Newsletter JPIK Edisi 17 “The Monitor”

Page 1

The Monitor, Januari 2022 | 02 ISSN 2685-5224

Jaringan Pemantau Independen Kehutanaan

The Monitor

Newsletter edisi ke-17, www.jpik.or.id

03

Rakyat Memantau SVLK

27

Ironi Lingkungan Hidup: Krisis Iklim Butuh Aksi Nyata, Bukan Retorika

30

Kepulauan Aru: Relasi Manusia dan Lingkungannya

Tak Layak Sertifikasi PHL Bagi TPL


ISSN 2685-5224 Pesan Peneliti JPIK, Asti Maulita Sudah dua tahun Pandemi Covid-19 mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan dari cara berinteraksi dengan sesama hingga cara bertahan hidup. Pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan pada kondisi ekonomi dan sosial di Indonesia, juga telah menegur kita tentang terjadinya kerusakan hubungan antara manusia dan alam. Pandemi menjadi suatu peringatan, jika kita tidak merawat hutan dan keanekaragaman hayati, berarti kita tidak merawat diri kita sendiri. Sebab ketika berbicara tentang alam, berarti kita berbicara tentang hutan, dan ketika kita berbicara tentang hutan kita juga berbicara tentang kehidupan manusia, makhluk hidup, dan ekologi yang ada. Dalam acara rutin yang dilaksanakan Forest Watch Indonesia, Indonesia Forest Expo 2021 mengupas isuisu hutan yang saat ini terus mengancam. Namun, kita masih memiliki kesempatan karena Indonesia Timur masih bisa diselamatkan. Masyarakat Indonesia Timur masih mengandalkan kehidupannya dengan mengelola sumberdaya alam secara langsung sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjaga alam. Relasi manusia dan alam tidak dapat terpisahkan, bercermin pada Kepulauan Aru yang masyarakatnya mengelola kekayaan alam untuk keberlangsungan hidup melalui pengetahuan lokal dan praktik tradisinya. Kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya juga hadir karena adanya Pandemi Covid-19, kesempatan untuk mengubah arah baru bagi kesehatan bumi melindungi dan merestorasi hutan ke dalam kebijakannya. Menghentikan dan mengembalikan deforestasi hutan merupakan bagian penting sebagai strategi untuk mengurangi kemungkinan pandemi masa depan, dan untuk merekonstruksi hubungan antara manusia dengan alam. Salah satu kebijakan maupun komitmen iklim yang dibuat dalam skala global untuk memerangi krisis iklim adalah Conference of the Parties (COP). Hingga tahun ini, memasuki konferensi ke-26 masih terdapat kegagalan (climate action failure). Pemerintah Indonesia juga belum memberikan solusi konkret atas permasalahan krisis iklim termasuk deforestasi dan polusi karbon. Padahal, aksi nyata dari pemerintah dibutuhkan demi menjamin keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia beserta keanakeragama hayatinya tanpa terkecuali . Pada Newsletter Edisi ke-17 kali ini selain menyoroti berkaitan pelaksanaan COP dan kisah-kisah masyarakat dari Indonesia timur dalam mempertahankan hutan juga mengangkat issue penting dari ulasan buku “Rakyat Memantau” yang menceritakan bagaimana masyarakat adat/lokal di lima provinsi di Indonesia melakukan pemantauan SVLK di lokasi masing-masing. Basis kepentingan dan pengetahuan dari masyarakat adat/lokal terhadap kelangsungan ruang hidupnya, sudah saatnya menjadi pijakan utama dalam pelaksanaan SVLK dan pemantauan. Newsletter pada edisi ini juga mengulas beberapa tema diantaranya ; bagaimana kolaborasi pemantauan dengan melibatkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Jambi, kesiapan implemnetasi industri kecil di Kabupaten Sukabumi dalam implementasi SVLK dan temuan pelanggaran di PT Toba Pulp Lestari (TPL) dalam pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Selamat membaca.

Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Jl. Babakan Sari VI No.5, Bantarjati, Kec. Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, 16129 Tel: +62 251 8397371 Email: jpikmail@gmail.com Jaringan Pemantau Independen Kehutanan @laporjpik @laporjpik

The Monitor adalah newsletter triwulanan yang diterbitkan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Newsletter ini sebagai salah satu wadah untuk berbagi informasi mengenai aktivitas JPIK dan mitra, serta pihak terkait lainnya tentang kondisi terkini pengelolaan hutan di Indonesia. JPIK mengajak anda berpartisipasi menjadi kontributor tulisan, dengan panjang tulisan 1.000-2.000 kata menggunakan Microsoft Word disertai foto pendukung.


The Monitor, Januari 2022 | 02

DAFTAR ISI

Editor: Tim Seknas JPIK

3

Rakyat Memantau SVLK

8

Kolaborasi Pemantauan Implementasi SVLK

11

Kesiapan IKM dan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi dalam Pelaksanaan SVLK

19

Tak Layak Sertifikasi PHL Bagi TPL

27

Ironi Lingkungan Hidup: Krisis Iklim Butuh Aksi Nyata, Bukan Retorika

30

Kepulauan Aru: Relasi Manusia dan Lingkungannya

33

Pagelaran Menarik Indonesia Forest Expo (FOREXPO) 2021, Forest Watch Indonesia (FWI) Kampanyekan Indonesia Timur


03 | The Monitor, Januari 2022

Rakyat Memantau SVLK Oleh Agus Budi Purwanto1

P

asca pemerintahan orde baru di Indonesia, slogan pelibatan hingga pengarusutamaan masyarakat adat/lokal dalam pengurusan sumber daya alam di Indonesia mengemuka hingga saat ini (Li 2000). Namun sayangnya, slogan itu masih berada di atas sistem kepentingan, pengetahuan, serta kebijakan yang tidak mengakar pada masyarakat adat/lokal. Dalam kebijakan pengaturan legalitas kayu, praktek pengarusutamaan peran masyarakat adat/lokal terutama dalam aspek pemantauan masih jauh dari angan karena terhalang syarat prosedural dan kapabilitas (Ichwan et al. 2021). Padahal, pengaturan legalitas kayu bukan hanya persoalan bagaimana sebuah unit usaha kayu dan

kehutanan mentaati peraturan yang berlaku, tetapi juga tentang bagaimana unit usaha tersebut memberi dampak banyak bidang pada masyarakat adat/ lokal tempatan. Cara produksi legalitas kayu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara produksi pengusahaan kayu dan kehutanan itu sendiri. Pertanyaannya, bagaimana menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat adat/lokal berperan dalam pemantauan legalitas kayu? Untuk menjawab pertanyaan itu, tulisan ini menguraikan hubungan antara deforestasi dan sertifikasi, SVLK dan pemantauan saat ini, serta gagasan pemantauan SVLK oleh masyarakat adat/lokal.

Deforestasi & Sertifikasi Selama 30 tahun terakhir, bumi kita kehilangan hutan seluas 178 juta hektar atau setara dengan luas daratan Indonesia (FAO & UNEP, 2020). Penyebabnya bermacam-macam. Pada tahun 1990-2000, penyebab deforestasi utamanya karena eksploitasi hutan besar-besaran dan secara serampangan, tanpa memperhatikan kemampuan regenerasi pohon dan hutan. Dalam skala global pada tahun 2000 hingga sekarang, 40% penyebab deforestasi adalah perkebunan dan pertanian skala besar. Penyebab yang lain yaitu pertanian subsisten, pertumbuhan penduduk, ekspansi perkotaan, infrastruktur dan pertambangan. Di Indonesia,

Salah satu penulis buku Rakyat Memantau: Dinamika pemantauan SVLK oleh masyarakat adat/lokal di Indonesia (2021). Sehari-hari aktif di ARuPA dan PPLH Mangkubumi. 1


The Monitor, Januari 2022 | 04 1980-an tersebut pula, terdapat momen-momen penting tentang cara baru mengatasi deforestasi, antara lain pemboikotan kayu dari hutan tropis hingga sertifikasi hutan.

selama 30 tahun terakhir, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 hingga 2000, yaitu sebesar 3,5 juta hektar per tahun. Kemudian pada periode 2002 hingga 2014, menurun hingga 600 ribu sampai 400 ribuan hektar. Akhirnya mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2020 sebesar 115 ribu hektar (SEIFO KLHK, 2020). Baik dalam skala global maupun nasional, puncak deforestasi hutan tropis terjadi pada tahun 1980-an ketika rezim pembangunanisme berlaku di negara-negara berkembang yang kebetulan memiliki hutan tropis. Sebagai ilustrasi, FAO memperkirakan, setiap tahun antara tahun 1981-90, dunia kehilangan hutan tropis 16,7 juta hektar (Varagis et al. 1993). Namun, pada periode tahun

Dalam sebuah artikel menarik tentang sertifikasi hutan, menurut Klooster (2005) terdapat empat fase perkembangan upaya mengatasi kerusakan hutan dengan sertifikasi: (1) boikot kayu yang berasal dari hutan tropis dan aksi langsung menargetkan pedagang kayu besar dan perusahaan penebangan; (2) organisasi lingkungan bergabung dengan pengusaha kayu dan lainnya untuk mengembangkan sertifikasi lingkungan sebagai alternatif boikot dan juga ekspresi ketidakpuasan atas pengaturan pemerintah nasional maupun internasional atas pengelolaan hutan; (3) koalisi organisasi non pemerintah (ornop), organisasi antar pemerintah, dan lembaga pemerintah secara agresif mempromosikan sertifikasi dengan menekan pedagang untuk meminta produk hutan bersertifikat dari pemasok mereka, dan dengan memberikan insentif kepada pengelola hutan untuk mensertifikasi hutan mereka; (4) yang sedang berlangsung, promotor sertifikasi mencoba untuk meningkatkan pengaruh sertifikasi lingkungan melalui program, agar lebih mudah diakses dan lebih bermanfaat bagi pengelola hutan. Dari semua tahapan tersebut, Klooster menyimpulkan bahwa sertifikasi dengan pendekatan non negara ini atau voluntary telah berjalan dan

terdokumentasikan dengan baik. Namun, alih-alih membuat kerusakan hutan menjadi menurun, keuntungan atas sertifikasi ini masih didominasi oleh perusahaan besar yang mengaplikasikannya, ketimbang para pengelola hutan skala kecil di belahan dunia selatan yang mencoba masuk dalam skema ini. Sertifikasi dengan biaya tidak sedikit, dan dengan imbal balik yang berkebalikan.2 Dari sertifikasi dengan pendekatan non negara dan voluntary, pendekatan baru coba diterapkan melalui legalitas kayu (dan verifikasinya) dengan pendekatan negara dan mandatory. Ada 2 sebab utama pergeseran dari skema sertifikasi kelestarian (voluntary) ke legalitas (mandatory): Pertama, perkembangan sertifikasi yang lambat sampai 2005, di mana hanya 10% hutan dunia yang tersertifikasi, diduga karena standar sertifikasi yang terlalu berat khususnya bagi negara berkembang. Oleh karena itu, dipikirkan penyelesaian atas permasalahan yang menjadi penyebab (bottleneck) yang salah satunya adalah permasalahan legalitas (Cashore and Stone 2012). Kedua, keinginan institusi negara untuk dapat mengambil kembali kuasa dalam sistem pranata dan tata kuasa dalam hutan dan perkayuan, karena dalam sertifikasi voluntary, kuasa berada ditangan pasar dan tidak pada negara (Giessen et al. 2016). Perbedaan jelas terlihat, dimana sertifikasi hutan merupakan skema pasar yang didorong oleh kesadaran lingkungan hidup dari ornop, ditekankan kepada pembeli dan penjual

Lihat (Klooster 2005, 415) Tahun 1983, seorang Profesor Ekonomi dari Clemson University Amerika bernama Bruce Yandle memperkenalkan konsep Bootleggers dan Baptists untuk menjelaskan bagaimana kepentingan golongan moralis dan pencinta lingkungan (Baptists) seolah diadopsi oleh pemerintah melalui regulasi, tapi pada dasarnya kepentingan golongan pebisnis (Bootleggers) yang menyesuaikan dan masuk tanpa terlihat dalam regulasi tersebut dan tetap mendapatkan keuntungan darinya. “...kaum Baptis, melumasi mesin politik dengan sebagian dari hasil yang mereka harapkan. Mereka hanya di dalamnya untuk uang”. Lihat (Smith and Yandle 2014) 2


05 | The Monitor, Januari 2022 kayu, dan diberlakukan untuk seluruh dunia dengan standar yang sama.3 Sederet standar dipampang yang berujung pada penyebutan bahwa hutan telah dikelola secara lestari dan kayu yang dihasilkan dari pengelolaan dan pengolahan secara lestari. Sedangkan pendekatan legalitas kayu, ingin mempersembahkan sebuah produk kayu yang legal yang berarti pemanenan, pengangkutan, dan pengolahannya tidak dilakukan dengan cara-cara ilegal. Pendekatan berbasis negara yang dimaksud adalah negara yang dituju maupun negara asal, sebagaimana kritik atas sertifikasi hutan lestari yang belum mampu menjawab persoalan korupsi dan pengakuan hak-hak masyarakat adat/ lokal atas sumber daya alam. Begitupun kritik atas sertifikasi ini pada negara yang dituju yaitu menguntungkan perusahaan besar-besar dalam kapasitasnya memenuhi pasar hijau (Setyowati and McDermott 2017). Maka muncul inisiatif dari negara yang dituju (konsumen) misalnya Amerika Serikat dengan Lacey Act 2008, Eropa dengan EU Timber Regulation 2013 (pertama kali tahun 2005), dan Jepang dengan Clean Wood Act 2016. Negara-negara asal atau produsen juga menyambutnya dengan menyusun standar dan kriteria tentang apa itu legal dan melakukan penyepakatan terhadap mekanisme tertentu di negara konsumen, termasuk Indonesia.

SVLK & Pemantauan Sejak tahun 2009, Indonesia telah satu dasawarsa lebih menyelenggarakan suatu kebijakan tentang legalitas kayu dalam pemungutan, peredaran, dan perdagangannya. Tujuan dari kebijakan ini ada tiga yaitu untuk mencapai pengelolaan hutan produksi secara lestari, penerapan tata kelola kehutanan yang baik, serta pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya. Kebijakan tersebut berwujud Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan istilah yang dikenal dengan akronim SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang secara mandatory atau wajib harus diikuti oleh pelaku usaha kayu dan kehutanan. SVLK sebagai sebuah inisiatif telah melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah, pengusaha kayu, LSM, lembaga yang berkompeten dalam penyusunan standar, akademisi, asosiasi bisnis, dan masyarakat, serta didukung oleh lembagalembaga donor dunia. Hingga pada tahun 2016, Indonesia berhasil menjadi negara pertama di dunia yang mendapatkan lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) melalui penandatanganan Voluntary Partnership Agreements (VPA) dengan Uni Eropa. Sementara itu, dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa tersebut, peraturan SVLK telah

mengalami tujuh kali perubahan oleh pemerintah.4 Perubahan terakhir yaitu terbitnya Permen LHK 8/2021 yang memuat 911 halaman dan mencakup banyak sekali urusan kehutanan termasuk SVLK. Dalam Permen tersebut, kepanjangan SVLK berubah dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. Dalam setiap peraturan tentang SVLK sejak 2009 hingga terakhir, Pemantau Independen dan kegiatan pemantauan selalu menjadi bagian tak terpisahkan. Permen LHK 8/2021 memuat 5 pasal tentang Pemantau Independen. Dalam pasal 244 ayat 2 disebutkan ‘Pemantauan dilakukan terhadap pelayanan publik di bidang SVLK sebagai bentuk menjaga akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas’. Jadi, selain proses yang multipihak, untuk menjaga akuntabilitas, kredibilitas dan integritas dari verifikasi legalitas ini maka diperlukan pemantauan, sejak dari tahap formalisasi, standarisasi, audit, dan labelisasi. Dalam empat tahap tersebut telah tercipta perpaduan unik antara otoritas negara dengan permintaan pasar. Masalahnya, hak-hak masyarakat adat/lokal dan tentang korupsi masih belum menjadi perhatian utama (Setyowati and McDermott 2017). Dengan demikian, seberapa jauh pelaksanaan SVLK ini juga bergantung pada seberapa jauh pemantauan dilakukan dan dapat memperbaiki SVLK itu sendiri.

3 Dua lembaga pembuat sertifikasi ini dapat disebut misalnya Forest Steward Council (FSC) dan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC). Di Indonesia juga muncul organisasi serupa yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) tahun 1990an. 4 Sejak diterbitkan tahun 2009, peraturan mengenai SVLK telah berubah sebanyak 7 kali. Berikut ini urutan perubahannya: Permenhut 38/2009; 68/2011; 45/2012; 42/2013; 43/2014; 95/ 2014; Permen LHK 30/2016; dan 21/2020. Pada tahun 2020, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang berprinsip melakukan penyederhanaan dan penggabungan peraturan. Dalam bidang kehutanan kemudian muncul peraturan turunan dari UU tersebut yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Atas dasar dua kebijakan tersebut, Menteri LHK menerbitkan Peraturan Menteri LHK 8/2021 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Di Hutan Lindung Dan Hutan Produksi. Permen LHK tersebut sangat tebal dengan 911 halaman, dan mencakup banyak urusan di dalamnya termasuk SVLK. Sehingga, rujukan kebijakan SVLK saat ini adalah Permen LHK 8/2021 tersebut.


The Monitor, Januari 2022 | 06

Buku “Rakyat Memantau” bisa didapatkan di link https://jpik.or.id/rakyat-memantau/

Pada satu webinar pertengahan tahun lalu, Menteri LHK mengatakan: “Pelajaran yang dapat diambil oleh negara-negara di dunia dari pengembangan SVLK adalah pentingnya komitmen jangka panjang para pihak dari lintas sektor terkait dalam mendukung SVLK”. Salah satu dari para pihak yang disinggung Menteri adalah “konsorsium pemantau independen” yang diharapkan melakukan pemantauan secara independen terhadap kebijakan dan pelaksanaan SVLK (TRIC 2020).

pelaporan pemantauan sehingga masyarakat luas bisa melaporkan; kepastian tindak lanjut dari pemerintah atau otoritas lain atas laporan pemantauan; jaminan keterbukaan informasi dari pemerintah dan otoritas lain; perbaikan interaksi antara pemantau dengan lembaga sertifikasi maupun unit management, dan pemerintah menyediakan dan atau memfasilitasi dana pemantauan dari berbagai sumber.

Tentang pemantauan hutan dan SVLK di Indonesia, kita dapat belajar dari hasil studi Zainuri Hasyim (2017). Pemantauan SVLK masih menyimpan empat persoalan yaitu inklusivitas aturan pemantauan SVLK dimana terdapat banyak persyaratan administatif; kurangnya transparansi data dan informasi dari pemerintah; interaktivitas antara pemantau dengan para pihak lain yang masih kurang; dan kontinuitas pendanaan bagi pemantau. Dari empat permasalahan tersebut, Hasyim memberikan saran rekomendasi yaitu penyederhanaan

Rakyat Memantau Dari permasalahan dan saran yang disampaikan oleh Hasyim (2017) tersebut, saya coba sandingkan dengan pernyataan Menteri LHK yang kami singgung tadi. Kami ingin menyoroti satu kata kunci saja dalam keberhasilan SVLK yang disampaikan Menteri LHK, yaitu ‘komitmen jangka panjang’ para pihak dalam mendukung SVLK. Menurut kami, komitmen apalagi komitmen jangka panjang, sangat berhubungan erat dengan kepentingan para pihak tersebut. Sehingga, basis kepentingan sebanding dengan komitmen.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Ian Scoones, seorang ahli pedesaan, “Politik kepentingan berperan sentral dalam membentuk kondisi-kondisi struktural yang menentukan hidup kita” (Scoones 2020, 173). Mari kita lihat secara permukaan, tentang politik kepentingan dalam berbagai aktor SVLK. Pemerintah sebagai regulator dan representasi negara mempunyai kepentingan untuk menyediakan pranata, organisasi, dan kebijakan agar tata kelola kehutanan menjadi lebih baik; lembaga sertifikasi mempunyai kepentingan untuk mendapatkan klien sertifikasi dari industri pengusahaan hutan atau kayu, industri pengolah kayu dan pengekspor dari indonesia; penjual dan pembeli kayu bersertifikat legal mempunyai kepentingan bisnis, dan para pencinta lingkungan hidup mempunyai kepentingan kelestarian alam. Pencinta lingkungan hidup lazimnya berada pada ornop yang melakukan Pemantauan Independen. Lalu pertanyaannya, apa kepentingan masyarakat adat/lokal sekitar konsesi hutan dan sekitar industri pengusahaan


07 | The Monitor, Januari 2022 hutan dan kayu atas pelaksanaan SVLK?. Jika menggunakan perspektif ruang penghidupan, hutan dan lingkungan adalah ruang hidup yang kompleks bagi masyarakat adat/lokal. Kompleks berarti ada relasi ekonomi, ekologi, dan kebudayaan antara masyarakat adat/lokal dengan hutan dan lingkungan. Atas beragam kepentingan para aktor tersebut, kami ingin katakan bahwa komitmen jangka panjang bukan soal ukuran seberapa besar komitmen dan seberapa panjang komitmen, tetapi seberapa kepentingan masing-masing tersebut dapat menyokong besaran dan durasi komitmen. Setelah basis materiil komitmen menjadi hal penting dalam pemantauan, unsur lain yang perlu menjadi perhatian kita adalah tentang pengetahuan mana yang digunakan untuk menjalankan SVLK sekaligus menjaga kredibilitas sistem ini dengan pemantauan? Pengetahuan siapa yang diputuskan untuk menjadi penting dan pengetahuan siapa yang dipinggirkan untuk menjadi tidak penting? Dalam cara memverifikasi legalitas kayu, melibatkan bagaimana mengukur, menghitung, menilai, memvalidasi, serta mengevaluasi sebuah realitas. Itu semua tertuang dalam peraturan pemerintah beserta panduanpanduan teknisnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Hasyim (2017) di atas, bahwa mekanisme pelaporan masih menjadi momok bagi para pemantau karena kapasitas pemantau dituntut sebagaimana standar tertentu yang telah diatur. Sehingga pengetahuan yang dipakai juga menentukan realitas semacam apa yang fit atau masuk akal dalam pengetahuan tersebut, yang pada ujungnya bermuara pada realitas menurut siapa yang penting

dan yang tidak penting. Jika kita kembali ke politik kepentingan yang telah kita diskusikan di awal, masyarakatlah yang memiliki kepentingan yang berkepanjangan terhadap keberlangsungan ruang hidup mereka termasuk hutan. Sangat besar kemungkinan, jika pengetahuan tentang hutan yang dimiliki masyarakat berbeda dengan pengetahuan yang ada pada sistem dan operasionalisasi SVLK. Sumber mata air dalam konsesi adalah milik konsesi secara legal, tetapi jika sumber air itu dihilangkan, itu adalah sebuah tindakan ilegal menurut pengetahuan masyarakat. Jika dalam kasat mata, masyarakat melihat adanya penebangan yang masyarakat rasakan tidak lestari, tetapi perusahaan menjalankannya sesuai dengan rencana kerja tahunan mereka, lalu bagaimana masyarakat bisa mengeluhkan itu, dengan mekanisme pemantauan dan pelaporan selama ini?. Mengembalikan Politik Melalui kesadaran-kesadaran tersebut, kami ingin mengajak semua pembaca untuk berdiskusi tentang hal ini. Untuk melihat kembali bagaimana pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat adat/lokal atas pelaksanaan SVLK dapat memberikan kontribusi atas berbagai kendala pemantauan selama ini. Berdasarkan pengalaman pemantauan SVLK oleh masyarakat adat/lokal di 5 provinsi di Indonesia yang dikoordinir oleh PPLH Mangkubumi dan JPIK, kita akan menyaksikan bagaimana basis kepentingan dan pengetahuan masyarakat termanifestasikan dalam pemantauan SVLK. Pemantauan tersebut berlangsung di Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Papua Barat, Jawa Timur, dan Semarang Jawa Tengah. Dari lima provinsi

tersebut, masyarakat adat/ lokal setempat memantau 32 perusahaan kayu, menghasilkan 34 laporan ke pihak yang berwenang yakni lembaga sertifikasi, Dirjen PHL dan Direktorat Gakkum KLHK, dan Dinas LH provinsi (Ichwan et al. 2021). Dari laporan-laporan yang disampaikan tersebut, hampir semua telah ditindaklanjuti baik dalam bentuk pencabutan sertifikat, peringatan, dan penegakan hukum. Dengan demikian, melihat persoalan kredibilitas SVLK melalui pemantauan independen, menurut saya harus menggunakan perspektif politik kepentingan dan pengetahuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam SVLK. Dan, dalam hal ini, kepentingan dan pengetahuan masyarakat adat/lokal hendaknya menjadi perhatian utama, untuk dapat menjawab apa yang diharapkan Menteri LHK di atas tadi yaitu perlunya komitmen jangka panjang dalam mendukung SVLK. Karena masyarakat adat/lokal adalah sebenar-benarnya pihak yang paling dekat baik fisik maupun non-fisik dengan industri maupun hutan.


The Monitor, Januari 2022 | 08

Kolaborasi Pemantauan Implementasi SVLK Oleh Firdan Sukma - Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI Warsi)

H

utan merupakan berkah alam. Hutan ini telah memberikan manfaat untuk negara. Termasuk di Provinsi Jambi. Pada dekade 70-90-an, Jambi merupakan salah satu daerah dengan produksi kayu terbesar di Indonesia, perusahaan Hak Pengusahaan Hutan diberi izin untuk menebang kayu alam. Ketika kayunya mulai tipis alih fungsi hutan dilakukan. Sebagian menjadi hutan tanaman industri, sebagian lain diturunkan statusnya dan dijadikan HGU perkebunan sawit, areal transmigrasi dan pertambangan. Tahun berganti, hutan alam nyaris hanya tinggal di hutan lindung dan konservasi. Namun aksi illegal logging masih terjadi. Kondisi ini menyebabkan Jambi semakin gundul. Analisis TIM GIS KKI Warsi 2020 tutupan hutan Jambi tinggal 882,272 ha atau 18% dari total hutan Jambi.

Menghentikan kegiatan ilegal dan menjamin peredaran kayu berjalan sesuai peraturan yang berlaku mutlak dilakukan. Melindungi hutan tersisa dan memberikan kepastian pemanfaatan kayu berlangsung tanpa pelanggaran, sekaligus menjawab keraguan penerimaan produk kayu Indonesia di pasar dunia. Indonesia sudah menerapkan regulasi legalitas kayu bagi pelaku usaha di sektor kehutanan dari hulu hingga hilir. Pada 2009 dirilis sistem untuk memastikan bahwa kayu yang beredar dari Indonesia berasal dari sumber yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Sistem ini awalnya bernama Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sekarang diubah nomenklaturnya dalam Permen LHK No. 8 Tahun 2021 menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). SVLK adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas baik itu HHBK atau HHK melalui sertifikasi penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari (S-PHL), sertifikasi legalitas (S-Legalitas) dan deklarasi hasil hutan secara mandiri. Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk hasil hutan yang di produksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber yang legal serta dapat diverifikasi, termasuk di dalamnya produk kayu.

Tugas Pemantauan Menilik hutan Jambi, di bagi ke dalam kawasan Konservasi 696.334 ha, Hutan Lindung (HL) 181.548 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 259.491 ha, Hutan Produksi tetap (HP) 968.590 ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) 11.423 ha. Dengan potensi kawasan hutan produksi sedemikian besar secara langsung menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu penopang industri kayu nasional baik untuk kebutuhan ekspor maupun dalam negeri. SVLK memiliki sistem yang cukup kompleks dan dinilai dapat menjadi ikhtiar untuk mencegah beredarnya kayu yang berasal dari aktivitas ilegal/illegal logging, apalagi jika poin pengawasan dijalankan oleh para pihak. Pihak yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pengawasan aktivitas yang terjadi di kawasan hutan diamanahkan kepada Balai Pengelola Hutan Produksi (BPHP) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Dinas Kehutanan Provinsi dengan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) yang berada di bawahnya. Merujuk ke Pasal 3 Permen LHK No. 12 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelola Hutan Produksi huruf (c) dan (d). BPHP bertugas untuk melakukan pemantauan dan evaluasi dibidang Usaha Hutan Produksi dan Industri Hasil Hutan. BPHP berkewajiban untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terkait dengan implementasi SVLK di lapangan. Dilakukan melalui aplikasi


09 | The Monitor, Januari 2022

SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) dan pengecekan langsung ke lapangan. Sedangkan KPH berwenang untuk melakukan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya. Mengacu pada Pasal 4 ayat (2) huruf (c) Permendagri No 61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah. Dalam pelaksanaan pemantauan ini, kolaborasi dan komunikasi KPH dan BPHP belum maksimal. Karena ada mekanisme dan jalur koordinasi yang berbeda. KPH berkoordinasi dengan dinas kehutanan provinsi, sedangkan BPHP berkoordinasi ke KLHK. Dengan perbedaan jalur komunikasi ini menyebabkan hubungan vertikal kedua instansi belum terbangun dengan baik dan berakibat pada akses dan komunikasi yang panjang untuk berkoordinasi. Misalnya sharing data perlu surat menyurat dan persetujuan yang cukup memakan waktu.

Selain pemerintah, SVLK membuka peluang masyarakat untuk turut serta dalam pemantauan SVLK, yaitu dengan menjadi Pemantau Independen (PI). Pemantau Independen merupakan pihak netral dan bebas dari konflik kepentingan dengan LPVI dan pemegang izin. PI bekerja dengan menjaga akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas dari SVLK itu sendiri. Jika koordinasi pemantauan antar instansi belum maksimal, maka PI juga punya tantangan tersendiri, utamanya keterbatasan sumber daya. Baik dalam hal anggaran dan kesadaran untuk terlibat dalam pemantauan belum tumbuh secara masif dimasyarakat. Dengan kondisi-kondisi ini perlu memaksimalkan peran dari masing-masing instansi sehingga dapat memonitor setiap aktivitas yang terjadi di kawasan hutan. Usaha Diseminasi Dari data KKI Warsi, untuk industri yang menerapkan SVLK dari total 127 izin usaha perkayuan, hanya 28 izin dengan status penerbitan SVLK

selebihnya terdapat 47 izin industri tidak aktif, 11 industri dalam proses sertifikasi, 19 industri dicabut sertifikatnya, 1 industri dibekukan, 2 Industri ditolak, dan 19 industri tidak berSVLK. Sehingga implementasi SVLK pada sektor industri di Provinsi Jambi hanya mencapai 40%. Malangnya, mayoritas industri yang mengalami pencabutan, pembekuan, penolakan, hingga tidak memiliki SVLK adalah industri skala kecil dan menengah. Tidak diterapkannya SVLK karena informasi cara memperoleh sertifikat yang belum memadai, tidak melakukan penilikan berikutnya, dan akses biaya untuk memperoleh sertifikat yang dinilai tidak sedikit. Hal ini memperlihatkan industri kayu skala kecil dan menengah ini membutuhkan pendampingan dan dukungan biaya agar dapat menerapkan SVLK. Kondisi ini mendesak untuk ditangani guna menghindari masuknya bahan baku yang tidak jelas asal usulnya ke dalam rantai suplai SVLK. KKI Warsi bersama Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan didukung oleh FAO-FLEGT Programme melakukan


The Monitor, Januari 2022 | 10 diseminasi dan pemantauan pelaksanaan SVLK di Provinsi Jambi. Kegiatan ini dilakukan untuk mendorong pelaku usaha agar dapat menerapkan SVLK secara utuh. Pemantauan dilakukan oleh 9 Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) yang berada di Provinsi Jambi, yaitu KPHP Muaro Jambi, KPHP Tebo Barat, KPHP Tebo Timur, KPHP Tanjung Jabung Timur, KPHP Tanjung Jabung Barat, KPHP Sarolangun Hilir, KPHP Bungo, KPHP Batanghari, dan KPHP Merangin yang dilakukan selama 6 bulan pada Oktober 2020 hingga Maret 2021 di areal kerjanya masing - masing. Selama 6 bulan melakukan kegiatan sebanyak 85 unit manajemen telah dilakukan pemantauan dan diseminasi. Dari 85-unit manajemen tersebut, didapatkan 22-unit manajemen yang sudah mengimplementasikan SVLK. Sedangkan yang lainnya berada di status pencabutan hingga belum mengetahui tentang SVLK. Sehingga, pada unit manajemen yang telah memiliki SVLK dilakukan post-audit usaha terkait pelanggaran serta kekurangan selama implementasi SVLK dan yang belum memiliki dilakukan diseminasi dan sosialisasi. Di beberapa lokasi ditemukan ketidaktaatan pelaku usaha terkait standar-standar yang telah ditetapkan SVLK. Selain itu keluhan juga diberikan oleh beberapa unit manajemen terkait implementasi SVLK, misalnya mengenai nilai tambah dari kayu legal yang masih sama dibanding kayu yang tidak memiliki sertifikat SVLK. Kemudian terkait dengan kemampuan masyarakat yang memiliki industri <2000 m3 pertahun untuk mengurus sertifikat legalitas kayu. Hal ini terjadi pada 6 gudang kayu di wilayah KPHP Tanjung Jabung Barat. Temuan lapangan ini menandakan bahwa informasi mengenai SVLK

belum tersampaikan dengan baik hingga tingkat tapak. Padahal, SVLK memandatkan seluruh perdagangan kayu yang beredar harus legal dan mampu diverifikasi. Permasalahannya, KPHP ataupun Dinas Kehutanan tidak memiliki kewenangan dalam menindak setiap pelanggaran yang terjadi di lapangan. Sehingga pemantauan yang dilakukan hanya sebatas diseminasi serta edukasi kepada setiap unit manajemen yang didatangi. Selain itu, KPHP yang memiliki sumberdaya yang terbatas juga kesulitan untuk melakukan pengaduan kepada lembaga sertifikasi yang memberikan sertifikat kepada unit manajemen yang telah memiliki SVLK. Misalnya untuk KPHP Batanghari hanya memiliki 2 orang penyuluh kehutanan sehingga untuk melakukan pemantauan serta membuat laporan pengaduan terhadap unit manajemen yang tidak mengimplementasikan SVLK-nya secara baik tidak dapat dilakukan. Database Pemantauan Setelah melakukan pemantauan, untuk memaksimalkan penyebarluasan data, KKI Warsi bersama Dinas Kehutanan Provinsi Jambi juga melakukan pengembangan website. Website ini memuat informasi mengenai kondisi hutan yang ada di Provinsi Jambi. Website tersebut dapat diakses melalui www. kehutanan.jambiprov.go.id. Awalnya, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi telah memiliki website tersendiri, namun masih terkendala terkait dengan pengelolaannya. Hal ini dapat terlihat dari minimnya publikasi serta informasi yang tersedia di website tersebut. Maka dari itu, diperlukan pembaruan serta menu baru agar pemanfaatan website dapat dimaksimalkan

oleh semua stakeholder. Salah satu menu yang ditambahkan adalah basis data mengenai data post audit. Data post audit merupakan data dari hasil pemantauan terhadap industri kayu yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan bersama KPH yang berada di Provinsi Jambi. Hal ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada semua pihak terkait dengan keadaan penatausahaan kayu serta kepatuhan dari setiap industri untuk menjalankan kewajibannya untuk mengimplementasikan SVLK yang menjadi aturan baku terkait dengan tata Kelola hutan. Data post audit yang ada di dalam website Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dapat menjadi salah satu solusi terhadap sulitnya data yang bisa diakses oleh Pemantau Independen, yang sering terkendala dalam mengakses data dan informasi terkait unit manajemen. Padahal Pemantau Independen merupakan salah satu pilar penting dalam kebijakan implementasi SVLK, yaitu memastikan pelaku usaha kehutanan mematuhi aturan yang berlaku. Data post audit memiliki informasi berupa nama perusahaan, masa berlaku sertifikat SVLK, jenis sertifikat, lembaga sertifikasi, nomor sertifikat SVLK hingga hasil temuan dari pemantauan yang dilakukan. Data-data tersebut dapat menjadi rujukan untuk pemantau independen dalam melakukan pemantauan lebih lanjut ke lokasi industri yang data awalnya didapatkan melalui website tersebut.


11 | The Monitor, Januari 2022 Meningkatkan Pemantauan dan Implementasi SVLK

Kesiapan IKM dan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi dalam Pelaksanaan SVLK

SVLK memang hadir sebagai salah satu cara untuk memerangi illegal logging dan mempromosikan kayu legal yang Oleh Absolute Indonesia dikelola dari kawasan hutan yang lestari. Namun, jika regulasi SVLK Assessment ini dilakukan sebelum terbitnya perubahan terbaru tentang ini tidak terimplementasi dengan SVLK yang diatur dalam P.08/2021 baik, upaya yang dilakukan tidak akan mencapai tujuan utamanya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendalami pembelajaran implementasi SVLK yang berada di Provinsi Jambi. Pemerintah pusat sebaiknya menugaskan pemerintah daerah dalam fasilitasi percepatan SVLK sebagai agenda prioritas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan target kepada pemerintah daerah untuk melakukan pendampingan agar mempercepat implementasi SVLK di daerahnya masingmasing, terutama daerah yang memiliki potensi penghasil kayu. Selain itu, peningkatan pengawasan/evaluasi dan penegakan aturan/hukum serta pemberian sanksi yang tegas bagi unit manajemen harus dilakukan bagi yang terbukti melanggar aturan. Hal ini penting mengingat terdapat asumsi-asumsi dan prasangka yang berkembang di tingkat unit manajemen bahwa pemilik izin yang tidak ber-SVLK bisa beroperasi/menjalankan usahanya, sehingga pemilik izin yang telah ber-SVLK merasa tidak mendapatkan insentif dari kepatuhannya, bahkan merasa sia-sia dalam mengikuti/ menjalankan aturan SVLK. (Wahyu Priyanto).

S

istem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara ‘multipihak’ sebagai salah satu upaya untuk mengatasi pembalakan liar dan mempromosikan kayu legal di Indonesia. Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumbersumber yang legal dan dapat diverifikasi. SVLK diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 21 Tahun 2020 dan aturan turunannya, yang dalam pelaksanaanya terdapat 2 (dua) konsep atau cara untuk

memastikan pemenuhan terhadap standar kelestarian dan/atau legalitas kayu, yaitu (1) memastikan pemenuhan standar dengan skema sertifikasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen (Lembaga Sertifikasi/ LS) untuk mendapatkan Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan/atau Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK); dan (2) pemastian pemenuhan standar dengan skema Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Skema ini mengacu kepada standar internasional yang diadopsi sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu SNI/IEC 17050:2010 tentang penilaian kesesuaian - DKP5.


The Monitor, Januari 2022 | 12 DKP bertujuan untuk memberikan jaminan kesesuaian obyek yang diidentifikasi terhadap persyaratan tertentu yang dirujuk, dan untuk memperjelas siapa yang bertanggung jawab atas kesesuaiannya. DKP dapat diberlakukan bagi kayu dan produk kayu yang berasal dari hutan rakyat6 kecuali jenis kayu alam, serta peredaran lanjutan atas kayu tanaman yang berasal dari Perhutani yang telah memiliki S-LK. Hal ini mempertimbangkan peredaran kayu dan produk kayu yang bersifat ‘low risk’ atau berisiko rendah, yang dapat diimplementasikan oleh pemilik Hutan Rakyat, Tempat Penampungan Terdaftar (TPT), industri rumah tangga, serta Industri Kecil dan Menengah (IKM) atau industri yang sepenuhnya memproduksi atau menggunakan bahan baku yang dikategorikan risiko rendah. Berdasarkan pertimbangan pengelolaan dan administrasi kayu yang harus semakin dipermudah, tetapi jaminan legalitas kayu harus tetap dijalankan, penerapan DKP diharapkan bisa menjadi solusi dan insentif berupa kemudahan jaminan legalitas bagi kayu-kayu yang berasal dari Hutan Rakyat, baik kayu bulat maupun yang telah diolah oleh industri dengan tanpa adanya kegiatan sertifikasi yang membutuhkan biaya. Namun dalam pelaksanaannya, belum ada sosialisasi yang menyeluruh tentang tata cara pelaksanaanya dan pengawasan terhadap penerbitan dan penggunaan DKP masih sangat minim, serta belum adanya informasi yang memadai terkait hasil inspeksi acak dan

inspeksi khusus pengawasan DKP yang seharusnya dilakukan pemerintah7. Ironis, karena hingga saat ini implementasi DKP telah berjalan lebih dari 6 tahun, sejak ditetapkan pertama kali melalui Peraturan Menteri Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ KLHK) Nomor 43 Tahun 2014. Produksi Kayu dan Kinerja Industri Pengolahan Kayu di Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat memiliki kawasan hutan dengan fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang proporsinya mencapai 22,10% dari luas Jawa Barat. Dari total luasan tersebut, luas Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas mencapai 380.753,53 hektar. Provinsi Jawa Barat juga memiliki hutan yang dikelola oleh masyarakat dalam bentuk Hutan Rakyat, yang luasannya mencapai 702.695,46 hektar (Satistik Kehutanan Jawa Barat, 2019).

CDK I CDK II CDK III CDK IV CDK V CDK VI CDK VII CDK VIII CDK IX

Hingga tahun 2020, jumlah produksi kayu bulat yang berasal dari hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, melalui Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang berada di wilayah Jawa Barat mencapai 2.421.288 m³ (BPS Jabar 2020) dan jumlah produksi kayu hutan rakyat sebesar 1.189.501 m³. Kabupaten dan Kota Sukabumi merupakan pemasok kayu terbesar yang berasal dari hutan rakyat diantara 27 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 416.138,92 m³. Jumlah produksi yang cukup signifikan dalam menyumbang pasokan kebutuhan bahan baku untuk keberlangsungan industri pengolahan kayu, terutama industri penggergajian kayu skala kecil dan menengah (IKM) di Jawa Barat.

: Kab. dan Kota Bogor, Kota Depok dan Kab. Bekasi : Kab. Karawang, Purwakarta dan Subang : Kab. dan Kota Sukabumi : Kab. Bandung Barat, Cianjur dan Kota Cimahi : Kab. Garut, Bandung dan Kota Bandung : Kab. dan Kota Tasikmalaya : Kab. Ciamis, Pangandaran dan Kota Banjar : Kab. dan Kota Cirebon, Kab Kuningan dan Majalengka : Kab. Sumedang dan Indramayu

Produksi Kayu Rakyat di Provinsi Jawa Barat Tahun 2020. Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dan CDK8 III, (2020) dan Analisis Absolute Indonesia (2021)

SVLK: Proses Menuju Tata Kelola Bertanggung Gugat, JPIK 2018 Istilah hutan rakyat yang digunakan dalam dokumen ini adalah hutan yang dikelola oleh rakyat, yaitu lahan milik dan/atau lahan yang dapat diakses oleh rakyat dan dijamin legalitasnya (di luar kawasan hutan) 7 Kertas Posisi Pemantau Independen: 2 Tahun Pelaksanaan Lisensi FLEGT, Kredibilitas dan Akuntabilitas Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Harus Ditingkatkan, 2018 8 CDK (Cabang Dinas Kehutanan) merupakan perpanjangan tangan operasionalisasi Dinas Kehutanan Provinsi untuk melaksanakan pelayanan dan pengawasan 5

6


13 | The Monitor, Januari 2022 Peredaran dan Sertifikasi Legalitas Kayu Dalam rangka memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu yang berada di Jawa Barat, selain dipasok oleh Hutan Rakyat dan Perum Perhutani yang berada di provinsi tersebut, pasokan bahan baku juga didatangkan dari 11 provinsi penghasil kayu lainnya di Indonesia, yaitu Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.

Provinsi di Jawa, DKI Jakarta dan Banten. Sementara itu, pemasaran ke luar negeri, dilakukan oleh 232 unit eksportir yang memproduksi produknya sendiri dan 22 unit eksportir non produsen/pedagang ekspor. Cirebon merupakan Kabupaten/ Kota yang memiliki jumlah perusahaan ekspor terbanyak, yaitu 136 unit.

Kayu-kayu yang berasal dari 11 provinsi diatas bersumber dari pemegang hak pengelolaan/ Perum Perhutani, Pemilik Hutan Rakyat, Tempat Penampungan Terdaftar-Kayu Bulat (TPT-KB) dan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK)9. Berdasarkan analisis data RPBBI tahun 2019, tidak ditemukan kayu yang berasal dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan/ atau Hutan Tanaman (IUPHHKHA dan/atau HT) yang masuk kedalam rantai suplai industri yang berada di Jawa Barat. Data RPBBI juga tidak menyajikan informasi detil mengenai jenis kayu, sehingga sulit untuk mengetahui penggunaan jenis kayu yang berasal dari hutan alam, terutama jenis kayu yang digunakan oleh industri kayu lapis. Hasil produksi kayu yang berasal dari Hutan Rakyat, Perum Perhutani dan kayu-kayu yang berasal dari provinsi lainnya yang telah diolah menjadi bahan setengah jadi dan barang jadi oleh industri dan pedagang kayu/produk kayu di Jawa Barat, dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan di Provinsi tersebut dan diedarkan ke sejumlah

9

SIRPBBI, KLHK, diakses pada 1 Mei 2021 dibidang kehutanan

Sebagai syarat untuk melakukan tata niaga kayu, termasuk perdagangan di dalam dan ke luar negeri, Hutan Rakyat dan industri pengolahan kayu diwajibkan untuk memenuhi ketentuan SVLK dan/atau DKP. Namun demikian, saat ini sangat sedikit diketahui tentang luasan dan sertifikasi hutan rakyat dan perorangan atau

Provinsi Pemasok Bahan Baku Industri di Jawa Barat

Jumlah Eksportir Produk Kehutanan di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2020. Sumber: Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), Lembaga Sertifikasi (2020) dan Analisis Absolute Indonesia (2021)


The Monitor, Januari 2022 | 14 lembaga-lembaga pengelolanya. Berdasarkan hasil kajian dan pemantauan lapangan Absolute Indonesia, data dan informasi mengenai sertifikasi hutan rakyat dan kelembagaannya dan data sertifikasi industri pengolahan kayu tersebut sangat terbatas dan belum ada angka pasti dan detil di tingkat Provinsi Jawa Barat.

Pada luasan lahan kering tersebut, terdapat Hutan Rakyat yang tersebar di 47 kecamatan, dengan luas indikatif mencapai 14.805,62 hektar, yang pada tahun 2020 memproduksi kayu sebanyak 416.138,92 m³. Jumlah tersebut, termasuk kayu yang berasal dari Hutan Rakyat yang berada di Kota Sukabumi. Produksi ini menyumbang kebutuhan kayu nasional sebesar

0,73 % atau 2,08 % apabila dihitung berdasarkan produksi kayu Hutan Rakyat yang ada di Provinsi Jawa Barat. Pada tahun yang sama (2020) kebutuhan kayu nasional mencapai 57,1 juta m³ per tahun dan hanya dapat dipenuhi oleh kayu yang berasal dari hutan alam (IUPHHK-HA) dan hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebesar 45,8 juta m³ per tahun11.

Pelaksanaan SVLK dan/atau DKP oleh Hutan Rakyat dan IKM di Kabupaten Sukabumi Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas di Jawa Barat, yaitu ± 419.970 hektar dan secara administratif berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor disebelah utara, Samudera Indonesia disebelah selatan, Kabupaten Lebak disebelah barat dan Kabupaten Cianjur disebelah timur. Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki potensi wilayah lahan kering yang luas, saat ini sebagaian besar merupakan wilayah perkebunan, tegalan dan hutan10.

Jumlah IUIPHHK di Kabupaten/Kota Sukabumi. Sumber: CDK Wilayah III (2020) dan Analisis Absolute Indonesia (2021)

Luas Indikatif dan Produksi Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten dan Kota Sukabumi. Sumber: CDK III dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2020) dan Analisis Absolute Indonesia (2021)

10 11

https://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1042 Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Februari 2020, 4 (1): 14-3

Kayu-kayu yang dihasilkan oleh Hutan Rakyat, sebagian besar menjadi pasokan bahan baku industri pengolahan kayu yang berada di Kabupaten/Kota Sukabumi. Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dan CDK wilayah III, industri pengolahan kayu yang telah terdaftar dan memiliki Izin Usaha Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK), yang menghasilkan produk berupa kayu gergajian dan veneer di Kabupaten/Kota Sukabumi hingga tahun 2019 sebanyak 15 unit. Jumlah ini meningkat menjadi 17 unit pada tahun 2020.


15 | The Monitor, Januari 2022 Hasil kajian dan pemantauan lapangan Absolute Indonesia, mendapati industri-industri tersebut diantaranya 3 telah memiliki sertifikat dan masih aktif (CV Citra Alam Sejati, PT Tunas Aroma Murni dan CV Budi Manis), 3 sertifikatnya telah dicabut (CV Sinar Mulya Mandiri, PD Laksana Abadi, CV Bina Kayu) dan sisanya sebanyak 11 IUIPHHK tidak bersertifikat. Sementara itu, menurut data Statistik Kehutanan Jawa Barat tahun 2019, terdapat 48 unit industri yang menghasil produk kayu gergajian, 2 unit industri kayu lapis dan 9 unit industri kayu lainnya, serta 6 unit perusahaan yang melakukan ekspor produk kehutanan. Industri-industri tersebut tersebar di wilayah Kabupaten/Kota Sukabumi, dan belum diketahui secara pasti mengenai sertifikasinya. Pemahaman Pemilik Hutan Rakyat dan IKM terhadap SVLK dan/atau DKP Untuk mengetahui lebih dalam terkait pelaksanaan SVLK dan/ atau DKP, Absolute Indonesia melakukan pemantauan secara mendalam di 4 kecamatan di Kabupaten Sukabumi, yang meliputi Kecamatan Kabandungan, Kalapanunggal, Bojong Genteng dan Parung Kuda. Pemantauan ini difokuskan pada IKM yang sumber bahan bakunya berasal dari Hutan Rakyat, yang sebagian besar hasil produksinya berupa kayu gergajian. Pemantauan dilakukan pada 20 Pemilik Hutan Rakyat dan 46 industri yang diantaranya 8 industri memiliki legalitas/badan usaha berupa CV (Commanditaire Venneootschap/ Persekutuan Komanditer) dan PD (Perusahaan Dagang), 38 industri yang memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan).


The Monitor, Januari 2022 | 16 Berdasarkan hasil wawancara dan pemantauan lapangan, dapat disimpulkan bahwa pemahaman Pemilik Hutan Rakyat dan IKM masih sangat rendah. Hal ini ditunjukan dari 20 Pemilik Hutan Rakyat, seluruhnya tidak memahami tentang tata usaha kayu, bahkan tidak tahu dan mengaku baru mendengar SVLK dan/atau DKP ketika diwawancarai. Pengakuan yang sama dan dialami oleh Pemilik IKM, 36 diantaranya tidak pernah mengetahui adanya kebijakan tentang SVLK dan/ atau DKP, 7 IKM mengaku pernah mendengar tentang SVLK dan/ atau DKP, namun tidak mengerti tentang maksud dan tujuannya, sisanya 3 IKM mengaku tahu dan pernah menjalankan SVLK karena persyaratan dari pembeli (buyer), namun putus ditengah jalan karena merasa terbebani dengan biaya yang harus ditanggung untuk sertifikasi awal dan penilikan, serta tidak ada lagi pembeli yang mensyaratkan SVLK. Hal menarik muncul setelah melalui proses wawancara dan diskusi yang panjang, dari 66 responden, umumnya merasa perlu dan penting untuk melaksanakan SVLK dan/atau DKP, karena bisa menjamin legalitas produk yang beredar dan diperdagangkan. Namun demikian, terdapat sejumlah prasyarat agar inisiatif tersebut berjalan, diantaranya: (1) Sosialisasi dan pelatihan/ peningkatan kapasitas terkait SVLK dan penggunaan DKP; (2) Pendampingan dan penyiapan proses dalam pengurusan SVLK; (3) Pembiayaan yang harus terjangkau dan tidak memberatkan; (4) Jaminan pasar atas produk ber-SVLK.

Kepatuhan Terhadap Perizinan, Sistem dan Prosedur Peredaran dan Perdagangan Kayu Pemantauan lapangan menemukan sebagian besar industri pengolahan kayu yang berada di 4 Kecamatan, tidak memiliki perizinan yang lengkap. Industri-industri tersebut hanya memasok kebutuhan perusahaan yang tidak mensyaratkan kelengkapan dokumen terkait tata usaha kayu, ataupun mengharuskan mereka memiliki legalitas/badan usaha. Sehingga mereka merasa tidak perlu untuk melakukan pengurusan perizinan dan cenderung abai terhadap sistem dan prosedur peredaran dan perdagangan kayu. Sebagian besar pasokan kayu industri yang dipantau dipenuhi dari Hutan Rakyat, dan sumber lainnya dari Perum Perhutani. Selain menggunakan bahan baku dari dalam kabupaten, bahan baku juga di suplai dari kabupaten lain seperti Kabupaten Bogor, Cianjur, Ciamis, Banjar dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Terkait keabsahan dan pendokumentasian dokumen angkutan kayu dan pemasaran produk olahan yang sumber bahan bakunya dari Hutan Rakyat, umumnya industri di 4 Kecamatan menyatakan telah mengimplementasikannya, meskipun hanya dengan bukti berupa nota dan/atau kuitansi sebagai bukti pembayaran. Industri pengolahan tidak melakukan penelusuran tentang keabsahan surat/ dokumen angkutan kayu, karena menganggap dengan adanya tanda tangan dan/atau cap stempel pada nota atau kuitansi, dapat dinyatakan legal dan dipertanggung jawabkan. Industri pengolahan kayu yang sebelumnya pernah mengikuti/melaksanakan SVLK, menerapkan DKP jika menerima jenis kayu alam, meskipun hasil


17 | The Monitor, Januari 2022 budidaya dari Hutan Rakyat. DKP juga digunakan oleh industri, apabila kayu yang diolah dan akan diedarkan/ diperdagangkan berasal dari Perum Perhutani. Sementara itu, pedagang kayu (tengkulak) melakukan pengurusan surat angkutan kayu bulat, jika kayu yang akan dikirim/diedarkan keluar daerah/ kabupaten. Surat tersebut berupa surat keterangan dari pemerintah desa setempat, yang dilampiri SPPT-PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang-Pajak Bumi dan Bangunan, foto copy KTP (Kartu Tanda Penduduk) pemilik kebun/ hutan rakyat dan foto tunggak kayu. Kedudukan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan SVLK dan/ atau DKP Peran Dinas Kehutanan Provinsi dan CDK dalam penyelenggaraan administrasi, termasuk fungsifungsi pelayanan, pengawasan dan pengendalian terhadap penebangan, perdagangan, peredaran, pengolahan dan keterlacakan merupakan hal penting untuk mencapai efisiensi dan kecepatan dalam pelayanan publik terkait pelaksanaan SVLK. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dan CDK selaku unit pelaksana teknis ditingkat tapak diharapkan dapat pro aktif dalam melaksanakan tugas dan fungsi sesuai kewenangannya. Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 69 Tahun 2017 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, secara eksplisit mengatur tentang peran CDK untuk (1) 12 13

Melaksanaan pendampingan dan pengembangan pembangunan hutan rakyat, pengelolaan hutan kota, dan penghijauan lingkungan di luar kawasan hutan negara; (2) Melaksanaan pengawasan dan pengendalian pengolahan hasil hutan, pemasaran, dan industri primer hasil hutan kayu/ bukan kayu; (3) Melakukan koordinasi dan pelaksanaan teknis operasional sub urusan penataan, pemanfaatan, perlindungan hutan, penyuluhan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi hutan/lahan dan konservasi sumber daya alam. Meskipun kewenangan CDK telah diatur secara jelas, tetapi di lapangan masih didapati informasi tidak hadirnya pendamping/penyuluh. Absolute Indonesia mengkonfirmasi kejadian tersebut kepada salah satu staf penyuluh kehutanan CDK wilayah III, pihaknya membenarkan informasi tersebut dengan alasan belum pernah ada yang berkoordinasi dan meminta untuk dilakukan sosialisasi terkait penerapan SVLK dan/atau DKP, terutama di Kecamatan Kabandungan, Kalapanunggal dan Bojonggenteng. Namun demikian, tahun 2021 ini CDK wilayah III akan memfokuskan program sosialisasi dan penyuluhan di wilayah Jampang Tengah, sebagai bagian dari program UPHR (Unit Pengelolaan Hutan Rakyat. Kesimpulan dan Rekomendasi Sertifikasi hutan telah dipromosikan secara luas sebagai instrumen untuk menetapkan standar global dalam praktik pengelolaan hutan yang bertanggung jawab atas isu lingkungan dan sosial, dan untuk memberi penghargaan bagi para

produser yang telah memenuhi standar dan memiliki akses menuju pasar hijau/green market (Tysiachniouk & Mc Dermott, 2015). Namun demikian, promosi tersebut masih dilakukan secara parsial dan terkesan bussiness as usual, karena tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan tata kelola ditingkat tapak, terutama pengelola Hutan Rakyat dan IKM. Sebagai sebuah kebijakan, SVLK memiliki sejumlah prasyarat agar dapat diimplementasikan dan mencapai tujuannya. Edward III merumuskan empat faktor sebagai sumber masalah sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana, dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Pendapat lain menyebutkan kepatuhan kelompok sasaran merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan12. Pemahaman terhadap SVLK dapat tumbuh mulai dari proses penyusunan kebijakan SVLK dan pada tahap implementasi, dimana strategi komunikasi, sosialisasi dan disemeninasi menjadi faktor penentu. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kebijakan SVLK disusun melalui proses konsultasi publik yang cukup panjang, dengan melibatkan sejumlah pihak tetapi pada kenyataannya sebagian besar responden menyatakan belum cukup mengetahui tujuan, prosedur dan manfaat SVLK. Keterlibatan sejumlah pengurus asosiasi industri kehutanan dan parapihak lainnya dalam proses penyusunan kebijakan SVLK ternyata belum dapat merepresentasikan banyaknya kepentingan. Tampaknya pada

Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa dan Bagaimana; Haedar Akib, Jurnal Administrasi Publik, vol 1, Nomor 1 tahun 2010 Yang Legal Yang Beruntung, 2012


The Monitor, Januari 2022 | 18

masing-masing asosiasi belum terbangun sistem informasi yang menjamin informasi dapat sampai pada kelompok sasaran di tingkat lapangan13. Penguatan dan pengembangan (scale up) pembangunan hutan rakyat dan industri pengolahan kayu mendesak untuk segera dilakukan, agar tidak kehilangan momentum terkait perbaikan tata kelola kehutanan yang berkembang saat ini, serta daya dukung pelaku usaha produk kehutanan yang pertumbuhannya terus meningkat dari tahun ketahun. Berdasarkan hasil analisis dan pemantauan lapangan, Absolute Indonesia merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, CDK, Asosiasi dan pihak-pihak terkait lainnya untuk:

a) Segera melakukan sosialisasi, penyuluhan dan pendampingan terhadap pengelola Hutan Rakyat dan IKM secara masif dan menyeluruh, serta terukur dan terencana b) Melakukan diseminasi informasi terkini tentang perkembangan dan capaian SVLK dan/atau DKP, dan memastikan produk komunikasi tersebut dapat dipahami dan memastikan tersampaikannya informasi tersebut hingga ke tingkat tapak c) Menyelenggarakan peningkatan kapasitas, melalui pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan pelaku usaha

kehutanan dimasing-masing wilayah d) Perbaikan pelayanan perizinan usaha, agar layanan perizinan bisa dilaksanakan dengan prinsip mudah, murah, dan cepat. Dengan demikian tidak ada keengganan bagi industri dalam mengurus kelengkapan izin e) Jaminan pasar untuk produk-produk kayu yang bersertifikat SVLK dan/atau dapat dipastikan legalitasnya melalui penggunaan DKP, salah satunya dengan menerapkan kebijakan pengadaan barang dan jasa bagi infrastruktur (sarana dan prasarana) pemerintah.


19 | The Monitor, Januari 2022

Tak Layak Sertifikasi PHL Bagi TPL Oleh Deden Pramudiana – Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Pemantauan dan Analisis Jaringan Pemantauan Independen Kehutanan (JPIK) terhadap penilaian Sertifikasi PT Toba Pulp Lestari

P

T Toba Pulp Lestari (PT TPL) merupakan perusahaan bubur kertas (pulp) di wilayah Danau Toba, Sumatera Utara. Perusahaan pulp raksasa ini berafiliasi dengan grup Royal Golden Eagle dan APRIL (perusahaan pulp dan kertas Indonesia terbesar kedua) dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh taipan Indonesia, yaitu Sukanto Tanoto. PT TPL yang sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama telah mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/ KPTS-II/1992 tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemegang Hak

Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, dan telah mengalami 8 (delapan) kali perubahan, yang terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. SK.307/Menlhk/ Setjen/ HPL.0/7/2020, dengan luas areal 167.912 hektar. Konsesi Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI​ ) PT TPL terdiri dari 5 sektor yang tersebar di 12 kabupaten, yaitu Sektor Tele seluas 68.339 hektar di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Samosir, Sektor Aek Raja seluas 46.081 hektar di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Toba Samosir, Sektor Habinsaran seluas 24.304 hektar di

Kabupaten Toba Samosir, Sektor Aek Nauli seluas 20.426 hektar di Kabupaten Simalungun, dan Sektor Padang Sidimpuan seluas 28.903 hektar di Kabupaten Padang Sidimpuan. Sejak berdiri dan beroperasinya PT TPL, telah banyak menuai kritik dari banyak pihak, meminta agar perusahaan tersebut ditutup, karena dianggap telah merampas ruang hidup masyarakat, merusak hutan adat, pencemaran sungai dan pencemaran di Danau Toba. Namun hingga saat ini PT TPL masih tetap beroperasi, walaupun sudah banyak keluhan yang masuk ke KLHK.


The Monitor, Januari 2022 | 20 Perusakan hutan juga terjadi akibat dari penebangan pohon pada hutan alam yang dilakukan oleh PT TPL. Pada 2016 yang lalu, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) sempat mengirimkan surat keluhan kepada Lembaga Sertifikasi (LS) Ayamaru terkait adanya penebangan hutan adat berupa pohon kemenyan. Tidak hanya sampai disitu, pada 2019 JPIK juga pernah mengirimkan laporan keluhan adanya tindak kekerasan terhadap anak dan dua warga oleh pihak PT TPL di Sihaporas. Belum lagi kerusakan lingkungan akibat dari pembuangan limbah pabrik. Sebelum PT Indorayon berubah menjadi PT TPL, penampungan limbah atau aerated lagoon jebol pada 2 Maret 1994, yang menyebabkan Sungai Asahan tercemar dan menyebabkan banyak ikan mati. Kemudian rusaknya lahan pertanian milik keturunan Op. Sinta Manurung dan milik warga yang terletak di kampung Parbulu Desa Banjar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba akibat terpaparnya limbah Nursery milik PT TPL, kejadian tersebut sempat dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakum KLHK) Wilayah Sumatera pada tahun 2019, namun hampir 3 tahun belum juga ada penyelesaian14. Sampai saat ini, upaya-upaya dalam mempertahankan dan merebut kembali ruang kelola masyarakat adat terus dilakukan, dengan munculnya gerakan Aliansi Tutup TPL. Gerakan tersebut merupakan bentuk dari gerakan masyarakat adat dan masyarakat sipil, untuk mendesak pemerintah dan pihak yang terkait agar tuntutan dari masyarakat dapat ditindaklanjuti.

14

Indikasi Pelanggaran pada Aspek Prasyarat, Ekologi dan Sosial, dalam SVLK 1.

Aspek Prasyarat Adanya indikasi pelanggaran yang berkaitan dengan aspek prasyarat pada indikator kepastian kawasan pemegang izin dan pemegang hak pengelolaan. Pada hasil resume penilikan 1 PT TPL oleh PT Ayamaru mendapatkan nilai baik, dimana PT TPL telah memiliki dokumen legal dan administrasi tata batas lengkap sesuai dengan tingkat realisasi pelaksanaan tata batas yang telah dilakukan, dan juga telah menyusun mekanisme penyelesaian konflik. Namun dari informasi yang beredar di media dan lembaga lainnya seperti Aman Tano Batak dan KSPPM, PT TPL telah melakukan tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat

Natumingka pada Mei 2021, yang mana pada saat itu Masyarakat Adat Natumingka menghadang karyawan PT TPL yang akan menanam eukaliptus di wilayah adat Natumingka yang lahan tersebut diklaim berada di atas konsesi PT TPL. Konflik tersebut menunjukan adanya ketidaksesuaian dengan nilai baik yang diberikan oleh PT Ayamaru. 2. Aspek Ekologi Beberapa informasi awal yang didapat terkait dengan adanya pelanggaran pada aspek ekologi adalah sebagai berikut: •

Adanya tanaman di dalam hutan lindung. Informasi adanya tanaman di dalam hutan lindung didapat dari Aman Tano Batak dan KSPPM, kemudian JPIK mencoba untuk

Peta Overlay Analisis JPIK, 2021

https://betahita.id/news/detail/6261/kehadiran-pt-tpl-di-tano-batak-menyeret-banyak-permasalahan.html.html


21 | The Monitor, Januari 2022 menganalisis melalui overlay peta, dan benar adanya konsesi tersebut berada pada hutan lindung. •

Pembukaan lahan di hutan alam, penanaman eukaliptus di Areal Penggunaan Lain (APL) dan di sempadan sungai. PT TPL melakukan praktik-praktik penebangan dan penanaman eukaliptus pada kawasan yang dilindungi di konsesinya, seperti sempadan sungai dan jalur hijau. Kejadian ini ditemukan di Sektor Tele, Aek Nauli dan sektor-sektor lainnya (September 2015). Penebangan hutan alam di Sektor Aek Nauli ini masih terus berlangsung hingga periode Juli September 2016. Saat itu ditemukan juga penimbunan sungai untuk pembangunan jalan di dalam konsesi mereka. Hasil analisis citra satelit oleh Forest Watch Indonesia (FWI), memperlihatkan bahwa selama periode 20132016 di dalam konsesi PT TPL telah terjadi deforestasi seluas 2.108 hektare. Dari total 115 ribu hektare luas konsesi perusahaan, hanya terdapat 15% hutan alam (17 ribu hektare) yang berada di dalam konsesi perusahaan, sedangkan 27% sudah berubah menjadi hutan tanaman. Fakta ini menjadi alasan mengapa PT TPL hingga saat

ini masih melakukan konversi terhadap hutan alam di dalam konsesinya. Kejadian yang sama terjadi juga di Sektor Habinsaran, Aek Raja, Padang Sidempuan dan Tele (Juli 2021). PT TPL juga melakukan pembukaan hutan alam yang diperuntukan sebagai areal baru untuk ditanami eukaliptus, dengan melakukan penebangan kayu alam, diantaranya jenis kayu Kulim dan Kempas berdiameter lebih dari 30 cm. Pembukaan ini terjadi di Sektor Habinsaran di Desa Natumingka, Kecamatan Bobrbor dengan menggunakan alat berat dan diperkirakan berlangsung sejak periode April - Mei 2021.

Selain itu, pemantauan JPIK pada 30 Juni hingga 6 Juli 2021 di Sektor Aek Raja, menemukan adanya pembukaan lahan baru yang berada di Kawasan Hutan Produksi yang mana sudah ditanami eukaliptus dan sangat dekat dengan anak sungai, hanya berjarak ±1 meter. Selanjutnya, menemukan adanya tanaman di sempadan sungai, yang selama ini sungai tersebut digunakan warga untuk mandi, mencuci, dan mengambil air untuk diminum. Ironis karena hutan alam dan/atau kawasan lindung yang memiliki nilai High Carbon Stock (HCS) dan High

Tanaman eukaliptus di sempadan sungai (koordinat, X: 98,816441 Y: 2,122724)


The Monitor, Januari 2022 | 22 Conservation Value (HCV), serta menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna yang dilindungi, seperti Harimau Sumatera, Kambing Samosir dan fauna dan flora yang dijelaskan dalam laporan keberlanjutan (sustainablility report)

APRIL, tahun 2020, dimana sebanyak 241 spesies hewan dan 273 spesies tumbuhan tercatat di seluruh konsesi perusahaan. Ini termasuk 13 spesies tumbuhan dan hewan yang diklasifikasikan oleh IUCN sebagai ‘terancam punah’.

Pembukaan lahan baru di Sektor Aek Raja (koordinat, X: 98,820308 Y: 2,127947)

Tanaman eukaliptus di Kawasan APL (Sumber KSPPM, Aman Tano Batak, dan Jikalahari. Koordinat N02°09’32.6” E098°51’25.3”)

PT TPL juga melakukan penanaman di dalam konsesinya yang berada dalam fungsi Areal Penggunaan Lain (APL). PT TPL harusnya mengeluarkan areal dengan fungsi APL dari izin konsesi mereka, karena pada hakikatnya, izin penggunaan kawasan hutan berada di atas fungsi kawasan hutan produksi atau hutan produksi tetap dan tidak dibenarkan berada dalam fungsi APL yang peruntukkannya jelas bukan untuk kehutanan. Dengan tidak dikeluarkannya areal APL dari konsesi PT TPL, mengakibatkan semakin meruncingkan konflik lahan dengan masyarakat15. Pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh PT TPL merupakan salah satu ketidaksesuaian operasi di lapangan dengan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) yang didalamnya memuat aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan

Sumber: Pemantauan JPIK dan FWI, September 2015, Pemantauan FWI, Juli 2016, Pemantauan KSPPM, Aman Tano Batak dan Jikalahari, Juni 2021 dan JPIK dan Aman Tano Batak, Juli 2021 dan Aliansi GERAK Tutup TPL) 15


23 | The Monitor, Januari 2022 Republik Indonesia No. P.11/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/3/2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/MENHUT-II/2014 Tentang Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala dan Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri. PT Toba Pulp Lestari Juga melanggar Undang -Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 12 dan 13 yaitu melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan; seperti membabat hutan/menebang kayu yang kemudian ditanami eukaliptus diradius/jarak sampai dengan 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 meter dari kiri kanan tepi sungai; dan 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai. 3. Aspek Sosial Selain pelanggaran pada aspek prasyarat dan aspek ekologi, PT TPL juga melanggar aspek social, yaitu pada indikator keberadaan mekanisme resolusi konflik yang handal. Pada penilkan 1 oleh LS Ayamaru dinilai baik,

namun informasi dilapangan masih terjadi konflik dengan masyarakat adat. Masyarakat adat juga mengalami tindak kekerasan, penangkapan, penculikan akibat kejahatan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT TPL, selama periode tahun 1998 sampai 2021, diantaranya16: •

Juli 1998, sebanyak 800 personil yang terdiri dari gabungan pasukan Polisi, Brimob, Kodim, dan Polisi Militer menyerbu masyarakat yang waktu itu sudah 30 hari melakukan aksi penjagaan di Simpang Sirait Uruk terhadap truk yang masuk ke lokasi pabrik PT TPL, masyarakat dikejarkejar sampai ke pintu rumah, bohlam/lampu dan meteran listrik dipecahkan aparat. Beberapa warga terluka oleh pentungan aparat dan 1 orang ditangkap, diseret, dipukuli, dinjakinjak dan dibuang ke parit, ditemukan warga dalam keadaan koma. Kondisinya, mengalami luka robek yang cukup lebar di kepala, sekujur tubuh lebam-lebam akibat pukulan benda keras, beberapa jari dan tangan patah tulang. Aksi tersebut berlangsung dihari selanjutnya, dan jumlah aparat semakin bertambah, mereka memaksa masyarakat

untuk melayani permintaan mereka dengan meminta paksa selimut dan bantal untuk tidur. Diketahui pada hari itu belasan orang warga terluka, puluhan rumah warga rusak, beberapa warga dikabarkan hilang; •

September 1998, masyarakat kembali melakukan aksi dan 2 orang pemuda asal Desa Tambunan, Balige ditangkap aparat. Hari selanjutnya ratusan masyarakat dan kaum ibu melakukan aksi penutupan jalan kembali di Sirait Uruk, 1 orang ditangkap dan puluhan ibu-ibu cedera karena pentungan aparat. Akibat kejadian tersebut, masayarakat geram dan dalam waktu singkat 2000 warga hadir dari berbagai desa ke Porsea dan saat itu terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat. Setelah masyarkat meninggalkan lokasi aksi dan pulang ke rumah masing-masing, aparat yang terdiri dari Brimob dan Tentara (Arhanud) dari Titi Kuning, Medan, melakukan pengrusakan, penjarahan dan menembaki rumah penduduk. Beberapa rumah dijarah disertai pemukulan terhadap warga yang ditemui di rumah, tidak terkecuali anak-anak maupun

Manalu, Dimpos, Gerakan Sosial, dan Perubahan Kebijakan Publik; Studi Kasus Perlawanan Masyarakat Adat Batak VS PT Inti Indorayon Utama/PT Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara, KSPPM, AMAN, FWI, JPIK, Aliansi GERAK Tutup TPL 16


The Monitor, Januari 2022 | 24 yang sudah berumur tua. Situasi saat itu sangat mencekam dan berjatuhan korban, diantaranya 1 orang tertembak peluru aparat dibagian kakinya, 50 orang kaum ibu lukaluka dan lebam kena pentungan apparat, 1 orang ibu tua (80 tahun) diculik saat bekerja di sawah, 15 orang warga ditangkap dan dimasukkan ke truk dan dibawa paksa oleh aparat. Selanjutnya diketahui ditahan di Polres Tarutung, dan 7 warga mengalami penganiayaan berat, sehingga dilarikan ke RSU Dewi Maya, Medan dan 1 orang dilarikan ke Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar, karena dipukul dengan popor senjata dan mengenai mata korban, dan 30 orang warga hilang. Dihari yang sama, terjadi penganiayaan oleh aparat terhadap 2 orang masyarakat warga Desa Lumban Batu. Korban akhirnya dirawat di Rumah Sakit Parparean Porsea. Di desa yang sama aparat mengobarakabrik rumah (warung) milik salah satu warga dan mencuri barang dagangannya. Penganiaayaan juga dilakukan oleh aparat terhadap Kepala Desa Tangga Batu I, hingga babak belur. •

November 1998, aparat menciduk dan menganiaya 17

orang pemuda dan mengangkut dan menginterogasi mereka di Polsek Porsea, kemudian 14 orang dari mereka harus dirawat di UGD RSU Porsea, karena pemukulan dan mengalami luka tembak, memar, lebam-lebam, luka robek dan patah tulang. •

Juni 2000, dini hari sekitar pukul 01.30 aparat kepolisian menculik warga yang bertugas jaga malam di Sirait Uruk. Penculikan tersebut memicu terjadinya aksi ribuan massa dan pada saat itu salah satu palajar STM yang berasal dari Desa Patane tewas karena ditembak polisi.

Juli 2000, salah satu warga di Desa Janji Matogu ditangkap secara sewenangwenang dan dijebloksan ke penjara, masyarakat Desa Janji Matogu mengalami trauma dan ketakutan yang luar biasa, sehingga mereka mengungsi ke desa lain.

November 2002, masyarakat dipukuli dan 18 orang ditahan Polres Tarutung ketika melakukan aksi di Kantor Camat Porsea untuk menagih janjijanji yang tidak kunjung ditepati.

April 2003, masyarakat kembali melakukan aksi di Sirait Uruk dan mengalami pemukulan, luka tembak, memar,

terkilir dan patah tulang. •

Juni 2009, terjadi 2 kali kasus kriminalisasi warga karena mempertahankan wilayah adat mereka, saat itu 8 orang warga Pandumaan dan Sipituhuta ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Sampai saat ini proses hukum terhadap 8 orang tersebut tidak jelas. Setiap kali terdapat aksi penolakan, polisi selalu mengatakan kepada 8 warga ini, bahwa mereka masih berstatus DPO (Daftar Pencarian Orang).

Tahun 2010, Intimidasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat turunan Ama Raja Medang Simamora. Suddung Simamora, pada tahun 2010, ditangkap oleh Polsek Doloksanggul atas laporan pihak TPL dengan delik aduan melakukan perusakan terhadap pohon eukaliptus. Pihak Polsek Doloksanggul menahan Suddung Simamora selama 3 hari. Suddung Simamora akhirnya dilepaskan atas desakan Masyarakat Adat turunan Ama Raja Medang Simamora yang melakukan aksi demonstrasi.

Februari 2013, aparat kepolisian kembali menangkap 31 warga yang menolak kehadiran PT TPL, 16 orang di antaranya ditetapkan


25 | The Monitor, Januari 2022 sebagai tersangka dan sempat ditahan di Mapolda Sumatera Utara di Medan. Atas desakan warga, 16 warga tersebut dibebaskan, dan proses hukumnya tidak dilanjutkan. •

Juli 2015, Humas PT TPL melaporkan Sammas Sitorus ke Polres Toba dengan tuduhan menganiaya salah satu kolega mereka saat aksi unjuk rasa di depan pabrik PT Toba Pulp Lestari. Polres pun menetapkan Sammas Sitorus sebagai tersangka dan melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Negeri Balige. Setelah 8 bulan persidangan, PN Balige memutuskan untuk membebaskan Sammas dari tuduhan penganiayaan. Kejaksaan Negeri Balige kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung ternyata memperkuat putusan PN Balige untuk membebaskan Sammas Sitorus.

Pamatang Sidamanik. Saat itu situasi memanas dan pekerja PT TPL melakukan pemukulan terhadap anak berusia 3 tahun dan seorang dewasa. Ironis, karena teryata korban dari pihak warga yang justru dituntut ke pengadilan dan divonis bersalah, sedangkan penganiaya terbebas dari jeratan hukum. •

Februari 2017, PT TPL melaporkan Sakkan Simanjuntak dan Lambok Simanjuntak ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan membakar lahan di wilayah konsesi mereka. September 2019, puluhan pekerja PT TPL melakukan pengusiran dan memprovokasi warga Nagori, Desa Sihaporas, Kecamatan

Oktober 2019, PT TPL menurunkan polisi bersenjata dan tentara untuk mengintimidasi Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun. Saat itu warga sedang bertani di wilayah adat. Setelah itu pihak PT TPL melaporkan 2 orang masyarakat dengan tuduhan menduduki hutan negara. Juni 2020, PT TPL melaporkan 5 warga Masyarakat Adat Huta Tornauli yang berada di Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara dengan tuduhan berkebun tanpa izin di kawasan hutan. Mereka adalah Buhari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Damanti Manalu, dan Ranto Dayan Manalu. Pada 4 September 2020, PT TPL berkonflik dengan Masyarakat Adat

Natinggir. Puluhan orang dari PT TPL dengan pengawalan security mendatangi masyarakat adat Natinggir yang sedang bekerja di wilayah adatnya. Pihak perusahaan berusaha menghentikan segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Namun anggota komunitas melakukan perlawanan. Perusahaan menekan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa memiliki izin legal di wilayah tersebut dan masyarakat tidak berhak mengusahai lokasi tersebut. Sempat terjadi adu mulut antara masyarakat dengan pihak perusahaan. •

Pada 27 November 2020, Masyarakat Adat Op Panggal Manalu di Aek Raja, mendapat ancaman dan pelarangan dari PT TPL untuk mengusahai ladang mereka yang


The Monitor, Januari 2022 | 26 saat berladang di atas wilayah adatnya. Sebelumnya pada 24 Oktober 2020, tiga anggota masyarakat adat Natumingka telah ditetapkan sebagi tersangka atas laporan TP TPL.

merupakan wilayah adatnya. •

Desember 2020, sebanyak 5 orang Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur, dilaporkan TPL ke polisi, yakni Dapot Simanjuntak, Maruli Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, dan Rinto Simanjuntak dengan tuduhan menggunakan kawasan hutan negara. Pada Januari 2021, Masyarakat adat Op Ronggur Simajuntak, mendapat panggilan dari Polres Taput karena dilaporkan oleh PT TPL dengan tuduhan berladang di lahan konsesi. Padahal tanah tersebut merupakan wilayah adat OP Ronggur Simanjuntak. 20 April 2021, Pendeta Faber Manurung dan sekitar 15 warga Parbulu, Kecamatan Parmaksian,

melakukan aksi protes di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian. Mereka memprotes kerusakan lingkungan yang mereka yang sejak dulu adalah soal tidak adanya ijin pembuangan limbah pembibitan PT TPL. •

24 April 2021, PT TPL melakukan pengrusakan tanaman milik Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan.

Pada 18 Mei 2021, Masyarakat Adat Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, mendapat ancaman dan kekerasan dari PT TPL dan Kepolisian. Ancaman yang dialami oleh masyarakat adat Natumingka bukan hanya kali ini saja. Sebelumnya mereka sudah berulang kali didatangi oleh security PT TPL dan Kepolisian

Pelanggaran HAM yang terjadi diakibatkan karena tidak adanya penatabatasan, hingga perampasan hutan kemenyan yang berdampak pada hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat adat. Hasil pemantauan lapangan dan analisis sertifikat pada skema Sistem Verifikasi Legalitas Kelestarian (SVLK), ditemukan PT TPL telah melakukan pelanggaran-pelanggaran atau ketidaksesuaian. Namun demikian dalam resume hasil penilikan oleh PT Ayamaru Sertifikasi, PT TPL mendapatkan nilai ‘Baik’ karena telah memiliki dokumen legal dan administrasi tata batas lengkap sesuai dengan tingkat realisasi pelaksanaan tata batas yang telah dilakukan, serta telah menyusun mekanisme penyelesaian konflik. Namun pada kenyataannya, konflik karena tata batas masih terus terjadi hingga saat ini, sehingga hal tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian nilai ‘Baik’ yang diberikan oleh PT Ayamaru kepada PT TPL. PT TPL tidak memenuhi (uncompliance) aspek prasyarat, sebagaimana diatur dalam standar Sertifikasi Produksi Hutan Lestari (S-PHL) dimana aspek ini merupakan inti dan paling berpengaruh, sehingga pelanggaran/ketidaksesuaian pada aspek prasyarat tersebut secara nyata menunjukkan bahwa aspek-aspek lain seperti aspek ekologi, aspek produksi, dan aspek sosial juga bermasalah, sehingga sertifikat tersebut layak dicabut.


27 | The Monitor, Januari 2022

Ironi Lingkungan Hidup: Krisis Iklim Butuh Aksi Nyata, Bukan Retorika Oleh Della Azzahra Soepardiyanto - Mahasiswi Ilmu Politik, Universitas Indonesia

K

onferensi Tingkat Tinggi Iklim Global Kembali Digelar

Sebelum munculnya istilah Conference of the Parties (COP), pada tahun 1992 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bumi yang disebut Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil. Pertemuan tersebut menghasilkan perjanjian dari negara-negara pesertanya bahwa konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer harus distabilkan dalam rangka mencegah adanya gangguan berbahaya yang disebabkan oleh aktivitas manusia pada sistem iklim. Sejak perjanjian itu mulai berlaku, tepatnya tahun 1994, PBB mulai mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh setiap negara di bumi dalam KTT iklim global yang biasa disebut Conference of the Parties (COP). Setelah absen dalam satu tahun terakhir karena adanya Pandemi Covid-19, United

Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties akhirnya kembali dilangsungkan. Conference of the Parties yang ke-26 atau biasa disebut COP26 tersebut berlangsung di Glasgow, Skotlandia mulai dari 31 Oktober hingga 12 November 2021. Dalam COP26 berkumpul para pemimpin dunia untuk menyampaikan kepeduliannya terhadap bumi demi keberlanjutan hidup manusia. Mereka membahas upaya mengatasi krisis perubahan iklim, pengukuran emisi serta memberikan inovasi dalam mendorong dekarbonisasi listrik, panas, manufaktur, pertanian, dan transportasi. Retorika Pemerintah dalam Pidato Presiden di COP26 Presiden Jokowi, sebagai pemimpin sekaligus wakil Indonesia dalam COP26 turut menyampaikan pidatonya. Pidato tersebut berisi tentang kondisi terkini Indonesia dan

upaya apa saja yang sedang dan akan dilakukan Indonesia dalam berkontribusi mengatasi krisis perubahan iklim. Namun, banyak pihak yang menyayangkan pidato presiden tersebut karena dinilai berbeda antara ‘katanya dan nyatanya’. Dalam pidatonya tersebut, Jokowi menyatakan bahwa “Indonesia turut berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.” Selanjutnya beliau menyampaikan beberapa prestasi atau capaian Indonesia dalam mengatasi krisis perubahan iklim tersebut. Salah satu capaian yang disampaikannya adalah turunnya laju deforestasi di Indonesia, dengan pernyataan bahwa “laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir.” Namun, benarkah demikian? Salah satu organisasi lingkungan global, Greenpeace, menyangkal pernyataan Jokowi tentang penurunan laju deforestasi. Menurut


The Monitor, Januari 2022 | 28 mereka, data yang disajikan oleh pemerintah tidak sesuai dengan sebagaimana nyatanya. Menurut Greenpeace (2021), “Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari 2,45 juta ha pada tahun 2003-2011 menjadi 4,8 juta ha pada tahun 2011-2019” (Greenpeace, 2021). Dinamika Pembangunan dan Deforestasi di Indonesia Tidak selesai sampai di situ, perdebatan tentang deforestasi di Indonesia diperkeruh dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, di media sosial (twitter) pribadinya. Pada tanggal 3 November 2021 beliau menyatakan bahwa “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.” Pernyataan tersebut menimbulkan tanda tanya besar bagi publik. Bagaimana bisa seorang menteri lingkungan hidup malah mendukung pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan hidup. Pemerintah seharusnya bertindak demi dan atas nama seluruh rakyat, bukan demi dan atas nama keberhasilan program kerja rezim. Pada unggahan lanjutannya beliau menerangkan “Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya.” Namun, benarkah “masyarakat” yang disebutkan dalam pernyataan tersebut benar-benar membutuhkan pembangunan yang justru berpotensi merusak lingkungan hidupnya? Apabila ditelisik lebih jauh, pernyataan tersebut ternyata

tidak sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.” Siti Nurbaya Bakar berdalih bahwa pembangunan harus terus berjalan demi values dan goals establishment dalam membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi yang sesuai dengan mandat UUD 1945. Namun, hal tersebut menjadi sebuah ironi yang membingungkan. Sebab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah hak asasi manusia yang seharusnya oleh Indonesia, sebagai negara demokrasi, diberikan jaminan secara konstitusional. Pernyataan yang kontradiktif dari Menteri LHK Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, menimbulkan sikap skeptis dari publik bahwa telah terjadi pergeseran fungsi hukum menjadi alat dan topeng legalitas bagi peguasa untuk melegitimasikan tujuantujuannya yang tidak wajar. Carbon Market dan Carbon Price adalah Solusi Palsu Mengatasi Krisis Iklim Apabila merujuk kembali pada COP21 pada tahun 2016, tepatnya pada Paris Agreement, terdapat kesepakatan bahwa kenaikan suhu di bumi tidak boleh lebih dari 2 derajat Celsius. Namun, pada kenyataannya kini suhu bumi telah mengalami kenaikan sebesar 1,5 derajat Celsius. Kenaikan suhu bumi

tersebut mengakibatkan banyak hutan yang terbakar secara alami, meskipun dalam beberapa kasus kebakaran juga terjadi akibat faktor lain. Singkatnya, hutan dapat terbakar secara alami akibat adanya efek rumah kaca, di mana karbon-karbon yang dihasilkan gagal keluar dari bumi karena terhalang oleh atmosfer sehingga menyebabkan panas yang berkelanjutan di bumi. Panas yang berkelanjutan tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan. Namun, perihal karbon, dalam pidatonya di COP26 Jokowi menyatakan bahwa “Carbon Market dan Carbon Price harus menjadi bagian dari penanganan isu perubahan iklim.” Perdagangan karbon dianggap merupakan sebuah solusi bagi perubahan iklim dengan dalih bahwa hutan Indonesia cukup luas sehingga dianggap mampu menyerap karbon yang dihasilkan negara-negara industri. Dengan artian Indonesia secara sadar melegalkan adanya bisnis karbon yang memungkinkan perusahaan besar dari negara-negara industri untuk menyumbang polusi karbonnya ‘secara berbayar’ ke Indonesia. Padahal sejatinya hal tersebut merupakan sebuah solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim. Peran Negara bagi Masyarakat Hukum Adat Nyatanya perdagangan karbon hanya merupakan bisnis kapitalis yang lebih banyak menguntungkan sejumlah elite politik. Banyak pihak yang dirugikan atas adanya carbon market dan carbon price tersebut, salah satunya adalah masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah komunitas yang memiliki aturan dan sistem kelembagaan tersendiri untuk mengatur hubungan antara komunitas dengan lingkungan di sekitarnya. Komunitas


29 | The Monitor, Januari 2022 tersebut biasanya terbentuk atas dasar wilayah hidup bersama, keturunan, atau bahkan perpaduan di antara keduanya. Mereka memanfaatkan hutan sekitar sebagai penyokong kehidupannya. Hutan sendiri merupakan habitat alami bagi beberapa flora dan fauna. Masyarakat hukum adat juga turut mengambil manfaat dari hutan, mereka menebang hutan sekadar untuk membuka ladang atau permukiman, dan memanfaatkan hasil hutan baik yang berupa kayu maupun nonkayu dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Sayangnya, pemerintah seringkali menyerahkan kewenangan restorasi hutan dalam rangka mengatasi krisis iklim kepada pihak luar yang bahkan tidak mengerti secara penuh akan hutan seperti masyarakat hukum adat terhadap hutannya. Hal tersebut merupakan bagian dari perdagangan karbon, di mana negara donor menggelontorkan sejumlah dana bagi Indonesia dengan timbal balik ‘restorasi hutan’ sebagai bentuk tanggung jawab atas polusi karbon yang dihasilkannya. Namun, pihak luar seringkali melanggar aturan-aturan atau hukum adat yang dimiliki dan sudah dilaksanakan secara turuntemurun sejak dahulu kala oleh masyarakat hukum adat, seperi memasuki kawasan terlarang, mengeksploitasi hutan tanpa memperhatikan keseimbangan alam, dan berbagai hal lainnya. Hal tersebut menyebabkan adanya ketegangan yang terjadi antara pemerintah, pihak luar, dan masyarakat hukum adat. Di lain sisi, adanya ketimpangan kuasa seringkali menyulitkan masyarakat hukum adat. Seharusnya, dalam hal ini pemerintah menjalankan tugas negara dengan menerapkan

prinsip subsidiaritasnya. Prinsip subsidiaritas yang dimaksud adalah seperti yang dijelaskan oleh Abraham Lincoln dan tertera dalam buku Etika Politik karya Franz Magniz Suseno (2016), bahwa “Masyarakat atau lembaga yang lebih tinggi memberi bantuan kepada anggota-anggotanya atau lembaga yang lebih terbatas sejauh mereka sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas mereka secara memuaskan. Sedangkan apa yang dapat dikerjakan secara memuaskan oleh satuan-satuan masyarakat yang lebih terbatas jangan diambil alih oleh satuan masyarakat yang lebih tinggi.” Pemerintah sebagai alat negara seharusnya menjadi fasilitator yang mendukung dan melengkapkan serta menjamin prasyarat-prasyarat kebahagiaan bagi masyarakat hukum adat dalam menjalankan nilai-nilai yang dianut oleh mereka. Pemerintah tidak boleh membatasi kemampuan masyarakatnya. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hal ini hanya berhak mengambil alih suatu urusan hanya jika satuan yang lebih rendah sudah tidak mampu menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana yang seharusnya. Negara seharusnya berperan demi masyarakat dan masyarakat berperan demi anggota-anggotanya. Negara dalam hal ini tidak boleh mengambil alih apa yang mampu dilakukan oleh masyarakat, begitupun masyarakat terhadap anggota-anggotanya (Suseno 2016). Oleh karena itu, Sudah saatnya bagi masyarakat hukum adat untuk berdaulat penuh mengurus diri dan komunitasnya serta hutan dan tanah yang ada di wilayah adatnya. Sudah seharusnya juga bagi negara untuk memberikan serta menjamin masyarakat hukum adat untuk mempertahankan nilai-nilainya serta mengurus sendiri anggota-anggotanya

selagi mereka mampu dan dapat melakukannya dengan ‘memuaskan’. Karena sejatinya fungsi negara adalah untuk menunjang dan melengkapkan usaha masyarakatnya, dan bukan untuk menggantikan apalagi mematikannya (Suseno, 2016). Adanya persoalan iklim yang nyata merupakan tantangan sekaligus ancaman bagi negaranegara di dunia, termasuk Indonesia. Namun, pernyataan yang diberikan oleh pemerintah sama sekali tidak memberikan solusi atas permasalahan krisis iklim termasuk deforestasi dan polusi karbon. Malahan, yang ada hanyalah retorika yang berisi kepalsuan serta kemunafikan dari pemerintah yang justru terkesan menjajah iklim itu sendiri. Mengedepankan pembangunan tidak ada salahnya asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan atau sustainable development yang menjunjung tinggi hak-hak lingkungan hidup sebagaimana yang telah tertera dalam dasar-dasar konstitusional negara Indonesia. Timbal balik pembangunan terhadap lingkungan juga tidak boleh luput dari perhatian pemerintah. Aksi nyata dari pemerintah dibutuhkan untuk berupaya dengan serius dan ambisius mengatasi krisis perubahan iklim demi menjamin keberlangsungan hidup manusia, khususnya masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.


The Monitor, Januari 2022 | 30

Kepulauan Aru: Relasi Manusia dan Lingkungannya Oleh Aziz Fardhani Jaya

Potret padang savana lokasi tradisi Tordouk

A

lam dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kondisi alam dan dinamika perubahannya telah membentuk peradaban manusia, menentukan cara hidup dan nilai-nilai yang dianutnya. Keterikatan keduanya merupakan sebuah hubungan (sosial, ekonomi, budaya dan ekologi) yang kompleks. Sehingga dalam praktiknya tidak boleh disederhanakan hanya pada satu dimensi saja. Masyarakat di Kepulauan Aru memiliki hubungan yang erat dengan alamnya. Hutan, laut, pesisir, savanna dan pulau-pulau menjadi ruang hidup sekaligus sumber-sumber penghidupan

masyarakat Aru. Keterikatan tersebut dilihat dari aktivitas kehidupan masyarakat yang masih sangat bergantung pada hasil alam (subsisten) dan menggunakan tradisitradisi lokal dalam mengelola sumber daya alamnya. Bahkan telah membentuk budaya masyarakat lewat ikatan spiritual yang menyejarah antara masyarakat dengan alam atau ruang hidupnya. Sebagai contoh mengenai sejarah dan simbol dari Mata Belang17 yang menggunakan tanda-tanda alam18. Kepulauan Aru sebagai sebuah bentang geografis pulau-pulau kecil menyimpan potensi alam

yang kaya dan beragam. Sampai tahun 2018, telah teridentifikasi sekitar 832 pulau yang ada di Kepulauan Aru19. Lanskap hutan hujan tropis dataran rendah menutup hampir 75%20 kepulauan ini, menyimpan ragam hayati yang khas. Begitu juga ekosistem mangrove yang kaya memiliki sekitar 11 family dengan 25 spesies. Tersebar dengan luasan 156.524 hektar21 menjadi benteng alami pesisir pulaunya dari ancaman abrasi. Lebih lanjut, ekosistem Padang savanna di bagian selatan membentang sejauh mata memandang. Melengkapi kekayaan alam yang ada di Kepulauan Aru.

Mata belang merupakan rumpun kesatuan dari beberapa keluarga setara dengan marga yang memiliki ikatan kekerabatan/ keluarga dan kesamaan sejarah di masyarakat Aru. 18 Forest Watch Indonesia. 2015. Potret Kondisi Hutan dan Masyarakat di Kepualaun Aru, Maluku : Hal 24 19 Analisis data Forest Watch Indonesia tahun 2019 20 Luas tutupan hutan Kepulauan Aru sekitar 605 ribu hektare. Analisis data Forest Watch Indonesia tahun 2018 21 Analisis data tutupan Mangrove Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2018 17


31 | The Monitor, Januari 2022 Kekayaan alam dan sumber agraria (tanah, hutan, bukit, laut dsb) masyarakat Aru dikuasai dan dikelola secara bersama (kolektif) pada tingkat marga. Setiap marga memiliki wilayah kuasa/ kelolanya masing-masing yang disebut Petuanan22. Walaupun dikuasai oleh marga, petuanan ini dapat diakses oleh orang di luar marga, bahkan orang luar Aru sekalipun. Syaratnya orang tersebut harus memperoleh izin dari marga yang bersangkutan. Dalam mengelola kekayaan alamnya, masyarakat Aru memiliki kearifan lokal dan tradisi-tradisi sebagai suatu cara memanfaatkan sekaligus melestarikan alamnya. Kearifan lokal tersebut dapat berupa pengetahuan, wawasan, kepercayaan, dan adat kebiasaan

yang dimiliki serta disebarluaskan secara kolektif kepada semua anggota komunitas menggunakan bahasa lokal. Salah satunya Kearifan lokal bakar alang-alang Tordauk. Tordauk adalah tradisi berburu bersama yang dilakukan dengan cara membakar alangalang23. Tradisi ini dilaksanakan sekali dalam satu tahun oleh masyarakat di Aru Selatan. Sebagai penanda waktunya, ketika akhir musim kemarau atau sebelum musim penghujan datang. Penanda lainnya, masyarakat terlebih dahulu melakukan pembakaran alangalang kecil di desanya masingmasing. Setelah alang-alang kecil habis terbakar, barulah kemudian dilakukan pembakaran alangalang tordauk.

Masyarakat meyakini dengan membakar alang-alang dapat menumbuhkan rumput baru untuk pakan hewan yang hidup disana. Rumput yang menjadi pakan hewan tersebut akan tumbuh kembali lebih subur setelah alang-alang kering habis terbakar. Alang-alang baru akan cepat tumbuh di awal musim penghujan sehingga ketersediaan pakan bagi hewan terus terjaga sepanjang tahun. Tradisi Tordauk memiliki arti penting sebagai ruang kolektif antar desa dan marga untuk berburu bersama. Ada sekitar 12 desa di Aru Selatan yang ikut tradisi Tordauk, yaitu Desa Marafenfen, Popjetur, Gaimar, Doka Barat, Doka Timur, Laininir, Jerol, Lor-lor, Jelia, Feruni, Ngaiguli, dan Fatural.

Masyarakat Aru selatan melakukan upacara sebelum kegiatan bakar alang-alang Tordouk (Foto FWI 2018)

22 23

Petuanan adalah wilayah adat masyarakat Aru yang sudah dimiliki secara turun temurun Cahyono Eko et all. 2019. Bioregion Papua : Hutan dan Manusianya. Forest Watch Indonesia.


The Monitor, Januari 2022 | 32 Lebih dari itu Tordauk sebagai cara mempersatukan antar desa yang memang dekat secara jarak maupun hubungan kekerabatan, sosial, dan budaya. Tordauk menjadi pengikat sekaligus pengingat bagi lintas generasi bahwa masyarakat di Aru selatan adalah satu keluarga besar yang hidup bersama dalam ruang hidup yang sama24. Masyarakat Aru memiliki filosofi hidup yang disebut Sita Kaka Walike. Filosofi hidup yang menjunjung tinggi persaudaraan, saling bantu, berbagi hidup, bekerjasama dan harmoni dengan alam. Ikatan tersebut didasari atas kesamaan sejarah dan asal-usul masyarakatnya. Sebagai contoh Masyarakat Aru meyakini bahwa nenek moyangnya berasal dari Pulau Eno Karang. Kemudian akhirnya terbagi ke beberapa rumpun/ belang dan menyebar ke seluruh wilayah kepulauan Aru. Lain hal dengan tradisi Sasi. Sasi adalah bentuk kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan wilayah dan sumber daya alam. Secara umum praktik Sasi mudah ditemui di wilayah Indonesia timur (Maluku dan Papua). Begitu juga bagi masyarakat di Kepulauan Aru menggunakan Sasi untuk mengelola sumber daya alam dan ruang hidupnya. Biasanya Sasi berupa larangan pemanfaatan/ akses terhadap sumber daya alam dalam periode

waktu tertentu. Tujuannya mengoptimalkan hasil alam dan mencegah terjadinya kerusakan. Pada masyarakat Aru, sasi diterapkan pada kawasan/ wilayah (darat dan laut), tanaman kebun, hasil alam (walet, hewan buruan, hasil laut, pohon) dan objek lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Misalnya tradisi Dal Sir Savai Dam Sir Aja Jelburom Matvui pada masyarakat Batuley di Aru bagian Utara. Dal Sir Savai Dam Sir Aja Jelburom Matvui adalah salah satu adat sasi laut (larangan) yang mengolah hasil laut teripang25. Tidak hanya mengelola hasil lautnya tetapi juga mencakup kawasan pantai dan laut yang termasuk ke dalam wilayah petuanan. Upacara adat Sasi Teripang dilaksanakan setiap tiga sampai lima tahun sekali. Rentan waktu tersebut diyakini masyarakat sebagai usia teripang yang produktif untuk dipanen. Ketika Sasi diterapkan, masyarakat tidak diperbolehkan memanen teripang kecuali ketika pelaksanaan upacara buka sasi. Upacara buka Sasi biasanya berlangsung selama dua hari melalui serangkaian ritual dan doa ungkapan rasa syukur kepada Tuhan serta meminta agar hasil yang diperoleh melimpah.

Beberapa contoh diatas sedikitnya menunjukan bagaimana keterikatan masyarakat Aru dengan lingkungan dan ruang hidupnya. Mereka hidup dan membentuk kehidupan sesuai dengan kondisi masing-masing lingkungannya. Menunjukan bahwa eksistensi kehidupan masyarakat telah berlangsung sejak lama. Lewat pengetahuan lokal dan praktik tradisinya mereka mengelola kekayaan alam untuk keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungannya. Tantangan kedepannya, bagaimana pengetahuan lokal dapat diadopsi dan dijadikan dasar dalam rencana pembangunan daerah. Pemerintah daerah seharusnya memberi kepercayaan kepada masyarakat adat untuk mengelola kekayaan alamnya lewat praktik-praktik kearifan lokal dan tradisinya. Karena menggunakan konsep pengetahuan dari luar telah banyak melahirkan kegagalan menyejahterakan masyarakat. Bahkan menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan dan penurunan kualitas lingkungan.

**

Ibid Heatubun SY, Lewier M, dan Latupeirissa E. 2020. Sastra Lisan Batuley Dalam Upacara Adat Dal Sir Davai Dam Sir Aja Jelburom Matvui di Desa Kabalsiang Kecamatan Aru Utara Timur Batuley Kabupaten Kepulauan Aru. https//doi.org/10.30598/mirlamvol1no2hlm265-286 24 25


33 | The Monitor, Januari 2022

Pagelaran Menarik Indonesia Forest Expo (FOREXPO) 2021, Forest Watch Indonesia (FWI) Kampanyekan Indonesia Timur Oleh Zahra Amani – Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)

I

ndonesia Forest Expo 2021 atau biasa disebut Forexpo 2021 merupakan acara yang menjadi salah satu panggung bagi Forest Watch Indonesia (FWI) untuk mengkampanyekan isu-isu hutan di Indonesia, kali ini Forexpo 2021 hadir dengan membawakan tema “Indonesia Timur: Our Last Chance”. Digelar selama 3 hari, dari tanggal 1 hingga 3 Desember 2021, dengan berbagai rangkaian acara, seperti talkshow, pemutaran film, puisi, hingga pagelaran seni. Talkshow “Hutan dan Manusia di Indonesia Timur: Our Last Chance” Salah satu rangkaian acara pada Forexpo 2021 ini berupa talkshow yang berjudul “Hutan dan Manusia di Indonesia Timur: Our Last Chance”. Acara yang dibuka oleh Abdon Nababan selaku Ketua Dewan

Pengawas FWI menyampaikan dalam pembukaan pidatonya, “Manusia-manusia sejati nusantara di Indonesia Timur tidak bisa dipisahkan dengan alam. Mereka masih mengandalkan kehidupannya dengan mengelola sumberdaya alam secara langsung sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjaga alam. Kemudian, kita juga masih memiliki kesempatan karena Indonesia Timur masih bisa diselamatkan”. Selain itu, Direktur FWI Mufti Barri menyampaikan tentang ancaman-ancaman terhadap hutan yang ada di Indonesia Timur, seperti di wilayah Papua dan Maluku Utara. Kekayaan alam yang ada di Papua dan Maluku Utara menghadapi ancaman karena izin-izin perusahaan. Mufti Barri juga menyampaikan, bahwa kita perlu belajar dari sikap masyarakat di Kepulauan Aru, di mana mereka

menolak secara masif rencana pembukaan lahan bahkan semenjak perusahaan tersebut masih dalam tahapa awal pengurusan perizinan. Di sisi lain, hutan tidak terlepas dari kehidupan masyarakat adat. Sebelum Indonesia ada, tradisi agrobahari sudah hidup, tetapi ketika Indonesia ada, tradisi agrobahari justru diingkari terutama permasalahan hukumnya. Mama Aleta sebagai penggerak wanita yang hidup dengan menyaksikan hutannya dijarah oleh investor menjelaskan, masyarakat akan sejahtera apabila alamnya utuh dan tidak diganggu oleh pihak lain. Contohnya, apabila ada kegiatan pertambangan, hutan dihabiskan dan perempuan tidak bisa mencari obat herbal dan lainnya. “Jangan telanjangi bumi ini, karena kami butuh bumi dengan bungkusan”, tegas Mama Aleta. Simon Kamsi


The Monitor, Januari 2022 | 34 yang melakukan perjuangan di Kepulauan Aru, menuturkan bagaimana ketergantungan masyarakat Pulau Aru pada alam. Dengan rusaknya alam maka hilang juga semua habitat yang berada di dalamya. Di situlah pergerakan perjuangan Pulau Aru dimulai. Dalam bidang literasi, Eko Saputra Poceratu seorang penulis dari Maluku mendorong kegiatan perlawanan melalui tulisan. Rendahnya literasi terhadap permasalahan lingkungan mempengaruhi masyarakat dalam mengambil keputusan sehingga perusahaan-perusahaan bisa mengelabui masyarakat. Dengan literasi yang rendah, bagaimana kita bisa menganalisis ancaman yang sedang terjadi. Untuk itu, penguatan literasi dilakukan di Maluku. Menulis adalah melayani, maka seluruh pekerjaan penulisan dalam menyuarakan persoalan lingkungan adalah pelayanan yang penting. Diseminasi Hasil Kajian Hutan & Manusia di Indonesia Timur Erynola Moniharapan dari Universitas Pattimura berbicara mengenai ancaman krisis pangan akibat Pandemi Covid-19. Pandemi ini merupakan momentum untuk membangun kemandirian pangan, karena negara produsen akan mengamankan ketahanan pangan dalam negeri mereka sendiri. Berdasarkan mandat Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, diterangkan pada Pasal 41 untuk melakukan diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal dan Pasal 42 untuk melakukan diversifikasi dengan memanfaatkan pekarangan dan menguatkan pangan lokal. Potensi pangan lokal Indonesia

timur terdapat pada sagu, yang memiliki karbohidrat yang tinggi. Pemerintahpun mulai mengolah pati sagu. Dengan perkembangan yang ada, masih ditemukan kendala dalam proses pengembangan industri sagu diantaranya keterbatasan bahan baku, teknologi pengolahan dan infrastuktur di mana jauhnya lahan untuk sagu. Menuju harmoni manusia dan alam yang disampaikan oleh Aryo Condro, menuturkan bagaimana hubungan antara kondisi tropikal Indonesia dengan kelimpahan flora dan faunanya. Curah hujan yang maksimal dan suhu yang optimal mendukung vegetasi yang melimpah di daerah ekuator. Vegetasi yang melimpah ini menjadi potensi untuk kekayaan spesies biodiversitas. Tak sampai situ, flora dan fauna di Indonesia juga memiliki potensi sebagai penyimpan karbon yang tinggi. Berkaitan dengan hal itu, tantangan yang dihadapi juga semakin banyak diantaranya kepunahan besar-besaran pada masa Anthropocene, perubahan iklim, dan terus berkurangnya kawasan konservasi. Hal ini perlu dijadikan perhatian bagaimana pengelolaan yang harus dilakukan oleh pemerintah dan seluruh pihak untuk menjaga kawasan konservasi dan menjaga biodiversitas Indonesia. Talkshow “Mata Media: Apakah Kita Sudah Adil Melihat Indonesia Timur?” Pada sesi ini diawali dengan pertanyaan moderator yang ditujukan untuk Bagja Hidayat selaku perwakilan dari media Tempo. Mengapa menyorot hutan Papua? Beliaupun menjawab, tugas kami adalah menjalankan peran media sebagai institusi yang bisa

memberikan suara kepada yang membutuhkan suara. Kejadian besar di Papua belum tentu orang Jakarta akan paham itu. Di sinilah peran media, cara mendekatkan isi Papua dengan masyarakat di Jakarta adalah dengan menyorot hutan Papua. Selanjutnya, Jean Bisay dari media Jubi bersuara bagaimana informasi yang terdapat di Papua masih kurang tersampaikan dengan baik. Elisabeth Asrida yang berasal dari Mongabay Indonesia menyampaikan pentingnya keterlibatan wanita dalam melakukan pencarian informasi. Selain itu, apabila ingin lebih dalam ketika proses wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara kepada perempuan, karena mereka akan lebih banyak berbicara. Perempuan yang menjadi pimpinan kelompok tertentu mampu mempengaruhi orang lain untuk menjaga lingkungan di wilayah mereka. Terkait strategi yang akan dilakukan selanjutnya, Roy Murtadho dari media Indoprogress menuturkan bahwa perlunya dilakukan konsolidasi oleh semua level melalui banyak kelompok dan dibawa ke pihak yang lebih tinggi. Problem papua harus dibahas oleh semua kalangan. Tidak ada cara lain selain diskusi, ngobrol baik-baik, beradu argumen, beradu data, dan beradu fakta. Kalau tidak, kekerasan akan terus terjadi. Dilanjutkan oleh Bagja Hidayat, sebelum menjadi obrolan masal, kasus Papua harus diviralkan agar masyarakatpun lebih kenal dengan obrolan tersebut. Konsolidasi masyarakat sipil harus dikuatkan. Lembaga masyarakat sipil harus terus berbincang tentang Papua sehingga masyarakat Indonesia tahu bahwa Papua penting untuk kita perhatikan.


35 | The Monitor, Januari 2022 Talkshow “Kejahatan Kehutanan di Indonesia Timur” Egi Primayoga dari Divisi Korupsi Politik ICW memaparkan bahwa di sektor kehutanan memiliki nilai kerugian negara sebesar 1,255 Triliun dengan nilai suap 7,23 M. Modusnya antara lain penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, suap, dan laporan fiktif. Titik rawan korupsi terjadi antara lain ketika jual beli perizinan, perencanaan tata ruang, manipulasi kewajiban perusahaan, dan pengawasan yang lemah pada perusahaan. Lebih lanjut lagi, indikasi kerugian negara akibat deforestasi hutan lain yaitu sebanyak 2.547.023.080 m3 volume kayu mengalami deforestasi dan terdapat 5 kali lipat kayu yang tidak tercatat dibandingkan yang tercatat. Temuan budget tracking ICW terhadap sektor kehutanan antara lain adanya sengkarut data dan pencatatan, pengawasan tidak optimal, serta kurangnya pelibatan publik dan rendahnya transparasi. Untuk pencegahannya sendiri, dari segi teknis aspek transparansi menjadi penting untuk mendapatkan informasi mengenai kehutanan. Kemudian, penguatan pengawasan aparat hukum karena terjadi ketidaksinkronan dengan pecegahan dan penindakan. Franky Samperante sebagai Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyampaikan dua kasus besar yang sampai saat ini masih belum jelas kelanjutannya. Kasus pertama, proyek tanah merah. Investor awal mendapatkan izin dari KLHK untuk konversi kawasan hutan, padahal didapatkan permasalahan pada izin lingkungannya. Proyek tersebut

selanjutnya mengembangkan industri kayu yang pada kenyataannya memiliki izin bertandatangan palsu. Kasus kedua, tahun 2018 Polda Papua melakukan penangkapan pengusaha berinisial FP yang pada saat itu melihat pengusaha lain membawa uang untuk pengusaha FP. Dibalik itu, ternyata FP melakukan pemerasan pada perusahaan JP yang sedang bermasalah namun yang ditahan adalah kepala dinasnya. Dalam menindak kasus kejahatan pidana di sektor kehutanan, perwakilan dari Polri menuturkan bahwa dalam menjaga kawasan hutan terdapat 4 kejahatan, antara lain pembalakan liar, penambangan tanpa izin dalam kawasan hutan, perkebunan tanpa izin, dan karhutla. Penanganan tindak pidana pembalakan liar di Kalimantan Tengah sudah dilakukan selama 45 hari dan tinggal 45 hari lagi. Di Kalimantan Barat, anggotanya sudah tertangkap dan setelah yang bersangkutan diperiksa, maka ditemukannya barang bukti. Kemudian, penambangan tanpa izin di Kalimantan Tengah yang kemudian Polda menemukan satu alat berat. Selain itu, tindak pidana karhutla sudah disepakati bahwa akan dilakukan dengan penegakan hukum terpadu. Wilayah Papua masih jarang dilaporkan kasusnya, terbanyak masih dari Kalimantan. Batasan waktu 90 hari ketika melakukan tindakan ini yang menjadi batasan dilakukannya penyelidikan. Era Purnama Sari menjelaskan bagaimana perlindungan terhadap masyarakat adat. Masyarakat kehilangan akses dan kontrol terhadap wilayah adatnya termasuk hutan, yang berimplikasi terhadap kemiskinan pada masyarakat adat. Pada UU,

tidak ada satu mandatpun yang menyatakan kalau negara akan memberikan izin penggunaan hutan apabila sudah ada ijin kepada masyarakat adat, tidak seperti di pertambangan yang memerlukan izin masyarakat. Ketika masyarakat kehilangan akses tanah, maka mereka kehilangan identitas. UU kehutanan memberikan pelunakan bahwa penetapan fungsi kawasan hanya dengan penunjukan. Namun, tidak berlaku hukum pidana dengan proses penunjukan karena tidak melalui penetapan kawasan hutan. Masyarakat adat yang mengambil kayu untuk keperluan seharih-hari seharusnya tidak terjerat oleh hukum pidana. Namun, ketika illegal logging terjadi oleh perusahaan, argumentasi aparat menyatakan belum dilakukan pengukuhan kawasan. Nah, terdapat standar ganda pada kejahatan kehutanan tergantung dari siapa subjeknya. Agung Ady Setyawan dari FWI menambahkan, bahwa kejahatan kehutanan yang terjadi sudah mulai canggih dan sudah bisa melakukan pengurusan izin yang sebetulnya perlu diselidiki perizinannya. Di Kepulauan Aru, terdapat kayu yang keluar menuju pelabuhan yang ternyata tertangkap setelah diinvestigasi oleh KPK. Pengaduan seperti ini menjadi penting. Ketika ada pengaduan selanjutnya yang mirip dengan pengaduan sebelumnya, informasi ini akan saling melengkapi bagaimana modus-modus yang terjadi pada kejahatan kehutanan saat ini. Sehingga, apabila ada kasus yang serupa akan lebih cepat penanganannya.


The Monitor, Januari 2022 | 36 Referensi Cashore, Benjamin, and Michael W. Stone. 2012. “Can Legality Verification Rescue Global Forest Governance?: Analyzing the Potential of Public and Private Policy Intersection to Ameliorate Forest Challenges in Southeast Asia.” Forest Policy and Economics, Emerging Economic Mechanisms for Global Forest Governance, 18 (May): 13–22. https:// doi.org/10.1016/j. forpol.2011.12.005. Giessen, Lukas, Sarah Burns, Muhammad Alif K. Sahide, and Agung Wibowo. 2016. “From Governance to Government: The Strengthened Role of State Bureaucracies in Forest and Agricultural Certification.” Policy and Society 35 (1): 71–89. https://doi.org/10.1016/j. polsoc.2016.02.001. Hasyim, Moh Zainuri. 2017. “Peran Pemantau Independen dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia.” Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Ichwan, Muhammad, Agus Budi Purwanto, Deden Pramudiana, Zainur Rohman, and Munif Rodaim. 2021. Rakyat Memantau: Dinamika pemantauan SVLK oleh masyarakat adat/lokal di Indonesia. Yogyakarta: BP ARuPA, PPLH Mangkubumi, JPIK, FAO. Klooster, Dan. 2005. “Environmental Certification of Forests: The Evolution of Environmental Governance in a Commodity Network.” Journal of Rural Studies 21 (4): 403–17. https:// doi.org/10.1016/j.

jrurstud.2005.08.005. Li, Tania Murray. 2000. “Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot.” Comparative Studies in Society and History 42 (1): 149–79. Scoones, Ian. 2020. Penghidupan Berkelanjutan & Pembangunan Berkelanjutan. Translated by Nurhady Sirimorok. Seri Kajian Petani Dan Perubahan Agraria. Yogyakarta: Insist Press. Setyowati, Abidah, and Constance L. McDermott. 2017. “Commodifying Legality? Who and What Counts as Legal in the Indonesian Wood Trade.” Society & Natural Resources 30 (6): 750–64. https://doi.org/10.1080/08 941920.2016.1239295. Smith, Adam C., and Bruce Yandle. 2014. Bootleggers and Baptists: How Economics Forces and Moral Persuasion Interact to Shape Regulatory Politics. Washington, D.C: Cato Institute. TRIC. 2020. “Di Ultah Chatham House, Menteri Siti Nurbaya Jelaskan SVLK Dan Peran Hutan Di Masa Pandemi Covid-19.” TRIC Indonesia (blog). July 18, 2020. https://tricindonesia.com/berita/svlk/ di-ultah-chatham-housementeri-siti-nurbayajelaskan-svlk-dan-peranhutan-di-masa-pandemicovid-19/. Varagis, Panayotis N, CA Primo Braga, and Kenji Takeuchi. 1993. “Tropical Timber Trade Policies: What Impact Will Eco-Labeling Have?” World Bank. https://documents1. worldbank.org/ ted/535441468741004003/ pdf/multi0page.pdf.

KOMPASTV. (2021). Pidato Jokowi di COP26: Pamer Kontribusi Indonesia Penanganan Perubahan Iklim. Diakses dari https:// www.youtube.com/ watch?v=-7Xgcy0LwYQ Nugraheny, D. E. (2021). Kontroversi Pernyataan Menteri LHK soal Pembangunan dan Deforestasi. Diakses dari https://nasional. kompas.com/ ead/2021/11/05/06255601/ kontroversi-pernyataanmenteri-lhk-soalpembangunan-dandeforestasi?page=all Pristiandaru, D. L. (2021). Apa itu COP26 dan Mengapa Penting? Diakses dari https://www. kompas.com/global/ ead/2021/11/03/071227770/ apa-itu-cop26dan-mengapapenting?page=all Suara Mahasiswa Universitas Inonesia. (2021). Aksi Iklim Kembali Digelar, Menanti Aksi Nyata Pemerintah. Diakses dari https:// suaramahasiswa.com/ aksi-iklim-kembali-digelar Suseno, F. M. (2016). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (edisi ke-8). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009


37 | The Monitor, Januari 2022

Selamatkan Hutan Indonesia


The Monitor, Januari 2022 | 38


01 | The Monitor, Januari 2022

JPIK secara rutin mempublikasikan Newsletter setiap 3 bulan sekali, Newsletter ini sebagai salah satu wadah untuk berbagi informasi mengenai aktivitas JPIK dan mitra, serta pihak terkait lainnya tentang kondisi terkini pengelolaan hutan di Indonesia. JPIK mengajak anda berpartisipasi menjadi kontributor, anda bisa mengirimkan karya tulisan ke alamat dan kontak di bawah ini: Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Jl. Babakan Sari VI No.5, Bantarjati, Kec. Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, 16129 Tel: +62 251 8397371 Email: jpikmail@gmail.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.