaru sudah dimulai sejak 2021 hingga terakhir sudah memasuki tahap finalisasi pada Desember 2022. Dokumen masih dalam tahap persiapan sebelum nantinya disosialisasikan

The Monitor Desember 2022 | 33

Agenda Kegiatan JPIK 2022

Proses Legalitas JPIK (Februari 2022 - Sekarang)

Melakukan follow up hasil Pernas JPIK ke XI untuk menentukan badan hukum yang paling tepat bagi JPIK baik dalam bentuk Perkumpulan maupun Yayasan dengan memperhatikan aspek keanggotaan.

Mempersiapkan struktur dan alat kelengkapan organisasi sebagaimana peraturan yang berlaku di Indonesia.

Agenda Pertemuan Nasional (Pernas) Ke XI JPIK tahun menghasilkan kepada Tim Harmonisasi Legalitas JPIK. Adapun tugas dari tim Harmonisasi Legalitas JPIK sebagai berikut : 1. 2 3.

Mempresentasikan perkembangan hasil diskusi kepada seluruh elemen JPIK

Tim Harmonisasi Legalitas JPIK sejak dibentuk hingga saat ini telah merumuskan beberapa hal terkait dengan kewenangannya diantaranya : 1. 2. 3

Atas berbagai pertimbangan dari aspek kemaslahatan dan memperhatian keanggotaan maka bentuk badan hukum yang dirasa tepat bagi JPIK adalah PERKUMPULAN Berkaitan dengan struktur dan alat kelengkapan organiasi Tim juga telah merumuskan draf Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) JPIK Untuk mendapatkan masukan atas draf Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) JPIK telah disampaikan kepada Focal Point/perwakilan anggota melalui email pada bulan Desember 2022

Proses legalitas JPIK ini sudah dimulai sejak Februari 2022 hingga sekarang, dan saat ini tengah menunggu hasil input ADRT dari para anggota. Direncanakan proses ini akan masuk tahap finalisasi dan pengesahan pada Pernas ke XII di Bulan Januari 2023.

The Monitor Desember 2022 | 34

Implementasi SVLK dan NDPE di Enam Provinsi (Juni 2021 - Juli 2022)

Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) berkolaborasi dengan Forest Watch Indonesia (FWI) menyelenggarakan beberapa kegiatan dalam rangka mendukung dan memperkuat implementasi SVLK di enam provinsi yaitu: Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh, dan Kalimantan Barat. Bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain:

Penyusunan modul pemantauan yang disesuaikan dengan Peraturan Menteri LHK No. 8/2021

FGD membangun sinergi antara Pemantau Independen dan Pemerintah Daerah Kajian dinamika dan penguatan peran Pemda dalam penyelenggaraan SVLK Pelatihan pemantauan dan SVLK Pemantauan implementasi SVLK pada PBPHHutan Tanaman Industri (HTI) Penyusunan hasil kegiatan berupa : Policy Brief, Factsheet, Laporan Pemantauan, Siniar (Podcast), Film dokumenter dan Animasi Promosi SVLK Siaran pers bersama untuk mendiseminasikan hasil laporan kegiatan

JPIK berkolaborasi dengan Auriga telah melaksanakan rangkaian kegiatan multipihak yaitu dengan pemerintah, akademisi, asosiasi, lembaga sertifikasi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil dalam rangka memperkuat tata kelola dan pemanfaatan hasil hutan secara legal dalam mewujudkan kesejahteraan Masyarakat Adat Papua. Rangkaian tersebut mencakup:

Diskusi publik, Serial FGD terbatas sebanyak 6 kali dan FGD lanjutan Hasil beberapa FGD tersebut telah ditindaklanjuti melalui penyusunan Policy Brief Seminar nasional, untuk mendiseminasikan Policy Brief dengan tujuan memberikan tawaran gagasan bagi para pengambil kebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial-ekologis bagi masyarakat hukum adat (MHA) dan masyarakat di Tanah Papua.

1 2. 3. 4 5. 6. 7
1 2. 3 4.
The Monitor Desember 2022 | 35
JPIK dan Auriga Nusantara (Agustus 2022 - November 2022)

Pemantauan Illegal Logging Ramin di Kalimantan Tengah

(Oktober - November 2022)

Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan hutan rawa gambut terluas yang juga menjadi habitat alami bagi Kayu Ramin (appendix II CITES). Hasil pemantauan JPIK bersama Kaharingan Institute pada periode bulan Oktober s/d November tahun 2022 menemukan aktivitas penebangan liar masif terjadi bahkan di Kawasan hutan lindung yang ada di Kalimantan Tengah. Hal tersebut tentu saja meningkatkan resiko keterancaman terhadap populasi kayu ramin yang sebarannya semakin terbatas. Rangkaian kegiatan pemantauan yang dilakukan antara lain:

FGD dengan BRIN untuk mendapatkan input dan wawasan terkait kebijakan CITES di Indonesia, dan Manajemen Kayu Ramin di Indonesia FGD dengan BKSA Kalimantan Tengah, untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi populasi dan sebaran Kayu Ramin. Pemantauan Kayu Ramin di Hutan Lindung Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pengujian sampel temuan Kayu Ramin pada Pustarhut Penyusunan Laporan Hasil pemantauan dan Laporan tidak lanjut pemantauan ke penegak hukum yaitu Bareskrim Polri.

Pelatihan Platform GFW dan Metode Pantau Jejak (19 - 21 Desember 2022)

JPIK bersama WRI Indonesia melakukan kegiatan pelatihan Global Forest Watch dan pantau jejak (Forest Watcher) pada 19 - 21 Desember 2022 di Kota Padang Sumatera Barat. Kegiatan pelatihan dihadiri oleh peserta dari masyarakat sipil dan anggota JPIK yang ada di Sumatera Barat, dan Jambi. Pelatihan berlangsung selama 3 hari dengan agenda kegiatan sebagai berikut: 1.

Hari pertama berisi materi perkenalan aplikasi Global Forest Watch dan Forest Watcher Hari kedua digunakan untuk percobaan simulasi cara pengolahan data Global Forest Watch dan Forest Watcher menggunakan ArcMap dan QGIS. Hari ketiga, para peserta melakukan kegiatan verifikasi lapangan berdasarkan hasil simulasi yang didapat di hari sebelumnya

1 2. 3. 4. 5.
The Monitor Desember 2022 | 36
2 3.

Daftar Pustaka

Cahyono, Daulat Masyarakat Adat, Opini Tempo, 17 agustus 2022 Dapat dilihat di: https://koran tempo co/read/opini/475808/kedaulatanmasyarakat-adat-atas-tanah-air-dan-ruang-hidupnya-dihutan-adat.

Cahyono, dkk (2020) Ringkasan Eksekutif, Ekspansi Perkebunan Sawit, Korupsi Struktural dan Penghancuran Ruang Hidup di Tanah Papua, Greenpeace Indonesia: Jakarta Dapat diuduh di: https://www greenpeace org/indonesia/siaranpers/5510/ringkasan-eksekutif-ekspansi-perkebunansawit-korupsi-struktural-dan-penghancuran-ruang-hidupdi-tanah-papua/

Cahyono, dkk, Konflik Agraria Masyarakat Adat di Dalam Kawasan Hutan Laporan Inkuiri Nasional KOMNAS HAM, Buku 3. Dapat diunduh di: https://dev.sajogyoinstitute org/publikasi/buku/buku-3-konflik-agrariamasyarakat-hukum-adat-di-kawasan-hutan/

Cahyono, Eko, (2016) Konflik Agraria dan Hak Masyarakat Hukum Adat di dalam Kawasan Hutan, (Sajogyo Institute, Bogor) dapat diunduh di: https://sajogyo-institute org/wpcontent/uploads/2016/05/PP-01-PP-SAINS-2016 pdf

D.U. Iliyyan, R. Boer, R. Hidayati, Kerentanan Penghidupan Masyarakat Desa Tanah Merah dan Lobuk Kabupaten Sumenep terhadap Perubahan Iklim, (2022) http://repository ipb ac id/handle/123456789/111157 (accessed November 24, 2022).

H -M Füssel, R J Klein, Climate change vulnerability assessments: an evolution of conceptual thinking, Clim Change 75 (2006) 301–329

H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, M.M.B. Tignor, E.S. Poloczanska, K Mintenbeck, A Alegría, M Craig, S Langsdorf, S Löschke, V Möller, A Okem, B Rama, eds , Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change , 2022

Hall, Derek, Philip Hirsch, Philip dan Murray Li, Tania, (2011), Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, National University of Singapore

https://betahita id/news/detail/7937/peluangkesejahteraan-dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua html? v=1664429888

J Amuzu, A T Kabo-Bah, B P Jallow, S Yaffa, Households’ Livelihood Vulnerability to Climate Change and Climate Variability: A Case Study of the Coastal Zone, The Gambia, J Environ Earth Sci 8 (2018) 35–46

J Roy, A Prakash, S Some, C Singh, R Bezner Kerr, M A Caretta, C Conde, M R Ferre, C SchusterWallace, M C Tirado-von der Pahlen, E Totin, S Vij, E Baker, G Dean, E Hillenbrand, A Irvine, F Islam, K McGlade, H Nyantakyi-Frimpong, F Ravera, A Segnon, D Solomon, I Tandon, Synergies and tradeoffs between climate change adaptation options and gender equality: a review of the global literature, Humanit Soc Sci Commun 9 (2022) 1–13 https://doi org/10 1057/s41599-022-01266-6

Kartodihardjo (2016) Pidato Guru Besar Tetap Kebijakan Fakultas Kehutanan, IPB,dengan judul Diskursus dan kebijakan institusi Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan sosial Sumberdaya Alam di Indonesia, Auditorium Rektorat Gedung Andi Hakim Nasution Institut Pertanian Bogor, 13 Februari 2016

J Roy, A Prakash, S Some, C Singh, R Bezner Kerr, M A Caretta, C Conde, M R Ferre, C SchusterWallace, M C Tirado-von der Pahlen, E Totin, S Vij, E Baker, G Dean, E Hillenbrand, A Irvine, F Islam, K McGlade, H Nyantakyi-Frimpong, F Ravera, A Segnon, D Solomon, I Tandon, Synergies and tradeoffs between climate change adaptation options and gender equality: a review of the global literature, Humanit Soc Sci Commun 9 (2022) 1–13 https://doi.org/10.1057/s41599-022-01266-6.

Kartodihardjo (2016) Pidato Guru Besar Tetap Kebijakan Fakultas Kehutanan, IPB,dengan judul Diskursus dan kebijakan institusi Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan sosial Sumberdaya Alam di Indonesia, Auditorium Rektorat Gedung Andi Hakim Nasution Institut Pertanian Bogor, 13 Februari 2016.

The Monitor Desember 2022 | 37

Kartodihardjo, Hariadi, Ed (2013) Kembali ke Jalan Lurus : Kritik Ilmu dan Praktik Kehutanan Indonesia, Tanah Air Beta, Yogyakarta dan FORCI

Laporan Koalisi Anti-Mafia Hutan diterbitkan oleh Auriga Nusantara et al 2018 Pengaturan Setengah Hati: Sebuah Studi Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Oleh Masyarakat Adat di Tanah Papua Jakarta, Indonesia

M.B. Hahn, A.M. Riederer, S.O. Foster, The Livelihood Vulnerability Index: A pragmatic approach to assessing risks from climate variability and change A case study in Mozambique, Glob Environ Change 19 (2009) 74–88

Mufthi Fathul Bahrri, dkk, Bio Region Papua; Hutan dan Manusianya Hasil Study Baseline, Hutan dan Manusia di Bio Region Papua, (2020), Forest Watch dan Sajogyo Institute, Bogor Dapat diunduh di: https://fwi or id/wpcontent/uploads/2020/06/FWI-2019-Bioregion-PapuaHutan-dan-Manusianya pdf

Muntaza, (2014) MIFEE dan Perempuan Adat Suku Malind, (Sajogyo Institute, Bogor). Dapat diunduh di: https://sajogyo-institute.org/wpcontent/uploads/2016/05/Muntaza-2014 pdf

Peluso, Nancy, (2006), Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa/ [Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java (University of California Press, 1994)]/ Nancy Lee Peluso/ Landung Simatupang (trans )/ Noer Fauzi (ed )/ Konphalindo & INSISTPress

Purba, C. B. (2022). Dinamika penguatan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK Bogor: FWI-JPIK

Sajogyo Institute, Policy Paper (2020).Tiga Catatan Pentapan Hutan Adat: Kasepuhan Karang dan Tapang Sambas-Tapang Kemayu, Sajogyo Institute – KSIDIFAT

Vandergeest P (1996). Mapping nature: Territorialization of forest rights in Thailand Society & Natural Resources (9):159-175

Vandergeest P, Peluso NL (1995) Territorialization and state power in Thailand. Theory & Society. 24(3): 385426

Wicaksono, Rade Aryo (2022) Peluang Kesejahteraan dari SVLK Adat di Papua, dapat diunduh di: https://betahita id/news/detail/7937/peluangkesejahteraan-dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua html? v=1664429888

Y A Izrael, S Semenov, O Anisimov, Y A Anokhin, A Velichko, B Revich, I Shiklomanov, The fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate change: Working group II contribution, Russ. Meteorol Hydrol 32 (2007) 551–556

Yuwono, T , & Cahyono, E (2022) Menuju legalisasi kayu hutan adat di tana Papua Bogor: JPIK-Auriga Nusantara.

The Monitor Desember 2022 | 38
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Jl. Babakan Sari VI No.5, Bantarjati, Kec. Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, 16129 Tel : +62 251 8397371 Email : jpikmail@gmail.com JPIK secara rutin mempublikasikan newsletter setiap 3 bulan sekali, Newsletter ini sebagai salah satu wadah untuk berbagi informasi mengenai aktivitas JPIK dan mitra, serta pihak terkait lainnya tentang kondisi terkini pengelolaan hutan di Indonesia. JPIK mengajak anda berpartisipasi menjadi kontributor, anda bisa mengirimkan karya tulisan ke alamat dan kontak di bawah ini :

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.