Ambitious Cinema of China, Hong Kong, and Taiwan
2
a zine by: saida khaliladisya alifia arsyadani osama jarnauzy salwa ramadhani
3
Apa yang langsung muncul di kepala ketika ditanya apa stereotip orang Tionghoa? Salah satunya adalah sifat ambisius : goal-oriented, goaldriven, dan ingin mendapat pengakuan dari orang lain. Hal itu tidak sembarangan muncul; terlebih ketika stereotip seringkali ditampilkan secara komikal—baik disadari atau tidak—dalam tontonan seharihari, apalagi ketika dibuat oleh bukan orang Tionghoanya sendiri. Mereka digambarkan selalu niat dan kompetitif dalam melakukan apa pun, apalagi jika dikaitkan dengan pekerjaan dan passion mereka masing-masing. Ambil contoh di Indonesia. Pada film Filosofi Kopi (2015)—yang ditulis dan disutradarai oleh orang Indonesia—terdapat karakter utama dengan background etnis Tionghoa; yaitu Jody. Diperankan oleh Rio Dewanto, karakter ini digambarkan sangat ambisius dalam pekerjaannya— yang
dikaitkan erat dengan keluarganya. Ambil contoh produksi Hollywood, The Karate Kid (2010)—pun ditulis oleh orang Amerika dan disutradarai oleh orang Belanda-Norwegia— yang benar-benar mengambil setting dan menyoroti karakterkarakter orang Tionghoanya sendiri. Mereka digambarkan super kompetitif dan perfeksionis, sampai-sampai terlihat terlalu ambisius dan cukup ditekan untuk mencapai title tertentu sejak kecil. Tetapi, setelah sekian lama didepiksi; dari mulai yang subtle hingga yang komikal, apakah stereotip ini benar adanya? Bagaimana refleksi para sineas etnis Tionghoanya sendiri dalam karya sinematik mereka?
4
Kehidupan orang yang Ambisius
Tionghoa
Tidak jauh dari bahasan isi film buatan orang Tionghoa yang akan dibahas belakangan, salah satu aspek luar film, yaitu dalam proses pembuatannya, begitu mencerminkan bagaimana orang Tionghoa menangani pekerjaan dengan passionnya. Pada produksi In the Mood for Love (2002), Wong Kar-wai melakukan proses pengambilan gambar yang lamanya hingga 15 bulan, bahkan tanpa skrip untuk para aktor dan aktrisnya. Jika tanpa dibarengi ambisi, film ini rasanya tak akan pernah terwujud. Namun, dibuktikan dengan kualitas dan penghargaan-penghargaan yang didapat, ambisi dapat mewujudkan itu.
Pun dalam proses produksi film-film lain, khususnya pada film yang mengangkat martial arts, aktor-aktor laga Tionghoa seperti Jackie Chan dan Bruce Lee yang legendaris terkenal melakukan aksi stuntnya sendiri, mulai dari yang kecilkecilan hingga yang berbahaya sekalipun. Bahkan, salah satu anekdot mengatakan bahwa Bruce Lee harus memperlambat gerakannya agar kamera pada masa itu dapat menangkapnya. Dengan pengakuan, titel legendaris, dan banyak penghargaan, ambisi mereka untuk mempersembahkan seni bela diri yang mengagumkan pun terlihat jelas dan pada akhirnya terwujud.
5
Refleksi Ambisi dalam Sinemanya
Tionghoa
Stereotip terhadap masyarakat Tionghoa terasa semakin terbukti dengan adanya hasil industri perfilman yang mengindikasikan kebenaran dari hal yang digeneralisasi. Banyak film produksi Tiongkok sendiri yang mencerminkan bahwa memang benar, ambisi dan orientasi pada tujuan yang kuat adalah hal yang nyata terjadi dan sudah menjadi karakter dari masyarakat itu sendiri. Dengan film-film terpilih berikut, kami mencantumkan beberapa hal yang dapat mendukung pembuktian ini. Pada film Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000). Film ini menceritakan tentang Jen, seorang putri yang akan segera menikah. Namun dalam hatinya, dia tidak ingin terikat dalam tali pernikahan tetapi dia ingin hidup bebas dan menjadi ksatria.
Untuk mewujudkan mimpinya, ia berlatih dengan keras sejak kecil dengan salah satu ksatria yang paling hebat dijamannya. Dalam film Kung Fu Hustle (2004), karakter yang menjadi sorotan adalah Sing. Ambisi dia berasal dari masa lalunya ketika dia ingin menolong orang lain yang tertindas, ternyata dia tidak cukup kuat/lemah sehingga dia yang tertindas balik. Sejak itu, dia berambisi untuk menjadi bagian dari perkumpulan orang yang berkuasa karna menurut dia, dengan dia menjadi bagian dari orang-orang yang berkuasa, orang-orang akan berhenti menindasnya. Maka dia berusaha dengan keras untuk menjadi member Axe Gang yaitu merupakan geng yang paling berkuasa dalam wilayah yang ia tempati.
6
Pada film Chungking Express (1994), stereotip ini terbukti dengan cukup subtle, namun tetap terasa. Peran Faye, seorang gadis yang jatuh cinta dengan seorang polisi, menunjukkan karakter goaldriven. Demi mengekspresikan rasa cintanya, ia rela datang ke apartemen sang polisi dan membersihkannya setiap hari, meskipun aksinya tersebut tidak disadari. Ko-Teng pada film You Are The Apple of My Eye (2011) rela mati-matian mengerjakan soalsoal pelajaran setiap hari, padahal ia di kamus hidupnya tidak ada kata ‘belajar’. Ambisi yang ia miliki itu semata-mata demi mempertahankan harga diri ketika ada yang meremehkan dirinya dan mengajak bertaruh.
Karakter Chi-Mo pada Fallen Angels (1995) berambisi tinggi mendapat pengakuan dari orang lain. Malam-malam ia membuka lagi toko-toko tutup, sampai menarik dan memaksakan jasa kepada orang asing hingga dibayar. Hal-hal segila itu ia lakukan, hingga ia menemukan cinta pertamanya— suatu pengakuan lain dari semesta. Ia pun menjadi berambisi menemukan rasa cinta lain, dengan menghibur sosok ayahnya yang kesepian. Setelah ia berpisah dengan cinta pertamanya, ia pun berambisi memperbaiki dirinya. Dapat disimpulkan stereotip ini sangat tergambarkan oleh Chi-Mo.
7
Pada akhirnya, setelah melihat beberapa fakta dibalik layar pun konten dalam layar sinema orang Tionghoanya, stereotip bahwa mereka adalah orang-orang yang ambisius sejatinya valid; namun tidak sepenuhnya benar. Ambisi dapat membawa dampak yang beragam; tetapi ketika sudah berubah menjadi stereotip, apakah ambisi menjadi hal yang buruk saja?
8
movie list crouching tiger, hidden dragon kung fu hustle chungking express you are the apple of my eye in the mood for love fallen angels city hunter hear me
9
Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) When master Li Mu Bai is ready to leave his glory days behind him, he asks his friend Yu Shu Lien to take his renowned sword, The Green Destiny and present it as a gift for Sir Te He explains that his sword holds a lot of memory from his warrior days and if he keeps it, he won’t be able to have a peaceful retirement. When Yu Shu Lien finally arrives at Sir Te’s residence and hands over the sword to him, he accepts the gift with pleasure and told his servants to keep it in his office. But when a guest arrives and the night falls, the sword is stolen from Sir Te’s office and that’s where the story takes on another level.
There’s so much to love from this movie, the most blatant one being the fight scenes. Most movies have fight scenes that just throws me off. It’s those kinds of fight scenes that have one too many jump cuts that makes the scene don’t flow properly. An example of a movie with too many jump cuts is a scene from Taken 3. In a particular scene, Brian Mills jumps a fence and it has 15 cuts in 6 seconds. In this movie though, the fight scenes are shot in long wide shots so that we can see the interaction from the characters better.
10
The fight scenes in this movie doesn’t feel like it’s only about two characters trying to kill each other, it feels like two characters communicating with each other and let their feelings and frustrations loose. The fight choreography is one of the best I've ever seen in a movie. The movements from each characters flow nicely with no ounce of resistance and hold backs. And the best part about it is that the only CGI involved in this movie is to remove the safety wires. And most of the fight scenes were done by the real actors and not their stunt doubles.
Which is fascinating considering the fact that there’s a scene where Li Mu Bai and Jen fight on top of the trees, 60 feet in the air. It is said that it took 10 days for the crew to get set up at the location. But after seeing the finished product, the results are absolutely worth it.
11
Even though female lead protagonists in movies right now is popular in cinema with characters like Wonder woman or Lara croft, this movie does it way better even though it came out 18 years ago. This is an action movie and yet it’s dominated by prodigious women. Out of 4 of the main characters in this movie, 3 of them are female. Even the best fight scene in the entire movie in my opinion; the dojo scene is between 2 females. There’s no denying that Gal Gadot did amazing in wonder woman. But Michelle Yeoh undergoes intense physical training while also learning to speak Mandarin. As for her fight scenes, she did with little to no help from the stunt doubles. When you’re watching a movie, usually there’s one scene that lingers to your memory after the movie have finished. A particular scene that shines is when Yu Shu Lien visited Jen, the daughter of a Manchurian governor who is secretly the one who stole Li Mu Bai’s sword.
When she visited her, Jen is in the middle of writing calligraphy. And when Jen offered to write Yu Shu Lien’s name, we get a closeup of the brush stroke and how her hand moves when she’s doing calligraphy. In a well made movie like this, it’s not a coincidence that Ang Lee gave us 2 long shots of ordinary things, except it’s not a coincidence. Ang Lee gave us those 2 shots so that we’ll notice them and the message that he’s trying to deliver to us. He made those ordinary shots of Jen writing calligraphy and her hand movements extraordinary because he put meaning behind them. And when the lingering shot ended, we get cut to Yu Shu Lien’s face, shifting her eyes from the brush to Jen. And from that simple shot we are informed that we are not the only one who gets the message. Yu Shu Lien fought the sword thief the night before and she recognizes the thief’s gestures and from there, she instantly realized that Jen’s the one who stole Li Mu Bai’s sword the night before. 12
I’m going to be honest, I don’t really watch a lot of foreign movies to begin with. Foreign movies aren’t the type of movies that I watch voluntarily. So, after being given this task, I’m excited to explore the kind of movies I would have never watched if I have free time. And it’s safe to say that this movie intrigues me enough to seek and watch more films that aren’t just from Hollywood. | Director : Ang Lee | Cast : Chow Yun-Fat, Michelle Yeoh, Zhang Ziyi | Duration : 120 minutes | Country : China|
13
Kung Fu Hustle (2004) The year is 1940. In Canton, China and the town is ruled by a notorious axe gang lead by Brother Sum. The only part in Canton save from all of axe’s gang chaos is a slum called Pig Sty Alley because the people there are so poor, they are not worth terrorizing. When a wanna be gangster and his friend Bone attempt to burglarize from a barber and failed, they accidentally summon the real axe gang to Pig Sty. However, it turns out that there are several kung fu masters living in Pig Sty and from there,
the two sides become enemies. As the story continuous, Sing must decide whether he should become a mobster or become the good guy. Even though I’m not a big fan of comedy films or comedy genre in general, when I watch this movie, there’s never a dull moment. This movie is successful on making me entertained from the beginning till the end. And this is due to the fact that there’s always something exciting going on in the screen. 14
When I watch this movie, it feels like if I looked away even for a split second, I will miss something. The thing that stands out the most in this film is how diverse the characters are. There’s this Landlady, a short a short-tempered, chain-smoking old woman who hides her true self and skills because of her and her husband’s traumatic past. There are also three seemingly ordinary residents: Donut, Tailor, and Coolie who are secretly three retired kung fu legends, and there’s our main character Sing, a loser in life whose ambition is to join the Axe Gang. This movie is like an
explosion of different personality and everytime a new character is being introduced, the next character is as interesting as the previous one. the two sides become enemies. What I like about this film is its ability to change serious moments and make it more light hearted without overdoing it. This film knows whether a scene should be completely serious or not. An example of this is when two assassins are sent to kill Donut, Tailor, and Coolie. This scene is set up to serious but this movie is successful to squeeze in some comedic aspects. But when the time comes to be completely serious, this movie respects the scene by not trying to make a joke in it.
15
There’s this one particular scene that I don’t like though. It’s the scene where Sing is recovering from an injury in a traffic light and that scene is so full of unnecessary CGI. I feel like that scene does nothing to keep the plot going and I personally think that this movie could do better without it. Comedy movie is not something I’m usually interested in nor is it the type of film I usually enjoy. However, this movie manages to be entertaining and made me chuckle here and there. | Director : Stephen Chow | Cast : Stephen Chow, Danny Chan, Yuen Qiu| Duration : 98 minutes | Country : Hong Kong|
16
Chungking Express (1994) Berlatarkan di gang-gang sempit kawasan Chungking Mansions, Chungking Express (dir. Wong Kar-Wai) menyajikan dua kisah yang parallel di beberapa tempat, namun tidak berhubungan. Dalam masingmasing bagian terdapat beberapa kesamaan, yaitu seorang polisi yang patah hati karena baru ditinggalkan oleh kekasihnya, sampai pada akhirnya teralihkan perhatiannya kepada wanita lain. Dan keduanya sering mampir ke sebuah kios makanan di tengah daerah Chungking, Midnight Express.
Bagian pertama mengisahkan tentang seorang polisi dengan nomor badge 233, He Qiwu (Takeshi Kaneshiro) yang mempunyai cara yang sedikit ganjil untuk menentukan kapan ia harus merelakan kekasihnya, May yang baru meninggalkannya dan move on: Cop 233 memberi waktu sampai hari ulang tahunnya, 1 Mei 1994 sampai kekasihnya menelponnya balik. Seiring berjalannya cerita Cop 233, fokus lain pada bagian pertama ini adalah seorang wanita misterius berambut palsu pirang (Brigitte Lin) — lengkap dengan trench coat dan kacamata hitam— yang 17 juga mempunyai agenda penting
pada 1 Mei. Di hari itu, ia harus menyelesaikan operasi penyelundupan narkoba yang tengah dilakukannya. Meski keduanya ibarat berada di ujung-ujung yang berbeda pada sebuah spektrum (polisi sentimental dan gembong narkoba yang cool, could they be any more different?), takdir mempertemukan mereka. Empat puluh menit film berlangsung, narasi film berpindah fokus ke seorang polisi yang bahkan lebih “gila� lagi tingkah lakunya dalam menyikapi patah hatinya. Cop 663 (Tony Leung), yang nama aslinya tidak diberikan, baru
saja dicampakkan oleh seorang pramugari (Valerie Chow) yang telah bersamanya selama bertahun-tahun. Ia sangat frustasi sampai-sampai seluruh perabotan rumahnya pun diajak terlibat dalam curhatannya. Setiap hari, ia datang ke Midnight Express. Diam-diam, ia diamati oleh seorang gadis yang bekerja di sana, Faye (Faye Wong). Lama-kelamaan rasa penasaran Faye pun berubah menjadi obsesi yang kuat, terlebih setelah ia mengetahui sebuah fakta tentang sang polisi dan mantan kekasihnya.
18
Terdapat sebuah tema yang cukup kentara dari film ini, yaitu hasrat atau keinginan yang mendalam yang dimiliki oleh tiap-tiap karakter. Kedua karakter polisi jelas sedang sakit hati karena ditinggal oleh sang kekasih dan menginginkan distraksi dari rasa tersebut. Pemeran wanita pun demikian. Si Wanita Pirang menunjukkan bahwa ia sudah lelah dan ingin lari dari pekerjaannya yang mengancam hidup. Faye, sejak awal kemunculannya sudah menunjukkan rasa ketertarikannya dengan Cop 663 dan selama beberapa waktu terus berpegang dalam perasaan itu. Plotwise, film ini sederhana; alurnya tidak rumit dan cukup gamblang, meski kesederhanaan dari jalan cerita tidak lantas membuatnya menjadi kurang menarik. Chungking Express masih berkutat di hal-hal yang pada umumnya ditemukan di film bergenre drama-romansa lain: patah hati, jatuh cinta pada pandangan pertama, hasrat.
Namun, alih-alih berfokus pada kerangka yang konvensional—konflik yang dilanjutkan resolusi— Wong KarWai mengutamakan sisi psikologis: bagaimana tiap-tiap karakter menyikapi apa yang tengah dihadapinya. Salah satu yang paling menarik adalah saat bertemunya Cop 233 dengan Si Wanita Pirang, keduanya yang semula kalut dalam permasalahan dapat pada akhirnya menemukan titik terangnya masing-masing hanya dari obrolan ringan dan gestur-gestur kecil yang completely platonic. Atau cara Faye mengekspresikan rasa cintanya dengan diamdiam merapikan dan mendekor ulang apartemen Cop 663 setiap hari. Bagi saya, adeganadegan tersebut mengesankan karena jujur dan relatable walau sederhana.
19
Dari segi sinematografi, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Scene pertama dan terakhir pada bagian pertama terlihat patah-patah dan terdistorsi, seperti orang yang sedang terbata-bata. Visual hasil kolaborasi Wong Kar-Wai dan Christopher Doyle ini menimbulkan hasil speed yang cukup unik dan aneh— bukan slow-mo, bukan dipercepat – seperti sedang menonton flipbook. Di scene ini pula, terdapat adegan kejarkejaran antara Cop 233 dengan seorang tersangka. Fokus kamera hanya berada pada mereka berdua, tidak pada latar yang penuh cahaya lampu neon sehingga latar menjadi blurry, streaky dan sedikit pixelated yang mengagumkan. Yang menjadi ciri khas dari film ini, baik di bagian pertama maupun kedua serupa, namun kali ini objek yang menjadi fokusnya (biasanya pemeran utamanya) bergerak dalam slow-motion, dan semua hal di latarnya terlihat rushing seperti di-fast forward. Teknik seperti itu
berhasil menonjolkan fokusfokus yang ingin ditonjolkan dengan dramatis sehingga tiap adegan terasa lebih intens, memberikan waktu untuk audiens lebih menyerap mood yang sedang dibangun. Selain di Chungking Express, WongDoyle juga menerapkan teknik ini di beberapa film lain, seperti pada Fallen Angels (1995). Bila Anda mencari film dengan jalan cerita yang kompleks, Chungking Express bukanlah film yang tepat. Tapi, jika Anda menginginkan film yang menyuguhkan pengalaman sinematik yang berbeda, maka inilah film yang harus ada di watchlist! | Director : Wong Kar-Wai | Cast : Brigitte Lin Chin-Hsia, Takeshi Kaneshiro | Duration : 98 minutes | Country : Hong Kong|
20
You Are The Apple Of My Eye (2011) Sebuah kisah tentang memori masa lalu, mengingat cinta pertama, dan menyadari bahwa cinta sejati bukan berarti harus bersama. You Are The Apple Of My Eye adalah film adaptasi dari semiautobiografi bestseller seorang penulis Taiwan, Giddens Ko (juga sutradara film ini) yang berjudul Those Years, We Chased The Same Girl Together. Berlatarkan Taiwan pada tahun 1990-an, film ini mengangkat romansa anak muda tipikal yang dipadukan dengan humor vulgar khas ABG (bahkan film ini dijuluki sebagai Taiwanese Pie!).
Film ini berkisah tentang Ko Chin-Teng atau Ko-Teng (Ko Chen-Tung), seorang pelajar SMA usil dan bengal yang tidak punya kata ‘belajar’ di kamusnya. Suatu hari, karena kenakalannya oleh guru ia dipindahkan tempat duduknya ke depan seorang juara kelas sekaligus incaran semua anak laki-laki di kelasnya, Shen ChiaYi (Michelle Chen) dengan harapan dapat memotivasinya untuk belajar. Hubungan mereka awalnya berjalan dengan buruk, namun karena suatu hal lambat laun membaik. Mereka mulai berteman, dan perlahan timbul keinginan untuk sesuatu yang lebih. 21
Inti dari plot film ini sebenarnya hanyalah seorang bad boy yang jatuh cinta dengan good girl, sebuah tema yang sudah sangat sering diangkat berbagai film remaja. Alasan mengapa film ini sangat sukses, terutama di kalangan anak muda di asia adalah karena sang sutradara, Giddens berhasil mendepiksikan kehidupan remaja dengan akurat. Remaja perempuan kebanyakan akan tertarik dengan film ini dengan kisah cinta yang “menye� dan pemeran-pemeran yang tampan, dan remaja pria pun juga bisa merasa relate dengan kebiasaankebiasaan yang umumnya dianggap tabu dan memalukan. Karena hampir di
seluruh belahan dunia terdapat stereotip boys will be boys: banyak yang cenderung suka “humor jorok�, malas mengerjakan tugas sekolah dan jarang ada yang berani untuk mengungkapkan perasaannya kepada lawan jenisnya. Bagi saya, aspek personal inilah yang menjadi kekuatan terbesar dari film ini. Jujur, saya bukanlah orang yang mudah terbawa perasaannya oleh film, but this movie breaks my heart to pieces. Bukan karena terlalu sedih atau apa, tetapi karena film ini mengajarkan saya satu hal: bahwa selalu akan ada konsekuensi untuk apapun yang kita lakukan, termasuk cinta.
22
Ketika kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, kita tidak mempedulikan apakah cinta kita dibalas atau bagaimana kelanjutan dari hubungan. Hal yang menjadi nomor satu adalah bagaimana kita mencintai mereka dengan tulus tanpa mengharapkan apapun, dan kebahagiaan orang yang kita cintai itu sendiri. Ada satu hal yang mungkin menarik dibahas dari film ini: dari sisi penokohan, peran-peran wanita terasa under-developed bila dibandingkan dengan peran pria. Meski hanya dua, yakni Chia-Yi dan sahabatnya, namun keduanya tidak diberikan backstory yang cukup: kita tidak mengetahui apapun tentang mereka selain dari apa yang diketahui oleh Ko-Teng dan teman-teman prianya. Sekilas, hal ini terlihat sebagai kekurangan dari film ini. Namun, ini justru poin tambahan yang ingin disampaikan oleh film, bahwa seringkali, pria kesulitan untuk mengerti kaum hawa, terutama di masa muda awalawal mengenal cinta, seperti yang dialami oleh Ko-Teng dan teman-temannya.
Overall, film ini menarik untuk ditonton, apalagi untuk para pecinta rom-com. Namun, note thatfilm ini bukan untuk semua kalangan, karena terdapat cukup banyak materi vulgar yang kurang senonoh bila ditonton anak dibawah umur. | Director : Giddens Ko | Cast : Kai Ko, Michelle Chen | Duration: 110 minutes | Country : Taiwan |
23
In The Mood For Love (2002) Spoiler Alert In the Mood for Love (2002) was obviously made when Wong Kar-wai was in mood for a love movie. Dengan warna merah dominan, musik klasik romantik, dan close up shots di mayoritas dialog intim kedua karakter utama, mood film ini benar-benar di-set sebagai film cinta klise. But what if, in fact, Wong was just majestically mocked the shit out of a love movie? Mengisahkan tentang dua orang yang sudah menikah, Mrs. Chan (Maggie Chung) dan Mr. Chow (Tony Leung) yang kebetulan pindah menjadi bertetangga pada hari yang sama dan
kemudian mengetahui pasangan mereka masing-masing berselingkuh. Keduanya lalu menjalin pertemanan. Kemudian lama-kelamaan mereka menyadari bahwa keduanya saling menyimpan perasaan. Dari judulnya, dan dari impresi poster juga still shotsnya, juga sinopsisnya, saya benar-benar berprasangka akan disuguhi sajian romansa biasa khas Asia. Akan timbul benihbenih cinta antara karakter utama. Hal itu masih dalam pikiran saya sampai 15 menit durasi berlangsung. Menantinanti adegan itu, adegan pandangan pertama yang akan memicu 24
perselingkuhan. Tapi nihil, yang ada hanya Mr. Chow dan Mrs. Chan berpapasan dan berbasabasi kaku. Sampai pada second act, fakta yang baru muncul adalah kedua pasangan mereka yang berselingkuh. Tapi, alih-alih merasa sedih, keduanya sepakat untuk menghadapi masalah ini bersama dengan melakukan roleplay. Bukannya menampilkan perselingkuhan sesungguhnya, justru kita disuguhkan dengan para korbannya; yang juga bukannya merasa sedih, justru malah bermain roleplay — mengolok-olok, menerka-nerka apa yang mungkin pasangan mereka lakukan; yang bahkan tidak pernah muncul batang hidungnya, dengan intensi agar fokus tidak kabur. Dan masih
banyak bukannya serta justru yan g lain. Senada dengan fakta bahwa pada akhirnya Mr. Chow dan Mrs. Chan saling menyimpan rasa tetapi mereka tetap menolak untuk mengakuinya; jelas terlihat bahwa Wong Kar-wai menolak menutur cerita cinta dengan jalan biasa. Adegan-adegan intim di lorong, restoran, dan hotel ketika keduanya melakukan roleplay seolah mengolok film cinta pada umumnya; yang most likely menjadikan adegan-adegan tersebut menjadi adegan vital dimana karakternya sama sekali tidak berpura-pura.
25
Dari pengambilan gambarnya yang seolah mengintip dari cermin, jendela, celah, dan kesempatankesempatan lain —hasil kolaborasi kreatif Christopher Doyle, Mark Lee Ping-bing, dan Kwan Pun Leung —memberi impresi bahwa korban-korban perselingkuhan ini memiliki kisah yang lebih menarik, dan lebih terlarang untuk dilihat. Meski begitu, rasa yang timbul menjadi lebih organik, lebih menarik untuk diikuti. Rasa seolah mengobservasi langsung kepada para karakternya memberi andil besar. Somehow, dengan cara ini, simpati terhadap karakternya menjadi lebih kuat, dan meninggalkan impresi yangberbeda dari film cinta lain.
Bagaimana ia mendekatinya dengan hati-hati, menghindari apa yang ia benci, terbukti bisa membuka jalanjalan lain. Dengan cara begitu pula lah, tema-tema yang belum pernah dieksplorasi di dunia sinema sebelumnya menjadi tereksplorasi. Eksplorasieksplorasi tema inilah yang membuat film Asia menarik, dan terbukti pengaruh Wong Karwailah salah satu yang paling besar. | Director : Wong Kar-Wai | Cast : Maggie Cheung, Tony Leung | Duration : 98 minutes | Country : Hong Kong |
Berdasarkan anomalianomali di atas, saya menjadi sangat yakin kalau Wong Kar-wai membenci cara-cara medioker dalam menyampaikan suatu tema besar.
26
Fallen Angels (1995)
Fallen Angels (1995) mengingatkan kembali mengapa saya ingin hidup di tahun 90an. Rasa hangat anemoia—nostalgia untuk waktu yang tak pernah dirasakan— yang timbul dari semburat neon hijau dan merah Hong Kong malam; dan dari tema utama film ini, rindu; tak bisa dihilangkan dari pikiran. Ketika semua karakter utamanya tenggelam dalam rasa rindu, saya sebagai penonton pun ikut merasakannya—dalam cara-cara yang berbeda.
sebagai partner yang mengatur segala tentang misinya. Tetapi, selain berinteraksi lewat faksimil, kode telepon atau sang wanita datang mengurus dan membersihkan kamar sang pria ketika ia pergi, mereka tidak pernah bertemu. Lalu ada ChiMo (Takeshi Kaneshiro), seorang pria bisu yang kesepian dan hanya tinggal bersama sang ayah sejak kematian ibunya, hingga ia bertemu Charlie (Charlie Young), seorang wanita yang baru patah hati.
Fallen Angels, salah satu karya awal Wong Kar-wai, menceritakan tentang seorang pembunuh bayaran (Leon Lai) yang bekerjasama dengan seorang wanita (Michelle Reis)
Setelah (menonton Fallen Angels), yang didapat adalah impresi, bukan konklusi. —Roger Ebert, 1998 27
Saya mengamini pernyataan Ebert di atas. Sejak opening shot hingga film berakhir, tak ada poin plot yang terasa signifikan, maupun berkesinambungan. Ketika awalnya Sang Agen Wanita bersinggungan dengan Chi-Mo hanya sekadar karena bertetangga, hingga akhirnya berboncengan di Hong-Kong malam, tidak menimbulkan penjelasan konkret; tidak menimbulkan konklusi berarti. Namun bukan berarti film ini tidak meninggalkan impresi. Pada saat yang sama ketika kita melihat banyak orang berlalu lalang dalam kesibukan di Hong Kong malam, kita diperkenalkan—lewat narasi bak
puisi dan shot intim—dengan karakter-karakter utama yang kesepian dan merinduhal-hal tertentu. Sang Agen Wanita merindukan partnernya; sampai menciumi parfum pakaiannya, memilah sampah-sampahnya, dan berfantasi ria di kamarnya. Chi-Mo merindukan pengakuan dari orang lain; sampai membuka toko-toko yang sudah tutup, memaksakan jasa yang bisa ia berikan, sampai para pelanggan paksaannya membayar. Setelah jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan Charlie, ia merindukan rasa cinta lain. Ayahnya yang selama ini menjadi murung setelah kematian ibunya, ia coba hibur dengan merekamnya.
28
Pun dengan karakter-karakter ada dalam sinema. Dengan caralain dengan kerinduan mereka cara pengambilan yang unik, yang berbeda. beberapa scene jelas diambil dengan sengaja untuk tujuan Dengan keseluruhan bernostalgia ini. Saya pribadi, sinematografi film yang yang hanya bisa merindu tahun diibaratkan montage, impresi 90an lewat sinema saja, menjadi kuat bisa disalurkan dengan makin rindu. Impresi kuat satu ini nyaring. Rasa sepi dan nostalgia benar-benar kentara; sampai yang timbul dari kilatan-kilatan saya yakin kalau film ini gambar blurry; lampu-lampu diintensikan untuk meninggalkan neon di stasiun, kereta, nostalgia bagi siapa saja, terowongan, dan toko-toko yang atau anemoia bagi generasi menerangi Hong Kong malam berikutnya—seperti saya. (waktu di film ini pun terasa ambigu, selalu malam hari); juga Akhir kata : sebagai lewat shot super dekat wide perkenalan pertama saya dengan angle dari tiap karakter filmografi Wong Kar-wai, Fallen memperdalam jejak yang ingin Angels terasa familiar. Jika bukan ditinggalkan. Keseluruhan film karena filmnya yang menjadi terasa sangat 90an ibarat montage, plotnya yang dengan gaya sinematiknya ini. tidak memiliki benang merahibarat memori, dan narasi Satu lagi : atmosfer neo tiap karakternya yang ibarat noir cukup kuat di film ini. Hong puisi, film ini tidak akan menjadi Kong malam—lewat asap dan satu memori lagi yang membuat semburat neonnya (lagi) —terasa saya semakin rindu; dan ingin seperti Neo-Tokyo di Akira(1988) pergi ke tahun 90an. dan Neo Los Angeles di Blade Runner (1985). Hal ini memberi | Director : Wong Kar-Wai | Cast : impresi bahwa Wong Kar-wai, Leon Lai, Michelle Reis | Duration seperti kebanyakan dari kita, pun : 96 minutes | Country : Hong memiliki nostalgia —merindu— Kong | akan dunia semu yang hanya 29
City Hunter (1993) City Hunter merupakan salah satu film Jackie Chan yang menceritakan tentang detektif bayaran bernama Ryo Saeba (Jackie Chan) yang memiliki asisten bernama Kaori Makimura (Joey Wang). Kaori merupakan keponakan dari sahabat sekaligus rekan kerjanya Ryo Saeba yang bernama Makimura (Michael Wong) yang telah meninggal. Pada suatu hari Ryo Saeba ditugaskan untuk mencari anak dari CEO koran terkemuka di Jepang. Pencarian pun di mulai oleh Ryo Saeba.
Wong Jing sukses mengemas film ini menjadi film komedi yang sangat menghibur namun turut serta menyelingi tiap-tiap adengan dengan aksi-aksi pertarungan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika kita menonton film ini, adegan laga yang terjadi seperti sungguhan, contohnya setiap Ryo Saeba bertarung melawan musuh-musuh yang ada di kapal pesiar. Baik bertarung menggunakan senjata maupun dengan tangan kosong adeganadegan tersebut mampu memukau para penontonnya dari cara gerakan-gerakan para 30
pemeran yang sangat luwes dan handal. Salah satu adegan pertarungan favorit di film ini yaitu ketika Ryo Saeba melawan anak buah utama MacDonald (Richard Norton) ketika di ruangan permainan. Di sini mereka diumpamakan menjadi karakter-karakter di game laga dan mengenakan kostumnya secara sungguhan. Kita dapat melihat pertarungan yang sangat mengesankan namun tetap menghibur dari segi komedinya. Salah satu aspek yang membuat film ini menjadi semakin mengesankan yaitu aktor-aktor yang terdapat di dalamnya. Salah
satunya seperti yang sudah banyak orang tahu bahwa Jackie Chan merupakan aktor pemain laga namun juga jenaka yang tidak pernah menggunakan stuntman di tiap adegan laganya. Bahkan faktanya selama proses pembuatan film ini, ia berkali-kali mengalami cedera di bagian bahu maupun lutut. Salah satu adegannya yaitu ketika Jackie Chan memainkan adegan dimana ia kabur menggunakan skateboard ketika sedang dikejar oleh satu geng pemain skateboard. Cedera pada adegan inilah yang membuatnya hingga sekarang sulit untuk melompat dan dan berlari. Namun dengan
31
kejadian itu tidak membuatnya kapok dan terus membuat karyakarya film lainnya hingga saat ini. Aktor lainnya yang cukup memukau di film ini yaitu adanya Gary Daniels yang memerankan anak buah utama MacDonald. Ia merupakan kickboxer professional dan amatir yang telah mencetak 33 kemenangan KO, dan mantan Kickboxing Champion kelas berat. Tidak heran jika aksi laganya di sini sangat memukau. Namun yang lebih mengagumkan lagi yaitu dia dapat mematahkan ekspektasi kita terhadap karakternya yang terlihat sangar (diperlihatkan pada salah satu adegannya ketika sedang berlatih dan menunjukkan otot-ototnya), dengan cara berhasil mengangkat unsur jenaka pada karakter yang ia perankan, dapat dilihat ketika adegan pertarungannya di kamar bersama Kaori juga pada saat melawan Ryo Saeba.
Hal lainnya yang mengangkat unsur jenaka dari film ini terdapat pada efek-efek suara yang dimunculkan pada tiap adegan. Jika kita perhatikan, tiap adegan memiliki efek suara yang berbeda-beda. Seperti pada saat adegan pertarungan, tiap pukulan yang dikenakan pasti memiliki efek suaranya yang membuat adegan tersebut semakin terasa nyata untuk penontonnya. Atau pada adegan dimana si Ryo Saeba sedang membanggakan dirinya kepada wanita-wanita yang ia temui. Efek-efek suara ini lah yang dapat membedakan film ini dengan film-film laga komedi lainnya. Misal pada film Gorgeous (1999) yang juga diperankan oleh Jackie Chan dan memiliki genre yang sama, di film itu efek suara yang dipakai kurang mencirikan film yang bergenre komedi dibanding City Hunter.
32
Perlu diingat bahwa film ini juga memiliki genre romance. Yang dapat terlihat jelas di film ini yaitu cinta bertepuk sebelah tangannya Kaori kepada Ryo Saeba. Di film ini Ryo Saeba merupakan lelaki playboy dan memiliki prinsip akan membujang dalam waktu lama sehingga dia lebih sering menggoda wanita. Namun kisah percintaan kurang ditunjukkan dan kurang tepat jika disebut film bergenre romance. Film ini lebih menunjukkan sensualisme yang dipancarkan dari kehadiran wanita-wanita, yang disajikan cukup indah dengan kesombongan tertentu, seperti ditunjukkan oleh Kaori, Shizuko (Kumikoto Goto), Saeko (Chingmy Yau) dan temannya Saeko yagn mana mereka merupakan wanita-wanita bersenjata dan mengenakan pakaian-pakaian yang sedap dipandang sehingga menciptakan moment-moment eye candy.
Terlepas dari semuanya, film ini memang sangat menghibur dan memukau dari aspek-aspek yang ditunjukkannya. Konsep actionkomedi yang disajikan sangat pas sehingga membuat film ini ringan untuk ditonton meski pun percintaan yang diberikan kurang banyak. Latar tempat yang dipakai pun cukup sederhana namun sangat luas dan menarik. | Director : Wong Jing | Cast : Jackie Chan, Joey Wong | Duration : 105 minutes | Country : Hong Kong |
33
Hear Me (2009) Pernahkah kalian berpikir bagaimana cara berkomunikasi secara langsung tanpa saling berbicara? Apalagi bila sudah berkumpul dengan 2 atau lebih orang yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara? Dan yang paling penting lagi, bagaimana caramu mengungkapkan perasaanmu kepada orang yang kamu sukai, sedangkan orang yang kamu sukai tak bisa mendengar maupun bicara? Film ini mengisahkan kisah cinta yang sederhana namun unik yang mengajarkan kita bahwa cinta adalah keajaiban yang tak perlu
didengar, diucapkan, diterjemahkan.
maupun
Film ini mengisahkan Yang Yang (Ivy Yi-han Chen) yang memiliki kaka tunarungu bernama Xiao Peng (Michelle Chen). Yang Yang merupakan tulang punggung keluarga karena ibu mereka sudah lama meninggal dan ayah mereka bekerja di luar negeri serta perekonomian mereka yang paspasan. Suatu hari mereka bertemu dengan Tian-kuo (Eddie Peng) yang langsung jatuh hati pada Yang Yang dan berusaha keras berkomunikasi menggunakan Bahasa isyarat 34 dengan Yang Yang. Di sini lah awal mula konflik dari kisah ini.
Kita sering menonton filmfilm yang di dalamnya sering, atau malah selalu terdapat percakapan antar karakter dan kita cukup mendengar apa yang mereka ucapkan. Pada kali ini, Hear Me menyuguhkan konsep yang berbeda dari film kebanyakan. Karena peran-peran utama yang terdapat di film ini bertemakan tunarungu, maka percakapan yang terdapat di dalamnya pun sangat minim dan kebanyakan menggunakan bahasa isyarat. Akibatnya, kita harus selalu membaca terjemahan tiap-tiap kata yang diperagakan. Kadang memang terasa membosankan karena kita tidak mendengar suatu
percakapan sedikit pun, namun setiap masalah yang terjadi membuat kita juga dapat terbawa suasana. Setiap karakter yang terdapat di film ini berhasil menyalurkan emosinya melalui gestur-gerstur yang mereka berikan. Contohnya pada saat Tian-kuo dan Yang Yang bertengkar karena Tian-kuo membayar makanan mereka padahal diawal mereka sudah berjanji yang akan membayar makanan saat itu adalah Yang Yang. Yang Yang mengira Tiankuo malu dengannya Karena ia akan membayar makanan mereka dengan uang-uang receh. Lalu kita juga dapat merasakan kesedihan Yang Yang dan Xiao Peng pada saat mereka 35
bertengkar di rumah akibat Xiao Peng dikeluarkan dari tim renangnya. Penghayatan dari masing-masing pemeran dapat membuat kita berempati hingga dapat menitikkan air mata. Dari awal film, kita dapat melihat di film ini juga menyelipkan unsur komedinya. Seperti tingkah laku Yang Yang yang kekanak-kanakan ketika mengambil foto kakaknya ketika di kolam renang, juga setiap adegan antara Tian-kuo dan Yang Yang selalu ada saja tingkah konyol yang ditimbulkan oleh Tian-kuo, contohnya pada saat Tian-kuo yang berusaha masak suatu makanan khusus untuk Yang Yang hanya bertujuan untuk bertemu dengannya. Namun, unsur komedi yang diangkat terlalu minim dan kadang kurang berasa lucunya dari film ini. Padahal bisa saja dikembagkan lebih jauh lagi. Misal karakter Xiao Peng yang lebih ceria lagi dan sering bertingkah konyol diantara persaudaraannya dengan Yang Yang. Atau Tian-kuo yang lebih sering berinteraksi dengan orangtuanya,
karena di sini orangtua Tian-kuo digambarkan sebagai orangtua yang cukup jenaka. Film-film romansa dari Taiwan memang sudah terkenal menarik dari segi alur cerita maupun makna yang diberikan. Beberapa contohnya seperti Our Times(2015), At CafĂŠ 6(2016), One day(2010), dan yang paling sering kita dengar yaitu You are the Apple of My Eye(2011). Namun Our Times mengisahkan romansa yang lebih unik dari segi penyampaiannya mau pun makna yang disuguhkan. Jika kita menonton hingga akhir, kita dapat mengetahui masalah utama Yang Yang dan Tian-kuo yaitu kesalahpahaman satu sama lain yang menganggap bahwa lawan bicaranya merupakan orang yang tunarungu. Kendati demikian, hal itu tidak menghalangi perasaan mereka satu sama lain, dan mereka tetap memperjuangkan hubungan mereka ke tahap selanjutnya. Cinta mereka pun tetap bersemi meski komunikasi mereka terbatas hanya pada isyarat tangan. Ini menunjukkan bahwa 36
jika kita memang bersungguhsungguh mencintai seseorang, kendala apapun itu, baik tunarungu atau pun hal lainnya, tidak menjadi suatu halangan, malah membuat kita terus mempelajarinya dan berusaha menjadi lebih baik lagi. | Director : Cheng Fen-Fen | Cast : Eddie Peng, Ivy Chenas | Duration : 109 minutes | Country : Taiwan |
37
38